peran intelejen densus 88 dalam menanggulangi …digilib.unila.ac.id/55096/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
PERAN INTELEJEN DENSUS 88 DALAM MENANGGULANGI TINDAK
PIDANA TERORISME
(Skripsi)
Oleh
RYAN FAIZUL FAJRI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
ABSTRAK
PERAN INTELEJEN DENSUS 88 DALAM MENANGGULANGI TINDAK
PIDANA TERORISME
Oleh
RYAN FAIZUL FAJRI
Kejahatan terorisme merupakan salah satu bentuk kejahatan berdimensi
internasional yang sangat menakutkan masyarakat. Intelijen menjadi salah satu
kunci pemberantasan tindak pidana terorisme. Bukti awal dari laporan intelijen
memberikan kewenangan Densus 88/AT untuk melakukan penangkapan. bahwa
terdapat kelemahan selama ini terkait fungsi intelejen buktinya banyak sekali
kejadian teror bom yang tidak dapat dicegah dan pihak intelejen belum
sepenuhnya efektif dalam menanggulangi hal tersebut jadi selama ini intelejen
kecolongan terus terkait aksi bom yang ada di Indonesia. Adapun yang menjadi
permasalahan dalam penulisan ini adalah: Bagaimanakah peran intelejen Densus
88 Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Terorisme?Apakah bentuk koordinasi
Densus 88 dengan lembaga lain yang terkait dengan penganggulangan tindak
pidana terorisme?
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Penelitian
normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum,
sedangkan pendekatan empiris yaitu dilakukan untuk mempelajari hukum dalam
kenyataannya baik berupa penilaian perilaku. Narasumber yang dipakai adalah
Penyidik Densus 88 Anti Teror Polda Lampung, Dosen Bagian Hukum Pidana FH
Unila dan Jaksa Pada Kejaksaan Tinggi
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diketahui bahwa : Peran
Intelejen Densus 88 Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Terorisme tidak lepas
dari Peran Polri sebagai penegakan hukum dan menjaga ketertiban umum Fungsi
Kepolisian (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian)
yang mana Intelejen Densus 88 melakukan Strategi pendekatan lunak dalam
menangani terorisme dilakukan melalui 5 (lima) kegiatan yaitu: Pertama,
melakukan Kontra Radikalisasi (counter radicalization), Kedua Deradikalisasi
(deradicalization), Ketiga, Kontra Ideologi (counter ideology), Keempat,
Menetralisir channel atau media, Kelima, Menjaga kondusifitas situasi untuk
mencegah penyebaran paham Islam radikal. Langkah preventif yang diambil oleh
intelejen Densus 88 dalam rangka penanggulangan terhadap tindak pidana
terorisme, yaitu: Peningkatan pengamanan dan pengawasan terhadap senjata api,
Peningkatan kesiapsiagaan terhadap teroris; Pengawasan terhadap bahan peledak
Ryan Faizul Fajri dan bahan-bahan kimia yang dapat dirakit menjadi bom, Pengetatan pengawasan
perbatasan dan pintu-pintu keluar masuk, dan Pengawasan kegiatan masyarakat
yang mengarah kepada aksi teror. Bentuk Koordinasi Densus 88 Dengan
Lembaga Lain Yang Terkait Dengan Penganggulangan Tindak Pidana Terorisme
dengan melakukan koordinasi dengan intelejen daerah. Langkah ini dapat
ditempuh melalui Kominda. Kegiatan koordinasi yang dilakukan oleh Kominda
merupakan faktor yang sangat penting dalam menghimpun informasi. Ini
dilakukan guna mendeteksi secara dini segala bentuk kerawanan di daerah.
Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi saran penulis adalah: Hendaknya
peran intelejen dapat ditingkatkan secara maksimal baik dalam pengolahan data
dan informasi berkaitan dengan mengendus rencana serangan terorisme yang
hendak dilakukan. dan Hendaknya Pemerintah membuat fungsi pengawasan
terkait operasi yang dilakukan oleh densus dalam memburu terorisme patut
diawasai juga oleh sebuah lembaga yang fungsinya memberikan teguran dan
sanksi kepada anggota densus yang melakukan tindakan diluar batas seperti
melanggar HAM selama ini banyak kritikan terkait kinerja densus yang tidak
pernah dihukum terkait tindakannya dilapangan.
Kata Kunci : Peran, Intelejen Densus 88, Terorisme
PERAN INTELEJEN DENSUS 88 DALAM MENANGGULANGI TINDAK
PIDANA TERORISME
Oleh
RYAN FAIZUL FAJRI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar
SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
PERSEMBAHAN
Teriring Do’a dan rasa syukur Kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-
Nya serta Junjungan Tinggi Rasulullah Muhammad SAW, kupersembahkan karya
skripsi ini kepada inspirasi terbesarku :
Kedua orangtuaku Ayahanda Syaiful Dermawan, S.H., M.M. dan
Ibunda Hana Kurniati, S.E. yang sudah membesarkan, mendidik, membimbing,
berdoa, berkorban serta mendukungku. Terimakasih untuk semua kasih sayang
dan pengorbanan serta setiap doa yang selalu mengiringi langkahku.
Kakakku Annisa Nur Syafina, S.H. Adik-adikku Raden Hamdi Zayyad, Riska
Putri Soraya, Irfan Ahmad Ghozali dan Ariel Abdul Hakim yang kusayangi dan
kubanggakan, terimakasih atas motivasi dan doa untuk keberhasilanku.
Dosen pembimbing dan dosen pembahasku, terimakasih atas bantuan dan
dukungan dalam pembuatan skripsi ini.
Almamater Universitas Lampung Fakultas Hukum tempat aku menimba ilmu dan
mendapatkan pengalaman berharga yang menjadi awal langkahku meraih
kesuksesan.
MOTTO
Maka sesunguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama
kesulitan itu ada kemudahan.
(QS. Al- Insyirah:5-6)
Hatiku tenang mengetahui bahwa apa yang telah melewatkanku tidak akan pernah
menjadi takdirku. Dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan melewatkanku.
(Umar bin Khattab)
SANWACANA
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, tuhan yang maha
pengasih dan maha penyayang yang telah melimpahkan nikmat hidayah serta
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyeslesaikan skripsi ini dengan tepat
waktu. Shalawat serta salam, senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga, sahabat serta seluruh umat.
Skripsi dengan judul “Peran intelejen Densus 88 dalam menanggulangi tindak
pidana terorisme” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini,
untuk itu saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan
untuk pengembangan dan kesempurnaan skripsi ini. Pada kesempatan kali ini,
penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P, selaku Rektor Universitas
Lampung.
2. Bapak Prof. Dr. Maroni, S.H. M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung beserta staf yang telah memberikan bantuan dan kemudahan kepada
penulis selama mengikuti pendidikan.
3. Bapak Eko Raharjo, S.H, M.H. selaku Ketua Bagian Hukm Pidana
sekaligus pembimbing kesatu yang telah meluangkan waktu untuk memberikan
bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam upaya penyusunan skripsi ini.
4. Ibu Dona Raisa Monica, S.H, M.H. Selaku pembimbing kedua sekaligus
sekretaris Bagian Hukum Pidana , yang tak kenal lelah meluangkan waktu,
tenaga serta pikiran untuk memberi dorongan dan semangat kepada penulis
dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.
5. Bapak Prof. Dr. Sunarto, S.H, M.H. selaku pembahan kesatu dan juga penguji
utama yang telah memberikan masukan, saran dan pengarahannya dalam
penulisan skripsi ini.
6. Ibu Emilia Susanti, S.H, M.H. Selaku pembahas kedua yangtelah memebrikan
kritik, masukan dan saran dalam penulisan skripsi ini.
7. Ibu Martha Rianana, S.H, M.H. Sebagai dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan bimbigan dan motivasi selama ini.
8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak dapat
disebutkan satu persatu, terimakasih atas ilmu dan pengetahuan serta bantuan
kepada penulis selama ini.
9. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang
senantiasa membantu dan melayani dengan tulus dan sepenuh hati kepada
penulis selama menajalani perkuliahan.
10. Narasumber dalam penulisan skripsi ini Prof.Dr. Sanusi Husin, S.H, M.H.
selaku dosen di Fakultas Hukum, Ilhamd Wahyudi, .S.H. Selaku jaksa di
Kejaksaan Tinggi Lampung, Briptu. Heru Robiansyah selaku anggota Densus
88 yang telah membantu dalam mendapatkan data yang diperlukan dalam
penulisan skripsi ini.
11. Kedua orangtuaku Ayahanda Syaiful Dermawan, S.H, M.H. dan Ibunda Hana
Kurniati, S.E. , kakak dan adik-adikku serta seluruh keluarga terimakasih tak
tehingga atas segala dukungan moril dan materiil serta motivasi sehingga
penulis dapat menyelesaikan seluruh proses perkuliahan.
12. Kepada kakakku Annisa Nur Syafina, S.H. beserta suami Heru Robiansyah,
adik-adikku Raden Hamdi Zayyad, Riska Putri Soraya, Irfan Ahmad Ghozali
dan Ariel Abdul Hakim yang telah mendukung, memberikan semangat serta
bantuan selama ini, aku bangga tumbuh bersama kalian dalam satu ikatan
keluarga
13. Kepada yang terkasih Anisa Zulfia, A,Md yang selalu menemani, memberi
semangat dan menjadi motivasi hidupku selama ini.
14. Sahabat-sahabat karibku Adon, Dinda, Ook, Atika, Reggy, Cici, Ari dan
Ramli kita telah lewati suka duka bersama-sama, terimakasih untuk semuanya
semoga persahabatan kita dapat terjalin selamanya.
15. Para sahabat Fakultas Hukum Syuhada, Verdinan, Ipul, Reza, Okta, Kadapi,
Reynaldi, Olan, Ohang, Qomar, Aden, Dona, Ute, Uci, dan masih banyak
sahabatku yang tidak bisa disebutkan satu-persatu terimakasih telah
menemaniku melewati hari-hari selama proses pendidikan di Fakultas Hukum.
