pengintegrasian lembaga mediasi dalam sengketa eksekusi
DESCRIPTION
HukumTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai mahluk sosial (zoon politicon), manusia dalam berinteraksi satu sama
lain seringkali tidak dapat menghindari adanya bentrokan-bentrokan kepentingan
(conflict of interest) di antara mereka. Konflik yang terjadi dapat menimbulkan
kerugian, karena biasanya disertai pelanggaran hak dan kewajiban dari pihak satu
terhadap pihak lain. Konflik-konflik semacam itu tidak mungkin dibiarkan begitu
saja, tetapi memerlukan sarana hukum untuk menyelesaikannya. Dalam keadaan
seperti itulah, hukum diperlukan untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi.
Sebagaimana sebuah ungkapan "ubi societas ibi ius" atau di mana ada masyarakat,
maka di situ perlu hukum. Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur
kehidupan manusia, tanpa hukum, kehidupan manusia akan liar, siapa yang kuat
dialah yang menang. Tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia
dalam mempertahankan hak dan kewajibannya.
Dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum, maka di negara hukum
seperti Indonesia1, diperlukan adanya suatu institusi yang dinamakan kekuasaan
kehakiman (judicative power). Kekuasaan kehakiman dalam praktik diselenggarakan
oleh badan-badan peradilan negara. Adapun tugas pokok badan peradilan adalah
memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan
oleh masyarakat pencari keadilan, selain mengawasi berlakunya peraturan perundang-
undangan yang berlaku (ius constitutum).
Di Indonesia, ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman secara konstitusional
diatur dalam Bab IX, Pasal 24,24A, 24B, 24C dan 25 UUD 1945 hasil amandemen
MPR ke empat. Hasil amandemen tersebut telah mengubah struktur kekuasaan
kehakiman, karena di samping Mahkamah Agung juga terdapat lembaga kekuasaan
kehakiman yang baru, yaitu Mahkamah Konstitusi. Pasal 24 ayat (2) menyebutkan:
"Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
1 Penetapan suatu negara sebagai negara hukum yang berkesejahteraan memberikan konsekuensi bahwa hukum yang berlaku akan memberikan jaminan terhadap segenap bangsa, segenap individu dari perlakuan tidak adil dan perbuatan sewenang-wenang. Hukum harus mengayomi setiap warga agar hak-haknya sebagai warga Negara dan hak-hak asasi manusianya terjamin.
peradilan agama, lingkungan peradilan militer,lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi."
Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang,
dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.2 Adapun
calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat
untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden3. Pengadilan sebagai kekuasaan kehakiman, harus merdeka dari kekuasaan
eksekutif. Tujuan utama kebebasan dari pengaruh dan kekuasaan eksekutif,
mempunyai dua sasaran pokok:
1. untuk menjamin terlaksana peradilan yang jujur dan adil (to ensures a fair and
just trial);
2. agar peradilan mampu berperan mengawasi semua tindakan pemerintahan (to
enable the judges to exercise control over government action).4
Dalam kekuasaan yudikatif di Indonesia arah kebijakan hukum Garis-garis
Besar Haluan Negara 1999-2004 menegaskan adanya perwujudan lembaga peradilan
yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun,
menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka serta
bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Arahan dan kebijakan tersebut sesuai dengan
ciri-ciri khas dari suatu negara hukum yaitu:
a. pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, yang mengandung
persamaan dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi dan kebudayaan;
b. peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi
oleh sesuatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga;
c. legalitas dalam segala bentuknya.5
Selain itu cita-cita menciptakan kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri
merupakan cita-cita universal sebagaimana ditegaskan dalam "Basic Principles on the
Independence of the Judiciary" (1985) yang telah merupakan salah satu keputusan
Kongres PBB ke-7, tentang The Prevention of Crime and Treatment of Offenders,
2 Lihat: Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen.3 Lihat: Pasal 24 A ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen. Lebih lanjut tentang kedudukan dan kewenangan Komisi Yudisial dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.4 M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1997), hlm. 5.5 Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, (Jakarta: Sunar Grafika, 1992), hlm.3.
Milan, yang diajukan oleh Majelis Umum PBB (Resolusi -40/32 tanggal 29
November 1985 dan 40/146 tanggal 13 Desember 1985).
Resolusi tersebut menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas,
merdeka dan mandiri adalah suatu proses peradilan yang bebas dari setiap
pembatasan-pembatasan, pengaruh-pengaruh yang tidak proporsional, hasutan-
hasutan, tekanan-tekanan, ancaman-ancaman atau campur-tangan secara langsung
atau tidak langsung dari setiap sudut kemasyarakatan atau dengan alasan apapun.6
Independensi dari lembaga peradilan juga harus diikuti dengan kemandirian hakim,
karena hakim merupakan penentu dalam proses peradilan.7
Hakim dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dituntut untuk menghasilkan
putusan yang bermuatan asas keadilan, kepastian dan kemanfaatan dan sekaligus juga
menciptakan hukum yang hidup (the living law). Untuk menciptakan hukum yang
hidup ini, maka peranan hakim sangat strategis dalam upaya pembentukan hukum
atau dengan istilah lain penemuan hukum.8
Sejalan dengan hal ini, Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, dalam Pasal 27 ayat (1) menentukan bahwa:
“Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Ketentuan ini terus
dipertahankan sampai dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menggantikan Undang-undang Nomor 4
Tahun 2004, dimana dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan: “Hakim dan hakim konstitusi
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.”
Pemenuhan rasa keadilan merupakan kunci dari seluruh rangkaian penegakan
hukum, sehingga hukum dapat dirasakan kemanfaatannya dan secara umum hukum
menjadi sarana pembangunan. Aspek kemanfaatan yang tersebut belakangan ini,
digambarkan oleh Roscue Pond sebagai berikut: “ law as tool of social engineering”,
yang artinya hukum dapat digunakan sebagai suatu sarana pembaharuan (untuk
membentuk, membangun, merubah), hukum sebagai sarana rekayasa sosial.9
6 Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Cet I (Depok: BP STIH “IBLAM”, 2004), hlm.6.7 Ibid, hlm.13.8 Achmad Ali Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta: Gunung Agung Tbk, 2002), hlm.25.9 W. Friedman, Legal Theory, Dalam Naskah Akademis Tentang Peradilan Anak, Mahkamah Agung RI, Tahun 2005, hlm.8.
Oleh karena itulah pentingnya hukum untuk dibangun agar hukum dapat
benar-benar menjadi sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat sebagaimana
yang diharapkan. Dalam hal ini, hukum dapat berperan sebagai objek pembangunan
dalam rangka mewujudkan hukum yang ideal sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di
masyarakat. Tetapi juga hukum dapat menjadi subjek pembangunan manakala hukum
itu telah berfungsi di masyarakat sebagai penggerak dan pengaman pembangunan dan
hasil-hasilnya. Problem utama dan mendasar dalam rangka penyelesaian konflik yang
terjadi adalah menyangkut tentang persoalan keadilan dalam kaitannya dengan
pelaksanaan penegakan hukum. Hal ini dikarenakan hukum atau aturan perundang-
undangannya harusnya adil, akan tetapi kenyataannya seringkali tidak. 10
Politik hukum peradilan Indonesia, mengarah kepada pencapaian
keseimbangan antara asas keadilan dan asas kepastian hukum, khususnya dalam
perkara perdata. Sejalan dengan hal ini, Zainuddin Mappong mengatakan:11
“Tujuan penggugat mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan pada intinya adalah untuk mengembalikan hak miliknya yang dikuasai pihak lain sesuai ketentuan hukum acara perdata yang berlaku. Upaya untuk mengembalikan hak milik penggugat tersebut berkaitan dengan penerapan hukum yang berdasarkan kepastian hukum dan keadilan masyarakat. Untuk mencapai keseimbangan kedua hal itu, maka pembangunan hukum dan sistem peradilan Indonesia terutama kualitas dan profesional aparatnya haruslah dilakukan secara bersamaan.”
Dalam praktek di dunia pengadillan, kadang ditemukan prinsip keadilan bagi
individu dikalahkan dengan prinsip kepastian hukum, yang menjadi mahkota bukan
keadilan akan tetapi kepastian hukum.12 Hal yang sama juga dikatakan oleh Zainuddin
Mappong, sebagai berikut:13
“Dalam perjalannya, ternyata pembangunan hukum dan peningkatan kualitas serta professional aparat peradilan belum sanggup menciptakan kepastian
10 Bagi kaum non dogmatik hukum bukan sekedar undang-undang, antara lain dapat kita lihat dari apa yang dikemukakan oleh Eugen Ehrlich, bahwa: “…that law depends on popular acceptance and that each group creates its own living law which alone has creative force”. (hukum tergantung pada penerimaan umum dan bahwa setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup, dimana di dalamnya masing-masing terkandung kekuatan kreatif). Lihat: Amstrong Sembiring: http://publikana.com. Diakses tanggal 20 Januari 2013, Jam: 10:30 WIB.11 Zainuddin Mappong, Eksekusi Putusan Serta Merta: Proses Gugatan dan Tata Cara Membuat Putusan serta Pelaksanaan Eksekusi dalam Perkara Perdata, Cet. I (Malang: Tunggal Mandiri Publishing, 2010), hlm.512 Padahal dalam setiap putusan, wajib diawali dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai makna bahwa hukum harus menjadikan keadilan sebagai spirit utama dalam seluruh bagian keputusan, keadilan harus di atas yang lainnya termasuk atas kepastian hukum. Keadilan dijadikan sebagai pisau analisis dalam setiap tahapan putusan, mulai dari tahapan konstantir, tahapan kualifiaksi, dan tahapan konstituir.13 Zainuddin Mappong, Op.Cit, hlm.5.
hukum dan keadilan masyarakat, sehingga tujuan penggugat untuk mengembalikan hak miliknya yang dikuasai pihak lain dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan sulit menjadi kenyataan.“(garis bawah dari penulis)
Ketidakmampuan untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum secara
bersamaan menimbulkan akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegak
hukum dan kewibawaan lembaga pengadilan menjadi merosot. Kepastian hukum
memang sangat diperlukan untuk menjamin ketentraman dan ketertiban dalam
masyarakat karena kepastian hukum (peraturan/ketentuan umum) mempunyai sifat
adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan dan
membina tata tertib masyarakat dengan perantara alat-alatnya dan sifat undang-
undang yang berlaku bagi siapa saja. Kepastian hukum ditujukan pada sikap lahir
manusia, ia tidak mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk,
yang diperhatikan adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya. Kepastian hukum tidak
memberi sanksi kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan
tetapi yang diberi sanksi adalah perwujudan dari sikap batin yang buruk tersebut atau
menjadikannya perbuatan yang nyata atau konkrit.14
Dalam prakteknya apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan, maka
akan kerapkali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini dikarenakan disuatu sisi
tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip- prinsip keadilan dan sebaliknya
tidak jarang pula keadilan mengabaikan prinsip-prinsip kepastian hukum. Kemudian
apabila terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, maka keadilanlah
yang harus diutamakan. Alasannya adalah bahwa keadilan pada umumnya lahir dari
hati nurani pemberi keadilan sedangkan kepastian hukum lahir dari sesuatu yang
konkrit.15
Putusan pengadilan saja belum secara mutlak sudah menyelesaikan pokok
perkara secara tuntas, kecuali jika putusan tersebut telah dilaksanakan. Dalam hal ini,
dimaksudkan eksekusi belum atau tidak dapat dilakukan karena terdapat berbagai
14 Amstrong Sembiring: http://publikana.com, diakses tanggal 20 Februari 2013, jam: 21.50 WIB.15 Loc Cit.
faktor yang menghalangi eksekusi16. Hampir setiap esksekusi yang akan dijalankan
akan dihadapkan kepada masalah-masalah baru yang mendadak muncul.
Berkenaan dengan hal ini Muhammad Yamin, menyatakan:17
“Banyak kalangan orang awam menyatakan bahwa putusan Pengadilan hanya di atas kertas saja, mungkin ratusan atau ribuan jumlahnya, putusan Pengadilan Agama tidak terlaksana eksekusinya karena bermacam-macam sebab.“
Sejalan dengan Muhammad Yamin, Purwoto S Ganda Subrata, mengatakan:18
“Dalam praktek peradilan ternyata bahwa untuk mengeksekusi putusan pengadilan tidak jarang dijumpai hal-hal yang cukup memusingkan kepala Ketua Pengadilan Negeri sebagai pejabat yang memerintahkan eksekusi tersebut.”
Kalau pelaksanaan putusan perkara perdata tersebut tertunda atau tidak dapat
dilaksanakan tentu akan merugikan pencari keadilan sebagaimana terkandung dalam
ungkapan “justice delayed is justice denied” (keadilan yang diberikan terlambat atau
ditunda adalah sama dengan tidak atau sangkalnya keadilan itu).
Eksekusi merupakan bagian dan termasuk dalam Hukum Acara Perdata.
Hukum Acara Perdata meliput tiga tahap tindakan, yaitu tahap pendahuluan, tahap
penentuan dan tahap pelaksanaan.19 Dalam mengajukan gugatan ke pengadilan orang
bermaksud mendapatkan haknya, memperoleh kepastian hukum dan mengharapkan
16 Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tatacara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, eksekusi tiada lain daripada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkadung dalam HIR atau RBG. Setiap orang yang ingin mengetahui pedoman aturan eksekusi harus merujuk ke dalam aturan perundang-undangan dalam HIR atau RBG. Lihat: M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hlm. 1. Pengertian eksekusi secara umum adalah pelaksanaan putusan hakim atau menjalankan putusan hakim. Adapun ketentuan mengenai pelaksanaan putusan atau eksekusi ini diatur dalam ketentuan Pasal 195 sampai dengan Pasal 200 HIR/Rbg. Pengertian eksekusi menurut R. Subekti dikatakan bahwa: “eksekusi atau pelaksanaan putusan mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau mentaati putusan itu secara sukarela sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan umum.”? Lihat: Mochammad Djais, Pikiran Dasar Hukum Eksekusi, (Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2000), hlm 12. Pendapat yang sama dikemukakan oleh Retno Wulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata yang menyatakan bahwa “eksekusi adalah tindakan paksaan oleh pengadilan terhadap pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela”. Sejalan dengan pendapat tersebut adalah pendapat Sudikno Mertokusumo yang menyatakan “pelaksanaan putusan/eksekusi ialah realisasi daari kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut”. Lihat: Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (Bandung : Mundur Maju, 1989), hlm 130.17 M. Yamin Awie, 2006, Permasalahan Sita dan Eksekusi, (Bangka Belitung: PPHIM, 2006 hlm.vii.18 Dalam Arry Mth. Soekowaty, Fungsi Relevansi Filsafat Hukum Bagi Rasa Keadilan Dalam Hukum Positif, Makalah Universitas Gadjah Mada, 2009, hlm.15.19 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hlm.8.
manfaat dari putusan pengadilan yang mengabulkan gugatannya. Selanjutnya agar
dapat dipenuhi hak-hak seperti tertera dalam putusan pengadilan yang mengabulkan
gugatan tersebut, perlu tindak lanjut yang dikenal dengan permohonan pelaksanaan
putusan (eksekusi).
Tujuan akhir pencari keadilan ialah agar segala hak-haknya yang dirugikan
oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan hakim. Hal ini dapat tercapai jika
putusan hakim dapat dilaksanakan.20 Masalah putusan adalah masalah prestige dan
persoalan eksekusi adalah persoalan wibawa. Kegagalan eksekusi dengan sendirinya
akan merobek kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum dan kepada
pengadilan khususnya.21
Dalam hal ini, dapat menilai bahwa sudah sangat diperlukan adanya suatu
mekanisme baru yaitu mencari jalan tengah (win-win solution) antara pihak yang
tereksekusi yaitu pihak yang kalah dalam persidangan maupun pihak yang menang,
agar tercipta suatu keseimbangan yang harmonis antara para pihak. Artinya kedua
belah pihak dapat menerima dan sekaligus menjalankan putusan pengadilan tersebut.
Sejalan dengan ini Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji mengatakan bahwa
paradigma penyelesaian non-litigasi dalam mencapai konsensus dan berusaha
mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa serta bertujuan untuk
mendapatkan hasil penyelesaian sengketa ke arah win-win solution.22
Salah satu alternatif dalam menyelaraskan kepentingan para pihak, sekaligus
pencapaian asas keadilan dan kepastian hukum guna mengatasi permasalahan
persengketaan tersebut, maka lembaga perdamaian dalam bentuk mediasi menjadi
salah satu solusi.
Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam menyikapi hal ini telah
mengeluarkan beberapa peraturan yang secara khusus mengatur keberadaan mediasi,
yang diharapkan menjadi jalan keluar atas permasalahan lambatnya proses
penyelesaian sengketa. Peraturan dimaksud berupa Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang merupakan
norma hukum yang menyempurnakan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama untuk
20 A. Muktiarto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.305.21 Muhammad Yamin Awie, Op.Cit, hlm.viii.22 Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, (Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka, 2009), hlm.128.
mengoptimalkan lembaga damai menurut Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg yang
dipandang belum lengkap dan perlu disempurnakan agar mampu menyelesaikan
permasalahan yang terus berkembang. PERMA No.2 Tahun 2003 menjadikan mediasi
sebagai bagian integral dari proses beracara di pengadilan. Selanjutnya, pada saat ini
PERMA No.2 Tahun 2003 telah disempurnakan melalui Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 tahun 2008 (selanjutnya disebut dengan PERMA No.1 Tahun 2008).
Mediasi23 merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat
dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak
menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.
Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah
satu instrumen efektif mengatasi masalah penumpukan perkara di pengadilan serta
memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian
sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (ajudikatif).24
Namun, disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat pada penyelesaian non
litigasi (mediasi), pikiran masyarakat Indonesia selama ini masih tetap terpola dengan
penggunaan penyelesaian litigasi untuk menyelesaikan sengketanya. Sehingga, apa
pun kondisinya, masyarakat tetap membawa sengketanya untuk diselesaikan melalui
lembaga peradilan.25
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau
mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan
memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah
23 Kata mediasi berasal dari bahasa Inggris ”mediation”, yang artinya penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa penengah. Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 79. Istilah mediasi (mediation) pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Robert D. Benjamin (Director of Mediation and Conflict Management Service in St. Louis Missouri) menyatakan bahwa mediasi baru dikenal pada tahun 1970-an dan secara formal digunakan dalam proses alternatif dispute resolution/ADR di California, baru pada tahun ini istilah ADR secara resmi digunakan oleh American Bar Asociation (ABA) dengan cara membentuk sebuah komisi khusus untuk menyelesaikan sengketa. Lihat: Muhammad Saifullah, Sejarah dan Perkembangan Mediasi di Indonesia, dalam Mukhsin Jamil (Ed), Mengelola Konflik Membangun Damai (Semarang: Walisongo Mediation Centre, 2007), hlm.211. Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa secara damai telah dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia berabad-abad yang lalu. Pada masa kolonial Belanda, lembaga pengadilan diberikan kesempatan untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa, kewenangan ini hanya terbatas pada kasus-kasus keluarga dan perdata pada umumnya, seperti perjanjian, jual beli, sewa menyewa, dan berbagai bisnis lainnya. Hakim diharapkan mengambil peran maksimal dalam proses mendamaikan para pihak yang bersengketa.Lihat: Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional (Jakarta: Kencana, 2009), hml.283 dan hlm.287.24 Lihat: Butir menimbang huruf a dan b PERMA No.1 Tahun 2008.25 Adi Sulistiyono, Membangun Paradigma Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi Dalam Rangka Pemberdayaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis/Hak Kekayaan Intelektual, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, tahun 2002, hlm.4
perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai
dengan hakikat perundingan atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada
paksaan untuk menerima atau menolak sesuatu gagasan atau penyelesaian selama
proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari
para pihak.26
Jenis perkara yang dapat diselesaikan melalui mediasi tercantum dalam Pasal
4 PERMA No. 1 Tahun 2008 menegaskan bahwa kecuali perkara yang diselesaikan
peradilan Niaga, pengadilan hubungannya industrial, kekuatan atas putusan Badan
26 Kebijakan MA-RI memberlakukan mediasi ke dalam proses perkara di Pengadilan didasari atas beberapa alasan sebagai berikut : Pertama, proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara. Jika para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh hakim, jumlah perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan berkurang pula. Jika sengketa dapat diselesaikan melalui perdamaian, para pihak tidak akan menempuh upaya hukum kasasi karena perdamaian merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga mereka tidak akan mengajukan upaya hukum. Sebaliknya, jika perkara diputus oleh hakim, maka putusan merupakan hasil dari pandangan dan penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan hukum para pihak. Pandangan dan penilaian hakim belum tentu sejalan dengan pandangan para pihak, terutama pihak yang kalah, sehingga pihak yang kalah selalu menempuh upaya hukum banding dan kasasi. Pada akhirnya semua perkara bermuara ke Mahkamah Agung yang mengakibatkan terjadinya penumpukan perkara. Kedua, proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah dibandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada penelitian yang membuktikan asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Akan tetapi, jika didasarkan pada logika seperti yang telah diuraikan pada alasan pertama bahwa jika perkara diputus, pihak yang kalah seringkali mengajukan upaya hukum, banding maupun kasasi, sehingga membuat penyelesaian atas perkara yang bersangkutan dapat memakan waktu bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan di Pengadilan tingkat pertama hingga pemeriksaan tingkat kasasi Mahkamah Agung. Sebaliknya, jika perkara dapat diselesaikan dengan perdamaian, maka para pihak dengan sendirinya dapat menerima hasil akhir karena merupakan hasil kerja mereka yang mencerminkan kehendak bersama para pihak. Selain logika seperti yang telah diuraikan sebelumnya, literatur memang sering menyebutkan bahwa penggunaan mediasi atau bentuk-bentuk penyelesaian yang termasuk ke dalam pengertian alternative dispute resolution (ADR) merupakan proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Ketiga, pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para pihak untuk memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya dapat diperoleh melalui proses litigasi, tetapi juga melalui proses musyawarah mufakat oleh para pihak. Dengan diberlakukannya mediasi ke dalam sistem peradilan formal, masyarakat pencari keadilan pada umumnya dan para pihak yang bersengketa pada khususnya dapat terlebih dahulu mengupayakan penyelesaian atas sengketa mereka melalui pendekatan musyawarah mufakat yang dibantu oleh seorang penengah yang disebut mediator. Meskipun jika pada kenyataannya mereka telah menempuh proses musyawarah mufakat sebelum salah satu pihak membawa sengketa ke Pengadilan, Mahkamah Agung tetap menganggap perlu untuk mewajibkan para pihak menempuh upaya perdamaian yang dibantu oleh mediator, tidak saja karena ketentuan hukum acara yang berlaku, yaitu HIR dan Rbg, mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum proses memutus dimulai, tetapi juga karena pandangan, bahwa penyelesaian yang lebih baik dan memuaskan adalah proses penyelesaian yang memberikan peluang bagi para pihak untuk bersama-sama mencari dan menemukan hasil akhir. Keempat, institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Jika pada masa-masa lalu fungsi lembaga pengadilan yang lebih menonjol adalah fungsi memutus, dengan diberlakukannya PERMA tentang Mediasi diharapkan fungsi mendamaikan atau memediasi dapat berjalan seiring dan seimbang dengan fungsi memutus. PERMA tentang Mediasi diharapkan dapat mendorong perubahan cara pandang para pelaku dalam proses peradilan perdata, yaitu hakim dan advokat, bahwa lembaga pengadilan tidak hanya memutus, tetapi juga mendamaikan. Singkat kata, dapat dikatakan bahwa PERMA tentang Mediasi memberikan panduan untuk dicapainya perdamaian. Lihat: Buku Komentar Peraturan Mahkamah Agung RI No. 01 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan.
Penyelesaian Sengketa Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas
Persaingan usaha, semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan tingkat
pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaiannya melalui perdamaian dengan
bantuan mediator. Ketentuan wajib menempuh prosedur mediasi ditemui dalam Pasal
2 ayat (3) PERMA No.1 Tahun 2008, yang menyebutkan “tidak menempuh prosedur
mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap 130 HIR yang
mengakibatkan putusan batal demi hukum”.27
Dengan demikian ketentuan mengenai mediasi yang ada dalam PERMA
berlaku bagi perkara perdata yang digunakan ke Pengadilan tingkat pertama , karena
ruang lingkup perkara adalah perkara perdata maka PERMA ini menurut hemat
penulis, berlaku bagi lingkungan peradilan umum dan peradilan Agama. Hal ini
diperkuat dengan ketentuan lain-lain yaitu Pasal 16 yang menyatakan bahwa apabila
dipandang perlu, ketentuan-ketentuan dalam PERMA ini selain dipergunakan dalam
lingkungan peradilan umum dapat juga diterapkan untuk lingkungan badan peradilan
lainnya. Dengan kata lain, dapat ditegaskan bahwa mekanisme mediasi di peradilan
dapat pula diterapkan di lingkungan peradilan agama dan peradilan tata usaha negara.
Namun, berlakunya PERMA No.1 Tahun 2008, masih menyisakan persoalan,
yakni belum mencakup mengenai lembaga mediasi yang diterapkan dalam
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam eksekusi
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dihadapkan pada masalah tidak
tercapainya eksekusi oleh karena adanya hambatan sosiologis dalam pelaksanaannya
selain juga bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan menimbulkan konflik ketika
eksekusi dilaksanakan. Sejalan dengan hal ini Najamuddin, mengatakan:28
“Studi efektivitas mediasi dalam sistem peradilan (court annexed mediation/court annexed dispute resolution) di Indonesia sejak berlakunya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008, dalam tataran teoritis dan praktis senantiasa memerlukan pengkajian yang lebih mendalam, terutama untuk tujuan yang lebih konprehensif.”
Pentingnya peranan mediasi terhadap penyelesaian sengketa eksekusi terhadap
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap didasarkan kepada aspek
kepastian dan kemanfaatan hukum bagi pihak yang bersengketa dengan pendekatan
win-win solution. Banyaknya perkara yang tidak dapat dilakukan eksekusi
27 PERMA 2003 tidak memberikan sanksi, sedangkan PERMA No.1 Tahun 2008 memberikan sanksi.28 Najamuddin, Permasalahan Mediasi Dalam Teori dan Praktek di Pengadilan Agama, http://www.badilag.net. Diakses tanggal 21 Februari 2013, Jam:21:10 WIB.
menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak terciptanya kemanfaatan hukum, untuk
itu mediasi menjadi solusi penyelesaian.
Terlepas dari berbagai permasalahan dalam tataran implementasi, mediasi
merupakan suatu upaya untuk mewujudkan peradilan yang memenuhi rasa keadilan.
Transformasi paradigma lama penyelesaian sengketa litigasi ke dalam paradigma baru
integrasi penyelesaian sengketa non litigasi dan litigasi masih dalam masa transisi
yang secara alamiah akan menemukan tempatnya yang dinamis, apabila diterapkan
secara konsisten dan konsekuen serta terus disempurnakan. Dalam kaitannya dengan
penulisan makalah Sistem Peradilan Indonesia, penulis memfokuskan pokok
kajiannya dalam hal penerapan lembaga mediasi yang dimaksud dalam
menyelesaikan permasalahan pelaksanaan eksekusi dengan sudut pandang penerapan
politik pembaharuan hukum dan kekuasaan kehakiman.
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan dalam latar belakang di atas,
maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Mengapa banyak terjadi permasalahan sengketa eksekusi atas putusan
pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap? dan
mengapa forum mediasi diperlukan dalam kaitannya dengan penyelesaian
konflik norma sengketa eksekusi putusan pengadilan perdata yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap?
