penggunaan 2% bleach dalam meningkatkan …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... ·...
TRANSCRIPT
PENGGUNAAN 2% BLEACH DALAM MENINGKATKAN
KEPOSITIFAN DIAGNOSTIK MIKROSKOPIK
TUBERKULOSIS DARI SPUTUM DIBANDING TEKNIK
KONVENSIONAL
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
SARJANA KEDOKTERAN
Oleh :
Ahmad Musthafa Bardah
NIM 11161030000023
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2019 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 6 Januari 2019
A. Musthafa Bardah
iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
PENGGUNAAN 2% BLEACH
DALAM MENINGKATKAN KEPOSITIFAN DIAGNOSTIK
MIKROSKOPIK TUBERKULOSIS DARI SPUTUM DIBANDING
TEKNIK KONVENSIONAL
Laporan Penelitian
Diajukan kepada Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran untuk
Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Kedokteran (S.Ked)
Oleh
A. MUSTHAFA BARDAH
NIM: 11161030000023
Pembimbing I Pembibing II
dr. Erike Anggraini S., M.Pd, Sp. MK DR. dr. Mukhtar Ikhsan, Sp.P(K), MARS.
NIP. 19810926 201101 2 007 NIP. 19540406 198111 1 001
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M /1441 H
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Laporan Penelitian berjudul PENGGUNAAN 2% BLEACH DALAM
MENINGKATKAN KEPOSITIFAN DIAGNOSTIK MIKROSKOPIK
TUBERKULOSIS DARI SPUTUM DIBANDING TEKNIK
KONVENSIONAL yang diajukan oleh A. Musthafa Bardah (NIM
11161030000023), telah diujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran pada 6
Januari 2020. Laporan penelitian ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada Program Studi Kedokteran.
Ciputat, 6 Januari 2020
DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang
DR. dr. Mukhtar Ikhsan, Sp.P(K), MARS
NIP. 19540406 198111 1 001
Pembimbing I Pembimbing II
dr. Erike Anggraini S., M.Pd, Sp. MK. DR. dr. Mukhtar Ikhsan, Sp.P(K), MARS.
NIP. 19810926 201101 2 007 NIP. 19540406 198111 1 001
Penguji I Penguji II
Yuliati, S.Si., M. Biomed. dr. Mery Nitalia, Sp.PK.
NIP.19690915 200801 2 022 NIP.19781230 200604 2 001
PIMPINAN FAKULTAS
Dekan Fakultas Kedokteran Kaprodi
Kedokteran
dr. H. Hari Hendarto, Ph.D., DR. dr. Achmad Zaki, M.Epid,Sp.OT.
Sp.PD-KEMD,FINASIM
NIP. 19651123 200312 1 003 NIP.19780507 200501 1 005
v
KATA PENGANTAR
Assalamu‟alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Panjatan Puji Syukur terhaturkan kepada Sang Maha Nur „Ala Nur,
pemilik Cahaya diatas Cahaya, yang telah mencurahkan Cahaya
IlmuNYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penelitian ini.
Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada Sang Junjungan
penyampai Basyiro Wa Nadziro yang telah menyibak Tabir kegelapan
menuju jalan yang terang yaitu baginda Nabi Muhammad shallalahu alaihi
wa sallam beserta keluarga, sahabat, serta seluruh umatnya hingga akhir
zaman nanti.
Dengan Ridho Allah penulis telah selesai melakukan penelitian
mengenai larutan bleach 2 % dan pengaruh penambahannya pada
pewarnaan Basil Tahan Asam (BTA) konvensional, yang kemudian penulis
susun dalam sebuah laporan penelitian dengan judul “Penggunaan 2% Bleach
Dalam Meningkatkan Derajat Kepositifan Diagnostik Mikroskopik TB Dari
Sputum”
Dengan tersusunnya laporan ini, Penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak yang sudah
memberikan dukungan dan doa, sehingga proses penelitian dan
penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan baik
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. dr. H. Hari Hendarto, Ph.D., Sp.PD-KEMD selaku dekan FK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan DR. dr. Achmad Zaki, M.Epid,Sp.OT
selaku kaprodi pendidikan dokter.
2. dr. Erike Anggraini Suwarsono, M.Pd, Sp. MK selaku pembimbing I
dan pembimbing akademik yang dengan sabar memberikan arahan,
nasihat, bimbingan serta bantuan dalam penelitian dan penyusunan
skripsi ini.
3. DR. dr. Mukhtar Ikhsan, Sp.P(K), MARS. selaku pembimbing II yang
senantiasa memberi arahan, nasihat, dan bimbingan selama penelitian
dan penyusunan skripsi ini.
vi
4. Kedua orang tua saya, Ayahanda A. Taufiqur Rahman, S.Ag dan
Ibunda Titin Wahyuningsih, S.Ag,. M.Si yang selalu mendo‟akan serta
senantiasa mencurahkan kasih sayang dan menghantarkan saya dalam
berproses menuju masa depan.
5. Maulana Sabiq Nidhamul Bar dan Wardah Firdausy Ahla, kedua adik
saya yang selalu berbagi keceriaan dan kebahagiaan dalam keseharian
serta memberikan semangat dalam penyelesaian penelitian ini
6. drg. Laifa Annisa Hendarmin, PhD selaku penanggung jawab modul
riset FK UIN 2015 dan dr. Erike Anggraini Suwarsono, M.Pd, Sp. MK
selaku penanggung jawab lab mikrobiologi.
7. Kakek, Nenek, Paman, serta keluarga besar saya, yang selalu
memberikan motivasi kepada Saya untuk menyelesaikan pendidikan
Kedokteran ini.
8. Seluruh sejawat PACEMAKER 2016 yang mendukung penulis
dalam menyelesaikan penelitian ini.
9. Teman-teman seperjuangan dalam menyelesaikan riset saya, M.
Fajrun Navis, yang bersama dan bejuang dalam menyelesaikan
penelitian ini.
10. Teman-teman RUMAH PAK HAJI yaitu Putra Agung, Alhayandi
Deu, Nashih Abdillah, Hibban A Daffa, Tresna Rachmadi, dan Raden
M Hidayat yang telah membantu dan memberikan semangat sehingga
penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.
vii
11. Mbak Novi selaku laboran lab Mikrobiologi dan bapak Irul selaku
Office Boy gedung C FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
12. Seluruh pihak yang membantu, memberi semangat, serta motivasi
dalam penelitian ini yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu.
Saya menyadari dalam laporan penelitian ini masih banyak
terdapat kekurangan. Kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak sangat saya harapkan agar laporan penelitian ini menjadi lebih
baik.
Demikian laporan penelitian ini saya tulis, semoga dapat
memberikan banyak manfaat bagi penulis khususnya dan para
pembaca pada umumnya.
Ciputat, 6 Januari 2020
Penulis
viii
ABSTRAK
A. Musthafa Bardah. Program Studi Kedokteran. Penggunaan 2% Bleach
dalam Meningkatkan Kepositifan Diagnostik Mikroskopik Tuberkulosis
dari Sputum dibanding Konvensional.
TB (Tuberkulosis) paru merupakan penyakit infeksi pada saluran pernafasan yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang masih menjadi masalah
kesehatan penyakit menular di dunia hingga saat ini. Salah satu cara untuk
mendiagnosis penyakit ini yaitu dengan pemeriksaan mikroskopis berupa
pewarnaan Basil Tahan Asam (BTA) dengan metode Ziehl-Neelsen menggunakan
spesimen sputum. Pemeriksaan ini di Indonesia sangat sering digunakan dan dapat
digunakan oleh fasilitas kesehatan tingkat 1 karena harga bahannya yang cukup
terjangkau dan mudah didapat. Bleach merupakan larutan disinfektan yang dapat
bermanfaat sebagai pengencer sputum. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa
peningkatan derajat kepositifan hasil pewarnaan BTA dengan tambahan larutan
bleach 2%. Penelitian ini menggunakan metode uji komparatif dengan sampel 34
sampel sputum yang diambil dari pasien curiga TB di rumah sakit haji Jakarta dari
bulan September 2019 hingga Deseber 2019. Analisis data menggunakan uji
Wilcoxon pada nilai α 0,05. Hasil penelitian menunjukkan nilai p 0,003 artinya
terdapat perbedaan derajat kepositifan diagnostik mikroskopik TB antara
penambahan larutan bleach 2% dibandingkan dengan pewarnaan BTA
konvensional tanpa bleach. Kesimpulan : Penambahan bleach 2% pada
pemeriksaan mikroskopik berupa pewarnaan BTA konvensional menggunakan
metode Ziehl-Neelsen berpengaruh terhadap nilai derajat kepositifan diagnosis TB
yaitu meningkatkan sebesar 32,3% dengan kepositifan terbesar yaitu perubahan
dari negatif ke +1 (23,1%), +1 ke +2 (37,5%), dan +1 ke +3 (37,5%) . Selain itu,
penambahan larutan bleach ini juga dapat meningkatkan kejernihan lapang
pandang pada pengelihatan mikroskop.
Kata Kunci: Diagnosis Tuberkulosis, Pewarnaan Basil Tahan Asam (BTA), Ziehl-
Neelsen, Bleach.
ix
ABSTRACT
A. Musthafa Bardah. Medical Education Study Program. The Use of 2%
Bleach in Increasing of Microscopic Diagnostic Positivity of Tuberculosis
from Sputum Compared to Conventional Techniques.
Pulmonary TB (tuberculosis) is an infectious disease of the respiratory tract
caused by the bacterium Mycobacterium tuberculosis which is still a health
problem in infectious diseases in the world today. One way to diagnose this
disease is by microscopic examination in the form of Acid Resistant Basil with
the Ziehl Neelsen method using sputum specimens, this examination in Indonesia
is very often used and can be used by level One health facilities because the price
of the material is quite affordable and easy to get. Bleach is a disinfectant solution
that can be useful as a sputum thinner. This study aims to analyze the increase in
the degree of positivity of smear by adding 2% bleach solution. This study uses a
comparative test method with samples of 34 sputum samples taken from TB
suspicious patients at the Hajj Hospital in Jakarta from September 2019 to
December 2019. Data analysis using the Wilcoxon test at a value of α 0.05. The
results showed a p value of 0.003 meant there was a difference in the degree of
microscopic diagnostic positivity of TB between the addition of 2% bleach
solution compared to conventional smear staining without bleach. Conclusion:
The addition of 2% bleach to microscopic examination in the form of
conventional smear using the Ziehl Neelsen method affected the value of the
positive degree of TB diagnosis which is an increase of 32,3% with the greatest
positivity, that is, the change from negative to +1 (23,1%), +1 to +2 (37,5%), and
+1 to +3 (37,5%). In addition, the addition of this bleach solution can also
improve visual field clarity in microscope vision.
Keywords: Tuberculosis Diagnosis, Staining Acid Resistant Basil, Ziehl-Neelsen,
Bleach.
