peranan dan kedudukan polri

130
Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Peranan dan Kedudukan POLRI

Peranan dan Kedudukan

POLRIdalam Sistem Ketatanegaraan

Indonesia

Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H

Dr. M. Gaussyah, S.H., M

.H

Diterbitkan Oleh:

Kemitraan bagi Pembaruan Tata PemerintahanJl. Wolter Monginsidi No. 3Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110, INDONESIATelp +62-21-7279-9566, Fax. +62-21-720-5260, +62-21-720-4916http://www.kemitraan.or.id

ISBN: 978-602-1616-04-8

Peranan dan KedudukanP

OLR

I dalam

Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Page 2: Peranan dan Kedudukan POLRI

Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H.

Peranan dan Kedudukan

POLRIdalam Sistem Ketatanegaraan

Indonesia

Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H

Dr. M. Gaussyah, S.H., M

.H

Diterbitkan Oleh:

Kemitraan bagi Pembaruan Tata PemerintahanJl. Wolter Monginsidi No. 3Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110, INDONESIATelp +62-21-7279-9566, Fax. +62-21-720-5260, +62-21-720-4916http://www.kemitraan.or.id

ISBN: 978-602-1616-04-8

Peranan dan KedudukanP

OLR

I dalam

Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Page 3: Peranan dan Kedudukan POLRI

ISBN: 978-602-1616-04-8

Kemitraan bagi Pembaruan Tata PemerintahanJl. Wolter Monginsidi No. 3Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110INDONESIATelp +62-21-7279-9566Fax. +62-21-720-5260, +62-21-720-4916http://www.kemitraan.or.id

Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Penulis : Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H.

Cetakan Pertama, Januari 2014

Page 4: Peranan dan Kedudukan POLRI

iii

KATA PENGANTARDirektur Eksekutif Kemitraan

Masa transisi demokrasi Indonesia saat ini menuntut negara dan alat negara untuk tampil lebih professional dan mandiri. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai salah satu alat negara yang memiliki kedudukan, tujuan, dan fungsi strategis dalam mewujudkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur. Polri juga berperan dalam menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) telah menetapkan status Polri melalui Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2000 dihasilkan dua ketetapan penting, yaitu Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Ketetapan MPR-RI Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kedudukan dua ketetapan tersebut semakin bermakna setelah adanya perubahan kedua terhadap Pasal 30 UUD 1945. Berdasarkan aturan-aturan hukum di atas, jelaslah bahwa Polri bukanlah militer dan bukan pula bertugas dalam bidang pertahanan negara–yang merupakan wilayah tugas tentara/militer. Upaya pemisahan Polri dan TNI dilakukan setelah reformasi di Indonesia. Pada era tersebut, kedudukan Polri semakin dipertegas, karena secara yuridis keberadaannya telah dipisahkan dari TNI. Polri menjadi ujung tombak perwujudan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Sesuai perkembangan ketatanegaraan Republik Indonesia dan pembaharuan hukum, khususnya pemisahan TNI dan Polri, ada beberapa konsekuensi hukum yang lahir. Pertama, Polri punya kuasa di bidang kepolisian preventif dan reprensif dalam

Page 5: Peranan dan Kedudukan POLRI

iv

rangka Criminal Justice System. Kedua, Polri berperan aktif memelihara keamanan dalam negeri. Ketiga, Polri berkedudukan langsung di bawah presiden, dimana Kepala Polri diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Sesuai dengan kedudukannya yang berada langsung di bawah presiden, dalam merumuskan susunan organisasi Polri pemerintah diharapkan memperhatikan bahwa Polri merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem ketatanegaraan Indonesia sehingga Polri merupakan Kepolisian Nasional. Pembagian daerah hukum Polri disusun menurut keperluan pelaksanaan tugas Polri yang diusahakan sesuai dengan pembagian wilayah administratif pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar dapat diwujudkan keselarasan dengan unsur Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) atau instansi lainnya dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan Susunan Polri tersebut ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Kapolri. Secara organisasi, Polri dipimpin oleh Kepala Polri yang menetapkan dan mengendalikan kebijaksanaan teknis kepolisian sesuai dengan kebijaksanaan presiden dengan memperhatikan saran dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat mengandung makna bahwa Polri adalah alat negara yang merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif yang tunduk pada kebijakan pemerintah (Presiden) dan implikasi yang timbul dari kedudukan polisi sebagai alat negara adalah mempunyai kedudukan yang mandiri dalam pelaksanaan tugasnya.

Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership for Governance Reform), yang didirikan tahun 2000, melalui hibah dari berbagai lembaga dan negara donor mendorong berbagai reformasi dalam tata kelola pemerintahan, salah satunya adalah mendorong terwujudnya iklim demokrasi yang akomodatif dan partisipatif. Karena itu, Kemitraan sangat mengapresiasi hasil penelitian Saudara M.Gaussyah dan berinisiatif untuk mempublikasikan hasil penelitiannya dalam bentuk buku. Buku ini setidaknya menggambarkan bahwa reformasi yang sedang bergulir di Indonesia belum selesai, masih banyak hal-hal yang perlu kita benahi dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik di Indonesia. Semoga buku ini dapat berguna sebagai pendorong munculnya gagasan-gagasan, regulasi, dan kebijakan inovatif dalam perwujudan Good Governance di Indonesia.

Jakarta, 3 Januari 2014

Wicaksono SarosaDirektur Eksekutif Kemitraan

Page 6: Peranan dan Kedudukan POLRI

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii

BAB I PENDAHULUAN 11.1 Latar Belakang Penelitian 11.2 Identifikasi Masalah 91.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian 91.4 Kerangka Pemikiran 101.5. Metode Penelitian 181.6 Sistematika Penulisan 21

BAB 2 KAJIAN TEORETIK TENTANG KEDUDUKAN POLRI SEBAGAI ALAT NEGARA PENEGAK HUKUM DAN KAMTIBMAS 232.1 Negara Berdasarkan Atas Hukum 232.2 Pembatasan Kekuasaan Melalui Konstitusi 292.3 Pembagian Kekuasaan dan Kedudukan Polri Sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas. 302.4 Istilah Polisi 32

BAB 3 TINJAUAN UMUM TERHADAP SEJARAH, KEDUDUKAN, TUGAS, DAN WEWENANG POLRI SERTA STUDI KOMPARATIF TENTANG KEDUDUKAN DAN FUNGSI KEPOLISIAN DI NEGARA INGGRIS DAN JEPANG 373.1 Sejarah Perkembangan POLRI 373.2 Kedudukan Polri dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia 413.3 Kedudukan Polri Dalam Kepolisian Internasional 43

Page 7: Peranan dan Kedudukan POLRI

vi

3.4 Tugas dan Wewenang POLRI 443.5 Kondisi Kemandirian Polri Saat Ini 463.6 Perkembangan Lingkungan Strategis 553.7 Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang 68

BAB 4 KAJIAN TERHADAP MAKNA DAN IMPLIKASI KEDUDUKAN POLISI SEBAGAI ALAT NEGARA DI DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM DAN KETERTIBAN DALAM MASYARAKAT 734.1 Kedudukan Polri Menurut UUD 1945 734.2 Kedudukan Polri Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia 784.3 Tantangan Tugas Polri Pada Era Reformasi 844.4 Pelaksanaan Kedudukan Polisi Sebagai Alat Negara yang Mandiri dan Profesional di dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat 954.5 Beberapa Pemikiran tentang Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Kedudukan Polri Sebagai Alat Negara dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat Serta Upaya-Upaya yang Dapat Dilakukan untuk Mengatasi Hambatan-hambatan Tersebut. 99

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 1155.1 Kesimpulan 1155.2 Saran-saran 116

DAFTAR PUSTAKA 117A. BUKU-BUKU 117B. DISERTASI, TESIS DAN MAKALAH 120C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 121D. KAMUS 121E. Sumber-sumber Lain (Artikel, Majalah, Jurnal dan Surat Kabar) 122

Page 8: Peranan dan Kedudukan POLRI

1Pendahuluan

1.1 Latar Belakang PenelitianPeranan hukum dalam mengatur kehidupan manusia sudah dikenal sejak

masyarakat mengenal hukum itu sendiri, sebab hukum itu dibuat untuk mengatur kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Hubungan antara masyarakat dan hukum diungkapkan dengan sebuah adagium yang sangat terkenal dalam ilmu hukum, yaitu ubi societas ibi ius, yang bermakna di mana ada masyarakat di sana ada hukum.

Hukum memegang peranan penting dalam perkembangan masyarakat; oleh karena itu tidak heran apabila peranan hukum mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pada masyarakat yang sederhana, hukum berfungsi untuk menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertiban (Kamtib). Selanjutnya fungsi ini berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat sendiri.

Dalam menjalankan fungsi menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) diperlukan institusi atau aparat penegak hukum. Dalam hal ini adalah lembaga kepolisian, sebagai suatu kelompok pekerja yang unik, yang menjalankan peran fungsional dan simbolik dalam masyarakat. Di dalam menjalankan peran yang demikian itu, lembaga kepolisian adalah pelindung kebebasan yang paling penting bagi perorangan atau kelompok. Namun secara paradoksal, diakui atau tidak, polisi juga dapat merupakan ancaman terhadap kebebasan.

Secara fungsional, polisi dituntut untuk melaksanakan tugas dengan sikap etis, adil, ramah, dan jujur di dalam memberikan pelayanan dan menjaga ketertiban, bukan sebagai tuan yang harus dilayani oleh masyarakat. Dalam menjaga ketertiban, polisi diberi wewenang untuk membatasi kebebasan gerak seseorang secara hukum.

BAB I

PENDAHULUAN

Page 9: Peranan dan Kedudukan POLRI

2 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Secara simbolis, polisi tidak hanya merupakan lambang sistem peradilan pidana yang paling jelas, namun lebih jauh dari itu polisi juga mewakili suatu sumber pembatasan yang sah dalam suatu masyarakat bebas. Kegiatan polisi dalam suatu masyarakat demokratis merupakan bentuk tugas polisi yang paling sulit. Karena polisi dituntut untuk dapat menciptakan dan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dalam kerangka kebebasan yang justru dijamin oleh demokrasi.

Dewasa ini hampir di mana pun di dunia, polisi berurusan dengan pekerjaan memelihara hukum dan ketertiban (law and order). Lebih khusus lagi memerangi kejahatan dalam masyarakat. Oleh karena spesialisasi dan pembagian kerja yang makin ketat dan rinci yang menjadi ciri masyarakat modern, maka pekerjaan polisi pun menjadi tidak mudah. Dalam hubungan ini, polisi dihadapkan kepada struktur birokrasi dan hukum modern yang semakin formal. Sekalipun polisi mengemban tugas memelihara hukum dan ketertiban, tetapi tugas itu tetap dilaksanakan dalam ruang lingkup dan mengikuti persyaratan yang disodorkan oleh struktur tersebut. Untuk mengatasi masalah yang dihadapi polisi (Polri) ke depan, harus diberikan aturan, peranan, dan kedudukan yang jelas serta tegas terhadap lembaga kepolisian.1

Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) merupakan salah satu alat negara yang memiliki kedudukan, tujuan dan fungsi penting serta strategis dalam mewujudkan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, yaitu mencapai masyarakat adil dan makmur. Untuk itu perlu dipahami pengertian Polri itu sendiri.

Secara konstitusional, Majelis Permusyawaratan Rakyat telah menetapkan status Polri melalui perubahan kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagaimana dimuat dalam Bab XII Pasal 30 ayat (2), ayat (4) dan ayat (5).Pasal 30 ayat (2): Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui

sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.

Pasal 30 ayat (4): Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum.

Pasal 30 ayat (5): Susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan keamanan negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan keamanan diatur dengan undang-undang.

Menurut bunyi Pasal 30 ayat (4) Undang Undang Dasar 1945, dapat diketahui bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga

1 Satjipto Rahardjo, Polisi dan Masyarakat Indonesia - Citra Polisi, Yayasan Obor Indonesia Jakarta, 1988, hlm. 174.

Page 10: Peranan dan Kedudukan POLRI

3Pendahuluan

Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas), bertugas melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum, yang akhirnya bertujuan untuk mencapai ketertiban hukum dan ketertiban sosial.2

Pengertian Kamtibmas menurut Pasal 1 angka 5 Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 adalah :

“Suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat”.

Pengertian Kamtibmas sebagaimana disebutkan di atas ialah bahwa Kamtibmas merupakan suatu kebutuhan dasar masyarakat yang menginginkan suasana aman, damai dan tertib dalam tata kehidupan. Hal ini berkaitan dengan harapan dan keinginan masyarakat yang mendambakan perasaan bebas dari ganguan fisik dan psikis, bebas dari rasa takut dan segala macam ancaman bahaya serta perasaan damai dan tenteram lahir dan bathin. Hak-hak tersebut adalah hak alami manusia berdasarkan hukum alam. Oleh karena manusia mempunyai hak yang dikenal sebagai bayangan hidup dari Tuhan, maka setiap individu mempunyai hak untuk berdaulat, hak untuk berada, hak untuk berfungsi dan hak untuk dilindungi.3

Dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2000 juga dihasilkan dua buah ketetapan yang amat penting artinya bagi Polri, yaitu Ketetapan MPR-RI No.VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Ketetapan MPR-RI No. VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kedudukan Tap MPR No.VI/MPR/2000 dan Tap MPR No. VII/MPR/2000 tersebut semakin bermakna setelah adanya perubahan kedua terhadap Pasal 30 UUD 1945.

Dalam Pasal 6 ayat (1) Tap MPR No. VII/MPR/2000 disebutkan bahwa Polri merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat; sedangkan Pasal 6 ayat (2) menyebutkan bahwa dalam menjalankan perannya, Polri wajib memiliki keahlian dan keterampilan secara profesional.

Dalam konteks ini, Kunarto4 menyatakan bahwa sebagai alat negara yang memiliki peranan dan tanggung jawab dalam bidang penegakan hukum di Wilayah

2 Bambang Poernomo, Pembangunan Hukum dalam Perspektif Ketertiban Sosial, Penerbit UII Press, Yogyakarta 1992,hlm.173

3 LaRouche, Apakah Demokrasi itu ?- Rencana Besar Menghancurkan Kekuatan Militer Di Amerika Latin (diterjemahkan oleh Sesko TNI), EIR News Service, Inc, Washinton DC, 1994, hlm. 242.

4 Kunarto, Perilaku Organisasi Polri, Cipta Manunggal, Jakarta,1997. hlm.36

Page 11: Peranan dan Kedudukan POLRI

4 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Polri haruslah bersikap profesional dan berwibawa dengan menganut prinsip bahwa hukum adalah di atas segala-galanya, keadilan dan kejujuran harus ditegakkan. Dalam melaksanakan tugasnya memelihara keamanan di dalam negeri, Polri haruslah dapat secara tepat dan akurat memanfaatkan segenap potensi bangsa terutama dengan melibatkan seluruh rakyat Indonesia sebagai bahagian dari unsur keamanan itu sendiri dengan menciptakan suatu kondisi bahwa setiap rakyat mampu untuk menjadi polisi bagi dirinya sendiri.

Kedudukan Polri sebagai alat negara adalah kedudukan Polri sebagai unsur sistem penyelenggara kekuasaan negara, unsur sistem keamanan, serta unsur sistem peradilan pidana yang masing-masing membawa konsekuensi-konsekuensi institusional serta organisasi tersendiri. Masalah itu lahir oleh karena dalam hubungannya dengan penyelenggaraan kekuasaan negara, Polri tentu akan berhadapan dengan berbagai bentuk dinamika masyarakat sipil. Sementara itu sebagai unsur keamanan, Polri harus bekerja dalam kerangka konsep dan operasi yang berlaku dikalangan Kepolisian dan sebagai sistem peradilan pidana, Polri bergerak sebagai ujung tombak, sekaligus penyeleksi dalam sebuah proses hukum.5

Polri sebagai institusi atau organisasi yang menjalankan fungsi sebagai alat negara harus menjalankan strategi negara, khususnya untuk kepentingan stabilitas serta pengendalian masyarakat sipil. Di samping itu, Polri harus pula merealisasikan kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan mewujudkan keadilan (hukum maupun sosial) dalam kondisi masyarakat yang demokratis.

Selain standar dan konvensi internasional di bidang hak-hak sipil dan politik, hak-hak sosial, ekonomi dan budaya, serta hak-hak kelompok-kelompok masyarakat (anak, perempuan, buruh,dll), secara internasional diakui juga oleh sejumlah konvensi serta prinsip yang dapat menjadi acuan bagi evaluasi orientasi dan pola kerja “alat negara” yaitu antara lain :6

1. Body of Principles for the Protection of All Persons under any form of Detention or Inprisonment;

2. Declaration on the Protection of All Person from being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment;

3. Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment;

4. Code of Conduct for Law Enforcement officials.

Dewasa ini, tugas polisi semakin kompleks, hal ini disebabkan oleh kemajuan teknologi yang berkembang dengan sangat pesat yang memicu terjadinya globalisasi dan modernisasi di segala bidang kehidupan. Modernisasi tidak hanya membawa

5 Kusumah, Mulyana W, Polisi Masa depan Dalam Perspektif Kriminologi-Polisi, Masyarakat dan Negara, Bigraf Publishing, Yogyakarta, 1995, hlm.153.

6 Ibid, hlm.154.

Page 12: Peranan dan Kedudukan POLRI

5Pendahuluan

dampak positif dalam bidang kehidupan, tetapi juga membawa dampak negatif terutama dalam bidang kejahatan/pidana. Meningkatnya intensitas kejahatan dan berbagai macam tindak kejahatan yang terjadi dengan berbagai modus operandinya memberikan suatu tantangan tugas baru yang lebih berat bagi Polri dalam mewujudkan Kamtibmas.

Ketika taraf kehidupan masyarakat masih sederhana, modus operandi kejahatan yang timbul pun tergolong sederhana (konvensional), seperti pencurian, pembunuhan biasa, penggelapan, perampokan, perkosaan, dan penipuan. Akan tetapi ketika modernisasi merasuki kehidupan masyarakat, maka intensitas kejahatan semakin tinggi dan modus operandi kejahatan semakin canggih pula. Tidak hanya itu, masalah kamtibmas pun semakin kompleks dan mutakhir. Dewasa ini, pembunuhan yang disertai dengan perampokan dan perkosaan merupakan berita pagi yang sudah biasa didengar atau dibaca. Begitu pula pencurian uang melalui pembobolan Anjungan Tunai Mandiri (ATM) melalui komputer pun sudah sering dilakukan, bahkan kasus terakhir pembobolan rekening kartu kredit warga negara asing yang dilakukan melalui akses internet oleh warga negara Indonesia cukup merepotkan Polri. Banyak lagi kejahatan yang lebih canggih dan modern yang dilakukan oleh petualang-petualang kejahatan yang tidak dapat diungkap dan ditangkap oleh pihak Polri.

Di lain pihak, masih lemahnya institusi Polri dalam menangani berbagai aksi kerusuhan dan pemberontakan yang terjadi di daerah-daerah menyebabkan institusi Polri dipandang sebelah mata oleh masyarakat, bahkan ironisnya oleh pemerintah sendiri, sehingga tidak jarang dalam menangani aksi kerusuhan dan pemberontakan, institusi Polri sering didahului atau dilangkahi oleh institusi militer. Seperti contoh dalam menangani kerusuhan di Ambon, Maluku, yang tampil ke depan terlebih dahulu adalah institusi militer, sehingga terjadi gesekan-gesekan di lapangan. Begitu pula halnya dengan pemberontakan di Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam), peranan Polri sebagai ujung tombak pencipta Kamtibmas kurang berfungsi secara baik. Hal ini dapat dilihat dari digelarnya operasi militer yang dikenal dengan operasi jaring merah pada saat diberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM) dari tahun 1989 sampai tahun 1998, dimana peran Polri diambil alih oleh institusi militer (TNI). Seharusnya dalam keadaan seperti itu, Polri menunjukkan perannya sebagai pewujud Kamtibmas (sebagai penanggung jawab keamanan dalam negeri) sesuai dengan bunyi Pasal 4 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 yang menyebutkan bahwa :

“Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.

Menurut ketentuan Pasal 30 Undang-undang Dasar 1945, Polri diberikan kedudukan dan peranan yang penting dan strategis dalam rangka perwujudan keamanan dan ketertiban masyarakat serta diberi tugas untuk melindungi,

Page 13: Peranan dan Kedudukan POLRI

6 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum. Suasana ketertiban yang mantap diperlukan oleh masyarakat yang menghendaki keadaan yang aman dan stabil.

Polri pada hakikatnya mempunyai tugas “melindungi” yang berbeda dengan Angkatan Perang. Secara prinsipil terdapat perbedaan tugas dan fungsi antara Angkatan Perang sebagai penegak kedaulatan dan Polri sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom dan pembimbing masyarakat sehingga kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan dan tugas serta kewenangannya dalam sistem pemerintahan berbeda, dalam arti tidak dapat disatukan.

Menurut Vollenhoven dan Recless, kalau ingin maju dan memiliki masyarakat yang berdisiplin tinggi, suatu negara harus memiliki kepolisian yang kuat dan tangguh. Kedua pakar hukum tersebut, mengembangkan teori Montesquieu yang membagi kekuasaan negara ke dalam tiga kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif atau yang lebih dikenal dengan teori Trias Politica. Namun teori Trias Politica ini menurut Vollenhoven7 masih perlu dikembangkan lagi, sehingga perlu menambah satu kekuasaan negara lagi menjadi empat kekuasaan negara (caturpraja),8 yaitu kepolisian sebagai pengawas sekaligus pemaksa undang-undang, agar undang-undang dipatuhi oleh segenap masyarakat sehingga ketertiban dan keamanan terpelihara, disiplin masyarakat terwujud serta dinamika kehidupan masyarakat berjalan dengan baik.

Sejak akhir abad ke-20 telah ada konstelasi tentang perubahan peran kepolisian dari lingkup penegakan hukum secara sempit ke arah lingkup yang lebih luas mencakup upaya memelihara ketertiban dan pelayanan sosial. Hal tersebut menuntut orientasi, dimensi dan topik baru mengenai peran kepolisian, yang gilirannya menuntut pula bahasan tentang penyesuaian organisasi dan kedudukan kepolisian dalam menyelenggarakan fungsinya.

Di Indonesia sekalipun fungsi kepolisian telah mengalami perkembangan dari lingkup penegakan hukum yang sempit ke arah lingkup yang lebih luas, namun dalam perjalanannya seringkali dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang meletakkan polisi pada sisi kepentingan bukan pada profesionalisme sesuai dengan visi dan misinya, sehingga fungsi kepolisian mengalami distorsi.

Distorsi fungsi kepolisian, tercermin pada tugas-tugas yang harus dilaksanakan. Tugas Polri pada masa yang lalu banyak diambil alih oleh beberapa institusi yang tidak memiliki wewenang kepolisian. Hal itu pula yang menyebabkan Polri didudukkan sebagai subordinat dari institusi yang tidak memiliki fungsi dan peran yang sama dengan kepolisian secara universal. Tugas kepolisian pada masa lalu,

7 Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 447.8 Van Vollenhoven membagi Hukum Administrasi Negara kedalam :

a. Regelaarsrecht = the law of the legislative process = Hukum Peraturan perundanganb. Bestuursrecht = the law of the government = Hukum Tata Pemerintahanc. Justitierecht = the law of the administration of justice = Hukum Acara Peradiland. Politierecht = the law of the administration of security = Hukum Kepolisian

Page 14: Peranan dan Kedudukan POLRI

7Pendahuluan

di satu sisi mengemban fungsi militer, dan di sisi lain fungsi kepolisian yang harus melindungi dan mengayomi masyarakat. Motto militer “ to kill or to be killed” harus disatukan dengan motto kepolisian “fight crime, help the delinquent, love humanity”. Secara filosofis hal tersebut satu sama lain sangat bertentangan.

Pada saat kedudukan Polri masih bagian dari ABRI, banyak masalah yang timbul sehingga dapat mengganggu stabilitas keamanan dan kredibilitas Polri di mata dunia internasional. Contoh masalah tersebut adalah ketidakberdayaan Polri membasmi sarang-sarang perjudian, peredaran narkoba, perampokan bersenjata, praktek prostitusi, dll. Hal ini dikarenakan oleh sebagian dari pelaku tindak pidana tersebut dilindungi oleh aparat militer (TNI), yang pada saat itu intervensi TNI terlalu kuat dalam menghalangi tindakan kepolisian. Di samping itu, pendidikan, latihan dan keterampilan yang diterima Polri sangat terbatas, bahkan sangat jarang mengirimkan anggotanya untuk mendapat pendidikan luar negeri karena sering diambil hak pendidikannya oleh TNI, bahkan untuk pendidikan intelijen dan pendidikan Interpol pun lebih didominasi oleh TNI. Pada akhirnya timbullah antipati, apatis dan rasa benci masyarakat terhadap Polri, yang dianggap tidak mampu mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Setelah Polri terpisah dari ABRI, masih banyak masalah yang dijumpai, antara lain ketidaksiapan Polri dalam mengantisipasi tindak pidana yang terjadi karena rendahnya sumber daya manusia Polri, keterbatasan sarana/prasarana operasional penunjang tugas seperti alat komunikasi, kendaraan bermotor, senjata api, dan alat khusus kepolisian. Bahkan fasilitas markas/kantor masih belum memadai. Tidak hanya itu, keterbatasan personil, pemahaman tugas anggota yang kurang memadai, anggaran yang terbatas, dan gaji yang kurang memadai membuat anggota Polri sering bertingkah tidak simpatik dan bahkan melanggar hukum. Ketidakjelasan kedudukan dan mekanisme pertanggungjawaban di tubuh Polri, mekanisme kepangkatan dan mutasi yang tidak jelas serta peran, fungsi dan kedudukan Polri yang kurang jelas menyebabkan institusi Polri masih kurang dihargai dan dihormati oleh masyarakat.

Dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, diatur tentang kedudukan Polri, yang menyatakan bahwa : “Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden”.

Ketentuan tersebut tidak menyebutkan secara tegas kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ada beberapa alternatif yang dapat dijadikan acuan tentang kedudukan Polri langsung di bawah Presiden, yaitu :1. Lembaga Khusus Pemerintah setingkat Kejaksaan Agung2. Departemen Kepolisian yang dipimpin oleh Menteri Kepolisian Negara Republik

Indonesia3. Lembaga Pemerintahan Non Departemen (LPND) yang dipimpin oleh Kapolri.4. Berada/sebagai bagian dari Departemen Dalam Negeri.

Dewasa ini, walaupun kedudukan Polri telah dinyatakan mandiri, yang biasa

Page 15: Peranan dan Kedudukan POLRI

8 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

dikenal dengan istilah kemandirian Polri, dalam kenyataannya tidak/belum terlaksana. Hal ini disebabkan masih kuatnya intervensi berbagai lembaga di luar Polri, termasuk intervensi pemerintah dalam proses operasional dan manajemen Polri. Ketidaktransparanan dalam finansial dan penyediaan sarana/prasarana untuk lembaga Polri dan tidak berfungsinya secara baik mekanisme kepangkatan dan dewan kepangkatan di tubuh Polri disebabkan oleh adanya rekayasa dari luar Polri. Pengaturan tentang kedudukan polisi sebagai alat negara di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat tersebut berada dalam ru-ang lingkup ilmu hukum tata negara. Hal ini sesuai dengan batasan hukum tata negara, yang antara lain sebagaimana dikatakan oleh Logemann, bahwa hukum tata negara (dalam arti yang sempit) adalah serangkaian kaidah hukum yang mengatur:9

1. jabatan-jabatan apakah yang terdapat dalam susunan ketata negaraan tertentu;

2. siapakah yang mengadakan jabatan-jabatan itu;3. bagaimanakah cara melengkapinya dengan pejabat;4. apakah tugasnya (lingkungan pekerjaannya);5. apakah wewenang hukumnya;6. perhubungan kekuasaannya satu sama lain;7. dalam batas-batas apakah organisasi negara (dan bagian-bagiannya)

menjalankan tugas kewajibannya.

Menurut batasan yang diberikan oleh Logemann tersebut, jelas bahwa pengaturan tentang wewenang hukum jabatan termasuk dalam bidang hukum tata negara. Kedudukan Polisi di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat merupakan kajian bidang hukum tata negara karena menyangkut mengenai jabatan-jabatan yang terdapat dalam susunan ketata negaraan Indonesia, juga mengatur mengenai tugas, wewenang, hubungan kekuasaan Polri dengan kekuasaan pemerintahan lainnya dan batas-batas Lembaga Polri menjalankan tugas kewajibannya.

Wade dan Bradley,10 berpendapat bahwa tugas serta wewenang lembaga-lembaga negara merupakan kajian bidang hukum ketatanegaraan. Demikian pula pendapat Hood Philips11, yang menegaskan bahwa, hubungan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya, pengaturan tugas dan kewenangan dari masing-masing lembaga negara merupakan ruang lingkup hukum ketatanegaraan. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan; bahwa kedudukan, tugas dan wewenang polisi sebagai alat negara di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat adalah masalah hukum dan kajian bidang Hukum Tata Negara Indonesia.

9 Sri Soemantri M, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987, hlm.143-14710 Ibid, hlm.145-14611 Ibid, hlm.146

Page 16: Peranan dan Kedudukan POLRI

9Pendahuluan

Sesuai dengan latar belakang perlu dilakukan penelitian terhadap Polri sebagai penegak hukum dan penjaga ketertiban dalam masyarakat.

1.2 Identifikasi MasalahBerkaitan dengan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas,

permasalahan dalam penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut :1. Apakah makna dan implikasi yang timbul dari kedudukan Polri sebagai alat

negara ?2. Apakah dengan kedudukan Polri sebagai alat negara dapat menjamin

terwujudnya penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat ?3. Faktor-faktor apakah yang mendukung dan menghambat kedudukan Polri

sebagai alat negara dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat serta upaya-upaya apakah yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut ?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1 Tujuan PenelitianPenelitian ini bertujuan untuk :1. Mengetahui kedudukan dan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia

secara yuridis dalam rangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat

2. Mengungkapkan peranan Polri dalam kedudukannya sebagai alat negara dalam upaya menjamin terwujudnya penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat.

3. Mengungkapkan faktor-faktor yang mendukung dan menghambat kedudukan Polri sebagai alat negara dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat serta mengungkap upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

1.3.2 Kegunaan Penelitian

1.3.2.1 Kegunaan Teoretis :Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan kegunaan bagi

pengembangan ilmu berupa kerangka teoritik tentang kedudukan Polri sebagai alat negara.

Page 17: Peranan dan Kedudukan POLRI

10 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

1.3.2.2 Kegunaan Praktis :Penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan kegunaan praktis

terutama menemukan faktor-faktor yang dapat mendukung dan menghambat kedudukan Polri sebagai alat negara dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat, serta upaya-upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

1.4 Kerangka PemikiranManusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup secara sendiri-sendiri dan

terpisah dari lingkungannya. Adanya keinginan untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya mengakibatkan manusia saling berhubungan antara satu dan lainnya. Agar terwujudnya keteraturan dan tercapainya tujuan bersama, diadakanlah aturan-aturan dan dipilih pemimpin di antara mereka.

Untuk mencapai tujuan bersama, maka setiap manusia perlu bernegara,12 oleh karena negara adalah suatu organisasi kekuasaan daripada manusia-manusia (masyarakat) dan merupakan alat yang akan dipergunakan untuk mencapai tujuan bersama itu. Tiap-tiap negara mempunyai tujuannya. Tujuan suatu negara bermacam-macam, antara lain :

a. untuk memperluas kekuasaan semata-mata;b. untuk menyelenggarakan ketertiban hukum;c. untuk mencapai kesejahteraan umum.Salah satu ajaran mengenai tujuan negara adalah ajaran negara hukum yakni

negara bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum dengan berdasarkan dan berpedoman pada hukum (Krabbe). Dalam negara hukum segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan atas hukum. Semua orang tanpa kecuali harus tunduk dan taat pada hukum, hanya hukumlah yang berkuasa dalam negara itu.

Pandangan tentang negara hukum dibagi dalam dua pengertian, yakni negara hukum dalam arti sempit/formal/klasik atau negara penjaga malam (nachtwakersstaat) dan negara hukum dalam arti luas/materiil/modern atau negara kesejahteraan (welfarestate). Negara hukum dalam arti sempit adalah pandangan dari mereka yang menganggap, bahwa suatu negara yang segala aksinya dibatasi oleh undang-undang yang dibuat dengan bantuan dewan perwakilan rakyat. Dalam pandangan negara hukum kuno dari filsuf-filsuf Jerman, antaranya Kant, maka negara hanya dipandang sebagai suatu negara penjaga malam (nachtwakersstaat). Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa negara sebagai sang penjaga malam, yang hanya bertindak untuk memukul dengan tongkatnya, apabila ketenteraman,

12 Kansil, C.S.T, Sistem Pemerintahan Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hlm. 14-15.

Page 18: Peranan dan Kedudukan POLRI

11Pendahuluan

ketertiban dan keamanan atau hak-hak asasi perseorangan terancam. Tugas negara hanya memelihara keamanan semata.13

Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan pasal tersebut memperjelas bahwa Indonesia adalah negara hukum yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat serta mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur. Selanjutnya disebutkan bahwa negara hukum menentukan alat-alat perlengkapan yang bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-peraturan yang ditentukan terlebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan itu.

Adapun ciri-ciri khas bagi suatu negara hukum adalah:14

a. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;b. Peradilan yang bebas dari pengaruh suatu kekuasaan atau kekuatan lain

yang tidak memihak;c. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.

Sri Soemantri M,15 mengemukakan bahwa unsur-unsur terpenting negara hukum ada empat, yaitu :

1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;

2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle).

Untuk menegakkan hukum diperlukan adanya institusi penegak hukum, salah satunya yaitu polisi.16 Polisi secara yuridis dapat mengambil alih tugas/fungsi negara sebagai pemelihara ketertiban dan penegak hukum. Rakyat tidak boleh bertindak sendiri dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Sebagai pengembangan lebih lanjut dari ajaran negara hukum adalah konsep negara kesejahteraan (welfare state/social service). Tujuan negara ini adalah mewujudkan kesejahteraan umum. Dalam hal ini negara dipandang sebagai alat belaka yang dibentuk manusia untuk mencapai tujuan bersama, kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara itu. Negara hukum dalam arti luas ini mempunyai

13 Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1983, hlm.9-10.14 Andi Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1999, hlm.9415 Sri Soemantri M, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 29-30.16 Istilah polisi merujuk baik pada orangnya atau lembaganya, adalah suatu badan / orang yang diberikan

kewenangan kepadanya untuk menegakan hukum dan menciptakan Kamtibmas. Perkataan polisi berasal dari kata Yunani politeia, yang dipergunakan untuk menyebut orang menjadi warga negara dari kota Athena, kemudian pengertian itu berkembang dan artinya berubah menjadi kota dan dipakai untuk menyebut semua urusan kota.

Page 19: Peranan dan Kedudukan POLRI

12 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

kewajiban yang lebih luas. Negara yang modern harus mengutamakan kepentingan seluruh masyarakatnya. Kemakmuran dan keamanan sosial, bukan hanya keamanan semata, yang harus dikejar kemakmuran seluruh lapisan masyarakat. Berdasarkan tugas pemerintah ini, maka penguasa zaman sekarang turut serta dengan aktif dalam mengatur pergaulan hidup khalayak ramai. Tindakan-tindakan pemerintah dewasa ini yang menjadi tujuan adalah kepentingan umum.

Negara kesejahteraan itu merupakan pengembangan dari ide negara hukum, yang oleh Kant dimanfaatkan sekedar untuk menegakkan keamanan dan ketertiban di masyarakat (rust en orde/Kamtibmas). Tidak mengherankan bahwa ide Kant dikenal dengan nama Negara Jaga Malam (Nachtwakerstaat) dimana pencapaian kesejahteraan masing-masing terserah pada warga masing-masing sesuai prinsip liberalisme (sempit) dengan persaingan bebasnya. Ide negara hukum ini berkembang dari Negara Hukum Liberal (Jaga Malam) ke Negara Hukum Formal; kemudian Negara Hukum Materiil dan yang terakhir sekarang ialah negara hukum dalam arti negara kemakmuran yang dikenal dengan sebutan : Wohlfahrtstaat, Social Service State, sociale Verzorgingsstaat, welfarestaat dan sebagainya.17

Konsep negara kesejahteraan secara tegas disebutkan dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa :

“...untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,...”

Subekti dalam bukunya yang berjudul “Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan “mengatakan, bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang dalam pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya. Keadilan itu kiranya dapat digambarkan sebagai suatu keadaan keseimbangan yang membawa ketentraman di dalam hati orang, dan jika diusik atau dilanggar akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan.18 Sebagai alat negara yang diberikan kewenangan untuk menegakan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat, polisi bertanggung jawab dalam menciptakan iklim kondusif, aman, tentram dan damai dalam masyarakat.

Sebagai alat negara yang berperan dan berfungsi menegakan hukum dan ketertiban masyarakat, polisi harus memainkan peran aktif dalam mewujudkan negara kesejahteraan. Salah satu syarat untuk dapat mewujudkan negara kesejahteraan oleh polisi adalah dengan memberikan kewenangan penuh kepada Polri sebagai penanggung jawab keamanan dalam negeri yang utama. Rumusan tentang hakekat

17 Padmo Wahjono, Asas Negara Hukum dan Perwujudannya Dalam Sistem Hukum Nasional (Sistem Hukum Nasional (Politik Pembangunan Hukum Nasional ), UII Press,Yogyakarta,1992, hlm.40

18 Kansil,C.S.T, Op.cit., Hlm 41

Page 20: Peranan dan Kedudukan POLRI

13Pendahuluan

permasalahan, maupun spektrum ancaman Kamdagri pada dasarnya adalah permasalahan dan urusan dalam negeri yang bersifat pelanggaran hukum termasuk pemberontakan-pemberontakan bersenjata yang masih berasal dan berskala dalam negeri. Mengingat luasnya permasalahan Kamdagri yang penangganannya harus menggerakkan seluruh unsur potensi masyarakat baik sebagai komponen dasar utama maupun pendukung diperlukan suatu kebijakan pemerintah yang memungkinkan Polri untuk dapat menggerakan dan mengendalikan segenap potensi kekuatan keamanan termasuk didalamnya unsur Angkatan Perang yang diperbantukan pada Polri, kebijakan tersebut adalah berupa reposisi Polri yang secara yuridis memberi kewenangan kepada Polri untuk menggerakan dan mengendalikan unsur-unsur Angkatan Perang dan komponen keamanan dalam negeri lainnya. Reposisi yang paling tepat untuk mendapatkan hasil yang efektif adalah dengan mendudukan lembaga Polri sebagai lembaga otonom setingkat Menteri, Panglima TNI atau Kejaksaaan Agung, serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Negara adalah organisasi kekuasaan, hal ini disebabkan karena setiap negara mempunyai pusat-pusat kekuasaan baik yang berada dalam suprastruktur politik maupun yang berada dalam infrastruktur politik. Sedangkan kekuasaan adalah suatu kemampuan untuk memaksakan kehendak kepada pihak lain atau kemampuan untuk mengendalikan pihak lain. Untuk membatasi kekuasaan itulah diadakan konstitusi, hal ini tidak lain untuk mengurangi tindakan sewenang-wenang dari pemegang kekuasaan, Power tends to corrupt, absolut power corrupt absolutely.

International Commission of Jurist telah menentukan syarat-syarat representative goverment under the rule of law (pemerintahan berdasarkan atas sistem perwakilan yang berdasarkan hukum), sebagai berikut :

1. Adanya proteksi konstitusional,2. Adanya pengadilan yang bebas dan tidak memihak,3. Adanya pemilihan umum yang bebas,4. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat,5. Adanya tugas oposisi,6. Adanya pendidikan civic.19

Adanya proteksi konstitusional ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan ketiga yang menyatakan bahwa : Negara Indonesia adalah negara hukum. Demikian pula di dalam Penjelasan Umum UUD 1945 tentang sistem Pemerintahan Negara, dimana dalam bagian II dikatakan : Pemerintahan berdasarkan atas sistem hukum dasar, tidak bersifat kekuasaan yang tidak terbatas (absolutisme).

Keberadaan konstitusi untuk membatasi kekuasaan dalam negara dapat dilihat

19 Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,1993, hlm.13

Page 21: Peranan dan Kedudukan POLRI

14 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

dari muatan konstitusi yang menurut Sri Soemantri20 sedikitnya memiliki 3 (tiga) muatan yaitu :

1. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia2. Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang mendasar3. Adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang

mendasar.Pengakuan adanya hak asasi manusia dalam konstitusi mempunyai arti

membatasi kekuasaan negara dari tindakan sewenang-wenang terhadap rakyat yang dikuasainya.

Konsep kenegaraan yang ditemukan dalam UUD 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat). Dalam negara yang berdasarkan hukum inilah keberadaan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang berperan sebagai penegak hukum, pengayom, pelindung, pembimbing dan pelayan masyarakat dalam mewujudkan kepastian hukum, mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat serta sebagai tulang punggung keamanan negara dalam menyelenggarakan pembangunan.

Secara konstitusional kedudukan polisi di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 setelah perubahan ketiga21 Pengaturan tentang kedudukan polisi dalam konstitusi menandakan bahwa lembaga Polri merupakan alat negara yang mempunyai kedudukan, tugas dan fungsi sebagai pewujud keamanan dan ketertiban masyarakat, di samping sebagai alat negara penegak hukum yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Criminal Justice System (CJS).

