penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional … · bisnis internasional e-commerce melalui...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL E-
COMMERCE MELALUI ARBITRASE
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
TATAK EKO YULIANTO
NIM. E0006238
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL
E-COMMERCE MELALUI ARBITRASE
oleh :
Tatak Eko Yulianto NIM. E 0006238
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Rabu
Tanggal : 20 Juli 2011
DEWAN PENGUJI
1.Yudho Taruno M, S.H, M.Hum : ...........................
NIP. 19770107 200501 1 001 Ketua
2.Djuwityastuti, S.H., M.H. : ...........................
NIP. 19540511 198003 2 001 Sekretaris
3.Munawar Kholil, S.H., M.Hum : ...........................
NIP. 19681017 199403 1 003 Anggota
Mengetahui :
Dekan,
Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H., M.Hum. NIP. 19570203 198503 2 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Tatak Eko Yulianto
NIM : E0006238
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi)
berjudul : ”PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS
INTERNASIONAL MENGGUNAKAN E-COMMERCE MELALUI
ARBITRASE”adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya
saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan
dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya
tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa
pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari
penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Mei 2011 yang membuat pernyataan
TatakEkoYulianto NIM. E0006238
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
TatakEkoYulianto, E0006238. PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL E-COMMERCE MELALUI ARBITRASE. FakultasHukumUniversitasSebelasMaret Surakarta. 2011.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce melalui arbitrase yaitu mengenai dasar pengaturan yang digunakan dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce di Indonesia, hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis e-commerce melalui arbitrase dan ketentuan pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat preskriptif untuk menemukan jawaban atas isu hukum mengenai penyelesaian sengketa transaksi bisnis e-commerce melalui arbitrase. Pendekatan penelitian yang digunakan meliputi pendekatan undang-undang. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa studi kepustakaan untuk selanjutnya dianalisis dengan teknik silogisme dan interpretasi.
Hasil penelitian diperoleh bahwa dalam pengaturan penyelesaian sengketa transaksi bisnis e-commerce di Indonesia menggunakan beberapa prinsip yang diatur dalam peraturan Perundang-undangan yaitu, prinsip kesepakatan para pihak yang terdapat dalamPasal 4 ayat (1) Undang-Undang APS, prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UU ITE, prinsip kebebasan memilih hukum yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (2) UU ITE dan Pasal 56 ayat (2) UU APS, prinsip itikad baik terdapat dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (3), prinsip pengedepanan penyelesaian sengketa menggunakan Hukum Nasional terdapat dalam Pasal 2 UU ITE. Hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnise-commerce melalui arbitrase, dalam UU ITE pada dasarnya dikembalikan pada kebebasan para pihak dan jika para pihak tidak menentukan maka hukum yang berlaku dikembalikan ke asas-asas Hukum Perdata Internasional. Mengenai putusan arbitrase asing di Indonesia sepenuhnyadiaturdalamUndang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 dimana putusan tersebut harus didaftarkan kePengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kata kunci: penyelesaiansengketabisnisinternasional, e-commerce,arbitrase
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT Tatak Eko Yulianto, E0006238. DISPUTE SETTLEMENT OF TRANSACTION INTERNATIONAL BUSINESS E-COMMERCE THROUGH ARBITRATION. Faculty of Law University of Surakarta Eleven March. 2011.
This study aims to find the dispute settlemen transaction internasional business e-commerce trough arbitration about the principles used in dispute resolution business transactions using e-commerce, laws that apply in the dispute resolution business e-commerce transactions with arbitration and enforcement of foreign arbitration in Indonesia.
This research is a normative laws that are prescriptive to find answers to legal issues regarding dispute resolution business e-commerce transactions through arbitration.The approach used in this research include law approach. Type of data used are secondary data. Secondary data sources used include the primary legal materials, secondary legal materials and legal materials tertiary. Data collection techniques being used are literature studies were subsequently analyzed by syllogism technique and interpretation.
The results showed that in international business transactions using e-commerce in Indonesia there are some principles concerning the settlement of disputes arbitrationnamely, the principle agreement of the parties in Article 4 clause (1) of Act APS, the principle of freedom to choose the ways of dispute resolution in Article 18 clause (4) of Act ITE, the principle of freedom of choice of law in Article 18 clause (2) of Act APS and Article 56 clause (2) of the Act APS,the principle of good faith inCivil Code Section 1338 subsection (3), the principle preposing settlement of disputes using the National Lawinparties contained in Article 2 of Act ITE. Applicable law in dispute settlement business e-commerce transactions through arbitration, in the of Act ITE basically returned to the freedom of the parties and if the parties do not specify the applicable law is returned to the principles of Private International Law. Applicable law in e-commerce transactions is the law of the seller and this is in line with the theory of the Most Characteristic Connection, where the law of the seller assumed to have the most distinctive achievement (characteristics). Regarding the foreign award is fully regulated in of Actno. 30 of 1999 in which the decision shall be registered with the Central Jakarta District Court. Keywords: international business disput resolution, e-commerce, arbitration
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
HALAMAN MOTTO
Ketahuilah, kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan berkelana enam perkara, yaitu : cerdas, semangat, bersabar, memiliki bekal, petunjuk/bimbingan
guru, dan waktu yang lama (Ali bin Abi Thalib)
Carilah ilmu dengan sungguh-sungguh sampai kamu merasakan nikmatnya
mencari ilmu, dan tetaplah mempelajarinya dengan cara yang terpuji. (Syaikh Qiwamuddin Hammad)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Penulis dengan sepenuh hati mempersembahkan karya ini kepada :
Orang tua penulis Bpk. Slamet Siswo Harjono dan Ibu Hartini yang tak
kenal lelah mendidik, membimbing, memberi kritik yang membangun dan
memberikan pendidikan yang terbaik serta do’a yang tak pernah terputus
bagi penulis.
Kedua adiku Totok Siswanto dan BimaTri Atmojo yang selalu berbagi
kebahagiaan dengan penulis.
Setyo Wardani atas doa dan motivasinya yang telah membuat semangat yang
takkunjung padam bagi penulis.
Sahabat-sahabat dan teman-teman penulis, yang telah memberi kesan
mendalam bagi penulis akan berharganya hidup ini
Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun dan
menyelesaikan karya ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR AssalamualaikumWr. Wb.
Pujisyukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan segalakarunia, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) ini dengan judul
:”PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL
E-COMMERCE MELALUI ARBITRASE”. Penulisan Hukum ini bertujuan
untuk melengkapi tugas akhir sebagai persyaratan guna meraih gelar kesarjanaan
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Penulisan Hukum (Skripsi)
initidak terlepas dari dukungan serta bantuan yang telah diberikan oleh berbagai
pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Ibu Djuwityastuti, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Perdata dan
Pembimbing I penulis yang telah memberikan bimbingan, nasehat, semangat,
arahan, bantuan dan selalu menyempatkan maupun meluangkan waktu untuk
penulis berkonsultasi dengan tangan terbuka.
3. Bapak Munawar Kholil, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing II penulis yang
telah memberikan bimbingan, nasehat, semangat, arahan, bantuan dan selalu
menyempatkan maupun meluangkan waktu untuk penulis berkonsultasi
dengan tangan terbuka.
4. Sabto Hermawan, S.H. selaku Pembimbing Akademik penulis di Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
5. Segenap Pimpinan Fakultas hukum, Dosen dan seluruh Staff Administrasi
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
6. Untuk kedua orang tua penulis, Bapak Slamet Siswo Harjono dan Ibu Hartini
yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan kasih sayang,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
mendoakan, mendidik, dan mencurahkan segalanya demi terwujudnya segala
hal yang terbaik bagi diri penulis, yang semua itu tak akan habis diungkapkan
dengan kata-kata, tak dapat tergantikan, dan tak ternilai dengan apapun.
7. Untuk kedua Adiku Totok Siswanto dan Bima Tri Atmojo yang selalu
memberikan semangat bagi penulis.
8. Untuk Setyo Wardani yang telah selalu menemani dan memberikan dukungan
baik moril dan spirituil meskipun terpisah jarak. Semoga hari esok akan terus
lebih baik.
9. Teman-teman Ari, Qomar, Andri Kurnia, SFC Mania (Made,Wayan dkk),
LPM NOVUM FH UNS (Dedi, Yoyo dkk), Yolanda FC (Ponggih dkk),Wild
Hogs(Othonk dkk) dan Justitia 2006 terima kasih atas warna dan silaturahmi
selama perjalanan pendidikan di Fakultas Hukum. Semoga ini menjadi awal
dari kehidupan yang lebih dewasa.
10. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun dan
menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) ini yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa Penulisan Hukum (Skripsi) ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan
saran yang membangun. Semoga Penulisan Hukum (Skripsi) ini bermanfaat bagi
diri pribadi penulis maupun para pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, Juli 2011
Penulis
Tatak Eko Yulianto NIM. E0006238
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ....................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
ABSTRACT ....................................................................................................... vi
MOTTO .......................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ........................................................................................... viii
KATA PENGANTAR .................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
DAFTAR BAGAN` ......................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv
BAB I : PENDAHULUAN .................................................................. 1
a. Latar Belakang Masalah .................................................. 1
b. Rumusan Masalah ............................................................ 5
c. Tujuan Penelitian ............................................................. 5
d. Manfaat Penelitian ............................................................ 6
e. Metode Penelitian ............................................................ 7
f. Sistematika Penulisan Hukum .......................................... 10
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 12
A. Kerangka Teori................................................................... 12
1. Tinjauan Umum tentangBisnis Internasional ............... 12
a. Pengertian Bisnis Internasional .............................. 12
b. Dasar Hukum Bisnis Internasional ........................ 14
2. Tinjauan Umum tentang Electronic Commerce .......... 18
a. Peristilahan Electronic Commerce ......................... 18
b. Keuntungan Penggunaan Electronic Commerce .... 19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
c. Mekanisme Transaksi Electonic Commerce
d. dan Waktu Terjadinya Kontrak .............................. 20
e. Karakteristik Transaksi E-Commerce ................... 24
f. Jenis-jenis Transaksi Electonic Commerce ............ 26
g. Pihak-pihak dalam Transaksi Electronic Commerce 28
h. Pengaturan Electronic Commerce dalam Bisnis
Internasional ........................................................... 29
i. Sengketa Electronic Commerce ............................. 34
j. Pilihan Hukum Penyelesaian Electronic Commerce
3. Tinjauan tentang Arbitrase .......................................... 37
a. Pengertian Arbitrase ............................................... 37
b. Sejarah Arbitrase .................................................... 41
c. Badan Arbitrase Asing .......................................... ̀ 49
d. Prosedur Penggunaan Arbitrase ............................ 50
e. Prinsip-Prinsip Arbitrase ........................................ 54
B. Kerangka Pemikiran ........................................................... 56
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................... 58
A. Dasar Pengaturan yang Digunakan dalam Pengaturan
Penyelesaian Sengketa Transaksi Bisnis Internasional
E-commerce di Indonesia .................................................. 58
B. Pilihan Hukum yang Berlaku dalam Penyelesaian Sengketa
Transaksi Bisnis E-commerce Melalui Arbitrase .............. 69
C. Prosedur Pelaksanaan Eksekusi dan Pembatalan Putusan
Arbitrase Internasional ...................................................... 90
BAB IV : Kesimpulan dan Saran ............................................................. 97
A. Kesimpulan ........................................................................ 97
B. Saran ................................................................................... 98
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 100
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel1. Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa bisnis internasional yang
menggunakan e-commerce dan pengaturan hukumnya di Indonesia ................................................................................ 62
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Kerangka Pemikiran.......................................................... 56
Bagan 2. Tahap-Tahap Eksekusi Putusan Arbitrase............................. 92
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perdagangan merupakan salah satu sektor jasa yang menunjang kegiatan
ekonomi antar anggota masyarakat dan antar bangsa. Indonesia dengan
ekonominya yang bersifat terbuka, perdagangan sangat vital bagi upaya
peningkatan pertumbuhan ekonomi sekaligus guna memelihara kemantapan
stabilitas nasional. Salah satu upaya yang dapat dilakukan guna merealisasikan
pertumbuhan ekonomi adalah melalui proses pengintegrasian antara sistem
perekonomian, termasuk perdagangan dengan perkembangan teknologi informasi.
Pada permulaan abad ke- 20, salah satu penemuan besar di bidang teknologi
informasi yang sangat mempengaruhi perkembangan perekonomian adalah
ditemukannya internet (Interconnection Networking), sebagai media komunikasi
yang cepat dan handal. Sistem perdagangan dengan memanfaatkan internet telah
mengubah wajah dunia bisnis dari pola perdagangan tradisional kebentuk yang
lebih modern, yaitu secara virtual. Mengenai hal ini Alinafiah dan Prasetyo
menyatakan e-commerce lahir selain disebabkan oleh adanya perkembangan
teknologi informasi, juga karena tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang
serba cepat, mudah, praktis, dan menghendaki kualitas lebih yang baik
(http//:perkembanganinternet.mkn.com: diakses tanggal 15 Agustus 2010).
Negara-negara maju, perkembangan e-commerce di Indonesia dari waktu ke
waktu menunjukan peningkatan yang sangat signifikan, sekalipun dibandingkan
dengan negara-negara tetangga di kawasan Asia Pasifik, seperti Malaysia,
Filipina, Singapura, Australia, Taiwan, perkembangan penggunaan internet di
Indonesia masih jauh tertinggal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Teknologi internet memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
perdagangan global dalam hal layanan (service). Kondisi ini disebabkan oleh
banyak faktor, antara lain (Ahmad Yahya Zein, 2008:45):
1. Electronic commerce memiliki kemampuan untuk menjangkau lebih banyak
pelanggan dan setiap saat pelanggan dapat mengakses seluruh informasi yang
terus menerus.
2. Electronic commerce dapat mendorong kreatifitas dari pihak penjual secara
cepat dan tepat dan pendistribusian informasi yang disampaikan berlangsung
secara periodik.
3. Electronic commerce dapat menciptakan efisiensi yang tinggi, murah serta
informatif.
4. Electronic commerce dapat meningkatkan kepuasan pelanggan, dengan
pelayanan yang cepat, mudah, aman dan akurat.
Transaksi perdagangan melalui internet sangat menguntungkan banyak
pihak, sehingga transaksi perdagangan ini sangat diminati, tidak saja bagi
produsen tetapi juga konsumen. Bagi konsumen electronic commerce telah
mengubah cara konsumen dalam memperoleh produk yang diinginkan, sedangkan
bagi produsen, electronic commerce telah mempermudah proses pemasaran suatu
produk. Michael Pattison mengemukakan, sebagaimana dikutip oleh Abu Bakar
Munir yang menyatakan (Abu bakar Munir, 2003:67): There are several
features,which distinguish electronic commerce from business conducted by
traditional means. In particular:
1. Electronic commerce establishes a global market-place, where traditional
geographic boundaries are not only ignored, they are quite simply irrelevant.
2. Electronic commerce allows business to be conducted anonymously.
3. Rather than direct selling between parties, electronic commerce requires
business to be conducted through the use of intermediaries of unknown
trustworthiness. This means that the transactions are inherently insecure.
Penggunaan internet dalam transaksi bisnis menjanjikan berbagai kemudahan,
hal ini tidak berarti e-commerce adalah suatu sistem yang bebas dari
permasalahan, karena bagaimanapun majunya teknologi tetap akan menyisakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
berbagai permasalahan, khususnya bagi negara yang belum sepenuhnya mampu
menguasai teknologi tersebut, seperti halnya Indonesia. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh sebuah lembaga internasional, telah banyak kasus yang merugikan
konsumen sebagai akibat dari penggunaan media internet dalam transaksi
perdagangan, sebagai contoh satu dari setiap sepuluh kasus pengiriman barang
dapat dipastikan terlambat atau tidak sampai kepada konsumen, dua orang
pembeli (buyers) dari Hongkong dan Inggris menunggu sampai lima bulan untuk
mendapatkan refund (pembayaran kembali) dari barang yang dibeli tapi tidak
sesuai dengan pemesanan dan barangnya tidak dikirim, banyak penjual (suppliers
atau sellers) yang tidak mampu memberikan kuitansi atau bukti transaksi dan lain-
lain (http://rmarpaung.tripod.com// ElectronicCommerce.doc, diakses: 28 Agustus
2010).
Kondisi ini tentunya akan merugikan baik bagi produsen terlebih konsumen
yang memiliki posisi tawar (bargaining position) lebih rendah. Hal yang sama
dikemukakan Riyeke Ustadiyanto saat menyatakan besarnya nilai transaksi
electronic commerce di dunia masih dibayangi masalah “kurang amannya”
(unsecure) transaksi online ini. Internet telah menimbulkan berbagai masalah
terutama yang berkaitan dengan masalah yang berkaitan dengan hukum yang
mengatur transaksi tersebut (Riyeke Ustadiyanto, 2002:93).
Apabila permasalahan-permasalahan di atas tidak segera diselesaikan secara
memadai tidak tertutup kemungkinan kepercayaan masyarakat pada sistem e-
commerce akan hilang, akibatnya pertumbuhan ekonomi akan berjalan lambat.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh guna menyelesaikan masalah-masalah di
atas adalah dengan digunakannya mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif,
efisien, disertai biaya murah. Penggunaan mekanisme penyelesaian sengketa yang
efektif, efisien serta berbiaya murah merupakan hal yang tidak dapat ditunda-
tunda lagi realisasinya guna terwujudnya kepercayaan para pihak (produsen atau
merchant dan konsumen) pada sistem electronic commerce (http :// www.hukum
online.com, Makalah Ahmad Zakaria atau J: arbitrase %20onlineatau arbitrase-
online-terobosan-baru-di html, diakses: 31 Agustus 2010).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Pentingnya mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, efisien, dan
berbiaya murah agar segera diterapkan, dilatarbelakangi kenyataan bahwa
transaksi electronic commerce sangat rentan terhadap lahirnya berbagai sengketa
atau masalah diantara para pihak, sebagai akibat dari saling berjauhannya domisili
para pihak yang bertransaksi serta bahasa, budaya dan sistem hukum yang
berbeda serta adanya keinginan untuk menyelesaikan setiap sengketa melalui
mekanisme penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution)
dalam hal ini arbitrase, dilatarbelakangi masih banyaknya ditemukan berbagai
kelemahan dari penyelesaian sengketa melalui sistem peradilan (litigasi), seperti
(Yahya Ahmad Zein, 2009:67):
1. litigasi memaksa para pihak bberada pada posisi yang ekstrim dan
memerlukan pembelaan (advocacy);
2. litigasi mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, sehingga
mendorong para pihak untuk melakukan penyelidikan terhadap kelemahan-
kelemahan pihak lainnya;
3. proses litigasi memakan waktu yang lama dan memakan biaya yang mahal;
4. hakim seringkali bertindak tidak netral dan kurang mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan yang mendasari penyelesaian suatu masalah hukum baru.
Kelemahan di atas jelas bahwa penyelesaian melalui jalur peradilan atau
litigasi sangat berlawanan dengan hakikat dari electronic commerce sebagai suatu
sistem perdagangan virtual (maya) yang membutuhkan sistem yang efektif dan
efisien. Mekanisme penyelesaian sengketa (bisnis) yang sifatnya konvensional
atau tradisional sangat dibatasi oleh letak geografis dan hukum tempat aktivitas
bisnis dilakukan. Penentuan mengenai hukum serta pengadilan (yurisdiksi)
manakah yang berwenang memeriksaatau mengadili suatu sengketa, sering
menjadi masalah pada saat para pihak akan membuat suatu kontrak, sekalipun
akhirnya, dalam transaksi konvensional penentuan hukum mana yang akan
berlaku relatif lebih mudah ditentukan.
Kondisi di atas sangat berlainan pada saat transaksi perdagangan terjadi di
dunia maya (cyberspace), pertanyaan yang sering timbul adalah hukum serta
yurisdiksi manakah yang akan digunakan apabila dikemudian hari muncul
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
sengketa di antara para pihak, sedangkan dalam cyberspace setiap interaksi tidak
dibatasi oleh batas wilayah (borderless). Oleh karena itu, adanya kebutuhan
terhadap suatu lembaga yang bertugas untuk menyelesaikan setiap sengketa bisnis
(e-commerce) merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda lagi pelaksanaannya.
(Imamulhadi, 2001:80).
Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa di bidang e-
commerce melalui arbitrase persoalan yang mungkin muncul adalah mengenai
hukum yang berlaku mengingat transaksi dilakukan melalui media internet.
Dari uraian diatas penulis mencoba untuk mengangkat persoalan mengenai
PENYELESAIAN SENGKETA TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL
E-COMMERCE MELALUI ARBITRASE.
B. Perumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang di atas, ada beberapa permasalahan yang dapat
dirumuskan, yaitu:
1. Apa yang menjadi dasar pengaturan penyelesaian sengketa transaksi bisnis
internasional e-commerce di Indonesia?
2. Pilihan hukum manakah yang dapat digunakan dalam penyelesaiaan sengketa
transaksi bisnis internasional e-commerce melalui arbitrase?
3. Bagaimana pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian disini ialah penelitian berkenaan dengan maksud penulis
melakukan penelitian, terkait dengan perumusan masalah dan judul Penulis
mempunyai tujuan atau hal-hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Tujuan
itu berupa tujuan secara obyektif dan tujuan secara subyektif. Tujuan penelitian
ini adalah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan dalam pengaturan
penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce di
Indonesia.
b. Untuk mengetahui pilihan hukum di Indonesia yang berlaku dalam
penyelesaiaan sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce melalui
arbitrase.
c. Untuk mengetahui pelaksanan putusan arbitrase asing di Indonesia.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperluas pengetahuan dan wawasan penulis di bidang hukum
serta pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktik di lapangan
Hukum Perdata, khususnya Hukum Bisnis dan Teknologi Informasi.
b. Untuk mengetahui kemampuan penulis dalam meneliti di bidang ilmu
hukum khususnya Perdata.
c. Untuk memenuhi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan
Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
D. Manfaat Penelitian
Setiap peneltian selalu diharapkan dapat memberi manfaat pada berbagai
pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pembangunan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya
dan hukum perdata pada khususnya.
b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya referensi dan literatur
dalam dunia kepustakaan tentang penyelesaian sengketa transaksi bisnis
internasional e-commerce melalui arbitrase.
c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-
penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
2. Manfaat Praktis
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran,
membentuk pola pikir ilmiah sekaligus mengetahui kemampuan penulis
dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Memberikan wawasan dan pengetahuan hukum bagi masyarakat luas
terkait dengan penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-
commerce melalui arbitrase.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum
yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi,
teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang
dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2008:35). Dua syarat utama yang harus
dipenuhi sebelum mengadakan penelitian dengan baik dan dapat
dipertanggungjawabkan yakni peneliti harus lebih dahulu memahami konsep
dasar ilmu pengetahuan yang berisi (sistem dan ilmunya) dan metodologi
penelitian disiplin ilmu tersebut (Johny Ibrahim, 2006:26). Penelitian hukum
berisi konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan dalam suatu penelitian
memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-
temuannya tidak terjebak dalam relevansi dan aktualitasnya (Johnny Ibrahim,
2006:28).
Berdasarkan hal tersebut maka penulis dalam penelitian ini menggunakan
metode penulisan sebagai berikut:
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan penulisan
hukum ini adalah penelitian normatif atau penelitian hukum kepustakaan.
Penelitian hukum normatif menurut adalah suatu prosedur penelitian ilmiah
untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi
normatifnya (Johnny Ibrahim, 2006:57). Penelitian hukum normatif memilki
definisi yang sama dengan penelitian hukum doktrinal (doctrinal research)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (library based) yang
fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan
sekunder (Johnny Ibrahim, 2006:44).
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini tentunya sejalan dengan sifat ilmu hukum
itu sendiri. Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif dan
terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari
tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep
hukum, dan norma-norma hukum. Sifat preskriptif keilmuan hukum ini
merupakan sesuatu yang subtansial di dalam ilmu hukum. (Peter Mahmud
Marzuki, 2008:22).
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, didalam penelitian hukum terdapat
beberapa pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan didalam
penelitian hukum adalah pendekatan Undang-Undang (statue approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan
konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2008:93).
Penulis akan menggunakan pendekatan Undang-Undang (statue approach)
dari kelima pendekatan penelitian hukum tarsebut.
Peneliti menggunakan pendekatan Undang-Undang (statue approach)
dilakukan dengan menelaah Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut
paut dengan permaslahan hukum yang sedang ditangani, untuk menelaah
unsur filosofis adanya suatu peraturan perUndang-Undangan tertentu yang
kemudian dapat disimpulkan ada atau tidaknya benturan filosofis antara
Undang-Undang dengan isu hukum yang ditangani (Peter Mahmud
Marzuki, 2008:93-94), penelitian ini yang ditelaah yaitu Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa dan Kitab Undang-Undang Hukun Perdata.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum yang
dilakukan oleh penulis adalah bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri
dari perUndang-Undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perUndang-Undangan dan putusan hakim, sedangkan bahan
hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi, yang meliputi buku-buku teks,
kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putusan
pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 141).