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................ iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................... v
ABSTRAK ..................................................................................................... viii
ABSTRACT ..................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv
DAFTAR BAGAN .......................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvi
DAFTAR SINGKATAN .............................................................................. xvii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 3
1.3 Hipotes ......................................................................................................... 3
1.4 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 3
1.4.1 Tujuan umum ..................................................................................... 3
1.4.2 Tujuan Khusus ................................................................................... 3
1.5 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 3
1.5.1 Bagi Institusi ....................................................................................... 3
1.5.2 Bagi Masyarakat ................................................................................ 4
1.5.3 Bagi Peneliti ...................................................................................... 4
1.5.4 Bagi Peneliti Lain .............................................................................. 4
1.5.5 Bagi Fasilitas Kesehatan .................................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 5
2.1 Tuberkulosis ................................................................................................. 5
2.1.1 Klasifikasi dan Kelompok Pasien TB ................................................. 10
2.1.2 Patogenesis dan Patofisiologi ............................................................. 15
2.1.3 Diagnosis ............................................................................................ 18
2.2 Mycobacterium Tuberculosis ..................................................................... 24
xi
2.2.1 Morfologi ............................................................................................ 24
2.2.2 Biakan ................................................................................................. 24
2.2.3 Sifat Pertumbuhan .............................................................................. 25
2.2.4 Daya Tahan ......................................................................................... 25
2.2.5 Komponen Bakteri .............................................................................. 26
2.3 Pewarnaan BTA ......................................................................................... 26
2.4 Bleach atau Natrium Hipoklorit ................................................................. 28
2.4.1 Pengertian ........................................................................................... 28
2.4.2 Sifat Fisik Kimia ................................................................................. 28
2.4.3 Penggunaan ......................................................................................... 28
2.4.4 Penyimpanan ...................................................................................... 30
2.4.5 Bahaya Terhadap Kesehatan .............................................................. 31
2.5 Kerangka Teori ........................................................................................... 32
2.6 Kerangka Konsep ....................................................................................... 33
2.7 Definisi Operasional ................................................................................... 34
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 35
3.1 Desain Penelitian ........................................................................................ 35
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................... 35
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................. 35
3.4 Jumlah Sampel Penelitian .......................................................................... 35
3.5 Teknik Pengambilan Sampel Penelitian ..................................................... 37
3.6 Identifikasi Variabel ................................................................................... 37
3.6.1 Variabel Bebas (Independen) ............................................................. 37
3.6.2 Variabel Terikat (Dependen) .............................................................. 37
3.7 Kriteria Sampel Penelitian ......................................................................... 37
3.7.1 Kriteria Inklusi .................................................................................... 37
3.7.2 Kriteria Eksklusi ................................................................................. 37
3.8 Besar dan Pengambilan Sampel ................................................................. 37
3.9 Alat dan Bahan ........................................................................................... 38
3.10 Cara Kerja Penelitian ............................................................................... 39
3.10.1 Pengambilan Sampel ........................................................................ 39
3.10.2 Persiapan Alat dan Bahan ................................................................. 40
xii
3.10.3 Pembuatan Preparat .......................................................................... 42
3.10.4 Pewarnaan Preparat .......................................................................... 43
3.10.5 Pemeriksaan Mikroskop ................................................................... 44
3.10.6 Pengelolahan dan Analisis Data ....................................................... 44
3.11 Alur Kerja Penelitian ................................................................................ 45
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 46
4.1 Analisis Univariat ....................................................................................... 46
4.1.1 Karakteristik Sampel .......................................................................... 46
4.1.2 Hasil Pewarnaan BTA Konvensional dan Penambahan Bleach 2% .. 46
4.2 Analisis Bivariat ......................................................................................... 47
4.2.1 Pengaruh Pemberian Bleach 2% pada Pewarnaan BTA Konvensional
Terhadap Tingkat Kepositifan ........................................................... 47
4.3 Pembahasan ................................................................................................ 48
4.4 Manfaat Tambahan yang Ditemukan dari Bleach ...................................... 49
4.5 Keterbatasan Penelitian .............................................................................. 50
4.6 Aspek Keislaman ....................................................................................... 50
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 53
5.1 Simpulan .................................................................................................... 53
5.2 Saran ........................................................................................................... 53
BAB VI KERJASAMA PENELITIAN ........................................................ 54
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 55
LAMPIRAN .................................................................................................... 58
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Tuberkulosis .....................................................................12
Tabel 2.2 Skala IUATLD ....................................................................................21
Tabel 2.3 Definisi Operasional ...........................................................................34
Tabel 4.1 Karakteristik Pasien ............................................................................46
Tabel 4.2 Hasil Pewarnaan BTA Konvensional dan Penambahan Bleach 2% ...47
Tabel 4.3 Perbandingan Pewarnaan BTA Konvensional dengan Pewarnaan
BTA Konvensional dengan Penambahan Bleach 2% .........................47
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Prevalensi TBC Menurut Karakteristik Umur, Pendidikan, dan
Sosial Ekonomi .............................................................................. 9
Gambar 2.2 Letak Infeksi TB ............................................................................ 16
Gambar 2.3 Patogenesis Tuberkulosis ............................................................... 17
Gambar 2.4 Alur Diagnosis Tuberkulosis .......................................................... 18
Gambar 2.5 Diagnosis Tuberkulosis .................................................................. 23
Gambar 2.6 Alur Kerangka Teori ...................................................................... 32
Gambar 2.7 Alur Kerangka Konsep ................................................................... 33
Gambar 3.1 Pembagian Sputum ......................................................................... 40
Gambar 3.2 Alur Penelitian ................................................................................ 45
Gambar 4.1 Hasil Pewarnaan BTA Konvensional dan Penambahan
Bleach 2% ...................................................................................... 49
xv
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Hasil Konfirmasi Pasien TB dari Pemeriksaan Bakteriologis .......... 10
Bagan 2.2 Pasien TB Terdiagnosis Secara Klinis .............................................. 11
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Perizinan Pengambilan Sampel ........................................................ 58
Lampiran 2 Proses Penelitian ............................................................................... 59
Lampiran 3 Daftar Riwayat Hidup ....................................................................... 61
Lampiran 4 Surat Kaji Etik .................................................................................. 62
xvii
DAFTAR SINGKATAN
ART : Anriretroviral Therapy
BSC : Bio Safety Cabinet
BTA : Basil Tahan Asam
CNR : Case Notification Rate
DNA : Deoxyribonucleic Acid
DOTS : Directly-Observed Treatment Short-Course Chemotheraphy
HIV : Human Immunodeficiency Virus
IUATLD : International Union Againts To Lung Disease
MDR : Multi Drug Resistant
MR : Mono Resistant
OAT : Obat Anti TB
PA : Posterior-Anterior
PCR : Polymerase Chain Reaction
PR : Poly Resistant
QUATS : Quaternary Ammonium Compunds/cationic detergents
RR : Resistant Rifampisin
SPSS : Statistic Package for Social Science
TB : Tuberkulosis
WHO : World Health Organization
XDR : Extensive Drug Resistant
CI : Confidence Interval
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
TB (Tuberkulosis) paru merupakan penyakit infeksi pada saluran pernafasan
yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. TB adalah penyakit
menular yang umum dan banyak kasus bersifat mematikan. Secara global pada
tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TB yang setara dengan 120 kasus per
100.000 penduduk. Lima Negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India,
Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan. Sebagian besar estimasi insiden TB
pada tahun 2016 terjadi di Kawasan Asia Tenggara (45%) dimana Indonesia
merupakan salah satu di dalamnya. Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak
420.994 kasus pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018).1
Salah satu cara untuk menegakkan diagnosa penyakit TB dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Salah satu pemeriksaan laboratorium yang paling
umum dalam mendiagnostik adanya bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagai
tanda seseorang terinfeksi penyakit TB adalah dengan menggunakan sampel dari
cairan tubuh pasien yaitu sputum. Pemeriksaan sputum ini sangatlah penting
karena dengan ditemukannya kuman BTA (Bakteri Tahan Asam) yaitu
Mycobacterium tuberculosis, maka diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan.
Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat digunakan untuk memberikan
evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Keuntungan dari
pemeriksaan ini yaitu mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di
lapangan/fasilitas kesehatan tingkat pertama (puskesmas). Sputum yang akan
diperiksa hendaknya sesegar mungkin yaitu harus dipastikan bukan air ludah.2
Bila sputum sudah didapatkan dan dilakukan pemeriksaan miroskopik
berupa pewarnaan BTA konvensional menggunakan metode Ziehl-Neelsen,
kuman BTA pun kadang-kadang masih sulit ditemukan. Kuman baru dapat
ditemukan apabila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka keluar,
sehingga sputum yang mengandung kuman BTA dapat dengan mudah keluar.
Dari hal tersebut dapat diperkirakan di Indonesia terdapat 50% pasien memiliki
penyakit TB positif tetapi kuman tersebut tidak ditemukan dalam sputum atau
2
pemeriksaan sputum mereka. Maka dari itu juga untuk pengelompokan pasien TB
dibagi menjadi 2 yaitu: Pasien TB berdasarkan konfirmasi hasil pemeriksaan
bakteriologis dan pasien TB terdiagnosis secara klinis yaitu pasien dengan
pemeriksaan BTA negatif akan tetapi untuk secara klinis oleh dokter dapat
ditetapkan sebagai pasien TB positif.3
Penggunaan bleach dalam diagnosis TB sangat disarankan karena dapat
meningkatkan keamanan laboratorium dengan mensterilkan sputum sebagaimana
dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Rusheng Chew pada tahun 2011 yaitu
bleach dapat meningkatkan keamanan laboratorium dengan mensterilkan sputum,
tetapi menurunkan konsentrasi BTA (Bakteri Tahan Asam) yang terlihat pada
saat pemeriksaan mikroskopik, terutama pada spesimen sputum yang
mengandung kuman Mycobacterium tuberculosis dengan konsentrasi tinggi.4
Pada penelitian yang dilakukan oleh Suwarsono, EA. menunjukkan hasil
bahwa 1% bleach lebih baik dari pada 4% NaOH, asam oksalat 5% dan 2%
NaLC-NaOH sebagai larutan dekontaminasi karena memiliki tingkat kontaminasi
yang paling rendah yaitu 2,8% dibanding dengan 5,7% larutan NaOH 4%, dan
perbedaan yang signifikan ditemukan antara 4 kelompok. Tetapi berdasarkan
statistik tidak ada perbedaan yang signifikan terkait tingkat kepositifannya. Jadi
bleach dapat menjadi alternatif untuk dekontaminasi biakan TB dengan
kontaminasi yang spesimen sputum yang tinggi.5
Pada penelitian yang telah dilakukan oleh Krishna, M. dan Gole, S.G. pada
tahun 2017 yaitu melakukan penelitian berupa membandingkan antara pewarnaan
BTA konvensional dengan penambahan bleach 5% dan telah mendapatkan hasil
yaitu terjadi perbaikan hasil positif pada penambahan bleach 5%.6
Pemilihan konsentrasi 2% dilakukan untuk meminimalisir terhadap
pembunuhan bakteri TB dan untuk meningkatkan derajat kepositifan, sehingga
peneliti mengambil judul : “ Penggunaan 2% Bleach dalam Meningkatkan
Kepositifan Diagnostik Mikroskopik TB dari Sputum dibanding Teknik
Konvensional”.
3
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah perbedaan derajat kepositifan diagnostik mikroskopik TB
dari sputum dengan menggunakan penambahan bleach 2% dibandingkan teknik
konvensional ?
1.3 Hipotesis
Terdapat peningkatan derajat kepositifan diagnostik mikroskopik TB dari
sputum dengan pewarnaan BTA penambahan bleach 2% dibandingkan teknik
konvensional.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa peningkatan derajat kepositifan
diagnostik mikroskopik TB dari sputum dengan menambahkan bleach 2% pada
BTA.
1.4.2 Tujuan Khusus
Mendeskripsikan peningkatan derajat kepositifan antara pewarnaan BTA
dengan teknik konvensional dan dengan penambahan bleach 2%.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Institusi
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya terkait pemeriksaan
bakteri Mycobacterium Tuberculosis di sputum pasien.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mempermudah penguji sputum
dalam mengetahui derajat kepositifan keberadaan bakteri TB
(Mycobacterium Tuberculosis) pada pasien.