Salah satu unsur dari negara hukum yang tidak kalah pentingnya adalah adanya pembagian kekuasaan dalam negara. Pembagian tugas dan wewenang yang dimaksudkan adalah meliputi wewenang legislatif, wewenang eksekutif dan wewenang yudikatif. Mengenai masalah pembagian tugas dan wewenang ini, dapat dikemukakan gagasan yang dikemukakan oleh Charles de Secondat Montesquieu, seorang sarjana filsafat dan kenegaraan kelahiran Perancis, yang telah mendapat nama harum karena bukunya “L’esprit des Lois (Jiwa Undang-undang)”. Dalam buku ini (1748) Montesquieu, mengemukakan bahwa kekuasaan negara harus dibagi-bagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah-pisah (la separation des pouvoirs = pemisahan kekuasaan-kekuasaan). Ketiga kekuasaan itu ialah :

1. Kekuasaan membentuk undang-undang (Legislatif )2. Kekuasaan menjalankan undang-undang (Eksekutif )3. Kekuasaan mengadili pelanggaran-pelanggaran terhadap undang-undang

(Yudikatif ).22

20 Sri Soemantri M, Op.cit.,hlm.5121 Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 setelah perubahan ketiga menyatakan bahwa : Kepolisian Negara Republik Indonesia

sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakan hukum.

22 Solly Lubis, M., Hukum Tata Negara, CV Mandar Maju, Bandung, 1992, hlm.57.

Page 22: Peranan dan Kedudukan POLRI

15Pendahuluan

Menurut Montesquieu, ketiga kekuasaan tersebut harus dipisah-pisah demikian, sehingga yang satu terpisah dari yang lainnya, dan pemisahan ini perlu, supaya kekuasaan pemerintahan tidak terpusat pada satu tangan saja (raja). Dengan adanya pemisahan kekuasaan itu diharapkan akan dapat dicegah tindakan-tindakan sewenang-wenang dan bahkan kebebasan berpolitik dalam negara akan lebih terjamin.

Menurut Donner Trias Politica itu bertitik tolak pada perbedaan bentuk dari pelbagai macam tindakan penguasa saja. Karena itu lebih tepat jika orang bertitik tolak pada kenyataan, bahwa sesungguhnya semua kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh penguasa hanya meliputi dua bidang saja yang berbeda, yaitu :

1. bidang yang menentukan tujuan yang akan dicapai atau tugas yang akan dilakukan (bidang politik atau politics / policy making).

2. bidang yang menentukan perwujudan atau pelaksanaan dari tujuan atau tugas yang sudah ditetapkan itu (bidang pemerintahan atau bestuur).

Selanjutnya Vollenhoven berpendapat, bahwa dalam melaksanakan tugas negara dapat dibagi dalam empat fungsi yang lazim disebut caturpraja, yaitu :

1. regeling (membuat peraturan)2. bestuur (pemerintahan dalam arti sempit)3. rechtspraak (mengadili)4. politie (polisi).Pentingnya polisi dalam menjalankan tugas negara, menjadikan fungsi polisi

sebagai fungsi yang harus diatur sendiri dalam suatu lembaga kepolisian. Begitu pula halnya di Indonesia, yang mengedepankan polisi sebagai alat negara yang menegakkan hukum dan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, sehingga sangat patut menempatkan polisi dalam suatu institusi sendiri yang mandiri dan otonom.

Indonesia tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan, tetapi menganut pembagian kekuasaan. Pengertian pembagian kekuasaan adalah berbeda dari pengertian pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti bahwa kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagian, baik mengenai orangnya maupun mengenai fungsinya. Pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian, tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa di antara bagian-bagian itu dimungkinkan adanya kerja sama.23

Polri adalah alat negara yang merupakan salah satu bagian dari fungsi eksekutif (pelaksana undang-undang). Adanya intervensi terhadap kedudukan, peran dan fungsi Polri termasuk intervensi dalam pengangkatan Kapolri oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)24 adalah salah satu bentuk intervensi politik yang

23 Kusnardi, Moh & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, Pusat Studi HTN FH UI dan CV. Sinar Bakti, Jakarta,1988, hlm 140

24 Pasal 11 ayat (1) UU No. 2/2002 menyatakan bahwa Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan

Page 23: Peranan dan Kedudukan POLRI

16 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

menghambat kemandirian Polri. Kedudukan lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam eksekutif dapat dilihat dari ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden, dan ketentuan Pasal 8 ayat (2) yang menyatakan bahwa Polri dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sebagai bagian dari eksekutif, polisi bertanggung jawab atas Penegakan Hukum (Gakkum) dan ketertiban dalam masyarakat. Polri sebagai bagian terpenting dalam sistem pemerintahan negara (eksekutif ) yang mempunyai wewenang dan fungsi pewujud keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), yang harus siap menjaga dan menjamin keamanan serta ketertiban masyarakat akibat perubahan-perubahan yang terjadi, perlu melakukan langkah-langkah strategik berupa intropeksi yang cermat terhadap kedudukannya, fungsinya, peran dan wewenangnya agar polisi (Polri) benar-benar tetap dapat menempatkan dirinya sebagai pembimbing, pelindung, pengayom dan penegak hukum yang profesional, efektif, efisien, modern dan handal.

Untuk menentukan sikap dalam memanfaatkan semangat reformasi yang bergulir saat ini, perlu dilakukan secara strategis dan realistis dengan mempertimbangkan secara sungguh-sungguh tentang peluang dan kendala yang akan dihadapinya. Pertimbangan tersebut, haruslah didasarkan pada kepentingan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan tugas-tugas Polri. Hendaknya permasalahan ini tidak hanya ditinjau dari segi kepentingan Polri semata, tetapi juga dari sudut kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan nasional.

Sejalan perkembangan situasi yang melahirkan tuntutan reformasi agar Polri mandiri terlepas dari campur tangan politik maupun sebagai perpanjangan alat kekuasaan murni sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, pelopor dalam penegakan hukum yang selalu berpegang pada kebenaran, keadilan, dan keterbukaan serta menuntut perlunya dilakukan upaya-upaya pemberdayaan tentang kedudukan, fungsi dan peranan Polri sehingga dapat memenuhi harapan masyarakat dalam mengemban tugasnya sebagai alat negara penegak hukum inti pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam penanganan masalah-masalah keamanan dalam negeri.

Pengertian keamanan erat sekali hubungannya dengan tugas polisi. Keamanan dalam kamus bahasa Indonesia dapat diatikan sebagai suatu perasaan tenteram, tidak merasa takut, khawatir atau berbahaya atau suatu keadaan yang sentosa (tidak ada sesuatu yang menakutkan atau membahayakan), keamanan, ketenteraman, keadaan yang aman.25 Melalui istilah asing dapat ditemukan beberapa istilah dari kata keamanan tersebut seperti istilah Security Council dan National Security.

Mengenai paham dan pandangan tentang keamanan di dapatkan pula di dalam

persetujuan DPR.25 Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1952, hlm.28.

Page 24: Peranan dan Kedudukan POLRI

17Pendahuluan

konsepsi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tata Tenteram Karta Raharja, dimana disebutkan bahwa arti aman mengandung 4 (empat) unsur pokok yakni :

1. Security : adalah perasaan bebas dari ganguan baik fisik maupun psykis.2. Surety : adalah perasaan bebas dan kekhawatiran.3. Safety : adalah perasaan bebas dari risiko.4. Peace : adalah perasaan damai lahiriah dan bathiniah26

Keempat unsur tersebut menimbulkan kegairahan kerja dan akhirnya tercapai kesejahteraan masyarakat materiil dan spirituil. Paham keamanan yang dianut di Indonesia mengandung dua pengertian yaitu keamanan dan kesejahteraan.

Mewujudkan ketertiban masyarakat adalah salah satu tugas polisi yang paling utama disamping penegakan hukum. Istilah ketertiban masyarakat dapat ditemukan dalam rangkaian kata Kamtibmas, sedangkan istilah ketertiban umum atau openbare orde diartikan sebagai Normale rechtsniveau atau tingkat ketenangan yang normal. Tingkat ketenangan yang normal ini dapat tercapai apabila keselamatan ditempat umum dapat terjamin.

Menurut Zevenbergen dalam bukunya Formele Encyclopaedie derrechtwetenschap dinyatakan bahwa openbare orde ada sangkut pautnya dengan masyarakat dimana tiap anggotanya tahu akan kewajibannya dan tidak melanggar kepentingan orang lain.27 Dalam doktrin Kepolisian Negara Republik Indonesia Tata Tenteram Kerta Raharja dinyatakan bahwa tertib dan ketertiban adalah : “ Suatu keadaan, dimana terdapat keadaan keamanan dan ketertiban yang menimbulkan kegairahan dan kesibukan bekerja dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat seluruh sesuai dengan doktrin Kepolisian Tata Tenteram Kerta Raharja.”28

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa:

Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah dan menangulangi segala bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.

Mengingat luasnya permasalah keamanan dan ketertiban masyarakat yang penanganannya harus menggerakkan seluruh potensi masyarakat baik sebagai komponen dasar utama maupun pendukung, diperlukan suatu kebijakan pemerintah yang memungkinkan Polri untuk menggerakkan dan mengendalikan segenap

26 Momo Kelana, Hukum Kepolisian, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta,1994, hlm.3527 Ibid, hlm.3828 Soenito Djojosoegito, Pokok Pelaksanaan Tugas Kepolisian RI, Cetakan Ketiga, PT Gramedia Widiasarana Indonesia,

Jakarta, 1970, hlm 43.

Page 25: Peranan dan Kedudukan POLRI

18 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

potensi kekuatan keamanan termasuk didalamnya unsur Angkatan Perang yang diperbantukan pada Polri, kebijakan tersebut adalah berupa reposisi Polri yang secara yuridis memberi kewenangan kepada Polri untuk menggerakkan dan mengendalikan unsur-unsur Angkatan Perang dan komponen keamanan dalam negeri lainnya, dan reposisi yang paling tepat untuk mendapatkan hasil yang optimal dan efektif adalah dengan cara mensejajarkan kedudukan Polri setingkat Menteri dan Panglima TNI serta Jaksa Agung, dalam suatu Lembaga Khusus Pemerintah yang otonom serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Untuk mempermudah pemahaman tentang kerangka pemikiran tersebut di atas, maka dibuat bagan kerangka pemikiran sebagai berikut :

Bagan I : Kerangka Pemikiran

1.5. Metode Penelitian

1.5.1 Objek dan Metode PenelitianObjek penelitian ini pada dasarnya sekitar peraturan perundang-undangan yang

berkaitan erat dengan Polri. Selain itu juga akan dilihat bagaimana pelaksanaan peraturan tersebut di lapangan. Berkenaan dengan objek penelitian ini, maka tipe penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.29 Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis, yang dilakukan dengan cara meneliti data sekunder berupa:30

29 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm.1030 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Normatif, Rajawali Pers, Jakarta,1985, hlm.14

Pemisahan kekuasaan

Dwipraja Catur praja Arti SempitTrias Politica

Pembangunan

Ketertiban

Polisi

Arti luas Negara Kesejahteraan

Negara Hukum

Page 26: Peranan dan Kedudukan POLRI

19Pendahuluan

1) Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat berupa UUD 1945, Ketetapan-ketetapan MPR RI dan Undang-undang yang berkaitan dengan Polri beserta peraturan pelaksanaannya.

2) Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan kejelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku yang ditulis oleh para pakar hukum dan ahli ilmu kepolisian, dan makalah-makalah.

3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, bibliografi, dan indeks.Untuk mendukung akurasi data, dipergunakan pula pendekatan yuridis historis,

yaitu dengan meneliti sejarah hukum yang dapat mengungkapkan perkembangan dan latar belakang pengaturan tentang Polri dalam peraturan perundang-undangan.

Di samping itu, pendekatan yuridis sosiologis dipergunakan juga untuk dapat mengungkapkan bagaimana peranan, fungsi, tugas dan kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia itu dapat terlaksana sesuai dengan peraturan yang mengaturnya serta faktor-faktor apa saja yang menghambat di dalam pelaksanaannya.

Untuk melengkapi pendekatan penelitian, dipergunakan juga pendekatan yuridis komparatif yang berguna untuk mengungkapkan perbandingan pengaturan terhadap Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian Negara Inggris, dan Kepolisian Negara Jepang.

1.5.2 Teknik Pengumpulan DataUntuk memperoleh data dalam penelitian ini dilakukan dengan 2 (dua) cara,

yaitu :

1.5.2.1 Penelitian Kepustakaan (Library Research)Penelitian ini dilaksanakan guna mendapatkan data-data sekunder,

melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, karya-karya penelitian, tulisan-tulisan para pakar hukum dan ahli ilmu kepolisian yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

1.5.2.2 Penelitian Lapangan (Field Research)Penelitian lapangan ini dilaksanakan untuk memperoleh data primer.

Hal ini diperoleh dengan cara melakukan wawancara dengan informan dan responden yang terdiri dari Perwira Tinggi, Perwira Menengah, Perwira Pertama, Bintara, Tamtama dan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia mulai dari tingkat Markas Besar Polri, Polda, Polwil, Polres dan Polsek, tokoh masyarakat dan pemerhati kepolisian. Wawancara dilakukan terhadap Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), Inspektoral Jenderal Polri (Irjen Polri), Deputi Operasional Polri (Deops Polri), Assisten Personil Polri (Aspers Polri), Kepala Dinas Penelitian dan

Page 27: Peranan dan Kedudukan POLRI

20 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Pengembangan Polri (Kadis Litbang Polri), Kepala Dinas Hukum Polri (Kadis Kum Polri), Kepala Dinas Informasi dan Pengolahan Data Polri (Kadis Infolahta Polri) pada tingkat Markas Besar Polri. Pada satuan kewilayahan Polda, wawancara dilakukan terhadap Kapolda/Waka Polda, Asrena dan Kadit/Sesdit fungsi yang terdiri atas fungsi Serse, Lantas, Bimmas, Sabhara, Personil, dan Intel Pam Polri.

Ditingkat Polwil / Polwiltabes, wawancara dilakukan terhadap Kapolwil / Kapolwiltabes atau Wakapolwil / Wakapolwiltabes, Pemegang Kas (Pekas), Kepala Bagian fungsi yang terdiri atas fungsi Serse, Lantas, Bimmas, Sabhara, dan Intel Pam Polri; sedangkan ditingkat Polres/Polresta/Poltabes/Polres metro, wawancara dilakukan terhadap Kapolres / Kapolresta / Kapoltabes / Kapolres Metro atau Wakapolres / Wakapolresta / Wakapoltabes / Wakapolres Metro. Ditingkat Polsek / Polsekta / Polsektif / Polsek metro, wawancara dilakukan terhadap Kapolsek / Kapolsekta / Kapolsektif / Kapolsek Metro atau Wakapolsek / Wakapolsekta / Wakapolsektif / Wakapolsek metro. Penentuan sampel dilakukan secara purposive.

1.5.3 Analisis DataData-data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan dan kepustakaan

tersebut akan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif dimaksudkan guna mengungkapkan hasil penelitian dan hasil sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal dari bahan-bahan hukum,31 yang dituangkan dalam bentuk rumusan-rumusan dan uraian-uraian.

1.5.4 Lokasi PenelitianPenelitian dilaksanakan di Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia

di Jakarta dan di 20 (dua puluh) Kepolisian Daerah (POLDA) diseluruh Indonesia mulai dari tingkat Markas Polda (Mapolda), Markas Polwil (Mapolwil), Markas Polres (Mapolres) dan Markas Polsek (Mapolsek), lokasi penelitian tersebut adalah :

1. Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (MABES POLRI) di Jakarta2. POLDA Metro Jaya (beserta jajarannya)3. POLDA Jawa Barat (beserta Jajarannya)4. POLDA Yogyakarta (beserta jajarannya)5. POLDA Bali (beserta jajarannya)6. POLDA Kalimantan Barat (beserta jajarannya)7. POLDA Jawa Timur (beserta jajarannya)8. POLDA Sulawesi Tengah (beserta jajarannya)9. POLDA Aceh (beserta jajarannya)

31 Ibid, hlm. 19

Page 28: Peranan dan Kedudukan POLRI

21Pendahuluan

10. POLDA Sulawesi Selatan (beserta jajarannya)11. POLDA Kalimantan Timur (beserta jajarannya)12. POLDA Irian Jaya (beserta jajarannya)13. POLDA Sumatera Utara (beserta jajara)nnya14. POLDA Sulawesi Utara (beserta jajarannya)15. POLDA Jawa Tengah (beserta jajarannya)16. POLDA Sumatera Barat (beserta jajaranya)17. POLDA Sumatera Selatan (beserta jajarannya)18. POLDA Lampung (beserta jajarannya)19. POLDA Jambi (beserta jajarannya)20. POLDA Maluku (beserta jajarannya)21. POLDA Riau (beserta jajarannya)

Adapun yang dimaksud dengan POLDA beserta jajaran adalah kesatuan-kesatuan kewilayahan yang berada dalam ruang lingkup wilayah hukum Kepolisian Daerah dan kesatuan kewilayahan di bawah Kepolisian Daerah yang meliputi Kepolisian Wilayah (Polwil), Kepolisian Resort (Polres) dan Kepolisian Sektor (Polsek).

1.6 Sistematika PenulisanGuna mempermudah pembahasan, maka tesis ini disusun berdasarkan

sistematika sebagai berikut :BAB I : Mengemukakan latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan

dan kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Mengemukakan kajian teoretik tentang kedudukan Polri sebagai alat negara penegak hukum dan Ketertiban dalam masyarakat, yang didahului dengan kajian negara berdasarkan atas hukum, pembatasan kekuasaan melalui konstitusi, pembagian kekuasaan dan kedudukan Polri sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat serta istilah polisi.

BAB III : Mengemukakan tinjauan umum terhadap sejarah, kedudukan, tugas dan wewenang Polri serta studi komparatif tentang kedudukan dan fungsi kepolisian di Negara Inggris dan Jepang, yang didahului dengan sejarah perkembangan Polri sebelum dan sesudah reformasi. Selanjutnya dikemukakan tentang kedudukan Polri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kedudukan Polri dalam kepolisian internasional, tugas dan wewenang polri, kondisi kemandirian Polri saat ini yang meliputi aspek struktural, instrumental dan kultural, dikemukakan pula perkembangan

Page 29: Peranan dan Kedudukan POLRI

22 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

lingkungan strategis, yang meliputi lingkungan global, regional, dan nasional serta strategi penataan kedudukan organisasi Polri dan diakhiri dengan studi komparatif tentang kedudukan dan fungsi kepolisian di Negara Inggris dan Jepang.

BAB IV : Mengemukakan kajian terhadap makna dan implikasi kedudukan Polri sebagai alat negara di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat. Pada bagian awal dikemukakan tentang kedudukan Polri menurut UUD 1945 dan menurut UU No. 2 Tahun 2002. Selanjutnya dikemukakan tentang tantangan tugas Polri pada era reformasi, yang mengemukakan Polri sebagai alat negara penegak hukum dan inti Binkamtibmas, Polri sebagai salah satu bagian dari unsur Criminal Justice system, dan pemberdayaan peran Polri sebagai ujung tombak penanganan masalah keamanan dalam negeri. Dikemukakan pula tentang pelaksanaan kedudukan polisi sebagai alat negara yang mandiri dan profesional di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat serta beberapa pemikiran tentang faktor-faktor pendukung dan penghambat kedudukan Polri sebagai alat negara dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat serta upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

BAB V : Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan merupakan hasil kajian dari bab-bab sebelumnya yang dipadukan dengan identifikasi masalah. Terakhir dikemukakan saran-saran yang ada relevansinya dengan penelitian ini.

Page 30: Peranan dan Kedudukan POLRI

23Kajian Teoretik tentang Kedudukan POLRI sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas

2.1 Negara Berdasarkan Atas HukumMenurut fitrahnya manusia adalah makhluk sosial. Ia tidak dapat hidup secara

sendiri-sendiri dan terpisah dari lingkungannya. Aristoteles, seorang filsof yang hidup pada masa Yunani Kuno, menyatakan bahwa manusia itu menurut fitrahnya adalah makhluk yang bermasyarakat (man is by nature a political animal). Dalam ajarannya, Aristoteles menyatakan lebih lanjut bahwa manusia itu adalah Zoon Politicon.32 Artinya, manusia sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin berkumpul dengan sesama manusia lainnya. Jadi manusia adalah makhluk yang suka bermasyarakat. Oleh karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lain, manusia disebut makhluk sosial.33 Demikian pula penegasan Hugo de Groot (Grotius) bahwa manusia mempunyai hasrat yang terpuji yang disebut hasrat bermasyarakat (appetitus societatis). Untuk terwujudnya keteraturan dan tercapainya tujuan bersama, diadakanlah aturan-aturan dan dipilih pemimpin di antara mereka.

Adanya anggota masyarakat, pemimpin, dan aturan-aturan yang mengatur tingkah laku di antara manusia, lama kelamaan menjadi besar dan semakin kompleks sehingga pada akhirnya lahir kelompok manusia yang bernaung dalam suatu negara. Negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang terdiri atas manusia-manusia dan merupakan alat yang akan dipergunakan untuk mencapai tujuan bersama. Setiap negara mempunyai tujuannya masing-masing. Dalam negara yang modern, biasanya tujuan negaranya tercantum dalam konstitusi atau undang-undang dasarnya.

Ada bermacam-macam tujuan suatu negara, di antaranya, untuk memperluas

32 Sjachran Basah, Ilmu Negara -Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hlm. 104.

33 Kansil, C.S.T., Loc.cit, hlm. 29.

BAB 2

KAJIAN TEORETIK TENTANG KEDUDUKAN POLRI SEBAGAI ALAT NEGARA PENEGAK HUKUM DAN KAMTIBMAS

Page 31: Peranan dan Kedudukan POLRI

24 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

kekuasaan, menyelenggarakan ketertiban hukum, mencapai kesejahteraan umum, dan melindungi warga negaranya dari ancaman dan gangguan pihak luar. Salah satu ajaran mengenai tujuan negara adalah ajaran negara hukum yang dipelopori oleh Krabbe, yakni negara bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum dengan berdasarkan dan berpedoman pada hukum.

Pandangan tentang negara hukum dibagi dalam dua pengertian, yakni negara hukum dalam arti sempit/formal/klasik atau negara penjaga malam (nachtwakersstaat) dan negara hukum dalam arti luas/materil/modern atau negara kesejahteraan (welfarestate). Negara hukum dalam arti sempit adalah pandangan mereka yang menganggap bahwa suatu negara yang segala aksinya dibatasi oleh undang-undang yang dibuat dengan bantuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dalam pandangan negara hukum kuno dari filsuf-filsuf Jerman, di antaranya Kant, negara hanya dipandang sebagai suatu negara penjaga malam (nachtwakersstaat). Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa negara sebagai sang penjaga malam, yang hanya bertindak untuk memukul dengan tongkatnya, apabila ketenteraman, ketertiban dan keamanan atau hak-hak asasi perseorangan terancam. Tugas suatu negara hukum klasik tidak lain adalah mempertahankan dan melindungi ketertiban sosial dan ekonomi berdasarkan asas “laissez faire laissez aller” yang berarti bahwa biarlah setiap anggota masyarakat menyelenggarakan sendiri kemakmurannya, negara jangan ikut campur tangan.34

Dalam suatu negara hukum klasik, tugas negara tidak luas. Negara hanya bertugas membuat dan mempertahankan hukum tertulis atau hanya menjaga keamanan dalam arti sempit. Negara hanya berfungsi sebagai penjaga malam (nachtwaker). Oleh karena itu, negara hukum klasik dikenal dengan sebutan “nachtwakersstaat”. Negara melakukan reaksi apabila adanya pengaduan atau laporan dari warga jika terjadi ancaman atau hal-hal yang membahayakan warga. Singkatnya, tindakan negara adalah pasif tapi represif.

Berbeda dengan negara hukum klasik, negara hukum modern mempunyai ruang lingkup tugas yang luas. Negara harus melaksanakan dan mengutamakan kepentingan seluruh rakyat. Negara dituntut harus menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan, keamanan, dan ketertiban serta melindungi seluruh rakyat dari ancaman dan bahaya, baik yang datang dari dalam maupun dari luar.

Negara hukum modern bersifat aktif dan responsif. Sebagai pengembangan lebih lanjut dari ajaran negara hukum adalah konsep negara kesejahteraan (welfare state/social service). Tujuan negara ini adalah mewujudkan kesejahteraan umum. Dalam hal ini negara dipandang sebagai alat belaka yang dibentuk manusia untuk mencapai tujuan bersama, yaitu kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat negara tersebut.

Istilah negara hukum yang diperkenalkan di Eropa Kontinental disebut dengan

34 Andi Mustari Pide, Loc. Cit., hlm. 46.

Page 32: Peranan dan Kedudukan POLRI

25Kajian Teoretik tentang Kedudukan POLRI sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas

rechtsstaat (negara hukum) yang merupakan kebalikan dari machtsstaat (negara kekuasaan). Istilah tersebut tidak dikenal di negara-negara Anglo-Saxon. Di Inggris, dipergunakan istilah Rule of Law untuk penyebutan negara hukum. Menurut Dicey35, istilah Rule of Law memiliki tiga arti :(1) Rule of law itu berarti supremasi yang mutlak atau keutamaan yang absolut dari

hukum. Rule of Law diadakan untuk menghindari terjadinya tindakan sewenang-wenang atau kekuasaan yang berlebihan dari negara.

(2) Rule of Law berarti adanya kewajiban yang sama dari setiap warga negara untuk mentaati hukum yang sama pula. Dalam arti ini, Rule of Law menolak gagasan tentang adanya perlakuan yang berbeda terhadap orang-orang tertentu dalam proses peradilan.

(3) Rule of Law dapat dipergunakan sebagai formula untuk merumuskan fakta, bahwa di Inggris, hukum konstitusi yang di negara-negara lain dicantumkan dalam Undang Undang Dasar, bukanlah sumber hukum, melainkan konsekuensi dari hak asasi manusia yang harus dihormati dan dijunjung tinggi.

Dari rumusan yang dikemukan Dicey di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur Rule of Law itu adalah :

(1) Supremacy of the law (supremasi hukum)(2) Equality before the law (kedudukan yang sama didepan hukum)(3) Constitution based on human rights (Hak-hak asasi tidak bersumber pada

konstitusi atau undang-undang dasar)36

Paham Dicey ini adalah sebagai lanjutan dari ajaran Locke yang berpendapat bahwa manusia sejak dilahirkan telah mempunyai hak asasi dan tidak semua hak asasi itu diserahkan kepada negara dalam bentuk kontrak sosial. Bagaimana ia menyerahkan seluruh hak-hak asasinya kepada negara sedangkan ia masih hidup, justru ia harus mempertahankannya, dan negara melindunginya.

Pasal 1 ayat (3) Perubahan Ketiga UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan pasal tersebut memperjelas bahwa Indonesia adalah negara hukum yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat serta mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur. Selanjutnya, disebutkan bahwa negara hukum menentukan alat-alat perlengkapan yang bertindak menurut dan terikat kepada peraturan-peraturan yang ditentukan terlebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan itu.

Alat-alat perlengkapan yang dikuasakan untuk mengadakan peraturan, baik yang berasal dari kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudikatif harus dapat mengawasi dan melaksanakan peraturan yang telah dibuatnya. Untuk itu, harus

35 Dicey, A.V., Introduction to the Law of The Constitution, ECS Wade, London, 1939, hlm.202.36 Ibid, hlm.48-49.

Page 33: Peranan dan Kedudukan POLRI

26 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

diadakan pembagian tugas, fungsi, dan wewenang. Semua pihak harus menjunjung tinggi hukum tanpa kecuali.

Adapun ciri-ciri khas bagi suatu negara hukum adalah: (1) Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;(2) Peradilan yang bebas dari pengaruh suatu kekuasaan atau kekuatan lain yang

tidak memihak;(3) Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.

Menurut Friedrich Julius Stahl,37 suatu negara hukum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :(1) Negara hukum itu tidak hanya negara yang mempertahankan tata hukum

semata;(2) Negara hukum itu bukan hanya melindungi hak-hak asasi manusia secara statis;(3) Negara hukum mempunyai cara dan watak yang dinamis, yang mengatur jalan

dan batas-batas kegiatannya; (4) Dinamika dan kegiatan dari negara hukum mengarah kepada tujuan tertentu,

yaitu menetapkan secermat-cermatnya dan menjamin sekuat-kuatnya lingkungan kebebasan warga negara menurut cara hukum; dan

(5) Tugas kesusilaan negara hukum tidak boleh bersifat campur tangan secara etika, secara akhlak dalam suasana hak dan kebebasan warga negara.

International Commission of Jurist dalam kongres keduanya di Bangkok pada tahun 1965 telah berhasil merumuskan The dynamic aspects of the Rule of Law in the modern age, yang pada intinya menyatakan bahwa syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah Rule of Law adalah sebagai berikut:38

(1) Adanya proteksi konstitusional;(2) Adanya badan peradilan yang tidak memihak;(3) Adanya pemilihan umum yang bebas;(4) Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat;(5) Adanya kebebasan untuk berserikat dan beroposisi, dan(6) Adanya pendidikan kewarganegaraan.

Adanya perincian syarat-syarat pemerintahan yang demokratis di atas, jelas bahwa ada pengakuan tentang perlunya perluasan tugas eksekutif agar menjadi lebih aktif, bukan lagi bersikap sebagai nachwachterstaat. Pemerintah dalam negara hukum modern (yang juga dikenal sebagai welfare state) diberi tugas membangun kesejahteraan umum dalam berbagai lapangan (bertuurzorg) dengan konsekuensi pemberian kemerdekaan kepada administrasi negara dalam menjalankannya.

Pemerintah dalam rangka bestuurzorg ini diberikan kemerdekaan untuk bertindak

37 Notohamidjojo, O, Makna Negara Hukum, Penerbit Kristen, Jakarta, 1967, hlm. 24.38 Mahfud, Moh, MD., Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hlm. 27.

Page 34: Peranan dan Kedudukan POLRI

27Kajian Teoretik tentang Kedudukan POLRI sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas

atas inisiatifnya sendiri, tidak hanya bertindak atas inisiatif parlemen. Itulah sebabnya kepada pemerintah diberikan Freies Ermessen atau Pouvoir Discretionnaire,39 yaitu kemerdekaan yang dimiliki oleh pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan sosial dan keleluasaan untuk selalu terikat pada produk legislasi parlemen (wakil rakyat).40

Sri Soemantri M,41 mengemukakan bahwa unsur-unsur terpenting dalam negara hukum ada empat, yaitu :(1) Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya berdasar atas

hukum atau peraturan perundang-undangan;(2) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);(3) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; dan(4) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle).

Dalam suatu negara hukum perlu ditegakkan hukum tanpa pandang bulu. Untuk menegakkan hukum diperlukan adanya aparat penegak hukum, salah satunya adalah polisi. Polisi secara yuridis, dapat mengambil alih tugas/fungsi negara sebagai pemelihara ketertiban dan penegak hukum. Rakyat tidak boleh bertindak sendiri dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum.

Negara kesejahteraan yang merupakan pengembangan dari ide negara hukum, yang oleh Kant dimanfaatkan sekadar untuk menegakkan keamanan dan ketertiban di masyarakat (rust en orde). Tidak heran jika ide Kant yang dikenal dengan nama negara penjaga malam (nachtwakerstaat), yang dalam mencapai kesejahteraan diserahkan kepada warga masing-masing sesuai dengan prinsip liberalisme (sempit) dengan persaingan bebasnya.

Menurut Soekanto,42 suatu negara yang menganut konsepsi negara kesejahteraan (welfare state/social service) memiliki ciri-ciri sebagai berikut :(1) Pemisahan kekuasaan berdasarkan Trias Politica dipandang tidak prinsipil lagi.

Pertimbangan efisiensi kerja lebih dipentingkan daripada pertimbangan dari sudut politis, sehingga perasaan organ-organ eksekutif lebih penting daripada organ legislatif;

(2) Peranan negara tidak hanya terbatas pada menjaga keamanan dan ketertiban belaka, akan tetapi perlu adanya upaya aktif negara di dalam penyelenggaraan kepentingan masyarakat di bidang-bidang sosial, ekonomi, dan budaya, sehingga perencanaan merupakan sarana yang penting;

(3) Negara kesejahteraan (welfare state/social service) merupakan negara hukum materiil yang mementingkan keadilan sosial material dan bukan persamaan yang bersifat formal semata-mata;

(4) Sebagai konsekuensi dari hal tersebut, maka di dalam suatu negara

39 Freies ermessen adalah istilah hukum Jerman, sedangkan Pouvoir discretionnaire adalah istilah hukum Perancis40 Utrecht, E, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FMPM Unpad, Bandung, 1960, hlm. 21.41 Sri Soemantri M, Loc. Cit. Hlm. 29-3042 Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Universitas

Indonesia, Jakarta,1976, hlm.54.

Page 35: Peranan dan Kedudukan POLRI

28 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

kesejahteraan, hak milik tidak lagi dianggap sebagai hak mutlak, akan tetapi hak tersebut dipandang mempunyai fungsi sosial yang berarti adanya batas di dalam kebebasan penggunaannya; dan

(5) Terdapat kecenderungan bahwa peranan hukum publik semakin penting dan semakin mendesak peranan hukum perdata. Hal ini disebabkan oleh semakin luasnya peranan negara di dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya.Konsepsi negara kesejahteraan yang telah disebutkan di atas memberikan

tanggung jawab yang tidak ringan kepada negara untuk dapat melaksanakannya. Di samping adanya kewajiban negara untuk dapat menegakkan hukum dan menjaga keamanan dan ketertiban, negara juga harus berperan aktif dalam mewujudkan kesejahteraan dalam bidang ekonomi, keadilan sosial, dan budaya. Terwujudnya kesejahteraan rakyat merupakan tugas pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk pembangunan. Salah satu syarat terlaksananya pembangunan adalah keadaan aman dan tertib (adanya stabilitas keamanan). Mewujudkan stabilitas keamanan merupakan fungsi lainnya yang diemban oleh pemerintah, yang didelegasikan kepada alat negara, yang dalam hal ini adalah polisi.

Konsep negara kesejahteraan secara tegas disebutkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang menyebutkan bahwa :

“...untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”

Berdasarkan rumusan konsep negara kesejahteraan di atas, dapat disimpulkan bahwa cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah; (1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;(2) Memajukan kesejahteraan umum;(3) Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan(4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Untuk mewujudkan cita-cita melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia harus diadakan lembaga khusus pemerintah yang bertugas melindungi masyarakat. Lembaga khusus pemerintah tersebut adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban masyarakat (law and order). Polri bertanggung jawab penuh atas keadaan aman dan tertib. Segala bentuk ancaman yang datang dari dalam negeri yang dapat membahayakan kelangsungan pembangunan merupakan tugas Polri untuk menangkalnya. Polri berfungsi sebagai tulang punggung pembangunan dalam negara kesejahteraan.

Page 36: Peranan dan Kedudukan POLRI

29Kajian Teoretik tentang Kedudukan POLRI sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas

2.2 Pembatasan Kekuasaan Melalui KonstitusiSecara etimologi antara kata “konstitusi”, “konstitusional”, dan “konstitusionalisme”

inti maknanya sama. Akan tetapi, penggunaan atau penerapan katanya berbeda. Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (undang undang dasar) suatu negara. Dengan kata lain, segala tindakan atau prilaku yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi, berarti tindakan tersebut adalah tidak konstitusional (inkonstitusional). Berbeda halnya dengan konstitusionalisme, yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi.43 Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis “constituer” yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan adalah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara,44 sedangkan istilah undang undang dasar merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Grondwet”. Perkataan “wet” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti undang-undang, dan “grond” berarti tanah atau dasar. Jadi dalam bahasa Indonesia, “Grondwet” diterjemahkan undang undang dasar.

Di negara-negara yang mempergunakan bahasa Inggris sebagai bahasa nasionalnya menggunakan istilah “constitution”, yang dalam bahasa Indonesianya disebut konstitusi.45 Dalam praktiknya, pengertian konstitusi dapat berarti lebih luas daripada pengertian undang undang dasar, tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian undang undang dasar.

Pada prinsipnya, diadakannya konstitusi adalah bertujuan untuk membatasi tindakan pemerintah yang sewenang-wenang, untuk menjamin hak-hak yang diperintah, dan merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Menurut Soetoprawiro,46 setiap konstitusi senantiasa mempunyai dua tujuan:(1) Untuk memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik,(2) Untuk membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak para penguasa, serta

menetapkan bagi para penguasa tersebut batas-batas kekuasaan mereka.

Keberadaan konstitusi untuk membatasi kekuasaan dalam negara dapat dilihat dari muatan konstitusi yang menurut Sri Soemantri47 sedikitnya mempunyai tiga materi muatan, yaitu :(1) Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia;(2) Ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang mendasar; dan

43 Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai pustaka, Jakarta, Edisi kedua, 1991, hlm.521.

44 Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1989, hlm. 10.45 Sri Soemantri M, Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945 dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan

Politik Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 29.46 Koerniatmanto Soetoprawiro, Konstitusi : Pengertian dan Perkembangannya, Pro Justitia, No. 2 Tahun V, Edisi Mei

1987, hlm. 23.47 Sri Soemantri M, Op.cit, hlm.51

Page 37: Peranan dan Kedudukan POLRI

30 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

(3) Adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang mendasar.

Menurut Miriam Budiardjo,48 setiap undang undang dasar memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut :(1) Organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan legislatif,

eksekutif dan yudikatif; pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian; prosedur menyelesaikan masalah pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah dan sebagainya;

(2) Hak-hak asasi manusia;(3) Prosedur mengubah undang undang dasar; dan(4) Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari undang

undang dasar.

Dalam literatur hukum tata negara maupun ilmu politik kajian tentang lingkup paham konstitusi (konstitusionalisme) terdiri atas :49

(1) Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum;(2) Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;(3) Peradilan yang bebas dan mandiri; dan(4) Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama

dari asas kedaulatan rakyat.

Keempat prinsip tersebut merupakan simbol bagi suatu pemerintahan yang konstitusional. Akan tetapi, suatu pemerintahan (negara) meskipun konstitusinya sudah mengatur prinsip-prinsip di atas, tidak diimplementasikan dalam praktik penyelenggaraan bernegara, belumlah dapat dikatakan sebagai negara yang konstitusional atau menganut paham konstitusi.50

Pembatasan kekuasaan negara melalui konstitusi harus dapat diimplementasikan oleh penyelenggara pemerintahan, baik itu legislatif, eksekutif, maupun yudikatif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehari-harinya. Polri yang merupakan salah satu bagian dari kekuasaan eksekutif memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum dan ketertiban dalam masyarakat dan telah mendapat legitimasi secara konstitusional.

2.3 Pembagian Kekuasaan dan Kedudukan Polri Sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas.

Ajaran Machiavelli (1469-1527) yang ditulis dalam bukunya berjudul “II Principles” mengartikan negara sebagai negara kekuasaan. Ajaran Machiavelli yang memusatkan

48 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1991, hlm. 101.49 Dahlan Thaib, at all, Teori dan Hukum Konstitusi, edisi revisi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001.50 Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1995, hlm. 16.

Page 38: Peranan dan Kedudukan POLRI

31Kajian Teoretik tentang Kedudukan POLRI sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas

segalanya pada raja melahirkan kerajaan yang berkuasa mutlak (monarkhi mutlak). Ajaran ini, kemudian diperkuat oleh Hobbes (1588-1679), yang menyatakan bahwa negara dibentuk atas dasar perjanjian masyarakat. Dalam perjanjian itu rakyat menyerahkan hak-haknya (hak asasinya) kepada suatu kolektivitas, yaitu suatu kesatuan dari individu-individu yang diperolehnya melalui “pactum uniones”. Kemudian, kolektivitas ini menyerahkan hak-haknya (kekuasaannya) kepada raja dalam “pactum subjektiones” tanpa syarat apa pun. Raja sama sekali berada di luar perjanjian. Oleh karena itu raja mempunyai kekuasaan yang mutlak (monarchi absolut).

Kedua ajaran tersebut diatas ditentang oleh Rousseau (1712-1778). Ia menyetujui bahwa negara sebagai hasil perjanjian masyarakat, tetapi hak-hak rakyat tidak diserahkan kepada penguasa/negara, karena rakyatlah yang berdaulat di dalam negara dan penguasa hanya merupakan mandataris rakyat. Menurut Montesquieu, seorang sarjana filsafat dan kenegaraan kelahiran Perancis, yang telah mendapat nama harum karena bukunya “L’esprit des Lois (Jiwa Undang-undang)” bahwa dalam perjanjian masyarakatlah penguasa diberi wewenang atau kekuasaan untuk menjalankan tugasnya, yaitu melindungi hak-hak asasi rakyat. Dalam bukunya tersebut (1748) Montesquieu mengemukakan bahwa kekuasaan negara harus dibagi-bagi dalam tiga kekuasaan yang terpisah-pisah (la separation des pouvoirs = pemisahan kekuasaan-kekuasaan). Ketiga kekuasaan itu ialah sebagai berikut :(1) Kekuasaan membentuk undang-undang (Legislatif );(2) Kekuasaan menjalankan undang-undang (Eksekutif ); dan(3) Kekuasaan mengadili pelanggaran-pelanggaran terhadap undang-undang

(Yudikatif ).51

Dengan trias politica ini diartikan bahwa kekuasaan seluruhnya yang ada dalam negara itu harus habis dibagi antara ketiga kekuasaan di atas. Pembagian seperti ini biasa juga disebut separation of powers. Dalam bentuk negara seperti ini umumnya kekuasaan tertinggi ada pada parlemen (legislatif ) yang disebut pula dengan overwicht van het parlemen. Dalam keadaan seperti ini raja/presiden (eksekutif ) hanya sebagai pelaksana produk-produk (undang-undang) yang dihasilkan oleh legislatif.

