peradaban islam di cina

28
Peradaban Islam di Cina Islam sampai ke China melalui dua jalur perdagangan, pertama-tama melalui jalan laut, dan kemudian melalui jalan darat. Komunitas Muslim China telah meningkat terus-menerus bertahun- tahun melalui imigrasi, perpindahan agama dan perkawinan. Sumber-sumber China kuno melaporkan bahwa ekspedisi Arab datang ke China di tahun kedua pemerintahan kaisar Yung Way dari dinasti Tang; yaitu pada 31 H (651 M) di mana pemerintahan khalifah Usman. Orang-orang muslim China percaya bahwa para anggota delegasi ini, yang berjumlah 15 orang, adalah orang muslim pertama yang memasuki China. Mereka percaya bahwa ekspedisi ini di bawah Saad Ibn Abi Waqqas, salah seorang sahabat nabi. Delegasi datang ke China melalui laut, mendarat di Kanton, kemudian melalui darat pergi ke ibukota Shang-An (sekarang Sian) di mana mereka dismbut oleh kaisar dan diizinkan membangun sebuah masjid. Masjid ini diyakini sebagai masjid pertama di China, yang masih berdiri sampai sekarang. Ada juga sebuah masjid di Kanton, di atas kuburan Saad, ketua ekspedisi itu. namun cerita ini belum diuji dengan sumber-sumber Arab, dan dapat dipastikan bahwa Saad Ibn Abi Waqqas meninggal di

Upload: blogmuria

Post on 27-Jun-2015

375 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Peradaban Islam di Cina

Peradaban Islam di Cina

Islam sampai ke China melalui dua

jalur perdagangan, pertama-tama

melalui jalan laut, dan kemudian

melalui jalan darat. Komunitas Muslim

China telah meningkat terus-menerus

bertahun-tahun melalui imigrasi,

perpindahan agama dan perkawinan.

Sumber-sumber China kuno

melaporkan bahwa ekspedisi Arab

datang ke China di tahun kedua pemerintahan kaisar Yung Way dari dinasti Tang;

yaitu pada 31 H (651 M) di mana pemerintahan khalifah Usman. Orang-orang

muslim China percaya bahwa para anggota delegasi ini, yang berjumlah 15 orang,

adalah orang muslim pertama yang memasuki China. Mereka percaya bahwa

ekspedisi ini di bawah Saad Ibn Abi Waqqas, salah seorang sahabat nabi. Delegasi

datang ke China melalui laut, mendarat di Kanton, kemudian melalui darat pergi ke

ibukota Shang-An (sekarang Sian) di mana mereka dismbut oleh kaisar dan diizinkan

membangun sebuah masjid. Masjid ini diyakini sebagai masjid pertama di China,

yang masih berdiri sampai sekarang. Ada juga sebuah masjid di Kanton, di atas

kuburan Saad, ketua ekspedisi itu. namun cerita ini belum diuji dengan sumber-

sumber Arab, dan dapat dipastikan bahwa Saad Ibn Abi Waqqas meninggal di

Madinah. Ini berarti bahwa ketua ekspedisi itu pasti Saad yang lain.

Tentara muslim mencapai perbatasan China pertama kali melalui darat di masa

khalifah Walid dari Bani Umayyah, Al-Hajjaj Ibn Yusuf Al-Tsaqafi, gubernur Irak

pada waktu itu mengirim tentara muslim di bawah pimpinan Qutaibah Ibn Muslim

Al-Bahili ke perbatasan China. Tentara itu meninggalkan Samarkand (Uzbekistan)

pada 93 H (711 M) dan memasuki Kashgar (Singkiang) pada 96 H (714 M). Kaisar

China kemudian setuju membayar upeti kepada orang-orang muslim sebagai tanda

kesetiaan kepada negara muslim.

Hubungan perdagangan meningkat dengan pesat antara bangsa muslim dan China.

Perdagangan dijalankan pertama dengan jalur laut, kemudian ketika Kashgar menjadi

bagian dari bangsa muslim, melalui darat. Kebanyakan pedagang adalah muslim, dan

Page 2: Peradaban Islam di Cina

umumnya dari Arabia dan Persia. Hubungan antara China dan bangsa muslim di masa

dinasti Umayyah dan Abbasiyah terus-menerus bersifat ramah dan hangat, saling

tukar-menukar kedutaan dan delegasi. Pada 138 H (755 M) kaisar China meminta

pertolongan dari bangsa muslim untuk memadamkan pemberontakan An-Lu-Chan.

Khalifah memenuhi dengan mengirim pasukan terdiri dari 4000 orang tentara muslim

yang berhasil mengalahkan pemberontak dan menetap di tanah China. Mereka

mengawini wanita China, membangun keluarga muslim, sehingga memberikan

dukungan demografik yang kuat kepada komunitas muslim pertama di China.

Jumlah pedagang muslim dan Arabia dan Persia yang menetap di Kanton meningkat

secara berarti sehingga mereka membentuk perbandingan yang penting dari penduduk

kota itu. pada 141 H (758 M), mereka memberontak melawan kaisar karena beban

pajak yang berat, yang kemudian dihentikan. Pada 145 H (762 M), muslim sekali lagi

membantu kaisar memadamkan pemberontakan lain, Sei-Chu-Bei.

Kanton menjadi pusat penyebaran komunitas muslim kearah Hang-Chu digaris pantai

sebelah utara. Mereka membangun masjid dan sekolah di mana mereka pergi. Pada

259 H (872 M) pengembara Arab Ibn Wahb mengunjungi Kanton dan bertemu orang-

orang muslim di sana ketika ia bertemu dengan kaisar. Namun tujuh tahun kemudian,

malapetaka menimpa orang-orag muslim ketika pemberontak membakar kota dan

membunuh lebih dari 100.000 muslim. Dinasti Tang tidak selamat dalam peristiwa

ini dan jatuh pada 295 H (907 M).

Selama dinasti Tang, orang-orang muslim hidup makmur dan dihormati di China.

