penyaluran harta zakaat dalam bentuk aset...
TRANSCRIPT
PENYALU
( ANALISI
DiajSal
URAN HAR
IS FATWA
ajukan Kepadah satu syara
PROGRA
FAK
U
RTA ZAKA
A MAJELIS
TA
da Fakultas Sat Mempero
KNIM:
AM STUDI P
KULTAS SY
UIN SYARI
J
143
i
AT DALAM
ULAMA IN
AHUN 2011
Skripsi
Syariah dan oleh Gelar Sa
Oleh: Koharudin1111043100
PERBANDI
YARIAH D
IF HIDAYA
JAKARTA
8/ H / 2016
M BENTUK
NDONESIA
)
Hukum Untarjana Hukum
0019
INGAN MA
DAN HUKU
ATULLAH
M
ASET KEL
A (MUI) NO
tuk Memenum Islam (S.H
ADZHAB
UM
LOLAAN
OMOR 14
uhi H)
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
KOHARUDIN (1111043100019), PENYALURAN HARTA ZAKAT
DALAM BENTUK ASET KELOLAAN (ANALISIS FATWA MAJELIS
ULAMA INDONESIA (MUI) NOMOR 14 TAHUN 2011). Konsentrasi
Perbandingan Madzhab Fiqih, Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum,
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2016. 1 x 77 halaman + 10 lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pandangan dari Majelis
Ulama Indonesia mengenai Sistem penyaluran harta zakat, serta ingin mengetahui
analisis penulis terhadap Fatwa MUI tentang Penyaluran harta zakat dalam
bentuk aset kelolaan.
Metode penelitian dalam skripsi ini adalah dengan menggunakan
pendekatan analisis kualitatif yaitu pendekatan yang ditunjukan untuk meneliti
pada hasil wawancara mendalam (deep interview), kemudian menganalisis hasil
data yang diperoleh untuk mendapatkan kesimpulan penelitan.
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat dalam skripsi ini ialah bahwa
penyaluran harta zakat dalam bentuk aset kelolaan smerupakan inovasi lembaga
amil zakat guna memcapai tujuan zakat yang lebih permanen yaitu merentaskan
kemiskinan di negara ini dengan menjadikan lebih banyaknya kemanfaatan harta
zakat.
Kata kunci : Fatwa Majelis Ulama Indonesia Penyaluran Harta Zakat dalam
bentuk Aset Kelolaan
Pembimbing : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA.
H. Ahmad Bisyri Abd Shomad, MA.
Daftar Pustaka : 1980-2011
vi
KATA PENGANTAR
بسم اهللا الرمحن الرحيم
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt.
dialah sumber tempat bersandar, dialah sumber kenikmatan hidup yang tanpa
batas, rahman dan rahim tetap menghiasi namanya. sehingga penulis diberikan
kekuatan fisik, mental serta psikis untuk dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Penyaluran Harta Zakat dalam Bentuk Aset Kelolaan (Analisi
Fatwa Majelis Ulama Indoneisa No 14 Tahun 2011)
Shalawat beserta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW. beserta para keluarganya, sahabatnya dan para pengikutnya, yang telah
membuka pintu keimanan yang bertauhidkan kebahagiaan, kearifan hidup
manusia dan pencerahan atas kegelapan manusia serta uswatun hasanah yang
dijadikan sebuah pembelajaran bagi umat manusia hingga akhir zaman.
Skripsi ini, penulis susun guna memenuhi syarat akhir untuk mencapai
gelar Sarjana Hukum Syariah (S1) pada program studi Perbandingan Madzhab
dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Univesitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Selama proses perjalanan untuk menyelesaikan skripsi ini, penulis
mendapat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak sehingga terselesaikannya
skripsi ini. oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada yang
terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Uin
Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si Ketua program studi
Perbandingan Madzhab dan Hukum
3. Ibu Hj. Siti Hana Lc, MA. Sekretaris program studi Perbandingan
Madzhab dan Hukum.
4. Bapak Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, MA, serta Bapak Ahmad Bisyri Abdus
Shomad MA, sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu,
memberikan masukan serta ilmunya selama penulis mengerjakan skripsi
ini.
5. Bapak dan ibu dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga
dan pikirannya untuk mendidik penulis.
6. Kepada segenap karyawan perpustakaan utama serta perpustakaan
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta yang jug memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang menjadi
referensi dalam penulisan skripsi.
7. Orang tua penulis Ayahanda Alm. H. Muhammad Kudus dan Ibunda Hj.
Kheiriyah tercinta yang selalu penulis hormati dan sayangi, dan yang
selalu mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan
bimbingan, arahan, nasehat serta doa demi kesuksesan penulis. Semoga
Allah selalu memberikan rahman dan rahimnya kepada mereka, aamiin.
8. Tidak lupa kepada saudara kandung penulis Ahmad Mulyadi, S.Com,
Nina Mulyana serta Ahmad Kabidi. Yang sangat memberikan semangat
dan motivasi kepada penulis.
9. Kepada seluruh teman-teman seperjuangan penulis kelas PMF angkatan
2011 yang dibanggakan.
viii
Akhirnya atas jasa dan bantuan semua pihak baik berupa moril maupun
materil penulis panjatkan doa semoga Allah SWT. membalasnya dengan imbalan
pahala yang berlipat ganda dan menjadikan sebagai amal jariah yang tidak pernah
surut mengalir pahalanya, dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis dan semua pihak. Aamiin Yaa Rabbal Alamin.
Jakarta, 30 September 2016
KOHARUDIN
NIM: 1111043100019
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………….. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN…………………………... iii
LEMBAR PERNYATAAN………………………………………………. .. iv
ABSTRAK………………………………………………………………….. v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 6
D. Study Review Terdahulu ........................................................ 7
E. Metode Penulisan ................................................................... 8
F. Sistematika Penulisan. ........................................................... 10
BAB II ZAKAT DALAM KONSEP ISLAM ......................................... 12
A. Definisi Zakat .......................................................................... 12
B. Rukun dan Syarat Zakat .......................................................... 14
C. Kategori Penerima Zakat ........................................................ 17
D. Cara Penglolaan Zakat ............................................................ 28
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG MAJELIS ULAMA
INDONESIA DAN ISTINBAT HUKUM .................................. 30
A. Sejarah Berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI) ............. 30
x
B. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia ................................ 35
C. Metode Istinbat Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) ..... 38
BAB IV ANALISIS FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA NO 14
TAHUN 2011 TENTANG PENYALURAN HARTA ZAKAT
DALAMBENTUK ASET KELOLAAN ................................... 49
A. Fatwa Majelis Ulama Indonesia No 14 Tahun 2011 Tentang
Penyaluran Harta Zakat dalam Bentuk Aset Kelolaan. .......... 49
B. Landasan Hukum Fatwa Mui Tentang Penyaluran harta Zakat
dalam Bentuk Aset Kelolaan. ................................................. 56
1. Landasan Dalil Al-Qur’an ............................................... 56
2. Hadits Rasulullah Saw. ................................................... 64
3. Qaidah Ushuliyyah dan Qaidah Fiqhiyyah .................... 65
C. Analisis Penulis Terhadap Fatwa MUI Tentang Penyaluran Harta
Zakat dalam Bentuk Aset Kelolaan........................................ 66
BAB V PENUTUP ................................................................................ 73
A. Kesimpulan ............................................................................ 73
B. Saran ....................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 76
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama terakir yang diturunkan oleh Allah SWT. Lewat
perantara nabi akhir zaman nabi Muhammad SAW. kepada umat manusia
pada zaman itu hingga sekarang. Tidak jauh berbeda dari agama sebelumnya
Islam juga memiliki berbagai aturan dan tata laksana yang harus dilaksanakan
oleh pengikutnya, apabila itu bersifat perintah, dan wajib bagi umat muslim
untuk menjauhi segala larangan-larangannya, apabila itu bersifat larangan
yang telah menjadi peraturan dalam Islam sebagai agama terakhir. Adapun
peraturan tersebut memiliki dua sifat yaitu ada yang bersifat membuat ajaran
baru dan ada yang bersifat melanjutkan ajaran-ajaran sebelumnya. Salah satu
ajaran yang bersifat melanjutkan ajaran-ajaran sebelumnya adalah ibadah
zakat. Walaupun zakat ibadah yang bersifat melanjutkan ajaran-ajaran
sebelumnya, zakat memiliki posisi penting dalam Islam.
Zakat bukanlah syariat baru yang hanya terdapat pada syariat Islam
yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW. akan tetapi, zakat juga merupakan
bagian dari syari‟at yang dibawa oleh para Rasul terdahulu. Karena itu, dapat
dikatakan bahwa zakat sebagai ibadah yang menyangkut harta benda dan
berfungsi sosial itu telah berumur tua, karena telah dikenal dan diterapkan
dalam agama samawi yang dibawa oleh para rasul terdahulu.1
1Fakhrudidn, Fiqh & Manajemen Zakat di Indonesia, (Jakarta: Kencana
PrenadaMedia Grup, 2011), h. 1-2.
2
Zakat yang merupakan salah satu rukun dari rukun Islam, tentunya
tidak asing lagi bagi masyarakat yang memeluk agama Islam, apalagi
mendengar kata zakat fitrah yang merupakan bagian dari macam-macam
zakat. Hal ini dikarenakan setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan
yang sudah memenuhi syarat wajib membayar zakat fitrah yang wajib
ditunaikan ketika bulan Ramadhan hingga waktu sebelum sholat ied dimulai.
Sebagai sumber hukum yang utama al Qur‟an memuat pernyataan
yang bersifat global, pernyataan-pernyataan tersebut belum dijelaskan secara
jelas dan pasti. Hal tersebut tidak berarti sebagai kelemahan dari al-Qur‟an
tetapi itu justru anugrah bagi manusia. Karena masalah-masalah yang belum
ditunjukan oleh al-Qur‟an secara jelas dan pasti diserahkan kepada ulama dan
orang yang memiliki kemampuan dan keahlian menganalisa dan memecahkan
masalah tersebut untuk melakukan ijtihad guna menetapkan hukum tentang
permasalahan tersebut sesuai dengan kemaslahatan masyarakat dan
perkembanganya.2 Semua ini akan melahirkan pemikiran–pemikiran Islam
yang baru sesuai dengan perjalanan zaman, sehingga isi kandungan al-Qur‟an
mudah dipahami dan dipelajari karena al-Qur‟an sesuai seiring dengan
berkembangnya zaman.
Hadis yang merupakan sumber hukum kedua dalam Islam berperan
penting untuk menyempurnakan sumber hukum al-Qur‟an yang menjadi
landasan dasar umat muslim untuk mengambil keputusan dalam suatu hukum.
Maka hukum-hukum yang masih bersifat global dalam al-Qur‟an dapat
2Fakhrudidn, Fiqh & Manajemen Zakat di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup, 2011), h. 1-2.
3
ditemukan penjelasanya dalam hadis secara terperinci, hal ini dijelaskan oleh
Syech Abdul Hamid al-Hakim dalam kitabnya Mabadi‟ Awaliyah
ام ه ن ب يصلىاهللعليووسلمت و ان ,ف اء ض ع ال ات ي د و ة ا الزك ر اد ق م ان ي ب ك اب ت الك ب ان ي ب :ث ال الث و
ة ر و ه املش و ب ت ك ب 3
Artinya: “ Dan yang ketiga: penjelasan (al-Qur‟an) dengan kitab
sebagaimana ketentuan zakat dan diyat anggota tubuh, sesungguhnya
Rasulullah SAW. menjelaskan keduanya dengan kitabnya yang terkenal.
Berdasarkan keterangan Syech Abdul Hamid al-Hakim dalam
karayanya tersebut, maka dapat diketuhaui bahwasanya perintah Allah dalam
al-Qur‟an mengenai zakat yang masih bersifat global dapat dijelaskan dengan
hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua. Maka jelaslah beberapa ayat
al-Qur‟an yang masih bersifat global dapat dijelaskan dengan hadis
Rasulullah.
Pengulangan perintah zakat dalam al-Qur‟an menunjukan bahwa
kewajiban zakat itu merupakan salah satu kewajiban agama yang harus
diyakini. Para ulama menjelaskan beberapa tingkatan manusia dalam
kaitannya dengan pengetahuannya tentang zakat. Mereka berkata orang yang
mengingkari kewajiban zakat karena tidak tahu, misalnya baru saja memeluk
Islam, atau tinggal di daerah terpencil yang jauh dari kota dan tidak
menemukan jalan untuk mencapai ke pusat-pusat ilmu karena jaraknya yang
terlalu jauh, atau tidak ada ulma yang datang ke daerah itu untuk memberikan
3Abdul Hamid Hakim, Mabadi‟ Awaliyah, (Jakarta: Sa‟adah Putra, 2008), h. 10-11.
4
pengetahuan tentang zakat, orang itu tidak dinilai kufur. Sebab ketidak
tahuannya itu cukup beralasan.4 Maka jelaslah kewajiban menunaikan zakat
dan mempelajari ilmu tentangnya begitu juga mengetahui cara
menyalurkannya kepada yang berhak. Kewajiban pembayaran zakat juga
diyakini dapat digunakan sebagai alternatif untuk mengentaskan kemiskinan
di tengah-tengah masyarakat. Atas dasar keyakinan itu, tidak jarang orang
berandai-andai tentang besarnya jumlah zakat yang terkumpul, jika setiap
muslim bersedia mengeluarkannya.5
Jika dikaitkan dengan persoalan penyaluran zakat, apakah boleh
penyaluran zakat digunakan untuk kepentingan aset kelolaan?. Hal ini
berhubungan dengan pelaksanaan penyaluran zakat yang dilaksanakan oleh
Dompet Dhuafa Banten dalam membuat sebuah program berbasis
pemberdayaan ekonomi yang memang sudah menjadi strategi lembaga.
“Pemberdayaan ekonomi ini dipilih berdasarkan pengamatan dan pengalaman
Dompet Dhuafa mendampingi masyarakat miskin. Program pemberdayaan
ekonomi adalah metode paling efektif membantu masyarakat dhuafa menjadi
berdaya,” ujar Pimpinan Cabang Dompet Dhuafa Banten, Abdurrahman
Usman, saat peluncuran program Kampoeng Ternak Banten di Cipocok Jaya,
Kamis (11/8). Pada akhirnya, dari perpaduan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia, ekonomi, dan fakta isu sosial di atas, Dompet Dhuafa
berharap, kehadiran program Kampoeng Ternak Banten dapat membantu
4Muhammad Abu Zahrah, Zakat dalam Perspektif Sosial, (Pustaka Firdaus, Jakarta,
1995), h. 19-20.
5Didin Hafidhuddin dkk, The Power of Zakat: Studi Perbandingan Pengelolaan
Zakat Asia Tenggara, (UIN-Malang Press, 2008), h. 4.
5
masyarakat dhuafa menjadi lebih berdaya. Program ini pun diharapkan dapat
menjadi pusat pelatihan dan training budidaya ternak domba di Banten.
Selain itu juga menjadi sentra pemasok domba atau kambing yang sehat dan
berkualitas, menjadi pemasok pupuk kandang/organik untuk mendukung
kegiatan para petani di sekitar lokasi, serta sebagai ikhtiar membantu
mengentaskan kemiskinan di Banten dengan program harta zakat dalam
bentuk aset kelolaan ini.6 Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk
mengangkat tema tersebut kedalam bentuk tulisan (skripsi) dengan judul
“Penyaluran Harta Zakat dalam Bentuk Aset Kelolaan (Analisis Fatwa
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 14 Tahun 2011)”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis
membatasi permasalahan dalam penulisan skripsi ini pada
pembahasan sebagai berikut:
1. Konsep zakat dalam Islam.
2. Pengelolaan zakat dalam Islam.
3. Hukum pengelolaan zakat untuk aset kelolaan.
4. Metode istinbat yang dipakai MUI dalam fatwa nomor 14 tahun
2011.
5. Siapa yang berhak mendapatkan harta zakat.
6 http://www.dompetdhuafa.org/post/detail/7660/kampoeng-ternak-banten--upaya-
dompet-dhuafa-entaskan-kemiskinan
6
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas maka penulis
merumuskan pokok permasalahan dalam skripsi ini bahwa dalam
Islam telah ditetapkan siapa saja yang menjadi mustahiq zakat, akan
tetapi pada saat ini terdapat pengelolaan dana zakat yang tidak
semestinya, melainkan dipergunakan untuk aset kelolaan. Pokok
permasalahan diatas akan diurai dalam pertanyaan penellitian sebagai
berikut:
1. Bagaimana pengelolaan zakat dalam Islam?
2. Bagaimana hukum pengelolaan zakat untuk aset kelolaan?
3. Bagaimana metode istinbat yang dipakai MUI dalam fatwa
nomor 14 tahun 2011?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pengelolaan zakat dalam Islam.
b. Untuk megetahui hukum pengelolaan zakat untuk aset kelolaan.
c. Untuk mengetahui metode istinbat yang digunakan MUI dalam
fatwa nomor 14 tahun 2011.
