penyusunan program tbc ck
TRANSCRIPT
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit pernafasan menular yang banyak
terjadi di negara berkembang termasuk di Indonesia. Diperkirakan sekitar
sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis.
Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada
negara-negara berkembang. WHO memperkirakan bahwa di Indonesia setiap
tahunnya setiap 100.000 penduduk terdapat 115 penderita baru TB paru dengan
BTA positif. Penyakit TB menyerang sebagian besar kelompok usia produktif. Di
provinsi Jawa Timur sendiri penyebaran penyakit TBC sangat memprihatinkan.
Data yang didapat di Departemen Kesehatan, penderita penyakit TBC di Jawa
Timur menempati urutan ke-3 setelah Jakarta. Didapatkan untuk jumlah penderita
TBC baru di Jatim tahun 2010 kemarin mencapai 23.146 penderita. Sedangkan
Case Detection Rate (CDR) pada tahun 2011 adalah 65%, dengan jumlah kasus
TB BTA positif sebanyak 21.477 penderita. Sementara daerah yang terbanyak
menderita penyakit TBC di daerah Jawa Timur adalah Madura dan Jember. Di
Kabupaten Jember, terdapat 2.591 orang yang diperiksa untuk mengetahui status
TB parunya. Dari jumlah itu terdapat 1.815 orang yang positif TB paru.
Sedangkan yang sembuh mencapai 1.627 orang. Pada tahun 2010, ada
peningkatan jumlah orang yang diduga menderita TB paru yaitu sebanyak 2.662
orang. Dari hasil pemeriksaan diketahui jumlah orang yang positif menderita TB
paru sebanyak 1.943 orang. Untuk tahun 2011 hingga bulan April, sudah ada 736
orang yang diduga menderita TB paru. Dengan hasil positif pada 543 orang.
Angka DO di Jember mencapai 2 sampai 2,5 persen dari total penderita TB paru.
Angka DO yang terbilang cukup tinggi (Dinas Kesehatan Kabupaten Jember,
2010).
Dengan semakin meningkatnya angka kejadian TBC di Indonesia, maka
untuk menekan angka kejadian TBC di Indonesia dibuatlah Strategi Nasional
Program Penanggulangan TBC tahun 2010-2014 yang terdiri dari 7 strategi, 4
strategi umum yang didukung oleh 3 strategi fungsional. Ketujuh strategi ini
merupakan upaya yang berkesinambungan dari strategi nasional sebelumnya,
dengan rumusan strategi yang mempertajam respons terhadap tantangan pada saat
ini. Strategi umum yang dikembangkan adalah :
1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu;
2. Menghadapi tantangan TB/HIV (human immunodeficiency virus), multi
drugs resistence (MDR)-TB, TB Anak dan kebutuhan masyarakat
miskin serta rentan lainnya;
3. Melibatkan seluruh penyedia layanan pemerintah, masyarakat
(sukarela), perusahaan dan swasta, melalui pendekatan Public–Private
Mix (PPM) dan menjamin kepatuhan terhadap International Standard
for TB Care;
4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB;
Pencapaian keempat strategi umum di atas harus didukung oleh strategii
fungsional untuk memperkuat fungsi-fungsi managerial dalam program
penanggulangan TB. Strategi fungsional tersebut adalah :
5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan
manajemen program pengendalian TB;
6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program
TB;
7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi
strategis (www.perdhaki.org, 2012).
Dari tujuh strategi yang telah disusun oleh Kemenkes, penulis ingin
mengimplementasikan strategi nomor emat yaitu memberdayakan
masyarakat dan pasien TB. Strategi terebut akan dilaksanakan dengan
memanfaatkan peran kearifan local melalui kelompok Mepet di Jember.