4
1.5.2 Bagi Masyarakat
a. Mempermudah masyarakat untuk melakukan pemeriksaan terhadap
penyakit TB.
b. Dapat mempercepat perolehan hasil dalam uji kepositifan TB.
1.5.3 Bagi Peneliti
a. Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam penelitian uji analitik
kategorik tidak berpasangan
b. Mendapatkan manfaat untuk mengamalkan ilmu pengetahuan yang
sudah dipelajari di Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
c. Menyelesaikan tugas akhir di pendidikan kedokteran UIN dan
mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran
1.5.4 Bagi Peneliti Lain
a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi
peneliti lain dalam melakukan penelitian selanjutnya demi kemajuan
ilmu pengetahuan
b. Peneliti berharap peneliti lain dapat menemukan zat lain selain bleach
yang dimana juga dapat digunakan untuk peningkatan derajat
kepositifan diagnostic mikroskopik TB dari sputum.
1.5.5 Bagi Fasilitas Kesehatan
a. Sebagai informasi metode terbaru pada pewarnaan BTA konvensional
dengan bahan yang mudah didapat dan terjangkau, namun dapat lebih
mudah untuk menentukan diagnosis pasien TB.
b. Sebagai acuan untuk pemeriksaan mikroskopis BTA dalam
mendiagnosis penyakit TB.
5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit radang parenkim karena
infeksi bakeri atau kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru
termasuk suatu pneumonia, yaitu pneumonia yang disebabkan oleh M.
tuberculosis. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian
penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis
ekstrapulmonar.²
Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M.
tuberculosis, M. afrianum, M. bovis, M. leprae dsb, yang juga dikenal
sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium
selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan
pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than
Tuberculosis) yang terkadang bias mengganggu penegakan diagnosis dan
pengobatan TB. Untuk itu pemeriksaan bakteriologis yang mampu
melakukan identifikasi terhadap Mycobacterium tuberculosis menjadi
sarana diagnosis ideal untuk TB.³
Collin, Jates dan Granse (1982) membagi lima varian untuk
Mycobacterium tuberculosis untuk tujuan epidemiologi:7
M. tuberculosis var. human (tbc manusia)
M. tuberculosis var. bovine (tbc lembu)
M. tuberculosis var. human Asian (tbc manusia Asia)
M. tuberculosis var. African I (M. africanum Afrika Barat)
M. tuberculosis var. African II (M. africanum Afrika Timur)
Pada jaringan, basil tuberculosis adalah bakteri batang tipis lurus
berukuran sekitar 0,4 x 3µm. Pada medium artifisial, bentuk kokoid dan
filament terlihat dengan bentuk morfologi yang bervariasi dari satu spesies
ke spesies yang lainnya. Mikobakterium tidak dapat di klasifikasikan
menjadi gram-positif atau gram-negatif. Jika sudah terwarnai dengan
6
bahan celup dasar, organisme menghiraukan pengobatan iodin. Basil
tuberkulosis sejati ditandai dengan “tahan asam” yaitu 95% etil alkohol
mengandung 3% asam hidroklorat (asam-alkohol) dengan cepat
menghilangkan warna semua bakteri kecuali mikobakterium. Sifat tahan
asam ini tergantung pada integritas selubung yang terbuat dari lilin.
Teknik pewarnaan Ziehl-Neelsen digunakan untuk mengidentifikasi
Bakteri Tahan Asam (BTA). Pada sediaan apus sputum atau potongan
jaringan, mikobakterium dapat ditunjukkan dengan fluoresensi kuning-
oranye setelah pewarnaan dengan fluorokrom (misalnya: auramin dan
rodamin).8
Literatur Arab: Al Razi (850-953 M) dan Ibnu Sina (980-1037 M)
menyatakan adanya kavitas pada paru dan hubungannya dengan lesi di
kulit. Pencegahannya dengan makan makanan yang bergizi, menghirup
udara yang bersih dan kemungkinan (prognosis) dapat sembuh dari
penyakit ini. Disebutkan juga bahwa TB sering didapat pada usia muda
(18-30 tahun) dengan tanda-tanda badan kurus dan dada yang kecil.7
Baru dalam tahun 1882 Robert Koch menemukan kuman
penyebabnya semacam bakteri berbentuk batang dan dari sinilah diagnosis
secara mikrobiologis dimulai dan penatalaksanaannya lebih terarah.
Apalagi pada tahun 1896 Rontgen menemukan sinar X sebagai alat bantu
menegakkan diagnosis yang lebih tepat. Penyakit ini kemudian dinamakan
Tuberkulosis, dan hampir seluruh tubuh manusia dapat terserang olehnya
tetapi lebih yang banyak adalah organ paru.7
Sejarah eradikasi TB dengan kemoterapi dimulai pada taun 1944
ketika seorang perempuan umur 21 tahun dengan penyakit TB paru lanjut
menerima injeksi pertama Streptomisin yang sebelumnya diisolasi oleh
Selman Waksman. Segera disusul dengan penemuan asam para amino
salisilik (PAS). Kemudian dilanjutkan dengan penemuan Isoniazid yang
signifikan yang dilaporkan oleh Robitzek dan Selikoff 1952. Kemudian
diikuti penemuan berturut-turut pirazinamid tahun 1954 dan Etambutol
1952, Rifampisin 1963 yang menjadi obat utama TB sapmai saat ini.10
7
Di Negara maju seperti Eropa Barat dan Amerika Utara, angka
kesakitan maupun angka kematian TB paru pernah menurun secara tajam.
Di Amerika Utara, saat awal orang Eropa berbondong-bondong bermigrasi
ke sana, kematian akibat TB pada tahun 1800 sebesar 650 per 100.000
penduduk, tahun 1860 turun menjadi 400 per 100.000 penduduk, di tahun
1900 menjadi 210 per 100.000 penduduk, pada tahun 1920 turun lagi
menjadi 100 per 100.000 penduduk, pada tahun 1969 turun secara drastis
menjadi 4 per 100.000 penduduk per tahun. Angka kematian karena
tuberkulosis di Amerika Serikat pada tahun 1976 telah menjadi 1,4 per
100.000 penduduk. Penurunan angka kesakitan maupun angka kematian
ini diyakini disebabkan oleh:10
Membaiknya keadaan sosioekonomi
Infeksi pertama yang terjadinya pada usia muda
Penderita yang sangat rentan segera meninggal (tidak menjadi
sumber penularan)
Serta ditemukannya obat anti TB yang ampuh
Akan tetapi, pada pertengahan 1980-an angka kesakitan TB paru di
Amerika Utara maupun Eropa Barat meningkat kembali dan bahkan
dengan penyulit, yaitu terapi standar tidak lagi mempan untuk
melawannya. Pada tahun 1992, angka kematian akibat TB menjadi 6,8 per
100.000 penduduk (naik hampir 5 kali dibandingkan angka kematian tahun
1976 yang hanya 1,4 per 100.000 penduduk).10
Walau upaya memberantas TB telah dilakukan, tetapi angka insiden
maupun prevalensi TB paru di Indonesia tidak pernah turun. Dengan
bertambahnya penduduk, bertambah pula jumlah penderita TB paru, dan
kini Indonesia adalah Negara peringkat ketiga terbanyak di dunia dalam
jumlah penderita tuberkulosis paru. Dengan meningkatnya infeksi
HIV/AIDS di Indonesia penderita TB akan meningkat pula.
Karena
diperkirakan seperempat penduduk dunia telah terinfeksi kuman
tuberkulosis, pada tahun 1993 WHO mencanankan tuberkulosis sebagai
kedaruratan global.2
8
Ketika itu WHO menetapkan sebuah strategi, memutuskan mata rantai
laju epidemik TB. Tingginya insiden TB sehingga WHO menetapkan
Negara dengan beban TB tinggi (high burden countries) salah satunya
adalah Republik Indonesia. Sejak tahun 1990 Indonesia menurut catatan
WHO berada pada urutan ketiga TB besar di dunia, namun dengan upaya
strategis DOTS (directly observed treatment short course) yang
dikembangkan sejak tahun 1995, Indonesia telah berhasil menurunkan
insiden TB dan tahun 2007 Indonesia menduduki keempat setelah India,
China, Afrika Selatan. Meskipun Indonesia berhasil menurunkan
sumbangan TB ke dunia namun setiap tahunnya masih ditemukan kasus
TB melebihi dari estimasikan WHO. Misalnya tahun 2006 ditemukan
kasus TB sebanyak 539.000 padahal estimasi WHO tahun itu sebesar
410.000 kasus, demikian juga pada tahun 2007 dilaporkan sebanyak
528.000 tetapi WHO mengestimasi sekitar 460.000 penduduk Indonesia.
Artinya kasus TB di Indonesia masih menjadi momok yang menakutkan
masyarakat.2
TB adalah masalah kesehatan dunia, WHO melaporkan sejak dahulu,
faktanya menurut estimasi WHO prevalensiTB setiap tahun selalu
meningkat. Sampai kini tahun 2007 kasus TB di masyarakat sebanyak 13,7
juta dan sekitar 9,4 juta sebagai kasus baru. Kematian akibat TB sekitar
1,3 juta jiwa, namun faktanya menunjukkan keberhasilan dunia dalam
mengatasi TB di mana tahun 2010 dilaporkan prevalensi TB menurun
sekitar 1,7 juta jiwa atau 178 per 100.000 penduduk dunia.2
Situasi di Indonesia saat ini , pada tahun 2017 TB di Indonesia
sebanyak 420.994 (data per 17 Mei 2018), menurut usia, berdasarkan
survey prevalensi TB tahun 2013-2014, prevalensi TB dengan konfirmasi
bakteriologis sebesar 759 per 100.000 penduduk dan pevalensi TB BTA
positif sebesar 257 per 100.000 penduduk yang berumur 15 tahun keatas di
Indonesia.9
Berdasarkan gambar hasil survey Kemenkes RI di bawah
menunjukkan semakin bertambahnya usia, prevalensinya semakin tinggi,
ini terjadi dimungkinkan akibat re-aktivasi dari TB itu sendiri atau bisa
9
juga terjadi karena paparan yang lebih lama dari bakteri TB dibandingkan
dengan kelompok umur yang di bawahnya.9
Dari gambaran grafik dibawah juga dapat dilihat bahwa prevalensi
semakin tinggi seiring dengan rendahnya tingkat pendidikan,
kemungkinan dapat disebabkan karena kurangnya edukasi tentang
lingkungan yang bersih serta pengetahuan tentang penyakit-penyakit yang
sering terjadi di Indonesia. Pada tabel sosial ekonomi dapat terlihat jika
tidak ada perbedaan antara kelompok terbawah hingga menengah atas.
Perbedaan terjadi hanya pada kelompok teratas yang dimana prevalensinya
terhadap TB lebih rendah.9
Gambar 2.1 Prevalensi TBC Menurut Karakteristik Umur, Pendidikan dan
Sosial Ekonomi.1
Sumber: KEMENKES RI (2018)
10
2.1.1 Klasifikasi dan Kelompok Pasien TB
A. Kelompok Pasien
Dari pengelompokan pasien TB dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Pasien TB berdasarkan hasil konfirmasi dari pemeriksaan
bakteriologis.
Contoh uji biologi yang biasa digunakan untuk kelompok ini
seperti pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan atau tes diagnostik
cepat sepert GeneXpert yang saat ini termasuk rekomendasi pemeriksaan
dari Kemenkes RI.
