peranan komunitas arab dalam bidang sosial...
TRANSCRIPT
PERANAN KOMUNITAS ARAB
DALAM BIDANG SOSIAL-KEAGAMAAN DI BETAWI
1900-1942
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Disusun oleh:
Muhammad Haryono
NIM: 1110022000033
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
LEMBAR PERYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
L Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata I di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayanrllatr Jakarta.
Ciputat,4 Maret 2015
Muhammad Haryono
PERANAN KOMUNITAS ARABDALAM BIDANG SOSIAL-KEAGAMAAN DI BETAWI
1900-1942
SkripsiDiajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh:Muhammad HaryonoNIM: 1110022000033
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAMFAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
1436H.t201s M.
Pembimbing I, pembimbing II,vDr. H. Abd. Wahid Hasyim. M.A& nrr. H. .,#h* sut"h. MaNIP: 19560817 1986031 006 NIp: 19581otz tgg2o3 I 004
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PERANAN KOMUNITAS ARAB DALAM BIDANGSOSIAL-KEAGAMAAN DI BETAWT 1900-1942 telah diujikan dalam sidangmunaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayitullah Jakarta padi4 Maret 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat mempeiolehgelar Sarjana Humaniora (s.Hum) pada program Studi Sejarali dan KebudayaanIslam.
Nurhasan. M.ANIP: 19690724 19970 I 001
Prof. Dr. M. Dien MadjidNIP: 19490706 197109 I 001
Pembimbing I,
Sidang Munaqasyah
Anggota,
Jakart4 4 Maret 2015
Sekretaris Merangkap Anggota,
Penguji II,
Dr. Halid. M.AgNiP: 19721229 200003 I 002
Dr. H. Abd. Wahid Hasvim. M.AgNIP:19560817 198603 1 006
Pembimbing II,
Drs. H. Azhpr Saleh. M.ANIP: 19581012 199203 I 004
s0417 200501 2 007
i
ABSTRAK
Muhammad Haryono
Peranan Komunitas Arab Dalam Bidang Sosial-Keagamaan di Betawi 1900-
1942
Penelitian ini membahas peranan komunitas Arab dalam bidang sosial-
keagamaan di Betawi 1900-1942. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-
analisis dengan pendekatan sosial-keagamaan. Dalam pembahasan dipaparkan
mengenai betapa besarnya peranan komunitas Arab-Hadhrami bagi masyarakat
Betawi, tidak hanya terkenal sejak dahulu keahliannya dalam bidang politik dan
perdagangan, namun juga dalam bidang sosial-keagamaan. Wujud nyata dari
peranan yang dimainkan oleh orang-orang Arab tersebut terlihat sekali ketika
memasuki awal abad XX, yakni dengan didirikannya sebuah organisasi modern
yang bergerak di bidang sosial-keagamaan yang bernama Jamiat Kheir.
Organisasi ini terkenal bukan saja karena keberhasilannya mendirikan sekolah-
sekolah modern dan melahirkan tokoh-tokoh Islam penting, tetapi juga karena
kegiatan sosial-keagamaannya yang diwujudkan dalam bentuk pendirian
beberapa panti asuhan, Islamic center, majelis taklim, percetakan dan juga
fasilitas umum seperti; perpustakaan, masjid, dan rumah sakit. Kegiatan itu pun
masih tetap berlangsung hingga kini dalam program kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan oleh ar-Rabithah al-Alawiyyah. Fakta ini cukup menjadi suatu
bantahan atas pernyataan seorang tokoh Orientalis Barat yakni, L.W.C Van den
Berg yang kemudian diikuti oleh kalangan orientalis lainnya seperti K.A
Steenbrink dan C. Snouck Hurgronje, yang menyatakan bahwa motivasi utama
orang-orang Arab datang ke Nusantara hanyalah untuk berdagang dan mencari
keuntungan materi semata. Oleh karena itu, tujuan penilitian ini adalah untuk
membuktikan bahwa tidak semua orang-orang Arab yang datang ke Nusantara
khususnya di Betawi, bertujuan hanya untuk berdagang dan mencari keuntungan
materi semata. Adapun temuan dalam penelitian ini adalah bahwa aktivitas
berdagang dan berdakwah dalam masyarakat Arab, keduanya sering menjadi
bagian intergral dalam kehidupan mereka. Meskipun begitu tidak dapat dinafikan
ada beberapa kalangan dari masyarakat Arab yang memang memiliki tujuan
demikian, terlebih-lebih dari kalangan Qabili yang merupakan kelompok
mayoritas dalam masyarakat Arab di Betawi sejak terjadi migrasi besar-besaran
pada akhir abad ke-19 M.
Kata kunci: Arab-Hadhrami, Betawi, Jamiat Kheir, ar-Rabithah al-Alawiyyah,
L.W.C Van den Berg.
ii
KATA PENGANTAR
Dengan Menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah banyak
memberikan limpahan rahmat dan karunia_Nya serta izin-Nya, sehingga penulis
mampu melaksanakan penelitian dan menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya yang senantiasa giat
menjalankan sunnah-sunnahnya.
Melalui proses yang panjang dan perjuangan yang tidak mudah, akhirnya
penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini dengan semestinya.
Dalam penulisan skripsi inipun, tak luput dari kesalahan dan rasa ketidakpuasan
yang akan terus menggema, namun dengan setitik harapan semoga karya yang
sederhana ini dapat memberikan sumbangsih bagi cakrawala pengetahuan dan
senantiasa berkembang, maka karya ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi yang membacanya.
Bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak serta kritikan yang sangat
membangun dalam penyelesaian tugas akhir ini, maka dalam kesempatan kali ini
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum selaku Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora.
2. Nurhasan, MA selaku ketua jurusan SKI dan Solikatus Sa’diyah, M.Pd selaku
sekretaris jurusan SKI. Tak lupa ucapan terima kasih juga kepada ibu Awalia
Rahma selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan arahan dan
motivasi kepada penulis.
iii
3. Dr. Abdul Wahid Hasyim, MA dan Drs. Azhar Saleh, MA selaku Dosen
Pembimbing Skripsi yang tiada henti dan tiada bosan memberikan arahan dan
masukkan kepada penulis hingga mampu menyelesaikan skripsi ini.
4. Para petugas Perpustakaan Utama, Adab dan UI (Universitas Indonesia) yang
telah memberikan sumbangsih kepada penulis selama mencari literatur.
5. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada lembaga Rabithah
Alawiyyah dan Panti Asuhan Daarul Aitam yang telah memberikan informasi dan
sumber-sumber yang berkaitan dengan judul skripsi penulis. Tak lupa pula ucapan
terima kasih dan hormat penulis kepada Bapak Ir. Ali Abu Bakar Shahab selaku
pimpinan di lembaga Rabithah Alawiyyah dan Panti Asuhan Daarul Aitam yang
telah memberikan informasi dan banyak memberikan sumber-sumber referensi
penting kepada penulis yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
6. Ucapan terima kasih kepada kepala sekolah dan Petugas Perpustakaan Jamiat
Kheir yang telah memberikan informasi dan sumber-sumber yang berkaitan
dengan judul skripsi penulis.
7. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kantor redaksi Republika,
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), LIPI, EFEO dan PERPUSNAS yang
telah memberikan sumbangsih kepada penulis selama mencari literatur.
8. Ayahanda Askuri, Ibunda Kuswati dan adik-adikku tersayang yang telah
memberikan kasih sayangnya, do’anya dan motivasinya yang tiada henti-hentinya
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
9. Para Sahabat dan teman-teman seperjuangan SKI angkatan 2010 yang tidak
dapat disebutkan satu-persatu yang telah memberikan dorongan dan Motivasi
dalam menyelesaikan skrpsi ini.
Akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis panjatkan do'4 semoga amal
kebaikan yang telah diberikan kepada penulis meqiadi amal shaleh yang
mendapatkan pahala berlipat ganda. Serta dilimpahkan segala keberkahan dan
kenikmatan atas bantuan dan perhatian yang telah di berikan kepada penulis.
selain itu juga semoga seluruh aktifitas yang kita kerjakan diberi
kemudahan oleh Allah swr. Janganlah pernah merasa puas dengan apa yang
telah diraih hari ini, songsong masa depan sejak dini adalah langkah terbaik dan
semoga apa yang telah dikerjakan mendapat nilai ibadah di sisi-Nya.
Jakarta,4 Maret 2015
Mu
Penulis
lVSWhammad Haryono
tv
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK .………………………………………………………………………..... i
KATA PENGANTAR …..……………………………………………………….... ii
DAFTAR ISI ….……………………………………………………………………. v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..……………….…………………………….. 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ..………………………………... .10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………..………………………... 12
D. Metode Penelitian …………………………………..………………... 12
E. Tinjauan Pustaka ………………………………………..……………. 20
F. Sistematika Penulisan …………………………………..…………….. 23
BAB II KONDISI GEOGRAFIS BETAWI
A. Betawi 1900-1942 …………………………………….…….….......... 24
B. Kehidupan Sosial-Keagamaan Masyarakat Betawi...........................… 27
BAB III ORANG-ORANG ARAB DI BETAWI 1900-1942
A. Kedatangan Orang-Orang Arab di Betawi ………………....…….….. 32
B. Persebaran Orang-Orang Arab di Betawi ……………………………. 36
C. Terbentuknya Komunitas Arab di Betawi ………………………….... 43
BAB IV PERANAN ORANG-ORANG ARAB DI BETAWI 1900-1942
A. Dalam Bidang Sosial ……………….................................................... 47
vi
B. Dalam Bidang Keagamaan …………………………………………... 51
C. Respon Pemerintah Belanda Terhadap Peran Komunitas Arab
di Betawi ….…………………….......................................................... 56
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan …………………………………………………………... 61
B. Saran-Saran ………..………………………………………………..... 63
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 64
LAMPIRAN-LAMPIRAN ……………………………………………………….. 70
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Wilayah kepulauan Indonesia merupakan kawasan yang penting dan
strategis, terutama jika dilihat dari aspek ekonomi. Sejarah mencatat, kepulauan
Indonesia merupakan daerah yang terkenal sebagai penghasil rempah-rempah
terbesar di dunia. Hal tersebut membuat banyak pedagang dari berbagai penjuru
dunia datang ke Indonesia untuk membeli rempah-rempah yang akan dijual
kembali ke daerah asal mereka. Selain berdagang, adapula para pedagang tersebut
berkeinginan untuk mengenalkan agama yang dibawanya kepada penduduk
setempat, tanpa terkecuali para pedagang muslim yang berasal dari Arab, Persia,
dan Gujarat. Namun sulit untuk menentukan siapa yang pertama kali mengenalkan
agama Islam di Indonesia dan juga kapan agama Islam itu pertama kali
diperkenalkan.
Menurut pendapat sebagian kalangan orientalis Barat seperti; Pijnappel,
Snouck Hurgronje, J.P Moquette, Williem Winstedt, dan S.Q Fatimi, termasuk
seorang sejarawan Indonesia yang mendukung Teori Persia yakni, P.A Hoesein
Djajadiningrat, bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII M dan yang
pertama kali menyiarkannya ialah orang-orang Persia dan India. Pernyataan
mereka ini didasarkan pada kesamaan batu nisan makam di Pasai dengan di
Gujarat, pesisir Selatan India dan juga kesamaan kebudayaan Syi’ah yang
2
menurutnya masih meninggalkan jejaknya di Sumatera dan Jawa.1 Akan tetapi
menurut para ahli sejarah dari kaum muslimin, khususnya kaum intlektual muslim
di Indonesia, seperti; Azyumardi Azra, Hamka dan Uka Tjandrasasmita,
keterangan tersebut sepertinya tidak dapat dibenarkan dan bahkan kuat
kemungkinan bahwa hal itu memang sengaja dipalsukan untuk tujuan-tujuan
politik penjajahan.2
Azyumardi Azra dalam bukunya “Islam Nusantara” menyatakan bahwa,
“…Islam di Nusantara dibawa langsung dari Tanah Arab pada Abad ke-VII yang
diperkenalkan langsung oleh para guru atau juru dakwah dan orang yang pertama
kali masuk Islam adalah para penguasa…”3 Begitupula Uka Tjandrasasmita dalam
bukunya “Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia” ia
menduga bahwa, “…Islam datang ke Indonesia pada abad ke-7 dan ke-8. Pada
1 Nur Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2007), h. 32-38. 2 Penulis sependapat dengan ketiga Tokoh tsb. Jika pernyataan sebagian orang Barat
bahwa, Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII dibawa oleh orang India dan Persia dengan
didasarkan pada asumsi kesamaan batu Nisan makam. lantas, apakah pemakainya sudah pasti
orang India? Artinya batu Nisan makam boleh saja di datangkan dari India, tetapi belum pasti
pemakainya orang India pula, bisa saja di pesan oleh orang lain dari luar India. Adapun pernyataan
yang didasarkan pada asumsi kesamaan kebudayaan Syi’ah seperti peringatan Tabut/hari Asyura
dibeberapa daerah di Indonesia belakangan ini, Lantas, apakah para pengamalnya sudah pasti
mayoritas menganut madzhab Syi’ah? Penulis akui mengenai madzhab Syi’ah pernah masuk
dibeberapa wilayah di Nusantara khususnya di Aceh, memang ada buktinya dalam sejarah
Indonesia namun, tidak ada kepastian bahwa para pembawa tradisi kebudayaan Syi’ah itu juga
mayoritas menganut madzhab Syi’ah. Sebab, dibeberapa daerah di Indonesia kelompok yang
menamakan diri kaum Alawiyyin (yang bernasab pada Ahmad al-Muhajir bin Isa) asal Hadramaut
yang mayoritas bermadzhab Syafi’i, sering pula melakukan tradisi Syi’ah seperti peringatan hari
Asyura atau 10 Muharram namun, dengan bentuk ritual yang berbeda. Hal tersebut dilakukan
karena Hasan dan Husein selama ini mereka akui sebagai leluhur mereka.
Oleh karena itu, pendapat masuknya Islam ke Indonesia mulai abad XIII M, tentu tidak
dapat diterima begitu saja, mengingat orang-orang Islam dari Arab, Persia, dan India sudah banyak
berhubungan dengan orang-orang di Asia Tenggara dan Asia Timur jauh sebelum abad XIII yakni,
pada Abad VII dan Abad VIII seperti yang telah dikemukan di atas oleh Uka Tjandrasasmita.
Karena itu lebih tepat abad XIII M dikatakan sebagai masa awal berdirinya kerjaaan yang bercorak
Islam, sekaligus menandai perkembangan Islam di Nusantara. 3 Azyumardi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal (Bandung: Mizan,
2002), h. 31.
3
abad ini, dimungkinkan orang-orang Islam dari Arab, Persia, dan India sudah
banyak berhubungan dengan orang-orang di Asia Tenggara dan Asia Timur…”4
Pernyataan demikian semakin memperkuat apa yang dinyatakan
sebelumnya oleh Hamka dalam seminar “Sejarah Masuknya Agama Islam di
Indonesia” yang diselenggarakan pada 17-20 Maret 1963 di Medan. Ia telah
menyatakan sekaligus menyimpulkan bahwa, “…Islam masuk untuk pertama
kalinya ke Indonesia pada abad pertama Hijriah langsung dari Negeri Arab dan
bahwa daerah pertama yang didatangi ialah pesisir Barat Sumatera, tempat
terbentuknya masyarakat Islam serta kerjaan Islam pertama…”5
Terlepas dari perdebatan di atas, pada abad-abad tersebut sangat
memungkinkan kawasan-kawasan pesisir pantai di Nusantara telah ramai
dikunjungi oleh pedagang-pedagang muslim baik itu dari Arab, Persia maupun
dari India dan mereka telah membentuk pemukiman-pemukiman khusus di
kawasan tersebut. Hal ini sudah menjadi suatu hal yang biasa, lazim dilakukan
oleh para pedagang asing apabila datang ke tempat-tempat perdagangan yang
berada disekitar kawasan Nusantara, mereka tidak segera kembali ke tempat asal
mereka, disamping karena menunggu barang dagangannya habis dan dapat
membawa barang dagangan baru penduduk setempat, juga menunggu waktu
pelayaran kembali yang bergantung pada musim. Hal ini yang pada akhirnya
memaksa mereka untuk bertempat tinggal berbulan-bulan di tanah perantauan.
Selama tinggal diperantauan mereka saling berinteraksi dengan penduduk
setempat, tidak jarang pula penduduk setempat khususnya kaum bangsawan atau
4 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim di Indonesia
(Kudus: Menara Kudus, 2000), h. 17. 5 A. Hasjmy dan Hussein Azmi, Sejarah Masuk dan Berkembanganya Islam di Indonesia,
Cet. I (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), h.. 156 dan 195.
4
raja-raja berhasrat menikahkan putri-putrinya kepada para pedagang tersebut.
khususnya para pedagang Arab yang kaya-raya dan memiliki strata sosial yang
tinggi seperti kalangan Sayyid. Akibat perkawinan tersebut, tidak jarang pula
kemudian ada yang diangkat dalam susunan birokrasi kerajaan, bahkan diangkat
sebagai seorang raja. Hal ini tentunya akan memunculkan sebuah kekuatan politik
baru di Kepulauan Nusantara. Oleh karena itu, dalam perkembangan selanjutnya
sekitar abad ke-13 M hingga abad ke-16 M, berdirilah beberapa Kerajaan besar
bercorak Islam di Nusantara, yang berdirinya pun hampir bersamaan, diawali
dengan berdirinya Kerajaan Islam di Sumatera yakni; Pasai (1267-1521), Aceh
Darussalam (1496-1903), Malaka (1402-1511), lalu menyusul di Pulau Jawa
berdiri kerajaan Demak (1475-1548), Cirebon (1552-1677), Banten (1524-1813),
Pajang (1568-1618), Mataram (1586-1755), di Maluku berdiri kerajaan Ternate
(1257-sekarang), Tidore (1110-1947), Jailolo (1495-1805), Bacan (1284-1805), di
Sulawesi berdiri kerajaan Buton (1332-1911) dan Gowa (abad 16-1667), di
Kalimantan berdiri kerajaan Banjar (1526-1905).6
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya
pemerintahan-pemerintahan Islam, tentunya hubungan perdagangan dengan kaum
muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang
bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak, yang terbesar diantaranya adalah
berasal dari Hadramaut, Yaman Selatan. Para perantau Arab-Hadramaut ini mulai
datang secara massal ke Nusantara pada tahun-tahun terakhir abad ke-18 M, tetapi
mereka mulai banyak menetap di pulau Jawa setelah tahun 1820 M dan koloni-
6 Darmawijaya. Kesultanan Islam Nusantara (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), h. 3-4.
5
koloni mereka di bagian Timur Nusantara baru tiba pada tahun 1870 M.7 Menurut
statistik tahun 1885 M tercatat jumlah imigran Arab yang menetap di Indonesia
mencapai 2.478 Jiwa8. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan
sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut.