16. Keluarga baruku KKN Kampung Sumber Katon Kecamatan Seputih Surabaya
Lampung Tengah Bapak Ade Suryaman beserta Ibu, Kiki, Gita, Heri, Zul,
Irma, Melinda dan seluruh masyarakat Sumber Katon, terimakasih atas 40 hari
yang sangat berkesan dan berharga dalam hidupku.
17. Keluarga besar Datuk H. Dermawan, Jidah, Wak Atu, Pakcik, Biksu, Bikcik,
Ahmed, Atu Kin, Fakhri dan semuanya, terimakasih atas doa dan dukungan
selama ini.
18. Keluarga besar Yayik H. Abdul Rani, Nyaik, Wak Herzun, Wak Ipum, Wak
Heri, Binda, Muda, Om Udin, Kiki, Ndek, Abin, Zahra, Adib, Sari, Selly,
Hendi, dan Sandi terimakasih atas doa, dukungan, bantuan dan bimbingan
selama penulis menjalankan perkuliahan di Universitas Lampung.
19. Adik-adik Fakultas hukum Bill Clinton, Kaisar, Adit, dan Ojay terimakasih
atas bantuan dan telah menemaniku dalam menyelesaikan skripsi ini.
20, Karyawan-karyawati gedung A Fakultas Hukum Bu Aswati, Bu De Siti, Pak
De Misiyo dan Bang Ijal yang senantiasa membantu dan tulus melayani penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
20. Kepada semua pihak yang terlibat yang tidak dapat disebutkan satu-persatu
penulis mengucapkan terimaksih atas dukungan dan bantuannya selama ini.
21. Almamaterku tercinta, Universitas Lampung
Terimakasih atas semua bantuan dan dukungan yang telah diberikan. Akhir kata
atas bantuan dan dukungan serta doa dan semangat dari kalian, penulis
mengucapkan mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan keilmuan pada
umumnya dan ilmu hukum khususnya hukum pidana.
Bandar Lampung, Desember 2018
Penulis
Ryan Faizul Fajri
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ......................................................... 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................ 6
D. Kerangka Teori dan Konseptual ............................................................. 7
E. Sistematika Penulisan ............................................................................. 18
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Mengenai Peran Intelejen Densus 88 Anti Teror ........ 20
B. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana Terorisme diIndonesia ........ 21
C. Prosedur Penangkapan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia ............. 32
D. Teori Mengenai Upaya Penanggulangan Kejahatan .............................. 33
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah ............................................................................. 38
B. Sumber dan Jenis Data ......................................................................... 39
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ...................................... 40
D. Penentuan Narasumber......................................................................... 41
E. Analisis Data ........................................................................................ 42
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Peran Intelejen Densus 88 Dalam Menanggulangi Tindak Pidana
Terorisme ......................................................................................... 43
B. Upaya Bentuk Koordinasi Densus 88 Dengan Lembaga Lain
Yang Terkait Dengan Penganggulangan Tindak Pidana
Terorisme ......................................................................................... 62
V. PENUTUP
A. Simpulan ...................................................................................... 73
B. Saran ............................................................................................ 74
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejahatan terorisme merupakan salah satu bentuk kejahatan berdimensi
internasional yang sangat menakutkan masyarakat. Peristiwa 11 September 2001
di New York menjadi babak baru dalam menentukan dan membangun sistem
keamanan di banyak negara terutama dalam menghadapai aksi-aksi terorisme
global.1 Terorisme menjadi isu global yang penggalangannya melibatkan negara-
negara di seluruh dunia. Terorisme menjadi musuh bersama (common enemy) dan
merupakan bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengakibatkan
traumatik mendalam bagi korbannya, sehingga menjadikan sebagai “gross
violation of human right” yang pemberantasannya dilakukan secara luar biasa
(extra ordinary), serta harus diberantas sampai ke akar-akarnya.
Banyaknya rangkaian peristiwa pemboman yang dilakukan oleh terorisme di
wilayah Negara Republik Indonesia telah menimbulkan rasa takut bagi
masyarakat luas, yang mengakibatkan hilangnya nyawa serta kerugian harta
benda, sehingga menimbulkan pengaruh yang besar pada kehidupan sosial,
ekonomi, politik, dan hubungan dengan dunia internasional.
1 Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme: Kebijakan Formulatif Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta: 2012, hlm. 139
2
Terorisme dapat didefinisikan sebagai sebuah aksi kekerasan terencana dengan
motivasi tertentu yang dapat menimbulkan ketakutan pada orang banyak.
Kekerasan dalam terorisme bisa terjadi terhadap negara atau terhadap kelompok
tertentu. Aksi terorisme bertujuan untuk intimidasi atau memaksakan kepentingan
tertentu karena dianggap cara lain sudah tidak mungkin dilakukan.
Selain itu hal tersebut, teroris mempunyai keyakinan bahwa kekerasan adalah
suatu cara yang paling efektif untuk mencapai tujuan yang diperkuat dengan tafsir
keyakinan (misal keyakinan terhadap suatu ideologi) secara parsial. Definisi
tersebut linear dengan arti terorisme yang merujuk pada KBBI Pusat Bahasa edisi
IV yaitu penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha
mencapai tujuan (terutama tujuan politik).
Peran intelijen dalam aplikasi sistem pemerintah Indonesia adalah memberikan
peringatan (early detection and early warning system) tentang hal-hal yang
berkaitan dengan ancaman terhadap negara dari dalam maupun dari luar. Secara
yuridis maka peran intelijen jika diterjemahkan dari tujuan Intelijen Negara yang
tertulis dalam UU Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara Pasal 5
disebutkan bahwa: Tujuan Intelijen Negara adalah mendeteksi, mengidentifikasi,
menilai, menganalisis, menafsirkan, dan menyajikan Intelijen dalam rangka
memberikan peringatan dini untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan bentuk
dan sifat ancaman yang potensial dan nyata terhadap keselamatan dan eksistensi
bangsa dan negara serta peluang yang ada bagi kepentingan dan keamanan
nasional.
3
Secara umum fungsi sebuah organisasi intelijen negara adalah mengamankan
kepentingan nasional.2 Berkaitan dengan terorisme yang terjadi di Indonesia yang
merupakan salah satu ancaman yang mengganggu kepentingan nasional, maka
intelijen wajib berperan serta dalam mencegah, menanggulangi dan memberantas
terorisme. Intelijen tidak memiliki kewenangan dalam bidang penegakan hukum.
Jika intelijen menemukan alat bukti yang menyangkut tentang pencegahan,
penangkalan, dan penanggulangan ancaman keamanan nasional maka dilakukan
koordinasi dengan pihak lain seperti kepolisian untuk penegakan hukum.
Berdasarkan tugas dan kewenangannya maka intelijen mempunyai peran yang
sangat vital dalam penganggulangan terorisme. Sesuai dengan Pasal 7 UU Nomor
17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara maka ruang lingkup intelijen negara
adalah Intelijen dalam negeri dan luar negeri, Intelijen pertahanan dan/atau
militer, Intelijen Kepolisian, Intelijen penegakan hukum, dan Intelijen
kementrian/lembaga pemerintah nonkementrian.
POLRI sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan dalam penindakan hukum
membentuk Satuan Tugas Anti Teror bernama Detesamen Khusus 88 Anti Teror
POLRI (Densus 88/AT). Tugas Densus 88/AT adalah menangani segala bentuk
ancaman teroris termasuk diantaranya ancaman bom dan penyanderaan. Dalam
menangani ancaman dan aksi teroris, Densus 88/AT memerlukan laporan intelijen
sebagai informasi awal untuk melakukan tindakan.
Intelijen menjadi salah satu kunci pemberantasan tindak pidana terorisme. Bukti
awal dari laporan intelijen memberikan kewenangan Densus 88/AT untuk
2 Supono Soegirman, Intelijen, Profesi Unik Orang-orang Aneh, Media Bangsa, 2005.
4
melakukan penangkapan. Fungsi intelijen dalam struktur organisasi dari Densus
88/AT sangat strategis. Densus 88/AT dalam organisasinya memiliki empat pilar
pendukung operasional setingkat sub-detasemen (Subden), yakni: Subden
Intelijen, Subden Penindakan, Subden Investigasi, dan Subden Perbantuan.
Peristiwa bom beruntun terjadi di beberapa wilayah Indonesia pada bulan Mei
2018 Seperti kasus Pertama Kerusuhan di Rutan Mako Brimob Kelapa Dua.
tragedi penyanderaan anggota polisi oleh narapidana teroris (napiter) di Rutan
Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, mencuri banyak perhatian..3
Kasus kedua ledakan bom di Surabaya pertama kali terjadi pukul 06.30 di
Gereja Santa Maria Tak Bercela. Setelah ledakan di Gereja Santa Maria Tak
Bercela, bom selanjutnya meledak di Gereja Kristen Indonesia di Jalan
Diponegoro pada pukul 07.15 dan disusul ledakan di Gereja Pantekosta di Jalan
Arjuno pada pukul 07.53. Dalam peristiwa ledakan bom di Surabaya ini, 10
orang tewas dan 41 orang luka-luka.4
Kasus ketiga Bom bunuh diri meledak di Markas Polrestabes Surabaya Senin 14
Mei 2018 sekitar pukul 08.50 WIB. Kepolisian menyebut bom bunuh diri itu
menggunakan sepeda motor yang dikendarai seorang pria, perempuan, dan
seorang bocah yang duduk di depan. Berdasarkan rekaman CCTV, saat itu sebuah
minibus hendak memasuki gerbang penjagaan Mapolrestabes untuk dilakukan
pemeriksaan oleh tiga petugas jaga dan provost. Saat mobil tersebut diperiksa, dua
3 https://mojok.co/apk/ulasan/pojokan/kejadian-mako-brimob/ diakses pada Tanggal 5 Juli
2018 4 http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44097913 diakses pada Tanggal 5 Juli 2018
5
motor mencoba menyalip mobil yang diperiksa. Saat dilakukan pemeriksaan
itulah pengendara yang membonceng seorang perempuan itu meledakkan diri..5
Kasus keempat. Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo Di hari yang sama dengan
peledakan di tiga gereja, Minggu (13/5), sekitar pukul 21.30 WIB, bom meledak
di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo. Bom itu milik Anton Ferdiantoro (46) dan
meledak tidak sengaja. Dalam insiden ini, Anton, beserta istri dan satu anaknya
tewas. Sedangkan tiga anaknya selamat dan mendapat perawatan di rumah sakit.6
Kasus kelima.Penyerangan di Mapolda Riau Markas Polda Riau di Pekanbaru
diserang teroris, Rabu (16/5), sekitar pukul 08.30 WIB. Lima teroris menyerang
Mapolda Riau mengunakan mobil Avanza. Teroris tersebut mencoba menerobos
ke gerbang Mapolda. Empat pelaku langsung ditembak mati sesaat setelah insiden
itu dan satu pelaku terluka. Seorang lainnya yang menyetir mobil juga berhasil
diamankan. Dua orang polisi luka-luk karena diserang dengan pedang dan seorang
polisi tewas karena tertabrak mobil teroris.7
Kejadian ini meninggalkan pertanyaan sangat besar pada publik: Mengapa bisa
terjadi? Apa yang kita bisa lakukan untuk mencegah hal ini terulang? apakah
memang Intelijen tak bekerja untuk melakukan deteksi dini gejala serangan
teroris. mengapa dalam hal-hal yang jelas sensitif tetapi Kepolisian tak mampu
mencegahnya.