2. Bagaimanakah model penyelesaian atas permasalahan pelaksanaan eksekusi
terhadap putusan pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap melalui forum mediasi dikaitkan dengan pengembangan sistem
hukum peradilan Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memberikan jalan keluar terhadap
permasalahan sengketa eksekusi atas putusan pengadilan perdata yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap ditinjau dari aspek pembangunan hukum
dikaitkan dengan asas keadilan dan sistem peradilan dalam perspektif negara hukum
melalui model penyelesaian mediasi. Secara garis besar penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Untuk menemukan dan menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi
permasalahan dan urgensitas dalam sengketa eksekusi atas putusan pengadilan
perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Selain itu, untuk
menemukan dan mengkaji urgensi forum mediasi guna mewujudkan keadilan,
kepastian dan kemanfaatan hukum.
2. Untuk menyusun model penyelesaian atas permasalahan pelaksanaan eksekusi
terhadap putusan pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap melalui forum mediasi dikaitkan dengan pengembangan sistem
hukum peradilan Indonesia.
D. Kegunaan Penulisan
Kegunaan dalam penulisan ini, dapat dibedakan menjadi dua bagian, yakni
kegunaan secara teoritis dan kegunaan secara praktis, dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat menjadi suatu konsep dalam penyelesaian
konflik norma atas sengketa eksekusi terhadap putusan pengadilan perdata
yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
2. Kegunaan Praktis
Sedangkan kegunaan praktis yang diharapkan dalam penulisan ini adalah
berkaitan dengan implementasi secara praktis, yakni diharapkan dapat menjadi
pegangan bagi para hakim, untuk menerapkan penyelesaian mediasi dalam
kaitannya dengan penyelesaian konflik norma sengketa eksekusi putusan
pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Setidak-tidaknya dapat menjadi salah satu sumber bacaan atau referensi bagi
pihak-pihak yang membutuhkan.
E. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan oleh penulis dalam penulisan makalah ini
adalah metode deskriptif analistis yaitu menggambarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dalam praktik
pelaksanaanya yang menyangkut permasalahan yang dianalisis.
Metode pendekatan yang dugunakan adalah metode yuridis normatif yaitu
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang
disebut dengan data sekunder berupa hukum positif dalam praktik pelaksanaan
mediasi dan pelaksanaan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dalam
sistem peradilan perdata di Indonesia. Pendekatan normatif itu sendiri dilakukan
melalui kajian terhadap asas-asas hukum dan penelitian penerapan hukum dalam
pelaksanaan praktik pelaksanaan mediasi dan pelaksanaan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap dalam sistem peradilan perdata di Indonesia.
Penulisan ini dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut yaitu
penelusuran kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan sumber data sekunder yang
terdiri dari: bahan-bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan
nasional, bahan-bahan hukum sekunder yaitu bahan yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis bahan hukum primer, seperti:
tulisan para ahli, buku-buku yang berkaitan, dan lain sebagainya. Sedangkan bahan-
bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum
primer dan sekunder, anatara lain artikel, majalah, dan koran.
Sedangkan data yang ada dikumpulkan oleh penulis dengan teknik sebagai
berikut: pertama, data kepustakaan dan dokumen. Data kepustakaan meliputi bahan-
bahan kepustakaan berupa bahan atau sumber primer29. Bahan atau sumber primer ini
terdiri dari buku-buku, kertas kerja koperensi, lokakarya, seminar, dan simposium,
laporan-laporan penelitian, majalah, disertasi atau tesis, dan sebagimya yang erat
kaitannya dengan sistem peradilan perdata dalam pelaksanaan mediasi dan
pelaksanaan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, guna mendapatkan
landasan teoritis dan memperoleh informasi dalam bentuk ketentuan formal dan
melalui naskah resmi yang ada. Data dokumen pemerintah terdiri dari bahan-bahan
hukum primer, sekunder, dan tersier30, diantaranya peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi dan putusan-putusan pengadilan, rancangan undang-undang, laporan
resmi pemerintah, dan sebagainya sepanjang dianggap relevan dengan topik yang
diteliti. Setelah data diperoleh, selanjutnya dilakukan analisis secara non statistik, oleh
karenanya penelitian ini akan menghasilkan dan memberikan nilai yang bersifat
kuantitatif. Metode analisis data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah metode
analisis normatif kualitatif. Maksud dari normatif disini adalah bertitik tolak peraturan
perundang-undangan yang ada sebagai hukum positif, sedangkan maksud dari
kualitatif disini adalah data yang berasal dari data sekunder.29 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali, 1985), hlm.34.30 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Ul.Press, 1986), hlm. 52.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Teori Negara Hukum
Dalam menyusun kerangka teori ini, penulis berusaha mengalirkan jalan
pikiran menurut kerangka yang logis atau menurut logical construct. Hal ini tidak lain
dari mendudukan perkara masalah yang diteliti (diidentifikasi) dalam kerangka
teoretis yang relevan dan mampu menangkap, menerangkan, serta menunjukkan
perspektif terhadap masalah itu. Upaya ditujukan untuk menjawab atau menerangkan
pertanyaan penelitian yang diidentifikasi. Cara berpikir (nalar) ke arah memperoleh
jawaban terhadap masalah yang diidentifikasi ialah dengan penalaran deduktif. Cara
penalaran deduktif ialah cara penalaran yang berangkat dari hal yang umum (general)
kepada hal-hal yang khusus (spesifik). Hal-hal yang umum ialah teori/dalil/hukum,
sedangkan hal yang bersifat khusus (spesifik) tidak lain adalah masalah yang
diidentifikasi. Sehubungan dengan penulisan makalah ini, didapatkan beberapa kata
kunci yang menjadi dasar penulisan makalah ini, yakni konflik norma (keadilan dan
kepastian), pelaksanaan eksekusi, mediasi dihubungkan dengan teori hukum
pembangunan.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa negara Indonesia secara
normatif adalah negara hukum, secara empiris questionable. Konsepsi atau istilah
"negara hukum" tidak ditemukan dalam naskah asli UUD 1945 yang menjadi hukum
dasar pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan pada
tanggal 17 Agustus 1945, namun hanya ditemukan dalam penjelasan UUD 1945,
yaitu istilah rechtsstaat yang dilawankan dengan istilah machtstaat. Setelah
perubahan ketiga UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001, dalam
Pasal 1 (3) secara tegas disebutkan bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum",
rumusan seperti ini juga terdapat dalam Konstitusi RIS Tahun 1949 dan UUDS Tahun
1950. Negara hukum adalah negara yang berlandaskan atas hukum dan yang
menjamin keadilan bagi warganya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan
tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan
hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal yang demikian akan
mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya31.
Istilah negara hukum32 dalam bahasa Belanda disebut rechtsstaat, Francis
mempergunakan istilah etat de droit, di Jerman digunakan istilah yang sama dengan
Belanda, yaitu rechtsstaat. Istilah-istilah etat de droit atau rechtsstaat yang
digunakan di Eropa Kontinetal adalah istilah-istilah yang tidak tepat dalam sistem
hukum Inggris, meskipun ungkapan legal state atau state according to law atau the
rule of law mencoba mengungkapkan suatu ide yang pada dasarnya sama. Dalam
terminologi Inggris dikenal dengan ungkapan the state according to law atau
according to the rule of law.33 Istilah the rule of law dalam perkembangan hukum di
Indonesia disebut juga dengan negara hukum. Djokosoetono menyebutnya dengan
istilah negara hukum yang demokratis.34
Sedangkan Dicey mendefinisikan the rule of law dengan mengemukakan tiga
hal, yaitu (1) the absolute predominance of the law (keunggulan mutlak hukum); (2)
equality before the law (persamaan di hadapan hukum); dan (3) the concept according
to which the constitution is the result of the recognition of individual rights by judges
(konsep menurut makna konstitusi adalah hasil dari pengakuan hak-hak individual
oleh para hakim).35 Dicey menjelaskan bahwa supremasi absolut atau keunggulan
regular law untuk menentang pengaruh dari kekuasaan sewenang-wenang dan
meniadakan adanya kesewenang-wenangan prerogatif ataupun wewenang diskresi
yang luas pada pihak pemerintah. Equality before the law dimaksudkan Dicey adalah
semua warga negara sama kedudukannya di hadapan hukum, penundukan yang sama
dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh
31 Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asaz-Asaz Hukum Tata Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991), hlm. 110.32 Munculnya paham negara hukum adalah sebagai akibat sistem pemerintaha absolutisme pada negara-negara di Benua Eropa. Pemikiran yang reaktif inj lahir sebagai suatu sistem rasional yang menggantikan absolutisme yang tiranik. Paham rechtstaat lahir dari suatu perjuangan terhadap absolutisme sehingga perkembangannya bersifat revolusioner, yang bertumpu pada sistem hukui kontinental yang disebut civil law atau modern Romawi law.33 Azhari, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, (Jakarta: UI-Press, 1995), hlm. 2 & 30.34 Agussalim Andi Gadjong, Op.Cit, hal.20. Ketentuan tentang apa yang hendak dijamin oleh hukum atau apa yang ingin diselematkan dengan the rule of law itu merupakan latar belakang awal munculnya konsep Anglo Saxon, yang kemudian terkenal dengan istilah rule of law.35 Ibid, hlm.24.
ordinary, court. The rule of law dalam pengertian ini bahwa para pejabat negara tidak
bebas dari kewajiban untuk menaati hukum yang mengatur warga negara biasa atau
dari yurisdiksi peradilan biasa.
Dengan demikian, tidak dikenal peradilan administrasi negara dalam sistem
Anglo Saxon. Berdasarkan konsep the rule of law, konstitusi bukanlah sumber, tetapi
merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh
pengadilan.36
Konsep negara hukum Dicey, sebagai pandangan murni dan sempit, oleh
karena dari ketiga pengertian dasar yang diketengahkannya tentang the rule of law,
intinya adalah common law sebagai dasar perlindungan kebebasan individu terhadap
kesewenang-wenangan penguasa. Perlindungan common law hanya dapat meluas
kepada kebebasan pribadi, seperti kebebasan berbicara, tetapi tidak dapat assure the
citizen's economic or social well being. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep
negara hukum (the rule of law) yang diungkapkan Dicey mengalami perluasan
pengertian dengan analisis yang lebih mendalam. Wade mengidentifikasi lima aspek
the rule of law berikut ini:
1. Semua tindakan pemerintah harus menurut hukum.
2. Pemerintah harus berprilaku di dalam suatu bingkai yang diakui peraturan
perundang-undangan dan prinsip-prinsip yang membatasi kekuasaan diskresi.
3. Sengketa mengenai keabsahan tindakan pemerintah akan diputuskan oleh
pengadilan yang murni independen dari eksekutif.
4. Harus seimbang antara pemerintah dan warga negara.
5. Tidak seorangpun dapat dihukum, kecuali atas kejahatan yang ditegaskan
menurut undang-undang.37
Sedangkan Wade memberikan pandangan berkaitan dengan the rule of law
adalah mencegah penyalahgunaan kekuasaan diskresi. Diskresi bukan sesuatu
kewenangan yang tanpa batas, namun tetap dalam bingkai hukum atau tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum. Pemerintah juga dilarang menggunakan
privilege yang tidak perlu atau bebas dari aturan hukum biasa.38 Terhadap pandangan
yang diungkapkan Wade di atas, oleh Josep Raz dikemukakan lebih deskriptis lagi,
dengan mengajukan beberapa asas sebagai tambahan, yaitu seperti berikut ini.
36 Ibid, hlm.25.37 Loc.Cit.38 Loc. Cit.
1. Semua undang-undang harus prospektif, terbuka dan jelas.
2. Undang-undang harus relatif stabil.
3. Pembuatan undang-undang tertentu harus dipedomani oleh aturan-aturan
terbuka, stabil, jelas, dan umum.
4. Kemerdekaan peradilan harus dijamin.
5. Prinsip-prinsip keadilan alami harus dipatuhi
6. Pengadilan-pengadilan harus memiliki kekuasaan peninjauan (hak menguji)
terhadap implementasi prinsip-prinsip tersebut.
7. Pengadilan-pengadilan harus dengan mudah dapat dicapai.
8. Diskresi dari petugas-petugas pencegahan kejahatan janganlah diizinkan untuk
merintangi hukum.
Sedangkan menurut Friedrich Julius Stahl negara harus menjadi negara
hukum, itulah semboyan dan sebenarnya juga daya pendorong daripada
perkembangan pada zaman baru ini. Negara harus menentukan secermat-cermatnya
jalan-jalan dan batas-batas kegiatannya bagaimana lingkungan (suasana) kebebasan
itu tanpa dapat ditembus. Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan
akhlak dari segi negara, juga secara langsung, tidak lebih jauh daripada seharusnya
menurut suasana hukum. Inilah pengertian negara hukum, bukannya misalnya, bahwa
negara itu hanya mempertahankan tata hukum saja tanpa tujuan pemerintahan, atau
hanya melindungi hak-hak dari perseorangan. Negara hukum pada umumnya tidak
berarti tujuan dan isi daripada negara, melainkan hanya cara dan untuk
mewujudkannya39. Kemudian Friedrich Julius Stahl mengemukakan empat unsur
rechtstaats dalam arti klasik, yaitu:40
1. Hak-hak asasi manusia;
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu (di negara-
negara Eropa Kontinental biasanya disebut trias politica);
3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur);
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Sedangkan Paul Scholten, menyebut dua ciri daripada negara hukum, yang
kemudian diuraikan secara meluas dan kritis. Ciri yang utama daripada negara hukum
ialah : “er is recht tegenover den staat”, artinya kawula negara itu mempunyai hak
39 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 57.40 Ibid, hlm. 57-58.
terhadap negara, individu mempunyai hak terhadap masyarakat. Asas ini sebenarnya
meliputi dua segi, yakni sebagai berikut :
1. Manusia itu mempunyai suasana tersendiri, yang pada asasnya terletak di luar
wewenang negara;
2. Pembatasan suasana manusia itu hanya dapat dilakukan dengan ketentuan
undang-undang, dengan peraturan umum.
Ciri yang kedua daripada negara hukum menurut Paul Scholten berbunyi ; “er
is scheiding van machten”, artinya dalam negara hukum ada pemisahan kekuasaan41.
Selanjutnya Von Munch misalnya berpendapat bahwa unsur negara berdasarkan atas
hukum ialah adanya:42
1. Hak-hak asasi manusia;
2. Pembagian kekuasaan;
3. Keterikatan semua organ negara pada undang-undang dasar dan keterikatan
peradilan pada undang-undang dan hukum;
4. Aturan dasar tentang peroporsionalitas (Verhaltnismassingkeit);
5. Pengawasan peradilan terhadap keputusan-keputusan (penetapan-penetapan)
kekuasaan umum;
6. Jaminan peradilan dan hak-hak dasar dalam proses peradilan;
7. Pembatasan terhadap berlaku surutnya undang-undang.
Dari beberapa pengertian yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pada dasarnya, dalam konsep negara hukum, baik konsep rechtstaat atau the rule of
law, terdapat hal-hal yang intinya sama, yang mengandung asas legalitas, asas
pemisahan (pembagian) kekuasaan, dan asas kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Kesemuanya itu bertujuan untuk mengendalikan negara atau pemerintah dari
kemungkinan bertindak sewenang-wenang, tirani atau penyalahgunaan kekuasaan.
Untuk dapat menjamin hal ini, maka negara hukum yang dikembangkan
bukanlah absolute rechtsstaat, melainkan demokratische rechtsstaat (demokratic rule
of law).43 Suatu negara yang menganut sistem demokrasi, maka segala sesuatunya
harus dirumuskan secara demokrasi, yaitu dengan melihat kehendak dan aspirasi dari
masyarakat luas, sehingga produk yang dihasilkan itu sesuai dengan keinginan hati
41 Notohamidjojo, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan Wibawa Hukum Bagi Pembaharuan Masyarakat di Indonesia, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970), hlm. 25.42 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaran Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisa Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, 1990, hlm.312.43 Andi Mattalatta, Politik Hukum Peraturan Perundang-undangan, www.djpp.depkumham.go.id.
nurani rakyat. Tetapi apabila sebaliknya, maka terlihat bahwa produk hukum yang
dikeluarkan tersebut dapat membuat masyarakat menjadi resah cenderung tidak
mematuhi ketentuan itu.44 Dalam konsepsi seperti itu, maka politik pembaharuan
hukum harus merupakan pelaksanaan cita-cita bangsa dan tujuan nasional. Indonesia
sebagai negara hukum yang demokratis, pembaharuan hukum yang hendak dilakukan
menuntut adanya produk hukum yang berkarakter populis, progresif dan terbatas
interpretasi.45
2. Teori Keadilan Sosial dan Konsep Kekuasaan Kehakiman
Selanjutnya, kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam negara hukum
menjadi tolok ukur rule of law, khususnya dalam perannya menyelesaikan konflik
atau persengketaan yang terjadi. Penyelesaian konflik yang diajukan ke lembaga
pengadilan dituntut dengan pemenuhan asas keadilan, kepastian dan kemanfaatan
dalam setiap putusan hakim. Pemenuhan rasa keadilan merupakan kunci dari seluruh
rangkaian penegakan hukum, sehingga hukum dapat dirasakan kemanfaatannya dan
secara umum hukum menjadi sarana pembangunan.
Akses terhadap keadilan (access to justice) merupakan hak asasi bagi setiap
manusia. Artinya setiap orang berhak mendapatkan akses terhadap keadilan tanpa
membedakan seberapa kaya atau miskinnya mereka, seberapa terpelajarnya mereka,
atau seberapa jauhnya mereka tinggal dari pengadilan46. Oleh karena itu, negara
berkewajiban menghormati, melindungi, dan memenuhi hak warganya untuk selalu
mendapatkan akses terhadap keadilan ini47. Salah satu implementasi dari access to
justice ini adalah kemudahan publik untuk mengakses putusan pengadilan.
Penyelesaian konflik melalui lembaga pengadilan yang bersifat litigasi dalam
prakteknya tidak selamanya menciptakan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan, dengan kata lain penyelesaian melalui litigasi ini cenderung berlarut-larut dan
sudah dapat dipastikan menimbulkan biaya tinggi.
44 Firdaus, Politik Hukum Indonesia (Kajian Dari Sudut Pandang Negara Hukum, Jurnal Hukum Islam, Vol.12 Nomor 10 September 2005, hlm.1.45 Sedangkan dalam sistem politik non demokratik, produk hukumnya cenderung berkarakter elitis, konservatif dan terbuka interpretasi. Lihat: Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cet.VI (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006), hlm.6.46 Wahyu Widiana, Efforts to Enhance Access to Justice in Indonesian Religious Courts : strategic responses to survey findings, makalah disampaikan pada konferensi IACA di Istanbul, Oktober 2009.47 Pasal 28D UUD 1945 menegaskan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta pengakuan yang sama di hadapan hukum”. Cf. Pasal 28F : “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengambanngkan pribadi dan lingkungan sosialnya..”
Selain itu, tidak dapat dipastikan pula putusan pengadilan akan memenuhi
ketiga aspek tujuan hukum secara sekaligus. Dalam praktek di dunia pengadillan,
kadang ditemukan prinsip keadilan individu dikalahkan dengan prinsip kepastian
hukum, yang menjadi mahkota bukan keadilan akan tetapi kepastian hukum.48 Hal
yang sama juga dikatakan oleh Zainuddin Mappong, sebagai berikut:49
“Dalam perjalannya, ternyata pembangunan hukum dan peningkatan kualitas serta professional aparat peradilan belum sanggup menciptakan kepastian hukum dan keadilan masyarakat, sehingga tujuan penggugat untuk mengembalikan hak miliknya yang dikuasai pihak lain dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan sulit menjadi kenyataan.“
Ketidakmampuan untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum secara
bersamaan menimbulkan akibat ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegak
hukum dan kewibawaan lembaga pengadilan menjadi merosot. Hukum dalam
pengertiannya yang umum adalah keseluruhan kaidah dan asas yang berfungsi sebagai
alat atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang
dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.50 Asas dan kaidah
menggambarkan bahwa hukum dianggap sebagai gejala normatif.51
Kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa yang seyogyanya atau
seharusnya dilakukan. Bagaimana orang seyogyanya atau seharusnya bertindak dan
bertingkah laku. Kaidah hukum berisi kenyataan normatif: das Sollen dan bukan
berisi kenyataan alamiah atau peristiwa konkrit.52
Selanjutnya, hukum bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum
dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-
asas keadilan dari masyarakat itu53. Alasan mengapa keadilan menjadi penting dan
dapat dipaksakan adalah oleh karena kenyataan bahwa pelanggaran atas keadilan akan
menimbulkan kerugian dan kejahatan dalam masyarakat.54 Keadilan merupakan suatu
48 Padahal dalam setiap putusan, wajib diawali dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai makna bahwa hukum harus menjadikan keadilan sebagai spirit utama dalam seluruh bagian keputusan, keadilan harus di atas yang lainnya termasuk atas kepastian hukum. Keadilan dijadikan sebagai pisau analisis dalam setiap tahapan putusan, mulai dari tahapan konstantir, tahapan kualifiaksi, dan tahapan konstituir.49 Zainuddin Mappong, Op.Cit, hlm.550 Muchtar Kusumaatmaja dalam Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia (Bandung: Alumni, 2000), hlm.17.51 Sri Gambir Melati Hatta, Ibid, hlm.17.52 Ibid, hal.17.53 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 40 – 41.54 A. Sonny Keraf, Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm.120.
hak yang harus diwujudkan dalam sikap dan perilaku manusia di masyarakat agar
kepentingan masyarakat terlindungi, dengan adanya pengaturan hukum yang
bersendikan keadilan tersebut. Sejalan dengan ini, Adam Smith merumuskan tentang
keadilan komutatif, dimana prinsip utama keadilan komutatif adalah no harm atau
prinsip tidak melukai dan merugikan orang lain. Keadilan komutatif ini menyangkut
jaminan dan penghargaan atas hak-hak individu, khususnya hak-hak asasi. Menurut
Smith, keadilan komutatif tidak hanya menyangkut pemulihan kembali kerusakan
yang terjadi, melainkan juga menyangkut pencegahan terhadap terlanggarnya hak dan
kepentingan pihak lain.55 Dengan lain kata dapat dikatakan bahwa keadilan
komunikatif tidak terutama terletak dalam melakukan suatu tindakan positif untuk
orang lain, melainkan terletak dalam tidak melakukan tindakan yang merugikan orang
lain. Tujuan keadilan adalah melindungi orang dari kerugian yang diderita akibat
orang lain.56
Keadilan komutatif lalu tertuang dalam hukum yang tidak hanya menetapkan
pemulihan kerugian, melainkan juga hukum yang mengatur agar tidak terjadi
pelanggaran atas hak dan kepentingan pihak tertentu.57 Teori keadilan berdasar Smith
berkaitan dengan konsep resiprositas atau kesetaraan nilai dalam pemulihan kembali
kerugian maupun pertukaran ekonomi. Teori keadilan Smith ini dikembangkan
kemudian bahwa prinsip utama keadilan komunitatif tidak melukai dan merugikan
orang lain. Keadilan menurut Smith menyangkut adanya jaminan dan penghargaan
atas hak-hak individu.58 Adam Smith memandang manusia sebagai bagian yang tak
terpisahkan dan suatu sistem yang mekanismenya mengaitkan perilaku mereka yang
spontan dan pada umumnya naluriah dengan manfaat-manfaat yang tak kelihatan bagi
mereka sendiri dan bagi masyarakat secara keseluruhan. Seperti halnya para
fungsionalis, Smith menganggap masyarakat sebagai sebuah sistem terkait dengan
hubungan kait-mengait yang sedemikian kornpleks di antara bagian-bagiannya,
sehingga setiap bagian menyumbang terhadap yang lainnya atau terhadap sistem
55 Ibid, hlm.112.56 Ibid, hlm.116.57 Ibid, hlm.112.58 Sri Gambir Melati Hatta, Peranan Itikad Baik Dalam Hukum Kontrak dan Perkembangannya, Serta Implikasinya Terhadap Hukum dan Keadilan, Pidato diucapkan pada Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tanggal 30 Agustus 2000, hlm.16.
tersebut secara keseluruhan. Masing-masing bagian terkait dan tergantung satu sama
lain; dan terkait dan tergangung pada keseluruhan.59
Thomas Aquinas menyatakan bahwa esensi hukum adalah keadilan, oleh
karena itu hukum harus mengandung keadilan, hukum yang tidak adil bukanlah
hukum itu sendiri. Bismar Siregar menyatakan bahwa hakim wajib menafsirkan
undang-undang agar undang-undang berfungsi sebagai hukum yang hidup (living
law), karena hakim tidak semata-mata menegakkan aturan formal, tetapi harus
menemukan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.60
Sudikno Mertokusumo mengemukakan hal yang senada, sebagai berikut:
"Ketiga unsur itu seberapa dapat harus ada dalam putusan secara proporsional, yaitu kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit). Itu adalah idealnya. Akan tetapi di dalam praktiknya jarang terdapat putusan yang mengandung tiga unsur itu secara proporsional. Kalau tidak dapat diusahakan kehadirannya secara proporsional, maka paling tidak ketiga faktor itu seyogyanya ada dalam putusan. Tidak jarang terjadi kepastian hukum bertentangan dengan keadilan. "Hukumnya demikian bunyinya, maka harus dijalankan (kepastian hukum)", tetapi kalau dijalankan dalam keadaan tertentu akan dirasakan tidak adil (lex dura sed tamen scripta: hukum itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya). 61
Selanjutnya, dikatakan: “kalau dalam pilihan putusan sampai terjadi konflik
antara keadilan dan kepastian hukum serta kemanfaatan, maka keadilannyalah yang
harus didahulukan".62 Kalau dicermati kepala putusan hakim itu sendiri berbunyi
"Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", oleh karena itu
pertimbangan keadilan sesungguhnya lebih dikedepankan dalam memutus suatu
perkara. Dalam hal ini memang sepenuhnya diserahkan kepada majelis hakim yang
menangani perkara tersebut.
Bismar Siregar, menambahkan bahwa dasar seorang hakim dalam mengambil
putusan adalah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhahan Yang Maha Esa". Dengan
demikian, dalam menetapkan putusannya, pertama-tama seorang hakim bermunajat
kepada Allah SWT. Atas nama-Nyalah suatu putusan diucapkan. la bersumpah atas
nama Tuhan Yang Maha Esa. Pada saat itulah hatinya bergetar. Ini merupakan
59 A. Sonny Keraf, Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm.50-5160 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1996), hlm. 79.61 Ibid.62 Ibid.
peringatan bagi siapa saja. Pesan Rasulullah Muhammad saw. kepada seorang
sahabatnya sebagai berikut:
"Wahai Abu Hurairah, keadilan satu jam lebih utama dari ibadahmu puluhan tahun, salat, zakat, dan puasa. Wahai Abu Hurairah, penyelewengan hukum satu jam lebih pedih dan lebih besar dalam pandangan Allah daripada melakukan maksiat enampuluh tahun".
Sebuah pesan yang indah, yang wajib dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh
para hakim.63 Dalam ajaran Islam juga diperintahkan agar kita bertindak adil dalam
menyelesaikan suatu perkara. Perintah itu antara lain disebutkan dalam Al Qur'an
Surat An- Nisa: 58, disebutkan: "Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum
di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil". Selanjutnya dalam Al
Qur'an Surat An-Nisa: 135 ditegaskan:
"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya, maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan".