Perjalanan orang Hadramaut ke Nusantara awalnya dilakukan dengan
menumpang kapal kayu. Mula-mula mereka harus ke pelabuhan al-Mukalla atau
al-Syihr, berlayar ke Malabar di India Selatan, dari sana ke Srilangka, lalu ke
Aceh atau Singapura, kemudian menyebar ke Kepulauan Nusantara lainnya. Oleh
karenanya, perjalanan mereka untuk sampai ke Nusantara bisa memakan waktu
berbulan-bulan. Namun, sekitar tahun 1870-an, ketika telah ada jalur lalu lintas
kapal uap dari Eropa ke Timur jauh, mereka sebagian lebih memilih menaiki
kapal uap tersebut dan langsung menuju ke Kepulauan Nusantara ini dengan
mudah dan lebih cepat, walaupun mereka harus membayar lebih mahal.9
Kaum perantau ini meskipun tanpa banyak pengetahuan dan keterampilan,
mereka dapat hidup wajar dan cepat maju.10
Sekitar abad XIX M, muncul orang-
orang Hadramaut sebagai pedagang sukses di Palembang dan berbagai negeri
pelabuhan di Utara pulau Jawa.11
Di Jawa pada umumnya mereka mempunyai
pemimpin dari kalangan mereka sendiri yang dikenal dengan sebutan kepala
koloni, tanpa terkecuali juga di Betawi. Komunitas Arab di Betawi pada mulanya
hanya bertempat tinggal pada wilayah khusus12
yakni, Pekojan dan kebebasan
7 L.W.C Van Den Berg, Le Hadramout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien,
diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jilid III ( Jakarta:
INIS, 1989), h. 72. 8 Ibid., h. 68-70.
9 Ibid., h. 80.
10 Ibid., h. 80.
11 ANRI: Staadsblad van Nederlandsch-Indie 1816 nomer 47.
12 M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2000), h. 121.
6
bergerak (aktivitas) mereka pun awalnya hanya terkugkung dalam batas-batas
tertentu, ini karena kebijakan dari pemerintah kolonial yang sedang berkuasa pada
waktu itu yakni, dengan membagi masyarakat Betawi berdasarkan ras atau
bangsanya (Wijken Stelsel) di tempat-tempat tertentu dan juga kewajiban
membawa surat jalan apabila hendak berpergian (Passen Stelsel).13
Akan tetapi
dalam perkembangan selanjutnya ketika akan memasuki awal abad ke-20 M,
mereka baru bisa bertebaran ke wilayah-wilayah lainnya yang berada di Betawi
seperti; Krukut, Tanah Abang, Petamburan, Kwitang, Jatinegara, Condet dan
sebagainya.
Kemudian pada tahun 1901 M, penjajah Belanda menerapkan apa yang
disebut dengan kebijakan Etis, dimana pemerintah kolonial memiliki tugas untuk
memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia di berbagai bidang salah satunya yang
terpenting adalah di bidang pendidikan. Maka berdirilah sekolah-sekolah modern
yang didirikan baik untuk kaum bangsawan ataupun orang-orang pribumi.
Namun, banyak kalangan Arab dan muslim pribumi enggan menyekolahkan anak-
anaknya di sekolah Belanda. Dalam situasi tekanan kolonial itulah, seorang tokoh
alim ulama, Habib Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab dengan
didukung pemuda Arab lainnya, berinisiatif mendirikan sebuah organisasi Modern
yang bergerak di bidang keagamaan, sosial dan pendidikan yang bernama Jamiat
Kheir, tahun 1901 M.14
Namun, organisasi ini baru mendapat pengakuan secara
hukum dari pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1905 M setelah melalui proses
negoisasi yang cukup panjang.
13
Ibid., h. 142. 14
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: PT. Pustaka
LP3ES, Cet.8, 1996), h. 68.
7
Setahun kemudian (tahun.1906 M) diajukan kembali permohonan, kali ini
mengajukan permohonan untuk membangun madrasah dan gedung pertemuan
kepada pemerintah Hindia-Belanda, permintaan itu pun dikabulkan. Maka dalam
bidang pendidikan berdirilah perguruan Islam Jamiat Kheir.15
Bukan hanya
mengajarkan agama, lembaga ini juga memberikan pendidikan umum. Disamping
itu, organisasi ini juga mengadakan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan
diantaranya; dengan mendirikan beberapa panti asuhan, Islamic center,
perpustakaan, masjid, majelis taklim, percetakan, rumah sakit, dll. Dengan begitu
kegiatan organisasi ini akhirnya menjadi meluas dan organisasi ini pun cepat
dikenal oleh masyarakat luas, bukan saja karena kegiatan sosial-keagamaannya,
juga karena organisasi ini banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam penting seperti;
KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (pendiri
Syarikat Islam), H Samanhudi (pendiri dan tokoh Syarekat Dagang Islam/SDI), H
Agus Salim dan beberapa tokoh perintis kemerdekaan yang juga merupakan
anggota atau setidaknya mempunyai hubungan dekat dengan Jamiat Kheir.16
Data
tersebut membuktikan, bahwa organisasi ini terbuka untuk setiap muslim tanpa
perbedaan asal usul, tetapi mayoritas anggotanya adalah orang-orang Arab.
Pada tahun 1911 M, Jamiat Kheir mengundang tiga sarjana muslim
terkemuka dari Arab untuk mengajar di madrasah yang didirikannya. Mereka
diantaranya adalah Syaikh Muhammad Thaib dari Maroko, Syaikh Muhammad
Abdul Hamid dari Mekkah dan yang terakhir, Syaikh Ahmad Soorkati dari Sudan.
Mereka resmi bergabung dengan organisasi Jamiat Kheir pada bulan Oktober
15
M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi, h. 143. 16
Hamid al-Gadri, Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia
(Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988), h. 108.
8
1911 M.17
Akan tetapi, dikemudian hari mereka berselisih paham dengan anggota
lain yang masih merupakan anggota Jamiat Kheir yakni, dengan kalangan Sayyid.
Permasalahan mereka mengenai pengunaan gelar Sayyid di depan nama dan
pernikahan Kafa’ah (Kesetaraan Nasab) Syarifah.18
Kalangan Sayyid menganggap
hanya mereka yang berhak menggenakan gelar tersebut di depan namanya dan
Syarifah hanya boleh menikah dengan kalangan Sayyid. Adapun dari kalangan
Syaikh menganggap bahwa, setiap orang berhak menggunakan gelar Sayyid di
depan namanya, karena menurutnya secara harfiah kata Sayyid berarti tuan, yang
digunakan sebagai panggilan penghormatan dan Syarifah boleh menikah dengan
yang bukan Sayyid, karena dalam Islam pada dasarnya semua manusia itu sama di
hadapan Tuhan, yang membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya
hanyalah tingkat keimanan dan ketaqwaannya.
Akibatnya pada tahun 1914 M, Syaikh Ahmad Surkati memilih
meninggalkan al-Kheir, lalu menbentuk organisasi baru yang bernama Jam’iyyat
al-Ishlah wa Irsyad al-Arabiyah19
dan baru disahkan kemudian oleh pemerintah
Hindia-Belanda Pada Tahun 1915 M. Kemudian, muncul berbagai inisiatif untuk
mempersatukannya kembali dari berbagai kalangan. Bahkan Raja Arab Saudi,
Abdul Aziz Ibn Saud dan juga ulama sekaligus penulis Arab terkenal, Amir
Syakib Arselan pernah ikut turun tangan untuk mempersatukannya kembali, tetapi
semuanya gagal.20
Kegagalan ini yang kemudian dinilai oleh Hamid al-Gadri21
17
M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi, h. 144. 18
Ibid., h. 144. 19
Ahmad Ibrahim Abushouk, Al-Man¯ar and the Hadhramı Elite in the Malay-
Indonesian World: Challenge and Respons, (United Kingdom: Journal Of The Royal Asiatic
Society, 2007), h. 315. 20
M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi, h. 162. 21
Hamid al-Gadri, Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab di Indonesia, h.
115.
9
tidak mustahil ada kaitannya dengan politik kolonial Belanda yang selalu
mencoba mengurangi pengaruh Arab (Islam) di Indonesia.22
Pertikaian ini baru dapat teratasi ketika didirikanya sebuah organisasi yang
bernama Persatuan Arab Indonesia (PAI) pada Tahun 1934 M, yang digagas oleh
A.R Baswedan setelah melalui negoisasi yang panjang dengan kedua kelompok
tersebut.23
Organisasi ini bukan saja berhasil mempersatukan kembali kedua
kelompok tersebut, namun juga telah memberi kesadaran kepada peranakan Arab
akan kedudukannya ketika itu sebagai orang Indonesia yang memiliki cita-cita
ideal sama seperti masyarakat Indonesia pada umumnya yakni, kemerdekaan
Indonesia, walaupun kenyataannya bahwa negeri Hadramaut tetap mereka akui
sebagai tanah nenek moyang mereka. Oleh karenanya pada tahun 1940 M, PAI
merubah diri menjadi sebuah partai politik yakni, Partai Arab Indonesia dan pada
tahun 1941 M, PAI masuk menjadi anggota GAPPI (Gabungan Partai-Partai
Politik Indonesia) yang menuntut Indonesia berparlemen.24
Melihat pemaparan diatas begitu menarik sekali, tidak dapat dinafikan
mengingat betapa besarnya usaha dan peranan komunitas Arab-Hadhrami bagi
bangsa Indonesia, tidak hanya dalam bidang politik dan perdagangan saja, namun
juga dalam bidang sosial-keagamaan seperti yang telah jelaskan di atas. meskipun
22
Penulis sependapat dengan Hamid al-Gadri. Asumsi Penulis, ada kemungkinan
pemerintah kolonial Belanda bermain dibalik peristiwa ini dengan strategi politiknya yakni Devide
et Impera. Alasan pertama, pemerintah kolonial Belanda begitu cepatnya mengesahkan berdirinya
organisasi al-Irsyad, tidak seperti Jamiat Kheir yang mendapatkan pengesahan setelah melalui
proses negoisasi yang cukup panjang dengan pemerintah kolonial Belanda (1901-1905). Alasan
kedua, pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1933 pernah mengabaikan permintaan al-Irsyad
tentang keberatan terhadap pengunaan gelar Sayyid bagi kalangan tertentu, dalam hal ini kaum
Alawi. Penulis menduga, ini sengaja dilakukan agar perselisihan antara kedua golongan tersebut
semakin meluas dan tentunya, ini akan menimbulkan citra negatif di kalangan masyarakat
pribumi. Namun, upaya pemerintah kolonial Belanda untuk memisahkan orang Arab dari
masyarakat Indonesia dapat digagalkan dengan didirikannya organisasi PAI (Persatuan Arab
Indonesia). 23
M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi, h. 163-165. 24
Ibid., h. 166-167.
10
singkat, tetapi setidaknya ini cukup membuktikan bahwa Hijrahnya mereka sejak
dahulu dari Hadramaut ke tempat yang jaraknya ribuan Mil dengan menyeberangi
lautan tidaklah bertujuan kecuali, untuk menyiarkan agama Islam dan membantu
umat Islam Indonesia terlepas dari belenggu para penjajah.
Lalu mengapa sebagian kalangan orientalis Barat seperti C. Snouck
Hurgronje, K.A. Steenbrink, dan L.W.C Van den Berg. Mereka beranggapan
bahwa, motivasi utama orang-orang Arab-Hadhrami hanyalah pencarian harta
semata atau hanya sekadar berdagang.25
Kalau pun ada di antara mereka yang
memegang posisi keagamaan sebagai qadi, imam, ataupun Da’i itu hanyalah
untuk mengejar imbalan keuangan yang tidak bermotifkan agama.26
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dengan melihat latar belakang masalah di atas, maka penulis perlu
membatasi pembahasan dalam penelitian ini, agar pembahasan tidak melebar
sehingga dapat diperoleh hasil penelitian yang maksimal. Oleh sebab itu,
mengingat mayoritas para imigran maupun peranakan Arab yang berada di Betawi
adalah berasal dari Negeri Hadramaut dan juga mereka yang paling banyak
memiliki peran di Nusantara khususnya di Tanah Betawi, dengan demikian
25
Menurut Asumsi penulis, saya kira hal tersebut tidak terlepas dari kedudukan mereka
sebagai pegawai pemerintah kolonial, dimana tugas mereka adalah berusaha menghilangkan
pengaruh Arab (Islam) dari masyarakat pribumi guna mempertahankan jajahannya di bumi
Nusantara. Selain itu penulis juga menduga kenapa mereka berpandangan demikian, hal ini karena
kurangnya pengetahuan mereka tentang konsep dagang Islam, serta latar belakang budaya dan
mentalitas bangsa Arab, sehingga mereka sulit untuk menditeksi misi yang tersirat di balik
fenomena yang tampak dihadapan mereka. Sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh Pak Alwi
Shahab dalam bukunya yang berjudul “Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama”
(Bandung: Mizan, 1998) h. 323-324, maupun artikel-artikel yang pernah ditulisnyadi dalam media
massa, seperti yang terdapat dalam koran harian Republika, yang diterbitkan pada hari Jum’at, 22
September 1995. h. 8. Menurutnya, bahwa kekeliruan Van den Berg, dkk dalam memahami
kehidupan orang-orang Arab disebabkan oleh 3 faktor: 1) kurangnya pengetahuan tentang konsep
dagang Islam. 2) latar belakang budaya 3) dan mentalitas bangsa Arab. 26
Azumardi Azra, Hadhrami Scholars in the Malay-Indonesian Diaspora, Studia
Islamika, Vol.2, No. 2, (Jakarta: I.A.I.N. Syarif Hidayatullah, 1995), h. 8.
11
pembahasan dalam penelitian ini hanya terfokus pada peranan komunitas Arab-
Hadhrami di Betawi dan peranannya pun lebih di fokuskan dalam bidang sosial-
keagamaan. Meskipun ada kemungkinan di dalamnya akan bersentuhan dengan
aspek-aspek lainnya, namun hal tersebut setidaknya hanyalah tambahan atau
sebagai pelengkap saja di dalam penulisan skripsi ini.
Adapun untuk batasan waktunya, penulis mengambil waktu tahun 1900-
1942. Karena pada tahun-tahun tersebut penulis melihat banyak sekali peranan
serta kontribusi nyata yang diperlihatkan oleh komunitas Arab-Hadhrami di
Indonesia, khususnya di Betawi. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada tahun
tersebut merupakan tahun kebangkitan orang-orang Hadhrami di Indonesia. hal ini
sejalan dengan apa yang diutarakan oleh beberapa Tokoh penulis sejarah seperti;
Natalie Mobini Kesheh (penulis buku “Hadhrami Awakening”), Deliar Noer
(penulis buku “Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942”), dan G.F Pijper
(penulis buku “Studien over de Geschiedenis van de Islam in Indonesia 1900-
1950”) bahwa, awal abad XX merupakan awal tahun kebangkitan orang-orang
Hadhrami di Indonesia.
2. Rumusan Masalah
Dari pembatasan tersebut, maka permasalahannya dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi sosial-keagaamaan di Betawi pada tahun 1900-1942?
2. Bagaimana peranan yang dimainkan komunitas Arab dalam bidang sosial-
keagamaan pada tahun 1900-1942?
3. Bagaimana respon pemerintah Belanda terhadap peranan yang dimainkan oleh
komunitas Arab di Betawi?
12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Penulis ingin mengetahui bagaimana kondisi sosial-keagamaan di Betawi pada
tahun 1900-1942.
2. Penulis ingin lebih mengetahui bagaimana peranan apa sajakah yang dimainkan
oleh komunitas Arab pada tahun 1900-1942, serta pengaruhnya bagi kehidupan
masyarakat Betawi.
3. Penulis ingin mengetahui apa yang melatarbelakangi munculnya pandangan
negatif sebagian kalangan orientalis Barat terhadap komunitas Arab.
Adapun manfaat yang dapat penulis harapkan dan berikan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Diharapkan penulis dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat yang
membutuhkan informasi mengenai peranan komunitas Arab-Hadrami di Betawi
pada tahun 1900-1942.
2. Diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pemahaman sejarah Islam
kajian Lokal di Indonesia.
3. Untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang sejarah
kebudayaan Islam konsentrasi Asia Tenggara.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analisis dengan pendekatan
sosial-keagamaan. Metode deskriptif-analisis adalah suatu metode yang bertujuan
untuk melukiskan secara sistematis fakta-fakta atau karakteristik populasi tertentu,
baik berupa keadaan, permasalahan, sikap, pendapat, kondisi, prosedur, atau
13
sistem secara faktual dan cermat.27
Penulis juga menggunakan teori ekonomi yang
pernah digunakan oleh Max Weber untuk melihat apa sebenarnya yang
melatarbelakangi orang-orang Arab datang ke Betawi.
Menurut seorang ahli sosiologi agama Indonesia, Hendropuspito, bahwa
sosiologi-keagamaan adalah suatu cabang dari sosiologi umum yang mempelajari
masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah
yang pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas
pada umumnya.28
Dalam konteksnya sebagai metodologi, pendekatan sosiologi-
keagamaan ini digunakan penulis untuk melihat atau memahami prilaku orang-
orang Arab dalam proses sosial yang mempengaruhi status keagamaan dan prilaku
ritualnya.
2. Jenis dan Sumber Data
A. Jenis Data
Dalam penelitian ini jenis data yang akan dikumpulkan adalah lisan,
tulisan dan artefak/benda yang berkaitan dengan latar belakang sosial, budaya dan
keagamaan orang-orang Arab serta kontribusinya bagi masyarakat Betawi.
B. Sumber Data
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
1) L.W.C van den Berg, ”Le Hadramaut et. les Colonies Arabes Dans L‟Archipel
Indien”, Terjemahan, Rahayu Hidayat, ”Hadramaut dan Koloni Arab di
Nusantara” Jilid 3 (Jakarta: INIS, 1989). Dalam karyanya ini, Van den Berg
banyak menyajikan informasi penting tentang ragam kehidupan bangsa Arab di
27
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2006), h.29 28
D. Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1989), h. 7
14
tanah asalnya dan di Nusantara, baik dari sisi sosial dan budaya, sampai politik
dan agama.
2) Shahab, Ali Abu Bakar. ”ar-Rabithah al-Alawiyyah.” Jakarta: koleksi Pribadi,
1928. Dalam dokumen ini berisikan data struktur organisasi dan informasi tentang
maksud dan tujuan didirikannya ar-Rabithah al-Alawiyyah serta ikhtisar kegiatan-
kegiatan yang telah dilakukan ar-Rabithah al-Alawiyyah.
3) Sayyid Utsman bin Abdullah bin Yahya al-Alawi, “al-Qawanin asy-syar‟iyyah
li ahl al-majlis al-hukmiyyah wa al-ifta‟iyyah” diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia “Ini kitab segala aturan hukum syara bagi ahli majlis syara dan majlis
fatwa syara (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1881 M/1317 H). Kitab ini
berisi pedoman dan tuntunan praktis sangat dibutuhkan bagi para hakim dan
penghulu di daerah ketika menjalakan perannya di tengah masyarakat.
4) Sayyid Utsman bin Abdullah bin Yahya al-Alawi, “Ishlah al-Hal bi Thalab al-
Halal” (Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, t.t). Kitab ini berisi penekanan
terhadap pelaksanaan ajaran Islam, baik di kalangan masyarakat Arab maupun
penduduk pribumi, yang merupakan salah satu cara untuk menjadi warga yang
baik.
5) Gobee, E. dan C. Adriaanse, Ambtelijke adviezen van C. Snouck Hurgronje
1889-1936‟s-Gravenhage:Nijhoff. (Rijks Geschiedkundige Publicatien, Kleine
Serie 33, 34, 35), diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul,
“Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada
Pemerintah Hindia-Belanda 1889-1936.” Vol. IX. Jakarta: INIS, 1990. Dalam
Manuskrip ini, banyak sekali memberikan informasi penting tentang proses
15
penerapan kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia-Belanda khususnya untuk
urusan Islam dan orang Arab.
