penguatan pemidanaan yang sesuai dengan tujuan konservasi keanekaragaman hayati · 2019-12-02 ·...
TRANSCRIPT
1
POLICY BRIEF 5
PENGUATAN PEMIDANAAN YANG SESUAI DENGAN TUJUAN KONSERVASI
KEANEKARAGAMAN HAYATI
1 - POLICY BRIEF 5
2
RINGKASAN EKSEKUTIF
Penguatan pemidanaan hendaknya mempertimbangkan tujuan konservasi yaitu pelestarian keanekaragaman hayati serta mempertimbangkan tren pemidanaan yang bergeser ke arah restorative justice dibandingkan hukuman pembalasan. Untuk itu, penguatan pemidanaan dapat dilakukan dengan strategi penuntutan sebagai kejahatan terorganisasi transnasional dengan nilai ekonomi tinggi, penggunaan sanksi yang berorientasi pemulihan, penggunaan pidana dengan instrumen hukum lain seperti perdata dan administrasi, perbaikan rumusan delik pidana secara normatif, dan penyusunan pedoman pemidanaan (sentencing guidelines).
3 - POLICY BRIEF 5
LATAR BELAKANG MASALAH
Tingginya kasus kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa liar diduga karena belum maksimalnya pemidanaan terhadap pelaku kejahatan konservasi sehingga tidak berefek jera. Hukuman yang dijatuhkan pada pelaku kejahatan terhadap satwa liar dilindungi masih rendah jika dibandingkan dengan pidana maksimal yang diatur dalam UU No. 5/1990. Atas rendahnya pidana yang dijatuhkan, mulai muncul usulan agar dalam perubahan UU No. 5/1990 diatur pidana dengan menerapkan ancaman pidana minimum khusus. Namun menjadi perdebatan apabila pengaturan ancaman pidana minimum khusus menjadi solusi yang tepat untuk menjawab permasalahan rendahnya pemidanaan yang terjadi. Walaupun tujuan pemidanaan dalam UU No. 5/1990 adalah pidana yang berat bagi pelaku kejahatan konservasi, secara keseluruhan UU No. 5/1990 seharusnya bertujuan baik untuk kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya, maupun upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Selain itu dalam sistem pemidanaan yang berkembang di Indonesia saat ini terdapat perge seran tujuan pemidanaan. Penjatuhan sanksi tidak lagi sekedar bertujuan sebagai penghu kuman dan pembalasan, melainkan juga pemasyarakatan, dan memenuhi keadilan antara pelaku dan korban. Maka perlu dikaji lebih lanjut mengenai penguatan pemidanaan yang sesuai dengan tujuan pemidanaan konservasi pada hakikatnya.
4
KONDISI AKTUAL
Potret kasus kejahatan konservasi dan penghukumannya.
Hingga saat ini, kasus kejahatan satwa liar menduduki peringkat kedua kasus tindak pidana lingkungan dan kehutanan yang berhasil ditangani hingga P.21 oleh Direktorat Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (20152018):1
Hal ini menunjukkan upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh KLHK terhadap kasus peredaran tumbuhan dan satwa liar (TSL) cukup massif. Di sisi lain, dari 150 putusan dengan 195 terdakwa terkait peredaran satwa liar yang dipublikasikan pada portal direktori putusan Mahkamah Agung dari tahun 20092019, didapat gambaran bahwa hukuman pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim kepada para terdakwa dalam putusanputusan acuan Penulis beragam.2
1 Paparan “Penegakan Hukum Tindak Pidana Tumbuhan dan Satwa Liar” yang disampaikan oleh Dulhadi, Kasubdit Kejahatan Keanekaragaman Hayati pada Direktorat Penegakan Hukum Kementerian Lingku ngan Hidup dan Kehutanan, pada kegiatan Diskusi Kelompok Terpumpun Jenis dan Bentuk Tindak Pidana Keanekaragaman Hayati yang diselenggarakan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) di Jakarta, 21 Januari 2019.