Pasien yang termasuk dalam kelompok ini adalah:3
Bagan 2.1 Hasil konfirmasi pasien TB dari pemeriksaan
bakteriologis.4
Sumber : Miller Steve, dkk (2014)
Pemeriksaan
Bakteriologis
Pasien TB paru
BTA positif
TB anak yang terdiagnosis
dengan pemeriksaan
bakteriologis
Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi
secara bakteriologis, baik dengan
BTA, biakan maupun tes cepat dari
contoh uji jaringan yang terinfeksi
Pasien TB paru hasil
tes cepat M.tb positif
Pasien TB paru hasil
biakan M.tb positif
11
2. Pasien TB terdiagnosis secara klinis.
Pasien TB terdiagnosis secara klinis adalah pasien yang
terdiagnosis secara keluhan klinis yang ditetapkan oleh dokter sebagai
pasien TB aktif yang memerlukan pengobatan, akan tetapi tidak memenuhi
kriteria untuk terdiagnosisnya TB secara bakteriologis.3
Bagan 2.2 Pasien TB terdiagnosis secara klinis.4
Sumber : Miller Steve, dkk (2014)
TB terdiagnosis
secara klinis
Pasien TB paru BTA negatif dengan
hasil pemeriksaan foto toraks
mendukung TB
Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis
secara klinis maupun laboratoris dan
histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis
TB anak yang terdiagnosis
dengan sistem skoring
12
B. Klasifikasi Pasien TB
Selain pengelompokan berdasarkan kelompok pasien TB disini terdapat
pengelompokan berdasarkan klasifikasi pasien TB.3
Tabel 2.1 Klasifikasi tuberkulosis. 7
Klasifikasi Macam
1. Berdasarkan
lokasi anatomi
dari penyakit
Tuberkulosis paru
Tuberkulosis ekstra paru
2. Berdasarkan
Riwayat
sebelumnya
Pasien baru TB
Pasien yang pernah diobati TB
Pasien yang riwayat pengobatan sebelumya
tidak diketahui
3. Berdasarkan
Hasil
pemeriksaan uji
kepekaan obat
Mono resistan (TB MR)
Poli resistan (TB PR)
Multi drug resistan (TB MDR)
Extensive drug resistan (TB XDR)
Resistan Rifampisin (TB RR)
4. Berdasarkan
status HIV
Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-
infeksi TB/HIV)
Pasien TB dengan HIV negatif
Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui
Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit :
a. Tuberkulosis paru :
Tuberkulosis paru adalah penyakit TB yang terjadi di organ paru
tepatnya di parenkim paru.TB milier juga dianggap sebagai TB paru
karena lesinya terdapat pada jaringan paru.
Pasien yang menderita TB paru sekaligus TB ekstraparu akan
diklasfikasikan sebagai pasien TB paru.
b. Tuberkulosis ekstra paru :
13
Tuberkulosis ekstra paru adalah penyakit tuberkulosis yang terjadi
diluar/selain organ paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen,
saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak, dan tulang. Contohnya
adalah seperti limfadenitis TB dirongga dada (hilus dan atau
mediastinum) atau efusi pleura tanpa adanya gambaran radiologis yang
mendukung TB pada paru.
Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan ditemukannya
Mycobacterium tuberculosis dan dapat ditetapkan berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis maupun klinis.
Pasien dengan TB paru ekstraparu yang tidak hanya terkena pada satu
organ saja, akan tetapi lebih dari satu dapat menunjukkan bahwa
gambaran TB yang diderita berat.
1. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya :
a. Pasien baru TB: pasien yang pernah mendapat OAT akan tetapi kurang
dari 1 bulan (< 28 dosis) atau orang yang belum pernah sama sekali
mendapatkan OAT.
b. Pasien yang pernah diobati TB: pasien TB yang pernah mendapatkan
pengobatan OAT lebih dari 1 bulan (> 28 dosis).
Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan
TB terakhir, yaitu:
Pasien kambuh: pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh
atau pengobatan tuntas dan saat ini telah didiagnosis TB
berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (dapat
karena reaktivasi atau karena reinfeksi).
Pasien yang diobati kembali setelah gagal: pasien TB yang
sudah pernah diobati akan tetapi dinyatakan gagal dalam
pengobatan terakhir.
Pasien yang diobati kembali setalah putus berobat (lost to
follow-up): pasien yang pernah berobat, akan tetapi tidak
sampai tuntas/putus minum obat saat ditengah masa
pengobatan.
14
Lain-lain: pasien TB yang pernah diobati namun tidak
diketahui hasil akhir dari pengobatan sebelumnya.
c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui/tidak ada
data.
2. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan OAT :
a. Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja.
b. Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan.
d. Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus
juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan
minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin,
Kapreomisin dan Amkasin)
e. Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin (R) dengan
ataupun tanpa resistan terhadap OAT lain yang terdeteksi
menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional).
3. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV
a. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): adalah
pasien TB dengan:
Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan
ARV atau hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
b. Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan:
Hasil tes HIV negatif sebelumnya atau Hasil tes HIV negatif
pada saat diagnosis TB.
15
Catatan :
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV
menjadi positif, pasien harus disesuaikan kembali dari
klasifikasinya sebagai pasien TB denga HIV positif.
c. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa
ada bukti: pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.
Catatan:
Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV
pasien, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan
hasil tes HIV terakhir, tergolong HIV positif atau HIV negatif.
2.1.2 Patogenesis dan Patofisologis
Bakteri Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri yang dapat menyebar
diudara karena bersifat droplet nuclei, bakteri ini kebanyakan menginfeksi tubuh
manusia yaitu saluran pernafasan melalui inhalasi droplet dari kuman TB, namun
bakteri ini juga dapat menginfeksi melalui saluran pencernaan dan luka terbuka
pada kulit meskipun jarang.11
Tuberkulosis merupakan penyakit yang dipengaruhi oleh respons imunitas
tubuh yang diperantarai oleh sel efektor yaitu makrofag dan limfosit (biasanya
limfosit T) yang bersifat imunoresponsif. Tipe imunitas seperti ini termasuk tipe
lokal yang melibatkan aktivasi makrofag ditempat infeksi oleh limfosit dan
limfokinnya. Respon seperti ini disebut reaksi hipersensitivitas tipe lambat.11
Kuman yang telah terinhalasi kedalam tubuh sebagai suatu unit yang
terdiri dari satu sampai tiga kuman kedalam alveolus, akan tetapi ketika gumpalan
kuman berukuran lebih besar akan cenderung tertahan di saluran hidung atau
cabang besar dari bronkus setelah carina trakea akan tetapi hal tersebut tidak
menimbulkan suatu penyakit. Kuman Mycobacterium tuberculosis yang sampai
di alveolus biasanya bersarang pada bagian bawah dari lobus atas paru atau bagian
bawah dari lobus bawah paru dan menimbulkan reaksi peradangan.11
16
Gambar 2.2 Letak Infeksi TB.9
Sumber : KEMENKES RI (2008)
Kuman yang berada di tempat tersebut akan difagosit oleh leukosit
polimorfonuklear, namun tidak membunuh kuman tersebut. Setelah hari pertama
terinfeksi, leukosit akan digantikan oleh makrofag dan alveolus dimana tempat
kuman tersebut berada dan akan mengalami konsolidasi yang kemudian
menyebabkan pneumonia akut, pneumonia ini akan dapat sembuh dengan
tersendirinya atau bisa juga fagosit berjalan terus atau berkembang biak didalam
sel. Infiltrasi akan semakin meluas yang kemudian akan berkumpul menjadi sel
tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya
membutuhkan waktu 10 hingga 20 hari.11
17
Gambar 2.3 Patogenesis Tuberkulosis.13
Sumber : Aster KA (2015)
Nekrosis yang terjadi pada bagian sentral dari lesi tersebut memberikan
gambaran yang relatif padat seperti keju, hal ini disebut nekrosis kaseosa atau
proses perkijuan. Terdapat jaringan granulasi disekitar nekrosis kaseosa terdiri
dari sel epiteloid dan fibroblast. Kemudian jaringan granulasi akan membentuk
jaringan parut kolagenosa yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel. Lesi primer paru tersebut disebut fokus Ghon dan
kombinasi dari terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer
tersebut disebut dengan kompleks Ghon.11
Fokus nekrotik yang merusak pembuluh darah menyebabkan organisme
yang lolos dari kelenjar getah bening dapat masuk ke pembuluh darah dan akan
dapat menyebabkan tersebarnya ke organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal
sebagai penyebaran limfohematogen. Proses penyebaran hematogen ini biasanya
dapat menyebabkan TB Milier.11
18
2.1.3 Diagnosis
Gambar 2.4 Alur Diagnosis Tuberkulosis.3
Sumber : KEMENKES RI (2014)
Untuk diagnosis penyakit tuberkulosis dapat ditegakkan melalui berbagai
pemeriksaan dan gejala seperti gejala klinik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
bakteriologis, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.14
19
1. Gejala Klinik
Gejala klinik dari penyakit tuberkulosis ini dibagi menjadi 2 yaitu
gejala respiratorik atau gejala organ yang terkena dan gejala sistemik.
a. Gejala respiratorik
Gejala respiratorik biasanya terdiri dari batuk > 3 minggu akan tetapi
gejala ini sangat bervariasi mulai dari tidak adanya gejala hingga
gejala yang berat tergantung dengan luas dari lesi. Bila bronkus belum
terlibat dalam proses penyakit, maka mungkin penderita tidak
memiliki gejala batuk. Batuk yang pertama kali timbul biasanya akibat
dari iritasi bronkus dan kemudian batuk selanjutnya dibutuhkan untuk
mengeluarkan dahak. Gejala selanjutnya yang dapat ditimbulkan ialah
batuk berdarah akibat rupturya pembuluh darah, sesak nafas akibat
jaringan parut yang terbentuk di paru yang menyebabkan
berkurangnya elastisitas alveolus, dan nyeri dada.
Gejala tuberculosis ekstra paru tergantung dengan organ yang terkena
misalnya limfadenitis tuberculosis berarti akan terjadi pembengkakan
kelenjar getah bening, kemudian pada meningitis tuberkulosis akan
terjadi tanda-tanda dari meningitis, sementara untuk pleuritis
tuberkulosis biasnya terdapat gejala sesak nafas dan kadang nyeri dada
pada sisi rongga pleuranya terdapat cairan.
b. Gejala sistemik
Untuk gejala sistemik sediri yang paling sering terjadi ialah demam
akibat dari proses peradangan di tubuh. Gejala sistemik lain dapat
berupa malaise (nyeri otot), keringat malam akibat aktivitas dari
bakteri, anoreksia disebabkan oleh proses peradangan juga, dan berat
badan yang menurun akibat terbaginya nutrisi tubuh dengan bakteri
tuberkulosis.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik akan dijumpai kelainan tergantung dari
organ yang terinfeksi. Pada tuberculosis paru, kelainan yang ditimbulkan
tergantung dengan luasnya bakteri menginfeksi struktur paru. Pada
20
permulaan (awal) terkadang sulit dijumpai kelainan, kelainan paru yang
disebabkan oleh kuman TB ini pada umumnya terletak di bagian bawah
lobus superior atau pada daerah apex dari lobus inferior yang
menyebabkan timbul kelainan pada pemeriksaan fisik berupa suara nafas
bronkial pada pemeriksaan auskultasi, amforik, suara nafas melemah,
ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.14
3. Pemeriksaan Bakteriologis
a. Bahan pemeriksaan
Bahan pemeriksaan yang biasa digunakan untuk pemeriksaan
bakteriologis ini adalah sputum/dahak, akan tetapi dapat juga
menggunakan cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasan bronkus,
bilasan lambung, urin, dan feses untuk pasien yang tidak memiliki
gejala batuk dan tidak dapat mengeluarkan dahaknya. Pemeriksaan
bakteriologis ini memiliki peran yang sangat penting untuk membantu
menunjang diagnosis. Pada pemeriksaan yang kami lakukan karena
untuk TB paru, kami menggunakan spesimen sputum.14
b. Cara Pengambilan dan Penyimpanan Bahan
Untuk cara pengambilan dahak dilakukan sebanyak 3 kali yaitu
bisa pada saat sputum setiap pagi selama 3 hari berturut turut atau juga
bisa dengan cara:14
Sewaktu (pada saat melakukan kunjungan pemeriksaan)
Pagi (pada keesokan harinya setelah kunjungan pemeriksaan
tepatnya pada pagi hari)
Sewaktu (pada kunjungan selanjutnya sekaligus memberikan
dahak yang telah diambil pada pagi hari)
Untuk bahan penyimpanan yang digunakan yaitu dalam bentuk pot
yang memiliki mulut lebar dengan luas penampang 6 cm atau lebih
yang bertutup ulir, tidak mudah bocor maupun pecah. Jangan lupa
sebelum dikirim ke laboratorium agar dipastikan pot tersebut sudah
tertera identitas pasien.