Namun meskipun meluas perkawinan campuran, mereka tetap merupakan unsure

asing, baik dalam segi bahasa, asal etnik dan bentuk fisik. Namun banyak kaisar

memberikan perlakuan istimewa kepada mereka. Pemberian hak istimewa ini

meningkat di bawah Dinasti Siung berikutnya. Ada 86 delegasi dari negara muslim ke

China antara 31 H (651 M) DAN 604 H (1207 M). Terjadi aliran imigran Muslim

secara terus-menerus yang mebangun kota-kota Muslim satelit di dekat pelabuhan-

pelabuhan terbesar China. Mereka membangun masjid dan sekolah dan mendirikan

lembaga-lembaganya sendiri. Mereka mencalonkan gubernur mereka sendiri yang

biasanya diterima oleh Kaisar.

Orang-orang Muslim China membentuk kelas pedagang kaya dengan hubungan-

hubungan internasional. Mereka diperlukan untuk perdagangan China dan mendapat

penghargaan tinggi. Sepanjang Dinasti Siung pos baru yang diciptakan, yaitu

Page 3: Peradaban Islam di Cina

Direktur Jenderal Laut di Kanton selalu dijabat oleh seorang Muslim. Sepanjang

periode yang sama, penduduk Muslim meningkat jumlahnya sebagai hasil imigrasi

melalui jalur Kashgar, dank arena perpidahan agama penduduk setempat, yang paling

mengagumkan adalah perpindahan agama secara missal Suku Hsiung-Nu.

Orang-orang Mongol di bawah Chingis Khan menyerbu China dan menurunkan

Dinasti Siung. Kubilay Khan, anak Chingis membangun Dinasti Yuan. Pada waktu

itu tentara Mongol menaklukan sebagian besar bagian Asia dari dunia Islam dan

menghancurkan kekhalifahan Abbasiyah dan ibukota Muslim, Baghdad. Namun

akibat sampingnya adalah Pax Mongolica yang meliputi bagian-bagian dunia Islam

dan China dalam satu unit tunggal. Situasi ini mendorong gerakan orang dan ide-ide

yang pada gilirannya membantu terjadinya perpindahan agama secara missal ke

Islam, terutama di antara para pembesar Mongol. Akhirnya orang-orang Muslim

menjadi kelas terkemuka di seluruh negara Mongol termasuk China. Di sekitar

periode inilah untuk pertama kali bahasa Persi mengganti bahasa Arab sebagai bahasa

komunitas Muslim China. Hampir semua pejabat tinggi tentara, pemerintahan dan

administrasi adalah Muslim. Seorang ahli sejarah bangsa Parsi Rashid-Din Fadlullah

melaporkan pada jilid pertama Ensiklopedi Sejarah-nya, bahwa di era negara Mongol

di bawah Kubilay Khan, China dibagi ke dalam 14 provinsi. Pimpinan masing-

masing provinsi adalah Gubernur dan Wakil Gubernur. Delapan gubernur adalah

Muslim dan empat wakil gubernur provinsi lain adalah juga Muslim. Di antara

negarawan China Muslim yang paling terkenal pada periode itu Gubernur Provinsi

Yunnan antara 1278 dan 1279 M. Anaknya Al-Sayyid Bayin menjadi Perdana

Menteri Kaisar China antara 1333 dan 1340 M.

Pengembara Maroko Ibn Batutah mengunjungi China selama periode ini. ia

melaporkan bahwa “tiap kota China mempunyai kota Muslim dimana hanya hidup

orang-orang Muslim. Dalam kota-kota ini ada masjid dan lembaga-lembaga lain.

Orang-orang muslim sangat dihormati.”

Dinasti Mongol (Yuan) jatuh pada 1368 M, diganti oleh dinasti Ming yang berlanjut

sampai tiga abad sampai tahun 1644 M. Selama periode ini, Muslim mencapai

puncak kemakmuran dan pengaruh. Periode ini juga bercirikan berakhirnya imigrasi

Muslim dan ditandai dengan meningkatnya jumlah orang China yang masuk Islam.

Akibatnya perubahan sempurna cirri-ciri komunitas Muslim, dari komunitasasing,

sekalipun telah hadir selama tujuh abad, menjadi komunitas asli secara sempurna,

Page 4: Peradaban Islam di Cina

tanpa kehilangan Islamnya. Hasil paling mengesankan dari penghasilan ini adalah

penggantian kedudukan bahasa Persia sebagai lingua franca komunitas Muslim oleh

China Mandarin dalam mana sekunpulan besar literature Muslim dikembangkan.

Efek lain adalah meluasnya nama-nama China dikalangan orang-orang Muslim:

Muhammad menjadi ‘Ma’, Mustapha menjadi ‘Mu’, Mas’ud ‘Si’, Dawwud dan Tahir

‘Ta’, Hasan ‘Ha’, Husayn ‘Hu’, Badruddin, Jalaluddin, dan seterusnya menjadi

‘Ning’, Najib dan Nasir menjadi ‘Na’, Salim, Salih menjadi “Sha’, Ali menjadi ‘Ay’,

dan seterusnya. Orang-orang Muslim juga menyerap kebiasaan-kebiasaan China yang

tidak mengganggu pengajaran Islam. Mereka saling kawin-mengawini dengan orang-

orang China yang masuk Islam secara besar-besaran sehingga tidak mungkin

mengenali China dengan Muslim dari China non-Muslim.

Pengaruh Muslim sepanjang Dinasti Ming pernah lebih besar daripada masa Dinasti

Mongol. Kaisar pertama dari dinasti itu, Ming Tsai Tsu, dan Kaisar Wanita

diperkirakan telah menjadi muslim. Kecintaan Kaisar terhadap Nabi Muhammad

sudah terkenal dan sangat terang-terangan. Ia menulis puisi memuji-muji nabi dan

memahatnya diatas marmer di masjid Jami’ Kota Nankin (masih ada sampai

sekarang). Kaisar Yung Lu (1405-32 M) menggunakan Kalender Hijrah sebagai

kalender resmi China dan mengirim Duta Besar Muslim, Chung Hu, ke beberapa

negara Muslim untuk membangun hubungan yang hangat dengan mereka.

