peran sosial budaya dalam upaya meningkatkan pemanfaatan program jampersal
DESCRIPTION
Masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil karena segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau dengan kematian. Perilaku ibu dalam memelihara kesehatannya dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi dan budaya.Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih lebih tinggi.Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan bahwa AKI 228 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 34 per 1000 kelahiran hidup. Berdasar kesepakatan global (Millenium Development Goals / MDG’s 2000) diharapkan ada tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup dan AK menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup (Kementerian Kesehatan, 2011). Telah dilakukan berbagai upaya menuju persalinan aman dari sisi medis (provider) namun masih belum menunjukkan hasil memuaskan.Program Jaminan Persalinan (Jampersal) diluncurkan mulai tahun 2011 berdasarkan Permenkes No. 631/Menkes/PER/III/2011 tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan dan Surat Edaran Menkes RI Nomor TU/Menkes/391/II/2011 tentang Jaminan Persalinan (Kementerian Kesehatan, 2011) dan kemudian diperbaiki dengan keluarnya Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2562/Menkes/PER/XII/2011 tentang hal yang sama. Dengan dimulainya program Jampersal dan masih banyaknya kendala perilaku dan sosial budaya dalam pemilihan penolong persalinan yang tentunya berdampak pada pemanfaatan Jampersal maka penelitian ini dilakukan. Kendala datang baik dari pihak ibu sendiri, dari masyarakat maupun dari fasilitas atau tenaga kesehatan.Penelitian ini mempunyai tujuan umum untuk menyediakan kajian peran sosial budaya dalam upaya peningkatan pemanfaatan program jaminan persalinan.Dalam rangka merubah perilaku masyarakat dengan harapan agar seorang ibu hamil mau bersalin ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan maka upaya yang harus dilakukan adalah dengan melakukan intervensi melalui 3 tingkatan ekologi yaitu tingkat individu, tingkat interpersonal dan tingkat komunitas atau masyarakat. Pada tingkat individu (ibu) perlu dipahami tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku individu yaitu faktor pemicu, pendukung dan penguat antara lain nilai, kepercayaan, pengetahuan, sikap dan praktek tentang hal-hal terkait masa kehamilan, persalinan dan paska persalinan termasuk KB.Dalam pemilihan perawatan/penolong ibu pada masa maternity (hamil, bersalin dan paska persalinan), ibu akan dipengaruhi orang sekitarnya karena hubungan antara individu/ interpersonal dengan orang di sekitarnya (suami, orangtua, tetangga). Dalam , pemilihan penolong kehamilan (Ante Natal Care/ANC), persalinan, paska persalinan ada faktor yang berpengaruh terhadap hubungan interpersonal yaitu faktor sosial budaya, termasuk demografi, geografi dan akses terhadap fasilitas pelayanan. Pada tingkat komunitas, penetapan praktek perawatan atau pertolongan kehamilan (ANC), persalinan dan paska persalinan ditentukan oleh ketanggapan fasilitas kesehatan terhadap kebutuhan ibu terkait harapan, dukungan/kemudahan serta hambatan dalam mengakses tenaga kesehatan. Hal ini juga dipengaruhi kebijakan pemerintah yang diberlakukan antara lain pembiayaan kesehatan berupa jaminan persalinan (jampersal).Penelitian dilaksanakan sejak bulan Maret sampai dengan selesai pada bulan Desember 2012. Penelitian dilakukan di 6 provinsi berdasarkan cakupan ANC dan PNC dengan pembiayaan Jampersal secara Nasional, sebagai tolok ukur berdasarkan data tingkat provinsi pada tahun 2011 yang diperoleh dari P2JK.Mengacu pada cakupan ANC dan PNC dalam Pembiayaan mempergunakan Jampersal, maka dilakukan klasifikasi provinsi yaitu provinsi dengan cakupan tinggi; provinsi dengan cakupan sedang dan provinsi dengan cakupan rendah dalam pembiayaannya. Pada tiap kategori dipilih 2 provinsi; sehingga dari ketiga kategori didapat 6 Provinsi Aceh, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Maluku Utara dan Banten. Selain dilihat dari cakupan ANC dan PNC diatas, peTRANSCRIPT
i
KATA PENGANTAR
Penyusunan laporan merupakan bagian akhir dari suatu kegiatn penelitian dan
menjadi bagian terpenting untuk menyampaikan seluruh rangkaian tahapan penelitian
yang diakhiri dengn kesimpulan dan rekomendasi. Penyusunan laporan berjudul
“Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program Jaminan
Persalinan (Jampersal)” berlangsung alot karena penulisannya per kabupaten/kota
diserahkan tanggung jawabnya secara merata kepada anggota tim peneliti. Setiap
peneliti bertanggung jawab terhadap laporan hasil setiap kabupaten/kota, karena hasil
penelitian ini ingin mengungkapkan secara detil keadaan sosial budaya di masing-
masing lokasi.
Pada bab “Hasil” diuraikan secara detil tujuan penelitian yang ingin dicapai di
setiap daerah lokasi penelitian (12 lokasi). Dengan demikian dpat diketahui dan
disampaikan secara spesifik dan detil ke khasan budaya di masing-masing lokasi yang
mengungkapkan keadaan sosial masyarakat. Buku laporan ini dilengkapi dengan foto-
foto yang diambil di daerah penelitian, dilengkapi peta sosial budaya yang merupakan
rangkuman dari engamatan di lapangan oleh peneliti. Melalui gambar, diharapkan
memudahkan pembaca memahami apa yang ingin diungkapkan mengingat cukup
banyak wujud budaya yang sulit diungkapkan hanya dengan kata-kata.
Penelitian ini mengutamakan data kualitatif sebagai kekuatan dari hasil
penelitian, didukung data kuantitatif yang diperoleh dari hasil wawancara terstruktur
kepada ibu yang melahirkan dalam kurun waktu satu tahun sebelum pelaksanaan
pengumpulan data. Tidak mudah menggabungkan kedua jenis data, mengingat tim
peneliti tidak seluruhnya berpengalaman melakukan hal tersebut serta memili “style”
berbeda dalam penulisan suatu hasil kualitatif. Penggabungannya memnutuhkan
usaha keras masing-masing peneliti. Dengan cara penyampaian tersebut diharapkan
lebih mampu mengungkapkan fakta di lapangan dengan lebih detail. Uraian tentang
ritual dan adat istiadat yang masih berlangsung di masyarakat menggambarkan bahwa
masih banyak tradisi yang melekat dalam budaya masyarakat khususnya di perdesaan.
ii
Harapan peneliti, hasil penelitian ini mampu memberikan sumbangsih dalam
mendukung program penurunan angka kematian maternal dan bayi yang sulit untuk
diturunkan meskipun berbagai upaya telah dilakukan pemerintah. Diharapkan dengan
adanya data dari sisi masyarakat dapat membantu apa yang bisa dilakukan pemerintah
tanpa meninggalkan kondisi di masyarakat. Semoga buku ini dapat menjadi acuan
meskipun terbatas untuk daerah dan sosail budaya tertentu.
Surabaya, Januari 2013
Tim Peneliti
iii
ABSTRAK Latar Belakang. Pemerintah telah meluncurkan Jampersal sebagai salah satu upaya
menekan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi yang masih tinggi sebagai percepatan mencapai target MDGs 2015. Perilaku pencarian pertolongan persalinan dipengaruhi nernagai factor termasuk sosial budaya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menyediakan kajian peran sosial budaya dalam upaya peningkatan pemanfaatan program jaminan persalinan. Metode Penelitian. Data kualitatif dikumpulkan dengan wawancara mendalam, FGD kepada tokoh masyarakat, dukun bersalin, bidan, kepala puskesmas, didukung data kuantitatif dengan responden ibu yang melahirkan satu tahun terakhir. Lokasi penelitian di 6 propinsi masing-masing ditetapkan satu wilayah puskesmas di desa dan satu di kota. Hasil Penelitian. Menunjukkan masih kuat nilai kepercayaan dan pelaksanaan ritual/adat istiadat masih banyak dilakukan sehingga peran dukun masih dibutuhkan. Sarana transportasi menjadi hambatan utama persalinan di fasilitas kesehatan. Interaksi sosial masyarakat desa menjadi kekuatan sedang di kota fasilitas memadai sehingga akses menjadi mudah. Bidan sudah diterima relative baik di desa maupun di kota oleh masyarakat yang ternyata memiliki pengetahuan kesehatan baik. Sumber pembiayaan persalinan sudah banyak dengan memanfaatkan jampersal namun belum maksimal bahkan cenderung rendah di perkotaan tertentu. Sosialisasi tentang Jampersal menjadi kendala utama disamping masih adanya conflict of interest pada Bidan Praktek Swasta. Kesimpulan. Disimpulkan bahwa Jampersal membantu persalinan aman, namun perlu sosialisasi yang lebih intensif secara menyeluruh. Persalinan dengan bidan sudah membudaya namun dukun masih dibutuhkan masyarakat untuk perawatan ibu dan bayi serta pelaksanaan tradisi Saran: Budaya dan praktek tradisi masih memberikan pengaruh dalam pemilihan penolong persalinan, budaya yang berdampak positip dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan persalinan di bidan dan dilaksanakan di fasilitas kesehatan seperti, sifat kegotong royongan, tradisi 7 bulanan. Perlu pembagian tupoksi bidan dan dukun dan pendanaan Jampersal untuk jasa dukun dan bantuan transportasi.
iv
ABSTRACT
Background. The National Delivery Assurance (NDA) was launched by the government as
one of effort to push down Maternal Mortality Rate (MMR) and Infant Mortality Rate (IMR) and a booster to reach the target of MDGs 2015. Birth attendance seeking behavior is influenced by various factors including socio-cultural aspect. This research aimed to provide a study on the role of socio-cultural aspect in an effort to raise the utilization of NDA. Method. This research employed a mixed between qualitative and quantitative method with qualitative data as main tool analysis. Qualitative data were collected through in-depth interviews and FGD, whereas quantitative data were collected through survey to mothers who had given birth in the past year. This research was conducted in 6 provinces which were represented by one each primary health center in urban area and rural area. Result. The result of this research showed that traditional value and practice of rituals were still performed, therefore the role of Traditional Birth Attendance (TBA) remain needed. Transportation was the main obstacle in getting delivery assistance in health facilities. Midwives were welcomed both in rural and urban areas. The people had a good knowledge on maternal and child health. The NDA were used as delivery financial source although not yet maximized or even low in certain cities. Socialization of NDA was one of main obstacle in its implementation as well as conflict of interest between government and private practice midwives. Conclusion. The NDA provided cost to support the acceptability of safe delivery assistance, but it’s broader and effective socialization need to be conducted. TBA was needed to care maternal and child health and to assist the tradition. Suggestion. Cultural aspect and practice of tradition play a role on people’s choice to get safe delivery assistance. Some positive aspect of it such as mutual aid, seventh month pregnancy’s ritual can be utilized to raise safe delivery by health worker, in health facilities. NDA support cost of TBA’s service and transportation to reach health facilities.
v
RINGKASAN EKSEKUTIF
Peran Sosial Budaya dalam Upaya Meningkatkan Pemanfaatan Program
Jaminan Persalinan (Jampersal)
Masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil
karena segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau
dengan kematian. Perilaku ibu dalam memelihara kesehatannya dipengaruhi oleh
faktor sosial ekonomi dan budaya.Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi
(AKB) di Indonesia masih lebih tinggi.Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2007 menunjukkan bahwa AKI 228 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB
34 per 1000 kelahiran hidup. Berdasar kesepakatan global (Millenium Development
Goals / MDG’s 2000) diharapkan ada tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102
per 100.000 kelahiran hidup dan AK menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup
(Kementerian Kesehatan, 2011). Telah dilakukan berbagai upaya menuju persalinan
aman dari sisi medis (provider) namun masih belum menunjukkan hasil memuaskan.
Program Jaminan Persalinan (Jampersal) diluncurkan mulai tahun 2011
berdasarkan Permenkes No. 631/Menkes/PER/III/2011 tentang Petunjuk Teknis
Jaminan Persalinan dan Surat Edaran Menkes RI Nomor TU/Menkes/391/II/2011
tentang Jaminan Persalinan (Kementerian Kesehatan, 2011) dan kemudian diperbaiki
dengan keluarnya Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2562/Menkes/PER/XII/2011
tentang hal yang sama. Dengan dimulainya program Jampersal dan masih banyaknya
kendala perilaku dan sosial budaya dalam pemilihan penolong persalinan yang
tentunya berdampak pada pemanfaatan Jampersal maka penelitian ini dilakukan.
Kendala datang baik dari pihak ibu sendiri, dari masyarakat maupun dari fasilitas atau
tenaga kesehatan.Penelitian ini mempunyai tujuan umum untuk menyediakan kajian
peran sosial budaya dalam upaya peningkatan pemanfaatan program jaminan
persalinan.
Dalam rangka merubah perilaku masyarakat dengan harapan agar seorang ibu
hamil mau bersalin ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan maka upaya
yang harus dilakukan adalah dengan melakukan intervensi melalui 3 tingkatan ekologi
yaitu tingkat individu, tingkat interpersonal dan tingkat komunitas atau masyarakat.
Pada tingkat individu (ibu) perlu dipahami tentang faktor-faktor yang berpengaruh
vi
terhadap perilaku individu yaitu faktor pemicu, pendukung dan penguat antara lain
nilai, kepercayaan, pengetahuan, sikap dan praktek tentang hal-hal terkait masa
kehamilan, persalinan dan paska persalinan termasuk KB.
Dalam pemilihan perawatan/penolong ibu pada masa maternity (hamil,
bersalin dan paska persalinan), ibu akan dipengaruhi orang sekitarnya karena
hubungan antara individu/ interpersonal dengan orang di sekitarnya (suami, orangtua,
tetangga). Dalam , pemilihan penolong kehamilan (Ante Natal Care/ANC), persalinan,
paska persalinan ada faktor yang berpengaruh terhadap hubungan interpersonal yaitu
faktor sosial budaya, termasuk demografi, geografi dan akses terhadap fasilitas
pelayanan. Pada tingkat komunitas, penetapan praktek perawatan atau pertolongan
kehamilan (ANC), persalinan dan paska persalinan ditentukan oleh ketanggapan
fasilitas kesehatan terhadap kebutuhan ibu terkait harapan, dukungan/kemudahan
serta hambatan dalam mengakses tenaga kesehatan. Hal ini juga dipengaruhi
kebijakan pemerintah yang diberlakukan antara lain pembiayaan kesehatan berupa
jaminan persalinan (jampersal).
Penelitian dilaksanakan sejak bulan Maret sampai dengan selesai pada bulan
Desember 2012. Penelitian dilakukan di 6 provinsi berdasarkan cakupan ANC dan PNC
dengan pembiayaan Jampersal secara Nasional, sebagai tolok ukur berdasarkan data
tingkat provinsi pada tahun 2011 yang diperoleh dari P2JK.Mengacu pada cakupan
ANC dan PNC dalam Pembiayaan mempergunakan Jampersal, maka dilakukan
klasifikasi provinsi yaitu provinsi dengan cakupan tinggi; provinsi dengan cakupan
sedang dan provinsi dengan cakupan rendah dalam pembiayaannya. Pada tiap kategori
dipilih 2 provinsi; sehingga dari ketiga kategori didapat 6 Provinsi Aceh, Nusa Tenggara
Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Maluku Utara dan Banten. Selain dilihat dari
cakupan ANC dan PNCdiatas, pemilihan provinsi dalam penelitian ini juga didasari oleh
persebaran provinsi, agar dalam penelitian ini setiap region dapat terwakili.
vii
Daftar Provinsi, Kabupaten/Kota dan Puskesmas Sebagai Lokasi Penelitian
PROPINSI KABUPATEN/KOTA PUSKESMAS
1. Aceh
1. Kab. Gayo Lues Pintu Rime
2. Kota Banda Aceh Lampaseh Kota
1. Kab. Bima Parado
2. Kota Mataram Karang Pule
3. Kalimantan Barat 1. Kab. Landak Semata
2. Kota Pontianak Karya Mulya
4. Sulawesi Selatan 1. Kab. Jeneponto Arungkeke
2. Kota Makassar Kasi Kasi
5. Maluku Utara 1. Kab. Halmahera Selatan Mateketen
2. Kota ternate Kota ternate
6. Banten 1. Kab. Lebak Cirinten
2. Kota Cilegon Citangkil
Jenis penelitian ini adalah observasional dengan pengambilan data cross
sectional. Cara pengumpulan data secara kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif
dikumpulkan dengan wawancara terstruktur pada ibu yang melahirkan pada tahun
2011 untuk memperoleh data tentang faktor karakteristik, nilai, kepercayaan,
pengetahuan, sikap dan praktek terkait ANC, persalinan dan paska persalinan serta
alasan dan pengambil keputusan memilih penolong persalinan. Semua hal tersebut
terkait dengan pemanfaatan jampersal.
Data Kualitatif dikumpulkan dengan cara Focus Group Discussion (FGD) dan in-
depth interview (wawancara mendalam) untuk memperoleh informasi tentang sosial
budaya masyarakat dan (ibu, suami, tokoh masyarakat, bidan, dukun, pengelola
program KIA/KB dan jampersal dan Kepala Puskesmas serta Kepala Dinas Kesehatan).
Informasi yang ditanyakan terkait faktor pemicu, pendukung, penguat, hambatan dan
harapan terkait pemanfaatan Jampersal serta peran tenaga kesehatan dalam
pemanfaatan Jampersal.
Populasi dan Sampel Penelitian. Ibu yang melakukan persalinan pada Juni
2011–Mei 2012 baik memanfaatkan Jampersal atau tidak, akan ditetapkan sebagai
sampel dengan cara stratified random sample. Dilakukan listing persalinan di wilayah
puskesmas terpilih (diambil dari kohort). Selanjutnya di setiap wilayah puskesmas
terpilih akan diambil 68 ibu sebagai sampel minimum. Data diolah secara deskriptif
dan disajikan dalam bentuk narasi dan tabel serta gambar.
viii
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai dan norma menjadi pegangan
masyarakat desa dalam mengatur tingkah lakunya. Norma menjadi ukuran,
pedoman,aturan atau kebiasaan agar orang dapat melakukan penilaian apakah
sesuatu termasuk benar atau salah. Dalam hal kesehatan ibu dan anak, perilaku yang
terlihat masih cukup banyak diwarnai dengan religi ataupun kepercayaan yang masih
dianut. Di lokasi penelitian dengan masyarakat yang masih memegang erat aturan
agama (misal. Aceh, Bima dengan mayoritas pemeluk agama Islam) maka tindakan
yang mereka lakukan seringkali dikaitkan dengan nili-nilai dalam ajaran agama
Islam.Masyarakat kota lebih mengutamakan hukum formal sebagai pengatur
perilakunya.
Kepercayaan terhadap tradisi masih dipegang erat oleh masyarakat di
perdesaan, dan kurang dilaksanakan di perkotaan. Kepercayaan terhadap mistik atau
gaib atau roh, seringkali mendorong perilaku yang merugikan.Masyarakat desa di
lokasi penelitian masih sangat kuat terlibat dalam suatu upacara.Kepercayaan sebagai
unsur budaya tidaklah mudah untuk mengubahnya. Unsur ini sulit diterima masyarakat
khususnya bila menyangkut ideologi dan falsafah hidup. Berbeda dengan kelompok
masyarakat perkotaan yang lebih bersifat individualistik sehingga kedekatan satu
sama lain sudah berkurang. Status sosialnya yang heterogen dengan mata pencaharian
penduduk yang berbagai macam serta kompetitif, tidak bergantung kepada alam
membuat masyarakat kota lebih dinamis. Pada umumnya keterikatan terhadap tradisi
sangat kecil. Masyarakat kota Banda Aceh, Pontianak dan Makasar sudah jarang yang
melakukan ritual dan upacara.
Responden di 12 lokasi penelitian memiliki pengetahuan yang cukup bagus
tentang “persalinan aman bila ditolong bidan”. Namun sikap tidak setuju terhadap
kompetensi bidan yang lebih baik dari dukun yaitu di responden di Halmahera Selatan
dan Gayo Lues tetapi dalam pemilihan penolong persalinan, mereka tetap memilih
bidan.Masyarakat di desa banyak memilih tempat persalinan di rumah ke fasilitas
kesehatan terutama karena lokasi yang sulit transportasi. Responden di kota lebih
cenderung memilih melahirkan di faskes daripada responden yang tinggal di
desa.Pengetahuan, sikap yang baik dan mendukung bukan satu-satunya faktor yang
mampu mendorong seseorang untuk bertindak positip. Masih banyak faktor lain yang
ix
mendukung perilaku khususnya dalam upaya persalinan. Alam dan lingkungan yang
sulit telah membatasi komunikasi secara langsung bidan dan masyarakat, sehingga
sulit untuk mengakses bidan pada saat dibutuhkan.
Persalinan ditolong oleh bidan merupakan salah satu upaya menurunkan AKI dan
AKB. Pemanfaatan Jampersal mensyaratkan persalinan ditolong tenaga kesehatan dan
dilakukan di fasilitas kesehatan. Pengetahuan tentang keamanan persalinan ternyata
hampir semua responden di 12 lokasi penelitian memiliki pengetahuan yang cukup
bagus tentang “persalinan aman bila ditolong bidan”. Pemilihan penolong persalinan
dukun dengan alasan dukun adalah orang yang dipercaya dan dianggap tepat
membantu ibu saat kehamilan dan persalinan. Dukun adalah orang yang sudah sangat
mereka kenal, disamping dukun menolong dengan biaya yang terjangkau menjadi
pendorong mereka memilih dukun. Ada pandangan bahwa dukun memiliki kompetensi
yang sama dengan bidan dalam menolong persalinan sehingga mendorong memilih
dukun sebagai penolong persalinan. Persalinan adalah proses alamiah, merupakan
anggapan yang umum dan diakui.
Jaminan persalinan diselenggarakan pemerintah dalam upaya memfasilitasi
masyarakat agar mendapat pelayanan pertolongan persalinan aman oleh tenaga
kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan. Dengan adanya Jampersal diharapkan
dapat mengakselerasi tujuan MDG’s 4 (status kesehatan anak) dan MDG’s 5 (status
kesehatan ibu). Peran sosial budaya dapat mempengaruhi pemanfaatan jampersal
melalui beberapa hal yaitu sosialisasi, kepesertaan, pendanaan, pelayanan dan
ketenagaan melalui 5 unsur budaya. Berikut kesimpulan dan saran penelitian dengan
perincian unsur budaya yang berpengaruh terhadap pemanfaatan Jampersal.
1. Sosialisasi
1) Pendidikan dan pengetahuan, yang baik akan lebih memudahkan pemahaman
terhadap suatu informasi. Keberadaan media informasi seperti televise, radio,
surat kabar akan memberikan kemudahan penyampaian informasi KIA dan
jampersal.
2) Kepercayaan: hambatan pada masyarakat (Gayo) yang masih percaya
santet/gaib, masyarakat menolak paham baru (misal informasi ttg kesehatan/
jampersal) kehadiran orang belum dikenal
x
3) Mata pencaharian: bekerja di perkebunan/ ladang yang lokasinya jauh
menyebabkan banyak masyarakat menghabiskan waktu di ladang atau kebun
sehingga kurang terpapar oleh informasi
4) Orsosmas: Interaksi masyarakat yang baik akan memudahkan diterimanya
suatu informasi tentang KIA dan jampersal. Informasi yang diterima ibu bila
dapat diterima dengan baik oleh suami akan mendorong kemungkinan
persalinan kepada nakes mengingat di masyarakat perdeaan, suami adalah
pengambil keputusan.
5) Teknologi komunikasi: teknologi informasi tidak banyak dimanfaatkan dalam
proses penyampaian jampersal dan KIA. Informasi lebih banyak diterima
secara langsung dengan cara tatap muka yang terjadi antara bidan dengan ibu
pada saat pelayanan KIA.
Saran
1) Bidan sebagai sumber informasi harus mampu menjalin hubungan yang baik
dengan masyarakat sasaran (ibu), tokoh masyarakat dan organisasi massa.
2) Perlu pembekalan pengetahuan budaya kepada bidan melalui orientasi
sebelum melaksanakan tugas di masyarakat.
3) Menghindari konflik kepentingan bidan puskesmas yang berpraktek swasta
dengan memberikan kompensasi kepada bidan.
2. Kepesertaan
1) Pengetahuan/Pendidikan yang baik akan meningkatkan pemahamanan tentang
manfaat jampersal serta prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi.
Banyak masyarakat belum pernah mendengar tentang jampersal, termasuk
tokoh masyarakat dan perangkat desa (hasil FGD).
2) Mata Pencaharian. Petani, pekerja kebun, nelayan, buruh
perkebunan/pertanian (kelompok ekonomi kurang) tidak memanfaatkan akibat
ketidak tahuan terhadap jampersal dan persyaratannya.
3) Kepercayaan tidak terkait dengan kepesertaan
4) Orsosmas: aparat tidak mempersiapkan masyarakat untuk memanfaatkan
jampersal. Hal ini kemungkinan karena tidak adanya sosialisasi yang
terintegrasi antara bidang kesehatan/puskesmas dengan kelurahan.
xi
Kepemilikan KTP di daerah pedesaan cukup banyak sehingga harus mengurus
kartu domisili.
5) Teknologi: program pemerintah untuk menyelenggarakan e-KTP merupakan
sarana untuk mempermudah masyarakat ikut serta dalam jampersal karena
identitas diri terdaftar secara nasional.
Saran:
1) Sosialisasi lebih luas dan detil termasuk prosedur dan persaratan menjadi
peserta jampersal melalui tokoh masyarakat (contoh: Lurah, ketua RW/RT, dll)
dan pemuka agama (kiai, pendeta). Pemanfaatan dukun sebagai penyampai
pesan jampersal dengan membangun peran kemitraan yang harmonis dengan
bidan.
2) Untuk meningkatkan pemanfaatan jampersal maka perlu adanya kerjasama
puskesmas dengan pihak desa dan kecamatan, bahkan seharusnya dimulai dari
strata yang paling tinggi (Kementerian).
3) Perlu peningkatan dan kecepatan penyelenggaraan e-KTP yang merata hingga
di tingkat desa.
3. Pendanaan
1) Pengetahuan/Pendidikan:
Pengetahuan yang baik membuat masyarakat mampu memprioritaskan
pembelanjaan uang, sehingga ada upaya untuk menglokasikan sebagian
penghasilan untuk kepentingn kesehatan.
2) Mata pencaharian:
Pendanaan sangat erat kaitannya dengan geofrafis. Untuk melayani ibu di
daerah perdesaan yang sulit, tidak memungkinkan untuk mendatangi fasilitas
kesehatan sehingga bidan yang dijemput untuk melahirkan di rumah ibu.
Masalah semakin kompleks apabila dukun yang dicari oleh masyarakat
sehingga harapan ersalinan oleh nakes di faskes menjadi semakin tidak
terpenuhi. Daerah perdesaan di daerah sulit membutuhkan biaya transportasi
khusus.
3) Jasa dukun masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat khususnya dalam
perawatan kehamilan dan pasca persalinan. Adanya kemitraan dukun – bidan,
maka perlu dipikirkan jasa dukun.
xii
Saran:
1) Pendanaan Jampersal perlu memberikan biaya transportasi ibu bersalin
menuju fasilitas kesehatan.
2) Ada alokasi dana jampersal jasa pelayanan dukun. Sumber dana dapat
memanfaatkan BOK atau dana pemerintah daerah yang lain.
4. Pelayanan dan Ketenagaan
1) Pendidikan dan pengetahuan masih rendah tentang KIA dan jampersal. Masih
banyak masyarakat menggunakan dukun untuk memeriksakan kehamilan.
Keadaan ini cukup memprihatinkan mengingat pemerintah telah menyediakan
jampersal yang memberikan pelayanan dengan tenaga professional (bidan).
Masih ada persepsi bahwa dukun lebih kompeten dalam mendeteksi kehamilan
dan mengatur letak janin dalam rahim. Pemeriksaan kehamilan oleh bidan
mengikuti standar K4 masih belum mencapai target. Termasuk dalam hal ini
adalah persalinan dan pasca persalinan.
2) Masih ada persepsi dari masyarakat bahwa kemampuan dukun lebih dari bidan
dalam hal mengadopsi kepercayaan dan spiritual yang diyakini masyarakat
misalkan: bersuci (mengambil air wudhu) sebelum menolong persalinan,
membaca do’a atau mantra pada saat menolong persalinan. Masyarakat masih
membutuhkan pelayanan dukun karena masih kuatnya tradisi pelayanan
komprehensif yang dilakukan oleh dukun. Kemitraan bidan-dukun telah
berjalan tetapi masih belum jelas pembagian tugas antara bidan dan
dukun.Masih banyak keluhan masyarakat desa terhadap bidan, antara
lainbidan kurang memahami budaya setempat, kurang mampu berinteraksi
dengan masyarakat.
3) Persalinan di rumah terjadi karena lokasi rumah penduduk yang terpencil jauh
dari fasilitas kesehatan (poskesdes, polindes, pustu, puskesmas). Selain
minimnya sarana transportasi, juga.
4) Persepsi yang salah tentang keamanan persalinan di rumah juga menyebabkan
masyarakat memilih untuk melahirkan di rumah.
Saran:
1) Pemahaman tentang risiko kehamilan melalui kegiatan yang ada di masyarakat
seperti, konseling pra nikah, disisipkan pada ritual pernikahan.
xiii
2) Peran serta masyarakat misalkan ojek siaga, ambulan desa, rumah singgah.
3) Kurikulum bidan perlu ditambah degan materi “pendekatan budaya
masyarakat” dan melakukan kerja praktek di perdesaan.
4) Bidan mampu memenuhi keinginan masyarakat terkait dengan kepercayaan
dan spiritual melalui pembagian peran dalam kemitraan dengan dukun. Dukun
memimpin ritual persalinan sementara bidan menangani proses persalinan
secara medis.
5) Penempatan bidan di desa harus diiringi dengan orientasi dan pembimbingan
untuk pengenalan wilayah kerja yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan
setempat.
xiv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i ABSTRAK iii ABSTRACT iv RINGKASAN EKSEKUTIF v DAFTAR ISI xiv DAFTAR TABEL xviii DAFTAR GAMBAR xxii BAB 1. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1 1.2. Tujuan Penelitian 5
BAB 2. METODE PENELITIAN 6 2.1. Kerangka Konsep 6 2.2. Waktu dan Tempat Penelitian 7 2.3. Jenis dan Desain Penelitian 9 2.4. Populasi dan Sampel Penelitian 10 2.5. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data 11 2.6. Pengolahan dan Analisis Data 13
BAB 3. HASIL PENELITIAN SOSIAL BUDAYA TERKAIT KESEHATAN IBU DAN ANAK 15 3.1. Puskesmas Pintu Rime, Kabupaten Gayo Lues 15 3.1.1. Gambaran Umum Kabupaten Gayo Lues 15 3.1.2. Gambaran Umum Puskesmas Pintu Rime Kecamatan Pining 25 3.1.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 36
3.1.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal
46
3.1.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal
52
3.1.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal
54
3.2. Puskesmas Lampaseh Kota, Kota Banda Aceh 59 3.2.1. Gambaran Umum Kota Banda Aceh 59 3.2.2. Gambaran Umum Lampaseh Kota 62 3.2.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 66 3.2.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan
Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal 75
3.2.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal
83
3.2.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal
85
3.3. Puskesmas Cirinten, Kabupaten Lebak 88 3.3.1. Gambaran Umum Kabupaten Lebak 88 3.3.2. Gambaran Umum Kecamatan Cirinten 90 3.3.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 103
3.3.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal
119
3.3.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal
131
3.3.6. Hambatandan Dukungan dalam Pelaksanaan Jampersal 135
xv
3.4. Puskesmas Citangkil, Kota Cilegon 138 3.4.1. Gambaran Umum Kota Cilegon 138 3.4.2. Gambaran Umum Puskesmas Citangkil 143 3.4.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 149
3.4.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal
160
3.4.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal
167
3.4.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal
171
3.5. Puskesmas Semata, Kabupaten Landak 176 3.5.1. Gambaran Umum Kabupaten Landak 176 3.5.2. Gambaran Umum Puskesmas Semata 182 3.5.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 188
3.5.4. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal
205
3.6. Puskesmas Karya Mulya, Kota Pontianak 210 3.6.1. Gambaran Umum Kota Pontianak 210 3.6.2. Gambaran Umum Puskesmas Karya Mulya 214 3.6.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 216
3.6.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal
221
3.4.5. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal
234
3.7. Puskesmas Arungkeke, Kabupaten Jeneponto 237 3.7.1. Gambaran Umum Kabupaten Jeneponto 237 3.7.2. Gambaran Umum Puskesmas Arungkeke 242 3.7.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 246
3.7.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal
260
3.7.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal
267
3.7.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal
270
3.8. Puskesmas Kassi-kassi, Kota Makassar 275 3.8.1. Gambaran Umum Kota Makassar 275 3.8.2. Gambaran Umum Puskesmas Kassi-kassi 279 3.8.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 288
3.8.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal
302
3.8.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal
311
3.8.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal
314
3.9. Puskesmas Parado, Kabupaten Bima 321 3.9.1. Gambaran Umum Kabupaten Bima 321 3.9.2. Gambaran Umum Kecamatan Parado 328 3.9.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 337
3.9.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal
355
3.9.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan 374
xvi
Program Jampersal 3.9.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal
378
3.10. Puskesmas Karang Pule, Kota Mataram 387 3.10.1. Gambaran Umum Kota Mataram 387 3.10.2. Gambaran Umum Kecamatan Parado 395 3.10.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 398
3.10.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal
408
3.10.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal
413
3.10.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal
417
3.11. Puskesmas Mateketen, Kabupaten Halmahera Selatan 420 3.11.1. Gambaran Umum Kabupaten Halmahera Selatan 420 3.11.2. Gambaran Umum Kecamatan Makian Barat 424 3.11.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 428
3.11.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal
436
3.11.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal
449
3.11.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal
455
3.12. Puskesmas Kota Ternate, Kota Ternate 459 3.12.1. Gambaran Umum Kota Ternate 459 3.12.2. Gambaran Umum Puskesmas Kota Ternate 470 3.12.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak 478
3.12.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan Pelayanan Jampersal
490
3.12.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal
497
3.12.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal
501
BAB 4. PEMBAHASAN 508 4.1. Nilai dan Kepercayaan 508 4.2. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu 516 4.3. Pemilihan Penolong Persalinan (Terkait Sosial Budaya) dan
Pemanfaatan Pelayanan Jampersal 521
4.4. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Jampersal 527 4.5. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal 534
4.5.1. Sosial Budaya di Wilayah Kabupaten 534 4.5.2. SosialBudaya di Wilayah Kota 539
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 548 5.1. Sosialisasi 548 5.2. Kepesertaan 549
5.3. Pendanaan 550 5.4. Pelayanan dan Ketenagaan 550
DAFTAR PUSTAKA 552 LAMPIRAN
xvii
DAFTAR TABEL
2.1. Daftar Provinsi, Kabupaten/Kota dan Puskesmas Sebagai Lokasi Penelitian
8
2.2. Variabel, Cara Pengumpulan Data dan Instrumen yang Digunakan 12 2.3. Jumlah Responden sebagai Sampel Penelitian dan Tenaga Enumerator 14 3.1.1. Jumlah penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Kabupaten Gayo Lues
Berdasarkan Kecamatan 18
3.1.2. Sarana Kesehatan di Kabupaten Gayo Lues 20 3.1.3. Data Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan Kabupaten GayoLues
Tahun 2011 22
3.1.4. Wilayah Kerja Puskesmas Pintu Rime 28 3.1.5. Data Jumlah Penduduk Puskesmas Pintu Rime, Kecamatan Pining
Tahun 2011 29
3.1.6. Jumlah Bumil, Bulin,Bufas, Bayi dan Balita Per Desa di Wilayah Puskesmas Pintu Rime Kecamatan Pining Tahun 2011
32
3.1.7. Jumlah Sasaran dan Cakupan KIA Kecamatan Pining Tahun 2011 33 3.1.8. Jumlah Sasaran dan Cakupan KIA Kecamatan Pining Tahun 2011 33 3.1.9. Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Hamil di Kecamatan Pining Tahun
2012 41
3.1.10. Ritual, Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Bersalin di Kecamatan Pining Tahun 2012
45
3.1.11. Ritual, Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Pasca Persalinan di Kecamatan Pining Tahun 2012
46
3.1.12. Jenis Pelayanan Bidan Kampung yang Diterima Masyarakat Kecamatan Pining, Tahun 2012
49
3.2.1. Jumlah Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Lampaseh Tahun 2011 63 3.2.2. Data Jumlah Tenaga Puskesmas Lampaseh Tahun 2011 64 3.2.3. Responden yang melakukan Upacara Adat pada Saat Kehamilan,
Persalinan dan Pasca PersalinandiKecamatan Kutaraja Tahun 2012 71
3.2.4. Status Persalinan dan Tempat Persalinan Responden di Wilayah Puskesmas LampasehKecamatan Kutaraja Tahun 2012
74
3.2.5. Pelayanan yang Diterima Responden dari Bidan dan Dukun, di Wilayah Puskesmas Lampaseh Kecamatan Kutaraja Tahun 2012
78
3.2.6. Penolong Pertama dan Terakhir Persalinan Di Wilayah Puskesmas LampasehKecamatan Kutaraja Tahun 2012
79
3.2.7. Sumber Biaya Pelayanan KIA di Wilayah Puskesmas Lampaseh Kecamatan Kutaraja Tahun 2012
82
3.2.8. Perolehan Informasi tentang Jampersal di Wilayah Puskesmas Lampaseh Kecamatan Kutaraja Tahun 2012
84
3.3.1. Data Penduduk Kecamatan Cirinten Tahun 2010 94 3.3.2. Data Ketenagaan Puskesmas DTP Cirinten Tahun 2010 100 3.3.3. Angka Kematian dan Penyebabnya Tahun 2010 103 3.3.4. Tradisi Masyarakat Cirinten Terkait Masa Kehamilan 110 3.3.5. Tradisi Masyarakat Cirinten Terkait Masa Persalinan 111 3.3.6. Tradisi Masyarakat Cirinten Pasca Persalinan 115 3.3.7. Pernyataan Ibu terkait Pelayanan KIA 117 3.3.8. Jarak Antar Desa di Kecamatan Cirinten, Tahun 2011 (Dalam Km) 120 3.3.9. Jenis Pelayanan Dukun yang Diterima Masyarakat 126 3.3.10. Persepsi Masyarakat terhadap Bidan dan Dukun 128 3.4.1. Luas Wilayah, Kepadatan Penduduk Kota Cilegon 140 3.4.2. Aktifitas Budaya pada Masa Kehamilan 152
xviii
3.4.3. Aktifitas Budaya pada Masa Persalinan 153 3.4.4. Aktifitas Budaya Pasca Persalinan 154
3.4.5. Sikap Terhadap Kehamilan, Persalinan dan Pasca Persalinan Kecamatan Citangkil Tahun 2012
157
3.4.6. Pelayanan yang Diterima oleh Ibu, Kecamatan Citangkil Tahun 2012 159 3.4.7. Penolong Pertama dan Penolong Terakhir Persalinan Citangkil 2012 165 3.5.1. Wilayah Administratif Kecamatan di Kabupaten Landak Tahun 2010 177 3.5.2. Distribusi Penduduk, KK, Bayi, Balita dan Bumil Tahun 2010 178 3.5.3. Jumlah Penduduk dan Distribusi Sarana Bangunan Fisik Kesehatan
Menurut Puskesmas di Kabupaten Landak Tahun 2010 180
3.5.4. Jumlah dan Jenis Tenaga Kesehatan Kabupaten Landak Tahun 2010 181 3.5.5. Data Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Semata di Kabupaten
Landak Tahun 2010 183
3.5.6. Cakupan Pemeriksaan Kehamilan Tahun 2011 Berdasarkan Data Dinas Kesehatan dan Profil Puskesmas Semata
186
3.5.7. Komposisi ketenagaan di Puskesmas Semata 187 3.5.8. Pengetahuan Ibu yang Masih “Kurang” terhadap ANC dan Fasilitas
Jampersal 202
3.5.9. Sikap Ibu untuk Beberapa Kondisi Kehamilan dan Pemanfaatan Jampersal
203
3.5.10. Pengalaman Ibu dalam Persalinan dan Pemanfaatan Jampersal 204 3.6.1. Fasilitas Kesehatan Puskesmas Karya Mulya 215 3.6.2. Pengetahuan Responden 226 3.6.3. Sikap Responden 226 3.6.4. Pelayanan Bidan/Dokter (Tenaga Kesehatan) yang Diterima
Responden 229
3.6.5. Pelayanan Dukun Bersalin yang Diterima Responden 230 3.7.1. Jumlah Penduduk Jeneponto Berdasarkan Kecamatan Tahun 2011 239 3.7.2. Penolong Persalinan Per Kecamatan di Kabupaten Jeneponto 241 3.7.3. Persebaran Tenaga Kesehatan di Desa dalam Kecamatan Arungkeke
Tahun 2011 245
3.7.4. Pelaksaan Upacara/Tradisi/Ritual Berkaitan dengan KIA di Kecamatan Arungkeke
249
3.7.5. Sikap Ibu terhadap Perilaku Kesehatan Ibu di Kec. Arungkeke 255 3.7.6. Jenis Pelayanan Bidan dan Dukun di Kec. Arungkeke 257 3.8.1. Jumlah Penduduk Kota Makassar Berdasarkan Kecamatan Tahun 2011 277 3.8.2. Sarana Kesehatan di Kota Makassar Tahun 2011 278 3.8.3. Jumlah dan Jenis Tenaga di Puskesmas Kassi-Kassi Tahun 2011 281 3.8.4. Luas Wilayah Kerja Puskemas Kassi-kassi berdasarkan Kecamatan
Tahun 2011 282
3.8.5. Jumlah Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-kassi Berdasarkan Usia Per Kecamatan Tahun 2011
283
3.8.6. Tingkat Pendidikan Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2011 284 3.8.7. Pelaksanaan Upacara/Tradisi/Ritual Berkaitan dengan KIA di
Lingkungan Puskesmas Kassi-Kassi 291
3.8.8. Sikap Ibu di Lingkungan Puskesmas Kassi-kassi terhadap Perilaku Kesehatan Ibu
299
3.8.9. Sumber Informasi Jampersal di Lingkungan Puskesmas Kassi-kassi 309 3.8.10. Sumber Biaya Pelayanan KIA di Lingkungan Puskesmas Kassi-kassi 310 3.9.1. Jumlah Penduduk per Desa dan Kepadatan Penduduk di Kecamatan
Parado Tahun 2010 330
xix
3.9.2. Puskesmas Parado dan Jaringannya Tahun 2012 336 3.9.3. Responden yang melakukan Upacara Adat pada Saat Kehamilan,
Persalinan dan Pasca Persalinan di Kecamatan Parado 342
3.9.4. Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Hamil di Kecamatan Parado 344 3.9.5. Ritual, Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Bersalin di Kecamatan Parado 345 3.9.6. Ritual, Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Pasca Persalinan di Kecamatan
Parado 347
3.9.7. Sikap Terhadap Pemeriksaan Kehamilan, Persalinan Dan Pasca Persalinan, Kecamatan Parado
350
3.9.8. Pelayanan yang Diterima Responden dari Bidan dan Dukun di Kec. Parado
352
3.9.9. Sumber Biaya Pelayanan KIA di Kecamatan Parado 371 3.9.10. Penolong Pertama dan Terakhir Persalinan di Kecamatan Parado 371 3.9.11. Cakupan Persalinan oleh Linakes di Faskes Kabupaten Bima 374 3.9.12. Perolehan Informasi tentang Jampersal di Kecamatan Parado 374 3.10.1. Luas Wilayah, Jumlah Desa/Kelurahan, Jumlah Penduduk dan
Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Mataram Tahun 2011
389
3.10.2. Cakupan K1 dan K4 menurut Puskesmas Kota Mataram Tahun 2011 392 3.10.3. Cakupan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan danTenaga Non
Kesehatan Kota Mataram Tahun 2011 393
3.10.4. Cakupan Kunjungan Neonatal 3 (KN3), Neonatal Komplikasi dan Kunjungan Bayi Kota Mataram Tahun 2011
397
3.10.5. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Puskesmas Karang Pule Tahun 2011
396
3.10.6. Aktifitas Budaya pada Masa Kehamilan di Wilayah Puskesmas Karang Pule
400
3.10.7. Aktifitas Budaya pada Masa Persalinan di Wilayah Puskesmas Karang Pule
402
3.10.8. Aktifitas Budaya pada Masa Pasca Persalinan di Wilayah Puskesmas Karang Pule
405
3.10.9. Pelayanan KIA yang diterima Ibu Hamil dari Bidan & Dukun di Wilayah Puskesmas Karang Pule
408
3.10.10. Pemeriksaan yang dilakukan Ibu ke Tenaga kesehatan di Wilayah Puskesmas Karang Pule
408
3.10.11. Penolong Persalinan Pertama dan Terakhir di Wilayah Puskesmas Karang Pule
412
3.10.12. Sumber Biaya Kesehatan KIA di Wilayah Puskesmas Karang Pule 413 3.10.13. Besaran Pembagian Biaya Persalinan Bersumber dari Jampersal di
Kota Mataram Tahun 2012 416
3.11.1. Sarana Kesehatan Kabupaten Halmahera Selatan Tahun 2009 423 3.11.2. Jumlah Penduduk, Bayi, Balita & Bumil sebagai Sasaran Program KIA
Tahun 2011 426
3.11.3. Kepala Puskesmas (kaos putih) dengan Bidan, Perawat dan 3 peneliti 427 3.11.4. Pemeriksaan Kehamilan ke Tenaga Kesehatan di Kecamatan Makian
Tahun 2012 434
3.11.5. Penolong Persalinan Pertama dan Terakhir di Kecamatan Makian Tahun 2012
435
3.11.6. Indikator Outcome Puskesmas Mateketen Tahun 2011 444 3.11.7. Sumber Biaya Pemeriksaan Kehamilan dengan Tenaga Kesehatan di
Wilayah Puskesmas Mateketen 449
4.1.1 Distribusi Responden yang Melakukan Ritual/Upacara Saat Kehamilan, 510
xx
Persalinan, Pasca Persalinan di 12 Kabupaten/Kota Tahun 2012 4.2.1 Distribusi Tingkat Pendidikan Formal dan Pengetahuan tentang KIA
Saat Kehamilan Responden di 12 Kabupaten/Kota Tahun 2012 518
4.2.2 Distribusi Tingkat Pendidikan Formal dan Pengetahuan, Sikap, Praktek tentang Persalinan Aman pada Responden di 12 Kabupaten/Kota Tahun 2012
519
4.2.3 Distribusi Responden yang Memiliki Pengetahuan “Benar” tentang Tidak Aman Melahirkan di Rumah dan Tempat Persalinan di 12 Kabupaten/Kota Tahun 2012
520
4.3.1 Persentase ”Ya” Pembiayaan Jampersal untuk Periksa Kehamilan, Persalinan, Periksa Ibu Nifas, Periksa Neonatus, Periksa KB di 12 Kabupaten/Kota Tahun 2012
527
4.4.1. Pernyataan ”Ya” untuk Pelayanan Upacara yang Diterima Responden dari Bidan/Nakes atau Dukun
528
4.4.2 Persentase Responden yang Menyatakan ”Ya” Menerima Pelayanan dari Bidan di 12 kabupaten/Kota Tahun 2012
532
4.4.3 Persentase Responden yang Menjawab ”Ya” untuk Tempat Persalinan di Faskes, Nakes sebagai Penolong Terakhir Persalinan dan Sumber Biaya Persalinan (%)
533
xxi
DAFTAR GAMBAR
2.1. Konsep Penelitian 6 2.2. Peta Lokasi Penelitian Jampersal 9 3.1.1. Peta Kabupaten Gayo Lues 17 3.1.2. Jumlah Bidan dan Jumlah Dukun yang Terdapat di Kabupaten Gayo
LuesMenurut Puskesmas Tahun 2011 24
3.1.3. Peta Lokasi Puskesmas Pintu Rime 25 3.1.4. Lokasi Desa Uring yang Berlembah dan Berbukit 27 3.1.5. Puskesmas Pintu Rime, Kecamatan Pining-Gayo Lues 27 3.1.6. Sungai sebagai Sumber Air Desa Uring 27 3.2.1. Peta Kota Banda Aceh 59 3.3.1. Peta Wilayah Kabupaten Lebak 88 3.3.2. Cakupan Program Kesehatan Ibu dan Anak Puskesmas Cirinten, Tahun
2011 90
3.3.3. Lokasi Kecamatan Cirinten 91 3.3.4. Suasana Kecamatan Cirinten 92 3.3.5. Peta Kondisi Wilayah Kecamatan Cirinten 93 3.3.6. Menjemur Cengkeh 95 3.3.7. Memanen cengkeh 96 3.3.8. Puskesmas Cirinten 98 3.3.9. Peta Sarana Kecamatan Cirinten 101 3.3.10. Nyandak 112 3.3.11. Gelang Kapas 114 3.3.12. Pisau Perlindungan 114 3.3.13. Peta Lokasi Poskesdes dan Dukun di Desa 121 3.3.14. Pengobat Tradisional di Kecamatan Cirinten 124 3.3.15. Sebaran Paraji di Kecamatan Cirinten 125 3.3.16. Persalinan Gratis! 132 3.4.1. Piramida Penduduk Kota Cilegon Tahun 2011 139 3.4.2. Presentase Kematian Bayi di Kota Cilegon Tahun 2010 144 3.4.3. Peta Wilayah Kecamatan Citangkil 143 3.4.4. Puskesmas Citangkil dan Pondok Kesehatan 147 3.4.5. Bubur lolos 150 3.4.6. Peta Sarana Cintangkil 163 3.5.1. Peta Lokasi Kabupaten Landak 176 3.6.1. Lambang Kota Pontianak 211 3.7.1. Peta Kabupaten Jeneponto 238 3.7.2. Peta Kecamatan Arungkeke 243 3.7.3. Mata Pencaharian Menangkap Ikan 245 3.7.4. Sumbangan untuk Bidan 264 3.8.1. Peta Makasar 276 3.8.2. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Kassi Kassi 280 3.8.3. Pemetaan Ibu Bersalin di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-kassi 287 3.8.4. Pemetaan Gizi Bayi dan Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-kassi 288 3.8.5. Ibu sedang Disuapi Makanan Pada Acara Passilli 295 3.8.6. Acara Aqiqah untuk Anak Bayi 296 3.8.7. Fasilitas Persalinan di Bidan Praktek Swasta 308 3.9.1. Peta Kabupaten Bima 322 3.9.2. Piramida Penduduk Kabupaten Bima 323 3.9.3. Suasana Perumahan di Salah Satu Desa Kecamatan Parado 331
xxii
3.9.4. Benhur Angkutan Umum dengan Tenaga Kuda 333 3.9.5. Poskesdes Percontohan di desa Kuta, Kecamatan Parado dan Salah
Satu Polindes di Kecamatan Parado 336
3.9.6. Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama saat FGD 338 3.9.7. Seorang Ibu dengan Bayinya Di Atas Tangga Rumah 353 3.9.8. Rumah Panggung 350 3.9.9. Peta Lokasi Dukun dan Sarana Kesehatan di Kecamatan Parado 356 3.9.10. Peralatan Persalinan Dukun yang Diperoleh Saat Pelatihan 359 3.9.11. Seorang Sando (Dukun Bersalin) dengan Alat Menginangnya 360 3.9.12. Bidan Tampak Akrab dengan Dukun Saat Wawancara di Rumah Dukun 367 3.10.1. Gambar Wilayah Kota Mataram Tahun 2011 388 3.10.2. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis KelaminKota Mataram 390 3.10.3. Distribusi Jumlah Kematian Bayi (AKB) di Kota Mataram Tahun 2010-
2011 391
3.10.4 Peta Fasilitas Kesehatan di Wilayah Puskesmas Karang Pule 394 3.11.1. Peta Wilayah Kabupaten Halmahera Selatan 420 3.11.2. Peta Pulau Bacan 421 3.11.3. Bandara Oesman Sadik Labuha Halsel 422 3.11.4. Kantor Dinas Kesehatan Halsel 422 3.11.5. Suasana dalam speedboat umum Ternate-Mateketen 425 3.11.6. Speedboat Milik Puskesmas di Pantai Makian 428 3.11.7. Kepala Puskesmas (kaos putih) dengan Bidan, Perawat dan 3 peneliti 424 3.11.8. Wawancara Mendalam dengan Mama Biang 439 3.11.9. FGD dengan bidan di Puskesmas Mateketen 440 3.11.10. FGD Toma di Puskesmas Mateketen 442 3.11.11. Cakupan K-1 Pada Puskesmas Mateketen Januari-November 2011 445 3.11.12. Cakupan K-4 Pada Puskesmas Mateketen Januari-November 2011 446 3.11.13. Cakupan Linakes Puskesmas Mateketen Januari-November 2011 447 3.12.1. Peta Kota Ternate dan Gambaran Kota Ternate Secara Umum 460 3.12.2. Gunung Gamalama 461 3.12.3. Suasana Kota Ternate 463 3.12.4. Pelabuhan Ternate dilatari Pulau Halmahera 464 3.12.5. Persentase Jumlah Penduduk berdasar Kelurahan di Wilayah Kerja
Puskesmas Kota Ternate Tahun 2011 471
3.12.6. Puskesmas Kota Ternate 471 3.12.7. Loket Pendaftaran Puskesmas Kota Ternate 472 3.12.8. FGD tokoh masyarakat di Puskesmas Kota Ternate 479 3.12.9. Wawancara Mendalam dengan Mama Biang di kota Ternate 480 3.12.10. FGD Suami Non Jampersal di Rumah Warga 484
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil
karena segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau
dengan kematian. Handrawan N. (2000:1) menyatakan bahwa dulu orang menganggap
pertolongan persalinanlah yang terpenting untuk menyelamatkan ibu dan bayi. Tetapi
persalinan meminta faal yang optimal dari alat kandungan ibu, karena itu sangat
diperlukan persiapan fisik dan mental sebelum persalinan. Ibu hamil bukan saja
memerlukan kesehatan yang optimal menjelang persalinan tetapi selama hamil tubuh
harus dalam keadaan sehat karena mempengaruhi pertumbuhan janin yang
dikandungnya. Setiap perempuan baik kehamilannya sulit atau tidak, membutuhkan
pelayanan kesehatan dengan kualitas baik selama hamil, persalinan dan masa nifas.
Kondisi kehamilan, persalinan dan pasca melahirkan merupakan keadaan yang
dialami dan menjadi faktor risiko biologis yang harus disandang seorang perempuan.
Keadaan ini dipengaruhi faktor terkait sosial ekonomi dan budaya serta dukungan dari
lingkungan sosial sekitar (Chyntia A, Shinta, 2003). Sejumlah faktor yang berperan
antara lain mulai dari faktor resiko kesehatan ibu, pemilihan penolong persalinan,
keterjangkauan dan ketersediaan pelayanan kesehatan, kemampuan penolong
persalinan sampai sikap keluarga dalam menghadapi keadaan gawat. Keadaan sosial
seperti pekerjaan yang berisiko, pendidikan, penghasilan rendah, perilaku hidup
termasuk kesehatan, dan stres psikososial memberikan risiko yang berbeda-beda pada
perempuan (Rasdiyanah, A., Jakir; Ridwan Amiruddin. 2007). Perilaku ibu yang dilatari
budaya khususnya pada masa kehamilan, persalinan dan pasca persalinan sangat
mempengaruhi terhadap keadaan kesehatannya.
Pada masyarakat pedesaan di negara berkembang masalah pemeliharaan
kesehatan selama hamil, persalinan dan pasca persalinan belum mendapat perhatian
secara serius. Masih banyak terjadi perkawinan usia muda dan tradisi makanan
pantang yang merugikan kesehatan ibu, juga pengaturan aktivitas ibu selama hamil
dan pasca persalinan yang kurang mendukung pola kesehatanmodern (White Ribbon:
2
2003: 6). Selain itu dalam konteks sosial dan keluarga sistem paternalistik yang masih
mendominasi cenderung bersifat diskriminasi gender, kekuasaan dan pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi perempuan bukan pada
perempuan antara lain tentang seberapa banyak dan seberapa sering anak yang
diinginkan, pada siapa dan dimana melakukan persalinan.
Masih dikenalnya budaya berunding dalam memutuskan penolong persalinan,
upacara-upacara dalam kehamilan ataupun persalinan memberikan pengaruh
terhadap pemeliharaan kesehatan dan hasil akhir suatu kehamilan. McCarthy and
Maine menyatakan bahwa perilaku ibu dalam memelihara kesehatannya dipengaruhi
oleh faktor sosial ekonomi dan budaya. Budaya atau kebudayaan adalah suatu sistem
dan tata nilai yang dihayati seseorang atau masyarakat untuk
menentukan/membentuk sikap mentalnya yang terpantul dalam pola tingkah sehari
hari dalam berbagai segi kehidupannya; sosial, ekonomi, politik, hukum, ilmu
pengetahuan dan sebagainya (Bambang, 1997:84). Spradley (1980:3) menyimpulkan
bahwa budaya adalah pengetahuan manusia yang digunakan dalam
menginterpretasikan pengalamannya untuk melahirkan tingkah laku sosial.
Faktor perilaku menurut Lawrence Green dipengaruhi 3 faktor yaitu 1) Faktor-
faktor predisposisi/pemicu (predisposing factor) yaitu pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya; 2) Faktor-faktor pendukung
(enabling factor) yaitu lingkungan fisik tersedia atau tidaknya fasilitas atau sarana-
sarana kesehatan misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban dan
sebagainya dan 3) Faktor-faktor penguat/pendorong (reinforcing factor) yaitu sikap
dan perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok
referensi dari perilaku masyarakat (Green, Lawrence,1980).
Masyarakat pedesaan di Indonesia umumnya masih sulit untuk memperoleh
pelayanan kesehatan yang dapat menyediakan persalinan aman dikarenakan jarak
antara tempat pelayanan persalinan dengan kediaman ibu hamil sangat jauh, selain
juga kendala keuangan dan ketersediaan alat transportasi. Di samping itu masih ada
kelemahan dari pihak pelayanan kesehatan sendiri yaitu kurangnya fasilitas dan jumlah
petugas yang terlatih serta kurang terampilnya tenaga yang terlatih (The White
Ribbon, 2003: 5-6). Selain itu masih banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan
3
sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan
dirinya secara rutin ke fasilitas kesehatan baik ke bidan ataupun dokter. Masih
banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan, hal ini
menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami
oleh mereka. Resiko ini baru diketahui pada saat persalinan yang sering kali karena
kasusnya sudah terlambat dapat membawa akibat fatal yaitu kematian.
Berbagai faktor yang dikemukakan di atas menyebabkan Angka Kematian Ibu
(AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan
negara-negara ASEAN lainnya. Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)
tahun 2007 menunjukkan bahwa AKI 228 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 34 per
1000 kelahiran hidup. Berdasar kesepakatan global (Millenium Development Goals /
MDG’s 2000) diharapkan ada tahun 2015 terjadi penurunan AKI menjadi 102 per
100.000 kelahiran hidup dan AK menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup (Kementerian
Kesehatan, 2011). Penyebab tingginya AKI dan AKB antara lain persalinan yang
ditolong oleh tenaga non kesehatan.
Hasil Riskesdas 2010 menggambarkan bahwa persalinan pada sasaran miskin
oleh tenaga kesehatan baru mencapai 69,3%, sedangkan persalinan yang dilakukan
tenaga kesehatan pada fasilitas kesehatan baru mencapai 55,4%. Salah satu kendala
penting untuk mengakses persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan
kesehatan adalah keterbatasan dan ketidaktersediaan biaya. Untuk itu terobosan yang
dilakukan oleh Kementerian Kesehatan adalah Jaminan Persalinan (Jampersal) untuk
meningkatkan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan (Kementerian Kesehatan,
2011). Dengan demikian diharapkan dapat mengatasi “3 terlambat” yaitu terlambat
dalam pemeriksaan kehamilan, terlambat dalam memperoleh pelayanan persalinan
dari tenaga kesehatan dan terlambat sampai di fasilitas kesehatan pada saat keadaan
emergensi. Dengan adanya Jampersal diharapkan dapat mengakselerasi tujuan MDG’s
4 (status kesehatan anak) dan MDG’s 5 (status kesehatan ibu).
Program Jaminan Persalinan (Jampersal) diluncurkan mulai tahun 2011
berdasarkan Permenkes No. 631/Menkes/PER/III/2011 tentang Petunjuk Teknis
Jaminan Persalinan dan Surat Edaran Menkes RI Nomor TU/Menkes/391/II/2011
tentang Jaminan Persalinan (Kementerian Kesehatan, 2011) dan kemudian diperbaiki
4
dengan keluarnya Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2562/Menkes/PER/XII/2011
tentang hal yang sama. Dengan dimulainya program Jampersal dan masih banyaknya
kendala perilaku dan sosial budaya dalam pemilihan penolong persalinan yang
tentunya berdampak pada pemanfaatan Jampersalmaka penelitian ini dilakukan.
Kendala datang baikdari pihak ibu sendiri, dari masyarakat maupun dari fasilitas atau
tenaga kesehatan.
Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan di atas maka timbul pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1) Apakah ada hubungan nilai, kepercayaan, pengetahuan, sikap dan perilaku ibu
sebagai faktor pemicu, pendukung dan penguat tentang perilaku ANC, persalinan
dan paska persalinan dengan pemanfaatan Jampersal?
2) Bagaimana faktor sosial budaya masyarakat terkait pemilihan penolong persalinan
dan pemanfaatan pelayanan Jampersal ?
3) Bagaimana peran tenaga pelayanan kesehatan dalam pelaksanaan program
Jampersal?
4) Apa saja hambatan, dukungan dan harapan dalam pelaksanaan program Jampersal?
Berpijak kepada pertanyaan penelitian tersebut di atas, penelitian ini menggali
latar belakang sosial budaya masyarakat melalui ibu, suami, tokoh masyarakat,serta
bidan, dukun sebagai pelaku pelayanan KIA. Digali pengetahuan, sikap, perilaku dan
pengalaman mereka terkait proses pemilihan penolong persalinan dan pemanfaatan
Jampersal. Unsur sosial budaya sebagaifaktor pemicu, pendukung, dan penguat dalam
penerimaan pelayanan Jampersal digali secara mendalam. Tak kalah pentingnya
penelitian ini juga ingin mengetahui hambatan, dukungan dan harapan
terhadappemanfaatan Jampersal dari sudut pandang ibu, dukun, masyarakat dan
tenaga kesehatan sendiri. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
tentang pelayanan kesehatan ibu melalui Jampersal bagi para pelaku dan pengambil
kebijakan Jampersal sehingga pelaksanaan Jampersal dapat mencapai sasaran yang
tepat.
5
1.2.Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan umum untuk menyediakan kajian peran sosial
budaya dalam upaya peningkatan pemanfaatan program jaminan persalinan. Tujuan
umum diperinci dalam tujuan khususyaitu
1) Menggali informasi tentang nilai, kepercayaan, pengetahuan, sikap dan perilaku
ibu sebagai faktor pemicu, pendukung dan penguat tentang perilaku ANC,
persalinan dan paska persalinan terkait dengan pemanfaatan Jampersal,
2) Mengidentifikasi faktor sosial budaya masyarakat terkait pemilihan penolong
persalinan dan pemanfaatan pelayanan Jampersal,
3) Menganalisis peran tenaga pelayanan kesehatan dalam pelaksanaan program
Jampersal,
4) Mengetahui hambatan, dukungan dan harapan dalam pelaksanaan program
Jampersal.
6
BAB 2
METODE PENELITIAN
2.1.Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian dikembangkan dari teori Theory to Plan
MultilevelIntervention (Croyle, Robert T, 2005), teori perilaku yang dalam melakukan
intervensi dilakukan melalui 3 tingkatan yaitu individu, interpersonal dan komunitas.
Nilai, kepercayaan, pengetahuan, sikap tentang
Kehamilan, persalinan, paska persalinan
Sosial, budaya, demografi, geografi
Pengambilan keputusan memilih
Penolong:kehamilan,Persalinan, Paska persalinan
Penetapan penolong
Jampersal
Tingkat Komunitas
Tingkat interperson
al
Non nakes Nakes
Non Jampersal
Ketanggapan yankes: Harapan & hambatan
Peran nakes Permenkes No. 631 tentangJampersal
Gambar 2.1. Konsep Penelitian
Diadaptasi dari Theory to Plan
MultilevelIntervention (Croyle,
Robert T, 2005)
Tingkat
Individu
7
Dalam rangka merubah perilaku masyarakat dengan harapan agar seorang ibu hamil
mau bersalin ditolong oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan maka upaya yang
harus dilakukan adalah dengan melakukan intervensi melalui 3 tingkatan ekologi yaitu
tingkat individu, tingkat interpersonal dan tingkat komunitas atau masyarakat. Pada
tingkat individu (ibu) perlu dipahami tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
perilaku individu yaitu faktor pemicu, pendukung dan penguat antara lain nilai,
kepercayaan, pengetahuan, sikap dan praktek tentang hal-hal terkait masa kehamilan,
persalinan dan paska persalinan termasuk KB.
Dalam pemilihan perawatan/penolong ibu pada masa maternity (hamil, bersalin
dan paska persalinan), ibu akan dipengaruhi orang sekitarnya karena hubungan antara
individu/interpersonal dengan orang di sekitarnya (suami, orangtua, tetangga). Dalam
pemilihan penolong kehamilan (Ante Natal Care /ANC), persalinan, paska persalinan
ada faktor yang berpengaruh terhadap hubungan interpersonal yaitu faktor sosial
budaya, termasuk demografi, geografi dan akses terhadap fasilitas pelayanan.
Pada tingkat komunitas, penetapan praktek perawatan atau pertolongan
kehamilan (ANC), persalinan dan paska persalinan ditentukan oleh ketanggapan
fasilitas kesehatan terhadap kebutuhan ibu terkait harapan, dukungan/kemudahan
serta hambatan dalam mengakses tenaga kesehatan. Hal ini juga dipengaruhi
kebijakan pemerintah yang diberlakukan antara lain pembiayaan kesehatan berupa
jaminan persalinan (jampersal).
2.2.Waktu Penelitian dan Tempat
Penelitian ini diawali sejak bulan Maret dengan penyusunan protocol. Kegiatan
penelitian dilakukan sampai dengan selesai pada bulan Desember 2012 sehingga total
pelaksanaan adalah 10 bulan.Penelitian dilakukan di 6 provinsi berdasarkan cakupan
ANC dan PNC dengan pembiayaan Jampersal secara Nasional, sebagai tolok ukur
berdasarkan data tingkat provinsi pada tahun 2011 yang diperoleh dari P2JK. Data
menunjukkan cakupan ANC dengan Pembiayaan Jampersal Nasional adalah 9,5%
sedangkan cakupan PNC dengan pembiayaan Jampersal Nasional adalah sebesar 8,5%.
8
Mengacu pada cakupan ANC dan PNC dalam Pembiayaan mempergunakan
Jampersal, maka dilakukan klasifikasi provinsi yaitu provinsi dengan cakupan
tinggi;provinsi dengan cakupan sedangdan provinsi dengan cakupan rendah dalam
pembiayaannya. Pada tiap kategori dipilih 2 provinsi; sehingga dari ketiga kategori
didapat 6 provinsi Aceh, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat,
Maluku Utara dan Banten. Selain dilihat dari cakupan ANC dan PNCdiatas, pemilihan
provinsi dalam penelitian ini juga didasari oleh persebaran provinsi, agar dalam
penelitian ini setiap region dapat terwakili.
Tabel 2.1 Daftar Provinsi, Kabupaten/Kota dan Puskesmassebagai LokasiPenelitian
PROPINSI KABUPATEN/KOTA PUSKESMAS
1. Aceh
1. Kab. Gayo Lues Pintu Rime
2. Kota Banda Aceh Lampaseh Kota
2.Nusa Tenggara Barat
1. Kab. Bima Parado
2. Kota Mataram Karang Pule
3. Kalimantan Barat 1. Kab. Landak Semata
2. Kota Pontianak Karya Mulya
4. Sulawesi Selatan 1. Kab. Jeneponto Arungkeke
2. Kota Makassar Kasi Kasi
5. Maluku Utara 1. Kab. Halmahera Selatan Mateketen
2. Kota ternate Kota ternate
6. Banten 1. Kab. Lebak Cirinten
2. Kota Cilegon Citangkil
Prosedur pemilihan kota dan kabupaten, persyaratan yang harus dipenuhi
adalah untuk kota dengan kriteria tinggi, sedangkan kabupaten dengan kriteria rendah.
Justifikasi penentuan tinggi dan rendah, didasarkan pada IPKM dan persalinan yang
dibantu oleh nakes (Linakes) berdasarkan Riskesdas 2007. Hal ini dilakukan mengingat
data P2JK tidak tersedia hingga tiap kabupaten dan kota. Berdasarkan data P2JK maka
dipilih 6 provinsi, kemudian untuk menentukan kabupaten dan kota terpilih dengan
mempergunakan data IPKM dan Linakes, sesuai persyaratan di atas kota memiliki
kriteria tinggi dalam hal persalinan dibantu Linakes, sedangkan kabupaten memiliki
kriteria rendah dalam persalinan yang dibantu oleh nakes (Linakes). Selanjutnya akan
dipilih satu puskesmas dengan berkonsultasi kepada Dinas Kesehatan Kabupaten atau
Kota yang telah terpilih.
9
Gambar 2.2. Peta Lokasi Penelitian Jampersal
2.3.Jenisdan Disain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah observasional dengan pengambilan data cross
sectional. Cara pengumpulan data secara kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif
dikumpulkan dengan wawancara terstruktur pada ibu yang melahirkan pada tahun
2011 untuk memperoleh data tentang faktor karakteristik, nilai, kepercayaan,
pengetahuan, sikap dan praktek terkait ANC, persalinan dan paska persalinan serta
alasan dan pengambil keputusan memilih penolong persalinan. Semua hal tersebut
terkait dengan pemanfaatan jampersal.
Data Kualitatif dikumpulkan dengan caraFocus Group Discussion (FGD) dan in-
depth interview (wawancara mendalam) untuk memperoleh informasi tentang social
budaya masyarakat dan (ibu, suami, tokoh masyarakat, bidan, dukun, pengelola
program KIA/KB dan jampersal dan Kepala Puskesmas serta Kepala Dinas Kesehatan).
Informasi yang ditanyakan terkait faktor pemicu, pendukung, penguat, hambatan dan
harapan terkait pemanfaatan Jampersal serta peran tenaga kesehatan dalam
pemanfaatan Jampersal.
Kota Cilegon
Kota Banda Aceh
Kab. Gayo Lues
Kota Pontianak
Kab. Landak
Kota Ternate
Kab. HalSel
Kab. Lebak
Kota Mataram
Kab. Bima
Kota Makasar
Kab.Jeneponto
10
2.4.Populasi dan Sampel Penelitian
Ibu yang melakukan persalinan pada Juni 2011–Mei 2012 baik memanfaatkan
Jampersal atau tidak, akan ditetapkan sebagai sampel dengan cara stratified random
sample. Dilakukan listing persalinan di wilayah puskesmas terpilih (diambil dari
kohort). Selanjutnya di setiap wilayah puskesmas terpilih akan diambil 68 ibu sebagai
sampel minimum (dihitung dengan rumus) dengan cara stratified random sample.
Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus metode survey sebagai berikut:
Z21-2/2P(1-P)N
n =
d2(N-1)+Z21-2/2P(1-P)N
Kriteria Inklusi dan Eksklusi Sampel
Suami dari ibu bersalin Juni 2011 – Mei 2012 sebagai peserta FGD yang terbagi 2
kelompok yaitu kelompok pengguna jampersal dan kelompok non pengguna jampersal
(FGD dengan peserta 10 orang/kelompok). Selain itu FGD dengan kelompok tokoh
masyarakat yang bisa terdiri darikepala desa, tokoh agama, ketua organisasi
masyarakat, ketua PKK danbidan desa. Untuk memperoleh data yang lebih terperinci
dilakukan wawancara mendalam (in depth interview) sasaran dukun bersalin, Kepala
Puskesmas, pengelola program KIA puskesmas, Bidan Praktek Swasta (BPS)untuk lokasi
kota.Informan wawancara mendalam dengan ketentuan (inklusi) sampel berdinas di
posisi yang disyaratkan di puskesmas/wilayah puskesmas terpilih minimal sejak tahun
2011, dukun yang bertempat tinggal di wilayah puskesmas penelitian. Akan dilakukan
eksklusi bila sampel menolak diwawancara.
Selain data kualitatif, penelitian ini juga mengumpulkan data kuantitatif melalui
survey kepada ibu yang melahirkan dala 1 tahun terakhir. Instrumen berupa kuesioner
terstruktur digunakan sebagai panduan dalam wawancara. Sebagai persyaratan
inklusi sampel ditentukan ibu yang melahirkan pada Juni 2011 – Mei 2013 baik
diambil secara acak (stratified random sampling) memanfaatkan Jampersal atau tidak.
Mereka juga disyaratkan tinggal di wilayah kerja puskesmas terpilih pada tahun 2011
11
dan saat pengumpulan data dilakukan. Akan dilakukan eksklusi sampel bila responden
tidak bersedia diwawancara dan saat kunjungan wawancara tidak ada di tempat dan
tidak bisa ditemui selama peneliti berada di wilayah puskesmas untuk pengumpulan
data.
2.5.Instrumen dan Cara Pengumpulan Data
Dalam rangka mengumpulkan data yang dibutuhkan, telah disusun instrumen
penelitian sesuai dengan cara yang ditetapkan. Peneliti melakukan wawancara
terstruktur dengan menggunakan kuesioner terstruktur pada sampel ibu dalam
kecamatan/wilyah puskesmas terpilih yang melakukan persalinan pada tahun 2011.
Peneliti juga melakukan FGD (Focus Group Discussion) menggunakan pedoman FGD,
kepada kelompoksuami, tokoh masyarakat, wawancara mendalam menggunakan
panduan wawancara mendalam, kepada kepala puskesmas, pengelola program KIA/KB
dan jampersal serta kepada dukun untuk melihat sosial budaya yang berpengaruh
pada pemilihan penolong persalinan dan penerapan jampersal.
Dalam pengumpulan data ini, sebelum melakukan pengumpulan data yang
sesungguhnya, peneliti melakukan persiapan daerah untuk mengetahui kondisi
lapangan dan memilih daerah penelitian yang sesuai dengan kriteria dengan cara
mendiskusikan dengan kepala Dinas Kesehatan kabupaten/kota dan kepala bidang
pelayanan KIA/Jampersal. Dengan cara tersebut, ditentukan puskesmas sebagai
tempat studi dan ditentukan 4 orang tenaga/staff Dinkes ataupun tenaga lain sebagai
pengumpul data kuesioner terstruktur.
Dilakukan pembagian daerah penelitian sehingga setiap tim peneliti yang terdiri
dari 3 orang melakukan penelitian di satu propinsi.Peneliti berperan untuk melakukan
wawancara mendalam kepada informan yang menjadi sasaran penelitian. Disamping
itu, peneliti memandu setiap kegiatan FGD yang diselenggarakan di setiap lokasi
dengan sasaran kelompok diskusi sesuai ketetapan kriteria. Setiap kali dilakukan
wawancara mendalam dan FGD, direkam dan dicatat serta dilakukan penulisan
transkrip hasil kegiatan.
Pengumpulan data kuantitatif, dilakukan oleh 4 (empat) orang enumerator yang
direkrut dan merupakan tenaga kesehatan berasal dari Dinas Kesehatan setempat.
Enumerator dipilih dengan beberapa persyaratan antara lain adalah tenaga kesehatan
12
(SKM, bidan, perawat atau lainnya) yang paling tidak pernah mengikuti kegiatan survei
kesehatan.Namun karena keterbatasan tenaga, maka khusus untuk Kabupaten
Halmahera Selatan, enumerator adalah guru. Enumerator dilatih oleh tim peneliti
tentang tata cara survei dan pemahaman tentang kuesioner yang menjadi panduan
pengumpulan data.Proses pengumpulan data dengan target 70 responden tidak
seluruhnya mencapai angka tersebut. Sebagai contoh di Mateketen kabupaten
Halmahera Selatan diperoleh 50 responden yang merupakan total persalinan pada
kurun waktu yang dimaksud. Di kabupaten Gayo Lues dan Landak, mengalami cukup
banyak kesulitan untuk mencapai rumah responden mengingat medan yang sulit.
Berbeda dengan permasalahan di pekotaan, mobilitas penduduk yang tinggi
menyebabkan beberpa responden terpilih sulit ditemui sehingga harus diganti dengan
responden cadangan.
Berikut adalah tabel tentang variabel yang dikumpulkan, cara pengumpulan
data, instrumen yang digunakan untuk memperoleh data.
Tabel 2.2.
Variabel, Cara Pengumpulan Data dan Instrumen yang Digunakan
Variabel Cara Puldat Instrumen Sasaran
Karakteristik Wawancara Kuesioner terstruktur
Ibu bersalin Juni 2011 – Mei 2012
Nilai, kepercayaan Wawancara Kuesioner terstruktur
Ibu bersalin Juni 2011 – Mei 2012
Perlaku: Pengetahuan, sikap, praktek
Wawancara Kuesioner terstruktur
Ibu bersalin Juni 2011 – Mei 2012
Faktor sosial budaya Wawancara mendalam
Panduan wawancara mendalam
Dukun
FGD Panduan FGD Suami,Toma,Bidan
Hambatan dan harapan terkait penolong persalinan & jampersal
FGD Panduan FGD Suami, toma, bidan
Peran tenaga kesehatan dalam pemanfaatan Jampersal
Wawancara mendalam
Panduan wawancara mendalam
Kepala Puskesmas Pengelola Program KIA/KB Pengelola Jampersal
13
2.6.Pengolahan dan Analisis Data
Data yang dikumpulkan adalah data kuantitatif dan kualitatif. Pengolahan dan
analisis data disesuaikan dengan jenis data. Data kualitatif yang diperoleh dari fokus
grup diskusi dan wawancara mendalam dengan berbagai informan yang telah direkam
akan ditranskripkan dan selanjutnya akan dilakukan analisis isi dan dinarasikan.
Keabsahan atau kredibilitas data kualitatif akan diperiksa secara triangulasi yaitu
triangulasi sumber, metode, dan investigator. Teknik triangulasi sumber dengan
pengecekan anggota, perpanjangan kehadiran peneliti, diskusi teman sejawat,
pengamatan secara terus menerus dan pengecekan referensi.
Triangulasi sumber data dilakukan dengan cara membandingkan data hasil
pengamatan dengan data hasil wawancara dari pihak terkait, data hasil pengamatan
dengan isi dokumen yang berkaitan, dan data hasil wawancara dengan isi dokumen
yang berkaitan. Pengecekan anggota (member check) dilakukan dengan cara
menunjukkan data atau informasi, termasuk hasil interpretasi peneliti yang sudah
ditulis dengan rapi dalam bentuk catatan lapangan atau transkrip wawancara kepada
informan, agar dapat dikomentari setuju atau tidak dan bisa ditambah informasi lain
jika dianggap perlu.
Perpanjangan kehadiran peneliti dapat menguji kebenaran informasi yang
diperoleh secara distorsi baik berasal dari peneliti sendiri maupun dari subjek
penelitian yang tidak disengaja atau khilaf. Diskusi teman sejawat, cara ini dilakukan
dengan tujuan agar peneliti tetap mempertahankan sikap terbuka dan kejujuran.
Pengamatan terus menerus atau kontinyu, peneliti dapat memperhatikan sesuatu
secara lebih cermat, terinci, dan mendalam. Bahan referensi digunakan sebagai alat
untuk menampung dan menyesuaikan dengan kritik tertulis untuk keperluan evaluasi.
Dalam hal ini, peneliti menggunakan hasil rekaman dan bahan dokumentasi berupa
foto-foto atau video kegiatan di lokasi penelitian. Bahan referensi dapat digunakan
peneliti sebagai patokan untuk menguji data saat analisis dan penafsiran data.
Data kuantitatif yang diperoleh dari wawancara terstruktur dengan responden
ibu-ibu akan diolah secara deskriptif dan secara analitik dengan metode statistik
tentang faktor karakteristik, pengetahuan, sikap yang berpengaruh terhadap perilaku
14
dalam pemilihan penolong persalinan dan dalam pemanfaatan Jampersal. Informasi
akan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar.
Berikut ini adalah lokasi penelitian dan enumerator yang melaksanakan
pengeumpulan data serta jumlah data responden yang dapat diolah.
Tabel 2.3.
Jumlah Responden sebagai Sampel Penelitian dan Tenaga Enumerator
KABUPATEN/KOTA PUSKESMAS Enumerator Jumlah Sampel
Kab. Gayo Lues Pintu Rime Nakes Dinkes 55
Kota Banda Aceh Lampaseh Kota Nakes Dinkes 70
Kab. Bima Parado Nakes Dinkes 70
Kota Mataram Karang Pule Nakes Dinkes 70
Kab. Landak Semata Nakes Dinkes 69
Kota Pontianak Karya Mulya Nakes Dinkes 70
Kab. Jeneponto Arungkeke Nakes Dinkes 70
Kota Makassar Kasi Kasi Nakes Dinkes 70
Kab. Halmahera Selatan Mateketen Guru 50
Kota ternate Kota ternate Nakes Dinkes 70
Kab. Lebak Cirinten Nakes Dinkes 68
Kota Cilegon Citangkil Nakes Dinkes 68
15
BAB 3
HASIL PENELITIAN SOSIAL BUDAYA TERKAIT KESEHATAN IBU DAN ANAK
Hasil penelitian disajikan dala bentuk gambaran sosial budaya terkait KIA di
masig-masing puskesmas 12 lokasi penelitian yang merupakan hasil pengumpulan data
kualitatif didukung data kuantitatif.
3.1. Puskesmas Pintu Rime, Kabupaten Gayo Lues
3.1.1. Gambaran Umum Kabupaten Gayo Lues
Kabupaten Gayo Lues adalah salah satu kabupatendi provinsiAceh, merupakan
hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Tenggaradengan Dasar Hukum UU No.4 Tahun
2002 pada tanggal 10 April2002. Kabupaten ini berada di gugusan pegunungan Bukit
Barisan, sebagian besar wilayahnya merupakan area Taman Nasional Gunung
Leuseryang telah dicanangkan sebagai warisan dunia. Kabupaten Gayo Lues termasuk
salah satu kabupaten dengan pemanfaatan dana Jaminan Persalinan (Jampersal) yang
sangat rendah sesuai dengan laporan yang terkumpul di P2JK Kementerian Kesehatan.
Data yang tersedia di dinas Kesehatan kabupaten Gayo Lues menunjukkan
bahwa masih cukup banyak wilayah kecamatan dengan cakupan persalinan dengan
bantuan tenaga kesehatan yag masih rendah. Dengan melakukan konsultasi kepada
Kepala Dinas Kesehatan kabupaten Gayo Lues didukung data dan pengalaman
pelaksana program kesehatan Ibu dan Anak dan penanggung jawab Program
Jampersal ditetapkan Kecamatan Pining sebagai lokasi penelitian. Kecamatan dengan
penggolongan termasuk terpencil karena letak geografisnya dan tidak ada jaringan
telepon pada lokasi wilayah tersebut yaitu Desa Uring dan menurut sumber terpercaya
bahwa Desa tersebut merupakan basis pasukan GAM namun saat ini masyarakat
sudah kembali ke NKRI.
Gayo Lues yangterkenal akan Tari Saman-nya ini, dijuluki sebagai Negeri Seribu
Bukit, dan merupakan Kabupaten yang paling terisolasi di Aceh. Daerah Kabupaten
Gayo Lues merupakan salah satu daerah tempat suaka alam Taman Nasional Gunung
Leuser. Suaka alam ini diandalkan sebagai paru-paru dunia.Dengan luas 5.719 km2 dan
16
jumlah penduduk sebanyak 74.151 jiwa, terdiri dari 12 kecamatan dengan jumlah
kelurahan sebanyak 144.
Kecamatan Blangkejeren adalah ibukota Kabupaten Gayo Lues dengan jumlah
penduduk 24.996 merupakan kecamatan dengan penduduk terbanyak. Kecamatan
yang paling luas adalah Putri Betung yaitu 1.390 km2 dan paling sempit adalah
Kecamatan Blangjerango. Wilayah Kabupaten Gayo Lues secara topografi terletak pada
ketinggian rata-rata 500-2000 m diatas permukaan laut yang merupakan daerah
perbukitan dan pegunungan yang berhawa dingin bisa mencapai suhu 15 derajat
celcius disaat musim penghujan. Luas Kemiringan Kabupaten Gayo Lues rata rata 35%.
Topografi luas kemiringan lahan pada tahun 2007 terdiri atas datar (0-3%),
Bergelombang (3-8%), Curam (8-15%), sangat curam (15-25%), serta di atas 25-40%,
>40%. Kawasan hutan di Wilayah Kabupaten Gayo Lues antara lain, Taman Nasional
Gunung Leuser seluas 195.677 ha, hutan lindung dengan luas 210.971 ha, hutan
produksi terbatas dengan luas 96.865 ha, serta hutan tanaman industri untuk
pemukiman hanya sebesar 2% dari total luas kawasan yakni 1.288 ha.Kawasan
Produktif diantaranya persawahan sebesar 14.222, lahan kering 3.098, holtikultura
3.098, perkebunan 28.131 dan perternakan 2.335 ha.
Wilayah Administratif Kabupaten Gayo Lues dibatasi:
Utara : Kabupaten Aceh Tengah, Kab Nagan Raya, dan Kab Aceh Timur.
Selatan: Kab. Aceh Tenggara, dan Kab Aceh Barat Daya
Barat : Kab. Aceh Barat Daya
Timur : Kab Aceh Tamiang dan Kab. Langkat (Prov. Sumatera Utara)
Kabupaten Gayo Lues yang dimekarkan dari Kabupaten Aceh Tenggara.
Secara geografis, kabupaten ini terletak pada 960 43' 24" - 960 55' 24" BT dan 030
40'26"-04016'56"LU. Daerah Gayo Lues terletak pada ketinggian 400 sampai 1200
meter di atas permukaan laut (mdpl), yang sebagian besar wilayahnya merupakan
daerah perbukitan dan pegunungan. Daerah yang terkenal dengan hawanya yang sejuk
ini, juga dikenal dunia internasional sebagai paru-parunya bumi. Dengan bentangan
alam yang sangat indah, Kabupaten Gayo Lues merupakan areal yang tepat untuk
dijadikan daerah konservasi dan penelitian flora maupun fauna. Di daerah ini juga
17
terdapat taman nasional yang dikenal dengan Taman Nasional Gunung Leuser, dengan
biodiversitas paling kaya di dunia.
Gambar 3.1.1. Peta Kabupaten Gayo Lues
Penduduk kabupaten Gayo Lues sejumlah 81.382 dengan sex ratio99.03
artinya dari 100 perempuan ada 99.03 laki-laki, kondisi ini terlihat sesuai data profil
kesehatan Gayo Lues tahun 2011 (Profil Kesehatan Kabupaten Gayo Lues). Jumlah
penduduk terbanyak ada di kecamatan Blangkejeren dengan penduduk sejumlah
24.996 jiwa. Distribusi penduduk di kabupaten Gayo Lues tampak kurang merata
dengan kecenderungan mengelompok dan beraktifitas di bagian kota kabupaten.
Penduduk usia sekolah di Kabupaten Gayo Lues relatif masih terkendala dalam
mengakses pendidikan dibanding dengan kabupaten lain. Hal ini terlihat dari Angka
Partisipasi Sekolah yang lebih kecil jika dibandingkan dengan beberapa kabupaten lain
di Provinsi Aceh. Pada tahun 2008, Angka Partisipasi Murni adalah 95,31 persen untuk
usia 7-12 tahun, 68,35 persen untuk usia 13-15 tahun dan 57,70 persen untuk usia 16-
18 tahun. Kemampuan baca tulis, di Kabupaten Gayo Lues seperti juga di daerah lain,
penduduk laki-laki usia 15 tahun keatas memiliki kemampuan baca tulis lebih tinggi
dibanding perempuannya.
18
Kualitas pendidikan juga dapat dilihat dari tingkat pendidikan yang ditamatkan
masyarakat. Pada tahun 2008, dari penduduk usia 10 tahun keatas, sebanyak 16,38
persen sudah menamatkan sekolah pada jenjang SLTA sampai tingkat Diploma
IV/S1/S2/S3; Sejumlah 18,70 persen tamat SLTP, 26,63 persen tamat SD dan 38,29
persen yang merupakan persentase terbesar adalah penduduk yang tidak/belum
tamat SD. Rata-rata lama sekolah penduduk Kabupaten Gayo Lues pada tahun 2008
adalah sebesar 8,70 tahun yang dapat diartikan secara rata-rata penduduk Kabupaten
Gayo Lues baru menyelesaikan pendidikan sampai dengan taraf kelas 2
SLTP.Ketersediaan bangunan sekolah juga sangat menentukan keberhasilan
pendidikan. Hingga pada tahun ajaran 2007/2008 telah dibangun sebanyak 102 unit
bangunan SD/sederajat, 27 unit bangunan SLTP/sederajat dan 15 unit bangunan
SLTA/sederajat. Kesemuanya telah menyebar di setiap kecamatan kecuali bangunan
SLTA dimana 3 kecamatan yaitu Dabun Gelang, Pantan Cuaca dan Tripe Jaya belum
memiliki bangunan SLTA satu unit pun.
Penduduk Gayo Lues sebanyak 81.382 jiwa dan ini mengalami peningkatan dari
tahun 2009 sebanyak 75.165 jiwa, Sesuai dengan peningkatan jumlah penduduk,
kepadatan jumlah penduduk makin meningkat. Hal ini terjadi karena luas tetap
sedangkan jumlah penduduk makin bertambah, tahun 2009 kepadatan penduduk 13,9
orang/km2 namun saat ini ada peningkatan dalam kepadatan sebesar 14 orang/km2.
Seperti nampak pada tabel di bawah ini:
Tabel 3.1.1.
Jumlah penduduk, Luas Wilayah dan KepadatanKabupaten Gayo Lues Berdasarkan Kecamatan
No Kecamatan Luas Wilayah (km2)
Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk per km2
1 Kuta Panjang 633,25 7.493 11,83 2 Blang Jerango 174,48 6.524 37,39 3 Blangkejeren 213,74 24.996 116,95 4 Putri Betung 1.390,00 6.760 4,86 5 Dabun Gelang 274,40 5.397 20 6 Blang Pegayon 460,03 5.214 11,33 7 Pining 1.016,60 4.419 4,35 8 Rikit Gaib 273,41 3.855 14,10 9 Pantan Cuaca 176,23 3.561 20,21
10 Terangun 690,84 8.140 11,78 11 Tripe Jaya 416,60 5.023 12,06
Jumlah 5.719,58 81.382 14
19
Jika dilihat persebaran penduduk menurut kecamatan, terlibat penyebaran
yang tidak merata. Kecamatan Blangkejeren memiliki jumlah penduduk paling banyak,
dengan jumlah penduduk sebesar 24.996 jiwa dan luas 213,74 km2sekitar 30,71% dari
total jumlah penduduk Kabupaten Gayo Lues, disusul Kecamatan Terangun dan Kuta
panjang yaitu sebesar10% dan 9,20%. Sementara itu, kecamatan dengan jumlah
penduduk paling sedikit (kurang dari 1 persen) adalah Kecamatan Pantan Cuaca dan
Rikit Gaib.Tenaga kerja terbesar berada di sektor Pertanian, Jasa Kemasyarakatan dan
perdagangan. Selama 5 tahun terakhir komposisi lapangan kerja utama penduduk
Gayo Lues tidak banyak mengalami perubahan. Dari sisi kesempatan kerja, besarnya
angka pengangguran dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adanya
ketidakstabilan tingkat pertumbuhan ekonomi dan tidak memadainya tingkat
pendidikan dan ketrampilan penduduk usia kerja dibandingkan lapangan kerja yang
tersedia, penduduk setempat ada yang bekerja sebagai TKI pada tahun 2006 sebesar
10% dari total jumlah penduduk (data profil Kesehatan Dinas Kesehatan tahun 2010).
Pelayanan Kesehatan KIA di Kabupaten Gayo Lues
Derajat kesehatan masyarakat merupakan suatu indikator keberhasilan
pembangunan manusia. Salah satu modal dasarpembangunan adalah sumber daya
manusia yang sehat jasmani dan rohani,karena dengan keberhasilan pembangunan
SDM yang sehat akanmenghasilkan masyarakat yang sehat sehingga akan menjadi
pelaku dansasaran pembangunan.Pemerintah dalam hal ini pemerintah
daerahkabupaten Gayo Lues memiliki peran yang sangat signifikan
dalammeningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui berbagai program dibidang
kesehatan. Tujuan dari program-program tersebut adalah untukmenghasilkan sumber
daya manusia yang berkualitas dan intelektual, fisik,ekonomi dan moral sesuai dengan
definisi Kesehatan dalam Undang-undangKesehatan tahun 2004 bahwa kesehatan
adalah keadaan sejahtera daribadan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang
hidup produktifsecara sosial dan ekonomis.Data yang diperoleh dari Gayo Lues dalam
20
Angka tahun 2011 memperlihatkan bahwa jumlah sarana kesehatan di Kabupaten
Gayo Lues seperti terlihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3.1. 2.
Sarana Kesehatan di Kabupaten Gayo Lues
Jenis Sarana Kesehatan Jumlah
Puskesmas 12
Puskesmas Perawatan 6
Puskesmas Non Perawatan 6
Puskesmas Pembantu 41
Puskesmas Keliling 12
Rumah Sakit 1
Poskesdes 63
Rumah Bersalin Swasta 25
Posyandu 144
Pelayanan kesehatan dilaksanakan oleh tenaga medis yang tersebar di
Kabupaten Gayo Lues yang terdiri dari dokter spesialis sebanyak 6, dokter umum 23
orang, dokter gigi 4 orag dengan total 29 orang. Tenaga medis lainya yaitu bidan
sebanyak 101 yang ada pada Puskesmas sebanyak 72 dan sisanya ada pada Rumah
Sakit. Tenaga kesehatan lainya yaitu sarjana Farmasi 1 orang, DIII Farmasi 16, DII Gizi
12 orang, sarjana Kesmas 16 orang, tenaga sanitasi 9 orang. Tenaga teknisi medis:
Analis Laboratorium 6 orang, tenaga rontgen 7 orang, anestesi 2 orang, fisioterapis 6
orang.
Pelaksanaan Jaminan Persalinan sudah disosialisasikan sejak tahun 2010 sejak
dikeluarkan dari Kementrian Kesehatan dengan melibatkan bidan Desa dan bidan
dilingkungan Kabupaten Gayo lues, sesuai indepth dengan Kepala Dinas Kesehatan
bahwa program jampersal sudah dilaksanakan sesuai dengan juknis yang diberikan
dari Kemenkes, dengan didukung oleh SK yang dikeluarkan oleh Bupati serta menunjuk
21
tenaga sebagai pelaksana program jampersal. Penunjukan disertai dengan SK (Surat
Keputusan). Namun dalam pelaksanaanya masih terjadinya tumpang tindih antara
Jampersal dan JKA (Jaminan Kesehatan Aceh). Ada peraturan lokal yang dilaksanakan
oleh Kadis dimana selain ada jamkesmas di Galus (Gayo Lues) juga memperoleh
fasilitas JKA (Jamkesda), sejauh ini masyarakat terkadang meminta pelayanan lebih
seperti masyarakat meminta bidan untuk datang ke rumah ketika bersalin, sedangkan
standar pelayanannya harus dilakukan di fasilkes, rujukan juga dilakukan oleh bidan ke
fasilkes di kabupaten apabila terjadi komplikasi. Kodisi ini di perbolehkan oleh Kepala
Dinas Kesehatan walaupun tidak sesuai dengan juknis jampersal.
Berdasarkan data profil Kabupaten Gayo Lues diperoleh data BPS tentang
penduduk miskin pada tahun 2007 yaitu berjumlah 52.943 jiwa. Terjadi penurunan
jumlah orang miskin yaitutahun 2009 berjumlah 48.622 jiwa, sedangkan data tahun
2011 berjumlah 34.582.
Kesehatan Bayi dan anak
Angka Harapan Hidup merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan
suatu daerah khususnya pembangunan di bidang kesehatan Semakin tinggi angka
harapan hidup penduduk suatu daerah maka pelayanan kesehatan di daerah tersebut
semakin baik. Demikian halnya dengan pelayanan kesehatan di Kabupaten Gayo Lues
selama 5 tahun terakhir Pemerintah Kabupaten Gayo Lues mampu mepertahankan
besaran angka harapan hidup penduduknya hingga berkisar usia 65 tahun untuk lelaki
dan 60 tahun untuk perempuan, fenomena tersebut berbeda dengan kondisi pada
umumnya dimana laki laki biasanya mempunyai angka harapan hidup yang lebih
rendah dibanding perempuan (Profil Kabupaten Gayo Lues tahun 2010).Salah satu
indikator IPKM tersebut adalah cakupan pemeriksaan kehamilan atau Ante Natal Care
(ANC). Menurut data Riskesdas 2007, cakupan pemeriksaan kehamilan Kabupaten
Gayo Lues adalah 25%. Cakupan ini adalah cakupan terendah di Provinsi Aceh yang
secara umum mempunyai cakupan pemeriksaan kehamilan sebesar 72% (Depkes,
2008:64). Dengan kata lain, cakupan pemeriksaan kehamilan Kabupaten Gayo Lues
paling rendah di antara 21 kabupaten yang terdapat di Propinsi Aceh.
22
Menurut data profil kesehatan Aceh tahun 2010 Angka Kematian Ibu di Aceh
adalah 193/100.000 kelahiranhidup/LH, bila ditelusuri per kabupaten maka ditemukan
beberapa kabupaten yang memberikan kontribusi kematian ibu paling banyak, salah
satunya adalah Kabupaten Gayo Lues (Profil Kesehatan Aceh, 2011). Menurut
informasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues, pada tahun 2011 Angka
Kematian Balita berjumlah 30 orang, dengan rincian kematian neonatal 21 orang dan
bayi 9 orang.
Tabel 3.1.3
Data Pemeriksaan Kehamilan dan Persalinan Kabupaten GayoLues Tahun 2011
No Kecamatan Ibu Hamil IbuBersalin Ibu Nifas
K1 K4 Jumlah Jumlah Nakes Jumlah Yankes
1 Kuta Panjang 190 180 211 201 180 201 180
2 Blang Jerango 161 141 172 165 146 165 146
3 Blangkejeren 641 579 674 641 552 641 552
4 Putri Betung 186 161 187 177 172 177 172
5 Dabun Gelang 125 123 133 127 116 127 116
6 Blang Pegayon 115 113 140 134 106 134 106
7 Pining 70 67 77 74 60 74 60
8 Rikit Gaib 108 92 108 103 88 103 88
9 Pantan Cuaca 100 92 106 102 89 102 89
10 Terangun 207 187 214 204 170 204 170
11 Tripe Jaya 137 135 137 132 106 132 106
Jumlah 2080 1905 2199 2099 1818 2099 1818
Dari tabel di bawah bisa terlihat bahwa usia 0-4 tahun menduduki peringkat
teratas bahwa jumlah bayi dan balitanya pada Kabupaten Gayo lues sangat tinggi yaitu
9.759 bayi dan balita, sementara jumlah bayi sebanyak sebanyak 2.069 dengan status
kesehatan yang baik berdasarkan laporan profil kesehatan Kabupaten Gayo Lues
bahwa pemberian ASI Eksklusif sebanyak 2.069 bayi, sedangkan cakupan imunisasi
untuk imunisasi BCG sebesar 80% dan cakupan imunisasi Polio 3 sebesar 83,3%,
Imunisasi DPT 1 sebesar 91%, DPT 3 83 %, Campak 82%. Jumlah balita dengan gizi
buruk sebanyak 7 balita di Blang Pegayon 1 anak, 3 di Pantan Cuaca, 2 di Terangun, 1
23
di Tripe Jaya. Untuk jumlah bayi yang meninggal pada Kabupaten Gayo Lues untuk
tahun 2011 berdasarkan Profil Kesehatan tahun 2011 sebanyak 35 Balita.
Menurut data profil kesehatan Aceh tahun 2010 Angka Kematian Ibu di Aceh
adalah 193/100.000 kelahiranhidup/LH, bila ditelusuri per kabupaten maka ditemukan
beberapa kabupaten yang memberikan kontribusi kematian ibu paling banyak, salah
satunya adalah Kabupaten Gayo Lues (Profil Kesehatan Aceh, 2011). Menurut
informasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues, pada tahun 2011 angka
kematian balita berjumlah 30 orang, dengan rincian kematian neonatal 21 orang dan
bayi 9 orang. Data-data inilah yang menjadi dasar pemikiran mengapa kajian
Kesehatan Ibu dan Anak dilakukan di Kabupaten Gayo Lues.
Kematian Ibu pada Kabupaten Gayo Lues sebanyak 4 orang dalam kurun waktu
tahun 2011 terjadi pada kelompok usia >35 tahun pada saat hamil, kematian ibu
bersalin sebanyak 3 orang pada kelompok usia 20–34 tahun, kematian pada saat nifas
tidak ada. Ini karena usia rentan untuk hamil yaitu 35 tahun kemudian karena
kebiasaan warga setempat apabila hamil masih melakukan aktifitas di kebun, kematian
pada saat persalinan terjadi karena banyak ibu hamil pada saat kehamilannya sudah
besar masih melakukan aktifitas di kebun dan melahirkan dengan jasa bidan kampung,
saat akan melahirkan biasanya mereka ada di kebun sehingga mempersulit proses
persalinan, kemudian akses geografisnya yang berbukit bukit, kepercayaan masyarakat
terhadap budaya juga masih tinggi kemudian dengan adanya Jampersal diharapkan
angka tersebut bisa turun.
Saat ini ibu hamil dan bersalin sudah banyak yang tahu tentang jampersal
namun masih banyak juga yang kurang paham tentang Jampersal, ini kemungkinan
karena terjadinya informasi yang kurang jelas dari pemerintah setempat. Masyarakat
hanya tahu bahwa ada persalinan gratis tanpa tahu biaya tersebut dari mana. Ada
anggapan bahwa biaya persalinan di biayai oleh JKA (Jaminan Kesehatan Aceh) atau
Jamkesda padahal menurut dinas terkait bahwa persalinan tidak di biayai oleh JKA.
Fasilitas kesehatan sudah banyak tersedia namun karena akses geografi dan
tenaga yang kurang mengakibatkan banyak masyarakat yang tidak bisa menikmati
pelayanan kesehatan. Beberapa Puskesmas tidak memiliki dokter bahkan tenaga
kesehatan sangat kurang karena ada pegawai puskesmas yang membawahi beberapa
24
program. Ada pula pegawai puskesma yang tidak pernah ada di tempat karena alasan
lokasi puskesmas yang jauh dari kota kabupaten dan akses ke puskesmas tersebut
sangat sulit, tidak ada transportasi umum dan kondisi jalan yang belum diaspal.
KB paska persalinan tidak menjadi hambatan terbukti peserta KB dari tahun ke
tahun mengalami peningkatan. Data dari profil kesehatan tahun 2011 menunjukkan
bahwa pemakaian KB dengan MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) yaitu IUD
sebanyak 73, implant 184, sedangkan peserta baru dengan metode non MKJP yaitu
suntik 2.269, pil 995 dan kondom 289. Ini menunjukkan bahwa masyarakat setempat
sudah sadar akan manfaat dari KB tersebut. Sampai saat ini penyuluhan KB paska
persalinan terus dilakukan.
Perilaku kesehatan dapat dilihat dari tenaga bidan kampong (dukun bersalin)
yang masih banyak di Kabupaten Gayo Lues seperti terlihat pada gambarsbb.
Gambar. 3.1.2. Jumlah Bidan dan Jumlah Dukun yang Terdapat di Kabupaten Gayo Lues Menurut Puskesmas Tahun 2011
Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Gayo Lues
0 10 20 30 40
Kuta Panjang
Blang Jerango
Blang Kejeren
Gumpang
Dabun Gelang
Pining
Pintu Rime
Cinta Maju
Rikit Gaib
Kenyaran
Terangun
Rerebe
Jumlah Dukun
Jumlah Bidan
25
Masalah KIA baik kematian maupun kesakitan sesungguhnya tidak lepas dari
sosial budaya serta lingkungan dimana ibu dan anak tersebut berada.Faktor
kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsep tentang berbagai pantangan,
anjuran, ritual, hubungan makanan dengan sehat-sakit, kebiasaan, memberikan
dampak positip atau negatip. Masyarakat tradisional memiliki konsep kesehatan yang
berbeda dengan konsep modern yang berkembang.
3.1.2 Gambaran Umum Puskesmas Pintu Rime Kecamatan Pining
Gambar 3.1.3. Peta Lokasi Puskesmas Pintu Rime
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Wilayah Kecamatan Pining berjarak22km dari Ibukota Kabupaten Blangkejeren
untuk sampai di Puskesmas Pintu Rime Desa Uring bisa menggunakan motor atau
mobil angkutan Desa yang di berangkatnya hanya 1 kali pulang pergi. Rute angkutan
ini dari Blangkejeren menuju Kecamatan Pining pda siang hari. Rute sebaliknya dari
pining mobil tesebut akan kembali ke Blangkejeren pada sore hari. Angkutan Desa
mobil berjenis L300 bisa memuat apa saja, karena hanya satu satunya angkutan yang
ada makanya mobil tersebut selalu dipenuhi oleh penumpang. Sepanjang perjalanan
Blangkejeren hingga Desa Uring topografi daerah berbukit-bukit dan sebagian besar
ditanami pohon pinus. Kondisi jalan yang berkelok kelok membuat perut terasa mual
26
bagi yang belum terbiasa. Pada sisi sebelah kanan terdapat bukit dan jalan raya ada
pada lereng bukit tersebut. Sesekali mobil bersimpangan dengan kendaraan roda dua
yang mereka sebut dengan “kereta”. Pada sebelah kiri terdapat hutan yang ditanami
pohon pinus. Dalam perjalanan ke Desa Uring ada satu wilayah yang dinamakan
Puncak Genting bagi warga Gayo Lues tempat ini adalah tempat rekreasi karena
pemandangan yang sangat elok dilengkapi dengan kedai khusus yang menjual kopi
tugu luwak asli, di kedai tersebut biji kopi diolah secara langsung dari luwak yang
dipelihara oleh penjualnya.
Kondisi jalan yang berada pada lereng bukit terancam longsor kapan saja,
terutama saat musim hujan sehingga tiba jarang ada orang untuk datang ke Desa
Uring. sebenarnya Desa Uring hanyalah salah satu sdsa yang ada pada kecamatan
Pining. Desa lainya yaitu Desa Pepelah, Desa Gajah dan Desa Pintu Rime. Untuk
mencapaiDesaUring memerlukan waktu kurang lebih satu jam, belum lagi kalau ada
simpangan di jalan karena kondisi jalan yang sempit. Iklim pada DesaUring tidak begitu
jauh dengan Blangkejeren namun lebih dingin karena puskesmas tersebut di lereng
bukit, posisi Desa ada dibawah puskesmas apabila kita keluar pintu belakang langsung
terlihat hamparan DesaUring yang dikelilingi oleh bukit bukit. Terlihat sungai yang
menjadi sumber air satu satunya bagi masyarakat setempat untuk kebutuhan sehari-
hari.
Desa Uring Kecamatan Pining baru satu tahun ini menikmati Listrik itupun
hanya malam. Masyarakat yang mampu menggunakan diesel. Kegiatan warga pada
siang hari selain ke ladang mereka hanya duduk duduk depan rumah sambil berkalung
sarung sedangkan ibu ibu akan banyak di dapur untuk memasak atau ke sungai. Di
Desa Uring terdapat hari pasar yang jatuh pada hari kamis minggu ke dua pada tiap
bulanya, para pedagang dari Blangkejeren akan datang ke Desa uring untuk berjualan
seperti baju, keperluan rumah tangga, peralatan dapur atau bahan kelontong,
peralatan untuk sholat, mainan anak anak juga dijual. Tempat jualan ada di tengah
tengah jalan yang ada di Desa tersebut, ibu ibu sambil menggendong anaknya akan
mendatangi pedagang tersebut untuk membeli atau hanya sekedar melihat lihat.
Keramaian tersebut bisa satu hari penuh. Para pedagang dengan telaten akan
27
menawarkan barang daganganya ke warga, anak anak kecil juga nampak sangat
senang dengan pasar tersebut.
Gambar. 3.1.4. Lokasi DesaUing yang Berlembah dan Berbukit
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 3.1.5. Puskesmas Pintu Rime, Kecamatan Pining-Gayo Lues
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 3.1.6. Sungai sebagai Sumber Air Desa Uring
Sumber: Dokumentasi Peneliti
28
Puskesmas Pintu Rime Uring mulai berjalan pada tahun 2007, yang terletak
diatas tanah seluas 2275 m, dipinggir jalan Ladia Galaskar dengan batas batas wilayah:
Sebelah utara berbatasan dengan Kebun Arsyat
Sebelah timur berbatasan dengan Sungai Aih Gajah
Sebelah barat berbatasan dengan jalan raya
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kebun Empus Tue
Jarak antara puskesmas Pintu Rime dengan Desa Uring hanya sekitar 500 meter
ini karena lokasi Puskesmas yang ada di pintu masuk Desa uring, hanya dengan
berjalan kaki tidak terlalu jauh akan sampai ke Puskesmas Pintu Rime. Di belakang
Puskesmas Pintu Rime akan terlihat hamparan Desa uring yang dikelilingi oleh bukit
bukit, ada sungai yang menjadi sumber air satu satunya pada masyarakat setempat
untuk segala kegiatan yang membutuhkan air. Iklim pada Desa Uring tidak begitu
berbeda dengan Blangkejeren namun agak lebih dingin karena posisi ada di sekitar
bukit
Tabel 3.1.4
Wilayah Kerja Puskesmas Pintu Rime
Desa Luas Wilayah
Jarak ke Puskesmas Waktu Tempuh
ke Puskesmas
Gajah 40 H 3 Km 15 menit
Uring 85 H ½ Km 5 Menit
Pepelah 50 H 11 Km 30 Menit
Pintu Rime 80 H 22 Km 60 Menit
Sumber: Puskesmas Pintu Rime, Kecamatan Pining Tahun 2011
Tabel di atas menunjukkan jarak untuk sampai ke Puskesmas dari 4 Desa Gajah
memerlukan waktu 15 menit, dari Desa Uring yang paling terdekat hanya 5 menit
karena memang posisi Puskesmas ada di Desa Uring, sedangkan untuk Desa Pepelah
dengan jarak 11 Km dan ditempuh 30 Menit, untuk Desa terjauh yaitu Pintu Rime
29
dengan jarak 22 Km akan memakan waktu tempuh kurang lebih 1 Jam karena memang
kondisi jalan yang belum beraspal dan berbatuan.
Sungai yang membelah Desa Uring menjadi sumber air satu satunya yang ada
pada Desa Uring. Penduduk memanfaatkan sungai tersebut sebagai tempat MCK
(Mandi, Cuci, Kakus), jadi untuk kegiatan mandi, mencuci dan buang air besar semua
dilakukan di sungai tersebut. Tidak hanya ketiga hal tersebut, air sungai ini juga
merupakan sumber air minum dan masak. Penyaringan air dilakukan dengan membuat
lubang lubang di pinggiran sungai sedalam 10 jengkal dan mengambil air yang terdapat
di lubang tersebut.
Kependudukan
Jumlah keseluruhan penduduk menurut data tahun 2011 sebanyak 1.669 jiwa
dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 339 KK. Jumlah penduduk terbanyak berada
di DesaUring dengan jumlah penduduk sebanyak 549 jiwa disusul Desa Pintu Rime
sebanyak 499 jiwa dan DesaPepelah sebanyak 325 Jiwa. Besaran jumlah penduduk di
tiap desa sangat berbeda terkait dengan hubungan keluarga dan letak pemukiman
yang layak untuk ditempati karena geografis Kecamatan Pining berbukit bukit dan Desa
Uring ada di dataran yang rendah.
Tabel 3.1.5. Data Jumlah Penduduk Puskesmas Pintu Rime, Kecamatan Pining Tahun 2011
No Desa Jumlah KK Jumlah Penduduk
Laki -laki Perempuan
1 Gajah 50 296 114 182
2 Uring 140 549 287 262
3 Pepelah 74 325 170 155
4 Pintu Rime 115 499 244 255
Jumlah 339 1669 815 854
Sumber: Puskesmas Pintu Rime, Kecamatan Pining Tahun 2011
30
Besarnya angka penduduk di Desa Uring karena DesaUring merupakan Desa
yang sudah berusia sangat lama jadi penduduknya secata turun temurun tinggal
didaerah tersebut serta dekat dengan sumber mata air yaitu sungai dan lahanya subur
untuk ditanami sereh wangi dan kemiri, . Jumlah tersebut tentunya berimbas pada
pelayanan kesehatan yang diberikan dibandingkan dengan rasio jumlah tenaga
kesehatan. Jumlah tenaga kesehatan yang tersedia di Puskesmas Pintu Rime tidak
cukup untuk dapat melaksanakan program program Puskesmas
Mata Pencaharian dan Aktifitas Masyarakat
Perkebunan adalah salah satu sumber mata pencaharian yang paling menonjol
di Kecamatan Pining. Menurut data Kecamatan, kurang lebih 90% penduduk Pining
adalah petani. Jenis-jenis komoditas tanaman yang dibudidayakan di wilayah ini adalah
buah kemiri, sereh wangi dan yang paling banyak ditanam saat ini adalah sereh wangi.
Sereh wangi ini diolah atau diproses melalui suling menjadi minyak yang harganya
sangat lumayan tinggi perkilo bisa mencapai kurang lebih Rp. 75.000,- makanya warga
lebih senang menanam sereh wangi ini karena hasilnya sangat menguntungkan,
terlebih pola penanamanya yang tidak terlalu sulit. Biasanya penduduk akan
menanami pada lereng lereng bukit, apabila musim menanam banyak suami istri akan
berada di ladang untuk beberapa lama. Suami menanam sereh wangi dan istrinya akan
mencari buah kemiri untuk dijual di pasar Blangkejeren. Namun bagi Ibu ibu yang tidak
turut serta ke ladang mereka akan membuat anyaman dari daun pandan hutan yang
dianyam untuk dijadikan tikar dengan berbagai ukuran, yang kecil bisa buat sholat
kalau yang besar bisa untuk alas tempat tidur bahkan bisa untuk di taruh diruang
tamu, pada umumnya masyarakat setempat dalam ruang tamu tidak ada kursi
sehingga tikarlah satu satunya alat untuk alas.
Memelihara ternak kerbau dan kambing merupakan salah satu mata
pencaharian penduduk. Binatang ternak ini menjadi investasi masyarakat. Ternak
umumnya hanya dijual bila membutuhkan dana besar seperti untuk pergi haji, atau
untuk membeli kereta (sebutan untuk kendaraan bermotor). Mereka sangat
membanggakan binatang ternaknya, ukuran orang kaya menurut penduduk setempat
adalah banyak sedikitnya hewan ternak yang dimiliki, bahkan ada salah satu penduduk
31
yang jumlah kerbaunya sampai 100 dan binatang-binatang ini tidak mempunyai
kandang mereka dibiarkan berkeliaran secara liar. Binatang tersebut mencari makanan
sendiri di bukit bukit yang ada disekitar Desa Uring, namun pemiliknya akan tahu
seandaianya ada salah satu binatang piaraanya hilang. Pemiliknya cukup memberi
tanda binatang peliharaannya, dan mereka bisa mengambil ternaknya setiap saat
dibutuhkan.
Penduduk Uring berkomunikasi dengan bahasa Gayo, bahasa daerah setempat
yang digunakan dalam kegiatan formal dan informal. Penduduk setempat tidak
menguasai bahasa Indonesia, bahkan bahasa Aceh saja mereka tidak bisa. Bahasa
Gayo sangat susah dipelajari karena bahasa Gayo sangat lain dengan bahasa Aceh.
Bahkan untuk menjadi Guru SD pada Kecamatan Pining harus menguasai bahasa Gayo
karena bahasa Gayo juga sebagai pengantar untuk proses belajar mengajar. Sebagian
ada juga yang bisa bahasa Indonesia biasanya pegawai atau pendatang yang jumlahnya
juga cukup rendah.Namun untuk penduduk yang berusia tua dan tidak/jarang keluar
dari desa cukup banyak yang tidak bisa dan tidak mengerti bahasa Indonesia.
Pendidikan pada Kecamatan Pining sangat terbatas, hanya ada 4 SD yang ada di
setiap Desa yaitu Desa Uring, Desa Gajah, Desa Pepelah, Desa Pintu Rime. Ada satu
SMP yang sudah berdiri sekitar 3 tahun yang lalu dan baru tahun 2013 nanti akan ada
lulusanya. Masyarakat setempat kurang perduli dengan pendidikan, masalah
pendidikan di kecamatan Pining merupakan masalah yang paling utama karena faktor
ketidak tahuan mereka serta kurangnya keinginan masyarakat setempat untuk maju,
bagi mereka sepertinya pendidikan bukanlah merupakan prioritas, namun ada juga
warga yang memang mengenyam pendidikan agak tinggi tapi mereka akan keluar dari
Desa tersebut untuk menempuh pendidikan, setelah mereka selesai pendidikan
mereka akan kembali ke masyarakat namun mereka tidak melakukan perubahan
apapun untuk Desa tersebut.Masih cukup banyak penduduk yang mempunyai tingkat
pendidikan rendah bahkan tidak tamat SD. Pendidikan masyarakat sangat rendah
sebanyak 56,4 % hanya lulus SD, tidak tamat SD sebanyak 18,2%. SMP sudah 2 tahun
namun belum pernah ada lulusan.Pendidikan yang rendah menyebabkan banyak
perempuan menikah muda.
32
Masyarakat Kecamatan Pining Mayoritas Muslim, apalagi Desa Uring karena
Desa tersebut sudah secara turun temurun beragama Islam disamping itu tidak ada
juga pendatang, seandainya ada karena terjadinya perkawinan selama orang tersebut
tinggal diluar daerah untuk sekolah itupun juga tidak banyak, mereka sangat susah
untuk berinteraksi dengan orang luar.
Kekerabatan/orsosmas, pola tempat tinggal panggung yang dihuni oleh beberapa
keluarga, seorang suami akan membawa istrinya jadi bila perempuan sudah menikah
akan keluar dari rumah tersebut dan ikut seorang suami. Ini bisa terlihat dari anggota
keluarga dalam 1 rumah biasanya ada beberapa Kepala Keluarga. Mereka sangat
memegang teguh kekerabatan namun secara pertalian saudara saja mereka dekat
untuk keperluan lainya mereka akan menanggung sendiri-sendiri.
Table 3.1.6. Jumlah Bumil, Bulin,Bufas, Bayi dan Balita Per Desa di Wilayah Puskesmas Pintu Rime
Kecamatan Pining Tahun 2011
No Desa Bumil Bulin Bufas Bayi Balita
1 Gajah 5 4 4 4 29
2 Uring 17 16 16 16 79
3 Pepelah 7 7 6 6 43
4 Pintu Rime 9 8 8 8 43
Jumlah 38 35 34 34 194
Sumber: Puskesmas Pintu Rime, Kecamatan Pining Tahun 2011
Dari tabel di atas terlihat jumlah ibu hamil di Desa Uring sebanyak 38 ibu dan
35 ibu bersalin dan terbanyak ada di Desa uring.Masalah kesehatan KIA pada
Puskesmas Pintu Rime sangat rendah sekali ini terlihat dari pencapaian cakupan yang
tidak pernah maksimal. Tabel di bawah ini bisa terlihat bahwa memang cakupan untuk
kegiatan KIA tidak pernah maksimal.
33
Tabel 3.1.7. Jumlah Sasaran dan Cakupan KIAKecamatan Pining Tahun 2011
No Kegiatan Satuan Target Pencapaian Cakupan
1 K1 Bumil 41 35 85%
2 K4 Bumil 41 29 70.7%
3 Neonatus Bayi 41 25 60.9%
4 Partus oleh Nakes Bulin 41 25 60.9%
5 Pelayanan Resti Bumil 41 5 12.1%
Sumber: Puskesmas Pintu Rime, Kecamatan Pining Tahun 2011
Dari hasil tabel di atas ternyata hampir sama dengan kuesioner ibu sebanyak
94,5% menjawab ya untuk melakukan anc pada ibu hamil. Melalui indept interview
diperoleh informasi dari Kepala Puskesmas bahwa program yang ada beberapa tidak
jalan karena keterbatasan tenaga. Sebagai contoh, 1 orang tenaga bisa bertanggung
jawab terhadap 9 program sekaligus, untuk permasalahan pelayanan KIA ada di K1
karena banyak ibu hamil yang tidak ingin kehamilanya diketahui orang lain selain
suami dan keluarga dari jumlah. Program imunisasi juga tidak berjalan baik, walaupun
tenaga kesehatan sudah mendatangi rumah keluarga memiliki balita, seringkali
mereka ditolak dengan tidak dibukakan pintu.
Tabel 3.1.8. Jumlah Sasaran dan Cakupan KB, Kecamatan Pining, Tahun 2011
No Metode Satuan Target Pencapaian Cakupan
1 Pil PUS 292 187 53.1%
2 Suntik PUS 292 208 70.5%
3 Kondom PUS 292 - -
4 Implant PUS 292 15 5.2%
5 IUD PUS 292 - -
Sumber: Puskesmas Pintu Rime, Kecamatan Pining Tahun 2011
34
Pelayanan KB selama ini berjalan dengan baik dilihat table diatas dari target 292
untuk pencapaianya Pil 53%, Suntik 70,5%, implant 5,2%. Kondom dan IUD tidak ada
ibu-ibu yang memanfaatkanya, dengan kesadaran yang tinggi mendatangi puskesmas
untuk melakukan KB dan KB yang menjadi primadona pada penduduk setempat adalah
PIL.
Fasilitas Pelayanan di Puskesmas dan Ketenagaan
Sumber Daya Manusia atau tenaga yang tersedia pada Puskesmas Pintu Rime
terdiri 13 orang. Dari keseluruhan petugas tersebut, yang berdinas di puskesmas induk
yaitu 3 orangAkper, 3 orang Akademi Kebidanan, 1 orang Kesehatan Lingkungan, 1
orang Perawat Gigi, 1 orang Operator Komputer dan 1 orang Cleaning Service.
Puskesmas pembantu memiliki tenaga terdiri dari Perawat 1 orang, Akbid 1 orang,
Bidan 1 orang. Jadi Total jumlah pegawai Puskesmas Pintu Rime sejumlah 16 pegawai.
Kegiatan administrasi didukung oleh 2 buahKomputer, 1 buah laptop dan kamera
digital 1 buah.
Selain gedung puskesmas induk, sarana kesehatan yang dimiliki lain adalah:
Puskesmas Pembantu 2 buah
Poskesdes Pepelah
Rumah Dinas Dokter
Rumah dinas 1 buah,
Pusling 1 buah
Sepeda motor 7 buah
Akses ke Yankes. Untuk mencapai Puskesmas Pintu Rime Aksesnya sangat sulit
kalau dari Desa Uring hanya perlu waktu 15 menit karena memang lokasinya terletak
pada Desa tersebut, namun kalau dari Desa Pepelah dan Desa Pintu Rime harus
melalui jalan yang berliku dan berada di sisi bukit dan rawan longsor serta kondisi jalan
yang belum diaspal bisa sampai 1 jam untuk sampai di Puskesmas tersebut,
transportasi dari Blangkejeren ada namun dalam satu hari hanya lewat 1x dalam sehari
dengan rentang waktu yang sangat lama, dibutuhkan sekitar 1 jam dari Blangkejeren
untuk sampai ke Puskesmas Pintu Rime. Jaringan telepon di Kecamatan Pintu Rime
35
tidak ada sama sekali sehingga para petugas kesehatan yang ada dilokasi setiap hari
libur mereka akan pergi ke Blangkejeren dalam beberapa hari untuk sekedar
berhubungan dengan saudara ataupun teman dekat.
Kepersertaan Jampersal di Puskesmas Pintu Rime Desa Uring untuk tahun 2011
tidak terserap karena masalah tehnis. Ini karena mengarah pada budaya masyarakat
yang tidak mau memeriksakan kehamilan mereka pada bidan, K1 sangat terkendala
karena ada budaya takut itu. Kondisi daerah yang sangat sulit juga menjadi kendala
karena beberapa bumil masih ada yang bersalin ketika mereka sedang tinggal di
kebun. Pada tahun 2012 hanya 11 ibu hamil yang memanfaatkan jampersal.
Pemanfaataan yang sedikit ini karena prosedur administrasi dan kondisi geografis
wilayah setempat yang sulit. Berikut pernyataan bidan koordinator puskesmas tentang
habatan pemanfaatan jampersal.
“Hambatan administratif, karena ada beberapa dokumen yang harus dikumpulkan seperti KTP dan KK , dan masyarakat di Desa ini umumnya tidak mempunyai KTP, jadi tetap harus minta surat dari kecik, tapi sejauh ini kendala bukan merupakan kendala yang berarti”.
Hasil indepthinterviewdengan bidan koordinator jampersal Puskesmas Pintu
Rime bahwa selama ini jampersal pemanfaatanya masih kurang karena terkendala
masalah administrasi yaitu harus ada KTP atau KK padahal masyarakat setempat jarang
yang punya. Sebagai gantinya, mereka harus menghubungi Kecik dulu untuk minta
surat keterangan tidak mampu. Persyaratan ini menyebabkan masyarakat malas untuk
mengurus itu semua. Alasan lain adalah karena ada Jaminan Kesehatan Aceh atau
Jamkesda. Hasil FGD dengan tokoh masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat tidak
tahu mana yang akan dipakai untuk persalinan dari beberapa jenis jaminan kesehatan
yang ada. Masyarakat juga kurang mendapat informasi mengenai jampersal seperti
pernyataan salah seorang tokoh masyarakat dalam FGD.
“Selama ini kami belum pernah mendengar tentang jampersal, kami hanya tahu kalau melahirkan pakai bidan mantra gratis tidak bayar sama sekali”.
36
3.1.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak
Pandangan tentang Ibu Hamil, Bersalin, Bayi/Anak
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil akan diperlakukan sama dengan
ibu ibu yang tidak hamil, tidak ada perlakuan khusus bagi ibu hamil. Ibu-ibu tersebut
tetap menjalankan kewajibanya selaku ibu rumah tangga, melakukan kegiatan seperti
mencuci, memasak bahkan bekerja di ladang membantu suami, walaupun dari hasil
FGD suami menyatakan bahwa ada previllege yang diberikan untuk ibu hamil dengan
tidak melakukan pekerjaan rumah tangga.
Masyarakat setempat masih percaya dengan hal hal yang berhubungan mitos.
Terdapat bermacam pantangan yang harus dilakukan oleh ibu hamil walaupun kadang
kadang hal tersebut tidak bisa diterima oleh akal sehat dan logika. Pantangan yang
berlaku pada ibu hamil, bersalin di Desa Uring merupakan suatu tindakan preventif
agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, sehingga baik dianggap masuk akal
ataupun tidak harus tetap dilaksanakan.
Kehamilan merupakan suatu kebahagiaan bagi seorang perempuan, apalagi itu
adalah anak pertama baginya. Kebahagiaan tersebut seringkali ditunjukan kepada
orang lain dengan berbagai cara. Salah satu cara tersebut misalnya dengan
mengadakan sebuah pesta atau upacara yang mengundang banyak orang pada masa
kehamilannya, seperti upacara mitoni1 dalam masyarakat Jawa. Namun, dalam
masyarakat Gayo, khususnya di Desa Uring, tidak ada upacara pada masa kehamilan
seperti dalam masyarakat Jawa. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh
Melalatoa (1982:89) dalam bukunya yang berjudul “Kebudayaan Gayo” bahwa tidak
ada upacara dalam rangka kehamilan seseorang seperti pada masyarakat tertentu
yang lain.
Tidak adanya upacara atau pesta kehamilan dalam masyarakat Gayo tentu
disebabkan oleh suatu faktor. Faktor tersebut berkaitan dengan pengetahuan
masyarakat setempat bahwa kehamilan seseorang harus ditutupi atau dirahasiakan
1Mitoni adalah salah satu tradisi masyarakat Jawa yang dilaksanakan saat usia kehamilan seseorang
berusia 7 bulan dan pada kehamilan pertama kali. Maknanya adalah bahwa pendidikan bukan saja setelah dewasa, akan tetapi semenjak benih tertanam di dalam Rahim sang ibu (Bratawidjaja, 1988:21).
37
agar tidak diketahui oleh orang lain. ‘Penutupan kehamilan’ inilah yang menyebabkan
tidak adanya upacara atau pesta kehamilan dalam masyarakat Gayo.
‘Penutupan kehamilan’ dalam masyarakat Gayo dilakukan dengan berbagai
cara. Salah satu caranya adalah melalui pakaian. Pada saat hamil, si ibu akan
menggunakan sarung sebagai rok. Selain itu, ada juga sehelai kain panjang yang
dilingkarkan pada lehernya dan menjulur sampai ke perutnya. Hal ini senada dengan
pendapat Melalatoa (1982:89), bahwa dalam masyarakat Gayo ada kebiasaan
menyelimuti bagian tubuhnya sedemikian rupa sehingga bagian perutnya itu tidak
mudah dilihat orang. Dari pengamatan peneliti, kebiasaan menyelimuti bagian tubuh
sedemikian rupa tersebut saat ini sudah terjadi perubahan, khususnya dalam
masyarakat Desa Uring. Dalam masyarakat Desa Uring, sebagian besar ibu hamil tidak
lagi menyelimuti tubuhnya sedemikian rupa untuk menutupi kehamilannya. Mereka
juga mengenakan pakaian layaknya yang dikenakan oleh kaum perempuan pada
umumnya, seperti menggunakan baju daster, celana panjang, dan rok, sehingga
kehamilan mereka pun tampak terlihat.
Kesehatan secara keseluruhan terutama yang berkaitan dengan Kesehatan Ibu
dan Anak, terlihat dari rendahnya kunjungan masyarakat setempat ke Fasilitas
Kesehatan yang tersedia. Masyarakat setempat belum mempunyai kesadaran yang
tinggi untuk memeriksakan kesehatanya kepada tenaga kesehatan yang tersedia.
Mereka tidak mau tahu tentang kesehatan yang baik, bahkan merek tidak ingin tahu
tentang kesehatan. Dari beberapa cerita dari pegawai Puskesmas Pintu Rime bahwa
masyarakat setempat kurang berminat untuk mendatangi fasilitas kesehatan.
Berkaitan dengan KIA, mereka belum sadar akan pentingnya kesehatan bagi Ibu yang
sedang hamil, balita dan batita. Itu bisa terlihat dari profil Kabupaten Gayo Lues angka
pemeriksaan yang berkaitan dengan ibu dan anak cukup rendah.
Masyarakat Desa Uring memandang seorang ibu yang hamil seperti pada
umumnya wanita ini berkaitan dengan budaya setempat bahwa wanita yang sudah
diperistri oleh lelaki maka hak sepenuhnya ada pada lelaki tersebut. Perempuan yang
sudah diberikan mahar untuk memenuhi persyaratan sebuah pernikahan maka
perempuan tersebut bisa diperlakukan dengan semena mena oleh suaminya.
Maksudnya, hasil pengamatan ada ibu yang dalam keadaan hamil tetap bekerja seperti
38
biasanya, bekerja disini maksudnya mengerjakan semua urusan rumah tangga dari
mengurusi keluarga sampai membantu suami bekerja di ladang. Namun dari hasil FGD
yang tim lakukan ternyata didapat informasi berbeda, para suami menyatakan
memberikan perlakuan yang lebih kepada istrinya manakala istrinya tersebut sedang
dalam masa hamil.
Perawatan Kehamilan. Masyarakat setempat masih memegang teguh budaya
local terkait perwatan kehamilan sebagian besar masyarakat tidak mau untuk datang
memeriksakan kehamilanya karena beberapa hal. Salas satu penyebab adalah budaya
takut akan kehamilanya yang diketahui oleh orang atau warga sekitar. Apabila mereka
memberitahu kehamilan kepada bidan bahwa mereka hamil, apabila ada kejadian
misal, keguguran dll maka bidan yang akan disalahkan. Ada pula budaya masyarakat
setempat yang masih melekat yaitu percaya bahwa ibu hamil adalah orang yang sangat
rentan terutama terhadap gangguan yang datang dari pengaruh supranatural. Selain
itu ada kepercayaan setempat tentang ‘manusia beracun’ atau ‘orang beracun’ yatu
penganut ilmu hitam. Orang tersebut sebagai penganut ilmu hitam, agar kekuatannya
bertambah salah satu cara dengan mengambil bayi dalam kandungan lewat ilmu
hitam. Hal ini bia dilihat dari ibu hamil yang dengan tiba tiba kehamilannya hilang atau
bagi bayi yang sudah keluar akan meninggal dengan tanda tanda penyebab yang tidak
jelas.
“Disini ada manusia beracun, ciri ciri manusia beracun adalah dia bisa melihat dari jauh, ketika dia melewati rumah yang terdapat ibu yang hamil dia bisa meracuni ibu hamil lewat pandanganya atau bisa juga kalau ada minuman racun itu bisa dikirim lewat minuman yang diminum ibu hamil tersebut, bisa juga terjadi ibu hamil yang akan kehilangan bayinya secara tiba tiba dengan alasan yang tidak jelas, saya tahu orangnya kalau bapak mau bisa saya tunjukkan rumahnya”
Keengganan masyarakat untuk melakukan pemeriksaan pertama kehamilan
menyebabkan rendahnya cakupan K1 Puskesmas uring, ibu hamil lebih memilih
mencari informasi kehamilan pertama dari bidan kampung. Informasi ini dieroleh dari
wawancara dengan bidan koordinator Puskesmas Pintu Rime Desa Uring.
Dari Hasil analisa kuantitatif dalam penelitian ini, diperoleh data sebanyak
94,5% melakukan ANC ke Bidan, data tentang pengetahuan ibu untuk memeriksakan
kehamilanya sebanyak 4 x ternyata dari keseluruhan responden menjawab setuju yaitu
sebesar 90,9%, kemudian untuk mengukur darah pada saat kehamilannya sebanyak
39
89,1% ibu ibu setempat menjawab setuju, sebanyak 52,7% menjawab setuju untuk
konsumsi tablet tambah darah pada saat kehamilan. Halini menunjukkan bahwa
masyarakat setempat sebenarnya sudah mengetahui tentang pemeriksaan ibu hamil
minimal 4x dalam kehamilanya, dan pada ibu hamil harus mengkonsumsi tablet
tambah darah, mengukur test darah, serta melakukan suntik TT sebanyak 2x, tapi pada
kenyataanya setelah hampir arena kuatnya budaya pada daerah setempat mereka
hanya tahu tapi tidak melakukan sebagai contoh ada salah satu pegawai puskesmas
yang seorang perawat yang bersekolah di kota Medan dan kembali ke DesaUring pada
saat dia mau melahirkan tetap pada bidan kampung. Hal ini menunjukkan bahwa
pendidikan seseorang tidak mempengaruhi pola pencarian kesehatan. Berikut adalah
hasil wawancara dengan bidan coordinator.
“K1 sangat terkendala karena ada budaya takut itu. Kondisi daerah yang sangat sulit juga menjadi kendala karena beberapa bumil masih ada yang bersalin ketika mereka sedang tinggal di kebun”
Kehamilan bagi masyarakat Desa uring tidak ada upacara pada masa kehamilan
seperti dalam masyarakat di tempat lain tidak adanya upacara atau pesta kehamilan
dalam masyarakat Desa uring tentu disebabkan oleh suatu factor dan faktor tersebut
berkaitan dengan pengetahuan masyarakat setempat bahwa kehamilan seseorang
harus ditutupi atau dirahasiakan agar tidak diketahui oleh orang lain. Hal ini
dikarenakan kepercayaan setempat yang masih percaya atau meyakini apabila hamil
dan di ketahui oleh orang lain selain keluarganya akan mengakibatkan hilangnya
kehamilan tersebut atau mengancam nyawa sang ibu .
Namun, meskipun kehamilan mereka tampak terlihat oleh orang lain, tetapi
merahasiakan usia kehamilan dari orang lain, khususnya dari orang yang tidak dikenal
baik olehnya atau ‘orang asing’, masih dilakukan oleh ibu hamil di Desa uring
disebabkan karena adanya kepercayaan masyarakat setempat bahwa masa hamil
merupakan masa yang sangat rentan untuk jin atau setan masuk ke dalam tubuh ibu
hamil. Jin atau setan tersebut dapat berasal dari setan itu sendiri atau berasal dari
kesengajaan yang dilakukan oleh manusia yang sering disebut Manusia Beracun oleh
masyarakat setempat. Oleh sebab itu, seorang ibu hamil dan keluarganya berusaha
untuk menutupi atau merahasiakan kehamilan seorang ibu dari orang lain untuk
40
melindungi ibu hamil dan janinnya dari gangguan setan dan Orang yang dalam belajar
Ilmu Hitam.
Tidak boleh keluar rumah malam hari (setelah magrib)
Tidak boleh makan kulit
Tidak boleh makan telur
Tidak boleh minum sambil berdiri
Tidak boleh duduk di tengah pintu
Tidak boleh bercanda
Tidak boleh makan di dalam kamar/tempat tidur
Tidak boleh minum jamu
Adapun pantangan ibu hamil pada masyarakat uring yaitu dilarang keluar
rumah malam hari; Tidak boleh melayat; Tidak boleh makan telur; Dilarang makan
dalam kamar.
Dalam pengetahuan masyarakat Desa Uring, apabila seorang ibu hamil ada
darah keluar pada saat hamil, mengalami sakit pinggang dan sakit perut, dan penyakit-
penyakit lainnya yang dialami oleh ibu hamil, dianggap bahwa hal tersebut merupakan
gangguan kehamilan yang disebabkan oleh blis (setan). Blis tersebut masuk ke dalam
tubuh ibu hamil dan mengganggu ibu hamil dan janinnya. Masuknya blis ke dalam
tubuh ibu hamil tersebut dikenal dengan istilah rampatdalam masyarakat Gayo.
Rampat tersebut terjadi karena dua faktor, yaitu (1) tube atau diguna-guna oleh
manusia, dan (2) melanggar pantangan yang telah ditetapkan bagi ibu hamil, seperti
tidak boleh keluar pada saat magrib dan jam 12 siang, tidak boleh terkena hujan, dan
lain sebagainya. Oleh sebab itu, ibu hamil di Desa Uring cenderung menutupi usia
kehamilannya untuk menghindari tube yang dapat menyebabkan rampat.
41
Tabel 3.1.9.
Pantangan dan Anjuran bahi Ibu Hamil di Kecamatan Pining, Tahun 2012
Pantangan/Tabu Anjuran
Tidak boleh keluar rumah malam hari (setelah magrib)
Tidak boleh makan kulit
Tidak boleh makan telur
Tidak boleh minum sambil berdiri
Tidak boleh duduk di tengah pintu
Tidak boleh bercanda
Tidak boleh makan di dalam kamar/tempat tidur
Tidak boleh minum jamu
Minum air kelapa
Jangan bercanda berlebihan
Meletakkan gunting kuku disamping tempat tidur
Rajin sholad dan mengaji
Makan harus diruang makan dan ruang tv
Tidak berpergian selama masa kehamilan
Sumber: Data Primer
Selain faktor tube, rampat juga dapat terjadi karena adanya pelanggaran yang
dilakukan oleh ibu hamil terhadap pantangan-pantangan yang telah ditetapkan.
Banyak pantangan yang tidak boleh dilakukan oleh ibu hamil, terutama pantangan
dalam perbuatan. Pantangan tersebut dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu
berdasarkan waktu, tempat, dan objek. Berdasarkan waktu, (1) ibu hamil tidak boleh
terkena panas matahari tepat pada saat matahari berada di atas kepala yaitu sekitar
jam 12 siang, (2)tidak bolehkeluar pada saat magrib menjelang, (3) tidak boleh terkena
air hujan, dan (4) tidak boleh tidur siang dalam waktu yang lama.Berdasarkan tempat,
(1) seorang ibu hamil tidak boleh duduk di tanah, (2) tidak boleh berdiri di depan pintu,
(3) tidak boleh duduk di bawah pohon asam, dan (4) tidak boleh duduk di pintu atau di
jendela rumah. Sementara itu berdasarkan objek seorang ibu hamil tidak boleh
menyakiti orang lain selama hamil dan tidak boleh melihat burung sedang terbang.
Persalinan di Desa uring pada umumnya masih menggunakan bidan kampung
atau bidan Desa walaupun sudah ada bidan di puskesmas namun masyarakat tetap
menggunakan jasa bidan kampung, masyarakat setempat masih meyakini bahwa bidan
kampung lebih tahu kapan sang jabang bayi akan lahir dan alasan lainnya bahwa
pemeriksaan kehamilan sudah dilakukan oleh bidan kampung maka melahirkanya juga
42
harus pakai bidan kampung, seperti pendapat dari seorang informan (Bapak SD) dari
Desa Uring dalam FGD,
“Dari awal kehamilan istri sudah periksa dengan bidan kampung makanya melahirkan juga sekalian sama bidan kampung saja, bidan kampung bisa tahu kalau ada apa apa dengan bayi yang akan dilahirkan…”.
Penduduk Desa uring masih percaya dengan dukun dari total 55 responden
sebanyak 50,9% masih menggunakan tenaga penolong persalinan pertama dukun dan
30,9 % karena percaya, 32,7 % karena jaraknya dekat.Selain hal tersebut para tenaga
kesehatan yang jumlahnya sangat sedikit dan jarang ada di puskesmas itulah yang
menjadikan alasan warga enggan memakai jasa bidan atau mantri kesehatan . dari
hasil indepth dengan kepala puskesmas dan bidan setempat karena lokasi Puskesmas
Pembantu ada di lereng bukit yang rawan akan terjadinya longsor dan dari aparat Desa
setempat kurang menyenangkan, maka tenaga kesehatan kalau hari sabtu minggu
akan keluar dari Desa tersebut, Disamping itu masyarakat Desa uring melihat Bidan
kampung di Desa Uring mempunyai cara atau metode tersendiri untuk menolong
persalinan. Cara atau metode tersebut dipelajari secara turun menurun dari ibunya,
neneknya, dan nenek moyangnya, dan lebih anehnya lagi kadang orang mendapat
ilmu atau keahlian menolong persalinan tersebut tidak disadari baru setelah sekian
tahun ibu tersebut tahu bahwa telah mendapatkan ilmu tersebut dan ini tidak bisa
ditolak oleh yang diberi kepercayaaan. Adapun ramuan yang digunakan oleh bidan
kampung untuk menolong persalinan adalah seperti menggunakan kunyit dan minyak
goreng untuk mengurut atau memijat perut ibu hamil, menggunakan semilu untuk
memotong tali pusar bayi.
Ritual penanaman plasenta atau ari ari atau Ni (masyarakat setempat
menyebutnya) masih dikenal. Ni tersebut setelah dicuci bersih oleh bidan kampung
dan dimasukkan dalam sumpit oleh suami dan dikubur di gunung bagi anak yang
berkelamin laki laki. Cara ini menyangkut kepercayaan warga setempat dengan
menanam ni tersebut di gunung akan membuat anak tersebut akan nyaring suaranya
sewaktu membaca alquran namun dalam proses penanaman tersebut tidak boleh
terlalu dalam karena bisa menyebabkan susah bicara. Untuk anak perempuan akan
ditanam dekat tangga yang ada di rumah karena biar nanti kalau sudah besar tidak
43
pergi jauh dari orang tua. Informasi tersebut diperoleh dari suami dalam FGD , secara
detil terungap dalam perkataan berikut.
“…., terus ni atau ari ari yang mencuci bu mantri atau bidan kampung setelah bersih dimasukkan dalam sumpit lalu ditanam di bukit biar suaranya nyaring kalau baca quran untuk anak lelaki, untuk anak perempuan cukup dibawah tangga rumah saja biar kalau pergi tidak jauh jauh”.
Selain pemotongan tali pusat dan penanaman nie ada ritual bayi setelah
dilahirkan segera dibawa ke sungai untuk dimandikan agar bayi tersebut kuat dan
pemberani, apabila ritual tersebut tidak dilakukan maka mereka akan menerima
dampaknya yang bisa mengakibatkan anak anaknya akan nakal atau bandel bahkan
sampai tidak mau membaca alquran, andai hal tersebut terjadi orang tua akan
mendatangi bidan kampung untuk minta doa biar anak tersebut segera berubah,
dengan membawa beras satu bambu serta kain putih 2 meter dan uang sebesar 20.000
sampai 50.000,-, nanti dukun kampung akan membacakan mantra terhadap anak
tersebut sampai pada akhirnya anak tersebut mau membaca alqur’an.
Dalam masyarakat Gayo, permasalahan kesehatan pada umumnya dipercaya
karena adanya pengaruh setan atau magis.Hal ini bisa kita lihat pada pemeriksaan ibu
hamil pada masyarakat setempat pada pemeriksaan ANC mereka tidak lakukan dan hal
ini sangat bertentangan dengan ketentuan bahwa selama hamil harus 4 x melakukan
pemeriksaan, karena pada 3 bulan pertama pemeriksaan kehamilan sangat dibutuhkan
ini untuk mengetahui kondisi janin sehingga apabila janin tidak berkembang atau tidak
bagus tenaga kesehatan akan tahu , karena budaya tersebut ANC pada Puskesmas
Pintu Rime rendah.
Pemahaman masyarakat mengenai kesehatan tersebut berpengaruh pada cara
pengobatan yang dilakukan, yaitu dengan bersifat magis juga untuk mengusir setan
tersebut. Oleh sebab itu, dukun kampung masih mempunyai peranan penting dalam
pengobatan suatu penyakit, termasuk dalam kesehatan ibu dan anak seperti
pengobatan pada masa kehamilan sampai pasca-persalinan.
Masyarakat lebih percaya dengan dukun karena dianggap dukun mempunyai
ilmu spiritual yang tinggi dan tahu pasti kapan bayi akan lahir. Serta bisa membacakan
mantra untuk ibu yang akan melahirkan dan member air Suluh yaitu air yang sudah
44
diberi mantra dan diyakini bisa mempermudah proses kelahiran.Dukun Juga
melakukan pemijitan pada ibu hamil, memberikan mantra-mantra, menolong
persalinan, mencuci Nie/plasenta, tradisi Asapan, memakai tapel, bedak param selama
40 hari (masa nifas), pada saat akan melahirkan suami atau salah satu keluarga akan
memanggil dukun terlebih dahulusebanyak 50,9% responden, namun pada saat
persalinan sebanyak 52% responden tetap mempercayakan persalinan kepada Bidan
puskesmas.
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa masih ada ibu
bersalin di DesaUring yang tidak tahu berapa usia kandunganya sehingga mereka tetap
bekerja di kebun, makanya mereka tidak tahu tanda-tanda persalinan, sehingga masih
banyak ibu bersalin yang melakukan persalinan sendiri tanpa pertolongan bidan Desa
atau bidan kampung atau karena ibu tersebut berada di kebun sehingga sulit untuk
memanggil bidan kampung atau mantri. Hal ini tentu mempunyai dampak yang kurang
baik bagi ibu bersalin tersebut dalam persalinan, apalagi persalinan tersebut adalah
persalinan berisiko tinggi dan bermasalah.Oleh sebab itu, peran tenaga kesehatan dan
pemerintah setempat sangat diperlukan dalam menanam pengetahuan tanda-tanda
persalinan kepada ibu sejak kehamilan.
Masyarakat Desa Uring lebih percaya kepada bidan kampung untuk menolong
persalinan daripada tenaga kesehatan. Oleh sebab itu, peluang bidan kampung untuk
menolong persalinan lebih banyak daripada tenaga kesehatan. Oleh sebab itu, bidan
kampung hendaknya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah setempat.
Perhatian tersebut mungkin dapat dilakukan dengan cara membina dan merangkul
bidan kampung untuk bekerjasama dalam mengatasi permasalahan kehamilan seorang
ibu sampai pasca-persalinan. Menurut pengakuan seorang bidan kampung, dia belum
pernah mendapatkan pembinaan, khususnya tentang persalinan, dari pemerintah
setempat.‘Ilmu’ pertolongan persalinan dia peroleh dari nenek moyangnya secara
turun menurun.Oleh sebab itu, peran pemerintah sangat diperlukan untuk merangkul
para bidan kampung dan dukun kampung selaku orang yang dipercaya oleh
masyarakat setempat untuk menyembuhkan suatu penyakit dan menolong persalinan.
45
Tabel 3.1.10.
Ritual, Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Bersalin di Kecamatan Pining, Tahun 2012
Ritual, tradisi, atau adat tertentu Pantangan/Tabu Anjuran
Dilangkahi 3x oleh suami agar persalinan lebih mudah
Memasukan garam dalam vagina setelah bayi lahir
Minum minyak yang telah didoakan
Menanan ari ari bagi anak lelaki dilaksanakan jauh diatas gunung agar suaranya merdu saat melantunkan ayat quran
Pakai asapan, tampal, bedak param
Berdiri depan pintu
Tidak boleh makan telur
Tidak boleh makan pisang
Tidak boleh makan ikan
Dilarang menyimpan cabe merah di dalam saku
Jangan kena hujan
Dilarang makan terlalu pedas
Minum jamu
Minum air do’a/suluh supaya melahirkan dengan selamat
Makan daun sirih
Banyak berzikir dan istigfar
Sumber: Data Primer
Pasca-Persalinan.Setelah persalinan, ibu nifas di Desa Uring menggunakan api yang
diletakan di belakang punggung ibu hamil yang dikenal dengan istilah bedapuratau nite
dalam masyarakat setempat. Penggunaan api tersebut dipercaya oleh masyarakat
setempat untuk melancarkan darah kotor yang terdapat di punggung ibu hamil. Tradisi
memanaskan ibu nifas dalam rumah adat dengan asap selama 40 hari.Selain
menggunakan api,pada saat niteibu nifas di Desa Uring juga menggunakan ramuan
tradisional yang digunakan di seluruh tubuh berupa param, garam yang dimasukan ke
dalam vagina, dimakan, dan diminum. Ramuan-ramuan tersebut dipercaya oleh
masyarakat setempat untuk menyehatkan badan, menyembuhkan luka dalam, dan
memberi ‘kekuatan’ pada saat bekerja nantinya. Penggunaan ramuan tersebut
menunjukan bagaimana kepedulianmasyarakat setempat terhadap kesehatan seorang
ibu nifas.
Ramuan yang digunakan pada umumnya adalah rempah-rempah dapur seperti kunyit
dan sirih. Ramuan tradisional yang digunakan oleh ibu nifas merupakan ramuan yang
dipelajari secara turun menurun dalam masyarakat Gayo di Desa Uring. Berbagai
pantangan ibu hamil, bersalin dan pasca persalinan bisa kita lihat sebagai berikut:
46
Tabel 3.1.11.
Ritual, Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Pasca Persalinandi Kecamatan Pining Tahun 2012
Ritual, tradisi, atau adat tertentu Pantangan/Tabu Anjuran
Turun Mandi pada bayi
Doa selamatan pada bayi.
Menyediakan dapur kecil
Memakai bedak dan tampal
Ari ari anak perempuan dibawa dideket tangga rumah
Menanam ari ari tidak boleh terlalu dalam
Pemberian nama bayi
Tidak bisa makan telur
Tidak bisa makan pisang
Memotong kambing betina
Tidak boleh masak selama 40 hari
Ibu banyak makan sayuran segar seperti sayur bening agar air susu banyak keluar
Makan ramuan penghangat badan
Potong kambing jantan
Makan dan minum jamu
Sumber: Data Primer
3.1.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan
Pemanfaatan Pelayanan Jampersal
Pengambilan Keputusan Pemilihan Penolong KIA
Pada masyarakat Desa Uring dalam pengambilan keputusan pencarian
pertolongan masih mengandalkan orang tua atau mertua. Hal ini terungkap dari
wawancara dengan bidan koordinator puskesmas sebagai berikut.
“Pengaruh orang tua dalam penentuan penolong persalinan sangat besar, umumnya ketika orang tua menyarankan menggunakan bantuan dukun mereka selalu mengikuti saran tersebut terutama dukunitulah yang menolong bumil ketika dilahirkan, faktor percaya sangat berkembang dalam pemilihan pembantu persalinan. Suami tidak mempunyai kapasitas untuk memberikan keputusan dalam hal penentuan pembantu persalinan”
Peran orang tua atau mertua dalam budaya setempat masih sangat tinggi ini
berkaitan dengan pola tinggal mereka karena apabila seorang anak perempuan sudah
menikah dia akan ikut dengan suami untuk tinggal di keluarga suami.Seorang suami
bapak YT menyatakan hal tersebut dalam FGD sebagai berikut.
“Anak saya nomer 1 sampe dengan 3 lahir pada bidan kampung karena mertua yang menyarankan sedangkan anak yang ke 4 pakai bu mantri (bidan puskesmas) saya sendiri yang mau karena biar dikasih vitamin “
Namun dari data primer survey terhadap responden ibu sebanyak 50,9%
memilih bidan kampung karena merasa aman dan nyaman, sedangkan 30,9% percaya,
47
serta jarak yang dekat sebanyak 32,7 %. Hal ini memperlihatkan bahwa pola pencarian
pertolongan persalinan pada masyarakat setempat masih mengidolakan bidan
kampung karena kepercayaan yang tinggi serta faktor jarak yang dekat. Pada saat
persalinan, sang suami tidak boleh masuk ke dalam ruang bersalin, meskipun hanya
untuk sekedar menemani istrinya. Hanya bidan kampung atau bidan serta pihak
keluarga saudara perempuan yang ada. Keputusan dalam pencarian pertolongan
ditentukan oleh orang tua atau mertua, seorang suami hanya mengikuti saja apa mau
orang tua atau mertua. Mereka akan patuh dengan apa yang di ucapkan oleh mertua
atau orang tua, bahkan untuk menunggu istri pada saat melahirkan saja suami tidak
boleh mendekat karena urusan melahirkan adalah urusan wanita. Para suami ini
menurut saja, karena takut apabila mereka melanggar apa yang disarankan orang tua
nanti akan membuat susah proses kelahiran.
Dukun di Mata Masyarakat
Masyarakat Desa Uring lebih percaya kepada bidan kampung untuk menolong
persalinan daripada tenaga kesehatan. Bidan kampung dianggap lebih tahu tentang
kapan bayi akan lahir seperti yang terungkap dari hasil FGD dengan kelompok suami
yang isterinya tidak memanfaatkan jampersal.
“Istri saya melahirkan dengan bidan kampung karena selain dekat saya lebih percaya dengan bidan kampung, karena bidan kampung tahu kapan bayi akan lahir”
Oleh sebab itu, peluang bidan kampung untuk menolong persalinan lebih banyak
daripada tenaga kesehatan. Maka dari itu, bidan kampung hendaknya mendapatkan
perhatian khusus dari pemerintah setempat dengan melakukan pembinaan dan
merangkul bidan kampung untuk bekerjasama dalam mengatasi permasalahan
kehamilan seorang ibu sampai pasca-persalinan. Menurut pengakuan serangbidan
kampung, dia belum pernah mendapatkan pembinaan, khususnya tentang persalinan,
dari pemerintah setempat.‘Ilmu’ pertolongan persalinan dia peroleh dari nenek
moyangnya secara turun menurun.Oleh sebab itu, peran pemerintah sangat
diperlukan untuk merangkul para bidan kampung dan dukun kampung selaku orang
yang dipercaya oleh masyarakat setempat untuk menyembuhkan suatu penyakit dan
menolong persalinan.
48
Kebiasaan pada masyarakat Desa Uring adalah melahirkan di rumah ini terlihat
dari 55 renponden sebanyak 72,7 % menjawab setuju bahwa proses persalinan di
rumah atau di fasilitas kesehatan sama amannya. Pernyataan ‘melakukan ritual
membuat persalinan selamat’ yang ditanyakan kepada responden menunjukan bahwa
sebanyak 58, 2% menjawab setuju. Serta menganggap ‘kemampuan bidan dan dukun
sama’ sebanyak 80 % menjawab setuju. Masyarakat setempat masih sangat percaya
dengan bidan kampung mereka dengan alasan dekat serta merasa nyaman apabila
menggunakan bidan kampung. Infomasi dari bidan kampung, selama ini sebenarnya
senang menolong persalinan namun kadang ada warga yang kurang berterima kasih
terhadap bidan kampung.
“…Saya senang bisa membantu orang melahirkan namun kadang warga yang saya tolong tidak tahu terima kasih, bahkan sering saya disuruh pulang sendiri tanpa diantar padahal jaraknya sangat jauh….”
Menurut data dari Puskesmas Pintu Rime, saat ini terdapat 5 orang bidan
kampung di 4 Desa di Kecamatan Pining. Satu hal menarik di sini adalah bidan
kampung tersebut keahlianya secara turun temurun dan pada awalnya bidan kampung
ini tidak menyadari kalau mereka ini punya keahlian dalam membantu proses
persalinan.
Bidan kampung atau dukun bersalin ini memiliki posisi dalam masyarakat
setempat sebenarnya kurang begitu dihargai malah sebaliknya itu bisa dilihat dari
wawancara dengan 2 bidan kampung yang ada di Desa Uring dan Desa Gajah mereka
mengeluhkan sifat warga yang kurang berterima kasih. Cara-cara yang digunakan
bidan kampung untuk memberikan pertolongan lebih memanfaatkan alam dan
kemampuan spiritual yang mereka miliki. Dalam prakteknya, bidan kampung
memberikan pertolongan kepada ibu dalam bentuk pijat, air suluh, jamu, bedak,
tampel dan ramuan yang tediri dari jeruk purut, kunyit dan beras.
Dari hasil survei yang dilakukan di Desa Uring, berikut bentuk-bentuk
pelayanan bidan kampung yang dimanfaatkan oleh masyarakat:
49
Tabel 3.1.12.
Jenis Pelayanan Bidan Kampung yang Diterima Masyarakat di Wilayah Kecamatan Pining Tahun 2012
No Jenis Pelayanan Ya Tidak
1 Pijat Ibu 52,70% 47,30%
2 Jamu 61.80% 38.207%
3 Upacara adat tertentu 65.50% 34,50%
4 Perawatan Bayi 81.80% 18.20%
5 Pijat Bayi 18.20% 81.80%
Sumber: Data Primer
Untuk biaya jasa bidan kampung, masyarakat hanya mengeluarkan atau menyediakan
beras sebanyak 1 ruas bambu, gula, kopi, dan kain sepanjang 2 meter. Kain ini bisa
berupa kain kafan atau kain yang lain kemudian uang seadanya diberikan secara
sukarela. Bidan kampung tidak akan meminta bayaran secara langsung kepada
masyarakat yang memanfaatkan jasanya. Akan tetapi masyarakat yang mengerti akan
dengan sukarela memberi uang dan perlengkapan yang sudah disebutkan diatas.
Mereka merasa tidak enak kalau tidak member, apalagi masyarakat setempat masih
percaya apabila bidan kampung ini sakit hati maka leluhurnya akan marah dan bisa
membahayakan anaknya kelak di kemudian hari.
Bidan Dimata Masyarakat
Bidan adalah ujung tombak pertolongan KIA di kecamatan Pining. Peran bidan
sangatlah penting dalam keselamatan ibu dan anak karena mereka mengetahui
bagaimana cara-cara yang tepat untuk melakukan pertolongan KIA secara medis
kepada masyarakat. Pertolongan persalinan oleh bidan terkait dengan ketersediaan
tenaga, saat ini Puskesmas Cirinten telah memiliki tenaga bidan sebanyak 4 orang. Dari
4 orang bidan tersebut, 2 orang bidan ditempatkan di puskesmas Pintu Rime, 1 orang
bidan ditempatkan di pustu dan 1 lainnya ditempatkan di Desa Pining. Secara status
kepegawaian, 2 orang bidan di sudah berstatus sebagai PNS, sedangkan 2 orang bidan
lainnya adalah bidan PTT dan praktek.
50
Dari segi jumlah, ketersediaan bidan di Pining tidak cukup untuk dapat
melayani masyarakat Desa Desa yang ada di wilayah Pining, apalagi ada 2 bidan yang
jarang datang ke Puskesmas Pintu Rime karena memang domisilinya di Blangkejeren.
Sampai saat ini hanya 2 Desa yang sudah memiliki bidan, sedangkan 2 Desa lainnya
tidak. Warga di 4 Desa yang tidak memiliki bidan harus rela untuk menempuh
perjalanan yang jauh untuk mendapatkan pertolongan dari bidan, baik dari bidan di
Desa terdekat atau bidan dari Pustu atau Puskesmas. Sedangkan seperti yang telah
dikemukakan sebelumnya, kondisi geografis Pining tidaklah mudah untuk ditempuh
oleh warga.
Seorang bidan yang ditempatkan di Desa Uring tidak tinggal di daerah tersebut
karena alasan keamanan mereka dengan perawat gigi dan tenaga perawat lainya
tinggal di Desa Pepelah. Mereka tinggal di Pustu namun agak jauh dengan pemukiman
penduduk. Dalam kesehariannya mereka berbaur dan berinteraksi dengan warga
setempat, bahkan mereka belajar bahasa setempat. Mereka juga ikut belajar membuat
tikar anyaman dari daun pandan berduri yang banyak tumbuh di sekitar Desa uring.
Singkatnya, mereka menyatu dengan masyarakat. Hal ini adalah modal yang penting di
mana kepercayaan masyarakat akan terbangun lebih baik apabila mereka mengenal
siapa pelaku penolongnya.
Bidan di Desa Uring masih muda, berusia sekitar 23 tahun. Selain itu, mereka
juga masih berstatu lajang atau belum menikah. Ini merupakan sebuah tantangan
tersendiri untuk bidan. Pertanyaan yang sering muncul kemudian adalah: apakah
mereka sudah cukup berpengalaman dalam menolong menolong ibu yang bersalin?
Kalau mereka sendiri belum pernah melahirkan, bagaimana mereka bisa menolong
orang melahirkan? Itulah tantangan berat yang harus dihadapi bidan-bidan belia ini
dalam mengupayakan pertolongan kepada masyarakat. Mereka harus memperoleh
kepercayaan masyarakat dengan usia dan keyakinan yang berbeda namun semangat
bidan tersebut patut mendapat apresiasi yang tinggi, maka dari Dinas bidan tersebut
menjadi Bidan Teladan satu Kabupaten Gayo Lues. Bidan ini walaupun berkeyakinan
berbeda mereka mau merubah penampilan demi bisa diterima oleh masyarakt
setempat.
51
“Bidannya cantik dan baik mau kalau dipanggil ke rumah , gesit dan yang penting dia ngerti bahasa gayo hehehehe”
Warga setempat mengganggap bahwa Bidan yang ada Puskesmas Pintu Rime harus
dipertahankan karena disamping cantik bidan tersebut lincah selalu cepat kalau
dipanggil ke rumah.
Hubungan Antara Dukun dan Bidan
Kemitraan antara dukun dan bidan terjalin belum lama. Menurut pembicaraan
dengan bidan puskesmas dan bidan kampung, maka kemitraan terbentuk. Sudah
hampir 2 tahun ini bidan kampung kalau ada ibu yang mau melahirkan akan
memanggil bidan puskesmas untuk bersama-sama menolong persalinan.