Keadilan merupakan salah satu tujuan dari setiap sistem hukum, bahkan
merupakan tujuan terpenting. Masih ada tujuan hukum yang lain yang juga selalu
menjadi tumpuan hukum, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan ketertiban. Di
samping tujuan hukum, keadilan dapat juga dilihat sebagai suatu nilai (value). Bagi
suatu kehidupan manusia yang baik, ada empat nilai yang merupakan fondasi
pentingnya, yaitu: (1). Keadilan, (2). Kebenaran (3). Hukum (4). Moral.
Akan tetapi dari keempat nilai tersebut, menurut Plato, keadilan merupakan
nilai kebajikan yang tertinggi. Dalam kalimat Plato:" Justice is the supreme virtue
which harmonize all other virtues".64 Para filosof Yunani memandang keadilan
sebagai suatu kebajikan individual (individual virtue). Oleh karena itu dalam Institute
of Justinian, diberikanlah definisi keadilan yang sangat terkenal itu, yang mengartikan
kadilan sebagai suatu tujuan yang kontinyu dan konstan untuk memberikan kepada
setiap orang haknya. "Justice is the constant and continual purpose which gives to
everyone his own".65 Berkaitan dengan kaidah hukum maka dapat disimpulkan bahwa
63 Bismar Siregar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan, (Jakarta: Gema Insarti Press, 1995), hlm. 19-20.64 Roscoe Pound sebagaimana dikutip Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 52.65 Ibid., hlm. 53.
keadilan adalah aturan main minimal bagi kehidupan sosial manusia, dan prinsip
keadilan adalah aturan main yang sangat hakiki bagi hidup manusia dan karena itu
berlaku pada bidang kehidupan manapun.
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sudah mewajibkan kepada para
hakim untuk menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.66 Oleh karena itu, agar penegakan hukum di Indonesia dapat lebih baik
dan masyarakat percaya pada hukum yang berlaku, diperlukan penegakan hukum
yang berkeadilan, itulah yang didamba-dambakan oleh masyarakat. Untuk itu dalam
penegakan hukum di Indonesia, dibutuhkan kehadiran para penegak hukum yang
bervisi keadilan, dan penguasa yang bersikap adil sebagaimana dalam cita hukum
tradisional bangsa Indonesia diistilahkan dengan "ratu adil" atau seperti yang
diimpikan Plato dengan konsep "raja yang berfilsafat" (filosopher king) ribuan tahun
yang silam.67
Mahkamah Agung sendiri dalam instruksinya No. KMA/015 INST/VI/1998
tanggal 1 juni 1998 menginstruksikan agar para hakim memantapkan profesionalisme
dalam mewujudkan peradilan yang berkualitas, dengan menghasilkan putusan hakim
yang eksekutabel berisikan ethos (integritas), pathos (pertimbangan yuridis yang
utama) filosofis (berintikan rasa keadilan dan kebenaran), sosiologis (sesuai dengan
tata nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat), serta logot (dapat diterima akal
sehat), demi terciptanya kemandirian para penyelenggara kekuasaan kehakiman.68
Konflik norma antara keadilan dengan kepastian ini dalam praktek peradilan
perdata yang paling menonjol adalah menyangkut tentang pelaksanaan eksekusi
terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dari beberapa kasus
eksekusi tidak dapat dilakukan sehingga pemenuhan asas keadilan tidak dapat
diwujudkan di tataran empiris.
Karena itu, implementasi keadilan dalam setiap pelaksanaan eksekusi putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap merupakan salah satu
permasalahan yang harus diselesaikan dengan pendekatan keadilan individu, bukan
sekedar mengejar aspek kepastian.
Dalam hubungan ini, Jhon Rawls69 menyatakan bahwa perhatian utama
keadilan sosial adalah keadilan institusi atau apa yang disebutnya sebagai struktur
66 Lihat Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.67 Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 53.68 A. Mukti Arto, Mencari Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 98.69 John Rawls, A Theory of Justice (Revised Edition) Oxford Universitu Press, 1999, hlm.52.
dasar masyarakat. Teori keadilan sosial Jhon Rawls didasarkan pada ide-ide kontrak
sosial Jhon Locke. Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah ketidakberpihakan, dan
melalui kontrak sosial, individu-individu masyarakat secara bersama-sama
menghasilkan barang-barang sosial, bukan untuk konsumsi individual.
Lebih lanjut, teori keadilan sosial digunakan untuk menjawab dua pertanyaan
dasar berkaitan dengan konflik norma pelaksanaan eksekusi atas putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yaitu: pertama, apakah yang menjadi
landasan filosofis moral yang merupakan raison d'etre (sebab adanya) lembaga
mediasi dan kedua, untuk menjawab pertanyaan: apakah lembaga mediasi dapat
menjadi solusi pemecahan masalah konflik norma dalam pelaksanaan eksekusi atas
pelaksanaan eksekusi terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Berdasarkan sudut pandang teori keadilan sosial, maka tugas dan
tanggungjawab penyelesaian konflik norma ini berada pada negara yang, yang
direpresentasikan oleh pemerintahan negara dalam hal ini Mahkamah Agung.
Tanggung jawab negara sebagaimana tersebut di atas sejalan dengan tujuan
pembentukan negara Republik Indonesia, yaitu membentuk Pemerintahan Negara
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial.70 Pendekatan penyelesaian konflik norma pelaksanaan eksekusi
melalui lembaga mediasi dengan teori keadilan sosial memberikan justifikasi bagi
negara dalam hal ini hakim untuk melakukan pembentukan hukum (rechtsvorming).
3. Teori Sistem (Peradilan)
Lembaga mediasi sebagai bagian dari salah satu upaya penyelesaian
persengketaan merupakan lingkup kebijakan hukum perdata, sehingga pendekatan
yang digunakan juga didasarkan pada teori-teori dan asas-asas hukum yang diakui
dalam hukum perdata. Hukum adalah suatu sistem yang terdiri atas sub-sub sistem.
70 Hal ini dinyatakan dalam Alinea keempat Mukadimah UUD 1945 sebagai berikut: "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijak-sanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".
Lili Rasjidi menyatakan bahwa membicarakan hukum sebagai suatu sistem selalu
menarik dan tidak pernah menemukan titik akhir karena sistem hukum (tertib hukum
atau stelsel hukum) memang tidak mengenal bentuk final. Munculnya pemikiran-
pemikiran baru - sekalipun di luar disiplin hukum - selalu dapat membawa pengaruh
kepada sistem hukum.71 Menurut Lawrence M. Friedman, ada tiga unsur dalam
sistem hukum, yaitu:72
Pertama-tama, sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus
berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan
setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Ada pola jangka panjang
yang berkesinambungan - aspek sistem yang berada di sini kemarin (atau bahkan
pada abad yang terakhir) akan berada di situ dalam jangka panjang. Inilah struktur
sistem hukum - kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang
member semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan.
Struktur sistem hukum terdiri dari unsur berikut ini : jumlah dan ukuran
pengadilan, yurisdiksinya (yaitu, jenis perkara yang diperiksa, dan bagaimana serta
mengapa), dan cara naik banding dari satu pengadilan ke pengadilan lain. Jelasnya
struktur adalah semacam sayatan system hukum – semacam foto diam yang
menghentikan gerak.
Aspek lain sistem hukum adalah substansinya, yaitu aturan, norma, dan pola
prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti “produk”
yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, keputusan yang
mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Penekannya di sini terletak pada
hukum hukum yang hidup (living law) , bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum
(law books). Komponen ketiga dari sistem hukum adalah budaya hukum. Yaitu sikap
manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, pemikiran, serta
harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran sosial dan
kekuatan social yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau
disalah gunakan. Tanpa budaya hukum, sistem hukum itu sendiri tidak akan
berdayaguna. Friedman mengibaratkan sistem hukum itu seperti “struktur” hukum
seperti mesin. Substansi adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu.
Budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk
71 Dikutip dalam Darji Darmodihardjo, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Penerbit PT. Radjagrafindo Persada, 1996), hlm. 149.72 Lawrence M. Friedman, American Law An Introduction Second Edition (Hukum Amerika Sebuah Pengantar) Penerjemah Wishnu Basuki, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hlm.7-9.
menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin itu
digunakan.
Berkaitan dengan hal di atas, apabila teori Lawrence M Friedman di atas
dikaitkan dengan sistem hukum di Indonesia saat ini maka dalam “struktur” terdapat
empat lingkungan peradilan yaitu, yaitu lingkungan peradilan umum, agama, militer,
tata usaha negara. Peradilan Niaga termasuk ke dalam lingkungan peradilan umum.
Masing-masing lingkungan peradilan tersebut mempunyai tingkatan yang berpuncak
pada Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi negara. Setiap pengadilan memiliki
yurisdiksinya sendiri-sendiri baik secara absolut maupun relatif. Friedman
menyebutkan, bahwa struktur adalah “.... is a kind of cross section of the legal system
- a kind of dtill photograph, which freezes the action”.73
Struktur berhubungan dengan institusi dan kelembagaan hukum, kalau
berbicara mengenai substansinya maka berbicara tentang bagaimana undang-
undangnya, apakah sudah memenuhi rasa keadilan, tidak diskriminatif, responsif atau
tidak. Jadi menata kembali materi peraturan perundang-undangannya.
Dalam budaya hukum, pembicaraan difokuskan pada upaya-upaya untuk
membentuk kesadaran hukum masyarakat, membentuk pemahaman masyarakat
terhadap hukum, dan memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat.
4. Teori Pembangunan Hukum dan Teori Kemanfaatan (Utilitas)
Selanjutnya, dalam penulisan makalah ini juga mempergunakan teori
pembangunan hukum dari Muchtar Kusumaatmadja dan teori kemanfaatan (utilitas)
dari Jeremy Bentham. Ada beberapa argumentasi krusial mengapa teori hukum
pembangunan tersebut banyak mengundang banyak atensi, yang apabila dijabarkan
aspek tersebut secara global adalah sebagai berikut:
Pertama, teori hukum pembangunan sampai saat ini adalah teori hukum yang
eksis di Indonesia karena diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi
dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur dimensi teori
hukum pembangunan tersebut lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi
Indonesia maka hakikatnya jikalau diterapkan dalam aplikasinya akan sesuai dengan
kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang pluralistik.
Kedua, secara dimensional maka teori hukum pembangunan memakai
kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa
73 Artikel Utama, Jurnal Keadilan,Vol. 2 No. 1 Tahun 2002, hlm. 3.
Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka terhadap
norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam teori hukum pembangunan
tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi structure (struktur), culture
(kultur) dan substance (substansi) sebagaimana dikatakan oleh Lawrence W.
Friedman.74
Ketiga, pada dasarnya teori hukum pembangunan memberikan dasar fungsi
hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool social
engeneering)75 dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang.76
Pada dasarnya, fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law
as a tool of social engeneering) relatif masih sesuai dengan pembangunan hukum
nasional saat ini, namun perlu juga dilengkapi dengan pemberdayaan birokrasi
(beureucratic engineering) yang mengedepankan konsep panutan atau kepemimpinan,
sehingga fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan dapat menciptakan harmonisasi
antara elemen birokrasi dan masyarakat dalam satu wadah yang disebut “beureucratic
and social engineering”.77
Terdapat 2 (dua) aspek yang melatarbelakangi kemunculan teori hukum ini,
yaitu: Pertama, ada asumsi bahwa hukum tidak dapat berperan bahkan menghambat
perubahan masyarakat. Kedua, dalam kenyataan di masyarakat Indonesia telah terjadi
perubahan alam pemikiran masyarakat ke arah hukum modern.78
Oleh karena itu, Mochtar Kusumaatmadja79 mengemukakan tujuan pokok
hukum bila direduksi pada satu hal saja adalah ketertiban yang dijadikan syarat pokok
bagi adanya masyarakat yang teratur. Tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan
yang berbeda-beda isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan jamannya.
74 Lawrence W. Friedman, American Law: An invaluable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984, hlm. 1-8. dan pada Legal Culture and Social Development, Stanford Law Review, New York, hal. 1002-1010 serta dalam Law in America: a Short History, Modern Library Chronicles Book, New York, 2002, hlm. 4-7.75 Lihat Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan dalam “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII” di Denpasar, 14-18 Juli 2003, hlm. 7.76 Terhadap eksistensi hukum sebagai suatu system dapat diteliti lebih detail dan terperinci pada: Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 5 dstnya.77 Romli Atmasasmita, Menata Kembali…Loc Cit, hlm. 7.78 Otje Salman dan Eddy Damian (ed), Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M., (Bandung: .Alumni, 2002), hlm. v.79 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, (Bandung: Bina Cipta, 1990), hlm. 2-3.
Selanjutnya untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum
dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat
mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara
optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban.80 Fungsi hukum dalam
masyarakat Indonesia yang sedang membangun tidak cukup untuk menjamin
kepastian dan ketertiban. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum diharapkan agar
berfungsi lebih daripada itu yakni sebagai “sarana pembaharuan masyarakat”, ”law as
a tool of social engeneering” atau “sarana pembangunan” dengan pokok-pokok
pikiran sebagai berikut :81
“Mengatakan hukum merupakan “sarana pembaharuan masyarakat” didasarkan kepada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan dan pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau dipandang (mutlak) perlu. Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan.”
Aksentuasi tolok ukur konteks di atas menunjukkan ada 2 (dua) dimensi
sebagai inti Teori Hukum Pembangunan yang diciptakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja, yaitu : Pertama, ketertiban atau keteraturan dalam rangka
pembaharuan atau pembangunan merupakan sesuatu yang diinginkan, bahkan
dipandang mutlak adanya. Kedua, hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum
memang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan dalam arti
penyalur arah kegiatan manusia yang dikehendaki ke arah pembaharuan. Lebih jauh,
Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa pengertian hukum sebagai sarana lebih
luas dari hukum sebagai alat, karena:82
1. Di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum
lebih menonjol, misalnya jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang
menempatkan yurisprudensi (khususnya putusan the Supreme Court) pada
tempat lebih penting.
2. Konsep hukum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh
berbeda dengan penerapan “legisme” sebagaimana pernah diadakan pada
80 Ibid, hlm.1381 Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Binacipta, 1995, hlm. 13.82 Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks ke-Indonesian, (Jakarta: Utomo, 2006), hlm.415.
zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang menunjukkan
kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan konsep seperti itu.
3. Apabila "hukum" di sini tennasuk fuga hukum internasional, maka konsep
hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh
sebelum konsep ini diterima secara resmi sebagai landasan kebijakan hukum
nasional.
Lebih detail, Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa:83
"Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif artinya, hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan. Akan tetapi, masyarakat yang sedang membangun, yang dalam difinisi kita berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki memiliki fungsi demikian saja. la juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang hukum yang menitikberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis, dan menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan."7
Apabila diuraikan secara lebih intens, detail dan terperinci maka alur
pemikiran di atas sejalan dengan asumsi Sjachran Basah yang menyatakan “fungsi
hukum yang diharapkan selain dalam fungsinya yang klasik, juga dapat berfungsi
sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak
dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara”.84 Selanjutnya, hukum juga harus
memberikan suatu manfaat bagi seseorang, dalam hal kemanfaatan hukum ini teori
utilitas (utility) menganjurkan the greatest happiness principle (prinsip kebahagiaan
yang semaksimal mungkin). Tegasnya, menurut teori ini, masyarakat yang ideal
adalah masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagiaan dan memperkecil
ketidakbahagiaan, atau masyarakat yang mencoba memberi kebahagiaan yang sebesar
mungkin kepada rakyat pada umumnya, agar ketidakbahagiaan diusahakan sesedikit
mungkin dirasakan oleh rakyat pada umumnya. Kebahagiaan berarti kesenangan atau
ketiadaan kesengsaraan, ketidakbahagiaan berarti kesengsaraan dan ketiadaan
kesenangan. Setiap orang dianggap sama derajatnya oleh teori utilitas.
83 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis), (Bandung: Alumni, 2002), hlm.14.84 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, (Bandung: Alumni, 1992), hlm.13.
Aliran utilitas yang dipelopori oleh Jeremy Bentham, menganggap bahwa
tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang
sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Penekanannya
didasarkan pada filsafat sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan
dan hukum merupakan alatnya. Adanya negara dan hukum semata-mata hanya demi
manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas masyarakat.
Manfaat adalah satu istilah abstrak. Istilah ini mengungkapkan sifat atau
kecenderungan sesuatu untuk mencegah kejahatan atau memperoleh kebaikan.
Kejahatan adalah penderitaan atau penyebab penderitaan. Kebaikan adalah
kesenangan atau penyebab kesenangan.85 Yang paling sesuai dengan manfaat atau
kepentingan seorang individu adalah yang cenderung memperbanyak jumlah
kebahagiaan itu. Yang paling sesuai dengan manfaat atau kepentingan masyarakat
adalah yang cenderung memperbesar jumlah kebahagiaan individu yang membentuk
masyarakat itu.86 Bahwa tujuan hukum adalah untuk melengkapi penghidupan,
mengendalikan kelebihan, memajukan persamaan dan menjaga kepastian. Hukum
harus ditujukan untuk mencapai kebahagiaan tertinggi dengan cara melengkapi
kehidupan, mengendalikan kelebihan, mengedepankan persamaan dan menjaga
kepastian. Dengan demikian, hukum itu pada prinsipnya ditujukan untuk menciptakan
ketertiban masyarakat, di samping untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
kepada jumlah orang yang terbanyak.
Dapat disimpulkan menurut teori ini, bahwa kita harus bertindak sedemikian
rupa sehingga menghasilkan akibat-akibat sebanyak mungkin dan sedapat dapatnya
mengelakan akibat-akibat buruk. Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan
dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan dapat dinilai baik ataa buruk sejauh dapat
meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Menurut
prinsip utilitarian Bentham: kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Prinsip
kegunaan harus diterapkan secara kuantitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama
sedangkan aspek kuantitasnya dapat berbeda-beda. Dalam pandangan utilitarisme
klasik, prinsip utilitas adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah jumlah terbesar(the
greatest happiness of the greatest number). Jadi, menurut Bentham prinsip kegunaan
tadi harus diterapkan secara kuantitatif belaka.
85 Jeremy Bentham, The Theory of Legislation (Teori Perundang-undangan: Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), diterjemahkan oleh Nurhadi (Bandung: Nusamedia & Nuansa, 2006), hlm.26.86 Ibid.
B. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran penulisan makalah ini merupakan turunan dari kerangka
teori yang digunakan untuk melakukan penelahaan terhadap permasalahan yang
dihadapi, untuk selanjutnya dicarikan suatu konsep/model penyelesaian
permasalahannya. Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan makalah ini adalah
untuk menemukan suatu konsep atau model dalam penyelesaian sengketa atas putuan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui pengintegrasian
mediasi. Berdasarkan uraian di atas, maka teori-teori yang dipergunakan dalam
penulisan ini digambarkan dalam bentuk skema berikut:
Bagan 1Alur Kerangka Pemikiran (Teori)
Teori Negara Hukum
Teori Keadilan Sosial
Teori Sistem Hukum
Pembaharuan Hukum
Perdata
Sistem Eksekusi
Fungsional Pembaharuan PerMA
Teori Pembangunan Hukum & Kemanfaatan Hukum
Subtansional
Sistem Hukum Nasional Mediasi
Pengadilan
Hukum Mediasi
Mi
ddl
e
Ra
ng
e
Th
eo
ry
Gr
an
d
Th
eo
ry
Ap
pli
ed
Th
eo
ry
BAB III
PEMBAHASAN
A. Mediasi Dalam Berbagai Sistem Hukum
1. Mediasi dalam Sistem Hukum Adat
Konsep penyelesaian sengketa melalui mediasi yang menggunakan win-win
solution atau penyelesaian menang sama menang, telah lama dikenal dalam hukum
adat Indonesia. Konsep penyelesaian sengketa melalui musyawarah antara para pihak
telah lama dikenal oleh masyarakat hukum adat, jauh sebelum sistem litigasi
diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Hukum adat sebagai suatu sistem hukum memiliki pola tersendiri dalam
menyelesaikan sengketa. Hukum adat memiliki karakter yang khas dan unik bila
dibandingkan dengan sistem hukum lain. Hukum adat lahir dan tumbuh dari
masyarakat, sehingga keberadaannya bersenyawa dan tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat. Hukum adat tersusun dan terbangun atas nilai, kaidah, dan norma yang
disepakati dan diyakini kebenarannya oleh komunitas masyarakat adat. Hukum adat
memiliki relevansi kuat dengan karakter, nilai, dan dinamika yang berkembang dalam
masyarakat adat. Dengan demikian, hukum adat merupakan wujud yuris
fenomenologis dari masyarakat hukum adat.87
87 Syahrizal Abbas, Op.Cit, hlm.235.
Penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat didasarkan pada
pandangan hidup yang dianut oleh masyarakat itu sendiri. Pandangan hidup ini dapat
diidentifikasikan dari ciri masyarakat hukum adat yang berbeda dengan masyarakat
modern. Pandangan hidup atau lebensaachuung, adalah suatu pandangan objektif dari
orang-orang yang ada di dalam masyarakat mengenai apa dan bagaimana dunia dan
hidup itu.88
Dalam masyarakat hukum adat sengketa yang terjadi dinyatakan sebagai suatu
realitas (sunatullah) yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Penyelesaian sengketa
perlu dilakukan secara hati-hati dan mendalam, sehingga tidak mengganggu
kehidupan masyarakat hukum adat. Bila terjadi sengketa dalam masyarakat hukum
adat, baik sengketa pidana maupun sengketa perdata, dengan sendirinya menimbulkan
keguncangan tata nilai masyarakat adat. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa
umumnya dilakukan secara cepat, agar tidak berlarut-larut yang berakibat rusaknya
tatanan nilai dan pandangan hidup masyarakat hukum adat.89
Ketua adat di dalam menyelesaikan sengketa tidak untuk mencari siapa yang
menang dan siapa yang kalah. Penyelesaian sengketa melalui musyawarah mufakat
dan damai bahkan telah dikenal pada zaman Mataram II. Pada saat Sultan Agung
berkuasa, urusan peradilan dilaksanakan oleh penghulu agarna atas nama rajayang
didampingi oleh beberapa ulama sebagai anggota majelis peradilan. Peradilan ini
disebut dengan peradilan serambi. Peradilan ini dilaksanakan atas dasar musyawarah
dan mufakat (collegiale recht spraak). Hasil putusan musyawarah menjadi putusan
terakhir oleh raja90. Pada zaman tersebut, di samping adanya peradilan serambi, di
daerah-daerah juga berlaku peradilan "padu", yaitu penyelesaian perselisihan antara
perorangan oleh peradilan keluarga (peradilan desa) secara damai, dan apabila tidak
dapat diatasi secara kekeluargaan, maka diselesaikan oleh peradilan padu secara
damai di bawah pimpinan seorang pejabat kerajaan yang disebut Jaksa.91
Kemudian pola-pola penyelesaian sengketa tersebut tetap dikenal di dalam
hukum adat pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Pada zaman ini dikenal apa
yang disebut dengan Hakim perdamaian desa. Lembaga perdamaian desa mendapat
pengakuan secara hukum berdasarkan Pasal 3a RO (Rechtetijke Organisatie), yang
88 Ibid, hlm.237.89 Ibid, hlm.243.90 H. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1992), hlm.61.91 Ibid.
antara lain menyatakan bahwa Hakim-hakim adat tidak boleh menjatuhkan hukuman
(ayat 3). Oleh karena tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman, ditempuhlah suatu
usaha "perdamaian"92. Dalam menegakkan hukum adat, lembaga perdamaian desa ini
menjalankan peranan mendamaikan dan membina ketertiban disebutkan dalam Pasal
3 dan 13 Reglement Indonesia yang diperbarui (RIB). Beberapa aspek positif dari
perdamaian desa, yaitu:93
1). Hakim perdamaian desa bertindak aktif mencari fakta.
2). Hakim meminta nasihat kepada tetua-tetua adat dalam masyarakat.
3). Putusan diambil berdasarkan musyawarah dan/atau mufakat
4). Putusan dapat diterima oleh para pihak dan juga memuaskan masyarakat
secara keseluruhan.
5). Pelaksanaan sanksi melibatkan para pihak, hal mana menunjukkan adanya
tenggang rasa (toleransi) yang tinggi di antara para pihak.
6). Suasana rukun dan damai antara para pihak dapat dikembalikan.
7). Integrasi masyarakat dapat dipertahankan.
Namun dewasa ini, Hakim perdamaian desa mengalami banyak hambatan
dalam menegakkan hukum dan mendamaikan para pihak sehingga timbul kesan
seolah-olah tidak berdaya menghadapi situasi konflik di pedesaan saat ini. Di
beberapa tempat, perdamaian desa tidak berfungsi lagi. Namun, di beberapa tempat
lainnya masih berfungsi sebagaimana biasanya.
Tradisi penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat cenderung
menggunakan ‘pola adat’ atau dalam istilah lain sering disebut pola ‘kekeluargaan’.
Pola ini diterapkan bukan hanya untuk sengketa perdata tetapi juga pidana.
Penyelesaian sengketa dalam pola adat, bukan berarti tidak ada kompensasi atau
hukuman apa pun terhadap pelanggar hukum adat.
Masyarakat hukum adat lebih mengutamakan penyelesaian sengketa melalui
jalur musyawarah, yang bertujuan untuk mewujudkan kedamaian dalam masyarakat.
Jalur musyawarah merupakan jalur utama yang digunakan masyarakat hukum adat
dalam menyelesaikan sengketa, karena dalam musyawarah akan dapat dibuat
kesepakatan damai yang menguntungkan kedua belah pihak.
92 Tjok Istri Putra Astiti, Pemberdayaan Hahim Perdamaian Desa Dalam Penyelesaian Kasus Adat di Luar Pengadilan, Buletin Musyawarah 1 (Juli 1997), hlm.5.93 Ibid.
Dalam system hukum adat, tidak dikenal pembagian hukum kepada hukum
public dan hukum privat. Akibatnya, masyarakat hukum adat tidak mengenal
kategorisasi hukum pidana dan hukum perdata, sebagaimana dalam system hukum
Eropa Kontinental. Istilah “sengketa” bagi masyarakat hukum adat bukan hanya
ditujukan untuk kasus perdata, yang menitikberatkan pada kepentingan perorangan,
tetapi sengketa juga digunakan untuk tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup mediasi dalam
masyarakat hukum adat, tidak hanya terbatas pada sengketa ranah privat, tetapi dapat
juga digunakan untuk menyelesaikan kasus publik. Penggunaan mediasi, arbitrase,
negosiasi dan fasilitasi jauh lebih luas dalam hukum adat, bila dibandingkan dengan
hukum positif di Indonesia.
Pola-pola penyelesaian sengketa secara musyawarah dan damai tetap bertahan
di dalam masyarakat hukum adat Indonesia dewasa ini. Di dalam masyarakat Batak,
misalnya: masih mengandalkan forum runggun adat yang pada intinya adalah
penyelesaian sengketa secara musyawarah dan kekeluargaan.94
Dalam masyarakat Minangkabau juga dikenal adanya Lembaga Hakim
Perdamaian Minangkabau, yang secara umum bertindak sebagai mediator dan
konsiliator.95 Dalam masyarakat Minang telah berkembang suatu tradisi bahwa kalau
terjadi perselisihan, termasuk sengketa dagang (yang dianggap identik sebagai
pekerjaan orang Minang), mereka mencari berbagai kemungkinan alternatif mana
yang lebih efektif jika kasusnya harus segera diselesaikan: di pengadilan atau di luar
pengadilan. Dengan sejumlah pertimbangan, banyak kasus dagang di Minang ternyata
diselesaikan melalui "mediasi" (kesepakatan) atau konsiliasi (kesepakatan dengan
kompensasi).
Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa konsep penyelesaian sengketa melalui
mediasi telah lama dikenal dalam sistem hukum adat kita. Sayangnya pola-pola
penyelesaian sengketa win-win solution yang dikenal dalam hukum adat kita kurang
dikembangkan oleh masyarakat. Bahkan, masyarakat kita yang menyatakan diri
sebagai masyarakat yang kompromis, telah beralih menjadi masyarakat litigasi
(litigious society).
94 J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (Jakarta: Pustaka Azat,1986), sebagaimana dikutip dalam Mas Achmad santosa et al., Policy Paper on ADR in Environmental Sector, ICEL-Qipra project, 1996, hlm. 16.95 lbid.
Proses mediasi yang digunakan masyarakat hukum adat pada prinsipnya tidak
jauh berbeda dengan proses mediasi yang dikembangkan pada era modern. Secara
garis besar proses mediasi dalam hukum adat dapat dikemukakan seperti dibawah ini.
Pertama, para pihak yang bersengketa dapat meminta bantuan kepada pihak
ketiga (mediator) untuk menyelesaikan sengketa mereka. Mediator yang dipercayakan
oleh para pihak, umumnya adalah tokoh adat atau tokoh ulama.
Kedua, para pihak yang memberikan kepercayaan kepada tokoh adat sebagai
mediator didasarkan pada kepercayaan bahwa mereka adalah orang yang memiliki
wibawa, dihormati, disegani, dipatuhi perkataannya dan mereka adalah orang-orang
yang mampu menutup rapat-rapat rahasia di balik persengketaan yang terjadi di antara
para pihak.
Ketiga, tokoh adat yang mendapat kepercayaan sebagai mediator melakukan
pendekatan-pendekatan yang menggunakan bahasa agama dan bahasa adat, agar para
pihak yang bersengketa dapat duduk bersama, menceritakan latar belakang, penyebab
sengketa, dan kemungkinan-kemungkinan mencari jalan keluar untuk mengakhiri
sengketa.
Keempat, tokoh adat sebagai mediator dapat melakukan sejumlah pertemuan
termasuk pertemuan terpisah jika dianggap perlu, atau melibatkan tokoh adat yang
lain yang independen setelah mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak.
Tujuannya adalah untuk membantu mempercepat proses mediasi, sehingga
kesepakatan-kesepakatan dapat cepat tercapai.
Kelima, bila para pihak sudah mengarah untuk menawarkan alternative
penyelesaian, maka mediator dapat memperkuat dengan menggunankan bahasa
agama dan bahasa adat, agar kesepakatan damai dapat terwujud. Bila kedua belah
pihak bersepakatan untuk berdamai dengan sejumlah tuntutan masing-masing yang
mungkin dipenuhi,maka mediator dapat mengusulkan untuk menyusun pernyataan
damai di depan para tokoh adat dan kerabat dari kedua belah pihak.
Keenam, bila kesediaan ini sudah dikemukakan kepada mediator, maka tokoh
adat tersebut dapat mengadakan prosesi adat, sebagai bentuk akhir dari pernyataan
mengakhiri sengketa dengan mediasi melalui jalur adat. Dengan demikian, maka
berakhirlah proses mediasi dalam masyarakat hukum adat.
Pelaksanaan hasil mediasi dalam praktik masyarakat adat, bukan hanya
semata-mata menjadi tanggung jawab para pihak yang bersengketa, tetapi juga terlibat
para tokoh adat yang telah bertindak sebagai mediator. Pada sisi lain keluarga besar
para pihak yang bersengketa, dapat juga menjadi pendorong bagi memudahkan
realisasi kesepakatan mediasi. Keluarga besar para pihak akan malu, bila diketahui
oleh masyarakat bahwa mereka adalah penghambat dari mulusnya pelaksanaan hasil
mediasi. Oleh karena itu, control masyarakat menjadi amat penting dalam
pelaksanaan hasil mediasi. Hal ini dapat mengingatkan kembali bahwa masyarakat
dapat melakukan intervensi, jika hasil mediasi tidak dilaksanakan dengan baik.
Dalam masyarakat hukum adat,jika kesepakatan damai para pihak sudah
diikrarkan dihadapan tokoh adat, apalagi dilakukan pada suatu upacara adat, maka
kesepakatan tersebut harus dilaksanakan dengan segera. Bila salah satu pihak
mengingkari atau tidak bersedia melaksanakan hasil mediasi, maka pihak tersebut
akan mendapatkan sanksi adat dari masyarakat hukum adat. Sanksi ini sangat
tergantung pada sejauh mana tingkat pengingkaran terhadap kesepakatan, dan juga
tergantung pada dampak yang ditimbulkan oleh pengingkaran tersebut kepada nilai-
nilai social dalam masyarakat hukum adat. Bentuk-bentuk sanksi yang diberikan
kepada pihak yang tidak bersedia melaksanakan hasil mediasi dapat berupa
pengucilan dari kegiatan social, dan bahkan sampai kepada pengusiran dari komunitas
hukum adat. Penjatuhan sanksi kepada para pihak tidak dilakukan secara serta-merta,
tetapi dilakukan setelah proses negosiasi guna merealisasikan hasil mediasi yang
dilakukan oleh tokoh adat.
2. Mediasi dalam Sistem Hukum lslam
Konsep penyelesaian sengketa win-win solution seperti dalam mediasi, juga
dikenal dalam sistem hukum Islam. Walaupun tidak disebut dengan mediasi, namun
pola penyelesaian sengketa yang digunakan menyerupai pola yang digunakan dalam
mediasi. Dalam sistem hukum Islam dikenal dengan apayang disebut istilah islah dan
hakam. Islah adalah ajaran Islam yangbermakna lebih menonjolkan metode
penyelesaian perselisihan atau konflik secara damai dengan mengesampingkan
perbedaan-perbedaan yang menjadi akar perselisihan. Intinya bahwa para pihak yang
berselisih diperintahkan untuk mengikhlaskan "kesalahan" masing-masing dan
diamalkan untuk saling memaafkan.
Pengertian islah juga sangat berkembang penggunaannya di kalangan
masyarakat Islam secara luas, baik untuk menyelesaikan kasus-kasus perselisihan
ekonomi-bisnis maupun non-ekonomi-bisnis. Contohnya, sewaktu terjadi perselisihan
paham antara dua tokoh Islam, yaitu Abdurrahman Wahid dengan Abu Hasan, hampir
semuapemuka agama Islam menganjurkan keduanya untuk ber-islah. Konteks islah
dapat diidentikkan dengan pengertian mediasi atau konsiliasi.
Selain islah dikenal juga, istilah hakam. Hakam mempunyai pengertian yang
sama dengan mediasi. Dalam sistem hukum Islam hakam biasanya berfungsi untuk
menyelesaikan perselisihan perkawinan yang disebut dengan syiqaq. Mengenai
pengertian hakam, para ahli hukum Islam memberikan pengertian yang berbeda-beda.
Namun, dari pengertian yang berbeda-beda tersebut dapat disimpulkan bahwa hakam
merupakan pihak ketiga yang mengikatkan diri ke dalam konflik yang terjadi di antara
suami-istri sebagai pihak yang akan menengahi atau menyelesaikan sengketa di antara
mereka.96
Sebagai pedoman, pengertian hakam dapat diambil dari Penjelasan Pasal 76
ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Dikatakan
bahwa "hakam adalah orang yang ditetaphan pengadilan dari pihak keluarga suami
atau pihak keluarga istri atau pihah lain untuk mencari upaya penyelesaian
perselisihan terhadap syiqaq." Dari bunyi penjelasan pasal tersebut dapat
disimpulkan bahwa fungsi hakam hanyalah untuk mencari upaya penyelesaian
perselisihan, bukan untuk menjatuhkan putusan.
Setelah hakam berusaha sekuat tenaga untuk mencari upaya perdamaian di
antara suami-istri, maka kewajiban dari hakam berakhir. Hakam kemudian
melaporkan kepada Hakim tentang usaha yang telah mereka ambil terhadap para
pihak (suami-istri). Selanjutnya, keputusan akan diambil oleh Hakim dengan
mempertimbangkan masukan dari hakam.
Dengan demikian, kita lihat bahwa haham dalam hukum Islam ini mempunyai
kesamaan dengan mediator. Keduanya (baik mediator maupun hakam) tidak
mempunyai kewenangan untuk memutus. Keduanya merupakan mekanisme
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan oleh pihak ketiga.
Dari uraian tersebut, jelas terlihat bahwa pola penyelesaian sengketa melalui
mediasi telah dikenal pula dalam sistem hukum Islam. Islah dan hakam dapat
dikembangkan untuk menjadi metode penyelesaian berbagai jenis sengketa, termasuk
sengketa perdata dan bisnis sebagaimana ajaran Islam yang memerintahkan agar
96 Nailul Sukri, Kedudukan Mediasi dan Tahkim di Indonesia, Skripsi, Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah, 1992, hlm. 30.
menyelesaikan setiap perselisihan yang terjadi antara manusia dengan cara
perdamaian (islah) sesuai firman Allah Swt dalam Al-Qur'an Surah Al-Hujurat 49:9
yang berbunyi "jika ada dua golongan orang beriman bertengkar maka damaikanlah
mereka, perdamaian itu hendaklah dilakukan dengan adil dan benar sebab Allah
sangat mencintai orang yang berlaku adil". Walaupun pranata hakam dalam sistem
hukum Islam digunakan untuk menyelesaikan masalah perceraian, hal ini dapat
diterapkan juga pada bidang-bidang sengketa yang lainnya.
Perdamaian dalam syariat Islam sangat dianjurkan. Sebab, dengan perdamaian
akan terhindarlah kehancuran silaturahmi (hubungan kasih sayang) sekaligus
permusuhan di antara pihak-pihak yang bersengketa akan dapat diakhiri.
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Salam bersabda, “perdamaian (shulh) itu
diperbolehkan di antara kaum muslim, kecuali perdamaian yang mengharamkan
sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang haram.” (HR Abu Daud, dan At
Tirmidzi menshahihkannya).
Mengenai hukum shulhu diungkapkan juga dalam berbagai hadits nabi, salah
satunya yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Imam Tirmizi yang artinya:
“perdamaian dibolehkan dikalangan kaum muslimin, kecuali perdamaian menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang haram. Dan orang-orang islam (yang mengadakan perdamaian itu) bergantung pada syarat-syarat mereka (yang telah disepakati), selain syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram (HR. Ibnu Hibban dan Turmuzi)”.
Pesan terpenting yang dapat dicermati dari hadits di atas bahwa perdamaian
merupakan sesuatu yang diizinkan selama tidak dimanfaatkan untuk hal-hal yang
bertentangan dengan ajaran dasar keislaman. Untuk pencapaian dan perwujudan
perdamaian, sama sekali tidak dibenarkan mengubah ketentuan hukum yang sudah
tegas di dalam islam. Orang-orang Islam yang terlibat di dalam perdamaian mesti
mencermati agar kesepakatan perdamaian tidak berisikan hal-hal yang mengarah
kepada pemutarbalikan hukum; yang halal menjadi haram atau sebaliknya.
Dalam konsep Islam pengertian mediasi ini disamakan dengan konsep Tahkim
yang dalam bahasa Arab disebut Al Hakam/Hakam yang berarti wasit, pendamai, dan
juga penengah.97 pengertian ini didasari dari Al Quran yang artinya:
”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan
97 Ahmad Hasan Munawir, Al Munawir Kamus Arab Indonesia, Ponpes Al Munawir Krapyak, Yogyakarta, 1984, hlm. 309
perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. An-Nisa. 35)
Dalam kaidah Ulumul Quran yang mashur, suatu pengertian diambil karena
keumuman lafal bukan karena kekhususan sebab. Jika kaidah ini ditetapkan pada ayat
tersebut di atas maka akan sampai pada kesimpulan bahwa Hakam tidak hanya dapat
difungsikan pada proses perceraian saja seperti yang ditujukan secara explisit pada
ayat Al Quran tersebut melainkan dapat bersifat secara luas pada semua sengketa.
Metode pengambilan ini didukung dengan memperhatikan metode lain yaitu berupa
isyarah nass.98
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Christhopher W. More bahwa, mediasi
adalah intervensi dalam sebuah sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa
diterima pihak yang bersengketa bukan merupakan bagaian dari kedua belah pihak
dan bersifat netral. Pihak ketiga ini tidak mempunyai wewenang untuk mengambil
keputusan. Dia bertugas untuk membantu pihak-pihak yang bertikai agar secara
sukarela mau mencapai kata sepakat yang diterima oleh masing-masing pihak dalam
sebuah persengketaan.99 Yahya Harahap mendefinisikan mediasi sebagai :100
1). Sebagai pihak ketiga yang netral dan tidak memihak (imparsial) dan;
2). Berfungsi sebagai pembantuan atau penolong (helper) mencari berbagai
kemungkinan atau alternatif penyelesaian sengketa yang terbaik dan saling
menguntungkan kepada para pihak.
Rachmadi Usman menyimpulkan mediasi adalah sebagai cara penyelesaian
sengketa di luar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan para pihak ketiga
yang bersikap netral (non intervensi) dan disebut “mediator” atau “penengah” yang
bertugas hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan
masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan.101
Dari keterangan beberapa definisi di atas, nampak jelas bahwa esensi mediasi
adalah proses penyelesaian sengketa yang difasilitasi oleh seorang fasilitator yang
disebut juga dengan mediator guna sebuah penyelesaian dengan jalan damai. Maka
dalam konsep Islam penyelesain dengan jalan damai ini disebut dengan istilah “as 98 Abdul Wahab Khalaf. Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa Masdar Helmy, (Bandung: Gema Risalah Press, 1996), hlm.249..99 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 80100 Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No 7/1989. cet ke IV, (Jakarta ; Sinar Garfika, 2007), hlm.135.101 Rachmadi Usman, Op Cit. hal. 82.
sulhu” yang secara bahasa berarti “kot un niza’” yaitu memutuskan suatu
persengketaan.102 Sedangkan menurut para ulama secara syara’ ialah:103
Artinya “ Islah menurut istilah syara’ adalah suatu aqad dengan maksud mengakhiri suatu persengketaan antara dua orang yang saling bersengketa dan orang yang melakukan akad itu disebut mushalihan, yaitu orang yang melakukan islah”.
Selain itu kehadiran mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang
sarat dengan nilai kedamaian ini juga sesuai dengan prinsip Islam sebagaimana
disebutkan dalam Al Quran yang artinya:
”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (Q.S. Al-Imran. 159)
”Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. (Q.S. Al-Hujarat. 10)
”Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan Mengadakan ishlah di antara manusia. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah. 224)
”Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. An-Nisa. 35)
Di samping dari apa yang telah disebutkan dalam Al Quran tersebut, praktik
mediasi pernah juga dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, baik sebelum ia menjadi
Rasul maupun sesudahnya. Proses penyelesaian konflik (sengketa) dapat ditemukan
dalam peristiwa peletakan hajar aswad (batu hitam pada sisi Kakbah) dan peristiwa
perjanjian hudaibiyah. Peristiwa peletakan kembali batu hajar aswad dan perjanjian
hudaibiyah memiliki nilai dan strategi resolusi konflik (sengketa) terutama mediasi
102 Sayyid Sabiq, Fiqhussunna, Juz III, Daarul Baayan, Kuwait, 1971, hlm.305.103 Ibid.
dan negosiasi, sehingga kedua peristiwa ini memiiki perspektif yang sama yaitu
mewujudkan perdamaian.104
Pada peletakan hajar aswad ada banyak nilai yang terkandung didalamnya,
nilai penyelesaian sengketa antara suku dalam menciptakan perdamaian dan dapat
diidentifikasikan antar lain: nilai sabar, menghargai orang lain dalam kedudukan yang
sederajat, nilai kebersamaan, komitmen dan proaktif untuk menyelesaikan sengketa.105
Nilai-nilai ini merupakan modal bagi para pihak dalam menjalankan negosiasi,
mediasi, dan bahkan arbitrase, baik dalam sengketa antar individu maupun antar
kelompok.106
Dalam peristiwa perjanjian hudaibiyah yang terjadi pada tahun 6 Hijriyah atau
tepatnya tanggal 13 Maret 628 M. Nabi Muhammad SAW memimpin sekitar seribu
kaum muslim meninggalkan Madinah berangkat menuju Mekkah untuk menunaikan
ibadah umrah. Rasul mengetahui bahwa tidak mudah memasuki kota Mekkah
dikarenakan para pemimpin Quraisy tidak mengizinkan kafilah kaum muslim
memasuki kota Mekah.107
Dalam kondisi demikian Rasulullah SAW tidak berputus asa, Rasul
melakukan negosiasi panjang dengan delegasi Quraisy, yang akhirnya menghasilkan
kesepakatan yang dikenal dengan perjanjian hudaibiyah yang isinya antara lain :108
1). Nabi Muhammad, tidak di izinkan mengunjungi Kakbah pada tahun itu (6
H/628 M), tetapi dapat mengunjungi tahun depan.
2). Setiap kunjungan hanya dilakukan selama tiga hari dan tidak membawa
senjata kecuali pedang yang telah di sarungkan. Selama kunjungan itu
penduduk harus keluar dari kota Mekkah dan memberikan kesempatan kepada
kaum muslim ibadah umrah.
3). Kaum muslim wajib mengembalikan orang Mekkah yang datang ke Madinah
untuk masuk Islam tanpa persetujuan walinya, sedangkan pihak Quraisy boleh
menerima orang Mekkah yang telah hijrah ke Madinah bila mereka ingin
kembali ke Mekkah.
4). Kaum muslim Madinah dan kelompok Quraisy Mekkah sepakat untuk
gencatan senjata selama 10 tahun.
104 Syahrizal Abbas, Op Cit, hal. 166105 Ibid.hal. 168106 Ibid.107 Ibid. hal. 172108 Ibid.
5). Setiap kabilah bebas mengadakan persekutuan (aliansi) dengan kaum Quraisy
atau kaum muslim, dan aliansi tersebut dihormati oleh kedua belah pihak.
Jika dilihat lebih jauh, maka perjanjian hudaibiyah merupakan kemenangan
diplomatik kaum muslim, dimana Rasul untuk pertama kali berhasil mengajak kaum
quraisy ke meja perundingan dan menghasilkan kesepakatan.109 Mediasi juga
dinyatakan dalam hadis Rasul dan pendapat para ulama. Dalam dalam hadis
disebutkan yakni:
Artinya: dari Amar bin Auf Al Muzanni r.a. bahwa Rasulullah Saw. Bersabda “antara sesama muslim boleh mengadakan perdamain kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan setiap muslim di atas syaratnya masing-masing kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”. (H.R. Tamuzi dan hadis ini disahihkan).110
Artinya: telah bercerita kepadaku AbuBakr bin Abi Saybah, dia berkata, aku mendengar Rasulullah Saw, bersabda:”Diantara sesama kaum muslim boleh mengadakan perdamaian kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”.(HR. Ibn Majah).111
3. Mediasi dalam Sistem Hukum Barat
Mediasi juga, dikenal dalam sistem hukum Barat walaupun hanya secara
implisit. Yang dimaksud dalam sistem hukum Barat di sini adalah perundang-
undangan yang berasal dari pemerintahan kolonial Belanda. Setidak-tidaknya ada dua
peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar untuk menerapkan
mediasi, yaitu HIR (Herziene Indonesische Reglement) dan Kitab Undang- Undang
Hukum Perdata atau Hukum Perdata Barat yang merupakan terjemahan dari BW
(Burgerlijk Wetboek).
HIR adalah hukum acara perdata peninggalan pemerintahan kolonial Belanda
yang berlaku hingga sekarang berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar 1945, yang kemudian diperkuat dengan Undang-Undang
Darurat Nomor 1 Thhun 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan
Sipil.
Dalam Pasal 130 ayat (1) HIR dikatakan bahwa:
109 Ibid. hlm. 173110 Imam Muhammad bin Isma’il Al Kahlani, Subulussalam, Juz III, Mustafa Al Baby Al Halaby, Mesir, 1973, hlm.159111 Abi Abdillah bin Yazid Al Qazwani, Sunan Ibnu Majah, Jilid II, Isa Al Baby Al Halaby, Mesir, 1989, hlm. 788
"jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.”
Selanjutnya dalam ayat (2) dikatakan bahwa:
“jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.”112
Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pertama-tama sebelum Hakim
Ketua memeriksa gugatan yang diajukan kepadanya, maka terlebih dahulu harus
mengusahakan mendamaikan para pihak yrng bersengketa. Hanya saja cara atau
metode untuk mendamaikan tidak disebutkan dengan jelas. Biasanya cara untuk
berdamai diserahkan sepenuhnya kepada para pihak. Hakim cenderung bersifat pasif.
Dengan demikian, pasal ini membuka peluang bagi para pihak untuk menempuh cara-
cara penyelesaian seperti negosiasi, mediasi, dan konsiliasi. Pasal ini juga
menekankan bahwa akta perdamaian yang dibuat mempunyai kekuatan mengikat
seperti halnya putusan pengadilan. Dengan demikian, kedudukan akta perdamaian ini
sama tingkatannya dengan putusan pengadilan. Pasal ini memberikan kemungkinan
bagi para pihak untuk berdamai di pengadilan. Dengan perkataan lain, perdamaian
yang dicapai di sini terjadi setelah suatu sengketa diajukan ke pengadilan.
Ketentuan mengenai perdamaian (dading) diatur juga di dalam KUHPerdata.
Ketentuan-ketentuan perdamaian dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1851 sampai
dengan 1864. Ada beberapa pasal dari ketentuan-ketentuan perdamaian tersebut yang
perlu menjadi perhatian, yaitu Pasal 1851 sampai Pasal 1858.
Dari pasal-pasal tersebut memang tidak ada satu kata pun yang menyebut kata
mediasi. Namun, dengan melihat bahwa perdamaian itu harus diperjanjikan, maka
terbuka perluang untuk melakukan mediasi. Hal ini mengingat ketentuan Pasal 1338
ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa "semua persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Pasal ini
pada dasarnya menegaskan bahwa setiap orang dapat memperjanjikan apa saja,
sepanjang dibuat secara sah dan tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan, dan
undang-undang. Termasuk dalam hal ini adalah kebebasan untuk memperjanjikan
penyelesaian sengketa melalui mediasi.
112 R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, (Bogor: Politeia, 1980), hlm. 88.
Dalam Pasal 130 HIR, atau Pasal 154 R.Bg, atau Pasal 31 RV, disebutkan
bahwa hakim atau majelis hakim akan mengusahakan perdamaian sebelum perkara
mereka diputuskan. Ketentuan dalam Pasal 130 HIR, Pasal 154 R.Bg dan Pasal 31
Rv menggambarkan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur damai merupakan
bagian dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan. Selanjutnya, peraturan
perundang-undangan pada masa Belanda juga mengatur penyelesaian sengketa
melalui upaya damai di luar pengadilan. Upaya ini dikenal dengan arbitrase,
sebagaimana diatur dalam Pasal 615-651 RV, atau Pasal 377 HIR atau Pasal 154
R.Bg atau Pasal 31 Rv.
B. Permasalahan Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap dan Urgensi Pengintegrasian Mediasi Dalam Pengadilan Perdata
1. Permasalahan Eksekusi Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap yang Tidak Dapat Dilaksanakan
Hukum acara perdata dipergunakan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata
materiil. Ketentuan hukum acara perdata pada umumnya tidak memberi hak dan
kewajiban yang seperti dijumpai dalam hukum perdata materiil, tetapi melaksanakan
dan mempertahankan atau menegakkan kaidah hukum perdata materiil yang ada, atau
melindungi hak perseorangan. Di dalam kehidupan bermasyarakat, tiap-tiap individu
atau orang mempunyai kepentingan yang berbeda antara orang satu dengan yang
lainnya. Adakalanya kepentingan antar para pihak itu saling bertentangan
sehinggamenimbulkan suatu sengketa hukum. Sengketa hukum dapat diartikan
sebagai sengketa mengenai segala sesuatu yang di atur oleh hukum. Dengan perkataan
lain sengketa hukum adalah sengketa yang menimbulkan akibat-akibat hukum. Dalam
melaksanakan hak dan kewajiban pada suatu hubungan hukum yang seringkali
menjadi sumber timbulnya sengketa hukum adalah apabila hak seseorang yang
diberikan oleh hukum materiil dilanggar, kepentingan seseorang yang dilindungi oleh
hukum materiil diingkari.113 Dalam hukum perdata materiil sengketa hukum dapat
berupa wanprestasi, perbuatan melawan hukum maupun perbuatan yang
menimbulkan kerugian pada orang lain, yang tidak termasuk perbuatan melawan
hukum yaitu yang berupa penyalahgunaan keadaan.114 Pihak yang merasa dirugikan
113 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993, hal. 2.114 Ibid, hal. 9
oleh pihak lain apabila ingin mendapatkan kembali haknya maka ia harus
mengupayakan melalui prosedur yang berlaku, baik melalui litigasi maupun melalui
Alternative Dispute Resolution (ADR), seperti penyelesaian sengketa melalui
arbitrase atau penyelesaian sengketa melalui perdamaian antar pihak, individu tidak
boleh melakukan perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting).115
Penyelesaian sengketa tersebut tidak akan dicampuri oleh negara apabila para
pihak yang berkepentingan dapat menyelesaikan sendiri melalui perdamaian yaitu
dengan musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila upaya musyawarah untuk
mencapai mufakat yang diusahakan oleh para pihak yang berkepentingan tidak
tercapai maka dapat dimintakan bantuan pada negara yaitu dengan cara mengajukan
gugatan ke pengadilan negeri. Dalam hal demikian ini, Hukum Acara Perdata dapat
menunjukkan jalan yang harus ditempuh agar sengketa dapat diperiksa dan
diselesaikan melalui pengadilan.
Penyelesaian perkara perdata melalui litigasi dimulai dengan pengajuan
gugatan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. Prosedur ini merupakan
prosedur umum, berlaku untuk orang dan sengketa hukum pada umumnya sehingga
setiap orang yang akan berperkara di pengadilan negeri harus mengetahui dan
memahami tata cara beracara yang sesuai dengan prosedur dalam Hukum Acara
Perdata dan sebagai konsekuensi maka perkara akan ditolak jika tidak memenuhi
prosedur yang ditetapkan. Penyelesaian sengketa hukum melalui prosedur umum
dilakukan dalam 3 (tiga) tahap, yaitu tahap pendahuluan, tahap penentuan dan tahap
pelaksanaan. Tahap pendahuluan dimulai dari diajukannya gugatan sampai dengan
disidangkannya perkara. Selanjutnya tahap penentuan yaitu dimulai dari jawab
menjawab sampai dengan dijatuhkannya putusan oleh hakim.
Setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde),
kecuali diputus dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun
diajukan upaya hukum melawan putusan (uit voerbaar bij vooraad). Setelah itu
barulah sampai pada tahap yang terakhir yaitu tahap pelaksanaan.116 Dalam tahap
putusan, suatu sengketa perdata itu diajukan oleh pihak yang bersangkutan kepada
pengadilan untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian. Pemeriksaan perkara
memang diakhiri dengan putusan, akan tetapi dengan dijatuhkannya putusan saja
115 Wirjono R Prodjodikoro, Himpunan Peraturan Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sinar Bandung: Bandung, 1988116 Ibid, hal. 5.
belum tentu persoalannya akan selesai begitu saja tetapi putusan tersebut harus dapat
dilaksanakan atau dijalankan.