Kebanyakan pejabat tinggi Dinasti Ming juga Muslim.

Terkecuali Turkestan Timur (Singkiang-Uighur), yang sebenarnya lebih merupakan

bagian Turki daripada China, Islam tidak pernah mampu membangun suatu entitas

politik yang merdeka dan abadi di China. Memang benar, di bawah rezim Mongol

(1279-1368), posisi muslim China sangat berpengaruh, dan banyak ahli sejarah

memandang Dinasti Yuan adalah muslim. Pengaruh ini tidak menurun di bawah

Dinasti Ming (1368-1644), sepanjang dinasti ini muslim menjadi terintegrasi dengan

baik dalam kebudayaan China tanpa kehilangan identitas muslimnya.

Muslim China mengalami periode mengerikan dan penganiayaan terus-menerus yang

berlangsung sekitar tiga abad di bawah Dinasti Manchu (1644-1911). Pengalaman itu

di abad Sembilan belas membawa kepada revolusi-revolusi musim dan kepada

pendirian negara-negara muslim yang berumur pendek di Yunan, Khansu dan

Turkestan Timur. Semua negara ini dihancurkan dengan biaya sangat besar bagi

kehidupan muslim.

Page 5: Peradaban Islam di Cina

Memasuki abad sekarang, revolusi nasionalis China pada 1911, didukung oleh massa

muslim yang sangat ingin menghancurkan rezim Manchu. Dari 1911 sampai 1948,

Islam menyaksikan suatu kebangkitan kembali yang sebenarnya di China dan orang-

orang muslim mulai mendapatkan kembali beberapa pengaruhnya yang dulu. Sejak

pembentukan rezim Komunis pada 1948, suatu bentuk penindasan baru yang

dilakukan terhadap orang muslim. Semua kontak antara muslim di berbagai bagian

China dan dunia lain berhenti. Masjid-masjid dan sekolah-sekolah muslim ditutup,

para imam dibunuh atau dipenjarakan. Struktur kekeluargaan muslim dihancurkan

dan para anggotanya bubar.

Mayoritas muslim China mengikuti mazhab Hanafi. Sekitar 90 % muslim adalah

China dalam pengertian yang hampir seutuhnya. Namanya China, wajah mukanya

China, begitu juga kebudayaannya. Ini sering disebut Huis oleh China yang lain.

Sisanya 10% adalah Turki dan Mongol. Muslim lebih banyak di provinsi-provinsi

utara daripada provinsi selatan.

Rezim komunis tidak memerlukan identifikasi agama dalam sensus. Namun jumlah

muslim yang bukan berasal dari etnik China dapat ditaksir dari sensus

kebangsaannya. Bagi muslim yang secara etnis adalah China, jumlahnya dapat

dihitung atas dasar sensus 1936. Sensus ini menunjukkan jumlah muslim di tiap

provinsi dan juga jumlah penduduk muslim seluruhnya. Jumlah muslim seluruhnya

ditaksir 47.437.000 orang atau 10,5% dari jumlah penduduk. Jika persentase ini tidak

berubah, kita sampai pada suatu angka 107 juta pada 1982.

Muslim merupakan mayoritas di dua wilayah: daerah otonom Singkian-Uighur dan

provinsi Chinghai. Muslim juga mendekati mayoritas dalam dua wilayah lain:

Ninghsia-Hui (47%) dan Khansu (40%). Namun wilayah-wilayah dengab persentase

muslim yang tinggi menjadi wilayah tujuan imigrasi non-muslim secara besar-

besaran yang cenderung menipiskan karakter keislaman.

Bagi muslim China periode 1952-1968 mirip era Stalin di Uni Soviet. Kelaparan

buatan dicipatakan, penduduk muslim dibubarkan, masjid-masjid dibakar, lembaran-

lembaran Al-Qur’an dirobek berserakan dan para pemimpin muslim dianiaya dan

dihina. Baru-baru ini saja, beberapa perbaikan nasib orang-orang muslim seakan-akan

telah terjadi. Harapan-rapan telah meningkat setelah meninggalnya Mao-Tse-Tung

dan penyisihan “Kelompok Empat”.

Page 6: Peradaban Islam di Cina
Page 7: Peradaban Islam di Cina

Perkebangan Islam di China

Sejak sebelum era Islam sudah terjadi hubungan perdagangan antara dunia Arab dan

China. Jalur perdagangan ini ada

Masjid Guangzhou di Cina

yang melewati laut dan ada yang melewati darat (jalur sutera). Beberapa pedagang

Arab disebut-sebut sudah ada yang menetap di beberapa kota bandar dagang di negeri

China, seperti Kanton, Chang Chow, dan Chuan Chow. Walaupun ada yang

berpendapat Islam sudah masuk ke Kanton sejak zaman Nabi shallallahu ’alaihi

wasallam, tetapi hubungan resmi antara pemerintah Islam dan China terjadi pada

masa Khalifah Utsman ibn Affan radhiyallahu ’anhu yang mengirim delegasi pada

kaisar Dinasti Tang (618-905). Hal ini tercatat dalam sejarah resmi (Annals) Dinasti

Tang.

Sejak itu terjadi hubungan diplomatik yang baik antara kekhalifahan Islam dan

Dinasti Tang. Catatan resmi dinasti tersebut menyebutkan adanya 37 kali perutusan

diplomatik di antara kedua belah pihak. Salah satu kaisar China yang terguling karena

pemberontakan pada tahun 755 M bahkan pernah mendapat bantuan militer dari

pasukan muslim yang dikirim dari Asia Tengah sehingga dinasti tersebut berhasil

mendapatkan kembali kedaulatannya. Sebagai balasannya, sang kaisar mengizinkan

pasukan muslim yang telah membantunya itu untuk tinggal di salah satu distrik di

ibukota Dinasti Tang dan membolehkan mereka melakukan pernikahan dengan

perempuan-perempuan China.