6) Hurgronje, C. Snouck. “Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje”
(Bonn dan Leipzig: Kurt Schroeder, 1924), diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul, “Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje.” vol. IX.
Jakarta: INIS, 1993. Dalam Manuskrip ini, banyak berisikan laporan studi Snouck
selama penelitiannya di Mekkah dan Nusantara khususnya mengenai keadaan
umat Islam dan orang Arab.
7) Arsip Nasional RI, Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie, 1818-1879.
Batavia: Landsdrukkerij. Dalam Arsip ini berisikan data-data penting seperti;
tanggal penetapan surat keputusan Gubernur Hindia-Belanda dan Data sensus
penduduk Hindia-Belanda.
b. Sumber Data Sekunder
Adapun sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara
lain:
1) M. Hasyim Assegaf. ”Derita Putri-Putri Nabi” (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000). Sama halnya dengan karya Van den Berg, buku ini banyak
sekali memberikan informasi penting tentang ragam kehidupan bangsa Arab di
tanah asalnya dan di Nusantara, baik dari sisi sosial dan budaya, sampai politik
dan agama.
2) Abdul Aziz. “Islam dan Masyarakat Betawi” (Jakarta: PT. Logos Wacana
Ilmu, 2002). Dalam buku ini banyak memberikan informasi mengenai latar
belakang kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Betawi.
16
3) Hamid al-Gadri. ”Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab di
Indonesia.” (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988). Dalam buku ini banyak
memberikan informasi mengenai begitu besarnya pengaruh kalangan Orientalis
Barat seperti Snouck Hurgronje yang berdampak kepada kebijakan pemerintah
kolonial, yang rata-rata kebijakannya itu bersifat diskriminatif terhadap umat
Islam, khususnya terhadap keturunan Arab.
4) Natalie Mobine Kesheh. “The Hadhrami awakening, community and identity
in the Netherlands East Indies, 1900-1942.” (New York: Cornell Southeast
Asia Program Publications, 1999). Buku ini di samping berisikan tentang
proses perubahan pola identitas dalam komunitas Arab-Hadhrami di Nusantara
antara tahun 1900-1942 juga sekaligus menyajikan tentang perwujudan
eksisitensi masyarakat Arab melalui berbagai kegiatan organisasi-politik dan
aktivitas sosial-keagamaannya di tengah masyarakat luas.
3. Metode Pengumpulan Data
Studi ini menggunakan metode sejarah, yaitu suatu perangkat aturan-
aturan atau prinsip-prinsip yang secara sistematis dipergunakan untuk mencari
atau menggunakan sumber-sumber sejarah yang kemudian menilai sumber-
sumber itu secara kritis dan menyajikan hasil-hasil dari penelitian itu umumnya
dalam bentuk tertulis dari hasil-hasil yang telah dicapai.29
Metode pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan
penelitian kepustakaan (Library Research). Adapun teknik kepustakaan dilakukan
dengan mengumpulkan data dari referensi-referensi. Teknik semacam ini di
maksudkan untuk memperoleh konsep atau teori serta materi-materi yang dapat
29
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto, (Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 1983), h. 32.
17
dipertanggungjawabkan kebenarannya.30
Sumber data yang diperoleh penulis
berupa data primer dan sekunder melalui studi kepustakaan berupa arsip,
manuskrip, dokumen, kitan-kitab klasik, surat kabar, buku-buku, jurnal, artikel,
majalah dan tulisan-tulisan lainnya yang relevan dengan permasalahan penelitian.
Penelitian ini melakukan kunjungan ke Perpustakaan dan Lembaga-Lembaga
yang berkaitan dengan tema penelitian ini seperti; Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia (PNRI), Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Perpustakaan Adab, Perpustakaan Universitas Indonesia, Perpustakaan
Jami’at Kheir Tanah Abang, Perpustakaan Pribadi Ali Abu Bakar Shahab, Arsip
Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan EFEO, Rabithah Alawiyyah
dan Daarul Aitam. Selanjutnya data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Kondisi sosial-keagamaan masyarakat Betawi
b. Sejarah kedatangan orang-orang Arab ke Betawi
c. Proses terbentuknya Komunitas Arab di Betawi
d. Peranan orang-orang Arab di Betawi
4. Analisis Data
Setelah data-data yang dibutuhkan tersebut dikumpulkan, kemudian proses
selanjutnya yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menganalisa data. Analisa
data adalah cara bagaimana mencari hubungan antara data-data yang telah
dikumpulkan dan merangkainya agar menjadi kata-kata yang mudah dipahami.
Tahap selanjutnya dalam analisa data adalah dengan mengklarifikasikan data-data
yang telah ditemukan. Kemudian data-data yang sudah diklarifikasikan tersebut
30
Sumadi Suryabrata, Metode Penelitian (Jakarta: CV. Rajawali, 1989), h. 92-93
18
tentunya akan mengalami reduksi data, karena banyaknya data yang diperoleh dan
tidak semua data-data yang di kumpulkan tersebut dapat digunakan. Namun data-
data yang mengalami reduksi tersebut dapat menjadi kekayaan pemahaman bagi
penulis. Tahap terakhir adalah analisa data yang dilakukan adalah dengan
melakukan verifikasi data, yang kemudian di lanjutkan dengan memperoses data-
data yang telah dikumpulkan tersebut agar dapat di analisa, dan selanjutnya dapat
ditampilkan.
5. Langkah-Langkah Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis melakukan langkah-langkah yang menurut
Nugroho Notosusanto terdiri empat tahap sebagai berikut:31
a. Heuristik, merupakan suatu proses untuk mencari dan mengumpulkan
sumber-sumber sejarah, baik sumber primer maupun sumber sekunder.32
Sumber-
sumber yang akan dicari dan dikumpulkan oleh penulis ialah sumber-sumber yang
relevan dengan tema yang diteliti. Sumber primer umumnya berasal dari arsip-
arsip, manuskrip, dokumen-dokumen dan kitab-kitab klasik yang relevan, serta
surat kabar-surat kabar sejaman. Oleh karenanya, penulis akan mencarinya di
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), arsip yang dipegang oleh perorangan,
maupun arsip yang tersimpan dalam Lembaga khusus seperti, Rabithah
Alawiyyah.
kemudian jika dirasakan kedapatan kurang, maka untuk menunjang data
yang diperoleh dari arsip-arsip maupun dokumen, penulis akan mengadakan
wawancara dengan informan yang terdiri dari tiga kategori, yaitu: orang yang
31
Nugroho Notosusanto, Hakekat Sejarah dan Metode Sejarah (Jakarta: Mega Book
Store, 1984), h. 22-23. 32
G. J. Renier, Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, terjemahan. Muin Umar
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 113.
19
terlibat langsung dalam peristiwa (pelaku, pendukung, pengikut), orang yang tidak
terlibat langsung tetapi menyaksikan, dan orang-orang yang tidak terlibat
langsung dalam peristiwa, tetapi mendapat keterangan dari orang yang terlibat
dalam peristiwa.
Kemudian untuk sumber sekunder, akan penulis peroleh melalui riset
kepustakaan (Library Research) meliputi buku-buku karangan ilmiah yang ditulis
oleh para ahli yang relevan dengan masalah yang diteliti. Di samping itu, penulis
juga akan mencari data dari internet dan majalah atau jurnal yang terkait dengan
permasalahan-permasalahan yang dikaji. Sumber sekunder ini nantinya digunakan
untuk membantu dalam melengkapi data yang tidak diperoleh dari sumber primer.
b. kritik sumber, yang terdiri dari dua macam kritik yaitu, kritik ekstern
dan kritik intern. Kritik ekstern penting dilakukan penulis guna mengetahui
otensitas atau keaslian sumber dan perlu atau tidaknya untuk mendukung
penulisan, sedangkan kritik intern penting juga bagi penulis untuk menentukan
apakah sumber yang digunakan kredibel, dapat dipercaya atau tidak. Kritik ini
dapat dilakukan terhadap informasi yang diperoleh dari para informan, yang
kemudian dibandingkan dengan data dari berbagai sumber tertulis yang relevan
dan telah diseleksi, ataupun sebaliknya, kritik dapat juga dilakukan dengan
membandingkan data dari sumber tertulis dengan keterangan yang diperoleh dari
informan. Di samping itu, kritik ini juga dapat dilakukan terhadap berbagai arsip
atau dokumen yang telah diperoleh.
c. interpretasi, yaitu proses menafsirkan dan menyusun fakta-fakta
sehingga menjadi keseluruhan yang masuk akal dan relevan dengan masalah yang
20
diteliti. Di sini fakta-fakta yang telah ditemukan penulis akan disintesiskan dalam
bentuk kata-kata dan kalimat, sehingga dapat dibaca dan dimengerti.
d. Tahap terakhir adalah penulisan atau Historiografi, yaitu, proses
penulisan kembali peristiwa sejarah, dalam tahap ini fakta yang sudah
disintesiskan dan di analisis penulis akan dipaparkan nantinya dalam bentuk
tulisan dengan menggunakan bahasa yang baik, sehingga dapat dipahami oleh
pembaca. sebagaimana disebut sebelumnya, dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode deskriptif-analisis dengan pola penulisan deduktif-induktif
atau umum-khusus serta menggunakan pendekatan sosial-keagamaan.
E. Tinjauan Pustaka
Banyak tulisan baik berbentuk buku, jurnal, dan karya akademisi lainnya
yang berkaitan dengan tema penulisan ini. Tetapi yang menjadi catatan, diantara
karya-karya tersebut harus dicari mana yang benar-benar otentik dan otoritatif
dalam menceritakan kembali kejadian atau peristiwa bersejarah tersebut, tentunya
dengan membandingkan sumber-sumber tersebut.
Setidaknya ada dua sumber yang cukup komperhesif dalam membahas
mengenai komunitas Arab-Hadrami di Nusantara dan cukup untuk dijadikan
perbandingan. Sumber ini Penulis peroleh dari perpustakaan utama UIN Syarif
Hidayatullah dan Perpustakaan Universitas Indonesia, yang Pertama, karya
L.W.C Van den Berg yang berjudul “Le Hadhramout Et. Les Colonies Arabes
Dans L‟ Archipel Indien”, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, yang
diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat. Jakarta: INIS, 1989. Dalam penelitiannya ia
banyak mencatat kondisi kehidupan komunitas Arab-Hadhrami, tidak hanya
21
meliputi wilayah-wilayah di Nusantara saja, tetapi juga di wilayah asal dari
komunitas Arab tersebut yakni, di Hadramaut.
Namun penulis mendapatkan ada sedikit keganjilan dalam karya Van den
Berg ini. Disatu sisi terkadang Van den Berg menjustifikasi komunitas Arab
dengan pandangan yang negatif, disisi lain justru terdapat pandangan yang
sebaliknya. Sebagai contoh di dalam karyanya Jilid ke-3 halaman 79, Ia
mengatakan: “…Tak seorang Arab pun tiba di Batavia hanya untuk bertujuan
menyebarkan agama, kalaupun ada diantara mereka yang memegang posisi
keagamaan sebagai qadi, imam, ataupun Da’i, itu hanyalah untuk mengejar
imbalan keuangan yang tidak bermotifkan agama...”
Sebaliknya pada halaman 81, Ia mengatakan:
“Jarang dijumpai orang Arab, apakah ia kaya atau miskin, yang
membelanjakan seluruh pendapatannya. Menabung merupakan budaya bagi
mereka dan fakta bahwa mereka pernah menikmati kemakmuran. Perlu pula
dikatakan dengan angkat topi, bahwa begitu mereka menjadi kaya di Nusantara,
mereka hampir tidak pernah melupakan anggota keluarga mereka di tanah air.
Apabila mereka tidak membutuhkan bantuan, orang Arab itu akan
menyumbangkan kelebihan uangnya kepada mesjid, sekolah atau ke yayasan
keagamaan lain, bahkan ada yang mengirimkan uangnya kepada cedikiawan
yang mereka hormati atau kepada sahabat yang lanjut usia.”
Pada halaman lain yakni halaman 84 dan 87, Ia juga mengatakan:
“…Orang Arab tidak menyukai kemewahan baik di dalam rumah maupun di luar
rumah. Seorang Arab yang telah memperoleh kekayaan jarang meneruskan
usahanya dengan semua yang diperolehnya. Pada diri orang Arab tidak ada
keinginan menjadi mulia seperti orang Eropa yang mendirikan rumah dagang
besar yang tetap bereputasi baik meskipun para pendirinya sudah mengundurkan
diri…”
22
Pandangan keliru diatas yang kemudian diikuti pula oleh kalangan
Orientalis Barat lainnya seperti; Snouck Hurgronje dan Karel Steenbrink. Oleh
karenanya menurut penulis, tidak hanya karya Van den Berg saja yang masih
terdapat kekurangan dan kelemahan-kelemahan, tetapi juga karya-karya Orientalis
Barat lainya yang sepertinya memang dibutuhkan penelitian kembali.
Yang kedua, Karya Hamid al-Gadri yang berjudul “Politik Belanda
Terhadap Islam dan Keturunan Arab”. Yang diterbitkan oleh CV. Haji
Masagung, Jakarta: 1988. Dalam penelitiannya ia cukup banyak meneliti karya
kalangan Orientalis Barat, khususnya Snouck Hurgronje yang menjadi Objek
utama penelitiannya. Oleh karena itu, di dalam karyanya ini ia cukup banyak
mengupas beberapa kekeliruan yang dinyatakan oleh Snouck Hurgronje, berikut
tindakannya yang menimbulkan keganjilan di kalangan umat Islam ketika itu,
khususnya mengenai penetapan status hukum keturunan Arab di Indonesia.
Oleh karena itu, menurut penulis secara garis besar karya Hamid al-Gadri
ini banyak menceritakan mengenai begitu besarnya pengaruh kalangan Orientalis
Barat seperti Snouck Hurgronje yang berdampak kepada kebijakan pemerintah
kolonial, yang rata-rata kebijakannya itu bersifat diskriminatif terhadap umat
Islam, khususnya terhadap keturunan Arab. Namun bukan berarti karyanya ini
tidak memiliki kelemahan atau kekurangan, dilihat dari isinya ditemukan banyak
peryataan-peryataannya yang menurut penulis, sepertinya lebih banyak
menekankan pada pembelaan ke eksistensian keturunan Arab, sehingga seakan-
akan kalangan Orientalis itu tidak ada sisi positifnya sama sekali. Hal ini mungkin
tidak lain karena Hamid Al-Gadri sendiri adalah sebagai keturunan Arab,
sehingga hal ini menurut penulis cukup mempengaruhi pikirannya dan pada
23
akhirnya berdampak pada penulisannya. Di sinilah kiranya dibutuhkan pengujian
kembali terhadap karya Hamid al-Gadri.
F. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan pembahasan penelitian ini dibagi dalam enam bab,
yaitu:
Bab I, merupakan pendahuluan yang antara lain berisi latar belakang
masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, tinjauan pustaka, serta sistematika penulisan.
Bab II, berisi tentang gambaran umum daerah Betawi pada tahun 1900-
1942, yang meliputi: kondisi geografis dan kondisi masyarakat Betawi. Pada
kondisi masyarakat ini akan diuraikan mengenai kondisi sosial-keagamaannya.
Bab III, membahas mengenai sejarah kedatangan orang Arab ke
Nusantara, kemudian persebaranya ke daerah-daerah yang berada sekitar Betawi
sampai dengan tahun 1900-1942, dan juga proses terbentuknya komunitas Arab di
Betawi.
Bab IV, membahas mengenai peranan orang-orang Arab di Betawi pada
tahun 1900-1942 dalam bidang sosial-keagamaan. Bab ini juga membahas
mengenai respon pemerintah Belanda terhadap peranan yang dimainkan oleh
komunitas Arab.
Bab V, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dari keseluruhan bab
yang merupakan jawaban dari permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini dan juga
diisi dengan saran-saran.
Bab VI, berisi daftar sumber dan juga lampiran-lampiran.
24
BAB II
KONDISI GEOGRAFIS BETAWI
A. Betawi 1900-1942
Jakarta sejak berdiri pada tahun 1527 M –ketika itu masih bernama
Jayakarta- sebagaimana kota-kota di Asia Tenggara pada umumnya, berfungsi
sebagai kota dagang yang mengalami perkembangan pesat sebagai pusat urban.
Sesuai dengan fungsinya sebagai kota dagang yang berlokasi di daerah pantai,
karenanya penduduk Jakarta lebih kosmopolitan dibandingkan dengan kota-kota
yang ada di pedalaman. tentu hal ini disebabkan karena adanya hubungan yang
luas dengan bangsa asing dan kelompok-kelompok etnis yang berada di
Nusantara. Di samping itu, sebagai kota pelabuhan yang terletak di muara sungai,
Jakarta dapat memanfaatkan kontrol atas seluruh jaringan komunikasi lewat
sungai untuk menjalin hubungan dengan penduduk di daerah pedalaman. Menurut
laporan Tome Pires sebagaimana yang dikutip oleh Armando Cortesao bahwa,
“…Pelabuhan di Batavia ketika itu merupakan pelabuhan yang sangat megah,
pelabuhan yang paling baik dan penting diantara pelabuhan-pelabuhan lainnya.
Pedagang-pedagang berdatangan dari Sumatera, Palembang, Lawe, Tanjungpura,
Malaka, Makasar, Jawa, Madura, dan banyak tempat lain lagi di Nusantara...”1
Tidak ketinggalan pula para pedagang asing juga datang ke Jakarta, seperti orang
Keling, Bombay, Cina, Belanda, dan Inggris.
1 Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the East From
Read Sea to Japan, Writen in Malaka and India 1512-1644 (London: The Hakluyt Sosiety, Vol 2.
1994). h. 35-36.
25
Berdasarkan batasan geografis, secara umum dapat dikatakan bahwa orang
Betawi2 menempati wilayah yang disebut Batavia en Ommelanden. Nama Batavia
sendiri pada awalnya hanya digunakan untuk menunjuk daerah dimana benteng
VOC berdiri, yaitu muara sungai Ciliwung,3 namun seiring gonta-ganti
kepemimpinan di wilayah tersebut, Batavia mengalami perluasan wilayah, yang
tadinya ketika pada masa J.P Coen hanya terbentang sepanjang wilayah Pasar
Ikan sampai wilayah Glodok, ketika sampai pada masa kepemimpinan Herman
William Daendles wilayah Batavia semakin meluas, yakni dengan ditandainya
pemindahan Pusat Kota pemerintahan ke wilayah Selatan yang disebut
Weltevreden (sekarang daerah Monas dan sekitarnya), hal ini karena wilayah
sebelumnya yakni Kota Tua telah dirasakan olehnya sudah tidak sehat lagi,
2 Istilah Betawi baik dari segi asal-usul penggunakan kata maupun asal-asul pembentukan
etnis hingga kini masih menjadi perdebatan di kalangan para pengamat, khususnya para pengamat
sejarah Betawi. umumnya istilah Betawi itu merujuk kepada Batavia, yakni sebuah nama yang
digunakan penjajah Belanda untuk kota Jakarta di masa lalu dan sebelum istilah Betawi lazim
digunakan, penduduk Jakarta masih menyebut diri mereka sendiri dengan sebutan Orang Selam
(pengucapan untuk penduduk yang beragama Islam, sebagaimana Srani untuk penduduk yang
beragama Nasrani) .oleh karenanya kata Betawi digunakan sebagai identitas etnis tidak dikenal
oleh orang Betawi sendiri di masa lalu. Betawi sebagai sebuah identitas etnis baru terbentuk
sekitar tahun 1815-1893 setelah mengalami proses percampuran dari berbagai etnis. Perkiraan
tersebut didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis oleh sejarawan
asal Australia, Lance Castle. Di dalam karyanya yang berjudul “The Ethnic Profile of Djakarta.”