Suatu putusan pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dilaksanakan, oleh
karena itu putusan hakim mempunyai kekuatan hukum eksekutorial yaitu kekuatan
untuk dilaksanakan apa yang menjadi ketetapan dalam putusan itu secara paksa
dengan bantuan alat-alat negara. Adapun yang yang memberi kekuatan eksekutorial
pada putusan hakim adalah kepala putusan yang berbunyi “Demi Keadilan
Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”.117 Pada prinsipnya hanya putusan hakim
yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat dijalankan. Suatu putusan itu dapat
dikatakan telah mempunyai kekuatan hukum tetap apabila di dalam putusan
mengandung arti suatu wujud hubungan hukum yang tetap dan pasti antara pihak
yang berperkara sebab hubungan hukum tersebut harus ditaati dan harus dipenuhi
oleh pihak tergugat.118
Dalam perkara perdata, putusan akan mempunyai kekuatan hukum tetap
apabila tidak ada banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, putusan
verstek yang tidak diikuti perlawanan (verzet), putusan perdamaian, putusan banding
yang tidak diikuti kasasi, dan putusan kasasi. “Terhadap putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap harus dieksekusi, tanpa eksekusi perkara diangap
belum selesai.” Dengan demikian, dalam perkara perdata eksekusi merupakan
kewajiban yang masih harus dijalankan oleh pengadilan sebagaimana yang
diisyaratkan dalam Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan
dalam perkara perdata dilakukan oleh Panitera dan Jurusita dipimpin oleh Ketua
Pengadilan. Sedangkan Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tersebut menyatakan bahwa putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan
nilai kemanusiaan dan keadilan. Selain aturan yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tersebut, ketentuan eksekusi juga diatur dan dijelaskan dalam
Pasal 195-208 HIR dan Pasal 224-225 HIR (Pasal 206-240 Rbg dan Pasal 258 Rbg).
Muhammad Abdul Kadir berpendapat bahwa putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap adalah putusan yang menurut ketentuan Undang-Undang tidak
ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa untuk melawan putusan
117 Muhammad Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bhakti, 1990, hal. 173.118 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1999, hal. 5.
tersebut, sedang putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap adalah
putusan yang menurut ketentuan Undang-Undang masih terbuka kesempatan untuk
menggunakan upaya hukum untuk melawan putusan tersebut misalnya verzet,
banding dan kasasi.119
Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, memiliki 3 macam
kekuatan, sehingga putusan tersebut dapat dilaksanakan, yaitu:120
1. Kekuatan mengikat;
2. Kekuatan bukti;
3. Kekuatan untuk dilaksanakan.
Pihak yang dihukum (pihak tergugat) diharuskan mentaati dan memenuhi
kewajibannya yang tercantum dalam amar putusan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap secara sukarela. Putusan sukarela yaitu apabila pihak yang kalah dengan
sukarela memenuhi sendiri dengan sempurna menjalankan isi putusan. Akan tetapi
tidak menutup kemungkinan putusan tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu
pihak, karena dikemudian hari ada salah satu pihak yang merasa tidak puas dengan
putusan tersebut, maka yang akan terjadi adalah pengingkaran atau mengingkari
putusan tersebut. Suatu pengingkaran merupakan bentuk suatu perbuatan yang tidak
mau melaksanakan apa yang seharusnya dilakukannya atau yang menjadi kewajiban.
Cara melaksanakan putusan Hakim diatur dalam pasal 196 sampai dengan
pasal 208 H.I.R. Putusan dilaksanakan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri
yang mula-mula memutus perkara tersebut. Pelaksanaan dimulai dengan menegur
pihak yang kalah untuk dalam 8 hari memenuhi putusan dengan sukarela. Apabila
pihak yang dihukum tidak mau melaksanakan putusan tersebut secara sukarela, maka
putusan tersebut harus dilaksanakan dengan upaya paksa oleh pengadilan yang
disebut dengan eksekusi. Salah satu prinsip dari eksekusi yaitu menjalankan putusan
secara paksa. Putusan secara paksa merupakan tindakan yang timbul apabila pihak
tergugat tidak menjalankan putusan secara sukarela.121Ada tiga macam eksekusi yang
dikenal oleh hukum secara perdata:122
1. Eksekusi yang diatur dalam pasal 197 H.I.R dan seterusnya dimana seorang
dihukum untuk membayar sejumlah uang.
119 Muhammad Abdul Kadir, Op. Cit. hlm. 174.120 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktek Peradilan Indonesia, (Jakarta, Djambatan. 1998), hlm. 82.121 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 184.122 Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 116.
2. Eksekusi yang diatur dalam pasal 225 H.I.R., dimana seorang dihukum untuk
melaksanakan suatu perbuatan.
3. Eksekusi riil, yang dalam praktek banyak dilakukan akan tetap tidak diatur
dalam H.I.R.
Dari hal tersebut diatas dapat dikemukakan bahwa putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap harus dilaksanakan oleh para pihak, apabila salah
satu tidak dilaksanakan putusan hakim berarti pihak yang tidak melaksanakan
keputusan hakim secara suka rela tidak menjalankan putusan hakim yang berakibat
pihak yang tidak melakukan putusan tersebut secara dapat dilakukan tindakan paksa
atau eksekusi.
Eksekusi atas sebuah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde) seringkali dianggap sebagai langkah terakhir penyelesaian
suatu sengketa di pengadilan, di mana pihak yang menang berharap dengan
dilaksanakannya eksekusi tersebut, maka dia akan mendapatkan haknya sebagaimana
ditentukan oleh putusan pengadilan.
Namun, dalam praktiknya pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan tidak
semudah yang dibayangkan. Ada beberapa perkara yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde), namun mengalami hambatan dalam pelaksanaan
eksekusinya, sebagaimana yang terjadi di Pengadilan Negeri Padang, dari sebanyak
68 permohonan eksekusi yang didaftarkan di Pengadilan Negeri Padang pada tahun
2007-2009, sebanyak 36 berkas dapat terlaksana eksekusinya, sedangkan sebanyak 32
berkas belum dapat dilaksanakan. Di Pengadilan Negeri Padang ditemukan beberapa
permohonan eksekusi yang mengalami hambatan dalam pelaksanaannya, sehingga
meski putusannya sudah lama mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde), dan telah lama didaftarkan permohonan eksekusinya, tetapi dalam
pelaksanaannya membutuhkan waktu yang lama dan bahkan ada yang belum dapat
dilaksanakan eksekusinya meski telah memakan waktu bertahun-tahun. Adapun
hambatan dalam pelaksanaan eksekusi tersebut, antara lain disebabkan adanya
perlawanan dari termohon eksekusi dengan melakukan perbuatan anarkis melawan
petugas yang hendak melaksanakan sita eksekusi dan ada eksekusi yang mengalami
hambatan karena pada saat akan diletakkan sita eksekusi atas objek perkara ternyata
objek perkara telah berpindah tangan kepada pihak ketiga yang disebabkan karena
Badan Pertanahan Nasional (BPN) tetap memproses balik nama atau penerbitan
sertifikat baru atas objek sengketa. Bahwa atas permohonan eksekusi tersebut, pihak
ketiga yang juga merasa memiliki hak atas objek sengketa kemudian mengajukan lagi
bantahan atau perlawanan terhadap pelaksaan eksekusi. Bahkan ada eksekusi yang
tidak dilaksanakan karena pemohon eksekusi tidak sanggup untuk membayar biaya
eksekusi, karena biayanya sangat besar, baik itu biaya yang diminta pihak Pengadilan
untuk pelaksanaan eksekusi maupun biaya yang diminta oleh pihak Kepolisian untuk
mengamankan pelaksanaan eksekusi tersebut. 123
Berbagai perkara eksekusi lainnnya yang dapat disampaikan dalam penulisan
makalah ini antara lain sebagai berikut:
a. Perkara eksekusi yang bermasalah di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, sebagai
berikut:
1). Perkara Permohonan Eksekusi yang masuk dari tahun 2007 sampai
dengan tahun 2011, berjumlah : 256 Permohonan.
2). Perkara Permohonan Eksekusi yang selesai dari tahun 2007 sampai
dengan tahun 2011, berjumlah : 201 Permohonan.
3). Perkara Permohonan Eksekusi yang selesai dengan damai dari tahun
2007 sampai dengan tahun 2011, berjumlah : 149 Permohonan.
4). Kendala-kendala Perkara Permohonan Eksekusi :
a). Bank / Pemohon Eksekusi telah dilikuidasi.
b). Pemohon Eksekusi jika terjadi perdamaian diluar Peagadilan
Negeri, baik sampai Tahap Tegoran/Aanmaning atau Tahap
Eksekusi Pengosongan dan apabila tidak terdapat Sita pada
umumnya tidak dilaporkan Kepada Pengadilan Negeri ;
c). Dalam pelaksanaan Eksekusi Pengosongan sering terjadi
pengerahan masa, ormas maupun oknum yang dilakukan oleh
Termohon Eksekusi ;
d). Aparat Keamanan tidak mendukung dan memadai dikarenakan
situasi keamanan dalam pelaksanaan Eksekusi Pengosongan ;
e). Diajukan Gugatan, Perlawanan dan Bantahan ;
5). Bahwa dalam pelaksanaan Eksekusi ada yang dilakukan secara
sukarela sesuai Putusan maupun secara perdamaian di luar Putusan ;
b. Perkara eksekusi yang bermasalah di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, sebagai
berikut:
123 Lihat: Ramli Rizal, Eksekusi Perkara Perdata Di Pengadilan Negeri Padang (Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang, 2012), hlm.3-4.
1). Perkara No.14 / Eks / 2006 / PN.Jkt.Ut., Jo No.248 / Pdt.G / 1996 /
PN.Jkt.Ut., dalam perkara antara: Syamsudin bin Adang melawan N.V.
Tanjung dan Adang bin Manta;
Menarik oleh karena pada saat pelaksanaan Eksekusi Pengosongan
terjadi perlawanan massa yang cukup banyak dan setelah pihak
Pengadilan berkoordinasi dengan Kepolisian ternyata Kepolisian tidak
sanggup mengamankan pelaksanaan eksekusi pengosongan tersebut,
sehingga Eksekusi Pengosongan tidak dapat dilaksanakan sebagai
mestinya;
2). Perkara No.42/Eks/2007/PN.Jkt.Ut, Jo 77/Pdt.G/2004/PN.Jkt.Ut.,
dalam perkara antara: Ahli Waris Sumardjo melawan Pemerintah R.I
Cq. Departemen Pertahanan Dan Keamanan R.I Cq. Kepala Staf TNI
Agkatan Laut;
Perkara tersebut menonjol karena pada saat dilakukan eksekusi
Pengosongan mendapat perlawanan dengan persenjataan lengkap dari
pihak TNI Angkatan Laut karena objek eksekusi Pengosongtm saat ini
dikuasai oleh TNI Angkatan Laut dan pihak Kepolisian selaku
Pengamanan Eksekusi Pengosongan menyatakan situasi tidak kondusif
sehingga Eksekusi Pengosongan tidak dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
3). Perkara No.23 / Eks / 2007 / PN.Jkt.Ut Jo No.185 / Pdt.G / 2004 /
PN.Jkt.Ut, dalam perkara antara : Tinggal bin Mudam. Cs Melawan
Ahli Waris Soetidjab. Cs
Perkara tersebut menonjol karena setelah dilaksanakan Sita Eksekusi
terjadi perlawanan pihak ketiga (Derden Verzet) yang dilakukan oleh
Departemen Perhubungan Cq. Badan Pendidikan Dan Pelatihan yang
mana perlawanan tersebut hingga kini telah diputus sampai dengan
tahap kasasi dan perlawanan Pelawan dinyatakan tidak dapat diterima,
dan terhadap objek yang akan dilakukan Eksekusi Pengosongan
terdapat bangunan milik Departemen Perhubungan (Asset Negara).
c. Perkara eksekusi yang bermasalah di Pengadilan Negeri Jakarta Timur,
sebagai berikut:
1). No.41/1996 Eks Jo No.226/Pdt.G/1996/PN.Jkt.Tim, dalam perkara
antara Lasmono (Pemohon) dan Hendrawan (Termohon), Eksekusi
Pengosongan. Pemohon tidak kooperatif dan tidak menyetor biaya
pengamanan eksekusi kepada aparat keamanan karena biaya yang
disetor sesuai SKUM menurut aparat keamaann tidak mencukupi.
2). No.34/2001 Eks Jo No.149/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Tim, dalam perkara
antara Mefianti Pardede (Pemohon) dan Adrian TP Panggabean
(Termohon), Eksekusi Penyerahan Anak.
Lokasi Objek Eksekusi (Anak) tidak diketemukan dan informasi
terakhir dari Pemohon anak berada di luar negeri.
3). No.21/2003 Eks Jo. No.240/Pdt.G/1999/PN/Jkt.Tim, dalam perkara
antara Sutijo (Pemohon) dan Hj. Ida Wiadianingsih (Termohon),
Eksekusi Pengosongan.
Pemohon tidak aktif dan tidak menyetor biaya pengamanan eksekusi
kepada aparat keamanan karena biaya yang disetor sesuai dengan
SKUM menurut aparat keamanan tidak mencukupi.
4). No.01/2006 Eks Jo. No.214/Pdt.G/1998/PN.Jkt.Tim, dalam perkara
antara Wiyana (Pemohon) dan Susanti Teng CS (Para Termohon),
Eksekusi Penyerahan.
Pemohon belum dapat menyediakan/menyerahkan 16 sertifikat dan
Pemohon tidak aktif untuk melanjutkan eksekusi.
5). No.23/2006 Eks Jo.No.16/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Tim, dalam perkara
antara Yansen Panjaitan dan Masnur Manalu (Pemohon) dan Panglima
TNI Cq. Kepala Perhubungan Kodam Jaya (Termohon), Eksekusi
Pengosongan.
Sedang dimohonkan bantuang kepada Panglima TNI karena objek
eksekusi saat ini masih didiami oleh prajurit TNI aktif, serta objek
eksekusi berada di lingkungan komplek TNI (Kopassus) dan pihak
Kodam Jaya masih keberatan tanah tersebut dieksekusi.
6). No.28/2007 Eks Jo No.02/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Tim, Nanda (Pemohon),
Eksekusi Pengosongan.
Pemohon tidak kooperatif dan tidak menyetor biaya pengamanan
eksekusi kepada aparat keamanan karena biaya yang disetor sesuai
SKUM menurut aparat keamanan tidak mencukupi.
7). No.33/2008 Eks Jo.No.133/Pdt.G/1987/PN.Jkt.Tim, perkara antara
H.Asikin Cs (Pemohon) dan Pertamina Cs (Termohon), Eksekusi
Pembayaran Sejumlah Uang.
Sudah ada penetapan harta tanah oleh Tim Penaksir Independent yang
dibentuk oleh P2T sesuai isi putusan Mahkamah Agung RI, akan tetapi
pihak Pertamina masih belum melaksanakan isi putusan.
8). No.20/2009 Eks Jo RL No.097/2009, perkara antara Zulkifli AM
(Pemohon) dan Syafri Sali (Termohon), Eksekusi Pengosongan.
Sedang musyawarah antara Pemohon dengan Termohon dan
Termohon sedang berusaha membeli kembali objek eksekusi.
9). No.08/2006 Eks Jo.No.193/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Tim, perkara antara
Yuttie R. Pamilih (Pemohon) dan drg. Pitna Tontey (Termohon),
Eksekusi Pengosongan.
Eksekusi tertunda karena keamanan tidak mendukung dan saat ini akan
Rakor kembali.
(Selain perkara tersebut di atas, terdapat pula perkara-perkara lainnya yang
telah berkekuatan hukum tetap, namun belum dilakukan eksekusinya karena
Pemohon belum mengajukan permohonan eksekusi).
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Hasanuddin, menunjukkan bahwa
faktor penyebab terjadinya hambatan eksekusi karena adanya : 124
1). Upaya hukum yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk melawan
putusan pengadilan, sehingga perkara tersebut mentah kembali, sebelumnya
putusan sudah dapat dieksekusi akhirnya tertunda oleh adanya upaya hukum
tersebut.
2). Karena perikemanusiaan yang tidak mungkin pemohon eksekusi memaksakan
termohon eksekusi untuk melaksanakan putusan pengadilan di mana
menyangkut dengan perikemanusiaan yang dalam praktek ditemukan
termohon eksekusi harus membongkar rumah di atas tanah tereksekusi.
3). Karena objek eksekusi masih tersangkut perkara lain seperti dalam kasus
Nomor 3/Pdt.G/1995/PN.SAB tanggal 12 September 1995. Eksekusi belum
124 Hasanuddin, Kajian Tentang Hambatan Eksekusi Putusan Perkara Perdata (Studi Kasus di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Aceh), Lihat: http://repository.usu.ac.id. Diakses tanggal 20 Januari 2013, jam: 13.30 WIB.
dapat dilakukan karena objek eksekusi masih tersangkut perkara waris-
mewaris.
4). Karena tidak adanya biaya pemohon eksekusi sehingga tertundanya eksekusi.
5). Karena tidak adanya bantuan keamanan baik oleh ketidaksediaan pihak
keamanan sendiri dan juga oleh karena tidak adajarninan keamanan di
lapangan, serta lokasi eksekusi jauh di pedalaman sehingga sulit dijangkauan
oleh pihak keamanan dan petugas eksekusi.
Menurut Mohammad Saleh beberapa eksekusi putusan perkara perdata harus
tertunda, misalnya karena adanya perlawanan, objek eksekusi tidak sama dengan yang
ada di lapangan dan lain-lain, dan ada juga yang dinyatakan non executable. Bahkan,
ada pula eksekusi putusan perkara perdata yang bertentangan dengan putusan perkara
pidana terhadap objek eksekusi. Begitu pula, ada putusan pengadilan tata usaha yang
bertentangan dengan pelaksanaan putusan perkara perdata. Selain itu, banyaknya surat
yang diajukan kepada Mahkamah Agung perihal permohonan perlindungan hukum
dari termohon eksekusi atau pemohon eksekusi, bahkan dari Ketua Pengadilan Negeri
yang memohon petunjuk MA dari berbagai kota di Indonesia menunjukkan bahwa
masih banyak diperoleh eksekusi perkara perdata yang tertunda atau non executable,
atau dengan kata lain eksekusi tersebut belum sepenuhnya berjalan mulus, baik itu
eksekusi putusan yang sudah in kracht van gewijsde ataupun pelaksanaan putusan
serta merta. 125 Keadaan ini menyulitkan pihak pengadilan dalam melaksanakan
eksekusi.
Dari uraian tersebut di atas berikut ini penulis akan menguraikan mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan eksekusi, khususnya yang
menghambat pelaksanaan eksekusi disertai dengan analisa yang didasarkan pada
pendapat Soerjono Soekanto mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum:
a. Faktor Hukum
Salah satu penyebab tidak dapat dilaksanakannya eksekusi adalah adanya
perkara bantahan yang diajukan oleh termohon eksekusi atas permohonan
eksekusi yang diajukan oleh pemohon eksekusi. Dalam praktiknya bila ada
bantahan atau perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga maupun pihak
termohon terhadap eksekusi, pihak Pengadilan Negeri menunda pelaksanaan
eksekusi sampai perkara bantahan atau perlawanan tersebut diputus oleh
125 Mohammad Saleh, Op,Cit, hlm.65.
Pengadilan Negeri. Apabila bantahan dari termohon eksekusi atau perlawanan
dari pihak ketiga ditolak, maka eksekusi akan dilaksanakan, tanpa menunggu
lagi perkara tersebut berkekuatan hukum tetap. Artinya eksekusi tetap
dilaksanakan meski ada upaya hukum dari Pembantah atau Pelawan.
Sebaliknya, apabila bantahan atau perlawanan tersebut dikabulkan, maka
tentunya eksekusi tidak dapat dilaksanakan. Bantahan terhadap eksekusi atau
perlawanan yang diajukan pihak ketiga tentunya akan menghambat eksekusi.
Meski tidak ada diketemukan ketentuan yang mengharuskan penundaan
eksekusi apabila ada bantahan atau perlawanan, namun dalam praktiknya
sebagaimana yang terjadi di Pengadilan Negeri, apabila ada bantahan atau
perlawanan, proses eksekusi dihentikan (ditangguhkan) menunggu sampai
adanya putusan terhadap bantahan atau perlawanan tersebut. Penundaan
eksekusi ini bisa dipahami, dengan mempertimbangkan asas manfaat, karena
sekiranya bantahan atau perlawanan dikabulkan sedang eksekusi sudah
dilaksanakan, maka akan merugikan pihak yang bantahan atau perlawanannya
dikabulkan, khususnya apabila eksekusinya berupa pengosongan lahan atau
pembongkaran suatu bangunan. Bantahan terhadap eksekusi maupun
perlawanan pihak ketiga terhadap putusan itu sendiri dimungkinkan
berdasarkan ketentuan Pasal 195 ayat (6) HIR/Pasal 206 ayat (6) Rbg serta
Pasal 378 Rv. Bahkan Pasal 381 Rv menentukan bahwa hakim yang
memeriksa perkara perlawanan, jika ada alasan-alasannya dapat menunda
pelaksanaan putusan yang dilawan sampai perkara perlawanan tersebut
diputus. Menurut hemat penulis, pengaturan eksekusi sebagaimana tersebut
pada Pasal 195-208 HIR, Pasal 224 HIR (Pasal 206-240 Rbg dan Pasal 258
Rbg), Pasal 1033 Rv serta beberapa buah Surat Edaran Mahkamah Agung
yang berkaitan dengan pelaksanaan eksekusi, mengingat pengaturannya
tersebar dan terpisah-pisah mengakibatkan kesulitan tersendiri dalam upaya
memahami pelaksanaan eksekusi. Di samping itu, mengenai eksekusi riil yang
mengacu pada Rv, menimbulkan permasalahan tersendiri, dikarenakan
sebagaimana ditegaskan oleh Soepomo, dengan dihapuskannya Raad Justitie
dan Hooggerechtshof, maka Rv sudah tidak berlaku lagi, yang berlaku hanya
HIR dan Rbg. Berdasarkan telaah di atas, penulis berpendapat bahwa
pengaturan mengenai eksekusi perlu diatur secara lebih sistematis dan jelas
dalam suatu peraturan perundang-undangan. Di sini diharapkan pembahasan
dan pengesahan Rancangan Undang-Undang mengenai Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Perdata yang di dalamnya juga mengatur tentang eksekusi bias
segera dilaksanakan, sehingga memudahkan dalam memahami aturan
mengenai eksekusi dan memudahkan dalam pelaksanaannya.
b. Faktor Ketiadaan Biaya
Berdasarkan hasil penelitian penulis, faktor yang paling banyak
mempengaruhi tidak terlaksananya eksekusi di Pengadilan Negeri adalah
banyaknya biaya yang dikeluarkan untuk mengajukan eksekusi. Biaya resmi
panjar perkara yang harus disetorkan oleh pemohon eksekusi ke atas nama
rekening kepaniteraan Pengadilan Negeri melalui Bank Rakyat Indonesia
(BRI) sebagaimana adalah sebesar Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah) dan jika
diletakkan sita eksekusi, maka pemohon eksekusi menyetor biaya sita eksekusi
sebesar Rp. 750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Selanjutnya sejak
tahun 2010 terdapat perubahan tentang biaya panjar eksekusi, yaitu menjadi
sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). Apabila eksekusi tidak dapat
dilaksanakan secara sukarela maka eksekusi dilakukan secara paksa dengan
melibatkan pihak keamanan dan terhadap biaya pengaman ini, pemohon
eksekusi mengeluarkan biaya banyak, yang bahkan melebihi biaya panjar
eksekusi. Bahkan jika eksekusi riil berupa pengosongan bangunan atau
tanaman di atas objek perkara dilakukan, pemohon eksekusi mengeluarkan
lagi biaya yang sangat besar karena pihak pengadilan akan meminta biaya
tambahan untuk menyewa alat-alat berat seperti exsafator dan mesin sinso
serta membayar biaya buruh untuk pengosongan yang jumlahnya melebihi
dari jumlah biaya panjar eksekusi. Pada umumnya responden mengatakan
penyebab utama tidak dapat dilaksanakanya eksekusi tersebut adalah
dikarenakan pemohon eksekusi pasif, yang disebabkan karena biaya untuk
eksekusi terlalu besar. Biaya tersebut meliputi biaya resmi seperti biaya
permohonan eksekusi dan biaya sita serta biaya tidak resmi seperti biaya sidik
untuk juru sita ke lokasi objek perkara serta biaya pengamanan yang
cenderung lebih besar jika dibandingkan panjar biaya eksekusi. Di samping
itu, untuk mengatasi masalah besarnya biaya pengamanan yang harus
dibayarkan oleh pemohon kepada pihak kepolisian, menurut pandangan
penulis, sebenarnya bisa diselesaikan apabila pihak Kepolisian memahami
peranan yang seharusnya diemban (expected rule) dan tugas-tugas utamanya.
Putusan yang dapat dieksekusi pada hakikatnya adalah putusan yang bersifat
condemnatoir yang pelaksaannya jika pihak tergugat tidak bersedia
melaksanakan isi putusan secara sukarela, maka pelaksanaannya dapat dengan
mengunakan upaya paksa dengan bantuan aparat keamanan. Menurut penulis
berdasarkan isi putusan, sebenarnya aparat keamanan sudah terikat untuk ikut
membantu pelaksanaan eksekusi tanpa diberikan biaya yang besar, karena
putusan tersebut adalah produk hukum dari lembaga resmi negara, yaitu
lembaga yudikatif yang harus dipatuhi setiap warga negara dan pihak
kepolisian sebagai aparat keamanan bila diminta bantuannya oleh pihak
pengadilan untuk mengamankan pelaksanaan eksekusi haruslah
melaksanakannya, karena merupakan tugas dan kewajibannnya dalam
pengamanan. Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum. Selanjutnya Pasal 30 ayat (4)
konstitusi kita menegaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat
bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan
hukum. Peranan Polisi dalam penegakan hukum ditegaskan lagi dalam Pasal 5
ayat (1) Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Repuplik Indonesia yang menyebutkan bahwa Kepolisian Negara Republik
Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri. Adalah tidak wajar apabila aparat
keamanan meminta biaya pengaman yang terlalu besar. Oleh karena dari sikap
aparat keamanan yang menentukan biaya yang terlalu besar, menyebabkan
pemohon eksekusi tidak dapat memenuhi permintaan tersebut dan berakibat
eksekusi tidak terlaksana, maka harapan pemohon eksekusi untuk
mendapatkan apa yang menjadi haknya serta memperoleh kepastian hukum
terhadap perkaranya yang sudah berjalan bertahun-tahun menjadi tidak jelas.