Bahan hukum primer yang digunkan oleh penulis dalam penelitian ini
antara lain:
a. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Transaksi dan Informasi
Elektronik.
b. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
c. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
d. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Arbitrase Asing.
Bahan hukum sekunder yang digunakan penulis antara lain:
a. Black Law Dictionary (kamus hukum)
b. Buku-buku tentang E-commerce, Arbitrase dan Transaksi Bisnis
Internasional.
c. Jurnal-jurnal Hukum tentang E-commerce, Arbitrase dan Transaksi
Bisnis Internasional.
5. Teknik Pengumpulan bahan hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan sebagai
sumber di dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan yaitu pengumpulan
bahan hukum dengan jalan membaca peraturan perUndang-Undangan,
dokumen-dokumen resmi maupun literatur-literatur yang erat kaitannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
dengan permasalahan yang dibahas berdasarkan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum tersebut kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai bahan
hukum penunjang di dalam penelitian ini.
6. Teknik Analisis
Penelitian ini berusaha untuk mengerti atau memahami gejala yang
diteliti utuk kemudian mendiskripsikan data-data yang diperoleh selama
penelitian, yaitu apa yang tertera dalam bahan-bahan hukum yang relevan
dan menjadi acuan dalam penelitian hukum kepustakaan sebagaimana telah
disinggung diatas.
Metode penalaran yang dipilih oleh penulis adalah metode penalaran
deduktif, yaitu hal-hal yang dirumuskan secara umum diterapkan pada
keadaan yang khusus. Dalam penelitian ini, penulis mengkritisi teori-teori
ilmu yang bersifat untuk kemudian menarik kesimpulan yang sesuai dengan
isu hukum yang diteliti atau dianalisis, yaitu mengenai penyelesaian
sengketa bisnis internasional e-commerce melalui arbitrase.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum, serta
untuk mempermudah pemahaman berkaitan seluruh isi penulisan hukum ini, maka
penulis menyajikan sistematika penulisan hukum ini yang terdiri dari empat bab.
Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini terdiri dari subbab-subbab yaitu latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan hukum. Bab pertama ini
merupakan awal yang menjadi dasar, bahan pertimbangan, serta
patokan dari penulisan hukum ini.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab II ini mengenai Tinjauan Pustaka berisi subbab Kerangka Teori
dan subbab Kerangka Pemikiran. Kerangka Teori ini memuat berbagai
pengertian yang mendukung dari judul yang ada hingga memudahkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
para pembacanya. Tinjauan pustaka ini diawali dengan menjelaskan
pengertian bisnis internasional dan dasar hokum bisnis internasional.
Tinjauan kedua mengenai e-commerce yang di dalamnya memuat
pengertian e-commerce, mekanisme transaksi e-commerce, jenis-jenis
transaksi e-commerce, pihak-pihak dalam transaksi, pengaturan
internasional mengenai e-commerce, sengketa e-commerce. Tinjauan
yang ketiga yaitu mengenai arbitrase yang terdiri dari pengetian
arbitrase, sejarah arbitrase, nama-nama badan arbitrase asing, prosedur
penggunaan dan prinsip-prinsip arbitrase.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan bab inti dan bab yang paling penting. Memaparkan
dan menjabarkan hasil penelitian yang kemudian dengan analisis
menghasilkan pembahasan atas pokok permasalahan yang dituju. Bab
ini dimulai dengan dasar pengaturan penyelesaian sengketa transaksi
bisnis internasional e-commerce di Indonesia, pemilihan hukum yang
digunakan dalam penyelesaian sengketa e-commerce dan peleksanaan
dan pembatalan arbitrase asing di Indonesia.
BAB IV : PENUTUP
Bab Penutup adalah bab terakhir, yang memuat kesimpulan dan saran.
Kesimpulan harus tetap merujuk pada pokok rumusan masalah yang
ditarik intinya dari hasil analisis pada pembahasan. Saran lebih
bersifat universal yang memunculkan ide untuk menciptakan keadaan
lebih baik terutama dalam kaitannya dengan inti dari penulisan ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum tentang Bisnis Internasional
a. Pengertian Bisnis Internasional
Bisnis Internasional merupakan kegiatan perdagangan yang
melibatkan negara lain, berikut definisi beberapa sarjana mengenai bisnis
internasional sebagaimana dikutip dalam bukunya Gunawan Wijaya,
antara lain (Gunawan Wijaya, Ahmad Yani, 2003:13):
1) Ball, Mc Culloch, Frantz, Geringer, Minor, “Bisnis yang kegiatannya
melampaui batas Negara. Definisi tersebut mencakup perdagangan
internasional. pemanufakturan diluar negeri juga industri
jasa diberbagai bidang seperti transportasi, pariwisata, perbankan,
periklanan, konstruksi, perdagangan eceran, perdagangan besar dan
komunikasi massa.
2) Charles WH Hill, ”Perusahaan yang terlibat dalam perdagangan
maupun investasi internasional”.
3) Daniels, Radebaugh & Sullivan, “Semua transaksi komersial baik oleh
swasta maupun pemerintah diantara 2 negara atau lebih”.
Bisnis internasional secara umum merupakan kegiatan bisnis yang
dilakukan melewati batas - batas suatu negara. Transaksi bisnis seperti ini
merupakan transaksi bisnis internasional atau transaksi bisnis yang
dilakukan oleh suatu negara dengan negara lain yang sering disebut
sebagai bisnis internasional (International Trade). Dilain pihak transaksi
bisnis itu dilakukan oleh suatu perusahaan dalam suatu negara dengan
perusahaan lain atau individu di negara lain disebut pemasaran
internasional (International Marketing). Pemasaran internasional inilah
yang biasanya diartikan sebagai bisnis internasional, meskipun pada
dasarnya terdapat dua pengertian, sehingga kita dapat membedakan adanya
dua buah transaksi bisnis internasional yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
1) Perdagangan Internasional (International Trade)
Perdagangan internasional yang merupakan transaksi antar
negara itu biasanya dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan
cara ekspor dan impor. Transaksi ekspor dan impor yang terjadi akan
menimbulkan neraca perdagangan antar negara atau Balance of Trade.
Suatu egara dapat memiliki surplus neraca perdagangan atau devisit
neraca perdagangannya. Neraca perdagangan yang surplus
menunjukan keadaan dimana negara tersebut memiliki nilai ekspor
yang lebih besar dibandingkan dengan nilai impor yang dilakukan dari
negara partner dagangnya. Neraca perdagangan yang mengalami
surplus ini mengakibatkan apabila keadaan yang lain konstan maka
aliran kas masuk ke negara itu akan lebih besar dengan aliran kas
keluarnya ke negara partner dagangnya tersebut. Besar kecilnya aliran
uang kas masuk dan keluar antar negara tersebut sering disebut
sebagai neraca pembayaran atau Balance of Payments. Neraca
pembayaran yang mengalami surplus ini sering juga dikatakan bahwa
negara ini mengalami pertambahan devisa negara. Sebaliknya apabila
negara itu mengalami devisit neraca perdagangannya maka berarti
nilai impornya melebihi nilai ekspor yang dapat dilakukannya dengan
negara lain tersebut, sehingga negara tersebut akan mengalami devisit
neraca pembayarannya dan akan menghadapi pengurangan devisa
negara.
2) Pemasaran International (International Marketing)
Pemasaran internasional yang sering disebut sebagai bisnis
internasional (International Bussines) merupakan keadaan dimana
suatu perusahaan dapat terlibat dalam suatu transaksi bisnis dengan
negara lain, perusahaan lain ataupun masyarakat umum di luar negeri.
Transaksi bisnis internasional ini pada umumnya merupakan upaya
untuk memasarkan hasil produksi di luar negeri. Persoalan semacam
ini memungkinkan pengusaha tersebut akan terbebas dari hambatan
perdagangan dan tarif bea masuk karena tidak ada transaksi ekspor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
impor. Dengan masuknya langsung dan melaksanakan kegiatan
produksi dan pemasaran di negeri asing maka tidak terjadi kegiatan
ekspor impor. Produk yang dipasarkan itu tidak saja berupa barang
akan tetapi dapat pula berupa jasa. Transaksi bisnis internasional
semacam ini dapat ditempuh dengan berbagai cara antara lain :
a) Licencing
b) Franchising
c) Management Contracting
d) Marketing in Home Country by Host Country
e) Joint Venturing
f) Multinational Coporation (MNC)
Semua bentuk transaksi internasional tersebut diatas akan
memerlukan transaksi pembayaran yang sering disebut sebagai Fee.
Dalam hal itu negara atau Home Country harus membayar sedangkan
pengirim atau Host Country akan memperoleh pembayaran fee
tersebut. Pengertian perdagangan internasional dengan perusahaan
internasional sering dikacaukan atau sering dianggap sama, akan
tetapi seperti dalam uraian diatas sebenarnya berbeda. Perbedaan
utama terletak pada perlakuannya dimana perdagangan internasional
dilakukan oleh negara sedangkan pemasaran internasional adalah
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan. Pemasaran
internasional juga menentukan kegiatan bisnis yang lebih aktif serta
lebih progresif dari pada perdagangan internasional.
b. Dasar Hukum Bisnis Internasional
Menurut Munir Fuady dalam bukunya “ Hukum Bisnis dalam
Teori dan Praktik” dasar hukum transaksi bisnis internasional antara lain
(Munir Fuadi, 1996:13):
1) Contract Provosions
Contrak provision merupakan hal-hal yang diatur dalam kontrak
tersebut oleh kedua belah pihak. Contract provision ini merupakan
dasar hukum utama bagi suatu kontrak. Segala sesuatu yang diatur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
dalam dalam contract provision terserah pada para pihak. Hukum hanya
memberikan rambu-rambu untuk melindungi berbagai kepentingan lain
yang lebih tinggi, misalnya keadilan, ketertiban umum, kepentingan
negara dan sebagainya. Jika provisi suatu kontrak tidak dapat
menampung aspirasi kedua belah pihak, misalnya ada hal dalam
pelaksanaan perjanjian yang tidak diatur sama sekali dalam kontrak,
hukum akan menyediakan optional law (hukum yang mengatur) untuk
mengisi kekosongan hukum dalam masyarakat. Dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Indonesia, asa free dom of contract ini juga
diperlukan. Dalam konteks perdagangan internasional, kedua belah
pihak, yaitu eksportir dan importer diberi kebebasan yang seluas-
luasnya untuk menentukan isi kesepakatan dalam kontrak.
2) General Contract Law
Tiap-tiap negara memiliki general contract law masing-masing.
Di Indonesia, general contract law ini dapat dilihat dalam ketentuan
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Ketiga.
Buku ketiga ini mengatur secara umum dan berlaku bagi seluruh
kontrak, seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, dan
sebagainya.
3) Specific Contract Law
Selain Ketentuan-ketentuan umum, Kitab Undang-undang
Hukum Perdata juga mengatur tenang ketentuan khusus yang berkenaan
dengan kontrak-kontrak tertentu. Dalam Perjanjian jual beli
internasional misalnya, jika yang berlaku adalah hukum Indonesia,
maka berlaku juga ketentuan tentang perjanjian jual beli yang terdapat
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang diatur dalam Pasal
1457 sampai dengan 1540.
4) Kebiasaan Bisnis
Kebiasaan-kebiasaan merupakan salah satu sumber hukum.
Demikian pula halnya dengan kebiasaan dalam bisnis (trade usage atau
custum) merupakan salah satu sumber hukum bisnis dan dapat menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
pedoman dalam menginteprestasi kontrak bisnis tremasuk kontrak jual
beli internasional.
5) Yurisprudensi
Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap (yurisprudensi) dapat menjadi dasar hukum bagi berlakunya
kontrak. Yurisprudensi akan terasa maknanya jika ada hal-hal yang
belum diatur dalam undang-undang, atau yang memerlukan penafsiran-
penafsiran terhadap suatu undang-undang. Namun demikian, dalam
hukum transaksi perdagangan internasional, peranan yurisprudensi
kurang begitu berarti karena biasanya penyelesaian suatu kasus
menggunakan arbitrase.
6) Kaidah Hukum Perdata Internasional
Kaidah hukum perdata internasional banyak digunakan karena
pada umumnya dalam setiap transaksi perdagangan internasional
berbagi pihak dari berbagai negara. Berkaitan dengan hal itu, jika
terjadi perselesihan mengenai hukum mana yang berlaku bila mana hal
tersebut tidak diatur dalam kontrak, maka digunakan kaidah-kaidah
Hukum Perdata Internasional (conflict of law) ini. Salah satu yang
terkenal adalah teori yang disebut The Most Caracteristic Conection
Rule. Menurut teori ini hukum para pihak yang mempunyai presatasi
yang sangat karakteristik. Dalam bidang jual beli internasional, maka
ketentuan hukum dari pihak penjual lah yang berlaku karena dianggap
mengandung paling banyak karakteristik (yang unik) dalam setiap
transaksi perdagangan.
7) Internasional Convention
International convention adalah kesepakatan-kesepakatan
internasional yang telah, sedang atau akan diratifikasi oleh negara-
negara di dunia, agar suatu konvensi dapat mengikat maka negara
kedua belah pihak tersebut harus merupakan peserta dari konvensi
internasional tersebut dan telah meratifikasi sehingga telah menjadi
bagian dari hukum nasional masing-masing negara. Ketantuan-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
ketentuan konvensi internasional ada juga yang mengatur mengenai
perjanjian jual beli internasional. Konvensi-konvensi internasional yang
khusus mengatur mengenai jual beli internasional adalah sebagai
berikut:
a) United Nations Convention on Contract for the International Sale
of Goods
Konvesi merupakan hasil karya The United Nations
Commission on International Trade Law (UNCITRAL) dari
perserikatan bangsa-bangsa (PBB), yang kemudian diadopsi oleh
Konferensi Diplomatik tanggal 11 April 1980. Konvensi ini
mengatur mengenai ketentuan yang seragam tentang jual beli
internasional. Sebelum itu, persiapan terhadap uniform law
mengenai jual beli internasional sudah dilakukan sejak tahun 1930
di International Institute Law for the Unification of Private Law
(UNIDROIT) di Roma.
Sistematika konvensi ini adalah sebagai berikut:
(1) ruang lingkup aplikasi dan ketentuan umum
(2) formasi dari kontrak
(3) penjualan barang
(4) ketentuan penutup
b) Conventionon the Limination Period in the International Sale of
Good
Konvesi ini merupakan hasil kerja UNCITRAL yang
kemudian diterima oleh General Assemmbly di New York pada
tanggal 14 Juni 1974 dan selanjutnya diamandemir pada tahun
1980. Konvensi ini berisikan keseragaman tentang ketentuan-
ketentuan mengenai kadaluwarsanya suatu gugatan yang
berhubungan dengan jual beli. Sistemetikanya adalah sebagai
berikut:
(1) ruang lingkup penerapan
(2) lamanya dan mulai berlakunya masa kadaluwarsa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
(3) perhentian dan perpanjangan masa kadaluwarsa
(4) total waktu untuk suatu kadaluwarsa
(5) konsekuensi hukum dari lewatnya masa kadaluwarsa
(6) ketentuan lain-lain dan ketentuan penutup
8) Ketentuan-ketentuan Domestik
Ketentuan domestik merupakan aturan-aturan yang dikeluarkan
pemerintah setempat seperti aturan yang berkenaan dengan ekspor
impor, letter of Credit, Asuransi, Bill of Lading, Bill of Ex change, dan
lain sebagainya.
2. Tinjauan Umum tentang E-commerce
a. Peristilahan Electronic Commerce
Electronic commerce yang biasa disebut dengan e-commerce
merupakan sistem yang relatif baru dibandingkan dengan sistem
perdagangan lainnya. Akibatnya, bagi sebagian pihak masih belum jelas
apa yang dimaksud dengan electronic commerce. Munculnya berbagai
pengertian electronic commerce tidak akan mengubah keberadaan
electronic commerce sebagai suatu sistem perdagangan yang sangat
efektif dan efisien. Timbulnya berbagai pengertian electronic commerce
semata-mata lebih disebabkan adanya perbedaan latar belakang keilmuan
dari si pembuat definisi.
David Baum, dalam “Business Links”, Oracle Magazine, No. 3, Vol. XIII, 1999, sebagaimana dikutip Onno W. Purbo dan Aang Aris Wahyudi, mendefinisikan electronic commerce: a dynamic set of technologies, applications, and business process that link enterprises, consumers, and communities through electronic transactions and the electronic exchange of goods, service, and information, Howard E. Abrams,menyatakan: electronic commerce sebenarnya adalah: refers to the use of computer networks to facilitate transactions involving the production, distribution sale, and delivery of goods and services in the market (Purbo, Onno, W, 2001: 181).
Sekalipun terdapat berbagai definisi dari electronic commerce,
tetapi pada dasarnya semua definisi memiliki kesamaan, yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
1) adanya penawaran melalui Internet;
2) transaksi antara 2 belah pihak; (apabila terjadi kata sepakat)
3) adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi;
4) internet merupakan media utama dalam proses atau mekanisme
transaksi tersebut.
Mengacu pada beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
electronic commerce merupakan suatu transaksi perdagangan antara
penjual dan pembeli dengan menggunakan media internet. Jadi, proses
pemesanan barang,pembayaran transaksi sampai dengan pengiriman
barang dikomunikasikan melalui internet.
b. Keuntungan Penggunaan Electronic Commerce
Pada dasarnya, keuntungan penggunaan electronic commerce dapat
dibagi dalam dua bagian, yakni keuntungan bagi pedagang (merchant)
dan keuntungan bagi pembeli. Menurut Joseph Luhukay (Presiden
Director, Capital Market Society) sebagaimana dikutip oleh PB, Triton,
keuntungan bagi pedagang (merchant) antara lain (PB, Triton, 2006: 76):
1) Dapat digunakan sebagai lahan untuk menciptakan pendapatan
(revenue generation) yang sulit atau tidak dapat diperoleh melalui
cara konvensional, seperti memasarkan langsung produk atau jasa;
menjual informasi, iklan (baner), membuka cybermall, dan
sebagainya.
2) Menurunkan biaya operasional. Berhubungan langsung dengan
pelanggan melalui Internet dapat menghemat kertas dan biaya
telepon, tidak perlu menyiapkan tempat ruang pamer (outlet), staf
operasional yang banyak, gudang yang besar, dan sebagainya.
3) Memperpendek product cycle dan management supplier. Perusahaan
dapat memesan bahan baku atau produk ke supplier langsung ketika
ada pemesanan sehingga perputaran barang lebih cepat dan tidak
perlu gudang besar untuk menyimpan produk-produk tersebut.
4) Melebarkan jangkauan (global reach). Pelanggan dapat menghubungi
perusahaanatau penjual dari manapun di seluruh dunia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
5) Waktu operasi tidak terbatas. Bisnis melalui internet dapat dilakukan
selama 24 jam per hari, 7 hari per minggu.
6) Pelayanan ke pelanggan lebih baik. Melalui Internet pelanggan bisa
menyampaikan kebutuhan maupun keluhan secara langsung sehingga
perusahaan dapat meningkatkan pelayanannya.
Keuntungan bagi pembeli, antara lain (PB, Triton, 2006: 78):
1) Home shopping. Pembeli dapat melakukan transaksi dari rumah
sehingga dapat menghemat waktu, menghindari kemacetan, dan
menjangkau toko-toko yang jauh dari lokasi.
2) Mudah melakukan. Tidak perlu pelatihan khusus untuk bisa belanja
atau melakukan transaksi melalui Internet.
3) Pembeli memiliki pilihan yang sangat luas dan dapat
membandingkan produk maupun jasa yang ingin dibelinya.
4) Tidak dibatasi waktu. Pembeli dapat melakukan transaksi kapan saja
selama 24 Jam per hari, 7 hari per minggu.
5) Pembeli dapat mencari produk yang tidak tersedia atau sulit diperoleh
di outlet-outlet atau pasar tradisional.
Keuntungan-keuntungan di atas apabila dipergunakan dengan
sebaik-baiknya akan mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap electronic commerce yang pada akhirnya dapat pula
meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional.
c. Mekanisme Transaksi Electronic Commerce dan Waktu Terjadinya
Kontrak
Transaksi perdagangan melalui media internet atau electronic
commerce pada dasarnya memiliki kesamaan dengan mekanisme
perdagangan biasa (konvensional). Perbedaan antara keduanya adalah
dalam electronic commerce, sistem yang digunakan dalam seluruh proses
transaksi dilakukan secara online, mulai dari penawaran produk,
pembelian, sampai dengan pembayaran, sedangkan dalam transaksi
biasa, seluruh proses transaksi dilakukan secara manual (off line). Seperti
halnya dalam transaksi biasa (konvensional), transaksi electronic
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
commerce diawali dengan adanya penawaran oleh produsen (merchant)
kepada calon pembeli (consumer) melalui media Internet, sedangkan
apabila pembeli (costumer) berpendapat bahwa produk yang ditawarkan
dari segi kualitas, harga, jenis telah sesuai dengan keinginannya, maka
pembeli dapat langsung memesan (order) atas barang yang dimaksud
dengan cara mengisi formulir isian yang telah ditampilkan pada layar
monitor. Formulir yang harus diisi umumnya memuat identitas pemesan,
seperti nama, alamat, kantor, dan sebagainya. Formulir isian memuat
pula syarat- syarat transaksi yang harus disetujui oleh konsumen. Pada
tahap akhir setelah semua formulir isian diisi dan syarat-syarat transaksi
disetujui, pembeli tinggal menyatakan setuju dengan transaksi tersebut
dengan cara mengklik kolom OK atau Submit (PB, Triton, 2006: 92).
Gambaran proses transaksi electronic commerce di atas adalah
proses yang umum dilakukan, mengingat dalam prakteknya proses
transaksi electronic commerce banyak jenisnya. Permasalahan yang
paling sering muncul dalam transaksi electronic commerce adalah
berkaitan dengan pertanyaan kapan suatu transaksi (kontrak) dikatakan
telah terjadi. Sebelum menjawab pertanyaan di atas, perlu dikemukakan
terlebih dahulu beberapa bentuk kontrak electronic commerce yang
selama ini berkembang. Beberapa bentuk kontrak elektronik yang selama
ini berkembang, yaitu:
1) Suatu kontrak yang dibentuk secara sah melalui e-mail. Penawaran
dan penerimaan dapat dipertukarkan melalui e-mail atau
dikombinasikan dengan alat komunikasi elektronik lainnya, dokumen
tertulis, fax, dan lain-lain.
2) Suatu kontrak dapat juga dibentuk melalui web sites dan jasa online
lain, yaitu suatu web site menawarkan penjualan barangatau jasa dan
konsumen dapat menerima penawaran dengan mengisi dan
mengirimkan suatu formulir yang terpampang pada layar monitor.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
3) Bentuk kontrak lain adalah mencakup direct online transfer dari
informasi dan jasa, web site digunakan sebagai medium of
communication dan sekaligus sebagai medium of exchange.
4) Kontrak yang berisi Electronic Data Interchange (EDI), suatu
pertukaran informasi bisnis secara elektronik dalam komputer
processable format melalui komputer milik para mitra dagang
(trading partners).
5) Suatu cara berkontrak dalam Internet dapat bersifat perjanjian lisensi
click-wrap dan shrink-wrap. Software yang di download dari Internet
lazimnya dijual dengan suatu lisensi click-wrap. Lisensi tersebut
muncul pada monitor pembeli pada saat pertama kali software akan
dipasang (install) dan calon pembeli ditanya apakah ia bersedia
menerima persyaratan lisensi tersebut sebelum menggunakan
program tersebut. Pengguna dapat click “I accept” atau I don’t
accept”. Apabila pembeli menyetujui persyaratan lisensi, software
tersebut dapat dipasang (install). Permasalahan kapan terjadinya
suatu kontrak pada perdagangan secara online perlu mendapatkan
perhatian khusus, mengingat hal ini membawa akibat hukum pada
penentuan lahirnya hak dan kewajiban masing-masing pihak,
peralihan kepemilikan, peralihan risiko, juga yurisdiksi mana yang
berkompeten untuk menyelesaikan sengketa jika dikemudian hari
muncul sengketa (Budi Rahardjo. E-commerce di Indonesia Peluang
dan Tantangan (http:// www.cert.or.id/ ~budi/ articles/1999-02.pdf:
diakses tanggal 30 Agustus 2010).
Penentuan saat terjadinya perjanjian (kontrak) berkaitan erat dengan
tempat dimana perjanjian itu dibuat, ada beberapa teori yang menjelaskan
tentang tempat terbentuknya perjanjian yaitu (PB, Triton, 2006: 112):
1) Pada saat disampaikannya persetujuan (consent) oleh pihak penerima
penawaran (expedition theory).