21
c. Cara Pemeriksaan Sputum
Pada pemeriksaan mikroskopis pada spesimen sputum tersebut
dapat dilakukan dengan 2 cara pemeriksaan mikroskopik yaitu :14
Mikroskopik biasa: Pewarnaan Ziehl-Nielsen dan pewarnaan
Kinyoun Gabbet
Mikroskopik fluoresens: Pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya
untuk screening)
Interpretasi dari hasil pemeriksaan mikroskopis sebanyak 3
kali pemeriksaan bila didapatkan :
2 kali positif, 1 kali negatif maka disebut mikroskopik positif
1 kali positif, 2 kali negatif maka pemeriksaan BTA diulang 3 kali,
kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif disebut sebagai
mikroskopik positif, dan apabila 3 kali negatif disebut dengan hasil
mikroskopis negatif.
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dapat dibaca sesuai
dengan skala bronkhorst atau International Union Againts To Lung
Disease (IUATLD).
Tabel 2.2 Skala IUATLD.12
SKALA IUATLD
(International Union Against TB and Lung Diseases)
Negatif Tidak ditemukan BTA minimal dalam 100 lapang
pandang
Scanty 1 – 9 BTA dalam 100 lapang pandang (Tuliskan
jumlah BTA yang ditemukan)
+ 1 10 – 99 BTA dalam 100 lapang pandang
+ 2 1 – 10 BTA setiap 1 lapang pandang (periksa minimal
50mlapang pandang)
+ 3 >10 BTA dalam 1 lapang pandang (periksa minimal
20 lapang pandang)
22
Pemeriksaan bakteriologis bisa juga dengan pemeriksaan biakan kuman
menggunakan 2 cara yaitu :14
Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh)
Agar base media : Middle brook
Pada penelitian kali ini fokus peneliti ialah pada pemeriksaan mikroskopis,
jadi tidak membahas untuk pemeriksaan-pemeriksaan penunjang lainnya.14
23
Gambar 2.5 Diagnosis Tuberkulosis.10
Sumber : Setiati S, dkk (2014)
Diagnosis
Gejala
klinik
Gejala respiratorik
Gejala sistemik
Pemeriksaan
fisik
Pemeriksaan
bakteriologi
k
Pemeriksaan
mikroskopis
Pemeriksaan
biakan kuman
Pemeriksaan
radiologik
Pemeriksaan
penunjang
PCR (Polymerase
chain reaction)
Pemeriksaan
serologi
Pemeriksaan
BACTEC
Pemeriksaan
cairan pleura
Pemeriksaan
histopatologi
Pemeriksaan
darah
Uji tuberkulin
24
2.2 Mycobacterium tuberculosis
2.2.1 Morfologi
Bakteri Mycobacterium tuberculosis memiliki bentuk tubuh yaitu batang
tipis lurus yang berukuran sekitar 0,4 x 3𝜇m jika berada pada jaringan tubuh.
Berbeda bentuk kuman tersebut pada media pembenihan yaitu kokoid dan
berfilamen. Bakteri ini tidak dapat digolongkan kepada bakteri gram yaitu gram
positif maupun negatif, karena bakteri ini sejatinya disebut bakteri tahan asam
(BTA) karena 95% etil alkohol mengandung 3% asam hidroklorat (asam-alkohol)
sehingga dengan cepat dapat menghilangkan warna bakteri lainnya kecuali
mikobakterium.8
2.2.2 Biakan
Pada biakan primer dari mikobakterium yaitu menggunakan medium
nonselektif dan medium selektif. Ada 3 medium selektif dan nonselektif yang
dapat digunakan untuk biakan primer dari mikobakterium, yaitu :8
1. Medium agar semisintetik
Medium ini mengandung garam, vitamin, kofaktor, asam oleat, albumin,
katalase, gliserol, malakit hijau, dan glukosa. Contoh misal dari medium ini
adalah Middlebrook 7H10 dan 7H11. Medium agar semisintetik ini biasa
digunakan untuk mengamati morfologi koloni, uji sensitifitas, dan dengan
menambahkan antibiotik, yang berfungsi sebagai medium selektif. Akan tetapi
medium ini mungkin kurang sensitif jika dibandingkan dengan medium lain untuk
mengisolasi primer mikobakterium. Zat albumin yang terkandung pada medium
ini dapat menetralisir efek toksik dan efek inhibisi asam lemak dalam spesimen
maupun medium.
2. Medium telur inspisatted
Medium ini mengandung gliserol, garam, dan substansi organik kompleks
(misalnya, telur segar atau kuning telur, tepung kentang, dan bahan-bahan lain
25
dalam berbagai macam kombinasi). Contoh dari medium ini adalah Lowenstein-
Jensen. Penambahan substansi berupa malakit hijau dapat menghambat bakteri
lain. Dalam waktu 3-6 minggu inokulum kecil dalam spesimen dari pasien akan
dapat tumbuh pada medium ini. Seperti medium agar semisintetik, dengan
penambahan antibiotik, medium ini dapat digunakan sebagai medium selektif.
3. Medium kaldu
Medium ini dapat mendorong proliferasi dari inoculum kecil yang ada di
spesimen. Sifat hidrofobik pada permukaan sel mikobakterium pada awalnya
membuatnya tumbuh dalam massa. Agar pertumbuhannya dapat menyebar pada
medium cari dapat dilakukan penambahan Tweens (ester asam lemak yang larut
air) zat ini nantinya akan membasahi permukaannya. Contoh dari medium ini
adalah Middlebrook 7H9 dan 7H12.
2.2.3 Sifat Pertumbuhan
Sifat pertumbuhan mikobakterium ini yaitu dengan cara aerob obligat.
Pada kondisi CO2 yang meningkat akan lebih mendukung bakteri ini untuk
tumbuh. Oksidasi senyawa karbon yang sederhana merupakan energi yang
didapatkan. Akan tetapi untuk laju pertumbuhan mikobakterium ini tergolong
lebih lambat dibandingkan dengan bakteri lainnya, bakteri ini membutuhkan
waktu sekitar 18 jam untuk bereplikasi dengan suhu yang baik bagi bakteri ini
yaitu 22-23°C.8
2.2.4 Daya Tahan
Daya tahan yang dimiliki oleh Mycobacterium tuberculosis ini lebih besar
dibandingkan dengan bakteri lainnya dikarenakan pada mikobakterium ini
memiliki permukaan sel yang bersifat hidrofobik. Kuman ini dapat bertahan hidup
hingga 8-10 hari pada sputum kering yang menempel di debu. Akan tetapi tingkat
pemanasan atau suhu yang cukup tinggi akan berpengaruh pada bakteri ini yaitu
akan mengurangi daya tahan hidupnya sama seperti bakteri lain. Zat yang
biasanya ditambahkan sebagai bakteriostatik seperti malakit hijau dan penisilin
26
pada medium tidak akan menghambat pertumbuhan dari Mycobacterium
tuberculosis.16
2.2.5 Komponen Bakteri
1. Lipid
Banyak lipid yang terkandung pada bakteri ini seperti asam mikolat (asam
lemak rantai panjang C78-C90), lilin, dan fosfat. Lipid banyak berperan
terhadap reaksi yang ditimbulkan kuman terhadap sel jaringan, contohnya
seperti granuloma ditimbulkan akibat pembuatan kompleks dengan asam
mikolat yang dilakukan oleh muramil dipeptide (dari peptidoglikan),
kemudian nekrosis yang khas yaitu nekrosis kaseosa disebabkan oleh
fosfolipid. Lipid yang dimiliki bakteri ini sendiri juga yang menyebabkan
bakteri ini bersifat tahan asam, dan didalam sel lipid ini sendiri banyak juga
tergabung dengan protein dan polisakarida.16
2. Protein
Reaksi tuberkulin disetiap tipe kuman mikobakterium ini ditimbulkan oleh
beberapa komponen dari protein ini sendiri. Kandungan protein yang terikat
pada fraksi lilin akan menginduksi sensitivitas tuberkulin. Dalam hal lain,
protein ini juga dapat merangsang macam-macam pembentukan antibodi.16
3. Polisakarida
Peran polisakarida dalam patogenesis penyakit manusia ini belum jelas.
Akan tetapi Mycobacterium ini mengandung berbagai macam polisakarida
yang dapat mengganggu beberapa rekasi antigen-antibodi in vitro dan memicu
hipersensitivitas tipe cepat.16
2.3 Pewarnaan BTA
Secara mikroskopik laboratorium, diagnosis awal yang paling sering
digunakan untuk penyakit tuberkulosis ini yaitu pewarnaan BTA. Metode ini
adalah terbaik yang diterapkan di negara yang memiliki sumber daya terbatas
27
untuk mendiagnosis pnyakit tuberkulosis, walaupun standar emas untuk
pemeriksaan diagnosis penyakit tuberkulosis ini adalah kultur bakteri.17
Terdapat 2 teknik pewarnaan BTA yang biasa digunakan untuk
mendiagnosis penyakit tuberkulosis pada spesimen sputum. Pertama yaitu
menggunakan metode Ziehl-Neelsen atau pewarnaan menggunakan karbol fuchsin
dan modifikasi dari metode tersebut yaitu pewarnaan Kinyoun-Gabbet (tanpa
pemanasan. Yang kedua adalah pewarnaan fluorochrome (auramin atau auramin-
rhodamin).17
Menurut keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 831
tahun 2009, pewarnaan BTA menggunakan metode Ziehl-Neelsen adalah metode
standar terbaik yang digunakan di puskesmas seluruh Indonesia.18
Reagen yang
dibutuhkan pada metode ini adalah karbol fuchsin, asam alkohol, dan methylen
blue yang dilakukan proses pemanasan guna untuk lebih mudahnya zat warna
yaitu karbol fuchsin dapat masuk ke dinding sel bakteri. Pada proses dekolorisasi,
metode ini menggunakan reagen asam alkohol, akan tetapi hal tersebut tidak akan
menghapus seluruh warna karbol fuchsin karena zat tersebut tetap terserap dan
diikat oleh diding sel bakteri.19
Pada pewarnaan BTA dengan metode Kinyoun-Gabbet merupakan
modifikasi dari metode pewarnaan Ziehl-Neelsen tanpa proses pemanasan yang
dilakukan menggunakan karbol fuchsin berkonsentrasi tinggi. Kuman atau bakteri
Mycobacterium tuberculosis akan menunjukkan gambaran batang berwarna
merah pada pewarnaan BTA dengan metode Ziehl-Neelsen maupun Kinyoun-
Gabbet karena merupakan warna dasar dari reagen karbol fuchsin tersebut.17
Metode fluorochrome sebagai salah satu metode pewarnaan BTA ini telah
digunakan bertahun-tahun. Pada pewarnaan ini bakteri Mycobacterium
tuberculosis akan menunjukkan gambaran sebagai batang berwarna neon
menyala dengan latar yang gelap. Pewarnaan ini lebih sensitif dan tidak
membutuhkan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan metode pewarnaan
BTA Ziehl-Neelsen dan Kinyoun-Gabbet.17
28
Pada penelitian tahun 2005 oleh A. Karuniawati tentang perbandingan
metode pewarnaan BTA, didapatkan hasil bahwa metode pewarnaan BTA
fluochrome memiliki tingkat sensitivitas yang paling tinggi dibanding pewarnaan
BTA lain yaitu metode Ziehl-Neelsen dan Kinyoun-Gabbet, namun metode
pewarnaan fluorochrome ini memerlukan dana yang cukup besar karena
menggunakan alat-alat yang harganya sangat mahal sehingga sulit untuk
diterapkan di fasilitas kesehatan tingkat pertama dengan fasilitas yang sederhana.