2 Hasil penelitian Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) terhadap 150 putusan satwa liar dari tahun 20092019, putusan tersebut bersumber dari direktori putusan Mahkamah Agung yang dapat diakses pada https://putusan.mahkamahagung.go.id/
2 313
91
190
269
0
50
100
150
200
250
300
Kerusakan Kebakaran PencemaranLH
PerambahanHutan
Peredaran TSL PembalakanLiar
Total Penanganan TPLHK (P.21) 2015-2018
5 - POLICY BRIEF 5
Hukuman pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim kepada para terdakwa dalam putusanputusan acuan Penulis beragam. Dari hasil putusan terhadap 195 terdakwa, diperoleh data sebagai berikut:
• Perbandingan tuntutan dan putusan dalam pidana penjara adalah 1,5:1, dengan ratarata tuntutan pidana penjara 12,1 bulan dan putusan pidana penjara 8,5 bulan. Tuntutan pidana penjara yang terberat di antara 150 putusan ini adalah 48 bulan sedangkan putusan pidana penjara yang terberat juga 48 bulan.
• Perbandingan tuntutan dan putusan dalam pidana denda 1,2:1 dengan ratarata tuntutan pidana denda Rp 20,033,214 dan putusan pidana denda Rp17,856,429. Tuntutan pidana denda yang terberat adalah sebesar Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) sedangkan putusan pidana denda yang terberat pun juga sebesar Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
• Dengan tuntutan dan putusan pidana denda yang diberikan, ratarata jaksa menuntut penggantian pidana dengan 2,5 bulan kurungan, sedangkan majelis hakim ratarata menjatuhkan hukuman penggantinya selama 1,5 bulan.
Dari 150 putusan tersebut, mayoritas kasus tergambarkan sebagai kejahatan yang berdiri sendiri, terkesan tidak berdampak serius. Sejarah kejahatan dan mata rantai kejahatan belum tergambarkan dalam uraian dakwaan dan pembuktian, hal ini membuat hakim juga merasa kejahatan yang dilakukan terdakwa bukanlah kejahatan serius yang harus dihukum berat.
Tujuan dan Perumusan Pemidanaan dalam UU No. 5 Tahun 1990 dibandingkan dengan Tujuan Pemidanaan Nasional dan Pemidanaan Lingkungan Hidup
Tujuan dari UU No. 5/1990 adalah untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Maka dalam tujuan UU No. 5/1990, terdapat 2 unsur yang pemenuhannya dituju, yaitu: 1) ke lestarian sumber daya alam hayati, dan 2) upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Akan tetapi, tujuan pemidanaan UU No.5/1990 berbeda dengan tujuan UU No.5/1990. Tujuan pemidanaan UU No.5/1990 adalah penghukuman seberatberatnya. Pada bagian Penjelasan UU No.5/1990 dijelaskan bahwa pidana yang berat ini dipandang perlu karena kerusakan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak dapat dinilai dengan materi, sedangkan pemulihannya kepada keadaan semula tidak mungkin lagi. Implikasinya adalah UU No. 5/1990 tidak mengatur pidana lain selain pidana pokok penjara dan denda.
Selain melihat penegakan hukum pidana dalam suatu undangundang berdasarkan tu
6
juan peraturan perundangundangan tersebut, dan juga harus sejalan dengan tujuan pemidanaan nasional. Di Indonesia, tujuan pemidanaan secara umum seharusnya dapat dilihat dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP). Namun, KUHP tidak secara tegas mencantumkan tujuan pemidaan dalam rumusan pasalpasalnya, melainkan para ahli hukum lah yang menafsirkannya dengan menggunakan teoriteori pemidanaan yang berkembang dan melihat pemilihan jenis atau berat sanksi pidana dalam berbagai rumusan pidana. Terlebih lagi, jika tafsiran itu diperluas kepada ketentuan pidana khusus di luar KUHP semakin terlihat tujuan pemidanaan yang tidak terpola di Indonesia ini. Walaupun demikian, Dr. Sahardjo berusaha meunifikasi tujuan pemidanaan di Indonesia dengan melahirkan teori pemasyarakatan sebagai salah satu tujuan pemidanaan dan sudah diadopsi ke dalam sistem pemidanaan Indonesia dengan diundangkannya UndangUndang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU No. 12/1995).
Konsiderans UU No. 12/1995 tidak hanya mengingatkan martabat manusia tetapi juga menegaskan bahwa rangkaian penegakan hukum bertujuan agar pelaku menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Begitu seriusnya komitmen menjaga martabat manusia sampai pernyataan tersebut kembali disebutkan dalam batang tubuh UU No. 12/1995 (vide pasal 2).