5https://www.liputan6.com/news/read/3524571/kronologi-bom-bunuh-diri-mapolrestabes-
surabaya, diakses pada Tanggal 5 Juli 2018 6 https://kumparan.com/@kumparannews/5-aksi-teror-yang-terjadi-di-bulan-mei, diakses
pada Tanggal 5 Juli 2018 7 Ibid
6
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka penulis akan melakukan
penelitian dan menuangkannya ke dalam skripsi berjudul : “Peran Intelejen
Densus 88 Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Terorisme”
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah peran intelejen Densus 88 Dalam Menanggulangi Tindak
Pidana Terorisme?
b. Apakah bentuk koordinasi Densus 88 dengan lembaga lain yang terkait
dengan penganggulangan tindak pidana terorisme?
2. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah hukum pidana dan dibatasi pada kajian
mengenai Peran Intelejen Densus 88 Dalam Menanggulangi Tindak Pidana
Terorisme berdasarkan hukum di Indonesia. Ruang lingkup Lokasi Penelitian
adalah pada Detasemen Khusus 88 Polda Lampung dan Penelitian dilaksanakan
pada Tahun 2018.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut :
7
a. Untuk mengetahui peran intelejen densus 88 dalam menanggulangi tindak
pidana terorisme.
b. Untuk mengetahui koordinasi Densus 88 dengan lembaga lain yang terkait
dengan penanggulangan tindak pidana terorisme.
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun
secara praktis, yaitu sebagai berikut :
a. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah
kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berhubungan dengan upaya Peran
Intelejen Densus 88 Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Terorisme.
b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan
dan kontibusi positif bagi Peran Intelejen Densus 88 Dalam Menanggulangi
Tindak Pidana Terorisme.
D. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
1) Peran Dari Intelejen Densus 88 Anti Teror
Detasemen Khusus 88 atau Densus 88 adalah satuan khusus Kepolisian Negara
Republik Indonesia berperan guna penanggulangan teroris di Indonesia. Pasukan
khusus berompi merah ini dilatih khusus untuk menangani segala ancaman teror,
termasuk teror bom. Beberapa anggota juga merupakan anggota tim Gegana.
Detasemen 88 dirancang sebagai unit antiteroris yang memiliki kemampuan
mengatasi gangguan teroris mulai dari ancaman bom hingga penyanderaan.
8
Densus 88 di pusat (Mabes Polri) berkekuatan diperkirakan 400 personel ini
terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan peledak (penjinak bom), dan unit pemukul
yang di dalamnya terdapat ahli penembak jitu. Selain itu masing-masing
kepolisian daerah juga memiliki unit antiteror yang disebut Densus 88,
beranggotakan 45-75 orang, namun dengan fasilitas dan kemampuan yang lebih
terbatas.
Fungsi Densus 88 Polda adalah memeriksa laporan aktivitas teror di daerah.
Melakukan penangkapan kepada personel atau seseorang atau sekelompok orang
yang dipastikan merupakan anggota jaringan teroris yang dapat membahayakan
keutuhan dan keamanan negara R.I.
Penggunaan Laporan Intelejen diatur dalam Pasal 26 Ayat 1 Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 menyebutkan: 12 “untuk memperoleh bukti permulaan
yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelejen.” Dalam
penjelasan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Pasal 26 Ayat (1) diatas
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan laporan intelejen adalah laporan yang
berkaitan dan berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional. Laporan
intelejen dapat diperoleh dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar
Negeri, Departemen Pertanahan, Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen
Keuangan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia,
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Badan Intelejen Negara, atau instansi
lainya yang terkait. Jadi pasal ini memberikan kewenangan khusus kepada
penyidik dalam hal ini Densus 88 untuk menggunakan setiap laporan intelejen
sebagai bukti permulaan yang cukup.
9
2). Teori Peran
Pengertian peranan menurut Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut: “Peranan
merupakan aspek dinamisi kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan
hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu
peranan”.Berdasarkan uraian tersebut dapat diambil pengertian bahwa peranan
merupakan penilaian sejauh mana fungsi seseorang atau bagian dalam menunjang
usaha pencapaian tujuan yang ditetapkan atau ukuran mengenai hubungan 2 (dua)
variabel yang mempunyai sebab dan akibat.Sedangkan peran ideal, dapat
diterjemahkan sebagai peran yang diharapkan dilakukan oleh pemegang peranan
tersebut.8
Secara sosiologis, setiap aparat penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan
(status) dan peranan (role).Kedudukan merupakan posisi tertentu di dalam
struktur kemasyarakatan.Kedudukan tersebut merupakan peranan atau role, oleh
karena itu seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan
pemegang peranan (role occupant). Menurut Soerjono Soekanto, suatu peranan
tertentu dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur sebagai berikut:
1. Peranan yang ideal (ideal role)
2. Peranan yang seharusnya (expected role)
3. Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role)
4. Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role),9
Hak merupakan wewenang untuk berbuat dan tidak berbuat dan secara sosiologis,
hak merupakan suatu peranan atau lebih tepat peranan yang diharapkan (ideal
8Ibid, ,hlm125
9Ibid, ,hlm125
10
role; expected role). Suatu kewajiban merupakan beban atau tugas pada seseorang
untuk melakukan sesuatu dan di dalam sosiologi kewajiban juga disebut peranan
atau peranan yang diharapkan.
Peranan yang diharapkan merupakan apa yang disebut dengan norma atau kaidah.
Kaidah tersebut, merupakan patokan atau pedoman mengenai sikap tindak yang
pantas atau yang diharapkan.Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa secara
sosiologis konsepnya adalah peranan yang diharapkan.Selain itu, dalam sosiologi
juga dikenal konsep peranan yang dianggap oleh pemegang peran itu sendiri
(perceived role).
Peranan juga ada yang dianggap oleh pemegang peran berbeda dengan peranan
yang ideal. Misalnya peranan yang diharapkan dari seorang petugas hukum,
adalah melindungi warga masyarakat.Akan tetapi mungkin petugas itu sendiri
beranggapan peranannya adalah senantiasa menindak atau menegakkan ketertiban
(yang tidak selalu serasi dengan ketenteraman pribadi). Suatu hal lain yang
memerlukan tinjauan adalah konsep peranan yang aktual (actual role).
Peranan yang aktual merupakan peranan yang dilaksanakan dalam kenyataan,
yang tidak mustahil adalah tidak serasi dengan peranan yang diharapkan ataupun
dengan peranan yang dianggap oleh pemegang peran.Kalau hal tersebut terjadi,
dapat dikatakan bahwa suatu kaidah hukum tertentu tidaklah efektif oleh karena
tidak mencapai tujuannya dan tidak ditaati dalam kenyataannya.
Secara yuridis gejala tersebut dinamakan hak dan kewajiban.Setiap hak biasanya
dilingkupi oleh suatu kewajiban, yakni kewajiban untuk tidak menyalahgunakan
hak tersebut.Demikian pula halnya dengan setiap kewajiban, yang senantiasa
11
dilingkupi oleh suatu hak, yakni hak untuk tidak diganggu dalam melaksanakan
kewajiban tersebut.Hal ini merupakan suatu peranan yang diharapkan, oleh karena
dalam kenyataan tidaklah selalu demikian adanya.
Peran menyebabkan, seseorang pada batas-batas tertentu, dapat meramalkan
perbuatan atau tindakan orang lain. Setiap individu yang bersangkutan akan dapat
menyesuaikan perilaku sendiri dengan perilaku orang-orang yang ada dalam
kelompoknya. Sebagai pola perlakuan, peran memiliki beberapa unsur, antara
lain:
a. Peran ideal, sebagaimana dirumuskan atau diharapkan oleh masyarakat
terhadap status-status tertentu. Peran tersebut merumuskan hak-hak dan
kewajiban yang terkait dengan status tertentu.
b. Peranan yang dilaksanakan atau dikerjakan. Ini merupakan peranan yang
sesungguhnya dilaksanakan oleh seseorang dalam kehidupan nyata. Peranana
yang dilakukan dalam kehidupan nyata mungkin saja berbeda dengan peranan
ideal, yang ideal hanya berada dalam fikiran dan belum terealisasi dalam
kehidupan yang sebenarnya.10
Peran merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status) yang dimiliki oleh
seseorang, sedangkan status merupakan sekumpulan hak dan kewajiban yang
dimiliki seorang apabila seseorang melakukan hak-hak dan kewajibankewajiban
sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu fungsi
Hakekatnya peran juga dapat dirumuskan sebagai suatu rangkaian perilaku
tertentu yang ditimbulkan oleh suatu jabatan tertentu. Peran merupakan tindakan
atau perilaku dilakukan oleh seseorang yang menempati suatu posisi di dalam
status sosial, syarat peran mencakup 3 (tiga) hal, yaitu:
a. Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
dimana seseorang itu didalam masyarakat.
b. Peran adalah suatu konsep perilaku apa yang dapat dilaksanakan oleh
individu-individu dalam masyarakat sebagai organisasi. Peran juga dapat
10
Ibid, ,hlm126
12
dikatakan sebagai perilaku individu, yang penting bagi struktur sosial
masyarakat.
c. Peran adalah suatu yang ditimbulkan karena suatu jabatan. Peran merupakan
suatu aspek yang dinamis dari kedudukan seseorang, apabila seseorang
melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka
orang yang bersangkutan menjalankan suatu peranan tersebut.11
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, disimpulkan bahwa peran adalah suatu
sikap atau perilaku yang diharapkan oleh banyak orang atau sekelompok orang
terhadap seseoraang yang memiliki status atau kedudukan tertentu. Hal tersebut
dapat diartikan apabila dihubungkan dengan lembaga pemerintahan, peran tidak
berarti sebagai hak dan kewajiban individu, melainkan tugas dan wewenangnya
sebagai lembaga pemerintahan.