Perlu disadari bahwa hak mendapatkan keadilan sebagai hak dasar yang
dijamin oleh konstitusi tidak hanya diperuntukkan bagi orang yang memiliki
uang (mampu membayar biaya perkara), melainkan juga menjadi hak bagi
kaum papa, sehingga menjadi kewajiban bagi negara untuk memenuhi
keadilan terhadap orang yang kurang mampu. Di sinilah perlunya ada diskresi
dari pimpinan Pengadilan dan Kepolisian, sehingga terhadap justisiabel yang
kurang mampu bisa dibebaskan dari menanggung biaya berperkara atau
setidak-tidaknya diberi keringanan. Di dalam penegakan hukum, sebagaimana
dikemukakan Soerjono Soekanto, keberadaan diskresi ini sangat penting,
terutama oleh karena adanya kasus-kasus individual yang memerlukan
penanganan secara khusus.
c. Faktor Objek Perkara Kabur
Faktor berikutnya yang menghambat pelaksanaan eksekusi adalah pada waktu
pengadilan meletakkan sita eksekusi atau melaksanakan eksekusi terhadap
eksekusi riil atau pengosongan tempat yang dikuasai oleh termohon eksekusi,
pemohon eksekusi kesulitan menentukan batas-batas tanah yang akan
dieksekusi, yang berakibat eksekusi tidak dapat dilaksanakan. Untuk
mengantisipasi adanya objek perkara yang kabur, Mahkamah Agung melalui
Surat Edarannya No. 7 Tahun 2001 Tentang Pemeriksaan Setempat,
mewajibkan kepada Hakim dalam hal memeriksa perkara yang objeknya
berupa tanah agar dilakukan pemeriksaan setempat, sehingga lokasi serta
batas-batas objek perkara jelas dan memudahkan dalam eksekusinya. Putusan
perkara perdata sebagai hukum yang mengikat bagi pihak-pihak yang
berperkara semestinya memuat amar yang jelas dan eksekutabel. Oleh
karenanya hakim dalam membuat putusan, harus benar-benar hati-hati dan
teliti serta dapat memastikan bahwa putusan yang dibuatnya dapat
dilaksanakan, karena Putusannya tersebut nantinya akan hukum in concreto, di
mana pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan menggunakan alat negara.
d. Faktor Objek Perkara Telah Berpindah Tangan Kepada Pihak Lain
Pelaksanaan eksekusi dapat pula terhalang oleh karena objek perkara telah
berpindah tangan kepada pihak lain, bahkan telah diterbitkan sertifikat atas
nama pihak ketiga di atas tanah objek perkara. Hal ini baru diketahui pada saat
diletakkan sita eksekusi atas objek perkara. Apabila objek perkara telah
berpindah tangan kepada pihak lain, tentunya eksekusi terhambat, karena
Pengadilan juga harus memperhatikan dan melindungi hak pihak ketiga yang
menguasai objek perkara, apalagi jika penguasaan tersebut didasarkan pada
i’tikat baik. Untuk menghindari berpindahnya objek kepada pihak lain,
penggugat dalam proses beracara sedini mungkin sebaiknya mengajukan
permohonan sita jaminan (conservatoir beslag), dan terhadap permohonan
tersebut hakim benar-benar harus mempertimbangkannya, sehingga bila
dinilai berasalan bias segera dikeluarkan Penetapan Sita. Guna meringankan
justisiabel, sayogyanya pengadilan tidak mematok biaya yang tinggi dalam hal
pelaksanaan sita jaminan, hal ini dapat mendorong penggugat untuk
mengajukan sita jaminan. Di samping itu, penggugat dituntut berperan aktif
untuk memberitahukan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) bahwa
objek tanah dimaksud sedang dalam berperkara, sehingga diharapkan tidak
terjadi peralihan hak kepada orang lain. Kerjasama yang baik dari BPN juga
sangat diharapkan, karena berdasarkan pengalaman penulis, pihak BPN ketika
dijadikan sebagai turut tergugat dalam suatu perkara, jarang sekali memenuhi
panggilan persidangan. Padahal kehadiran BPN sangat penting tidak hanya
untuk memperjelas asal usul hak atas tanah serta proses keluarnya sertifikat
hak atas tanah, tetapi juga dapat memastikan bahwa BPN tidak akan
mengesahkan peralihan hak atas tanah yang sedang bersengketa.
e. Faktor Termohon Eksekusi Tidak Mempunyai Harta Baik Bergerak Ataupun
Tidak Bergerak Untuk Diletakkan Sita Eksekusi Untuk Pemenuhan Isi
Putusan
Apabila termohon eksekusi tidak memiliki harta, baik harta bergerak maupun
harga tidak bergerak, tentunya akan menyulitkan dalam upaya pemaksaan
pemenuhan putusan, oleh karena tidak ada harta yang dapat diletakkan sita
sebagai jaminan atau upaya untuk pemenuhan isi putusan.
Kemenangan Penggugat dalam keadaan demikian merupakan kemenangan di
atas kertas, karena apa yang dituntutnya dalam amar dan dikabulkan oleh
pengadilan, tidak dapat dimohonkan eksekusinya, kecuali termohon eksekusi
secara sukarela bersedia memenuhi isi putusan.
Di sinilah pentingnya faktor masyarakat dalam upaya penegakan hukum.
Penggugat sebelum mengajukan gugatan harus pula bisa memastikan bahwa
apa yang dituntutnya dapat dipaksakan pemenuhannya, sehingga kemenangan
Penggugat nantinya tidak hampa. Masyarakat kita hendaknya didorong untuk
mempunyai kompetensi hukum, dalam arti mengetahui hak-hak dan
kewajiban-kewajiban, serta mengetahui aktivitas-aktivitas penggunaan upaya-
upaya hukum untuk melindungi, memenuhi, dan mengembangkan kebutuhan-
kebutuhan mereka sesuai dengan aturan yang ada.
f. Faktor Dukungan Aparat Penegak Hukum
Adapun yang dimaksud dengan aparat penegak hukum dalam pelaksanaan
eksekusi adalah aparat yang melaksanakan eksekusi itu sendiri yaitu pihak
Pengadilan Negeri dan aparat yang mendukung pelaksanaan eksekusi yang
berhubungan dengan pengamanan eksekusi, yaitu pihak Kepolisian.
Bahwa kapasitas penegak hukum yang melaksanakan eksekusi dari pihak
Pengadilan maupun dari pihak Kepolisian yang mengamankan pelaksanaan
eksekusi cukup baik, namun yang memberatkan bagi pemohon eksekusi
mengenai biaya yang diminta untuk pelaksanaan eksekusi oleh pihak
Pengadilan Negeri maupun untuk biaya pengamanan eksekusi yang diminta
oleh pihak Kepolisian sangat besar. Dengan adanya permintaan biaya yang
besar tersebut, pihak pemohon eksekusi tersebut ada yang menunda
pelaksanaan eksekusinya untuk sementara waktu dan bahkan ada yang belum
mengajukan permohonan eksekusinya sama sekali. Dalam pandangan Penulis,
faktor ini sangat penting, karena menjadi ujung tombak keberhasilan eksekusi.
Ketua Pengadilan dalam kapasitasnya sebagai penanggung jawab eksekusi
memiliki peran yang sangat penting, sejak penelaahan terhadap permohonan
eksekusi, pengeluaran penetapan eksekusi, aanmaning, sampai dengan
pelaksanaannya. Demikian halnya Panitera selaku pelaksana eksekusi serta
juru sita yang turut melaksanakan eksekusi sangat menentukan berhasil atau
tidaknya eksekusi. Diperlukan pengetahuan hukum yang memadai,
pengalaman dan kemahiran yang cukup serta sikap profesionalitas dari
pejabat-pejabat tersebut, untuk mensukseskan eksekusi, sehingga dengan
berbagai rintangan dan hambatan yang ada dapat diatasi dengan baik. Adanya
perlawanan secara anarkhis dari pihak termohon eksekusi maupun masyarakat
sekitar dapat diupayakan solusinya dengan melakukan pendekatan secara
personal (personal approach) dan sikap tegas pelaksana eksekusi, sehingga
tidak mudah membatalkan eksekusi pada saat menghadapi resistensi dari
massa. Di sini tentunya diperlukan dukungan penuh dari aparat keamanan, di
mana kesiap-siagaan aparat keamanan yang telah terlatih diharapkan mampu
”meredam” perlawanan massa, sehingga eksekusi dapat dilaksanakan.
g. Faktor Masyarakat dan Kebudayaan
Faktor masyarakat dalam hal ini yang dimaksud adalah terbatasnya
pengetahuan hukum dan kesadaran hukum yang rendah, dimana faktanya
terdapat beberapa anggota masyarakat yang tidak secara sukarela
menyerahkan objek perkara yang telah di putus dan telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap. Untuk dapatnya penggugat memperoleh haknya
sebagaimana yang tercantum dalam amar putusan, pihak yang kalah jarang
sekali secara suka rela bersedia memenuhi isi putusan, sehingga memerlukan
adanya eksekusi dengan dukungan aparat keamanan. Apabila eksekusi secara
paksa inipun dilaksanakan, belum tentu berjalan lancar, ada saja yang
menghalanginya. Adapun faktor kebudayaan dalam kaitannya dengan
penegakan hukum dalam pelaksanaan eksekusi akan bersinggungan langsung
dengan persoalan kemasyarakatan, dimana dalam hal ini akan tidak jauh
berbeda dengan alasan faktor masyarakat sebelumnya. Selain itu, adanya
kecendrungan termohon eksekusi mempengaruhi warga di sekitar tempat
eksekusi yang simpati terhadapnya untuk berbuat anarkis agar eksekusi tidak
terlaksana, sehingga pelaksanaan sita eksekusi tersebut tidak terlaksana.
Dalam mengatasi masalah ini, masyarakat kita harus diberikan pemahaman
hukum yang benar dan ditingkatkan kesadaran hukumnya. Oleh karena itu
Ketua Pengadilan yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan eksekusi
haruslah dapat memberikan pemahaman hukum serta mendorong kesadaran
hukum, khususnya bagi termohon eksekusi sewaktu annmaning, agar
termohon eksekusi dapat mematuhi amar putusan atau setidak-tidaknya tidak
melakukan perlawanan atau tindakan anarkis ketika akan dilaksanakan
eksekusi. Untuk itu diharapkan pula kepada juru sita pada saat menyampaikan
surat panggilan aanmaning, melaksanakannya secara benar dan
bertanggungjawab, yaitu surat panggilan harus benar-benar sampai kepada
termohon eksekusi dan mendorong agar termohon eksekusi hadir pada saat
aanmaning, sehingga bisa diberikan pemahaman yang memadai oleh ketua
pengadilan mengenai arti pentingnya eksekusi pada saat aanmaning.
h. Faktor Sarana dan Prasarana
Adapun yang dimaksud dengan faktor sarana prasarana dalam hal ini adalah
segala hal perangkat pendukung baik perangkat lunak maupun keras yang
dapat memberikan andil terlaksananya eksekusi dengan lancar. Di antaranya
fasilitas perkantoran baik berupa gedung dan pendukung kerja administrasi
serta penggunaan teknologi dan lain sebagainya.
2. Urgensi Forum Mediasi Dalam Rangka Mengatasi Penumpukan Perkara
Pada dasarnya batas usaha perdamaian hanya terbuka sepanjang pemeriksaan
di persidangan126 namun dalam praktek dengan kesadarannya sendiri para pihak
berdamai saat proses eksekusi. Para pakar hukum mengemukakan, bahwa
pelaksanaan eksekusi harus sesuai bunyi putusan. Bila tidak dapat dieksekusi secara
riil dilakukan lelang. Bila para pihak dalam melaksanakan eksekusi berdamai
mengenai pembagian objek sengketa eksekusi dapat menyimpangi bunyi putusan dan
dilakukan pembagian sesuai kesepakatan para pihak.127
Berdasar pada uraian tersebut dan berpijak pada azas perdamaian dalam
pemeriksaan perkara perdata, dan pula dengan terbitnya Perma Nomor 1 Tahun 2008,
oleh karena waktu itu walaupun dalam proses eksekusi dan kemudian para
menemukan mufakat dan damai dalam proses mediasi yang dilakukan, maka hal
tersebut suatu prestasi yang luar biasa dan menggembirakan dimata hukum. Dengan
demikian perdamaian pada proses eksekusi masih dibenarkan oleh hukum, dengan
syarat perdamaian dimaksud secara tertulis.
Selanjutnya, dalam proses mediasi yang dilakukan oleh pihak pengadilan
(hakim) terhadap eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,
maka hakim yang bertindak sebagai mediator harus menyelidiki kebenaran
perdamaian tersebut, dengan memperhatikan, hal-hal sebagai berikut :
1. Pernyataan dari tereksekusi tentang adanya perdamaian.
2. Pemohon eksekusi membenarkan dan menyetujui adanya perdamaian.
3. Perdamaian dimaksud secara tertulis.
Bila termohon eksekusi mengajukan permohonan untuk penangguhan
pelaksana lelang dengan janji akan melaksanakan isi putusan secara suka rela disertai
dengan surat pernyataan, maka diperbolehkan dengan syarat termohon eksekusi
menyerahkan uang jaminan guna biaya pelaksanaan eksekusi berikutnya serta diberi
batas waktu.128
126 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm.830.127 Mahkamah Agung RI Tahun 2008, hlm. 8.128 Mahkamah Agung RI, Tahun 2001, hlm.78.
Dalam hal benar adanya perdamaian, Pengadilan harus mempertimbangkan
dan bijak menghadapi para pihak atau masyarakat pendukung para pihak yaitu
menangguhkan pelaksanaan eksekusi dengan batas waktu tertentu, apalagi bila
pengamanan tidak sebanding dengan masa para pihak, demi keselamatan aparat
negara khususnya dan masyarakat umumnya. Pemberian batas penangguhan eksekusi
disesuaikan kesepakatan para pihak, atau misalnya selama enam bulan sejak keluar
surat perintah eksekusi.
Oleh karena perdamaian pada proses eksekusi dalam pembahasan ini diluar
campur tangan Pengadilan, maka perdamaian dimaksud tidak menghapus atau
menggantikan amar putusan perkaranya, melainkan salah satu bentuk dari
pelaksanaan amar putusan perkaranya.
Dalam mengupayakan perdamaian digunakan Perma Nomor 1 Tahun 2008
Tentang Mediasi, yang mewajibkan agar semua perkara yang diajukan ke pengadilan
tingkat pertama wajib untuk diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan
mediator yang diatur dalam pasal 2, ayat (3) dan (4) yang berbunyi yaitu:
(3) Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan
pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang
mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(4) Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa
perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi
dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.
Perdamaian itu sendiri pada dasarnya harus mengakhiri perkara, harus
dinyatakan dalam bentuk tertulis, perdamaian harus dilakukan oleh semua pihak yang
terlibat dalam perkara dan oleh orang yang mempunyai kuasa untuk itu, dan
ditetapkan dengan akta perdamaian yang mempunyai kekuatan hukum dan sifatnya
final. Jadi sebelum pemeriksaan perkara dilakukan hakim pengadilan negeri selalu
mengupayakan perdamaian para pihak di persidangan. Dalam ketentuan Perma
Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Mediasi, tidak ada klausul larangan bagi Hakim dalam
menempuh prosedur mediasi terhadap eksekusi putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.Sehingga terhadap permasalahan eksekusi atas
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang tidak dapat
dilaksanakan eksekusinya, dapat dilakukan upaya penyelesaian sengketa eksekusi
melalui mediasi, baik yang dilakukan di luar pengadilan maupun oleh hakim pada
pengadilan negeri. Penyelesaian sengketa eksekusi ini menurut penulis juga bagian
dari upaya pengintegrasian sistem mediasi dalam pengadilan.
Pengintegrasian sistem mediasi dalam proses beracara di Pengadilan, termasuk
dalam mediasi terhadap konflik eksekusi putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dianggap sebagai proses penyelesaian sengketa yang lebih
cepat dan relatif murah, sehingga dapat memberikan kontribusi positif dalam
memenuhi rasa keadilan serta memberikan hasil memuaskan bagi para pihak yang
bersengketa. Hal tersebut disebabkan pengintegrasian sistem mediasi lebih
mengutamakan pendekatan konsensus dalam mempertemukan kepentingan para pihak
yang bersengketa serta bertujuan untuk mendapatkan hasil penyelesaian sengketa ke
arah win-win solution. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di
pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi kemungkinan
penumpukan perkara di pengadilan. Selain itu institusionalisasi proses mediasi ke
dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga
pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat
memutus (adjudikatif).
Penumpukan perkara perdata yang ditangani oleh pengadilan negeri
sepanjang tahun 2010 berjumlah 56.337 perkara. Jumlah ini terdiri dari 46.203
perkara yang diterima sepanjang tahun 2010 dan 10.134 perkara yang merupakan sisa
tahun sebelumnya. Keseluruhan jumlah tersebut terdiri dari 25.924 perkara gugatan
(46,02 %) dan 30.413 perkara permohonan (53,98 %). Jumlah perkara perdata yang
diselesaikan pada tahun 2010 sebanyak44.480 perkara, yang terdiri dari 42.670
perkara selesai karena diputus dan 1.810 perkara selesai karena dicabut. Sisa perkara
pada akhir Desember 2010 berjumlah 11.857 perkara (21,05 %).
Berdasarkan perbandingan jumlah perkara yang ditangani dan diselesaikan
selama tahun 2010 menggambarkan penyelesaian perkara perdata pada tingkat
pertama sebesar 78,95 %. Berikut ini figur keadaan perkara perdata pada pengadilan
negeri sepanjang tahun 2010.
Tabel 1:Keadaan Perkara Perdata Yang Ditangani Pengadilan Negeri Tahun 2010
Jenis Sisa Masuk Jumlah Putus Cabut SisaGugatan 8.085 17.839 25.924 14.877 1.348 9.699
Permohonan 2.049 28.364 30.413 27.793 462 2.158Jumlah 10.134 46.203 56.337 42.670 1.810 11.857
Sumber: Mahkamah Agung RI Tahun 2010
Selama tahun 2010, jumlah perkara perdata yang ditangani pada tingkat
banding berjumlah 5.902 perkara. Jumlah ini terdiri dari perkara yang diterima tahun
2010 sebanyak 4.560 perkara dan sisa tahun 2009 berjumlah 1.342 perkara. Dari
jumlah tersebut, perkara yang berhasil diselesaikan selama tahun 2010 berjumlah
4.353 perkara. Sebanyak 11 perkara selesai karena dicabut, dan 4.342 perkara selesai
karena diputus. Dengan demikian, sisa perkara pada akhir tahun berjumlah 1.549
perkara (26,25 %). Berdasarkan data tersebut di atas, rasio penyelesaian perkara
perdata pada tingkat banding sebesar 73,75 %.
Dari data perbandingan perkara perdata (gugatan) yang diputus di tingkat
pertama sepanjang 2010 (14.877 perkara) dan jumlah perkara banding (4.560
perkara), dapat ditarik kesimpulan bahwa terhadap putusan perkara perdata, terdapat
30,65 % pencari keadilan yang menempuh upaya hukum lanjutan. Perkara perdata
yang diterima Mahkamah Agung RI tahun 2010 berjumlah 4.144 perkara. Jumlah ini
naik 6,26 % dari penerimaan perkara tahun 2009 yang berjumlah 3.900 perkara. Dari
4.144 perkara perdata yang diterima tersebut, jumlah terbesar (1824 perkara atau
44,26 %) merupakan perkara yang berkaitan dengan sengketa tanah. Sementara
perkara lain yang mendominasi perkara perdata adalah perbuatan melawan hukum
yang mencapai 836 perkara (20,17 %). Klasifikasi selengkapnya sebagaimana dalam
tabel berikut ini:
Tabel 2:Klasifikasi Perkara Perdata Yang Diterima Mahkamah Agung RI Tahun 2010
No Klasifikasi Jumlah Persentase1 Tanah 1834 44,262 Perbuatan Melawan Hukum 836 20,173 Perikatan 689 16,634 Perceraian 206 4,975 Perlawanan 203 4,906 Waris 153 3,697 Wanprestasi 102 2,468 Ganti rugi 58 1,409 Class Action 5 0,12
Jumlah 4.144Sumber: Mahkamah Agung RI Tahun 2010
Saat ini kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan semakin berkurang.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh badan peradilan di Indonesia adalah
lambannya proses penyelesaian perkara di Mahkamah Agung. Dengan penyelesaian
sebanyak 8.500 perkara setiap tahunnya sedangkan penerimaan perkara yang jumlah
dan besarnya selalu bertambah, dapat diperkirakan bahwa penumpukan putusan di
Mahkamah Agung tidak akan dapat diselesaikan.129
Banyaknya perkara Kasasi maupun Peninjauan Kembali yang diajukan ke
Mahkamah Agung disebabkan bahwa sistem hukum yang berlaku sekarang ini tidak
membatasi perkara apa saja yang dapat diajukan ke Mahkamah Agung, antara lain
sedapat mungkin menyelesaikan perkara di Pengadilan tingkat pertama atau tingkat
banding, dengan musyawarah melalui penyelesaian sengketa alternatif baik di luar
pengadilan maupun di dalam pengadilan.130
Khusus dalam bidang keperdataan, dimana salah satu asas hukum acara
perdata menyatakan bahwa penyelesaian sengketa perdata melalui putusan pengadilan
merupakan ultimum remedium atau alternatif terakhir, yang artinya bahwa
penyelesaian perkara perdata semaksimal mungkin harus diselesaiakan dengan
musyawarah kekeluargaan. Hal ini dilandasi dengan suatu pemikiran bahwa perkara
perdata pada umumnya terjadi antara pihak yang memiliki hubungan kekeluargaan,
ataupun telah memiliki hubungan sosial yang dekat. Jika proses penyelesaian
perkaranya melalui proses beracara dengan putusan pengadilan akibatnya akan
merusak hubungan kekeluargaan yang telah lama terbangun sebelumnya.131
Dalam Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa terdapat enam macam tata cara penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, yaitu: (1).Konsultasi. (2).Negosiasi. (3).Mediasi. (4).Konsiliasi.
(5).Pemberian pendapat hukum. (6).Arbitrase. Pengaturan mengenai mediasi dapat
ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 ayat (3), Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (5) UU
No.30 tahun 1999. Ketentuan mediasi yang diatur dalam pasal tersebut merupakan
suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh para pihak menurut ketentuan Pasal 6 ayat
(2) UU No. 30 tahun 1999 132
129 Mahkamah Agung RI, 2004, Mediasi dan Perdamaian. Disampaikan oleh H. Soeharto (ketua steering comitte Penyusunan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan), dalam pengarahan dalam rangka Pelatihan Mediator Dalam Menyambut Penerapan Mediasi . Jakarta.130 Mahkamah Agung RI, Ibid.131 Miswardi, Hukum Acara Perdata, (Bukit Tinggi: STAIN Press, 2005).hlm.36.132 Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 90.
Dalam hal tertunggaknya perkara dan ketidakpuasan para pencari keadilan
terhadap putusan pengadilan. MA mencoba mengintegrasikan proses penyelesaian
sengketa alternatif (non litigasi ) dalam hal ini mediasi ke dalam proses peradilan
(litigasi). Yaitu dengan menggunakan proses mediasi untuk mencapai perdamaian
pada tahap upaya damai di persidangan dan hal inilah yang biasa disebut dengan
lembaga damai dalam bentuk mediasi atau lembaga mediasi.
Model lembaga mediasi yang diterapkan di Indonesia sangat mirip dengan
mediasi yang diterapkan di Australia, yaitu sistem mediasi yan berkoneksitas dengan
pengadilan (mediation connected to the court). Pada umumnya yang bertindak
sebagai mediator adalah pejabat pengadilan. Dengan demikian, compromise solution
yang diambil bersifat paksaan (compulsory) kepada kedua belah pihak. Namun agar
resolusinya memiliki potensi memaksa, harus lebih dulu diminta persetujuan para
pihak dan jika mereka setuju, resolusi mengikat dan tidak ada upaya apapun yang
dapat mengurangi daya kekuatannya. 133
Indonesia telah mengenal dan mengakui cara mediasi sebagai alternatif
penyelesaian sengketa. Sejak keluarnya Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun
2003 diganti dengan Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan yang merupakan implementasi dari Hukum Acara Perdata Pasal 130
Herziene Inlandsch Reglemen (HIR) yang berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura,
dan Pasal 154 Rechtsreglemen voor de Buitengewesten (R.Bg) yang berlaku untuk
wilayah di luar Jawa dan Madura, yang pada intinya mengisyaratkan upaya
perdamaian dalam menyelesaikan sengketa. Maka upaya penyelesaian sengketa
dengan menggunakan mediasi layak menjadi pilihan utama. Selain dapat
merundingkan keinginan para pihak dengan jalan perdamaian, upaya mediasi tentunya
akan menguntungkan pengadilan karena mengurangi tumpukan perkara.
Bila dicermati penyelesaian konflik atau persengketaan melalui pengadilan
butuh waktu relatif lama dan perlu biaya yang besar. Hukum acara yang berlaku baik
pasal 130 Herzien Indonesis Reglement (HIR) maupun pasal 154 Rechtsreglement
Buitengewesten (Rbg), mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian
yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses ini. Penggabungan dua
konsep penyelesaian sengketa ini diharapkan mampu saling menutupi kekurangan
yang dimiliki masing-masing konsep dengan kelebihan masing-masing. Proses
133 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung: PT Aditya Bakti, 2003), hal. 50-51.
peradilan memiliki kelebihan dalam ketetapan hukumnya yang mengikat, akan tetapi
berbelit-belitnya proses acara yang harus dilalui sehingga akan memakan waktu,
biaya dan tenaga yang tidak sedikit yang harus ditanggung oleh para pihak dalam
penentuan proses penyelesaian mediasi mempunyai kelebihan dalam keterlibatan para
pihak dalam penentuan proses penyelesaian sehingga prosesnya lebih sederhana,
murah dan cepat dan sesuai dengan keinginan. Akan tetapi kesepakatan yang dicapai
tidak memiliki ketetapan hukum yang kuat sehingga bila dikemudian hari salah satu
dari pihak menyalahi kesepakatan yang telah dicapai maka pihak yang lainnya akan
mengalami kesulitan bila ingin mengambil tindakan hukum.134
C. Pengintegrasian Forum Mediasi Sebagai Alternatif Penyerasian Konflik Dalam Sistem Peradilan Perdata
1. Mediasi di Pengadilan Proyek Percontohan Mahkamah Agung
Mahkamah Agung mendorong upaya mediasi, bukan saja demi kepentingan
pihak-pihak yang bersangkutan atau yang terkait dengan sengketa. Pengembangan
upaya damai merupakan salah satu kebijakan strategis menata sistem peradilan, baik
dari segi administrasi atau managemen peradilan maupun dalam rangka menegaskan
fungsi peradilan sebagai pranata yang menyelesaikan sengketa bukan sekedar
pemutus sengketa. Dari segi administrasi atau manegemen peradilan, upaya damai
yang intensif dan meluas akan mengurangi perkara di pengadilan sehingga
pemeriksaan perkara dapat dilakukan lebih bermutu karena tidak akan tergesa-gesa,
efisien, efektif dan mudah dikontrol.
Semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan wajib untuk terlebih
dahulu diselesaikan melalui mediasi dengan bantuan mediator. Kecuali sengketa yang
diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial,
keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, serta keberatan atas
putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Adapun sengketa perdata yang dapat
diselesaikan melalui proses mediasi di pengadilan ini sangat beragam. Hal ini dapat
dilihat pada penyelesaian sengketa bidang hukum keluarga, yakni pada kasus
perceraian dan warisan. Kemudian, kasus perbuatan melawan hukum, jual beli,
hutang piutang, wanprestasi dam tanah dapat diselesaikan melalui proses mediasi di
pengadilan. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor
134. Lihat tinjauan proses penyelesaian sengketa Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & arbiterase proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000) hal. 23-33
KMA/059/SK/XII/2003, menetapkan empat Pengadilan Negeri untuk dijadikan
proyek percontohan mediasi, yaitu: Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan
Surabaya, Pengadilan Negeri Batu Sangkar dan Pengadilan Negeri Bengkalis.
a. Periode Tahun 2003-2007
Secara keseluruhan, data yang diperoleh dari keempat Pengadilan Negeri yang
ditetapkan sebagai proyek percontohan Mahkamah Agung periode 2003-2007,
dapat dilihat sebagai berikut :
Tabel 3:Jumlah Sengketa Yang Berhasil Melalui Mediasi di Pengadilan Negeri
Proyek Percontohan Mahkamah Agung Selama Tahun 2003-2007Pengadilan
NegeriSengketa
Yang MasukSengketa Berhasil
Melalui Mediasi
Sengketa GagalMelalui Mediasi
ProsentaseBerhasil
Jakarta Pusat 2.192 65 2.127 2,97%
Surabaya 3.808 77 3.731 2,02%
Bengkalis 77 2 75 2,59%
Batusangkar 87 7 80 8,05 %
Sumber : Diolah dari Laporan Registrasi Induk Perkara Gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, PN Surabaya, PN Bengkalis dan PN Batusangkar, Tahun 2003 s.d. 2007
Tabel tersebut di atas, menggambarkan bahwa penyelesaian sengketa melalui
mediasi di keempat Pengadilan Negeri proyek percontohan tahun 2003-2007
sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari data yang diperoleh dari keempat
Pengadilan Negeri tersebut selama tahun 2003-2007 sebanyak 151 perkara
mencapai sepakat dari keseluruhan perkara yang masuk sejumlah 6.164
perkara atau sekitar 2,45%. Dengan demikian, data yang diperoleh dari
keempat Pengadilan Negeri yang menjadi proyek percontohan menunjukkan
hasil penyelesaian sengketa melalui mediasi ini sangat rendah. Rata-rata
persentase keberhasilannya masih di bawah 5 persen. Rendahnya tingkat
keberhasilan penyelesaian sengketa melalui mediasi di keempat pengadilan
tersebut karena umumnya para pihak tidak mau berdamai. Belum ditunjang
oleh sarana dan prasarana yang dimiliki oleh keempat pengadilan negeri yang
menjadi proyek percontohan. Misalnya saja, di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat yang masih belum memiliki ruangan khusus pertemuan mediasi.
Selain itu, minimnya pengetahuan hakim sebagai mediator, karena hakim
belum pernah mengikuti pelatihan dan pendidikan mediasi. Bagaimana
seorang hakim yang ditunjuk menjadi mediator dapat membantu
menyelesaikan sengketa melalui mediasi padahal hakim itu sendiri tidak
memahami prosedur mediasi. Ditambah lagi dengan adanya ketentuan PerMA
yang masih lemah, hal ini dapat dilihat dari adanya kewajiban hakim harus
memiliki sertifikat mediator. Adanya pengaturan waktu yang tidak cukup
untuk penyelesaian sengketa melalui proses mediasi (hanya 22 hari), dan tidak
ada insentif bagi hakim yang telah menjalankan fungsi sebagai mediator atau
yang berhasil menyelesaikan sengketa melalui proses mediasi. Faktor-faktor
sebagaimana disebutkan di atas menjadi salah satu kendala kurang berhasilnya
proses mediasi di empat pengadilan negeri yang menjadi proyek percontohan.
Dengan demikian, Mahkamah Agung perlu menyediakan sarana dan prasarana
untuk menunjang pelaksanaan prosedur mediasi di pengadilan.
Sebagai perbandingan, rendahnya tingkat keberhasilan proses mediasi di
pengadilan, dapat juga dilihat dari hasil penelitian Indonesian Institute for
Conflict Transformation (IICT) pada tahun 2004. Proses mediasi di 4 (empat)
Pengadilan Negeri (PN) yaitu PN Batusangkar, PN Bengkalis, PN Jakarta
Selatan dan PN Surabaya dari bulan September 2003 sampai dengan bulan
November 2004 menunjukkan persentasi keberhasilan penyelesaian sengketa
melalui proses mediasi sekitar 2,6 persen. Sedikitnya 654 perkara yang masuk
ke 4 Pengadilan Negeri tersebut dan hanya 17 perkara yang dapat diselesaikan
melalui mediasi.135 Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal pelaksanaan proses
mediasi di Pengadilan yaitu sejak tahun 2003 sampai 2007 tingkat
keberhasilan proses mediasi di keempat pengadilan tersebut sangat rendah.
Dari 151 pokok sengketa yang berhasil diselesaikan di keempat Pengadilan
Negeri Proyek Percontohan Mediasi yang ditunjuk oleh Mahkamah Agung
berdasarkan PerMA Nomor 02 Tahun 2003 menunjukkan bahwa pokok
sengketa yang dapat diselesaikan sangat beragam. Namun dari 151 perkara
yang berhasil diselesaikan melalui mediasi yang paling banyak adalah
sengketa mengenai wanprestasi (38) perkara. Sengketa wanprestasi lebih
banyak berhasil dibandingkan dengan sengketa perdata lainnya, karena para
pihak memiliki peluang tawar menawar dalam proses perundingan selama
mediasi. Selain itu, para pihak dalam sengketa wanprestasi sudah saling
mengenal, sehingga mediasi sangat cocok bagi mereka yang menekankan
135 “Persentase Keberhasilan Mediasi Masih Rendah”, http://www.lictor.id/dokumen/Persentase.20 Keberhasilan.
pentingnya hubungan baik yang telah berlangsung maupun yang akan dating.
Ditambah lagi, para pihak mempunyai itikad baik untuk mengakhiri
sengketanya melalui mediasi, dan mediasi memiliki sarana sebagai sengketa
lebih ekonomis baik dari sudut pandang biaya maupun waktu.
Sedangkan, sengketa perceraian tidak banyak berhasil diselesaikan melalui
proses mediasi, karena seringkali para pihak mengalami jalan buntu. Selain
itu, para pihak sendiri tidak mau hadir dalam pertemuan mediasi, sehingga
sulit bagi hakim mediator untuk mempertemukan keinginan yang ada dari
kedua belah pihak bersengketa. Umumnya para pihak yang hendak bercerai
sejak awal sudah saling bermusuhan dan dating ke pengadilan dengan tujuan
untuk memutuskan hubungan perkawinannya. Bahkan tidak sedikit diantara
mereka saling menyerang dengan emosi yang berlebihan. Ironisnya, kedua
belah pihak mau berdamai asalkan perceraian dikabulkan. Tentu saja hal ini
bertentangan dengan prinsip mediasi, bahwa mendamaikan dalam perkara
perceraian berarti mempersatukan kembali rumah tangga yang sedang retak.
b. Periode Tahun 2008-2009
Data yang diperoleh secara keseluruhan menunjukkan bahwa pengintegrasian
proses mediasi ke dalam hukum acara perdata di pengadilan negeri yang
menjadi proyek percontohan mediasi pada tahun 2008-2009, dapat terlihat
dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 4:Jumlah Sengketa yang Berhasil Melalui Mediasi di Pengadilan Negeri
Proyek Percontohan MA Selama Tahun 2008-2009
Pengadilan
Negeri
Sengketa
Masuk
Sengketa
Berhasil Melalui
Mediasi
Sengketa Gagal
Melalui
Mediasi
Persentase
Berhasil
Jakarta Barat 834 13 821 1.59%
Jakarta Selatan 655 2 653 0.31%
Depok 219 1 215 0.47%
Bogor 192 4 188 2.08%
Bandung 536 13 706 1.84%
Sumber : Diolah dari Laporan Regisrasi Induk Perkara Perdata di PN Jakarta Barat, PN Jakarta Selatan, PN Depok dan PN Bandung tahun 2008-2009.
Dari keseluruhan hasil penyelesaian sengketa melalui mediasi di lima
pengadilan proyek percontohan mediasi di Mahkamah Agung menunjukkan
hasil yang sangat rendah. Berdasarkan data yang diperoleh dari kelima
pengadilan tersebut sedikitnya dari 2.637 perkara yang masuk hanya 33
perkara atau sekitar 1,25% yang berhasil diselesaikan melalui proses mediasi.
Dengan demikian, hasil penelitian di lima pengadilan tersebut berdasarkan
perMA tahun 2008 masih sangat rendah. Rendahnya jumlah sengketa yang
dapat diselesaikan melalui proses mediasi sama halnya dengan empat
pengadilan yang menjadi proyek percontohan berdasarkan perMA tahun 2003
yaitu 2,45% dari jumlah perkara yang masuk.
Data yang diperoleh dari lima Pengadilan Negeri yang menjadi proyek
percontohan menunjukkan hasil penyelesaian sengketa melalui mediasi ini
sangat rendah. Rata-rata persentase keberhasilannya masih di bawah 5 persen.
Rendahnya tingkat keberhasilan penyelesaian sengketa melalui mediasi di
lima pengadilan proyek percontohan tahun 2008 hampir sama dengan apa
yang menjadi kendala belum berhasilnya proses mediasi di pengadilan karena
umumnya para pihak tidak mau berdamai. Minimnya pengetahuan hakim
sebagai mediator, karena hakim belum pernah mengikuti pelatihan dan
pendidikan mediasi. Bagaimana seorang hakim yang ditunjuk menjadi
mediator dapat membantu menyelesaikan sengketa melalui mediasi padahal
hakim itu sendiri tidak memahami Prosedur mediasi. Ditambah lagi dengan
adanya ketentuan waktu yang tidak cukup untuk penyelesaian sengketa
melalui proses mediasi (hanya 40 hari). Tidak ada insentif bagi hakim yang
telah menjalankan fungsi sebagai mediator atau yang berhasil menyelesaikan
sengketa melalui proses mediasi. Dengan demikian, Mahkamah Agung perlu
menyediakan sarana dan prasarana untuk menunjang pelaksanaan prosedur
mediasi di pengadilan. Sehingga, dengan adanya kewajiban untuk menempuh
proses mediasi sebagaimana ketentuan PerMA yang baru ini dapat
meningkatkan penyelesaian sengketa melalui proses mediasi di pengadilan.
Dari 33 pokok sengketa yang berhasil diselesaikan di keempat Pengadilan
Negeri tersebut di atas, menunjukkan bahwa semua jenis perkara tersebut di
atas dapat diselesaikan proses mediasi. Dari 33 perkara yang dapat
diselesaikan melalui proses mediasi di pengadilan negeri proyek percontohan
2008 yaitu sebanyak 9 perkara hutang piutang, 4 perkara wanprestasi, 4
perkara tanah, 4 perkara perceraian, 2 perkara perbuatan mlawan hukum, 2
perkara warisan, 1 perkara ganti rugi, dan 1 perkara gono gini. Secara
keseluruhan sengketa yang paling banyak diselesaikan melalui mediasi di lima
pengadilan proyek percontohan itu adalah sengketa hutang piutang. Sengketa
hutang piutang lebih banyak berhasil dibandingkan dengan sengketa perdata
lainnya, karena para pihak memiliki peluang tawar menawar dalam proses
perundingan selama mediasi. Selain itu, para pihak sengketa hutang piutang
lebih menekankan kepada faktor ekonomis baik dari sudut pandang biaya
maupun waktu. Karena para pihak yang bersengketa hanya butuh waktu 4
sampai 7 kali untuk mengakhiri pertemuan mediasi.
2. Mediasi Sengketa Eksekusi Pada Saat Aanmaning
Pada dasarnya batas usaha perdamaian hanya terbuka sepanjang pemeriksaan
di persidangan, namun dalam praktek dengan kesadarannya sendiri para pihak
berdamai saat proses eksekusi.136
Para pakar hukum mengemukakan, bahwa pelaksanaan eksekusi harus sesuai
bunyi putusan. Bila tidak dapat dieksekusi secara riil dilakukan lelang. Bila para pihak
dalam melaksanakan eksekusi berdamai mengenai pembagian objek sengketa
eksekusi dapat menyimpangi bunyi putusan dan dilakukan pembagian sesuai
kesepakatan para pihak.137
Dalam hal benar adanya perdamaian, Pengadilan harus mempertimbangkan
dan bijak menghadapi para pihak atau masyarakat pendukung para pihak yaitu
menangguhkan pelaksanaan eksekusi dengan batas waktu tertentu, apalagi bila
pengamanan tidak sebanding dengan masa para pihak, demi keselamatan aparat
negara khususnya dan masyarakat umumnya. Pemberian batas penangguhan eksekusi
disesuaikan kesepakatan para pihak, atau misalnya selama enam bulan sejak keluar
surat perintah eksekusi. Hal ini dianalogikan dengan hak pemohon ikrar talak ketika
diberi hak untuk menjatuhkan talak atau mengeksekusi perkara ikrar talak.
Oleh karena perdamaian pada proses eksekusi dalam pembahasan ini diluar
campur tangan Pengadilan, maka perdamaian dimaksud tidak menghapus atau
menggantikan amar putusan perkaranya, melainkan salah satu bentuk dari
pelaksanaan amar putusan perkaranya.
136 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hlm.830.137 Mahkamah Agung RI : 2008, hlm. 8.
Berdasar pada uraian tersebut dan berpijak pada azas perdamaian dalam
pemeriksaan perkara perdata, dan pula dengan terbitnya Perma Nomor 1 Tahun 2008,
maka betapa urgensi dan betapa mahal, serta menghabiskan waktu yang diberikan
hukum untuk mencapai prestasi perdamaian. Oleh karena waktu itu walaupun dalam
proses eksekusi dan kemudian para pihak tanpa disuruh oleh mediator mereka sadar
menemukan mufakat dan damai, maka hal tersebut suatu prestasi yang luar biasa dan
menggembirakan dimata hukum. Dengan demikian perdamaian pada proses eksekusi
masih dibenarkan oleh hukum, dengan syarat perdamaian dimaksud secara tertulis.
Sehingga terwujudlah penyelesaian sengketa tidak ada yang kalah dan tidak ada yang
menang (win win solution). Pengadilan harus menyelidiki kebenaran perdamaian
tersebut, dengan memperhatikan, hal-hal sebagai berikut :
1. Pernyataan dari Tereksekusi tentang adanya perdamaian.
2. Pemohon eksekusi membenarkan dan menyetujui adanya perdamaian.
3. Perdamaian dimaksud secara tertulis.
Selanjutnya, temuan pelaksanaan mediasi terhadap permasalahan eksekusi
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada Pengadilan
Negeri Bogor tahun 2009 menunjukkan bahwa dari 9 (sembilan) perkara eksekusi,
yang dapat diselesaikan dengan mediasi sebanyak 6 (enam) perkara. Tabel di bawah
ini menunjukkan perkara eksekusi yang selesai dengan perdamaian, sebagai berikut.
Tabel 5:Perkara Eksekusi Yang Selesai Dengan Mediasi Tahun 2009 PN Bogor
No Nomor Perkara (Para Pihak) Tanggal PelaksanaanAanmaning Sita Lelang Pengosongan Keterangan
1 01/Pdt/Eks.Akte/2008/PN.BgrPT. Wahana Lawan PT. Karya
Saleh Bahana
21/02/08 - - - Selesai (perdamaian di luar pengadilan)
2 16/Pdt/Eks/2007/PN.Bgr jo No.51/Pdt/G/2000/PN.Bgr
Indrawilis Lawan H. A. Sanusi
08/08/07 - - - Selesai(pelaksanaan
secara sukarela)3 102/Pdt/G/1996/PN.Bgr jo
No.387/Pdt/1997/PT.Bdg Sumaryadi Lawan H. S. Rais dkk
- - - - Selesai(pelaksanaan secara sukarela)
4 11/Pdt/Eks/2008/PN. Bgr jo No.13/Pdt/2002/PN.Bgr
Roesmiyati dkk Lawan Ny. Bambang Soeseno dkk
01/07/08 - - - Selesaidengan perdamaian
5 04/Pdt/Eks.Akte/2009/PN.Bgr Rukmiati dkk Lawan Wahyudi
Ruwiyanto
23/03/09 23/0709
- - Selesaidengan perdamaian
6 09/Pdt/Eks.Akta/2004/PN.Bgr jo Risalah Lelang No.195/2005 Kamsidin Wirahadikusumah
Lawan Liong Po Yin
18/12/06 - - - Selesaidengan perdamaian
7 22/Pdt/Eks/2008/PN.Bgr jo No.25/Pdt/G/2004/PN.Bgr Ali Nasser Asry dkk Lawan Sopian
Ranawijaya
19/01/09 08/04/09
- 19/11/09 Selesai(pelaksanaan secara sukarela)
8 20/Pdt/Eks.Akta/2009/PN.Bgr jo No.102/Pdt/G/2005/PN.Bgr
PeyHerlina Lawan Teddy Fajar Siddiq
29/09/0906/10/09
- - - Selesaidengan perdamaian
9 03/Pdt/Eks/2009/PN.Bgr jo No.26/Pdt/G/2007/PN.Bgr Eva
Savianthi Lawan Grealdine I Flohr
10/02/0923/02/09
- - - Selesaidengan perdamaian
Sumber: Panitera Pengadilan Negari Bogor Tahun 2010.
Dari jumlah penyelesaian sengketa eksekusi di atas, maka prosentase
keberhasilan penyelesaian mediasi dapat digambarkan dalam bentuk tabel
sebagaimana di bawah ini.
Tabel 6 :Prosentase Penyelesaian Sengketa Eksekusi
No Penyelesaian Sengketa Eksekusi Frekuensi Prosentase12
Selesai Secara Sukarela
63
6.7 %3.3 %
Total 9 100 %
Dari sejumlah perkara eksekusi yang dapat diselesaikan oleh pihak pengadilan
sebanyak 6.7 % sedangkan yang selesai dengan sukarela sebanyak 3.3%. Namun,
demikian selesainya sengketa eksekusi tersebut dapat diklasifikasi dalam dua bagian
yakni secara sukarela dan penyelesaian dengan mediasi. Sebagaimana ditunjukkan
pada tabel berikut.
Tabel 7:Prosentase Penyelesaian Mediasi
No Penyelesaian Melalui Mediasi Frekuensi Prosentase1 Perdamaian di dalam pengadilan 5 83 %2 Perdamaian di luar pengadilan 1 17 %
Total 6 100 %
Dengan demikian, penyelesaian sengketa eksekusi melalui perdamaian di
dalam pengadilan sebanyak 5 perkara (83%) sedangkan sisanya 1 perkara (17 %)
dilakukan di luar pengadilan.
Dalam perkara antara Geraldine I Flohr (Termohon Eksekusi/Tergugat)
dengan Eva Savianthi (Pemohon Eksekusi/Penggugat) Nomor:
03/Pdt/Eks/2009/PN.Bgr. jo Nomor: 26/Pdt/G/2007/PN.Bgr, kedua belah pihak di
hadapan Pengadilan Negeri Bogor telah menyatakan adanya kesepakatan yang
mengikat kedua belah pihak untuk menyelesaikan sengketa hukum dalam perkara
Nomor: 03/Pdt/Eks/2009/PN.Bgr. jo Nomor: 26/Pdt/G/2007/PN.Bgr, secara
perdamaian dan sukarela sebagaimana yang diuraikan dalam Surat Kesepakatan yang
dibuat dan ditandatangani oleh kedua belah pihak tertanggal 26 Nopember 2009.
Bahwa dengan telah dicapainya kesepakatan yang dimaksud, para pihak telah
menyatakan bahwa sengketa hukum dalam perkara Nomor: 03/Pdt/Eks/2009/PN.Bgr.
jo Nomor: 26/Pdt/G/2007/PN.Bgr, telah selesai dengan tuntas.
Secara rinci, dalam kesepakatan perdamaian yang dibuat oleh para pihak
tercantum beberapa hal sebagai berikut.
1. Bahwa Pihak Pertama selaku Termohon Eksekusi/Tergugat dalam perkara
Nomor : 03/Pdt/Eks/2009/PN.Bgr. jo. No.26/Pdt/G/2007/PN.Bgr dan Pihak
Kedua selaku Pemohon Eksekusi/Penggugat dalam perkara Nomor :
03/Pdt/Eks/2009/PN.Bgr jo.No.26/Pdt/G/2007/PN.Bgr dengan ini menyatakan
bersepakat yang mengikat kedua belah pihak untuk menyelesaikan sengketa
hukum dalam perkara tersebut secara perdamaian ;
2. Bahwa Pihak Pertama menyatakan bersedia dan akan melaksanakan putusan
Pengadilan Negeri Bogor Nomor : 26/Pdt.G/2007/PN.Bgr tertanggal 09
Oktober 2007 jo putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor :
196/Pdt/2008/PT.Bandung tertanggal 11 Juli 2008, yang telah berkekuatan
hukum yang tetap tersebut yaitu akan mengosongkan dan meninggalkan
tanah/rumah milik Penggugat/Pemohon Eksekusi SHM No.108 dengan Surat
Ukur No.443/1995 tertanggal 22-11-1995, yang terletak di Jalan Ahmad yani
No.42 Rt.06/01 Kelurahan Tanah Sareal, Kecamatan Tanah Sareal, Kota
Bogor, dalam tenggang waktu 1 % (satu setengah) bulan terhitung sejak
tanggal 23 Oktober 2009 sampai dengan tanggal 8 Desember 2009,
menyatakan mencabut Laporan Polisi di Polwil Bogor daa Permohonan
Banding di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bogor, sesuai dengan Surat
Pemyataan tertar.ggal 12 Nopember 2009 ;
3. Bahwa Pihak Kedua menyatakanakan memberikan rumah sebagai rasa
kemanusiaan yang secara fisik telah dikuasai oleh pihak tergugat : Geraldine I
Flohr, serta mengenai pengurusan surat-surat rumah pengganti telah
diserahkan kepada Bapak Edi Tasman, BBA sesuai dengan surat penyataan
yang bersangkutan tertanggal 6 Oktober 2009, dan mencabut Laporan Polisi di
Polresta Bogor No.PoI.LP/635/IV/2008/SPK tertanggal 23 April 2008, sesuai
dengan Surat Pemyataan tertanggal 24 Nopember 2009 ;
4. Bahwa Pihak Pertama dan Pihak Kedua dengan ini menyatakan bahwa
sengketa hukum di Pengadilan Negeri Bogor dalam perkara Nomor :
03/Pdt/Eks /2009/PN.Bgr. jo. No.26/Pdt /G/2007/PN.Bgr telah selesai dengan
tuntas ;
5. Bahwa apabila kesepakatan ini tidak dipenuhi/tidak dilaksanakan sebagaimana
mestinya, maka kedua belah pihak setuju untuk kembali kepada amar putusan
Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut.
Begitupun antara Ny. Bambang Soeseno (Termohon Eksekusi I/Tergugat I
dengan Ny.Murni Samosir (Pemohon Eksekusi/Penggugat) dalam perkara Nomor
11/Pdt/Eks/2008/PN. Bgr jo Nomor 13/Pdt/G/2002/PN.Bgr, kedua belah pihak
menerangkan kepada kami dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, bahwa
sehubungan dengan penetapan Ketua Pengadilan Negerl Bogor
No.11/Pdt/Bks/2008/PN.Bgr jo No. 13/Pdt/G/2002/PN.Bgr tertanggal 24 Juni 2008,
maka antara Pemohon Eksekusi dan Termohon Eksekusi telah dicapai kesepakatan
untuk menyelesaikan sengketa hukum dalam perkara Perdata Nomor :
13/PDT.G/2002/PN.BGR jo. No. 5l/PDT/2004/|PT.BDG jo. No: 343/K/PDT/2005
secara perdamaian, sebagaimana yang dituangkan dalam Kesepakatan Perdamaian
tertanggal 14 April 2009 dan Akta Perdamaian Nomor 02 tertanggal 8 April 2010
yang dibuat dihadapan Indraswari, SH, Notaris di Bogor . Bahwa dengan telah
tercapainya kesepakatan perdamaian tersebut, kedua belah pihak menyatakan bahwa
sengketa hukum dalam perkara Perdata Nomor : 13/PDT/G/2002/PN.BGR jo. No.
51/PDT/2004/PT.BDG jo. No:343/PDT/2005 tersebut telah selesai dengan tuntas .
Secara rinci, dalam kesepakatan perdamaian yang dibuat oleh para pihak tercantum
beberapa hal sebagai berikut.
1. Bahwa pihak Kedua bersedia mencabut perkara Peninjauan Kembali (PK) di
Mahkamah Agung Republik Indonesia Jakarta jo Putusan Mahkamah Agung
RI, No.343/Pdt/2005 tertanggal 7 November 2006 jo Putusan Pengadilan
Tinggi Bandung No.51/Pdt/2004 tertanggal 20 Maret 2004 jo Putusan
Pengadilan Negeri Bogor No.13l/Pdt/G/2002 tertanggal 8 Januari 2003;
2. Bahwa pihak Pertama bersedia memberikan sebagian dan tanah dan bangunan
yang terletak di Jalan Sekolah Pertukangan No.2 Sempur, Bogor kepada Pihak
ke dua sebagaimana gambar yang telah disepakati oleh kedua belah pihak;
3. Bahwa segala biaya-biaya yang timbul berkenaan dengan Pemecahan
Sertifikat dan balik nama Sertifikat Hak Milik Nomor 20/Bantarjati/Kota
Bogor dibebankan kepada Pihak ke dua.
Dalam proses mediasi yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa
dituangkan dalam Kesepakatan Perdamaian yang dibuat oleh masing-masing pihak
dan Akta Perdamaian yang dibuat di hadapan Notaris. Dengan tercapainya
kesepakatan perdamaian tersebut, kedua belah pihak menyatakan bahwa sengketa
hukum diantara mereka sebagaimana telah diputus oleh pengadilan yang telah
memperoleh hukum tetap dinyatakan telah selesai dan tuntas dengan dikuatkan oleh
Berita Acara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap
Secara Perdamaian, ditandatangani oleh masing-masing pihak (pemohon
eksekusi/penggugat dan termohon eksekusi/tergugat, dengan disaksikan oleh para
saksi dan pihak Pengadilan Negeri Bogor (Panitera).
3. Pengintegrasian Forum Mediasi Dalam Sistem Peradilan Perdata
Persoalan penting yang harus diperhatikan dalam penyelesaian suatu sengketa
adalah mengenai upaya perdamaian (mediasi) dengan menerapkan azas sederhana,
cepat dan biaya ringan dalam pemeriksaan perkara perdata. Dalam rangka
mewujudkan proses sederhana, cepat dan murah sesuai dengan azas hukum acara
perdata, maka diaturlah upaya perdamaian yakni dengan cara mengintegrasikan
proses mediasi di Pengadilan. Hal ini diatur dalam pasal 130 ayat (1) HIR (Herziene
Indonesisch Reglement) disebutkan bahwa: “ Jika pada hari yang ditentukan itu,
kedua belah pihak datang, maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan Hakim Ketua
mencoba akan memperdamaikan mereka “.1
Pada ayat di atas sangat jelas keharusan Hakim Ketua Pengadilan Negeri
untuk mengupayakan perdamaian terhadap perkara perdata yang diperiksanya. Dalam
kaitannya ini hakim harus dapat memberikan pengertian, menanamkan kesadaran dan
keyakinan kepada para pihak yang berperkara, bahwa penyelesaian perkara dengan
perdamaian merupakan suatu cara penyelesaian yang lebih baik dan lebih bijaksana
daripada diselesaikan dengan putusan Pengadilan, baik dipandang dari segi waktu,
biaya dan tenaga yang digunakan. Namun terkadang dalam kenyataannya penerapan
azas-azas beracara perdata tersebut tidak terlaksana sesuai dengan apa yang
diharapkan para pencari keadilan dalam menyelesaikan perkara mereka, sehingga
banyak anggapan yang timbul dari masyarakat bahwa proses mediasi bukan lagi
menjadi suatu cara tepat dalam menyelesaikan sengketa.