Di akhir masa pemerintahan Dinasti Tang tercatat adanya 120.000 orang asing

menetap di China. 80 persen dari jumlah tersebut adalah orang-orang Arab,

selebihnya orang Persia, Nasrani, dan Yahudi.6 Orang-orang Arab muslim yang

Page 8: Peradaban Islam di Cina

menetap di China pada abad ke-8 telah memperoleh hak khusus untuk mengatur

urusan serta memilih pemimpin di antara mereka sendiri. Hal ini menunjukkan

adanya hubungan baik serta kepercayaan pemerintah China kepada komunitas

muslim yang tinggal di sana. Mobilitas yang dinamis di antara dunia Islam dan

Tiongkok telah memungkinkan para ahli geografi muslim mencatat keadaan geografis

dan kebudayaan China dengan baik pada masa yang relatif dini, seperti yang bisa

didapati pada sebuah kitab anonim berjudul Silsilat al-Tawarikh yang mungkin

disusun pada paruh terakhir abad ke-9 dan diedit oleh Abu Zaid al-Sirafi dan

kemudian dikutip oleh al-Mas’udi dalam Muruj al-Dzahab-nya.

Pada masa-masa berikutnya, eksistensi Islam di China terus berlanjut, malah semakin

baik. Ketika China dikuasai oleh Mongol dan terbentuk Dinasti Yuan (1279-1368 M),

pengaruh Islam di Tiongkok semakin kokoh. Banyak muslim Arab atau Persia yang

diberdayakan dalam pemerintahan dan militer China. Beberapa di antaranya bahkan

memegang posisi yang strategis, seperti Saidian Chi (Say Dian Chih/ Sayyid Shini/

Sayyid Syamsuddin) yang menjadi Gubernur di Yunnan. Sebuah pribahasa China

sampai-sampai menyebutkan ”Hui-Hui (muslim) tersebar luas di seluruh penjuru

China pada masa Dinasti Yuan.”8 Pada masa ini kaum

Muslimin bahkan dipanggil dengan sebutan Da’shman yang

bermakna ’orang terpelajar,’ di samping sebutan Mu Su Lu

Man dan Hui-Hui.

Keberadaan Islam di China mencapai puncaknya pada masa

Dinasti Ming (1368-1644) yang menggantikan Dinasti Yuan.

Ibrahim Tien Ying Ma menyebutkan bahwa istri kaisar

pertama Dinasti Ming adalah seorang muslimah yang dikenal

sebagai Ratu Ma (Ma menurutnya merupakan nama keluarga

muslim China yang berasal dari kata ’Muhammad’). Empat dari enam panglima yang

mendukung proses revolusi yang melahirkan Dinasti Ming juga merupakan panglima-

panglima muslim. Ia juga berargumen bahwa kaisar pertama Dinasti Ming, Chu Yuan

Chang, dan kaisar-kaisar Ming berikutnya menganut agama Islam, walaupun mereka

tidak menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Yang jelas, masyarakat China

mencapai puncak kejayaannya pada masa dinasti ini dan pada masa ini pula Islam

mencapai puncak pengaruhnya di negeri tersebut. Admiral Cheng Ho pun

menjalankan misi diplomasinya yang sangat menonjol ke Timur Tengah dan Asia

Tenggara pada awal pemerintahan Dinasti Ming.

Page 9: Peradaban Islam di Cina

Ketika dinasti ini jatuh oleh gerakan demokrasi dan republikan yang dipimpin oleh

Dr. Sun Yat Sen, kaum Muslimin China merasakan keadaan yang lebih baik dan ikut

memberikan kontribusi yang cukup penting. Namun, ketika komunisme berkuasa di

China sejak tahun 1950, mereka kembali mengalami kemunduran dan mendapat

tekanan yang luar biasa. Masjid-masjid dan para imamnya dihancurkan dan

disingkirkan oleh pemerintah komunis pada masa Reformasi Keagamaan (1958) dan

Revolusi Kebudayaan (1966-1976).

Liu Baojun memberi contoh bahwa di provinsi Qinghai setelah tahun 1958 hanya

tersisa 8 masjid, padahal sebelumnya ada 931 masjid. Jumlah imam dan staf

keagamaan di masjid-masjid pun tinggal 12 orang setelah tahun 1958, dari

sebelumnya yang berjumlah 5940 orang. Pada masa Revolusi Kebudayaan, masjid

dan para imam di provinsi tersebut sama sekali tidak tersisa lagi. Pelaksanaan

kewajiban Islam seperti shalat lima waktu dan pergi haji tidak diizinkan. Yang

terakhir ini menyebabkan muslim China mengalami keterputusan hubungan dengan

negeri-negeri Muslim lainnya dan menjadikan generasi muda mereka mengalami

kesenjangan dalam pemahaman Islam. Namun sejak masa pemerintahan Deng

Xiaoping, keadaan muslim di China menjadi lebih baik. Keyakinan mereka serta

kebebasan dalam menjalankan kewajiban keagamaan dilindungi oleh undang-undang.

Ketegangan antara muslim dengan pemerintah komunis China memang masih terjadi

pada waktu-waktu tertentu, seperti yang berlaku di wilayah Xinjiang belum lama ini.

Namun itu bukan berarti kaum Muslimin sama sekali tidak memiliki peluang untuk

berkembang dan memajukan diri pada masa-masa yang akan datang. Islam telah

hadir sejak awal keberadaannya di China dan telah menjadi bagian integral serta

memberikan kontribusi yang sangat penting dalam perjalanan sejarah bangsa tersebut.

Walaupun belakangan mendapat tekanan luar biasa dari rezim yang berkuasa, tetapi

Islam bukan hanya masih eksis di China, tetapi juga masih memiliki jumlah penganut

yang sangat besar. Sementara agama Yahudi dan Kristen Nestorian yang lebih dulu

masuk ke China telah habis tak bersisa.