2) Teori Upaya Penanggulangan Kejahatan
Menurut Romli Atmasasmita kejahatan adalah masalah sosial yang di hadapi oleh
masyarakat di seluruh Negara semejak dahulu dan pada hakikat nya merupakan
produk dari masyarakat itu sendiri. Kejahatan dalam arti luas, menyangkut
pelanggaran dari norma-norma yang di kenal masyarakat, seperti norma-norma
agama, norma moral hukum. Norma hukum pada umumnya dirumuskan dalam
undang-undang yang di pertanggung jawab kan aparat pemerintah untuk
menegakkan nya, terutama kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.12
Menurut Soejono D menyadari tingginya tingkat kejahatan, maka secara langsung
atau tidak langsung mendorong pula perkembangan dari pemberian reaksi
terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan pada hakikat nya berkaitan dengan
maksud dan tujuan dari usaha penanggulangan kejahatan tersebut. Upaya
11
Miftah Thoha, Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo
Perkasa, Jakarta, 2008 hlm. 98 12
Romli atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung, Tarsito, 2006, hlm.
32.
13
penanggulangan kejahatan telah dilakukan semua pihak, baik pemerintah maupun
masyarakat pada umum nya.13
Berbagai program serta kegiatan yang telah di lakukan sambil terus mencari cara
yang paling tepat dan efektif dalam mengatasi masalah kejahatan. Terdapat
beberapa cara yang dapat digunakan dalam melakukan penanggulangan kejahatan,
yaitu :
a) Penerapan hukum pidana (criminal law application);
b) Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);
c) Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
lewat media massa (influencing views of society on crime and
punishment/mass media).14
Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal.15
Kebijakan kriminal tidak terlepas
dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial yang terdiri dari kebijakan
atau upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan upaya-upaya untuk
perlindungan masyarakat. Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan
kejahatan dilakukan dengan menggunakan sarana penal, maka kebijakan hukum
pidana khususnya pada tahap yudikatif/aplikatif harus memperhatikan dan
13
Soejono, D..Doktrin-doktrin krimonologi, Bandung, Alumni, 1973, hlm.42 14
Barda Nawawi Arif, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan dan
Pengembangan Hukum Pidana, Jakarta, Kencana, 2006, hlm. 52 15
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta, Kencana, 2008,
hlm. 1.
14
mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa kesejahteraan
sosial dan kebijakan untuk perlindungan masyarakat.16
Penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan kebijakan kriminal. Usaha -
usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan sudah
tentu tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), tetapi juga
menggunakan sarana non penal. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus
menunjang tujuan yang sangat penting yaitu aspek kesejahteraan masyarakat yang
bersifat immateril, terutama nilai kepercayaan, kebenaran, kejujuran dan keadilan.
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan
intergral ada keseimbangan sarana penal dan nonpenal. Dilihat dari sudut politik
kriminal, kebijakan paling strategis melalui sarana nonpenal karna lebih bersifat
preventif dan kerena kebijakan penal mempunyai keterbatasan/kelemahan yaitu
bersifat fragmentaris/tidak struktural fungsional dan harus didukung oleh
infrastruktur biaya yang tinggi.17
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal yang
operasionalnya melalui beberapa tahap yaitu :
a) Tahap Formulasi (kebijakan legislatif).
b) Tahap Aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial).
c) Tahap Eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
Upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan adanya tahap
formulasi, maka bukan hanya tugas aparat penegak hukum saja, tetapi juga tugas
16
Shafrudin, Politik Hukum Pidana, Bandar Lampung, Universitas Lampung, 1998, hlm.
75. 17
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kesejahteraan, Jakarta, Kencana, 2010, hlm. 77.
15
aparat pembuat hukum (aparat legislatif) bahkan kebijakan legislatif merupakan
tahap paling strategis dari penal policy. Karena itu kesalahan atau kelemahan
kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi
penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi
dan eksekusi.18
Upaya-upaya penanggulangan kejahatan di atas dapat dikelompokan dalam
bentuk upaya-upaya: Pertama, Upaya Preventif yaitu segala upaya untuk
mencegah seorang atau masyarakat melakukan kejahatan diantaranya dengan
mengupayakan untuk menghilangkan faktor kesempatan misalnya dengan
mengadakan patroli secara kontinyu, pengadaan posko-posko keamanan,
pengadaan operasi atau razia senjata tajam.19
Kedua, Upaya Represif yaitu segala
tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan masyarakat sesudah
terjadinya kejahatan diantaranya dengan mengadakan tindakan penyidikan,
penuntutan, dan seterusnya sampai dilaksanakannya pidana atau keputusan
hakim.20
Upaya ini dalam pengambilan tindakannya, apabila petugas menemukan yang
merupakan gangguan bagi ketertiban dan keamanan umum dan peristiwa itu
belum merupakan suatu tindakan pidana tetapi petugas sudah menindaknya
dengan tujuan untuk menghindarkan terlaksananya suatu tindak pidana misalnya
dalam hal kerusuhan maka petugas dapat berinisiatif menindak tegas massa yang
melakukan tindakan agresif dan deskrutif seperti penyerangan, perusakan, dan
penjarahan yang dapat mengancam harta dan jiwa seseorang.
18
Ibid, hlm. 79. 19
Ibid, hlm. 48 20
Ibid, hlm. 48
16
Ketiga, Upaya Kuratif yaitu sebagai pelaksanaan pidana dengan mengadakan
pembinaan bagi para pelaku kejahatan atau tindakan pidana.21
Upaya
penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi juga menjadi dua: yaitu
lewat jalur penal (hukum pidana) dan lewat jalur non penal (di luar hukum
pidana). Dalam pembagian G.P Hoefnagels di atas upaya-upaya yang disebut
dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya nonpenal.
Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat
jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represif yaitu sesudah kejahatan
terjadi, sedangkan jalur nonpenal lebih menitikberatkan pada sifat preventive
yaitu pencegahan, penangkalan, pengendalian sebelum kejahatan terjadi.
Upaya penaggulangan dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan
represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti
luas. Maka perlu dilakukan usaha-usaha pencegahan sebelum terjadinya kejahatan
serta memperbaiki pelaku yang telah diputuskan bersalah mengenai pengenaan
hukuman.
Usaha-usaha tersebut di atas sebenarnya yang lebih baik adalah usaha mencegah
sebelum terjadinya kejahatan daripada memperbaiki pelaku yang telah melakukan
kejahatan.22
2. Konseptual
Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan antara konsep-
konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah
21
Ibid, hlm. 49 22
Ibid, hlm. 46-47
17
yang ingin atau yang akan diteliti.23
Kerangka konseptual yang akan digunakan
dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Intelejen
Intelijen adalah pengetahuan, organisasi, dan kegiatan yang terkait dengan
perumusan kebijakan, strategi nasional, dan pengambilan keputusan berdasarkan
analisis dari informasi dan fakta yang terkumpul melalui metode kerja untuk
pendeteksian dan peringatan dini dalam rangka pencegahan, penangkalan, dan
penanggulangan setiap ancaman terhadap keamanan nasional.24
2. Dentasemen Anti Teror 88
Dentasemen Anti Teror 88 adalah satuan khusus Kepolisian Negara Republik
Indonesia untuk penanggulangan terorisme di Indonesia. Pasukan khusus ini
dilatih khusus untuk menangani segala ancaman teror, termasuk teror bom.
Beberapa anggota juga merupakan anggota tim Gegana.25
3. Tindak Pidana
Tindak Pidana adalah suatu kelakuan/handeling yang diancam pidana, bersifat
melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh
orang yang mampu bertanggung-jawab.26
4. Terorisme
Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak
pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang yang mengatur
pemberantasan tindak pidana terorisme.27
23
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 1985, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali, Jakarta,. 24
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2011 Tentang
Intelijen Negara 25
https://id.wikipedia.org/wiki/Detasemen_Khusus_88_(Anti_Teror) 26
Moeljatno. 1983. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Bandung, hlm 56
18
E. Sistematika Penulisan
I. PENDAHULUAN
Bab ini memuat tentang Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup
Penelitian, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teoritis dan Konseptual
serta Sistematika Penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Merupakan Bab yang berisikan tentang pengertian-pengertian dari istilah
sebagai latar belakang pembuktian masalah dan dasar hukum yang terdiri dari
Teori Upaya Penanggulangan Kejahatan, Tinjauan Umum Mengenai Tindak
Pidana Terorisme di Indonesia, Prosedur Penangkapan Tindak Pidana Terorisme
di Indonesia, dan Tinjauan Umum Densus 88 Anti Teror.
III. METODE PENELITIAN
Merupakan Bab yang menjelaskan metode yang dilakukan untuk memperoleh dan
mengolah data yang akurat. Adapun metode yang digunakan terdiri dari
pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan
pengolahan data, serta analisa data.
IV .HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi tentang pembahasan berdasarkan hasil penelitian terhadap permasalahan
dalam penelitian ini yaitu Bagaimanakah peran intelejen Densus 88 Dalam
Menanggulangi Tindak Pidana Terorisme? Apakah bentuk koordinasi Densus 88
27
Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Pendanaan
Terorisme
19
dengan lembaga lain yang terkait dengan penganggulangan tindak pidana
terorisme?