Keadaan ini makin lama makin kurang serasi karena sewaktu-waktu pemerintah bisa jatuh atau pemerintah sangat tergantung pada kebijakan parlemen (legislatif ). Oleh karena itu, mulailah dicari pengertian lain dari trias politica yang tetap menjamin kebebasan politik dan adanya checks and balance antara kekuasaan yang ada dalam negara. Jadi, muncullah pengertian baru trias politica yang tergantung dari keadaan negara masing-masing yang biasa disebut pemisahan kekuasaan (division of powers).

Dalam pembagian kekuasaan dimaksudkan bahwa untuk melaksanakan suatu tugas tertentu tidak perlu satu organ saja, tetapi dapat ditambah dengan organ

51 Solly Lubis, M, Op. Cit., hlm.57.

Page 39: Peranan dan Kedudukan POLRI

32 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

lainnya. Di sini kekuasaan yang ada di dalam negara itu tetap dibagi atas tiga kekuasaan, yaitu :(1) membuat Undang-undang;(2) melaksanakan Undang-undang; dan(3) mengawasi pelaksanaan Undang-undang.

Badan atau lembaga yang melaksanakannya tidak perlu hanya oleh satu badan tiap kekuasaan, bisa bersama-sama dengan badan/lembaga lain. Misalnya untuk tugas membuat undang-undang di Indonesia dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden.52 Indonesia adalah salah satu negara yang tidak menganut ajaran pemisahan kekuasan (ajaran trias politica murni), tetapi menganut pembagian kekuasaan.

Salah satu pembagian kekuasaan itu adalah fungsi eksekutif. Di Indonesia, presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan undang-undang dan mengupayakan pembangunan nasional. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, terutama dalam menyukseskan pembangunan, presiden dibantu oleh wakil presiden, menteri-menteri dan pejabat pemerintah setingkat menteri. Salah satu pejabat pemerintah setingkat menteri adalah kapolri yang diberi tugas khusus untuk menegakkan hukum dan ketertiban dalam masyarakat.

Polri yang berada di bawah presiden dan bertanggung jawab secara langsung kepada presiden merupakan alat negara yang mempunyai tugas khusus. Tugas khusus yang dimaksud adalah menciptakan suasana aman, tertib, damai, dan menegakkan hukum. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, Polri diberi kewenangan, baik secara konstitusional maupun yuridis. Karena merupakan bahagian dari fungsi eksekutif, dalam hal kebijakan, pembinaan, pengawasan, dan operasional kepolisian harus sesuai dengan kebijakan pemerintah (presiden).

Dalam rangka melaksanakan tugas-tugas kepolisian secara maksimal dan optimal, Polri harus diberikan kedudukan sebagai suatu lembaga khusus pemerintah yang mandiri dan otonom. Karena lembaga khusus pemerintah, maka dalam hal pengangkatan dan pemberhentian pimpinan Polri (Kapolri) harus diserahkan sepenuhnya pada kebijakan presiden, sebab, hal itu merupakan hak prerogatif presiden.

2.4 Istilah PolisiIstilah polisi dari satu masa ke masa yang lain memiliki arti yang berbeda-

beda. Arti kata polisi sekarang adalah berbeda dengan arti yang diberikan pada

52 Pasal 5 ayat (1) Perubahan Pertama UUD 1945 menyatakan bahwa : “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.

Page 40: Peranan dan Kedudukan POLRI

33Kajian Teoretik tentang Kedudukan POLRI sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas

mulanya. Istilah polisi juga berbeda dari tiap-tiap negara. Hal ini karena setiap negara cenderung memberikan istilah dalam bahasanya sendiri yang disesuaikan dengan kebiasaan-kebiasaan yang terdapat di negara yang bersangkutan.

Istilah polisi pada mulanya berasal dari bahasa Yunani “Politeia”, yang berarti seluruh pemerintahan negara kota. Seperti diketahui di abad sebelum masehi, Negara Yunani terdiri atas kota-kota yang dinamakan polis. Jadi, pada jaman itu arti polisi demikian luasnya, bahkan, selain meliputi seluruh pemerintahan kota, termasuk juga di dalamnya urusan-urusan keagamaan seperti penyembahan terhadap dewa-dewanya. Pada jaman itu, sebagai akibat masih kuatnya rasa kesatuan dalam masyarakat, urusan keagamaan termasuk dalam urusan pemerintahan. Setelah timbulnya agama Nasrani, urusan keagamaan menjadi terpisah dari pemerintahan sehingga arti polisi menjadi seluruh urusan pemerintahan negara dikurangi urusan agama.53

Pada abad ke-16, di Perancis, urusan pemerintahan semakin ruwet dan kompleks. Hal tersebut disebabkan oleh berkembangnya hubungan luar negeri sehingga diferensiasi tugas-tugas pemerintahan tidak bisa dielakkan lagi. Di Perancis saat itu terdapat pembagian pemerintahan dalam lima bagian yaitu sebagai berikut:(1) Defensi(2) Diplomasi(3) Finansi(4) Justisi(5) Polisi

Istilah polisi dipakai untuk menyebut bagian dari pemerintahan dan masih dalam arti yang luas, yang meliputi semua pemeliharaan objek-objek kemakmuran dan kesejahteraan. Dengan perkataan lain, urusan polisi adalah urusan pemerintahan yang tidak termasuk dalam keempat bagian lainnya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Poerwadarminta dinyatakan bahwa istilah polisi berarti :

“1. Badan pemerintahan (sekelompok pegawai negeri) yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum, 2. pegawai negeri yang bertugas menjaga keamanan”.54

Di dalam Encyclopaedia of Social Sciences disebutkan pengertian polisi adalah sebagai berikut:

“The term police in its early definitions has covered a wide range of functions. It has been employed to described various aspects of the control of public sanitation; it has had a highly special meaning with respect to the suppression of political offences; and at times it has been expanded to cover pratically all form of public regulation and domestic order. Now, however, it is used primarily with reference

53 Momo Kelana, Op. Cit., hlm. 13.54 Poerwadarminta, Op. Cit., hlm. 549.

Page 41: Peranan dan Kedudukan POLRI

34 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

to the maintenance of public order and the protection of person and property from the commission of unlawful acts”.55

Istilah polisi dalam ensiklopedi ilmu-ilmu sosial, pada pengertian semulanya, meliputi bidang tugas yang luas. Istilah itu digunakan untuk menjelaskan berbagai aspek dari pengawasan kesehatan umum dan dalam arti yang sangat khusus dipakai dalam hubungannya dengan usaha penanggulangan pelanggaran-pelanggaran politik. Sejak itu telah meluas secara praktis meliputi semua bentuk pengaturan dan ketertiban umum. Saat ini, istilah tersebut digunakan dalam hubungan dengan pemeliharaan ketertiban umum dan perlindungan orang-orang serta harta bendanya dari tindakan-tindakan yang melanggar hukum.

Istilah polisi juga ditemukan dalam Encyclopaedia Britanica, yang pengertian polisinya hampir sama dengan yang disebutkan dalam Encyclopaedia of Social Sciences. Dalam Encyclopaedia Britanica disebutkan bahwa :

“As now generally employed, the term police means the maintenance of public order and the protection of person and property from the hazards of public accidents and the commission of unlawful acts. Earlier meannings included such limited activities as streeet paving and lighting, or scavenging and sanitation, as well as applications broad enought to comprehend the entire range of the domestic policies of governments”.56

Artinya adalah bahwa istilah polisi yang sekarang lazim dipergunakan diartikan sebagai pemeliharaan ketertiban umum dan perlindungan orang-orang serta miliknya dari keadaan yang menurut perkiraan dapat merupakan suatu bahaya atau gangguan umum dan tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Pengertian sebelumnya meliputi pula kegiatan-kegiatan seperti perataan jalan-jalan dan penerangan, pembersihan jalan dan kesehatan seperti juga halnya dipergunakan cukup luas, yang meliputi seluruh bidang kebijaksanaan pemerintahan dalam negeri.

Istilah kepolisian juga dikemukakan oleh Vollenhoven,57 yang membagi hukum administrasi negara ke dalam empat bagian yaitu:(1) Regelaarsrecht (hukum perundang-undangan);(2) Bestuursrecht (hukum tata pemerintahan);(3) Justitierecht (hukum acara peradilan); dan(4) Politierecht (hukum kepolisian).

Arti politie yang dikemukakan oleh Vollenhoven dalam ajaran caturpraja berbunyi:Onder politie vallen de regeeringorganen, die bevoegd en gehouden zijn om

55 Encyclopaedia of Social Sciences, Volume XI-XII,hlm. 183.56 Encyclopaedia Britanica, Volume XVIII, 1768, hlm. 158.57 Kansil,C.S.T., Loc. Cit., hlm. 447.

Page 42: Peranan dan Kedudukan POLRI

35Kajian Teoretik tentang Kedudukan POLRI sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas

door toezicht of zo nodig door dwang te bewerken, dat de geregeerden hunnerzijds doen of laten wat hun plicht is te doen of te laten en welke bestaat uit:a. het afwerend toezien op naleving door de geregeerden van hun publieken plicht;b. het actieve speuren naar niet naleving door de geregeerden van hun publieken

plicht;c. het dwingen van de geregeerden tot naleving van hun publieken plicht krachtens

rechtelijke tusschenkomst;d. het dwingen van de geregeerden tot naleving van hun publieken plicht hetwelk

kan geschieden zonder rechterlijke tuschenkomst (gereede dwang);e. het verantwoorden van wat bij dezen arbelt gedaan of nagelaten is.58

Pengertian polisi menurut Vollenhoven adalah termasuk organ-organ pemerintahan yang berwenang dan berkewajiban untuk mengusahakan dengan jalan pengawasan dan bila perlu dengan paksaan bahwa yang diperintah berbuat atau tidak berbuat menurut kewajibannya masing-masing yang terdiri atas:(1) Melihat cara menolak bahwa yang diperintahkan itu melaksanakan kewajiban

umumnya;(2) Mencari secara aktif perbuatan-perbuatan yang tidak melaksanakan kewajiban

umum tadi;(3) Memaksa yang diperintahkan itu untuk melaksanakan kewajiban umumnya

dengan melalui pengadilan;(4) Memaksa yang diperintahkan itu untuk melaksanakan kewajiban umum itu

tanpa perantaraan pengadilan; dan(5) Memberi pertangungjawaban dari apa yang tercantum dalam pekerjaan

tersebut.

Menurut Wahid,59 bahwa pengertian polisi adalah seorang “protector” dan wakil rakyat yang berkewajiban mengayomi martabat manusia (human dighnity) dan sebagai subjek aktif atas pemanisfestasian peraturan perundang-undangan, dengan menjadikan hukum dan hak asasi manusia sebagai muatan mutlak dalam pelaksanaan tugas kepolisian.

Para pakar di bidang kepolisian menyimpulkan bahwa dalam istilah polisi terdapat tiga pengertian, yakni :(1) Polisi sebagai fungsi;(2) Polisi sebagai organ kenegaraan; dan(3) Polisi sebagai pejabat atau petugas.60

Pada dasarnya polisi adalah alat negara yang diberi peranan untuk menegakan

58 Memet Tanumidjaja, Perlukah Kementerian Keamanan Dalam Negeri dalam Negara Kesatuan RI, Majalah Bhayangkara No. 2-3, Tahun I, September-Oktober 1950, hlm. 46.

59 Abdul Wahid, Hukum, Suksesi dan Arogansi Kekuasaan, Tarsito, Bandung, 1994, hlm. 43.60 Gde Yasa Tohjiwa, Catatan Kritis, Gramedia Jakarta, 1996, hlm. 1

Page 43: Peranan dan Kedudukan POLRI

36 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

hukum dan mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Dalam melaksanakan fungsi tersebut, polisi bertindak sebagai pelayan, pengayom, dan pelindung masyarakat. Polisi sebagai bagian dari masyarakat sipil (civillian society) memegang tanggung jawab penuh atas keselamatan dan keamanan masyarakat. Segala urusan yang menyangkut keamanan dalam negeri merupakan urusan dan kewenangan polisi.

Page 44: Peranan dan Kedudukan POLRI

37Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang

3.1 Sejarah Perkembangan POLRISejarah perkembangan Polri yang diangkat dalam tulisan ini adalah sejarah

perkembangan Polri setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 sampai dengan era reformasi saat ini. Hal ini penting diungkapkan karena, sejak masa awal kemerdekaan hingga saat ini Polri telah mengalami perubahan baik menyangkut aspek struktural, instrumental maupun kultural yang signifikan. Bahkan, tidak jarang ditemukan sejarah perkembangan Polri itu terulang kembali dari satu masa ke masa yang lainnya.

3.1.1 Sebelum ReformasiDalam mengenal perkembangan kepolisian, maka kita juga harus mengenal

perkembangan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Sejarah perkembangan Kepolisian di Indonesia juga telah mengalami beberapa perkembangan, yang dimulai pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia.

Masa awal kemerdekaan, Polri di bawah kementerian dalam negeri. Bentuk organisasinya adalah jawatan kepolisian Negara Republik Indonesia yang membawahi sejumlah kantor polisi daerah. Pada tanggal 1 Oktober 1945, keluar maklumat pemerintah yang ditanda tangani bersama antara menteri dalam negeri, menteri kehakiman dan jaksa agung yang isinya menyatakan bahwa semua kantor kejaksaan dimasukkan dalam lingkungan departemen kehakiman dan kantor kepolisian masuk dalam lingkungan departemen dalam negeri. Hal ini merupakan perubahan kepolisian dan kejaksaan yang semasa pendudukan Jepang disatukan dalam departemen keamanan. Pascapendudukan Jepang keberadaan organisasi kepolisian dan kejaksaan

BAB 3TINJAUAN UMUM TERHADAP SEJARAH, KEDUDUKAN, TUGAS, DAN WEWENANG POLRI SERTA STUDI KOMPARATIF TENTANG KEDUDUKAN DAN FUNGSI KEPOLISIAN DI NEGARA INGGRIS DAN JEPANG

Page 45: Peranan dan Kedudukan POLRI

38 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

dipisahkan kembali seperti pada jaman Hindia Belanda, yakni kejaksaan berada di bawah departemen kehakiman dan kepolisian berada di bawah departemen dalam negeri.

Pada tanggal 25 Juni 1946, pemerintah mengeluarkan Ketetapan No. 11/SD/1946 yang isinya menyatakan bahwa jawatan kepolisian negara dikeluarkan dari struktur organisasi departemen dalam negeri. Selanjutnya organisasi kepolisian dan kepala kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) berada di bawah dan bertanggung jawab kepada perdana menteri. Ketetapan itu mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 1946, yang kemudian dikenal dan diperingati sebagai Hari Kepolisian Negara Republik Indonesia atau biasa disebut sebagai hari bhayangkara.

Pada bulan September 1946, berdasarkan penetapan Dewan Pertahanan Negara No. 49, Polri dinyatakan mempunyai kedudukan sebagai tentara. Sejak saat itu segala pemeliharaan kesatuan Polri menjadi tanggung jawab kementerian pertahanan.

Pada jaman Republik Indonesia Serikat (RIS), organisasi Polri pun terpecah menjadi Kepolisian Republik Indonesia Serikat yang terdiri atas: Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepolisian Negara Indonesia Timur, dan Kepolisian Negara Sumatera Timur. Akan tetapi, ketika NKRI terbentuk pada tanggal 17 Agustus 1950, tempat wilayah kepolisian itu kembali dalam satu wadah Polri dan berpusat di Jakarta.

Pada tanggal 1 Desember 1950 dibentuk polisi perairan yang berkembang dalam struktur organisasi Polri. Pada saat itu jabatan Kapolri disebut menteri muda kepolisian dengan susunan departemennya terdiri atas: pusat departemen kepolisian dan membawahi lima direktorat dan sebuah biro.

Pada tahun 1960 keluar Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960, yang isinya menyatakan bahwa Polri di integrasikan dalam wadah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang sejak itu telah disamakan statusnya sebagai bagian dari angkatan perang yang telah ada sebelumnya, yaitu Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD), Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU). Kemudian, Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) mengesahkan berlakunya Undang-undang Pokok Kepolisian No. 13 Tahun 1961. Undang-undang ini mempertegas kedudukan Polri sebagai salah satu unsur angkatan perang (unsur ABRI).

Pada tahun 1963 sebutan Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian diubah menjadi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 290/1946, tanggal 12 September 1964, kembali dikukuhkan Angkatan Kepolisian sebagai bagian dari ABRI. Selanjutnya dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 32/1967 tanggal 17 Agustus 1967 ditetapkan ABRI sebagai bagian dari Departemen Pertahanan dan Keamanan yang meliputi Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AU) dan Angkatan Kepolisian (AK).

Masing-masing angkatan tersebut dipimpin oleh seorang panglima angkatan dan bertanggung jawab kepada Menteri Pertahanan dan Keamanan (Menhankam)/Panglima ABRI (Pangab). Tahun berikutnya sebutan Panglima Angkatan Kepolisian

Page 46: Peranan dan Kedudukan POLRI

39Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang

Negara Republik Indonesia diubah menjadi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) yang dibakukan sampai dengan sekarang.

Struktur organisasi Polri yang sekarang ini berlaku didasarkan pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 46 dan 60 Tahun 1983 yang dijabarkan dalam Keputusan Panglima ABRI No. Kep/11/1992, tanggal 5 Oktober 1992 yang tersusun dalam dua tingkatan, yaitu tingkat Markas Besar (Mabes) dan tingkat Kewilayahan. Tingkat Kewilayahan itu kemudian dinamakan Kepolisian Daerah (Polda). Masing-masing tingkat memiliki struktur organisasi tersendiri. Polda-polda dibedakan dalam tipe A, tipe B, dan tipe C. Hal tersebut sesuai dengan Undang-undang Pokok Kepolisian No. 28 tahun 1997 yang menegaskan bahwa untuk pembinaan bertanggung jawab kepada menhankam.

Dilihat dari sejarah lahirnya Polri sebagai pejuang yang bersama-sama dengan pejuang lainnya dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, kedudukan Polri sebagai bagian integral dari ABRI sangat berbeda dengan kepolisian di negara lain manapun di dunia, akan tetapi, sebagai alat negara yang berfungsi untuk menegakkan hukum dan menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat tidak berbeda dengan kepolisian di negara lain.

Sejarah perkembangan kepolisian pada era sebelum reformasi telah mengalami beberapa perubahan dalam penyempurnaan organisasi Polri yang disesuaikan dengan tuntutan tugas, namun dengan pertimbangan kondisi Polri saat ini dirasakan perlu adanya perubahan berkelanjutan dan dilakukan pembenahan dan penyempurnaan organisasi sehingga diharapkan Polri mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat.

Dilihat dari sejarah perkembangan sejak 1 Oktober 1945 sampai dengan tahun 1960 terlihat bahwa Polri dalam pelaksanaan tugasnya telah otonom, baik yang menyangkut organ, lingkup tugas dan kebijaksanaan. Sejak akhir tahun 1960 sampai dengan sebelum reformasi, dalam pengertian bahwa Polri terintegrasi dalam organisasi ABRI, jadi saat itu pula dirasakan organisasi Polri tidak mandiri karena segala kebijakan, struktur, dan finansial tergantung pada mabes ABRI.

3.1.2 Pada Era ReformasiDengan pernyataan Menhankam/Pangab, Jenderal TNI Wiranto, pada Oktober

1998, Polri akan dikeluarkan dari ABRI dan mulai 1 April 1999, Polri secara struktural memisahkan diri dari ABRI, hal ini merupakan sebuah proses dimulainya menuju Polri mandiri dan pada masa transisi Polri diletakkan di bawah Menhankam. Pemindahan wewenang pembinaan pertanggungjawaban yang selama ini dipegang Pangab telah beralih ke Menhankam. Kebijakan pemisahan tersebut didasarkan pada Instruksi Presiden No. 2 tahun 1999 Tentang Langkah-langkah Kebijaksanaan dalam Pemisahan Polri dari ABRI yang menginstruksikan kepada Menhankam/Pangab untuk menyiapkan pembaharuan undang-undang tentang pertahanan dan

Page 47: Peranan dan Kedudukan POLRI

40 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

keamanan negara, tentang keprajuritan, dan Undang-undang No. 28 Tahun 1997 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Secara bertahap memisahkan sistem dan penyelenggaraan pembinaan kekuatan dan operasional Polri dari sistem dan penyelenggaraan pembinaan kekuatan dan operasional ABRI serta menempatkannya pada departemen pertahanan keamanan.

Meskipun dalam beberapa kurun waktu, langkah-langkah pemisahan tersebut telah berjalan demikian jauh dari segi yuridis. Status hukum personil dan kedudukan secara organisatoris, Polri tetap merupakan prajurit dan merupakan bagian integral dari organisasi ABRI, sepanjang peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini belum diubah/diperbarui. Namun demikian, langkah-langkah kebijakan tersebut, secara sosiologis, di samping filosofis, pada umumnya disambut dengan baik oleh Polri sendiri maupun masyarakat dan bangsa Indonesia.

Salah satu pertimbangan yang mendasari kebijakan pemisahan Polri dari ABRI adalah perbedaan fungsi kepolisian (Polri) dengan fungsi militer (TNI). Dilihat dari segi tujuan, fungsi militer ditujukan untuk menjaga keselamatan, keutuhan, dan kedaulatan negara, sedangkan fungsi kepolisian ditujukan untuk menjamin ketentraman masyarakat dan kepatuhan masyarakat kepada hukum.

Dari segi objek fungsi militer ditujukan untuk pengamanan negara/bangsa, sedangkan fungsi kepolisian ditujukan untuk pengamanan individu/ masyarakat/pemerintah. Objek penindakan militer adalah ancaman dan musuh dari luar negeri maupun dari dalam negeri, sedangkan objek penindakan kepolisian adalah pelanggar hukum. Dalam tugas sehari-harinya, kepolisian berupaya untuk membina keamanan dan ketertiban masyarakat dan menegakkan hukum, sementara militer menyelenggarakan pertahanan negara.

Suatu hal yang paling mendasar dan sangat membedakan kedua jenis pekerjaan tersebut terletak pada falsafah pengambilan keputusan. Dalam kaitannya dengan pekerjaan militer, kewenangan pengambilan keputusan yang berkenaan dengan ancaman terhadap keselamatan dan kedaulatan negara betapapun kecilnya, pada dasarnya berada pada Kepala Negara yang kemudian didelegasikan secara berjenjang ke bawah. Sebaliknya, dalam pekerjaan kepolisian, kewenangan pengambilan keputusan yang berkenaan dengan ancaman terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat berapa pun besarnya berada pada individu polisi, walaupun dalam situasi tertentu secara berjenjang perlu ditarik ke atas (melaporkan dan menerima perintah pimpinan).

Perbedaan ini membawa konsekuensi bahwa anggota militer pada dasarnya adalah pelaksana keputusan yang diambil oleh atasannya, sedangkan kepolisian pada prinsipnya adalah pengambil keputusan. Dengan beratnya tuntutan tugas di lapangan, seorang polisi dituntut harus selalu tampil siap dan profesional.

Dalam konteks reformasi yang diperjuangkan bangsa Indonesia dewasa ini pertimbangan yang melatarbelakangi gagasan pemisahan Polri dari ABRI adalah bahwa peranan dan fungsi antara polisi dan militer adalah berbeda, di samping

Page 48: Peranan dan Kedudukan POLRI

41Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang

adanya pertimbangan praktis. Pertimbangan praktis yang dimaksud adalah jika polisi dan militer disatukan, akan sangat sulit untuk menghindari adanya intervensi-intervensi yang mungkin terjadi. Pada era Orde Baru, intervensi ABRI dalam tugas-tugas operasional Polri, seperti penyidikan perkara-perkara yang ada kaitannya dengan jaringan kekuasaan dan pengontrolan atas kegiatan-kegiatan politik, sering terjadi.

Perkembangan kepolisian pada era reformasi sekaligus merupakan pelaksanaan reformasi Polri dan merupakan momentum yang harus ditindaklanjuti oleh Polri untuk merumuskan kembali kedudukan, tugas, dan peran Polri yang sesuai dengan aspirasi masyarakat yang mengarah pada kehidupan negara yang lebih demokratis dalam tatanan masyarakat madani, yang menjunjung tinggi supremasi hukum, moral, dan etika, demokrasi, hak asasi manusia, transparansi, dan keadilan.

Penyelenggaraan fungsi kepolisian yang dilaksanakan dalam era reformasi, memerlukan adanya perubahan dan penyesuaian aspek struktural, instrumental dan kultural dengan mengacu pada paradigma baru dan tantangan masa depan.

3.2 Kedudukan Polri dalam Sistem Ketatanegaraan IndonesiaNegara adalah organisasi. Maksudnya sekelompok manusia yang mengadakan

kerjasama serta pembagian kerja, berusaha untuk mencapai tujuan bersama, yaitu tujuan organisasi. Dengan adanya pembagian kerja dalam organisasi itu, setiap orang yang tergolong dalam kerjasama itu mempunyai tugas tertentu dalam ikatan keseluruhan.

Tujuan negara dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi :“...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”

Negara adalah organisasi kekuasaan. Hal ini disebabkan setiap negara terdapat pusat-pusat kekuasaan yang berada dalam suprastruktur politik maupun yang berada dalam infrastruktur politik.

Kekuasaan sendiri adalah suatu kemampuan untuk memaksakan kehendak kepada pihak lain atau kemampuan untuk mengendalikan pihak lain. Bahwa konstitusi diadakan untuk membatasi kekuasaan dalam negara dapat dilihat dari materi muatan yang selalu terdapat dalam setiap konstitusi yaitu:(1) adanya jaminan terhadap hak asasi manusia;(2) ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu negara yang mendasar; dan(3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaran yang mendasar.

Dengan demikian, pengakuan adanya hak asasi manusia dalam konstitusi mempunyai arti membatasi kekuasaan dalam negara. Dengan perkataan lain,

Page 49: Peranan dan Kedudukan POLRI

42 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

adanya pengakuan tersebut berarti pihak yang berkuasa dalam negara tidak dapat sewenang-wenang kepada rakyatnya.

Konsep kenegaraan yang ditemukan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam kerangka negara hukum inilah keberadaan Polri sebagai alat negara yang berperan sebagai penegak hukum, pengayom, pelindung, pembimbing dan pelayan masyarakat dalam mewujudkan kepastian hukum dan keadilan serta keamanan dalam negeri menjalankan fungsinya.

Namun demikian, perjalanan sejarah Polri telah mengalami beberapa kali perubahan baik dalam fungsi, tugas maupun peranannya, yang dapat digambarkan sebagai berikut:(1) Sejak dulu polisi merupakan bagian dari pasukan bersenjata, khususnya dalam

perang kemerdekaan. Polri dianggap sebagai bagian dari kekuatan bersenjata dalam revolusi fisik dalam rangka menegakkan dan membela NKRI. Kemudian, berdampak timbulnya budaya yang mengarah pada militeristik di lingkungan polisi;

(2) Sejarah perjalanan Polri selama lebih dari 57 tahun merupakan refleksi konfigurasi politik Pemerintahan Negara Republik Indonesia, demikian pula keberadaan Polri yang terintegrasi di ABRI untuk menghindari upaya perpecahan di Kesatuan Republik Indonesia oleh kekuatan-kekuatan politik untuk kepentingannya walaupun hal ini tidak dapat dipertahankan selamanya;

(3) Keberadaan Polri dalam lingkungan ABRI telah berdampak negatif terhadap efektifitas pelaksanaan tugas pokok, fungsi, dan peran Polri sehingga tidak mampu secara maksimal mengembangkan diri melaksanakan misinya;

(4) Angkatan Perang (TNI-AD, TNI-AU, TNI-AL) yang seharusnya menitik beratkan pelaksanaan tugasnya pada kemampuan sistem teknologi persenjataan, tidak akan efektif dalam melaksanakan tugasnya apabila harus membagi konsentrasi kekuatan dan kemampuannya dengan tugas di bidang kepolisian. Hal ini didasarkan pada kenyataan adanya perbedaan yang hakiki antara dunia polisi dan dunia militer;

(5) Adanya legitimasi peraturan perundang-undangan yang mengatur keberadaan Polri dalam lingkungan ABRI, ternyata tidak berdampak positif bagi meningkatnya kinerja Polri selama ini;

(6) Kepolisian secara universal pada umumnya menganut pola yang hampir sama yaitu mengarah kepada National Police System yang merupakan bagian dari fungsi pemerintahan dan sistem administrasi negara yang bersangkutan. Karena itu, perlu adanya identifikasi kembali terhadap kedudukan Polri dari aspek hukum tata negara;

(7) Di dalam penjelasan tentang pokok-pokok pikiran pembukaan UUD 1945, terdapat kata melindungi yang sesungguhnya mempunyai dua makna yaitu : melindungi masyarakat dan melindungi kedaulatan negara; dan

Page 50: Peranan dan Kedudukan POLRI

43Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang

(8) Dalam Pasal 10 UUD 1945 hanya dinyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara dan tidak memasukkan Polisi di dalamnya. Hal ini karena polisi memang bukan bagian dari Angkatan Perang.

3.3 Kedudukan Polri Dalam Kepolisian InternasionalPada umumnya tugas, fungsi, dan peranan kepolisian di belahan bumi mana

pun pada prinsipnya hampir sama, yaitu yang berhubungan dengan masalah penanggulangan kejahatan/kriminalitas. Perkembangan kejahatan, baik kualitas maupun kuantitasnya, banyak dipengaruhi oleh kemajuan ilmu pengetahuan serta pengaruh era globalisasi. Hal tersebut diatas menyebabkan ketergantungan suatu negara terhadap negara lain dalam upaya penanggulangan kejahatan internasional sangat dirasakan. Oleh karena, itu peranan polisi internasional sebagai wadah kerjasama internasional kepolisian mutlak dibutuhkan.

Bentuk dan tata cara kerjasama yang dilakukan International Police (Interpol) dalam rangka menanggulangi kejahatan internasional, antara lain:(1) Tukar menukar informasi dan data kriminal,(2) Saling bantu dalam penyelidikan,(3) Kerjasama penyidikan, dan(4) Ekstradisi.61

Berdasarkan uraian tersebut dapat dilihat bahwa NCB-Interpol Indonesia dalam bekerjasama penanggulangan kejahatan internasional mempunyai peran sebagai berikut:

(1) Pusat pertukaran informasi dan data kriminal,(2) Penghubung/perantara dalam kerjasama internasional kepolisian,(3) Juru penerang, dan(4) Koordinator.

Kerjasama kepolisian antarnegara anggota ICPI-Interpol dilaksanakan berdasarkan:(1) Souveregnty (penyerahan kedaulatan),(2) Hukum/Undang-undang,(3) Universalitas,(4) Persamaan hak, dan(5) Metode kerja fleksibel.

Dari apa yang telah dipaparkan di atas, jelaslah bahwa polisi mempunyai sifat internasional yang tidak dipunyai oleh angkatan perang lain.

61 Momo Kelana, Op.cit, hlm. 72.

Page 51: Peranan dan Kedudukan POLRI

44 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

3.4 Tugas dan Wewenang POLRIMenurut Poerwadarminta,62 tugas diartikan : pertama, sebagai sesuatu yang

wajib dilaksanakan atau yang ditentukan untuk dilaksanakan, kedua perintah untuk melakukan sesuatu, dan ketiga fungsi atau jabatan. Yang dimaksud dengan fungsi menurut Logeman63 adalah suatu lingkungan pekerjaan tertentu yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara. Jadi, setiap fungsi adalah lingkungan pekerjaan tertentu yang bersifat tetap dalam hubungan dengan keseluruhan negara. Adapun yang dimaksud dengan lingkungan pekerjaan tertentu menurut Utrecht64 adalah suatu lingkungan pekerjaan yang sebanyak-banyaknya dapat dinyatakan dengan tepat dan teliti (zoveel mogelijk nauwkurig omschreven) yang bersifat duurzaam, yang berarti tidak dapat diubah dengan begitu saja.

Dasar pelaksanaan tugas Polri di Indonesia adalah Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyebutkan : “...kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan segenap tumpah darah Indonesia...”.

Amanat Pembukaan UUD 1945 tersebut mengandung makna bahwa untuk membentuk suatu negara diperlukan suatu organisasi negara yang disebut pemerintahan. Dalam tugas melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia merupakan salah satu tugas Negara Indonesia yang di dalamnya berkaitan dengan keberadaan polisi negara bersama-sama dengan komponen bangsa yang lain.

Polri sebagai salah satu komponen bangsa yang berperan sebagai penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat (law and order), pengayom, pelindung dan pelayan masayarakat dalam rangka mewujudkan keamanan dalam negeri (Kamdagri). Diketahui bahwa dalam struktur pemerintahan ada 2 (dua) unsur penting yaitu supra struktur dan infra struktur (pendukung pemerintahan atau disebut juga struktur administrasi negara) yang didalamnya terdapat organisasi Polri yang mempunyai tugas utama menjaga keamanan negara.

Jika ditinjau sacara universal, tugas-tugas kepolisian yang dilakukan oleh negara-negara di dunia ada batasan-batasan pelaksanaan tugas kepolisian secara umum. Batasan-batasan tugas kepolisian pernah disampaikan pada kongres ke-8 Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada acara pencegahan kejahatan dan perlakuan terhadap tertuduh. Dalam Kongres tersebut telah ditentukan kriteria tugas kepolisian yang berlaku secara universal, antara lain:(1) Penyusunan tugas secara birokrasi dengan penekanan pada jalur perintah dan

pengawasan tugas,(2) Kewenangan kepolisian bersumber pada undang-undang dan kewajibannya

62 Poerwadarminta, W.J.S., Op. Cit, hlm. 1122.63 Momo Kelana, Opcit, hlm. 30.64 Utrecht, Op. Cit., hlm. 53.

Page 52: Peranan dan Kedudukan POLRI

45Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang

yang harus dirancang dalam bentuk sistem aturan kode etik dan prosedur pelaksanaan tugas yang menghasilkan disiplin yang pasti,

(3) Para petugas kepolisian perlu dikenali oleh warga masyarakat sehingga penggunaan emblim, pakaian seragam, tanda pangkat dan lokasi tugas merupakan bagian dari ekspresi kewenangan kepolisian guna kepastian hukum,

(4) Digunakannya tindakan fisik yang dilengkapi dengan senjata merupakan bagian dari komitmen kepolisian untuk memberikan jaminan keamanan bagi warga masyarakat,

(5) Kegiatan petugas kepolisian baik didalam dinas maupun diluar dinas menjadi bagian dari satuannya, dan

(6) Bersumber dari kewajiban kepolisian setiap petugas kepolisian harus mampu melaksanakan tugas dengan penilaian sendiri dalam keadaan memaksa untuk kepentingan umum. Azas ini disebut diskresi. Dalam pemahaman tentang tugas-tugas kepolisian yang secara universal tersebut yang dikaitkan dengan kewenangan yang dimiliki berdasarkan undang-undang dijelaskan oleh Logemann bahwa wewenang adalah alat penolong dari pelaksanaan tugas, dimana tugas dirumuskan secara umum, sedangkan kewenangan dirumuskan secara konkret.

Berdasarkan tugas dan kewenangan Polri tersebut diatas, maka untuk memberikan rambu-rambu bagi pelaksanaan tugas kepolisian telah ditetapkan azas secara universal yang dianut oleh semua negara di dunia, yaitu:

(1) Azas LegalitasSebagai aparat penegak hukum selalu mengutamakan azas legalitas, yaitu

azas yang mempersyaratkan adanya dasar hukum, ketentuan undang-undang dan peraturan perundang-undangan bagi setiap tindakan polisi. Azas ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan jaminan adanya perlindungan terhadap hak-hak warga negara yang harus dilindungi oleh hukum dan polisi bertindak berdasarkan undang-undang yang berlaku.

(2) Azas KewajibanPerkembangan masalah dan tuntutan pelayanan prima dalam masyarakat begitu

cepat sehingga polisi sering dihadapkan pada keadaan belum adanya aturan-aturan yang belum pasti, untuk itu azas kewajiban yang memungkinkan petugas polisi dapat bertindak berdasarkan kewajiban umum. Polri dalam menjaga ketertiban dan keamanan umum mempunyai kewenangan yang disebut diskresi (Police Discretion) dengan azas ini diperlukan persyaratan profesionalisme dan kualitas sumber daya manusia yang mampu secara mandiri mengambil keputusan dilapangan secara cepat dan tepat. Pada azas ini melekat tanggung jawab secara individu dari setiap petugas polisi dan tidak bisa berdalih bahwa tindakan itu atas perintah atasan.

Page 53: Peranan dan Kedudukan POLRI

46 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

(3) Azas Preventif (Asas Pencegahan)Azas ini merupakan azas yang sangat terkenal, bukan saja digunakan oleh

kepolisian tetapi juga digunakan dalam ilmu kedokteran. Sedangkan di Inggris azas ini disebut azas “The Nine Principles of The English Police”, bahwa penyelesaian perkara tidak diukur dari jumlahnya, akan tetapi dibuktikan dengan tidak terjadinya kejahatan dan ketidak tertiban. Dengan demikian, pengukuran suatu wilayah dapat dilihat dari tertib dan tidaknya suatu wilayah, karena penyelesaian perkara dalam pelaporannya sering dimanipulasi (dark number).

(4) Azas PartisipasiAzas ini merupakan azas partisipasi dari masyarakat untuk menangkal, mencegah

terjadinya ganguan keamanan dan ketertiban masyarakat/kriminalitas dari dalam masyarakat itu sendiri. Hal ini mengarah pada pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan metode Community Policing.

Dengan kewenangan yang dimiliki oleh kepolisian tersebut yang dilegitimasi dalam peraturan perundang-undangan, maka ada suatu tangggung jawab hukum bagi setiap anggota Polri yang bukan saja tanggung jawab pidana, tanggung jawab perdata maupun tanggung jawab administrasi, tetapi yang lebih penting tanggung jawab moral terhadap masyarakat yang menyangkut hak asasi manusia secara mendasar. Dengan demikian maka setiap petugas menempatkan dirinya sebagai warga negara teladan dari warga negara yang lain.

3.5 Kondisi Kemandirian Polri Saat IniDalam membahas tentang kondisi kemandirian Polri saat ini, akan diuraikan

tentang aspek struktural, aspek instrumental, dan aspek kultural. Akan dikaitkan pula di dalamnya kondisi pembinaan kekuatan dan kondisi penggunaan kekuatan Polri.

3.5.1 Aspek StrukturalSejak awal berdirinya kepolisian di Indonesia, status dan kedudukan kepolisian

senantiasa berubah sesuai dengan perkembangan politik, sebagaimana yang dikatakan oleh Djamin65:

“Polisi sebagai suatu organisasi yang telah ada sejak tahun 1945, telah mengalami beberapa kali perubahan struktur. Polri pernah berada di bawah Departemen Dalam Negeri, Kejaksaan Agung dan juga di bawah Presiden, kemudian pernah di bawah Perdana Menteri dan bahkan sebagai Departemen tersendiri (Departemen

65 Wawancara, Senin, 14 Januari 2002, PTIK, Jakarta.

Page 54: Peranan dan Kedudukan POLRI

47Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang

Kepolisian). Semua itu menunjukkan bahwa sejak awal, walaupun Polri di bawah naungan Departemen lain, tetapi status dan kedudukannya tetap sebagai organisasi yang mandiri dan otonom karena baik pembinaan operasional, kebjakan dan anggaran masih tetap dikendalikan oleh Polri sendiri”

Sejak berintegrasi dengan ABRI, Polri berada di bawah menhankam/pangab, dimana sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1997, pembinaan berada di bawah Menhankam, sedangkan Kapolri tetap sebagai pimpinan Polri dan merupakan salah satu staf dari Menhankam, sehingga jabatan Kapolri setingkat dengan Direktur Jenderal (Dirjen) di departemen lain. Hal ini berarti bahwa secara hierarkis dapat dikatakan menurun karena sebelumnya Kapolri setingkat Menteri yang langsung di bawah Presiden sebagai Menteri Panglima Angkatan Kepolisian. Dengan kondisi pembinaan di bawah Markas Besar ABRI (mabes ABRI), mengisyaratkan bahwa segala kebijakan yang menyangkut masalah anggaran, personil, sarana/prasarana, pendidikan, dan operasional rutin Polri tidak sepenuhnya menjadi kewenangan Polri, tetapi harus melalui Mabes ABRI.

Polri yang merupakan bagian integral dari ABRI secara hierarkis merupakan organisasi angkatan bersenjata yang termuda sehingga dalam segala geraknya, Polri harus mampu bersikap menempatkan diri sebagai junior sesuai dengan hierarki yang memang menjadi tradisi/ciri khas militer. Dengan demikian, sebagai junior dalam ABRI akan sulit untuk mengembangkan diri secara maksimal karena ditinjau dari segi kemampuan, kekuatan, keberanian, kelengkapan, profesionalisme, dan lain-lain akan tetap sebagai junior yang ditabukan melangkahi seniornya.