Lebih lanjut, konsep pemidanaan yang umum dijumpai saat ini telah banyak dikritik, salah satunya karena memiliki kelemahan tidak memberikan keuntungan apapun bagi korban dan masyarakat. Sejarahnya, pemidanaan yang berlaku di dunia selama ini hanya memusatkan perhatian kepada pelaku. Instrumen pidana seolah memberikan dasar penjatuhan derita kepada seseorang akibat suatu tindak pidana yang dilakukannya (keadilan retributif). Perkembangan hukum di Indonesia menunjukkan tren diadopsinya keadilan restoratif – dimana sistem peradilan pidana mencoba mengakomodasi kepentingan korban dan masyarakat.
Contohnya, UndangUndang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.32/2009) telah mengatur perbaikan akibat tindak pidana3 sebagai pidana tambahan. Hal ini berarti UU No.32/2009 telah berusaha mengangkat kepentingan korban (dalam hal ini lingkungan hidup) dan juga menumbuhkan hubungan pertanggungjawaban antara pelaku dengan korban. Selain itu, pengaturan pidana perbaikan ini juga mendukung tercapainya tujuan UU No.32/2009 yang berbunyi:
a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
3 Pasal 119 huruf c UU No.32/2009
7 - POLICY BRIEF 5
b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j. mengantisipasi isu lingkungan global.
Lebih jauh lagi, pembaruan hukum pidana di Indonesia yang ditandai dengan pembahasan RKUHP mencoba mendobrak aplikasi keadilan retribusi dengan mengadopsi keadilan restoratif sebagai tujuan pemidanaannya. Hal ini secara jelas diungkapkan dalam Buku Kesatu, pasal 51 RKUHP4 yang berbunyi:
a. mencegah dilakukannya Tindak Pidana dengan menegakkan norma hukum demi pelindungan dan pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan agar menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat; dan
d. menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Dari rumusan pasal di atas terlihat bahwa memang terjadi pergeseran tujuan pemidanaan yang cukup signifikan dari KUHP lama, dimana pada RKUHP sudah mementingkan kepentingan korban dan masyarakat dan menekankan resolusi.
Penggunan Pengaturan Pidana Minimum Khusus di Indonesia
KUHP tidak mengenal ancaman pidana minimal khusus, yang dikenal dalam KUHP adalah ancaman minimal umum, sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat (2) “Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut turut.”
Walaupun begitu, aturan penutup KUHP membuka kemungkinan bagi undangundang
4 RKUHP versi 24 September 2019. Rumusan bahkan sudah ada sejak RKHUP tahun 1986.
8
lain mengatur ketentuan yang berbeda.5 Pidana minimum khusus diperuntukkan bagi delikdelik yang dipandang sangat merugikan atau membahayakan masyarakat pada umumnya dan delikdelik yang umumnya dikualifikasikan oleh akibat yang ditimbulkannya.6 Hingga saat ini di indonesia tercatat sejumlah 219 dari 716 tindak pidana baru yang diperkenalkan Sepanjang 1998 – 2014 memiliki pengaturan tindak pidana minimum khusus.7
Dalam perkembangannya, kekhawatiran disparitas pidana menjadi dasar diaturnya pidana minimal khusus. Contohnya pada UU No.32/2009, perumus menghendaki bahwa semua tindakan, usaha, dan kegiatan yang melanggar undangundang tersebut memiliki acuan hukum dalam pemberian hukuman oleh hakim dan bisa menghindari berbagai bentuk putusan bebas atau tidak maksimal.8 Selain itu, perumusan sanksi juga dilakukan melalui teori probabilitas yang menyatakan semakin kecil kemungkinan dilakukan deteksi, sanksi yang lebih besar dibutuhkan.9
ANALISIS TEMUAN
Faktor penyebab rendahnya penjatuhan pidana pada kasus kejahatan konservasi
Jika dilihat dari potret 150 putusan yang telah dibahas sebelumnya, putusan yang dijatuhkan hakim ratarata tidak begitu jauh dengan tuntutan Jaksa. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada disparitas tinggi antara tuntutan dengan putusan pidana yang dijatuhkan. Ratarata tuntutan jaksa yang hanya 12,1 bulan penjara saja masih jauh dari ancaman maksimal yang diberikan oleh UU No.5/1990 untuk kejahatan satwa liar, yaitu 5 tahun (60 bulan) penjara. Alihalih menyatakan terdapat disparitas putusan, lebih tepat jika disimpulkan bahwa memang kecenderungan penuntutan dan putusan terhadap kejahatan konservasi
5 Pasal 103 KUHP
6 Erna dewi, 1990. Sistem minimum khusus dalam hukum pidana sebagai salah satu usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia, Jakarta, Tesis UI.