“orang sini kalau melahirkan harus ada bidan kampung karena kepercayaannya kebetulan neneknya orang pintar jadi kira-kira tujuannya apa. Kubilangkan pa. Sebetulnya ngga da kaitan dengan seperti itu Dia panggil neneknya panggil bidan kampung konon kabarnya ada kakeknya masuk ke tubuh ibu yang sudah melahirkan”
Seperti diterangkan di atas, dukun mempunyai posisi yang strategis dalam
kehidupan masyarakat. Mereka telah mendapatkan kepercayaan masyarakat sebelum
bidan-bidan datang di Pintu Rime. Bentuk kerja sama antara dukun dengan bidan ini
sampai saat ini masih bersifat kekeluargaan saja. Belum ada sebuah kesepakatan
bersama, atau MoU yang diberlakukan untuk mendukung kerja sama antara dukun
dengan bidan. Dalam prakteknya bidan dapat merangkul dukun untuk dapat bekerja
sama dengan melakukan pendekatan secara personal. Mereka membuat pendekatan
secara intens dan berusaha membuat hubungan baik dengan para dukun. Dari
hubungan baik yang terjalin inilah kerja sama antara bidan dan dukun dapat berjalan.
Namun, meskipun kerja sama yang dilakukan oleh bidan dan dukun di sini bersifat
kekeluargaan, hal ini tidak serta merta berarti tidak ada hubungan transaksional
diantara keduanya.
Dalam hal pemberian pertolongan KIA—terutama pada saat persalinan—yang
diselenggarakan secara bersama antara dukun dengan bidan terdapat pembagian
peran yang jelas. Bidan berperan dalam memberikan pertolongan secara medis kepada
Ibu, sedangkan bidan kampung berperan dalam fungsi pengawasan, penjagaan, dan
perawatan ibu pasca persalinan. Dalam fungsi pengawasannya, bidan kampung
52
berperan dalam mengawasi ibu semenjak masa kehamilan sampai saat-saat menjelang
persalinan. Dalam hal ini, biasanya bidan kampung adalah orang yang menghubungi
bidan ketika ada seorang ibu dalam lingkungannya hendak melahirkan. Mereka
biasanya hadir di lokasi di mana ibu akan melahirkan lebih dulu daripada bidan.
Setelah bidan hadir dan pertolongan persalinan telah selesai dilakukan, biasanya
dukun akan tinggal untuk merawat ibu. Pada fase ini dukun biasanya meberi pelayanan
untuk ibu dan bayi baru lahir. Seperti yang dikatakan oleh seorang bidan berikut:
“kalau bidan kampung sekedar baca doanya. Dan makein kunyit dan beras serta memandikan bayinya apabila sudah keluar”
Pada fase ini, dukun juga menjalankan fungsinya sebagai aktor yang
menjalankan adat dan tradisi yang masih dipercaya oleh masyarakat setempat dalam
bidang KIA. Di sini pelaksanaan prosesi-prosesi adat seperti yang teah dijelaskan di atas
dijalankan oleh ibu dengan bantuan seorang bidan kampung. Jika dilihat memang pola
kerja sama antara dukun dan bidan dalam hal ini—lepas dari hubungan
transaksional—merupakan sebuah sinergi antara praktek pertolongan modern (baca:
medis) dengan praktek pertolongan tradisional dengan memanfaatkan adat dan tradisi
yang telah dikenal oleh masyarakat. Pembagian peran dan fungsi diantara keduanya
dapat dilihat secara jelas.
3.1.5.Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal
Sosialisasi Jampersal
Sosialisasi jampersal sudah dilaksanakan sesuai dengan juknis yang diberikan dari
kemenkes, namun karena Kecamatan Pining merupakan daerah yang sulit dari sisi
geografi untuk itu Bupatimengeluarkan SK yang menerangkan bahwa pelaksanaan
jampersal bisa dilakukan dirumah dengan tetap menggunakan Bidan sebagai penolong
persalinan.
“Sosialisasi dilakukan dengan melibatkan bidan Desa – dan bidan dilingkungan Kabupaten Gayo lues”
Sedangkan pada tingkat Kepala Puskesmas melakukan sosialisasi lewat bidan bidan
yang berada dibawah wilayah kerja Puskesmas Pintu Rime.
“Sudah dilakukan pertemuan lintas sektor, antara lain sudah diadakan pertemuan sengan kecamatan dan lurah sehingga dianggap informasi tersebut sudah disampaikan kepada masyarakat di bawah,sedangkan dari bidan Desamelakukan
53
sosialisasi kepada masyarakat melalui posyandu, dan posyandu ini juga dilaksanakan sedikit banyak melalui peran kepala Desa”
Pada tingkat puskesmas sudah dilaksanakan sosialisasi dengan melibatkan para
kader di posyandu dan kader ini diharapkan akan menyampaikan informasi tersebut
melalui kecik di masing masing Desa.
Pelaksanaan Program jampersal
Sejak tahun 2011 jampersal pada Puskesmas Pintu Rime sudah dijalankan namun
untuk pesertanya sangat minim karena akses ke pelayanan kesehatan yang sulit serta
masyarakatnya kurang perduli dengan kesehatan. Pada masyarakat setempat masih
banyak yang melakukan persalinan lewat Bidan kampung, pelaksanaan jampersal di
lakukan di rumah penduduk namun apabila ada tindakan akan segera dirujuk ke
Blangkejeren , di puskesmas selama ini tidak pernah digunakan untuk persalinan . Pada
lokasi penelitian di Puskesmas Pintu Rime Desa Uring persalinan tidak dilakukan di
puskesmas dan di beberapa pustu karena keterbatasan fasilitas alat bantu persalinan,
sehingga yang mengalami komplikasi atau masalah akan segera dirujuk ke
Blangkejeren. Namun ada kebiasaan yang terjadi di daerah setempat adalah
masyarakat yang akan melahirkan sebelum ada tanda tanda mau melahirkan sudah
langsung memanggil tenaga kesehatan untuk diantar ke RS padahal baru sakit
perutnya saja, ini yang dikeluhkan oleh tenaga kesehatan.
Pengelolaan Dana Jampersal di Tingkat Puskesmas
Masyarakat Desa uring yang melakukan pemeriksaan kehamilan, persalinan dan
pemeriksaan nifas di tenaga kesehatan, sebagian besar mempergunakan uang pribadi
untuk membayar pelayanan tersebut. Dapat kita lihat sebagai berikut:
Kehamilan
Pada mayarakat Desa Uring, untuk memperoleh pelayanan kehamilan. Hal ini
dapat dilihat dari penggunaan uang pribadi dalam membayar pelayanan persalinan
(63,6%), mempergunaan dana jampersal (20%), jamkesmas/ jamkeda (16,4%). Dari
hasil tersebut bisa dilihat masyarakat Kecamatan Pining bahwa penggunaan dana
pribadi masih tinggi untuk biaya pemeriksaa kehamilan .
54
Persalinan
Masyarakat Pining belum menganggap tenaga kesehatan sebagai penolong
persalinan terakhir bagi persalinan, hal ini dapat dilihat kesadaran masyarakat
membayar pelayanan persalinan dengan uang pribadi (80%), menggunakan jampersal
(12,7%), jamkesmas dan jamkesda (7,3%). Mereka belum sadar untuk
mempergunakan bantuan nakes mereka lebih nyaman.
Nifas
Sebagian besar masyarakat yang memanfaatkan pelayanan pemeriksaan nifas
melakukan pembayaran dengan uang pribadi sebesar (54,5%), dengan
mempergunakan jampersal ( 7,3%), dengan jamkesmas/jamkesda (7,3%) Mereka tetap
mengeluarkan dana atau biaya sendiri untuk pelayanan nifas masih tertinggi.
3.1.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Program Jampersal
Kesehatan suatu masyarakat dapat dipengaruhi oleh kebudayaan yang
dimilikinya.Dengan kata lain, pemahaman kesehatan dalam suatu masyarakat
dipengaruhi oleh kebudayaan yang telah mereka pelajari secara turun menurun dari
generasi ke generasi. Sementara itu, setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang
berbeda dengan masyarakat yang lain. Perbedaan pemahaman kesehatan ini yang
harus kita lihat, budaya setempat bisa mendorong kearah kesehatan yang lebih bagus,
apabila ada budaya yang mengancam kesehatan ada baiknya kita lakukan pendekatan
kepada masyarakat terlebih dahulu. Untuk melihat hambatan dan dukungan serta
harapan masyarakat Desa Uring Kecamatan Pining bisa dilihat dari paparan dibawah ini
Hambatan
Akses jalan. Jalan yang tidak bagus dan kondisi geografisnya yang berbukit bukit
sehingga sulit untuk dilalui, akses jaringan telekomunikasi yang tidak tersedia,
seringnya para ibu berada dilokasi perkebunan pada saat hamil tua sehingga
mempersulit bidan untuk membantu persalinan.
Pendidikan masyarakat sangat rendah. Sebanyak 56,4 % hanya lulus SD, tidak tamat
SD sebanyak 18, 2% , SMA baru 1 tahun berdiri, SMP sudah 2 tahun namun belum
55
pernah ada lulusan. Pendidikan rendah menyulitkan masyarakat memahami informasi
yang diterima khususnya terkait kesehatan.
Fasilitas listrik dan komunikasi. Jaringan listrik baru 1 tahun ini bisa dinikmati warga.
Tidak tersedianya jaringan telekomunikasi sehingga menyulitkan warga dan tenaga
kesehatan untuk berhubungan, seandainya ada ibu yang akan melahirkan akhirnya
pihak keluarga mencari pertolongan ke bidan kampung karena jarak yang dekat.
Tempat tinggal berpindah. Mata Pencaharian/pekerjaan masyarakat setempat
sebanyak 65 % menjadi petani, dan menanam sereh wangi, coklat, kemiri. Suami istri
sering tinggal di kebun dengan mendirikan gubug untuk menjaga kebun kebun
tersebut dari gangguan binatang yang akan merusak tanamanya sehingga mereka
menginap pada gubug tersebut, sampai pernah terjadi melahirkan di kebun dengan
dukun.
Kepercayaan kepda bidan kampung (dukun). Kepercayaan masyarakat masih percaya
dengan dukun dari total 55 responden sebanyak 50,9% masih menggunakan tenaga
penolong persalinan pertama dukun dan 30,9 % karena percaya, 32,7 % karena
jaraknya dekat. Masyarakat lebih percaya dengan dukun karena dianggap dukun
mempunyai ilmu spiritual yang tinggi dan tahu pasti kapan bayi akan lahir. Serta bisa
membacakan mantra untuk ibu yang akan melahirkan dan member air Suluh yaitu air
yang sudah diberi mantra dan diyakini bisa mempermudah proses kelahiran. Dukun
Juga melakukan pemijitan pada ibu hamil, memberikan mantra, menolong persalinan,
mencuci Ni/plasenta, tradisi Asapan, memakai tapel, bedak param selama 40 hari
(masa nifas), pada saat akan melahirkan suami atau salah satu keluarga akan
memanggil dukun terlebih dahulu sebanyak 50,9% responden, namun pada saat
persalinan sebanyak 52% responden tetap mempercayakan persalinan kepada Bidan
puskesmas.
Tradisi dan kepercayaan. Masyarakat masih percaya dan melaksanakan tradisi antara
lain: Berdiri depan pintu; Tidak boleh makan telur; Tidak boleh makan pisang; Tidak
boleh makan ikan; Dilarang menyimpan cabe merah di dalam saku; Jangan kena hujan;
Dilarang makan terlalu pedas;Memasukkan garam pada vagina setelah bayi dan
placenta keluar dan ini diyakini warga setempat bisa menyembuhkan luka di dalam,
Memotong kambing betina; Tidak boleh masak selama 40 hari; Turun Mandi pada bayi
maksudnya setelah bayi berusia 3 hari akan dibuatkan ritual mandi di sungai dengan
56
upacara yang dipimpin oleh dukun bayi; Doa selamatan pada bayi; Keperluan ibu,
dilakukan tradisi Nite: Menyediakan dapur kecil di kamar untuk memberi kehangatan
pada ibu; Memakai bedak dan tampal; menanam Ari ari anak perempuan dibawa
dideket tangga rumah, anak lelaki jauh di atas gunung karena diyakini akan membuat
anak tersebut fasih dalam membaca quran,Menanam ari ari tidak boleh terlalu dalam;
Pemberian nama bayi.
Kepercayaan terhadap gaib. Menyembunyikan kehamilan karena takut terhadap hal
hal diluar akal sehat mereka masih percaya dengannjema / istilah pendududuk
setempat menyebut manusia beracun
Bidan tidak tersedia. Tenaga kesehatan atau bidan menurut warga jarang ada
ditempat pernah selama 1 minggu tidak berada di Puskesmas tapi Blangkejeren dan
bidan Desa tidak tersedia di setiap Desa, dari 4 Desa yang ada di wilayah kecamatan
Pining hanya di Desa Gajah yang tersedia Bidanya.Warga atau penduduk setempat
kurang menjaga keamanan tenaga kesehatan yang ada dari Kecik yang memang mau
berbuat asusila.
Dukungan
Interaksi sosial. Hubungan yang cukup baik terjalin antara bidan dengan masyarakat,
karena Bidan tersebut juga kebetulan sangat perhatian dengan warga. Bidan
mendekatkan diri, dengan berbaur melakukan kegiatan yang dilakukan masyarakat
seperti belajar membuat anyaman dari daun pandan berduri serta mempelajari bahasa
Gayo. Alhasil masyarakat setempat sudah mulai bisa percaya dengan adanya bidan di
daerah tersebut.
Kemitraan bidan dan dukun cukup baik. Hubungan kerja dan hubungan sosial dukun-
bidan berjalan dengan saling menghormati. Tidak ada persaingan terutama dukun yang
selalu menganjurkan agar juga memanggil bidan dalam setiap persalinan begitu juga
sebaliknya apabila bidan yang dipanggil terdahulu untuk menangani persalinan maka
bidan juga akan memanggil dukun untuk menemaninya. Bidan yang ada di wilayah
tersebut sebenarnya berlainan keyakinan dengan warga setempat namun seiring
berjalanya waktu warga sudah bisa menerima kehadiran bidan tersebut walaupun
keyakinan yang berbeda
57
Penyediaan sarana transportasi puskesmas. Kepedulian kepala puskesmas terhadap
kebutuhan masyarakat sangat mendukung akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan. Ada mobil Puskesmas yang bisa dipakai 24 jam dan kepala puskesmas siap
mengantar walau jaraknya cukup jauh.
Bidan kampung merasa kurag dihargai. Bidan kampung merasa tidak dihargai karena
sudah menolong persalinan namun tidak diberikan upah yang layak, bukan hanya upah
saja yg tidak diberikan namun seringkali ucapan terima kasih juga tidak. Keadaan ini di
satu sisi membawa keuntungan karena dapat menjadi pendorong tidak ada lagi
masyarakat yang ingin menjadi bidan kampong sehingga suatu saat tidak lagi terjadi
regenerasi bidan kampong.
Harapan
Masyarakat sebenarnya sudah menyadari kemampuan bidan dalam menolong
persalinan. Oleh karena persalinan adalah proses yang tidak dapat dipastikan secara
tepat waktunya, maka harapan masyarakat adalah tenaga kesehatan selalu ada
ditempat atau di Puskesmas. Selama ini yang menjadikan keluhan warga bahwa tenaga
bidan yang ada di Puskesmas setiap sabtu dan minggu mereka jarang ada dilokasi
padahal ibu hamil yang mau melakukan pemeriksaan dan persalinan tidak mengenal
waktu.Keadaan tersebut perlu ada reward dan sanksi terhadap tenaga kesehatan yang
ada di lokasi karena pada Puskesmas Pintu Rime tenaga kesehatan yang tidak ada di
tempat karena memang tenaga tersebut tidak tinggal di daerah tersebut .
Penyediaan fasilitas umum untuk memudahkan akses dan komunikasi antar warga dan
dengan petugas kesehatan. Jalanan yang belum teraspal harusnya segera di perbaiki
karena akses yang sulit sehingga masyarakat mengalami kemudahan untuk mencapai
fasilitas kesehatan. Jaringan telephon seharusnya ada untuk mempurmudah
komunikasi warga dan bidan kesehatan, bidan kesehatan dengan bidan kampung.
Disamping harapan masyarakat, juga diperoleh pernyataan yang merupakan harapan
tenaga kesehatan. Peralatan pada Puskesmas ada baiknya dilengkapi misalnya
peralatan untuk pelayanan persalinan, karena peralatan yang tersedia di Puskesmas
kurang memadai. Keamanan yang kurang memadai di masyarakat menyebabkan
58
petugas kurang merasa nyaman tinggal di lingungan masyarakat. Keamanan untuk
pegawai Puskesmas seharusnya dijamin oleh pihak kelurahan dan warga pada
khususnya.
Jampersal menjamin pelayanan KIA bagi masyarakat membutuhkan proses tersendiri
khususnya dalam pembiayaan. Proses klaim jangan terlalu lama dan formulir yang
harus diisi tidak usah berlembar lembar hal ini yang membuat bidan kerepotan dan
makan waktu. Harapan bidan bahwa ada prosedur yang lebih sederhana.
Pemahaman masyarakat yang hanya mengetahui tentang pelayanan gratis, membuat
pemanfaatan jampersal kurang optimal. Sosialisasi Jampersal seharusnya langsung ke
masyarakat melalui lintas sektor antar aparat Desa dan warga . Pelibata lintas sector
dengan koordinasi pihak puskesmas penting dalam perluasan sosialisasi jampersal.
59
3.2. Puskesmas Lampaseh Kota, Kota Banda Aceh
3.2.1. Gambaran Umum Kota Banda Aceh
Kota Banda Aceh yang merupakan ibu kota Propinsi Aceh, terletak antara 05,30 –
05,35 Lintang Utara dan 95,30 – 99,16 Bujur Timur dengan ketinggian wilayah kota
antara 0,80 m – 5,0 m di atas permukaan laut. Kota Banda Aceh berbatasan dengan :
Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka
Sebelah Selatan dan Timur berbatasan dengan Kab.Aceh Besar.
Sebelah Barat berbatasan dengan Samudra Indonesia.
Kota Banda Aceh memiliki 9 kecamatan dengan 90 Gampong, dengan luas
wilayah 61,36 km2. Wilayah terluas adalah Kecamatan Syiah Kuala dengan luas
mencapai 14,24 km2 dan wilayah dengan luas terkecil adalah Kecamatan Jaya Baru
dengan luas 3,78 km2. Jumlah penduduk Kota Banda Aceh tahun 2011 adalah 228.562
jiwa, yang terdiri dari 117.732 jiwa laki-laki dan 110.830 jiwa perempuan. Tingkat
kepadatan penduduk mencapai 3.724 jiwa/km2, dengan tingkat kepadatan penduduk
tertinggi di Kecamatan Baiturrahman sebesar 6.844 jiwa/km2, sedangkan yang
terendah adalah di Kecamatan Kuta Raja sebesar 2.084 jiwa/km2.
Gambar 3.2.1. Peta Kota Banda Aceh
60
Derajat Kesehatan Masyarakat Banda Aceh
Gambaran perkembangan derajat keehatan masyarakat dapat dilihat dari
kejadian kematian dalam masyarakat. Kejadian kematian masyarakat juga dapat
dijadikan indikator dalam penilaian keberhasilan pelayanan kesehatan dan program
pembangunan kesehatan lainnya. Angka Kematian Bayi (AKB) di Kota Banda Aceh pada
tahun 2011 sebesar 2 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan tahun 2010 sebesar 6 per
1000 kelahiran hidup berarti telah terjadi penurunan yang cukup tinggi. Ada banyak
faktor yang mempengaruhi AKB, namun tidak mudah untuk menemukan faktor yang
paling dominan. Tersedianya berbagai fasilitas, aksesibilitas dan pelayanan kesehatan
dengan tenaga medis yang trampil serta kesediaan masyarakat untuk merubah prilaku
kehidupan dari tradisional menuju ke norma kehidupan modern dalam bidang
kesehatan merupakan faktor yang amat berpengaruh terhadap tingkat AKB. Kematian
Bayi Tertinggi sebesar 2 per 1000 kelahiran hidup terdapat di puskesmas Meuraxa,
sedangkan 6 puskesmas lainnya melaporkan tidak ada kematian Bayi pada tahun 2011.
Angka Kematian Ibu (AKI) pada tahun 2011 di Kota Banda Aceh adalah 104 per
100.000 kelahiran hidup. Satu kejadian penurunan Angka Kematian Ibu pada tahun
2010 sebesar 23 per 100.000 kelahiran hidup, namun pada tahun 2011 kembali terjadi
peningkatan Angka Kematian Ibu menjadi sebesar 104 per 100.000 kelahiran hidup.
Penyebab meningkatnya AKI pada tahun 2011 disebabkan karena beberapa penyebab
yaitu eklamsia, pendarahan dan infeksi.
Status gizi masyarakat dapat diukur melalui beberapa indikator, antara lain
BBLR, status Gizi dan Tinggi Badan Anak Baru Lahir (TB-ABS). Status gizi balita
merupakan salah satu indikator yang mengambarkan tingkat kesejahteraan
masyarakat, cara penilaian status gizi balita adalah dengan pengukuran antropometri
yang mempergunakan indeks Berat Badan menurut umur.
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR, kurang dari 2.500 gram) juga merupakan
salah satu indikator utama yang berpengaruh terhadap kematian perinatal dan
noenatal. Pada tahun 2011 dilaporkan ada 2 bayi yang lahir dengan kasus BBLR di kota
Banda Aceh.
61
Upaya Kesehatan Ibu dan Anak
Upaya pelayanan kesehatan dasar merupakan langkah awal yang sangat
penting dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Pemberian
kesehatan dasar secara cepat dan tepat diharpkan sebagian besar masalah kesehatan
masyarakat dapat diatasi. Jenis pelayanan kesehatan dasar yang dilaksanakan oleh
fasilitas pelayanan kesehatan, sebagai berikut:
Pelayanan Ibu Hamil K-1 dan K-4.Pelayanan antenatal merupakan pelayanan
kesehatan oleh tenaga kesehatan profesional (dokter spesialis, dokter umum, bidan
dan perawat) kepada ibu hamil selama masa kehamilan. Cakupan K-1 merupakan
gambaran besaran ibu hamil yang telah melakukan pelayanan kunjungan pertama ke
fasilitas pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pelayanan antenatal. Dari 5.407
bumil, diketahui sebesar 5.378 bumil mendapat pelayanan K-1. (99,5). Dari 5.407
bumil yang mendapatkan pelayanan K-4 sebesar 4.935 ( 91,3 %). Target SPM (Standar
Pelayanan Maksimal untuk K-4 di kota Banda Aceh adalah 87 %. (sumber: Kesmas
Dinkes Kota Banda Aceh 2011).
Jumlah ibu hamil di kota Banda Aceh (2011) sebesar 5.407, dan yang dapat
tablet Fe sebesar 4.897 bumil. Pemberian tablet ini mencakup tablet Fe 1 dan tablet
Fe.3 ibu hamil.
Pertolongan Persalinan. Komplikasi dan kematian ibu melahirkan dan bayi
yang baru lahir sebagian besar terjadi pada masa sekitar persalinan. Kondisi ini
disebabkan pertolongan yang tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional
(bidan). Cakupan persalinan dengan pertolongan tenaga kesehatan memperlihatkan
adanya peningkatan yang cukup berarti dari 68,76 % tahun 2007 menjadi 89,7 % tahun
2011. Dari 5.117 ibu bersalin, 4.590 ibu ditolong oleh tenaga kesehatan (Bidang P2PL,
Dinas Kesehatan 2011).
Dalam memberikan pelayanan khususnya oleh bidan di desa, beberapa ibu
hamil di antaranya tergolong resiko tinggi atau mengalami komplikasi sebesar 103
bumil. Jumlah tersebut berhasil di tangani dengan baik keseluruhannya, dengan
keberhasilan ini diharapkan ibu dapat melahirkan dengan selamat.
62
KunjunganNifas dan Neonatus. Cakupan ibu melahirkan dan yang mendapat
kunjungan petugas/pelayanan dari petugas kesehatan pada masa nifas. Dari 5.117 ibu
nifas, yang mendapat pelayanan oleh tenaga kesehatan sebesar 4.548 ibu ( 88,9 %).
Dari data ketahui bahwa jumlah bayi baru lahir hidup sebesar4.828 jiwa, untuk KN-1
sebesa 4.530 jiwa (98,3%). Sedangkan pada kunjungan Neonatus lengkap (KN-4)
sebesar 4.213 jiwa. Sehingga cakupan kunjungan neonatus lengkap adalah sebesar
87,3 %.
Diketahui bahwa jumlah bayi lahir hidup pada tahun 2011 sebesar 4.828 jiwa.
Yang telah mendapatkan DPT1 +HB.1 sebesar 4.574 (94,7%); yang mendapatkan
DPT.3+ HB.3 sebesar 4.377 jiwa (90,7 %) dan yang mendapatkan campak sebesar 4.258
jiwa (88,2%). Cakupan untuk imunisasi BCG sebesar 4.757 (98,5%), dan Polio-3 sebesar
4.467 (92,5%).
3.1.2. Gambaran UmumPuskesmas Lampaseh Kota
Secara geografis Kecamatan Kutaraja berada 0,5 meter diatas permukaan laut
dengan ibukota Kecamatan adalah Kelurahan Keudah. Luas Kecamatan mencapai
5,377 km² yang terbagi kedalam empat kelurahan dan dua gampong, dengan batas-
batas wilayah:
Utara berbatasan dengan Selat Malaka.
Selatan berbatasan dengan Kecamatan Baiturrahman
Barat berbatasan dengan Kecamatan Kuta Alam
Timur berbatasan dengan Kecamatan Meuraxa
Wilayah kerja Puskesmas Lampaseh seluas 5,377 km² yang meliputi 6 (enam)
desa yang terdiri dari 29 (dua puluh sembilan) dusun, dengan jumlah penduduk 10.424
jiwa yang terdiri dari laki-laki 5.526 jiwa dan perempuan 4.898 jiwa. Jumlah penduduk
terbanyak terdapat di Merduati: 2.901 jiwa dan jumlah penduduk paling sedikit
terdapat di Gampong Pande: 631 jiwa.
63
Tabel 3.2.1
Jumlah Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Lampaseh Tahun 2011
NO Nama Desa Luas ( km2 ) Laki-laki Perempuan Jumlah
1 Keudah 0,32 722 625 1347
2 Lampaseh Kota 0,25 886 822 1708
3 Merduati 0,278 1531 1370 2901
4 Peulanggahan 0,5225 1083 936 2019
5 Gampong Jawa 1,506 978 840 1818
6 Gampong Pande 2,5005 326 305 631
Jumlah 5.526 4.898 10.424
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh, Tahun 2011
Pendidikan merupakan cara untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat
dalam berbagai bidang keilmuan sehingga diharapkan akan mendukung perilaku
positip di berbagai bidang. Ketersediaan sarana penddikan di wilayah puskesmas
Lampaseh pada tahun 2011 cukup menjanjikan. Seluruh jenjang pendidikan mulai
Taman Kanak-kanak (TK) sampai dengan Perguruan Tinggi tersedia. Terdapat 4 TK, 5
Sekolah Dasar (SD), 1 Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), 2 Sekolah Menengah
Pertama (SMP), 1 Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN ), 2 Sekolah Menengah Atas
(SMA), 1 Madrasah Aliyah Negeri dan 3 Perguruan Tinggi.
Puskesmas Lampaseh memiliki luas bangunan 200 m² dengan luas tanah 450
m², yang terdiri dari:
a. Bangunan induk sebanyak 1 (satu) unit
b. Perumahan dokter sebanyak 1 (satu) unit
c. Perumahan paramedis sebanyak 1 (satu) unit
Agar jangkauan pelayanan Puskesmas lebih luas dan merata hingga keseluruh
wilayah kerjanya. Puskesmas Lampaseh memiliki fasilitas penunjang berupa :
1. Puskesmas Pembantu, sebanyak 2 (dua) unit
Puskesmas Lampaseh memiliki 2 Puskesmas Pembantu, yaitu Puskesmas
Pembantu Peulanggahan dan Puskesmas Pembantu Gampong Pande.
2. Kendaraan sebanyak 10(sepuluh) Unit
64
2 (dua) unit kendaraan roda empat (Ambulance)
8(delapan) unit kendaraan roda dua, 7 (enam) unit di Puskesmas dan 1 unit di
Pustu
Jumlah tenaga kesehatan yang ada di puskesmas Lampaseh berjumlah 40 orang
tersebar di puskesmas induk, dan 2 (dua)puskesmas pembantu. Secara terperinci,
ketenagaan puskesmas Lampaseh seperti yang terlihat dalam tabel 3.2.2 berikut ini:
Tabel 3.2.2
Data Jumlah Tenaga Puskesmas Lampaseh Tahun 2011
NO Tenaga Kesehatan Pusk. Induk Pustu
TOTAL PNS PTT BAKTI PNS PTT BAKTI
1 Dokter Umum 3 0 1 0 0 0 4
2 Dokter Gigi 1 0 0 0 0 0 1
3 AKPER 2 0 0 0 0 0 2
4 AKL 0 0 0 0 0 0 0
5 AKZI 1 0 0 0 0 0 1
6 Bidan 6 0 0 0 0 0 6
7 Bidan Desa 0 5 0 0 0 0 5
8 SPRG 1 0 0 0 0 0 1
9 SPPH 0 0 0 0 0 0 0
10 SMF 2 0 0 0 0 0 2
11 AAK 1 0 0 0 0 0 1
12 SMAK 1 0 0 0 0 0 1
13 SPK 3 0 0 1 0 0 4
14 AKBID 3 0 0 2 0 0 5
15 AKG 1 0 0 0 0 0 1
16 SKM 4 0 0 0 0 0 4
17 SMU 0 0 1 0 0 0 1
18 SD 1 0 0 0 0 0 1
JUMLAH 30 5 2 3 0 0 40
Sumber : Data Dasar Puskesmas Lampaseh 2011
Kegiatan Kesehatan Ibu dan Anak di Puskesmas Lampaseh Kota
Upaya kesehatan ibu dan anak merupakan upaya bidang kesehatan yang
menyangkut pelayanan dan pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, ibu menyusui, bayi,
anak balita dan anak prasekolah. Termasuk pula pendidikan kesehatan kepada
masyarakat serta pembinaan kesehatan anak ditaman kanak-kanak.Tujuan program
65
KIA adalah tercapainya kemampuan hidup sehat melalui peningkatan derajat
kesehatan yang optimal bagi ibu dan keluarga untuk menuju Norma Keluarga Kecil
Bahagia Sejahtera (NKKBS) serta meningkatnya derajat kesehatan anak untuk
menjamin proses tumbuh kembang optimal yang merupakan landasan bagi
peningkatan kualitas manusia seutuhnya.
Adapun kegiatan KIA pada tahun 2011 yang telah dilaksanakan di puskemas
Lampaseh untuk mencapai tujuan tersebut diatas adalah sebagai berikut:
a. KIA didalam gedung
- Pemeriksaan ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan balita.
- Pemberian imunisasi terhadap ibu dan balita. (63,9%)
- Penyuluhan gizi setiap kunjungan ibu hamil dan balita.
- Pemberian Vitamin A (76,46%) dan dan Tablet besi dengan bekerja sama
dengan Usaha Peningkatan Gizi. (88,63%)
- Pendektesian dan pemeliharaan ibu hamil dan balita beresiko tinggi
- Pencatatan dan pelaporan
b. KIA diluar gedung (Posyandu) kegiatan yang dilaksanakan :
- Penyuluhan bagi ibu hamil, ibu bersalin dan ibu menyusui
- Pemeriksaan bagi ibu hamil, ibu bersalin dan ibu menyusui
- Pemberian imunisasi TT
- Pemberian tablet besi (Fe) bekerja sama dengan usaha peningkatan gizi.
- Pembinaan kader posyandu.
3.2.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak
Nilai dan Kepercayaan terkait dengan Kesehatan Ibu dan Anak
Kehamilan. Kehamilan merupakan suatu masa yang dilalui seseorang dalam
perjalanan hidupnya. Pada saat hamil biasanya seorang wanita akan menjaga dengan
baik kehamilan yang dialaminya. Banyak budaya yang mengharuskan seorang wanita
66
hamil untuk menjaga bayi yang dikandungnya agar bayi tetap sehat. Ada beberapa
kepercayaan masyarakat bahwa seorang wanita yang sedang hamil tidak diperboleh
untuk keluar malam. Seorang yang sedang hamil juga diharapkan dapat menjaga
makanan dengan pengertian apa yang boleh dimakan dan mana yang dilarang untuk
dikonsumsi pada saat hamil seperti makanan tape, durian , nenas. Selain pantangan
terhadap beberapa jenis makanan, ada juga tradisi yang dijalankan masyarakat
terutama wanita yang sedang hamil bila mempergunakan kerudung harus menutupi
perutnya. Tujuannya adalah menutupi rasa malu karena kehamilannya diketahui
banyak orang. Tradisi ini masih ada dilakukan oleh masyarakat di pinggiran kota Banda
Aceh.
Walaupun mereka sudah hidup dan menetap di kota besar, ternyata masih ada
beberapa wanita hamil dan keluarganya tetap memiliki sebuah keyakinan akan adanya
tradisi yang harus dijalankan, sebagaimana masyarakat lainnya, yaitu upacara 7
bulanan. Ritual seperti ini tetap dijalankan karena mereka yakin bila tidak dilakukan
akan menimbulkan dampak bagi anak yang dikandungnya. Pada umumnya mereka
tidak mengetahui pasti dan mereka hanya mengatakan bahwa tradisi ini sudah
dilakukan sejak dulu.
Sebuah tradisi yang masih dimiliki dan dilakukan oleh masyarakat di kota Banda
Aceh adalah bila seorang wanita hamil anak pertama, maka sudah menjadi adat bagi
mertua/maktuan dari pihak suami mempersiapkan untuk membawa/mengantarkan
nasi hamil kepada menantunya. Acarabawa nasi inidisebut ba bu atau mee bu. Tujuan
tradisi ini dilaksanakan dalam rangka menyambut sang cucu dengan melampiaskan
rasa suka cita.Nasi yang diantar biasanya dibungkus dengan daun pisang muda
berbentuk piramid, namun ada juga sebagian masyarakat yang mempergunakan daun
pisang tua.
Ada sebuah mitos dalam masyarakar Aceh kelak apabila anak telah lahir maka
akan terdapat tompel pada bagian badannya. Bawaan makanan selain nasi, juga
terdapat lauk pauk daging dan buah-buahan sebagai kawan nasi. Barang ini
dimasukkan dalam sebuah wadah/itang atau kateng. Idang ini diantar kepada pihak
menantu perempuan oleh pihak kawom atau kerabat dan orang yang berdekatan
tempat tinggal.
67
Upacara ba bu atau meunieum berlangsung 2 kali. Pada ba bu pertama disertai
buah-buahan pada saat usia kehamilan bulan ke empat sampai bulan ke lima. Acara
kedua berlangsung dari bulan ketujuh sampai bulan kedelapan, namun ada juga
masyarakat yang melakukan hanya satu kali.
“Begini pa, tradisi mengantar nasi biasanya dilakukan dua kali pada masa hamil, tapi ini tidak menjadi keharusan karena ada juga yang hanya melakukan satu kali. Hal ini juga tergantung pada keadaan keuangan dari keluarga ibu yang sedang hamil”.
Nasi yang diantar oleh mertua ini dimakan bersama-sama dalam suasana
kekeluargaan. Ini dimaksudkan bahwa perempuan yang sedang hamil adalah orang
sakit, sehingga harus dibuatkan jamuan makan yang istimewa, dan menurut adat
orang Aceh, perempuan yang lagi hamil harus diberikan makanan yang enak-enak dan
bermanfaat.
Tradisi lain yang dimiliki oleh salah satu masyarakat di Aceh yaitu suku Aneuk
Jamee adalah adat bi bu bidan (adat memberi nasi untuk ibu bidan), tujuan adat ini
adalah seorang anak yang baru menikah dan usia kehamilan sudah 6 – 7 bulan, maka
untuk anak tersebut sudah dicarikanibu bidan untuk membantu proses kelahiran.
Pada upacara kenduri dimaksud kebiasaan masyarakat, ibu bidan akan dijemput oleh
utusan keluarga ke rumah bidan lalu dibawa ke rumah yang melakukan hajatan. Acara
serah terima melewati beberapa persyaratan, antara lain :
1. Pihak keluarga mendatangi ibu bidan dengan membawa tempat sirih (bate ranub)
sebagai penghormatan kepada ibu bidan.
2. Setelah ibu bidan hadir ditempat hajatan, maka keluarga melakukan permoonan
dan menyerahkan anak yang hamil agar diterima oleh bidan sebagai pasiennya.
Persalinan. Persalinan merupakan sebuah masa yang sangat dinantikan oleh
seorang wanita yang sedang hamil, karena anak yang dilahirkan akan dianggap sebagai
penerus keluarga. Pada masyarakat di kota Banda Aceh, kelahiran akan disambut
dengan sebuah kebersamaan, dan kebersamaan ini tidak hanya dirasakan oleh
keluarga tersebut, akan tetapiakan disambut oleh sebagian besar warga masyarakat
yang ada disekitar lingkungan tempat tinggal, tetapi juga oleh anggota keluarga lain
dari tempat berbeda yang masih memiliki hubungan kerabat.
68
Tidak banyak tradisi yang dilakukan pada saat kelahiran, kalupun ada pada
acara seperti tahlilan membaca do’a untuk keselamatan anak dan orang tuanya. Salah
satu tradisi atau kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat berkenaan dengan
kelahiran dan sesuai dengan keyakinan yang dimiliki adalah bayi yang baru dilahirkan
akan digendong oleh bapaknya dan kemudian dibacakan doa di telinga bayi tersebut.
Untuk anak laki-laki disambut dengan azan, sedangkan untuk anak perempuan adalah
qamat. Tujuannya adalah agar anak dikemudian hari menjadi anak yang baik sesuai
harapan orang tuanya.
Teman bayi yang disebut Adoi (ari-ari), dimasukkan ke dalam sebuah periuk
yang bersih dengan disertai aneka bunga dan harum-haruman untuk ditanam disekitar
rumah baik dihalaman, di samping maupun di belakang. Selama satu minggu tempat
yang ditanam ari-ari tersebut dibuatkan api unggun, tujuannya adalah agar
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti adanya orang ilmu hitam yang
memanfaatkan benda tersebut, tangisan bayi di waktu malam dan dari serangan
binatang pemangsa seperti anjing.
Pada saat bayi baru lahir, diadakan pemotongan tali pusar dengan sebilah
sembilu, kemudian diobati dengan obat tradisional seperti arang, kunyit dan air ludah
ranub. Upacara yang berkaitan dengan daur hidup lainnya yang di dalamnya
menggunakan ranub sebagai salah satu medianya adalah upacara antar mengaji.
Pada hari ke tujuh setelah bayi lahir diadakan upacara cukur rambut dan
peucicap, yang terkadang disertai dengan pemberian nama. Acara peucicap dilakukan
dengan cara mengoles manisan pada bibir bayi disertai dengan ucapan “
Bismillahhirahmanirrahim, manislah lidahmu, panjanglah umurmu, muda rejekimu,
taat dan beriman serta terpandang dalam kawom/keluarga”.
Namun demikian ada juga sebagian warga masyarakat yang masih memliki
sebuah tradisi/keyakinan bahwa seorang ibu yang baru melahirkan untuk tidak makan
buah-buahan seperti semangka, ketimun. Mereka beranggapan bahwa makanan
tersebut akan menimbulkan dampak pada rahim/alat kelamin ibu, yaitu basah/becek.
Pada saat inilah bayi telah diperkenalkan bermacam rasa di antaranya asam, manis,
asin, dan ini merupakan latihan bagi bayi untuk mengenal rasa. Sebelumnya bayi
hanya mengenal ASI eksklusif yang diperoleh dari ibunya.
69
Bentuk tradisi lain yang dilakukanmasyarakat Aceh pada masa lalu adalah
upacara turun tanah dan dilakukan setelah bayi berumur satu sampai duatahun. Bagi
anak pertama biasanya dilakukan upacara yang lebih besar, namun untuk dewasa ini
masyarakat tidak mengikuti lagi, apalagi bagi ibu-ibu yang beraktivitas di luar rumah
seperti pegawai negeri, pegawai swasta atau karyawati di instansi tertentu. Bila
dilakukan hal ini dianggap sebagai sesuatu yang tidak efisien dan tidak praktis lagi.
Menurut informasi yang diperoleh, upacara turun tanah disimbolkan pada
kesucian ibu bayi yang baru saja melewati masa persalinan. Dalam proses ini juga
melibatkan bayi yang baru lahir, pada saat upacara berlangsung bayi dibawa keluar
rumah. Ibu yang baru melahirkan dianggap tidak suci lalu tidak dibolehkan untuk ke
luar rumah, kecuali dalam keadaan terpaksa, misalnya sakit dan sebab lain yang
mendesak. Ibu tidak diboleh keluar rumah karena disebabkan ibu dalam keadaan masa
nifas, haids dan wiladah.
Pada saat turun tanah ini merupakan puncak bahwa ibu pasca melahirkan
telah suci terbebas dari darah kotor sehingga dia diperbolehkan ke luar rumah. Begitu
juga dengan bayinya, sebetulnya bayi yang belum berumur satu bulan masih dianggap
rentan dengan penyakit sehingga bayi tidak dibolehkan untuk ke luar rumah. Upacara
turun tanah pertama sekali bayi mengenal dunia luar dan disini bayi diajarkan dengan
dunia luar, dan dikenalkn bahwa manusia harus giat bekerja dan jangan bermalas-
malasan, karena sifat malas akan berakibat buruk bagi kehidupannya kelak.
Serangkaian upacara tersebut seperti ba bu, cukur rambut, peucicap,
Aqiqoh,turun tanah dinilai penting dan bermakna dalam kehidupan, sehingga perlu
untuk dijalankan sesuai dengan ketentuan adat yang telah ditetapkan. Di jaman serba
modern, kegiatan ritual akan menjadi aset wisata budaya, dan bagaimana adat dan
budaya tetap tampil disesuaikan dengan perkembangan jaman.
Salah satu tradisi lain yang masih dilakukan oleh masyarakat di kota Banda Aceh
berkenaan dengan proses kelahiran adalah‘Aqiqoh’, berupa pemotongan hewan
kambing. Tradisi ini sebenarnya mengacu pada keyakinan keagamaan dari masyarakat
yaitu agama Islam. Disamping ada tradisi masyarakat yaitu baca doa surat‘ Yasin’.
70
Tradisi lain yang dilakukan oleh masyarakat di kota Banda Aceh berkenaan
dengan kelahiran adalah ‘ tradisi potong tali pusar’,kalau pada masa lalu masih
mempergunakan bilah bambu yang dibuat dan diasah tajam seperti pisau, namun pada
saat ini sejalan dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan,
maka alat yang digunakan untuk memotong tali pusar adalah menggunakan gunting
ataupun pisau yang biasa digunakan oleh tenaga medis profesional.
Pasca Melahirkan. Tindak lanjut dari proses kelahiran adalah bagaimana
perawatan bayi yang baru lahir hingga besar. Kondisi ini merupakan sebuah proses
yang tidak mudah untuk dilalui oleh ibu yang baru pertama kali melahirkan, karena
seorang ibu yang baru pertama kali melahirkan masih sangat minim pengetahuannya
tentang perawatan bayi. Umumnya mereka masih dibantu oleh orang tuanya dalam
perawatan anak.
Dalam perawatan bayi, seorang ibu yang baru melahirkan selain dibantu oleh
orang tuanya yang didatangkan dari desanya, seringkali meminta bantuan pada
seorang “bidan kampung”. Peran yang dijalankan oleh seorang bidan kampung
terutama memijat ibu, tujuannya adalah mengembalikan posisi rahim ibu yang baru
melahirkan. Peran lain yang dijalankan oleh bidan kampung adalah memandikan bayi
dan memijat bayi. Pelaksanaan ini biasanya dilakukan sampai hari ke 40.
Ada sebuah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Aceh yaitu Madeueng, yang
merupakan suatu prosesi di mana ibu atau wanita yang baru selesai melahirkan harus
melakukan pantangan selama 44 hari. Hal ini dilakukan demi kesejahteraan ibu dan
bayi. Selama rentang waktu tersebut sang ibu harus tetap berada di kamar tidurnya
dan tidak dibenarkan berjalan-jalan apalgi keluar rumah, sedangkan bayi terus dipingit
berdampingan dengan ibunya.
Selama rentang waktu tersebut sang ibu terus diberikan terapi berupa api
diang yang ditempatkan di bawah atau di sisi pembaringannya, sehingga tubuh ibu
selalu mendapat udara panas untuk memulihkan kembali bagian-bagiantubuhnya
sehingga segar bugar, bahkan ada ibu-ibu yang melakukan prosesi ini di dapur yang
lazim disebutUreung di Dapu.(orang yang membaringkan dirinya di ruangan dapur
dengan bara api di bawah pembaringan).
71
Tradisi yang dilakukan oleh keluarga dari bayi yang baru dilahirkan adalah
upacara “Gunting rambut“. Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 35 hari dan
biasanya dilaksanakan bersamaan dengan upacara ‘Aqiqoh’. Yang melakukan
pemotongan rambut bayi adalah orang tua laki-laki yang kemudian diikuti oleh orang
tua perempuan. Bila saat upacara dilakukan ada pihak orang tua dari ibu/ayah bayi
tersebut, biasanya pertama diberikan pada kakek/orang yang dituakan. Dalam acara
tersebut dimulai dengan pembacaan doa yang dipimpim oleh seorang tokoh/pemuka
agama/ustadz.
Tabel. 3.2.3 Upacara Adat pada Saat KehamilanPersalinan dan Pasca Persalinan diKecamatan Kutaraja
Tahun 2012
Siklus Reproduksi “Ya” Melakukan Upacara
Kehamilan 21,4%
Persalinan 7,1%
Paca Persalinan 12,9%
Sumber: Data Primer
Pengetahuan, Sikap, Praktek
Pengetahuan, sikap dan perilaku/praktek terhadap kesehatan tidak dapat
dipisahkan. Ada penelitian ini, diketahui bahwa responden (70 orang) yang
diwawancara dengan didatangi ke rumah-rumah memiliki pendidikan formal cukup
baik. 61,4% resonden lulusan SMA, 11,4% pendidikan D1- sarjana, sedangkan yang
tidak lulus SD dan lulusan SD 7,1% dan lulus SMP 20,0%. Kondisi pendidikan suami juga
tidak banyak berbeda. 61,4% suami lulus SMA dan 10,0 lulus D1-sarjana.
Pengetahuan
Masa Kehamilan. Pada umumnya pengetahuan ibu berkaitan dengan masa
kehamilan dapat dikatakan cukup baik, mereka menyadari arti penting pemeriksaan
kehamilan ke tenaga kesehatan dan ke fasilitas pelayanan kesehatan. Semua ini
berjalan karena adanya dorongan dan masukan dari berbagai kalangan seperti
tetangga, orang tua, suami dan kesadaran dirinya sendiri. Dorongan dari petugas
72
kesehatan seperti bidan maupun dari kader posyandu yang ada di lingkungan tempat
tinggal mereka.
Pengetahuan mempengaruhi sikap dan praktek. Kesadaran ibu hamil untuk
memeriksakan kehamilannya sesuai dengan pengetahuan yang ada yaitu tentang
perlunya 4 kali pemeriksaan dilakukan oleh ibu hamil yang ada (74,3%). Tingginya
pengetahuan ibu hamil akan kepeduliannya untuk memeriksakan kehamilan
diperlihatkan dengan pengetahuan pemeriksaan tekanan darah secara rutin (92,9 %),
memperoleh suntikan TT sebanyak 2 kali ( 45,7 %).
Masa Persalinan. Persalinan merupakan proses penting yang dapat menjadi
penentu keselamatan ibu dan bayi. Pengetahuan tentang perlinan dapat dilihat dari
pernyataan yang benarbahwa “ditolong bidan lebih aman”dijawab oleh 92,9%
responden. Pernyataan “melahirkan di rumah tidak aman” dijawab oleh 65,7% artinya
masih cukup banyak pengetahuan yang salah tentang tempat persalinan aman.Data ini
selaras dengan pengetahuan para suami dalam FGD yang cukup memahami
pentingnya melahirkan ditolong bidan atau dokter dan dilakukan di polindes atau RS.
Pasca Salin. Pengetahuan tentang pasca salin cukup baik terbukti 81,4%
menjawab benar tentang “inisiasi dini”, 74,3% menjawab benar pentingnya imunisasi
bagi bayi. Pengetahuan tentang kehamilan sampai dengan persalinan terkait upacara
tampaknya sudah benar yaitu hanya 7,1% menyatakan benar bahwa ” upacara
berpengaruh terhadap keselamatan”. Mereka juga sudah tahu bahwa “makan ikan
lautbsetelah persalinan” tidak memberikan dampak buruk seperti pernyataan 75,7%
responden.
Sikap
Pengetahuan dan sikap yang dimiliki oleh ibu yang sedang hamil di kota Banda
Aceh, diperlihatkan dengan ketekunan dan kerajinan mereka untuk secara rutin
memeriksakan kehamilannya, mulai dari K.1 sampai dengan K.4, sesuai dengan
petunjuk yang telah diberikan oleh petugas kesehatan (bidan). Hasil data dengan
responden menunjukkan bahwa 71,4% setuju tentang pemeriksaan kehamilan minimal
4 kali selamam kehamilan, 97,1% setuju melakukan pemeriksaan tekanan darah untuk
mengetahui riiko tinggi kehamilan.
73
Hal lain yang diperlihatkan oleh ibu hamil selain secara rutin memeriksakan
kehamilan, mereka juga masih ada yang menjalankan tradisi-tradisi budaya
masyarakat setempat, seperti adanya pantangan yang harus dijalankan oleh seorang
ibu yang sedang hamil, melahirkan, atau pasca melahirkan. Mereka memiliki
keyakinan bila ada pantangan yang dilanggar akan membawa dampak yang kurang
baik terhadap bayi yang sedang di kandungnya maupun bayi yang baru dilahirkan.
Praktek
Dalam tindakan nyata dari seorang wanita yang sedang hamil maupun ibu yang
baru melahirkan, ini dapat dilihat dari buku pegangan yang mereka milikik (buku KIA).
Buka ini memperlihatkan rutinitas yang dijalankan seorang wanita yang sedang hamil
dan sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi bila akan memanfaatkan
“Jampersal (Jaminan Persalinan)”. Pemeriksaan kehamilan bisa dilakukan di fasiltas
kesehatan atau di rumah (bidan melakukan kunjungan rumah).
Pada umumnya, wanita hamil yang ada di kota Banda Aceh memeriksakan
kehamilannya di bidan, namun ada juga yang memilih ke dokter spesialis (baik praktek
swasta atau di rumah sakit, maupun di Puskesmas atau Bidan Praktek Swasta). Sangat
jarang wanita hamil di kota Banda Aceh yang saat melahirkan ditolong oleh bidan
kampung/dukun melahirkan. Kondisi ini ditunjang oleh sedikitnya atau bahkan tidak
tersedianya dukun melahirkan akan keberadaannya di kota Banda Aceh. Kalaupun ada
untuk saat ini, yang ada adalah dukun bayi, yang fungsi dan perannya berbeda. Seperti
yang dituturkan oleh seorang bidan puskesmas :
“bapa, di kota ibu hamil yang akan melahirkan biasanya kalau tidak ke puskesmas, mereka pergi ke klinik bersalin ataupun pergi ke rumah sakit, karena di sini banyak pilihan fasilitas kesehatan yang bisa digunakan saat melahirkan.”
Sedang untuk seorang ibu yang baru melahirkan, perawatan bayi biasanya
ditangani oleh 2 tenaga yang berbeda yaitu bidan maupun dukun bayi. Bidan berperan
memandikan bayi, sedangkan untuk perawatan ibu lebih banyak dilakukan/ditangani
oleh dukun bayi/dukun pijet. Selain itu perawatan ibu maupun bayi yang baru
dilahirkan pada sebagian masyarakat masih melibatkan peran orang tua yang tidak
jarang dihadirkan dari kampung halamannya. Lebih lengkap diperoleh informasi di
74
lapangan tentang pelayanan KIA yang diterima ibu dari bidan (nakes) atau dukun yang
berlangsung selama 1 tahun terakhir .
Persalinan yang terjadi di wilayah puskesmas menunjukkan data bahwa ada
8,6% yang melahirkan dengan cara operasi dan sebagian besar persalinan dilakukan di
RS. Berikut data tetang status persalinan dan Tempat persalinan.
Tabel. 3.2.4
Status Persalinan dan Tempat Persalinan di Wilayah Puskesmas LampasehKecamatan Kutaraja Tahun 2012
Status Persalinan Ya Tempat Persalinan Ya
Normal 97,1% Rumah 5,7%
Dengan penyulit + tak dirujuk 97,1% Rumah dukun 0,0%
Dengan penyulit + dirujuk 82,9% Rumah
bidan/polindes
40,0%
Dengan penyulit + SC 72,9% Puskesmas 0,0%
Rumah sakit 54,3%
Sumber: Data Primer
75
3.2.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan
Pemanfaatan Pelayanan Jampersal
Pengambilan Keputusan dalam Mencari Pertolongan Kesehatan
Pada umumnya, dalam proses pengambilan keputusan di keluarga pada
masyarakat di kota Banda Aceh untuk mencari dan memilih tempat pertolongan
kesehatan saat seorang wanita sedang hamil atau saat akan melahirkan, lebih banyak
ditentukan oleh pihak suami. Namun demikian tidak tertutup ada pihak lain yang ikut
terlibat seperti orang tua atau anggota keluarga lain yang pada saat bersamaan ada
dan tinggal bersama. Ada pula yang mengatakan bahwa keputusan terakhir sering juga
diberikan kepada wanita/isteri yang sedang hamil dan akan melahirkan. Segala
keputusan terkait dengan pemilihan fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan secara
musyawarah dalam keluarga, dengan mempertimbangkan berbagai masukan dan
saran dari berbagai pihak terkait dalam budaya masyarakat Aceh.
“biasanya pa, ibu yang hamil untuk periksa dan melahirkan biasanya dirundingkan di antara keluarga namun kemudian keputusan terakhir diserahkan kepada ibu yang akan melahirkan kemana dan siapa yang dipilih untuk membantu”.
Pemilihan dan proses pengambilan keputusan tidak hanya terkait dengan
fasilitas kesehatan yang akan digunakan, tetapi juga terkait dengan siapa yang akan
dipilih atau digunakan dalam pemeriksaan kehamilan, menolong persalinan dan
pemeriksaan serta perawatan setelah melahirkan. Khusus untuk hal ini biasanya yang
memutuskan adalah wanita/ibu yang sedang hamil kemana atau akan memilih siapa
yang akan menanganinya.
Persepsi Masyarakat tentang Dukun
Dalam kehidupan masyarakat di Indonesia pada umumnya terutama pada
masyarakat di pedesaan masa kehamilan, melahirkan maupun masa perawatan anak
dan ibu pasca melahirkan yang merupakan bagian dari lingkaran hidup seorang wanita.
Kondisi ini sering dihadapkan pada sebuah kenyataan siapa yang akan dipilih dalam
proses pertolongan mulai sejak kehamilan untuk periksa, siapa yang menolong saat
melahirkan, dan siapa yang melakukan perawatan ibu dan bayi setelah melahirkan.
76
Pada masyarakat di perkotaan penolong persalinan dewasa ini sudah banyak
ditangani oleh tenaga kesehatan, walaupun masih ada yang juga memakai tenaga non-
tenaga kesehatan (bidan kampung/dukun bayi). Kondisi ini berbeda dengan
masyarakat yang ada di pedesaan, terlebih mereka yang tinggal di wilayah terpencil.
Masyarakat di pedesaan dalam persalinan masih banyak dibantu oleh tenaga non
kesehatan.
Di kota Banda Aceh, penolong persalinan pada umumnya sudah dilakukan oleh
tenaga kesehatan mulai sejak periksa kehamilan, persalinan maupun pasca
melahirkan. Bahkan dari diskusi kelompok maupun wawancara mendalam,
dikemukakan bahwa praktek dukun beranak/bidan kampung sudah tidak ada.
Kalaupun ada bukan menolong persalinan tapi hanya terbatas pada pijet ibu dan bayi.
“ begini pa, di sini (red.kota Banda Aceh), sekarang sih udah nggak ada lagi dukun beranak yang menolong persalinan, yah kalau ada sudah cukup umur (sudah tua) dan sudah nggak praktek lagi nolong beranak, kalo dulu memang masih banyak dukun yang menolong ibu melahirkan”.
Berkenaan dengan penolong persalinan ada pandangan masyarakat terhadap
dukun/bidan kampung. Ada sebagian dari masyarakat yang memberikan pandangan
bahwa tingkat kemampuan antara bidan dengan “bidang kampung”, bahwa
kemampuan yang dimiliki tidak sama (45 %). Kondisi ini tidak terlepas dari peran
seorang dukun dalam persalinan, untuk saat ini peran dukun bayi hanya dimanfaatkan
pada saat perawatan bayi dan ibu pasca melahirkan. Kekurangan yang dimiliki oleh
seorang dukun bayi dibandingkan dengan bidan adalah dukun tidak bisa melakukan
proses pemeriksaan kehamilan.
Tidak banyak peran yang dapat dijalankan oleh dukun dalam konteks upacara
yang dilakukan berkenaan dengan persalinan (mulai dari kehamilan sampai pasca
melahirkan). Terutama pada masa kehamilan, sebagian besar responden menyatakan
bahwa tidak ada pelayanan yang dapat diberikan oleh dukun ( 97,1 % ). Di kota Banda
Aceh upacara adat yang berkenaan dengan persalinan, peran banyak dilakukan oleh
tokoh agama atau Ustadz. Hal ini ternyata terkait dengan budaya Islam, sehingga
upacara adat yang berkaitan dengan kesuku-bangsaan tidak banyak terlihat dan
bahkan sebagian besar masyarakat tidak setuju dengan diadakannya upacara adat.
77
Hal yang sama juga terjadi pada masa kelahiran, karena sebagian besar
masyarakat tidak memanfaatkan pelayanan dukun (95, 7 %), kalaupun masih ada yang
memanfaatkan dukun (4,3 %), maka dukun yang membantu bukan yang berada di kota
Banda Aceh, akan tetapi dibawa oleh orang tua ibu yang melahirkan dan berasal dari
kampung halamannya. Kondisi ini juga terjadi setelah ibu melahirkan, karena di kota
Banda Aceh sebagian besar ibu melahirkan sudah ditolong oleh tenaga kesehatan dan
mempergunakan fasilitas kesehatan yang ada dan banyak tersebar di kota.
Persepsi Masyarakat tentang Bidan
Bila kita bicara bagaimana tanggapan masyarakat atas peran yang diberikan
dan dilakukan oleh bidan bahwa pada dewasa ini peran bidang sebagai seorang tenaga
kesehatan profesional sangat penting. Kondisi ini tidak hanya terbatas pada
masyarakat pedesaan ataupun masyarakat perkotaan.
Persepsi masyarakat desa terhadap peran yang dijalankan oleh bidan seperti
yang dituturkan oleh masyarakat kota yang memanfaatkan tenaga bidan:
“ kalau sekarang ini untuk penolong melahirkan atau periksa hamil, di tempat saya sudah tidak ada lagi yang pakai dukun, karena disini semua ibu yang hamil, melahirkan, atau pasca melahirkan sudah menggunakan bidan dan disini (red.Banda Aceh) sudah tidak ditemukan dukun, apalagi dukunnnya udah pada tua”.
Salah satu peran yang dijalankan oleh bidan adalah periksa kehamilan, bidan
dapat melakukan pemeriksaan kehamilan dan pemeriksaan kehamilan yang dilakukan
oleh ibu yang sedang hamil di kota Banda Aceh hampir menyeluruh. Jenis pelayanan
yang diberikan oleh bidan seperti imunisasi, pengukuran tensi darah, pemberian tablet
tambah darah, TT saat melahirkan. Pemberian tablet tambah darah untuk ibu hamil
bertujuan agar tidak terjadi BBLR pada bayi dan anemia pada ibu hamil.
Bagi masyarakat kota Banda Aceh, pandangan masyarakat aceh terhadap bidan
sangat berharga, karena melalui bantuan bidan masalah kelahiran dapat berjalan
lancar. Kondisi ini didorong oleh karena proses persalinan, mulai dari periksa hamil,
persalinan, sampai dengan pasca persalinan terutama di kota banda aceh semua
ditangani oleh bidan dan tenaga kesehatan profesional lainnya.
78
Hubungan Bidan dan Dukun
Hubungan antara bidan dengan dukun pada saat ini dapat dikatakan bahwa
dalam kaitan dengan lingkup pekerjaan bahwa mereka merupakan sebuah tim
yangdiharapkan dapat bekerjasama tanpa saling merugikan. Program pemerintah yang
mencanangkan sebuah kegiatan yang mengharapkan bahwa segala proses persalinan
nantinya diharapkan akan ditangani oleh tenaga kesehatan profesional.
“saat ini, bisa dikatakan bahwa dukun yang menolong persalinan di sini (red.kota Banda Aceh) sudah tidak ada lagi pula usia mereka sudah di atas 70 tahun, sehingga masyarakat di sini kalo mau melahirkan lebih memilih ibu bidan yang ada di fasilitas kesehatan. Seorang dukun bayi biasanya akan berperan pada masa setelah melahirkan terutama perawatan bayi dan ibu melahirkan.”
Khusus di kota Banda Aceh, dari beberapa informasi yang diperoleh baik
melalui wawancara mendalam maupun diskusi kelompok, diketahui bahwa di Kota
Banda Aceh sudah tidak ada lagi dukun praktek yang membantu menolong persalinan.
Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap kemitraan antara dukun dengan bidan.
namun demikian hubungan yang terjadi antara bidan dengan dukun tetap berjalan
dengan baik. Karena dalam praktek, bila ada masyarakat yang meminta bantuan
seorang dukun untuk menolong persalinan, biasanya dukun akan meminta dan
bahkanbila terjadi sesuatu pada ibu yang akan atau sedang melahirkan dan perlu
sebuah tindakan, akan memudahkan untuk meminta pertolongan pada bidan.Kondisi
ini didukung data kuantitatif penelitian ini seperti tertuang dalam table berikut tentang
penolong persalinan yang pertama dipilih dan pertolongan terakhir.
Tabel. 3.2.5
Pelayanan yang Diterima Responden dari Bidan dan Dukun di Wilayah Puskesmas LampasehKecamatan KutarajaTahun 2012
Jenis Pelayanan oleh Bidan
‘Ya’ Terima Yan Bidan
Jenis Pelayanan oleh Dukun
‘Ya’ Terima Yan Dukun
Periksa Kehamilan 97,1% Periksa Kehamilan 78,6% Persalinan 97,1% Persalinan 20,0% Rawat Pasca Persalinan 82,9% Rawat Pasca Salin 8,6% KB 72,9% Jamu Ibu 17,1% Pijat Bayi 18,6% Rawat bayi 42,9% Buat Jamu Ibu 4,3% Buat jamu Bayi 10,0% Upacara 0,0% Upacara 20,0%
Sumber: Data Primer
79
Pelaksanaan Program Jampersal
Pelayanan KIA yang telah dilakukan oleh dinas Kesehatan kota Banda Aceh
dapat dikategorikan bahwa pelayanan yang dilakukan sudah mencapai kondisi yang
memuaskan. Dari data yang diperoleh untuk tahun 2011, capaian cakupan untuk K-1
hampir mencapai 91,3%, sementara cakupan untuk K4 hampir mencapai angka 91,3%.
Capaian lain dalam kaitan dengan pelayanan KIA di kota Banda Aceh terutama
berkenaan dengan persalinan yang mempergunakan tenaga kesehatan sebesar 89,7 %.
Keberhasilan atas pelayanan KIA yang dicapai oleh kota Banda Aceh, terlihat dari angka
cakupan yang diperoleh, seperti cakupan pelayanan nifas mencapai : 88,9 %, cakupan
neonatus dengan complikasi yang ditangani bahkan mencapai hasil 100 %, cakupan
kunjungan bayi: 88,19%(Sumber : Profil kesehatan Kota Banda Aceh, 2011).
Hasil yang dicapai berkenaan dengan pelayanan KIA di kota Banda Aceh
berpengaruh pada AKB yang dicapai. Ada banyak faktor yang mempengaruhi AKB,
akan tetapi bukan hal yang mudah untuk mencari/menemukan faktor yang paling
dominan. Tersedianya berbagai fasilitas atau faktor aksesibilitas dan pelayanan
kesehatan oleh tenaga medis yang trampil serta kesediaan masyarakat untuk merubah
kehidupan tradisional ke norma kehidupan modern di bidang kesehatan, dapat
dijadikan faktor yang berpengaruh terhadap tingkat AKB.
Tabel. 3.2.6
Penolong Pertama dan Terakhir Persalinan di Wilayah Puskesmas LampasehKecamatan Kutaraja Tahun 2012
Jenis Tenaga Penolong Pertama Penolong Terakhir
Dokter 21,4% 25,7%
Bidan 78,6% 74,3%
Dukun 0,0% 0,0%
Suami/Keluarga 0,0% 0,0%
Lainnya 0,0% 0,0%
Sumber: Data Primer
Banyak alasan suatu masyarakat di mana anggota keluarganya saat akan
melahirkan dan bahkan saat masa kehamilan memilih dan menentukan kemana dan
80
siapa yang akan menolong saat persalinan. Perbedaan penolong pemeriksa kehamilan
antara satu kelompok masyarakat dengan masyarakat lain berbeda, semua ini tidak
terlepas dari kondisi sosial-budaya dari masyarakat yang bersangkutan.
Di kota Banda Aceh, diketahui bahwa sebagian besar ibu hamil memeriksakan
kehamilannya pada petugas kesehatan/bidan, mereka pergi ke fasilitas kesehatan. Dari
data dan informasi yang berhasil dihimpun diketahui bahwa pada umumnya para ibu
hamil memeriksakan kehamilannya ke bidan (100%), dengan alasan utama yang
dikemukakan adalah karena di kota yang tersedia adalah tenaga kesehatan profesional
sementara dukun sudah tidak ada dan kalaupun ada usianya sudah lanjut. Alasan lain
yang dikemukakan untuk memilih bidan dalam proses pemeriksaan kehamilan adalah
bidan memiliki kemampuan lebih daalam penanganan dan pemeriksaan kehamilan.
“ Masyarakat di sini saat ini untuk periksa hamil memilih ke bidan atau pergi ke klinik maupun rumah sakit bersalin, apalagi sekarang sudah tersebar di beberapa tempat dan bidan lebih ahli dalam memeriksa ibu hamil.”
Alasan pemilihan penolong persalinan
Banyak cara yang dapat dilakukan oleh masyarakat/individu di dalam upaya
mencari pertolongan kesehatan, seperti memilih mempergunakan tenaga kesehatan
profesional, dan ada juga yang memilih mempergunakan tenaga kesehatan tradisional,
dan bahkan ada juga masyarakat yang mencoba untuk mengobati sendiri.
Berkaitan dengan pemilihan siapa yang menolong dalam proses
persalinan, pada umumnya masyarakat di kota Banda Aceh memilih dan
mempergunakan tenaga kesehatan profesional (bidan, bidan praktek swasta, dokter
spesialis). Pemilihan ini dilandasi oleh kenyataan yang ada yaitu cukup tersedianya
sumber daya manusia yang ditunjang oleh ketersediaan akan sarana dan prasarana
kesehatan (puskesmas= 11; klinik bersalin=7; rumah sakit umum= 12; posyandu= 113).
Dengan segala ketersediaan sarana, prasarana, maupun sumber daya tenaga
kesehatan, maka dapat dikatakan bahwa hampir sebagian besar masyarakat di kota
Banda Aceh dalam memilih penolong persalinan adalah tenaga kesehatan profesional.
Adapun yang menjadi alasan utama memilih persalinan ke tenaga kesehatan adalah:
81
persalinan dengan ditolong oleh tenaga kesehatan jauh lebih aman dan kemampuan
tenaga kesehatan lebih baik dibanding bila persalinan ditolong oleh dukun ( 82,9 %).
Pembiayaan Kesehatan Ibu dan Anak
Kesehatan merupakan salah faktor penting yang harus mendapat perhatian
dari individu atau masyarakat. Banyak cara yang dapat dilakukan oleh masyarakat
dalam rangka memelihara kesehatan. Semua ini tidak terlepas dari kemampuan,
pengetahuan, dan kesadaran untuk dapat mempersiapkan dan menyediakan biaya
yang nantinya dibutuhkan.
Berbagai macam program yang ditawarkan dan dipilih oleh masyarakat dalam
rangka menghimpun dana untuk pemeliharaan kesehatan. Ada yang berasal dari
jaminan tempat bekerja (asuransi), tabungan individu, arisan, dan tidak jarang yang
diperoleh melalui pinjaman pada pihak lain.
Namun demikian, disisi lain pembiayaan kesehatan ternyata juga dapat
diberikan, disediakan, dan bahkan ditanggung oleh pemerintah baik pemerintah
daerah maupun pemerintah pusat, seperti yang ada dewasa ini, jamkesmas, jamkesda,
dan terakhir adalah jampersal. Tentunya semua memiliki batasan-batasan dalam
pemanfaatan atas sumber biaya ini.
Berkenaan dengan sumber pembiayaan KIA masyarakat di kota Banda Aceh,
pada umumnya mereka menyisihkan sebagian dari penghasilannya, ada di antara
mereka yang bekerja sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, ada yang berdagang,
namun ada juga yang berprofesi sebagai pengayuh becak.
Sumber pembiayaan lain yang digunakan oleh masyarakat berkenaan dengan
dana yang harus dikeluarkan diperoleh dari berbagai sumber, seperti : mendampingi
anaknya saat melahirkan, ada juga yang dibantu oleh ibu mertua, dana pribadi dan
bahkan tidak jarang ada yang terpaksa berhutang kepada tetangga atau orang lain di
luar keluarga. Selain itu sumber pembiayaan keluarga untuk KIA dapat berasal dari
simpan pinjam, dana dari PKK atau dana PNPM mandiri/PKPD.
82
Tabel. 3.2.7.
Sumber Biaya Pelayanan KIA di Wilayah Puskesmas LampasehKecamatan Kutaraja Tahun 2012
Jenis Pelayanan Sumber Biaya (%)
Tidak
periksa
Sendiri/
Keluarga
Jampersal Jakesmas/
jamkesda
Lain-
nya
ANC 0,0 47,8 61,4 30,0 -
Persalinan 0,0 35,7 60,0 31,4 1,4
Periksa Pasca Salin 30,9 54,5 50,0 27,1 -
Periksa Neonatus 40,0 37,1 50,0 24,3 -
KB 25,7 42,9 17,1 7,1 4,3
Sumber: Data Primer
Di kota Banda Aceh pembiayaan kesehatan yang tersedia dan diperoleh
masyarakat adalah melalui berbagai sumber, seperti : APBD kota/kab; APBD Provinsi
(JKA= Jaminan Kesehatan Aceh); dan ada yang berasal dari APBN (dalam bentuk
DAK=Dana Alokasi Khusus; Jamkesmas; Jampersal; BOK).Jaminan Kesehatan Aceh
inilah yang menjadi tumpuan masyarakat Aceh secara umum dalam memperoleh
pelayanan berkenaan dengan kesehatan. Proses pemberiannya adalah secara otomatis
kepada masyarakat/warga Aceh.
Pengetahuan tentang Jampersal
Pengetahuan seseorang akan sangat terpengaruh oleh pendidikan yang dialami
semasa hidupnya. Bukan menjadi sebuah jaminan bahwa mereka yang tinggal di
perkotaan memiliki pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang
tinggal di pedesaan. Sebagian besar masyarakat di kota Banda Aceh yang sedang hamil
mengetahui adanya sebuah program yang diluncurkan oleh pemerintah berkaitan
dengan pemeriksaan kehamilan, melahirkan maupun pasca melahirkan, yaitu program
Jampersal (Jaminan Persalinan).
Sebagian kecil (18,6%) masyarakat mengetahui bahwa Jampersal ini merupakan
suatu program yang bertujuan untuk membantu dalam pembiayaan tidak hanya
83
persalinan. Tetapi mereka setuju bahwa pembiayaan melalui jampersal untuk
pemeriksaan kehamilan, kelahiran, pasca melahirkan dan bahkan sampai pemasangan
KB (87,1 %). Bahkan sebagian besar ibu hamil di kota Banda Aceh mengatakan bahwa
Jampersal ini ditujukan bagi masyarakat miskin/kurang mampu (90,9 %).
Bentuk pengetahuan lain yang dimiliki oleh masyarakat berkenaan dengan
Jampersal adalah hampir sebagian besar masyarakat yang tidak setuju atas sebuah
pernyataan bahwa Jampersal merupakan sebuah peluang untuk dapat memiliki
banyak anak (68,5 %). Kondisi lain yang memperlihatkan pengetahuan masyarakat
tentang Jampersal adalah hampir sebagian besar masyarakat setuju bahwa Jampersal
dapat digunakan untuk membantu persalinan, periksa kehamilan, pelayanan setelah
kelahiran dan termasuk pelayanan program KB (87, 1 %).
Masyarakat Aceh pada umumnya lebih memahami adanya Jamkesda dan JKA
(Jaminan Kesehatan Aceh), dan ini yang mereka gunakan bila ada masalah kesehatan.
Kartu Jaminan Kesehatan Aceh diberikan kepada setiap warga Aceh dan pemegang
kartu ini mendapat pelayanan kesehatan gratis termasuk pelayanan KIA. Karena
masyarakat sudah terbiasa mempergunakan program ini, sehingga ketika program
Jampersal digulirkan di masyarakat, mereka tidak memahami dan yang penting bagi
mereka adalah mereka mendapat pelayanan kesehatan secara gratis. Hasil wawancara
dengan responden ibu, diperoleh fakta bahwa hany 27,1% yang setuju bila jampersal
hanya ditujukan bagi kelompok ekonomi miskin.
3.2.5. Peran Tenaga Pelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal
Pelaksanaan program Jampersal di masyarakat adalah untuk mendorong ibu
hamil untuk melakukan pemeriksaan kehamilan, melahirkan, pasca melahirkan dan
bahkan sampai pada pemasangan KB dilakukan oleh tenaga kesehatan serta
memanfaatkan/menggunakan fasilitas kesehatan. Tujuan pemanfaatan tenaga
kesehatan dan fasilitas kesehatan tidak terlepas dari keinginan untuk menurunkan
angka Kematian Ibu dan kematian Anak.
Dalam konteks ini, maka dibutuhkan sumber daya manusia yang memiliki
keahlian tertentu berkenaan dengan upaya menurunkan AKI dan AKB. Mereka adalah
84
orang yang memiliki keahlian di bidang kesehatan. Program Jampersal ini
membutuhkan sebuah pengetahuan atau kemampuan untuk dapat menjelaskan
kepada masyarakat apa saja yang dapat dicakup, jenis pelayanan apa saja yang
dieroleh, bagaimana proses kepesertaannya. Disinilah peran seorang tenaga pelayanan
kesehatan untuk memberikan penjelasan tentang jampersal kepada masyarakat
pengguna, disamping juga memberikan penjelasan kepada anggota keluarga lain dari
pengguna Jampersal. Peran penting lain yang juga diemban oleh seorang petugas
pelayanan kesehatan terkait dengan program Jampersal adalah memberi pengertian
dan menuntun masyarakat untuk memanfaatkan tenaga kesehatan dan fasilitas
kesehatan dalam proses kehamilan sampai pasca melahirkan.
Tabel. 3.2.8.
Perolehan Informasi tentang Jampersal di Wilayah Puskesmas LampasehKecamatan Kutaraja Tahun 2012
Sumber informasi Menyatakan ‘ya’ (%)
Media massa 77,1
Tenaga Kesehatan 60,0
Petugas desa 5,7
Poster 17.1
Sumber lainnya 8,6
Sumber: Data Primer
Sebetulnya, dalam pelaksanaan program Jampersal ini, maka pihak yang
dianggap berperan tidak semata-mata hanya petugas kesehatan, akan tetapi
dibutuhkan perlu adanya kerja sama lintas sektor karena program ini menyangkut
kehidupan masyarakat. Peran yang dapat dijalankan oleh lintas sektor seperti tanaga
kader, tokoh masyarakat, kepala desa, tetua adat, tokoh agama, karang taruna/tokoh
pemuda. Semua ini harus dilibatkan dalam satu kesatuan tim yaitu menuju
keberhasilan kesehatan masyarakat khususnya berkaitan dengan program KIA. Dan
yang diharapkan bertindak sebagai pimpinan adalah mereka yang berasal dari tenaga
kesehatan.
85
3.2.6. Hambatan, Dukungandan Harapan terhadap Pelaksanaan Jampersal
Perjalanan sebuah program yang digulirkan pemerintah untuk kepentingan
masyarakat luas tidak selalu berjalan dengan lancar dan mulus, berbagai kendala yang
ditemui, namun dukungan juga dijumpai serta adanya harapan selama pelaksanaan
program tersebut.
Hambatan
Seperti diketahui bahwa program Jampersal ini sejak awal digulirkan yaitu
Januari 2011 hingga saat ini (september 2012), banyak ditemui kendala, seperti
misalnya proses Sosialisasi yang dianggap sebagai tulang punggung berhasil tidaknya
sebuah program. Dari informasi yang berhasil diperoleh, ternyata masih banyak warga
masyarakat yang belum mengetahui adanya program Jampersal ini dan bahkan ada
yang belum pernah mendengar Jampersal,
Kendala lain yang juga terjadi di kalangan warga masyarakat adalah mereka
tidak banyak mengetahui bagaimana proses dan persyaratan bila ibu/wanita hamil
ingin memanfaatkan Jampersal, dan secara khusus masyarakat di banda aceh tidak
dapat membedakan dengan program kesehatan lain yang sudah mereka miliki.
Bila diperhatikan dengan seksama, ternyata hambatan/kendala tidak hanya ada
dan terjadi di masyarakat pengguna jampersal, tapi ternyata dapat terjadi pada
petugas kesehatan/provider sebagai pelaksana. Mereka seringkali mengeluhkan
bahwa apabila mereka mengajukan klaim atas penggunaaan Jampersal seringkali di
kembalikan oleh pihak terkait. Beragam alasan yang dikemukakan seperti laporan yang
kurang lengkap serta persyaratan yang masih kurang. Kondisi ini mengakibatkan
proses klaim menjadi panjang dan lama. Hal inilah yang diupayakan untuk dihindarkan
oleh petugas/provider. Kondisi inilah yang juga mengakibatkan daya serap Jampersal
khusus untuk kota Banda Aceh menjadi kecil/rendah.
Dukungan
Perjalanan sebuah program/kegiatan untuk masyarakat tidaklah selalu
mengalami sebuah kebuntuan, namun terjadi keberhasilan bisa diperoleh karena
adanya dukungan baik itu yang berasal dari masyarakat sendiri maupun
petugas/provider.
86
Berkenaan dengan Jampersal ini, ternyata ditemui berbagai faktor yang
mendukung keberhasilan suati program, seperti yang terjadi di kota Banda Aceh.
Masalah aksesibilitas maupun akseptabilitas baik itu berupa sarana transportasi
maupun prasarana jalan tidak menjadi masalah bagi masyarakat, begitu pula dengan
fasilitas keshatan bagi ibu hamil, melahirkan. Semua ini dapat terlayani selama 24 jam.
Sumber daya manusia, dalam konteks ini adalah tersedianya tenaga kesehatan
profesional (bidan, dokter spesialis), di kota Banda Aceh cukup tersedia dan memadai.
Tersedianya Sumber daya manusia tidak terlepas oleh tersedianya fasilitas pendidikan
kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan.
Kondisi lain yang tidak kalah penting dalam konteks keberhasilan program
Jampersal adalah Faktor Perilaku masyarakat. Mereka sadar akan arti penting untuk
memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia di sekitar tempat tinggal
mereka, mulai dari Posyandu, Polindes, Poskesdes, Klinik, Rumah sakit baik
pemerintah maupun milik swasta.
Perilaku dalam memanfaatkan dan memilih mencari pertolongan pelayanan
kesehatan, diikuti dengan adanya sebuah keinginan yaitu merubah pola berpikir dari
tradisional ke modern dalam konteksi kesehatan. Perubahan perilaku ini tidak terlepas
dari semakin bertambahnya dan berubahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh
masyarakat di kota Banda Aceh.
Harapan
Bergulirnya sebuah program yang diluncurkan oleh pemerintah untuk
kepentingan dan kesejahteraan masyarakatnya, tentunya memiliki sebuah harapan
dan harapan ini tidak semat-mata dari masyarakat pengguna, tetapi juga dari
pemerintah sebagai penyelenggara kegiatan atau program ini.
Dari sudut pandang masyarakat, ternyata masyarakat berharap banyak agar
program Jampersal ini dapat berlangsung seterusnya dan tidak berhneti dalam satu
periode tertentu saja dan berkesinambungan. Kondisi lain yang diharapkan oleh
masyarakat adalah bila ada sebuah program baru yang bermanfaat bagi masyarakat,
hendaknya dapat diperkenalkan secara utuh berkenaan dengan proses maupun
keuntungan bila masyarakat memanfaatkannya.
87
Masih berkenaan dengan adanya sebuah harapan dari masyarakat terkait
dengan program Jampersal ini ada perlu adanya kerjasama lintas sektor, perlu adanya
penambahan bidan desa ataupun bidan di desa untuk membantu masyarakat untuk
membiasakan diri untuk tidak melahirkan ditempat non fasilitas kesehatan.
Harapan lain yang dimiliki oleh masyarakat adalah mereka berharap bahwa
Jampersal ini hendaknya tidak dibatasi pemberiannya hanya sampai pada masyarakat
level tidak mampu atau pada masyarakat golongan tertentu, tetapi sekiranya dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat luas tanpa melihat status sosial ekonomi masyarakat.
Dari sudut pandang pemerintah sebagai pengelola dan pelaksana Jampersal,
ada secercah harapan yang diinginkan yaitu masyarakat agar mau dan bisa merubah
perilaku berkenaan dengan kesehatan yang dialami dan dirasakan. Karena Jampersal
ini ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan dari warga
masyarakat.
88
3.3 Puskesmas Cirinten, Kabupaten lebak
3. 3.1 Gambaran Umum Kabupaten Lebak
Kabupaten Lebak adalah salah satu kabupaten di provinsi Banten yang terletak
di ujung Barat pulau Jawa. Kabupaten ini memiliki luas 304.472 Ha dan terbagi menjadi
28 kecamatan dengan 340 desa dan 5 kelurahan. Kecamatan Rangkasbitung adalah ibu
kota kabupaten dengan jumlah penduduk 116.695 jiwa merupakan kecamatan dengan
penduduk terbanyak. Kecamatan paling luas adalah kecamatan Cibeber dan paling
sempit adalah kecamatan Kalanganyar. Wilayah Kab. Lebak 30-40% berbukit-bukit.
Secara topografi ada 3 karakteristik ketinggian kabupaten Lebak. yaitu sepanjang
pantai selatan mempunyai ketinggian antara 0 – 200 m, sedangkan Lebak tengah
memunyai ketinggian 201 – 500 meter, wilayah Lebak Timur merupakan daerah
perbukitan dengan ketinggian antara 501 -1000 meter dengan puncaknya yaitu
gunung Sanggabuana dan gunung Halimun.
Kabupaten Lebak mempunyai alam yang cukup potensial, sebagai usaha
masyarakat di bidang pertanian, pertambangan dan wisata meskipun pemanfaatannya
belum maksimal. Sebagian lahannya sebagai wilayah konservasi/resapan air yang
perannyastrategis mendukung ketersediaan sumber daya air bagi wilyah-wilayah
lainnya di propinsi Banten dan DKI Jakarta. Duran, mangga, pisang dan manggis adalah
buah-buahan yang banyak ditanam oleh masyarakat dan menjadi sumber penghasilan
bagi sebagian masyarakat.
Gambar 3.3.1. Peta Wilayah Kabupaten Lebak
Batas administratif Kab. Lebak:
Utara : Kabupaten Serang dan Tangerang
Selatan: Samudera Indonesia
Barat : Kabupaten Pandeglang
Timur : kabupaten Bogor dan Sukabumi
89
Penduduk kabupaten Lebak sejumlah 1.204.095 dengan sex ratio 106 artinya
dari 100 perempuanada 106 laki-laki, kondisi ini terlihat sesuai data tahun 2010 (BPS,
2010). Jumlah penduduk terbanyak ada di kecamatan Rangkasbitung dengan
penduduk sejumlah 116.659 jiwa. Distribusi penduduk di kabupaten Lebak tampak
kurang merata dengan kecenderungan mengelompok dan beraktifitas di bagian
wilayah utara kabupaten.Jumlah melek huruf dari tahun ke tahun terus meningkat.
Ada tahun 2008 persentase melek huruf sebesar 94,10% kemudian semakin meningkat
dan pada thun 2010 mencapai 100% kecuali untuk penduduk Baduy.
Penduduk miskin masih cukup banyak, tercatat ada 590.910 jiwa yang memiliki
kartu miskin (askeskin). Berdasar catatn di puskesmas terdapat 229.727 dari seluruh
penduduk miskin 67% nya dicakup oleh JPKM dalam mendapatkan pelayanan
kesehatan dan 64% dari seluruh penduduk miskin telah mendapat pelayanan yankes
termasuk bayi dengan status Gizi Dibawah Garis merah (BGM). Program jamkesmas
termauk didalamnya adalah Jmapersal telh banyak membantu membiayai kesehatan
masyarakat. Disamping itu telah bergulir pula pembiayaan dari Dinas social bagi
keluarga miskin Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp. 2.100.000,- perkeluarga
per tahun yng diberikan kepada keluarga yang memiliki Balita, ibu hmil dan anak
sekolah usia SD – SMP. Bantuan bersyarat ini yang dapat dimanfaatkan untuk
kesehatan (Rp. 800.000,-), pendidikan (Rp. 800.000,-)dan kebutuhan pokok (Rp.
500.000,-) sebagai ganti dari Bantuan Langsung Tunai.
Sifat kegotongroyongan masyarakat secara umum masih cukup kental. Nampak
di lingkungan tertentu terlihat sifat kepedulian masyarakat terhadap sekitarnya seperti
masih adanya tabulin (tabungan ibu bersalin), penyediaan kendaraan bagi ibu bersalin
yang akan digunakan membawa ibu menjelang persalinan ke fasilitas kesehatan.
Berdasarkan hasil kajian data dan konsultasi dengan kepala Dinas Kesehatan
dan stafnya untuk menentukan lokasi penelitian dengan criteria puskesmas dengan
cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan yang masih rendah, maka terpilih
kecamatan Cirinten sebagai lokasi penelitian. Persalinan oleh tenaga kesehatan tahun
2011 sejumlah 50,4% merupakan jumlah yang kecil sekali terutama bila dibandingkan
dengan angka nasional yang sebesar 86%.
90
Gambar 3.3.2. Cakupan Program Kesehatan Ibu dan Anak Puskesmas Cirinten Tahun 2011
3.3.2. Gambaran Umum Kecamatan Cirinten
Kecamatan Cirinten merupakan sebuah kecamatan baru yangdimekarkan dari
kecamatan Bojongmanik. Sejak tahun 2007 wilayah ini terpisah dari Wilayah Kec.
Bojongmanik dan dicanangkan sebagai sebuah wilayah Kecamatan tersendiri.
Kecamatan Cirinten juga terkenal sebagai pintu belakang menuju komunitas Baduy.
Lokasi kecamatan ini hanya berjarak kurang lebih 4 kilometer dari Desa Cikeusik, salah
satu desa dalam Komunitas Baduy. Sehingga, cukup banyak wisatawan yang datang
melewati Kecamatan ini apabila mereka ingin bertandang ke wilayah Komunitas
Baduy. Banyak orang yang mengataka bahwa sebenarnya jalur dari Cirinten lebih dekat
ke Komunitas Baduy daripada jalur lain. Akan tetapi sepertinya tidak banyak orang
yang mengetahuinya.
81%
70.10%
44.80%
64.50%
50.40%
62.30%
K1 K4 Deteksi Resiko Tinggi Ibu Hamil
Neonatus Linakes Kunjungan Ibu Nifas
91
Gambar. 3.3.3.Lokasi Kecamatan Cirinten
Kecamatan ini terletak di bagian tengah wilayah kabupaten Lebak, berjarak
kurang lebih 45 km dari Kota Rangkasbitung. Perjalanan menuju Cirinten dapat
ditempuh dalam waktu kurang lebih 1.5 – 2.5jam dengan menggunakan kendaraan
darat berupa sepeda motor atau mobil pribadi. Jalanan menuju dari Ibu kota
Kabupaten menuju Cirinten bisa dikatakan baik. Jalan-jalan sudah beraspal dengan
kondisi yang cukup terawat. Selain dengan mobil, perjalanan menuju Cirinten juga
dapat ditempuh dengan menggunakan angkutan umum. Saat ini terdapat beberapa
kendaraan umum jenis mini-bus secara rutin melewati Kecamatan ini pada jam-jam
tertentu. Sehingga tidak terlalu sulit untuk dapat mencapai Kecamatan ini.
Cirinten memiliki luas wilayah 1031,9 Km2. Secara administratif Cirinten terdiri
dari 10 Desa, yaitu: Badur, Cempaka, Cibarani, Cirinten, Datarcae, Kadudamas,
Karangnunggal, Karoya, Nanggerang, dan Parakanlima. Pada bagian utara kecamatan
ini berbatasan dengan Kecamatan Cileles, sebelah selatan dengan Kec. Cijaku, sebelah
Timur dengan Kec. Bojongmanik, dan di sebelah barat dengan Kec. Gunung Kencana.
Kondisi topografi Kecamatan Cirinten adalah pegunungan dengan ketinggian
antara 130-390 mdpl. Dengan ketinggian itu suhu udara di wilayah ini bisa dikatakan
92
sejuk. Suhu udara rata-rata di Cirinten adalah 25° celcius. Curah hujan di wilayah
Cirinten adalah 150mm/tahun. Kondisi ini memungkinkan bermacam jenis tanaman
tumbuh subur. Sehingga ketika menyambangi daerah ini, kita bisa melihat
pemandangan hamparan sawah dan pepohonan hijau luas menghampar sejauh mata
memandang. Namun dari semua pemandangan hijau tersebut, pohon cengkeh adalah
jenis tanaman yang dapat kita saksikan banyak di Kecamatan ini. Memang, kecamatan
ini sangat terkenal dengan hasil cengkehnya yang melimpah setiap tahunnya. Cengkeh
dianggap sebagai economicbooster dari Kecamatan ini.
Gambar. 3.3.4.Suasana Kecamatan Cirinten
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Dengan kondisi topografis yang bergunung-gunung akses transportasi
merupakan sebuah kendala yang cukup berarti di Kecamatan ini. Kondisi jalan utama
di Kecamatan ini memang sudah bisa dikatakan baik, teraspal dengan halus dan
terawat dengan baik. Tetapi lepas dari jalanan utama tersebut kondisi jalan berbatu
kasar dan tanah-tanah dengan kubangan-kubangan air adalah pemandangan lain dari
kondisi jalan di Kecamatan ini. Kondisi inilah yang seringkali menjadi sebuah hambatan
bagi warga setempat untuk dapat mengakses pelayanan kesehatan.
Dari peta wilayah puskesmas dapat dilihat beberapa kendala yang ada di
Kecamatan Cirinten. Kondisi jalan buruk, akses ke jaringan komunikasi, dan sarana
listrik merupakan kendala-kendala yang jamak muncul pada beberapa daerah di
93
wilayah ini. Sarana listrik sudah bisa dinikmati di seluruh Kecamatan ini. Namun hanya
3 desa yang sudah memiliki fasilitas penerangan jalan yang layak. Sedangkan 7 desa
lainnya belum memperoleh sarana penerangan jalan. Sehinga pada malam hari
kegelapan di jalan-jalan desa sangat terasa. Jaringan telepon seluler dengan sinyal
yang kuat hanya bisa dinikmati di sekitaran Ibu Kota Kecamatan Cirinten, yaitu di Desa
Cirinten. Sedangkan sebagian besar wilayah Cirinten tidak tercakup dalam jaringan
telekomunikasi. Kondisi wilayah di Cirinten dapat dilihat dari peta berikut:
Gambar 3.3.5.Peta Kondisi Wilayah Kecamatan Cirinten
94
Kependudukan
Jumlah keseluruhan penduduk menurut data tahun 2010 sebanyak 26.642 jiwa
dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 7.726 KK. Jumlah penduduk terbanyak
berada di Desa Cirinten dengan jumlah penduduk sebanyak 4.743 jiwa disusul Desa
Parakanlima sebanyak 3.747 jiwa dan Desa Kadudamas sebanyak 3.091 Jiwa. Besaran
jumlah penduduk di tiap desa sangat berbeda terkait dengan hubungan keluarga dan
letak pemukiman yang layak untuk ditempati karena geografis kecamatan Cirinten
terdapat di dataran tinggi.
Tabel 3.3.1. Data Penduduk Kecamatan Cirinten Tahun 2010
NO DESA LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH KK
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Badur
Cempaka
Cibarani
Cirinten
Datarcae
Kadudamas
Karangnunggal
Karoya
Nangerang
Parakanlima
1504
994
939
2418
1087
1593
913
887
1461
1952
1296
951
955
2325
972
1498
929
804
1369
1795
2800
1945
1894
4743
2059
3091
1842
1691
2830
3747
733
579
562
1383
615
905
507
557
822
1063
JUMLAH 13748 12894 26642 7726
Sumber: Data Kependudukan Kecamatan Cirinten 2010
Besarnya angka penduduk di Desa Cirinten karena Desa Cirinten merupakan ibu
kota kecamatan sedangkan untuk Desa Karoya dengan jumlah penduduk 1691 jiwa
merupakan desa marjinal dengan luas wilayah yang relatif kecil. Jumlah tersebut
tentunya berimbas pada pelayanan kesehatan yang diberikan dibandingkan dengan
rasio jumlah tenaga kesehatan. Jumlah tenaga kesehatan yang tersedia di Puskesmas
Cirinten tidak cukup untuk dapat melayani seluruh penduduk di Kecamatan ini.
95
Mata Pencaharian dan Ekonomi masyarakat
Pertanian adalah salah satu sumber mata pencaharian yang paling menonjol di
Kecamatan Cirinten. Menurut data Kecamatan Cirinten, kurang lebih 20% penduduk
Cirinten adalah petani. Jenis-jenis komditas tanaman yang dibudidayakan di wilayah ini
adalah buah-buahan, ketela rambat, sayur-sayuran, padi, dan yang paling banyak
dikembangkan saat ini adalah cengkeh. Kecamatan Cirinten adalah salah satu daerah
pemasok cengkeh terbesar di Indonesia (berdasarkan beritadaerah.com). Pentingnya
komoditas ini dalam masyarakat dapat kita lihat secara jelas ketika kita menginjakkan
kaki di Kecamatan Cirinten. Hamparan perkebunan cengkeh yang menghijau terlihat di
menghiasi pemandangan sepanjang perjalanan menyusuri jalan utama Kecamatan ini.
Pada bahu-bahu jalan kita bisa melihat masyarakat menggelar tikar-tikar mengalasi
cengkeh-cengkeh yang telah dipanen untuk mendapatkan sinar matahari. Pada
beberapa ruas jalan, gelaran-gelaran cengkeh inilah yang kadang memacetkan lalu
lintas lengang di jalan utama Kecamatan ini karena penempatannya yang memakan
hampir separuh lebar jalan.
Gambar 3.3.6.Menjemur Cengkeh Sumber: Data Primer
Dalam hal pengelolaan cengkeh masyarakat Cirinten dkategorikan menjadi 3,
yaitu: Pemilik lahan, Petani Penggarap, Pemborong atau pemodal, dan Tukang Pulung.
Dalam hal ini, setiap golongan tersebut memiliki peran dan fungsinya masing-masing
dalam bentuk hubungan kerja. Para pemilik lahan adalah mereka yang memiliki
sejumlah areal pertanahan yang difungsikan sebagai perkebunan. Biasanya dalam
96
kebun-kebun yang mereka miliki, mereka tidak hanya menanam cengkeh saja, tetapi
juga menanam beberapa macam tumbuhan lain seperti pohon sengon, kayu jati, dan
karet. Cengkeh umumnya bisa dipanen setelah berumur kurang lebih 7-12 tahun.
Ketika siap dipanen, si pemilik lahan akan mempekerjakan para petani penggarap, atau
yang lebih tepat disebut sebagai pemetik untuk mengambili cengkeh-cengkeh di
kebunnya. Para pemetik ini mendapatkan upah sebesar Rp. 1.500,-/ liter cengkeh
untuk pohon cengkeh yang rimbun, dan Rp. 2.000,-/liter untuk pohon cengkeh yang
kecil.
Gambar 3.3.7.Memanen Cengkeh Sumber: Dokumentasi Peneliti
Saat ini, harga cengkeh di pasaran mencapai Rp. 90.000/liter. Menurut para
petani di Cirinten harga ini sudah mengalami kemerosotan yang cukup tajam. Mereka
menceritakan bahwa 2 tahun yang lalu harga cengkeh pernah mencapai Rp.
240.000,/liter. Dengan fluktuasi harga seperti itu, cengkeh memiliki peran penting
dalam mendorong perekonomian masyarakat Cirinten. Menurut pengakuan warga
setempat, hasil dari cengkeh ini mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat.
Salah satu dari manfaat yang dapat dirasakan adalah pada pembiayaan kesehatan.
Apabila dibandingkan dengan dulu, saat ini masyarakat mampu membayar lebih untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan di tempat praktek perawat. Seperti yang dikatakan
oleh salah seorang perawat yang membuka praktek di Cirinten:
97
“Cengkeh ini memang yang bagus mas. Gara-gara cengkeh ini, kalau dulu orang datang suntik bayar 10 ribu, sekarang ya.. 15 ribu.. “
Salah satu sistem perekonomian yang cukup populer di Cirinten untuk
mengelola cengkeh adalah sistem gadai. Cara ini biasanya dipakai oleh masyarakat
Cirinten untuk mendapatkan sejumlah uang atau barang yang bisa diuangkan—yang
paling sering adalah emas—untuk menutup kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya
urgent. Meskipun dalam beberapa kasus, masyarakat menggunakan cara ini hanya
untuk meraih sedikit social prestige atau memenuhi tuntutan-tuntutan sosial.
Cara ini mungkin lebih tepat disebut sebagai sistem simpan pinjam, mirip
dengan sistem simpan-pinjam secara umum hanya dilakukan dengan jaminan lahan
cengkeh. Alat tukar yang digunakan dalam sistem gadai lahan ini seringkali adalah
emas. Cara ini bisa digambarkan sebagai berikut:
“Pak Ujang memiliki 50 batang pohon cengkeh di sebuah lahan perkebunan miliknya. Pada suatu hari Pak Ujang membutuhkan dana cepat karena salah satu anggota keluarganya meninggal. Pak Ujang mengetahui bahwa di lingkungannya ada seseorang yang terlihat memiliki aset kekayaan yang cukup besar, sebut saja Haji Tatang. Mengetahui hal tersebut, Pak Ujang mendatangi Haji Tatang untuk mendapatkan pinjaman dengan menawarkan 50 batang pohon cengkeh yang dimilikinya. Haji Tatang pun menerima tawaran Pak Ujang tersebut dan memberikannya pinjaman dalam bentuk emas seberat 100 gram. Transaksi akhirnya terjadi dan beberapa kesepakatan dibuat. Pinjaman yang diterima oleh Pak Ujang dalam bentuk emas tidak berbunga sama sekali dan hampir tidak memiliki jatuh tempo. Pak Ujang boleh menggunakannya untuk apapun dan bisa mengembalikannya kapanpun dia mampu. Akan tetapi sebagai timbal balik dari pinjaman tersebut adalah seluruh pengelolaan, hasil, berikut seluruh keuntungan dari 50 batang pohon cengkeh yang digadaikan oleh Pak Ujang menjadi milik Haji Tatang selama masa gadai masih berlangsung. Pak Ujang bisa mendapatkan hak atas pohon cengkehnya kembali ketika dia bisa mengembalikan 100 gram emas yang dipinjamnya, tentu saja dalam bentuk emas”.
Sistem gadai ini sering dipakai oleh masyarakat setempat ketika mereka
memerlukan dana cepat untuk sesuatu hal, misalnya menyelenggarakan hajatan,
aqiqah, atau menyiapkan biaya persalinan. Masyarakat yang sedang membutuhkan
dana biasanya akan pergi kepada anggota masyarakat lain yang memiliki kelebihan
dana yang bisa dipinjamkan. Selanjutnya mereka akan terikat hubungan simpan
pinjam. Sistem gadai inilah yang menyebabkan munculnya pemodal-pemodal besar
sebagai penguasa perkebunan cengkeh di wilayah Cirinten. Sistem ini juga yang
seringkali merugikan para penggadai lahan karena mereka tidak bisa mendapatkan
98
keuntungan dari pohon-pohon cengkeh yang ditanam di kebunnya selama lahan
mereka masih dalam masa gadai. Sebagai akibat dari itu kesenjangan sosial semakin
terasa. Hal ini bisa dilihat langsung ketika kita menginjakkan kaki di Cirinten. Terlihat
perbedaan yang sangat mencolok antara rumah orang yang mampu menguasai
ekonomi dan para petani yang menggantungkan kehidupan ekonominya sebagai
penggarap lahan.
Puskesmas Cirinten
Untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada warga Cirinten, Kecamatan Cirinten
telah memiliki sebuah Puskesmas. Puskesmas Cirinten terdiri dari 1 ( satu ) Puskesmas
Induk sebagai pelaksana teknis Dinas kesehatan dan Kessos Kabupaten dibantu oleh 2
(dua) Puskesmas Pembantu dan 2 (Dua ) Pos Kesehatan Desa Yaitu :
1. Puskesmas Pembantu Cilayang Desa Kadudamas
2. Puskesmas Pembantu Parigi Desa Karangnunggal
3. Pos Kesehatan Desa, Desa Badur dan
4. Pos Kesehatan Dasar Desa Nangerang
Gambar 3.3.8.Puskesmas Cirinten
Sumber: Dokumentasi Peneliti
99
Pada tahun 2009, Puskesmas melengkapi fasilitas pelayanannya dari yang
tadinya hanya pelayanan rawat jalan ditambah dengan pelayanan rawat inap dengan
banyaknya tempat tidur 10 buah. Dari Penambahan fasilitas ini, Puskesmas Cirinten
mendapat tambahan baru dalam namanya, yaitu dengan sebutan DTP (Dengan
Tempat Perawatan).
Salah satu penunjang dalam melaksanakan tugasnya, puskesmas Cirinten
didukung sejumlah tenaga kesehatan. Bila melihat standar yang berlaku untuk suatu
puskesmas perawatan, tenaga kesehatan yang seharusnya ada minimal sebanyak 35
orang, sedangkan kondisi saat ini di Puskesmas DTP Cirinten masih jauh dari standar
jumlah pegawai utamanya untuk tenaga medis perawat yang masih berjumlah 5 orang
terdiri atas 4 orang lulusan D3 keperawatan dan 1 orang lulusan SPK sehingga dengan
didasarkan kepada standar rasio pegawai di puskesmas perawatan dibandingkan
dengan tenaga yang ada, diharapkan pemerintah khususnya pemerintah daerah dapat
mengisi kekurangan yang ada dan pemerataan petugas kesehatan sesuai dengan
tingkat kebutuhan, tidak terganggu pada kepentingan pribadi ataupun politik semata.
Akan tetapi menurut Kepala Puskesmas Cirinten, jumlah pegawai Puskesmas Cirinten
masih sangat jauh dari rasio yang dibutuhkan.
“Kita itu di sini masih ada yang namanya tugas rangkap bu. Jadi satu petugas pekerjaannya macam-macam.”
100
Tabel 3.3.2. Data Ketenagaan Puskesmas DTP Cirinten Tahun 2010
Jenis Ketenagaan Jumlah Status Kepegawaian
I. Puskesmas Induk
S2 1 PNS
Dokter 2 PNS
Dokter gigi -
Sarjana/D3
a. SKM 2 PNS dan Magang
b. Akper 4 PNS dan Magang
c. Akbid 0
d. Akademi Gizi 1 PNS
e. Akademi Kesling 1 PNS
f. Perawat Gigi -
Perawat (SPK) 1 Sukwan
Tenaga Lab -
Pengelola Obat -
Tenaga Kebersihan 1 Sukwan
II. Puskesmas Pembantu
Bidan 2 PNS
III. Poskesdes
Bidan 2 PTT
IV. Bidan Desa
Bidan 6 PTT dan PNS
Sumber : Data Kepegawaian Puskesmas DTP Cirinten 2010
Rasio penduduk yang besar dibandingkan dengan medan yang sulit, keluhan
mengenai kurangnya jumlah tenaga kesehatan memang merupakan sebuah keluhan
yang muncul dari pihak Puskesmas. Hal itu juga mengakibatkan munculnya double job
pada tenaga kesehatan di Puskesmas ini. Seorang petugas kesehatan harus dibebani
dengan bermacam tugas yang berbeda pada satu waktu. Sebagai akibatnya pelayanan
kesehatan untuk masyarakat menjadi kurang maksimal. Contohnya seorang perawat di
Puskesmas ini, selain dia harus melaksanakan tugasnya dengan shift siang dan malam,
dia juga harus bisa melayani tugas panggilan dari warga yang membutuhkan
pelayanannya.
101
Gambar 3.3.9.Peta Sarana Kecamatan Cirinten
Masalah Kesehatan KIA dan cakupan puskesmas pelayanan KIA
Angka kematian bagi merupakan indikator bagi tingkat pelayanan yang
diberikan. Semakin besar angka kematian maka semakin rendah tingkat pelayanan
kesehatan yang diberikan, begitupun sebaliknya. Jumlah angka kematian bayi dan
balita di Kecamatan Cirinten untuk tahun 2010 sebanyak 30 orang. Bila berdasarkan
jenis kelamin, sebagian besar kematian terjadi pada perempuan 17 orang (56.6%)
dengan penyebab kematian terbesar disebabkan oleh penyebab lainnya seperti ispa,
febris, asma, aspirasi yaitu sebesar 6 orang (35.3%) dari 17 kematian bayi balita
berjenis kelamin perempuan sebadangkan untuk kelompok umur, terdapat 19 orang
(63.3% ) usia 0-28 hari, sebanyak 9 (30%) orang usia 1-11 bulan dan sebanyak 2 (6.6%)
orang balita (tabel 8).
102
Bila dibandingkan dengan jumlah kematian bayi dan balita tahun 2009, terjadi
penurunan jumlah kematian. Tahun 2009 terjadi 33 kematian bayi dan balita, sehingga
terjadi penurunan 3 (9.1%) kematian bayi dan balita. Ini disebabkan adanya
penambahan jumlah tenaga kesehatan khususnya bidan desa yang semula 7 orang
bidan untuk 10 desa menjadi 10 bidan untuk 10 desa binaan, sehingga angka kasus
kematiaan dapat ditekan dan adanya kemitraan bidan dengan dukun paraji yang telah
terbina dengan baik dalam pertolongan persalinan yang diharapkan terus terjalin
sehingga kasus kematian bayi, balita dan ibu dapat terus berkurang.
Untuk kematian ibu bersalin, terdapat 2 kasus kematian dengan penyebab
utama perdarahan post partum. angka ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun
2009, di mana untuk kasus kematian ibu bersalin di wilayah binaan Puskesmas DTP
Cirinten adalah 0 (nol) kasus. Lonjakan angka kematian ibu lebih banyak disebabkan
oleh intrernal keluarga khususnya ibu hamil yang merasa persalinan oleh tenaga
kesehatan bukan sesuatu yang penting dan memanggil tenaga kesehatan (bidan) bila
sudah terjadi kesulitan dalam persalinan. Hal ini juga menjadi suatu dilema dan
tantangan bagi tenaga kesehatan untuk terus bermitra dengan dukun paraji serta lebih
memotivasi masyarakat untuk mempercayakan persalinannya kepada tenaga
kesehatan yang bermitra dengan dukun paraji karena tidak menutup kemungkinan
kepercayaan masyarakat terhadap dukun paraji masih sangat tinggi dengan
bermodalkan kekeluargaan dan tradisi ataupun kepercayaan paraji terhadap tenaga
kesehatan yang mengendor walaupun telah terjadi kemitraan, apalagi program
kesehatan berupa P4K (Program Perencanaan dan Pencegahan Komplikasi) guna
menunjang desa siaga terus digalakan.
103
Tabel. 3.3.3.
Angka Kematian dan Penyebabnya Tahun 2010
No Penyebab
Kematian
Jenis Kelamin Kelompok Umur
Laki-
Laki
Perempuan
Neonatus bayi balit
a
Non
Matrn
l
Maternal
Bumil Buli
n
Ibu
Nifas
1 Lahir Mati 1 0 0 0 0 1 0 0
2 BBLR/Prematur 4 5 0 0 0 9 0 0
3 Asfiksia 2 5 0 0 0 7 0 0
4 Sepsis 0 0 0 0 0 0 0 0
5 Neonatorum 1 0 0 0 0 1 0 0
6 Kelainan
bawaan 0 0 0 0 0 0 0 0
7 Pnemonia 1 1 0 0 0 0 2 0
8 Demam
Thypoid 0 0 0 0 0 0 0 0
9 Diare 0 0 0 0 0 0 0 0
10 TBC paru 0 0 0 0 0 0 0 0
11 Diftery 0 0 0 0 0 0 0 0
12 Pertusis 0 0 0 0 0 0 0 0
13 Campak 0 0 0 0 0 0 0 0
14 Malaria 0 0 0 0 0 0 0 0
15 DBD 0 0 0 0 0 0 0 0
16 Meningitis 0 0 0 0 0 0 0 0
17 Gizi Buruk 0 0 0 0 0 0 0 0
18 Kecelakaan 0 0 0 0 0 0 0 0
19 Lain-lain 4 6 0 0 0 1 7 2
20 Perdarahan 0 0 0 2 0 0 0 0
Jumlah 13 17 0 2 0 19 9 2
Sumber: Profil Puskesmas Cirinten
3.3.3. Perilaku Masyarakatterkait Kesehatan Ibu dan Anak
Pandangan tentang ibu hamil, bersalin, bayi/anak
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mereka menganggap bahwa kehamilan
adalah berkah bagi keluarga mereka, sehingga mungkin ini juga salah satu faktor yang
menyebabkan beberapa ibu tidak menggunakan alat kontrasepsi untuk membatasi
jumlah anak dalam keluarganya, disamping faktor lainnya. Beberapa pantangan yang
berkaitan selama kehamilan masih tetap ada sesuai dengan nilai-nilai kepercayaan
yang masih diyakini oleh masyarakat setempat. Begitu pula anjuran terhadap ibu
104
hamil. Pada dasarnya pantangan-pantangan dan anjuran-anjuran tersebut bertujuan
agar ibu hamil dapat melewati masa kehamilannya secara baik dan dapat melahirkan
dengan lancar walaupun beberapa pantangan tersebut ada yang tidak dapat diterima
secara logika atau akal.
Berkaitan dengan pemakaian jimat oleh ibu hamil, masih ada juga yang
mempercayai dan memakai jimat selama kehamilan. Hal tersebut dilakukan karena
mereka percaya jimat tersebut mencegah gangguan dari roh-roh jahat yang dapat
mengganggu ibu hamil. Apalagi masih ada kepercayaan terhadap setan atau roh jahat
yang bisa mengganggu kepada ibu hamil terutama saat melahirkan. Kepercayaan-
kepercayaan tersebut juga sebagai salah satu faktor yang mengapa mereka masih
mempercayai dukun beranak dalam menjaga kehamilan mereka dan penolong
disamping faktor-faktor lainnya.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa masih banyak ibu hamil yang tidak
memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan secara rutin sesuai anjuran
kesehatan dengan berbagai alasan. Ketidak terjangkauan pelayanan kesehatan
menjadi alasan utama. Kondisi alam berupa perbukitan, tempat tinggal yang tidak
dilalui sarana transportasi umum, tempat tinggal yang terpencil, ketiadaan biaya
membayar tenaga kesehatan, dan lain sebagainya menyebabkan keterbatasan dalam
menjangkau pelayanan kesehatan. Keadaan tersebut semakin mendukung perilaku
memeriksakan kehamilannya ke tukang kusuk/dukun beranak sebagai tenaga yang
lebih mudah mereka jangkau.
Dari berbagai hal tersebut, maka perlu dilakukan beberapa hal dalam
menangani hal tersebut. Perlunya peningkatan pengetahuan dan pemahaman ibu
tentang pentingnya menjaga kesehatan selama kehamilan. Perlu peningkatan
pengetahuan tentang kehamilan, risiko saat kehamilan, makanan sehat, dan
perawatan kehamilan. Promosi kesehatan tersebut dapat diberikan petugas kesehatan
melalui kegiatan posyandu, penyuluhan di puskesmas, dan acara-acara
kemasyarakatan lainnya. Diharapkan dengan bertambahnya pengetahuan mereka
dapat meningkatkan keyakinan mereka untuk melakukan pemeriksaan kehamilan pada
fasilitas kesehatan seperti puskesmas atau polindes.
105
Kebiasaan masyarakat dalam memanfaatkan cara-cara tradisional cukup
membantu menghilangkan keluhan yang dialami. Perawatan tradisional yang masih
dipercaya dan dilakukan, sejauh tidak memberikan dampak membahayakn kesehatan,
masih dapat terus dilakukan.
Kepercayaan yang masih berkembang
Kondisi kesehatan, khususnya dalam hal ini kesehatan ibu dan anak tidak bisa
hanya dilihat dari sisi medis saja. Kondisi kesehatan ibu dan anak tidak dapat
dilepaskan dari ruang lingkup sosio-kultural yang melingkupinya. Dalam hal ini budaya
masyarakat yang menjadi pelaku dalam kehidupan sosial pada suatu masyarakat
tertentu.
Kebudayaan,menurut Koentjaraningrat merupakan“keseluruhan sistem
gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar”.Dalam definisi lain, Clifford Geertz (1992)
mengatakan bahwa kebudayaan merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang
diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi,
melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap
kehidupan.Kebudayaan merupakan sebuah sistem, dimana sistem itu terbentuk dari
perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Dan hal ini berkaitan erat dengan
adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun
waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam
kumpulan masyarakat.
Lebih lanjut, J. J Honigmann (dalam Koenjtaraningrat, 2000) membedakan
adanya tiga ‘gejala kebudayaan’: yaitu : (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifact, dan ini
diperjelas oleh Koenjtaraningrat yang mengistilahkannya dengan tiga wujud
kebudayaan, yaitu pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide-
ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Kedua,
wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari
manusia dalam masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil
karya manusia.
106
Mengenai wujud kebudayaan ini, Elly M.Setiadi dkk (2007:29-30) memberikan
penjelasannya sebagai berikut:
1). Wujud Ide
Wujud tersebut menunjukann wujud ide dari kebudayaan, sifatnya abstrak, tak dapat
diraba, dipegang ataupun difoto, dan tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat
dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup.
Budaya ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada
tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai sopan santun.
Kebudayaan ideal ini bisa juga disebut adat istiadat.
2). Wujud perilaku
Wujud tersebut dinamakan sistem sosial, karena menyangkut tindakan dan kelakuan
berpola dari manusia itu sendiri. Wujud ini bisa diobservasi, difoto dan
didokumentasikan karena dalam sistem sosial ini terdapat aktivitas-aktivitas manusia
yang berinteraksi dan berhubungan serta bergaul satu dengan lainnya dalam
masyarakat. Bersifat konkret dalam wujud perilaku dan bahasa.
3). Wujud Artefak
Wujud ini disebut juga kebudayaan fisik, dimana seluruhnya merupakan hasil fisik.
Sifatnya paling konkret dan bisa diraba, dilihat dan didokumentasikan. Contohnya :
candi, bangunan, baju, kain komputer dll.
Mengenai unsur kebudayaan, dalam bukunya pengantar Ilmu Antropologi,
Koenjtaraningrat, mengambil sari dari berbagai kerangka yang disusun para sarjana
Antropologi, mengemukakan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat
ditemukan pada semua bangsa di dunia yang kemudian disebut unsur-unsur
kebudayaan universal, antara lain: Bahasa, Sistem Pengetahuan, Organisasi Sosial,
Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi, Sistem Mata Pencaharian, Sistem Religi, dan
Kesenian.Dalam konteks Kesehatan Ibu dan Anak di Cirinten, wujud-wujud budaya ini
muncul dalam tradisi-tradisi yang secara turun temurun telah dikenal oleh masyarakat
dan masih berkembang sampai saat ini.
107
Kehamilan. Kehamilan merupakan sebuah anugerah dan berkah yang harus
disyukuri. Jika mereka hamil, mereka akan senang dan bahagia. Selama masa
kehamilan terdapat pantangan, anjuran dan praktek-praktek tradisi yang secara adat
masih dipercaya oleh masyarakat Cirinten. Ketika hamil ada sebuah kepercayaan yang
masih dijalankan oleh masyarakat. Salah satunya adalah selalu membawa gunting ke
mana-mana. Dalam kepercayaan masyarakat Cirinten hal ini dilakukan untuk
melindungi ibu dan calon bayi dari gangguan makhluk-makhluk halus yang jahat.
Gunting yang dibawa tidak harus gunting yang khusus. Melainkan gunting biasa saja
yang bisa didapatkan di mana saja. Selain membawa gunting, beberapa masyarakat
juga mendapatkan semacam jimat yang diberikan oleh dukun setempat atau yang
dikenal sebagai Paraji atau orang tuanya. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang
suami berikut:
“ada juga dikasih tali hitam dikasih doa, dikasih di perutnya istri, yang ngasih oran tua, ada juga yg dari paraji”
Masyarakat setempat juga mengenal upacara-upacara khusus untuk ibu hamil
dan calon bayi. Salah satunya adalah adalah Upacara Tujuh Bulanan atau yang disebut
dalam bahasa setempat Nujuh Bulanan/ Tingkeban. Nujuh dalam bahasa Sunda berarti
tujuh, jadi Nujuh Bulanan adalah upacara yang diadakan pada bulan ketujuh masa
kehamilan. Nama lain dari Nujuh Bulanan ialah Tingkeban berasal dari kata tingkeb
artinya tutup, maksudnya ibu yang sedang mengandung tujuh bulan tidak boleh
bercampur dengan suaminya sampai empat puluh hari setelah persalinan.
Nujuh Bulanan adalah Upacara yang dilaksanakan wanita hamil pertama kali
ketika usia kandunganya genap tujuh bulan. Untuk menentukan waktu untuk
mengadakan Upacara Adat Nujuh Bulanan biasanya diambil dari tanggal yang ada
angka tujuhnya dan merupakan tanggal terakhir yaitu tanggal duapuluh tujuh.
Pengertian lebih dalam dari Upacara Nujuh Bulanan/ Tingkeban adalah upacara adat
yang berupa selamatan yang dilaksanakan oleh ibu hamil yang baru pertama kali
mengandung yang usia kendungannya genap tujuh bulan. Upacara Nujuh Bulanan ini
dilaksanakan sebagai puji syukur kepada Tuhan atas karunia yang diberikan berupa
anak dalam kandungan dan meminta keselamatan dan harapan - harapan baik untuk
anaknya kelak.
108
Pada pelaksanaan upacara ini terdapat tujuh prosesi yang harus dijalankan,
antara lain:
1. Pengajian
Prosesi pertama yang dilakukan adalah pengajian. Tahapan ini biasanya dimulai
dengan ceramah siraman rohani yang kemudian diteruskan dengan pembacaan Al-
Qur’an.
2. Siraman
Pada tahapan ini disediakan air dengan 7 macam bunga kemudian satu persatu orang
tua dari ibu hamil menyirami dengan air tesebut. Jumlah orang yang menyiram ada
tujuh orang mulai dari yang tertua hingga saudara/kerabat. Siraman ditujukan untuk
mensucikan calon ibu lahir batin agar anaknya kelak tidak ada beban moral. Bunga
tujuh rupa sebagai lambang kelak memilik budi pekerti yang baik sehingga
menyenangakan bagi orang lain.
3. Ganti kain (7 macam motif kain yang berbeda)
Disediakan air dengan 7 macam bunga kemudian satu persatu orang tua dari ibu hamil
menyirami dengan air tesebut. Jumlah orang yang menyiram ada tujuh orang mulai
dari yang tertua hingga saudara/kerabat. Siraman ditujukan untuk mensucikan calon
ibu lahir batin agar anaknya kelak tidak ada beban moral. Bunga tujuh rupa sebagai
lambang kelak memilik budi pekerti yang baik sehingga menyenangakan bagi orang
lain. Motif-motif kain tersebut adalah: Sidomukti, Sidoluhur, Truntum, Parang, Semen
Rama, Udan Riris, dan Cakar
4. Pemberian bingkisan
Setelah mendapat giliran siraman dan ganti kain, orang yang menyiram diberi
bingkisan berupa hahampangan dan bebeutian yang ditaruh dipiring yang terbuat dari
tanah liat.
Hahampangan bermakna kelak anaknya akan mudah mendapat rezeki dan semua
urusanya dimudahkan. Beubeutian mempunyai makna agar anaknya kelak memiliki
budi pekerti yang baik dan rendah hati.
5. Belah kelapa
Kelapa gading yang telah digambar Kamajaya dan Kamaratih/Arjuna dan Sumbadra
dimasukan ke dalam kain yang dipakai oleh ibu hamil. Karakter wayang yang dipilih
109
melambangkan kelak anak yang akan lahir memiliki karakter baik seperti karakter
wayang yang dipilih. Bila anaknya perempuan kelak akan secantik
Sumbadra/Kamaratih dan memiliki sifat yang murah hati dan setia, dan bila anaknya
kelak laki-laki maka akan setampan Arjuna/Kamajaya, gagah berani, membela yang
benar.
6. Memecahkan jajambaran
Air sisa siraman ditambahkan uang koin dibawa oleh suami ibu hamil ke pertigaan
jalan/simpang tiga lalu dipecahkan ditengah-tengah pertigaan. Makna yang
terkandung didalamnya adalah agar anaknya kelak akan diberi kebebasan untuk
menetukan hidupnya. Uang koin pada Jajambaran bermakna agar anaknya kelak diberi
rezeki yang berkecukupan dan memiliki sifat dermawan.
7. Sambel pepeh.
Sebenarnya tahapan ini dilakukan dengan membuat rujak. Tetapi dalam adat di
wilayah kecamatan Cirinten, prosesi ini diganti dengan membuat sambel pepeh.
Sambel pepeh sendiri sebenarnya mirip dengan rujak, tetapi dibuat dengan bahan lain.
Bahan-bahannya adalah jahe, kunir, cabe puyeng, dan mangga. Semua tamu yang
menghadiri upacara nujuh bulanan akan memakan, makanan ini.
Biaya yang dikeluarkan oleh keluarga untuk menyelenggarakan upacara ini
tidak sedikit. Paling tidak sekitar Rp. 500.000,- sampai dengan Rp. 2.000.000,- bisa
mereka keluarkan untuk satu kali upacara ini. Tergantung besar/ kecilnya acara yang
diselenggarakan. Biaya ini dianggap salah satu biaya yang besar yang dikeluarkan oleh
keluarga untuk menyambut kelahiran sang bayi. Seperti yang dikatakan oleh seorang
suami berikut:
“kalau untuk 7 bulanan mengeluarkan biaya juga,biasanya habis 500 ribu untuk
persiapan setelah melahirkan”
Selain menyelenggarakan upacara-upacara tertentu dan menjalankan tradisi
sesuai adat, terdapat juga beberapa pantangan yang harus dihindari oleh Ibu ketika
dalam masa kehamilan. Ketika hamil seorang ibu tidak boleh pergi ke hutan, hal ini
dimaksudkan untuk menghindari gangguan yang mungkin akan menimpa ibu apabila
pergi ke hutan. Gangguan itu bisa berasal dari binatang-binatang buas, atau dari
makhluk-makhluk gaib yang jahat. Ibu juga tidak diperbolehkan melilitkan handuk ke
leher ketika hendak mandi atau melakukan aktivitas lain. Dipercaya apabila Ibu
110
melakukan ini, maka nantinya bayi akan terlilit tali pusatnya ketika dilahirkan.
Kepercayaan-kepercayaan lain yang berkaitan dengan harapan akan lancarnya
kelahiran atau perlindungan terhadap gangguan hal-hal jahat juga masih berkembang.
Contohnya makan dengan piring besar dapat mengakibatkan bayi yang dilahirkan
bertubuh besar, atau duduk di dekat pintu yang bisa menyebabkan ibu kesulitan dalam
melahirkan dan lain sebagainya.
Menjelang persalinan, peran suami sangat penting. Mereka cukup perhatian
terhadap isteri yang hendak melahirkan. Suami biasanya yang mengantar ke bidan,
memanggil tukang kusuk atau dukun beranak, dan mengerjakan pekerjaan rumah
seperti memasak dan mencuci pakaian. Seorang ibu yang memiliki bayi (informan)
menceritakan kecemasan suami menjelang persalinan anak terakhir mereka.
Singkatnya tradisi masyarakat Cirinten terkait dengan masa kehamilan dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel. 3.3.4.
Tradisi Masyarakat Cirinten Terkait Masa Kehamilan
Tradisi Masyarakat Cirinten Pada Saat Kehamilan
Ritual/tradisi/adat Pantangan
- Harus bawa gunting ke mana-mana: Dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada Ibu Hamil, supaya tidak dingganggu oleh roh jahat. - Tujuh bulanan: Upacara menyambut 7 bulan kehamilan. Biasanya dilakukan dengan menyelenggarakan pengajian atau shalawatan.
- Tidak boleh pergi ke hutan : menghindari gangguan binatang buas dan roh-roh jahat. - Tidak boleh Melilitkan handuk ke leher: Ada kepercayaan bahwa nanti bayinya akan terlilit tali pusat. - Memakai sarung tinggi - Makan di piring besar: Nantinya bayinya akan bertubuh besar, sehingga akan sulit untuk dilahirkan. - Duduk di pintu: Apabila dilakukan akan ada penyulit ketika melahirkan. - Tidak boleh Makan buah yang jelek - Tidak boleh Makan yang panas - Tidak boleh Buang limbah sembarangan - Tidak boleh Makan pepaya dan cabai
Sumber: Data Primer
Persalinan. Proses persalinan merupakan suatu kondisi yang perlu mendapat
perhatian khusus mengingat pada saat tersebut resiko terjadinya kondisi kritis yang
membahayakan jiwa seorang ibu sangat besar. Masyarakat sudah menyadari adanya
111
resiko tersebut, terbukti banyak upaya pencegahan yang dilakukan baik berupa upaya
medis maupun non medis. Persiapan menyambut kehadiran bayi dilakukan dengan
penyiapkan segala keperluan bayi. Selain persiapan fisik, juga dilakukan persiapan
psikis yang dilakukan baik ibu maupun keluarga bahkan dukungan dari lingkungannya.
Menurut bidan setempat, secara tradisional cara melahirkan di wilayah ini
adalah dalam posisi jongkok, lutut harus menyentuh lantai, dan semua pakaian harus
dibuka. Dalam kepercayaan setempat cara ini adalah cara terbaik untuk membantu ibu
dalam melahirkan. Bayi akan lahir dengan selamat, dan ibu akan mudah sewaktu
melahirkan. Akan tetapi sayangnya, karena keterbatasan waktu pada waktu
pengumpulan data dalam penelitian ini, informasi mengenai hal ini tidak dapat kami
telusuri lebih lanjut.
Beberapa macam pantangan juga diberlakukan untuk ibu menjelang
persalinan. Pantangan-pantangan tersebut dimaksudkan untuk keselamatan bayi pada
waktu proses persalinan. Supaya bayi yang nantinya dapat lahir dengan selamat, dan
dalam kondisi yang sehat tanpa kekurangan suatu apapun. Secara ringkas berikut
tradisi masyarakat terkait masa persalinan di Cirinten:
Tabel. 3.3.5. Tradisi Masyarakat Cirinten Terkait Masa Persalinan
Tradisi Masyarakat Cirinten Pada Saat Persalinan
Ritual/tradisi/adat Anjuran Pantangan
Melahirkan dalam posisi jongkok, lutut menyentuh lantai. Semua pakaian harus dibuka
Harus banyak bergerak - Tidak boleh mengikat rambut : Dapat mengakibatkan bayi yang dilahirkan terlilit tali pusat. - Tidak boleh pakai emas - Tidak boleh tertidur
Sumber: Data Primer
Pasca-Persalinan. Secara adat, masyarakat Cirinten juga mengenal berbagai
tradisi yang diberlakukan kepada anggotanya yang baru saja mendapat berkah dari
kelahiran anak dalam keluarga tersebut. Tradisi tersebut khususnya diberlakukan
untuk ibu dan anak. Kepercayaan masyarakat pada pelaksanaan tradisi ini masih
112
sangat kuat, sehingga seakan-akan apabila tradisi ini tidak dijalankan maka ada sesuatu
yang hilang dari peristiwa kelahiran ini.
Salah satu tradisi yang masih kuat dan banyak dijalankan oleh masyarakat
adalah Tradisi Nyandak. Tradisi ini dimaksudkan sebagai salah satu bentuk perawatan
ibu yang baru saja melahirkan. Nyandak dalam bahasa sunda berarti duduk bersandar.
Dalam tradisi ini, seorang ibu diharuskan untuk berada dalam posisi duduk bersandar
selama 40 hari/malam setelah melahirkan. Dengan posisi seperti ini, masyarakat
percaya bahwa seorang ibu akan lebih cepat pulih dan kembali dapat melakukan
aktivitas sehari-hari. Posisi ibu ketika menjalankan tradisi Nyandak dapat dilihat pada
gambar berikut:
Gambar. 3.3.10. Nyandak
Sumber: Data Primer
Ibu yang menjalankan tradisi Nyandak akan berada dalam posisi seperti terlihat
pada gambar di atas selama 40 hari/malam. Biasanya di depan telapak kaki ibu
diletakkan sebongkah batu atau karung pasir yang cukup berat untuk menopang posisi
Nyandak ini. Tradisi ini langsung dilakukan oleh Ibu segera setelah dia selesai bersalin,
begitu ibu tersebut merasa sedikit pulih dari kelelahannya setelah melahirkan. Ibu
akan berada dalam posisi bersandar selama mungkin dia bisa melakukannya dalam
kurun waktu 40 hari. Dalam arti, seluruh kegiatan mulai dari makan, menyusui anak,
Keterangan: Gambar posisi ibu yang sedang melaksanakan tradisi Nyandak. Di belakang ibu ditaruh bantal-bantal untuk memberi kenyamanan ibu bersandar. Tempat duduk ibu adalah sebuah tempat tidur tipis, sedangkan bantal di sampingIbu digunakan untuk menidurkan bayi.
113
menidurkan anak, atau aktivitas lainnya akan dilakukan sembari Ibu tersebut Nyandak.
Biasanya ibu hanya akan beranjak dari Nyandak ketika dia harus pergi ke kamar kecil
atau mandi. Untuk menjalankannya, biasanya di sekitar ibu tersebut ada seorang paraji
atau orang tua yang mengerti mengenai tradisi ini yang akan mengarahkan si ibu untuk
Nyandak.
Menurut petugas kesehatan setempat, Tradisi Nyandak ini kadang kala dapat
membahayakan kesehatan ibu. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang petugas
kesehatan berikut:
“Dulu itu sampai pernah ada satu ibu tu sampai apa itu… vaginanya itu lengket. Iya.. Karena dalam posisi gitu terus kan? Empat puluh hari”
Selain itu, menurut petugas kesehatan setempat, permasalahan seperti cidera
tulang belakang ringan juga kadang diderita oleh Ibu yang menjalanakan tradisi
Nyandak ini. Akibat tidak langsung dari tradisi ini juga adalah adanya pembatasan bagi
seorang Ibu untuk mengakses pelayanan kesehatan pada masa nifas. Hal ini
dikarenakan ibu yang sedang Nyandak harus berada dalam posisi tersebut selama
masa nifasnya dan tidak boleh keluar rumah. Sehingga mereka tidak bisa mendapatkan
pelayanan kesehatan pada masa nifas yang seharusnya dapat mereka peroleh dari
fasilitas kesehatan di wilayah di mana mereka tinggal.
Sementara Ibu sedang menjalankan Nyandak, bayi biasanya akan ditidurkan di
samping Ibu. Dalam adat di Cirinten, masyarakat juga masih percaya pada jimat-jimat
yang dipercaya dapat memberikan perlindungan kepada bayi dari gangguan roh-roh
jahat. Seperti terlihat dari gambar di bawah ini:
114
Gambar3.3.11. Gelang Kapas Gambar 3.3.12. Pisau Pelindung
Seperti terlihat pada gambar di atas, masyarakat masih mengenakan beberapa
jenis jimat yang dilekatkan pada bayi untuk memberi perlindungan dari gangguan roh-
roh jahat. Jimat-jimat tersebut biasanya diberikan oleh orang-orang tua atau paraji
setempat. Selain tradisi-tradisi yang telah dipaparkan di atas, masyarakat Cirinten juga
masih mengenal beberapa macam tradisi yang masih mereka jalankan sampai
sekarang. Seperti terlihat pada tabel berikut:
Keterangan:
Gelang ini dibuatkan oleh dukun atau orang yang dituakan oleh masyarakat setempat dan dimaksudkan untuk memberi perlindungan kepada bayi dari gangguan hal-hal yang tidak baik
Keterangan:
Salah satu kebiasaan masyarakat Cirinten adalah meletakkan pisau di samping bayi yang sedang tertidur. Fungsinya sama dengan gelang di atas, yaitu memberikan perlindungan kepada bayi dari gangguan hal-hal yang tidak baik.
115
Tabel. 3.3.6.
Tradisi Masyarakat Cirinten Pasca Persalinan
Tradisi Masyarakat Cirinten Pasca Persalinan
Ritual/tradisi/adat Anjuran Pantangan
- Perehan: Menetesi mata ibu yang baru saja melahirkan dengan air merica. Hal ini dimaksudkan untuk membuat ibu tetap terjaga. Dalam pandangan masyarakat setempat seorang ibu harus tetap terjaga setelah melahirkan, apabila dia tertidur, itu akan berbahaya bagi dirinya. - 3 harian: Upacara 3 harian diselenggarakan untuk bayi baru lahir. Biasanya upacara ini dilakukan dengan mengadakan pengajian atau sholawatan. - Digebrak : Tradisi menggebrak sesuatu di dekat ibu yang baru saja melahirkan. Barang yang digebrak atau dipukul bisa apa saja asal bisa membangunkan ibu. Sama seperti perehan, tradisi ini dimaksudkan untuk menjaga ibu tetap terjaga setelah melahirkan. - Cukuran : Tradisi mencukur bayi. Biasanya dilakukan bersamaan dengan Akikah. - Doa sawan untuk bayi : Doa-doa yang dibacakan oleh Paraji pada waktu bayi lahir untuk menjauhkan bayi dari hal-hal buruk. - Nyandak selama 40 hari : Seorang Ibu yang baru saja melahirkan harus berada dalam kondisi duduk selama 40 hari.
Makan sambel pepeh
Tidak boleh makan ikan laut
Sumber: Data Primer
Pengetahuan masyarakat tentang Kesehatan Ibu pada Masa Kehamilan, Persalinan
dan Pasca Persalinan
Masa kehamilan. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan pada 67 Ibu di
Cirinten, pengetahuan Ibu mengenai KIA sebenarnya sudah cukup baik. Hasil survey
menunjukkan bahwa 85.1% ibu menyatakan penting untuk memeriksakan diri selama
4 kali pada masa kehamilan mereka. Ini menunjukkan kesadaran mereka akan
pentingnya pemeriksaan medis pada masa kehamilan mereka. Pernyataan lain yang
juga menunjukkan kesadaran ibu yang tinggi pada pemeriksaan medis selama masa
kehamilan adalah mengenai antisipasi akan faktor-faktor resiko pada kelahiran.
Sebanyak 100% ibu menyatakan bahwa sangat penting mengukur tensi pada waktu
memeriksakan kehamilan mereka. Namun, sebanyak 31.4% ibu menyatakan bahwa
konsumsi tablet tambah darah (Fe) tidak penting pada masa kehamilan. Tentu saja
dukungan dari orang-orang yang berada di sekitar ibu juga sangat penting untuk dapat
116
menjalankan hal ini. Peran suami, orang tua dan keluarga sangat berpengaruh dalam
mendukung kesadaran Ibu pada pentingnya pemeriksaan selama masa kehamilan.
Persalinan. Pengetahuan Ibu pada masa persalinan cukup menarik untuk
ditelaah lebih lanjut. Kebanyakan ibu menyatakan bahwa persalinan persalinan lebih
baik dilakukan di rumah daripada di rumah sakit. Sebanyak 59.7% ibu menyatakan
demikian. Hal ini terkait dengan kondisi geografis dan ekonomi masyarakat yang
menyebabkan sulitnya ibu untuk mengakses fasilitas pelayanan kesehatan. Seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya, kondisi geografis di Cirinten yang berbukit-bukit
semua permasalahan yang melingkupinya termasuk akses komunikasi dan transportasi
membuat masyarakat sulit untuk dapat mengakses fasilitas pelayanan kesehatan.
Sehingga, hal ini bisa menjelaskan mengapa ibu menyatakan bahwa bersalin di rumah
sama amannya dengan di fasilitas kesehatan. Selain karena kondisi geografis yang sulit,
faktor kekerabatan juga berpengaruh dalam hal ini. Ikatan yang erat dalam ruang
lingkup keluarga memberi rasa nyaman tersendiri bagi seorang ibu yang akan bersalin.
Sehingga rasa aman tersebut juga muncul apabila ketika mereka bersalin, anggota
keluarga yang lain berkumpul di dekat mereka.
Kepercayaan terhadap adat dan tradisi yang secara turun temurun telah
dikenal masyarakat juga mempengaruhi pengetahuan ibu dalam hal KIA. Hasil survey
menunjukkan bahwa sebanyak 56.2% ibu menyatakan bahwa upacara-upacara
tertentu perlu dilakukan supaya persalinan dalam berjalan dengan lancar dan selamat.
Tradisi perawatan kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan memang masih sangat
kuat di sini. Seperti yang telah dijelaskan di atas, ada cukup banyak bentuk-bentuk
tradisi masyarakat yang dijalankan terkait masa kehamilan, persalinan, dan pasca
persalinan. Meskipun tidak semua ibu dari sampel yang disurvey melakukannya, akan
tetapi kebanyakan menyatakan bahwa tradisi-tradisi tersebut masih sangat penting
untuk dilakukan. Hal ini juga ditambah dengan keberadaan Paraji (dukun) yang masih
dipercaya oleh masyarakat. Hasil survey di Cirinten menunjukkan bahwa sebanyak
58.2% ibu menyatakan bahwa kemampuan dukun sama dengan kemampuan bidan.
Hal ini mengindikasikan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap dukun masih tinggi.
Pasca-persalinan. Tradisi-tradisi dalam bentuk upacara, ritual, atau pemakaian
jimat tertentu juga masih kuat dijalankan di Cirinten pada masa nifas. Seperti yang
telah dijelaskan di atas, ada beberapa tradisi yang masih dijalankan oleh ibu selepas
117
persalinannya. Salah satunya adalah Nyandak, di mana seorang ibu memulihkan
dirinya setelah persalinan dengan cara tetap berada dalam posisi duduk bersandar
selama 40 hari. Masyarakat sampai sekarang masih percaya bahwa dengan cara itu ibu
akan lebih cepat pulih dan dapat beraktivitas seperti sedia kala. Lepas dari semua
analisa medis mengenai bahayanya praktek ini, hasil survey ini menunjukkan bahwa
pengetahuan masyarakat mengenai salah satu cara perawatan pasca persalinan
dengan menggunakan tradisi masih cukup kuat.
Hal lain yang ditemukan dari hasil survey di Cirinten adalah kesadaran
masyarakat yang cukup tinggi mengenai pembatasan jumlah anak dan pengaturan
jarak kelahiran. Hasil survey di Cirinten menunjukkan sebanyak 71.7% ibu menyatakan
perlu untuk ikut KB pada masa nifas.
Sikap masyarakat tentang Kesehatan Ibu pada masa Kehamilan, Persalinan dan
Pasca Persalinan
Pengetahuan mengenai KIA seperti yang telah dijabarkan di atas
mempengaruhi sikap masyarakat tentang kesehatan Ibu pada masa kehamilan,
persalinan, dan pasca persalinan. Tabel di bawah ini menunjukkan sikap ibu terkait KIA
dari hasil survey pada 67 orang ibu di Kecamatan Cirinten:
Tabel.3.3.7.
Pernyataan Ibu terkait Pelayanan KIA
PERNYATAAN SIKAP
Positif Negatif
Penting pemeriksaan kehamilan sebanyak 4 kali 79.1 20.9%
Penting ukur tensi 97% 3%
Perlu tablet tambah darah 98.5% 1.5%%
Perlu upacara agar selamat 68.7% 31.3%
Melahirkan di rumah dan rumah sakit/puskesmas sama amannya
70.1% 29.9%
Kemampuan dukun sama baiknya dengan bidan 92.5% 7.5%
Perlu KB pasca nifas 92.5% 7.5%
Sumber: Data Primer
Kehamilan. Sikap ibu akan perlunya pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali
semasa hamil menunjukkan kecenderungan yang positif. Meskipun apabila
dibandingkan dengan pengetahuan, terlihat sebuah penurunan menjadi 79.1%. Hal ini
118
mungkin disebabkan oleh ketidaktahuan ibu mengenai apa saja yang harus dilakukan
pada waktu pemeriksaan kehamilan secara medis. Di sinilah perlunya petugas
kesehatan untuk menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh seorang ibu ketika masa
kehamilan mereka. Sikap yang positif juga ditunjukkan pada pernyataan ibu mengenai
pentingnya mengukur tekanan darah dan perlunya mengkonsumsi tablet penambah
darah (Fe). Sebanyak 97% ibu menyatakan bahwa tekanan darah penting untuk diukur
pada waktu hamil dan sebanyak 98.5% ibu menyatakan bahwa konsumsi tablet Fe
penting untuk menjaga kehamilan mereka.
Persalinan.Dalam hal ini kembali kendala geografis, ekonomi, dan akses pada
komunikasi, transportasi dan pelayanan kesehatan dapat menjelaskan sikap ibu pada
dalam hal pemilihan tempat bersalin. Sebanyak 70.1% ibu menyatakan bahwa bersalin
di rumah sama amannya dengan bersalin di fasilitas kesehatan. Hal ini menegaskan
bahwa dalam pandangan masyarakat pertolongan persalinan tidak semata-mata
dipandang dari ketersediaan alat-alat kesehatan yang lengkap dala sebuah fasilitas
kesehatan. Akan tetapi faktor psikologis dan rasionalitas gerakan tanggap darurat—
dalam hal ini persalinan—adalah kedua faktor yang sangat diperlukan oleh masyarakat
untuk mendapat pertolongan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin.
Penegasan mengenai pentingnya mengikutsertakan tradisi yang telah dikenal
masyarakat secara turun-temurun dalam hal persalinan juga kembali muncul dari hasil
survey di sini. Dalam hal tradisi dalam bentuk upacara-upacara tertentu pernyattan ibu
menunjukkan sikap yang positif, dalam arti menegaskan bahwa upacara diperlukan
untuk keselamatan proses persalinan. Sebanyak 68.7% ibu menyatakan demikian. Ibu
juga menyatakan bahwa dukun memiliki kemampuan yang sama dengan bidan.
Sebanyak 92.5% ibu menyatakan demikian. Hal ini menunjukkan kepercayaan ibu
kepada dukun yang masih tinggi.
119
3.3.4. Faktor Sosial BudayaMasyarakat Terkait Pemilihan
Penolong Persalinan dan Pemanfaatan PelayananJampersal
Faktor sosial budaya masyarakat mempengaruhi sistem pengambilan
keputusan pertolongan KIA, pandangan tentang dukun dan bidan sebagai penolong
persalinan yang biasa dimanfaatkan masyarakat.
Sistem Pengambilan Keputusan Pertolongan KIA
Berdasarkan hasil wawancara dan survey yang dilakukan di Cirinten, ditemukan
bahwa banyak pilihan masyarakat untuk bersalin bermacam-macam. Ada yang
memilih untuk bersalin di Fasilitas Kesehatan yang telah tersedia di Cirinten, namun
kebanyakan lebih memiih untuk bersalin di rumah. Hasil survey di Kecamatan Cirinten
menunjukkan bahwa dari 67 orang responden 67.2% memilih untuk melahirkan di
rumah, 14.9 % di rumah bidan/polindes, 13.4% di Puskesmas, dan 4.5 % di Rumah
Sakit yang dapat dijangkau dari Cirinten.
Alasan masyarakat untuk lebih memilih melahirkan di rumah adalah karena
lebih dekat dengan keluarga. Hal ini memang penting sekali mengingat ikatan
kekerabatan yang sangat kuat dalam pola hidup masyarakat di Cirinten. Selain itu
kondisi geografis Cirinten yang bergunung-gunung ditambah dengan kondisi jalan yang
rusak juga menyulitkan masyarakat untuk mencapai fasilitas kesehatan. Perlu sebuah
kendaraan khusus atau mungkin keahlian khusus untuk bisa menempuh perjalanan
antar desa dengan kondisi jalan yang buruk di Kecamatan ini.
Jarak antar desa di Kecamatan dengan luas 10.391km2 ini juga tidak bisa dibilang
dekat. Tabel di bawah ini menunjukkan jarak yang harus ditempuh oleh masyarakat
untuk pergi ke desa lain:
120
Tabel.3.3.8.
Jarak Antar Desa di Kecamatan Cirinten Tahun 2011 (Dalam Km)
Desa
Par
akan
lima
Kad
ud
amas
Dat
arca
e
Kar
oya
Nan
gera
ng
Cir
inte
n
Kar
angn
un
ggal
Cem
pak
a
Bad
ur
Cib
aran
i
Parakanlima 7 17 0 2 4 9 3 2 26
Kadudamas 7 10 13 25 7 22 5 9 9
Datarcae 17 10 2 15 3 12 15 19 20
Karoya 20 13 2 12 5 9 8 2 2
Nangerag 32 25 15 12 18 3 30 34 7
Cirinten 14 7 3 5 18 15 4 6 18
Karangnunggal 29 22 12 9 3 15 27 31 8
Cempaka 3 5 15 18 30 12 27 4 34
Badur 2 9 19 22 34 16 31 4 39
Cibarani 36 29 20 22 7 18 8 34 39
Sumber: Profil Kecamatan Cirinten
Kondisi itu yang menyebabkan banyaknya masyarakat yang mengambil
keputusan untuk mendapatkan pertolongan persalinan ke dukun daripada bidan.
Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang anggota masyarakat berikut:
“Ya ke dukun karena dulu tidak ada pustu, dan jaraknya jauh dengan bidan, kalau paraji biasanya satu kampong, manggil paraji dulu karena dekat dengan rumah”
“kalau disini medannya susah karena jalannya susah, jadi bidan saja yg dipanggil ke rumah, kalau ada mobil biasanya di jemput, biasanya mobil puskesmasnya tidak ada ya melahirkan dirumah saja”
Alasan seperti yang diungkapkan masyarakat tersebut memang wajar. Karena,
terutama apabila dalam kondisi genting, di mana pertolongan cepat dibutuhkan maka
pertolongan terdekat lah yang akan dipilih. Dengan kondisi geografis yang sulit untuk
ditempuh dengan kendaraan bermotor, pertolongan cepat yang bisa didapatkan
dengan apapun yang ada. Salah satu contoh dari hal ini dapat dilihat dari peta di
bawah ini.
121
Gambar.3.3.13.Peta Lokasi Poskesdes dan Dukun di Desa
Sumber: Data Primer
Dari gambar tersebut terlihat sebaran jumlah dukun berbanding dengan
fasilitas pelayanan kesehatan secara medis yang tidak seimbang. Jumlah dukun lebih
banyak daripada bidan. Apabila dibayangkan juga, apabila ada seorang ibu yang
sedang dalam masa mendekati masa persalinannya dan tinggal di daerah cibarani,
maka untuk ibu itu akan lebih baik untuk meminta pertolongan dari dukun terlebih
dahulu karena lokasinya yang lebih dekat daripada jika dia harus berjalan ke
poskesdes.
Peran suami dalam hal pengambilan keputusan mencari pertolongan KIA juga
sangat penting. Beberapa informan mengatakan suami cukup perhatian jika istrinya
hamil, dan ada juga yang biasa-biasa saja. Bentuk perhatian suami mereka
diantaranya adalah mengantar ke bidan atau puskesmas, mengantar ke dukun dan
membantu pekerjaan sehari-hari. Keluarga yang lain juga memberi perhatian seperti
orang tua bahkan para keluarga dekat turut menjaga agar jangan sampai terjadi
122
keguguran kandungan. Berikut ini penjelasan beberapa orang suami dari hasil FGD
dalam penelitian ini tentang pencarian pertolongan KIA yang masih dilakukan selama
istrinya hamil.
“sebagian besar keputusan ada di orang tuanya dr istri, kdng dr suami tdk bs mengambil keputusan, diserahkan ke orang tua dr istri”
“kalau pengalamannya sy sama, kadang msh bertanya sm orang tua, jd yg mengambil keputusan orang tuannya”
Selain dari suami dan orang tua, kadang Paraji (dukun) dan tokoh masyarakat
juga mempengaruhi pengambilan keputusan dalam mencari pertolongan persalinan.
Seperti dikatakan oleh salah seorang petugas kesehatan berikut:
“pengaruh dari parajinya juga, dari toma, yang di anggap tertua untuk konsultasi persalinan,…”
Memang dalam kehidupan sehari-hari di Cirinten, ikatan kekerabatan antar
anggota masyarakat masih sangat kuat. Pola-pola budaya kolektif masyarakat
pedesaan masih terlihat sangat kental di sini. Dalam pola seperti ini, tokoh sentral atau
orang yang dituakan biasanya dapat mempengaruhi keputusan-keputusan yang dibuat
oleh anggota masyarakatnya, dalam hal ini keputusan mencari pertolongan persalinan.
Seorang Paraji atau tokoh masyarakat yang ada dalam lingkup warga setempat
biasanya adalah orang-orang yang mempunyai modal sosial baik dari status ekonomi
yang tinggi, usia, ataupun kemampuan-kemampuan khusus. Karena itulah pengaruh
dari Paraji, tokoh masyarakat atau orang yang (di)tua(kan) sering dapat mempengaruhi
keputusan masyarakat untuk memilih pertolongan persalinan, apakah itu dengan
pertolongan secara medis atau non medis.
Namun satu hal yang juga menarik untuk dilihat di sini, terkait dengan pilihan
masyarakat dalam mencari pertolongan KIA adalah adanya faktor kebanggaan tertentu
jika dapat memanfaatkan cara-cara tradisional. Ada sebuah anggapan dalam
masyarakat bahwa ketika pertolongan KIA diberikan oleh seorang yang mengetahui
adat dengan baik maka itu merupakan sebuah kebanggan tersendiri. Seorang petugas
kesehatan mengungkapkan:
“kalau menurut saya, kalo misalnya ada bersalin di bidan itu susah, jadi kalau bersalin tidak tahu siapa siapaCuma dengan paraji aja itu seperti bangga itu ibu yang melahirkan, merasa hebat tidak ketahuan dengan siapa siapa”.
123
Satu hal lain yang juga muncul dan menjadi pertimbangan masyarakat untuk
menentukan siapa pihak yang pantas yang bisa memberikan pertolongan KIA untuk
mereka adalah pemahaman mengenai praktek kesehatan modern. Hal ini menarik
untuk dilihat karena ternyata di masyarakat Cirinten, ada ketakutan yang muncul dari
masyarakat akan praktek kesehatan modern. Mungkin karena mereka tidak tahu apa
saja yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam prakteknya. Hal ini bisa dilihat dari
pernyataan seorang warga berikut:
“selain itu pemikiran masyarakat masih polos-polos, katanya takut di jahit, kalau di paraji itu tidak”
Tentang Dukun di Mata Masyarakat
Dalam masyarakat, kesehatan seringkali tidak dapat didefinisikan sebagai
sebuah kondisi fisik yang sehat menurut definisi pengobatan modern (baca:
kedokteran). Upaya pencarian kesehatan, termasuk dalam hal Kesehatan Ibu dan Anak
seringkali sangat terpengaruh dengan kepercayaan, tradisi, norma-norma adat, dan
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Merujuk pada konsep sehat yang
diajukan oleh Durch, dkk., dapat dipahami bahwa seseorang yang tidak mempunyai
kemampuan untuk berpartipasi dalam segala kegiatan yang ada dalam masyarakat,
dapat dikategorikan tidak sehat alias sakit. Menurut Calhoun (1994 dalam
Notosoedirjo, 2002:4), sakit dikategorikan menjadi 3, yaitu disease berdimensi
biologis, illness berdimensi psikologis, dan sickness berdimensi sosiologis. Lebih lanjut,
Colhoun (ibid) menjelaskan bahwa disease dapat diketahui melalui diagnosis, illness
merupakan konsep psikologis yang menunjuk pada perasaan, persepsi, dan
pengalaman subyektif seseorang tentang keadaan tubuh, sedangkan sickness
merupakan penerimaan sosial terhadap seseorang sebagai orang yang sedang
mengalami kesakitan. Berdasarkan tiga dimensi sakit yang disebutkan oleh Colhoun,
dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa ada tiga faktor yang dapat menentukan
apakah seseorang sedang mengalami kesakitan atau tidak. Tiga faktor tersebut adalah
healer (penyembuh), psikologis, dan sosiologis.
Ketiga hal tersebut dalam kehidupan sosial masyarakat Cirinten berikut dengan
upaya pencarian kesehatan yang mereka lakukan saling terkait satu sama lain. Healer
124
(penyembuh) dalam hal ini dapat diartikan sebagai pihak pelayan kesehatan baik yang
bersifat primer (dokter, perawat, bidan, dsb) juga yang bersifat alternatif atau
tradisional. Sedangkan faktor psikologis dan sosiologis adalah kedua faktor yang
mempengaruhi pilihan masyarakat pada pelayanan kesehatan yang digunakan.
Di Kecamatan Cirinten terdapat beberapa jenis pengobat tradisional yang
sering dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk mendapatkan kesembuhan
mulai dari kesakitan yang sifatnya ringan seperti pegal-pegal, sampai dengan yang
sifatnya berat seperti patah tulang, bahkan pertolongan melahirkan. Jenis pengobat
tradisional di Cirinten dapat digolongkan seperti terlihat pada diagram berikut:
Gambar.3.3.14.Pengobat Tradisional di Kecamatan Cirinten Sumber: Profil Pengobatan Tradisional, Puskesmas Cirinten 2010
Selain itu, dalam hal Kesehatan Ibu dan Anak, masyarakat Cirinten masih
percaya pada pertolongan dukun yang dalam bahasa setempat dikenal dengan
sebutan Paraji. Kepercayaan ini dilandasi oleh tradisi yang kuat yang telah diwariskan
secara turun temurun. Secara tradisi, masyarakat telah memanfaatkan Paraji sejak
lama.
Menurut data dari Puskesmas Cirinten, saat ini terdapat 61 orang Paraji yang
tersebar di 10 desa di Kecamatan Cirinten. Satu hal menarik yang dapat dilihat di sini
adalah dari ke-61 orang Paraji tersebut jumlah terbanyak justru di daerah Ibu Kota
Kecamatan Cirinten. Di mana akses pada fasilitas umum termasuk fasilitas kesehatan
dapat dinikmati secara mudah oleh masyarakat Cirinten. Peta di bawah ini
menunjukkan persebaran Paraji berikut jumlahnya di setiap desa di Cirinten:
15
13
46
8
12
1
0 10 20 30 40 50
Pijat Urut
Patah tulang
Dukun Bayi/ Paraji
Dukun Sunat
Paranormal
Gurah
125
Gambar3.3.15.Sebaran Paraji di Kecamatan Cirinten
Sumber: Data Primer
Paraji atau dukun bersalin ini memiliki posisi yang sangat penting dalam masyarakat
Cirinten. Mereka adalah orang-orang yang dihormati dalam kehidupan sehari-hari di
masyarakat. Biasanya paraji adalah seorang yang sudah cukup berumur. Mereka
biasanya berumur antara 35 tahun ke atas. Bahkan menurut cerita warga Cirinten, ada
seorang Paraji yang saat ini sudah berumur lebih dari 100 tahun. Dalam kepercayaan
setempat seseorang dapat menjadi Paraji karena keturunan atau mendapat suatu
pengalaman spiritual tertentu. Akan tetapi jika dilihat di Cirinten, saat ini hampir
seluruh Paraji yang terdapat di Cirinten adalah keturunan dari Paraji-paraji terdahulu.
Biasanya mereka adalah keturunan langsung dari Paraji terdahulu.
Berbeda dengan bidan, paraji memanfaatkan cara-cara tradisional untuk
memberikan pertolongannya kepada ibu. Cara-cara yang digunakan Paraji untuk
memberikan pertolongan lebih memanfaatkan alam dan kemampuan spiritual yang
126
mereka miliki. Dalam prakteknya, Paraji memberikan pertolongan kepada ibu dalam
bentuk pijat, jampe-jampe, jamu, dan pemberian jimat-jimat tertentu.
“makan kunir, sambel pupuh (kunyit jahe nasi ditumbuk), ikan asin, nasi tumpeng lauknya ayam, pete bakar, pantangannya pisang ambon, jeruk, buah-buahan gak boleh, jamunya daun kembung, di rebus trus diminumkan itu hari pertama harus
ada semuanya, hari ke tiga juga harus ada semuanya”
Dari hasil survey yang dilakukan di Cirinten, berikut bentuk-bentuk pelayanan
dukun yang dimanfaatkan oleh masyarakat:
Tabel.3.3.9.
Jenis Pelayanan Dukun yang Diterima Masyarakat
No Jenis Pelayanan Ya Tidak
1 Pijat Ibu 97% 3%
2 Jamu 49.3% 50.7%
3 Upacara adat tertentu (jampe-jampe)
58.2% 41.2%
4 Perawatan Bayi 91% 9%
5 Pijat Bayi 22.4% 77.6%
Sumber: Data Primer
Untuk memanfaatkan jasa dukun, masyarakat harus mengeluarkan sedikit
biaya. Berdasarkan pengakuan masyarakat, biaya yang mereka keluarkan berkisar
antara Rp. 150.000,- sampai Rp. 250.000,- untuk pertolongan persalinan. Namun biaya
tersebut tidak menjadi patokan. Sifat hubungan transaksional antara masyarkat dalam
memanfaatkan jasa dukun di sini lebih pada hubungan kekeluargaan dan sukarela.
Dukun tidak akan meminta bayaran secara langsung kepada masyarakat yang
memanfaatkan jasanya. Akan tetapi masyarakat juga tidak serta merta menggunakan
jasa mereka secara gratis. Pasti ada imbalan yang diberikan kepada dukun untuk jasa
yang mereka berikan. Seringkali, imbalan itu tidak dibayarkan dalam bentuk uang,
akan tetapi dalam bentuk barang, hewan ternak, bahan makanan, atau pakaian
dengan nilai yang kira-kira sama dengan nominal tersebut.
127
Tentang Bidan di Mata Masyarakat
Bidan adalah ujung tombak pertolongan KIA di Cirinten. Peran bidan sangatlah
penting dalam keselamatan ibu dan anak karena mereka lah yang mengetahui
bagaimana cara-cara yang tepat untuk menyampaikan pertolongan KIA secara medis
kepada masyarakat. Dari segi ketenagaan, saat ini Puskesmas Cirinten telah memiliki
tenaga bidan sebanyak 10 orang. Dari 10 orang bidan tersebut, 2 orang bidan
ditempatkan di puskesmas, 2 orang bidan ditempatkan di pustu, dan 6 lainnya
ditempatkan di desa-desa yang tersebar di seluruh Kecamatan Cirinten. Secara status
kepegawaian, 4 orang bidan di Cirinten telah menyandang status sebagai PNS,
sedangkan 6 orang bidan lainnya adalah bidan PTT dan praktek.
Dari segi jumlah, ketersediaan bidan di Cirinten tidak cukup untuk dapat
melayani 10 desa di Cirinten. Sampai saat ini hanya 6 desa yang sudah memiliki bidan,
sedangkan 4 desa lainnya tidak. Warga di 4 desa yang tidak memiliki bidan harus rela
untuk menempuh perjalanan yang jauh untuk mendapatkan pertolongan dari bidan,
baik dari bidan di desa terdekat atau bidan dari Pustu atau Puskesmas. Sedangkan
seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kondisi geografis Cirinten tidaklah mudah
untuk ditempuh oleh warga.
Keenam bidan yang ditempatkan di desa-desa tinggal dalamrumah-rumah yang
menyatu dengan pemukiman penduduk. Dalam kesehariannya mereka berbaur dan
berinteraksi dengan warga setempat. Mereka berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari
masyarakat dan kelompok-kelompok sosial masyarakat. Singkatnya, mereka menyatu
dengan masyarakat. Hal ini adalah modal yang penting di mana kepercayaan
masyarakat akan terbangun lebih baik apabila mereka mengenal siapa pelaku
penolongnya.
Kebanyakan bidan di Cirinten masih berusia sangat muda, sekitar 20 tahunan.
Selain itu, beberapa dari mereka juga masih berstatu single atau belum menikah. Ini
merupakan sebuah tantangan tersendiri untuk bidan. Pertanyaan yang sering muncul
kemudian adalah: apakah mereka sudah cukup berpengalaman dalam menolong
menolong ibu yang bersalin? Kalau mereka sendiri belum pernah melahirkan,
bagaimana mereka bisa menolong orang melahirkan? Itulah tantangan berat yang
harus dihadapi bidan-bidan belia ini dalam mengupayakan pertolongan kepada
128
masyarakat. Mereka harus menggaet kepercayaan masyarakat dengan usia mereka
yang sangat muda dan status mereka yang masih single. Di sisi lain mereka juga harus
berkompetisi dengan dukun-dukun yang ada di wilayah kerja mereka, yang notabene
berusia lebih tua dan berpengalaman lebih banyak daripada mereka. Pandangan
tersebut muncul berdasarkan pada pengalaman sehari-hari masyarakat.
Namun, tidak semua masyarakat menganggap bahwa muda pasti tidak
berpengalaman. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang suami berikut:
“tidak ada (kekhawatiran), Cuma percaya saja yang penting istri dan anak selamat, tidak berfikiran yg aneh-aneh”
Secara garis besar, pandangan masyarakat terhadap bidan (apabila
dibandingkan dengan dukun) dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel. 3.3.10.
Persepsi Masyarakat terhadap Bidan dan Dukun
Bidan Paraji
Muda/ kurang berpengalaman Tua/ lebih berpengalaman
Pelayanan medis Full Service
Pelayanan sesuai jam kerja, menerima panggilan
Pelayanan 24 Jam, menerima panggilan
Mahal Tidak terlalu mahal
Lokasi jauh rumah penduduk Lokasi dekat dengan rumah penduduk
Ada jaminan keselamatan Tidak ada jaminan keselamatan
Sumber: Data Primer
Hubungan Antara Dukun dan Bidan
Kemitraan antara dukun dan bidan telah terjalin sejak lama. Menurut data
Puskesmas Cirinten, Seluruh dukun yang berjumlah 61 tersebut saat ini telah
mendapat pelatihan, dan mereka telah dilengkapi dengan dukun kit. Dan memang
program puskesmas mengarahkan bidan untuk membina dukun-dukun tersebut.
Pelatihan tersebut dimaksudkan untuk memberi pengetahuan kepada dukun
mengenai pertolongan persalinan yang aman.