Kenyataan ini juga rupanya yang mendorong ketertarikan Isaac Mason, seorang

misionaris di China pada awal abad ke-20, untuk menerjemahkan sebuah karya

biografi tentang Nabi Muhammad yang ditulis oleh seorang ilmuwan Muslim China

bernama Liu Chai-Lien atau Liu Chih. Dalam pengantarnya Mason menulis,

”Nestorianisme menghilang bak air yang merembes ke dalam pasir, meninggalkan tak

Page 10: Peradaban Islam di Cina

satu pun pengikut di negeri ini; dan hal yang sama juga secara praktis berlaku pada

komunitas Yahudi masa lalu. Apa, kemudian, dinamika dalam agama ini (Islam, pen.)

yang secara tegar menolak untuk terserap oleh lingkungannya, dan secara gigih

membanggakan superioritasnya terhadap seluruh sistem lainnya? Sementara

sepenuhnya menyadari, dan mengakui sebab-sebab lainnya, saya percaya bahwa

keperibadian sang Nabi (Muhammad, pen.), sebagaimana yang dipahami dan

dipercayai oleh para pengikutnya, telah menjadi faktor yang sangat kuat dalam

memelihara agama Islam.

Kebangkitan Islam Modern di China

Dinasti Ming dijatuhkan oleh penyerang-penyerang Manchu yang membangun

Dinasti Ching. Ini adalah pendudukan asing yang berlandaskan divide et impera. Dari

semula mereka menunjukkan ketidaksenangan yang mendalam kepada orang Muslim

dan memandangnya sebagai pendukung dinasti yang lalu. Dibawah rezim Ching dari

1644-1911 M orang Muslim menjadi sasaran kekejaman yang paling buruk. Mereka

mebalas dengan pemberontakan terus-menerus melawan rezim itu yang berakibat

kehilangan besar kehidupan, pengaruh dan harta benda. Ching memusatkan usaha-

usaha anti-Islamnya di daerah-daerah yangsangat padat Islamnya, seperti Turkestan

Timur, Khansu dan Yunnan. Karena itu disana terjadi sederetan pemberontakan

Muslim yang tidak berhasil yang dipimpin oleh Su Sei-San (1758 M) dan oleh Ma

Man-Sein (1768 M) di Khansu: pemberontakan yang dipimpin oleh Gingah di

Turkestan Timur (1828-27 M), peberontakan Sulayman Dwo-Nasyn di Yunnan

(1837-55 M) dan pemberontakan Yaqub di Shau-Si, di Khansu dan Turkestan Timur

(1855-75 M).

Yang terpenting dari sederetan pemberontakan ini adalah pemberontakan Yunnan, di

mana orang-orang Muslim mampu membebaskan kota-kota Dali dan Yunnan

(ibukota provinsi). Mereka juga mampu membangun negara Muslim. Namun, negara

ini disusupi dan setelah delapan tahun merdeka, ia dihancurkan dari dalam oleh

perang saudara. Ini diikuti oleh pembunuhan-pembunuhan missal orang-orang

Muslim yang meluas yang sangat mengurangi jumlah mereka. Revolusi Yakub di

Kanshu berlangsung selama dua puluh lima tahun. Pada awalnya orang-orang Muslim

seolah-olah telah memenangkan peperangan, tetapi pada akhirnya mereka

dihancurkan justru ketika di Yunnan.

Page 11: Peradaban Islam di Cina

Jadi abad Sembilan belas di China merupakan abad pemberontakan Muslim terus-

menerus melawan penindasan. Dapat diringkaskan dalam kata-kata Imam China

terkenal Ibrahim Shiong: “Sejarah perjuangan Muslim untuk hidup sepanjang lebih

dari tiga abad penindasan dan kezaliman merupakan bukti terbaik kesatuan mereka

(Muslim) dan keinginan mereka yang luar biasa untuk menentang siapapun yang

berani menantang keyakinan mereka dan jalan hidup mereka yang Islami berupa

lamanya pun ini harus dilakukan.”

Karena itu tidak aneh kalau orang Muslim termasuk pendukung Revolusi Republik

pada 1911 yang paling setia. Presiden pertama republik Dr. Sun Yat Sen, menanggapi

dengan membebaskan orang Muslim dari segala penganiayaan. Ia menyatakan bahwa

bangsa China terdiri dari lima komponen yang sama: Han (orang Budha China); Hui

(Muslim China); Ming (Mongol); Man (Manchu); dan Tsang (orang Tibet).

Namun penganiayaan Manchu selama tiga abad menyebabkan orang Muslim lebih

miskin, jumlahnya berkurang, terputus hubungan dengan Dunia Muslim yang lain.

Walaupun kesetiaan mereka terhadap Islam kuat, tetapi pengamalan Islam mereka

memerlukan banyak peningkatan. Setelah 1911, Muslim China membangun kembali

kontak-kontak dengan Dunia Muslim, melakukan upaya perbaikan organisasai dan

pendidikan dan membawa kembali massa Muslim kepada garis ortodoks. Yang paling

meninjol adalah pendirian Organisasi MUSLIM China Progresif di Beijing yang

dipimpin oleh Al-Haj Ahound Wang Haonan yang aktivitasnya terpusat pada

penyebaran pendidikan Islam, pengajaran bahasa Arab, dan pembangunan masjid dan

sekolah. Pada 1938, sustu organisasi baru Pan China Muslim didirikan di bawah

pimpinan seorang jenderal angkatan darat Muslim. Ia mengorganisasi milisi Muslim

untuk mempertahankan negaranya dari serbuan Jepang. Organisasi yang sama

menerjemahkan Al-qur’an ke dalam bahasa China, dan mengirim ratusan pelajar.

Pada 1926 Organisasi Kebudayaan Muslim China dibentuk di Shanghai, dipimpin

oleh Al-Haj Jalaluddin Hat-Hshing. Peranan organisasi itu adalah mengatur pendirian

studi Al-Qur’an (tafsir) dan hadist nabi. Organisasi ini memulai sejumlah besar

sekolah dan perpustakaan dan memberikan beasiswa kepada banyak mahasiswa.