1.2 Tujuan
Tujuan Umum
Membangun kemitraan dengan mengoptimalkan kearifan local melalui
kelompk
Tujuan Khusus
1. Meembentuk kader khusus pengendalian TB
2. Melakukan pelatihan Toga dan Toma sebagai sumber kearifan local
3. Membentuk jejaring TB on call
1.3 Manfaat
1. pemberdayaan masyarakat
2. membantu program penanggulangan TB pemerintah
3. strategi dengan karifan lokal
BAB 2. PENGKAJIAN
2.1 Gambaran umum dan perilaku penduduk1. Keadaan penduduk
Jember berpenduduk 2.329.929 jiwa (JDA, BPS 2011) dengan
kepadatan rata-rata 707,47 jiwa/km2. Kepadatan penduduk Kabupaten
Jember pada tahun 2000 adalah 664 jiwa/km2. Kemudian meningkat
menjadi 707 jiwa/km pada tahun 2010. Kepadatan penduduk
Kabupaten Jember melebihi garis normatif, namun pola distribusinya
tidak berubah dari tahun ke tahun. Kecamatan dengan penduduk
terjarang adalah Kecamatan Tempurejo dengan tingkat kepadatan 135
jiwa/km2 dan kecamatan terpadat penduduknya adalah Kecamatan
Kaliwates yaitu mencapai 4480 jiwa/Km2. Range yang sangat jauh ini
menunjukkan bahwa masih ada ketimpangan persebaran penduduk
antar kecamatan di Kabupaten Jember. Kepadatan penduduk berada di
3 kecamatan kota yaitu Kecamatan kaliwates, Sumbersari dan
Kecamatan Patrang,karena di Kecamatan tersebut banyak
pengembangan areal perumahan dan dekat dengan kampus
Universitas Jember (Unej) sehingga banyak penduduk pendatang yang
indekost. Adapun Kecamatan yang masih jarang penduduknya di
kecamatan Tempurejo disusul Kecamatan Silo karena wilayah
kecamatan tersebut sebagian besar terdiri dari Hutan dan areal
perkebunan (Badan Pusat Statistik, 2010). Mayoritas penduduk
Kabupaten Jember terdiri atas Suku Jawa dan Suku Madura, dan
sebagian besar beragama Islam. Selain itu terdapat warga Tionghoa
dan Suku Osing. Rata rata penduduk jember adalah masyarakat
pendatang, Suku Madura dominan di Jember bertempat tinggal di
daerah utara dan Suku Jawa bertempat tinggal di daerah selatan dan
pesisir pantai.
2. Keadaan ekonomiKegiatan ekonomi ini secara langsung maupun tidak langsung
dapat memperlihatkan cepat dan lambatnya proses perkembangan kota.
Selain itu dapat juga memperlihatkan kecenderungan perkembangan
ekonomi kota. Bagi kota-kota kecamatan di Indonesia, kehidupan
ekonomi kotanya masih lebih banyak ditunjang oleh kegiatan
pertanian. Kondisi ini juga terjadi pada kota Jember dimana sektor
pertanian baik pertanian tanaman pangan maupun holtikultura
(www.ciptakarya.pu.go.id, tanpa tahun). Dengan sebagian besar
penduduk masih bekerja sebagai petani, perekonomian Jember masih
banyak ditunjang dari sektor pertanian. Di Jember terdapat banyak area
perkebunan, sebagian besar peninggalan Belanda. Perkebunan yang
ada dikelola oleh Perusahaan nasional PTP Nusantara, Tarutama
Nusantara (TTN), dan Perusahaan daerah yaitu PDP (Perusahaan
Daerah Perkebunan). Jember terkenal sebagai salah satu daerah
penghasil tembakau utama di Indonesia. Tembakau Jember adalah
tembakau yang digunakan sebagai lapisan luar atau kulit cerutu. Di
pasaran dunia tembakau Jember sangat dikenal di Brehmen, Jerman
dan Belanda.
3. Keadaan pendidikan
Fasilitas pendidikan di Kota Jember meliputi TK, SD, SLTP,
SLTA dan PT/Akademi. Fasilitas-fasilitas pendidikan ini telah tersebar
secara merata di wilayah Kota Jember. Dan jumlah fasilitas ini
semakin mengecil sejalan dengan semakin tingginya tingkat
pendidikan (www.ciptakarya.pu.go.id, tanpa tahun). Ketersediaan
sarana dan prasarana bidang pendidikan tahun 2004 sebagai berikut:
Taman Kanak-kanak 676 buah, SD/sederajat 1.168 buah,
SMP/sederajat 143 buah, SMA/sederajat 140 buah dan Perguruan
Tinggi 11 buah. Khusus SD Negeri terjadi penurunan sebagai akibat
kebijakan regrouping, dari 1.211 pada tahun 2000 menjadi 1.112 pada
tahun 2004, atau turun sebesar 8,18%. Beberapa perguruan tinggi yang
ada di wilayah Jember seperti Universitas Jember, STAIN Jember,
dan Politeknik Negeri Jember. Selain itu terdapat beberapa perguruan
tinggi swasta yaitu, Universitas Muhammadiyah Jember, Universitas
Islam Jember, Universitas Moch. Seroedji, STIE Kosgoro, IKIP PGRI
Jember, dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Mandala Jember,
Sekolah Tinggi Assuniyah Alfalah (Staifas) Kencong dan masih
banyak perguruan tinggi lainnya. PPKIA (Pusat Pendidikan Komputer
Indonesia Amerika) salah satu lembaga pendidikan luar sekolah, ada
juga PIKMI (Pusat Pendidkan Program Satu Tahun) yang berbasis
komputer, (MAGISTRA UTAMA).
