penggunaan metode analytical hierarchy …/penggunaan...untuk penilaian risiko lontaran piroklastik...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
PENGGUNAAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)
UNTUK PENILAIAN RISIKO LONTARAN PIROKLASTIK DI LERENG
TIMUR GUNUNGAPI MERAPI
TAHUN 2012
SKRIPSI
Oleh:
Danang Tri Wibowo
K5408023
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PENGGUNAAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)
UNTUK PENILAIAN RISIKO LONTARAN PIROKLASTIK DI LERENG
TIMUR GUNUNGAPI MERAPI
TAHUN 2012
Oleh:
Danang Tri Wibowo
K5408023
SKRIPSI
Ditulis dan Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar
Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Geografi
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Danang Tri Wibowo, PENGGUNAAN METODE ANALYTICAL
HIERARCHY PROCESS (AHP) UNTUK PENILAIAN RISIKO
LONTARAN PIROKLASTIK DI LERENG TIMUR GUNUNGAPI
MERAPI TAHUN 2012.Skripsi.Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan. Universitas Sebelas Maret. Surakarta, Agustus 2012.
Tujuan penelitian ini adalah : (1) Mengetahui bahaya lontaran piroklastik
jatuhan di daerah penelitian. (2) Mengetahui kerentanan masyarakat di daerah
penelitian. (3) Mengetahui keberadaan penduduk dan sarana sosial ekonomi
masyarakat di daerah penelitian. (4) Mengetahui kapasitas masyarakat di daerah
penelitian. (5) Mengetahui tingkat risiko lontaran piroklastik di daerah penelitian.
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini menggunakan metode
penelitian deskriptif dengan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP).
Teknik sampling yang digunakan adalah Purposive Sampling. Purposive
Sampling digunakan untuk memilih memilih masyarakat yang akan dijadikan
narasumber di setiap desa yang diteliti. Teknik pengumpulan data dengan
menggunakan dokumentasi, observasi langsung, dan wawancara.
Hasil penelitian ini adalah : (1) Tingkat bahaya di daerah penelitian
didominasi oleh tingkat bahaya rendah yang terdiri dari delapan desa (47,05 %),
tingkat bahaya tinggi yang terdiri dari enam desa (35,29 %), dan tingkat bahaya
sedang terdiri dari tiga desa (17,64 %) yang dipengaruhi oleh jarak desa dari pusat
erupsi, jenis dan ukuran piroklastik jatuhan yang mencapai desa, ketebalan
endapan piroklastik, serta dampak yang ditimbulkan yaitu kesulitan air bersih dan
kerusakan lahan pertanian. (2) Tingkat kerentanan di daerah penelitian didominasi
oleh tingkat kerentanan rendah yang terdiri dari sepuluh desa (58,8 %), tingkat
kerentanan sedang yang terdiri dari lima desa (29,41 %), dan tingkat kerentanan
tinggi yang terdiri dari dua desa (11,76 %) yang dipengaruhi oleh jumlah
penduduk usia rentan, sikap dan partisipasi masyarakat, ketersediaan air bersih,
kondisi bangunan, akses jalan dan alat transportasi, serta kesejahteraan
masyarakat. (3) Tingkat keberadaan di daerah penelitian didominasi oleh tingkat
keberadaan rendah yang terdiri dari sembilan desa (52,94 %), tingkat keberadaan
tinggi yang terdiri dari empat desa (23,52 %) dan tingkat keberadaan sedang yang
terdiri dari empat desa (23,52 %) yang dipengaruhi oleh kepadatan penduduk,
keberadaan sarana social ekonomi, infrastruktur sarana air bersih, dan kekayaan
desa. (4) Tingkat kapasitas di daerah penelitian didominasi oleh tingkat kapasitas
tinggi yang terdiri dari delapan desa (47,05 %), kapasitas rendah yang terdiri dari
lima desa (29,41 %), dan tingkat kapasitas sedang yang terdiri dari empat desa
(23,52 %) yang dipengaruhi oleh kapasitas masyarakat, kapasitas institusional dan
menejemen bencana, dan kapasitas ekonomi. (5) Tingkat risiko di daerah
penelitian didominasi oleh tingkat risiko rendah yang terdiri dari sembilan desa
(52,94 %), tingkat risiko sedang yang terdiri dari tujuh desa (41,17 %), dan
tingkat risiko tinggi yang terdiri dari satu desa (5,88 %) yang dipengaruhi oleh
tingkat bahaya, tingkat kerentanan, tingkat keberadaan, dan tingkat kapasitas desa.
Kata kunci : AHP, penilaian risiko, bencana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRACT
Danang Tri Wibowo, EMPLOYING ANALYTICAL HIERARCHY
PROCESS (AHP) METHOD FOR RISK ASSESSMENT OF PYROCLASTIC FALLOUT IN EAST SLOPE OF MERAPI VOLCANO IN 2012. Skripsi.
Surakarta: Faculty of Teacher Training and Education. Sebelas Maret
University. Surakarta, in August 2012.
The purpose of this study were: (1) Knowing the level of pyroclastic fallout
hazards in the area of research. (2) Knowing the vulnerability of communities in
the area of research. (3) Knowing the existence of socio-economic population and
community facilities in the area of research. (4) Knowing the capacity of
communities in the area of research. (5) Knowing the level of risk pyroclastic
fallout the area of research. In accordance with the purpose of research, this research uses descriptive
method with the approach of Analytical Hierarchy Process (AHP ). Sampling
technique used is Purposive Sampling. Purposive sampling used to select the
people choose who will be the guest speaker at each of the villages studied. Data
collection techniques using the documentation, direct observation, and interviews.
The results of this study were: (1) The danger in other research areas are
dominated by low-level hazards which consists of eight villages (47.05%), then a
high level of danger which consists of six villages (35.29%), and the danger of
being consists of three villages (17.64%) are influenced by the distance from the
village center of eruption, type and size of pyroclastic fallout that reached the
village, the thickness of the pyroclastic deposits, as well as the impact that clean
water shortages and damage to agricultural land. (2) The vulnerability of the
other research areas are dominated by the low susceptibility of ten villages
(58.8%), then the level of vulnerability is made up of five villages (29.41%), and
high levels of vulnerability which consists of two villages (11.76%) are influenced
by the population of vulnerable age, attitudes and community participation, water
supply, condition of buildings, access roads and transportation, and public
welfare. (3) The existence of the other research areas are dominated by low-level
presence of nine villages (52.94%), then the presence of high levels of four
villages (23.52%) and levels of existence are made up of four villages ( 23.52%)
are influenced by population density, the existence of socio-economic facilities,
infrastructure, water supply, and the wealth of the village. (4) The capacity of the
other research areas are dominated by a high level of capacity that consists of
eight villages (47.05%) and low capacity of five villages (29.41%), and the level
of capacity is made up of four villages ( 23.52%) are influenced by the capacity of
communities, institutional capacity and disaster management, and economic
capacity. (5) The level of risk in other research areas are dominated by the low
level of risk is made up of nine villages (52.94%), then the level of risk is made up
of seven villages (41.17%), and the high risk level of one village (5.88%) is
influenced by the level of hazard, vulnerability, level of existence, and the capacity
of village.
Keywords: AHP, risk assessment, disaster
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
Bahwa tiada yang orang dapatkan, kecuali yang ia usahakan, Dan
bahwa usahanya akan kelihatan nantinya
(Q.S. An Najm ayat 39-40)
"Semua keturunan Adam adalah orang yang pernah berbuat salah. Dan sebaik-
baik orang yang berbuat salah adalah orang yang bertaubat." (HR. Ibnu Majah,
Ad Darimi, Al Hakim. Dikatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul
Mashobih.
Mangesthi Luhur Ambangun Nagara (UNS)
Manungsa punika kadosta wayang, manut dumatheng dhalang ingkang nglampahaken. Sae, ala, mulia, lan angkara dados rasukanipun gesang ingkang kedhah dipunadhepi.
Ananging kamulyan lan keluhuran budi sejati bakal ngawonaken angkara, iri, lan dengki. Menungsa ingkang adiluhung punika, santun ing pitutur, solah bawa, lan ikhlas makarya.
Tiyang ingkang paling bungah inggih punika tiyang ingkang eling lan waspada.
Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!!!
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Dengan mengucap syukur kepada Allah SWT
Karya ini kupersembahkan untuk :
Keluarga, atas segala bimbingan, doa dan kasih sayangnya, dukungan
moril maupun materiil yang tidak terhingga sehingga mengantarku hingga saat ini
Kakakku dan adikku, atas semua dukungan dan kasih sayangnya,
Almamater.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh,
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
karunia, rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan
lancar.
Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak,
oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd, selaku Dekan Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret yang telah
memberikan ijin penelitian
2. Bapak Drs. Saiful Bachri, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret yang telah memberikan ijin penelitian
3. Bapak Dr. Moh. Gamal Rindarjono, M.Si selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Geografi Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
sekaligus Pembimbing Akademik dan Pembimbing I yang telah
memberikan banyak arahan dan masukan
4. Ibu Pipit Wijayanti, S.Si, M.Sc, selaku Pembimbing II yang dengan sabar
membimbing dan memberikan motivasi serta mengarahkan pemikiran
penulis
5. Seluruh dosen Program Studi Pendidikan Geografi yang telah memberikan
ilmu selama menempuh studi
6. BPPTK Yogyakarta, Badan Kesbangpol Kabupaten Boyolali, Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Boyolali, BPS Kabupaten
Boyolali, BAPPEDA Kabupaten Boyolali atas ijin dan data yang
diperlukan
7. Bapak Camat Kecamatan Musuk dan Kecamatan Cepogo yang telah
memberikan izin penelitian dan data yang diperlukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
8. Kepala Desa Cluntang, Mriyan, Sangup, Jemowo, Sumur, Lanjaran, Sruni,
Mliwis, Ringinlarik, Kembangsari, Wonodoyo, Jombong, Sumbung,
Gedangan, Sukabumi, Genting, Cepogo yang telah memberikan izin
penelitian dan data yang diperlukan
9. Sahabat Geografi 2008 terimakasih atas kebersamaan kita semua
10. Sahabat Kost Wijaya 38
11. Nuzul Wachidah, atas bantuannya dalam pengumpulan data
12. Semua pihak yang membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skrpsi ini, maka
dengan segala kerendahan hati mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan dan penyempurnaan. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
kita semua. Amiin.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.
Surakarta, Agustus 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................................................................
HALAMAN PESETUJUAN............................................................................
HALAMAN PENGESAHAN...........................................................................
HALAMAN ABSTRAK...................................................................................
HALAMAN MOTTO........................................................................................
HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................
KATA PENGANTAR.......................................................................................
DAFTAR ISI…..................................................................................................
DAFTAR TABEL.............................................................................................
DAFTAR GAMBAR.........................................................................................
DAFTAR PETA……………………………………………………………….
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................
B. Identifikasi masalah……………………………………………………….
C. Pembatasan masalah……………………………………………………….
D. Perumusan Masalah......................................................................................
E. Tujuan Penelitian..........................................................................................
F. Manfaat Penelitian........................................................................................
1. Manfaat Teoritis.......................................................................................
2. Manfaat Praktis........................................................................................
BAB II. LANDASAN TEORI...........................................................................
A. Tinjauan Pustaka..........................................................................................
1. Metode Analytical Hierarchy Prosess (AHP).........................................
2. Bencana....................................................................................................
3. Risiko Bencana........................................................................................
a. Bahaya……………………………………………………………...
b. Kerentanan………………………………………………………….
c. Keberadaan…………………………………………………………
i
ii
iii
iv
vi
vii
viii
x
xiii
xvi
xvii
xviii
1
1
6
6
7
7
8
8
8
9
9
9
14
16
16
18
20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
d. Kapasitas Masyarakat………………………………………………
4. Gunungapi Merapi ………………………………..................................
5. Piroklastik................................................................................................
B. Penelitian yang Relevan...............................................................................
C. Kerangkan Pemikiran...................................................................................
BAB III. METODE PENELITIAN..................................................................
A. Daerah Penelitian..........................................................................................
B. Waktu Penelitian..........................................................................................
C. Pendekatan Penelitian...................................................................................
D. Populasi dan Sampel.....................................................................................
E. Data dan Variabel Penelitian………………................................................
F. Teknik Pengumpulan Data...........................................................................
1. Observasi Lapangan............................................................................
2. Wawancara..........................................................................................
3. Dokumentasi………………………………………………………...
G. Teknik Analisis Data....................................................................................
1. Mengetahui Bahaya Lontaran Piroklastik Jatuhan di Daerah
Penelitian…………………………………………………………….
2. Mengetahui Kerentanan Masyarakat di Daerah Penelitian ………...
3. Memetakan Sarana Sosial Ekonomi Masyarakat di Daerah
Penelitian…………………………………………………………….
4. Mengetahui Kapasitas Masyarakat di Daerah Penelitian…………....
5. Menilai Tingkat Risiko Lontaran Piroklastik di Daerah Penelitian…
H. Prosedur Penelitian………………………………………………………...
I. Batasan Operasional……………………………………………………….
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.........................................................
A. Deskripsi Wilayah........................................................................................
1. Letak dan Luas....................................................................................
2. Iklim....................................................................................................
3. Geologi………………………………………………………………
4. Geomorfologi………………………………………………………..
20
33
37
38
44
47
47
47
47
48
49
52
52
52
53
53
55
57
59
61
64
66
67
70
70
70
74
78
82
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
5. Tanah ……………………………………………………..................
6. Penduduk............................................................................................
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan.................................................................
1. Bahaya Lontaran Piroklastik Jatuhan di Daerah Penelitian…………
2. Kerentanan Masyarakatdi Daerah Penelitian ……………………….
3. Keberadaan Penduduk Dansarana Sosial Ekonomi Masyarakat di
Daerah Penelitian................................................................................
4. Kapasitas Masyarakat di Daerah Penelitian…………………………
5. Risiko Lontaran Piroklastik di Daerah Penelitian…………………...
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................
A. Kesimpulan...................................................................................................
B. Implikasi.......................................................................................................
C. Saran.............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
LAMPIRAN-LAMPIRAN...............................................................................
84
86
94
100
108
119
126
140
147
147
148
149
150
153
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.
Tabel 4.
Tabel 5.
Tabel 6.
Tabel 7.
Tabel 8.
Tabel 9.
Tabel 10.
Tabel 11.
Tabel 12.
Tabel 13.
Tabel 14.
Tabel 15.
Tabel 16.
Tabel 17.
Tabel 18.
Tabel 19.
Tabel 20.
Tabel 21.
Tabel 22.
Tabel 23.
Tabel 24.
Desa-Desa Yang Berisiko Terlanda Material Piroklastik
Jatuhan………………………………………………………..
Nilai Skala Perbandingan Pasangan Indikator.…………………..
Pembagian Kelompok Warga dalam Penanggulangan
Bencana……………………………………………………….
Penetapan Status Bahaya Gunung Merapi…………………..
Penelitian yang Relevan……………………………………..
Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian………………..
Teknik Pengambilan Data……………………………...….....
Data Sekunder Penelitian …………………...…………….....
Variabel dan Indikator Penyusunan Risiko Lontaran
Piroklastik Gunungapi Merapi Kecamatan Musuk dan
Cepogo Kabupaten Boyolali ………………………………...
Nilai Skala Pembanding……………………………………...
Daftar Nilai IR dan Ukuran Matrik ……………...………….
Tabel Skala dan Bobot Variabel Bahaya ……………………
Tabel Skoring Variabel Bahaya Setiap Desa ………………..
Tabel Skala dan Bobot Variabel Kerentanan ………………..
Tabel Skoring Variabel Kerentanan Setiap Desa ……………
Tabel Skala Variabel Keberadaan Sarana Sosial Ekonomi ….
Tabel Skoring Variabel Keberadaan Setiap Desa …………...
Tabel Skala dan Bobot Variabel Kapasitas ………………….
Tabel Skoring Variabel Kapasitas Setiap Desa ……………...
Tabel Penghitungan Skor Risiko …………………………….
Tabel Skoring Tingkat Risiko Setiap Desa…………………..
Pembagian Wilayah Administratif dan Luas (Ha) Kecamatan
di Kabupaten Boyolali……………….………………………
Desa-Desa Daerah Penelitian ……………………………….
Tipe Curah Hujan Menurut Schmidt & Ferguson …………...
5
12
23
34
40
47
50
50
51
54
55
56
56
58
59
60
61
62
64
65
65
71
71
74
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
Tabel 25.
Tabel 26.
Tabel 27.
Tabel 28.
Tabel 29.
Tabel 30.
Tabel 31.
Tabel 32.
Tabel 33.
Tabel 34.
Tabel 35.
Tabel 36.
Tabel 37.
Tabel 38.
Tabel 39.
Tabel 40.
Tabel 41.
Tabel 42.
Tabel 43.
Tabel 44.
Tabel 45.
Tabel 46.
Tabel 47.
Tabel 48.
Besarnya Curah Hujan di Kabupaten Boyolali Tahun 2001-
2010…………………………………………………………..
Hubungan Tinggi Tempat dan Suhu Udara ….........................
Sebaran Tanah Kabupaten Boyolali…………………………….
Kepadatan Penduduk Desa Lokasi Penelitian Tahun 2010…..
Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Sex Ratio
di Desa Lokasi Penelitian Tahun 2010……………………….
Komposisi Penduduk Kabupaten Boyolali Menurut
Kelompok Umur Tahun 2010………………………………...
Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Usia Lima
Tahun Ke Atas Tahun 2010……………………………………
Persentase Penduduk Usia Sepuluh Tahun ke Atas Menurut
Lapangan Pekerjaan Utama 2010.……………………………
Perbandingan Berpasangan Indikator Bahaya ……………….