129
Selain mendapatkan pelatihan secara khusus mengenai KIA, para dukun di
Cirinten juga secara khusus dirangkul oleh Puskesmas untuk dapat bekerja sama
dengan bidan. Hal ini dimaksudkan untuk dapat melaksanakan program KIA secara
lebih responsif kepada masyarakat. Rasio jumlah dukun di Cirinten adalah 6:1,
ditambah dengan kondisi geografis yang sulit, sehingga memanfaatkan dukun untuk
dapat meningkatkan cakupan pelayanan KIA. Selain itu seperti yang telah diterangkan
di atas, dukun mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan masyarakat. Mereka
lah yang secara bertahun-tahun telah mendapatkan kepercayaan masyarakat sebelum
bidan-bidan datang di cirinten.
Akan tetapi tidak semua dukun dapat dirangkul oleh bidan. Pertama karena
jumlahnya yang terlalu banyak, dan kedua karena tidak semua dukun mau untuk
bekerja sama dengan bidan. Alasan kedua ini ditengarai lebih karena motif ekonomi.
Terdapat sebuah anggapan bahwa apabila dukun bekerja sama dengan bidan, maka
pendapatan mereka lebih sedikit daripada apabila mereka menolong sendiri.
Bentuk kerja sama antara dukun dengan bidan ini sampai saat ini masih bersifat
kekeluargaan saja. Belum ada sebuah kesepakatan bersama, atau MoU yang
diberlakukan untuk mendukung kerja sama antara dukun dengan bidan. Dalam
prakteknya bidan dapat merangkul dukun untuk dapat bekerja sama dengan
melakukan pendekatan secara personal. Mereka membuat pendekatan secara intens
dan berusaha membuat hubungan baik dengan para dukun. Dari hubungan baik yang
terjalin inilah kerja sama antara bidan dan dukun dapat berjalan. Namun, meskipun
kerja sama yang dilakukan oleh bidan dan dukun di sini bersifat kekelargaan, hal ini
tidak serta merta berarti tidak ada hubungan transaksional diantara keduanya. Pada
setiap pertolongan yang dijembatani oleh dukun, bidan memberikan semacam balas
jasa kepada dukun. Balas jasa ini diberikan dalam bentuk imbalan berupa uang.
Menurut bidan, uang yang diberikan kepada dukun untuk setiap bantuan yang mereka
berikan tidak memiliki standar jumlah, dalam arti sukarela. Berapapun yang diberikan
oleh bidan, dukun akan menerimanya. Akan tetapi jika dihitung secara rata-rata, nilai
yang secara umum diberikan oleh bidan kepada dukun kurang lebih Rp. 50.000,-.
Dalam hal pemberian pertolongan KIA—terutama pada saat persalinan—yang
diselenggarakan secara bersama antara dukun dengan bidan terdapat pembagian
130
peran yang jelas. Bidan berperan dalam memberikan pertolongan secara medis kepada
Ibu, sedangkan dukun berperan dalam fungsi pengawasan, penjagaan, dan perawatan
ibu pasca persalinan. Dalam fungsi pengawasannya, dukun berperan dalam mengawasi
ibu semenjak masa kehamilan sampai saat-saat menjelang persalinan. Dalam hal ini,
biasanya dukun adalah orang yang menghubungi bidan ketika ada seorang ibu dalam
lingkungannya yang hendak melahirkan. Mereka biasanya hadir di lokasi di mana ibu
akan melahirkan lebih dulu daripada bidan.
Selain mengawasi dan menghubungi bidan, mereka juga akan menjaga ibu
dalam masa persalinan tersebut. Seperti yang dikatakan oleh suami ibu yang
melahirkan berikut:
“…. kalau untuk paraji hanya membantu bidan, sementara saja, tapi yang pasti memanggil bidan, parajinya yang nyuruh manggil bidan, karena sekarang paraji dan bidan kerjasama, untuk masalah obatnya juga bidan yg mengerti…”
Setelah bidan hadir dan pertolongan persalinan telah selesai dilakukan, biasanya
dukun akan tinggal untuk merawat ibu. Pada fase ini dukun biasanya meberi pelayanan
untuk ibu dan bayi baru lahir. Seperti yang dikatakan oleh seorang bidan berikut:
“…ikut membersihkan bayi, membersihkan ibunya, setelah melahirkan, biasanya ikut bantu masak, bikin jamu,biasanya ikut mendampingi saja”
Pada fase ini, dukun juga menjalankan fungsinya sebagai aktor yang menjalankan
adat dan tradisi yang masih dipercaya oleh masyarakat setempat dalam bidang KIA. Di
sini pelaksanaan prosesi-prosesi adat seperti yang teah dijelaskan di atas dijalankan
oleh ibu dengan bantuan seorang dukun. Jika dilihat memang pola kerja sama antara
dukun dan bidan dalam hal ini—lepas dari hubungan transaksional—merupakan
sebuah sinergi antara praktek pertolongan modern (baca: medis) dengan praktek
pertolongan tradisional dengan memanfaatkan adat dan tradisi yang telah dikenal oleh
masyarakat. Pembagian peran dan fungsi diantara keduanya dapat dilihat secara jelas.
Namun, bentuk kerja sama seperti yang telah dijelaskan tersebut tidak selalu
berjalan mulus. Secara ideal memang praktek pertolongan bersama ini dijalankan
seperti yang telah dijelaskan di atas. Akan tetapi kadang kala miskomunikasi dan
miskoordinasi diantara keduanya juga terjadi. Seperti yang diterangkan oleh bidan
dalam FGD berikut ini:
131
“ biasanya kepercayaan, ada yg suruh ngasih minyak ke ibunya. kita kasih tahu sudah gak usah pakai minyak sayur. kadang ada jg yg pakai menyan dibakar, asapnya, itu sebelum bersalin”
“ biasanya walaupun yg bermitra, kadang ada yg sembunyi2, susah di bilangin”
3.3.5. Peran Tenaga Kesehatan Dalam Pelaksanaan Program Jampersal
Sosialiasi Jampersal
Jaminan Persalinan (Jampersal) adalah jaminan pembiayaan yang digunakan
untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan kehamilan,
pertolongan persalinan, pelayanan kesehatan nifas termasuk KB pascapersalinan dan
pelayanan bayi baru lahir. Sejak diluncurkan pada tahun 2011, Jampersal telah
dilaksanakan di seluruh kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Manfaatnya pun sudah
dapat dirasakan oleh masyarakat. Begitu pula di Kecamatan Cirinten—atau pada
umumnya di Kabupaten Lebak. Jampersal telah dirasakan manfaatnya sejak program
ini dilaunching pada tahun 2011. Setiap Ibu hamil yang hendak melahirkan atau
memeriksakan kehamilannya dapat memperoleh pelayanan secara gratis di
Puskesmas-puskesmas terdekat mereka.
Keberadaan Program Jampersal ini diakui meningkatkan cakupan pelayanan
KIA. Kecamatan Cirinten sendiri merupakan wilayah dengan cakupan Linakes yang
paling rendah dari seluruh Kecamatan di Kabupaten Lebak. Data dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Lebak menunjukkan bahwa pada tahun 2010 cakupan Linakes di wilayah
Cirinten adalah 50.4%. Ini berarti bahwa hampir separuh jumlah ibu yang melahirkan
di wilayah ini ditangani oleh tenaga lain selain tenaga kesehatan. Data dari Puskesmas
Cirinten sendiri menunjukkan bahwa jumlah dukun di wilayah ini cukup banyak.
Keberadaan mereka lah yang menjadi kompetitor pelayanan KIA dari tenaga
kesehatan.
Hal lain diungkapkan oleh Kepala Puskesmas Cirinten. Dia mengatakan bahwa
semenjak adanya Jampersal, cakupan Linakes di wilayah kerjanya meningkat tajam.
“Kalau sebelum jampersal itu kita masih di bawah 50%, tepatnya sekitar 35%. Setelah ada jampersal, yang tahun kemarin aja sekitar 60. Banyak peningkatannya. Tapi nggak signifikan, tapi ada lah perubahan. Sedangkan
132
sekarang target kabupaten aja linakes aja sekitar 75…. Tapi secara garis besarnya sebelum ada jampersal dan sesudah adanya ada perubahan bu”.
Meskipun masih belum dapat mencapai standar yang ditetapkan oleh
Kabupaten, Kepala Puskesmas Cirinten menyatakan bahwa Jampersal telah membawa
perubahan yang cukup baik.
Gambar. 3.3.16.Persalinan Gratis!
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Berbicara mengenai pengetahuan masyarakat mengenai Jampersal. Meskipun
program ini telah diperkenalkan secara meluas oleh pemerintah sejak tahun 2011,
Masyarakat Cirinten tidak mengetahui mengenai program Jampersal, yang mereka
ketahui hanyalah program persalinan gratis di puskesmas Cirinten. Hal ini disebabkan
juga karena masyarakat telah mengenai pelayanan gratis sebelum diluncurkannya
program Jampersal. Program jaminan-jaminan lain seperti Jamkesmas, atau kebijakan
daerah dalam Jamkesda telah memberikan pelayanan secara gratis untuk KIA kepada
masyarakat Cirinten. Sehingga dalam pikiran masyarakat, entah apapun programnya
yang penting gratis. Hal ini juga dapat dilihat dari pernyataan pihak Dinkes Kab. Lebak:
“Jamkesmas sdh pasti jampersal, tetapi kalau bukan jamkesmas jampersalnya juga naik. Kmd masy yang punya jamkesmas memanfaatkan jampersal yaitu orang yang nggak punya jaminan. Karena mutlak sesuai dengan pengumuman menkes pada waktu itu, semua akan dijamin persalinannya. Tidak harus orang/ penduduk kita. Bukan penduduk kab kita pun, masukk kab kita , diterima. Sebelah misalnya ada yang pindah ke bekasi, ttp pada saat melahirkan pindh ke orang tuanya disini, ya nggak apa-apa”.
133
Program Jampersal sendiri sepertinya kurang disosialisasikan berdasarkan
namanya. Seperti terlihat pada gambar di atas, salah satu bentuk sosialisasi Jampersal
di wilayah Cirinten adalah dengan memasang spanduk besar bertuliskan pelayanan
persalinan gratis. Akan tetapi dalam spanduk tersebut tidak dituliskan pendanaan apa
yang digunakan untuk menggratiskan pelayanan tersebut.
Sosialiasi mengenai Jampersal sebenarnya telah dilakukan sejak program ini
diluncurkan. Pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak telah mensosialiasikan program
ini kepada seluruh Puskesmas di wilayah Lebak. Kepala Dinas Kesehatan menyatakan
bahwa Mereka juga telah membuat beberapa buah instruksi seperti pemasangan
spanduk persalinan gratis, sosialisasi melalui posyandu, dan pemasangan spanduk di
beberapa BPS yang dapat melayani persalinan dengan menggunakan Jampersal.
Pelaksanaan Pelayanan KIA dengan ProgramJampersal
Dari sisi pelaksanaan program pendanaan Jampersal, pihak Puskesmas Cirinten
mengaku sangat senang dengan keberadaan program ini. Program ini dapat
membantu masyarakat dengan segala kesulitannya. Seperti yang diungkapkan oleh
Kepala Puskesmas Cirinten berikut:
“Kalau jampersal sebenarnya bagus untuk masyarakat. Cuma untuk puskesmas yang menjadi kendala adalah jarak tempuh. Jarak tempuh ke fasilitas kesehatan. Jadi masyarakat, udah lah daripada jauh-jauh mending ke dukun”.
Namun keluhan mengenai pelaksanaan program ini muncul lebih pada
penyampaian pelayanan KIA. Seperti yang telah dijelaskan di atas, berbagai kendala
seperti kondisi geografis, kepercayaan masyarakat terhadap adat termasuk dukun,
kondisi ekonomi masyarakat, dan ketersediaan tenaga kesehatan masih melingkupi
pelaksanaan pelayanan KIA di wilayah ini. Sebagai puskesmas yang masih cukup baru,
sebenarnya Puskesmas Cirinten memiliki pengelolaan dan fasilitas yang cukup baik.
Namun keberadaan puskesmas ini dalam melaksanakan pelayanannya tidak terlepas
dari permasalahan yang melingkupinya.
134
Pengelolaan Pelayanan KIA Menggunakan Jampersal
Dalam hal pengelolaan Jampersal, pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak
menunjuk bagian KIA dan KB sebagai verivikator laporan Jampersal dari Puskesmas.
Sedangkan pengelolaan dana berada di bawah tanggung jawab bendahara Dinas
Kesehatan. Secara prosedural pengelolaan Jampersal di Kabupaten Lebak telah
mengikuti arahan sesuai yang tercantum dalam Juknis Jampersal.
Pada tingkat Puskesmas, dana Jampersal yang mengalir di Cirinten dikelola oleh
Puskesmas secara langsung dengan pemegang tanggung jawab adalah Bidan
Koordinator. Pihak Puskesmas tidak memiliki keluhan apapun dalam hal pengelolaan
dana. Seperti yang diungkapkan oleh Kepala Puskesmas berikut:
“Kalau prosedurnya saya kira bagus sih bu. Prosedur untuk klaim-klaiman tidak ada masalah”
Permasalahan dalam hal pengelolaan ini kembali muncul karena kurangnya
tenaga di Puskesmas ini. Kurangnya tenaga kesehatan di Puskesmas ini memang
menjadi sebuah hambatan baik dalam pelayanan secara langsung kepada masyarakat
ataupun dalam hal manajerial puskesmas. Dalam hal ini bidan koordinator sebagai
bendahara Jampersal tingkat Puskesmas harus menanggung 3 macam beban tanggung
jawab yang berbeda.
“Tentu ada bu, seharusnya ada pengelola khusus. Kalau di kita ini masih ada tugas rangkap. Jadi ada satu orang petugas yang mengelola 3 program. Seperti bidan-bidan kan seharusnya khusus. Sedangkan di kita satu bidan itu sebagai bendahara, koordinator bidan, dan pengelola jampersal. Seharusnya kan ada tugas khusus.. Ibu Ida, ya bendahara Jampersal, ya penanggung jawab pustu, ya koordinator bidan”
Di tingkat Puskesmas Cirinten, hampir tidak ada kebijakan secara khusus yang
diberlakukan terkait penggunaan dana Jampersal. Dari setiap tindakan persalinan yang
dilakukan, seorang bidan hanya perlu menyisihkan dana sebesar Rp. 100.000,- untuk
manajemen Puskesmas. Selebihnya dana tersebut menjadi hak bidan sebagai imbalan
dari jasa pertolongannya. Pengeluaran lain dari dana tersebut lebih bersifat sukarela
(bidan biasanya memberikan Rp. 50.000,- kepada dukun).
135
3.3.6. Hambatan Dan Dukungan Dalam Pelaksanaan Jampersal
Hambatan
Kondisi Geografis yang sulit. Kondisi geografis merupakan kendala utama bagi
masyarakat untuk mendapatkan pelayanan KIA dengan menggunakan Jampersal. Pada
beberapa bagian dari Kecamatan Cirinten akses jalan dan transportasi memang sudah
lancar. Jalan protokol Kecamatan memang sudah teraspal dan terawat dengan baik.
Akan tetapi kemudahan itu tidak merata. Sebagian besar wilayah Cirinten masih sedikit
sekali tersentuh pembangunan. Jalan-jalan di desa-desa yang tidak dilewati jalan
protokol masih berbatu-batu yang sebenarnya hanya layak dijadikan jalan setapak.
Sehingga penduduk yang tinggal di sana mengalami kesulitan untuk mengakses
transportasi yang lancar. Hal ini mengakibatkan akses ke pelayanan kesehatan juga
menjadi sulit. Masyarakat mengalami kesulitan untuk mendatangi pusat-pusat
pelayanan kesehatan ataupun lokasi di mana bidan tinggal, sebaliknya petugas
kesehatan juga mengalami kesulitan untuk mendatangi masyarakat di tempat tinggal
mereka. Oleh karena itu, pelayanan KIA dengan menggunakan Jampersal sulit untuk
dilaksanakan di fasilitas kesehatan.
Sarana Penerangan dan Komunikasi yang kurang lancar. Kondisi geografis yang
sulit tersebut diperparah dengan adanya kendala pada sarana listrik dan jaringan
komunikasi yang kurang lancar. Di Cirinten, hanya daerah yang dekat dengan Ibu Kota
Kecamatan yang dapat menikmati sarana listrik dan komunikasi secara lancar. Masih
terdapat beberapa daerah yang belum bisa menikmati kedua sarana ini dengan lancar.
Seperti wilayah desa Parakanlima atau Badur. Pada kedua desa tersebut sarana listrik
belum secara merata dapat dinikmati masyarakat. Masyarakat di sana juga tidak dapat
menggunakan telepon mereka—baik seluler maupun jaringan kabel—karena belum
ada jaringan yang masuk ke wilayah tersebut.
Registrasi Kependudukan. Salah satu penghambat lain yang muncul untuk
Pelayanan KIA dengan menggunakan jampersal adalah registrasi kependudukan.
Dalam hal ini kepemilikan atau pembaruan Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda
Penduduk (KTP.) Banyak penduduk Cirinten yang masih belum memiliki KK atau KTP.
Padahak kepemilikan KK atau KTP sangat diperlukan sebagai syarat untuk
mendapatkan Pelayanan KIA dengan memanfaatkan Jampersal.
136
Kepercayaan pada adat yang masih kuat. Dalam pandangan masyarakat,
pemberlakuan adat pada saat kehamilan, persalinan, dan pasca persalinan sangat
penting untuk dilakukan. Masyarakat masih memiliki kepercayaan yang sangat kuat
pada bentuk-bentuk tradisi yang telah diajarkan secara turun-temurun oleh orang-
orang tua mereka. Beberapa tradisi itu memang tidak memiliki pengaruh yang besar
pada sampainya pelayananan KIA secara medis, khususnya dengan menggunakan
Jampersal. Akan tetapi terdapat beberapa tradisi juga yang dapat menghambat
pelayanan KIA secara medis. Salah satunya adalah tradisi Nyandak. Seperti yang telah
dijelaskan di atas, pada tradisi Nyandak ini, seorang ibu harus tinggal di dalam rumah
dalam posisi bersandar selama 40 hari. Hal ini dapat menyebabkan terhambatnya
pelayanan KIA pada waktu masa nifas untuk ibu. Selain itu, tradisi Nyandak ini dalam
pandangan medis juga dianggap berbahaya bagi kesehatan ibu.
Kepercayaan terhadap dukun (Paraji). Masyarakat Cirinten memiliki pandangan
bahwa pada masa kehamilan atau persalinan, dukun adalah penolong yang diharapkan
selalu ada untuk mereka. Meskipun sebagian besar masyarakat sudah memiliki
pemahaman bahwa persalinan yang aman adalah persalinan yang ditolong oleh bidan,
tetapi kehadiran dukun pada waktu persalinan tetap diharapkan. Dukun adalah orang
pertama yang akan dihubungi oleh keluarga ketika seorang ibu akan melahirkan.
Sebelum bidan. Sehingga sering sekali terjadi kasus ketika bidan datang untuk
menolong ibu, anak sudah lahir dengan bantuan dukun. Selain karena jumlahnya lebih
banyak daripada bidan, dari segi usia dan pengalaman memang dukun di Cirinten
dianggap lebih mumpuni daripada bidan-bidan yang masih sangat muda. Selain itu,
mereka memiliki posisi sosial yang penting juga dalam masyarakat. Sehingga keyakinan
masyarakat pada pertolongan dukun masih sangat kuat.
Selain itu, kondisi geografis dengan segala kesulitan yang muncul bersamanya juga
menjadi sebuah faktor yang menyebabkan banyaknya masyarakat yang masih memilih
menggunakan jasa dukun daripada bidan. Untuk mereka dukun lebih bisa diharapkan
untuk datang setiap waktu karena dekat dengan tempat tinggal mereka dan bisa
dipanggil kapanpun mereka mau, entah siang atau malam.
137
Dukungan
Kepercayaan yang tinggi pada tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat memiliki
peran yang sentral dalam kehidupan sehari-hari di Cirinten. Mereka adalah pemimpin-
pemimpin yang terpilih melalui proses demokratis atau mendapat status sosial
tersendiri karena modal sosial yang mereka miliki. Dalam hal ini, perkataan dari tokoh
masyarakat menjadi penting untuk diperhatikan. Termasuk dalam pelaksanaan
pelayanan KIA dengan menggunakan Jampersal. Dengan posisi mereka yang bagus
dalam masyarakat, mereka bisa lebih mengarahkan masyarakat untuk lebih
memanfaatkan pelayanan KIA dari tenaga-tenaga kesehatan di Cirinten.
Hubungan kekerabatan yang erat antar masyarakat.Dalam ruang lingkup
kehidupan pedesaan seperti di wilayah Cirinten, hubungan kekerabatan antar sesama
anggota masyarakatnya sangat kuat. Bentuk resiprositas sosial dan dasar hubungan-
hubungan yang membentuk harmoni dalam masyarakat sangatlah penting. Bentuk-
bentuk ini muncul dalam gotong royong dan sikap saling membantu dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Cirinten. Hal ini bisa menjadi suatu hal yang positif dalam
pelaksanaan pelayanan KIA dengan menggunakan Jampersal. Ketika kendala geografis,
komunikasi, dan akses transportasi yang terbatas muncul sebagai sebuah hambatan,
asas hubungan kekerabatan dalam kehidupan masyarakat Cirinten dapat menjadi
sebuah jawaban akan hal tersebut.
Hubungan baik antara Paraji-Bidan. Meskipun Paraji (dukun) kadang dianggap
sebagai penghambat sampainya pelayanan medis KIA kepada masyarakat, namun hal
lain terjadi di Cirinten. Terdapat sebuah sisi lain dari hubungan yang terjalin antara
dukun dan bidan. Di Cirinten, beberapa Paraji sudah bekerja sama dengan bidan. Kerja
sama mereka bisa dikatakan terjalin dengan baik. Dalam hal ini, Paraji sering menjadi
ujung tombak pertolongan kepada ibu terutama pada saat persalinan. Mereka adalah
orang-orang yang sering menghubungi bidan ketika hendak menolong persalinan.
Bentuk kerja sama antara bidan dan paraji ini sampai saat ini masih bersifat
kekeluargaan dan didasarkan atas hubungan dekat antara keduanya. Kerja sama ini
akan menjadi lebih baik apabila bisa lebih dilanggengkan dalam bentuk nota
kesepakatan bersama (MoU).
138
3.4 Puskesmas Citangkil, Kota Cilegon
Kota Cilegon merupakan salah satu kota di Propinsi Banten yang berada di
ujung barat laut pulau jawa, dan terletak di tepi Selat Sunda. Kota ini dulunya
merupakan bagian dari wilayah kabupaten Serang dan sejak tanggal 27 april 1999
ditetapkan sebagai kotamadya dan selanjutnya menjadi kota sejak tahun 2001. Kota
Cilegon termasuk salah satu kota dengan cakupan penggunaan jaminan persalinan
rendah.
Data yang tersedia di Dinas Kesehatan kota Cilegon , sebagian besar cakupan
persalinan dilakukan oleh tenaga kesehatan. Dengan melakukan konsultasi dengan
kepala Dinas Kesehatan kota Cilegon didukung data dan pengalaman pelaksana
program Kesehatan Ibu dan Anak serta penanggungjawab maka ditetapkan kecamatan
Citangkil sebagai lokasi penelitian.
3.4.1 Gambaran Umum Kota Cilegon
Kota Cilegon dikenal sebagai kota industrI di kawasan Banten bagian barat dan
merupakan pintu gerbang utama yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau
Sumatera. Dengan Luas Wilayah 175,50 Km², Kota Cilegon terbagi dalam 8 Kecamatan
dan 43 Kelurahan.
Secara geografis, Kota Cilegon terletak pada koordinat 5º52’24” - 6º04’07”
Lintang Selatan dan 105º54’05” - 106º05’11” Bujur Timur yang dibatasi oleh :
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pulo Ampel dan Kecamatan Bojonegara Kabupaten Serang.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Mancak dan Kecamatan Anyar Kabupaten Serang
Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Sunda
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kramatwatu dan Kecamatan Waringin Kabupaten Serang
Secara umum keadaan morfologi Kota Cilegon terbagi atas tiga kelompok besar
yaitu morfologi mendatar, morfologi perbukitan dan morfologi perbukitan terjal.
Morfologi dataran pada umumnya terdapat diwilayah timur kota dan wilayah pantai
barat kota. Morfologi perbukitan landai sedang terdapat di wilayah tengah kota.
Sedangkan morfologi perbukitan terjal terdapat di sebagian wilayah utara dan
139
sebagian kecil wilayah selatan kota.Wilayah dataran merupakan wilayah yang
mempunyai ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan laut sampai wilayah
pantai dengan ketinggian 0-1,0 meter diatas permukaan laut. Wilayah perbukitan
terletak pada wilayah yang mempunyai ketinggian minimum 50 meter di atas
permukaan laut. Dibagian utara kecamatan Pulomerak, wilayah puncak Gunung Gede
memiliki ketinggian maksimum 551 meter.
Berdasarkan hasil estimasi penduduk Dinas Kesehatan Kota Cilegon tahun
2011, jumlah penduduk Kota Cilegon sebesar 378.886 orang dengan jumlah
penduduk miskin sebanyak 91.867 orang (24,3%) tidak terjadi perubahan dari tahun
sebelumnya. Terdiri dari 194.096 laki-laki dan 184.790 perempuan dengan rasio jenis
kelamin 95 artinya jumlahpenduduk laki – laki lima persen lebih banyak dibandingkan
jumlah penduduk perempuan atau setiap 90 perempuan terdapat 95 laki – laki (BPS
kota Cilegon, 2011). Jumlah Penduduk menurut jenis kelamin dan kelompok umur
dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini :
Perempuan Laki-laki
Gambar 3.4.1.Piramida Penduduk Kota Cilegon tahun 2011
Sumber: Profil Dinkes Kota Cilegon, 2011
Dari gambar 1 di atas terlihat bahwa ciri penduduk Kota Cilegon bersifat ekspansive
karena sebagian besar penduduk berada dalam kelompok umur muda. Jumlah
penduduk laki-laki dan wanita di tiap golongan umur hampir sama. Penduduk laki-laki
Kota Cilegon paling banyak berada di kelompok umur 0-4 tahun sedangkan wanita
paling banyak berada pada golongan umur 25-29 tahun sedangkan jumlahpenduduk
paling sedikit beradapada golongan umur 75 + tahun baik penduduk laki-laki maupun
wanita.
140
Berdasarkan data dari BPS Kota Cilegon memiliki luas wilayah 175,51 km2 dan
kepadatan penduduk sebesar 2159Jiwa per km2. Dari 8 kecamatan yang ada,
kecamatan Citangkil menempati urutan pertama dalam jumlah penduduk terbesar
namun berada di posisi ketiga untuk luas wilayah, sedangkan Ciwandan menempati
urutan pertama yang memiliki luas wilayah terbesar namun berada di urutan kelima
untuk jumlah penduduk terbesar. Kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk yang
paling besar berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Cilegon adalah
kecamatan Jombang yakni sebesar 5291 Jiwa per km2 sedangkan yang paling rendah
berada di kecamatan Ciwandan yang hanya sebesar 838Jiwa per km2(Tabel ..).
Tabel. 3.4.1.
Luas Wilayah, Kepadatan Penduduk Kota Cilegon Menurut Kecamatan Tahun 2011
No Kecamatan
Luas Wilayah
( Km² )
Jumlah Penduduk
Laki-laki Perempuan Total
Kepadatan Penduduk
Per Km2
1 Pulomerak 19,86 22,261 21,296 43,557 2193
2 Grogol 23,38 19,992 18,991 38,893 1667
3 Purwakarta 15,29 20,165 18,758 38,923 2546
4 Jombang 11,55 31,328 29,785 61,113 5291
5 Cibeber 21,49 23,860 23,287 47,147 2194
6 Cilegon 9,15 20,360 19,561 39,921 4363
7 Citangkil 22,98 33,706 32,119 65,825 2864
8 Ciwandan 51,81 22,424 20,993 43,417 838
TOTAL 175,51 194,096 184,790 378,886 2159
Sumber : BPS, 2011, Profil Dinkes Cilegon, 2011
Fasilitas Kesehatan dan Tenaga Kesehatan
Jumlah tenaga kesehatan yang ada di Dinas Kesehatan Kota Cilegon sebanyak
406 orang yang terdiri dari dokter umum 30 orang, dokter gigi 21 orang, Sarjana
Kesehatan Masyarakat 33 orang, Apoteker 6 orang, Bidan 120 orang, Perawat 13
orang, perawat gigi 8 orang, sanitarian 14 orang, nutrisionist 18 orang, asisten
141
apoteker 9 orang, analis 10 orang dan rekam medis sebanyak 7 orang. Penempatan
bidan ke puskesmas terutama di daerah yang jauh perlu dipertimbangkan dengan
kompetensi disamping mempunyai keberanian karena beberapa bidan yang
menempuh pendidikan bidan karena disuruh orang tua, sehingga tidak bisa
melaksanakan tugas dengan baik (wawancara dengan Dinas Kesehatan Kota Cilegon).
Pada tahun 2011 jumlah rumah sakit di Kota Cilegon sebanyak 5 unit, yang
terdiri atas rumah sakit umum berjumlah 1 unit dan rumah sakit khusus (RSK)
sebanyak 3 unit, dan rumah sakit yang dikelola oleh swasta sebanyak 1 unit. Jumlah
puskesmas sebanyak 8 unit yang terdiri dari 3 unit puskesmas perawatan dan 5 unit
puskesmas non perawatan. Untuk meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan
terhadap masyarakat di wilayah puskesmas, didukung oleh 8 unit puskesmas
pembantu (pustu). Di samping itu juga tersedia 358 posyandu dengan rasio posyandu
terhadap jumlah balita adalah 0.92 per 100 balita serta 30 unit poskesdes.
Kesehatan Bayi dan Balita
Bayi. Dari laporan jumlah kematian bayi yang disampaikan dari masing-masing
Puskesmas, dapat diperkirakan bersumber dari fasilitas pelayanan kesehatan (facility
based) dan dari laporan masyarakat atau kader (community based).Pada tahun 2011
AKB Kota Cilegon menempati 0.01 % dari jumlah penduduk dengan jumlah kematian
sebanyak 38 Bayi atau 4.84 / 1000 KLH terjadi penurunan jumlah kasus dari 43 bayi
atau 6.16 / 1000 KLH.pada tahun 2010. Dari jumlah kematian seluruh bayi tersebut
dengan penyebab kematian paling banyak di Kecamatan Pulomerak dengan jumlah 10
Bayi terdiri dari 5 bayi laki – laki dan 5 bayi perempuan dan penyakit yang
menyebabkan kematian bayi adalah BBLR, asfiksia, dll. Dari hasil pelaporan dari 8
puskesmas se kota Cilegon dan hasil pelacakan di 4 rumah sakit ternyata semua
kematian neonatus, bayi dan balita di kota Cilegon meninggal di rumah sakit.
Pada tahun 2010 AKB kota Cilegon menempati 0.012 % dari jumlah penduduk
dengan jumlah kematian sebanyak 43 bayi atau 6.16 per 1000KLH terjadi peningkatan
dari tahun sebelumnya sebanyak 2.31 per 1000 KLH atau 17 kasus kematian bayi.
142
Gambar. 3.4.2.Presentase Kematian Bayi di Kota Cilegon Tahun 2010
Angka Kematian Balita (AKABA).
Angka Kematian Anak Balita (0-4 th) adalah jumlah anak yang meninggal
sebelum mencapai umur 5 tahun yang dinyatakan sebagai angka per 1000 kelahiran
hidup. Angka kematian anak balita merepresentasikan peluang terjadinya kematian
pada fase antara kelahiran dan sebelum umur 5 tahun
Millenium Development Goals (MDGs) menetapkan nilai normative AKABA
yaitu sangat tinggi dengan nilai > 140, tinggi dengan nilai 71-140, sedang dengan nilai
20-70 dan rendah dengan nilai < 20.
AKABA di Kota Cilegon tahun 2011 sebesar 46 atau 5.86 per 1000 KLH terjadi
peningkatan dari tahun sebelumnya sebesar 5.58 per 1000 KLH atau 39 kasus
kematian. Angka ini didapat berdasarkan data kematian balita yang dilaporkan.
Kematian Ibu Bersalin (AKI).
Angka Kematian Ibu (AKI) juga menjadi salah satu indicator penting dalam
menentukan derajat kesehatan masyarakat. AKI menggambarkan jumlah wanita yang
meninggal dari suatu sebab kematian terkait dengan gangguan kehamilan atau
penanganannya (tidak termasuk kecelakaan ataukasus insidentil) selama kehamilan,
melahirkan dan dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa
memperhitungkan lama kehamilan per 100.000 kelahiran hidup.
11
1
33
512
1 7
Pulomerak
Grogol
Purwakarta
Jombang
Cibeber
Cilegon
Citangkil
Ciwandan
143
AKI juga dapat digunakan dalam pemantauan kematian terkait dengan
kehamilan. Indikator ini dipengaruhi status kesehatan secara umum, pendidikan dan
pelayanan selama kehamilan dan melahirkan. Sensitifitas AKI terhadap perbaikan
pelayanan kesehatan menjadikan indicator keberhasilan pembangunan sector
kesehatan.
Pertolongan persalinan salah satu indikator dari pemanfaatan pelayanan
kesehatan adalah pertolongan persalinan jadi indikator ini sangat penting dalam
menilai persalinan yang aman di daerah pedesaan pada umumnya pertolongan
persalinan ditolong oleh dukun terlatih.
Kematian ibu hamil biasanya disebabkan oleh kekurangan gizi, melahirkan,
keguguran biasanya juga disebabkan oleh Suspect Ruptura Uteri, perdarahan, partus
lama, resiko tinggi akibat umur, eklamasi, serta Post Sectio.
Rasio kematian ibu melahirkan di kota Cilegon tidak dapat dilakukan
perhitungan karena angka kelahiran di Kota Cilegon kurang dari 100.000 kelahiran
hidup, namun demikian bila diasumsikan maka angka AKI Kota Cilegon tahun 2011
adalah 76.50 atau 6 kasus kematian dari 7843 KLH, terjadi penurunan dart tahun 2010
adalah 121 atau 9 kasus kematian dari 6982 KLH.
3.4.2. Gambaran Umum Puskesmas Citangkil
Hasil kajian data dan konsultasi dengan kepala Dinas Kesehatan kota Cilegon
dan stafnya untuk menentukan lokasi penelitian dengan kriteria puskesmas dengan
cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan yang masih rendah, maka terpilih
puskesmas Citangkil yang berada di wilayah kecamatan Citangkil sebagai lokasi
penelitian.
144
Gambar 3.4.3.Peta Wilayah Kecamatan Citangkil
Kecamatan Citangkil merupakan wilayah kerja Puskesmas Citangkil, termasuk
daerah pemukiman yang padat penduduk. Pada tahun 2011 jumlah penduduk 64.930
jiwa dengan jumlah KK kurang lebih16.008 KK dan laju pertambahan penduduknya
3,24 %. Sebagian besar penduduk memeluk agama Islam, dengan mata pencaharian
sebagian besar sebagai petani dan buruh pabrik.Pendidikan rata-rata penduduk adalah
Lulus SMP.Saat ini upaya-upaya pengembangan kesehatan masih cenderungsulit
145
diterima oleh masyarakat, karena tingkat kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan bidang kesehatan masih kurang.
Puskesmas Citangkil terletak di daerah industri di Kecamatan Citangkil,
mempunyai luas wilayah 2,177,36 Ha dan dengan batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Kecamatan Purwakarta
Sebelah Timur : Kecamatan Cilegon
Sebelah Selatan : Kecamatan Mancak KabupatenSerang
Sebelah Barat : Kecamatan Ciwandan
Wilayah kerja UPTD Puskesmas Citangkil adalah Kecamatan Citangkil yang terdiri dari 7 Kelurahan yaitu :
Kelurahan Deringo : Luas 263,25 Ha
Kelurahan Samangraya : Luas 293,9 Ha
Kelurahan Lebak Denok : Luas 309,11 Ha
Kelurahan Tamanbaru : Luas 273,9 Ha
Kelurahan Kebonsari : Luas 225,16 Ha
Kelurahan Warnasari : Luas 652,20 Ha
Kelurahan Citangkil : Luas 159,84 Ha
Kecamatan Citangkil lebih dari separuh wilayahnya merupakan daerah
perkotaan, seperti daerah lain memiliki permasalahan social ekonomi. Sebagian besar
wilayah Kecamatan Citangkil adalah daerah pemukiman dan perkantoran dinas-dinas
maupun instansi pemerintah lainnya. Ada beberapa industri besar di Kecamatan
citangkil yng berdampak merugikan di bidang kesehatan yaitu polusi udara yang dapat
menyebabkan tingginya jumlah kejadian penyakit saluran pernafasan di masyarakat.
Sarana air bersih, jamban keluarga, sarana pembuangan air limbah masih merupakan
masalah di Kecamatan Citangkil. Wilayah kecamatan Citangkil dapat dilalui dengan
kendaraan roda dua dan empat, hal ini merupakan suatu keuntungan karena baik
petugas kesehatan, sarana kesehatan maupun masyarakat umum dapat menjangkau
semua wilayah Kecamatan Citangkil, yang tentu saja berdampak positif bagi
pencapaian dan keberhasilan program kesehatan.
146
Angka Kematian Dan Angka Kesakitan
Berdasarkan data yang didapatkan dari program Kesehatan Ibu dan Anak,
terdapat kelahiran hidup sebanyak 1306 bayi, tanpa ada angka kelahiran mati, dan
pada tahun 2011 didapatkan kematian sebanyak 4 bayi (angka kematian sebesar 3,1
per 1.000 kelahiran hidup) dan 4 balita (angka kematian sebesar 3,1 per 1.000
kelahiran hidup). Sedangkan angka kematian ibu sebesar 76,6 per 100.000 kelahiran
hidup karena didapatkan 1 orang ibu yang meninggal karena perdarahan.
Angka kesakitan menurut pola penyakit semua golongan umur di Puskesmas
Citangkil pada tahun 2011 adalah penyakit ISPA, Faringitis akut, myalgia, gastritis dan
duodenitis, sakit kepala, dermatistis lainnya, hipertensi esensial primer, tonsillitis akut,
konjungtivitis dan suspek TB paru.
Kesehatan ibu dan anak perlu menjadi perhatian untuk menurunkan angka
kematian ibu dan angka kematian bayi sehingga target MDGs tercapai, program KIA
berusaha untuk meningkatkan cakupan kunjungan K1, K4, N1, persalinan oleh tenaga
kesehatan, penanganan komplikasi obstetri, penanganan neonatus resti, penanganan
balita sakit dengan manajemen terpadu balita sakit (MTBS), kunjungan anak
prasekolah (APRAS) dengan melihat pertumbuhan dan perkembangannya (SDIDTK)
dan kunjungan ke SMP/SMA untuk memberikan penyuluhan kesehatan reproduksi.
Dengan laju pertumbuhan penduduk Kecamatan Citangkil sebesar 3,24 %,
tugas Puskesmas dan lintas sektor terkait menjadi lebih berat untuk mensukseskan KB,
tetapi dengan dukungan pemerintah Pusat dengan program Jamperrsal diharapkan
dapat lebih meningkatkan kesadaran masyarakat untuk ber-KB.
Promosi Kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat, merubah cara pandang masyarakat, dan prilaku masyarakat untuk
menjaga dan melindungi diri sendiri maupun keluarganya agar selalu tetap sehat.
Dalam pelaksanaannya dilakukan melalui upaya petugas Puskesmas seperti
penyuluhan kelompok dan massa, talkshow di radio, promosi kesehatan pada website
Puskesmas (www.puskesmas-citangkil.blogspot.com), penjaringan kesehatan anak SD
dan setingkat pada usaha kesehatan sekolah (UKS) dan usaha kesehatan gigi sekolah
(UKGS) yang sudah mencapai 100 %. Kegiatan yang bersumber daya masyarakat
147
seperti Kelurahan Siaga Aktif termasuk dalam program ini, Kecamatan Citangkil
mempunyai 5 Kelurahan Siaga Aktif dari 7 kelurahan yang ada (71,43 %), kelurahan
SamangRaya dan kelurahan Lebak Denok hanya merupakan Kelurahan Siaga karena
belum mempunyai sarana pelayanan kesehatan yang buka tiap hari kerja.
Program pengobatan di Puskesmas Citangkil dilakukan di dalam gedung yaitu
BP Umum, BP Gigi, KIA/KB, MTBS, Laboratorium, Obat, dan di luar gedung yaitu
Posyandu, Pusling, Posbindu, Pos UKK, Poskesdes, Polindes, Pustu, Poskestren. Jumlah
kunjungan rawat jalan Puskesmas Citangkil tahun 2011 adalah sebanyak 77890
kunjungan, meningkat dibandingkan tahun 2010 yaitu 74819 kunjungan.
Gambar 3.4.4.Puskesmas Citangkil (kiri) dan Pondok Kesehatan (kanan)
Di samping puskesmas induk, puskesmas Citangkil mempunyai 1 unit
puskesmas pembantu, pos persalinan kelurahan 2 unit, pos kesehatan kelurahan
(poskesdes) 2 unit, pos kesehatan pesantren 2 unit, posbindu 10 unit, puskesmas
keliling 10 unit, pos upaya kesehatan kerja 3 unit, posyandu 59 unit, dokter swasta 4
unit, bidan praktek swasta 35 buah, Balai pengobatan 5 unit dan RS bedah 1 unit.
Pada tahun 2011, rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap penduduk di
puskesmas Citangkil berturut sebagai berikut dokter umum (1:32465), Dokter gigi
(1:32465), Bidan (1 : 4329), perawat (1 : 4329), Tenaga Gizi (1 : 32465), Tenaga
Sanitarian (1 : 64930), Tenaga Kesehatan Masyarakat (1 : 32465), Asisten Apoteker
(1:64930), Tenaga non kesehatan (1 : 8116).
Pembiayaan kesehatan Puskesmas bersumber dari anggaran Daerah dan Pusat,
yang bersumber dari anggaran Daerah adalah APBD Kota Cilegon dan Jaminan
Kesehatan Daerah (Jamkesda), sedangkan yang bersumber dari Pusat yaitu Bantuan
148
Operasional Kesehatan (BOK), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan
Jaminan Persalinan (Jampersal). Anggaran kesehatan Puskesmas Citangkil tahun 2011
sebagai berikut: APBD Kota Cilegon (Rp. 185.797.000,-), Jamkesmas (Rp. 102.041.000,-
), BOK (Rp. 88.000.000,-). Pembiayaan kesehatan Puskesmas baik dari Daerah
maupun Pusat sangat mendukung pelaksanaan kegiatan Puskesmas yang bersifat
promotif dan preventif, yang dilengkapi juga oleh kegiatan kuratif dan rehabilitatifnya.
Dari tingkat social ekonomi, masyarakat di wilayah puskesmas Citangkil banyak
yg tidak mampu, bekerja sebagai ojek atau bekerja sebagai buruh bangunan. Jika
bekerja di perusahaan semua biaya kesehatan ditanggung oleh perusahaan termasuk
biaya persalinan tetapi dibatasi sampai anak kedua. Sehingga jika melahirkan anak
ketiga, dengan adanya jampersal menggunakan biaya jampersal. Kebanyakan
masyarakat di wilayah puskesmas Citangkil adalah muslim. Biasanya untuk
mempercepat proses melahirkan menggunakan rumput Fatimah, diminum agar cepat
lahir.
Tidak jauh berbeda degan kota Cilegon, masalah kekerabatan di wilayah
puskesmas Citangkil, jika ada masyarakat yang sakit diantarkan kadernya. Keberadaan
kader di wilyah puskesmas Citangkil disamping mengantarkan ibu yang akan
melahirkan juga melakukan sosialisasi dengan lurah, camat dan kadang-kadang
keluarganya konsultasi dengan pihak Dinas kesehatan tentang keadaan bayinya.
Pendidikan di kecamatan Citangkil cukup tinggi, Dari 16.791 penduduk yang
berusia 10 tahun ke atas, 638 orang berpendidikan S1, 570 orang tamat Diploma,
6008 orang tamat SMA, namun demikian juga terdapat 2.732 orng tidak/belum
pernah sekolah. Sebagian besar penduduk kecamatan Citangkil beragama Islam, tidak
berbeda dengan kecamatan lain yang ada di kota Cilegon yang dikenal dengan kota
yang mempunyai banyak masjid .
Masalah Kesehatan KIA dan Cakupan Pelayanan KIA/KB
Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di puskesmas Citangkil tahun 2011,
terdapat 92,40%. Kunjungan ibu hamil (K1) sebesar 101%, K4 94,98%, pelayanan ibu
nifas 93,11%.
149
Sarana dan prasarana yang ada di puskesmas Citangkil yang merupakan
puskesmas non perawatan memiliki 2 unit pos kesehatan desa (poskesdes), 59 buah
posyandu aktif, terdapat 7 buah desa siaga dan yang termasuk desa siaga aktif
sejumlah 5 buah. Dengan jumlah tenaga kesehatan dokter umum 23 orang, dokter gigi
2 orang, bidan 15 orang, perawat 15 orang, tenaga kefarmasian 1 orang, tenaga gizi 2
orang, tenaga kesmas 2 orang dan tenaga sanitasi 1 orang. Berdasarkan data dari
Dinas Kesehatan Kota Cilegon, puskesmas Citangkil paling rendah cakupan persalinan
yang ditolong oleh tenaga kesehatan. Pada tahun 2012 mulai bulan Januari sampai
dengan Juni 2012 terdapat 130 persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan, di
samping itu terdapat 5 orang ibu bersalin yang ditolong oleh dukun. Akses ke
pelayanan kesehatan tidak menjadi masalah karena bisa dijangkau oleh roda
dua dan roda empat.
3.4.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak
Pandangan tentang Ibu Hamil, Bersalin, Bayi/Anak
Menurut suami, perhatian terhadap isteri yang hamil berbeda jika dibandingkan
dengan bila isteri tidak hamil. Suami menjadi lebih perhatian kepada isteri mulai dari
pembagian tugas pekerjaan di rumah (pekerjaan yang berat dikerjakan oleh suami),
makanan lebih diperhatikan gizinya serta mengantar isteri bila pergi ke puskesmas
untuk memeriksakan kehamilannya serta mengantar untuk bersalin. Menurut
pengakuan salah seorang tokoh masyarakat:
Bapak-bapak disini (wilayah Citangkil) sangat peduli sekali, kebetulan yang punya transportasinya pak RT jadinya sangat peduli untuk mngantarkan ke puskesmas yang jaraknya jauh, ada juga yang bilang kalau lagi hamil suaminya tambah sayang
Kepercayaan yang Masih Berkembang
Kehamilan. Pada usia kehamilan 3 bulan atau 7 bulan biasanya dibuatkan
bubur atau rujak buah. Kepercayaan turun temurun yang masih ada, ibu hamil
membawa gunting dan silet yang diperoleh dari orang tua dengan maksud agar tidak
ada yang mengganggu. Ada juga kepercayaan tali hitam yang sebelumnya diberi doa
dan diletakkan di perut istri. Tali tersebut pemberian orang tua atau paraji/dukun.
150
Kepercayaan tersebut masih ada tetapi tidak semuanya tergantung daerahnya karena
sekarang sudah modern. Pada usia kehamilan ibu 7 bulan biasanya juga dilakukan
acara selamatan, besar kecilnya acara tersebut biasanya tergantung dari kemampuan
masing-masing pihak keluarga. Pada acara tujuh bulanan tersebut menurut tradisi
dibuatkan bubur lolos. Berbeda dengan bentuk bubur pada umumnya, tekstur dan
warna bubur lolos mirip dengan dodol Betawi baik tekstur maupun warnanya. Dengan
rasa legit gurih, menjadikan bubur lolos menjadi menu wajib bagi mereka yang
melakukan upacara tujuh bulanan. Cara penyajiannya tidak diletakkan di wadah
seperti mangkok tetapi dibungkus daun.
Bubur lolos dianggap sebagai simbol agar proses melahirkan ibu nantinya
dimudahkan atau lancar dan biasa disebut lolos. Bubur lolos dibuat dari bahan-bahan
tepung beras, tepung ketan serta tepung kanji yang dicampur dengan gula merah dan
santan kental, sehingga membentuk adonan yang kenyal. Bubur lolos berbahan dasar
tepung beras, tepung ketan, serta tepung kanji, gula merah dan santan kental,
diimasak dengan cara diaduk di atas api sehingga membentuk adonan yang kenyal.
Sebelum dibungkus daun pisasng adonan bubur lolos diberi topping blondo yaitu
santan kental yang dimasak hingga hampir membentuk minyak. Selanjutnya adonan
tersebut dibungkus daun pisang yang salah satu sisinya tidak ditutup.
Gambar 3.4.5. Bubur lolos
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Di kota Cilegon, pantangan ada tetapi juga tergantung dari masing-masing
kepercayaan ibu hamil.Beberapa pantangan yang masih dilakukan oleh ibu hamil di
wilayah kecamatan Citangkil antara lain makan rujak, duduk di depan pintu,
151
melangkahi bangkai, keluar rumah dan lain-lain.Rujak mempunyai rasa pedas dan
asam, kedua rasa ini disukai oleh ibu yang sedang hamil. Meskipun demikian, rujak
merupakan pantangan bagi sebagian masyarakat wilayah kecamatan Citangkil.
Pantangan yang lain ibu hamil berpantang duduk di depan pintu karena diyakini
menyebabkan proses kelahiran susah. Ibu hamil juga pantang melangkahi bangkai
karena menurut kepercayaan takut bayinya tidak bisa tumbuh besar, isamping itu ibu
hamil tidak boleh keluar rumah pada sore hari karena takut sawan. Ada pula
pantangan dari sebagian masyarakat untuk ibu hamil tidak boleh mengantongi
makanan karena menurut keyakinan jika bayinya laki-laki takut buah zakarnya besar.
Demikian juga jika ibu hamil duduk tidak boleh dialasi karena menurut kepercayaan
akan membuat ari-ari menempel. Pantangan bagi ibu hamil yang lain tidak boleh
makan cumi karena bisa menyebabkan bayi tidak punya anus serta ibu hamil tidak
boleh memakai selendang yang dilipat kebelakang karena diyakini membuat jalan lahir
tertutup. Namun demikian bila pantangan-pantangan tersebut diatas dipercaya oleh
ibu hamil dapat membuat masalah pada saat persalinan, maka boleh-boleh saja
dilaksanakan asal dapat diterima oleh akal sehat.
Anjuran bagi ibu hamil di kota Cilegon, membawa pisau lipat atau gunting serta
bangle setiap pergi, hal ini dimaksudkan agar tidak ada yang mengganggu.Menurut
kader dalam Focus Group Discussion (FGD) diperoleh informasi bahwa kadang kalau
menemani ibu hamil disuruh membawa gunting, silet, katanya biar tidak ada yang
mengganggu. Barang tersebut diberi oleh orang tua sendiri suatu kepercayaan yang
turun temurun. Namun demikian, ibu hamil dianjurkan boleh mengikuti ritual/tradisi
akan tetapi tidak usah memaksakan keadaan bila tidak mampu
Berikut beberapa ritual, tradisi atau adat terkait masa kehamilan yang masih
berlaku di masyarakat wilayah puskesmas Citangkil.
152
Tabel 3.4.2.
Aktifitas Budaya pada Masa Kehamilan
Ritual, tradisi atau adat tertentu
Pantangan Anjuran
Tiga bulanan (Slametan agar bayi selamat)
Tujuh bulanan
Bikin bubur lolos (pada usia hamil 7 bulan)
Makan rujak
Duduk di depan pintu karena bisa menyebabkan proses kelahiran susah
Kerja berat
Melangkahi bangkai (takut bayinya tidak bisa tumbuh besar)
Keluar rumah sore hari (takut sawan)
Tidak boleh duduk di teras
Tidak boleh mengantongi makanan (jika bayinya laki-laki takut buah zakarnya besar)
Kalau duduk tidak boleh dialasi karena akan membuat ari-ari nempel
Tidak boleh makan nanas
Tidak boleh makan cumi (Bisa menyebabkan bayi tidak punya anus)
Tidak boleh pakai selendang dilipat ke belakang. Takut membuat jalan lahir tertutup
membawa pisau lipat/gunting kecil dan bengle setiap bergi
Boleh mengikuti ritual/tradisi akan tetapi tidak usah memaksakan keadaan bila tidak mampu
Bila pantangan-pantangan tersebut dipercaya oleh ibu dapat membuat masalah pada saat persalinan, maka boleh-boleh saja dilaksanakan asal dapat diterima oleh akal sehat
Sumber: Data Primer
Persalinan. Di kota Cilegon, tradisi/adat yang masih dilakukan oleh sebagian
masyarakat pada proses persalinan yaitu membuka jendela dan pintu agar supaya ibu
cepat melahirkan. Seperti penuturan seorang kader pada waktu FGD sebagai berikut:
“Saat melahirkan ada yang bilang, pintu dibuka, toples dibuka, tempat air seperti gentong dibuka, biar lahirnya lancar, itu kepercayaan mereka, itu sebelum tahun 2010. Kepercayaan itu masih ada tetapi tidak semuanya, tergantung daerahnya juga, kan sekarang sudah modern”.
Anjuran yang masih dianut oleh sebagian masyarakat wilayah Citangkil yaitu
minum rumput Fatimah sebelum proses persalinan agar supaya proses kelahiran lebih
cepat. Namun demikian dianjurkan boleh mengikuti tradisi akan tetapi tidak usah
memaksakan keadaan bila tidak mampu.
153
Berikut ritual, tradisi atau adat terkait proses persalinan yang masih berlaku di
sebagian masyarakat wilayah puskesmas Citangkil.
Tabel. 3.4.3.
Aktifitas Budaya pada masa Persalinan
Ritual, Tradisi, atau adat tertentu Anjuran
- Membuka jendela dan pintu, toples, tempat air supaya cepat lahir
- Minum rumput fatimah supaya proses kelahiran lebih cepat - Boleh mengikuti tradisi akan tetapi tidak usah memaksakan keadaan bila tidak mampu
Sumber: Data Primer
Pasca persalinan. Di kota Cilegon masih terdapat ritual/tradisi yang
berhubungan ibu sesudah melahirkan )pasca persalinan) seperti suguh tamu, saweran,
buka tamu serta aqiqah, demikian juga pantangan terhadap ibu pasca melahirkan.
Pada waktu ibu baru melahirkan dan pulang ke rumah biasanya diadakan acara suguh
tamu yaitu menyiapkan makanan/minuman atau yang lebih dikenal dengan suguhan
untuk tamu yang datang menjenguk. Pada hari ketujuh setelah melahirkan dilakukan
aqiqoh atau sering disebut kekahan bagi keluarga yang mampu, tetapi ada juga yang
baru dilakukan setelah 40 hari.
Aqiqah merupakan sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wassalam yang
berkenaan dengan kelahiran anak muslim. Melaksanakan ‘aqiqah adalah salah satu
bentuk menghidupkan sunnah Beliau. Orang yang menghidupkan sunnah Beliau
tatkala manusia menjauhi dan membencinya, adalah bukti rasa cinta kepadanya, yang
jaminannya adalah surga. Pada aqiqoh tersebut ada yang dilakukan pengajian ada yang
tidak, di samping itu pada acara tersebut biasanya juga dilakukan upacara potong
rambut untuk bayi serta pemberian nama si bayi. Pemberian nama disesuaikan
dengan harapan dari orang tua agar kelakmenjadi anak yang baik karena di dalam
nama tersebut terkandung doa dan harapan. Pada acara aqiqah tersebut tidak ada
ketentuan apakah harus digundul atau tidak. Pencukuran tersebut harus dilakukan
dengan rata, tidak boleh hanya mencukur sebagian kepala dan sebagian yang lain di
biarkan. Semakin banyak rambut yang dicukur dan di timbang semakin besar pula
sedekahnya.
154
Di wilayah puskesmas Citangkil, masih ada beberapa bayi yang dibedong.
Membedong merupakan istilah untuk ‘membungkus’ bayi dengan kain. Di beberapa
pustaka disebutkan bahwa beberapa manfaat membedong bayi, antara lain:
- membantu bayi agar tidak terganggu dengan gerakan kejut yang biasa dikenal
dengan refleks Moro
- Membantu bayi agar tetap hangat, terutama pada hari-hari pertama dalam
kehidupannya. Nantinya secara berangsur, tubuhnya akan menyesuaikan dengan
lingkungan sekitar, sehingga kain bedong tidak diperlukan lagi
- Membantu menenangkan bayi
Pada waktu bayi berusia 3 bulan dilakukan acara tiga bulanan agar bayi selamat. Selain
itu sebagai rasa syukur, masih ada beberapa kelompok masyarakat yang membuat
apem yang biasa disebut apeman. Di samping itu masih ada kepercayaan dari
sebagian masyarakat, jika terjadi gerhana bulan maka bayi harus bersembunyi di
kolong tempat tidur karena takut kulit bayi menjadi kehitaman.
Tabel 3.4.4.
Aktifitas Budaya Pasca Persalinan
Ritual, Tradisi, atau adat tertentu Pantangan
- Suguh tamu (Rasa syukur terhadap kelahiran bayi yang baru lahir dengan selamat) - Saweran (menyambut bayi baru lahir sebelum masuk ke dalam rumah) - Buka tamu (selamatan sambut bayi baru lahir) - Aqiqahan, yaitu syukuran atas kelahiran bayi yang lahir selamat dan memotong rambut si bayi untuk dibuang sawannya (rambut bawaan dari lahir) - Potong rambut - Digedog (posisi diluruskan sesuai dengan jalan lahir)
- Tidak boleh makan yang pedas atau es (dikawatirkan dapat mempengaruhi produksi ASI yang keluar)
Sumber: Data Primer
Pengetahuan Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak
Tingkat pengetahuan kesehatan dilihat dari jenis pertanyaan dapat dibagi
menjadi 3 jenis yaitu pengetahuan tentang perawatan kehamilan (Ante Natal Care =
ANC), pengetahuan tentang persalinan dan pengetahuan tentang paska persalinan.
155
Hasil survey menunjukkan tingkat pendidikan responden cukup tinggi yaitu 57,4%
berpendidikan SMA sampai dengan sarjana, 35,3% tamat SMP, dan 3,4% tamat SD ke
bawah. Pengetahuan tentang kesehatan diperoleh pada saat di posyandu baik oleh
tenaga kesehatan maupun oleh kader.
Kehamilan. Pengetahuan ibu tentang pemeriksaan kehamilan cukup baik, dari
hasil survei menunjukkan dari 68 orang ibu yang disurvei 64,7% memiliki pengetahuan
yang benar yaitu memeriksakan kehamilan paling tidak 4 kali selama kehamilan. Data
ini mendukung hasil FGD dengan suami yang sangat mendukung isteri untuk
memeriksakan kehamilan di posyandu.
Cakupan pemeriksaan kehamilan sudah baik yaitu 100% (n=68) ibu hamil
menerima pelayanan tenaga kesehatan untuk pemeriksaan/perawatan kehamilan oleh
tenaga kesehatan.
Pemahaman tentang pentingnya pemeriksaan tekanan darah sudah baik
terungkap dari data survey ibu, terbukti 95,6% mempunyai pengetahuan yang benar
bahwa pengukuran tekanan darah penting dilakukan saat pemeriksaan kehamilan
untuk mendeteksi adanya resiko kehamilan. Demikian juga pengetahuan tentang
imunisasi toxoid yang diberikan sebelum kehamilan dijawab benar oleh 57,4%
responden (n=68).
Persalinan. Pengetahuan masyarakat melalui tokoh masyarakat termasuk
kader dan suami pada FGD menunjukkan hasil cukup baik karena mereka mendukung
bahwa kemampuan bidan lebih baik daripada dukun. Pengetahuan ini didukung data
survey ibu yang menunjukkan bahwa 98,5% (n=68) merasa aman dan nyaman ditolong
oleh bidan. Namun demikian masyarakat nampaknya masih menyukai melahirkan di
rumah. Pernyataan ini didukung dengan data pengetahuan yang menunjukkan bahwa
57,4% ibu melahirkan di rumah lebih baik.
Pasca Persalinan. Aktifitas pasca persalinan baru boleh dilakukan setelah 3
hari, ternyata pernyataan yang “salah” ini dijawab oleh 48,5% responden (n=68),
demikian pula tentang larangan makan ikan laut dijawab benar oleh 76,5% responden.
Artinya hanya 23,5% saja dari responden yang mengetahui bahwa setelah bersalin ibu
156
boleh mengkonsumsi ikan laut. Masih ada anggapan bahwa mengkonsumsi ikan laut
akan berdampak buruk bagi ASI.
Sikap Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap
suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan
tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku.Dalam penelitian ini, survey
mengenai sikap ibu dilihat dari 4 level. Dua (2) sikap mendukung/positif ditunjukkan
dengan penyataan setuju dan sangat setuju sedangkan dua sikap tidak
mendukung/negatif ditunjukkan dengan pernyataan sangat tidak setuju dan tidak
setuju.
Hasil survey ibu menunjukkan bahwa sikap ibu yang mendukung dan tidak
mendukung upaya pemeriksaan kehamilan, persalinan dan pasca persalinan seperti
terlihat dalam tabel berikut:
157
Tabel. 3.4.5.
Sikap Terhadap Kehamilan, Persalinan dan Pasca Persalinan Kecamatan CitangkilTahun 2012
Pernyataan
Sikap
Mendukung (%) Tidak mendukung (%)
1. Pemeriksaan kehamilan
Penting periksa hamil 4 kali 57,4 42,6
Penting ukur tensi 100,0 0,0
Perlu tablet tambah darah 70,6 29,4
Perlu upacara agar selamat 79,4 20,6
2. Persalinan
Setuju, lahir di rumah tidak sama aman dengan lahir di RS
52,9 47,1
Setuju kemampuan dukun tidak sama baiknya dengan bidan
76,5 23,5
3. Pasca Persalinan
ASI beda dengan madu 61,8 38,2
Penting kolostrum untuk bayi 79,4 20,6
Perlu KB pasca nifas 72,1 27,9
Sumber: Data Primer
Kehamilan. Dalam pemeriksaan kehamilan sebanyak 4 kali sebanyak 57,4%
menyatakan sikap mendukung, namun ternyata persentasenya berkurang dari
banyaknya ibu yang memiliki pengetahuan yang benar mengenai pemeriksaan
kehamilan ini. Kesadaran pentingnya pemeriksaan kehamilan sudah diketahui oleh
sebagian besar suami. Oleh karena itu, mereka mendukung upaya isteri untuk
memeriksakan kehamilan dengan cara selalu mengingatkan isteri agar mentaati jadwal
pemeriksaan kehamilan yang dilakukan di posyandu, poskeskel atau bidan yang dekat
dengan tempat tinggal mereka.
Sikap mendukung juga ditunjukkan terhadap pentingnya mengukur tekanan
darah yaitu sebanyak 100,0%, dan persentasenya lebih besar dari pengetahuan benar
158
mengenai pentingnya dilakukan pengukuran tekanan darah saat pemeriksaan
kehamilan untuk mendeteksi adanya resiko kehamilan.
Persentase sikap mendukung juga ditunjukkan pada sikap ibu terhadap
pemberian tablet tambah darah bagi ibu hamil sebesar 70,6%, namun ada
pengurangan persentase yang cukup besar dari persentase ibu mengenai pentingnya
tablet tambah darah untuk ibu hamil sebesar 98,5%. Hal ini menunjukkan meskipun
mereka tahu bahwa tablet tambah darah itu penting tetapi ada beberapa yang merasa
tidak memerlukn tablet tambah darah tersebut.
Sikap mendukung juga ditunjukkan ibu terhadap dilakukannya ritual atau
kepercayaan tertentu pada saat hamil, yang bisa dianggap bisa menyelamatkan bayi
yaitu sebesar 79,4%, meskipun terjadi pengurangan dari persentase pengetahuan ibu
tentang hal tersebut. Seperti penuturan dari suami pada waktu FGD sebagai berikut
”Namun demikian bila pantangan-pantangan tersebut diatas dipercaya oleh ibu hamil dapat membuat masalah pada saat persalinan, maka boleh-boleh saja dilaksanakan asal dapat diterima oleh akal sehat”.
Persalinan. Sikap ibu yang mendukung terhadap persalinan ditunjukkan oleh
52,9% menyatakan setuju lahir di rumah tidak sama aman dengan lahir di RS. Selain
itu 76,5% menyatakan setuju kemampuan dukun tidak sama baiknya dengan bidan.
Namun demikian masih ada yang menyatakan sebaliknya, hal ini disebabkan karena
pengaruh dari orang tua dimana masih ada pasangan suami isteri yang tinggal bersama
orang tua atau pada waktu melahirkan pulang ke rumah orang tuanya di desa.
Pasca Persalinan. Sikap ibu yang mendukung pasca persainan ditunjukkan oleh
sikap yang mendukung bahwa ASI berbeda dengan madu dan air kelapa, kolostrum
penting untuk bayi serta perlunya mengikuti KB setelah masa nifas. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat sudah menyadari pentingnya pengaturan anak
melalui keikutsertaan KB, disamping memang merupakan salah satu persyaratan
program jampersal.
Praktek/Tindakan Kesehatan Ibu dan Anak
Praktek/tindakan pelaksanaan pemeriksaan kehamilan, persalinan dan pasca
persalinan tidak lepas dari pelayanan oleh bidan dan dukun.
159
Kehamilan. Dari hasil wawancara dengan responden pada survey, terlihat
bahwa pemeriksaan kehamilan ke bidan dilakukan seluruh ibu yang disurvey (100,0%),
namun tidak meninggalkan kebutuhan untuk memeriksakan kehamilan ke dukun yang
dilakukan oleh 54,4% responden. Hasil pelayanan yang diterima oleh ibu dari bidan
dan dukun sebagai berikut:
Tabel 3.4.6.
Pelayanan yang Diterima oleh Ibu di Kecamatan Citangkil Tahun 2012
Jenis pelayanan oleh Bidan
‘Ya’ Menerima pelayanan Bidan
Jenis pelayanan oleh Dukun
‘Ya’ Menerima pelayanan Dukun
Periksa kehamilan 100,0 Periksa Kehamilan 54,4
Persalinan 100,0 Persalinan 8,8
Rawat Pasca Salin 91,2 Rawat pasca Salin 23,5
KB 95,6 Pijat Ibu 61,8
Pijat Bayi 7,4 Jamu Ibu 22,1
Buat Jamu Ibu 4,4 Rawat Bayi 33,8
Upacara 0,0 Buat Jamu Bayi 4,4
Upacara 2,9
Sumber: Data Primer
Pelayanan dukun pada saat hamil yang masih tinggi, didukung pernyataan
seperti yang disampaikan oleh dukun sebagai berikut:
“Ibu hamil tidak suka diurut, cuma urut badan kalau capek capek, biasanya cuma lihat posisi bayinya sudah dibawah atau belum”
Kebiasaan atau tradisi memeriksakan kehamilan ke dukun kemungkinan menjadi
penyebab masyarakat menggunakan jasanya. Informasi ini didukung survey ibu yang
menunjukkan alasan memeriksakan kehamilan ke dukun karena percaya (1,5%),
dianjurkan orang tua (4,4%), tradisi (39,7%) dan nyaman (8,8%).
Persalinan. Persalinan ke bidan dilakukan seluruh ibu yang disurvey (100,0%),
namun masih ada (8,8%) persalinan ditolong oleh dukun. Kebiasaan masyarakat
memanggil dahulu dukun sebelum memanggil bidan merupakan salah satu penyebab
160
persalinan pertama ditolong oleh dukun. Hal ini didukung oleh hasil survey yang
menunjukkan penolong pertama persalinan adalah dokter (4,4%), bidan (86,8%) dan
dukun (8,8%).
Juga penuturan seorang dukun sebagai berikut:
“Saya dimintai tolong persalinan sendiri karena misalnya tidak keburu, biasanya ada, tapi tidak sering, tapi pernah ada, biasanya saya dipanggil ke rumah”’
Pasca persalinan. Pemeriksaan pasca melahirkan ke tenaga kesehatan
dilakukan oleh 91,2% responden (n=68). Hal ini didukung oleh hasil survey ibu yang
menunjukkan alasan pemeriksaan pasca melahirkan adalah 51,5% lebih percaya
tenaga kesehatan, lebih kompeten (20,62%) dan jarak dekat (10,32%). Sebanyak
95,6% responden mengikuti KB pasca melahirkan, hal ini menunjukkan bahwa mereka
sudah memikirkan dampak ekonomi keluarga dengan kehadiran bayi tersebut
mengingat kebutuhan hidup di kota membutuhkan biaya yang tinggi jika memiliki anak
lebih dari 2.
Alat kontrasepsi yang disukai oleh masyarakat kota Cilegon adalah suntik dan
implant sedangkan untuk IUD dan pil masyarakat menolak. Menurut informasi dari
hasil wawancara di Dinkes, diperoleh informasi bahwa di kota Cilegon jumlah akseptor
KB tidak ada perubahan baik sebelum atau sesudah adanya jampersal.
3.4.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan
Pemanfaatan Pelayanan Jampersal
Masalah kesehatan ibu dan anak baik kematian maupun kesakitan
sesungguhnya tidak lepas dari faktor sisial budaya serta lingkungan dimana ibu dan
anak tersebut berada.
Pengambilan Keputusan Pemilihan Penolong KIA
Seperti di kota/kabupaten lain, tidak semua pasangan suami istri menempati
rumah sendiri tetapi ada sebagian yang masih tinggal bersama orang tua atau mertua
mereka. Bagi pasangan yang tinggal di rumah sendiri pemilihan penolong persalinan
biasanya atas kesepakatan isteri dan suami. Sedangkan yang masih tinggal bersama
161
orang tua atau mertua mereka biasanya orang tua/mertuamasih ikut berperan tetapi
untuk mengurus bayi. Seperti pernyataan seorang suami berikut ini:
“Pengambilan keputusan pada saat ibu melahirkan pilihan suami dan istri, orang tua ada perannya tapi untuk mengurus bayi”
Namun demikian menurut salah seorang suami peserta FGD mengatakan jika
pemilihan tempat persalinan yang dekat rumah dan murah.
Tentang Dukun Dimata Masyarakat
Saat ini masyarakat di wilayah kecamatan Citangkil sudah jarang
memanfaatkan dukun tetapi langsung ke bidan karena sudah ada kerjasama antara
dukun dengan bidan. Kebanyakan dukun sudah tua, ada yang berusia 80 tahun. Dukun
biasanya mengurut, menggendong bayi, tetapi bukan menolong persalinan.
Pengetahuan menjadi dukun diperoleh dari keturunan nenek, mulai mengurut,
memijat. Pada tahun 1992, dukun di wilayah Citangkil pernah mendapat pelatihan
sebagaimana pengakuan seorang dukun S:
“Dulu saya dengan bidan Nur Hadijah, dulu saya ikut sekolah dukun, seperti pelatihan selama 1 tahun, tahun 1992”
Di wilayah puskesmas Citangkil, dukun tidak menolong persalinan tetapi hanya
menemani bidan saja tetapi pada saat ibu akan melahirkan dukun yang membawa ke
bidan. Peran dukun hanya untuk membantu memandikan bayi setelah lahir. Seperti
penuturan salah satu kader di wilayah puskesmas Citangkil:
“….kalau dukun tidak membantu persalinan hanya menemani bidan saja, tapi saat bersalin dukun yang membawa ke bidan”
Menurut dukun, Ibu hamil tidak suka diurut, hanya mengurut badan jika terasa
pegal-pegal. Disamping itu dukun melihat posisi bayi sudah di bawah atau
belum.Tradisi atau kebiasaan ibu hamil pada usia kehamilan 7 bulan biasanya
membuat rujak, itu cuma syarat saja. Tidak ada tradisi minum kelapa muda pada usia
kehamilan 3 atau 4 bulan, demikian juga sambel campok. Tidak ada tradisi minum
jamu atau sambel campok setelah melahirkan karena biasanya sudah diberi obat dari
bidan. Ari-ari biasanya dicuci oleh dukun, kemudian menanam ari-ari tersebut di
halaman rumah. Kadang-kadang pada waktu menanam ari-ari tersebut diberi bunga,
tetapi sesuai dengan kemauan ibu yang melahirkan atau pihak keluarga sendiri, dukun
162
hanya mengikuti. Dukun pernah diminta untuk menolong persalinan tetapi jika bayi
sudah keburu keluar, seperti penuturan salah seorang dukun berikut:
”Iya, saya pernah dimintai tolong untuk melakukan pertolongan persalinan sendiri misalnya tidak keburu biasanya ada, tetapi tidak sering, tapi pernah ada, biasanya saya dipanggil ke rumah”
Bidan Dimata Masyarakat
Kecamatan Citangkil terdiri dari 7 kelurahan, di masing-masing wilayah
terdapat bidan. Keberadaan bidan di wilayah tersebut lebih memudahkan masyarakat
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan medis. Kebiasaan masyarakat untuk
melahirkan di rumah dengan memanggil bidan karena merasa nyaman serta rumahnya
jauh dari bidan meskipun sebelumnya juga memanggil dukun. Hal ini sesuai dengn
hasil survey bahwa masyarakat beranggapan melahirkan di rumah lebih baik (57,4%).
Masyarakat merasa aman ditolong oleh bidan karena mempunyai peralatan yang
banyak. Namun demikian setelah melhirkan baru ke dukun untuk memijat ibunya
karena merasa masih sakit. Seperti penuturan seorang bapak pada waktu FGD sebagai
berikut:
“Ya, kalau saya langsung ke dukun takut kalau terjadi yang tidak diinginkan, kalau bidan kan peralatannya banyak, jadi melahirkan di bidan, bidan saya panggil ke rumah, karena jauh dari rumah”.
“Melahirkan di bidan saja, tapi setelah melahirkan baru ke dukun untuk pijet ibunya, katanya masih sakit…..”
Namun demikian menurut survey masyarakat masih ada anggapan bahwa bidan dan
dukun sama kemampuannya (76,5%).
Kemitraan Dukun dan Bidan
Kemitraan dukun bidan sebenarnya sudah berlangsung lama.Dengan adanya
program jampersal, persalinan oleh dukun sudah jarang karena sudah ada kerjasama
antara bidan dan dukun. Dukun merasa bidan kasihan dengan dukun sehingga sering
diajak oleh bidan untuk menolong persalinan. Kerjasama bidan dengan dukun sudah
berlangsug kurang lebih 10 tahun. Bentuk kemitraan dukun dengan bidan, dukun
hanya menemani bidan, dukun memberikan informasi kepada bidan jika ada ibu yang
163
akan melahirkan. Dalam pertolongan persalinan, bidan yang menolong persalinan,
setelah bayi lahir dukun merawat bayinya, sedangkan ibu diurus oleh bidannya.
Setelah membantu persalinan, dukun masih sering dating untuk memandikan bayi
serta sudah diberi tahu obatnya oleh bidan. Dengan adanya kerjasama antara dukun
dan bidan, maka menurut dukun tugasnya mnjadi lebih ringan, ada yang membantu
dan memberitahu caranya yang sebelumnya belum dimengerti. Antara bidan dan
dukun saling berbagi pengalaman, biasanya bidan member tahu tentang cara
menolong persalinan. Cara-cara membantu persalinan yang dipraktekkan oleh dukun
sesuai dengan yang diperoleh di pelatihan.
Gambar 3.4.6. Peta Sarana Cintangkil
Tidak ada perbedaan persepsi masyarakat tentang bayi yang meninggal/gagal
ditolong oleh bidan dan ditolong oleh dukun. Masyarakat bisa menilai dari segi
164
kemampuan bidan dibandingkan dengan dukun dengan melihat kinerja bidan atau
dukun. Masih ada anggapan bahwa bayi berwarna biru saat lahir adalah wajar
sehingga bila kemudian terjadi kematian pada kondisi tersebut mereka tidak banyak
menuntut khususnya masyarakat yang kurang mampu. Berbeda dengan masyarakat
yang mampu, biasanya lebih berani dan banyak menuntut apabila terjadi kodisi ibu
atau bayi yng kurang baik.
Pemanfaatan Pelayanan Jampersal
Pelayanan jampersal tidak lepas dari pelayanan oleh bidan dan pelayanan di
fasilitas kesehatan sebagaimana disyaratkan dalam peraturan yang berlaku. Di wilayah
Citangkil masyarakat sudah memanfaatkan pelayanan oleh bidan namun tidak
dilaksanakan di fasilitas kesehatan tetapi dilakukan di rumah terutama bagi
masyarakat yang bertempat tinggal jauh dari fasilitas kesehatan. Cukup banyak
masyarakat yang bekerja di perusahaan di wilayah Citangkil baik sebagai karyawan
atau buruh perusahaan dimana kebutuhan akan kesehatan dijamin termasuk untuk
melahirkan meskipun hanya sampai anak kedua atau penduduk yang sudah
mempunyai asuransi lain. Hal ini merupakan salah satu hambatan dalam pemanfaatan
pelayanan jampersal. Sesuai dengan hasil survey terhadap ibu yang melahirkan antara
bulan Juni 2011 sampai dengan bulan Mei 2012 (n=70) menunjukkan bahwa
pemanfaatan untuk jampersal cukup sedikit (22,1%). Di samping adanya perusahaan di
wilayah Citangkil, ada sebagian masyarakat yang masih belum mengetahui adanya
program jampersal. Seperti penururan seorang bapak peserta FGD sebagai berikut:
“Saya tidak tahu kalau ada program jampersal, kalau saya tahu pasti ikut, dulu karena saya tidak tahu, itu membantu sekali apalagi untuk mengurangi biaya ekonomi”
Sementara bagi peserta jampersal sangat mendukung karena banyak
kemudahan dan keringanan dengan mengikuti program jampersal meskipun menurut
salah seorang peserta jampersal dalam pelaksanaannya masih membayar Rp. 25.000,-
untuk menebus obat.
165
Pelayanan pemeriksaan kehamilan pada bidan pada umumnya dilakukan di
posyandu. Meskipun sudah memeriksakan diri ke bidan, masyarakat masih
membutuhkan dukun pada saat kehamilan untuk mengurut jika pegal-pegal atau
untuk memperbaiki posisi bayi dalam kandungan.
Pemanfaatan jampersal membutuhkan persyaratan yaitu dilakukan oleh tenaga
kesehatan dan dilaksanakan di fasilitas kesehatan, namun di lapangan ternyata ada
toleransi. Hal ini mengingat pemerintah belum mampu menyediakan fasilitas
kesehatan persalinan di masing-masing wilayah (kelurahan) secara merata dan di
samping alat kesehatan yang belum memadai.
Data survey di wilayah Citangkil menunjukkan bahwa dari 68 responden
menyatakan melahirka di rumah sebanyak 30,9%, 54,4% di rumah bidan atau pos
kesehatan kelurahan (poskeskel), 1,5% di puskesmas dan 13,2% di RS. Bila dilihat dari
penolong pertama dan terakhir persalinan, sebagian besar (86,8%) penolong
persalinan adalah bidan, demikian juga pada pertolongan terakhir persalinan sebagian
besar (88,2%) adalah bidan (Tabel 3.4.7). Tidak ada seorangpun penolong terakhir
adalah dukun. Hal ini sesuai dengan keberadaan bidan di setiap wilayah Citangkil baik
di pos kesehatan kelurahan maupun di rumah bidan. Dari hasil survey menunjukkan
alasan memilih penolong persalinan terakhir karena sebagian besar (72,1%) merasa
aman dan nyaman, 8,8% jarak dekat dan 7,4% mengatakan percaya dengan penolong
persalinan.
Tabel 3.4.7.
Penolong Pertama dan Penolong Terakhir Persalinan Citangkil 2012
Jenis Tenaga Penolong Pertama Persalinan (%)
Penolong Terakhir Persalinan (%)
Dokter 4,4 11,8
Bidan 86,8 88,2
Dukun 8,8 0
Sumber: Data Primer
166
Pengetahuan tentang Jampersal
Pengetahuan tentang jampersal cukup tinggi. Pengetahuan tentang jampersal
banyak diperoleh dari media massa. Hasil survey masyarakat menunjukkan bahwa
sebagian besar (73,5%) ibu yang melahirkan periode Juni 2011 sampai dengan bulan
Mei 2012 memperoleh informasi dari media massa, 48,5% diperoleh dari tenaga
kesehatan, 29,4% dari petugas kelurahan serta 7,4% memperoleh dari baliho. Di
samping itu masyarakat sudah megetahui jika jampersal digunakan untuk ANC,
persalinan, masa nifas dan KB (89,7%).
Pembiayaan Kesehatan Ibu dan Anak
Pelayanan kesehatan ibu dan anak banyak dilaksanakan di puskesmas, bidan
wilayah atau posyandu. Dari sisi masyarakat (suami), dengan adanya program
jampersal sebagian besar pendapat masyarakat baik yang ikut jampersal maupun yang
tidak ikut jampersal sangat mendukung program tersebut. Seperti pendapat salah
seorang peserta Diskusi Kelompok Terarah berikut:
”Jampersal sangat mendukung masyarakat, karena banyak kemudahan dan keringanan....”
Namun demikian masih ada masyarakat yang tidak mengggunakan jampersal
karena merasa pelayanan yang diberikan tidak menyenangkan terutama jika dirujuk ke
rumah sakit. Di samping itu masih ada yang masih harus membayar meskipun sebesar
Rp. 25.000,- untuk biaya menebus obat. Sebaliknya bagi suami dari isteri yang tidak
menggunakan jampersal mengatakan bahwa mereka tidak tahu kalau ada program
jampersal.
Untuk memeriksakan kehamilan, salah seorang pengguna non jampersal
mengatakan persalinan di Klinik dengan biaya Rp. 1.300.000,- termasuk pengurusan
akte kelahiran. Jika mulai awal kehamilan sudah mengetahui kalau ada program
jampersal maka menurut salah seorang peserta non jampersal maka akan mengikuti
program tersebut karena program jampersal menurut peserta sangat membantu sekali
untuk mengurangi beban ekonomi. Pada saat ibu mulai hamil sebenarnya keluarga
sudah mempersiapkan biaya persalinan antara Rp. 600.000,- sampai dengan Rp.
700.000,-.
167
Menurut petugas puskesmas, tidak semua suami tahu tentang program
jampersal, dan tidak semua masyarakat mempunyai KTP sehingga jika menggunakan
jampersal maka mereka menggunakan surat keterangan domisili. Masyarakat yang
tidak mempunyai jaminan kesehatan menggunakan dana jampersal. Jika ibu yang
melahirkan tidak dibiayai jamsostek tetap ikut jampersal tapi jika ikut jamsostek atau
asuransi lain dibiayai oleh jamsostek atau asuransi lain tersebut dan nanti diklaim ke
asuransi tersebut dengan syarat ada kwitansi yang selanjutnya diklaimkan.Tidak ada
gengsi dari masyarakat, yang penting gratis.
Penduduk yang tidak menggunakan jampersal adalah penduduk yang mampu,
atau penduduk yang yang sudah ditanggung biaya kesehatannya di perusahaan di
tempat penduduk bekerja seperti Krakatau Steel atau penduduk yang sudah
mempunyai asuransi lain.
3.4.5. Peran Tenaga Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal
Sosialisasi Jampersal dari Dinas Kesehatan ke Puskesmas
Jampersal mulai disosialisasikan di kota Cilegon sejak tahun 2010. Sosialisasi
dilakukan di kecamatan, selain dihadiri aparat pemerintahan diwilayah kecamatan juga
dihadirii tokoh agama, tokoh masyarakat maupun suami.
Sosialisasi jampersal dilaksanakan oleh petugas jampersal pada saat pertemuan
dengan masyarakat, pertemuan dengan dukun, perteman dengan pak lurah yang
dilaksanakan di puskesmas. Pertemuan juga dihadiri oleh suami, tokoh agama dan
tokoh masyarakat. Sesuai dengan pembicaraan tim peneliti dengan Kepala Dinas
Kesehatan dengan Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan yang menyampaikan :
”Kami sosialisasi jampersal dan dilaksanakan oleh petugas jampersal, pertemuan dihadiri oleh masyarakat, serta pak lurah dan di lakukan di puskesmas”
Pada awalnya tanggapan masyarakat ada yang miss (salah pengertian) karena
jika ada surat dari pusat langsung ke lurah, bahwa jampersal gratis sampai rumah
sakit. Beritanya simpang siur, di awal pertama diumumkan anak ke 3 gratis untuk
pegawai negeri sipil, seharusnya didasari dari sosialisasinya.
168
Di kota Cilegon Program Jaminan Persalinan (Jampersal) ditindaklanjuti dengan
Peraturan Walikota nomor 29 tahun 2011 tanggal 17 Nopember 2012 tentang
Pemanfaatan Dana Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan
Persalinan (jampersal) tahun anggaran 2011. Peraturan Walikota tersbut terdiri dari 11
Bab meliputi Bab I Ketentuan Umum, Bab II maksud dan tujuan, Bab III Ruang Lingkup,
Bab IV Penyelenggaraan Peayanan Kesehatan Da, Bab V Peserta Program Jamkesmas
dan Jampersal, Bab VI Prosedur Pengajuan Klaim, Bab VII Besaran tariff Pelayanan, Bab
VIII Pemanfaatan dana, Bab IX Pelaporan dan Pertanggungjawaban Dana, bab X berisi
Pelaksanaan Pelayanan Jamkesmas dan Jampersal dan terakhir Bab XI Penutup.
Selanjutnya Peraturan Walikota Cilegon ditindaklanjuti dengan Keputusan
Kepala Dinas Kesehatan Kota Cilegon Nomor 800/018/Sekret tanggal 1 Juni 202
tentang Tim pengelola Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas),
Jaminan Persalinan dan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) tahun anggaran 2012.
Keputusan Kepala Dinas kesehatan tersebut berisi tentang Tim Pengelola
Penyelenggaraan Jamkesmas, Jampersal dan BOK, Pelaksanaan Tugas Tim Pengelola
mengacu pada Pedoman Pelaksanaan jamkesmas, dan Petunjuk Teknis Persalinan dan
petunjuk Teknis BOK. Dalam Keputusan Kepala Dinas tersebut juga diputuskan tentang
Honor Pennggungjawab dan sekretarist Jamkesmas dan jampersal dibebankan pada
Dana Dekonsentrasi Pusat pembiayann dan jaminan Kesehatan Sekretariat Jenderal
Kementerian Kesehatan Tahun Anggaran 2012, sedangkan Honor Sekretarian BOK
dibebankan pada Dana Tugas Pembantuan Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan
Ibu dan Anak tahun Anggaran 2012. Honor tersebut dibayarkan mulai 1 Januari
sampai dengan 31 Desember 2012.
Dengan dilaksanakannya Program jampersal, maka pada tanggal 2 Juli 2012,
Kepala Dinas Kesehatan Kota Cilegon menyampaikan daftar nama –nama Bidan
Praktek Swasta (BPS) dan Rumah Bersalin (RB) yang melayani program Jampersal.
Jumlah yang tercantum pada Surat pemberitahuan tersebut sebanyak 53 orang
dengan perincian 11 orang dari kecamatan Cibeber, 10 orang dari kecamatan
Jombang, 6 orang dari kecamatan Cilegon, 4 orang dari kecamatan Purwakarta, 5
orang dari kecamatan Grogol, 7 orang dari kecamatan Merak, 4 orang dari kecamatan
Citangkil serta 6 orang dari kecamatan Ciwandan.
169
Sosialisasi dari Dinas Kesehatan ke Bidan Praktik Swasta pernah dilakukan tetapi untuk
sosialisasi ke masyarakat tidak pernah dilakukan secara khusus, tetapi ditumpangkan
dengan sosialisasi ke kader dan dukun.
Klaim Jampersal oleh Bidan di Kota Cilegon
Sesuai dengan peraturan yang ada, klaim untuk jampersal sebesar 500 ribu dan
langsung diberikan ke kepala seksinya. Di puskesmas melalui edaran, peraturan
tersebut dihentikan terutama untuk bidan pemerintah karena walaupun sore hari
juga menjadi tanggungjawab bidan desa. Untuk penanganan jampersal di daerah
sulit, bidan mendatangi ibu yang akan melahirkan. Dari tingkat social ekonomi, di kota
Cilegon banyak yg tidak mampu, kalau yg mampu banyak pengusaha. Walaupun
kerjanya hanya sopir perusahaan itu di tanggung, semuanya program itu bagus untuk
usaha.
Kerjasama dengan klinik untuk bidan yang mempunyai MoU dan bidan yang
praktek sore diluar jam kerja. Jumlah bidan yng bukan PNS di kota Cilegon sebanyak
kurang lebih 170 orang dan dukun sejumlah 104 orang. Pelatihan dukun dilakukan
sebelum tahun 2000 (1992 ??). Diharapkan dengan dilatih, dukun bisa bermitra
dengan bidan. Dulu ada program bidan desa menekan dukun, tetapi sekarang dukun
baru bermunculan. Jadi seharusnya anaknya dukun disekolahkan sebagai
bidan.Pekerjaan dukun biasanya mencuci ari-ari, dukun biasanya sabar, sementara
bidan kurang sabar.
Di Jakarta ada akademi Kebidanan, dimana lulusannya harus magang di RS, jadi
setelah magang ijasah baru dikeluarkan. Surat ini penting dimiliki karena bila
mendaftar PNS, seorang bidan harus menunjukkan surat magang.
Sosialisasi dari Puskesmas ke Masyarakat
Puskesmas Citangkil terletak bersebelahan dengan kantor kecamatan.
Sosialisasi tidak khusus tentang jampersal tetapi bersama dengan kegiatan lain yang
dilakukan di kecamatan. Salah satu tokoh masyarakat juga menyatakan ketidaktahuan
masyarakat mengenai program jampersal ini, mereka sebatas hanya mengetahui ada
pelayanan gratis. Namun demikian meskipun tidak mengetahui nama program,
masyarakat sebagian besar sudah memanfaatkannya.
170
Pelaksanaan Program Jampersal
Masyarakat kota Cilegon mendapatkan pelayanan dasar gratis bila mempunyai
KTP kota Cilegon, sedangkan yang tidak mempunyai KTP kota Cilegon harus bayar,
berbeda dengan program jampersal jika mempunyai KTP diluar kota Cilegon masih bisa
dilayani kecuali untuk program KB.
Kebijakan Dinas Kesehatan di kota Cilegon, syarat jampersal tidak harus
melahirkan di bidan dan di fasilitas kesehatan, tetapi kalau melahirkan di bidan tetapi
tidak di fasilitasi kesehatan tetap di tanggung. Terutama jika ibu yang mau melahirkan
tinggal di gunung dan tidak mungkin turun, jadi bidan yang naik ke atas. Biaya
persalinan untuk jampersal Rp. 500.000,-, ANC 2 kali dan PNC 2 kali. Pelaksanaan ANC
biasanya memanggil bidan ke rumah dan bisa diklaim jampersal. Biasanya anak ke 3
untuk masyarakat yang mempunyai jaminan ASTEK juga pegawai negeri bisa
menggunakan dana jampersal.
Jika pasien harus dirujuk maka bidan desa harus membuat partograf, artinya
disitu bidan harus datang jam 9 malam, jadi harus sesuai. Bidan sendiri mau menolong,
tetapi pada saat mau dirujuk, pasien ketakutan akhirnya bayi langsung lahir. Karena
dianggap lahir normal oleh rumah sakit maka tidak dilayani dan pasien harus
membayar. Akhirnya dengan berat hati uang bidan disumbangkan untuk membiayai
mereka. Namun kasus demikian tidak banyak, hanya untuk masukan. Hal ini sesuai
dengan pernyataan yang disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Cilegon:
”Jampersal sendiri bagus untuk masyarakat Indonesia, siapapun boleh, tetapi dalam perjalanannya banyak yg harus di perbaiki. Permasalahan pelaksanaan jampersal biasanya pada waktu pasien dirujuk oleh bidan karena bidan sudah mampu untuk menolong. Dalam hal ini biasanya masyarakat disuruh untuk membayar”.
Pengelolaan Dana Jampersal di Tingkat Puskesmas
Pengelolaan jampersal terutama verifikasi keuangan ada di Dinas Kesehatan.
Pada tahun 2011 bidan mandiri masih digabung dengan puskesmas, namun sejak
tahun 2012 dengan adanya Permenkes yang baru, pengelolaannya dipisah. Di luar jam
kerja setelah jam 14.00 bidan PNS sudah bisa praktek sebagai bidan mandiri. Bidan
mandiri bisa langsung mengklaim tetapi untuk menjadi bidan mandiri ada persyaratan
171
yaitu mempunyai STR (Surat Tanda Registrasi). Untuk memperoleh STR maka
persyaratannya mempunyai Surat Ijin Praktek dan APN. Selanjutnya untuk
mendapatkan MoU harus mmpunyai STR dan dan Surat Ijin Lokasi Praktik.
BPS (Bidan Praktek Swasta) ada 2, yaitu BPS murni dan Bidan puskesmas yang
menolong persalinan di luar jam kerja puskesmas. Jumlah bidan yang tercatat
sebanyak 53 orang. Untuk BPS murni persyaratannya harus membuat MoU. Uang
klaim yang diterima bidan praktek di luar jam kerja tidak dipotong sama sekali, kecuali
untuk pasien yang melahirkan di puskesmas langsung diserahkan ke puskesmas
melalui sekretaris.
3.4.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan Pelaksanaan Jampersal
Lebih dari separuh wilayah kecamatan Citangkil merupakan daerah perkotaan,
merupakan daerah pemukiman dan perkantoran dinas-dinas maupun instansi
pemerintah lainnya. Fasilitas jalan yang ada cukup memadai, bisa dilalui kendaraan
roda dua dan roda empat, hal ini merupakan suatu keuntungan karena baik petugas
kesehatan, sarana kesehatan maupun masyarakat umum dapat menjangkau semua
wilayah Kecamatan Citangkil, yang tentu saja berdampak positif bagi pencapaian dan
keberhasilan program kesehatan.
Di setiap wilayah kelurahan terdapat bidan wilayah yang bertugas di pos
kesehatan kelurahan (poskeskel), sehingga masyarakat sangat terbantu dengan
keberadaan bidan tersebut jika sewaktu-waktu membutuhkan. Adanya tempat
pelayanan berupa posyandu, poskeskel, posbindu di pemukiman penduduk telah
mendekatkan jarak bidan dengan masyarakat. Cara ini memudahkan akses penduduk
dari sisi jarak dan waktu serta mengurangi biaya transportasi yang harus ditanggung.
Kedekatan ini akan lebih memungkinkan masyarakat mau datang ke fasilitas kesehatan
karena pelayanan di fasilitas kesehatan dianggap lebih aman dan tepat.Di samping itu
biasanya tariff yang diberikan kepada bidan tergantung dari kebijakan masing-masing
bidan wilayah, jika dilihat masyarakat tidak mampu maka uang yang diberikan
seadanya saja. Jumlah BPS (Bidan Praktek swasta) di kecamatan Citangkil ada 15
orang. 1 orang ikut MoU dan 3 orang dari puskesmas ikut MoU.
172
Kemitraan antara bidan dan dukun berjalan dengan baik, dengan peran dan
tugas masing-msing. Jika ibu akan melahirkan memanggil dukun, maka dukun tersebut
akan mengantar ke bidan untuk mendapatkan pertolongan persalinan, sementara
dukun akan memandikan dan merawat bayi bila sudah lahir. Dengan adanya kemitraan
ini sudah jarang ibu yang melahirkan di dukun karena mereka langsung menghubungi
bidan.
Keberadaan kader di wilayah Citangkil sangat membantu dalam hal
pertolongan persalinan oleh bidan. Kader mempunyai peran mencari dan mencatat ibu
hamil pada setiap wilayah, per posyandu serta melakukan penyuluhan terhadap ibu-
ibu hamil, sosialisasi dengan lurah atau camat. Kadang-kadang dengan keluarganya
konsultasi dengan pihak Dinas kesehatan tentang keadaan bayinya, disamping
mengantar ke bidan bersama-sama dengan dukun / paraji. Biasanya untuk mengantar
ibu yang akan melahirkan tersebut dipilih kader yang tempat tinggalnya tidak jauh dari
ibu yang akan melahirkan. Bahkan warga sering memintatolong ke kader yang ada
untuk mengurus surat guna mengurus jampersal. Setiap 3 bulan sekali kader
menjembatani kegiatan donor darah.
Meskipun wilayah Citangkil termasuk daerah perkotaan, namun system
kekerabatan yang ada di wilayahnya cukup baik. Peran kader maupun tokoh
masyarakat yang ada di wilayah ini sangat peduli dengan masyarakat sekitar khususnya
terhadap ibu yang mau melahirkan. Dilakukan kerjasama dengan masyarakat yang
mempunyai kendaraan untuk mengantarkan ke RS atau puskesmas yang jauh. Sebagai
contoh bapak RT yang kebetulan mempunyai kendaraan bersedia mengantar ibu yang
mau melahirkan ke puskesmas yang jaraknya jauh.
Pendidikan merupakan hal yang utama dalam hal meningkatkan kesadaran dan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan bidang kesehatan. Tingkat pendidikan di
wilayah Citangkil cukup tinggi, dari 16.791 penduduk yang berusia 10 tahun ke atas,
638 orang berpendidikan S1, 570 orang tamat Diploma, 6008 orang tamat SMA,
namun demikian juga terdapat 2.732 orang yang tidak/belum pernah sekolah.
Pendidikan tinggi telah mendukung penerimaan masyarakat khususnya ibu terhadap
pelayanan medis modern.
173
Bidan yang pada pagi harinya adalah PNS di puskesmas, pada malam hari bisa
praktek sebagai BPS. Dengan adanya program jampersal maka masyarakat bisa
melahirkan di BPS dengan biaya jampersal. Sehingga dengan demikian dengan adanya
jampersal ada perubahan perilaku masyarakat untuk melahirkan di bidan termasuk
penggunaan KB setelah masa nifas. Sebagian masyarakat tidak ikut KB karena menurut
mereka dilarang agama untuk ber KB, ada yang dilarang suami sehingga pada waktu
control tidak mau disuntik KB.
Dilihat dari tingkat sosial ekonomi, masyarakat di wilayah puskesmas Citangkil
banyak yg tidak mampu, bekerja sebagai ojek atau bekerja sebagai buruh bangunan.
Demikian juga masyarakat yang tidak mempunyai jaminan kesehatan menggunakan
dana jampersal. Dengan adanya program jampersal akan sangat mendukung karena
program tersebut sangat bermanfaat bagi masyarakat kecamatan Citangkil khususnya
yang kurang mampu untuk mengurangi beban ekonomi keluarga. Di sisi lain dengan
adanya program jampersal yang gratis tersebut membuat masyarakat menjadi manja,
uang yang seharusnya untuk persiapan persalinan digunakan untuk selamatan yang
jumlahnya cukup besar.
Hambatan
Pada umumnya masyarakat senang dengan segala sesuatu yang bersifat gratis
seperti halnya program jampersal. Sehingga dalam pelaksanaan pelayanan KIA dengan
dana jampersal tidak ada hambatan yang berarti. Kesadaran untuk mendapat
pelayanan medis semakin meningkat ditunjang dengan adanya kemudahan pelayanan
gratis, sarana komunikasi melalui HP serta bidan berlokasi di setiap wilayah kelurahan.
Cukup banyak perusahaan-perusahaan yang tergolong besar di wilayah
Citangkil, dimana masyarakat bekerja baik sebagai karyawan maupun sebagai buruh.
Kebutuhan akan pelayanan kesehatan termasuk melahirkan ditanggung oleh
perusahaan sampai anak kedua. Sehingga masyarakat yang bekerja di perusahaan baru
menggunakan dana jampersal bila melahirkan anak ketiga dan seterusnya, demikian
juga bagi PNS bila melahirkan anak ketiga baru menggunakan dana jampersal.
174
Masyarakat yang tergolong mampu dalam ekonomi biasanya melahirkan di
rumah sakit elit di kota Cilegon, sehingga program jampersal bisa dikatakan untuk
menolong masyarakat yang kurang mampu saja.
Sebagian masyarakat kota Cilegon dan wilayah Citangkil pada khususnya masih
membawa tradisi atau kepercayaan asal daerahnya terkait dengan kehamilan dan
persalinan. Biasanya untuk mempercepat proses melahirkan menggunakan rumput
Fatimah, diminum agar cepat lahir. Hal ini dapat menjadi penghambat penerimaan
terhadap pelayanan medis oleh bidan dan tenaga kesehatan lainnya.
Kurang Pengetahuan tentang Jampersal. Ketidak tahuan sebagian masyarakat
terhadap program jampersal merupakan salah satu hambatan terhadap pelayanan
medis oleh tenaga kesehatan dan tenaga kesehatan lainnya karena sebenarnya
masyarakat sangat menginginkan segala sesuatu yang bersifat gratis.
Kurang Puas terhadap Pelayanan RS. Dari hasil FGD dengan suami yang menggunakan
jasa jampersal, merasa kurang puas dengan pelayanan yang diberikan oleh pihak
rumah sakit. Ada perbedaan antara yang menggunakan program jampersal dan yang
tidak menggunakan program jampersal. Seperti pernyataan salah seorang bapak
peserta jampersal:
Untuk rujukan ke RS tidak ada keluhan, untuk pelayanannya kalau bisa jangan dibedakan, kelas 3, satu ruangan ada 16 orang, padahal itu sudah penuh.
Harapan
- Diperjelas petunjuk teknisnya (terutama masalah transport untuk rujukan ke
RS terutama untuk daerah terpencil, serta masaalah obat-obatan)
- Bentuk SPJ dibuat sesederhana mungkin karena di puskesmas banyak perawat,
bukan accounting, kadang2 program memang bagus tetapi belum tahu di lapangannya
seperti apa, tidak bisa di prediksi, terutama yg berkaitan dengan keuangan dan
administrasi, Jika berubah di tengah jalan bisa mengulang lagi, demikian juga staf yang
ada di Dinas kesehatan yang baru mendapat pelatihan tentang administrasi. Seperti
yang disampaikan pejabat dinas kesehatan kota Cilegon sebagai berikut:
175
“tetapi belum tahu dilapangannya seperti apa, tidak bisa di prediksi, terutama yg berkaitan dengan Kita sebenarnya senang dengan bantuan Jampersal, tetapi untuk bentuk SPJ nya dikasih yang simple saja, krn kita di puskesmas banyak perawat, bukan accounting, kadang2 program memang bagus keuangan, administrasi, kalau berubah di tengah jalan bisa mengulang lagi, staf saya juga baru dilatih untuk administrasinya”
- Dari sisi masyarakat pengguna jampersal diharapkan agar tidak ada perbedaan
antara pelayanan jampersal dan non jampersal dan penanganan tenaga kesehata
diingkatkan.
176
3.5 Puskesmas Semata, Kabupaten Landak
3.5.1. Gambaran Umum Kabupaten Landak
Kabupaten Landak merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Pontianak di
Propinsi Kalimantan Barat. Diresmikan pada tanggal 4 Oktober, 1999. Ngabang
merupakan ibukota dari Kabupaten Landak, yang terletak diantara 1°00’ LU hingga
0°52’ LS serta 109°10’42” BT hingga 109°10’ BB.
Secara administrasi Kabupaten Landak berbatasan dengan Kabupaten Bengkayang di
sebelah utara; sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Pontianak; sebelah
timur berbatasan dengan Kabupaten Sanggau, dan sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Pontianak.
Sumber: http://www.indonesianhistory.info/map/kalbar2007.html?zoomview=1
Ketersebaran desa di Kabupaten Landak tidak merata karena faktor geografis
dan luasnya wilayah. Kabupaten Landak terdiri dari 13 Kecamatan, dengan luas
wilayah 9.909,1 km2 atau 6,75% dari luas wilayah Propinsi Kalimantan Barat, dan
merupakan kabupaten dengan luas wilayah terkecil ketiga setelah Kabupaten
Pontianak dan Kota Pontianak.
NamaLandak berasaldari BahasaBelanda yang terbagi menjadi dua suku
kata, Landan Dak. LAN diambil dari bahasa inggris/belanda “land” yang berarti tanah
dan DAK yang mengacu pada arti Dayak, sebagai mayoritas penduduk asli di daeah
tersebut. Berdasarkan catatan sejarah bahwa kata "Dayak" ditulis oleh para penulis
Gambar 3.5.1. Peta Lokasi Kabupaten Landak
Keterangan:
Jumlah Kecamatan: 13
Luas wilayah : 9.909,1 Km2
Posisi : 1°00’ LU hingga 0°52’ LS serta 109°10’42” BT hingga 109°10’ BB.
Sarana Kesehatan: 12 puskesmas, 71 Puskesmas Pembantu (pustu), 141 poskesdes/polindes, 16 unit mobil pusling
177
Belanda zaman itu dalam bentuk "Dyak" atau "Dyaker". Sementara kata "Land" berarti
"tanah". "Land-Dyak" sebenarnya bermakna "Tanah Dayak" yang kemudian diubah
menjadi "Landak". jadi Landak bisa berarti adalah pulau atau tempat bermukim dan
menetapnya suku Dayak.
Kabupaten Landak dapat dikategorikan sebagai kabupaten daerah hujan
dengan intensitas tinggi. Secara umum curah hujan rata-rata di Kabupaten Landak
sebesar 160 mm per bulan. Intensitas curah hujan yang cukup tinggi ini kemungkinan
dipengaruhi oleh daerah di Kabupaten Landak yang memang masih banyak berhutan
tropis yang diselingi oleh banyaknya perkebunan sawit. Dengan banyaknya lahan
perkebunan sawit menjadikan masyarakat di Kabupaten landak banyak yang bekerja di
sektor pertanian (82,88%), yang kemudian diikuti oleh sektor perdagangan (5,36%) dan
sektor-sektor lainnya seperti industri, konstruksi, angkutan, pertambangan, listrik,
telekomunikasi dan lain-lain.
Tabel 3.5.1
Wilayah Administratif Kecamatan di Kabupaten Landak Tahun 2010
No
Kecamatan
Jumlah Puskesmas
Jumlah Desa
Jumlah Dusun
1 Menjalin 1 8 26
2 Mempawah Hulu 1 17 52
3 Menyuke 1 16 83
4 Air Besar 1 16 34
5 Ngabang 2 19 71
6 Sengah Temila 3 14 69
7 Mandor 1 17 56
8 Meranti 1 6 25
9 Kuala Behe 1 11 28
10 Sebangki 1 5 27
11 Jelimpo 1 13 46
12 Sompak 1 7 21
13 Banyuke Hulu 1 7 17
Kabupaten Landak 16 156 555
Sumber: Kabupaten Landak dalam Angka Tahun 2011
178
Dalam hal sarana dan prasarana kesehatan, Kabupaten Landak didukung oleh
16 Puskesmas dimana 12 puskesmas diantaranya merupakan puskesmas perawatan.
Selain itu Kabupaten landak juga mempunyai 71 Puskesmas Pembantu (pustu)dan 141
poskesdes/polindes serta ditunjang oleh sarana 16 unit mobil pusling yang masih
difungsikan.
Ketersebaran desa di Kabupaten Landak tidak merata karena faktor geografis
dan luasnya wilayah. Beberapa kecamatan yang memiliki jumlah desa relatif banyak,
yakni: Kecamatan Ngabang (19 desa), Kecamatan Mempawah Hulu (17 desa),
Kecamatan Mandor (17 desa). Sedangkankecamatan yang memiliki jumlah desa yang
relatif kecil, yakni: Kecamatan Sebangki ( 5 desa ), Kecamatan Meranti (6 desa),
Kecamatan Sompak ( 7 desa ), dan Banyuke Hulu ( 7 Desa ).
Kabupaten Landak masih tergolong jarang penduduknya. Pada tahun 2010,
kepadatan penduduk di Kab. Landak adalah 33 jiwa/ km2. Jumlah penduduk Kabupaten
Landak adalah 329.649 jiwa, terdiri dari 172.373 (52,28% ) orang laki-laki. dan 157.276
jiwa (47,71%) perempuan.
Tabel 3.5.2
Distribusi Penduduk, KK, Bayi, Balita dan BumilTahun 2010
No Kecamatan Penduduk Jumlah
Kk
Usia Reproduktif
L P Bayi Balita Bumil
1 Menjalin 9.712 8.886 3.872 408 2.764 514
2 Mempawah Hulu 17.291 15.491 6259 331 4.899 911
3 Menyuke 13.466 12.250 5403 93 4.053 754
4 Air Besar 11.764 10.160 5.082 175 3142 584
5 Ngabang 31.380 29.203 14.346 580 8.344 1.287
6 Sengah Temila 27.842 25.651 11.640 789 7.735 1.437
7 Mandor 14.638 13.749 6.576 34 3.944 734
8 Meranti 4.810 4.270 2.008 116 1.383 257
9 Kuala Behe 7.249 6.401 3.082 68 1.989 370
10 Sebangki 8.577 8.076 3.513 85 2.448 455
11 Jelimpo 12.242 11.096 5.411 423 3.469 645
12 Sompak 7.096 6.485 2.807 126 2.029 377
13 Banyuke Hulu 6.306 5.558 2.265 235 2.051 381
JUMLAH 172.373 157.276 72.264 3.463 48.250 8.706
179
Masalah Kesehatan Ibu Dan Anak
Kesehatan merupakan salah satu indikator dalam mengukur tingkat
kesejahteraan suatu negara. Rakyat yang sehat merupakan salah satu modal untuk
menjadi negara yang kuat; kuat secara fisik, ekonomi, maupun social. Kesehatan ibu
dan anak merupakan cerminan keberhasilan suatu Negara dalam membangun
masyarakatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah telah berusaha secara
terus-menerus untuk menjaga dan memantau kesehatan masyarakatnya, terutama
mereka yang tergolong rawan dan memiliki risiko tinggi yaitu ibu bayi dan anak balita.
Di Kabupaten Landak, program peningkatan kesehatan ibu dan anak
dilaksanakan melalui pemeriksaan kesehatan ibu hamil, pelayanan persalinan,
pelayanan paska persalinan hingga pelayanan keluarga berencana yang sesuai dengan
kebijakan pemerintah pusat. Program tersebut dilaksanakan melalui Program Jaminan
Persalinan Gratis yang disebut JAMPERSAL. Meskipun pelayanan program Jampersal
diberikan gratis oleh pemerintah, tidak mudah untuk dapat mencapai keberhasilannya
tanpa adanya upaya yang konsisten dan terus-menerus dilakukan oleh pemerintah
untuk memastikan masyarakat dapat menikmatinya sesuai dengan kebijakan yang
telah dikeluarkan. Untuk mengetahui hal tersebut, ada baiknya diketahui kondisi
kesehatan masyarakat sebelum pelaksanaan Jampersal dimulai. Informasi berikut
merupakan dasar yang dapat digunakan seberapa jauh program Jampersal dapat
berkontribusi berdasarkan hasil penelitian yang akan diuraikan dalam bab selanjutnya.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Tenaga Kesehatan
Pelayanan kesehatan di Kabupaten Landak dilaksanakan oleh tenaga kesehatan
yang tersebar di berbagai pelayanan kesehatan, tersedia 1 (satu) rumah sakit
pemerintah (RSUD Ngabang), 16 Puskesmas, 72 Pustu, 146 Polindes, 30 Poskesdes,
354 Posyandu dan 20 buah Pusling roda 4 untuk melayani seluruh penduduk.
180
Tabel 3.5.3.
Jumlah Penduduk dan Distribusi Sarana Bangunan Fisik Kesehatan Menurut Puskesmas di Kabupaten Landak Tahun 2010
No
Kecamatan
Jumlah
Penduduk
Jumlah
PKM
Jumlah
Pustu
Jumlah
Poldes
Jumlah Pos’kdes
Jumlah
P’yand
1 Menjalin 18.598 1 4 8 2 38
2 Mempawah Hulu 32.782 1 7 17 3 56
3 Menyuke 25.716 1 6 16 3 17
4 Air Besar 21.924 1 7 13 2 18
5 Ngabang 60.583 2 12 16 3 42
6 Sengah Temila 53.493 3 7 12 4 93
7 Mandor 28.387 1 7 17 2 93
8 Meranti 9.080 1 1 6 1 32
9 Kuala Behe 13.650 1 4 11 2 6
10 Sebangki 16.653 1 4 5 2 13
11 Jelimpo 23.338 1 6 9 3 0
12 Sompak 13.581 1 4 5 2 11
13 Banyuke Hulu 11.864 1 3 7 1 7
Jumlah 329.649 16 72 146 30 354
Pada tahun 2010 jumlah tenaga kesehatan di seluruh Kabupaten Landak adalah
553 orang dengan ratio tenaga kesehatan untuk masyarakat per 100.000 penduduk
dalah 168. Hal ini berarti bahwa dari setiap 100.000 penduduk dilayani oleh 168
tenaga kesehatan, atau 1 orang tenaga kesehatan melayani 596 penduduk.
181
Tabel 3.5.4
Jumlah dan Jenis Tenaga Kesehatan Kabupaten Landak Tahun 2010
No Tenaga Kesehatan Jumlah
1. Dokter Spesialis 1
2. Dokter Umum 21
3. Dokter Gigi 6
4. Bidan 143
5. Perawat 276
6. Perawat Gigi 17
7. Tenaga Kefarmasian 17
8. Analis Kesehatan 9
9. Tenaga Gizi 18
10. Tenaga Kesmas 12
11. Tenaga Sanitasi 22
12. Tenaga Teknisi Medis 10
13. Fisioterapis 1
Jumlah 553
Kesehatan Bayi dan Anak
Jumlah kelahiran hidup di Kabupaten Landak pada Tahun 2011 sebesar 5.193
bayi. Terdapat 16 bayi yang lahir mati. Angka lahir mati tersebut berdasarkan
laporkan program oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Landak.
Jumlah balita di Kabupaten Landak pada Tahun 2011 berdasarkan estimasi
jumlah penduduk yang tertulis dalam lampiran profil Kesehatan Kabupaten Landak
(laporan Ibu 2011) adalah 42.649 orang, yang terdiri dari 21.922 (51,4% ) anak laki-laki
dan 20.727 ( 48,6% ) anak perempuan.
Kesehatan Ibu, ANC dan Pertolongan Persalinan dan KB
- Pada Tahun 2011, jumlah pasangan usia subur (PUS) di Kabupaten Landak
sebanyak 57.134, dengan jumlah PUS yang tegolong miskin sebanyak 32,8%.
182
- Jumlah kehamilan di Tahun 2011 sebanyak 7.874 kehamilan, dengan jumlah
kematian ibu sebanyak 7 orang kematian. Penyebab kematian terbanyak karena 3
terlambat dengan kasus perdarahan sebanyak 6 kasus kematian.
- Jumlah K1 di Tahun 2011 sebesar 5.882 bumil (74,7%), sedangkan K4 sebesar
5.691 (72,28%). Sedangkan untuk jumlah linakes di Tahun 2011 sebesar 5.409
kelahiran (71,96%). Jumlah persalinan yang dilakukan di fasilitas kesehatan sebanyak
1.907 (35,3%) sedangkan sisanya 3.502 persalinan (64,7%) tidak dilakukan difasilitas
kesehatan.
- Untuk kepesertaan KB, di Tahun 2011 jumlah akseptor KB di Kabupaten Landak
sebesar 11.152 akseptor, dimana sebagian besar akseptor memakai metode suntik dan
pil.
3.5.2. Gambaran Umum Puskesmas Semata
Hasil kajian data dan konsultasi dengan kepala Dinas Kesehatan dan stafnya untuk
menentukan lokasi penelitian dengan kriteria puskesmas dengan cakupan persalinan
oleh tenaga kesehatan yang masih rendah, maka terpilih kecamatan Semata, yang
merupakan pemekaran dari Puskesmas Ngabang.
Geografi
Puskesmas Semata berjarak sekitar 10 km dari pusat kota. Meskipun lokasinya
dipinggir jalan akses ke Pontianak, wilayah kerja Puskesmas Semata cukup luas dengan
persebaran penduduk yang sangat lebar antara kelompok-kelompok perkebunan /
hutan kelapa sawit.Luas wilayah kerja Puskesmas Semata Kecamatan Ngabang adalah 636,7
km², meliputi 9 desa dan terdiri dari 40 dusun. Puskesmas Semata Kecamatan Ngabang
terletak di 14 km dari ibu kota kabupaten atau di jalur sutra /jalan antar Negara .
Secara administratif wilayah kerja Puskesmas Semata berbatasan dengan:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Menyuke
b. Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Sengah Temila
c. Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Ngabang
d. Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Sui Ambawang
183
Sebagian daerahnya adalah tanah sawah, tanah kering, hutan dan lain-lain,
sebagian besar daerahnya mudah dijangkau melalui darat dengan jalan beraspal dan
jalan dengan pengerasan, sedangkan daerah yang agak terpencil, jangkauannya
melalui sungai dan daerah pegunungan.
Demografi
Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Semata Kecamatan Ngabang
adalah 26.772 jiwa dengan 6.615 KK, sebagian besar terdiri dari suku Dayak, Melayu,
Jawa, Batak, Cina dan sebagian kecil adalah suku lainnya. Sekitar 25 % penduduknya
bermukim di daerah pusat pemerintahan dan perekonomian serta sisanya tersebar
merata di wilayah desa. Sebagian besar penduduknya berdekatan dengan tempat -
tempat pelayanan kesehatan ( Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan Polindes ).
Tabel 3.5.5
Data Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Semata di Kabupaten Landak Tahun 2010
No Desa Dusu
n RT KK Rumah
Penddk
Bayi Balita Bumi
l Bulin
1. Amboyo Inti 4 14 1963 1963 6628 166 861 158 150
2. A. Selatan 12 36 1678 1678 6903 170 878 161 153
3. A. Utara 7 19 985 985 4660 102 522 96 91
4. Antan Rayan 4 11 658 658 2926 79 410 75 71
5. Amang 4 7 340 340 1410 38 193 36 39
6. Penyahu Dangku
2 4 192 192 830 40 207 38 35
7. Temiang Sawi 3 10 225 225 1174 79 408 74 71
8. Sebirang 2 6 199 199 742 39 201 37 36
9. Pak Mayam 2 6 375 375 1499 43 221 41 38
JUMLAH 40 113 6615 6615 26772 756 3901 716 684
Sosial Ekonomi Masyarakat
Tingkat pendidikan masyarakat rata-rata masih berpendidikan Sekolah Dasar,
penduduknya bermata pencaharian sebagai petani dan sebagian kecil adalah
pedagang dan pegawai negeri. Jumlah masyarakat yang tergolong miskin 13.593 jiwa
(50.8%) dari 26.772 jumlah penduduk).
184
Sebenarnya di Kecamatan Ngabang terbagi dalam 2 wilayah kerja Puskesmas
yaitu Puskesmas Ngabang dan Puskesmas Semata dan di wilayah kerja Puskesmas
Semata terdapat 6 buah perusahaan bergerak dalam Perkebunan Kelapa Sawit,
sekarang ini banyak petani berusaha untuk memelihara perkebunannya yang hasilnya
dapat meningkatkan pendapatan dan secara tidak tidak langsung akan meningkatkan
ekonomi masyarakat. Usaha lainnya adalah peningkatan ekonomi bagi masyarakat
miskin melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat seperti : P2KP dan PPK
yaitu dalam usaha kelompok melalui Simpan Pinjam (SPP) sampai sekarang kegiatan
tersebut masih berjalan.
Penduduk yang berada di wilayah kerja Puskesmas Semata sebagian besar
masih percaya pada dukun sehingga pasien yang berobat di sarana kesehatan yang ada
rata – rata sebelumnya telah berobat ke dukun.
Untuk bidang keamanan dalam wilayah Puskesmas Semata dalam keadaan
kondusif sehingga roda pemerintahan, pembangunan dan ekonomi masyarakat
berjalan dengan lancar. Kepercayaan masyarakat terhadap dukun yang disertai
pendidikan yang rendah secara otomatis akan mempengaruhi pengetahuan
masyarakat dibidang kesehatan dan akan menghambat pembangunan dibidang
kesehatan, sedangkan kalau dilihat dari jumlah penduduk yang miskin maka
kemampuan untuk berobat masih dianggap menjadi masalah.
Derajat Kesehatan Masyarakat
Untuk mengetahui derajat kesehatan masyarakat yang ada di Kecamatan
Ngabang, Puskesmas Semata Kecamatan Ngabang menyajikan berdasarkan dari data
Mortalitas (kematian) dan data Morbiditas hasil kegiatan Puskesmas Semata
Kecamatan Ngabang pada tahun 2011. Data mortalitas meliputi data : Angka Kematian
Bayi, Angka Kematian Ibu dan Umur Harapan Hidup. Sedangkan morbiditas
berdasarkan angka kesakitan yang terjadi pada masyarakat dalam kurun waktu 1 tahun
yaitu pada tahun 2011.
Angka kematian bayi. Angka Kematian Bayi yang biasa dipergunakan yaitu
angka kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2011 di Puskesmas Semata
Kecamatan Ngabang jumlah angka kelahiran hidup 638 bayi. Sedangkan angka
185
kematian bayi berjumlah 6 kasus. Berarti angka kematian bayi pada tahun 2010 di
Puskesmas Semata Kecamatan Ngabang 2 per 1.000 kelahiran hidup (jadi setiap 1.000
kelahiran ada 3 bayi yang mati). Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan angka
kematian bayi nasional mencapai 35 per 1.000 bayi lahir hidup. Angka Kematian Bayi di
Puskesmas Semata Kecamatan Ngabang di sebabkan oleh Asfiksia dan Premature.
Angka kematian ibu Di Indonesia angka kematian ibu pada tahun 2007 adalah
228 per 100.000 kelahiran hidup (ini berdasarkan data SDKI, MDGs dan Bappenas
tahun 2007) . Sedangkan di Kabupaten Landak belum ada data angka kematian ibu
yang dilaporkan baik itu dari BPS atau dari organisasi lainnya. Di Puskesmas Semata
Kecamatan Ngabang angka kematian ibu diambil dari laporan yang dilaporkan oleh
bidan desa di polindes, petugas kesehatan di puskesmas pembantu, dan bidan di
puskesmas induk. Pada tahun 2011 ada 1 kasus kematian ibu nifas yang dilaporkan
disebabkan karena anemia.
Usia harapan hidup di Kalimantan Barat berdasarkan hasil Indonesia Human
Development Report (HDR) tahun 2005 rata-rata umur harapan hidup masyarakat
Kalimantan Barat adalah 68,08 tahun untuk perempuan dan 65,66 tahun untuk laki-
laki, angka ini di bawah angka nasional 69,7 tahun. Kabupaten Landak Usia Harapan
Hidup 64,5 tahun pada laki-laki, dan 67,7 tahun pada perempuan (berdasarkan data
UNFPA, BPS tahun 2005).
Masalah kesehatan ibu dan anak dan cakupan pelayanan
Pemeriksaan kehamilan. Terdapat perbedaan informasi mengenai
pemeriksaan ibu hamil berdasarkan data rekapitulasi Dinas Kesehatan 2011 untuk
Puskesmas Semata dengan Profil Puskesmas Semata 2011. Namun demikian, untuk
menjaga netralitas hasil penelitian, maka data sekunder ini disajikan berdasarkan
sumber datanya. Adapun kajian dan analisis dilakukan pada sub hasil penelitian dan
pembahasannya pada uraian selanjutnya.
186
Tabel 3.5.6
Cakupan Pemeriksaan Kehamilan Tahun 2011 Berdasarkan Data Dinas Kesehatan dan Profil Puskesmas Semata
No
Indikator
Rekap Dinkes Data Profil
n % n %
1 Jumlah bumil 682 - 716 -
2 K1 526 76.68 556 77.65
3 K4 501 73.03 612 85
4 TT1 526 76.68 296 41.3
5 TT2 501 73.03 375 52.4
6 Fe1 526 76.68 684 95.5
7 Fe3 501 73.03 608 84.9
8 Deteksi Risti oleh Nakes 19 13.85 0 -
9 Rujukan Risti 2 1.4 0 -
Pertolongan persalinan. Berdasarkan rekapitulasi data dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Landak, jumlah ibu bersalin di Puskesmas Semata selama Tahun 2011
adalah 654 orang, dan sebanyak 57,9% ditolong oleh tenaga kesehatan. Dari total yang
bersalin dengan tenaga kesehatan (379 orang), hanya 36,4% yang melahirkan di
fasilitas kesehatan (Puskesmas/Polindes). Sebagian besar 63,6% ibu bersalin dirumah
dengan pertolongan bidan. Data ini juga menunjukkan bahwa pertolongan persalinan
oleh dukun masih tinggi, yaitu 42,1%. Bila dilihat dari upaya pemerintah untuk
mencapai MDGs, maka kondisi persalinan di Puskesmas Semata tampaknya masih jauh
dari target pencapaian MDGs, yaitu persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan di
fasilitas pelayanan kesehatan.
Data dari rekapitulasi Dinas Kesehatan menunjukkan angka yang berbeda
dengan data Profil Puskesmas 2011 seperti paparan berikut ini. Pelayanan persalinan
yang dilakukan oleh petugas kesehatan di wilayah kerja Puskesmas Semata Kecamatan
Ngabang mencakup 558 (86 %) sedangkan target adalah 684 (100 %). Kalau dilihat dari
pelayanan persalinan oleh petugas kesehatan belum mencapai target yang diinginkan.
187
Bila dilihat pada tahun-tahun sebelumnya pertolongan persalinan oleh petugas
kesehatan pada tahun 2011 mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan jumlah
pencapaian tahun 2010 yaitu sebanyak (76,30 %) atau 528 Bulin.
Berdasarkan data-data tersebut, tampak adanya perbedaan cakupan yang
sangat lebar antara laporan Dinas Kesehatan 2011 dan Profil Puskesmas 2011,
sehingga sulit melakukan analisis mengenai kondisi yang sebenarnya. Namun hasil
pengumpulan data kuantitaif dan kualitatif dari studi ini diharapkan dapat memberikan
gambaran yang lebih mendekati secara community based.
Fasilitas Pelayanan dan Ketenagaan di Puskesmas Semata
Puskesmas Semata merupakan puskesmas induk dengan pelayanan rawat
jalan. Dengan cakupan wilayah yang cukup luas dan menyebar, Puskesmas Semata
dibantu oleh 7 puskesmas pembantu (pustu) yang tersebar di 6 (enam) buah desa, dan
dilengkapi dengan 7 buah polindes, masing-masing terletak di setiap desa yang ada,
dan 2 buah Poskesdes yang terletak di Desa Antan Rayan dan Amboyo Inti.
Jumlah seluruh tenaga penunjang kegiatan di Puskesmas Semata terdiri dari 43
orang. Semua karyawan sudah memiliki status sebagai PNS (38 orang) CPNS (3 orang)
dan PTT (1 orang).
Tabel 3.5.7
Komposisi ketenagaan di Puskesmas Semata
No Jenis Tenaga Jumlah
1 Dokter umum 1
2 Dokter gigi 1
3 Bidan 11
4 Perawat 21
5 Perawat gigi 1
6 Sanitarian 1
7 Gizi 2
8 Analis kesehatan 1
9 Pekarya kesehatan 3
10 Petugas kebersihan 1
Jumlah 43
188
3.5.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak
Dalam menyikapi persoalan kehamilan, persalinan, pasca persalinan dan
pemanfaatan program jampersal di Kabupaten Landak, masyarakat masih
mengkaitkannya dengan budaya atau kebiasaan yang berlaku dan melekat erat hingga
tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
Pandangan yang Ada di Masyarakat tentang Ibu Hamil
Kehamilan merupakan suatu saat yang penuh arti dan banyak ditunggu oleh
setiap pasangan yang menikah. Demikian juga pendapat dari para informan yang
terkumpul dalam kegiatan diskusi kelompok terarah di Kab Landak.
Salah satu peserta FGD toma yg berinisial B mengatakan bahwa kehamilan itu
adalah anugrah yang musti dijaga dan dirawat sehingga menghasilakan anak yang
sehat. Tetapi peserta diskusi dari kelompok toma ada juga yang mengatakan,
“kehamilan itu adalah suatu keharusan...... Karena dengan kehamilan itu kita bisa meneruskan keturunan dan keluarga...makanya setiap orang yang menikah itu harus hamil. itu kan kebangaan keluarga juga...”
Tetapi ada juga suami yang mengikuti program jampersal mengatakan;
“ kehamilan itu kan sesuatu yang lumrah kalo kita sdh berkeluarga. Jadi menurut saya kehamilan itu sih ndak usah terlalu dibesar-besarkan. Wajar kok. Kita Cuma harus ngejaga nya aja biar tetap sehat. Ibunya sehat anakna juga sehat...kita juga harus rajin periksa ke bidan biar tetap sehat...”
Ada juga yang informan dari kelompok suami yang tidak mengikuti program jampersal
berpendapat;
”kalo istri hamil itu kan sebenarnya dia lagi keadaan lemah gitu... ndak kuat kerja..ndak bisa tahan lama-lama berdiri..jadi kita sebagai suami ya harus bantu istri..kalo kita sudah menikahi dia berarti kita juga harus bantu dia..masa istri ndak bisa apa-apa ndak kita bantu....”
Pandangan yang Ada di Masyarakat tentang Ibu Bersalin
Beragamnya pandangan masyarakat akan persalinan seorang ibu terungkap
dalam diskusi kelompok terarah yang dilakukan terhadap para bidan, para tokoh
189
masyarakat, para suami pengguna program Jampersal dan para suami yang tidak
mengikuti program jampersal.
Salah seorang informan dari kelompok tokoh masyarakat mengatakan;
“persalinan itu sesuatu yang penting,pak. kita tidak boleh lengah karena itu menyangkut nyawa. Baik nyawa si ibu maupun si anak itu. Jadi menurut saya persalinan itu harus berada dalam suasana yang enak buat si ibu yang mau melahirkan..enak juga buat yang nolongnya....”
Sedangkan informan lain dari kelompok yang sama mengatakan:
“ melahirkan itu adalah peristiwa keluarnya si jabang bayi dari rahim ibu. Nah, sewaktu keluarnya itu yang harus di tolong oleh bidan atau dukun karena si ibu yang tidak kuat atau tidak tau caranya buat yang pertama. Jadi melahirkan itu harus di tolong,pak...kita juga bisa jadi penolongnya....”
Sedangkan dari kelompok bidan, salah seorang informan mengatakan bahwa
persalinan itu adalah hal yang lumrah karena dari setiap kehamilan yang terjadi pasti
akan ada proses persalinan, tapi yang membedakannya adalah bagaimana proses
bersalin itu dan siapa yang menolong persalinan tersebut agar tidak ada yang
meninggal baik si ibu maupun bayi yang baru dilahirkannya.
Pendapat dari kelompok suami yang tidak mengikuti program jampersal, salah
seorang informannya mengatakan;
“ melahirkan itu kan keluarnya si bayi dari rahin ibu, jadi ya keluar saja, kita tidak bisa apa-apa karena memang sudah seperti itu. Cumamemang sewaktu kelurnya itu sepertinya kita tidak bisa menolong si ibu, jdi kita minta tolong sama orang yang bisa nolong, orang yang...ngertilah buat begitu-begitu...biasanya sih bidan atau dukun ya pak,,,”
Pandangan tentang Keputusan Menentukan Tempat Bersalin dan Pembiayaannya
Ketika pembicaraan bergulir dan menanyakan pendapat para informan
mengenai keputusan siapa dan dimana seorang ibu bisa bersalin termasuk dengan
pembiayaannya, informan dari kelompok suami non jampersal berkata;
“yang musti memilih dan memutuskan itu ya suaminya pak. karena kan suami yang bertanggung jawab buat istrinya...lagipula siapalagi yang nentuin, masa istri yang menentukan sedangkan dia sendiri lagi sakit, ya kita inilah,pak yang menentukan tempatnya...”
190
Para suami dari ibu yang tidak menggunakan Jampersal tampaknya tidak pernah
terpapar dengan Jampersal. Mereka secara bersamaan menyatakan bahwa suamilah
yang bertanggung jawab terhadap istri yang sedang sakit, sehingga merekalah yang
harus membuat keputusan kemana istri harus dibawa untuk bersalin. Sosialisasi
Jampersal kepada masyarakat sangat penting, dan tidak hanya melalui ibu yang
sedang hamil. Kalaupun ibu ketika hamil memperoleh informasi dari bidan bahwa ada
fasilitas Jampersal yang sifatnya gratis, tetapi dia tidak mengkomunikasikannya
dengan suami, tentu suami tidak akan memiliki alternative dan pengetahuan tentang
persalinan yang aman. Akhirnya mereka hanya pasrah dengan mengikuti tradisi dan
kebiasaan setempat (bersalin dengan dukun), yang dalam hal ini akan sangat
mengkhawatirkan provider kesehatan terhadap risiko yang mungkin terjadi dan
terkait dengan upaya pemerintah dalam penyelenggaraan Jampersal.
Berbeda halnya dengan pendapat para suami pengguna Jampersal seperti
kutipan dibawah ini:
“ sepertinya kalo urusan yang menentukan tempat melahirkan itu ya kita sama-sama pak. sama-sama istri, kan sebelum melahirkan itu kita tanya dia maunya dimana, kalo dia maunya di bidan atau dirumah saja ya itu kan terserah dari istri maunya dimana, soalnya kanpak, kalo melahirkan itu kan istri sendiri harus enak, harus nyaman gitu. Soalnya kalo nggak enak takut ada apa-apanya sama istri,pak...”
Dari hasil penggalian informasi tampak sekali bahwa suami dari para ibu
pengguna Jampersal tampak lebih komunikatif dengan istri. Para istri mungkin
menyampaikan apa yang mereka dengar dari bidan sekembalinya dari periksa hamil.
Suaminyapun cukup mengerti dengan informasi yang diperoleh dari istri. Ternyata
komunikasi tersebut membuahkan hasil yang positif terhadap kesehatan, artinya ada
transfer informasi berdasarkan sosialisasi yang diperoleh oleh ibu dari bidan ke suami.
Ini merupakan aspek positif; meskipun sosialisasi tidak dilakukan, komunikasi personal
dari bidan ke ibu juga membawa efektif.
Informasi tentang keputusan dalam menentukan tempat bersalin juga digali
dari tokoh masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk menggiring peserta pada penggalian
selanjutnya mengenai sosialisasi Jampeprsal.
191
“melahirkan itukan diibaratkan sakit ya, pak. jadi memang harus di tolong. Yang berhak untuk menolongnya adalah orang yang punya kemampuan untuk menolong, yaitu bidan atau dukun, kalo di desa-desa mungkin lebih banyak dukun kali ya pak...nah yang menentukan dimananya ya kepala keluarga,pak. Karena kepala keluarga yang bertanggungjawab atas keluarga tersebut, termasuk bertanggungjawab sama istrinya...jadi menurut saya ya harus kepala kaluarga yang menentukan. Dan biasanya kepala keluarga itu kan laki-laki ....”
Tampak adanya sedikit distorsi informasi yang disebabkan oleh pengetahuan
tokoh masyarkat yang sudah lebih memahami arti persalinan. Mereka secara
diplomatis menyebut kemampuan menolong persalinan dapat dilakukan oleh bidan
ataupun dukun. Mereka secara eksplisit menyatakan bahwa kepala keluarga yang
biasanya membuat keputusan kemana istri sebaiknya dibawa ketika bersalin. Yang
dimaksud dengan kepala keluarga disini adalah suami dari ibu yang bersalin. Di wilayah
Puskesmas Ngabang pada umumnya, menurut tokoh masyarakat, ibu-ibu bersalin
dengan pertolongan dukun.
Untuk memperkuat informasi tentang keputusan dalam pencarian pertolongan
persalinan, maka triangulasi informasi dilakukan dengan para bidan. Bidan sebagai
informan kunci yang diharapkan dapat memberikan informasi lebih netral dan to the
poin karena menyangkut bidangnya. Hasil diskusi kelompok dengan bidan
menyatakan;
“Kalo disini sih pak biasanya ya kepala keluarga yang menentukan mau bersalin dimana. Kita nggak bisa memaksa mereka untuk bersalin di bidan, karena mereka punya keluarga dan ada yang bertanggungjawab. Biasanya sih kalo mereka tinggal sendiri, ya suaminya,pak. tapi kalo mereka tinggal sama orang tua ya biasanya orangtua yang mengatur meski ada suaminya. Biasanya juga suami Cuma menuruti orangtua,pak. ya menghormati orangtua lah....”
Informasi mengenai pembiayaan persalinan digali dari kelompok diskusi yang
sama yaitu suami ibu bersalin, tokoh masyarakat maupun bidan. Pendapat para tokoh
masyarakat adalah bahwa biaya persalinan merupakan biaya yang memang harus
dikeluarkan oleh setiap kepala keluarga karena berhubungan dengan risiko yang
ditanggung oleh istri yang besalin. Informasi yang diperoleh dari tokoh masyarakat
seperti dikutip dibawah ini:
192
“ mengenai biaya,pak. itu sih mang harus dikeluarin oleh setiap suami. Karena selain sebagai kepala rumah tangga, suami juga harus bertanggungjawab atas kesehatan istrinya termasuk waktu melahirkan. Jadi dia harus membayar berapapun biaya yang diperlukan untuk istrinya melahirkan... jadi itu sih risiko jadi suami pak. kalo suaminya tidak mau membayar...ya kebangetan,pak....orang istri, istri dia kok malah orang lain yang suruh bayar....”
Pendapat yang senada dikeluarkan oleh kelompok suami yang mengikuti program
jampersal, salah seorang informannya mengatakan;
“ kalo musti bayar sih mang sudh harus kita bayar,pak...masak orang lain yang bayar...pake uang pak bayarnya...lebih praktis...”
Dalam diskusi kelompok terarah, bidan sebagai provider dan pemberi pelayanan
mengungkapkan bahwa biaya persalinan yang diterima dari masyarakat tidak
ditentukan, seperti kutipan yang disampaikan oleh salah seorang peserta diskusi:
“ kita sih ikhlas aja pak...mau di bayar syukur ndak di bayar juga ndak apa-apa. Orang kita ini kan sudah tau sama tau lah keadaan disini. Kita juga ndak pernah memaksa. Tapi sering juga sih kita dibayar..ya pake uang, ya pake beras, ya pake kain...tergantung dari yang ngasihnya juga,pak. seikhlasnya mereka aja...”.
Pengakuan para bidan sedikit berbeda dengan informan kunci yang diwawancara
selama di lapangan. Fakta dan solusi terhadap kondisi lapangan adalah lokasi Polindes
yang jauh, sehingga persalinan tidak dilakukan di fasilitas kesehatan. Hal ini merupakan
‘pelanggaran’ terhadap implementasi Jampersal; oleh karena itu, ada toleransi
kebijakan Jampersal terhadap kondisi ini, sepanjang persalinan dapat ditangani oleh
bidan (bukan dukun). Untuk itu, bidan masih tetap diijikan untuk melakukan claim
Jampersal. Dalam kondisi bidan dipanggil kerumah dan masih untuk menolong
persalinan ibu, maka biasanya keluarga dibebankan tambahan biaya sekitar Rp. 400 s/d
500 ribu sebagai kompensiasi dan transportasi bidan. Tarif persalinan umum (non
Jampersal) untuk bidan panggilan di wilayah Kabupaten Landak berkisar antara 1.1 –
1.5 juta rupiah. Sehingga dengan demikian, pendapatan bidan dalam menolonga
persalinan akan sepadan dengan penghasilan dari praktek swasta dan masyarakat
tetap membayar lebih murah dari biaya sebenarnya (tetapi bukan gratis).
Berkaitan dengan pertanyaan mengenai pembiayaan, ketika ditanyakan akan
upaya pemerintah dalam memberikan pelayanan gratis untuk ANC, persalinan, nifas
193
termasuk neonatus dan KB pasca persalinan serta pelaksanaan program jampersal,
salah satu informan dari kelompok bidan berpendapat;
“pemerintah sebenarnya sudah bagus pak, kita sih sini kan sebagai pelaksana aja ya,pak. pelayanan gratis untuk persalinan, nifas dan KB temasuk jampersal itu sebenarnya bagus. Tapi kita disini ini sering juga kesulitan. Contohnya begini, program jampersal ini kan gratis biaya persalinan, tapi kalo kita bilang gratis ke masyarakat, masyarakat itu pikirannya gratis semuanya, ya persalinannya, ya obatnya, ya pembalutnya ya semuanya,pak. terus kalo untuk pelayanan nifas,pak. seringkali justru kita yang malah keluar uang. Bukannya kita yang dapat uang.......disini ini kan daerahnya begini ya pak (perkebunan sawit, jarak yang jauh, dan kondisi jalan yang tidak memadai), nah untuk mencapai ibu bersalin itu kadang kami harus berjalan jauh malah kadang harus menginap pula di desa terdekat. karena jauh dan susah itu lho,pak.....terus kalo mau naik ojek, ya uang dari mana...memang sih ada dana misalnya dari BOK atau dari yang lainnya, tapi itu semua kan ndak cukup pak untuk daerah seperti ini....pusling saja sudah rusak dan tidak bisa jalan,pak...”
Pengakuan bidan tersebut ada benarnya. Triangulasi dengan informan kunci
menyatakan bahwa hampir seluruh bidan juga melakukan pengurusan administrasi
hingga ke kepala desa untuk dapat melakukan claim Jampersal, karena masyarakat (ibu)
jarang sekali memiliki kartu identitas penduduk (KTP). Dalam pengurusan administrasi
ini bidan juga sekaligus akan membuatkan akte untuk si bayi. Informasi ini tidak hanya
diperoleh dari informan kunci, tetapi dari beberapa suami pengguna Jampersal maupun
non Jampersal yang mengikuti diskusi. Beberaoa bidan juga memberikan suplemen
seperti vitamin dan susu untuk ibu bersalin. Ketika informasi digali lebih lanjut
mengenai pemberian susu bubuk pada bayi, Bidan menyatakan, tidak memberikan susu
apapun untuk bayi yang baru lahir, dengan harapan Ibu tetap berusaha untuk
memberikan ASI sebagai susu terbaik untuk bayi.
Ketika pertanyaan tentang program Jampersal disampaikan kepada kelompok
tokoh masyarakat, mereka berpendapat bahwa program yang dikembangkan oleh
pemerintah sudah baik dan bermanfaat; namun diskusi mereka sedikit berkembang
dengan adanya keluhan dan rasa tidak puas terhadap pelaksana
programnya/puskesmas. Mereka mengeluhkan jam buka puskesmas yang terlalu siang
(diatas jam Sembilan) serta tidak adanya tenaga dokter dan petugas bidan yang tidak
ditempat serta pelayanan puskesmas yang kurang baik, seperti kutipan dibawah ini:
194
“ untuk program pemerintah yang dijalankan di daerah ini, menurut saya sih sudah baik pak. hanya saja sepertinya pelaksaanaan disini nya saja yang kurang maksimal. Sebagai contohnya pak. pemerintah sudah menetapkan setiap puskesmas itu harus ada dokternya, harus ada bidannya, tapi coba bapak liat disini. Dokter aja nggak ada, bidan sih ada, tapi seringnya justru nggak ada. Jadi kalo kita butuh itu seringkali tidak bisa dilayani karena nggak ada tenaganya......”
Ketika pertanyaan yang sama disampaikan kepada kelompok kelompok suami
pengguna jampersal, pendapat mereka :
“sudah bagus pak, saya sih mendukung program pemerintah ini. ....buat jadi mudah aja pak. jadi kita juga nggak kebingungan lagi baut cari uangnya....ya kita kan pengen sehat, tapi kadang nggak ada uangnya...tapi dengan adanya jampersal ini sih saya setuju aja...”
Sebaliknya pendapat dari kelompok suami bukan pengguna Jampersal menyatakan;
“ kita ndak tau pak ada program pemerintah yang kaya gitu..kalo tau sih ya kita pengen juga ikut...kita ndak pernah dikasih tau...mungkin ibunya tau, karena sering ikut posyandu, tapi kami ini ndak tau pak.maklumlah,pak. kami ini kan bekerja, mencari nafkah, sedang istri kan di rumah. Jadi kami ndak tau apa-apa.....”
Salah seorang informal dari kelommpok ini juga mengatakan;
“… istri saya pengennya melahirkan di dukun, soalnya takut kalo pake bidan itu bayarnya mahal. tapi kalo ada program dari pemerintah begitu sih ya emang enaknya pake bidan aja....tapi ya tergantung istrinya juga lah,pak..”
Ketika ditanyakan mengenai alasan menggunakan dan tidak menggunakan program
jampersal, para informan dari kelompok-kelompok yang berbeda saling mengutarakan
pendapatnya. Untuk kelompok tokoh masyarakat ada informan yang mengatakan:
“kalo menurut saya,pak. kebanyakan orang pake jampersal atau jamkesmas atau apalah itu yang penting program pemerintah lah..itu karena mereka memang sudah tau apa yang mereka dapat dari program itu. Misalnya kalo kita sakit, nah kalo ada yang menanggung kaya pemerintah ini ya pastinya dia itu pake itu..tapi kalo dia ndak menggunakan fasilitas yang sudah disediakan ini ya itu sih pilihan mereka saja,pak......tapi mungkin juga mereka yang tidak menggunakan itu memang ndak mau menggunakan program itu...entah mereka ndak tau atau entah mereka memang ndak mau peduli.yang penting buat mereka sih istrinya melahirkan dengan selamat.itu saja...”
Pendapat tokoh masyarakat tersebut mencerminkan tidak adanya informasi
yang diketahui tentang Jampersal baik oleh tokoh masyarakat maupun masyarakatnya.
Namun jawaban tersebut juga mencerminkan ketidak-pedulian masyarakat tentang
fasilitas yang telah disediakan oleh pemerintah, disamping juga ketidak-tahuan
mereka. Untuk tipe masyarakat seperti ini, sosialisasi sepertinya perlu dilakukan; tidak
cukup hanya memberitahu ibu ketika mencari pelayanan pemeriksaan ibu hamil, tetapi
195
juga ke para suami atau kepala rumah tangga. Ketidak-tahuan masyarakat tentang
fasilitas yang ada menyebabkan mereka mencari alternative yang lebih murah dan
lebih nyaman, sekalipun secara medis kita ketahui tidak aman.
Sedangkan dari kelompok suami yang menggunakan jampersal, ada yang mengatakan;
“ kami pake jampersal, terutama waktu istri saya melahirkan itu sebetulnya kami juga ndak tau pak. Cuma memang kemarin-kemarin istri saya waktu di posyandu dikasih tau sama bidannya kalo mau melahirkan itu dipuskesmas atau sama bidan.jangan pake dukun...katanya siih kalo melahirkan di bidan itu gratis,pak....kemarin-kemarin juga istri saya mau diperiksa sama bidang. Jadi ya sudah saja melahirkan di bidan.dan ternyata kata bu bidannya itu ada program jampersal dari pemerintah, jadi ya syukurlah, kami jadi lebih ringan soal biayaan...jadi bisa dipake ke yang lain gitu,pak......”
Pilihan penolong persalinan sangat tergantung kepada kondisi masyarakat.
Pemerintah memberikan fasilitas Jampersal dengan harapan bahwa masyarakat
bersalin dengan tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan. Kenyataannya, meskipun
dinyatakan gratis, masih banyak masyarakat yang memilih bersalin di dukun
dibandingkan dengan bidan. Adapun alasan yang disampaikan, menurut salah satu
informan dari suami bukan pengguna jampersal adalah sbb:
“ kita sih sebenarnya sama siapa aja nggak masalah,pak. Cuma istri kan maunya di dukun, jadi kita yang pilih dukun. Soalnya kata istri, dia lebih percaya sama dukun..lebih enak katanya..lagipula kalo didukun kita kan bisa lebih percaya karena dukun itu kan orang yang tinggal disini. Jadi kalo ada apa-apa kita bisa cepet gitu,pak...jadi nggak masalah kalo ada dukun.....”
Jawaban ini mencerminkan bahwa mereka tidak mengerti risiko dan bahaya yang
mungkin terjadi akibat persalinan. Persepsi mereka bahwa bidan ataupun dukun
memiliki kemampuan yang sama; tetapi dukun memiliki kelebihan karena merasa lebih
percaya, sudah kenal, dan tinggalnya dekat, sehingga bila terjadi sesuatu pertolongan
keluarga dan tetangga bisa lebih cepat.
Informasi dan hasil diskusi dengan kelompok bidan menyebutkan masih adanya
rasa percaya yang kuat terhadap dukun oleh masyarakat. Kepercayaan ini dilandasi
dari sudah saling mengenal antar dukun dengan ibu, kedekatan rasa dan tempat
tinggal serta dukun dapat melakukan pijatan kepada ibu
“susah,pak kalo disini. Di landak sini. Masyarakat masih banyak yang pergi ke dukun. Mau periksa atau mau melahirkan mereka banyak yang ke dukun. Mereka disini masih percaya dukun. Mereka bilang kalo mereka lebih percaya sama dukun karena biasanya dukun itu kan rumahnya dekat dengan rumah warga...lagipula
196
kalo sama dukun kan masyarakat bisa suka minta dipijit. Apalagi kalo sehabis melahirkan, banyak yang minta pijit. Kita kan nggak bisa mijit. Itu lho pak...kadang masyarakat minta dipijit sekalgus buat di keatasin..itu lho pak..peranakannya yang minta di keatasin. Kata mereka biar nggak cepet hamil lagi...”
Pendapat yang agak berbeda disampaikan oleh salah seorang bidan bahwa
“ kadang dukunnya juga sih pak yang sepertinya nggak rela kalo pekerjaannya kita ambil. Mereka itu seperti takut sama kita. jadi kadang dukunnya juga yang suka nakut-nakutin warga kalo mau melahirkan di bidan....itu lho,pak. Dukun itu takut nggak ada lagi yang bisa ngasih uang kalo dia nggak tolong yang melahirkan...kan melahirkan di dukun itu kan menurut mereka lebih murah karena dukun kan biasanya pake obat-obatan dari daun-daunan. Jadi warga itu percaya kalo melahirkan ditolong dukun itu lebih aman....”
Dari pendapat tersebut secara implisit tampak adanya persaingan dukun dengan
bidan. Masyarakat sendiri tidak ada yang mengungkapkan pendapat seperti ini,
sehingga perlu adanya upaya yang inovatif untuk mendekatkan hubungan dukun-bidan
untuk bermitra. Pemerintah punya upaya, sebaliknya, masyarakat punya kehendak.
Belum tentu upaya baik masyarakat dapat ditanggapi secara baik, terutama bila
masyarakatnya masih terbelakang, dan banyak kepercayaan yang sifatnya negative
(missal: dukun punya kekuatan melalui pemberian air suci atau jampi-jampi).
Untuk menjembatani kondisi ini, ada baiknya dibuat suatu ‘pembinaan’ dukun
untuk memberikan peran yang cocok, misalnya menjadi penjaring ibu hamil, dijadikan
‘konsultan adat’ dalam kehamilan dengan memberikan materi-materi makanan sehat
untuk ibu hamil, perawatan kehamilan, perawatan bayi, dll, sehingga dukun merasa
diberi peran dan masyarakat juga merasa nyaman.
Hubungan antara Bidan-Dukun
Para bidan ini juga berpendapat bahwa hubungan mereka dengan dukun yang
ada di masyarakat itu sebenarnya cukup baik. banyak juga dukun yang menjadi mitra
para bidan dalam membantu persalinan warga. Banyak dukun yang menyerahkan
pertolongan ke bidan karena para dukun tersebut sebenarnya merasa bahwa mereka
sudah tidak bisa menolong lagi. tetapi banyak warga yang masih percaya dengan
mereka. Jadi jika ada yang membutuhkan pertolongan dukun bersalin, maka sebelum
197
datang ke rumah warga yang memanggil tersebut, biasanya para dukun tersebut
menghubungi bidan dan mengajak bidan tersebut untuk pergi bersama ke rumah
warga.
Namun para bidan ini juga mengakui bahwa masih ada dukun yang memang
tidak mau meminta bantuan kepada bidan karena merasa tersaingi dalam hal
pekerjaannya. Pandangan ini senada dengan keterangan yang dikemukakan oleh salah
informan dari kelompok suami non jampersal yang mengatakan:
“kita lebih percaya dukun,pak dari pada bidan ....”
Atau pendapat yang dikemukakan oleh salah satu informan dari kelompok tokoh
masyarakat:
“disini, di landak ini budaya masih kuat,pak. masih banyak yang pake mejik. Disini orang-orang masih percaya sama yang begituan pak. jadi memang masih banyak yang pergi ke dukun. Karena selain mau minta di tolong juga sekalian minta di kasih perlindungan dari yang mau mengganggu...”
Kepercayaan yang bersifat negative seperti tersebut diatas sangat umum
pada masyarakat tradisional dan memiliki pendidikan rendah. Diperlukan
pendekatan social budaya untuk dapat merubah konsep masyarakat dalam
peningkatan kesehatan dan kesehatan yang lebih baik.
Hubungan antara bidan dengan aparat desa dan tokoh masyarakat
ditanyakan kepada bidan untuk dapat mengetahui seberapa jauh keterlibatan
perangkat desa dalam mensukseskan tujuan Jampersal. Hasilnya ternyata
cukup mengherankan, seperti yang diucapkan oleh seorang bidan dalam
diskusi kelompok terarah:
“Tidak ada,pak. kita tidak pernah berhubungan dengan para tokoh masyarakat. ini kan masalah kesehatan. jadi mereka itu ndak ngerti..lagipula mereka juga percuma pak dikasih tau...mereka ndak ngerti tapi merasa mereka yang paling benar saja...jadi kita-kita ini kadang sulit,pak karena tokoh masyarakatnya sendiri kadang suka menghalangi kita kalo mau periksa ibu-ibu apalagi kalo ada yang mau melahirkan. Tokoh masyarakatnya sendiri kadang ndak percaya sama bidan.......”
Terdapat kesenjangan yang cukup lebar antara bidan sebagai pelaksana
kegiatan dan aparat desa/tokoh masyarakat sebagai pemimpin lokal. Mereka masing-
masing memiliki arogansi sebagai ‘orang yang paling tahu’. Tentu ini membawa
198
pengaruh yang tidak baik terhadap masyarakat. Seharusnya mereka bekerja saling
membahu, terlepas dari status dan kepangkatan, tetapi mereka bekerja untuk rakyat.
Bila kondisi ini tidak dicairkan, maka cita-cita untuk menjadikan masyarakat yang sehat
dan sejahtera melalui persalinan yang aman akan sulit tercapai dan dapat melampaui
target pencapaian MDGs.Untuk itu pemerintah harus mengkaji ulang implementasi
Jampersal yang tidak saja mengandalkan bidan sebagai ujung tombak, tetapi juga
melibatkan kepala desa dan tokoh masyarakat sebagai tim sukses, dan bahkan
memanfaatkan dukun sebagai pendamping ibu hamil/bersalin yang bermitra dengan
bidan.
Kepercayaan yang Masih Berkembang
Daerah Kabupaten Landak adalah salah satu daerah dimana masyarakatnya
masih menganut adanya kepercayaan-kepercayaan atau adat terutama yang berkaitan
dengan kehamilan, kelahiran dan pasca kelahiran seperti terungkap dalam keterangan
dibawah ini.
Masa Kehamilan. Seperti yang sudah diungkapkan sebelumnya bahwa bagi
para informan yang terdiri dari para tokoh masyarakat, para suami baik yang mengikuti
program jampersal maupun yang tidak mengikuti, dan para bidan, kehamilan
merupakan suatu hal yang istimewa. Karena merupakan suatu hal istimewa itu maka
menurut para informan, kehamilan itu harus dibarengi dengan cara-cara tertentu agar
tetap sehat baik untuk ibu yang mengandung, untuk bayi yang dikandung maupun bagi
suami dari ibu yang mengandung.
Banyak cara-cara yang dilakukan orang-orang di kabupaten landak untuk
menjaga kehamilan diantaranya adalah pengajian. Diadakannya pengajian (untuk yang
muslim) bagi ibu yang hamil terutama dalam trisemester pertama. Yang dimaksudkan
untuk ungkapan rasa syukur atas kehamilan yang ada sekaligus untuk mendoakan agar
janin dan ibu yang mengandungnya sehat. Ternyata pengajian ini juga dimaksudkan
untuk menjaga ibu dan janin dari gangguan “makhluk halus” yang mungkin dapat
mengganggu selama kehamilan. Sedangkan untuk selain muslim biasanya diadakan
pemberkatan di gereja dengan maksud yang sama.
199
Di beberapa tempat di seperti di daerah Amboyo Utara, Amboyo Selatan,
masih banyak Ibu hamil yang biasanya akan dibekali beberapa benda seperti
gunting/pisau kecil/peniti/tusuk konde yang ujungnya diruncingkan yang
melambangkan senjata, bawang merah/putih/ carikan dari beberapa jenis dedaunan,
dan sedikit kemenyan/wewangian. Kesemuanya ini dimasukkan ke dalam
wadah/kantong kain kecil/balutan kain yang dianjurkan untuk dipakai/dipasangkan di
badan si ibu. Kesemua ini dimaksudkan untuk menjaga ibu dan janin dari berbagai
gangguan yang mungkin terjadi.
Selain itu bagi ibu hamil banyak sekali pantangan yang harus dihindari dengan
maksud agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan selama kehamilannya.
Pantangan itu diantaranya adalah; jangan melilitkan/melingkarkan handuk/kain di
leher agar nantinya di bayi tidak terlilit tali pusar, jangan keluar rumah selepas maghrib
kecuali sangat penting dan harus didampingi oleh suami untuk menghindari fitnah dan
gangguan mahkluk halus, jangan memakan makanan yang bisa merusak kandungan
seperti tape, ketan hitam, nanas, makanan terlalu keras/terlalu pedas/terlalu masam,
durian,. Jangan meminum air es karena takut bayinya nanti membesar, harus menjaga
sikap dan perilaku terhadap orang lain, dll.
Untuk para suami/keluarga pun ada pantangan/tabu yang sebaiknya dihindari,
seperti; tidak boleh berburu/memotong/membunuh hewan sembarangan, harus
menjaga sikap dan perilaku karena akan berpengaruh terhadap kandungan istrinya,
sebaiknya sampai di rumah sebelum maghrib untuk menjaga istrinya dll.
Masa Persalinan. Saat persalinan merupakan saat yang dinilai oleh masyarakat
di Kabupaten Landak sebagai saat yang penting sekaligus masa genting bagi seorang
ibu yang bersalin. Masa bersalin ini dinilai sebagai masa puncak atau ujung dari suatu
kehamilan yang bisa membahayakan kondisi dari ibu maupun bayi yang baru
dilahirkan. Karena itu pada saat bersalin ini terdapat beberapa adat/ritual pada
masyarakat yang mengiringi proses persalinan.
Ketika si ibu mau bersalin, biasanya suami dan atau keluarga nya menunggu
diluar ruangan tempat ibu bersalin atau bisa juga menunggu di lura rumah sembari
membaca doa-doa. Bagi yang muslim biasanya sembari membaca ayat-ayat Al Quran,
bagi yang non muslim biasanya membaca/melafalkan puji-pujian. Sedangkan bagi yang
200
masih menganut kepercayaan kepada nenek moyang biasanya mereka berkumpul di
suatu ruangan sembari membaca puji-pujian sembari membakar
kemenyan/wewangian yang dimaksudkan untuk meminta pertolongan para leluhur
sekaligus untuk mengusir para makhluk halus yang sekiranya akan mengganggu proses
persalinan agar persalinan menjadi lancar dan tanpa adanya masalah baik bagi si ibu
maupun bagi bayi yang baru dilahirkan.
Bagi beberapa anggota masyarakat yang masih menganut kepercayaan kepada
para leluhur, ibu yang akan bersalin di minta untuk memakan beberapa jenis
dedaunan yang sudah disiapkan oleh dukun beranak yang dipercaya bisa memudahkan
dan melancarkan proses persalinan.
Ada kepercayaan dari masyarakat bahwa ketika ada yang mau bersalin, maka
dukun yang dibantu oleh suami dan keluarga membuka semua pintu, jendela, lubang
angin, dll. Hal ini dilakukan dengan maksud agar nantinya persalinan berlangsung
lancar tanpa ada “yang tertutup”/hambatan.
Pasca Persalinan. Bagi masyarakat di kabupaten Landak, pasca persalinan
dinilai sebagai saat dimana akhir dari sebuah proses kehamilan. Pasca persalinan juga
merupakan puncak kegembiraan karena bertambahnya jumlah anggota keluarga.
Namun pasca persalinan sampai usia bayi kira-kira 40 hari merupakan saat yang dinilai
genting. Hal ini karena bagi masyarakat di kabupaten Landak ada beberapa tradisi
Yang dilakukan sesudah proses kelahiran berlangsung.
Bila proses kelahiran ditangani dengan kemitraan anatara bidan-dukun, maka
Bayi yang baru dilahirkan biasanya ditangani oleh bidan sesuai dengan
prodesur/kaidah yang berlaku di dunia kesehatan. sedangkan ibu bersalin biasanya
ditangani oleh dukun. Dimana dukun biasanya membantu untuk membersihkan bekas-
bekas persalinan dan mambantu membersihkan tubuh si ibu bersalin tersebut.
Bagi warga masyarakat yang muslim yang mampu secara finansial biasanya
akan membuat selamatan yang dibarengi oleh tradisi Aqiqah sebagai ungkapan rasa
syukur atas kelahiran yang ada. Tapi bagi yang tidak mampu, biasanya akan diadakan
ritual sederhana dengan cara membaca ayat-ayat AlQuran secara sederhana yang
dilakukan oleh anggota keluarga saja (baik suami, bapak/ibu/mertua).Untuk yang
201
beragama selain muslin biasanya akan diadakan pemberkatan di gereja. Namun bagi
nyang tidak mampu tidak ada ritual khusus yang diadakan di rumahnya, hanya
terkadang ada pendeta yang menyempatkan diri untuk mengunjungi rumah keluarga
yang baru bersalin tersebut.
Sedangkan bagi masyarakat yang menganut kepercayaan terhadap nenek
moyang biasanya mengadakan ritual/upacara yang dibarengi tari-tarian dan puji-pujian
terhadap nenek moyang yang dibarengi suguhan makanan yang terbuat dari daging
babi/aning sebagai ungkapan rasa syukur atas kelahiran ini.
Dari ketiga kelompok yang ada di masyarakat Landak, semuanya mempunyai
persepsi yang sama bahwa bayi yang baru dilahirkan termasuk ibunya sampai berusia
kurang lebih 40 hari mempunyai “wangi yang lebih harum dan tajam” sekaligus berada
dalam keadaan yang “sangat rentan” bila dibandingkan dengan ibu yang hamil. wangi
tersebut dianggap bisa menarik “makhluk halus” yang berada di sektar tempat tinggal
keluarga tersebut.
Bagi bayi yang baru dilahirkan perlakuan pertama yang didapati adalah
dilumurinya badan bayi oleh lumatan beberapa daun yang di dipersiapkan dan buat
oleh dukun. Setelah dilumuri baru bayi tersebut dibungkus kain agar hangat. Dalam
kebiasaan masyarakat di landak, bayi yang baru dilahirkan juga langsung di beri susu
ibunya, hanya saja air susu pertama yang keluar (kolostrum) biasanya dibuang dahulu
karena dianggap tidak bersih dan masih kotor karena warna nya yang tidak putih
melainkan agak kekuningan dan dinilai masih terlalu kental.
Bayi biasanya akan diberi susu sampai dengan usia sekitar tiga bulan. Setelah
itu banyak dari ibu si bayi memberikan makanan padat berupa bubur encer ataupun
air tajin (air yang berasal dari hasil memasak nasi). Tidak jarang pula ada ibu yang
memberikan madu kepada bayinya dengan alasan untuk memberikan kekuatan dan
tenaga bagi bayi tersebut.
202
Evidence Based Kesehatan Ibu dan Anak di Kabupaten
Hasil pengumpulan data secara kuantitatif di Kabepatan Landak mengungkap
adanya perbedaan pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat dalam upaya
pencarian pelayanan kesehatan ibu dan anak, khususnya dalam pemanfaatan
Jampersal.
Pengetahuan. Pengetahuan ibu terkait pemeriksaan kehamilan di kabupaten
Landak menunjukkan keadaan seerti yang terlihat pada table di bawah ini.