V. PENUTUP
Merupakan Bab yang berisi tentang kesimpulan dari hasil pembahasan yang
berupa jawaban dari permasalahan berdasarkan hasil penelitian serta berisikan
saran-saran penulis mengenai apa yang harus kita tingkatkan dari pengembangan
teori-teori yang berkaitan dengan hasil penelitian demi perbaikan dimasa
mendatang.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Mengenai Peran Densus 88 Anti Teror
Densus 88 dibentuk dengan Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 20 Juni
2003, untuk melaksanakan UU No. 15 Tahun 2003. Kemudian Densus 88 baru
diresmikan pada tanggal 26 Agustus 2004. Densus 88 adalah satuan khusus Polri
untuk penaggulangan teroris di Indonesia. Densus 88 dirancang sebagai unit anti
teroris yang memiliki kemampuan mengatasi gangguan teroris mulai dari
ancaman bom hingga penyanderaan. 28 Densus 88 di pusat (Mabes Polri)
berkekuatan diperkirakan 400 personel ini terdiri dari ahli investigasi, ahli bahan
peledak (penjinak bom), dan unit pemukul yang di dalamnya terdapat ahli
penembak jitu. Selain itu masing-masing kepolisian daerah juga memiliki unit anti
terror Densus 88, beranggotakan 45-75 orang, namun dengan fasilitas dan
kemampuan yang lebih terbatas.
Densus 88 adalah salah satu dari unit anti terror di Indonesia, disamping:
Datasemen C Gegana Brimob, Datasemen Penaggulangan Teror (Dengulator TNI
D) alias Grup 5 Anti Terror, Datasemen 81 Kopasus TNI D (Kopsus) sendiri
sebagai pasukan khusus juga memiliki kemampuan anti teror, Datasemen
Jalamangkar (Denjaka) Korps Marinir TNI AU, dan satuan anti teror BIN.
28
Frassminggi Kamasa, Terorisme, Kebijakan Kontra Terorisme Indonesia, (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2015), hlm. 136.
21
Fungsi yang diselenggarakan Densus 88 AT antara lain:
1) penyelidikan, meliputi negosiasi pendahuluan, penetrasi dan intelijen;
2) Penindakan meliputi negosiasi pendahuluan, penetrasi dan penjinakan bahan
peledak;
3) investigasi, meliputi kegiatan pengolahan Tempat Kejadian Perkara (TKP),
pemeriksaan terhadap saksi/tersangka/barang bukti dan penyerahan perkara
dalam rangka CSJ (Criminal Justice System);
4) bantuan, meliputi kegiatan memberikan dukungan peralatan, komunikasi,
trnsportasi, dna materil kerajasama luar negeri dan dalam negeri.
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 52 tahun 2010 Tentang Susunan
Organisasi Dan Tata Kerja Kepolisian Negara Republik Indonesia, Densus 88 kini
langsung berada di bawah kepala Polri setelah sebelumnya berada di bawah
Badan Reserse Kriminal Polri.29
B. Tinjauan Umum Mengenai Penanganan Tindak Pidana Terorisme Oleh
Penegak Hukum
Pengertian terorisme masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada ahli yang
merumuskan, dan dirumuskan di dalam peraturan perundang-undangan. Kejelasan
definisi ini diperlukan agar tidak terjadi salah tangkap, dan berakibat merugikan
kepentingan banyak pihak, disamping demi kepentingan atau target merespon Hak
Asasi Manusia (HAM) yang seharusnya wajib dihormati.30
Secara etimolgi,
perkataan “teror” berasal dari bahasa Latin “terrere” yang dalam bahasa Inggris
berarti “menakutkan” atau “mengerikan”.31
Pakar sosial politik Barat juga belum menyepakati tentang definisi terorisme. J.
Bowyer Bell misalnya yang mendefinisikan terorisme sebagai senjata kaum lemah
29
Ibid 30
Abdul Wahid, Sunardi, dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme Perspektif
Agama, HAM dan Hukum, Refika Aditama, Bandung: 2004, hlm. 21. 31
O.C. Kaligis, Terorisme Tragedi Umat Manusia, OC. Kaligis & Associates, Jakarta:
2003, hlm. 6.
22
yang paling ampuh. Sementara itu Brian Michael Jenkins melihat terorisme
sebagai “a new form of warfare”,.32
Permasalahan penyelidikan dan penyidikan mengenai kasus Tindak Pidana
terorisme ini di Indonesia mempunyai badan-badan atau lembaga-lembaga tinggi
negara yang dikhususkan untuk menjalankan prosedur dari pada kasus ini dan
juga memiliki wewenang tersendiri. Antara lain dari pihak kepolisian ada tim
khusus penanggulangan Tindak Pidana terorisme yakni Tim DENSUS 88 Anti
Teror dari kepolisian, detasemen 81 yang tergabung dalam Kopassus (Komando
pasukan khusus), Pasukan Elit TNI AD, TNI AL, ada Detasemen Jamangkara
(Denjaka), yang tergabung dalam Korps Mariner, TNI AU, ada Detasemen Bravo
(Denbravo), yang tergabung dalam Paskhas TNI AU, Pasukan Elit TNI AU.
Badan Intelijen Negara atau disingkat BIN juga memiliki desk gabungan yang
merupakan representatif dari kesatuan anti-terror. Pemerintah pada saat ini
menempatkan pasukan milik TNI berada dibelakang tim anti-teror milik Polri.
Detasemen khusus 88 menjadi Leading Sector dalam operasi penaggulangan
tindak pidana terorisme di Indonesia. Penempatan Densus 88 sebagai garda depan
penanggulangan tindak pidana terorisme ini kadang menimbulkan kecemburuan
di antara kesatuan-kesatuan anti-teror lainnya.33
Kondisi ini bahkan seringkali mengarah ke konflik terbuka antara kesatuan anti-
teror di lapangan, khususnya terkait dengan penaganan Seperatisme di Aceh dan
Papua, serta konflik komunal seperti di Poso dan Maluku, dimana densus 88 Anti
32
M. Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah, Hikmah, Jakarta: 2007, hlm. 172-173. 33
Galih Priatmodjo, Densus 88, The Under cover squad, Jagakarsa, Jakarta: 2010, hlm. 82-
83.
23
terror Polri, karena berada dibawah Ditserse Polda, maka dilibatkan juga pada
operasional kasus-kasus tersebut pada penjelasan. Padahal, bila mengacu kepada
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri atau dalam Susunan dan
kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang tercantum pada BAB II
Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 Pasal 9 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Polri tersebut. dan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang
TNI separatism menjadi titik temu tugas antara TNI dan POLRI. Dimana TNI
menjadi unsur utama, dan Polri menjadi unsur pendukung. Selama ini penugasan
dari terhadap aksi terror terkait separatisme adalah oleh Brimob Polri, dengan
Unit wanteror dan Gegana.34
Densus 88 anti-teror dalam strukturalnya tingkat pusat berada dibawah Badan
Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri Dipimpin oleh Komandan Detasemen
berpangkat Brigjen Polisi dan dibantu oleh wakil detasemen (Waden). Sedangkan
pada tingkat Polda, Densus 88 berada dibawah Direktorat Serse (Dit Serse)
dipimpin oleh komandan berpangkat Perwira menengah Polisi (Pamen Pol).
Dalam pembentukan detasemen Anti Teror ini menpunyai landasan hukum.
Detasemen ini digagas pada tahun 2003 oleh Jendral Polisi Da’I Bachtiar dengan
skep Nomor 30/IV/2003 tanggal 30 Juni 2003. Alasan utama pembentukan
Denssus 88 Anti-teror ini adalah untuk menaggulangi meningkatnya kejahatan
terorisme di Indonesia, khususnya aksi terror dengan modus peledakan bom.
Komandan densus 88 dalam menjalankan operasinya memiliki empat pilar
pendukung setingkat Sub-Detasemen, yakni subden bantuan yang bekerja
dibawah naungan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
34
Ibid
24
Negara Republik Indonesia dan Pasal 13 Undang-Undang Kepolisian dan
ketertiban masyarakat, penegak hukum, memberikan perlindungan, pengayoman
dan pelayanan kepada masyarakat terkhususnya mengenai aksi teror tersebut.
Akan tetapi sering terjadi kejanggalan atau ketidak sempurnaan dalam masalah
penyelidikan daripada setiap kasus-kasus terorisme ini.
Kendala-kendala yang terjadi kebanyakan terdapat pada tingkat kesulitan medan
atau tempat penyelidikan dan dalam masalah penyidikan masih banyak kasus-
kasus yang belum tahu jelas duduk persoalannya ataupun belum ada bukti
permulaan yang cukup. Pemerintah Indonesia masih sulit untuk memutuskan
tentang ancaman hukuman yang tepat dan akan menjerat para pelaku pemboman
ini dan masih diberikan status tersangka. Densus 88 yang notabene dibawah
naungan Kepolisian Negara Republik Indonesia justru mempunyai peran penting
dalam penyidikan disamping mendapat bantuan dari pihak yang lain.35
Densus 88 berbeda dengan lembaga yang lain yang merupakan gabungan dari
berbagai instansi atau alat Negara yang berwenang untuk menyelesaikan masalah
terorisme ini. Ada tiga alasan mengapa Polri yang diberikan kewenangan utama
dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, yakni:36
Pertama, pemberian kewenangan utama pemberantasan tindak pidana terorisme
merupakan strategi pemerintah untuk dapat berpartisipasi dalam perang global
melawan terorisme, yang salah satunya adalah mendorong penguatan kesatuan
khusus anti terorisme yang handal dan profesional, dengan dukungan peralatan
yang canggih dan SDM yang berkualitas. Kedua, kejahatan terorisme merupakan
35
Ibid 36
Ibid
25
tindak pidana yang bersifat khas, lintas negara (borderless) dan melibatkan
banyak faktor yang berkembang di masyarakat.37
Terkait dengan itu terorisme dalam konteks Indonesia dianggap sebagai domain
kriminal, karena cita-cita separatisme sebagaimana konteks terorisme dulu tidak
lagi menjadi yang utama, tapi mengedepankan aksi terror yang mengganggu
keamanan dan ketertiban, serta mengancam keselamatan jiwa dari masyarakat.