(New York: Cornell University, 1967), h. 165-167. Menurutnya, sejak zaman kolonial Belanda,
pemerintah selalu melakukan sensus yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya.
Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk berbagai golongan
etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. hal inilah yang kemudian di bantah
oleh Ridwan Saidi, sebagaimana di dalam bukunya yang berjudul “Orang Betawi dan Modernisasi
Jakarta.” (Jakarta: LSIP, 1994), h. 41-42. Menurutnya, bahwa nenek moyang orang Betawi sudah
ada sejak daerah mereka dikenal dengan nama Sunda Kelapa yang pada tahun 1522 dikontrakan
kepada Portugis oleh kerajaan Pakuan dan pada tahun 1527 Fatahillah merebut dan
memerdekakannya. Oleh karena itu dalam hal ini ia mengajukan pertanyaan. Apakah kota Sunda
Kelapa yang sudah memiliki pelabuhan samudra tidak berpenduduk? Apakah penghuni Betawi
lama Cuma tonggeret, tumbila, kadal buduk dan bekatul?.
Terlepas dari perdebatan asal-asul komunitas etnis Betawi tersebut, tidak dapat dipungkiri
bahwa sejak Sunda Kelapa dimerdekakan oleh Fatahillah dan banyak penduduk yang memeluk
agama Islam, mereka sudah terkenal akan ketaatannya dalam memegang prinsip ajaran agama
Islam dan juga memiliki perasaan anti Barat yang kuat. Oleh karenanya, sebagaimana sebutan
Islam dan Melayu yang tidak bisa dipisahkan bagi penduduk asli Brunei yang beragama Islam.
Islam dan Betawi juga merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan, sebutan Betawi hanya dapat
digunakan bagi penduduk asli Jakarta yang beragama Islam. 3 Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. 2002), h.
20
26
khususnya ketika diketahui banyak warganya yang mati karena terserang berbagai
macam penyakit, sehingga dinilai kota Batavia lama sudah tidak layak lagi untuk
dihuni dan wilayah selatan yang kemudian menjadi pilihan alternatif daerah
hunian baru, yang kemudian terus berkembang hingga mencapai daerah yang
disebut Meester Cornelis (sekarang daerah Jatinegara).4 Bukan hanya itu saja,
pelabuhan baru pun di bangun oleh penguasa Batavia ketika itu yakni, Pelabuhan
Tanjung Priok pada tahun1877 M, menggantikan pelabuhan Sunda Kelapa yang
sejak dibukanya Terusan Suez (1868 M) tidak lagi dapat menampung armada
kapal-kapal uap yang menggantikan kapal layar.5
Dengan demikian, maka pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20
terjadi peningkatan jumlah arus migrasi, terutama orang Belanda dan orang Eropa
lainnya ke Hindia-Belanda. Hal tersebut memberi warna tersendiri bagi Kota
Batavia, terutama bergaya lebih Eropa, ini dapat di lihat dari rumah-rumah yang
dibangun di kawasan Weltevreden, sebab itu pemerintah kotapraja Batavia mulai
mengembangkannya ke arah selatan dengan membeli tanah partikulir Menteng
pada tahun 1908 M dan Gondangdia pada tahun 1920 M.
Kemudian pada tahun 1935, dikeluarkan suatu ordonansi yang termuat
dalam Stb. 1934 no. 687 yang mulai berlaku 11 Januari 1935 mengenai perluasan
daerah administratif Batavia. Stadgemeente Meester Cornelis (Jatinegara)
dibubarkan dan diintegrasi ke wilayah Batavia. Pada tahun 1930-an Batavia
berkembang menjadi suatu kota kolonial modern.6
4 Wilayah Meester Cornelis ketika itu masih merupakan bagian yang terpisah dari
Batavia. Baru pada Tahun 1936 M, setelah berbentuk gemeente (Kotapraja), Meester Cornelis
disatukan dengan gemeente Batavia. 5 “Mindoro,” Sejarah Jakarta, artikel diakses pada 4 Agustus 2014 dari
http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/168/batavia. 6 Ibid., Sejarah Jakarta, www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/168/batavia.
27
B. Kehidupan Sosial-Keagamaan Masyarakat Betawi
Sejak awal kekuasaan VOC, penduduk Batavia dibagi ke dalam beberapa
tingkatan berdasarkan ras dan agama. Pada lapisan teratas adalah para pegawai
VOC, menyusul di bawahnya kelompok warga Negara bebas yang beragama
Kristen (Mestizo, Mardijkers, Papangers) yang menduduki berbagai posisi
penting. Kemudian menyusul orang-orang Cina, Arab dan India yang berada pada
lapisan ketiga, dan terakhir, yang menempati lapisan sosial terendah adalah orang-
orang pribumi yang tidak beragama Kristen dan juga sebagian besar budak.7
Dengan adanya pengelompokan sosial tersebut, tentunya Pemerintah VOC
menjadi lebih mudah mengontrol, karena setiap etnis pada umumnya menempati
wilayah sendiri-sendiri. Dengan demikian, maka muncul lah pemukiman seperti
kampung Banda, kampung Ambon, kampung Melayu, kampung Bali, Pekojan
dan Pacinan. Setiap kelompok etnis tersebut biasannya dipimpin oleh seorang
Kapiten, yang ditunjuk langsung oleh penguasa VOC.
Sebenarnya sejak Batavia berhasil dikuasai oleh Fathaillah, sudah banyak
penduduk yang memeluk agama Islam, khususnya di kalangan Arab, Moor dan
anggota etnis pribumi. Akan tetapi, ketika Batavia telah dikuasai Pemerintah
Hindia-Belanda pada tahun 1619 M, umat Muslim kesulitan untuk menjalankan
aktivitas keagamaannya. Pemerintah Hindia-Belanda melarang membangun
Masjid, bukan hanya itu saja, Pemerintah Hindia-Belanda juga melarang umat
Muslim mengadakan upacara keagamaan seperti aqikah, sunatan ataupun
penyelenggaraan kegiatan pengajian. Kepada mereka yang tetap ngotot
mengadakan acara keagamaan di muka umum, selain agama Kristen, maka akan
7 Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi, h. 32.
28
dikenakan hukuman berupa penyitaan harta Benda. Hal ini menurut Abdul Aziz
dikarenakan “…Orang-orang Belanda menganggap Islam sebagai musuh dan juga
tidak sesuai dengan rencana mereka untuk membangun kota yang diharapkan
mirip dengan kota mereka sendiri di Amsterdam atau Utrecht…”8
Larangan tersebut mulai melonggar ketika memasuki abad ke-18 M,
sehingga muncul lah masjid-masjid di wilayah kota seperti; masjid al-Makmur
yang terletak di Jalan Kebon Kacang Tanah Abang, Jakarta Pusat. berdiri pada
tahun 1704 M. kemudian masjid al-Mansur, masjid ini sebelumnya bernama
masjid Sawah Lio, terletak di Jalan Sawah Lio Jembatan Lima, Jakarta Barat.
berdiri pada tahun 1717 M. Lalu menyusul masjid Luar Batang yang terletak di
Jalan Luar Batang V Pasar Ikan, Jakarta Utara. berdiri pada tahun 1739 M.
Kemudian masjid kampung baru yang terletak di Jalan Bandengan Selatan,
Jakarta Utara. berdiri pada tahun 1744 M. Menyusul kembali masjid an-Nawier
(masjid Pekojan) yang terletak di Jalan Raya Pekojan, Jakarta Barat. berdiri pada
tahun 1760 M. Kemudian tidak jauh dari situ berdiri masjid Tambora di Glodok,
Jakarta Barat pada tahun 1761 M, berbarengan dengan masjid Angke yang
didirikan di Kampung Rawa Bebek, Jakarta Barat, ditahun yang sama yakni, pada
tahun 1761 M. Menyusul kembali masjid Kebon Jeruk, Jakarta Barat. berdiri pada
tahun 1786 M. dan masjid al-Mukaromah didirikan di Kampung Bandan,
Penjaringan, Jakarta Utara. pada tahun 1789 M.9
Dengan semakin banyaknya masjid didirikan pada abad ke-18 M, maka
akan semakin banyak pula sumber dan pusat penyebaran agama Islam yang
terletak di dalam kota Batavia. Karena sebagaimana diketahui oleh khalayak
8 Ibid., h. 44.
9 Jamroni, “Masjid Bersejarah di Jakarta,” Majalah Al-Turas Vol. 12 No.2, Fakultas
Adab dan Humaniora (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 98.
29
umum, salah satu fungsi masjid selain tempat ibadah Shalat, juga berfungsi
sebagai tempat pendidikan, yang mengajarkan dan menyebarkan ajaran agama
Islam dan umumnya para pendiri dan pengurus masjid berprofesi sebagai guru
agama sekaligus juru dakwah. Tidak hanya di masjid saja, tapi mereka juga
mengajar di rumah mereka sendiri atau bisa juga mengajar di masjid-masjid
kampung lain, karena adanya undangan-undangan untuk mengajar, sebagaimana
yang terjadi di Jakarta sekarang-sekarang ini.
Seiring berjalannya waktu, maka pada pertengahan abad ke-19 M,
perkembangan dakwah Islam di Batavia menjadi meningkat, ditandai dengan
muncul sejumlah ulama-ulama terkemuka, yang pada umumnya mereka adalah
para ulama yang dididik di masjid-masjid di Batavia yang pada kemudian
melanjutkan menuntut ilmu ke Tanah Suci, kemudian kembali lagi ke Tanah Air
untuk menyebarkan ilmu agama yang mereka dapat. Bukan hanya itu saja, mereka
juga mengobarkan semangat anti penjajah pada masyarakat Batavia melalui
fatwa-fatwa yang mereka keluarkan. Hal ini sebagaimana umumnya yang
dilakukan para Haji di wilayah lain Nusantara yang sama pernah menetap cukup
lama menuntut ilmu di Tanah Suci.
Perkembangan penyiaran Islam semakin intensif ketika pada penghujung
abad ke-19 M hingga memasuki awal abad ke-20 M. Jaringan intelektual ulama di
Batavia pada abad-abad ini mengambil peranan yang penting. diantara Tokoh-
Tokoh ulama tersohor yang cukup menonjol pada masa itu ialah Sayyid Utsman
bin Abdullah bin Yahya (1822-1913) yang dikenal sebagai mufti Batavia.
Terlepas dari hubungan dekatnya dengan Snouck Hurgronje dan pemerintah
kolonial serta sikapnya yang berseberangan dengan gerakan modern Islam yang
30
muncul kemudian. Sumbangan keilmuannya serta peranannya dalam penerbitan
risalah-risalah keislaman cukup lah besar. Ia memiliki banyak murid yang
meneruskan tradisi keilmuan di Batavia, diantaranya adalah Habib Ali bin
Abdurrahman al-Habsyi (1869/70-1968) yang kemudian mendirikan majelis
taklim di Kwitang, Jakarta Pusat. Majelis taklim yang diadakan setiap hari Ahad
pagi itu berkembang pesat dan dihadiri banyak orang hingga saat ini.
Habib Ali al-Habsyi pun memiliki banyak murid di Betawi diantaranya;
KH. Abdullah Syafei, pendiri majelis taklim Asyafiiyah, KH. Tohir Rohili,
pendiri majelis taklim Tahiriyah, serta KH. Abdul razak Makmun dan KH.
Zayadi. Para ulama ini kemudian melanjutkan tradisi keilmuan di Batavia
sebagaimana yang dilakukan gurunya, sehingga majelis-majelis taklim banyak
bermunculan di penjuru Jakarta.10
Di samping berkembangnya majelis taklim
yang bercorak tradisional, Batavia juga menjadi salah satu pusat pergerakan Islam
yang penting di awal abad ke-20. Jamiat Khair, merupakan sebuah organisasi dan
juga sekolah modern Islam pertama di Indonesia yang didirikan di Batavia.
Organisasi Jamiat Khair berdiri pada tahun 1901 M 11
, sementara sekolahnya
berdiri pada tahun 1905 M.12
Walaupun organisasi yang didirikan oleh kalangan
keturunan Hadhrami ini mengalami perpecahan dan kemunduran, tetapi gerakan-
gerakan modern Islam lainnya terus bermunculan dan memainkan peranan penting
dalam proses kemerdekaan Indonesia.
10
Rakhmad Zailani Kiki, ISLAM IBUKOTA: dari Kramtung hingga ke Brussels (Jakarta:
Jakarta Islamic Center, 2009), h. 200. 11
Natalie Mobini Kesheh, The Hadhrami awakening, community and identity in the
Netherlands East Indies, 1900-1942 (New York: Cornell Southeast Asia Program Publications,
1999), h. 36. 12
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, cet 8 (Jakarta: PT.
Pustaka LP3ES, 1996), h. 68.
31
Kemudian setelah kemerdekaan, nama Batavia telah berganti menjadi
Jakarta. meskipun begitu warna Islam masih terlihat jelas di berbagai belahan
Jakarta ketika itu, bahkan hingga sekarang ini. Masjid-masjid dengan pengajian
dan majelis-majelis taklimnya serta suara adzan yang bersahutan di setiap waktu
shalat masih menjadi ciri khas kota Jakarta. Ekspresi Islam juga terlihat pada
sekitar ratusan nama jalan di Jakarta sekarang ini yang menggunakan nama-nama
haji tertentu.13
Walaupun kota ini sudah berusia ratusan tahun dan semakin padat
oleh penduduk, Islam tampaknya tak jua memudar dan menjadi senja di ufuk kota
Jakarta.
13
Kees Grijns and Peter J.M, Jakarta Batavia: Socio-Cultural essay, Terj. Gita Widya
Laksmini dan Noor Cholis (Leiden: KITLV Press and Banana. 2000/2007), h. 17.
32
BAB III
ORANG-ORANG ARAB DI BETAWI 1900-1942
A. Kedatangan Orang-Orang Arab di Betawi
Orang Arab merupakan golongan minoritas terpenting kedua di Batavia
setelah Cina. Hampir semua orang yang berasal dari dunia Arab dan tinggal di
Indonesia berasal dari Hadramaut. Hanya sebagian kecil saja yang datang dari
daerah Arab lain. Sesuai dengan apa yang diberitakan oleh Van den Berg, bahwa
sejak abad yang lalu kadang-kadang datang pula rombongan orang Arab dari
Mekkah. Namun pada umumnya mereka dari golongan ekonomi yang rendah,
yang mencari untung untuk diri sendiri dengan menjual air zam-zam, jimat dan
lain-lainnya. Ada juga yang dikirim oleh Syaikh Haji Mekkah untuk mencari
langganan bagi mereka. Kemudian Syaikh itulah yang nanti bertanggung jawab
atas pengangkutan dan penginapan mereka, ia pula yang akan memberikan
petunjuk mengenai ritual upacara ibadah haji di Tanah Suci dan tak pernah lupa
untuk memeras para langganannya dengan berbagai cara, salah satunya dengan
mengatasnamakan agama.1
Orang-orang Arab datang ke Nusantara lama sebelum orang-orang Barat
(Eropa) datang ke Nusantara. Seperti telah diketahui, pada umumnya orang Arab
di Nusantara berasal dari Hadhramaut. Mereka datang dalam jumlah besar
maupun secara perorangan. Seorang penulis Siria bernama Shakib Arslan pada
tahun 1972 M sebagaimana yang dikutip oleh G.F Pijper. Ia mengungkapkan
bahwa, “…Orang Arab Hadhramaut mempunyai kegemaran untuk mengembara
1 L.W.C Van Den Berg, Le Hadramout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien,
diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jilid 3
(Jakarta: INIS, 1989), h. 1-2.
33
seperti orang Phunicia pada zaman dahulu. Pada masa sebelum Islam mereka
mengembara menuju ke pantai Ethiopia, Somalia, Zanzibar, Kepulauan Nusantara
dan menetap ditempat-tempat itu…”2 sampai pada masa Islam pun mereka datang
secara damai memenuhi wilayah-wilayah pesisir, mereka berinteraksi hingga
berasimilasi dengan penduduk setempat.
Kemudian pada saat Indonesia berada di bawah jajahan Belanda, wilayah
pemukiman di Batavia dibagi menjadi tiga, sesuai dengan Indische Staat Regeling
(peraturan pendudukan kolonial Belanda), yaitu Europanen (golongan Eropa),
Vreemde Oosterlingen (Timur Asing, Arab, India, dan Cina), dan Inlander
(pribumi). Sebelum diberlakukannya Wijken Stelsel (peraturan pemukiman) di
awal abad ke-18 M, para pendatang Hadhrami ditempatkan di pemukiman yang
telah ditentukan oleh pemerintah Hindia-Belanda, yakni di wilayah pantai berawa-
rawa dengan lingkungan yang tidak sehat, bersama dengan etnis Benggali dan
Khoja yang berasal dari India. Setelah Wijken Stelsel dicabut pada awal abad ke-
20, kelompok Hadhrami mulai menyebar mencari wilayah baru yang lebih sehat
dan membentuk koloni, tidak sedikit dari mereka yang mendapat pangkat
kehormatan.
Pada awal abad ke-19 M, tercatat sekitar 400 orang Arab dan Moor tinggal
di Batavia. Jumlah orang Arab secara eksplisit baru disebutkan pada tahun 1859
M, yakni 312 orang. Kemudian pada tahun 1870 M, jumlah mereka meningkat
tiga kali lipat menjadi 952 orang.3 Lima belas tahun kemudian tepatnya pada
tahun 1885 M, keresidenan Batavia menampung 1.662 orang Arab, 1.175
2 G.F. Pijper, Studien over de Geschiedenis van de Islam in Indonesia 1900-1950,
Terjemahan, Tudjimah dan Yessy Augusdin, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia
1900-1950 (Jakarta: UI-Press, 1985), h. 116. 3 Lihat Regeerings Almanak tahun 1859 dan 1870.
34
diantaranya lahir di Hindia-Belanda.4 Kemudian diantara rentang tahun 1900 M
sampai dengan 1930 M telah terjadi peningkatan kembali yang sangat signifikan,
bertambah dari 2.245 menjadi 5.231 orang Arab. Dengan melihat sensus yang di
mulai pada tahun 1859 M hingga sensus berikutnya pada tahun 1930 M seperti
yang telah disebutkan, hal ini menunjukan bahwa minoritas Arab telah
berkembang menjadi sebuah komunitas yang mapan, kalau tadinya jumlah
komunitas Arab terbesar terdapat di Surabaya, sejak sensus itu komunitas Arab
terbesar beralih ke Batavia.5
Kemudian puncak kedatangan orang-orang Arab dari Hadramaut itu
sendiri diketahui terjadi sejak pembukaan Terusan Suez pada 1869 M. Menurut
Huub de Jonge, Kedatangan mereka selain bertujuan untuk berdagang, ada juga
yang bertujuan ingin menyebarkan ajaran agama Islam dengan menjadi Da’i atau
Ulama, terutama golongan Sayyid yang merasa dirinya sebagai bangsawan agama
yang sangat dihormati. Menurutnya “…Beberapa Sayyid melakukan perjalanan
keliling sebagai da’i. Salah satu juru dakwah paling kondang adalah Sayyid
Abubakr bin Abdullah al-Aydrus, cucu Sayyid Husein bin Abubakr al-Aydrus
yang dimakamkan di masjid Luar Batang…”6
Kaum pendatang ini diketahui umumnya adalah para laki-laki dan banyak
dari mereka kemudian menikah dengan perempuan setempat, hingga menjelang
akhir abad ke-19 M, mayoritas orang-orang Arab di Batavia ini tinggal di Pekojan
dengan mengikuti aturan pemerintah Hindia-Belanda. Sebelumnya pada abad ke-
17 M hingga memasuki awal abad ke-19 M, tempat ini sudah dipenuhi oleh
4 L.W.C Van Den Berg, Le Hadramout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien,
diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, h. 68. 5 Kees Grijns and Peter J.M, Jakarta Batavia: Socio-Cultural essay, Terj. Gita Widya
Laksmini dan Noor Cholis (Leiden: KITLV Press and Banana. 2000/2007), h. 153. 6 Ibid., h. 154-155.