Tabel. 3.5.8
Pengetahuan Ibu yang Masih “Kurang” terhadap ANC dan Fasilitas Jampersal
Pengetahuan yang Masih Kurang(n=69) N %
Manfaat suntikan Tetanus Toxoid 38 65,1 Risiko tinggi badan ibu terhadap persalinan 52 75.4 Tidak baik makan ikan laut setelah melahirkan 29 42.2 Bayi baru boleh diimunisasi setelah usia 1 bulan 17 24.6 Minum jamu dapat mengatur jarak anak 68 98.6 Jampersal gratis hanya untuk persalinan 9 13.0
Sumber: Data Primer
Pengetahuan tentang makanan sehat dan bergizi belum sepenuhnya diketahui
oleh ibu. Kondisi ini diperparah dengan adanya pantangan makan ikan laut, yang
merupakan sumber protein, setelah melahirkan. Pantangan ini tentu saja akan
berpengaruh terhadap kualitas ASI yang dikonsumsi bayi. Pengetahuan tentang
imunisasi juga masih kurang; sebanyak satu dari lima ibu menyebutkan bahwa bayi
baru boleh diimunisasi setelah usia 1 bulan. Masalah keluarga berencana tampaknya
sudah familiar di masyarakat. Ibu dapat menjawab dengan mudah singkatan dari KB
atau keluarga berencana, namun seringkali ibu tidak mengerti makna dan hakekatnya.
Hampir semua responden berpendapat bahwa minum jamu dapat mengatur jarak
anak. Dengan demikian, kewaspadaan terhadap tingginya angka kelahiran harus
diwaspadai, terlebih sebagian besar responden merasa senang dengan adanya
persalinan gratis yang disediakan oleh pemerintah. Pengetahuan responden tentang
Jampersal juga masih sangat terbatas, yakni fasilitas atau biaya persalinan gratis yang
disediakan oleh pemerintah.
Sikap.Selain pengetahuan ibu, sikap dan pendapat ibu dalam terhadap
beberapa kondisi dan pemanfaatan Jampersal juga dapat diketahui dari jawaban
203
responden.Manfaat tablet tambah darah tampaknya tidak sepenuhnya dimengerti
oleh ibu-ibu di Kecamatan Ngabang, kabupaten Landak. Tablet tambah darah tidak
harus diberikan kepada ibu hamil dinyatakan oleh lebih dari separuh responden.
Tabel 3.5.9.
Sikap Ibu untuk Beberapa Kondisi Kehamilan dan Pemanfaatan Jampersal
Sikap Ibu Dan Pemanfaatan Jampersal
Setuju Tdk Setuju
N % N %
Tablet tambah darah harus diberikan pd bumil 28 40.6 41 59.4
Lahir dirumah sama amannya dengan di faskes 44 63.8 25 27.2
Kemampuan dukun sama dengan bidan dlm menolong persalinan
61 88.4 8 21.6
Kolostrum baik diberikan kepada bayi 19 27.5 50 72.5
Ibu perlu segera ber KB setelah masa nifas 13 18.8 56 81.2
Jampersal memberi kesempatan punya banyak anak 59 85.5 10 14.5
Sumber: Data Primer
Selanjutnya, sikap ibu dalam penolong persalinan dan tempat bersalin juga
masih lemah. Sebagian besar ibu setuju bahwa kemampuan dukun tidak berbeda
dengan bidan dalam menolong persalinan; bahkan mereka juga berpendapat bahwa
melahirkan dirumah sama amannya dengan melahirkan di fasilitas kesehatan. Dari
sikap ini dapat diasumsikan bahwa keberhasilan Jampersal masih jauh dari yang dapat
diharapkan dalam mencapai MDGs tanpa melakukan upaya-upaya percepatan yang
sifatnya radikal, berkesinambungan dan terintegrasi.
Sikap ibu dalam pemberian kolostrum yang merupakan sumber kekebalan
tubuh untuk bayi juga masih lemah. Lebih dari 70% ibu menyatakan tidak setuju untuk
memberikan kolostrum kepada bayinya. Bila dilihat dari jawaban-jawaban ibu,
tampaknya memang sebagian besar ibu bayi tidak tahu dan memiliki sikap yang
kurang baik tentang Jampersal, termasuk menganggap bahwa dengan adanya
Jampersal, ibu memiliki kesempatan untuk punya banyak anak.
204
Tabel. 3.5.10
Pengalaman Ibu Dalam Persalinan dan Pemanfaatan Jampersal
Pengalaman Bersalin Terakhir Jumlah %
Biaya sendiri untuk periksa kehamilan ke Nakes 60 87.0 Persalinan dilakukan di rumah ibu 54 78.3 Bidan sebagai penolong persalinan 36 52.2 Biaya sendiri untuk persalinan ibu 56 81.2 Perawatan nifas tidak di fasilitas kesehatan 40 58.0 Frekwensi kunjungan neonates 1-2 kali 39 56.5 Biaya untuk periksa KB dengan uang sendiri 61 88.4 Tidak memanfaatkan jampersal karena tidak tahu 55 79.7
Sumber: Data Primer
Pengalaman ibu pada saat persalinan terakhir menunjukkan bahwa seluruh ibu
melakukan pemeriksaan kehamilan dengan membayar sendiri atau tidak
menggunakan fasilitas Jampersal. Sebagian besar persalinan dilakukan di rumah ibu,
meskipun juga ditolong oleh bidan. Alasan ibu melahirkan dirumah antara lain karena
ada rasa nyaman dan dekat dengan keluarga. Lokasi yang jauh membuat bidan harus
turun langsung menolong ke masyarakat. Hal ini juga didukung oleh keterbatasan alat
transportasi untuk mengangkut ibu ke polindes/puskesmas. Sebagian besar ibu (81%)
melahirkan tanpa menggunakan fasilitas Jampersal alias membayar sendiri.
Kunjungan neonatus dilakukan oleh lebih dari separuh responden, tetapi
frekwensinya belum maksimal. Masih terdapat 17.4% ibu yang tidak memeriksakan
bayinya sama sekali dengan alasan merasa tidak perlu atau bayi tidak sakit, dan
sebagian melakukan pemeriksaan bayi dengan dukun. Hasil wawancara terstruktur
untuk ibu yang baru melahirkan ini juga menunjukkan bahwa responden memasang
alat kontrasepsi dengan membayar sendiri (88.4%), dan hanya 10.1% yang mendapat
bantuan dari Jampersal.
Petunjuk teknis Jampersal menyatakan bahwa biaya pasang alat kontrasepsi
sudah termasuk dalam paket jampersal; namun bila dilihat dari dari jumlah ibu yang
memanfaatkan Jampersal dalam persalinan, hanya tujuh dari duabelas ibu yang
mendapat pelayanan KB gratis pada persalinan terdahulu. Hasil wawancara juga
menunjukkan bahwa sebagian besar ibu tidak mengetahui adanya jaminan persalinan
gratis dari pemerintah. Hal ini juga diketahui dari informasi pada saat dilakukan
205
wawancara mendalam dengan masyarakat dan tokoh masyarakat ketika kunjungan
lapangan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat
masih belum mengerti dengan adanya fasilitas persalinan gratis oleh pemerintah; dan
kalaupun mereka tahu, seringkali pengetahuan ibu tidak lengkap, sehingga masih
banyak ibu yang membuat keputusan/meminta kepada suaminya untuk melahirkan
dengan dukun saja.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa keberhasilan Jampersal dalam
menurunkan angka kematian ibu/bayi dapat terkendala, khususnya untuk wilayah
kabupaten Landak, yang disebabkan oleh sosialisasi yang tidak jelas, adanya faktor
budaya yang sangat kuat dalam persalinan oleh dukun, serta faktor akses yang
disebabkan oleh faktor geografi dan ketersediaan transportasi.
3.5.4. Hambatan, Dukungan dan Harapan Pelaksanaan Jampersal
Dukungan
Dukungan terhadap upaya kegiatan Jampersal masih sebatas upaya yang
dilakukan oleh Puskesmas dan jajarannya saja. Niat baik pemerintah seharusnya dapat
dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat untuk dapat mengurangi kesenjangan
yang terjadi khususnya dalam menurunkan angka kematian ibu dan bayi, khususnya
pada masyarakat miskin dan marginal.
Peningkatan pemanfaatan Jampersal melalui pendekatan social budaya
memiliki peluang yang cukup strategis. Kebiasaan masyarakat bersalin dengan dukun
merupakan tradisi. Untuk merubah tradisi diperlukan setidaknya dua generasi
(misalnya: dari generasi nenek hingga cucu). Namun demikian, dengan terbukanya
akses media social seperti televisi, radio, internet, seharusnya perubahan dan
peralihan ke generasi berikutnya dapat diperpendek. Diperlukan berbagai
upaya/efforts yang kuat dari pelaksana kebijakan; tidak cukup hanya lintas program,
melainkan juga komitmen sektoral.
Persalinan dengan dukun, merupakan salah satu preference dari masyarakat
yang terlepas dari Jampersal. Meski demikian, melalui Jampersal preference ini
seharusnya masih dapat diakomodir yaitu melalui penguatan peran kemitraan bidan-
206
dukun. Peran kemitraan ini tentunya perlu diatur dengan baik dan dimasukkan dalam
‘local system’ untuk menyelaraskan hubungan dukun-bidan. Fairness juga harus jelas,
untuk menjamin win-win solution, melalui kesepakatan pembagian peran bidan-dukun.
MIsalnya: dukun dijadikan saluran/kader yang dapat menjaring ibu hamil di wilayah-
wilayah kantong (local). Dukun membuat kelompok binaan yang dapat memotivasi ibu
untuk periksa ANC. Dukun boleh menjalankan profesinya dalam batas-batas tertentu,
misalnya pijat kahamilan yang aman, ritual, dan motivator gizi. Untuk itu, dukun juga
perlu dibekali secara substansi dan teknis (missal: pijat yang boleh dilakukan dan
tehnik memijatnya). Dukun juga dapat menjadi pendamping ibu hamil dalam bersalin,
dan dukungan moral/ritual.
Salah satu pendapat dukun dalam wawancara mendalam dengan salah seorang
dukun
“… mengape ye, masyarakat masih mau bersalin dengan saye, padahal di bidan kan orang melahirkan tidak bayar….Saye heran… Saye senang dengan adanya bidan… bahkan saye senang mendampingi ibu bersalin ke bidan di Puskesmas. Saye juga sering ikut membantu bidan memegang paha ibu ketika melahirkan…” (Dukun M, 67 tahun).
Peran suami juga perlu ditingkatkan. Berdasarkan hasil wawancara mendalam,
peranan suami di kabupaten Landak masih sebatas mempersiapkan material/uang dan
mengikuti keinginan istri dalam memilih tempat bersalin. Secara umum, budaya di
masyarakat Indonesia masih gender-inequalities. Sejauh konsep bersalin aman tidak
dimengerti oleh masyarakat (ibu, suami, orang tua, kerabat), maka keterbatasan pola
pikir menjadi basic-circumstance. Untuk itu perlu adanya pencerahan bagi suami,
bahkan mungkin sudah harus dimulai ketika mereka mempersiapkan pernikahan
(missal: melalui KUA). Bila ini dapat dilaksanakan, maka tidak hanya masalah
persalinan gratis dengan memanfaatkan Jampersal yang bisa diinformasikan,
melainkan juga bagaimana membentuk keluarga sehat, sejahtera dengan
menyusupkan konsep keluarga berencana.Dengan demikian, peran sosial budaya
secara tidak langsung akan dapat merubah konsep masyarakat dalam meningkatkan
kesehatan ibu dan anak yang dilahirkan.
207
Hambatan
Persalinan dengan dukun merupakan kondisi sosial yang sudah diwariskan
secara turun temurun. Adanya paket Jampersal yang merupakan fasilitas pelayanan
gratis mulai dari pemeriksaan kehamilan, persalinan, perawatan nifas hingga
pemasangan KB seharusnya merupakan angin segar, khususnya bagi masyarakat yang
kurang mampu.Persaingan dukun-bidan dapat menjadi hambatan apabila tidak
dicarikan solusinya. Tidak adanya kerjasama dukun-bidan, menyebabkan dukun tidak
willing memotivasi ibu hamil untuk bersalin dengan Jampersal, meskipun dukun sendiri
merasa lebih nyaman bila ada bidan dalam proses persalinan. Sebelum adanya
Jampersal, persalinan oleh dukun harus dilaporkan kepada bidan, tetapi sejak
diberlakukannya jampersal, bidan maupun dukun berjalan masing-masing. Meskipun
dukun tahu ada fasilitas persalinan gratis, dukun tidak akan memberitahu ibu hamil
dengan asumsi (menurut pengakuan dukun WB-63 tahun ketika digali lebih
mendalam) bahwa ibu hamil tersebut sudah mendengarnya secara langsung dari
bidan. Ketika waktu bersalin sudah dekat, dukun baru bertanya ke ibu apakah mau
ditolong bidan atau dukun. Menurut dukun, seringkali ibu hamil yang menolak bersalin
ke Puskesmas/bidan, sehingga dukun tetap harus membantu melakukan persalinan
tersebut.
Belum tampak adanya upaya sector lain secara nyata, bahkan masalah
administrasi kependudukan masih belum siap; sebagai contoh ibu tidak memiliki KTP
atau keterangan domisili yang merupakan salah satu persyaratan bagi bidan untuk bisa
melakukan claim. Berdasarkan hal tersebut, maka bidan dengan terpaksa harus
melakukan pengurusan KTP atau keterangan domisili ke kantor desa. Dalam hal ini ada
mobilitas dari bidan, yang tentunya akan menambah beban tugas termasuk biaya.
Kondisi ini mengakibatkan adanya ongkos yang dibebankan kepada keluarga pasien
(karena diluar cakupan gratis Jampersal). Dalam kondisi seperti itu, bidan masih
memberikan pengurusan akte persalinan, yang meskipun tidak wajib dalam claim
Jampersal, tetapi merupakan dukungan moral dan reciprocal dalam membantu
masyarakat.
Hambatan juga dipandang dari sisi preference masyarakat. Preference atau
pilihan karena masyarakat lebih suka dan merasa lebih nyaman, dapat dijembatani
208
melalui penyuluhan dan pembelajaran secara menyeluruh, tidak hanya kepada ibu
hamil, tetapi juga suami; bahkan, bila memungkinkan, dapat disisipkan melalui anak
sekolah agar ibunya atau anggota keluarganya yang hamil bersalin dengan bidan
karena bidan tahu secara teknis cara menolong persalinan dengan benar dan
mengurangi risiko kematian ibu maupun bayinya.
Harapan
Berdasarkan hasil wawancara mendalam, baik terhadap ibu, suami, tokoh
masyarakat, dukun, serta pelaksana program, masih banyak harapan yang
dikemukakan, terutama bagi masyarakat.Masyarakat tetap menginginkan adanya
peluang persalinan gratis, tidak perduli, apapun nama dan istilahnya, yang penting
masyarakat tetap merasakan bantuan yang diberikan oleh pemerintah.
Tokoh masyarakat merasakan perlu untuk diberikan informasi mengenai
Jampersal supaya bisa meneruskan informasinya kepada anggota masyarakat yang
membutuhkannya. Beberapa tokoh masyarakat dan juga suami ibu yang
melahirkan belum pernah mendengar Jampersal. Suami ibu pengguna Jampersal
menyatakan bahwa mendapatkan informasi persalinan gratis Jampersal dari
isterinya yang diberitahu oleh bidan; meskipun ada isteri yang tetap ingin bersalin
dengan dukun karena merasa lebih nyaman (sudah mengalami persalinan ditolong
dukun untuk dua anak sebelumnya) dan merasa takut dengan puskesmas/rumah
sakit.
Dukun tidak merasa tersaingi dengan kehadiran Jampersal, bahkan dukun merasa
nyaman bila dalam menolong persalinan didampingi oleh bidan. Untuk itu
mungkin perlu ada pembinaan antara dukun dengan bidan melalui pembagian
peran yang jelas, karena pemanfaatan Jampersal kepada masyarakat tidak bisa
dipaksakan, sementara pemerintah sendiri tetap berupaya untuk dapat
menurunkan angka/risiko kematian ibu dan bayi yang masih tinggi.
Pendapat bidan sebagai provider sangat positif. Bidan senang dapat melaksanakan
tugas dan membantu masyarakat untuk bersalin dengan aman, tetapi masih
membutuhkan dukungan yang lebih besar, terutama dalam hal administrasi
209
(mempersiapkan kelengkapan administrasi kependudukan: KTP dan surat nikah),
masalah claim yang membutuhkan proses yang cukup lama, masalah lapangan
yang cukup sulit tanpa adanya sarana transportasi yang mendukung, dan budaya
masyarakat yang sudah terbiasa memanggil daripada mengantar ibu ke rumah
bidan.
Rasa aman ibu bersalin dan keluarga bila melahirkan dirumah merupakan budaya
yang tidak bisa dilepaskan begitu saja agar masyarakat bersalin dengan tenaga
medis di fasilitas pelayanan kesehatan. Bila dilihat dari perspektif masyarakat,
gratis saja tidak cukup, apalagi dukun juga dianggap memiliki kemampuan yang
sama dengan bidan.
210
3.6. Puskesmas Karya Mulya, Kota Pontianak
3.6.1. Gambaran Umum Kota Pontianak
Kalimantan Barat yang ber-ibukota di Pontianak merupakan salah satu dari
empat propinsi yang mempunyai daerah terluas di Indonesia setelah Papua,
Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, dengan luas sekitar 146.807 km² atau
sekitar 7,53% dari luas Indonesia.
Daerah Kalimantan Barat termasuk salah satu daerah yang dijuluki provinsi
"Seribu Sungai". Julukan ini selaras dengan kondisi geografis yang mempunyai ratusan
sungai besar dan kecil yang di antaranya dapat dan sering dilayari. Beberapa sungai
besar sampai saat ini masih merupakan urat nadi dan jalur utama untuk angkutan
daerah pedalaman di Kalimantan Barat, walaupun prasarana jalan darat telah dapat
menjangkau sebagian besar wilayah kecamatan yang ada.
Kalimantan Barat yang berada di 3º20' LS -2º30' LU dan 107º40'-114º 30' BT ini
berbatasan langsung dengan wilayah darat negara bagian Sarawak, Malaysia di bagian
utara. Di bagian selatan, berbatasan dengan Laut Jawa; sedangkan untuk bagian Barat,
Kalimantan Barat ini berbatasan dengan Laut Natuna, Selat Karimata serta
Semenanjung Malaysia dan untuk sebelah Timur, Kalimantan Barat ini berbatasan
dengan propinsi Kalimantan Timur dan Propinsi Kalimantan Tengah.Walaupun
sebagian kecil wilayah Kalimantan Barat merupakan perairan laut, akan tetapi
Kalimantan Barat juga memiliki puluhan pulau besar dan kecil yang sebagian tidak
berpenghuni, yang tersebar sepanjang Selat Karimata dan Laut Natuna yang
berbatasan dengan wilayah Provinsi Kepulauan Riau.
Kalimantan Barat yang berdiri sendiri dan menjadi provinsi pada tanggal 1
Januari 1957 berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 1956 tanggal 7 Desember
1956 ini mempunyai Iklim tropik basah, dengan curah hujan merata sepanjang tahun
dengan puncak hujan terjadi sekitar bulan Januari dan Oktober serta bersuhu udara
rata-rata antara 26,0 s/d 27,0 dan kelembaban rata-tara antara 80% s/d 90%.
Masyarakat yang berjumlah sebesar 4.477.348 yang mendiami wilayah
Kalimantan Barat ini terdiri atas beberapa suku, seperti; suku Dayak (33,75%), suku
Melayu (33,75%), suku Banjar (0,66%), suku Jawa (9,41%), suku Bugis (3,20%), rumpun
211
Tionghoa (10,41%) dan suku lainnya (3,62%). Masyarakat di Kalimantan Barat
mayoritas memeluk agama Islam (57,6%), sedangkan pemeluk agama lainnya tersebar
dengan rincian; Katolik (24,1%), Protestan (10%), Buddha (6,4%), Hindu (0,2%) dan
lain-lain (1,7%).
Masyarakat Kalimantan Barat juga tersebar di 14 kabupaten/kota, di antaranya
adalah kabupaten Landak dan kota Pontianak yang merupakan tempat
dilaksanakannya penelitian mengenai peran sosial budaya dalam upaya meningkatkan
pemanfaatan program Jampersal.
Gambar. 3.6.1.Lambang Kota Pontianak
Kota Pontianak merupakan ibukota dari provinsi Kalimantan Barat. Kota
Pontianak ini juga dikenal sebagai kota Khatulistiwa karena kota ini dinilai dilalui oleh
garis lintang nol derajat bumi. Di sebelah utara kota Pontianak, tepatnya di daerah
Siantan, dibangun sebuah tugu yaitu tugu Khatulistiwa yang dibangun pada tempat
yang dilalui garis nol derajat bumi. Sehingga ada beberapa waktu dimana matahari
terletak pas tegak lurus di atas sehingga sama sekali tidak terlihat bayangan benda
yang terkena sinar matahari.
Kota yang terletak di titik koordinat 0° 02' 24" LU – 0° 01' 37" LS dan 109° 16'
25" – 109° 23' 04" BT serta dilalui oleh sungai Kapuas serta sungai Landak ini dipimpin
oleh seorang Walikota dan memiliki luas wilayah sebesar 107,82 km2, berpenduduk
sebesar 554.764 jiwa dengan tingkat kepadatan 5.145/km2 dan terbagi dalam 6
kecamatan yaitu Pontianak Selatan, Pontianak Timur, Pontianak Barat, Pontianak
Utara, Pontianak Kota dan Pontianak Tenggara serta 29 kelurahan/desa.
212
Suku bangsa penduduk Kota Pontianak terdiri dari Cina (31.2%), Melayu
(26.1%), Bugis (13.1%), Jawa (11.7%), Madura (6.4%), Dayak dan lainnya. Sebagian
besar penduduk memeluk agama Islam (75.4%), sisanya memeluk agama Buddha
(12%), Katolik (6.1%), Protestan (5%), Konghucu (1.3%), Hindu (0.1%) dan lainnya
(0.1%). Hampir seluruh penduduk Kota Pontianak memahami dan menggunakan
Bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Namun bahasa ibu masing-masing juga umum
digunakan, antara lain Bahasa Melayu Pontianak, Bahasa Tiociu, Bahasa Khek, dan
bahasa daerah lainnya.
Sejarah pendirian Kota Pontianak yang dituliskan oleh seorang
sejarawan Belanda, VJ.Verth. VJ. Verth dalam bukunya Borneos Wester Afdeling
mengatakan bahwa pada tahun 1778, kolonialis Belanda dariBatavia memasuki
Pontianak dengan dipimpin oleh Willem Ardinpola. Belanda saat itu menempati
daerah di seberang istana kesultanan yang kini dikenal dengan daerah Tanah Seribu
atau Verkendepaal. VJ Verth menulis bahwa Syarif Abdurrahman, adalah putra
ulama Syarif Hussein bin Ahmed Alqadrie (atau dalam versi lain disebut sebagai Al
Habib Husin), yang meninggalkan Kerajaan Mempawah untuk mulai merantau. Di
perantauan, Syarif Abdurrahman menikah dengan adik sultan Banjarmasin dan
berhasil dalam perniagaan serta mengumpulkan cukup modal untuk mempersenjatai
kapal pencalang dan perahu lancangnya, dimana kemudian Syarif Abdurrahman mulai
melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Dengan bantuan Sultan Passir, Syarif Abdurrahman kemudian berhasil
membajak kapal-kapal Belanda, kapal Inggris dan Perancis di Pelabuhan Passir dan di
dekat Bangka. Abdurrahman menemukan percabangan Sungai Landak dan kemudian
mengembangkan daerah itu menjadi pusat perdagangan yang makmur dan kemudian
mencoba membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan
Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal di
sebuah pulau di Sungai Kapuas. Wilayah inilah yang kini bernama Pontianak yang
didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab
1185 H) dimana Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami'
(kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariah yang sekarang
213
terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur. Pada tahun 1778
(1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak.
Menurut hikayat yang dipercaya oleh sebagian besar masyarakat, pemberian
nama Pontianak ini berkaitan dengan kisah Syarif Abdurrahman, yang sering diganggu
oleh hantu Kuntilanak ketika beliau menyusuri Sungai Kapuas. Menurut cerita, Syarif
Abdurrahman terpaksa melepaskan tembakan meriam untuk mengusir hantu tersebut.
Efek dari tembakan meriam yang berat tersebut menyebabkan meriam itu jatuh ke
sungai. Tempat dimana jatuhnya meriam tersebut ke sungai ditandai dan didirikan
wilayah kesultanan Syarif Abdurrahman. Peluru meriam yang ditembakkan untuk
mengusir hantu kuntilanak itu jatuh di dekat persimpang Sungai Kapuas dan Sungai
Landak, yang kini dikenal dengan nama Kampung Beting.
Berdasarkan besluit Pemerintah Kerajaan Pontianak tanggal 14 Agustus 1946
No. 24/1/1940 PK yang disahkan menetapkan status Pontianak sebagai
stadsgemeente. Pembentukan stadsgerneente bersifat sementara, maka Besluit
Pemerintah Kerajaan Pontianak diubah dan digantikan dengan Undang-undang
Pemerintah Kerajaan Pontianak diubah dan digantikan dengan Undang-undang
Pemerintah Kerajaan Pontianak tanggal 16 September 1949 No. 40/1949/KP.Dalam
undang-undang ini disebut Peraturan Pemerintah Pontianak dan membentuk
Pemerintah Kota Pontianak, sedangkan perwakilan rakyat disebut Dewan Perwakilan
Penduduk Kota Pontianak. Sesuai dengan perkembangan tata pemerintahan, maka
dengan Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953, bentuk Pemerintahan
Landschap Gemeente, ditingkatkan menjadi kota praja Pontianak. Pada masa ini
urusan pemerintahan terdiri dari Urusan Pemerintahan Umum dan Urusan
Pemeritahan Daerah.
Pemerintah Kota Praja Pontianak diubah dengan berdasarkan Undang-undang
No. 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden No.6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden No.5
Tahun 1960, Instruksi Menteri Dalam Negeri No.9 Tahun 1964 dan Undang-undang No.
18 Tahun 1965, maka berdasarkan Surat Keputusan DPRD-GR Kota Praja Pontianak No.
021/KPTS/DPRD-GR/65 tanggal 31 Desember 1965, nama Kota Praja Pontianak diganti
menjadi Kotamadya Pontianak, kemudian dengan Undang-undang No.5 Tahun 1974,
nama Kotamadya Pontianak berubah menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Pontianak.
214
Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah di Daerah
mengubah sebutan untuk Pemerintah Tingkat II Pontianak menjadi sebutan
Pemerintah Kota Pontianak, sebutan Kotamadya Potianak diubah kemudian menjadi
Kota Pontianak.
Kota Pontianak karena terletak persis di lintasan garis khatulistiwa, beriklim
tropis dengan suhu tinggi sekitar 28-32°C di malam hari dan di siang hari. Dengan
wilayah yang beriklim tropis yang disertai suhu yang tinggi menyebabkan rata–
rata kelembaban nisbi dalam daerah Kota Pontianak maksimum 99,58% dan minimum
53% dengan rata–rata penyinaran matahari minimum 53% dan maksimum 73%.
Dengan keadaan demikian besarnya curah hujan di Kota Pontianak berkisar antara
3.000–4.000 mm per tahun. Curah hujan terbesar (bulan basah) jatuh pada
bulan Meidan Oktober, sedangkan curah hujan terkecil (bulan kering) jatuh pada bulan
Juli. Jumlah hari hujan rata-rata per bulan berkisar 15 hari.
Struktur tanah kota Pontianak merupakan lapisan tanah gambut bekas
endapan lumpur Sungai Kapuas dimana Lapisan tanah liat baru dicapai pada
kedalaman 2,4 meter dari permukaan laut.
3.6.2. Gambaran Umum Puskesmas Karya Mulya
Dari hasil kajian data dan setelah berkonsultasi dengan pengelola
jamkesmas/jamkesda dan Jampersal Dinas Kesehatan Kota Pontianak, untuk
menentukan lokasi penelitian dengan kriteria puskesmas dengan cakupan persalinan
oleh tenaga kesehatan yang masih rendah, maka terpilih Puskesmas Karya Mulya
sebagai lokasi penelitian.
Geografi
Puskesmas Karya Mulya adalah salah satu puskesmas yang terletak di daerah
perkotaan kota Pontianak. Puskesmas Karya Mulya di daerah sebelah Barat dari Kota
Pontianak, di daerah yang merupakan pengembangan Kota Baru Pontianak.
Puskesmas Karya Mulya berdiri berdasarkan UPTD Puskesmas Kecamatan Kota No.
215
010/276/2010. Puskesmas Karya Mulya mempunyai wilayah kerja di sekitar kelurahan
Sei Bangkong yang terdiri dari 19 RW dan 87 RT. Puskesmas Karya Mulya menaungi
masyarakat sebanyak 15.343 jiwa yang terbagi dalam 4.162 KK dengan tingkat
kepadatan penduduk 3,67 setiap km2.
Seperti ciri daerah perkotaan lainnya, jalan menuju daerah Puskesmas Karya
Mulya cukup mulus, lebar dan lancar hanya saja akses sarana angkutan umum masih
belum ada. Menurut Kepala Puskesmas Karya Mulya, tidak adanya angkutan umum
yang melewati puskesmas dikarenakan daerah bagian barat kota Pontianak ini adalah
daerah pengembangan yang baru sehingga untuk trayek angkutan umum yang
melintasnya masih dalam kajian Pemda untuk merealisasikannya.
Puskesmas Karya Mulya berbatasan dengan:
sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Parit Tokaya Kecamatan Pontianak
Selatan;
sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Pal IX Kecamatan Kakap Kabupaten
Pontianak
sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Sei Bangkong Kecamatan Pontianak
Kota;
sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Punggur Kecamatan Kecamatan
Kakap Kabupaten Pontianak.
Puskesmas Karya Mulya membina 4 posyandu balita Madya, 5 posyandu balita
Purnama dan 2 posyandu Lansia ini juga mengkoordinir 4 klinik bersalin 6 praktek
dokter swasta dan 3 bidan praktek swasta seperti yang terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.6.1
Fasilitas Kesehatan Puskesmas Karya Mulya
Binaan Puskesmas Jumlah
Posyandu Balita Madya 4
Posyandu Balita Purnama 5
Posyandu Lansia 2
Klinik bersalin 4
Praktek dokter swasta 6
Bidan praktek swasta 3
216
Kependudukan
Penduduk di wilayah kerja puskesmas Karya Mulya sebagian besar adalah para
pekerja, baik pekerja di sektor formal seperti halnya Pegawai Negeri Sipil maupun
Pegawai Swasta dan pekerja di sektor informal seperti halnya buruh dan pedagang.
Para pekerja ini di dominasi oleh kaum lelaki sedangkan bagi kaum perempuan di
wilayah cakupan kerja Puskesmas Karya Mulya umumnya berprofesi sebagai Ibu
Rumah Tangga.
Daerah cakupan kerja puskesmas Karya Mulya karena merupakan daerah
perkotaan, maka terdiri dari campuran berbagai macam etnis yang ada di Pontianak.
Dari kesemua etnis yang ada ada beberapa etnis yang dominan diantaranya adalah
etnis Melayu, etnis Madura dan etnis Bugis-Makasar.
3.6.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak
Pandangan tentang Ibu Hamil, Bersalin dan Bayi/Anak
Pandangan masyarakat Kota Pontianak akan ibu hamil, bersalin serta bayi/anak
berbeda dengan pandangan masyarakat yang berada di Kabupaten Landak. Pandangan
masyarakat kota Pontianak dirasa lebih realistis dan lebih permisif. Hal ini mungkin di
sebabkan karena mudahnya akses untuk mencapai pelayanan kesehatan yang
didukung banyak dan tersebarnya pusat-pusat pelayanan kesehatan berikut tenaga
kesehatannya. Berikut merupakan rinciannya:
Pandangan yang ada di masyarakat tentang ibu hamil
Kehamilan merupakan suatu hal yang wajar bagi setiap pasangan usia subur
yang sudah menikah. Namun pandangan yang diutarakan oleh para informan dari
kelompok suami yang mengikuti program Jampersal, suami yang tidak mengikuti
program Jampersal, para tokoh masyarakat dan bidan yang ada di kota Pontianak
berkenaan dengan ibu hamil tidaklah sama, seperti yang terangkum dibawah ini.
Pandangan tentang ibu hamil dari kelompok informan tokoh masyarakat
seperti yang diutarakan oleh salah seorang informannya adalah sebagai berikut:
217
“kehamilan itu kan adalah suatu keadaan dimana ibu mengandung anak. Si ibu itu mengandung selama 9 bulan dan selama itu si ibu itu harus menjaga kesehatannya,kerena berhubungan dengan kesehatan anak atau bayi yang dikandungnya. Tapi bukan cuma si ibu yang menjaga kesehatan. Suami dari itu itu juga harus bisa membuat si ibu tersebut sehat.....”
Pendapat yang senada diungkapkan oleh salah seorang informan dari kelompok yang
sama:
“hamil itu kan tandanya sehat.nah kita ini khususnya si ibu itu harus bisa bagaimana caranya supaya sehat. Kita ini kan bisa dibilang sebagai pembimbing masyarakat ya,pak. jadi kita juga berkewajiban memberitahu apa yang sudah seharusnya dilakukan. Termasuk untuk urusan kehamilan ini....termasuk si suaminya itu pak..itu harus kita beritahu..kita bimbinglah bagaimana sebaiknya.....”
Pendapat senada juga diutarakan oleh para informan yang tergabung ke dalam
kelompok suami yang mengikuti program Jampersal ketika istrinya bersalin:
“kalo istri hamil itu kan berarti anugrah,pak. kita semua kan pengen punya anak,pak. jadi kalo istri kita ternyata hamil ya itu namanya anugrah. Berarti doa kita dikabulkan oleh Tuhan. Jadi kalo istri hamil itu ya harus di jaga baik-baik,pak. kta juga sebagai suami juga harus menjaga,pak. jangan sampe istri kita yang lagi hamil itu sakit atau kenapa-kenapa.itu juga tanggungjawab kita juga,pak sebagai suami....”
Sedangkan pendapat dari kelompok informan suami yang tidak mengikuti program
Jampersal juga berpendapat demikian:
“...... orang hamil itu kan berarti dia mengandung bayi dalam perutnya. jadi orang hamil itu berarti satu orang yang mempunyai dua nyawa. Berarti juga kita harus menjaga supaya dua nyawa yang ada di satu badan itu tidak ada masalah. Jadi kehamilan itu adalah keadaan dimana istri kita itu mengandung anak kita...Jadi sudah kewajiban dari kita juga untuk membantu dan mengawasinya...kan yang mengandung itu kan istri kita sendiri....hehehehehe......”
Pendapat dari informan yang tergabung dalam kelompok para bidan juga hampir
senada. Salah seorang informan mengatakan:
”....kehamilan itu adalah suatu proses pembentukan manusia yang baru hasil atau buah dari pernikahan antara laki-laki dengan perempuan. Kehamilan itu sebenarnya adalah keadaan dimana perempuan yang hamil berada dalam kondisi yang lemah karena adanya perubahan dalam tubuhnya. Kerena keadaan lemah itulah,maka kita harus menjaganya agar tetap bisa tumbuh dan berkembang serta sehat....kita ndak boleh sembarangan sewaktu hamil. ........semuanya ndak boleh sembarangan. Suami juga berperan,pak. ndak boleh sembarangan juga...jadi kehamilan itu bisa dibilang kerjasama ya,pak. antara suami dengan istri......ndak boleh sendiri-sendiri”.
Berdasarkan informasi yang didapati dari para informan dari empat kelompok
yang dimintai pendapatnya, didapati bahwa kehamilan merupakan suatu hal yang
218
sebenarnya sangat diharapkan dan sangat diinginkan oleh para informan dan dianggap
sebagai suatu hal yang sangat rentan sekaligus berharga dan membanggakan. Untuk
itu kehamilan dilihat sebagai hal yang harus dilindungi baik dari segi fisik yang
mencakupi kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya maupun dari segi psikologi
yang tersirat dari pendapat-pendapat yang mencantumkan peranan suami untuk
mendukung kehamilan istrinya.
Pandangan yang ada di masyarakat (para suami dan para tokoh masyarakat) tentang
ibu bersalin.
Setelah kehamilan yang memakan waktu sekitar 9 bulan, proses selanjutnya
adalah bersalin. Dimana bersalin ini juga mendapatkan perhatian lebih, baik dari pihak
ibu yang mengandung maupun, pihak suami atau keluarga dari ibu yang bersalin
maupun dari pihak tenaga kesehatan baik bidan ataupun dukun sebagai tenaga
penolong proses bersalin tersebut.
Ketika dimintai pendapatnya mengenai pandangan masyarakat akan ibu yang
bersalin, salah seorang informan dari kelompok suami yang tidak mengikuti program
Jampersal mengatakan:
“ melahirkan itu kan memang sudah begitu,pak seharusnya. Kalo istri hamil ya harus melahirkan,pak. tidak ada lagi. meskipun bayinya misalnya sudah meninggal waktu di perut, tetap harus melahirkan,pak. soalnya kan kalo memang sudah waktunya...ya...memang harus dilahirkan...”
Informan yang lain dari kelompok yang sama juga mengatakan:
“melahirkan itu kan memang sudah aturannya begitu. Kita tidak bisa menahan apalagi membuat tidak lahir. Itu sudah aturan Tuhan,pak. sudah takdir. Tapi memang kalo ada yang melahirkan itu memang harus kita tolong,pak...”
Dari kelompok bidan mengatakan bahwa bersalin itu merupakan suatu proses
persalinan yang harus dilalui oleh seorang ibu yang yang sudah cukup dalam usia
kehamilannya. Para bidan ini bependapat bahwa setiap persalinan itu harus ditolong
untuk mencegah agar si ibu tidak ada komplikasi dan masalah dalam proses
bersalinnya sehingga Ibu dan bayi yang dilahirkan bisa selamat dan sehat; sedangkan
219
bagi kelompok para tokoh masyarakat di kota Pontianak, menganggap bahwa
persalinan itu adalah sebagai berikut:
“ persalinan itu adalah lumrah bagi wanita.apalagi bagi wanita yang hamil dan bersuami.......kehamilan dan persalinan itu harus dijaga agar tidak tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan...biasana sih kalo persalinan itu ditolong sama bidan,pak...bisa juga sama dukun. Tapi itu dulu atau kalo di pinggiran-pinggiran kota mungkin. Kan disana masih banyak dukun pak. soalnya kalo di kota sini kayaknya banyakan yang nolong persalinan itu bidan,pak...”
Pendapat informan lain dari kelompok para tokoh masyarakat juga adalah
sebagai berikut:
“ yang nolong persalinan itu, kita mungkin biasanya bilang melahirkan, ya pak..itu bidan sama dukun. Kalo melahirkan itu sendiri adalah keluarnya bayi yang selama sembilan bulan di kandung, keluar dari rahim ibu....itu susah pak...ya itu sih tergantung dari kondisi si ibu sendiri ya pak. tapi setau saya melahirkan itu susah sehingga proses melahirkan itu karena susahnya itu jadi bahaya.bahaya nuat si ibu maupun bahaya buat di bayi nya...untuk itu setiap melahirkan harus di tolong. Baik sama bidan maupun sama dukun..”
Ada juga informan tokoh masyarakat yang berpandangan bahwa ibu yang
bersalin itu harus dijaga. Berikut pendapatnya:
“ ...ibu yang melahirkan itu harus dijaga pak. kita nih para suaminya harus menjaganya. Ngejaganya mulai dari bulan ke tujuh sampe 40 hari setelah kelahiran. Karena kan biasanya kalo orang yang hamil itu kan apalagi kalo udah mau ngelahirin, “hawa”nya beda pak..jadi kita memang harus ngejagain..takut kenapa2.......”
Informan dari kelompok suami yang mengikuti program Jampersal mengatakan:
“...ibu yangbersalin adalah anugrah pak. anugrah buat kita.kita ini kan keluarga,pak. jadi kita juga kan pengen punya anak. Jadi kalo mnurut saya itu kalo ibu bersalin itu anugrah pak. sama kaya kehamilan. Kehamilan itu juga anugrah pak. Cuma bedanya kalo kehamilan itu buat ngebuktiin kalo kita berdua, baik suami atau istri itu sama-sama subur dan bisa menghasilkan...hahahaha...sedang kalo melahirkan itu bisa dibuat sebagai tanda kalo kita ini sudah mulai jadi ayah. Jadi bapak....bapak dari anak kita...jadi kita ini jadi bener-bener jadi bapak karena sudah ada anakna yang lahir...”
220
Informan lain dari kelompok yang sama mengatakan:
“kalo melahirkan itu jihad,pak. dari agama juga kan dibilang kalo istri yang melahirkan itu sama dengan jihad. Apalagi kalo dia meninggal maka dia langsung masuk surga karena jihadnya itu...jadi kalo menurut saya, sudah sewajarnya kalo kita ini membantu istri kita yang melahirkan...bantuan itu kan bisa aja dengan kita menyediakan tempat yang terbaik, siap yang bisa nolong yang terbaik, penuhin kebutuhannya....termasuk kita ini ngejaga keselamatan istri kita,pak. ..makanya saya milih buat ngelahirin di bidan karena setau saya bidan itu bisa ngelakuin yang terbaik. Saya sih bukannya nggak percaya sama dukun, tapi menurut saya pribadi saya sih lebih sreg sama bidan...kan bidan peralatannya juga lebih bagus,pak dari dukun... “
Pandangan tentang anak/bayi.
Pandangan masyarakat kota Pontianak terhadap bayi dan balita terangkum
dalam narasi berikut. Bagi kelompok para tokoh masyarakat, bayi atau anak balita itu
adalah:
“ bayi yang baru lahir itu kan sama aja dengan anak,pak. anak kita sendiri jadi ya harus dirawat baik-baik. jangan sampe dia nantinya jadi jelek, jadi ndak bagus. Jadi ndak yang seperti kita harapkan. Jangan sampe seperti itu. Jadi harus kita perihara dan kita rawat baik-baik”
Atau ada juga informan dari kelompok yang sama yang mengatakan:
“ bayi yang baru lahir itu kan anamah pak. sama kaya bapak tadi, kalo bayi anak itu adalah titipan. Titipan Allah. Jadi kita tidak boleh menyia-nyiakan keberadaannya. Nggak boleh. Dosa itu kalo kita menyia-nyiakan anak...itukan darah daging kita sendiri pak.”
Atau:
“anak adalah calon penerus kita,pak.calon penerus dari keluarga. Kalo ndak ada anak berarti ndak ada yang menurin keluarga kita pak....”
Adapun dari kelompok bidan mengatakan bahwa:
“ bayi itu adalah hasil dari pernikahan antara laki-laki dengan perempuan. jadi bayi atau anak itu adalah buah dari adanya pernikahan. Sudah selayaknya kalo kita juga menjada dan merawat bayi tersebut agar bisa tumbuh dan menjadi besar. selain itu juga bisa menjadi pelengkap dari sebuah keluarga...”
Atau ada juga informan bidan yang berbicara seperti demikan:
“ anak atau bayi adalah sesuatu yang berharga bagi sebuah keluarga. Saking berharganya maka setiap kelahiran seorang bayi maka setiap keluarga pasti seneng. Bergembira pak. hehehehe.. itu pasti. Pasti seneng. Karena untuk mendapatkan bayi itu sendiri kan sudah susah,pak. bayangin aja,pak. untuk
221
mendapatkan bayi ini kan butuh pengorbanan. Baik pengorbanan si ibu maupun si suami. Ndak boleh sembarangan......”
Bagi para suami baik yang mengikuti jampesal maupun yang tidak mengikuti program
Jampersal mempunyai pendapat yang hampir merata bahwa bayi atau anak adalah
pelengkap dari sebuah keluarga. Tanpa adanya bayi atau anak maka mereka menilai
bahwa keluarga tersebut tidaklah lengkap, seperti yang diungkapkan oleh salah
seorang informannya:
“ anak itu buat ngelengkapi keluarga,pak. kalo nggak ada anak gimana gitu,pak..kaya ada yang kurang gitu,pak....”
Atau:
“ anak itu sumber kebahagiaan,pak. kalo kita sama istri doang kayaknya masih ada kebahagiaan yang belum bisa di dapat. Nah anak itu kan bisa buat bahagia juga,pak...”
3.6.4. Faktor Sosial Budaya dalam Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaat
Program Jampersal
Pandangan tentang keputusan menentukan tempat bersalin dan
pembiayaannya (termasuk mengikuti program Jampersal). Ketika ditanyakan perihal
siapa saja yang menentukan tempat bersalin bagi istri yang akan bersalin, para suami
dari kelompok yang mengikuti program Jampersal mengatakan:
“ kalo untuk masalah yang menentukan dimana mau lahiran sih yang kita-kita ini,pak para suami. Biasanya disini memenag begitu. Suami yang menentukan. Kan kita juga sebagai kepala keluarga tapi kita juga waktu menentukan tempatnya ya kita tanya ma istri dulu. Dimana maunya istri. Dimana enaknya istri buat ngelahirin. Kalo udah tau tempatnya dimana, nah baru kita tentuin kalo memang harus disitu..”
Ada juga yang berpendapat seperti ini:
“ iya pak benar seperti itu. Biasanya kan kita tanya dulu ke istri mau ngelahirin dimana, ini sebelum neglahirin ya,pak. Kita nanyanya dia maunya dimana. Kalo dia enekan di bidan ya di bidan ngelahirinnya. Kalo enakan di dukun ya di dukun,pak. tapi karena disini udah jarang bidan, lagipula kan bidan banyak ma rumah sakit deket, ya kita tentuin aja mau di bidan mana atau mau di rumah sakit mana..kita sih Cuma ngikutin kemauan istri aja. Yang penting istri selamat dan anak selamat. Kalo sebenernya sih kita disini juga kayaknya kita lebih seneng kalo istri, bidan yang nanganin. Bukan dukun. Lagipula kan dukun udah jarang di kota sini sih...Kan bidan lebih deket. Jadi lebih gampang kalo kenapa-kenapa ma istri...”
222
Pendapat senada juga dikeluarkan oleh kelompok para tokoh masyarakat yang
mengatakan:
“ disini banyak bidan. Puskesmas juga deket. Klinik ma rumah sakit juga deket. Terus kita kan hidup di kota besar. dimana-mana deket dan gampang. Jadi sepertinya kalo untuk urusan melahirkan ya sebaiknya kita serahkan saja sama bidan dan dokter pak. maksud nya seperti ini pak. di kota ini kan segalanya ada. Rumah sakit dan puskesmas juga ada. Nah kenapa kita nggak memanfaatkan fasilitas yang ada? Kenapa juga musti jauh-jauh ke dukun kalo di deket kita ada bidan yang bisa nolong ngelahirin? Jadi kita-kta pasti menyarankan kalo melahirin itu pake bidan aja. Nah perkara yang nentuin mau di bidan mana atau mau di rumah sakit mana ya pihak keluarga yang mau ngelahirin itu. Yang biasanya ditentuin sama suaminya sebagai yang paling bertanggung jawab atas istri tersebut.kalo nggak ada suami atau suaminya lagi nggak ada misalnya, ya pihak keluarga terdekatnya yang ngegantiin nentuin dimananya. Yang pentingkan semua selamet. Selamet si ibu maupun selamet si anak..”
Pendapat dari bidan mengenai pengambilan keputusan dalam menentukan
tempat bersalin menyatakan:
“ yang mengambil keputusan itu biasanya si suami. Tapi suami juga siasanya menanyakan dulu kepada istrinya mau bersalin dimana. Kalo sudah disetujui biasanya sang suami itu langsung membawa istri yang mau bersalin itu ke tempat yang sudah disepakati mereka. Tapi kalo misalnya istri tiba-tiba mau ngelahirin sedangkan dia lagi ndak ada di rumahnya, misalnya, ya biasanya mereka datang ke kita-kita ini (bidan)... kan sering tuh pak, lagi jalan-jalan ke kota ternyata dah kerasa dan mau melahirkan saat itu juga. Ya kalo begitu masak ndak kita tolong....”
Tapi lain lagi pertanyataan dari informan kelompok para suami yang tidak
mengikuti program Jampersal. Salah seorang diantaranya mengatakan:
“kita sih dimana saja pak. mau di dukun boleh mau di bidan juga boleh. Kita nggak memaksa,pak. tergantung istrinya mau dimana. tapi kalo misalnya bidan lebih deket ya kita bawa ke bidan, pak....”
Ada juga yang berpendapat seperti ini:
“ kita liat situasi dulu,pak. kalo si istri dah mau melahirkan ternyata yang ada bidan, ya kita bawa ke bidan pak, meski tadinya istri pengennya di dukun. Tapi kalo udah mau melahirkan itu kan yang bisa nolong Cuma bidan. Ya jadi ke bidan..yang penting ada yang nolong. Kaya istri saya, tadinya kan dia nggak mau ke bidan maunya ke dukun yang dideket rumah. Tapi kan waktu kita jalan ke kota sini ternyata dia sudah kerasa mau melahirkan. Jadi ya ke bidan terpaksa...”
223
Sewaktu pertanyaan yang ditanyakan bergulir pada sistem pembiayaan
persalinan. Kelompok suami yang mengikuti Jampersal mengatakan bahwa mereka
sebenarnya tidak mengetahui akan adanya program Jampersal ini. mereka hanya
mengikuti keingingan dari istri-istri mereka yang sudah terbiasa dengan bidan karena
selalu memeriksakan kehamilannya di bidan. Jadi pada saat istri mereka bersalin, para
suami tidak mengetahui secara pasti bahwa ada program dari pemerintah yang
berkaitan dengan pembiayaan persalinan. Para suami tersebut pada umumnya
mengetahui bahwa mereka ikut program Jampersal setelah mereka ingin membayar
jasa persalinan yang sudah dilakukan oleh bidan atau puskesmas. Mereka diberitahu
bahwa mereka tidak perlu membayar persalinan karena sudah ditanggung oleh
pemerintah.
Ketidaktahuan akan program Jampersal ini juga diungkapkan oleh para tokoh
masyarakat yang mengatakan bahwa mereka tidak tahu sama sekali menganai
program tersebut, sehingga mereka tidak memberitahukan hal tersebut kepada
warganya. Para tokoh masyarakat ini merasa bahwa puskesmas tidak pernah
mensosialisasikan perihal Jampersal kepada mereka baik di tingkat kecamatan,
kelurahan, maupun pada saat adanya pertemuan-pertemuan warga.
Ketika ditanyakan perihal program Jampersal kepada kelompok informan
bidan, didapati keterangan bahwa menurut kelompok informan bidan, masyarakat
jarang yang mau menggunakan Jampersal karena masyarakat menganggap bahwa
persalinan itu merupakan suatu hal yang cukup berisiko dan tidak mau direpotkan
dengan berbagai birokrasi administrasi seperti keharusan menyediakan berkas-berkas
yang diperlukan dan masyarakat ingin mendapatkan yang terbaik serta bersedia
menyediakan biaya dan membayar biaya persalinan meskipun terbilang cukup mahal.
Lebih lanjut kelompok informan bidan ini juga mengatakan bahwa masyarakat
di kota Pontianak ini banyak juga masyarakat yang langsung datang dan
memanfaatkan fasilitas rumah sakit untuk bersalin meskipun memeriksakan
kehamilannya di Puskesmas atau di Posyandu. Para bidan berpendapat bahwa
masyarakat mengganggap bahwa peralatan yang ada dan lebih lengkap di rumah sakit
dapat membantu mengurangi risiko yang mungkin terjadi selama persalinan. Ada hal
yang menarik yang didapati dari keterangan para informan bidan ini perihal bersalin di
224
rumah sakit. Para informan bidan mengatakan bahwa banyak anggota masyarakat
menganggap bahwa bersalin di Rumah Sakit dapat meningkatkan gengsi mereka di
lingkungan tempat masyarakat tersebut tinggal.
Hubungan bidan-dukun. Ketika ditanyakan perihal hubungan antara bidan
dengan dukun, para informan baik dari kelompok suami yang mengikuti Jampersal,
suami yang tidak mengukuti program jampersak, para tokoh masyarakat maupun para
bidan semua berpendapat bahwa hubungan bidan-dukun cukup harmonis. Para budan
mengatakan bahwa hubungan mereka dengan dukun cukup bagus karena sudah
diterapkannya program mitra antara dukun dengan bidan. Dukun sering meminta
bantuan bidan bila ada anggota masyarakat yang akan bersalin demikian juga bidan
yang meminta dukungan dukun bila memang dibutuhkan tenaga dukun tersebut.
Selain itu menurut informan para bidan, dukun di kota Pontianak ini umumnya sudah
berusia tua dan tidak ada regenerasi sehingga para dukun sering kesulitan dalam
menangani persalinan sehingga sering meminta pertolongan bidan. Sedangkan
informan para tokoh masyarakat mengatakan sering melihat bidan dan dukun
bersama-sama menolong warganya yang akan bersalin.
Kepercayaan yang masih berkembang. Kepercayaan masyarakat kota
Pontianak akan kehamilan, masa persalinan maupun pada masa sesudah persalinan
hampir sama dengan yang ada di kabupaten Landak. Hanya saja sesuai dengan
keadaan lingkungan, kondisi dan modernitas yang ada di kota Pontianak, maka
kepercayaan yang ada pada masyarakat kota Pontianak akan masa kehamilan,
persalinan dan pasca persalinan sudah mulai berkurang. Seperti halnya pada masa
kehamilan, masyarakat masih menerapkan hal-hal yang dianggap pamali seperti
halnya tidak boleh keluar rumah bagi ibu hamil bila sudah malam atau maghrib, tidak
boleh melilitkan handuk atau kain di leher. Begitu juga bagi para suaminya, karena
lahan berburu dan binatang buruan sudah tidak ada lagi di daerah perkotaan, maka
para suami dilarang membunuh binatang-binatang yang sekiranya ada di perkotaan
seperti halnya kucing, tikus, cecak dll. Sedangkan untuk makanan, bagi ibu hamil tidak
boleh mengkonsumsi makanan-makanan yang sekiranya bisa merangsang keadaan
janin seperti halnya durian, tape, nanas dll. Tapi di kota Pontianak Ibu Hamil tidak
225
banyak yang dilarang mengkonsumsi ikan karena sudah banyak yang mengetahui
bahwa konsumsi ikan tidak mempengaruhi kehamilan.
Pada masa persalinan pun masyarakat di Kota Pontianak sudah mulai
berkurang kepercayaannya. Mereka masih membuka semua jendela, pintu dan
membuka semua yang terkunci yang ada di dalam rumah dengan harapan tidak ada
yang akan “menutupi” jalan lahir sehingga persalinan berjalan lancar. Mereka
melakukan hal tersebut lebih cenderung karena mengikuti anjuran orangtua saja
karena menghormati orangtua atau mengikuti adat saja tanpa adanya keinginan untuk
mengikuti cara tersebut. setelah ditanya lebih mendalam mereka juga menjawab
bahwa sebenarnya tanpa melakukan hal tersebut juga tidak membawa efek apa-apa
terhadap persalinannya karena sudah ditolong oleh bidan atau dokter dengan
peralatan yang lengkap. Seperti pernyataan dari kelompok suami yang mengikuti
Jampersal berikut ini:
“...kita memang ikut cara orangtua tapi sebenarnya sih itu nggak ada pengaruhnya...kan kkita di tolong sama bidan dan dokter..alat-alatnya juga dah canggih. Jadi kita tidak takut ada apa-apa.....”
Untuk masa pasca persalinan masyarakat kota Pontianak juga mulai berkurang
kepercayaannya. Jika dahulu ibu yang bersalin dilarang untuk untuk memakan pisang,
ikan, telur, dsb, maka sekarang ini mereka justru mengkonsumsi makanan-makanan
tersebut. jika dahulu para ibu yang bersalin dilarang memberikan air susunya yang
pertama kali keluar (kolostrum) karena ada anggapan susu kotor, sekarang malah
mereka memberikan air susu yang baru kelur tersebut kepada bayi mereka karena
mereka sudah tahu akan manfaat dari air susu tersebut. bagi ibu yang bersalin di kota
Pontianak sekarang sudah tidak terlalu sering mengkonsumsi dedaunan atau ramuan-
ramuan yang dahulu dipercaya untuk mempercepat pengembalian kondisi fisik dari si
ibu. Sekarang para ibu bersalin lebih memilih mengkonsumsi obat-obatan modern
ketimbang dedaunan atau ramuan. Seperti pendapat dari salah satu tokoh masyarakat
berikut ini;
“...sekarang ini,pak. disini ini para ibu yang melahirkan sudah jarang yang pake jejamuan. Selain sudah jarang daun bahan jamunya juga susah buatnya,pak...disini ini mana ada yang bisa buat?.... kao di kampung kan masih banyak pak. daunnya banya juga yang buatnya banyak....”
226
Masalah Kesehatan Ibu dan Anak. Pengetahuan ibu di kota Pontianak tentang
kesehatan pada masa hamil, persalinan, dan pasca persalinan dapat terlihat dari pada
dua tabel berikut ini:
Tabel 3.6.2
Pengetahuan Responden
Pengetahuan (%)
Positif Negatif
Pentingnya memeriksakan kehamilan sebanyak 4 kali 50.0 50.0
Penting mengukur tek darah& risiko kehamilan 100.0 0.0
Perlu tablet tambah darah bagi Bumil 100.0 00.0
Perlu upacara agar selamat 5.7 94.3
Melahirkan di rumah lebih baik 11.4 88.6
Ditolong bidan lebih aman 71.0 29.0
Sumber: Data Primer
Tabel 3.6.3
Sikap Responden
SIKAP (%)
setuju Tidak setuju
Penting pemeriksaan kehamilan sebanyak 4x Perilaku Kesehatan Ibu penyataan setuju dan sangat setuju sedangkan 2 sikap negatif masyarakat.
65.7 34.3
Penting mengkur tekanan darah 100.0 0.0
Perlu tablet tambah darah 75.7 24.2
Perlu upacara agar selamat 10.0 90.0
Melahirkan di rumah dan rumah sakit/ puskesmas sama amannya
17.1 82.8
Kemampuan dukun sama baiknya dgn bidan 21.4 38.5
Kolostrum tidak untuk bayi 14.3 85.7
Sumber: Data Primer
227
Dari tabel 1 dan tabel 2 di atas didapati bahwa ibu yang mengetahui akan
pentingnya pemeriksaan minimal 4 kali selama kehamilan memiliki jumlah yang sama
dengan jumlah ibu yang mengangap bahwa pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali itu
kurang atau tidak penting. Pemahaman tidak pentingnya pemeriksaan kehamilan ini
berkaitan dengan budaya orang Kalimantan yang sepertinya sengaja menutupi
kehamilannya bila masih berusia muda. Ada anggapan dari masyarakat bahwa
kehamilan yang masih muda itu sebaiknya tidak disebarkan berita dan kondisinya
kepada orang lain. Mereka biasanya menyebarkan informasi kehamilan tersebut bila
usia kandungan sudah sekitar 6 bulan keatas atau sudah terlihat perubahan bentuk
tubuh dari si ibu yang mengandung. Menurut mereka hal ini dilakukan untuk
mencegah hamilan yang tidak jadi bila pada pada usia kehamilan muda sudah
disebarkan beritanya kepada orang lain. Hal ini sesuai dengan hasil yang didapat dalam
diskusi kelompok terarah terhadap kelompok informan para suami baik kelompok
suami yang mengikuti program Jampersal maupun kelompok suami yang tidak
mengikuti program Jampersal. Berikut pendapat dari salah seorang informan
kelompok suami yang tidak mengikuti program Jampersal:
“... kita ini takut,pak. takut kalo ndak jadi hamil. kan repot lagi kalo begitu,pak. kita bisa malu kalo ndak jadi hamil padahal kita sudah sebar berita ke masyarakat kalo istri hamil....”
Sedangkan pendapat dari kelompok suami yang mengikuti program Jampersal
adalah sebagai berikut:
“...kita ini punya kebiasaan kalo hamil tidak diberitahu dulu pak..tidak beritahu. Tetangga tidak, keluarga pun tidak, apalagi teman2...semua tidak. Takutnya ada apa2 sehingga kehamilan itu hilang. Tiidak jadi hamil....kan kasian pak sama istri kalo begitu....”
Dari tabel di atas didapati bahwa pengetahuan masyarakat akan pentingnya
mengukur tekanan darah serta perlunya tablet untuk menambah darah bagi ibu yang
hamil sudah baik, dimana seluruh responden menjawab dengan benar semua
pertanyaan yang diberikan.
228
Dari tabel di atas juga diketahui bahwa masih ada masyarakat di kota Pontianak
yang mengganggap bahwa melahirkan atau melakukan persalinan di rumah itu sama
amannya dengan melakukan persalinan di tempat pelayanan kesehatan seperti halnya
rumah sakit atau di puskesmas. Mereka beranggapan bahwa melahirkan di rumah itu
aman karena bidan bisa datang kerumah dan juga karena bila bersalin di rumah, para
suami dan atau keluarga dari si ibu yang bersalin tersebut bisa cepat melakukan
tindakan yang diperlukan bila terjadi masalah akan persalinan yang dilakukan seperti
halnya cepat menghubungi keluarga, atau cepat menyiapkan segala keperluan yang
dibutuhkan sewaktu bersalin, contohnya seperti menyiapkan air panas, membeli
pembalut, menyiapkan kain dll. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang informan
yang tergabung dalam kelompok suami yang tidak mengikuti Jampersal berikut ini:
“ kalo di rumah kan kita bisa cepat pak. cepat masak air kalo diperluin, cepat kasih tau orang-orang kalo yang melahirkan ini butuh bantuan...kita kan biasanya kalo ada yang melahirkanb dirumah kan pada kumpul pak...semua kumpul...keluarga kumpul tetangga juga kumpul...takut ada apa-apa yang kita semua bisa saling bantu gitu pak...itu kalo lahir di rumah....ya bidan dipanggil,pak. ke rumah..yang nolong bidan.pak...”
Perihal pengaruh budaya khususnya pelaksanaan upacara atau ritual
berkenaan dengan kehamilan dan persalinan tidak begitu berpengaruh terhadap
masyarakat kota Pontianak. Ini terlihat dari banyaknya pendapat dan sikap masyarakat
yang mengatakan keselamatan atau keamanan dari suatu kehamilan dan persalinan
tidak tergantung dari suatu upacara atau ritual tapi lebih tergantung pada keadaan
kesehatan dari si ibu dan jenis perawatan yang didapati oleh ibu terserbut.
Pengetahuan masyarakat di kota pontianak ini juga didukung oleh sikap mereka
akan pentingnya menjaga kesehatan pada masa kehamilan, persalinan dan pasca
persalinan.
Untuk tindakan pelayanan dari para tenaga kesehatan dan para dukun yang
diterima oleh para responden di Kota Pontianak dapat dilihat pada tabel berikut ini.
229
Tabel 3.6.4
Pelayanan bidan/dokter (tenaga kesehatan) yang diterima responden
Pelayanan (%)
Ya tidak
Pelayanan Nakes 95.7 4.3
Pelayanan Nakes ANC 100.0 0.0
Pelayanan Nakes Persalinan 100.0 0.0
Pelayanan Nakes Pasca Pesalinan 78.6 21.4
Sumber: Data Primer
Jenis pelayanan yang diberikan oleh para tenaga kesehatan khususnya bidan
dan dokter yang diterima oleh para responden mencakup pelayanan oleh tenaga
kesehatan, pelayanan selama kehamilan, pelayanan selama persalinan dan pelayanan
sesudah persalinan. Selin itu tenaga kesehatan menurut para responden juga
memebrikan pelayanan Keluarga Berencana (KB) yang diikuti segera setelah masa nifas
bagi ibu yang bersalin berakhir. Setelah dilakukan wawancara secara mendalam
terhadap para bdan ternyata pelayanan pada fase pasca persalinan itu juga dibarengi
dengan kegiatan inisiasi dini menyusui yang diikuti oleh para ibu-ibu yang baru saja
bersalin.
Kegiatan inisiasi menyusui dini ini dilakukan oleh para bidan sebagai upaya untuk
menyadarkan para ibu pentingnya menyusui bayinya dengan air susunya sendiri dan
untuk memberikan pengertian akan pentingnya memberikan air susu ibu (ASI) secara
eksklusif atau selama enam bulan bagi bayi mereka.
Pelayanan oleh para tenaga kesehatan (nakes) ini mendapat tanggapan yang
positif dari para responden. Hal ini bisa dilihat dari tingginya persentase sikap
responden akan pelayanan yang sudah diberikan oleh para tenaga kesehatan. Untuk
pelayanan ANC dan persalinan, semua responden yang ditemui dan mengisi kuesioner
mempunyai sikap yang positif akan pelayanan tenaga kesehatan seperti yang terlihat
pada tabel di atas. Seperti informasi yang diberikan salah seorang informan dari
kelompok suami yang mengikuti program Jampersal:
230
“ ..kalo saya malah saya sendiri yang suruh istri untuk periksa ke bidan. Saya rasa bidan lebih baik dari dukun. Jadi saya yakin, istri saya pastri periksa di bidan. Dan nayti juga saya mau melahirkan di bidan saja. Terserah mau di tempat bidan atau mau di tempat puskesmas. yang penting sama bidan yang sudah biasa periksa...”
Namun meski mempunyai kecenderungan untuk bersikap positif terhadap pelayanan
dari tenaga kesehatan, ada sebagian dari responden yang tidak berpendapat demikian
akan pelayanan yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan. khususnya akan
pelayanan yang didapat oleh responden setelah melakukan persalinan. Responden
lebih memilih untuk merawat diri sendiri atau dengan bantuan keluarga. Namun ada
juga responden yang berpendapat bahwa setelah bersalin yang ditanganin oleh tenaga
kesehatan , maka setelah bersalin maka perawatannya akan dilakukan oleh dukun
yang memang sudah dipercaya oleh keluarga mereka.
Sikap responden untuk pelayanan yang diberikan oleh para dukun dapat dilihat
dari tabel berikut ini:
Tabel 3.6.5
Pelayanan Dukun Bersalin yang Diterima Responden
Pelayanan (%)
Ya Tidak
Pelayanan dukun ANC 8.6 91.4
Pelayanan dukun Persalinan 0,0 100.0
Pelayanan dukun Paca Persalinan 11.4 88.6
Pelayanan dukun rawat bayi 50.0 50.0
Sumber: Data Primer
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa responden yang ditemui di kota
Pontianak masih ada yang menaruh harapan untuk diberikan pelayanan kesehatan
oleh para dukun meski jumlahnya hanya sedikit. Pelayanan yang diharapkan itu
terutama pelayanan pada ibu sesudah melewati fase bersalin atau sesudah pasca
persalinan. Penggunaan tenaga dukun pada masa sesudah persalinan ini sangat
dipengaruhi oleh faktor kebiasaan dan budaya yang dianut responden dan keluarganya
meski para responden tersebut hidup di tengah daerah perkotaan.
231
Penggunaan tenaga dukun pasca persalinan itu mencakup merawat si ibu
termasuk memberihkan tubuh, memberikan ramuan-ramuan yang sekiranya
diperlukan baik yang penggunaannya dioleskan maupun yang diminum, yang biasanya
dibantu dari pihak keluarga si ibu yang baru bersalin, terutama oleh ibu kandung, atau
ibu mertua, ataupun adik perempuan/kakak perempuan/ipar perempuan dari ibu
bersalin tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh salsal seorang informan dari
kelompok tokoh masyarakat:
“Kami masih pake dukun karena dukun yang tau bagaimana cara rawat ibu. Iya..rawat ibu terutama setelah melahirkan....dukun itu tau cararawat, tau cara apa yang bagus buat kesehatan ibu. Biasanya dukun menyiapkan daun-daun atau ramuan-ramuan buat si ibu...itu bisa dibalur atau di minum pak. terserah si dukunnya..dukun yang tau... ya biar cepet sehat saja,pak....kalo cepet seneng juga kita ikut seneng,pak...”
Dari hasil kuesioner yang didapat dari responden yang berada di kota
Pontianak, didapati bahwa terdapat kesamaan jumlah responden yang menjawab
antara mendapat pelayanan oleh tenaga kesehatan maupun yang mendapat
pelayanan oleh dukun akan bayi yang dilahirkan. Dalam hal perawatan bayi yang baru
lahir masyarakat menilai bahwa pelayanan yang diberikan dukun sama baiknya dengan
pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan.
Adanya anggota masyarakat di kota Pontianak yang masih menggunakan dukun
dalam hal perawatan bayinya juga berkaitan dengan adanya budaya yang masih
melekat di masyarakat. budaya tersebut diantaranya adalah masih dipercayanya
dukun untuk melindungi bayi dan balita dari makhluk-makhluk yang dipercaya dapat
mengganggu bayi dan balita sehingga menjadi rewel atau sakit, masih dipercayanya
dukun dalam melindungi keluarga yang mempunyai bayi atau balita dari gangguan
makhluk supranatural mengingat masih adanya kepercayaan di masyarakat bahwa ibu
yang baru bersalin dan bayi yang masih berusia di bawah 40 hari mempunyai “wangi”
yang khas yang kerap mengundang datangnya makhluk halus.
Faktor Sosial Budaya Masyarakat. Masyarakat kota Pontianak seperti yang
tergambar dalam masyarakat di wilayah kerja puskesmas Karya Mulya pada umumnya
232
sudah mengerti akan arti penting dari kesehatan, termasuk kesehatan ibu dan anak
meski data yang ada di puskesmas menunjukkan bahwa pemeriksaan kehamilan pada
trisemester pertama dan kedua kurang dari 40%. Kecilnya angka serapan tersebut
dikarenakan banyaknya anggota masyarakat yang memeriksakan kehamilan pada
bidan praktek swasta atau pada dokter spesialis kandungan yang memang banyak dan
tersebar di seluruh wilayah kota Pontianak. Selain itu, letak puskesmas karya mulya
yang berdekatan dengan daerah kecamatan lain, maka banyak anggota masyarakat
yang tidak memeriksakan kehamilan mereka di puskesmas Karya Mulya karena
masyarakat lebih memilih memeriksakan kehamilannya di puskesmas yang sesuai
dengan wilayah administratif mereka.
Dari data yang ada di puskesmas juga didapati bahwa yang memeriksakan
kehamilan mereka di puskesmas adalah mereka yang berasal dari golongan
masyarakat bawah. Sedangkan bagi masyarakat dari golongan menengah ke atas tidak
pernah memeriksakan kehamilan di puskesmas.
Anggota masyarakat dari golongan masyarakat tersebut lebih menyukai
memeriksakan kehamilannya di bidan praktek swasta dan dokter spesialis kandungan
karena faktor pelayanan yang didapat dan faktor kenyamanannya. Faktor pelayanan
dan fasilitas yang diperoleh menjadi pembeda bagi anggota masyarakat untuk
memeriksakan kehamilan ke bidan praktek swasta jika dibandingkan dengan
pemeriksaan di puskesmas. Selain itu kenyamanan karena tidak banyaknya orang yang
mengantri untuk diperiksa kehamilannya serta bedanya tempat pemeriksaan
kehamilan, menjadi faktor yang juga berpengaruh terhadap banyaknya pemeriksaan
kehamilan di luar Puskesmas Karya Mulya, seperti pernyataan informan bidan berikut
ini:
“...banyaknya sih yang periksa ke bidan praktek langsung. Disana kan ada alat USG nya. Jadi ya itu andalannya..masyarakat kan pengenna yang canggih juga. Mereka juga pengen tau ,pengen liat gambarnya...jadi mereka banyak yang ke bidan daripada ke puskesmas”.
Mengenai penolong persalinan, masyarakat yang ada di wilayah kerja
Puskesmas Karya Mulya, umumnya melakukan persalinan dengan dibantu oleh tenaga
kesehatan, baik itu bidan maupun dokter, baik di puskesmas, rumah sakit ataupun di
233
tempat bidan praktek swasta. Ini mereka lakukan karena tenaga dukun sudah jarang
ada. Masyarakat memang masih ada yang menggunakan tenaga dukun tapi hanya
terbatas pada etnis tertentu saja seperti etnis madura dan bugis. Tapi tenaga dukun
tersebut sering kali dimanfaatkan setelah persalinan berlangsung seperti
membersihkan bayi dan ibu setelah bersalin, merawat si ibu selama beberapa waktu.
Ada tradisi yang dijalankan oleh etnis Madura di kota Pontianak pada masa
setelah bersalin. Bagi anggota masyarakat dari etnis Madura, bersalin itu meski di
tangani oleh tenaga kesehatan cukup satu hari. Jadi hanya berselang beberapa jam
saja setelah bersalin, si ibu ataupun keluarganya akan memaksa untuk pulang ke
rumah dan melakukan perawatan ibu dan anak di rumah dengan bantuan dukun yang
terkadang memang sengaja didatangkan dari daerah asal mereka. Hal ini dilakukan
karena ada anggapan bahwa persalinan itu harus ditolong oleh dukun yang sudah
menolong keluarga tersebut secara turun temurun. Ini dimaksudkan agar tetap terjalin
tali silaturahmi antara anggota keluarga tersebut karena ditolong oleh orang dari
daerah yang sama (sekampung) dan menganggap bila ditolong atau dirawat oleh
bukan orang dari daerah yang sama akan memutuskan tali silaturahmi nantinya
dengan keluarganya.
Pemanfaatan Pelayanan Jampersal
Di daerah kota Pontianak dan daerah Kabupaten Landak, pemanfaatan
program jamkesmas masih jauh dari yang diharapkan. Selain karena topografi alam
serta wilayah di daerah kabupaten yang menyulitkan terlaksananya program ini,
namun faktor yang bisa mempengaruhi masyarakat di wilayah perkotaan dan wilayah
kabupaten adalah juga karena faktor ketidaktahuan masyarakat akan adanya program
Jampersal ini. Ketidaktahuan ini sebagian besar dikarenakan rendahnya kegiatan
sosialisasi mengenai program Jampersal ini baik oleh bidan, dokter, para kader
kesehatan dan kader posyandu, serta dari tenaga kesehatan lainnya. Selain itu juga
dikarenakan makin banyaknya serta makin lengkapnya fasilitas untuk membantu
memelihara kehamilan dan membantu persalinan sehingga masyarakat lebih memilih
untuk memeriksakan kehamilan mereka ke bidan praktek swasta ataupun ke dokter
spesialis meski dengan begitu mereka mengeluarkan dana yang tidak sedikit.
234
Masyarakat rela untuk mengeluarkan uang untuk menjaga kehamilan, ketika pada saat
persalinan dan ketika pada saat setelah persalinan demi mendapatkan pelayanan yang
lebih nyaman dan dinilai lebih kecil dalam menanggung risiko yang akan dihadapi.
3.6.5. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Jampersal
Dukungan
Dukungan yang ada dalam pelaksanaan program Jampersal di Kabupaten
Landak dan di Kota Pontianak adalah peran serta langsung dari pemerintah daerahnya,
terutama yang berada di wailayah kota Pontianak, dimana walikota dan bupati sendiri
yang mengawasi pelaksanaan program Jampersal ini. Selain itu juga dukungan
diwujudkan dalam penambahan jumlah rupiah hasil klaim yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang menangani semua perihal persalinan serta mengeluarkan Perda
khusus mengenai program Jampersal ini seperti yang dilakukan oleh walikota
Pontianak.
Dukungan juga didapati dari semua tokoh masyarakat yang memang
menginginkan adanya fasilitas bagi kesejahteraan warganya. Selain dari para tokoh
masyarakat, dukungan juga didapati dari sikap dan perilaku serta kondisi dari
masyarakat perkotaan yang nota bene sudah terpapar akan informasi dan
telekomunikasi yang sangat bagus sehingga mudah untuk mengaplikasi segala bentuk
program kesehatan dimasyarakat. Perihal akses termasuk tersedianya sarana dan
prasarana di kota Pontianak juga merupakan dukungan yang bisa menjalankan
program Jampersal ini.
Hambatan
Masyarakat sebenarnya menginginkan mengikuti program Jampersal ini.
Namun masih banyak hambatan untuk pelaksanaan program tersebut. hambatan-
hambatan tersebut diantaranya adalah; akses yang sulit di jangkau yang dibarengi
tidak adanya sarana tranportasi dan prasarana jalan yang belum ada di wilayah
kabupaten Landak merupakan hambatan utama dalm menjalankan program Jampersal
235
ini. Sulitnya akses yang disebabkan kontur dan topografi wilayah perkebunan sawit
sangat menyulitkan warga untuk mencapai tempat pelayanan kesehatan sehingga
pelaksanaan kegiatan Jampersal sangat terhambat. Sulitnya akses ini juga
mempengaruhi informasi yang didapat warga dan pemahaman warga akan program
Jampersal karena penyebaran informasi mengenai program Jampersal oleh tenaga
kesehatan juga mengalami hambatan.
Tenaga kesehatan tradisional (dukun) yang sering dimanfaatkan warga untuk
menolong persalinan bisa di golongkan kedalam hambatan yang terjadi dalam
pelaksanaan Jampersal terutama di daerah kabupaten Landak. Hal ini dikarenakan
adanya persaingan yang tidak kentara antara bidan dengan dukun. Adanya persaingan
ini dikarenakan masih belum relanya dukun untuk melepas sepenuhnya tanggung
jawab dalam membantu persalinan kepada bidan. Hal ini juga berkaitan erat dengan
pendapatan dukun yang diperoleh dari menolong persalinan.
Untuk daerah perkotaan, hambatan yang dirasakan justru berasal dari banyak
dan tersebarnya sarana pelayanan kesehatan seperti halnya rumah sakit, praktek
dokter spesialis dan bidan praktek swasta. Persalinan yang di anggap oleh masyarakat
merupakan sesuatu yang mengandung risiko tinggi serta pengalaman yang di dapat
jika berurusan dengan birokrasi juga menjadi penghambat masyarakat tidak mau
menggunakan program Jampersal ini dan memilih membayar lebih untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang dinilai lebih bisa mengurangi risiko yang
mungkin dihadapi dalam setiap kehamilan, persalinan, serta pada keadaan sesudah
persalinan.
Penyebaran informasi akan program Jampersal ke masyarakat yang dilakukan
oleh para tenaga kesehatan khususnya para bidan baik yang berada di daerah
kabupaten maupun yang berada di wilayah perkotaan turut menjadi andil dalam
hambatan pelaksaanaan program Jampersal ini. Para bidan di wilayah kabupaten
umumnya enggan untuk menyebarluaskan informasi karena karena akses yang
ditempuh sulit dan mereka mengganggap masyarakat belum terlalu perlu untuk
mengetahui program ini. Masyarakat diberikan informasi mengani Jampersal ini pada
saat mereka datang saja di puskesmas. sedang untuk di posyandu dan di pertemuan
warga sama sekali tidak diberikan informasi mengenai Jampersal.
236
“ Kami disini¸Pak sebenarnya lamas buat kasih info me kasyarakat. Kami sudah cape duluan sebelum kasih info. Jalannyanjauh,pak..sulit lagi...harus lewat kebun sawit...”
Selain itu, hambatan akan pelaksanaan Jampersal ini ada di dalam diri masyarakat itu
sendiri. Masyarakat masih menilai bahwa untuk memeriksakan kehamilan, untuk
bersalin dan untuk memeriksakan kondisi sesudah persalinan di puskesmas tidak
mendapatkan pelayanan yang maksimal dan tidak nyaman karena banyaknya orang.
Sehingga masyarakat lebih memilih untuk memeriksakan kehamilan, melakukan
persalinan dan memeriksakan kondisi setelah bersalin pada bidan praktek swasta,
dokter spesialis maupun langsung di rumah sakit.
Harapan
Pada dasarnya masyarakat baik yang beradadi kabupaten Landak maupun yang berada
di wilayah kota Pontianak sudah cukup puas dengan program Jampersal ini.
masyarakat menilai bahwa program ini sangat membantu terutama dalam kaitannya
dengan kemampuan finansial yang mereka miliki. Untuk itu masyarakat pada
umumnya berharap bahwa program Jampersal ini terus ada dan terus ditingkatkan
pelaksanaannya hingga bisa mencapai seluruh masyarakat.
Masyarakat juga berharap perlaksanaan Jampersal ini lebih diinformasikan sehingga
masyarakat bisa mengetahui, bisa memahami, dan bisa memanfaatkan program
tersebut, serta lebih disederhanakan lagi dalam mengurus administrasi yang
diperlukan dalam porgram Jampersal ini. Masyarakat terutama para tokoh masyarakat,
meminta agar mereka juga dilibatkan dalam setiap penyampaian program kesehatan
khususnya program Jampersal karena banyak manfaatnya bagi warga mereka, sepereti
yang tercakup dalam kutipan berikut ini:
“ ada baiknya juga kita-kita yang ada disini ini, para tokoh masyarakat disini ini juga diberitahu tentang program ini,pak. karena program ini kan banyak manfaatnya..masyarakat perlu itu. Dan saya sih percaya bahwa setiap program pemerintah itu pasti baik, cuma yang kurang itu kan sosialisasinya...kita juga kan jarang banget dilibatin...ya akibatnya begini ini....kita sendiri ndak tau ada program Jampersal ini...”
237
3.7. Puskesmas Arungkeke, Kabupaten Jeneponto
3.7.1. Gambaran Kabupaten Jeneponto
Kabupaten Jeneponto atau yang biasa di sebut Butta Turatea merupakan salah
satu dari 24 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten
Jeneponto dengan ibukota Binamu memiliki luas sebesar 749,8 km2 dan terbagi
menjadi 11 kecamatan dengan 86 desa dan 27 kelurahan. Topografi daerah Kabupaten
Jeneponto terdiri dari: Bagian utara merupakan dataran tinggi dan ber bukit-bukit
dengan ketinggian 500-1.400 m dpl. Bagian tengah merupakan dataran dengan
ketinggian 100-150 m dpl. Sedangkan bagian selatan merupakan datran rendah
dengan ketinggian 0-150 m dpl. Adapun batas daerah kabupaten adalah sebagai
berikut:
o Sebelah utara : Kabupaten Goa dan Kabupaten Takalar
o Sebelah timur : Kabupaten Bantaeng
o Sebelah selatan : Laut Flores
o Sebelah barat :Kabupaten Takalar
Secara umum, kabupaten ini memang kurang subur dan cenderung kering.
Dari sepuluh kecamatan, hanya Kecamatan Kelara yang berada pada ketinggian
700 meter di atas permukaan laut. Kecamatan ini pun memiliki lima hingga enam
bulan basah dan dua hingga empat bulan lembab. Sembilan kecamatan lainnya,
selain berada pada ketinggian 0-500 meter dari permukaan laut, juga hanya
memiliki satu bulan basah dalam satu tahun. Selebihnya bulan kering. Hasil
pencatatan hari hujan dan curah hujan di Kecamatan Arungkeke menunjukkan
jumlah rata-rata hari hujan selama setahun sebanyak 9 hari sedangkan curah hujan
sebanyak 602 mm.
238
Gambar 3.7.1. Gambar Peta Kabupaten Jeneponto
Ratio jenis kelamin memperihatkan perkembangan penduduk laki-laki dan
perempuan. Tahun 2011 adalah 95,57%. Laju pertumbuhan penduduk tahun 2011
rata-rata 1,01% (untuk Sulawesi Selatan periode 1998-2002 rata-rata 1,09% dan untuk
Indonesia pada periode 1990-2000 rata-rata 1,23%). Komposisi penduduk menurut
kelompok umur dapat menggambarkan tinggi rendahnya tingkat kelahiran, dan dapat
pula menggambarkan angka beban tanggungan, yaitu perbandingan jumlah penduduk
produktif (15-64tahun) dengan kelompok tidak produktif (0-14tahun dan 65tahun
keatas). Berdasarkan data BPS Kabupaten Jeneponto tahun 2011, penduduk 0-14tahun
sebesar 9,58%. Berikut merupakan tabel penduduk Jeneponto berdasarkan kecamatan
yang ada:
239
Tabel 3.7.1
Jumlah Penduduk Jeneponto Berdasarkan Kecamatan Tahun 2011
No Kecamatan Jumlah Penduduk
1 Bangkala 50.361
2 Bangkala Barat 26.605
3 Tamalatea 40.757
4 Bontoramba 35.237
5 Binamu 52.948
6 Turatea 30.220
7 Batang 19.385
8 Arungkeke 18.416
9 Tarowang 22.562
10 Kelara 26.706
11 Rumbia 22.862
Jumlah 346.149
Sumber: http://jenepontokab.bps.go.id
Dari tabel di atas, kecamatan dengan penduduk terbanyak adalah kecamatan
Bangkala sedangkan kecamatan dengan penduduk paling sedikit adalah di Kecamatan
Arungkeke.
Penduduk Jeneponto sendiri mayoritas dihuni oleh Suku Jeneponto sebagai
suku asli dan ada lagi suku pendatang lain yang berasal dari kabupaten lain yang
berada di sekitar Jeneponto, seperti suku Bugis, suku Makassar, suku Toraja dan lain-
lainnya. Sedangkan agama mayoritas adalah agama Islam, sedangkan penduduk lain
yang beragama selain agama Islam biasanya yang berasal dari suku selain Jeneponto.
Penduduk yang beragama Kristen biasanya adalah penduduk yang berasal dari suku
Toraja. Sedikitnya penduduk yang memeluk agama selain Islam ditandai dengan tidak
adanya rumah ibadah agama lain selain masjid di kabupaten Jeneponto ini.
240
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Tenaga Kesehatandi Kabupaten Jeneponto
Pada tahun 2011 jumlah Puskesmas di Kabupaten Jeneponto sebanyak 18 unit,
polindes 2 unit dan poskesdes 51 unit. Beberapa puskesmas telah ditingkatkan menjadi
Puskesmas Perawatan. Dari 18 puskesmas, 9 di antaranya merupaka puskesmas
perawatan. Sedangkan puskesmas pembantu (pustu) adalah sarana pelayanan
kesehatan di desa dan kini jumlah pustu di Jeneponto adalah 56 unit.
Sedangkan untuk tenaga kesehatan di Kabupaten Jeneponto berikut rinciannya:
Dokter Umum : 33 orang
Dokter Spesialis : 2 orang
Dokter Gigi : 10 orang
Apoteker : 9 orang
Ahli gizi : 19 orang
Sarjana Kesehatan Masyarakat : 102 orang
Anestesi : 1 orang
Fisioterapi : 2 orang
Kebidanan : 97 orang
Analis Kesehatan : 17 orang
Perawat : 235 orang
Asisten Apoteker : 30 orang
Sanitarian : 15 orang
Penata Rontgen : 7 orang
Perekam Medik : 6 orang
Perawat Gigi : 26 orang
Kesehatan Bayi dan Anakdi Kabupaten Jeneponto
Angka kematian bayi di Kabupaten Jeneponto pada tahun 2011 sebesar 7,0 per
1000 kelahiran hidup dengan jumlah kematian bayi sebanyak 25 dari 3.256 jumlah
kelahiran hidup (AKB = 7.0 / 1000 KH). Sedangkan angka kematian balita (AKABA) pada
tahun 2011 sebanyak 2 balita dari 3.256 kelahiran hidup sehingga diperoleh angka
kematian balita.
Jumlah kunjungan neonatus (KN-1) di Kabupaten Jeneponto pada tahun 2011
sebanyak 5.864 (89.7%) sedangkan kunjungan neonatus 3 kali (KN lengkap) sebanyak
5.113 orang (78.2%). Persentase cakupan kunjungan bayi minimal 4 kali di Kabupaten
Jeneponto pada tahun 2011 sebanyak 5.127 bayi (78 %) dari 6.574 bayi.
241
Kesehatan Ibu, ANC dan Pertolongan Persalinan dan KBdi Kabupaten Jeneponto
Upaya peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak terutama dititikberatkan pada
pertolongan persalinan dan pemeriksaan kehamilan. Hal tersebut sangat berperan
penting dalam menurunkan angka kematian bayi yang secara langsung berdampak
pada meningkatnya derajat kesehatan masyarakat.
a. Pertolongan Persalinan
Jumlah ibu hamil di Kabupaten Jeneponto pada tahun 2011 sebanyak 6.572
orang. Yang melahirkan dengan bantuan tenaga kesehatan sebanyak 6.378 orang
dan yang melahirkan dengan bantuan dukun sebesar 194%. Berikut tabel penolong
persalinan di Kabupaten Jeneponto yang dibagi berdasarkan wilayah Kecamatan
yang ada di Jeneponto:
Tabel 3.7.2 Penolong Persalinan Per Kecamatan di Kabupaten JenepontoTahun 2011
No Kecamatan Penolong Persalinan
Nakes Bidan
1 Bangkala 969 8
2 Bangkala Barat 607 9
3 Tamalatea 806 1
4 Bontoramba 611 55
5 Binamu 1.022 6
6 Turatea 533 21
7 Batang 358 3
8 Arungkeke 199 22
9 Tarowang 472 19
10 Kelara 464 14
11 Rumbia 357 36
Jumlah 6.378 194
Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten Jeneponto 2012
Data terakhir yang diperolah dari jumlah ibu hamil pada tahun 2011 yaitu
cakupan K4 di Kabupaten Jeneponto adalah sebesar 98.1%.
242
b. Pemberian Fe bagi Ibu Hamil
Cakupan ibu hamil yang mendapat 90 tablet Fe-1 di Kabupaten Jeneponto
pada tahun 2011 sebanyak 7.575 (100%), Fe-3 sebanyak 6.692 ibu hamil (93.56%).
c. Pelayanan Keluarga Berencana
Pada tahun 2011 dari 67.709 PUS terdapat 3.695 orang (5.5%) adalah
peserta KB baru. Dari 6.289 peserta KB baru, yang menggunakan Metode
Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP) dan Non MKJP yang terdiri dari suntik (73.4%)
dan kemudian dilanjutkan pil (16.1%).
3.7.2. Gambaran Puskesmas Arungkeke
Kecamatan Arungkeke merupakan salah satu kecamatan dari 11 kecamatan
yang ada di Kabupaten Jeneponto, terletak di sebelah Timur. Kecamatan Arungkeke
memiliki luas wilayah sebesar 29.91 km2. Desa yang terluas adalah Desa Boronglamu
yaitu 7.23 km2 sedangkan yang paling kecil luas wilayahnya adalah Desa Arungkeke
Pallantikang yaitu 2.73 km2. Secara administrative pemerintahan terbagi atas 7 desa.
Puskesmas Arungkeke sendiri berada pada Kecamatan Arungkeke dengan jarak 11 km
dari pusat kota. Dari 7 desa yang ada di Kecamatan Arungkeke, 6 desa berada di
daerah pantai.
Menurut jaraknya, maka letak masing-masing desa ke ibukota Kecamatan dan
ibukota Kabupaten sangat bervariasi. Jarak desa ke ibukota Kecamatan maupun
Kabupaten berkisar anatara 4–14 km. Jarak terjauh adalah Arungkeke Pallantikang
yaitu sekitar 17 km dari ibukota Kabupaten, sedangkan untuk jarak terdekat adalah
Desa Kalumpang Loe. Selurah desa/kelurahan di Arungkeke tergolong desa
berkembang. Namun demikian masih ada 3 desa/kelurahan yang termasuk desa
tertinggal.
Batas-batas wilayah Kecamatan Arungkeke adalah sebagai berikut:
Sebelah timur berbatasan dengan laut Flores
Sebelah selatan berbatasan dengan laut Flores
Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Binamu
243
Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Batang
Berdasarkan data BPS Kabupaten Jeneponto (2010), jumlah penduduk
Kecamatan Arungkeke saat ini adalah 18.233 jiwa yang terdiri dari 8.743 jiwa laki-laki
dan 9.490 jiwa perempuan. Tingkat kepadatan penduduk= 609/km2.
Gambar 3.7.2. Gambar Peta Kecamatan Arungkeke Sumber: http://4.bp.blogspot.com
Untuk pendidikan sendiri, sampai saat ini tidak ada data yang menunjukkan
tingkat pendidikan akhir dari keeseluruhan warja Jeneponto, termasuk warga yang
bertempat tinggal di kecamatan Arungkeke. Jika melihat data responden kuantitatif
dalam penelitian ini, maka akan didapatkan hasil yang sama mengenai latar belakang
pendidikan. Dari 70 orang responden ibu, kecenderungan pendidikan terakhir ibu
adalah tamat SD/sederajat yaitu sebanyak 37.1% dan diikuti tamat SMP/sederajat
(21.4%) dan tidak sekolah (20%). Begitupun juga dengan pendidikan terakhir suami
responden menunjukkan bahwa paling banyak memiliki pendidikan terakhir yaitu
tamatan SD/sederajat yaitu sebanyak 30% dan diikuti pendidikan tamat SMP/sederajat
(21.4%) dan tidak sekolah (20%).
244
Rata-rata pendapatan per kapita penduduk Arungkeke belum ditemukan
datanya, baik di kantor Kecamatan maupun kantor Kelurahan serta di Kantor BPS.
Sesuai dengan Indikator Kesejahteraan Masyarakat Kota Makassar tahun 2010
pendapatan per kapita penduduk di Kabupaten Jeneponto pada tahun 2009, PDRB
menurut lapangan usaha atas dasar harga yang berlaku sebesar 1.559.951,69 juta
rupiah (meningkat sebesar 7,9% dari tahun2008). Berbicara mengenai pendapatan per
kapita penduduk maka indikator nya adalah pendapatan rumah tangga/bulan. Jika
melihat data responden penelitian, dari 70 orang maka diketahui bahwa pendapatan
rumah tangga cenderung paling banyak di kategori Rp.500.001,- s/d Rp. 1.000.000,-
yaitu sebanyak 44.3% diikuti kategori pendapatan <Rp 500.000,- (35.7%) dan kategori
pendapatan Rp. 1.000.001,- s/d Rp.2.000.000,- (11.4%). Pendapatan ini berkaitan juga
dengan pekerjaan yang dijalani oleh masyarakatnya. Sama halnya dengan pendapatan
rata-rata, tim peneliti juga tidak mendapatkan data mengenai pasti mengenai jenis
pekerjaan pada masyarakat Kecamatan ini, namun jika melihat dari data responden
penelitian maka pekerjaan yang paling banyak yang dilakukan oleh suami adalah:
pekerjaan di bidang jasa, seperti menjadi guru ataupun menjadi supir angkutan
ataupun menjadi supir becak motor (bentor), lalu setelah itu bekerja di sektor swasta
dan terakhir menjadi nelayan. Berbicara mengenai pendapatan rumah tangga maka
tidak akan lepas dari mata pencaharian mereka sebagai sumber pendapatan keluarga
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dilihat dari sumber mata pencaharian, dari data BPS tahun 2011, menunjukkan
bahwa dari jumlah penduduk yang bekerja, yaitu sebanyak 4.670 orang adalah petani
pangan, sedangkan peternak sebanyak sebanyak 287 orang. Tambak dan nelayan
sebanyak 835 orang. Penduduk yang bekerja di luar sektor pertanian antara lain
perdagangan sebanyak 618 orang, industri 506 orang, angkutan 680 orang dan jasa
263 orang. Adapun penduduk yang bekerja sebagai PNS dan ABRI sebanyak 266 orang.
Sedangkan dari data responden ibu, kami mendapatkan hasil bahwa 91.4% nya tidak
bekerja dan hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga saja, dan sisanya ada yang
bekerja sebagai petani dan PNS.
245
Gambar 3.7.3. Mata Pencaharian Menangkap Ikan Sumber: Dokumentasi Peneliti
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Tenaga Kesehatandi Kecamatan Arungkeke
Jumlah tenaga kesehatan di Kecamatan Arungkeke pada tahun 2012 sebanyak
25 orang. Berikut merupakan tabel gambaran tenaga kesehatan di masing-masing desa
yang ada di Kecamatan Arungkeke:
Tabel 3.7.3.
Persebaran Tenaga Kesehatan di Desa dalam Kecamatan ArungkekeTahun 2011
No Desa Dokter
Gigi
Dokter
Umum
Bidan Perawat
1 Kampala - - 1 -
2 Bulo-bulo - - 1 1
3 Palajau - 2 1 1
4 Kalumpang Loe - - 1 -
5 Arungkeke - 1 2 12
6 Boronglamu - - 1 -
7 Arungkeke Pallantikang - - 1 -
Jumlah - 3 8 14
Sumber: Profil Kesehatan Kabupaten Jeneponto 2012
Melihat tabel di atas maka dapat dikatakan setiap desa di Kecamatan
Arungkeke sudah memiliki tenaga kesehatan terkait dengan kesehatan ibu dan anak
yaitu bidan. Selain tenaga kesehatan medis professional terdapat juga dukun bayi yang
246
dianggap bisa menolong persalinan atau yang biasa disebut sandro yang berjumlah 11
orang yang tersebar di 7 desa tersebut.
Kesehatan Bayi dan anak
Jumlah kematian bayi sebanyak 37 dari 215 jumlah kelahiran hidup Sedangkan
angka kematian balita (AKABA) pada tahun 2011 sebanyak 7 balita dari 215 kelahiran
hidup sehingga diperoleh angka kematian balita.
Dari jumlah kelahiran pada tahun 2011 yang berjumalah 215 tersebut.Jumlah
kunjungan neonatus (KN-1) di Kecamatan Arungkeke pada tahun 2011 sebanyak 184
(85.6%) sedangkan kunjungan neonatus 3 kali (KN lengkap) sebanyak 172 orang (80%).
Persentase cakupan kunjungan bayi minimal 4 kali di Kecamatan Arungkeke pada
tahun 2011 sebanyak 118 bayi (33.9 %) dari 348 bayi.
Kesehatan Ibu, ANC, Pertolongan Persalinan dan KB
a. Pertolongan Persalinan
Jumlah ibu bersalin di Kecamatan Arungkeke pada tahun 2011 sebanyak 362 orang
sebanyak 178 atau 55%-nya ditolong oleh tenaga kesehatan.
b. Pemeriksaan Ibu Hamil
Dari jumlah 379 orang ibu hamil, jumlah K1 adalah sebanyak 349 orang (92.1%) dan
yang melakukan K4 adalah sebesar 258 orang (68.1%). Untuk suntikan tetanus
toksoid maka yang mendapatkan TT1 sebesar 349 orang (92.1%) dan yang
mendapatkan TT2 sebesar 258 orang (68.1%). Untuk ibu hamil yang mendapatkan
fe 1 sebanyak 331 orang (87.34%) dan fe 3 sebanyak 245 orang (64.64%)
c. Pelayanan Keluarga Berencana
Pada tahun 2011 dari 3549 Pasangan Usia Subur terdapat 140 orang (3.9%) adalah
peserta KB baru. Peserta KB aktif sebesar 2.584 orang (72.8%).
3.7.3 Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak
Pandangan tentang ibu hamil, bersalin, bayi/anak
Masyarakat Jeneponto, kurang lebih memiliki pandangan yang sama dengan
masyarakat pada umumnya dalam situasi menunggu kehadiran seorang anak dalam
keluarga. Dalam masa kehamilan, ibu tentunya melakukan pencarian kesehatan, baik
247
dengan pengobatan tradisional maupun pengobatan konvensional. Hal ini mereka
lakukan agar selama masa kehamilan mereka terus dapat sehat hingga sampai saatnya
nanti mereka akan melahirkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Bapak Kepala
Puskesmas Arungkeke yang menyatakan bahwa kesadaran masyarakat di Kecamatan
Arungkeke ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya:
“kesehatan, masyarakat itu semakin tahun semakin meningkat. Justru kenapa semakin tahun juga, kenapa semakin banyak juga orang yang berobat. Jadi apa semacam kesenjangan, disisi lain dikatakan bahwa kesadaran masyarakat itu menyangkut persoalan kesehatan itu semakin bagus, itu dilihat karena setiap bulannya itu selalu meningkat orang yang datang berobat sehingga, ada yang mengatakan berarti semakin hari semakin tahun ini orang semakin banyak yang sakit.”
Kesadaran mengenai pentingnya menjaga kesehatan pada sat kehamilan
tersebut bukan hanya dimiliki oleh ibu itu sendiri namun juga keluarga terdekatnya,
khususnya para suami. Dari hasil fgd yang dilakukan kepada para suami, maka dapat
dilihat bahwa para suami dari ibu hamil ini turut andil dalam proses menjaga
kesehatan istrinya. Para suami peserta Jampersal menyatakan bahwa ketika istri
mereka hamil mereka membantu meringankan pekerjaan dari para istri. Pekerjaan
yang dirasa membutuhkan tenaga banyak akan mereka gantikan, seperti mengangkut
air atau mengangkat benda lain yang berat. Selain itu mereka juga turut membantu
pekerjaan rumah tangga, seperti membantu mencuci baju, mengurus anak dan bahkan
memasak. Menurut pengakuan beberapa para suami juga menyatakan mereka
membantu istri mereka pada saat hamil saja, namun berlanjut hingga pada saatnya
nanti pada masa nifas, setelah ibu dilahirkan. Hal ini seperti yang diungkapan oleh
bapak N:
“Adapun peranan saya di saat istri hamil, saya membantu sebagai, kadang memasak kalay kadang sakit-sakitan. Anak saya ada 3. Tapi setelah melahirkan saya sebagai suami mengambil peranan untuk membantu semuanya, termasuk memasak, mencuci, membelikan susu untuk pertama karena belum keluar air susu istri.”
Para suami juga berperan pada saat proses pemeriksaan kesehatan itu sendiri
pada masa kesehatan, mereka berperan dalam menentukan pemeriksaan kehamilan,
bahkan beberapa di antaranya juga turut mengantarkan istrinya pada waktu
pemeriksaan, baik itu pergi ke dukun/sandro ataupun pergi ke puskesmas ataupun
248
pustu yang ada di desa tempat mereka tinggal. Begitupun pada saat ibu akan
melahirkan, biasanya suami pada saat menjelang persalinan akan menemani istrinya
dan berjaga-jaga hingga pada saatnya waktu persalinan. Dan pada waktu persalinan
tersebut biasanya suami yang akan mengantarkan istrinya ke puskesmas jika akan
melahirkan dengan bidan ataupun pergi memanggil dukun untuk datang ke rumah
untuk menolong persalinan. Hal ini seperti apa yang dikatakan oleh informan suami
Bapak AM:
“Waktu istri saya mengandung saya selalu membantu apa yang dia kerjakan, kalau dia mau apa saya belikan. Kalau dia mau mencuci saya larang dia. Saya selalu membaca surat yaasin untuk kelancaran kelahiran anak saya. Ketika melahirkan saya panggil dukun.”
Selain itu sebagai kepala keluarga, seorang suami biasanya pada saat istri hamil
juga menyediakan dana, meskipun terbilang minim, untuk berjaga-jaga manakala
istrinya membutuhkan obat ataupun berjaga-jaga apabila nanti pada proses persalinan
membutuhkan biaya lebih.
Keluarga besar juga memberikan perhatian kepada ibu yang sedang hamil,
khususnya para orang tua. Orang tua cukup memberikan perhatian kepada anaknya
jika sedang hamil, khususnya para ibu. Kedekatan antara ibu hamil dengan orang tua
ataupun keluarga ditunjukkan dengan pilihan mereka untuk bersalin di tempat yang
dekat dengan keluarga besarnya, yang memang menjadi kebiasaan bagi para warga
Jeneponto. Tidak sedikit ibu hamil yang menemani suaminya merantau untuk bekerja,
ke Makassar ataupun kota/kabupaten lainnya,memilih untuk kembali ke kampungnya
berasal (Jeneponto) karena ingin ditemani keluarga besarnya pada saat melahirkan.
Hal ini seperti yang disebutkan oleh Kepala Bidang Binkes Dinkes Kab. Jeneponto:
“Itu sakit dia cenderung kembali ke kampungnya, orang sini cenderung sakit kembali ke keluarganya. Jadi dia pasti kembali ke kampungnya. Dia mau didampingi sama keluarganya termasuk melahirkan.”
Bentuk perhatian dari masyarakat tempat tinggal juga kini telah sedikit banyak
berperan, baik itu yang sifatnya bantuan pribadi atau bantuan dari organisasi
masyarakat yang ada di lingkungan sekitarnya. Bantuan pribadi antara lain adalah
meminjamkan kendaraan secara gratis manakala ada ibu yang mau memeriksakan diri
249
ke puskesmas atau pada saat akan melahirkan. Sedangkan bentuk perhatian dari
organisasi masyarakat diberikan melalui penyuluhan-penyuluhan kesehatan yang
dilakukan untuk para warga, namun disayangkan berdasarkan fgd yang dilakukan oleh
tokoh masyarakat acara penyuluhan ini masih jarang dilakukan, namun ada juga desa
yang sudah menjalankanya secara rutin, seperti yang disebutkan oleh salah satu wakil
kepala Desa berikut ini:
“kalau di desa itu, letaknya kantor desa dekat jadi gampang mantaunya. Bersama kader bekerja sama memantau banyak nya ibu hamil sampai ibu nifas. Kader melaoprkan berapa ibu hamil yang hamil. Kebetulan saya juga pernah menjadi kader posyandu. Jadi masalah posyandu dan kesehatan saya perduli.”
Kepercayaan yang Masih Berkembang (Tradisi/Ritual/Kebiasaan)
Terkait dengan tradisi, ritual ataupun kepercayaan tertentu yang menyangkut
kesehatan ibu dan anak, mulai dari proses kehamilan hingga sampai setelah
melahirkan, sebagian masyarakat Jeneponto masih melakukannya, sedangkan
sebagian lainnya sudah tidak melaksanakannya lagi. Hal ini juga ditunjukkan data
kuantitatif dari hasil survey dengan responden mengenai masih atau tidak
dilakukannya tradisi/upacara/ritual oleh para responden berikut ini:
Tabel 3.7.4.
Pelaksaan Upacara/Tradisi/Ritual Berkaitan dengan KIA di Kec. Arungkeke
No Upacara/Tradisi/Ritual Tidak Ya
1 Masa Kehamilan 48.6 51.4
2 Masa Persalinan 94,3 5,7
3 Masa Nifas 95.7 4.3
4 Bayi Lahir 54.3 45.7
Sumber: Data Primer
Untuk yang masih melaksanakannya kebanyakan menjalani karena percaya
bahwa jika nanti tidak melaksanakannya maka akan mendatangkan akibat yang tidak
baik bagi seorang ibu ataupun calon anak ataupun anaknya, namun ada pula yang
tetap melaksanakannya bukan karena alasan tersebut namun karena dianggap sudah
tradisi turun temurun, yang akan terasa ada yang “kurang” jika tidak
melaksanakannya.
250
Seperti dapat kita lihat pada tabel di atas maka secara garis besar, masyarakat
Jeneponto sudah tidak lagi melaksanakan tradisi/ritual/kebiasaan yang menyangkut
kesehatan ibu dan anak. Hanya pada masa persalinan saja yang masyarakatnya masih
banyak yang mengadakan ritual, sedangkan pada masa persalinan dan masa nifas
mayoritas tidak melakukan. Untuk upacara pada masa bayi lahir meskipun lebih
banyak persentase orang yang sudah tidak melaksanakan, namun persentase orang
yang masih melaksanakannya juga dapat dikatakan tidak sedikit.
Kepercayaan pada Masa Kehamilan. Pada masa kehamilan ada kepercayaan
berupa pantangan yang dipercayai masyarakat yang jika dilakukan akan
mengakibatkan hal yang tidak baik bagi kesehatan ibu hamil dan calon anaknya.
Pantangan-pantangan tersebut ada yang berupa pantangan berupa makanan dan ada
juga pantangan berupa perilaku.
Pantangan makanan antara lain:
Dilarang minum es karena dipercayai akan menyebabkan besarnya ukuran kepala
bayi di dalam perut yang bisa menyebabkan pada saatnya akan bersalin nanti akan
sulit untuk dikeluarkan.
Dilarang makan sayur daun kelor karena dipercaya akan memperlancar lendiri pada
kemaluan ibu yang akan mempersulit pada masa persalinan.
Dilarang makan udang karena dipercaya akan mengakibatkan posisi bayi semakin
mundur dari jalan lahir dan mengakibatkan persalinan tidak lancar
Dilarang makan yang pedes-pedes dan ikan laut terutama ikan toka-toka (ikan pari)
karena dipercayai nanti mengakibatkan lemahnya atau tidak kuatnya tulang
anaknya, sehingga anak sulit untuk mulai berjalan.
Berikut ini pantangan berupa perilaku, perilaku ini selain tidak boleh dilakukan
oleh ibu hamil juga ada yang tidak boleh dilakukan oleh suaminya:
ibu hamil dilarang tidur dipagi hari karena dipercayai akan menyebabkan banyak
darah keluar bila nanti melahirkan
251
Ibu dilarang mengerjakan pemotongan, misalnya memotong, memotong ikan,
memotong rambut,memotong kuku dan sebagainya karena hal ini akan
menyebabkan anak yang dilahirkan cacat.
Para suami yang istrinya hamil dilarang mengerjakan pekerjaan membuat lubang,
misalnya menatah/melubangi kayu dan sebagainya karena dipercayai menyebabkan
anak yang dilahirkan sumbing
Ibu hamil harus makan di piring yang ukurannya kecil karena dipercayai nanti mulut
bayinya akan lebar
Sedangkan untuk ritual yang biasa dilakukan pada masa kehamilan, sama
dengan masyarakat di provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya, yaitu upacara Pasili
atau Napasili. Pada sub bab hasil laporan di kota Makassar upacara ini juga dilakukan.
Perbedaannya adalah upacara Napasilli di kabupaten Jeneponto ini hanya dilakukan
untuk anak pertama dan ketiga saja. Upacara ini dilakukan pada saat ibu menginjak
usia kandungan 7 bulan. Upacara ini biasanya dipimpin oleh sandro setempat ataupun
tokoh agama. Sandro ataupun tokoh agama ini menjadi pemimpin dalam ritual ini
karena dianggap bisa mendoakan ibu agar selamat hingga pada masanya persalinan.
Meskipun dana yang disediakan cukup besar untuk acara Pasili ini, namun karena
sudah menjadi kebiasaan yang turun emurun dilakukan maka masyarakat masih
mengadakannya. Jika mereka tidak mampu maka biasanya keluarga juga memiliki
kewajiban untuk membantu padan saat acara. Ada yang menyumbangkan uang da
nada juga yang menyumbangkan bahan mentah untuk diolah sebagai makanan yang
akan disajikan pada saat upacara dan ada juga yang menyumbangkan makanan yang
sudah jadi.
Kepercayaan pada Masa Persalinan. Pada masa persalinan ini kebiasaan yang
ada di masyarakat adalah memanggil dukun untuk diminumkan air yang dianggap bisa
mengusir setan. Air yang sudah diberikan doa ataupun jampi oleh dukun ini dianggap
bisa mengusir setan yang bisa mengganggu persalinan yang biasa disebut dengan
Parakang.
Kepercayaan pada Masa Nifas. Pada masa nifas, hanya ada kepercayaan
berupa pantangan. Tidak ada ritual ataupun upacara yang harus dilakukan oleh ibu
252
nifas Sama seperti pantangan pada masa hamil, kebanyakan masyarakat juga sudah
tidak menjalani pantangan-pantangan pada masa nifas ini. Ibu hanya dilarang untuk
bekerja berat hingga waktu nifas berakhir. Dan di masyarakat ada kepercayaan bahwa
ibu nifas harus banyaka makan sayur daun kelor dan kacang tanah yang dipercaya
dapat memperbanyak air susu ibu.
Kepercayaan pada Bayi yang Baru Lahir. Terdapat suatu kepercayaan baju bayi
yang khas pada masyarakat Jeneponto yaitu mngenai pakaian untuk bayi. Bayi
dianjurkan memakai turunan atau bekas dari kakaknya (pakaian bekas dari kakaknya),
sedangkan anak pertama mengambil/meminta dari saudara/famili lain atau tetangga
yang sebelumnya sudah memiliki anak dan dilarang untuk memakai baju yang baru
dibeli.Hal ini dipercayai karena memakai baju bekas bayi lain maka bayi itu akan sehat
sama dengan bayi sebelumnya.
Sedangkan untuk upacara untuk bayi baru lahir, karena masyarakat Jeneponto
hampir seluruhnya adalah masyarakat yang memeluk agama Islam, maka untuk
upacara bayi ini mengikuti kebiasaan umat Islam pada umumnya. Upacara ini adalah
upacara aqiqah yang diadakan setelah bayi kurang lebih menginjak usia 7 hari. Secara
simbolik, acara aqiqah ini dilakukan acara pemotongan kambing yang jumlahnya
disesuaikan dengan jenis kelamin dari sang bayi. Jika bayi perempuan kambing yang
dipotong sebanyak 1 ekor, sedangkan untuk bayi laki-laki makakambing yang dipotong
sebanyak 2 ekor. Biasanya dalam acara ini bayi juga akan dipotong rambutnya.
Untuk masyarakat pedesaan, maka acara aqiqah ini terbilang memakan biaya
yang cukup besar. Untuk kambing masing-masing kini harga berkisar di angka satu juta
rupiah. Belum lagi akan ada biaya tambahan untuk makanan yang harus mereka
sediakan untuk tamu-tamu yang diundang, apalagi biasanya di desa jika ada acara
maka yang empunya acara wajib mengundang masyarakat 1 desa atau bahkan
mengundang kerabat yang ada di luar desa dan berada di desa sekitar.
Dalam masyarakat, jika tidak mampu mengadakan aqiqah, karena terkait
dengan besaran biaya yang tadi sudah dijelaskan di atas maka ada ritual lain yang
dianggap bisa menggantikan acara tersebut yaitu acara yang disebut dengan Gamakki.
Perbedaannya dengan aqiqah, upacara Gamakki ini tidak harus memotong kambing
253
dan keluarga hanya perlu menyediakan pisang ataupun onde-onde yang ditaruh di
dalam satu nampan.
Pengetahuan Masyarakat tentang Kesehatan Ibu pada masa Kehamilan, Persalinan
dan Pasca Persalinan
Untuk mengukur pengetahuan masyarakat ini maka penelitian ini
membantunya dengan melihatnya dari kuesioner yang telah dibagikan kepada 70
responden ibu yang dipilih secara random atau acak dan hal ini juga didukung oleh
hasil fgd yang telah dilakukan oleh bidan, suami dan juga tokoh masyarakat.Menurut
Bloom (1908, dalam Notoatmodjo: 2003), pengetahuan adalah hasil tahu dan ini
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya sikap dan juga tindakan/perilaku nyata seseorang. Pengetahuan ibu yang
coba dilihat disini adalah pengetahuan ibu pada saat hamil, pada saat persalinan dan
juga masa setelah melahirkan atau masa nifas.
Masa Kehamilan. Jika melihat data hasil kuesioner, maka dapat dikatakan bahwa
pada dasarnya pengetahuan ibu pada saat masa kehamilan sudah cukup baik, yaitu di
antaranya mereka sudah memiliki pengetahuan untuk memeriksakan kesehatan
kehamilan sebanyak 4 kali, memeriksakan tekanan darah dan meminum tablet
penambah darah. Hal ini terlihat pada hasil survey ibu dimana sebesar 97.1%
menyatakan bahwa mereka tahu bahwa selama masa kehamilan mereka harus
memeriksakan kehamilan sebanyak 4 kali; 100% tahu bahwa ibu hamil harus mengukur
tekanan darah dan 100% tahu bahwa ibu hamil harus meminum tablet penambah
darah.
Tingginya pengetahuan di masa kehamilan ini ternyata juga cukup diketahui
para suami, dimana dari hasil fgd mereka mengatakan tahu bahwa istrinya harus
memeriksakan kesehatannya, khususnya dengan melakukan pemeriksaan di
puskesmas. Sehingga dari pengetahuan tersebut mereka juga turut mendorong para
istrinya untuk rutin dalam melakukan pemeriksaan selama masa kehamilan.
Pengetahuan yang menarik yang dapat ditemukan adalah pengetahuan
mengenai kehamilan dikaiktkan dengan tradisi setempat, dimana ternyata dari seluruh
responden masih ada 78.6% ibu yang memiliki pengetahuan bahwa dalam kehamilan
254
harus dilakukan upacara agar bayi yang dikandungnya selamat. Upacara yang biasa
dilakukan di daerah ini pada saat kehamilan adalah upacara Passili seperti yang sudah
dijelaskan pada sub bab sebelumnya.
Masa Persalinan. Untuk pengetahuan pada masa persalinan, dalam hal lokasi
pemilihan pertolongan persalinan, hanya 34.3% yang memiliki pengetahuan bahwa
melahirkan di dalam rumah lebih aman, sehingga 65.7% berarti menyatakan bahwa
melahirkan di rumah tidak lebih aman dan lebih aman jika bersalin di fasilitas
kesehatan. Hal ini sejalan dengan pengetahuan ibu mengenai penolong persalinan.
Sebesar 92.9% ibu memiliki pengetahuan bahwa melahirkan dengan bidan lebih aman.
Dari kedua angka tersebut kurang lebih menunjukkan bahwa dalam persalinan
ibu lebih percaya untuk ditolong oleh bidan, namun untuk penolongan persalinan
ternyata masih banyak yang lebih memilih untuk melakukannya di rumah sendiri.
Untuk pertolongan persalinan, pengetahuan ibu terbentuk karena beberapa faktor.
Faktor pengalaman dalam melahirkan, baik itu pengalamannya sendiri maupun
pengalaman keluarga atau kerabatnya dalam memilih penolong. Selain itu faktor
kenyamanan yang didapatkan ketika bersalin di rumah masih menjadi alasan kenapa
mereka lebih memilih di rumah. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan program
pemerintah yang harus melakukan persalinan di fasilitas kesehatan.
Masa Setelah Persalinan. Pengetahuan ini melihat bagaimana pengetahuan
dalam melakukan aktivitas a kembali setelah melakukan persalinan. Dari hasil survei
menunjukkan bahwa 81.4% menyatakan bahwa adalah benar jika seorang ibu baru
bisa beraktivitas lagi setelah 3 hari sedangkan sisanya sebesar 18.6% menyatakan
bahwa adalah salah jika ibu dapat beraktivitas lagi setelah 3 hari melahirkan. Jika
melihat hal ini maka diperlukan agar petugas kesehatan harus memberikan
pengetahuan kepada ibu mengenai aktivitas setelah melahirkan. Meskipun melahirkan
normal dan cepat pulih, namun ibu harus diberikan pengetahuan mengenai batas-
batas aktivitas apa yang boleh dan tidak dibolehkan pada masa nifas tersebut. Hal ini
juga terkait dengan kepercayaan setempat dimana ibu belum boleh keluar sebelum
bayi berumur 40 hari.
Ibu pun memiliki jawaban yang benar mengenai makanan setelah persalinan,
meskipun di beberapa daerah banyak yang melarang ibu paska bersalin untuk tidak
255
mengkonsumsi ikan laut namun dari pernyataan responden menyatakan bahwa salah
jika ibu dilarang memakan ikan laut setelah melahirkan.
Pengetahuan ibu dalam mengatur jarak anak setelah melahirkan adalah 84.3%
nya menyatakan bahwa salah jika mereka mengatur dengan menggunakan jamu.
Melihat angka ini maka dapat dikatakan bahwa dalam urusan pengaturan anak ibu kini
lebih percaya dengan alat KB yang telah disediakan pemerintah. Hal ini juga sesuai
dengan apa yang telah diungkapkan oleh Kepala Puskesmas Arungkeke tentang
lancarnya program KB di Kecamatan Arungkeke ini:
“Kalo KB disini tidak ada yang menolak malah dicari-cari... itu di gratiskan malah tidak ada yang mau datang sekali kalau beli malah kekurangan sekali disini.. Semuanya pokonya kalo KB tidak ada hambatan disini.”
Sikap Masyarakat tentang Kesehatan Ibu pada masa Kehamilan, Persalinan dan
Pasca Persalinan
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap
suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan
tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Atkinson, dkk (1993, dalam
Harahap & Andayani, 2004: 5) menyatakan sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi
terhadap suatu objek dengan cara tertentu, bentuk reaksinya dengan positif dan
negatif. Dalam penelitian ini, survey mengenai sikap ibu dilihat dari 4 level. 2 sikap
positif ditunjukkan dengan penyataan setuju dan sangat setuju sedangkan 2 sikap
negatif ditunjukkan dengan pernyataan sangat tidak setuju dan tidak setuju (Tabel
3.7.5).
Tabel 3.7.5.
Sikap Ibu terhadap Perilaku Kesehatan Ibu di Kec. Arungkeke
PERNYATAAN SIKAP
Positif Negatif
Penting pemeriksaan kehamilan sebanyak 4 kali 97.1 2.9
Penting ukur tensi 100 0
Perlu tablet tambah darah 1.4 98.6
Perlu upacara agar selamat 77.1 22.9
Melahirkan di rumah dan RS/pusk sama amannya 32.9 67.1
Kemampuan dukun sama baiknya dg bidan 20 80
Perlu KB pasca nifas 78.6 21.4
Sumber: Data Primer
256
Masa Kehamilan. Pengetahuan yang positif cenderung membuat sikap yang juga
positif. Hal ini dapat terlihat dari sikap ibu yang positif terhadap perilaku pada masa
kehamilan dimana pengetahuannya juga positif, yaitu antara sikap terhadap
pemeriksaan kehamilan sebanyak 4 kali (sebanyak 97.1%), sikap terhadap pentingnya
mengukur tensi (sebanyak 100%) dan juga sikap yang berkaitan dengan tradisi
setempat yaitu mengenai sikap terhadap pentingnya mengadakan upacara agar ibu
dan anak selamat (sebanyak 77.1%).
Namun berbeda dengan pengetahuan ibu yang tinggi akan perlunya tablet
penambah darah, ternyata sikap ibu malah menunjukkan sikap negative, dimana
kebanyakan ibu tidak setuju jika harus meminum tablet penambah darah, yaitu sampai
mencapai angka 98.6%.
Masa Persalinan. Sikap ibu pada masa persalinan sebenarnya sudah cenderung
positif dalam melihat pelayanan kesehatan secara medis konvensional. Menurut
keterangan para tenaga kesehatan kini sudah lebih banyak warga yang memilih
persalingan dengan bantuan tenaga kesehatan dalam hal ini bidan. Namun memang
masih ada sebagian kecil di masyarakat yang masih memilih untuk dibantu dengan
bantuan dukun beranak atau yang biasa disebut dengan sanro. Sebanyak 80% orang
responden memiliki sikap dimana mereka menyatakan bahwa pada dasarnya
kemampuan dukun tidak sama dengan bidan nakes.
Begitu juga dengan tempat melahirkan, para ibu sebanyak 67.1% menyatakan
sikap dimana melahirkan di rumah tidak sama amannya dengan melahirkan di
puskesmas. Hal ini juga didukung oleh pernyataan suami yang mendukung istrinya
untuk melahirkan di puskesmas dibandingkan melahirkan di rumah dengan bantuan
dukun, seperti pernyataan bapak Su berikut ini:
“istri saya pas mau melahirkan, pas saat sakit itu saya tanya mau melahirkan dimana. Misalnya dia jawab ke dukun tapi saya dorong ke puskesmas karena dilayani dengan baik.”
Masa Setelah Persalinan. Sikap ibu setelah persalinan dilihat dari sikap ibu
terhadap perlunya KB setelah masa nifas. Tabel menunjukkan bahwa 78.6% memiliki
sikap positif terhadap KB. Sama seperti yang sudah disebutkan bahwa masyarakat
257
Jeneponto secara umum sudah banyak yang mengikuti program Keluarga Berencana
ini. Meskipun ternyata untuk program KB ini, penduduk masih harus membayar
sebesar Rp. 15.000,- – Rp. 20.000,-. Hal ini menandakan bahwa masyarakat sudah
mulai mengerti tentang pentingnya jarak kehamilan sebagai bagian dari kesehatan
keluarga.
Tindakan/Praktek Kesehatan Ibu dan Anak
Di bawah ini merupakan tabel yang menggambarkan tindakan atau praktek
terkait dengan kesehatan ibu dan anak yang dilihat dari hasil kuesioner yang
disebarkan ke 70 orang ibu.
Tabel 3.7.6. Jenis Pelayanan Bidan dan Dukun di Kec. Arungkeke
Jenis Pelayanan oleh Bidan
Banyak Pemakai
Pelayanan
Jenis Pelayanan oleh Dukun
Banyak Pemakai
Pelayanan
Periksa Kehamilan 100 Periksa Kehamilan 57.1
Persalinan 80 Persalinan 28.6
Rawat Pasca Persalinan 95.7 Rawat Pasca Salin 38.6
KB 94.3 Pijat Ibu 74.3
Pijat Bayi 11.4 Rawat bayi 62.9
Sumber: Data Primer
Masa Kehamilan. Seperti dapat dilihat pada tabel di atas, bahwa mayoritas
responden sudah melakukan pemeriksaan kesehatan pada masa kehamilannya.
Sebanyak 97.1% memeriksakan kehamilannya ke bidan dan 78.6% memeriksakan
kehamilannya. Melihat angka persentase ini maka ada sebagian responden yang
memeriksakan kehamilan ke keduanya, dimana hal ini menandakan bahwa meskipun
sudah pergi ke bidan ada juga yang masih merasa kurang hingga harus memeriksakan
kehamilannya ke dukun juga. Pemeriksaan kehamilan pun sudah cukup baik dan sesuai
standar yang diajukan pemerintah, yaitu sebanyak 88.6% responden memeriksakan
kehamilan 4 atau lebih dari 4 kali.
Untuk pemilihan pelayan pemeriksaan masa kehamilan dengan nakes pun
menurut 65.7% responden dikarenakan alasan keamanan dan kenyaman yang
didapatkan. Keamanan dalam hal ini adalah keadaan kesehatan dari sang ibu dan calon
258
anaknya. Hal ini juga ditegaskan oleh salah satu informan suami mengenai
pemeriksaan kehamilan istrinya dengan bidan:
“Kita sebagai suami membantu menjaga kesehatan. Umpamanya dia pusing-pusing ketika hamil harus memanggil bidan atau diperiksakan ke bidan.”
Sedangkan untuk alasan pemeriksaan ke dukun, tidak ada alasan yang menjadi
mayoritas dan jawabannya lebih variatif, namun secara garis besar ada 3 alasan dari
hasil kuesioner yang dapat dapat diambil. Alasan pertama adalah kenyamanan. Alasan
kenyamanan ini dikarenakan ada ibu yang lebih memilih untuk diperiksa di rumah,
dimana dukun bisa didatangkan ke rumah dan ibu tidak harus keluar rumah, lain
dengan pemeriksaan bidan yang cenderung dilakukan di puskesmas atau poskesdes.
Alasan kedua adalah tradisi, dimana dalam keluarga ada kebiasaan untuk
memeriksakan diri ke dukun karena dianggap memiliki kemampuan yang tidak dimiliki
oleh bidan. Biasanya pemeriksaan kehamilan yang dilakukan oleh dukun ini adalah
mengurut-urut perut bayi yang dianggap dapat membetulkan posisi bayi di dalam
perut agar nantinya mudah untuk melahirkan. Dan alasan ketiga adalah alasan disuruh
orang tua atau suami untuk memeriksakan ke dukun. Alasan ketiga ini bisa dikatakan
ada kaitannya dengan alasan kedua mengenai tradisini, dimana biasanya orang tua
yang masih memegang kuat akan tradisi sehingga akhirnya mendorong anaknya untuk
terus melaksanakannya.
Masa Persalinan. Melihat tabel maka dalam persalinan, mayoritas sudah
melahirkan dengan bidan yaitu sebanyak 80%. Namun masih ada juga melakukan
persalinan dengan bantuan dukun yaitu sebanyak 28.6%. Pada dasarnya di Jeneponto
sendiri pada umumnya, dan di Kecamatan Arungkeke pada khususnya masyarakat
sudah melahirkan dengan bantuan bidan. Sandro yang ada kini biasanya hanya
menjadi pendamping bidan saja dan untuk menjalani kebiasaan yang dipercayai bisa
memperlancar persalinan.Memang tidak sedikit juga masyarakat ketika akan bersalin
pergi memanggil sandro dulu. Jika sandro-nya sudah bekerjasama dengan bidan maka
biasanya sandro akan mengantarkan ibu ke bidan, namun ada juga yang tetap
melanjutkan pertolongan tanpa memanggil bidan atau memanggil bidan jika keadaan
ibu sudah gawat dan sandro merasa tidak mampu untuk menolongnya lagi. Para suami
dalam fgd juga kebanyakan sudah mengetahui kerjasama antara bidan dan dukun ini
259
dalam menolong persalinan, dimana hal ini tentunya mereka anggap baik dalam
membantu kesehatan istri dan anak mereka:
“disini dukun sudah bekerja sama dengan bidan. Jadi kalaupun panggil dukun,
biasanya bidan juga ada. Bidan nya sampai bayi sudah lahir didatangkan dicek. “
Untuk tempat melahirkan sendiri ternyata persentase menunjukkan bahwa
paling banyak ibu melahirkan di rumah yaitu sebesar 48.6%. Hal ini karena masyarakat
Jeneponto senang jika pada saat bersalinan ditemani oleh keluarga besarnya, lain
halnya jika harus melahirkan di puskesmas dimana anggota keluarga yang hadir
terbatas. Hal ini juga diungkapan oleh koordinator bidan Ibu R mengenai melahirkan di
rumah:
“masih ada melahirkan dirumah, karenajadi tambah rame,semua saudaranya, tetangganya datang, yang nunggu kelaurga besar, kalo di rumah sakit paling hanya suami istri tidak banyak orang. Juga ada yang berpendapat dari pada lahir di tangan dukun mending di bidan.”
Paska Persalinan. Untuk paska persalinan ini, pada kuesioner dicoba dilihat
berapa banyak yang melakukan pemeriksaan pada masa nifas dan juga keikutsertaan
dalam program Keluarga Berencana. Untuk pemeriksaan paska melahirkan di
puskesmas itu sendiri mayoritas sebanyak 61.4% memeriksakan sebanyak 1-3 kali;
21.4% memeriksakan sebanyak 4 kali atau lebih dan hanya 17.1% yang tidak
memeriksakan sama sekali. Hal ini menandakan bahwa sebenarnya ibu sudah memiliki
cukup kesadaran untuk memeriksakan kehamilannya pada saat setelah melahirkan.
Sedangkan ada juga yang pergi ke dukun setelah persalinan untuk dilakukan urut atau
pijit yang diperuntukkan baik untuk ibu maupun bayinya. Dari hasil survey 74.3%
melakukan pijat untuk ibu dan sebesar 62.9% nya melakukan perawatan dengan bayi.
Sedang untuk KB, dari hasil ada 94.3% mengikuti KB melalui pelayanan yang
diberikan oleh bidan atau puskesmas. Hal ini menandakan bahwa mereka sudah
mengetahui konsep jarak anak. Untuk KB itu sendiri kebanyakan warga masih
menggunakan biaya sendiri yaitu sebanyak 78.6%.
260
3.7.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat Dalam Pemilihan Penolong Persalinan
Pengambilan Keputusan Pertolongan KIA
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan konteks sosial yang melingkupi
kehidupan di Kecamatan Arungkeke. Kondisi ekonomi, jenis pekerjaan penduduk,
kondisi alam, pengaruh-pengaruh modernisasi berikut cara hidup yang telah turun
temurun dikenal oleh masyarakat Arungkeke tentu saja mempengaruhi banyak hal
yang terkait dengan kehidupan sosial-budaya di wilayah ini. Hal itu juga berpengaruh
dalam hal pola pencarian kesehatan (health seaking behaviour)—dalam hal ini KIA—di
wilayah ini. Pilihan-pilihan masyarakat mengenai siapa orang yang mereka percaya
untuk dapat memberikan pertolongan KIA sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat persalinan yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan di wilayah Arungkeke masih tergolong rendah. Hal ini juga bisa
dilihat dari data cakupan Jampersal yang kami peroleh dari Dinas Kesehatan
Jeneponto. Dalam data tersebut terlihat bahwa cakupan Jampersal di wilayah
Kecamatan Arungkeke adalah yang terendah dari seluruh Kecamatan di Kabupaten
Jeneponto. Keberadaan dukun dan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap
pelayanan kesehatan menjadi alasan umum yang bisa dijadikan penjelasan mengenai
hal ini. Akan tetapi alasan tersebut tidak serta merta dapat dijadikan sebuah fakta
mutlak sebagai penyebab dari rendahnya cakupan linakes dan Jampersal di Arungkeke.
Dalam hal pengambilan keputusan pertolongan KIA salah satunya. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beragam alasan yang diungkapkan oleh
masyarakat dalam memutuskan siapa pihak yang pantas mereka pilih untuk dapat
memberikan pertolongan KIA. Salah satu dari alasan tersebut adalah faktor biaya. Ada
sebuah temuan dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa salah satu alasan
mengapa masyarakat lebih memilih dukun sebagai penolong KIA adalah karena adanya
sebuah ketakutan akan biaya yang besar. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang
suami berikut ini:
“Kebanyakan orang kampung melahirkan pake dukun semua. Di kampung ini, arungkeke. Ini semua kan takut ke biaya, kebetulan saya dengar di tetangga saya, dia melahirkan di makasar, dia siapkan uang 5 juta tapi belum cukup. Kami petani-petani ini tidak bisa. Akhirnya ya ke dukun aja.”
261
Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang suami dalam FGD tersebut. Salah
satu alasan mengapa mereka lebih memilih membawa istri mereka ke dukun adalah
ketakutan akan biaya yang mahal apabila mereka memilih puskesmas atau fasilitas
kesehatan lain. Anggapan tersebut muncul dari ketidakhuan mereka mengenai
pelayanan kesehatan di faskes. Selain itu faktor ekonomi menjadi pengaruh yang besar
dalam hal ini. Pekerjaan utama masyarakat Arungkeke sebagai seorang petani kurang
menjamin penghasilan yang besar atau dirasa cukup untuk menggunakan fasilitas
kesehatan (dalam pandangan masyarakat).
Namun selain karena faktor ekomoni, hubungan kekerabatan juga menjadi
sebuah pengaruh dalam menentukan pilihan pertolongan KIA. Masyarakat Arungkeke
adalah masyarakat pedesaan. Dalam pola budaya masyarakat pedesaan, pada
umumnya hubungan kekerabatan dan pola hidup kolektif masih sangat kuat
melingkupi pola kehiduan sehari-hari di dalamnya. Rendahnya sentuhan arus
modernitas, teknologi dan informasi, dan juga mobilitas sosial-politik dalam
masyarakat menjadi sebuah ciri yang sering ditemukan mewarnai kehidupan di wilayah
pedesaan. Sehingga jamak ditemukan pola bergantung antar masyarakat dalam
hubungan kekerabatan yang kuat menjadi sebuah ciri dalam struktur sosial di
pedesaan. Dalam kehidupan sosial di Arungkeke hal tersebut dapat dilihat sampai pada
tingkat struktur terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga. Dalam hal pengambilan
keputusan pertolongan KIA, hubungan kekerabatan dalam keluarga menjadi pengaruh
yang cukup kuat dalam menentukan pilihan-pilihan mereka. Dalam hal ini, pembagian
peran secara gender dalam keluarga berikut hirarki dalam struktur keluarga kemudian
menjadi hal menarik untuk dilihat dalam proses pengambilan keputusan tersebut.
Suami sebagai tonggak pemenuhan kebutuhan keluarga kemudian menjadi aktor
penentu yang cukup kuat dalam proses pengambilan keputusan ini. Seperti halnya
dengan keputusan-keputusan lain dalam sebuah keluarga, posisi sentral mereka
sebagai pencari nafkah dan tonggak perekonomian keluarga menjadi sebuah
pertimbangan yang kuat dalam membuat keputusan, termasuk memilih penolong KIA.
Seperti dalam pemilihan antara melahirkan di dukun atau di fasilitas kesehatan.
“istri saya pas mau melahirkan, pas saat sakit itu saya Tanya mau melahirkan dimana. Misalnya dia jawab ke dukun tapi saya dorong ke puskesmas karena dilayani dengan baik.”
262
Seperti terlihat dalam kutipan wawancara di atas, pemilihan fasilitas kesehatan
sebagai tempat pertolongan KIA sangat dipengaruhi oleh posisi suami dalam keluarga.
Ketika pada awalnya sang istri menginginkan untuk memilih dukun sebagai
penolongnya, dorongan suami untuk lebih memilih faskes kemudian mempengaruhi
istri untuk mengubah keputusannya.
Namun hal itu tidak serta merta menyatakan bahwa sang suami selalu menjadi
aktor penentu utama dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Tak jarang,
keputusan tersebut juga diserahkan kepada sang istri. Seperti terlihat dalam
wawancara berikut:
“tergantung kondisi, pada saat larut malam merasakan sakit, di antar ke puskesmas ga bisa, keburu lahir. Jadi saya lemparkan ke ibu, dia maunya gimana. Jadi biar istri saya yang putuskan.”
Satu hal menarik lainnya yang ditemukan dalam penelitian ini adalah adanya
faktor malu dalam masyarakat Arungkeke yang kemudian menjadi penentu dalam
pengambilan keputusan pertolongan KIA. Faktor malu tersebut muncul sebagai
manifestasi dari tabu yang ada dalam norma-norma masyarakat. Salah satunya adalah
adanya kasus hamil pra-nikah. Seperti terlihat dalam wawancara berikut:
“Banyak kasus seks bebas dan hamil duluan. Sehingga banyak yang ga mau ke puskesmas karena takut ketauan”
Dukun v.s Bidan di Mata Masyarakat Arungkeke
Dukun dalam masayarakat Jeneponto—atau secara umum bugis-makassar—
dikenal dengan sebutan Sandro. Keberadaan mereka dalam kehidupan masyarakat
telah dikenal sejak lama. Mereka adalah pelaku praktek budaya yang sejak lama telah
memainkan perannya dalam memberikan pertolongan kesehatan bagi Ibu dan Anak,
juga masyarakat Jeneponto secara umum.
Menurut data Puskesmas Arungkeke, saat ini di Kecamatan Arungkeke terdapat
9 orang dukun yang tersebar secara merata di 9 desa di Kecamatan Arungkeke. Seluruh
dukun tersebut telah mendapat pelatihan dan bermitra dengan bidan setempat. Akan
tetapi sebuah fakta lain disebutkan oleh masyrakat. Beberapa masyarakat dalam
wawancara kami menyatakan bahwa sebenarnya jumlah dukun yang berada di
Arungkeke lebih dari 9 orang. Mereka belum terdata oleh pihak puskesmas maupun
Dinas Kesehatan.
263
Dalam pandangan masyarakat, keberadaan dukun atau sandro di wilayah
mereka masih sangat dibutuhkan. Terutama untuk memberikan pertolongan. Salah
satu alasan dari hal ini adalah terkait dengan kesiap-siagaan dukun dalam pandangan
masyarakat. Seorang dukun dapat dipanggil kapanpun, baik siang atau malam. Seperti
yang diungkapkan oleh salah seorang masyarakat berikut ini:
“Dukun masih diperlukan ada, karena dia standby per jam dan tengah malam bisa diganggu, sedangkan kalau pustu malam tidak. Jadi kalau malam susah juga, itu dukun juga bisa raba perut biar tau ini melahirkan susah atau tidak. Kalo siang si langsung ke pustu.”
Kesiap-siagaan pihak pemberi pertolongan KIA memang dirasa sangat penting
oleh masyarakat. Mereka membutuhkan pihak yang mampu memberikan pertolongan
kapanpun mereka membutuhkannya.
Alasan lain yang muncul dalam masayrakat dalam memanfaatkan dukun terkait
dengan hal yang tidak bisa mereka dapatkan dari tenaga kesehatan. Salah satunya
adalah pertolongan yang lebih sesuai dengan praktek-praktek budaya dan tradisi yang
telah mereka kenal turun temurun. Dalam hal ini, kemudian peran seorang dukun
menjadi penting. Mereka adalah orang yang lebih mengerti mengenai praktek budaya
dalam masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang anggota masyarakat
berikut:
“servisnya dukun bhub dengan budaya yang ada di masyarkat. Sehingga cocok dengan masyarat. Dukun itu kalo perlu lahir, masyarkat sering merasa akan diganggu oleh mahluk asil. Dia punya bacaan buat ngusuir setan”
Pelayanan dalam bentuk pelaksanaan tradisi berikut ritual-ritual tertentu yang
dapat dilakukan oleh dukun tersebut memberi efek ketenangan secara psikologis oleh
masyarakat.
Sebenarnya banyak masyarakat di Arungkeke yang telah memiliki pandangan
bahwa pertolongan KIA yang aman adalah yang dilakukan di faskes, oleh nakes.
Mereka percaya bahwa kemampuan tenaga kesehatan dan kelengkapan alat di fasilitas
kesehatan lebih menjamin keselamatan dari ibu. Mereka juga telah mengetahui bahwa
pihak penolong yang seharusnya mereka manfaatkan adalah seorang bidan.
Sedangkan pelayanan yang diberikan oleh dukun dianggap sebagai tambahan saja.
264
“Dukun tuh bisa urut-urut setelah melahirkan. Saya panggil dukun. Tidak menolong persalinan tapi untuk menjaga kesehatan kami panggil dukun untuk pijat-pijat”
Dalam upaya Kesehatan Ibu dan Anak bian memang dipasang sebagai ujung
tombak pertolongan. Di Kecamatan Arungkeke sendiri, terdapat 8 orang bidan yang
bertugas. Satu orang bidan koordinator, dan 7 orang bidan yang masing-masing
ditempatkan di setiap desa di Kecamatan Arungkeke. Dalam keseharian tugasnya,
mereka lah yang bertugas memberi pelayanan terhadap Ibu dan Anak di setiap
wilayahnya. Namun dalam tugasnya, kondisi bidan tidak selalu bisa dikatakan mulus
tanpa hambatan. Salah satu hambatan yang muncul untuk bidan di Arungkeke adalah
minimnya fasilitas pendukung kerja mereka. Seperti fasilitas poskesdes yang juga
menjadi tempat tinggal mereka.
“Ada masalah di kampung sincini itu di poskesdes tidak ada air dan listrik sehingga bidan tidak tinggal disitu. Jadi kalau melahirkan malam jadi disarankan ke rumah sakit”
Permasalahan tersebut muncul sebagai akibat dari tidak meratanya
kesejahteraan di Kecamatan Arungkeke. Tidak semua desa di Arungkeke memiliki
tingkat kesejahteraan yang sama. Beberapa desa bisa dibilang kaya karena memiliki
potensi alam dan kondisi yang baik, akan tetapi beberapa desa yang lain justru
sebaliknya, kondisi kemiskinan, kekeringan, dan segenap permasalahan sosial masih
bisa ditemukan di mana-mana. Imbas dari hal tersebut juga mengenai poskesdes
sebagai fasilitas kesehatan yang dibangun oleh desa.
Gambar. 3.7.4. Sumbangan untuk Bidan Sumber: Dokumentasi Peneliti
265
Selain mengalami kendala berupa dukungan fasilitas yang kurang memadai,
bidan di Arungkeke juga harus berhadapan dengan tantangan menjaring kepercayaan
masyarakat. Kebanyakan bidan di sini masih sangat muda, dan baru saja ditempatkan
di Kecamatan Arungkeke. Sehingga pandangan seperti pengalaman yang kurang,
kedewasaan yang kurang, dan lain sebagainya masih muncul melingkupi situasi kerja
mereka.
“dia meragukan bidan atas keselamatan. Bisa dijamin ga? Mending ke puskesmas atau ke rumah sakit. Ini dari segi alat medis yang pertama dan pengalaman bidan yang masih muda. Sehingga menjadi alasan dia tetapi setelah dia ke rumah sakit toh yang menangani disaiana anak-anak”
Terkait dengan hal itu kompetisi dengan pihak penolong lainnya kemudian
muncul. Bidan desa kembali harus berhadapan dengan dukun yang sudah lama
memainkan perannya menolong persalinan dalam masyarakat. Selain itu—dengan
adanya sarana transportasi yang lancar—bidan juga harus berhadapan dengan pilihan
masyarakat untuk mencari pertolongan di luar daerah mereka, seperti Makassar.
Dukungan tokoh masyarakat untuk pemanfaatan layanan bidan dan fasilitas
kesehatan sebenarnya cukup kuat. Mereka sering mengarahkan masyarakat baik
dalam situasi formal maupun informal. Melalui penyuluhan atau dalam kehidupan
sehari-hari dalam masyarakat. Bahkan beberapa kebijaksanaan juga dibuat oleh tokoh
masyarakat untuk mendorong masyarakat memanfaatkan pelayanan dari bidan.
“kita sudah wanti-wanti kalao tidak mau melahirkan di poskesdes, nanti urusan
administrasi kita ancam persulit. Kita sudah bilang sama bidan juga kalo dia ga
mampu segera dibawa ke rumah sakit saja. Pemerintah desa sudah mahal beli
tanah untuk poskesdes dan berjuang 3 tahun supaya poskesdes ada di situ.
Sehingga masyarakat tidak mau ya kita ancama secara administrasi.”
Hubungan antara Dukun dan Bidan
Salah satu upaya untuk menengahi persoalan kompetisi antara dukun dan
bidan adalah dengan dicanangkannya Program Kemitraan Dukun dan Bidan. Program
ini merupakan salah satu program sebagai upaya untuk meningkatkan cakupan
pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan. Definisi Kemitraan Bidan – Dukun
sendiri adalah suatu bentuk kerjasama bidan dan dukun yang saling menguntungkan
266
dengan prinsip keterbukaan, kesetaraan dan kepercayaan dalam upaya untuk
menyelamatkan ibu dan bayi, dengan menempatkan bidan sebagai penolong
persalinan dan mengalihfungsikan dukun dari penolong persalinan menjadi mitra
dalam merawat ibu dan bayi pada masa nifas, dengan berdasarkan kesepakatan yang
telah dibuat antara bidan dan dukun serta melibatkan seluruh unsur/elemen
masyarakat yang ada.
Keberhasilan dari kegiatan kemitraan bidan – dukun adalah ditandai dengan
adanya kesepakatan antara Bidan dan dukun dimana dukun akan selalu merujuk setiap
ibu hamil dan bersalin yang datang. serta akan membantu bidan dalam merawat ibu
setelah bersalin dan bayinya. Sementara Bidan sepakat untuk memberikan sebagian
penghasilan dari menolong persalinan yang dirujuk oleh dukun kepada dukun yang
merujuk dengan besar yang bervariasi. Kesepakatan tersebut dituangkan dalam
peraturan tertulis disaksikan oleh pempinan daerah setempat (Kepala Desa, Camat)
Program Kemitraan Dukun dan Bidan di Kabupaten Jeneponto sendiri telah
dicanangkan sejak tahun 2007. Menurut Informasi Pihak Dinas Kesehatan Kab.
Jeneponto program yang dijalankan di sini banyak merujuk pada Kabupaten
tetangganya, yaitu Takalar yang notabene pada tahun ini dicanangkan sebagai
Kabupaten dengan Kemitraan Dukun-Bidan terbaik di Indonesia1.
Data dari Puskesmas Arungkeke menunjukkan bahwa seluruh dukun yang
berjumlah 9 orang di Kecamatan ini telah bermitra dengan Bidan Desa. Meskipun
menurut Dinkes Kab Jeneponto dan pihak Pihak Puskesmas Arungkeke program ini
cukup berhasil, namun wacana mengenai persaingan antara Dukun dan Bidan masih
muncul.
“dukun merasa kalau ada bidannya, peran dia ga utuh. Biasanya orang yang dikasih melahirkan dia mau memberi banyak tapi sedikit. Karena ada dukun merasa kalo ada bidan yang dikasih sama dia jadi berkurang.”
1Kemitraan dukun dan bidan di Kabupaten Takalar telah diatur dalam peraturan daerah kabupaten
tersebut. Bahkan pendanaannya telah diatur sedemikian rupa untuk dapat dianggarkan dari Anggaran Pembangunan Daerah tersebut
267
3.7.5. Peran Tenaga Kesehatan dalam Pelaksanaan Jampersal
Sosialisasi Jampersal
Sosialisasi Jampersal dilakukan oleh pihak Dinas Kesehatan kepada pihak
Puskesmas. Setelah itu sosialisasi Jampersal bertumpu pada pihak puskesmas yang
memang menjadi fasilitas kesehatan untuk pelayan dasar bagi yang berhadapan
langsung dengan masyarakat di wilayah kerjanya. Sosialisasi mengenai Jampersal ini
juga terus menerus dilakukan oleh pihak puskemas, khususnya oleh para bidan yang
memang berhadapan langsung dalam melayani para ibu.
Sampai saat ini sosialisasi memang menjadi tanggung jawab dari para bidan
yang bertugas di masing-masing desa. Sosialisasi yang dilakukan juga sebatas
pemberitahuan kepada ibu pada acara-acara posyandu yang diadakan setiap bulannya,
dan dari situ diharapkan agar sosialisasi berjalan dari mulut ke mulut. Namun
berdasarkan hasil fgd dari tokoh masyarakat dan para suami bahwa selama ini belum
mengetahui apa itu Jampersal. Kebanyakan dari mereka hanya mengetahui bahwa
ketika pergi ke puskesmas mereka tidak harus mengeluarkan biaya, namun tidak
mengetahui apa nama program yang mengratiskan pemeriksaan kesehatan tersebut.
Para bidan juga mengakui bahwa bantuan aparat desa ataupun tokoh agama
dalam pensosialisasian program Jampersal ini ke masyarakat masih cukup kurang. Hal
ini dikarenakan musyawarah desa yang selama ini berjalan kurang mengikutsertakan
pihak puskesmas dan tenaga kesehatan, sehingga selama ini belum ada koordinasi dan
masih kurangnya kerjasama yang terjalin antara tenaga kesehatan dengan pihak aparat
desa. Bantuan sosialisasi biasanya dibantu oleh ibu-ibu yang menjadi kader posyandu
di desanya. Selain itu pesan yang berkaitan dengan kesehatan maupun program
kesehatan juga tak jarang dilakukan pada saat acara rutin yang dilakukan oleh pokja
yang diadakan oleh ibu-ibu PKK setempat.
Pelaksanaan Pelayanan KIA dengan Program Jampersal
Pelaksanaan pelayanan KIA dengan program Jampersal untuk kecamatan
Arungkeke ini terpusat di Puskesmas, yang dibantu juga dengan puskesmas pembantu
dan poskesdes yang ada di masing-masing desa. Semenjak kehadiran
268
Jampersalmenurut Kepala Binkesmas yang membawahi program Jampersal Kabupaten
Jenponto menyatakan bahwa pelayanan kesehatan KIA setelah adanya program
Jampersal ini mengalami peningkatan, mulai dari pemeriksaan K1 hingga K4,
persalinan dan setelah persalinan.
Dalam pelaksanaan Jampersal ini mengalami kesulitan pada persalinan dimana
diwajibkan untuk dilakukannya hal tersebut di fasilitas kesehatan, sementara sampai
saat ini masyarakat masih lebih memilih dan lebih merasa nyaman jika bersalin di
rumahnya masing-masing. Hal ini seperti yang juga diutarakan oleh bidan koordinator
berikut ini:
“masih ada melahirkan dirumah, karenajadi tambah rame, semua saudaranya, tetangganya datang, yg nunggu kelaurga besar, klo di rumah sakit paling hanya suami istri tidak banyak orang.”
Faktor lainnya yang menjadi masalah adalah masalah geografis dimana masih
ada masyarakat yang cukup kesulitan dalam mencapai tempat fasilitas kesehatan.
Namun ada juga yang lebih memilih langsung untuk melahirkan di rumah sakit karena
justru rumahnya lebih dekat dan mudah aksesnya untuk langsung ke rumah sakit
dibandingkan ke puskesmas yang ada di desanya.
Masalah pelaksanaan program KIA juga terjadi karena fasilitas kesehatan yang
masih kurang memadai. Ada yang letaknya tidak strategis di desa yang membuat
masyarakat kesulitan mencapainya, dan ada juga yang kekurangan fasilitas penunjang
seperti air dan juga listrik. Sedangkan perhatian aparat desa terhadap fasilitas
kesehatan ini masih kurang diperhatikan.
Registrasi penduduk juga menjadi masalah dalam pelaksanaan program ini.
Masih banyak masyarakat yang tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau Kartu
Keluarga (KK) yang menjadi syarat dari program Jampersal ini. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh salah satu bidan berikut ini:
“yang dijadi masalah adalah jaminan kartu keluarga, ada ibu yang berkali-kali datang tapi ga diperlihatkan kartu keluarga. Ibunya yang ga mau, malas untuk urus KTP dan urus kartu keluarga.”
269
Pengelolaan Pelayanan Jampersal
Dalam mengelola pelayanan Jampersal ini, di pihak Dinas Kesehatan Kabupaten
Jeneponto sendiri berada di bawah tanggung jawab dari Bidang Bina Kesehatan
Masyarakat. Pada bidang ini lah yang bertanggung jawab atas jalannya Jampersal yang
ada di Kabupaten Jeneponto, dari mulai melakukan sosialisasi hingga melakukan
verifikasi dari setiap berkas yang berasal dari desa-desa dari masiang-masing
kecamatan. Sedangkan untuk tingkat Puskemas Arungkeke berada pada Bagian
Kesehatan Ibu dan Anak dan Keluarga Berencana dan koordinator bidanlah yang
mengatur dan memeriksa segala bentuk administrasi yang terkait dengan Jampersal
yang berasal dari bidan-bidan yang ada di masing-masing desa.
Di tingkat Kabupaten Jeneponto, yang juga diterapkan di Puskesmas Arungkeke
tidak ada kebijakan secara khusus yang diberlakukan terkait penggunaan dana
Jampersal. Dana yang diklaimkan terhadap setiap jasa pelayanan, dari mulai
pemeriksaan hingga paska melahirkan, semuanya menjadi hak dari bidan yang
memberikan jasa, tanpa dipotong biaya apapun. Namun jika pada saat menolon
persalinan bidan dibantu oleh dukun maka ada kebijakan puskesmas dimana bidan
harus memberikan dukun tersebut intensif sebesar Rp. 50.000,-.
Untuk proses pengklaiman sendiri berjalan setiap bulannya, dengan bidan di
masing-masing desa melaporkan ke bidan koordinator yang nanti selanjutnya akan
diverifikasi ke pihak Dinas Kesehatan. Namun untuk cairnya uang ternyata keluar setiap
3 bulan sekali sehingga menjadi hambatan tersendiri bagi para bidan seperti
diungkapkan Kepala Puskesmas:
“Itulah karena biasa kita masukkan di pelayanan bulan depan, jadi pelayanan bulan ini misalkan sekarang bulan berapa bulan sembilan ini kan sementara berjalan nanti bulan sepuluh baru masuk. Gitu, bulan sepuluh baru dilaporkan, nanti bulan sepuluh bau dimasukkan laporan, jadi tidak begitu misalnya bulan ini begitu menurun tidak keluar uangnya. Itulah susahnya kenapa semua dana-dana ini tidak langsung ke puskesmas. Ini kan melalui verifikasi lagi ke dinas. Jadi kadang-kadang saya ini juga kasihan aneh juga kalo sampe 2,3 bulan baru keluar uangnya karena harus di klaim dulu baru diverifikasi. Semua dana-dana begitu semua melalui dinas kesehatan tapi baik itu jemkesmas, Jampersal tidak begitu misalnya.....”.
270
3.7.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan
Hambatan
1. Masih adanya tradisi/kepercayaan berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak
Dengan adanya tradisi/kepercayaan yang dipercaya masyarakat berkaitan
dengan kesehatan ibu dan anak ini membuat peran sandro atau dukun bayi masih
cukup berperan dan membuat masih adanya masyarakat yang lebih
mempercayakan untuk melakukan persalinan dengan bantuan sandro tersebut
dibandingkan bersalin dengan bantuan bidan. Sandro dianggap memiliki
pengalaman yang lebih tinggi dan memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh
bidan yaitu kepercayaan untuk mengusir setan yang dianggap bisa membahayakan
kesehatan ibu dan anaknya.
2. Masih adanya pergaulan bebas di masyarakat
Adanya pergaulan bebas di masyarakat yang berdampak pada kehamilan di
luar nikah. Kehamilan di luar nikah ini membuat terkadang membuat ibu merasa
malu untuk memeriksakan kesehatan ke puskesmas, hingga pada saatnya bersalin
juga lebih memilih untuk bersalin dengan bantuan sandro.
3. Masih kurang baiknya infrastruktur jalan untuk ke fasilitas kesehatan
Di beberapa bagian wilayah di desa yang ada di wilayah Kecamatan
Arungkeke masih ditemui jalanan-jalanan yang keadaannya cukup buruk, yang sulit
dilalui oleh kendaraan. Ditambah lagi tidak ada kendaraan umum yang menunjang
agar masyarakat dapat pergi ke fasilitas kesehatan. Masyarakat harus mempunyain
kendaraan sendiri jika ingin mudah untuk pergi ke fasilitas kesehatan, sedangkan
belum semua masyarakat memiliki kendaraan pribadi. Hal ini juga yang membuat
masih ada masyarakat yang memilih ke dukun karena biasanya dukun mau datang
ke rumah untuk melakukan pmeriksaan atau membantu persalinan tanpa ibu harus
pergi keluar rumah.
4. Kurangnya kerjasama antara tenaga kesehatan dengan organisasi sosial
kemasyarakatan di masing-masing desa
271
Berdasarkan fgd dengan bidan maupun para bidan, ternyata masih banyak
desa yang aparat desa atau tokoh masyarakatnya tidak berhubungan/tidak
memiliki komunikasi yang rutin dengan tenaga kesehatan sehingga banyak
informasi yang tidak sampai ke masyarakatnya, termasuk informasi mengenai
program Jampersal ini, bahkan banyak tokoh desa tidak mengetahui ada program
tersebut. Bisa dikatakan hanya beberapa orang saja dalam organisasi
kemasyarakatan tersebut yang mengetahui program Jampersal tersebut.
Musyawarah yang biasa dilakukan, untuk mempertemukan berbagai lintas sektor
diakui kini sudah tidak rutin dilaksanakan, sehingga fungsi organisasi sosial yang
ada di masyarakat sebagai agen sosialisasi program-program yang disediakan
pemetrintah tidak begitu berjalan dengan baik karena ketidaktahuan mengenai
program tersebut.
5. Masih banyaknya masyarakat yang belum KTP (registrasi kependudukan)
Masih banyak masyarakat yang belum mempunyai Kartu Tanda Penduduk
yang membuat adanya kesulitan dalam administrasi program Jampersal. KTP
sebagai syarat yang diwajibkan bagi masyarakat agar dapat menikmati program
Jampersal ini menjadi penghalang manakala warga tersebut tidak memiliki KTP.
Kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan diri dalam registrasi kependudukan
bisa dikatakan masih kurang, sehingga pemerintah setempat juga masih perlu
menekankan kembali kepada pentingnya pembuatan KTP bagi keuntungan
masyarakat itu sendiri.
6. Ketidaktahuan Masyarakat tentang Jampersal
Selama ini masyarakat hanya sekedar mengetahui bahwa ada program
gratis jika mereka berobat atau datang ke puskesmas, namun tidak mengetahui
apa itu program Jampersal dan apa saja yang diberikan untuk ibu dalam program
tersebut, sehingga beberapa di antara mereka masih ada yang ragu untuk pergi ke
puskesmas, karena masih takut akan dikenakan biaya lagi. Selain itu masih ada
stigma bahwa menggunakan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah justru akan
merepotkan karena proses administrasi yang sulit.
7. Fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan kurang memadai
272
Dari 7 desa yang ada di Kecamatan Arungkeke, masih ada beberapa desa yang
poskesdesnyamasih dianggap kurang layak dan letaknya berjauhan dengan rumah
penduduk. Ada poskesdes yang tidak dialiri listrik dan tidak ada aliran air ke
dalamnya. Hal ini juga mengakibatkan bidan yang tidak betah untuk terus tinggal di
pustu atau poskesdes tersebut hingga ketika suatu saat dibutuhkan, bidan tidak
selalu ada. Hal ini membuat masyarakat yang pada awalnya berniat pergi bersalin
dengan bidan terpaksa mengambil pilihan bersalin dengan
Dukungan
1. Pengetahuan Kesehatan dan Sikap yang Positif terhadap Kesehatan
Jika melihat dari hasil penelitian maka dapat dikatakan bahwa pada
dasarnya kini banyak ibu yang sudah mulai sadar dalam menjaga kesehatannya
manakala sedang hamil hingga pada saatnya persalinan. Begitupun juga dengan
para suaminya yang juga turut menjaga kesehatan istrinya yaitu salah satunya
dengan cara membantu meringankan pekerjaan istrinya ketika hamil serta
menganterkan istrinya ke fasilitas kesehatan.
2. Adanya hubungan yang terjalin antara bidan dan dukun bayi (sandro)
Dapat dikatakan bahwa kebanyakan sandro yang ada di kecamatan
Arungkeke sudah menjalin hubungan yang cukup dengan baik dengan para bidan,
yang akhirnya membentuk kerjasama antara kedua pihak tersebut. Kerjasama ini
membuat kini sudah banyak sandro yang turut mengantarkan ibu pada saat
pemeriksaan kehamilan. Selain itu dalam hal persalinan, meskipun masih ada
mayarakat yang memanggil sandro terlebih dahulu, namun kini banyak sandro
yang menyuruh keluarga memanggil bidan atau malah langsung mengantarkannya
untuk bersalin ke puskesmas.
3. Adanya hubungan antar masyarakat yang terjalin cukup baik
Masyarakat di Kecamatan Arungkeke sama dengan ciri masyarakat desa
lainnya yang memiliki hubungan di dalam masyarakat yang cukup baik. Hal ini
tentunya menjadi sesuatu yang positif dalam proses pencarian pengobatan
khususnya untuk ibu dan anak. Menurut fgd yang telah dilakukan, masyarakat
ketika membutuhkan pertolongan, yang terkait kesehatan, misalnya alat
273
transportasi untuk melakukan pemeriksaan kehamilan atau melahirkan atau
membutuhkan uang untuk berobat, maka warga sekitar juga tak jarang turut
membantu. Apalagi di dalam masyarakat itu sendiri tak jarang ada hubungan
kekeluargaan yang mungkin terjadi karena ada hubungan pernikahan, sehingga
hubungannya lebih erat.
4. Majlis Taklim yang rutin diadakan
Salah satu acara yang diadakan rutin di hampir setiap desa adalah acara
pengajian atau majlis taklim. Dalam majelis taklim ini biasanya masyarakat banyak
yang berkumpul untuk mendengarkan ceramah dari tokoh agama setempat. Peran
tokoh agama dan acara pengajian ataupun majlis taklim ini sebenarnya bisa
menjadi ajang sosialisasi Jampersal ini, namun disayangkan fungsinya sampai saat
ini belum maksimal.
Harapan
Masyarakat terus mengharapkan bahwa program gratis untuk ibu hamil dan
bersalin ini akan tetap diadakan untuk ke depannya. Selain itu karena selama ini
mereka tidak mengetahui apa saja yang mereka dapatkan dari program Jampersal ini,
mereka berharap bahwa dari petugas kesehatan sendiri mau melakukan sosialisasi
yang sifatnya lebih jelas dan rutin sehingga masyarakat paham akan program tersebut.
Selain itu masyarakat mengharapkan akan adanya peningkatan fasilitas kesehatan.
Begitupun juga dengan bidan mereka harapkan dapat bekerja lebih baik dan selalu ada
di poskesdes atau pustu masing-masing desa.
Sedangkan dari para bidan sendiri tentunya juga berharap bahwa program ini akan
berlanjut karena tentunya dengan adanya Jampersal ini merupakan program yang juga
menguntungkan untuk mereka. Namun selain itu, meskipun sudah cukup puas dengan
tarif yang diberikan atas jasa pelayanan yang mereka lakukan, para bidan masih
berharap agar ke depannya tarif bisa ditingkatkan lagi. Selain itu para bidan
mengharapkan agar syarat administrasi berupa pengisian buku pemeriksaan kehamilan
yang harus mereka isi diperingkas isinya dan tidak terjadi pengulangan form-form
dalam buku tersebut.