7 Anugerah Rizky Akbari, 2015, Potret Kriminalisasi di Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta, ICJR, hlm. 23
8 Raynaldo Sembiring, dkk, 2014, Anotasi UndangUndang No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Jakarta,ICEL, hlm 228.
9 Ibid, hlm. 244.
9 - POLICY BRIEF 5
terutama terkait satwa liar dilindungi masih rendah. Hal ini dapat dikarenakan persepsi Jaksa dan Hakim yang masih memandang kejahatan satwa liar dilindungi ini bukan kejahatan yang berdampak serius, cara penyajian kasus di persidangan tidak menggambarkan kejahatan konservasi sebagai kejahatan serius, atau Terdakwa yang dihadirkan di persidangan dianggap bukanlah pemain besar yang layak dijatuhkan hukuman tinggi.
Pemberatan sanksi terhadap tindak pidana ini juga sulit dilakukan karena cara perumusan delik dalam UU No.5/1990 yang menggabungkan berbagai tindakan beda kualifikasi dalam satu pasal, sehingga tidak dapat menggunakan strategi dakwaan kumulatif.10 Perumusan delik seperti ini juga membuat berbagai tindakan yang tingkat kejahatannya berbeda ini dipandang sama dengan ancaman sanksi maksimal yang sama pula. Kasus yang berhasil menggunakan pemberatan hukuman yang ditemukan adalah kasus dimana perburuan satwa liar dibarengi dengan kepemilikan senjata api ilegal, sehingga penuntutan menggunakan kumulasi UU No.5/1990 dengan UU No. 12/drt/1951.11 Kegagalan me nyajikan kejahatan konservasi sebagai kejahatan terorganisasi yang bersifat transnasional pun semakin membuat pandangan bahwa kejahatan ini bukanlah kejahatan serius yang melibatkan jaringan besar dengan keuntungan finansial yang besar pula.
Proyeksi pemidanaan kedepan
Jika RKUHP disahkan, semua ketentuan pidana dalam peraturan perundangun dangan harus menyesuaikan dengan ketentuan Buku Kesatu yang mengatur mengenai ketentuan umum, sebagaimana disebutkan dalam aturan peralihan12. Dengan demikian, perumusan ketentuan pidana pada perubahan UndangUndang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya seharusnya mendukung terwujudnya tujuan UndangUndang tersebut dan sesuai dengan tujuan pemidanaan nasional.
Perlu diingat bahwa instrumen pidana merupakan ultimum remidium atau upaya terakhir penegakan hukum. Pembenaran pengaturan pemidanaan oleh kaum konsekualis harus memenuhi tiga unsur berikut: a) pidana itu membawa kebaikan, b) pidana mencegah kejadian yang lebih buruk, dan c) tidak ada alternatif lain yang dapat memberikan hasil yang setara baiknya.13 Apabila tidak terpenuhi ketiga unsur tersebut berarti instrumen pidana tidak bisa berdiri sendiri untuk mencapai tujuan yang dicitacitakan suatu undangundang. Dalam konservasi, pidana mungkin membawa kebaikan seperti mencegah pemburu menjadi lebih banyak, tetapi ia tidak bisa mencegah akibat kejahatan konservasi lain,
10 Lebih lanjut lihat Policy Brief “ Perumusan Delik Pidana Konservasi yang Menjawab Kebutuhan Terkini:
11 https://www.mongabay.co.id/2016/06/23/empattahunpenjarahadiahuntukpemburuharimausumatera/
12 Pasal 617 ayat (1) RKUHP versi 24 September 2019.
13 Antonyduffdandavidgarland,1995,areaderonpunishment,oxford:oxforduniversitypress,hlm6.
10
dan masih tersedia alternatif lain yang setara baiknya, yaitu instrumen perdata atau administrasi dengan pemulihan misalnya. Dengan kata lain, penegakan hukum konservasi juga perlu dilengkapi dengan instrumen lain, seperti penegakan hukum administrasi dan perdata. Ditambah dengan pengaturan ketentuan pidana yang rinci dengan mengklasifikasikan mana yang merupakan administrative dependent crime (memerlukan pengaturan administratif) dan mana yang administrative independent crime (tidak memerlukan pengaturan administratif). Kemudian juga, perlu diingat bahwa sanksi dari instrumen selain pidana tidak menmbebaskan pertanggungjawaban pidana, bahkan penegakan hukum bisa dilakukan secara paralel ataupun digabung.