Sebagai imbas dari kebijakan polisi ABRI di era reformasi, khususnya yang menyangkut dwi fungsi ABRI, Daerah Operasi Militer (DOM), dan tindakan-tindakan kekerasan ABRI telah mempengaruhi organisasi Polri yang memang sebelumnya kurang diuntungkan sehingga menjadikan organisasi serta citra Polri yang semakin terpuruk.

3.5.2 Aspek InstrumentalAspek instrumental adalah segala aspek yang berkaitan erat dengan peraturan,

kebijakan, dan sarana/prasana penunjang tugas kepolisian, baik yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan, dasar filosofi tugas, doktrin, kebijaksanaan (political will), pola kerja, kemampuan fungsi, dan penerapan hukum terhadap pola kerja kepolisian.

Dasar filosofi pelaksanaan tugas kepolisian adalah untuk melumpuhkan musuh dengan mengutamakan motto mencegah lebih baik dari pada mengobati. Sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, Polri merupakan bagian integral dari ABRI, maka filosofi militer kill or to be killed telah mempengaruhi dasar filosofi Polri sehingga berakibat pada sering terjebaknya aparat kepolisian pada tindakan kekerasan yang melanggar hak asasi manusia.

Page 55: Peranan dan Kedudukan POLRI

48 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Dasar filosofi Polri lainnya adalah doktrin Tata Tentaram Kerta Raharja, Tri Brata, dan Catur Prasetya yang lebih berorientasi pada kesejahteraan dan kepentingan pelayanan, perlindungan masyarakat. Sifat doktrin kepolisian ini adalah dinamis sehingga lebih diperlukan seni kreatifitas untuk memutuskan sendiri tanpa harus menunggu perintah.

Dasar filosofi Polri tentu berbeda jauh dengan filosofi khas militer, yaitu : sapta marga, sumpah prajurit, dan trilogi ABRI, yang menitik beratkan pada sifat-sifat keprajuritan yang patuh dan taat pada pimpinan, sebagai perintah mutlak yang tidak bisa dibantah karena merupakan kewenangan komando yang bersifat hierarki. Dalam doktrin militer ini, kepentingan komando adalah di atas segala-galanya.

Pada saat Polri masih bagian dari ABRI, pengambilan kebijaksanaan organisasi sesuai dengan kewenangannya dirasakan sangat lambat serta kurang adanya kepastian, karena setiap keputusan harus melalui Mabes Polri yang cenderung birokratis. Di samping itu sering kebijaksanaan dan kepentingan Polri lebih banyak terpinggirkan, karena Mabes Polri lebih mengutamakan misi ABRI/ TNI). Sebagai contoh adalah kebijakan Pengamanan Langsung (Pamsung) dan Pengamanan Tidak Langsung (Pamtaksung) pada masa Pemilihan Umum (Pemilu), kebijakan operasi gabungan, kebijakan misi keluar negeri baik yang menyangkut pendidikan ataupun penugasan luar negeri (penugasan-penugasan PBB atau Internasional lainnya). Melihat kewenangan yang begitu besar pada mabes ABRI terhadap kebijakan Polri, sangat mempengaruhi kinerja Polri. Campur tangan organisasi lain di luar Polri mengakibatkan kerugian pada kinerja dan citra Polri.

Aparat Polri yang selalu dan secara langsung berhadapan dengan masyarakat dengan berbagai permasalahannya secara komplek dituntut untuk segera mengambil keputusan setiap saat. Dengan mengutamakan kemampuan individu yang disertai dengan kewenangan diskresi yang melekat pada anggota Polri dan merupakan pertanggung jawaban pribadi, namun dengan berlakunya pola kerja ABRI selama ini (sebelum lahirnya UU No.2/2002) yang mengutamakan kepentingan kelompok, tanggung jawab ada pada atasan sehingga anggota selalu menjadi ragu untuk melakukan kewenangan diskresi, bahkan bisa dianggap salah bila tanpa adanya perintah atasan, karena sesuai dengan motto militer yang menyatakan bahwa : “tidak ada anak buah yang salah, sehingga komandanlah yang harus bertanggung jawab”.

Rumusan tugas pokok Polri, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 adalah sebagai berikut:(1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,(2) menegakkan hukum, dan(3) memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Rumusan tugas pokok Polri yang terdapat dalam UU No. 2/2002, berbeda jauh dengan ketentuan Undang-undang Nomor 20 tahun 1982 (telah dicabut dengan UU No.3/2002 tentang Pertahanan Negara). Dalam UU No. 20/1982 disebutkan bahwa Polri selain mengemban fungsi keamanan (Kamdagri) juga mengemban fungsi

Page 56: Peranan dan Kedudukan POLRI

49Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang

bantuan pertahanan. Fungsi keamanan dan pertahanan merupakan dua fungsi yang berbeda, sebagai mana yang dikatakan oleh Djamin:66 “Fungsi pertahanan dan keamanan tidak dapat disatukan, karena fungsi pertahanan sebagai defence adalah fungsi khusus militer yang berperan untuk bertempur, sedangkan fungsi keamanan adalah sebagai security adalah fungsi khas kepolisian universal yang berperan untuk melindungi dan melayani masyarakat”.

Kondisi Polri saat ini, di samping melaksanakan tugas pokok juga melaksanakan tugas-tugas sosial politik. Dengan demikian secara langsung maupun tidak langsung keterlibatannya dengan politik akan mengakibatkan keberpihakan pada faham tertentu. Padahal sesuai dengan tugas pokoknya sebagai penegak hukum harus bersikap adil dan tidak memihak. Hal ini jelas akan menurunkan tingkat kepercayaan dan legitimasi yang telah diberikan rakyat kepada Polri, sehingga sering muncul adanya anggapan masyarakat terhadap banyaknya kasus-kasus kriminal yang sengaja dipolitisasi untuk kepentingan pihak-pihak tertentu yang berkuasa.

Salah satu dari aspek insrumental yang mempengaruhi kinerja Polri adalah pelaksanaan tugas yang erat kaitannya dengan kemampuan fungsi kepolisian. Dewasa ini, terdapat lima fungsi dasar pada organisasi Polri, yaitu:(1) Fungsi Reserse;(2) Fungsi Intel Pam Polri;(3) Fungsi Bimmas;(4) Fungsi Lantas; dan(5) Fungsi Sabhara.

Kelima fungsi fungsi kepolisian tersebut harus dapat bekerja secara sistematis, terpadu, dan kontinyu dengan melakukan tindakan preemtif, preventif maupun tindakan represif. Di samping itu perlu juga pemberdayaan fungsi teknis kepolisian dalam mewujudkan profesionalisme Polri Tidak kalah pentingnya adalah peningkatan kemampuan Polri sebagai penegak hukum yang harus diwujudkan dalam proses penyelidikan dan penyidikan.

Kemampuan Polri sebagai penegak hukum dalam proses penyelidikan dan penyidikan belum dapat diwujudkan secara maksimal, sebagaimana harapan masyarakat. Perbedaan penafsiran terhadap aturan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum baik itu oleh Polisi, Jaksa, dan Hakim seringkali tidak sama. Hal ini menimbulkan dampak negatif terhadap peran Polri sebagai aparat penyidik. Lebih jauh dari itu, sering terjadi tumpang tindih kewenangan atas suatu proses penyidikan, karena menurut aturan hukum, di Indonesia selain Polri masih ada organisasi yang berwenang melakukan upaya penyidikan, baik itu dari pihak kejaksaan ataupun Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

Kurangnya konsistensi dan ketegasan terhadap pelaksanaan undang-undang oleh aparat penegak hukum seperti pihak PPNS di atas, yang seharusnya

66 Wawancara, Senin, tanggal 12 Agustus 2002, PTIK, Jakarta.

Page 57: Peranan dan Kedudukan POLRI

50 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

dikoordinasikan oleh Polri dalam melaksanakan penyidikan ternyata tidak melalui aparat Polri dan dapat diterima oleh penuntut umum proses pemeriksaannya. Kondisi demikian apabila berlangsung secara terus menerus tanpa adanya koreksi dapat mengakibatkan undang-undang tidak dapat berjalan dengan semestinya sehingga dikhawatirkan akan mengurangi peran Polri pada masa yang akan datang sebagai koordinator pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

Tidak adanya sanksi hukum yang tegas terhadap aparat penegak hukum untuk melaksanakan hukum sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, menyebabkan terjadinya pelecehan terhadap peran sesama atau antaraparat penegak hukum dan dapat merusak sistem yang telah disepakati oleh wakil-wakil rakyat.

3.5.3 Aspek KulturalAspek kultural adalah segala sikap, tingkah laku, atau budaya yang mengarah

pada perwujudan Polri yang mandiri dan profesional. Terdapat sedikitnya empat unsur yang penting dibahas, yakni : mentalitas, sikap tampang, pengembangan profesi, dan kondisi sumber daya Polri.

(a) MentalitasDiberikannya kewenangan yang sangat besar kepada Polri oleh pemerintah

dan Undang-undang (UU No. 2 Tahun 2002), telah membawa dampak negatif pada sikap mental aparat kepolisian yang cenderung arogan dan bersikap sebagai tuan yang harus dilayani, bukannya sebagai alat negara yang melayani, mengayomi dan melindungi masyarakat. Hal ini dapat terlihat dengan adanya indikator :

(1) Aparat sebagai penegak hukumSebelum lahirnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, Polri merupakan

bagian integral dari ABRI. Oleh sebab itu, ada anggapan bahwa tugas-tugas Polri pun dapat dilaksanakan oleh ABRI lainnya, sehingga di lapangan sering terjadi aparat TNI melaksanakan tugas-tugas kepolisian yang bukan kewenangannya, yang akhirnya terbiasa dengan tugas-tugas tersebut yang dianggapnya benar, karena tidak ada yang berani protes terhadap tindakannya tersebut atau ada pihak yang melarangnya, bahkan polisi pun tidak bisa berbuat banyak. Adanya kebiasaan tersebut di atas, timbul kesan di masyarakat bawah yang buta hukum, bahwa aparat TNI dapat juga melaksanakan tugas-tugas kepolisian, sehingga sering ditemukan adanya laporan-laporan dari masyarakat yang menyangkut dengan tindak pidana/masalah kriminalitas yang ditujukan ke markas koramil ataupun kodim.

Untuk melaksanakan penegakan hukum, khususnya dalam menghilangkan dualisme hukum dalam penanganan tugas-tugas polisionil, menurut Nur Rasyid67 bahwa :

67 Nur Rasyid, Wawancara, (staf ahli Menkeh dan Ham) Selasa, 9 Juli 2002, Jakarta.

Page 58: Peranan dan Kedudukan POLRI

51Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang

“Untuk menegakkan hukum, segala kewenangan polisionil harus dikembalikan kepada Polri, sehingga tidak ada tolak-tarik kewenangan antara Polri dan TNI. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah jelas menyebutkan kedudukan Polri sebagai alat negara, peran dan fungsi Polri sebagai penegak hukum dan ketertiban dalam mayarakat. Begitu pula halnya dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 yang secara tegas menyatakan bahwa TNI bertugas melindungi kedaulatan negara dari ancaman musuh dari luar atau sebagai alat pertahanan negara”.

(2) Pola kepemimpinan dan keteladanan Polri yang kurang baik.Kepemimpinan dan keteladanan Polri, terutama pejabat Polri dan petugas Polri

di lapangan, sering menunjukkan sikap yang kurang simpatik dan kurang tegas dalam pengambilan keputusan. Dikatakan kurang simpatik karena masih ditemukan adanya jual beli dan tawar menawar terhadap proses penanganan tindak pidana dan adanya perlakuan yang berbeda terhadap pelaku tindak pidana. Sikap kurang tegas dalam pengambilan keputusan dapat dilihat dari tindakan pejabat kepolisian yang terkesan lambat dan kurang berani mengambil keputusan sebelum adanya petunjuk/instruksi dari atasannya.

Pada dasarnya setiap anggota Polri dituntut perseorangan untuk memutuskan sesegera mungkin untuk membuat keputusan apa yang harus dilakukannya menurut kepatutan hukum dalam menanggani masalah kamtibmas/ tindak pidana. Hal ini karena Polri telah dibekali dengan kewenangan diskresi dalam melaksanakan tugas.

Hal tersebut di atas, kadang juga dapat dimaklumi, karena adanya pengaruh hierarki dan birokrasi di dalam aspek pembinaan, khususnya dalam penilaian pembinaan jenjang karir kepemimpinan puncak Polri, terutama untuk golongan pangkat Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) sampai dengan perwira tinggi (pati) yang lebih banyak ditentukan oleh kebijakan pimpinan mabes Polri yang mengakibatkan Polri kehilangan daya dalam menentukan kebijakan operasional yang cepat dan tanggap terhadap masalah-masalah Kamtibmas.

Sebagaimana telah dikatakan oleh mantan Kapolri, Kunarto68 bahwa: “Kelemahan yang paling esensial yang ada di tubuh Polri adalah kelemahan manajerial yang berakibat pada kelemahan pembinaan maupun operasional”.

(b) Sikap Tampang PolriSikap tampang Polri adalah suatu bentuk penampilan (performance) dari setiap

anggota Polri baik dari segi penampilan karakter individu (tingkah laku) maupun kerapian berpakaian.

68 Kunarto, Wawancara, Rabu, 9 Januari 2002, PTIK, Jakarta.

Page 59: Peranan dan Kedudukan POLRI

52 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Selama ini sering terlihat dalam penampilan luar Polri dari postur tubuh dan cara berpakaian, yang lebih menonjolkan sikap sebagai prajurit TNI yang terkesan angker dan kaku, sehingga masyarakat menganggap bahwa Polri tidak menunjukkan sebagai pelindung dan pelayan masyarakat yang ramah, sopan, santun, luwes dan simpatik. Padahal, pada hakikatnya postur dan penampilan Polri adalah ditujukan sebagai pelayanan masyarakat dan bukan sebagai prajurit yang berhadapan dengan musuh yang harus dibunuh. Kesan demikian menjadikan masyarakat akan menjauh dan membuat masyarakat enggan untuk berurusan dengan polisi.

Kerapian berpakaian anggota Polri juga merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan sebagai bagian dari unsur pelayanan. Kadang kala, masyarakat menjadi enggan untuk berurusan dengan Polisi yang kelihatan kumuh, tidak rapi dan terkesan urakan. Tidak jarang ditemui, petugas Polri di lapangan yang kurang memperhatikan etika dan estetika dalam berpakaian. Hal ini kelihatan sepele tetapi cukup menentukan. Jika dibandingkan penampilan petugas Polri yang ada di lapangan dengan petugas Polri yang ada di kantoran (sebagai administrasi atau ajudan), akan terlihat perbedaan yang kontras. Memang, tidak pantas menyalahkan petugas Polri yang di lapangan semata karena medan tugas yang dihadapi jauh berbeda dengan petugas yang hanya duduk di belakang meja.

(c) Pengembangan ProfesiKesalahan masa lalu dalam memposisikan Polri sebagai bagian integral dari ABRI

menyebabkan sulitnya pengembangan profesi di tubuh Polri. Sebelum Polri mandiri, Polri dididik dan dibina secara militer, sebagai konsekuensi bagian dari ABRI (militer), sehingga sifat-sifat militer tetap melekat dalam pelaksanaan tugas. Hal tersebut mengakibatkan tidak profesionalnya anggota polisi69. Di samping itu, pengembangan profesi yang dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, dan penugasan operasional tidak dapat secara maksimal dilaksanakan. Selain disebabkan terbatasnya sarana/prasarana pendidikan yang terbatas, juga sulitnya persyaratan dan prosedur yang harus dipenuhi untuk dapat mengikuti pendidikan. Di lain pihak, pendidikan dan penugasan ke luar negeri harus melalui Mabes ABRI yang terkadang, hal ini menjadi kendala dan penghambat karena alasan birokratis, anggaran yang terbatas serta kebijakan lain yang kurang transparan.

Setelah UU No.2 Tahun 2002 lahir tidak secara otomatis mengubah sistem pendidikan dan kurikulum pada lembaga pendidikan dan latihan Polri. Hal ini dapat dilihat dari beberapa materi/kurikulum pendidikan yang masih terkesan militeristik. Dalam lembaga pendidikan dan latihan Polri juga masih dikenal sebutan atau panggilan komandan bagi atasan. Sebenarnya istilah komandan hanya dikenal di lingkungan militer. Polri sebagai bagian dari masyarakat sipil cukup kiranya

69 Susanto, I.S, Hukum dan Demokrasi, Caraka Candi, Edisi September 2001, Dispen Polda Jawa Tengah, hlm. 28, Semarang, 2001.

Page 60: Peranan dan Kedudukan POLRI

53Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang

memanggil/menyebut kepala atau “pak” kepada atasan/pimpinannya. Hal lainnya yang kurang benar untuk dipertahankan dalam lembaga pendidikan dan latihan Polri adalah tentang materi menembak yang sasarannya adalah organ vital dari manusia, yakni kepala dan dada (jantung). Seharusnya Polri menembak hanya untuk melumpuhkan dengan sasaran pinggang ke bawah dari tubuh manusia.

Untuk pengembangan organisasi Polri yang mandiri dan profesinal sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 dan UU No. 2 Tahun 2002, Polri harus segera meninggalkan paradigma lama dan menuju paradigma baru sebagai civillian police (polisi sipil).

(d) Kondisi Sumber Daya PolriBerbicara masalah manajemen sumber daya akan dibahas masalah personil,

sarana/prasarana, dan anggaran yang ada selama ini.

(1) PersonilJumlah personil Polri dari segi kuantitas pada saat ini mencapai kurang lebih

189.908 (tahun 1997/1998) dan jumlah ini diproyeksikan akan mencapai 195.805 (tahun 1998-1999) atau mengalami kenaikan 5.807 orang. Dengan jumlah personil polri yang ada serta adanya penambahan yang relatif sangat kecil pada tiap tahunnya mengakibatkan rasio jumlah polisi dibandingkan penduduk 1 : 1.200. Rasio tersebut sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara lain, terlebih lagi jika mengikuti standar rasio polisi yang ditetapkan oleh PBB, yakni 1 : 400.

Untuk mengejar kondisi police employee rate yang seimbang sesuai dengan tuntutan PBB tidak mudah. Hal ini karena dipengaruhi oleh luas wilayah Indonesia yang sangat luas disamping jumlah penduduk yang setiap tahunnya cenderung meningkat.

Personil Polri dilihat dari segi kualitas pada saat ini dirasakan masih jauh dari apa yang diharapkan oleh masyarakat. Peningkatan profesionalisme pelaksanaan tugas Polri yang dihadapkan dengan tugas-tugas dan tantangan saat ini semakin komplek, disamping itu sistem pembinaan pendidikan Polri harus pula disusun dengan sistem pendidikan yang benar-benar menunjang pelaksanaan tugas operasional kepolisian.

Terbatasnya lembaga pendidikan dan pelatihan Polri dalam menerima siswa polri menjadi kendala sendiri dalam menghasilkan Polri yang profesional dan berkualitas. Masalah yang sangat disesalkan adalah adanya ketidak transparanan dalam penerimaan siswa di lembaga pendidikan dan latihan Polri baik itu di Sekolah Polisi Negara (SPN) yang mendidik para Bintara Polri, Sekolah Calon Perwira (Secapa), Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Sekolah Staf dan Pimpinan Polri (Sespim Pol), dan bahkan di Sekolah Staf dan Administrasi Perwira Tinggi (Sespati). Hal ini dapat dilihat dalam proses penyaringan dan perekrutan calon siswa yang masih menggunakan campur tangan (adanya rekomendasi dari pihak-pihak tertentu) dan bawah tangan (adanya suap) dalam proses untuk meluluskan calon siswa.

Page 61: Peranan dan Kedudukan POLRI

54 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

(2) Sarana/prasaranaPada hakikatnya sarana/prasarana adalah unsur pendukung keberhasilan tugas.

Akan tetapi, pada kenyataannya, banyak mengalami hambatan dalam pengadaannya. Salah satu faktor hambatan adalah dalam pelaksanaan sistem pengadaan sarana/prasarana, khususnya perlengkapan yang terpusat di logistik mabes Polri. Di samping itu, peralatan yang dibutuhkan untuk operasional Polri masih diwarnai oleh siapa yang menyumbang dan belum didasarkan pada kebutuhan sistem peralatan yang benar sehingga dengan cara pengadaan sarana/prasarana yang terpusat ditemui barang yang tidak sesuai dengan kebutuhan operasional Polri di lapangan. Di lain pihak, pengadaan sarana/prasarana secara terpusat tidak efisien dan nonekonomis karena banyak saran/prasarana yang mubazir serta apabila ada yang rusak sangat sulit memperbaikinya, karena kelangkaan suku cadang atau tidak ada tempat/bengkel untuk memperbaiki barang tersebut.

Kondisi sarana/prasarana Polri saat ini, jumlahnya sangat tidak memadai. Secara kualitas dan kuantitas sarana/prasarana tersebut kurang dapat mendukung operasional anggota di lapangan. Terkait dengan pengadaan sarana/prasarana Polri, maka keperluan yang mendesak adalah sarana transportasi, komunikasi, dan informasi untuk mendukung tugas-tugas Polri pada saat ini.

(3) AnggaranKeberhasilan pelaksanaan tugas Polri sangat ditentukan oleh dukungan anggaran

yang memadai, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan operasional. Akan tetapi, kenyataannya dukungan untuk anggaran Polri sangat kecil misalnya dalam hal biaya penyidikan hanya dapat terpenuhi 15-20 % dari kebutuhan ril. Dukungan anggaran yang relatif kecil ini menimbulkan dampak, antara lain, hasil kerja yang dicapai tidak optimal, bahkan tidak tertutup kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas.

Pola anggaran yang diterapkan di organisasi Polri sering kali tidak melakukan koordinasi dengan departemen lain, seperti departemen kehakiman dan ham dan kejaksaan agung dalam hal penyediaan anggaran makan tahanan, departemen kesehatan dalam hal visum et repertum, transportasi ambulance, dan mobil jenazah.

Sistem anggaran Pori yang masih menggunakan paradigma lama dengan budget oriented system dirasakan sudah tidak sesuai lagi dan sudah selayaknya mengacu pada paradigma baru sistem anggaran Polri dengan melakukan program oriented system. Budget oriented system adalah penyusunan anggaran yang mengacu pada ketersediaan anggaran pada APBN yang diserahkan ke Mabes Polri. Kegiatan operasional kepolisian dibatasi dengan jumlah atau ketersediaan anggaran, bahkan tidak jarang dengan suatu indeks tertentu, anggota Polri harus dapat menyelesaikan suatu tindak pidana. Begitu pula halnya dengan pimpinan Polri, baik di tingkat Polda, Polwil, Polres maupun Polsek, yang harus mengirit dana dan menyusun kegiatan sesuai dengan dana yang tersedia atau dana yang dijatahkan.

Page 62: Peranan dan Kedudukan POLRI

55Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang

Budget oriented system membuat Polri sangat kesulitan dalam pelaksanaan operasional tugas sehari-hari, karena dengan terbatasnya anggaran yang tersedia membuat Polri tidak dapat memberikan pelayanan yang memadai dan memuaskan kepada masyarakat. Disamping itu juga dapat menimbulkan dampak negatif yaitu timbulnya pungutan-pungutan liar, suap-menyuap dalam penanganan perkara, kolusi dengan pelaku tindak kriminal. Hal ini dimungkinkan karena tuntutan tugas yang begitu tinggi, tetapi anggaran yang tersedia terbatas membuat pejabat Polri dengan sengaja atau tidak sengaja melakukan peyimpangan. Kutipan-kutipan yang sengaja dimintakan kepada pengusaha bahkan kepada pelaku tindak pidana dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan anggaran baik untuk membuat markas komando (mako/kantor), uang makan tahanan, uang penyelidikan, dan penyidikan, dll.

Untuk profesionalnya organisaasi Polri, maka sistem anggaran harus disusun berdasarkan program oriented system yaitu, penyusunan anggaran yang didasarkan pada program kerja Polri. Jadi anggaranlah yang harus mengikuti kerja atau kegiatan operasional kepolisian. Memang hal ini masih relatif sulit diterapkan di Indonesia karena terbatasnya anggaran yang diberikan oleh negara melalui APBN kepada Polri, tetapi apabila ingin diwujudkan pasti akan bisa, karena didukung oleh masyarakat. Banyak masyarakat yang dengan sukarela menyumbangkan sarana/prasarana kepada Polri, baik berupa mobil patroli, mobil patroli dan pengawalan (Patwal), sepeda motor, dan sepeda untuk patroli, tanah dan bahan bangunan untuk pembangunan mako/kantor, asrama atau sarana pendidikan dan kesehatan Polri. Kerelaan masyarakat tersebut karena dilandasi pemikiran bahwa jika mereka ingin aman dan tenteram, petugas Polri harus dibekali secara cukup. Tentu saja Polri harus respon terhadap pemberian masyarakat tersebut dengan memberikan pelayanan, pengayoman dan perlindungan kepada masyarakat sebagai umpan baliknya.

3.6 Perkembangan Lingkungan StrategisPerkembangan lingkungan strategis yang dibahas meliputi perkembangan

lingkungan strategis global, regional, dan nasional serta strategi penataan kedudukan organisasi Polri. Perkembangan lingkungan strategis ini penting diungkapkan untuk dapat membaca peluang dan hambatan yang akan dihadapi Polri dalam kapasitasnya sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat.

3.6.1 Perkembangan Lingkungan Strategis GlobalPerkembangan global yang menonjol adalah terjadinya pergeseran konstalasi

politik dari format bipolar ke multipolar. Konteks tersebut telah menggeser skala prioritas sikap negara dunia yang pada mulanya berupaya semaksimal mungkin memperkokoh pertahanan sebagai strategi penangkalan terhadap kemungkinan

Page 63: Peranan dan Kedudukan POLRI

56 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

timbulnya konflik bersenjata dengan negara lain, telah berpaling ke arah upaya memacu pertumbuhan ekonomi domestik dan mulai merintis dan merealisasikan kerjasama ekonomi global.

Kepentingan-kepentingan ekonomi tersebut ditandai dengan adanya indikasi penyatuan mata uang eropa oleh Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), AFTA, NAFTA, APEC, G-8, G-14, GATT-WTO dan lainnya serta dibarengi dengan isu-isu yang kuat di bidang Hak Asasi Manusia (HAM), lingkungan hidup, dan demokrasi. Hal ini menempatkan politik penggunaan kekuatan bersenjata diarahkan untuk membela, melindungi, dan bahkan digunakan sebagai penekan kepentingan ekonomi, kelestarian lingkungan hidup, kehidupan demokrasi, dan HAM.

Bagi negara-negara berkembang yang masih mencari kemampuan bersenjata mengalami tekanan-tekanan dari pengaruh global tersebut dengan resiko tertinggi adalah terpecahnya negara-negara berkembang menjadi negara-negara otonom berdasarkan etnis. Tumbuhnya negara-negara yang berdasarkan etnis tadi belum mampu diimbangi dengan kekuatan dan kemampuan ekonomi sendiri yang akhirnya akan bergantung pada negara adidaya dalam bidang ekonomi.

Situasi di atas akan menimbulkan konflik kepentingan antarnegara maju dalam perebutan pengaruh atas penguasaan sumber daya alam, pasar, penguasaan tehnologi, dan ketimpangan sistem moneter. Di samping itu, akan terjadi pula konflik kepentingan antarnegara maju dan negara berkembang karena masalah perdagangan, hutang, dan pembayarannya, dan alih tehnologi serta perbedaan pengertian demokrasi dan HAM. Konflik kepentingan antarnegara berkembang yang banyak disebabkan oleh masalah perbedaan suku, ras, warna kulit, dan agama.

Adanya kecenderungan konflik antarnegara akibat adanya perbedaan kepentingan masing-masing negara dapat menimbulkan benturan kepentingan sehingga dapat berkembang menjadi konflik terbuka dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan sosial budaya.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang semakin pesat, terutama pada tehnologi komunikasai dan transportasi, menyebabkan isu-isu global, baik itu masalah HAM, demokrasi, ekonomi, hukum, maupun politik menyebar makin cepat dan menerpa pada berbagai tataran di berbagai negara di belahan dunia.

Isu demokrasi, HAM dan lingkungan hidup serta keterbukaan yang semula diterima secara hati-hati dengan alasan perbedaan budaya dan stabilitas, pada akhirnya dapat diterima sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku masyarakat. Perubahan-perubahan isu global tersebut disatu sisi akan mengarah pada tingkat perbaikan kualitas kehidupan, namun disisi lain akan menyebabkan semakin tingginya bentuk gangguan kamtibmas dan modus operandi kejahatan baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Terus meningkatnya penduduk dunia akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang mengakibatkan menurunnya daya dukung lingkungan sebagai sumber daya alam, ini berarti juga langkanya bahan pangan yang mampu disiapkan termasuk

Page 64: Peranan dan Kedudukan POLRI

57Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang

sumber daya energi alam. Hal ini akan dapat meningkatkan persaingan yang merupakan sumber konflik antarnegara.

Perkembangan lingkungan strategis global tersebut dapat menyebabkan adanya tuntutan terhadap perubahan-perubahan pada berbagai bidang pemerintahan, termasuk di dalamnya organisasi polri yang harus memperlihatkan ketanggapannya dalam mengantisipasi berbagai perkembangan secara profesional dan proporsional.

3.6.2 Perkembangan Lingkungan Strategis RegionalDengan adanya kegiatan ekonomi dunia yang cenderung bergeser dari kawasan

Samudra Atlantik ke kawasan Samudra Pasifik, di satu sisi akan dapat membuka peluang bagi bangsa-bangsa Asia Pasifik untuk meningkatkan kemakmurannya. Di samping itu, perlu ditingkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya konflik ekonomi dan politik karena benturan kepentingan banyak negara.

Berbagai benturan kepentingan tersebut terjadi karena secara geografis wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur berbeda antara satu negara dan negara lainnya. Ketidakseimbangan jumlah penduduk yang sangat besar dibandingkan dengan jumlah sumber daya alam yang sangat terbatas dapat meningkatkan kerawanan kejahatan di kawasan Asia Pasifik. Kemajemukan ideologi yang dianut oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan asia Pasifik menimbulkan perbedaan pandangan dan kepentingan yang akibatnya dapat memuncak pada persengketaan antarnegara di kawasan masing-masing.

Dalam konteks pergaulan masyarakat dan negara secara regional tidak dapat dihindari keadaan yang membawa perkembangan dan perubahan suatu negara dalam wilayah regional, di mana perkembangan dan perubahan negara yang satu dapat mempengaruhi perkembangan negara lainnya. Perbedaan-perbedan geopolitis, geostrategis, ideologi, etnis, ras, dan agama akan semakin dipertajam dengan adanya perbedaan sumber daya ekonomi dan sumber daya alam. Hal ini akan menyebabkan tingkat konflik semakin tinggi, baik kualitas maupun kuantitasnya, dan tentunya akan berpengaruh pada kestabilan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat.

Di kawasan Asia Tengah yang pada mulanya aman dan damai telah mengalami perubahan dan perkembangan lingkungan strategis yang cukup mengancam perdamaian dunia. Percoban nuklir di dua negara India dan Pakistan akan membawa dampak yang berjangka panjang terhadap kesiapan dan persiapan persenjataannya. Kecurigaan dan pertentangan-pertentangan akan menimbulkan berbagai kecaman yang akan diikuti dengan tindakan yang tidak menguntungkan dari negara-negara maju, tentu saja tindakan dari negara-negara maju tersebut akan berimbas ke negara-negara lain di luar kawasan Asia Tengah.

Di kawasan Timur Tengah disibukkan dengan konflik antara Israel dan Palestina yang tidak kunjung berakhir. Upaya-upaya perdamaian antara negara Palestina dan

Page 65: Peranan dan Kedudukan POLRI

58 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Israel yang tidak kunjung selesai karena adanya dukungan Amerika Serikat terhadap Israel yang merugikan Palestina akan dapat berkembang menjadi konflik terbuka. Konflik terbuka tidak hanya antara Israel dan Palestina, tetapi bisa meluas dengan terlibatnya Amerika Serikat dan negara-negara Arab lainnya seperti Mesir, Kuwait, Arab Saudi, bahkan bisa meluas ke negara-negara muslim di seluruh belahan dunia. Perjuangan Irak untuk melepaskan tekanan dari sanksi PBB masih akan memerlukan waktu yang panjang yang dapat membangkitkan solidaritas masyarakat muslim untuk membantu Irak. Hal ini perlu mendapat perhatian untuk secara arif dan bijaksana dari setiap negara di dunia yang cinta damai, termasuk Indonesia.

Konflik yang terjadi pada kawasan regional juga akan sangat mempengaruhi kestabilan keamanan di dalam negeri Indonesia karena banyaknya konflik regional yang dapat menciptakan konflik internal, sekurang-kurangnya antara masyarakat pengunjuk rasa dan aparat kepolisian ketika demonstrasi terjadi. Peran pemerintah Indonesia dalam menyikapi perkembangan lingkungan strategis sangat membantu peran Polri dalam menegakkan hukum dan ketertiban dalam masyarakat dalam kedudukannya sebagai alat negara.

3.6.3 Perkembangan Lingkungan Strategis NasionalMencermati perkembangan negara Indonesia sedang mengalami krisis moneter,

hukum, politik, dan ekonomi serta ancaman disintegrasi bangsa yang memuncak pada bentuk krisis kepercayan terhadap pemerintah. Secara mendasar disebabkan adanya ketidakseimbangan antara pembangunan ekonomi, poltik, dan hukum. Pokok permasalahannya terletak pada mekanisme dan dinamika pengambilan keputusan yang tidak transparan karena adanya berbagai faktor. Pengambilan keputusan yang terpusat pada eksekutif menyebabkan masyarakat kurang melakukan kontrol yang akhirnya bermuara pada sikap apatis. Keadaan ini menghasilkan distorsi fungsi dan sistem sehingga melahirkan berbagai krisis yang berlanjut menjadi krisis kepercayan masyarakat terhadap pemerintah.

Pada saat ini telah ada kecenderungan pergeseran kekuasaan dari eksekutif ke legislatif. Pergeseran kekuasaan ini menimbulkan nuansa baru dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di Indonesia. Adanya paradigma baru yang coba diterapkan di Indonesia ternyata membuat negara dan bangsa Indonesia dalam kehidupan bernegara yang sangat sulit. Adanya tolak tarik kekuasaan antara eksekutif dan legislatif membuat terbengkalainya beberapa urusan pemerintahan yang berdampak pada masyarakat. Ketidakpastian hukum, kesenjangan ekonomi, arogansi politik, disintegrasi bangsa, dan kemunduran budaya serta degradasi moral menyebabkan Bangsa Indonesia mengalami kemunduran beberapa langkah dalam proses pembangunan.

Ada beberapa hal yang menjadi objek bahasan perkembangan lingkungan strategis nasional yaitu : Kondisi geografi, demografi, sumber daya alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan serta keamanan.

Page 66: Peranan dan Kedudukan POLRI

59Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang

(a) GeografiKondisi geografi Indonesia yang terdiri atas beribu-ribu pulau dan terletak

pada posisi silang memberikan kedudukan yang strategis di bidang transportasi, perdagangan, dan hubungan antarnegara yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan nasional. Namun demikian, dapat juga mengundang kerawanan karena terbuka kesegala arah yang mengarah pada berbagai konflik khususnya masalah perbatasan.

Terdapatnya beragam kelompok etnis, agama, dan kepercayaan serta sumber kekayaan alam yang hampir merata di seluruh pelosok nusantara akan menempatkan Indonesia pada potensi yang rawan terhadap pertikaian yang berdasarkan suku, agama dan rasial (sara) yang dapat menimbulkan disintegrasi bangsa apabila tidak ditangani dengan baik.

Luasnya kepulauan Indonesia tidak sepenuhnya dapat diawasi secara maksimal oleh negara melalui alat-alat perlengkapan negara , khususnya oleh Polri yang terbatas dalam personil, sarana/prasarana, dan anggaran. Tidak heran apabila di daerah tertentu yang luput dari perhatian pemerintah pusat, seperti Aceh, Papua, dan Ambon terjadi gangguan kamtibmas dalam skala besar, bahkan telah menuju ke arah konflik bersenjata. Untuk itu, perlu kiranya pemerintah memaksimalkan peran Polri sebagai alat negara dalam fungsinya menegakkan hukum dan ketertiban dalam masyarakat.

(b) DemografiJumlah penduduk yang besar (lebih kurang 230 juta jiwa) dengan tingkat

pertumbuhan 1,6% per tahun merupakan peluang dalam menjadikan jumlah penduduk sebagai aset dari pembangunan. Akan tetapi, penyebaran penduduk yang belum merata dengan kualitas yang relatif rendah merupakan kerawanan dan menjadi beban pembangunan. Dihadapkan pada dampak krisis ekonomi yang belum terselesaikan akan berakibat pada bertambah tingginya angka pengangguran maupun kelompok masyarakat di bawah garis kemungkinan.

Tidak seimbangnya jumlah penduduk dengan jumlah polisi akan menyulitkan Polri melaksanakan fungsi penegakan hukum dan pewujud keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Untuk mengurangi Police Employee Rate yang begitu besar, sudah sepatutnya jumlah personil Polri ditambah, sekurang-kurangnya agar mencapai ratio ideal sesuai dengan standar kepolisian di negara-negara ASEAN yaitu 1 : 700.

(c) Sumber Daya AlamEksploitas dan eksplorasi sumber daya alam dan hayati dalam menunjang

pembangunan nasional akan memerlukan peran serta investor asing sebagai pihak penanam modal. Selain itu, pihak ketiga sebagai pemodal atau pemberi pinjaman (IMF, World Bank, ADB, dll) mensyaratkan beberapa ketentuan dalam proses

Page 67: Peranan dan Kedudukan POLRI

60 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

pemberian pinjaman atau penanaman investasi di Indonesia. Para investor asing dan pihak pemberi pinjaman perlu mendapatkan jaminan stabilitas keamanan dan politik di dalam negeri. Hal ini penting untuk kelancaran pembangunan di Indonesia dan proses pengembalian pinjaman serta keuntungan dari investasi yang ditanamkan.

Jaminan stabilitas keamanan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Polri dan menuntut Polri untuk bertindak secara profesional. Selanjutnya, polri juga dituntut mampu mengerti dan memahami perjanjian internasional dan perlindungan terhadap aset asing yang ditanamkan di Indonesia.

(d) IdeologiPancasila sebagai ideologi negara akan tetap dipertahankan dan UUD 1945

sebagai konstitusi negara akan terus di sempurnakan sesuai dengan tuntutan masyarakat menuju masyarakat madani, adil, makmur, dan sejahtera.

Gangguan terhadap ideologi negara merupakan ancaman serius terhadap keutuhan dan kedaulatan negara, dan sebagai tindakan preventif Polri harus dapat dengan segera membaca tanda-tanda ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan terhadap ideologi yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.

(e) PolitikTuntutan akan transparansi, penegakan HAM, dan demokrasi dibarengi dengan

gelombang reformasi dalam bidang politik mendorong tumbuhnya kelompok-kelompok politik yang saling berlomba untuk tampil sebagai pucuk pimpinan nasional. Perubahan paket peraturan perundang-undangan bidang politik akan lebih memberikan peluang pada berbagai kekuatan untuk membentuk partai politik, yang akan mengarah pada perubahan sistem politik dan pemerintahan di Indonesia.

Terhadap kekuatan politik TNI/Polri yang terdapat di Majelis Permusyawaratan rakyat (MPR) dalam fraksi TNI/Polri juga terjadi perubahan yang sangat signifikan, bahwa berdampak pada dihilangkannya fraksi TNI/Polri tersebut di MPR. Adanya wacana bagi prajurit TNI dan anggota Polri untuk ikut dalam pemilihan umum merupakan fenomena politik yang berdampak besar terhadap sistem ketatanegaraan di Indonesia. Menurut penulis hak ikut memilih dan dipilih dalam pemilihan umum bagi anggota Polri merupakan suatu kesempatan Polri secara lembaga atau individu untuk dapat mengaktualisasikan diri dalam kehidupan politik. Dengan demikian, sangat tidak tepat untuk tetap mempertahankan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 2 Tahun 2002.70

Konsekuensi bagi anggota Polri yang terpilih sebagai pengurus suatu partai politik atau memegang jabatan politis adalah berhenti sementara dari tugas dan fungsinya sebagai Polri, mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.71

70 Pasal 28 ayat (1) : “Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan Politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Pasal 28 ayat (2) : “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih”

71 Lihat ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU No. 2/2002.

Page 68: Peranan dan Kedudukan POLRI

61Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang

Perlu disadari bahwa Polri adalah bagian dari masyarakat sipil yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

(f) EkonomiKrisis moneter yang melanda Indonesia dengan segala permasalahan yang

timbul sudah mengarah pada krisis kepercayaan terhadap berbagi kebijakan yang diambil dalam bidang ekonomi. Gonta-ganti pimpinan tertinggi eksekutif (presiden) dan pembantu-pembantunya, pergantian beberapa direktur Bank Indonesia (BI) dan jatuh bangunnya tim-tim ekonomi membuat Indonesia semakin kepayahan dalam menata kembali sistem perekonomiannya.