274
Selain itu, para bidan juga berharap bahwa ada dana khusus untuk intensif para
dukun beranak, yang mendampingi mereka pada saat menolong ibu dalam melakukan
persalinan. Hal ini karena sampai saat ini untuk intensif biasanya diberikan secara
sukarela kepada para dukun tersebut dengan besaran Rp. 50.000,-. Oleh karena itu
bidan berharap bahwa dana tersebut disediakan langsung dari anggaran pemerintah
melalui program Jampersal itu. Bidan juga berharap ada aturan khusus yang
diterapkan ke dukun, seperti apabila mereka tidak melibatkan bidan dalam persalinan
akan diberikan sanksi atau peringatan, supaya ke depannya mereka mau bekerjasama
dengan bidan.
275
3.8. Puskesmas Kassi Kassi, Kota Makasar
3.8.1.GambaranUmum Kota Makassar
Kota Makassar biasa juga disebut Kota Daeng atau Kota Anging Mamiri.
Daeng adalah salah satu gelar dalam strata atau tingkat masyarakat di Makassar atau
di Sulawesi Selatan pada umumnya, Daeng dapat pula diartikan "kakak". Sedang
Anging Mamiri artinya “angin bertiup” adalah salah satu lagu asli daerah Makassar
yang sangat populer pada tahun 1960-an.
Secara geografis Kota Makassar berada pada koordinat antara 119º 18' 27,79" -
119º 32' 31,03" Bujur Timur dan antara 5º 3' 30,81" - 5º 14' 6.49" Lintang Selatan, atau
berada pada bagian barat daya Pulau Sulawesi dengan ketinggian dari permukaan laut
berkisar antara 0 - 25 m. Karena berada pada daerah khatulistiwa dan terletak di
pesisir pantai Selat Makassar, maka suhu udara berkisar antara 20º C - 36º C, curah
hujan antara 2.000 - 3.000 mm, dan jumlah hari hujan rata-rata 108 hari pertahun.
Iklim di kota Makassar hanya mengenal dua musim sebagaimana wilayah Indonesia
lainnya, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan berlangsung dari bulan
Oktober sampai April yang dipengaruhi muson barat - dalam bahasa Makassar disebut
bara’ -, dan musim kemarau berlangsung dari bulan Mei sampai dengan September
yang dipengaruhi angin muson timur – dalam bahasa Makassar disebut timoro -. Pada
musim kemarau, daerah Sulawesi Selatan pada umumnya sering muncul angin kencang
yang kering dan dingin bertiup dari timur, yang disebut angin barubu (fohn).
Kota Makassar sebagai ibukota Sulawesi Selatan secara geografis terletak di
Pesisir Pantai Barat bagian Selatan Sulawesi Selatan. Secara administratif Kota
Makassar mempunyai batas wilayah sebagai berikut:
Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Gowa
Utara : berbatasan dengan Kabupaten Maros
Timur : berbatasan dengan Kabupaten Maros
Barat : berbatasan dengan Selat Makassar
Kota Makassar memiliki luas wilayah 175.77 km2 yang terbagi ke dalam 14
Kecamatan dan 143 Kelurahan. Selain memiliki wilayah daratan, Kota Makassar juga
memiliki wilayah kepulauan yang dapat dilihat sepanjang garis pantai kota Makassar.
Adapun pulau-pulau di wilayahnya merupakan bagian dari 2 kecamatan, yaitu Ujung
276
Pandang dan Ujung Tanah. Pulaiu-pulau ini merupakan gugusan pulau-pulau karang
sebanyak 12 pulau, bagian dari gugusan pulau-pulau Sangkarang atau disebut juga
Pulau-pulau Pabbiring atau lebih dikenal dengan nama Kepulauan Spermonde. Pulau-
pulau tersebut adalah Pulau Lanjukang, Pulau Langkai, Pulau Lumu-lumu, Pulau Bone
Tambung, Pulau Kodirangeng, Pulau Barrang Lompo, Pulau Barrang Caddi, Pulau
Kodingareng Keke, Pulau Samalona, Pulau Lae-lae, Pulau Gusung dan Pulau Kayangan.
Jumlah penduduk Kota Makassar sampai dengan tahun 2011 tercatat 1.352.136
jiwa. TIngginya tingkat pertumbuhan penduduk Kota Makassar dimungkinkan akibat
terjadinya arus urbanisasi karena faktor ekonomi, melanjutkan pendidikan, di samping
karena daerah ini merupakan pusat pemerintahan dan pusat perdagangan di Kawasan
Timur Indonesia.
Suku yang dominan jumlahnya di kota Makassar adalah suku Makassar, Bugis,
Toraja, Mandar, Buton, Jawa, dan Tionghoa. Kebanyakan suku yang mendiami kota
Makassar memeluk agama Islam, sehingga bisa dikatakan agama Islam menjadi agama
mayoritas yang ada di Kota Makassar. Karena faktor ekonomi dan faktor pendidikan
maka banyak orang-orang yang merantau untuk bekerja atau pun melanjutkan
pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Gambar 3.8.1. Peta Makasar
Sumber: http://bahasa.makassarkota.go.id/
277
Kota Makassar terdiri dari 14 Kecamatan, namun persebaran penduduknya
tidak merata. Angka kepadatan penduduk Kota Makassar adalah sebesar 7.693
jiwa/km2. Persebaran yang tidak merata tersebut dikarenakan konsentrasi penduduk
berbeda pada tiap kecamatan, serta kebijakan pemerintah tentang penetapan lokasi
untuk pengembangan kawasan industri. Berikut merupakan tabel kecamatan yang ada
di Makassar dengan jumlah penduduknya:
Tabel 3.8.1.
Jumlah Penduduk Kota Makassar Berdasarkan KecamatanTahun 2011
No Kecamatan Jumlah Penduduk
1 Ujung Tanah 47.133
2 Tallo 35.574
3 Bontoala 54.714
4 Wajo 29.639
5 Ujung Pandang 27.160
6 Makassar 82.478
7 Mamajang 59.560
8 Mariso 56.408
9 Tamalate 172.504
10 Rappocini 152.531
11 Panakkukang 142.729
12 Manggala 118.191
13 Biringkanaya 169.340
14 Tamalanrea 104.175
Jumlah 1.352.136
Sumber: Profil Kesehatan Makassar Tahun 2011
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Tenaga Kesehatan
Tenaga kesehatan berdasarakan data ketenagaan di kota Makassar pada tahun
2011 maka jumlah pegawai adalah 1233 orang yang terdiri dari tenaga medis sebanyak
212 orang dan para medis sebanyak 1043 orang. Fasiitas kesehatan yang tersedia di
kota Makassar cukup banyak dan bervariasi jenisnya. Terdapat 38 puskesmas dan 44
pustu dengan 18 RS sebagai pusat rujukan. Untuk elayanan KIA selain di puskesmas
278
dan RS umum, secara spesifik dilayanai oleh Rumah Sakit Bersalin (14 buah) dan
Rumah Bersalin(14 buah).
Pelayanan KIA banyak dilayani oleh bidan yang tersebar di berbagai fasilitas
pelayanan. Sebagian bidan melakukan praktek swasta dan terdapat 14 orang Bidan
Praktek Swasta (BPS). Keadaan sarana kesehatan di Kota Makassar seara lengkap
jumlahnya adalah sebagai berikut:
Tabel 3.8.2.
Sarana Kesehatan di Kota MakassarTahun 2011
Jenis Sarana Kesehatan Jumlah
Puskesmas 38
Puskesmas Pembantu 44
Puskesmas Keliling 38
Rumah Sakit 18
Rumah Sakit Bersalin 14
Rumah Bersalin 14
Bidan Praktek Swasta 14
Balai Pengobatan Gigi 9
Praktek Dokter Perorangan 143
Praktek Dokter Bersama 2
Sumber: Profil Kesehatan Makassar Tahun 2011
Masalah Kesehatan Bayi dan anak
Angka kematian bayi di kota Makassar pada tahun 2011 sebesar 6.9 per 1000
kelahiran hidup dengan jumlah kematian bayi sebanyak 179 dari 26.129 jumlah
kelahiran hidup (AKB = 6.9/1000 KH). Angka ini mengalami penurun setelah tahun
sebelumnya (2010) AKB sebesar 10.6 dari 1000 kelahiran hidup.
Angka kematian balita (AKABA) pada tahun 2011 sebanyak 71 balita dari 26.129
kelahiran hidup sehingga diperoleh angka kematian balita yaitu sebesar 2.7 per 1000
kelahiran hidup. Angka ini mengalami peningkatan setelah tahun sebelumnya angka
kematian bali sebesar 1.86 per 1000 kelahiran hidup.
279
Upaya peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak terutama dititikberatkan pada
pertolongan persalinan dan pemeriksaan kehamilan. Hal tersebut sangat berperan
penting dalam menurunkan angka kematian bayi yang secara langsung berdampak
pada meningkatnya derajat kesehatan masyarakat.
Pertolongan Persalinan.Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah persalinan
sepanjang tahun 2011 sebanyak 27.142 ibu bersalin dengan jumlah persalinan dengan
dibantu oleh tenaga kesehatan yaitu sebesr 96.3% yaitu sebanyak 26.129 ibu. Di kota
Makassar, AKI maternal pada tahun 2011 sebesar 11. 4 per 100.000 kelahiran hidup.
Tercatat 3 kasus kematian Ibu Maternal dari 26.129 kelahiran hidup yang disebabkan
karena pendarahan 2 kasus dan infeksi 1 kasus.
Pemeriksaan Kehamilan. Data terakhir yang diperolah dari jumlah ibu hamil
pada tahun 2011 yaitu sebesar 28.435 orang yang melakukan pemeriksaan kehamilan
sebanyak 4 kali sebanyak 26.879 orang atau sebesar 94.53%.Berdasarkan laporan
Dinas Kesehatan pada tahun 2011, dari 28.345 orang ibu hamil, yang mendapatkan
table fe1 sebanyak 27.298 dengan persentase 96%, sedangkan yang mendapatkan
tablet fe3 sebesar 27.617 dengan persentase 97.12%.
3.8.2. Gambaran Puskesmas Kassi-kassi
Kecamatan Rappocini merupakan salah satu dari 14 Kecamatan di Kota
Makassar yang berbatasan dengan Kecamatan Panakkukang di sebelah utara,
Kecamatan Panakkukang dan Kabupaten Gowa di sebelah timur, Kecamatan
Tamalanrea di sebelah selatan dan Kecamatan Mamajang dan Kecamatan Makassar di
sebelah barat. Kecamatan Rappocini merupakan daerah bukan pantai dengan
topografi ketinggian antara permukaan laut.Menurut jaraknya, letak masing-masing
kelurahan ke kecamatan berkisar 1 km sampai dengan jarak 5-10 km. Kecamatan
Rappocini ini terdiri dari 10 kelurahan dengan luas wilayah 9,23 km².Berdasarkan data
BPS Kota Makassar, Kecamatan Rappocini memiliki penduduk sebanyak 152.531 orang.
Sehingga kepadatan penduduk di Kecamatan ini adalah 16525.57 orang/km2.
Terkait dengan fasilitas kesehatan yang disediakan oleh pemerintah daerah,
maka di dalam kecamatan Rappocini terdapat 3 puskesmas, yaitu puskesmas Kassi-
280
kassi, puskesmas Mangasa dan puskesmas Minasa Upa. Meskipun dalam kecamatan ini
terdapat 3 puskesmas, namun penduduk di Kecamatan Rapocini ini berada di bawah
tanggung jawab 1 puskesmas yaitu puskesmas Kassi-Kassi. Namun karena luas wilayah
yang terlalu luas, ada 1 wilayah di kecamatan Rappocini, yaitu Kelurahan Gunung sari
yang menjadi tanggung jawab puskesmas di Puskesmas Manasa dan bukan menjadi
tanggung jawab puskesmas Kassi-kassi. Hal ini dikarenakan letak kelurahan tersebut
lebih dekat dan lebih mudah untuk mengakses Puskesmas Manasa. Untuk
mempermudah penelitian, maka di kota Makassar ini peneliti membatasi dengan
mengambil Puskesmas Kassi-kassi sebagai lokasi penelitian ini dan masyarakat yang
menjadi subjek penelitian adalah masyarakat yang berada di bawah wilayah kerja
Puskesmas Kassi-Kassi, bukan keseluruhan warga Kecamatan Rappocini.
Gambar 3.8.2. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Kassi Kassi
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Puskesmas Kassi-kassi dipilih sebagai lokasi penelitian untuk Kota Makassar oleh
DInas Kesehatan karena dirasa dapat mewakili atau cukup dapat menggambarkan
dinamika keadaan kesehatan pada wilayah perkotaan, khususnya berkaitan dengan
281
pemakaian Jampersal.Puskesmas Kassi-kassi merupakan salah satu puskesmas
pemerintah Kota Makassar dan merupakan unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kota
Makassar. Dalam wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi terdapat 78 posyandu, 3 pustu, 4
Rumah Bersalin dan 2 Rumah Sakit Swasta. Adapun batas wilayah kerja Puskesmas ini
adalah sebagai berikut:
Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Bara Baraya Karuwisi
Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Panaikang Tamangapa
Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Mangasa Jongaya
Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Maricaya Parangtambung
Tenaga kesehatan yang ada di puskesmas Kasi-Kassi cukup lengkap dan jumlah
banyak.Adapun tenaga kesehatan yang ada di Puskesmas Kassi-Kassi adalah sebagai
berikut:
Tabel 3.8.3 Jumlah dan Jenis Tenaga di Puskesmas Kassi-KassiTahun 2011
Jenis Tenaga Jumlah
Dokter Umum 7 Dokter Spsialis 3 Dokter Gigi 2 Apoteker 1 Epidemiologi Kesehatan 1 Sarjana Kesmas 2 Sarjana keperawatan 4 Sarjanan Kes Lingkungan 2 D4 Keperawatan 2 Sarjana non Keperawatan 1 Akper 9 Kebidanan 11 AKG 2 Analis Kesehatan 1 Perawat 4 Perawat Gigi 1 Nutrsionis 2 Asisten Apoteker 3 Pranata Laboratorium 1 Petugas kebersihan 1
Sumber: Profil Kesehatan Puskesmas Kassi-kassi
Sarana kesehatan dasar yang ada di Puskesmas Kassi-Kassi adalah praktek
dokter, praktek dokter gigi, puskesmas, pustu, apotik dan toko obat. Selain itu ada
beberapa sarana kesehatan rujukan biasanya merujuk ke Rumah Sakit Umum atau
balai pengobatan tertentu. RS Umum yang sering menjadi Pusat Rujukan adalah RS
282
Haji, RS Labuang Baji, RS Dr. Wahidin Sudiro Husodo, RS Bersalin Fatima, BP4, BKMM,
dan RS Kusta.
Selain tenaga kesehatan, ada juga tenaga kader sosial sebagai penyuluh
kesehatan untuk warga yang ada di wilayah Puskesmas Kassi-Kassi.Terdapat 325 kader
sosial di wilayah kerja Puskesmas dengan 78 posyandu.Jadi 1 posyandu kira-kira
dibantu oleh 4 sampai 5 orang kader. Berdasarkan keterangan dari para bidan yang
ada di puskesmas ini, hampir seluruh kader posyandu tersebut aktif dalam melakukan
penyuluhan kesehatan.
Puskesmas Kassi-kassi terletak di Kelurahan Kassi Kassi Kecamatan Rappocini
dengan luas wilayah kerja 7.32 Kha. Dari 9 kelurahan terdapat 76 RW dan 409 RT.
Pemanfaatan potensi lahan dan alih fungsi lahan terjadi sedemikian rupa, yang akan
membawa pengaruh terhadap kondisi dan perkembangan sosial ekonomi dan
keamanan masyarakat. Lahan yang berbentuk rawa-rawa di beberapa bagian
Kecamatan Rapoocini beralih fungsi menjadi pemukiman sementara atau darurat. Alih
fungsi lahan juga banyak terjadi pada sektor pemukiman dan perumahan yang
menjamur beberapa tahun terakhir sebagai akibat peningkatan jumlah penduduk yang
sangat pesat. Luas wilayah kerja Puskesmas Kassi-kassi seluruhnya dapat dilihat pada
tabel berikut
Tabel 3.8.4. Luas Wilayah Kerja Puskemas Kassi-kassi berdasarkan KecamatanTahun 2011
No Kelurahan Luas RW RT
1 Ballaparang 0.59 9 49
2 Rappocini 0.36 5 22
3 Buakana 0.77 7 40
4 TIdung 0.89 8 33
5 Bontomakkio 0.24 6 26
6 Kassi kassi 0.82 14 73
7 Mapala 0.50 13 56
8 Banta Bantaeng 1.27 8 72
9 Karunrung 1.52 9 38
Jumlah 7.32 79 409
Sumber: Profil Kesehatan Puskesmas Kassi-kassi
283
Berdasarkan data, jumlah Kepala Keluarga (KK) tahun 2011 di wilayah kerja
Puskesmas Kassi-kassi adalah sebanyak 22.181 KK dengan jumlah total penduduk
sebanyak 111.841 orang. Sehingga kepadatan penduduk 145.090 jiwa/km2.
Tabel 3.8.5
Jumlah Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-kassi Berdasarkan Usia Per KecamatanTahun 2011
No Kelurahan
Jumlah Penduduk Menurut Umur
Jumlah 0–4 tahun 5–14 tahun
15-44 tahun
>45 tahun
1 Ballaparang 1.149 2.109 7.182 1.808 12.248
2 Rappocini 861 1.5777 5.339 1.347 9.124
3 Buakana 1.264 2.324 7.868 2.016 13.472
4 TIdung 1.420 3.137 8.862 2.233 15.652
5 Bontomakkio 547 1.000 3.381 854 5.782
6 Kassi kassi 1.458 2.677 9.087 2.289 15.511
7 Mappala 1.029 1.890 6.415 1.620 10.954
8 Banta Bantaeng 1.779 3.271 11.068 2.794 18.912
9 Karunrung 968 1.670 6.031 1.517 10.186
Jumlah 10.475 19.655 65.233 16.478 111.841
Sumber: Profil Kesehatan Puskesmas Kassi-kassi
Dari tabel di atas tersebut maka dapat dikatakan bahwa jumlah penduduk di
bawah wilayah kerja Puskesmas Kassi-kassi cukup banyak yaitu 111.841 orang.
Penduduk terbanyak ada pada Kelurahan Banta Bantaeng, sedangkan penduduk paling
sedikit ada di wilayah Kelurahan Bontomakkio.
Berdasarkan data statistik dari BPS Kota Makassar, Kecamatan Rappocini
memliki penduduk perempuan yang lebih banyak daripada jumlah penduduk laki-laki.
Berikut merupakan persentase penduduk, baik laki-laki dan perempuan, yang ada di
Kecamatan Rappocini dengan melihat tingkat pendidikan terakhirnya.
284
Tabel 3.8.6 Tingkat Pendidikan Penduduk Kota Makassar Berdasarkan Jenis KelaminTahun 2011
No Tingkat Pendidikan Jenis Kelamin
Jumlah Laki-laki Perempuan
1 Tidak/belum pernah sekolah 1.200 3.117 4.317
2 Tidak/belum tamat SD 6.412 8.743 15.155
3 SD/MI 9.814 12.448 22.262
4 SLTP/MTs 9.322 10.879 20.201
5 SLTA/MA 19.521 19.318 38.839
6 AK/Diploma 1.281 2.253 3.534
7 Universitas 7.023 6.336 13.359
Jumlah 55.064 63.094 118.158
Sumber: Profil Kesehatan Makassar Tahun 2011
Melihat data tabel di atas, maka dapat dilihat bahwa mayoritas pendidikan
terakhir dari penduduk Rappocini adalah tamat SLTA/MA. Pada jenis kelamin laki-laki
terbanyak ada di kelompok tamat SLTA/MA, begitupun juga pada kelompok
perempuan. Pendidikan disini dilihat karena latar belakang pendidikan dapat
mempengaruhi perilaku seseorang, termasuk perilaku dalam pemilihan usia
perkawinan. Meskipun rata-rata kawin pertama dari tahun ke tahun datanya belum
ditentukan pada wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi, namun berdasarkan data kota
Makassar dalam angka untuk tahun 2005 dimana pada umur 18 tahun terjadi
penurunan usia menikah. Sebaliknya pada umur perkawinan 19 tahun ke atas
meningkat. Hal ini menandakan sedang terjadinya pendewasaan usia kawin pada
perempuan di kota Makassar, termasuk di Kecamatan Rappocini. Hal ini sesuai dengan
latar belakang pendidikan perempuan tersebut. Kebanyakan dari mereka menikah
setelah menamatkan SMA dahulu yaitu pada kisaran umur 18 atau 19 tahun.
Mengenai latar belakang pendidikan ini, jika melihat data responden kuantitatif
dalam penelitian ini, maka akan didapatkan hasil yang sama mengenai latar belakang
pendidikan. Dari 70 orang responden ibu, kecenderungan pendidikan terakhir ibu
adalah tamat SMA/sederajat yaitu sebanyak 40% dan diikuti tamat SMP/sederajat
(27.1%) dan tamat SD/sederajat (20%). Begitupun juga dengan pendidikan terakhir
suami responden menunjukkan bahwa paling banyak memiliki pendidikan terakhir
285
yaitu tamatan SMA/sederajat yaitu sebanyak 45.7% dan diikuti pendidikan tamat
SMP/sederajat (25.7%) dan tamat SD/sederajat (17.1%).
Rata-rata pendapatan per kapita penduduk wilayah kerja Puskesmas Kassi Kassi
belum ditemukan datanya, baik di kantor Kecamatan maupun kantor Kelurahan serta
di Kantor BPS. Sesuai dengan Indikator Kesejahteraan Masyarakat Kota Makassar
tahun 2010 pendapatan per kapita penduduk di Kota Makassar adalah Rp. 8.900.000,-
.Berbicara mengenai pendapatan per kapita penduduk maka indikator nya adalah
pendapatan rumah tangga/bulan. Jika melihat data responden penelitian, dari 70
orang maka diketahui bahwa pendapatan rumah tangga cenderung paling banyak di
kategori Rp.500.001,- s/d Rp. 1.000.000,- yaitu sebanyak 35.7% diikuti kategori
pendapatan <Rp 500.000,- (28.6%) dan kategori pendapatan Rp. 1.000.001,- s/d
Rp.2.000.000,- (17.1%). Pendapatan ini berkaitan juga dengan pekerjaan yang dijalani
oleh masyarakatnya.
Sama halnya dengan pendapatan rata-rata, tim peneliti juga tidak
mendapatkan data mengenai pasti mengenai jenis pekerjaan pada masyarakat
Kecamatan ini, namun jika melihat dari data responden penelitian maka pekerjaan
yang paling banyak yang dilakukan oleh suami adalah: pekerjaan di bidang jasa, seperti
menjadi guru ataupun menjadi supir angkutan ataupun menjadi supir becak motor
(bentor), lalu setelah itu bekerja di sector swasta dan terakhir menjadi nelayan.
Sedangkan untuk seorang istri kebanyakan di masyarakat kebanyakan tidak bekerja
dan hanya menjadi ibu rumah tangga saja. Mengenai keadaan ekonomi ini diperkuat
juga dengan pernyataan salah satu tokoh masyarakat yang ada di wilayah puskesmas
ini mengenai penduduk dan jenis pekerjaan yang banyak dilakukan oleh warganya:
“Masyarakat Rappocini ini kebanyakan berasal dari ekonomi rendah, kebanyakan
menengah ke bawah. Masyarakat kebanyakan masyarakat asli, sehingga tradisi
masih kuat. Dan yang datang di Rappocini keluarganya miskin juga. Seperti
banyak dari jeneponto. Kadang mereka itu pendatang, dia datang mencari nafkah
saja disini.Disini pendatang kebanyakan disini pada saat bukan musim tanam atau
musim panen, disinijadi tukang batu.”
Gambaran Kesehatan Ibu dan Anak di Puskesmas Kassi-Kassi
Puskesmas Kassi-Kassi dalam 18 kegiatan pokoknya memasukkan kegiatan
kesehatan ibu dan anak sebagai kegiatan pokok utama. Berbeda dengan 37 puskemas
286
lainnya yang ada di kota Makassar, Puskesmas Kassi—Kassi ini menjadi satu-satunya
puskesmas, yang selain memiliki posyandu yang ditujukan untuk melayani bayi atau
balita, mereka memiliki apa yang disebut dengan posyandu bunda. Posyandu bunda ini
difokuskan adalah pada pelayanan untuk ibu hamil hingga pada saatnya ibu pada saat
setelah melahirkan atau hingga saat masa nifas dan juga pelayanan anak di bawah
umur dua tahun (baduta). Lain halnya dengan kegiatan posyandu anak atau balita yang
diadakan serentak di masing-masing kelurahan yang sama, posyandu bunda ini
memiliki jadwal di kelurahannya masing-masing yang sudah ditentukan sebelumnya
dan tentunya diadakan di posyandu pada masing-masing kelurahan tersebut.
Posyandu bunda ini setiap kelurahan memiliki penanggung jawab bidannya masing-
masing. Hal ini tentunya mempermudah target dari Puskesmas ini sendiri dalam
melaksanakan program KIA mereka, khususnya program untuk ibu.
Upaya peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak terutama dititikberatkan pada
pertolongan persalinan dan pemeriksaan kehamilan. Hal tersebut sangat berperan
penting karena dianggap dapat menurunkan angka kematian bayi yang secara
langsung berdampak pada meningkatnya derajat kesehatan masyarakat. Perhatian
Puskesmas yang tinggi terhadap kesehatan Ibu dan Anak ini terlihat juga pada ruang
bidan yang menempati salah satu ruangan di Puskesmas tersebut. Di ruangan tersebut
terlihat beberapa gambar dua peta wilayah kerja Kassi-kassi yang gunanyan untuk
memperlihatkan keadaan kesehatan ibu dan anak. Satu peta (ditunjukkan gambar 3)
adalah peta yang digunakan untuk melihat keadaan ibu pada masa persalinan. Dalam
peta ini diberi simbol yang berbeda untuk ibu yang melahirkan normal, beresiko
sedang dan juga beresiko tinggi. Sedangkan satu peta lagi (ditunjukkan gambar 4)
adalah peta untuk melihat status gizi pada bayi dan balita. Dari gambar tersebut kita
dapat melihat persebaran balita dengan gizi baik, buruk ataupun kurang.
287
Gambar 3.8.3. Pemetaan Ibu Bersalin di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-kassi Sumber: Dokumentasi Peneliti
Dalam pertolongan persalinan, berdasarkan data yang diperoleh, jumlah
persalinan sepanjang tahun 2011 adalah sebanyak 623 orang dan dari total jumlah
tersebut banyak ibu bersalin dengan jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga
kesehatan yaitu sebesr 80.73% yaitu sebanyak 503 ibu.
Untuk pemeriksaan Kehamilan dari data terakhir yang diperolah dari jumlah ibu
hamil pada tahun 2011 yaitu sebesar 2.499 orang yang melakukan pemeriksaan
kehamilan periode 1 (K1) sebanyak 3.182 orang atau sebesar 127.3%. Sedangkan yang
melakukan k4 adalag sebanyak 2971 orang atau sebesar 118.80%.
Untuk pemberian Tablet Fe, berdasarkan laporan Dinas Kesehatan pada tahun
2011, dari 28.345 orang ibu hamil, yang mendapatkan table fe1 sebanyak 27.298
dengan persentase 96%, sedangkan yang mendapatkan tablet fe3 sebesar 27.617
dengan persentase 97.12%.
288
Gambar 3.8.4. Pemetaan Gizi Bayi dan Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kassi-kassi Sumber: Dokumentasi Peneliti
Sedangkan untuk kesehatan bayi dan balita angka, kematian bayi di Puskesmas
Kassi Kassi pada tahun 2011 sebesar 9.3 per 1000 kelahiran hidup dengan jumlah
kematian bayi sebanyak 21 dari 2.256 jumlah kelahiran hidup. Sedangkan angka
kematian balita (AKABA) pada tahun 2011 sebanyak 19 per 1000 kelahiran hidup.
3.8.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak
Pandangan tentang ibu hamil, bersalin, bayi/anak
Masyarakat kota Makassar seperti masyarakat perkotaan lainnya pada
dasarnya dapat dikatakan sudah memiliki kesadaran akan kesehatan yang cukup tinggi.
Mereka memiliki keinginan untuk memeriksakan kesehatan mereka ke tenaga
kesehatan modern atau professional. Begitupun juga halnya terkait dengan kesehatan
ibu dan anak. Pada bagian keadaan kesehatan ibu dan anak pada bagian sebelumnya
sudah dijelaskan bahwa angka pemeriksaan yang berkaitan dengan ibu dan anak cukup
tinggi.
Masyarakat di Kota Makassar memandang seorang ibu yang hamil sebagai
suatu keadaan dimana seorang perempuan harus menjaga kesehatannya agar ibu itu
289
sendiri sehat hingga sampai anaknya nanti dilahirkan dengan selamat dan dalam
keadaan sehat wa’alfiat. Oleh karena itu ketika ibu sedang hamil keluarga sangat
mendukung agar ibu menjalani pemeriksaan pada tenaga kesehatan yang dianggap
paling baik yang bisa mereka jangkau sesuai dengan kebutuhan ekonomi mereka.
Para suami dalam fgd yang tim peneliti lakukan juga menyatakan memberikan
perlakuan yang lebih kepada istrinya manakala istrinya tersebut sedang dalam masa
hamil. Hal ini ditunjukkan oleh mereka dengan memberikan keringanan kepada istri
dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari. Mengenai pekerjaan istri, seperti yang
ditemukan dalam survey penelitian ini, kebanyakan dari mereka karena berupa
pendatang yang merantau dari kabupaten lain sehingga banyak yang hanya menjadi
ibu rumah tangga saja dan kalaupun ada yang bekerja biasanya mereka menjadi buruh
harian lepas yang membantu pekerjaan rumah tangga orang lain, seperti menjadi
pengasuh anak ataupun menjadi buruh cuci. Selain itu ada juga ibu rumah tangga yang
memiliki usaha dengan membuka warung sembako di rumahnya. Oleh karena
pekerjaan sehari-harinya dapat dikatakan tidak begitu berat maka suami pun juga tidak
terlalu membatasi kegiatan yang dilakukan oleh istrinya manakala istrinya tersebut
sedang hamil. Namun perlakuan istimewa juga mereka berikan kepada istri mereka
yaitu dengan membantu mereka dalam pekerjaan rumah tangga yang dilakukan
sehari-hari di dalam rumah seperti yang diungkapankan oleh seorang suami berikut ini:
“ya itu istri pada saat hamil tidak boleh terlalu lelah, tidak boleh itu mengangkat barang yang terlalu berat. Sehingga ya kita bantulah sehari-hari membantu beberes rumah, jangan dia disuruh angkat barang yang terlalu berat. Kita bantulah itu.”
Selain membantu dalam hal pekerjaan sehari-hari, suami juga turut sudah
mengerti bahwa istri pada saat hamil membutuhkan makanan yang bergizi guna
menyehatkan diri dan calon anaknya. Namun untuk pemeriksaan pada saat hamil,
karena kebanyakan dari suami tersebut bekerja, maka untuk hal ini biasanya mereka
hanya sekedar tahu bahwa istrinya sudah melakukan pemeriksaan kesehatan,
sedangkan untuk menemani pada saat melakukan pemeriksaan tersebut biasanya istri
melakukannya sendiri atau pergi dengan ditemani ibu ataupun mertuanya yang juga
tinggal di rumah atau pergi dengan tetangga atau ibu hamil lain yang tinggal di sekitar
rumahnya.
290
Berdasarkan keterangan salah satu bidan, masyarakat disini menaruh perhatian
yang cukup besar ketika dalam keluarga tersebut baru pertama kalinya memiliki anak,
sehingga mereka pasti melakukan pemeriksaan dengan rutin, baik itu di puskesmas,
maupun pergi ke dokter di rumah sakit atau swasta jika memang keadaan ekonominya
baik. Dengan melakukan pemeriksaan di dokter menurut mereka merupakan
keunggulan tersendiri karena memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan jika
mereka memeriksakan kesehatan tersebut hanya dengan pergi ke puskesmas.
Perhatian kepada ibu ini juga diungkapkan oleh salah satu tokoh agama yaitu
dengan memberikan sosialisasi atau himbauan-himbauan kepada ibu agar rutin dalam
melakukan pemeriksaan kepada ibunya. Hal ini seperti yang diungkapkan pada saat fgd
berikut ini:
“setiap ada pertemuan apalagi perempuan itu kami dorong untuk slalu berhubungan dengan posyandu. Kami tokoh masyarakat mendorong saja agar ibu tidak terputus hubungan dengan posyandu, agar bayinya nanti juga sehat. kami menekankan juga daripada anak itu apalagi mengenai kb. Ini masyarakat kadang karena faktor kemalasan jadi kadang kami harus selalu mendorong agar ikut posyandu.”
Bentuk perhatian juga diberikan oleh keluarga khususnya orang tua dari
pasangan suami istri manakala cucu mereka akan dilahirkan dan juga setelah dilahirkan
dan akan diadakan acara aqiqah. Pada saat persalinan biasanya mereka datang dari
kabupaten mereka berasal untuk menemani hingga ibu itu melahirkan, atau malah ada
juga ibu yang akan bersalin itu kembali ke kampungnya karena meminta ditemani oleh
orang tuanya ataupun keluarga besarnya. Tak jarang juga orang tua yang memiliki
pekerjaan turut membantu anaknya dalam hal keuangan. Jika persalinan
membutuhkan biaya yang lebih, maka sebagai orang tua mereka turut memberikan
sumbangan kepada anaknya, begitupun pada saat acara aqiqah.Acara aqiqah ini
sendiri masih dijalankan oleh masyarakat sebagai tanda syukur karena anak sudah
dilahirkan dengan selamat. Karena biayanya yang cukup besar maka orang tua biasa
membantu menyumbang untuk diadakannya upacara tersebut, terlebih lagi kadang
acara ini juga menjadi ajang untuk menunjukkan kemampuan ekonomi seorang
keluarga, sehingga agar acara tersebut bisa diadakan semeriah mungkin, dengan
mengundang banyak orang maka orang tua turut menyumbang dana apalagi jika yang
dilahirkan merupakan cucu pertama.
291
Kepercayaan yang Masih Berkembang (Tradisi/Ritual/Kebiasaan)
Pada dasarnya masyarakat yang ada di Kota Makassar sudah tidak mengikuti
lagi tradisi yang sifatnya tradisional atau kebiasaan yang dilakukan yang sifatnya turun
temurun/biasa dilakukan oleh keluarga atau suku darimana mereka berasal. Kini dapat
dikatakan hanya sebagiankecil di masyarakat yang tinggal di Kota Makassar yang masih
menjalani tradisi/upacara/ritual yang berkaitan dengan kesehatan, khususnya jika
dikaitkan dengan penelitian ini adalah kesehatan ibu dan anak. Berdasarkan informasi
dari hasil diskusi yang telah dilakukan oleh bidan, tokoh masyarakat serta para suami
menyatakan bahwa tradisi yang sifatnya tradisional ini biasanya hanya dilakukan di
wilayah pedesaan, sedangkan di kota besar seperti Makassar ini sudah jarang yang
melakukan. Hal ini juga ditunjukkan data kuantitatif dari hasil survey dengan
responden mengenai masih atau tidak dilakukannya tradisi/upacara/ritual oleh para
responden berikut ini:
Tabel 3.8.7
Pelaksanaan Upacara/Tradisi/Ritual Berkaitan dengan KIA di Kota Makassar
No Upacara/Tradisi/Ritual Tidak Ya
1 Masa Kehamilan 71.4% 28.6%
2 Masa Persalinan 90.0% 10.0%
3 Masa Nifas 95.7% 4.3%
4 Bayi Lahir 67.1% 32.9%
Sumber: Data Primer
Melihat data di atas, terlihat bahwa mayoritas sudah tidak melakukan
upacara/ritual pada keempat masa tersebut, terlebih lagi pada masa persalinan dan
masa nifas yang mencapai angka 90%, sedangkan untuk masa persalinan dan bayi lahir
persentasenya meskipun lebih besar di tidak, namun angkanya tidak setinggi masa
persalinan dan nifas. Berdasarkan hasil fgd pula, didapatkan pula mengapa tradisi itu
sudah tidak terlalu berjalan lagi karena sudah adanya pengetahuan-pengetahuan nilai
kesehatan modern yang sudah dimiliki oleh masyarakat, sehingga dalam menjalani
masa kehamilan hingga sampai masa bayi sudah dilahirkan, mereka tidak percaya lagi
akan pantangan-pantangan tersebut dan lebih memilih pergi ke tenaga kesehatan
dalam mencari kesehatan. Selain itu faktor ekonomi juga dapat mendukung atau
malah tidak mendukung pelaksanaan upacara tersebut. Dalam melaksanakan
292
upacara/ritual tersebut biaya yang dikeluarkan oleh satu keluarga dapat dikatakan
cukup besar dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu maka hal ini
menjadi pertimbangan sendiri pada masyarakat perkotaan Makassar, yang dapat
dikatakan memiliki biaya hidup yang cukup tinggi. Masyarakat di bawah wilayah
Puskesmas Kassi-Kassi sendiri terdiri dari golongan menengah ke atas hingga
menengah ke bawah. Untuk golongan menengah ke bawah, dengan penghasilan yang
tidak tentu membuat mereka mempertimbangkan lagi untuk menjalani upacara
tersebut, karena uangnya lebih baik dialokasikan untuk keperluan sehari-hari. Namun
masih ada juga masyarakat menengah ke bawah yang menjalani upacara atau ritual
tertentu karena faktor kebiasaan keluarga yang tidak mungkin ditinggalkan, sehingga
meskipun uang yang mereka miliki tidak banyak namun tetap melaksanakan acara
tersebut.
Berdasarkan tabel persentase masih diadakan tradisi/ritual di atas, dapat
dilihat bahwa pada masa persalinan dan bayi lahir persentasenya meskipun lebih besar
di tidak, namun angkanya tidak setinggi masa persalinan dan nifas. Hal ini dikarenakan
masih adanya tradisi pada saat kehamilan dan bayi lahir yang masih berjalan di
beberapa daerah di sekotar kota Makassar. Tradisi yang masih berjalan untuk ibu pada
saat masa kehamilan adalah upacara passili sedangkan upacara pada saat bayi lahir
adalah upacara aqiqah.
Pantangan pada Masa Kehamilan
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, meskipun kebanyakan ibu tidak
menjalani pantangan-pantangan tertentu pada saat kehamilan namun masih ada
sebagian kecil yang masih menjalani pantangan-pantangan tertentu. Pantangan itu
antara lain:
Tidak boleh mandi sore dari jam 4 sore. Hal ini dipantang karena jika dilakukan
bisa terjadi dengan apa yang disebut masyarakat kembar darah yaitu akan
mengalami pendarahan atau darahnya nanti akan banyak.
Tidak boleh duduk dan makan di depan pintu. Hal ini tidak boleh dilakukan
karena dianggap bisa menghalangi jalan lahir.
293
Tidak boleh makan nenas karena beresiko akan mengalami keguguran jika
mngkonsumsinya
Tidak boleh makan daun kelor karena dianggap jika mengkonsumsinya akan
menyebabkan sakit kepada ibu pada saat proses persalinan
Tidak boleh tidur siang karena akan memperbanyak darah yang akan
menyulitkan pada saat persalinan
Tidak boleh melilitkan handuk di leher karena nanti bayi di dalam kandungan
akan terlilit tali pusat di dalam perut
Tidak boleh makan terong karena dianggap kehamilannya akan keguuguran jika
mengkonsumsinya
Pantangan pada Masa Nifas
Sama halnya dengan pantangan pada masa hamil, kebanyakan masyarakat juga
sudah tidak menjalani pantangan-pantangan pada masa nifas. Hanya ada sebagian
kecil yang tetap menjalankan beberapa pantangan tertentu. Pantangan-pantangan
yang dilakukan juga adalah pantangan yang umum ditemukan pada saat ibu nifas di
daerah lain, yaitu antara lain adalah:
Ibu tidak boleh bekerja terlalu berat
Ibu tidak boleh berhubungan dengan suami sampai masa nifas berakhir
Kedua pantangan ini demi mencegah terjadinya pendarahan pada ibu yang sedang
menjalani nifas.
Berikut ini akan dijelaskan mengenai dua acara ataupun upacara yang masih
dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat yang berada di wilayah kerja Puskesmas
Kassi-kassi, yaitu upacara passilli dan juga acara aqiqah.
Upacara Passili
Upacara passili adalah upacara yang dilaksanakan pada saat usia kandungan ibu
memasuki bulan ketujuh. Dilakukan pada umur tujuh bulan karena pada umumnya
masyarakat menganggap bahawa angka bilangan 7 (tujuh) adalah angka keselamtan.
Angka bilangan 7 (tujuh) dalam bahasa Bugis disebut pitu (7) yang bermakna sentiasa
294
sukses, selamat, berjaya. Upacara passili ini bisa disebut juga dengan maccera wettang
atau maccera babu. Upacara ini dilakukan oleh orang yang berasal dari suku Bugis dan
juga Makassar ataupun suku-suku di Sulawesi Selatan lainnya.Pada upacara ini, wanita
hamil dimandikan dengan air kembang ataupun memercikkan air dengan beberapa
helai daun ke bagian tubuh tertentu, mulai dari atas kepala, bahu, lalu turun ke perut.
Bahu menyimbolkan agar anak punya tanggung jawab yang besar dalam
kehidupannya. Demikian pula tata cara percikan air dari atas kepala turun ke perut, tak
lain agar anaknya nanti bisa meluncur seperti air, mudah dilahirkan dan kehidupannya
lancar bagai air.
Usai dimandikan, dilanjutkan dengan upacara makarawa babua yang berarti
memegang atau mengelus perut. Pernik-pernik pelengkap upacara ini lebih meriah lagi
ditambah lagi dengan beraneka macam panganan yang masing-masing memiliki
symbol tertentu. Panganan tersebut antara lain adalah berupa kue-kue tradisional
yang manis seperti onde-onde, cucuru, cangkuning, baje, yang terbuat dari ketan
dilengkapi dengan pisang raja dan buah-buahan yang kecut atau asinan yang dianggap
yang disukai oleh ibu hamil. Semua hidangan tersebut disajikan di atas pa’tapi
(nampan) dengan harapan akan terusir segala roh-roh jahat yang bisa berakibat buruk
pada kehamilan. Upacara tersebut biasanya dipimpin oleh seorang sanro (dukun) yang
membacakan doa keselamatan.
Tahap akhir upacara ini adalah suap-suapan yang dilakukan oleh dukun
ataupun pemuka agama kepada kedua pasangan tersebut (sebagai calon bapak dan
ibu. Dalam gambar sang dukun sedang menyuapin calon ibu, bergantian setelah dukun
atau pemuka agama lalu dilanjutkan pada orang tua ataupun mertua yang akan
menyuapi makanan kepada pasangan calon orang tua tersebut. Hal ini seperti
ditunjukkan oleh gambar berikut ini:
295
Gambar 3.8.5. Ibu sedang Disuapi Makanan Pada Acara Passilli
Sumber: http://zipoer7.wordpress.com/2011/06/11/upacara-adat-mappassili/
Upacara ini dilakukan atau menjadi kebiasaan dari beberapa suku yang ada di
Sulawesi Selatan. Berdasarkan studi literatur, bukan hanya suku Makassar yang
melaksanakan upacara ini, namun juga suku Bugis, suku Bone dan juga suku
Jeneponto. Upacara ini sulit ditemui di kota Makassar karena juga faktor biasanya
upacara ini dilakukan keluarga di kampung mereka berasal, karena mereka biasanya
memilih untuk melakukannya dengan keluarga besar mereka, sekaligus kembali karena
sudah mendekati waktu akan melahirkan. Selain itu upacara yang biasanya dipimpin
oleh dukun ini membuat keluarga tidak mengadakannya di kota besar karena sudah
tidak adanya dukun yang ada di lingkungan sekitar mereka, kecuali mereka kembali ke
kampung masing-masing dimana dukun beranak atau sanro masih mudah ditemui.
Faktor ekonomi juga menjadi pertimbangan tersendiri dalam melakukan acara
ini. Karena memerlukan biaya yang cukup besar, bisa sampai mencapai angka 3 juta,
maka dengan penghasilan yang tidak begitu baik maka mereka lebih dari 3 juta, maka
mereka tidak lagi mengadakannya dan lebih memilih menabung untuk keutuhan yang
nantinya dibutuhkan manakala anak itu akan lahir. Sedangkan acara ini masih tetap
dilakukan di wilayah pedesaan karena meskipun dana yang dikeluarkan besar, tapi
faktor kebersamaan dan gotong royong yang masih kuat membuat keluarga yang akan
mengadakan acara ini terbantu secara keuangannya, karena keluarga dan kerabat
sekitarnya turut membantu dalam hal menyumbangkan panganan untuk disantap oleh
para tamu atau keluarga yang hadir pada acara tersebut.
296
Tradisi Aqiqah
Tradisi aqiqah ini masih dilakukan oleh sebagian kecil orang yang tinggal di Kota
Makassar, yaitu kebanyakan yang berasal dari suku Bugis ataupun Suku Makassar.
Sebenarnya tradisi ini dipengaruhi oleh ajaran Islam yang memang dipeluk oleh
mayoritas suku Bugis ataupun Suku Makassar.
Aqiqah ini dilaksanakan manakala bayi baru dilahirkan yaitu dengan
menyembelih kambing yang nantinya dagingnya akan disajikan kepada keluarga atau
tamu yang datang ataupun disedekahkan kepada kerabat atau orang yang
membutuhkan. Banyaknya kambing yang disembelih tergantung jenis kelamin bayi
yang dilahirkan. Jika bayinya berjenis kelamin laki-laki maka kambing yang disembelih
sebanyak 2, sedangkan jika bayi berjenis kelamin perempuan maka kambing yang
disembelih hanya 1. Untuk pelaksanaannya sendiri, aqiqah dianjurkan dilakukan 7 hari
setelah anak itu dilahirkan, namun jika keluarga tidak mampu maka bisa ditangguhkan
sampai sebelum anak itu menginjak usia baligh. Dalam acara ini nanti bayi akan
dipotong rambutnya dan akan secara resmi diberikan nama oleh keluarganya.
Gambar 3.8.6. Acara Aqiqah untuk Anak Bayi
Sumber: http://makassarces.blogspot.com/2007/07/nur-naylah-nabighah-hadz-anshari.html
Besaran biaya yang dikeluarkan juga tergantung dari anak yang dilahirkan yaitu
karena adanya perbedaan jumlah kambing yang disesuaikan dengan jenis kelamin anak
yang dilahirkan. Untuk anak perempuan berarti minimal akan mengeluarkan uang
297
sebesar 1 juta untuk 1 kambing dan minimal 2 juta untuk 2 kambing bagi anak laki-laki.
Belum lagi pengeluaran untuk panganan lain yang akan menjadi suguhan bagi para
tamu undangan serta membayar tokoh agama yang diundang untuk memimpinnya
jalannya acara ini.
Pengetahuan Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak
Untuk mengukur pengetahuan masyarakat ini maka penelitian ini
membantunya dengan melihatnya dari kuesioner yang telah dibagikan kepada 70
responden ibu yang dipilih secara random atau acak dan hal ini juga didukung oleh
hasil fgd yang telah dilakukan oleh bidan, suami dan juga tokoh masyarakat.Menurut
Bloom (1908, dalam Notoatmodjo: 2003), pengetahuan adalah hasil tahu dan ini
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya sikap dan juga tindakan/perilaku nyata seseorang.
Pengetahuan ibu yang coba dilihat disini adalah pengetahuan ibu pada saat
hamil, pada saat persalinan dan juga masa setelah melahirkan atau masa nifas.
Masa Kehamilan. Pengetahuan ibu cukup baik dalam masa kehamilan ini.
Pemeriksaan hamil sebanyak 4 kali, sesuai standar pemeriksaan kehamilan sudah
mereka ketahui. Hal ini terlihat pada hasil survey ibu dimana sebesar 85.7%
menyatakan bahwa selama masa kehamilan mereka harus memeriksakan kehamilan
sebanyak 4 kali. Pemeriksaan kehamilan ini juga didukung oleh pendapat para suami,
dimana mereka biasanya juga mendukung pemeriksaan kehamilan. Dukungan dari
suami pun berbeda tergantung kemampuan mereka, ada yang hanya memberikan
dukungan moral namun ada juga yang memberikan dukungan dengan cara
mengantarkan langsung istrinya ke tempat pemeriksaan. Namun jika melihat
karakteristik dari penduduk Rappocini, kebanyakan suami jarang mengantarkan pada
saat pemeriksaan karena sibuk bekerja, sehingga biasanya istri pergi sendiri atau
diantarkan oleh ibu atau mertuanya.
Salah satu hal yang dilakukan pada saat pemeriksaan ibu hamil adalah
mengukur tekanan darah ibu hamil. Hal ini diperlukan agar bidan atau dokter dapat
mengetahui apakah kehamilan ibu ini beresiko atau tidak. Sehingga dari situ dicoba
dilihat bagaimana pengetahuan ibu tersebut mengenai fungsi dari mengukur tekanan
298
darah tersebut. Hasil survei menunjukkan bahwa 100% ibu menunjukkan jawaban yang
benar. Hal ini menandakan bahwa ibu mengetahui gunanya pemeriksaan pada saat
kehamilan itu dilakukan.
Begitupun pula pengetahuan ibu mengenai fungsi dari diberikannya tablet
penambah darah (fe) bagi ibu yang sedang hamil. Hal ini terlihat dari besaran
persentase ibu yang menjawab benar yaitu sebanyak 95.7%.
Masa Persalinan. Pengetahuan ibu pada masa persalinan juga cukup baik.
Mereka sudah mengetahui bahwa dalam melakukan persalinan harus di fasilitas
kesehatan dan bukan melahirkan di rumah. Hal ini sesuai dengan pernyataan
pengetahuan mengenai persalinan tidak lebih baik jika dilakukan di rumah yaitu
sebanyak 94.3% dan 5.7% saja yang menyatakan bahwa persalinan itu lebih baik
dilakukan di rumah.
Selain itu ibu sebanyak 90.1% menyatakan bahwa melahirkan di bidan lebih
aman dibandingkan dengan menggunakan jasa dukun. Hal ini diperkuat dengan
dengan fakta bahwa memang sudah tidak ada lagi keberadaan dukun beranak yang
membantu ibu dalam melakukan persalinan. Hampir semua ibu yang melakukan yang
tinggal di kota Makassar bersalin dengan bantuan tenaga kesehatan, baik itu yang ada
di fasilitas kesehatan yang sudah disediakan oleh pemerintah maupun milik swasta.
Masa Setelah Persalinan. Pengetahuan ini mencoba melihat bagaimana ibu
melihat apakah mereka mengetahui kapan mereka sudah dapat melakukan aktivitas
seperti biasanya kembali setelah melakukan persalinan. Dari hasil survei menunjukkan
bahwa 51.4% menyatakan bahwa adalah benar jika seorang ibu baru bisa beraktivitas
lagi setelah 3 hari sedangkan sisanya sebesar 48.6% menyatakan bahwa adalah salah
jika ibu dapat beraktivitas lagi setelah 3 hari melahirkan. Jika melihat hal ini maka
diperlukan agar petugas kesehatan harus memberikan pengetahuan kepada ibu
mengenai aktivitas setelah melahirkan. Meskipun melahirkan normal dan cepat pulih,
namun ibu harus diberikan pengetahuan mengenai batas-batas aktivitas apa yang
boleh dan tidak dibolehkan pada masa nifas tersebut.
Ibu pun memiliki jawaban yang benar mengenai makanan setelah persalinan,
meskipun di beberapa daerah banyak yang melarang ibu paska bersalin untuk tidak
299
mengkonsumsi ikan laut namun dari pernyataan responden menyatakan abahwa salah
jika ibu dilarang memakan ikan laut setelah melahirkan.
Sikap tentang Kesehatan Ibu dan Anak
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap
suatu stimulus atau objek. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan
tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Atkinson, dkk (1993, dalam
Harahap & Andayani, 2004: 5) menyatakan sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi
terhadap suatu objek dengan cara tertentu, bentuk reaksinya dengan positif dan
negatif. Dalam penelitian ini, survey mengenai sikap ibu dilihat dari 4 level. 2 sikap
positif ditunjukkan dengan penyataan setuju dan sangat setuju sedangkan 2 sikap
negatif ditunjukkan dengan pernyataan sangat tidak setuju dan tidak setuju.
Hasil survey ibu ditunjukkan dari tabel di bawah ini:
Tabel 3.8.8.
Sikap Ibu terhadap Perilaku Kesehatan Ibu
PERNYATAAN SIKAP
Positif Negatif
Penting kehamilan sebanyak 4 kali 80% 20,0%
Penting ukur tensi 100% 0,0%
Perlu tablet tambah darah 57.1% 42.9%
Perlu upacara agar selamat 14.2% 85.8%
Melahirkan di rumah dan rumah sakit/puskesmas sama amannya
10% 90,0%
Kemampuan dukun sama baiknya dengan bidan
27.1% 72.9%
Penting kolostrom untuk bayi 77.1% 22.9%
Perlu KB pasca nifas 75,7% 24,3%
Sumber: Data Primer
Masa Kehamilan. Pengetahuan seseorang membentuk perilaku seseorang
dalam bertindak. Namun pengetahuan yang baik belum tentu selalu dapat
menghasilkan sikap yang positif, begitupun juga sebaliknya. Hal ini terjadi pula pada
sikap ibu pada saat kehamilan. Dalam pemeriksaan kehamilan sebanyak 4 kali ini
sebanyak 80% menyatakan sikap yang positif, namun ternyata persentasenya
berkurang dari banyaknya ibu yang memiliki pengetahuan benar mengenai
300
pemeriksaan kehamilan ini. Sikap positif ini juga mendapat dukungan positif dari suami
dimana mereka juga mengingatkan kepada istrinya untuk melakukan pemeriksan pada
saat kehamilan, meskipun tidak tahu secara persis apa saja yang dilakukan dan
diberikan pada ibu pada saat pemeriksaan kehamilan tersebut, karena banyak para
suami yang tidak bisa mengantarkan istrinya untuk memeriksakan. Sedangkan sikap
positif juga ditunjukkan terhadap pentingnya mengukur tensi. Sikap positif ini sama
besarnya dengan pengetahuan ibu yaitu sebanyak 100%.
Persentase sikap positif ibu juga ditunjukkan pada sikap terhadap pemberian
tablet darah bagi ibu hamil yaitu sebanyak 57.1%. Namun ada pengurangan persentase
yang cukup besar dari persentase ibu mengenai pengetahuan pentingnya fe yang
menunjukkan angka 95.7%. Hal ini menandakan bahwa meskipun mereka sudah tahu
bahwa fe itu penting namun ternyata ada beberapa yang merasa tidak memerlukan
tablet tambah darah tersebut. Hal ini juga diutarakan oleh salah satu bidan berikut ini:
“ya itu sudah kami berikan tablet penambah darah kepada ibu. Tapi untuk diminum atau nggak nya kan kadang kita juga ga tahu. Karena kita kan ga terlalu perhatikan juga. Paling ya kita cuma mengingatkan saja kalau periksa.”
Selain itu mereka memiliki sikap yang cenderung negatif terhadap
dijalankannya upacara atau ritual tertentu yang dilakukan pada saat hamil, yang
dianggap bisa menyelamatkan bayi dan bayinya pada saat persalinan. Seperti yang
sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, kebanyakan dari mereka sudah tidak
melakukan upacara atau ritual tertentu pada saat kehamilan. Selain memang
lingkungan mereka memang sudah tidak mengadakan, beberapa menyatakan bahwa
uangnya lebih baik digunakan untuk kebutuhan sehari-hari ataupun untuk persiapan
kelahiran anak
Masa Persalinan. Sikap ibu yang positif mengenai persalinan ditunjukkan oleh
besaran persentase yaitu sebanyak 90% yang menyatakan tidak setuju jika melahirkan
di rumah sama amannya dengan melahirkan di dokter atau puskesmas. Selain itu
72.9% menyatakan ketidaksetujuan nya jika menyamakan kemampuan dukun dengan
bidan. Meskipun mayoritas mengatakan bahwa bidan lebih mampu dibandingkan
dengan dukun, namun masih ada sebagian kecil yang menyatakan dukun memiliki
kemampuan yang sama meskipun sudah tidak ada lagi dukun di Kota Makassar. Hal ini
dikarenakan masih ada pengaruhnya orang tua mereka yang ada di desa yang masih
301
percaya akan kemampuan dukun dalam menolong persalinan, sehingga ibu, khususnya
yang orang tuanya masih tinggal di pedesaan (di luar Kota Makassar) membuat mereka
percaya bahwa dukun memiliki kemampuan yang sama dengan bidan, bahkan
mungkin lebih unggul dari bidan itu sendiri karena memiliki kemampuan doa-doa yang
dianggap mujarab.
Masa Setelah Persalinan. Sikap ibu yang dicoba dilihat disini terkait perilaku
setelah persalinan adalah mengenai pemakaian KB. Dari tabel 7 tersebut maka dapat
dikatakan 77.1% responden menyatakan bahwa setuju untuk melakukan KB. Hal ini
menandakan bahwa sebenernya masyarakat. sudah memiliki konsep keluarga
berencana.
Tindakan/Praktek Kesehatan Ibu dan Anak
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam bentuk tindakan (overt behavior).
Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung
atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan juga faktor
dukungan dari orang lain. Sikap tidaklah sama dengan perilaku (tindakan), dan
tindakan tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang, sebab seringkali terjadi bahwa
seseorang memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya.
Masa Kehamilan. Melihat hasil survey yang dilakukan pada para responden
maka mayoritas sudah melakukan pemeriksaan sebanyak 4 kali, sesuai dengan standar
pemeriksaan kesehatan ibu hamil. Dari total 70 responden, hanya ada 1 yang tidak
memeriksakan kesehatannya ke tenaga kesehatan. Sedangkan 69 lainnya pergi
melakukan pemeriksaan dengan tenaga kesehatan. Alasan paling banyak sebagai
alasan mereka melakukan pemeriksaan kesehatan kepada nakes karena merasa aman
dan nyaman. Tingginya pemeriksaan dengan tenaga kesehatan ini dikarenakan akses
yang cukup mudah dan fasilitas yang cukup memadai. Ditambah pula dengan
dukungan suami, keluarga dan masyarakat untuk rutin melakukan pemeriksaan
dengan tenaga kesehatan.
Masa Persalinan. Melihat pengetahuan dan sikap sebelumnya, para ibu sudah
mengetahui bahwa persalinan akan lebih baik dilakukan dengan bantuan tenaga
kesehatan dan tidak dilakukan di rumah. Hasil survey menunjukkan bahwa penolong
302
persalinan paling banyak dibantu oleh bidan yaitu 74.3% dan setelah itu adalah dengan
bantuan dokter sebanyak 22.9%. Alasan dipilihnya penolong persalinan tersebut
adalah kebanyakan karena faktor aman dan nyaman. Dan dari total responden tidak
ada yang melakukan persalinan dengan bantuan dukun. Seperti yang dikatakan oleh
salah satu bidan berikut ini:
tukang urut saja, dan dia juga bukan dukun. Jadi semua sudah melahirkan dengan bidan atau dengan dokter. Tinggal pilih saja disini mau melahirkan dimana.”
Masa Setelah Persalinan. Sebanyak 91.4% melakukan pemeriksaan paska
persalinan ke tenaga kesehatan. Hasil survey, menunjukkan bahwa 70% dari
responden sudah melakukan Kb paska persalinan. Mereka sudah mulai memikirkan
jumlah ideal anak dalam keluarga. Hal ini dikarenakan mereka sudah memikirkan
dampak ekonomi keluarga dengan adanya kehadiran anak tersebut. Sebagian besar
masyarakat kini hanya memiliki anak antara 2 dan 3, namun masih ada juga namun
dengan jumlah yang tidak banyak keluarga dengan jumlah anak yang lebih dari 4
orang.
3.8.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan
Pemanfaatan Pelayanan Jampersal
Pemilihan Penolong Kesehatan Ibu dan Anak
Masyarakat kota Makassar pada umumnya, dan masyarakat yang ada di dalam
wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi pada khususnya bisa dikatakan hampir seluruhnya
sudah memaksimalkan fungsi fasilitas kesehatan dan juga tenaga kesehatan yang ada
di lingkungan tempat mereka tinggal.
Pada masa kehamilan, data dari puskemas menunjukkan bahwa pemeriksaan
pada trimester pertama dan trimester melebihi target ibu hamil yang ada di wilayah
kerja puskesmas. Angka persentase menunjukkan lebih dari 100%. Hal ini menandakan
bahwa masyakat yang hamil memeriksakan kesehatannya sebagian besar ke
puskesmas. Sedangkan sebagian kecil ada yang memilih untuk melakukan pemeriksaan
di bidan praktek swasta ataupun dokter atau rumah sakit swasta. Mengapa angka
menunjukkan lebih dari 100% karena ada juga pendatang dari tempat lain, baik itu dari
wilayah lain di Makassar ataupun yang berasal dari kabupaten lain di sekitar Makassar,
303
yang tidak terdaftar sebagai warga masyarakat kecamatan Rappocini namun turut
memeriksakan kehamilannya di puskesmas ini.
Cukup maksimalnya kegiatan pemeriksaan kehamilan pada puskesmas di
kecamatan ini karena memang warga yang ada di sekitarnya kebanyakan adalah warga
yang membutuhkan pelayanan gratis karena kebanyakan dari mereka berasal dari
golongan menengah ke bawah ataupun pendatang dari kabupaten lain dan memiliki
pekerjaan kebanyakan seperti buruh, supir, ataupun karyawan swasta yang memiliki
penghasilan tidak terlalu tinggi. Sehingga pemilihan pemeriksaan kehamilan yang gratis
yang ada di puskesmas adalah pilihan utama mereka. Namun berdasarkan keterangan
bidan ada juga masyarakat dari golongan menengah ke bawah yang datang ke bidan
praktek swasta yang sebenarnya mengeluarkan biaya. Hal ini terjadi karena adanya
beberapa faktor, yaitu:
Pertama, faktor geografis. Letak bidan praktek swasta tersebar di beberapa wilayah di
kecamatan ini. Sehingga ada ibu yang memutuskan untuk pergi ke bidan praktek
swasta saja karena dirasa jarak tempuhnya lebih dekat dari tempat tinggal mereka jika
dibandingkan mereka harus ke puskesmas atau ke pustu.
Kedua, faktor kenyamanan. Pemeriksaan dilakukan ibu di bps karena dirasa lebih
nyaman jika dibandingkan melakukan pemeriksaan ke puskesmas atau pada saat
posyandu bunda dilakukan. Mereka merasa lebih nyaman untuk periksa di bps karena
pemeriksaan hanya sendiri dan tidak dilakukan secara beramai-ramai yang mereka
alami jika memeriksakan kehamilan di puskesmas.
Ketiga, faktor pelayanan. Faktor pelayanan ini juga ada kaitannya dengan alasan faktor
kedua yaitu dikarenakan faktor terlalu ramainya pengunjung di puskesmas. Mereka
memilih ke bps karena tidak harus mengantri untuk diperiksa. Fasilitas yang diberikan
oleh bps, yaitu berupa obat-obatan juga dirasa lebih lengkap dibandingkan dengan
yang diberikan oleh puskesmas. Faktor-faktor ini seperti yang diungkapkan oleh salah
satu bidan berikut ini:
“itu ada ibu yang maunya ke bps karena di bps itu kan ada 1 bidan saja, dia juga diperiksa sendiri. Lain kalau di puskesmas itu kan memang banyak orang. Apalagi kalau memang bidannya sudah dekat, lebih senang dia disitu
304
Lain halnya dengan keluarga yang berada pada kalangan menengah ke atas,
biasanya mereka tidak mau memeriksakan diri ke puskesmas dan lebih memilih ke
dokter atau rumah sakit swasta. Faktor dipilihnya dokter atau rumah sakit swasta
karena juga dikarenakan beberapa faktor. Faktor kenyamanan dan pelayanan sebagai
alasan dipilihnya bps juga menjadi alasan mengapa ada yang melakukan pemeriksaan
di dokter atau rumah sakit swasta. Meskipun harga pemeriksaannya lebih besar
namun jika mereka lebih mudah dalam mendapatkan pelayanan maka mereka tidak
keberatan. Seperti yang diungkapkan salah satu bidan yang pada saat kehamilan
memeriksakan diri ke dokter praktek:
“itu dulu saya periksa saya males pake askes, karena birokrasinya ribet. Akhirnya saya ya ke dokter saja bayar sendiri. Ke dokter praktek tinggal masuk aja.”
Fasilitas yang diberikan juga lebih baik. Salah satunya adalah bisa dilakukan usg. Hal ini
seperti juga yang dikatakan oleh salah seorang suami:
“dulu istri saya bawa ke rumah sakit karena itu bisa di usg itu. Supaya keliatan anaknya seperti apa. Itu anak pertama saya.”
Faktor lainnya adalah faktor gengsi. Pada masyarakat menengah ke atas ini
pemeriksaan di tempat yang baik dan mahal akan menjadi kebanggan tersendiri,
bukan haya dikarenakan fasilitas yang baik namun menjadi prestige sendiri bagi suatu
keluarga. Hal ini terjadi pada masyarakat Kota Makassar secara umum seperti yang
diungkapan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar berikut ini:
“anak pertama apalagi itu merupakan penghargaan yang harus dijaga. kehormatan keluarga, harus di rumah sakit yang bagus. kebanggaan keluarga. ga mungkin cucunya bupati melahirkan di puskesmas. Disini masyarakat kebanyakan makin mahal rumah sakitnya ya makin bangga lah. kalo aqiqah juga harus dilakukan semeriah mungkin. kadang meski keluarganya a mampu juga maunya
yang di rumah sakit.”
Berdasarkan kedua kutipan kalimat di atas juga tersirat bahwa ada perlakuan
istimewa yang diberikan kepada anak pertama dalam suatu keluarga. Biasanya pada
kehamilan untuk anak pertama tersebut keluarga mendapatkan pelayanan yang
terbaik untuk anaknya, sehingga tak jarang mereka lebih memilih untuk ke dokter
kandungan atau rumah sakit yang fasilitasnya lebih lengkap. Lain halnya pada
kehamilan ketiga, biasanya orang tua cenderung lebih cuek sehingga lebih malas untuk
memeriksakan kesehatannya, khususnya di masa kehamilan awal, biasanya mereka
baru memeriksakan pada saat memasui trisemester ketiga.
305
Pemeriksaan ke dukun pun hampir sudah tidak dilakukan oleh para
masyarakat, hal ini dikarenakan memang sudah tidak adanya keberadaan dukun.
Pemeriksaan dukun biasanyan hanya dilakukan manakala ibu hamil pulang ke
kampungnya, dimana biasanya masih ada dukun di kampung asalnya.
Dalam penolong persalinan, seperti sudah disebutkan sebelumnya, bahwa
hampir 96.3% masyarakat di Makasar dan 80.73% penduduk yang berada di bawah
wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi, melakukan persalinan dengan menggunakan
bantuan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan ini baik dengan bidan maupun dokter,
yang ada di puskesmas, bidan praktek swasta, rumah sakit bersalin ataupun rumah
sakit baik milik pemerintah maupun milik swasta.
Pemilihan persalinan dengan menggunakan tenaga kesehatan ini dikarenakan
adanya kesadaran yang tinggi, yang sudah dimiliki oleh masyarakat, baik itu ibu itu
sendiri maupun suami beserta keluarganya, tentang persalinan dengan tenaga
kesehatan professional tersebut. Tenaga kesehatan professional juga dipilih karena
memang di wilayah perkotaan Makassar ini sudah dikatakan tidak ada lagi dukun
beranak atau yang oleh masyarakat biasa disebut dengan sanro. Sanro kini hanya bisa
ditemui wilayah-wilayah pedesaan yang ada di kabupaten yang ada di luar wilayah
Kota Makassar. Meskipun sanro sudah tidak ada, namun masih ada orang tua yang
dianggap memiliki kemampuan untuk bisa merawat ibu pada saat hamil atau merawat
anak setelah dilahirkan yaitu dengan perawatan berupa pijit tradisional. Orang tua
yang bisa melakukan perawatan tersebut pun sudah sangat sedikit jumlah nya dan sulit
ditemui di Kota Makassar ini.
Jika melihat persentase di atas tersebut, maka dapat dikatakan masih ada
sebagian kecil masyarakat yang ada di Puskesmas Kassi-Kassi yang melahirkan dengan
penolong persalinan yang bukan tenaga kesehatan dan memilih melahirkan dengan
bantuan dukun beranak atau sanro. Seperti telah disebutkan pada paragraph
sebelumnya, pada dasarnya memang sudah tidak ada sanro di Kota Makassar ini,
namun warga yang melahirkan dengan sanro itu melahirkan bukan di Kota Makassar
melainkan kembali ke tempat asalnya dia berada, yaitu kabupaten sekitar Makassar
tempat dia berada. Meskipun semakin banyak orang yang “lari” ke kota Makassar pada
saat akan bersalin, karena kota ini dianggap memiliki fasilitas kesehatan yang jauh
306
lebih baik dari tempat dia berasal, namun ada warga yang memilih untuk bersalin
dengan ditemani oleh orang tua ataupun keluarganya yang ada di desa. Adanya tradisi
melahirkan atau bersalin dengan ditemani oleh orang tua atau keluarga itulah yang
membuat mereka akhirnya kembali ke kampungnya pada saat waktu sudah mendekati
waktunya mereka akan bersalin.
Kembali berbicara mengenai persalinan dengan menggunakan bantuan tenaga
kesehatan, berdasarkan data dari laporan Puskesmas Kassi-Kassi sebanyak 80.73%
melahirkan dengan tenaga kesehatan. Dari 80.73% ini tenaga kesehatan bukan hanya
tenaga kesehatan yang ada di fasilitas kesehatan seperti bidan puskesmas, namun ada
juga yang memilih dengan tenaga kesehatan seperti dokter yang ada di rumah sakit
ataupun bidan lain yang membuka praktek swasta.
Kurang lebih alasan pemilihan persalinan ini tidak jauh beda dengan alasan
yang telah diungkapkan mengenai pemilihan pemeriksaan kehamilan. Cukup banyak
orang yang melakukan persalinan di puskesmas. Bagi masyarakat, meskipun pada saat
pemeriksaan mereka rela mengeluarkan uang lebih, namun pada saat persalinan
masyarakat lebih banyak yang pergi ke puskesmas, karena jika bersalin di bps atau
rumah sakit akan mengeluarkan biaya yang lebih tinggi. Namun untuk masyarakat
menengah ke atas bersalin lebih baik dilakukan di rumah sakit swasta, karena selain
lebih percaya juga karena mendatangkan gengsi tersendiri. Berdasarkan keterangan
dari bidan juga ada kasus dimana ada masyarakat yang meskipun dari kalangan
menengah ke bawah memiliki gengsi tinggi yang membuat mereka ingin juga
melahirkan di rumah sakit, sehingga terkadang muncul beberapa kasus dimana ada
pasien yang meminta dirujuk ke rumah sakit meskipun persalinannya normal dan
seharusnya cukup dengan melakukan persalinan di puskesmas.
Lain halnya dengan wilayah pedesaan, dimana pilihan pelayanan kesehatan
khusus ibu biasanya kompetitor dari bidan adalah dukun, pada masyarakat perkotaan
hal itu tidak terjadi. Bidan yang ada di puskesmas bersaing dengan bidan praktek
swasta ataupun dokter praktek. Bidan praktek swasta itu sendiri ada yang dimiliki oleh
bidan PNS yang juga bekerja di puskesmas. Dalam kecamatan Rappocini ini kurang
lebih ada 10 praktek bidan swasta.
307
Pada praktek bidan swasta ini tarifnya tidak sama antar praktek yang satu
dengan yang lainnya. Namun kisaran tarif yang dipasang untuk pemeriksaan adalah
kurang lebih sebesar Rp. 20.000,- sampai Rp. 30.000,-. Hal ini juga tergantung pada
jenis pemeriksaan dan obat yang diberikan kepada sang ibu. Sedangkan untuk tarif
persalinan juga berbeda, ada yang mengenakan tarif Rp. 600.000,- dan ada juga yang
memberikan tarif sebesar Rp. 1.500,000,-. Menurut bidan swasta ini terkadang dalam
menentukan tarif kepada pasien juga dilihat faktor ekonomi keluarganya. Terkadang
banyak juga orang dari menengah ke bawah yang datang ke bps, sehingga kadang
bidan merasa tidak tega dan memberikan potongan harga kepada pasien ini.
Untuk bidan puskesmas yang memiliki bps maka dibuatkanlah perjanjian
dimana bidan secara resmi menyatakan bahwa pekerjaannya tidak akan mengganggu
jam bekerja di puskesmas. Bahkan dalam beberapa kasus jika memang ada pasien yang
datang ke bps dan akan bersalin pada saat bidan bekerja di puskesmas, biasanya malah
bidan menyarankan untuk segera di bawa ke puskesmas saja, karena merupakan
bentuk komitmennya sebagai bidan di puskesmas. Namun jika tanda-tanda persalinan
masih harus menunggu beberapa jam lagi dan waktunya ada di luar jam kerja bidan
puskesmas, baru bidan menahan pasien di tempat prakteknya. Bidan juga tidak bisa
memaksakan kehendak dari pasiennya, meskipun terkadang sudah disarankan untuk
pergi ke puskesmas namun jika pasien tetap ingin melahirkan di bps-nya maka ia akan
mengiyakan.
Sejak tahun 2010, dimana walikota memiliki program persalinan gratis untuk
warga kota Makassar, bidan praktek swasta ini cukup mengalami penurunan oleh
jumlah pasien, khususnya pasien dari kalangan menengah ke bawah. Dengan adanya
penggratisan pada persalinan maka warga dari kalangan menengah ke bawah pergi ke
puskesmas, sedangkan keluarga yang keadaan ekonominya cukup baik tidak begitu
berpengaruh. Ada atau tidaknya program gratis dalam melakukan pemeriksaan
kehamilan dan persalinan nampaknya tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada
kelompok menengah ke atas. Bagi mereka berobat ke praktek dokter atau rumah sakit
swasta tidak ada masalah dalam hal biayanya jika bisa mendapatkan fasilitas yang baik.
308
Gambar 3.8.7. Fasilitas Persalinan di Bidan Praktek Swasta Sumber: Dokumentasi Peneliti
Secara umum pemegang keputusan terakhir dalam menentukan penolong
persalinan bagi ibu berbeda-beda setiap keluarganya. Berdasarkan fgd dengan suami
menyatakan bahwa keputusan ada di tangan istrinya sendiri, hal ini dikarenakan suami
menganggap istri-nya yang lebih mengetahui baiknya melahirkan dimana. Sedangkan
ada pula suami yang menyatakan bahwa keputusan ada di tangannya karena dianggap
sebagai kepala keluarga. Lalu ada pula yang menyatakan bahwa penentu penolong
persalinan juga banyak dipengaruhi oleh orang tua ataupun mertua, jika memang pada
saat menjelang proses persalinan hingga masa persalinan datang, orang tua mereka
berada 1 rumah. Karena kebanyakan pasangan suami istri pendatang ini tidak tinggal
bersama orang tuanya yang masih menetap di desa.
Pengetahuan tentang Jampersal
Meskipun pada dasarnya sudah mengetahui ada program persalinan gratis,
nampaknya masyarakat sendiri masih bingung dengan nama program apa yang
memberikan pelayanan gratis tersebut. Pada hasil survey dalam penilitian ini tim
penelitimelihat bagaimana pengetahuan ibu mengenai Jampersal itu sendiri. Ternyata
hasil menunjukkan bahwa lebih banyak responden yang menyatakan bahwa Jampersal
itu merupakan program untuk membantu persalinan saja, yaitu sebanyak 64.3%.
Kebanyakan para ibu tersebut tidak mengetahui bahwa Jampersal ini bukan hanya
melayani proses persalinan namun juga pada saat sebelum dan sesudah melahirkan.
309
Hasil kuesioner sikap ibu juga menunjukkan bahwa ibu tidak mengetahui
bahwa program Jampersal ini diperuntukkan untuk segala kalangan. 80% responden
mengatakan bahwa mereka setuju jika Jampersal ini hanya diperuntukkan untuk orang
miskin atau menengah ke bawah saja.
Berikut ini merupakan tabel sumber informasi mengenai Jampersal yang
didapatkan oleh ibu yang menjadi responden (n=70)
Tabel 3.8.9
Sumber Informasi Jampersal
Sumber informasi Menyatakan ‘ya’ (%)
Media massa 50
Tenaga Kesehatan 57.1
Petugas desa/kelurahan 45.7
Poster 12.9
Sumber: Data Primer
Dengan melihat tabel sumber informasi tersebut, maka dapat dikatakan
mereka masih kurang dalam mendapatkan sosialiasi mengenai program Jampersal
tersebut. Untuk sosialisasi dari petugas kesehatan hanya 57.1% yang mendapatkannya.
Hal ini menandakan bahwa sebagian besar memang mendapatkan informasi dari
nakes, sesuai dengan pernyataan bidan berikut ini:
“sosialisasi semua sih ke kalangan. Itu biasanya kita kasih tau selalu di posyandu bunda, posyandu anak, Sosialisasi juga Sudah lintas sektoraldisini, kita sih bilang nya Jampersal sekalian sosialisasi mengenai Jamkesda mengenai perawatan kesehatan. Dulu kan memang persalinan gratis itu Jamkesda tapi sekarang Jamkesmas.”
Ketidaktahuan mengenai Jampersal ini juga ternyata masih banyak belum
diketahui oleh para suami dan juga para tokoh masyarakat. Ketika dilakukan fgd di
kedua kelompok, kebanyakan dari mereka mengetahui bahwa ada program yang
disebut dengan Jampersal. Program yang lebih popular yang beredar di masyarakat
adalah program Jamkesmas atau Jamkesda. Mereka hanya tahu bahwa jika pergi ke
puskesmas mereka tidak melakukan pemeriksaan tidak akan dikenakan biaya apapun.
310
Salah satu tokoh masyarakat juga menyatakan ketidaktahuan masyarakat
mengenai program Jampersal ini, mereka sebatas hanya mengetahui ada pelayanan
gratis. Namun meskipun tidak mengetahui nama program, masyarakat sebagian besar
sudah memanfaatkannya seperti yang dikatakannya berikut ini:
“pelayanan gratis ini memang sudah dilaksanakan, barangkali hanya istilah saja
yang kita belum tahu. Kalau saya liat warga saya, itu warga 90% pake yang gratis.
10%-nya itu karena memang memilih untuk ke pelayanan lain yang mengeluarkan
biaya.”
Pembiayaan Pelayanan KIA
Berikut merupakan tabel yang menggambarkan sumber pembiayaan yang
dipakai keluarga dalam mendapatkan jenis pelayanan kia.
Tabel 3.8.10.
Sumber Biaya Pelayanan KIA
Jenis Pelayanan Sumber Biaya (%)
Sendiri/ Keluarga
Jampersal Jakesmas/
Jamkesda
Asuransi Lainnya
Sumber
Lain
ANC (n=70) 38.6 40 20 1.4 -
Persalinan (n=70) 18.6 47.1 30 2.9 1.4
Periksa Pasca Salin (n=25)
46.1 38.5 15.4 - -
Periksa Neonatus (n=35)
37.1 37.1 25.8 - -
KB (n=49) 68.7 22.9 6.2 2.2 -
Ket: untuk periksa pasca salin, neonatus dan kb n tidak sama dengan 70 karena jumlah n berdasarkan jumlah ibu yang melakukan tindakan, ibu yang tidak melakukan tidak dihitung Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa dana Jampersal sudah cukup
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, khususnya jenis pelayanan ANC, persalinan serta
pemeriksaan neonatus. Sedangkan untuk periksa paska salin dan KB, kebanyakan
responden menggunakan dana sendiri.
Jika melihat pembiayan pada saat pemeriksaan dapat dilihat persentase yang
menggunakan Jampersal dan dengan biaya sendiri tidak tidak terlalu jauh. Hal ini
sesuai dengan pembahasan sebelumnya dimana masyarakat memiliki keinginan pada
311
saat memeriksakan kehamilan di tempat lain seperti di bps atau dokter praktek,
terlebih lagi jika anak yang sedang dikandung adalah anak pertama.
Sedangkan untuk persalinan biaya terbanyak menggunakan Jampersal dan
setelah itu diikuti dengan Jamkesmas. Hal ini menandakan bahwa masyarakat sudah
memanfaatkan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dalam hal persalinan, baik
yang bersumber dari Jampersal maupun Jamkesmas. Tentunya hal ini didukung oleh
suami, karena dengan adanya persalinan gratis membuat beban ekonomi keluarga
yang menjadi tanggung jawab utama seorang suami sedikit berkurang.
3.8.5. Peran Tenaga Kesehatan dalam Pelaksanaan Jampersal
Sosialisasi Jampersal
Sosialisasi Jampersal pertama kali dilakukan oleh pihak Dinas Kesehatan kepada
pihak Puskesmas setelah juknis dari Pemerintah Pusat turun yaitu menurut keterangan
dari pengelola Jampersal yang ada di tingkatan kabupaten turun pada bulan Juni 2011.
Sosialisasi dari Dinas Kesehatan langsung ditujukan kepada puskesmas sebagai ujung
tombak pelayanan kesehatan dasar di masyarakat. Sosialiasi formal dengan cara
pertemuan antar para kepala puskesmas dan menjelaskan mengenai program ini.
Terlebih lagi sosialisasi ini harus dilakukan karena sebelumnya salah satu program
pemerintah daerah dengan menggunakan APBD sudah ada terkait dengan pelayanan
persalinan gratis. Dengan adanya Jampersal ini maka dana APBD tersebut dialihkan
untuk pelayanan kesehatan lainnya, sedangkan untuk persalinan semua akan
berpindah dengan menggunakan dana Jampersal.
Sosialisasi terus diupayakan pemerintah daerah kota dalam hal ini Dinas
Kesehatan supaya masyarakat yang menjadi sasaran program Jampersal ini
mengetahui dan dapat memaksimalkan fasilitas yang telah diberikan. Namun Kepala
Dinas Kesehatan Kota Makassar menyatakan bahwa sosialisasi program Jampersal ini
selalu berbarengan dengan sosialisasi Jamkesmas yang ditekankan untuk golongan
menengah ke bawah di Kota Makassar yang memang membutuhkan. Hal ini seperti
diungkapkan oleh beliau berikut ini:
“masyarakat itu kan tau ada Jamkesmas, dari daerah juga ada Jamkesda. sosialisasi itu untuk Jamkesmas kami terus lakukan dan ga pernah berhenti.
312
karena pemahamannya harus terus kita lakukan, karena kan apalagi sasarannya memang orang menengah ke bawah. nah disitu ketika sosialisasi Jamkesmas, selalu juga kita masuk mengenai Jampersal.”
Sosialiasi pun dilakukan tentunya oleh pihak puskesmas sebagai pelayan dasar
yang berhadapan langsung dengan masyarakat di wilayah kerjanya. Sosialisasi
mengenai Jampersal ini juga terus menerus dilakukan oleh pihak puskemas, khususnya
oleh para bidan yang memang berhadapan langsung dalam melayani para ibu. Pertama
kali bidan mengenalkan program itu langsung dengan para ibu ketika dilakukan
pemeriksaan. Selain itu puskesmas memiliki agenda rutin untuk mengadakan
pertemuan di aula puskesmas yang dipimpin oleh kepala puskesmas dengan
mengundang pihak dari Dinas Kesehatan, tokoh masyarakat dan bahkan lintas program
untuk rapat koordinasi termasuk di dalamnya mensosialisasikan program-program
kesehatan.
Sosialiasi Jampersal juga tetap dilaksanakan oleh bidan puskesmas yang
memiliki bidan praktek swasta. Meskipun pada dasarnya bps sifatnya lebih komersil
namun bidan puskesmas pada saat praktek di tempatnya sendiri melihat jika ada
pasiennya yang berasal dari golongan menengah ke bawah malah akan mengajak
mereka untuk ke puskesmas dibandingkan mereka datang ke tempat mereka yang
membutuhkan biaya. Seperti yang dikatakan bidan berikut ini:
“itu saya kadang kalau liat orangnya dari kalangan bawah saya selalu suruh dia ke puskesmas saja. Biar gratis daripada dia kesini, kan kalau disini pasti bayar meskipun saya juga tidak menentukan tarif, saya sesuaikan juga sama yang datang kesini.”
Selain itu dalam melakukan sosialiasi, puskesmas dibantu sekali dengan
kehadiran para kader posyandu. Para kader yang juga biasanya terlibat juga dalam
kegiatan PKK ini banyak memberikan sosialiasi secara informal pada saat pertemuan-
pertemuan PKK ataupun pada saat pengajian yang rutin diadakan. Pihak puskesmas
khususnya para bidan sudah memiliki hubungan yang baik dengan para kader tersebut.
Pelaksanaan Pelayanan KIA dengan Program Jampersal
Pelaksanaan program KIA di Puskesmas Kassi-Kassi ini memang terpusat di
Puskesmas Kassi – Kassi, meskipun untuk pelayanan kesehatan secara umum terdapat
3 pustu yang terletak di Keluruhan Karunrung, Buakana dan juga Balla Parang. Hal ini
dilakukan karena para ibu tidak terlalu sulit untuk pergi ke puskesmas karena jaraknya
313
yang tidak terlalu jauh ditunjang dengan banyak nya kendaraan umum dan baiknya
jalanan yang ada di lingkungan wilayah kerja puskemas ini.
Pelaksanaan Program KIA sendiri sebelum ada program Jampersal itu sendiri
diakui oleh para bidan sudah cukup tinggi dan baik pelaksanaannya, hal ini terjadi
karena sebelumnya sudah ada program Jampersal dan Jamkesda yang sangat
menolong sekali para warga, khususnya yang menengah ke bawah dalam
mendapatkan pelayanan kesehatan KIA. Karena sudah tingginya angka program KIA
tersebut maka kehadiran Jampersal memiliki pengaruh yang relatif kecil di masyarakat
itu sendiri, peningkatan kunjungan ke puskesmas memang mengalami peningkatan
namun tidak signifikan. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu bidan berikut ini:
“Gak ngaruh ada Jampersal gak ada Jampersal sama aja, sama-sama masyarakat ndak bayar.”
Namun tentunya hal ini berpengaruh kepada pihak puskesmas, khususnya
bidan karena dengan adanya dana Jampersal ini membuat mereka merasa dihargai
dengan dibayarnya mereka pada saat melakukan pemeriksaan atau melakukan
persalinan, dimana sebelumnya mereka tidak mendapatkan apa-apa. Semakin
banyaknya orang yang lari ke puskesmas karena ada pelayanan untuk ibu bersalin yang
gratis juga diutarakan oleh salah satu bidan praktek swasta berikut ini:
“sekarang sejak ada program gratis, tempat praktek saya lebih sepi. Satu bulan paling hanya sekali persalinam, bahkan kadang tidak ada. Semua sekarang ke puskesmas saja karena memang tidak bayar.”
Selain itu untuk pelaksanaan program khusus ibu hamil dan bersalin ini juga
terbantu karena adanya program posyandu bunda. Program ini semakin
meningkatkan kesadaran ibu dan memudahkan ibu untuk melakukan pemeriksaan
pada saat hamil hingga pemeriksaan bayi mereka hingga usia 2 tahun.
Pengelolaan Pelayanan Jampersal
Dalam mengelola pelayanan Jampersal ini, di pihak Dinas Kesehatan Kota
Makassar ini sendiri berada di bawah tanggung jawab dari Bidang BIna
Pengembangan Sumber Daya Kesehatan. Namun untuk verifikasinya ditunjuklah
langsung Kepala Seksi Kesehatan Keluarga yang berada pada Bidang Bina Kesehatan
Masyarakat. Sedangkan untuk tingkat Puskemas Kassi-Kassi berada pada Bagian KIA
314
dan KB dan ditunjuk lah salah satu bidan sebagai penanggung jawab program
Jampersal ini. Bidan ini yang akan mengkoordinator seluruh bidan dalam proses
pengklaiman Jampersal ke tingkat dinas.
Kebijakan pengelolaan Jampersal di tingkat kota Makassar ini telah ditetapkan
Berdasarkan Peraturan Walikota Makassar tentang ‘Petunjuk Teknis Pemanfaatan
Dana Persalinan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat dan Jaminan Persalinan di
Kota Makassar tahun 2012. Di dalam peraturan ini tertuang Komponen Tarif Pelayanan
yang mengatur Besaran Tarif sekaligus Pengaturan Penggunaan. Dalam juknis ini
disampaikan rincian pemanfaatan biaya persalinan yaitu sebagai berikut:
1. Rawat Inap Persalinan (3 hari)
Akomodasi Rp. 60.000,-/hari
2. Jasa Visit (3 hari)
Visit Doktor Rp. 10.000,-/hari
Visit Kebidanan Rp. 60.000,-/hari
3. Tindakan Persalinan (Partus)
Jasa Medik Dokter Rp. 140.000,-/orang
Jasa Medik Bidan Rp. 120.000,-/orang
Sedangkan untuk rincian pemanfaatan ANC dan PNC, Puskesmas memiliki
aturan yaitu dari total biaya ANC dan PNC tersebut adalah 35% untuk jasa bidan
sedangkan 65%nya untuk jasa sarana dan ATK. Untuk proses pengklamian sendiri
dilakukan setiap bulannya dan selambat-lambatnya dalam waktu 2 bulan sekali oleh
bidan koordinator Jampersal.
3.8.6 Hambatan, Dukungan dan Harapan terhadap Program Jampersal
Dukungan
Dukungan dalam pelaksanaan Jampersal ini terdiri dari 2 macam, yaitu
dukungan yang berasal dari penerima program dan dukungan yang berasal dari
penyedia layanan, dalam hal ini puskesmas dan juga bidan. Berikut merupakan
dukungan dari masyarakat itu sendiri dalam pelaksanaan Jampersal:
315
1) Pengetahuan yang cukup baik
Seperti yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya, kebanyakan dari
penduduk, baik laki-laki ataupun perempuan, memiliki pendidikan terakhir pada
tingkat menengah atas. Hal ini menandakan bahwa pendidikan masyarakat sudah
cukup baik, sehingga berdampak pada tingkat pengetahuan mereka mengenai
kesehatan, termasuk kesehatan ibu dan anak. Pendidikan seorang ibu hamil yang
cukup baik pada masa kehamilannya juga ditunjang oleh pendidikan suaminya yang
juga cukup baik. Sehingga jika kedua orang tua atau calon orang tua tersebut sama-
sama bekal pengetahuan yang cukup manakala seorang istri sedang hamil hingga pada
masanya anak itu dilahirkan.
Pengetahuan kesehatan yang baik ini membuat mereka memiliki kesadaran
yang amat tinggi untuk melakukan pemeriksaan kesehatan baik itu ke puskesmas,
pergi ke dokter ataupun langsung pergi ke Rumah Sakit yang ada di sekitar lingkungan
tempat tinggal mereka. Selain itu pengetahuan mereka akan kesehatan modern ini
juga berdampak pada perilaku mereka dalam menjaga kesehatan, yaitu salah satunya
adalah mengenai pantangan atau mitos-mitos tertentu dalam menjaga kesehatan ibu
dan anak. Hanya tinggal sedikitnya masyarakat yang menjalani pantangan atau percaya
pada mitos-mitos tersebut. Hal ini dikarenakan, selain memang budaya memang yang
sudah hilang, juga dikarenakan masyarakat sudah dapat memilih apa-apa saja yang
boleh dan tidak boleh dilakukan. Perilaku pantangan atau mitos yang pada dasarnya
tidak ada hubungannya dengan kesehatan sudah banyak mereka tinggalkan, begitu
juga dengan pantangan makanan tertentu tidak mereka jalankan apalagi makanan
tersebut memang berguna dan memiliki gizi yang baik bagi ibu hamil.
2) Arus informasi yang kuat
Kota Makassar yang merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia tentunya
otomatis sarat akan masuknya sumber informasi dari mana saja, termasuk wilayah
Kecamatan Rappocini. Saratnya sumbernya informasi tersebut menambah
pengetahuan ibu mengenai kesehatan itu dan juga informasi mengenai program
pelayanan kesehatan ibu dan anak itu sendiri. Sebagian dari mereka mendapatkan
informasi adanya keberadaan program Jampersal ini dari media massa, baik itu televisi
maupun media cetak.
316
3) Adanya pertemuan-pertemuan ataupun Majlis Taklim yang Rutin diadakan
Berdasarkan fgd yang dilakukan oleh para tokoh masyarakat, kegiatan PKK bagi
ibu-ibu cukup berjalan aktif dilakukan di Kecamatan Rappocini ini. Salah satu kegiatan
yang diadakan oleh ibu PKK ini adalah arisan dan juga pengajian atau majlis taklim
yang diadakan seminggu sekali. Sehingga dari hal tersebut maka sosialisasi mengenai
program-program untuk masyarakat cepat dapat disosialisasikan melalui pertemuan-
pertemuan informal tersebut. Selain itu setiap kegiatan posyandu akan diadakan,
biasanya pengumuman bukan hanya dilakukan oleh kader kepada ibu yang
bersangkutan, namun juga seringkali diumumkan sehari sebelumnya di masjid.
4) Aktifnya para kader posyandu
Kader posyandu dalam wilayah kerja puskesmas Kassi-Kassi ini berjumlah
kurang lebih 325 orang dan mayoritas terlibat aktif dalam melaksanakan tugasnya
sebagai kader. Kader ini menjadi agen sosialisasi yang cukup baik dalam memberikan
pengetahuan kepada sang ibu dalam penyuluhan-penyuluhan kesehatan. Selain itu
kader juga selalu memberitahukan mengenai program-program yang ada di Puskesmas
yang berguna bagi para ibu, sehingga informasi sampai ke masyarakat yang menjadi
sasaran program puskesmas. Selain itu kader juga selalu siap menemani ibu untuk
memeriksakan kesehatan jika tidak ada keluarga yang menemani.
5) Sarana Jalanan yang Baik dan Mudahnya Alat Transportasi
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh tim peneliti, maka dapat
dikatakan bahwa jalanan yang ada di lingkungan puskesmas Kassi-Kassi dan juga
wilayah yang ada di wilayah kerja Puskesmas Kassi-Kassi memiliki jalanan aspal yang
sudah sangat baik. Jalanan yang baik ini membuat masyarakat mudah dalam
melakukan pencarian kesehatan, khususnya untuk ibu dan anak.
Sarana jalanan yang baik ini juga ditunjang dengan mudah atau banyaknya alat
transportasi yang ada di wilayah ini. Banyak warga yang memiliki kendaraan pribadi,
minimal sepeda motor. Untuk kendaraan umum, becak motor dapat ditemui hampir di
setiap sudut jalan di wilayah ini, dengan harga yang relatif tidak mahal dan juga
bentuknya yang cukup aman dan nyaman, kendaraan ini memang menjadi kendaraan
317
pilihan utama warga. Selain itu juga adanya angkot ataupun taksi juga sangat mudah
untuk ditemui di wilayah ini
Sedangkan faktor dukungan yang berasal dari penyedia layanan adalah sebagai
berikut:
1) Fasilitas dan program puskesmas yang baik
Puskesmas Kassi-Kassi merupakan puskesmas percontohan di Kota Makassar
ini. Fasilitasnya cukup besar dan juga ada layanan rawat inapnya. Selain itu didukung
dengan tenaga kesehatan yang jumlahnya sudah cukup untuk melayani masyarakat di
wilayah puskesmas yang dapat dikatakan cukup banyak.
Puskesmas ini juga memiliki program posyandu bunda selain program
posyandu regular. Program posyandu bunda ini khusus untuk melayani ibu hamil
hingga balita di bawah 2 tahun. Posyandu ini dilaksanakan rutin per bulannya di
masing-masing posyandu di kelurahan. Program ini mempermudah para tenaga
kesehatan untuk mengontrol dan melakukan pemeriksaan rutin kepada ibu dan anak.
Dengan program ini juga ibu dipermudah dalam melakukan pemeriksaan karena tidak
harus pergi ke puskesmas, cukup dengan pergi ke posyandu bunda tersebut.
Selain itu karena ada fasilitas rawat inap, maka di puskesmas ini ada bidan
ataupun perawat yang standby 24 jam. Ada nya shift kerja yang diterapkan agar
membantu fasilitas rawat inap ini, sehingga mempermudah ibu yang akan bersalin.
2) Sudah Ada Program Persalinan Gratis Dari Pemerintah Sebelumnya
Program Walikota Makassar terpilih mengenai persalinan bebas sudah berjalan
dari tahun 2010. Jadi pada dasarnya masyarakat yang ada di Kota Makassar sudah
cukup mengetahui bahwa ada persalinan gratis yang telah disediakan oleh pemerintah.
Syarat persalinan gratis yang dahulu diterapkan pemerintah daerah juga mensyaratkan
agar ANC ibu lengkap baru diberikan fasilitas persalinan gratis tersebut. Maka dari hal
tersebut kesadaran masyarakat mengenai pemeriksaan rutin pada saat kehamilan
sudah sangat baik. Ibu yang akan melahirkan pun sudah tidak segan untuk datang ke
puskesmas.
318
Hambatan
Dalam pelaksanaan Jampersal ada beberapa hambatan yang ditemukan dalam
pelaksanaannya yaitu antara lain:
1) Masih kurang pahamnya masyarakat mengenai program Jampersal
Masyarakat kebanyakan hanya tahu bahwa ada program dimana persalinan
digratiskan. Namun mereka pada dasarnya masih belum tahu dana bantuan tersebut
dari pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat. Selain itu banyak masyarakat yang
mengira bahwa Jampersal merupakan program yang hanya dikhususkan untuk
persalinan saja tanpa tahu bahwa sebenarnya program tersebut untuk mulai dari ibu
hamil hingga pada saat masa paska persalinan. Ketidaktahuan ini membuat masyarakat
terkadang ragu untuk memanfaatkan fasilitas dari pemerintah tersebut dan malah
memilih pihak swasta.
2) Banyaknya pendatang dan adanya arus migrasi
Penduduk Rappocini adalah pendatang yang berasal biasanya dari kabupaten di
sekitar kota Makassar. Terkadang pun kota Makassar ini dijadikan tempat
persinggahan atau tempat sementara mereka. Hal ini pada akhirnya berimbas pada
perilaku kia mereka, khususnya perilaku ANC. Dimana mereka tidak melakukan
keempat kunjungan pemeriksaan kehamilan di tempat yang sama. Hal ini membuat
bidan tidak bisa mengklaim hal tersebut karena tidak lengkap pemeriksaannya
3) Adanya gengsi di masyarakat
Masih adanya rasa gengsi di masyarakat membuat program Jampersal tidak
maksimal. Hal ini dikarenakan adanya golongan di masyarakat, khususnya golongan
menengah ke atas yang lebih memilih ke faktor swasta karena adanya gengsi, dimana
semakin bagus atau semakin mahal rumah sakit yang dijadikan tempat bersalin
menunjukkan status ekonomi seseorang. Sehingga dari hal tersebut biasanya
masyarakat tidak menggunakan fasilitas dari pemerintah yang ada di puskesmas
sebagai pelayanan dasar, namun langsung pergi ke swasta.
319
Harapan
Pada dasarnya masyarakat sudah cukup puas akan adanya program Jampersal
ini. Pelaksanaannya pun dapat dikatakan cukup lancar dan yang terpenting menurut
masyarakat dapat membantu mereka dalam proses kehamilan hingga proses
persalinan. Meskipun para suami dan para tokoh masyarakat bisa dikatakan masih
belum mengerti benar program mengenai Jampersal ini namun mereka merasa
terbantu karena dapat membantu istri atau keluarga mereka dalam melakukan
pemeriksaan kehamilan dan persalinan dimana mereka tidak perlu lagi sekarang
mengeluarkan biaya sepeserpun. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu informan
suami berikut ini:
“istri saya periksa kesini.Melahirkan disini. tidak bayar apa-apa. Ya saya senang-senang aja. Jadi saya sebagai kepala keluarga, yang cari uang tidak perlu pikirkan lagi itu uangnya bagaimana karena tidak bayar itu.”
Oleh karena itu maka masyarakat berharap bahwa program itu terus berjalan
dalam waktu yang panjang dan terus diadakan dan bahkan mengalami peningkatan
fasilitasnya. Meskipun sudah dirasa cukup akan pertolongan pada pemeriksaan ANC
dan PNC serta persalinan namun ada informan yang mengatakan berharap bahwa ada
fasilitas lain yang diberikan yaitu berupa makanan tambahan yang bergizi bagi ibu yang
sedang hamil seperti yang diutarakan salah satu informan suami ini:
“itu kalau bisa, istri saya pada saat pemeriksaan dikasih makanan tambahan.”
Peningkatan tenaga kesehatan juga mereka harapkan lebih dapat
ditingkatkan lagi, sehingga pada saat pemeriksaan, istri mereka lebih cepat dan
tidak harus mengantri atau menunggu terlalu lama. Begitupun juga untuk rumah
sakit yang menjadi rujukan semoga lebih baik dalam pelayanannya dan tidak
menomorduakan pasien dengan menggunakan fasilitas Jampersal ini.
Selain itu masyarakat masih merasa syarat untuk mendapatkan pelayanan
Jampersal ini harus lebih dipermudah lagi. Selain syarat KTP ataupun KK, para suami
berharap bisa menggunakan fasilitas ini dengan juga memakai KTP mereka.
320
Sedangkan untuk para bidan sebagai pemberi pelayanan kesehatan bagi ibu
dan anak, dan yang juga menjalankan program Jampersal ini mempunyai harapan-
harapan sendiri terkait dengan berjalannya program ini, harapan ini antara lain:
1. Untuk pemeriksaan ANC dan PNC tidak harus 1 paket selama 4 kali untuk bisa
diklaimkan. Hal ini terkait dengan banyak tidak lengkapnya ANC dan PNC dari
para warga. Dari total pemeriksaan ANC dan PNC biasanya hanya 10 hingga
20% saja yang bisa diklaimkan. Sedangkan sisanya berarti tidak bisa diklaimkan.
2. Besarnya tarif dalam setiap jenis pelayanan bisa lebih ditingkatkan. Hal ini
dikarenakan dari tarif yang ada sekarang para bidan menganggap hanya
mendapatkan porsi yang tidak begitu besar, sehingga mengharapkan adanya
penigkatan tarif.
3. Syarat klaim agar dipermudah dan tidak terlalu rumit. Hal ini dikarenakan
banyaknya pasien dan program yang berjalan di puskesmas ini, sehingga proses
administrasi sebagai syarat klaim membutuhkan waktu sendiri dalam
mengurusnya sedangkan bidan penanggung jawab Jampersal ini juga masih
harus melakukan pemeriksaan rutin bagi ibu dan anak, sehingga kewalahan
dalam melakukan proses administrasinya. Selain itu bidan ini juga berharap ada
pelatihan dalam mengurus syarat-syarat klaim Jampersal ini seperti yang
diungkapkannya berikut ini:
“Mungkin pengelola Jampersalnya mungkin apa gitu dibuatkan pelatihan apalagi biar tahu secara mendalam, meraba-raba saya soalnya selama ini. Ya itu jadi hambatan juga karena sebelumnya saya ga pernah kerja yang begini.”
4) Verifikator pada tingkat Dinas Kesehatan dapat bekerja lebih baik lagi. Selama ini
verifikator meski sudah bekerja dengan baik namun mengalami kesulitan karena
banyaknya proses klaim yang masuk dari berbagai puskesmas yang ada di Kota
Makassar. Proses verifikasi klaim Jampersal membutuhkan waktu, sedangkan
verifikator juga menjadi salah satu ketua subdit salah bidang di Dinas Kesehatan.
Sehingga dari hal tersebut diharapkan agar dibentuk tim verifikasi yang lebih baik
lagi, sehingga proses tidak terlalu lama dan hak bisa segera diterima oleh para
bidan yang ada di puskesmas.
321
3.9. Puskesmas Parado, Kabupaten Bima
Kabupaten Bima merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara
Barat (NTB) yang terletak di pulau Sumbawa, salah satu pulau di provinsi NTB.
Kabupaten Bima termasuk salah satu Kabupaten dengan pemanfaatan dana Jaminan
Persalinan (Jampersal) yang cukup baik sesuai dengan laporan yang terkumpul
diDirektoratP2JK (Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan).
Data yang tersedia di dinas Kesehatan Kabupaten Bima menunjukkan bahwa
masih cukup banyak wilayah kecamatan dengan cakupan persalinan dengan bantuan
tenaga kesehatan yag masih rendah. Dengan melakukan konsultasi kepada kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten Bima didukung data dan pengalaman pelaksana program
kesehatan Ibu dan Anak dan penanggung jawab Program Jampersal ditetapkan
kecamatan Parado sebagai lokasi penelitian. Salah satu wilayah tersebut adalah
kecamatan Parado. Kecamatan dengan penggolongan termasuk terpencil dan ada
salah satu desa yang masuk dalam wilayah sangat terpencil, menjadi sasaran
penelitian.
3.9.1. Gambaran Umum Kabupaten Bima
KabupatenBima adalah salah satu Kabupaten di provinsi Nusa tenggara Barat
(NTB).Kabupaten Bima merupakan salah satu Daerah Otonom di Provinsi Nusa
Tenggara Barat, terletak di ujung timur dari Pulau Sumbawa bersebelahan dengan Kota
Bima (pecahan dari Kota Bima). Kabupaten Bima secara geografis berada pada posisi
117°40”-119°10” Bujur Timur dan 70°30” Lintang Selatan..Secara topografis wilayah
Kabupaten Bima sebagian besar (70%) merupakan dataran tinggi bertekstur
pegunungan, terdapat lima gunung di Kabupaten Bima, sementara sisanya (30%)
adalah dataran rendah. Lahan kering mencapai lebih dari separo dataran rendah dan
sekitar 14% terdiri dari areal persawahan. Dilihat dari ketinggian dari permukaàn laut,
Kecamatan Donggo merupakan daerah tertinggi dengan ketinggian 500 m dari
permukaan laut, sedangkan daerah yang terendah adalah Kecamatan Sape dan
Sanggar yang mencapai ketinggian hanya 5 m dari permukaan laut.
322
Kota Woha adalah ibukota Kabupaten Bima yang memiliki luas wilayah 4.374,65,
terdiri dari 7,22 persen lahan sawah dan 92,78 persen bukan lahan sawah. Kabupaten
Bima wilayahnya terus berkembang. Berlakunya otonomi daerah memberikan dampak
signifikan bagi Kabupaten Bima. Sejak tahun 2003, wilayah Kabupaten Bima terbagi
menjadi 2, yaitu Kabupaten Bima dan Kota Bima. Jumlah kecamatan dan desa semakin
berkembang, termasuk 9 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT).Pada tahun 2005
Kabupaten Bima terdiri dari 14 kecamatan dan 153 desa, jumlah ini meningkat pada
tahun 2009 menjadi 18 kecamatan dan 177 desa dan menjadi20 kecamatan dan 191
desa pada tahun 2012. Cuaca di wilayah Bima cukup panas dengan suhu rata-rata 27,6
derajat Celsius dengan curah hujan (data tahun 2009) secara rata-rata mencapai 85,5
mm per bulan. Wilayah Kabupaten Bima sebagian besar merupakan lahan Hutan
Negara, yang mencapai 2 274,79 km2 ( 52 % dari total luas Kabupaten).
Pendidikan adalah salah satu cara untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia. Pada tahun 2009, tercatat ada 666 sekolah di Kabupaten Bima. Menurut
jenjang pendidikan, sekolah di Kabupaten Bima terdiri dari 459 Sekolah Dasar (SD), 138
Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan 69 Sekolah Menengah Atas (SMA), dengan
rasio murid terhadap guru 10,55 artinya secara umum tiap guru mengajar 10 – 11
murid.
Gambar. 3.9.1. Peta Kabupaten Bima
Koordinat: 118°44'–119°22' BT dan 8°8'–8°57' LS
323
Jumlah penduduk Kabupaten Bima pada tahun 2009 sebanyak 420.207 jiwa.
Jumlah ini meningkat 0,90 persen dari jumlah penduduk tahun 2008. Pertumbuhan
penduduk tahun 2005-2009 menunjukkan trend meningkat dengan laju pertumbuhan
di bawah satu persen. Piramida penduduk Kabupaten Bima tahun 2009 cenderung
berbentuk kerucut dengan struktur umur penduduk tergolong penduduk muda. Hal ini
menunjukkan telah terjadinya tingkat kelahiran yang tinggi di masa yang lalu tetapi
kemudian diiringi oleh tingkat kematian bayi yang tinggi pula sehingga menyebabkan
proporsi penduduk yang dapat hidup terus keusia dewasa dan menjadi tua lebih kecil.
Dari piramida tersebut juga dapat dilihat bahwa proporsi penduduk wanita lebih tinggi
dibandingkan laki-laki terutama pada kelompok umur 25-54 tahun.
Jika dilihat persebaran penduduk menurut kecamatan, terlibat penyebaran
yang tidak merata. Kecamatan Sape memiliki jumlah penduduk paling banyak, sekitar
11,98 persen dari total jumlah penduduk Kabupaten Bima disusul Kecamatan Bolo dan
Woha, masing-masing 9,97 persen dan 9,64 persen. Sementara itu, kecamatan dengan
jumlah penduduk paling sedikit (kurang dari 1 persen) adalah Kecamatan Lambitu yang
diikuti oleh Kecamatan Tambora. Proporsi tenaga kerja terbesar berada di sektor
Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan yaitu sebesar 69,10
persen dari total seluruh penduduk yang bekerja.
Gambar. 3.9.2. Piramida Penduduk Kabupaten Bima Sumber: BPS Kabupaten Bima
324
Pembangunan yang dilakukan di segala bidang pada dasarnya adalah untuk
membentuk landasan dan struktur ekonomi yang kuat. Struktur perekonomian suatu
daerah mencerminkan kekuatan dan sekaligus ketergantungan suatu daerah terhadap
suatu sektor. Struktur perekonomian Kabupaten Bima masih didominasi oleh sektor
pertanian yang memiliki peranan 50,14 persen. Pendapatan Per Kapita Penduduk
Kabupaten Bima dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada Tahun 2009, pendapatan
perkapita penduduk mencapai Rp. 3.373.653,- meningkat 5,38 persen dibandingkan
tahun sebelumnya yang besarnya Rp. 3.201.262,-.
Pelayanan Kesehatan KIA di Kabupaten Bima
Terjadi trend peningkatan angka harapan hidup (AHH), dalam tahun 2007–
2009, penambahan usia harapan hidup menunjukkan telah terjadinya peningkatan
kemampuan penduduk dalam memperbaiki kualitas hidup dan kualitas lingkungan.
Peningkatan ini sebanding dengan peningkatan status sosio-ekonomi keluarga. Pada
tahun 2009 AHH penduduk Kabupaten Bima mencapai 62,62. Ini berarti bahwa secara
rata-rata seorang bayi yang baru lahir diperkirakan akan menjalani hidup selama 62,62
tahun. Akan tetapi, angka ini berada jauh dibawah rata-rata AHH Propinsi NTB.
Puskesmas dan puskesmas pembantu tersebar merata di seluruh kecamatan,
ditambah dengan dibangunnya sebuah RSU di Kecamatan Bolo.
Pelayanan kesehatan di KabupatenBimadilaksanakan oleh tenaga kesehatan
yang tersebar di berbagai pelayanan kehatan, tersedia1 RSU Pemerintah, 40
puskesmas terdiri dari 14 puskesmas perawatan yang keseluruhannya disiapkan
sebagai puskesmas PONED. Tersedia 73 pustu, 5 poskesdes dan 40 pusling serta 1780
posyandu untuk melayani seluruh penduduknya.
Pelaksanaan pelayanan persalinan gratis sudah disosialisasikan oleh Bupati
Kab.Bima sejak akhir 2010, tetapi saat itu masih dengan dana Jaminan Kesehatan
Masarakat (Jamkesmas) yang bersumber dari dana Pusat dan Jaminan Kesehatan
Daerah (Jamkesda) dengan sumber dana dari pemerintah daerah. Jadi masyarakat
yang tergolong miskin bisa bersalin dengan biaya gratis dengan menggunakan kartu
Jamkesmas (dibiayai dari Pusat). Bagi masyarakat miskin yang tidak memiliki kartu
325
Jamkesmas ataupun Jamkesda, dapat memperoleh pelayanan gratis setelah meminta
surat keterangan miskin agar bisa dibiayai oleh Jamkesda. Saat itu dilakuan sosialisasi
terpadu dalam rangka bulan bakti gotong royong ke seluruh kecamatan dilanjutkan ke
desa bahkan beberapa dusun. Selanjutnya sosialisasi dilanjutkan oleh puskesmas dan
jaringannya termasuk melalui Kepala Desa/Dusun,Petugas Posyandu, termasuk pada
saat kegiatan supervisi dan pembinaan dari Dinkes di masing-masing program yang
dilaksanakan teradu 4 kali/tahun. Sosialisasi lintas sektor seperti rapat koordinasi
tingkat kecamatan, rapat koordinasi tingkat desa yang dilakukan 4-5 kali/tahun.
Kematian ibu maternal tidak terlihat perubahan rata-rata 9-10 kasus/tahun
dengan adanya Jampersal. Diduga karena kualitas rujukan kurang, mekanisme rujukan
masih rumit, faktor di luar kehamilan, sedangkan kematian bayi juga tetap dengan
kasus lahir mati, BBLR dan ISPA. Masalah KIA menjadi perhatian di Kabupaten Bima
karena masih kuatnya tradisi yang dipegang masyarakat. Masih ada masyarakat yang
tabu melahirkan di bidan dan masih ada 1400 dukun dan jumlah ini masih lebih banyak
dari jumlah bidan yang sekitar 500 orang melayani ibu hamil dan bersalin. Hal ini yang
menyebabkan angka persalinan dukun masih cukup tinggi. Tercatat tahun 2011 linakes
68%, angka yang meningkat dari tahun-tahun sebelumnya bahkan menurut Riskesdas
2007 angka persalinan di Kab. Bima masih sangat rendah.
Ketersediaan faskes masih kurang sedang kemampuan pendanaan pemerintah
juga kurang untuk pembangunan. Ketersediaan lahan untuk pembangunan gedung
cukup tersedia, oleh karena itu upaya yang dilakukan adalah dengan berusaha
mendapat dana dari DAK (Dana Alokasi Khusus), PNPM (Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat), dana bantuan dari luar negeri misal Jepang, dan dari
perusahaan yang beroperasi di Bima. Saat ini PNPM mandiri sudah membantu
sebagian pembangunan poskesdes sedang PNPM GSC (Generasi sehat Cerdas) belum
padahal PNPM GSC lebih luas dalam pemanfaatannya tidak hanya untuk infrastruktur
seperti pembngunan gedung. Saat ini sudah 117 desa dengan bangunan Poskesdes
(Pos Kesehatan Desa) dari 191 desa yang ada di Bima, jadi masih tersisa 74 desa tanpa
poskesdes. Menurut hasil wawancara dengan kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bima
diperoleh informasi bahwa kemampuan DAK untuk membangun Poskesdes hanya 5-7
326
per tahun. Tahun 2012 ini PNPM membangun 4 poskesdes dan 1 pustu. Dinkes
mencoba minta dana untuk daerah terpencil berupa peralatan medis untuk pokesdes.
Saat ini semua puskesmas sudah diarahkan menjadi puskesmas perawatan
karena banyak pemukiman penduduk yang jauh dari RS. Semua puskesmas sudah
memiliki tenaga dokter bahkan direncanakan untuk menempatkan 2-3 orang dokter di
setiap puskesmas perawatan. Puskesmas PONEK di Kabupaten Bima ada 4 yaitu di
Kecamatan Sape, Moka, Bolo dan Bera. Tapi baru 2 (Sape dan Bolo) yang memiliki alat
dan SDM yang cukup. Di KabupatenBima sudah ada 2 dokter spesialis
obstetrikgenekologi dan 1 orang dokter spesialis anak, yang menjalankan tugasnya
antara lain melakukan kunjungan untuk memberikan pelayanan dan konsultasi ke
puskesmas PONEK 3 kali selama setahun.
KB paska salin tidak menjadi hambatan meski ada yang mau tapi juga ada yang
menolak tapi masyarakat sudah sadar. Justru ketersediaan alokon menjadi masalah
karena pihak BKKBN tidak menyerahkan ke petugas kesehatan sehingga seringkali
terjadi kekurangan alokon. Masyarakat juga masih harus membayar biaya suntik 10
ribu/kali suntik 3 bulanan dan implant sebesar 150 ribu. Padahal dari propinsi dan
kabupaten, alokon dinyatakan gratis. Penyediaan secara gratis baru 100% terjadi saat
pelayanan MOMEN (semacam safari KB). Penyuluhan KB paska persalinan terus
digalakkan.
Masalah sosial budaya seperti masih percaya dukun sudah tidak terlalu menjadi
hambatan. Saat ini selain bidan sudah ada di desa, dukun sudah bermitra dengan
bidan. Bahkan sudah didukung Peraturan Bupati yang mengharuskan bidan
memberikan 30 ribu dari biaya yang diterima. Dukun meski masih ada tetapi tidak
menjadi tujuan masyarakat. Persalinan ke dukun umumnya karena terpaksa misalkan
bayi sudah keluar dan lokasi jauh dari faskes dan bidan. Masalah sosial budaya justru
terkait dengan kecukupan gizi ibu maupun bayi/anak balita. Kasus balita KEK 23%,
bumil KEK 12% yang terjadi karena masih ada perilaku masyarakat mengutamakan
memberikan makanan kepada suami, ibu baru anak. Ibu hamil juga mengkonsumsi
makanan yang jumlah kalori dan gisinya tidak ditambah selama hamil karena takut
terlalu besar bayinya sehingga khawatir sulit keluar saat melahirkan. Hal ini juga dipicu
kemampuan membeli makanan karena pendapatan per kapita masyarakat Bima masih
327
rendah dan harapan hidup masih di no.6 untuk NTB. Masyarakat juga konsumtif, lebih
mengutamakan membeli barang daripada makanan untuk mencukupi gizi. Bahkan
kesadaran anak adalah investasi.
Status kepegawaian di Kabupaten Bima, adalah PNS, Honor daerah, PTT,
sukarela. PNS daerah sangat sedikit karena kemampuan daerah rendah dalam
menggaji PNS. Namun karena adanya upaya menempatkan dokter di puskesmas di
daerah terpencil, dilakukan pengangkatan dokter secara otomatis untuk menjadi PNS.
Sedangkan untuk bidan tidak ada status pegawai Honda (Honda digaji
Rp.400.000/bulan) karena bidan ada kesempatan untuk mendapat dana melalui
Jampersal dan Jamkesmas/Jamkesda melalui peayanan KIA dan persalinan. Status
pegawai sukarela: honor diperoleh dengan cara memberikan pelayanan, mereka
mengejar status sebagai pegawai pemerintah dengan harapan bisa diangkat menjadi
PNS Dinkes tetapi tidak ada janji untuk mengangkat maupun memberi gaji. Di tingkat
puskesmas, mutasi pegawai sering terjadi dalam wilayah kecamatan. Mutasi antar
kecamatan tidak banyak karena harus melalui ijin bupati. Seringnya mutasi
menyebabkan hambatan ketersediaan tenaga.
DiKabupaten Bima terdapat 357 bidan yang berdinas di puskesmas dan
jaringannya. Mereka bekerja 24 jam sebagai bidan pemerintah sehingga tidak dikenal
pelayanan Bidan Praktek Swasta (BPS) bagi bidan yang sudah bekerja di pemerintah
Kabupaten Bima. Status bidan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), Pegawai Tidak Tetap (PTT) dan pegawai sukarela
(bekerja tidak digaji, bersifat sukarela mengabdi). Dari sejumlah 357 orang bidan
terbagi menjadi 156 orang berstatus PNS; 81 orang PTT (74 PTT Pusat & 7 PTT Daerah)
dan 143 orang sukarelawan (tidak digaji).
Semua bidan yang ada di Kabupaten Bima di tampung sebagai pegawai oleh
Dinkes, dan selama bertugas 24 jam sehingga mereka tidak diijinkan berpraktek
swasta. Mereka bertugas 24 jam sebagai pegawai Dinkes. Pada awal Jampersal, LSM
melakukan pantauan pelayanan, bahkan melakukan laporan ke Bupati bila ada bidan
yang meminta biaya persalinan keada ibu yang ditolong. Ada beberapa orang dari etnis
Cina atau Arab tidak mau memanfaatkan Jampersal, mereka bersedia membayar biaya
persalinan kepada bidan sampai dengan 1 juta rupiah. Untuk kasus tersebut, agar
328
bidan tidak kena sangsi akibat dianggap meminta biaya persalinan, ibu bersalin
tersebut membuat pernyataan bahwa mereka menolak menggunakan dana
Jamkesmas. Hal ini terkait ancaman Bupati yang akan memecat mereka bila meminta
biaya persalinan.
3.9.2. Gambaran Umum Kecamatan Parado
Wilayah Kecamatan Parado berjarak 56 km dari Kota Bima. Parado termasuk
daerah yang tergolong terpencil di Kabupaten Bima (Pemerintah Kabupaten Bima,
2011). Lokasinya di perbukitan dan untuk menuju ke wilayah tersebut dapat dilakukan
menggunakan angkutan umum berupa bis ukuran kecil. Bis antar kecamatan tersebut
dimanfaatkan untuk transportasi ke desa-desa yang dilewati. Dari kota Bima menuju
kecamatan Parado melewati jalan pedesaan yang diaspal dengan baik. Sepanjang jalan
yang dilalui cukup banyak masyarakat bersepeda motor yang lalu lalang. Bahkan saat
melewati pasar Tente, semakin banyak orang lalu lalang dengan bersepeda motor.
Benhur (kendaraan semacam pedati yang ditarik seekor kuda) tampak hilir mudik
mengangkut penumpang maupun barang yang diperjualbelikan di pasar.
Murid sekolah juga banyak memanfaatkan benhur untuk pulang dan pergi ke
sekolah. Saat pulang sekolah, bis penumpang tampak penuh sesak. Di atas atap bis
yang terbuka dengan sekitarnya dibatasi pipa segi empat mengelilingi atap bis, tampak
penuh sesak dengan murid sekolah berseragam. Mereka tampak ceria duduk
berdesakan sambil berbincang dengan teman tanpa mempedulikan bahaya yang bisa
mengancam apabila jatuh dari atap bis.
Di kiri kanan jalan tampak sawah terbentang dan di kelilingi perbukitan. Di sisi
kanan jalan, sawah tampak menghijau sedang di sisi kiri jalan tampak sawah
mengering karena tidak ditanami. Terlihat banyak bekas potongan batang padi di
sawah yang dibiarkan mengering. Pengairan yang sebagian besar mengandalkan
pengairan dari air hujan menyebabkan petani hanya bisa menanam padi satu kali
dalam satu tahun. Namun pada sisi kanan jalan tampak hijau karena petani masih bisa
menanam padi tiga kali setahun karena mereka memperoleh pengairan sawah yang
diperoleh dari bendungan Pelaparado.
329
Melewati kecamatan Monta, jalanan mulai menanjak dan aspal jalan semakin
banyak berkurang. Jalan yang berkelok-kelok dengan aspal jalan yang berlubang disana
sini semakin menyulitkan mobil atau sepeda motor yang melewatinya. Batu kerikil
yang lepas akibat ausnya aspal menyulitkan pejalan dengan sepeda motor. Ban
mobilpun berputar dan selip akibat jalan yang sudah habis aspalnya tinggal kerikil yang
semburat kesana kemari. Semakin mendekati kecamatan Parado, di kanan jalan
terbentang hamparan cekungan dilingkupi bukit dan dam menjadi semacam danau
yang luas dengan air di dalamnya. Terlihat tulisan pintu masuk bendungan Pelaparado.
Bendungan dengan dinding tinggi menutup wilayah cukup luas yang menampung air
hujan tersebut berada di wilayah Monta, meskipun sebagian ada di wilayah kecamatan
Parado. Bendungan yang dibangun selama 5 tahun dimulai tahun 2005 dengan
meledakkan sebagian sisi bukit, telah menelan korban saat pembangunannya.
Air bendungan dimanfaatkan untuk mengairi sawah oleh petani di kecamatan
Monta. Sedang petani di kecamatan Parado yang lokasinya lebih tinggi dari bendungan
tidak dapat menikmati air pengairan dari bendungan. Perjalanan mendekati
Kecamatan Parado jalan semakin menanjak. Di jalan terlihat kera-kera kecil berlarian
dipinggir jalan atau melintas jalan. Mereka menunggu belas kasihan mobil yang lewat
untuk melempar makanan. Di musim kering semacam ini (bulan September 2012)
pohon-pohon buah tempat kera mencari makanan tidak berbuah sehingga kera-kera
tersebut harus mencari makanan dari pemberian masyarakat yang melewati jalanan
desa. Mendekati masuk wilayah kecamatan Parado, mulai tampak beberapa rumah di
tepi jalan. Rumah penduduk berupa rumah panggung menjadi ciri khas rumah-rumah
di Parado.
Kecamatan Parado adalah pemekaran dari Kecamatan Monta Selatan pada tahun
2005.Para berarti kampung sedangkan do artinya Selatan, jadi artinya kampong di
sebelah selatan. Kecamatan ini terdiri dari 5 desa yaitu Desa Parado Rato, Parado
Wane, Kanca, Kuta dan terjauh Desa Lere. Lokasinya yang dataran tinggi dan daerah
perbukitan menyebabkan daerah ini berhawa sejuk, bahkan pada tahun-tahun yang
lalu sangat dingin dan bila pagi hari udara berkabut menyelimuti seluruh kecamatan.
Namun sejak beberapa tahun terakhir, akibat illegal logging, udara semakin panas dan
hawa dingin serta kabut sudah sangat berkurang. Kecamatan berpenduduk sekitar
330
9.000 orang menempati kecamatan dengan luas wilayah 25.31 km2. Wilayahnya
mempunyai batas sebelah Utara: Desa Pela kecamatan Monta; sebelah Selatan: lautan
Indonesia; sebelah Timur: desa Tolo Tangga kecamatan Monta; dan sebelah Barat:
Kecamatan Hu’u Kabupaten Dompu.Secara terperinci jumlah penduduk disetiap desa
dan kepadatan penduduknya adalah sebagai berikut ini:
Tabel.3.9.1
Jumlah Penduduk per Desa dan Kepadatan Penduduk di Kecamatan Parado Tahun 2010
NO Desa Jumlah
Penduduk
Jumlah KK Kepadatan
Penduduk
1 Parado Wane 2.896 856 49,75
2 Parado Rato 3.418 967 33,31
3 Kanca 1.032 265 47,55
4 Kuta 1.285 326 22,51
5 Lere 875 210 26,34
Jumlah 9.506 2.624 179,46
Tahun 2009 9.060 2.418 175,24
Sumber: Profil Puskesmas Parado Tahun 2010
Dari sejumlah penduduk tersebut, terdaftar sejumlah 4.232 yang memiliki kartu
Jamkesmas dan 1.217 memilik kartu Jamkesda Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Melihat kenyataan tersebut dapat dikatakan bahwa jumlah penduduk Parado yang
tergolong miskin cukup besar yaitu lebih dari 50%. Profil Puskesmas Parado tahun
2010, tercatat kunjungan puskesmas sebanyak 1.694 yang memanfaatkan kartu
Jamkesmas atau Jamkesda.
331
Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah petani, pegawai negeri,
pedagang dan wiraswasta. Parado yang terletak di daerah perbukitan, wilayahnya
sebagian adalah perkebunan dan ditumbuhi pohon kemiri milik kehutanan. Sebagian
lagi adalah kebun dan sawah pertanian milik penduduk. Daerah pertanian dengan
wilayah perbukitan menyebabkan jarak rumah dan sawah menjadi cukup jauh dan sulit
jangkauannya. Penduduk memilih menginap di dekat sawah bila saat menanam atau
panen tiba. Mereka akan menginap beberapa hari di rumah sederhana di tepi sawah
yang mereka bangun dan beberapa hari kemudian kembali ke rumah, demikian
dilakukan berulang kali sampai pekerjaan mereka selesai. Sebagian penduduk yang ada
di tepi pantai (Desa Lere dan Dusun Woro Desa Parado Wane) mencari nafkah dengan
mencari rumput laut. Ada beberapa lokasi di desa Lere yang masyarakatnya
mempunyai mata pencaharian mencari rumput laut di laut. Meskipun mata
pencaharian ini lebih sulit karena mereka harus menetap di sekitar pantai agar lebih
mudah mendapat hasil, sehingga terpaksa hidup terpisah dari perumahan penduduk.
Cara ini kurang banyak hasilnya dibandingkan cara lain, tetapi diminati karena hasil
bekerja mereka dapat segera dijual sehingga mereka segera mendapat uang kontan.
Uang kontan tersebut dapat dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari.
Pohon kemiri yang tumbuh di perbukitan, dapat mereka ambil bijinya dengan
bebas. Biji kemiri merupakan tambahan penghasilan sebagian besar penduduk Parado.
Saat biji kemiri mulai tua dan rontok, mereka pergi ke bukit dan menginap beberapa
hari disana untuk memungut biji kemiri. Beberapa hari kemudian mereka pulang ke
Gambar3.9.3. Suasana Perumahan di Salah Satu Desa Kecamatan Parado
Sumber: Dokumentasi Peneliti
332
rumah, dan kembali lagi ke atas bukit untuk memunguti biji kemiri. Demikian bolak
balik mereka lakukan pulang pergi dari desa ke bukit bahkan sampai beberapa bulan
untuk memungut biji kemiri. Biji kemiri berharga Rp. 5.000,- perkilo atau ada yang
menjual per 100 biji. Pengambilan biji kemiri dilakukan dengan mengambil biji yang
rontok dengan sendirinya. Atau memanjat ke atas pohon dan penggoyang cabang-
cabang pohon agar biji kemiri yang telah tua berjatuhan/rontok dan kemudian mereka
memungutinya.
Memelihara ternak sapi dan kambing merupakan salah satu matapencaharian
penduduk. Binatang ternak ini menjadi investasi masyarakat. Ternak umumnya hanya
dijual bila membutuhkan dana besar seperti untuk pergi haji, atau pendidikan anak-
anaknya ke perguruan tinggi. Mereka sangat membanggakan keamanan di Parado.
Keadaan ini dibuktikan dengan binatang ternak baik sapi atau kambing yang mereka
pelihara dengan cara dibiarkan berkeliaran secara liar. Binatang tersebut mencari
makanan sendiri, tanpa dimasukkan kandang. Pemiliknya cukup memberi tanda
binatang peliharaannya, dan mereka bisa mengambil ternaknya setiap saat
dibutuhkan.
Penduduk Parado berkomunikasi dengan bahasa Mbojo, bahasa daerah
setempat yang digunakan dalam kegiatan informal.Bahasa Mbojo memiliki keunikan
tersendiri. Dalam bahasa ini setiap kata tidak mengenal akhiran huruf mati, jadi setiap
kata selalu berakhir dengan huruf hidup. Komunikasi antar karyawan di perkantoran,
untuk hal–hal umum mereka bicarakan dalam bahasa mbojo, bahasa Indonesia baru
digunakan bila berbicara formal dalam pertemuan atau bicara dengan orang luar.
Sebagian besar masyarakat khususnya kaum muda yang pendidikannya lebih baik,
umumnya bisa berbahasa Indonesia, namun untuk penduduk yang berusia tua dan
tidak/jarang keluar dari desa cukup banyak yang tidak bisa dan tidak mengerti bahasa
Indonesia.
Penduduk Parado sebagian besar sudah melek huruf. Pendidikan menjadi
perhatian masyarakat. Sarana pendidikan di kecamatan Parado adalah 6 buah Sekolah
Dasar, 1 buah sekolah Madrasah Ibtidaiyah Negeri, 1 buah SLTP, 2 buah Madrasah
Tsanawiah, 2 Madrasah Aliyah, dan 1 buah Sekolah Menengah Atas. Menurut tokoh
masyarakat, mereka malu bila mempunyai anak yang tidak lulus sarjana. Mereka
333
sangat bangga dengan pendidikan tinggi dan sangat membanggakan penduduk Parado
yang sukses di ibu kota dan kota besar sebagai orang yang berpengaruh dalam
pendidikan seperti professor, rektor dan orang berpangkat lainnya. Mereka
menganggap pendidikan adalah kebutuhan utama yang harus diraih, sedang untuk
kebutuhan lain mereka bisa menahan diri. Sebagian masyarakat masih menginginkan
untuk bisa menjadi pegawai negeri, dengan anggapan status PNS lebih baik daripada
pekerjaan lainnya. Untuk mencapai keinginan tersebut, mereka rela menjadi tenaga
sukarela di instnsi pemerintah tanpa mendapat gaji sama sekali.
Menurut pandangan tokoh masyarakat, penduduk Parado menunjung tinggi
kejujuran. Terbukti, mereka tanpa kaekawatiran membiarkan hewan ternak (sapi atau
kambing) untuk bebas berkeliaran mencari makan tanpa dikandang atau diletakan di
area tertentu. Mereka cukup member tanda pada telinga ternaknya masing-masing
dan tidak pernah dijumpai penduduk yang kehilangan ternaknya. Prinsip yang mereka
pegang ‘Bila kita menghianati keluarga sendiri, maka milik kita akan hilang dengan
sendirinya”. Masyarakat cukup baik sosial ekonominya. Kemampuan masyarakat
terlihat dari kemampuan membiayai pendidikan anak-anaknya ke kota bahkan ke luar
pulau. Menurut cerita para tokoh yang sudah tua, dahulu cukup banyak pendatang ke
Parado (saat itu adalah kecamatan Monta Selatan). Atas kebaikan masyarakat
setempat, pendatang diberi tanah (dipinjami) untuk digunakan bertani, bahkan ada
tanah yang diberikan. Mereka diterima dengan senang hati oleh penduduk setempat
dan diajak membngun Parado.
Gambar. 3.9.4. Benhur Angkutan Umum dengan Tenaga Kuda
Sumber: Dokumentasi Peneliti
334
Sarana umum penunjang yang ada adalah pasar dan terminal angkutan yang
terdapat di Desa Parado Rato. Terdapat 1 terminal kendaraan yang ada di Parado dan
1 buah pasar. Masyarakat menggunakan ojek sebagai angkutan umum dari desa ke
desa dan RT. Cukup banyak masyarakat yang sudah memiliki sendiri sepeda motor
untuk menjangkau tempat kerja, sekolah ataupun ke tempat umum lainnya. Untuk
menuju kecamatan lain, ada bis antar kecamatan meskipun tidak banyak. Untuk
mencapai tempat yang tidak terlalu jauh dalam desa, berjalan kaki sudah biasa
dilakukan masyarakat.
Perumahan penduduk pada umumnya mengelompok di sepanjang jalan desa
yang sudah diaspal. Rumah penduduk rata-rata berupa rumah panggung terbuat dari
kayu. Rumah jenis ini dirasa lebih sesuai dengan hawa dingin Parado. Rumah berjajar
sepanjang jalan. Rumah yang cukup luas pada umumnya hanya terdiri dari dua kamar
tidur, ruang tamu. Kamar mandi dan kakus pada umumnya adalah bangunan tersendiri
yang terpisah dari rumah panggung. Bahkan sebagian masyarakat tidak memiliki kakus,
dan membuang kotoran di kebun belakang rumah. Rumah pada umumnya dihuni oleh
satu keluarga satelit. Pada awal pernikahan umumnya pasangan muda masih
bergabung dengan orangtua, tapi lambat laun mereka berusaha untuk membuat
rumah dan hidup terpisah dengan orangtua.
Sarana perumahan sudah tersedia. Listrik yang sudah disediakan PLN,
menerangi rumah-rumah secara penuh. Sejak januari 2012, listrik sudah terpasang 24
jam. Berbeda dengan sebelumnya, listrik hanya tersedia setelah magrib sampai dengan
jam tujuh pagi. Bila sebelumnya penduduk mengandalkan listrik tenaga surya, seperti
masih tampak pada sebagian rumah, kini mereka bisa menikmati aliran listrik tanpa
ada giliran dan tidak terbatas waktu lagi. Air perpipaan sudah dapat dinikmati sebagian
masyarakat. Air sumur juga mudah diperoleh meskipun ada sebagian harus menggali
sumur agak dalam.
Masyarakat Kecamatan Parado, sebagian besar adalah suku Mbojo, hanya
sedikit pendatang dari luar Parado yang hidup, menetap di wilayah Parado. Hampir
100% masyarakat Parado beragama Islam. Masyarakat Parado seperti juga masyarakat
Bima pada umumnya sangat agamis terlihat dari banyaknya masjid. Bahkan pada saat
hari Jum’at saat shalat Jum’at jalan-jalan menuju masjid ditutup masyarakat dengan
335
memberikan barikade. Sikap agamis ini bisa kita dari kegiatan yang dilakukan
masyarakat. Pertemuan-pertemuan ataupun kegiatan kesehatan memanfaatkan
masjid. Pengumuman posyandu, dan undangan kegiatan lain dilewatkan siaran di
masjid. Masjid juga banyak dijumpai diantara rumah-rumah penduduk. Masjid selain
cukup banyak juga cukup besar. Bahkan dalam kegiatan formal di Dinas Kesehatan dan
puskesmas, ada pertemuan rutin setiap jumat pagi berupa ceramah agama. Sedangkan
kegiatan senam pagi dilakukan pada hari Sabtu pagi.
Riwayat perkembangan Islam di Bima bisa dilihat melalui Museum Salahudin
yang menempati bekas keraton. Di dinding museum, terpampang pakaian kaum
wanita saat itu yang mengenakan semacam sarung untuk rok bagian bawah sedangkan
bagian atas menggunakan semacam ninja yang menutup wajah. Perilaku agamis sudah
mendarah daging, bahkan untuk menegur para gadis yang tidak berhijab daam suatu
pertemuan, cukup dengan memberikan pandangan tajam saja kepada mereka. Cara
berpakaian seperti yang diceritakan tersebut, masih dilakukan masyarakat di beberapa
daerah tertentu khususnya di pedesaan.
Pernikahan penduduk sudah mengikuti aturan pemerintah yaitu pernikahan
minimal perempuan usia 19 tahun dan laki-laki 25 tahun. Sudah jarang remaja yang
menikah muda. Mereka cukup sadar dengan tanggung jawab dalam rumah tangga.
Kalau saat dulu menurut cerita tokoh masyarakat (dalam FGD)umumnya suatu
keluarga memiliki anak sampai 6 orang, saat ini cukup 2-3 orang saja. Kesadaran ber-
KB sudah cukup tinggi diantara para pasangan muda.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Kecamatan Parado
Untuk memberi pelayanan kepada masyarakat Parado, pemerintah telah
membangun Puskesmas Parado yang semula adalah puskesmas pembantu pada waktu
daerah tersebut masih masuk sebagai bagian dari kecamatan Monta Selatan.
Puskesmas ini terletak di tepi jalan besar. Gedung terlihat cukup besar dan luas, tetapi
temboknya terlihat kurang terawat. Penduduk kecamatan Pardo yang terdiri dari 5
desa dilayani oleh puskesmas Parado yang berlokasi di desa Parado Rato. Puskesmas
ini memiliki jaringan terdiri dari 2 puskesmas pembantu (Pustu) dan 3
336
polindes/poskesdes dan 14 Posyandu. Pelayanan kesehatan tersebut melayani
penduduk di 15 dusun dan ada 1 praktek pribadi dokter (Kepala Puskesmas).
Gedung puskesmas berdampingan dengan Kantor Kecamatan dan Kantor
Dikpora (Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga). Puskesmas terdiri dari banyak
ruang yang menjorok kedalam. Gedung puskesmas di bagian belakang memanfaatkan
bekas ruang kelas gedung sekolah dijadikan ruang rawat inap dengan 5 (lima) tempat
tidur. Ruang bagian depan adalah ruang-ruang untuk pelayanan rawat jalan dan
pelayanan lain yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Termasuk didalam
kompleks puskesmas banyak gedung-gedung terpisah yang dimanfaatkan untuk rumah
dokter (2 rumah), rumah untuk petugas puskesmas yang belum menikah, rumah
kepala bagian Tata Usaha dan petugas kesehatan lain.
Tabel 3.9.2. Puskesmas Parado dan Jaringannya Tahun 2012
No Desa Sarana Pelayanan Kesehatan Kepemilikan kartu
Jamkesmas Polindes/ Poskesdes
Pustu Posyandu
1 Paradowane 1 - 4 60%
2 Parado Rato - 5 80%
3 Kanca 1 2 100%
4 Kuta 1 - 2 70%
5 Lere 1 1 1 100%
JUMLAH 3 2 14
Sumber: Profil UKBM Puskesmas Parado
Gambar 3.9.5.Poskesdes Percontohan di desa Kuta, Kecamatan Parado (kiri) dan Salah Satu Polindes di Kecamatan Parado (kanan)
Sumber: Dokumentasi Peneliti
337
Tenaga kesehatan yang melayani di puskesmas ada 32 orang terdiri dari 16
PNS, 3 PTT, 1 pegawai honorer dan 12 orang sukarela serta 1 orang tenaga kontrak.
Polindes/Poskesdes dilayani oleh 1 bidan PTT dan 2 PNS dan 2 tenaga sukarela. Desa
Lere termasuk desa terpencil.Kader kesehatan membantu kegiatan posyandu di desa
dan tercatat ada 70 orang kader dengan jumlah kader aktif sebanyak 54 orang. Jumlah
dukun ada 15 orang dengan 11 orang dukun terlatih (pernah mengikuti pelatihan).
Ruang KIA yang ada di bagian tengah kompleks puskesmas diisi dengan tempat
tidur persalinan. Kesan kurangnya kebersihan ruang terlihat dari barang-barang yang
kurang rapi penempatannya, kayu tempat tidur yang berwarna putih kusam, dengan
bercak-bercak darah mengering yang tidak dibersihkan dengan sempurna. Kurangnya
kebersihan juga terlihat di ruang-ruang pelayanan serta rumah tinggal para petugas.
Barang-barang tergeletak di lantai dan di sudut ruang, masih terlihat sampah yang
dibuang sembarangan.
Dalam hal ketenagaan,terlihat ada kekurang harmonisan secara internal,
sehingga dalam hal ini menjadi hambatandalam penyelenggaraan pelayanan. Menurut
pandangan Kepala Puskesmas yang sudah berdinas selama 4 tahun, ada beberapa
tenaga puskesmas yang kurang mengikuti aturan puskesmas yang telah ditentukan dan
disepakati.Pengangkatan tenaga bidan sukarela yang dilakukan akhir-akhir ini
membantu penyelenggaraan pelayanan KIA di polindes dan mendekatkan jarak
petugas kesehatan kepada masyarakat.
3.9.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak
Kesehatan ibu dan anak di wilayah Puskesmas Parado tercermin dari hasil
cakupan pelayanan KIA. Data tahun 2010 dari profil Puskesmas Parado, menunjukkan
bahwa 55,56% atau 130 orang ibu yang persalinannya ditolong oleh tenaga kesehatan.
Angka ini bahkan menurun dari tahun 2009 yang memberikan gambaran persalinan
oleh nakes sebesar 60,94%. Sampai dengan September 2010 tercatat pasangan usia
subur 1.163 pasangan, dan 732 diantaranya sebagai peserta KB aktif (62,94%). Namun
angka ini belum termasuk data pasangan yang mengikuti KB kepada dokter praktek
swasta dan bidan swasta. Gambaran ini adalah data terkini (tahun 2010) yang bisa
338
diperoleh dalam profil puskesmas. Tidak diperoleh data puskesmas Parado untuk
tahun 2011.
Nilai-nilai yang berkembang dalam Masyarakat tentang Ibu Hamil, Ibu Bersalin dan
Bayi/Anak
Menurut tokoh masyarakat (toma) atau tokoh agama (Toga), masyarakat sangat
mengutamakan pendidikan. Mereka (tokoh masyarakat) akan merasa malu jika dalam
keluarganya tidak ada yang berpendidikan sarjana. Dari tokoh masyarakat yang hadir
pada FGD, sebagian besar memang mempunyai anak sarjana atau diri sendiri paling
tidak berpendidikan D3. Pengadakan dana pendidikan menjadi prioritas utama,
mereka menginvestasikan hartanya dalam bentuk hewan ternak, sawah atau ladang.
Ternak akan dijual bila membutuhkan biaya untuk pergi haji atau menyekolahkan anak.
Gambar.3.9.6. Tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama saat FGD Sumber: Dokumentasi Peneliti
Siklus kehidupan seseorang bermula dari lahirnya bayi, yang kemudian terus
tumbuh menjadi anak bawah lima tahun (balita), remaja, dewasa, tua, dan meninggal
dunia. Dalam kehidupan yang dijalani, individu tidak bisa lepas dari lingkungan
sekitarnya mulai dari keluarga dan lebih luas lagi masyarakat. Dalam suatu keluarga
yang umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak, terjadi interaksi antar anggota keluarga
khususnya yang berdiam dalam satu rumah. Keluarga di kecamatan Parado pada
umumnya terdiri dari keluarga inti. Tapi pada pasangan yang baru menikah, seringkali
339
mereka masih tinggal bersama dengan orangtua pihak suami atau pihak isteri, sesuai
dengan kesepakatan keluarga.
Kehamilan merupakan kondisi yang sangat diidam-idamkan pasangan yang
menikah. Anak adalah harapan orangtua di masa datang sehingga harus dijaga secara
hati-hati dengan memberikan perlakuan yang baik kepada ibu hamil baik secara psikis
melalui lingkungan islami yang santun dan secara fisik melalui pemberian gizi yang baik
dan lingkungan yang sehat. Berikut pernyataan seorang tokoh agama tentang tindakan
yang seharusnya dilakukan oleh orangtua agar tidak berdampak terhadap anak dalam
kandungan.
“……, orang tuh yang gimana, dia yang sedang hamil, dia melihat singa, akhirnya timbul bulu singa, anaknya..sudah fakta itu, tapi tak tahu mana yang benar ..makanya dalam kehamilan ini, dijaga makanan, minuman, dan semuanya diatur, supaya bayi yang dilahirkan nanti, sehat dengan sempurna. Kalau tentang makanan itu, makanan yang halal. Yaitu yang kita isi dalam perut, kalau kita ada..suami… kita cari, apakah dimana ini, kita harus tahu betul usulnya, makanya oleh semua itu, itu kehamilan yang berkaitan dengan agama. Karena ini adalah janin yang pertama, karena semua yang kita lahirkan yang pertama itu adalah sebagai harapan”.
Masyarakat memberikan perhatian cukup baik kepada perempuan hamil.
Pembinaan kepada perempuan dan masyarakat pada umumnya tentang perawatan
kehamilan selalu disiarkan melalui ceramah-ceramah agama, seperti pernyataan Bapak
S yang menjabat sebagai kepala desa.
“melakukan sistem pembinaan,…....mulai dari ibu hamil, kami sebagai tokoh
masyarakat itu di setiap hari Jum’at..di setiap ceramah-ceramah itu ada kata-kata
yang menuju pada pembinaan …,..jadi ibu hamil itu dapat memahami dan
mengerti arti kehamilan itu, ketika sedang hamil..tentunya dia akan
memeriksakan kehamilan itu..dan itu hubungan kerja dengan kedokteran-
kedokteran yang ada di Parado dengan masyarakat di lingkungan ini memang
rutin dilakukan seperti itu..kemudian diluar kegiatan posyandu, juga
dilakukan..ada pembinaan kesehatan yang disampaikan…”.
Dalam perkembangannya, ibu akan mengalami kehamilan selama 9 (Sembilan)
bulan sampai pada akhirnya bayi dilahirkan. Isteri di kecamatan Parado, pada
umumnya ikut bekerja membantu suami baik di sawah atau ladang dan mencari kemiri
di hutan. Kehamilan meskipun ada perhatian berbeda tetapi dianggap bukan sebagai
suatu peristiwa yang perlu perhatian terlalu berbeda. Pada saat kehamilan, pada
340
umumnya suami memberi perhatian yang lebih pada isteri. Perhatian ini lebih dari
biasanya terutama pada kehamilan pertama dan setelah kehamilan tua (menjelang
persalinan).
Menurut suami dalam FGD diperoleh informasi bahwa suami memperingatkan
agar isteri berhati-hati menjaga kehamilan, menganjurkan untuk makan makanan
bergizi. Pekerjaan berat dilarang dilakukan bila usia kehamilan sudah besar (trimester
3). Tetapi pada umumnya ibu-ibu hamil tetap melakukan kegiatan sehari-hari yang
biasa dilakukan seperti memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah dan
membantu kegiatan di ladang. Bahkan sebagian ibu tetap ikut suami bermalam di
kebun untuk mencari kemiri yang menjadi salah satu mata pencaharian mereka. Bapak
SS memberikan pernyataan apa yang dilakukannya kepada isteri yang sedang hamil.
“Istri tidak oleh kerja terlalu keras. Pada waktu hamil nggak pergi ke sawah, Selama ini kasih sayang ibuk oleh suaminya, dia tidak suruh mengerjakan istrinya, dia di Posyandu katanya diperiksa kandungannya, mau mandi disinikan air kekurangan, biasanya ibu ini yang ambil air dan dia tidak kekurangan sambil memposisikan kondisi istrinya.”
Perlakuan istimewa tidak banyak diperoleh kaum ibu, kebiasaan bekerja keras
tidak membuat mereka manja. Kegiatan rutin tetap dijalani. Mereka baru berhenti
melakukan kegiatan sampai dengan menjelang persalinan. Ibu yang masih kuat
beraktifitas akan tetap melakukannya, bahkan dipercaya aktifitas akan membuat
persalinan berjalan lancar.
Kehamilan meskipun sesuatu yang diharapkan tapi sebagian mesyarakat tidak
ingin memperlihatkan kehamilannya. Masyarakat malu jika dibawa ke puskesmas pada
siang hari karena malu dilihat orang. Kehamilan disembunyikan dengan tidak
menceritakan bahwa kelahiran sudah menjelang. Hal ini dilakukan untuk menghindar
dari orang jahat yg akan membuat kelahiran menjadi ‘sulit’. Kepercayaan terhadap hal-
hal ghaib masih berkembang meskipun ritual-ritual agama juga dilakukan baik di
rumah maupun masjid yang banyak dijumpai di desa. Dengan sifat kekeluargaan yang
masih tinggi, masyarakat selalu ingin berpartisipasi dalam setiap peristiwa penting
yang terjadi pada suatu keluarga seperti persalinan. Perhatian masyarakat kepada ibu
bersalin terlihat dari perhatian mereka dengan berbondong-bondong mengantar ibu
bersalin ke puskesmas.
341
“ Ya biasanya itu buk, yang melahirkan satu tapi yang mengantarkan itu sampai
lima puluh orang. kebetulan juga kita dari rumah, airkan..kita disini kan kesulitan
air buk. Tetangga-tetangga itu sudah mengambil air, sudah ada yang ini,
mempersiapkan yang itu. Bukan hanya satu orang tapi semua seperti itu, jadi
kayak arisan modelnya. Nanti kalau sudah disana, ada yang nyiapin air, pokoknya
seperti itu sudah biasa.”
Kepercayaan yang masih berkembang
Penduduk Kecamatan Parado yang merupakan daerah pedesaan memiliki ciri
sebagai masyarakat desa seperti di kebanyakan lokasi lain. Ikatan kuat antar warganya
dengan interaksi sosial yang intim serta menjunjung kebersamaan, masih terlihat
dalam kehidupan masyarakat. Tradisi-tradisi leluhurnya masih dipegang kuat dan
dilaksanakan meskipun sudah berkurang seiring dengan meningkatnya teknologi yang
masuk dan tingkat pendidikan masyarakat yang meningkat. Terkait dengan
kepercayaan yang berhubungan dengan KIA, masih cukup kuat berkembang
dimasyarakat.Macam-macam pantangan, tabu, kebiasaan yang berhubungan dengan
kesehatan ibu dan anak dikenal dan dipraktekan oleh keluarga-keluarga di sana.
Meskipun dikatakan oleh tokoh masyarakat bahwa penddikan masyarakat sudah
baik dan sudah banyak sarjana serta lulusan SMA (38,6% pendidikan SMA – sarjana),
tetapi masyarakat masih banyak yang percaya kepada hal-hal yang tradisional dan
ghaib.Kemungkinan hal ini terkait dengan masih tingginya pemahaman ‘benar’ tentang
upacara. Ada 55.7% responden ibu yang menjawab bahwa upacara berpengaruh
terhadap persalinan yang selamat.
Dalam kehidupan masyarakat masih banyak proses kehidupan yang dikaitkan
dengan mitos, pantangan, dan tabu. Dalam masa kehidupan seorang perempuan di
Parado, berbagai ritual, tradisi, pantangan/tabu masih banyak dilakukan, secara
terperinci di bedakan dari 3 yaitu masa kehamilan, persalinan dan pasca persalinan.
Kenyataan ini didukung hasil survey terhadap 70 orang ibu yang melahirkan 1 tahun
terakhir.
342
Tabel. 3.9.3 Responden yang melakukan Upacara Adat pada Saat Kehamilan, Persalinan dan Pasca
Persalinan di Kecamatan Parado
Siklus Reproduksi “Ya” Melakukan Upacara
Kehamilan 32,9%
Persalinan 27,1%
Paca Persalinan 21,4%
Sumber: Data Primer
Masa Kehamilan. Masa kehamilan khususnya bagi perempuan yang baru
pertama hamil, merupakan peristiwa yang dinanti-nantikan. Kehamilan sangat dijaga
dan keluarga biasanya juga mendukung melalui berbagai pantangan yang harus
dilakoni ibu hamil. Ada kepercayan yang berkembang bahwa ibu hamil tidak boleh
keluar malam hari, kecuali ada kepentingan seperti periksa ke bidan.Keadaan ini
terungkap dalam FGD dengan suami yang menceritakan hal-hal yang harus ditaati ibu
hamil agar terhindar dari kesulitan.
“Setelah magrib, ibu hamil harus tinggal di rumah. Ibu hamil tidak boleh melewati kuburan. Umpama kita dari sawah ya, lewat gerbang pertanian sana ya”.
Kepercayaan terhadap makhluk gaib yang dapat mengganggu kehamilan
dikenal masyarakat Parado. Untuk melindungi ibu hamil, mereka juga mengenal cara-
cara tertentu. Daun tula merupakan daun yang dipercaya dapat menolak bahaya. Daun
tersebut dibawa ibu hamil atau suami dan diletakkan di persimpangan jalan untuk
menolak bala bagi ibu hamil, seperti dinyatakan seorang suami Bapak .
“Jadi kalau ada jalan yang apa namanya bercabang itu kata orang tua-tua dulu, itu menghindari setan dan lain sebagainya itu harus disimpan daun-daunan itu, daun ‘Tula’, namanya. Jadi istilah daun Tula, jadi pagi itu disimpan”.
Daun tula harus diletakkan oleh perempuan hamil atau suaminya di cabang jalan.
“Di cabang, untuk tola balak supaya nggak diganggu-gangu lagi atau biar nggak diikuti.”
Masyarakat Parado masih percaya mistik dan takut dijampe-jampe orang yang
tidak suka.Pertolongan dukun untuk menghindarkan dari makhluk gaib, dilakukan
karena menganggap dukun mampu melakukan hal tersebut dengan cara disembur.
343
Upaya meminta tolong dukun dilakukan oleh isteri yang sedang hamil seperti
diutarakan bapak JK.
“Kalau pas dukunnya itu tahu , suruh pakai...,biar dia sembur gitu sama di pinggangnya saja katanya. Kalau air nggak dikasih katanya, pas dibaca jampi-jampinya itu pas dia sembur itu disininya”.
Berbagai pantangan dan anjuran kepada ibu hamil pada umumnya dilakukan
dengan harapan kehamilan dapat berlangsung dengan baik dan bayi serta ibu selamat
sampai dengan persalinan. Meskipun tidak memahami makna dari pantangan, tetapi
bagi ibu hamil yang mendapat ‘perintah’ dari orangtua atau keluarga, mereka akan
mematuhinya.
Tradisi Kiri Loko (nujuh bulanan) masih dikenal dan dilakukan sebagian
masyarakat Parado. Tradisi tujuh bulanan ini juga bisa dijumpai pada berbagai etnik
lain di Indonesia. Upacara ini dilakukan saat usia kandungan memasuki usia tujuh
bulan. Pada usia kehamilan tersebut, janin dalam kandungan telah membentuk
menjadi manusia yang utuh dan siap untuk dilahirkan dalam beberapa bulan ke depan.
Tradisi ini dipercayamemberikan kekuatan dan semangat kepada calon ibu
menghadapi peristiwa besar dalam hidupnya.Dalam prosesinya banyak menggunakan
simbol-simboldan makna kehidupan dari setiap prosesnya. (Taufa, NI.2011)
Berikut beberapa pantangan dan anjuran yang masih berlaku di masyarakat
Parado:
344
Tabel. 3.9.4. Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Hamil di Kecamatan Parado
Pantangan/Tabu Anjuran
Tidak boleh keluar rumah malam hari (setelah magrib)
Tidak boleh mandi sore hari
Tidak boleh mengikat rambut
Tidak boleh potong rambut saat hamil
Tidak boleh memakai kain/pakaian/handuk yang melilit badan/leher
Tidak boleh duduk di tengah pintu
Jika minum tidak boleh menyisakan air di gelas
Tidak boleh minum menggunakan gayung
Tidak boleh minum sprite
Tidak boleh minum es
Tidak boleh makan yang berminyak dan santan
Sering jalan kaki di pagi hari
Banyak jalan saat mendekati kelahiran
Makan sayur segar lebih banyak
Makan banyak buah
Minum air tuak/air kelapa
Makan lebih banyak
Istirahat yang cukup
Mandi 1 x sehari dengan waktu yang sama
Jangan bekerja berat
Persalinan. Adanya kepercayaan terhadap mistik menimbulkan ketakutan ibu
hamil menjelang bersalin dibawa ke puskesmas. Mereka menyatakan malu jika dilihat
orang, padahal sesungguhnya mereka tidak ingin kehamilannya diketahui orang lain
karena takut dijampe-jampe orang jahat. Pada saat menunggu persalinan, dukun juga
melakukan tradisi seperti sapuru yaitu menyembur bagian tubuh tertentu dari
perempuan hamil dengan ramuan yang dikunyah.
Berbagai tradisi masih hidup di masyarakat. Tradisi minta maaf isteri terhadap
suami dilakukan sebagai bakti seorang isteri dengan maksud agar nantinya persalinan
berjalan aman dan lancar. Tradisi sempuru yang dilakukan oleh dukun bertujuan
menghilangkan penat dan lelah (disemburkan ke punggung, pinggang dan kaki) serta di
dahi agar mata tidak menjadi terganggu pandangannya. Ramuan yang dikunyah dan
kemudian disembur, bervariasi tetapi pada umumnya adalah bahan ramuan yang
bersifat panas seperti daun sirih, buah pinang, kapur, dan kadang masih ditambah
jahe, bunga cengkih atau merica.
345
Tabel. 3.9.5
Ritual, Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Bersalin di Kecamatan Parado
Ritual, tradisi, atau adat tertentu Pantangan/Tabu Anjuran
Ibu bersalin minta maaf kepada suami dan kedua orangtua agar persalinan aman dan selamat
Ujung rambut dimasukkan ke mulut ibu sehingga ibu muntah, merangsang keluarnya placenta
Sampuru: dukun menyembur ibu yang sedang dalam proses persalinan daun sirih, buah pinang dan kapur yang dikunyah. Disemburkan ke kening dengan maksud agar pandangan tidak miring (pusing). Menghilangkan sakit kepala saat bersalin.Disemburkan juga pada bahu, punggung, pinggang dan tumit
Memakai ramu-ramuan di kening untuk memberi rasa hangat pada tubuh ibu sehingga ibu tidak loyo dan mempercepat. proses persalinan (dapat juga dengan cara disembur dukun ramuan yang dikunyah disemburkan ke kening, bahu, pinggang, punggung dan tumit). Ramuan yang dipakai berupa: cengkih, jahe, merica.
Pintu rumah dibuka: dengan tujuan agar jalan lahir terbuka dan persalinan berjalan lancar
Suami menginjak kepala isteri 3 kali
Hangga lawa: minum air yang diberi do’a oleh dukun agar pintu lahir terbuka
Tidak boleh mengikat rambut agar anak tidak ada lilitan tali pusat
Semua yang terkunci, dibuka
Tidak boleh melilit kan handuk /sarung di leher saat persalinan
Minum minyak kelapa pada saat proses persalinan
Minum kecap pada saat proses persalinan untuk merangsang sakit perut /kontraksi rahim
Minum madu dan kuning telor
Minum air do’a supaya melahirkan dengan selamat
Makan daun sirih
Banyak berzikir dan istigfar
Keterangan ( Bhs. Indo = Bhs Bima)
Cengkeh = cengke; Merica = sahe jawa; Cabe jawa = sabia; Jahe = rea; Temulawak= temulawa; Kunyit = huni; Daun sirih = nahi; Kapur = afu; Pinang = U’a
Sumber: Data Primer
Pasca Persalinan. Berbagai kepercayaan juga dilakukan masyarakat setelah
terjadnya kelahiran.Di Masyarakat Parado yang sebagian besar (hampir seluruhnya)
dari etnik Mbojo, bayi sebelum usia tujuh hari tidak boleh turun dari rumah. Bagi ibu
melahirkan tidak masalah keluar rumah segera setelah melahirkan. Tradisi yang sudah
sejak lama ada tersebut masih berlangsung sampai sekarang seperti penuturan
seorang suami.
“Tradisi mungkin, sudah tradisi sejak dulu. Katanya sih nggak diperbolehkan, nggak tahu alasan apa juga, wong sudah ada di adat semua jadi, harus tujuuh hari tidak boleh di gendhong atau diluar, maksudnya diluar rumah. Hanya
346
didalam rumah aja.Iya ada, apa namanya doa takaran, doa pas dikasih nama ‘Sapisan’ itu tujuh kali baru bisa diturunkan dari rumah”.
Sebagai umat Islam, tradisi aqiqoh, yaitu menyembelih hewan kambing (1 ekor
bagi anak perempuan, 2 ekor bagi anak laki-laki) dilakukan namun
waktupelaksanaannya tergantung kesiapan keluarga. Pada saat aqiqoh juga dilakukan
pemberian nama. Ritual ini biasanya dilakukan bersamaan dengan dengan acara
Cafisari, Bokasari dan Boru honggo. Menurut agama Islam sendiri kewajiban ini tidak
harus dilakukan segera setelah lahir, tapi bisa menunggu kemampuan orangtua
menyediakan kambing yang akan disembelih.
Kerukunan warga terlihat pada saat berlangsungnya upacara adat, tetangga
dan keluarga datang untuk membantu kegiatan selamatan tersebut. Keluarga ibu
bersalin, memasak kambing yang disembelih dibantu tetangga dan keluarga.
Disamping itu, kebiasaannya adalah memasak ketan sebanyak 20-30 kilo yang dimasak
dengan santan. Masyarakat bergotong royong memasak, dan juga datang sambil
membawa beras 1-2 kg untuk diberikan kepada keluarga yang baru mempunyai bayi.
“ …. disini juga ada istilah ‘Tikamii’, itu orang kayak arisan-arisan tadi itu. Jadi tiap rumah itu ada yang bawa beras ada yang satu kilo dua kilo, jadi dibawa. Nanti kalau ada acara rumah selanjutnya lagi, ya begitu lagi”.