2. Manfaat Penelitian
7
a. Dalam bidang akademik penelitian ini diharapkan dapat berguna
bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ke-Islaman
dalam penyaluran zakat untuk pembangunan aset kelolaan.
b. Bagi masyarakat luas penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pengetahuan dan pemahaman yang mendalam dan meyakinkan
tentang pandangan hukum Islam terkait dengan penyaluran zakat
untuk pembangunan aset kelolaan.
D. Review Studi Terdahulu
Sejauh ini untuk menghindari penulisan tema yang sama, maka
penulis melakukan tinjauan terhadap kajian terdahulu yang pembahasannya
memiliki sedikit kesamaan. Dengan begitu tidak terjadi kesamaan tema
maupun judul dalam penulisan. Seperti salah satu diantaranya adalah skripsi
yang berjudul “Analisis Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Sadaqah pada Badan
AmilZakat Nasional (BAZNAS) yang ditulis oleh Khafid Yusuf, program studi
muamalah 2013 Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarata. Skripsi ini
membahas mengenai pengelolaan zakat, infaq, Sadaqah pada Badan Amil
Zakat Nasional yang di dalamnya menjelaskan program yang dilakukan oleh
Badan Amil Zakat Nasional dalam upaya meningkatkan kesejahteraann
mustahiq.
Penelitian selanjutnya yaitu dengan judul skripsi “Efektivitas Program
Layanan Donatur dalam Penghimpunan Dana Zakat di Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS)yang ditulis oleh Istiqomah, program studi muamalah
2014 Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Skripsi ini membahas tentang
8
layanan-layanan yang terdapat di BAZNAS untuk menghimpun dana zakat
dan efektivitasnya dalam menghimpun seluruh dana zakat yang wilayahnya
mencangkup seluruh kepulauan Indonesia.
Dari penelitian yang telah diuraikan di atas, penulis berpendapat
bahwa skripsi yang akan ditulis ini berbeda dengan penelitian di atas. Jika
pada penelitian pertama fokus pembahasannya mengenai pengelolaan zakat,
infaq, Sadaqah pada Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang
didalamnya menjelaskan program yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat
Nasional dalam upaya meningkatkan kesejahteraann mustahiq. Penelitian
kedua fokus pembahsannya mengenai layanan-layanan yang terdapat di
BAZNAS untuk menghimpun dana zakat dan efektivitasnya dalam
menghimpun seluruh dana zakat yang wilayahnya mencangkup seluruh
kepulauan Indonesia. Dalam penelitian ini penulis ingin fokus memaparkan
penyaluran harta zakat yang bersifat kemanfaatanya lebih luas dengan
menjadikan harta zakat sebagai aset kelolaan sesuai yang telah ditetapkan
oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor 14 tahun 2011 yang membahas
tentang penyaluran harta zakat dalam bentuk aset kelolaan.
E. Metode Penelitian
Adapun Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif.
1. Jenis Penelitian
9
Peneltian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
normatif yang mana penelitian ini dilakukan dengan meneliti bahan
pustaka atau data sekunder.7 Penelitian ini jga menggunakan studi
komparatif atas pendapat para ulama. Dengan studi kompratif, penulis
membandingkan pendapat para ulama dalam permasalahan mengenai
penyaluran harta zakat dalam bentuk aset kelolaan.8
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data
skunder. Data primer dalam penelitian ini adalah fatwa nomor 14 tahun
2011.
Sumber data skunder adalah buku-buku fiqih ibadah. Seperti,
buku fiqh Islam wa adillatuhu karya Prof. Wahbah Dzuhaili dan kifayal
al-akhyar Data skunder dalam penelitian ini adalah berbagai dokumen
yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian yang didapat dari
buku-buku, artikel ilmiah, berita-berita di media masa, dan lainnya.9
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumplan data yang digunakan dalam penlitian ini
adalah kajian kepustakaan yaitu upaya pengidentifikasian secara
7 Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2011), h. 33-35.
8 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2008), h. 100.
9 J.moelang, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosada Karya, 1997),
h. 112-116.
10
sistematis dan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang
memuat informasi yang berkaitan dengan tema, objek dan masalah
penelitian yang akan dilakukan.10
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah proses penyerderhanaan data kedalam
bentuk yang lebih mudah dibaca atau mudah dipahami dan
diinformasikan kepada orang lain.11
5. Teknis Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulisan mengacu pada
buku “pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan skipsi ini penulis akan mengembangkan dalam
lima bab, yang masing-masing bab terdiri dari sub bab yang disesuaikan
dengan isi dan masksud tulisan ini. Pembagian kedalam beberapa bab dan sub
bab adalah bertujuan untuk memudahkan pembahasan terhadap isi penulisan
ini. Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
10 Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode PenilitianHukum, (Jakarta:
Lemabaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 17-18.
11Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandng: Alfabeta, 2004),
h. 244.
11
BAB I meliputi latar belakang, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu,
metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II PANDANGAN ULAMA MENGENAI ZAKAT
BAB II meliputi pandangan ulama mengenai pengertian zakat,
rukun dan syarat zakat, macam-macam harta yang wajib
dikeluarkan zakatnya, dan tata cara pengelolaan zakat
BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI ZAKAT
BAB III ini mengenai sejarah berdirinya MUI, metode istinbat
hukum MUI, fatwa MUI mengenai mentasharufkan dana zakat
untuk kegiatan produktif dan kemaslahatan umum.
BAB IV ANALISIS FATWA MUI MENGENAI MENTASHARUFKAN
DANA ZAKAT UNTUK KEGIATAN PRODUKTIF DAN
KEMASLAHATAN UMUM
Dalam BAB IV ini penulis akan menganalisis mengenai hukum
pengelolaan harta zakat untuk pembangunan aset kelolaan.
BAB V PENUTUP YANG MELIPUTI KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam BAB V ini penulis akanmengakhiri penulisan ini dengan
memberikan beberapa kesimpulan dan juga menyampaikan
beberapa saran yang berhubungan dengan kajian penulisan.
12
BAB II
ZAKAT DALAM KONSEP ISLAM
1. DEFINISI ZAKAT
Zakat (سكاج) merupakan kata dasar dari zakâ (سكا) yang berarti berkah,
tumbuh, bersih dan baik. Menurut lisan Arab, arti dasar dari kata zakat
ditinjau dari sudut bahasa ialah, suci, tumbuh, berkah dan terpuji. Pedapat
lain yang bersumber dari Wahidi dan lain-lain menyebutkan bahwa kata dasar
zakat berarti bertambah dan tumbuh.1 Secara bahasa, zakat berarti tumbuh
dan bertambah. Jika diucapkan zaka Al-zar, artinya tanaman itu tumbuh dan
bertambah. Kata ini juga sering dikemukakan untuk makna thaharoh (suci),
Allah berfirman: Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa
itu (QS 91:9). Adapun zakat menurut syara‟ berarti hak yang wajib
dikeluarkan dari harta. Mazhab maliki mendefinisikan dengan mengeluarkan
sebagian khusus dari harta yang khusus pula kepada orang-orang yang berhak
menerimanya, dengan catatan kepemilikan itu penuh dan telah mencapai haul
(setahun), bukan barang tambang dan bukan barang pertanian.
Wahbah al-Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuh mengungkapkan beberapa definisi zakat menurut para ulama
mazhab:
1 Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat terj. Salman Harun (Bandung: Mizan, 1996), cet.
IV, hal. 34.
13
1. Menurut Hanafiyah mendefinisikan zakat adalah tamlik (kepemilikan)
bagian harta tertentu dari harta tertentu untuk pihak tertentu yang
telah di tentukan oleh syari‟(Allah swt) untuk mengharapkan
keridhaannya.
2. Malikiyah, zakat adalah mengeluarkan bagian yang khusus dari harta
yang telah mencapai nishabnya untuk yang berhak menerimanya, jika
milik sempurna dan mencapai haul selain barang tambang, tanaman
dan rikaz.
3. Syafi‟iyyah mendefinisikan zakat adalah nama bagi sesuatu yang
dikeluarkan dari harta dan badan dengan cara tertentu.
4. Hanabilah mendefinisikan zakat adalah hak yang wajib dalam harta
terntentu untuk kelompok tertentu pada waktu tertentu.2
Kata menjadikan harta sebagai milik tamlik dalam definisi di atas
dimaksudkan sebagai penghindaran dari kata ibahah. Dengan demikian,
seandainya seseorang memberi makan seorang anak yatim dengan niat
mengeluarkan zakat, maka zakat tersebut dianggap tidak shahih.
Menurut terminologi syariat zakat juga didefinisikan kewajiban atas
harta tertentu, untuk kelompok tertentu, dan dalam waktu tertentu pula, jadi
bisa diartikan zakat nama atau sebutan dari sesuatu (hak Allah SWT) yang
dikeluarkan seseorang kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
2 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh , (Baerut: Dar al-Fikr, 2007),
Juz 3, h. 1788-1789.
14
Dinamakan zakat karena di dalamnya terkandung harapan untuk memperoleh
berkah, membersihkan jiwa, dan memupuk berbagai kebaikan.3
2. RUKUN DAN SYARAT ZAKAT
Dr. Wahbah al-Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa
Adillatuhu menjelaskan sebagai berikut :
د ي اء ه ان ب اب ص الن ن م ء ز ج اج ر خ ا و ه :ف اة ك الز ن رك ام ا و ي ق ال ل ا و ك ي ل ت ,و و ن ع ك ال امل
4ق د مص ال و ا ام م ال و ى و و ن ع ب ائ ن و ى ن م ل ا و ا و ي ل ا و يم ل س ت و
Artinya : Rukun zakat ialah mengeluarkan sebagian dari nishab
(harta), dengan melepaskan kepemilikan terhadapnya, menjadikannya sebagai
milik orang fakir dan menyerahkannya kepadanya atau harta tersebut
diserahkan kepada wakilnya yakni imam atau orang yang bertugas untuk
memungut zakat.
Adapun syarat wajibnya menurut kesepakatan ulama ialah sebagai
berikut:
A. Merdeka
Menurut kesepakatan ulama zakat tidak wajib atas hamba
sahaya karena hamba sahaya tidak mempunyai hak milik. Tuannya lah
yang memiliki apa yang ada di tangan hambanya.
3 Al-Furqan Hasbi, 125 Masalah Zakat, (Solo: Tiga Serangkai, 2008), h. 13.
4 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh , (Baerut: Dar al-Fikr), 2007,
h.737
15
B. Islam
Menurut ijma‟ zakat tidak wajib atas orang fakir karena zakat
merupakan ibadah mahdhah yang suci sedangkan orang kafir bukan
orang yang suci.
C. Baligh dan Berakal
Kedua dipandang sebagai syarat oleh mazhab Hanafi. Dengan
demikian, zakat tidak wajib diambil dari harta anak kecil dan orang gila
sebab keduanya tidak termasuk dalam ketentuan orang yang wajib
mengerjakan ibadah. Sedangkan menurut jumhur zakat wajib
dikeluarkan dari harta anak kecil dan orang gila. Zakat tersebut
dikeluarkan oleh walinya.
D. Harta yang Dikeluarkan adalah Harta yang Wajib Dizakati.
Harta yang memiliki kriteria ini ada lima jenis, yaitu a) uang,
emas, perak baik berbentuk uang logam maupun uang kertas b) barang
tambang dan barang temuan c) barang dagangan d) hasil tanaman dan
buah-buahan e) menurut jumhur binatang ternak yang merumput sendiri
dan menurut mazhab maliki hewan ternak yang diberi makan oleh
pemiliknya.5
E. Harta yang dizakati telah mencapai nisab atau senilai dengannya
Maksudnya ialah nisab yang ditentukan oleh syara‟ sebagai
tanda kayanya seseorang dan kadar-kadar yang mewajibkannya zakat.
5 Wahbah al-Zuhayly, Zakat kajian berbagai mazhab, terj. Agus Efendi dan
Bahrudin fananny (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 101
16
F. Harta yang dizakati adalah milik penuh
Para fuqaha berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud
dengan harta milik. Apakah yang dimaksud dengannya ialah harta
milik yang sudah berada di tangan sendiri, ataukah harta milik yang hak
pengeluarannya berada di tangan seseorang, dan ataukah harta yang
dimiliki secara asli.6
G. Kepemilikan harta telah mencapai setahun, menurut hitungan tahun
qamariyah.
H. Harta tersebut bukan merupakan harta hasil utang.
Mazhab Hanafi memandangnya sebagai syarat dalam semua
zakat selain zakat harts (biji-bijian dan yang menghasilkan minyak
nabati), sedangkan hanafi memandangnya sebagai syarat dalam semua
harta yang akan dizakati.
Adapun syarat-syarat sah pelaksanaan Zakat
A. Niat, para Fuqaha sepakat bahwa niat merupakan syarat
pelaksanaan zakat.
B. Tamlik (memindahkan kepemilikan harta kepada penerimanya),
tamlik menjadi syarat sahnya pelaksanaan zakat, yakni harta
zakat diberikan kepada mustahiq.
I. Harta yang dizakati melebihi kebutuhan pokok
Mazhab Hanafi mensyaratkan agar harta yang wajib dizakati
terlepas dari utang dan kebutuhan pokok sebab orang yang sibuk
6 Wahbah al-Zuhayly, Zakat kajian berbagai mazhab, terj. Agus Efendi dan
Bahrudin fananny (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 102
17
mencari harta untuk kedua hal ini sama dengan orang yang tidak
memliki harta.7
3. KATEGORI PENERIMA ZAKAT
Seperti sudah kita ketahui, kalau soal zakat itu dalam Qur‟an
disebutkan secara ringkas, maka secara khusus pula Qur‟an telah memberikan
perhatian dengan menerangkan kepada siapa zakat itu harus diberikan. Tidak
diperkenankan para penguasa membagikan zakat menurut kehendak mereka
sendiri, karena dikuasai nafsu atau karena adanya fanatik buta.
Pada masa Rasulullah SAW, mereka yang serakah tak dapat menahan
air liur melihat sedekah itu. Mereka mengharapkan mendapat percikan harta
itu dari Rasulullah SAW, tetapi ternyata setelah mereka tidak diperhatikan
oleh Rasulullah SAW, mulai mereka menggunjing dan menyerang kedudukan
beliau sebagai Nabi. Kemudian turun ayat Qur‟an menyingkap sifat-sifat
mereka yang munafik dan serakah itu dengan menunjukkan kepalsuan
mereka itu yang hanya mengutamakan kepentingan pribadi, dan sekaligus
ayat itu menerangkan kemana sasaran zakat itu harus dikeluarkan,
sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S At-Taubah (9) ayat: 60.
او ال م ؤ ل ة ع ل ي ه و ال ع ام ل ني و ال م س اك ني ق ر اء ل ل ق ات الص د إ ن ا و ف و ال غ ار م ني الر ق اب و ف ق ل وب ه م
الل و و ف ر يض ةم ن الل و و اب ن الس ب يل )6:(الل و ع ل يم ح ك يم )التوبس ب يل
7 Wahbah al-Zuhayly, Zakat kajian berbagai mazhab, terj. Agus Efendi dan
Bahrudin fananny (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 106-114
18
Artinya: Dan diantara mereka ada orang yang mencelamu tentang
pembagian sedekah-sedekah, jika mereka diberi sebagian dari padanya,
mereka bersenang hati dan jika mereka tidak diberi sebagian dari padanya
(maka) dengan serta merta mereka menjadi marah. Jika mereka sungguh-
sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan rasulnya kepada
mereka, dan berkata: “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan member
kepada kami sebagian dari karunianya dan dengan demikian (pula) rasulnya,
sesungguhnya adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,” (tentulah
yang demikian itu lebih baik bagi mereka). Sesungguhnya zakat-zakat itu
hanyalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, penguruspengurus
zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya dan untuk orang-orang yang sedang
dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah
maha mengetahui lagi maha bijaksana.(QS. al-Taubah (9): 60)
Maka dengan turunnya ayat tersebut harapan mereka itupun menjadi
buyar, sasaran zakat menjadi jelas dan masing-masing mengetahui haknya
yakni bahwa yang berhak menerima zakat ialah delapan asnaf.8
Masyarakat itu terdiri dari tiga kategori . Kategori yang pertama yaitu
mereka yang pendapatannya tidak mencukupi kebutuhan pokoknya maka
mereka bisa mengambil jatah zakat. Kategori kedua mereka yang dapat
mencukupi kebutuhan pokoknya tapi sisa pendapatannya kurang dari satu
nisab. Maka mereka tidak berkewajiban membayar zakat tapi tidak berhak
mengambil jatah zakat. Kategori yang ketiga adalah mereka yang
pendapatannya mencukup kebutuhan pokoknya dan sisanya mencukupi satu
nisab maka mereka wajib membayar zakat.