Oleh karena itu metode pewarnaan Ziehl-Neelsen menjadi pilihan yang tepat dan
cukup sederhana untuk diterapkan dan memberikan hasil sensitivitas yang cukup
tinggi.20
2.4 Bleach atau Natrium Hipoklorit
2.4.1 Pengertian
Bleach atau natrium hipoklorit merupakan bahan utama dalam cairan
pemutih pakaian dan termasuk dalam golongan halogen. Senyawa ini merupakan
hasil dari reaksi antara klorin dan sodium hidroksida.18
Senyawa ini dapat terurai
oleh karbon dioksida dari udara, air panas dan paparan cahaya mampu
mempercepat proses penguraiannya. Senyawa ini secara kimiawi bersifat stabil.21
2.4.2 Sifat Fisik Kimia
Bleach atau natrium hipoklorit memiliki bau yang khas yaitu bau seperti
klorin, dan memiliki warna cairan kuning kehijauan. Titik lebur dan titik beku zat
ini yaitu -30°C - 20°C.19
PH yang dimiliki zat ini yaitu bersifat basa 12-13 dengan
tekanan uap 20 hPa pada suhu 20°C. Zat ini tidak terklarifikasi kedalam zat yang
mudah meledak, akan tetapi memiliki resiko untuk meledak jika direaksikan
dengan asam hidroklorida, sianida, dan asam-asam lain.22
2.4.3 Penggunaan
1. Pemutih
Bleach atau natrium hipoklorit secara luas digunakan untuk zat pemutih
pada pakaian, detergen, industri kertas, serbuk kayu (pulp), zat pengoksidasi
29
pada produk organik dalam industri petrokimia, dan penyulingan produk
minyak bumi. Dalam pengolahan bahan pangan natrium hipoklorit ini juga
dapat digunakan sebagai pembersih peralatan persiapan makanan, buah-
buahan dan pengolahan sayuran. Pada jumlah besar zat ini dapat digunakan
sebagai disinfektan dalam air dan pengolahan air limbah serta peralatan
sanitasi. Dalam hal medis zat ini bisa digunakan sebagai bahan untuk
sterilisasi alat bedah yang telah digunakan.21
2. Disinfektan
Disinfektan adalah suatu zat kimia yang digunakan untuk mengurangi
mikroba pada suatu permukaan atau objek, akan tetapi tidak bisa membunuh
jamur. Natrium hiplokorit adalah zat yang dapat melakukan hal tersebut
sehingga dapat digunakan sebgai disinfektan.20
Klorin merupakan suatu
senyawa dari kandungan natrium hipoklorit yang paling baik dapat digunakan
sebagai disinfektan dibandingkan dengan alkohol, fenol, dan Quaternary
Ammonium Coumpunds/cationic detergents (QUATS).24
Penambahan
disinfektan berupa natrium hipoklorit pada spesimen sputum yang akan
dilakukan pemeriksaan kultur ini dapat menyebabkan berkurangnya
kontaminasi flora normal dari orofaringeal.
Mekanisme dari pembunuhan mikroorganisme kontaminan saat akan
mengkultur kuman Mycobacterium tuberculosis oleh bleach ini adalah dengan
mereaksikan stres oksidatif kedalam protein bakteri. Reaksi stres oksidatif
nantinya akan menstimulasi agregasi dari protein bakteri yang menyebabkan
kematian pada bakteri tersebut. Ketika bakteri diberikan larutan bleach, akan
terjadi respon bakteri berupa mekanisme pertahanan tubuh bakteri dengan
menggunakan pengaturan redox chaperon Hsp33 yang membuat oksidasi
reversibel untuk membuka ikatan C-terminal redox dari chaperon Hsp33
sehingga beralih domain. Bleach memiliki kemampuan untuk mengaktifkan
potensial dari Hsp33 yang nantinya akan mengganggu dan menimbulkan
reaksi yang menyebabkan protein tidak sempurna atau rusak.25
30
3. Mukolitik
Larutan bleach atau natrium hipoklorit pada pewarnaan BTA dengan
metode baru dapat berfungsi sebagai agen mukolitik, yaitu digunakan untuk
mencairkan sputum. Proses pencairan ini dapat merubah biofisik dari sputum,
biasanya dengan cara mengurangi molekul musin, fibrin, F-aktin, dan DNA.
Sedangkan pada musin sendiri terjadi proses pemisahan ikatan hidrogen antar
molekul yang menghubungkan molekul musin, yang nantinya akan mengubah
hasil dalam pengurangan titik belitan dan karenanya dapat menyebabkan
penurunan kekentalan sputum atau pengenceran.26
Mukolitik memiliki berbagai macam jenis, yaitu klasik (NALC,
Dithiothreitol, dan Thioredoxin) dan peptide (DNase, Gelsolin, NAOCL, dll).
Mukolitik dengan jenis klasik dapat bekerja pada jaringan primer untuk
mencerna ikatan yang menghubungkan antar jaringan musin. Sedangkan pada
jenis mukolitik peptide bekerja pada jaringan sekunder yang terdiri dari sel
debris, F-aktin, dan DNA.27
Pada penelitian yang dilakukan pada tahun 2012 oleh S.David, et.al yang
berjudul “Tuberculosis diagnosis after bleach processing for early stage
tuberculosislaboratory capacity building” , penambahan larutan bleach pada
pemeriksaan sputum tersebut dapat meningkatkan derajat kepositifan hingga
16 sampel sputum.28
2.4.4 Penyimpanan
Penyimpanan larutan bleach atau natrium hipoklorit ini memiliki aturan
khusus yaitu larutan ini harus disimpan dalam botol kaca yang gelap dengan
meminimalisir ruang kosong di dalam botol tersebut, kemudian disimpan di area
yang gelap yang terhindar dari paparan cahaya karena larutan ini dapat mengalami
oksidasi jika pada penyimpanannya tidak diperhatikan aturan-aturannya.29
31
2.4.5 Bahaya Terhadap Kesehatan
1. Paparan Jangka Pendek
Paparan jangka pendek yang dapat ditimbulkan oleh larutan natrium
hipoklorit ini ketika terjadi kontak dengan tubuh manusia adalah sebagai berikut
:21
a. Saat terhirup : menimbulkan efek batuk, sulit bernafas, sesak, sakit
tenggorokan dan rasa terbakar.
b. Saat terkena kulit teralu lama : menyebabkan kemerahan pada kulit, lecet, dan
nyeri.
c. Saat terkena mata : menyebabkan kemerahan pada mata, nyeri, dan rasa
terbakar pada mata.
d. Saat tertelan : menyebabkan nyeri perut, perasaan terbakar, muntah, lidah
berwarna hitam, lesu, bau pada napas, bahkan dapat membuat manusia tidak
sadarkan diri.
2. Paparan Jangka Panjang
Paparan jangka panjang terhadap larutan bleach atau natrium hipokorit ini
juga memiliki efek yaitu :21
a. Saat terhirup : menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan, kerusakan
jaringan, dan edema paru.
b. Saat terjadi kontak dengan kulit : menyebabkan kemerahan, nyeri, kulit
terbakar, melepuh, lecet, dan eksim.
c. Saat terjadi kontak dengan mata : menyebabkan peradangan berupa
kemerahan, gatal-gatal, dan mata berair.
d. Saat tertelan : menyebabkan penurunan fungsi jantung, hipotensi, iritasi
saluran pencernaan, hingga dapat menimbulkan kematian.
32
2.5 Kerangka Teori
Gambar 2.6 Kerangka teori penelitian peningkatan derajat kepositifan diagnostik
mikroskopik TB dari sputum dengan bleach 2%.
Inhalasi
droplet
Masuk hingga
ke alveolus
Terjadi reaksi
antigen-antobodi
Reaksi
peradangan
Pengeluaran mukus
berlebihan
Terakumulasi
dijalan nafas
Timbul
respon batuk
Secret berupa sputum
yang mengandung
Mycobacterium
tuberculosis keluar
Spesimen
sputum
Diagnosis
Pemeriksaan
bakteriologis
Gejala
Klinik
Pemeriksaan
fisik
Pemeriksaan
radiologi
Pemeriksaan
penunjang
Makroskopis
Mikroskopis
Kultur/biakan
bakteri
Penambahan
bleach
Pewarnaan BTA
Fluorochrome
Kinyoun-Gabbet Ziehl-Neelsen
Agen mukolitik
klasik dan peptida
Disinfektan
Mencairkan
sputum
Meningkatkan
derajat kepositifan
Aman bagi
pemeriksa
Mycobacterium
tuberculosis
Meredupkan warna
methylen blue Memperbaiki
kejernihan
lapang pandang
Pemeriksaan
serologi
PCR (Polymerase
Chain Reaction)
33
2.6 Kerangka konsep
Gambar 2.7 Kerangka konsep penelitian peningkatan derajat kepositifan
diagnostik mikroskopik TB dari sputum dengan bleach 2%.