Cafisariadalah salah satu upacara/kegiatan yang dilakukan di rumah ibu yang
baru melahirkan. Upacara dipimpin oleh dukun bersalin, dilakukan pada hari ke 7
paska persalinan dengan tujuan membersihkan tempat bersalin/rumah ibu
menggunakan beras kuning, air kelapa. Sejak saat itu, bayi sudah boleh dibawa keluar
dari rumah panggung. Hidangan makanan untuk tamu yang selalu disajikan adalah nasi
ketan. Saat itu, dukun diberi imbalan berupa ayam, beras atau uang, sesuai
kemampuan keluarga.
347
Tabel. 3.9.6.
Ritual, Pantangan dan Anjuran Bagi Ibu Pasca Persalinan di Kecamatan Parado
Ritual, tradisi, atau adat tertentu Pantangan/Tabu Anjuran
Sempuru: dilakukan juga setelah persalinan. Pemberian bahan ramuan yang disemburkan dukun agar ibu tidak pegal-pegal, menghilangkan sakit kepala, atau agar pandangan tidak kabur.
Keramas ibu paska pesalinan : kelapa diparut diambil santannya, jeruk purut, temu giring, cabe jawa.
Bayi diadzani segera setelah lahir
Cafisari: upacara hari ke 7 kelahiran bayi
Bokasari: acara potong rambut, dilakukan pada hari 7 bersamaan dengan catisari.
Boru honggo: cukur rambut bayi pada hari ke tujuh
Bayi ditidur kan di atas alas kain tenun Bima sebanyak 7 lembar dan di bawah bantal biasanya disimpan benda tajam seperti pisau/keris
Aqiqah Penggunaan bawang putih pada bayi
dengan cara disematkan di baju menggunakan peniti, dengan maksud agar tidak diganggu makhluk gaib.
Bayi belum boleh keluar rumah sampai dengan tujuh hari
Tidak boleh keluar rumah sebelum 44 hari
Ibu banyak makan sayuran segar seperti sayur bening agar air susu banyak keluar
Makan ramuan penghangat badan
Pengetahuan Masyarakat tentang Kesehatan Ibudan Anak
Tingkat pengetahuan kesehatan dilihat berdasar jenis pertanyaan dapat dibagi
3 jenis yaitu pengetahuan tentang perawatan Kehamilan (Ante Natal Care = ANC),
pengetahuan tentang persalinan dan pengetahuan tentang paska persalinan.
Meskipun Parado termasuk kecamatan yang agak terpencil lokasinya, namun
kepedulian masyarakat terhadap pendidikan cukup baik. Kecamatan Parado yang
merupakan kecamatanpemekaran. Hasil survey menunjukkan tingkat pendidikan
responden yang cukup baik yaitu38,6% berpendidikan SMA sampai dengan sarjana,
27,1% SLTP, dan 34,3% tamat SD ke bawah. Memiliki tokoh masyarakat yang aktif
dalam bidang sosial termasuk kesehatan, melakukan penyuluhan melalui ceramah
agama dan pertemuan lain.
348
“…… kita baru..2003 bu..mekar..baru beberapa tahun..tapi, puskesmas ini dibangun sebelum pemekaran kita..dengan kemitraan kita tokoh masyarakat itulah..ada istilah dulu..karena memang kita sadari, sebelum puskesmas ini datang, karena memang tingkat kehamilan ini..ibu hamil ini meninggal baik dia maupun bayi memang,…....tapi karena banyak faktornya, terutama dulu..pengetahuan,dan mereka belum sadar. Kalau awal-awal sulit bagi kami bu, karena teknologi saat ini belum dipahami..nah dengan kita dalam membuat ceramah agama.. hajatan...di khutbah dan pertemuan di beberapa kelompok masyarakat, kita sadarkan mereka..sehingga mereka sadar sendiri sekarang..mereka ke puskesmas..”
Pengetahuan masyarakat tentang kesehatan diperoleh dari berbagai cara, ada
ibu hamil yang mengikuti pelatihan tentang kehamilan dan persiapan persalinan, atau
melalui penyuluhan oleh kader yang dilakukan saat posyandu. Pengetahuan kesehatan
diperoleh melalui penyuluhan yang ada di desa, seperti diungkapkan oleh tokoh
masyarakat:
“Karena kan, apalagi sekarang dengan banyaknya penyuluhan kesehatan, dengan
pertemuan tingkat desa serta aktifnya kader-kader ketika Posyandu dikasih
penyuluhan. Bahkan ditiap-tiap Posyandu ada diadakan bubur PMT, jadi itu kan
tidak hanya untuk anak-anak ibu-ibu sekalian ibu bidan memberikan juga misalnya
penyuluhan-penyuluhan seputar dunia kehamilan, makanan apa yang harus
dikasih dan sebagainya.”
Selain itu, perolehan informasi juga didapat dalam pertemuan-pertemun yang
diselenggarakan oleh lintas sektor seperti disampaikan seorang tokoh agama.
“saya itu juga selalu aktif didalam mengikuti rapat lintas sektoral. Untuk penyuluhan yang berkaitan dengan bayi yang meninggal, kemudian nikah dibawah umur dan lain sebagainya yang diadakan oleh Puskesmas itu buk”.
Kehamilan.Pengetahuan ibu tentang pemeriksaan kehamilan terbukti cukup
baik. Pengetahuan tentang pemeriksaan hamil diketahui dari 63 orang ibu yang
disurvei atau 76,7 persen memiliki pengetahuan yang benar yaitu memeriksakan
kehamilan paling tidak 4 kali selama kehamilan. Data ini mendukung hasil FGD dengan
suami yang sangat mendukung isteri untuk memeriksakan kehamilan di posyandu,
bahkan sebagian suami mendukung dengan mengantarkannya.
Pada saat periksa di posyandu mereka mendapat tablet tambah darah yang
menurut pengakuan diminum 2 kali sehari meskipun sering lupa mengonsumsinya.
Namun adanya rumor yang tersebar di masyarakat tentang dampak minum tablet
tambah darah dapat menganggu perilaku minum tablet tambah darah pada ibu hamil.
349
Rumor yang berkembang adalah ‘kalau minum tablet besi kepala bayi besar’. Rumor
tersebut bila tidak diimbangi dengan informasi yang benar dapat menganggu cakupan
pemeriksaan kehamilan yang sudah baik yaitu 98,6 % (n=70) ibu menerima pelayanan
tenaga kesehatan untuk perawatan kehamilan.
Pemahaman tentang pentingnya pemeriksaan tekanan darah sudah terungkap
dari data survey ibu, terbukti 96,7% mempunyai pengetahuan yang benar bahwa
pengukuran tekanan darah penting dilakukan saat pemeriksaan kehamilan untuk
mendeteksi adanya resiko kehamilan. Namun sayang tidak cukup banyak ibu yang
mempunyai pengetahuan ‘benar’ bahwa imunisasi Tetanus Toxoid seharusnya
diberikan sebelum kehamilan dan bukannya setelah persalinan karena hanya 40%
responden yang memberikan jawaban dengan benar.
Persalinan. Pengetahuan masyarakat melalui tokoh masyarakat/tokoh agama
dan suami pada FGD menunjukkan hasil cukup baik karena mereka mendukung bahwa
kemampuan bidan lebih baik daripada dukun. Pengetahuan ini didukung data survey
ibu yang menunjukan bahwa 90% responden memiliki pengetahuan ‘benar’ bahwa
bidan mampu menolong dengan lebih aman dibandingkan dukun. Namun masyarakat
tampaknya masih menyukai untuk melahirkan di rumah. Pernyataan ini didukung
dengan data pengetahuan yang menunjukkan bahwa 52,9% reponden (ibu) memiliki
pengetahuan yang benar bahwa melahirkan di rumah tidak sama amannya dengan
melahirkan di fasilitas kesehatan.
Pasca Persalinan. Aktifitas pasca persalinan baru boleh dilakukan setelah 3
hari, ternyata pernyataan yang ‘salah’ ini dijawab oleh 75,7% responden (70 orang),
demikian pula tentang larangan makan ikan laut, dijawab dengan salah oleh47,1 %.
Artinya, hanya 52,9% saja dari responden yang mengetahui bahwa setelah bersalin, ibu
boleh saja mengonsumsi ikan laut. Masih ada anggapan bahwa mengonsumsi ikan laut
akan berdampak buruk bagi ASI.
350
Sikap Masyarakat tentang Kesehatan Ibu dan Anak
Hasil survey ibu menunjukkan bahwa sikap ibu yang mendukung upaya
pemeriksaan kehamilan, pesalinan dan pasca persalinan adalah sebagai terlihat pada
tabel di bawah ini:
Tabel. 3.9.7
Sikap Terhadap Pemeriksaan Kehamilan, Persalinan Dan Pasca Persalinan, Kecamatan Parado
Pernyataan Sikap
Mendukung (%) Tidak Mendukung (%)
1. PEMERIKSAAN KEHAMILAN
Penting periksa hamil 4 kali 77,1 22,9
Penting ukur tensi 97,1 2,9
Perlu tablet tambah darah 42,9 57,1
Perlu upacara agar selamat 35,7 64,3
2. PERSALINAN
Setuju lahir di rumah tidak
sama aman dengan lahir di RS
47,1 53,9
Setuju kemampuan dukun tidak
sama baiknya dengan bidan
50,0 50,0
3. PASCASALIN
ASI beda dengan madu 47,1 52,9
Penting kolostrom untuk bayi 74,3 25,7
Perlu KB pasca nifas 75,7 24,3
Kehamilan.Masyarakatrata-rata tidak memberikan perlakuan istimewa kepada
ibu hamil, tetapi sikap mereka khususnya suami dan anggota keluarga sedikit berbeda
pada ibu hamil khususnya di awal dan akhir kehamilan. Bila bisanya isteri selalu
membantu di suami memungut buah kemiri, ataupun bekerja di kebun, namun saat
isteri hamil biasanya isteri tidak diajak tinggal di hutan. Kebiasaan untuk mengajak
isteri tinggal di hutan beberapa waktu untuk memungut buah kemiri juga sedikit
dikurangi atau ditinggalkan, dengan maksud agar isteri yang hamil dapat beristirahat di
rumah. Seorang suami Bapak LK menyampaikan perlakuannya terhadap isteri yang
sedang hamil.
351
”Ndak kita bawa istri, ….. tapi kalau jaman dulu itu kita bawa istri berkebun, sekarang juga nggak. Disana sudah ada kemajuan jaman lah, sudah tidak bawa istri berkebun. ….. Ndak, iya 4 bulan itu sampai 4 bulan itu aja, tapi kalau sudah sampai 4 bulan ndak. Artinya 2-3 hari sampai 4 hari itu pulang lagi. Nanti balik lagi jadi bisa tidur dirumah”.
Kesadaran pentingnya pemeriksaan kehamilan sudah diketahui oleh sebagian
besar suami. Oleh karena itu, mereka mendukung upaya isteri memeriksakan
kehamilan dengan cara selalu mengingatkan istri agar mentaati jadwal pemeriksaan.
Mereka memprioritas waktu pemeriksaan ibu hamil dengan memberi kesempatan istri
untuk memeriksakan diri di posyandu atau poskesdes yang dekat dengan tempat
tinggal mereka. Bagi mereka yang kebetulan sedang tinggal di hutan atau kebun
beberapa hari untuk bekerja, pada hari jadwal posyandu isteri diminta segera pulang
untuk pemeriksaan kehamilan. Berikut pernyataan tokoh masyarakat yang
menyampaikan kebiasaan masyarakat di desanya.
“Yang di pikirkan oleh Petugas Kesehatan itu apabila mereka ada jadwal Posyandu kan, mereka nggak tahu jadwalnya Posyandu. Ya kadang-kadang sudah mau jadwal Posyandu hari ini mereka baru kembali ke kampung besuk”.
Kebiasaan di Parado, ibu hamil tetap pergi ke sawah juga mengambil kemiri di
hutan sampai dengan umur kehamilan tertentu atau sampai ibu merasa sudah tidak
kuat lagi, seperti disampaikan seorang tokoh agama.
“….Sampai umur enam bulanan. Kalau biasanya disini itu, dari pagi sampai sore
itu suaminya ke sawah. Kalau istrinya itu pekerja rumah, ambil air semua itu
istrinya”.
Persalinan. Perhatian masyarakat kepada persalinan sangat baik.
Kegotongroyongan dan kepedualian tinggi untuk mengantar ibu ke tempat bidan
seperti disampaikan seorang bidan.
“Kalau disana masyarakatnya antusias sekali, misalnya kalau ada kelahiran itu bisa ribut banyak-banyak orang lalu mereka antar panggil bidan gitu”.
Khususnya bila ada komplikasi sehingga harus dirujuk, biasanya mereka akan
berbondong-bondong mengantar ke Rumah Sakit (RS). Demikian juga saat pulang,
mereka juga akan datang menjemput.
“Ya biasanya itu buk, yang melahirkan satu tapi yang mengantarkan itu sampai lima puluh orang. kebetulan juga kita dari rumah, airkan..kita disini kan kesulitan air buk. Tetangga-tetangga itu sudah mengambil air, sudah ada yang ini, mempersiapkan yang itu. Bukan hanya satu orang tapi semua seperti itu, jadi
352
kayak arisan modelnya. Nanti kalau sudah disana, ada yang nyiapin air, pokoknya seperti itu sudah”.
Bila persalinan normal, biasanya mereka hanya tinggal satu hari di puskesmas,
langsung pulang. Mereka akan mengunjungi rumah ibu bersalin sambil membawa air
yang diperoleh dari orang tertentu yaitu air yang sudah diberi do’a sebagai upaya
menjaga kehamilan dan persalinan agar berlangsung aman dan selamat.
“….dirumah mereka bawa air”
Masyarakat menyadari pentingnya pengaturan jumlah anak melalui kepesetaan
KB. Masyarakat melalui suami setuju dengan KB, kalau itu merupakan persyaratan
Jampersal. Sebagai masyarakat agamis Islam, mereka menganggap tidak ada masalah
dengan KB, lagipula adanya tokoh masyarakat seharusnya mendukung upaya
pemerintah.Rata-rata penduduk sudah menggunakan KB, walaupun ada yang memiliki
anak lebih dari 4 orang. Pelayanan KB diperoleh dari bidan, namun seorang suami
menyatakan bahwa isterinya menggunakan KB IUD tetapi tidak cocok dan terjadi
perdarahan per vaginam.
“Saya kira nggak ada ibuk, justru tokoh-tokoh agama harus ngasih contoh, maksudnya karena anaknya sudah selang tiga tahun empat tahun. Saya, jarak anak saya dari yang kedua dan yang ketiga itu sebelas tahun.”
a) Praktek/Tindakan Kesehatan Ibu dan Anak
Praktek pelaksanaan pemeriksaan kehamilan, persalinan dan pasca persalinan
tidak lepas dari pelayanan oleh bidan dan dukun. Berikut ini hasil pelayanan yang
diterima oleh ibu dari bidan dan dukun.
Tabel. 3.9.8. Pelayanan yang Diterima Responden dari Bidan dan Dukun di Kec. Parado
Jenis Pelayanan oleh Bidan ‘Ya’ Terima Yan Bidan
Jenis Pelayanan oleh Dukun ‘Ya’ Terima Yan Dukun
Periksa Kehamilan 97,1% Periksa Kehamilan 78,6%
Persalinan 97,1% Persalinan 20,0%
Rawat Pasca Salin 82,9% Rawat Pasca Salin 8,6%
KB 72,9% Jamu Ibu 17,1%
Pijat Bayi 18,6% Rawat bayi 42,9%
Buat Jamu Ibu 4,3% Buat jamu Bayi 10,0%
Upacara 0,0% Upacara 20,0%
Sumber: Data Primer
353
Keberadaan puskesmas, barulah dikenal semenjak pemekaran pada tahun
2003. Puskesmas yang semula adalah puskesmas pembantu telah dikembangkan
menjadi puskesmas perawatan dengan memanfaatkan bekas gedung sekolah yang
berada satu kompleks dengan gedung pustu. Puskesmas dilengkapi dengan
polindes/poskesdas dan posyandu sebagai temat pelayanan KIA.
Kehamilan. Pemeriksaan kehamilan ke bidan dilakukan hampir seluruh ibu
yang disurvei (97,1%) namun tidak menghapuskan kebutuhan untuk memeriksakan diri
ke dukun yang ternyata dilakukan oleh78,6% responden. Pemeriksaan dilakukan
kepada keduanya, baik bidan dan dukun karena kebutuhan yang berbeda. Kepada
bidan, mereka memerikakan secara medis yaitu periksa tekanan darah dan mendapat
obat. Kombinasi pemeriksaan ini dikemukakan seorang suami saat diskusi dpada FGD.
“Setiap bulan periksa ke bidan saat posyandu atau poskesdes, selain itu juga
dibawa ke sando”
Keberadaan dukun yang dekat dengan rumah ibu kemungkinan menjadi
penyebab masyarakat memanfaatkan jasanya. Informasi ini didukung data survey ibu
yang menunjukkan alasan memeriksakan kehamilan ke dukun karena tradisi (30%),
percaya (21,4%), anjuran orangtua atau suami (10%) dan arena rumah dekat (8,6%)
dianggap hanya mampu ditangani oleh dukun.Pemeriksaan kehamilan ke dukun masih
banyak dilakukan perempuan hamil di Parado bahkan dilakukan secara rutin seperti
pengakuan seorang suami.
Gambar 3.9.7 (samping) Seorang ibu dengan bayinya di atas tangga rumah. Gambar 3.9.8 (bawah) Rumah Panggung Sumber: Dokumentasi Peneliti
354
“Periksa ke dukun sejak usia kandungan dua bulan, satu kali sebulan periksa”.
Persalinan. Para suami dan tokoh masyarakat menyatakan bahwa masyarakat
sudah sangat percaya terhadap bidan sebagai penolong persalinan. Persalinan dengan
penolong akhir bidan sebanyak 97,1%, namun bila ditelusur kepada penolong pertama,
ternyata dari jumlah tersebut 20% dengan penolong pertama dukun. Hal ini mungkin
terkait dengan kebiasaan masyarakat untuk mengundang dukun terlebih dahulu bila
ibu merasakan persalinan sudah menjelang. Ada kemungkinan bahwa 20% ibu
tersebut lahir ditolong dukun, sedang pemotongan tali pusat dilakukan oleh bidan. Hal
ini terkait pengakuan bidan yg menyatakan banyak dukun terlambat memanggil saat
ada persalinan.
“ di sini juga ada, mau melahirkan panggil dukun..baru panggil bu bidan.. ”,
Demikian pernyataan bapak R seorang tokoh masyarakat, dan diperkuat
pernyataan bapak TY seorang suami dengan anak 3 orang.
“ya...dukun terlatih juga..dulu memang..sebelum..kita jauh dengan puskesmas induk, jadi disini kan ada dua penilaiannya..pada bidan..dan juga dukun..tapi ada juga..ada beberapa orang yang masih percaya tentang keberadaan dukun terlatih itu..ya kita panggilkan, supaya sama-sama…”.
Meskipun masyarakat sudah condong memilih bidan sebagai penolong
persalinan, namun rumah masih menjadi tempat persalinan yang dipilih.Persalinan di
rumah seperti di Desa Lere yang terpencil masih banyak diminati masyarakat
khususnya yang lokasi rumahnya jauh dari Poskesdes. Ada beberapa alasan lain
mengapa melahirkan di rumah, seperti rasa malu dsb. Seperti dinyatakan suami
bernama BT.
“ jadi lihat lihat sikon Bu, biasanya kalau memang kondisinya ibu baru satu-dua kan malu..sehingga kadang-kadang melahirkan di rumah saja..sehingga bidan-bidan ini yang datang…”.
Kenyataan ini bisa dilihat dari hasil survey dengan ibu (n=70) di Parado,
ternyata 68 orang bersalin ditolong bidan, dan sebanyak 42,9% melahirkan di rumah,
35,7% di rumah bidan/polindes/poskesdes, 17,1% melahirkan di puskesmas dan 4,3%
di RS. Bidan juga mendukung kenyataan tersebut tahun 2010 akhir masih jarang ibu
yang melahirkan di sarana kesehatan, lebih banyak persalinan dilakukan di rumah, dan
kondisi ini mulai bergeser sejak tahun 2012, seperti dituturkan Bidan H.
355
“Ya kalau disini memang persalinan itu, terbanyak itu di rumah. kalau akhir..,eh kalau awal 2012 baru banyak yang disarankan di Kesehatan. Kalau dulu mungkin pemahaman itu masih kurang apalagi disini jadi dari pendidikan itu masih sangat awam. Jadi pengetahuan mereka itu masih belum terlalu tahu untuk melahirkan dirumah. Dulu aja kita harus bertengkar,karena pernah ada kejadian kita baku saling apa sih saling tarik sarung itu kan saya minta sama bu Mil nya inpartu itu ayo melahirkan di sarana kesehatan kita melahirkan di Puskesmas”.
Perubahan ini terjadi setelah para bidan bahu membahu melakukan upaya
kemitraan Dukun dan bidan dikoordinir oleh bidan koordinator puskesmas serta
meningkatkan kesadaran ibu hamil melalui kelas penyuluhan yang dilakukan di
poskesdes/polindes seperti dituturkan seorang bidan dalam FGD.
“Ada juga bantuan, karena ada persalinan gratis juga dan ada dana bantuan dari dana BOK juga kita adakan kelas ibu seperti itu. ……, Itu ada kita kumpulkan ibu-ibu hamil, nah itu kayak kita kasih apa ya penyuluhan untuk mau melahirkan dengan bidan, melahirkan di sarana kesehatan. Jadi sedikit-sedikit pemahaman akhirnya alhamdulillah banyak kalau awal 2012 ini rata-rata melahirkan di sarana kesehatan ”.
Pasca persalinan.Setelah persalinan berlangsung, banyak hal yang harus
dilakukan keluarga antara lain merawat bayi yang baru lahir dan mungkin ibu belum
mampu melakukan aktifitas sehari-hari. Sebagaimana anjuran dalam kesehatan, ibu
pasca persalinan harus memeriksakan diri ke tenaga kesehatan paling tidak 4 kali. Hasil
data survey ibu di Parado menunjukkan bahwa 82,9% ibu memeriksakan diri sebanyak
1-4 kali pasca bersalin, sedang yang memeriksakan >=4 kali sebanyak 18,6%. Neonatus
yang diperiksakan 1-3 kali sebanyak 88,6%. Bukti tersebut menunjukkan bahwa
kesadaran ibu-ibu terhadap kesehatan dirinya sendiri dan bayinya sudah cukup baik.
Pengaturan jumlah anak melalui kepesertaan sebagai akseptor KB cukup
disadari oleh sebagian suami. Data survey menunjukkan 70% ibu mengikuti KB pasca
persalinan (kurang dari 42 hari setelah persalinan).
3.9.4. Faktor Sosial Budaya terkait Pemilihan Penolong Persalinan dan Pemanfaatan
Pelayanan Jampersal
Masalah kesehatan ibu dan anak baik kematian maupun kesakitan
sesungguhnya tidak lepas dari sosial budaya serta lingkungan dimana ibu dan anak
tersebut berada.Faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsep tentang
berbagai pantangan, anjuran, ritual, hubungan sebab akibat makanan dengan sehat-
356
sakit, kebiasaan, memberikan dampak positip atau negatip. Masyarakat tradisional,
konsep budaya dapat dilihat dari perilaku berkaitan dengan kesehatan yang berbeda
dengan konsep modern yang berkembang. Sebagai contoh konsep modern yang
menekankan menyusui konsep ASI eksklusif selama 6 bulan tanpa pemberian makanan
lain selain ASI. Berbeda konsep tradisional suku tertentu yang bisa menggantikan ASI
dengan air kelapa muda atau air madu dan memberikan makanan padat pada usia bayi
yang masih dua bulan dengan tujuan agar bayi kenyang dan tidak rewel.
Perilaku budaya ini tidak lepas dari unsur-unsur budaya yang ada seperti
pengetahuan, geografi dan kependudukan. Dari gambaran sosial budaya yang ada di
kecamatan Parado, dapat digambarkan situasi wilayah yang diperkirakan
mempengaruhi perilaku terkait kesehatan ibu dan anak dalam peta berikut.
Gambar. 3.9.9. Peta Lokasi Dukun dan Sarana Kesehatan di Kecamatan Parado
357
Pengambilan Keputusan
Sebagai masyarakat yang masih kental dengan budaya lokal, penduduk Parado
merupakan masyarakat dengan sikap terhadap agama yang masih sangat
kuat.Penghormatan terhadap orangtua masih sangat baik. Tokoh masyarakat menjadi
tempat mencari nasehat terkait dengan keputusan yang ingin diambil di tingkat
keluarga atau di tingkat masyarakat. Masih banyak yang mengacu aturan orangtua
dalam bertindak. Mereka,khususnya pasangan muda dan yang masih tinggal bersama
orangtua selalu mengikuti saran orangtua dalam pengambilan keputusan baik tentang
kesehatan maupun non kesehatan.
“….. dalam keluarga otomatis ya, kalau ada orang tuanya, ya orangtua..kalau ada ibu, ya ibu…..”
Sedikit berbeda dalam rumah tangga yang mandiri, pada umumnya keputusan
dalam rumah tangga adalah berdasar mufakat suami isteri dalam berbagai hal
termasuk dalam perawatan kehamilan, menentukan penolong persalinan dan
perawatan paska persalinan.
Dalam melakukan upaya perawatan kehamilan, biasanya istri melakukan
sendiri dengan melakukan pemeriksaan ke bidan di posyandu atau polindes. Bentuk
perhatian suami pada saat isteri hamil hamil antara lain mengingatkan isteri untuk
memeriksakan diri ke posyandu, tidak mengerjakan pekerjaan berat seperti
mengangkat air untuk keperluan rumah tangga, melakukan pekerjaan kebun yang
ringan saja, istirahat yang cukup dengan memperhatikan jam tidur. Suami juga
menganjurkan istri yang sedang hamil agar mengkonsumsi sayur dan buah. Beberapa
suami menyatakan mengetahui isterinya mengikuti pelatihan ibu hamil yang
diselenggarakan oleh bidan di polindes.
Penentuan bersalin di fasilitas kesehatan seringkali sulit dilakukan oleh karena
adanya anggapan bahwa bersalin ke faskes bisa menyebabkan persalinan dalam
keadaan gawat. Hal ini terkait dengan pengalaman sebelumnya yang diketahui
masyarakat, padahal menurut bidan hal tersebut terjadi akibat pertolongan dukun
yang akhirnya terlambat merujuk.
“Iya itu juga mungkin dari biayanya juga mikirnya tapi kita juga kasih penjelasan seperti ini. Jadi kalau mereka itu kalau ke Puskesmas itu memang pengalaman dari dulu-dulu. Kalau sudah dalam keadaan yang sangat gawat sekali baru mau ke
358
sarana kesehatan. Jadi itu kebawa terus, jadi kalau dia ke sarana kesehatan, berarti dia sudah gawat. Itu pikirannya”.
Pengambilan keputusan bahkan bisa terjadi karena keadaan. Sebagai contoh
ibu G semula sudah berencana melahirkan dengan bantuan bidan tapi kemudian tetap
ke dukun karena rumah dukun lebih dekat dibanding rumah bidan. Meskipun
persalinan ditolong dukun, tetapi ibu G tetap memeriksakan kehamilan ke bidan, hal
ini karena pemeriksaan kehamilan waktunya bisa diatur sedang persalinan bisa terjadi
sewaktu-waktu.
“Gampang kalau melahirkan semuanya ketiga anaknya ini, mudah katanya makanya dia langsung ke dukun itu, karena dekat juga, …..sebetulnya sudah ada keinginan ke bidan”.
Pengambilan keputusan dalam pemilihan penolong persalinan maupun
perawatan kehamilan dan pasca persalinan tidak bisa lepas dari keberadaan dukun dan
bidan yang merupakan tokoh kunci pelayanan KIA. Oleh karena itu keberadaan dukun
dan bidan perlu dikupas lebih dalam lagi.
Dukun dalam Pandangan Masyarakat
Dukun masih cukup banyak dijumpai di kecamatan Parado. Di 5 desa yang ada,
jumlah dukun masih cukup banyak yaitu 17 orang dukun aktif. Jumlah yang cukup
besar dibandingkan dengan jumlah bidan yang ditugaskan di desa yang hanya
berjumlah 5 orang. Dukun masih diharapkan dan dibutuhkan masyarakat karena
masyarakat sudah biasa pergi ke dukun, seperti terungkap dalam FGD dengan Tokoh
Masyarakat.
“Karena sudah ada kebiasaan dari dulu untuk pergi ke dukun, tapi untuk periksa ke Puskesmas juga masih. Kadang-kadang kalau mereka ada dirumah, baru ibunya itu ada gerak-geraknya bayi itu pasti ke dukun, karena bidan itu jauh. Yang lebih dekat karena dukun itu kan juga terlatih, tidak sembarang ke dukun kan itu.”
Dukun pada masa lalu memperoleh pelatihan dari puskesmas sebagimana
pengakuan dukun S yang mendapat pelatihan pada tahun 1997. Dukun yang ada pada
umumnya adalah dukun yang sudah lama berpraktek, tidak ada dukun baru yang
muncul. Berdasar wawancara dengan dukun S, diperoleh informasi bahwa dukun yang
pernah mendapat pelatihan dari puskesmas, diberi peralatan untuk persalinan seperti
gunting, sarung tangan dan lainnya yang masih tersimpan dengan baik. Dukun terlatih
359
ini merupakan orang-orang yang dipercaya masyarakat mempunyai kemampuan yang
cukup seperti disampaikan bapak G:
“Pada dasarnya semua nggak ada yang keberatan, karena dukun itu ada yang terlatih, ya dilatih oleh Puskesmas itu. “
Menurut pengakuan dukun, sejak tahun 2011 (sejak ada Jampersal), mereka
sudah tidak menolong persalinan lagi kecuali terpaksa. Dukun membantu bidan dalam
pertolongan persalinan. Dukun biasanya dihubungi terlebih dahulu oleh keluarga ibu
yang akan melahirkan, barulah bila saatnya telah tiba, atas petunjuk dari dukun
keluarga atau dukun atau kader akan menghubungi bidan.Saat awal tersebut, dukun
akan menunggu ibu menjelang persalinan sambil mengamati perkembangan proses
persalinan. Bila dirasa sudah waktunya maka bidan baru dihubungi. Hal ini karena
menurut anggapan masyarakat dukun mempunyai kemampuan mendeteksi kapan
persalinan akan terjadi. Berikut penjelasan dukun tentang tanda-tanda
inpartu(menjelang persalinan).
“ Mau lahir kalau telah keluar lendir campur darah yang kental, pinggang terasa pegal dan sakit, ….. “
Bila tanda-tanda tersebut sudah dirasakan ibu, maka saatnyalah untuk
memanggil bidan. Sarana hp menjadi penghubung utama antara dukun, bidan dan ibu
bersalin untuk saling berkomunikasi.
Gambar 3.9.10.
Peralatan Persalinan
Dukun yang Diperoleh
Saat Pelatihan
Sumber: Dokumentasi
Peneliti
360
Pemanfaatan dukun atau Sando pada saat persalinan diduga terus berlangsung
karena kebiasaan setempat disamping peran dukun terkait ritual menjelang persalinan
dan kesediaan untuk menunggu ibu, seperti diutarakan seorang tokoh masyarakat.
“….dan sedikit untuk membantu..ya namanya di Parado ini ada sistim manunggu..ketika orang sedang..akan melahirkan..bersama dia melihat pada saat proses melahirkan, tidak malu mereka, ya dibantulah oleh bidan-bidan itu….”
Terkait dengan pemanfaatan dukun, kenyataan tersebut sesuai dengan alasan
yang berhasil dikumpulkan dari hasil survey kepada ibu yang melahirkan dalam kurun
waktu 1 tahun terakhir. Para ibu (55 orang) melakukan pemeriksaan kehamilan ke
dukun dengan alasan terbanyak karena percaya kepada dukun (38,2%) dankarena
tradisi (27,3%). Dari gambaran tersebut menunjukkan bahwa keberadaan dukun masih
melekat erat dalam kehidupan masyarakat melalui tradisi yang dianut masyarakat.
Kemampuan dukun dalam melakukan kegiatan tradisi sudah mulai berkurang
seiring kepercayaan masyarakat yang semakin meningkat kepada bidan. Masalah
persalinan biasa diselesaikan dukun dengan jampe-jampe dan memberikan ramuan
tradisional seperti diungkapkan seorang dukun saat diwawancara.
“Sekarang sudah tidak memberi jampe-jampe lagi, karena sudah diberi obat puskesmas”.
Ramuan yang dipergunakan untuk mempercepat lahirnya bayiterdiri dari air,
madu (2 sendok makan), kuning telur (1 buah) dan merica (7 butir). Ibu dalam proses
persalinan akan disembur dengan sirih, pinang, kapur sirih, cengkeh, merica dan jahe
yang dikunyah dukun. Bahan-bahan tersebut, setelah dikunyah,disemburkan ke
kening, perut dan pinggang. Kebiasaan ini walaupun mulai berkurang tetapi masih
Gambar 3.9.11.
Seorang Sando (Dukun
Bersalin) dengan Alat
Menginangnya
Sumber: Dokumentasi
Peneliti
361
dilakukan. Dukun S yang menyatakan bahwa giginya sudah tidak kuat lagi menyatakan
tidak lagi mampu mengunyah bahan-bahan ramuan untuk disemburkan.
Ketrampilan dukun dalam mengatur posisi bayi dalam kandungan menjadi
salah satu alasan memanfaatkan dukun. Seorang suami menyatakan pernah
memanggil dukun untuk membetulkan posisi bayi dalam kandungan isterinya.
“Pernah, memang pernah tapi saat itu, sekitar tujuh bulan atau delapan bulan kadang kan anak-anak itu kan juga sudah gerak-gerak. Takutnya anaknya apa atau bagaimana akhirnya ke dukun itu. Untuk memposisikan posisi bayi”.
Dukun dirasakan masyarakat sangat ringan tangan karena mau datang setiap
hari membantu keluarga yang melahirkan. Dukun memandikan dan membersihkan
bayi selama 20 hari atau tergantung kebutuhan ibu bersalin. Biaya yang harus
dibayarkan kepada dukun juga tidak mahal, bahkan bisa dibayar bila sudah ada uang
atau saat pelaksanaan selamatan. Penuturan seorang ibu yang persalinannya ditolong
menggambarkan betapa sangat fleksibel pembayaran untuk dukun yang diduga
merupakan mengapa masih banyak orang memilihnya.
“Iya, tidak bayar….. pas tujuh hari pas waktu selamatan itu di kasih nasi ketan sama pisang gitu. Dibersiin sama dukunnya itu sama dua puluh hari, ibu sama bayinya.
Mereka dengan ikhlas membantu tanpa mengharap imbalan berlebihan.
Mereka mau datang setiap hari walaupun nantinya hanya diberi ketan dan pisang pada
saat selamatan 7 hari dan uang ala kadarnya.Alasan lain memilih jasa dukun antara lain
karena kedekatan rumah serta kesediaan dukun untuk menunggu ibumenanti saat saat
persalinan sampai dengan setelah persalinan.
“Iya katanya kalau sama dukun itu di tungguin, sama dukun itu sampai lahir.”
Berikut ini beberapa dukun dengan pengalamannya dalam menolong ibu hamil
dan bersalin:
(1) Ina SI(Ina = ibu), berusia sekitar 70 tahun sangat bangga menceritakan perannya
sebagai dukun merangkap kader kesehatan. Salah seorang puterinya sekarang
juga menjadi kader kesehatan. Selama ini pilihannya menjadi dukun adalah karena
ingin membantu orang dan menyenangkan orang lain agar mendapat pahala
sebanyak-banyaknya. Masalah rejeki yang diperoleh dari menolong ibu
melahirkan, bukanlah tujuan utamanya. Oleh karena itu, Ina SI tidak pernah
menentukan besaran biaya dari ibu atau keluarga yang ditolongnya.Masyarakat
362
pada umumnya memberikan makanan atau beras atau gula dan bahan kebutuhan
sehari-hari sebagai imbalan jasanya merawat ibu dan bayi sebelum dan setelah
persalinan.
(2) Ina O. Diawal menjadi dukun atau sando, pernah mendapat pelatihan dukun di
rumah sakit sekitar tahun 1992. Bahkan, beliau juga memiliki peralatan (dukun kit)
yang masih disimpan dengan rapi. Peralatan berupa gunting, alat timbangan bayi,
benang, 2 sarung tangan digulung dalam kain blacu yang disimpan di tas plastik.
Alat-alat tersebut masih tampak terawat dengan baik. Bila “terpaksa” harus
menolong ibu yang melahirkan, untuk memotong tali pusat digunakan gunting
yang disiram air panas kemudian diikat dengan tali yang sudah disediakan.
(3) Dukun S, adalah seorang dukun yang sudah berusia cukup tua yaitu sekitar 75
tahun. Mekipun tua, badan kecilnya masih terlihat sehat dan kuat menaiki tangga
rumah panggungnya. Saat ini sudah tidak terlalu aktif menjalani aktifitas sebagai
dukun. Adanya bidan di desa telah mengurangi tanggung jawabnya menolong ibu
yang melahirkan. Tugasnya saat ini lebih pada menunggu ibu yang sudah inpartu
yaitu yang sudah merasakan perut yang ‘kencang’ karena akan melahirkan, dan
merawatnya setelah persalinan selama 7 hari. Selain menyucikan placenta bayi,
dan membersihkan ibu dan bayi dari darah persalinan, tugas lain adalah
melakukan sempuru saat persalinan dan setelah persalinan.
Beberapa pengalaman diungkapkan dukun dalam menolong membetulkan
posisi bayi dalam kandungan yang tidak normal. Posisi akan diatur sehingga diharapkan
nantinya ibu bisa melahirkan dengan mudah dan posisi kepala di bawah. Seorang
dukun menyatakan bahwa Ina dukun pernah didatangi ibu hamil 7 bulan yang posisi
bayinya dengan bokong di bawah. Dilakukan pengaturan letak/posisi bayi dalam perut
beberapa kali. Upaya tersebut berhasil, terbukti ibu tersebut melahirkan dengan posisi
kepala bayi keluar terlebih dahulu. Menurut pengakuan dukun, upaya memutar atau
letak/posisi bayi dalam kandungan bisa dilakukan karena masih 7 bulan. Bila sudah
menjelang persalinan (9 bulan) upaya memutar letak bayi sudah tidak mungkin
dilakukan lagi.
Dukun lain bahkan menceritakan pengalaman menolong bayi dengan letak
bokong, dan bisa dilahirkan dengan selamat. Bahkan ada yang lahir dengan tangan
363
keluar, lalu dilakukan tindakan ‘reposisi’memasukkan tangan dan memutarnya
sehingga bayi dapat lahir dengan selamat. Keberanian dukun meolong persalinan
dibuktikan dari pengalaman seorang dukun (Ina O) yang menyatakan pernah
memasukkan tangan (merogoh) kedalam rahim ibu setelah melahirkan. Tangan yang
telah dibungkus sarung tangan masuk sampai setengah dari lengan bawah, dan
mengambil placenta yang tidak bisa lahir karena tali pusat tiba-tiba putus dan masuk
kedalam rahim. Dengan upaya merogoh tersebut, plasenta berhasil dikeluarkan.
Dukun menyatakan bahwa keadaan ibu baik-baik saja dan selamat.
Meskipun ada beberapa kesulitan, namun dari dukun-dukun yang diwawancara
menyatakan belum pernah mengalami persalinan yang berakhir dengan bayi dan ibu
meninggal dunia. Pada umumnya mereka menyatakan, dengan do’a-do’a maka
keselamatan ibu dan bayi menjadi terjaga. Minuman berupa air yang telah
didoakanoleh dukun juga banyak dimanfaatkan untuk melancarkan persalinan.
Di desa Lere yang letaknya terpencil dan dikelilingi bukit, dikenal seorang dukun
laki-laki. Dukun ini satu-satu dukun yang ada, sehingga bila tidak ada bidan maka
masyarakat terpaksa meminta bantuannya. Dalam pertolongan persalinan, dukun AB
tidak berhadapan langsung dengan ibu yang sedang dalam proses melahirkan. Bapak
AB akan memberi petunjuk kepada ibu dan keluarga yang menunggu, tentang apa
yang harus dilakukan dalam proses persalinan. Selanjutnya bila bayi dan placenta atau
ari-ari telah lahir maka bapak AB akan memotong tali pusat bayi. Di kalangan
masyarakat, bapak AB dikenal sebagai orang yang bisa memberikan do’a secara
langsung atau melalui air bagi ibu yang akan melahirkan. Beliau juga melakukan ritual
sembur atau biasa disebut ‘Sempuru’ kepada ibu melahirkan dengan cara mengunyah
daun sirih, kapur, buah pinang, jahe, cengkih merica. Semua bahan tersebut bersifat
panas, dikunyah kemudian disemburkan ke dahi, pinggang, punggung dan ujung kaki
dengan tujuan agar ibu yang menjelang melahirkan tidak ‘layu’ (lesu, lemas). Kadang
menjelang persalinan, ibu diberi minuman jamu terdiri dari telor dan madu yang
dipercaya akan menguatkan kontraksi rahim. Berikut pengalaman ibu KH saat saat
melahirkan anak pertama dibantu bapak AB.
“… saya diberi petunjuk untuk mendorong bagian atas perut saat perut kencang (kontraksi). Setelah bayi lahir dan ari-ari keluar, pak AB yang potong tali pusat bayi”
364
Jadi dalam pertolongan persalinan ini, dukun tersebut tidak mengikuti proses
persalinan secara langsung, dia hanya melakukan ritual ‘sempuru’ dan memberikan air
yang telah diberi do’a. Kebiasaan ini berlangsung selama bidan desa kosong pada
perode tahun 2010-2011. Setelah ada penempatan bidan, masyarakat memilih
mengundang bidan saat melahirkan. Saat ini di desa Lere sudah dibangunkan Polindes,
sehingga masyarakat sudah dapat memanfaatkan untuk persalinan. Sebagian lagi
memilih mengundang bidan dan melakukan persalinan di rumah mengingat kondisi
geografi yang agak menyulitkan bila persalinan sudah menjelang.
Bidan dalam Pandangan Masyarakat.
Sejak sekitar tahun 2010 sudah ada perekrutan bidan baru secara bertahap di
wilayah puskesmas Parado. Bidan yang bertugas silih berganti, mungkin karena
wilayahnya terpencil sehingga tidak banyak bidan yang betah tinggal lama di
Parado.Mengatasi hal tersebut, selanjutnya bidan yang direkrut diutamakan berasal
dari putri daerah setempat, mereka merupakan lulusan baru D3 kebidanan sehingga
berusia masih muda (sekitar 20 tahun lebih). Keberadaan bidan di desa sebagian tidak
asing lagi bagi masyarakat karena merupakan penduduk setempat meskipun bukan
dari desa yang sama.
Dukun sebagai pelaku lama di bidang pertolongan persalinan tidak melakukan
penolakan karena sebagian sudah saling mengenal mengingat ada sebagian bidan
masih ada hubungan keluarga degan dukun. Menurut tokoh masyarakat, bidan baru
melakukan pendekatan dengan tokoh masyarakat sehingga mereka lebih mudah
diterima masyarakat setempat. Dukun bahkan mendukung keberadaan bidan karena
telah meringankan bebannya di desa mengingat usia yang sudah semakin tua.
“ …dengan adanya bidan merasa nyaman ….”
Adanya perekrutan bidan juga dirasakan sangat menguntungkan bagi masyarakat
setempat. Apalagi pembiayaan setelah ada program Jampersal menjadi gratis untuk
semua golongan masyarakat.
“Kami berterima kasih kepada Pemerintah untuk menempatkan bidan-bidan ini. Sehingga masyarakat itu akan terbantu semua, baik itu yang guru maupun yang lain-lain, sampai yang paling miskin pun sudah terbantu semua. Persoalan melahirkan itu kan tidak ada biaya sama sekali buk”.
365
Seorang bidan dalam FGD menyatakan, bahwa ada dukun yang kadang-kadang
sengaja memanggilnya terlambat. Sebagai akibatnya, saat dia tiba di rumah ibu yang
bersalin, bayi sudah lahir ditangan oleh dukun, bidan hanya memotong tali pusat saja.
Biasanya, dukun akan beralasan karena lahirnya cepat. Berikut pernyataan seorang
bidan DF saat diskusi:
“Sering dukun menyampaikan ke suami untuk nanti saja menghubungi bidan, sehingga akhirnya saya datang terlambat, bayi sudah lahir….”
Hal mirip juga dinyatakan oleh seorang ibu yang melahirkan ditolong dukun,
meskipun keinginan semula adalah ditolong bidan tetapi gagal karena keburu terlahir.
“ Katanya itu dibilangin sama dukunnya iya, tapi nanti aja pas mau itu aja baru
panggil bidan. Dibilangin nanti-nanti dulu iya gitu. Jadi pas mau panggil bidan
langsung sudah lahir. Jadi pas datang bidan itu sudah keluar, sudah sampai ari-ari
itu juga sudah keluar”.
Ritual dukun menyemburkan sirih, kapur sirih dan pinang yang dikunyah ke
kening dan perut ibu yang akan melahirkan, dinyatakan seorang ibu yang diwawancara
sebagai penyebabrangsangan perut sehingga ibu melahirkan cepat(sebelum bidan
datang). Meskipun melahirkan dengan dukun, ibu hamil tetap memeriksakan diri ke
bidan di posyandu.
Keberadaan bidan sudah dapat diterima masyarakat, tetapi masih saja ada yang
melahirkan ditolong dukun. Seorang ibu yang melahirkan di dukun menyatakan bahwa
sebenarnya melahrkan di dukun karena terpaksa. Tujuan semula adalah bersalin di
bidan tetapi kemudian beralih ke dukun tanpa sengaja karena persalinan berjalan
sangat cepat, dan rumah dukun lebih dekat dibanding rumah bidan. Lagipula bidan
datang terlambat pada saat persalinan, bidan datang ke rumah untuk memotong tali
pusat.
Keberadaan bidan dirasakan semakin baik karena jumlahnya semakin banyak
dan mau bertempat di desa sehingga memudahkan masyarakat untuk mengakses
pelayanan bidan. Seorang suami menyataan senang bahwa bidan sudah mudah untuk
dipanggil bila dibutuhkan.
“Tahun-tahun kemarin mungkin bidan masih kurang, alhamdulillah sekarang bahkan satu desa sudah terdapat dua bidan. Makanya mempermudah, mereka karena punya kendaraan sistem sekarang kalau dulu masih belum punya HP,
366
tapi sekarang sudah punya HP bisa tiggal di SMS atau di telepon biasanya datang”.
Kemitraan Dukun dan Bidan
Kemitraan dukun bidan sebenarnya telah berlangsung lama. Penggantian bidan
yang sering terjadi menyebabkan kemitraan ini tidak bisa langgeng. Bahkan sejak
vakumnya keberadaan bidan untuk beberapa saat menyebabkan masyarakat lebih
cenderung memanfaatkan tenaga dukun dalam perawatan kehamilan dan pertolongan
persalinan.
Penempatan bidan baru dimulai sekitar tahun 2010 secara merata di setiap
desa dan pembangunan polindes/poskesdes telah mengembalikan kemitraan yang
pernah terjalin. Bidan sebagai tenaga kesehatan yang ditempatkan di desa di
kecamatan Parado pada umumnya adalah bidan yang baru lulus, dengan usia yang
masih sangat muda. Tampilan mereka yang masih sangat belia, menyebabkan adanya
keragu-raguan dari masyarakat tentang kemampuan khususnya dalam memahami
budaya setempat. Kerja sama yang dilakukan bidan-dukun. Dukun juga menjembatani
antara ibu dan bidan karena sebagian ibu belum mengenal dengan baik bidan yang
menolongnya. Pembagian kerja dan pemahaman tentang tradisi dikemukakan oleh
seorag tokoh agama dalam FGD.
“…..disamping bidan-bidan kita ini…. mereka bidan-bidan muda.. dikaitkan dengan pengalaman, mereka masih jauh..tapi kalau dengan..bersama-sama dengan dukun terlatih ini...... apa yang harus dilakukan dan sebagainya..nggak terlalu jauh..seperti..memakai daun sirih…... karena terus terang aja nih, bidan-bidan yang masih muda nih…. kalau secara akademik mampu mereka.”
Meskipun bidan dianggap masih muda, namun mereka mengakui bahwa
kemampuan bidan lebih baik dibanding dukun dalam menolong persalinan. Oleh
karena itu, dalam pembagian tugas antara dukun dan bidan, bidan berperan sebagai
penolong persalinan sedangkan dukun membantu seperti menunggu ibu menjelang
persalinan, membersihkan ibu setelah persalinan, mencuci baju, memandikan bayi.
Berikut pernyataan seorang suami tentang tugas bidan dan dukun.
“kalau budaya di sini ini, kalau melahirkan memang seratus persen oleh bidan..kalau selama ini. dukun dipanggil sekali-kali hanya sifatnya membantu.”
367
Dukun sudah sangat dikenal masyarakat sehingga masyarakat menganggapnya
sebagai orangtua sendiri, tempat berkeluh kesah dan meminta pertolongan.
Keberadaan dukun diantara masyarakat dan bidan menjadi jembatan sehingga ibu
bersalin tidak merasa malu dan asing dengan bidan.
“Bidan..maksudnya, periksa pertama itu… katakanlah dengan bidan…. pertama bertemu di sini (puskesmas).. agak malu dia, walaupun ibu memang sebagai dokter, nah di situlah masuk dukun terlatih, karena dianggap orang tuanya…..”
Sesuai dengan peraturan Kepala Dinas, ditetapkan bahwa untuk kerjasama
antara bidan dan dukun, dari dana yang diterimakan dari Jampersal, penggunaannya
antara lain adalah untuk biaya kemitraan dengan dukun yaitu sebesar Rp. 30.000,-.
Mengantisipasi hal ini, terkadang bidan harus mengeluarkan uang sendiri terlebih
dahulu.Meskipun sudah ada ketentuan, kenyataan di lapangan ada variasi pemberian
uang atau jasa dukun. Hal ini menyangkut penerimaan bidan yang tidak rutin setiap
bulan karena menunggu klaim biaya Jampersal turun yang biasa diajukan 2 kali setiap
tahun.
“Jika klaim dari Jampersal sudah keluar, uang yang diberikan ke dukun sebesar Rp. 20.000,- atau diberi gula 1 kg”.
Bidan diterima keberadaannya oleh dukun. Selain karena mereka adalah
penduduk setempat, bidan melakukan pendekatan kepada dukun dengan sering
berkunjung ke rumah dukun untuk sekedar bersilaturahmi.
Kemitraan bidan-dukun disambut dengan baik oleh dukun. Usia yang sudah
menua merupakan salah satu alasan. Ina SI yang berusia sekitar 70 tahun mengaku
Gambar.3.9.12. Bidan
Tampak Akrab dengan
Dukun Saat Wawancara
di Rumah Dukun
Sumber: Dokumentasi
Peneliti
368
sudah tidak menolong persalinan lagi karena perannya sudah digantikan bidan B yang
bermitra dengannya. Menurutnya, bermitra lebih menyenangkan karena tanggung
jawabnya menjadi semakin ringan.Setelah ada kemitraan, tugasnya adalah merawat
ibu dan bayi termasuk memandikan bayi sampai dengan lepasnya tali pusat yang
terjadi sekitar 7 hari setelah lahir.
Mengingat banyak dukun yang sudah tua rata-rata di atas 50 tahun), dan tidak
ada pengganti dukun yang lebih muda, maka kerjasama dengan bidan dilakukan
dengan senang hati oleh dukun maupun bidan. Kemitraan ini semakin lancar dengan
adanya kader kesehatan yang turut berperan, khususnya membantu keluarga
memanggil bidan. Keberadaan dan kepemilikan telepon genggam (handphone/hp)
sangat membantu masyarakat untuk saling berkomunikasi. Dari pantauan dan
pengakuan warga, hampir setiap rumah paling tidak memiliki satu buah hp sebagai alat
komunikasi. Mengingat jarak rumah kadang cukup jauh, maka adanya telekomunikasi
yang murah dan terjangkau sangat menolong masyarakat. Bidan, dukun, kader
biasanya sudah memiliki nomor hp masing-masing sehingga bila membutuhkan bila
saling berkomunikasi dengan cepat. Hal ini terutama sangat dibutuhkan untuk daerah
yang terpencil seperti Desa Lere dan beberapa dusun yang lokasinya jauh dari
keramaian dan transportasinya cukup sulit.
Pembentukan kemitraan ini tidak bisa berlangsung dengan mudah. Hambatan
pada awal kegiatan dirasakan oleh bidan. Setelah melakukan pendekatan, hubungan
bidan-dukun saat ini sudah mencair.
“Kalau dulu jujur sih ada ya, sampai sekarang masih terasa sedikit kalau di Parado
Wane sedikit, Parado Rato juga”.
Dukun adalah pihak yang disegani oleh masyarakat dan perkataannya tidak
berani dibantah.Keputusan kapan memanggil bidan ada ditangan dukun dan keluarga
tidak berani melakukan tanpa perintah dukun. Hal ini yang menyebabkn kadangkala
bidan datang terlambat pada proses persalinan dan sulit mengajak ibu untuk bersalin
di polindes atau poskesdes.
“Ibu bersalin itu lebih takut ke dukun.Pas mau masuk kala dua baru memanggil
bidan. ….. Sampai sekarang, jadi itu kita yang paling berat. Jadi kita itu
kebanyakan nolong dirumah, jadi sebagian yang di poskesdes. Tapi yang paling
369
banyak itu ibu dukun panggil bidan itu. sudah kita tidak bisa bawa dia ke sarana
kesehatan. Pas mepet-mepetnya itu yang masih kerasa ya sampai sekarang”.
Pemanfaatan Pelayanan Jampersal
Pelayanan Jampersal tak lepas dari pelayanan oleh bidan dan pelayanan di
fasilitas kesehatan sebagaimana disyaratkan dalam peraturan yang berlaku.Fakta di
Parado berkata lain, karena masih terbatasnya ketersediaan fasilitas kesehatan, masih
banyak ibu yang melahirkan di rumah. Kemudaham komunikasi dengan hp bisa
dilakukan kecuali di desa Lere yang terletak di perbukitan. Sinyal hp kadang sulit
diperoleh, sehingga terkadang ada kesulitan bila akan menggunakan hp untuk
menghubungi bidan. Keberadaan sarana telekomunikasi sebagai alat komunikasi telah
membantu peningkatan pemanfaatan Jampersal karena masyarakat menajdi sangat
mudah menghubungi bidan seperti dikemukakan seorang suami.
“…..karena waktu ketemu dengan ibu itu dikasih nomer HP nya bidan, jadi nanti ada apa-apa nanti tinggal di SMS atau di telepon …”.
Pelayanan KIA yang tidak bisa diakses, biasanya karena faktor biaya
transportasi yang harus ditanggung masyarakat bila rumahnya cukup jauh dari rumah
bidan atau puskesmas. Sehingga akhirnya ibu dan kelurganya mengundang dukun
untuk membantu persalinan. Menurut penuturan bidan dalam FGD, kebanyakan ibu
dengan pendidikan yang lebih rendah yang banyak pergi ke dukun. Pendidikan lebih
tinggi lebih mudah untuk diajak bersalin di fasilitas kesehatan.
Pelayanan pemeriksaan hamil pada bidan umumnya dilakukan ke posyandu.
Meskipun sudaah memeriksakan diri ke bidan, masyarakat masih membutuhkan dukun
pada saat kehamilan. Ibu hamilmasih banyak pergi ke dukun khususnya bila ada
keluhan di badan dan perut terkait dengan kehamilannya. Mereka datang ke dukun
untuk membetulkan letak bayi dalam kandungan, mereka menganggap kemampuan ini
dimiliki oleh dukun dan bukan bidan.
Masyarakat mengetahui bahwa pelayanan KIA termasuk pemeriksaan
kehamilan dan persalinan bisa diperoleh gratis, namun rasa masih percaya kepada
dukun menyebabkan mereka memeriksakan kehamilan ke bidan tetapi tetap memilih
dukun pada saat persalinan seperti pengalaman ibu H berikut ini. Meskipun senang
dengan program Jampersal tetapi ternyata pemanfaatan Jampersal belum maksimal.
370
“ Iya tahu. Dia tahunya di bu Kader dan di Posyandu …..iya senang….., saya periksa ke bidan, makanya seperti tadi saya bilang lahirnya aja sama dukun”.
Disamping pelayanan gratis yang lebih meringankan secara ekonomi, para
suami juga senang dengan adanya Jampersal karena pelayanan yang diberikan dari hari
ke hari semakin baik bahkan terkadang mendapat tambahan susu dan vitamin dari
bidan.
“Alhamdulillah beban berkurang ya, karena kita percaya ini mungkin karena kita di kunjungi, … adakalanya ibu dikasih susu, vitamin dan sebagainya, …..”
Pelayanan KIA di desa Lere yang terpencil sudah semakin mudah diakses oleh
masyarakat karena bidan sudah ditempatkan di desa sejak awal tahun 2012. Dahulu
ada bidan yang di tempatkan tetapi kemudian di tarik ke puskesmas sebagai
koordinator bidan puskesmas. Menurut tokoh masyarakat, mereka senang adanya
bidan saat ini dengan adanya Jampersal. Perbedaannya, dulu ke bidan harus
membayar sekarang semua pelayanan bidan gratis. Bapak T, seorang suami yang
berasal dari desa Lere mengemukanan pengalamannya.
“…. enggak ada….cuman perbedaannya itu, kalau dulu itu….harus dengan biaya dulu..sekarang sudah gratis , masyarakat tuh takutnya dengan biaya ..sekarang mana ada lagi dengan biaya.”
Pemanfaan Jampersal membutuhkan persyaratan yaitu dilakukan oleh tenaga
kesehatan dan dilaksanakan difasilitas kesehatan, namun di lapangan ternyata ada
toleransi. Hal ini, mengingat pemerintah belum mampu menyediakan faskes persalinan
di desa (poskesdes) secara merata disamping sarana juga alat kesehatan dan tenaga
kesehatan belum lengkap. Peningkatan cakupan dengan adanya dana Jampersal terasa
sekali karena selama ini hambatan linakes adalah kemampuan ekonomi membayar
biaya nakes. Berikut data pemanfaatan yang ada di Kabupaten Bima pada tahun 2010
dan 2011.
Hasil pantauan bidan yang menyatakan hampir semua pelayanan persalinan
sudah memanfaatkan Jampersal, sesuai bila dicocokan dengan hasil survey yang
hampir semua jenis pelayanan KIA diperoleh masyarakat secara gratis baik melalui
Jampersal atau Jamkesmas/Jamkesda. Hasil diskusi juga memberikan gambaran,
bahwa pembiayaan Jampersal dan Jamkesmas masih sulit dibedakan oleh masyarakat.
Mereka umumnya hanya memahami bahwa pemerintah memberikan pelayanan
gratis. Berikut ini secara terperinci data pembiayaan pelayanan KIA.
371
Tabel. 3.9.9.
Sumber Biaya Pelayanan KIA di Kecamatan Parado
Jenis Pelayanan Sumber Biaya (%)
Sendiri/ Keluarga
Jampersal Jakesmas/ Jamkesda
Lainnya
ANC 5,7 61,4 30,0 -
Persalinan 7,1 60,0 31,4 1,4
Periksa Pasca Salin 5,7 50,0 27,1 -
Periksa Neonatus 14,3 50,0 24,3 -
KB 41,4 17,1 7,1 4,3
Sumber: Data Primer
Data survey di Parado menunjukkan bahwa dari 70 responden menyatakan
melahirkan di rumah sebanyak 42,9%, sedangkan 35,7% di polindes/poskesdes, 17,1%
di puskesmas dan 4,3 di RS. Meskipun dikatakan bahwa 97,1 % persalinan ditolong
bidan tetapi perlu dicermati apakah persalinan tersebut murni ditolong bidan atau
ditolong dukun, setelah itu barulah bidan datang melakukan sisa pekerjaan dukun
yaitu memotong tali pusat. Hal ini terkait pengakuan responden yang mengatakan
penolong pertama adalah dukun sebanyak 20%.
Tabel. 3.9.10.
Penolong Pertama dan Terakhir Persalinan di KecamatanParado
Jenis Tenaga Penolong Pertama Penolong Terakhir
Dokter 2,9 % -
Bidan 71,4% 97,1%
Dukun 20,0% 2,9%
Suami/Keluarga 5,7% -
Lainnya - -
Sumber: Data Primer
Bila dilihat dari hasil survey terlihat bahwa persalinan yang ditolong
bidan/nakes yang dilaksanakan di faskes hanya 57,1%. Artinya, angka di Parado masih
lebih rendah dari hasil laporan di tingkat Kabupaten Bima tahun 2011 yang mencapai
70,41% (Lihat tabel di bawah).Tampaknya sudah baik persalinan oleh tenaga
372
kesehatan di Parado, namun persalinan di fasilitas kesehatan masih perlu
diperjuangkan.
Tabel. 3.9.11.
Cakupan Persalinan oleh Linakes di Faskes Kabupaten Bima
Penolong dan Tempat
Persalinan
Cakupan
2010 2011 2012 (target)
Linakes 74,00% 88,00% 90,00%
Linakes di Faskes 55,06% 70,41% 80,00%
Sumber: Profil Kabupaten Bima Tahun 2011
Pengetahuan tentang Jampersal
Banyak masyarakat tidak memahami tentang Jampersal, bahkan belum pernah
mendengar tentang Jampersal seperti pengakuan seorang ibu yang diwawancara pada
persalinan terakhir melahirkan tanpa dana Jampersal. Dengan adanya sosialisasi
persalinan gratis dalam arti dibiayai melalui dana Jampersal, baik kelompok kaya atau
miskin banyak yang memanfaatkannya. Bahkan masyarakat sudah mengetahui bahwa
bila bersalin ke bidan tidak perlu membayar sesuai dengan peraturan pemerintah.
Namun tampaknya pengetahuan bahwa Jampersal adalah pelayanan gratis tidak hanya
persalinan tetapi juga untuk pemeriksaan kehamilan dan pasca persalinan hanya
diketahu oleh 37,1% responden ibu yang diwawancara di Parado.
Pengetahuan tentang Jampersal ternyata banyak diperoleh melalui tenaga
kesehatan khususnya bidan. Hasil survey terhadap ibu di Parado dapat mencerminkan
hal tersebut seperi tertuang dalam tabel berikut.
Tabel. 3.9.12.
Perolehan Informasi tentang Jampersaldi Kecamatan Parado
Sumber informasi Menyatakan ‘ya’ (%)
Media massa 11,4
Tenaga Kesehatan 78,6
Petugas desa 14,3
Poster 0,0
Sumber lainnya 8,6
Sumber: Data Primer
373
Pembiayaan Kesehatan Ibu dan Anak. Pelayanan KIAbanyak dilaksanakan di
puskesmas dan bidan desa atau posyandu. Pelayanan gratis melalui Jamkesmas
(Jaminan Kesehatan Masyarakat) sudah dikenal masyarakat sejak lama. Menurut tokoh
masyarakat, sebagian besar penduduk setepat sudah memiliki kartu Jamkesmas, bagi
yang belum memiliki bisa meminta surat miskin kepada kepala desa untuk
dipergunakan bila dibutuhkan.
Terkait dengan pembiayaan KIA, para ibu biasa memeriksakan diri dan anak
balitanya di posyandu atau polindes dengan pembiayaan gratis. Jadi pada umumnya
masyarakat sudah memahami bahwa pelayanan KIA di posyandu diberikan secara
cuma-cuma sedangkan pelayanan pengobatan juga gratis dengan menunjukkan kartu
Jamkesmas. Istilah Jampersal tidak semua suami memahaminya, mereka hanya
menganggap seperti pelayanan Jamkesmas yang dari semula sudah dipahami sebagai
pelayanan gratis. Pelayanan gratis adalah alasan terbanyak yang dikemukakan
responden ibu yang di survey di Parado yaitu 77,5% disusul dengan ‘anjuran nakes’
sebanyak 12,2% dari 49 responden yang mengaku persalinannya menggunakan dana
Jampersal.
Suami sangat mendukung adanya dana Jampersal karena meringankan beban
biaya dalam persalinan.Bahkan mereka merasa malu karena dibantu tanpa
memberikan sesuatu apapun sebagai imbalan jasanya.
“Kadang juga kita sungkan ibu, dengan datangnya bidan dari jam sekian ke jam sekian, baru pulang hanya terima kasih”.
Menurut kepala puskesmas, di Bima tidak oleh bidan menerima uang dari
pasien walaupun hanya sedikit. Bila memaksa maka pasien harus membuat pernyataan
di atas meterai. Hal ini dikuatkan pernyataan seorang suami yang mendengar bidan
menolak menerima uang dari pasien, seperti yang disampaikan bidan saat menolong
persalinan di puskemas.
“kalaupun bapak kasih biaya ke kita, kita akan tidak bisa menerima, tidak berani menerima. mungkin biaya ada, biaya makan. Kalau istri kita melahirkan di Puskesmas, transport dll. Kalau biaya untuk persalinan kalau melahirkan tidak ada, untuk bidan tidak ada.
Meskipun menurut tokoh masyarakat rata-rata penduduk ekonominya baik,
tetapi berdasar fakta di lapangan masih banyak penduduk yang tergolong miskin
terbukti dari kepemilikan kartu Jamkesmas yang rata-rata lebih dari 50%. Disamping itu
374
kemampuan masyarakat dalam pembiayaan kesehatan juga terungkap dari penuturan
bidan yang menyatakan ketidakmampuan pembiayaan kesehatan tatkala dilakukan
rujukan ke rumah sakit.
“Dari sisi ekonomi standar kayaknya buk, kalau pengalaman saya sendiri ya. Disini biasanya kalau ada pasien yang gawat kita kan lakukan rujukan ya. Kalau untuk biaya ibuk jelas itu gratis karena kan ada Jamkesmas semuanya ya. Tapi kalau biaya keluargannya kan nggak mungkin harus ada yang dampingin kan. Pasti kendala kita rujukan itu pasti nggak ada biaya. Setiap rujukan, selama-lama proses rujukan itu nggak ada biaya, itu selalu ya. ….. Ya kita juga mau apa, katanya ya sudah mending disini aja, kalau meninggal...,meninggal disini aja karena nggak punya biaya dia.”
Beban pembiayaan persalinan yang dirujuk cukup besaruntuk pembelian
makanan dan transport pengantar dari keluarga dan tetangga. Bidan menganjurkan
agar penunggu tidak perlu banyak (lima orang atau lebih) tapi cukup satu orang,
namun hal tersebut tidak bisa mereka laksanakan karena merasa tidak bisa menolak.
Upaya lain di masyarakat berupa iuran untuk tabulin juga sulit berlangsung.
Keterbatasan tingkat ekonomi terlihat karena untuk membayar tabulin (tabungan ibu
bersalin) yang hanya bernilai 2000 sampai dengan 5000 rupiah sebagian tidak mampu.
Menurut bidan, masyarakat pada umumnya tidak memiliki banyak uang cash, karena
kebutuhan sehari-hari sudah terpenuhi dari sekitarnya seperti beras dari sawahnya
masing-masing, sayur bisa dipetik dari kebun, ikan bisa mencari di sungai. Harta
kekayaan biasanya berupa misal ternak, yang untuk menguangkannya perlu waktu.
“ Ya lima, empat orang gitu kalau misal kita bawah itu bisa penuh itu keluarganya.jadi mandek jadi agak lama itu karena dari proses ekonominya katanya kurang katanya. Terus kan kita adakan ini juga buk apa Tabulin (Tabungan untuk ibu Bersalin) biasanya kan kita aktifkan itu, 5000 ya sebulan itu ya. Ada yang 2000, 3000 itu masih sangat susah juga karena kan pendapatan mereka tidak sampai begitu.”
3.9.5 Peran Tenaga Kesehatan dalam Pelaksanaan Jampersal
Sosialisasi Jampersal
Pada awal tahun 2011, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan
meluncurkan dana Jaminan Persalinan (Jampersal). Setelah tahun 2011 Jampersal
sudah benar-benar direalisir/diluncurkan, barulah dana persalinan dialihkan dari dana
Jamkesmas (khusus masyarakat miskin) ke dana Jampersal (April 2011). Program
375
Jampersal seperti juga program Jamkesmas dan Jamkesda didukung dengan adanya
peraturan Bupati yang mendukung pengelolaan Jampersal. Dikeluarkan DPA (Dokumen
Penggunaan Anggaran) sebagai pedoman dalam penggunaan anggaran. Di tingkat
Dinas ditentukan bahwa pengelola program adalah Bidang Kesehatan Keluarga dengan
didukung tim verifikator. Pengaturan Jampersal cukup terperinci bahkan ada aturan
pemberian termasuk honor untuk dukun yang diserahkan oleh bidan (sebesar Rp.
30.000,-) setiap kali mengantar ibu bersalin ke bidan. Dana lain yang diperhitungkan
adalah dana ATK dan jasa medis.
Pada tahun 2011 di tingkat Kabupaten Bima tersedia dana
JamkesmasdanJampersal sebanyak 4 Milyar rupiah. Dana tersebut ternyata tidak
cukup karena untuk Jampersal telah menghabiskan 2,1 M digunakan membiayai
sekitar 10.500 bumil. Pada tahun 2012 terjadi peningkatan sasaran bumil yaitu menjadi
11.690 orang dan peningkatan biaya Jampersal menjadi Rp. 640.000,-/sasaran dari
semula Rp. 350.000,- untuk biaya pelayanan KIA lengkap (ANC, Persalinan, PNC, KB).
Hasil penghitungan, maka dibutuhkan sekitar 7,5 M. Berarti terjadi peningkatan 3 kali
lipat dari kebutuhaan tahun 2011.
“Disamping itu juga disosialisasi, lewat Rakordes, lewat rapat lintas sektoral.”
Sosialisasi di tingkat puskesmas tentang Jampersal sudah dilakukan tetapi
bukan melalui pertemuan khusus. Informasi yang disampaikan pada dasarnya hanya
lebih terfokus kepada adanya pelayanan gratis yang diberikan pemerintah melalui
puskesmas dan jaringannya. Bidan yang bertugas di desa baik di polindes/poskesdes
atau posyandu merupakan ujung tombak yang terdekat kepada masyarakat dalam
menyampaikan informasi adanya pelayanan persalinan gratis.
Dalam melaksanakan pelayanan, bidan banyak dibantu oleh kader posyandu,
bahkan di beberapa desa, upaya ini juga dibantu oleh dukun yang bermitra.
Pernyataan dukun S menunjukan perannya dalam mensosialisasikan persalinan gratis.
Selain itu sosialisasi dilakukan juga melalui media agama seperti ceramah agama, saat
khotbah Jum’at. Pesan-pesan tentang pelayanan persalinan gratis disisipkan dalam
ceramah. Meskipun dinyatakan bahwa sosialisasi sudah cukup luas, namun pada
kenyataannya dari 21 responden yang melahirkan tanpa biaya Jampersal menyatakan
tidak memanfaatkan Jampersal karena tidak tahu yaitu sebesar 76,1%, hanya 1 orang
376
(4,8%) yang menyatakan tidak berhak, 1 orang (4,8%) merasa tidak puas dan 3 orang
(14,3%) karena alasan lainnya.
Pelaksanaan Pelayanan KIA dengan ProgramJampersal
Di wilayah Parado dengan 5 desa telah tersedia poskesdes 4 buah dari 5 desa
yang ada (Desa Parado Rato, Parado Wane, Kuta, Lere dan Kanca) karena puskesmas
terletak Parado Wane. Poskesdes di Desa Lere masih baru (tahun 2012) namun belum
ada sarana bagi bidan untuk tinggal di Poskesdes. Bidan di Desa Lere kebetulan berasal
dari setempat sehingga meskipun tidak tinggal di poskesdes tetapi mudah dihubungi
karena tinggal di Desa Lere. Desa ini baru dibangunkan poskesdes, namun sebelumnya
sudah tersedia puskesmas pembantu yang dilayani oleh seorag perawat. Sebelumnya
sudah ada bidan desa, tapi kemudian bidan ditarik ke puskesmas.
Di 5 desa kecamatan Parado, pelaksanaan pelayanan KIA sudah lebih mudah
diakses masyarakat karena sudah ada posyandu di seluruh wilyah desa. Kabupaten
Bima telah melaksanakan program Akino (Angka Kematian Nol), yang memberikan
pelayanan oleh pemerintah secara gratis. Di Kabupaten Bima tidak ada bidan praktek
swasta, berarti semua pelayanan KIA dilaksanakan oleh bidan pemerintah
denganJamkesmas Akino (Angka Kematian Ibu Nol), yang diselenggarakan secara
gratis. Meskipun demikian, masih ada saja bidan yang menyalahgunakan, dengan
meminta biaya pelayanan kepada pasien.
Pada saat kepala puskesmas baru datang (sekitar 4 tahun yang lalu), kesadaran
masyarakat untuk berobat ke tenaga medis sangat rendah, hal ini karena adanya
‘suntik keliling’. Masyarakat cenderung berobat ke dukun untuk diberi do’a atau ritual
lainnya. Keadaan sekarang sudah sangat berubah, dengan pemberian pengertian
kepada pasien dan melalui penyuluhan ke masyarakat, sekarang kesadaran berobat ke
tenaga medis sudah tinggi. Sekarang ada keluhan kesehatan sedikit misalnyakena
tusuk pisau sedikit saja datang ke UGD.
Pengelolaan Pelayanan Jampersal
Pelaksanaan Jampersal baru terealisir sejak tahun 2011 pertengahan, dan
secara keseluruhan setelah memasuki tahun 2012. Namun pelayanan gratis sudah
dinikmati masyarakat Parado sejak tahun 2010 ke belakang. Menurut bidan
377
koordinator puskesmas, persalinan sebelum adanya Jampersal sudah gratis melalui
dana Jamkesmas. Pembiayaan persalinan di masing-masing desa yang menggunakan
Jamkesmas sebelum adanya Jampersal:
- Desa Lere : Jamkesmas 100%
- Desa Parado Rato : Jamkesmas 60%
- Desa Kanca : Jamkesmas 100%
- Desa Parado Wane : Jamkesmas 60%
- Desa Kuta : Jamkesmas 70%
Kebijakan pengelolaan Jampersal di tingkat Kabupaten telah ditetapkan.
Berdasar peraturan Bupati tentang ‘Penetapan Tarif Pelayanan Kesehatan Dasar bagi
Peserta Program Jamkesmas dan Jampersal pada Puskesmas dan Jaringannya serta
Fasilitas Kesehatan Lainnya’ (Swasta yang Bekerjasama) serta ‘Pengaturan
Penggunaannya’ di Kabupaten Bima Tahun Anggaran 2012. Di dalam peraturan ini
tertuang Komponen Tarif Pelayanan yang mengatur Besaran Tarif sekaligus Pengaturan
Penggunaan. Sebagai contoh, disebutkan bahwa paket persalin normal 1 kali sebesar
500.000 rupiah dengan atura penggunaan untuk honorarium petugas sebesar 375.000
rupiah, konsumsi sebesar 16.000 rupih, transport dukun 30.000 rupiah dan pembelian
bahan habis pakai 79.000 rupiah.
Masih ditemukan pada orang tertentu yang tetap ingin membayar dengan
alasan tidak mau menggunakan dana Jampersal. Keadaan ini menurut kepala
puskesmas Parado, karena karakter orang Bima yang suka gengsi. Pernyataan kepala
puskesmas yang bersasal dari Jakarta mendukung keadaan ini.
“Sudahlah,karakter Bima ini kan gengsi, kalau nggak bayar malu, punya duit saya,… nah gitu. Ya dihantam enam ratus, tujuh ratus ya itu dimasyarakat”.
Aturan pengelolaan keuangan yang diterima dalam pelayanan persalinan sudah
ada ketentuan termasuk bagi mitra bidan yaitu dukun bahkan secara tidak tertulis
adalah kader. Kader juga mendapat porsi biaya seperti yang diungkapkan kepala
puskesmas.
“… sekarang klaim, dari 550 pun sudah ada kriteria saya bilang. Wajib memberikan mitra kerja, apa itu dukun..,tiga puluh, maksimal dua puluh. Sudah ada juknisnya nggak boleh kalau nggak kamu sampaikan. Ada juga uang kader, yang membantu kalian, ya mungkin 5000-10.000,-ada”.
378
Kecamatan Parado termasuk daerah terpencil sehingga tenaga bidan PTT
memperoleh gaji dengan insentif daerah terpencil dengan bedan yang cuku besar
dibanding bidan PTT non terpencil. Kondisi ini cukup membantu kinerja
bidankoordinator yang merupakan tenaga bidan PTT. Sebagai koordinator bidan
termasuk mengelolaJampersal, disediakan honor yang diambilkan dari dana BOK
sebesar Rp. 80.000,-/triwulan.Bidan yang lain adalah tenaga sukarela yang tidak bergaji
tetap, akan menerima honor berdasar hasil memberikan pelayanan KIA. Beberapa
tenaga dalam pengelolaan dana Jampersal di puskesmas.Menurut bidan, lebih enak
dengan adanya Jampersal meskipun masih menunggu klaim karena Jampersal adalah
dana yang sudah kepastian. Ditambah lagi untuk pelayanan kehamilan dan pasca
persalinan juga mendapat biaya sebesar Rp.20.000,-/kunjungan, mengingat sebelum
Jampersal biaya ANC dan PNC tidak ada (di gratiskan di posyandu dan faskes lainnya).
Pelayanan pasca persalinan termasuk KB, dan pemeriksaan neonates. Berdasar
informasi yang diperoleh di puskesmas, pelayanan KB masih ada beban biaya yang
harus dibayar oleh pasien yaitu KB suntik Rp. 10.000,- , Implant Rp. 20.000,-. Akseptor
IUD di wilayah Paradosangat jarang karena menurut tokoh masyarakat, ada keluhan
suami bila isteri menggunakan IUD yaitu suami merasa tidak nyaman saat
berhubungan seksual karena terganggu oleh ujung benang IUD.
3.9.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan Pelaksanaan Jampersal
Ketaatan masyarakat kepada tokoh agama. Penduduk Parado mayoritas Islam
memiliki tokoh agama yang menjadi panutan penduduk. Tokoh agama adalah tokoh
masyarakat, orang yang terpilih oleh karena kearifannya, keilmuan agama, serta
kemampuannya memimpin umat melalui jalur agama. Tokoh agama sekaligus tokoh
masyarakat di Parado sangat menjunjung tinggi pendidikan dan pengetahuan, serta
menghargai orang yang berilmu seperti bidan sebagai orang yang berpengetahuan dan
ketrampilan kesehatan. Sikap yang positip ini mendukung penerimaan bidan dimata
masyarakat khususnya kaum ibu.
Pendekatan tokoh agama yang mayoritas adalah laki-laki, melalui suami, telah
memberikan dampak diterimanya metode kesehatan modern dalam perilaku
379
masyarakat. Suami sebagai kepala rumah tangga, seringkali menjadi penentu
keputusan termasuk di bidang kesehatan. Keberpihakan suami kepada upaya
kesehatan melalui Jampersal, ada kemungkinan karena mereka diuntungkan secara
ekonomi. Melalui Jampersal, suami sebagai penanggung jawab ekonomi keluarga
merasa lebih ringan karena mendapat pelayanan KIA gratis. Suami adalah orang yang
lebih sering bersentuhan dengan tokoh agama melalui pertemuan agama, pertemuan
desa, dan kegiatan desa yang lain, sehingga pengaruh toma/toga yang membentuk
pengetahuan dan sikap suami yang kemudian diteruskan kepada isteri.
Pengaruh toga/toma terbukti, bidan yang memberi pelayanan dengan cara
medis modern dapat diterima masyarakat dengan mudah. Hanya butuh dua-tiga
tahun, masyarakat sudah menerima keberadaan pelayanan bidan khususnya dalam
pertolongan persalinan.
Tingkat pendidikan ibu. Hasilsurvey yang menggambarkan tingkat pendidikan
ibu cukup baik. Pendidikan tinggi, telah mendukung penerimaan masyarakat
khususnya ibu terhadap pelayanan medis modern. Pergeseran yang cukup cepat dari
kecenderungan memilih dukun beralih ke bidan merupakan prestasi yang luar biasa
dan tentunya ditunjang oleh pengetahuan dan sikap yang baik dari masyarakat secara
keseluruhan. Ibu sebagai pelaksana langsung dari kegiatan reproduksi (kehamilan
sampai dengan persalinan ) serta perawatan anak merupakan orang penentu
pemilihan penolong persalinan maupun kegiatan KIA lainnya, didukung dengan peran
suami.
Pengetahuan diketahui merupakan factor penting yang mendorong
dilakukannya suatu tindakan. Menurut teori perilaku, pengetahuan yang dapat
dicerminkan dari tingkat pendidikan, akan membuka peluang seseorang untuk
menentukan sikap dan praktek yang lebih positip berdasar tingkat pengetahuannya.
Namun demikian, masih banyak factor di luar pengetahuan yang juga berpengaruh
sebagai misal ketersediaan sarana prasarana yang dibutuhkan.
Kemampuan memanfaatkan teknologi komunikasi HP. Kecamatan Parado
adalah daerah yang tergolong terpencil. Untuk mencapai tempat tersebut tidak terlalu
mudah karena sarana transportasi terbatas dan membutuhkan biaya yang cukup
besar. Kesulitan semakin tinggi pada daerah tertentu seperti desa Lere yang berlokasi
380
diperbukitan dengan sarana jalan yang jelek dan tidak ada transportasi umum.
Hambatan geografi ini menjadi penentu dalam kemudahan mengakses pelayanan KIA
oleh bidan.
Perkembangan teknologi komunikasi saat ini semakin baik dan telah dikenal
alat komunikasi yang disebut telepon seluler atau telepon genggam atau hand phone
atau HP. Masyarakat Parado sudah sangat akrab dengan penggunaan HP. Alat
komunikasi yang ringan dan bisa dibawa kemana-mana, serta harga HP dan biaya pulsa
yang relative murah, menjadikan alat ini primadona di masarakat. Kepemilikan HP
sudah hamper merata dalam keluarga, bahkan ada keluarga yang setiap individunya
memiliki HP secara pribadi. Kemudahan ini telah dimanfaatkan masyarakat Parado
untuk saling berkomunikasi di anatara mereka.
Pemanfaatan HP dalam bidang kesehatan sangat terasa di Parado. Bidan, ibu
sebagai konsumen pelayanan, dukun, kader, bisa saling berkomunikasi untuk
selanjutnya menentukan tindakan dan pertemuan. Komunikasi untuk memanggil bidan
atau dukun disaat-saat yang dibutuhkan telah memperpendek jarak dan menyingkat
waktu. Melalui hp, bidan di posisi manapun asal terjangkau oleh sinyal telepon seluler,
bisa dihubungi dan diminta datang di waktu-waktu yang dibutuhkan misalkan malam
hari saat proses persalinan terjadi. Bahkan ibu dukun yang sudah tua, sebagian juga
mau belajar dan mampu menggunakan hp.
Jaringan komunikasi. Ketersediaan jaringan komunikasi merupakan syarat
utama bahwa hp dapat difungsikan. Semakin luas dan bervariasinya provider,
menimbulkan persaingan bisnis tersendiri dan setiap provider berusaha memberikan
pelayanan sebaik mungkin dan se efisien mungkin. Kondisi ini membantu masyarakat
menentukan pilihan provider telekomunikasi yang paling menguntungkan dengan
biaya yang terjangkau.
Bidan dan polindes di setiap desa. Upaya pemerintah menyediakan pelayanan
KIA yang mudah diakses masyarakat adalah dengan cara menempatkan bidan di desa
dan menyediakan gedung serta peralatannya. Penempatan bidan di wilayah Parado
sudah terealisir sejak tahun 2011 sampai dengan 2012. Ketersediaan ini dengan
mengangkat bidan yang merupakan orang asli setempat merupakan tindakan yang
efektif dan efisien. Bidan yang merupakan penduduk setempat diharapkan lebih
381
mudah beradaptasi bahkan sudah merupakan bagian dari masyarakat setempat
sehingga tidak mengalami hambatan budaya dalam pelaksanaan pelayanan KIA.
Tempat tinggal yang sudah dikenal, memudahkan bidan untuk merasa betah dan mau
mengabdi dengan sepenuh hati. Perpindahan bidan yang sering terjadi dapat menjadi
hambatan dalam kemitraan dan pengenalan masyarakat terhadap bidan. Dengan
mengenal sosok bidan secara utuh, memberikan kenyamanan masyarakat untuk
menerima dan mematuhi sebagai nasehat, tindakan yang diberikan bidan dalam
pelayanan.
Adanya tempat pelayanan berupa posyandu, polindes, poskesdes di
pemukiman penduduk telah mendekatkan jarak bidan dengan masyarakat. Cara ini,
memudahkan akses penduduk dari sisi jarak dan waktu serta mengurangi biaya
transportasi yang harus ditanggung.Kedekatan ini akan lebih memungkinkan
masyarakat mau datang ke fasilitas kesehatan karena tindakan/pelayanan kesehatan di
fasilitas kesehatan dianggap lebih aman dan tepat.
Pelayanan KIA gratis. Biaya pelayanan menjadi salah satu faktor penting yang
berpengaruh terhadap teraksesnya suatu pelayanan kesehatan. Status ekonomi
masyarakat Parado yang terkesan kurang digambarkan dari tingginya kepemilikan
kartu Jamkesmas. Adanya pelayanan gratis melalui Jampersal telah menjembatani
kesenjangan disisi ekonomi. Penerimaan masyarakat yang terkesan antusias (suami)
merupakan titik cerah dapat dicapainya pelayanan persalinan oleh nakes di faskes
sesuai dengan persyaratan Jampersal.
Pemahamanan tentang pelayanan gratis melalui Jampersal belum sepenuhnya
dipahami, karena masyarakat masih terfokus pada pelayanan Jamkesmas yang sudah
lama diterima. Menjadi tantangan pemerintah adalah agar pelayanan KIA dengan dana
Jampersal ini dapat berkesinambungan sehingga masyarakat bisa terus
menjangkaunya.
Hambatan
Tidak ada hambatan yang berarti dalam pelaksanaan pelayanan KIA dengan dana
Jampersal karena pada umumnya masyarakat senang memperoleh pelayanan KIA
secara gratis. Kesadaran untuk mendapat pelayanan medis semakin meningkat
382
ditunjang adanya kemudahan berupa pelayanan gratis, sarana komunikasi melalui hp,
dan bidan yang berlokasi di desa.
Percaya pada adat dan tradisi. Masih kuatnyakepercayaan dan tradisi di
masyarakat terkait kehamilan, persalinan dapat menjadi factor penghambat
penerimaan terhadap pelayanan medis oleh bidan dan tenaga kesehatan lainnya.
Dukun masih dianggap sebagai orang yang tepat membantu pelaksanaan adat dan
tradisi. Pengalaman dan usia tua dukun menimbulkan keyakinan yang lebih tinggi dan
rasa nyaman terhadap dukun. Kepercayaan yang bertentangan dengan ilmu kesehatan
modern dapat menjadi penghambat kerja bidan apabila bidan kurang mampu
menyesuaikan diri. Kepercayaan yang masih kuat terhadap hal gaib atau mistis perlu
dicarikan penjelasan yang dapat diterima masyarakat apabila akan dihilangkan.
Keterlibatan tokoh masyarakat/ tokoh agama, dukun sebagai orang yang dipercaya,
perlu dilakukan melalui pendekatan mengikuti budaya yang ada di masyarakat.
Tradisi seperti sempuru, telah memanfaatkan bahan alam berkhasiat obat
sehingga bisa member manfaat kepada ibu sebagai konsumennya. Namun, cara-cara
yang kurang higienis (bahan ramuan disembur langsung dari mulut) dapat menjadi
media penularan penyakit. Penyuluhan untuk peningkatan perilaku sehat perlu
ditingkatkan agar secara sadar ibu sebagai sasaran tradisi mampu menolak perilaku
yang dapat merugikan kesehatannya. Tradisi pemberian air yang diberi do’a oleh toga
atau dukun, meskipun belum bisa diterima secara nalar, namun tradisi ini dinilai tidak
membahayakan. Bahkan bisa dikaji secara spiritual dan mental telah kemungkinan
memberikan ketenangan psikologis sehingga pelaku lebih mantap dan punya keyakina
terhadap suatu tindakan.
Daerah perbukitan/Terpencil. Belum semua persalinan dapat dilakukan di
fasilitas pelayanan seperti di polindes atau puskesmas. Hal ini terjadi karena masih ada
masyarakat yang tinggal di wilayah yang sulit terjangkau alat transportasi. Kesulitan
tersebut menyebabkan masyarakat enggan melahirkan di fasilitas kesehatan. Ditilik
dari peraturan yang ditetapkan, pelayanan dengan dana Jampersal seharusnya hanya
diberikan bila dilakukan oleh tenaga kesehatan dan dilakukan di fasilitas kesehatan.
Pada akhirnya petugas kesehatan mengikuti kehendak masyarakat mengingat kondisi
memang tidak memungkinkan.
383
Kedekatan psikologis dengan dukun. Dukun pada umumnya adalah warga
setempat yang telah dikenal oleh warga sekitarnya karena telah menetap lama. Dukun
dipercaya masyarakat mampu dan bersedia untuk membantunya dalam hal ini adalah
terkait dengan KIA. Karena berasal dari satu suku yang mempunyai kebiasaan, adat
istiadat yang sama, membuat kedekatan psikologis antara dukun dengan warganya.
Oleh karena itu pada umumnya dukun melayani warga yang tinggal di desa atau dusun
yang sama.
Masih percayanya masyarakat kepada dukun menyebabkan masyarakat selalu
mengundang dukun saat menjelang persalinan untuk memberikan dukungan psikis,
spiritual karena umumnya dari agama yang sama maupun fisik karena dianggap
trampil dan berpengalaman di bidangnya. Hal inilah yang menyebabkan akhirnya
mendorong masyarakat selalu mendahulukan memanggil dukun disbanding bidan
dalam mengatasi keluhan selama kehamilan ataupun menghadapi persalinan. Berbagai
kepercayaan yang masih dianut masyarakat dan untuk pelaksanaan ritualnya
membutuhkan kehadiran dukun, menyebabkan masyarakat masih bergantung kepada
dukun.
Persalinan adalah suatu proses yang sangat individual. Ada persalinan yang
membutuhkan waktu lama dengan keluhan yang berbeda-beda. Ada pula persalinan
yang berlangsung sangat cepat, dengan tanda-tanda yang tidak terlalu dirasakan oleh
ibu. Menghadapi suatu proses yang baru dengan kondisi yang sulit diprediksi, seorang
ibu menjelang persalinan membutuhkan seseorang untuk mendampingi menghadapi
masa sulit tersebut. Untuk itu dibutuhkan orang yang telah dikenal secara baik
sehingga ibu hamil tersebut dapat mengungkapkan segala isi hati dan keluhan yang
dirasakan tanpa merasa malu atau enggan. Dukun bersalin menjadi orang yang
dituakan, dihormati dan dipercaya nasehatnya karena merupakan orang yang telah
berpengalaman bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun di bidangnya.
Kedekatan ini akan berdampak baik apabila dukun mau mendukung upaya
pelayanan KIA yang secara formal diselenggarakan oleh puskesmas melalui tenaga
bidan. Dukun yang berpihak pada program pemerintah seperti yang ditemui di Parado,
tampaknya terjadi setelah adanya pelatihan yang diselenggarakan puskesmas.
Kegiatan ini telah meningkatkan harga diri dukun sehingga dukun bersedia mendukung
384
dan menyetujui kemitraan dengan bidan-bidan muda yang relative belum
berpengalaman. Pembagian kerja dalam kemitraan bidan-dukun, dikatakan dukun
lebih menenteramkan hati karena mengurangi resiko yang harus ditanggung. Boleh
jadi pembagian kerja diterima dengan setengah hati atau terpaksa mengingat usia
dukun banyak yang sudah uzur sehingga ditinjau dari kemampuan fisik sudah
menurun.Terbukti, menurut keluhan bidan, beberapa dukun masih seringkali
terlambat memberitahu bidan dengan sengaja tentang persalinan yang sedang
berlangsung sehingga akhirnya ditolong oleh dukun.
Biaya jasa dukun. Dukun pada umumnya tidak menetapkan besaran biaya
sebagai imbalan jasa. Pemberian dari penerima jasa adalah atas dasar sukarela dengan
besaran yang bervariasi bahkan gratis. Pemberian masyarakat baik uang ataupun
barang, biasanya diterima dengan senang hati tanpa ada tawar menawar. Cara
pembiayaan ini sangat disukai masyarakat, karena bisa menyesuaikan dengan
kemampuan saat itu. Pembayaran bahkan dapat menunggu sampai mereka memiliki
uang. Pemberian uang atau barang (makanan dll) kadang disertakan saat adanya
upacara. Hal ini memberikan penghormatan tersendiri bagi dukun, karena
menunjukkan bahwa dukun bersalin digolongkan kepada orang yang disegani di
masyarakat. Pola pembiayaan seperti ini dapat mendorong masyarakat untuk terus
menggunakan jasa dukun, bahkan dalam kondisi terdesak, dukun menjadi tempat
tujuan pertama Karen tidak perlu menyediakan dana terlebih dahulu.
Sarana transportasi. Daerah yang jauh dari pemukiman akan menyulitkan untuk
menuju rumah bidan yang biasanya berlokasi di tempat yang memiliki fasilitas umum
lebih baik dan lengkap (air, listrik, sarana komunikasi, transportasi). Bagi penduduk
yang tinggal di daerah terisolir seperti yang dijumpai di desa Lere dan dusun Wane,
maka dibutuhkan transportasi khusus baik milik sendiri atau dengan cara sewa. Pada
kondisi mendesak, misal menjelang persalinan, maka keluarga kan cenderung menuju
peolong yang paling mudah dijangkau. Dukun pada umumnya juga dijumpai bertempat
tinggal di dusun terpencil, yang menjadi tujuan untuk perolehan pertolongan
persalinan maupun keluhan kesehatan lainnya.
Bidan tidak di tempat. Persalinan dapat terjadi setiap saat, berbeda dengan
pemeriksaan kehamilan yang bisa diatur waktunya. Oleh karea itu, bila saat persalinan
385
tiba dan bidan tidak ada di tempat (rumah, polindes/poskesdes), maka dicarilah orang
terdekat yang bisa menolong yaitu dukun bersalin. Kegiatan bidan yang tidak hany di
tempat tetapi juga melakukan kunjungan rumah, melayani posyandu, melakukan
kegiatan di pukesmas dll., menyebabkan bidan tidak bisa stand by 24 jam di tempat.
Ketiadaan penolong persalinan (bidan) ini akan memicu masyarakat mencari rang yang
mudah dihubungi. Dukun yang kegiatannya lebih banyak di rumah, tentu akan lebih
mudah diakses disbanding bidan.
Harapan
Pelaksanaan Jampersal di kecamatan parado dapat berjalan lancar dalam arti
bisa diterima seluruh masyarakat. Jampersal yang dapat dimanfaatkan oleh semua
penduduk dari yang miskin sampai kaya, tetapi dari responden yang ditanya, ada 50%
saja yang mendukung bila Jampersal hanya untuk orang miskin.Manfaat Jampersal
sudah dirasakan oleh penduduk Parado karena memberi jalan untuk dapat dilayani
oleh bidan, sebagaimana yang disampaikan seorang suami dalam FGD tentang
Jampersal yang telah memudahkan akses kepada pelayanan KIA oleh bidan.
“Terima kasih ke pemerintah dengan adanya Jampersal karena mendekatkan bidan ke masyarakat. Kalau bisa seumur hidup”.
Masyarakat merasa tidak ada masalah dengan pelaksanaan Jampersal.Meskipun
tidak paham penerapan Jampersal seperti apa, namun mereka pada intinya puas
dengan pelayanan gratis dan tidak ada keluhan apapun.
“ Kalau persoalan tidak ada kami buk, kami berterima kasih kepada Pemerintah untuk menempatkan bidan-bidan ini. Sehingga masyarakat itu akan terbantu semua, baik itu yang guru maupun yang lain-lain, sampai yang paling miskin pun sudah terbantu semua. Persoalan melahirkan itu kan tidak ada biaya sama sekali buk”
Mereka bahkan mengharapkan ketersediaan Jampersal oleh pemerintah dapat
berlangsung selamanya.
“Bagus karena ada biaya yang gratis itu buk. Suka tidak suka kita jadi mudah. Enaknya biaya konsultasi bidan gratis, persalinan gratis, jadi semua enaklah”.
Pembiayaan yang gratis meringankan secara ekonomi khususnya bagi suami,
sehingga dana untuk kesehatan bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan keluarga yang
lain.
386
“Pada saat kita membawa istri kita periksa, bahwa tidak ada lagi biaya.Sangat mudah, karena kita sebagai suami untuk biaya persalinan itu tidak ada. Jadi misalkan ada kebutuhan lain, maksudnya kalaupun ada dana bisa kita alihkan untuk kebutuhan-kebutuhan lainnya”
Bidan sebagai tenaga yang langsung berhadapan dengan masyarakat dalam
memberikan pelayanan KIA juga memiliki harapan terhadap Jampersal yaitu,
- Tersedia dana penyuluhan untuk masyarakat, dana bisa digunakan untuk: Rapat
koordinasi desa yang diselenggarakan 2 kali dalam setahun dengan melibatkan
berbagai sector tidak hanya kesehatan.
- Klaim bisa dilaksanakan lebih sering bahkan kalau bisa setiap bulan. Saat ini klaim
dilakukan 2 kali setahun sehingga seakan-akan mereka menerima uang banyak
sekali, sehingga hal ini menyebabkan kecemburuan petugas kesehatan yang lain.
- Jampersal diharapkan bisa meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan setelah
mampu meningkatkan persalinan ke tenaga kesehatan yaitu dari kurang 50%
menjadi lebih dari 50 persen.
- Jampersal diharapkan akan meningkatkan pelayanan KIA lain seperti ANC, PNC
(berupa knjungan rumah) dan cakupan akseptor KB.
387
3.10. Puskesmas Karang Pule, Kota Mataram
3.10.1. Gambaran Umum Kota Mataram
Kota Mataram merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara
Barat (NTB) yang terletak di pulau Sumbawa, salah satu pulau di provinsi NTB. Kota
Mataram termasuk salah satu kota dengan pemanfaatan dana Jaminan Persalinan
(Jampersal) yang cukup baik sesuai dengan laporan yang terkumpul di Bidang Bina
Kesga sebagai pengelola Dana Jampersal.
Data dinas Kesehatan kota Mataram menunjukkan bahwa total cakupan
persalinan oleh tenaga kesehatan pada tahun 2011 sudah mencapai target yaitu 90 %
dari seluruh persalinan, namun masih ada wilayah kecamatan dengan cakupan
persalinan oleh tenaga kesehatan yang masih rendah. Dengan melakukan konsultasi
kepada kepala Dinas Kesehatan kota Mataram didukung data dan hasil pelaksana
program kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan penanggung jawab Program Jampersal,
ditetapkan Kecamatan Karang Pule sebagai lokasi penelitian. Puskesmas Karang Pule
memiliki cakupan persalinan dukun yang masih cukup tinggi yaitu 3,9%. Hal ini
menimbulkan pertanyaan, mengapa di kota yang relatif mudah jangkauan ke fasilitas
kesehatan dan tersedianya pelayanan gratis, masih ada masyarakat yang memilih
bersalin ditolong dukun.
Kota Mataram adalah ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan
merupakan kota terbesar di propinsi ini. Kota ini terletak di Kabupaten Lombok Barat
dan terletak di sisi barat Pulau Lombok. Populasi terakhir berdasar data Sensus 2010
adalah 402.296. Selain melayani sebagai ibukota propinsi, Mataram juga telah menjadi
pusat pemerintahan, pendidikan, perdagangan, industri dan jasa.
Kondisi Geografi dan Topografi
Mataram sebagai Ibu Kota Propinsi Nusa Tenggara Barat, letaknya diapit antara
kabupaten Lombok Barat dan Selat Lombok. Secara geografis berada pada posisi
08°33' dan 08°38' Lintang Selatan dan antara 116°04' – 116°10' Bujur Timur.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Mataram Nomor 3 Tahun 2007, wilayah Kota
Mataram dengan luas 61,30 Km2 mengalami pemekaran menjadi 6 kecamatan di Kota
388
Mataram, yaitu Ampenan, Cakranegara, Mataram, Pejanggik, Selaparang, Sekarbela
dan50 kelurahan serta 298 lingkungan. Bandara baru yang melayani penerbangan
internasional telah diresmikan dan berada di Kabupaten Lombok Tengah. Karena
keterlambatan dalam membuka baru Bandara Internasional Lombok di Lombok
Tengah, penutupan Bandara Selaparang di Ampenan tertunda. Bandara tua di
pinggiran kota ini terus digunakan untuk penerbangan domestik dan internasional
sampai penutupannya pada tanggal 30 September 2011.
Gambar 3.10.1. Peta Wilayah Kota Mataram
Sumber: Bappeda Kota Mataram
Batas-batas administrasi kota Mataram adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara: Kecamatan Gunung Sari dan Kecamatan Lingsar KabupatenLombok
Barat.
Sebelah Selatan: Kecamatan Labuapi Kabupaten Lombok Barat
Sebelah Timur: Kecamatan Narmada dan Kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok
Barat.
Sebelah Barat: Selat Lombok
389
Jumlah, Kepadatan dan Laju Pertumbuhan Penduduk per Kecamatan
Berdasarkan data yang ada di Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, jumlah
penduduk Kota Mataram tercatat 406.910 jiwa, dengan kepadatan penduduk sebesar
6.638 jiwa/km², sedangkan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk menurut
kecamatan di wilayah Kota Mataram tahun 2011 dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.10.1
Luas Wilayah, Jumlah Desa/Kelurahan, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Mataram Tahun 2011
No Kecamatan Luas
Wilayah
(Km2)
Jumlah Jumlah
Penduduk
Kepadatan
Penduduk/
Km2 Desa Kelurah
an
Desa+
Kel 1 Ampenan 9,46 - 10 10 79.574 8.412
2 Sekarbela 10,32 - 5 5 53.648 5.198
3 Selaparang 10,77 - 9 9 73.399 6.815
4 Mataram 10,76 - 9 9 73.845 6.863
5 Sandubaya 10,32 - 7 7 61.710 5.980
6 Cakranegara 9,67 - 10 10 64.734 6.694
Jumlah(Kab/Kota) 61,30 - 50 50 406.910 6.638
Sumber : BPS Kota Mataram Tahun 2011
Rata-rata kepadatan penduduk Kota Mataram adalah 6.638 jiwa/km². Jika
dirinci menurut kecamatan, maka kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi
adalah Kecamatan Ampenan dengan kepadatan penduduk sebesar 8.412 jiwa/km²
sedangkan kecamatan yang kepadatan penduduknya paling rendah adalah Kecamatan
Sekarbela sebesar 5.198 Jiwa/km². Distribusi penduduk di Kota Mataram berdasarkan
Kelompok Umur tahun 2011 dapat dilihat pada grafik piramida di bawah ini:
390
Piramida di atas menunjukan bahwa ciri penduduk Kota Mataram tahun 2011
bersifat ekspansif karena komposisi penduduk terbesar terdapat pada penduduk
dengan golongan muda, yaitu umur 20-24 tahun, umur 15-19 tahun dan umur 25-29
tahun. Selain itu terdapat kecenderungan perbedaan komposisi penduduk laki-laki dan
perempuan pada penduduk golongan umur 0-14 tahun dengan umur 15 tahun ke atas.
Pada penduduk dengan golongan umur 0-14 tahun komposisi penduduk laki-laki lebih
besar dari perempuan, sebaliknya pada penduduk dengan golongan umur 15 tahun ke
atas komposisi penduduk perempuan lebih besar daripada laki-laki.
Masalah Kesehatan
Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator yang
menggambarkan derajat kesehatan masyarakat. Faktor yang mempengaruhi Angka
Kematian Bayi antara lain tingkat pengetahuan/pendidikan kedua orang tuanya, umur
perkawinan pertama, pola konsumsi, perilaku hidup sehat, keadaan sosial ekonomi,
adat istiadat, kebersihan lingkungan dan pelayanan kesehatan. Dalam Buku Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Kota Mataram Tahun 2010 dijelaskan bahwa angka
kematian bayi pada tahun 1999 adalah sebesar 53 bayi per 1.000 kelahiran hidup. Pada
tahun 2010 angka kematian bayi sudah berhasil ditekan hingga mencapai 38 bayi per
Gambar3.10.2
Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis KelaminKota Mataram Tahun 2011
Sumber : BPS Kota Mataram Tahun 2011
391
1.000 kelahiran hidup. Sedangkan jumlah kasus kematian bayi pada tahun 2011
tercatat sebesar 38 kasus, jumlah ini menurun 1 kasus dibanding pada tahun 2010
yaitu sebanyak 39 kasus. Berikut ini adalah distribusi kematian bayi tahun 2010 dan
2011 berdasarkan puskesmas yang ada di Kota Mataram:
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
J
u
m
l
a
h
Amp Tj Krg Kr Pl Mtr Slpr Pgs Ckr Kr Tlw Ds
Cm
Puskesmas2010 2011
Jumlah kasus kematian bayi tertinggi di Puskesmas Karang Pule yaitu sebanyak
10 kasus, sedangkan Puskesmas Karang Taliwang tidak ada kasus. Proporsi kasus
kematian bayi menurut umur adalah 65,79% terjadi pada neonates (0-28 hari) dan
34,21% pada bayi 29 hari – 1 tahun. Penyebab kematian bayi tersebut sebagian besar
disebabkan karena BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) sebesar 25,00 %; Asfiksia sebesar
25,00% dan ISPA sebesar 17,86%.
Angka Kematian Ibu (AKI).Angka Kematian Ibu Kota Mataram tahun 2011
dilaporkan 106 per 100.000 kelahiran hidup. Di Kota Mataram pada tahun 2009
terdapat 14 kasus kematian ibu dan tahun 2010 kasus kematian ibu telah menurun
menjadi 7 kasus yang terdiri dari 4 kasus (57,14%) kematian ibu bersalin dan 3 kasus
(42,86%) kematian ibu nifas. Tahun 2011 terjadi peningkatan kematian ibu sebanyak
10 kasus terjadi karena perdarahan (2 kasus), infeksi (1 kasus), eklamsia (1 kasus), dan
6 kasus karena penyebab lainnya (PWS KIA, Dinkes Kota Mataram, 2011).
Cakupan K1 dan K4 serta Pertolongan Persalinan. Cakupan kunjungan Ibu
hamil K4 adalah cakupan ibu hamil yang mendapatkan pelayanan selama masa
kehamilan sesuai standar paling sedikit empat kali selama masa kehamilan. Tahun
Gambar3.10.3
Distribusi Jumlah Kematian Bayi (AKB) di Kota Mataram Tahun 2010-2011
Sumber: Bidang Pembinaan Kesehatan Keluarga Dikes Kota Mataram Tahun 2011
392
2011 cakupan kunjungan ibu hamil K1 sebesar 100,40% dan K4 sebesar 97,33%
melebihi dari target sebesar 95%.
Tabel 3.10.2
Cakupan K1 dan K4 menurut Puskesmas Kota Mataram Tahun 2011
No Puskesmas Target Bumil
K1 K4
Jumlah % Jumlah %
1 Ampenan 1.531 1.543 100,78 1.525 99,61
2 Tanjung Karang 1.390 1.441 103,67 1.403 100,94
3 Karang Pule 1.102 1.117 101,36 1066 96,73
4 Mataram 1.113 1.075 96,59 1027 92,27
5 Selaparang 638 687 107,68 640 100,31
6 Pagesangan 1.953 1.887 96,62 1.869 95,70
7 Cakranegara 1.408 1.336 94,89 1.302 92,47
8 Karang Taliwang 741 777 104,86 717 96,76
9 Dasan Cermen 611 666 109,00 658 107,69
Kota Mataram 10.487 10.529 100,40 10.207 97,33
Sumber: Laporan PWS KIA tahun 2011
Selain cakupan K1 dan K4 indikator lain yang digunakan dalam pelayanan
kesehatan ibu dan anak adalah cakupan tenaga yang memberikan pertolongan pada
saat persalinan. Tenaga yang memberikan pertolongan persalinan dapat dibedakan
menjadi dua yaitu tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan (dukun). Tahun 2011
cakupan pertolongan persalinan oleh bidan/tenaga kesehatan yang memiliki
kompetensi menurut puskesmas adalah sebagai berikut:
393
Tabel 3.10.3
CakupanPersalinan oleh Tenaga Kesehatan danTenaga Non Kesehatan Kota Mataram Tahun
2011
Sumber : Laporan PWS KIA tahun 2011
Dari tabel diatas diperoleh gambaran bahwa terjadinya peningkatan cakupan
persalinan oleh tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dari 94,42% pada tahun
2010 menjadi 95,19% pada tahun 2011. Disamping itu cakupan persalinan oleh Tenaga
Non Kesehatan telah dapat diturunkan dari 1,25% pada tahun 2010 menjadi 0,70%
pada tahun 2011. Puskesmas dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan yang
memiliki kompetensi tertinggi adalah Puskesmas Dasan Cermen sebesar 118,6% dan
Puskesmas dengan cakupan persalinan oleh tenaga non kesehatan terbanyak adalah
Puskesmas Karang Pule sebesar 3,9%.
No Puskesmas Target
Bulin
Persalinan Nakes Persalinan Non
Nakes
Cakupan % Cakupan %
1 Ampenan 1.531 1.462 91,1 7 0,48
2 Tj. Karang 1.390 1.327 100,4 1 0,08
3
Karang Pule
1.102
1.052
94,7
41
3,9
4
Mataram
1.113
1.063
89,8
0
0
5
Selaparang
638
609
91,6
3
0,49
6
Pagesangan
1.953
1.864
94,6
4
0,21
7
Cakranegara
1.408
1.344
90,7
12
0,89
8
Kr.Taliwang
741 708
98,9
0
0
9 Dasan Cermen
611
518
118,6 2
0,39
10 Dasan Agung - - - - -
Kota Mataram 10.487 9.468 95,19 70 0,70
Tahun 2010 8.875 8.380 94,42 111 1,25
Tahun 2009 8.925 7.752 86,86 169 1,89
394
Kunjungan Neonatal 3 (KN3), Neonatal Komplikasi dan Kunjungan Bayi
Kunjungan Neonatal (KN) adalah neonatus (bayi berumur 0 – 28 hari) yang
memperoleh pelayanan kesehatan sesuai standar oleh tenaga kesehatan yang memilki
kompetensi klinis minimal 3 kali selama bayi berumur 0 – 28 hari. Tahun 2011 tercatat
cakupan Kunjungan Neonatal (KN) minimal 3 kali cukup tinggi yaitu 97,21%.
Neonatus komplikasi tertangani adalah neonatus komplikasi yang mendapat
pelayanan oleh tenaga kesehatan yang terlatih, dokter dan bidan di sarana pelayanan
kesehatan. Cakupan neonatus komplikasi yang ditangani masih cukup rendah
meskipun telah mengalami peningkatan dari Tahun 2010 sebesar 26,82% menjadi
39,65% pada tahun 2011. Sedangkan cakupan kunjungan bayi adalah cakupan bayi (29
hari – 11 bulan) yang memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan standar oleh
dokter, bidan dan perawat yang memiliki kompetensi klinis kesehatan paling sedikit 4
kali disatu wilayah kerja pada kurun waktu tertentu. Tahun 2011 cakupan kunjungan
bayi minimal 4 kali di wilayah Kota Mataram cukup besar yaitu 99,42% dari target
sasaran bayi.
Tabel 3.10.4 Cakupan Kunjungan Neonatal 3 (KN3), Neonatal Komplikasi dan Kunjungan Bayi
Kota Mataram Tahun 2011
No Puskesmas
Target Kunjungan Neonatus 3
(KN3)
Neonatal Komplikasi tertangani
Kunjungan Bayi 4
Bayi Lahir Hidup
Bayi Jml % Jml % Jml %
1. Ampenan 1371 1392
1340
96,26 168 80,4 1332 95,69
2. Tj Karang 1315 1264 1248
98,73 97 51,1 1447 114,48
3. Karang Pule 1029 1002 971 96,91 66 44,0 979 97,70
4. Mataram 948 1012 932 92,09 46 30,3 861 85,08
5. Selaparang 550 580 555 95,69 36 41,4 550 94,83
6. Pagesangan 1777 1775 1726
97,24 21 7,9 1707 96,17
7. Cakranegara 1235 1280 1188
92,81 61 31,8 1405 109,77 8. Kr Taliwang 629 674 697 103,4
111 57 56,4 644 95,55
9. Ds. Cermen 608 556 612 110,07
15 18,1 555 99,82
10.
Dasan Agung - - - - - - - -
Kota
Mataram
9462 9535 926
9
97,21 567 39,65 9480 99,42
Tahun 2010 8.449 8.45
0
8.2
53
97,68 339 26,75 8.407 99,49
Sumber : Laporan PWS KIA (Anak) Tahun 2011
395
Dari tabel 3.10.4 menunjukkan cakupan KN3 di wilayah Kota Mataram pada
tahun 2011 sebesar 97,21% dengancapaian cakupan KN3 tertinggi pada Puskesmas
Dasan Cermen sebesar 110,07% dan terendah yaitu Puskesmas Mataram sebesar
92,09%. Sedangkan cakupan Kunjungan Bayi minimal 4 kali sedikit mengalami
penurunan dari tahun 2010 sebesar 99,49% menjadi 99,42% pada tahun 2011.
Cakupan kunjungan bayi minimal 4 kali tertinggi pada Puskesmas Tanjung Karang
sebesar 114,48% dan terendah pada Puskesmas Mataram sebesar 85,08%.
3.10.2. Gambaran Umum Puskesmas Karang Pule
Puskesmas Karang Pule awalnya adalah sebagai Puskesmas Pembantu dari
Puskesmas Tanjung Karang. Sehubungan dengan meningkatnya kebutuhan pelayanan
kesehatan masyarakat maka Pustu Karang Pule tersebut dikembangkan menjadi
Puskesmas Karang Pule dan diresmikan pada bulan Januari Tahun 2002. Pembangunan
poskesdes didanai dari APBD (dana bagi hasil sukai tembakau di tingkat propinsi) akan
dibangun 2 poskesdes; ada 7 poskesdes akan dibangun dg dana DHS-2, sedang tanah
akan disediakan Pemda.
Kematian ibu yang masih tinggi di wilyah puskesmas Pule diduga karena
kurangnya kesadaran masyarakat dan perlunya peningkatan kualitas tenaga kesehatan
dokter dan bidan dalam menangani penyulit persalinan. Kepala Dinas kota Mataram
mengusulkan ada biaya selain Jampersal untuk digunakan meningkatkan kualitas bidan
dan dokter menangani masalah persalinan (KIA). Karena dibutuhkan refreshing
ketrampilan dan pengetahuan.
396
Tabel 3.10.5
Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Puskesmas Karang Pule Tahun 2011
No Kelurahan Luas Wilayah Jml Penduduk
(Jiwa)
1 Karang Pule 106,7 Ha 11.856
2 Jempong Baru 510,50 Ha 12.212
3 Pagutan 186,393 Ha 8.348
4 Pagutan Timur 112,112 Ha 6.780
5 Pagutan Barat 91,32 Ha 10.211
Jumlah 1007,025 Ha. 49.407
Sumber: Kantor Lurah Sewilayah Puskesmas Karang Pule Tahun 2011
Puskesmas Karang Pule sebagai penyambung tangan Pemerintah yang secara
langsung menangani masalah kesehatan di masyarakat wilayah puskesmas terdiri dari
5 kelurahan yaitu 3 kelurahan dari Wilayah Kecamatan Mataram, dan 2 kelurahan
berasal darai wilayah Kecamatan Sekarbela. Wilayah Puskesmas Karang Pule terdiri
dari 5 kelurahan yaitu, Kelurahan Karang Pule, Kelurahan Pagutan, Kelurahan Pagutan
Timur, Kelurahan Pagutan Barat, Kelurahan Jempong Baru.
Luas Wilayah Puskesmas Karang Pule sekitar 1007,025 Hadengan jumlah
penduduk 49.407 jiwa.Batas-batas wilayah Puskesmas Karang Pule adalah sebelah
utara berbatasan dengan Kelurahan Pagesangan, wilayah kerja Puskesmas
Pagesangan; Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Cakra Selatan, Wilayah kerja
Puskesmas Mataram; Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Lombok Barat;
Sebelah barat berbatasan dengan Pantai Mapak dan Kelurahan Tanjung Karang
wilayah kerja Puskesmas Tanjung Karang.
Kondisi di wilayah puskesmas Karang Pule tidak jauh berbeda dengan kondisi
secara umum di kota Mataram. Suhu udara di Kota Mataram berkisar antara 20.4 °C
sampai dengan 32.10 °C. Kelembapan maksimum 92% terjadi pada bulan Januari, April,
Oktober dan November, sedangkan kelembaban minimum 67% terjadi pada bulan
Oktober. Rata-rata penyinaran matahari maksimum pada bulan Februari. Sementara
jumlah hari hujan tertinggi terjadi pada bulan November sebanyak 27 hari, dengan
397
curah hujan rata-rata mencapai 1.256,66 mm per tahun, dan jumlah hari relatif 110
hari per tahun.
Mata pencaharian dan tingkat ekonomi masyarakat di Karang Pule tidak berbeda
dengan kelurahan lain di kota Mataram yang bervariasi, mulai dari buruh tani, petani,
pedagang, pegawai negeri sipil, Polisi bahkan TNI. Pendidikan, masih cukup banyak
penduduk yang mempunyai tingkat pendidikan rendah bahkan perempuan tidak tamat
SD. Pendidikan yang rendah menyebabkan banyak perempuan menikah muda.
Islam adalah agama mayoritas penduduk Mataram disusul agama yang lain
yaitu Kristen, Katolik, Hindu, Buddha danKonghucu. Walaupun Islam merupakan
agama mayoritas di Mataram, namun kerukunan umat beragama dengan saling
menghormati, menghargai dan saling menolong untuk sesamanya cukup besar. Hal ini
sesuai dengan visi kota Mataram untuk mewujudkan Kota Mataram maju, religius dan
berbudaya.
Fasilitas kesehatan yang ada di wilayah puskesmas Karang Pule termasuk lokasi
dukun dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 3.10.4. Peta Fasilitas Kesehatan di Wilayah Puskesmas Karang Pule
398
3.10.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak
Pandangan tentang ibu hamil, bersalin, bayi/anak
Tuan Guru merupakan tokoh agama yang dihormati dan dijadikan panutan
setiap nasehat dan petuahnya. Dalam hal kepercayaan, masyarakat masih sangat
percaya terhadap kekuatan doa yang diberikan oleh Tuan Guru. Dalam setiap kejadian
baik kesehatan maupun non kesehatan, masyarakat sering memanfaatkan air minum
yang telah mendapat do’a dari Tuan Guru atau tokoh agama lain sebagai sarana untuk
memperoleh keselamatan. Peristiwa yang biasanya diberi air adalah bila ada masalah
kehamilan, persalinan, lama belum punya anak, masalah kesehatan pada bayi dll.
Peran Tuan Guru dalam ritual yang biasa dilakukan masyarakat adalah pemberi do’a
dan menyampaikan ceramah untuk acara Aqiqoh, cukuran, pemberian
nama,“Slamatan Perut”; tujuh bulanan, pembacaan surat Yusuf dan
Mariam,pemberian nama, diusulkan nama dengan urutan terkait Allah, Nabi/Rasul,
orang saleh.
Kepercayaan yang Masih Berkembang
Penduduk kota Mataram mayoritas beragama Islam, oleh karena itu
setiapperistiwa yang dikegiatan dimasyarakat banyak diwarnai dengan kegiatan
keislaman seperti pengajian, ceramah agama. Kepercayaan dalam tahap reproduksi
perempuan masih banyak diwarnai dengan kepercayaan, adat istiadat dan ritual.
Sebagaimana di berbagai daerah lain, kepercayaan, adat, ritual pada perempuan
dibedakan menjadi saat kehamilan, persalinan dan pasca persalinan. Hasil dari
wawancara responden di lapangan, menunjukkan hasil bahwa 68,6% melakukan ritual
saat hamil, 32,9% melakukan ritual saat persalinan, 71,4% saat nifas dan 90% ritual
untuk neonates.
Masa Kehamilan. Pengetahuan masyarakat dan ibu terhadap ibu hamil yang
berkembang di masyarakat Mataram, hamil merupakan yang alami bagi wanita yang
sudah bersuami, namun kepercayaan masyarakat terhadap ibu hamil cukup bervariasi
namun sikap dan perilaku masyarakat terhadap kepercayaan berkembang dimaksud
tetap berjalan secara alami, misalnya ibu hamil enam bulan dilakukan doa dengan
399
sesajen dengan tujuan jabang bayinya selamat dalam persalinan, ada juga tadisi tujuh
bulanan.
Masyarakat Mataram yang mayoritas beragama Islam tidak dapat lepas dari
pengaruh ajaran agama. Tuan Guru sebagai tokoh agama yang sangat dihormati dan
dipercaya masyarakat adalah tokoh yang menjadi sumber pengetahuan berbagai
keadaan yang terjadi. Menurut Tuan Guru, kehamilan adalah kondisi yang perlu dijaga
karena ibu mengandung janin yang akan terus tumbuh menjadi manusia seutuhnya.
Menurut penjelasan tuan Guru, tahapan janin dalam kandungan dapat dibagi tiga
yaitu, pertama pada usia 0-40 hari masih berupa mani yang bertemu dengan sel telur,
tahap 40-120 hari, masih berupa gumpalan darah yang belum bernyawa atau masih
mati. Disusul tahap >120 hr – 9 bulan 10 hari, janin telah ditiupkan ruh berarti janin
sudah bernyawa atau hidup. Pada usia kandungan <120 hari, ibu terutama harus
menjaga makanan untuk pertumbuhan janin dalam kandungan. Pada usia kandungan >
120 hari, seorang ibu yang mengandung selain memperhatikan konsumsi makanan
untuk kebutuhan perkembangan bayi juga harus menjaga perilaku yang baik karena
janin sudah bernyawa dalam arti sudah dapat terpengaruh oleh perilaku ibu.
Anjuran pada kehamilan dan persalinan antara lain hindari pedas, kecut, dingin;
Makanan saat hamil diperhatikan, banyak membaca salawat dan menghindari yang
haram dalam segala hal. Pantangan yang diterapkan dipercaya untuk menghindari
keadaan yang tidak diinginkan atau yang membahayakan kehamilan dan persalinan.
Banyak tindakan yang dilarang dilakukan merupakan pertanda yang harus dijjauhi agar
tidak benar-benar terjadi. Sudah tidak ada pantangan dan penggunaan bawang
putih/merah untuk menolak bala seperti diungkapkan Ina Su (dukun bersalin).
Pantangan hamil muda: buah nanas, durian, mangga, nangka karena takut keguguran.
Hamil tua dan setelah bersalin tidak ada pantangan makanan, semua boleh
begitu ajaran dari bidan.Pantangan saat kehamilan tidak saja berlaku bagi ibu hamil,
dikenal pula pantangan bagi suami. Suami tidak boleh menyembelih hewan saat istri
melahirkan sampai dengan tali pusat lepas, dikenal pula pantangan bagi suami untuk
keluar rumah seperti pengakuan dukun Su, namun hal ini tidak dilakukan mengingat
suami harus bekerja mencari nafkah.
400
Aktifitas budaya yang dilakukan masyarakat mempunyai maksud tertentu.
Sebagai contoh beberapa pantangan/ tabu mempunyai maksud sebagai berikut, Ibu
hamil tidak boleh merajut/menjahit dengan tangan karena bisa berakibat persalinan
tidak lancar/tertutup seperti kain yang dijahit; tidak boleh duduk ditengah pintu masuk
rumah karena berakibat persalinan tersendat/terhalang; tidak boleh mengalungkan
kain dileher karena akan mengakibatkan lilitan tali pusat; tidak boleh membersihkan
bulu ayam yang disembelih karena bisa menyebabkan bayi kejang-kejang; tidak boleh
mandi mengenakan kain basah-basahan agar pada saat bersalin air ketuban tidak
pecah duluan.
Tabel 3.10.6
Aktifitas Budaya pada Masa Kehamilandi Wilayah Puskesmas Karang Pule
Aktifitas Budaya pada Masa Kehamilan
Ritual, tradisi, atau adat tertentu
Pantangan/Tabu Anjuran
Tradisi enam bulanan
kehamilan. Acara ini
dilakukan untuk
mendoakan ibu dan
jabang bayinya agar
selamat dalam proses
persalinan. Tradisi
dilakukan dengan
membuat sesajen dan
dilakukan dengan
keluarga dekat saja.
Atau Tujuh bulanan
(tradisi sama dengan
enam bulanan)
Ibu hamil tidak boleh merajut/menjahit dengan tangan
Tidak boleh duduk ditengah pintu masuk rumah
Dilarang makan cumi –cumi
Dilarang makan menggunakan wadah penggorengan
Dilarang makan buah nanas, durian, mangga, nangka
Dilarang minum air es
Makanan yang dipantang nangka, salak, durian, nanas, mangga kueni, Sprite , kepiting , udang
Dilarang: mengalungkan kain dileher
membersihkan bulu ayam yang disembelih
mandi mengenakan kain basah-basahan
membunuh binatang
duduk bertopang dagu,
gigit buah tanpa pakai pisau.
terlalu sering tidur
Bila ada gerhana bulan, ibu hamil harus mandi besar/keramas
Kalau mendengar seorang ibu hamil atau keluarga meninggal, ibu hamil harus mandi besar
Pada Masyarakat Hindu Bali, cara bicara suami isteri harus lemah lembut tidak boleh marah-marah agar memberikan contoh kepada calon bayi
Suami tidak mencukur rambut atau tidak bercukur sampai isteri melahirkan.
Bila memasak nasi, panci/dandang agar segera disiram air
Bila terjadi gempa bumi, ibu hamil disarankan mandi di sungai besar
Duduk harus beralaskan kain (di pantat)
Sumber: Data Primer
401
Masih dikenal pantangan bagi ibu hamil. Sedangkan pantangan terkait dengan
makanan antara lain dilarang makan cumi–cumi karena akan berakibat persalinan tidak
lancar (ada yang mengatakan plasenta lengket, ada yang mengatakan bayi seperti
cumi-cumi); makan buah nanas, durian, mangga, nangka dapat menyebabkan
keguguran.
Pada Masyarakat Hindu Bali, cara bicara suami isteri harus lemah lembut tidak
boleh marah-marah agar memberikan contoh kepada calon bayi. Selain ada anjuran
agar suami tidak mencukur rambut atau tidak bercukur sampai isteri melahirkan. Ini
sebagai pertanda bahwa suami yang rambutnya panjang artinya isterinya sedang hamil
sebagai isyarat agar suami tidak macam-macam sehingga akan memberikan rasa
tenang kepada isterinya. Anjuran lain, bila memasak nasi, panci/dandang agar segera
disiram air agar ibu tidak melahirkan kering atau air ketuban habis; duduk harus
beralaskan kain (di pantat) agar tidak terkena “kancing bumi”. Bila terjadi gempa bumi,
ibu hamil disarankan mandi di sungai besar agar persalinannya tidak mengalami
bahaya (bayi meninggal dalam perut).
Persalinan. Banyak aktifitas budaya yang berkembang pada masa persalinan di
masyarakat Mataram baik berupa mitos-mitos ataupun kebiasaan pijat seluruh tubuh
atau minum jamu dan anjuran-anjuran, yang bertujuan agar supaya ibu bersalin
dengan lancar tanpa halangan. Pantangan saat melahirkan yang masih dilakukan
misalnya, pintu-pintu di rumah tidak boleh tertutup, panci harus terbuka, gelang,
cincin harus dilepas.
402
Tabel 3.10.7
Aktifitas Budaya pada Masa Persalinan di Wilayah Puskesmas Karang Pule
Aktifitas Budaya pada Masa Persalinan
Ritual, tradisi, atau adat tertentu Pantangan/Tabu Anjuran
Nujuh Bulanan: mandi kembang oleh dukun, bisa disertai mengundang makan bisa juga hanya ritual.
Air disiram pada perut ibu hamil dan jalan lahir dilakukan oleh suami
Minyak kelapa diminum, air dibasuh pada wajah perut dan diminum.
Minum jamu
Dilangkahi suami
Berorah/pijat seluruh badan
Tidak boleh banyak bergerak/ berjalan
Tidak boleh makan yang amis seperti ikan lauut
Jalan pelan-
pelan
Sumber: Data Primer
Sebagai masyarakat Islam yang menghormati tokoh agama (Tuan Guru), banyak
hal yang mereka lakukan dengan meminta tolong kepada Tuan Guru. Terkait dalam
persalinan, berikut beberapa peran Tuan Guru yang biasa terjadi di masyarakat kota
Mataram.
1. Pengajian, memimpin pengajian dan memberika ceramah serta do’a.
2. “Slamatan Perut”; tujuh bulanan, memimpin pembacaan surat Yusuf dan Mariam.
3. Aqiqoh, cukuran, pemberian nama: mendo’akan sang bayi.
4. Pemberian nama; mengusulkan nama seorang bayi, biasanya menggunakan nama
yang mempunyai arti memuliakan dengan urutan terkait Allah, Nabi/Rasul, orang
saleh
5. Pemberian air yang diberi do’a bila ada masalah kehamilan, persalinan, lama belum
punya anak
Menurut informasi dari dukun Ina Sa, masyarakat sudah tidak banyak lagi yang
minta jamu kepada dukun. Boreh (jamu luar dibalurkan ke badan) dan jamu sudah
tidak pernah dilakukan lagi. Bagi Ina Sa, hal tersebut menguntungkan baginya, selain
malas juga karena membuatnya sulit dan bahan dari kulit kayu sudah sulit diperoleh.
Menurutnya, ibu muda sekarang juga tidak mau minum jamu, mereka memilih minum
403
obat yang lebih praktis serta ada anggapan bahwa orang yang minum jamu dianggap
“gawah” atau kampungan= bodoh.
Upacara yang masih dilakukan masyarakat pada masa setelah melahirkan adalah
1. Pedak Api (Padam api) upacara tujuh hari saat tali pusat lepas. Tidak ada acara
makan, hanya ritual. Ibu mandi keramas dengan memerikan santan pada rambut,
termasuk bayinya. Setelah itu dipakaikan benang melingkar perut ibu, benang
tersebut sebelumnya diberi doa-doa oleh dukun. Bila dukun tidak ada bisa
dilakukan oleh orang yang dituakan misalnya nenek. Setelah upacara ini, bayi baru
boleh diajak jalan keluar rumah. Pemberian nama juga bisa diberikan saat Pedak
Api, dan dapat dimintakan nama kepada Tuan Guru atau tokoh agama lain
2. Ruwahan: pesta Aqiqoh. Setelah pesta, dukun diberi dulang yang berisi makanan
dan sayur serta ikan dikirim ke rumah dukun.
3. Andang: pemberian kepada dukun setelah menolong ibu bersalin berupa wadah
berisi bers+ sirih + dibawahnya diselipi uang.
Kebiasaan masyarakat setelah hadir dalam suatu upacara ritual atau adat
terkait dengan persalinan adalah membawa berkat saat pulang. Berkat adalah
makanan saat pesta (sisa makanan dimakan bersama) yang dibawa pulang.
Pasca Persalinan. Banyak aktifitas budaya setempat (Mataram) yang
berkembang di masyarakat pada masa pasca persalinan yang bertujuan agar ibu cepat
pulih kesehatan dan dapat beraktifitas seperti sedia kala misalnya banyak makan
sayuran adalah banyak mengandung vitamin, ada hal-hal mitos yang berbau tahayul
misalnya Ibu Nifas tidak boleh menyahut bila dipanggil dari luar karena akan
“ketemuk”. Artinya, seseorang yang ditegur/disapa oleh makhluk gaib/jin yang
mengakibatkan sakit perut/gangguan kesehatan lainnya (pusing, muntah2).
Masih dikenal pantangan yang kurang baik terhadap ibu ibu bersalin misalnya
makan yang amis seperti ikan laut sebetulnya ikan laut merupakan sumber protein
hewani yang sangat diperlukan oleh ibu pada masa persalinan karena sumber protein
sangat diperlukan untuk mengembalikan kondisi ibu yang masih lemah pasca
persalinan dan zat protein yang sangat diperlukan untuk komponen imum untuk
mencegah penyakit.
404
Dalam hal perilaku/tindakan pasca persalinan, ibu saat cebok (membersihkan
bagian intim wanita) tidak boleh tersentuh tangan karena dipercaya akan bengka
kemaluannya. Pandangan ini menyebabkan kebersihan bagian intim wanita menjadi
kurang baik mengingat daerah tersebut perlu pembersihan yang cukup baik akibat
adanya darah ataupun luka yang mungkin terjadi akibat persalinan.
Pedak api merupakan suatu upacara/ritual yang dilakukan pada ibu dan bayi
pasca persalinan setelah tali pusat putus.Bayi dan ibu akan diberikan gelang di tangan,
pinggang dan jempol kaki ibu dan bayi. Gelang dibuat dari benang warna warni dan
digulung kemudian diberikan sematan umbi (bawang putih/mera) yang dipercaya bisa
menolak gangguan jin, sedangkan gelang di pinggang ibu berguna agar perut tidak
sakit dan darah nifas lancar keluar. Bagi bayi, gelang perut berguna agar tidak sering
buang air besar.Upacara ini dipimpin belian/dukun/ibu yang dituakan. Ibu-ibu/para
tetangga akan dibagikan kelapa yang telah diiris dan telah didoakan oleh dukun/ belian
agar ibu yang hadir tidak sakit mata. Irisan kelapa ini akan digunakan untuk keramas,
pembagian kelapa ini tetap dilakukan meskipun ibu melahrkan di nakes. Pada upacara
ini sekaligus diberikan nama kepada bayi dan membuat bubur merah putih yang
dibagikan kepada tetangga.
Plasenta atau ari-ari merupakan bagian dari bayi yang mendapat perlakuan
khusus. Adik kakak (ari-ari) setelah ditanam (dicuci, dibungkus kain putih, diletakkan di
wadah tanah liat), harus diberikan lampu/lentera. Untuk anak laki-laki di atasnya
diberikan rokok dan sirih sedangkan bayi perempuan diberi lipstik dan bedak.
Dikenal pula ritual terkait dengan adat Hindu. Kepus Pusar=Molang malik
(hindu) sama dengan pedak api pada masyarakat suku Sasak. Pada adat Hindu,
upacara tidak dipimpin dukun tapi oleh keluarga sendiri dengn berdoa bersama dan
diberi air suci pada si bayi serta diberikan nama. Upacara ini berlangsung setelah tali
pusat putus antara hari 7–15.Roras Dine (12 hari), upacara ini dilakukan pada saat bayi
usia 12 hari, dengan ritual berdo’a bersama oleh keluarga dengan membuat sesajen
yang bertujuan untuk keselamatan bayi.Sebulan pitung dine (1 buan 7 hari): upacara
dilakukan saat bayi usia 1 bulan tujuh hari yang bertujuan untuk keselamatan bayi dan
sebagai rasa syukur bahwa bayi sudah melewati 1 bulan kehidupannya dan akan tetap
dirayakan setiap 35 hari (1 bulan bali=35 hr) sampai anak berusia 1,5 tahun. Upacara
dipimpin oleh pemangku keluarga, sedangkan upacara besar yang melibatkan pendeta
405
dilakukan pada 3 bulanan dan 6 bulanan. Dilanjutkan dengan upacara 3 bulanan dan 6
bulanan.
Tabel 3.10.8
Aktifitas Budaya pada Masa Pasca Persalinan di Wilayah Puskesmas Karang Pule
Aktifitas Budaya pada Masa Pasca Persalinan
Ritual, tradisi, atau adat tertentu Pantangan/Tabu Anjuran
Belanger: upacara setelah putus tali pusat
= Pedak api = Beregek= Molang Malik (Hindu) ,
Ada yang menyebut sebagai upacara memerak (di lingkungan Patemon, Karang Buaya).
Adik kakak (Ari-ari) dilenterai
Ngurisan: memotong rambut bayi (kalau Hindu 6 bulan)
Semayut: buat banten yang isinya buah-buahan, jajan, do’a, saat bayi baru pulang dari tempat persalinan (RS/pusk/Polindes) Laki-laki 2 nare (nampan), perempuan 1 nare ( nampan)
UPACARA ADAT HINDU
Kepus Pusar=Molang malik sama dengan pedak api pada
masyarakat suku Sasak.
Roras Dine (12 hari)
Sebulan pitung dine (1 buan 7 hari)
3 bulanan: bayi diupaarakan dan dipakaikan perhiasan emas
6 bulanan: satu oton (ngurisan)
Ibu tidak boleh ke dapur (tidak boleh aktifitas rumah) sampai 1 bulan 7 hari
Tidak boleh makan makanan yang amis dan gatal seperti ikan laut, telor
Tidak makan makanan pedas
Tidak makanan yang licin seperti belut
Ibu Nifas tidak boleh menyahut bila dipanggil dari luar karena akan “ketemuk”. Artinya, seseorang yang ditegur/disapa oleh makhluk gaib/jin yang mengakibatkan sakit perut/gangguan kesehatan lainnya (pusing, muntah2)
Ibu nifas tidak boleh mengambil barang yang letaknya tinggi yang mengharuskan mengangkat tangan melebihi kepala karena akan meyebabkan bawah ketiaknya akan kembung
Banyak makan sayuran segar seperti sayur bening agar air susu banyak keluar
Makan ramuan penghangat badan
Banyak makan daun turi dan sagar , dianjurkan ortu
Sumber: Data Primer
406
Pengetahuan, Sikap, Praktek/Tindakan tentang perilaku ANC, persalinan dan paska
persalinan terkait dengan pemanfaatan Jampersal
Pengetahuan, sikap, praktek/tindakan masyarakat terhadap perilaku
memeriksakan kehamilan (ANC) cukup baik dengan cukup tinggi angka ANC baik di
Puskesmas maupun di bidan praktek swasta walaupun masih ada ibu-ibu melahirkan
dengan pertolongan dukun dengan alasan anaknya sudah mbrojol di rumah dan ada
yang beralasan persalinan dengan dukun, akan merawat bayi dan ibu serta melakukan
upacara-upacara/ritual yang dilakukan sang dukun.
1. Acara budaya/keagamaan masih kuat
2. PHBS kurang terlihat dari perilaku saat pesta makan bersama dengan tangan di
nampan
3. Pantang makan berkuah saat hamil
4. Tidak boleh keluar rumah s/d 40 hari paska persalinan
Cukup banyak pengembangan pos kesehatan pesantren di Mataram. Melalui
poskestren, dimanfaatkan untuk menyadarkan masyarakat tentang pemahaman salah
tentang kematian anak yang akan menjemput ortu di sorga yang harus diiringi dengan
usaha maksimal dalam bidang kesehatan (Jamiul umah).
Tindakan /Praktek KIA
Masyarakat Karang Pule pada umumnya bila hamil maka memeriksakan
kandungannya baik di Puskesmas maupun di bidan praktek swasta. Telah terjalin
kerjasama bidan-dukun. Dukun juga menganjurkan ibu untuk melahirkan di fasilitas
kesehatan seperti puskesmas dan Rumah Sakit. Mengingat transportasi di kota
Mataram yang cukup mudah maka hampir seratus persen persalinan ditolong tenaga
kesehatan, namun belum seluruhnya melahirkan di fasilitas kesehatan seperti
pernyataan seorang dukun bahwa alasan tidak mau ke puskesmas biasanya karena
takut dijahit atau takut biaya. Sedangkan bagi keluarga kurang mampu, mereka dengan
senang hati mau diajak oleh dukun ke puskesmas terutama setelah ada pelayanan
gratis.
Dukun umumnya dikatakan dibutuhkan oleh orang dari golongan miskin saja
mengingat jasanya yang tidak mahal serta bisa dibayar kapan saja. Ada kalanya
407
sebagian kecil ibu-ibu yang masih menggunakan jasa dukun mereka melakukan
pemeriksaan kandungannya pada dukun tentang letak janin atau memijat seluruh
tubuh. Namun demikian, namun bagi beberapa keluarga dengan sosial ekonomi
cukup/kaya, tetap membutuhkan pertolongan dukun untuk mengantarkan ibu
menjelang persalinan ke fasilitas kesehatan. Ina Su seorang dukun bersalin, akan
mengantar kemana mereka mau baik ke RS pemerintah, swasta atau ke puskesmas
sesuai keinginan mereka.
Persalinan di fasilitas kesehatan seperti puskesmas, polindes, sudah cukup
berhasil di puskesmas Karang Pule. Berdasar wawancara dengan seorang bidan, ibu
bersalin rata-rata hanya mau tinggal sebentar saat melahirkan yaitu 6 jam sampai 1
hari, dan setelah itu mereka segera pulang ke rumah. Makanan untuk ibu yang
melahirkan di fasilitas kesehatan pada umumnya membawa sendiri baik dari rumah
atau membeli. Bila ada permasalahan dalam kehamilan maupun persalinan maka
biasanya keluarga akan mencari air yang telah diberi doa oleh kian/Tuan Guru.
Pelayanan KIA berupa pemeriksaan kehamilan, persalinan, dan paska
persalinan dilakukan masyarakat Mataram dengan memanfaatkan tenaga bidan dan
atau dukun. Pelayanan persalinan ada yng ditolong oleh dukun meski sangat jarang,
karena sudah ada kemitraan dukun bidan. Dukun akan mendapat uang Rp. 50.000,-
diambilkan dana BOK bila membawa ibu bersalin ke bidan. Ada binaan oleh bidang
Kesehatan keluarga – Dinkes agar dukun agar tidak lagi menolong persalinan. Dukun
diharapkan hanya membantu menunggu dan merawat ibu menjelang persalinan dan
membantu paska persalinan. Beberapa dukun masih dimintai jampe-jampe oleh ibu
dan keluarga menjelang persalinan.
Pelayanan yang diterima masyarakat dari bidan dan dukun dapat dilihat pada
tabel berikut.
408
Tabel 3.10.9 Pelayanan KIA yang diterima Ibu Hamil dari Bidan & Dukun di Wilayah Puskesmas Karang Pule
Jenis Pelayanan oleh Bidan
‘Ya’ Terima Yan Bidan
Jenis Pelayanan oleh Dukun
‘Ya’ Terima Yan Dukun
Periksa Kehamilan 98,6 Periksa Kehamilan 31,4
Persalinan 92,9 Persalinan 5,7
Rawat Pasca Persalinan 88,6 Rawat Pasca Salin 2,9
KB 84,3 Jamu Ibu 1,3
Pijat Bayi 5,7 Rawat bayi 24,3
Buat Jamu Ibu 2,9 Buat jamu Bayi 2,9
Upacara 1,4 Upacara 31,4
Lain-lain 12,9 Pijat ibu 47,1
Sumber: Data Primer
Pemeriksaan yang dilakukan ke nakes (bidan) selama kehamilan dan paska
persalinan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.10.10 Pemeriksaan yang dilakukan Ibu ke Tenaga kesehatan di Wilayah Puskesmas Karang Pule
Pemerikaan Nakes 0 kali 1-2 kali >= 4 kali
ANC 1,4 % 8,6% 90,0%
Pasca Hamil 11,4% 75,7% 18,6%
0 kali 1-2 kali >= 3 kali
Neonatus 15,7% 62,9% 21,4%
KB Pasca Nifas 80,0%
Sumber: Data Primer
3.10.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat dalam Pemilihan Penolong Persalinan
Pengambilan keputusan
Masih banyak perkawinan usia muda sekitar 15-16 tahun (perempuan) maupun
laki-laki.Ada istilah “dicolong” bagi calon istri. Pasangan yang sudah saling suka, maka
calon suami akan mencuri calon istri dan disembunyikan. Besoknya dengan perantara
kepala lingkungan atau RT, datang mengutarakan maksud. Keluarga perempuan bisa
minta tebusan uang, biasanya sekitar 3-4 juta, tapi bagi calon laki-laki bukan orang
409
setempat bisa mahal sampai puluhan juta. Setelah sepakat dengan uang yang harus
dibayarkan, maka beberapa hari kemudian keluarga perempuan memberikan wali, dan
pasangan tersebut dinikahkan. Keluarga istri akan melakukan selamatan. Sedangkan
keluarga suami bisa mengadakan pesta besar-besaran.
Pengambilan keputusan bahwa istri melahirkan di bidan praktek
swasta/puskesmas/rumah sakit adalah suami sendiri tetapi biasanya tetap meminta
pertimbangan orang tua. Mertua lebih berpengaruh terhadap menantu yang
melahirkan, misalkan memberikan pantangan makanan. Ada yang hanya boleh makan
daun turi yang disayur bening dan ditambah krupuk.
Dukun dalam Pandangan Masyarakat
Dukun ada 16 dan masih ada dukun yang menurunkan ilmunya kepada 2 anak
perempuannya.Kader 1700 orang. Dukun di mata masyarakat Mataram masih
mempunyai arti. Dukun menjadi tempat meminta pertolongan saat menjelang
persalinan dan setelah persalinan dan penyelenggarakan ritual. Jadi meskipun sudah
ke bidan ataupun ke dokter persalinannya, masih membutuhkan dukun untuk
mendampingi menjelang dan saat persalinan dan membantu merawat plasenta, serta
ibu paska persalinan.
Kebutuhan masyarakat terhadap dukun dalam pemeriksaan kehamilan cukup
tinggi. Karena dari hampi seluruh responden yang melakukan pemeriksaan kehamilan
ke bidan (98,6%) ternyata yang memeriksakan diri ke dukun juga cukup tinggi yaitu
31,4%. Alasan memeriksakan kehamilan ke dukun, tertinggi 36,4% karena alasan
tradisi dan 31,8% karena anjuran orangtua atau suami.
Dukun atau biasa disapa dengan Ina (=ibu) juga diminta menolong mengobati
“Sakit Bongkor” atau sakit panas pada anak. Anak atau bayi, biasanya dibawa ke dukun
untuk dipijat. Anak yang dipijat sampai dengan anak tingkat Sekolah dasar, tapi
sebagian dukun juga memijat orang dewasa. Ibu bersalin biasanya mencari penolong
yang terdekat dukun atau kader setelah itu baru dicari bidan.
Dukun pada umumnya sudah bekerjasama dengan bidan, seorang dukun
mengaku sekitar 10 tahun yang lalu sudah bermitra dengan bidan.Ina Su adalah
seorang dukun.Biasanya pasien dibawa ke puskesmas karena jaraknya dekat
410
denganrumah.Bila ada yang tidak mau, maka akan dibujuk bahkan setengah dipaksa
untuk datang ke puskesmas. Ina Sumengantar dan menunggu ibu bersalin di
puskesmas. Dia berperan sebagai penunggu sampai lahir dan merawat ibu serta bayi
sampai 7 hari. Ini dilakukan biasanya untuk anak pertama. Meski mengaku sudah tidak
menolong sejak kerjasama dengan bidan, tapi tahun kemarin mengaku masih
menolong 4 ibu melahirkan yang menurut dukun sudah tidak keburu dibawa ke
puskesmas. Tahun 2011 menolong melahirkan di rumah 1 orang, karena tidak mau
melahirkan di puskesmas maunya di rumah meski sudah dipaksa. Ditinggal, ternyata
lahir, sehingga dukun datang sudah lahir. Ina Su mampu mendeteksi saat persalinan
melalui keluarnya darah dan lendir dari jalan lahir disertai perut kencang terus
menerus.
Bidan di Mata Masyarakat
Bidan di mata masyarakat cukup berarti apalagi bidan yang sudah senior
banyak membantu pertolongan persalinan di tempat rumah bidan, dan bila ada
program Jampersal yang bersifat gratis maka makin banyak masyarakat yang
menggunakan jasa Jampersal dengan bidan praktek swasta yang sudah MOU dengan
Jampersal. Demikian pula persalinan di Puskesmas makin banyak diminati oleh
masyarakat karena mereka sudah percaya terhadap bidan.
Untuk mempermudah jangkauan antara bidan dengan masyarakat, bidan
banyak dibantu oleh kader kesehatan yang banyak di kota Mataram. Kader kesehatan
juga dilatih tentang kesehatan termasuk pengetahuan pelayanan KIA. Saat ini sudah
ada 300 kader sudah dilatih di seluruh kota Mataram. Upaya memperlancar
komunikasi dilakukan dengan menjalin hubungan antara bidan dengan kader. Bidan
memiliki nomor handphone (hp) kader atau langsung ibu hamil untuk mengontak ibu
yang hamil, sebaliknya ibu hamil/keluarga juga mempunyai no hp bidan.
Kepercayaan masyarakat terhadap kompetensi bidan dalam melakukan
pemeriksaan kehamilan seperti ditemukan hasil penelitian ini menunjukkan 56.5%
karena merasa mana dan nyaman serta 18,8% karena percaya terhadap kemampuan
411
bidan. Sedangkan yang mengemukakan karena jarak dekat hanya 14,5% dari 70
responden yang diwawancara.
Hubungan Dukun dan Bidan
Hubungan dukun dan bidan sudah cukup baik fungsi dukun membantu bidan
dalam mengantarkan pasien ke tempat bidan atau puskesmas apabila mau melahirkan.
Biasanya para dukun diberi jasa transportasi walaupun masih ada masyarakat
menggunakan jasa dukun untuk menolong persalinan dengan alasan sudah tidak tahan
dan sudah keluar di rumah, tetapi sudah berangsur-angsur berkurang masyarakat
menggunakan jasa dukun untuk menolong persalinan.
Sistem Pembiayaan persalinan oleh masyarakat dan pemanfaatan pelayanan
Jampersal untuk kalangan yang cukup mampu maka pembiayaan persalinan oleh
masyarakat ditanggung oleh keluarga itu sendiri, namun untuk keluarga tidak mampu
atau yang sudah mengenal program Jampersal maka pembiayaan persalinan
ditanggung oleh pemerintah melalui program Jampersal.
Pelaksanaan Pelayanan KIA
Alasan utama memilih tenaga pemeriksa kehamilan sangat bervariasi. Mereka
bisa ikut program Jampersaldengan mememeriksakan kehamilan kepada bidan
dipuskesmas atau polindes terdekat. Bagi keluarga dengan ekonomi cukup bisa
memilih pemeriksaan pada bidan praktek swasta atau ke RS.
Pemilihan penolong persalinan
Pemilihan penolong persalinan juga bervariasi. Bagi ibu yang ikut program
Jampersal maka akan bersalin di puskesmas, bagi yang belum tahu program Jampersal,
pada umumnya mereka bersalin di bidan praktek swasta atau RS bagi yang mampu
atau mengalami kesulitan persalinan.
Penolong persalinan menurut hasil wawancara kepada responden ibu
ditampilkan dalam tabel 3.10.11 berikut ini. Sedangkan dari alasan penolong terakhir
412
adalah 22,9% karena dirujuk, 38,6% dengan alas an aman dan nyaman, 14,3% karena
percaya dengan tenaga keehatan dan alasan lain sebesar 21,4%.
Tabel 3.10.11 Penolong Persalinan pertama dan Terakhir di Wilayah Puskesmas Karang Pule
Jenis Tenaga Penolong Pertama
Penolong Terakhir
Dokter 15,7 24,3
Bidan 74,3 68,6
Dukun 7,1 5,7
Suami/Kelg 0,0 0,0
Lainnya 2,9 1,4
Sumber: Data Primer
Pembiayaan Kesehatan (termasuk Pemanfaatan Jampersal) oleh masyarakat
Pembiayaan kesehatan bagi yang masyarakat ekonomi bawah pembiayaan bisa
melalui Jamkesmas, Jamkesda, tetapi sejak ada program Jampersal maka pembiayaan
persalinan di Puskesmas dibiayai Jampersal. Masyarakat sangat antusias dalam
pemanfaatan Jampersal karena gratis khususnya dari kelompok ekonomi bawah, tetapi
karena adanya ketidakpuasan terhadap pelayanan puskesmas, maka cukup banyak
ibu-ibu yang melahirkan di Bidan Praktek Swasta (BPS) seperti yang terungkap dalam
FGD.
Status persalinan yang diketahui dari hasil wawancara dengan 70 responden,
menunjukkan bahwa 77,1% melahirkan normal, 11,4% melahirkan dengan penyulit
dan dirujuk, 10% melahirkan dengan penyulit dan dilakukan operasi SC sedangkan
1,4% melahirkan dengn penyulit tapi tidak dirujuk. Dari data tersebut juga
menggambarkan bahwa sebagian besar melahirkan di puskesmas (45,7%), 35,7% di
Rumah Sakit, 11,4 % di rumah bidan/polindes. Meskipun di perkotaan yang cukup
mudah transportasinya, masih ditemui 5,7% melahirkan di rumah dan 1,4 %
melahirkan di rumah dukun.
Pembiayaan persalinan menurut pengakuan 70 responden menunjukkan
bahwa 60% dibiayai oleh Jampersal. Namun secara terperinci sumber biaya KIA
413
menurut pengakuan responden yang terjadi pada 70 responden dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 3.10.12
Sumber Biaya Kesehatan KIA di Wilayah Puskesmas Karang Pule
Sumber: Data Primer
Biaya persalinan sebesar antara 700 ribu s/d 1 juta rupiah termasuk berat bagi
keluarga ekonomi rendah. Menurut seorang BPS yang melakukan MoU untuk
pelayanan dengan Jampersal menjelaskan bahwa bagi masyarakat tidak mampu
langsung diarahkan untuk melahirkan dengan dana Jampersal, tetapi bagi yang mampu
secara ekonomi mampu akan diarahkan dengan biaya mandiri. Menurut bidan,
pembiayaan dukun tidak selalu murah karena ada dukun yang mematok biaya
pelayanan yang cukup besar.
Pengetahuan tentang Jampersal
Walaupun sosialisai sudah cukup lama dilakukan oleh dinas kesehatan baik
melalui pamong dan lintas sektor, tetap saja banyak masyarakat yang belum tahu apa
itu Jampersal hal ini dapat diketahui melaui FGD suami yang istrinya melahirkan
dengan non Jampersal.
3.10.5. Peran Tenaga Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal
Peran tenaga kesehatan dalam pelaksanaan Jampersal
Sumber Dana Pelayanan/Perawatan
ANC (%) Persalinan (%) Pasca Salin (%) Neonatus (%)
Sendiri/klg 36,2 20,0 28,6 11,4
Jampersal 49,3 61,4 52,9 58,6
Jamkesmas/ Jamkesda
14,5 15,7 7,1 14,3
Asuransi lain 0,0 1,4 0,0 0,0
Sumber lain 0,0 1,4 1,4 1,4
Tidak periksa 0,0 0,0 10,0 14,3
414
Tenaga kesehatan yang paling berperan adalah bidan di puskesmas di
Puskesmas Karang Pule koordinatornya adalah bidan Sil, semua bidan yang PNS
melakukan pertolongan persalinan di puskesmas dengan biaya Jampersal target
persalinan di puskesmas sudah tercapai yaitu 80%, sedangkan bidan praktek swasta
juga bisa menerima persalinan Jampersal untuk administrasinya diserahkan kepada
bidan koordinator untuk menyelesaikan klaim biaya Jampersal ke Dinas kesehatan.
Sosialisasi Jampersal dari Dinkes ke Puskesmas
Persalinan gratis di kota Mataram sudah dimulai sejak 2010 dijamin dengan
danaJamkesmas khusus kelompok masyarakat miskin. Sejak diluncurkan Jampersal
pada tahun 2011, maka semua persalinan ditanggung Jampersal sedangkan rujukan
ditanggung oleh Jamkesmas atau asuransi lain misal Askes.
Sosialisasi Jampersalsudah dilakukan sejak akhir 2010. Perwali sebagai
pendukung sedang dalam proses. Baru di proses setelah ada teguran dari Irjen karena
belum ada perwali yang mendukung secara hukum. Penanganan Jampersal dilkukan di
bidang Promkes Dinkes karena terdapat seksi Pengembangan Jaminan Kesehatan
Masyarakat yang menangani Jamkesmas, Jampersal, BOK. Pelaksanaan Jampersal
tahun 2011, di kota Mataram diperoleh dana Jamkesmas dan Jampersal 2,9 M tapi
dikembalikan tidak terserap semua sehingga 0,8 M dikembalikan sehingga realisasi
90,6%.
Pada tahun 2012 permintaan besar anggaran untuk Jamkesmas dan
Jampersalsama dengan tahun 2011. Prosesnya penyerapan Jampersal melalui klaim
dari bidan puskesmas yang disampaikan ke Dinkes. Selanjutnya dilakukan verifikasi
oleh tim Dinkes dan bila sudah sesuai persyaratan akan diajukan ke Pemda. Dana
selanjutnya masuk ke kas Pemerintah Daerahdipotong 2% sebagai pendapatan Pemda
dan sisanya dikembalikan ke Dinkes. Dana tersebut akan diserahkan ke Puskesmas dan
dibagikan sesuai dengan kesepakatan yang telah disusun.
Sosialisasi dari Puskesmas ke Masyarakat
Sosialisasi Jampersal dari puskesmas ke tokoh-tokoh masyarakat ke parakader
telah dilakukan. Ada Da’i Kesehatan sebagai kepanjangan tangan antara lain untuk
sosialisasi kesehatan termasuk Jampersal. Saat ini ada 10 orang, terdiri dari tokoh
agama yang mendapat tambahan pengetahuan tentangnkesehatan. Tempat
415
pertemuan biasanya di kelurahan, di pertemuanpertemuan lintas sektor, di kecamatan
juga pernah. Walaupun tidak khusus sosialisasi tapi ikut membicarakan, ikut
mensosialisasikan Jampersal.
“Waktu di kelurahan banyak respon sih, sosialisasi ini kan hanya untuk
mengingatkan mereka, agar mereka mengerti. Jadi mereka sudah punya
pengalaman juga, hubungannya sama dengan penerimaan mereka, kita yang
memberikan pelayanan, masalah identitas dia dulu ya, ya waktu Jamkesmas.
Waktu Jamkesmas juga kan menyerahkan KTP juga seperti sekarang ya,
menyebutkan identitas gitu ya”.
“…intinya nggak ada perbedaan sebenarnya untuk tingkat Puskesmas ya, tapi
kalau lihat cacat saya nggak tahu lagi ya kalau ada perbedaan. Kalau tingkat
Puskesmas kan sama itu semua. Fisiologis sama non fisiologis, jadi pertama
mungkin mereka mencari identitas diri dulu ya, mungkin Jamkesmas atau
Jamkesda. Nah seandainya nggak ada itu baru Jampersal ya, nah Jampersal itu
pakai identitas KTP. Intinyauntuk . Jampersal untuk semua penduduk baik yang
miskin maupun non miskin semua bisa menggunakan fasilitas Jampersal”
Pandangan dari Kabid Kesehatan Keluarga merasa bahwa kebijakan Jampersal
“kebablasan” karena disamaratakandisemua daerah Indonesia yang kondisi dan
situasinya berbeda-beda, dengan standar Jampersal melahirkan di faskes. Di beberapa
tempat, ada kendala transportasi sehingga dalam pengaturan pembiayaan
olehJampersal seharusnya mempertimbangkan lokasi. Pada masyarakat pedesaan
yang memiliki kebiasaan mengantar ibu bersalin secara rombongan dan menunggu di
puskesmas/RS, maka perlu dipertimbangkan biaya bagi keluarga yang menunggu ibu
bersalin. Perlu penyadaran ke masyarakat tentang makna gratis yang bukan berarti
tidak ada biaya tetapi “biaya yang ditanggung/disubsidi pemerintah”. Perlu ada skala
prioritas. Kebutuhan dana tersebut perlu dialokasikan melalui APBD.
Pengelolaaan Dana Jampersal di tingkat Puskesmas
Jampersal di tingkat Dinas kesehatan Kota Mataram telah dikelola, semula
dengan hanyaberdasar peraturan Menteri Kesehatan RI No
2562/MENKES/PER/XII/2011 tentang petunjuk tehnis Jaminan persalinan, telah
ditetapkan pemanfaatan dana di faskes tingkat pertama. Besaran Jasa Pelayanan
persalinan sebagaimana dibayarkan kepada pemberi pelayanan dengan
memperhatikan maksud pemberian insentif agar terjadi akselerasi tujuan program dan
416
tujuan MDGs, terutama penurunan AKI bersalin. Dengan adanya keputusan tersebut
maka pada tanggal 10 Mei 2012, bidan koordinator se-kota Mataram dan difasilitasi
kepala Dinkes kota Mataram dan staf terkait, membuat kesepakatan.
Tabel 3.10.13 Besaran Pembagian Biaya Persalinan Bersumber dari Jampersal di Kota Mataram Tahun 2012
No Item Persalinan
Normal (Rp.500.000,-) Poned (Rp. 650.000,-)
% Jumlah % Jumlah
1 Pajak profesi 2 10.000 2 13.000
2 Jasa Medis
Visite dokter 5 25.000 4,61 30.000
Bidan penolong 65 325.000 63,07 410.000
Perawat - 2,61 17.000
Tindakan dokter - Ditentukan di
keterangan
Konsul dokter - 6,15 40.000
Jasa Non Medis
Kepala puskesmas 4 20.000 3,07 20.000
Bendahara 2 10.000 1,53 10.000
Bidan Koordinator 2 10.000 1,53 10.000
Puskesmas 7 35.000 5,38 35.000
Akomodasi 10
Makan pasien 3 15.000 15.000
Bhan habis pakai 4 20.000 20.000
Paket persalinan 4,6 23.000 23.000
ATK 0,8 4.000 4.000
Cleaning service 0,6 3.000 3.000
Keterangan: Jika ada tindakan dokter berupa vakum ekstraksi, curettage maka jasa diatur sbb. Jasa dokter 60% dar Rp.410.000,-= Rp 264.000,- Jasa bidan 44% dari Rp.410.000,- = Rp. 146.000
Pengelola dan Jampersal di tingkat puskesmas dilaksanakan dengan mengikuti
kesepakatan yang telah diambil oleh koordinator bidan puskesmas disaksikan oleh
kepala Dinas dan kepala puskesmas. Pengelolaan Jampersal dibawah koodiner bidan
puskesmas yang menangani klaim ke Dinas Kesehatan Kota, dan uangnya akan
diserahkan ke bidan yang menangani persalinan Jampersal baik yang di puskesmas,
puskesmas pembantu, poskesdes, atau bidan praktek swasta. Pelaksanaan Jampersal:
Verifikator Jampersal ada SK Ka Dinkes, ada di Dinkes sedang untuk yang dirujuk ada
verifikator independen di RS. Ada kesepakatan pihak puskesmas tentang pembaian
417
dana persalinan (Rp. 500.000,-) yaitu pajak 2%; jasa pelayanan dokter, bidan, perawat
(85%); Akomodasi 13% (Cleaning servis, ATK, Promosi).
Di kota Mataram, sudah diberlakukan INA CBGs, rujukan persalinan sudah
ditanggung oleh Jamkesmas bagi yang tidak mampu. Adanya Jampersal, rujukan
persalinan meningkat sehingga beban pelayanan RS meningkat. Telah disusun
formularium obat, sehingga tidak ada pembebanan biaya bagi peserta Jamkesmas atau
Jampersal yang dirujuk ke RS. Rujukan, pertama di bawa ke puskesmas Ponek (ada 4)
bila puskesmas tidak mampu menangani akan dirujuk RS.