Adapun kelompok penerima zakat ada delapan yaitu:
8 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh , (Baerut: Dar al-Fikr, 2007),
Juz 3, h. 277.
19
a. Orang Fakir (fuqara)
Kelompok pertama yang menerima zakat dan secara bahasa
bentuk jamak dari al-fakir. Menurut mazhab Syafi'i dan Hanbal adalah
orang yang tidak memiliki harta benda dan pekerjaan yang mampu
mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Dia tidak memiliki suami, ayah,
ibu, dan keturunan yang yang dapat membiayainya, baik membeli
pakaian, makanan maupun tempat tinggal.
b. Orang Miskin
Kelompok ini merupakan kelompok kedua yang menerima zakat.
Orang miskin ialah orang yang memiliki pekerjaan, tetapi
penghasilannya tidak dapat dipakai untuk memenuhi hajat hidupnya.
Seperti orang yang memerlukan sepuluh, tetapi ia hanya mendapatkan
delapan sehingga belum dianggap layak dari segi makanan, pakaian, dan
tempat tinggal.
c. Panitia Zakat („Amil)
Panitia zakat adalah orang yang bekerja memungut zakat. Panitia
ini harus disyaratkan mempunyai sifat kejujuran dan menguasai hukum
zakat. 9
d. Mu‟alaf yang perlu ditundukan hatinya
Yang termasuk golongan ini antara lain orang-orang yang lemah
niatnya masuk Islam. Mereka diberi bagian dari zakat agar niat mereka
memasuki Islam menjadi kuat.
9 Wahbah al-Zuhayly, Zakat kajian berbagai mazhab, terj. Agus Efendi dan
Bahrudin fananny (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 280-282.
20
e. Para Budak
Para budak yang dimaksud disini, menurut jumhur ulama, ialah
para budak muslim yang telah membuat perjanjian dengan tuannya untuk
dimerdekakan dan tidak memiliki uang untuk membayar tebusan atas diri
mereka, meskipun mereka telah bekerja keras dan membanting tulang
mati-matian.
f. Orang yang Memiliki utang
Mereka ialah orang-orang yang memiliki utang, baik utang itu
untuk dirinya maupun bukan, baik utang itu dipergunakan untuk hal-hal
yang baik maupun untuk melakukan untuk kemaksiatan. Jika utang itu
dilakukan untuk kepentingan dirinya sendiri, dia tidak berhak
mendapatkan bagian dari zakat kecuali dia adalah seorang yang dianggap
fakir.10
g. Orang yang Berjuang di Jalan Allah (Fi Sabilillah)
Yang termasuk dalam kelompok ini ialah para pejuang yang
berperang di Jalan Allah yang tidak digaji oleh markas komando mereka
karena yang mereka lakukan hanyalah berperang. Menururt jumhur
ulama, orang-orang yang berperang di jalan Allah diberi bagian zakat
agar dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka, meskipun mereka itu
kaya, karena sesungguhnya orang-orang yang berperang itu adalah untuk
kepentingan orang banyak. Adapun orang-orang yang digaji di markas
komando mereka, tidak diberi zakat. Abu Hanifah berpendapat bahwa
10 Wahbah al-Zuhayly, Zakat kajian berbagai mazhab, terj. Agus Efendi dan
Bahrudin fananny (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 285-287.
21
orang-orang yang berperang di jalan Allah tidak perlu diberi bagian
zakat, kecuali jika mereka adalah orang-orang fakir.
h. Ibnu Sabil
Adapun ibnu al-sabil yang secara harfiah berarti ”anak jalanan”,
maka para ulama dahulu memahaminya dalam arti siapapun yang
kehabisan bekal, dan dia sedang dalam perjalanan, walaupun dia kaya di
negeri asalnya.11
Mereka patut memperoleh bagian dari zakat sekedar
cukup untuk bekal perjalanannya pulang pergi.12
Adapun pendapat ulama-ulama fiqih tentang Mustahiq Zakat sebagai berikut:
a. Fakir
Fakir adalah orang yang tidak mempunyai harta dan pekerjaan
sama sekali.13
1. Imam Abu Hanifah: Orang fakir adalah orang yang mempunyai
harta kurang dari satu nishob, atau memiliki satu nishab atau
lebih, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
2. Imam Malik: Orang fakir adalah orang yang mempunyai harta,
sedangkanhartanya tidak mencukupi untuk keperluannya selama
satu tahun.
11 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.
599.
12 Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Kasir, jilid 4
(Surabaya: Bina Ilmu, 1988), h. 78.
13 Abu bakar, Taqiyudin bin Muhammad al Husaini. Kifaytul Akhyar (Bina Iman, 9
H.) h. 441.
22
3. Imam Syafi‟i: Orang fakir adalah orang yang tidak mempunyai
harta dan usaha atau mempunyai harta kurang dari ½ (seperdua)
keperluannya dan tidak ada orang yang menanggungnya.
4. Imam Ahmad bin Hanbal: Orang fakir adalah orang yang tidak
mempunyai harta atau mempunyai harta kurang dari ½ (seperdua)
keperluannya.
b. Miskin
Orang Miskin yaitu orang yang memiliki pekerjaan, tetapi
penghasilannya tidak dapat di pakai untuk memenuhi hidupnya.14
2. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik: Orang miskin adalah orang
yang tidak mempunyai sesuatu apapun. Menurut keduanya orang
miskin ialah orang yang keadaan ekonominya lebih buruk dari
orang fakir.
3. Imam Syafi‟I dan Imam Imam Ahmad bin Hanbal: Orang miskin
adalah orang yang mempunyai harta tetapi tidak mencukupi
kebutuhannya.15
Terdapat persamaan dan perbedaan batasan tetang “Fakir dan
Miskin”. Persamaan keduanya adalah orang-orang yang berada dalam
kebutuhan dan mereka tidak mendapatkan apa yang mereka butuhkan.
Demikianlah menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah.
14 Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat terj. Salman Harun (Bandung: Mizan, 1996), cet.
IV, h. 513. 15 Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat terj. Salman Harun (Bandung: Mizan, 1996), cet.
IV, h. 513.
23
Sedangkan perbedaannya: “Fakir” adalah orang yang tidak memliki
sesuatu (harta) untuk menutupi kebutuhan hidupnya dan tidak kuat
berusaha (bekerja) untuk menutupi kebutuhan hidupnya tersebut.
Sedanhkan Miskin adalah orang yang lebih ringan kebutuhan hidupnya
dibandingkan orang fakir. Renungkan firman Allah:
ال ر ض ف ض ر با ت ط يع ون ي س ل الل و س ب يل ف ر وا أ ح ص ال ذ ين ق ر اء ال اى ل ل ل ي س ب ه م ف إ خ ي م ن ق وا ت ن و م ا إ ل افا الن اس أ ل ون ي س ل يم اى م ب س ت ع ر ف ه م الت ع ف ن أ غ ن ي اء م ن
(273(:2البقرة) ) الل و ب و ع ل يم
Artinya: (Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh
jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang
yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri
dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya,
mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja
harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.(QS. al-Baqarah (2): 273).
c. Amil
Adapun pengertian amil zakat terdapat perbedaan pendapat
dikalangan para „Ulama fiqih, antara lain pendapat imam empat mazhab
sebagai berikut:
1. Imam Abu Hanifah. „Amil adalah orang yang diangkat untuk
mengambil dan mengurus zakat.
2. Imam Malik. „Amil adalah orang yang menjadi pencatat,
pembagi, penasehat dan sebagainya yang bekerja untuk
kepentingan zakat.
24
3. Imam Syafi‟i. Amil adalah semua orang yang bekerja mengurus
zakat, sedangkan dia tidak mendapat upah selain dari zakat itu.
4. Imam Ahmad bin Hanbal. „Amil adalah pengurus zakat, dia
diberi zakat sekedar upah pekerjaannya. 16
d. Muallaf
Muallaf adalah orang yang baru masuk Islam dan asih lemah
imannya.
1. Imam Abu Hanifah: Mereka tidak diberi zakat lagi sejak zaman
kholifah Abu Bakar As-Shiddiq.
1. Orang kafir yang ada harapan masuk Islam.
2. Orang yang baru memeluk Islam.
2. Imam Malik: Madzhab ini mempunyai dua pendapat tentang
muallaf, yaitu:
1. Orang yang baru masuk Islam dan masih lemah imannya.
2. Orang Islam yang berpengaruh dalam kaumnya dan ada
harapan kalau dia diberi zakat orang disekitarnya akan
masuk Islam.
3. Orang Islam yang kuat imannya dan punya pengaruh
terhadap orang kafir, dan kalau dia diberi zakat, maka kita
akan terpelihara dari kejahatan kafir yang ada di bawah
pengaruhnya.
4. Orang yang menolak kejahatan orang yang anti zakat.17
16 Sulaiman Rasjid H. Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1998) , h. 210
– 213.
25
3. Imam Syafi‟i: Mempunyai dua pengertian tentang muallaf,
4. Imam Ahmad bin Hanbal: Muallaf adalah orang Islam yang ada
harapan imannya akan bertambah teguh atau ada harapan orang
lain akan masuk Islam karena pengaruhnya.
e. Riqab
Riqab adalah memerdekakan budak, mencakup juga untuk
melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
1. Imam Abu Hanifah: Riqab adalah hamba yang telah dijanjikan
oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya dengan uang atau
dengan harta lainnya.
2. Imam Malik: Riqab adalah hamba muslim yang dibeli dengan uang
zakat dan dimerdekakan
3. Imam Syafi‟i: Riqab adalah hamba (budak) yang dijanjikan oleh
tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya.
4. Imam Ahmad bin Hanbal: Riqab adalah hamba yang dijanjikan
oleh tuannya bahwa dia boleh menebus dirinya dengan uang yang
telah ditentukan oleh tuannya.
Islam mengajarkan kebebasan dan kemerdekaan manusia, sehingga
secara berangsur perbudakan dihapuskan.
17 Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu „Alal Madzahibil Arba‟ah, juz: 1, (Baerut: Dar
al-Fikr, 2007), h. 502 – 505
26
f. Gharim
Gharim adalah orang yang berhutang karena untuk kepentingan
yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya
1. Imam Abu Hanifah: Gharim adalah orang yang mempunyai
hutang, sedangkan hartanya diluar hutang tidak cukup satu
nishob. Dan ia diberi zakat untuk membayar hutangnya.
2. Imam Malik: Gharim adalah orang yang berhutang sedangkan
hartanya tidak mencukupi untuk membayar hutangnya. Dan
diberi zakat dengan syarat hutangnya bukan untuk sesuatu
yang fasad (jahat).
3. Imam Syafi‟i: Mempunyai beberapa pengertian tentang gharim
yaitu,18
a. orang yang berhutang karena mendamaikan dua orang
yang berselisih.
b. orang yang berhutang untuk kepentingan dirinya
sendiri.
c. orang yang berhutang karena menjamin hutang orang
lain.
4. Imam Ahmad bin Hanbal: Mempunyai beberapa pengertian
tentang gharim yaitu,
a. orang yang berhutang untuk mendamaikan dua orang
yang berselisih.
18 Abu bakar, Taqiyudin bin Muhammad al Husaini. Kifayatul Akhyar. (Bina Iman,
9 H.), h. 446.
27
b. orang yang berhutang untuk dirinya sendiri pada
pekerjaan yang mubah atau haram tetapi dia sudah
bertaubat.
g. Fisabilillah
Fisabilillah adalah orang yang berada dijalan Allah.19
1. Imam Abu Hanifah: Fisabilillah adalah bala tentara yang
berperang pada jalan Allah.
2. Imam Malik: Fisabilillah adalah bala tentara, mata-mata dan
untuk membeli perlengkapan perang dijalan Allah.
3. Imam Syafi‟i: Fisabilillah adalah bala tentara yang membantu
dengan kehendaknya sendiri dan tidak mendapat gaji serta
tidak mendapatkan harta yang disediakan untuk berperang.
4. Imam Ahmad bin Hanbal: Fisabilillah adalah bala tentara yang
tidak mendapat gaji dari pemerintah.
h. Ibnu Sabil
Ibnu Sabil adalah orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan
untuk maksiat, dan mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.
1. Imam Abu Hanifah: Ibnu Sabil adalah orang yang sedang
dalam perjalanan, yang putus perhubungan dengan hartanya.
2. Imam Malik: Ibnu Sabil adalah orang yang sedang dalam
perjalanan, sedang ia butuh untuk ongkos pulang kenegerinya.
Dengan syarat perjalanannya bukan untuk maksiat
19 Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Madzhab (Jakarta: Lentera
Basritama, 2000.), h. 193.
28
3. Imam Syafi‟i: Ibnu Sabil adalah orang yang mengadakan
perjalanan yang bukan maksiat tetapi dengan tujuan yang sah.
4. Imam Ahmad bin Hanbal: Ibnu Sabil adalah orang yang
keputusan belanja dalam perjalanan yang halal.
4. CARA PENGELOLAAN ZAKAT
Rasulallah SAW. biasanya mengutus beberapa orang untuk
mengumpulkan zakat dan membagikannya kepada orang-orang yang berhak.
Abu bakar dan umar pun berbuat hal yang sama, tanpa membedakan dengan
harta yang zahir maupun harta yang batin.
Para ulama ahli fikih sepakat bahwa orang yang berkewajiban
mengeluarkan zakat bertanggung jawab secara langsung untuk menyisihkan
sebagian hartanya untuk dikeluarkan zakatnya, jika merupakan hasil dari
harta batin. Hal ini berdasarkan perkataan Sa‟id bin Yazid, aku pernah
mendengar Utsman bin Affan menyampaikan khutbahnya di atas mimbar
Rasulallah SAW. dan dia berkata, “Bulan ini adalah bulan membayar zakat
bagi kalian. Siapa diantara kalian yang masih mempunyai utang, hendaknya
segera melunasinya sehingga harta kalian bersih dari sangkutan utang.
Setelah itu hendaknya kalian mengeluarkan zakat dari harta kalian.” HR
Baihaki dengan sanad sahih.20
Kaum muslimin juga diperbolehkan menyerahkan zakat kepada
kepala negara yang beragama Islam baik dia pemimpin yang adil maupun
tidak. Dengan menyerahkan kepadanya, berarti orang yang menyerahkan
20 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah II, terj. Khairul Amru Harahap dan Masrukhin
(Jakarta Cakrawala Publishing) 2012, h. 16 2-163.
29
zakatnya sudah dinyatakan sudah menunaikan kewajiban membayar zakat.
Anas berkata, seorang laki-laki dari Bani Tamim menemui Rasulullah SAW.
Dan bertanya wahai Rasulullah apakah sudah cukup jika aku menyerahkan
zakat kepada petugas yang engkau tunjuk dan dengan demikian kewajibanku
kepada Allah dan Rasul-Nya telah bebas? Rasulullah menjawab, “ ya, apabila
engkau telah mnyerahkannya kepada petugasku, mيثثثةaka engkau telah
terbebas darinya dan engkau memperoleh pa halanya sementara dosanya
ditanggung oleh yang menyelewengkannya.”21
Jumhur fuqoha sepakat bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada
selain yang disebutkan oleh Allah swt., seperti pembangunan masjid,
jembatan, sarana pengairan, pengerukan sungai, perbaikan jalan, membeli
kain kafan, membayar utang, penerimaan tamu, pembangunan pagar, dan
sebagaianya yang tidak disebutkan oleh Allah swt. Karena pada dasarnya hal-
hal tersebut tidak memiliki hak untuk menerima zakat.22
21 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah II, terj. Khairul Amru Harahap dan Masrukhin
(Jakarta Cakrawala Publishing) 2012, h.164
22 Wahbah al-Zuhayly, Zakat kajian berbagai mazhab, terj. Agus Efendi dan
Bahrudin fananny (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), h. 289-290 .