Karenanya terorisme dimasukkan ke dalam kewenangan kepolisian. Ketiga,
menghindari sikap resistensi masyarakat dan internasional perihal pemberantasan
terorisme jika dilakukan oleh TNI dan intelijen.38
TNI dan kemudian lembaga intelijen dituding sebagai institusi yang mem-back up
kekuasaan Soeharto. Sebagaimana diketahui sejak Soeharto dan rejimnya
tumbang, sehingga pilihan mengembangkan kesatuan anti terror yang professional
akhirnya berada di kepolisian, dengan menitikberatkan pada penegakan hukum,
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka terpeliharanya
Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri), sebagaimana yang ditegaskan dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri, khususnya Pasal 2,4, dan5.
Keberadaan Densus 88 AT Polri harus menjadi kesatuan professional yang
mampu menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan tugas dan fungsinya
sebagaimana ditegaskan pada awal pembentukan. Bila merujuk pada Skep Kapolri
No. 30/VI/2003 tertanggal 30 Juni 2003 maka tugas dan fungsi dari Densus 88 AT
Polri secara spesifik untuk menanggulangi meningkatnya kejahatan terorisme di
Indonesia, khususnya aksi terror dengan modus peledakan bom. Dengan
37
Ibid 38
Ibid
26
penegasan ini berarti Densus 88 AT Polri adalah unit pelaksana tugas
penanggulangan terror dalam negeri, sebagaimana tertuang dalam UU Anti
Terorisme.
Detasemen 81 memiliki tugas dan fungsi yang hampir sama dengan Detasemen 88
Polri, milik TNI seperti detasemen 81 kopassus, detasemen 81 AD,AL, dan AU
ini mempunyai tugas untuk pertahanan Negara dimana mereka menjaga kondisi
Negara sehingga menjadi kondusif setiap saat. Seperti menjaga aksi terorisme
lewat udara,laut dan darat.
Wewenang penangkapan yang diatur dalam Undang-Undang Anti Teroris adalah
wewenang penegak hukum, yakni POLRI yang didalamnya terdapat satuan tugas
yaitu DENSUS 88 Anti Teroris. upaya pemerintah untuk melakukan penguatan
kewenangan intelijen melalui pembahasan Undang-Undang Intelijen Negara
dalam rangka pemberantasan teroris justru mempersempit makna dan tujuan dari
perlunya pengaturan intelijen dalam peraturan perundang-undangan.
Undang-undang ini tidak memberikan kesempatan atau ruang bagi aparat intelijen
untuk menggunakan kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum. Keinginan
intelijen untuk memiliki kewenangan khusus dengan melakukan pelanggaran
hukum dan HAM, katanya, merupakan suatu bukti bahwa intelijen masih
menggunakan paradigma intelijen otoriter. Karena itu, pemerintah dan DPR
seharusnya tetap mengacu pada aturan hukum dan HAM dalam membahas
kewenangan intelejen pada RUU Intelejen Negara. Pemerintah dan DPR juga
harus tetap berpegang pada semangat reformasi intelejen.
27
Desakan untuk memberikan kewenangan lebih kepada intelejen untuk
menangkap, menahan, melakukan interogasi dan menyadap, haruslah ditolak,
karena hal tersebut sudah masuk dalam ranah penegakan hukum. “Aparat intelejen
adalah aparat extra judicial, sehingga tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam
ranah hukum,”
Pasal dalam RUU Intelijen yang mengatur bahwa intelijen memiliki kewenangan
dan tugas untuk melakukan pengamanan dan penyelidikan, tanpa ada penjelasan
yang lebih lanjut dan rinci tentang peristilahan itu, sehingga jelas ketentuan ini
bersifat karet dan multitafsir. Intelijen Negara, secara ideal-teoretis, sesungguhnya
tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penegakkan hokum. Institusi
Negara ini hanya memberikan warning atau peringatan kepada user Negara
terhadap adanya ancaman, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar
negeri.
Mereka menilai penolakan mekanisme penyadapan melalui ijin pengadilan oleh
intelijen sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 31 RUU Intelijen, telah
mengancam hak privasi warganegara dan rentan untuk disalahgunakan oleh
kekuasaan (abuse of power). Maka dapat disimpulkan bahwa RUU Intelijen
Negara yang telah disetujui oleh DPR ini, terutama dalam hal kewenangan untuk
melakukan pemberantasan terorisme, belum cukup fit and proper untuk disahkan
menjadi UU24. Informasi intelijen tak bisa dijadikan alat bukti untuk melakukan
penangkapan terhadap pelaku teror.
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-
Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
28
untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum acara yang
berlaku adalah ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).
Pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas
umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada
kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang
tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum
Acara Pidana.
Permasalahan pokok pertama, karena aparat badan intelijen bukanlah aparat
penegak hukum, maka kewenangan ini bertentangan prinsip due process of law.
Karenanya, tidak mengherankan praktik badan intelijen yang menangkap orang
secara sewenang-wenang dan tanpa adanya pertanggungjawaban selalu terjadi,
sejak zaman Orde Baru. Kedua, masalah dualisme kewenangan antara kepolisian
dengan badan intelijen. Masalah ini, pernah disampaikan oleh Wakil Presiden
Hamzah Haz pada masa pemerintahan Megawati. Hamzah ketika itu sempat
menyatakan kewenangan melakukan penangkapan, jika diberikan kepada badan
intelijen, akan melahirkan kontroversi yang dapat meresahkan masyarakat serta
menimbulkan ketidakpastian hukum.
Masalah pokok ketiga, masalah akuntabilitas. Badan intelijen, bukanlah aparat
yang berstatus penegak hukum. Di Indonesia, berdasarkan UU, penegak hukum
adalah status yang diberikan kepada perangkat dalam proses peradilan dan atau
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman: hakim, jaksa, polisi dan
advokat. Dalam KUHAP, walaupun penyelidik adalah semua aparat kepolisian,
29
namun hanya penyidik dan aparat kepolisian yang diberi perintah penyidik dapat
melakukan penangkapan.
Urusan penangkapan dalam tubuh kepolisian, dilakukan oleh aparat yang memang
memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan penyidikan
serta mempunyai kecakapan dan kemampuan untuk melakukan tugas penyidikan,
dalam hal ini aparat kepolisian yang dididik sebagai “reserse”. Hal ini diatur agar
tidak terjadi penangkapan sewenang-wenang, kecuali penangkapan saat pelaku
kejahatan tertangkap tangan.
Secara singkat, hukum internasional hak asasi manusia, memberikan jaminan hak
asasi manusia: “tidak seorang pun dapat ditangkap dan ditahan secara sewenang-
wenang”. Disiplin hukum hak asasi manusia baik hukum internasional dan
regional, banyak menetapkan instrumen hak asasi manusia berkaitan dengan
penangkapan seseorang. Petugas penegak hukum yang berkompeten dan yang
diberikan otoritas memiliki code of conduct yang dapat melakukan penangkapan,
serta kewenangan yang diberikan mesti dapat dipertanggungjawabkan melalui
prosedur hukum.
Pengadilan negeri di Indonesia adalah institusi yang diberikan kewenangan untuk
memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan yang dilakukan
penyelidik dan penyelidik serta memutus ganti kerugian terhadap korban
penangkapan yang sewenang-wenang yang telah dilakukan aparat penegak
hukum. Dalam menjalankan tugasnya intelijen bisa melakukan penangkapan
dengan melakukan koordinasi dengan kepolisian. Penangkapan itu merupakan
bagian dari upaya penegakan hukum yang merupakan kewenangan polisi.
30
Intelijen tidak untuk menangkap, memeriksa sendiri. Batasan intelijen terukur,
menjunjung tinggi HAM, jadi tidak sewenang-wenang menangkap dan menahan
orang. Karena menangkap dan menahan orang itu merupakan kewenangan polisi.
Pemberian kewenangan menangkap kepada lembaga intelijen tersebut sama saja
melegalisasi kewenangan penculikan di dalam undang-undang intelijen,
mengingat kerja intelijen yang rahasia dan tertutup.
Kewenangan penangkapan ditegaskan sebagai bentuk upaya paksa dalam proses
penegakan hukum hanya bisa dan boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum,
diantaranya Polisi, Jaksa dan lembaga penegak hukum lainnya, seperti Terorisme,
sebagaimana diatur dalam KUHAP dan peraturan lainnya. Dalam konteks itu,
badan intelijen negara maupun intelijen militer bukanlah bagian dari aparat
penegak hukum, sehingga adalah salah dan keliru apabila mereka diberikan
kewenangan menangkap. Body of Principle for the Protection under Any Form of
Detention or Imprisonment.
Evaluasi telah diadakan oleh Lembaga tinggi Negara atau oleh lembaga
ekssekutif, dalam hal ini Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan
baru mengenai masalah penerepan prosedur penaganan tindak pidana terorisme
ini. Peraturan tersebut yakni Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 46
Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang ditetapkan
pada tanggal 16 Juli 2010 oleh Presiden Republik Indonesia bapak Dr. H. Susilo
Bambang Yudhoyono. Badan ini dibuat sebagai forum koordinasi antara lembaga-
lembaga lain mengenai pemberantasan terorisme di Indonesia yang dilaksanakan
secara berkala dan hasil dari pada keputusan mengenai ancaman hukuman
31
terhadap masalah Tindak Pidana Terorisme harus melewati pertimbangan dari
Badan ini.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sendiri menguraikan tentang
tatacara perlindungan terhadap saksi, penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam
perkara Tindak Pidana Terorisme. Dijelaskan pada pasal 1, pasal 12 sampai pasal
19 dan dalam hal saksi yang didatangkan dari luar Wilayah Republik Indonesia
diterangkan pada Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003.