Matrik Prioritas Indikator Bahaya ..………………………….
Matrik Sintesis Prioritas Untuk Menghitung CR ……………
Daftar Nilai IR dan Ukuran Matrik …………………............
Perbandingan Berpasangan Indikator Kerentanan …………..
Matrik Prioritas Indikator Kerentanan…………………….....
Matrik Sintesis Prioritas Untuk Menghitung CR…………….
Daftar Nilai IR dan Ukuran Matrik …………………………
Perbandingan Berpasangan Indikator Keterdapatan................
Matrik Prioritas Indikator Keterdapatan..................................
Matrik Sintesis Prioritas Untuk Menghitung CR.....................
Daftar Nilai IR dan Ukuran Matrik..........................................
Perbandingan Berpasangan Indikator Kapasitas......................
Matrik Prioritas Indikator Kapasitas........................................
Matrik Sintesis Prioritas Untuk Menghitung CR…………….
Daftar Nilai IR dan Ukuran Matrik…………………………..
Kondisi Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Tingkat Bahaya
di Masing-Masing Desa……………………………………...
75
77
84
86
88
89
91
93
94
95
95
95
96
96
96
97
97
97
98
98
98
99
99
100
101
102
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
Tabel 49.
Tabel 50.
Tabel 51.
Tabel 52.
Tabel 53.
Tabel 54.
Tabel 55.
Tabel 56.
Tabel 57.
Tabel 58.
Skor Bahaya dan Kelas Bahaya Setiap Desa………………...
Kondisi Aspek-Aspek dan Mempengaruhi Kerentanan Setiap
Desa…………………………………………………………..
Tabel Skoring Variabel Kerentanan Setiap Desa……………
Kondisi Keberadaan Populasi dan Sarana Prasarana
Masyarakat di Desa-Desa Lereng Timur Gunungapi Merapi..
Tabel Skoring Variabel Keberadaan Setiap Desa……………
Aspek-Aspek dang Mempengaruhi Kapasitas Desa-Desa di
Lereng Timur Gunungapi Merapi……………………………
Tabel Skoring Variabel Kapasitas Setiap Desa………………
Skoring Risiko Terhadap Lontaran Piroklastik Jatuhan di
Lereng Timur Gunungapi Merapi……………………………
Tabel Skoring Tingkat Risiko Setiap Desa…………………..
109
111
120
122
127
131
141
142
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 5.
Gambar 6.
Gambar 7.
Gambar 8.
Gambar 9.
Skema Rencana Darurat Secara Sederhana ………………..
Tahapan Perencanaan Pengurangan Risiko Bencana ……...
Tampilan 3 Dimensi Gunungapi Merapi Wilayah
Kabupaten Boyolali ………………………………………..
Kerangka Pemikiran Penelitian ………………...………….
Diagram Alir Penelitian……………..……………………..
Diagram Tipe Curah Hujan Daerah Penelitian Menurut
Schmidt Dan Ferguson...…………………………………..
Grafik Jumlah Penduduk Desa Lokasi Penelitian Tahun
2010.…………………………………………………………
Diagram Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Tahun 2010.…...…………………….......................................
Diagram Komposisi Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan
Tahun 2010…….....................................................................
25
32
36
46
69
76
87
91
93
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
DAFTAR PETA
Peta 1.
Peta 2.
Peta 3.
Peta 4.
Peta 5.
Peta 6.
Peta 7.
Peta 8.
Peta 9.
Peta Administrasi Kabupaten Boyolali Tahun2010………..
Peta Kawasan Berpotensi Terlanda Material Piroklastik
Jatuhan Kabupaten Boyolali Tahun 2012………………….
Peta Geologi Kabupaten Boyolali Tahun 2012……………
Peta Tanah Kabupaten Boyolali Tahun 2012………………
Peta Tingkat Bahaya Lontaran Piroklastik Jatuhan di Desa-
Desa Lereng Timur Gunungapi Merapi Tahun 2012………
Peta Tingkat Kerentanan Desa-desa di Lereng Timur
Gunung Merapi Tahun Tahun 2012 ........................…….....
Peta Tingkat Keberadaan Penduduk dan Sarana Sosial
Ekonomi Desa-Desa Lereng Timur Gunungapi Merapi
Tahun 2012………………...................................................
Peta tingkat Kapasitas Desa-Desa di Lereng Timur
Gunungapi Merapi Tahun 2012............................................
Peta Tingkat Risisko desa-Desa Lereng Timur Gunungapi
Merapi Terhadap Lontaran piroklastik jatuhan Tahun 2012.
72
73
81
85
103
112
123
132
143
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Lampiran 2.
Lampiran 3.
Lampiran 4.
Lampiran 5.
Daftar Responden
Pedoman Wawancara
Penghitungan Skor Bahaya, Kerentanan, Keberadaan, Kapasitas,
dan RisikoPedoman Wawancara
Dokumentasi Penelitian
Surat Perijinan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia umumnya mencari dan memilih tempat bermukim di daerah yang
aman dan dekat dengan tempat mencari nafkah. Indonesia, negara agraris yang
terletak di daerah tropis yang dikaruniai Tuhan dengan kesuburan tanah dan air
yang melimpah. Namun dilain pihak, keadaan geologi Indonesia sangat unik,
terletak di antara dua lempeng benua yang selalu bergerak (Sukandarrumidi,
2010:31). Pertemuan antara dua lempeng benua (benua Asia dan benua Australia)
yang sifatnya dinamis sewaktu-waktu dapat bergeser akibat gerakan tektonik.
Pergeseran lempeng yang merupakan tenaga endogen tersebut berpotensi
menimbulkan berbagai peristiwa alam seperti gempa ataupun gunung meletus.
Jalur gunungapi yang tidak kurang sekitar 300 gunungapi di kepulauan Nusantara
membuat potensi bencana vulkanik semakin tinggi.
Posisi Indonesia masuk ke dalam cincin api ‘ring of fire’, yakni suatu
gugusan gunungapi aktif yang berada di bawah permukaan laut. Ini menjadikan
Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam (SDA) yang sangat melimpah
sekaligus memiliki potensi bencana yang besar antara lain gempa tektonik, banjir,
longsor, dan bencana vulkanik atau gunung meletus (Robert J. Kodoatie dan
Roestam Sjarif, 2006:1). Salah satu potensi bencana vulkanik yang harus
diwaspadai adalah erupsi Gunungapi Merapi, contohnya erupsi yang terjadi pada
tanggal 26 Oktober 2010. Peristiwa tersebut memakan puluhan korban jiwa
termasuk juru kunci Gunungapi Merapi Mbah Maridjan.
Gunungapi Merapi adalah gunungapi di bagian tengah Pulau Jawa dan
merupakan salah satu gunungapi teraktif di Indonesia. Secara astronomis terletak
pada 7° 32’ 30’’ LS dan 110° 26’ 30’’ BT. Secara administratif, gunungapi ini
terletak di perbatasan empat kabupaten sebagai berikut: Kabupaten Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta di sisi selatan, Kabupaten Magelang di sisi barat,
Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, dan Kabupaten Klaten di sisi tenggara.
Gunungapi yang merupakan salah satu gunungapi yang teraktif di dunia ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
terletak di zona subduksi, dimana Lempeng Indo-Australia terus bergerak ke
bawah Lempeng Eurasia. Letusan di daerah tersebut berlangsung sejak 400.000
tahun lalu, dan sampai 10.000 tahun lalu jenis letusannya adalah efusif kemudian
menjadi eksplosif dengan lava kental yang menimbulkan kubah-kubah lava
(http://www.merapi.bgl.esdm.go.id). Letusan-letusan kecil terjadi tiap 2-3 tahun,
dan yang lebih besar sekitar 6-10 tahun sekali. Letusan-letusan Merapi yang
dampaknya besar antara lain di tahun 1006, 1786, 1822, 1872, dan 1930. Letusan
besar pada tahun 1006 membuat seluruh bagian tengah Pulau Jawa diselubungi
abu. Diperkirakan, letusan tersebut menyebabkan kerajaan Mataram Kuno harus
berpindah ke Jawa Timur (Otto Sukatno, 2007: vii).
Menurut Departemen Pertambangan dan Energi Direktorat Jenderal
Pertambangan, Departemen Vulkanologi, gunungapi ini sangat berbahaya karena
menurut catatan modern mengalami erupsi (puncak keaktifan) setiap dua sampai
lima tahun sekali dan dikelilingi oleh permukiman yang sangat padat.
Berdasarkan catatan Direktorat Vulkanologi, sejak tahun 1548 gunung ini sudah
meletus sebanyak lebih dari 70 kali. Sejarah erupsi Gunungapi Merapi
menunjukkan bahaya primer terdiri dari aliran piroklastik atau awan panas yang
oleh penduduk setempat disebut wedus gembel, dan jatuhan piroklastik.
Sedangkan bahaya sekunder terdiri dari lahar dingin dan longsoran vulkanik.
Berdasarkan ancaman bahaya tersebut, maka Balai Penyelidikan dan
Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) mengklasifikasikan daerah
sekitar Merapi menjadi beberapa kawasan rawan bencana, seperti yang terdapat
dalam Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi 2010. Berdasarkan peta
kawasan rawan bencana tersebut, diketahui bahwa daerah disekitar lereng
Gunungapi Merapi dibagi menjadi 3 (tiga) kawasan rawan bencana, yaitu:
a) Kawasan Rawan Bencana I
Kawasan Rawan bencana I adalah kawasan yang berpotensi terlanda banjir
atau lahar dingin. Selama letusan membesar, kawasan ini berpotensi terkena
material jatuhan dan lontaran batu (pijar).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
b) Kawasan Rawan Bencana II
Kawasan ini berpotensi terlanda awan panas, aliran lava, aliran lahar, dan
lontaran abu serta batu (pijar).
c) Kawasan Rawan Bencana III
Kawasan ini memiliki risiko tertinggi karena paling dekat dengan sumber
bahaya, sehingga sering terlanda awan panas, aliran lava, aliran lahar, guguran
batu, dan lontaran batu pijar.
Selain membagi menjadi tiga kawasan rawan bencana, dalam peta tersebut
BPPTK juga membatasi batas lontaran abu ( material piroklastik jatuhan).
Lontaran abu dan/atau lontaran piroklastik bukan merupakan bahaya utama
letusan Gunungapi Merapi, namun cukup berbahaya karena merusak sarana
prasarana sosial ekonomi dan pertanian. Lontaran piroklastik jatuhan dapat berupa
bomb, lapilli, dan debu atau abu gunungapi. Batas lontaran diukur berdasarkan
rata-rata jarak jangkauan letusan yang mencapai 10 km dari puncak gunung.
Peta tersebut juga memperlihatkan bahwa kawasan rawan bencana I, II,
dan III sebagian besar berada di lereng bagian barat dan selatan, sedangkan lereng
bagian timur dan utara hanya sebagian kecil saja. Hal tersebut dikarenakan lereng
sebelah timur Gunungapi Merapi terdapat Gunung Bibi yang menjadi pelindung
alami terhadap aliran piroklastik. Keberadaan Gunung Bibi tersebut membelokkan
arah aliran piroklastik ke arah selatan sehingga kawasan lereng timur Gunungapi
Merapi tidak berpotensi terkena awan panas maupun lahar dingin, akan tetapi
berdasarkan Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi 2010, kawasan
lereng timur sangat berpotensi terlanda piroklastik jatuhan. Ancaman piroklastik
jatuhan memang tidak seperti awan panas yang sangat berbahaya, namun
piroklastik jatuhan dapat merobohkan bangunan, merusak lahan pertanian, dan
merusak infrastruktur serta sarana prasarana masyarakat. Selain merusak,
ancaman piroklastik jatuhan juga berpotensi menimbulkan kepanikan pada
masyarakat sehingga menimbulkan adanya korban jiwa. Berdasarkan data yang
diperoleh dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten
Boyolali, tercatat 30 orang meninggal dunia selama erupsi Gunungapi Merapi
tahun 2010. Korban meninggal merupakan korban secara tidak langsung akibat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
erupsi Gunungapi Merapi 2010, yaitu karena kecelakaan saat berusaha melarikan
diri (mengungsi), kaget ketika terjadi erupsi sehingga terkena serangan jantung,
dan sakit pernapasan akibat abu vulkanik.
Adanya korban jiwa di daerah yang tidak termasuk kawasan rawan
bencana menunjukkan kurangnya kesiapan pemerintah dan masyarakat dalam
menghadapi bencana. Kurangnya kesiapan pemerintah dan kepanikan masyarakat
ketika terjadi letusan mengakibatkan potensi kerawanan sosial meningkat. Hal
tersebut tidak perlu terjadi apabila masyarakat memiliki pemahaman spasial yang
baik. Melalui pemahaman spasial yang baik, masyarakat dapat menentukan
sendiri apa yang harus mereka lakukan, kearah mana mereka harus mengungsi,
dan sebagainya, karena dengan pemahaman spasial, masyarakat mengetahui
kondisi wilayahnya sehingga tidak menimbulkan korban jiwa. Oleh karena itu,
untuk mengurangi risiko bencana harus dilakukan penilaian risiko bencana yang
bertujuan untuk mengidentifikasi wilayah berdasarkan tingkat risikonya terhadap
bencana (Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB)
2010-2012:V). Penilaian risiko bencana ini sejalan dengan UU No. 24 Tahun
2007 tentang penanggulangan bencana dan Rencana Aksi Nasional Pengurangan
Risiko Bencana (RAN-PRB) 2010-2012). Penilaian risiko terhadap lontaran
piroklastik jatuhan di Boyolali dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan
kejadian bencana erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010. Penilaian risiko bencana
ini sangat penting dilakukan sebagai bahan evaluasi terhadap menejemen
pengurangan risiko bencana yang telah dilakukan, sehingga dapat dilakukan
peningkatan dan perbaikan sistem menejemen bencana agar semakin baik.
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk melakukan penilaian
risiko, adalah metode Analitycal Hierarchy Proces (AHP). Metode ini digunakan
untuk melakukan penilaian bobot masing-masing indikator. Hal ini dikarenakan
masing-masing indikator memiliki tingkat kepentingan atau kontribusi yang
berbeda-beda dalam penilaian risiko bencana (Aisyah, 2009:13). Penggunaan
metode AHP diharapkan dapat membantu memberikan bobot indikator sesuai
tingkat kepentingannya sehingga penilaian risiko bencana dapat dilakukan sesuai
kondisi di lereng timur Gunungapi Merapi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Berdasarkan pengamatan peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi
Merapi tahun 2010, secara administratif kawasan di lereng timur Gunungapi
Merapi mencakup 2 (dua) wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Musuk, dan
Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali. Dua kecamatan tersebut, sebagian
wilayahnya merupakan daerah yang berisiko terlanda lontaran material piroklastik
jatuhan. Desa-desa tersebut terletak dalam radius 0 hingga 10 km dari pucak
Gunungapi Merapi yang terdiri dari 9 (Sembilan) desa di Kecamatan Musuk, dan
8 (delapan) desa di Kecamatan Cepogo. Desa-desa tersebut dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Desa-Desa yang Berisiko Terlanda Material Piroklastik Jatuhan.
Kecamatan Musuk Jarak (km) Kecamatan Cepogo Jarak (km)
1. Cluntang 5 1. Wonodoyo 5
2. Mriyan 5 2. Jombong 10
3. Sangup 5 3. Sumbung 10
4. Jemowo 10 4. Gedangan 10
5. Sumur 10 5. Sukabumi 10
6. Lanjaran 10 6. Genting 10
7. Sruni 10 7. Cepogo 10
8. Ringinlarik 10 8. Mliwis 10
9. Kembangsari 10
Sumber: Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kab. Boyolali dan Peta
Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi, Desember 2010.
Desa-desa di lereng timur Gunungapi Merapi di atas memiliki keragaman
kondisi geografis yang berbeda-beda, dengan kemiringan lereng yang beragam,
mulai dari 0% hingga 70%. Selain itu, desa-desa tersebut memiliki karakteristik
masyarakat dan pemerintahan yang berbeda-beda yang berakibat pada perbedaan
pandangan dalam menghadapi bencana. Perbedaan tersebut tentu mempengaruhi
besarnya risiko di masing-masing desa terhadap potensi lontaran piroklastik
jatuhan, sehingga dengan diketahuinya tingkat risiko di masing-masing desa,
masyarakat sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi bencana.
Berdasarkan deskripsi diatas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan
kajian tentang risiko erupsi Gunungapi Merapi terhadap lontaran piroklastik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
jatuhan di lereng timur Gunungapi Merapi yang meliputi Kecamatan Musuk dan
Kecamatan Cepogo. Untuk itu penelitian ini mengambil judul :
“PENGGUNAAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP)
UNTUK PENILAIAN RISIKO LONTARAN PIROKLASTIK DI LERENG
TIMUR GUNUNGAPI MERAPI 2012”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas terdapat
beberapa masalah yang timbul yaitu :
1. Gunungapi Merapi merupakan gunungapi aktif dan berbahaya yang berpotensi
menimbulkan bencana.
2. Lereng timur Gunungapi Merapi tidak termasuk dalam kawasan rawan
bencana I, II, maupun III sehingga tidak menjadi prioritas penanganan
bencana.
3. Lereng timur Gunungapi Merapi berisiko terlanda lontaran piroklastik jatuhan
yang dapat merobohkan bangunan, merusak lahan pertanian, dan merusak
infrastruktur serta sarana prasarana masyarakat.
4. Perhatian pemerintah untuk mengurangi risiko bencana di lereng timur
Gunungapi Merapi masih rendah.
5. Sebagian besar masyarakat kurang menyadari risiko bencana erupsi
Gunungapi Merapi sehingga tidak siap menghadapi bencana.