30
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG MAJELIS ULAMA INDONESIA DAN
ISTINBAT HUKUM
1. Sejarah berdirinya Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan pada tanggal 26 Juli 1975
M atau 17 Rajab 1375 H di Jakarta berdasarkan Pedoman Dasar 2005 pada
Bab I 162 pasal 1 ayat (2).23
Bermula dari konferensi para ulama di Jakarta
yang diselenggarakan oleh Pusat Dakwah Islam bentukan pemerintah pada
waktu KH M. Dahlan sebagai Menteri Agama, tanggal 30 September s.d. 4
Oktober 1970, pada waktu itu diajukan saran untuk memajukan kesatuan
kaum muslimin dalam kegiaan sosial dengan membentuk sebuah majelis para
ulama Indonesia yang diberi tugas untuk memberikan fatwa-fatwa.24
Tahun 1974 diadakan lokakarya nasional Persatuan Dakwah
Nasional, Dakwah Muslim Indoensia, presiden pada waktu itu Soeharto
menyarankan perlunya sebuah badan nasional bagi para ulama untuk
mewakili kaum muslimin dalam sebuah wadah pertemuan antar umar
beragama. Pada tanggal 24 Mei 1975 ketika presiden Soeharto menerima
delegasi Dewan Masjid Indonesia, ia menekankan kembali perlunya dibentuk
Majelis Ulama Indonesia dengan alasan agar kaum muslimin bersatu dan
23 Tim MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama
Indonesia Tahun 2005, (Jakarta: Sekretaris MUI Pusat, 2005), h. 31.
24 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah
Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indoneisa 1975-1988, (Jakarta: INIS, 1993), edisi
Dwibahasa, alihbahasa Soedarso, h. 66.
31
sadar bahwa permasalahan bangsa harus diselesaikan dengan turut sertanya
ulama. Menteri Dalam Negeri Amin Machmut juga menganjurkan daerah-
daerah agar membentuk Majelis Ulama dan hasilnya Mei 1975 sebanyak 26
provinsi telah membentuk Majelis Ulama daerah.25
Pada tanggal 1 Juli 1975 pemerintahan Seoharto melalui Departemen
Agama mengumumkan penunjukkan sebuah panitia persiapan pembentukan
Majelis Ulama tingkat Nasional, dengan ketua H. Sudirman, penasehat Dr.
Hamka, KH. Abdullah Syafi'i dan KH Syukri Ghazali. Pada mukhtamar
nasional ulama tanggal 21-27 Juli 1975 dengan akhir mukhtamar disepakati
"Piagam Pembetukan MUI" dengan ditanda tangani 66 orang peserta dan
mengumumkan terbentuknya Majelis Ulama Indoensia, dengan ketua umum
pertama Dr. Hamka.26
Tanda berdirinya MUI diabadikan dalam bentuk
penandatanganan Piagam Pembentukan MUI terdiri dari; 3 orang ulama, 26
orang ketua MUI Dati se-Indoensia, 10 orang ulama dari unsur organisasi
Islam tingkat pusat, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam AD, AU, AL dan
Polri, serta 13 orang ulama yang hadir dari sebagai pribadi. Kesepuluh Ormas
Islam tersebut adalah: NU (KH. Moh. Dahlan), Muhammadiyah (Ir. H. Basit
Wahid), Syarikat Islam (H. Syafi'I Wirakusumah), Perti (H. Nurhasan Ibnu
Hajar), Al-Wasliyah (Anas Tanjung), Mathla'ul Anwar (KH. Saleh Su'aidi),
25 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah
Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indoneisa 1975-1988,h.55. 26 Rusjd Hamka, Pribadi dan Martabat Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1981), h. 68, dalam Muhammad Atho Mudzhar,Ibid., h. 57.
32
GUPPI (KH. S. Qudratullah), PDI (H. Sukarsono), DMI (KH. Hasyim
Adnan), Al-Itthiadiyah (H. Zaenal Arifin Abbas).27
Sebagai organisasi sosial keagamaan MUI telah menetapkan visinya
sebagai berikut: Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan
dan kenegaraan yang baik, memperoleh ridha dan ampunan Allah swt
(baldah tayyibah wa rabbun gafur) menuju masyarakat berkualitas (khairu
al-'ummah) demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin ('izzul al-
Islam wa al- muslim) dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagai manifestasi dari rahmat bagi seluruh alam (rahmah li al-'alamin).28
Di samping visi, ditetapkan pula misi untuk mencapai sasaran visi tersebut,
yaitu:
1. Menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan umat secara efektif
dengan menjadikan ulama sebagai panutan (qudwah al-hasanah),
sehingga mampu mengarahkan dan membina umat Islam dalam
menanamkan dan memupuk aqidah Islamiyah, serta menjalankan syariat
Islamiyah.
2. Melaksanakan dakwah Islam, amar ma'ruf nahi mungkar dalam
mengembangkan akhlak karimah agar terwujud masyakat berkualitas
(khair al-'ummah) dalam berbagai aspek kehidupan.
27 Tim Penyusun MUI Pusat, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama
Indonesia, (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia Pusat, 2001), M. Ichwan Sam (peny.), h. 41.
28 Tim MUI, h. 21. Keputusan Munas VII MUI Nomor: Kep-02/Munas-
VI/MUI/VII/2005 tentang Perubahan/Penyempurnaan Wawasan, Pedoman Dasar, dan Pedoman
Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia, tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H/28 Juli 2005 M.
33
3. Mengembangkan ukhuwwah al-Islamiyyah dan kebersamaan dalam
mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.29
Peran utama MUI yang akan dilakukan berdasarkan pedoman yang
telah ditetapkan dalam Pedoman Dasar, dan Pedoman Rumah Tangga
Majelis Ulama Indonesia, tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H/28 Juli 2005
yaitu:
1. Sebagai ahli waris tugas para Nabi (warasah al-anbiya) yang
menyebarkan ajaran Islam, terwujudnya kehidupan Islami, dan
memperjuangkan perubahan kehidupan sesuai dengan ajaran Islam.
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti) dalam memberi fatwa diminta atau tidak
diminta, mengakomodasikan dan menyalurkan aspirasi umat yang
beragam aliran dan organisasi keagamaan.
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (ra'iy wa khadim al- 'ummah)
dimana melayani umat dan bangsa dalam memenuhi harapan, aspirasi
dan tuntutan dalam bimbingan dan fatwa keagamaan.
4. Sebagai Penegak Amar Makruf Nahi Munkar dengan menegaskan
kebenaran sebagai kebenaran dan kebatilan sebagai kebatilan dengan
penuh hikmah dan istiqamah. Pejuang dakwah (mujtahid da'wah) dengan
berusaha merubah dan memperbaiki keadaan masyarakat dan bangsa
menjadi masyarakat dan bangsa yang berkualitas (khairu al- 'ummah)
sejalan dengan ajaran Islam.
29 Tim MUI, h. 21. Keputusan Munas VII MUI Nomor: Kep-02/Munas-
VI/MUI/VII/2005 tentang Perubahan/Penyempurnaan Wawasan, Pedoman Dasar, dan Pedoman
Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia, tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H/28 Juli 2005 M.
34
5. Sebagai pelopor gerakan pembaharuan {al- tajdid) yaitu gerakan
pembaharuan pemikiran Islam.
6. Sebagai Pelopor Gerakan Islah adalah sebagai juru damai terhadap
perbedaan yang terjadi di kalangan umat. Menempuh jalan al-jam'u wa
al- taufiq (penggabungan dan pengkompromi/persesuaian) dan tarjih
(mencari hukum yang tebih kuat), sehingga terpelihara persaudaraan
(ukhuwwah) umat Islam Indonesia.30
Disamping peran yang telah digariskan, MUI juga menetapkan
fungsinya pada Pedoman Dasar 2005-2010, antara lain:
1. Sebagai wadah musyawarah para ulama, zuama dan cendekiawan muslim
dalam mengayomi umat dan mengmebangkan kehidupan yang Islami
2. Sebagai wadah silaturrahmi para ulama, zu'ama' dan cendekiawan
muslim untuk mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dan
menggalang ukhuwwah al-Islamiyyah
3. Sebagai wadah yang mewakili umat Islam dalam hubungan dan kosultasi
antar umat beragama
4. Sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah, baik diminta
maupun tidak diminta.31
30 Tim MUI, h. 21. Keputusan Munas VII MUI Nomor: Kep-02/Munas-
VI/MUI/VII/2005 tentang Perubahan/Penyempurnaan Wawasan, Pedoman Dasar, dan Pedoman
Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia, tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H/28 Juli 2005 M.h. 24-
26
31 Tim MUI, h. 21. Keputusan Munas VII MUI Nomor: Kep-02/Munas-
VI/MUI/VII/2005 tentang Perubahan/Penyempurnaan Wawasan, Pedoman Dasar, dan Pedoman
Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia, tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H/28 Juli 2005 M.h. 32
35
Dengan kesungguhan ikhtiar, ketakwaan dan permohonan ampun
kepada Allah swt. MUI bermaksud turut serta dalam memajukan umat Islam,
bangsa dan negara Indonesia di bawah naungan ridha dan ampunan Allah,
sehingga terwujudnya negara baldah tayyibah wa rabbun gafur.32
2. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Berdirinya komisi fatwa MUI tidak dapat dipisahkan dari
sejarah berdirinya lembaga MUI itu sendiri, dimana MUI itu dibentuk untuk
memajukan kesatuan kaum muslimin dalam kegiatan sosial dengan
membentuk sebuah majelis para ulama Indonesia yang diberi tugas untuk
memberikan fatwa-fatwa.33
Komisi fatwa ada sejak ditetapkannya susunan kepengurusan MUI
pusat dengan ketua pertama Hamka, dan ketua komisi pertama adalah
Syukri Ghozali. Komisi ini diberi tugas untuk merundingkan dan
mengeluarkan fatwa mengenai persoalan-persoalan hukum Islam yang
dihadapi masyarakat.34
Tahun 1975 MUI tidak mengeluarkan fatwa karena
baru saja dibentuk, kemudian baru pada 1976 sampai dengan 1984 MUI
mengeluarkan fatwanya. Tahun 1985 sampai dengan 1986 MUI tidak
32 Tim MUI, h.21. Keputusan Munas VII MUI Nomor: Kep-02/Munas-
VI/MUI/VII/2005 tentang Perubahan/Penyempurnaan Wawasan, Pedoman Dasar, dan Pedoman
Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia, tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H/28 Juli 2005 M. h.92
33 Tim MUI, h.21. Keputusan Munas VII MUI Nomor: Kep-02/Munas-
VI/MUI/VII/2005 tentang Perubahan/Penyempurnaan Wawasan, Pedoman Dasar, dan Pedoman
Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia, tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H/28 Juli 2005 M. h.92
34 Tim MUI, h.21. Keputusan Munas VII MUI Nomor: Kep-02/Munas-
VI/MUI/VII/2005 tentang Perubahan/Penyempurnaan Wawasan, Pedoman Dasar, dan Pedoman
Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia, tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H/28 Juli 2005 M. h.79
36
mengeluarkan fatwa karena MUI ingin menghindari pengeluaran fatwa
terlampau banyak dan adanya kritik habis-habisan dalam fatwanya tentang
adu tinju yang dilarang oleh agama Islam, masyarakat beranggapan MUI
tidak perlu menanggapi hal ini.35
Sifat khusus dari tugas MUI adalah memberi nasihat, karena itu MUI
tidak boleh melakukan program praktis, dan hal ini disampaikan sejak awal
oleh Presiden Soeharto pada Konferensi Nasional Pertama para ulama
tanggal 21 Juli 1975, bahwa MUI tidak boleh terlibat dalam program praktis
seperti menyelenggarakan madrasah, masjid, rumah sakit dan lainnya,
karena ada organisasi Islam lain yang telah mengelolanya, disamping itu
MUI juga dilarang berpolitik praktis, karena ada partai politik seperti PPP
dan PDI, serta Golkar.36
MUI dalam pedoman dasarnya melaksanakan tugas dalam memberi
fatwa dan nasihat, baik kepada pemerintah ataupun kaum muslim mengenai
persoalan keagamaan dan kebangsaan, sambutan Presiden Soeharto pada
Pembukaan Musyawarah Alim Ulama I di Istana Merdeka tanggal 21 Juli
1975 bahwa diharapkan MUI berperan sebagai pemberi fatwa dalam
mengatasi perbedaan pendapat dalam menjalankan ibadah dan MUI juga
diharapkan menggalakkan persatuan di kalangan umat Islam, bertindak
35 Tim MUI, h.21. Keputusan Munas VII MUI Nomor: Kep-02/Munas-
VI/MUI/VII/2005 tentang Perubahan/Penyempurnaan Wawasan, Pedoman Dasar, dan Pedoman
Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia, tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H/28 Juli 2005 M. h.79
36 Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi: Selayang Pandang Sejarah Para Ulama,
Ibid., h. 324.
37
selaku penengah antara pemerintah dan kaum ulama, dan mewakili kaum
muslimin dalam permusyawaratan antar golongan agama.37
Pada waktu berdiri hingga tahun 1986, MUI tidak membuat pedoman
berfatwa, yang mengakibatkan ketidakseragaman dalam mengeluarkan fatwa,
misalnya antara pusat dan daerah, sebagai contoh MUI Sumatera Barat
membolehkan peternakan kodok yang bersidang pada 21 Juli 1984, sementara
MUI Nusa Tenggara Barat mengharamkan peternakan kodok. Melihat gejala
itu, maka MUI pusat melakukan sidang pada 12 Nopember 1984 dengan
kesimpulan bahwa berternak kodok boleh atas dasar mazhab Maliki dan
memakannya dilarang atas dasar mazhab Syafi'i.38
Baru pada tanggal 30 Januari 1986 MUI pusat mengeluarkan buku
pedoman rinci untuk berfatwa dan MUI bertanggung jawab untuk
mengeluarkan fatwa atas masalah kaum muslimin dan kebangsaan. MUI
daerah apabila ingin berfatwa harus berkonsultasi dengan MUI pusat sebelum
mengeluarkan fatwanya. Buku pedoman itu juga mengatur bahwa komisi
fatwa tidak boleh mengeluarkan fatwa tanpa adanya tanda tangan ketua
umum MUI setempat.39
Keputusan Munas VII MUI Nomor: Kep-02/Munas-
VI/MUI/VII/2005 tentang Perubahan/Penyempurnaan Wawasan, Pedoman
37 Umar Hasyim, Mencari Ulama Pewaris Nabi: Selayang Pandang Sejarah Para
Ulama, h. 320
38 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah
Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indoneisa 1975-1988, (Jakarta: INIS, 1993), edisi
Dwibahasa, alihbahasa Soedarso, h. 63
39 Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah
Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indoneisa 1975-1988, (Jakarta: INIS, 1993), edisi
Dwibahasa, alihbahasa Soedarso, h. 87
38
Dasar, dan Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia, tanggal 21
Jumadil Akhir 1426 H/28 Juli 2005 M, berdasarkan salah satu fungsi MUI
sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah, baik diminta
maupun tidak diminta, sehingga secara kesejarahan komisi fatwa sebagai
perangkat organisasi terpenting dalam Majelis Ulama Indonesia.40
3. Metode Istinbat Hukum Majelis Ulama Indonesia dalam Ijtihad Kolektif
Hasil sidang pleno MUI pada 18 Januari 1986 menetapkan dasar-dasar
berfatwa di lingkungan MUI, yaitu:
1. Setiap keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas kitabullah dan
sunnah rasul yang mu'tabarah, serta tidak bertentangan dengan
kemasalahatan umat.
2. Jika tidak terdapat dalam kitabullah dan sunnah rasul, keputusan
Fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma', qiyas dan
mu'tabar serta dalil-dalil hukum yang lain, sepertiistihsan,masalih
al mursalah, dansadd al-zari'ah.
3. Sebelum pengambilan keputusan fatwa hendaklah ditinjau
pendapat-pendapat para ahli hukum maupun yang berhubungan
dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.
4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil
keputusan fatwanya.
Selain itu juga ditetapkan prosedur penetapan fatwa sebagai berikut:
40 Tim MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama
Indonesia Tahun 2005, (Jakarta: Sekretaris MUI Pusat, 2005), h. 46.
39
1. Setiap masalah yang disampaikan kepada komisi hendaklah
terlebih dahulu dipelajari dengan seksama oleh para anggota
komisi atau tim khusus sekurang-kurangnya seminggu sebelum
disidangkan.
2. Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya (qat'iy) hendaklah
komisi menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi
gugur setelah diketahui ada nas-nya dari Alquran dan sunnah.
3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyyah di kalangan mazhab, maka
yang difatwakan adalah hasil Tarjih, setelah memperhatikan fiqih
muqaran (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah usul
fiqih muqaran yang berhubungan dengan pen-tarjih-an.41
.