Gelombang reformasi ekonomi yang dituntut mahasiswa dan para pakar ekonomi menjadikan kondisi perekonomian Indonesia lebih terpuruk ke dalam bidang ekonomi, baik makro maupun mikro yang sangat memprihatinkan. Pembangunan yang selama ini dilaksanakan telah porak poranda, bahkan secara tragis menempatkan Indonesia sebagai negara terburuk yang mengalami dampak krisis moneter dari beberapa negara di Asia, khususnya di asia Tenggara. Meskipun demikian, tingkat kebocoran dana APBN bisa mencapai 40 %, dan menambah prestasi buruk Indonesia sebagai negara terkorup di dunia.

Kondisi seperti ini apabila tidak segera diatasi akan menimbulkan kerawanan sosial yang meluas ke seluruh wilayah Indonesia dan sangat membahayakan stabilitas keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Keterpurukan ekonomi di Indonesia secara perlahan atau drastis dapat meningkatkan angka tindak kriminal . Hal ini tentu berimbas pada kesiapan Polri untuk menciptakan daya tangkal yang cepat, tepat, dan efektif dalam mengatasi ganguan kamtibmas.

(g) Sosial budayaTerjadinya perubaan nilai budaya yang lebih transparan juga dilandasi oleh

tindakan lebih berani dalam menolak adanya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), yang nilai-nilai ini akan sangat mempengaruhi stabilitas kamtibmas. Adanya pengawasan atau kontrol masyarakat serta adanya transparansi dalam segala bidang merupakan gejala sosial yang baru dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.

Adanya serapan kebudayaan dari luar juga mempengaruhi pola pikir dan tindak masyarakat. Bisa jadi masyarakat itu akan cenderung arogan dan euforia dengan kebebasan politik. Di lain pihak, dapat pula menjadikan perubahan pola pikir dan tindak masyarakat seiring dengan meningkatnya kepatuhan dan ketaatan kepada hukum, sehingga menimbulkan masyarakat yang makin taat dan patuh hukum.

(h) PertahananUrusan pertahanan negara menjadi tanggung jawab TNI sepenuhnya sesuai

Page 69: Peranan dan Kedudukan POLRI

62 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

dengan yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 200272. Sejauh ini belum ada ancaman perang yang serius dan terbuka yang dilancarkan pihak asing terhadap Indonesia. TNI sebagai alat negara penjaga keutuhan dan kedaulatan negara harus dapat memainkan peran sebagai benteng pertahanan negara dengan peningkatan profesionalisme prajurit (militer), dan tidak ikut campur dalam bidang yang di luar kewenangannya.

Pertahanan negara diselenggarakan melalui usaha membangun dan membina kemampuan, daya tangkal negara, dan bangsa serta menangggulangi setiap ancaman. Pemerintah berkewajiban mempersiapkan secara dini segala sesuatu yang menyangkut sistem pertahanan negara, baik dengan menyediakan sarana/prasarana seperti markas, persenjataan, alat komunikasi, maupun informasi.

Sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan TNI sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Sebagai komponen utama, TNI harus profesional dan handal dalam bertindak dan berbuat, karena yang dihadapi adalah ancaman dari luar. Dengan demikian kecanggihan persenjataan dan peralatan perang/tempur harus disediakan secara memadai. Lebih penting lagi adalah kemauan dari TNI untuk terus mengasah keahlian dan keterampilan untuk menguasai teknologi persenjataan dan harus meninggalkan keterlibatannya dalam politik dan pemerintahan atau yang biasa disebut back to barac (kembali ke barak).

Polri adalah komponen cadangan yang harus siap sedia tampil bila diperlukan. Untuk itu, kesiapan Polri juga tidak hanya terbatas pada masalah penegakan hukum dan Kamtibmas tapi lebih jauh sebagai penjaga keutuhan dan kedaulatan negara lapis kedua. Kembalinya TNI ke barak merupakan konsekuensi dari suatu negara modern dan demokrasi, dan sedikit banyak membantu Polri untuk lebih mengembangkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat (law and order) tanpa ada campur tangan dari pihak mana pun, termasuk TNI.

(i) KeamananPengertian keamanan erat sekali hubungannya dengan tugas polisi. Keamanan

adalah suatu kondisi dinamis yang penuh dengan kedamaian dan ketenteraman yang dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh masyarakat, yang memungkinkan seluruh rakyat berkembang sesuai dengan kemampuan dan tuntutan hidup masing-masing dalam kehidupan sehari-hari yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat ditujukan kepada usaha untuk mengembangkan sistem keamanan dan ketertiban masyarakat yang bersifat swakarsa, dengan berintikan Polri sebagai alat negara penegak hukum yang mahir,

72 Pasal 10 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara menyatakan bahwa : “Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Page 70: Peranan dan Kedudukan POLRI

63Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang

terampil, bersih, dan berwibawa. Dalam pembinaan kamtibmas ini lebih diutamakan usaha-usaha pencegahan dan penangkalan, sedangkan pembinaan masyarakat terhadap keamanan dan ketertiban terus ditingkatkan melalui setiap kesempatan yang tidak hanya melibatkan Polri, melainkan juga semua instansi pemerintah yang terkait dan masyarakat itu sendiri.

Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat yang ditandai oleh terjaminnya tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk ganguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat, yang merupakan salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional.73

Dewasa ini masalah keamanan merupakan masalah kebutuhan hidup yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Adanya rasa aman merupakan bagian dari HAM (freedom of fear). Polri sebagai penanggung jawab keamanan dalam negeri harus berperan aktif untuk mewujudkan kamtibmas. Maraknya aksi unjuk rasa yang kadang cenderung anarkhis harus dapat direspon dan ditangani secara baik dan tidak melanggar HAM. Di samping itu, adanya rusuh massa, tawuran, bahkan pemberontakan bersenjata, seperti di Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam), Papua (Irian Jaya), dan Ambon memerlukan pola penagganan yang serius dan hati-hati serta perlu kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh semua komponen masyarakat.

3.6.4 Strategi Penataan Kedudukan Organisasi PolriUndang-undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa dalam penyelenggaraan

hukum dituntut adanya persamaan hak dan kedudukan di depan hukum. Setiap warga negara wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan. Hal ini bermakna bahwa di era globalisasi nuansa hukum benar-benar melandasi setiap tindakan dan penyelenggaraan kenegaraan untuk mewujudkan adanya rasa keadilan dan kepastian bagi seluruh warganya.

Untuk menciptakan kondisi yang demikian, konsekuensinya bagi aparat penegak hukum sebagai pilar terdepan harus memiliki independensi atau kemandirian dalam melaksanakan tugasnya, meskipun dalam masyarakat masih dijumpai beraneka ragam struktur sosial yang terkonfigurasi dalam tataran politik masyarakat. Hal ini menuntut rasionalitas yuridis dalam bentuk tegaknya hukum untuk menjamin kejelasan hak dan kewajiban serta batas-batas sosial bagi kebebasan individu dalam menjalankan aktivitasnya.

Dikaitkan dengan penyelenggaraan hukum dewasa ini, ada satu masalah yang bersumber pada ketidakselarasan lembaga penegak hukum dalam mengantisipasi perkembangan antara prinsip kebebasan dan prinsip kewajiban untuk menghormati

73 Mabes Polri, Naskah Akademik RUU tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1991.

Page 71: Peranan dan Kedudukan POLRI

64 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

hak-hak orang lain yang secara substantif menyangkut masalah kemandirian lembaga dalam menjalankan tugas pokoknya. Kemandirian lembaga penegak hukum itu, terutama, berkaitan dengan aspek struktural, instrumental, dan kultural.

Dalam rangka mengantisipasi perkembangan era global yang telah mendorong tumbuhnya hubungan antarnegara di berbagai bidang kehidupan, antara lain, bidang perdagangan, pendidikan, komunikasi, transportasi, media informasi, serta terjalinnya hubungan antara sentra-sentra kekuasaan yang memiliki kemampuan ruang lingkup yang lebih luas, dituntut agar Polri secara kontinyu untuk meningkatkan profesionalismenya.

Perkembangan itu mempengaruhi sistem pemerintahan sehingga apabila semua kekuasaan sepenuhnya ada di tangan pemerintah, kepentingan-kepentingan yang melekat pada diri individu akan semakin berkurang dan individu-individu tersebut akan berusaha merebut kembali hak-haknya. Sebagai antisipasi awal untuk menghindari perebutan hak tersebut, harus ada pembatasan dan pembagian kekuasaan. Dalam bidang penegakan hukum dan ketertiban masyarakat, misalnya, kekuasaan dan kewenangan untuk itu diberikan kepada Polri.

Polri sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat harus memahami secara bijak kondisi penegakan hukum saat ini. Hal ini berarti bahwa Polri secara sadar mencari akar permasalahan untuk dapat dicarikan jalan keluarnya. Sebagai konsekuensi lembaga yang mandiri dan profesional otonomi penuh dalam pengambilan kebijakan sepanjang menyangkut masalah pelaksanaan tugas harus diberikan kepada Polri. Terabaikannya otonomi Polri pada masa lalu telah menimbulkan berbagai dampak yang merugikan kehidupan masyarakat.

Pembenahan secara struktural akan membawa Polri sebagai lembaga yang benar-benar mandiri dan profesional yang dikuatkan dengan peraturan perundang-undangan. Kemandirian Polri merupakan kegiatan penghubung untuk menentukan orientasi budaya dan struktur organisasi. Di satu sisi, kemandirian Polri sangat tergantung pada orientasi yang melekat pada kebijakan-kebijakan yang dibawa oleh para pejabat Polri. Di sisi lain, derajat kemandirian Polri dipengaruhi oleh cara-cara polisi menjalankan kegiatan-kegiatan regulatif dan kegiatan-kegiatan kolektif maupun aspek-aspek fundamental organisasi.

Kemandirian Polri tidak dapat dilepaskan dengan usaha pemberdayaan organisasi, yang penguatan lembaga Polri itu menyangkut juga keseimbangan antarpengguna kekuasaan yang melekat dalam organisasi dengan kemungkinan-kemungkinan ketimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan. Ketidakseimbangan kekuasaan yang melekat pada organisasi Polri menyebabkan kemampuan dan kinerja Polri tidak maksimal dapat dilakukan.

Pasal 8 ayat (1) UU No.2 Tahun 2002 secara tegas menyebutkan bahwa Polri berada di bawah Presiden. Kapolri adalah penanggung jawab pembinaan anggota dan operasional kepolisian dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dengan UU No. 2 tahun 2002, kedudukan Polri telah dinyatakan mandiri karena telah terpisah dari angkatan perang dan Departemen Pertahanan Keamanan. Akan tetapi,

Page 72: Peranan dan Kedudukan POLRI

65Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang

ironisnya, UU No. 2 Tahun 2002 tidak menyebutkan secara tegas tentang keberadaan/kedudukan lembaga Polri yang berada langsung di bawah Presiden.

Ada beberapa alternatif yang dapat dijadikan acuan tentang kedudukan Polri langsung di bawah Presiden, yaitu:

(1) Lembaga Khusus Pemerintah setingkat Kejaksaan AgungKedudukan polri sebagai lembaga khusus pemerintah setingkat/setara dengan

Kejaksaan Agung akan menjadikan Polri sebagai lembaga otonom dan mandiri. Otonom dalam pengertian dapat mengurus dan mengatur dirinya sendiri tanpa adanya intervensi dari luar (selama ini pembinaan personil bertanggung jawab kepada Menhankam/Pangab) dan mandiri bahwa segala kebijakan baik anggaran, personil maupun operasional berada penuh di tangan Kapolri sebagai pucuk pimpinan tertinggi Polri.

Hal senada juga disampaikan oleh mantan kapolri, Djamin74 di depan sidang MPR pada acara dengar pendapat Panitia Ad Hoc (PAH) II Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (BP MPR), yang menyatakan sebagai berikut:

“Sebaiknya Polri tidak di bawah tanggung jawab Menteri Pertahanan Keamanan, tetapi dijadikan departemen tersendiri yang berorientasi pada penegakan hukum. Departemen ini berada langsung di bawah presiden dan bertanggung jawab kepada presiden, sambil menunggu perubahan UU No. 22 Tahun 1982 dan UU No. 28 Tahun 1997”

Kedudukan Polri setingkat Kejaksaan Agung akan menyamakan posisi lembaga Polri dengan lembaga penegak hukum lainnya, yaitu Kejaksaan Agung, sedangkan hakim telah tunduk di bawah Mahkamah Agung (Lembaga Tinggi Negara). Jabatan Kapolri dan Jaksa Agung adalah sebagai pejabat negara setara dengan menteri. Dalam peran, wewenang, fungsi, dan kedudukannya sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat, Polri memiliki kewenangan penuh dalam mengendalikan semua pembinaan dan operasional polisionil.

Kedudukan setara Kejaksaan Agung bagi Polri juga membawa dampak terhadap anggaran Polri, karena akan mendapat anggaran tersendiri dalam APBN, sama seperti Kejaksaan Agung. Selama ini Polri hanya menerima dana subsektor dari beberapa departemen, seperti anggaran subsektor keamanan dari Departemen Dalam Negeri, anggaran subsektor pembinaan dan operasional kepolisian dari Departemen Pertahanan Keamanan, dan anggaran khusus Polri yang berasal dari panglima ABRI (ketika Polri masih bagian dari ABRI). Anggaran tersebut adalah anggaran sisa yang jumlahnya sangat jauh dari kebutuhan ideal anggaran Polri. Anggaran tersebut tidak tetap sifatnya, dapat lebih besar atau lebih kecil sesuai dengan kebijakan keuangan lembaga atasnya (Depdagri, Dephankam, Mabes ABRI).

74 Harian Media Indonesia, hlm. 12, tanggal 26 Februari 2000, Jakarta.

Page 73: Peranan dan Kedudukan POLRI

66 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Kedudukan Polri sebagai lembaga yang mandiri dan otonom juga akan memudahkan Polri meningkatkan sumber daya manusianya melalui lembaga-lembaga pendidikan luar negeri dan dalam negeri sesuai dengan kebutuhan operasional kepolisian. Bantuan dari luar negeri pun akan mudah didapat. Selama ini sebelum Polri mandiri bantuan dari luar negeri untuk pendidikan atau penugasan Polri ke luar negeri sering dimanfaatkan oleh TNI sehingga pihak penyedia bantuan luar negeri enggan mengikutsertakan Polri dalam pendidikan dan pelatihan yang di biayai oleh luar negeri, misalnya Pendidikan dan pelatihan international police (Interpol) yang meminta Polri mengirimkan 15 anggota terbaiknya (anggota Polri), tetapi karena adanya intervensi dari pihak luar, yang dikirimkan adalah 15 orang dengan rincian 9 Polri, 5 TNI-AD dan 1 TNI AL.75

Penyediaan sarana/prasarana Polri, seperti alat transportasi, alat komunikasi, gedung perkantoran, asrama, dan alat khusus kepolisian dapat direncanakan dan diatur secara lebih efisien dan efektif oleh Polri sendiri. Selama ini penyediaan sarana/prasarana di atas didistribusikan dari perbekalan dan angkutan dari mabes ABRI sehingga banyak sarana/prasarana yang tidak terpakai atau mubazir dan biaya perawatan dan operasional yang tinggi.

(2) Departemen Kepolisian yang Dipimpin oleh Menteri Kepolisian Negara Republik Indonesia.Keberadaan Departemen Kepolisian telah pernah diadakan di Indonesia pada

tahun 1950-an (1 Desember 1950) telah ada Kepala Kepolisian Negara yang disebut Menteri Muda Kepolisian, yang Departemennya terdiri atas Pusat Departemen Kepolisian yang membawahi 5 (lima) Direktorat dan 1 (satu) Biro. Tahun 1960 telah ada pula sebutan Menteri/Kepala Staf Angkatan Kepolisian yang pada tahun 1963 sebutan tersebut diganti dengan Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Menpangak).

Keberadaan Departemen tersendiri bagi Polri sebenarnya akan sangat membantu Polri dalam mewujudkan Polri mandiri dan profesional. Akan tetapi, adanya Departemen Kepolisian dalam suatu kabinet tidak lazim dilakukan oleh negara-negara di dunia.

(3) Lembaga Pemerintah NonDepartemen (LPND) yang Dipimpin oleh KapolriKedudukan Polri sebagai lembaga pemerintah nondepartemen secara politis

dan yuridis kurang menguntungkan bagi Polri. Hal ini disebabkan LPND bukan suatu organisasi yang memiliki operasional kebutuhan yang tinggi, yang sewaktu-waktu dapat dihapus atau ditiadakan. Polri adalah lembaga yang memiliki intensitas operasional yang sangat tinggi dan tidak hanya terfokus pada satu kegiatan operasional saja sebagaimana yang lazim dilaksanakan di LPND.

LPND adalah suatu lembaga yang secara politik melaksanakan suatu kebijakan pemerintah untuk menunjang pelaksanaan pembangunan dan sangat tergantung

75 Data Pengiriman Diklat Interpol ke Inggris, Dinas Infolahta Mabes Polri, Jakarta, 2000.

Page 74: Peranan dan Kedudukan POLRI

67Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang

pada kebijakan pemerintah pusat (presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi). LPND adalah alat kekuasaan pemerintah pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Sedangkan Polri adalah alat negara yang tidak terkooptasi dalam lingkaran kekuasaan dan bukan alat kekuasaan pemerintah pusat yang semata-mata bertugas melaksanakan kebijakan-kebijakan dari pemerintah pusat.

(4) Berada/sebagai bagian dari Departemen Dalam NegeriPolri sebagai bagian dari Departemen Dalam Negeri pernah diadakan di Indonesia

sejak awal keberadaan atau kelahiran Polri yakni pada 1 Oktober 1945, yang diawali oleh maklumat pemerintah yang ditandatangani bersama antara Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, dan Jaksa Agung, yang isinya menyatakan bahwa semua kantor kejaksaan dimasukkan dalam lingkungan Departemen Kehakiman dan kantor kepolisian masuk dalam Departemen Dalam Negeri.

Secara universal bahwa kepolisian merupakan bagian dari Departemen Dalam Negeri adalah suatu hal yang lumrah, sebagaimana yang diterapkan oleh kepolisian di negara-negara modern, seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang. Di Inggris, misalnya, Polisi adalah bagian dari Departemen Dalam Negeri walaupun diberi suatu departemen tersendiri di bawah Departemen Dalam Negeri yang disebut Departemen Kepolisian (Police Departement). Hal yang sama juga diterapkan di Amerika Serikat dan Jepang.

Bagi Polri, keberadaannya di bawah Departemen Dalam Negeri adalah suatu kemunduran. Hal ini disebabkan bahwa Polri telah diberikan tempat istimewa langsung di bawah Presiden dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Jika berada di bawah Departemen Dalam Negeri, tentu Kapolri harus bertanggung jawab kepada menteri dalam negeri terlebih dahulu.

Keberadaan Polri di bawah Depdagri secara yuridis bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 2002 dan secara politis telah membawa Polri terkooptasi pada pusat kekuasaan sehingga di khawatirkan Polri tidak mandiri dan tidak profesional. Dari segi pembinaan, anggaran, personil, dan operasional kepolisian juga akan dijumpai kendala yang sangat serius, karena, meskipun Polisi adalah bagian dari masyarakat sipil, tetapi Polisi adalah orang sipil yang dipersenjatai.

Dalam pembinaan fungsi teknis kepolisian juga akan dihadapkan pada kendala-kendala yang bersifat teknis. Fungsi teknis kepolisian adalah suatu fungsi khusus yang terdapat di lembaga Polri yang memerlukan penangganan khusus dan tidak dapat disamakan dengan pembinaan pada umumnya. Adanya fungsi teknis reserse, intel pam Polri, lalu lintas, bimmas dan sabhara pada lembaga Polri yang tidak dikenal di Departemen Dalam Negeri akan menyulitkan dalam proses pembinaan dan operasional dilapangan apabila tidak diatur secara baik.

Segi penegakan hukum juga akan ditemukan hal-hal yang profesional dan proporsional. Hal ini terlebih bila ada pelanggaran atau tindak pidana yang dilakukan

Page 75: Peranan dan Kedudukan POLRI

68 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

oleh pejabat Depdagri. Di samping itu, mekanisme pertanggungjawaban dan pelaporan akan mengalami kesulitan-kesulitan karena akan ada dualisme pimpinan di tubuh Polri yaitu Kapolri dan Mendagri. Dari empat alternatif tersebut di atas, maka yang paling menguntungkan bagi kemandirian dan profesionalisme Polri adalah kedudukan Polri sebagai lembaga khusus pemerintah setingkat Kejaksaan Agung.

3.7 Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang

Mempelajari dan memperbandingkan kedudukan dan fungsi kepolisian melalui studi kepustakaan bertujuan untuk dapat mengambil sisi positif dari pelaksanaan kebijakan (policy) suatu negara terhadap kepolisiannya agar dapat diterapkan di Indonesia sepanjang hal tersebut sesuai dan tidak bertentangan dengan hukum dan moral. Diambilnya perbandingan terhadap dua negara, yakni Inggris dan Jepang, didasari atas alasan bahwa kepolisian terbaik saat ini di dunia adalah kepolisian Inggris dan Jepang, yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.

3.7.1 Kepolisian InggrisPolisi Inggris dibentuk untuk menghadapi perlawanan yang kuat dari berbagai

kepentingan politik dan filsafat yang luas cakupannya pada saat-saat awal lahirnya kepolisian Inggris yang dilakukan oleh kelas menengah dan atas serta kaum pekerja (kelas bawah). Walaupun kebencian/kecurigaan kelas menengah dan atas cepat menghilang, kebencian kaum pekerja berlangsung terus, yang diungkapkan dengan benturan fisik yang sporadis dan dilambangkan dengan berbagai julukan yang sifatnya menghina polisi, seperti; crushers, Peel’s Bloody Gang, Blue Locusts, Jenny Darbies, Raw Lobsters, dan Blue Drones. Akan tetapi, menjelang tahun 1950-an, polisi tidak hanya diterima, akan tetapi diperlakukan sebagai orang penting oleh masyarakat. Tidak ada negara lainnya yang telah menjadikan angkatan kepolisian suatu lambang nasional sedemikian besarnya.76

Kedudukan kepolisian Inggris berada di bawah Kementerian Dalam Negeri yang dalam pelaksanaan tugas-tugasnya kepolisian Inggris tunduk pada Menteri Dalam Negeri. Kepolisian Inggris dipimpin oleh seorang Kepala Polisi yang dikenal dengan Komisaris Polisi. Organisasai kepolisian Inggris diorganisasi dalam sebuah hierarki birokratis. Ini berbeda dengan keadaan sebelumnya yang mengandalkan campuran orang yang beraneka ragam sifatnya sebagai pekerja paruh waktu, para penangkap maling yang giat, dan sukarelawan amatir. Penerimaan tenaga dan kenaikan pangkat didasarkan atas prestasi yang tidak berpihak atau mendahulukan sanak keluarga.

76 Reiner and Robert, The Rise and The Fall of The Police Legitimacy, Wheatsheat Books Ltd, London, 1986, hlm. 48.

Page 76: Peranan dan Kedudukan POLRI

69Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang

Rowan dan Mayne (pejabat yang berwenang menerima anggota polisi), menetapkan syarat yang cukup berat dan secara ketat diterapkan dalam penerimaan anggota polisi, khususnya yang bekerja pada daerah metropolitan. Daerah-daerah provinsi lainnya diperkenalkan pula unsur standardisasi minimal lewat inspektorat kepolisian. Rowan dan Mayne merinci sekumpulan ketentuan dan peraturan ketat, yang tidak saja menentukan norma intern menyangkut pakaian, tingkah laku, disiplin, dan cara bertindak yang harus ditempuh kalau menghadapi publik.

Organisasi standar pada kepolisian Inggris adalah berbentuk direktorat yang terbagi atas bagian administrasi dan operasional. Bagian operasional adalah kekuatan utama dalam struktur kepolisian, sedangkan bagian administrasi adalah kekuatan pendukung. Organisasi ini tidak membagi fungsi secara tajam, tetapi seluruh kekuatan, baik itu administrasi ataupun operasional yang terbagi dalam unit kerja harus melakukan fungsi:77 (1) Memelihara keamanan dan melindungi harta seseorang;(2) Mencegah terjadinya kejahatan;(3) Melakukan tindakan represif, berupa kegiatan penyidikan sampai diajukan ke

pengadilan;(4) Menentukan seseorang harus diserahkan ke kejaksaan atau tidak;(5) Dapat bertindak sebagai Jaksa terhadap perkara ringan yang diajukan di

pengadilan;(6) Melaksanakan pengamanan dan ketertiban lalu lintas;(7) Melaksanakan tugas khusus dari departemen dalam negeri; dan(8) Membina hubungan baik dengan masyarakat setempat.

Kepolisian Inggris menurut jenisnya terbagai dua, yaitu Kin Police dan Ruler Appointed Police.78 Kin Police adalah polisi rakyat karena polisi jenis ini dibentuk dari masyarakat sekitar dan bertugas mengamankan daerahnya sendiri. Satuan terkecil dari Kin Police disebut Thything yang terbentuk dari kelompok yang terdiri atas sekitar 10 Keluarga, dan ditunjuk satu orang sebagai polisi yang disebut Thythingman. Sepuluh Thyting tunduk pada Hundredman dalam satu shire yang dapat berbentuk Yorkshire atau Lancashire yang tunduk pada Shire-Reeve (yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Sheriff). Pada akhirnya satuan ini menjadi besar dan disebut County Police.

Ruler appointed Police adalah polisi yang tidak diangkat oleh masyarakat tetapi diangkat oleh Raja (Penguasa). Polisi jenis ini bekerja secara profesional dan harus memenuhi standar-standar kepolisian yang telah ditetapkan. Polisi ini dilengkapi dengan peralatan yang baik serta dilengkapi dengan satuan penjaga keamanan negara yang terkenal dengan sebutan Scotland Yard. Polisi jenis ini sampai sekarang

77 Friedmann, Robert, R, Community Policing Comporative Perspective and Prospects, Harnester Wheatsheef, London, 1992, hlm. 115.

78 Dudu Duswara Machmudin, Eksistensi Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Penegakan Hukum dan Pembinaan Keamanan Ketertiban Masyarakat Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997, Tesis, PPS Unpad, Bandung, 1999, hlm. 153-154.

Page 77: Peranan dan Kedudukan POLRI

70 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

tetap dipertahankan di Inggris yang pada akhirnya berkembang menjadi kepolisian metropolitan London.

Kepolisian Inggris sangat menjunjung tinggi hukum dalam melaksanakan tugasnya. Mematuhi ketentuan hukum adalah segi utama dari polisi metropolitan. Dalam melayani masyarakat, polisi Inggris sangat santun dan dapat menarik simpati masyarakat, bahkan melakukan pemeriksaan yang sangat manusiawi terhadap tersangka pelaku tindak pidana.

Pada tugas atau ronda yang berbahaya, anggota polisi yang dipilih khusus dapat membawa pistol atau pedang pendek. Akan tetapi, setiap kali menggunakan atau bahkan mencabut senjata itu diteliti dengan cermat dan bila tidak dapat dibenarkan sebagai usaha untuk bela diri, ada kemungkinan tindakan itu akan berakhir dengan pemecatan. Oleh karena itu, polisi Inggris lebih suka dan lebih bangga dengan hanya bersenjatakan pentung polisi. Bila tidak terpaksa, pentung itu pun tak perlu dikeluarkan dari sarungnya.

Gagasan “Bobby” (polisi) yang ramah disimpulkan untuk telinga orang modern dengan kata-kata klise, “Kalau ingin mengetahui pukul berapa, tanyakan kepada polisi”, karena unsur pelayanan yang diberikan oleh anggota polisi Inggris, tidak mengherankan jika polisi Inggris dapat menjadi patokan dari polisi-polisi dari negara lain. Polisi Inggris adalah salah satu dari polisi terbaik di dunia saat ini.

3.7.2 Kepolisian JepangSusunan organisasi polisi sekarang di Jepang mencerminkan tradisi historis

negaranya. Jepang mempunyai sistem polisi nasional yang dikoordinasikan oleh pemerintah pusat dan operasionalnya distandardisasikan. Polisi Jepang diciptakan melalui undang-undang dengan prakarsa dari pusat yang dirancang untuk mengkonsolidasi pemerintah nasional.79 Polisi Jepang dibentuk dari atas ke bawah atau dari pusat ke daerah. Menjelang tahun 1974 urusan polisi di setiap prefektur kecuali Tokyo, dipimpin oleh gubernur yang diangkat oleh pemerintah pusat. Biro polisi di kementerian dalam negeri mengkoordinasi urusan polisi secara nasional.80

Di Jepang, dewasa ini, komando operasi polisi ada pada organisasi prefektural. Dengan demikian, di Jepang terdapat 46 angkatan kepolisian, ditambah dengan Okinawa. Pemerintah pusat sendiri tidak mempunyai angkatan yang operasional. Pemerintah pusat hanya dapat memimpin operasi polisi prefektural kalau negara dinyatakan dalam keadaan darurat nasional. Badan Kepolisian Nasional atau National Police Agency (NPA) yang terdapat di Tokyo dan merupakan bagian dari pemerintahan nasional, seluruhnya adalah organisasi staf yang mencurahkan perhatian kepada perencanaan, koordinasi dan pengawasan. Badan itu tetap memiliki aneka fasilitas

79 Norma, E.H., Japan’s Emergence as A Modern State, Institute of Pacific Relation, New York, 1940, hlm. 118.80 Pada mulanya Biro itu pada tahun 1872 ditempatkan di bawah Kementerian Kehakiman, tetapi pada tahun 1874

dipindahkan ke Kementerian Dalam Negeri.

Page 78: Peranan dan Kedudukan POLRI

71Tinjauan Umum terhadap Sejarah, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Polri serta Studi Komparatif tentang Kedudukan dan Fungsi Kepolisian di Negara Inggris dan Jepang

untuk digunakan oleh polisi prefektur, seperti berkas tentang kejahatan, laboratorium forensik, jaringan komunikasi, dan sekolah-sekolah latihan lanjutan.

Walaupun badan kepolisian nasional tidak dapat memimpin operasi di lapangan, badan itu mempunyai kekuasaan besar sekali dalam menentukan tingkah laku dan cara kerja polisi. Pengaruh NPA terwujud dalam berbagai cara :(1) Badan ini menetapkan kurikulum untuk semua sekolah polisi, termasuk menerima

tenaga baru dari sekolah-seklah latihan yang dijalankan oleh tiap prefektur;(2) Walaupun besarnya angkatan kepolisian di prefektur ditetapkan oleh ordonansi

lokal, angkatan itu harus memenuhi standar minimum yang ditentukan oleh pemerintah pusat. Ini menjamin supaya liputannya kira-kira sama antara tempat yang satu dan tempat yang lain;

(3) Tarif gaji untuk anggota polisi di tiap prefektur harus sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh NPA;

(4) Pemerintah nasional memberi sumbangan keuangan kepada prefektur untuk menutup berbagai kategori pengeluaran yang berhubungan dengan operasi polisi; dan

(5) Semua pejabat dengan pangkat pengawas senior dan lebih tinggi, di mana pun mereka ditempatkan ditunjuk sebagai pegawai pemerintah nasional dan dibayar dari dana pusat.

Personil polisi Jepang yang ditempatkan dalam satu prefektur rata-rata adalah 5000 perwira dan mengayomi lebih kurang 2,5 juta penduduk. Untuk mencapai Police Employee Rate, Jepang dapat dikategorikan ideal yakni 1: 500.

Di Jepang, pejabat-pejabat Polisi tidak langsung bertanggung jawab kepada politisi dan memang belum pernah. Sejak Jaman Restorasi Meiji sampai tahun 1945 pengawasan langsung terhadap polisi dilakukan oleh kaum birokrat. Kepala polisi prefektur melapor kepada gubernur yang diangkat oleh pemerintah pusat. Masalah kepolisian nasional dikoordinasikan melalui kementerian dalam negeri. Satu-satunya politisi yang terlibat adalah Menteri Dalam Negeri.

Operasional kepolisian di Jepang didasarkan sistem yang khas, terdiri dari pos-pos yang tetap. Ada dua macam, yakni Koban di daerah perkotaan dan Chuzaisho di daerah pedesaan. Pada setiap giliran, petugas di Koban juga berganti. Petugas ini melaporkan tugasnya di pos polisi dan kemudian menyebar ke koban-koban. Chuzaisho ialah pos di daerah hunian, dijaga selama 24 jam oleh seorang perwira, kadang-kadang oleh dua orang, yang tinggal bersama keluarganya di sekitar pos tersebut.

Koban hampir terlihat di mana-mana dan tidak ada dua koban yang sama secara fisik. Satu-satunya ciri yang dimiliki semua koban adalah lampu merah seperti bola dunia yang tergantung di pintu depan dan menyala di malam hari, disertai poster orang-orang buronan yang ditempelkan di papan pengumuman di dinding depan, dan dinding-dinding yang bercat abu-abu pudar. Chuzaisho tampak seperti rumah

Page 79: Peranan dan Kedudukan POLRI

72 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

biasa, beberapa chuzaisho dibangun menyerupai pondok-pondok di pegunungan dengan bubungan atapnya yang runcing.

Terdapat kira-kira 5.800 koban dan lebih dari 10.000 chuzaisho di Jepang. Walaupun chuzaisho hampir dua kali lipat koban, tetapi koban merupakan pos yang lebih penting karena hampir empat per lima penduduk Jepang tinggal di daerah perkotaan. Koban itu lebih dari sekadar sumber bantuan darurat. Ia merupakan sarana pelayanan masyarakat. Para perwira koban merupakan garis depan satuan polisi dalam memberi bantuan. Merekalah yang pertama-tama tiba di tempat keadaan darurat. Mereka mendapat kesempatan pertama untuk menangkap tersangka yang melakukan kejahatan, dan memiliki tanggung jawab terbesar untuk mencegah terjadinya kekerasan.

Koban berada di bawah komando pos polisi. Pos merupakan tempat para perwira melapor untuk bertugas, menyimpan perlengkapan, berlatih, mengirim tersangka, memperoleh keterangan, dan kadang-kadang tempat makan dan tidur. Pos-pos diorganisasi dalam seksi-seksi menurut sifat pekerjaan yang dilakukan seperti patroli, pengaturan lalu lintas, pencegahan kejahatan, penyidikan kejahatan, keamanan, dan administrasi. Pos polisi ada di bawah pengawasan markas besar prefektur. Prefektur adalah tingkat tertinggi yang memberi perintah atas operasi dari hari ke hari.81

Pada dasarnya, baik, kepolisian Inggris dan Jepang adalah berada di bawah Departemen Dalam Negeri yang bertanggung jawab kepada Menteri Dalam Negeri sebagai pengambil kebijakan, sedangkan kepolisian Indonesia (Polri) berada di bawah Presiden dan bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dan pengambil keputusan serta kebijakan Polri. Kepolisian Inggris, Jepang dan Indonesia merupakan lembaga pemerintah yang tunduk pada kekuasaan eksekutif (Presiden atau Perdana Menteri).

81 Bayley, David.H, Koban Dalam Citra Polisi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988, hlm. 9 -10.

Page 80: Peranan dan Kedudukan POLRI

73Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

BAB 4

KAJIAN TERHADAP MAKNA DAN IMPLIKASI KEDUDUKAN POLISI SEBAGAI ALAT NEGARA DI DALAM KERANGKA PENEGAKAN HUKUM DAN KETERTIBAN DALAM MASYARAKAT

4.1 Kedudukan Polri Menurut UUD 1945Undang Undang Dasar 1945 merupakan sumber hukum yang tertinggi di

Indonesia. Undang Undang Dasar atau konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan yang bersifat mendasar. Dengan perkataan lain, segala tindakan atau perilaku seseorang maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi berarti tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konstitusional (tidak sesuai hukum dasar).82

Dalam Undang Undang Dasar 1945 memuat sedikitnya empat unsur yang terdiri atas:(1) Bahwa pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya berdasarkan

atas hukum atau peraturan perundang-undangan.;(2) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia;(3) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; dan(4) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.83

Demikian pula yang disebutkan dalam berbagai literatur hukum tata negara maupun ilmu politik tentang ruang lingkup paham konstitusi yang terdiri atas:(1) Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik tunduk pada hukum);(2) Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;(3) Peradilan yang bebas dan mandiri; dan(4) Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama

dari asas kedaulatan.84

82 Dahlan Thaib, at all, Op. Cit. hlm. 1.83 Sri Soemantri M, Loc. Cit., hlm. 29-30.84 Dahlan Thaib, dkk, Op.Cit, hlm. 2

Page 81: Peranan dan Kedudukan POLRI

74 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Dalam rangka pelaksanaan tugas dan kewajibannya, pemerintah dan masyarakat harus berdasarkan hukum. Untuk itu diadakan lembaga penegak hukum, yang salah satunya adalah lembaga Polri. Sebagai dasar kewenangan secara konstitusional terhadap Polri dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum maka harus diatur kedudukan, fungsi dan kewenangan Polri dalam UUD 1945.

Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan kedua menyebutkan bahwa:“Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”.

Menurut ketentuan konstitusi tersebut jelas ada pembagian sekaligus pemisahan tugas dan kewenangan dalam masalah pertahanan dan keamanan. Segala sesuatu yang menyangkut masalah pertahanan adalah mutlak tanggung jawab Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai komponen pertahanan negara yang paling utama, yang dibantu oleh Polri sebagai komponen kekuatan cadangan dan rakyat sebagai komponen kekuatan pendukung.

Dalam bidang keamanan yang menjadi komponen utama adalah Polri, dan TNI sebagai komponen cadangan serta rakyat sebagai komponen pendukung. Secara tegas UUD 1945 memberikan kewenangan yang penuh kepada Polri untuk melakukan usaha dan upaya penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat. TNI adalah tenaga cadangan yang hanya boleh turun tangan membantu apabila ada permintaan dari pihak Polri dalam penanganan masalah keamanan. Di samping itu, rakyat adalah sebagai pendukung setiap kebijakan yang diambil dalam rangka pelaksanaan tugas kepolisian dalam rangka penegakan hukum dan ketertiban masyarakat.

Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 setelah perubahan kedua, secara tegas juga menyebutkan kedudukan Polri sebagai alat negara, yang menyebutkan sebagai berikut : “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum”.

Kedudukan Polri sebagai alat negara adalah kedudukan Polri sebagai salah satu organ kekuasaan eksekutif (pemerintahan).85 Di bawah Presiden. Hal ini bermakna bahwa kedudukan lembaga Polri berada di bawah lingkup kekuasaan eksekutif dengan Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertingginya. Segala bentuk kegiatan operasional dan pembinaan Polri berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Segala aspek, baik aspek struktural, instrumental maupun kultural Polri sangat bergantung pada kebijakan pemerintah (Presiden). Hal ini senada dengan ketentuan Pasal 8 Tap MPR No. VII/MPR/2000 yang menyatakan bahwa Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri dibantu oleh Lembaga Kepolisian Nasional.

85 Menurut ajaran Tripraja, pemerintahan dalam arti sempit hanya terdiri atas satu kekuasaan saja, yaitu kekuasaan eksekutif. Pemerintahan dalam arti sempit terdiri dari Presiden ,Wakil Presiden, dan Menteri-menteri.

Page 82: Peranan dan Kedudukan POLRI

75Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

Apabila dilihat kedudukan kepolisian di negara-negara lainnya di dunia, kedudukan kepolisiannya akan berbeda-beda pula sesuai dengan visi, misi, dan kebijakan suatu pemerintahan. Kadangkala dapat dilihat kedudukan kepolisian negara yang berada di bawah kendali Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Perdana Menteri. Wakil Presiden dan di bawah Presiden secara langsung, seperti di Indonesia.

Di Indonesia kedudukan Polri yang berada di bawah Presiden sebagai wujud pemuliaan terhadap profesi kepolisian. Akan tetapi, UUD 1945 tidak secara tegas menyebutkan bentuk organisasi Polri, apakah berbentuk suatu departemen, lembaga non departemen atau lembaga khusus pemerintah. Ironisnya Undang-undang No. 2 Tahun 2002 juga tidak menyebutkan secara tegas bentuk dari organisasi Polri.

Membahas kedudukan Polri sebagai alat negara sebagaimana yang disebutkan dalam UUD 1945 akan terasa hambar apabila tidak membahas sekaligus Ketetapan MPR RI yang mengatur kebijakan tentang kepolisian. Hal ini disebabkan oleh karena kedudukan Ketetapan MPR juga merupakan sumber hukum yang berlaku di Indonesia.

Pasal 2 Ketetapan MPR RI Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan :

“Tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya. Tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah :(1) Undang Undang Dasar 1945;(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;(3) Undang-undang;(4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);(5) Peraturan Pemerintah;(6) Keputusan Presiden; (7) Peraturan Daerah”.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Tap MPR RI) sebagai sumber hukum kedua tertinggi setelah UUD 1945 juga telah mengatur tentang Polri, di antaranya, Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Tap MPR RI Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 2 ayat (1), (2) dan ayat (3) Tap MPR No. VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri menyebutkan bahwa : (1) Tentara Nasional Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam pertahanan

negara(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam

memelihara keamanan

Page 83: Peranan dan Kedudukan POLRI

76 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

(3) Dalam hal terdapat keterkaitan kegiatan pertahanan dan kegiatan keamanan, Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia harus bekerja sama dan saling membantu.

TNI dan Polri adalah alat negara yang merupakan bagian dari fungsi eksekutif, baik panglima TNI maupun kapolri berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi (panglima tertinggi angkatan perang/TNI dan kepala kepolisian tertinggi/polisi pemuncak).86

Segala kebijakan, baik yang menyangkut pembinaan maupun operasional ditentukan presiden. Adanya campur tangan lembaga lain di luar kekuasaan eksekutif adalah bentuk intervensi yang dapat menghalangi kemandirian dan profesionalisme prajurit TNI dan anggota Polri.