Spesimen
sputum
Pemeriksaan
mikroskopis
Pewarnaan BTA
konvensional dengan
metode Ziehl-Neelsen
Pewarnaan BTA
konvensional dengan metode
Ziehl-Neelsen + bleach 2%
Positif 1,2, atau 3 Negatif
Pasien
suspek TB
34
2.7 Definisi Operasional
Tabel 2.3 Definisi Operasional
No Variabel Definisi
Operasional
Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
1 Tingkat
kepositifan
pewarnaan
BTA yang
ditambahkan
bleach 2%
Nilai positif
1, 2, 3 atau
negatif
pewarnaan
BTA yang
ditambahkan
bleach 2%
Dengan
mengguna
kan
mikroskop
lalu
dikategori
kan
kedalam
skala
IUATLD
Mikroskopik Tabel
berupa skala
IUATLD
yang akan
dikelompok
kan sebagai
positif dan
negatif
Kategorik
2 Tingkat
kepositifan
pewarnaan
BTA
konvensional
Nilai positif
1, 2, 3 atau
negatif
pewarnaan
BTA
konvensional
Dengan
mengguna
kan
mikroskop
lalu
dikategori
kan
kedalam
skala
IUATLD
Mikroskopik Tabel
berupa skala
IUATLD
yang akan
dikelompok
kan sebagai
positif dan
negatif
Kategorik
35
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain pada penelitian ini menggunakan studi eksperimental
dengan metode uji komparatif yaitu perbandingan 2 kelompok
berpasangan untuk mengetahui bagaimana kerja dan efek dari bleach 2%
terhadap derajat kepositifan diagnostik mikroskopik TB dari sputum.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu : September - Desember 2019
Tempat : di rumah sakit haji Jakarta
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi : Semua pasien dengan semua umur
Populasi terjangkau : Semua pasien dengan semua umur di Jakarta
Sampel : Semua pasien dengan semua umur di Rumah Sakit
Haji Jakarta
3.4 Jumlah Sampel Penelitian
Pada penelitian ini, kami menggunakan sample dari sputum orang yang
diduga menderita penyakit tuberkulosis yaitu pasien yang memiliki gejala
batuk >3 minggu, sering keluar keringat pada malam hari, menurunnya nafsu
makan, batuk berdarah, dan demam.
Rumus untuk menentukan jumlah sampel pada penelitian ini yaitu
menggunakan rumus besaran sampel minimal analitik kategorik berpasangan,
36
yaitu :
Keterangan:
n =n = besar minimal sampel pada kelompok
Zα = derivate baku alfa
Zβ = derivate baku beta
= besarnya diskordan
P = proporsi pada kasus
P = proporsi pada control
Pada penelitian kali ini peneliti menentukan kesalahan α sebesar
5% satu arah dan β 20% maka nilai Zα adalah 1,96 dan nilai Zβ adalah
0,84. Nilai Zα satu arah ditentukan karena dianggap “akan terdapat
peningkatan derajat kepositifan diagnostik mikroskopik TB dengan
penambahan bleach 2% pada pemeriksaan pewarnaan BTA konvensional
metode Ziehl-Neelsen pada spesimen sputum”. Sedangkan nilai P1, P2,
dan diambil dari penelitian sebelumnya mengenai perbandingan
pewarnaan Ziehl-Neelsen dengan penambahan bleach oleh Krishna,M dan
Gole,S.G. dengan nilai P1 adalah 0,2 sedangkan nilai P2 adalah 0,65 dan
nilai adalah 0,45.6
n =n = 17,4 = 17
n +n = 34 sampel
Jadi sampel yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah sebanyak 34
sampel.
Pada penelitian ini didapatkan 34 sampel, yang dimana masing-masing
sampel akan dibagi menjadi dua yaitu yang satu diwarnai dengan pewarnaan
BTA konvensional dan yang satunya lagi dengan penambahan bleach 2%,
maka total preparat yang akan diperiksa yakni sebanyak 68 preparat.
37
3.5 Teknik Pengambilan Sampel Penelitian
Teknik sampling yang digunakan peneliti dalam penelitian ini
adalah consecutive sampling, yakni dengan memasukkan semua subjek
yang sesuai dengan kriteria penelitian yang ada di rumah sakit haji Jakarta.
3.6 Identifikasi Variabel
3.6.1 Variabel Bebas (Independen)
Pada penelitian ini spesimen sputum akan ditambahkan larutan
bleach 2% pada pewarnaan BTA konvensional dengan metode Ziehl-
Neelsen akan dinilai sebagai positif dan negatif.
3.6.2 Variabel Terikat (Dependen)
Spesimen sputum yang ditambahkan larutan bleach 2% pada
pewarnaan BTA konvensional dengan metode Ziehl-Neelsen akan dinilai
hasilnya menjadi positif dan negatif.
3.7 Kriteria Sampel Penelitian
3.7.1 Kriteria Inklusi:
Pasien dengan semua usia yang batuk tidak kunjung sembuh
selama >3 minggu dan diduga menderita penyakit TB.
3.7.2 Kriteria Eksklusi:
Pasien yang sputumnya mengering.
3.8 Besar dan Pengambilan Sampel
Pengambilan sputum pada penelitian ini yaitu dilakukan sekali
sewaktu saat pasien datang. Sputum harus bersifat atau memiliki kualitas
yang baik dan memenuhi syarat berdasarkan pemeriksaan mikroskopis,
bukan air liur. Sputum yang memiliki kualitas baik adalah sputum yang
mukoid, purulent atau bercampur darah. Akan dilakukan pengambilan
sputum ulang jika jelas merupakan air liur, diberi pengawet CPC,
38
dikumpulkan pada wadah yang tidak steril, dan data pada pot tidak sesuai
dengan formulir permohonan pemeriksaan.
3.9 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Pot sputum
2. Kaca objek
3. Larutan bleach
4. Ose
5. Bunsen
6. Vortex
7. Pewarnaan BTA
8. BSC (Bio Safety Cabinet)
9. Handscoon
10. Masker
11. Jas lab
12. Program software SPSS 22
13. Mikroskop
39
3.10 Cara Kerja Penelitian
3.10.1 Pengambilan Sampel
Sputum diambil oleh peneliti di rumah sakit haji Jakarta. Sputum
dtampung dalam pot steril yang tidak lupa sebelumnya sudah dituliskan
identitas pasien dan kode pemeriksaan. Pasien sebelumnya akan diberikan
edukasi bagaimana cara mengeluarkan dahak yang benar agar dahak yang
dihasilkan berkualitas baik dan sesuai persyaratan untuk dilakukan
pemeriksaan mikroskopis yang pastinya bukan menghasilkan air liur. Hal
ini tidak memerlukan orang khusus untuk pengambilan sampel karena
pasien akan dapat dengan sendirinya mengeluarkan dahak. Setelah sputum
sudah berada didalam pot dan ditutup rapat maka pot dimasukkan didalam
plastik kemudian diikat, setelah itu untuk menjaga agar sputum masih
dalam kondisi baik dalam perjalanan menuju laboratorium Mikrobiologi
FK UN Jakarta, pot dimasukkan kedalam cool box yang didalamnya sudah
terdapat cool gel sebagai pendingin atau pengawet.
Setelah tiba di laboratorium, sputum akan dipisahkan dan dibagi
menjadi 2 wadah/pot baru yang sebelumnya juga telah diberikan kode, hal
ini bertujuan sebagai pemisah untuk pemeriksaan yang ditambahkan
dengan bleach 2% dan tanpa penambahan bleach, untuk perlakuan ini
karena harus membuka botol sampel sputum maka akan dilakukan
didalam BSC untuk mengurangi bahaya penularan infeksi bakteri TB,
Pengambilan Sampel
Persiapan alat dan bahan
Pembuatan preparat
Pengelolaan dan Analisi
Data
Pemeriksaan mikroskopis
40
lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini yang telah
digambarkan bagaimana tata cara pembagian sputumnya.
Gambar 3.1 Pembagian sputum
3.10.2 Persiapan Alat dan Bahan
a. Persiapan Alat
Pada tahap pembuatan preparat harus dilakukan di dalam Bio
Safety Cabinet (BSC) untuk menjaga keamanan penularan, akan tetapi
untuk tahap fiksasi karena menggunakan api/bunsen harus dilakukan
diluar BSC. Pada 30 menit sebelum BSC digunakan harus dinyalakan
terlebih dahulu dengan dihidupkan sinar ultra violetnya dan bersihkan
bagian dalam BSC dengan larutan antiseptik yaitu alkohol 70%,
setelah dibersihkan letakkan tisu sebagai pengalas preparat yang akan
dikerjakan. Lalu siapkan alat-alat yang akan dikerjakan didalan BSC
seperti object glass ,pot sputum yang telah terisi sputum, pot sputum
yang kosong, kayu lidi, bleach 2% yamg telah dimasukkan kedalam
tabung ukur, dan pipet.
Pot berisi
4ml sputum
Pot berisi
2ml sputum
Pot berisi
2ml sputum
41
b. Pembuatan Larutan Bleach 2%
Larutan bleach yang kami gunakan dalam penelitian ini memiliki
konsentrasi yaitu 5,25%, sedangkan yang peneliti butuhkan saat ini
yaitu sebesar 2%, maka dari itu untuk mendapatkan hasil 2%, akan
dilakukan pengenceran terlebih dahulu dengan rumus yaitu :
Keterangan :
V1 = Volume awal larutan (bleach)
M1 = Konsentrasi awal larutan
V2 = Volume akhir larutan (bleach + aquades)
M2 = Konsentrasi akhir setelah penambahan bleach
Pada penelitian ini dibutuhkan larutan bleach dengan konsentrasi 2%
yaitu sebanyak 100 ml, oleh karena itu perhitungannya menjadi :
M1 x V1=M2 x V2
5,25% x V1=2% x 100ml
V1=
V1= 39ml
Jadi, dari hasil perhitungan diatas kita dapatkan kebutuhan larutan aquades yaitu
sebanyak 61 ml, yang didapatkan dari rumus V2 – V1 yaitu 100 ml – 39 ml =
61ml. Maka dari itu untuk menghasilkan larutan bleach konsentrasi 2% dengan
volume 100 ml, perlu mencampurkan larutan bleach 5,25% sebanyak 39ml
dengan larutan aquades sebanyak 61 ml.
V1 x M1 = V2 x M2
42
c. Penambahan bleach 2% kedalam sputum
Larutan bleach yang akan dicampurkan kedalam sputum harus
dilakukan didalam BSC, cara mencampurkannya yaitu dengan
menuangkan larutan bleach dengan volume 1:1 dengan sputum,
kemudian aduk menggunakan vortex selama 10 detik agar sputum dan
bleach dapat tercampur dengan rata, lalu inkubasi campuran sputum
dan bleach tersebut selama 5 menit dengan suhu kamar, setelah itu
sputum jadi siap untuk bahan pembuatan preparat.
3.10.3 Pembuatan Preparat
Setelah alat dan bahan tersedia didalam BSC, ambil sputum pada
bagian yang purulent dengan menggunakan lidi, lalu sebarkan diatas kaca
objek yang telah diberi tanda oval untuk pembatas kira-kira sebesar 2x3
cm, kemudian ratakan tipis dengan gerakan spiral. Selanjutnya tunggu
sediaan hingga kering. Jika sediaan sudah kering maka dapat dilakukan
fiksasi diluar BSC menggunakan bunsen/api dengan cara yang pertama
jepit terlebih dahulu kaca objek yang sudah terdapat sputum dengan pinset
dan pastikan kaca sediaan menghadap keatas, lalu lewatkan sediaan diatas
api bunsen sebanyak 2-3 kali selama 1-2 detik. Setelah itu sediaan sudah
siap untuk dilakukan pewarnaan.
43
3.10.4 Pewarnaan Preparat
Preparat yang telah siap dilakukan pewarnaan diletakkan diatas rak
dengan jarak minimal 1 jari telunjuk dengan preparat lainnya. Setelah itu
perhatikan langkah-langkah berikut :
Teteskan karbol fuchsin 0,3%
diatas preparat yang telah
diberi batas bentuk oval
Tunggu 5 menit hingga dingin,
lalu bilas dengan air mengalir
Panaskan hingga keluar uap,
jangan sampai mendidih
Teteskan asam alkohol 3%
Bilas dengan air
sampai bersih
Tunggu selama 10 detik
Teteskan methylen
blue 0,3%
Bilas dengan air mengalir dan
keringkan preparat dengan cara
miringkan di rak pengering
Biarkan selama 30 detik
44
3.10.5 Pemeriksaan Mikroskop
Pemeriksaan preparat dilakukan dengan pembesaran 4X, 10X,
40X, dan 100X. Saat pemeriksaan dengan pembesaran 100X jangan lupa
tetesi preparat dengan minyak emersi terlebih dahulu. Pemeriksaan
preparat dilakukan dengan 100 lapang pandang yang dimulai dari pojok
kiri ataupun kanan, geser preparat kesamping sampai 10 lapang pandang,
lalu geser kebawah dan periksa kembali hingga 10 lapang pandang
kesamping, kemudian lakukan dengan hal yang sama sampai 100 lapang
pandang. Pemeriksaan preparat menggunakan pola zigzag dan perhitungan
bakteri dimulai saat menggunakan perbesaran 100X, lalu hasil
perhitungkan dapat digolongkan menggunakan hasil IUATLD.