MUI dalam menetapkan fatwa melakukan pendekatan dengan tiga
cara. yaitu: Pertama, pendekatan nas qat‟iy, yaitu berpegang pada nas
Alqur'an dan hadits, sehingga fatwa yang dilakukan apabila telah jelas
hukumnya (al-Ahkam al- Qat'iyah) disampaikan sebagaimana adanya.42
Kedua, pendekatan qawli, yaitu jawabannya dicukupi oleh pendapat (qawl)
dalam al-kitab al-mu'tabarah. apabila terjadi perubahan sosial maka
41 Komisi Fatwa MUI Propinsi KalSel, Ulama dan Tantangan Problematika
Kontemporer (Himpunan Fatwa Ulama), (Banjarmasin: Komisi Fatwa MUI Prop. KalSel dan
Comdes Kalimantan, 2007), Cet. Ke-I, h. 217.
42 Komisi Fatwa MUI Propinsi KalSel, Ulama dan Tantangan Problematika
Kontemporer (Himpunan Fatwa Ulama), (Banjarmasin: Komisi Fatwa MUI Prop. KalSel dan
Comdes Kalimantan, 2007), Cet. Ke-I, h. 217.
40
dilakukan telah ulang terhadap qawl tersebut.43
Dan ketiga, pendekatan
manhaji, yaitu dilakukan dengan ijtihad jama'iy (ijtihad kolektif).44
Komisi fatwa MUI melakukan ijtihad jika terjadi khilafiyah di
kalangan mazhab dengan cara:
1. Al-Jam'u wa al-taufiq,
Penggunaan metode al-jam'u wa al-taufiq yaitu mengalihkan
makna dari setiap dalil kepada makna yang lain sehingga tidak terdapat
perlawanan lagi.45
Cara men-jama' dan men-taufiq dua buah dalil yang
nampak berlawanan dengan cara: 1) Men-ta'wil salah satu nas sehingga tidak
berlawanan dengan nas lain, dan 2) Salah satu nas dijadikan takhsish terhadap
nas yang lain.46
Contoh , men-ta'wil salah satu nas sehingga tidak berlawanan
dengannas lain, hadis Abu Hurairah r.a
)رواهالبخارى( ر ص ى ام ة و ل ط ي ر ة و ل ع دو ىو ل 47ل
Artinya:"Bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Tidak ada penularan, ramalan
jelek, penyusupan (reinkarnasi), roh (orang yang meninggal kepada burung
hantu) dan tidak ada bencana bulan safar. "(HR. Bukhari).
43 Komisi Fatwa MUI Propinsi KalSel, Ulama dan Tantangan Problematika
Kontemporer (Himpunan Fatwa Ulama), (Banjarmasin: Komisi Fatwa MUI Prop. KalSel dan
Comdes Kalimantan, 2007), Cet. Ke-I, h. 217.
44 Komisi Fatwa MUI Propinsi KalSel, Ulama dan Tantangan Problematika
Kontemporer (Himpunan Fatwa Ulama), (Banjarmasin: Komisi Fatwa MUI Prop. KalSel dan
Comdes Kalimantan, 2007), Cet. Ke-I, h. 217.
45 Muhktar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islami, (Bandung: Al Ma'arif, 1997), cet. Ke-4, h. 477.
46 Muhktar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islami, (Bandung: Al Ma'arif, 1997), cet. Ke-4, h. 110.
47 Muhamad bin Isma‟il al-Bukhari, Sahih Bukhari, Jilid 7, nomor hadis 5707,
(Beirut: Dar al-Fikri, 1996), h. 22
41
Hadis di atas menegaskan tidak ada penularan penyakit, karena
bencana itu sudah ada takdirnya sekalipun ia berkumpul dengan orang yang
sakit. Akan tetapi kalau diperhatikan dengan hadis.
م ن د و ف ر ج ات رم ن ال س د )رواهالبخارى(امل ك م و م
48
Artinya:"Larilah dari orang yang sakit lepra, sebagaimana kamu lari dari
singa dan seterusnya. " (HR. Bukhari).
Kandungan hadis ini terkesan adanya penularan peyakit. Dilakukanlah
jama' dan taufiq dengan men-ta'wil arti "la 'adwa" pada hadis pertama
dengan "Penyakit itu tidak dapat menular dengan sendirinya. Tetapi yang
menularkannya secara hakiki adalah Allah swt. dengan sebab adanya
percampuran antara si sakit dengan si sehat melalui media-media yang
berbeda-beda satu sama lain.49
2. Penggunaan ilhaq
Masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya di kalangan
mazhab, yang memberikan makna bahwa salah satu metode fatwa MUI
adalah menggunakan ilhaq,50
Ilhaqi yaitu pendapat hukum yang ada di kalangan mazhab, dengan
cara menyamakan sesuatu masalah yang terjadi dengan kasus yang ada
48 Muhamad bin Isma‟il al-Bukhari, Sahih Bukhari, Jilid 7, (Beirut: Dar al-Fikri,
1996), h.
49 Muhktar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami,
(Bandung: Al Ma'arif, 1997), cet. Ke-4, h. 478.
50 Komisi Fatwa MUI Propinsi KalSel, Ulama dan Tantangan Problematika
Kontemporer (Himpunan Fatwa Ulama), (Banjarmasin: Komisi Fatwa MUI Prop. KalSel dan
Comdes Kalimantan, 2007), Cet. Ke-I, h. 221.
42
padanya dalam al-kutub al-mu'tabarah.51
Penggunaan ilhaqi ini dipertegas
oleh Imam 'Abdurrahman bin Ziyad, bahwa:
م ام ال س ائ ل و ق ال امل ا ل اق اهلل م الع ر اق ىر ح ي ن الد ز ي ن الش ي خ ن ق لع ن ب نز ي اد ن ال رح ع ب د
ل ا م ح ك ت اع اخ من ل ئ اا و ب ن ظ ا ئر ى
Artinya: " 'Abdurrahman bin Ziyad melansir pendapat Syaikh Zainiddin al-
lraqiy bahwa (ilhaq al-masail binaza‟iriha.) menyamakan suatu masalah
yang terjadi dengan kasus padanya dalam al-kutub al-mu'tabarah dengan
memperhatikan argumentasinya adalah lebih baik dari pada membuat-buat
hukum.”52
Melakukan ijtihad jam‟i (kolektif) Langkah berikutnya adalah
melakukan ijtihad jam'i (kolektif) dengan menggunakan:
1) Metode bayani dengan cara memperhatikan pemakaian al-uslub (gaya
bahasa) bahasa Arab dan cara penunjukkan lafaz nas kepada artinya,53
atau pendekatan qawa'id al-lugawiyah, meliputi: dilalah lafziyah,
mafhum al- mukhalafah, dilalah nas yang jelas, dilalah nas yang
kurang jelas, lafaz musytarak, lafaz 'am dan lafaz khas.54
51 Komisi Fatwa MUI Propinsi KalSel, Ulama dan Tantangan Problematika
Kontemporer (Himpunan Fatwa Ulama), (Banjarmasin: Komisi Fatwa MUI Prop. KalSel dan
Comdes Kalimantan, 2007), Cet. Ke-I, h. 222-223.
52 Komisi Fatwa MUI Propinsi KalSel, Ulama dan Tantangan Problematika
Kontemporer (Himpunan Fatwa Ulama), (Banjarmasin: Komisi Fatwa MUI Prop. KalSel dan
Comdes Kalimantan, 2007), Cet. Ke-I, h. 223.
53 Muhktar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islami, (Bandung: Al Ma'arif, 1997), cet. Ke-4, h. 174.
54 Muhammad Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, Ibid., h.
188.
43
2) Metode ta‟lili dengan mengandalkan penalaran, meliputi qiyasi,
istihsani, ilhaqi. Qiyasi yaitu menghubungkan atau memberlakukan
ketentuan hukum, sesuatu persoalan yang sudah ada ketetapanya di
dalam nas kepada persoalan baru yang tidak disebutkan oleh nas,
karena keduanya mempunya kesamaan 'illat, Istihsani yaitu
meninggalkan qiyas yang nyata (jalliy) untuk menjalankan qiyas yang
tidak nyata (samar-samar/khafiy) atau meninggalkan hukum kulli untuk
menjalankan hukum istisna'i (pengecualian) disebakan ada dalil yang
menurut akal/logika membenarkannya, atau mencari alternatif terbaik
terhadap dua dalil.55
Ilhaqi adalah mengeluarkan hukum dari 'ibarah
pendapat para ulama atau menetapkan hukum pada permasalahan yang
bersifat kulli (umum), karena telah ditetapkan hukum pada sebagian
besar masalah yang bersifat juz‟i (khusus).56
3) Istislahi adalah metode yang digunakan untuk mencari dan menemukan
maslahah mursalah (asas manfaat dan mudarat), sedangkan maslahah
mursalah berarti kemaslahatan yang tidak disyariatkan oleh syari'
hukum untuk ditetapkan.57
Maslahah mursalah ialah kemaslahatan yang
tidak didukung oleh nas syar'i tertentu. Istislahi ini diperkenalkan oleh
Imam haramain al-Juwaini (w. 478 H) dalam kitab al-Burhan, dan oleh
55 Muhammad Tholhah Hasan, Ahlussunah wal jama'ah dalam Persepsi dan Tradisi
NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), Cet. Ke-3, h. 71.
56 Yahya, Fiqih Sosial NU: Dari Tradisionalis Menuju Kontekstualis, dalam M.
Imdadun Rahmat (Ed), Kritik Nalar NU: Transformasi Paradigma Bahtsul Masa'il, (Jakarta:
Lakpesdam, 2002), Cet. Ke-I, h. 54
57 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Terj. Halimuddin SH, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2005), Cet. Ke-5, h. 98. Anang Haris Hilmawan, Ibid., h. 80.
44
Imam al-Gazalli digunakan kata ini dalam kitab al-Mustasfa. Tiga
syarat diterimanya istislahi/maslahah mursalah menurut Muhammad
Abu Zahra, yaitu persesuaian antara sumber pokok maslahah tujuan
syariat (maqasid al-syari 'ah), harus masuk akal, dan dapat
menghilangkan kesulitan (raf‟u haraj lazim), 58 firman Allah Swt. QS.
Al-hajj (22): 78
( 87(: )الحج)
Artinya: "Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang
sebenar- benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah)
agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian
orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran)
ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua
menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang,
tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah
Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik- baik
Penolong. "59
(QS. Al-hajj (22): 78)
58 Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikri, t.th.), h. 427-428.
59 Departemen Agama RJ, Al Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Alqur'an, 1990), h. 523.
45
4. Sadd al-zari'ah
Sadd al-zari'ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju
kepada/perantara (wasilah) perbuatan yang terlarang.60
Contohnya fatwa
MUI tentang Perdukun dan Peramalan adalah haram dengan alasan perbuatan
itu membawa syirik, dosa besar. Dalil sadd al-zari'ah adalah
ال مص ال ح م ع ل ىج ل ب د م ق د ال م اس 61د ر ء Artinya: "Menolak keburukan lebih diutamakan dari pada meraih kebaikan .”
5. Maslahah 'ammah
Fatwa MUI Senantiasa memperhatikan kemaslahatan umum
(maslahah 'ammah) atau kepentingan umum. Kemaslahatan yang dicari itu
adalah sebenarnya bukan hanya dugaan semata, untuk orang banyak bukan
untuk kelompok atau pribadi, tidak bertentangan dengan nas, ijma atau
qiyas.62
Kriteria maslahat yang ada hubungan dengan maqasid al-syari‟ah
MUI menetapkan bahwa mashlata/kemaslahatan adalah tercapainya tujuan
syariat yang diwujudkan terpelihaanya kebutuhan primer (al-daruriyat al-
khamsah) yaitu agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Apabila metode fatwa
itu telah dijalankan dan menghasilkan ijtihad jam‟iy (kolektif) yang berupa
ijtihad dilakukan dalam sidang pleno MUI atas usulan komisi fatwa yang
membawa konsep fatwa. Hasil sidang pleno inilah yang disebut dengan
60 Muhktar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islami, (Bandung: Al Ma'arif, 1997), cet. Ke-4, h. 347.
61 As-Suyuti Jalaludin, al-asbah wa an-nadzair, (Beirut, Dar-Kutub al-Islamiyyah)h.
176
62 Muhammad Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, Ibid., h.
119.
46
ijtihad kolektif dalam setiap surat keputusan fatwa MUI setelah itu di-tanfiz-
kan dan diberi nomor serta ditandatangani oleh ketua umum, sekretaris umum
dan ketua komisi fatwa MUI.63
Fatwa merupakan pekerjaan yang berat dan beresiko, karena fatwa itu
dpertanggung jawabkan kepada Allah Swt. dan dipedomani oleh masyarakat.
Salah satu tokoh komisi fatwa, Ibrahim Hoesin, menyatakan persyarat
seorang mufti, yakni mendalami hukum Islam dan dalil-dalilnya, memiliki
integritas moral yang kuat sehingga fatwa itu netral, berdasarkan
kemaslahatan. Fatwa MUI dilandasi oleh: Alqur'an QS. Al-Nahl (16): 116
(661(: 61)النحل)
Artinya: "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut
oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-
adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung” QS. Al-Nahl (16):
116(.”64
Dan dari 'Umar bin Khattab berkata:
ل ع م ؤك ر ج ا 65 ار ىالن ل ع م ؤك ر ج اا ي ت ىال
Artinya: "Orang yang paling berani diantara kamu dalam berfatwa adalah
orang yang paling berani masuk neraka "
63 www.mui.or.id. Diakses 30 Oktober 2015. 64 Departemen Agama RJ, Al Qur'an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Alqur'an, 1990), h. 419.
65 Dikemukakan oleh Ibnu Battah di dalam risalah khuluk, halaman 31, secara
marfu' pada 'Umar. Tetapi al-Suyuti menyebutkan di dalam al-Jami' al-sagTr secara marfu'' dan
me-nisbah- kannya kepada al-Darimi dari hadis Ubaidillah ibnu Abi Ja'far secara mursal, lihat
Yusuf Qaradhawi, Fatwa antara Ketelitian dan Kecerobohan, diterjemahkan oleh As'ad Yasin,
(Jakarta: Gema Isani Press, 1997), Cet. Ke-I, h. 16.
47
Memperhatikan situasi dan kondisi yang berkembang di masyarakat,
sejalan dengan tujuan syariat (maqasid al-syari'ah) yaitu membawa kepada
kemaslahatan umat, mendahulukan nas qat'i daripada maslahat non-syariat
yang berdasarkan pertimbagan akal, lapangan ijtihad hanya pada nas zanniy
(teks agama yang hukumnya belum jelas), masalah fiqh dipilih yang lebih
membawa kepada kemaslahatan dan melakukan ijtihad jam'iy yang bebas
namun tetap terikat kepada kaidah ijtihad/istinbat yang telah dirumuskan oleh
para imam mazhab.66
66 Dikemukakan oleh Ibnu Battah di dalam risalah khuluk, halaman 31, secara
marfu' pada 'Umar. Tetapi al-Suyuti menyebutkan di dalam al-Jami' al-sagTr secara marfu'' dan
me-nisbah- kannya kepada al-Darimi dari hadis Ubaidillah ibnu Abi Ja'far secara mursal, lihat
Yusuf Qaradhawi, Fatwa antara Ketelitian dan Kecerobohan, diterjemahkan oleh As'ad Yasin,
(Jakarta: Gema Isani Press, 1997), Cet. Ke-I, h. 194-197.
48
BAB IV
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI) NOMOR 14 TAHUN 2011
A. Fatwa MUI no 14 tahun 2011 tentang penyaluran harta zakat dalam
bentuk aset kelolaan
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) setelah menimbang
a. bahwa perkembangan masyarakat telah mendorong munculnya
perkembangan tata kelola dana zakat oleh amil zakat;
b. bahwa dalam penyaluran harta zakat, ada upaya perluasan manfaat harta
zakat agar lebih dirasakan kemanfaatannya bagi banyak mustahiq dan
dalam jangka waktu yang lama, yang salah satunya dalam bentuk aset
kelolaan;
c. bahwa terkait pada huruf b di atas, di tengah masyarakat muncul
pertanyaan mengenai hukum penyaluran harta zakat dalam bentuk aset
kelolaan;
d. bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang
penyaluran harta zakat dalam bentuk aset kelolaan guna dijadikan
pedoman.
Mengingat:
1) Firman Allah SWT:
49
(303(:9)التوبة)Artinya:“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka “ (QS.
al- Taubah (9): 103).