Pada ketentuan menimbang huruf (e) Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 disebutkan bahwa dalam kehidupan masyarakat diperlukan aparat keamanan dan ketertiban yang memberikan perlindungan dan penegakan hukum berupa Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lebih lanjut pada huruf (g) TAP MPR No. VII/MPR/2000 disebutkan bahwa telah dilakukan pemisahan secara kelembagaan yang setara antara Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Adanya aparat keamanan dan ketertiban yang memberikan perlindungan, pelayanan, pengayoman, dan penegakan hukum dalam suatu negara adalah suatu keharusan. Ini bermakna bahwa setiap negara yang modern dan menghargai HAM harus memberikan perlindungan, kenyamanan, ketertiban, dan ketenteraman kepada warga negaranya dengan mengadakan suatu alat negara yang berperan dan berfungsi khusus untuk itu.

Adanya pemisahan secara kelembagaan yang setara antara TNI dan Polri memberikan kewenangan penuh pada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakan tugasnya secara optimal dalam rangka mewujudkan profesionalismenya. Kesetaraan secara kelembagaan antara TNI dan Polri membawa konsekuensi bahwa jabatan panglima TNI dan kapolri adalah sederajat sehingga antara yang satu dan lainnya tidak bisa saling perintah atau saling menjatuhi.

Menurut Soeprapto,87 ada tiga pejabat setingkat menteri yang membantu presiden sebagai penyelenggara tertinggi pemerintahan negara yaitu:(1) Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;(2) Jaksa Agung Republik Indonesia; dan(3) Gubernur Bank Indonesia..

Seiring dengan adanya perubahan Undang Undang Dasar 1945 dan adanya Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 serta lahirnya

86 Hazairin, Demokrasi Pancasila, Tintamas, Jakarta, 1970, hlm.40.87 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan- Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius,

Yogyakarta, 1998, hlm. 71-72.

Page 84: Peranan dan Kedudukan POLRI

77Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

Undang-undang No.2 Tahun 2002 jabatan panglima ABRI telah ditiadakan dan digantikan dengan jabatan Panglima TNI dan Kapolri. Konsekuensi yang timbul dari perubahan konstitusi dan lahirnya Tap MPR No. VI/MPR/2002 dan Tap MPR No. VII/MPR/2000 serta lahirnya UU No. 2/2002 adalah adanya empat pejabat negara setingkat menteri, yaitu:(1) Panglima TNI;(2) Jaksa Agung Republik Indonesia;(3) Gubernur Bank Indonesia; dan(4) Kapolri.

Dalam kenyataannya, kesetaraan antara TNI dan Polri hanya dapat dipahami dan diterima oleh sebagian pihak saja. Ketidakrelaan TNI disetarakan dengan Polri dapat dilihat dari adanya tumpang tindih kewenangan dalam pelaksanaan pembinaan personil yang seolah-olah menempatkan anggota Polri sebagai bawahan. Sering ditemukan di dalam kehidupan sehari-hari, adanya oknum-oknum TNI yang sengaja melanggar aturan lalu lintas atau tidak mau berhenti ketika adanya razia lalu lintas walaupun diberhentikan oleh polisi lalu lintas karena yang bersangkutan tidak menggunakan helm.

Masih adanya sebagian anggota TNI yang menjadi pelindung bandar narkoba, prostitusi, perjudian, dan masih arogannya oknum TNI di lapangan menunjukkan kekurangikhlasan TNI dalam memposisikan Polri sebagai teman dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini diperburuk oleh sikap sebagian besar anggota Polri yang berperilaku menyimpang dan kurang profesional dalam menindak setiap pelanggar atau pelaku tindak pidana, termasuk prajurit TNI, walaupun ada mekanisme penyerahan kepada polisi militer.

Penegasan tentang peran Polri sebagai alat negara penegak hukum dan kamtibmas diatur pula dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) TAP MPRRI No. VII/MPR/2000 yang menyatakan :(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan

dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

(2) Dalam menjalankan perannya, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memiliki keahlian dan keterampilan secara profesional.

Peranan Polri sebagai penanggung jawab Kamtibmas, penegak hukum, pengayom, dan pelayan kepada masyarakat memiliki makna bahwa Polri adalah alat negara pertama dan utama yang bertanggung jawab dalam menciptakan ketertiban hukum dan masyarakat tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Untuk dapat menjalankan perannya tersebut, setiap anggota Polri dituntut untuk memiliki keahlian dan keterampilan secara profesional. Setiap anggota Polri dituntut untuk senantiasa mengembangkan kemampuan, baik kemampuan individual maupun

Page 85: Peranan dan Kedudukan POLRI

78 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

kolektif yang dapat menunjang pelaksanaan dan keberhasilan tugas. Negara, dalam hal ini Pemerintah (Presiden), wajib menyediakan sarana/prasarana yang cukup dan memadai untuk mewujudkan profesionalisme Polri.

Sebagai salah satu penegak hukum yang mendapatkan mandat untuk memobilitaskan sosialisasi hukum adalah polisi. Polisi didaulat oleh negara sebagai agen yang bertugas mengawinkan dirinya dengan masyarakat, dengan maharnya hukum. Polri dalam menjalankan tugasnya harus selalu menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia serta mempunyai tugas mengusahakan ketaatan warga negara dan masyarakat terhadap peraturan negara.88

Kedudukan Polri di bawah Presiden sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 7 ayat (2) Tap MPR No. VII/MPR/2000 memberikan makna bahwa Polri adalah lembaga khusus pemerintah yang diberi wewenang secara yuridis konstitusional untuk melaksanakan penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat tanpa adanya halangan dari lembaga mana pun.

Polri sebagai institusi dan organisasi yang menjalankan fungsi alat negara harus menjalankan strategi-strategi negara khususnya untuk kepentingan stabilitas serta pengendalian masyarakat sipil.89 Kedudukan Polri yang berada di bawah Presiden dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden membawa implikasi bahwa Polri adalah bagian dari pemerintahan dalam arti yang sempit (eksekutif ) yang ikut bertanggung jawab terhadap keberhasilan pembangunan melalui pelaksanaan tugas-tugas polisionil, khususnya dalam rangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat.

4.2 Kedudukan Polri Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Kedudukan polisi di berbagai negara di dunia selalu bergantung kepada sistem pemerintahan dan sistem peradilan pidana yang dianut, bahkan, sistem administrasi kepolisian merupakan subsistem dari kedua sistem tersebut. Sistem administrasi negara berkaitan dengan penyelenggaraan fungsi kepolisian pada tatanan preventif dan represif sehingga mempunyai ciri-ciri fungsi utama administrasi negara yang meliputi fungsi pengaturan, perizinan, pelaksanaan tugas pokok, pengelolaan, pengawasan, dan penyelesaian perselisihan-perselisihan. Sistem peradilan pidana berkaitan dengan penyelenggaraan fungsi kepolisian pada tatanan represif sehingga akan mempunyai ciri sistem pidana.

Dalam menentukan kedudukan Polri harus dapat memenuhi tuntutan atau harapan dari masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan tugas Polri sebagaimana

88 Abdul Wahid, Loc. Cit, hlm.44.89 Kusumah Mulyana, W., Op. Cit., hlm. 154-155.

Page 86: Peranan dan Kedudukan POLRI

79Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

yang menjadi harapan masyarakat ketika reformasi bergulir. Kedudukan Polri hendaknya dapat meningkatkan citra penyelenggaraan negara, baik di dalam negeri maupun di dunia internasional dengan dasar rujukan aspek-aspek kepolisian yang bersifat universal.

Kedudukan Polri dalam sistem ketatanegaraan (salah satu bagian dari kekuasaan eksekutif ) harus menghasilkan sinergi optimal bagi kepentingan nasional dan memungkinkan dinamika peran kepolisian pada tatanan nasional, regional dan internasional semakin baik. Polri dituntut pula untuk dapat mewujudkan keamanan, ketertiban, kedamaian, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Untuk dapat memenuhi tuntutan masyarakat tersebut, kedudukan Polri harus dapat memberikan jaminan kemandirian dan profesionalisme, baik dalam aspek pembinaan maupun operasional.

Kedudukan Polri yang berkaitan dengan fungsi penegakan hukum selalu berkaitan dengan sistem peradilan pidana (Criminal Justice System). Di Indonesia unsur Criminal Justice System (CJS) terdiri atas Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman. Ketiga unsur tersebut satu sama lain memiliki tugas yang berbeda. Oleh karena itu, struktur keorganisasian CJS harus ada garis kerjasama (koordinasi), sebagai contoh, adanya Mahkamah Agung, Kehakiman Kejaksaan, dan Kepolisian (Mahkehjapol)90.

Menurut Nurdin91 kedudukan Polri dalam kerangka CJS sangat rentan terhadap pengaruh faktor sistem pemerintahan yang dianut suatu negara. Namun demikian dalam era reformasi yang menuntut adanya demokratisasi dan HAM, Polri akan lebih efektif dan efisien dalam mewujudkan fungsinya sebagai penegak hukum bila kedudukannya dalam sistem peradilan pidana tetap dipertahankan. Untuk itu, kedudukan Polri juga harus disetarakan dengan kedua lembaga penegak hukum lainnya, yaitu Kehakiman dan Kejaksaan. Hal ini untuk mempermudah adanya koordinasi dan saling kerjasama yang saling mengisi (interdependensi, dan bukan dependensi).

Untuk menciptakan koordinasi antara ketiga unsur dari CJS tanpa ada unsur intervensi dari satu lembaga terhadap lembaga lain, diperlukan adanya syarat kesamaan dalam kedudukannya, sebagaimana kedudukan Kejaksaan Agung maupun Mahkamah Agung, walau secara kelembagaan bahwa Kejaksaan Agung adalah bagian dari fungsi eksekutif dan Mahkamah Agung adalah salah satu dari lembaga tinggi negara. Namun demikian, sebagaimana sifat tugas dan peranannya sebagai penyidik, Polri menempati urutan terdepan sebagai gerbang pertama dalam sistem penegakan hukum.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan salah satu landasan yuridis yang mengatur tentang keberadaan Polri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kedudukan Polri sebagai alat negara

90 Oetojo Oesman, Forum Makehjapol Diadakan Untuk Menciptakan Kepastian Hukum, Dispen Polda Aceh, Machdum Sakti, Edisi 11 Maret – April 1997, Banda Aceh, 1997.

91 Muh. Nurdin, Sekjen Polri, Wawancara, Rabu, 7 Februari 2001, Ruang kerja Sekjen Polri di Mabes Polri, Jakarta.

Page 87: Peranan dan Kedudukan POLRI

80 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

telah memberikan paradigma baru dalam pelaksanaan tugas operasional kepolisian di Indonesia.

Sebagaimana dinyatakan dalam konsideran huruf (b) UU No. 2 Tahun 2002 bahwa :

“Pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada ,masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”

Tanggung jawab untuk pemeliharaan keamanan dalam negeri (kamdagri) sepenuhnya ada di tangan Polri. Polri sebagai alat negara melaksanakan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat yang dilakukan oleh Polri harus menyentuh semua aspek dan lapisan masyarakat, baik yang tinggal di kota maupun desa.

Keberadaan polisi di tingkat kewilayahan baik, itu Polda, Polwil, Polres, maupun Polsek bertujuan agar seluruh masyarakat dapat merasakan keberadaan Polri sebagai pemelihara kamtibmas. Bahkan, di tingkat pedesaan, telah ada Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) yang dipersiapkan khusus untuk melayani masyarakat, baik dalam penyebaran informasi, penyuluhan maupun penegakan hukum. Hal ini bertujuan agar semua lapisan masyarakat dapat merasakan kedamaian dan kepastian hukum. Akan tetapi karena terbatasnya jumlah personil Polri, bila dibandingkan dengan banyaknya jumlah desa, tidak setiap desa memiliki Babinkamtibmas. Sering ditemukan seorang Babinkamtibmas harus melayani tiga atau empat desa sebagai daerah tugasnya. Terbatasnya jumlah personil Polri dan besarnya daerah hukum kerja akan menyulitkan Polri memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat sebagaimana yang diharapkan.

Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 2 Tahun 2002 menyatakan bahwa :(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan

dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri

(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Konsekuensi Polri sebagai alat negara dalam melaksanakan perannya sebagai pemelihara Kamtibmas, penegakan hukum, serta pemberikan perlindungan,

Page 88: Peranan dan Kedudukan POLRI

81Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat adalah adanya kewenangan penuh pada Polri untuk menyusun segala kebijakan dalam rangka penegakan hukum dan Kamtibmas. Polri sebagai Kepolisian Nasional bermakna bahwa kesatuan Polri adalah kesatuan yang bersifat hierarki92 dan ada pertanggungjawaban ke atas terhadap pelaksanaan tugas Polri di tingkat bawahan.

Mabes Polri adalah kesatuan Polri tingkat teratas. Dalam rangka pelaksanaan peran dan fungsi kepolisian, wilayah NKRI dibagi dalam daerah menurut kepentingan pelaksanaan tugas Polri. Terdapat dua puluh enam buah Polda di seluruh Indonesia. Padahal jumlah provinsi di Indonesia saat ini lebih dari 30 provinsi. Tentu saja tidak sebandingnya jumlah Polda dan provinsi membawa konsekuensi adanya Polda-polda yang membawahi dua provinsi seperti Polda Jawa Barat yang membawahi wilayah hukum Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Banten.

Kedudukan Polri sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif secara tegas dinyatakan dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 2 Tahun 2002 yang menyatakan :(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam

pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Kedudukan Polri di bawah Presiden dan bertanggung jawab langsung kepada

Presiden memberikan makna bahwa Polri adalah alat negara yang merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif yang tunduk pada kebijakan Pemerintah (Presiden) serta mempunyai kedudukan yang mandiri dalam pelaksanaan tugasnya. Mandiri dalam pelaksanaan tugas operasional berarti bahwa dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai penegak hukum dan Kamtibmas, Polri diberi kewenangan yang seluas-luasnya sesuai peraturan perundang-undangan untuk mengambil segala kebijakan dalam menjalankan tugasnya tersebut.

Implikasi yang timbul dari kedudukan Polri sebagai alat negara adalah adanya kemandirian bagi Polri untuk menyusun, merencanakan, dan melaksanakan segala kebijakan kepolisian untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas Polri serta kemampuan Polri untuk melakukan kerja sama dengan badan, lembaga, dan instansi lain, baik di dalam maupun di luar negeri.

Adanya intervensi terhadap pelaksanaan tugas Polri adalah bertentangan dengan hukum. Menurut Soedarsono,93 kedudukan Polri sebagai alat negara dalam kerangka penegakan hukum dan Kamtibmas adalah suatu kedudukan yang istimewa. Hal ini disebabkan oleh adanya kebebasan ditangan Polri untuk melaksanakan peran dan fungsinya secara maksimal dan optimal melalui kebijakan yang diambil oleh Polri sepanjang kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

92 Pasal 10 ayat (1) UU No. 2/2002 menyatakan bahwa Pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia di daerah hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian secara hierarki.

93 Teguh Soedarsono, Wakil Gubernur PTIK, wawancara, Selasa, 19 Maret 2002, Mabes Polri, Jakarta.

Page 89: Peranan dan Kedudukan POLRI

82 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

undangan. Tidak ada satu pihakpun yang dapat melakukan campur tangan atau intervensi terhadap pelaksanaan tugas kepolisian termasuk presiden sebagai pimpinan tertinggi Polri. Jika ini terwujud menandakan bahwa Polri benar-benar telah mandiri.

Selama ini, intervensi terhadap pelaksanaan tugas kepolisian kerap kali terjadi. Adanya lembaga-lembaga lain di luar Polri yang sering mengintervensi tugas Polri dalam penegakan hukum dan Kamtibmas merupakan suatu kesalahan fatal. Adanya beberapa oknum TNI yang sengaja menghalang-halangi Polri dalam melaksanakan tugas adalah bentuk intervensi yang paling nyata. Sebagai contoh adalah kasus penyerangan Polres Ambon di Maluku yang dilakukan oleh anggota TNI (Armed dan Infanteri) yang meminta dibebaskannya pelaku tindak pidana dan penganggu kamtibmas (provokator) yang terdiri atas masyarakat sipil dan seorang anggota TNI berpangkat Letnan dua. Penyerangan dan pemaksaan untuk melepaskan pelaku tindak pidana tidak hanya merupakan bentuk intervensi tapi telah berwujud pelecehan hukum.

Demikian pula contoh intervensi yang dilakukan pihak militer/TNI terhadap Polri yang sedang melaksanakan operasi Kamtibmas di Aceh (Nangroe Aceh Darussalam) dalam menumpas Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pengiriman sejumlah anggota TNI ke Aceh (NAD) untuk membantu Polri dalam menanggani aksi pemberontakan GAM telah salah dimanfaatkan TNI. Keberadaan TNI yang didasarkan atas permintaan Polri (walaupun yang dimintakan sedikit tapi yang dikirimkan melebihi permintaan) dan berada di bawah kendali operasi (BKO) Polri ternyata tidak mau patuh dan tunduk pada kebijakan yang diambil oleh Polri. Hal tersebut menimbulkan dilema bagi Polri dalam melaksanakan tugas menegakkan hukum dan kamtibmas.

Intervensi TNI yang terlalu jauh dalam operasi Kamtibmas di Aceh (NAD) menyebabkan Polri kewalahan94 dalam menyikapi tindakan/kebijakan yang diambil oleh pimpinan TNI. TNI yang tidak mau patuh dan tunduk pada perintah/kebijakan Polri justru menyulitkan Polri dalam melaksanakan tugas di lapangan sehingga tidak jarang terjadinya kontak senjata antara anggota Polri dan TNI yang menimbulkan korban bagi kedua belah pihak.

Begitu pula kasus kerusuhan di Poso yang melibatkan anggota TNI dan Polri yang saling tembak, padahal saat itu kondisi keamanan dan ketertiban sedang terganggu dengan adanya konflik ditengah masyarakat. Dengan adanya kasus saling tembak TNI dan Polri menjadikan situasi makin memanas. Intervensi terhadap pelaksanaan tugas Polri tidak boleh dilakukan oleh siapapun termasuk oleh Kapolri. Kapolri tidak berwenang untuk memerintahkan anggotanya yang sedang melakukan penyidikan suatu perkara tindak pidana jika tidak berdasarkan hukum.

94 Menurut Surya Dharma, Kadit Reserse Polda Aceh dan Suryadi Andi, Kadit Bimmas Polda Aceh, serta Sayid Huseini, Kapolres Aceh Besar bahwa adanya dualisme komando dilapangan mempersulit Polri dalam menjalankan peran dan fungsinya. Disamping itu ada beban lain yang harus ditanggung Polri yakni meningkatnya secara tajam anggaran operasional di lapangan.

Page 90: Peranan dan Kedudukan POLRI

83Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

Menurut penulis bahwa pengangkatan dan pemberhentian kapolri oleh Presiden dengan persetujuan DPR sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 11 ayat (1) UU NO. 2 Tahun 2002 adalah salah satu bentuk intervensi. Intervensi dimaksud adalah intervensi yang dilakukan oleh lembaga legislatif (DPR) terhadap Presiden. Hal ini didasari pada pandangan bahwa Polri adalah bagian dari kekuasaan eksekutif yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Jabatan Kapolri adalah setara Jaksa Agung atau Menteri negara lainnya. Untuk pengangkatan dan pemberhentian Kapolri adalah hak prerogatif Presiden.

Adanya persetujuan DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian kapolri menandakan masih adanya campur tangan lembaga legislatif terhadap lembaga eksekutif, sebagaimana yang dinyatakan oleh Luthan95 bahwa Polri berada dalam kekuasan eksekutif yang tunduk pada Presiden. Segala kebijakan mengenai kepolisian ada di tangan Presiden termasuk dalam hal pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.

Senada dengan itu, Pantja Astawa96 menyatakan bahwa harus adanya persetujuan DPR dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri adalah tindakan emosional dari lembaga legislatif (DPR). Hal ini sebenarnya dapat dimaklumi secara sejarah tetapi tidak dapat dibenarkan secara hukum (yuridis) karena Polri adalah tunduk pada kekuasaan eksekutif dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Adanya campur tangan DPR, baik dalam pengangkatan maupun pemberhentian Kapolri akan menyebabkan Polri terkooptasi pada kepentingan kekuasaan. Padahal Polri dituntut bersikap netral dalam kehidupan politik sebagaimana yang diamanahkan dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002.97 Di samping itu, untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian kapolri telah ada Lembaga Kepolisian Nasional yang disebut Komisi Kepolisian Nasional.98

Dengan kedudukan Polri sebagai alat negara yang mandiri dan profesional diharapkan dapat menjamin penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat. Adanya kepercayaan masyarakat, kemauan, dan kebijakan (political will) dari pemerintah dan kesungguhan dari setiap anggota Polri untuk bersikap profesional dan proporsional dapat menjamin pelaksanaan tugas Polri sebagai penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat.

95 Ahwil Luthan, Irjen Polri, Wawancara, Mabes Polri, Kamis, 18 April 2002, Jakarta.96 I Gede Pantja Astawa Pakar HTN dan Dosen tetap Unpad, Wawancara, Kamis, 22 Agustus 2002, Kampus Unpad

Di Pati Ukur, Bandung.97 Pasal 28 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002 menyatkan bahwa : Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral

dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.98 Pasal 38 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa : Komisi Kepolisian Nasional memberikan pertimbangan kepada

Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri.

Page 91: Peranan dan Kedudukan POLRI

84 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

4.3 Tantangan Tugas Polri Pada Era Reformasi

4.3.1 Polri Sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Inti Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat

Tantangan tugas Polri di era reformasi berkaitan dengan masalah keamanan dalam negeri tidak terlepas dari perkembangan lingkungan strategis baik yang berskala nasional, regional maupun global. Namun demikian, secara makro tantangan tugas Polri di masa mendatang dapat dikelompokkan menjadi lima jenis, yaitu kejahatan terhadap negara, masalah-masalah kriminalitas, masalah lalu lintas, masalah-masalah ketertiban umum, dan masalah bencana (disaster).

Kelima masalah tersebut senantiasa mengalami perkembangan, seiring dengan makin gencarnya tuntutan keterbukaan, demokratisasi dan tuntutan HAM. Sementara itu, kekuatan personil, sarana/prasarana, dan anggaran yang tersedia untuk menunjang pelaksanaan tugas masih sangat terbatas.

Salah satu dari kejahatan terhadap keselamatan negara adalah kejahatan terhadap keamanan negara. Kejahatan terhadap keamanan negara merupakan ganguan kamtibmas yang sangat sulit diatasi karena terbatasnya kemampuan Polri dalam mencegah, menangkal, dan menindak. Kesulitan yang dialami Polri pada dasarnya tidak berasal dari intern Polri semata, tetapi juga dipengaruhi oleh lngkungan di luar Polri. Adanya dukungan luar negeri bahkan tindakan dari oknum TNI yang dengan sengaja memfasilitasi para pemberontak menyulitkan Polri melakukan penegakan hukum dan ketertiban masyarakat.

Adanya keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI seperti yang terjadi di Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam), Irian Jaya (Papua), dan Riau serta adanya konflik horizontal di daerah-daerah, seperti di Ambon, dan Nusa Tenggara Timur, yang memungkinkan para provokator untuk mengacaukan stabilitas keamanan dan berupaya memecah belah persatuan dan kesatuan memerlukan profesionalisme tindakan dari Polri untuk dengan cepat dan tepat menanganinya.

Sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban masyarakat, Polri berkewajiban menumpas segala pemberontakan dan segala sesuatu yang mengancam keutuhan dan kedaulatan negara. Kegiatan subversi, sabotase, dan upaya lain yang sengaja diciptakan untuk mengangggu keamanan negara wajib ditumpas dan diselesaikan secara hukum oleh Polri, karena tanggung jawab Polri sebagai penanggung jawab keamanan dalam negeri.

Kejahatan terhadap martabat dan kedudukan Presiden/Wakil Presiden makin sering terjadi, khususnya pada saat terjadinya aksi unjuk rasa/demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang tidak menyetujui kebijakan pemerintah, dengan membonceng pada gerakan-gerakan kemanusiaan maupun HAM yang sempit.

Penghinaan dan hujatan secara terbuka yang ditujukan kepada Presiden/Wakil Presiden bahkan disertai dengan tindakan fisik merupakan fenomena baru dalam

Page 92: Peranan dan Kedudukan POLRI

85Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

kegiatan aksi masyarakat yang mengatasnamakan kebebasan menyatakan pendapat dalam konteks demokrasi.

Konsekuensi dari tugas dan peran Polri sebagai aparat penegak hukum dan inti pembinaan Kamtibmas di era reformasi adalah meningkatnya perkembangan kriminalitas, baik kualitas maupun kuantitasnya. Bentuk ganguan kamtibmas yang berupa tindakan kriminal tidak lagi hanya dalam bentuk konvensional, seperti pencurian, pencurian dengan pemberatan (curat), pencurian dengan kekerasan (curas), pencurian kendaraan bermotor (curanmor), penipuan/penggelapan, dan narkotika. Meskipun demikian telah berkembang kejahatan dimensi baru (new dimention of crime), antara lain, berupa berbagai jenis penipuan dengan modus operandi baru, seperti maritime fraud, advance fee fraud, pemalsuan surat/bukti pembayaran atau transaksi seperti credit card, dan surat bukti transfer.

Di samping itu telah berkembang pula jenis kejahatan baru (new tipes of crime), seperti penggunaan komputer atau jaringan internet untuk melakukan kejahatan perbankan (cybercrime),99dan pelanggaran Haki. Kesemuanya ini merupakan tantangan tugas Polri yang menuntut kemampuan pembuktian yang tidak mudah dalam upaya penyidikan.

Salah satu hasil dari pembangunan nasional adalah terjadinya peningkatan kegiatan dan sarana/prasarana transportasi, berupa peningkatan kualitas jalan, peningkatan jumlah (volume) kendaraan, dan peningkatan arus lalu lintas seiring dengan peningkatan dinamika pembangunan. Peningkatan kegiatan maupun sarana/prasarana di bidang transportasi memiliki dampak positif dan juga dampak negatif berupa meningkatnya jumlah angka kecelakaan lalu lintas dengan jumlah korban luka-luka dan meninggal yang tinggi, terjadinya kemacetan lalu lintas, polusi udara dan suara. Hal tersebut diatas menambah beban tugas Polri dan menuntut Polri bekerja secara maksimal, optimal, dan profesional.

Sering ditemukan adaya keluh kesah dan umpatan masyarakat yang ditujukan kepada Polri apabila terjadinya kemacetan lalu lintas atau kecelakaan lalu lintas, padahal masalah lalu lintas bukan semata-mata tanggung jawab Polri tetapi juga merupakan tanggung jawab Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan (DLLAJ), Pemerintah Daerah (Pemda), dan masyarakat secara keseluruhan.

Keterbatasan sarana transportasi Polri, baik itu kurangnya kendaraan bermotor (mobil dan sepeda motor) yang digunakan untuk patroli, pengawalan, laka lantas, olah tempat kejadian perkara (olah TKP) serta minimnya anggaran untuk BBM dan perawatan kendaraan membuat operasional Polri di bidang lalu lintas menjadi semakin sulit. Sepatutnya pemerintah dan masyarakat membantu pengadaan sarana/prasarana kepolisian dalam rangka mempermudah kegiatan/aktivitas masyarakat di luar rumah.

Masalah ketertiban umum yang semakin meluas dan meningkat dari waktu ke waktu menuntut penanganan yang serius dan bijaksana. Pengamanan terhadap

99 Tim Ganda Wibawa Sakti, Gawisa, No. 365/Pebruari/XXX/Tahun 2002, Dispen Polda Jabar, hlm. 44, Bandung, 2002.

Page 93: Peranan dan Kedudukan POLRI

86 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

kegiatan masyarakat berupa pertunjukan kesenian, pertandingan olah raga, arak-arakan atau pawai di jalan umum, serta unjuk rasa yang seringkali berkembang menjadi kerusuhan massa yang sangat merugikan dan menganggu ketenteraman masyarakat secara luas memerlukan pola penanganan yang sistematis. Hal tersebut penting dilakukan secara baik untuk dapat meninkatkan harkat, martabat dan citra Polisi sebagai pelayan, pengayom dan pelindung masyarakat.

Masalah bencana (disaster) juga diperkirakan sering terjadi, baik yang diakibatkan oleh alam (bencana alam) maupun yang diakibatkan oleh ulah manusia, seperti kecelakaan bus, kereta api, pesawat, kapal laut, tanah logsor, banjir, kebakaran, wabah penyakit, keracunan makanan, dan gempa bumi.

Berbagai gangguan keamanan tersebut di atas telah tumbuh dan berkembang seirama dengan pesatnya pembangunan nasional yang menggunakan tehnologi dan merupakan tanggung jawab Polri untuk dapat mencegah dan mengatasi setiap terjadinya gangguan kamtibmas. Tuntutan di era reformasi terhadap Polri untuk memelihara dan memantapkan stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat harus dilakukan dengan mencermati dan menelaah perkembangan masyarakat yang dapat menjadi sumber ancaman terhadap Kamtibmas yang secara teoretis dapat digambarkan bahwa terjadinya suatu peristiwa karena adanya akar masalah yang mengendap dan tidak terlihat di bawah permukaan (teori gunung es). Endapan-endapan tersebut pada hakikatnya bersumber dari aspek-aspek astagatra dalam pembangunan nasional yang terus berlanjut hingga saat ini.

Pembangunan aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan membawa endapan/residu berupa Faktor Korelatif Kriminogen (FKK). Hal ini apabila tidak dieliminasi dapat berkembang menjadi faktor interaksi atau Police Hazard (PH). Police Hazard ini dapat menjelma menjadi Ancaman Faktual (AF) bila bertemu dengan faktor pencetus.

Oleh karena itu tantangan tugas Polri di era reformasi memang sarat dengan kebutuhan dan harapan masyarakat yang senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan lingkungannya. Untuk mengantisipasi tuntutan tugas Polri yang semakin berat di era reformasi, dukungan terhadap kemandirian dan profesionalisme Polri dari masyarakat, bangsa, dan negara harus diwujudkan secara konkret. Kedudukan Polisi sebagai alat negara di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat (law and order) sudah seharusnya dilaksanakan atau diwujudkan.

4.3.2 Polri Sebagai Salah Satu Bagian dari Unsur Criminal Justice System (CJS)

Sistem peradilan pidana atau Criminal Justice System (CJS) adalah suatu pendekatan sistem dalam prosedur penanganan perkara pidana yang diwujudkan dalam bentuk kerjasama antara lembaga-lembaga CJS yang biasanya terdiri

Page 94: Peranan dan Kedudukan POLRI

87Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

atas Hakim, Jaksa, dan Polisi. Dari pendekatan hukum, CJS merupakan prosedur penanganan perkara-perkara pidana yang bertujuan untuk menemukan kebenaran materiel dengan bertumpu pada azas legalitas di bawah nuansa supremasi hukum.

Menurut Kunarto100, sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) adalah :“Sistem dalam satu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi mengandung pengertian mengendalikan, yang bermakna mencegah (prevensi) dan memberantas (represi). Karena kejahatan itu tidak mungkin dihilangkan sama sekali, maka mengendalikan berarti pula menjaga agar kejahatan atau gangguan Kamtibmas itu selalu dalam batas toleransi masyarakat”

Pada saat Polri masih bagian dari ABRI, kedudukan Polri sebagai salah satu unsur CJS secara organisatoris tidak memiliki posisi yang setara dengan unsur-unsur CJS lainnya, sehingga sangat berpengaruh terhadap efektivitas hubungan kerjasama antarsesama institusi penegak hukum.

Dalam kedudukannya sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat, Polri melalui pelaksanaan tugas secara preemtif, preventif, dan represif berupaya maksimal membuat masyarakat patuh dan memiliki kesadaran hukum. Para penegak hukum termasuk polisi harus mawas diri karena selain harus menjaga hukum dapat berjalan dengan lurus dan benar. Akan tetapi, juga mampu mengikat mereka supaya mau menghormati dan mematuhi hukum.101 Polri dapat juga dikatakan sebagai alat perlindungan masyarakat terhadap kejahatan atau dengan istilah lain disebut social defence.102 Oleh karena itu, organisasi Polri haruslah setara dengan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya (kejaksaan dan pengadilan), agar mandiri dalam mengambil keputusan yang terkait dengan pelaksanaan tugas pokok, peranan, wewenang dan fungsi Polri.

4.3.3 Pemberdayaan Peran Polri Sebagai Ujung Tombak Penanganan Masalah Keamanan dalam Negeri

Pemberdayaan peran Polri sebagai ujung tombak penanganan masalah keamanan dalam negeri adalah suatu upaya sistematis dan sinergis yang dilakukan secara kontinyu untuk menempatkan Polri sebagai penanggung jawab utama kamdagri. Adapun tujuan pemberdayaan peran Polri tersebut adalah untuk mewujudkan peran Polri sebagai organisasi yang mandiri dan profesional yang jauh dari intervensi lembaga lain dalam pelaksanaan tugas Polri sebagai penegak hukum dan ketertiban masyarakat, yang mengacu pada spesialisasi menurut tugas pokok,

100 Kunarto, HAM dan POLRI, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997, hlm. 129.101 Wahyu Affandi, Hakim dan Penegakan Hukum, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 7.102 Ninik Widiyanti dan Panji Anoraga, Perkembangan Kejahatan dan Permasalahannya Ditinjau Dari Segi Kriminologi

dan Sosial, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, hlm. 10.

Page 95: Peranan dan Kedudukan POLRI

88 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

fungsi dan peranan Polri. Untuk menyamakan persepsi tentang kamtibmas, ada baiknya diberikan/dicarikan batasannya terlebih dahulu.

Keamanan masyarakat menurut Surat Keputusan Menhankam/Pangab No. Skep/B/66/1972 diartikan sebagai berikut:(1) Perasaan bebas dari ganguan baik fisik maupun psikis;(2) Adanya rasa kepastian dan bebas dari kekhawatiran, keragu-raguan ;dan

ketakutan(3) Perasaan dilindungi dari segala macam bahaya; dan(4) Perasaan kedamaian dan ketenteraman lahiriah dan bathiniah.

Ketertiban (order) masyarakat adalah suasana tertib dan ketertiban yang merupakan suatu keadaan yang menimbulkan kegairahan dan kesibukan bekerja dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat seluruhnya. Tertib itu sendiri berarti keteraturan, yaitu situasi dimana segala sesuatu berjalan teratur. Ketertiban adalah keadaan yang sesuai dengan norma-norma serta hukum yang berlaku.103

Mewujudkan kedudukan Polri pada posisi yang benar sebagai lembaga khusus pemerintah setingkat Kejaksaan Agung yang berada di bawah Presiden dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, sehingga pemberdayaan peran Polri sebagai ujung tombak penanganan keamanan dalam negeri dapat terwujud. Disamping itu, peningkatan pembinaan personil, sarana/prasarana, dan anggran yang mendukung operasional Polri harus didukung oleh semua komponen masyarakat, bangsa, dan negara.

Dalam rangka pemberdayaan peran Polri tersebut juga perlu ditegaskan kembali tentang budaya kerja Polri yang fight crime, help delinquence, dan love humanity serta menghilangkan budaya militeristik. Realisasi dan aplikasi undang-undang kepolisian yang baru, yakni Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 harus segera dilaksanakan. Segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan UU No. 2 Tahun 2002 harus segera disiapkan. Di lain pihak, Polri dituntut untuk kembali mewujudkan doktrin kepolisian dari pelaksanaan tugas sehari-hari, yakni berpedoman kepada doktrin Tata Tentrem Kerta Raharja.

Struktur organisasi Polri yang belum sepenuhnya efektif dan efisien harus segera dibenahi untuk dapat meningkatkan peran dan fungsinya sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat. Kedudukan Polri pada lembaga yang independen akan mengembangkan organisasi Polri untuk lebih mandiri dan profesional, baik di bidang pembinaan maupun operasional serta dapat terwujudnya jati diri Polri sebagai aparat penegak hukum dan pembina kamtibmas.

Dalam rangka pemberdayaan peran Polri sebagai ujung tombak penanganan masalah kamdagri, ada beberapa arah kebijaksanaan yang harus dilakukan, antara lain;(a) Merealisasikan secara cepat UU No. 2 tahun 2002 dengan melengkapi semua

peraturan pelaksananya;

103 Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 141.

Page 96: Peranan dan Kedudukan POLRI

89Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

(b) Mempersiapkan peran Polri sebagai ujung tombak penanganan masalah Kamdagri untuk menjamin tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya masyarakat guna terwujudnya sosok Polri yang bersih dan berwibawa serta dicintai masyarakat;

(c) Meningkatkan sumber daya Polri baik di bidang pembinaan maupun operasional serta dukungan anggaran secara efektif dan efisien guna mendukung tugas-tugas penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat; dan

(d) Mengikis habis budaya militeristik yang tidak sesuai dengan tuntutan tugas kepolisian sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban masyarakat dengan berpegang teguh pada prinsip fight crime, help deliquence, dan love humanity. Disamping itu anggota Polri harus kembali kejati diri yang sebenarnya yaitu sebagai insan Bhayangkara Rastra Sewakotama, pelindung, pelayan dan pengayom masyarakat.

Terdapat beberapa sasaran pemberdayaan Polri sebagai ujung tombak penanganan masalah kamdagri dalam kedudukannya sebagai alat negara penegak hukum dan kamtibmas diantaranya sebagai berikut:(a) Reposisi dan revitalisasi organisasi Polri Reposisi atau memposisikan kembali Polri sebagai bagian dari masyarakat sipil

dan revitalisasi atau memfungsikan kembali peranan dan fungsi Polri sebagai aparat penegak hukum dan ketertiban masyarakat merupakan suatu keharusan. DPR dan pemerintah berkewajiban menyiapkan segala perangkat hukum untuk menempatkan kembali kedudukan Polisi sebagai alat negara di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 telah memberikan kedudukan yang jelas dan tegas kepada Polri sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat, tetapi belum diikuti oleh peraturan pelaksananya. Kedudukan Polri sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban masyarakat adalah kedudukan Polri sebagai bagian dari fungsi eksekutif yang bertanggung jawab secara penuh terhadap tegaknya hukum dan terwujudnya keamanan dalam negeri.

Dalam upaya reposisi dan revitalisasi organisasi Polri harus diupayakan terwujudnya kewenangan penuh kepada Polri untuk menangani masalah-masalah kamdagri dan menghindari adanya intervensi dari pihak lain. Mewujudkan kewenangan Polri sebagai penyidik tunggal dalam perkara pidana sebagaimana yang diamanatkan oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tidak memberlakukan doktrin-doktrin dan peraturan yang bersifat militer yang dapat mengikat dan membebani tugas Polri, baik secara lembaga maupun sebagai perorangan, serta memberlakukan doktrin Polri Tata Tentrem Kerta Raharja.

Page 97: Peranan dan Kedudukan POLRI

90 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

(b) Refungsionalisasi Fungsi Kepolisian Refungsionalisasi fungsi kepolisian adalah tindakan untuk mengembalikan

fungsi kepolisian secara benar, yaitu sebagai alat negara penegak hukum dan pembina ketertiban masyarakat yang hanya meliputi bidang keamanan (security) dan bukan berfungsi di bidang pertahanan (defence), sehingga ada garis batas yang tegas dan jelas serta mampu membedakan antara fungsi pertahanan yang menjadi tugas pokok militer/angkatan perang (TNI) dan fungsi keamanan yang menjadi tugas pokok polisi (Polri).

Tampilnya Polri sebagai pengendali operasi utama dalam tugas-tugas keamanan dalam negeri secara penuh, kecuali dalam keadaan bahaya/darurat yang ditetapkan oleh undang-undang. Membiasakan Polri untuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan civilian approach (pendekatan sipil), bukan dengan military approach (pendekatan militer). Pembenahan segera struktur organisasi Polri, penambahan sarana/sarana dan anggaran Polri serta penambahan personil Polri yang sesuai dengan standar PBB, yaitu 1 : 400 secara bertahap dalam rangka menunjang tugas Polri sebagai penegak hukum dan kamtibmas.

(c) Peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) Anggota Polri Peningkatan sumber daya manusia bagi Polri dalam rangka menuju Polri yang

mandiri dan profesional adalah suatu langkah konkrit yang harus secepat mungkin dilaksanakan. Peningkatan SDM Polri baik secara kuantitas (jumlah) maupun secara kualitas (mutu).

Pembinaan kekuatan personil Polri meliputi aspek kuantitas dan kualitas. Aspek kuantitas berarti menyangkut tentang jumlah personil, rasio perbandingan jumlah Polri dengan penduduk, rasio perbandingan jumlah Polri dengan bentuk-bentuk ancaman/gangguan Kamtibmas, komposisi dan jumlah personil dalam suatu struktur terutama struktur operasional. Kuantitas (jumlah) Polri yang memadai dan memenuhi angka rasio, diharapkan dapat menanggulangi segenap dampak negatif gangguan keamanan dalam negeri, baik pada proses penggelaran pasukan maupun operasional Polri yang pada akhirnya diharapkan kemandirian Polri dapat terwujud.