6. Perlunya dilakukan penilaian risiko bencana terhadap lontaran piroklastik
jatuhan di lereng timur Gunungapi Merapi.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan beberapa permasalahan yang timbul di daerah penelitian,
dengan mengingat keterbatasan tenaga, waktu, biaya, kemampuan penulis, dan
untuk mempertajam serta memperjelas permasalahan yang akan diteliti, maka
diperlukan pembatasan masalah sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
1. Perlunya pemahaman yang menyeluruh tentang bahaya lontaran piroklasik,
kondisi sosial ekonomi, dan prasarana sosial ekonomi di daerah penelitian
agar diketahui tingkat risiko bencana yang mungkin terjadi.
2. Perlunya pemahaman tentang besarnya kapasitas/kemampuan masyarakat
sehingga dapat mengurangi risiko bahaya yang mungkin terjadi.
3. Perlunya penilaian tingkat risiko lontaran material piroklastik agar masyarakat
siap menghadapi kemungkinan terjadinya bencana.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang dan pembatasan masalah maka dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bahaya lontaran piroklastik jatuhan Gunungapi Merapi di
daerah penelitian?
2. Bagaimanakah kerentanan masyarakat di daerah penelitian?
3. Bagaimanakah keberadaan penduduk dan sarana sosial ekonomi di daerah
penelitian?
4. Bagaimanakah kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana di daerah
penelitian?
5. Bagaimanakah risiko lontaran piroklastik yang mungkin terjadi di daerah
penelitian?
E. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui bahaya lontaran piroklastik jatuhan di daerah penelitian.
2. Mengetahui kerentanan masyarakat di daerah penelitian.
3. Mengetahui keberadaan penduduk dan sarana sosial ekonomi masyarakat di
daerah penelitian.
4. Mengetahui kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana di daerah
penelitian.
5. Mengetahui tingkat risiko lontaran piroklastik di daerah penelitian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
sebagai berikut :
a. Memberikan masukan pengetahuan baru tentang kajian ilmu geografi
bencana, dalam hal risiko bencana erupsi Gunungapi Merapi khususnya
lontaran material piroklastiknya.
b. Kajian tentang sosial-ekonomi dari hasil penelitian ini yaitu kondisi
masyarakat di daerah penelitian.
c. Penelitian ini merupakan penerapan ilmu pengetahuan dan teori-teori yang
telah diperoleh di bangku kuliah dalam penerapannya di lapangan.
d. Menjadi referensi peneliti yang lain di masa yang akan datang.
e. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai media
pembelajaraan dalam pendidikan.
2. Manfaat Praktis
Aplikasi praktis dalam konteks kehidupan dari hasil penelitian ini
adalah:
a. Memberi masukan bagi masyarakat untuk meningkatkan kapasitas dalam
menghadapi bencana.
b. Memberi masukan bagi pemerintah untuk perencanaan Program
Kesiapsiagaan Berbasis Masyarakat dan Program Pengurangan Risiko
Bencana Berbasis Masyarakat.
c. Referensi bahan ajar pada mata pelajaran geografi di SMP kelas IX pada
pokok bahasan Gejala Diastropisme dan Vulkanisme.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
Analytical Hierarchy Process (AHP) merupakan suatu model pendukung
keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung
keputusan ini akan menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang
kompleks menjadi suatu hirarki. Menurut Saaty (2008:83), hirarki didefinisikan
sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu
struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor,
kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif.
Melalui hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam
kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki
sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis. AHP sering
digunakan sebagai metode pemecahan masalah dibanding dengan metode yang
lain karena alasan-alasan sebagai berikut :
1) Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuesi dari kriteria yang dipilih,
sampai pada subkriteria yang paling dalam.
2) Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi
berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh pengambil keputusan.
3) Memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan
keputusan.
AHP mempunyai landasan aksiomatik yang terdiri dari :
1) Reciprocal Comparison, yang mengandung arti si pengambil keputusan
harus bisa membuat perbandingan dan menyatakan preferensinya.
Preferensinya itu sendiri harus memenuhi syarat resiprokal yaitu kalau A
lebih disukai dari B dengan skala x, maka B lebih disukai dari A dengan
skala 1: x.
2) Homogenity, yang mengandung arti preferensi seseorang harus dapat
dinyatakan dalam skala terbatas atau dengan kata lain elemen-elemennya
dapat dibandingkan satu sama lain. Kalau aksioma ini tidak dapat dipenuhi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
maka elemen-elemen yang dibandingkan tersebut tidak homogenous dan
harus dibentuk suatu‟cluster‟ (kelompok elemen-elemen) yang baru.
3) Independence, yang berarti preferensi dinyatakan dengan mengasumsikan
bahwa kriteria tidak dipengaruhi oleh alternatif-alternatif yang ada
melainkan oleh objektif secara keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa pola
ketergantungan atau pengaruh dalam model AHP adalah searah keatas,
Artinya perbandingan antara elemen-elemen dalam satu level dipengaruhi
atau tergantung oleh elemen-elemen dalam level di atasnya.
4) Expectations, artinya untuk tujuan pengambilan keputusan, struktur hirarki
diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka si
pengambil keputusan tidak memakai seluruh kriteria dan atau objektif
yang tersedia atau diperlukan sehingga keputusan yang diambil dianggap
tidak lengkap.
Untuk menerapkan metode AHP, harus memenuhi empat prinsip dasar
yakni pembuatan hierarki indikator, penilaian kriteria dan alternative indikator,
sintesis prioritas, serta pengukuran konsistensi logis (Aisyah dkk, 2009:14).
Secara umum, langkah-langkah penerapan metode AHP menurut Kadarsyah
Suryadi dan Ali Ramdhani, 1998 dalam Syaifullah sebagai berikut:
1) Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan. Dalam
tahap ini kita berusaha menentukan masalah yang akan kita pecahkan
secara jelas, detail dan mudah dipahami. Dari masalah yang ada kita coba
tentukan solusi yang mungkin cocok bagi masalah tersebut. Solusi dari
masalah mungkin berjumlah lebih dari satu. Solusi tersebut nantinya kita
kembangkan lebih lanjut dalam tahap berikutnya.
2) Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan utama. Setelah
menyusun tujuan utama sebagai level teratas akan disusun level hirarki
yang berada di bawahnya yaitu kriteria-kriteria yang cocok untuk
mempertimbangkan atau menilai alternatif yang kita berikan dan
menentukan alternatif tersebut. Tiap kriteria mempunyai intensitas yang
berbeda-beda. Hirarki dilanjutkan dengan subkriteria (jika mungkin
diperlukan).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
3) Membuat matrik perbandingan berpasangan yang mengGambarkan
kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap tujuan atau kriteria
yang setingkat di atasnya. Matriks yang digunakan bersifat sederhana,
memiliki kedudukan kuat untuk kerangka konsistensi, mendapatkan
informasi lain yang mungkin dibutuhkan dengan semua perbandingan
yang mungkin dan mampu menganalisis kepekaan prioritas secara
keseluruhan untuk perubahan pertimbangan. Pendekatan dengan matriks
mencerminkan aspek ganda dalam prioritas yaitu mendominasi dan
didominasi. Perbandingan dilakukan berdasarkan judgment dari pengambil
keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen dibandingkan
elemen lainnya. Untuk memulai proses perbandingan berpasangan dipilih
sebuah kriteria dari level paling atas hirarki misalnya K dan kemudian dari
level di bawahnya diambil elemen yang akan dibandingkan misalnya
E1,E2,E3,E4,E5.
4) Mendefinisikan perbandingan berpasangan sehingga diperoleh jumlah
penilaian seluruhnya sebanyak n x [(n-1)/2] buah, dengan n adalah
banyaknya elemen yang dibandingkan. Hasil perbandingan dari masing-
masing elemen akan berupa angka dari 1 sampai 9 yang menunjukkan
perbandingan tingkat kepentingan suatu elemen. Apabila suatu elemen
dalam matriks dibandingkan dengan dirinya sendiri maka hasil
perbandingan diberi nilai 1. Skala 9 telah terbukti dapat diterima dan bisa
membedakan intensitas antar elemen. Hasil perbandingan tersebut diisikan
pada sel yang bersesuaian dengan elemen yang dibandingkan. Skala
perbandingan perbandingan berpasangan dan maknanya yang
diperkenalkan oleh Saaty disajikan dalam Tabel 2.
5) Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya. Jika tidak konsisten
maka pengambilan data diulangi.
6) Mengulangi langkah 3,4, dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki.
7) Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan
yang merupakan bobot setiap elemen untuk penentuan prioritas elemen-
elemen pada tingkat hirarki terendah sampai mencapai tujuan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Penghitungan dilakukan lewat cara menjumlahkan nilai setiap kolom dari
matriks, membagi setiap nilai dari kolom dengan total kolom yang
bersangkutan untuk memperoleh normalisasi matriks, dan menjumlahkan
nilai-nilai dari setiap baris dan membaginya dengan jumlah elemen untuk
mendapatkan rata-rata.
8) Memeriksa konsistensi hirarki. Yang diukur dalam AHP adalah rasio
konsistensi dengan melihat index konsistensi. Konsistensi yang diharapkan
adalah yang mendekati sempurna agar menghasilkan keputusan yang
mendekati valid. Walaupun sulit untuk mencapai yang sempurna, rasio
konsistensi diharapkan kurang dari atau sama dengan 0,100.
Tabel 2 . Nilai Skala Perbandingan Pasangan Indikator.
Intensitas
Kepentingan Keterangan
1 Kedua elemen sama pentingnya, dua elemen mempunyai
pengaruh yang sama besar
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yanga
lainnya, pengalaman dan penilaian sedikit menyokong satu
elemen dibandingkan elemen yang lainnya
5
Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya,
pengalaman dan penilaian sangat kuat menyokong satu elemen
dibandingkan elemen yang lainnya
7
Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya,
satu elemen yang kuat disokong dan dominan terlihat dalam
praktek. Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya,
bukti yang mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain
memeliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin
menguatkan.
9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya
2, 4, 6, 8
Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang
berdekatan, nilai ini diberikan bila ada dua kompromi di antara 2
pilihan
Kebalikan
Kebalikan = Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka
dibanding dengan aktivitas j , maka j mempunyai nilai
kebalikannya dibanding dengan i Sumber: Thomas L Saaty (Int. J. Services Sciences, Vol. 1, No. 1, 2008: 86)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Kelebihan dan Kelemahan AHP
Layaknya sebuah metode analisis, AHP pun memiliki kelebihan dan
kelemahan dalam system analisisnya. Kelebihan-kelebihan analisis ini adalah :
1) Kesatuan (Unity)
AHP membuat permasalahan yang luas dan tidak terstruktur menjadi
suatu model yang fleksibel dan mudah dipahami.
2) Kompleksitas (Complexity)
AHP memecahkan permasalahan yang kompleks melalui pendekatan
sistem dan pengintegrasian secara deduktif.
3) Saling ketergantungan (Inter Dependence)
AHP dapat digunakan pada elemen-elemen sistem yang saling bebas
dan tidak memerlukan hubungan linier.
4) Struktur Hirarki (Hierarchy Structuring)
AHP mewakili pemikiran alamiah yang cenderung mengelompokkan
elemen sistem ke level-level yang berbeda dari masing-masing level
berisi elemen yang serupa.
5) Pengukuran (Measurement)
AHP menyediakan skala pengukuran dan metode untuk mendapatkan
prioritas.
6) Konsistensi (Consistency)
AHP mempertimbangkan konsistensi logis dalam penilaian yang
digunakan untuk menentukan prioritas.
7) Sintesis (Synthesis)
AHP mengarah pada perkiraan keseluruhan mengenai seberapa
diinginkannya masing-masing alternatif.
8) Trade Off
AHP mempertimbangkan prioritas relatif faktor-faktor pada sistem
sehingga orang mampu memilih altenatif terbaik berdasarkan tujuan
mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
9) Penilaian dan Konsensus (Judgement and Consensus)
AHP tidak mengharuskan adanya suatu konsensus, tapi
menggabungkan hasil penilaian yang berbeda.
10) Pengulangan Proses (Process Repetition)
AHP mampu membuat orang menyaring definisi dari suatu
permasalahan dan mengembangkan penilaian serta pengertian mereka
melalui proses pengulangan.
Sedangkan kelemahan metode AHP adalah sebagai berikut:
1) Ketergantungan model AHP pada input utamanya. Input utama ini
berupa persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan
subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika
ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru.
2) Metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian secara
statistik sehingga tidak ada batas kepercayaan dari kebenaran model
yang terbentuk
2. Bencana
Pengertian Bencana (disaster), Penyebab Bencana dan Jenisnya
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan,
baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU 24/2007 tentang
Penanggulangan Bencana). Sunarto (2006:4) menyatakan bencana merupakan
suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang terjadi secara mendadak
maupun perlahan-lahan, yang disebabkan oleh alam, manusia, atau keduanya
dengan menimbulkan akibat bagi pola kehidupan dan penghidupan, gangguan
pada sistem pemerintahan yang normal, atau kerusakan ekosistem, sehingga
diperlukan tindakan darurat untuk menolong dan menyelamatkan manusia dan
lingkungannya. Selain itu, World Meteorological Organization/WMO/TD No.
955, 1999: 2 menyebutkan sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Disaster: A serious disruption of the functioning of a society, causing
widespread human, material or environmental losses whichexceed the ability
of affected society to cope using only its own resources. Disaster are often
classified according to their speed of onset (sudden or slow), or according to
their cause (natural or man-made).
Berdasarkan berbagai pendapat mengenai bencana di atas, dapat
disimpulkan bahwa bencana merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang
diakibatkan oleh faktor alam maupun non alam yang menimbulkan kerusakan
dan korban jiwa, sehingga harus dilakukan upaya tindakan darurat atau
penyelamatan.
Berdasarkan penyebabnya, bencana dapat dibagi menjadi dua yaitu
alam dan manusia. Secara alami bencana akan selalu terjadi di muka bumi,
misal tsunami, gempa bumi, gunung meletus, jatuhnya benda-benda dari langit
ke bumi (misal meteor), tidak adanya hujan pada suatu lokasi yang
menyebabkan terjadinya kekeringan, atau sebaliknya curah hujan yang sangat
tinggi menyebabkan bencana banjir dan tanah longsor. Bencana oleh aktifitas
manusia adalah terutama akibat eksploitasi alam yang berlebihan. Eksploitasi
ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang terus meningkat.
Pertumbuhan ini mengakibatkan kebutuhan pokok dan non pokok meningkat,
kebutuhan infrastruktur meningkat, alih tata guna lahan meningkat (Kodoatie
& Sjarief, 2006:68).
Menurut jenisnya, bencana dibagi menjadi bencana alam, bencana non
alam, bencana sosial (UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana).
Sunarto dan Lies Rahayu (2006:4) menjabarkan jenis-jenis bencana alam
meliputi badai, banjir, erupsi gunungapi, gempa bumi, tsunami, longsor, dan
bencana meteoric. Jenis-jenis bencana biologis mencakup epidemik, penyakit
tanaman, pest, dan kepunahan spesies. Bencana antropogenik antaralain
bencana teknologi, bencana struktural (kekeliruan dalam mengambil kebijakan
oleh pemerintah), bencana sosial, serta bahaya moral.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Bencana yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bencana alam
akibat erupsi Gunung Merapi di permukiman lereng Timur Gunung Merapi
khususnya akibat lontaran piroklastik jatuhan.
3. Risiko bencana
Risiko menurut World Meteorological Organization/TD No. 955
(1999:32) adalah:
Risk:
Expected losses (of lives, persons injured, property damaged,and economic
activity disrupted) due to a particular hazard for a given area and reference
period. Based on mathematical calculation risk is the product of hazard and
vulnerability.
Risiko merupakan potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana
pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian,
luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau
kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (UU No. 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana). Risiko biasanya dihitung secara
matematis, merupakan probabilitas dari dampak atau konsekwesi suatu bahaya
(Aisyah dkk, 2009:19). Seiring perkembangannya, risiko bencana tidak hanya
diukur berdasarkan probabilitas dari dampak atau konsekwesi suatu bahaya,
namun juga mempertimbangkan kapasitas masyarakat . Untuk mengetahui
besarnya risiko bencana, dalam penelitian ini menggunakan persamaan di
bawah ini:
a. Bahaya (hazard)
A threatening event, or the probability of occurrence of a potentially
damaging phenomenon within a given time period and area (Meteorological
Organization/TD No. 955, 1999: 2). Berdasar kutipan tersebut, bahaya dapat
Risiko (R) = ( Bahaya (H) + Kerentanan (V) + Keberadaan (E)) - Kapasitas (C)
Sumber: Aisyah, N., Nandaka, A. IGM. Miswanto., Djalal. Y., Asman.,
Sayudi. D.S., Muzani, M. (2009: 19) (Buletin Merapi Vol 07/02 edisi
Agustus, 2010)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
diartikan sebagai suatu kondisi, secara alamiah maupun karena ulah manusia,
yang berpotensi menimbulkan kerusakan atau kerugian dan kehilangan jiwa
manusia. Bahaya berpotensi menimbulkan bencana, tetapi tidak semua bahaya
selalu menjadi bencana.