Uraian di atas menyangkut masalah proses penyelidikan, penyidikan, penahanan,
penangakapan, pembuatan berita acara terpola menjadi unsur suplement di antara
ketentuan-ketentuan Hukum Acara Pidana tersebut. Dalam hal ini mengenai
prosedur penanganan kasus tindak pidana terorisme ini,segala proses yang akan
dilewati oleh lembaga-lembaga yang terkait seperti Densus 88 polri, Detasemen
81 TNI dan Badan Intelijen Negara, serta lembaga atau badan-badan lain yang
menaggulangi permasalahan terorisme ini harus dilaporkan atau meminta
pertimbangan kepada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang notabene
di buat sebagai wadah penampung serta suatu lembaga yang sengaja di buat dalam
rangka pertimbangan dalam pengambilan keputusan mengenai ancaman hukuman
mengenai pelaku terorisme tersebut, dan seluhuh proses penyidikan di ambil alih
oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia yakni Badan Reserse Kriminal
(BARESKRIM) dan segala keputusan berada di tangan hakim sesuai dengan
pertimbangan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang tercantum
pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 mengenai Hukum Acara Pidana yang
juga menjadi dasar penerapan hukum di Indonesia.
32
C. Prosedur Penangkapan Kasus Tindak Pidana Terorisme di Indonesia.
a. Penyelidikan
Penyelidikan dalam kasus penanganan tidak jauh berbeda dengan penanganan
kasus tindak pidana lainnya, teknik-teknik yang digunakan yakni: interview,
observasi, surveillance, dan undercover. Namun teknik-teknik ini lebih ketat
dilakukan dalam proses penyelidikan terorisme dan menggunakan pendekatan-
pendekatan yang berbeda dalam hal ini dilakukan oleh Densus 88 Anti-Teror.
b. Penyidikan
Tahap penyidikan ini dimana dimulai dilakukan tindakan-tindakan hukum yang
langsung bersinggungan dengan hak-hak asasi manusia yaitu berupa pembatasan
bahkan mungkin berupa “Pelanggaran” terhadap hak-hak asasi manusia. Tahap ini
dilakukan setelah penyidik yakin bahwa telah terjadi suatu tindak pidana
terorisme dan untuk memperjelas segala sesuatu tentang tindak pidana terorisme
tersebut diperlukan tindakan-tindakan tertentu yang berupa pembatasan
“Pelanggaran” hak-hak asasi seseorang yang bertanggung jawab atas terjadinya
tindak pidana terorisme tersebut.
c. Penangkapan
Penangkapan dilakukan 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam berlainan dengan
Pasal 19 ayat (1) KUHAP, penangkapan hanya dapat dilakukan untuk waktu
paling lama 1 (satu) hari dan tidak ada ketentuan dapat diperpanjang. Menurut
Koesno Adi“lamanya masa penangkapan itu karena pelaku terorisme memiliki
jaringan yang luas dan tertutup, sehingga pelaku tindak pidana terorisme masih
33
ada jaringan yang lebih luas dibelakangnya. Oleh karena itu untuk memperoleh
dan mendapatkan informasi yang jauh dan lebih akurat diperlukan penambahan
waktu masa penangkapan”.
d. Penggeledahan
Penggeledahan pada dasarnya tidak boleh memasuki dan menginjak pekarangan
orang lain atau mencari sesuatu yang tersembunyi dipakaian atau dibadan orang
tanpa izin dari yang bersangkutan, karena hal itu bertentangan dengan HAM.
e. Penahanan
Menurut Pasal 20 ayat (1) KUHAP untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau
penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
berwenang melakukan penahanan, sedangkan ayat (2) untuk kepentingan
penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan
lanjutan. Ketentuan Pasal 20 ayat (1), ayat (2) KUHAP berlainan dengan
penahanan tersangka dalam tindak pidana terorisme yaitu memuat Pasal 25 ayat
(2) untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang
untuk melakukan penahanan tersangka paling lama 6 (enam) bulan yang
dimaksud dalam ketentuan ini terdiri dari 4 (empat) bulan untuk kepentingan
penyidikan dan 2 (dua) bulan untuk kepentingan penuntutan.
D. Teori Upaya Penanggulangan Kejahatan
Menurut Romli Atmasasmita kejahatan adalah masalah sosial yang di hadapi oleh
masyarakat di seluruh Negara semejak dahulu dan pada hakikat nya merupakan
34
produk dari masyarakat itu sendiri. Kejahatan dalam arti luas, menyangkut
pelanggaran dari norma-norma yang di kenal masyarakat, seperti norma-norma
agama, norma moral hukum. Norma hukum pada umumnya dirumuskan dalam
undang-undang yang di pertanggung jawab kan aparat pemerintah untuk
menegakkan nya, terutama kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.39
Menurut Soejono D menyadari tingginya tingkat kejahatan, maka secara langsung
atau tidak langsung mendorong pula perkembangan dari pemberian reaksi
terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan pada hakikat nya berkaitan dengan
maksud dan tujuan dari usaha penanggulangan kejahatan tersebut. Upaya
penanggulangan kejahatan telah dilakukan semua pihak, baik pemerintah maupun
masyarakat pada umum nya.40
Berbagai program serta kegiatan yang telah di lakukan sambil terus mencari cara
yang paling tepat dan efektif dalam mengatasi masalah kejahatan. Terdapat
beberapa cara yang dapat digunakan dalam melakukan penanggulangan kejahatan,
yaitu :
a) Penerapan hukum pidana (criminal law application);
b) Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);
c) Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
lewat media massa (influencing views of society on crime and
punishment/mass media).41
39
Romli atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung, Tarsito, 2006,
hlm.32. 40
Soejono, D..Doktrin-doktrin krimonologi, Bandung, Alumni, 1973, hlm.42 41
Barda Nawawi Arif, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan dan
Pengembangan Hukum Pidana, Jakarta, Kencana, 2006, hlm. 52
35
Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal.42
Kebijakan kriminal tidak terlepas
dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial yang terdiri dari kebijakan
atau upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan upaya-upaya untuk
perlindungan masyarakat. Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan
kejahatan dilakukan dengan menggunakan sarana penal, maka kebijakan hukum
pidana khususnya pada tahap yudikatif/aplikatif harus memperhatikan dan
mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa kesejahteraan
sosial dan kebijakan untuk perlindungan masyarakat.43
Penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan kebijakan kriminal. Usaha-
usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan sudah
tentu tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), tetapi juga
menggunakan sarana non penal. Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus
menunjang tujuan yang sangat penting yaitu aspek kesejahteraan masyarakat yang
bersifat immateril, terutama nilai kepercayaan, kebenaran, kejujuran dan keadilan.
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan pendekatan
intergral ada keseimbangan sarana penal dan nonpenal. Dilihat dari sudut politik
kriminal, kebijakan paling strategis melalui sarana nonpenal karna lebih bersifat
preventif dan kerena kebijakan penal mempunyai keterbatasan/kelemahan yaitu
42
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta, Kencana, 2008,
hlm. 1. 43
Shafrudin, Politik Hukum Pidana, Bandar Lampung, Universitas Lampung, 1998, hlm.
75.
36
bersifat fragmentaris/tidak struktural fungsional dan harus didukung oleh
infrastruktur biaya yang tinggi.44
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal yang
operasionalnya melalui beberapa tahap yaitu :
a) Tahap Formulasi (kebijakan legislatif).
b) Tahap Aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial).
c) Tahap Eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
Upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan adanya tahap
formulasi, maka bukan hanya tugas aparat penegak hukum saja, tetapi juga tugas
aparat pembuat hukum (aparat legislatif) bahkan kebijakan legislatif merupakan
tahap paling strategis dari penal policy. Karena itu kesalahan atau kelemahan
kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi
penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi
dan eksekusi.45
Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua:
yaitu lewat jalur penal (hukum pidana) dan lewat jalur non penal (di luar hukum
pidana). Dalam pembagian G.P Hoefnagels di atas upaya-upaya yang disebut
dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya nonpenal.
Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat
jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represif yaitu sesudah kejahatan
44
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kesejahteraan, Jakarta, Kencana, 2010, hlm. 77. 45
Ibid, hlm. 79.
37
terjadi, sedangkan jalur nonpenal lebih menitikberatkan pada sifat preventive
yaitu pencegahan, penangkalan, pengendalian sebelum kejahatan terjadi.
Upaya penanggulangan kejahatan dikatakan sebagai perbedaan secara kasar,
karena tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan
preventif dalam arti luas. Maka perlu dilakukan usaha-usaha pencegahan sebelum
terjadinya kejahatan serta memperbaiki pelaku yang telah diputuskan bersalah
mengenai pengenaan hukuman.
Usaha-usaha tersebut sebenarnya yang lebih baik adalah usaha mencegah sebelum
terjadinya kejahatan daripada memperbaiki pelaku yang telah melakukan
kejahatan.46
46
Ibid, hlm. 46-47
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,
sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum dan masyarakat, dengan jalan menganalisisnya. Yang
diadakan pemeriksaan secara mendalam terhadap fakta hukum tersebut
permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. Agar
suatu penelitian ilmiah dapat berjalan dengan baik maka perlu menggunakan suatu
metode penelitian yang baik dan tepat. Metodologi merupakan suatu unsur yang
mutlak harus ada di dalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.43
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1. Pendekatan yuridis normatif yaitu yaitu pendekatan dengan cara menelaah
kaidah-kaidah, norma-norma, aturan-aturan, yang berhubung dengan masalah
yang akan diteliti. Pendekatan tersebut dimaksud untuk mengumpulkan
berbagai macam Peraturan Perundang-Undangan, teori-teori dan literature-
literatur yang erat hubungannya dengan masalah yang akan diteliti.
2. Pendekatan yuridis empiris yaitu dilakukan dengan berdasarkan pada fakta
objektif yang didapatkan dalam penelitian lapangan baik berupa hasil
43 Soerjono Soekanto, “Pengantar Penelitian Hukum”, UI-Press Jakarta, 1984, hlm 32.
39
wawancara dengan responden, hasil kuisioner atau alat bukti lain yang
diperoleh dari narasumber.