2) Pada saat dikirimnya penerimaan tersebut oleh pihak penerima
penawaran (acceptors acceptance atau disebut transmission theory).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
3) Pada saat diterimanya penerimaan tersebut oleh pihak yang
menawarkan (offeror) atau disebut reception theory.
4) Pada saat pihak yang menawarkan mengetahui adanya penerimaan
(acceptance) tersebut atau disebut information theory.
Menurut Julian Ding dalam bukunya Electronic Commerce, Law and
Practices, sebagaimana dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman
disebutkan bahwa terjadinya kontrak dalam transaksi electronic
commerce adalah a contract is struck when two or more persons agree to
a certain course of conduct, maksudnya bahwa sebagai suatu pertemuan
dimana dua atau lebih pihak setuju melakukan tindakan tertentu, sehingga
pada saat itulah kesepakatan tercapai. Mariam Darus Badrulzaman
berpendapat bahwa untuk menentukan kapankah suatu kontrak terjadi,
maka dapat dilihat dari syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu offer
(penawaran), acceptance (penerimaan) dan consideration. Suatu offer
merupakan suatu invitation to enter into binding agreement, suatu offer
adalah benar merupakan suatu tawaran jika pihak lain memandangnya
sebagai suatu penawaran, namun perlu diperhatikan bahwa suatu offer
haruslah benar merupakan suatu offer dalam hal mana memang benar
penawaran telah dilakukan dan ditujukan pada offeree. Jika suatu offer
sudah ditujukan pada offeree maka ia dapat choose whether yes or not to
accept it. Suatu offer harus secara jelas dinyatakan dan dalam hal offer
disampaikan dengan mempergunakan e-mail harus disebutkan bahwa jika
terjadi suatu offer dari seorang offeror, harus terdapat suatu kepastian
berupa diterima atau tidaknya hal tersebut dengan kata-kata “I accept or I
reject and go fourth”. Menemukan offer and acceptance dalam
cybersystem adalah tergantung pada keadaan dari cybersystem itu sendiri.
Seorang offeror adalah bebas untuk menentukan suatu manner of
acceptance, misalnya offeror menentukan bahwa hal penjualan melalui
web site atas barang dagangannya maka penawaran ditujukan pada
halaman dari e-mail addressnya sehingga dalam hal ini acceptance dapat
dalam bentuk e-mail saja (Mariam Darus Badrulzaman, 2005: 86).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Jika offer pada web site secara umum mendapatkan acceptance dari
publik yang cukup banyak, sedangkan massage dalam offer di web site
tersebut hanya menawarkan sebuah barang saja maka dalam hal ini
dipakai prinsip “first come first serve”, maka yang paling awal dinyatakan
bahwa ia yang akan menerima tawaran itulah yang berhak. Peraturan ini
menyatakan bahwa suatu acceptance dari offer adalah efektif berlaku
pada saat pengiriman pos, dalam hal ini yaitu pada saat pengiriman
acceptance melalui pos tradisional melalui surat (dropping a place of
corespondence in to the mailbox). Cyberspace menerangkan jika suatu
pernyataan setuju dari offeree telah dikirim dan benar telah diterima oleh
offeror, maka dalam hal terjadi keterlambatan atau tidak sampainya pesan
adalah kewajiban dan risiko dari offeror jika tidak ada klausul pembatasan
hari dari offeror, namun dalam hal acceptance berlangsung dalam suatu
on line contract, maka tidak akan terjadi keterlambatan sehingga mailbox
rule tidak berlaku (Mariam Darus Badrulzaman, 2005: 87).
d. Karakteristik Transaksi E-Commerce
Berbeda dengan transaksi perdagangan biasa, transaksie-
commerce memiliki beberapa karakteristik yang sangat khusus, yaitu:
(Sakti, Nuransa,2001 :76)
1) Transaksi tanpa batas
Sebelum era internet, batas-batas geografi menjadi
penghalang suatu perusahaan atau individu yang ingin go-
international. Sehingga, hanya perusahaan atau individu dengan
modal besar yang dapat memasarkan produknya ke luar negeri.
Dewasa ini dengan internet pengusaha kecil dan menengah dapat
memasarkan produknya secara internasional cukup dengan membuat
situs web atau dengan memasang iklan di situs-situs internet tanpa
bataswaktu (24 jam), dan tentu saja pelanggan dari seluruh dunia
dapat mengakses situs tersebut dan melakukan transaksi secara on-
line.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
2) Transaksi anonim
Para penjual dan pembeli dalam transaksi melalui internet
tidak harus bertemu muka satu sama lainnya. Penjual tidak
memerlukan nama dari pembeli sepanjang mengenai pembayarannya
telah diotorisasi oleh penyedia sistem pembayaran yang ditentukan,
yangbiasanya dengan kartu kredit.
3) Produk digital dan non digital
Produk-produk digital seperti software komputer, musik dan
produk lain yang bersifatdigital dapat dipasarkan melalui internet
dengan cara mendownload secara elektronik. Dalam
perkembangannya obyek yang ditawarkan melalui internet juga
meliputi barang-barang kebutuhan hidup lainnya.
4) Produk barang tak berwujud
Banyak perusahaan yang bergerak di bidang e-commerce
dengan menawarkan barang tak berwujud seperti: data, software dan
ide-ide yang dijual melalui internet.
Implementasi e-commerce pada dunia industri yang penerapannya
semakin lama semakin luas tidak hanya mengubah suasana kompetisi
menjadi semakin dinamis dan global, namun telah membentuk suatu
masyarakat tersendiri yang dinamakan Komunitas Bisnis Elektronik
(Electronic Business Community). Komunitas memanfaatkan cyberspace
sebagai tempat bertemu, berkomunikasi dan berkoordinasi ini secara
intens memanfaatkan media dan infrastruktur telekomunikasi dan
teknologi informasi dalam menjalankan kegiatannya sehari-hari. Seperti
halnya pada masyarakat tradisional, pertemuan antara berbagai pihak
dengan beragam kepentingan secara natural telah membentuk sebuah
pasar tersendiri tempat bertemunya permintaan (demand) dan penawaran
(supply). Transaksi yang terjadi antara demand dan supply dapat dengan
mudah dilakukan walaupun yang bersangkutan berada dalam sisi
geografis yang berbeda karena kemajuan dan perkembangan teknologi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
informasi. Yang dalam hal ini adalah teknologi e-commerce
(Indrajit,Richardus, 2001: 60)
e. Jenis-jenis Transaksi Electronic Commerce
Electronic commerce dalam pelaksanaannya yang menggunakan media
internet sebagai sarana utamanya tidak terlepas dari ada dalam internet itu
sendiri. Kemudahan tersebut diantaranya adalah kemudahan untuk
diakses dimana saja dan dengan siapaseorang pengguna akan
berhubungan. Selain itu, sudut pandang dari e-commorce sangatlah luas.
Berdasarkan sudut pandang para pihak dalam bisnis e-commerce jenis-jenis
dari suatu kegiatan e-commerce adalah sebagai berikut:
1) Busines to Busines (B2B)
Busines to Busines merupakan kegiatan bisnis e-commerce yang
paling banyak dilakukan. Busines to Busines (B2B) terdiriatas:
a) Transaksi Inter Organizational System (IOS), misalnyatransaksi
extranest, electronic funds transfer, electronic forms,intrgrated messaging,
share data based, supply chainmanagement, dan lain-lain.
b) Transaksi pasar elektronik (electronic market transfer) (MunirFuady,
2005 : 408).
Busines to Busines (B2B) juga dapat diartikan sebagai
sistemkomunikasi bisnis online antar pelaku bisnis (Onno
W.Purbo,2000:2). Busines to Busines (B2B) mempunyai karakteristik,
dimana menurut Budi Raharjo dalam Mengimplementasikan Electronic
Commerce di Indonesia menyebutkan bahwa karekteristik itu antara
lain:
a) Trading Partners yang sudah diketahui dan umumnya
memilikihubungan (relationship) yang cukup lama. Informasi
hanyadipertukarkan dengan partner tersebut. Sehingga
jenisinformasi yang dikirimkan dapat disusun sesuai kebutuhan
dankepercayaan (trust).
b) Pertukaran data (data exchange) berlangsung berulang-ulangdan
secara berkala, dengan format data yang sudah disepakati
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
bersama. Sehingga memudahkan pertukaran data untuk duaentiti
yang menggunakan standar yang sama.
c) Salah satu pelaku dapat melakukan inisiatif untuk mengirimkan
data, tidak harus menunggu partner.
d) Model yang umum digunakan adalah per-to-per dimana processing
intelligence dapat didistribusikan di kedua belah pihak
(http://www.cert.or.id/~budi/articles/1999-02.pdf, diakses tanggal 20 Juli
2011).
2) Bussines to Cunsumer (B2C)
Bussines to Cunsumer (B2C) merupakan transaksi ritel
denganpembeli individual (Munir Fuady, 2005 : 408). Selain itu
Bussines to Cunsumer (B2C) juga dapat berarti mekanisme took online
(electronic shoping mall) yaitu transaksi antara e-merchant dengan e-
customer (Onno W.Purbo, 2000:2). Budi Raharjo juga menyebutkan
Bussines to Cunsumer (B2C) mempunyai karakteristik tersendiri,
dimana karakteristik tersebut adalah:
a) Terbuka untuk umum, dimana informasi disebarkan ke umum
b) Servis yang diberikan bersifat umum (generic) dengan
mekanisme yang dapat digunakan oleh khayalak ramai. Sebagai
contoh, karena system web sudah umum digunakanmaka servis
diberikan dengan menggunakan basis web
c) Servis diberikan berdasarkan permohonan (on demand)
Consumer melakukan inisiatif dan produser harus siapmemberikan
respon sesuai dengan permohonan.
d) Pendekatan client atau server sering digunakan dimana diambil
asumsi client (consumer) menggunakan sistem yang
minimal(berbasis web) dan processing (bussines procedure)
diletakandi sisiserver (http://www.cert.or.id/~budi/articles/1999-02.pdf,
diakses tanggal 20 Juli 2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
3) Consumer to Consumer (C2C)
Consumer to Consumer (C2C) merupakan transaksi dimana
konsumen menjual produk secara langsung kepada konsumenlainnya.
Dan juga seorang individu yang mengiklankan produk barang atau
jasa, pengetahuan, maupun keahliannya di salah satusitus lelang
(Munir Fuady, 2005 : 408).
4) Consumer to Bussines (C2B)
Consumer to Bussines (C2B) merupakan individu yangmenjual
produk atau jasa kepada organisasi dan individu yangmencari penjual
dan melakukan transaksi (Munir Fuady,2005:408).
5) Non-Bussines Electronic Commerce Non-Bussines Electronic
Commerce meliputi kegiatan nonbisnis seperti kegiatan
lembaga pendidikan, organisasi nirlaba,keagamaan dan lain-lain
(Munir Fuady, 2005 : 408).
6) Intrabussines (Organizational) Electronic Commerce
Kegiatan ini meliputi semua aktivitas internal
organisasimelalui internet untuk melakukan pertukaran barang, jasa,
dan informasi, menjual produk perusahaan kepada karyawan, dan
lain-lain (Munir Fuady, 2005 : 408)
f. Pihak-pihak dalam Transaksi Electronic Commerce
Transaksi electronic commerce melibatkan beberapa pihak, baik
yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung, tergantung
kompleksitas transaksi yang dilakukan, artinya apakah semua proses
transaksi dilakukan secara on-line atau hanya beberapa tahap saja yang
dilakukan secara on-line. Apabila seluruh transaksi electronic commerce
dilakukan secara on-line, mulai dari proses terjadinya transaksi sampai
dengan pembayaran, maka pihak-pihak yang terlibat terdiri dari:
1) Penjual (merchant), yaitu perusahaan atau produsen yang
menawarkan produknya melalui internet. Menjadi seorang merchant,
maka seseorang harus mendaftarkan diri sebagai merchant account
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
pada sebuah bank, tentunya ini dimaksudkan agar merchant dapat
menerima pembayaran dari customer dalam bentuk credit card.
2) Konsumen atau card holder, yaitu orang-orang yang ingin
memperoleh produk (barang atau jasa) melalui pembelian secara on-
line.
3) Acquirer, yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan
penerbit) dan perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit).
4) Issuer; perusahaan credit card yang menerbitkan kartu.
5) Certification Authorities; pihak ketiga yang netral yang memegang
hak untuk mengeluarkan sertifikasi kepada merchant, kepada issuer
dan dalam beberapa hal diberikan pula kepada card holde.
Apabila transaksi electronic commerce tidak sepenuhnya dilakukan
secara on-line, dengan kata lain hanya proses transaksinya saja yang on-
line, sementara pembayaran tetap dilakukan secara manual atau cash,
maka pihak acquirer, issuer, dan certification authority tidak terlibat di
dalamnya .
g. Pengaturan E-commerce dalam Bisnis Internasional
Transaksi bisnis internasional e-commerce dalam pelaksanaanya
dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan perdagangan internasional
yaitu:
1) Kontrak Perdagangan Internasional (secara umum) Berdasarkan
United Nations in Contracts for International Sale of Goods
(UNCISG) 1980 dan 1986.
Kontrak perdagangan internasional secara umum (bukan dalam
konteks e-commerce) diatur dalam United Nations in Contracts for
International Sale of Goods (UNCISG) 1980 dan 1986. Indonesia
belum meratifikasi untuk UNCISG tahun 1980, meskipun demikian
konvensi ini patut kita pertimbangkan sebagai platform bagi konvensi
jual beli internasional yang baru. Konvensi ini mengatur masalah-
masalah kontraktual yang berhubungan dengan kontrak jual beli
internasional. Konvensi ini sebenarnya hanya mengatur masalah jual
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
beli antara business to business (B2B), sedangkan e-commerce yang
kita bahas disini adalah hubungan bisnis antara Business to Consumer
(B2C) dan juga business to business tetapi didalam konvensi tersebut
terdapat beberapa prinsip yang dapat di adopsi dalam makalah ini.
Konsepsi yang bisa diambil dari konvensi ini antara lain adalah
(http//bisnis internasional e-commerce.mkn.com: diakses 15 Agustus
2010):
a) Bahwa kontrak tidak harus dalam bentuk tertulis (in writing form),
tetapi kontrak tersebut bisa saja berbentuk lain bahkan hanya
berdasarkan saksi. Berdasarkan aturan tersebut suatu kontrak dapat
juga dalam bentuk data elektronik (misalnya dalam format data
form yang di-sign dengan digital signature) tapi didalam UNCISG
ini belum diatur secara spesifik mengenai digital signature.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka suatu kontrak jual-beli secara
internasional yang menggunakan digital signature berdasarkan
hukum internasional secara hukum mengikat (legally binding) atau
mempunyai kekuatan hukum. Mengenai sahnya suatu kontrak yang
berbentuk digital signature ini sebaiknya diatur dalam perUndang-
Undangan tersendiri seperti seperti halnya yang dilakukan di
Amerika (negara bagian Utah, California), Malaysia, Singapura.
b) CISG mencakup materi pembentukan kontrak secara internasional
yang bertujuan meniadakan keperluan menunjukkan hukum negara
tertentu dalam kontrak perdagangan internasional serta untuk
memudahkan para pihak dalam hal terjadi konflik antar sistem
hukum . CISG berlaku terhadap kontrak untuk pejualan barang
yang dibuat diantara pihak yang tempat dagangnya berada di
negara yang berlainan Pasal 1 ayat (1). Dengan demikian yang
menentukan adalah tempat perdagangannya dan bukan
kewaarganegaranya. Konteks digital signature tempat kedudukan
dari Merchant yang adalah kedudukan hukum yang tercantum di
digital certificate miliknya. Suatu kontrak yang dibuat berdasarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
CISG (misalnya berupa digital signature) atau yang tunduk kepada
CISG harus ditafsirkan berdasarkan prinsip-prinsip yang tercantum
dalam CISG dan kalau CISG belum menentukan, berdasarkan
kaaidah-kaidah hukum perdata internasional. Disamping itu, CISG
menerima kebiasaan dagang serta kebiasaan antara para pihak
sebagai dasar penafsiran ketentuan kontrak. Seperti halnya dalam
hukum kontrak Indonesia, itikad baik dijadikan prinsip utama
dalam penaafsiran utama dalam penafsiran ketentuan dan
pelaksanaan kontrak. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka
hendaknya setiap bentuk kontrak perdagangan internasional dengan
menggunakan digital signature selain didasarkan pada peraturan
yang mengatur secara spesifik mengatur tentang digital signature
juga didasarkan pada UNCISG karena CISG banyak dipakai oleh
negara-negara di dunia.
c) Saat terbentuknya kontrak, Ini menyangkut kapan terjadinya
kesepakatan terutama apabila kesepakatan ini terjadi tanpa
kehadiran para pesertaatau pihak. Transaksi di internet kita
analogikan sebagai transaksi yang dialukan tanpa kehadiran para
pelaku di satu tampat (between absent person). CISG memberikan
kepastian di dunia perdagangan internasional mengenai saat
terjaadinya suatu kontrak. kepastian ini akan memberikan dalam e-
commerce tanpa adanya kepastian ini, pertukaran antara suatu
digital signature akan sulit menimbulkan hak dan kewajiban yang
diakui oleh hukum kontrak. E-mail meskipun sifatnya
menghubungkan para pihak dengan hampir seketika tetapi tetap
saja terjadi kelambatan (delay) dalam masalah transmisinya,
demikian juga harus dipertimbangkan adanya sistem yang tidak
bekerja secara sempurna sehingga suatu offer atau acceptance tidak
dapat diterima secara seketika. Kontrak jual-beli dianggap sudah
ada setelah adanya kesepakatan yang datang dari kedua belah
pihak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
2) Kontrak Berdasarkan United Nations Commision on International
Trade Law (UNCITRAL) model law on Electronic Commerce.
Model law ini mengatur tentang e-commerce secara umum,
mulai dari definisi-definisi yang dipakai, bentuk dokumen-dokumen
yang dipakai dalam e-commerce, keabsahan kontrak, saat terjadinya
kontrak selain itu model law ini mengatur juga tentang carriage of
goods. Pendekatan yang diambil dalam model law ini adalah bahwa
suatu informasi tidak dapat dikatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum, tidak mempunyai kekuatan hukum, karena informasi itu
berbentuk data message. Berdasarkan pendekatan diatas maka suatu
data messaages apapun bentuk atau formatnya tidak dapat dikatakan
tidak mempunayai kekuatan hukum hanya karena ia berbentuk suatu
data messages. Pendekatan ini akan menimbulkan suatu kepastian
dikemudian hari apabila terdapat suatu bentuk atau format data
messages dalam bentuk yang baru. Pendekatan ini juga akan
menyebabkan suatu kontrak atau perjanjian yang dibuat dengan
digital signature mempunyai kekuatan hukum. Sedangkan apabila
dalam suatu perUndang-Undangan terdapat persyaratan bahwa harus
dalam bentuk tertulis, maka persyaratan ini dapat dicapai, selama
informasiatau data tersebut dapat diakses. Apabila suatu perUndang-
Undangan menghendaki adanya suatu tandatangan sebagai tanda
sahnya suatu dokumen maka hal ini dapat dicapai dengan cara:
a) Terdapat suatu metode yang digunakan untuk mengidentifikasi
keberadaan seseorang dan juga dapat mengindikasikan didalam
dokumen tersebut telah mendapat persetujuan dari orang tersebut.
b) Bahwa metode tersebut diatas dapat dipercaya atau dapat
dipertanggungjawabkan sehingga data tersebut dapat dengan aman
disebarluaskan.
c) Pendekatan tersebut diatas sifatnya adalah sangat luas atau tidak
jelas. Metode Digital signature adalah salah satu cara yang dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
mensiasati kebutuhan adanya suatu tandatangan dalam sebuah
dokumen.
3) General Usage for International Digitally Ensured Commerce
(GUIDEC) dari The International Chamber of Commerce (ICC).
GUIDEC adalah suatu panduan yang dibuat oleh International
Chamber of Commerce bagi penggunaan suatu metode yang akan
menjamin keberadaan suatu dokumen atau data elektronis dalam
penggunaannya dalam dunia internasional. Panduan ini menggunakan
terminologi ensured untuk membedakannya dengan terminologi sign
dalam hal panandatanganan (sign in atau signature) terhadap suatu
dokumen (Kantaatmaja, 2002:23).
GUIDEC ini dimaksudkan untuk menunjang perkembangan
dari e-commerce dengan memberikan kepastian bagi penerapan
adanya tandatangan dalam suatu dokumen elektronis. Panduan ini
akan menjelaskan berbagai terminologi atau istilah yang ada didalam
UNCITRAL model law on e-commerce seperti apakah sebenarnya
maksud dari penandatangan suatu data messages secara elektronis
(electronically signed Messages). Penandatanganan disini maksudnya
adalah bukan dilakukan secara fisik, tetapi membutuhkan suatu
perangkat elektronik. Terminologi dari electronically signed yang
dipakai dalam GUIDEC ini adalah penggunaan teknik enkripsi dengan
menggunakan kunci publik yang lebih dikenal sebagai digital
signature. Penggunaan digital signature ini akan memberikan
kepastian akan keamanan, keutuhan dari data messages yang
digunakan dalam e-commerce. Faktor keamanan dan keutuhan dari
suatu data messages adalah suatu hal yang sangat menentukan dalam
menunjang perkembangan e-commerce. E-commerce yang dilakukan
melalui media internet yang merupakan suatu jaringan publik akan
memberikan berbagai ketidakpastian bagi para penggunaanya.
Panduan mengenai bagaimana suatu data messages dapat dijamin
keamanan dan keutuhan melalui cara digital signature.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
4) United Nations Commision on International Trade Law
(UNCITRAL), Draft on Electronic Signature
Draft ini berisi bagaimana suatu data messages dapat
ditandatangani secara elektronis. Sebenarnya terminologi Electronic
Signature yang dipakai dalam draft ini adalah sama dengan digital
signnature, namun pihak UNCITRAL memilih terminologi ini
mungkin karena medium yang dipakai dalam menandatangani suatu
data messages adalah secara elektronik.
Berdasarkan aturan-aturan yang berlaku secara internasional
seperti disebut diatas, maka keberadaan digital signature (dan
berbagai macam istilah lain yang sebenarnya mempunyai maksud
yang sama) dalam kontrak perdagangan internasional adalah hampir
menjadi semacam standar bagi perdagangan internasional dimasa
yang akan datang. Keberadaan digital signature pada saat ini dalam
penggunaannya sebagai salah satu bentuk kontrak perdagangan
internsional telah mempunyai kekuatan hukum. Ia secara hukum
mengikat (legally binding), meskipun belum ada konvensi yang
mengaturnya secara tersendiri.
h. Sengketa E-Commerce
Secara umum sengketa terbagi dalam dua macam, yaitu sengketa
menyangkut kontrak dan yang bukan menyangkut kontrak. Sengketa
menyangkut kontrak dapat dibagi lagi menjadi sengketa pengusaha dengan
pengusaha dan sengketa pengusaha dengan konsumen, namun sebagai
konsekuensinya, dari pengusaha ke konsumen telah memunculkan pula
sengketa antara konsumen dengan konsumen. Sengketa menyangkut
kontrak dapat terjadi, misalnya jika layanan yang dilakukan oleh penyedia
jasa sangat buruk. Contohnya dalam perdagangan saham secara online
yang sistemnya ternyata cacat, akses terhadap database yang ternyata
sangat minim (Paustinus Sibsruan, 2004: 5).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Berikut ini akan diuraikan bentuk- bentuk wanprestasi yang
dilakukan oleh penjual ( merchant ) dalam transaksi e-commerce yaitu (
Edmon Makarim, 2005: 269-272):
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya. Dalam
transaksi e-commerce, merchant mempunyai kewajiban untuk
menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli dan kewajiban untuk
menanggung segala kerusakan barang yang dikirim. Jika penjual tidak
melaksanakan kedua kewajibannya tersebut, merchant dapat
dikatakan wanprestasi. Contohnya toko online kakilima.com yang
menawarkan kue ulang tahun. Kakilima menjanjikan untuk mengantar
pesanan pembeli dalam waktu satu minggu setelah pesanan diterima.
Apabila pembeli memesan kue ulang tahun tersebut pada tanggal 12
Juli 2001, seharusnya roti tersebut sampai di tempat pembeli pada
tanggal 19 Juli 2001. Akan tetapi, ternyata penjual tidak dapat
melaksanakan kewajibannya tersebut, ia tidak mengirimkan kue
tersebut sehingga dengan demikian penjual telah melakukan
wanprestasi.
2) Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang
dijanjikan. Contohnya adalah pembeli memesan satu buah rangkaian
bunga pada kakilima.com. Saat memesan tersebut, yang pembeli lihat
adalah sebuah gambar di layar monitornya yang menampilkan gambar
sebuah rangkaian bunga mawar merah yang segar. Akan tetapi,
ternyata rangkaian bunga yang sampai ke tempatnya adalah rangkaian
bunga mawar merah yang sudah layu atau tidak segar lagi seperti yang
ada pada gambar di layar monitor. Merchant telah melakukan
wanprestasi karena melaksanakan prestasinya dengan tidak
sebagaimana mestinya.
3) Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat. Untuk
wanprestasi model ini sebenarnya mirip dengan wanprestasi bentuk
yang pertama. Jika barang pesanan datang terlambat, tetapi tetap dapat
dipergunakan, hal ini dapat digolongkan sebagai prestasi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
terlambat. Sebaliknya jika prestasinya tidak dapat dipergunakan lagi,
digolongkan sebagai tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan.
Misalnya pembeli memesan buku dari Toko Sanur-Online. Pesanan
yang seharusnya hanya memerlukan waktu pengiriman selama tiga
hari ternyata baru tiba pada hari yang ke tujuh. Hal ini jelas
menunjukkan penjual telah wanprestasi. akan tetapi, karena barangnya
masih dapat dipergunakan, wanprestasi ini digolongkan sebagai
prestasi yang terlambat dan bukan tidak melakukan prestasi.
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Untuk wanprestasi yang terakhir ini, contohnya merchant yang
berkewajiban untuk tidak menyebarkan kepada umum identitas dan
data diri dari pembeli, tetapi ternyata merchant melakukannya.
Demikianlah aplikasi dari wanprestasi yang mungkin terjadi dalam
transaksi e-commerce.Wanprestasi yang dilakukan oleh merchant
tentu saja sangat merugikan pihak pembeli. Akan tetapi, untuk
mengajukan tuntutannya, pembeli harus mendahului tuntutannya
dengan somasi. Somasi tersebut berupa peringatan agar merchant
melaksanakan kewajibannya. Jika somasi tersebut tidak diindahkan,
merchant berada dalam keadaan wanprestasi, somasi tidak diperlukan
jika merchant keliru berprestasi.
i. Pilihan Hukum Penyelesaian Sengketa E-commerce
Dalam Hukum Perdata Internasional jika telah ditentukan di dalam
klausula perjanjian tersebut mengenai pilihan hukum, maka pilihan hukum
itulah yang akan menyelesaikannya. Tetapi jika ternyata tidak
dicantumkan mengenai pilihan hukum tersebut maka hukum yang berlaku
dapat ditentukan berdasarkan teori-teori yang ada (www.hukum
online.com,diakses tanggal 16 Juli 2011):
1) Teori kotak pos (mail box theory)
Menurut teori ini, suatu kontrak atau perjanjian terjadi pada saat
jawaban yang berisikan penerimaan tersebut dimasukkan ke dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
kotak pos. Dalam hal transaksi e-commerce maka hukum yang berlaku
adalah hukum dimana pembeli mengirimkan pesanan melalui
komputernya. Teori ini mempunyai kelemahan sebab ada kemungkinan
pihak lawan tidak menerima pesannya atau terlambat menerima pesan
tersebut. Oleh karena itu diperlukan konfirmasi pihak penjual.
2) Acceptance Theory (teori penerimaan)
Menurut teori ini, hukum yang berlaku adalah hukum dimana
pesan dari pihak yang menerima tawaran tersebut disampaikan. Dalam
transaksi e-commerce maka hukum yang berlaku menurut teori ini
adalah hukum si penjual.
3) Proper Law of The Contract
Menurut teori ini hukum yang berlaku adalah hukum yang
mempunyai titik-titik pertalian yang paling banyak, atau hukum yang
paling sering dipergunakan pada saat pembuatan perjanjian. Misalnya
bahasa yang dipergunakan bahasa Jepang, mata uang yang dipakai
dalam transaksi yen, arbitrase yang dipergunakan arbitrase Jepang,
maka yang menjadi pilihan hukumnya adalah hukum Jepang.
4) The Most Characteristic Connection
Dalam teori ini, hukum yang berlaku adalah hukum pihak mana
yang melakukan prestasi yang paling karakteristik atau paling banyak.
Dengan demikian teori-teori tersebut dapat dipakai untuk menentukan
hukum mana yang berlaku jika terjadi sangketa di kemudian hari.
3. Tinjauan tentang Arbitrase
a. Pengertian Arbitrase
Arbitrase atau dalam beberapa istilah Indonesia sering disebut
peradilan wasit, dalam hal ini penulis sengaja memilili menggunakan
istilah arbitrase karena dirasa bahwa istilah kata arbitrase di Indonesia
sudah menjadi suatu bahasa baku yang langsung dapat di pergunakan, hal
ini juga termuat jelas dalam ketentuan-ketentuan yang ada dalam negara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Indonesia menggunakan istilah arbitrase dalam penyebutannya , bukan pula
dengan penyebutan Peradilan Wasit ataupun Arbitrasi.
Berikut akan coba dijelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian
secara harfiah dari makna kata arbitrase, banyak pendapat yang dapat
dijadikan batasan dari arbitrase.
What is arbitration? Arbitration is a final, and binding resolution of a dispute by a person called an “arbitrator” or “Neutral”, or a panel of three or more “neutrals”. The courts of the majority of jurisdictions uphold the binding nature of an arbitrator's judgment to the same extent that they up hold a ruling by a judge (Leacock, 2001: 19).
Dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering di singkat B.Rv.
atau Rv. Tersebut istilah Arbitrage (bahasa Belanda) yang mengadung
pengertian dalam bahasa Inggris “arbitration “, yang dirumuskan, sebagai
the submission for determination ofdisputted matterr to private unofficial
persons selected in manner provided by law or agreement. (Akhmad
Ichsan, 1993:10).
Yahya Harahap berpendapat arbitrase merupakan salah satu metode
penyelesaian sengketa. Sengketa yang harus diselesaikan tersebut berasal
dari sengketa atas sebuah kontrak dalam bentuk sebagai berikut (M.Yahya
Harahap,1991:108):
1) Perbedaan penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian,
berupa:
a) Kontraversi pendapat (Controversy);
b) Kesalahan pengertian (misunderstanding);
c) Ketidaksepakatan (disagreement).
2) Pelanggaran perjanjian (breach of contract) termasuk didalamnya
adalah:
a) Sah atau tidaknya kotrak;
b) Berlaku atau tidaknya kontrak;
3) Pengakhiran kontrak (termination of contract);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
4) Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan atau
melawan hukum.
Menurut Abdurrachman arbitrase dimaksudkan sebagai memeriksa
sesuatu, atau mengambil keputusan mengenai faedahnya. Proses yang oleh
suatu perselisihan antara dua pihak yang bertentangan diserahkan kepada
satu pihak atau lebih yang tidak berkepentingan untuk mengadakan
pemeriksaan dan mengambil suatu keputusan terakhir. Pihak yang tidak
berkepentingan atau arbitator tersebut, dapat dipilih oleh pihak-pihak itu
sendiri, atau boleh ditunjuk oleh suatu badan yang lebih, tinggi yang
kekuasaannya diakui oleh pihak-pihak itu. Pelaksanaan prosedur
arbitration kedua belah pihak yang bertentangan itu sebelumnya telah
menyetujui akan menerima keputusan arbitrator (Abdurrachman, A.,
1991:50).
Definisi menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimaksud dengan
arbitrase adalah :
“Cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999)
Beberapa definisi yang ada tentang pengertian arbitrase, Munir Fuady
menyimpulkan terdapat beberapa karakteristik yuridis dari arbitrase.
Karateristik yuridis tersebut adalah sebagai Berikut (Munir Fuady,
2000:13):
1) Adanya kontroversi diantara para pihak;
2) Kontroversi tersebut diajukan kepada arbiter;
3) Arbiter diajukan oleh para pihak atau ditunjuk oleh badan tertentu;
4) Arbiter adalah pihak diluar badan peradilan umum;
5) Dasar pengajuan sengketa ke arbitrase adalah perjanjian;
6) Arbiter melakukan pemeriksaan perkara;
7) Setelah memeriksa perkara, arbiter akan memberikan putusan arbitrase
tersebut dan mengikat para pihak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Perbedaan arbitrase ke dalam arbitrase domestik dan arbitrase
internasional atau dalam tulisan ini penulis menggunakan istilah arbitrase
asing disebabkan adanya anasir asing yang terdapat dalam perjanjian yang
dibuat para pihak baik berupa subyek, obyek, ataupun bentuk formalitas
perjanjian. (Kushartoyo budi S. dalam Majalah Hukum Trisakti; 1995:70).
Sudargo Gautama memberikan pengertian arbitrase internasional
secara agak luas menurutnya arbitrase akan bersifat Internasional jika
beberapa hal terpenuhi, yaitu : Pertama, apabila para pihak yang membuat
klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian itu
mempunyai tempat usaha (places of business) mereka di negara-negara
yang berbeda. Kedua, jika tempat arbitrase yang ditentukan dalam
perjanjian arbitrase ini letaknya diluar negara tempat para pihak
mempunyai tempat usaha mereka. Ketiga, apabila suatu tempat di mana
bagian terpenting kewajiban atau hubungan dagang para pihak harus
dilaksanakan atau tempat di mana obyek sengketa paling erat hubungannya
(most closely connected), memang letaknya diluar negara tempat usaha
para pihak. Keempat, apabila para pihak secara tegas telah menyetujui
bahwa obyek perjanjian mereka ini berhubungan dengan lebih dari satu
negara (Sudargo Gautama, 1989:3-4).
Penulis sengaja memilih istilah arbitrase asing dengan maksud untuk
memudahkan penyebutan dan menspesifikan arti dari istilah “asing” itu
sendiri, dengan memaknai “asing” disini adalah sama dengan luar negeri
seperti juga termaksud dalam Konvensi New York 1958, dengan
mengambil istilah padanan dengan “foreign”, sehingga arbitrase asing
disini dimaksudkan lebih kepada arbitrase yang berada diluar batas
yurisdiksi maupun wilayah Indonesia. Hal ini sejalan dengan Peraturan
Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Pelaksanaan Arbitrase Asing
di Indonesia. Istilah “Putusan Arbitrase Asing” (Pasal 2), dan istilah
“Putusan Arbitrase Internasional” (Pasal 1 ayat (9)) dapat dijelaskan dalam
Undang-Undang Arbitrase No. 30 tahun 1999.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
b. Sejarah Arbitrase
1) Sejarah Arbitrase di Amerika dan Eropa
Arbitrase sebagai bentuk perwasitan di bidang proses peradilan di
luar peradilan umum merupakan sarana yang sangat membantu
menyelesaikan perselisihan-perselisihan atau sengketa yang terjadi
dalam pelaksanaan perjanjian atau kontrak, khusus dalam hukum privat
baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional, seperti
dalam pelaksanaan perjanjian komersial dan perjanjian investasi
(penanaman modal) (Akhmad Ichsan,1992:l). Penggunaan istilah
Hukum Privat di sini dimaksudkan baik yang di sebut civil law maupun
common law.
Berdasarkan sejarah perkembangannya, sebenarnya cikal bakal
lembaga arbitrase sudah ada sejak Zaman Yunani Kuno, terus
berkembang pada zaman Romawi dan Yahudi, seterusnya di negara-
negara bisnis di Eropa seperti Inggris dan Belanda. Kemudian
menyebar ke Perancis (1250), Scotlandia (1695), Irlandia (1700),
Denmark (1795) dan USA (1870) (Huala Adolf, 1990:2).
Penelusuran tentang sejarah hukum tentang arbitrase ada yang
berpendapat bahwa arbitrase mendapat akarnya dalam hukum-hukum
gereja (ecclesiastical law). Berdasarkan sejarah hukum Inggris
misalnya, terlihat bahwa arbitrase telah digunakan oleh asosiasi-
asosiasi bisnis abad pertengahan (medieval guilds) di Inggris. Arbitrase
juga sudah digunakan di sana dalam transaksi-transaksi maritim tempo
dulu (Munir Fuady, 2000:15).
Undang-Undang yang paling tua di dunia tentang Arbitrase
adalah Arbitration Act (1697) di Ingggris, Undang-Undang tersebut
sampai sekarang telah mengalami beberapa kali perubahan. Di Inggris
dalam sejarah perkembangann arbitrase banyak mengalami
pertentangan bahkan timbulnya sikap antipati terhadap lembaga
arbitrase. Pada abad 18 menjadi fashionable disana bagi hakim-hakim
untuk memutuskan bahwa arbitrase clause atau contract bertentangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
dengan public policy karena arbitrase dapat mengakibatkan oust the
jurisdiction (of the courts).
Arbitrase di Perancis diatur dalam Code de Procedure Civile
(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata) yang mulai berlaku
sejak tahun 1806, yang kemudian sejalan dengan perkembangan zaman
lahir Undang-Undang arbitrase tahun 1925, yang lebih memberikan
tempat kepada sistem peradilan arbitrase ini (Munir Fuady,2000:22).
Praktek dirasakan bahwa kewenangan dan yurisdiksi dari
peradilan arbitrase ini masih belum memuaskan. Campur tangan badan
peradilan konvensional dianggap masih terlalu kuat terhadap arbitrase.
Karena itu, pada tanggal 14 Mei 1980, Pemerintah Perancis
mengeluarkan Dekrit (decree) yang memberikan kewenangan dan
yurisdiksi yang lebih mandiri terhadap badan arbitrase, di mana badan
peradilan pada prinsipnya tidak dapat mencampuri urusan arbitrase.
Badan-badan peradilan konvensional bahkan mempunyai kewajiban
untuk memperlancar pelaksanaan tugas-tugas arbitrase. Namun begitu,
banding terhadap putusan arbitrase ke badan peradilan umum
diperkenankan dalam hal-hal tertentu saja.
USA telah terdapat Arbitration Act (1925), yang asas-asanya
masih berlaku dalam Undang-Undang (federal) yang sekarang. Karena
hukum di USA berasal dari Inggris Raya, maka prinsip-prinsip hukum
tentang arbitrase di USA juga tidak jauh berbeda (dengan yang ada di
Inggris, kecuali dalam beberapa hal yang secara detail ada
perkembangan yang berbeda dalam praktek perUndang-Undangan dan
Praktek yurisprudensinnya (Munir Fuady, 2000:21).
Sejarah arbitrase di Belanda mempunyai keterkaitan dengan
sejarah di Indonesia. Semula, hukum arbitrase yang diterapkan di
negeri Belanda yang bersumber dari kitab Undang-Undang Hukum
Acara Perdatannnya tidak jauh berbeda dengan praktek yang di
terapkan di Indonesia yang berdasarkan pada RV, tetapi kemudian
pada perkembangannya ternyata hukum arbitrase di negeri Belanda
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
berbeda dengan hukum arbitrase di Indonesia. Hal ini disebabkan dua
hal pokok sebagai berikut (Munir Fuady, 2000:23):
a) Perkembangan praktek arbitrase di negeri Belanda yang pesat telah
memberi pengaruh yang sangat besar dalam pengembangan hukum
arbitrase disana. Sementara di Indonesia, praktek hukum arbitrase
relatif tidak berkembang, dan penyelesaian sengketa lewat arbitrase
itu sendiri tidak populer.
b) Dibentuknya peraturan arbitrase yang baru di negeri Belanda yang
mulai berlaku sejak 1 Desember 1986. Peraturan ini merupakan
buku keempat yang baru dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Perdata, mulai dari Pasal 1020 sampai dengan Pasal 1076.
Sementara peraturan tentang arbitrase yang lama di Belanda
termuat dalam Pasal 620 sampai dengan Pasal 657 Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Perdatannya, yang mirip-mirip dengan
ketentuan dalam Pasal 605 sampai dengan Pasal 651 RV Indonesia.
2) Sejarah Arbitrase di Asia.
Perkembangan arbitrase di kawasan Asia dapat terlihat dalam
perkembangan institusionalisasi lembaga arbitrase ini. Dalam hal ini,
Cina, Sri langka dan Philipina, dianggap yang terdepan dalam
perkembangannya dari segi institusioinalisasi tersebut (Marifa, Isna,
1996:37), sedangkan di Indonesia, Badan Arbitras Nasional Indonesia
(BANI) sudah di bentuk pada tanggal 3 Desember 1977 oleh Kamar
dagang dan Industri (KADIN), tetapi perkembangan arbitrase di negeri
ini dianggap masih belum sesuai harapan, sementara itu keberadaan
arbitrase khusus yang coba dibentuk Indonesia dalam rangka
penyelesaian sengketa yang berkenaan dengan bank yang berdasarkan
syariat Islam juga belum efektif berjalan.
Institusi penyelesaian sengketa alternatif di Philipina diarahkan
terhadap pengembangan institusionalisasi ke tingkat pedesaan
(barangay), yang dibentuk dengan dekrit (decree) Presiden No. 1508
Tahun 1978. Jalur penyelesaian sengketa alternatif diluar pengadilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
merupakan suatu hal terpenting, dalam hal ini telah dibentuk institusi
mediasi penyelesaian sengketa di 42000 desa di seluruh Philipina.
Bahkan begitu pentingnya kedudukan badan-badan mediasi ini
sehingga seseorang tidak dapat langsung maju ke pengadilan untuk
berperkara sebelum menunjukan adanya sertifikasi dari Sekretaris
Panel Mediasi yang menyatakan bahwa proses mediasi sudah
dilaksanakan tapi tidak berhasil (Munir Fuady, 2000:25).
Sri Langka melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 1958,
pemerintah telah memformulasikan terbentuknya suatu badan
konsiliasi. Undang-Undang tersebut diamendir dengan Undang-Undang
No. 72 Tahun 1988 yang memformulasi terbentuknya Badan Mediasi.
Dewasa ini telah ada ratusan panel mediasi di Sri Langka dengan
seluruh mediator sudah ribuan jumlahnya. Kedudukan mediasi di Sri
Langka sangatlah penting bahkan wajib diikuti terlebih dahulu sebelum
sebelum perkara di bawa ke pengadilan-pengadilan konvensional
(Suyud Margono, 2000:54).
Jepang, tradisi menyelesaikan perkara di luar badan peradilan
juga sudah sangat membudaya dalam kehidupan hukum
kemasyarakatannya. Jepang sudah lama di kenal Konsiliasi Tokugawa
(Atsukai, Naisai), yang merupakan bentuk konsiliasi tradisionalnya, di
samping badan penyelesaian sengketa dalam arti modern, seperti
Konsiliasi Informal (Jidan), Konsiliasi (Chotel), dan Kompromi
(wakai).
Malaysia, penyelesaian sengketa alternatif juga populer,
khususnya dikalangan bisnis. Sejak tahun 1978, di sana sudah ada the
Kuala Lumpur Regional Center For Arbitration (KLRCA), yang
melaksanakan tugasnya sebagai mediasi dan arbitrase, baik untuk
sengketa domestik maupun sengketa Internasional. Negara ini juga
Asia-Afrika Legal Consultative Committee (AALCC), mempunyai
pusat arbitrase untuk Asia, sedangkan untuk Afrika dipusatkan di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Kairo, dengan menggunakan Uncitral Rules (suatu prosedur arbitrase
yang telah acceptable oleh PBB sejak tahun 1976).
Singapore, terdapat pusat arbitrase yang menangani kasus-kasus
bisnis. Badan arbitrase internasional yaitu Singapore International
Arbitration, yang terbentuk dalam tahun 1990, juga sangat memegang
peranan di kawasan ini dalam menangani sengketa-sengketa bisnis
Internasional.
3) Sejarah Arbitrase di Indonesia
Jalur penyelesaian sengketa secara alternatif diluar pengadilan
sesungguhnya sangat mungkin terjadi di masyarakat Indonesia, dan
sejak dahulu budaya ini telah ada dalam masyarakat Indonesia,
sengketa-sengketa yang timbul dimasyarakat Indonesia terutama yang
masih kuat memegang nilai kulture adat, jarang sekali dibawa
kepengadilan negara untuk diselesaikan. Mereka lebih suka
membawanya ke lembaga yang tersedia pada masyarakat adat untuk
diselesaikan secara damai. Masyarakat hukum adat, penyelesaian
sengketa biasanya dilakukan dihadapan kepala desa atau hakim adat.
Alasan Kultural bagi eksistensi dan pengembangan ADR (Alternative
Dispute Resolution) di Indonesia tampaknya lebih kuat dibandingkan
dengan alasan tidak efisien proses peradilan dalam menangani sengketa
(Suyud Margono, 2000:38).
Berdasarkan tata peradilan Indonesia sudah lama dikenal sitem
pengadilan alternatif atau peradilan wasit. Arbitrase telah dikenal
sebelum perang Dunia II dan dijalankan dalam praktek, akan tetapi
masih jarang sekali digunakan, disebabkan kecuali karena kurang
pengertian juga karena tidak ada keyakinan tentang manfaatnya.
(Asikin Kusumah Armaja, 1973:61) Pada jaman Hindia Belanda badan
peradilan yang ada saat itu adalah:
a) Golongan Eropa dan mereka yang disamakan kedudukannya
dengan golongan tersebut adalah Raad van Justitie dan
Residentiegerechr sebagai peradilan sehari-hari dengan hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
acara yang digunakan termuat dalam Reglement op de Burgerlijke
Rechtsvordering disingkat B.Rv atau RV.
b) Golongan Bumiputera yang terdiri dari bangsa Indonesia asli dan
mereka yang disamakan kedudukannya adalah Landraad sebagai
pefadilan sehari-hari dan beberapa peradilan lainnya seperti
peradilan kabupaten, peradilan distrik dan sebagainya. Hukum
Acara yang digunakan adalah Herziene Inlandsch Reglement
disingkat H.I.R., sedangkan untuk daerah luar jawa dan madura
adalah Rechtsreglement Buitepgewesten atau R.B.G.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk
golongan bumiputra, baik HIR maupun RBG, tidak mengatur tentang
arbitrese, melalui Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBG, ketentuan-
ketentuan dalam RV berlaku juga untuk golongan bumiputera.
Berdasarkan pada Pasal 377 HIR, 705 RBG tersebut apabila
seorang bumiputera hendak tunduk pada peraturan orang Eropa, maka
ketentuan arbitrase yang terdapat dalam RV Pasal 615 sampai dengan
Pasal 651 juga diberlakukan bagi orang Indonesia. Ketentuan dalam
RV mengenai arbitrase meliputi lima bagian yaitu:
a) Bagian I, Pasal 615 sampai dengan Pasal 623 tentang Persetujuan
Arbitrase dan Pengangkatan Atbiter.
b) Bagian II, Pasal 624 sampai dengan Pasal 630 tentang Pemeriksaan
Perkara di Depan Arbitrase.
c) Bagian III, Pasal 631 sampai dengan Pasal 640 tentang Putusan
Arbitrase.
d) Bagian IV, Pasal 641 sampai dengan Pasal 647 tentang Upaya-
Upaya Hukum terhadap Putusan Arbitrase.
e) Bagian V, Pasal 648 sampai dengan Pasal 651 tentang Berakhirnya
Perkara Arbitrase.
Indonesia merdeka berdasarkan Pasal II peraturan peralihan
Undang-Undang dasar 1945 ketentuan mengenai arbitrase masih
berlaku untuk orang Indonesia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Undang - Undang tentang Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1950
memuat pengakuan bagi institusi arbitrase atau perwasitan yaitu diatur
dalam Pasal 15 dan Pasal 108 sampai dengan Pasal 111, yang mengatur
tentang banding terhadap putusan arbitrase kepada Mahkamah Agung
(Pasal 15 Juncto Pasal 108) dengan ketentuan sengketa tersebut
meliputi nilai f 500,00 (Pasal 615 RV) atau Rp. 25.000,00 atau lebih,
namun setelah dikeluarkannya peraturan tentang Mahkamah Agung
menggantikan Undang - Undang No. 1 Tahun 1950, yaitu Undang -
Undang No. 13 Tahun 1965 kemudian diganti dengan Undang-Undang
No. 14 Tahun 1985 tidak terdapat lagi ketentuan-ketentuan mengenai
arbitrase.
Undang-Undang Pokok Kekuasaan kehakiman No. 14 Tahun
1970 Pasal 10 membagi kekuasaan kehakiman dilakukan oleh :
a) Peradilan Umum.
b) Peradilan Agama.
c) Peradilan Militer.
d) Peradilan Tata Usaha Negara.
Ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun
1970 tersebut bahwa semua peradilan di seluruh wilayah Republik
Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan Undang-
Undang.
Eksistensi arbitrase tidak disebutkan secara eksplisit dalam
Undang-Undang sebagai salah satu lembaga peradilan di Indonesia,
namun dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 14 tahun
1970 disebutkan bahwa penyelesaian perkara diluar pengadilan atas
dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, tetapi
putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah
memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi (executoir) dari
pengadilan.