Pendidikan dan latihan sebagai salah satu sarana meningkatkan kemampuan dan profesionalisme diarahkan pada kebutuhan ril Polri. Pendidikan dilaksanakan dengan cara pembenahan komponen pendidikan, terutama materi (kurikulum) pendidikan yang diarahkan pada materi profesionalisme Polri, khususnya penguasaan materi hukum dan ilmu sosial, dan meninggalkan pola-pola pendidikan militer.

Bentuk-bentuk latihan diarahkan pada kemampuan pelaksanaan tugas operasional Polri sehari-hari, khususnya pengendalian huru-hara, penyidikan tindak pidana yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan peraturan-peraturan yang menyangkut kepentingan umum atau kasus-kasus yang menjadi sorotan

Page 98: Peranan dan Kedudukan POLRI

91Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

publik. Pendidikan moral, rohani, dan budaya kerja Polri juga harus dilakukan sesuai dengan misi dan visi Polri sebagai civilian police (polisi sipil).

Diadakannya latihan terpadu yang bekerja sama dengan instansi terkait berkaitan dengan kejahatan kerah putih (white collar crime), gejolak sosial, dan HAM terus ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan Polri yang mandiri dan profesional dalam kedudukannya sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat.

(d) Sosialisasi Budaya Kerja dan Moral Kerja Polri Membudayakan kerja Polri sebagai aparat penegak hukum yang berpegang

pada jiwa fight crime, help delinquence, dan love humanity bukan merupakan pekerjaan yang gampang, karena lebih dari 50 tahun terbiasa denga pola-pola kerja militeristik. Begitu pula halnya dengan moral kerja Polri yang menuntut setiap anggota Polri adalah pelayan, pelindung, pengayom, dan suri tauladan masyarakat, yang tercermin dari perbuatan, perkataan dan tingkah laku. Selama ini sering ditemukan bahwa moral polisi sangat buruk sehingga ada kesan masyarakat menjauh dari Polri. Seyogyanya Polri adalah contoh teladan baik dalam akhlak maupun perbuatan

Adanya pungutan liar (pungli), perlakuan yang tidak sama terhadap pelaku tindak pidana, mempeti-es kan perkara, sogok, suap, dan tilang damai (tidak menilang tapi meminta sejumlah uang kepada pelanggar lalu lintas) merupakan tindakan amoral yang tidak patut dipertahankan lagi. Paradigma baru kepolisian adalah menjalankan dengan sungguh-sungguh kode etik Polri (Insan Rastra Sewa Kottama, Insan Negara Janottama, dan Insan Anuca Canadharma), Catur Prasetya (Satya Haprabu, Hanyaken Musuh, Gineung Pratidina, dan Tan Satrisna), dan Doktrin Tata Tentrem Kerta Raharja.

Membentuk penampilan dan postur aparat kepolisian yang simpatik, ramah, jujur, dan sopan yang dilandasi mental ketaqwaan, kewibawaan, dan kearifan yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kesatuan maupun dalam lingkungan masyarakat. Penampilan diri Polri tersebut harus diwujudkan secara tulus dan ikhlas.

(e) Pengawasan PolriPengawasan yang dilakukan terhadap Polri dapat dilakukan, baik secara

internal maupun eksternal. Secara internal dilakukan oleh pimpinan Polri, baik secara pribadi atau kelembagaan. Secara pribadi dapat dilakukan pengawasan melekat (waskat) dan pengawasan ke dalam (wasdal). Pengawasan melekat dilakukan oleh setiap individu anggota Polri dan dinilai oleh rekan-rekan dan pimpinan Polri. Pengawasan ke dalam dilakukan oleh pimpinan Polri yang bertanggung jawab untuk pembinaan dan pengawasan anggota, dalam hal ini adalah Assiten Personalia pada tingkat Mabes Polri, Kadit Personil pada

Page 99: Peranan dan Kedudukan POLRI

92 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

tingkat Polda, Kabagbin pada tingkat Polwil, Kabagmin pada tingkat Polres, dan Wakapolsek pada tingkat Polsek.

Pengawasan internal dapat pula dilakukan dengan melakukan wasrik (pengawasan dan pemeriksaan). Wasrik yang dilakukan harus memenuhi standar tertentu untuk menghindari kekaburan dan penyalahgunaan wasrik. Selama ini wasrik sering salah digunakan, yakni menggunakan wasrik untuk memperkaya diri sendiri dan membuat kelabakan sasaran wasrik (objek wasrik). Adanya tuntutan fasilitas, penyediaan dana dari pimpinan/penanggung jawab wasrik dapat mengganggu pencapaian tujuan wasrik.

Pemantauan dari luar (eksternal control), baik melalui media massa, DPR, LSM maupun masyarakat terhadap penyimpangan-penyimpangan kinerja Polri harus intensif dilaksanakan. Tentu hal ini bertujuan untuk memperbaiki citra polisi dan meningkatkan profesionalisme Polri.

Pengawasan lapangan oleh pimpinan satuan dengan memperhatikan delegation of authority dan lapis pertanggungjawaban atas pelanggaran dan ketidakefektifan cara bertindak anggota di lapangan dalam rangka menggalakan pengawasan melekat. Di samping itu, pemberian penghargaan (reward) terhadap anggota yang berhasil dalam melaksanakan tugas dan pemberian hukuman (punishment) terhadap anggota yang bersalah atau melakukan pelanggaran harus dilaksanakan secara adil dan bijaksana.

Pemberian penghargaan tidak hanya didasarkan pada keberhasilan pelaksanaan tugas semata, tetapi juga dilihat dari pola kerja, kedisiplinan, dan motivasi. Reward tidak hanya diberikan kepada anggota Polri yang secara langsung dianggap berhasil mengungkap dan menangkap pelaku tindak pidana, tetapi juga kepada anggota yang telah berhasil menekan angka tindak pidana yang terjadi (anggota Bimmas yang melakukan penyuluhan, anggota lantas yang dapat menekan angka kecelakaan, dan kemacetan lalu lintas).

Reward tidak hanya berupa pujian, penyerahan uang prestasi maupun pemberian penghargaan semata-mata, yang lebih penting adalah menciptakan motivasi agar setiap anggota yang dianggap berhasil dapat mempengaruhi anggota-anggota yang lainnya untuk ikut berprestasi. Terhadap anggota yang berprestasi dapat diajukan untuk promosi kenaikan pangkat atau melanjutkan pendidikan.

Punishment yang diberikan kepada anggota tidak separuh-separuh, tetapi harus tegas dan dapat memberikan nilai perbaikan terhadap anggota yang melakukan kesalahan. Tindakan tegas dapat berupa pemecatan dari keanggotaan Polri, penurunan pangkat, penundaan kenaikan pangkat atau jabatan.

(f) Standarisasi Sarana/prasarana dan anggaran PolriKebutuhan peralatan dan perlengkapan Polri harus disesuaikan dengan

hakekat ancaman serta karakteristik daerah operasi. Sarana/prasarana yang

Page 100: Peranan dan Kedudukan POLRI

93Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

memadai yang digunakan sebagai dukungan mobilitas operasional kepolisian maupun pendidikan Polri harus diarahkan untuk terwujudnya profesionalisme, efektifitas dan efesiensi pelaksanaan tugas polri.

Sarana pendidikan baik berupa gedung pendidikan, pelatihan, dan pendidikan kejuruan harus disesuaikan dengan standar lembaga pendidikan pada umumnya, baik segi fisik bangunan, dan lokasi tempat pendidikan. Sarana olah raga sebagai sarana penunjang dan tempat ibadah merupakan tempat pengasahan mental yang harus diadakan untuk menunjang materi pendidikan, latihan dan kejuruan.

Sarana transportasi berupa kendaraan bermotor (truk, mobil, ambulance, mobil jenazah, sepeda motor), helikopter, kapal patroli, pesawat angkut personil dan barang, sepeda sebagai sarana patroli pedesaan dan perumahan harus disesuaikan dengan kebutuhan lapangan operasional kepolisian. Selama ini sarana kendaraan patroli berupa mobil patroli yang disediakan kurang sesuai dengan kondisi daerah operasi dan tuntutan tugas kepolisian. Selain jumlah mobil patroli yang sangat terbatas, kemampuan operasionalnya juga tidak mampu memenuhi kebutuhan tugas operasional di lapangan, di samping itu kelangkaan suku cadang dan mahalnya biaya perawatan serta borosnya BBM merupakan masalah tersendiri yang menjadi salah satu kendala pelaksanaan tugas Polri secara maksimal dan optimal.

Sarana komunikasi dan informasi juga merupakan masalah yang penting untuk dipersiapkan secara baik. Kekurangan repeater sebagai penguat jaringan komunikasi, keterbatasan radio panggil (kachina, Handy Talky), tidak adanya jaringan telepon dan mesin faximile serta mahalnya operasional hand phone (pulsa, pesawat telephone) merupakan hambatan pelaksanaan kemandirian dan profesionalisme Polri.

Dewasa ini alat komunikasi dan informasi yang dimiliki Polri masih ketinggalan zaman. Banyak Handy Talky (HT) yang masih dipergunakan oleh anggota reserse dan intel pam Polri, padahal tingkat kerahasiaan HT sangat rendah dan kurang optimal bila dimanfaatkan oleh satuan reserse dan intel pam Polri. Jika dipergunakan oleh anggota sabhara, lantas atau bimmas masih memadai.

Sarana perumahan atau asrama bagi anggota Polri juga dirasakan sangat kurang memadai. Terbatasnya jumlah asrama dan jumlah rumah menjadikan anggota Polri harus mencari tempat tinggal (rumah) sendiri. Walaupun ada sebagian anggota yang memilki rumah pribadi tetapi jika dibandingkan dengan yang tidak punya rumah maka yang tidak punya rumah pribadi jelas lebih banyak, terlebih jika dibandingkan dengan anggota yang baru menjadi anggota Polri.

Keberadaan asrama, rumah jabatan (rumah dinas) yang letaknya berdekatan dengan kantor polisi adalah suatu keharusan. Hal ini mempermudah dalam mobilitas anggota yang berkaitan dengan pergeseran pasukan dari satu daerah

Page 101: Peranan dan Kedudukan POLRI

94 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

ke daerah lain, jika terjadi suatu kerusuhan massa atau ganguan kamtibmas yang melibatkan banyak massa dan memerlukan jumlah personil yang besar pula. Asrama yang kurang layak huni seperti yang ada saat ini, walau beberapa asrama telah cukup baik, akan mempengaruhi kinerja operasional anggota Polri. Bagaimana anggota Polri dapat bekerja secara baik jika istirahat/tidur kurang nyaman. Seringkali ketika hujan, asrama Polri bocor atau bahkan banjir. Letak asrama yang baik adalah yang dekat dengan kantor tempat anggota bertugas, tidak di daerah yang mudah terkena banjir, dan kondisi bangunan yang baik.

Banyak anggota Polri yang tidak tertampung di asrama yang memilih tinggal (mengontrak atau sewa rumah) yang letaknya berjauhan dengan kantor sehingga dapat menganggu efesiensi dan efektifitas kerja. Bisa jadi terlambat karena letaknya jauh atau terkena macet dalam perjalanan dari rumah ke kantor. Jarak ideal antara rumah adn kantor adalah tidak lebih dari 2 Km atau tidak lebih dari 10 menit perjalanan dengan berkendaraan.

Sarana perlengkapan administrasi dan perkantoran, seperti, komputer, internet, mesin tik, AC, alat tulis, dan kertas juga harus diperhatikan. Hal ini untuk menghindari adanya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pungutan liar yang berkedok uang administrasi yang dibebankan kepada masyarakat yang mengurus suatu keperluan di kantor polisi.

Hasil survei dan wawancara, kebanyakan sarana administrasi, seperti komputer, adalah hasil swadaya pimpinan Polri yang bersangkuatn, bahkan tidak jarang merupakan barang pribadi pimpinan yang bersangkutan yang dipinjam pakai di kantornya selama ia masih menjabat. Hasil swadaya adalah hasil usaha dari seorang anggota/pimpinan Polri yang dengan kemampuan pribadinya mengusahakan untuk ada sesuatu yang sebelumnya tidak ada, baik melalui permohonan bantuan kepada pihak ketiga, bantuan sukarela pihak ketiga atau sumbangan dari anggota/pimpinan yang bersangkutan. Jika Polri telah mandiri dan tetap ingin menjaga citra yang baik, budaya swadaya perlu ditiadakan karena akan mempengaruhi citra Polri dalam penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat.

Masyarakat yang dimintakan bantuan atau dengan ikhlas memberikan bantuan akan menjadi beban tersendiri bagi Polri apabila terjadi pelanggaran atau tindak pidana yang dilakukan oleh donatur (penyumbang) karena dianggap telah berjasa dengan polisi. Begitu pula terhadap anggota/pejabat Polri yang menyumbang sesuatu untuk keperluan dinas, kadangkala ada sesuatu yang diharapkan dari pemberiannya itu, baik untuk mencari perhatian pimpinan atau ingin mendapatkan pujian. Hal seperti ini akan berdampak buruk jika akan terjadi mutasi atau promosi jabatan karena adanya unsur penilaian yang seharusnya tidak perlu menjadi bahan pertimbangan.

Page 102: Peranan dan Kedudukan POLRI

95Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

4.4 Pelaksanaan Kedudukan Polisi Sebagai Alat Negara yang Mandiri dan Profesional di dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

Kepolisian secara universal pada umumnya menganut pola yang hampir sama, yaitu mengarah kepada National Police System yang merupakan bagian dari fungsi pemerintahan (kekuasan eksekutif ). Kedudukan Polri sebagai alat negara yang mandiri dan profesional di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat tidak terlepas dari pengaruh kebijakan yang diambil oleh presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi.

Dalam rangka membantu Presiden menyukseskan pembangunan nasional, Polri sebagai salah satu alat negara yang berperan dan berfungsi menegakkan hukum dan ketertiban, harus diberikan kedudukan yang tegas dan jelas secara yuridis. Hal ini untuk membantu Polri melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban masyarakat.

Kedudukan Polri sebagai lembaga khusus pemerintah setingkat Kejaksaan Agung akan memberikan kewenangan yang luas pada Polri untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Segi pengambilan kebijakan akan mempermudah Polri mengatur pembinaan dan operasional dalam rangka pelaksanaan tugas sehari-hari.

Pembenahan struktural Polri menuju polisi sipil (civillian police) akan semakin cepat. Efisiensi dan efektivitas perwujudan misi dan visi Polri akan semakin cepat terlaksana. Pembenahan struktur organisasi Polri yang dirasakan masyarakat sedikit kurang sesuai dengan bentuk organisasi polisi sipil akan terus diperbaiki menuju perubahan struktur organisasi dengan paradigma baru sebagai polisi sipil.

Polri sebagai salah satu alat negara penegak hukum dan pelindung masyarakat, sekaligus merupakan fron terdepan dalam sistem penegakan hukum dan sebagai inti pembina kamtibmas, selama ini telah berupaya untuk menanggulangi segala bentuk kejahatan yang terjadi dan telah berupaya semaksimal mungkin memberi perlindungan kepada masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002.

Penyelenggaraan fungsi kepolisian dalam era reformasi memerlukan penyesuaian dan perubahan aspek struktural, instrumental, dan kultural dengan paradigma baru reformasi dan tantangan tugas masa depan. Hal tersebut akan berkaitan dengan jati diri organisasi (struktural), jati diri fungsi, otonomi kewenangan, dan kompetensi (instrumental) serta jati diri sikap, mental, dan prilaku yang tercermin dalam budaya pelayanan Polri (kultural).

Jati diri dan organisasi yang terkesan militeristik, yang terlihat dalam sikap pelayanan yang kaku, kualitas intelektual yang rendah, sikap dan metode kerja yang

Page 103: Peranan dan Kedudukan POLRI

96 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

buruk, pakaian seragam yang berpola militer, orientasi kerja yang hanya berdasarkan perintah atasan bukan karena kebutuhan masyarakat dan kurang mandiri serta profesionalnya anggota Polri dalam melaksanakan tugas merupakan paradigma Polri yang harus diubah dan ditinggalkan.

Perubahan struktural mencakup perubahan kelembagaan (organisasai/institusi) dalam ketatanegaraan, susunan, dan kedudukan Polri. Segi kelembagaan telah diakui bahwa penyelenggaraan fungsi kepolisian dalam ketatanegaraan adalah Polri sebagai alat negara yang memiliki kedudukan setingkat Kejaksaan Agung (Lembaga Khusus Pemerintah setingkat Kejaksaan Agung).

Dengan kedudukan organisasi tersebut , diharapkan Polri akan memiliki peluang yang lebih besar untuk lebih meningkatkan kinerja dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu organisasi Polri yang baru menurut Machfud104 harus memuat prinsip-prinsip sebagai berikut:(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menganut integrated system sebagai

kepolisian nasional. Pendekatan pengorganisasian Polri sebagai polisi nasional dilaksanakan secara buttom up dengan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang lebih luas kepada Kesatuan Operasional Dasar (KOD) dan Polsek sebagai ujung tombak operasional;

(2) Wilayah hukum kesatuan kewilayahan Polri, disusun menyesuaikan pembagian wilayah pemerintahan daerah dan sistem peradilan pidana serta perkembangan masyarakat; dan

(3) Organisasi Polri disusun tanpa birokrasi yang panjang agar dapat menjamin pengambilan keputusan yang lebih cepat dan tepat sehingga masyarakat merasa puas akan pelayanan Polri. Oleh karena itu, organisasi Polri harus hemat struktur, tetapi kaya fungsi. Di samping itu, struktur organisasi harus bersifat network dan tidak selalu piramidal sehingga kerjasama terus dapat dikembangkan.

Upaya pemuliaan profesi Polri dilakukan melalui pemberian otonomi dan kemandirian dalam penentuan kebijakan Polri untuk menunjang pelaksanaan tugasnya yang dilakukan secara terus menerus, di antaranya dengan melakukan:(1) Memberikan kedudukan Polri sebagai alat negara penegak hukum dan

Kamtibmas yang mandiri dan setara dengan kedudukan Kejaksaan Agung, yaitu berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Kesetaran tersebut diharapkan akan lebih memberdayakan Polri dalam mewujudkan supremasi hukum;

(2) Mencegah peluang adanya intervensi kekuasaan terhadap Polri yang mengarah pada penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan;

(3) Mempertegas peran Polri dan meniadakan tumpang tindih kewenangan dengan

104 Ibnu Sudjak Machfud, Revuitalisasi Peran dan Fungsi Polri Menuju Terwujudnya Polisi Yang Mandiri dan Profesional, karya tulis, Poltabes Yogyakarta, Yogyakarta, 2001, hlm. 6-7.

Page 104: Peranan dan Kedudukan POLRI

97Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

instansi lain dalam penegakan hukum dan pembinaan Kamdagri; dan(4) Berkenaan dengan pemisahan Polri dari ABRI, segala undang-undang dan

peraturan pelaksana lainnya yang mengatur tentang Polri sebagai bagian dari ABRI, atau mengatur kewenangan dalam penegakan hukum dan pembinaan keamanan dalam negeri, secara bertahap juga harus disesuaikan, seperti peradilan terhadap anggota Polri, sistem pengajian, dan pembinaan Polri.

Kompetensi kepolisian erat kaitannya dengan kewenangan Polri dan kewenangan instansi lain, terutama dalam jajaran sistem peradilan pidana serta aparat penyelenggara fungsi kepolisian khusus dan penyidik pegawai negeri sipil tertentu. Kompetensi dikembangkan dengan kerjasama yang saling mendukung melalui penerapan asas partisipasi dan asas subsidiaritas. Dalam perspektif reformasi kemampuan fungsi harus diarahkan kepada penguasaan spesifik dan tidak lagi hanya bersifat umum, karena bentuk tuntutan masyarakat mengarah kepada tuntutan yang beraneka ragam dan spesifik. Tuntutan profesionalisme dapat dipenuhi melalui pemantapan kemampuan fungsi (pendidikan kejuruan atau dikjur). Ketentuan dan substansi bahan pelajaran untuk penyiapan kemampuan fungsi perlu disesuaikan dengan bentuk tugas aktual dan tuntutan masyarakat. Di samping itu, perlu ada penempatan anggota Polri yang sesuai dengan dikjurnya masing-masing dan memperbanyak anggota Polri untuk mengikuti dikjur.

Selain instrumen hukum dan perundang-undangan, yang menjadi batasan sikap dan prilaku kedinasan Polri, masih diperlukan ada kode etik Polri yang akan membimbing sikap dan prilaku yang memperhatikan etika profesi kepolisian, baik perseorangan maupun kesatuan. Sebagai suatu profesi, Polri memiliki kode etik. Kode etik pada hakikatnya berisi nilai-nilai ideal (Statement of Idea) tentang suatu profesi dan sekaligus statement of guide line (code of conduct) yang merupkan prinsip moral profesi kepolisian. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam kode etik, antara lain, pemuliaan profesi Polri, batas-batas tugas dan kekuasaan kepolisian, prinsip-prinsip yang berhubungan dengan pelayanan, perlindungan dan pelayanan masyarakat, prinsip penggunaan upaya paksa, prinsip pengumpulan bukti, dan informasi serta perawatan peralatan kepolisian.

Perubahan aspek struktural dan aspek instrumental bermuara pada aspek kultural karena kesemuanya terwujud dalam bentuk dan kualitas pelayanan aktual Polri terhadap masyarakat. Aspek kultural menggambarkan budaya kepolisian yang akan secara langsung ditanggapi oleh masyarakat, baik dengan pujian, perasaan puas maupun dengan celaan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap sikap dan prilaku Polri.

Menangkap tuntutan reformasi untuk meningkatkan kinerja dan profesionalisme Polri, konsekuensinya adalah ditingkatkannya aspek kualitas dan kuantitas anggota Polri. Hampir di setiap negara selalu mengaitkan jumlah anggota polisi dengan jumlah penduduk negaranya. Untuk itu, pada lima tahun ke depan, di samping

Page 105: Peranan dan Kedudukan POLRI

98 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

pertimbangan luas wilayah dan besarnya angka ganguan kamtibmas, perlu dicapai rasio perbandingan yang seimbang antara jumlah polisi dan jumlah penduduk (Police Employee Rate). Police Employee Rate menurut standar PBB adalah 1 : 400, sedangkan menurut standar ASEAN adalah 1 : 700.

Bertitik tolak pada hal tersebut, aspek pembinaan anggota Polri, sejak penerimaan sampai dengan pensiun harus diarahkan untuk mencapai efesiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas Polri. Untuk itu, sistem pembinaan anggota Polri akan lebih didesentralisasikan dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada para pemimpin organisasi Polri di tingkat bawah untuk membina anggotanya. Penambahan usia pensiun Polri dari usia 55 tahun menjadi 58 tahun dan bagi anggota yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas kepolisian dapat dipertahankan sampai dengan 60 tahun (Pasal 30 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2002) akan membantu mencapai Police Employee Rate di Indonesia.

Sistem pendidikan Polri yang selama ini diwarnai nuansa militer berdampak kepada sikap anggota Polri yang arogan, tidak profesional, sehingga tidak disukai masyarakat. Sebagai upaya mewujudkan anggota Polri yang profesional dan berbudaya serta mampu mengimbangi tingkat pendidikan masyarakat, sistem pendidikan Polri disusun berdasarkan sistem pendidikaan nasional melalui pengembangan ilmu kepolisian, yang saat ini memiliki konsorsium ilmu kepolisian di Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Berbagai substansi pendidikan dan latihan Polri dengan berbagai materi yang terkait erat dengan profesi kepolisian, antara lain, penguasaan HAM, demokratisasi, lingkungan hidup, dan kemampuan dialog interaktif maupun muatan lokal/nasional dengan masyarakat perlu ditingkatkan.

Profesionalisme Polri akan sulit diwujudkan tanpa dukungan peralatan dan fasilitas yang memadai (kurangnya sarana/prasarana). Oleh karena itu, penyediaan sarana/prasarana, fasilitas dan jasa akan lebih difokuskan kepada upaya-upaya untuk melengkapi peralatan kepolisian yang langsung mendukung pelaksanaan operasional dilapangan serta upaya pemeliharaan untuk memperpanjag usia pakai. Atas dasar itu, dukungan peralatan untuk kesatuan kewilayahan, terutama Polres dan Polsek, harus mendapat porsi yang besar, baik berupa sarana mobilitas, sarana komunikasi, maupun peralatan pendukung fungsi-fungsi kepolisian dengan standar khusus. Keberadaan sarana/prasarana yang terkesan mubazir, seperti mobil mewah yang diperuntukkan bagi perwira tinggi Polri sudah selayaknya ditiadakan atau dieliminasi.

Dalam rangka mengantisipasi tuntutan kebutuhan masyarakat menuju Polri yang mandiri dan profesional, sistem operasional Polri dirumuskan dalam pola operasional kepolisian yang terdiri atas kegiatan rutin dan operasi khusus kepolisian. Pendekatan preemtif dan preventif lebih dikedepankan, sedangkan tindakan represif dilakukan dalam rangka menumbuhkan efek jera terhadap setiap pelaku tindak kejahatan. Inti pelayanan Polri (core services) meliputi, polisi tugas umum termasuk bimbingan masyarakat, pembinaan keamanan ketertiban, kelancaran lalu lintas, dan penegakan hukum.

Page 106: Peranan dan Kedudukan POLRI

99Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

Kedudukan Polri sebagai lembaga khusus negara yang setingkat dengan Kejaksaan Agung dapat meningkatkan peran dan fungsi kepolisian, terutama dalam menjamin penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat. Adanya kewenangan penuh secara yuridis bagi Polri dalam menjalankan fungsinya sebagai alat negara yang mandiri dan profesional di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat akan memudahkan Polri melaksanakan tugas-tugas polisionil secara baik dan sesuai dengan harapan masyarakat.

4.5 Beberapa Pemikiran tentang Faktor-faktor Pendukung dan Penghambat Kedudukan Polri Sebagai Alat Negara dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat Serta Upaya-Upaya yang Dapat Dilakukan untuk Mengatasi Hambatan-hambatan Tersebut.

Kedudukan Polri sebagai alat negara dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat memiliki beberapa peluang dan kendala. Kedua faktor tersebut saling berhimpitan dan memerlukan suatu keahlian dan kebijakan untuk dapat mengoptimalkan faktor peluang yang ada dan mengeliminasi faktor penghambat. Faktor pendukung adalah setiap aspek yang dapat menunjang keberadaan Polri sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat, sedangkan faktor penghambat adalah setiap aspek yang dapat menghalangi pencapaian tujuan Polri dalam kedudukannya sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat.

4.5.1 Faktor PendukungFaktor pendukung yang paling utama bagi kedudukan Polri sebagai alat negara

di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat adalah adanya pengakuan secara konstitusional tentang eksistensi Polri, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 30 ayat (4) setelah perubahan kedua UUD 1945 yang menyatakan bahwa : “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”

Adanya penegasan secara konstitusional terhadap kedudukan Polri sebagai alat negara yang berperan dalam menegakan hukum dan ketertiban masyarakat memberikan landasan yang kuat bagi Polri untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya tanpa adanya intervensi dari pihak mana pun. Sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif, kebijakan Polri harus mengacu pada kebijakan Pemerintah (Presiden). Walaupun demikian, tidak bermakna bahwa Presiden dapat pula melakukan

Page 107: Peranan dan Kedudukan POLRI

100 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

intervensi terhadap pelaksanaan tugas Polri terlebih dalam tugas penegakan hukum.Lahirnya Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia semakin mempertegas kedudukan Polri sebagai alat negara penegak hukum dan kamtibmas secara yuridis sebagaimana yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2002, bahwa:

“Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”

Kedudukan Polri sebagai lembaga khusus pemerintah setingkat Kejaksaan Agung akan mempermudah Polri melaksanakan tugas-tugas polisionilnya. Sebagai alat negara yang memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, Polri dituntut untuk selalu terbuka dan responsif terhadap tuntutan masyarakat. Pengakuan secara yuridis telah mempertegas pentingnya peranan Polri dalam dinamika masyarakat demokratis dan modern di Indonesia. Banyaknya permintaan yang diajukan oleh lembaga dunia seperti PBB kepada Polri dalam menjaga perdamaian (peace keeping) di negara-negara atau daerah-daerah yang sedang bergejolak adalah sebagai salah satu bukti bahwa Polri semakin dikedepankan dalam tugas-tugas perdamaian dan kemanusiaan.

Perkembangan lingkungan global yang menuntut penghargaan terhadap HAM dan demokrasi, sedikit banyak membantu Polri untuk dapat meningkatkan perannya sebagai bagian dari masyarakat sipil (civillian police) dalam melaksanakn tugas-tugas polisionil. Kecenderungan masyarakat dunia (internasional) untuk mengedepankan Polisi daripada militer dalam menangani perkara atau sengketa memberikan angin segar kepada polisi, khususnya Polri dalam meningkatkan perannya secara maksimal.

Di samping itu, perkembangan lingkungan regional dan nasional yang menginginkan Polri tampil di depan dalam setiap penanganan perkara, khususnya yang melibatkan massa dalam jumlah yang besar memberikan kepercayaan yang tinggi terhadap Polri untuk menampilkan identitas diri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat.

Kecenderungan masyarakat yang lebih mengharapkan kehadiran polisi daripada militer merupakan fenomena baru di Indonesia. Ini menandakan bahwa masyarakat semakin paham akan keberadaan Polri dalam proses penegakan hukum dan kamtibmas. Adanya pemberitahuan tentang kegiatan masyarakat kepada Polri, termasuk pemberitahuan kegiatan demonstrasi, memperlihatkan adanya kesadaran hukum yang semakin baik di kalangan masyarakat luas. Tentu hal seperti ini harus direspon secara cepat, tepat, dan baik oleh Polri.

Page 108: Peranan dan Kedudukan POLRI

101Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

4.5.2 Faktor KendalaFaktor kendala adalah faktor-faktor yang dapat menghambat pencapaian tujuan

Polri dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya sebagai alat negara penegak hukum dan kamtibmas. Faktor kendala dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu faktor kendala intern dan faktor kendala ekstern.

(a) Faktor kendala internFaktor kendala intern adalah faktor-faktor penghambat pencapaian tujuan polri

yang berasal dari dalam tubuh Polri sendiri, di antaranya adalah struktur organisasi Polri yang terlalu rumit dan birokrasi, kurangnya sumber daya manusia Polri, terbatasnya jumlah personil, minimnya sarana/prasarana Polri, anggaran Polri yang sangat minim, dan masih adanya kultur militer dalam sikap anggota Polri.

Rumitnya struktur organisasi dan panjangnya rantai birokrasi di Polri menyebabkan Polri kurang respon terhadap tuntutan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan kebijakan yang harus diambil oleh pimpinan tertinggi Polri (kapolri). Tidak hanya itu, untuk mengurus keperluan kecil saja memerlukan waktu yang relatif lama. Hal ini disebabkan banyaknya pintu-pintu yang harus dilalui. Mekarnya organisasi Polri di tingkat markas besar yang pada saat ini terdiri atas 78 perwira tinggi aktif yang memegang jabatan struktural dengan rincian satu Jenderal Polisi, enam Komisaris Jenderal Polisi, lima belas Inspektur Jenderal Polisi, dan lima puluh enam Brigadir Jenderal Polisi membuat rumitnya struktur organisasi Polri dan dikhawatirkan terjadinya tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas, seperti Irops dengan Kapuskodalops, Karo Informatika dengan Pusinfokrimnas.

Untuk efisiensi struktur organisasi perlu dirampingkan struktur dengan menghilangkan beberapa jabatan struktural yang mempunyai kesamaan fungsi/tugas. Di samping itu jabatan Wakil Kapolri (Waka Polri) perlu diadakan kembali. Jabatan Irjen Polri dihapus karena telah adanya Jabatan Sekjen Polri. Waka Polri perlu diadakan kembali karena merupakan salah satu dari unsur pimpinan tinggi yang dapat mengambil keputusan dan kebijaksanaan serta memberikan pertimbangan kepada Kapolri. Di samping itu, akan mempermudah regenerasi di tubuh Polri.

Struktur Polri ditingkat Polda disesuaikan dengan karakteristik wilayah dan tingkat kerawanan daerah. Struktur di tingkat Polda, Polwil, Polres dan Polsek tidak perlu terlalu besar tetapi cukup kaya fungsi. Adapun fungsi yang dimaksud adalah fungsi reserse, intel pam polri, lantas, bimmas dan sabhara yang telah ada perlu dipertahankan sedangkan fungsi lain seperti fungsi bantuan sosial (bansos) dan fungsi pembinaan personil (binpers) perlu diadakan untuk membantu pelaksanaan tugas Polri dan memenuhi harapan masyarakat. Begitu pula jenjang kepangkatan perlu ditata kembali agar tidak terlalu rumit seperti saat ini. Adapun jenjang kepangkatan saat ini adalah :

Page 109: Peranan dan Kedudukan POLRI

102 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Tabel I Tanda Kepangkatan PolriTanda Kepangkatan Lama (Singkatan) Tanda Kepangkatan Baru (Singkatan)

Golongan Perwira TinggiJenderal Polisi (Jenderal Pol)Komisaris Jenderal Polisi (Komjen Pol)Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol)Brigadir Jenderal Polisi (Brigjen Pol)

Jenderal Polisi (Jenderal Pol)Komisaris Jenderal Polisi (Komjen Pol)Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol)Brigadir Jenderal polisi (Brigjen Pol)

Golongan Perwira MenengahSenior Superintendent (Sr. Supt)Superintendent (Supt)Assisten Superintendent (Ass. Supt)

Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol)Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP)Komisaris Polisi (Kompol)

Golongan Perwira PertamaSenior Inspektur (Sr. Insp)Inspektur Polisi Tk.I (Iptu)Inspektur Polisi Tk.II (Ipda)

Ajun Komisaris Polisi (AKP)Inspektur polisi Tk.I (Iptu)Inspektur Polisi Tk.II (Ipda)

Golongan Bintara TinggiAjun Inspektur Polisi Tk.I (Aiptu)Ajun Inspektur Polisi Tk.II (Aiptu)

Ajun Inspektur Polisi Tk.I (Aiptu)Ajun Inspektur Polisi Tk.II (Aipda)

Golongan Bintara RendahSersan Mayor Polisi (Serma)Sersan Kepala Polisi (Serka)Sersan Satu polisi (Sertu)Sersan Dua Polisi (Serda)

Brigadir Kepala Polisi (Brigka)Brigadir PolisiBrigadir Polisi Tk.I (Brigtu)Brigadir Polisi Tk.II (Brigda)

Golongan TamtamaKopral Kepala (Kopka)Kopral Satu (Koptu)Kopral Dua (Koptu)Bhayangkara Kepala (Bharaka)Bhayangkara Tk.I (Bharatu)Bhayangkara Tk.II (Bharada)

Ajun Brigadir Polisi (Abrig)Ajun Brigadir Polisi Tk.I (Abrigtu)Ajun Brigadir Polisi Tk.II (Abrigda)Bhayangkara Kepala (Bharaka)Bhayangkara Tk.I (Bharatu)Bhayangkara Tk.II (Bharatu)

Sumber: Skep Kapolri No. Skep/01/I/2000 tentang Pemberitahuan Perubahan Tanda Kepangkatan Bagi Anggota Polri (Sejak tahun 2007, golongan Tamtama telah dihapuskan di Polri)

Kurangnya sumber daya manusia (human resources) Polri yang disebabkan termarginalkannya anggota Polri selama ini dan terbatasnya lembaga pendidikan dan latihan serta rendahnya kualitas dan syarat yang diajukan untuk dapat menjadi anggota Polri menyebabkan secara kualitas sebagian anggota Polri kurang dapat membantu masyarakat. Kurangnya staf pemikir di lingkungan markas besar maupun di Polda-polda yang dapat memberikan pengaruh kuat sampai tingkat pimpinan pemerintah menyebabkan Polri selalu tertinggal. Tidak sebandingnya jumlah personil Polri yang mendapat pendidikan tinggi akan menyebabkan ketertinggalan Polri dalam merespon perkembangan masyarakat yang cenderung tinggi dan kritis.

Page 110: Peranan dan Kedudukan POLRI

103Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

Kualitas anggota polri masih belum sesuai harapan apabila dibandingkan dengan tingkat pendidikan masyarakat yang diayomi. Hal ini disebabkan sistem pendidikan Polri yang masih perlu direformasi atau ditata kembali. Rendahnya kualitas Polri sangat kentara terasa di tingkat polres dan polsek yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Sikap masa bodoh, kurang responsif, dan arogan dapat dilihat dari pelayanan yang diberikan di polres atau polsek, walaupun ada sebagian Polres dan polsek yang baik dalam melayani masyarakat.

Bahkan beberapa polres dan polsek di lingkungan Polwil Purwakarta105 telah menetapkan standar pelayanan Polri. Misalnya, penerimaan pengaduan atau informasi masyarakat melalui pesawat telepon. Tiga kali dering telepon tidak diangkat oleh petugas piket, petugas telah dianggap lalai dalam tugasnya dan dapat diajukan keberatan terhadap atasannya dalam hal ini adalah kapolwil, kapolres atau kapolseknya.

Rasio antara Polri dan penduduk secara kuantitatif belum mencapai tingkat ideal. Bahkan, beberapa daerah, seperti Polda Jawa Barat, rasio perbandingan polisi dan jumlah penduduk adalah 1 : 1954 (dari asumsi jumlah anggota Polri 21.986 jumlah penduduk 42. 969.453 pada awal Januari 2002). Rata-rata perbandingan jumlah polisi dan jumlah penduduk (Police Employee Rate) di Indonesia adalah 1 : 1200. Salah satu polda yang mendekati ideal adalah Polda Bali, yakni Police Employee Ratenya adalah 1 : 478 (jumlah anggota Polri 6.387 dan jumlah penduduk 3.054.201 data Juli 2001), selengkapnya dapat dilihat dari tabel sebagai berikut:

Tabel IIPolice Employee Rate di Jajaran Polda Bali

No. Kabupaten/Kota Jumlah Polisi (jiwa)

Jumlah Penduduk (jiwa) Ratio

1 Badung – Denpasar 1.732 828.547 1 : 478

2 Gianyar 816 345.787 1 :424

3 Klungkung 451 163.900 1: 363

4 Karangasem 584 376.354 1 : 644

5 Bangli 446 197.210 1 : 442

6 Buleleng 877 577.644 1 : 659

7 Jembrana 623 212.675 1 : 341

8 Tabanan 858 380.322 1 : 443Sumber Data: Dispen Polda Bali, 2001

105 Uji coba standar pelayanan dilakukan penulis terhadap beberapa satuan kewilayahan di bawah Polwil Purwakarta dan membuktikan bahwa 95 % atau 19 dari 20 telephone yang ditujukan untuk uji coba dilayani sebelum dering telephone keempat, uji coba dilakukan pada 19 – 21 April 2001 di Purwakarta, Kapolwilnya saat itu Kombes Pol. Drs. Nanan Soekarna.

Page 111: Peranan dan Kedudukan POLRI

104 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Police employee rate menurut standar PBB adalah 1 : 400 dan ASEAN adalah 1 : 700. Sebagai perbandingan dengan negara-negara lain, standar police employee rate dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel IIIPolice Employee Rate Beberapa Negara di Asia

No. Negara Perbandingan Keterangan

1 India 1 : 700 Kurang

2 Pakistan 1 : 600 Kurang

3 Singapura 1 : 400 Ideal

4 Jepang 1 : 400 Ideal

5 Hongkong 1 : 250 Sangat Ideal

6 Indonesia 1 : 1200 Sangat Kurang

7 Malaysia 1 : 400 Ideal

Standar PBB 1 : 400 Ideal

Sumber Data: Paparan Aspers, pada Konsep Pembinaan SDM Polri Dalam Rangka Reformasi menuju Polri yang Profesional, 23 Desember 2000.

Kondisi sarana/prasarana Polri yang sangat minim akan berdampak pada kinerja anggota Polri di lapangan. Terbatasnya sarana perkantoran, sarana transportasi, alat komunikasi, perumahan, dan asrama, serta alat penunjang tugas kepolisian lainnya, seperti pakaian seragam dan atributnya, mantel lantas, rompi lantas, jaket anti peluru, tongkat lantas, seragam dalmas, senpi bahu dan gengam, canon water, kawat penghalang Polri, dan patrolite RX akan berakibat yang kurang baik dalam pelaksanaan tugas Polri di lapangan, terlebih bila harus mematuhi norma-norma hukum internasioal dan HAM.

Hal tersebut diperburuk lagi dengan terbatasnya anggaran Polri. Untuk tahun 2000/2001 anggaran Polri di dalam RAPBN hanya sebesar 1,7 trilliun rupiah. Anggaran tersebut tidak hanya dipergunakan untuk tingkat Mabes Polri, tetapi juga harus didistribusikan ke Polda-polda hingga Polsek-polsek seluruh Indonesia. Terbatasnya anggaran operasional Polri akan mempengaruhi kinerja Polri baik dalam memberikan perlindungan, pengayoman, maupun perlindungan. Terbatasnya anggaran, baik yang ditujukan untuk administrasi kantor, BBM, uang lauk pauk tahanan, penyidikan perkara, akan menyebabkan anggota Polri untuk berusaha mencukupi biaya operasional tugas dengan cara-caranya sendiri, bahkan tidak jarang telah menyalahi hukum dan moral.