Secara cultural, terjadi kebangkitan kembali Muslim sejak di China pada periode

1911-48. Selama periode ini orang-orang Muslim membangun lebih dari seribu

sekolah dasar dan perpustakaan dan banyak sekolah menengah. Mereka berhasil

dalam mengenalkan studi bahasa Arab dan Islam di universitas-universitas China,

seperti Universitas Beijing, Universitas Central, Universitas Tchung-San, dan

Page 12: Peradaban Islam di Cina

sebagainya. Mereka memproduksi sejumlah besar literatur Islam dalam bahasa China

melalui majalah-majalah Islam seperti: Majalah Studi Islam China; Surat Kabar

Islam, Majalah, Sinar Islam, Matahari Terbit, Pemuda Muslim, Al-Islah,

Kemanusiaan, Majalah Chee, Majalah Bang-Tou, Batas-batas, Al-Awqaf, dan

sebagainya.

Secara politik, Muslim membuat pemunculan kembali secara mengesankan. Banyak

di antara mereka bergabung dengan Revolusi Nasionalis dan bertempur dengan

keberanian tinggi. Mereka menanggapi seruan Dr. Sun Yat Sen ketika dia berbicara

dalam satu pidatonya yang terkenal: “Orang Muslim mempunyai tujuan revolusioner

yang kuat. Mereka melawan penindasan di abad-abad yang lalu. Karena alasan ini

kami meminta mereka bergabung dengan gerakan revolusi kita. Gerakan Nasionalis

China tidak akan berhasil tanpa bantuan orang-orang Muslim, dan pekerjaan

mengalahkan penjajahan tidak akan dilakukan tanpa kesatuan yang sempurna dalam

usaha-usaha antara orang-orang China dan ummah Muslim.

Pada 1946, ada lebih dari seratus wakil Muslim di parlemen China. Para gubernur

daerah-daerah mayoritas Muslim semuanya orang Muslim: Turkestan Timur,

Tsinghai dan Ningsia, dan Khansu. Banyak menteri-menteri Muslim dalam

pemerintahan, seperti Tn. Ma Fu Sian, dan Jenderal Omar Bay yang menjadi Menteri

Pertahanan setelah Perang Dunia II. Orang-orang Muslim bergabung dengan tentara

dalam jumlah besar dan banyak di antara mereka menonjol, seperti Jenderal Husayn

Bufan Ma, Bushin Ma dan Jee-Yuan Ma.

Usaha pengorganisasian semua Muslim China di bawah satu payung tunggal dimulai

oleh Muslim Mongolia, yang pada 1938, membiayai pembentukan “Liga Lima Ma”.

Page 13: Peradaban Islam di Cina

Kekuatan Angka dan Penyebaran Kebangsaan

Cheng Ho, Panglima Penyebar Islam di Cina

Provinsi Jumlah Muslim (ribuan)Turkestan Timur 2.400Khansu 3.000Hopeh dan Beijing 1.000Shan-Si 1.000Yunnan 1.000Manchuria 200Shan-Toung 200Honan 200Kiang-Su 250Sichuan 250Daerah-daerah lain 141Jumlah 9.641

Rezim komunis membuat sensus di China pada 1953. Namun rezim ini tidak

menganggap penting afiliasi keagamaan penduduk. Seperti di Uni Soviet, rezim

komunis mengakui prinsip kebangsaan di daerah-daerah terpencil. Rezim itu

mengakui enam kebangsaan Muslim di daerah otonom Singkiang-Uighur; dua di

Provinsi Khansu, dan satu di Chinghai.

Filsafat Islam dan Budaya Cina

 JALAN Sutra yang pernah menghubungkan China ke Timur Tengah dan belahan

dunia yang lain itu ternyata bukan sekedar rute yang digunakan untuk mengangkut

barang dan menjalin hubungan dagang atau keterkaitan yang bersifat material, namun

juga jalan untuk membangun hubungan dalam hal pemikiran, budaya, sains, industri,

Page 14: Peradaban Islam di Cina

filsafat, dan mistisisme. Beruntung sekali saat itu ada jalan terbuka yang bisa

menghubungkan hati dan saling bertukar cinta kasih antar bangsa.

Abad ke-6 SM merupakan titik balik bagi sejarah kebudayaan. Abad ini menyaksikan

munculnya Zoroaster, nabi reformis yang saleh, yang juga teosof dari Persia. Selain

itu ada pemuka ajaran moral dan filsafat yang jenius seperti Lao Tzu dan Konfusius,

Buddha di India, Pythagoras dan Thales di wilayah yang berdekatan dengan Yunani.

Menurut beberapa peneliti, dulu Pythagoras dan Thales pernah melawat ke Iran dan

menjadi murid di sekolah-sekolah yang didirikan Imam Magi Persia. Ada juga

beberapa pendapat yang menyatakan adanya berbagai persamaan yang dijumpai pada

prinsip-prinsip filosofis Iran Kuno—yang disebut iluminasionisme atau Filsafat

Timur—dengan doktrin-doktrin yang diperkenalkan oleh Buddha dan Lao Tzu

(berkenaan dengan filsafat spekulatif, pemikiran mereka serupa dengan Mistisisme

Islam modern); dan Konfusius (ajaran filsafat praktis, politik, dan prinsip

pemerintahan yang diusungnya

sejalan dengan dinasti Magi di

Persia). Karena itu, muncul dugaan

bahwa memang ada hubungan

antara para teosof ini dengan para

pemikir Iran, bahkan dengan

Zoroaster sendiri.

Dasar pemikirannya adalah, para

teosof Persia Kuno, yang dikenal

dengan sebutan Magi, merupakan masyarakat kelas pertama setelah raja dan

pengadilan, dan merupakan komunitas yang mandiri, dan luas cakupannya di masa

itu. Disebutkan juga bahwa selama pemerintahan Cyrus dan raja-raja lain di masa itu,

para Magi itu hadir di semua wilayah di sekitar Persia, dari anak benua India, hingga

Mesir dan Yunani.

Walaupun persamaan pandangan maupun keterkaitan filsafat dan agama di antara

mereka itu kian tergerus waktu, dan terpengaruh oleh berbagai kepentingan serta

kebiasaan setempat, pengaruhnya tetap ada. Interaksi antar pemikiran dan

kebudayaan yang mereka jalin tak pernah lenyap. Demikian pula di China, karena

perkembangan zaman dan munculnya berbagai dinasti, maka mahzab pemikiran

China telah mengalami berbagai perubahan. Mereka juga telah menyaksikan aneka

kemajuan dan kemunduran.