Bahaya dalam hal ini meliputi bahaya erupsi gunungapi Merapi yang
memiliki sifat khusus dibandingkan gunungapi lainnya. Sukandarrumidi
(2010: 73) mengemukakan bahaya yang mungkin ditimbulkan apabila terjadi
erupsi gunungapi adalah:
1) Aliran piroklastik/awan panas
Tidak semua gunungapi di Indonesia mengeluarkan awan panas pada saat
erupsi. Awan panas adalah cirri khas erupsi gunung Merapi, yaitu berupa
luncuran material vulkanik yang bersuhu ratusan derajat celcius. Daerah
yang dilewati awan panas biasanya menjadi daerah yang menderita paling
parah. Awan panas arah mengalirnya dipengaruhi oleh bentuk
kawah/kepundan. Awan panas yang dikeluarkan Gunungapi Merapi bulan
Oktober 2010 telah menghancurkan desa kinahrejo dan sekitarnya,
termasuk menewaskan Mbah Maridjan, sang juru kunci. Semua terbakar,
banyak korban nyawa, harta benda, termasuk ternak.
2) Kebakaran hutan
Kebakaran hutan biasanya terjadi di sepanjang alur sungai yang dilalui
oleh awan panas. Radius capaiannya bisa mencapai ratusan meter dari
pinggiran sungai. Tanaman kayu mongering, rumput terbakar, namun
dalam waktu singkat rumput segera tumbuh kembali.
3) Eksplosif/ letusan/piroklastik jatuhan
Eksplosif/letusan/piroklasti jatuhan mengeluarkan material vulkanik
dengan ukuran bom hingga debu. Bangunan rumah, terutama atap tidak
mampu menahan beban timbunan material vulkanik ini, hingga akhirnya
roboh. Pepohonan akan tertutupi dan terpanggang oleh panas material ini
sehingga menimbulkan kerugian bagi petani.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
4) Banjir lahar dingin
Lahar dingin adalah material-material vulkanik hasil erupsi gunungapi
yang bentuknya berupa batu dengan ukuran sangat besar hingga batu kecil,
kerikil, dan pasir. Banjir lahar dingin melewati sungai-sungai dan biasanya
terjadi saat musim hujan dan membanjiri daerah hilir, memperdalam alur
sungai, serta menimbulkan longsoran tebing.
5) Keluar dan menyebarnya uap belerang
Uap belerang sangat berbahaya bagi manusia. Arah aliran uap beerang
sangat bergantung pada arah angin. Uap belerang dapat menimbulkan
sesak napas dan apabila berkelanjutan dapat mengakibatkan keracunan
paru-paru yang mengakibatkan kematian.
6) Kesulitan air bersih
Air bersih merupakan kebutuhan pokok yang sangat penting bagi
kehidupan. Namun jika terjadi bencana, mata air bisa saja hilang karena
banyak tertimbun longsoran dan akibatnya air menjadi tercemar. Selain itu
sarana prasarana yang rusak akibat bencana juga mempersulit
mendapatkan air bersih. Akibatnya persediaan air bersih menjadi terbatas.
b. Kerentanan (vulnerability)
Degree of loss resulting from a potentially damaging phenomenon
(Meteorological Organization/TD No. 955, 1999: 2). Kutipan ini dapat
diartikan bahwa kerentanan merupakan kondisi ketidakmampuan akibat suatu
fenomena atau peristiwa yang berpotensi merusak.
Dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Bab I Ketentuan
Umum Pasal 1 tidak ditemukan istilah kerentanan. Dalam ilmu sosial,
kerentanan (vulnerability) merupakan kebalikan dari ketangguhan (resilience),
kedua konsep tersebut laksana dua sisi mata uang. Konsep ketangguhan
merupakan konsep yang luas, termasuk kapasitas dan kemampuan merespons
dalam situasi krisis/konflik/darurat (emergency rersponse). Kerentanan,
ketangguhan, kapasitas, dan kemampuan merespons dalam situasi darurat, bisa
diimplementasikan baik pada tingkat individu, keluarga, masyarakat, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
institusi (pemerintah maupun LSM). Kerentanan wilayah dan penduduk
terhadap ancaman meliputi kerentanan fisik, kerentanan sosial, dan kerentanan
ekonomi. Kerentanan sosial ekonomi dapat bersifat generik berlaku untuk
semua jenis ancaman. Sementara itu kerentanan fisik bersifat spesifik sesuai
dengan jenis ancaman. Kerentanan yang bersifat generik dapat digunakan
untuk semua ancaman, terkait dengan aspek sosial ekonomi wilayah dan
penduduk di suatu wilayah. Indikator kerentanan sosial ekonomi terkait
dengan tingkat kemiskinan, laju pertumbuhan ekonomi, densitas dan
penyebaran penduduk, lama pendidikan formal, tingkat pengangguran, beban
tanggungan, dan indikator sosial ekonomi lainnya (RAN-PRB 2010-2012: 2-
19).
Kerentanan dalam penelitian ini diartikan sebagai keadaan atau
sifat/perilaku manusia atau masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan
menghadapi bahaya atau ancaman (Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 Tahun
2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana:13).
Kerentanan ini dapat berupa:
1. Kerentanan Fisik
Kerentanan fisik merupakan kerentanan yang berkaitan oleh karakteristik
bangunan dan infrastruktur pada suatu daerah, misal umur bangunan,
material bangunan, dan konstruksi bangunan.
2. Kerentanan Sosial
Kerentanan sosial merupakan kerentanan yang berkaitan dengan kondisi
sosial dari masyarakat. Masyarakat harus dipisah-pisahkan antara balita,
ibu hamil, orang cacat, dan lansia.
3. Kerentanan Ekonomi
Kerentanan ekonomi berkaitan dengan kondisi perekonomian masing -
masing rumah tangga yang menempati suatu daerah tertentu, misal berupa
pekerjaan, pendapatan, dan tabungan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
4. Kerentanan Lingkungan
Kerentanan lingkungan berkaitan dengan mudah tidaknya kerusakan
terjadi pada sumberdaya air, lahan, udara, flora, fauna, dan komponen
lingkungan lainnya.
c. Keberadaan (exposure)
Keberadaan merupakan kondisi fisik yang berpengaruh terhadap besar
kecilnya risiko. Keberadaan mempunyai peranan yang sangat penting, karena
keberadaan adalah sarana penunjang kehidupan. Semakin suatu daerah
memiliki populasi dan sarana sosial ekonomi tinggi, maka semakin besar
risiko yang dimiliki (Aisyah dkk, 2010:17). Terdapat empat indikator
keberadaan, sebagai berikut:
1) Populasi
Populasi adalah keseluruhan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah
yang berpotensi terhadap risiko bencana. Kondisi populasi berkaitan
dengan kepadatan penduduk suatu wilayah.
2) Bangunan fisik
Bangunan fisik adalah semua bangunan yang dibangun di daerah yang
berpotensi terhadap risiko bencana. Bangunan tersebut meliputi rumah,
sekolah, kantor, tempat ibadah dan pasar.
3) Infrastuktur sarana air
Infrastruktur sarana air adalah sarana penunjang ketersediaan air bersih.
Infrastruktur sarana air meliputi pipa saluran air bersih, bak penampungan
air, irigrasi
4) Total kekayaan desa
Kekayaan desa adalah total rata-rata kekayaan desa dalam kurun waktu
tertentu. Kekayaan desa dapat diperoleh di monografi desa.
d. Kapasitas Masyarakat
Menururt Djaelani (2008 : 20), kapasitas adalah kemampuan potensial
sesungguhnya yang ada dalam masyarakat untuk menghadapi bencana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
menggunakan berbagai sumber daya, baik manusia atau materi untuk
melakukan pencegahan dan tanggap darurat bencana yang efektif. Aisyah dkk
(2010: 26) menyatakan bahwa kapasitas adalah gabungan antara semua
kekuatan dan sumberdaya yang tersedia dalam suatu masyarakat atau
organisasi yang dapat mengurangi tingkat risiko atau akibat dari bencana.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat diartikan bahwa kapasitas merupakan
kondisi masyarakat yang menunjukkan kesiapan dan posisi masyarakat
terhadap suatu kejadian, dalam hal ini kesiapan dalam menghadapi ancaman
bencana. Faktor-faktor penentu kapasitas menurut Aisyah dkk (2010: 18)
terdiri dari:
1) Tata guna lahan
Tataguna lahan adalah kesesuaian penggunaan lahan sesuai dengan
peruntukannya sehingga ketika terjadi bencana tidak menghambat upaya
penyelamatan diri. Tataguna lahan dalam hal ini meliputi pola/persebaran
permukiman dan jalan.
2) Penyuluhan kebencanaan
Penyuluhan kebencanaan dapat diartikan sebagai upaya penyadaran
masyarakat yang berpotensi terkena dampak bencana agar risiko bencana
dapat ditekan. Pemberian penyuluhan dapat dilakukan oleh lembaga
pemerintah maupun non pemerintah yang bergerak di bidang mitigasi
bencana. Penyuluhan diberikan kepada masyarakat atau perwakilan
masyarakat di kantor kepala desa ataupun di rumah warga, yang bertujuan
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam upaya meminimalisir
risiko bencana.
3) Pelatihan/simulasi tanggap darurat bencana
Pelatihan/simulasi tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan
pelatihan/praktek untuk menangani dampak buruk terjadinya bencana
meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana. Dengan adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
pelatihan tanggap darurat diharapkan masyarakat siap menghadapi
bencana sehingga risiko semakin kecil.
4) Kurikulum sekolah
Memasukkan pendidikan kebencanaan pada kurikulum sekolah dipandang
sangat penting terutama pada sekolah-sekolah yang terletak pada daerah
rawan bencana. Dengan masuknya pendidikan kebencanaan dalam
kurikulum sekolah, maka kesadaran masyarakat dapat dilatih sejak dini.
5) Partisipasi masyartakat dalam pengurangan risiko bencana
Partisipasi masyarakat yang rentan terkena bencana merupakan hal yang
penting dalam melakukan tindakan tanggap darurat serta melakukan
monitoring atas proses penanganan bencana yang dilakukan. Masyarakat
di sebuah daerah yang memiliki potensi mengalami bencana harus terlibat
dan dilibatkan dalam upaya pengurangan risiko bencana.
6) Kelompok lokal penanggulangan bencana
Masyarakat adalah pihak pertama yang merasakan dampak suatu bencana.
Oleh karena itu, dalam suatu kelompok masyarakat harus dibentuk
kelompok-kelompok penanggulangan bencana yang beranggotakan
masyrakat setempat. Dalam kelompok atau komunitas masyarakat,
masing-masing anggota wajib melakukan persiapan. Warga dapat
menentukan prioritas anggota masyarakat yang wajib dibantu saat
evakuasi. Pembagian kelompok warga dalam penanggulangan bencana
disajikan dalam Tabel 3.
7) Bantuan rekonstruksi
Rekonstruksi dilakukan melalui kegiatan pembangunan yang lebih baik,
meliputi pembangunan kembali sarana dan prasarana, pembangkitan
kembali kehidupan sosial dan budaya masyarakat, penerapan rancang
bangun yang tepat, dan penggunaan peralatan yang lebih baik (Naryanto.
HS dkk, 2009:146). Pasca terjadinya bencana, dibutuhkan partisipasi dan
peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha dan
masyarakat, untuk membantu dalam upaya peningkatan kondisi sosial,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
ekonomi, dan budaya, peningkatan fungsi layanan public, serta
peningkatan layanan utama dalam masyarakat.
Tabel 3. Pembagian Kelompok Warga dalam Penanggulangan Bencana.
Kelompok Tugas Syarat anggota Patner
instansi
Evakuasi
Menyebarkan
rancangan evakuasi
kepada warga
Memandu kelompok
warga ke pengungsian
Pria/wanita umur 20-40
tahun
Sehat jasmani dan
rohani
Memiliki daya tahan
stres
Mampu bekerja
dibawah tekanan
Pernah terlibat dalam
bidang kesehatan,
kepanduan, atau
olahraga
Memiliki kemampuan
medis dan perawat
(untuk kelompok
pengobatan dan
perawatan)
Trampil menggunakan
kendaraan mobil, trik
(untuk kelompok
transportasi)
Mampu memasak
makanan sehat dan
higienis untuk
kelompok besar
Mempunyai koneksi
dengan lembaga yang
dapat member bantuan
Tim SAR
Satkorlak /
Satlak
TNI /
POLRI
PMI
Rumah sakit
Dinkes
Dinsos
Dinhub
LSM
Penyelamatan
Membantu korban
Mencari korban yang
hilang
Pangobatan
& perawatan
Memberi pertolongan
pertama bagi korban
Merawat korban yang
luka dan sakit
Transportasi
Membawa warga ke
lokasi pengungsian
Membawa korban ke
rumah sakit
Mendukung mobilitas
kelompok lain
Dapur umum Menyiapkan
kebutuhan pangan para
pengingsi
Pencari
bantuan
Mencari bantuan
pangan, sandang,
tenaga medis, obat,
tenda, tandu, dan
kebutuhan lain
Sumber: Panduan Penanganan Bencana Bagi Pengambil Kebijakan Dan
Pelaksana Program, 2007:109
8) Bantuan kondisi darurat dari APBD
Dana penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab bersama antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Secara umum dana
penganggulangan bencana bersumber dari dana DIPA (APBN dan APBD).
Pada saat terjadi kondisi darurat, BNPB menggunakan dana siap pakai
yaitu dana yang dicadangkan oleh pemerintah untuk dapat dipakai
sewaktu-waktu apabila terjadi bencana (Naryanto. HS dkk, 2009:134).
Penyaluran dana harus dilakukan secara transparan, dan tepat sasaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
sesuai kondisi darurat yang dialami suatu daerah. Selain itu bantuan dalam
kondisi darurat juga bisa berasal dari lembaga swasta.
9) System peringatan dini
System peringatan dini merupakan serangkaian kegiatan pemberian
peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan
terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang
(Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana, 2008:3)
10) System komunikasi
System komunikasi merupakan salah satu hal yang cukup penting dalam
upaya untuk mengurangi risiko bencana. System komunikasi yang ada di
masyarakat menunjukkan tinkat kesiapsiagaan masyarakat itu sendiri.
Dengan system informasi yang baik, informasi jika sewktu-waktu terjadi
bencana dapat segera diterima masyarakat. Oleh Karena itu, sebaiknya
system komunikasi masyarakat sudah canggih, meliputi adanya internet,
HT, HP, televise, radio, sirine, pengeras suara, dan dipadukan dengan alat
komunikasi tradisional seperti kentongan.
11) Rencana darurat
Rencana darurat merupakan serangkaian rencana persiapan untuk
menangani dampak buruk terjadinya bencana meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan
dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta
pemulihan prasarana dan sarana. Rencana tanggap darurat disusun oleh
masyarakat bersama pihak yang berwenang dengan tujuan agar warga siap
menghadapi bencana. Dalam Panduan Penanganan Bencana bagi
Pengambil Kebijakan dan Pelaksana Program (2007:109), rencana tanggap
darurat setidaknya memuat system peringatan dini, rencana penyelamatan,
dan persiapan lokasi pengungsian. Dengan adanya rencana darurat, ketika
terjadi bencana maka masyarakat dapat langsung melakukan tindakan
sesuai rencana, misalnya ketika terdapat peringatan berupa sirine,
kentongan, dll, masyarakat langsung menuju titik kumpul sementara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
kemudian bersama-sama menuju lokasi pengunngsian. Berikut ini skema
rencana darurat secara sederhana.
Gambar 1. Skema rencana darurat secara sederhana.
Sumber: Panduan Penanganan Bencana Bagi Pengambil Kebijakan Dan Pelaksana
Program, 2007:108
12) Menejemen risiko
Menejemen risiko adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana berupa perencanaan tindakan-tindakan yang dapat dilakukan pada
saat sebelum terjadi bencana, saat terjadi bencanan, maupun sesudah
terjadi bencana. Kegiatan menejemen risiko bencana tertuang dalam
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4
Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan
Bencana, yang terdiri dari:
a. Pencegahan/Mitigasi
Pencegahan merupakan upaya untuk menghilangkan dan/atau
mengurangi ancaman dari suatu bencana, sedangkan mitigasi
merupakan upaya untuk mengurangi atau meminimalkan risiko
bencana. Mitigasi pada umumnya dilakukan dalam rangka mengurangi
kerugian akibat kemungkinan terjadinya bencana, baik yang berupa
korban jiwa maupun kerugian harta benda yang akan berpengaruh pada
kehidupan dan kegiatan manusia.
Peringatan
Dini
Menyelamatkan
Diri
Menuju Titik
Kumpul Awal Lokasi
Pengungsian
Sirine
Running text di
televise
Warta radio
Kentongan
Lokasi
terdekat yang
mudah
dijangkau
warga dan
kendaraan
evakuasi
Prioritas wanita
hamil, orang cacat,
anak-anak, dan
manula
Membawa
identitas dan
dokumen berharga
yang mudah
dibawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Tindakan mitigasi dilihat dari sifatnya dapat digolongkan
menjadi 2 (dua) bagian, yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif.
Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain
adalah:
1) Penyusunan peraturan perundang-undangan
2) Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.
3) Pembuatan pedoman/standar/prosedur
4) Pembuatan brosur/leaflet/poster
5) Penelitian / pengkajian karakteristik bencana
6) Pengkajian / analisis risiko bencana
7) Internalisasi PB dalam muatan lokal pendidikan
8) Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
9) Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum
10) Pengarus-utamaan PB dalam perencanaan pembangunan
Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi
aktif antara lain:
1) Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya,
larangan memasuki daerah rawan bencana dsb.
2) Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang
penataan ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan
lain yang berkaitan dengan pencegahan bencana.
3) Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.
4) Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah
yang lebih aman.
5) Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.
6) Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur
evakuasi jika terjadi bencana.
7) Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah,
mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh
bencana, seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan
tahan gempa dan sejenisnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi
yang bersifat nonstruktural (berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan)
dan yang bersifat struktural (berupa bangunan dan prasarana).
b. Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana. Kesiapsiagaan dilaksanakan sebelum kejadian
bencana yang diarahkan pada antisipasi kemungkinan terjadinya
bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian harta benda
dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Kesiapsiagaan mencakup
upaya yang memungkinkan pemerintah, masyarakat dan individu
merespon situasi bencana secara cepat dan efektif dengan
menggunakan kapasitas sendiri. Kesiapsiagaan mencakup penyusunan
rencana tanggap darurat bencana, pertolongan pertama dan
penyelamatan, serta pembentukan mekanisme tanggap darurat yang
sistematis. Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai
teridentifikasi, kegiatan yang dilakukan antara lain :
1) Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur
pendukungnya.
2) Pelatihan siaga/simulasi/gladi/teknis bagi setiap sektor
Penanggulangan bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan
pekerjaan umum).
3) Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan
4) Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik.
5) Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan
terpadu guna mendukung tugas kebencanaan.
6) Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early
warning)
7) Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan)
8) Mobilisasi sumber daya (personil dan prasarana/sarana peralatan)
Kesiapsiagaan terhadap bencana erupsi Gunung berapi sangat
penting, salah satu langkah yang dilakukan adalah pendugaan atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
peramalan suatu kejadian erupsi gunung karena dengan ramalan itu
dapat dilakukan penanggulangan dini terhadap kerusakan serta korban
jiwa. Pada dasarnya aktivitas vulkanisme di dalam perut bumi sangat
sulit diketahui, orang hanya dapat mengamati dan mengukur beberapa
gejalanya di permukaan bumi. Meskipun demikian, orang berusaha
mengetahui kapan dan berapa besarnya erupsi yang akan terjadi agar
dapat memperkecil bahaya yang ditimbulkannya. Hal itu
dimungkinkan karena adanya gejala-gejala yang mendahului suatu
erupsi, misalnya gempa bumi, suhu tanah di sekitar vulkan naik,
kadang-kadang mengalami pembumbungan, perubahan-perubahan
kondisi kimia gas, lava abu vulkanis, dan sebagainya (Vitasari, 2011:
11).
Ada 4 tingkat peringatan dini untuk mitigasi bencana letusan
Merapi yaitu Aktif Normal, Waspada, Siaga dan Awas.
1) Aktif Normal: Pemantauan dan pengamatan dilakukan namun
dengan frekuensi yang tidak terlalu intensif (Paripurno PSMB UPN
Veteran Yogyakarta, 2009 : 63). Masyarakat dalam Kawasan
Rawan Bencana III, II dan I dapat melakukan kegiatan sehari-hari.
Khusus untuk kegiatan di daerah puncak, masyarakat harus tetap
waspada dan mematuhi peraturan Pemerintah Daerah (Pemda)
sesuai dengan saran teknis dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi (PVMBGP) (Sayudi, Nurnaning, Juliani, Muzani,
2011)
2) Waspada: Mulai diberlakukan piket harian di luar jam kerja untuk
memantau perkembangan aktivitas gunung yang bersangkutan.
Pemantauan aktivitas gunung tersebut baik dari aspek geologi,
fisika dan kimia serta pemantauan visual (tinggi asap, suhu
solfatar, suhu air kawah dan suhu air panas) dari pos lebih
ditingkatkan lagi frekuensinya. Semua informasi tersebut akan
disampaikan kepada pemerintah daerah seminggu sekali (Paripurno
PSMB UPN Veteran Yogyakarta, 2009 : 63). Masyarakat dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Kawasan Rawan Bencana III, II dan I dapat melakukan kegiatan
sehari-hari. Khusus untuk kegiatan di Kawasan Rawan Bencana
III, masyarakat harus tetap waspada dan mematuhi peraturan
Pemerintah Daerah (Pemda) sesuai dengan saran teknis dari Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBGP) (Sayudi,
Nurnaning, Juliani, Muzani, 2011)
3) Siaga: Pada status ini laporan harian terhadap perkembangan
aktivitas gunung mulai diberlakukan. Informasi ini juga
disampaikan melalui radio komunikasi. Beberapa ahli akan
ditempatkan di pos pemantauan yang terdekat dengan pusat
aktivitas gunung tersebut (Paripurno PSMB UPN Veteran
Yogyakarta, 2009 : 63). Masyarakat dalam Kawasan Rawan
Bencana III harus mempersiapkan diri untuk mengungsi, dalam
koordinasi Pemerintah Daerah (Pemda) sesuai dengan saran teknis
dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBGP)
(Sayudi, Nurnaning, Juliani, Muzani, 2011)
4) Awas: Bila Gunung ditetapkan statusnya dalam keadaan „awas‟,
maka daerah-daerah yang berkemungkinan terkena ancaman
letusan dianjurkan untuk dihindari, dengan mengosongkan daerah
tersebut dan mengevakuasi penduduk ke tempat yang aman.
Penyebarab informasi kepada masyarakat terus menerus dilakukan
dengan memanfaatkan semua media yang ada : media cetak, media
elektronik, internet dan sebagainya (Paripurno PSMB UPN
Veteran Yogyakarta, 2009 : 63). Masyarakat dalam Kawasa Rawan
Bencana III harus sudah mengungsi dan masarakat dalam Kawasan
Rawan Bencana II dan I harus meningkatkan kewaspadaannya dan
mematuhi Pemerintah Daerah (Pemda) sesuai dengan saran teknis
dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBGP).
Apabila ancaman letusan cenderung membesar maka masyarakat di
Kawasan Rawan Bencana II harus mengungsi. Khusus masyarakat
dalam Kawasan Rawan Bencana I yang bermukim dekat dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
sungai yang berhulu di daerah puncak agar lebih meningkatkan
kewaspadaannya terhadap ancaman lahar bila terjadi hujan
(Sayudi, Nurnaning, Juliani, Muzani, dalam Vitasari 2011).
c. Tanggap Darurat
Tanggap darurat, serangkaian kegiatan untuk memberikan
bantuan kepada korban bencana yang dilakukan dengan segera pada
saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang
ditimbulkan. Tahap Tanggap Darurat merupakan tahap penindakan
atau pengerahan pertolongan untuk membantu masyarakat yang
tertimpa bencana, guna menghindari bertambahnya korban jiwa.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat
meliputi:
1) Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan,
kerugian, dan sumber daya;
2) Penentuan status keadaan darurat bencana;
3) Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
4) Pemenuhan kebutuhan dasar;
5) Perlindungan terhadap kelompok rentan; dan
6) Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
d. Pemulihan
Tahap pemulihan meliputi tahap rehabilitasi dan rekonstruksi.
Upaya yang dilakukan pada tahap rehabilitasi adalah untuk
mengembalikan kondisi daerah yang terkena bencana yang serba tidak
menentu ke kondisi normal yang lebih baik, agar kehidupan dan
penghidupan masyarakat dapat berjalan kembali. Kegiatan-kegiatan
yang dilakukan meliputi:
1) Perbaikan lingkungan daerah bencana;
2) Perbaikan prasarana dan sarana umum;
3) Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat;
4) Pemulihan sosial psikologis;
5) Pelayanan kesehatan;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
6) Rekonsiliasi dan resolusi konflik;
7) Pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya;
8) Pemulihan keamanan dan ketertiban;
9) pemulihan fungsi pemerintahan; dan
10) pemulihan fungsi pelayanan publik
Tahap selanjutnya adalah rekonstruksi. Tahap rekonstruksi
merupakan tahap untuk membangun kembali sarana dan prasarana
yang rusak akibat bencana secara lebih baik dan sempurna yang
dilakukan untuk meningkatkan kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang rusak akibat bencana sehingga menjadi lebih baik.
Oleh sebab itu pembangunannya harus dilakukan melalui suatu
perencanaan yang didahului oleh pengkajian dari berbagai ahli dan
sektor terkait.
1) Pembangunan kembali prasarana dan sarana;
2) Pembangunan kembali sarana sosial masyarakat;
3) Pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat
4) Penerapan rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan
yang lebih baik dan tahan bencana;
5) Partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi kemasyarakatan,
dunia usaha dan masyarakat;
6) Peningkatan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya;
7) Peningkatan fungsi pelayanan publik; atau
8) Peningkatan pelayanan utama dalam masyarakat.
Perencanaan pengurangan risiko bencana disajikan dalam
Gambar 2.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Gambar 2. Tahapan Perencanaan Pengurangan Risiko Bencana
Sumber : Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Penanggulangan Bencana
13) Kapasitas pemerintah lokal/desa
Kapasitas adalah gabungan antara semua kekuatan dan sumberdaya
yang tersedia dalam suatu masyarakat atau organisasi yang dapat
mengurangi tingkat risiko atau akibat dari bencana (Aisyah dkk 2010:
26). Dalam penelitian ini, kapasitas pemerintah lokal dirtikan sebagai
kekuatan pemerintah desa untuk mengurangi risiko bencana. Kekuatan
tersebut meliputi bagaimana pemerintah desa dalam melakukan
kegiatan menejemen risiko bencana.
14) Akses memperoleh bantuan nasional
Akses memperoleh bantuan nasional yang dimaksud adalah
kemampuan masyarakat untuk mencari bantuan darurat. Bantuan bisa
didapatkan dari lembaga pemerintahan maupun non pemerintahan.
Pemerintah desa maupun masyarakat yang mampu dan memiliki akses
kuat ke pihak lain harus mencari bantuan.pencarian bantuan dapat
menghubungi kantor pemerintahan terdekat, kepolisian, atau kantor
pelayanan public milik pemerintah. Selain itu dapat pula menghubungi
stasiun radio atau televise yang dapat memberikan bantuan secara
cepat dan langsungkejadian bencana sekaligus permohonan bantuan ke
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
berbagai pihak (Panduan Penanganan Bencana Bagi Pengambil
Kebijakan Dan Pelaksana Program, 2007:114).
15) Peta bahaya
Peta bahaya adalah peta yang diterbitkan oleh lembaga resmi
pemerintah. Peta tersebut menginformasikan kemungkinan bahaya
yang mengancam, serta sebaran daerah bahayanya. Peta bahaya harus
terpasang di tempat-tempat umum agar mudah dijangkau masyarakat.
4. Gunungapi Merapi
Gunungapi Merapi adalah gunungapi di bagian tengah Pulau Jawa dan
merupakan salah satu gunungapi teraktif di Indonesia. Secara astronomis terletak
pada 7° 32‟ 30‟‟ LS dan 110° 26‟ 30‟‟ BT. Lereng sisi selatan berada dalam
administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada
dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat,
Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi
tenggara ( Data Dasar Gunungapi Indonesia, 1979:250)
Menurut Departemen Pertambangan dan Energi Direktorat Jenderal
Pertambangan, Departemen Vulkanologi, gunung ini sangat berbahaya karena
menurut catatan modern mengalami erupsi (puncak keaktifan) setiap dua sampai
lima tahun sekali dan dikelilingi oleh permukiman yang sangat padat. Sejak tahun
1006, gunung ini sudah meletus sebanyak lebih dari 70 kali. Kota Magelang dan
Kota Yogyakarta adalah kota besar terdekat, berjarak di bawah 30 km dari
puncaknya. Di lerengnya masih terdapat permukiman sampai ketinggian 1700 m
dan hanya berjarak empat kilometer dari puncak.
Gunung yang merupakan salah satu gunungapi yang teraktif di dunia ini
terletak di zona subduksi, dimana Lempeng Indo-Australia terus bergerak ke
bawah Lempeng Eurasia. Letusan di daerah tersebut berlangsung sejak 400.000
tahun lalu, dan sampai 10.000 tahun lalu jenis letusannya adalah efusif kemudian
menjadi eksplosif dengan lava kental yang menimbulkan kubah-kubah lava
(dikutip dari situs resmi BPPTK, http://merapi.bgl.esdm.go.id ).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Letusan-letusan kecil terjadi tiap 2-3 tahun, dan yang lebih besar sekitar 6-
10 tahun sekali. Letusan-letusan Gunungapi Merapi yang dampaknya besar antara
lain di tahun 1006, 1786, 1822, 1872, dan 1930. Letusan besar pada tahun 1006
membuat seluruh bagian tengah Pulau Jawa diselubungi abu. Diperkirakan,
letusan tersebut menyebabkan kerajaan Mataram Kuno harus berpindah ke Jawa
Timur (Otto Sukatno, 2007: vii). Keaktifan Gunungapi Merapi ditetapkan dalam
status bahaya seperti diuraikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Penetapan Status Bahaya Gunungapi Merapi
No Tingkat
Peringatan Dini Tanda-Tanda
1 Aktif Normal
(Level I)
Kegiatan gunungapi berdasarkan pengamatan visual,
kegempaan, dan gejala vulkaik tidak memperlihatkan
adanya kelainan.
2 Waspada
(Level II)
Terjadi peningkatan kegiatan berupa kelainan yang
tampak secara visual atau hasil pemeriksaan kawah,
kegempaan, dan gejala vulkanik lainnya.
3 Siaga
(level III)
Peningkatan semakin nyata hasil pengamatan
visual/pemeriksaan kawah, kegempaan, dan metoda
lain saling mendukung. Berdasarkan analisis,
perubahan kegiatan cenderung diikuti letusan.
4 Awas
(Level IV)
Menjelang letusan utama, letusan awal mulai terjadi
berupa abu/asap. Berdasarkan analisis data
pengamatan, segera akan diikuti letusan utama.
Sumber: Naryanto. HS dkk, 2009:134
Hasil penelitian stratigrafi menunjukkan sejarah terbentuknya Gunungapi
Merapi sangat kompleks. Wirakusumah (1989) membagi Geologi Gunungapi
Merapi menjadi 2 kelompok besar yaitu Merapi Muda dan Merapi Tua
(www.merapi.bgl.esdm.go.id). Penelitian selanjutnya (Berthomier, 1990; Newhall
& Bronto, 1995; Newhall et.al, 2000) menemukan unit-unit stratigrafi di Merapi
yang semakin detil (www.merapi.bgl.esdm.go.id). Menurut Berthommier,1990
berdasarkan studi stratigrafi, sejarah Gunungapi Merapi dapat dibagi atas 4
bagian:
(a) PRA MERAPI (+ 400.000 tahun lalu)
Disebut sebagai Gunung Bibi dengan magma andesit-basaltik berumur ±
700.000 tahun terletak di lereng timur Merapi termasuk Kabupaten Boyolali.
Batuan gunung Bibi bersifat andesit-basaltik namun tidak mengandung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
orthopyroxen. Puncak Bibi mempunyai ketinggian sekitar 2050 m di atas
muka laut dengan jarak datar antara puncak Bibi dan puncak Merapi sekarang
sekitar 2.5 km. Karena umurnya yang sangat tua Gunung Bibi mengalami
alterasi yang kuat sehingga contoh batuan segar sulit ditemukan.
(b) MERAPI TUA (60.000 – 8000 tahun lalu)
Pada masa ini mulai lahir yang dikenal sebagai Gunung Merapi yang
merupakan fase awal dari pembentukannya dengan kerucut belum sempurna.
Ekstrusi awalnya berupa lava basaltik yang membentuk Gunung Turgo dan
Plawangan berumur sekitar 40.000 tahun. Produk aktivitasnya terdiri dari
batuan dengan komposisi andesit basaltik dari awanpanas, breksiasi lava dan
lahar.
(c) MERAPI PERTENGAHAN (8000 – 2000 tahun lalu)
Terjadi beberapa lelehan lava andesitik yang menyusun bukit Batulawang dan
Gajahmungkur, yang saat ini nampak di lereng utara Merapi. Batuannya
terdiri dari aliran lava, breksiasi lava dan awan panas. Aktivitas Merapi
dicirikan dengan letusan efusif (lelehan) dan eksplosif. Diperkirakan juga
terjadi letusan eksplosif dengan “debris-avalanche” ke arah barat yang
meninggalkan morfologi tapal-kuda dengan panjang 7 km, lebar 1-2 km
dengan beberapa bukit di lereng barat. Pada periode ini terbentuk Kawah
Pasarbubar.
(d) MERAPI BARU (2000 tahun lalu – sekarang)
Dalam kawah Pasarbubar terbentuk kerucut puncak Merapi yang saat ini
disebut sebagai Gunung Anyar yang saat ini menjadi pusat aktivitas Merapi.
Batuan dasar dari Merapi diperkirakan berumur Merapi Tua. Sedangkan
Merapi yang sekarang ini berumur sekitar 2000 tahun. Letusan besar dari
Gunungapi Merapi terjadi di masa lalu yang dalam sebaran materialnya telah
menutupi Candi Sambisari yang terletak ± 23 km selatan dari Gunungapi
Merapi. Studi stratigrafi yang dilakukan oleh Andreastuti (1999) telah
menunjukkan bahwa beberapa letusan besar, dengan indek letusan (VEI)
sekitar 4, tipe Plinian, telah terjadi di masa lalu. Letusan besar terakhir dengan
sebaran yang cukup luas menghasilkan Selokopo tephra yang terjadi sekitar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
sekitar 500 tahun yang lalu. Erupsi eksplosif yang lebih kecil teramati
diperkirakan 250 tahun lalu yang menghasilkan Pasarbubar tephra
(www.merapi.bgl.esdm.go.id).
Gambar 3: Tampilan 3 dimensi Gunungapi Merapi wilayah Kabupaten Boyolali.
Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Gambar di atas menunjukkan penampang tiga dimensi Gunungapi Merapi
wilayah Kabupaten Boyolali, tepatnya di sisi lereng timur Gunungapi Merapi.