Kebijakan Internal Puskesmas
Dana untuk bidan itu tidak dikurangi dengan kesepakatan yang ada di Dinas. RP
500.000, ada kemitraan dengan dukun yang harus menyisakan untuk dukunnya,
diambilkan dari dana sendiri atau dari Jampersal, untuk kemitraandengan dukun,
misalkan melahirkan disana BPS (bidan praktek swasta), atau di puskesmas itu dipakai
untuk transport dukun Rp. 100.000,-. Honor untuk kader pengantar pasien yang
semula Rp.50.000 turun jadi Rp. 30.000. Uang Rp 100.000,- diberikan ke puskesmas
karena tindakan partusnya di Puskesmas masuk ke kas Puskesmas, bukan ke individu
tidak langsung di bagi.kebijakan dari Puskesmas tersebut masuk ke bagian Kesra dan
akan dibagi bersama biasanya satu tahun sekali, biasanya sebelum hari raya, itupun
hanya separuh. Kendala Jampersal yaitu kelambatan bidan mengajukan klaim dan
masih banyak yang tidak lengkap lampirannya.
3.10.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan dalam Pelaksanaan Program Jampersal
Hambatan
Masyarakat yang akses rumahnya jauh dari Puskesmas maka persalinannya
biasanya di puskesmas lain atau RS yang dekat dengan rumahnya, masyarakat yang
pendidikan rendah dan pengetahuan mengenai pelayanan KIA biasanya persalinannya
masih minta tolong dukun apalagi ditambah dengan kepercayaan yang salah tentang
kehamilan, persalinan dan masa nifas, walaupun sudah jarang.
Dukungan
Kota Mataram khususnya Puskesmas Karang Pule relatif dekat kota mataram
transportasi cukup mudah dan daerah terjauh 7 km maka Pelaksanaan Jampersal di
418
tingkat Puskesmas cukup berhasil didukung dengan adanya kepercayaan selama hamil
harus banyak makan sayur hal ini cukupbaik untuk kesehatan ibu yanghamil.
Harapan
Harapan dari masyarakat sosialisasi Jampersal lebih digiatkan karena masih
banyak masyarakat yang belum tahu. Harapan dari Kesehatan administrasi jangan
terlalu rumit karena harus mengisi formulir yang cukup banyak.
Kesimpulan
Pengetahuan masyarakat terhadap ibu hamil yang berkembang di masyarakat
Mataram, hamil merupakan yang alami bagi wanita yang sudah bersuami, namun
kepercayaan masyarakat terhadap ibu hamil cukup bervariasi namun sikap dan prilaku
masyarakat terhadap kepercayaan berkembang dimaksud tetap berjalan secara alami,
misalnya ibu hamil enam bulan dilakukan doa dengan sesajen dengan tujuan jabang
bayinya selamat dalam persalinan , ada juga tradisi tujuh bulanan.
Banyak aktifitas budaya yang berkembang pada masa persalinan di masyarakat
Mataram baik berupa mitos-mitos ataupun kebiasaan pijat seluruh tubuh atau minum
jamu dan anjuran-anjuran, yang bertujuan agar supaya ibu bersalin dengan lancer
tanpa halangan, akan tetapi ada pantangan yang kurang baik terhadap ibu ibu bersalin
misalnya makan yang amis seperti ikan laut sebetulnya ikan laut merupakan sumber
protein hewani yang sangat.
Banyak aktifitas budaya setempat (Mataram) yang berkembang di masyarakat
pada masa pasca persalinan yang bertujuan agar ibu cepat pulih kesehatan dan dapat
beraktifitas sedia kala misalnya banyak makan sayuran adalah banyak mengandung
vitamin, ada hal-hal mitos yang berbau tahayul misalnya Ibu Nifas tidak boleh
menyahut bila dipanggil dari luar karena akan “ketemuk”. Artinya, seseorang yang
ditegur/disapa oleh makhluk gaib/jin yang mengakibatkan sakit perut/gangguan
kesehatan lainnya (pusing, muntah muntah).
Pengambilan keputusan bahwa istri melahirkan di bidan praktek
swasta/puskesmas/rumah sakit adalah suami sendiri tetapi biasanya tetap meminta
pertimbangan orang tua. Dukun di mata masyarakat mataram masih mempunyai arti.
Dukun menjadi tempat meminta pertolongan saat menjelang persalinan dan setelah
419
persalinan dan penyelenggarakan ritual. Hubungan dukun dan bidan sudah cukup baik
fungsi dukun membantu bidan dalam mengantarkan pasien ke tempat bidan atau
puskesmas apabila mau melahirkan.
Persalinan di Puskesmas makin banyak diminati oleh masyarakat dengan
program Jampersal, dan bila ada program Jampersal yang bersifat gratis maka makin
banyak masyarakat yang menggunakan jasa Jampersal dengan bidan praktek swasta
yang sudah MOU dengan Jampersal. Sistem Pembiayaan persalinan oleh masyarakat
dan pemanfaatan pelayanan Jampersal. Untuk kalangan yang cukup mampu maka
pembiayaan persalinan oleh masyarakat ditanggung oleh keluarga itu sendiri , namun
untuk keluarga tidak mampu atau mampu yang sudah mengenal program Jampersal
maka pembiayaan persalinan ditanggung oleh pemerintah melalui program Jampersal.
Walaupun sosialisai sudah cukup lama dilakukan oleh dinas kesehatan baik
melalui pamong dan lintas sector, tetap saja banyak masyarakat yang belum tahu apa
itu Jampersal hal ini dapat diketahui melaui FGD suami yang istrinya melahirkan
dengan non Jampersal.Sosialisasi sudah dilakukan sejak akhir 2010.Perwali sebagai
pendukung sedang dalam proses. Baru di proses setelah ada teguran dari Irjen karena
belum ada perwali yang mendukung secara hukum. Penanganan Jampersal dilakukan
oleh bidang Promkes Dinkes karena terdapat seksi Pengembangan Jaminan Kesehatan
Masyarakat yang menangani Jamkesmas, Jampersal, BOK.
Sosialisasi Jampersal dari puskesmas kepada tokoh-tokoh masyarakat ke
kaderkader juga tidak secra spesifik tetapi menumpang pada pertemuan yang
ada.Tempat pertemuan biasanya di kelurahan, di pertemuanpertemuan lintas sektor
tingkat kecamatan. Walaupun tidak khusus, sosialisasiJampersal disisipkan pada materi
pertemuan yang ada.
Saran
Perlunya sosialisasi Jampersal lebih luas kepada masyarakat baik melalui tokoh
masyarakat, lintas sector, media masa elektronik, media cetak. Perlu melibatkan
Rumah Sakit swasta, Rumah Bersalin Swasta dalam kegiatan Jampersal sebagai tempat
rujukan persalinan sulit yang tidak dapat ditangani Puskesmas Poned, dalam rangka
menurunkan Angka kematian ibu (AKI) dan Angka Kematian Anak (AKA).
420
3.11. Puskesmas Mateketen, Kabupaten Halmahera Selatan
3.11.1. Gambaran Umum Kabupaten Halmahera Selatan
Kabupaten Halmahera Selatan adalah kabupaten baru yang merupakan
pemekaran dari Kabupaten Maluku Utara. Ibukota Kabupaten Halmahera Selatan
berada di Desa Labuha, Kecamatan Bacan yang terletak dipulau Bacan. Halmahera
Selatan terletak pada posisi 126° 45¹ sampai 129° 30¹ Bujur Timur dan 0° 30¹ sampai 2°
00¹ Lintang Utara.
Kabupaten Halmahera Selatan memiliki luas wilayah 40.236,72 km², yang terdiri
dari daratan seluas 8.779,32 km² dan lautan seluas 31.484,40 km², terletak di
Indonesia bagian Timur, tepatnya berbatasan dengan:
- Sebelah Utara dibatasi oleh Kota Tidore Kepulauan dan Kota Ternate
- Sebelah Selatan dibatasi oleh Laut Seram
- Sebelah Barat dibatasi Laut Maluku
- Sebelah Timur dibatasi oleh Laut Halmahera
Secara administratif Kabupaten Halmahera selatan terdiri dari 30 kecamatan
dan 249 (dua ratus empat puluh sembilan) desa.Iklim yang terdapat diwilayah
Kabupaten Halmahera Selatan adalah iklim tropis dan iklim musim. Peta klimatologi
hasil pencatatan Badan Meteorologi dan Geofisika Kabupaten Halmahera Selatan pada
tahun 2007 menunjukan suhu rata-rata berkisar antara 24,85°C – 27,70°C.
Gambar 3.11.1. Peta Wilayah Kabupaten Halmahera Selatan(Pulau Makian ada di bagian atas, kecil bundar berwarna putih)
421
Jumlah penduduk Kabupaten Halmahera Selatan Tahun 2008 sebanyak 190.429
jiwa. Sebanyak 50.719 jiwa (26,63 %) termasuk penduduk miskin yang mendapat
pelayanan kesehatan disarana pelayanan kesehatan seperti Puskesmas dan Rumah
Sakit Pemerintah melalui pelayanan asuransi Kesehatan Keluarga Miskin (Jamkesmas).
Masyarakat diluar masyarakat miskin, diwadahi dalam bentuk Jamkesda.Dengan
demikian seluruh masyarakat di Kabupaten Halmahera Selatan memiliki perlindungan
kesehatan.
Pada tahun 2008 jumlah penduduk usia sekolah (7-12tahun) sebanyak 28.696
jiwa dan usia (13-15 tahun) sebanyak14.214 jiwa. Sedangkan pada tahun 2009
mengalami kenaikan jumlah usia sekolah (7-12tahun) sebanyak 35,865 jiwa dan usia
(13-15tahun) sebanyak 16.346 jiwa.Pertumbuhan ekonomi dilihat dari pertumbuhan
nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Tahun 2004 sampai dengan tahun 2008
rata–rata pada sektor pertanian sebagai penyumbang terbesar dengan kisaran 42%.
Perekonomian Kabupaten Halmahera Selatan didominasi lima sektor utama, yakni
sektor pertanian, perdagangan, hotel, restoran, serta sektor industri pengolahan.
Akses transportasi ke Labuha ibukota Kabupaten Halmahera Selatan dapat
ditempuh dengan pesawat udara dari bandara Sultan Babullah Ternate ke bandara
Oesman Sadik Labuha selama 20 – 25 menit. Dapat juga ditempuh dengan kapal laut
atau speedboat dari pelabuhan laut Ternate ke pelabuhan laut Labuha di Pulau Bacan
selama sekitar 8-10 jam tergantung cuaca.
Gambar 3.11.2. Peta Pulau Bacan Sumber: Dokumentasi Peneliti
422
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Tenaga Kesehatan
Peneliti hanya berhasil memperoleh data atau profil kabupaten Halmahera
Selatan tahun 2009 sedangkan profil kesehatan tahun 2010 dan 2011 belum dibuat. Di
dalam profil 2009 tersebut data yang tercantumpun tidak seluruhnya sampai dengan
tahun 2009 tapi ada yang masih terbatas sampai tahun 2007 dan 2008 saja. Menurut
profil 2009 tersebut pada tahun 2007 jumlah puskesmas 18 buah, puskesmas
pembantu 25 buah dan Polindes 88 buah. Tahun 2008 jumlah puskesmasmencapai 27
puskesmas dan97 polindes, puskesmas pembantu masih tetap 25 buah. Pada tahun
2008 tidak banyak penambahan jumlah pustu dan lebih ditekankan untuk
pembangunan polindes.Untuk tahun 2009 Sarana Kesehatan Kabupaten Halmahera
Selatansebagai berikut:
Gambar 3.11.3. Bandara OesmanSadik Labuha Halsel Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 3.11.4 Kantor Dinas Kesehatan Halsel Sumber: Dokumentasi Peneliti
423
Tabel 3.11.1
Sarana Kesehatan Kabupaten Halmahera Selatan Tahun 2009
Tenaga kesehatankabupaten Halmahera Selatan tahun 2009 menunjukkan
jumlah tenaga medis sejumlah 13 orang, tenaga sanitasi 11 orang, kefarmasian 10
orang dan gizi 15 orang. Tenaga bidan sebagai tenaga inti dalam pelayanan KIA yang
disebar ke desa-desa ada sebanyak 79 orang sedangkan tenaga paramedis sebanyak
132 dan didukung 5 orang sarjana kesehatan masyarakat.
Kesehatan Ibu, ANC, Pertolongan Persalinan dan KB
Jumlah ibu hamil pada tahun 2007 sebesar 3.772 dan cakupan persalinan oleh
tenaga kesehatan 3.157 (84%). Tahun 2008 ibu hamil sebesar 5.383 dan cakupan
persalinan oleh tenaga kesehatan menurun sebanyak 2.333 (43,34%).Tahun 2009
jumlah ibu hamil 3.031 dan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan meningkat
menjadi 2.274 (51%). Tahun 2009, cakupan K4 bervariasi, puskesmas yang masih
rendah cakupan K4-nya adalah puskesmas Laluin (26%), karena Puskesmas Laluin baru
dimekarkan pada tahun pertengahan tahun 2008 dan cakupan tertinggi adalah
Puskesmas Labuha (90%).
Kejadian kematian ibu maternal kabupaten Halmahera Selatan terjadi
penurunan.Pada tahun 2007 sebesar 10 kasus, tahun 2008 masih sebesar 10 kasus,
dan tahun 2009 turun menjadi 5 kasus. Tahun 2007 jumlah neonatal Kabupaten
Halmahera Selatan sebesar 3.330 dan neonatal risti yang dirujuk sebesar 72 (2,16%)
dan ditangani oleh tenaga kesahatan sebesar 44 (1,83%). Tahun 2008 jumlah neonatal
2.918 dan neonatal risti yang dirujuk sebesar 10 (0,34%) dan ditangani oleh tenaga
No Sarana Kesehatan tahun 2009 Jumlah
1
2
3
4
5
6
Rumah Sakit Pemerintah
Rumah Sakit swasta
Puskesmas
Pustu
Polindes
Balai pengobatan
1
1
30
27
110
1
424
kesehatan sebesar 85 (2,91%). Tahun 2009 jumlah neonatalsebesar 2.702, tidak
neonatal yang dirujuk.
Kepesertaan KB kabupaten Halmahera Selatan naik turun. Tahun 2006 peserta
KB Baru berjumlah 8.045 peserta (8.35% dari jumlah PUS) dan jumlah peserta KB
aktif9.604. Tahun 2007 jumlah peserta KB Baru naik 3.980 (50,61%) dan peserta KB
aktif 12.255 (17,58%). Tahun 2008 jumlah peserta KB Baru naik 2.716 (62,53%) dan
peserta KB aktif 14.733 peserta. Tahun 2009 jumlah peserta KB Baru3.107(turun
49,82%) dan peserta KB aktif 38.913 peserta.
3.11.2. Gambaran Umum Kecamatan Makian Barat
Pulau Makian terletak di Kabupaten Halmahera Selatan ke arah selatan kota
Ternate. Pulau Makian terbagi atas 2 kecamatan yaitu Kecamatan Makian (Makian
Dalam) dan kecamatan Makian Barat (Makian Luar) yang merupakan pecahan dari
kecamatan Makian. Perjalanan dari Ternate ke kec. Makian (nama ibukota
Ngofatioaha) dengan speedboat umum selama sekitar 1,5 jam. Dari
Ngofatioaha/Barumadehe ke Mateketen perjalanan dengan speedboat sekitar
setengah jam. Bisa juga dari Ternate langsung ke desa Mateketen Makian Barat
dengan speedboat umum sekitar 1,5 jam, namun speedboat umum Ternate–-
Mateketen jarang hanya ada dua buah, dalam satu hari satu kali perjalanan (satu
datang dan satu pergi) tidak sesering Ternate–Barumadehe. Puskesmas mempunyai
speedboat kecil (isi maks 5 orang) bantuan dari pemda Halsel, speed ini kalau
diperlukan untuk mengantar pasien rujukan atau persalinan tidak normal ke Ternate
dengan solar ditanggung oleh keluarga pasien.
Kondisi geografi di Kecamatan Makian: kesulitan transportasi, tidak ada
satupun kendaraan roda empat di kecamatan ini karena jalan darat antar desa belum
tembus dan susah naik turun gunung, sedangkan dengan perahu sering terkendala
cuaca. Kecamatan Makian Barat tergolong daerah sangat terpencil: tidak ada jalan
darat/jalan kaki, ada motor roda dua untuk kendaraan internal desa dan desa terdekat,
tidak ada kendaraan roda 4, tidak ada signal Hp, tidak ada jaringan listrik/PAM, tidak
ada jaringan internet, tidak ada hotel/losmen/wisma/mes, tidak ada warung makan,
425
tidak ada pasar. Kendaraan lewat laut adalah dengan speedboat atau dengan perahu
antar desa atau ke Ternate tetapi jalannya tergantung cuaca dan pasang surut laut
yang sering berubah-ubah mendadak.
Puskesmas Mateketen terletak di Desa Mateketen Kecamatan Makian Barat
Kabupaten Halmahera Selatan yang terdiri dari 7 desa yang beberapa diantara desanya
dapat dijangkau dengan jalan kaki dan kendaraan bermotor, namun ada yang dengan
kendaraan laut. Nama 7 desa di wilayah kerja PKM Mateketen yaitu: Mateketen,
Malapat, Bobawae,Ombawa, Tegono, Talapaon dan Sebelei.
Mata pencaharian penduduk kecamatan Makian Barat adalah petani dan
nelayan. Penghasilan khas pulau Makian adalah buah Kenari yang ditanam dalam
jangka waktu lama baru berbuah. Kebiasaan penduduk dalam satu atau beberapa
Gambar 3.11. 5
Suasana dalam speedboat umum Ternate-Mateketen Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 3.11.6
Speedboat Milik Puskesmas di Pantai Makian Sumber: Dokumentasi Peneliti
426
keluarga bernomaden apabila mereka mau membuka lahan baru untuk kebun,
biasanya ditanam singkong, ubi, pisang, pepaya. Semangat gotong royong masih tetap
mewarnai kehidupan penduduk Makian, terutama apabila ada kemalangan dan
kesukacitaan. Di pulau Makian 100% penduduk beragama Islam, dan masih
mempercayai hal-hal bersifat supranatural seperti roh halus dan sebagainya.
Masalah Kesehatan di Puskesmas Mateketen
Profil Kesehatan Puskesmas Mateketen Kecamatan Makian belum pernah
disusun. Data sekunder tentang kesehatan Kecamatan Makian tahun 2011-2012
diperoleh dari data Power Point Kepala Puskesmas yang pernah dipresentasikan di
Dinas Kesehatan Halsel dapat pertemuan pada awal dalam tahun 2012, antara lain
sebagai berikut.
Tabel 3.11.2
Jumlah Penduduk, Bayi, Balita & Bumil sebagai Sasaran Program KIA Tahun 2011
No Desa Jumlah Penduduk
Sasaran Bayi
Sasaran Balita
Sasaran Bumil
1
2
3
4
5
6
7
Malapat
Bobawae
Tegono
Ombawa
Mateketen
Talapaon
Sebelei
Total
788
650
276
248
515
591
1032
4100
18
15
6
6
12
14
24
95
79
65
25
28
52
59
103
411
20
16
6
7
13
15
26
103
Dari tabel di atas terlihat pada tahun 2011 Jumlah penduduk dalam wilayah
puskesmas Mateketen (kecamatan Makian Barat) sebesar 4100 jiwa, sasaran Bumil
sebesar 103 dan sasaran bayi 95, serta sasaran balita 411.
Pembiayaan kesehatan bersumber dari beberapa jaminan kesehatan yang
disediakan pemerintah antara lain Askes bagi PNS, Jaminan Kesehatan Daerah
(Jamkesda) dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Distribusi kepesertaan
427
Jaminan Kesehatan, jumlah penduduk dan sasaran progam Puskesmas
Mateketendapat dilihat pada tabel 3.11.3 berikut ini:
Tabel 3.11.3
Sumber Pembiayaan Kesehatan di Setiap Desa Kecamatan Makian
No Desa PNS Jamkesda Jamkesmas Jumlah
1 Malapat 13 538 112 663
2 Bobawae 12 591 205 808
3 Ombawa 7 195 208 410
4 Tegono 7 296 133 436
5 Mateketen 32 468 162 662
6 Talapaon 9 505 181 695
7 Sebelei 16 965 192 1173
Jumlah 96 3558 1292 4946
Pada tahun 2011 belum ada ibu yang menggunakan Jampersal. Dari tabel di atas
nampak kepesertaan Jaminan kesehatan paling banyak di Desa Sebelei dan paling
sedikit Desa Ombawa, karena jumlah penduduk di kedua desa tersebut paling banyak
dan paling sedikit di kecamatan Makian Barat, sedangkan Desa Mateketen sebagai
pusat kecamatan Makian Barat bukanlah termasuk desa yang besar/ramai.
Kondisi ketenagaan di puskesmas Mateketen tampak cukup minimal. Pada tahun
2011 jumlah tenaga yang bekerja di wilayah kerja Puskesmas Mateketen sebanyak 19
orang. Untuk tahun 2012 menurut Kapuskesmas jumlah seluruh tenaga di wilayah
kerja puskesmas ada 21 orang yaitu seorang Kepala Puskesmas, seorang dokter, bidan
sejumlah 9 orang, perawat 4 orang, seorang D-3 Gizi dan 5 orang tenaga administrasi
lainnya.Tidak dijumpai seorangpun bidan praktek swasta di wilayah kerja puskesmas.
428
Gambar 3.11.6. Kepala Puskesmas (kaos putih)dengan Bidan, Perawatdan 3 peneliti Sumber: Dokumentasi Peneliti
3.11.3. Perilaku Masyarakat Terkait Kesehatan Ibu dan Anak
Pandangan Tentang Ibu Hamil, Bersalin, Bayi/anak
Masyarakat memandang kehamilan bagi wanita adalah suatu yang wajar
bahkan merupakan kewajiban wanita untuk menyambung keturunan. Selama hamil
ibu harus mengurus dirinya sendiri dan kesehatannya, suami tidak terlalu ikut campur,
namun pada saat akan melahirkan maka suami dan seluruh keluarga akan berkumpul
di rumah ibu. Menurut bidan, persalinan bagi masyarakat di wilayah kerja Puskesmas
Mateketen bukan hanya merupakan urusan keluarga kecil, namun juga merupakan
urusan suatu keluarga besar, untuk itu biasanya masayarakat desa ini memilih bersalin
di rumah dibandingkan di fasilitas kesehatan dimana seluruh keluarga dapat hadir
selama proses persalinan dan membantu setelah persalinan sebagai bentuk dukungan
kepada ibu bersalin.
Kepercayaan yang masih Berkembang
Masih banyak kepercayaan masyarakat yang berkembang di wilayah puskesmas
Mateketen berupa ritual, pantangan dan anjuran, dan disertai kepercayaan akibat
apabila melanggar pantangan atau tidak mengikuti anjuran.Menurut berbagai sumber
yang dikumpulkan dengan berbagai metode maka disimpulkan beberapa kepercayaan
atau tradisi terkait kehamilan dan persalinan di pulau Makian sebagai berikut.
429
a) Kepercayaan pada Masa kehamilan.
Kepercayaan yang masih berkembang di masyarakat cukup banyak.
Kepercayaan berupa ritual, tradisi, adat istiadat dan pantangan atau tabu serta anjuran
dilakukan sebagian masyarakat. Data ini dikumpulkan dari hasil FGD, maupun hasil
wawancara saat melakukan pengumpulan data di lapangan kepada ibu yang bersalin
pada kurun waktu satu tahun terakhir.Beberapa maksud dari pantangan ini dilakukan
tanpa alasan yang tidak diketahui, atau merupakan kebiasaan sudah turun menurun.
Ada pula keercayaan bahwa bila melanggar pantangan tersebut bisa membuat bayinya
tidak sempurna/cacat dan ada pula yang dimaksudan untuk memperlancar persalinan.
Ritual, tradisi, atau adat tertentu. Penggunaan air “Amal”yaitu air yang sudah
dibacakan doa yang diguyurkan dibadan dan diminum oleh ibu bersalin dengan tujuan
agar segera lahir bayinya. Ritual ini dilakukan biasa dilakukan bilaproses persalinan
sulit dimana bayinya tidak keluar-keluar dan terjepit pada pintu vagina.
Pantangan dan tabu. Banyak pantangan dan tabu yang dikenal masyarakat dan
masih banyak dikerjakan. Melanggar pantangan atau tabu diperkirakan akan
menyebabkan teradinya resiko yang harus ditanggung oleh ibu atau bayinya. Beberapa
hal yang menjadi pantangan antara lain:
Bumil tidak boleh melewati tali jemuran
Bumil tidak boleh melilitkan handuk di leher, bila melanggar bayi akan terlilit tali
pusat.
Bumil tidak boleh minum es, karena membuat tubuh janin menjadi besar
Bumil tidak boleh keluar mulai sore dan malam hari
Bumil tidak boleh keluar kalau hari mendung
Bumil tidak boleh makan sayur terong, sayur lilin (sebangsa tebu), rica/cabe, sayur
bulu, ikan suntung, cumi-cumi, dan penyu
Kalau jalan kepala harus ditutup kain
Bumil dilarang kena air hujan
Bumil tidak boleh melempar-lempar binatang
Bumil tidak boleh berdiri di pintu
Bumil tidak boleh melewati kaki suami
Suami bumil tidak boleh memotong hewan
430
Suami bumil tidak boleh melaut dan memotong ikan ketika mendekati persalinan
Dilarang melakukan pekerjaan berat
Jangan pergi ke laut sore dan menjelang magrib ini disebut Bobosal/Larangan
Tidak boleh melangkahi apabila ada suami tidur alasannya
Menjelang melahirkan dilarang bersetubuh, karena bisa menyebabkan kepala bayi
benjol-benjol.
Pantangan makanan bumil tidak ada kecuali dabu-dabu, boleh makan apa saja
terutama kacang ijo
Tidak boleh bertengkar dengan suami, dan suami juga dinasehatkan agar berbaik2
sama istri.
Sedangkan anjuran yang dilakanakan di masyarakat antara lain:
ibu selama hamil diberi obat kampung (ramuan) misalnya: daun balacai dan daun
kipas
Aktivitas dianjurkan agar dibawah usia kehamilan 5 bln berjalan dan aktivitas pelan2,
setelah itu boleh banyak gerak.
b) Kepercayaan pada saat persalinan
Pada saat proses persalinan mulai berlangsung, keluarga didukung oleh
lingungannya termasuk dukun melakukan kegiatan ritual, tradisi atau adat istiadat.
Berikut ini beberapa perilaku yang dilakukan masyarakat:
Perasan minyak kembang sepatu diberikan kepada ibu yang akan bersalin
Ramuan yang diberikan oleh dukun (mama biang) berupa ramuan dari daun-
daunan yang dicampur dengan minyak kelapa
Saat menolong persalinan, dukun memotong pada tali pusat/plasenta
menggunakan bambu kemudian luka bekas potongan tersebut diberi abu yang
sudah dipanaskan atau kunyit.
Cara lain yaitu dengan memanaskan tangan dukun di atas api kemudian
ditempelkan pada tali pusat bayi sambil diurut dengan perlahan, hal ini dilakukan
Untuk menipiskan tali pusat agar mudah putus.
Dukun mengatur penanaman ari-ari/plasenta di luar rumah oleh imam, apabila
bayi laki-laki sebelum dikuburkan akan diazankan sedangkan kalo perempuan
diqomatkan.
Penguburan plasenta kalau anak pertama ditanam di sebelah kanan rumah
sedangkan anak ke dua dan seterusnya bebas dikuburkan di lingkungan rumah.
431
Potongan tali pusat bayi yang sudah lepas yaitu disimpan dan dibungkus dengan
kain putih. Apabila anak sakit panas maka tali pusat di celupkan ke dalam air dan
diminumkan sebagai obatnya
Tidak ditemui pantangan atau anjuran yang dilakukan ibu saat persalinan. Ritual
dan tradisi yang dilakukan menurut masyarakat adalah upaya agar persalinan lancar
dan dapat segera lahir
c) Kepercayaan untuk pasca persalinan
Beberapa tradisi dilakukan setelah persalinan yaitu tradisi bapanas dan tradisi
bakirah.Ritual bapanas dan bakirah ini dilakukan selang seling setiap satu hari selama
10 hari. Dukun yang membantu melakukan bakirah dan bapanas biasanya tidak
dibayar lagi karena sudah merupakan satu paket dengan membantu persalinan.
Setelah melakukan dua ritual ini diharapkan kondisi badan dapat kembali seperti
semula seperti ketika belum melahirkan.
Tradisi Bapanas. Ibu nifas memanaskan badan dengan tungku yang dibuat
dipinggir tempat tidur. Ritual bapanas dilakukan agar kandungan cepat kering, muka
tidak pucat dan kembali kuat. Ritual ini dilakukan oleh bufas didalam kamar, dan hanya
menggunakan sarung saja tanpa baju lain dengan duduk di antara bara yang dibuat
disamping tempat tidur sampai keringatan (seperti steam). Setelah bapanas
dilanjutkan dengan mandi atau yang biasa disebut dengan bakirah.
Tradisi Bakirah. Bufas mandi dengan mempergunakan air yang dicampur
dengan daun-daunan yang didapat dari hutan. Ritual mandi ini dibarengi dengan
pengurutan pada badan bufas dilakukan oleh mama biang (dukun).
Dukun yang melakukan pengobatan ibu hamil/persalinan/nifas dengan
membaca ayat-ayat suci pada segelas air lalu diminumkan pada ibu. Tidak diwajibkan
untuk adakan upacara ritual tertentu (selamatan), tapi bagi keluarga yang mau
mengadakan, akan disambut baik
Ada tiga tahap yaitu masa kehamilan, persalinan dan pasca persalinan yang
dipenuhi dengan perilaku atas dasar kepercayaan yang berkembang.Dari ketiga tahap
nilai kepercayaan, terlihat untuk ibu hamil paling banyak pantangannya. Sedangkan
432
untuk ibu bersalin tidak ada pantangan tetapi banyak tradisi dan ritual. Untuk ibu
pasca persalinan hampir sama banyak baik pantangan maupun ritual/tradisi.
Pengetahuan, Sikap dan Praktek terkait Kesehatan Ibu dan Anak
Pengetahuan. Data tentang karakteristik, pengetahuan, sikap dan perilaku yang
diperoleh dari hasil wawancara terstruktur saat survey dengan responden ibu yang
bersalin mulai Juni 2011 sampai Mei 2012 di wilayah puskesmas Mateketen (sebanyak
50 orang). Data diperoleh dari kuesioner terstruktur yang dikumpulkan oleh para
enumerator lokal (4 orang). Selain ini didukung informasi yang diperoleh dari
wawancara mendalam dengan kepala Puskesmas dan bidan koordinator serta FGD
bidan.
Adapun karakteristik 50 ibu responden dalam penelitian ini antara lain
pendidikan ibu 78% SMP ke bawah. pekerjaan ibu 90% ibu rumah tangga, pekerjaan
suami (58%) petani dan 12% pegawai swasta. Menurut kepala Puskesmas mata
pencaharian/pekerjaan masyarakat tidak ada pengaruhnya langsung terhadap
pemanfaatan Jampersal, ada pengaruh pekerjaan ibu rumah tangga yang juga petani
ladang terhadap pelayanan posyandu untuk penimbangan bayi dan ANC. Sebagian
besar ibu responden mempunyai anak 2 (22%) dan 4 orang (20%), juga cukup banyak
ibu yang mempunyai anak 5 orang (16%). Pengeluaran keluarga rata-rata terbanyak
masuk kelompok 1 (paling rendah) 48% dan kelompok 2 (rendah) 36%. Semua ibu
100% menyatakan kondisi akses ke pelayanan kesehatan di kecamatan Makian Barat
tidak ada angkot, beca, delman, ojek, bis, bentor dan kedaraan umum lainnya untuk
ke petugas kesehatan bidan. Perjalanan ke RS Ternate dilakukan dengan jalan laut
sekitar 2-2,5 jam perjalanan dengan kondisi laut yang berubah-ubah tergantung cuaca
(kondisi bisa buruk dan bisa baik).
Menurut Kepala puskesmas tingkat pendidikan ibu masih rendah, banyak yang
tidak sekolah, SD, dan paling tinggi SMP, SMA di Mateketen hanya ada 1 buah dan
masih baru belum meluluskan. Karakteristik 50 orang ibu yang menjadi responden
dalam penelitian ini yaitu: pendidikan sebagian besar tamat SD (36.0%) dan tamat SMP
(32.0%), tidak sekolah 8%. Sama halnya dengan pendidikan suami yaitu tamat SD (36%)
dan tamat SMP (29%). Menurut kepala puskesmas dan bidan pengetahuan ibu tentang
433
Jampersal masih rendah karena program ini masih baru, namun sudah disosialisasikan
oleh tim puskesmas (7 orang) ketika turun kunjungan ke rumah-rumah. Kalau ternyata
masyarakat masih banyak yang tidak tahu akan adanya Jampersal, menurut
kapuskesmas dan bidan koordinator Puskesmas karena ibu sering kali lupa atau tidak
mengerti akan makna maupun manfaat Jampersal.
Dari hasil wawancara dengan ibu ternyata pengetahuan ibu tentang KIA cukup
baik terhadap beberapa pertanyaan yang diajukan. Pertanyaan tentang apakah
persalinan di rumah lebih baik, sebanyak 64% menjawab salah (berarti
pengetahuannya baik). Begitu juga pertanyaan tentang frekuensi periksa hamil
minimal 4x selama kehamilan dan tekanan darah tinggi merupakan risiko kehamilan
ternyata sebanyak 90% menjawab benar (pengetahuan baik).Pertanyaan tentang
pertolongan persalinan bidan lebih aman sebanyak 66% menjawab benar
(pengetahuan baik). Pengetahuan tentang perkawinan dini di bawah 17 tahun jawaban
responden cukup baik 70% menjawab benar bahwa itu tidak baik. Namun untuk
pelayanan ANC (pemeriksaan hamil) oleh dukun sebanyak 88% ibu menjawab benar
(pengetahuan kurang). Begitu pula tentang aktivitas ibu pasca persalinan minimal
dilakukan setelah 3 hari sebanyak 72% ibu menjawab benar (pengetahuan kurang).
Sikap. Mengenai sikap terkait kesehatan ibu dan anakjawabannya bervariasi
positif (mendukunga kesehatan) dan negatif (tidak mendukung kesehatan) tergantung
pernyataannya. Sebagai contoh antara lain: pernyataan tentang Jampersal membantu
kehamilan, persalinan, nifas dan KB sebanyak 78% menjawab setuju dan sangat setuju
(sikap baik/positif). Namun untuk pernyataan bahwa Jampersal memberi kesempatan
banyak anak lebih dari separuh (54%) menjawab setuju dan sangat setuju (sikap
negatif). Mengenai pernyataan bahwa ASI dapat diganti dengan madu dan air kelapa
sebanyak 78% menjawab setuju dan tidak setuju (sikap negatif). Yang menarik
pernyataan tentang kemampuan bidan dan dukun sama sebanyak 94% menjawab
setuju dan sangat setuju (sikap tidak mendukung). Pernyataan tentang melahirkan di
rumah sama amannya dengan di RS sebanyak 72% menjawab setuju dan sangat setuju
(sikap negatif), meskipun dari pertanyaan terkait pengetahuan mereka menjawab
persalinan di rumah itu tidak lebih baik. Pernyataan tentang upacara ritual pasti akan
menyelamatkan ibu sebanyak 56% menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju
434
(sikap positif). Pernyataan tentang Jampersal hanya untuk keluarga miskin sebanyak
76% menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju (positif).
Tindakan/Praktek.Pernyataan ibu tentang kehamilan, persalinan, pasca
persalinan dan KB sebagian besar ibu (86%) menyatakan ada/tersedia di pelayanan
kesehatan. Sebaliknya untuk pelayanan kesehatan pijat bayi, jamu, upacara ritual
sebagian besar menyatakan tidak ada di fasilitas pelayanan kesehatan. Untuk
pelayanan pemeriksaan kehamilan oleh bidan semua ibu menyatakan ada tersedia
begitu juga pelayanan oleh dukun juga sebagian besar (88%) menyatakan adatersedia.
Tabel 3.11.4 Pemeriksaan Kehamilan ke Tenaga Kesehatan di Kecamatan Makian Tahun 2012
Sumber: Data Primer
Sebagian ibu (50%) menyatakan memeriksakan kehamilannya ke nakes 1-3 kali
dengan alasan sebagian besar (60%) menyatakan alasan aman dan nyaman. Bagi ibu
yang tidak memeriksakan kehamilannya ke nakes alasannya karena merasa tidak perlu
dan jarak yang cukup jauh. Adapun alasan ibu memeriksakan kehamilannya ke dukun,
sebagian besar menyatakan karena jarak dekat (56%) dan karena tradisi (32%).
Mengenai biaya ke dukun 86% responden menyatakan tidak ada biaya. Ibu 70%
menyatakan ada acara ritual pada saat hamil.
Untuk status persalinan dari 50 orang ibu, terdapat 47 persalinan normal dan 3
orang ibu penyulit dirujuk ke RS di Ternate. Sebanyak 90% ibu menyatakan persalinan
dilakukan di rumah dan 5 orang di RS Ternate. Sedangkan untuk budaya gotong
royong, 50% ibu menyatakan ada kebersamaan dalam pembiayaan bahan bakar
speedboat dan bantuan dana bagi ibu yang dirujuk.
Memeriksakan kehamilan ke Nakes
Total 0 kali 1-3 kali >= 4 kali
10 25 15 50
20.0% 50.0% 30.0% 100.0%
435
Tabel 3.11.5
Penolong Persalinan Pertama dan Terakhir di Kecamatan Makian Tahun 2012
Sumber: Data Primer
Dari tabel di atas terlihat lebih dari separuh ibu-ibu (56%) menyatakan
penolong pertama dan terakhir persalinan dengan bidan, kemudian baru dengan
dukun. Pernyataan dari hasil wawancara ibu-ibu ini bertentangan dengan hasil FGD
bidan, toma, suami yang menyatakan bahwa pertama bila ada tanda melahirkan ibu
pertama akan memanggil dukun dulu untuk memeriksa membacakan doa dan
sebagainya baru kemudian memanggil bidan. Hal ini kemungkinan karena jawaban ibu
yang dibuat benar tidak sesuai kenyataan atau ibu menganggap pemanggilan terhadap
dukun bukanlah pertolongan pertama dalam persalinan (kriteria penolong pertama
persalinan belum jelas). Alasan memilih penolong persalinan terakhir yaitu merasa
aman dan nyaman (68%), dengan 70% menyatakan sumber biaya persalinan dari
sendiri, 30% dari Jamkesda, dan tidak ada yang menyatakan dari Jampersal.
Untuk pemeriksaan pasca persalinan 36% ibu-ibu di faskes dan 36% dengan
dukun. Alasan utama periksa nifas ke faskes 40% menyatakan lebih dipercaya, dan
alasan utama tidak periksa ke faskes dengan alasan tidak perlu 34%. Alasan periksa ke
dukun karena jarak dekat dan sudah tradisi (26%). Hampir 100% menyatakan tidak ada
acara ritual dalam masa atau setelah masa nifas. Untuk peserta KB, Ibu-ibu 48%
menyatakan menggunakan KB pasca persalinan dengan sumber biaya dari diri sendiri
dan Jamkesda. Bagi yang tidak KB alasannya karena ingin punya anak lagi.
Penolong pertama persalinan
Total Dokter Bidan Dukun Suami/klg Lainnya
5 26 19 0 0 50
10.0% 52.0% 38.0% .0% .0% 100.0%
Penolong terakhir persalinan
Total Dokter Bidan Dukun suami/klg Lainnya
3 28 19 0 0 50
6.0% 56.0% 38.0% .0% .0% 100.0%
436
3.11.4. Faktor Sosial Budaya Masyarakat dalam Pemilihan Penolong Persalinan dan
Pemanfaatan Pelayanan Jampersal
Pengambilan Keputusan Pemilihan Penolong KIA
Menurut Kapuskesmas dan bidan koordinator, masih kuatnya pengaruh orang
tua untuk memilih mama biang dari pada bidan untuk menolong persalinan karena
mama biang lebih berpengalaman dan bidan masih muda. Umumnya masyarakat di
Pulau Makian setelah pengantin perempuan menikah, mereka memilih tinggal dipihak
laki-laki (patrilokal). Penentuan pencarian pertolongan persalinan berbeda untuk
urutan anak sebagai berikut.
Ketika mengandung anak pertama, kelahirannya ditentukan oleh ibu mertua.
Ibu mertua akan memutuskan siapa yang akan membantu persalinan bagi menantu
mereka (Bidan atau Mama Biang), menentukan siapa yang membantu masa nifas bagi
menantu dan perawatan cucunya yang baru lahir. Menantu umumnya mengikuti
semua saran yang diberikan oleh ibu mertua mengingat mereka (suami istri) belum
mempunyai pengalaman tentang proses persalinan.
Ketika mengandung anak kedua dan seterusnya, penentuan pencarian
pertolongan persalinan diputuskan oleh suami, hal ini terjadi mengingat mereka
(suami dan istri) sudah memiliki pengalaman dalam persalinan anak pertama.
Pengambilan keputusan persalinan berasal dari pengalaman persalinan sebelumnya,
dimana dalam proses persalinan dan nifas terdahulu ibu sudah mengetahui apakah
pertolongan sebelumnya nyaman untuknya atau tidak.
Menurut Toma, yang memutuskan pencarian pertolongan persalinan
adalahsuami dan keluarga terdekat sedangkan mertua hanya memberi motivasi.
Menurut para suami, pengambil keputusan terkait persalinan adalah suami. Menurut
bidan berbagai alasan masyarakat untuk tidak mengikuti KB antara lain karena
suaminya tidak setuju, meskipun sebenarnya masyarakat sudah diberitahu bahwa
pasang KB dengan cuma-cuma, tetapi tampaknya masyarakat tidak yakin dan tidak
peduli. Umumnya mereka baru ikut KB karena merasa sudah tua untuk memiliki anak
lagi, dan jumlah anak sudah mencapai 6 orang. Kesimpulan keluarga yang paling
dominan dalam mengambil keputusan memilih pertolongan persalinan di Kecamatan
437
Makin adalah suami, kedua ibu/mertua, istri menurut saja tidak ikut dalam prose
mengambil keputusan.
Dukun di Mata Masyarakat
Dukun Nahra sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia karena itu dipakai
penterjemah Perawat yang bekerja di Puskesmas, bicara dengan suara sudah kurang
jelas. Profil mama biang Nahra dan sebagian aktivitasnya adalah sebagai berikut:
“Saya Nahra sudah menjadi dukun beranak sejak usia muda sekitar 20an tahun
sampai sekarang, jadi profesi sebagai dukun sudah 70 tahunan. Sudah banyak
menolong ibu melahirkan, tidak terhidung, juga tidak dapat menghitung berapa
ibu yang ditolong dalam periode Juni 2011 s.d Mei 2012”
“Daerah operasi saya sebagai dukun di desa Talapau, Mateketen, dan Busuwa. Kalau ibu yang mau melahirkan biasanya ada utusan yang memanggil saya, lalu saya datang dengan berjalan kaki, tidak mau naik motor. Biasanya ibu yang mau melahirkan panggil dukun dulu baru bidan. Selain menolong persalinan saya juga dipanggil untuk memeriksa kehamilan, memijit dan menaikkan perut, rata-rata
selama hamil 3 kali, dan melakukan tradisi bakirah bapanas dimasa nifas”
Dukun yang kedua adalah mama biang Darma menuturkan tentang dirinya
sebagai berikut:
“Saya sudah menjadi dukun beranak sejak 4 tahun yang lalu. Ketika itu ikut ibu saya yang juga dukun bayi, namun setelah ikut ibu 1 tahun ibu saya meninggal. Saya meneruskan kegiatan tersebut sampai sekarang. Pada waktu ikut ibu dia belum berani potong tali pusat”
“Saya selalu menolong persalinan bersama2 bidan Masni atau bidan Ita. Bisa bidan dulu yang datang atau dukun. Kalau saya yang datang duluan maka saya yang menyambut persalinan, kemudian bidan datang untuk potong tali pusat. Disini persalinan selalu di rumah ibu, tidak di puskesmas. Saya kemudian urus ari-ari dan dikubur di pinggir rumah, lalu saya memijat ibu nifas dan memandikannya”
Menurut Kepala Puskesmas dan bidan, masyarakat lebih percaya dengan
kemampuan mama biang daripada kemampuan bidan. Pada saat partus, mama biang
akan meminta keluarga bulin untuk mencari bidan, tetapi keluarga sering kurang
menanggapi dengan berbagai alasan seperti sudah malam, tidak ada orang untuk
disuruh pergi panggil bidan, dan kemungkinan juga keluarga takut tidak mampu
membayar atau tidak enak tidak punya uang untuk membayar.Menurut salah seorang
Toma tentang lama perawatan oleh mama biang terungkap sebagai berikut.
438
“Minimal selama 3 hari dibutuhkan untuk membantu merawat ibu dan bayinya dengan cara memijit, mandikan bayi dan membuatkan ramuan ramuan.......”
Pendapat tersebut didukung pendapat sebagian besar suami yang mengatakan
sebagai berikut.
“......yaaa..kami merasa pelayanan dukun/biang masih dibutuhkan terutama untuk meluruskan janin dalam kandungan 3 bulan dan 5 bulan”
“Menurut saya pelayanan biang tidak perlu lagi, cukup bidan saja, untuk perawatan ibu, bayi dan ari-aridapat diurus oleh keluarga terdekat dan ditanam oleh tokoh agama”
Menurut dukun sendiri, mereka dipanggil untuk memeriksa kehamilan, memijit
dan menaikkan perut, rata-rata selama hamil 3 kali. Kalau ibu yang mau melahirkan
biasanya ada utusan yang memanggil, lalu dukun datang dengan berjalan kaki atau
motor. Dukun sendiri tidak tahu mengapa ibu-ibu masih sering memanggilnya,
mungkin karena dukun sekalian mengurut dan memperbaiki rahimnya. Tentang siapa
yang duluan dipanggil bervariasi ada yang memanggil dukun dulu baru bidan dan
sebaliknya, terutama kalau bidan sedang tidak di tempat maka dipanggil dukun yang
selalu siap di tempatnya. Menurut pengakuan dukun mereka selalu berusaha
menolong persalinan bersama salah satu bidan. Kalau dukun yang datang terlebih
dahulu maka dukun yang menyambut persalinan, kemudian bidan datang untuk
memotong tali pusat.
Di Kecamatan Makian Barat hampir semua persalinan dilakukan di rumah ibu
(tidak di puskesmas). Dukun yang menangani plasenta, dikubur di pinggir rumah, dan
memijat ibu setelah persalinan. Dalam hal ini dukun mengemukakan alasan mengapa
ibu-ibu senang dengan pelayanannya:
“..... Begini bu, ibu-ibu senang memanggil sayamungkin karena saya siap setiap saat dipanggil meski tanpa dibayar. Selain itu saya juga mengobati dengan membaca-baca air dan ditiupkan ke kepala ibu. Begitu juga kalau ada ibu yang miskram yaa mereka juga memanggil saya. Selama ini sayamendapat uang dari ibu bersalin antara Rp 50.000,- sampai Rp 100.000,- termasuk pijat periksa perut, bersihkan kain-kain kotor, dan urus plasenta. Tapi saya tidak pernah dapat uang (tip) apapun dari bidan meski sama mengurus persalinan”.
439
Ketika ditanyakan kepada ibu-ibu melalui kuesioner untuk menanyakan
pengetahuan dan sikap ibu, sebagian besar ibu-ibu responden kecamatan Makian
Barat menyatakan bahwa kemampuan bidan dan dukun dalam menolong persalinan
bagi mereka sama saja. Hal ini menunjukkan bahwa dukun masih tetap dibutuhkan
oleh ibu-ibu bahkan dianggap sama dengan bidan kemampuannya dalam menolong
persalinan
Bidan di Mata Masyarakat
Hampir semua peserta FGD Toma mengatakan pelayanan bidan dinilai sangat
baik. Menurut dukun meski hubungan dengan bidan cukup baik, tapi bidan tidak
memberi uang padanya karena pekerjaannya membantu bidan. Namun salah satu
bidan pernah mengatakan nanti akan diatur untuk kasih lagi perbulan 25 ribu. Para
suami juga menyatakan pelayanan bidan sudah bagus, hanya kadang kurang tersedia
obat di desa sehingga harus mengambil di puskesmas yang jauh dari desa, hal ini cukup
merepotkan.
Gambar 3.11.8 Wawancara Mendalam dengan Mama Biang (jilbab putih) Sumber: Dokumentasi Peneliti
440
Menurut Kepala Puskesmas karena kondisi geografis, banyak persalinan yang
tidak bisa dibantu oleh bidan; misalnya lahir pada malam hari atau subuh. Bila bayi
lahir siang hari, alasan antara lain tidak ada orang yang bisa pergi untuk memanggil
bidan sehingga proses kelahiran diserahkan kepada dukun bersalin dan keluarga. Bidan
baru dipanggil pada saat harus potong tali pusat karena keluarga dan mama biang
tidak berani memotongnya. Bidan yang masih baru/muda, ibu malu diperiksa oleh
bidan muda, lebih suka ke dukun.
Pandangan dukun terhadap bidandalam menolong persalinan sebagai berikut.
“......bidan tidak ambil wudhu dulu sebelum menolong persalinan. Selain itu dalam menolong persalinan kalau saya potong tali pusat setelah bayi dan tembuninya keluar. Cara ini saya dapat dari turun temurun, tapi kalau bidan bayi keluar langsung dipotong baru dikeluarkan tembuninya......”.
Hubungan Dukun dan Bidan
Hubungan dan komunikasi bidan dan dukun di Makian Barat cukup baik dan
bermitra. Dukun berusaha melapor ke bidan meskipun hanya untuk potong tali
pusat.Sejauh ini menurut bidan tidak ada hubungan dukun terkait penyelenggaraan
KIA selain tentang Kunjungan kehamilan (K1). Umumnya ketika diketahui hamil
(terlambat buan), ibu hamil (bumil) umumnya tidak mau memeriksakan dirinya dengan
tenaga kesehatan (bidan) karena mereka malu, sehingga mereka memeriksakan diri
kepada dukun. Dukun biasanya memberitahukan kepada bidan tentang ibu-ibu yang
telah dinyatakan hamil (penemuan K1) juga membantu ibu hamil untuk datang ke
posyandu
Gambar 3.11.9 FGD dengan bidan di Puskesmas Mateketen Sumber: Dokumentasi Peneliti
441
Beberapa tokoh masyarakat menyatakan:
“Tidak pernah terjadi persaingan antara bidan dan mereka malah bekerja sama bila ada ibu yang akan bersalin. Saat ibu merasakan sakit dan akan melahirkan pihak keluarga akan memanggil terlebih dahulu untuk memberikan dukungan dan Air Amal. Air amal diminta dari tokoh agama setempat dan sudah dibaca-bacakan lalu diminumkan kepada ibu yang akan melahirkan. Setelah bidan datang maka akan menyerahkan kepada bidan, dan cara ini sudah berlangsung cukup lama dan sudah menjadi kebiasaan”
Ketika ditanya kenapa selalu mama biang terlebih dahulu yang dipanggil.
Menurut salah satu kepala desa setempat, hal tersebutdisebabkan karena pernah 2
kali kasus kejadian yang diakibatkan oleh kesalahan dokter/bidan yang menyebabkan
masyarakat masih menggunakan mama biang, kasusnya sebagai berikut:
1. Pernah ada ibu hamil dikatakan oleh dokter puskesmas sebagai hamil kembar
namun ternyata setelah dirujuk/periksa ke Ternate hamilnya tidak kembar dan
disuruh kembali ke Mateketen melahirkan dirumah dan dibantu mama biangdan
tidak kembar
2. Bidan Mateketen merujuk ke Ternate seorang ibu katanya sudah akan melahirkan
dan letaknya sungsang, ternyata di Ternate dinyatakan masih lama proses
kelahirannya dan ibu hamil kembali ke Mateketen. Kemudian diperbaiki letak janin
oleh dukun dan ditolong melahirkan olehdukun dengan selamat. Keluarga agak
kesal karena pihak keluarga sudah mengeluarkan biaya untuk beli bahan bakar
speedboat puskesmas pulang pergi ke Ternate.
Di desa Malapat, mama biang juga selalu bekerja sama dengan bidan desa,
mama biang selalu hadir setiap ada proses persalinan namun persalinan tetap
dipegang oleh bidan, mama biang hanya berfungsi untuk mengurus ibu, merawat bayi
dan menanam plasentanya.
Peran Toma dan Suami
Menurut Toma, pada saat ada ibu mau melahirkan di mateketen adalah semua
keluarga berkumpul dari keluarga terdekat sampai tokoh masyarakat ini fungsinya
sebagai pemberi support untuk ibu hamil dan budaya ini dinamakan
Karo/Datang/Menunggu di rumah Ibu yang akan melahirkan dan seandainya terjadi
442
suatu hal yang berkaitan dengan ibu yang menyangkut keselamatanya bisa langsung
panggil bidan atau biang. Menurut Kepala desa Mateketen tujuan dari Karo adalah:
Mengantisipasi/berdoa agar ibu yang akan melahirkan selamat,
Mengumpulkan uang/biaya untuk sekedar membantu biaya transport apabila
dirujuk ke Ternate, untuk beli bahan bakarnya karena speedboat disediakan oleh
puskesmas dan iuran tersebut secara spontan, bahan bakar dari puskesmas
Mateketen sebesar Rp. 500.000,-
Menurut para suami, peran tokoh masyarakat adalah:
Mengarahkan masyarakat untuk kegiatan Posyandu dan ibu ibu hamil agar
memeriksakan kehamilanya pada petugas kesehatan.
Apabila ada ibu yang akan melahirkan, maka bidan dan mama biang disiapkan oleh
tokoh masyarakat untuk mengantisipasi apabila terjadi hal hal yang berhubungan
dengan keselamatannya.
Masyarakat sekitar akan dengan sukarela mengumpulkan uang untuk membantu
keluarga tersebut.
Selalu mengingatkan ibu hamil agar sering jalan kaki kemudian dan menjelang 3
bulan kelahiran diberikan air kelapa dan air amal untuk diminum.
Tokoh masyarakat memberikan dukungan terhadap penyelenggaraan KIA baru
terbatas pada bantuan pengumpulan dana untuk ibu-ibu bersalin yang mengalami
komplikasi kelahiran dan membutuhkan bantuan transportasi menuju tempat
rujukan.
o
Gambar. 3.11.10 FGD Toma di Puskesmas Mateketen Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar. 3.11.10 FGD Toma di Puskesmas Mateketen Sumber: Dokumentasi Peneliti
443
Peran suami ditanyakan dalam FGD yang dihadiri oleh 6 orang suami dari ibu
yang melahirkan selama bulan Mei 2011 sampai dengan Juni 2012. Suami yang
diundang sebanyak 12 orang dari 7 desa tetapi yang hadir hanya 6 orang dari 4 desa
karena terkendala cuaca sehingga transportasi laut kurang lancar. Pendapat mereka
satu persatu diuraikan sebagai berikut.
Suami 1:
“Kelahiran anak ke 1 sampai ke 3 ditolong bidan. Kehamilan 4 yang terakhir ini terjadi kekeliruan oleh dokter puskesmas Mateketen pada waktu itu karena dinyatakan kembar, dikirim ke Ternate ternyata tidak kembar dan dikembalikan ke Mateketen dan melahirkan dengan bidan. Peran saya menenangkan istri agar tidak trauma dengan kejadian tersebut. Saya sendiri kurang yakin dengan sehingga tidak memanggil biang.....”
Suami kedua:
“Kehamilan pertama istri melahirkan di Ternate. Kelahiran kedua ditolong saya sendiri, bidan dan . Bidan dan biang terlambat datang sehingga saya yang menyambut kelahiran baru bidan datang memotong tali pusat dan biang membersihkan bayi/ibu, membersihkan ari-ari, memandikan bayi, memandikan ibu dengan adat Bakirah dan Bapanas. Bakirah adalah mandi dengan ramuan selama 3 hari, Bapanas adalah duduk dengan hanya memakai kain sarung di hadapan api kayu bakar. Untuk itu biang saya kasih uang 50-100 ribu”
Suami ketiga:
“....... anak saya ditolong lahir oleh bidan dan biang. Bidan menolong persalinan dan biang membersihkan, menyelesaikan ari-ari dan seterusnya”
Suami keempat:
“Anak pertama, kedua dan ketiga ditolong lahir oleh dan biang dikasih uang 50 ribu perkali persalinan karena pada waktu itu tidak ada bidan.
Anak ke 4 ditolong bidan bersama dengan biang. Bidan tidak dibayar ikut Jamkesda, biang diberi uang 150 ribu. Cerita awalnya dokter puskesmas Mateketen mengatakan bahwa letak bayi sunsang lalu dirujuk ke Ternate, ternyata tidak sunsang dan dikembalikan ke Mateketen, dan lahir normal. Saya merasa dirugikan dengan keputusan dokter tsb karena biaya, waktu dan tenaga yang sudah dikeluarkan karena kesalahan dokter”.
“Anak ke 5 lahir dengan bidan dan kata bidan ikut Jampersal. Sayapada waktu itu tidak tahu kalau persalinan gratis karena ikut Jampersal,saya kira ikut Jamkesda karena pada waktu itu bidan dan juga istri tidak menjelaskan kepada saya”.
Suami ke 5:
“Anak 1 ditolong bidan bersama dengan biang, untuk bidan gratis dan biang diberi uang 150 ribu’
444
Suami ke 6:
“Untuk anak ke 1 sampai dengan ke 5, istri di Oba Halmahera melahirkan dengan bidan. Anak ke 6 – 7 ditolong oleh saya sendiri meskipun bidan ada dan rumahnya tidak jauh. Setelah bayi keluar baru saya suruh keluarga panggil bidan untuk potong tali pusat. Saya tidak panggil dukununtuk menolong persalinan karena kurang yakin dengan kemampuan dukun. Tidak panggil bidan karena saya kira tanpa bidan bayi akan lahir sendiri”
Gambaran Pencapaian KIA dan Peta Budaya
Berikut ini adalah lanjutan beberapa tabel yang dicopy dari power point kepala
puskesmas Mateketen yang telah dipresentasikannya dalam rapat tingkat kabupaten
Halmahera Selatan beserta analisis untuk setiap tabel.
Tabel. 3.11.6
Indikator Outcome Puskesmas Mateketen Tahun 2011
No Indikator Jumlah Sasaran
Pencapaian
1 2 3 4 5 6 7
8 9
10
Cakupan K4 Kom Kebidanan Yg Di Tangani Persalinan Nakes Pelayanan Nifas Cakupan Neonatus dgn Kompl yg Ditangani Kunjungan Bayi Desa Uci Hbo Bcg Dpt-Hb3 Polio 4 Campak Pelayanan Anak Balita Cakupan Yankesdes Miskin Cakupan Kb Aktif
101 20 96 96 14 96 7
93 93 93 93 93
403 1292 730
70 (69 %) 2 (10 %)
38 (40 %) 38 (40 %) 5 (36 %)
48 (50 %) 0
42 (45 %) 74 (80 %) 71 (76 %) 75 (81 %) 40 (43 %) 96 (24 %)
679 (53 %) 103 (14 %)
Dari tabel 3.11.2 terdahulu sasaran Bumil puskesmas Mateketen tercantum
sebesar 103, sasaran bayi 95 dan sasaran balita 411, namun pada tabel 3.11.6 di atas
sasaran bumil 101, bayi 96, dan balita 403. Berdasarkan tabel di atas untuk Kecamatan
Makian Barat Tahun 2011 cakupan K4 69%, persalinan Nakes dan pelayanan nifas 40%.
Menurut penjelasan kepala puskesmas Mateketen hampir semua persalinan tersebut
dilakukan di rumah, tidak ada yang di Puskesmas atau di polindes. Ada 2 orang ibu
445
yang komplikasi kebidanan, dengan persentase yang tercantum sebesar 10% dari
sasaran komplikasi kebidanan (bukan dari jumlah bumil). Sedangkan tercantum
pelayanan bayi sebesar 50% dan pelayanan balita 24%.
Untuk rincian perdesa berdasarkan data dan penjelasan Kepala Puskesmas
Mateketen adalah sebagai berikut.
Gambar. 3.11.11. Cakupan K-1 Pada Puskesmas Mateketen Januari-November 2011
Dalam grafik di atas terlihat Desa Mateketan dan Desa Talapaon paling tinggi
capaian K1, sedangkan yang paling rendah Desa Sebelei dan Desa Malapat. Hampir
semua desa wilayah kerja Puskesmas Mateketen pencapaian K1 rendah karena
petugas belum memahami tentang kriteria dari K1, logistik dan sarana tidak ada, serta
peran serta masyarakat masih kurang. Hal ini disebabkan pemahaman tentang
pemeriksaan kehamilan rendah, kurangnya kerjasama lintas sektor terutama Kepala
Desa dan PKK Desa, dan kemitraan dengan dukun beranak belum berjalan dengan
baik. Pada desa yang pencapaiannya lebih tinggi (Desa Mateketen) disebabkan karena
petugas pro aktif, logistik dan sarana tersedia, ada peran serta masyarakat danakses ke
PKM dekat serta ada kerjasama lintas sektor, kader dan dengan dukun.
Cakupan K4 Puskesmas Mateketen berdasarkan kriteria desa dapat dilihat pada
gambar berikut.
0
20
40
60
80
100 85 8071 67 62
55
31
59
CAKUPAN K-1 PADA PKM MATEKETEN BULAN JANUARI s/d NOPEMBER TAHUN 2011
MATEKETEN TALAPAON TEGONO OMBAWA
BOBAWA MALAPAT SEBELEI PKM
446
Gambar. 3.11.12
Cakupan K-4 Pada Puskesmas Mateketen Januari-November 2011
Dari gambar di atas, desa Talapaon adalah capaian K4 terendah, ini disebabkan
petugas yang ada tapi belum memahami tentang kriteria K4, logistik dan sarana tidak
ada, dan peran serta masyarakat masih kurang karena tingkat pendidikan yang rendah.
Selain itu masalah ekonomi sehingga masyarakat lebih mementingkan bekerja dari
pada urusan kesehatan dan mobilisasi penduduk yang tinggi. Untuk desaOmbawayang
capaian K4 lebih tinggi karena petugas Pro Aktif, meskipun logistik dan sarana tidak
tersedia, peran serta masyarakat cukup karena adanya kerjasama lintas sector, kader
dan dukun beranak.
Berikut adalah cakupan persalinan Nakes berdasarkan kriteria desa adalah
sebagai berikut.
83
77 75
6965
5753
69
CAKUPAN K-4 PADA PKM MATEKEKETEN BULAN JANUARI S/D NOPEMBER TAHUN 2011
OMBAWA MATEKETEN MALAPAT BOBAWA
SEBELAI TEGONO TALAPAON PKM
447
Gambar. 3.11.13
Cakupan Linakes Puskesmas Mateketen Januari-November 2011
Pada gambar di atas nampak persalinan dengan tenaga kesehatan yang paling
tinggi adalah Desa Tegono dan Desa Mateketen, sedangkan yang paling rendah desa
Sebelei dan Desa Bobawa. Untuk Desa Sebelei capaian persalinan Nakes terendah
disebabkan karena meski petugasnyaada tapi hampir semua ibu melahirkan dengan
dukun, logistik dan sarana bidan Kit tidak ada. Peran serta masyarakat masih kurang
karena tingkat pendidikan yang rendah, masalah ekonomi sehingga masyarakat lebih
mementingkan pekerjaan dan mobilisasi tinggi. Capaian Linakes tertinggi adalah desa
Tegono disebabkanpetugas pro aktif meski logistik dan sarana: tidak tersedia, adanya
peran serta masyarakat dengan kerjasama kader, dukun beranak dan bidan desa.
Pengetahuan tentang Jampersal
Dari hasil wawancara terhadap 50 ibu responden hampir semua ibu (98%)
menyatakan tidak tahu tentang Jampersal baik dari sumber media, dari petugas
kesehatan, maupun dari petugas desa, baliho dan lainnya. Dengan demikian maka
persalinan terakhir ibu responden 98% menyatakan tidak menggunakan Jampersal
dengan alasan tidak tahu.
448
Dalam FGD bidan pada saat puldat bulan September, diperoleh hasil
pengetahuan mereka tentang Jampersal cukup baik, mereka menyatakan program ini
dilaksanakan semenjak tahun 2011 pada awal tahun.
Tentang program persalinan gratis dukun sudah pernah mendengar dari bidan,
tetapi bidan tidak pernah menjelaskan secara terinci kalau periksa hamil dan nifas juga
gratis, serta tidak pernah meminta dukun untuk memberitahukan adanya program ini
untuk disampaikan pada ibu-ibu yang lain. Tentang persalinan gratis ini sikap dukun
setuju saja asalkan memang membantu seluruh masyarakat di kampungnya.
Pembiayaan Pelayanan KIA yang diterima Nakes
Menurut bidan desa, sebelum pelaksanaan Jampersal umumnya mereka
memperoleh pembayaran sebesar Rp. 50.000,-/persalinan sedangkan persalinan
dengan bantuan dukun sebesar Rp. 50.000,- Rp. 100.000,- mulai dari membantu proses
persalinan hingga perawatan ibu nifas dan perawatan bayi yang baru lahir.
Setelah itu ada kebijakan Jamkesmas dan Jamkesda. Kebijakan Jampersal
tumpang tindih dengan Jamkesda (turunan dari Jamkesmas). Keberadaan Jampersal
tidak mengagetkan penduduk lagi karena sebelumnya mulai 2006 memang berobat
apapun sudah gratis termasuk pemeriksaan kehamilan, persalinan dan masa nifas.
Pandangan masyarakat terhadap Jampersal biasa saja karena sebelumnya memang
persalinan sudah gratis melalui Jamkesda dan Jamkesmas.
Menurut Kepala Puskesmas setelah adanya Jampersal, ibu bersalin linakes
meningkat meskipun belum meningkat tajam. Klaim tahun 2011 tidak dilakukan karena
tidak ada lembar kohort, lembar kohort baru diterima dari Dinas Kesehatan pada bulan
Januari 2012. Untuk pemanfaatan Jampersal, mulai Januari – Juni 2012 ada 15
persalinan yang tercatat (komplit mulai ANC, bersalin, PNC, juga KB) dan diajukan
untuk Jampersal. Klaim untuk 6 orang baru keluar pada bulan September 2012
sedangkan 9 usulan tidak bisa diajukan karena tidak dilengkapi dengan berbagai
persyaratan klaim seperti KTP dan lembar kohort sehingga mereka dicatat untuk
diikutkan Jamkesda. Untuk ibu yang dirujuk ke RS di Ternate transportasi (speedboat)
pakai uang ibu dulu, lalu di klaim ke Dinkes, setelah dapat pengembalian dari dana
Jamkesmas maka dikembalikan ke ibu. Dari bulan Juli sampai Oktober ada 7 persalinan
449
yang diajukan ikut Jampersal tetapi klaimnya belum keluar. Klaim yang diterima
dipotong 20% (sekitar Rp 140.000,-) untuk disetor ke kas daerah sehingga setiap
persalinan lengkap dengan ANC dan PNC, bidan menerima sekitar Rp 500.000,-
Pemanfaatan Jampersal dari Sisi Masyarakat
Tabel 3.11.7
Sumber Biaya Pemeriksaan Kehamilan dengan Tenaga Kesehatan di Wilayah Puskesmas Mateketen
Sumber biaya periksa hamil ke nakes
Total Sendiri/klg Jampersal
Jamkesmas/
Jamkesda
Asuransi
lain
Sumber
lain
45 0 5 0 0 50
90.0% .0% 10.0% .0% .0% 100.0%
Sumber: Data Penelitian
Tabel di atas menunjukkan pernyataan 50 ibu responden terkait sumber biaya
pemeriksaan kehamilan. Tidak ada ibu yang menyatakan bahwa biaya dari Jampersal
dan 90% menyatakan biaya sendiri. Ada kemungkinan beberapa ibu lupa atau tidak
mengerti bahwa mereka ikut program Jampersal.
Dari 6 suami yang hadir dalam FGD hanya 1 orang suami yang menyatakan
persalinan istrinya ikut Jampersal, itupun baru diketahui belakangan karena pada
waktu itu bidan dan juga istri tidak menjelaskan ke suami. Menurut informasi dari
kepala puskesmas ada 13 orang ibu yang sudah diajukan dalam program Jampersal, 5
di antaranya sudah keluar klaimnya.
3.11.5. Peran Tenaga Kesehatan dalam Pelaksanaan Jampersal
Sosialisasi Jampersal dari Dinas Kesehatan ke Puskesmas
Menurut staff Kadinkes Kabupaten Halmahera Selatan, sosialisasi Jampersal ke
Puskesmas dilakukan secara terintegrasi dengan program BOK dan Jamkesmas.
Sosialisasi Juknis dilakukan oleh pengelola Jampersal KB KIA; dan sosialisasi teknis
450
dilakukan oleh bagian program antara lain melalui program kemitraan bidan-dukun,
refreshing bidan, dan review PWS/KIA. Sosialisasi untuk Puskesmas dilaksanakan pada
bulan Februari 2011 dengan mengundang kepala Puskesmas, bidan koordinator dan
bendahara Puskesmas. Sosialisasi sekaligus dilengkapi dengan distribusi instrument
berupa buku kohort, buku status ibu dan bayi, buku KIA, berkas klaim.
Sosialisasi lintas sektor dilakukan melalui pertemuan dengan Team KHPPIA
(Kelangsungan Hidup Pertumbuhan dan Perkembangan Ibu dan Anak) yang merupakan
program Bappeda. Dinas Kesehatan sebagai anggota Team sering melakukan
presentasi dan sosialisasi masalah Jampersal. Pertemuan DTPS-KIBBLA (Distrik Team
Problem Solving-Kesehatan Ibu Bayi Baru Lahir dan Anak) dibawah koordinasi Sekda.
Sosialisasi ke masyarakat melalui team DTPS yang sebelumnya sudah di
Training of Trainer oleh Dinas Kesehatan. Ada MOU di tingkat kabupaten untuk
melaksanakan program-program kesehatan secara lintas sektoral dan melalui LSM.
Selanjutnya sosialisasi langsung ke masyarakat harus dilakukan oleh Puskesmas dengan
memasukkan materi dan substansi dalam kegiatan BOK dan Jamkesmas.
Sosialisasi dari Puskesmas ke Masyarakat
Keberadaan Kepala Puskesmas ini mulai September 2011, sehingga
menurutnya keterpaparan terkait Jampersal baru mulai Januari 2012. Pada waktu itu
Kadinkes Halsel mengumpulkan seluruh Kapuskesmas ke Kabupaten Halsel penjelasan
tentang Jampersal. Sebelum keberadaan beliau dalam tahun 2011 memang sudah ada
sosialisasi Jampersal kepada seluruh kapuskesmas namun untuk Puskesmas Mateketen
belum berjalan. Sebagai follow up dari kebijakan baru ini maka Kapus langsung
mensosialisasikannya kepada seluruh bidan yang ada di wilayah Puskesmas Mateketen
dalam lokmin bulanan puskesmas. Seluruh bidan puskesmas saat ini sudah ada 9 orang
(2 PNS dan 7 PTT). 7 orang bidan ditempatkan di 7 desa yang ada di kecamatan Makian
Barat, 2 bidan di puskesmas. Rapat lintas sektoral dengan kades,PKK terkait sosialisasi
Jampersal sudah dilakukan bulan Februari 2012.
Menurut koordinator KIA KB Puskesmas yang diwawancarai:
“Belum pernah ada sosialisasi khusus Jampersal. Yang ada kegiatan rutin ANC, diinformasikan kepada ibu bahwa ada Jampersal untuk persalinan gratis,
451
pemberian obat untuk ibu hamil serta pelayanan KB gratis. Juga tidak dilakukan sosialisasi untuk kunjungan paska persalinan (KN) kepada ibu”.
Selanjutnya menurut bidan koordinator:
“Sosialisasi dilakukan oleh Dinas kesehatan kepada para bidan dan bidan desa diseluruh Puskesmas di wilayah Dinas Kesehatan Halmahera Selatan. Bidan dan bidan desa kemudian melanjutkan informasi yang mereka dapatkan tersebut kepada masyarakat dilingkungan kerja kami masing- masing”
Pengelolaan PelayananKIA dengan ProgramJampersal
Untuk Kabupaten Halmahera Selatan pada awalnya klaim baru bisa diajukan
bila sudah ada anggaran, namun akhirnya tim verifikator kesulitan karena banyaknya
klaim yang harus diverifikasi. Karena itu sekarang klaim yang sudah dirapikan bidan
bisa diserahkan ke Dinas kesehatan dan langsung diverifikasi oleh tim sehingga
pekerjaan dapat dicicil. Selanjutnya berkas disimpan oleh tim verifikator sambil
menunggu dana cair sehingga tidak ada hambatan administratif lagi di Dinas
Kesehatan.
Jampersal di kabupaten Halsel mulai pada tahun 2011 dengan pembentukan
Tim Pengelola Jampersal di Dinas Kesehatan. Setelah sosialisasi maka Puskesmas mulai
melaksanakan/implementasi Jampersal Juni 2011. Karena tidak tersedianya alokasi
anggaran secara khusus, sosialisasi sering dilakukan secara terintegrasi dengan
program BOK dan Jamkesmas. Seperti disebutkan dalam Juknis Jampersal kegiatan ini
melibatkan lintas sektoral antara lain Bappeda, Inspektorat, Keuangan dan Sekretaris
Daerah. Integrasi Lintas Sektor ini memutuskan bahwa klaim Jampersal dan Jamkesmas
harus disetorkan ke Kas Daerah sebesar 20%.
Pelaksanaan program KIA di wilayah Puskesmas Mateketen dilaksanakan
seperti biasa (rutinitas sebelum adanya Jampersal). Pelayanan gratis dalam Jampersal
meliputi pelayanan ANC, persalinan dan pemasangan KB. Pemeriksaan PNC dilakukan
selama masa nifas untuk ibu dan bayi. Pemeriksaan nifas dilakukan sebanyak 3 kali,
yaitu pemeriksaan ibu pada 6-24 jam setelah persalinan, 8-14 hari dan 14-42 hari.
Pelayanan nifas diberikan kepada ibu dan bayi, bila ibu tidak pernah datang hingga
masa nifas melampau 42 hari, maka ibu akan dikunjungi oleh bidan.
452
Rujukan dilakukan bila ada kasus dengan partus lama (>6 jam). Sejak tahun 2012,
terdapat 3 kasus kematian bayi yang disebabkan lahir premature, ketuban pecah dini
dan perdarahan. Bila bidan mengalami kesulitan atau kelahiran dengan penyulit, maka
ibu akan dirujuk ke RSUD provinsi di Kota Ternate karena lebih dekat daripada ke Pulau
Bacan. Pasien didampingi bidan, suami dan seorang keluarga lainnya. Dalam hal
rujukan, keluarga pasien dimintakan penggantian solar kurang lebih 50 liter atau
senilai Rp. 350.000,- Bidan mendapatkan upah dari claim Jampersal bila melakukan
rujukan.
Bidan tidak melengkapi kohort sehingga sulit untuk bisa claim Jampersal
(catatan: bidan tidak mengerti secara substansial makna daripada pengisian kohort,
dan juga memang tidak bisa mengisi). Buku KIA tidak sepernuhnya diisi. Dari salah satu
buku KIA yang diambil dalam penelitian ini, bagian/informasi yang terisi hanyalah
nama ibu, tnggal persalinan, umur kehamilan, catatan kunjungan ibu dalam ANC.
Untuk identitas keluarga, hanya sebagian kecil informasi yang terisi. Ada kesulitan
dalam pembuatan laporan karena untuk form ANC harus diulang kembali pada form
yang lain.Ketika pelaporan dibuat harus konsultasi berkali-kali hal ini menyulitkan
bidan dalam pembuatan dan penyerahan laporan serta klaim Jampersal.
Selain itu kemampuan bidan dalam berkomunikasi masih rendah; bidan tidak
pernah mengemukakan masalahnya dalam mini lokakarya yang dilakukan rutin setiap
bulan. Bayi tidak dilengkapi dengan timbangan bayi di desa sehingga bayi lahir tidak
ditimbang. Persyaratan rumit terutama terkait KTP ibu. Ibu-ibu disini tidak punya KTP,
maka solusinya dibuat KTP sementara oleh Kades. Selain itu dari Dinkes menekankan
untuk klaim Jampersal harus komplit mulai dari K1 – 4, bersalin dan KN 1-3, sedangkan
ibu jarang mau K1 dengan bidan, mereka pada awal kehamilan (3 bulan) biasa minta
diperiksa/diurut ke dukun. Reagen Sahli untuk pemeriksaan hemoglobin belum pernah
diberikan oleh Dinas Kesehatan, meskipun alat untuk pemeriksaan Hb sudah lengkap.
Alat (bidan kit) sangat kurang sehingga bidan banyak mengeluh. Untuk itu bidan
masing-masing menggunakan alat/kit yang dimiliki secara pribadi.
Tenaga bidan KIA di desa/lapangan sudah mencukupi, tetapi bidan di
puskesmas masih kurang, sehingga beban kerja bidan koordinator sangat banyak
453
bertanggung jawab untuk beberapa kegiatan antara lain sebagai pengelola program
KIA, KB, Jampersal dan pemeriksaan kuman TB.
Menurut kepala puskesmas masalah lain yang dihadapi dalam merujuk pasien
yaitu:
“...... Begitulah, apabila speed puskesmas sedang digunakan untuk melaksanakan kegiatan sementara ada pasien yang harus dirujuk. Dalam hal ini maka keluarga
pasienlah yang harus berusaha mencari speed boat secara mandiri”
Kebijakan Dinas Kesehatan danPuskesmas terkait Pembiayaan Jampersal
Peraturan Bupati Halmahera Selatan hingga saat ini (disusun bulan Oktober
2011) masih berupa rancangan. Terdapat kendala teknis dan birokrasi dalam
menetapkan rancangan menjadi peraturan bupati (Perbup) sehingga hingga saat ini
rancangan tersebutlah yang dijadikan acuan. Kendala teknis antara lain: 1) waktu dari
team koordinasi; 2) hambatan dalam kesepahaman antara hukum dan keuangan.Perda
mencantumkan“Seluruh pendapatan pelayanan masuk ke kas daerah”. Isi rancangan
yaitu adanya bagi hasil/setoran dari pendapatan Jampersal ke kas daerah sebesar 20%.
Semua bidan puskesmas harus dapat menolong persalinan Jampersal. Tidak
ada keterlibatan bidan swasta maupun klinik dan RS swasta dalam pelaksanaan
Jampersal. Adapun keterlibatan bidan puskesmas dan RS berjalan seperti apa yang
tertulis dalam Juknis, terutama untuk persalinan bermasalah yang membutuhkan
rujukan.
Untuk itu antisipasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan dalam hal ini yaitu
instruksi kepada Puskesmas untuk menyimpan dulu 20% klaim yang diterima, namun
ada beberapa Puskesmas sudah menyetor ke Kas Daerah.
Kebijakan Jampersal tumpang tindih dengan Jamkesda (turunan dari
Jamkesmas). Keberadaan Jampersal tidak mengagetkan penduduk lagi karena
sebelumnya mulai 2006 memang berobat apapun sudah gratis termasuk pemeriksaan
kehamilan, persalinan dan masa nifas. Pandangan masyarakat terhadap Jampersal
biasa saja karena sebelumnya memang persalinan sudah gratis melalui Jamkesda dan
Jamkesmas.
Sejak tahun 2010 klaim Jamkesmas sulit (sampai sekarang tidak keluar lagi) dan
masyarakat miskin yang mendapatkan kartu Jamkesmas berdasarkan data tahun 2008
454
sudah tidak valid lagi. Menurut Dinkes keputusan pusat terkait rekap ulang Jamkesmas
belum keluar. Kapus merasa bersyukur dengan adanya Jampersal, mudah2an klaimnya
bisa lancar. Jamkesda juga lancar mulai 2006 – 2009 seluruh masyarakat pengobatan
gratis, namun klaim mulai 2010 sampai sekarang tidak keluar (apakah karena sudah
adanya Jampersal?). Untuk itu maka klaim ditutupi dari dana rutin APBD (3 bulanan, 10
juta/bln) dan dana BOK (15 – 16 juta/bln dan bln februari sebesar 30 juta tergantung
banyaknya kegiatan). Banyaknya kegiatan tergantung cuaca dan SDM puskesmas yang
ada. LS baru dilakukan 1 x dalam periode kapus ini hampir satu tahun, selanjutnya akan
dilakukan minimal persemester( per 3 bln masih sulit karena kendala transport/cuaca).
Menurut para bidan kecamatan Makian Barat sumber biaya persalinan sebelum
ada Jamkesda dan Jampersal sebagian besar dari pribadi/keluarga ibu. Dalam budaya
masyarakat Makian apabila ada saudara yang mengalami kesulitan dalam pembayaran
persalinan, mereka akan mengumpulkan uang semampu mereka untuk membayar
biaya persalinan tersebut. Namun sudah 6 tahun ini menurut Toma dan suami biaya
persalinan gratis dan tidak dipungut biaya apapun, hanya memberi sedekah kepada
mama biang. Biaya untuk bidan gratis tapi kalau mau boleh memberi 50 ribu sebagai
tanda terima kasih. Prinsip dukun tentang adanya program persalinan gratis dukun
setuju saja karena yang penting tujuannya menolong masyarakat dan ibu serta bayi
sehat-sehat saja.
Berkaitan dengan pengelolaan Dana Jampersal di tingkat Puskesmas, menurut
kepala puskesmas diatur dengan kebijakan internal puskesmas yaitu: 5% untuk
administrasi, 10% untuk bendahara Jampersal dan kapuskesmas yang mengurus klaim,
85% untuk bidan. Untuk bidan terserah bidan berapa kalau mau kasih dukun yang juga
membantu persalinan. Menurut kapuskesmas akan diupayakan kemitraan bidan
dukun, dukun akan diberi uang Rp 25.000, bila melaporkan ke bidan tentang adanya
ibu hamil 3 bulan pertama. Selain itu pada waktu bersalin (HB0) dukun juga diberikan
Rp 25.000 apabila segera melaporkan ke bidan dan bidan datang menolong. Dana
untuk dukun ini diambilkan dari dana BOK. Namun sampai sekarang menurut seorang
dukun, dia menolong persalinan tanpa dibayar oleh ibu maupun bidan. Kalau ibu minta
dipijat setelah persalinan barulah diberi uang 20 ribu. Tapi pada waktu hamil dukun
455
dipanggil selama hamil rata-rata 2-3 kali untuk memijat menaikkan perut, kadang tidak
dibayar.
3.11.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan terhadap Program Jampersal
Hambatan dan Dukungan
Pengaruh geografi/demografi. Kondisi demografi terkait persalinan: ibu-ibu di
Makian banyak berasal dari kampung Malifut (Halut)) sehingga kalau melahirkan
pulang ke kampungnya di Halut, tidak di desa ini sehingga jumlah persalinan di
Kecamatan Makian Barat tidak banyak.
Meskipun sekarang semua desa sudah ada bidan yang tinggal di desa, tetapi
tidak dilengkapi dengan bangunan polindes yang lengkap logistiknya sehingga bidan
yang masih muda tidak begitu kuat motivasinya untuk persalinan di tempatnya. Tidak
semua bidan siap menolong persalinan secara mandiri sehingga mereka melakukannya
secara partneran dengan rekan bidan lainnya.
Kendalanya adalah dalam sistem pendistribusian logistik yang masih sulit melalui laut
sehingga menambah bidan tidak confiden untuk menolong persalinan di polindes,
sementara itu dukun sudah dengan cepat dapat dipanggil dan percaya diri serta
memberikan pelayanan komprehensif fisik psikologis.
Kepercayaan/religi. Ada keyakinan masyarakat bahwa plasenta bisa keluar
sendiri, sehingga tidak perlu bantuan bidan. Umur bidan (muda) sangat menentukan
akses masyarakat untuk bersalin dengannya. Kalaupun diperlukan bidan hanya untuk
memotong tali pusat, sedangkan fungsi dukun banyak seperti menenangkan, memijat,
memberikan ramuan, mendoakan, mengurus/membersihkan ibu dan memandikan ibu
dan bayi. Menjalankan tradisi Bapanas Bakirah setelah persalinan sehingga tubuh ibu
dapat pulih kembali seperti semula. Menurut kepala puskesmas seluruh bidan di
puskesmas Mateketen adalah bidan baru tamat dan baru diangkat PNS yang masih
muda-muda. Kualitas SDM masih rendah sehingga sebagian ibu masih ada yang lebih
suka ke dukun (mama biang). Dukun kalau menolong persalinan ditunggui mulai dari
mules sampai bersalin dengan diurut untuk mengurangi rasa sakit, sedangkan bidan
setelah memeriksa tahap pembukaan, ditinggalkan dulu tidak ditunggui.
456
Pendidikan/pengetahuan. Pendidikan masyarakat rendah, 78% ibu
berpendidikan SMP ke bawah sehingga kesadaran untuk akses ke fasilitas kesehatan
masih rendah. Pengetahuan tentang Jampersal yang tidak disosialisasikan dengan baik
membuat ibu, tokoh masyarakat, tokoh agama, suami tidak tahu apa Jampersal,
mereka hanya tahu kalau berobat selama hamil, bersalin, dan pasca persalinan
diberikan secara gratis, tidak tahu apakah dengan Jamkesda atau Jampersal. Ada suami
bahkan tidak tahu kalau istrinya gratis persalinan karena ikut Jampersal. Pandangan
ibu, toma dan suami setelah tahu Jampersal, mereka bersedia ikut asal tidak dipersulit
dengan segala macam persyaratan.
Dari aspek bidan, masih banyak bidan tidak mengerti secara substansi formulir dan
buku KIA yang dipersyaratkan dalam klaim, sehingga merasa persyaratan klaim repot
dan menjelimet.
Pencaharian/pekerjaan. Masyarakat type berpindah pada waktu membuka
lahan dan berkebun, sehingga seringkali bila sudah saatnya melahirkan, mereka
melahirkan di kebun yang jauh dari desa/komunitasnya, jauh dari bidan lalu dibantu
oleh “mama biang” atau dukun yang tidak terlatih.
Kekerabatan atau Orsosmas. Tidak ada LSM di Halmahera Selatan yang
‘concern’ terhadap kesehatan. Keterlibatan LS baru sebatas kehadiran dalam
pertemuan-pertemuan. Tidak ada tindak lanjut secara teknis dalam sosialisasi
Jampersal kemasyarakat. Pengaruh LS tidak signifikan dalam pelaksanaan Jampersal.
Di kecamatan Makian Barat belum ada kelompok dan masyarakat yang sudah
terorganisir untuk masalah kesehatan ibu dan anak sehingga program Jampersal tidak
dikenal dan pemanfaatan belum maksimal. Dukungan masyarakat masih sebatas
berkumpul dan bersiap membantu pada saat persalinan kalau perlu dirujuk.
Persyaratan Jampersal yang dianggap lebih rumit dibandingkan dengan Jamkesda
membuat ibu dan keluarga kurang begitu tertarik mempelajari Jampersal, yang penting
bagi mereka tetap gratis.
Dari penentuan kekuatan dan kelemahan internal serta peluang dan ancaman
eksternal maka dirumuskan beberapa alternatif rekomendasi sebagai berikut.
Memanfaatkan kemitraan bidan dan dukun untuk dapat
memaksimalkanpeningkatan kinerja bidan
457
Memanfaatkan penilaian positif masyarakat terhadap bidan untuk meningkatkan
proaktif bidanke tengah masyarakat
Memanfaatkan speedboat puskesmas seoptimal mungkin untuk meminimalkan
ketidaktahuan masyarakat (penyuluhan)
Manfaatkan bidan-bidan yg proaktif untuk dapat meminimalkan persalinan di
rumahdengan menyiapkan peralatan persalinan di fasilitas kesehatan dan
hubungan baik dengan dukun untuk mengirim ibu ke fasilitas kesehatan
Manfaatkan dukungan masyarakat untuk mengatasi kurang percaya dirinya bidan
yang muda-muda dan belum banyak pengalaman untuk menolong persalinan
Manfaatkan hubungan baik dengan Tokoh masyarakat untuk mengatasi
mismanajemen puskesmas dalam bidang pemberdayaan masyarakat
Minimalkan tradisi/pantangan yang tidak mendukung kesehatan dengan bidan
lebih mendekatkan diri dengan dukun dan memberitahu dukun pelan-pelan.
Menghindari kurang mampunya bidan mengisi persyaratan untuk klaim
Jampersaldengan mengikuti pelatihan dan bertanya sharing antar bidan.
Harapan petugas dan masyarakat
1) Harapan Kadinkes dan staf Dinkes Halsel
Sebaiknya ada alokasi anggaran untuk Dinas Kesehatan langsung ke
masyarakat untuk dapat menilai kualitas pelayanan oleh bidan/puskesmas serta
kepuasan masyarakat terhadap pelayanan Jampersal yang telah diberikan.
Biaya persalinan disesuaikan dengan kondisi geografis karena Halsel merupakan
wilayah kepulauan sehingga perlu alokasi yang lebih besar dalam menangani
geografis. Contoh: dalam BOK Dinkes tidak memiliki wewenang dalam
menyesuaikan anggaran
Sebaiknya persyaratan claim lebih disederhanakan, cukup dengan buku KIA dan
partograph. Alasannya, banyak masyarakat ibu yang tidak punya KTP karena
dianggap tidak penting (karena ibu hanya memiliki peran domestic), sehingga
persyaratan claim menjadi tidak lengkap.
2) Harapan Kapuskesmas Mateketen
458
Perlu kejelasan dan keseragaman tentang klaim Jampersal apakah harus
komplit mulai K1, ataukah bisa dipecah-pecah tergantung pelayanan apa yang
diterima ibu. Perlu pelatihan bidan (bidan yang ada belum siap pakai (lulusan
akbid Ternate). Gaji mereka langsung dari pusat ke rekeningnya, dan dapat
insentif dari Pemda sebesar Rp 350.000,-/bln, sudah cukup.
3) Harapan Koordinator KIA KB Jampersal Puskesmas Mateketen
Perlu keterlibatan aparat desa dalam memberikan motivasi kepada masyarakat
untuk memanfaatkan Jampersal.
4) Harapan bidan
Agar Jampersal hanya dapat diberikan kepada orang miskin saja, tidak
menyeluruh kepada seluruh golongan masyarakat agar tarif dapat dinaikan
menjadi 1 juta untuk setiap persalinan
5) Harapan ibu, Toma, suami
Saran khusus untuk Jampersal belum ada karena belum tahu. tahunya sejak
tahun 2006 pengobatan dan persalinan gratis. Masyarakat bersyukur dan
berterima kasih dgn Jampersal, agar tetap dilanjutkan
Agar jangan dibedakan kaya miskin, karena di Makian hampir sama kaya
miskinnya. Agar dipermudah persyaratannyaAgar Jampersal diberikan pada
seluruh masyarakat, kaya miskin di kecamatan Makian sama saja tidak jauh
beda, dan persyaratan untuk ikut Jampersal agar dipermudah.
459
3.12. Puskesmas Kota Ternate, Kota Ternate
3.12.1. Gambaran Umum Kota Ternate
Kota Ternate adalah ibu kota dari bekas kerajaan Islam yang tertua di Indonesia
yang berdiri pada tahun 1257terletak dekat dengan kepulauan Halmahera, dan berada
di kaki Gunung Gamalama. Ternate menjadi kota otonom sejak tahun 2010 dan kini
menjadi ibukota sementara Provinsi Maluku Utara.
Kota Ternate terdiri dari tiga suku kata yaitu tara ano ate, yang berarti turun
kebawah dan pikatlah dia. Maksud dari kalimat itu adalah turun (dari dataran tinggi ke
dataran rendah) atau dari formadiayahi ke limau jore-jore, untuk memikat pendatang
agar mau menetap dipantai (diwilayah ini). Kata tara juga bisa berarti bawah (arah
selatan) yang berarti letak/posisi Kota Ternate pertama adalah dibagian selatan Kota
Ternate.
Letak Geografis, Kota Ternate
Kota Ternate terletak pada posisi 0° - 2° Lintang Utara dan 126° - 128° Bujur
Timur. Luas daratan Kota Ternate. Batas astronomis wilayah Kota Ternate berada
sebesar 250,85 km²,sementara lautannya 5.547,55 km². Kota Ternate berbatasan
dengan:
a. Sebelah Utara dengan Laut Maluku
b. Sebelah Selatan dengan Laut Maluku
c. Sebelah Timur dengan Selat Halmahera
d. Sebelah Barat dengan Laut Maluku
Selain itu, letak pulau Ternate adalah dekat dengan kota Manado ibukota
Propinsi Sulawesi Utara. Posisi strategis yang berhadapan dengan kawasan Dodinga,
sebuah persimpangan jalan di pulau Halmahera yang menyebabkan kota ini
berkembang dalam lajur perdagangan di daerah Maluku Utara. Wilayah Kota Ternate
merupakan daerah kepulauan yang terdiri dari 8 buah pulau , 5 pulau berukuran
sedang dan 3 pulau berukuran kecil yang hingga saat ini belum dihuni penduduk.
Adapun pulau-pulau tersebut adalah:
460
Jumlah kecamatan : 7 buah
Jumlah Kelurahan : 77 buah
Jumlah Penduduk: : 190.178 jiwa
Sex ratio : 103,6
Jamkesmas : 18.786 Jiwa
Jamkesda :8.000 jiwa
Askes : 47.204 jiwa
Rumah Sakit : 6 Buah
Puskesmas : 8 buah
Pustu : 15 buah
Posyandu : 170 buah
Rumah Sakit : 6 Buah
Puskesmas : 8 buah
Pustu : 15 buah
Posyandu : 170 buah
Jamkesda :8.000 jiwa
Askes : 47.204 jiwa
Rumah Sakit : 6 Buah
Puskesmas : 8 buah
Pustu : 15 buah
a. Pulau Ternate : 111,80 km2
b. Pulau Hiri : 12.40 km
c. Pulau Moti : 24,60 km2
d. Pulau Mayau : 78,40 km2
e. Pulau Tifure : 22,10 km2
f. Pulau Makka : 0,50 km2, tidak berpenghuni
g. Pulau Mano : 0,50 km2, tidak berpenghuni
h. Pulau Gurida : 0,55 km2, tidak berpenghuni
Gambar 3.12.1. Peta Kota Ternate (atas) dan Gambaran Kota Ternate Secara Umum (bawah)
Pulau-pulau dalam wilayah Kota Ternate terletak dalam lingkup kawasan pantai
barat pulau Halmahera, melalui kepulauan Filipina, Sangihe Talaud dan Minahasa yang
dilingkupi lengkung. Sulawesi bagian utara. Seperti umumnya daerah kepulauan yang
mempunyai ciri banyak memiliki Desa/Kelurahan pantai, Kota Ternate pun demikian.
Dari seluruh Kelurahan yang ada di daerah ini bagian terbesarnya, 45 Kelurahan atau
71% berklasifikasi pantai dan 18 Kelurahan atau 29% nya bukan pantai.
461
Pulau Ternate berbentuk bulat kerucut/strato volcano. Ciri Topografi
sebahagian besar dataran bergunung dan daerah berbukit, terdiri dari pulau vulkanis
dan pulau karang dengan kondisi jenis tanah :
Rogusal : Pulau Ternate, pulau Hiri dan pulau Moti
Rensikal : Pulau Mayau, pulau Tifure, pulau Makka, pulau Mano dan pulau
Gurida
Kondisi topografi Kota Ternate ditandai dengan tingkat ketinggian dari
permukaan laut yang beragam, namun secara sederhana dikelompokkan menjadi tiga
kategori yaitu : Rendah (0 -499 M), Sedang (500 - 699 M) dan Tinggi (lebih dari 700 M).
Berdasarkan klasifikasi tersebut, daerah ini memiliki kelurahan dengan tingkat
ketinggian dari permukaan laut dengan kriteria rendah sebanyak 53 atau 84%, sedang
sejumlah 6 atau 10% dan tinggi sebanyak 4 atau 6%.
Gambar 3.12.2. Gunung Gamalama
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Ibu kota Ternate berada di Ternate, memiliki 7 (tujuh) kecamatan, 77
kelurahan, yakni:
a. Kecamatan Kota Ternate Utara, 14 Kelurahan
b. Kecamatan Kota Ternate Selatan, 17 Kelurahan.
462
c. Kecamatan Ternate Tengah, 15 Kelurahan
d. Kecamatan Pulau Ternate, 13 Kelurahan.
e. Kecamatan Moti, 6 Kelurahan
f. Kecamatan Pulau Batang Dua, 6 Kelurahan
g. Kecamatan Pulau Hiri, 6 Kelurahan
Keadaan Penduduk
Perkembangan penduduk Kota Ternate selama lima tahun terakhir mengalami
kecenderungan peningkatan khususnya di wilayah kecamatan Kota Ternate Selatan
dan kecamatan Kota Ternate Utara. Peningkatan ini disebabkan faktor urbanisasi,
migrasi maupun dari kawasan pulau Halmahera akibat konflik etnis beberapa waktu
yang lalu, dan migrasi dari regional lain dari Sulawesi, Ambon, Papua bahkan dari
Kalimantan, Jawa dan Sumatera.Meningkatnya arus urbanisasi dan migrasi juga
disebabkan oleh semakin terbukanya arus transportasi laut yang menghubungkan kota
Ternate dengan kawasan sekitarnya dan beberapa kota lainnya. Salah satu
permasalahan yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan kesehatan adalah
kependudukan yang mencakup antara lain jumlah, komposisi, dan distribusi penduduk.
Kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup penduduk menjadi fokus utama dari
berbagai program pembangunan yang dilaksanakan.
Jumlah Penduduk
Sumber data kependudukan dapat diperoleh dari hasil Sensus, Survei dan
Registrasi Penduduk. Sampai dengan akhir tahun 2011, jumlah penduduk Kota Ternate
berdasarkan data sebanyak 190.178 jiwa dengan tingkat penyebaran penduduk
menurut kecamatan dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Kecamatan Ternate Utara : 46.673 jiwa
b. Kecamatan Ternate Tengah : 53.323 jiwa
c. Kecamatan Ternate Selatan : 65.283 jiwa
d. Kecamatan Pulau Ternate : 15.046 jiwa
e. Kecamatan Pulau Hiri : 2.801 jiwa
f. Kecamatan Pulau Moti : 4.505 jiwa
g. Kecamatan Batang Dua : 2.547 jiwa
463
Kepadatan Penduduk
Komposisi penduduk menurut penyebarannya secara geografis yang lazim
disebut distribusi penduduk tidak lain untuk mengetahui merata atau tidaknya
penyebaran penduduk dalam suatu wilayah. Informasi distribusi penduduk akan lebih
berarti jika menggunakan ukuran demografi lainnya yaitu kepadatan penduduk. Hal ini
penting mengingat diferensiasi jumlah penduduk antar wilayah dalam suatu daerah
tidak mutlak menggambarkankepadatan penduduknya. Suatu daerah yang memiliki
jumlah penduduk yang besar, belum tentu dirasakan padat bila wilayahnya juga luas.
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dalam kurun waktu setahun, maka
kondisi Kota Ternate dirasakan semakin padat. Dengan luas wilayah daratan 250,85
km² dan jumlah penduduk sebanyak 190.178 jiwa maka kepadatan penduduk
Kota Ternate pada tahun 2011 sebesar 758 jiwa per km², hal ini berarti
mengalami peningkatan bila dibandingkan tahun 2010 yang berjumlah 740 jiwa per
km2
Rasio Jenis Kelamin, Rumah tangga dan Anggota Rumah tangga
Untuk mengetahui komposisi penduduk menurut jenis kelamin digunakan suatu
indikator yang disebut Rasio Jenis Kelamin yang menggambarkan banyaknya laki-laki
diantara 100 perempuan. Sesuai data tahun 2011 jumlah penduduk laki-laki 96.752
sedangkan jumlah penduduk perempuan 93.426 sehinggga rasio jenis kelamin Kota
Ternate adalah 103,6 yang berarti penduduk laki-laki lebih banyak daripada
perempuan.
Gambar 3.12.3. Suasana Kota Ternate Sumber: Dokumentasi Peneliti
464
Pendidikan
Sarana pendidikan di Kota Ternate sangat memadai dengan tersedianya
sekolah mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi. Sampai
dengan tahun 2010 jumlah SD baik Negeri/ Inpres maupun swasta sebanyak 113 buah
dengan jumlah guru 1.374 orang, sementara peserta didiknya 19.076 orang. Selain itu
pada tahun 2010 juga terdapat 24 buah SLTP negeri dan swasta dengan jumlah guru
615 orang, serta murid sebanyak 6.918 orang. Untuk jenjangpendidikan SLTA jumlah
SMU negeri dan swasta sebanyak 15 buah dengan jumlah guru 526 orang serta murid
sejumlah 4.849 orang, Sedangkan jumlah SMK Negeri ditambah swasta sebanyak 8
buah, jumlah gurunya sebanyak 329 orang dan jumlah muridnya sebanyak 2.861
orang.Halaman 13
Sedangkan jumlah SMK Negeri ditambah swasta sebanyak 8 buah, jumlah
gurunya sebanyak 329 orang dan jumlah muridnya sebanyak 2.861orang. Seperti telah
disebutkan sebelumnya, di Kota Ternate juga tersedia sarana pendidikan untuk jenjang
pendidikan tinggi. Sampai dengan tahun 2010, terdapat 6 buah Perguruan Tinggi yaitu :
Universitas Khairun, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Universitas Muhammadiyah
Maluku Utara, AIKOM Ternate, STIKIP dan Politeknik Depkes Ternate dengan berbagai
disiplin ilmu atau fakultas yang tersedia.
Kualitas Sumber Daya Manusia perlu selalu ditingkatkan, salah satunya melalui
jalur pendidikan agar tercapai kemajuan bagi suatu bangsa yang sedang membangun.
Gambar 3.12.4. Pelabuhan Ternate dilatari Pulau Halmahera
Sumber: Dokumentasi Peneliti
465
Hal ini disebabkan dengan pendidikan kecerdasan dan keterampilan masyarakat akan
terwujud. Dengan kualitas sistem pendidikan yang baik maka Sumber Daya Manusia
akan meningkat sehingga partisipasi mereka dalam proses pembangunan di berbagai
sektor dapat diimplementasikan secara lebih optimal. Dibidang kesehatan dengan
tingkat pendidikan yang tinggi maka diharapkan meningkatkan pengetahuan
masyarakat kesehatan, khususnya meningkatnya kesadaran akan Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS).
Fasilitas Kesehatan dan Tenaga Kesehatan
Pemanfaatan sarana kesehatan dapat dilihat dari beberapa indikator antara lain
jumlah penduduk yang menggunakan sarana pelayanan kesehatan yaitu Rumah Sakit,
Rumah Bersalin, Puskesmas, BP/Balai Kesehatan, Praktek Dokter Perorangan, Praktek
Dokter Gigi, Praktek Dokter Kelompok
Untuk Kota Ternate, jumlah penduduk yang menggunakan sarana pelayan
kesehatan kesehatan (pemerintah dan swasta). Berdasarkan data kunjungan rawat
jalan dan rawat inap diperoleh jumlah kunjungan sebanyak 96724 kunjungan atau
tingkat penggunaan sebesar 50,86% dari total penduduk mengalami penurunan
dibandingkan tahun 2010 sebanyak 111.813 kunjunganatau tingkat penggunaan
sebesar 60,2 % dari total penduduk.Fasilitas yang ada di kota Ternate yaitu Rumah
Sakit (6 RSU, 1 RS Bersalin, 1 RS Khusus lainnya), 8 unit Puskesmas, 15 Puskesmas
Pembantu (Pustu), 11 Puskesmas Keliling (Pusling), 170 Posyandu, 13 Poskeskel
dengan gedung sendiri, 1 Balai Pengobatan/Klinik, 34 Apotik, 4 Toko Obat, 1 Instalasi
Farmasi Kota (IFK), 7 Praktek Dokter Bersama, 67 Dokter Praktek Perorangan.
Dari total penduduk sebanyak 190.178 jiwa, maka rasio tenaga medis per
100.000 penduduk sebesar 57,3 hal ini menunjukkan bahwa untuk setiap 100.000
penduduk dilayani oleh 57 dokter. Jumlah tenaga farmasi (Apoteker dan Asisten
Apoteker) 49,6 per 100.000 penduduk. Rasio tenaga perawat 216,6 per 100.000
penduduk, tenaga bidan sebesar 129,9 per 100.000 penduduk. Sedangkan Rasio
tenaga Kesmas 35,2 per 100.000 penduduk dan Sanitasi sebesar 8,9 per 100.000
466
penduduk, sedangkan dan rasio tenaga teknisi medis sebesar 18,9 per 100.000
penduduk
Masalah Kesehatan Ibu dan Anak
Bayi. Jumlah bayi di kota ternate pada tahun 2011 adalah 2.542 jiwa,
sedangkan jumlah kelahiran hidup di ternate adalah 3.839 jiwa. Selisih dari jumlah
bayi yang sebesar 1.297 jiwa merupakan under reporting data, kondisi ini disebabkan
mobilitas penduduk di kota ternate sangat tinggi, banyak ibu yang berasal dari pulau-
pulau di Halmahera melahirkan di Kota Ternate untuk mencari fasilitas bersalin yang
lengkap. Sesudah bersalin para ibu biasanya membawa bayi mereka kembali ke
daerah asal.
Bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi lahir dengan berat badan
kurang dari 2500 gram. BBLR disebabkan antara lain karena ibu hamil yang kekurangan
gizi, kenaikan berat badan ibu kurang atau tidak sesuai dengan umur kehamilan, ibu
hamil yang masih remaja, ibu hamil merokok, ibu memiliki tekanan darah tinggi,
kurang darah (anemia) atau malaria kronik, pernah melahirkan bayi prematur
sebelumnya dan perdarahan pada saat kehamilan. Pada tahun 2011 jumlah Bayi Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR) di Kota Ternate sebanyak 27 (1%) dari jumlah bayi yang
lahir sebanyak 3.839 bayi. Dari jumlah tersebut semuanya ditangani oleh tenaga
kesehatan. Penanganan BBLR ini sangat penting untuk mencegah terjadinya gizi buruk
yang akan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun
kecerdasan anak.
Kunjungan neonatus di Kota Ternate sudah cukup tinggi, sekitar 98,3% untuk
KN1 dan 98,1% untuk KN2, sedangkan cakupan Imunisasi DPT, HO dan campak di Kota
ternate yaitu sebesar 97 % untuk DPT1+HB1 , 94,9 % untuk DPT 3+HB 3 sedangkan
untuk campak sebesar 94,3 %. Cakupan BCG dan polio III sebesar 98,93% dan 95,50%.
Dari jumlah bayi 2.542 jiwa, hanya 62,5 % yang memperoleh ASI ekslusif sebesar 1.590
jiwa.
Angka Kematian Bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR) sangat erat
kaitannya dengan kualitas lingkungan hidup, sanitasi lingkungan dan keadaan gizi
467
masyarakat. Angka kematian bayi di kota Ternate berjumlah 25 orang bayi dari 3.839
kelahiran hidup, atau 6,51 per 1000 kelahiran hidup. Kematian bayi ini disebabkan oleh
BBLR, Asfiksia, Sepsis, Ikterus dll angka kematian bayi meningkat dibandingkan pada
tahun 2010 yaitu sebesar 6,25 per 1000 kelahiran hidup.
Balita. Pada tahun 2011, dari 18.576 balita dengan golongan umur (0-59 bln)
yang ada di Kota Ternate yang dapat ditimbang sebanyak 6.964 balita dan dari jumlah
tersebut yang naik berat badannya sebanyak 4.222 balita (60,63%). Balita yang naik
berat badannya (N) adalah balita yang ditimbang (D) diposyandu maupun luar
posyandu dan berat badannya 2(dua) bulan berturut- turut naik mengikuti garis
pertumbuhan pada KMS. Dimana pemantauan berat badan balita dapat balita dapat
diketahui melalui kegiatan diposyandu maupun diluar posyandu. yang dilaksanakan
setiap bulan. Setiap anak harus memiliki Kartu Menuju Sehat (KMS) agar dapat
dipantau pertumbuhannya, selain itu juga kita dapat menentukan kenaikan berat
badannya setiap bulan. Dengan KMS terlihat apakah anak tersebut tumbuh dengan
baik sesuasi usianya.
Salah satu cara untuk memantau pertumbuhan adalah melalui penimbangan
berat badan di puskesmas atau posyandu, karena berat badan merupakan petunjuk
yang baik untuk mengetahui keadaan gizi dan kesehatan. Perubahan berat badan
dapat menunjukan gangguan kesehatan terutama pada usia balita. Pemantauan
pertumbuhan ini adalah suatu strategi operasional yang memberi kesempatan kepada
ibu-ibu untuk mengetahui secara visual keadaan pertumbuhan anaknya. Keadaan
gangguan pertumbuhan yang dialami anak dapat dipantau dengan melihat hasil
pencatatan pada Kartu menuju Sehat (KMS). Salah satu keadaan gangguan
pertumbuhan yang dialami anak adalah berat badan anak yang berada di bawah garis
merah atau dengan istilah Balita Bawah Garis Merah (BGM) yaitu keadaan dimana
berat badan anak kurang dari berat badan semestinya berdasarkan umur. Jika berat
badan anak berada pada BGM maka orang tua khususnya ibuharus melakukan
tindakan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan anak baik melalui pemberian
makanan bergizi terutama makanan tinggi kalori dan protein serta dengan pola asuh
yang benar. Pada tahun 2011 di lingkungan kerja dinas kesehatan kota Ternate
468
persentase tertinggi BGM terdapat di Puskesmas Kalumpang (15%) dan terendah di
Puskesmas Siko (2%).
Balita merupakan kelompok sasaran yang rentan terhadap berbagai masalah
Kesehatan khususnya masalah gizi. Salah satu masalah gizi pada anak Balita adalah
Kekurangan Vitamin A (KVA). KVA pada anak biasanya terjadi pada anak yang
menderita Kurang Energi Protein (KEP) atau gizi buruk sebagai akibat asupan gizi yang
sangat kurang.termasuk zat gizi mikro dalam hal ini vitamin A. dalam wilayahkota
ternate di tahun 2011 sebesar 84%. semua balita mendapat Vitamin A secara berkala
selama 6 bulan. karena beberapa hal antara lain masih tingginya mobilisasi penduduk
yang terjadi sehingga ada balita yang dalam satu tahun hanya mendapat satu kali
vitamin A, kondisi ini mempengaruhi cakupan program.
Gizi buruk masih merupakan masalah gizi utama pada balita. walaupun upaya
penanggulangannya terus dilakukan. Gizi buruk yang mendapat perawatan adalah Gizi
buruk dengan status gizi berdasarkan indeks berat badan menurut panjang badan atau
tinggi badan (dengan nilai Z-score < SD) dengan atau tanpa gejala klinis. Tindakan yang
diberikan kepada balita gizi buruk yang ditemukan mulai dari rujukan, klarifikasi dan
konfirmasi, pengobatan dan pemberian makanan tambahan disertai dengan
penyuluhan, baik rawat jalan mendapatkan perawatan khusus karena tidak hanya
meningkatkan angka kesakitan tetapi juga dapat berakibat fatal yang dapat
mengakibatkan kematian. terdapat di 17 kelurahan yang ada di delapan wilayah
puskesmas dalam Kota Ternate. Seluruh balita gizi buruk tersebut mendapat
perawatan (100%).
Angka Kematian Maternal. Menurut profil kesehatan indonesia tahun 2011,
wanita usia subur adalah wanita dalam antara usia 15-49 tahun. Angka Kematian Ibu
Maternal dapat menggambarkan status gizi dan kesehatan serta tingkat pelayanan
kesehatan terutama untuk ibu hamil, ibu melahirkan dan ibu nifas. Angka Kematian Ibu
yang ada diperoleh dari pencatatan dan pelaporan Puskesmas dan rumah sakit yang
ada di Kota Ternate, adapun jumlah Kematian Ibu di Kota Ternate pada tahun 2011
sebanyak 5 dari 3.839 kelahiran hidup atau 130 per 100.000 kelahiran hidup. Adapun
penyebab kematian ibu tersebut yaitu, Perdarahan, infeksi post partum dan hipertensi
pada kehamilan. Oleh karena itu, setiap ibu hamil dan ibu bersalin sebaiknya
469
memeriksakan diri sejak dini secara rutin ke petugas kesehatan untuk mengetahui
kondisi kesehatan ibu dan bayi,sehingga diharapkan pada tahun 2015 kematian ibu
bisa diturunkan (tidak melebihi 102/100.000) kelahiran hidup) maka pencapaian MDGS
bisa tercapai.
Kunjungan Ibu Hamil. Kehamilan merupakan proses reproduksi yang normal,
tetapi tetap perlu perawatan diri yang khusus agar ibu dan janin dalam keadaan sehat,
karena itu kehamilan yang normal pun mempunyai risiko kehamilan, namun tidak
secara langsung meningkatkan risiko kematian ibu. Risiko tinggi pada kehamilan
merupakan keadaanpenyimpangan dari normal yang secara langsung menyebabkan
kesakitan dan kematian ibu maupun bayi. Oleh karena itu Diperlukan pelayanan
antenatal yang merupakan pelayanankesehatan oleh tenaga kesehatan. Untuk ibu
selama masa kehamilannya, yang dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan
antenatal yang ditetapkan (7 T)
Untuk melihat kemajuan maupun permasalahan permasalahan kesehatan pada
ibu hamil digunakan 2 indikator yang mudah dipahami yaitu pelayanan antenatal
(cakupan K1) yang menggambarkan pemerataan pelayanan kesehatan ibu dan anak,
dan cakupan ibu hamil (cakupan K4) yang menggambarkan efektifitas pelayanan KIA.
Presentase hasil cakupan kunjungan ibu hamil (cakupan K4) di Kota Ternate pada
tahun 2011, diketahui bahwa untuk pelayanan cakupan kunjungan ibu hamil (cakupan
K4) nampak bahwa Puskesmas Kota, Puskesmas Siko dan Puskesmas Kalumpang
mempunyai prosentasi tertinggi (97%) serta Puskesmas mayau memiliki prosentase
terendah yaitu 60 %.
Persalinan.Dalam program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dikenal beberapa
jenis tenaga yang memberikan pertolongan persalinan kepada masyarakat yaitu ;
dokter spesialis kebidanan, dokter umum, bidan dan perawat. Pada prinsipnya
penolong, persalinan harus memperhatikan hal-hal antara lain sterilisasi / pencegahan
infeksi, metode pertolongan persalinan yang sesuai standar pelayanan, merujuk kasus
yang memerlukan tingkat pelayanan yang lebih tinggi.
Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan di Kota Ternate pada tahun 2011
rata-rata 90 % dengan kisaran terendah 58% di Puskesmas Mayau dan tertinggi di
Puskemas Kota yaitu 95%, menurut hasil FGD masyarakat dan indepth mama biang,
470
peran mama biang juga menmama biang meningkatnya linakes . dimana kini
persalinan dengan bantuan mama biang sudah jauh berkurang sedangkan mama biang
saat ini hanya bertugas merawat ibu dan bayi paska bersalin.
Keluarga Berencana. Untuk meningkatkan peserta KB Baru, maka berbagai
upaya telah dilakukan antara lain penyuluhan kepada masyarakat khususnya Pasangan
Usia Subur ( PUS ) yang menjelaskan manfaat dari program KB serta alat-alat
kontrasepsi yang dapat digunakan
3.12.2. Gambaran Umum Puskesmas Kota Ternate
Puskesmas Kota Ternate terletak di Kecamatan Kota Ternate Tengah dalam
wilayah Kota Ternate Propinsi Maluku Utara dengan luas wilayah 10,7 km². Wilayah
kerja Puskesmas Kota Ternate terdiri atas 8 kelurahan yaitu: Kelurahan Marikurubu
4,15 km², Kelurahan Maliaro 5,13 km², Kelurahan Kampung Pisang 0,20 km², Kelurahan
Stadion 0,16 km², Kelurahan Takoma 0,20 km², Kelurahan Tanah Raja 0,26 km²,
Kelurahan Muhajirin 0,13 km², Kelurahan Kota Baru 0,47 km². Kelurahan dengan
wilayah terluas adalah kelurahan Maliaro.
Kontur wilayah kerja Puskesmas Kota Ternate bervariasi mulai dari pantai
hingga pegunungan, wilayah yang terdekat dari pantai adalah Kelurahan Muhajirin
sedangkan yang tertinggi terdapat di lereng Gunung Gamalama yaitu kelurahan
Marekurubu. Wilayah kerja Puskesmas Kota Ternate sebagian bersar terletak di
wilayah perdagangan dan pemerintahan, terutama di wilayah kelurahan Muhajirin
hampir sebagian besar wilayahnya merupakan kawasan Perdagangan, sedangkan
kawasan pemerintahan terletak di Kelurahan Maliaro. Di Wilayah ini dapat ditemukan
kawasan pemerintahan Kota Ternate.
Jumlah penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas Kota dalam Tahun2011
adalah 25.399 jiwa terdiri dari laki-laki 12.987 jiwa (51%) dan perempuan sebanyak
12.412 (48,8%)yang tersebar dalam 8 kelurahan dengan jumlah penduduk terbanyak di
kelurahan Maliaro sebanyak 6.557 jiwa (26%) dan yang terkecil di kelurahan Tanah
Raja sebanyak 1.258 jiwa (5%).
471
Berdasarkan kelompok umur, sebagian besar penduduk dalam usia produktif
(15-64 tahun) sebanyak 18.628 jiwa (73,3%) dan selebihnya sebanyak 6.771 jiwa
(26,7%) berusia dibawah 15 tahun dan berusia 65 tahun keatas. Kelompok umur 25-29
tahun merupakan kelompok umur terbanyak yaitu 3.256 jiwa yang terdiri dari laki-laki
sebanyak 1.595 jiwa dan perempuan sebanyak 1.661 jiwa.
Gambar 3.12.6. Puskesmas Kota Ternate
Sumber: Dokumentasi Peneliti
20%
26%
9%
7%
9%
5%
7% 17%MARIKURUBU
MALIARO
KP.PISANG
STADION
TAKOMA
TANAH RAJA
MUHAJIRIN
KOTA BARU
Gambar 3.12.5.
Persentase Jumlah Penduduk berdasar Kelurahan di Wilayah Kerja uskesmas Kota Ternate Tahun 2011
Sumber: Profil Dinas Kesehatan Kota Ternate
472
Gambar 3.12.7. Loket Pendaftaran Puskesmas Kota Ternate
Sumber: Dokumentasi Peneliti
Kepadatan penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas Kota Ternate adalah
2.374 /km² yang secara berurutan dari yang paling padat adalah kelurahan Muhajirin
yaitu 14.507/km², kelurahan Stadion 11.512 km², kelurahan Kampung pisang 11.165
km/², kelurahan Takoma 10.800 km², kelurahan Kota Baru 9.142 km², kelurahan Tanah
Raja 4.838 km², kelurahan Maliaro 1278 km², kelurahan Marikurubu 1.244 km².
Penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas Kota ternate sebagian besar telah
melek huruf.Pada tahun 2011 persentase penduduk berumur 10 tahun keatas yang
melek huruf dalam wilayah kerja Puskesmas Kota Ternate yaitu 84,58% yang terdiri
dari laki-laki sebanyak 9.266 orang (84,08%) dan penduduk perempuan sebanyak 9.072
orang (85,10%). Sedangkan jumlah penduduk berumur 10 tahun keatas berdasarkan
tingkat pendidikan yang ditamatkan yaitu SD/MI sebanyak 2.456 orang, SMP/MTs
sebanyak 2.884 orang, SMA/SMK/MA sebanyak 9.984 orang, Diploma sebanyak 556
orang dan Univesitas sebanyak 1.556 orang.
Mayoritas penduduk di wilayah kerja Puskesmas Kota Ternate beragama Islam,
hal ini terlihat dari spanduk-spanduk yang tersebar di seluruh penjuru Kota Ternate
yang berisi, Ternate the true Islam. Pelaksanaan syariat Islam dilaksanakan dengan
tidak mengesampingkan minoritas agama di daerah tersebut.
473
Derajat Kesehatan
Salah satu indikator yang paling menonjol dalam menilai derajat kesehatan
adalah Angka Kematian Bayi (AKB). Angka kematian bayi dihitung dari banyaknya
kematian bayi berusia kurang dari 1 tahun per kelahiran hidup pada waktu yang sama.
Jumlah kelahiran hidup selama tahun 2011 adalah sebanyak 562 orang yang terdiri
dari laki-laki 278 orang dan perempuan 284 orang. Tidak terdapat bayi lahir mati yang
dilaporkan selama tahun 2011.
Selama tahun 2011 terdapat 3 orang bayi (usia kurang dari 1 tahun) yang
meninggal yaitu di kelurahan Maliaro 1 orang, kelurahan Kampung Pisang 1 orang dan
kelurahan Tanah Raja 1 orang. Dengan demikian angka kematian bayi selama tahun
2011 dalam wilayah kerja Puskesmas Kota adalah 5,3 per 1000 kelahiran hidup
Angka kematian ibu merupakan indikator kesehatan yang cukup penting. Angka
kematian ibu diketahui dari jumlah kematian karena kehamilan, persalinan dan ibu
nifas per 100.000 kelahiran hidup dalam waktu tertentu.Kematian ibu dikelompokkan
menjadi 3, yaitu kematian ibu hamil, kematian ibu bersalin dan kematian ibu
nifas.Selama tahun 2011 terdapat 1 kematian ibu hamil dalam wilayah kerja
Puskesmas Kota Ternate yaitu di kelurahan Tanah Raja. Angka kematian ibu selama
tahun 2011 adalah 177,9 per 100.000 kelahiran hidup.
Jumlah bayi yang lahir hidup selama tahun 2011 adalah 562 orang yang terdiri
dari laki-laki 278 orang dan perempuan 284 orang. Dari 562 bayi baru lahir terdapat
70,6% yang ditimbang, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 193 orang (69%) dan
perempuan sebanyak 204 orang (72%). Status gizi masyarakat selama tahun 2011
meliputi persentase kunjungan neonatus, persentase BBLR yang ditangani, status gizi
balita dan kecamatan bebas rawan gizi. Selama tahun 2011 terdapat 8 orang bayi
dengan berat lahir rendah (BBLR) yang terdiri dari laki-laki 4 orang dan perempuan 4
orang. Semua bayi BBLR telah mendapat penanganan.
Status gizi balita merupakan salah satu indikator yang menggambarkan tingkat
kesejahteraan masyarakat. Salah satu cara penilaian status gizi pada Balita adalah
dengan anthropometri yang diukur melalui indeks Berat Badan menurut umur (BB/U)
atau berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB). Jumlah balita dengan gizi lebih
474
sebanyak 5 orang (0,54%) di kelurahan Maliaro 2 orang, kelurahan Stadion 2 orang,
kelurahan Muhajirin 1 orang.Balita gizi baik sebanyak 856 orang (92,7%) yang
terbanyak di kelurahan Maliaro 212 (94%) dan yang paling sedikit di kelurahan Tanah
Raja yaitu 54 orang (87%). Balita Gizi kurang sebanyak 60 orang (6,5%) yang terbanyak
di kelurahan Marikurubu 15 orang (7%) dan paling sedikit di kelurahan Kampung
pisang 4 orang.Balita Gizi buruk sebanyak 2 orang (0,22%) di kelurahan Marikurubu
dan di kelurahan Tanah Raja.
Masalah Kesehatan Ibu dan Anak
Pelayanan Kesehatan pada Ibu Hamil
Masa kehamilan merupakan masa rawan kesehataan, baik kesehatan ibu yang
mengandung maupun janin yang dikandungnya sehingga dalam masa kehamilan perlu
dilakukan pemeriksaan secara teratur. Hal ini dilakukan guna menghindari gangguan
sedini mungkin dari segala sesuatu yang membahayakan terhadap kesehatan ibu dan
janin yang dikandungnya.
Pelayanan antenatal merupakan pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan
profesional (dokter spesialis kandungan dan kebidanan, dokter umum, bidan dan
perawat) kepada ibu hamil selama kehamilannya, yang mengikuti pedoman pelayanan
antenatal yang ada dengan titik berat pada kegiatan promotif dan preventif.
Selama tahun 2011 cakupan kunjungan ibu hamil K1 secara keseluruhan adalah
615 orang (100%), cakupan paling rendah di kelurahan Muhajirin yaitu 93,5%.
Sedangkan cakupan kunjungan ibu hamil K4 secara keseluruhan adalah 596 orang
(97%), cakupan paling rendah di kelurahan Muhajirin (91%).
Pemberian imunisasi pada ibu hamil adalah hal yang sangat penting. Selama
tahun 2011 persentase cakupan imunisasi TT pada ibu hamil adalah TT1 29%, TT2
30%, TT3 11%, TT4 2,7%, TT5 3%. TT.Persentase pemberian tablet Fe pada ibu hamil
baik Fe1 ( 30 tablet ) maupun Fe3 ( 90 tablet ) adalah Tablet Fe 1 99% dan Tablet Fe 3
100%.
475
Pelayanan Persalinan
Proporsi persalinan yang ditangani oleh tenaga kesehatan (nakes) merupakan
salah satu upaya untuk penurunan angka kematian ibu dan bayi. Tenaga yang dapat
memberikan pertolongan persalinan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tenaga
profesional (dokter spesialis kebidanan, dokter umum, dan bidan) dan dukun bayi
(dukun bayi terlatih dan tidak terlatih).
Cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah 559 (95%) dari 587 ibu
bersalin dalam wilayah Puskesmas Kota Ternate. Cakupan tertinggi di kelurahan
Maliaro dan Kota Baru (100%) dan paling rendah di kelurahan Muhajirin (72%), hal ini
disebabkan karena jumlah ibu hamil di kelurahan Muhajirin memang sedikit atau tidak
sesuai dengan target sasaran. Persentase bumil risiko tinggi (risti) atau dengan
komplikasi yang ditangani adalah 80% dari 124 perkiraan bumil risti.
Pelayanan Nifas
Cakupan ibu nifas yang mendapat pelayanan kesehatan adalah 553 (94%),
cakupan tertinggi di kelurahan Maliaro (99%) dan paling rendah di kelurahan Muhajirin
(73%). Pemberian vitamin A sangat penting terutama untuk bayi, balita dan ibu nifas.
Persentase vitamin A untuk bayi umur 6-11 bulan selama tahun 2011 adalah 79% yang
terdiri dari laki-laki 73% dan perempuan 85,7%. Persentase anak balita umur 1-4 tahun
yang mendapat vitamin A dua kali adalah 78,7% yang terdiri dari laki-laki 77,6% dan
perempuan adalah 80%. Sedangkan persentase ibu nifas yang mendapat viatamin A
adalah 96%.
Pelayanan Keluarga Berencana (KB)
Keluarga Berencana (KB) adalah suatu usaha untuk menjarangkan atau
merencanakan jumlah dan jarak kehamilah dengan memakai kontrasepsi. Kontrasepsi
atau anti kontrasepsi (conception control) adalah cara untuk mencegah terjadinya
konsepsi dengan menggunakan alat atau obat-obatan. Masa subur seorang wanita
memiliki peranan bagi terjadinya kehamilan sehingga peluang wanita melahirkan
menjadi cukup tinggi. Menurut hasil penelitian usia subur seorang wanita rata-rata 15
– 49 tahun walaupun sebagaian wanita mengalami menarche (haid pertama) pada usia
476
9–10 tahun. Oleh karena itu untuk mengatur jumlah kelahiran atau menjarangkan
kelahiran, pasangan usia subur ini lebih diperioritaskan untuk menggunakan alat/cara
KB.
Peserta KB Baru adalah Pasangan usia subur yang baru pertama kali
menggunakan salah satu cara/alat dan/atau pasangan usia subur yang menggunakan
kembali salah cara/alat kontrasepsi setelah mereka berakhir masa kehamilan Cakupan
Peserta Aktif KB adalah Cakupan peserta aktif KB dibandingkan dengan jumlah
Pasangan Usia Subur suatu wilayah kerja pada kurun yang sama.
Peserta Keluarga Berencana baru selama tahun 2011 sebanyak 74 orang ( 1,5%)
dari 5.033 pasangan usia subur yang tercatat, sedangkan jumlah peserta KB aktif
sebanyak 4.143 orang (82%). Jika dibandingkan dengan target SPM maka persentase
peserta KB aktif telah melebihi target.Proporsi peserta KB baru menurut jenis
kontrasepsi yang dipergunakan untuk kategori MKJP adalah IUD (0%), MOP (0%),
MOW (0,1%), implan (0,3%) sedangkan untuk non MKJP adalah suntik (80%), PIL (16%),
kondom (3,4%), obat vagina (0%). Persentase peserta KB menurut jenis kontrasepsi
MKJP dan non MKJP adalah 100%.
Proporsi peserta KB aktif menurut jenis kontrasepsi yang dipergunakan untuk
kategori MKJP adalah IUD 1,3%, MOP (0), MOW (1,6%), implan ( 4,4%). Sedangkan non
MKJP adalah suntik ( 79,7%), pil (10,3%), kondom ( 2,6%), obat vagina (0%).Jika dilihat
dari data peserta KB yang menggunakan alat kontrasepsi maka yang terbanyak
menggunakan jenis kontrasepsi suntik.
Kunjungan Neonatus
Cakupan kunjungan neonatus 1 kali (KN 1) selama tahun 2011 adalah 100% dari
562 bayi lahir hidup. Jika dibandingkan dengan target SPM KN1 sudah mencapai
target.Cakupan kunjungan neonatus 3 kali (KN Lengkap) adalah 98%? Jika
dibandingkan dengan target SPM persentase cakupan KN Lengkap sudah mencapai
target.
Persentase neonatal risti/komplikasi yang ditangani adalah 83% yang terdiri
dari laki-laki 90% dan perempuan 75%. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada bumil
477
dan neonatal risti yang tidak ditangani di puskesmas melainkan dirujuk ke RS untuk
mendapatkan penanganan yang lebih lanjut.
Kunjungan Bayi
Persentase cakupan kunjungan bayi (minimal 4 kali) selama tahun 2011 adalah
100% dari 559 bayi. Pelayanan imunisasi rutin pada bayi meliputi pemberian imunisasi
untuk bayi umur 0-1 tahun yaitu imunisasi BCG, DPT, Polio, Campak, HB.Imunisasi
adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja memberikan kekebalan (imunitas) pada
bayi atau anak sehingga terhindar dari penyakit. (Depkes, 2000).
Pencapaian Universal Child Immunization (UCI) pada dasarnya merupakan
proyeksi terhadap cakupan sasaran bayi yang telah mendapatkan imunisasi secara
lengkap. Bila cakupan UCI dikaitkan dengan batasan suatu wilayah tertentu, berarti
dalam wilayah tersebut juga digambarkan besarnya tingkat kekebalan masyarakat
(herd immunity) terhadap penularan PD3I. Suatu desa/kelurahan telah mencapai
target UCI apabila > 80% bayi di desa/kelurahan tersebut mendapat imunisasi lengkap.
Persentase cakupan pemberian imunisasi selama tahun 2011 dalam wilayah
Puskesmas Kota adalah cakupan imunisasi BCG adalah 100%, semua kelurahan sudah
melebihi target SPM. Cakupan imunisasi DPT1+HB1 adalah 96%, cakupan tertinggi di
kelurahan Tanah Raja dan yang terendah di kelurahan Muhajirin. Cakupan imunisasi
DPT3+HB3 adalah 92%, cakupan tertinggi di kelurahan Tanah Raja dan yang terendah
di kelurahan Muhajirin. Cakupan imunisasi Polio3 adalah 92%, cakupan tertinggi di
kelurahan Tanah Raja dan yang tertinggi di kelurahan Muhajirin. Sedangkan cakupan
imunisasi campak adalah 100% kecuali di kelurahan Muhajirin belum mencapai target.
Cakupan imunisasi bayi khusus untuk kelurahan Muhajirin jika berdasarkan
data sasaran estimasi maka terlihat bahwa pencapaian belum sesuai dengan target
SPM, tetapi jika berdasarkan dengan sasaran riil maka imunisasi bayi di kelurahan
Muhajirin sudah mencapai target. Hal ini dikarenakan penetapan sasaran bayi di
kelurahan Muhajirin terlalu tinggi padahal jumlah bayi di kelurahan tersebut jauh dari
sasaran yang ditetapkan.
478
3.12.3. Perilaku Masyarakat terkait Kesehatan Ibu dan Anak
Pandangan masyarakat tentang kehamilan, Persalinan dan bayi
Kehamilan. Pada masyarakat kota Ternate, dibeberapa tempat (kelurahan
Marekurubu dan kelurahan Tanah Raja) di wilayah kerja Puskesmas kota ternate masih
beranggapan kehamilan merupakan proses yang tidak hanya berhubungan dengan
nalar manusia tapi juga berhubungan dengan hal gaib, seperti yang dikemukakan oleh
Fikry Hamzah Taslim, pemahaman budaya masyarakat ternate menganggap proses
kehamilan merupakan suatu proses kegaiban, dimana menurut pemahaman mereka
terjadinya kehamilan janin dalam kandungan tidak saja faktor hubungan seksual
antara suami istri, namun lebih merupakan intervensi “kegaiban” untuk
menjadikannya seorang manusia. Oleh Karena itu kehamilan harus dirawat dan dijaga
secara gaib pula1.
Masyarakat di Kota Ternate selain menganggap kehamilan merupakan hal
alami pada wanita yang berhubungan dengan hal gaib, tapi mereka sudah sadar akan
pentingnya pemeriksaan kehamilan pada tenaga kesehatan. Biasanya mereka
melakukan pemeriksaan kehamilan pertama kali melalui tenaga kesehatan baik di
puskesmas, Rumah sakit maupun bidan setempat. Hal tersebut sesuai dengan data
profil kesehatan Kota Ternate tahun 2011 bahwa kunjungan persalinan di wilayah kerja
Puskesmas Kota mempunyai cakupan K1 100 % sejalan dengan hasil penelitian ini, ANC
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan sebesar 98,6 %
Dari hasil FGD dengan bapak non Jampersal dan bapak Jampersal, tugas bapak
ketika istri melahirkan adalah mengantarkan istri untuk melakukan pemeriksaan
kehamilan baik ke puskesmas maupun rumah sakit. Ketika bapak berhalangan
mengantarkan istri melakukan pemeriksaan kehamilan, maka peran itu akan
digantikan oleh saudara/ kerabat yang ada dekat dengan rumah mereka. Pekerjaan
rumah tangga yang menjadi tugas ibu hamil kini sudah beralih tugas menjadi
kewajiban suami, apabila pada saat itu suami berhalangan melaksanakan
kewajibannya maka suami akan membayar orang untuk menggantikan pekerjaan
suami, atau digantikan oleh kerabat lain yang tinggal dirumah tersebut (anak piara).
Tetapi ada beberapa informan yang masih beranggapan, pekerjaan rumah tangga yang
biasa dilakukan oleh ibu hamil harus tetap dikerjakan, hal ini disebabkan menurut
479
konsepsi mereka ibu hamil yang tetap melakukan pekerjaan rumah tangga hingga
bersalin akan dimudahkan persalinannya.
Kegaiban dalam proses kehamilan ditandai dengan adanya upacara atau
ritualyang dibantu oleh dukun (mama biang). Ritual ini dapat di temukan mulai dari
ketika kehamilan, persalinan hingga masa nifas.Peran dukun (mama biang) dalam
perawatan kehamilan masih banyak ditemukan pada masyarakat Kota Ternate sepeti
yang dikemukakan oleh salah seorang informan mama biang, bahwa setiap ibu hamil
yang datang kepada mama biang ataupun sebaliknya. Ibu hamil yang biasanya minta
bantuan mama biang pada usia kehamilan 3 bulan, 5 bulan, 7 bulan, dan 9 bulan
(bulan ganjil). Bantuan masa hamil ini ditujukan untuk membuat badan ibu hamil selalu
bersih serta memberi semangat pada ibu hamil dalam menghadapi persalinan. Mama
biang melakukan perabaan dan perbaikan pada letak janin apabila melintang. Namun
sebelum memperbaikinya biasanya mama biang menganjurkan supaya ibu hamil
diperiksa dahulu ke dokter/bidan. Setelah benar bahwa letaknya melintang dan
dokter/bidan tidak mampu memperbaikinya (tidak bisa putar janin di dalam perut)
maka ibu hamil datang kembali ke mama biang untuk memperbaikinya serta
menjaganya terus setiap bulan diperiksa dan diperbaiki kalau masih melintang.
Gambar 3.12.8 FGD tokoh masyarakat di Puskesmas Kota Ternate Sumber: Dokumentasi Peneliti
480
Gambar 3.12.9. Wawancara Mendalam dengan Mama Biang di kota Ternate Sumber: Dokumentasi Peneliti
Apabila ibu hamil baru menginjak usia kandungan 3 bulan, mama biang tidak
meraba perut ibu hamil tapi memberi kekuatan dengan memberikan air minum jernih
tanpa ramuan yang sudah dibaca2kan ayat suci alquran. Dan apabila kandungan sudah
menginjak usia 6 hingga 9 bulan, ibu diberikan air putih dengan ‘Rorona’ (campuran
ramuan dedaunan) serta diperiksa letak bayi dan dibetulkan apabila tidak dalam posisi
yang benar. Rorona adalah campuran dedauan yang diambil dari sekitar rumah dan
sekitar kampung misalnya daun degi2, kembang sepatu yang bertujuan untuk
mempersiapkan serta melancarkan persalinan.
Pemeriksaan kehamilan menjelang persalinan (K4) merupakan kunjungan
terakhir sebelum masa bersalin tiba. Ibu hamil di kota Ternate masih patuh untuk
memeriksakan kehamilannya hingga kunjungan terakhir (K4), hal ini seperti data yang
dikemukakan dalam profil kesehatan dinas kesehatan Kota Ternate. Kunjungan K4 di
Kota Ternate di lingkungan puskesmas kota sebesar 96,6% .
Dari hasil kunjungan K4 ini suami dapat mengambil keputusan penentu
persalinan bagi istri. Sebagai contoh pengalaman pribadi salah seorang informan
bapak non Jampersal. Seorang ibu hamil segera akan bersalin dan telah melakukan
pemeriksaan kehamilan (K4), dengan hasil harus dilakukan operasi sectio karena posisi
bayi sungsang. Berdasarkan hasil K4 tersebut suami melakukan diskusi dengan
481
keluarga dan memperoleh hasil agar persalinan ibu tersebut dilakukan dengan
bantuan mama biang.
Persalinan. Persalinan merupakan kondisi antara hidup dan mati yang
merupakan kodrat bagi perempuan. Dalam menghadapi proses persalinan biasanya
terdapat ritual yang menyertakan do’a dan pengharapan agar baik ibu dan bayi yang
dilahirkan tetap sehat dan selamat. Ritual tiup-tiup menjadi perantara antara ibu
bersalin dibantu mama biang kepada Allah SWT.
Di Kota Ternate persalinan sudah banyak yang dibantu oleh tenaga kesehatan
baik bidan, maupun dokter spesialis hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini dimana,
persalinan dibantu oleh dokter 15,7 %, dibantu oleh bidan 68,6 % serta dibantu oleh
mama biang 15,7%.Mama biang masih membantu persalinan di beberapa lokasi yaitu
Kelurahan Marekurubu dan Kelurahan Kotaraja. Fenomena ini terjadi karena di
kelurahan Marekurubu budaya dan ritual persalinan masih terasa kental
membutuhkan pertolongan mama biang. Mama biang juga diharapkan selain
membantu persalinan, juga melakukan perawatan nifas ibu dan bayi hingga 44 hari.
Kondisi yang hampir sama ditemukan juga di Kelurahan Kuta Raja, dimana sebagian
besar penduduk yang bermukim di tempat ini adalah pengontrak yang berasal dari
Pulau Halmahera dengan kepercayaan budaya persalinan yang dibantu dukun masih
kental.
Masyarakat kota Ternate sudah memanfaatkan persalinan di fasilitas
kesehatan seperti Rumah sakit (61,4 %), Puskesmas (4,3 %) sedangkan polindes (4,3%)
tapi persalinan yang dilakukan di rumah juga masih tinggi (28,6 %), faktor kenyamanan
dan kebutuhan akan dukungan dari keluarga menjadi salah satu alasan persalinan
dilakukan di rumah ibu bersalin (bulin).
Salah satu alasan persalinan dilakukan di rumah karena faktor kenyamanan
persalinan berkembang di masyarakat Kota Ternate terutama pada masyarakat yang
bertempat tinggal di Kelurahan Marekurubu dan Kota Raja. Mama biang merupakan
sosok yang akrab dengan keseharian masyarakat di kedua kelurahan itu. Persalinan
yang dibantu mama biang masih banyak ditemui di Kota Ternate hingga kini, selain
karena sudah tradisi (10 %) yang sudah diturunkan dari nenek moyang mereka, bahkan
ibu hamil adalah salah satu bayi yang dibantu kelahirannya oleh mama biang tersebut.
482
Alasan yang lain adalah percaya (2,9%), jarak rumah dukun dan bumil dekat (2,9 %),
dianjurkan suami atau orang tua (2,9 %) serta memberikan rasa nyaman (1 %).
Pelaksana ritual tersebut masih menjadi bagian yang melekat dalam budaya
persalinan. Masyarakat Kota ternate setuju diadakan ritual momohon keselamatan
menjelang persalinan (25,7%) walaupun lebih banyak yang tidak setuju akan hal itu
(52,9%).Ritual juga banyak ditemukan pada persalinan yang dilakukan di rumah, ritual
tiup-tiup menjadi ritual pengantar persalinan. ritual tiup-tiup adalah ritual dilakukan
oleh mama biang dengan cara meniupkan do’a-do’a pada air putih yang diberikan
kepada ibu yang akan bersalin, ritual ini dilakukan untuk memperlancar persalinan.
Selain ritual diatas ada satu ritual yang dilakukan ketikakehamilan ibu masih berusia 6-
9 bulan yang bertujuan untuk memperlancar persalinan seperti ritual diberikan air
putih dengan ‘Rorona’.
Ketika saat bersalin tiba mama biang dan bidan dipanggil oleh anggota keluarga
bumil, mereka datang dan sudah mengerti akan tugas dan peran masing-masing
dalam membantu persalinan ibu. Bidan membantu persalinan ibu dan memotong tali
pusat, sedangkan dukun melakukan perawatan bayi dan ibu setelah bersalin. Seperti
yang dikemukakan seorang mama biang:
“sejak tahun 2010 tidak lagi menolong persalinan karena sudah dikatakan oleh bidan bahwa biang tidak boleh lagi menolong bersalinan, kecuali dengan bidan dan gratis”
Bayi. Masyarakat Kota Ternate merupakan masyarakat yang agamis, sesuai
dengan slogan Kota Ternate “The true Islam”, kehidupan sosial kemasyarakatan juga
terbalut dengan nilai-nilai islami yang kental. Seperti pandangan masyarakat tentang
anak masih berakar pada nilai-nilai Islam seperti anak merupakan titipan yang Allah
SWT berikan, sehingga harus dijaga dan dirawat dengan baik. Hal ini seperti yang dapat
dilihat pada hadist Rasulullah SAW yang diriwatkan oleh HR Tirmidzi dan Thabrani yaitu
“ tidaklah orang tua memberikan kepada anaknya pemberian yang lebih utama selain
dari pendidikan yang lebih baik’’1.
Mengingat betapa besarnya makna anak bagi orang tua maka ketika seorang
anak lahir pada masyarakat Ternate harus dijaga dan dirawat dengan ritual khusus
yang dilakukan 3 kali yaitu ketika usia kandungan 3 bulan, ritual kedua ketika
kandungan berusia antara 6-9 bulan dan yang terakhir ketika hendak bersalin. Ritual
483
menginjak usia kandungan 3 bulan ritual dilaksanakan bertujuan untuk memohon
keselamatan bagi ibu hamil dan bayi dimana mama biang meniupkan air do’a pada
perut ibu. Dan apabila kandungan sudah menginjak usia 6 hingga 9 bulan, ritual
dilakukan bertujuan untuk mempersiapkan serta melancarkan persalinan bayi. Ritual
terakhir yaitu ketika masa persalinan tiba yaitu ritual tiup-tiup yang bertujuan untuk
memperlancar persalinan.
Keselamatan dan kesehatan anak merupakan salah satu tujuan terpenting
ketika persalinan dilakukan baik persalinan dibantu tenaga kesehatan ataupun oleh
mama biang. Ketika persalinan dibantu oleh tenaga kesehatan (bidan) perawatan bagi
bayi tetap dilakukan oleh mama biang, proses bakirah dan mapanas tetap dibantu
mereka. Hingga 40 hari proses perawatan dilakukan dengan tujuan agar bayi sehat
dan kuat.
Ritual terakhir yang dilakukan oleh mama biang sebagai penutup ketika bayi
berusia 40 hari. Yaitu membuang abu hasil pembakaran mapanas ke kebun pisang
yang diikuti dengan upacara selamatan dengan memberikan nasi kuning kepada 44
orang anak-anak. Ritual ini bertujuan memohon keselamatan bagi bayi kepada Allah
SWT.
Kepercayaan yang masih berkembang
Pantangan/tabu. Kehamilan merupakan berkah yang diberikan oleh Allah SWT
kepada ibu hamil, sehingga harus dijaga dan dirawat sedemikian rupa, ada beberapa
larangan yang harus dipatuhi oleh ibu hamil dan suami dalam bertindak/ beraktivitas
serta memilih makanan selama kehamilan. Larangan/tabu banyak disarankan oleh
orang tua/ Mertua dari ibu hamil juga oleh mama biang selaku perawat kehamilan dan
persalinan yang biasanya ada dalam masyarakat Kota Ternate. Saran yang diberikan
oleh mama biang dan orang tua merupakan sebuah jaminan kesehatan dan keselamat
janin bayi atas dijauhkan dari malapetaka selama hamil dan ketika dilahirkan seperti
kesulitan bersalin dan bayi cacat ketika lahir.
Penetapan pantangan/tabu sangat bervariasi dalam masyarakat Kota Ternate
tapi pada umumnya pantangan atau tabu ini dibagi menjadi pantangan terhadap
aktivitas yang dilakukan oleh ibu hamil dan suami, serta pantangan/tabu terhadap
484
makanan tertentu yang dikonsumsi oleh sang ibu hamil dan bersalin yang masih dalam
masa nifas.
Gambar 3.12.10. FGD Suami Non Jampersaldi Rumah Warga Sumber: Dokumentasi Peneliti
Pantangan/tabu terhadap aktivitas atau tindakan yang dilakukan oleh ibu hamil
dan suami misalnya tidak boleh keluar setelah maghrib ketika ibu sedang hamil
bersalin, pantangan ini dilakukan mengingat kondisi ibu yang sedang hamil/bersalin
(masih dalam masa nifas) merupakan kondisi yang disukai oleh makhluk gaib yang
umumnya keluar pada saat waktu maghrib, sehingga untuk menghindarkan keadaan
yang tidak diinginkan mereka dilarang pada saat-saat itu. Tidak boleh melompati kaki
suami ketika sedang tidur, karena ditakutkan ketika melahirkan kotorannya (darah
nifas) banyak. Untuk menghindarkan kondisi itu ketika istri bangun dari tidur dan
hendak turun dari tempat tidur hendaknya membangunkan suami dahulu baru
kemudian turun dari tempat tidur.
Pantangan aktivitas yang lain yaitu tidak boleh melilitkan handuk dileher baik
ibu hamil dan suaminya karena ditakutkan nanti tali pusat bayi yang hendak dilahirkan
ibu akan terlilit di lehernya dan mempersulit proses persalinan yang dapat mengancam
jiwa ibu dan jiwa bayi. Suami tidak boleh menyembelih ayam serta membunuh
binatang lainya karena nanti bayi yang dilahirkan istrinya ditakutkan akan cacat.Tidak
boleh keluar dari rumah selama 44 hari setelah bersalin (ibu dan bayi), keadaan ini
menjadi suatu pantangan karena ibu bersalin masih dalam masa nifas, kondisi yang
485
digemari mahluk gaib. Begitu juga bayi yang belum berusia 44 hari amat sangat rentan
denngan udara malam dan mahluk gaib. Ibu bersalin tidak boleh melakukan aktifitas
apapun selama 44 hari termasuk tidak boleh memasak karena mereka masih kotor
dan apabila memasak rasa masakannya menjadi tidak enak.
Sedangkan pantangan terhadap makanan biasanya hanya diberikan kepada ibu
hamil dan bersalin saja tidak kepada suami-suami mereka misalnya pantangan tidak
boleh makan durian karena akan mengakibatkan panas pada perut ibu yang dapat
mengakibatkan keguguran. Tidak boleh makan dan minum mempergunakan piring
dan gelas yang pecah ketika makan karena nanti anak yang dilahirkannya memiliki
cacat pada bibirnya (bibir sumbing). Tidak boleh makan tebu karena jadi akan cepat
mengantuk, sering tidur pada masyarakat Ternate ditakutkan akan membuat
persalinannya susah. Tidak boleh makan ikan dasar, karena ketika bersalin bau darah
nifasnya akan anyir.Tidak boleh makan cumi karena nanti ketika bersalin prosesnya
akan sulit (masuk-keluar tapi tidak lahir-lahir).
Ritual-ritual yang berhubungan dengan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)
Pada masyarakat Kota ternate ritual dalam persalinan baik sebelum maupun
sesudah masih mereka anggap penting, mengingat masih 47,1% masyarakat di wilayah
puskesmas kota Ternate yang melaksanakan ritual sebelum persalinan dan 61,4%
ketika persalinan dan 51,4% pasca persalinan dilakukan. Pada masyarakat Kota Ternate
ritual persalinan yang berhubungan dengan persalinan terbagi menjadi 2 prosesi,
prosesi sebelum bersalin dan prosesi sesudah bersalin. Pada prosesi sebelum bersalin
dilaksanakan pada masa kehamilan serta menjelang persalinan. Sedangkan prosesi
sesudah bersalin dilaksanakan setelah ibu bersalin hingga usia bayi 44 hari.
Prosesi ritual sebelum bersalin biasanya dilaksanakan sebanyak 3 kali oleh ibu
hamil yaitu :
Ritual ketika kehamilan berusia 3 bulan
Ketika ibu hamil menginjak usia kandungan 3 bulan, mama biang tidak meraba
perut ibu hamil tapi memberi kekuatan dengan memberikan air minum jernih
tanpa ramuan yang sudah dibaca-bacakan ayat suci Al Qur’an.
Ritual Ketika kehamilan berusia 6-9 bulan
486
Ketika kandungan sudah menginjak usia 6 hingga 9 bulan, ibu diberikan air putih
dengan ‘Rorona’ (campuran ramuan dedaunan) serta diperiksa letak bayi dan
dibetulkan apabila tidak dalam posisi yang benar. Rorona adalah campuran
dedaunan yang diambil dari sekitar rumah dan sekitar kampung misalnya daun
degi-degi, kembang sepatu yang bertujuan untuk mempersiapkan serta
melancarkan persalinan.
Ritual Ketika menjelang Persalinan (ketika akan menunggu persalinan tiba)
Ketika ibu hamil sudah merasakan perut mulas dan hendak bersalin maka keluarga
memanggil mama biang (ketika persalinan dilakukan di rumah walaupun keluarga
sudah memanggil nakes, mama biang tetap dipanggil dan menyertai nakes) untuk
memberikan do’a kepada ibu bersalin. Do’a diberikan oleh mama biang dengan
cara meniupkan do’a-do’a pada air putih yang diberikan kepada ibu yang akan
bersalin, air ini diminum dan dibalurkan si sekujur badan ibu bersalin. Ritual ini
dilakukan untuk dengan tujuan untuk memperlancar serta memudahkan
persalinan.
Sedangkan prosesi ritual setelah persalinan dilakukan secara bertahap hingga
bayi yang dilahirkan berusia 44 hari, prosesi ini berkesinambungan terdiri dari 2
rangkaian upacara yaitu Ritual Bakirah dan Bapanas.
Ritual Bakirah dan Bapanas setelah persalinan sampai 44 hari, dimana biang datang
ke rumah ibu sebanyak 2 x seminggu. Pada awal masa nifas yang dilakukan adalah
pertama mengurus ari-ari (membersihkan dan menanam), memandikan bayi setiap
hari atau 2 x sehari) sampai lepas pusat, dan ibu juga dimandikan dengan cara
bakirah.
Bakirah yaitu air direbus mendidih dengan daun ramuan setelah mendidih ibu
(tanpa pakaian) ditutup dengan kain bersama air rebusan tadi, setelah selai
melakukan bakirah ibu nifas diberi minuman campuran serei, jahe kunyit untuk
membersihkan perut ibu dari darah kotor.
Tujuan dilakukan bakirah adalah supaya badan ibu kuat dan ringan, memulihkan
urat2 dan membersihkan darah setelah persalinan. Bakirah dilakukan secara rutin
segera setelah melahirkan sampai 44 hari, dilakukan pada hari ganjil yaitu mulai
hari ke 3, 5, 9, 11, setelah itu lompatan 5 hari yaitu hari ke 15, 20, 25, 30, 35, 40,
dan terakhir 44.
487
Bapanas hanya dilakukan 1 x saja yaitu hari ke 5 setelah persalinan. Setengah batu
bata dibakar, dibungkus kain, daun tagaloto dan lapis kain lagi lalu ditaruh di
seputar perut ibu.pada Bayi mapanas dilakukan dengan cara mendekatkan tangan
ibu pada bara kemudian setelah tangan ibu panas di letakan pada badan bayi
sambil di elus-eluskan
Ritual yang dilakukan ketika bayi berusia 40 hari
Setelah 40 hari ritual bakirah dan mapanas, kegiatan harian untuk memanaskan
badan ibu dan bayi. Abu dari prosesi mapanas itu akan dikumpulkan hingga hari ke
40, abu itu kemudian akan dibuang dikebun pisang. Prosesi membuang abu ke
kebun pisang dilakukan dengan cara menempatkan abu tersebut pada tempurung
kelapa, yang kemudian akan dibawa oleh anak kecil (keluarga atau tetangga).
Dengan persyaratan sebagai berikut apabila yg dilahirkan anak perempuan maka
yang membawa abu tersebut adalah anak laki-laki sedangkan apabila yg dilahirkan
anak laki-laki maka yang membawa abu tersebut adalah anak perempuan.
Ritual yang dilakukan ketika bayi berusia 44 hari
Upacara tersebut merupakan kelanjutan dari upacara 40 hari diatas. Upacara ini
diawali dengan membagikan nasi kuning yang ditaruh di daun mangkokan, yang
dibuat sebanyak 44 buah. Nasi kuning ini akan dibagikan kepada 44 anak (keluarga
maupun tetangga). Upacara dilanjutkandengan pembacaan do’a yang dilakukan
oleh tokoh agama (ustad) yang mengiringi prosesi bayi yang untuk pertama kali
digendong keluar rumah selanjutnya setelah itu bayi kembali dibawa masuk
kedalam rumah.
Pengetahuan, Sikap dan Praktek terkait Kesehatan Ibu dan Anak
a. Pengetahuan
Untuk mengukur pengetahuan masyarakat ini maka penelitian ini
membantunya dengan melihatnya dari kuesioner yang telah dibagikan kepada 70
responden ibu yang dipilih secara random atau acak dan hal ini juga didukung oleh
hasil fgd yang telah dilakukan oleh bidan, suami dan juga tokoh masyarakat. Menurut
Bloom (1908, dalam Notoatmodjo: 2003), pengetahuan adalah hasil tahu dan ini
488
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya sikap dan juga tindakan/perilaku nyata seseorang.
Pengetahuan ibu yang coba dilihat disini adalah pengetahuan ibu pada saat
hamil, pada saat persalinan dan juga masa setelah melahirkan atau masa nifas.
b. Sikap
Informasi sikap masyarakat terhadap kesehatan ibu dapat dibagi menjadi tiga
hal yaitu: sikap masyarakat terhadap kesehatan ibu pada masa kehamilan, masa
persalinan serta pada masa pasca persalinan.
Masa Kehamilan. Pengetahuan ibu relatif sedang mengenai informasi
kehamilan, seperti pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali dari hasil penelitian ini 77%
melakukan dalam memahami memahami hal ini, 78% ibu mengetahui pentingnya
pengukuran tensi darah. Informasi mengenai imunisasi TT pada ibu yang dilakukan 2
kali selama masa kehamilan direspon postif oleh ibu sebesar 88%. Sedangka informasi
tentang tidak perlunya pemberian tablet penambah darah bagi ibu hamil memiliki
respon negatif sebesar 51,5%, sebagian masyarakat sudah memahami bahwa ketika
hamil dibutuhkan tablet penambah darah agar ibu tidak mengalami anemia dan HB
darah ibu dibawah 10, Kondisi ini menyebabkan meningkatkan resiko BBLR bayi yang
dilahirkan.
Ritual ketika masa kehamilan yang bertujuan untuk memohon keselamatan
kepada Allah SWT merupakan keharusan pada masyarakat Kota Ternate 45,7%
menyetujui hal tersebut, sedangkan yang menolak sebesar 54,3%. Sebagian
masyarakat Kota ternate masih menganggap ritual pra persalinan merupakan
rangkaian dari persalinan itu sendiri, sedangkan apabila meninggalkan ritual tersebut
ditakutkan terjadi bala ketika proses persalinan dilakukan.
Persalinan. Informasi mengenai aktifitas yang dilakukan pasca persalinan
memberikan penjelasan budaya persalinan yang melarang ibu bersalin keluar rumah
dan beraktivitas sebelum 40 hari. Sebagian ibu menganggap budaya ini harus
dilakukan setiap persalinan (48,6%) sedangkan yang menggap budaya itu sudah tidak
dapat diterapkan lagi (51,4%).
489
Pengetahuan berupa informasi lain yang didapat dari penelitian ini
adalah tempat bersalin sebaiknya dilakuka di fasilitas kesehatan (77,1%) dibantu
tenaga kesehatan (92,9%), mereka tidak menyetujui mitos setelah bersalin dilarang
mengkonsumsi ikat laut (82,9%), serta menganggap penting Inisiasi menyusui dini
(87,1%)
Nifas (Pasca persalinan).Sikap ibu yang dicoba dilihat disini terkait perilaku
setelah persalinan adalah mengenai pemakaian KB. Sebagian ibu di kota ternate sudah
sadar kebutuhan menggunakan KB pasca nifas (50%), tapi sebagian masih
mengganggap menyusui adalah KB alami,ehingga mereka lebih memeilih tidak
mempergunakan KB(45,7%)
c.Tindakan/praktek KIA
Masa Kehamilan. Dilihat dari hasil penelitian mayoritas sudah melakukan
pemeriksaan sebanyak 4 kali, sesuai standar pemeriksaan kesehatan ibu hamil. Dari 70
responden, hanya 1 yang tidak memeriksakan kehamilannya ketenaga kesehatan.
Sedangkan 63memeriksakan pemeriksaan ketenaga kesehatan. Alasan paling banyak
sebagai alasan mereka melakukan pemeriksaan kesehatan kepada nakes karena
merasa aman dan nyaman (54,3%). Tingginya pemeriksaan dengan tenaga kesehatan
ini dikarenakan, percaya kepada pelayanan bidan (21,4%), jarak yang dekat dan
mudah dijangkau (8,6%), dianjurkan oleh suami/ orang tua (1,4%), kebiasaan setempat
(1,4%) dan lainnya (10%),
Masa Persalinan. Melihat pengetahuan dan sikap sebelumnya, para ibu sudah
mengetahui bahwa persalinan akan lebih baik dilakukan dengan bantuan tenaga
kesehatan dan tidak dilakukan di rumah. Hasil survey menunjukkan bahwa penolong
persalinan paling banyak dibantu oleh bidan yaitu 88% dan setelah itu adalah dengan
bantuan dokter sebanyak 11,5%, suami/keluarga 1,4% dan mama biang 5,7%. Alasan
dipilihnya penolong persalinan tersebut adalah kebanyakan karena faktor aman dan
nyaman.
Pasca Persalinan. Sebanyak 42,9% melakukan pemeriksaan paska persalinan ke
tenaga kesehatan. Hasil survey, menunjukkan bahwa 57,1% dari responden belum
melakukan Kb paska persalinan. Kesadaran akan menggunakan alat kontrasepsi masih
490
rendah. Hal ini dikarenakan mereka masih mempergunakan mama biang yang
memberikan perawatan pasca persalinan pada ibu dan bayi. Ritual ini dilaksanakan
dengan tujuan agar ibu cepat pulih dari persalinan dan bayi sehat dan cepat besar.
3.12.4. Faktor sosial budaya masyarakat
Pengambil keputusan pemilihan penolong Persalinan
Sebagai masyarakat agamisyang memegang Al Qur’an arah dan hadist sebagai
arah kehidupan mereka. Dalam Al pada surah Al Israa ayat 23 “ Allah SWT telah
menetapkan agar kalian tidak beribadah melainkan kepada NYA dan hendaklah kalian
berbakti kepada kedua orang tua”. Ayat ini merupakan peganganer menghormati
serta berbakti kepada orang tua. Sikap ini diterapkan di setiap aspek kehidupan,
termasuk dalam pengambilan keputusan penting ketika persalinan tiba.
Pada masyarakat Kota Ternate pola pemukiman setelah menikah umumnya
adalah patrilokal, yaitu pengantin perempuan bermukim dirumah atau daerah
pengantin laki-laki. Kentalnya budaya patriarki dan menyebabkan orang tua dari pihak
laki-laki memegang peranan penting dalam pengambil keputusan penting dalam
rumah tangga anaknya begitu pula dengan penolong persalinan. Pengambilan
keputusan dalam pertolongan persalinan menjadi penting terutama persalinan ini
adalah persalinan pertama bagi. menantu mereka.
Beberapa hal yang menjadi alasan mertua dalam mengambil keputusan
penolong persalinan pada persalinan pertama seorang ibu adalah, rumah tangga
anaknya belum berpengalaman dalam hal persalinan, Mereka masih merupakan
keluarga muda yang bermukim dirumah atau di sekitar rumah keluarga pihak laki-laki,
biaya persalinan biasanya merupakan tanggungan pihak mertua
Pada anak kedua hingga anak terakhir pengambil keputusan penolong
persalinan adalah suami karena pasangan ini sudah dianggap mempunyai
pengalaman dalam menghadapi proses persalinan. Dalam beberapa hal tertentu
misalnya ketika kandungan istri mereka mengalami komplikasi (persalinan yang sulit)
dan harus dirujuk atau membutuhkan tindakan medis lebih lanjut seperti bedah sectio,
suami tetap meminta pertimbangan dari orang tua mengenai penolong persalinan bagi
istrinya, apakah tetap dengan bantuan tenaga kesehatan ataukah dibantu mama
biang.
491
Sesuai hasil penelitian ini cakupan persalinan yang dibantu oleh tenaga
kesehatan di wilayah Puskesmas Kota Ternate sebesar 87,1 % . Sesuai dengan hasil
FGD masyarakat kota Ternate sudah menjadikan tenaga kesehatan (bidan) sebagai
rujukan terpercaya dalam persalinan. Walau masih ada 12.9% masyarakat yang
memilih mama biang sebagai pembantu persalinan mereka.
Mama Biang di Mata Masyarakat
Mama biang bagi masyarakat Kota Ternate tidak dapat dilepaskan dari prosesi
ritual pra persalinan dan pasca persalinan, karena pelaksana ritual tersebut adalah
mama biang. Dari hasil penenelitian ini sebesar 34,3 % dari jumlah responden masih
menganggap jasa pelayanan mama biang sangat diperlukan dalam pelaksanaan ritual
pra dan pasca melahirkan. Selain melaksanakan ritual masih ada 27,1% masyarakat
yang memanfaatkan jasa mama biang dalam pemeriksaan nifas pasca melahirkan.
Tugas mama biang yang lain adalah melakukan perawatan pada bayi baru lahir, hal ini
terjadi mengingat masih 52,9 % responden yang menganggap peran mama biang
dalam perawatan bayi baru lahir masih diperlukan, dan masih 21,7% ibu bersalin yang
melakukan kunjungan neonatus kepada mama biang, serta 54,3% mama biang
memberikan pelayanan pijat ibu setelah bersalin.