Page 15: Peradaban Islam di Cina

Karena bangkitnya Islam memberikan efek sangat nyata dan luar biasa di seluruh

peradaban dunia di masanya, dan pada gilirannya membuat Iran yang begitu

berkuasa, serta kekaisaran Roma yang arogan itu tunduk pada prinsip ideologi dan

mahzab ketuhanannya, maka gelombang Islam juga menyebar ke seluruh bangsa di

wilayah timur, dan bangsa China menganggapnya sebagai hal yang lumrah.

Tak lama setelah munculnya Islam—tahun 651 M—agama ini masuk ke China, dan

banyak pribumi yang menganutnya. Di era tertentu dalam sejarah China, termasuk

masa dominasi Mongol di China, agama Islam kian menemukan momentum untuk

bisa diterima.

Tidak seperti agama-agama lain, Islam bukan semata-mata rangkaian doktrin religius

dan sebuah paket keyakinan, ataupun ritus-ritus keagamaan. Lebih dari itu, Islam

membawa peradaban yang megah, maju, sesuai dengan perkembangan zaman, dan

terus mengalami perbaikan. Islam mempersembahkan karya-karya terkemuka di

bidang sains dan seni maupun filsafat, matematika, astronomi, dan obat-obatan. Pada

saat dunia masih mengimpor dan menerjemahkan buku-buku dari Yunani, ilmu-ilmu

tersebut mengalami kemerosotan yang tajam, dan kemudian bisa mencapai

puncaknya berkat upaya yang dilakukan oleh figur-figur terkemuka seperti Al-Farabi,

Ibn Sina, Khayyam, Biruni, dan Al-Razi. Dalam bidang obat-obatan, misalnya, Ibn

Sina dengan karyanya Al Qanun dan Kitab Ash-shifa (Kitab Pengobatan), di bidang

logika, filsafat, matematika, dan ilmu alam, selama bertahun-tahun menjadi dasar

untuk mempelajari bidang-bidang ini di Timur dan Eropa Pertengahan; kitab-kitab

filsafatnya masih menjadi sumber utama ilmu filsafat Islam hingga kini.

Walaupun sebelumnya Iran merupakan pusat ilmu-ilmu tersebut (sejak abad ke-4

Hijriah) dan dinasti demi dinasti di Iran mendukung para ilmuwan dan filosof, di

wilayah sekitar Iran, khususnya di anak benua India, ilmu-ilmu tersebut termasuk

sastra Parsi cukup menyebar luas. Para penyair biasa menulis puisi mereka dalam

bahasa Parsi. Para filosof biasa mengajarkan kitab-kitab Ibn Sina; dan di wilayah

yang kini dikenal dengan sebutan Asia Minor (khususnya kota seperti Marv, Bukhara,

dan Samarkand merupakan bagian dari Iran, dan dikuasai oleh Iran kecuali di masa

dinasti Ghaznavid, Samaniyah, Seljuk, dan Khwarazmshah) juga tak jauh dari Iran

dalam hal menguasai kebudayaan, filsafat dan ilmu pengetahuan. Di seluruh wilayah

ini, ilmu pengetahuan dan budaya Iran dan Islam sama-sama tersebar luas.

Jalan Sutra merupakan jalur perdagangan yang diperlukan China untuk menjual dan

mengekspor berbagai komoditas, khususnya sutra, dan merupakan cara yang unik

Page 16: Peradaban Islam di Cina

untuk menghubungkan China dengan dunia luar sebelum jalur laut dikenal luas.

Namun demikian, melalui jalur inilah hubungan China dengan budaya dan

pengetahuan Islam menemukan jalannya. Para ilmuwan Iran dan China saling

melawat ke negara masing-masing dan jadi saling akrab dengan kebudayaan masing-

masing.

Melalui jalur penting inilah berbagai pengalaman dan penemuan China yang sangat

berharga (seperti kertas dan bubuk mesiu) bisa masuk ke Timur Tengah bersama-

sama dengan sutra dan barang dagangan lain. Sebaliknya, begitu banyak kebudayaan

dan ritual Islam, bersama-sama dengan para ilmuwan dan buku-buku filsafat, maupun

barang dagangan dari wilayah barat masuk ke China. Berkat pertukaran ini,

pengetahuan yang dibawa para ilmuwan tersebut digunakan oleh pemerintahan

China.

Menurut para raja dan emir, ada dua ilmu pengetahuan yang penting, dan karenanya

bermanfaat serta mereka perlukan; yaitu: pengobatan yang bisa menjaga kesehatan

mereka, dan astrologi, yang bisa memberitahu mereka tentang keberuntungan dan

nasib sial dalam kehidupan sehari-hari, sehingga bisa menjauhkan mereka dari

marabahaya. Astrologi ini hadir menyertai pengetahuan tentang benda-benda luar

angkasa, pengukuran waktu, dan penyusunan kalender.

Mungkin karena itulah astrologi Islam masuk ke China sejak masa Tang. Pembagian

kalender dengan kemiringan 60 derajat dan memperhitungkan tahun kabisat, yang

merupakan metode yang ditemukan oleh Hakim Khayyam dari Nishapur, diadopsi

oleh bangsa China. Dengan tegas dinyatakan oleh para ilmuwan China, bahwa sistem

kalender ini merupakan salah satu sumbangsih paling penting yang diberikan para

ilmuwan Islam kepada ilmu pengetahuan di China. Ada ahli matematika Iran yang

diundang ke China pada masa pemerintahan Jiang Lung untuk mengoreksi kalender

China, hingga diberi gelar kebangsawanan kehormatan. Dia dikenal dengan nama

Ma-yize.

Selama masa kekuasan Mongol (Dinasti Yuan) di China, kiprah ilmuwan Islam dan

berbagai buku karya mereka—nyaris di semua bidang pengetahuan—kian

memperoleh dukungan. Karenanya para ilmuwan Iran masuk ke China dengan

membawa buku-buku astrologi, matematika, ramalan, kimia, geografi, obat-obatan,

sastra, filsafat, dan sejarah.