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 kini telah diubah dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pada tanggal 3 Desember 1997 atas prakarsa Kamar Dagang dan
Industri (KADIN), Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) berdiri
sebagai lembaga penyelesaian sengketa bisnis diluar badan peradilan
konvensional yang ada di Indonesia dengan anggaran dasar yang baru
dibuat tahun 1985, yang tugasnya menyelesaikan sengketa ataupun
sekedar memberikan pendapat yang mengikat (binding advice) untuk
sengketa yang bersifat nasional maupun internasional. Sejak itu
penyelesaian sengketa melalui arbitrase terus berkembang pesat. Badan
Arbitrase Muamalah Indonesia (BAMUI) dibentuk sebagai arbitrase
kusus yang dibentuk dalam rangka penyelesaian sengketa kusus di
bidang bisnis yang berdasarkan syariat Islam juga turut
menyemarakkan perkembangan arbitrase di Indonesia (Munir Fuadi,
2000:57).
Sejalan dengan berkembangnya arbitrase dalam praktek peradilan
Indonesia sebagai alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang timbul
dari suatu kontrak kebutuhan akan pengaturan mengenai masalah
hukum arbitrase ini pun terus mendesak karena dirasa ketentuan yang
ada sudah tidak memadai lagi, hingga pada tanggal 12 Agustus 1999
pemerintah mengesahkan Undang-Undang Republik indonesia Nomor
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang Arbitrase yang telah dikeluarkan maka ketentuan
mengenai arbitrase yang sebelumnya diatur dalam Pasal 615 sampai
dengan Pasal 651 Reglemen Acara perdata (Reglement op de
Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen
Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement,
Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk daerah Luar
Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927
:227), dinyatakan tidak berlaku, hal ini sebagaimana di ungkapkan
dalam Pasal 81 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tersebut diatas.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
c. Badan Arbitrase Asing
Nama-nama badan Arbitrase Asing yang terkenal dan sering
digunakan untuk menyelesaikan sengketa bisnis Intemasional, sebagai
berikut (Munir Fuadi, 2000:62):
1) International Chamber of Commerce (ICC) didirikan pada tahun 1923.
2) American Arbitration Association (AAA) didirikan pada tahun 1926.
3) American Society of Maritimes Arbitration (SMA).
4) London Court of International Arbitration (LCIA) didirikan pada tahun
1892.
5) Centre For Dispute Resolution (CEDR) di London, didirikan pada
tahun 1990.
6) Australian Centre for International Commercial Arbitration
(ACICA) di Australia.
7) Singapore international Arbitration Centre (SIAC) yang didirikan pada
tahun 1991.
8) Regional Centre for Arbitration di Kuala Lumpur, yang didirikan pada
tahun 1978.
9) Regional Centre for Arbitration di Kairo, atau yang disebut dengan
Asian-African Legal Consultative Committee.
10) British Columbia International Commercial Arbitration Centre, yang
didirikan pada tahun 1986.
11) London Maritime Arbitrators Association (LMAA).
12) Hong Kong International Arbitration Centre di Hongkong, yang
didirikan pada tahun 1985.
13) China international Economic and Trade Arbitration Commission
(CIETAC).
14) Koren Commercial Arbitration Board (KCAB).
15) Thai Arbitration Board.
16) Japan Commercial Arbitration Association (JCAA).
17) Vietnam International Arbitration Centre (VIAC).
18) The Arbitration Institute, Stockholm.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
19) The International Centre for the Settlement of Investment Disputes
(ICSID).
20) Netherlands Arbitration Institute.
21) Interamerican Commission on Commercial Arbitration.
22) The International commercial Arbitration Court (ICAC) di Rusia.
23) The Maritime Arbitration Commission (MAC) di Rusia.
24) The Arbitration (Tretejskyi) Court for settlement of economic
Disputes di Rusia.
d. Prosedur Penggunaan Arbitrase
Menyadari besarnya kemungkinan terjadinya sengketa dalam
pelaksanaan kotrak bisnis internasional para pihak biasanya membuat
klausul atau kontrak arbitrase dalam perjanjian atau kontrak bisnis yang
dilakukan. Pemilihan arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa
oleh para pihak dapat dilakukan sebelum (pactum de
Compromitendo) atau setelah terjadinya sengketa (akta kompromis).
1) Pactum De Compromitendo
Istilah tersebut ditujukan kepada kesepakatan pemilihan arbitrase di
antara para pihak yang dilakukan “sebelum” tejadinya perselisihan.
Pasal 7 Undang-Undang Arbitrase mengisyaratkan sebagai berikut:
“Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang
akan terjadi antar mereka untuk diselesaikan melaui arbitrase”.
Pemilihan arbitrase sebelum terjadinya sengketa dilakukan dalam
bentuk perjanjian, sehingga ketentuan hukum kontrak yang berlaku.
Ketentuan hukum kontrak tersebut bersumber dari Buku ke Tiga Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, oleh karena itu pula para pihak bebas
untuk memilih apakah merumuskan klausul arbitrase terpisah dalam
kontrak tersendiri untuk itu, atau ditempatkan menjadi bagian dari
kontrak yang merupakan transaksi pokok, sebagaimana lazimnya dalam
praktek. (Munir Fuady, 2000: 118).
Prinsip kontrak arbitrase merupakan suatu kontrak buntutan
(accesoir), tetapi ada beberapa sifat yang menyebabkan sitafnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
sebagai accessoir tersebut tidak diikuti secara penuh yaitu, jika
perjanjian pokok batal maka kontrak arbitrase tidak menjadi batal
(Pasal 10 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase).
2) Akta kompromis
Istilah kata kompromis digunakan untuk mendefinisikan
kesepakatan penyelesaian sengketa lewat arbitrase. Kesepakatan ini
dilakukan setelah adanya sengketa tersebut.
Pembuatan akta kompromis mempunyai syarat-syarat yang
cukup ketat yang apabila tidak dipenuhinya salah satu syarat maka
dapat membatalkan perjanjian atau akta tersebut dengan muatan
syarat sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Arbitrase
Indonesia No. 30 Tahun 1999 Pasal 9, yaitu :
a) Harus dibuat dalam bentuk tertulis.
b) Perjanjian tertulis tersebut harus ditandatangani oleh para pihak.
c) Jika para pihak tidak dapat menandatanganinya, harus dibuat dalam
bentuk akta notaris.
d) Muatan wajib dari akta tertulis tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Nama lengkap pihak yang bersengketa.
(2) Tempat tinggal para pihak.
(3) Nama lengkap arbiter atau majelis arbitrase.
(4) Tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase.
(5) Tempat arbiter atau majelis arbitrase yang akan mengambil
keputusan.
(6) Nama lengkap sekreatris.
(7) Jangka waktu penyelesaian sengketa.
(8) Pernyataan kesediaan dari arbiter.
(9) Pernyataan kesediaan dari para pihak yang bersengketa untuk
menanggung biaya arbitrase.
Pembuatan kontrak arbitrase baik yang berdiri sendiri atau bersama
perjanjian pokok, maka perumusan arbitration clause harus dirumuskan
secara jelas. Perumusan arbitration clause sebagaimana dimaksud harus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
memenuhi beberapa ketentuan standar. Perumusan arbitration clause yang
salah dapat menimbulkan akibat yang fatal, faktor kehati-hatian dalam
merumuskan klausul tersebut harus sangat diperhatikan agar pihak-pihak
tidak ada yang merasa dirugikan nantinya. Menurut Sudargo Gautama,
praktek-praktek dibanyak negara kususnya dinegara berkembang seperti
Indonesia, justru sering dibodohi (Sudargo Gautama, 1989 : 151).
Beberapa Lembaga arbitrase telah menentukan tentang klausula
standar yang dapat digunakan oleh para pihak yang tentu saja dalam
prakteknya klausula standar tersebut dapat dimodifikasi menurut keinginan
para pihak, sehingga terjadi karena klausula standar yang dirumuskan
belum tentu dapat mengkover semua persyaratan yang dapat memenuhi
keinginan para pihak (Huala Adolf, 2003 :21) dalam perumusan kontrak
arbitrase. Model yang paling sederhana adalah : Any dispute arising out of
this agreement shall be settle by arbitration. (Setiap sengketa yang terbit
dari perjanjian ini harus diselesaikan oleh arbitrase).
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) merekomendasikan
model klausul arbitrase sebagai berikut:
“Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan diselesaikan dan diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut peraturan-peraturan BANI, yang keputusannya mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam tingkat pertama dan terakhir” (Huala Adolf, 2003: 23).
United Nation Commission for International Trade Law
(UNCITRAL) memberikan model klausula arbitrase sebagai berikut:
“Any dispute, controversyor claim arising out of or relating to the contract, or the breach, termination or invalidity thereof, shall be settled by arbitration in accordance with the UNCITRAL Arbitration Rules as Present in force” (Munir Fuadi, 2000: 123-124).
Selanjutnya para pihak dapat mempertimbangkan untuk menambah
sebagai berikut :
(a) The appointing authority shall be .....
(b) The number of arbitration shall be.....
(c) The place of arbitration shall be ....
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
(d) The language (s) to be used in arbitral proceeding shall be .....
Model International Chamber of Commerce (ICC):
“Any dispute arising in connection the present contract shall be finally settled under the Rules of Conciliation and Arbitration of the International Chamber of Commerce by one or more arbitrators appointed in accordace with the said Rules” (Huala adolf, 2003:22).
London Court of Arbitration menyarankan klausula sebagai berikut :
a) Untuk kemungkinan sengketa yang akan datang.
(1) Klausula Arbitrase
“Any dispute arising out of or in connection with this contact,
including any question regarding its existence, validity or
termination, shall be referred to and finally resolved by
arbitration under the Rules of the London Court of
International Arbitration, which Rules are deemed to be
incorporeted by reference into this clause “.
(2) Pengaturan hukum subtantif yang mengatur persengketaan “ The
governing law of this contract shall be the substantive law of.....”
(3) Pengaturan tata cara pemilihan arbiter
“The tribunal shall consist of......(satu atau tiga arbiter)”. Jika
yang dipilih tiga arbiter, maka LC1A menyarankan agar
ditambah kata-kata sebagi berikut :
“... two of them shall be nominated by the respective parties “.
(4) Pengaturan tempet arbirrase dan bahasa yang digunakan.
“The place of arbitration shall be.... (nama kota). The language
of the arbitration shall be... “
b) Sengketa yang sudah terjadi “Any dispute having arisen between the
parties concerni, the parties hereby agree that the matter shall referred
to and finally be resolved under the Rules of the London Court of
International Arbitration”.
Klausula arbitrase yang telah termuat dalam kontrak arbitrase
baik yang dibuat bersama perjanjian pokok atau di luar perjanjian
pokok, merupakan dasar yang kuat yang dapat digunakan oleh para
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
pihak untuk mengajukan permohonan penggunaan arbitrase bila terjadi
persengketaan.
Penggunaan arbitrase dalam usaha penyelesaian sengketanya
harus mengikuti prosedur sebagaimana yang diatur dalam Rules dari
lembaga arbitrase yang dipilih.
Klausul tersebut menjadikan suatu kompetensi absolut bagi
arbitrase untuk menyelesaikan kemungkinan sengketa yang timbul dari
kontrak bisnis yang dibangun para pihak. Karena kontrak yang
dibangun oleh kedua belah pihak merupakan Undang-Undang bagi para
Pihak yang telah membuatnya.
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 mengatur tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 11 yaitu:
Ayat satu : “adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjian ke Pengadilan Negeri”. Ayat dua: “Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini”.
e. Prinsip-Prinsip Arbitrase
Menurut Munir Fuady agar dapat menjadi badan penyelesaaian
sengketa yang ampuh, arbitrase seharusnya menganut beberapa prinsip
sebagai berikut (Munir Fuady, 2000:79):
1) Efisien, dalam hubungannya dengan waktu dan biaya jika
dibandingkan dengan penyelesaiaan sengketa lewat badan-badan
peradilan umum.
2) Accessibilitas, arbitrase harus terjangkau dalam arti biaya, waktu dan
tempat.
3) Proteksi hak para pihak, terutama pihak yang tidak mampu misalnya
untuk mendatangkan saksi ahli atau untuk menyewa pengacara
terkenal, harus dapat perlindungan yang wajar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
4) Final and Binding, kepurusan arbitrase haruslahatau inaatau and
binding kecuali memang para pihak tidak menghendaki demikian atau
jika ada alasan-alasan yang berhubungan dengan “due Process”.
5) Fair and Just, tepat dan adil untuk pihak bersengketa, sifat sengketa
dan sebagainya.
6) Sesuai dengan sence of justice dari masyarakat, dengan demikian akan
lebih terjamin unsur “deterrant” dari pelanggar, dan sengketa akan
dapat dicegah.
7) Credibilitas, para arbiter dan badan arbitrase yang bersangkutan
haruslah orang-orang yang diakui kredibilitasnya, sehingga keputus dan
akan lebih dihornmati.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
B. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran menggambarkan logika hukum untuk menjawab
permasalahan penelitian. Guna mempermudah gambaran dari penelitian ini dapat
dilihat dari kerangka pemikiran sebagai berikut.
Bagan I Kerangka Pemikiran
Keterangan:
Transaksi bisnis internasional e-commerce di Indonesia pelaksanaanya
diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1999 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronil dimana peraturan tersebut mengadopsi prinsip-prinsip
penyelasaian sengketa transaksi bisnis internasional yang sudah ada. Dalam
Transaksi bisnis internasional e-commerce
Arbitrase internasional
Putusan arbitrase internasional
Eksekusi putusan arbitrase asing di
Indonesia
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam
pengaturan penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-commerce
di Indonesia
Penjual Pembeli
Sengketa bisnis internasional e-commerce
Pilihan hukum yang dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa
bisnis internasional e-commerce melalui
arbitrase
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
pelaksanaan transaksi bisnis internasional e-commerce tidak selalu berjalan
dengan baik sesuai dengan kehendak para pihak yang akhirnya menimbulkan
sengketa , hal ini disebabkan tidak bertemunya antara penjual dan pembeli secara
fisik, tempat kediaman para pihak saling berjauhan dan sistem hukum yang
berbeda antara para pihak. Kondisi seperti ini tentunya menimbulkan berbagai
permasalahan yang memerlukan penyelesaian yang tepat.
Pengadilan yang mempunyai banyak kelemahan, membuat para pihak
enggan untuk menempuh jalur pengadilan, sehinggga penyelesaian sengketa
alternatif melalui arbitrase menjadi pilihan utama, mengingat proses penyelesaian
melibatkan para ahli dibidangnya sehingga dapat mempercepat tercapainya suatu
penyelesaian yang adil. Mekanisme penyelesaian sengketa alternatif pun
menyediakan penyelesaian yang murah, rahasia, serta dapat dipercaya.
Penggunaan arbitrase sebagai lembaga alternatife penyelesaian sengketa
juga membutuhkan cara menentukan pilihan hukum yang dpat digunakan dalam
penyelesaian sengketa transaksi bisnis ecommerce sehingga lembaga yang
digunakan mempunyai kompetensi dalam menyelesaikan sengketa yang ada.
Penyelesain sengketa transaksi bisnis e-commerce menggunakan arbitrase
asing menghasilkan putusan dan eksekusinya diserahkan kepada pengaturan
masing-masing negara, begitu juga dengan Negara Indonesia yang eksekusinya
diatur dalam peraturan nasional.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Dasar Pengaturan yang digunakan dalam Penyelesaian Sengketa
Transaksi Bisnis Internasional E-commerce di Indonesia
Transaksi-transaksi atau hubungan bisnis yang menggunakan e-commerce
ini pada dasarnya bermacam-macam seperti hubungan jual-beli barang,
pengiriman dan penerimaan barang, produksi barang dan jasa berdasarkan suatu
kontrak, dan lain-lain. Transaksi tersebut sarat dengan potensi melahirkan konflik
atau sengketa. Berkaitan dengan sengketa dan bagaimana cara menyelesaikannya
adalah inheren dalam setiap sistem hukum, termasuk dalam sistem hukum
Internasional, perbedaan pendapat dan bagaimana para subyek hukum mengatasi
perbedaan-perbedaan pendapat ini untuk sampai pada suatu penyelesaian yang
dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa, baik secara sukarela
maupun karena dirasakan sebagai kewajiban sebagai anggota masyarakat yang
diatur sistem hukum yang bersangkutan, akan memperkuat dan memperkaya sis-
tem hukum yang bersangkutan secara normatif maupun dalam implementasinya
sebagaimana yang dikemukakan oleh Shabtai Rosenne bahwa “Dispute and
controversy are the life blood of international law (as of all law) without which
international law would degenerate simply into an abstraction, unrelated to what
is happening in the world,”yaitu perselisihan dan kontroversi adalah nyawa dari
hukum internasional (sebagai hukum semua) tanpa yang hukum internasional
akan menurun hanya sebuah abstraksi, tidak berhubungan dengan apa yang
sedang terjadi di dunia (http//:mkn.perdagangan internasional.blog.com: diakses
tanggal 15 Agustus 2010).
Salah satu fungsi dari penyelesaian sengketa dalam transaksi bisnis yang
menggunakan e-commerce adalah agar norma-norma hukum yang mengatur
hubungan di antara anggota masyarakat dipatuhi, dengan perkataan lain di
dalamnya terkandung fungsi pengawasan, dalam masyarakat nasional pengawasan
ini dipercayakan kepada suatu lembaga yaitu negara, sedangkan dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
masyarakat internasional yang tidak terdapat atau mempunyai kekuatan sentral
maka pengawasan ini diserahkan kepada para anggotanya sendiri. Transaksi bisnis
internasional yang menggunakan e-commerce salah satu institusi yang terkait
dengan pengawasan terhadap kepastian atau pengesahan terhadap identitas dari
seseorang atau pelanggan adalah apa yang disebut dengan Certification Authority
(CA), C.A. berkedudukan sebagai pihak ketiga yang dipercaya untuk memberikan
kepastian atau pengesahan terhadap identitas dari seseorangatau pelanggan (klien
C.A. tersebut), selain itu C.A. juga mengesahkan pasangan kunci publik dan kunci
privat milik orang tersebut. Proses sertifikasi untuk mendapatkan pengesahan dari
C.A. dapat dibagi menjadi 3 (tiga) tahap:
1. Pelanggan atau subscriber membuat sendiri pasangan kunci privat dan kunci
publiknya dengan menggunakan software yang ada di dalam komputernya.
2. Menunjukkan bukti-bukti identitas dirinya sesuai dengan yang disyaratkan
C.A.
3. Membuktikan bahwa dia mempunyai kunci privat yang dapat dipasangkan
dengan kunci publik tanpa harus memperlihatkan kunci privatnya.
Tahapan-tahapan tersebut tidak mutlak harus seperti di atas, akan tetapi
tergantung pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh C.A. itu sendiri.
Hal ini berkaitan dengan level atau tingkatan dari sertifikat yang diterbitkannya
dan level atau tingkatan ini berkaitan juga dengan besarnya kewenangan yang
diperoleh pelanggan atau “subscriber” berdasarkan sertifikat yang didapatkannya.
Semakin besar kewenangannya yang diperoleh dari suatu Digital Certificate yang
diterbitkan oleh C.A., semakin tinggi pula level sertifikat yang diperoleh serta
semakin ketat pula persyaratan yang ditetapkan oleh C.A.. Sebagai contoh, untuk
mendapatkan suatu sertifikat yang mempunyai level kewenangan yang cukup
tinggi, terkadang C.A. bahkan memerlukan kehadiran secara fisik si “subscriber”
sehingga C.A. dapat memperoleh kepastian pihak yang akan memperoleh
sertifikat tersebut, setelah persyaratan-persyaratan tersebut diuji keabsahannya
maka C.A. menerbitkan sertifikat pengesahan (dapat berbentuk hard-copy
maupun soft-copy).“Subscriber” telah diumumkan secara luas sebelumnya,
terlebih dahulu mempunyai hak untuk melihat apakah informasi-informasi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
ada pada sertifikat tersebut telah sesuai atau belum. Jika informasi-informasi
tersebut telah sesuai, maka subscriber berdapat mengumumkan sertifikat tersebut
secara luas atau tindakan tersebut dapat diwakilkan kepada C.A. atau suatu badan
lain yang berwenang untuk itu (suatu lembaga notariat). Selain untuk memenuhi
sifat integrity dan authenticity dari sertifikat tersebut, C.A. akan membubuhkan
digital signature miliknya pada sertifikat tersebut.
Informasi-informasi yang terdapat di dalam sertifikat tersebut di antaranya
dapat berupa :
1. Identitas C.A. yang menerbitkannya.
2. Pemegang atau pemilikatau subscriber dari sertifikat tersebut.
3. Batas waktu keberlakuan sertifikat tersebut.
4. Kunci publik dari pemilik sertifikat.
Setelah sertifikat tersebut diumumkan maka pihak-pihak lain dapat
melakukan transaksi, transfer pesan dan berbagai kegiatan dengan media internet
secara aman dengan pihak pemilik sertifikat. Fungsi-fungsi C.A yang telah kita
bicarakan di atas dapat kita golongkan sebagai berikut :
1. Mernbentuk hierarki bagi penandatanganan digital.
2. Mengumumkan peraturan-peraturan mengenai penerbitan sertifikat.
3. Menerima dan memeriksa pendaftaran yang diajukan.
Berkaitan dengan konteks transaksi bisnis internasional yang menggunakan
e-commerce dalam fungsi pengawasan internasional ada baiknya kita lihat
pendapat Van Hoof sebagaimana dikutip dalam buku Diana Anastasya yang
membagi pengawasan internasional ini menjadi tiga fungsi (Diana Anastasya,
2001:36):
1. Review Function : pada umumnya “review” diartikan sebagai mengukur atau
menilai sesuatu berdasarkan tolak ukur tertentu, dalam konteks hukum hal ini
berarti menilai sesuatu perilaku untuk menentukan kesesuaiannya dengan
aturan hukum, review function dalam hubungannya dengan negara
dilaksanakan apabila perilaku suatu negara dinilai menurut hukum
internasional oleh suatu lembaga pengawasan yang mempunyai status
internasional, pengawasan ini dilakukan oleh suatu negara atau lebih atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
oleh suatu lembaga yang dibentuk menurut perjanjian internasional. Hasil
dari pengawasan ini adalah suatu keputusan tentang sesuai tidaknya tindakan
dengan hukum.
2. Correction Function: fungsi ini dilaksanakan manakala telah timbul suatu
keadaan yang bertentangan dengan hukum internasional, namun demikian
fungsi ini dapat pula bersifat preventif, misalnya dalam transaksi bisnis
internasional yang menggunakan e-commerce, CA dapat memberitahukan
apabila ternyata identitas dari seseorang atau pelanggan (klien C.A. tersebut)
ternyata tidak valid atau tidak benar. Tujuan dari correction function ini
adalah untuk menjamin dan memastikan kepatuhan terhadap aturan-aturan
hukum para pihak, oleh karena itu terhadap pelanggarnya harus diperbaiki
atau dikoreksi.
3. Creative Function: sekalipun review dan creative function merupakan bagian
pokok dari pengawasan, namun pengawasan ini juga dapat berfungsi kreatif,
terutama dalam hukum internasional, hal ini disebabkan karena tidak adanya
semacam lembaga eksekutif dan judikatif, tindakan-tindakan legislatif
seringkali abstrak dan tidak jelas, oleh karena itu usaha untuk memperjelas
norma-norma hukum internasional ini khususnya berkaitan dengan transaksi
bisnis yang menggunakan e-commerce merupakan bagian dari fungsi
pengawasan yaitu fungsi kreatif, jadi fungsi kreatif ini berupa penafsiran atas
aturan-aturan hukum internasional yang belum jelas.
Dalam kerangka teoritis tersebut di atas maka mekanisme penyelesaian
sengketa internasional, (khususnya transaksi bisnis yang menggunakan e-
commerce) merupakan salah satu bentuk dari mekanisme pengawasan dalam
hukum internasional.
Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional yang
menggunakan e-commerce dan pengaturanya hukumnya di Indonesia dapat di
tunjukan dalam Tabel 1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Tabel 1. Prinsip-prinsip penyelesaian sengketa bisnis internasional yang
menggunakan e-commerce dan pengaturan hukumnya di Indonesia
No Prinsip-prinsip yang Digunakan dalam
Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional e-commerce
Pengaturan dalam Hukum Indonesia
1 Prinsip kesepakatan para pihak (Konsensus)
UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 4 ayat (1)
2 Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 18 ayat (4)
3 Prinsip kebebasan memilih hukum
a. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 18 ayat (2)
b. UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 56 ayat (2)
4 Prinsip itikad baik (good faith) KUH Perdata Pasal 1338 ayat (3)
5 Prinsip Exhaustion of Local Remedies
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 2
Penjelasan berdasarkan Tabel 1 dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Prinsip Kesepakatan Para Pihak (Konsensus)
Prinsip kesepakatan para pihak ini merupakan prinsip fundamental dalam
penyelesaian sengketa bisnis internasional termasuk transaksi bisnis yang
menggunakan e-commerce, karena prinsip ini yang merupakan dasar untuk
dilaksanakan atau tidaknya suatu proses penyelesaian sengketa yang terjadi
antara kedua belah pihak. Prinsip ini pula dapat menjadi dasar apakah suatu
proses penyelesaian sengketa yang sudah berlangsung diakhiri atau tidak,
jadi prinsip ini sangat esensial dan logis karena dalam suatu sengketa setidak-
tidaknya ada kehendak para pihak yang saling berseberangan atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
bertentangan dan tentu saja kesepakatan para pihak untuk memilih cara-cara
penyelesaian sengketa tersebut adalah sangat penting, badan-badan peradilan
(termasuk arbitrase) harus menghormati apa yang telah menjadi kesepakatan
para pihak ini. Lingkup pengertian kesepakatan ini adalah sebagai berikut
(Huala Adolf, 2003).
a. Bahwa salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya melakukan
tindakan yang mengarah kepada penipuan, menekan atau berupaya
menyesatkan pihak lainnya.
b. Bahwa perubahan atas kesepakatan harus berasal dari kesepakatan para
pihak, artinya pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan
kesepakatan harus pula didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.
Prinsip diatas termuat dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatife Penyelesaian Sengketa yaitu: ”
Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan
diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang,
maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan
kewajiban para pihak jika hal ini diatur dalam perjanjian mereka”. Dari Pasal
tersebut menjelaskan bahwa dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase
merupakan hasil kesepakatan para pihak sehinngga para pihak harus
mengikuti prosedur yang telah ditentukan.
2. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa
Prinsip ini mengandung makna di mana para pihak memiliki kebebasan
penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana
sengketanya diselesaikan (Principle of free choice of means). Prinsip ini
termuat dalam Pasal 7 The UNCITRAL Model Law on International
commercial Arbitration, Pasal ini memuat mengenai definisi perjanjian
arbitrase, yaitu perjanjian menyerahkan sengketa kepada arbitrase merupakan
kesepakatan atau perjanjian para pihak, artinya penyerahan suatu sengketa ke
badan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk
memilihnya. Bahwasanya para pihak dalam hal terjadinya sengketa antara
mereka mempunyai kebebasan penuh untuk memilih cara-cara apa yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
mereka gunakan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi tersebut (Huala
Adolf, 2003:74).
Kebebasan memilih cara penyelesaian sengketa di Indonesia juga diatur
dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dalam Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi: ”Para pihak memiliki
kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga
penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani
sengketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik internasional yang
dibuatnya”. Isi Pasal tersebut menjelaskan bahwa para pihak dalam transaksi
e-commerce apabila terjadi sengketa diantara mereka mempunyai kebebasan
memilih cara penyelesaian sengketa.
3. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum
Prinsip kebebasan memilih hukum ini juga merupakan salah satu prinsip
penting dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional yang
menggunakan e-commerce. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum
ini termasuk juga kebebasan untuk memilih kepatutan atau kelayakan
(exaequo etbono).
Prinsip ini adalah sumber di mana pengadilan akan memutuskan sengketa
berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan atas suatu
penyelesaian sengketa, contoh kebebasan memilih ini yang harus dihormati
oleh badan peradilan adalah Pasal 28 ayat (1) UNCTTRAL Model Law on
International Commercial Arbitration adalah sebagai berikut :
“The arbitral tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of law as are chosen by the parties as applicable to the substance of the dispute, Any designation of the law or legal system of a given state shall be construed, unless otherwise expressed, as directly referring to the substantive law of that state and not to its conflict of law rules” Kebebasan dalam memilih hukum ini (Lex Cause) sudah barang tentu
ada batas-batasnya, hal yang paling umum dikenal balk dalam sistem hukum
Common Law maupun Civil Law adalah bahwa kebebasan memilih hukum
tersebut harus (Huala Adolf, 2003:76):
a. Tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau ketertiban umum;
b. Kebebasan tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
c. Hanya berlaku untuk hubungan bisnis (kontrak);
d. Hanya berlaku dalam bidang hukum bisnis (dagang);
e. Tidak berlaku untuk menyelesaikan sengketa tanah; dan
f. Tidak untuk menyeludupkan hukum.
Hukum Indonesia sendiri mengatur prinsip kebebasan memilih hukum
yang digunakan dalam penyelesaian e-commerce juga diatur dalam Undang-
Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Traksaksi Informasi
Elektronik dalam Pasal 18 ayat (2) yaitu: ”Para pihak memiliki kewenangan
untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional
yang dibuaatnya”, dan diatur juga dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 56 ayat (2)
yaitu: “Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku
terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para
pihak”, hal tersebut tentunya tidak bertentantangan dengan peraturan Undang-
Undangan yang berlaku dan ketertiban umum.
4. Prinsip itikad baik (Good Faith)
Prinsip itikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan
paling sentral dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini mensyaratkan dan
mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan
sengketanya. Prinsip penyelesaian sengketa ini tercermin dalam dua tahap.
Pertama, prinsip itikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa
yang dapat mempengaruhi hubungan baik di antara negara. Kedua, prinsip ini
disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan sengketa yang dikenal
dalam hukum bisnis internasional, yaitu: negosiasi, mediasi, konsiliasi,
arbitrase, pengadilan atau cara-cara pilihan para pihak lainnya.
Itikad baik ini menjadi salah satu prinsip penting dalam penyelesaian
sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce,
namun prinsip itikad baik ini masih menimbulkan permasalahan berkaitan
dengan keabstrakkan makna dari itikad baik tersebut, sehingga timbul
pengertian itikad baik yang berbeda-beda baik dari perspektif waktu, tempat,
dan orangnya. Selain tidak ada makna tunggal dari itikad baik ini, dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
praktek timbul pula permasalahan mengenai tolak ukur, dan fungsi itikad baik
tersebut, akibatnya makna dan tolak ukur serta fungsi itikad baik lebih banyak
disandarkan pada sikap atau pandangan hakim yang ditentukan secara
kasuistis, sehingga hal ini akan mengakibatkan di mana prinsip itikad baik ini
diterima maka di situ pula akan terjadi perbedaan pendapat dalam
mengartikan itikad baik tersebut, memang dalam kenyataannya sangat sulit
untuk mendefinisikan itikad baik ini, bahkan E. Allan Farnsworth dalam buku
Ridwan Khairandy, mencatat bahwa di Inggris doktrin itikad baik masih
merupakan sesuatu yang kontroversial, karena pengadilan belum mampu
menemukan makna itikad baik yang kongkrit dalam konteks hukum kontrak,
tanpa makna itikad baik yang jelas, doktrin itikad baik dapat menjadi suatu
ancaman bagi kesucian prinsip kepastian dan prediktabilitas hukum. E. Allan
Farnsworth juga menyatakan bahwa di Amerika Serikat banyak sekali
pandangan yang mencoba memberikan pengertian itikad baik. Akibat
ketidakjelasan tersebut, penerapan itikad baik seringkali lebih banyak
didasarkan pada institusi pengadilan yang mana hasilnya seringkali tidak
dapat diprediksi dan tidak konsisten ( Ridwan Khairandy, 2007:31).
Frase itikad baik ini biasanya dipasangkan dengan fair dealing, itikad
baik tersebut juga seringkali dihubungkan dengan makna fairness, reasonable
standard of fair dealing, decency, reason ableness, a common ethical sense, a
spirit of solidarity, and community standards. Mengingat itikad baik dalam
penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-
commerce merupakan suatu prinsip atau asas yang berasal dari hukum
romawi, maka untuk mendapat pemahaman yang lebih baik harus dilacak
kedalam doktrin itikad baik yang berkembang dalam hukum romawi tersebut,
doktrin tersebut bermula dari doktrin ex bona fides, perkembangan itikad baik
dalam hukum kontrak romawi tidak lepas dari evolusi hukum kontrak itu
sendiri, pada mulanya hukum kontrak romawi hanya mengenai iudicia strcti
iuris, yakni suatu kontrak yang lahir dari perbuatan menurut hukum
(negotium) yang secara ketat dan formal mengacu kepada lus civile. Apabila
hakim menghadapi hukum kontrak yang semacam itu, maka hakim harus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
memutusnya sesuai hukum, hakim terikat apa yang secara tegas telah
dinyatakan dalam kontrak (express term), berikutnya berkembang pula
iudicia bonae fidie, perbuatan hukum yang didasarkan iudicia bonae fidie
disebut negotia bonae fidie, negotia berasal dari ius gentium yang
mensyaratkan pihak untuk membuat dan melaksanakan kontrak sesuai dengan
itikad baik, dengan demikian hukum kontrak Romawi mengenai dua macam
kontrak, yakni iudicia strictiuris dan iudicia bonae fidie (Huala Adolf,
2003:78).
Doktrin itikad baik di atas berkembang seiring dengan mulai diakuinya
kontrak konsensual informal yang pada mulanya hanya meliputi kontrak jual-
beli, sewa-menyewa, persekutuan perdata, dan mandat. Doktrin itikad baik
berakar pada etika sosial romawi mengenai kewajiban yang komprehensif
akan ketaatan dan keimanan yang berlaku bagi warga negara maupun bukan.
Itikad baik dalam kontrak romawi mengacu kepada tiga bentuk perilaku
dalam kontrak, sebagaimana yang dikemukakan oleh dalam buku Ridwan
Khairandy. Itikad baik dalam trak, yaitu (Ridwan Khairandy, 2007:44) :
a. Para pihak harus memegang teguh janji atau perkataan yang telah
diucapkannya,
b. Para pihak tidak boleh mengambil keuntungan dengan tindakan yang
menyesatkan terhadap salah satu pihak,
c. Para pihak mematuhi kewajibannya dan berperilaku sebagai orang
terhormat dan jujur, walaupun kewajiban tersebut tidak secara tegas
diperjanjikan.
Prinsip itikad baik diatas juga tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik”. Dalam hukum perjanjian itikad baik memiliki tiga fungsi, itikad baik
dalam fungsinya yang pertama, mengajarkan bahwa seluruh kontrak harus
ditafsirkan dengan itikad baik, fungsi kedua adalah fungsi menambah, fungsi
ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
5. Prinsip Exhaustion of Local Remedies
Prinsip exhaustion of local remedies ini sebenarnya semula lahir dari
prinsip hukum kebiasaan internasional, dalam upayanya merumuskan
pengaturan mengenai prinsip ini, Komisi Hukum Internasional PBB
(International Law Commission) memuat aturan khusus mengenai prinsip ini
dalam Pasal 22 dinyatakan sebagai berikut :
“When the conduct of state as created a situation not in conformity with the result of it by an international obligation concerning the treatment too be accorded to aliens, whether natural or juridical persons, but the obligation allows that this or an equivalent result may nevertheless be achtived by subsequent conduct of the state, there is a breach of the obligation only if the aliens concerned have exhausted the effective local remedies available to them without obtaining the treatment called for by the obligation or, where that is not possible, an equivalent treatment”
Prinsip ini menjelaskan bahwa hukum kebiasaan internasional
menetapkan bahwa sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke
pengadilan internasional, langkah-langkah penyelesaian sengketa yang
tersedia atau diberikan oleh nasional suatu negara harus terlebih dahulu
ditempuh.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik Pasal 2 menyebutkan ”Undang‐Undang ini berlaku untuk setiap
Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimanadiatur dalam
Undang‐Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun
di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah
hukum Indonesia dan/atau di luarwilayah hukum Indonesia dan merugikan
kepentingan Indonesia”. Pasal tersebut bertujuan untuk mengakomodir segala
bentuk sengketa supaya dapat diselesaikan menggunakan hukum Nasional
Negara Indonesia sebelum menempuh jalur pengadilan internasional.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
B. Pilihan Hukum yang Berlaku dalam Penyelesaian Sengketa
Transaksi Bisnis E-commerce melalui Arbitrase
Masalah hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis
yang menggunakan e-commerce adalah salah satu masalah krusial dalam hukum
kontrak internasional termasuk dalam hukum perdagangan internasional,
masalahnya adalah hukum yang berlaku ini akan menjadi penentu kepastian
hukum terutama bagi badan peradilan bahwa ia telah menetapkan hukumnya
dengan benar, dalam hal ini badan peradilan tidak mengambil jalan pintas dalam
menetapkan suatu hukum terhadap suatu sengketa yang dibawa kehadapannya.
Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) UU ITE pada dasarnya mengatur berkaitan
dengan hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis
internasional yang menggunakan e-commerce, sebagai berikut: ayat (2) “Para
pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi
elektronik internasional yang dibuatnya”, ayat (3) “dan apabila para pihak tidak
melakukan pilihan hukum dalam transaksi elektronik internasional, hukum yang
berlaku didasarkan pada asas-asas Hukum Perdata Internasiona”l.
Pilihan hukum (choice of law, proper law atau applicable law) suatu
hukum nasional dari suatu negara tertentu berarti bahwa badan peradilan negara
tersebut secara otomatis yang berwenang menyelesaikan sengketanya, dan pada
prinsipnya choice of law ini berbeda dengan choice of forum sebagai peran choice
of law dalam transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-commerce adalah
hukum yang akan digunakan oleh badan peradilan (pengadilan atau arbitrase)
dalam hal :
1. Menentukan keabsahan suatu kontrak dagang (dalam konteks ini khusus
berkaitan dengan sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-
commerce);
2. Menafsirkan suatu kesepakatan-kesepakatan atau persetujuan dalam kontrak
yang dibuat para pihak;
3. Menentukan telah dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya suatu prestasi
yang menjadi objek kontrak tersebut (pelaksanaan suatu kontrak dagang);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
4. Menentukan akibat-akibat hukum dari adanya pelanggaran terhadap kontrak
yang telah disepakati para pihak.
Hukum yang berlaku ini dapat mencangkup beberapa macam hukum,
hukum-hukum tersebut adalah :
1. Hukum yang diterapkan dalam hal terhadap pokok sengketa (applicable
substantive law atau lex causae);
2. Hukum yang akan berlaku untuk proses persidangan yang akan dilaksanakan
dalam penyelesaian perselisihanatau sengketa yang terjadi antara para pihak.
Hukum yang berlaku ini akan sedikit banyak bergantung pada kesepakatan
para pihak, hukum yang akan berlaku tersebut dapat berupa hukum nasional suatu
negara tertentu, biasanya hukum nasional tersebut ada atau terkait dengan
nasionalitas salah satu pihak, cara pemilihan inilah yang lazim ditetapkan dewasa
ini. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak sepakat mengenai salah
satu hukum nasional tersebut, biasanya kemudian mereka akan berupaya mencari
hukum nasional yang relatif lebih netral.
Alternatif lainnya yang memungkinkan dalam hukum perdagangan
internasional adalah menerapkan prinsip-prinsip kepatutan dan kelayakan (ex
aequo et bono) namun demikian penerapan prinsip ini pun harus berdasarkan pada
kesepakatan para pihak. Menurut Gerald Cooke, kebebasan para pihak untuk
menentukan pilihan hukum yang mereka gunakan akan banyak dipengaruhi oleh
sistem hukum nasional yang akan dipilih (baik oleh salah satu pihak maupun oleh
kedua belah pihak), tidak hanya sekedar menentukan hukum suatu negara, tetapi
juga mempertimbangkan apakah hukum di negara tersebut konsisten atau tidak,
artinya apakah hukum di suatu negara tertentu sering berubah-ubah atau tidak.
Dengan tegas Cooke menyatakan sebagai berikut (Gerald Cooke , 2001:22):
“The significance of needing to provide for the 'prover' law is that the
parties will frequently prefer to have their disputes dealt with by a legal
system which is perhaps independent of each of the parties or which is
recognized to have highly sophisticated and consistent trading law”
Arti pentingnya perlu memberikan standar benar kepada para pihak untuk
memilih hukum yang digunakan sebagai penyelesaian perselisihan mereka alami
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
oleh sistem hukum yang mungkin independen dari salah satu pihak atau yang
memiliki sangat canggih dan koheren hukum dagang.
Hukum nasional Indonesia menjelaskan mengenai arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa, yaitu dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
disebutkan bahwa hukum yang akan diberlakukan oleh para pihak diserahkan
sepenuhnya kepada mereka, Pasal 56 ayat 2 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
tersebut menyatakan sebagai berikut: “para pihak berhak menentukan pilihan
hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin telah
timbul antara para pihak”.
Model Arbitration Law 1985 juga mengandung prinsip yang sama dalam
hal hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa ini. Pasal 28 Model Law
menggariskan sebagai berikut :
1. The arbital tribunal shall decide the dispute in accordance with such rules of
law as are chosen by the parties as applicable to, the substance of the dispute,
any designation of the law or legal, system of a given state shall be construed,
unless otherwise expressed, as directly referring to the substantive law of that
state and not to its conflict of law rules.
2. Failing any designation by the parties, the arbital tribunal shall apply the law
determined by the conflict of law rules which it considers applicable.
3. The arbital tribunal shall decide ex aequo ot bono or amiable compositeur
only if the parties expressly authorized to do so.
4. In all cases, the arbital tribunal shall decide in accordance with the terms of
the contract and shall take into account the usages of the trade applicable to
the transaction.
Kedua instrumen hukum di atas menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal
yang cukup penting. Pertama, yang menonjol adalah bahwa kedua instrumen
berbeda dalam hal prioritas pengaturan mengenai hukum yang berlaku terhadap
kontrak, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 menekankan arbiter atau badan
arbitrase harus menyandarkan pada hukum untuk mengambil suatu putusan, Pasal
ini tidak mensyaratkan atau menentukan bahwa hukum yang akan diterapkan
tersebut haruslah pilihan hukum para pihak, sementara itu Model Law dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
tegas menyatakan bahwa badan arbitrase harus menetapkan hukum yang dipilih
para pihak. Kedua, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 membolehkan arbiter
atau badan arbitrase untuk menerapkan ex aequo ot bono (Pasal 56 ayat (1)),
ketentuan yang sama dengan Model Law tercantum dalam Pasal 28 ayat (3),
bedanya adalah Undang-Undang nasional kita tidak dengan tegas menyatakan
bahwa penerapan keadilan dan kepatutan ini hanya akan boleh dilakukan apabila
para pihak dengan tegas memerintahkan hal tersebut. Penjelasan Pasal 56 hanya
menyebutkan “dalam hal arbiter diberi kebebasan” rumusan ini tidak dengan
tegas siapa yang memberi kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan
keadilan dan kepatutan. Ketiga, adalah masalah ketika para pihak tidak memilih
hukum yang akan berlaku terhadap kontrak, dalam hal ini, UU nasional kita dan
Model Law memuat aturan yang berbeda, UU nasional kita tampaknya menganut
jalan pintas. Penjelasan Pasal 56 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 bahwa
apabila para pihak tidak menentukan pilihan hukum, maka arbiter atau badan
arbitrase harus menerapkan hukum tempat arbitrase dilakukan, sementara itu
Model Law menyatakan bahwa apabila para pihak tidak memilih hukum, badan
arbitrase atau arbiter harus mengacu kepada hukum yang ditentukan berdasarkan
aturan-aturan hukum perdata internasional (conflict of law rules) yang dianggap
berlaku oleh arbiter atau badan arbitrase.
Oleh karena sengketa transaksi bisnis internasional yang menggunakan e-
commerce ini menyangkut asas-asas dalam hukum perdata internasional, maka
berarti harus ditinjau dari segi Hukum Perdata Internasional (HPI). Hukum
perdata negara mana dapat diketahui bahwa hukum perdata yang diberlakukan
dalam rangka penyelesaian sengketa mengenai transaksi e-commerce antarnegara,
maka perlu diketahui asas-asas maupun prinsip-prinsip yang diatur di dalam
Hukum Perdata Internasional (HPI). Hukum Perdata Internasional (HPI) memuat
istilah pilihan hukum atau (choice of law), sedangkan S. Gautama menyebutnya
sebagai “Rechtskenze” atau “Rechtswakl”. Pilihan hukum merupakan masalah
sentral dalam Hukum Perdata Internasional. la telah diterima baik di kalangan
akademisi maupun praktek pengadilan. Yansen Derwanto Latif, sebagaimana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
dikutip oleh Ridwan Khairandy menyebutkan bahwa pilihan hukum dihormati
dengan beberapa alasan, yaitu (Ridwan Khairandy, 2007:127) :
1. Pilihan hukum sebagaimana dimaksud para pihak, dianggap sangat
memuaskan oleh mereka yang menganggap kebebasan akhir individu adalah
dasar murni dari hukum. Prinsip ini berlaku dibanyak Negara. Hal ini
merupakan fakta yang menarik karena hal itu terjadi tanpa ada perjanjian
antara pengadilan di berbagai Negara.
2. Pilihan hukum dalam kontrak internasional memberikan kepastian, yakni
memungkinkan para pihak dengan mudah menentukan hukum yang mengatur
kontrak tersebut.
3. Akan memberikan efisiensi, manfaat dan keuntungan. Alasan tersebut
memberikan keuntungan untuk menghindari hukum memaksa yang tidak
efisien, meningkatkan persaingan hukum dan mengurangi ketidakpastian
tentang hukum yang digunakan.
4. Pilihan hukum akan memberikan kepada negara insentif bersaing. Kebebasan
para pihak memilih dan menentukan hukum yang berlaku bagi kontrak yang
mereka buat, yang berarti tidak semata-mata hak mereka untuk menggantikan
atau memindahkan peraturan yang tidak pasti dari
setiap sistem hukum.
Pada dasarnya para pihak bebas untuk menentukan pilihan hukum dengan
mengingat beberapa pembatasan :
1. Tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
2. Pilihan hukum tidak mengenai hukum yang bersifat memaksa.
3. Pilihan hukum diperkenankan berdasarkan asas kebebasan berkontrak.
Kebebasan tersebut bukan tidak ada batasnya tetapi dibatasi oleh ketentuan
ketertiban umum (public policy) dan hukum yang memaksa (dwingen recht).
Pembatasan-pembatasan tersebut ditentukan oleh keadaan sosial ekonomi
kehidupan modern, seperti perlindungan konsumen, pencegahan penyalahgunaan
wewenang dari penguasa ekonomi serta menjaga iklim persaingan yang adil
dalam ekonomi pasar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
4 (empat) macam pilihan hukum yang dikenal dalam Hukum Perdata
Internasional (HPI), yaitu (Ridwan Khairandy, 2007:130):
1. Pilihan hukum secara tegas, di dalam klausula kontrak tertentu dapat dilihat
adanya pilihan hukum yang ditentukan secara tegas dan jelas oleh para pihak.
2. Pilihan hukum secara diam-diam, para pihak dalam suatu kontrak dapat
memilih hukum secara diam-diam. Hal ini dapat disimpulkan dari maksud,
ketentuan-ketentuan dan fakta-fakta yang terdapat dalam kontrak tersebut.
Misalnya bahasa yang digunakan, mata uang yang digunakan, gaya kontrak,
pelaksanaan kontrak dan pilihan domisili.
3. Pilihan hukum yang dianggap, pilihan hukum secara ini dianggap hanya
merupakan presumption iuris, atau suatu dugaan hukum. Hakim menerima
telah terjadi suatu pilihan hukum berdasar dugaan belaka. Dugaan hakim
merupakan pegangan yang dipandang cukup untuk mempertahankan bahwa
para pihak benar-benar telah menghendaki berlakunya suatu sistem hukum
tertentu.
4. Pilihan hukum secara hipotesis, sebenarnya para pihak tidak menentukan
pilihan hukum, namun hakimlah yang memilih. Hakim yang melakukan
pilihan hukum, Hakim bekerja dengan fiksi.
Kontrak mengenai transaksi bisnis e-commerce antar negara, tidak
semuanya memuat dan menggunakan kontrak sebagaimana kontrak bisnis pada
umumnya, akan tetapi dalam transaksi bisnis yang berhubungan dengan software
umumnya para pihak (penjual) menentukan adanya pilihan hukum baik secara
tegas maupun diam-diam, dan umumnya hukum yang diberlakukan dalam hal jika
terjadinya sengketa antara mereka adalah hukum dari negara penjual software,
misalnya jika yang menjual software tersebut adalah Amerika Serikat maka
dalam kontrak pembelian software tersebut akan dinyatakan bahwa jika terjadi
sengketa maka perdata negara yang dipilih adalah Hukum Amerika Serikat.