Penggunaan Pidana Minimum
Rancangan revisi KUHP memperkenankan pidana minimum khusus dengan pertimbangan menghindari disparitas penjatuhan pidana, mengefektifkan pengaruh preferensi umum dan pemberatan pidana. Namun terdapat banyak kritik atas praktek pidana minimum khusus ini, diantaranya adalah:
a. Membatasi kebijaksanaan hakim dalam menilai kasus per kasus.14
Penerapan pidana minimum membuat hakim tidak dapat menilai faktafakta berbeda dari tiap perkara. Begitu terbukti bersalah, baik terdakwa yang merupakan residivis atau yang baru pertama kali melakukan kejahatan akan mendapat hukuman minimum yang sama. Kemudian hakim juga tidak dapat mempertimbangkan keadaankeadaan yang seharusnya memberikan keringanan pada terdakwa.
b. Mengarahkan pada pemenjaraan massal (mass incarceration).
Kemudahan untuk memidana orang dengan mengeliminasi alternatifalternatif lain membuat penegakan hukum mengarah pada pemenjaraan massal.15 Pembelajaran dari penegakan UU Narkotika, ketika pidana minimum dikenakan secara berlebihan berdampak pada kelebihan kapasitas Lapas dan Rutan (overcrowded) yang memiliki dalmpak ekonomi dan sosiologis pada institusi pemasyarakatan dan negara sendiri.16
14 Argumentasi ini adalah kritik yang paling banyak dibahas di berbagai literatur terkait penggunaan pidana minimum khusus. Beberapa pembahasan dapat dilihat di Families Against Mandatory Minimums, Mandatory sentencing was once America’s lawandorder panacea; Here’s why it’s not working, artikel dapat diunduh di https://www.prisonpolicy.org/scans/famm/Primer.pdf; Criminal Justice Policy Foundation, Mandatory and Sentencing Reform, artikel dapat diunduh di https://www.cjpf.org/mandatoryminimums
15 Michael Tonry, 2014, Remodeling American Sentencing: A TenStep Blueprint for Moving past Mass Incarceration, Criminology & Public Policy Vol.13, Issue 4, hlm 503533
16 Rully Novian, dkk, 2018, Strategi Menangani Overcrowding di Indonesia : Penyebab, Dampak dan Penyelesainnya, Institute for Criminal Justice Reform, Jakarta.
11 - POLICY BRIEF 5
c. Tidak menjamin penjeraan.
Belum terdapat bukti yang cukup konklusif yang dapat menunjukan bahwa pidana minimum menimbulkan efek jera.17
Pengaturan sanksi pidana minimal khusus dalam beberapa undangundang idealnya digunakan untuk delik tindak pidana serius. Namun penelitian menunjukan pengaturan pidana minimum di Indonesia sangat bervariasi dan tidak memiliki pola khusus.18 Hal ini menjadi berbahaya karena tidak ada standar dan kriteria tertentu yang digunakan dalam me ngaplikasikan pidana minimum khusus. Pilihan lain guna mengatasi dispa ritas yang tetap memberikan ruang bagi pertimbangan kebijaksanaan jaksa dan hakim di ma singmasing perkara adalah dengan pengaturan pedoman pemidanaan (sentencing guideline). Dalam perkara kejahatan terhadap tumbuhan dan satwa liar (wildlife crime), bebe rapa negara telah menggunakan pedoman pemidanaan ini, seperti Wildlife Offen ces Legal Guidelines Crown Prosecution Office (Kejaksaan Inggris)19 dan The Sentencing Advisory Panel’s advice on environmental offences Eropa.20
Penguatan pemidanaan yang Menunjang Tujuan Konservasi
Penguatan pemidanaan yang menunjang tujuan konservasi harus berdampak pada kelestarian keanekaragaman hayati sendiri. Sanksi penjara dan denda dapat dikatakan dapat mencegah oknum yang bersangkutan untuk tidak melanjutkan tindakan pengrusakan keanekaragaman hayati setidaknya selama masa ia di dalam penjara. Namun, pemulihan keanekaragaman hayati yang telah rusak tidak terjadi, begitu pula “pemulihan” pada sikap pelaku kejahatan agar tidak melakukan pengrusakan keanekaragaman hayati kembali tidak terjadi. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan sanksisanksi pidana yang dapat menyasar pemulihan ini, seperti sanksi pelaksanaan pemulihan terhadap akibat kejahatan atau sanksi kerja sosial dalam bidang konservasi. Selain itu, selama ini pidana menjadi tumpuan utama dalam UU. No.5/1990, instrumen pidana perlu dibarengi dengan instrumen hukum lainnya untuk mencapai tujuan konservasi, seperti instrumen hukum perdata untuk menuntut pemulihan dan ganti rugi lebih komprehensif dan instrumen administrasi untuk pencegahan dan mengejar pemulihan seketika sebagai bagian dari paksaan pemerintah.