(303(:9)التوبة)
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-
orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,
para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan)
budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan
untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai
suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. al-Taubah(9): 60)
2) Hadis Rasulullah SAW, antara lain:
اهلل ن ا م ع اذاصلىاهللعليووسلمر س و ل اهلل ع ن و ل م اب ع ث ي ع ل ىالي م ن ر ض
ت ر دع ل ىف ق ر ائ ه م ا م و ال م و ا ةم ن ع ل ي ه م زك ف ر ض ب ى م ا ن اهلل ف اخ 3ق ال
Artinya: “Nabi Muhammad SAW ketika mengutus Muadz ke
Yaman bersabda: Dan beritahukan kepada mereka bahwa
Allah SWT mewajibkan zakat yang diambil dari harta orang
kaya di antara mereka dan dikembalikan kepada para orang-
orang fakir di antara mereka”. (HR Bukhari dan Muslim dari
Ibnu Abbas)
3) Atsar dari Sahabat Muadz bin Jabal yang diriwayatkan oleh
1 Muhamad bin Isma‟il al-Bukhari, al-Jaimi‟ al-Shahih (kairo:Daar al-sya‟bi,1987),
Jilid II, h.8.
50
Imam Bukhari dan al-Thabrani serta al-Daruquthni dari
Thawus bin Kaisan yang menegaskan bolehnya penunaian
zakat dengan hal yang lebih dibutuhkan oleh mustahiq sebagai
berikut:
اهلل ي ر ض م ع اذ ل و ق ال ل ى ي ع ن و ب م ا ئ ت ون ق ة ص الي م ن الص د ف ل ب ي س ا و
الن ب صلىاهللعليووسلم ل ص ح اب ي ر و خ ع ل ي ك م و ن و الذ ر ة ا ى الش ع ي م ك ان
2مد ي ن ة ب اال
Artinya: “Muadz berkata kepada penduduk Yaman:
Berikanlah kepadaku baju khamis atau pakaian sebagai
pembayaran zakat gandum dan z-bijian, karena yang
sedemikian itu lebih mudah bagi kalian dan lebih baik bagi
para Sahabat Nabi SAW di kota Madinah” (HR Bukhari, al-
Thabrani, dan al-Daruquthni)
4) Qaidah fiqhiyyah:
د ق اص م امل ح ك 3ل ل و س ائ ل
Artinnya: “Hukum sarana adalah mengikuti hukum capaian
yang akan dituju “
ة ص ل ح ع ل ىالر ع ي ة م ن وط ب امل م ام ال 4ت ص ر ف
Artinnya: “Tindakan pemimpin [ pemegang otoritas ]
terhadap rakyat
2 Muhamad bin Isma‟il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (kairo:Daar al-sya‟bi,1987),
Jilid II, h..
3 Malik bin Annas, Muwato‟ al- Malik (Damsyik, Daar al-Qalam, 1991), h.52.
4 Zain al-Abidin, Al-Asbah wa an-Nadza‟ir li Ibni Nazim, (Libanon: Dar al-Kutub,
1980), h. 123.
51
harus mengikuti kemaslahatan “
Memperhatikan :
4. Pendapat Imam Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Maliybari
dalam kitab Fathul Muin (I‟aanatu Al-Thalibin 2/214) yang
menjelaskan kebolehan penyaluran harta zakat sesuai
kebutuhan mustahiq sebagai berikut:
اىط ع ي ف ر ف ةآل ت ه ح ي و ر ب و غ ال باا و ي ك م ال ت ع و د ت ار ةر ا س اا ن ن ه م 5ك لم
Artinya: “Maka keduanya – fakir dan miskin – diberikan harta
zakat dengan cara ; bila ia biasa berdagang, diberi modal
berdagang yang diperkirakan bahwa keuntungannya cukup
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya ; bila ia bisa bekerja,
diberi alat-alat pekerjaannya … “.
5. Pendapat Imam Al-Ramly dalam kitab Syarah Al-Minhaj li al-
Nawawi(6/161) yang menerangkan pendistribusian harta zakat
bagi orang miskin untuk memenuhi kebutuhan dasarnya serta
dimungkinkan pembelian aset untuknya sebagai berikut:
ن ا ك مس ال و ر ي ق ال ك م ه ن م لك ن س ي ل ن ا ني ك ط ع ي ة ار ت ل و ة ف ر اب بس ا ةاي ى
ب م ب ال الغ ر م ع ن م ي ق ا ي ص ل ه د ل ب ف و ال ث م ل و ل ا غ ن اؤ ه , الق ص د ل ن
ا ع ط ي ر ه ع ل ي و ع م ز اد ف ا ن ال ك ب ذ ا ل ل م ن ب اع ط ائ و ال مر اد و ل ي س ب س ن ة , س ن ة
ت ىل و ن و ف ي ش ل و م ي و د خ ال مد ة ب ل ي ك ي و ت ل ك داي ك ا ع ط اؤ ه ن ق ن الك س ب ي س اة ب و ع ن الز ك ت غ ل و و ي غ ت ن اراي س ل ك و و ي و ر ث ب و ع ق 6ع نوف ي م
5 Zainuddin al-Maliyabari, Fathu al-Mu‟in, (Baerut: Dar-al-Fikr, 1890), h. 189.
6 Syihabudin ar-Ramli, Syarah Al-Minhaj li al-Nawawi, (Baerut: Dar-Fikr
1984),Jilid 6 h.161
52
Artinya ; “Orang fakir dan miskin – bila keduanya tidak mampu
untuk bekerja dengan satu keahlian atau perdagangan – diberi
harta zakat sekiranya cukup untuk kebutuhan seumur hidupnya
dengan ukuran umur manusia yang umum di negerinya, karena
harta zakat dimaksudkan untuk memberi seukuran
kecukupan/kelayakan hidup. Kalau umurnya melebihi standar
umumnya manusia, maka akan diberi setiap tahun seukuran
kebutuhan hidupnya selama setahun. Dan tidaklah dimaksudkan
di sini – orang yang tidak dapat bekerja – diberikan dana tunai
seukuran masa tersebut, akan tetapi dia diberi dana di mana ia
mampu membeli aset properti yang dapat ia sewakan, sehingga
ia tidak lagi menjadi mustahiq zakat“.
6. Pendapat Imam Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu Fatawa
(25/82 ) yang menyatakan kebolehan mengeluarkan zakat
dengan yang senilai jika ada kemaslahatan bagi mustahiq,
sebagai berikut:
ا ى ذ ف ن و :و ال ظ ه ر م ن وع م ح ة ر اج م ص ل ح ة و ل ح اج ة ل غ ي ال ق يم ة ر اج إخ أ ن ع ل ي و الل و ص ل ى الن ب ق د ر ا و ل و ل ذ ا د ر ه ر ين ع ش أ و ب ش ات ني ال ب ر ان و س ل م
إل ال ك ال م ي ع د ل ف ق د م ط ل قا ال ق يم ة ر اج إخ ج و ز و ل ن و م ت ال ق يم ة إل ي ع د ل الز ك و ل ن ض ر ر الت ق و مي ف ي ق ع و ق د ر د يئ ة اأ ن و اع و ى ذ ع ل ىال م و اس اة ن اى ا م ب اة
ال ع ال م ص ل ح ة أ و ر اج ال ق يم ة ل ل ح اج ة أ و و و أ م اإخ ن س و ج ر ال م ال ق د ف م ع ت ب ر ل د ب و ب أ س ة ...:ف ل ال ق يم إع ط اء ن و م ط ل ب وا اة ل لز ك قون ت ح ال م س ي ك ون أ ن ث ل و م
ق ر اء . ع ل ل اأ ن ى ذ ي ر ىالس اع يأ ن أ خ اأ و ع ف ي ع ط يه م إي اى 7...ل ك و ن اأ ن
Artinya: “ Hukum pembayaran zakat dalam bentuk nilai dari
obyek zakat tanpa adanya hajat (kebutuhan) serta kemaslahatan
yang jelas adalah tidak boleh. Oleh karena itu Nabi Muhammad
SAW menentukan dua ekor kambing atau tambahan sebesar
duapuluh dirham sebagai ganti dari obyek zakat yang tidak
dimiliki oleh seorang muzakki dalam zakat hewan ternak, dan
tidak serta merta berpindah kepada nilai obyek zakat tersebut
7 Ibnu Taهmiyah, Majmu‟ Fatawa Ibnu Taimiyah, (Baerut: Dar-Fikr, 1982), h. 82.
53
… … dan juga karena prinsip dasar dalam kewajiban zakat
adalah memberi keleluasaan kepada mustakhiq, dan hal
tersebut dapat diwujudkan dalam suatu bentuk harta atau
sejenisnya. Adapun mengeluarkan nilai dari obyek zakat karena
adanya hajat (kebutuhan) serta kemaslahatan dan keadilan
maka hukumnya boleh … … seperti adanya permintaan dari
para mustakhiq agar harta zakat diberikan kepada mereka
dalam bentuk nilainya saja karena lebih bermanfaat, maka
mereka diberi sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Demikian juga kalau Amil zakat memandang bahwa pemberian
– dalam bentuk nilai – lebih bermanfat kepada kaum fakir “.
7. Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Mentasharrufkan Dana
Zakat untuk Kegiatan Produktif dan Kemaslahatan Umum
Tanggal 2 Februari 1982;
8. Hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama NU Tahun 1981 yang
menegaskan bahwa Memberikan Zakat untuk kepentingan
masjid, madrasah, pondok pesantren, dan sesamanya hukumnya
ada dua pendapat; tidak membolehkan dan membolehkan;
9. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang
Komisi Fatwa pada Rapat-Rapat Komisi Fatwa yang terakhir
pada tanggal 3, dan 17 Maret 2011.
Dengan bertawakal kepada Allah SWT memutuskan dan
menetapkan: fatwa tentang: penyaluran harta zakat dalam
bentuk aset kelolaan
Pertama: Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan Aset kelolaan adalah
sarana dan/atau prasarana yang diadakan dari harta zakat dan
54
secara fisik berada di dalam pengelolaan pengelola sebagai
wakil mustahiq zakat, sementara manfaatnya diperuntukkan
bagi mustahiq zakat.
Kedua: Ketentuan Hukum
Hukum penyaluran harta zakat dalam bentuk aset kelolaan
adalah boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
A. Tidak ada kebutuhan mendesak bagi para mustahiq untuk
menerima harta zakat.
B. Manfaat dari aset kelolaan hanya diperuntukkan bagi para
mustahiq zakat.
C. Bagi selain mustahiq zakat dibolehkan memanfaatkan aset
kelolaan yang diperuntukkan bagi para mustahiq zakat
dengan melakukan pembayaran secara wajar untuk
dijadikan sebagai dana kebajikan.
Ketiga: Ketentuan Penutup
A. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan
ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat
kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan
sebagaimana mestinya.
B. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan
dapat mengetahuinya, semua pihak dihimbau untuk
menyebarluaskan fatwa ini.
55
B. Landasan hukum fatwa MUI tentang penyaluran harta zakat dalam
bentuk aset kelolaan.
Majelis Ulama Indonesia sebagai organ dari pemerintahan Indonesia
berfungsi sebagai pengayom segala macam aspirasi umat Islam khususnya
untuk memberikan saran-saran, fatwa terhadap segala gejala-gejala fenomena
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana dijelaskan bahwa
fatwa muncul karena adanya suatu perkara dan juga bisa disebabkan akibat
dari perkembangan sosial yang dihadapi oleh umat. Oleh karena itu, fatwa
mensyaratkan adanya orang yang meminta atau kondisi yang memerlukan
adanya pandangan atau keputusan fatwa. pada dasarnya fatwa memberikan
suatu reaksi terhadap isu-isu dalam merefleksikan intelektualisme dan politik
pada masa itu.8
Dalam hal harta zakat yang akan disalurkan haruslah merujuk kepada
hukum syariat seutuhnya sebagai pedoman sehingga dapat diketahui kepada
siapa sajakah mustahiq yang berhak menerim harta zakat. dan juga dengan
merujuk kepada hukum syariat seutuhnya dapat terhindarkan dari larangan-
larangan syariat yang terdapat dalam penyaluran harta zakat.
Landasan hukum fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang penyaluran
harta zakat dalam bentuk aset kelolaan yaitu:
Dengan beberapa pertimbangannya maka komisi fatwa MUI
memandang perlu adanya fatwa tentang penyaluran harta zakat dalam bentuk
aset kelolaan seiring semakin banyak munculnya permasalahan baru yang
8 M. B. Hooker , Islam Madzhab Indonesia, Fatwa-Fatwa dan Perubahan
Sosial, Penerjemah Iding Rosyidin Hasan, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 16.
56
perlu diatur oleh agama. Islam adalah agama yang sempurna sehingga setiap
masalah baru dapat merujuk kembali kepada al-Qur‟an dan as-sunnah yang
selalu relevan dengan segala kondisi dan waktu. kedudukan fatwa amat
penting dalam kehidupan umat Islam khususnya warga Indonesia yang
mayoritas pemeluk agama Islam karena fatwa adalah sesuatu yang dapat
menentukan hukum permasalahan hukum halal maupun haram. Adapun yang
menjadi pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan komisi
fatwanya adalah sebagai berikut:
a. bahwa perkembangan masyarakat telah mendorong munculnya
perkembangan tata kelola dana zakat oleh amil zakat;
b. bahwa dalam penyaluran harta zakat, ada upaya perluasan manfaat
harta zakat agar lebih dirasakan kemanfaatannya bagi banyak
mustahiq dan dalam jangka waktu yang lama, yang salah satunya
dalam bentuk aset kelolaan.
c. bahwa terkait pada huruf b di atas, di tengah masyarakat muncul
pertanyaan mengenai hukum penyaluran harta zakat dalam bentuk
aset kelolaan.
d. bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang
penyaluran harta zakat dalam bentuk aset kelolaan guna dijadikan
pedoman.
Majelis ulama Indonesia dengan komisi fatwanya dalam
menetapkann fatwa penyaluran harta zakat dalam bentuk aset kelolaan
merujuk berdasarkan al-Qur‟an, al-hadis, kaidah-kaidah fiqh, serta
57
berpedoman pada pendapat para alim ulama.
1. Dalil Al-Qur’an
Dalam fatwa tentang penyaluran harta zakat dalam bentuk aset
kelolaan merujuk kepada al-quran yang merupakan pedoman dalam
hidup umat Islam, al-Qur‟an sebagai sumber hukum, seluruh madzhab
sepakat bahwa al-Qur‟an sebagai sumber hukum utama dalam
menetapkan hukum, dalam kata lain bahwa al-Qur‟an menempati posisi
awal dari tertib sumber hukum dalam berhujjah.9
Landasan dalil al-Qur‟an secara garis besar fatwa MUI tentang
penyaluran harta zakat dalam bentuk aset kelolaan dibuat dengan
menggunakan beberapa surat dengan rincian sebagai berikut:
a. Firman Allah SWT. yang menjelaskan tentang kewajiban untuk
mengeluarkan harta zakat bagi orang-orang yang mampu
sehingga dengan zakat itu dapat membersihkan dan mensucikan
diri mereka dan begitu juga para mustahiq zakat behak untuk
menerimanya yaitu:
(303(:9)التوبة)
Artinya:“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka “ (QS. at-
Taubah(9): 103).
9 M. Quraisy Syihab, Membumikan Al-qur‟an, Jilid II, (Jakarta: Lentera Hati),
h. 345.
58
Ayat ini يهم و هم تطهز صدقح أمىلهم مه خذ Ambillah) تشك
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka) dari dosa-dosa mereka.
Maka Nabi saw mengambil sepertiga harta mereka, kemudian
menyedekahkannya.10
Di sini Nabi Muhammad saw diperintah:
Ambillah atas nama Allah sedekah, yakni harta yang berupa zakat
dan sedekah yang hendaknya mereka serahkan dengan penuh
kesungguhan dan ketulusan hati, dari sebagian harta mereka,
bukan seluruhnya, bukan pula sebagian besar, dan tidak juga yang
terbaik; dengannya yakni dengan harta yang engkau ambil itu
engkau membersihkan engkau membersihkan harta dan jiwa
mereka dan mensucikan jiwa lagi mengembangkan harta
mereka.11
عليهم وصل (Dan berdoalah untuk mereka) Maksudnya,
berdoalah untuk mereka dan mohonkanlah ampunan buat
mereka.12
Guna menunjukkan restumu terhadap mereka dan
memohonkan keselamatan dan kesejahteraan bagi mereka.
10 Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, Jilid I,
diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010) h.744.
11 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.
666.
12 Al- Abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, Juz 11,
diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru lgensindo, 2003), h, 23.
59
لهم سكه صلىتك إن (Sesungguhnya doamu itu ketentraman
jiwa bagi mereka) yang selama ini gelisah dan takut akibat dosa-
dosa yang mereka lakukan.13
Menurut suatu pendapat yang
dimaksud dengan sakanun ialah ketenangan batin lantaran yobat
mereka diterima. Menurut Ibnu Abbas, menjadi rahmat buat
mereka. Sedangkan menurut Qatadah, menjadi ketentraman jiwa
bagi mereka.