Dengan adanya pilihan hukum tersebut, para pihak yang membuat kontrak dalam
transaksi bisnis e-commerce harus tunduk dan taat pada hukum yang ditentukan
(Ridwan Khairandi, 2007:135).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
Sebaliknya, apabila dalam kontrak mengenai transaksi e-commerce, para
pihak tidak menentukan adanya pilihan hukum, maka jelas menimbulkan masalah
mengenai hukum perdata negara mana yang akan diberlakukan untuk
menyelesaikan sengketa yang terjadi. Maka dapat menggunakan asas-asas HPI
untuk menentukan hokum yang berlaku yaitu:
1. Lex Loci Contractus
Lex Loci Contractus ini adalah teori klasik, di mana ditentukan bahwa
hukum yang berlaku bagi suatu kontrak internasional adalah hukum di mana
tempat perjanjian atau kontrak itu dibuat. Dalam Pasal 18 AB disebutkan
bahwa: "De vorm van elke handeling wordbeoordeeld naarde wetten van net
land of de plaats, alwaardie handeling is verrigt". terjemahannya adalah
"bentuk dari tiap perbuatan ditentukan oleh Undang-Undang (hukum) dari
negara atau tempat di mana perbuatan tersebut telah dilakukan (Werhan
Asmin, 2003:89).
Transaksi bisnis konvensional di mana para pihak yang mengadakan
kontrak berada pada tempat yang sama (face to face) mungkin teori ini masih
dapat digunakan, namun pada saat sekarang apalagi berkaitan dengan
transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce maka teori ini sulit sekali
untuk dapat diterapkan karena dalam transaksi bisnis yang menggunakan e-
commerce tersebut para pihak yang mengadakan kontrak tidak hadiratau tidak
berada pada tempat yang sama, sehingga tidak mudah untuk menentukan
hukum mana yang berlaku bagi kontrak tersebut apalagi menyangkut beberapa
negara karena sangat sulit untuk bisa menentukan di mana kontrak tersebut
terjadi.
2. Mail Box Theory dan Theory of Declaration
Kesulitan pada penerapan teori lex loci contractus dapat diatasi, maka
negara-negara Common Law memperkenalkan Mail Box Theory, di mana
dalam teori ini dinyatakan bahwa kedua belah pihak dalam suatu kontrak tidak
saling bertemu muka, maka yang terpenting adalah salah satu pihak
mengirimkan surat yang berisi penerimaan atas tawaran kontrak tersebut,
dalam hal ini hukum yang berlaku bagi kontrak tersebut adalah hukum, negara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
pihak yang mengirimkan penerimaan penawaran tadi, Sudargo Gautama
memberikan contoh; A yang berada di Negara X menawarkan kepada B di
negara Y (negara common law) suatu barang dengan kondisi tertentu, B
kemudian menulis surat penerimaannya dan memposkannya di negara Y, jadi
jika diterima lex loci contractus di negara Y, maka hukum yang berlaku
adalah hukum negara Y( Sudargo Gautama, 1989:50)
Adanya perbedaan ini tidak dapat ditentukan di mana tempat
dilangsungkannya perjanjian, permasalahan ini penting artinya dalam
hubungannya dengan penentuan di hadapan forum hakim mana perkara ini
dapat diajukan. Jadi walaupun posisi kasusnya sama bisa saja hasilnya akan
berbeda, di samping itu penggunaan lex loci contractus ini dapat menimbulkan
digunakannya hukum yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan
kontrak yang bersangkutan.
Menurut teori ini, suatu kontrak atau perjanjian terjadi pada saat jawaban
yang berisikan penerimaan tersebut dimasukkan ke dalam kotak pos. Dalam
hal transaksi e-commerce maka hukum yang berlaku adalah hukum dimana
pembeli mengirimkan pesanan melalui komputernya. Teori ini mempunyai
kelemahan sebab ada kemungkinan pihak lawan tidak menerima pesannya
atau terlambat menerima pesan tersebut. Oleh karena itu diperlukan
konfirmasi pihak penjual.
3. Lex Loci Solution
Teori ini hukum yang berlaku bagi suatu kontrak adalah tempat di mana
kontrak itu tersebut dilaksanakan. Sudargo Gautama menjelaskan dalam
praktek hukum internasional umumnya diakui bahwa berbagai peristiwa
tertentu dipastikan oleh hukum yang berlaku pada tempat pelaksanaan
kontrak. Berkaitan dengan hal ini ketentuan Pasal 18, A-B juga menentukan
bahwa suatu permasalahan yang berkaitan dengan perbuatan hukum harus
diselesaikan berdasarkan hukum dimana perbuatan itu dilaksanakan, kontrak
adalah suatu perbuatan hukum, dengan perkataan lain bahwa kontrak adalah
bagian dari perbuatan hukum, sehingga dalam hal ini jika ada perkara kontrak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
yang mengandung unsur asing di Indonesia, dan ternyata tidak dijumpai
klausula pilihan hukum dalam penyelesaian sengketanya maka harus
diselesaikan berdasarkan hukum negara di mana kontrak itu dilaksanakan,
misalnya A yang berada di Bandung membeli suatu barang dari perusahaan B
yang berada di Amerika, kemudian barang-barang tersebut diserahkan di
Bandung, barang tersebut telah diterima di Bandung, karena merasa telah
dirugikan karena A wanprestasi dalam hal pembayaran maka Perusahaan B
menggugat A di pengadilan negeri Bandung, jika ternyata dalam klausula
kontrak mereka tidak dijumpai adanya pilihan hukum maka pengadilan dapat
menyelesaikan perkara wanprestasi ini didasarkan kepada hukum Indonesia,
karena perjanjian dilaksanakan di Bandung, Indonesia (Sudargo Gautama,
1989:54).
Penerapan teori ini dalam praktek juga sering menimbulkan berbagai
permasalahan, karena saat ini para pihak yang melakukan kontrak dapat
melaksanakan kontrak di berbagai negara, sehingga dalam konteks ini akan
mengalami kesulitan hukum negara mana yang akan diberlakukan mengingat
ada beberapa negara yang terlibat dalam melaksanakan kontrak tersebut.
4. The Proper Law of Contract
Prinsipnya asas ini tidak akan digunakan jika para pihak memilih suatu
sistem hukum tertentu ketika kontrak dibuat (pilihan hukum), pengadilan akan
menerapkan sistem hukum lain yang bertujuan untuk menyesuaikan maksud
para pihak, walaupun sudah ada pilihan hukum, pengadilan masih
memperhatikan lex loci contractus dengan menafsirkan hal-hal yang tidak
terkait dengan hukum suatu negara di mana kontrak itu dibuat, jadi pengadilan
lebih mengutamakan hukum suatu negara dengan menggunakan pandangan
pada suatu hukum di mana kontrak itu dibuat.
Pengadilan Kanada mengadopsi doktrin Proper law yang kemudian
banyak dimodifikasi oleh Dicey dan Morris yaitu sebagai suatu sistem hukum
yang dikehendaki oleh para pihak. Jika maksud para pihak baik yang
diungkapkan secara tegas atau tidak dapat diketahui dari keadaan sekitarnya,
maka digunakan suatu sistem hukum yang mempunyai kaitan paling erat dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
paling nyata dengan transaksi yang terjadi. Ketika para pihak telah
mengungkapkan bahwa proper law yang mereka pilih, maka tidak ada
kesulitan untuk menerapkan hukum yang dikehendaki oleh para pihak, akan
tetapi jika tidak disebutkan tentang proper law yang mereka pilih, hal ini tidak
menjadi masalah apakah pengungkapan maksud mereka merupakan sistem
hukum yang dikehendaki secara langsung oleh para pihak dalam kontrak,
ataupun merupakan sistem hukum yang dikehendaki oleh para pihak yang
paling berwenang dalam kontrak.
Berkaitan dengan permasalahan apakah doktrin proper law ini sebaiknya
diformulasikan secara subjektif atau objektif, maka jika diterima pandangan
bahwa para pihak dapat selalu memilih proper law secara tegas dengan
batasan tertentu, maka perbedaan formulasi proper law secara subjektif dan
objektif sangat penting, khususnya jika seseorang mempertimbangkan hasil-
hasil yang diperoleh oleh pengadilan, hasilnya akan tetap sama apabila
digunakan kedua formulasi tersebut. Jika tidak ada pilihan yang tegas, maka
pengadilan akan menerapkan hukum suatu negara di mana kontrak tersebut
dianggap berada, atau di mana transaksi tersebut mempunyai kaitan dengan
faktor-faktor yang relevan yang mempunyai hubungan paling dekat dan
subtansial, pengadilan akan menegaskan proper law secara objektif yang
sesuai dengan fakta dan keadaan tiap kasus, termasuk tempat kontrak itu
dibuat, tempat pelaksanaan kontrak, tempat kedudukan atau bisnis para pihak,
subjek kontraknya, dan lain-lain. Formulasi doktrin proper law secara singkat
dapat dinyatakan sebagai berikut: "Jika dalam suatu kontrak telah ditentukan
sistem hukum yang dikehendaki oleh para pihak, maka pilihan hukum itulah
yang akan diberlakukan bagi penyelesaian sengketa kontrak tersebut, namun
jika kehendak itu tidak dinyatakan secara tegas, atau tidak dapat diketahui dari
keadaan sekitarnya, maka proper law bagi kontrak tersebut adalah sistem
hukum yang mempunyai kaitan yang paling erat dan nyata dengan transaksi
yang terjadi" (Sudargo Gautama 1989: 58).
Sistem hukum dalam penentuannya yang mempunyai kaitan paling erat
dan nyata dengan transaksi yang terjadi, pengadilan mempertimbangkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
faktor-faktor relevan yang memungkinkan seperti tempat pembuatan kontrak
dan tempat pelaksanaan kontrak, selain itu juga tetap diperhatikan aturan-
aturan domestik suatu negara yang bersangkutan dan juga hubungan antara
negara terhadap transaksi yang terjadi dan para pihaknya. Kepentingan negara
yang bersangkutan terhadap putusan tentang hal-hal yang menyangkut
kepentingan mereka juga harus diperhatikan, terlebih lagi jika negara tersebut
mempunyai kepentingan yang lebih daripada pihak lainnya untuk menerapkan
sistem hukum yang dikeluarkan oleh pengadilan. Jika para pihak menyetujui
pengadilan dari negara tertentu mempunyai eksklusif jurisdiksi terhadap
kontrak tersebut, maka pengadilan akan berpendapat bahwa hukum yang
dikehendaki para pihak adalah hukum yang diterapkan oleh negara itu.
Adanya klausula tersebut bukanlah merupakan hal yang menentukan akan
tetapi hal ini hanya merupakan bahan pertimbangan saja.
Tidak ada pernyataan tentang pilihan hukum proper law oleh para pihak
dalam kontrak mereka, pengadilan di common law, khususnya Anglo-
Canadian dalam menyatakan bahwa mereka akan menghubungkan setiap
maksud para pihak atau menentukan proper law bagi para pihak dan dalam hal
ini sistem hukum yang digunakan dalam kontrak adalah sistem hukum suatu
negara di mana kontrak itu dianggap berlokasi, lokasi ini ditandai oleh
pengelompokan elemen-elemen, berdasarkan fakta-fakta atau lainnya dalam
transaksi tersebut.
Kelemahan teori ini menurut Sudargo Gautama adalah bahwa sebelum
suatu perkara yang terjadi diajukan ke pengadilan, sukar sekali menentukan
terlebih dahulu hukum mana yang berlaku bagi kontrak tersebut, sebab di sini
hakim harus menyelidiki dulu dengan seksama semua titik taut yang ada
dalam kontrak tersebut untuk menentukan hukum negara mana yang berlaku
bagi kontrak itu (Sudargo Gautama, 1989:60).
5. Teori Most Characteristic Connection
Teori ini menurut Sudargo Gautama merupakan teori yang terbaik untuk
dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan persoalan pemakaian
hukum dan kontrak bisnis internasional dewasa ini. Menurut Rabbel apabila
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
para pihak dalam suatu kontrak bisnis internasional tidak menentukan sendiri
pilihan hukumnya, maka akan berlaku hukum dari suatu negara di mana
kontrak yang bersangkutan memperlihatkan most characteristic connection
(hubungan yang paling karakteristik) (Sudargo Gautama, 1989:61).
Teori ini kewajiban untuk melakukan prestasi yang paling khas
(karakteristik) menjadi tolak ukur penentuan yang akan mengatur kontrak,
dalam setiap kontrak dapat dilihat pihak mana yang melakukan prestasi yang
paling khas, menjadi hukum yang seharusnya berlaku bagi kontrak, misalnya
dalam kontrak jual-beli, pihak penjual dianggap memiliki prestasi yang khas,
dalam perjanjian kredit bank, pihak bank dianggap memiliki prestasi yang
paling khas, demikian juga hubungan antara klien dan advokat, prestasi pihak
advokat dianggap paling khas.
Teori ini memiliki beberapa kelebihan, dengan adanya prinsip prestasi
yang paling khas, dapat secara pasti ditentukan terlebih dahulu prestasi yang
paling khas sehingga sebelum kontrak dibuat sudah dapat diketahui hukum
yang seharusnya berlaku, di sini juga tidak perlu lagi diadakan kualifikasi
yang rumit seperti lex loci contractus dan lex loci solutions, walaupun teori ini
dianggap sebagai teori terbaik, akan tetapi tidak berarti memiliki kelemahan,
ada kelemahan yang melekat di dalam, misalnya jika di dalam kontrak jual-
beli, prestasi pihak penjual dianggap memiliki prestasi yang paling khas, tetapi
jika perhatian terhadap pembeli lebih besar atau jika pihak pembeli dinyatakan
lebih harus dilindungi, maka keadaannya menjadi lain.
Sehingga hukum yang berlaku adalah hukum pihak mana yang
melakukan prestasi yang paling karakteristik atau paling banyak. Dengan
demikian teori-teori tersebut dapat dipakai untuk menentukan hukum mana
yang berlaku jika terjadi sangketa di kemudian hari. Dalam transaksi e-
commere teori ini yang paling sesuai karena mudah menetukan hukum yang
digunakan yaitu menggunakan hukum dari pihak yang memiliki karaktristik
yang kas dalam artian prestasinya yang paling besar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
6. Lex Mercatoria
Hukum yang berlaku di dalam suatu kontrak internasional tidak hanya
merujuk pada salah satu hukum negara tertentu, tetapi dapat juga tidak
mengacu pada salah satu hukum negara tertentu. Hukum secara historis lex
mercatoria ini merupakan hukum kebiasaan di antara para pedagang Eropa,
yang kemudian diadministrasi oleh pengadilan pedagang, di mana pedagang
itu sendiri yang jadi hakimnya. Lex mercatoria dapat diartikan sebagai
prinsip-prinsip dan kebiasaan yang diterima secara umum dalam praktek
perdagangan internasional tanpa merujuk pada suatu sistem hukum
internasional tertentu, dengan demikian lex mercatoria merupakan suatu
norma yang bersifat otonom, suatu norma yang berlaku di kalangan
masyarakat bisnis (Sudargo Gautama, 1989:68). Elemen-elemen lex
mercatoria adalah sebagai berikut :
1. Peraturan-peraturan yang terdapat dalam perjanjian-perjanjian
internasional.
2. Hukum-hukum yang seragam.
3. Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa pedagang di
seluruh dunia seperti asas pacta suntservanda.
4. Resolusi-resolusi Majelis Umum PBB.
5. Rekomendasi-rekomendasi dan kode-kode perilaku yang dikeluarkan
lembaga-lembaga Internasional.
6. Kebiasaan-kebiasaaan yang berlaku dalam bidang perdagangan dan
kontrak-kontrak standar yang diterima secara universal.
7. Putusan-putusan Arbitrase.
Disamping pilihan hukum, dalam Hukum Perdata Internasional (HPI)
dikenal istilah kualifikasi. Kualifikasi yang dimaksud adalah melakukan
"translation''atau "penyalinan"daripada fakta-fakta sehari-hari dalam istilah-
istilah hukum". Garis besarnya terdapat tiga macam kualifikasi, yaitu :
1. Lex Fori.
2. Lex Causae.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
3. Teori Kualifikasi yang dilakukan secara otonom berdasarkan metode
perbandingan hukum.
Menurut kualifikasi Lex Fori, bahwa hukum yang berlaku adalah hukum
materiil negara sang hakim yang mengadili perkaranya. Para penganut teori ini
pada umumnya berpendapat bahwa beberapa kualifikasi yang disebut di
bawah ini dikecualikan dari kualifikasi Lex Fori, yaitu :
a. Kualifikasi kewarganegaraan.
b. Kualifikasi benda bergerak-tidak bergerak.
c. Kualifikasi suatu kontrak yang tidak ada pilihan hukumnya.
d. Kualifikasi berdasarkan konvensi-konvensi internasionali
e. Kualifikasi perbuatan melawan hukum.
f. Pengertian yang digunakan Mahkamah Internasional.
Sisi positif atau kebaikan dari teori ini adalah, bahwa kaidah-kaidah
hukum Lex Fori paling dikenal hakim, perkara yang ada relatif lebih mudah
diselesaikan. Kelemahannya adalah adakalanya menimbulkan ketidakadilan,
karena kualifikasi dijalankan menurut ukuran-ukuran yang tidak selalu sesuai
dengan sistem hukum asing yang seharusnya diberlakukan, atau bahkan
dengan ukuran-ukuran yang sama sekali tidak dikenal oleh sistem hukum
asing tersebut (Sudargo Gautama, 1989:70).
Kualifikasi Lex causa beranggapan, bahwa kualifikasi harus dilakukan
sesuai dengan sistem serta ukuran dari keseluruhan hukum yang bersangkutan
dengan perkara. Tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk menentukan kaidah
HPI mana dari Lex fori yang erat kaitannya dengan hukum asing yang
seharusnya berlaku. Penentuan ini dilakukan dengan mendasarkan diri pada
kualifikasi yang telah dilakukan berdasarkan sistem hukum asing yang
bersangkutan. Setelah lembaga hukum tersebut ditetapkan, barulah ditetapkan
kaidah-kaidah hukum apa di antara kaidah Lex fori yang harus digunakan
untuk menyelesaikan perkara.
Kualifikasi otonom pada dasarnya menggunakan metode perbandingan
hukum untuk membangun suatu sistem kualifikasi yang berlaku secara
universal. Kualifikasi yang dilakukan secara otonom ini terlepas dari salah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
satu sistem hukum tertentu, artinya dalam HPI seharusnya ada pengertian
hukum yang khas dan berlaku umum serta mempunyai makna yang sama
dimanapun di dunia ini.
Mengacu pada kualifikasi tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa
apabila sengketa transaksi e-commerce antarnegara diadili oleh negara A,
maka hukum yang berlaku adalah hukum sang hakim dari negara A, meskipun
demikian, kesimpulan itu belumlah bersifat final, dalam artian bahwa masalah
hukum yang berlaku terhadap penyelesaian sengketa transaksi e-commerce
masih perlu diperdebatkan lagi oleh para akademisi maupun praktisi hukum.
Prinsip yang ditemukan dalam Hukum Perdata Internasional (HPI)
juga dikenal adanya 2 (dua) prinsip, yaitu :
1. Prinsip tempat badan hukum didirikan (The Place of Incorporation) yang
menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi suatu badan hukum adalah
hukum tempat badan hukum itu didirikan.
2. Prinsip tempat kedudukan yang efektif (Siege Reel) yang menyatakan
bahwa hukum yang berlaku bagi status badan hukum adalah hukum
tempat badan hukum itu melakukan usahanya.
Berdasarkan kedua prinsip tersebut, apabila transaksi e-commerce
antarnegara dilakukan oleh badan hukum dengan perseorangan dan terjadi
sengketa, maka hukum yang berlaku adalah hukum tempat di mana badan
hukum itu didirikan atau tempat di mana badan hukum itu melakukan
usahanya. Misalnya, transaksi dilakukan antara badan hukum Indonesia (PT)
dengan warga negara Singapura (perseorangan) dan terjadi sengketa, maka
hukum yang berlaku adalah hukum di Indonesia, meskipun demikian, kedua
prinsip ini masih tetap menimbulkan masalah berkenaan dengan hukum yang
berlaku dalam sengketa e-commerce antarnegara, baik pelaku bisnisnya
berupa badan hukum dan perseorangan maupun antara sesama badan hukum.
Terciptanya kepastian hukum mengenai hukum yang berlaku dalam
rangka penyelesaian sengketa transaksi e-commerce antarnegara, maka para
pihak perlu menentukannya dalam kontrak yang dibuatnya baik secara pilihan
hukum atau secara kualifikasi hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Alternatif lainnya adalah bahwa para pelaku bisnis yang akan
menggunakan internet dalam melakukan transaksi e-commerce antarnegara,
baik sesama badan hukum, perseorangan maupun antara badan hukum dengan
perseorangan perlu membentuk sebuah forum seperti General Agreement on
Tariffs and Trade (GATT). Forum ini perlu disepakati antara lain mengenai
hukum yang akan diberlakukan apabila terjadi sengketa transaksi e-commerce.
Ketentuan di atas berkaitan dengan persoalan hukum yang berlaku
(applicable law), dalam kontrak bisnis internasional negara-negara yang
menganut sistem common law dan civil law berusaha melakukan harmonisasi
peraturan perUndang-Undangan berkaitan dengan hukum yang diberlakukan
tersebut dan hasilnya ada dua konvensi utama yang sangat penting dalam
menentukan hukum yang berlaku dalam kontrak bisnis internasional, yaitu
(PB Triton, 2006:73):
1. Convention on the law Applicable to Contract for International Sale of
Goods (the Hague Convention), dalam Pasal 7 konvensi ini mengadopsi
prinsip-prinsip bahwa para pihak bebas untuk membuat pilihan hukum
yang mengatur kontrak yang mereka buat, kemudian Pasal 8 menentukan
bahwa untuk memperluas hukum yang berlaku dalam suatu kontrak jual-
beli yang tidak dipilih para pihak sesuai Pasal 7, maka kontrak diatur oleh
hukum negara di mana kedudukan bisnis penjual pada saat kontrak dibuat.
2. The European Convention on the Law Applicable to Contractual
Obligations (Rome Convention 1980). Pasal 1 ayat (1) dari konvensi ini
menyatakan bahwa ketentuan pilihan hukum berlaku bagi kewajiban
kontraktual dalam setiap situasi yang menyangkut tentang pilihan hukum
antara dua negara yang berbeda, yaitu kontrak yang menyangkut satu atau
lebih elemen asing di dalamnya. Pasal 2 secara tegas menyatakan bahwa
setiap hukum yang telah ditetapkan oleh konvensi ini harus diterapkan
baik hukum itu merupakan hukum dari contracting state ataupun bukan,
selanjutnya ketentuan Pasal 19 ayat (2) menyatakan bahwa konvensi ini
tidak berlaku untuk konflik hukum wilayah yang berbeda dalam satu
negara yang sama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Kontrak akan diatur hukum negara di mana pembeli memilih tempat
bisnisnya pada saat kontrak dibuat jika pertama, negosiasi diadakan dan
kontrak ditandatangani oleh dan dalam kehadiran para pihak, dalam suatu
negara, kedua, kontrak menentukan secara tegas bahwa penjual harus
memenuhi kewajibannya untuk mengirim barang dalam suatu negara, dan
ketiga, kontrak ditandatangani dengan syarat yang ditentukan sebagian besar
oleh pembeli dan dalam tanggapan atas suatu undangan oleh pembeli
ditujukan kepada orang yang diundang untuk mengajukan penawaran.
Pasal 13 the Hague Convention menentukan bahwa dalam hal tidak ada
pilihan yang tegas, maka berlaku hukum negara di mana pemeriksaan barang
dilakukan. Inggris sejak Tahun 1990 telah memiliki The Contract (Applicable
Law) Act 1990, Undang-Undang ini merupakan implementasi Konvensi Roma
1980 tentang Hukum yang berlaku terhadap kewajiban kontraktual (Rome
Convention 1980 on The Law Applicable to Contract Obligations), keadaan
ini mengakibatkan perubahan terhadap doktrin proper law dalam kontrak yang
dianut Inggris. Konvensi Roma ini menjadi tanda bagi kemajuan harmonisasi
hukum bagi negara anggota masyarakat Eropa (Europen Community, EC),
unifikasi hukum yang terjadi akan mengurangi ketidakadilan yang disebabkan
dari forum perdagangan antarnegara anggota EC, konvensi ini bertujuan untuk
mengidentifikasi hukum yang berlaku, terlepas dari ke mana dan di mana
setiap tindakan negara anggota EC ini akan dibawa.
Ruang lingkup pilihan hukum dalam Rome Convention tidak
mencangkup pada semua hal. Beberapa pengecualian terhadap ruang lingkup
pilihan hukum itu, dengan perkataan lain pilihan hukum tidak dapat diterapkan
pada beberapa permasalahan, yakni ( Suyud Margono, 2000:73):
1. Persoalan yang berkaitan dengan status atau kepastian hukum seseorang,
tetapi yang merupakan subjek dari Pasal 11 Rome Convention.