Jamaluddin merupakan salah satu astrolog Iran di tahun 267 M yang menawarkan

tujuh peralatan astrologi hasil temuannya kepada kaisar. Penemuan itu belum pernah

Page 17: Peradaban Islam di Cina

dilakukan sebelumnya. Di antara penemuannya adalah globe, yang saat itu adalah

benda yang benar-benar baru. Bertentangan dengan keyakinan para ilmuwan China

yang beranggapan bahwa bumi itu datar, benda itu membuktikan bahwa bumi itu

seperti bola. Di globe tersebut, dia pernah menggambar peta bumi sesuai dengan

penjelasan dan pengalaman para ilmuwan Muslim di masa itu.

Berkaitan dengan ilmu obat-obatan, di masa itu ilmuwan Muslim juga berada di

tingkat teratas. Mereka mengekspor obat-obatan ke China melalui para pedagang, dan

menjadikan China akrab dengan obat baru hasil temuan mereka. Dokter-dokter Iran

biasa berkunjung ke China atas permintaan para kaisarnya untuk mengobati penyakit,

serta mengajarkan ilmu pengobatan dan farmasi. Kedatangan mereka itu

menyebabkan masuknya obat-obatan Iran—yang merupakan kombinasi antara

ramuan Galen, ramuan tradisional Iran, dan temuan ilmuwan Islam—ke China.

Tentang ilmu obat-obatan ini, salah seorang ilmuwan China menulis:

Di tahun 982 M, seorang kaisar dari Dinasi Sung memerintahkan agar pelabuhan-

pelabuhan di propinsi Fujian dibuka untuk 37 macam jenis obat. Kebanyakan obat

itu diimpor oleh para pedagang Muslim. Buku Accounts in Sung’s Period—Catatan

di Masa Sung—menunjukkan bahwa jumlah obat-obatan yang diimpor dari Timur

Tengah sangat banyak. Bersamaan dengan diimpornya obat-obatan dari Timur

Tengah, maka metode pengobatan penyakit juga masuk ke China. Buku-buku karya

dokter Iran yang ternama seperti Al Razi dan Ibn Sina, yang ditulis dalam bahasa

Arab—karena menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman—dibawa pula ke

China. Berbagai dokumen menyebutkan bahwa salah seorang ilmuwan China pergi

ke Iran dan mempelajari ilmu obat-obatan tertentu dari Al-Razi.

Munculnya berbagai cabang ilmu pengetahuan alam, astrologi, mesin, obat-obatan,

dan sejenisnya di masing-masing periode dan pada masing-masing individu akan

membangun eksistensi filosofis maupun teosofis dalam diri individu atau periode

tersebut. Mengapa? Karena pengalaman menujukkan bahwa di setiap periode, semua

ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang di dalam filsafat, dan akan terus

mengalami kemajuan. Secara logis, filsafat dan teosofi merupakan ibu dari semua

ilmu pengetahuan, karena seorang ilmuwan yang memiliki salah satu pengetahuan

tersebut, kurang lebih merupakan manifestasi dari hakikat dirinya sebagai seorang

filosof. Sayangnya, hubungan ini sedikit banyak telah dikaburkan sejak munculnya

westernisasi modern. Walaupun demikian, sejak akhir abad ke-20, semua ilmu

Page 18: Peradaban Islam di Cina

pengetahuan mulai meminta suaka kepada filsafat dan mencari solusi atas berbagai

problematika mereka melalui filsafat.

Berdasarkan fakta itulah, filsafat menemukan jalan masuk, bersamaan dengan ilmu-

ilmu pengetahuan yang lain yang telah diterima luas di negara-negara tetangga China

sejak Dinasti Sung, dan yang dikuasai oleh ilmuwan Muslim di abad ke-4 H. Buku-

buku karya Ibn Sina dan Al Razi, serta karya murid-murid mereka juga masuk ke

kalangan China Muslim. Menyebarnya filsafat Islam di China mendorong para filosof

Muslim melakukan serangkaian studi komparatif antara filsafat dan kebudayaan

Islam di satu sisi, dan filsafat China kuno seperti Konfusius, Taoisme, dan

Buddhisme di sisi lain.

Perpaduan dua pemikiran ini kian mengemuka menjelang akhir Periode Ming.

Perkawinan antara filsafat Islam dan filsafat Konfusius yang dilakukan oleh para

ilmuwan dan filosof Muslim yang akrab dengan kedua mahzab ini pada akhirnya tak

bisa mencegah terjadinya efek timbal balik.

Kita tak pernah tahu pasti, hingga sejauh mana para filosof Muslim ini, yang

bersinggungan dengan filsafat Islam maupun mahzab Konfusius, menjalin kontak

dengan para pemuka Konfusius di China. Walaupun begitu, kita tahu pasti bahwa

pengetahuan tak mengenal batas wilayah; lebih-lebih bagi orang yang tinggal di

sebuah negara, khususnya yang tinggal di kota, interaksi berbagai pemikiran dan

kebudayaan adalah fenomena yang lazim. Untuk memahami kedalaman pengaruh

filsafat dan mistisisme Islam terhadap Neo-Konfusianisme, diperlukan investigasi

lebih lanjut, yang seharusnya dilakukan oleh para ilmuwan China.

Menurut sejumlah dokumen asli, dari waktu ke waktu, beberapa filosof dan teosof

dari Timur Tengah—terutama dari Khurasan dan Anak Benua India—biasa

mengunjungi China, baik untuk berwisata, belajar, maupun mengajar atas undangan

kalangan Muslim China. Misalnya, di abad ke-17 dan ke-18, lawatan bangsa Iran ke

China tercatat resmi. Di masa itu, Dinasti Savawi memerintah Iran, dan pemerintahan

Anak Benua di tangan para Timur India, yang sangat tergantung kepada Iran dalam

hal kebudayaan, sastra, dan filsafat. Jelas bahwa dalam sebagian besar buku-buku

Mulla Shadra, khususnya Sharh Al-Hidayah, yang dengan asal-asalan disebut dengan

judul Mulla Sadra, biasa diajarkan di sana, dan memang sangat terkenal.