Alasan terbesar memilih mama biang sebagai penolong persalinan adalah mereka
mengenal mama biang dengan baik karena, karena mama biang tinggal dan bergaul
disekitar pemukiman mereka (7,1%), bahkan ketika ibu hamil bersalin dulu juga
dibantu oleh mama biang ini. Faktor pengalaman atas kinerja mama biang
menimbulkan rasa percaya pada ibu bersalin (2,9%). Alasan lain adalah anjuran orang
tua atau suami (4,3%) dan sudah menjadi tradisi dalam keluarga (7,1%).
Dalam membantu dan merawat persalinan baik untuk ibu dan bayi, mama
biang mendapat upah antara 2 – 4 juta rupiah. Biaya itu merupakan biaya persalinan
serta perawatan ibu dan bayi sampai dengan 40 hari. Besarnya biaya persalinan dan
perawatan ibu dan bayi bukan merupakan permintaan mama biang tapi merupakan
bentuk keikhlasan dan terima kasih dari keluarga ibu bersalin tersebut. besarnya
jumlah uang yang di terima mama biang, dibayarkan secara dicicil oleh ibu bersalin
terkadang mereka menerima uang per kunjungan ke rumah ibu. Hal ini seperti yang
dikemukakan oleh mama biang N sebagai berikut:
492
“........pengganti sewa ojek dari 20 ribu sampai dengan 100 ribu perkali datang....”
Mama biang tidak pernah menentukan besar dari upah yang diterimanya
kepada keluarga ibu bersalin yang dibantunya. Yang terpenting ibu dan bayi yang dia
bantu sehat dan selamat.
Mama biang juga menjadi rujukan alternatif bagi masyarakat Kota Ternate,
ketika tenaga kesehatan (dokter spesialis kandungan, bidan) memberikan saran
tindakan yang kurang mereka setujui misalnya melakukan bedah sectio karena alasan
posisi bayi yang sungsang, sedangkan menurut mereka mama biang dapat membantu
persalinan tersebut tanpa tindakan bedah dengan hanya memutar posisi bayi yang
akan dilahirkan.
Bidan di Mata Masyarakat
Persalinan bagi masyarakat Kota Ternate identik dengan tenaga kesehatan
bidan, dalam setiap proses mulai dari kehamilan, persalinan hingga nifas tidak terlepas
dari peran bidan baik bidan puskesmas maupun bidan praktek swasta.
Peran bidan dalam persalinan merupakan kondisi umum pada masyarakat Kota
Ternate 98,5% mereka mempergunakan bidan sebagai rujukan pemeriksaan
kehamilan, 87,1% pembantu persalinan serta 74,3% rujukan untuk pemeriksaan nifas.
Kehamilan. Pemeriksaan kehamilan dibantu bidan sudah umum dilakukan oleh
ibu hamil di Kota Ternate, 2,9% Pemeriksaan kehamilan yang dibantu bidan dilakukan
1 kali oleh ibu hamil, pemeriksaan sebanyak 2 kali sebesar 20 % dan sebanyak 3-4 kali
sebesar 77,1%. Tingginya kesadaran pemeriksaan kehamilan pada masyarakat Kota
ternate turut menurunkan angka kematian pada ibu dan bayi.
Alasan pemanfaatan pelayanan bidan dalam pemeriksaan persalinan dengan
alasan aman dan nyaman (54,3%), percaya kepada pelayanan bidan (21,4%), jarak yang
dekat dan mudah dijangkau (8,6%), dianjurkan oleh suami/ orang tua (1,4%), kebiasaan
setempat (1,4%) dan lainnya (10%), walaupun begitu masih ada beberapa masyarakat
yang tidak memeriksakan kehamilannya baik pada bidan maupun mama biang dengan
alasan tidak perlu (2,9%) dan tidak terlalu mempercayai kemampuan bidan maupun
mama biang (1,4%).
493
Sumber biaya dalam pemeriksaan kehamilan pada tenaga kesehatan adalah
biaya sendiri (45,7%), Jampersal (44,3%), Jamkesmas/Jamkesda (4,3%), asuransi (1,4%)
dan biaya lainnya (4,3%).
Persalinan. Persalinan sebagai proses hidup dan mati membutuhkan penolong
persalinan yang mampu memberikan kenyaman dan keamanan bagi ibu bersalin.
Tenaga kesehatan merupakan penolong persalinan yang memberikan dua hal diatas.
Persalinan yang dibantu tenaga kesehatan seperti bidan pada umumnya
dilakukan di fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas ataupun rumah
bidan/polindes. Pada masyarakat Kota Ternate tempat melahirkan di fasilitas
kesehatan terdiri dari Rumah sakit ( 61,4%), rumah bidan atau polindes (4,3%) serta
puskesmas (4,3%), sisanya masih melakukan persalinan di rumah (28,6%).
Sebagai penolong persalinan bidan merupakan penolong pertama persalinan
(68,6%) dan penolong terakhir persalinan (68,6%), dengan alasn aman dan nyaman
ditolong persalinannya oleh bidan (45,7%), percaya (27,1%), jarak jangkaunya dekat
dan mudah diakses (18,6%) serta merupakan merupakan rujukan bagi ibu bersalin
(7,1%)
Sumber biaya untuk bersalinan, pada umumnya ibu bersalin mengeluarkan dari
uang pribadi (70%), Jampersal (15,7%), Jamkesmas / Jamkesda (4,3%), asuransi (1,4%)
dan lainnya (8,6%).
Nifas. Periksaan pasca persalinan merupakan adalah rangkaian terakhir dalam
persalinan. Masyarakat Kota Ternate sebagian besar sudah melakukan pemeriksaan
nifas pada bidan atau tenaga kesehatan lainnya (dokter). Tapi beberapa masih ada
yang belum melepaskan peran mama biang dalam pemeriksaan nifas, mengigat mama
biang merupakan pelaksana ritual ketika nifas seperti bakirah dan mapanas, mereka
tidak mau mempergunakan jasa tenaga kesehatan dengan alasan tidak perlu (40%),
biaya tidak terjangkau (2,9%), sedangkan sisanya kurang mempercayai tenaga
kesehatan (1,4%). Jasa yang diberikan oleh mama biang tidak dapat digantikan oleh
tenaga kesehatan seperti bidan ataupun dokter. Beberapa lagi menggabungkan
pemeriksaan nifas antara tenaga kesehatan bidan atau dokter dengan mama biang,
dengan alasan selain agar memperoleh pelayanan dari tenaga kesehatan juga mereka
dapat melakukan ritual nifas bakirah dan mapanas. Walaupun dalam kondisi nyata
494
bidan atau dokter melarang ibu bersalin melakukan mapanas karena akan beresiko
pada jahitan ibu bersalin.
Masyarakat Kota Ternate melakukan pemeriksaan nifas baik di fasilitas non
kesehatan maupun di fasilitas kesehatan, ataupun beberapa dari mereka
melakukannya didua tempat baik difasilitas kesehatan, maupun non kesehatan
dengan alasan ritual. Prosentase pemeriksaan yang dilakukan pada fasilitas kesehatan
(24,3%), di fasilitas non kesehatan (17,1%) sedangkan yang melakukan di kedua tempat
(2,9%).
Alasan menggunakan tenaga kesehatan ketika melakukan pemeriksaan pasca
persalinan adalah sebagai berikut, lebih percaya dengan pelayanan tenaga kesehatan
(22,9%), lebih kompeten dalam melakukkannya (15,7%) sedangkan atas anjuran
suamiatau orang tua dan sedangkan kemudahan akses dan jarak yang relatif lebih
dekat (1,4%).
Mengenai sumber biaya, sebagian besar ibu bersalin mengeluarkan uang
pribadi dalam melakukan pemeriksaan pasca persalinan (24,3%), dengan biaya
Jampersal (14,3%), dengan biaya Jamkesmas atau Jamkesda (2,9%) sedangkan dari
biaya lainnya (2,9%).
Hubungan Mama Biang dan Bidan
Hubungan antara mama biang dan bidan sudah terjalin dengan baik dan sudah
terbentuk kemitraan. Menurut mama biang hubungan dengan bidan selalu
mendukung dalam proses persalinan, bahkan terkadang mama biang menyarankan ibu
bersalin untuk melakukan pemeriksaan di bidan karena biayanya tidak mahal.
Kemitraan antara mama biang dan bidan yang sudah terjalin dengan baik,
terkadang bidan memberikan sedikit uang kepada mama biang ketika mama biang
memberitahukan apabila terjadi persalinan serta bersama-sama membantu persalinan
tersebut. hubungan yang terjalin baik juga membuat mama biang tidak ragu lagi untuk
meminta pertolongan pengobatan kepada bidan apabila sedang sakit .
Pelaksanaan Pelayanan KIA dengan Sumber BiayaJampersal
Pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) di wilayah puskesmas
Kota Ternate sudah berjalan dengan baik walaupun pelayanan persalinan tidak dapat
didapatkan di puskesmas itu sendiri, dengan alasan sudah banyak rumah sakit yang
495
dapat melayani pesalinan di sekitar wilayah kerja puskesmas, serta tidak memadainya
fasilitas persalinan yang terdapat di puskesmas maupun polindes.
Terkendalanya pelayanan persalinan di wilayah kerja puskesmas selain karena
fasilitas yang kurang memadai juga karena figur bidan desa yang kurang membaur
dengan masyarakat, selain karena luasnya wilayah kerja juga karena cepatnya
perpindahan penduduk di wilayah tersebut.
Alasan yang lain adalah di beberapa tempat di wilayah kerja Puskesmas Kota
Ternate, bidan desa tidak menetap di wilayah kerjanya tapi tinggal diwilayah kerja
puskesmas lain. Kondisi ini menimbulkan sulitnya penanganan persalinan pada ketika
bidan sedang tidak stand by on duty, masyarakat umumnya mencari pertolongan
persalinan di Rumah sakit terdekat atau mereka malah mencari pertolongan ke tempat
mama biang. Sulitnya akses dan jauhnya jarak memperparah kondisi ini terutama di
Kelurahan Marekurubu, wilayah tertinggi di wilayah kerja Puskesmas Kota Ternate.
Pelayanan persalinan gratis sudah beberapa tahun terakhir dapat di jumpai di
wilayah kerja Puskesmas Kota Ternate, dimulai dari pelayanan persalinan gratis dengan
biaya Jamkesmas dan Jamkesda. Masyarakat dan beberapa bidan mengetahui
pengguna Jamkesmas dan Jamkesda memperoleh pelayanan persalinan gratis hanya di
rumah sakit umum daerah Ternate saja, sedangkan fasilitas kesehatan lain seperti
puskesmas dan polindes mereka kurang paham.
Diwilayah kerja Puskesmas Kota Ternate, ibu bersalin yang menggunakan
Jampersal untuk proses persalinan hanya sebesar 17,1 % dan sisanya sebesar 82,9%
masih menggunakan biaya sendiri, Jamkesmas, asuransi maupun sumber biaya yang
lain. Kondisi ini disebabkan mengenai Jampersal, sebagian masyarakat tidak
mengetahui pelaksanaan program yang disosialisasikan oleh tenaga kesehatan
(41,4%), mereka mendapatkan informasi tersebut dari media masa (17,1%) dari
sumber yang lain (8,6%) sedangkan dari aparat desa (2,9%). Kurangnya informasi ini
mengakibatkan program ini kurang dimanfaatkan oleh ibu bersalin.
Pembiayaan KIA
Pembiayaan persalinan dari mulai pemeriksaan pra persalinan, persalinan
dengan mempergunanakan Jampersal masih relatif rendah, sebagian besar
masyarakat Kota Ternate masih menggunakan uang pribadi. Ketidaktauan adanya
496
program Jampersal menjadi alasan yang utama rendahnya pemanfaatan Jampersal.
Dapat dilihat pada pemeriksaan pra persalinan pemanfaatan dengan biaya Jampersal
hanya 44,5%, dibandingkan mempergunakan biaya pribadi 45,7%. Sedangkan pada
persalinan pemanfaatan dengan mempergunakan biaya Jampersal hanya sebesar
Jampersal 15,7%, sedangkan pembiayaan dengan uang pribadi (70%). Pemanfaatan
Jampersal dalam pemeriksaan dengan menggunakan pembiayaan dengan biaya
Jampersal (14,3%) sedangkan yang mempergunakan uang pribadi (24,3%).
Selain alasan ketidaktahuan akan adanyan pemanfaatan Jampersal alasan yang
lain adalah ketidakpuasan akan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah.
Masyarakat menganggap semua program kesehatan yang gratis dari pemerintah
mempunyai kualitas pelayanan dan obat-obatan yang lebih rendah dibandingkan
pelayanan yang mereka dapatkan dengan mengeluarkan dana pribadi.
Menurut Bidan desa ataupun bidan praktek swasta menganggap pembiayaan
persalinan mempergunakan Jampersal terlalu merepotkan karena ada beberapa
persyaratan yang harus dikumpulkan dan memakan waktu. Keluhan para bidan
tentang administrasi Jampersal adalah sulitnya memperoleh surat domisili, hal ini
mengingat banyak ibu bersalin merupakan warga di luar Kota Ternate yang terkadang
tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP).
Selain alasan tentang administrasi Jampersal, masalah tarif juga tidak bisa
dikesampingkan. Banyak bidan praktek swasta (BPS) yang mengeluh tentang kecilnya
tarif Jampersal yang diberikan kepada BPS. Beberapa BPS masih menerima persalinan
dengan Klaim Jampersal tapi lebih banyak dari mereka yang menolak melakukan kerja
sama dengan Dinas kesehatan mengenai persalinan dengan Jampersal.
Puskesmas sebagai rujukan tingkat kecamatan dalam pelaksanaan program
persalinan seperti Jampersal sudah menetapkan standar operasional presedur (SOP)
pelaksanaan pertolongan persalinan terutama yang persalinan dengan Jampersal, hal
ini diperkuat dengan juknis Jampersal yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan.
Tapi dengan keterbatasan fasilitas, kondisi bidan desa yang tinggal di wilayah kerja
serta kurang dikenalnya bidan dilingkungan kerja mereka mengakibatkan Jampersal
kurang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Kota Ternate.
497
Pengetahuan tentang Jampersal
Program Jampersal sudah disosialisasikan oleh kementrian kesehatan sejak
awal tahun 2010 dan berlaku secara umum mulai Mey 2010, tapi hingga kini di wilayah
kerja Puskesmas Kota Ternate belum tersosialisasikan dengan baik. Hal ini disebabkan
masyarakat tidak tahu adanya program Jampersal (55,7%), mereka menganggap tidak
berhak memperoleh program ini. Menurut mereka program Jampersal hanya
diperuntukan bagi masyarakat dengan ekonomi menengah kebahwah saja (15,7%),
menganggap prosedural untuk mengikuti program ini rumit (8,6%), faktor gengsi juga
memberi kontribusi tidak mengikuti program Jampersal (1,4%0 dan alasan lainnya
(2,9%).
Informai Jampersal hanya diperoleh sebagian masyarakat saja, informasi yang
mereka dari tenaga kesehatan (41,4%), informasi tersebut dari media masa (17,1%)
dari sumber yang lain (8,6%) sedangkan dari aparat desa (2,9%). Tenaga kesehatan
belum memahami program Jampersal secara menyeluruh. Dari hasil observasi sambil
lalu sebagian masih menganggap Jampersal sama dengan Jamkesmas, hal ini terjadi
mengingat selain Jamkesmas provinsi maluku utara menyediakan Jamkesda untuk
masyarakat. Sehingga persalinan untuk sebagian masyarakat sudah gratis, sehingga
ketika Jampersal diluncurka mereka anggap masih merupakan program yang lama
(Jamkesda).
Dari hasil wawancara sambil lalu ibu bersalin dan suami sangat ingin melakukan
persalinan dengan biaya dari Jampersal, tapi mereka kurang mengerti prosedurnya,
sedangkan bidan tidak menginformasikan hal ini. Informasi yang sama didapat dari
tokoh masyarakat, sebagian mereka kurang mengerti ptogram Jampersal ini, kecuali
tokoh masyarakat yang berkecimpung sebagai kader posyandu.
3.12.5. Peran Tenaga Kesehatan dalam Pelaksanaan Jampersal
Tenaga kesehatan memegang peranan penting dalam pelaksanaan program
Jampersal, mengingat persyaratan persalinan yang dapat diklaim menggunakan dana
Jampersal adalah bersalin di tenaga kesehatan dan dilakukan di fasilitas
kesehatan.Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kota Ternate, persalinan dibantu oleh
tenaga kesehatan kini mencapai angka 90% dan 52% tenaga kesehatan
mempergunakan Jampersal. Pelaksanaan program Jampersal sangat membantu
498
Pemerintah daerah, mengingat 26.000 jiwa penduduk miskin Kota Ternate menjadi
tanggung jawab Pemerintah Kota Ternate. Dari jumlah 26.000 jiwa itu, 18.000 jiwa
merupakan Jamkesmas sebanyak sedangkan 8000 jiwa pengguna Jamkesda.
Pelaksanaan Jampersal dan Jamkesda saling melengkapi satu sama lain, apabila
persalinana dilakukan di Rumah sakit swasta maka persalinan akan ditanggung oleh
Jampersal, sedangkan untuk 8.000 masyarakat pemegang Jamkesda apabila akan
melahirkan di rumah sakit swasta maka akan ditanggung oleh Jamkesda.
Pelaksanaan Jampersal di tingkat puskesmas menelurkan Kebijakan lokal yang
dilaksanakan adalah pelaksanaan persalinan tidak hanya dilakukan di puskesmas saja,
tapi juga di poskeskel, selain karena fasilitas di puskesmas tidak memungkinkan
dilakukan persalinan, jarak dan kondisi geografis juga mempersulit ruang gerak bidan.
Persalinan dengan mama biang masih banyak dilakukan oleh mama biang tapi lambat
laun mulai terkikis karena mental masyarakat yang berorientasi pada pelayanan
Rumah sakit serta makin turunnya jumlah mama biang.
Beberapa hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan Jampersal di Kota Ternate,
dibagi menjadi dua hal, Hambatan teknis dan hambatan administratif. Hambatan
teknis dalam pelaksanaan Jampersal adalah sebagai berikut:
Bidan desa tidak bermukim di wilayah kerja sehingga menyulitkan masyarakat saat
membutuhkan pertolongan persalinan.
Interaksi bidan dan masyarakat yang kurang akrab sehingga menyulitkan bidan
dalam mensosialisasikan program
Konflik kepentingan bidan dalam sosialisasi Jampersal, karena
berhubungan dengan tarif pelayanan bidan
Rendahnya pengetahuan mengenai Jampersal yang dimiliki oleh bidan.
Keterbatasan puskesmas terutama dalan hal sarana dan fasilitas persalinan,
sehingga persalinan tidak dilakukan di puskesmas.
Sedangkan hambatan administrasi dalam pelaksanaan Jampersal adalah
kesulitan dalam memperoleh KTP dari ibu bersalin. Banyak ibu bersalin berasal dari
daerah-daerah sekitar ternate seperti dari Pulau Halmahera yang tidak memiliki kartu
penduduk, sedangkan dalam proses klaim jamersal dibutuhkan kartu identitas Berupa
KTP atau surat domisili. Surat domisili terpaksa diurus oleh bidan yang membantu
499
persalinan, tidak jarang bidan harus mengeluarkan uang sebesar Rp. 25.000,- untuk
memperoleh surat domisili ibu bersalin.
Hambatan administrasi lainnya adalah banyaknya form yang harus diisi sebagai
persyaratan klaim, terkadang form yang diisi terlalu banyak karena ada beberapa form
yang diisi dua kali pada saat ANC dan bersalin.
Sosialisasi Jampersal
Sosialisasi yang dilakukan oleh dinas kesehatan ke puskesmas Sosialisasi
Jampersal di dinas kesehatan kepada kepala puskesmas dilakukan januari tahun 2011,
Sosialisasi di tingkat puskesmas dilakukan sekitar Februari 2011 untuk para bidan
kelurahan (8 bidan), dilanjutkan dengan sosialisasi ke masyarakat oleh para bidan
setiap kali turun ke lapangan (misal: dalam kegiatan posyandu dan pertemuan lintas
sektoral tingkat kecamatan. Mengingat penduduk Ternate 95% muslim karena itu
peran tokoh agama sangat menentukan. Prinsip dinkes hak masyarakat dipenuhi dulu
baru kewajibannya apa. Sosialisasi pada ibu dilakukan pada kelas ibu hamil. Sosialisasi
Lintas sektoral melalui pertemuan 3 bulan sekali di kantor kecamatan dengan dana
BOK, untuk internal puskesmas sosialisasi dilakukan dalam lokmin sebulan sekali.
Sosialisasi oleh ibu-ibu PKK melalui arisan kelurahan. Sosialisasi dari pemda melalui
media cetak
Sosialisasi KB Jampersal melalui bidan pada waktu ANC di posyandu atau
puskesmas, ada kelas ibu hamil sebulan sekali di luar jadwal posyandu di setiap
kelurahan. Diterapkan sejak April 2011 oleh bidan kelurahan di poskeskel, pelaksanaan
sosialisasi berjalan lancar. Kendala yang dihadapi berkisar asalah data, mengingat
Jumlah yang ikut KB PNC melalui Jampersal belum dapat diberikan karena datanya
campur dengan nama peserta yang ikut KB dengan program lain (Jamkesmas,
Jamkesda). Ibu-ibu yang bukan PNC Jampersal lagi dan yang bukan peserta Jamkesmas
ataupun Jamkesda harus bayar apabila hendak mengikuti KB (termasuk pasien umum).
Pelaksanaan Program Jampersal
Pelaksaan program Jampersal dilakukan di ternate sejak bulan juni 2011 dan
terus dilaksanakan hingga kini, pelaksanaan Jampersal di lakukan di dua fasilitas
kesehatan, di puskesmas dan fasilitas kesehatan turunannya dan di rumah sakit.
500
Pelaksanaan Jampersal di puskesmas dan fasilitas kesehatan turunannya dilakukan
oleh bidan desa. Persalinan yang dibantu oleh bidan desa dilakukan baik di puskesmas
dan pustu atau puskeskel. Pada lokasi penelitian di Puskesmas Kota ternate persalinan
tidak dilakukan di puskesmas dan di beberapa pustu karena keterbatasan fasilitas alat
bantu persalinan, sehingga beberapa ada yang bersalin di rumah sakit terdekat
ataupun di rumah ibu bersalin.
Pelaksanaan Jampersal tidak hanya berlaku pada bidan desa yang bertugas di
puskesmas tapi sudah menjalin kerjasama dengan bidan praktek swasta di wilayah
Kota Ternate (mengingat bidan praktek swasta tidak ada yg berada dalam wilayah
kerja Puskesmas kota Ternate). Bentuk kerjasama antara dinas kesehatan dan bidan
praktek swasta berlandaskan MOU kerjasama. Beberapa bidan praktek swasta sudah
menolong persalinan dengan menggunakan Jampersal. Mereka membuka klinik
bersalin bersama misalnya dengan nama Klinik Atia, padahal didalamnya ada beberapa
bidan dan bekerja sama dengan dukun. Dukun dibayar untuk mengantar ibu ke klinik
tanpa menunggu dari klaim Jampersal. Tapi masih banyak yang tidak mau melakukan
kerjasama hal ini dikarenakan ruitnyaa klaim persalinan yang harus menyertakan
banyak persyaratan serta kecilnya nilai klaim yang tidak sebanding dengan tarif praktek
dari bidan praktek swasta tersebut.
Pembiayaan
Masyarakat yang melakukan pemeriksaan kehamilan, persalinan dan
pemeriksaan nifas di tenaga kesehatan, sebagian besar mempergunakan uang pribadi
untuk membayar pelayanan tersebut. Hal ini dalapat dilihat sebagai berikut :
Kehamilan. Pada mayarakat kota ternate, mereka sudah memandang tenaga
kesehatan sebagai penolong persalinan, dan mereka tidak segan mengeluarkan uang
pribadi demi memperoleh pelayanan kehamilan. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan
uang pribadi dalam membayar pelayanan persalinan (45,7%), mempergunaan dana
Jampersal (44,3%), Jamkesmas/ jamkeda (4,3%), asuransi (1,4%) dan sumber yang lain
(4,3%). Dari hasil ini terlihat masyarakat Kota ternate sudah menganggap Jampersal
merupakan salah satu fasilitas pendanaan bagi pemeriksaan kehamilan.
Persalinan. Seperti pemeriksaan kehamilan, ketika persalinan datang
masyarakat Kota Ternate sudah menganggap tenaga kesehatan sebagai penolong
501
persalinan terakhir bagi persalinan, hal ini dapat dilihat kesadaran masyarakat
membayar pelayanan persalinan dengan uang pribadi (70%), menggunakan Jampersal
(15,7%), Jamkesmas dan Jamkesda (4,3%), asuransi (1,4%), serta dari dana lainnya
(8,6%). Dapat dilihat dari hasil ini mereka sudah sadar mempergunakan bantuan nakes
bahkan mereka mempergunakan uang pribadi untuk membayar pelayanan tersebut.
Nifas. Pelayanan nifas sudah disadari oleh masyarakat Kota Ternate, walaupun
ada beberapa masyarakat yang masih mempergunakan mama biang dalam
pemeriksaan nifas. Sebagian besar masyarakat yang memanfaatkan pelayanan
pemeriksaan nifas melalukan pembayaran dengan uang pribadi (24,3%), dengan
mempergunakan Jampersal ( 14,3%), dengan Jamkesmas/Jamkesda (2,9%) sedangkan
dengan sumber dana lain (2,9%).
Kebijakan Internal Puskesmas
Pelaksanaan Jampersal sendiri dilingkungan Dinas Kesehatan Kota Ternate
mengacu pada petunjuk teknis pelaksanaan Jampersal yang telah dibuat oleh
Kementerian Kesehatan, tidak ada kebijakaan lokal yang di buat oleh Dinas Kesehatan
Kota Ternate, tapi di puskesmas kota kebijakan lokalnya yang dilaksanakan adalah
PelaksanaanJampersal di tingkat puskesmas menelurkan Kebijakan lokal yang
dilaksanakan adalah pelaksanaan persalinan tidak hanya dilakukan di puskesmas saja,
tapi juga di poskeskel, selain itu persalinan juga dilakukan di rumah ibu bersalin tapi
tetap dibantu oleh bidan, hal ini terjadi karena fasilitas di puskesmas tidak
memungkinkan dilakukan persalinan, jarak dan kondisi geografis juga mempersulit
ruang gerak bidan. Persalinan dengan mama biang masih banyak dilakukan oleh
mama biang tapi lambat laun mulai terkikis karena mental masyarakat yang
berorientasi pada pelayanan Rumah sakit serta makin turunnya jumlah mama biang.
3.10.6. Hambatan, Dukungan dan Harapan terhadap Program Jampersal
Dalam pelaksanaan program Jampersal didapatkan faktor-faktor pendukung
yang dapat meningkatkan akselerasi program Jampersal pada masyarakat Kota
Ternate. Dibawah ini terdapat faktor-faktor pendukung tersebut,
502
Berkurangnya jumlah mama biang. Pada masyarakat Kota Ternate profesi
mama biang sudah sulit ditemukan begitu juga dengan dua mama biang yang
diwawancarai pada wawancara mendalam menyatakan sebagai berikut:
“punya anak 9 orang (6 laki, 2 perempuan, 1 meninggal). Namun sampai sekarang belum ada anak2nya yang tertarik untuk belajar atau meneruskan profesi.”
Kini sudah sulit menemukan anak muda yang mau meruskan pekerjaan sebagai
mama biang, meeka kurang tertarik dengan jenis pekerjaan ini dengan alasan
pekerjaan ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman.
Berkurangnya jumlah mama biang menyebabkan ibu-ibu bersalin lebih memilih
bidan sebagai penolong persalinan dan mama biang hanya menjadi pelaksana ritual
persalinan saja.
Kepercayaan terhadap medis tinggi. Pada masyarakat Kota Ternate,
kepercayaan terhadap medis relatif tinggi, mereka memahami tenaga kesehatan
merupakan rujukan terpercaya (21,4%), terutama berhubungan dengan pemeriksaan
pra persalinan hingga pasca persalinan. Kompetensi tenaga kesehatan menyebabkan
perasaan aman dan nyaman (54,3%).
Masyarakat tetap melakukan pemeriksaan persalinan dari mulai pra persalinan
hingga persalinan, terkadang masyarakat memilih bersalin pada biang karena tidak
setuju dengan tindakan yang dilakukan oleh dokter kandungan. Bedah sectio karena
posisi bayi sungsang merupakan salah satu tindakan yang kurang disetujui oleh suami
dan keluarga ibu bersalin. Dalam pemikiran mereka mama biang dapat memutar posisi
bayi kemudian membantu persalinan ibu dengan cara normal. Kondisi diatas bukan
berarti mereka tidak percaya dengan kompetensi dokter melainkan karena mencari
alternatif rujukan yang tidak melalui prosedur bedah.
Keaktifan dari kader Posyandu. Bidan Desa yang tidak bermukim di wilayah
kerja dan kurang dikenal oleh masyarakat membuat terkendalanya sosialisasi
program-program baru. Kader posyandu menjembatani kondisi ini. Biasanya kader
posyandu memberikan informasi awal kepada bidan desa tentang kehamilan baru
diwilayah kerjanya.
503
Tugas mereka selain membantu bidan desa dalam pelaksanakan posyandu, juga
menjadi motivator bagi masyarakat dalam melakukan pemeriksaan persalinan dan
melakukan persalinan aman dibantu bidan.
Keaktifan masyarakat dalam mengikuti asuransi kesehatan di tempat kerja.
Masyarakat Kota Ternate sudah menyadari bahwa asuransi kesehatan menjadi
penolong kondisi-kondisi darurat dan persalinan. Kondisi ini turut mendorong
masyarakat ternate untuk bergabung dengan asuransi pada tempat kerja masing-
masing. Persalinan bagi anak 1 dan 2 tidak menjadi kendala bagi masyarakat karena
masih ditanggung oleh asuransi kesehatan dari tempat kerja.
Hambatan
Pengetahuan masyarakat tentang Jampersal masih rendah. Di Kota Ternate
persalinan gratis sudah bukan merupakan hal yang baru, sejak Jamkesmas persalinan
gratis bagi pemilik kartu Jamkesmas sudah menjadi hal yang lumrah. Provinsi Maluku
Utara juga mengeluarkan jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) yang juga
memberikan kemudahan persalinan gratis. Bahkan tanpa Jamkesmas dan Jamkesda
kemudahan persalinan tetap diperoleh dengan hanya menyerahkan SKTM (surat
keterangan tidak mampu) dari pejabat desa terkait.
Hal ini menyebabkan keberadaan program persalinan gratis seperti Jampersal
kurang terlalu diperhatikan, mengingat persalinan gratis sudah mereka kenal beberapa
tahun belakangan. Anggapan masyarakat persalinan gratis seperti Jamkesmas,
Jamkesda dan pengguna SKTM dikhususkan untuk masyarakat menengah kebawah.
ketidaktahuan perbedaan antara program Jampersal ini dengan program
terdahulu (Jamkesmas, Jamkesda dan pengguna SKTM) membuat mereka tidak
memanfaatkan program persalinan ini, sedangkan mereka melakukan pemeriksaan
pasca persalinan di puskesmas dan rumah sakit tapi informasi tentang Jampersal tidak
mereka peroleh.
Bidan yang tidak bermukim diwilayah kerja. Dalam pelaksanaan pelayanan di
tiap puskesmas, bidan merupakan ujung tombak pelayanan persalinan, dimana bidan
diwajibkan tinggal dan bermukim di wilayah kerjanya. Kondisi disamping adalah kondisi
ideal tapi dalam kenyataannya bidan di wilayah kerja Puskesmas Kota Ternate masih
banyak yang tidak tinggal dan bermukim di wilayah kerja, ketika kondisi darurat
504
persalinan terjadi wilayah yang mempunyai akses yang sulit seperti di Kelurahan
Marekurubu. Masyarakat umumnya mencari pertolongan ke mama biang yang tinggal
diwilayah mereka, rasa nyaman dan terjadinya bonding emosional menjadi alasan
mayarakat memilih mama biang sebagai pembantu persalinan dibanding pergi ke
rumah sakit yang jauh dari tempat tinggal mereka.
Konflik kepentingan bidan dalam sosialisasi Jampersal. Peran bidan terutama
desa yang bertugad di puskesmas mempunyai tanggung jawab untuk mensukseskan
program pemerintah terutama Jampersal. Mereka wajib membantu persalinan dengan
tarif yang sudah di tentukan oleh kementrian Kesehatan, tapi kondisi ini menjadi rumit
mengingat selain bekerja di puskesmas, mereka membuka praktek persalinan swasta
dengan tarif yang lebih tinggi daripada tarif puskesmas.
Kondisi rumit ini membuat bidan ini mengalami dilema profesi, dan membuat
sosialisasi kurang berjalan dengan baik. Keadaan ini makin diperparah dengan
prosedur klaim yang berbelit dan menyulitkan bidan. Banyaknya kertas laporan yang
harus diserahkan dengan syarat-syarat yang belum tentu dimiliki oleh ibu bersalin
seperti KTP, mengingat di Kota Ternate banyak ibu bersalin yang berasal dari wilayah
sekitar yang terkadang tidak menetap.
Berbagai hal diatas menimbulkan keengganan bidan melaksanakan program
serta melakukan sosialisasi Jampersal. Pengetahuan bidan tentang Jampersal
terkadang juga masih rendah mengingat mereka masih menganggap program ini tidak
ada bedanya dengan program Jamkesmas ataupun Jamkesda.
Interaksi bidan dan masyarakat yang kurang akrab. Tempat tinggal bidan yang
tidak pada wilayah kerjanya membuat komunikasi antara bidan dan masyarakat tidak
terlalu akrab, bahkan dari hasil FGD dengan bapak non Jampersal, mereka kurang
mengenal bidan yang bertugas di wilayah rumah mereka.
Hubungan antara bidan dan masyarakat yang kurang akrab menyebabkan
masyarakat enggan untuk melakukan pemeriksaan kehamilan bahkan bersalin dengan
bidan tersebut. Mereka menganggap bidan adalah orang asing yang bertugas di
wilayah mereka.
Kondisi ini makin diperparah dengan luasnya wilayah kerja bidan, terutama di
Kelurahan Marekurubu, wilayah kerja dengan topografi yang bervariasi dari mulai
wilayah yang datar hingga wilayah yang berada didekat puncak Gunung Gamalama.
505
Kontur wilayah ini terkadang menyulitkan bidan dalam pelaksanaan tugasnya,
mengingat beberapa tempat terkadang sulit dijangkau dan licin dalam kondisi hujan.
Peran mama biang pada pelaksanaan ritual persalinan.Dalam budaya
persalinan masyarakat Kota Ternate, ritual pra persalinan hingga pasca persalinan
membutuhkan jasa dari mama biang, peran dan fungsi dari mama biang tidak dapat
digantikan oleh tenaga kesehatan. Kondisi ini membuat masyarakat sangat tergantung
dengan keberadaan mama biang.Mama biang selalu menyertai ibu melalaui
kehamilan, persalinan bahkan hingga ibu bersalin menyelesaikan masa nifasnya.
Keakraban, rasa nyaman dan tradisi adalah faktor yang terus melestarikan peran
mama biang dalam persalinan.
Ritual persalinan adalah salah satu cara agar ibu hamil diberikan kelancaran
dalam persalinan, agar tidak ada kesulitan selama proses persalinan. Sedangkan ketika
nifas ritual dilakukan supaya ibu bersalin cepat pulih, dan segera sehat serta kuat
dalam beraktivitas, setelah melewati proses persalinan. Perawatan dilakukan
bertahap dengan melakukan berbagai ritual mandi dan di panaskan serta dipijat baik
ibu nifas maupun bayinya.
Otoritas mertua dalam menentukan penolong persalinan.Mertua selaku orang
tua memiliki otoritas penuh dalam membantu menantunya menyiapkan penolong
persalinan, biasanya mertua masih memegang nilai-nilai tradisi dengan tujuan agar
dapat mempermudah persalinan. Penentuan penolong persalinan yang dilakukan oleh
mertua, biasanya diarahkan kepada mama biang, karena mama biang dapat
membantu ritual-ritual yang dilakukan selama persalinan. Dalam kondisi tertentu
suami juga memanggil tenaga kesehatan (bidan) untuk membantu persalinan
mengawasi persalinan.
Penentuan penolong persalinan banyak dilakukan oleh mertua ketika ibu
bersalin untuk pertama kalinya karena masih dianggap kurang berpengalaman.
Sedangkan untuk kehamilan anak kedua dan seterusnya dilakukan oleh suami, apabila
terjadi kondisi darurat suami tetap meminta orang tuanya untuk memutuskan
penolong persalinan bagi istrinya.
506
Harapan
Jampersal masih merupakan program yang kurang dikenal oleh masyarakat.
Sosialisasi Jampersal belum mengena keseluruh lapisan masyarakat dan masih terasa
setengah hati. Kondisi ini disebabkan bidan memiliki konflik kepentingan, dimana
banyak dari mereka yang membuka praktek swasta dengan tarif yang berbeda jauh
apabila mereka menolong persalinan dengan biaya Jampersal. Selain dari konflik
kepentingan, sosialisasi Jampersal terkendala karena bidan masih menganggap
Jampersal adalah program pemerintah yang hampir sama dengan Jamkesmas atau
Jamkesda dan hanya dikhususkan untuk masyarakat miskin.
Tokoh masyarakat sendiri memiliki keterbatasan pengetahuan tentang
Jampersal, sehingga untuk terkendala untuk membantu sosialisasi program ini ke
masyarakat.
Harapan masyarakat adalah sosialisasi yang disampaikan lebih gencar lagi,
sosialisasi dilakukan dengan melibatkan pejabat wilayah terkait, karena selama ini
informasi Jampersal dari mereka masih minim. Sosialisasi Jampersal yang dilakukan
oleh bidan dan kader di Posyandu dapat melibatkan tokoh agama dan masyarakat
dengan cara menginformasikan program ini melalui pengajian, arisan, kegiatan
keagaamaan lainnya yang tidak hanya pada kelompok ibu-ibu tapi juga bapak-bapak.
Dari sisi bidan, program Jampersal diharapkan lebih mempermudah proses
klaim, karena persyaratan administrasi yang harus menyertakan KTP sedangkan ibu
bersalin di wilayah mereka masih banyak berasal dari daerah diluar Kota Ternate yang
tidak memiliki KTP. Proses pembuatan surat domisili sebagai pengganti KTP diharapkan
lebih dipermudah, sebaiknya ada insentif untuk pengurusan administrasi ini karena
bidan harus mengeluarkan uang untuk membuat surat domisili.
Selain dari persyaratan administrasi diatas, diharapkan persyaratan untuk klaim
juga lebih disederhanakan, karena bidan keberatan dengan form persyaratan yang
banyak dan bidan harus menyediakan itu semua, sementara tidak ada uang
penggantian untuk foto kopi.
Harapan yang lain adalah tarif yang ditingkatkan, agar bidan praktek, swasta
juga mau melakukan kerjasama dengan dinas kesehatan dalam meningkatkan program
Jampersal. Naiknya besaran tarif juga diharapkan dapat memotivasi bidan dalam
pelayanan persalinan menggunakan program Jampersal.
507
Proses klaim juga diharapkan dapat di percepat sehingga dana Jampersal dapat
segera diterima oleh bidan pada bulan berikutnya, hal ini untuk memotivasi bidan agar
meningkatkan kinerja pelayanan persalinan dengan Jampersal.
508
BAB 4
PEMBAHASAN
Unsur yang dikaji terkait KIA dan Jampersal dibatasi pada 5 unsur saja yaitu
pendidikan dan pengetahuan, kepercayaan, mata pencaharian, organisasi sosial
masyarakat dan tehnologi. Pembahasan disesuaikan dengan tujun khusus penelitian.
4.1. Nilai dan Kepercayaan
Nilai dan norma menjadi pegangan seseorang dalam mengatur tingkah lakunya.
Norma menjadi ukuran, pedoman,aturan atau kebiasaan agar orang dapat melakukan
penilaian apakah sesuatu termasuk benar atau salah. Dalam hal kesehatan ibu dan
anak, perilaku yang terlihat masih cukup banyak diwarnai dengan religi ataupun
kepercayaan yang masih dianut. Di lokasi penelitian dengan masyarakat yang masih
memegang erat aturan agama (misal. Aceh, Bima dengan mayoritas pemeluk agama
Islam) maka tindakan yang mereka lakukan seringkali dikaitkan dengan nilai-nilai dalam
ajaran agama Islam. Sebagai misal, upacara empat bulan kehamilan, dikaitkan dengan
ajaran agama Islam bahwa roh ditiupkan pada usia janin 120 hari.
Upacara pemberian nama dan kelahiran bayi dikaitkan dengan ajaran Islam
telihat di lokasi penelitian yang mayoritas berpenduduk muslim. Adanya upacara
Aqiqoh berupa menyembelih hewan bagi bayi yang baru lahir, satu ekor bagi bayi
perempuan dan 2 ekor bagi bayi laki-laki. Hewan yang disembelih pada umumnya
adalah kambing. Aqiqoh ini dilakukan dengan adanya hadist yang diriwayatkan oleh
Tirmidzi, Rasulullah bersabda:”anak-anak tergadai (tertahan) dengan aqiqohnya,
disembelih hewan untuknya ada hari ketujuh dcukur kepalanya dan diberi nama”.
Oleh karena itu, dalam acara Aqiqoh yang diperoleh informasi selalu dikaitkan degan
ritual memotong rambut dan pemberian nama.
Nilai seringkali bermuatan normatif, sehingga meskipun seseorang adalah
pemeluk agama Islam, tetapi norma yang berlangsung di masyarakat kadangkala
tercampur dengan kepercayaan yang sudah mengakar di masyarakat yang dipengaruhi
oleh agama atau kepercayaan lain misalkan animisme atau Hindu. Masyarakat Parado-
509
Bima meskipun menerapkan ajaran agama Islam, namun dalam perilaku nya
mencampurkan dengan kepercayaan lain. Mereka melakukan ajaran Islam seperti
Aqiqoh, tetapi juga melakukan upacara seperti empat bulanan, tujuh bulanan yang
bernuansa Hindu. Percampuran antara kepercayaan dari beberapa agama ini seringkali
sudah tidak dapat dibedakan lagi dan masyarakat tidak lagi mengaitkan dengan agama,
artinya baik pemeluk Muslim, Kristen atau Hindu sama–sama melakuan adat “tujuh
bulan”.
Kepercayaan tentang hal-hal yang secara rasional tidak dapat dipertanggung
jawabkan masih sering dilakukan, seperti tindakan membuka pintu dan jendela saat
proses persalinan berlangsung dengan maksud agar persalinan berjalan lancer dengan
terbukanya jalan lahir, pantangan melilitkan handuk di leher saat isteri hamil agar tidak
terjadi lilitan tali usat pada bayi dalam rahim, dan masih banyak lainnya. Semua
tindakan tersebut, dilakukan tanpa ada tuntunan agama yang mereka anut tetapi lebih
kepada kepercayaan yang telah berlangsung turun menurun sehingga menjadi sesuatu
yang sudah mendarah daging, dilakukan tanpa pertimbangan rasional lagi.
Tradisi-tradisi yang berlangsung masih banyak dilakukan masyarakat baik di
perdesaan daripada di perkotaan. Tradisi dikaitkan dengan masa kehamilan, persalinan
dan pasca persalinan hasil penelitian ini menunjukkan masih banyak dilakukan
khususnya pada masa kehamilan dan pasca persalinan seperti yang terlihat pada data
kuantitatif. Kepercayaan terhadap hal yang bersifat gaib masih banyak dijumpi
meskipun secara umum, kehidupan keagamaan juga dilakukan. Sebagai contoh
masyarakat desa di Gayo Lues, Bima, Landak, Lebak, masih mempercayai adanya
manusia beracun, roh-roh yang akan mengganggu kehamilan dan persalinan.
Masyarakat menghindarinya melalui larangan atau pantangan.
510
Tabel 4.1.1 Distribusi Responden yang Melakukan Ritual/Upacara Saat Kehamilan, Persalinan, Pasca
Persalinan di 12 Kabupaten/Kota Tahun 2012
Sumber: Data Primer
Hasil penelitian menggambarkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang
upacara untuk keselamatan, masyarakat desa lebih banyak yang percaya bahwa
upacara akan memberi keselamatan dibandingkan masyarakat di perkotaan.
Masyarakat kota yang dicirikan dengan sudah tidak terlalu memperhatikan tradisi,
tampaknya tidak terjadi di kota Cilego, Mataram, dan Ternate. Kemungkinan,
meskipun sudah tergolong perkotaan, tetapi masyarakat kota-kota tersebut sedang
terjadi pergeseran budaya dan tradisi masih melekat pada sebagian masyarakat karena
tradisi yang dilakukan tersebut adalah wujud budaya dari masyarakat setempat.
Berbeda di Banda Aceh, Makassar dan Pontianak, masyarakat cenderung tidak lagi
melakukan upacara tradisi lagi. Kota Aceh yang mengalami bencara Tsunami pada
akhir tahun 2004, selanjutnya banyak didatangi donor luar negeri dan masyarakat luar
Aceh, dapat menjadi salah satu keadaan yang berpengaruh. Kegiatan yang dilakukan
kepada ibu dan bayi saat ini hanya dikaitkan dengan ritual keagamaan. Kota Makassar
dan Pontianak, sebagai kota perdagangan kemungkinan terpapar dengan dunia luar
menjadi pengaruh utama terjadinya pergeseran budaya tradisional ke budaya modern.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat desa masih banyak
dikuasai oleh adat istiadat lama. Kebiasaan untuk melahirkan didampingi oleh dukun
merupakan adat yang sudah sangat lama dilakukan masyarakat desa. Meskipun bidan
Kab/Kota “Ya” Melakukan Ritual/Upacara (%)
Kehamilan Persalinan Pasca Salin
Kab. Lebak 65.7 47.8 85.1
Kota Cilegon 57.4 22.1 45.6
Kab. Bima 32.9 27.1 21.4
Kota Mataram 68.6 32.9 71.4
Kab. HalSel 70.0 38.0 4.0
Kota Ternate 47.1 38.6 48.6
Kab. Gayo Lues 58.2 49.1 54.5
Kota Banda Aceh 21.4 7.1 12.9
Kab. Landak 13.0 18.8 37.7
Kota Pontianak 24.3 12.9 20.0
Kab. Jeneponto 48.6 5.7 4.3
Kota Makasar 28.6 10.0 4.3
511
sudah ditempatkan di desa dan mulai dipercaya untuk membantu persalinan, tetapi
dukun tetap diharapkan mendampingi proses persalinan baik sebelum sampai sesudah
persalinan. Hal ini karena interaksi sosial penduduk desa lebih intim dan langgeng
sehingga menimbulkan ikatan batin yang kuat antar warga desa. Dukun adalah bagian
dari warga yang sudah sangat mereka kenal dan percaya, sehingga pendampingan oleh
dukun memberikan ketenangan batin bagi ibu yang melahirkan maupun keluarganya.
Kepercayaan terhadap mistik atau gaib atau roh, seringkali mendorong
perilaku yang merugikan. Kepercayaan bahwa seorang ibu hamil tidak boleh melewati
kuburan (di Cirinten) menghalangi seorang ibu hamil untuk memeriksakan kehamilan
ke puskesmas. Ibu bersalin dipercaya memiliki bau wangi (di Landak) sehingga menarik
makhluk halus, sehingga untuk menghindarinya, ibu tidak boleh keluar rumah selama
40 hari. Kepercayaan ini dapat diduga mempengaruhi ibu dan bayi tidak memeriksakan
diri ke petugas kesehatan dan bayi tidak diimunisasi. Di Bima, larangan setelah lahir
bayi (neonatus) keluar dari rumah panggung sampai usia7 hari atau sampai dilakukan
upacara cukur rambut, dapat menjadi penyebab bayi terlambat diimunisasi BCG atau
vaksin hepatitis.
Mengenai unsur kebudayaan, dalam bukunya pengantar Ilmu Antropologi,
Koentjaraningrat, mengambil sari dari berbagai kerangka yang disusun para sarjana
Antropologi, mengemukakan bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dapat
ditemukan pada semua bangsa di dunia yang kemudian disebut unsur-unsur
kebudayaan universal, antaralain : Bahasa, Sistem Pengetahuan, Organisasi Sosial,
Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi, Sistem Mata Pencaharian, Sistem Religi, dan
Kesenian. Dalam konteks Kesehatan Ibu dan Anak di lokasi penelitian khususnya di
desa, wujud-wujud budaya ini muncul dalam tradisi-tradisi yang secara turun temurun
telah dikenal oleh masyarakat dan masih berkembang sampai saat ini.
Adat istiadat tradisi yang dijumpai dalam penelitian ini juga dijumpai di
kelompok masyarakat yang lain. Keterlibatan keluarga masih sangat kuat dalam
pelaksanaan upacara. Meskipun di perkotaan juga melaksanakan upacara adat, namun
beberpa informan mengatakan hanya untuk meghormati orangtua yang
menganjurkan. Disamping itu, hal ini pada umumnya terjadi pada keluarga muda yang
belum mandiri, masih ada ketergantungan secara ekonomi maupun emosi kepada
512
orangtua. Dapat dipahami, bahwa dengan adanya perubahan pengetahuan, perolehan
informasi, perubahan sosial ekonomi, menyebabkan pelaksanaan upacara semakin
berkurang di masyarakat perkotaan.
Masyarakat desa di lokasi penelitian masih sangat kuat terlibat dalam suatu
upacara. Ketidak pedulian akan menyebabkan dirinya tersingkir. Masyarakat Cirinten
akan berbondong-bondong menghadiri upacara ibu hamil 7 bulan atau aqiqoh bayi
yang baru lahir. Keterlibatan murni masyarakat tradisional dalam mendukung
pemeliharaan kesehatan juga tampak pada penduduk Iban di Kalimantan. Pada
upacara pengobatan dan persalinan tidak hanya melibatkan keluarga si sakit tetapi
seluruh penghuni rumah panjang yang berpenghuni sampai 12 unit keluarga. Seluruh
penghuni wajib mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan untuk upacara persalinannya
(Foster (1986:3). Hal ini terkait hasil penelitia ini yang menunjukkan bahwa gotong
royong dalam penyiapan upacara masih dilakukan masyarakat meskipun tidak banya.
Sudah menjadi kebiasaan di pedesan, tetangga akan saling membantu keluarga yang
memiliki hajatan selamatan atau upacara adat misalkan dengan membantu kegiatan di
dapur, menyumbang beras, gula, atau membawakan sesuatu kepada ibu yang bru
melahirkan. Pada ibu yang melahirkan, mereka saling mengunjungi dengan
memberikan sekedar uang dalam amplop.
Kontrol sosial pada suatu kelompok komunitas berupa adat dan agama masih
banyak dijumpai di masyarakat perdesaan. Kedekatan fisik yang terjadi pada penduduk
di desa telah meningkatkan peluang interaksi dan membentuk kegiatan bersama yang
memungkinkan pembentukan kelompok sosial. Oleh karena itu, seringkali di
masyarakat dilakukan kegiatan sosial yang kadang tidak masuk akal pemikiran
masyarakat kota yang lebih mengutamakan kepentigan pribadi/individual. Masyarakat
desa seringkali melakukan upacara selamatan yang terkadang menyedot biaya yang
tinggi dibandingkan dengan penghasilannya. Kegiatan ini tetap dilakukan untuk
mengikuti kebiasaan setempat sehingga tetap diterima dalam kelompok yang juga
melakukan hal sama.
Upacara ini masih sangat umum dilakukan di daerah pedesaan. Keadaan ini
sesuai dengan hasil penelitian Lestari Handayani (1998), yang menemukan masih
tingginya pelaksanaan upacara di Tulung Agung – Jawa Timur. Ibu yang melahirkan
513
ditolong dukun, cenderung lebih banyak yang melakukan upacara, pantangan dan
selamatan disbanding yang ditolong bidan. Hasil uji statistik, menunjukan bahwa ibu
yang melaksanakan upacara tradisi cenderung memilih penolong persalinan dukun.
Adat atau ritual yang hampir mirip dilakukan di 12 lokasi penelitian adalah upacara
kehamilan saat usia 7 bulan. Perhatian keluarga terhadap kehamilan usia 7 bulan
dilakukan dengan melakukan upacara berupa mengundang untuk melakukan do’a dan
ritual adat yang pada intinya mengharapkan keselamatan bagi ibu dan bayi.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam ilmu kedokteran usia kehamilan ditentukan
dalam waktu minggu yang dibagi dalam 3 trimester. Seorang bayi diperkirakan sudah
tumbuh sempurna pada usia kehamilan 28 minggu (7 bulan) ke atas sehingga bila lahir
sudah mampu untuk bertahan hidup. Bayi secara normal akan lahir pada usia
kehamilan 38-40 minggu, di bawah usia tersebut akan disebut pre mature. Jadi, dalam
hal ini, perhatian masyarakat terhadap kehamilan sudah cukup baik, karena
menunjukan ada kehati-hatian dan kepedulian terhadap ibu hamil. Pandangan budaya
etnis Betawi di desa Ragunan mempercayai upacara nujuh bulan kehamilan untuk
mendapatkan rasa aman, mensyukuri nikmat dan memohon keselamatan bagi bayi
yang ada dalam kandungan dan kelak menjadi anak saleh, berbudi luhur dan patuh
pada orang tua (Gularso , Endang P, 1998) bahwa usia kandungan tujuh bulan adalah
usia tua, sedang usia kehamilan delapan bulan adalah muda.
Namun sayang, perhatian ini tidak selalu diiringi dengan perilaku kesehatan
yang benar. Masih cukup banyak ibu hamil yang tidak melakukan pemeriksaan
kehamilan secara teratur sesuai dengan saran petugas kesehatan yaitu minimal 4 kali
dengan frekuensi 1 x pada trimester I, 1 x pada trimester II dan 2 x pada trimester III.
Perhatian ini juga terkait dengan kegiatan sehari-hari ibu. Sebagian ibu hamil masih
bekerja dan melakukan pekerjaan berat sampai mendekati persalinan. Bahkan
sebagian ibu, terpaksa melahirkan di kebun atau perkebunan yang jauh dari
pemukiman penduduk dan ditolong oleh dukun karena harus membantu suami.
Pantangan tentang makanan juga masih dijumpai. Penelitian Lestari Handayani (1997)
di Tulung Agung-Jawa Timur menemukan adanya pantangan makanan bagi ibu hamil
demikian juga dengan penelitian Alex J. Ulaen di Sangihe Talaud-Sulawesi Utara (1998).
Dipercaya bahwa makanan ikan laut tertentu (gurita, sotong, pari, hiu) harus dipantang
514
agar bayi yang lahir tidak ada kelainan bentuk tubuh yang aneh seperti bentuk ikan
tersebut. Meskipun jarak waktu penelitian hampir 20 tahun, namun dalam penelitian
ini juga tetap dijumpai pantangan makanan bagi ibu hamil dan psca bersalin yang
dapat merugikan kesehatan ibu dan bayi.
Banyaknya ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan,
menyebabkan tidak terdeteksinya risiko tinggi yang mungkin dialami mereka.
Akibatnya, risiko baru diketahui saat persalinan, dan tentu saja dapat berakibat fatal
yaitu kematian baik ibu atau bayi. Dalam penelitian ini, pengetahuan masyarakat
tentang kehamilan tampaknya cukup bagus dan keadaan ini hamper merata disemua
tempat meskipun ada perbedaan tingkat pendidikan ibu yang cukup tinggi. Teori
perilaku banyak yang menyatakan adanya hubungan antara pengetahuan dengan
perilaku pemeriksaan kehamilan (NIH, 2005).
Kepercayaan sebagai unsur budaya tidaklah mudah untuk mengubahnya. Unsur
ini sulit diterima masyarakat khususnya bila menyangkut ideologi dan falsafah hidup.
Di beberapa budaya yang dipelajari dalam penelitian ini, penerimaan terhadap
pengobatan modern atau medis sudah cukup baik termasuk penerimaan terhadap
pelayanan bidan yang menangani persalinan dan perawatan dengan cara-cara
moderen. Dalam penerimaan pelayanan medis, generasi muda (ibu-ibu muda) lebih
mudah untuk menerimanya karena pada diri mereka norma-norma tradisi belum
menetap dalam jiwa. Keterpaparan mereka terhadap dunia luar melalui jaringan
komunikasi seperti televisi, internet, telepon, telah memberikan wawasan baru
disamping wawasan yang diperoleh dari lingkungan desa. Berbeda dengan generasi tua
yang telah lama mengenal cara-cara tradisional secara mendarah daging, sehingga
mereka lebih sulit menerima cara-cara baru yang dibawa oleh bidan. Unsur tradisi ini
mereka teruskan ke generasi berikutnya (ibu-ibu muda) yang mungkin ‘terpaksa’
mengikuti anjuran orangtua mengingat mereka masih tergantung baik secara fisik,
financial maupun psikis dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam pemilihan
penolong persalinan.
Berbeda dengan kelompok masyarakat perkotaan yang lebih bersifat
individualistik sehingga kedekatan satu sama lain sudah berkurang. Status sosialnya
515
yang heterogen dengan mata pencaharian penduduk yang berbagai macam serta
kompetitif, tidak bergantung kepada alam membuat masyarakat kota lebih dinamis.
Pada umumnya keterikatan terhadap tradisi sangat kecil. Masyarakat kota
Banda Aceh, Pontianak dan Makasar sudah jarang yang melakukan ritual dan upacara.
Di Banda Aceh sudah sangat sulit mendapatkan dukun demikian juga di Pontianak.
Bahkan masyarakat etnik Madura yang tinggal di wilayah tersebut harus
mendatangkan dukun dari daerah asalnya untuk membantu ibu bersalin agar dapat
melakukan adat istiadat yang biasa dilakukan di daerahnya, bahkan untuk melakukan
kontrol sosial diperlukan suatu kekuatan lain berupa hukum dan pendapat umum.
Namun demikian, kota Mataram berbeda keadaannya. Meski termasuk kota yang
banyak didatangi turis dan termasuk daerah tujuan wisata, ternyata cukup tinggi
melakukan ritual adat istiadat serta masih banyak dukun yang dijumpai diperkotaan.
Hal ini ada kemungkinan mempengaruhi keberadaan dukun di tengah masyarakat.
Sarana dan prasarana serta fasilitas yang cukup banyak tersedia didukung
pendidikan yang umumnya lebih tinggi dari masyarakat desa serta paparan informasi
yang mudah menyebabkan masyarakat kota percaya dengan manfaat teknologi dan
ilmu pengetahuan. Hal ini memudahkan masyarakat lebih mudah menerima
pembaharuan seperti keberadaan bidan dengan teknis kebidanan modern.
Ada tujuh wujud atau unsur budaya yaitu sistem mata pencaharian, sistem
teknologi (peralatan dan perlengkapan hidup), sistem kekerabatan dan organisasi
sosial, bahasa, kesenian, sistem kepercayaan, serta sistem ilmu dan
pengetahuan(Ratna, 2008). Dari contoh-contoh dan fakta yang dikumpulkan dalam
penelitian ini terlihat bahwa sistem kepercayaan sebagai salah satu wujud budaya,
masih nyata terlihat dan muncul dalam tradisi-tradisi yang secara turun temurun telah
dikenal oleh masyarakat. Meskipun peradaban modern mulai masuk ke desa, teknologi
modern juga sudah dikenal tetapi kepercayaan berupa adat istiadat masih berkembang
sampai saat ini dan mempengaruhi perilaku dalam upaya kesehatan ibu dan anak.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 52 Tahun 2009 tentang
Kependudukan, menyebutkan bahwa ‘penduduk memiliki hak untuk mempertahankan
dan mengembangkan nilai-nilai adat yang hidup dalam masyarakat’. Dalam hal ini,
pemerintah wajib mendukung dengan memfasilitasi kebutuhan pelestarian budaya.
516
Meskipun menurut pandangan medis perilaku tradisional masyarakat tersebut
dianggap irasional, namun adat istiadat tersebut telah memberikan ketenangan batin
bagi seseorang yang akan berdampak positip terhadap kondisi psikis. Pada proses
persalinan terutama pada persalinan pertama akan menimbulkan stress fisik dan
psikis. Kondisi psikis yang baik akan berdampak positip terhadap kekuatan tubuh
menghadapi rasa nyeri pada proses persalinan. Teknik penanganan terhadap stress
pun berkembang semakin banyak. Menurut teori yang berkembang saat ini yaitu
psikoneuroimunologi penanganan stress dapat dilakukan dengan cara ini. Cara ini
berpijak pada aliran utama psikologi seperti psikoanalisis, perilaku dan humanistik,
hingga pada penggalian pada konsep-konsep tradisional dan spiritual seperti
penggunaan doa, dzikir, terapi air, terapi seni dan lain sebagainya(Perawat on line,
http://ppnisumenep.org/psikoneuroimunologi). Kehamilan dan persalinan merupakan
keadaan yang beresiko terhadap kesehatan ibu, sehingga kondisi psikis (disamping
kondisi fisik yang prima) yang baik akan semakin mendukung ketahanan tubuh
menghadapi kehamilan dan persalinan. Dengan demikian, kepercayaan terhadap adat
istiadat tidak selalu bersifat negatif terhadap upaya KIA, bahkan sebagian adat
mendukung upaya menjaga keselamatan ibu dan bayi. Sekarang, tergantung
bagaimana masyarakat memaknai adat istiadat, pantangan dan anjuran yang masih
dipercayai. Mengenai wujud kebudayaan ini, Elly M.Setiadi dkk (2008) berupa budaya
ideal mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada
tindakan, kelakuan dan perbuatan manusia. Budaya ini berupa.sistem sosial
menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia untuk melakukan upaya
persalinan aman.
4.2.Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu
Undang-Undang RI No. 36 tahun 2004 tentang Kesehatan mencantumkan
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) adalah pelayanan kesehatan ibu dan anak yang meliputi
pelayanan ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, keluarga berencana, kesehatan reproduksi,
pemeriksaan bayi, anak balita dan anak prasekolah sehat. Untuk itu dalam
pembangunan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), pelayanan persalinan merupakan
program pemerintah yang seharusnya dinikmati oleh banyak anggota masyarakat yang
517
membutuhkan.
Strategi Pembangunan Kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2011) yaitu
meningkatkanakses masyarakat tehadap pelayanan kesehatan yang
berkualitas.Sasaran utama strategis adalah 1) Setiap orang miskin mendapatkan
pelayanan kesehatan yang bermutu; 2) Setiap bayi, anak, dan kelompok masyarakat
risiko tinggi terlindungi dari penyakit; di setiap desa tersedia SDM kesehatan yang
kompeten; 3) Di setiap desa tersedia cukup obat esensial dan alat kesehatan dasar; 4)
Setiap Puskesmas dan jaringannya dapat menjangkau dan dijangkau seluruh
masyarakat di wilayah kerjanya; 5) Pelayanan kesehatan di setiap rumah sakit,
Puskesmas dan jaringannya memenuhi standar mutu.
Tingkat pendidikan formal yang ada di responden perdesaan pada penelitian ini
umumnya lebih rendah dibandingkan resonden di perkotaan kecuali di kabupaten
Bima. Pentingnya pendidikan di mata masyarakat telah mendorong masyarakat di
Parado-Bima untuk berusaha mencapai tingkat pendidikan dengan memprioritaskan
dalam pengaturan pengeluaran keluarga. Hasil wawancara dengan responden terkait
dengan pengetahuan tentang pemeriksaan kehamilan, minum tablet Fe saat hamil
suntikan Tetanus Toksoid dapt diduga tidak terkait dengan pendidikan responden
(pendidikan baik bila lulus SMA ke atas). Secara keseluruhan di desa maupun kota,
pengetahuan tentang kehamilan cukup baik khususnya tentang pentingnya tablet Fe
maupun perlunya pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali selama kehamilan (tanpa
memperhitungkan trimester kehamilan). Pengetahuan tentang suntikan TT kurang baik
bahkan di kabupaten Jeneponto dan Kota Makassar menunjukkan angka yang tidak
menggembirakan.
Teori perilaku dikatakan bahwa pengetahuan memiliki peran dalam perilaku
seseorang namun masih banyak faktor lain yang berpengaruh. Penelitian sejenis oleh
Lestari Handayani (1997) menunjukan bahwa uji statistik menunjukan bahwa
responden dengan pengetahuan ‘benar’ memiliki hubungan bermakna terhadap
pemilihan penolong persalinan. Penelitian ini juga menunjukan pengetahuan
responden yang ‘baik’ dan bila dikaitkan dengan pemilihan penolong persalinan
terlihat bahwa bidan menjadi pilihan sebagian besar responden.
518
Tabel 4.2.1 Distribusi Tingkat Pendidikan Formal dan Pengetahuan tentang KIA
Saat Kehamilan Responden di 12 Kabupaten/Kota Tahun 2012
Kab/Kota n Pendidikan Formal Baik (%)
Pengetahuan
ANC >=4x (%)
Minum Tablet Fe (%)
TT sebelum persalinan (%)
Kab. Lebak 67 7.5 79.1 98.5 64.2
Kota Cilegon 68 57.4 64.3 98.5 57.4
Kab. Bima 70 38.6 64.7 94.3 40.0
Kota Mataram 70 22.9 84.3 98.6 44.3
Kab. Halmahera Selatan 50 24.0 75.7 80.0 72.0
Kota Ternate 70 71.5 90.0 98.6 52.9
Kab. Gayo Lues 55 14.7 85.5 96.4 20.0
Kota Banda Aceh 70 72.8 74.3 92.9 45.7
Kab. Landak 69 31.8 79.7 97.1 44.9
Kota Pontianak 70 52.9 50.0 100.0 67.1
Kab. Jeneponto 70 21.4 97.1 100.0 0.0
Kota Makasar 70 47.1 85.7 95.7 35.7
Sumber: Data Primer
Hasil data kualitatif, juga menyatakan bahwa kepercayan terhadap kompetensi
bidan sudah diakui disbanding dukun dalam menolong persalinan. Diperkirakan
penerimaan informasi dipengaruhi keaktifan petugas kesehatan. Sudah meluasnya
pemanfaatan teknologi informasi seperti televisi, internet, radio, telepon genggam
(hp), di desa atau kota, diakui bidan, dukun, kader maupun masyarakat telah
membantu tersampaikannya informasi kesehatan ke masyarakat dan memudahkan
komunikasi diantara mereka.
Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan merupakan salah satu upaya
menurunkan AKI dan AKB. Pemanfaatan Jampersal mensyaratkan persalinan ditolong
tenaga kesehatan dan dilakukan di fasilitas kesehatan. Pengetahuan tentang
keamanan persalinan ternyata hampir semua responden di 12 lokasi penelitian
memiliki pengetahuan yang cukup bagus tentang “persalinan aman bila ditolong
bidan”. Namun sikap tidak setuju terhadap kompetensi bidan yang lebih baik dari
dukun yaitu pada responden di Halmahera Selatan dan Gayo Lues dan bila dirunut,
mereka tetap memilih nakes sebagai penolong persalinan. Bila dilihat dari kondisi
519
daerah, maka keempat lokasi penelitian ini persalinan nakes sekitar 60% (Lebak,
Landak, Gayo Lues, Halsel) termasuk daerah yang sulit akses ke bidan dan faskes.
Terlihat hal yang berbeda adalah Bima, meskipun lokasi sulit, tetapi tingkat
pendidikan dan pengetahuan yang baik ternyata dapat lebih memilih memanfaatkan
bidan sebagai penolong persalinan. Dalam hal ini, dapat diduga bahwa masyarakat
desa sudah memiliki pengetahuan cukup dan sudah mengakui kompetensi bidan
sebagai penolong persalinan. Pengetahuan tentang persalinan aman dapat dilihat
secara terperinci pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.2.2.
Distribusi Tingkat Pendidikan Formal dan Pengetahuan, Sikap, Praktektentang Persalinan Aman pada Responden di 12 Kabupaten/Kota Tahun2012
Kab/Kota n Pengetahuan (%) Sikap (%) Praktek (%)
Aman ditolong Bidan
Setuju Bidan lebih kompeten
dari dukun
Nakes Penolong Persalinan
Akhir
Kab. Lebak 67 94.0 41.8 64.2
Kota Cilegon 68 98.5 76.5 100.0
Kab. Bima 70 90.0 50.0 97.1
Kota Mataram 70 94.3 82.9 92.9
Kab. HalSel 50 66.0 6.0 62.0
Kota Ternate 70 95.7 82.9 92.9
Kab. Gayo Lues 55 83.6 10.9 65.5
Kota Banda Aceh 70 92.9 82.9 100.0
Kab. Landak 69 71.0 88.4 56.5
Kota Pontianak 70 100.0 78.6 97.1
Kab. Jeneponto 70 92.9 80.0 82.8
Kota Makasar 70 94.3 72.9 100.0
Sumber: Data Primer
Seringkali pihak medis meng ‘klaim’ bahwa persalinan “aman” bila dilakukan
oleh tenaga medis (bidan atau dokter) di fasilitas kesehatan baik puskesmas/klinik
bersalin atau rumah sakit. Namun sebenarnya peru diketahui definisi “aman” bagi
wanita dalam melahirkan agar sinkron antara ‘provider side” dan ‘consumer side’.
Dibeberapa lokasi penelitian, jumlah persalinan yang dilakukan di rumah masih cukup
tinggi seperti di Halmahera Selatan (90,0%), Gayo Lues (89,1%), Landak (78,3%), Lebak
520
(67,2%), Jeneponto (48,6%), Bima (42,9%). Bila dilihat dari pengetahuan tentang
keamanan persalinan di rumah tampaknya ada kesesuaian antara pengetahuan yang
‘kurang’ tentang keamanan persalinan di rumah dengan perilaku persalinan di rumah.
Tabel 4.2.3 Distribusi Responden yang memiliki Pengetahuan “benar” tentang tidak aman melahirkan di
rumah dan Tempat Persalinan di 12 Kabupaten/Kota Tahun 2012
Kabupaten/ Kota n Pengetahuan “benar” (%)
Tempat Persalinan (%)
Tak Aman Melahirkan di Rumah
Persalinan Terakhir di Faskes
Lahir Rumah
Kab. Lebak 67 29.9 32,8 67.2
Kota Cilegon 68 57.4 69,1 30.9
Kab. Bima 70 52.9 57,1 42.9
Kota Mataram 70 87.1 92,9 5.7
Kab. HalSel 50 64.0 10,0 90.0
Kota Ternate 70 77.1 70,0 28.6
Kab. Gayo Lues 55 9.1 10,9 89.1
Kota Banda Aceh 70 65.7 94,3 5.7
Kab. Landak 69 29.0 20,3 78.3
Kota Pontianak 70 88.6 97,1 .0
Kab. Jeneponto 70 65.7 51,4 48.6
Kota Makasar 70 94.3 92,9 .0
Sumber: Data Primer
Masih besarnya persalinan di rumah ini bila merujuk kondisi di Inggris
menunjukan posisi mirip bahkan lebih rendah (Landak, Gayo Lues, Halmahera Selatan)
dengan kondisi persalinan di Inggris tahun 1930 dengan 33,2% persalinan di rumah.
Perkembangan di Inggris menunjukan peningkatan persalinan di RS dari tahun ke
tahun (Hunt, Sheila, 2006). Pergeseran tempat persalinan di rumah ke fasilitas
kesehatan tersebut kurang terlihat di daerah perdesan penelitian ini kemungkinan
terutama karena lokasi yang sulit transportasi. Bukti lain, di kota-kota dalam penelitian
ini yang memiliki sarana transportasi lebih baik, responden cenderung memilih
melahirkan di faskes daripada responden yang tinggal di desa.
Keluhan mahalnya biaya persalinan bidan menjadi salah satu masalah seperti
yang terungkap di kabupaten Lebak. Sejak adanya pelayanan gratis melalui Jampersal,
diakui membantu meringankan beban biaya. Melihat peluang tersebut, maka bila
Jampersal atau adanya jaminan biaya lain yang memberikan pelayanan gratis dapat
521
berkelanjutan maka kemungkinan akan terjadi pergeseran perilaku dapat lebih cepat
terjadi. Mengubah perilku membutuhkan waktu karena perilaku KIA masyarakat
merupakan salah satu wujud budaya. Wujud kebudayaan ini, menurut Elly M.Setiadi
dkk (2007), sifatnya abstrak, tak dapat diraba, dipegang ataupun difoto, dan
tempatnya ada di alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang
bersangkutan itu hidup. Budaya ideal berupa melahirkan di faskes ditolong oleh nakes
mempunyai fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan,
kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat sebagai upaya memperoleh
persalinan aman. Kepercayaan yang diyakini masyarakat desa atau kota mendasari
perilaku termasuk kaitannya dengan kesehatan.
Pengetahuan, sikap yang baik dan mendukung bukan harga mati yang mampu
mendorong seseorang untuk bertindak positif. Masih banyak faktor lain yang
mendukung perilaku khususnya dalam upaya persalinan. Alam dan lingkungan yang
sulit telah membatasi komunikasi secara langsung bidan dan masyarakat, sehingga
sulit untuk mengakses bidan pada saat dibutuhkan. Keberadaan hp dengan teknologi
yang mudah dan terjangkau, memungkinkan masyarakat desa berkomunikasi misalkan
memanggil bidan dan dukun sehingga dapat didatangkan pada waktu dibutuhkan.
4.3. Pemilihan Penolong Persalinan (Terkait Sosial Budaya) dan Pemanfaatan
Pelayanan Jampersal
Pertolongan persalinan menurut Sarwono P. (1999: 273) bertujuan untuk
membantu mengelola persalinan secara sistematis, benar dan aman, sehingga ibu dan
bayi selamat dengan trauma sekecil mungkin. Bidan adalah tenaga kesehatan yang
diharapkan mampu melaksanakan tujuan tersebut dengan cara ditempatkan di fasilitas
kesehatan yang terdekat kepada masyarakat. Pemilihan bidan sebagai penolong
persalinan terlihat sudah cukup merata di desa dan kota lokasi penelitian. Hasil
penelitian menunjukan bahwa meski penolong sudah bergeser ke bidan namun
pelayanan dukun tetap dibutuhkan khususnya untuk perawatan kehamilan dan pasca
persalinan.
522
Fakta di beberapa lokasi penelitian menunjukkan masih banyak ibu maupun
suami dan tokoh masyarakat menganggap bahwa kehamilan sebagai hal biasa dan
kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan diri ke bidan atau dokter. Banyak
dijumpai khususnya di tempat dukun masih banyak dijumpai, ibu hamil memeriksakan
kehamilan dukun dengan alasan dukun bisa membetulkan posisi bayi dalam
kandungan. Perilaku ibu dalam pencarian perawat atau penolong pada masa
kehamilan, persalinan dan pasca persalinan merupakan salah satu wujud budaya
kesehatan. Budaya yang diwujudkan dalam bentuk perilaku dinamakan sistem sosial,
karena menyangkut tindakan dan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di daerah pedesaan masih ada yang
lebih memilih dukun daripada bidan sebagai penolong persalinan. Pemilihan dukun
bersalin tidak banyak bergeser dari penelitian lain yang sudah pernah dilakukan.
Beberapa alasan antara lain lokasi yang dekat dengan tempat tinggal, mengerti dan
memahami adat, mau merawat ibu dan bayi baik saat kehamilan sampai dengan
persalinan, biaya yang terjangkau (Wahit Iqbal Mubarak, 2012). Pemilihan penolong
persalinan sangat erat kaitannya dengan rasa percaya terhadap penolong. Dalam
sistem sosial, terdapat aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi dan berhubungan
serta bergaul satu dengan lainnya seperti dukun dan warga di sekitarnya. Di beberapa
kabupaten lokasi penelitian, masyarakat beranggapan dukun adalah orang yang
dipercaya dan dianggap tepat membantu ibu saat kehamilan dan persalinan. Dukun
adalah orang yang sudah sangat mereka kenal, disamping dukun menolong dengan
biaya yang terjangkau menjadi pendorong mereka memilih dukun.
Secara rinci tujuan pertolongan persalinan yaitu pertama, mempersiapkan fisik
dan mental ibu dalam menghadapi proses persalinan. Kedua, mendeteksi secara dini
kelainan yang timbul dalam proses persalinan. Ketiga, mengelola persalinan dengan
benar, keempat, mengurangi komplikasi dan trauma akibat kelahiran, dan kelima,
menjalin kerjasama yang baik antara penolong dan ibu (IBI, 1993). Disamping itu,
pemahaman dukun terhadap pelaksanaan adat dan ritual menjadi salah satu
pendorong ditambah kesediaan dukun merawat ibu dan bayi setelah persalinan
dengan variasi waktu dan lama pelaksanaanmenyesuaikan adat setempat. Mereka
bahkan bersedia membantu merawat ibu dan bayi selama 44 hari dengan datang
523
setiap hari ke rumah ibu bersalin, sesuatu pelayanan yang tidak mungkin diharapkan
dari bidan. Jadi dalam hal ini, dukun telah turut membantu ibu hamil mempersiapkan
fisik selama kehamilan dan khususnya mental pada saat menegangkan yaitu proses
persalinan. Dukun memberikan wejangan masalah adat istiadat, perilaku yang harus
dilakukan dan yang dihindari sehingga memberikan ketenangan jiwa. Sebagaimana
dikemukakan oleh Grantley Dick-Read dalam Hunt, Sheila (2006) tentang pendekatan
psikologis untuk relaksasi yang sangat membantu meredakan nyeri secara alami dalam
proses persalinan. Disamping itu, anggapan kemampuan dukun mendeteksi gangguan
letak janin dan mengaturnya kembali, merupakan upaya yang dihrapkan masyarakat
(tujuan 2), serta menjadi jembatan antara ibu dan bidan pada pertolongan kemitraan
yang banyak dilakukan (tujuan 5).
Fakta yang ditemukan dalam penelitian ini mirip dengan penelitian Lestari
Handayani (1997) yang melihat keterkaitan penolong persalinan dengan kepercayaan.
Secara bermakna, terbukti bahwa responden pelaksana tradisi terkait kehamilan dan
peralinan cenderung memilih dekun sebagai penolong persalinan. Di Jawa Barat,
dalam suatu penelitian ditemukan alasan yang sama. Pemilihan dukun beranak (paraji)
sebagai penolong persalinan disebabkan alasan yang hampir sama yaitu karena dukun
sudah dikenal secara dekat oleh masyarakat, biaya pelayanan yang murah, mengerti
dan dapat membantu dalam upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran anak serta
merawat ibu dan bayi sampai 40 hari (Meiwita B. Iskandar. et al. 1996).
Hasil FGD penelitian ini mengungkapkan bahwa masih ada pandangan bahwa
dukun memiliki kompetensi yang sama dengan bidan dalam menolong persalinan
sehingga mendorong memilih dukun sebagai penolong persalinan. Persalinan adalah
proses alamiah, merupakan anggapan yang umum dan diakui. Dengan demikian, ada
yang beranggapan bahwa bayi dan plasenta dapat lahir dengan sendirinya sehingga
keberadaan bidan hanya dibutuhkan untuk memotong tali pusat. Sedangkan dalam
proses persalinan, dukun lebih diharapkan memberikan kekuatan batin dan
memberikan arahan kepada ibu dalam menjalani proses alamiah tersebut.
Kebutuhan akan pelayanan dukun meskipun persalinan ditolong bidan yang
dijumpai pada penelitian ini tampaknya tidak banyak berbeda dibandingkan penelitian
oleh Lestari pada tahun 1994 di Tulung Agung (Lestari Handayani, 1997). Bidan
524
seringkali tidak diikutkan dalam kegiatan upacara, sebagai gantinya mereka
mengundang dukun untuk membacakan do’a dan mantera, memimpin pelaksanaan
upacara dan memberikan pemahaman tetang makna upacara adat.
Disamping itu, geografi tempat tinggal yang sulit dan jauh dari fasilitas
kesehatan menyebabkan keterbatasan jangkauan pelayanan kesehatan di daerah-
daerah tertentu. Kondisi ini menjadi mendorong masyarakat desa dengan fasilitas
kehidupan dan sarana trasportasi terbatas cenderung memilih dukun sebagai
penolong persalinan. Kondisi alam sebagai penyebab sulitnya akses pelayanan bidan
dijumpai di Tulung Agung, sehingga masyarakat memilih dukun untuk menolong
persalinan (Lestari Handayani, 1997).
Persalinan yang diakui sebagai proses ‘alamiah’ terkadang mengalami hambatan
dalam perjalanannya. Pada proses yang ‘aman’ maka persalinan akan berlangsung
dengan sukses yaitu ibu sehat dan bayi lahir selamat. Pada proses yang ‘abnormal’
hasil persalinan sangat ditentukan oleh penolong persalinan. Kurang seimbangnya
interaksi antara kondisi kesehatan ibu hamil dengan kemampuan penolong persalinan
sangat menentukan hasil dari suatu persalinan apakah kematian atau bertahan
hidup. Pada keadaan ini, seringkali persalinan harus dilakukan di fasilitas kesehatan
yang cukup lengkap peralatan dan tenaga ahlinya (dokter/dokter spesialis kebidanan).
Adanya budaya berunding masih banyak dilakukan dan budaya ini dapat
mengakibatkan terjadi keterlambatan pertolongan persalinan yang dapat berakibat
fatal pada ibu bila keputusan tidak segera diambil. Kematian ibu bersalin mendapat
tanggapan yang berbeda-beda. Di perkotaan, kematian ibu dianggap merupakan
tanggung jawab pihak bidan/dokter sebagai penolong persalinan karena pada
umumnya mereka mempercayakan kepada tindakan medis. Masih banyak daerah yang
menganggap kematian ibu dalam persalinan adalah suatu yang wajar bahkan
masyarakat desa cenderung pasrah bahkan beranggapan merupakan jalan menuju
syurga bagi si ibu. Tetapi penelitian lain mengemukakan bahwa ada juga yang
menganggap kematian ibu sebagai suatu peristiwa yang mengerikan karena arwahnya
dapat menjadi leak atau kuntilanak (Meiwita B.,1996).
Peralihan dari persalinan ”alami” di rumah yang diarahkan ke fasilitas kesehatan
sebenarnya merupakan suatu pergeseran seperti terungkap dalam penolakan
525
perempuan Inggris terhadap ”kealamiahan” persalinan karena keinginan melahirkan di
Rumah Sakit. Beberapa hal yang akan diperoleh perempuan bila melahirkan di RS,
antara lain mendapatkan obat pereda nyeri akibat proses persalinan dan tersedianya
berbagai tehnik paliatif (Hunt, Sheila, 2006). Hal ini karena telah dikembangkan obat-
obatan pereda nyeri yang dapat dimanfaatkan dalam persalinan. Bahkan ada
kecenderungan persalinan dengan tindakan bedah Sectio Caesar berdasar permintaan
ibu karena berbagai alasan. Keuntungan lain adalah, ibu pasca persalinan dapat
beristirahat beberapa hari untuk pemulihan kesehatan dalam arti untuk
’membebaskan diri dari tanggung jawab dan tekanan dalam rumah tangga’ (Hunt,
Sheila, 2006). Sebagaimana diketahui, di beberapa keluarga, ibu adalah penanggung
jawab urusan rumah tangga tanpa memedulikan kondisinya setelah melahirkan. Di
beberapa budaya ibu bersalin dilakukan di tempat persalinan khusus yang terpisah dari
pemukiman penduduk.
Pemanfaatan Jampersal antara lain terhambat oleh persyaratan berupa KTP
(Kartu Tanda Penduduk) yang seharusnya dimiliki oleh setiap penduduk yang berusia
17 tahun ke atas. Menilik Undang-undang yang berlaku, penduduk memiliki hak untuk
mendapat identitas diri sebagai warganegara sesuai dengan ketentuan undang-undang
(UU Kependudukan no 52, 2009). Dari pengamatan dan hasil FGD, masih banyak
penduduk belum memiliki kesadaran pentingnya KTP sebagai identitas diri. Penduduk
tidak memiliki KTP terjadi khususnya penduduk yang tinggal di desa terpencil
sedangkan di kota terjadi pada penduduk musiman (di perkotaan) yang tidak memiliki
Kartu Penduduk Sementara. Alasan yang dikemukakan antara lain proses pengurusan
yang panjang, dirasakan berbelit dan biaya yang harus ditanggung, sehingga untuk
memenuhi persyaratan sebagai peserta Jampersal mereka harus menggantinya
dengan surat domisili yang dapat diperoleh di tingkat Kelurahan/kantor desa. Diakui
(FGD) sebenarnya persyaratan ringan karena mereka bisa memperoleh pelayanan
meskipun bukan penduduk setempat (Kemkes, 2011). Persyaratan tersebut meskipun
tampaknya ringan namun menyebabkan keengganan. Proses yang lama, dianggap
berbelit dan membutuhkan biaya menyebabkan sebagian keluarga memutuskan tidak
memanfaatkan Jampersal dan beralih ke dukun terdekat.
Berdasar pengakuan responden penelitian tentang biaya pelayanan KIA oleh
526
nakes (bidan), yang dibiayai Jampersal cukup besar di kabupaten Lebak, Bima,
Jeneponto, kota Mataram. Sedang di tempat yang lain cenderung rendah (Lihat tabel
4.3.1). Kurangnya informasi tentang Jampersal merupakan salah satu alasan rendahnya
pemanfaatan Jampersal sesuai dengan hasil wawancara maupun FGD. Masyarakat
kurang memahami persyaratan Jampersal, siapa saja yang berhak, pelayanan yang bisa
diperoleh, bahkan sebagian mereka sama sekali belum pernah mendengar tentang
Jampersal. Masyarakat hanya tahu bahwa ada pelayanan kesehatan gratis, yang
dianggap sebagai dana Jamkesmas. Masyarakat sangat mendukung pelayanan
persalinan karena sebagian menganggap bahwa pelayanan ke nakes tergolong mahal
(sekitar 700 ribu sampai satu juta rupiah). Bahkan di Pontianak terjadi kecenderungan
masyarakat langsung ke RS untuk bersalin karena jaraknya cukup dekat dari rumah.
Pilihan tersebut sesuai dengan pandangan masyarakat tentang fasilitas pelayanan
seperti polindes/poskesdes dan puskesmas yang dianggap secara fisik kurang
memuaskan.
Pemerintah yang mengupayakan untuk menjamin pelayanan persalinan melalui
Jampersal, tampaknya harus mawas diri agar upaya tersebut dapat dimanfaatkan
secara maksimal. Adanya pengakuan ”tidak paham tentang Jampersal” oleh suami dan
tokoh masyarakat (FGD) mengindikasikan sosialisasi Jampersal kurang maksimal. Tidak
mudah mengubah pilihan penolong persalinan meskipun biaya gratis melalui
Jampersal telah disiapkan. Kendala budaya dapat menjadi kendala peralihan penolong
persalinan seperti tercermin dari penelitian di Papua.Suatu penelitian pada suku
Amungme dan Kamoro Kabupaten Mimika Papua menunjukkan bahwa perilaku
memilih penolong persalinan didasari atas budaya kedua suku. Kendala untuk minta
pertolongan Nakes antara lain karena tema budaya yang menganggap tabu membuka
aurat (paha) di depan orang yang belum dikenal, dan meyakini bahwa darah dan
kotoran persalinan dapat mengakibatkan penyakit yang mengerikan pada kaum laki-
laki dan anak-anak, karena itu mereka melakukan persalinan di hutan/rimba atau di
bagian belakang rumah (kamar mandi, dapur). Selain itu ibu mempunyai tanggung
jawab dan aktivitas ibu sehari-hari dalam mencari bahan makanan untuk seluruh
keluarga sehingga mereka tidak punya waktu untuk mencari atau menunggu bidan. Ibu
juga merasakan dengan pelayanan dukun lebih kekeluargaan dan lebih bisa dipercaya
527
serta dukun setiap saat siap melayani mereka. Pelayanan yang diberikan bidan
memerlukan biaya yang sulit dijangkau ditambah lagi dengan bidan jarang di tempat
dan sikap bidan yang kurang akrab. Kesimpulannya budaya di Papua lambat berubah,
meskipun PT Freeport Indonesia menanggung segala biaya pelayanan kesehatan bagi
kedua suku Papua ini mulai dari pemeriksaan kehamilan sampai dengan pasca
persalinan dan pengobatan tetapi karena hambatan faktor budaya ternyata masih
banyak ibu-ibu yang tetap tidak minta pertolongan petugas kesehatan (Qomariah Alwi,
2005).
Tabel 4.3.1. Persentase ”Ya” Pembiayaan Jampersal untuk Periksa Kehamilan, Persalinan,
Periksa Ibu Nifas, Periksa Neonatus, Periksa KB di 12 Kabupaten/Kota Tahun 2012
Kabupaten/Kota Pembiayaan Jampersal
Hamil Bersalin Nifas Neonatus KB
Kab. Lebak 67.7 56.7 53.7 55.2 3.0
Kota Cilegon 22.1 19.1 20.6 16.2 7.4
Kab. Bima 63.2 60.0 50.0 50.0 17.1
Kota Mataram 49.3 61.4 52.9 58.6 21.4
Kab. HalSel .0 .0 .0 .0 .0
Kota Ternate 45.6 15.7 14.3 14.3 7.1
Kab. Gayo Lues 21.2 12.7 7.3 14.5 1.8
Kota Banda Aceh 10.1 20.0 5.7 2.9 1.4
Kab. Landak 11.8 18.8 8.7 8.7 10.1
Kota Pontianak 24.6 68.6 7.1 2.9 .0
Kab. Jeneponto 85.5 62.9 68.6 60.0 10.0
Kota Makasar 39.1 47.1 14.3 18.6 15.7
Sumber: Data Primer
4.4. Peran TenagaPelayanan Kesehatan dalam Pelaksanaan Program Jampersal
Kebijakan penempatan bidan di desa telah berlangsung sejak akhir tahun 1990
(Indonesia, 1989)dengan tujuan menyediakan tenaga yang ’kompeten’ dalam
menolong persalinan. Bagi masyarakat perkotaan, yang memiliki sifat keterbukaan dan
mempercayai teknologi serta ilmu pengetahuan, lebih mudah menerima kehdiran
bidan sebagai tenaga yang membantu persalinan dengan keilmuan kebidanan.
Berbeda dengan masyarakat desa yang lebih tertutup. Bidan sebagai orang baru,
kehadirannya akan dipandang dengan curiga. Mereka membutuhkan waktu untuk
mengenal dan mempercayai bidan sebagai bagian dari kelompoknya. Secara perlahan,
masyarakat desa mulai bisa menerima keberadaan bidan dan mengakui kemampuan
bidan dalam menolong persalinan. Kepercayaan kepada bidan tampaknya masih
528
terkendala terbukti masih digunakan dukun meskipun sudah ada bidan di desa karena
kebutuhan membantu upacara. Berikut pelayanan upacara yang diterima ibu dari
dukun atau bidan di 12 lokasi penelitian.
Tabel 4.4.1 Pernyataan ”Ya” untuk Pelayanan Upacara yang Diterima
Responden dari Bidan/Nakes atau Dukun
Kabupaten/ Kota n “Ya” Menerima Pelayanan Upacara (%)
Bidan/Nakes Dukun
Kab. Lebak 67 1.5 58.2
Kota Cilegon 68 0.0 2.9
Kab. Bima 70 0.0 20.0
Kota Mataram 70 1.4 31.4
Kab. HalSel 50 10.0 28.0
Kota Ternate 70 4.3 31.4
Kab. Gayo Lues 55 18.2 65.5
Kota Banda Aceh 70 0.0 0.0
Kab. Landak 69 0.0 17.4
Kota Pontianak 70 1.4 5.7
Kab. Jeneponto 70 0.0 11.4
Kota Makasar 70 5.7 11.4
Sumber: Data Primer
Kepercayaan terhadap adat istiadat menyebabkan masyarakat masih
membutuhkan dukun untuk membantu pelaksanaan adat istiadat. Seperti yang
dikemukakan Wahit Iqbal Mubarak (2012) bahwa masyarakat desa memiliki ciri toleran
terhadap nilai-nilai budayanya sendiri, dan menjadi kurang toleran terhadap bidan
yang ditempatkan di desa membawa budaya luar yang kurang dikenal. Mereka
berharap bidan mampu menyesuaikan dengan budaya mereka. Jadi tampaknya
mereka akan lebih mudah menerima bidan yang paham budayanya dan mau mengikuti
aturan adat yang sudah berlaku turun temurun seperti yang terjadi di kabupaten Bima.
Melihat kenyataan tersebut, khususnya di wilayah dukun masih menjadi pilihan,
bidan perlu memiliki pengetahuan budaya masyarakat terkait KIA agar lebih mudah
diterima masyarakat. Bidan yang ditugaskan sebagai ujung tombak pelayanan KIA di
masyarakat, dengan menguasai budaya masyarakat akan memiliki kemampuan (Wahid
Iqbal Mubarak, 2012):
1. Kepekaan terhadap budaya umum dan KIA di masyarakat tempat bertugas,
sehingga bidan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru terutama
terkait dengan profesinya
529
2. Memiliki wawasan luas tentang kemanusiaan dan budaya sehingga sehingga
mampu mengembangkan daya kritis terkait hal tersebut. Kondisi sosial budaya
yang bervariasi menjadi tantangan bidan untuk menemukan jalan keluar yang
efektif efisien tanpa meninggalkan budaya lokal. Melibatkan kekuatan budaya
setempat akan memuluskan upaya pelayanan KIA yang sesuai dengan harapan
masyarakat.
3. Bersikap dan bertindak profesional kepada masyarakat khususnya untuk bidang
kesehatan dengan tetap disiplin pada keilmuannya tetapi dapat beradaptasi di
daerah tempat bekerja dan tidak melakukan pengkotakan terhadap kesukuan dan
agama.
4. Mampu menjadi jembatan bagi masyarakat tingkat bawah dalam
menginformasikan pesan kesehatan khususnya KIA (promosi KIA). Kerjasama
dengan kader kesehatan, dukun bersalin merupakan peluang bidan belajar budaya
setempat agar dapat menyampaikan pesan kesehatan.
5. Bidan adalah menangani persalinan normal, sedangkan persalinan ”berisiko” dan
abnormal dirujuk ke dokter/dokter spesialis kebidanan. Bidan harus mampu secara
profesional berkomunikasi sebagai akademisi dengan keilmuan medis dan
kebidanan antara sesama bidan maupun dengan dokter.
Penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan bidan bisa diterima masyarakat
tergantung personalitas bidan. Bidan yang bisa mengambil hati masyarakat, rendah
hati, bisa bahasa setempat dan menguasai adat istiadat lebih mudah diterima
(Widayatun, 1999). Salah satu hambatan akses pelayanan kebidanan adalah biaya.
Jaminan Persalinan (Jampersal) merupakan penataan sub sistem pembiayaan
persalinan (dan pelayanan KIA lainnya) dalam bentuk pemberian pelayanan cuma-
cuma atau gratis untuk pelayanan persalinan dengan prosedur tertentu yang harus
diikuti baik oleh masyarakat sebagai pengguna dan tenaga kesehatan sebagai
pelaksana. Upaya ini apabila berhasil diharapkan akan membantu penurunan AKI dan
AKB. Untuk terlaksananya strategi ini dengan baik perlu sosialisasi, orientasi,
kampanye, pelatihan untuk semua pihak terkait sehingga konsep dan program
Jampersal agar dapat dipahami.
530
Bidan sebagai tenaga kesehatan kebidanan menjadi tumpuan pelaksanaan
Jampersal. Bidan adalah pelaksanan pelayanan KIA terdepan dengan menempatkan di
desa/kelurahan. Bidan memberikan pelayanan KIA tidak saja di polindes atau
poskesdes tetapi seringkali harus merangkap bergiliran bertugas di puskesmas.
Tugasnya dimasyarakat memaksa bidan harus jemput bola memberikan layanan di
rumah. Bidan juga berkewajiban menyelenggarakan posyandu di daerahnya disamping
melaksanakan tugas pelayanan pengobatan bila kondisi mengharuskan. Promosi
kesehatan juga menjadi bebannya disamping penugasan lain oleh kepala puskesmas.
Karena tugas-tugas tersebut, mobilitas bidan tinggi, sehingga kadangkala bidan tidak
berada di tempat pelayanan saat dibutuhkan masyarakat.
Tergambarkandalam penelitian ini perannya yang tinggi sebagai informan dan
motivator Jampersal, karena sebagian besar masyarakat menyatakan bahwa perolehan
informasi tentang jamperal dan keikutsertaan Jampersal berasal dari bidan. Namun
kesadaran sosialisasi bidan terkadang terbentur oleh kepentingan bidan yang berperan
ganda yaitu sebagai pegawai pemeritah dan peran sebaai BPS. Kepentingan yang
bercabang ini dapat mendorong bidan yang berperan ganda tidak/kurang
mensosialisasikan Jampersal agar mereka dapat memperoleh keuntungan dari
posisinya sebagai pegawai pemerintah dan BPS. Keadaan ini lebih tampak pada
perkotaan dibanding pedesaan karena kesempatan untuk memiliki peran ganda lebih
mudah diperoleh di perkotaan.
Kebijakan di Indonesia yang memungkinkan seorang tenaga kesehatan
khususnya dokter, bidan, perawat berperan ganda baik sebagai pegawai pemerintah
dan swasta perlu ditinjau kembali atau dilakukan pembenahan dengan persyaratan
yang ketat. Di beberapa daerah keberadaan tenaga kesehatan yang terbatas dan
penggajian yang kurang layak menyebabkan mereka melakukan upaya memperoleh
penghasilan tambahan dengan membuka praktek swasta. Di banyak negara tetangga
seperti Singapura, Malaysia, Thailand, memberikan kebijakan bahwa tenaga kesehatan
pemerintah hanya bisa berpraktek pelayanan di fasilitas pemerintah saja. Dengan cara
demikian tidak akan terjadi konflik kepentingan.
Selama ini telah dilakukan kebijakan pemerintah yang mengatur Izin praktik
bidan. Izin ini mengatur persyaratan izin praktik mandiri atau bekerja pada fasilitas
kesehatan pemerintah. Kewenangan yang diijinkan adalah pelayanan KIA berupa
531
pelayanan kesehatan ibu, pelayanan kesehatan anak dan pelayanan kesehatan
reproduksi termasuk KB (Indonesia, 2010). Kenyataannya bidan desa mendapat beban
bermacam-macam termasuk memberikan pelayanan pengobatan. Sebenarnya prinsip
pelayanan kebidanan di desa adalah pelayanan yang multi disiplin meliputi ilmu
kesehatan masyarakat, kedokteran, sosial, pikologi, komunikasi, kebidanan dan
lainnya.Bidan tetap berpedoman pada standar dan etika profesi yang menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia. Disamping itu, bidan harus senantiasa
memperhatikan dan memberi penghargaan terhadap nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat, sepanjang tidak merugikan dan tidak bertentangan dengan prinsip
kesehatan (Joesran. 2012).
Tenaga bidan di desa dengan beberapa kekhususan Tenaga PTT untuk daerah
terpencil memperoleh tambahan insentif, sebagai contoh di kabupaten Bima, desa
Lere telah ditempatkan bidan PTT daerah terpencil. Namun karena tuntutan keadaan,
bidan tersebut ditugaskan sebagai bidan koordinator yang mengelola Jampersal (gaji
tetap sebagai bidan PTT terpencil) dan sebagai gantinya ditempatkan bidan ”sukarela”.
Dalam hal ini sebenarnya telah terjadi ketidaksesuaian penempatan dan penggajian.
Bidan dalam hal pelayanan sebenarnya telah mendapat perlakuan istimewa untuk
kasus tertentu. Bidan telah mendapat gaji rutin bulanan dengan insentif, tetapi dengan
adanya Jampersal telah mendapat tambahan penghasilan dari penolong persalinan
meskipun dilaksanakan saat jam kerja. Berbeda kodisinya dengan perawat yang tidak
ada tambahan penghasilan secara resmi seperti halnya bidan. Namun beberapa bidan
yang berstatus sukarela atau honorer, nasibnya tidak sebaik bidan PNS atau PTT.
Mereka tidak boleh praktek swasta dan baru mendapat honor dari dana Jampersal.
Kepercayaan kepada bidan terlihat semakin membaik bila dilihat dari hasil
penelitian ini. Namun tampaknya kendala biaya sebagai salah satu faktor yang
berhubungan dengan pemanfaatan tenaga bidan tidak sepenuhnya benar. Cukup
banyak masyarakat yang belum memanfaatkan Jampersal dalam memanfaatkan bidan.
Bila digali dari data kualitatif, terlihat masih banyaknya masyarakat yang tidak paham
tentang Jampersal. Mereka lebih memahami tentang Jamkesmas atau Jamkesda dan
bagi masyarakat istilah apapun tidak terlalu penting, yang diperlukan oleh masyarakat
adalah biaya ’Gratis’.
532
Persyaratan ’melahirkan di faskes’ tidak seluruhnya diterapkan dalam
pemanfaatan Jampersal. Toleransi kepada masyarakat di wilayah sulit terjangkau
masih diberlakukan. Cukup banyak masyarakat yang melahirkan di rumah khususnya di
Landak, Gayo Lues dan Halmahera Selatan. Pemahaman bahwa melahirkan sebagai
proses alami menyebabkan rumah dianggap tempat yang cukup aman. Disamping
banyaknya kejadian kematian ibu saat persalinan yang terjadi di puskesmas atau RS
semakin menguatkan pandangan ini. Keadaan ini terjadi juga di Inggris pada masa tahu
1930 an. Disana banyak terjadi persalinan yang kemudian berakhir dengan infeksi yang
menyebabkan kematian ibu. Disini, masyarakat melihat bahwa rumah sakit tidak selalu
terjamin kebersihannya dari kuman penyakit (Hunt, Sheila. 2006).
Penyelenggaraan upaya kesehatan tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah
tetapi juga oleh pihak swasta. Keberadaan bidan swasta di kota menjadi alternatif
pilihan penolong persalinan. Bidan Praktek Swasta (BPS) dapat dibedaka menjadi dua,
pertama bidan murni praktek swasta, dan kedua adalah bidan pegawai pemerintah
yang menjadi BPS di luar jam kerja. Adanya desentralisasi menyebabkan bervariasi
peraturan Daerah dalam mengelola pelayanan kebidanan mealui Jampersal. Peraturan
yang berlaku juga mempengaruhi pemanfaatan Jampesal dalam pelayanan persalinan.
Bidan sebagai petugas kesehatan, tampaknya sudah bisa diterima oleh masyarakat
desa maupun kota, terbukti dalam penelitian ini tidak terlihat perbedaan yang berarti
dalam penerimaan pelayanan dari bidan (tabel 4.4.2).
Tabel 4.4.2 Persentase Responden yang Menyatakan ”Ya” menerima Pelayanan dari Bidan
di 12 kabupaten/Kota Tahun 2012
No Kabupaten/ Kota “Ya” Menerima Pelayanan dari Bidan (%)
Kehamilan Persalinan Pasca Salin KB
1 Kab. Lebak 97.0 86.6 86.6 92.5
2 Kota Cilegon 100.0 100.0 100.0 98.5
3 Kab. Bima 97.1 97.1 88.6 72.9
4 Kota Mataram 98.6 92.9 88.6 84.3
5 Kab. Halmahera Selatan 80.0 86.0 90.0 84.0
6 Kota Ternate 97.1 87.1 74.3 72.9
7 Kab. Gayo Lues 94.5 85.5 83.6 85.5
8 Kota Banda Aceh 98.6 100.0 84.3 84.3
9 Kab. Landak 98.6 62.3 85.5 98.6
10 Kota Pontianak 98.6 100.0 78.6 95.7
11 Kab. Jeneponto 98.6 80.0 95.7 94.3
12 Kota Makasar 98.6 98.6 91.4 71.4
Sumber: Data Primer
533
Persalinan dipandang sebagai ruang lingkup pribadi sehingga kerahasiaannya
perlu dijaga dan rumah adalah tempat paling aman untuk melindungi kerahasiaan
tersebut. Membawa ibu bersalin ke puskesmas, Rumah sakit atau klinik bersalin lain,
berarti membawa persalinan ke lingkup publik. Adanya kesan bahwa persalinan yang
dilakukan di faskes berarti ada ’sesuatu yang abnormal’ merupakan penyebab sebagian
orang memilih bersalin di rumah. Tidak bergesernya pandangan ini menunjukan
kegagalan pihak kesehatan meyakinkan masyarakat bahwa faskes akan memberikan
sarana yang lebih baik daripada di rumah.
Persyaratan ’melahirkan di faskes’ dalam pemanfaatan Jampersal dinilai
peneliti sudah tepat dengan memberikan toleransi tersebut. Sudah ada
kecenderungan untuk memanfaatkan bidan perlu didukung dengan memberikan
solusi lain terhadap hambatan yang mungkin terjadi dalam mengakses bidan seperti
biaya, jarak, komunikasi. Komunikasi sebagian sudah teratasi dengan adanya hp, jarak
juga dapat teratasi dengan adanya jalan yang sedikit demi sedikit mulai dibangun dan
ketersediaan sepeda motor bagi bidan. Biaya gratis menjadi dambaan sebagian
masyarakat khususnya yang kurang mampu.
Tabel 4.4.3 Persentase Responden yang Menjawab ”Ya” untuk Tempat Persalinan di Faskes, Nakes sebagai
Penolong Terakhir Persalinan dan Sumber Biaya Persalinan (%)
Kabupaten/ Kota n Persalinan Terakhir di Faskes
Nakes sebagai Penolong Terakhir Persalinan
Biaya persalinan (Gratis)
Jampersal Jamkesmas/ Jamkesda
Kab. Lebak 67 32,8 64.2 56.7 4.5
Kota Cilegon 68 69,1 100.0 19.1 5.9
Kab. Bima 70 57,1 97.1 60.0 31.4
Kota Mataram 70 92,9 92.9 61.4 15.7
Kab. HalSel 50 10,0 62.0 .0 30.0
Kota Ternate 70 70,0 92.9 15.7 4.3
Kab. Gayo Lues 55 10,9 65.5 12.7 7.3
Kota Banda Aceh 70 94,3 100.0 20.0 44.3
Kab. Landak 69 20,3 56.5 18.8 .0
Kota Pontianak 70 97,1 97.1 68.6 .0
Kab. Jeneponto 70 51,4 82.8 62.9 1.4
Kota Makasar 70 92,9 100.0 47.1 30.0
Sumber: Data Primer
534
Adanya Jampersal ternyata dibeberapa tempat belum termanfaatkan dengan
baik (Lihat tabel 4.4.3). Ketidaktahuan menjadi penyebab utama akibat kurang
informasi yang diperoleh. Mengingat bidan menjadi tumpuan informasi utama di desa,
maka keaktifan bidan menyebar informasi menjadi andalan utama seperti yang
terungkap dalam penelitian ini. Kerjasama perlu dibangun dengan kader kesehatan
seperti yang terjadi di kota Mataram akan memudahkan penyebaran informasi. Di
Bima, para pemuka agama dan perangkat desa menyatakan sering menyampaikan
tentang kesehatan dalam kegiatan sehari-hari, namun bila disandingkan dengan
pernyataan suami (FGD), tampaknya peran tokoh masyarakat dan tokoh agama di
kabupaten Bima masih belum dirasakan dalam penyampiana tentang Jampersal.
4.5. Hambatan, Dukungan Dan Harapan Dalam Pelaksanaan Program Jampersal
Pelaksanaan Jampersal telah dimulai sejak tahun 2011(Kementerian Kesehatan,
2011)dan mengalami perbaikan pada awal tahun 2012 dalam penyelenggaraannya.
Penyelenggaraan ini tidak selalu berjalan lancar di setiap daerah karena adanya
persyaratan yang harus dilakukan pemerintah melalui Dinas Kesehatan setempat.
Persyaratan baik di pihak pelaksana pelayanan (bidan) dan pengguna (ibu usia
produktif) mendapat perlakuan berbeda-beda di setiap lokasi. Mengingat adanya
perbedaan psosial budaya secara umum di perdesaan (kabupaten) dan perkotaan
(kota) maka untuk hambatan, dukungan dan harapan tentang program Jampersal
dibedakan untuk kabupaten dan kota.
4.5.1. Sosial Budaya di Wilayah Kabupaten
Kondisi sosial budaya dapat mempengaruhi pemanfaatan Jampersal untuk
pelayanan KIA khususnya pertolongan persalinan. Secara detail dapat dilihat pada
tabel 4.5.1 dan 4.5.2 yang berisi budaya di desa dan kota (Lihat lampiran).
a. Hambatan
Geografi. Daerah penelitian di kabupaten dengan kriteria persalinan oleh
dukun masih tinggi, terpilih di kecamatan yang jangkauannya cukup sulit. Kondisi alam
dengan keterbatasan infrastruktur berupa jalan, aliran listrik, air dan alat transportasi
menjadi penghalang akses masyarakat kepada bidan dan fasilitas kesehatan.
Hambatan ini di daerah tertentu diperberat lagi oleh ketiadaan jaringan komunikasi
535
satelit. Komunikasi melalui telepon kabel saat ini sudah tergantikan oleh
teleponsesuler yang menggunakan satelit sehingga lebih memudahkan masyarakat
saling berkomunikasi. Masyarakat yang di wilayah tidak terjangkau oleh provider
telekomunikasi (sinyal sulit), mendapat kesulitan berhubungan dengan tenaga
kesehatan (bidan).
Tingkat Pendidikan. Hambatan dalam pemanfaatan nakes di faskes
menggunakan dan Jampersal terhalang oleh ketidahtahuan. Pendidikan rendah banyak
dijumpai di pedesaan(kecuali di kabupaten Bima)menjadi penghambat pemahaman
untuk perubhan perilaku. Perubahan ini dipengaruhi oleh karakteristik individu seperti
pengetahuan, sikap, kepercayaan dan personality traits (NIH, 2005). Perubahan ini juga
akan dipengaruhi oleh hubungan atara individu dengan kelompoknya, dan pada tingkat
komunitas dipengaruhi olehperaturan Pemda setempat dan norma serta interaksi
sosial serta peraturan Jampersal secara umum.
Mata pencaharian pada umumnya pertanian, perkebunan dan nelayan.
Wilayah yang luas dengan transportasi minim menyebabkan penduduk dalam bekerja
memilih menginap di sekitar lokasi bekerja. Hal ini menyebabkan sebagian penduduk
meninggalkan rumah sampai berhari-hari tinggal disekitar kebun/sawah/ladang, atau
menempati rumah yang terpencil di wilyah perkebunan. Jauhnya lokasi tempat tinggal
dari pemukiman, semakin menjauhkan jarak terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas
kesehatan.
Kepercayaan tinggi terhadap dukun serta anggapan kemampuan dukun
terhada ritual dan adat istiadat mendorong untuk memilih dukun untuk merawat dan
menolong terkait KIA. Dukun juga dianggap memiliki kekuatan spiritual tinggi sehingga
mampu mendo’akan, membacakan mantera sebagai bagian dari ritual adat yang
dilakukan.Meskipun sebenarnya kepercayaan terhadap bida sudah baik, namun
kedekatan baik secara fisik dan emosi dengan dukun menyebabkan perilaku persalinan
di dukun masih tetap tinggi dan khususnya persalinan di rumah masih banyak
dilakukan.
Kepercayaan kepada adat masih kuat dan kepercayaan terhadap gaib dan
mistik menyebabkan masyarakat banyak menyelenggarakan adat istiadat dengan
maksud untuk memberikan ketenangan batin dan keselamatan ibu dan bayi.
Kepercayaan tertentu menghalangi kontak ibu atau bayi dengan bidan sehingga terjadi
536
keterlambatan pelayanan oleh nakes. Kepercayaan tersebut juga berdampak terhadap
keterlambatan penanganan persalinan ‘abnormal’ yang dapat menyebabkan kematian
ibu dan bayi.
Registrasi kependudukan. Kurang taat penduduk terhadap aturan pemerintah
seperti kepemilikan KTP, menyebabkan hambatan dalam pemenuhan persyaratan
sebagai pengguna Jampersal. Kesadaran kurang tentang pentingnya identitas diri
dapat terjadi karena pendidikan rendah, tidak ada informasi, kesulitan dalam
pengurusan, ketiadaan biaya, akses ke kantor lurah dan kecamatan sulit.
Keberadaan bidan menjadi hambatan dalam pemanfaatan Jampersal. Bidan
dengan luas wilayah kerja satu desa kadang harus bertanggung jawab untuk desa di
sekitarnya. Kondisi wilayah kerja memaksa bidan harus bergerak mendatangi rumah
penduduk untuk memberikan pelayanan menyebabkan keberadaannya di polindes
atau poskesdes menjadi tidak dapt diharapkan. Fasilitas poskesdes yang tidak memdai
juga menjadi penghambat bidan bersedia bertempat tinggal di desa disamping
berbagai alas an lain seperti kelurga, keamanan dll.
b. Dukungan
Pendidikandan pengetahuan. Pendidikan menempati nilai tinggi di mata
masyarakat Bima menyebabkan banyak orangtua berusaha memberikan pendidikan
tinggi. Pendidikan tinggi diharapkan akan berpengaruh terhadap pengetahuan, sikap
dan perilaku kesehatan. Bila dilihat hasil pengumpulan data, terbukti responden
Parado-kabupaten Bima, memiliki pengetahuan baik dan berperilaku baik terkait
dengan kesehatan ibu dan anak.
Tokoh masyarakat. Masyarakat desa masih kuat adat istiadat dengan
menghormati tokoh-tokoh yang ada di masyarakat. Perangkat desa seperti kepala
desa, aparatur pemerintah, kiai atau tokoh agama lain adalah orang yang dipercaya
pandangan dan pendapatnya. Dukun juga mendapat tempat tersendiri di masyarakat.
Kepercayaan yang tinggi pada tokoh masyarakat akan membantu penyelesaian
masalah kesehatan bila tokoh tersebut mampu menjadi panutan dan mendukung upya
kesehatan serta memberi pemahaman yang benar kepada masyarakat.
Ciri masyarakat desa memiliki interaksi kuat diantara sesama penduduk dan
hubungan kekerabatan yang erat antar masyarakat. Keadaan ini akan memudahkan
537
penggerakan masyarakat karena sifat kegotong-royongan dan tolong menolong yang
masih tinggi. Rasa saling terikat satu sama lain menyebabkan kepedulian antar
penduduk cukup tinggi. Antar warga biasanya saling mengenal dan saling
menghormati. Dalam proses peyelanggaraan upaya kesehatan masyarakat dapat
berperan dalam menelaah masalah penentuan rencana, pelaksana kegiatan dengan
upaya perawatan kehamilan dan pertolongan persalinan, penilaian hasil perawatan
kesehatan, serta pengembangan upaya kesehatan selanjutnya. Dalam hal KIA, kegiatan
masyarakat tersebut lebih bersifat promotif dan preventif. Dengan upaya penggerakan
masyarakat akan meningkatkan kemampuan pemimpin/tokoh masyarakat dalam
merintis dan menggerakkan upaya persalinan aman, meningkatkan kemampuan
organisasi masyarakat dalam penyelenggaraan upaya persalinan aman, meningkatkan
kemampuan masyarakat dan organisasi masyarakat dalam menggali, menghimpun dan
mengelola sarana dan masyarakat. Serta merangsang dan memotivasi masyarakat
untuk dapat mengali potensi yang ada pada desa dan masyarakat setempat.
Interaksi sosial.Hubungan baik antara Dukun-Bidan telah terbangun. Kemitraan
dukun-bidan di berbagai desa dengan sifat saling menghormati ditemukan di hampir
semua lokasi penelitian. Hubungan ini menjadi jembatan antara cara-cara tradisional
yang dianut oleh dukun dan cara-ara medis modern yang diterapkan bidan.
Masyarakat desa saat ini sudah mempercayai kompetensi bidan dalam menangani
persalinan tetapi juga masih melaksanakan adat istiadat yang didukung oleh dukun.
Hubungan baik ini menimbulkan pembagian tugas yang meskipun tidak tertulis tetapi
dapat berlangsung baik, bidan lebih fokus sebagai penolong persalinan sedangkan
dukun merawat dan menyediakan keperluan ibu dan bayi.
Bidan di desa. Penempatan bidan di desa dengan penyediaan
polindes/poskesdes telah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat meski di
beberapa lokasi masih terjadi hambatan akses ke bidan. Adanya perkembangan
teknologi komunikasi telah memjembatani hambatan tersebut, bidan menjadi lebih
mudah dihubungi melalui telepon seluler oleh dukun atau kader atau oleh ibu dan
keluarga. Penyediaan fasilitas kesehatan di desa belum seutuhnya diterima karena
keterbatasan sarana prasarana faskes, disamping penempatan lokasi yang kurang
strategis.
538
Pembiayaan gratis. Jampersal telah memberikan peluang masyarakat
menerima pelayanan KIA gratis. Peluang ini terutama dirasakan oleh masyarakat dari
seluruh golongan ekonomi. Meskipun biaya persalinan sebenarnya sudah ditanggung
oleh Jamkesmas dan Jamkesda bagi masyarakat miskin, namun bagi golongan
menengah masih ada yang merasakan beban biaya persalinan khususnya pada kasus
yang harus dirujuk.
c. Harapan
Masyarakat:
Persyaratan peserta Jampersal. Meskipun belum semua masyarakat menikmati
Jampersal, namun upaya ini sangat bermanfaat sehingga masyarakat mengharapkan
keberlangsungan Jampersal. Keberlanjutan Jampersal tanpa batasan, tidak hanya
untuk kelompok miskin tapi untuk semua golongan ekonomi. Agar pemanfaatan
semakin baik maka mereka berharap agar persyaratan tidak sulit. KTP yang menjadi
syarat kepesertaan, seharusnya merupakan syarat yang ringan karena merupakan
identitas penduduk. Tetapi karena ternyata banyak masyarakat tidak memiliki KTP,
maka pemerintah setempat harus tanggap dan memberikan kemudahan pengurusan
KTP secara keseluruhan kepada penduduk setempat. Kemudahan pembuatan KTP
secara berkelompok melalui RT dan RW, bebas biaya resmi maupun non resmi, selesai
dalam waktu pendek, akan membuka kesadaran masyarakat. Sosialisasi tentang
pentingnya identitas penduduk, perlu dilakukan mengingat saat ini pemerintah telah
berproses melakukan e-KTP (elektronik KTP) yang berlaku di seluruh Indonesia.
Transportasi. Kondisi sarana prasarana transportasi sebagai kewajiban
pemerintah perlu direalisir secara merata. Jangkauan transportasi akan memudahkan
masyarakat menuju faskes sehingga persyaratan bahwa harus melahirkan di faskes
dapat dipenuhi. Disamping transportasi, komunikasi yang lebih lancar akan
memudahkan menghubungi bidan bila dibutuhkan.
Bidan siaga. Kesiapan siagaan bidan setip kali dibutuhkan menjadi harapan
masyarakat. Bidan harus memberi pelayanan bagi seluruh masyarakat desa, kadang
juga harus memberikan pelayanan pengobatan yang bukan kompetensinya. Disamping
itu pelayanan ke rumah juga menjadi tuntutan sebagian masyarakat. Pada desa
dengan penduduk padat dan banyak masalah kesehatan serta jumlah sasaran
539
pelayanan yang besar akan membebani bidan. Dalam kondisi tersebut, bidan tidak
dapat selalu siap di faskes. Bahkan seringkali bidan harus meninggalkan desa untuk
merujuk, bertugas di puskesmas atau menyelesaikan administrasi pelayanan. Harapan
masyarakat dapat diantisipasi dengan menambah jumlah bidan di desa menurut
beban kerja dan jumlah sasaran pelayanan.
Adanya sanksi bagi bidan yang meninggalkan desa tanpa alasan, diharapkan
diterapkan sehingga bidan bisa lebih bertanggung jawab. Mengingat alasan bidan
tidak siap di faskes juga bervariasi, maka seharusnya masyarakat sebagai penyedia
polindes lebih memperhatikan dan memenuhi kebutuhan sarana prasarana di
polindes. Termasuk didalamnya listrik, air, dan keamanan bidan di faskes.
Bidan:
Klaim biaya Jampersal.Jampersal adalah cara baru pembiayaan persalinan yang
sebenarnya merupakan peralihan Jamkesmas/Jamkesda. Pembiayaan Jampersal
berdasar klaim yang diajukan bidan ke Dinas Kesehatan. Proses ini ternyata memakan
waktu disamping penyertaan lampiran-lampiran. Proses klaim dirasakan terlalu lama,
sehingga mereka menerima honor cukup lama bahkan ada yang setiap 6 bulan, bidan
berharap proses klaim bisa lebih cepat, dan pengisian formulir sebagai lampiran klaim
dapat disederhanakan.
Sosialiasi Jampersal. Banyak masyarakat belum paham tentang Jampersal dan
persyaratannya. Sosialisasi Jampersal dirasakan kurang dan perlu dilakukan langsung
ke masyarakat. Aparat desa/kelurahan diharapkan dapat membantu. Informasi dapat
diperluas dengan kerjasama lintas sector seperti kantor desa, LSM danlainnya sehingga
tidak menjadi beban seluruhnya bagi bidan di desa. Mengingat selama ini biaya
penyuluhan dan sosialisasi tidak tercukupi, maka ke depan diharapkan Jampersal juga
menanggung biaya sosilisasi dan penyuluhan.
4.5.2. Sosial Budaya di Wilayah Kota
a. Dukungan
Geografi. Kota yang terpilih dalam pemilihan ini merupakan daerah dengan
fasilitas yang cukup baik meskipun telah dipilih kota dengan kriteria persalinan oleh
dukun masih tinggi/Jampersal kurang termanfaatkan. Ketersediaan infrastruktur
540
berupa jalan, dan alat transportasi umum, aliran listrik, air bersih cukup merata
dirasakan penduduk sehingga mendukung akses masyarakat kepada bidan dan fasilitas
kesehatan. Jaringan komunikasi berupa kabel dan satelit tersedia secara merata
sehingga penduduk dapat saling berhubungan dengan mudah mesipun tanpa tatap
muka. Komunikasi melalui telepon kabel saat ini sudah tergantikan oleh telepon seluler
yang menggunakan satelit sehingga lebih memudahkan masyarakat saling
berkomunikasi. Keadaan ini semakin memudahkan masyarakat mendatangi fasilitas
kesehatan untuk memperoleh pelayanan kebidanan dari bidan atau dokter.
Tingkat Pendidikan. Tingkat pendidikan formal masyarakat kota pada
umumnya cukup tinggi. Pengetahuan dan sikap yang baik tentang kesehatan
mendukung perilaku benar terhadap pertolongan persalinan yaitu dengan
pemanfaatan nakes di faskes. Pendidikan yang baik menyebabkan masyarakat lebih
mudah memahami suatu pengetahuan tertentu sehingga cenderung lebih mudah
penerima pembaharuan. Penerimaan ini dipengaruhi oleh karakteristik individu kota
seperti pengetahuan, sikap, kepercayaan dan personality traits (NIH, 2005). Perubahan
ini juga akan dipengaruhi oleh hubungan atara individu dengan kelompoknya, dan
pada tingkat komunitas dipengaruhi oleh peraturan Pemda setempat dan norma serta
interaksi sosial serta peraturan Jampersal secara umum.
Mata pencaharian pada umumnya sebagai pegawai baik pemerintah maupun
swasta dan berdagang. Wilayah kota pada umumnya terbatas dengan pengaturan yang
lebih tertata sesuai dengan peruntukan melayani penduduk. Transportasi umum
mudah diperoleh di kota sehingga mobilitas masyarakat lebih cepat dan luas. Tawaran
lapangan pekerjaan di kota pada umumnya lebih baik sehingga menjadi perebutan
tidak hanya warga setempat tetapi juga dari luar kota. Hal ini menyebabkan penduduk
lebih heterogen, banyak pendatang baik dari kota atau dari desa mencari pekerjaan.
Kepadatan penduduk dan persaingan lebih ketat terjadi, menyebabkan masyarakat
kurang punya waktu untuk melakukan kegiatan sosial. Hal ini menyebabkan sebagian
penduduk kurang peduli lingkungannya dengan sifat individualistik menyebabkan
penduduk kota sulit diajak bergotong royong. Banyak pekerja yang memiliki jaminan
dari perusahaan memberikan pilihan dalam penggunaan fasilitas kesehatan dan
jaminan kesehatan yang digunakan. Oleh karena itu didalam penelitian ini, Cilegon
541
sebagai kota industri menjamin warga yang bekerja di perindustrian sehingga
pemanfaatan Jampersal tidak maksimal.
Kepercayaan terhadap dukun sudah berkurang. Keberadaan dukun di kota
sudah tidak banyak lagi seiring dengan semakin banyak tenaga kesehatan yang
berpraktek baik di fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta. Kepercayaan
terhadap nakes sudah baik sehingga menggeser kepercayaan terhadap dukun. Upacara
adat istiadat meskipun masih banyak dilakukan tetai lebih kepada ritual tanpa
pemahaman dan kurang mempercayai. Ritual sudah tidak lengkap dilaksanakan dan
beranggapan hanya sebagi pemborosan secara ekonomi. Dukun tetap dipakai jasanya
untuk merawat dan menolong terkait KIA oleh sebagian masyarakat. Dukun tidak
lagidianggap memiliki kekuatan spiritual tinggi yang memberikan do’a dan mantera,
karena masyarakat sudah tidak terlalu percaya dengan mantera sebagai bagian dari
ritual adat.Meskipun sebenarnya kepercayaan terhadap dukun masih ada, namun
kedekatan emosi dengan dukun sudah tidak terlalu kuat karena mereka memiliki
alternative penolong yang lain yang ditawarkan dalam pelayanan lainnya di klinik-
klinik. Hal ini menyebabkan perilaku persalinan di dukun sudah berkurang termasuk
persalinan di rumah.
Kepercayaan kepada adat sudah berkurang termasuk dan kepercayaan
terhadap gaib dan mistik. Masyarakat kota lebih berpikir secara logis dan realistik
dengan mengedepankan ilmu pengetahuan. Penyelenggaraan adat istiadat yang dinilai
tidak bermanfaat hanya dilakukan sekedar melestarikan budaya dan media untuk
mengabarkan kegembiraan dan agar mendapat dukungan dari lingkungan tentang
kehamiln yang dialami atau kelahiran bayi. Keadaan ini menyebabkan tidak ada lagi
halangan ibu untuk melakukan kegiatan kesehatan di rumah seperti pergi ke tempat
pemeriksaan kesehatan, melakukan persalinan di puskesmas atau RS dan
memeriksakan diri setelah persalinan maupun memeriksakan bayi untuk mendapat
imunisasi. Lingkungan perkotaan ini diduga telh mempengaruhi kemauan persalinan
ke fasilitas kesehatan. Segolongan masyarakat tertentu bahkan ada kecenderungan
menghendaki persalinan dengan rasa sakit seminimal mungkin. Rumah sakit atau klinik
bersalin menjadi tujuan karena tersedia pelayanan modern yang menjanjikan
ketersediaan obat dan teknologi untuk meringankan kesakitan saat melahirkan dan
lebih menjamin sterilitas peralatan dan tempat .
542
Registrasi kependudukan. Penduduk lebih tertib dengan aturan pemerintah
seperti kepemilikan KTP, menyebabkan hambatan dalam pemenuhan persyaratan
sebagai pengguna Jampersal jarang ada. Meskipun bila penduduk musiman, mereka
dengan mudah dapat menyelesaikan pengurusan Kartu Penduduk Musiman dengan
mudah. Kesadaran tentang pentingnya identitas diri mempermudah pemanfaatan
Jampersal. Adanya identitas penduduk yang lengkap juga akan memudahkan Pemda
dalam merencanakan program kesehatan termasuk Jampersal.
Keberadaan bidan merupakan persyaratan dalam pemanfaatan Jampersal.
Bidan di perkotaan pada umumnya jumlah lebih banyak dan terdapat pilihan di fasilitas
pelayanan kebidanan milik pemerintah atau swasta. Pilihan faskes disesuaikan dengan
kemampuan ekonomi masyarakat. Bagi yang tidak memiliki jaminan kesehatan dari
tempat bekerja, dapat memanfaatkan pelayanan gratis Jampersal atau
Jamkesmas/Jamkesda. Kondisi wilayah kerja di kota umumnya mudah dijangkau
dengan transportasi pribadi atau umum sehingga konsumen tidak kesulitan untuk
datang ke pelayanan bidan. Dengan kesediaan ibu mendatangi faskes maka bidan
tidak perlu mendatangi rumah penduduk untuk memberikan pelayanan. Fasilitas
pelayanan KIA yang memadai juga menjadi penunjang masyarakat senang untuk
datang ke faskes ehingga persyaratan pemanfaatan Jamersal lebih mudah bagi
masyarakat perkotaan.
Pembiayaan gratis. Jampersal telah memberikan peluang masyarakat
menerima pelayanan KIA gratis. Peluang ini terutama dirasakan oleh masyarakat dari
seluruh golongan ekonomi. Meskipun biaya persalinan sebenarnya sudah ditanggung
oleh Jamkesmas dan Jamkesda bagi masyarakat miskin, namun bagi golongan
menengah masih ada yang merasakan beban biaya persalinan khusunya pada kasus
yang harus dirujuk.
b. Hambatan
Mobilitas penduduk dan urbanisasi. Kota menjadi tempat tujuan penduduk
dari luar guna mendapatkan lapangan pekerjaan. Serbuan penduduk ke kota bisa
berdampak negatif bila kota tidak mampu menampungnya sehingga pendatang akan
menjadi beban pemerintah kota termasuk di bidang kesehatan. Pengangguran dan
543
masyarakat pendatang dari kelompok buruh akan mencari tempat tinggal seadanya
yang dapat menimbulkan di daerah kumuh dan miskin. Tempat ini cenderung padat,
fasilitas umum minim, tidak teratur dan tidak memenuhi syarat sanitasi lingkungan
yang baik sehingga yang membutuhkan bantuan finansial dari pemerintah kota.
Kelompok warga di daerah kumuh ini pada akhirnya harus bergantung kepada bantuan
pemerintah dalam kesehatan, namun sayang tidak semua mengetahui adanya Jaminan
persalinan.
Tokoh masyarakat. Masyarakat kota lebih patuh kepada aturan formal
pemerintah dibandingkan terhadap tokoh informal. Peraturan dan hukum pemerintah
menjadi panutan untuk mengatur kehidupan warganya. Norma-norma meskipun
masih ada tetapi sudah tidak banyak lagi diterapkan dalam kehidupan warga kota.
Tokoh masyarakat informal tidak terlalu menjadi panutan. Dukun masih ada meskipun
tidak sebanyak di pedesaan, dan kebutuhan akan jasa dukun lebih banyak untuk
membantu perawatan ibu dan anak. Dibeberapa tempat seperti di kota Mataram,
Tuan Guru (identik dengan Kiai) adalah tokoh agama yang masih didengar dan jadi
panutn. Mereka bahkan mau terlibat dalam upaya kesehatan tetapi juga memberikan
dukungan do’a dan pemberian air do’a.Kepercayaan yang tinggi pada tokoh
masyarakat ini membantu penyelesaian masalah kesehatan melalui jalur psikologis
karena tokoh tersebut mampu mendukung upaya persalinan aman karena mereka juga
menganjurkan untuk bersalin di tenaga kesehatan.
Ciri masyarakat kota memiliki interaksi yang formal dan lebih bersifat individu
dalam menyelesaikan segala persoalan. Hubungan kekerabatan yang erat antar
masyarakat sudah berkurang, keakraban biasa terjalin berdasar kesamaan
kepentingan. Keadaan ini menyebabkan tidak mudah menggerakkan masyarakat
karena kesibukan masing-masing dalam perekonomian dan melalui jalur formal biasa
warga diatur. Sifat kegotongroyongan dan tolong menolong sudah mulai luntur. Antar
tetangga kadang tidak saling mengenal khususnya di daerah perumahan elit.
Kemitraan bidan–dukun. Dibeberapa kota, dukun masih banyak
dijumpai.Hubungan baik antara dukun bersalin-bidan biasanya telah terbangun melalui
puskesmas atau dengan perantara kader kesehatan. Dalam usaha meningkatkan mutu
pelayanan kebidanan dan kesehatan anak terutama di desa maka tenaga kesehatan
(medis) seperti bidan harus menjalin kerjasama yang baik dengan tenaga non medis
544
seperti dukun. Bidan juga bekerja sama dengan kader posyandu melakukan kunjungan
rumah mencari sasaran ibu hamil dan sosialisasi pentingnya pemeriksaan kehamilan
serta memotivasi ibu hamil agar rutin memeriksakan kehamilan(Joesran. 2012).
Di beberapa tempat bahkan masih ada yang melahirkan di dukun khususnya
pada masyarakat miskin. Tujuan menjadi dukun sebagai mata pencaharian dapat
menghalangi posisioning dukun sebagai mitra bidan yang hanya merawat ibu dan bayi.
Keberadaan bidan yang dianggap mengurangi atau mengambil sumber penghasilan
akan mengancam kemitraan tersebut. Masyarakat kota sebagian masih mempercayai
ritual/adat istiadat didukung oleh dukun. Dukun yang kurang mendukung program
pemerintah dan merasa terancam penghasilannya akan mengarahkan ibu agar bersalin
dengan bantuannya.
Bidan Paktek Swasta. BPS lumrah dijumpai di perkotaan. BPS yang berpraktek
ganda yaitu bekerja di faskes pemerintahdan swasta memiliki dua kepentingan. Dalam
hal ini, dapat terjadi konflik kepentingan mengingat di beberapa tempat klaim
persalinan Jampersal lebih rendah dibanding tarif persalinan BPS. Pemikiran ekonomi,
akan mendorong BPS untuk lebih mementingkan praktek swasta karena dianggap lebih
menguntungkan.
c. Harapan
Masyarakat:
Persyaratan Peserta Jampersal. Masyarakat kelompok termarginalkan/
kelompok miskin sangat mengharapkan pelayanan gratis. Meskipun belum semua
masyarakat menikmati Jampersal, namun upaya ini sangat bermanfaat sehingga
masyarakat mengharapkan keberlangsungan Jampersal. Keberlanjutan Jampersal
tanpa batasan, tidak hanya untuk kelompok miskin tapi untuk semua golongan
ekonomi. KTP yang menjadi syarat kepesertaan, bagi penduduk musiman dianggap
sebagai kendala karena sebagian mereka tidak memiliki Kartu Penduduk Musiman.
Namun kepengurusan di kota pada umumnya lebih mudah karena kantor kelurahan
biasanya terjangkau dan biaya yang dibutuhkan tidak terlalu besar.
Kualitas pelayanan. Pelayanan dengan kualitas baik menjadi harapan
masyarakat. Sarana prasarana puskesmas diharapkan lebih baik sehingga mampu
545
memberikan pelayanan persalinan dengan lebih baik. Keberadaan tenaga tidak
sekedar bidan tetapi adanya dokter spesialis kebidanan akan lebih baik dalam
memberikan pelayanan pemeriksaan kehamilan dan mendeteksi risiko kehamilan.
Masyarakat kota lebih menuntut pelayanan yang lebih lengkap seperti tersedia USG,
ruang rawat inap yang lebih bersih dan bagus. Pelayanan yang ramah juga menjadi
harapan masyarakat serta tidak membedakan dengan pelayanan kepada ibu bersalin
dengan sumber biaya mandiri atau biaya perusahaan.
Masih banyak keluhan masyarakat desa terhadap bidan, antara lain bidan
kurang memahami budaya setempat, kurang mampu berinteraksi dengan masyarakat.
Mengatasi hal tersebut, erlu penambahan pengetahuan bidan melalui pendidikan
bidan, kurikulum bidan perlu ditambah dengan materi “pendekatan budaya
masyarakat” dan melakukan kerja praktek di perdesaan. Penempatan bidan di desa
harus diiringi dengan orientasi dan pembimbingan untuk pengenalan wilayah kerja
yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan setempat.
Kemitraan dukun-bidan. Masyarakat masih membutuhkan pelayanan dukun
karena masih kuatnya tradisi pelayanan komprehensif yang dilakukan oleh dukun.
Kemitraan bidan-dukun telah berjalan tetapi masih belum jelas pembagian tugas
antara bidan dan dukun. Pembinaan dukun dan koordinasi antara bidan dan dukun
untuk memperjelas pembagian tugas antara bidan dan dukun sangat diperlukan
dengan mengalihkan tugas dukun dalam membantu persalinan oleh bidan diarahkan
kepada perawatan ibu dan bayi secara higienis.
Bidan siaga. Kesiapan bidan di puskesmas atau poskesdes menjadi harapan
mengingat proses persalinan bisa terjadi sewaktu-waktu. Bidan diharapkan mampu
mendeteksi kehamilan berisiko sehingga dapat merujuk secepat mungkin bila
terdeteksi adanya kemungkinan persalinan abnormal yang perlu mendapat
penanganan dokter di rumah sakit.
Bidan:
Pendanaan. Daerah sulit membutuhkan biaya transportasi khusus. Saran:
Pendanaan Jampersal perlu memberikan biaya transportasi ibu bersalin menuju
fasilitas kesehatan. Adanya kemitraan dukun–bidan dapat menjadi masalah bila
mengurangi pendapatan dukun, maka perlu dipikirkan jasa dukun. Jasa untuk dukun
546
telah dipikirkan oleh beberapa daerah dan diatur secara formal dalam peraturan
daerah.
Klaim biaya Jampersal.Jampersal adalah cara baru pembiayaan persalinan yang
sebenarnya merupakan peralihan Jamkesmas/Jamkesda. Pembiayaan Jampersal
berdasar klaim yang diajukan bidan ke Dinas kesehatan. Proses ini ternyata memakan
waktu disamping penyertaan lampiran-lampiran. Proses klaim dirasakan terlalu lama,
sehingga mereka menerima honor cukup lama bahkan ada yang setiap 6 bulan, bidan
berharap proses klaim bisa lebih cepat, dan pengisian formulir sebagai lampiran klain
dapat disederhanakan.
Sosialiasi Jampersal. Banyak masyarakat belum paham tentang Jampersal dan
persyaratannya. Sosialisasi Jampersal dirasakan kurang dan perlu dilakukan langsung
ke masyarakat. Sosialisasi Jampersal lebih banyak mengandalkan bidan saja sebagai
agen sosialisasi namun di beberapa tempat terjadi konflik kepentingan. Aparat
desa/kelurahan diharapkan dapat membantu. Informasi dapat diperluas dengan
kerjasama lintas sektor seperti kantor desa, LSM danlainnya sehingga tidak menjadi
beban seluruhnya bagi bidan di desa. Mengingat selama ini biaya penyuluhan dan
sosialisasi tidak tercukupi, maka ke depan diharapkan Jampersal juga menanggung
biaya sosialisasi dan penyuluhan.
Peran Sosial Budaya dalam Peningkatan Pemanfaatan Jampersal
Budaya dapat berubah, budaya merupakan suatu alasan kuat bagi manusia untuk
beradaptasi dalam meraih kesuksesan (Phillip, 1991:36). Kroeber menyatakan
lingkungan manusialah yang menyaring diterima atau tidaknya budaya luar yang
masuk (Rambo, 1983: 3). Pernyataan ini didukung oleh Swartz & David (1992: 52)
bahwa kebudayaan selalu disesuaikan dengan lingkungan yang juga sering berubah
dan mempengaruhi manusia dalam memecahkan masalah kehidupan dan berinteraksi
misalnya dalam mencari dan memasak makanan, mengasuh anak, berkomunikasi,
berorganisasi, kontrol sosial, memanfaatkan/memodifikasi lingkungan dan sebagainya.
Terkait dengan Jampersal, masyarakat melakukan penyesuaian pencarian
pelayanan KIA dengan adanya pembiayaan yang didukung pemerintah. Persyaratan
547
berupa persalinan oleh bidan dan dilakukan di fasilitas kesehatan dapat menjadi
kendal bagi masyarakat yang tidak terbiasa dengan perawatan medis oleh tenaga
kesehatan. Masyarakat tradisional masih memilih cara-cara tradisional dalam
perawatan kesehatan secara perlahan terpapar cara-cara modern yang berasal dari
luar wilayahnya dan dari pengaruh budaya modern. Dalam proses kulturasi dan
sosialisasi seseorang atau kelompok menggunakan budayanya sendiri atau budaya
yang datang dari luar untuk pengambilan keputusan tindakan apa yang dilakukan.
Perilaku atau tindakan yang dipilih secara sadar maupun tidak sadar, aktif atau pasif
dengan pertimbangan tingkat keberhasilan dari tindakan disebut perilaku atau strategi
beradaptasi (Bennet, 1976: 1).
Dengan adanya Jampersal masyarakat ekonomi rendah merasa dibantu dalam
pembiayaan persalinan dan kesadaran untuk mendapat pelayanan medis semakin
meningkat. Diketahui pula ada kelemahan dengan adanya Jampersal
yaitumenyebabkan sebagian masyarakat kurang peduli terhadap biaya persalinan dan
perawatan kehamilan. Dana yang semula dipersiapkan untuk kesehatan, dialihkan
untuk keperluan penyelenggaran adat istiadat yang terkesan berlebihan dibanding
kemampuan secara ekonomi. Bahkan Jampersal dimanfaatkan oleh sebagian
masyarakat yang sudah memiliki asuransi (Askes dan Jaminan Kesehatan dari
perusahaan) untuk melahirkan anak ketiga dan selanjutnya.
548
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
Jaminan persalinan diselenggarakan pemerintah dalam upaya memfasilitasi
masyarakat agar mendapat pelayanan pertolongan persalinan aman oleh tenaga
kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan agar capaian target MDGs tahun 2015
bisa terwujud. Peran sosial budaya dapat mempengaruhi pemanfaatan Jampersal
melalui beberapa hal yaitu sosialisasi, kepesertaan, pendanaan, pelayanan dan
ketenagaan melalui 5 unsur budaya. Berikut perincian unsur budaya yang berpengaruh
terhadap pemanfaatan Jampersal.
5.1. Sosialisasi
1. Pendidikan dan pengetahuan, yang baik akan lebih memudahkan pemahaman
terhadap suatu informasi. Keberadaan media informasi seperti televisi, radio,
surat kabar akan memberikan kemudahan penyampaian informasi KIA dan
Jampersal.
2. Kepercayaan: hambatan pada masyarakat (Gayo) yang masih percaya
santet/gaib, masyarakat menolak paham baru (misal informasi tentang
kesehatan/Jampersal) kehadiran orang belum dikenal
3. Mata pencaharian: bekerja di perkebunan/ladang yang lokasinya jauh
menyebabkan banyak masyarakat menghabiskan waktu di ladang atau kebun
sehingga kurang terpapar oleh informasi
4. Orsosmas: Interaksi masyarakat yang baik akan memudahkan diterimanya suatu
informasi tentang KIA dan Jampersal. Informasi yang diterima ibu bila dapat
diterima dengan baik oleh suami akan mendorong kemungkinan persalinan
kepada nakes mengingat di masyarakat perdeaan, suami adalah pengambil
keputusan.
5. Teknologi komunikasi: teknologi informasi tidak banyak dimanfaatkan dalam
proses penyampaian Jampersal dan KIA. Informasi lebih banyak diterima secara
langsung dengan cara tatap muka yang terjadi antara bidan dengan ibu saat pada
saat pelayanan KIA.
549
Saran:
1. Bidan sebagai sumber informasi harus mampu menjalin hubungan yang baik
dengan masyarakat sasaran (ibu), tokoh masyarakat dan organisasi massa.
2. Perlu pembekalan pengetahuan budaya kepada bidan melalui orientasi sebelum
melaksanakan tugas di masyarakat.
3. Menghindari konflik kepentingan bidan puskesmas yang berpraktek swasta
dengan memberikan kompensasi kepada bidan.
5.2. Kepesertaan
1. Pengetahuan/Pendidikan yang baik akan meningkatkan pemahamanan tentang
manfaat Jampersal serta prosedur dan persyaratan yang harus dipenuhi. Banyak
masyarakat belum pernah mendengar tentang Jampersal, termasuk tokoh
masyarakat dan perangkat desa (hasil FGD).
2. Mata Pencaharian. Petani, pekerja kebun, nelayan, buruh perkebunan/pertanian
(kelompok ekonomi kurang) tidak memanfaatkan akibat ketidak tahuan terhadap
Jampersal dan persyaratannya.
3. Kepercayaan tidak terkait dengan kepesertaan
4. Orsosmas: aparat tidak mempersiapkan masyarakat untuk memanfaatkan
Jampersal. Hal ini kemungkinan karena tidak adanya sosialisasi yang terintegrasi
antara bidang kesehatan/puskesmas dengan kelurahan. Kepemilikan KTP di
daerah pedesaan cukup banyak sehingga harus mengurus kartu domisili.
5. Tehnologi: program pemerintah untuk menyelenggarakan e- KTP merupakan
sarana untuk mempermudah masyarakat ikut serta dalam Jampersal karena
identitas diri terdaftar secara nasional.
Saran:
1. Sosialisasi lebih luas dan detil termasuk prosedur dan persaratan menjadi peserta
Jampersal melalui tokoh masyarakat (contoh: Lurah, ketua RW/RT, dll) dan
pemuka agama (kiai, pendeta). Pemanfaatan dukun sebagai penyampai pesan
Jampersal dengan membangun peran kemitraan yang harmonis dengan bidan.
2. Untuk meningkatkan pemanfaatan Jampersal maka perlu adanya kerjasama
puskesmas dengan pihak desa dan kecamatan, bahkan seharusnya dimulai dari
strata yang paling tinggi (Kementerian).
550
3. Perlu peningkatan dan kecepatan penyelenggaraan e-KTP yang merata hingga di
tingkat desa.
5.3. Pendanaan
1. Pengetahuan/Pendidikan:
Pengetahuan yang baik membuat masyarakat mampu memprioritaskan
pembelanjaan uang, sehingga ada upaya untuk menglokasikan sebagian
penghasilan untuk kepentingn kesehatan.
2. Mata pencaharian:
Pendanaan sangat erat kaitannya dengan geofrafis. Untuk melayani ibu di daerah
perdesaan yang sulit, tidak memungkinkan untuk mendatangi fasilitas kesehatan
sehingga bidan yang dijemput untuk melahirkan di rumah ibu. Masalah semakin
kompleks apabila dukun yang dicari oleh masyarakat sehingga harapan ersalinan
oleh nakes di faskes menjadi semakin tidak terpenuhi. Daerah perdesaan di
daerah sulit membutuhkan biaya transportasi khusus.
3. Jasa dukun masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat khususnya dalam
perawatan kehamilan dan pasca persalinan. Adanya kemitraan dukun – bidan,
maka perlu dipikirkan jasa dukun.
Saran:
1. Pendanaan Jampersal perlu memberikan biaya transportasi ibu bersalin menuju
fasilitas kesehatan.
2. Ada alokasi dana Jampersal jasa pelayanan dukun. Sumber dana dapat
memanfaatkan BOK atau dana pemerintah daerah yang lain.
5.4. Pelayanan dan Ketenagaan
1. Pendidikan dan pengetahuan masih rendah tentang KIA dan Jampersal. Masih
banyak masyarakat menggunakan dukun untuk memeriksakan kehamilan.
Keadaan ini cukup memprihatinkan mengingat pemerintah telah menyediakan
Jampersal yang memberikan pelayanan dengan tenaga professional (bidan).
Masih ada persepsi bahwa dukun lebih kompeten dalam mendeteksi kehamilan
dan mengatur letak janin dalam rahim. Pemeriksaan kehamilan oleh bidan
551
mengikuti standar K4 masih belum mencapai target. Termasuk dalam hal ini
adalah persalinan dan pasca persalinan.
2. Masih ada persepsi dari masyarakat bahwa kemampuan dukun lebih dari bidan
dalam hal mengadopsi kepercayaan dan spiritual yang diyakini masyarakat
misalkan: bersuci (mengambil air wudhu) sebelum menolong persalinan,
membaca do’a atau mantra pada saat menolong persalinan. Masyarakat masih
membutuhkan pelayanan dukun karena masih kuatnya tradisi pelayanan
komprehensif yang dilakukan oleh dukun. Kemitraan bidan-dukun telah berjalan
tetapi masih belum jelas pembagian tugas antara bidan dan dukun. Masih banyak
keluhan masyarakat desa terhadap bidan, antara lain bidan kurang memahami
budaya setempat, kurang mampu berinteraksi dengan masyarakat.
3. Persalinan di rumah terjadi karena lokasi rumah penduduk yang terpencil jauh
dari fasilitas kesehatan (poskesdes, polindes, pustu, puskesmas). Selain minimnya
sarana transportasi juga.
4. Persepsi yang salah tentang keamanan persalinan di rumah juga menyebabkan
masyarakat memilih untuk melahirkan di rumah.
Saran:
1. Pemahaman tentang risiko kehamilan melalui kegiatan yang ada di masyarakat
seperti, konseling pra nikah, disisipkan pada ritual pernikahan.
2. Peran serta masyarakat misalkan ojek siaga, ambulan desa, rumah singgah.
3. Kurikulum bidan perlu ditambah degan materi “pendekatan budaya masyarakat”
dan melakukan kerja praktek di perdesaan.
4. Bidan mampu memenuhi keinginan masyarakat terkait dengan kepercayaan dan
spiritual melalui pembagian peran dalam kemitraan dengan dukun. Dukun
memimpin ritual persalinan sementara bidan menangani proses persalinan
secara medis.
5. Penempatan bidan di desa harus diiringi dengan orientasi dan pembimbingan
untuk pengenalan wilayah kerja yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan setempat.
552
DAFTAR PUSTAKA
Alex J. Ulaen. Pantangan bagi Wanita Hamil dan Perawatan Persalinan di Kepulauan Sangihe dan Talaud, Sulawesi Utara. Dalam: Kehamilan, Kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi dalam Konteks Budaya. Enyunting, Meutia F. Swasono. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Bambang S. Mintarjo. 1997. Manusia dan Nilai Budaya. Jakarta: Penerbit Universitas
Trisakti, Swartz, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI, 2006. Panduan Penyusunan
Proposal-Protokol, Penilaian Proposal dan Laporan Akhir Penelitian. Jakarta: Badan Litbang Kesehatan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI, 2011. Pedoman Riset
Operasional Intervensi Kesehatan Ibu dan anak Berbasis Budaya lokal Tahun 2012 Bennet, J.W. Ecological Transition. (http: //www.ca.uky.edu/ Chyntia A, Shinta, 2003. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Faktor Sosial Budaya dengan
Pemilihan Penolong Persalinan di Wilayah Kerja Puskesmas Sayung I Kecamatan
Sayung Kabupaten Demak Tahun 2002. http://eprints.undip.ac.id/5631/1/1882.pdf.
Diakses 5 Mei 2012.
Croyle, Robert T. 2005. Theory at a Glance. A Guide for Health Promotion Practice (second Edition). USA: The National Cancer Institute.
DDA Kab. Jeneponto. http://jenepontokab.bps.go.id. Diakses November 2012 DDA Kota Makassar. makassarkota.bps.go.id/. Diakses November 2012 Direktorat Bina Kesehatan Ibu. 2011 Suplemen Jampersal, Tahun 2011. Kementerian
Kesehatan RI Foster, George M dan Barbara Gallatin Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan. Penerjemah
Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono, Jakarta: Handayani, Lestari, et al.1997. Menuju Pelayanan Persalinan Terpadu. Yogyakarta: Pusat
Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Hunt, Sheila; Anthea Symonds. 2006. Konsep Sosial Kebidanan. Jakarta: ECG
Indonesia. 2009. Undang-undang Republik Indonesia No 52 tahun 2009 tentang
Kependudukan. Jakarta: Kementerian Dalam Negeri. Iskandar, Meiwita B., et al, 1996 Mengungkap Misteri Kematian Ibu di Jawa Barat, Depok,
Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Penelitian, Universitas Indonesia Kementerian Kesehatan RI.
2007. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Badan Litbangkes Kemenkes RI
553
2010. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Jakarta. Badan Litbangkes Kemenkes RI 2011. Buku Saku Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan (PDBK) Tahun
2011. Kementerian Kesehatan RI 2011. Buku I. Pedoman Umum Penanggulangan Daerah Bermasalah Kesehatan
(PDBK) Tahun 2011 2011. Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan Tahun 2011. Kementerian Kesehatan RI 2011. Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kesehatan Tahun 2010 – 2014.
Jakarta: Kementerian Kesehatan. 2011. Permenkes No. 631/Menkes/PER/III/2011 tentang Petunjuk Teknis Jaminan
Persalinan dan Surat Edaran Menkes RI Nomor TU/Menkes/391/II/2011 tentang Jaminan Persalinan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2562/MENKES/PER/XII/2011 Tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan. Kementerian Kesehattan Republik Indonesia.
Koentjaraningrat.1992.Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, Green, Lawrence. 1980. Health Education Planning, A Diagnostic Approuch. The John Hopkins
University: Mayfield Publishing Co. Gularso , Endang P. 1998. Kelahiran Anak dalam Tradisi Orang Betawi di Desa Ragunan, Jakarta
Selatan. Dalam: Kehamilan, Kelahiran, Perawatan Ibu dan Bayi dalam Konteks Budaya. Enyunting, Meutia F. Swasono. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Indonesia, 1989. Panduan bidan di tingkat desa. Bagian I. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Indonesia, 2010. Peraturan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Nomor/1464/Per/Menkes/X/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan Joesran. 2012. Definisi bidan di desa dan program bidan desa.
http://joesrhan.blogspot.com/2012/02/definisi-bidan-desa-dan-program-bidan.html. Diakses tanggal 15 Januari 2013.
Lawrence S. Cunningham, John J. Reich. Culture and Values, Volume II: A Survey of the
Humanities with Readings amazon.com Marc J. and Jordan David K. 1992. Culture: The Anthropological Perspective. New York:
John Wiley & Sons McCarthy, James and Deborah Maine. 1992. A Framework for analyzing the determinants
of Maternal Mortality. Geneva: WHO
554
Meiwita B. Iskandar. et al. 1996. Mengungkap Misteri Kematian Ibu di Jawa Barat. Jakarta: Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Pendidikan UI.
National Cancer Institute. 2005. Theory at a Glance. A Guide for Health romotion Practice
(Second Edition). USA: NIH Publication Perawat on line. Psikoneuroimunologi. Penelitian Antar Disiplin Psikologi, Neurologi,
dan Imunologi. http://ppnisumenep.org/psikoneuroimunologi.Diakses 15 Januari 2013 Peta Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Sumber: http://4.bp.blogspot.com. Diakses Oktober 2012 Phillip, Conrad. 1991. Cultural Anthropology. New York: McGraw-Hill Inc. Qomariah Alwi. 2005 Budaya Suku Amungme dan Suku Kamoro Papua dalam Pemeliharaan
Kehamilan dan Persalinan, Jakarta: Disertasi Rambo, A. Terry. 1983.Conceptual Approaches to Human Ecology. Honolulu: East-West Center. Reddy, P.H, 1990 "Dietary Practices during Pregnancy, Lactation and Infancy: Implications for
Health", Health Transition: The Culture. Sosial and Behavioral determinants of Health, volume II. Disunting oleh John C. Caldwell, et al., Canberra: Health Transition Centre
Setiadi, Elly M. 2007. Pengantar Sosiologi. Kencana. Jakarta.
Upacara Adat Mappasili. http://zipoer7.wordpress.com/2011/06/11/upacara-adat-mappassili/. Diakses November 2012
Wahid Iqbal Mubarak, Nurul Chahayatin, Iga Mainur, 2012. Ilmu sosial budaya dasar
kebidanan: pengantar dan teori. Jakarta: ECG
Wibowo, Adik, 1993 Kesehatan Ibu di Indonesia: Status "Praesens" dan Masalah yang dihadapi di lapangan. Makalah yang dibawakan pada Seminar " Wanita dan Kesehatan", Pusat Kajian Wanita FISIP UI, di Jakarta
Widayatun. Program penempatan bidan di Idesa di Indonesia dan Tingkat Pemanfaatan
Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak. Buletin Pengkajian Masalah Kependudukan dan
Pembangunan X (1-3) 1999.
Profil Kesehatan: Profil Kesehatan Kabupaten Gayo Lues
Profil Kesehatan Puskesmas Pintu Rime
Profil Kesehatan Kota Banda Aceh
Profil Kesehatan Kabupaten lebak
Profil Kesehatan Puskesmas Cirinten
Profil Kesehatan Kota Cilegon
555
Profil Kesehatan Puskesmas Citangkil
Profil Kesehatan Kabupaten Landak
Profil Kesehatan Puskesmas Semata
Profil Kesehatan Kota Pontianak
Profil Kesehatan Puskesmas Karya Mulya
Profil Kesehatan Kabupaten Jeneponto
Profil Kesehatan Puskesmas Arungkeke
Profil Kesehatan Kota Makasar
Profil Kesehatan Puskesmas Kasi Kasi
Profil Kesehatan Kabupaten Bima
Profil Kesehatan Puskesmas Parado
Profil Kesehatan Kota Mataram
Profil Kesehatan Puskesmas Karang Pule
Profil Kesehatan Kabupaten Halmahera Selatan
Profil Kesehatan Puskesmas Mateketen
Profil Kesehatan Kota ternate
Profil Kesehatan Puskesmas Kota Ternate
556
LAMPIRAN
Tabel 4.5.1. Lima Unsur Budaya di 6 Desa (Kabupten) terkait KIA di Lokasi Penelitian
Kecamatan/ Kabupaten
Unsur Budaya
Pengetahuan/ Pendidikan
Mata pencaharian
Nilai/ Kepercayaan
Orsosmas/kekerabatan
Peralatan/ Teknologi
Kec. Pining Gayo Lues
Tingkat
pendidikan
kurang
Pengetahuan
KIA baik
(kesulitan menangkap dan mengikuti program baru. Tidak mau mengikuti persyaratan Jampersal)
Perkebunan
sereh wangi,
coklat, kemiri,
ladang ganja
terbaik
(Sibuk
bekerja,
kurang
terpapar
dengan
sosialisasi
Jampersal)
Ritual Islam +
kepercayaan
animisme (ilmu
njma + ilmu
hitam), air
suluh, Nite
(Masyarakat
curiga dengan
orang baru dan
informasi baru.
Kurang yakin
dengan Nakes
dan Jampersal
karena dukun
ada ritual dan
tidak dibayar)
Interaksi antar
masy baik
Interaksi dg
bidan baik
Interaksi
dukun-bidan
baik
(Toma, dukun
tidak paham
Jampersal,
tidak berperan
dalam
mendukung
pemanfaatan
Jampersal)
Listrik ada
siang saja, air
tanah, sebag
perpipaan, TV
ada, signal
tidak ada,
daerah
terpencil
(Masyarakat
sulit
mendapat
informasi
Jampersal
melalui media,
sulit Tranport
rujukan
Kec. Cirinten Lebak
Tingkat pendidikan kurang Pengetahuan KIA baik
Perkebunan cengkeh, pertanian yang jauh
Banyak ritual Islam, keagamaan, Jimat
Interaksi masy dgn bidan baik Interaksi bidan-dukun baik.
Listrik ada, TV ada air sungai, Ada yang tdk dpt signal HP, daerah terpencil tdk ada kendaraan roda 4
Kec. Ngabang Landak
Tingkat
pendidikan
kurang
Pengetahuan
KIA baik
Berkebun,
menginap
Ritual Kristen,
Mitos
interaksi
suami-istri
bagus, info
Jampersal bisa
tersampaikan
Tidak ada
signal hp.
Saluran siaran
TV ada
Kec. Makian Barat Halmahera Selatan
Tingkat
pendidikan
kurang
Pengetahuan
KIA cukup
Petani kenari,
cengkeh, pala,
pedagang di
Ternate
Islam, banyak
mitos, percaya
gaib, Air amal,
bapanas, bakira
Interaksi
masyarakat-
dukun baik
Interaksi
masy-bidan
baik
Interaksi
dukun-bidan
cukup
Listrik genset
(malam), air
bagus,
transportasi
jalan, roda 2,
daerah
terpencil
557
Kec. Parado Bima
Tingkat
pendidikan
baik, persepsi
tingkat
pendidikan
penting
Pengetahuan
baik
Hutan kemiri,
pertanian
lokasi jauh
dari rumah
Banyak Ritual
Islam, percaya
hal gaib,
sempuru
(ramuan
sembur), air
do’a
Interaksi
masyarakat-
dukun baik
Interaksi
bidan –dukun
baik
Interaksi
masy-bidan
kurang, bidan
baru
ditempatkan
Listrik 24 jam,
air lancar,
signal hp
sebagian tidak
ada
Kec.
Arungkeke
Jeneponto
Tingkat
pendidikan
dan
Pengetahuan
cukup
Nelayan,
petani garam
Banyak Ritual
Islam, Percaya
gaib, jampi,
manusia jadi-
jadian, air do’a,
tiup-tiup.
Interaksi masy
masy-bidan
cukup
Interaksi
masy-dukun
baik
Interaksi
dukun-bidan
baik
Listrik 24 jam,
air mudah,
signal hp, TV
bagus
558
Tabel 4.5.2. Lima Unsur Budaya di 6 Kota terkait KIA di Lokasi Penelitian
KOTA BUDAYA
Pengetahuan/ Pendidikan
Mata pencaharian
Nilai & Kepercayaan
Orsosmas Teknologi
1 Banda Aceh Pendidikan baik, pengetahuan baik
Pedagang, PNS,
Ritual Islam + tidak banyak kepercayaan, tradisi, budaya dukun masih ada/jarang tetapi dari luar daerah (Bugis, Madura)
Interaksi masy baik, Inter dg bidan baik, Dukun jarang Toma tidak paham Jampersal,
Listrik (+), TV (+), air perpipaan, transportasi mudah
2 Cilegon Pendidikan baik, Pengetahuan KIA bagus
Industri/buruh, pedagang, PNS
Ritual Islam >> keagamaan, Jimat, kepercayaan, Budaya dukun masih tetapi dukun sudah tua tidak ada regenerasi
Interaksi masy baik , dg bidan baik. Interaksi bidan-dukun baik. Dukun jarang, tdk melakukan sosialisasi, mobilitas tinggi warga pendatang
Listrik (+), TV (+), air perpipaan, transportasi mudah
3 Pontianak Pendidikan kurang, pengetahuan KIA baik
Buruh, PNS, pedagang,
Ritual Kristen <<, Mitos >> tdk menganggu pemanfaatan jamp
-interaksi suami-istri bagus, shg info jamp tersampaikan, dukun jarang -Toma tdk terlalu berperan
Listrik (+), TV (+), air perpipaan, transportasi mudah, angkutan umum (-) belum merata
4 Ternate Pendidikan baik, Pengetahuan baik,
Petani cengkeh, PNS, pedagang
Islam, Mitos>>, ritual adat kuat, percaya gaib, budaya dukun, tiup-tiup, Air amal, bapanas, bakira, Ritual 44 hari
Interak masy baik, masy-dukun baik, masy-bidan kurang baik, dukun-bidan: kurag, peran Toma thd kes kurang
Listrik (+), TV (+), air perpipaan, transportasi mudah kecuali Marekurubu (bukit)
5 Mataram Pendidikan baik, Tk pendidikan penting, Pengetahuan baik
PNS, wiraswasta, pedagang
Ritual Islam (+), percaya hal gaib, air do’a, masih ada dukun
Interksi masy baik, budaya dukun masih banyak, masyarakat dukun baik, bidan –dukun baik , masy-bidan kurang, bidan baru ditempatkan , bidan dari masy setempat, tuan
Listrik (+), Saluran TV (+), air perpipaan, transportasi mudah
559
guru sebagai rujukan
6 Makassar Pendidikan , Pengetahuan cukup
Pedagang/ wiraswasta, PNS
Ritual Islam >>, Dukun tidak ada
Interaks masy Baik, masy-bidan: cukup,
Listrik (+), TV (+), air perpipaan, transportasi mudah
-