عليم سميع للا و (Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui) Yakni mendengar kepada doamu dan mengetahui
orang yang berhak mendapatkan hal itu darimu dan orang yang
pantas untuk memperolehnya.14
b. Firman Allah SWT. yang menjelaskan tentang para mustahiq
yang berhak menerima zakat terdiri dari delapan golongan
sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya yaitu:
(60(:9)التوبة)
13 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.
666.
14 Al- Abul Fida Ismail Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, Juz 11,
diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru lgensindo, 2003), h, 24.
60
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-
orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka
yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana (QS. Al-Taubah(9): 60).
Kata as-Sadaqat ( دقاخ -yang disebutkan dalam surat at (الص
Taubah/9 ayat 60 adalah bermakna zakat atau sedekah wajibah.15
Makna huruf ( لــ ) lam pada firman-Nya (للفقزاء) lilfuqara‟,
Imam Malik berpendapat bahwa ia sekedar berfungsi menjelaskan
siapa yang berhak menerimanya agar tidak keluar dari kelompok
yang disebutkan.16
yaitu orang yang (Hanyalah untuk orang-orang fakir) للفقزاء
tidak dapat menemukan peringkat ekonomi yang dapat
mencukupi mereka. المسكينى (orang-orang) yaitu mereka yang sama
sekali tidak dapat menemukan apa-apa yang dapat menculupi
mereka.17
Menurut tafsir al-Mansur Orang fakir ialah orang tidak
15 Kementrian Agama RI, Al-Qur‟an & Tafsirnya, Jilid IV (Jakarta: Widya Cahaya,
2011), h. 137.
16 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.
596.
17 Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, Jilid I,
diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010) h. 743-744.
61
punya dan ia berhijrah, sedangkan miskin ialah orang yang tidak
punya dan ia tidak berhijrah.18
yaitu orang yang (Pengurus-pengurus zakat) والعمليه عليها
bertugas menarik zakat, yang membagi-bagikannya, juru tulisnya,
dan yang mengmpulkannya.19
Bahasan para pakar hukum
menyangkut (العامليه عليها) al-„Amilin „alaiha/para pengelolanya
juga beragam. Namun yang jelas mereka adalah yang melakukan
pengelolaan terhadap zakat, baik mengumpulkan, menentukan
siapa yang berhak, mencari mereka, maupun membagi dan
mengantarnya pada mereka. Kata (عليها) „alaiha memberi kesan
bahwa para pengelola itu melakukan kegiatan mereka dengan
sungguh-sungguh dan menyebabkan keletihan.20
supaya (Para muallaf yang dibujuk hatinya) والمؤلفح قلىتهم
mau masuk Islam atau untuk memantapkan keIslaman mereka,
atau supaya mau masuk Islam orang-orang yang semisal
dengannya, atau supaya mereka melindungi kaum muslim.
Muallaf itu bermacam-macam jenisnya; Menurut pendapat Imam
Syafii, jenis muallaf pertama dan yang terakhir pada masa
18 Ad-Dauru Al-Mansur, Tafsir Al-Mansur, Jilid 4, diterjemahkan oleh
Abdurrahman Jalaludin As-Suyuthi (Beirut: Dar Al-Fikr, tth), h. 222.
19 Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, Jilid I,
diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010) h.744.
20 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.
596.
62
sekarang (Zamannya Imam Syafii, pent.) tidak berhak lagi untuk
mendapatkan bagianya, karena Islam telah kuat. Berbeda dengan
dua jenis muallaf yang lainnya, maka keduanya masih berhak
untuk diberi bagian.21
Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah juga
sependapat dengan itu. Mengenai golongan “muallaf”, maka ada
di antara mereka itu orang-orang yang diberi zakat agar masuk
Islam. Dan ada di antara golongan “muallaf” yang diberi bagian
oleh Rasulullah untuk menebalkan imannya dan meneguhkan
kepercayaan di dalam hatinya.
قاب – memerdekakan (Dan untuk) وفى (budak-budak) الز
yakni para hamba sahaya yang berstatus mukatab.22
Kata (الزقاب)
ar-riqab adalah bentuk jamak dari (رقثح) raqabah yang pada
mulanya berarti “leher”. Makna ini berkembang sehingga
bermakna “hamba sahaya” karena tidak jarang hamba sahaya
berasal dari tawanan perang yang saat ditawan, tangan mereka
dibelenggu dengan mengikatnya ke leher mereka. Atas dasar ini
harta tersebut tidak diserahkan pada mereka pribadi, tetapi
disalurkan untuk melepas belenggu yang mengikat mereka itu.23
21 Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, Jilid I,
diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010) h.744.
22 Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Kasir, jilid 4
(Surabaya: Bina Ilmu, 1988), h. 75.
23 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.
598.
63
orang-orang yang (Orang-orang yang berhutang) والغارميه
mempunyai utang, dengan syarat bila ternyata utang mereka itu
bukan untuk tujuan maksiat.24
Imam syafi‟i dan Ahmad Ibnu
Hambal juga membenarkan memberi ganti dari zakat bagi siapa
yang menggunakan uangnya untuk melakukan perdamaian atau
kepentingan umum.25
yaitu orang orang yang (untuk jalan Allah) وفي سثيل للا
berjuang di jalan Allah, tetapi tanpa ada yang membayarnya,
sekalipun mereka adalah orang-orang yang berkecukupan.26
Kini
sekian banyak ulama kontemporer memasukkan dalam kelompok
ini semua kegiatan sosial, baik yang dikelola oleh perorangan
maupun organisasi-organisasi Islam, seperti pembangunan
lembaga pendidikan, mesjid, rumah sakit, dan lain-lain, dengan
alasan bahwa (سثيل للا) sabilillah dari segi kebahasaan mencakup
segala aktivitas yang mengantar menuju jalan dan keridhaan
Allah.27
24 Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, Jilid I,
diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010) h.744.
25 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.
599.
26 Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, Jilid I,
diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010) h.744.
27 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.
599.
64
Adapun ( ته السثيل ) Ibnu as-sabil yang secara harfiah
berarti ”anak jalanan”, maka para ulama dahulu memahaminya
dalam arti siapapun yang kehabisan bekal, dan dia sedang dalam
perjalanan, walaupun dia kaya di negeri asalnya.28
Mereka patut
memperoleh bagian dari zakat sekedar cukup untuk bekal
perjalanannya pulang pergi.29
lafaz (Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan) فزيضح
faridatan dinasabkan oleh fi‟il yang keberadaannya
diperkirakan.30
Itu semua adalah hukum dan ketetapan yang
diwajibkan oleh Allah, yang Maha bijaksana dalam ketentuan-
ketentuan dan ketetapan-ketetapan-Nya, Maha mengetahui
kemaslahatan hamba-hamba-Nya dan segala sesuatu yang lahir
maupun yang batin.31
2. Hadits Rasulullah Saw.
Hadis merupakan sumber hukum yang kedua bagi hukum Islam
setelah al-Qur‟an. Terdapat beberapa hadis yang menjadi rujukan dasar
28 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h.
599.
29 Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Kasir, jilid 4
(Surabaya: Bina Ilmu, 1988), h. 78.
30 Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain, Jilid I,
diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010) h.744.
31 Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Kasir, jilid 4
(Surabaya: Bina Ilmu, 1988), h. 79.
65
pada fatwa tentang kewajiban bagi orang-orang kaya untuk melaksanakan
zakat dan memberikannya kepada orang-orang fakir diantaranya:
ن ا اهلل م ع اذاصلىاهللعليووسلمر س و ل اهلل ع ن و ل م اب ع ث ي ب ر ض ف اخ ق ال ع ل ىالي م ن
ت ر دع ل ىف ق ر ائ ه م ا م و ال م و ا ةم ن ع ل ي ه م زك ف ر ض ى م ا ن اهلل 32
Artinya: “Nabi Muhammad SAW ketika mengutus Muadz ke Yaman
bersabda: … Dan beritahukan kepada mereka bahwa Allah SWT
mewajibkan zakat yang diambil dari harta orang kaya di antara mereka
dan dikembalikan kepada para orang- orang fakir di antara mereka”.
(HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas).
Pada hadis tersebut jelas Rasulullah memerintahkan Muaz untuk
menyapaimkan kewajiban zakat yang telah diwajibkan oleh Allah bagi
orang-orang kaya yang kemudian diberikan harta zakat tersebut teruntuk
orang-orang fakir.
ا ئ ت ون الي م ن ل اهلل ع ن و ل ى ي م ع اذ ر ض ي و ق ال الش ع ي ص ب م م ك ان ق ة الص د ف ل ب ي س ا و الن ب صلىاهللعليووسلمب اال ل ص ح اب ي ر و ن ع ل ي ك م و خ 33مد ي ن ة و الذ ر ة ا ى
Artinya: “Muadz berkata kepada penduduk Yaman: Berikanlah
kepadaku baju khamis atau pakaian sebagai pembayaran zakat gandum
dan biji-bijian, karena yang sedemikian itu lebih mudah bagi kalian
dan lebih baik bagi para Sahabat Nabi SAW di kota Madinah” (HR
Bukhari, al-Thabrani, dan al-Daruquthni).
Pentingnya kewajiban berzakat membuat Muaz mencari solusi
termudah dan teringan bagi para orang kaya untuk membayar zakat
32 Muhamad bin Isma‟il al-Bukhari, al-Jaimi‟ al-Shahih (kairo: Daar al-sya‟bi,
1987), Jilid II, h.8. 33 Muhamad bin Isma‟il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (kairo: Daar al-sya‟bi,
1987), Jilid II, h.
.
66
diantaranya Muaz hanya meminta pakaian kepada para petani gandum
untuk membayar zakat, hadis ini menggambarkan bahwa kewajiban
membayar zakat tanpa ada toleransi dengan kewajiban yang mutlak.
3. Qaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah
د ق اص م امل ح ك 34ل ل و س ائ ل
Artinnya: “Hukum sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan
dituju “
Jika sarana hokum bias melengkapi hokum tujuan yang bersifat
wajib maka sarana sangat dianjurkan untuk dilaksanakan
ة ص ل ح ع ل ىالر ع ي ة م ن وط ب امل م ام ال 35ت ص ر ف
Artinnya: “Tindakan pemimpin )pemegang otoritas(terhadap rakyat
harus mengikuti kemaslahatan “
harus bagi seseorang pemimpin disuaru daerah maupun negeri
haruslah mengambil segala macam keputusan berdasarkan kemaslahatan
bersama.
C. Analisis Penulis Terhadap Fatwa MUI tentang Penyaluran Harta Zakat
dalam Bentuk Aset Kelolaan
Fatwa No 14 tahun 2011 tentang penyaluran harta zakat dalam bentuk
aset kelolaan ini bersifat responsif yaitu fatwa yang dikeluarkan karena
adanya pertanyaan dari lembaga Badan Amil Zakat Nasional yang kemudian
dibahas oleh MUI Majelis Ulama Indonesia yang kemudian menjadi fatwa.
Fatwa inilah yang bisa menjadi landasan Badan Amil Zakat Nasional atas
34 Malik bin Annas, Muwato‟ al- Malik (Damsyik, Daar al-Qalam, 1991), h.52.
35 Zain al-Abidin, Al-Asbah wa an-Nadza‟ir, (Libanon: Dar al-Kutub, 1980), h.
123.
67
inovasi mereka mengembangkan harta zakat menjadi aset kelolaan.
Sebagaimana yang dicantumkan pada landasan-landasan hukum
sebelumnya yang mencantumkan orang-orang mustahiq atau yang berhak
mendapat harta zakat dalam al-Qur‟an surat at-taubah ayat 60. Dalam ayat
tersebut dijelaskan bahwa yang berhak menerima zakat atau dikategorikan
dalam mustahiq zakat yaitu:
1. Orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai
harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam
Keadaan kekurangan.
3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan
membagikan zakat.
4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang
baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
5. Memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim
yang ditawan oleh orang-orang kafir.
6. Orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan
yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang
yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar
hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
7. Pada jalan Allah (fi sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan
Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat
bahwa fi sabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan
68
umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. Orang
yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami
kesengsaraan dalam perjalanannya.
8. Ibnu as-sabil: yaitu orang yang secara harfiah berarti ”anak jalanan”,
maka para ulama dahulu memahaminya dalam arti siapapun yang
kehabisan bekal, dan dia sedang dalam perjalanan, walaupun dia
kaya di negeri asalnya. Mereka patut memperoleh bagian dari zakat
sekedar cukup untuk bekal perjalanannya pulang pergi.
Dalam ayat tersebut disebutkan para mustahiq yang berhak
menerima zakat namun dari delapan golongan tersebut tidak terdapat
harta zakat yang digunakan untuk memaksimalkan harta zakat sehingga
manfaatnya bisa dirasakan oleh lebih banyak dan lebih lama bagi para
penerima zakat yaitu dalam bentuk aset kelolaan. Maka dalam hal ini
badan penyaluran harta zakat terutama Baznas selaku mustafti
menjadikan harta zakat dalam bentuk aset kelolaan yang hasilnya akan
dirasakan oleh para penerima zakat.
Mengelola harta zakat dalam bentuk aset kelolaan oleh amil zakat
yang cara Pengumpulan harta zakat sendiri banyak cara untuk itu
diantaranya, para muzaki bisa transfer melalui Bank, bisa juga ke kantor
kelurahan atau kecamatan setempat, bahkan bisa diantar langsung ke
kantor merupakan upaya untuk perluasan manfaat harta zakat agar lebih
69
dirasakan kemanfaatannya bagi banyak mustahiq dan dalam jangka
waktu yang lama.36
Majelis ulama Indonesia mengartikan harta zakat yang dikelola
dalam bentuk aset kelolaan adalah sarana atau prasarana yang diadakan
secara fisik berada di dalam penglolaan penglola sebagai wakil mustahiq
zakat. Sementara pemanfaatannya diperuntukan bagi mustahiq zakat.37
Alangkah baiknya harta zakat tidak langsung habis begitu saja,
baiknya digunakan untuk modal usaha perdangan bila si mustahiq
mampu berdagang atau dibelikan alat pertanian jika si mustahiq mampu
bertani sehingga mereka mempunyai penghasilan sendiri sampai mereka
tidak lagi masuk dalam kategori mustahiq.
Penulis sendiri memandang adanya perlu pembentukan aset
kelolaan yang dananya bersumber dari harta zakat dan kemudian
diberikan kembali kepada para mustahiq zakat. Adapun harta zakat yang
dikelola dalam bentuk aset kelolaan dilaksanakan di daerah yang tidak
ada kebutuhan para mustahiq yang mendesak dan sangat tidak
diperbolehkan mengelola dana zakat dalam jangka waktu yang lama
sedangkan para mustahiq sangat membutuhkan dana dalam keadaan
mendesak hal tersebut hanya akan mempersulit para mustahiq dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
36 Wawancara Pribadi dengan Manager Fundraiser. Tangerang. 5 Oktober 2016
37 Wawancara Pribadi dengan Dr. Asrorun Ni‟am, MA. Depok. 14 September 2016
70
38ح ال مص ال ب ل ىج ل ع م د ق م د اس م ال ء ر د
Artinya: Menolak mafsadah didahulukan daripada mengambil manfaat
Lebih baik membagikan langsung harta zakat kepada mustahiq
yang sedang membutuhkan dana dalam keaadaan mendesak ketimbang
menahan harta guna diperuntukan sebagai aset kelolaan yang berharap
manfaatnya lebih besar dengan jangka waktu yang lama.
Maka penyaluran harta zakat dalam bentuk aset kelolaan
hukumnya dibolehkan jika tidak ada kebutuhan mendesak bagi para
mustahiq untuk menerima zakat dan manfaatnya hanya diperuntukan
bagi para mustahiq. Adapun orang-orang yang bukan mustahiq
menggunakan atau memanfaatkan aset kelolaan yag bersumber dari harta
zakat bagi mereka untuk melakukan pembayaran yang sesuai sebagai
dana kebajikan.