17 Law of Council Australia, 2014,Policy Discussion Paper On Mandatory Sentencing, hlm 1316, dapat diunduh pada https://www.lawcouncil.asn.au/docs/ff85f3e2-ae36-e711-93fb-005056be13b5/1405-DiscussionPaperMandatorySentencingDiscussionPaper.pdf
18 Barda Nawawi, 2007, Tinjauan Terhadap Pengenaan Sanksi Minimal, disampaikan dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada 27 November 2007, dokumen dapat diunduh di http://bphn.go.id/data/documents/seminar_bphn__pid_minimal.ppt
19 https://www.cps.gov.uk/legal-guidance/wildlife-offences
20 http://www.eurocbc.org/wildlife_guidelines.pdf dan http://www.banksr.co.uk/images/Guidelines/Advisory%20Panel%20Reports/Environmental%20Offences.pdf
12
REKOMENDASI
Berikut beberapa rekomendasi untuk memperkuat pemidanaan yang tidak hanya sekedar menghukum, tetapi juga menunjang tujuan konservasi:
a. Menuntut kejahatan konservasi sebagai kejahatan terorganisasi lintas negara (transnational organized crime) yang bernilai ekonomi tinggi (financial crime). Strategi ini tentunya juga menuntut Penyidik dan Jaksa untuk dapat menghadirkan anggotaanggota kelompok terorganisasi yang memainkan peran strategis sebagai terdakwa, serta dapat menggambarkan hubungan kerjasama antara satu sama lain. Sehingga kasuskasus yang ada bukanlah kasus kecil terpisah yang tidak berhubungan sama sekali. Dalam rangka menjalankan strategi ini dapat juga dengan mengombinasikan UU No.5/1990 dengan undangundang lain yang terkait.
b. Tren dalam penegakan hukum pidana yang lebih mengarah ke restorative justice dan memasyarakatkan kembali terpidana, menghendaki penghukuman tidak hanya berorientasi pembalasan, tetapi juga pemulihan. Sehingga perlu dipertimbangkan bentukbentuk sanksi pemulihan ini, seperti sanksi perbaikan akibat tindak pidana dan kerja sosial di bidang konservasi.
c. Penegakan hukum pidana harus disertai dengan instrumen hukum lain, seperti perdata dan administrasi, untuk bersamasama menyasar tujuan konservasi. Untuk saat ini UU No.5/1990 tidak mengenai instrumen perdata, sementara instrumen administrasi diatur dalam peraturan turunan UU No.5/1990 namun tidak mencakup instrumen sanksi administrasi yang dapat memaksakan pemulihan.
d. Perbaikan perumusan delik secara normatif dalam UU No.5/1990. Perbaikan ini dilakukan dengan memisahkan tindakantindakan pidana dengan kualitas kejahatan berbeda dalam pasal berbeda dengan ancaman pidana maksimal yang berbeda juga.
e. Guna mengatasi disparitas dan mendorong kesamaan standar yang dapat memastikan tindak pidana konservasi dengan tingkat kejahatan tertentu dihukum layak, dapat dilakukan penyusunan pedoman pemidanaan (sentencing guideline) yang juga memuat halhal yang harus dipertimbangkan sebagai dasar pemberat atau peringan sanksi pidana. Mekanisme ini masih memberikan ruang bagi kebijaksanaan hakim dibandingkan dengan penggunaan pidana minimum khusus. Jika pidana minimum khusus terpaksa digunakan, hendaknya hanya digunakan sangat terbatas pada tindakan pidana tertentu yang berdampak besar, dengan unsurunsur pemberatan tertentu seperti kuantitas satwa yang diperdagangkan,
13 - POLICY BRIEF 5
NarahubungRika Fajrini : + 62 811 202 8925 / [email protected]
Antonius Aditantyo : +62 813 1985 8522 / [email protected]
atau pengaruh yang dimiliki pelaku. Perlu dipastikan tindak pidana dengan pidana minimum ini menyasar pelakupelaku dengan peran besar, sehingga tidak disalahgunakan untuk menjerat orangorang yang dalam kondisi tertentu patut diberikan keringanan sanksi.
Indonesian Center For Environmental Lawwww.icel.or.id