Terdapat beberapa alasan mengapa mediasi sebagai bagian dari alternatif
penyelesaian sengketa mulai mendapat perhatian yang lebih di Indonesia seperti :
1). Faktor Ekonomis, dimana alternatif penyelesaian sengketa memiliki potensi
sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa yang lebih ekonomis, baik dari
sudut pandang biaya maupun waktu.
2). Faktor ruang lingkup yang dibahas, alternatif penyelesaian sengketa memiliki
kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara lebih luas,
komprehensif dan fleksibel.
3). Faktor pembinaan hubungan baik, dimana alternatif penyelesaian sengketa
yang mengandalkan cara-cara penyelesaian yang kooperatif sangat cocok bagi
mereka yang menekankan pentingnya hubungan baik antar manusia
(relationship), yang telah berlangsung maupun yang akan datang.
4). Adanya tuntutan bisnis Internasional, yang akan memberlakukan sistem
perdagangan bebas, meningkatnya jumlah dan bobot sengketa di masyarakat,
sehingga perlu dicari cara dan sistem penyelesaian sengketa yang cepat,
efektif dan efesien.
5). Era globalisasi mengharuskan adanya suatu sistem penyelesaian sengketa yang
dapat menyesuaikan dengan laju kecepatan perkembangan perekonomian dan
perdagangan yang menuju pasar bebas (free market) dan persaingan bebas
(free competition) dan untuk itu harus ada suatu lembaga yang
mewadahinya138.
Selanjutnya, sebagaimana kita ketahui bahwa latar belakang mengapa
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) mewajibkan para pihak menempuh
mediasi sebelum perkara diputus oleh hakim melalui Peraturan Mahkamah Agung
(Perma), didasari atas beberapa alasan, yaitu:139
1). Proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara.
2). Proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih cepat
dan murah dibandingkan dengan proses litigasi.
3). Pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para pihak
untuk memperoleh rasa keadilan.
138 http://www.litbangdiklatkumdil.net/publikasi-litbang/197-naskah-akademis-mediasi.html diakses tanggal 20 Februari, 2013, jam: 21.00 WIB.139 Anonimous. Buku Komentar Peraturan Mahkamah Agung RI No. 01 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan. Dibuat atas kerjasama MARI, Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Indonesia Institute for Conflikct Transformation (IICT), 2008 hlm. 7-12
4). Institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat
dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam menyelesaikan
sengketa.
5). Trend penyelesaian hukum di berbagai negara di dunia.
Dalam hal tertunggaknya perkara dan ketidakpuasan para pencari keadilan
terhadap putusan pengadilan, selain dalam rangka mewujudkan proses sederhana,
cepat dan murah sesuai dengan azas hukum acara perdata, MA mencoba
mengintegrasikan proses penyelesaian sengketa alternatif (non litigasi ) dalam hal ini
mediasi ke dalam proses peradilan (litigasi). Yaitu dengan menggunakan proses
mediasi untuk mencapai perdamaian pada tahap upaya damai di persidangan dan hal
inilah yang biasa disebut dengan lembaga damai dalam bentuk mediasi atau lembaga
mediasi. Model lembaga mediasi yang diterapkan di Indonesia sangat mirip dengan
mediasi yang diterapkan di Australia, yaitu sistem mediasi yan berkoneksitas dengan
pengadilan (mediation connected to the court). Pada umumnya yang bertindak
sebagai mediator adalah pejabat pengadilan. Dengan demikian, compromise solution
yang diambil bersifat paksaan (compulsory) kepada kedua belah pihak. Namun agar
resolusinya memiliki potensi memaksa, harus lebih dulu diminta persetujuan para
pihak dan jika mereka setuju, resolusi mengikat dan tidak ada upaya apapun yang
dapat mengurangi daya kekuatannya.140
Dalam kaitannya dengan pengintegrasian mediasi sebagai penyelesaian
sengketa non litigasi dalam sistem peradilan perdata, Adi Sulistiyono dan Muhammad
Rustamaji, mengatakan:141
“…pengembangan penyelesaian sengketa non-litigasi dalam rangka untuk mendayagunakan alternatif penyelesaian sengketa bisnis tampaknya sangat penting untuk segera direalisir. Pengembangan di sini jelas tidak hanya sekadar menyiapkan perangkat hukum positifnya. Akan tetapi yang lebih penting justru bagaimana mengarahkan atau menciptakan suatu kondisi agar penyelesaian sengketa non-litigasi menjadi bagian dari perilaku masyarakat ketika mereka hendak menyelesaikan sengketa bisnis.”
Pengintegrasian mediasi dalam pengadilan apabila dikaitkan dengan teori
sistem hukum dari Lawrence M. Friedman dengan melihat melihat implementasi
mediasi, maka sistem hukum yang terdiri atas tiga elemen, yaitu elemen struktur,
140 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung: PT Aditya Bakti, 2003), hlm. 50-51.141 Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi…Op.Cit, hlm.133.
substansi dan budaya hukum.142 Begitupun dalam implementasi pengintegrasian
mediasi, yang dapat dilihat dari ketiga elemen tersebut, sebagai berikut:
Kelembagaan hukum adalah bagian dari struktur hukum seperti Mahkamah
Agung, dan badan-badan peradilan di bawahnya beserta aparaturnya. Hakim
pengadilan sebagai struktur pengadilan memiliki peran yang penting di dalam
meningkatkan keberhasilan mediasi. Keberhasilan dan kegagalan mediasi ditopang
oleh kemampuan dan kecakapan hakim mediator di dalam menjalankan perannya.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan merupakan salah satu elemen substansi hukum. Elemen substansi ini
dapat memberikan kepastian kepada para pihak yang bersengketa untuk menemukan
jalan keluar dari sengketa yang sedang dihadapi. Peraturan mediasi ini paling tidak
berisi mengenai substantif dan prosedural mediasi.
Terkait dengan budaya hukum ini, mediasi di pengadilan sesungguhnya
merupakan produk dari sistem hukum yang cara pemanfaatan dan penggunaannya
sangat tergantung dengan nilai dan keyakinan masyarakat sebagai pengguna mediasi
tersebut. Nilai dan keyakinan merupakan bagian dari budaya masyarakat. Jika
masyarakat menilai dan berkeyakinan bahwa mediasi dapat berperan sebagai sarana
penyelesaian masalah sengketa yang dihadapi maka tujuan mediasi akan tercapai
sebagai mekanisme penyelesaian sengketa yang cepat dan biaya ringan, reputasi para
pihak tidak terganggu, dan hubungan baik tetap terjaga.
Dalam kaitannya dengan sistem hukum ini, Adi Sulistiyono143, menyatakan
bahwa:
“…sistem hukum berarti tidak sekedar melibatkan hukum positif, lembaga/institusi hukum, atau aparat penegak hukum, tapi juga budaya masyarakat. Hal ini dianggap penting…karena faktor budaya hukum seringkali terlupakan manakala terjadi wacana permasalahan hukum di tengah-tengah masyarakat.”
Keberhasilan mediasi di pengadilan ditentukan oleh tiga aspek yang satu sama
lain saling berhubungan. Tiga aspek itu digambarkan sebagai bangunan segitiga yang
satu sama lain saling menopang. Jika salah satu aspek ini hilang atau tidak tercapai
dalam proses mediasi, maka mediasi akan gagal. Keberhasilan mediasi di pengadilan
ditentukan oleh aspek substantif, prosedural dan psikologis. Aspek substantive
keberhasilan mediasi menyangkut kepuasan khusus yang diperoleh para pihak di
142 Lawrence M. Friedman, Op.Cit, hlm. 7-12143 Adi Sulistiyono, Membangun Paradigma Penyelesaian Sengketa…Op.Cit, hlm.48.
dalam menyelesaikan sengketanya. Aspek keberhasilan mediasi berikutnya adalah
aspek prosedur. Yang di maksud aspek prosedur adalah adanya perasaan puas yang
dialami para pihak mengikuti proses mediasi dari awal sampai akhir. Kepuasan
prosedur ditandai oleh adanya perlakuan yang fair antara para pihak di dalam
menegosiasikan sengketa yang dialami. Keberhasilan mediasi dari aspek prosedur ini
dapat pula dilihat dari netralitas mediator dalam proses mediasi untuk mendengarkan
dan memahami dengan baik perasaan dan bahasa para pihak sehingga diantara para
pihak tidak ada yang merasa dirugikan.
Keberhasilan mediasi dari aspek psikologis adalah menyangkut kepuasan
emosi para pihak yang terkendali, saling menjaga perasaan, menghormati, dan penuh
dengan keterbukaan. Sikap-sikap para pihak yang muncul untuk menyelesaikan
sengketa dengan baik dapat mendorong lahirnya kepuasan psikologis diantara para
pihak. Merasa dihargai dalam forum mediasi oleh para pihak yang terlibat dapat ikut
mendorong terciptanya proses mediasi yang berhasil.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Banyaknya terjadi permasalahan sengketa eksekusi atas putusan pengadilan
perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, disebabkan oleh
berbagai faktor sebagai berikut: 1). Faktor hukum, yakni tidak dapat
dilaksanakannya eksekusi adalah adanya perkara bantahan yang diajukan oleh
termohon eksekusi atas permohonan eksekusi yang diajukan oleh pemohon
eksekusi, 2). Faktor ketiadaan biaya, yakni banyaknya biaya yang dikeluarkan
untuk mengajukan eksekusi, 3). Faktor objek perkara kabur yakni pada waktu
pengadilan meletakkan sita eksekusi atau melaksanakan eksekusi terhadap
eksekusi riil atau pengosongan tempat yang dikuasai oleh termohon eksekusi,
pemohon eksekusi kesulitan menentukan batas-batas tanah yang akan
dieksekusi, 4). Faktor objek perkara telah berpindah tangan kepada pihak lain,
5). Faktor termohon eksekusi tidak mempunyai harta baik bergerak ataupun
tidak bergerak untuk diletakkan sita eksekusi untuk pemenuhan isi putusan, 6).
Faktor kurangnya dukungan aparat penegak hukum dalam pelaksanaan
eksekusi, yaitu pihak Kepolisian, 7). Faktor masyarakat dan kebudayaan,
ditunjukkan terbatasnya pengetahuan hukum dan kesadaran hukum yang
rendah, dan 8). Terbatasnya faktor sarana dan prasarana, yakni segala hal
perangkat pendukung baik perangkat lunak maupun keras yang dapat
memberikan andil terlaksananya eksekusi dengan lancar.
2. Forum mediasi sangat diperlukan dalam penyelesaian alternatif sengketa
eksekusi putusan pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap dalam rangka mengatasi masalah penumpukan perkara di
pengadilan serta memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan
dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat
memutus (ajudikatif). Penerapan mediasi atas eksekusi yang tidak dapat
dilaksanakan, diterapkan oleh Pengadilan Negeri Bogor menunjukkan bahwa
pengintegrasian mediasi dapat berlaku atas putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap namun tidak dapat dilakukan eksekusi
karena adanya berbagai hambatan. Upaya penyelesaian alternatif sengketa
eksekusi atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap melalui mediasi adalah juga sejalan dengan fungsi mewujudkan proses
sederhana, cepat dan murah sesuai dengan azas hukum acara perdata, selain
juga meminimalkan tertunggaknya perkara dan ketidakpuasan para pencari
keadilan terhadap putusan pengadilan.
3. Proses mediasi menurut Perma Nomor 1 Tahun 2008 dibagi ke dalam tiga
tahap, yaitu tahap pramediasi, tahap pelaksaaan mediasi dan tahap akhir
mediasi. Dalam praktek, mediasi dapat dilakukan setelah adanya putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap namun tidak dapat dilakukan
eksekusi. Penerapan mediasi atas eksekusi yang tidak dapat dilaksanakan,
diterapkan oleh Pengadilan Negeri Bogor menunjukkan bahwa
pengintegrasian mediasi dapat berlaku pasca putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap namun tidak dapat dilakukan eksekusi
karena adanya berbagai hambatan. Dengan kata lain, temuan hasil penelitian
pada Pengadilan Negeri Bogor dapat menjadi salah satu model penyelesaian
atas permasalahan pelaksanaan eksekusi terhadap putusan pengadilan perdata
yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap melalui forum mediasi
Pengintegarian yang demikian akan membangun sistem hukum peradilan
perdata Indonesia sebagai salah satu terobosan agar persengketaan eksekusi
dapat diakhiri dengan pendekatan win-win solution. Terdapat ada 3 (tiga)
faktor yang mempengaruhi penyelesaian sengketa melalui mediasi di
pengadilan negeri proyek percontohan Mahkamah Agung dapat berhasil, yaitu
para pihak yang bersengketa beritikad baik, hakim mediator berusaha dengan
sungguh-sungguh mendorong para pihak mencapai kesepakatandan ketiga
adalah jenis sengketanya mudah diselesaikan. Ketiga faktor tersebut sampai
dengan saat ini masih relevan dalam rangka mewujudkan pengintegrasian
mediasi pada sistem peradilan perdata Indonesia.
B. Saran
Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan sumbangsarannya terkait
dengan temuan hasil penelitian, yakni sebagai berikut:
1. Diperlukan penguatan lebih lanjut dalam rangka pengintegrasian mediasi
dalam sistem peradilan perdata Indonesia, yakni melalui pembentukan
Undang-undang tentang pengintegrasian mediasi dalam sistem peradilan
perdata Indonesia, dengan mengatur lebih lanjut tentang pelaksanaan mediasi
yang integral, terutama terhadap sengketa (konflik) eksekusi putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal ini perlu
diatur dan dipertegas hubungan instansional dan fungsional antara instansi
terkait seperti pihak keamanan dalam mendukung pelaksanaan eksekusi.
2. Selain menyangkut pengintegrasian medias ke dalam sistem peradilan perdata
Indonesia, diperlukan sistem pengawasan oleh pihak Mahkamah Agung dalam
memonitor pelaksanaan integrasi mediasi yang dilakukan oleh pengadilan
negeri (termasuk pengadilan agama) dalam menjalankan fungsi mediasi.
Peningkatan pengawasan ini diperlukan untuk menekan perkara yang masuk
pada Mahkamah Agung selain juga mewujudkan peradilan yang cepat,
sederhana dan biaya murah.
3. Terhadap perkara yang masuk ke Mahkamah Agung, sebaiknya juga
dilakukan mediasi kembali (remediasi) dengan membentuk unit mediasi kasasi
perkara.Tujuan dari pembentukan remediasi ini adalah juga terkait dengan
optimalisasi pengintegrasian mediasi dan perwujudan peradilan yang cepat,
sederhana dan biaya murah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Abdul Wahab Khalaf. Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa Masdar Helmy, Bandung: Gema
Risalah Press, 1996.
Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asaz-Asaz Hukum Tata Negara, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1991.
Achmad Ali Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta:
Gunung Agung Tbk, 2002.
Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima,
Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka, 2009.
Ahmad Hasan Munawir, Al Munawir Kamus Arab Indonesia, Ponpes Al Munawir
Krapyak, Yogyakarta, 1984.
A. Muktiarto, Mencari Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
___________, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Al Kahlani, Imam Muhammad bin Isma’il. Subulussalam, Juz III, Mustafa Al Baby
Al Halaby, Mesir, 1973.
Al Qazwani, Abi Abdillah bin Yazid, Sunan Ibnu Majah, Jilid II, Isa Al Baby Al
Halaby, Mesir, 1989.
A.T. Hamid, Kamus Yurisprudensi dan Beberapa Pengertian tentang Hukum Acara
Perdata, Surabaya: Bina llmu, 1984.
Azhari, Negara Hukum Indonesia: Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-
unsurnya, Jakarta: UI-Press, 1995.
A. Patra M. Zen dan Maria Louisa, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta,
AusAid, YLBHI, PSHK dan IALDF, 2006.
Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Jakarta:
Sunar Grafika, 1992.
Bentham, Jeremy. The Theory of Legislation (Teori Perundang-undangan: Prinsip-
prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), diterjemahkan oleh
Nurhadi, Bandung: Nusamedia & Nuansa, 2006.
Christopher, W. Moore, The Mediation Process; Practical Strategies for Resolving
Conflict, Jossey Bass Inc, Publishers, San Fransisco, California, 1986.
Darji Darmodihardjo, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum
Indonesia, Jakarta: Penerbit PT. Radjagrafindo Persada, 1996.
Friedman, Lawrence M. American Law An Introduction Second Edition (Hukum
Amerika Sebuah Pengantar) Penerjemah Wishnu Basuki, Jakarta: Tatanusa,
2001.
___________, American Law: An invaluable guide to the many faces of the law, and
how it affects our daily our daily lives, W.W. Norton & Company, New York,
1984.
___________, Legal Culture and Social Development, Stanford Law Review, New
York.
___________Law in America: a Short History, Modern Library Chronicles Book,
New York, 2002.
Gatot Sumartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2006.
Gifford, Donal G. Legal Negotiation Theory and Applications, West Publishing Co,
St. Paul, Minnesota, 1989.
Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2001.
Hadari Nawawi, Metodee Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gajahmada
University Press, 1995.
Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No
7/1989. cet ke IV, Jakarta ; Sinar Garfika, 2007.
______________, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, 2005.
_____________. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta :
Sinar Grafika, 2005.
_____________, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1997.
H. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: CV.
Mandar Maju, 1992.
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1989.
Keraf, A. Sonny. Pasar Bebas Keadilan dan Peran Pemerintah, Yogyakarta:
Kanisius, 1996.
Kimberlee, Kovach, Mediation Principle and Practice, Paul West Publishing Co,
USA, 1994.
Komar, Kantaatmadja, Beberapa Masalah dalam Peneraan ADR di Indonesia, dimuat
dalam Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia, Editor Hendarmin,
Djarab, dkk, Bandung: Citra Adithya Bakti, 2001.
Levi, Michael. Tracing and Recovering the Proceeds of Crime, Cardiff University,
Wales, UK, Tbilisi, Georgia, June 2004.
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktek Peradilan
Indonesia, Jakarta, Djambatan. 1998.
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung:
Mandar Maju, 2003.
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cet.VI, Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006.
Mahkamah Agung RI, Buku Komentar Peraturan Mahkamah Agung RI No. 01
Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan.
_____________, Naskah Akademis Tentang Peradilan Anak, Mahkamah Agung RI,
Tahun 2005.
_____________, 2004, Mediasi dan Perdamaian. Disampaikan oleh H. Soeharto
(ketua steering comitte Penyusunan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun
2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan), dalam pengarahan dalam
rangka Pelatihan Mediator Dalam Menyambut Penerapan Mediasi . Jakarta.
______________. Buku Komentar Peraturan Mahkamah Agung RI No. 01 Tahun
2008 tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan. Dibuat atas kerjasama
MARI, Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Indonesia
Institute for Conflikct Transformation (IICT), 2008.
_____________, Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Naskah
Akademis, mengenai: Court Dispute Resolution, 2003.
_____________, Mediasi dan Perdamaian, Proyek pendidikan dan pelatihan tehnis
fungsional, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2004.
Mappong, Zainuddin, Eksekusi Putusan Serta Merta: Proses Gugatan dan Tata Cara
Membuat Putusan serta Pelaksanaan Eksekusi dalam Perkara Perdata, Cet. I,
Malang: Tunggal Mandiri Publishing, 2010.
Mas Achmad Sentosa & wiwik Awiati, Mediasi dan Perdamaian, Mahkamah Agung
RI, 2004.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1998.
Miswardi, Hukum Acara Perdata, Bukit Tinggi: STAIN Press, 2005.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan
Karya Tulis), Bandung: Alumni, 2002.
____________, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,
Bandung: Bina Cipta, 1990.
___________, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung:
Binacipta, 1995
Mochammad Djais, Pikiran Dasar Hukum Eksekusi, Semarang : Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, 2000.
Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Cet I Depok:
BP STIH “IBLAM”, 2004.
Muhammad Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung, Citra Aditya
Bhakti, 1990.
Mukhsin Jamil (Ed), Mengelola Konflik Membangun Damai, Semarang: Walisongo
Mediation Centre, 2007.
Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2003.
M. Yamin Awie, Permasalahan Sita dan Eksekusi, Bangka Belitung: PPHIM, 2006.
Notohamidjojo, Makna Negara Hukum Bagi Pembaharuan Negara dan Wibawa
Hukum Bagi Pembaharuan Masyarakat di Indonesia, Jakarta: Badan Penerbit
Kristen, 1970.
O. Bidara dan Martin, P Biadara, Hukum Acara Perdara, Jakarta: Pradnya
Paramita,1987.
Otje Salman dan Eddy Damian (ed), Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan
dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja,S.H.,LL.M., Bandung: Alumni, 2002.
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003.
Rawls, John. A Theory of Justice (Revised Edition) Oxford Universitu Press, 1999.
Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung:
Alumni, 1999.
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam
Teori dan Praktek, Bandung : Mundur Maju, 1989.
Riskin Leonard L. dan James E. Westbrook, Dispute Resolution and Lawyers, Paul
West Publishing Co, USA, 1987.
R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, Bogor: Politeia, 1980.
R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Jakarta : BPHN, 1977.
Sabiq, Sayyid. Fiqhussunna, Juz III, Daarul Baayan, Kuwait, 1971.
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks ke-Indonesian, Jakarta:
Utomo, 2006.
Siregar, Bismar. Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan, Jakarta: Gema Insarti Press,
1995.
Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara,
Bandung: Alumni, 1992.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: Rajawali, 1985.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Ul.Press, 1986.
____________, Sosiologi suatu Pengantar, Rajawali, Jakarta, 1982.
Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan
Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, Bandung: Alumni, 2000.
____________, Peranan Itikad Baik Dalam Hukum Kontrak dan Perkembangannya,
Serta Implikasinya Terhadap Hukum dan Keadilan, Pidato diucapkan pada
Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya pada Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, tanggal 30 Agustus 2000.
Subekti dan Tjitrosudikno, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya
Paramita, 2001.
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty,
1996.
____________, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, Yogyakarta,
1993.
Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & arbiterase proses
Pelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000.
Soetarwo Soemowidjoyo, Eksekusi oleh PUPN, Pusat Pendidikan dan Latihan
Keuangan, Balai Pendidikan dan Latihan Keuangan, Departemen Keuangan
Republik Indonesia, 1995.
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum
Nasional, Jakarta: Kencana, 2009.
Vergouwen, J.C. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Jakarta: Pustaka
Azat,1986.
Wirjono R Prodjodikoro, Himpunan Peraturan Hukum Acara Perdata di Indonesia,
Sinar Bandung: Bandung, 1988.
Hasil Penelitian, Makalah, Artikel, Jurnal, Internet, Mass Media, dll.
Adi Sulistiyono, Membangun Paradigma Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi Dalam
Rangka Pemberdayaan Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis/Hak
Kekayaan Intelektual, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro, tahun 2002
A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaran Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisa Mengenai
Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I
– Pelita IV, Disertasi, Fakultas Pascasarjana UI, 1990.
Amstrong Sembiring: http://publikana.com.
Andi Mattalatta, Politik Hukum Peraturan Perundang-undangan,
www.djpp.depkumham.go.id.
Arry Mth. Soekowaty, Fungsi Relevansi Filsafat Hukum Bagi Rasa Keadilan Dalam
Hukum Positif, Makalah Universitas Gadjah Mada, 2009.
Artikel Utama, Jurnal Keadilan,Vol. 2 No. 1 Tahun 2002, hlm. 3.
Bagir, Manan, Sambutan dalam pembukaan Lokakarya yang diselenggarakan Pusat
Pengkajian Hukum bekerjasama dengan Mahkamah Agung tanggal 8 dan 9
Oktober 2002 di Jakarta, tentang Arbitrase dan Mediasi.
Firdaus, Politik Hukum Indonesia (Kajian Dari Sudut Pandang Negara Hukum,
Jurnal Hukum Islam, Vol.12 Nomor 10 September 2005.
Harahap, M. Yahya “Mencari Sistem Alternatif Penyelesaian Sengketa”, Mimbar
Hukum, No. 21.
Hasanuddin, Kajian Tentang Hambatan Eksekusi Putusan Perkara Perdata (Studi
Kasus di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Aceh), Lihat:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/5183
Mediation: “A process to Regain Control Of Your Life”.
Artikel.http://www.mediate.com/. P.1.available on 4 oktober 2006.
“Mekanisme Informasi Penyelesaian Sengketa di Tingkat Komunitas di Sumatera
Barat.“ Bank Dunia, Januari 2005.
Nailul Sukri, Kedudukan Mediasi dan Tahkim di Indonesia, Skripsi, Fakultas Syariah
IAIN Syarif Hidayatullah, 1992.
Najamuddin, Permasalahan Mediasi Dalam Teori dan Praktek di Pengadilan Agama,
http://www.badilag.net.
Nasution, Bismar. “Menuju Penyelersaian Sengketa Alternatif”, Makalah,
disampaikan pada seminar Pemantapan Lembaga Penyelesaian Sengketa
Alternatif Bidang Kelautan dan Perikanan, tanggal 18Juni 2003, Medan.
“Persentase Keberhasilan Mediasi Masih Rendah”,
http://www.lictor.id/dokumen/Persentase.20 Keberhasilan.
Ramli Rizal, Eksekusi Perkara Perdata Di Pengadilan Negeri Padang, Program
Pascasarjana Universitas Andalas Padang, 2012.
Romli Atmasasmita, Menata Kembali Masa Depan Pembangunan Hukum Nasional,
Makalah disampaikan dalam “Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII”
di Denpasar, 14-18 Juli 2003.
Siddiki, Mediasi Di Pengadilan Dan Asas Peradilan Sederhana, Cepat Dan Biaya
Ringan, www.badilag.net.
Sri, Mamudji, Pengantar Mediasi, disampaikan pada penataran mediator hakim di
Jakarta, FHUI-IICT-bekerjasama dengan Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2005.
Tjok Istri Putra Astiti, Pemberdayaan Hahim Perdamaian Desa Dalam Penyelesaian
Kasus Adat di Luar Pengadilan, Buletin Musyawarah 1 Juli 1997.
Wahyu Widiana, Efforts to Enhance Access to Justice in Indonesian Religious Courts
: strategic responses to survey findings, makalah disampaikan pada konferensi
IACA di Istanbul, Oktober 2009.
Wahyu Widiana, “Upaya Penyelesaian Perkara Pada Pengadilan Agama, Kaitannya
Dengan Peran B p-4”. http://pa-sentani.net/index/php/Mimbar-Hukum/Upaya-
Penyelesaian-Perkara-Pada-Pengadilan-Agama-Kaitannya-Dengan-Peran-
BP-4.html.
Peraturan Perundang-undangan
Al Qur’an
Al Hadist
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Het Herzinie Inland Reglemen (HIR)
Reglement Buiten Gewesten (RBG)
KUHPerdata
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi
Yudisial.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif penyelesaian Sengketa.
Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor1 Tahun 2008
Tentang Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I : PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.......................................................................1
B. Pokok Permasalahan.............................................................................8
C. Tujuan Penulisan...................................................................................9
D. Manfaat Penulisan.................................................................................9
E. Metode Penelitian.................................................................................10
BAB II : PEMBAHASAN.........................................................................................12
A. Tinjauan Kepustakaan...........................................................................12
1. Teori Pembuktian Dalam Hukum Perdata......................................12
2. Doktrin Pengelompokan Alat Bukti................................................25
B. Analisis Keabsahan Transaksi Elektronik Dalam Perspektif
Sistem Hukum Perdata dan Menurut UU ITE......................................26
BAB III : PENUTUP...................................................................................................37
A. Kesimpulan...........................................................................................37
B. Saran.....................................................................................................38
DAFTAR PUSTAKA