4. Keadaan kesehatan lingkunganPengelolaan sumber air bersih di Kota Jember dilakukan oleh
PDAM Kabupaten Jember. Sumber yang digunakan adalah sungai,
mata air, sumur dalam dan sumber air permukaan dengan kapasitas
239 lt/dt dengan kondisi baik. Debit sumber air baku mengalami
penurunan karena penebangan pohon-pohon di daerah resapan air.
Pemenuhan kebutuhan air bersih di kota Jember masih sangat kurang
karena air bersih yang tersedia dan air bersih yang dibutuhkan tidak
seimbang. Untuk masalah pengelolaan sampah, Sampah di kota
Jember dikelola oleh DKP Kabupaten Jember, dan kemudian diolah di
TPA Kertosari dengan sistem controlled landfill. Dengan asumsi
timbulan sampah untuk kota sedang sebesar 3 liter/orang/hari, maka
diasumsikan jumlah sampah yang perlu dikelola di kota Jember adalah
sebesar 733,02 m3/hari. Pengelolaan air limbah/air buangan di kota
Jember dilakukan secara on-site, yaitu secara individual pada masing-
masing rumah tangga dan komunal dengan memanfaatkan fasilitas
umum seperti jamban umum, MCK dengan tangki septik dan cubluk
serta saluran lainnya seperti sungai dan kolam. Perkiraan produksi
limbah di Kota Jember adalah 48.868 lt/org/hr. Jumlah truk tinja di
Kota Jember adalah 2 buah dengan keadaan yang baik.
5. Keadaan perilaku masyarakatMasyarakat di Kabupaten Jember masih memiliki kebiasaan buruk
yang berkaitan dengan kesehatan, contohnya adalah, pola makan
terbalik, saat bayi dan anak-anak, warga Jember tidak cukup diberi
makan protein. Sementara, justru di masa dewasa, warga makan
makanan berprotein tinggi dan berlemak. Kedua, pengetahuan
mengenai air susu ibu yang keliru. Ketiga, persiapan kehamilan yang
salah. Keempat, gemar minum obat sembarangan. Kelima, gemar
merokok. Keenam, banyak warga yang malas untuk berolahraga, dan
ketujuh, kesadaran terhadap kebersihan lingkungan yang masih
rendah. Masyarakat di daerah pedesaan juga masih banyak yang
melakukan buang air besar di sungai yang menyebabkan persebaran
penyakit semakin mudah.
Hasil survei prevalensi TB (2004) mengenai pengetahuan,
sikap dan perilaku menunjukkan bahwa 96% keluarga merawat
anggota keluarga yang menderita TB dan hanya 13% yang
menyembunyikan keberadaan mereka. Meskipun 76% keluarga
pernah mendengar tentang TB dan 85% mengetahui bahwa TB dapat
disembuhkan, akan tetapi hanya 26% yang dapat menyebutkan dua
tanda dan gejala utama TB. Cara penularan TB dipahami oleh 51%
keluarga dan hanya 19% yang mengetahui bahwa tersedia obat TB
gratis (Stranas TB, 2011).
Mitos yang terkait dengan penularan TB masih dijumpai di
masyarakat. Sebagai contoh, studi mengenai perjalanan pasien TB
dalam mencari pelayanan di Yogyakarta telah mengidentifikasi
berbagai penyebab TB yang tidak infeksius, misalnya merokok,
alkohol, stres, kelelahan, makanan gorengan, tidur di lantai, dan tidur
larut malam. Stigma TB di masyarakat terutama dapat dikurangi
dengan meningkatkan pengetahuan dan persepsi masyarakat
mengenai TB, mengurangi mitos-mitos TB melalui kampanye pada
kelompok tertentu dan membuat materi penyuluhan yang sesuai
dengan budaya setempat (Stranas TB, 2011).