Warna merah menunjukkan Kawasan Rawan Bencana 3 dan warna kuning
menunjukkan Kawasan Rawan Bencana 2. Kawasan Rawan Bencana 3 dan
Kawasan Rawan Bencana 2 hanya mencakup Taman Nasional Gunungapi Merapi,
sedangkan permukiman-permukiman di lereng timur Gunungapi Merapi tidak
termasuk dalam Kawasan Rawan Bencana 3 dan Kawasan Rawan Bencana 2,
namun termasuk dalam kawasan yang berisiko/berpotensi terlanda material
piroklastik jatuhan dengan ukuran lebih dari 2 mm.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
5. Piroklastik
Piroklastik adalah batuan yang bertekstur klastik yang dihasilkan oleh
serangkaian proses yang berkaitan dengan letusan gunungapi, dengan material
asal yang berbeda, dimana material penyusun tersebut terendapkan dan
terkonsolidasi sebelum mengalami transportasi (“rewarking”) oleh air atau es
(William 1982 dalam Endarto, 2005:47).
Batuan hasil letusan gunungapi dapat berupa suatu hasil lelehan yang
merupakan lava dan dapat pula berupa produk ledakan atau eksplorasif yang
bersifat fragmental dari semua bentuk cair, gas, atau padat yang dikeluarkan
dengan jalan erupsi. Berdasarkan ukurannya, material piroklastik dapat dibedakan
sebagai berikut:
a) Bomb Gunungapi
Bom adalah gumpalan-gumpalan lava yang mempunyai ukuran lebih besar
dari 64 mm. Daerah ini sebagian atau semuanya berwujud plastik pada waktu
tererupsi. Beberapa bom mempunyai ukuran sangat besar. Sebagai contoh
bomb yang berukuran sangat besar dengan diameter 5 meter seberat 200 kg.
bomb gunungapi merupakan bahan hamburan yang dikeluarkan dalam kondisi
cair, sehingga selama bahan tersebut berada di udara memungkinkan
terjadinya bentuk membulat hingga menyudut. Berdasarkan bentuk luarnya,
bomb gunungapi dibedakan menjadi:
(1) Bom terputar, merupakan bomb yang berbentuk airmata atau
menampakkan gejala telah terputar akibat pergerakan memutar selama di
udara.
(2) Bom tahi-sapi, merupakan bomb yang berbentuk pipih akibat benturan
yang terjadi akibat benturan ketika masih berada dalam kondisi setengah
padat.
(3) Bom kerak roti, merupakan bomb dengan ciri-ciri jaringan retakan terbuka
pada bagian permukaannya, dimana retakan tersebut akan meluas kearah
dalam setelah terjadi pembekuan.
(4) Bom pita, yaitu bom yang memanjang seperti suling dan sebagian
gelembung-gelembung memanjang dengan arah sama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
(5) Bom teras, yaitu bomb yang mempunyai inti dari material yang
terkonsolidasi terlebih dahulu, mungkin dari fragmen-fragmen sisa erupsi
terdahulu pada gunungapi yang sama.
b) Block Gunungapi
Block gunungapi merupakan batuan piroklastik yang dihasilkan oleh erupsi
eksplosif dari fragmen batuan yang telah memadat lebih dahulu dengan
ukuran lebih besar dari 64mm.
c) Lapilli
Lapilli berasal dari bahasa latin lapillus, yaitu nama untuk hasil eksplosif
gunungapi yang berukuran 2mm - 64mm.
d) Debu/abu Gunungapi
Debu gunungapi adalah batuan piroklastik yang berukuran 2mm – 1/256 mm
yang dihasilkan oleh pelemparan dari magama akibat erupsi eksplosif. Ada
juga debu gunungapi yang terjadi karena proses penggesekan pada waktu
erupsi gunungapi.
B. Penelitian yang Relevan
Aisyah, N. dkk (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Penerapan
Sistem Indikator Berbasis Komunitas untuk Pemetaan dan Analisis Risiko
Terhadap Bahaya Awan Panas di Merapi Tahun 2009 bertujuan mengetahui
tingkat risiko terhadap awan panas di lereng Merapi. Metode yang digunakan
adalah metode berbasis analisis risiko berbasis indikator dan skoring dengan
metode Analitical Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan bobot masing-
masing indikator. Teknik sampling yang digunakan dalam pengambilan sampel
adalah purposive sampling, dengan kriteria daerah yang dialiri awan panas yaitu
Kawasan Rawan Bencana 3 dan Kawasan Rawan Bencana 2 terdiri dari 29 desa.
Hasil penelitian menunjukkan tiga tingkat risiko awan panas, yaitu risiko tinggi,
sedang, dan rendah. Desa dengan tingkat risiko tinggi terdiri dari 9 desa, desa
dengan tingkat risiko sedang terdiri dari 13 desa, desa dengan tingkat risiko
rendah terdiri dari 7 desa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Deliana (2011) dalam penelitiannya yang berjudul Tingkat Bahaya lahar
Gunung Merapi Terhadap Lapangan Golf Merapi Kabupaten Sleman Daerah
Istimewa Yogyakarta dengan tujuan : (1) mengetahi arah aliran lahar, termasuk
luapan lahar yang menuju ke lapangan golf, dan (2) mengetahui mengetahui
tingkat bahaya lahar di daerah lapangan golf Merapi. Metode yang digunakan
adalah metode klasifikasi dengan pemberian skor melalui system skoring.
Pemberian skor suatu parameter berdasarkan kontribusi parameter tersebut
terhadap proses kejadian lahar. Teknik sampling yang digunakan dalam
pengambilan sampel adalah purposive sampling, dengan mempertimbangkan
morfologi DAS dan morfologi sungai Kuning dan sungai Gendol. Hasil penelitian
menunjukkan arah aliran lahar dan luapan lahar yang mengarah ke lapangan golf
melalui beberapa lembah. Tingkat bahaya lapangan golf merapi dinyatakan
terletak pada daerah dengan tingkat bahaya III dan IV.
Mudmainah Vitasari (2011) Melakukan penelitian dengan judul
“Asesmen Kerentanan Dan Kapasitas Desa Dalam Kesiapsiagaan Bencana
Berbasis Masyarakat Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi Di Kabupaten
Magelang”. Mengetahui kerentanan Kawasan Rawan Bencana terhadap erupsi
Gunung Merapi di Kabupaten Magelang. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui
prioritas kerentanan Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi di Kabupaten
Magelang, mengetahui kapasitas Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi di
Kabupaten Magelang, mengidentifikasi tindakan/aksi kesiapsiagaan bencana yang
akan dilakukan masyarakat Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi di
Kabupaten Magelang, mengetahui prioritas tindakan/aksi kesiapsiagaan bencana
yang akan dilakukan masyarakat Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi di
Kabupaten Magelang. Penelitian ini menggunakan untuk metode penelitian
deskriptif dan historis pendekatan Vulnerability and Capacity Assesment (VCA)
dan analisis skoring, Participatory Rural Appriasal (PRA) dan semiPRA.
Penelitian ini direncanakan berjudul “Penggunaan Metode Analytical
Hierarchy Process (AHP) untuk Penilaian Risiko Lontaran Piroklastik di Lereng
Timur Gunungapi Merapi 2012” dengan tujuan untuk mengetahui bahaya lontaran
piroklastik jatuhan di daerah penelitian, mengetahui kerentanan masyarakat di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
daerah penelitian memetakan sarana sosial ekonomi masyarakat di daerah
penelitian mengetahui kapasitas masyarakat di daerah penelitian menilai tingkat
risiko lontaran piroklastik di daerah penelitian. Metode yang digunakan adalah
penerapan indikator berbasis masyarakat, dengan teknik scoring menggunakan
metode AHP (Analitycal Hierarchy Process). Penelitian yang relevan secara
singkat diuraikan dalam Tabel 5.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
C. Kerangka Pemikiran
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis (UU 24/2007).
Salah satu bencana yang terjadi karena faktor alam adalah bencana erupsi
gunungapi, seperti yang terjadi pada gunung Merapi. Gunung Merapi memiliki
tipe letusan yang khas, mulai dari eksplosif hingga disertai luncuran awan panas.
Sebagai akibat dari tipe letusan tersebut, gunung Merapi menyimpan potensi
bahaya yang beragam, yaitu ancaman bahaya primer meliputi ancaman awan
panas, kebakaran hutan, serta eksplosif atau lontaran material piroklastik. Bahaya
sekunder letusan gunung Merapi meliputi banjir lahar dingin dan kesulitan air
bersih.
Berdasarkan potensi berbagai bahaya yang mengancam, gunung Merapi
dibagi menjadi 4 (tiga) zona bahaya yang dibatasi kriteria bahaya tertentu dan
divisualkan sebagai kawasan rawan bencana I, kawasan rawan bencana II,
kawasan rawan bencana III, serta kawasan yang berpotensi terhadap lontaran
material piroklastik hasil letusan. Kawasan yang berpotensi terhadap lontaran
material piroklastik diukur berdasarkan jarak rata-rata jangkauan letusan gunung
Merapi kira-kira mencapai 10 km dari puncak Merapi.
Kawasan yang berpotensi terkena lontaran piroklastik jatuhan adalah
lereng timur gunung Merapi yang mencakup 2 (dua) kecamatan yaitu kecamatan
Musuk, dan kecamatan Cepogo kabupaten Boyolali. Dua kecamatan tersebut,
sebagian wilayahnya merupakan daerah yang berpotensi terlanda lontaran
material piroklastik jatuhan. Kawasan lereng timur gunung Merapi tidak menjadi
bagian utama kawasan rawan bencana I, II, dan III, tetapi hanya sebagian kecil
saja. Hal tersebut dikarenakan lereng sebelah timur gunung Merapi terdapat
gunung Bibi yang menjadi pelindung alami terhadap aliran piroklastik.
Keberadaan gunung Bibi tersebut membelokkan arah aliran piroklastik ke arah
selatan. Meskipun tidak termasuk bagian utama kawasan rawan bencana I, II, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
III, kawasan lereng timur dan utara memiliki risiko yang sama besarnya terhadap
kemungkinan terlanda lontaran material piroklastik jatuhan dan perlu diwaspadai.
Penelitian ini berusaha untuk mengetahui besarnya risiko bencana erupsi
gunung Merapi terhadap lontaran piroklastik jatuhan yang mungkin terjadi di
daerah penelitian, sehingga diharapkan masyarakat memiliki kesiapan yang cukup
untuk menghadapi bahaya yang mungkin terjadi.
Penilaian besarnya risiko lontaran piroklastik dalam penelitian ini harus
melalui beberapa tahapan, yaitu analisis bahaya, analisis kerentanan, analisis
keberadaan populasi dan sarana prasarana, dan analisis kapasitas masyarakat.
Untuk mengetahui nilai bahaya, kerentanan, keterdapatan, dan kapsitas, dihitung
dengan pembobotan masing-masing indikator terlebih dahulu. Pembobotan
dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP), setelah itu
dilakukan scoring menggunakan skala tertentu. Setelah diketahui nilai bahaya,
kerentanan, keterdapatan, dan kapsitasnya, tahap selanjutnya adalah menganalisis
risiko bencana.
Melalui tahapan-tahapan tersebut dapat diperoleh informasi tentang
besarnya risiko lontaran piroklastik akibat erupsi Gunung Merapi di daerah
penelitian. Informasi tersebut mempunyai peranan untuk dapat mengetahui
besarnya potensi di setiap desa yang diteliti. Adapun untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada diagram alir Gambar 4.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Gambar 4. Kerangka Pemikiran Penelitian.
Bencana Erupsi Gunung Merapi
Kawasan Rawan Bencana 1
Kawasan Rawan Bencana 2
Kawasan Rawan Bencana 3
Bahaya
Keberadaan Kerentanan Kapasitas
Tingkat Risiko Terhadap Lontaran Piroklastik
Kawasan Berpotensi Terlanda
Lontaran Piroklastik Jatuhan
di Lereng Timur Gunung
Merapi (0-10 km)
Ketidaksiapan
masyarakat menghadapi
bencana
Perlu dilakukan analisis
risiko
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Daerah / Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian dilakukan di lereng bagian timur Gunungapi Merapi,
tepatnya di sebagian Kecamatan Musuk dan sebagian Kecamatan Cepogo
Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi penelitian di Kecamatan
Musuk terdiri dari 9 (sembilan) desa, dan di Kecamatan Cepogo terdiri dari 8
(delapan) desa. Pemilihan lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive)
dengan pertimbangan Kecamatan Musuk dan Kecamatan Cepogo termasuk daerah
berisiko terhadap erupsi Gunungapi Merapi dan berpotensi terkena dampak
langsung erupsi Gunungapi Merapi terutama lontaran piroklastik jatuhan.
B. Waktu Penelitian
Penelitian ini direncanakan selama sembilan bulan, dimulai bulan
Desember 2011 hingga bulan Agustus 2012. Waktu tersebut digunakan mulai dari
tahap persiapan, penyusunan proposal penelitian, pengumpulan data, pengolahan
data hingga penyusunan laporan penelitian, dengan perincian sebagai berikut.
Tabel 6. Rincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian.
No Kegiatan
Waktu
2011 2012
Des Jan Feb Mar Aprl Mei Juni Juli Agst
1 Persiapan
2 Penulisan proposal
3 Penyusunan
instrumen
4 Pengumpulan data
5 Analisis data
6 Penulisan laporan
C. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian dengan pendekatan deskriptif,
dengan desa sebagai satuan analisis. Menurut Nawawi (1990: 45), Metode
deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki,
dengan menggambarkan/melukiskan keadaan obyek penelitian pada saat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
sekarang, berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Dalam
penelitian ini metode deskriptif dilakukan untuk mengungkapkan fakta, masalah
dan karakteristik masyarakat di kawasan berpotensi terkena lontaran piroklastik
jatuhan Gunungapi Merapi Kabupaten Boyolali.
Penelitian ini menggunakan pendekatan Analytical Hierarchy Process
(AHP) dengan sistem indikator berbasis masyarakat. Penggunaan sistem indikator
berbasis masyarakat dikarenakan lontaran piroklastik jatuhan tidak dapat dibatasi
dengan analisis topografi, sehingga data-data diambil dan dianalisis berdasarkan
informasi masyarakat. Dalam penelitian ini, metode AHP digunakan untuk
menentukan bobot masing-masing indikator sesuai dengan tingkat
kepentingannya. Penentuan bobot indikator dilakukan untuk melakukan skoring
bahaya, kerentanan, keberadaan, serta kapasitas masyarakat sehingga diperoleh
skor risiko terhadap lontaran piroklastik jatuhan di daerah penelitian.
D. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keseluruhan
masyarakat desa di Kecamatan Musuk dan Kecamatan Cepogo yang termasuk
dalam kawasan berisiko terhadap erupsi Gunungapi Merapi dan berpotensi
terlanda lontaran piroklastik jatuhan.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari objek atau individu – individu yang mewakili
suatu populasi (Tika, 1997:33). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini
dengan cara purposive sampling yaitu sampel yang dipilih secara cermat dengan
mengambil orang atau obyek penelitian yang selektif dan mempunyai ciri-ciri
yang spesifik. Sampel yang diambil memiliki cirri-ciri khusus dari populasi
sehingga dapat dianggap cukup representative (Tika, 1997: 53). Dalam penelitian
ini purposive sampling digunakan untuk memilih masyarakat yang akan dijadikan
narasumber di setiap desa yang diteliti. Ciri-ciri masyarakat yang dijadikan
sampel adalah tokoh masyarakat/perangkat desa (kepala desa / sekretaris desa),
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
pengurus organisasi pengurangan risiko bencana (jika ada), serta wakil
masyarakat korban bencana yang diwakili oleh ketua RT/RW.
Sampel narasumber pada setiap desa di daerah penelitian adalah 10 orang
dengan rincian satu orang perangkat desa (kepala desa / sekretaris desa), satu
orang pengurus organisasi pengurangan risiko bencana (ketua / wakil ketua /
sekretaris), dan delapan orang perwakilan warga yang diwakili oleh ketua RT.
Dalam hal ini, perwakilan warga ditentukan secara sistematis dengan
mempertimbangkan kemerataan di setiap desa. Jumlah total sampel adalah 170
orang. Teknik pengambilan sampel tersebut dipilih selain sudah dapat mewakili
populasi yang ada, karena adanya keterbatasan tenaga, waktu, biaya, dan
pengetahuan yang dimiliki.
E. Data dan Variabel Penelitian
1. Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini dari beberapa sumber dan
dibedakan menjadi dua macam, yaitu data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari responden atau
objek yang diteliti, atau ada hubungannya dengan yang diteliti (Tika,
1997:67). Data primer diperoleh langsung melalui observasi lapangan daerah
penelitian dan wawancara. Dalam hal ini observasi lapangan dilakukan untuk
mengetahui kondisi fisik daerah penelitian. Wawancara dilakukan kepada
masyarakat yang tinggal di permukiman yang dinilai rawan bencana di
Kecamatan Musuk dengan menggunakan lembar pedoman wawancara yang
bertujuan untuk mengetahui berbagai hal yang berhubungan dengan bahaya
lontaran piroklastik, dan kerentanan social ekonomi, serta kapasitas
masyarakat. Data primer dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang telah lebih dahulu dikumpulkan dan
dilaporkan oleh orang atau instansi di luar diri peneliti sendiri, walaupun data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
yang dikumpulkan itu sesungguhnya data yang asli (Tika, 1997:67). Data
sekunder digunakan untuk melengkapi data primer dan sebagai alat bantu
analisa data. Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini disajikan
dalam Tabel 8.