35
pendatang dari Benggali, India, yang dikenal dengan sebutan orang Koja atau
Moor. Namun, selama abad itu Jumlah pendatang Arab meningkat secara
bertahap, sampai pada akhirnya Pekojan menjadi pemukiman mayoritas orang
Arab menggantikan orang Koja dari Benggali, India.7
Perjalanan mereka dari Hadhramaut ke Nusantara awalnya dilakukan
dengan menumpang kapal kayu. Mula-mula mereka harus ke pelabuhan al-
Mukalla atau al-Syihr, berlayar ke Malabar di India Selatan, dari sana ke
Srilangka, lalu ke Aceh atau Singapura, kemudian menyebar ke Kepulauan
Nusantara lainnya. Oleh karenanya, perjalanan mereka untuk sampai ke Nusantara
bisa memakan waktu berbulan-bulan. Namun, sekitar tahun 1870-an, ketika telah
ada jalur lalu lintas kapal uap dari Eropa ke Timur jauh, mereka sebagian lebih
memilih menaiki kapal uap tersebut dan langsung menuju ke Kepulauan
Nusantara ini dengan mudah dan lebih cepat, walaupun mereka harus membayar
lebih mahal.8
Pada mulanya orang-orang Arab ini hidup mengelompok secara sukarela
dan mengikuti kebiasaan. Kemudian, pemerintah kolonial mengeluarkan aturan
bahwa etnis-etnis tertentu dikelompokkan pada wilayah-wilayah tertentu dengan
dibawah pengawasan yang ketat, hanya orang terpandang yang diberi izin untuk
tinggal di lain wilayah, bahkan beberapa diantara mereka ada yang tinggal di
tengah-tengah orang Eropa dan Indo-Eropa di pinggiran Krukut dan Tanah
Abang, di rumah besar yang tak kalah bagus dengan kepunyaan orang-orang
Barat. Meskipun begitu menurut Huub De Jonge, “…Banyak orang kelas bawah
7 Ibid., h. 152.
8 L.W.C Van Den Berg, Le Hadramout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien,
diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, h. 80.
36
keturunan campuran berhasil menetap (sering secara illegal) di luar Pekojan…”9
Sampai pada penghapusan system pemukiman pada tahun 1919 M, sebagian besar
orang Arab di Pekojan yang sebelumya juga ada yang tinggal di Krukut,
Petamburan, dan Tanah Abang, kemudian menyebar ke daerah-daerah sekitarnya
seperti; Sawah Besar, Jatinegara, Tanah Tinggi, dan Condet. Sekarang hampir
tidak tersisa orang Arab di Pekojan, orang-orang Cinalah menjadi penduduk
mayoritas disana.
B. Persebaran Orang-Orang Arab di Betawi
Sebagaimana telah diketahui, sejak abad XVIII hingga akhir abad XIX
tanah Betawi telah ramai dikunjungi oleh orang-orang Arab yang mayoritas
berasal dari Hadramaut. Pada mulanya meraka hidup mengelompok secara
sukarela dan mengandalkan berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Meskipun begitu, tidak serta merta dijadikan pula penilaian bahwa berdagang
merupakan motivasi sekaligus tujuan mereka hijrah ke Nusantara. Sebagaimana
yang dituduhkan oleh kalangan-kalangan orientalis seperti L.W.C van den Berg.10
9 Ibid., h. 152.
10 L.W.C van den Berg di dalam karyanya yang berjudul: “Le Hadhramout Et. Les
Colonies Arabes Dans L‟ Archipel Indien”, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, yang
diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat. Jakarta: INIS, 1989. Pada Jilid ke-3 halaman 79, Ia
mengatakan: “…Tak seorang Arab pun tiba di Nusantara hanya untuk bertujuan menyebarkan
agama, kalaupun ada di antara mereka yang memegang posisi keagamaan sebagai qadi, imam,
ataupun Da’i itu hanyalah untuk mengejar imbalan keuangan yang tidak bermotifkan agama...”
Padahal di halaman berikutnya pada halaman 81, Ia mengatakan:
“Jarang dijumpai orang Arab, apakah ia kaya atau miskin, yang membelanjakan seluruh
pendapatannya. Menabung merupakan budaya bagi mereka dan fakta bahwa mereka pernah
menikmati kemakmuran. Perlu pula dikatakan dengan angkat topi, bahwa begitu mereka menjadi
kaya di Nusantara, mereka hampir tidak pernah melupakan anggota keluarga mereka di tanah air.
Apabila mereka tidak membutuhkan bantuan, orang Arab itu akan menyumbangkan kelebihan
uangnya kepada mesjid, sekolah atau ke yayasan keagamaan lain, bahkan ada yang mengirimkan
uangnya kepada cedikiawan yang mereka hormati atau kepada sahabat yang lanjut usia.”
Kemudian pada halaman 84 dan 87 Ia juga mengatakan: “…Orang Arab tidak menyukai
kemewahan baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Seorang Arab yang telah memperoleh
kekayaan jarang meneruskan usahanya dengan semua yang diperolehnya. Pada diri orang Arab
tidak ada keinginan menjadi mulia seperti orang Eropa yang mendirikan rumah dagang besar yang
tetap bereputasi baik meskipun para pendirinya sudah mengundurkan diri…”
37
Memang tidak bisa dinafikan pula, sebagian dari mereka nyatanya ada yang
bertujuan demikian, terlebih lagi dari kalangan Qabili yang merupakan kelompok
mayoritas. Hal ini dikarenakan ketika itu orang-orang Arab yang datang ke
Nusantara terdiri dari beberapa golongan ataupun lapisan sosial:
1. Golongan Sadah ( Jamak dari Sayyid yang artinya tuan) yaitu, golongan
tertinggi dan terpandang yang merupakan nigrat keagamaan. Golongan ini
menganggap dirinya sebagai keturunan cucu-cucu Nabi Muhammad SAW, dari
pernikahan putri Nabi yang bernama Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib, dan
umumnya golongan sadah dari Hadhramaut berasal dari keturunan Husain bin Ali
bin Abi Thalib. Lalu mengapa golongan sadah mendapat gelar Sayyid atau Syarif
dan untuk Prempuannya Syarifah. Menurut Yasmin Zacky Shahab dalam
Skripsinya yang berjudul “Masalah Integrasi Minoritas Arab di Jakarta”,
mengatakan:
“Hadramaut dahulu yang merupakan tanah asal kebanyakan golongan
sadah di Jakarta, hampir tidak ada yang bekerja dalam bidang perdagangan dan
industri, juga tidak ada dari mereka yang menjadi petani. Mereka lebih pada
memegang peran dalam bidang keagamaan dan pemerintahan yang dianggap
sebagai suatu kedudukan yang terhormat. Oleh karena itu mereka mendapat
penghormatan dalam masyarakatnya dengan sebutan “Tuan” atau “orang yang
terhormat”, hal demikian berjalan terus sampai turun temurun.”11
Inilah bukti kekeliruan van den Berg dalam memahami kehidupan orang-orang Arab
ketika itu. Oleh karenanya menurut asumsi Penulis bahwa hal tersebut memang tidak terlepas dari
kedudukannya sebagai pegawai pemerintah kolonial, dimana tugas mereka adalah berusaha
menghilangkan pengaruh Arab (Islam) dari masyarakat pribumi guna mempertahankan
jajahannya di bumi Nusantara. Selain itu penulis juga menduga kenapa mereka berpandangan
demikian, hal ini karena kurangnya pengetahuan mereka tentang konsep dagang Islam, serta latar
belakang budaya dan mentalitas bangsa Arab, sehingga mereka sulit untuk menditeksi misi yang
tersirat di balik fenomena yang tampak dihadapan mereka. Sebagaimana yang pernah dinyatakan
oleh Pak Alwi Shahab dalam bukunya yang berjudul “Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka
dalam Beragama” (Bandung: Mizan, 1998) h. 323-324, maupun artikel-artikel yang pernah
ditulisnyadi dalam media massa, seperti yang terdapat dalam koran harian Republika, yang
diterbitkan pada hari Jum’at, 22 September 1995. h. 8. Menurutnya, Bahwa kekeliruan Van den
Berg, dkk dalam memahami kehidupan orang-orang Arab disebabkan oleh 3 faktor: 1) kurangnya
pengetahuan tentang konsep dagang Islam. 2) latar belakang budaya 3) dan mentalitas bangsa
Arab. 11
Yasmin Zacky Shahab , “Masalah Integrasi Minoritas Arab di Jakarta,” (Skripsi
Sarjana Antropologi Fakultas Sastra, Universitas Indonesia Jakarta, 1975), h. 86.
38
Hal ini pun diperkuat oleh pendapat Husain Haikal dalam desertasinya
yang berjudul “Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia
(1900-1942).” mengatakan, “…Memang sebagian dari golongan sadah dikenal
sebagai orang yang sangat dalam ilmu agamanya, bahkan dapat dikatakan mereka
hampir memonopoli dalam berbagai bidang ilmu yang berada di Hadramaut,
sehingga untuk bekerja yang sifatnya memerlukan tenaga, jarang mereka lakukan,
apabila mereka terpaksa harus bekerja. Mereka hanya jadi pengawas saja…”12
Di beberapa tempat khususnya di Indonesia. Golongan sadah ini
mendapatkan panggilan yang berbeda-beda. Mereka ada yang di panggil dengan
sebutan Sayyid, Syarif, Habib, wan, Ami, sebagaimana yang penulis amati sendiri
di lapangan. Dalam kesehariannya, golongan ini juga sering menyebutkan dirinya
sebagai Ba’alwi atau Bani Alawi yakni sebuah nama yang dinisbahkan kepada
seorang tokoh yang bernama Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa
bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far ash-Shaddiq bin Ali Zainal Abidin
bin Husein bin Ali Suami Fatimah binti Rasulullah SAW. Awalnya sebutan Alawi
sendiri diberikan kepada semua keturunan Ali bin Abi Thalib, baik dari anaknya
yang bernama Hasan maupun Husein, namun selanjutnya, sebutan Alawi hanya
digunakan untuk keturunan Alwi bin Ubaidillah dari garis keturunan Husein.13
Hal ini untuk membedakan dari keluarga para Sayyid yang sama-sama keturunan
Rasulullah SAW.
12
Husein Haikal, “Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan Indonesia (1900-
1942),” (Desertasi Phd, Univesitas Indonesia Jakarta, 1986), h. 54. 13
Idrus Alwi al-Masyhur, Sejarah, Silsilah dan Gelar Keturunan Nabi Muhammad SAW
di Indonesia, Singapura, Malaysia, Timur Tengah, India dan Afrika (Jakarta, Saraz Publishing,
cet. 2. 2010), h. 101-102.
39
2. Golongan Masyayikh ( Jamak dari Syaikh yang berarti orang tua atau
orang yang beriman). Istilah Syaikh sendiri sebenarnya hanya sebuah gelar
kehormatan bagi semua orang yang mengabdikan diri dalam ilmu pengetahuan,
khususnya dalam bidang keagamaan. Tetapi ada dua suku dan beberapa family
qabili warga Hadramaut yang berhak menggunakannya sebagai gelar warisan,
yakni Suku Baraik dan Suku Amudi. Family yang menggunakan gelar Syaikh
khususnya yang terdapat di Indonesia adalah Bafadhel (keturunan ahli hukum dan
teologi terkenal), Bahmid, Baraja, Baharmi, Bawajir, Basyu’aib, Bamuzahmi,
Ba’abbad, Bin Khathib, al-Zabda.14
Jadi gelar Syaikh itu hanya semata-mata gelar
kehormatan, tanpa suatu hak Istimewa, dan juga tidak mesti berarti pemakainya
merupakan kalangan family terpelajar. Dahulu sebelum golongan sadah datang ke
Hadramaut. Golongan inilah yang memegang peranan dalam bidang keagamaan,
akan tetapi setelah golongan sadah datang ke Hadramaut, kedudukan golongan ini
terdesak dan bahkan golongan sadah berhasil memonopoli semua kegiatan yang
berkaitan dengan ilmu agama.15
3. Golongan Qaba’il (Jamak qabili yang berarti Suku atau ”gerombolan”)
adalah golongan ningrat duniawi. menurut G.F Pijper, kaum qabili ini merupakan
mayoritas penduduk Hadramaut. Pada abad ke-19, jumlahnya terdapat 17 suku di
Hadramaut, selain itu, menurutnya ada pula dua suku besar dan penting karena
kekuasaannya di Hadramaut. Pertama, Suku al-Syanfari. Suku ini terdiri dari
berbagai anak suku. Kepala dari semua keturunan al-Syanfari adalah sultan
Sei’un. Ia Muhammad bin Syanfari al-Hamdani, yang menurut lagenda
14
G.F Pijper, Studien over de Geschiedenis van de Islam in Indonesia 1900-1950,
Terjemahan, Tudjimah dan Yessy Augusdin, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia
1900-1950, h. 21. 15
L.W.C Van Den Berg, Le Hadramout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien,
diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, h. 28.
40
merupakan raja pertama di Hadramaut. Kedua, suku al-Yafi, keturunan Yafi bin
Himyar. Suku ini terbagi dalam tiga anak suku dan family al-Qa’aithi merupakan
kepala suku Yafi yakni, penguasa al-Syihr dan beberapa kota lain.16
4. Golongan Da’fa (Jamak dari dhaif), merupakan sebuah kelompok yang
terdiri dari orang-orang merdeka yang tinggal di kota-kota dan desa, yang bukan
anggota suatu suku dan tidak pula termasuk Syaikh ataupun Sayyid. Mereka
terdiri dari para pedagang, tukang, pengrajin, buruh, dan pelayan. Mereka
dipandang sebagai kalangan rendah, setingkat di atas para budak.
5. Golongan Abid (Jamak dari abd yang artinya hamba atau budak), di
Hadramaut pada umumnya kaum budak ini berasal dari Somalia dan Nudia, yang
pada kemudian kebanyakan lahir di Hadramaut. Nasib mereka disana sama sekali
tidak sama dengan budak-budak yang berada di Eropa dan Amerika, yang
dipekerjakan dengan paksa, bahkan dirantai. Karena ketentuan hukum Islam
mereka di Hadramaut diperlakukan sebagai anggota rumah tangga. budak-budak
Hadramaut semuanya beragama Islam. Mereka tidak memakai nama family, tetapi
biasanya memakai julukan. Banyak diantara keturunan bekas budak yang
kemudian merantau ke berbagai tempat termasuk ke Nusantara.17
Diantara ke lima golongan di atas dalam hubungannya dengan aktivitas
dakwah Islamiyah di Nusantara khususnya di Betawi ialah golongan Sayyid dan
golongan Syaikh, keduanya banyak memainkan peran dalam bidang keagamaan,
16
G.F Pijper, Studien over de Geschiedenis van de Islam in Indonesia 1900-1950,
Terjemahan, Tudjimah dan Yessy Augusdin, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia
1900-1950, h. 23-27. 17
L.W.C Van Den Berg, Le Hadramout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien,
diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, h. 47.
41
tetapi golongan Sayyid jauh lebih menonjol ketimbang golongan Syaikh.18
Para
Sayyid sangat dihormati bukan hanya karena dipandang keturunan Nabi yang
sudah selayaknya menerima penghormatan, melainkan juga karena mengingat jasa
kelompok ini yang sejak lama sudah terkenal sebagai penyebar Islam dan sumber
kader ulama.19
hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Van den Berg
dalam bukunya yang berjudul “Le Hadramout et les colonies Arabes dans
„I‟Archipel Indien” yang dikutip sekaligus diterjemahkan oleh Alwi bin Thahir
Al-Haddad. Ia mengatakan, “…Adapun hasil nyata dalam penyebaran agama
Islam adalah dari para Sayyid/Syarif. Dengan perantara mereka tersebarlah Islam
di antara para sultan-sultan Hindu di Jawa dan yang lainnya. Walaupun ada orang-
orang Arab Hadramaut selain mereka, mereka tidak mempunyai pengaruh seperti
itu. Hal ini disebabkan karena mereka adalah keturunan dari pembawa ajaran
Islam (Nabi Muhammad)…”20
Sebagaimana telah diketahui bahwa, para Sayyid di Betawi hampir tidak
ada yang bekerja dalam bidang perdagangan dan industri, juga tidak ada dari
mereka yang menjadi petani. Mereka lebih pada memegang peran dalam bidang
keagamaan dan pemerintahan yang dianggap sebagai suatu kedudukan yang
terhormat, kalau pun ada mereka hanya jadi tuan tanah atau pengawas saja. dan
hanya orang Arab peranakan yang mau mengerjakan pekerjaan tangan.21
Berbeda
dengan anggota suku lainnya yang tidak segan-segan menjadi pedagang eceran
atau penjaja sekali pun. Anggota qabili gemar mengumpulkan uang di tempat
18
Abdul Aziz. Islam dan Masyarakat Betawi (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. 2002), h.
144. 19
Ibid., h. 39 20
Alwi Bin Thahir Al-Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh (Jakarta: PT.
Lentera Basritama. Cet. 3. 1997), h. 52. 21
M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2000), h.135.
42
rantauan, setelah uangnya terkumpul walaupun dengan jumlah yang tidak begitu
banyak mereka segera kembali ke tanah asalnya Hadramaut, begitu uangnya habis
mereka mulai lagi dengan prosedur yang sama.22
Sedangkan sebagian besar orang
Arab di Nusantara adalah anggota suku (qabili) disusul golongan menengah kecil
dan Sayyid.23
Oleh karena itu, menurut analisa penulis bahwa, “tidak semua
orang Arab yang datang ke Nusantara itu, hanya bertujuan untuk berdagang
ataupun untuk mencari keuntungan materi semata.”24
Orang-orang Arab ini kemudian membentuk koloni diberbagai kota di
Indonesia, salah satunya di Batavia atau lebih tepatnya di wilayah Pekojan.
Awalnya tempat ini di dominasi oleh umat muslim yang berasal dari Gujarat,
Coromandel, dan Malabar, yang terletak di India. Namun, karena semakin banyak
pendatang Arab dari Hadramaut, -apalagi ketika telah adanya transportasi kapal
uap dan dibukanya terusan suez 1869 M-, tempat ini kemudian menjadi di
dominasi oleh para pendatang yang berasal dari Hadramaut. oleh karena itu pada
tahun 1844 M pemerintah Hindia-Belanda mengharuskan adanya kepala koloni,
yang ketika itu dinamai kapiten atau kapten Arab atau Leuitenant Arab. kepala
koloni ini dipilih oleh Bupati setempat dan pengangkatannya dilakukan oleh
Residen berdasarkan pertimbangan penasehat urusan dalam negeri.