Survei pada tahun 2004 tersebut juga mengungkapkan pola
pencarian pelayanan kesehatan. Apabila terdapat anggota keluarga
yang mempunyai gejala TB, 66% akan memilih berkunjung ke
Puskesmas, 49% ke dokter praktik swasta, 42% ke rumah sakit
pemerintah, 14% ke rumah sakit swasta dan sebesar 11% ke
bidan atau perawat praktik swasta. Namun pada responden yang
pernah menjalani pengobatan TB, tiga FPK utama yang
digunakan adalah rumah sakit, Puskesmas dan praktik dokter
swasta. Analisis lebih lanjut di tingkat regional menunjukkan
bahwa Puskesmas merupakan FPK utama di KTI, sedangkan
untuk wilayah lain rumah sakit merupakan fasilitas yang utama.
Keterlambatan dalam mengakses fasilitas DOTS untuk diagnosis dan
pengobatan TB merupakan tantangan utama di Indonesia dengan
wilayah geografis yang sangat luas (Stranas TB, 2011)
Masyarakat Jember masih belum memiliki pengetahuan yang
cukup tntang TB. Masyarakat masih belum mengetahui bagaimana
kondisi lingkungan yang dapat menyebabkan TB. Selain itu, kgagalan
pengobatan yang terjadi sampai saat ini dikarenakan urangnya
kesadaran penderita TB untuk minum obat secara teratur (drop out).
Hal ini juga diperparah dengan kurang optimalnya peran pengawas
minum obat. Masyarakat Jember juga masih belum sadar akn manfaat
dan efektivitas BCG. Hal ini dibuktkan dengan cakupan imunisasi
BCG yang masih rendah.
Munculnya adaptasi maladaptive berupa isolasi social pada
penderita TB diakibatkan oleh stima masyarakat yang masih
memandang penderita TB untuk dikucilkan. Hal ini bahwa masyarakat
takut akan tertular ehingga penderita TB harus dihindari.
2.2 Situasi derajat kesehatan
1. Mortalitas
Kabupaten Jember menempati rangking kedua terbanyak jumlah
Angka Kematian bayi (AKB) dan ibu (AKI) di Jawa Timur setelah
Probolinggo. Angka Kematian Ibu di Jember mengalami peningkatan
dari tahun ketahun yang mana pada tahun 2008 yaitu 103/100.000 KH
dan pada tahun 2009 AKI sebesar 134/100.000 KH. Tercatat angka
kematian ibu melahirkan pada tahun 2011 lalu tercatat 54 kasus,
sedangkan angka kematian ibu melahirkan di tahun 2012 dari rentang
Januari-Oktober kemarin mencapai 420 kasus kematian ibu
melahirkan. Padahal, dana Jampersal telah digelontorkan bagi ibu
hamil yang hendak melahirkan hingga masa nifas (www.
jaringnews.com, 2012). Pada tahun 2008 dan tahun 2009 kematian ibu
banyak disebabkan oleh perdarahan, dan pada tahun 2010 kematian ibu
banyak disebabkan oleh eklampsi meskipun masih banyak yang
disebabkan oleh perdarahan. Selain disebabkan akibat langsung
kehamilan, komplikasi kehamilan dan persalinan kematian ibu
disebabkan oleh penyakit lain yang semakin memburuk dengan
terjadinya kehamilan dan persalinan yaitu penyakit TBC, Ginjal,
Enchepalitis, Chirosis, dan Pneumoniae. Menurut Humas Dinas
Kesehatan Jember angka kematian bayi yang tinggi ini disebabkan
oleh rendahnya kesadaran ibu untuk melahirkan di bidan atau
puskesmas. Sebagian ibu masih memilih menggunakan jasa dukun
bayi. Jumlah dukun bayi di Jember cukup banyak mencapai 1.200
orang,sedangkan jumlah bidan hanya 420 orang yang tersebar di 49
puskesmas dan praktik swasta (www.seputar-indonesia.com, 2013).