Tabel 7. Teknik Pengambilan Data
No. Teknik Pengambilan Data Data
1. Observasi Langsung Kondisi fisik a. Jalan
b. sistem air bersih
2. Wawancara 1. Tingkat pendidikan
2. Mata pencaharian
3. Fasilitas umum
4. Kesiapan mengahadapi bencana
5. Persepsi masyarakat terhadap
bencana
6. Sikap masyarakat
7. Kesiapan masyarakat
8. Dampak lontaran piroklastik
9. Bahaya lontaran piroklastik
Tabel 8. Data Sekunder Penelitian
No Data Sekunder Sumber Data
1 Peta Kawasan Rawan
Bencana Gunungapi Merapi
Tahun 2010
BPPTK
BPBD Kab. Boyolali
2 Monografi Penduduk Tahun
2010 Monografi Desa
Kecamatan Musuk dalam Angka Tahun
2010
Kecamatan Cepogo dalam Angka Tahun
2010
Kabupaten Boyolali dalam Angka tahun
2010
2. Variabel
Variabel merupakan konsep yang memiliki variasi nilai. Pengukuran
variabel merupakan kegiatan untuk menentukan nilai suatu unsur penelitian.
Sesuai dengan judul penelitian yaitu “Penggunaan Metode Analytical Hierarchy
Process (AHP) Untuk Penilaian Risiko Lontaran Piroklastik Di Lereng Timur
Gunungapi Merapi 2012”, maka variabel yang diteliti adalah variabel yang dapat
mewakili faktor-faktor yang menjadi kriteria dalam menganalisis risiko lontaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
material piroklastik Gunungapi Merapi. Variabel-variabel tersebut dirinci dalam
sejumlah indikator yang disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9. Variabel dan Indikator Penyusunan Risiko Lontaran Piroklastik
Gunungapi Merapi Kecamatan Musuk dan Cepogo Kabupaten Boyolali.
No. Variabel Indikator
1. Bahaya 1. Kawasan berpotensi terlanda piroklastik jatuhan
2. Jarak dari pusat erupsi
3. Ketebalan endapan piroklastik
4. Jenis dan ukuran piroklastik jatuhan
5. Kerusakan tempat tinggal
6. Kerusakan lahan pertanian
7. Kesulitan air bersih
2. Kerentanan 1. Presentase penduduk lansia ( >65 tahun )
2. Presentase penduduk < 5 tahun
3. Presentase ibu hamil
4. ketersediaan air bersih
5. Tingkat kesejahteraan
6. Tipe bangunan
7. Akses jalan
8. Transportasi
9. Sikap masyarakat menghadapi bencana
10. Partisipasi komunitas
3. Keterdapatan 1. Populasi
2. Jumlah bangunan fisik
3. Infrastuktur sarana air
4. Total kekayaan desa
4. Kapasitas 1. Penyuluhan
2. Pelatihan tanggap darurat
3. Partisipasi masyarakat
4. LSM atau kelompok local kebencanaan
5. Manajemen risiko
6. Sistem peringatan dini
7. Peta bahaya
8. Kapasitas pemerintah lokal
9. Rencana emergensi
10. Komunikasi
11. Ketersediaan dana darurat
12. Akses memperoleh bantuan nasional
Sumber: Aisyah, N. dkk dan modifikasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
F. Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi Lapangan
Tika (1997: 67) mengartikan observasi adalah cara dan teknik
pengumpulan data dengan melakukan pengamatan dan pencatatan secara
sistematik terhadap gejala atau fenomena yang ada pada obyek penelitian.
Kegiatan observasi dilakukan secara langsung terhadap obyek di tempat penelitian
dengan cara sistematik atau berstruktur, yaitu menentukan unsur-unsur utama
yang akan diobservasi secara sistematik. Unsur-unsur yang ditentukan tersebut
disesuaikan dengan tujuan penelitian yang telah dibuat. Dalam hal ini, observasi
langsung dilakukan untuk memperoleh data penggunaan lahan meliputi
permukiman, lahan pertanian, perkebunan, dan hutan serta kondisi fisik meliputi
jalan dan prasarana air bersih.
2. Wawancara
Wawancara digunakan untuk memperoleh informasi secara langsung dari
informan sehingga data yang diperoleh dapat lebih dipercaya. Menurut Nasution
dalam Tika (1997: 75) wawancara (interview) adalah suatu bentuk komunikasi
verbal. Jadi semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi. Melalui
wawancara dengan informan, maka akan didapat data yang akurat dan relevan.
Teknik wawancara yang dilakukan adalah dengan mengajukan pertanyaan kepada
informan untuk mendapatkan data mengenai permasalahan yang sedang diteliti.
Penelitian ini menggunakan teknik wawancara terbuka dan terstruktur.
Dimana pokok-pokok pertanyaan diatur secara terstruktur agar pertanyaannya
lebih terarah dengan orang yang diwawancarai mengenai maksud dan tujuan dari
wawancara yang dilakukan. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan guna
memperoleh data yang lengkap, lebih baik dan dapat dipercaya.
Wawancara dilakukan dengan masyarakat dimasing-masing daerah sampel
berdasarkan atas panduan wawancara yang telah disusun sebelumnya. Wawancara
yang dilakukan bertujuan untuk memperoleh data tentang: tingkat pendidikan,
mata pencaharian, adat istiadat terkait Gunungapi Merapi, fasilitas umum,
kesiapan mengahadapi bencana, persepsi masyarakat terhadap bencana, sikap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
masyarakat, kesiapan masyarakat, dampak lontaran piroklastik, bahaya lontaran
piroklastik.
3. Dokumentasi
Teknik ini digunakan untuk mendapatkan data atau informasi secara
tertulis atau dalam bentuk Gambar atau peta yang didapat dari kantor atau instansi
yang terkait, perpustakaan dan arsip yang menunjang penelitian. Teknik ini
dilaksanakan dengan mencatat, menyalin, mempelajari dan memilah data yang
termuat baik berupa peta, diagram, maupun buku-buku sesuai kebutuhan
penelitian. Metode dokumentasi digunakan untuk mencari data mengenai kawasan
rawan bencana merapi, dampak erupsi, monografi penduduk di daerah penelitian.
G. Teknik Analisis Data
Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data agar lebih mudah
dibaca, dipahami, dan diinterpretasikan. Secara umum, analisis yang akan
digunakan dalam penelitian ini merupakan gabungan dari analisis kualitatif
(diskriptif) dan analisis kuantitatif (skoring). Pendekatan kualitatif akan
diterapkan dalam analisis risiko lontaran material piroklastik Gunungapi Merapi.
Sebelum melakukan analisis data, terlebih dahulu dilakukan pembobotan
masing-masing indikator untuk menentukan prioritas setiap indikator terhadap
indikator lainnya. Penentuan bobot indikator menggunakan metode AHP dengan
langkah sebagai berikut:
a. Membuat matrik perbandingan berpasangan
Nilai perbandingan indikator dibuat berdasarkan tingkat kepentingan setiap
indikator dalam penilaian risiko lontaran material piroklastik Gunungapi
Merapi. Nilai perbandingan dapat ditentukan sesuai intensitas kepentingan
terhadap sesama indikator, dengan skala yang disajikan dalam Tabel 10.
b. Menyusun sintesis prioritas yang berfungsi sebagai cara untuk memperoleh
keseluruhan proritas indikator. Pada tahap ini, setiap nilai perbandingan
berpasangan dibagi dengan jumlah nilai perbandingan berpasangan tiap kolom
matrik. Selanjutnya dilakukan penjumlahan nilai pembagian tiap baris. Nilai
pembagian antara nilai total tiap baris terhadap jumlah indikator menghasilkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
nilai prioritas tiap indikator. Nilai ini dikalikanterhadap bobot setiap factor dan
menghasilkan nilai bobot setiap indikator. Skor akhir untuk memperoleh nilai
bahaya, kerentanan, keterdapatan, dan kapasitas diperoleh dengan mengalikan
bobot setiap indikator dengan nilai skala setiap indikator yang diperoleh dari
hasil survey, sesuai dengan persamaan berikut:
H = wH1 x X’H1 + wH2 x X’H2 + wH3 x X’H3 + …… + wHn x X’Hn
V = wV1 x X’V1 + wV2 x X’V2 + wV3 x X’V3 + …… + wVn x X’Vn
E = wE1 x X’E1 + wE2 x X’E2 + wE3 x X’E3 + ………..+ wEn x X’En
C = wC1 x X’C1 + Wc2 x X’C2 + wC3 x X’C3 + ……… + wCn x X’Cn
R = (wH+wV+wE) – wC
Keterangan:
W= bobot indikator
X’= nilai skala indikator yang diperoleh dari skoring data hasil survey
Tabel 10. Nilai Skala Pembanding Intensitas
Kepentingan Keterangan
1 Kedua elemen sama pentingnya, dua elemen mempunyai pengaruh yang sama
besar
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yanga lainnya,
pengalaman dan penilaian sedikit menyokong satu elemen dibandingkan elemen
yang lainnya
5
Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya, pengalaman dan
penilaian sangat kuat menyokong satu elemen dibandingkan elemen yang
lainnya
7
Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya, satu elemen
yang kuat disokong dan dominan terlihat dalam praktek. Satu elemen mutlak
penting daripada elemen lainnya, bukti yang mendukung elemen yang satu
terhadap elemen lain memeliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin
menguatkan.
9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya
2, 4, 6, 8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang berdekatan, nilai ini
diberikan bila ada dua kompromi di antara 2 pilihan
Kebalikan Kebalikan = Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka dibanding dengan
aktivitas j , maka j mempunyai nilai kebalikannya dibanding dengan i
Sumber: Thomas L Saaty (Int. J. Services Sciences, Vol. 1, No. 1, 2008: 86)
c. Memeriksa konsistensi hirarki. Yang diukur dalam AHP adalah rasio
konsistensi dengan melihat index konsistensi. Konsistensi yang diharapkan
adalah yang mendekati sempurna agar menghasilkan keputusan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
mendekati valid. Walaupun sulit untuk mencapai yang sempurna, rasio
konsistensi diharapkan kurang dari atau sama dengan 0,100. Untuk memeriksa
konsistensi hierarki digunakan rumus sebagai berikut:
CI = (
) Tabel 11. Daftar Nilai IR dan Ukuran Matrik
(
)
Apabila CR <0,100, maka
kopmposisi prioritas dan bobot
indikator dapat diterima.
Berikut ini adalah Gambaran singkat dari beberapa metode/teknik analisis
yang dilakukan.
1. Mengetahui bahaya lontaran piroklastik jatuhan di daerah penelitian.
Untuk mengetahui tingkat bahaya erupsi gunung merapi, digunakan teknik
skoring dengan menggunakan metode AHP. Teknik skoring didasarkan pada
beberapa factor bahaya yang diakibatkan oleh lontaran piroklastik jatuhan.
Masing-masing indikator bahaya mempunyai kisaran penilaian/skor dengan skala
penilaian antara 1 – 3. Skor bahaya lontaran piroklastik gunung Merapi dihitung
dengan mengalikan skala setiap indikator dengan bobot setiap indikator. Setelah
hasil penskoran indikator bahaya masing-masing desa diketahui, tingkat bahaya
dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas bahaya yaitu rendah, sedang, tinggi.
Pembagian kelas bahaya dilakukan dengan cara skor tertinggi dikurangi skor
terendah dibagi jumlah kelas. Skala dan bobot indikator bahaya disajikan dalam
Tabel 12, hasil skoring dan pembagian kelas bahaya masing-masing desa
disajikan dalam tabel 13.
Nilai bahaya setiap desa dihitung dengan persamaan:
H = wH1 x X’H1 + wH2 x X’H2 + wH3 x X’H3 + …… + wHn x X’Hn
Keterangan:
W= bobot indikator
X’= nilai skala indikator yang diperoleh dari skoring data hasil survei
Ukuran
Matrik
Nilai IR Ukuran
Matrik
Nilai IR
1,2 0,00 9 1,45
3 0,58 10 1,49
4 0,90 11 1,51
5 1,12 12 1,48
6 1,24 13 1,56
7 1,32 14 1,57
8 1,41 15 1,59
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Tabel 12. Tabel Skala Dan Bobot Variable Bahaya Variabel Komponen Indikator Kriteria Skala Bobot
Bahaya Kemungki
nan
bahaya
Kawasan
berpotensi terlanda
piroklastik jatuhan
Berada pada jarak 10 km dari pusat
erupsi 3
Jarak dari pusat
erupsi
0-5 km
6-10km
3
2
Jenis dan ukuran
piroklastik jatuhan
Bomb ( ukuran material > 64mm )
lapilli ( ukuran material 2-64 mm )
Abu / debu ( ukuran material <2mm)
3
2
1
Ketebalan endapan
piroklastik
>2cm
<2cm
3
1
Kesulitan air bersih Mengalami kesulitan air bersih
tidak mengalami kesulitan air bersih
3
1
Kerusakan tempat
tinggal
kerusakan parah, merobohkan seluruh
bangunan
Kerusakan ringan, merobohkan sebagian
atap
tidak terdapat kerusakan yang berarti
3
2
1
Kerusakan lahan
pertanian
kerusakan parah, terkubur kerikil dan
pasir
Kerusakan ringan, tertutup abu dan
dapat ditanami lagi
tidak terdapat kerusakan yang berarti
3
2
1
Total Bobot Dan Total Skor Variabel Bahaya
Sumber: Aisyah, N., Nandaka, A. IGM. Miswanto., Djalal. Y., Asman., Sayudi.
D.S., Muzani, M. 2009: 19 dan modifikasi.
Tabel 13. Tabel Skoring Variable Bahaya Setiap Desa
No Desa Total Skor Tingkat Bahaya
1 Cluntang
2 Mriyan
3 Sangup
4 Jemowo
5 Sumur
6 Lanjaran
7 Sruni
8 Ringinlarik
9 Kebangsari
10 Wonodoyo
11 Jombong
12 Sumbung
13 Gedangan
14 Sukabumi
14 Genting
16 Cepogo
17 Mliwis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
2. Mengetahui kerentanan masyarakat di daerah penelitian.
Untuk mengetahui tingkat kerentanan masyarakat, digunakan teknik skoring
dengan menggunakan metode AHP. Teknik skoring didasarkan pada beberapa
indikator kerentanan masyarakat terhadap lontaran piroklastik jatuhan. Masing-
masing indikator kerentanan mempunyai kisaran penilaian/skor dengan skala
penilaian antara 1 – 3. Skor kerentanan masyarakat dihitung dengan mengalikan
skala setiap indikator dengan bobot setiap indikator. Setelah hasil penskoran
indikator kerentanan masing-masing desa diketahui, tingkat kerentanan dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kelas kerentanan yaitu rendah, sedang, tinggi.
Pembagian kelas kerentanan dilakukan dengan cara skor tertinggi dikurangi skor
terendah dibagi jumlah kelas. Skala dan bobot indikator kerentanan disajikan
dalam Tabel 14, hasil skoring dan pembagian kelas kerentanan masing-masing
desa disajikan dalam tabel 15. Nilai bahaya setiap desa dihitung dengan
persamaan:
V = wV1 x X’V1 + wV2 x X’V2 + wV3 x X’V3 + …… + wVn x X’Vn
Keterangan:
W= bobot indikator
X’= nilai skala indikator yang diperoleh dari skoring data hasil survey
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
Tabel 14. Tabel Skala dan Bobot Variable Kerentanan Variabel Komponen Indikator Kriteria Skala Bobot
Kerenta
nan
Kerentana
n sosial
Presentase
penduduk
lansia ( >65
tahun )
Persentase <10% 1
Persentase 10-20% 2
Persentase >20% 3
Presentase
penduduk <
5 tahun
Persentase <10% 1
Persentase 10-20% 2
Persentase >20% 3
Presentase
ibu hamil
Persentase <10% 1
Persentase 10-20% 2
Persentase >20% 3
Sikap
masyarakat
menghadapi
bencana
Masyarakat bersikap pasrah 3
Masyarakat menunggu pemberitahuan
pemerintah 2
Masyarakat aktif mempersiapkan diri
menghadapi bencana 1
Partisipasi
komunitas
Semua masyarakat sadar melakukan
tindakan pengurangan risiko 3
Sebagian masyarakat sadar melakukan
tindakan pengurangan risiko 2
Masyarakat tidak melakukan tindakan
pengurangan risiko 1
Kerentana
n
lingkunga
n
Ketersediaan
air bersih
Air bersih tersedia dari mata
air/sumur, dari pdam, dapat langsung
diakses ke rumah warga
1
Air bersih tersedia dari mata air, tidak
menjangkau rumah warga 2
Air bersih berasal dari penampungan
air hujan 3
Kerentana
n fisik
Tipe
bangunan
Bangunan permanen >60% 1
Bangunan permanen 30-60% 2
Bangunan permanen <30% 3
Akses jalan Aspal 1
Makadam 2
Batu kerikil 3
Transportasi Kendaraan beroda 4 muatan banyak
(truk) 1
Kendaraan beroda 4 muatan sedikit
(mobil) 2
Kendaran roda 2/jalan kaki 3
Kerentana
n ekonomi
Tingkat
kesejahteraan
Masyarakat sejahtera >60% 1
Masyarakat sejahtera 30-60% 2
Masyarakat sejahtera <30% 3
Total Bobot dan Skor
Sumber: Aisyah, N., Nandaka, A. IGM. Miswanto., Djalal. Y., Asman., Sayudi.
D.S., Muzani, M. 2009: 19 (Buletin Merapi Vol 07/02 edisi Agustus, 2010) dan
modifikasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Tabel 15. Tabel Skoring Variable Kerentanan Setiap Desa
No Desa Total Skor Tingkat Kerentanan
1 Cluntang
2 Mriyan
3 Sangup
4 Jemowo
5 Sumur
6 Lanjaran
7 Sruni
8 Ringinlarik
9 Kebangsari
10 Wonodoyo
11 Jombong
12 Sumbung
13 Gedangan
14 Sukabumi
14 Genting
16 Cepogo
17 Mliwis
3. Mengetahui keberadaan penduduk dan sarana sosial ekonomi
masyarakat di daerah penelitian.