Pertimbangan dalam pengangkatan kepala koloni diantaranya adalah harus
seorang yang dikenal baik di kalangan pemerintah setempat maupun di kalangan
22
L.W.C Van Den Berg, Le Hadramout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien,
diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, h. 123. 23
Ibid., h. 91. 24
Mengambil teori Max Weber di dalam bukunya, Die Protestantische Ethik und der
Geist des Kapitalismus, “Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme”, diterjemahkan oleh Yusup
Priyasudiarja, (Surabaya: Pustaka Promethea, 2000) h. 158-159. Ia mengatakan: “…tingkah laku
ekonomi sangat dipengaruhi oleh ajaran agama…”. Jadi jelas bahwa perilaku ekonomi para
pendatang Hadhrami itu sangat dipengaruhi oleh latar belakang agamanya dan Van den berg
penulis rasa tidak memahami hal ini.
43
orang Arab itu sendiri, kemudian status ekonominya baik dan yang terpenting
dapat diajak bekerjasama dengan pemerintah. Adapun tugas dari kepala koloni
tersebut adalah memberi penjelasan mengenai keputusan dan aturan-aturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah kepada masyarakat Arab. selain itu juga memberikan
data-data yang dibutuhkan oleh Pemerintah Hindia-Belanda terkait dengan
kependudukan orang-orang Arab di Nusantara.25
Meski wilayah Betawi-Pekojan baru pada tahun 1844 M dihuni oleh
kelompok Hadhrami, tetapi dikarenakan ketika itu menjadi tempat transit, maka
populasinya berkembang dengan cepat, dengan sentral koloninya di wilayah
Krukut, Petamburan, dan Tanah Abang, tentunya dengan dibawah pengawasan
yang ketat pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Barulah sampai pada
penghapusan system pemukiman pada tahun 1919 M, sebagian besar orang Arab
di Pekojan yang sebelumya juga ada yang tinggal di Krukut, Petamburan, dan
Tanah Abang, kemudian menyebar ke daerah-daerah sekitarnya seperti; Sawah
Besar, Jatinegara, Tanah Tinggi, dan Condet. Sekarang hampir tidak tersisa orang
Arab di Pekojan, orang-orang Cina lah menjadi penduduk mayoritas disana.
C. Terbentuknya Komunitas Arab di Betawi
Kata komunitas (Community) berasal dari kata latin communire
(Communion) yang berarti memperkuat. Dari kata ini dibentuk istilah communitas
yang artinya persatuan, persaudaraan, umat/jemaat, kumpulan bahkan
masyarakat.26
Menurut Selo Soemardjan sebagaimana yang dikutip oleh Soerjono
Soekanto, Ia mengatakan “…Komunitas adalah masyarakat yang bertempat
tinggal disuatu wilayah (dalam arti geografis) dengan batas-batas tertentu dimana
25
Julianri, “Persatuan di kalangan Masyarakat Arab Indonesia,” (Skripsi Sarjana Sastra
Jurusan Sejarah Fakultas Sastra, Universitas Indonesia Jakarta, 1987), h. 13-14. 26
D. Hendropuspito, Sosiologi Sistematik (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1989), h. 56.
44
faktor utama yang menjadi dasar adalah interaksi yang lebih besar diantara para
anggotanya, di bandingkan dengan penduduk di luar batas wilayah…”27
Adapun
yang menjadi ciri khas dari sebuah komunitas adalah adanya kesatuan hidup yang
teratur, tetap dan bersifat territorial, serta memiliki unsur tanah daerah yang sama
dimana tempat kelompok itu berada.28
Dari penjelasan diatas, maka dapat dimengerti bahwa komunitas adalah
kesatuan hidup manusia yang menempati suatu wilayah tertentu yang terikat rasa
identitas bersama, dan saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya
tentunya untuk mencapai tujuan bersama. Kaitannya dengan komunitas Arab di
Betawi, bahwa pada awalnya mereka datang ke Betawi secara bertahap tidak
sekaligus, mengikuti kondisi sosial dan politik negaranya, ada yang datang
sendiri-sendiri dengan menumpang kapal yang sedang melakukan pelayaran dan
juga ada yang secara rombongan. Umumnya mereka datang dengan tidak
membawa Istri atau anak-anak mereka, hal ini karena letak kepulauan Nusantara
yang begitu jauh dengan daerah asal mereka dan hanya bisa ditempuh melalui
jalur laut dengan menggunakan kapal layar, sehingga sangat beresiko bagi Istri
atau anak-anak mereka jika mereka membawanya. Oleh karenanya hanya kaum
laki-laki saja memberanikan diri hijrah ke Nusantara.
Puncak dari migrasi mereka yaitu, pada akhir abad ke-19 M. Mayoritas
dari mereka adalah berprofesi sebagai pedagang dan sebagian kecil dari mereka
ada yang merangkap sebagai juru dakwah. Setelah sampai di tempat tujuan,
sebagaimana layaknya para pedagang, mereka tidak segera kembali ke tempat asal
mereka, disamping karena harus menunggu barang dagangannya habis dan dapat
27
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2006),
h. 133. 28
D. Hendropuspito, Sosiologi Sistematik, h. 57.
45
membawa barang dagangan baru, juga menunggu waktu pelayaran kembali yang
bergantung pada musim. Hal ini yang pada akhirnya memaksa mereka untuk
bertempat tinggal berbulan-bulan di tanah perantauan.
Selama tinggal diperantauan mereka saling berinteraksi dengan penduduk
setempat, tidak jarang pula penduduk setempat yang pada akhirnya berhasrat
menikahkan putri-putrinya kepada para perantau tersebut. Khususnya para
pedagang Arab yang kaya-raya dan memiliki strata sosial yang tinggi seperti
kalangan Sayyid. Dari pernikahan pasangan campuran ini lahirlah anak-anak
keturunan Arab campuran yang disebut dengan peranakan Arab atau muwalad.
dengan lahirnya anak-anak peranakan ini maka semakin bertambah banyak orang-
orang Arab di Nusantara khususnya di Betawi, sehingga pemerintah kolonial
mengeluarkan sebuah peraturan yang mengharuskan setiap warga asing
menempati tempat-tempat yang sudah ditentukan berdasarkan ras dan bangsanya.
Begitupun juga aturan yang mewajibkan membawa surat apabila hendak
berpergian. Dengan adanya peraturan seperti ini, orang-orang Arab yang
sebelumya mereka hanya menikahi wanita-wanita pribumi, mereka beralih
menjadi menikahi wanita-wanita dari etnis mereka sendiri, terutama terjadi pada
keturunan pernikahan campuran generasi mereka. Maka bertambah besarlah
jumlah mereka dan bertambah besar pula rasa kekerabatan mereka.
Berdasarkan sensus yang diadakan pertama kali secara eksplisit tahun
1859 M, menyebutkan di keresidenan Batavia terdapat 312 orang Arab, sebagian
besar tinggal di kota. Kemudian, pada tahun 1870 M jumlah mereka naik tiga kali
lipat menjadi 952 orang.29
Lima belas tahun kemudian tepatnya pada tahun 1885
29
Lihat Regeerings Almanak tahun 1859 dan 1870.
46
M, keresidenan Batavia menampung 1.662 orang Arab, 1.175 diantaranya lahir di
Hindia-Belanda.30
Kemudian, diantara rentang tahun 1900 M sampai dengan 1930
M telah terjadi peningkatan kembali yang sangat signifikan, bertambah dari 2.245
menjadi 5.231 orang Arab.31
Dengan melihat sensus diatas yang di mulai dari tahun 1859 M hingga
tahun 1930 M, dengan jumlah yang terus meningkat dan juga semakin besarnya
rasa kekerabatan mereka, hal ini menunjukan bahwa minoritas Arab telah
berkembang menjadi sebuah komunitas yang mapan, bahkan dari segi jumlah
telah mengungguli minoritas Arab di Surabaya, yang sebelumnya merupakan
komunitas Arab terbesar di Nusantara.
30
L.W.C Van Den Berg, Le Hadramout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien,
diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, h. 68. 31
Kees Grijns and Peter J.M. Jakarta Batavia: Socio-Cultural essay, Terj. Gita Widya
Laksmini dan Noor Cholis, h. 153.
47
BAB IV
PERANAN ORANG-ORANG ARAB DI BETAWI 1900-1942
A. Dalam Bidang Sosial
Peranan orang-orang Arab di Betawi dalam bidang sosial sudah ada sejak
pertama kali mereka menginjakan kakinya disini, namun sifatnya lebih dan
diarahkan kepada misi keagamaan. Salah satu buktinya adalah dengan adanya
pendirian langgar, mushala ataupun masjid-masjid yang hingga sekarang
bangunannya masih berdiri kokoh dan dapat kita saksikan, meskipun telah
mengalami beberapa kali renovasi, namun beberapa bagian penting dari bangunan
tersebut keasliannya masih tetap terjaga.
Salah satu contohnya ialah masjid Luar Batang yang berdiri pada tahun
1739 M. Masjid yang terletak di tengah perkampungan bernama Luar Batang,
Jakarta Utara ini, dahulunya merupakan sebuah mushalah yang digunakan selain
tempat ibadah shalat, juga digunakan masyarakat setempat ataupun luas untuk
menanyakan berbagai macam permasalah-permasalahan, baik yang berkenaan
dengan masalah keagamaan ataupun sosial. Bukan hanya itu saja masjid ini pun
digunakan sebagai salah satu tempat persinggahan orang-orang yang hendak
melaksanakan ibadah haji dan pulang haji sebelum mereka kembali ke tempat
tinggalnya masing-masing.1 Masjid ini karena sering ramai dikunjungi para
peziarah dan sering terkena banjir karena letaknya di pinggir pantai, kemudian
masjid ini direnovasi dengan diperluas dan ditinggikan lantainya. Karena itu
proporsi bangunannya sedikit menghilang.
1 Jamroni, “Masjid Bersejarah di Jakarta,” Majalah Al-Turas Vol. 12 No.2, Fakultas
Adab dan Humaniora (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 103.
48
Selanjutnya peranan orang-orang Arab dalam bidang sosial-keagamaan
terlihat sekali ketika memasuki awal abad ke-20 M, yakni dengan didirikannya
sebuah organisasi modern yang bernama Jami‟at Kheir, tahun 1905 M. Organisasi
ini terkenal bukan saja karena keberhasilannya mendirikan sekolah-sekolah Islam
modern, tetapi juga karena kegiatan-kegiatan sosial yang bersifat keagamaan,
terutama ketika beberapa Tokoh dari organisasi ini berinisiatif mendirikan sebuah
Lembaga khusus yang bernama ar-Rabithah al-Alawiyyah. Lembaga ini berdiri
pada tahun 1928 M atas prakarsa Sayyid Ahmad bin Abdullah Assegaf dan
Sayyid Muhammad bin Abdurrahman bin Ali bin Shahabuddin. Lembaga ini
didaftarkan kepada pemerintah Hindia-Belanda dan tercatat dalam akte Notaris
Mr. A.H. Van Ophuijsen No. 66 tanggal 16 Januari 1928. kemudian disahkan
pemerintah Belanda pada tanggal 27 Desember 1928 M yang ditandatangani oleh
G.R. Erdbrink seorang sekretaris pemerintah Hindia-Belanda.2
Tujuan dan maksud didirikannya ar-Rabithah al-Alawiyyah sangatlah jelas
yakni, berbuat ihsan dan menyeru kepada keridhaan ar-Rahman. Hal ini
sebagaimana yang tertuang dalam Ad/ART ar-Rabithah al-Alawiyyah yakni:
1. memajukan suku Hadhrami baik dari segi moral maupun material.
2. memperkuat ikatan persaudaraan diantara golongan Alawiyyin khususnya dan
orang-orang Hadhramaut umumnya dan memelihara segala sesuatu yang ada
kaitannya dengan mereka.
3. melaksanakan pencatatan nasab golongan Alawiyyin.
4. mendidik anak-anak yatim dan membantu janda-janda, orang-orang lemah,
menolong fakir miskin, dan orang-orang yang tidak dapat mencari nafkah.
2 Yayasan ar-Rabithah al-Alawiyyah. “80 Tahun Daarul Aitam; Mengelola Anak
„Titipan‟ Rasulullah SAW,” (Jakarta: Yayasan ar-Rabithah al-Alawiyah Daarul Aitam. 2011), h.
17.
49
5. menyiarkan ajaran-ajaran Islam, ilmu-ilmu, Bahasa Arab dan bahasa-bahasa
lainnya.
6. mengusahakan segala sesuatu yang dapat memakmurkan dan mengamankan
Tanah Air dan Negeri Hadramaut.
7. menerapkan hukum-hukum syariat, menyebarkan ilmu pengetahuan dan segala
sesuatu yang dapat mendatangkan kebaikan bagi Tanah Air.3
Lembaga ar-Rabithah al-Alawiyyah tidak hanya terdapat di Jakarta saja,
tetapi juga tersebar di berbagai daerah di Indonesia dan juga di negara-negara lain.
Lembaga ini telah melakukan berbagai macam kegiatan-kegiatan di Masyarakat.
Sebagaimana yang tercatat di dalam ikhitisar kegiatan-kegiatan ar-Rabithah al-
Alawiyyah diantaranya:
1. memberikan bantuan dalam pendirian Partai Sarikat Islam.
2. menghimpun dana dalam berbagai kegiatan dan panitia untuk amal-amal sosial,
diantaranya dalam bentuk pembangunan masjid dan rumah sakit di Jakarta.
3. membentuk panitia palang merah bagi orang-orang yang tertimpah becana
seperti; untuk korban bencana perang dunia II, korban bencana Palestine dan
Merapi.
4. membentuk panitia peringatan Maulid Nabi SAW tahunan.
5. membentuk panitia guna memerangi riba dan prostitusi di masyarakat.
6. mendirikan lembaga khusus bagi kaum wanita yang bernama ar-Rabithah al-
Alawiyyat, yang bertujuan untuk memberikan ceramah-ceramah agama,
memberantas buta huruf dan melatih kejujuran.
7. mendirikan sekolah-sekolah, perpustakaan umum, percetakan dan lainnya.
3 Koleksi Pribadi Ali Abu Bakar Shahab, “ar-Rabithah al-Alawiyyah,” (Batavia: T.pn.,
1928), h. 2-4
50
8. membagi-bagikan buku-buku sekolah sebanyak 5400 buah ke 50 madrasah
Islamiyyah di seluruh pelosok Indonesia.
9. membentuk kelompok gerakan pramuka diberbagai kota besar di Indonesia.
10. mendirikan rumah khusus bagi anak yatim-piatu yang tersebar diberbagai
daerah di Indonesia.4
Usaha atau kegiatan-kegiatan ar-Rabithah al-Alawiyyah di atas tidak
senantiasa berjalan mulus, banyak hambatan-hambatan yang menghalanginya.
Lembaga ini sempat mengalami masa-masa krisis yakni, ketika Jepang mulai
menjajah negeri ini. Ketika itu ar-Rabithah nyaris tak dapat melangkah
sebagaimana biasanya, usaha ar-Rabithah sangat terbatas pada lingkup yang
sempit sekali. Penjajah Jepang ketika itu banyak merugikan sekolah-sekolah
khususnya sekolah yang didirikan oleh ar-Rabithah al-Alawiyyah sehingga tidak
dapat berkembang. Begitupun dengan perpustakaan umum yang didirikannya,
banyak koleksi kitab-kitab yang hilang, entah karena diambil ataupun dibuang
oleh pihak penjajah, seandainya pihak penjaga perpustakaan ketika itu tidak
segera menyembunyikan sebagian kitab, niscaya tidak akan tersisa lagi sekarang.
Selain itu juga penjajah telah menganggu hubungan harmonis yang sudah ada
antara lembaga di pusat dan cabang-cabangnya. Suasana ketika itu sangat benar-
benar sangat kacau dan goncang, sehingga hampir saja sebagian cabang-cabang
dan perwakilan-perwakilannya nyaris bubar. Namun untungnya lembaga ini masih
tetap kuat menjaga kelangsungan hidupnya dan senantiasa berusaha menunaikan
amanah yang diembannya.5
4 Ibid., h. 23-26
5 Ibid., h. 26-27.
51
B. Dalam Bidang Keagamaan
Sebagaimana telah diketahui, bahwa kedatangan orang-orang Arab ke
Nusantara tidak semata-mata hanya bertujuan untuk mencari keuntungan materi
semata salah satunya dengan bergelut di dunia perdagangan seperti yang
dituduhkan oleh beberapa kalangan orientalis. Namun ada beberapa komponen
masyarakat Arab terutama dari kalangan ulama seperti Syaikh, Sayyid atau
Habaib datang secara khusus untuk mendakwahkan Islam kepada peduduk
Nusantara. Di Batavia ada beberapa ulama cukup terkenal asal Hadramaut yang
secara khusus bergelut di dalam bidang dakwah Islamiyah. Diantaranya adalah
Sayyid Husain bin Abu Bakar al-Aidrus, yang wafat pada tahun 1756 M. Ia adalah
seorang alim ulama yang semasa hidup senantiasa mengamalkan ilmunya kepada
masyarakat khususnya masyarakat Betawi. Melalui sebuah mushalah kecil yang
didirikannya pada tahun 1739 M di wilayah yang kini bernama kampung kramat
Luar Batang, di sini ia mengenalkan ajaran agama Islam kepada masyarakat
Betawi dan menghabiskan masa hidupnya hanya untuk mengamalkan ilmunya
kepada masyarakat.6
Kemudian ada Syaikh Salim bin Abdullah bin Sa‟ad bin Sumair al-
Hadhrami, yang wafat pada tahun 1854 M. Ia adalah seorang ahli fiqh dan tasawuf
yang bermadzhab Syafi„i, yang juga terkenal sebagai seorang qadi yang adil,
seorang pendidik yang sangat ikhlas dan penyabar. Melalui kitabnya yang terkenal
yang diberi nama Safinatun Najah Fiima Yajibu „ala Abdi li Maulah,7 tersyiarlah
6 Huub De Jonge and Nico Kaptein, Trancending Borders: Arabs, Politics, Trade and
Islam in Southeast Asia (Leiden: KITLV Press, 2002), h. 185 7 Kitab ini ditulis oleh Syaikh Salim al-Hadhrami dikarenakan tingginya animo
masyarakat yang ingin mempelajari dasar-dasar pokok agama dan aturan-aturan fiqih yang pokok
dan mendasar sesuai dengan ajaran agama Islam, sementara kitab yang mengkaji secara sistematik
tentang masalah ini sangat minim sekali bahkan sempat mengalami kekosongan di pasaran. Oleh
52
ajaran agama Islam hingga sampai saat ini. Kemudian pada masanya ada pula
seorang ulama asal Hadhramaut yang sengaja datang ke Betawi pada tahun 1823
M hanya untuk menyiarkan ilmunya lalu kembali lagi ke Hadramaut pada tahun
1853 M. Ia adalah Sayyid Abdurrahman bin Abu Bakar al-Habsyi.8
Kemudian di tahun-tahun berikutnya datang pula saudagar-saudagar kaya
yang diantara mereka merangkap sebagai Da‟i asal Hadhramaut. Mereka sengaja
datang ke Tanah Betawi di samping menjalin bisnis perdagangan juga ingin ikut
serta membantu perkembangan Islam di Tanah Betawi. Diantaranya ada Habib
Ahmad bin Hamzah al-Atthas, pendiri masjid di Pekojan yang hingga kini lebih
dikenal sebagai “Zawiyah Bin Hamzah” (Sudut/Pojok Bin Hamzah). Masjid itu
dikenal dengan nama demikian karena Tokohnya banyak melakukan i‟tikaf
dengan berbagai kegiatan keagamaan di dalamnya. Hingga kini masjid ini terus
dimakmurkan oleh jama‟ahnya dengan disertai berbagai kegiatan keagamaan.