2. MorbiditasJumlah warga yang sakit di Jember cukup tinggi. Data di RS
Daerah dr. Soebandi membenarkan pernyataan tersebut. Sepanjang
tahun 2011, ada 152.172 orang pasien yang berobat di rumah sakit
terbesar di kawasan timur Jawa Timur itu. Ini berarti setiap bulan, RS
dr. Soebandi menerima 12.681 orang pasien. Kalau dirata-rata lagi,
maka ada 422 orang pasien setiap hari di RSD dr. Soebandi. Jika
dilihat dari SPM Kabupaten Jember tahun 2012 triwulan III didapatkan
penemuan dan penanganan pasien baru TB BTA positif adalah sebesar
1.606 temuan.
3. Dampak kesehatan akibat penyakit
Dengan semakin meningkatnya angka kejadian TBC di daerah
Jember, maka kualitas kesehatan di daerah Jember semakin menurun,
yang nantinya juga berisiko untuk menurunkan angka kualitas hidup di
Kabupaten Jember.
2.3 Situasi upaya kesehatan1. Pelayanan kesehatan dasar
Kabupaten Jember memiliki 49 puskesmas, 28 puskesmas
perawatan, dan 133 puskesmas pembantu. Tahun 2011, cakupan pasien
rawat jalan di puskesmas sekitar 20,2 persen dari jumlah penduduk,
yakni 474.246 orang. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan tahun 2010,
di mana cakupan pasien rawat jalan mencapai 63,43 persen dari jumlah
penduduk, yakni 1,519 juta orang. Sementara itu cakupan pelayanan
rawat inap di puskesmas lebih kecil lagi, dan mengalami penurunan.
Tahun 2010, cakupan pelayanan rawat inap sekitar 4 persen dari
jumlah warga Jember atau sekitar 95.843 orang. Tahun 2011 terjadi
penurunan tinggal 1,6 persen, atau sekitar 39.323 orang.
Puskesmas di Jember juga baru bisa mencakup 34,69 persen warga
miskin pada tahun 2011. Jumlah total warga miskin di Jember adalah
695.360 orang. Namun puskesmas baru bisa melayani 241.225 orang
miskin (beritajatim.com, 2012). Pada tahun 2010, tercatat juga
Kabupaten Jember memiliki 2.819 posyandu yang tersebar di setiap
desa/kelurahan (bpp.depdagri.go.id, tanpa tahun).
2. Pelayanan kesehatan rujukan
Kabupaten Jember memiliki RSD dr. Soebandi Jember yang
merupakan rumah sakit terbesar di Jawa Timur bagian timur, yang
merupakan tempat rujukan dari rumah sakit-rumah sakit maupun
puskesmas-puskesmas di wilayah timur Jawa Timur. RSD dr.
Soebandi mempunyai peranan yang semakin besar dan menjadi sentral
kesehatan wilayah eks Karesidenan Besuki. Namun proses rujukan di
kabupaten Jember antara pelayanan tingkat dasar dan tingkat lanjut di
daerah pedesaan masih sering ditemukan masalah yang kompleks.
Macintyre dan Hotchkiss ( 1999 ) menguraikan bahwa masalah dalam
proses rujukan meliputi mutu pelayanan yang kurang baik,
ketersediaan tenaga terampil yang rendah begitu juga suplai obat dan
peralatan diagnose medis yang tidak cukup serta infrastruktur
komunikasi dan transportasi yang kurang memadai.
3. Pelayanan jaminan kesehatan masyarakat
Bantuan dana Jampersal (Jaminan Persalinan) bagi ibu-ibu hamil
dari golongan non Askes (Asuransi Kesehatan), belum mampu
menurunkan angka kematian ibu melahirkan di Kabupaten Jember,
Jawa Timur. Meski Jampersal memberikan layanan gratis bagi ibu
melahirkan di bidan, rumah sakit hingga melahirkan lewat operasi
cesar, namun tetap saja angka kematian ibu melahirkan terbilang tinggi
(www. jaringnews.com, 2012). Pemkab Jember sejak 1 Januari 2006
lalu yakni menggratiskan rawat jalan bagi masyarakat di puskesmas,
kebijakan tersebut mungkin baru ada di Kabupaten Jember dan hal
tersebut belum pernah ada. Berobat gratis di puskesmas tersebut bukan
hanya untuk masyarakat miskin tapi juga untuk semua kalangan ,
sehingga tidak alasan bagi masyarakat untuk tidak ada alasan untuk
berobat ke puskesmas. Kebijakan rawat jalan gratis tersebut juga
ditunjang dengan peningkatan dan pemeliharaan mutu lembaga
pelayanan kesehatan, baik melalui pemberdayaan sumber daya
manusia (SDM) secara berkelanjutan dan pemeliharaan sarana medis,
termasuk ketersediaan obat yang dapat dijangkau oleh masyarakat
(Jemberpost.com, tanpa tahun).