38 Abdul Hamid Hakim, Mabadi‟ Awaliyah, (Sa‟adah Putra, Jakarta, 2008), h. 34.
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan bab-bab sebelumnya dalam bab ke lima penulis ingin
mengakhiri pembahasan skripsi ini dengan membuat kesimpulan sebagai
berikut:
1. Aset Kelolaan yang dimaksudkan dalam fatwa no 14 tahun 2011
ini adalah sarana atau prasarana yang diadakan dari harta zakat
dan secara fisik berada di dalam penglolaan penglola sebagai
wakil sebagai wakil mustahiq zakat, sementara manfaatnya
diperuntukan bagi mustahiq zakat. Adapun hukum penyaluran
harta zakat dalam bentuk aset kelolaan adalah boleh asalkan tidak
ada pihak yang dirugikan, semisal tidak boleh digunakan harta
dalam bentuk aset kelolaan ketika para mustahiq
membutuhkannya dalam keadaan mendesak, dan Jika ada orang
lain yang ingin memanfaatkan aset tersebut haruslah membayar
secara wajar untuk dijadikan biaya kebajikan.
2. Perintah Allah jelas kepada Rasulullah untuk mengambil harta
zakat orang-orang kaya di arab selain untuk memenuhi kewajiban
berzakat guna membersihkan mereka dari dosa-dosa. Jadi
memberikan sebagian harta sebagai zakat adalah wajib hukumnya
untuk dilaksanakan. Dikeluarkan oleh orang-orang kaya dan
diberikan pepada mustahiq zakat yang terdiri dari delapan
72
golangan yakni: Fakir, miskin, amil, hamba sahaya, mualaf,
gharim,ibnu sabil, fi sabilillah.
3. Fatwa No 14 tahun 2011 tentang penyaluran harta zakat dalam
bentuk aset kelolaan ini adalah fatwa yang bersifat responsif yaitu
fatwa yang dikeluarkan karena adanya pertanyaan dari lembaga
Badan Amil Zakat Nasional yang kemudian dibahas oleh MUI
(Majels Ulama Indonesia) yang kemudian menjadi fatwa. Fatwa
inilah yang bisa menjadi landasan Badan Amil Zakat Nasional atas
inovasi mereka mengembangkan harta zakat menjadi aset
kelolaan.
B. Saran
Berdasarkan penjelasan dari bab-bab sebelumnya maka di dalam
skripsi ini penulis menuliskan beberapa saran yang diharapkan bisa
bermanfaat bagi semua pihak sebagai berikut:
1. Badan amil yang terdapat di negeri ini baik yang dibentuk oleh
pemerintah maupun nonpemerintah sebaiknya menerapkan sistem
penyaluran harta zakatnya dalam bentuk aset kelolaan sehingga
manfaatnya bisa lebih optimal dan memperluas kemanfaatanya
2. Masyarakat yang termasuk dalam kategori mustahiq zakat
hendaknya mendukung sistem penyaluran harta zakat dalam
bentuk aset kelolaan jika tidak dalam keadaan mendesak.
3. Masyarakat yang termasuk dalam kategori mustahiq zakat
hendaknya tidak berprilaku konsumtif ketika mendapat harta
73
zakat, sehingga bisa meningkatkan perekonomian mereka.
4. Umat Islam diminta untuk melaksanakan zakatnya dengan cara
diberikan kepada badan amil zakat yang kemudian dialurkan
kepada para mustahiq supaya penyaluran harta zakat lebih merata
dan luas pemanfaatanya.
74
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RJ, Al Qur'an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Alqur'an, 1990.
Fakhrudidn. Fiqh & Manajemen Zakat di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup, 2011.
Zuhdi, Masjfuk, Mashail Fiqhiyah. CV. Haji Mas Agung, 1989.
Hamid, Hakim Abdul. Mabadi‟ Awaliyah, Sa‟adah Putra, Jakarta, 2008.
Zahrah, Muhammad Abu. Zakat dalam Perspektif Sosial. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1995.
Hafidhuddin, Didin dkk. The Power of Zakat: Studi Perbandingan Pengelolaan
Zakat Asia Tenggara. UIN-Malang Press, 2008.
Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2011.
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2008.
J.moelang, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosada Karya, 1997.
Ahmadi, Fahmi Muhammad. Jaenal Aripin, Metode PenilitianHukum, Jakarta:
Lemabaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010.
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Bandng: Alfabeta, 2004.
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat terj. Salman Harun Bandung: Mizan, 1996.
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh , Baerut: Dar al-Fikr, 2007.
Jalaludin As-Suyuti, al-asbah wa an-nadzair, Beirut, Dar-Kutub al-Islamiyyah
Al-Furqan Hasbi, 125 Masalah Zakat, Solo: Tiga Serangkai, 2008.
Wahbah Al-Zuhayly, Zakat kajian berbagai mazhab, terj. Agus Efendi dan
Bahrudin fananny Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Volume 5 Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Bahreisy, Salim dan Bahreisy, Said. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Kasir, Jilid IV.
Surabaya: Bina Ilmu, 1988.
75
Abu bakar, Imam Taqiyudin bin Muhammad al Husaini. Kifaytul Akhyar Bina
Iman, 9 H.
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat terj. Salman Harun Bandung: Mizan, 1996.
Rasjid H, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1998.
Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqhu „Alal Madzahibil Arba‟ah. juz: 1, Baerut: Dar
al-Fikr, 2007.
Abu bakar, Taqiyudin bin Muhammad al Husaini. Kifaytul Akhyar. Bina Iman, 9
H.
Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Madzhab. Jakarta: Lentera
Basritama, 2000.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah II, terj. Khairul Amru Harahap dan Masrukhin
Jakarta Cakrawala Publishing 2012.
Al-Zuhayly, Wahbah. Zakat kajian berbagai mazhab, terj. Agus Efendi dan
Bahrudin fananny Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005.
Tim MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama
Indonesia Tahun 2005, Jakarta: Sekretaris MUI Pusat, 2005.
Mudzhar, Muhammad Atho. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah
Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indoneisa 1975-1988, Jakarta:
INIS, 1993, edisi Dwibahasa, alihbahasa Soedarso.
Hamka, Rusjd. Pribadi dan Martabat Prof. Dr. Hamka. Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1981. dalam Muhammad Atho Mudzhar.
Tim Penyusun MUI Pusat, Pedoman Penyelenggaraan Organisasi Majelis Ulama
Indonesia, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia Pusat, 2001, M. Ichwan
Sam peny..
Tim MUI, h. 21. Keputusan Munas VII MUI Nomor: Kep-02/Munas-
VI/MUI/VII/2005 tentang Perubahan/Penyempurnaan Wawasan,
Pedoman Dasar, dan Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama
Indonesia, tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H/28 Juli 2005 M.
Hasyim, Umar. Mencari Ulama Pewaris Nabi: Selayang Pandang Sejarah Para
Ulama.
76
Tim MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama
Indonesia Tahun 2005. Jakarta: Sekretaris MUI Pusat, 2005.
Komisi Fatwa MUI Propinsi KalSel, Ulama dan Tantangan Problematika
Kontemporer Himpunan Fatwa Ulama, Banjarmasin: Komisi Fatwa
MUI Prop. KalSel dan Comdes Kalimantan, 2007.
Hasan, Muhammad Tholhah. Ahlussunah wal jama'ah dalam Persepsi dan
Tradisi NU, Jakarta: Lantabora Press, 2005.
Yahya, Imam. Fiqih Sosial NU: Dari Tradisionalis Menuju Kontekstualis, dalam
M. Imdadun Rahmat Ed, Kritik Nalar NU: Transformasi Paradigma
Bahtsul Masa'il, Jakarta: Lakpesdam, 2002.
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fikih, Terj. Halimuddin S.H. Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2005.
Zahra, Muhammad Abu. Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Fikri, t.th..
Yahya, Muhktar dan Fatchurrahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islam. Bandung: Al Ma'arif, 1997.
Dikemukakan oleh Ibnu Battah di dalam risalah khuluk, halaman 31, secara
marfu' pada 'Umar. Tetapi al-Suyuti menyebutkan di dalam al-Jami' al-
sagTr secara marfu'' dan me-nisbah- kannya kepada al-Darimi dari
hadis Ubaidillah ibnu Abi Ja'far secara mursal, lihat Yusuf Qaradhawi,
Fatwa antara Ketelitian dan Kecerobohan, diterjemahkan oleh As'ad
Yasin, Jakarta: Gema Isani Press, 1997.
al-Bukhari, Muhamad bin Isma‟il al-Jami‟ al-Shahih kairo:Daar al-sya‟bi,1987.
Zain al-Abidin, Al-Asbah wa an-Nadza‟ir li Ibni Nazim, Libanon: Dar al-Kutub,
1980.
al-Maliyabari, Zainuddin. Fathu al-Mu‟in, Baerut: Dar-al-Fikr, 1890.
ar-Ramli, Syihabudin. Syarah Al-Minhaj li al-Nawawi, Baerut: Dar-Fikr 1984.
Taهmiyah, Ibnu. Majmu‟ Fatawa Ibnu Taimiyah, Baerut: Dar-Fikr, 1982.
Hooker, M. B. Islam Madzhab Indonesia, Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial,
Penerjemah Iding Rosyidin Hasan. Jakarta: Teraju, 2002.
Syihab, Quraisy. Membumikan Al-Qur‟an, Jilid II, Jakarta: Lentera Hati.
77
al-Mahalli, Jalaluddin dan as-Suyuti, Jalaluddin. Tafsir Jalalain, Jilid I,
diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar. Bandung: Sinar Baru
Algensindo, 2010.
Shihab, Quraish. Tafsir Al-Misbah, Volume V Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Ad-Dimasyqi, Abul Fida Ismail Ibnu Kasir. Tafsir Ibnu Kasir, Juz 11,
diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar Bandung: Sinar Baru lgensindo,
2003.
Kementrian Agama RI, Al-Qur‟an & Tafsirnya, Jilid IV Jakarta: Widya Cahaya,
2011.
Ad-Dauru Al-Mansur, Tafsir Al-Mansur, Jilid IV, diterjemahkan oleh
Abdurrahman Jalaludin As-Suyuthi Beirut: Dar Al-Fikr, tth.
Bahreisy, Salim dan Bahreisy, Said. Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Kasir, jilid IV.
Surabaya: Bina Ilmu, 1988.
al-Bukhari, Muhamad bin Isma‟il,. Shahih al-Bukhari kairo: Daar al-sya‟bi,
1987.
.
Malik bin Annas. Muwato‟ Malik Damsyik, Daar al-Qalam, 1991.
al-Abidin, Zain. Al-Asbah wa an-Nadza‟ir. Libanon: Dar al-Kutub, 1980.
Wawancara Pribadi dengan Dr. Asrorun Ni‟am, MA. Depok. 14 September 2016
1Wawancara Pribadi dengan Manager Fundraiser. Tangerang. 5 Oktober 2016
www.dompetdhuafa.org. diakses 2016
www.mui.or.id. Diakses 30 Oktober 2015.
Narasumber : Bpk. Syahrul Rahmatullah
Jabatan : Manager Fundraiser Badan Amil Zakat Infak Sedekah (BAZIS)
1. Bagaimana latar belakang terbentuknya Bazis ya pa ?
Sebenarnya terbentuknya BAZIS merupakan saran dari ulama-ulama National yang
kemudian berkumpul membahas persoalan umat, khususnya pelaksanaan zakat di
Indonesia. Memepertimbangkan zakat merupakan potensi besar yang belum dilaksanakan
maksimal, maka dari itu perlu diefek tivitaskan pengumpulan zakat maka berdirilah
BAZIS DKI ini.
2. Bagaimana sistematis pengumpulan dana zakat di basis?
Pengumpulan harta zakat sendiri banyak cara untuk itu diantaranya, para muzaki bisa
transfer melalui Bank, bisa juga ke kantor kelurahan atau kecamatan setempat, diantar
langsung ke kantor BAZIS di Jakarta Pusat atau mudahnya dijemput langsung oleh
petugas amil ke rumah. Selain itu juga kita sudah buka beberapa gray di gedung-gedung
perkantoran sperti di kantor BUMN, Kemenkumham dan yang lainnya
3. ada program bantuan apa saja di BAZIS sehingga para mustahiq bisa tentukan kebutuhan
mereka?
Ada bantuan untuk pembangunan tempat ibadah, seperti masjid, musholah terus yang kedua ada
beasiswa untuk pelajar, dan juga ada bantuan modal usaha atau untuk pengembangan usaha yang
bersifat produktif.
4. Jika sudah direalisasikan mengenai pemberdayaan masyarakat atau asset penglolaan, objek
apa saja yang telah dicapai?
Sudah banyak harta zakat yang disalurkan berupa modal usaha, danbanyak pula
masyarakat yang mendaftarkan sebagai mustahiq dan ingin mengambil haknya sebagai
modal usaha mereka, ada yang buka warung nasi, warung klontong dan lain-lain selain itu
juga BAZIS mengembangkan lembaga-lembaga syariah sudah terdapat 12 Baitul Mal Wa
Tamwil yang sudah memberdayakan potensi kaum dhuafa.
Narasumber : Dr. Asrorun Ni’am, MA
Jabatan : Sekretaris MUI Pusat
1. Bagaimana sebenarnya latar belakang lahirnya sebuah fatwa?
Sesuai dengan pedoman fatwa Ada 3 sifat lahirnya fatwa, yaitu :
1. Pro aktif
2. Responsif
3. Antisipatif
Proaktif adalah melihat ada kejadian ditengah masyarakat yang berkaitan
dengan masalah Islam, maka komisi fatwa pembahasan pertanyaan muncul
ditengah komisi fatwa kemudian dilakukan pembahasan hingga kemudian
mengeluarkan fatwa
Responsif adalah menjawab pertanyaan dari masyarakat baik individu maupun
kelompok , pemerintah maupun nonpemerintah.
Antisipatif adalah fatwa yang ditetapkan atas suatu peristiwa tertentu yang
memungkinkan memiliki akibat yang menimbulkan masalah dikemudian hari
tentunya berkaitan dengan hukum masalah Islam.
2. Dalam fatwa no 14 tahun 2011 ini sifat apa yang melatar belakangi lahirnya fatwa dan
lemaga apa pak?
Mengenai fatwa tentang zakat ini yang diterbitkan tahun 2011 itu respon dari
pertanyaan dari badan zakat amil nasional BAZNAS berarti latar belakangnya
adalah responsive.
3. Bagaimana kesulitan mengeluarkan fatwa no 14 tahun 2011 ini?
Sesuai dari standard mekanisme peneteapan fatwa tentu ketika ada masalah
yang diajukan oleh masyarakat atau ditanyakan oleh peminta fatwa (mustafti)
maka dilakukan verifikasi oleh tim fatwa kebetulan saya sebagai sekretarisnya
memnekankan apakah masalahnya sudah jelas sebagaimana disebutkan didalam
nash-nash baik al-qur’an maupun hadis, jika sudah jelas tidak perlu dibawa ke
rapat lagi langsung dijawab, akan tetapi jika masalahnya perlu pendalaman
maka didalami lagi masalahnya dengan pendekatan ushul fiqih dan pendekatan
fiqih perbandingan serta melihat pandangan-pandangan ulama terdahulu, nah
kalo pembahasan ini secara umum tetap mengikuti standar tersebut dan tidak
terlalu lama dan informasi yang dibutuhkan cukup memadai dari literature.
4. Apa deifinisi aset kelolaan menurut fatwa ini?
Yaah itu merujuk ketentuan umum aset yang dikelola yang bersumber dari
dana zakat teruntuk kepentingan mustahiq dan bisa dimanfaatkan lebih optimal
5. Bagaiman jika harta zakat digunakan dalam bentuk aset kelolaan saat mustahiq
membutuhkan mendesak?
Ketika para mustahiq membutuhkan dana zakat dalam mendesak namun amil
menjadikan aset kelolaan. Disitukan sudah diatur mengenai syarat-syarat
penyaluran zakat untuk kepentingan aset kelolaan itu kalau memang
berdasarkan amil dengan skala prioritas jangka pendek untuk kepentingan
penyelamatan jiwa atau kebutuhan yang pokok kemudian disisihkan itu
memungkian. Agar nilai kemanfaatnnya lebih baik, disitulah pentingnya amil
melakukan inovasi dan analisis situasi termasuk juga analisis kondisi mustahiq
zakat. Nah dalam kondisi sudah tertanam aset kelolaan kemudian ada mustahiq
yang mendesak membutuhkan ya dikeluarkan. Kan dana zakat tidak hanya
sekali pada berikutnya ada muzaki yang lain kemudian diprioritaskan diberikan
harta zakat tersebut.
6. Bagaiman jika ada sebagaian kalangan yang menentang fatwa tersebut karena tidak
termasuk asnaf yang terdapat dalam surat at taubah ayat 60 ?
Secara umum tidak ada yang mendalami bahwa fatwa itu kan sebagai jawaban
atas masalah hukum Islam dan menjadi panduan pedoman fatwa tersebut
menjadi landasan didalam pengelolaan zakat khusunya oleh BAZ maupun LAZ