Salah satunya yang paling ramai adalah ketika khatam al-Quran dalam Tarawih,
yaitu setiap malam 27 Ramadhan. Lalu ada Syaikh Sa‟id bin Salim Na‟um,
pendiri masjid Langgar Tinggi di Pekojan. sebagaimana Zawiyah Bin Hamzah,
masjid ini pun sejak dahulu hingga sekarang masih terus dimakmurkan oleh
Jama‟ahnya dengan berbagai macam kegiatan keagamaan. Dan masih banyak lagi
karena itu, kitab ini di tulis secara sistematik yang terdiri dari beberapa pasal mengenai
pengetahuan dasar-dasar pokok agama dan aturan-aturan fiqih yang pokok dan mendasar sesuai
dengan ajaran agama Islam, yang menjadi suatu kewajiban umat muslim untuk mengetahuinya dan
menjalankannya dalam bentuk praktek ritual keagamaan di kehidupan sehari-harinya. Kitab ini
sejak pertama kali terbit dan beredar di pasaran, langsung diburu oleh kalangan para pencinta ilmu
fiqih terutama yang menganut madzhab Imam Syafi‟i. Kitab ini dikenal luas diberbagai negara
tidak hanya di lingkungan masyarakat Betawi atau masyarakat Melayu saja, tetapi juga di negara-
negara yang menjadi basis penganut Madzhab Syafi‟i lainnya seperti; Yaman, Mekkah, Madinah,
Jeddah, Somalia, Ethiopia, Tanzania, Kenya, Zanjibar, dan dibeberapa belahan Negara di benua
Afrika. Kitab ini sampai sekarang masih diterbitkan dan beredar di pasaran. Lihat Lampiran 4.5 8 L.W.C Van Den Berg, Le Hadramout et les colonies Arabes dans „I‟Archipel Indien,
diterjemahkan oleh Rahayu Hidayat, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jilid 3 (Jakarta:
INIS, 1989), h. 105-106.
53
dari saudagar-saudagar Arab yang datang ke Tanah Betawi di samping menjalin
bisnis perdagangan juga ingin ikut serta membantu perkembangan Islam di Tanah
Betawi hingga dipenghunjung akhir abad ke-19 M.9
Kemudian memasuki awal abad XX, di Batavia ada beberapa ulama Arab
cukup terkenal asal Hadramaut yang secara khusus bergelut di dalam bidang
dakwah Islamiyah, yang mayoritas dari mereka adalah kaum peranakan Arab-
Indonesia. Diantaranya ada Sayyid Utsman bin Abdullah bin Yahya. Ia adalah
seorang ahli fiqih yang dikenal masyarakat sebagai Mufti Betawi dan juga
merupakan kawan dari seorang orientalis Barat yang bernama C. Snouck
Hurgronje yang sama-sama bekerja sebagai penasehat Pemerintah Belanda untuk
urusan Arab-Indonesia. Ia merupakan seorang ulama yang cukup produktif
banyak menulis artikel, kitab-kitab fiqih maupun Tauhid yang banyak menjadi
rujukan umat muslim ketika itu, diantara karyanya yang cukup fenomenal yakni,
kitab al-Qawanin asy-syar‟iyyah li ahl al-majlis al-hukmiyyah wa al-ifta‟iyyah,10
Ishlah al-Hal bi Thalab al-Halal11
dan kitab Tauhid sifat 20 yang hingga kini
masih banyak digunakan dikalangan santri-santri di pondokan ataupun di masjid-
9 “Ulama Hadhrami di Tanah Betawi: Berdakwah dengan Sepenuh Hati”. Majalah al-
Kisah Edisi 26 tahun 2013, h. 32 10
Kitab ini ditulis karena dilatarbelakangi oleh rasa keperihatinan Sayyid Utsman akan
kondisi peradilan pada masanya, penguasaan para Hakim dan penghulu akan hukum peradilan
Islam masih sangat terbatas, bahkan sering terjadi prilaku penyimpangan-penyimpangan dalam
pengambilan keputusan hukum di lembaga peradilan. Oleh karena itu, kitab ini ditulis berisikan
khusus pedoman dan tuntunan praktis yang sangat dibutuhkan bagi para hakim dan penghulu
ketika akan menjalakan perannya di tengah masyarakat. Kitab ini masih tersimpan di Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia. Lihat lampiran 4.4 11
Kitab ini ditulis karena dilatarbelakangi oleh rasa keperihatinan Sayyid Utsman akan
terjadinya prilaku tidak baik di masyarakat, terutama di lingkungan masyarakat Arab dalam
memperoleh mata pencaharian hidup. Ketika itu marak sekali perbuatan maksiat, riba, tipu-menipu
dan pekerjaan sebagai rentenir di lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, dalam kitab ini
berisikan pasal-pasal yang menerangkan kepada masyarakat tentang perbuatan halal dan haram,
terutama dalam memperoleh mata pencaharian hidup. Kitab ini masih tersimpan di Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia. Lihat lampiran 4.3
54
masjid maupun di majelis-majelis taklim yang dibina oleh Kyai, Ustadz ataupun
para Habaib.12
Kemudian ada Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi yang lebih dikenal
dengan sebutan Habib Ali Kwitang. Ia adalah salah satu murid dari Sayyid
Utsman bin Abdullah bin Yahya dan juga merupakan seorang pendiri masjid dan
juga majelis taklim pertama di Betawi. Ia juga mendirikan sebuah madrasah yang
diberi nama Unwanul Falah. Pengaruh Habib Ali Kwitang di kalangan muslimin
pribumi khususnya masyarakat Betawi sangatlah besar dan tercatat di dalam kitab
sejarah Tajul A‟ras karangan al-Habib Ali bin Husein al-Attas Jilid 2 halaman 183
yg dikutip dan diterjemahkan oleh Abdul Qadir Umar Mauladdawilah dalam
bukunya yang berjudul: 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia, “…Dakwah al-
Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi telah memenuhi telinga-telinga kaum
Muslimin, sebagaimana kitab-kitab al-Habib Utsman bin Yahya yang telah
memenuhi rumah-rumah mereka…”13
Hal ini terbukti dengan banyaknya ia
mencetak beberapa ulama terkenal di Betawi diantaranya; KH. Abdullah Syafi‟i,
KH. Tohir Rohili. Mu‟alim KH. Syafi‟I Hadzami, KH. Fatullah Harun dan masih
banyak lagi ulama-ulama terkenal betawi yang juga pernah belajar kepadanya.
Dan kebanyakan dari mereka berhasil mendirikan kembali madrasah, perguruan
Islam serta majelis-majelis taklim seperti gurunya yang tersebar di wilayah
Betawi.14
12
C. Snouck Hurgronje, De Islam in Nederlandsch Indie. V.G.IV ii (Kurt Schroeder and
Leipzig, 1924), h. 75. 13
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah, 17 Habaib berpengaruh di Indonesia (Malang:
Pustaka Bayan, 2010), h. 150. 14
Rakhmad Zailani Kiki, ISLAM IBUKOTA: dari Kramtung hingga ke Brussels (Jakarta:
Jakarta Islamic Center, 2009), h. 200.
55
Kemudian ada dua ulama Arab di Betawi yang juga tidak kalah
terkenalnya di lingkungan masyarakat Betawi mereka adalah al-Habib Ali bin
Husein al-Atthas atau yang lebih dikenal dengan sebutan Habib Ali Bungur dan
al-Habib Salim bin Ahmad bin Jindan. Keduanya merupakan rekan Dakwah al-
Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, hampir disetiap kesempatan ketiganya
berkumpul dalam setiap acara-acara pengajian, pertemuan rapat ataupun sidang-
sidang penting yang menyangkut kemaslahatan umat, baik yang diselenggarakan
oleh mereka masing-masing, pejabat pemerintahan maupun oleh masyarakat
Betawi pada umumnya. Sehingga ada sebagian masyarakat Betawi menyebut
ketiganya sebagai ulama Tiga Serangkai Betawi, bukan saja karena eratnya
hubungan kedekatan mereka bertiga, tetapi juga karena hampir semua ulama
Betawi yang pernah belajar dengan Habib Ali Kwitang, juga belajar kepada Habib
Ali Bungur dan Habib Salim bin Ahmad bin Jindan.15
Demikianlah masih ada banyak lagi dari beberapa komponen masyarakat
Arab imigran ataupun peranakan, terutama dari kalangan ulama seperti Syaikh,
Sayyid atau Habaib yang datang secara khusus untuk mendakwahkan Islam
kepada penduduk Nusantara ataupun mereka yang sengaja datang disamping
menjalin bisnis perdagangan, juga ingin ikut serta membantu tersyiarnya ajaran
agama Islam, khususnya di tanah Betawi.
Cara mereka menyampaikan ajarannya pun beragam, ada yang
menggunakan metode ceramah, pendekatan budaya, dan ada pula yang
menggunakan metode pengajaran salafiyah atau halaqah. Khusus yang
menggunakan metode terakhir ini biasanya diperuntukan bagi penuntut yang ingin
15
Ahmad Fadli HS, ULAMA BETAWI: Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan
Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20 (Jakarta: Manhalun Nasyi-in
Press, 2011), h. 70
56
mendalami ilmu keagamaan. Dan sesuai dengan metode yang digunakan,
pengajaran yang mereka lakukan itu ada yang bersifat massal dan ada pula yang
bersifat khusus, bahkan ada yang mengajar secara privat.16
Adapun tempat mereka untuk menyampaikan ajarannya pun beragam, ada
yang di rumah-rumah, di langgar, mushalah, masjid-masjid, majelis taklim
ataupun madrasah-madrasah yang mereka dirikan. Hingga kini diberbagai tempat
di Betawi semakin banyak pengajian-pengajian yang dipimpin oleh orang-orang
Arab Hadhramaut, yang memegang peranan penting dalam mencetak ulama dan
memperkukuh dakwah Islamiyah di tanah Betawi.
C. Respon Pemerintah Belanda Terhadap Peran Komunitas Arab di Betawi
Sebagaimana telah diketahui, semenjak abad ke-19 M hingga memasuki
awal abad ke-20 M kondisi sosial di Betawi telah sangat ramai dikunjungi oleh
para imigran-imigran, khususnya imigran Arab yang mayoritas mereka berasal
dari kawasan Arab Selatan atau lebih tepatnya negeri Hadhramaut. Beberapa
pakar sejarah sepakat ada beberapa faktor yang menyebabkan kenapa para
imigran tersebut dapat bermigrasi secara besar-besaran ke wilayah Nusantara
khususnya ke Tanah Betawi ini:
1. dibukanya Terusan Suez di Mesir dan terciptanya kapal uap, yang membuat
perjalanan laut menjadi lebih singkat.
2. kondisi Geografis negeri Hadhramaut yang gersang ditambah lagi dengan
keadaan ekonominya yang sedang terpuruk.
3. adanya kebijakan ekonomi pemerintah Hindia-Belanda yang menjadikan kaum
minoritas Arab dan Cina sebagai perantara perdagangan Internasional.
16
Abdul Aziz, Islam dan Masyarakat Betawi (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. 2002), h.
144.
57
Walaupun sebagian besar dari para imigran ini datang ke Nusantara
bermotifkan memperbaiki keadaan ekonominya dengan berdagang, sebagaimana
yang dinilai oleh para kalangan orientalis, Namun Faktanya, ada beberapa
komponen masyarakat Arab terutama dari kalangan ulama seperti Syaikh, Sayyid
atau Habaib datang secara khusus untuk mendakwahkan Islam kepada penduduk
Nusantara. Memang tidak mudah untuk memisahkan antara para pedagang dan
pedakwah, karena keduanya sering menjadi bagian integral dalam kehidupan
mereka. Para pendakwah biasanya juga berdagang untuk memenuhi kebutuhan
hidup mereka dan membiayayai perjuangan dakwah mereka, sementara para
pedagang atau para pengusaha tidak sedikit dari mereka yang ikut pula
memberikan kontribusi bagi perkembangan Islam di Nusantara, Khususnya di
tanah Betawi ini, sebagaimana yang telah di jelaskan di atas.
Terlepas dari permasalahan motif kedatangannya, membanjirnya arus
migrasi besar-besaran orang-orang Hadhrami dan berasimilasinya orang-orang
Hadhrami secara penuh dengan penduduk pribumi, dengan ditambah lagi peran
mereka dalam bidang perdagangan dan keagamaan, hal ini telah menjadi perhatian
khusus pemerintah Hindia-Belanda yang berkuasa pada saat itu, oleh karenanya
dari jauh-jauh hari pemerintah Hindia-Belanda menetapkan sebuah aturan system
yang membagi masyarakat Betawi berdasarkan ras atau bangsanya (Wijken
Stensel) di tempat-tempat tertentu dan juga kewajiban membawa surat jalan
apabila hendak berpergian (Passen Stelsel).17
Hal ini diperkuat oleh apa yang
dinyatakan Snouck Hurgonje, “…Seandainya undang-undang kita tidak
17
Gobee dan Adriaanse, Ambtelijke adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889-1936‟s,
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgroje
semasa kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia-Belanda 1889-1936, vol. IX, dalam surat
kabar Ma‟lumat, Betawi, 30 Agustus 1899 (Jakarta: INIS, 1990), h. 1663-1665.
58
membatasi kebebasan gerak orang Hadramaut itu, imigran mereka ke Hindia
pastilah lebih banyak daripada sekarang...”18
Adanya system peraturan tersebut, tentunya sangat menyusahkan sebagian
besar orang Hadhrami yang dikenal sebagai pedagang yang memiliki mobilitas
yang tinggi dan gigih dalam menyebarkan ajaran agama Islam. Akibatnya, timbul
rasa ketidakpuasan masyarakat Arab terhadap pemerintah Hindia-Belanda, yang
pada kemudian rasa ketidakpuasan ini berakumulasi dan mengkristal menjadi
pembentukan kesadaran baru sebagai “bangsa Arab”, yaitu, kesadaran bahwa
mereka sama-sama menjadi objek penindasan system kolonial lantaran kekhasan
mereka sebagai bangsa Arab yang menyatakan diri memiliki jiwa kepemimpinan
alami. Meskipun demikian, kesadaran baru ini tidak mengesampingkan loyalitas
mereka kepada Islam. dalam artian apa pun yang akan menjadi kepentingan orang
Arab, akan juga manjadi kepentingan umat muslim secara keseluruhan.19
Dan
untuk memajukan kepentingan-kepentingan mereka, orang Arab menyampaikan
keluhannya kepada para konsul Turki, yang sejak tahun 1883 M telah ditempatkan
di Batavia.20
Dari perspektif diatas inilah, Snouck menganalisis adanya kedekatan
bangsa Arab dengan gerakan Pan-Islamisme yang sedang berkembang di Timur
Tengah, khususnya yang dibawa oleh konsulat Turki yang berada di Batavia. Oleh
karena itu, untuk menghindari sesuatu yang di inginkan, Snouck memberikan
nasehat kepada Gubernur Jenderal Belanda agar melakukan penghapusan
18
C. Snouck Hurgronje, Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje,
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, Kumpulan Karangan C. Snouck
Hurgronje, vol. IX ( Jakarta: INIS, 1993), h. 100. 19
Natalie Mobini Kesheh, Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadhrami di Indonesia,
Terj. Ita Mutiara dan Andri (Jakarta: Akbar. 2007), h. 34-35. 20
Kees Grijns and Peter J.M, Jakarta Batavia: Socio-Cultural essay, Terj. Gita Widya
Laksmini dan Noor Cholis (Leiden: KITLV Press and Banana. 2000/2007), h. 156.
59
(melunakannya) secara bertahap dua peraturan yang diskriminatif di atas pada
tahun 1917 M dan akhirnya dapat dihapus pada tahun 1919 M. Disamping itu,
sebelumnya ia juga sempat mendesak pemerintah Hindia-Belanda agar segera
mengawasi secara ketat aktivitas orang Hadhrami bahkan merekomendasikannya
agar wilayah Hindia-Belanda ditutup bagi para imigran Arab.21
Sebagai gantinya dari penghapusan kebijakan lama, Snouck menawarkan
kepada pemerintah Hindia-Belanda berupa konsep politik Asosiasi-Kebudayaan,
yakni, sebuah strategi dimana nilai-nilai Barat dituangkan melalui media
pendidikan dan pemanfaatan kebudayaan Eropa diciptakan kaum pribumi yang
lebih terasosiasi dengan negeri Eropa. Dengan perspektif seperti inilah, Snouck
berkeyakinan dapat meneteralisir menyebarnya virus Pan-Islamisme di wilayah
Hindia-Belanda dan akan mempermudah penyebaran agama Kristen. Dengan cara
ini pula Snouck berkeyakinan, bahwa umat Muslim di wilayah Hindia-Belanda
dapat berkoeksistensi dengan pemerintah Hindia-Belanda, selama praktek-praktek
keagamaanya tidak diganggu dan nilai-nilai sosial Islam di hormati.22
Namun demikian, konsep-konsep Snouck diatas tidak seluruhnya dapat
dijalankan oleh pemerintah Hindia-Belanda, sehingga dalam penerapannya tidak
seluruhnya dapat mencapai hasil yang maksimal. Bahkan menurut hemat penulis
bisa dikatakan gagal, sebab usaha pemerintah Hindia-Belanda ingin menghasilkan
manusia-manusia Indonesia yang modern dan terbaratkan melalui politik asosiasi
ini, justru malah menjadi pisau bermata dua dikemudian hari, di satu sisi memang
berguna dalam membantu administrasi pemerintahan kolonial di tanah jajahan,
21
Gobee dan Adriaanse, Ambtelijke adviezen van C. Snouck Hurgronje 1889-1936‟s,
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgroje
semasa kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia-Belanda 1889-1936, vol. IX, dalam Surat
Snouck kepada Gubernur Jenderal Belanda, 28 Juli 1904 di Batavia. h. 1688-1702. 22
Aqieb Suminto, Politik Islam Hindia-Belanda (Jakarta: LP3ES, 1986), h. 39-44.
60
tatapi di sisi lain malah memuculkan ideologi Nasionalisme yang diadopsi dari
Barat, sehingga lahir tokoh-tokoh Nasionalis penting yang menentang pemerintah
Hindia-Belanda. Oleh karenanya, apa yang ditakutkan oleh Snouck akan ancaman
Pan-Islamisme di Indonesia sebenarnya tidak terbukti di abad ke-20 ini. Justru,
acaman itu malah datang dari ideologi-ideologi Barat –Seperti Nasionalisme dan
Komunisme- itu sendiri, yang diadopsi oleh tokoh-tokoh penting Indonesia,
khususnya yang mendapatkan pendidikan Barat. karena dengan ideologi ini,
Belanda berhasil terusir dari Bumi Indonesia.