Sikap arogansi yang masih diperlihatkan sebagian anggota Polri dalam memberikan pelayanan, pengayoman, dan perlindungan masyarakat adalah

Page 112: Peranan dan Kedudukan POLRI

105Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

perbuatan yang justru menjelekkan citra polisi di mata masyarakat. Adanya kultur militer yang masih mendarah daging pada sebagian anggota Polri karena pengaruh integrasi dengan militer (ABRI) pada masa yang lalu akan berdampak pada pelaksanaan tugas Polri. Polri adalah unsur pelayan masyarakat, tetapi justru akan minta dilayani (sebagai tuan) yang dipraktikkan oleh sebagian anggota Polri tidak dapat dibenarkan.

Mengubah kultur militer terhadap anggota Polri tidak dapat dilakukan secara serta merta dan dalam waktu yang singkat. Perlu adanya pembinaan secara kontinyu dan pada akhirnya perlu diberikan sanksi tegas jika budaya kerja tidak segera diubah. Peranan masyarakat, pemerintah, dan khususnya pimpinan Polri, sangat membantu perubahan kultur polisi dari kultur militeristik ke kultur sipil (civillian police).

(b) faktor kendala eksternFaktor kendala ekstern adalah faktor-faktor penghambat pencapaian tujuan polri

yang berasal dari luar tubuh Polri sendiri, yang terdiri atas isu global tentang HAM, letak geografis Indonesia, krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia, ketidakstabilan politik dalam negeri, intervensi pihak-pihak terhadap pelaksanaan tugas Polri, karakteristik kerawanan daerah yang berbeda-beda, dan peraturan perundang-undangan menyangkut Polri yang belum optimal.

Bermunculannya isu internasional tentang demokratisasi dan HAM serta lingkungan hidup telah mengubah perilaku masyarakat yang sebelumnya monoton menjadi kritis untuk mengontrol Pemerintah khususnya Polri dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Kebebasan pers yang kadangkala terlalu membesar-besarkan permasalahan tanpa adanya cross cek lapangan membuat Polri harus memantapkan pengawasan dan berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya.

Letak geografis Indonesia yang terletak antara dua benua dan dua samudra dapat mempengaruhi bentuk dan jenis kejahatan, khususnya sebagai jalur perdagangan narkoba. Di samping itu luasnya wilayah NKRI yang tidak sebanding dengan kantor polisi dan jumlah anggota Polri akan sangat menyulitkan Polri mengawasi kamtibmas di seluruh pelosok Nusantara.

Kondisi geografis negara yang terdiri atas ribuan pulau dan perairan yang sangat luas merupakan kendala dalam pengorganisasian kewilayahan Polri yang memerlukan pengelompokan tipologi yang berpengaruh terhadap pola dukungan sistem transportasi, persenjataan, dan peralatan yang dipergunakan secara spesifik.

Keadaan perekonomian Indonesia yang mengalami keterpurukan dan disusul dengan krisis moneter sangat menyulitkan pemenuhan anggaran yang dibutuhkan dalam mendukung tugas-tugas polisionil, terutama dalam program penambahan personil Polri sehingga mencapai rasio yang standar (PBB atau ASEAN) maupun pemenuhan sarana/prasarana pendukung yang sangat dibutuhkan

Page 113: Peranan dan Kedudukan POLRI

106 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

dalam pelaksanaan tugas Polri. Krisis ekonomi yang diawali oleh krisis moneter menyebabkan makin meningkatnya angka ganguan kamtibmas dan meningkatnya secara tajam pelaku tindak pidana.

Gelombang reformasi yang menuntut adanya transparansi di segala bidang, termasuk adanya tuntutan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang belum dapat diwujudkan, menyebabkan sebagian daerah ingin memisahkan diri. Adanya kebijakan pemilu dengan sistem multipartai dengan berbagai corak perjuangan dan kebijakannya menyebabkan saling tarik kepentingan, baik di masyarakat maupun di lembaga legislatif yang dapat menimbulkan kerawanan politik sehingga Polri harus bekerja secara ekstra untuk meredam gejolak-gejolak yang terjadi di tengah masyarakat.

Kekurangharmonisan antara partai-partai besar yang berkuasa (PDI-P, PPP, PG, PAN, dan PKB) sangat mempengaruhi kebijakan pemerintah secara makro. Tarik ulur kepentingan yang dipraktikkan oleh wakil rakyat di DPR sangat meresahkan masyarakat dan membebani Polri dalam melaksanakan tugasnya. Saling sikut, propaganda dan menghujat antarpengurus/pendukung partai menyebabkan semakin tingginya angka kerawanan sosial yang dapat menyebabkan ganguan Kamtibmas.

Tumbuhnya berbagai kelompok masyarakat106 yang aktif melaksanakan tugas kepolisian seperti banser PKB, pemuda ka’bah PPP, satgas PDI-P dengan melakukan beraneka ragam kegiatan yang bersifat kepolisian, seperti pengamanan, pengaturan lalu lintas, pemeriksaan/pengeledahan badan terhadap tamu, dll tanpa adanya kontrol dan pembatasan kewenangan sehingga menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dan keraguan masyarakat terhadap tugas kepolisian itu sendiri. Hal tersebut akan menimbulkan rasa apatis masyarakat terhadap Polri dalam melaksanakan tugasnya.

Adanya intervensi yang masih diperlihatkan oleh pihak militer (TNI) baik melalui kelembagaan, seperti turut campur dalam tugas operasi khusus kepolisian seperti di Aceh (NAD) yang sedang digelar operasi kamtibmas, yakni dengan pengiriman prajurit TNI secara besar-besaran (sekitar 14.000 personil) walaupun yang dimintakan oleh Polri jauh dari angka tersebut (2.000 personil) yang dimintakan sebagai tenaga bantuan operasi. Hal tersebut tentu membebani Polri, baik dari segi anggaran maupun penyediaan sarana/prasarana yang dibutuhkan oleh TNI seperti barak, alat transportasi, dan uang lauk pauk. Di samping itu, sangat sulit bagi Polri untuk mengontrol pihak militer walaupun mereka di Bawah Kendali Operasi (BKO) pihak kepolisian (Polda Aceh).

Adanya praktik pungutan liar yang dilakukan oleh Polri dan juga TNI di sepanjang jalan Banda Aceh – Medan terhadap masyarakat (truk angkutan barang, bus antar

106 Keberadaan pengamanan swakarsa, termasuk yang dilakukan oleh partai-partai dibenarkan oleh undang-undang sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan melampaui kewenangannya sebagai tenaga pembantu, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 2/2002.

Page 114: Peranan dan Kedudukan POLRI

107Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

kota/provinsi, dan kendaraan pribadi) akan menurunkan citra Polri di masyarakat. Anggota Polri yang melakukan perbuatan tersebut telah ditindak tetapi TNI tidak dapat dihentikan karena bukan kewenangan Polri Seringnya anggota TNI menghalangi Polri dalam pelaksanaan penegakan hukum di masyarakat merupakan bentuk intervensi yang tidak dapat dibiarkan.

Karakteristik kerawanan daerah yang bervariasi di beberapa tempat sebagai akumulasi berbagai aspek kehidupan masyarakat, dapat menimbulkan berbagai kerawanan keamanan dalam negeri seperti separatis, aksi-aksi massal, dan tindakan-tindakan kekerasan yang bersifat massal serta kejahatan-kejahatan yang dilakukan secara berkelompok, menuntut tersedianya kekuatan Polri yang cukup besar untuk menghadapinya. Akan tetapi dalam kenyataannya tugas tersebut masih ditangani oleh kesatuan TNI lainnya sehingga Polri secara mandiri dinilai masih belum mampu menanggani permasalahan tersebut.

Di lain pihak, kesatuan TNI yang membantu Polri dalam menangani permasalahan tersebut rawan terhadap tindakan-tindakan berlebihan dan menjadi sorotan internasional sebagai aksi melanggar HAM karena dianggap sebagai kegiatan operasi militer. Keterlibatan militer (TNI) dalam tugas-tugas pemulihan keamanan dan ketertiban yang berlebihan akan makin memperburuk citra polisi di masyarakat dan dunia internasional, kecuali apabila Polri telah benar-benar tidak mampu mengatasi kerawanan yang terjadi.

Keberadaan Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia belum sepenuhnya dapat menjamin kemandirian dan profesionalisme Polri. Tidak ditegaskannya kedudukan Polri dalam struktur kekuasaan eksekutif menjadi Polri kurang mandiri dan otonom. Di samping itu, banyak peraturan pelaksana dari undang-undang tersebut yang belum dilengkapi, diantaranya adalah:(1) Peraturan Pemerintah mengenai pembagian daerah hukum menurut

kepentingan pelaksanaan tugas Polri ( Pasal 6 ayat (3) UU No. 2/2002);(2) Peraturan Pemerintah mengenai usia pensiun maksimum Polri (Pasal 30 ayat (3)

UU No. 2/2002);(3) Peraturan Pemerintah mengenai Polri dapat meminta bantuan TNI dalam rangka

melaksanakan tugas keamanan (Pasal 41 ayat (1) UU No. 2/2002);(4) Keputusan Presiden mengenai Komisi Kepolisian Nasional (Pasal 37 ayat (2) UU No.

2/2002); dan(5) Keputusan Presiden mengenai susunan organisasi, tata kerja, pengangkatan dan

pemberhentian anggota Komisi Kepolisian Nasional (Pasal 39 ayat (3) UU No. 2/2002).

Belum dilengkapinya peraturan perundang-undangan, terutama mengenai peraturan pelaksana dari Undang-undang Nomor 2 tahun 2002, akan menyulitkan Polri melaksanakan tugas dan kewajibannya secara maksimal dalam kedudukannya sebagai alat negara penegak hukum dan ketertiban dalam masyarakat.

Page 115: Peranan dan Kedudukan POLRI

108 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

4.0.3 Upaya-Upaya yang Dapat Dilakukan untuk Mengatasi Hambatan-hambatan Polri dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Alat Negara Penegak Hukum dan Kamtibmas

Dalam rangka mengoptimalkan peranan dan fungsi Polri sebagai alat negara di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat (law and order) adalah dengan memanfaatkan secara maksimal setiap faktor peluang yang ada dan memperkecil semua faktor kendala yang ada. Untuk mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi Polri dalam melaksanakan tugas-tugasnya adalah dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:

(a) Terhadap faktor kendala internMelakukan perampingan struktur organisasi Polri merupakan solusi pertama

yang harus dilakukan untuk efesiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas Polri. Menghilangkan beberapa jabatan struktural dari organisasi Polri seperti meniadakan jabatan struktural Irjen Polri, Irops, dan Pusinfokrimnas. Jabatan struktural Waka Polri perlu diadakan kembali. Di samping itu, merampingkan organisasi Polri yang penting untuk dijadikan acuan adalah memperkecil jabatan struktural yang dirasakan kurang bermanfaat, tetapi dapat dengan memperkaya fungsi pada organisasi, seperti penambahan jabatan direktorat bantuan sosial (dirbinsos) dengan pangkat Brigadir Jenderal Polisi pada tingkat Mabes Polri.

Pada tingkat polda, jabatan Inspektur Kepolisian Daerah (Irpolda) sebaiknya ditiadakan dan sebagai kompensasinya diadakan jabatan Kepala Direktorat Bantuan Sosial (Kadit Bansos) dengan pangkat Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) atau Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) yang disesuaikan dengan masing-masing tipe Polda. Demikian tingkat Polres perlu diadakan jabatan baru yakni, Kepala Satuan Bantuan Sosial (Kasat Bansos) dengan pangkat Komisaris Polisi (Kompol), Ajun Komisaris Polisi (AKP), atau Inspektur Polisi Satu (IPTU) yang disesuaikan dengan masing-masing tipe Polres. Sedangkan pada tingkat Polsek tidak perlu adanya pengurangan atau penambahan jabatan.

Organisasi Polri harus dibuat efektif dalam arti hemat struktur kaya fungsi, sehingga jumlah levelnya dapat dihemat. Pada saat ini organisasi sipil seperti lembaga-lembaga sosial di negara maju berlaku struktur organisasi dengan menggunakan Directory Staff System karena sistem ini dapat memperlancar transaksi atas, bawah, maupun samping yang tidak terhambat dengan birokrasi yang panjang dan berbelit.

Upaya peningkatan sumber daya manusia Polri dapat dilakukan melalui jalur pendidikan dan latihan. Pendidikan dapat ditempuh melalaui jalur pendidikan formal, seperti sekolah dan perguruan tinggi. Pendidikan tinggi anggota Polri tidak hanya cukup pada S-1 (Sarjana), tetapi harus diupayakan pula sampai S-2 (Program Magister) dan S-3 (Program Doktoral). Pendidikan melalui jalur formal tersebut dapat

Page 116: Peranan dan Kedudukan POLRI

109Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

dilakukan di lembaga pendidikan yang dimiliki oleh Polri sendiri, seperti Akademi Kepolisian (Akpol), Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan Sekolah Staf dan Pimpinan Kepolisian (Sespimpol) maupun di lembaga pendidikan lain, seperti di universitas-universitas negeri/swasta di seluruh Indonesia.

Untuk meningkatkan keahlian dan profesionalisme anggota Polri, perlu ditingkatkan pendidikan kejuruan (dikjur) Polri yang disesuaikan dengan bakat dan kemampuan anggota pada masing-masing fungsi. Untuk meningkatkan profesionalisme anggota Polri anggota yang akan mengikuti dikjur harus telah lulus seleksi khusus kemampuan fungsi. Bagi anggota yang telah memperoleh dikjur agar tetap dipertahankan pada fungsinya masing-masing untuk mewujudkan polisi yang profesional.

Selama ini banyak anggota Polri yang belum mengikuti dikjur karena terbatasnya anggaran. Di samping itu, ada pula anggota Polri yang mengikuti lebih dari satu dikjur dengan beberapa fungsi yang berbeda pula. Misalnya, anggota polri yang mengikuti Dikjur Dasar Bintara Reserse (Dasba Serse) juga mengikuti Dikjur Dasar Bintara Lalu lintas (Dasba Lantas) atau Dikjur Dasar Bintara Bimbingan Masyarakat (Dasba Bimmas). Ada pula yang mengikuti dikjur secara tidak konsisten, seperti anggota Polri yang mengikuti Dikjur Dasba Lantas kemudian mengikuti Dikjur Bintara Lanjutan Reserse (Balan Serse), bahkan tidak jarang ada anggota Polri yang belum mengikuti dikjur dasar diizinkan mengikuti dikjur lanjutan. Begitu pula pada dikjur yang diikuti oleh para perwira. Dikjur sendiri ada yang ditujukan bagi bintara, perwira pertama, dan perwira menengah. tingkatan dikjur meliputi dikjur dasar, dikjur lanjutan, dan dikjur senior.

Ketidakkonsistenan dalam menempuh jalur dikjur akan menyebabkan anggota Polri kurang profesional dan membuang anggaran secara percuma. Penempatan anggota Polri sesuai dengan dikjur yang diikuti pada fungsinya masing-masing akan meningkatkan profesionalisme anggota Polri dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Hal ini sesuai dengan Pasal 31 UU No. 2 /2002 yang menyatakan bahwa:

“Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus memiliki kemampuan profesi”

Ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 33 UU No. 2/2002 menyatakan bahwa :Pasal 33 ayat (1) : “Pembinaan kemampuan profesi Pejabat Kepolisian Negara

Republik Indonesia diselenggarakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalamannya di bidang teknis kepolisian melalui pendidikan, pelatihan, dan penugasan secara berjenjang dan berlanjut”

Pasal 32 : “Guna menunjang pembinaan profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dilakukan pengakjian, penelitian, serta pengembangan ilmu dan teknologi kepolisian”

Page 117: Peranan dan Kedudukan POLRI

110 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Pembinaan kemampuan profesi anggota Polri dilaksanakan melalui pembinaan etika profesi dan pengembangan pengetahuan serta pengalaman penugasan secara berjenjang, berlanjut, dan terpadu. Peningkatan dan pengembangan pengetahuan dapat dilaksanakan melalui pendidikan dan pelatihan, baik di dalam maupun di luar lingkungan Polri, di lembaga pendidikan di dalam atau di luar negeri, serta berbagai bentuk pelatihan lainnya sepanjang untuk meningkatkan profesionalisme. Sedangkan pengalaman maksudnya meliputi jenjang penugasan yang diarahkan untuk memantapkan kemampuan dan prestasi. Tuntutan pelaksanaan tugas serta pembinaan kemampuan profesi Polri mengharuskan adanya lembaga pendidikan tinggi kepolisian yang menyelenggarakan pendidikan ilmu kepolisian yang bersifat akademik maupun profesi dan pengkajian teknologi kepolisian.107

Untuk meningkatkan sumber daya manusia Polri melalui jenjang penugasan, diperlukannya kebijakan dan kearifan dari pimpinan Polri. Pimpinan Polri harus jeli melihat kemampuan dan prestasi kinerja bawahannya secara merata dan menyeluruh. Selama ini pimpinan Polri banyak menggunakan manajemen jendela (Window Management) dalam menilai prestasi bawahannya. Manajemen jendela (window management) adalah suatu majemen yang hanya memperhatikan keberhasilan orang-orang yang berada di sekitar atau di dekatnya, atau dengan perkataan lain, hanya menilai keberhasilan tugas bawahannya sepanjang bawahan tersebut terlihat oleh pimpinan tersebut untuk dipromosikan ke suatu jabatan tertentu. Padahal orang-orang yang berhasil tidak hanya berada di dekat pimpinan tersebut saja.

Untuk mengatasi terbatasnya jumlah personil Polri, harus diadakan program prioritas Polri, yakni menambah jumlah personil Polri sekurang-kurangnya sesuai dengan standar ASEAN 1 : 700. Dewasa ini penduduk Indonesia mencapai 230 Juta jiwa. Dengan demikian, idealnya, jumlah personil Polri di Indonesia adalah 328.571. di samping itu, perpanjangan usia pensiun bagi anggota Polri dalam upaya mencapai Police Employee Rate yang seimbang di samping sebagai upaya memaksimalkan pelayanan terhadap masyarakat. Sebagaimana ketentuan Pasal 30 ayat (2) UU No. 2/2002 bahwa usia pensiun maksimum anggota Polri adalah 58 tahun dan dapat dipertahankan sampai dengan 60 tahun bagi anggota yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas kepolisian. Polri perlu juga melakukan upaya pembinaan potensi masyarakat dan sistem pembinaan wilayah108 misalnya dengan meningkatkan pengamanan swakarsa.

Dalam menghilangkan kultur militer dari anggota Polri tidak dapat dilakukan secara sekaligus, tetapi harus secara bertahap. Langkah pertama dan utama yang perlu dilakukan adalah menanamkan kembali doktrin kepolisian yakni, Doktrin Tata Tentrem Kerta Raharja, Tri Brata dan Catur Prasetya dan kembali kepada motto kepolisian yakni fight crime, help the delinquent, dan love humanity.

107 Penjelasan Pasal 32 ayat (1) UU No. 2/2002.108 Ermaya Suradinata, Pembinaan Potensi Masyarakat dan Sistem Pembinaan Wilayah Dalam Rangka Strategi

Penyelenggaraan Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta, Penerbit Ramadan, Bandung, 1996, hlm. 2.

Page 118: Peranan dan Kedudukan POLRI

111Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

Mengembalikan kultur Polri dari militer ke sipil dapat dimulai dari proses rekrutmen personil Polri, proses pendidikan termasuk materi dan kurikulum pendidikan/latihan, seragam dinas yang disesuaikan dengan pakaian sipil yakni tidak terlalu ketat dan berwarna menyejukkan agar tidak terkesan anker, menyusun kembali pola, dan sebutan pangkat dan jabatan dalam kepolisian. Kultur Polri sebagai civillian police dapat dilihat dari sikap dan tingkah laku anggota Polri sehari-hari.

Dalam mengatasi minimnya anggaran Polri dapat dilakukan dengan efisiensi dan efektivitas penggunan anggaran dengan menggunakan skala prioritas. Sistem penyusunan anggaran yang menggunakan Budget Oriented System tidak dapat dipertahankan lagi dan harus diganti dengan Program Oriented System sehingga dapat melakukan kerjasama dengan instansi lain di luar Polri, yang salah satunya adalah Pemerintah Daerah (Pemda).

Dalam distribusi anggaran dari mabes Polri ke jajaran tingkat bawah sebaiknya menggunakan pola satu pintu. Selama ini, untuk sampainya dana dari Mabes Polri ke Polres atau Polsek harus melewati beberapa pintu. Sebagai contoh, anggaran perawatan kendaraan dan bangunan yang didistribusikan dari Mabes Polri ke Polsek harus melalui pintu Polda (Kepala Keuangan Polda atau Kaku Polda), Polwil (Pemegang Kas Polwil atau Pekas Polwil), Polres (Juru Bayar Polres atau Jubar Polres), dan akhirnya Juru Bayar Polsek (Pubar Polsek). Selain tidak efisien juga dikhawatirkan terjadinya kebocoran dana. Sebaiknya dana yang dialokasikan oleh Mabes Polri ke Polsek langsung ditujukan ke Polsek yang bersangkutan melalui Kapolsek atau Juru Bayar Polsek.

(b) Terhadap faktor kendala eksternUntuk mengatasi perkembangan lingkungan strategis global, regional dan

nasional, Polri dituntut adaptif terhadap perkembangan jaman. Adanya isu HAM, demokratisasi, dan lingkungan hidup jangan dijadikan sebagai beban, tetapi dijadikan sebagai acuan untuk pengembangan profesionalisme Polri. Polri dapat melakukan kerjasama dengan pihak lain di luar Polri sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 42 ayat (1), (2), dan ayat (3) UU No. 2/2002 bahwa :(1) Hubungan dan kerja sama Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan badan,

lembaga, serta instansi di dalam di luar negeri yang didasarkan atas sendi-sendi hubungan fungsional, saling menghormati, saling membantu, mengutamakan kepentingan umum, serta memperhatikan hierarki.

(2) Hubungan dan kerja sama di dalam negeri dilakukan terutama dengan unsur-unsur pemerintah daerah, penegak hukum, badan, lembaga, instansi lain, serta masyarakat dengan mengembangkan asas partisipasi dan subsidiaritas

(3) Hubungan dan kerja sama luar negeri dilakukan terutama dengan badan-badan kepolisian dan penegak hukum lain melalui kerja sama bilateral atau multilateral dan badan pencegahan kejahatan baik dalam rangka tugas operasional maupun kerja sama teknik dan pendidikan serta pelatihan.

Page 119: Peranan dan Kedudukan POLRI

112 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Menurut penjelasan Pasal 42 ayat (2) dan ayat (3) bahwa :(1) Hubungan kerjasama Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan pihak lain

dimaksudkan untuk kelancaran tugas kepolisian secara fungsional dengan tidak mencampuri urusan instansi masing-masing. Khusus hubungan kerja sama dengan pemerintah daerah adalah memberikan pertimbangan aspek keamanan kepada pemerintah daerah dan instansi terkait serta kegiatan masyarakat, dalam rangka menegakkan kewibawaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(2) Yang dimaksud dengan kerja sama multilateral antara lain kerjasama dengan International Criminal Police Organization-Interpol dan Aseanapol.

Kerja sama dengan instansi lain, baik di dalam maupun luar negeri, akan memberikan pengaruh yang besar terhadap pelaksanaan tugas Polri. Keikutsertaan Polri sebagai pasukan pemelihara perdamaian dunia (peace keeping operation) di bawah bendera PBB akan berdampak terhadap anggota polri akan pentingnya menghargai HAM, demokrasi, dan lingkungan. Jadi, dengan adanya kerja sama tersebut membantu Polri untuk mengatasi tuntutan-tuntutan yang diajukan oleh masyarakat, baik itu masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional.

Untuk mengimbangi keadaan geografis Indonesia yang sangat luas, Polri dapat melakukan pembagian wilayah hukum kerja berdasarkan daerah hukum kerja pemerintah daerah. Hal ini berarti bahwa Polda memiliki wilayah hukum kerja provinsi, Polwil memiliki wilayah hukum Pembantu Gubernur, Polres memiliki wilayah hukum kabupaten/kota, dan Polsek memiliki wilayah hukum kecamatan. Sampai saat ini, jumlah kesatuan wilayah Polri belum sebanding dengan jumlah provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan yang ada di Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan pembenahan organisasi Polri ketingkat bawah seiring dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.

Keterbatasan anggaran Polri yang disebabkan oleh belum pulihnya Indonesia dari krisis ekonomi yang menyebabkan kecilnya anggaran Polri dalam RAPBN dapat diatasi dengan melakukan efesiensi, efektifitas, dan skala prioritas anggaran. Melakukan kerjasama dengan lembaga lain, terutama dengan pemda, akan sangat membantu dalam ketersediaan anggaran Polri, khususnya anggaran operasional. Para pimpinan kewilayahan Polri tingkat daerah (Kapolda dan Kapolres) dapat mengajukan anggaran ke pihak legislatif agar dapat dianggarkan dalam APBD.109

Untuk mengatasi tingginya angka kriminalitas dan gangguan kamtibmas dapat ditekan melalui peningkatan peran setiap fungsi teknis kepolisian, baik dalam melakukan tindakan pre-emtif, preventif, maupun represif. Melibatkan pengamanan swakarsa (pam swakarsa) baik dari masyarakat maupun partai politik dapat terus

109 Kapolres Bandung, AKBP Drs. Edmon Ilyas pada Agustus 2000 pernah melakukan presentasi dan pengajuan anggaran Polres Bandung di depan sidang DPRD Kabupaten Bandung dan berhasil memperoleh dana operasional Polri yang tercantum dalam APBD 2001 sebesar 100 Juta Rupiah.

Page 120: Peranan dan Kedudukan POLRI

113Kajian terhadap Makna dan Implikasi Kedudukan Polisi sebagai Alat Negara di Dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat

dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan. Pembentukan rakyat terlatih dalam bidang keamanan, atau kamra dapat dihidupkan kembali. Pendidikan masyarakat melalui fungsi dikmas lantas atau bimmas harus terus dipertahankan, seperti pendidikan patroli keamanan sekolah (PKS), remaja bhayangkari club (RBC), polisi sahabat anak (PSA), dan satuan pengatur lalu lintas (Supeltas).

Kedudukan Polri sebagai alat negara yang berperan dalam penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat adalah keberadaan Polri sebagai bagian dari masyarakat sipil (civil society) yang tunduk pada kekuasaan eksekutif (Presiden). Hanya Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi yang dapat mengatur mengenai kebijakan Polri dan itupun hanya terbatas pada kebijakan dan tidak dapat melakukan intervensi ketika Polri melaksanakan tugasnya untuk menegakkan hukum dan ketertiban masyarakat (law and arder).

Intervensi pihak lain terhadap Polri termasuk DPR dan TNI adalah bertentangan dengan hukum. Ikut campur tangannya DPR dalam proses pengangkatan dan pemberhentian Kapolri adalah salah satu bentuk intervensi politik legislatif terhadap eksekutif (Polri). Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Keputusan Presiden No. 6 tahun 1999 yang menyatakan bahwa :

“Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan lembaga pemerintah yang mempunyai tugas pokok menegakkan hukum, ketertiban umum dan memelihara keamanan dalam negeri”.

Sebagai penanggung jawab Kamdagri seharusnya Polri diberi kewenangan untuk melakukan penindakan terhadap siapa saja pelaku dan pelindung tindak pidana, termasuk jika dilakukan oleh anggota TNI. Tidak ada satu orang pun atau lembaga apa pun yang dapat mengintervensi Polri dalam melaksanakan tugas polisionilnya. Intervensi yang selama ini terjadi, seperti perlunya persetujuan terhadap pengangkatan dan pemberhentian kapolri oleh DPR dapat membawa Polri kesikap yang tidak netral. Untuk itu mendesak kiranya Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia direvisi.

Dalam mengatasi berbagai macam karakteristik kerawanan daerah yang berbeda-beda dapat diatasi dengan melakukan pendekatan secara sosial kultural terhadap daerah penugasan. Penempatan putera/puteri asli daerah dalam wilayah tugasnya masing-masing sangat membantu penguasaan budaya lokal masyarakat. Di samping itu, perlu pula menempatkan perwira-perwira tua dan berpengalaman di kesatuan kewilyahan tingkat Polsek karena mereka lebih paham dan cepat beradaptasi dengan masyarakat sekitar atau masyarakat lokal.

Untuk mengatasi kemandulan hukum yang berkenaan dengan kedudukan Polri sebagai alat negara penegak hukum dan kamtibmas, UU No. 2/2002 mendesak untuk direvisi, sepanjang pasal-pasalnya tidak mendukung kedudukan Polri sebagai alat negara di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat. Perlu dilengkapi pula segera beberapa peraturan pelaksana dari UU No. 2/2002.

Page 121: Peranan dan Kedudukan POLRI
Page 122: Peranan dan Kedudukan POLRI

115Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis makna dan implikasi kedudukan polisi sebagai alat negara di dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat (law and order), kiranya dapat ditarik kesimpulan dan disampaikan saran-saran sebagai berikut:

5.1 Kesimpulan1. Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara di dalam

kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat mengandung makna bahwa Polri adalah alat negara yang merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif yang tunduk pada kebijakan pemerintah (Presiden) dan implikasi yang timbul dari kedudukan polisi sebagai alat negara adalah mempunyai kedudukan yang mandiri dalam pelaksanaan tugasnya.

2. Dengan kedudukan Polri sebagai alat negara yang mandiri dan profesional dapat menjamin terwujudnya penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat.

3. Faktor-faktor yang mendukung kedudukan Polri sebagai alat negara dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat adalah adanya legitimasi secara yuridis konstitusional dan perkembangan lingkungan global, regional, dan nasional yang menghendaki di kedepankannya Polri dalam penangganan masalah Kamdagri. Faktor-faktor yang menghambat kedudukan Polri sebagai alat negara dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat terdiri atas faktor kendala intern dan ekstern. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut adalah dengan memanfaatkan secara maksimal setiap faktor peluang yang ada dan memperkecil semua faktor kendala yang ada.

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

Page 123: Peranan dan Kedudukan POLRI

116 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

5.2 Saran-saran1. Untuk mewujudkan kemandirian dan profesionalisme Polri disarankan agar

memberikan kedudukan Polri sebagai suatu lembaga khusus pemerintah setingkat Kejaksaan Agung, yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden serta mandiri dan otonom tanpa intervensi dari pihak mana pun terhadap pelaksanaan tugas-tugas kepolisian dalam kerangka penegakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat.

2. Untuk mencapai optimalisasi, efisiensi, dan efektifitas dalam pelaksanaan tugas kepolisian, disarankan agar Polri melakukan pembenahan segera terhadap aspek struktural, instrumental, dan kultural. Hal ini harus didukung sepenuhnya oleh pemerintah, masyarakat, dan anggota Polri sendiri.

3. Khusus dalam penyusunan anggaran disarankan agar Polri menggunakan pola penyusunan anggaran yang mengacu pada Program Oriented System.

4. Demi terwujudnya Polri profesional yang sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat, disarankan agar Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia direvisi, terutama yang berkaitan erat dengan pengangkatan dan pemberhentian kapolri serta melengkapi dengan segera peraturan pelaksana yang ada kaitan dengan lahirnya Undang-undang Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut.

Page 124: Peranan dan Kedudukan POLRI

117Daftar Pustaka

A. BUKU-BUKUAbdul Wahid, Hukum, Suksesi dan Arogansi Kekuasaan, Tarsito, Bandung, 1994.

Abdullah Zaini, Pengantar Hukum Tata Negara, Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 1991.

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1995.

Amirin Tatang, M, Menyusun Rencana Penelitian, CV. Rajawali, Jakarta, 1990.

Andi Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1999.

Bambang Poernomo, Pembangunan Hukum Dalam Perspektif Ketertiban Sosial, Penerbit UII Press, Yogyakarta 1992.

Bayley, David.H, Koban Dalam Citra Polisi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1988.

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, edisi revisi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001.

Daoed Joesoef, Dua Pemikiran tentang Pertahanan Keamanan dan Strategi Nasional, Yayasan Proklamasi, Jakarta, 1973.

Dicey, A.V., Introduction to The Law of The Constitution, ECS Wade, London, 1939.

Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Bina Aksara, Jakarta, 1987.

Djokosutono, Ilmu Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.

Ermaya Suradinata, Pembinaan Potensi Masyarakat dan Sistem Pembinaan Wilayah

DAFTAR PUSTAKA

Page 125: Peranan dan Kedudukan POLRI

118 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Dalam Rangka Strategi Penyelenggaraan Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta, Penerbit Ramadan, Bandung, 1996.

Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997.

Friedmann, Robert, R, Community Policing Comporative Perspective and Prospects, Harnester Wheatsheef, London, 1992.

Gde Yasa Tohjiwa, Catatan Kritis, Gramedia, Jakarta, 1996.

Harman Benny, K, Konfigurasi Politik & Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, ELSAM, Jakarta, 1997.

Hartono Mardjono, Politik Indonesia (1996-2003), Gema Insani Press, Jakarta, 1996.

Harun Al-Rasyid, Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara, Edisi Kedua, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1995.

Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1996.

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi Dan Pelaksanaannya Di Indonesia, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994.

Joeniarto, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Bina Aksara, Jakarta, 1984.

Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1989.

----------, Sistem Pemerintahan Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.

Kunarto, Merenunggi Kritik Terhadap Polri, Cipta Manunggal, Jakarta, 1995.

----------, Perilaku Organisasi Polri, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997.

----------, HAM dan POLRI, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997.

----------. Polri Mandiri, Cipta Manunggal, Jakarta, 1999.

Kusnardi, Moh & Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, Pusat Studi HTN FH UI dan CV. Sinar Bakti, Jakarta,1988.

Kusumah Mulyana, W, Polisi Masa Depan Dalam Perspektif Kriminologi, Bigraf Publishing, Yogyakarta, 1995.

LaRouche, Apakah Demokrasi itu? Rencana Besar Menghancurkan Kekuatan Militer Di Amerika Latin, (diterjemahkan oleh Sesko TNI), EIR News Service Inc., Washinton DC, 1994.

Mabes Polri, Naskah Akademik RUU Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Dispen Polri, Jakarta, 1991.

Mahfud, Moh, MD., Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, 1999.

Page 126: Peranan dan Kedudukan POLRI

119Daftar Pustaka

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998.

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1991.

Momo Kelana, Hukum Kepolisian, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta,1994.

Ninik Widiyanti dan Panji Anoraga, Perkembangan Kejahatan dan Permasalahannya Ditinjau Dari Segi Kriminologi dan Sosial, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987.

Norma, E.H., Japan’s Emergence as A Modern State, Institute of Pacific Relation, New York, 1940.

Notohamidjojo, O, Makna Negara Hukum, Penerbit Kristen, Jakarta, 1967.

Oudang, M, Perkembangan Kepolisian di Indonesia, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, Jakarta, 1952.

Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.

----------, Asas Negara Hukum dan perwujudannya dalam sistem Hukum Nasional (Sistem Hukum Nasional Politik Pembangunan Hukum Nasional), UII Press,Yogyakarta,1992.

Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1952.

Reiner and Robert, The Rise and The Fall of The Police Legitimacy, Wheatsheat Books Ltd., London, 1986.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.

Satjipto Rahardjo, Polisi dan Masyarakat Indonesia - Citra Polisi, Yayasan Obor Indonesia Jakarta, 1988.

Sjachran Basah, Ilmu Negara: Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989.

Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 1980.

Soenito Djojosoegito, Pokok Pelaksanaan Tugas Kepolisian RI, Cetakan Ketiga, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta,1970.

Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Normatif, Rajawali Pers, Jakarta, 1985.

Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta, 1976.

Solly Lubis, M., Hukum Tata Negara, CV Mandar Maju, Bandung, 1992.

Sri Soemantri M., Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987.

----------, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, 1992.

Page 127: Peranan dan Kedudukan POLRI

120 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

----------, Susunan Ketatanegaraan Menurut UUD 1945 Dalam Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1993.

----------, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,1993.

Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1983.

Sumbodo Tikok, Hukum Tata Negara, PT Eresco, Bandung, 1988.

Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982.

Utrecht E., Pengantar Hukum Adminstrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1960.

Wahyu Affandi, Hakim dan Penegakan Hukum, Alumni, Bandung, 1981.

Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1989.

B. DISERTASI, TESIS DAN MAKALAHDirektorat Bimmas Mabes Polri, Misi Sosial Politik ABRI, Dirbimmas Polri, Jakarta, 1992.

Dudu Duswara Machmudin, Eksistensi Kepolisian Negara republik Indonesia Dalam Penegakan Hukum dan Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun 1997 (Tesis), Bandung, 1999.

I Gede Pantja Astawa, Hak Asasi Manusia Pada Umumnya dan Di Indonesia Pada Khususnya, Makalah disampaikan dihadapan Perwira siswa (Pasis) pada Sespimpol, Lembang Bandung, 2000.

Romli Atmasasmita, Kedudukan dan Peran Kepolisian Negara RI Dalam Kerangka CJS, Makalah pada seminar Kepolisian Negara RI tanggal 29-31 Juli 1998, Sespim Polri, Lembang Bandung, 1998.

Rukmana Amanwinata, Pengaturan dan Batas Imlementasi Kemerdekaan Berserikat dan berkumpul Dalam Pasal 28 UUD 1945 (Disertasi), Bandung, 1996.

Sri Soemantri M, Peran Polri Dalam Mengimlementasikan Hak Azasi Manusia, Makalah pada Seminar Kepolisian Negara RI tanggal 29-31 Juli 1998, Sespim Polri, Lembang Bandung, 1998.

Triyana Yohanes, Kedudukan dan Tugas Polri Pada Waktu Perang Di Tinjau Dari Sudut Hukum Humaniter (Tesis), Bandung, 1994.

Wakil Assospol Kassospol ABRI, Pembinaan dan Operasi Sosial Politik, Kodam I/BB (TNI-AD), Medan, 1989.

Page 128: Peranan dan Kedudukan POLRI

121Daftar Pustaka

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGANUndang Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang Undang No. 13/1961 Tentang Undang Undang Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang Undang No. 8/1974 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana yang telah dirubah dengan UU No. 43/1999.

Undang Undang No. 20/1982 Tentang Pertahanan dan Keamanan Negara.

Undang Undang No. 28/1997 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang Undang No. 9/1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum

Undang Undang No. 2/2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang Undang No. 3/2002 Tentang Pertahanan Negara.

Keputusan Presiden No. 79/1969 Tentang Berlakunya Organisasi ABRI, TNI-AD, TNI-AU, TNI-AL dan POLRI.

Keputusan Presiden No. 6/1999 Tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia

Instruksi Presiden No. 2/1999 Tentang Langkah-langkah Kebijaksanaan Dalam Pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Surat Keputusan Kapolri No.Skep/01/I/2000 Tentang Pemberitahuan Perubahan Tanda Kepangkatan Bagi Anggota Polri.

D. KAMUSEncyclopaedia Britanica, Volume XVIII, 1768.

Encyclopaedia of Social Sciences, Volume XI-XII.

Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai pustaka, Jakarta, Edisi kedua, 1991.

Page 129: Peranan dan Kedudukan POLRI

122 Peranan dan Kedudukan POLRI dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

E. Sumber-sumber Lain (Artikel, Majalah, Jurnal dan Surat Kabar)

Anwar Mushadad, Tinjauan Ilmu Sejarah Terhadap Nilai-nilai Perjuangan Polri-Dalam Rangka HUT Bhayangkara ke-55, Warta Sura Dwipa Sarvabhavena, Edisi Khusus, No. 364 Juli 2001, Dispen Polda Bali, Denpasar, 2001.

Harian Media Indonesia, Tanggal 26 Februari 2000, Jakarta.

Ibnu Sudjak Machfud, Revuitalisasi Peran dan Fungsi Polri Menuju Terwujudnya Polisi yang Mandiri dan Profesional, karya tulis, Poltabes Yogyakarta, Yogyakarta, 2001.

Koerniatmanto Soetoprawiro, Konstitusi : Pengertian dan Perkembangannya, Pro Justitia, No. 2 Tahun V, Edisi Mei 1987.

Kunarto, Polisi Dikedepankan, Machdum Sakti, Edisi 11 Maret-April 1997, Dispen Polda Aceh, Banda Aceh, 1997.

Memet Tanumidjaja, Perlukah Kementerian Keamanan Dalam Negeri Dalam Negara kesatuan RI, Majalah Bhayangkara No. 2-3, Tahun I, September-Oktober 1950.

Oetojo Oesman, Forum Makehjapol Diadakan Untuk Menciptakan Kepastian Hukum, Dispen Polda Aceh, Machdum Sakti, Edisi 11 Maret – April 1997, Banda Aceh, 1997.

Susanto, I.S, Hukum dan Demokrasi, Caraka Candi, Edisi September 2001, Dispen Polda Jawa Tengah, Semarang, 2001.

Tim Ganda Wibawa Sakti, Gawisa, No. 365/Pebruari/XXX/Tahun 2002, Dispen Polda Jabar, hlm. 44, Bandung, 2002.

Page 130: Peranan dan Kedudukan POLRI

Peranan dan Kedudukan

POLRIdalam Sistem Ketatanegaraan

Indonesia

Dr. M. Gaussyah, S.H., M.H

Dr. M. Gaussyah, S.H., M

.H

Diterbitkan Oleh:

Kemitraan bagi Pembaruan Tata PemerintahanJl. Wolter Monginsidi No. 3Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12110, INDONESIATelp +62-21-7279-9566, Fax. +62-21-720-5260, +62-21-720-4916http://www.kemitraan.or.id

ISBN: 978-602-1616-04-8

Peranan dan KedudukanP

OLR

I dalam

Sistem Ketatanegaraan Indonesia