4. Pencegahan dan pemberantasan penyakit
2.4 Situasi sumber daya kesehatan1. Sarana kesehatan
Untuk melayani kesehatan masyarakat di Kota Jember telah
dipenuhi oleh Rumah Sakit Umum, RS Khusus, RS Bersalin,
Puskesmas, Puskesmas pembantu, Posyandu dan Puskesmas keliling.
Persebaran fasilitas kesehatan tersebut berdasarkan data tahun 1990
telah mencukupi untuk skala pelayanan kota. Kabupaten Jember
memiliki RSD dr. Soebandi Jember yang merupakan rumah sakit
terbesar di Jawa Timur bagian timur, yang merupakan tempat rujukan
dari rumah sakit-rumah sakit maupun puskesmas-puskesmas di
wilayah timur Jawa Timur. Ketersediaan sarana dan prasarana di
bidang kesehatan tahun 2004 sebagai berikut : Rumah Sakit Umum 7
buah, Rumah Sakit Khusus Paru-Paru 1 buah, Rumah Sakit Bersalin 6
buah, Puskesmas 49 buah, Puskesmas Pembantu 131 buah, Puskesmas
Keliling 28 buah, dan didukung oleh keberadaan Laboratorium 6 buah,
Posyandu 2.755 buah. Puskesmas dan Puskesmas Pembantu sebagai
Upaya Kesehatan Masyarakat yang tersebar di seluruh kecamatan,
kondisi fisik perlu mendapat perhatian karena dari 49 Puskesmas yang
ada, 3 Puskesmas (7%) rusak berat, 27 Puskesmas (55%) rusak ringan
dan 19 Puskesmas (38%) dalam kondisi baik. Kondisi Puskesmas
Pembantu dari sejumlah 131 buah, terdapat 45 buah (34%) dalam
kondisi baik, 56 buah (43%) rusak ringan, dan 30 buah (23%) rusak
berat (www.suwitogeografi.blogspot.com, 2010).
2. Tenaga kesehatanTercatat data di BKD Jember jumlah pegawai negeri sipil (PNS)
tenaga medis di Kabupaten Jember sebanyak 1.703 orang, di antaranya
bidan sebanyak 357 orang, perawat sebanyak 1.018 orang, dan dokter
umum sebanyak 89 orang. Kabupaten Jember juga belum memiliki
PNS dokter spesialis gigi dan spesialis forensik. Serta masih
memerlukan sebanyak 234 bidan dan 602 perawat untuk ditempatkan
di puskesmas-puskesmas. Di Kabupaten Jember tidak sedikit ibu
melahirkan memilih memanfaatkan jasa dukun beranak. Pasalnya,
keberadaan dukun beranak ini lebih mudah dijangkau oleh warga
terdekat. Berdasarkan data yang dicatat Dinas Kesehatan Jember, di
Kabupaten Jember terdapat 1.100 dukun beranak. Sedangkan jumlah
bidan hanya 357 orang.
3. Pembiayaan kesehatanMasyarakat di Kabupaten Jember banyak yang menggunakan
jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan saat mengunjungi
pelayanan kesehatan. Dikarenakan garis kemiskinan yang masih tinggi
di daerah Jember, biasanya saat pergi ke pelayanan kesehatan, banyak
warga yang menggunakan surat keterangan miskin untuk mengakses
pelayanan kesehatan.