2. Kewajiban kontraktual yang terkait dengan surat wasiat dan warisan.
3. Kewajiban kontraktual yang terkait dengan hak atas harta benda yang
timbul dari hubungan perkawinan, masalah keluarga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
4. Kewajiban yang timbul dalam wesel, cek, surat sanggup, atau surat
promise, dan instrumen yang dapat diperjualbelikan lainnya.
5. Perjanjian arbitrase dan yurisdiksi.
6. Persoalan yang diatur oleh hukum perusahaan dan badan usaha lainnya
seperti pembentukan, kapasitas hukum, organisasi internal atau winding
up, dan tanggung jawab karyawan dan anggota sebagai suatu kewajiban
perusahaan atau badan usaha itu.
7. Persoalan apakah agen itu mampu untuk mengikat prinsipal, atau suatu
organ mampu untuk mengikat perusahaan atau badan usaha pada pihak
ketiga.
8. Pengaturan trust dan hubungan antara settlors, trustee, dan beneficiaries.
9. Pembuktian dan prosedur yang termasuk subjek Pasal 14 Rome 5:
Convention.
10. Kontrak asuransi yang mencangkup risiko yang berada dalam wilayah
negara anggota EC.
Ketentuan common law Inggris yang dikemukakan oleh Munir Fuadi,
konvensi ini juga memberikan perbedaan yang mendasar antara situasi di
mana hukum yang berlaku itu dipilih oleh para pihak dan situasi di mana tidak
ada pilihan hukum yang tegas dari para pihak, maka hukum yang berlaku
harus diketahui, biasanya hukum yang berlaku dalam konvensi ini mengacu
pada hukum domestik suatu negara dan disesuaikan dengan doktrin renvoi.
Pasal 3 ayat (1) konvensi ini menyatakan bahwa kontrak itu diatur oleh hukum
yang dipilih oleh para pihak, asalkan pilihan itu dinyatakan dengan tegas dan
ditujukan dengan alasan yang patut sesuai dengan term kontraknya atau situasi
kasusnya. Sesuai dengan Pasal di atas para pihak dapat memilih hukum yang
berlaku dalam kontrak mereka baik sebagian atau seluruhnya dan para pihak
juga dapat memilih dua hukum yang berbeda untuk mengatur bagian yang
berbeda dalam kontrak. Hal ini disebut dengan depecage yaitu menggunakan
dua sistem hukum yang berbeda dalam satu kontrak, sebagai contoh para
pihak dapat memilih satu hukum untuk mengatur tentang penafsiran
kontraknya dan menggunakan sistem hukum yang lain untuk mengatur tentang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
pemutusan kontrak itu. Pasal 3 ayat (2) Konvensi Roma menyatakan bahwa
para pihak dapat membuat pilihan hukum kapan saja, walaupun hal itu disebut
setelah penandatanganan kontrak, mereka sewaktu-waktu juga dapat merubah
pilihan hukum yang telah dibuat sebelumnya, perubahan itu diperbolehkan
dengan ketentuan perubahan pilihan hukum itu tidak melanggar syarat sahnya
suatu kontrak sesuai dengan peraturan yang ada dalam Pasal 9, atau
merugikan pihak ketiga. Ketentuan ini memungkinkan para pihak untuk
mempunyai kebebasan yang maksimum untuk membuat pilihan hukum
mereka, selaln itu pilihan hukum itu juga bisa dibuat pada saat pembuatan
kontrak, ataupun setelah atau sesudah penandatanganan kontrak (Munir
Fuady, 2000: 84).
Jika pihak gagal dalam membuat pilihan hukum baik secara tegas
ataupun secara diam-diam, maka pilihan hukum itu akan ditentukan sesuai
dengan Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa dalam hal ketika pilihan
hukum itu tidak dapat dipilih sesuai dengan Pasal 3 maka kontrak tersebut
diatur oleh hukum suatu negara yang mempunyai hubungan paling dekat
dengan kontrak itu. Pasal 4 ayat (2) menjelaskan tentang anggapan bahwa
kontrak ini mempunyai hubungan yang paling dekat dengan negara di mana
para pihaknya mempunyai karakterlstik tertentu pada pelaksanaan kontrak
seperti tempat tinggal mereka saat penandatanganan kontrak. Menurut the
Giuliano-Lagarde Report, biasanya karakteristik prestasinya itu ditandai pada
saat pembayaran itu terjadi seperti pengiriman barang, ketentuan pelayanan,
memberikan hak untuk membuat item barangnya, dan lain-lain, walaupun
Pasal 4 ayat (2) ini lebih menekankan pada ciri khas prestasi, akan tetapi di
sini juga dijelaskan tentang hukum negara mana yang berlaku ketika para
pihaknya mempunyai tempat tinggal yang tetap, atau untuk kasus sebuah
badan hukum atau tidak berbadan hukum, di mana pusat administrasinya pada
saat penandatanganan kontrak, ketika tempat tinggal para pihak dan pusat
administrasi dari suatu perusahaan tidak disebutkan maka kemudian hukum
sebuah forum akan dianggap diterapkan dalam kontrak itu (http//the giuliano
lagarde-e-commerce.doc. diakses 28 September 2010).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Kehadiran internet walaupun masih dalam fase pertumbuhan, telah
memperkokoh keyakinan tentang pentingnya peranan teknologi dalam
pencapaian tujuan finansial. Salah satu sarana guna melakukan transaksi
perdagangan seperti penjualan, pembelian, promosi, dan lain-lain, internet
dirasakan manfaatnya pada saat sejumlah situs yang menyajikan breaking
news telah menarik para pelaku bisnis.
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa perkembangan transaksi e-
commerce menunjukkan adanya peningkatan yang sangat signifikan, tidak
saja di negara-negara maju tetapi juga negara-negara berkembang khususnya
Indonesia. Keuntungan yang ditawarkan transaksi e-commerce yang sulit atau
tidak dapat diperoleh melalui cara-cara transaksi konvensional.
Transaksi e-commerce terbuka kemungkinan terjadinya sengketa antara
para pihak yang membuatnya, oleh karena dalam transaksi e-
commerce para pihak tidak bertemu secara fisik dan tidak menggunakan tanda
tangan asli, sehingga salah satu pihak bisa saja mengingkari kontrak yang
telah dibuat.
Jika dalam transaksi e-commerce terjadi sengketa antara para pihak yang
berbeda negara, maka selain dikenal adanya pilihan hukum juga dikenal
adanya pilihan yurisdiksi (Choice of Forum). Pilihan yurisdiksi ini bermakna,
bahwa para pihak di dalam kontrak akan bersepakat memilih pengadilan
negara manakah yang berwenang mengadili perkara mereka. Transaksi e-
commerce dilakukan antara perseorangan bukan berbentuk badan usaha, untuk
mengetahui pengadilan negara yang berwenang mengadili sengketa yang
terjadi, maka dapat dilihat pada pilihan yurisdiksi sebagaimana disebutkan di
atas.
Jika dalam kontrak e-commerce antarnegara, para menentukan pilihan
yurisdiksi baik secara tegas maupun diam, maka pengadilan sebagaimana
ditentukan dalam tersebutlah yang diberlakukan. Kualifikasi hukum tertentu
dalam kontrak transaksi e-commerce, maka yang berwenang mengadili
sengketa yang terjadi adalah pengadilan yang ditentukan dalam kualifikasi
tersebut sesuai dengan hukum yang diberlakukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
Jika pelaku bisnis dalam transaksi e-commerce berupa badan usaha
seperti Perseroan Terbatas (PT) dan perseorangan, kemudian terjadi sengketa,
maka berdasarkan prinsip Siege Statutair, pengadilan yang berwenang
mengadili perkaranya adalah pengadilan tempat didirikannya perusahaan
(Werhan Asmin, 2003:97), oleh karena menurut prinsip Siege Statutair bahwa
hukum yang berlaku bagi suatu badan hukum itu didirikan. Prinsip ini pada
hakekatnya identik dengan prinsip The Place of Incorporation atau prinsip
tempat badan hukum didirikan yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku
bagi suatu badan hukum adalah hukum tempat badan hukum itu didirikan.
Kemudian prinsip Siegle Reel atau prinsip tempat kedudukan yang
efektif yaitu hukum yang berlaku bagi status badan hukum ialah hukum
tempat badan hukum itu melakukan usahanya. Berdasarkan prinsip ini bahwa
pengadilan yang berwenang mengadili sengketa transaksi e-commerce
antarnegara, di mana para pelaku bisnisnya badan hukum dan perseorangan
adalah pengadilan tempat badan hukum melakukan usahanya, meskipun telah
ada beberapa prinsip yang dapat menjadi acuan untuk menentukan pengadilan
yang berwenang mengadili sengketa mengenai transaksi e-commerce antara
badan hukum dengan perse orangan, namun hal ini akan menimbulkan
masalah apabila transaksi e-commerce antarnegara dilakukan antara badan
hukum, apakah prinsip tersebut di atas dapat diterapkan.
Oleh karena itu, dalam rangka mengantisipasi terjadinya sengketa dalam
pelaksanaan transaksi e-commerce, maka sudah seharusnya para pihak yang
menentukan pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya dalam kontrak
yang dibuatnya.
Para pihak pada umumnya dianggap mempunyai kebebasan untuk
memilih, namun mereka bisa menyimpang dari kompetensi relatif dengan
memilih hakim lain, namun tidak diperkenankan untuk menjadikan suatu
peradilan menjadi tidak berwenang bilamana kaidah-kaidah hukum intern
negara yang bersangkutan menentukan bahwa hakim tidak berwenang adanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
Menurut Convention on the Coice of court 1965, pilihan yurisdiksi;
terbuka untuk perkara perdata atau dagang yang mempunyai sifat
internasional, namun tidak berlaku bagi:
1. Status kewarganegaraan orang atau hukum keluarga termasuk kewajiban
atau hak-hak pribadi atau finansial antara orang tua dan atau antara suami
dan istri.
2. Permasalahan alimentasi yang tidak termasuk dalam butir 1.
3. Warisan.
4. Kepailitan.
5. Hak-hak atas benda tidak bergerak.
Pilihan Yurisdiksi yang dimaksud di atas selain dapat menunjuk kepada
suatu pengadilan di negara tertentu juga dapat menunjuk badan arbitrase
tertentu. Pengadilan atau arbitrase sebelum mengadili perkara harus meneliti
dulu apakah ia berwenang mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Salah
satu caranya adalah dengan meneliti klausula pilihan Yurisdiksi yang terdapat
dalam kontrak tersebut.
C. Prosedur Pelaksanaan Eksekusi dan Pembatalan Putusan Arbitrase
Internasional
Putusan arbitrase asing dalam pelaksanaanya termasuk dalam perkara e-
commerce, ada prosedur yang harus dijalani atau dilaksanakan agar putusan
arbitrase asing tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia. Peraturan yang mengatur
tentang prosedur pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing di Indonesia, diatur
dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Republik Indonesia No. 1 Tahun
1990 tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing No. 1 Tahun 1990 dan
UU No. 30 Tahun 1999.
Perma No. 1 Tahun 1990 dan UU No. 30 Tahun 1999 tidak banyak
perbedaan dalam prosedur pelaksanaan putusan arbitrase asing, yang
membedakan antara Perma No. 1 Tahun 1990 dan UU No. 30 Tahun 1999 adalah
mengenai pemberian eksekuatur. Dalam Perma No. 1 Tahun 1990, putusan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
arbitrase asing baru dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari
Mahkamah Agung, sedangkan dengan berlakunya UU No. 30 Tahun 1999,
kewenangan Eksekuatur Mahkamah Agung berpindah ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, kecuali jika keputusan arbitrase internasional menyangkut Negara
Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, maka pelaksanaan
putusannya hanya dapat dilakukan setelah memperoleh eksekuatur dari
Mahkamah Agung, kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Berdasarkan Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999, putusan arbitrase hanya dapat
diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia jika memenuhi
beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau mejelis arbitrase
di suatu Negara yang dengan Negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik
secara bilateral maupun multilateral dalam kaitannya dengan pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
2. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf 1 terbatas
pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam
ruang lingkup hukum perdagangan.
3. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada
putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
4. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekuatur dati Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
5. Putusan arbitrase internasional yang menyangkut Negara Republik Indonesia
sebagai salah satu pihak dalam sengketa hanya dapat dilaksanakan setelah
memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung RI, yang selanjutnya
dilimpahkan pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Jika diperhatikan isi Pasal tersebut, huruf 1 sampai dengan 4 adalah sama
dengan Pasal 3 Perma No. 1 Tahun 1990 (Gatot Sumartono, 2006:92), dengan
pengecualian huruf d tentang kompetensi pengadilan untuk memberikan eksekusi,
yaitu oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pasal 3 ayat (4) Perma No. 1 Tahun
1990 menyebutkan bahwa “suatu putusan Arbitrase Asing dapat dilaksanakan di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Indonesaia setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
Prosedur yang harus dilakukan untuk melaksanakan eksekusi putusan
arbitrase asing di Indonesia diatur dalam UU No. 3 Tahun 1999, dimana dalam
Pasal 67 ayat (1) menjelaskan bahwa pemohonan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh
arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pendeponiran putusan arbitrase asing, semuanya disentralisir di kantor
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pendeponiran putusan arbitrase
asing, menjadi kompetensi relatif tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal itu
ditegaskan dalam Pasal 65 UU No. 30 Tahun 1990 yang menyatakan bahwa yang
berwenang mengenai masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Secara garis besar tahap-tahap eksekusi putusan arbitrase dapat digambar
dengan bagan sebagai berikut:
Bagan 2 Tahap-tahap Eksekusi Putusan Arbitrase
Perintah pelaksanaan (eksekuatur) putusan arbitrase asing dapat
dimintakan dengan mengajukan pelaksanaan putusan arbitrase asing kepada Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan disertai persyaratan sebagaimana diatur
Permohonan pelaksanaan putusan
Penyerahan dan pendaftaran putusan Tahap II
Tahap I
Perintah pelaksanaan putusan (eksekatur) Tahap III
Pelaksanaan putusan Tahap IV
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
dalam Undang-Undang Pasal 67 ayat (2) yaitu dengan menyertakan berkas
permohonan dengan:
1. lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai
ketentuan otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam
bahasa Indonesia;
2. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan
Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokimen asing,
dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia;
3. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di Negara tempat
Putusan Arbitrase Internasional tersebut di tetapkan, yang menyatakan bahwa
Negara pemohon terikat pada perjanjian baik secara bilateral maupun
multilateral dengan Negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan
pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
Praktiknya, hanya dokumen 1 dan 2 yang diserahkan pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat pada saat putusan arbitrase internasional didaftarkan.
Selanjutnya pada saat permohonan eksekusi dilakukan, dokumen 1 dan 2 tidak
perlu diserahkan lagi, cikip menunjukkan bukti surat pendaftaran putusan dan
dokumen 3 (Gatot Sumartono, 2006:90).
Pasal 68 mengatur bahwa, jika Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
mengeluarkan putusan yang mengakui dan melaksanakan suatu putusan arbitrase
internasional, maka putusan tersebut tidak dapat diajukan banding atau kasasi,
tetapi jika putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak untuk
mengakui dan malaksanakan putusan arbitrase internasional, maka putusan
tersebut dapat dimintakan kasasi, Mahkamah Agung mempertimbangkan dan
memutuskannya. Putusan Mahkamah Agung tersebut tidak dapat diajukan upaya
perlawan.
Seluruhan prosedur permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional
telah dilakukan dan ternyata putusan arbitrase internasional tersebut diakui dan
dapat dilaksanakan berdasarkan putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
maka selanjutnya adalah pelaksanaan eksekusi berdasarkan perintah eksekusi
yang diberikan oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang kemudian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang
melaksanakannya. Mengenai peraturan yang mengatur mengenai pelaksanaan
eksekusi, terdapat di dalam Pasal 69 UU No. 30 Tahun 1999.
Pasal 69 ayat (2) menyatakan bahwa sita eksekusi dapat dilaksanakan atas
harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi. Hal ini sama dengan Perma
No. 1 Tahun 1990 Pasal 6 ayat (3), dimana dalam Perma tersebut dikatakan sita
eksekutorial dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang-barang milik
termohon eksekusi.
Pasal 69 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 memyatakan tata cara penyitaan
serta pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam
Hukum Acara Perdata, sehingga dalam pelaksanaannya, tidal diperlukan lagi
peraturan-peraturan yang baru dalam pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrase
internasional tersebut.
Tentang pembatalan putusan arbitrase, hal ini diatur dalam Pasal 70 UU No.
30 Tahun 1999 yang menentukan bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak
dapat mengajukan permohonan pembatalan, jika putusan tersebut diduga
mengandung unsure-unsur antara lain sebagai berikut:
1. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu,
2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan, atau
3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa.
Prosedur permohonan pembatalan putusan arbitrase internasional terdapat di
dalam Pasal 71 dan 72 ayat (1) s/d ayat F(3) UU No. 30 Tahun 1999, yaitu
permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari tehitung sejak
hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan
Negeri. Jika permohonan pembatalan tersebut dikabulkan, Ketua Pengadilan
Negeri menentukan akibat pembatalan seluruhnya atau sebagai dari putusan
arbitrase.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Pasal 71 dapat disimpulkan bahwa pendaftaran putusan arbitrase harus
dilakukan terlebih dahulu, sebelum putusan tersebut dapat dimohonkan
pembatalannya (Gatot Sumartono, 2006:94). Pendaftaran pembatalan putusan
arbitrase harus diajukan dalam format permohonan.
Menurut UU No. 30 Tahun 1999, pembatalan putusan arbitrase internasional
hanya dapat dilakukan setelah memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
1. putusan tersebut memenuhi salah satu atau beberapa unsure sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 70,
2. putusan tersebut sudah didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dilengkapi dengan persyaratan dokumen, dan pendaftarannya pun harus
dilakukan oleh arbitrase atau kuasanya,
3. pengajuannya harus dalam bentuk format permohonan.
Pelaksanakan eksekusi putusan arbitrase asing, sering kali mengalami
kendala-kendala yang membuat pelaksanaan eksekusi tersebut tertunda bahkan
gagl untuk di eksekusi, seperti diketahui bahwa Indonesia telah meratifikasi
konvensi internasional yang mengakui putusan arbitrase asing. Namun, sampai
sejauh ini pelaksanaan putusan arbitrase masih menghadapi kendala di dalam
praktik.
Keengganan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan putusan arbitrase,
khususnya putusan arbitrase asing, telah diingatkan oleh Sunayarti Hartono beliau
menyatakan antara lain (Sunaryati Hartono, 1991:15):
“Sayang sekali masih sering dialami, bahwa pihak Indonesia yang sudah dinyatakan wajib membayar ganti rugi oleh instansi yang berwenang di Indonesia, sama sekali tidak menghormati keputusan itu, yang menyebabkan image Indonesia dimata pengusaha asing tidak bertambah baik, sekalipun Indonesia sudah bersedia mengakui dan melaksanakan keputusan arbitrase asing melalui Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990.”
Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing
di Indonesia berupa kendala yuridis yang menyebabkan terjadi titik singgung
kewenangan Peradilan Umum dengan kewenangan absolute arbitrase
(Panggabean, 2002:75). Titik singgung kewenangan itu dapat terjadi dalam hal-
hal sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
a. bahwa badan arbitrase juga berperan sebagai “particuliere rechtpraak”
(Pengadilan Swasta), sebenarnya memberikan putusannya lebih
didasarkan pada aspek keadilan dan kepatutan (redelijkheid en
billijkheid=ex aequo et bono) tanpa menyebut aspek kepastian hukum dan
kemanfaatan, artinya wasit (arbiter) dapat mengesampingkan peraturan
perUndang-Undangan yang berlaku. Peran seperti ini, para pihak
bersangkutan dapat saja “menolak” putusan arbitrase dengan alasan
subjektif bahwa putusan arbitrase tersebut kurang sesuai dengan keadilan
hukum, atau alasan lainnya,
b. bahwa beberapa putusan arbitrase terdahulu sebelum berlakunya UU No.
30 Tahun 1999 dapat digunakan pedoman untuk mempersoalkan
kewenangan absolute badan arbitrase,
c. bahwa UU No. 30 Tahun 1999 sendiri telah mengatur beberapa alasan
untuk membatalkan putusan arbitrase.
d. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dengan tegas mengatur yurisdiksi
arbitrase, namun dalam praktik penyelesaiaan sengketa melalui lembaga
arbitrase hanya dapat efektif jika para pihak yang terlibat dalam sengketa
mempunyai niat baik untuk menerima dan menghormati keputusan arbiter
(Panggabean, 2002:80). Efektifitas putusan arbitrase juga tergantung
ketaatan Pengadilan Negeri untuk menggormati yurisdiksi lembaga
arbitrase yang berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang
mengandung klausula arbitrase.
Kendala tersebut diatas diakibatkan karena adanya celah hukum dimana
peradilan arbitrase atau yang disebut dengan peradilan swasta sering kali dianggap
tidak sesuai dengan keadilan hukum, selain itu kendala yang muncul dalam
peraturan perUndang-Undangan mengenai arbitrase itu sendiri yaitu dengan
mengatur beberapa alasan untuk membatalkan putusan arbitrase yang telah
dijatuhkan. Niat baik para pihak juga sangat berpengaruh dalam kelancaran
pelaksanaan putusan arbitrase.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, bahwa:
1. Dasar pengaturan penyelesaian sengketa transaksi bisnis internasional e-
commerce di Indonesia antara lain, prinsip kesepakatan para pihak
(Konsensus) terdapat dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 4 ayat (1), prinsip
kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa diatur dalam Undang-
Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
prinsip kebebasan memilih hukum terdapat dalam Undang-Undang No. 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 18 ayat (2)
dan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa Pasal 56 ayat (2), prinsip itikad baik (Good Faith)
diatur dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (3), prinsip Exhaution of local
remidies (Pengedepanan Penyelesaian Sengketa menggunakan Hukum
Nasional) diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal (2).
2. Hukum yang berlaku dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis
internasional e-commerce melalui arbitrase pada dasarnya diberikan
kebebasan para pihak begitu pula yan diatur dalam peraturan di Indonesia
yaitu dalam Pasal 18 ayat (1) dan (2), apabila tidak menentukan pilihan
hukum maka didasarkan pada asas hukum perdata internasional. Hukum
perdata internasional mengenal empat macam choice of law atau pilihan
hukum yaitu: pilihan hukum secara tegas, pilihan hukum secara diam-diam,
pilihan hukum yang dianggap dan pilihan hukum secara hipotesis. Apabila
pilihan hukum tersebut tidak dipilih maka hakim dapat menentukan pilihan
hukum dengan menggunakan bantuan titik taut diantaranya: lex loci
contractus, mail box theory, lex loci solution, the proper law of contract,
theory most characteristic conection. Dalam pelaksanaanya teori most
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
characteristic conection dapat dijadikan sebagai pilihan hukum dalam
sengketa e-commerce karena penjual dianggap mempunyai prestasi yang
kas sehingga menggunakan hukum dari pihak yang mempunyai prestasi
yang terbesar.
3. Ketentuan yang mengatur tentang eksekusi putusan arbitrase asing di
wilayah Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang sebelumnya
diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Arbitrase Asing. Pasal 65 sampai dengan Pasal 69
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1990, yang pada intinya mengatur
tentang tahapan-tahapan serta prosedur dan persyaratan yang harus dilalui
dalam rangka eksekusi putusan arbitrase asing yang mana harus didaftarkan
ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemungkinan adanya upaya hukum
terhadap pemberian eksekuatur pengadilan, dan penggunaan hukum acara
perdata dalam hal tata cara eksekusi yang diatur dalam Pasal 195-224 HIR.
Pembatalan putusan arbitrase asing diatur dalam Pasal 71 dan 72.
Pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia sering terjadi kendala
hukum yang menyebabkan terjadi titik singgung kewenangan peradilan
umum dengan kewenangan absolut arbitrase sehingga putusan arbitrase
dalam sengketa e-commerce akan mendapat perlakuan yana sama.
B. Saran
Beberapa saran yang dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pihak yang
terkait antara lain sebagai berikut:
1. Para pelaku bisnis dapat menggunakan teori pemilhan hukum Most
Characteristic Connection dalam penyelesaian sengketa transaksi bisnis
internasional e-commerce dimana hukum dari pihak penjual dianggap
memiliki prestasi yang paling khas, sehingga memberikan perlindungan
hukum yang lebih terhadap konsumen apabila terjadi sengketa.
2. Pemerintah perlu melakukan pengkajian ulang terhadap pelaksanaan putusan
arbitrase asing di Indonesia yang belum efektif dikarenakan terdapat kendala
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
yaitu terjadinya titik singgung kewenangan peradilan umum dengan
kewenangan absolut arbitrase, sehingga diperlukan ratifikasi peraturan
internasional secara keseluruhan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa supaya pelaksanaan
arbitrase asing di Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.