B. Sumber Dan Jenis Data
Sumber data dalam penulisan skripsi ini diperoleh dari dua sumber, yaitu data
lapangan dan kepustakaan dengan jenis data:
1. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari hasil penelitian
lapangan, baik melalui pengamatan atau wawancara dengan para responden,
dalam hal ini adalah pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan masalah
penulisan skripsi ini.
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan menelusuri literatur-literatur
maupun peraturan-peraturan dan norma-norma yang berhubungan dengan
masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini. Data sekunder dalam penulisan
skripsi ini terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu:
a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Pemberlakuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP);
c) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme;
d) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara
e) Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan
KUHAP;
40
b. Bahan hukum Sekunder, bahan hukum yang bersifat memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer yaitu berupa buku-buku literatur ilmu hukum,
dan makalah-makalah yang berkaitan dengan pokok bahasan.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang mencakup bahan
memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, seperti: kamus, biografi, karya-karya ilmiah, bahan seminar, hasil-
hasil penelitian para sarjana yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang
dibahas dalam skripsi ini.
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Pengumpulan data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara:
a. Studi Pustaka
Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder, yaitu
melakukan serangkaian studi dokumentasi, dengan cara membaca, mencatat
dan mengutip buku-buku atau referensi yang berhubungan dengan peran
intelejen Densus 88 Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Terorisme.
b. Studi Lapangan
Studi lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer. Adapun cara
mendapatkan data primer dilakukan dengan metode wawancara terpimpin,
yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang telah disiapkan terlebih dahulu
dan dilakukan secara langsung dengan responden. Studi Lapangan
dilakukan dengan cara wawancara (interview), yaitu kegiatan
41
pengumpulan data primer yang bersumber langsung dari responden
penelitian di lapangan.
2. Pengolahan Data
a. Seleksi Data
Seleksi data yaitu yang diperiksa kelengkapannya, kejelasannya, serta
relevansinya terhadap penelitian.
b. Klasifikasi Data
Klasifikasi data yaitu memilah-memilah atau menggolongkan data yang
diperoleh baik dengan studi pustaka maupun hasil wawancara.
c. Sistematisasi Data
Sistematika data yaitu menempatkan data sesuai dengan pokok bahasan
yang telah ditetapkan secara praktis dan sistematis.
D. Penentuan Narasumber
Adapun penentuan responden ini dilakukan dengan responden dengan
menggunakan daftar pertanyaan yang bersifat terbuka dimana wawancara
(interview) tersebut dilakukan terhadap pihak-pihak yang berkaitan dengan
permasalahan dalam penelitian ini yang terdiri dari:
1) Penyidik Densus 88 Anti Teror Polda Lampung : 1 Orang
2) Dosen Bagian Hukum Pidana FH Unila : 1 Orang
3) Jaksa Pada Kejaksaan Tinggi : 1 Orang +
Jumlah : 3 Orang
42
E. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis
kualitatif, yaitu menggambarkan kenyataan-kenyataan yang ada berdasarkan hasil
penelitian dengan menguraikan secara sistematis untuk memperoleh kejelasan dan
memudahkan pembahasan. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis data tersebut
kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode induktif, yaitu suatu
metode penarik data yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat khusus untuk
kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum guna menjawab permasalahan
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Peran Intelejen Densus 88 Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Terorisme
tidak lepas dari Peran Polri sebagai penegakan hukum dan menjaga ketertiban
umum Fungsi Kepolisian (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian) yang mana Intelejen Densus 88 melakukan Strategi
pendekatan lunak dalam menangani terorisme dilakukan melalui 5 (lima)
kegiatan yaitu: Pertama, melakukan Kontra Radikalisasi (counter
radicalization) yang ditujukan kepada pihak-pihak yang rentan terhadap
penyebaran paham radikal, Kedua Deradikalisasi (deradicalization) yang
ditujukan kepada mereka yang sudah terkena dan mempunyai paham radikal
dalam segala tingkatan, Ketiga, Kontra Ideologi (counter ideology) yaitu
dengan menyebarkan ideologi yang moderat melalui peran para sarjana dan
ulama, Keempat, Menetralisir channel atau media, Kelima, Menjaga
kondusifitas situasi untuk mencegah penyebaran paham Islam radikal.
Langkah preventif yang diambil oleh intelejen Densus 88 dalam rangka
penanggulangan terhadap tindak pidana terorisme, yaitu: Peningkatan
pengamanan dan pengawasan terhadap senjata api, Peningkatan kesiapsiagaan
terhadap teroris; Pengawasan terhadap bahan peledak dan bahan-bahan kimia
yang dapat dirakit menjadi bom, Pengetatan pengawasan perbatasan dan
74
pintu-pintu keluar masuk, dan Pengawasan kegiatan masyarakat yang
mengarah kepada aksi teror.
2. Bentuk Koordinasi Densus 88 Dengan Lembaga Lain Yang Terkait Dengan
Penganggulangan Tindak Pidana Terorisme dengan melakukan koordinasi
dengan intelejen daerah. Langkah ini dapat ditempuh melalui Kominda.
Kegiatan koordinasi yang dilakukan oleh Kominda merupakan faktor yang
sangat penting dalam menghimpun informasi. Ini dilakukan guna mendeteksi
secara dini segala bentuk kerawanan di daerah. Koordinasi oleh Kominda
berfungsi untuk memelihara hubungan baik dan juga perputaran informasi
dalam rangka mencegah terjadinya aksi terorisme. Dalam kominda dilakukan
rapat koordinasi yang kontinyu dan terjadwal dan direncankan dilakukan
setiap satu bulan sekali, namun apabila ada hal-hal yang bersifat khusus maka
rapat koordinasi dapat dilakukan setiap saat, namun menurut peneliti bahwa
terdapat kelemahan selama ini terkait fungsi intelejen buktinya banyak sekali
kejadian teror bom yang tidak dapat dicegah dan pihak intelejen belum
sepenuhnya efektif dalam menanggulangi hal tersebut jadi selama ini intelejen
selalu kalah cepat terkait aksi bom yang ada di Indonesia.
B. Saran
1. Hendaknya peran intelejen dapat ditingkatkan secara maksimal baik dalam
pengolahan data dan informasi berkaitan dengan mengendus rencana serangan
terorisme yang hendak dilakukan. peningkatan kapasitas dan juga SDM
diperlukan serta turut sertanya masyarakat dalam membantu memberikan
informasi terkait terorisme agar tidak terulang serupa kejadian terorisme;
75
2. Hendaknya Pemerintah membuat fungsi pengawasan terkait operasi yang
dilakukan oleh densus dalam memburu terorisme patut diawasai juga oleh
sebuah lembaga yang fungsinya memberikan teguran dan sanksi kepada
anggota densus yang melakukan tindakan diluar batas seperti melanggar
HAM selama ini banyak kritikan terkait kinerja densus yang tidak pernah
dihukum terkait tindakannya dilapangan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Abdul Wahid, Sunardi, dan Muhammad Imam Sidik, Kejahatan Terorisme
Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Refika Aditama, Bandung: 2004
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Jalur Hukum Pidana Nasional
dan Internasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005
Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme: Kebijakan Formulatif Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia, Graha Ilmu,
Yogyakarta: 2012
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung
-------------, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta, Kencana, 2008
-------------, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kesejahteraan, Jakarta, Kencana, 2010
-------------, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kesejahteraan, Jakarta, Kencana, 2010
-------------, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan dan
Pengembangan Hukum Pidana, Jakarta, Kencana, 2006
Galih Priatmodjo, Densus 88, The Under cover squad, Jagakarsa, Jakarta: 2010,
M. Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah, Hikmah, Jakarta: 2007
O.C. Kaligis, Terorisme Tragedi Umat Manusia, OC. Kaligis & Associates,
Jakarta: 2003
Romli atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung, Tarsito,
2006
Shafrudin, Politik Hukum Pidana, Bandar Lampung, Universitas Lampung, 1998
Soejono, D..Doktrin-doktrin krimonologi, Bandung, Alumni, 1973
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, 1987, Bandung
Supono Soegirman, Intelijen, Profesi Unik Orang-orang Aneh, Media Bangsa,
2005.
-------------, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981
------------, Hukum Pidana I, Universitas Diponegoro, Yayasan Sudarto Fakultas
Hukum, 1990
Sukarton Marmosudjono, Penegakan Hukum di Negara Pancasila, Pustaka
Kartini, 1989, Jakarta
Soejono, D..Doktrin-doktrin krimonologi, Bandung, Alumni, 1973
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun
1985 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Pendanaan
Terorisme
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara
Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan
KUHAP;
C. Jurnal
Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan
Pidana, (Jurnal Hukum Pidana Dan Kriminologi, Vol. I/No.I/1998)
Sugeng, ”Perlindungan Hukum Korban Salah Tangkap”, Makalah, Fakultas
Hukum Universitas Pawyatan Daha
Kamus Bahasa Indonesia, http://m.artikata.com/arti-339692-manfaat.html, tanggal
28 Oktober 2012, jam 11.00 wib.
Ansyaad Mbai,. Kebijakan Penanggulangan Terorisme di Indonesia. Seminar dan
Lokakarya Sespim Polri, Bandung, 29 Juni 2018
D. Internet
http://advokathandal.wordpress.com, diakses, tanggal, 05 Maret 2018.
http://www. rmol.com, diakses, tanggal 01 Juni 2014.
https://id.wikipedia.org/wiki/Detasemen_Khusus_88_(Anti_Teror)
http://id.wikipedia.org/wiki/Detasemen_Khusus_88_%28Anti_Teror%29?veactio
n=edit
www. tni.mil.com. Keterlibatan TNI Dalam Memerangi Terorisme.
www. Geogle.Com. Posted by Farah Fitriani. Di unduh pada 6 juni 2018.
http://www. http://yustisi.blogspot.com, diakses, tanggal, 29 Juni 2018.
https://mojok.co/apk/ulasan/pojokan/kejadian-mako-brimob/
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44097913
https://www.liputan6.com/news/read/3524571/kronologi-bom-bunuh-diri-
mapolrestabes-surabaya
https://kumparan.com/@kumparannews/5-aksi-teror-yang-terjadi-di-bulan-mei