Untuk mengetahui sarana social ekonomi masyarakat, digunakan teknik skoring
dengan menggunakan metode AHP. Teknik skoring didasarkan pada beberapa
indikator keberadaan sarana social ekonomi masyarakat. Masing-masing indikator
keberadaan sarana social ekonomi mempunyai kisaran penilaian/skor dengan
skala penilaian antara 1 – 3. Skor keberadaan sarana social ekonomi masyarakat
dihitung dengan mengalikan skala setiap indikator dengan bobot setiap indikator.
Setelah hasil penskoran indikator keberadaan sarana social ekonomi masing-
masing desa diketahui, tingkat keberadaan sarana social ekonomi dapat
diklasifikasikan menjadi tiga kelas yaitu rendah, sedang, tinggi. Pembagian kelas
keberadaan sarana social ekonomi dilakukan dengan cara skor tertinggi dikurangi
skor terendah dibagi jumlah kelas. Skala dan bobot indikator keberadaan sarana
social ekonomi disajikan dalam Tabel 16, hasil skoring dan pembagian kelas
keberadaan sarana social ekonomi masing-masing desa disajikan dalam tabel 17.
Nilai keberadaan sarana social ekonomi setiap desa dihitung dengan persamaan:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
E = wE1 x X’E1 + wE2 x X’E2 + wE3 x X’E3 + ………..+ wEn x X’En
Keterangan:
W= bobot indikator
X’= nilai skala indikator yang diperoleh dari skoring data hasil survey
Tabel 16. Skala Variabel Keberadaan Sarana Sosial Ekonomi Variabel Komponen Indikator Kriteria Skala Bobot
Keberad
aan
Populasi Kepadatan
penduduk
Kepadatan penduduk <10
jiwa/ha 1
Kepadatan penduduk 10-25
jiwa/ha 2
Kepadatan penduduk >25
jiwa/ha 3
Bangunan
fisik
Rumah, sekolah,
tempat ibadah,
kantor
pemerintahan, pasar
Terdapat rumah, sekolah,
tempat ibadah, kantor
pemerintahan, dan pasar
3
Terdapat rumah, sekolah,
tempat ibadah, kantor
pemerintahan,
2
Terdapat rumah, tempat ibadah,
kantor pemerintahan 1
Infrastrukt
ur sarana
air bersih
Ketersediaan sarana
air bersih
Sarana air meliputi pipa saluran
air bersih, bak penampungan
air, irigrasi
3
Sarana air meliputi pipa saluran
air bersih, bak penampungan
air
2
Sarana air meliputi bak
penampungan air 1
Kekayaan
desa ( pad
)
Total kekayaan desa < 50 juta rupiah dalam satu
tahun 1
Antara 50 juta sampai 100 juta
rupiah dalam satu tahun 2
> 100 juta rupiah dalam satu
tahun 3
Total Bobot dan Skor
Sumber: Aisyah, N., Nandaka, A. IGM. Miswanto., Djalal. Y., Asman., Sayudi.
D.S., Muzani, M. 2009: 19 dan modifikasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Tabel 17. Skoring Variable Keberadaan Setiap Desa
No Desa Total Skor Tingkat keberadaan
1 Cluntang
2 Mriyan
3 Sangup
4 Jemowo
5 Sumur
6 Lanjaran
7 Sruni
8 Ringinlarik
9 Kebangsari
10 Wonodoyo
11 Jombong
12 Sumbung
13 Gedangan
14 Sukabumi
14 Genting
16 Cepogo
17 Mliwis
4. Mengetahui kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana di daerah
penelitian.
Untuk mengetahui tingkat kapasitas masyarakat, digunakan teknik skoring dengan
menggunakan metode AHP. Teknik skoring didasarkan pada beberapa indikator
kapasitas masyarakat terhadap lontaran piroklastik jatuhan. Masing-masing
indikator kapasitas masyarakat mempunyai kisaran penilaian/skor dengan skala
penilaian antara 1 – 3. Skor kapasitas masyarakat dihitung dengan mengalikan
skala setiap indikator dengan bobot setiap indikator. Setelah hasil penskoran
indikator kapasitas masyarakat masing-masing desa diketahui, tingkat kapasitas
masyarakat dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas kapasitas yaitu rendah,
sedang, tinggi. Pembagian kelas kapasitas masyarakat dilakukan dengan cara skor
tertinggi dikurangi skor terendah dibagi jumlah kelas. Skala dan bobot indikator
kapasitas masyarakat disajikan dalam Tabel 18, hasil skoring dan pembagian kelas
kapasitas masyarakat masing-masing desa disajikan dalam tabel 19. Nilai
kapasitas setiap desa dihitung dengan persamaan:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
C = wC1 x X’C1 + Wc2 x X’C2 + wC3 x X’C3 + ……… + wCn x X’Cn
Keterangan:
W= bobot indikator
X’= nilai skala indikator yang diperoleh dari skoring data hasil survey
Tabel 18. Tabel Skala dan Bobot Variable Kapasitas Variabel Komponen Indikator Kriteria Skala Bobot
Kapasit
as
Kapasitas
masyaraka
t
Penyuluhan
kebencanaan
Mendapat pemyuluhan secara berkala
sebelun dan sesudah bencana
langssung kepada warga
3
Mendapat penyuluhan hanya sesudah
terjadi bencana, melalui perwakilan
warga
2
Tidak/belum mendapat penyuluhan
kebencanaan 1
Pelatihan /
simulasi
tanggap
darurat
bencana
Mendapat pelatihan / simulasi tanggap
darurat sebelum dan sesudah kejadian
bencana, langsung melibatkan semua
warga
3
Mendapat pelatihan / simulasi tanggap
darurat sesudah bencana, melalui
perwakilan warga
2
Tidak / belum mendapatkan pelatihan
/ simulasi tanggap darurat 1
Partisipasi
publik
dalam
pengurangan
risiko
bencana
Masyarakat secara individu maupun
kelompok sadar dan melakukan
tindakan pengurangan risiko bencana
3
Sebagian masyarakat sadar melakukan
tindakan pengurangan risiko 2
Masyarakat tidak melaukan tindakan
pengurangan risiko bencana 1
Kelompok
lokal
penanggulan
gan bencana
Terdapat kelompok penanggulangan
bencana yang aktif secara mandiri
maupun atas pengawasan pemerintah
3
Terdapat kelompok penanggulangan
bencana, masih tergantung pemerintah 2
Tidak terdapat kelompok
penanggulangan bencana 1
Kapasitas
institusion
al dan
menejeme
n bencana
Rencara
darurat
Belum memiliki rencana dan
persiapan darurat seperti titik kumpul
sementara, lokasi pengungsian, dan
penunjuk arah evakuasi
1
Memiliki rencana dan persiapan
darurat yaitu titik kumpul sementara
lokasi pengungsian, dan penunjuk
arah evakuasi
3
Sistem
peringatan
dini
Sistem peringatan dini canggih,
menggunakan alat modern,
menjangkau seluruh warga
3
Sistem peringatan dini semi modern,
perpaduan alat tradisional dan
modern, tidak menjangkau seluruh
warga
2
Sistem peringatan dini secara
tradisional, kurang menjangkau 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
warga
Sistem
komunikasi
Sistem komunikasi perpaduan antara
tradisional dan modern, dan secara
lengkap, misal menggunakan
kentongan, ht, hp, sirine, radio
3
Sistem komunikasi perpaduan antara
tradisional dan modern, namun kurang
lengkap
2
Sistem komunikasi masih tradisional 1
Menejemen
risiko
Warga bersama pemerintah menyusun
rencana aksi pengurangan risiko
bencana
3
Tidak terdapat rencana aksi
pengurangan risiko bencana 1
Kapasitas
pemerintah
lokal/desa
Pemerintah lokal memiliki inisiatif
pengurangan risiko bencana, dan siap
melakukan tindakan tanpa harus
menunggu pemerintah pusat
3
Pemerintah lokal memiliki inisiatif
pangurangan risiko bencana namun
tetap menunggu unstruksi pemerintah
2
Pemerintah lokal menunggu instruksi
pemerintah pusat 1
Peta bahaya Terdapat peta bahaya, jumlahnya
banyak dan dipasang di tempat umum 3
Terdapat peta bahaya, jumlahnya
sedikit, terdapat di kantor kepala desa 2
Tidak terdapat peta bahaya 1
Kapasitas
ekonomi
Ketersediaan
dana darurat
Memiliki dana alokasi khusus
kebencanaan 3
Tidak memiliki dana alokasi khusus
kebencanaan 1
Akses
memperoleh
bantuan
nasional
Memiliki hubungan baik dengan
lembaga pemerintah maupun
nonpemerintah di bidang kebencanaan
3
Memiliki hubungan dan dukungan
hanya dari lembaga pemerintah 2
Tidak memiliki hubungan dan
dukungan dari pemerintah maupun
lembaga nonpemerintah lainnya
1
Sumber: Aisyah, N., Nandaka, A. IGM. Miswanto., Djalal. Y., Asman., Sayudi.
D.S., Muzani, M. 2009: 19 (Buletin Merapi Vol 07/02 edisi Agustus, 2010) dan
modifikasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Tabel 19. Skoring Variable Kapasitas Setiap Desa
No Desa Total Skor Tingkat Kapasitas
1 Cluntang
2 Mriyan
3 Sangup
4 Jemowo
5 Sumur
6 Lanjaran
7 Sruni
8 Ringinlarik
9 Kebangsari
10 Wonodoyo
11 Jombong
12 Sumbung
13 Gedangan
14 Sukabumi
14 Genting
16 Cepogo
17 Mliwis
5. Mengetahui tingkat risiko lontaran piroklastik di daerah penelitian.
Perhitungan risiko (risk) lontaran material piroklastik dapat dilakukan dengan
memperhitungkan nilai bahaya (hazard), nilai kerentanan (vulnerability), nilai
keberadaan (exposure) dan nilai kapasitas (capasity). Penilaian risiko lontaran
piroklastik berdasarkan hasil penskoran data yang diperoleh sesuai tujuan 1 - 4,
dengan skala setiap indikator antara 1-3. Setelah diketahui besarnya nilai bahaya
(hazard), nilai kerentanan (vulnerability), nilai keberadaan (exposure) dan nilai
kapasitas (capasity) di setiap desa, kemudian dilakukan penilaian risiko dengan
rumus sebagai berikut: R = (wH+wV+wE) – wC
Keterangan:
R : Risiko V : Kerentanan (vulnerability)
w : total skor E : Keberadaan (exposure)
H : Bahaya (hazard) C : Kapasitas (capasity)
Pemetaan tingkat risiko lontaran piroklastik di daerah penelitian dilakukan
berdasarkan data penghitungan penilaian risiko di masing-masing desa. Dalam
peta ini tingkat risiko dikelompokkan dalam 3 (tiga) kelas, dengan interval yang
dihitung dengan rumus: –
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Untuk mempermudah analisis dan perhitungan untuk menilai risiko, maka
nilai bahaya (hazard), nilai kerentanan (vulnerability), nilai keberadaan
(exposure) dan nilai kapasitas (capasity) di setiap desa disajikan dalam satu Tabel
seperti Tabel 20. Kelas risiko disajikan dalam Tabel 21.
Tabel 20. Penghitungan Skor Risiko
No Desa Skor Bahaya Skor
Kerentanan
Skor
Keberadaan
Skor
Kapasitas Skor
Risiko *)
1 Cluntang
2 Mriyan
3 Sangup
4 Jemowo
5 Sumur
6 Lanjaran
7 Sruni
8 Ringinlarik
9 Kembangsari
10 Wonodoyo
11 Jombong
12 Sumbung
13 Gedangan
14 Sukabumi
15 Genting
16 Cepogo
17 Mliwis *) Skor Risiko diperoleh dari (Skor Bahaya+Skor Kerentanan+Skor Keberadaan) - Skor Kapasitas
Tabel 21. Skoring Tingkat Risiko Setiap Desa
No Desa Skor Risiko Tingkat Risiko
1 Cluntang
2 Mriyan
3 Sangup
4 Jemowo
5 Sumur
6 Lanjaran
7 Sruni
8 Ringinlarik
9 Kebangsari
10 Wonodoyo
11 Jombong
12 Sumbung
13 Gedangan
14 Sukabumi
14 Genting
16 Cepogo
17 Mliwis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
H. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian merupakan suatu rangkaian kegiatan yang harus
dilakukan dari awal sampai akhir penelitian. Penelitian ini dilakukan melalui
tahap-tahap sebagai berikut :
1. Tahap Persiapan
Tahap persipan meliputi kegiatan studi pustaka guna memperoleh
literature dan hasil penelitian yang relevan serta melakukan kajian data awal untuk
keperluan penyusunan proposal.
2. Tahap Penyusunan Proposal
Proposal penelitian merupakan tahap awal yang harus dilakukan sebelum
melakukan suatu penelitian yang kemudian digunakan untuk mengurus perijinan
birokrasi penelitian. Dalam proposal penelitian, berisi latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan, manfaat, kajian teori, kerangka pemikiran, hasil
penelitian yang relevan, serta metodologi penelitian yang digunakan.
3. Tahap Penyusunan Instrumen
Instrumen merupakan alat yang digunakan untuk memperoleh informasi
tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan penelitian. Teknik
pengumpulan data yang memerlukan instrumen adalah wawancara untuk
mengetahui karakteristik demografi masyarakat di daerah penelitian.
4. Tahap Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini dilakukan dengan melakukan kegiatan studi
dokumentasi dari dokumen, buku serta arsip yang terdapat pada instansi terkait
dengan masalah penelitian ini serta kerja ceking lapangan melalui observasi dan
wawancara.
5. Tahap Pengolahan Data
Pengolahan data merupakan pemrosesan data yang dipeoleh untuk
diorganisasikan ke dalam bentuk yang lebih sederhana agar lebih mudah dibaca
dan diintepretasikan. Kegiatan yang dilakukan adalah mengatur urutan data serta
mengorganisasikan ke dalam suatu pola dasar sehingga mudah dilakukan
penafsiran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
6. Tahap Penyusunan Laporan
Penyusunan laporan merupakan tahap akhir dalam penelitian. Data-data
yang telah dikumpulkan dan dianalisis, kemudian dilaporkan dalam bentuk
laporan skripsi. Dalam penyusunan laporan tersebut, tata cara penulisannya harus
sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan yang baik dan benar. Sehingga akan
memudahkan bagi para pembaca untuk memahami atau mencerna hasil penelitian
yang telah dilakukan. Merupakan tahap akhir penelitian berupa penyusunan
laporan dalam bentuk hardcopy dan softcopy sebagai output kegiatan penelitian
secara nyata.
I. Batasan Operasional
Model AHP merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan
oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini akan menguraikan
masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi suatu
hirarki. Hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah
permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana
level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria,
dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternative (Saaty 2008:
85).
Bencana adalah suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang terjadi secara
mendadak maupun perlahan-lahan, yang disebabkan oleh alam, manusia,
atau keduanya dengan menimbulkan akibat bagi pola kehidupan dan
penghidupan, gangguan pada sistem pemerintahan yang normal, atau
kerusakan ekosistem, sehingga diperlukan tindakan darurat untuk menolong
dan menyelamatkan manusia dan lingkungannya (Sunarto 2006:4).
Risiko merupakan potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu
wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit,
jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan
harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (UU No. 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Bahaya adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik
dari faktor alam, dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda , dan dampak psikologis (Peraturan Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008).
Kerentanan adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia atau masyarakat yang
menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau ancaman
(Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana: 13).
Keberadaan merupakan kondisi fisik yang berpengaruh terhadap besar kecilnya
risiko. Keterdapatan mempunyai peranan yang sangat penting, karena
keberadaan adalah sarana penunjang kehidupan. Semakin suatu daerah
memiliki populasi dan sarana social ekonomi tinggi, maka semakin besar
risiko yang dimiliki (Aisyah, N., dkk, 2010: 17).
Kapasitas adalah gabungan antara semua kekuatan dan sumberdaya yang tersedia
dalam suatu masyarakat atau organisasi yang dapat mengurangi tingkat
resiko atau akibat dari bencana. Dapat dikatakan bahwa kapasitas
merupakan kondisi masyarakat yang menunjukka kesiapan dan posisi
masyarakat terhadap suatu kejadian, dalam hal ini kesiapan dalam
menghadapi ancaman bencana (Aisyah N., dkk, 2010:18).
Piroklastik adalah batuan hasil letusan gunungapi dapat berupa suatu hasil lelehan
yang merupakan lava dan dapat pula berupa produk ledakan atau
eksplorasif yang bersifat fragmental dari semua bentuk cair, gas, atau
padat yang dikeluarkan dengan jalan erupsi (William 1982 dalam Endarto,
2005:47).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Gambar 5. Diagram Alir Penelitian.
Peta KRB
Peta zona aman
Batas administrasi
daerah penelitian Batas risiko lontaran
piroklastik
Kerja lapangan
Skoring
Faktor bahaya, faktor kerentanan, faktor
keberadaan, faktor kapasitas
Identifikasi faktor risiko
lontaran piroklastik
Pembobotan indikator faktor
risiko dengan metode AHP
Peta bahaya Peta kerentanan Peta keberadaan Peta kapasitas
Peta risiko lontaran piroklastik
Analisis peta risiko lontaran
piroklastik
Skor keberadaan Skor bahaya Skor kapasitas Skor kerentanan