2.5 Perbandingan Indonesia dengan negara anggota ASEAN dan SEARO1. Kependudukan
2. Derajat kesehatan
3. Upaya kesehatan
Di Indonesia dibuat suatu Strategi Nasional Program
Penanggulangan TBC tahun 2010-2014 yang terdiri dari 7 strategi, 4
strategi umum yang didukung oleh 3 strategi fungsional. Ketujuh
strategi ini merupakan upaya yang berkesinambungan dari strategi
nasional sebelumnya, dengan rumusan strategi yang mempertajam
respons terhadap tantangan pada saat ini. Strategi umum yang
dikembangkan adalah :
1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu;
2. Menghadapi tantangan TB/HIV (human immunodeficiency
virus), multi drugs resistence (MDR)-TB, TB Anak dan
kebutuhan masyarakat miskin serta rentan lainnya;
3. Melibatkan seluruh penyedia layanan pemerintah, masyarakat
(sukarela), perusahaan dan swasta, melalui pendekatan Public–
Private Mix (PPM) dan menjamin kepatuhan terhadap
International Standard for TB Care;
4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB;
Pencapaian keempat strategi umum di atas harus didukung
oleh strategii fungsional untuk memperkuat fungsi-fungsi
managerial dalam program penanggulangan TB. Strategi
fungsional tersebut adalah :
5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan
manajemen program pengendalian TB;
6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap
program TB;
7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan
informasi strategis (www.perdhaki.org, 2012).
Rencana strategis regional Asia Tenggara untuk Pengendalian TB
2006 – 2010 disusun berdasarkan rencana global, pencapaian dan
tantangan di Asia Tenggara serta prioritas utama di masa depan.
Negara-negara di kawasan ini didorong untuk memfokuskan
kegiatannya dengan strategi sebagai berikut:
1. Meningkatkan dan memperluas pelayanan DOTS yang
berkualitas agar dapat menjangkau seluruh pasien TB,
meningkatkan tingkat penemuan kasus dan keberhasilan
pengobatan;
2. Menetapkan intervensi untuk menghadapi tantangan TB/HIV
dan MDR-TB;
3. Memperkuat kemitraan dalam menyediakan akses dan standar
pelayanan yangdiperlukan bagi seluruh pasien TB; dan
4. Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan (Kemenkes,
2011).
2.6 Analisis situasi1. Perencanaan
Rencana strategi nasional Pengendalian TB disusun pertama kali
pada periode ini sebagai pedoman bagi provinsi dan
kabupaten/kota untuk merencanakan dan melaksanakan program
pengendalian TB. Pencapaian utama selama periode ini adalah: (1)
Pengembangan rencana strategis 2002-2006; (2) Penguatan kapasitas
manajerial dengan penambahan staf di tingkat pusat dan provinsi;
(3) Pelatihan berjenjang dan berkelanjutan sebagai bagian dari
pengembangan sumberdaya manusia; (4) Kerja sama internasional
dalam memberikan dukungan teknis dan pendanaan (pemerintah
Belanda, WHO, TBCTA-CIDA, USAID, GDF, GFATM, KNCV,
UAB, IUATLD, dll); (5) Pelatihan perencanaan dan anggaran di
tingkat daerah; (6) Perbaikan supervisi dan monitoring dari tingkat
pusat dan provinsi; dan (7) Keterlibatan BP4 dan rumah sakit
pemerintah dan swasta dalam melaksanakan strategi DOTS melalui
uji coba HDL di Jogjakarta (Stranas TB, 2011).
Keadaan yang terjadi di Jember bahwa maslaah yang masih terjad
yaitu kurangya pendanaan dan blum adanya kader khusus kasus TB.
Hal ini diakibatkan oleh kurangnya kemitraan yang dibangun dengan
masyarakat local. Program yang selama ini disusun masih belum
berorientasi pada pemberdayaan masyarakat.
2. Pengorganisasian
Pada saat ini, pelaksanaan upaya pengendalian TB di Indonesia secara
administratif berada di bawah dua Direktorat Jenderal Kementerian
Kesehatan, yaitu Bina Upaya Kesehatan, dan P2PL (Subdit
Tuberkulosis yang bernaung di bawah Ditjen P2PL). Pembinaan
Puskesmas berada di bawah Ditjen Bina Upaya Kesehatan dan
merupakan tulang punggung layanan TB dengan arahan dari
subdit Tuberkulosis, sedangkan pembinaan rumah sakit berada di
bawah Ditjen Bina Upaya Kesehatan. Pelayanan TB juga
diselenggarakan di praktik swasta, rutan/lapas, militer dan
perusahaan, yang seperti halnya rumah sakit, tidak berada di
dalam koordinasi Subdit Tuberkulosis. Dengan demikian kerja sama
antar Ditjen dan koordinasi yang efektif oleh subdit TB sangat
diperlukan dalam menerapkan program pengendalian TB yang terpadu.
Pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten/kota merupakan tulang
punggung dalam program pengendalian TB. Setiap kabupaten/kota
memiliki sejumlah FPK primer berbentuk Puskesmas, terdiri dari
Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), Puskesmas Satelit (PS) dan
Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM).
Pada tingkat Kabupaten/kota, Kepala Dinas Kesehatan bertanggung
jawab terhadap pelaksanaan program kesehatan, termasuk
perencanaan, pembiayaan dan pemantauan pelayanannya. Di seksi
P2M Wakil supervisor (wasor) TB bertanggung jawab atas
pemantauan program, register dan ketersediaan obat. Pemantauan
pengobatan di bawah tanggung jawab tenaga di FPK dan pada
umumnya peran Pengawasan Minum Obat (PMO) dilakukan oleh
anggota keluarga. Di tingkat Provinsi, telah dibentuk tim inti DOTS
yang terdiri dari Provincial Project Officer (PPO) serta staf Dinas
Kesehatan, khususnya di provinsi dengan beban TB yang tinggi.
Di beberapa provinsi dengan wilayah geografis yang luas dan
jumlah FPK yang besar, telah mulai dikembangkan sistem klaster
kabupaten/kota yang bertujuan utama untuk meningkatkan mutu
implementasi strategi DOTS di rumah sakit. Rutan, lapas serta tempat
kerja telah terlibat pula dalam program pengendalian TB melalui
jejaring dengan Kabupaten/kota dan Puskesmas.
Di kabupaten Jember, program yang dibangun kurang menjalin
kemitraan dengan pihak terkait baik itu Toga atau Toma. Peran Toga
dan Toma dapat menjadi sebagai motivator untuk kelompok penderita
dan kelompok risiko untuk tetap berkomitmn terhadap pengobatan atau
utnuk melakukan penmeriksaan dini ketika dicurigai adanya TB.
Sistem pelaporan kasus baru Tb juga masih belum ada alur pelaporan
yang jelas. Pemerintah belum mengoptimalkan peran pihak swasta
untuk program penanggulangan TB. Phak swasta dapat berperan
penting dalam upaya pencegahan, pengobatan, dan pelaoran kasus TB.
3. Pengarahan
Desentralisasi pelayanan kesehatan berpengaruh negatif terhadap kapasitas sumber daya manusia dan pengembangan program pengendalian TB. Meskipun dilaporkan bahwa 98% staf di Puskesmas dan lebih kurang 24% staf TB di rumah sakit telah dilatih, program TB harus tetap melakukan pengembangan sumber daya manusia mengingat tingkat mutasi staf yang cukup tinggi faktor keterbatasan jumlah staf, rotasi staf di fasilitas pelayanan kesehatan dan dinas kesehatan serta kesinambungan antar pelatihan juga menjadi tantangan dalam pengembangan sumber daya manusia di era desentralisasi. Konsekuensi dari kebutuhan pelatihan yang tinggi adalah kebutuhan ketersediaan fasilitator tambahan dengan jumlah, keterampilan dan keahlian spesifik yang memadai
4. Pengawasan Supervisi sebagai salah satu metode untuk peningkatan kinerja sumber daya manusia belum dioptimalkan. Dengan lemahnya sistem informasi sumber daya manusia dalam program pengendalian TB serta praktik supervisi pada saat ini, maka ketergantungan program pada pelatihan tetap tinggi. Konsekuensi yang ditimbulkan adalah penilaian kebutuhan pelatihan, pengembangan metode pelatihan yang tepat, serta evaluasi efektivitas dan efektivitas biaya pelatihan merupakan prioritas untuk riset operasional. Monitoring dan evaluasi seharusnya dilakukan melalui kegiatan supervisi (on the job training) dan pertemuan triwulanan di berbagai tingkat. Akibat kekurangan sumber daya (SDM, dana dan logistik) supervisi di provinsi dan kabupaten/kota tidak dilaksanakan secara rutin, sementara tantangan dalam program TB semakin kompleks. Pengembangan sistem informasi elektronik dan sistem informasi geografis direncanakan untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan penanganan penderita yang lebih baik. Selain itu, pertemuan monitoring dan evaluasi triwulanan juga dilaksanakan di tingkat Puskesmas, sebagai upaya untuk meningkatkan mutu laboratorium, memvalidasi data dan mengoptimalkan jejaring TB.