Disamping itu, dengan adanya politik asosiasi ini telah melahirkan tokoh-
tokoh Arab penting, khususnya kaum peranakan yang memiliki kesadaran akan
kedudukannya ketika itu sebagai orang Indonesia yang memiliki cita-cita ideal
sama seperti masyarakat Indonesia pada umumnya yakni, kemerdekaan Indonesia,
walaupun kenyataannya bahwa negeri Hadramaut tetap mereka akui sebagai tanah
nenek moyang mereka. Oleh karenanya, pada Tahun 1934 M berdiri sebuah
organisasi yang bernama Persatuan Arab Indonesia (PAI)23
yang digagas oleh A.R
Baswedan dkk, yang kemudian pada tahun 1940 M, PAI merubah diri menjadi
sebuah partai politik yakni Partai Arab Indonesia dan pada tahun 1941 M, PAI
masuk menjadi anggota GAPPI (Gabungan Partai-Partai Politik Indonesia) yang
menuntut Indonesia berparlemen.24
23
PAI merupakan sebuah organisasi yang digagas oleh para pemuka keturunan Arab yang
berkonferensi di Semarang, sebagai suatu langkah untuk mengakhiri pertikaian panjang dikalangan
masyarakat Arab Indonesia. dalam hal ini antara kalangan Wulaiti dengan Muwallad dan alawi
dengan al-Irsyad atau Golongan Sayyid dengan non-Sayyid. Meskipun berdirinya PAI ini masih
menuai Pro dan Kontra, namun, dalam perjalanannya mereka dapat saling memahami dan
menyadari akan cita-cita bersama untuk mendirikan sebuah Negara Indonesia yang merdeka
bersama para tokoh-tokoh pergerakan Nasional. Kalangan pergerakan Nasional pun pada mulanya
bersifat ragu-ragu, namun kemudian berubah mendukung setelah melihat keseriusan komunitas
Arab dalam merealisasikan cita-citanya. 24
M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2000), h. 165-167.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis menjelaskan tentang permasalahan yang ada maka dapat
disimpulkan bahwa, peranan komunitas Arab dalam bidang sosial-keagamaan
sangatlah besar bagi perkembangan Islam di Tanah Betawi. dimulai dengan
peranan yang di mainkan oleh Sayyid Husein bin Abu Bakar al-Aidrus. Melalui
sebuah mushalah kecil yang didirikanya, ia mengabdikan diri dan ilmu yang
dimilikinya kepada masyarakat hingga akhir hayatnya. Hal serupa ini pun terus
dilakukan oleh generasi seterusnya, seperti; Syaikh Salim bin Abdullah bin Sa’ad
bin Sumair al-Hadhrami, Sayyid Abdurrahman bin Abu Bakar al-Habsyi, Habib
Ahmad bin Hamzah al-Atthas, dan Syaikh Sa’id bin Salim Na’um. Meskipun
diantara mereka adalah para saudagar-saudagar kaya yang datang untuk menjalin
bisnis perdagangan, namun mereka juga ikut serta membantu perkembangan
Islam di tanah Betawi, tentunya didukung dengan kekayaan yang dimilikinya.
Peranan ini semakin terlihat ketika memasuki awal abad XX, dimana
peranan ini mayoritas dimainkan oleh kaum peranakan Arab-Indonesia,
diantaranya ada Sayyid Utsman bin Abdullah bin Yahya, Habib Ali bin
Abdurrahman al-Habsyi, Habib Ali bin Husein al-Atthas dan Habib Salim bin
Ahmad bin Jindan. jasa mereka sangat besar bagi masyarakat Betawi, melalui
perantara mereka lahir ulama-ulama Betawi tersohor dan melalui perantara
mereka pula berdirilah lembaga-lembaga pendidikan Islam serta majelis-majelis
62
taklim di tanah Betawi yang terus berkembang hingga saat ini, yang keberadaanya
semakin memperkukuh keimanan dan keislaman masyarakat Betawi.
Begitupun dengan berdirinya organisasi modern yang bernama Jamiat
Kheir di awal abad XX. Organisasi ini terkenal bukan saja karena keberhasilannya
mendirikan sekolah-sekolah Islam modern pertama yang melahirkan tokoh-tokoh
penting di negeri ini, tetapi juga karena kegiatan-kegiatan sosial-keagamaannya
yang diwujudkan dalam bentuk pendirian beberapa panti asuhan, Islamic center,
percetakan dan juga fasilitas umum seperti; perpustakaan, masjid dan rumah sakit.
Wujud nyata itupun masih bisa disaksikan dan masih berlanjut hingga kini dalam
program kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh ar- Rabithah al-Alawiyyah.
Oleh karena itu, berdasarkan fakta-fakta yang ada tersebut, pernyataan Van den
Berg, dkk, bahwa tak seorang Arab pun datang ke Nusantara hanya untuk
bertujuan menyebarkan agama, berdagang dan mencari keuntungan materi
merupakan tujuan utama mereka, ini sangat tidak dibenarkan.
Menurut keterangan yang penulis dapatkan dari berbagai sumber, kenapa
mereka mengeluarkan pernyataan demikian, disamping karena tidak terlepas dari
kedudukan mereka sebagai pegawai pemerintah kolonial, yang memiliki tugas
untuk menghilangkan pengaruh Arab (Islam) dari masyarakat pribumi guna
mempertahankan jajahannya, juga karena kurangnya pengetahuan mereka tentang
konsep dagang Islam serta latar belakang budaya dan mentalitas bangsa Arab.
sehingga mengakibatkan mereka sulit untuk menditeksi misi yang tersirat dibalik
fenomena yang tampak dihadapan mereka. Selain itu menurut hasil analisis
penulis, hal ini dikarenakan mereka terlalu cepat menjustifikasikan semua orang
Arab seperti itu, tanpa melakukan analisis kesimpulan yang lebih mendalam.
63
B. Saran-Saran
Suatu hal yang harus kita pedomani ialah penulisan sejarah umat Islam
Indonesia khususnya dan umat Islam umumnya, sebaiknya dilakukan oleh penulis
umat Islam itu sendiri terlebih-lebih oleh para sejarawan muslim yang memang
berkompeten dalam bidang ini. Hal ini karena sejarah Islam tidak cukup hanya
kumpulan data-data peristiwa yang dirangkaikan untuk kemudian ditulis kembali,
tetapi perlu adanya suatu penafsiran khusus dan ini seharusnya dilakukan oleh
umat Islam itu sendiri terlebih oleh para sejarawan muslim yang mengetahui betul
apa yang tersirat di dalam sejarahnya. Sebab suatu penafsiran yang dilakukan oleh
seorang non-muslim biasanya akan banyak membuat kekeliruan sejarah.
Besar harapan penulis bahwa skripsi ini dapat memberikan seteguk air
dalam dahaganya kaum muslimin yang ingin mengetahui sejarah orang-orang
Arab di Indonesia khusunya di tanah Betawi dan mudah-mudahan bermanfaat
buat generasi yang akan datang, sehingga dikemudian hari dapat dikembangkan
lebih lanjut pengamatan dan penelitian tentang sejarah orang-orang Arab ini,
dengan demikian akan diperoleh hasil yang lebih sempurna.
64
DAFTAR PUSTAKA
Assegaf, M. Hasyim. Derita Putri-Putri Nabi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2000.
Aziz, Abdul. Islam dan Masyarakat Betawi. Jakarta: PT. Logos Wacana
Ilmu, 2002.
Azra, Prof. Dr, Azyumardi. Islam Nusantara: Jaringan Ulama Global dan
Lokal. Bandung: Mizan, 2002.
Berg, L.W.C. van den. Le Hadramaut et. les Colonies Arabes Dans
L‟Archipel Indien. (Batavia: Imprimerie du Gouvernement, 1886). Terjemahan,
Rahayu Hidayat. Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, Jilid 3. Jakarta:
INIS, 1989.
Castle, Lance, The Ethnic Profile of Djakarta. New York: Cornell
University, 1967.
Cortesao, Armando. The Suma Oriental of Tome Pires: An Account of the
East From Read Sea to Japan, Writen in Malaka and India 1512-1644, Vol. 2.
London: The Hakluyt Sosiety, 1994.
Darmawijaya. Kesultanan Islam Nusantara. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2010.
Fadli HS, Ahmad ULAMA BETAWI: Studi Tentang Jaringan Ulama
Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20.
Jakarta: Manhalun Nasyi-in Press, 2011.
al-Gadri, Hamid. Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab di
Indonesia. Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988.
65
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. terjemahan Nugroho Notosusanto.
Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1983.
al-Haddad, Alwi bin Thahir. Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, Cet.
3. Jakarta: PT. Lentera Basritama, Cet, 1997.
Hasjmy, Prof. Dr, Ahmad. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia. Bandung: Al-Ma’arif, 1981.
Hendropuspito, D. Sosiologi Sistematik. Yogyakarta: Kanisius, 1989.
…………………. Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1989.
Jonge, Huub De and Kaptein, Nico. Trancending Borders: Arabs, Politics,
Trade and Islam in Southeast Asia. Leiden: KITLV Press, 2002.
Kesheh, Natalie Mobini. Hadrami Awakening: Kebangkitan Hadhrami di
Indonesia. Jakarta: Akbar, 2007.
…………………………… The Hadhrami awakening, community and
identity in the Netherlands East Indies, 1900-1942. New York: Cornell
Southeast Asia Program Publications, 1999.
Kiki, Rakhmad Zainal. ISLAM IBUKOTA: dari Kramtung hingga ke
Brussels. Jakarta: Jakarta Islamic Center, 2009.
al-Masyhur, Idrus Alwi. Sejarah, Silsilah dan Gelar Keturunan Nabi
Muhammad SAW. Di Indonesia, Singapura, Malaysia, Timur Tengah, India
dan Afrika, Cet. 2. Jakarta: Saraz Publishing, 2010.
Mauladdawilah, Abdul Qadir Umar. 17 Habaib berpengaruh di Indonesia.
Malang: Pustaka Bayan, 2010.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Cet. 8.
Jakarta: PT. Pustaka LP3ES, 1996.
66
Notosusanto, Nugroho. Hakekat Sejarah dan Metode Sejarah. Jakarta:
Mega Book Store, 1984.
Peter J.M and Kees Grijns. Jakarta Batavia: Socio-Cultural essay. Terj.
Gita Widya Laksmini dan Noor Cholis. Leiden: KITLV Press and Banana,
2000/2007
Pijper, G.F. Studien over de Geschiedenis van de Islam in Indonesia 1900-
1950. Terjemahan, Tudjimah dan Yessy Augusdin. Beberapa Studi tentang
Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950. Jakarta: UI-Press, 1985.
Renier, G.J. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. terjemahan Muin Umar.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Saidi, Ridwan, Orang Betawi dan Modernisasi Jakarta. Jakarta: LSIP,
1994.
Shahab, Alwi. Islam Inklusif: menuju sikap terbuka dalam beragama.
Bandung: Mizan, 1998.
Soekanto, Soejono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 2006.
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta,
2006.
Suminto, Aqieb. Politik Islam Hindia-Belanda. Jakarta: LP3ES, 1986.
Suryabrata, Sumadi, Metode Penelitian. Jakarta: CV. Rajawali, 1989.
Tjandrasasmita, Uka. Pertubuhan dan Perkembangan Kota-Kota Muslim
di Indonesia. Kudus: Menara Kudus, 2000.
67
Weber, Max. Die Protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus.
terjemahan, Yusup Priyasudiarja. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme.
Surabaya: Pustaka Promethea, 2000.
Arsip, Manuskrip dan Dokumen
al-Alawi, Sayyid Utsman bin Abdullah bin Yahya, “al-Qawanin asy-
syar‟iyyah li ahl al-majlis al-hukmiyyah wa al-ifta‟iyyah.” diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan judul, “Ini kitab segala aturan hukum syara
bagi ahli majlis syara dan majlis fatwa syara.” Batavia: Percetakan Sayyid
Utsman, 1881 M/1317 H.
…………………………………………………………., “Ishlah al-Hal bi
Thalab al-Halal.” Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, t.t.
Arsip Nasional RI, Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie, 1818-
1879. Batavia: Landsdrukkerij.
............................., Staadsblad van Nederlandsch-Indie 1816 Nomer 47.
Gobee, E. dan C. Adriaanse, Ambtelijke adviezen van C. Snouck
Hurgronje 1889-1936‟s-Gravenhage:Nijhoff. (Rijks Geschiedkundige
Publicatien, Kleine Serie 33, 34, 35), diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul, “Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa
Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia-Belanda 1889-1936.” Vol. IX.
Jakarta: INIS, 1990.
al-Hadhrami, Syaikh Salim bin Abdullah bin Sa’ad bin Sumair, “Safinatun
Najah Fiima Yajibu „ala Abdi li Maulah.” Batavia: T.pn., abad 13 H/19 M.
68
Hurgronje, C. Snouck. Verspreide Geschriften van C. Snouck Hurgronje
(Bonn dan Leipzig: Kurt Schroeder, 1924), diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan judul, “Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje.” vol. IX.
Jakarta: INIS, 1993.
………………………… “De Islam in Nederlandsch Indie.” V.G.IV ii
Kurt Schroeder and Leipzig, 1924.
Shahab, Ali Abu Bakar. ”ar-Rabithah al-Alawiyyah.” Batavia: koleksi
Pribadi, 1928.
Artikel Website dan Journal
Abushouk, Ahmad Ibrahim. “al-Man¯ar and the Hadhramı Elite in the
Malay-Indonesian World: Challenge and Response.” United Kingdom: Journal
Of The Royal Asiatic Society, 2007.
“Mindoro.” Sejarah Jakarta. Artikel diakses pada 4 Agustus 2014 dari
http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/168/batavia.
Majalah Terbitan Berkala
Azra, Prof. Dr, Azyumardi. “Hadhrami Scholars in the Malay-Indonesian
Diaspora.” Studia Islamika, Vol.2, No. 2, I.A.I.N. Syarif Hidayatullah, Jakarta,
1995.
Jamroni, “Masjid Bersejarah di Jakarta.” Majalah al-Turas Vol. 12 No.2,
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 2006.
Majalah al-Kisah, “Ulama Hadhrami di Tanah Betawi: Berdakwah
dengan Sepenuh Hati.” Majalah al-Kisah Edisi 26 tahun 2013
69
Majalah ar-Rabithah al-Alawiyah. “80 Tahun Daarul Aitam; Mengelola
Anak „Titipan‟ Rasulullah SAW.” Yayasan ar-Rabithah al-Alawiyah Daarul
Aitam, Jakarta, 2011.
Skripsi, Tesis dan Desertasi
Julianri. “Persatuan di kalangan Masyarakat Arab Indonesia.” Skripsi
Sarjana Sastra Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta.
1987.
Haikal, Husein. “Indonesia-Arab dalam Pergerakan Kemerdekaan
Indonesia (1900-1942).” Desertasi Phd, Univesitas Indonesia, 1986.
Shahab, Yasmin Zacky. “Masalah Integrasi Minoritas Arab di Jakarta.”
Skripsi Sarjana Antropologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta,
1975.
70
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 3.1. Data sensus penduduk di Hindia-Belanda Lampiran 4.1. Nasihat-Nasihat Snouck Hurgronje
semasa kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia-Belanda
Arsip Nasional RI, “Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie”. Gobee, E. dan C. Adriaanse, Ambtelijke adviezen van C.
(Batavia: Landsdrukkerij). Snouck Hurgronje 1889-1936‟s-Gravenhage:Nijhoff.
(Rijks Geschiedkundige Publicatien, Kleine Serie 33, 34, 35)
Arsip Nasional RI, “Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indie” Gobee, E. dan C. Adriaanse, “Nasihat-Nasihat
(Batavia: Landsdrukkerij). C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya
Kepada Pemerintah Hindia-Belanda 1889-
1936.” Vol. IX. (Jakarta: INIS, 1990)
71
Lampiran 4.2. AD/ART ar-Rabithah al-Alawiyyah
Koleksi Pribadi Ali Abu Bakar Shahab. ”ar-Rabithah al-Alawiyyah.” (Batavia: T.pn., 1928).
72
Lampiran 4.3. Kitab Ishlah al-Hal bi Thalab Lampiran 4.4. Kitab al-Qawanin asy-
al-Halal syar’iyyah li ahl al-majlis al-hukmiyyah
wa al-ifta’iyyah
Sayyid Utsman bin Abdullah bin Yahya, Sayyid Utsman bin Abdullah bin Yahya,
“Ishlah al-Hal bi Thalab al-Halal” “al-Qawanin asy-syar‟iyyah li
(Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, t.t) ahl al-majlis al-hukmiyyah wa al-ifta‟iyyah”
(Batavia: Percetakan Sayyid Utsman, 1881 M/1317 H)
Lampiran 4.5. Kitab Safinatun Najah Fiima Yajibu ‘ala Abdi li Maulah
Sayyid Salim bin Abdullah bin Sumair al-Hadhrami,
“Safinatun Najah Fiima Yajibu „ala Abdi li Maulah”
(Batavia: T.pn., abad 13 H/19 M)
73
Lampiran 3.2. Peta Kota Hadhramaut tempo dulu, Yaman Selatan
Koleksi Pribadi Ali Abu Bakar Shahab. “Abou Guecha: Politiek Satirisch Blad.” (Batavia: T.pn.,1908).
Lampiran 2.1. Peta Perkembangan Kota Batavia dari 1619 hingga 1900
Abdul Azis. Islam dan Masyarakat Betawi. (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2002).
74
Lampiran 2.2. Pelabuhan Tanjung Priok tempo dulu Lampiran 3.3. Suasana Kampung Arab tempo dulu
www.ryan-permana39s.blogspot.com www.Jakarta.go.id
www.poetrahermanto.blogspot.com www.elfriant.blogspot.com
75
Lampiran 4.6. Madrasah dan tempat perkumpulan Lampiran 4.7. Snouck Hurgronje bersama
Jamiat Kheir tempo dulu Para Pegawai Pemerintah Hindia-Belanda
www.ahmadtaufik.com Koleksi Pribadi Ali Abu Bakar Shahab. “Abou Guecha:
Politiek Satirisch Blad.” (Batavia:1908).
Lampiran 4.8. Suasana komplek Masjid Luar Batang tempo dulu
www.en.wikipedia.org www.jelajah-nesia-blogspot.com
76
Lampiran 4.9. Suasana aktivitas keagamaan di kampung kwitang tempo dulu
www.Indoculture.wordpress.com Abdul Qadir Umar Mauladdawilah. 17 Habaib berpengaruh
di Indonesia, (Malang: Pustaka Bayan, 2010).
www.warkopmbahlalar.com www.satuislam.wordpress.com
77
Lampiran 4.10. Masjid/Zawiyah bin Hamzah, Pekojan Lampiran 4.11. kedekatan Habib/Ulama
Tiga Serangkai Betawi bersama Para Kyai dn santri
www.Jakarta.go.id Abdul Qadir Umar Mauladdawilah. 17 Habaib berpengaruh
di Indonesia, (Malang: Pustaka Bayan, 2010).
Lampiran 4.12. Masjid Langgar Tinggi, Pekojan Lampiran 4.13. Panti Asuhan Daarul Aitam, Tanah Abang
www.kaskus.co.id www.indoplaces.com
78
Lampiran 4.14. Kedekatan Habib/Ulama Tiga Serangkai Betawi dengan Bung Karno dan Para Pejabat Negara
Abdul Qadir Umar Mauladdawilah. 17 Habaib berpengaruh di Indonesia, (Malang: Pustaka Bayan, 2010).