3.10.6 Pengelolahan dan Analisis Data
Untuk pengolahan dan analisa data pada penelitian ini menggunakan
program Statistic Package for Social Science (SPSS) versi 22.0. Berikut
ini adalah beberapa tahap yang nantinya akan dilakukan dalam pengolahan
dan analisa data, yaitu :
a. Editting
Pemeriksaan kembali kebenaran dan kelengkapan data sampel yang
telah terkumpul.
b. Coding
Pemberian kode numerik pada data yang terdiri dari kategori untuk
hasil pemeriksaan sputum.
c. Data Entry
Memasukkan data yang telah diperoleh dan dikumpulkan ke dalam
program SPSS versi 22.0
d. Analisis Data
Melakukan penganalisaan data secara Univariat untuk melihat karakteristik pasien
dan analisis Bivariat dengan uji T dependen apabila data terdistribusi normal dan
uji Wilcoxon apabila data terdistribusi tidak normal, analisis bivariat digunakan
untuk melihat perbandingan tingkat/derajat kepositifan diagnostik mikroskopik
TB antara pewarnaan BTA konvensional dengan penambahan bleach 2% pada
45
pewarnaan dengan menggunakan SPSS versi 22.0. Uji statistik yang digunakan
adalah Wilcoxon. Jika p-value <0,05 maka artinya terdapat pengaruh yang
bermakna atau signifikan dari kedua variabel yang diteliti. Sebaliknya ketika p-
value >0,05 maka artinya tidak terdapat pengaruh bermakna antara kedua variabel
yang diteliti.
3.11 Alur Kerja Penelitian
Persiapan
Penelitian
Perizinan ke Rumah Sakit Haji
Jakarta
Berdiskusi dengan petugas TB di Rumah Sakit
Haji Jakarta terkait kabar jika ada pasien yang
dicurigai menderita penyakit TB
Pengambilan sampel sputum
sewaktu dan wawancara
mengenai gejala TB
Melakukan pemeriksaan
sputum yang kualitasnya baik
Sputum ditambah
bleach 2%
Sputum tanpa
penambahan bleach
Pembuatan preparat
Pewarnaan BTA
konvensional
Pemeriksaan mikroskopis
Positif atau negatif
Penyajian dan analisis data
Gambar 3.2 Alur Penelitian
46
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Univariat
Analisis univariat berfungsi untuk mendeskripsikan karakteristik dari
setiap variabel dalam penelitian dengan mencari nilai data berupa angka, Pada
analisis ini juga ditampilkan hasil data sampel yang telah dikerjakan. Karakteristik
sampel dan hasil pengerjaan sampel ditampilkan pada tabel 4.1 dan 4.2.
4.1.1 Karakteristik Sampel
Gambaran karakteristik sampel penelitian ini ditinjau dari usia dan jenis
kelamin. Distribusi karakteristik sampel disajikan dalam tabel 4.1.
Tabel 4.1 Karakteristk Pasien
Karakteristik Pasien Hasil
(n=34)
Persentase
Usia
17-25 (remaja akhir) 2 5,9%
26-35 (dewasa awal) 1 2,9%
36-45 (dewasa akhir) 10 29,4%
46-55 (lansia awal) 7 20,6%
56-65 (lansia akhir) 12 35,3%
>65 (manula) 2 5,9%
Jenis Kelamin
Laki – laki 22 64,7%
Perempuan 12 35,3%
4.1.2 Hasil Pewarnaan BTA Konvensional dan Penambahan Bleach 2%
Pada tabel 4.2 disajikan hasil pewarnaan BTA konvensional dan
penambahan bleach 2% yang sudah dilakukan pemeriksaan menggunakan
mikroskop berupa derajat kepositifan dalam mendiagnosis penyakit tuberkulosis.
47
Tabel 4.2 Hasil pewarnaan BTA Konvensional dan Penambahan Bleach 2%
Pewarnaan
BTA
Konvensional
Penambahan Bleach 2%
Negatif +1 +2 +3 Total
n % n % n % n % n %
Negatif 8 61,5% 3 23,1% 1 7,7% 1 7,7% 13 100%
+1 0 0,0% 2 25,0% 3 37,5% 3 37,5% 8 100%
+3 0 0,0% 0 0,0% 0 0,0% 13 100% 13 100%
Total 8 23,5% 5 14,7% 4 11,8% 17 50% 34 100%
4.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat berfungsi untuk mendeskripsikan pengaruh penambahan
larutan bleach 2% dalam pewarnaan BTA konvensional terhadap tingkat derajat
kepositifan untuk mendiagnosis penyakit tuberkulosis.
4.2.1 Pengaruh Pemberian Bleach 2% pada Pewarnaan BTA Konvensional
Terhadap Tingkat Kepositifan
Tabel 4.3 menyajikan hasil analisis perbandingan pewarnaan BTA
konvensional dengan penambahan bleach 2%. Hasil analisis disajikan dalam
bentuk tabel yang terdiri dari variabel, 95% CI dan nilai p.
Tabel 4.3 Perbandingan Pewarnaan BTA Konvensional dengan Pewarnaan BTA
Konvensional dengan Penambahan Bleach 2%
Derajat Kepositifan 95% CI P-Value
BTA Konvensional 0,91 - 1,85
0,003 Penambahan Bleach 2% 1,44 – 2,33
48
4.3 Pembahasan
Hasil pada penelitian ini didapatkan hasil karakteristik sampel pasien yang
dicurigai menderita penyakit tuberkulosis paling banyak pada kategori umur
lansia akhir yaitu kisaran 56 – 65 tahun sebanyak 12 orang dengan persentase
(35,3%). Hal ini sesuai dengan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013
yang dimana 0,6% dari jumlah penduduk Indonesia yang menderita penyakit
tuberkulosis yaitu dengan kisaran usia 55- 64 tahun.30
Pada kategori karakteristik sampel pasien berupa jenis kelamin didapatkan
hasil pada penelitian ini yaitu jenis kelamin laki – laki lebih banyak yang
menderita penyakit tuberkulosis dibandingkan dengan perempuan yaitu laki – laki
22 pasien (64,7%) dan perempuan 12 pasien (35,3%). Hasil ini sesuai dengan
hasil data epidemiologi dari WHO untuk Indonesia pada tahun 2017 yang hasil
prevalensi penyakit TB pada kelamin laki – laki lebih banyak dari perempuan,
yaitu 698 : 322 dari 1020 pasien dengan persentase 68% pada laki – laki dan 32%
pada perempuan.31
Hal ini terjadi karena laki – laki lebih terpapar faktor risiko TB
misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini
menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki laki yang merokok sebanyak
68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok.1
Pada tabel 4.3 dapat terlihat hasil penelitian menunjukkan nilai p 0,003
artinya terdapat perbedaan derajat kepositifan diagnostik mikroskopik TB antara
penambahan larutan bleach 2% dibandingkan dengan pewarnaan BTA
konvensional tanpa bleach, yang dimana dapat dilihat pada tabel 4.2 didapatkan
11 sampel (32,3%) dari 34 sampel yang telah diteliti memiliki peningkatan hasil
derajat kepositifan yaitu dari negatif ke +1 sebanyak 3 sampel (23,1%), dari
negatif ke +2 sebanyak 1 sampel (7,7%), dari negatif ke +3 sebanyak 1 sampel
(7,7%), dari +1 ke +2 sebanyak 3 sampel (37,5%), dan dari +1 ke +3 sebanyak 3
sampel (37,5%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Krishna, M. dan Gole, S.G. pada tahun 2017 yaitu melakukan penelitian berupa
membandingkan antara pewarnaan BTA konvensional dengan penambahan
bleach 5% dan telah mendapatkan hasil yaitu terjadi perbaikan hasil positif pada
49
penambahan bleach 5% dengan hasil positif pada perwarnaan BTA konvensional
sebanyak 15 (20%) dan pada penambahan bleach 5% sebanyak 49 (65%).6
4.4 Manfaat Tambahan yang ditemukan dari Bleach
Pada penelitian ini selain didapatkan hasil bahwa terjadi perubahan derajat
kepositifan pada pewarnaan yang diberikan larutan bleach 2% dengan pewarnaan
BTA konvensional tanpa tambahan larutan bleach, terlihat pada saat pengamatan
preparat dibawah mikroskop bahwa ternyata pada preparat hasil pewarnaan BTA
yang ditambahkan bleach terlihat lebih jernih dan bersih pada lapang pandangnya
seperti pada gambar 4.1. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan
oleh Chandrasekhar B. dan Aruna K Prayaga pada tahun 2012 yang telah
didapatkan hasil dari penambahan bleach 5% dapat memperbaiki background
lapang pandang pemeriksaan preparat.32
Gambar 4.1 Hasil pewarnaan BTA konvensional dan penambahan bleach 2%
Pewarnaan BTA Konvensional Penambahan Bleach 2%
50
4.5 Keterbatasan Penelitian
Dalam proses penelitian ini, peneliti menemukan beberapa keterbatasan
antara lain:
1. Pada penelitian ini sampel sputum yang seharusnya diambil dalam tiga
waktu yaitu SPS (sewaktu, pagi, sewaktu), oleh peneliti hanya diambil
satu kali karena keterbatasan waktu.
2. Karena keterbatasan waktu dan jarak tempat penelitian, peneliti tidak bisa
mendapatkan identitas penuh dari pasien termasuk gejala sebagai salah
satu penunjang sebagai penegakan diagnosis.
4.6 Aspek Keislaman
Dalam proses memperbaiki derajat tingkat kepositifan dengan
penambahan 2 % bleach dari pewarnaan BTA metode Ziehl- Neelsen
mampu memberikan hasil kepositifan yang lebih banyak dari jumlah
sampel dibanding pewarnaan BTA konfensional. Ini menunjukkan bahwa
perkembangan ilmu pengetahuan cukup pesat dan memberikan kemudahan
kepada manusia dalam proses diagnosis secara dini kepada penderita
penyakit TB, Allah telah menfirmankan di dalam Al Qur‟an surat Al
Insyirah ayat 6 Yang berbunyi :
Artinya : sesungguhnya bersama kesulitan pasti ada kemudahan
Hal ini menunjukkan, bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu
masalah beserta solusinya. Kita sebagai manusia memiliki kewajiban untuk
meningkatkan pengetahuan dengan tak henti- hentinya mencari ilmu, untuk
menapaki permasalahan demi mencari solusi yang diberikan oleh Allah
kepada manusia. Perintah mencari ilmu yang diberikan Allah tanpa batas,
sebagaimana dalam sebuah hadits Nabi disebutkan :
51
Artinya : Carilah ilmu mulai dari buaian Ibu sampai liang lahat (HR.
Bukhori Muslim)
Sebagaimana tugas yang diamanahkan dalam tridarma perguruan tinggi,
yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat, maka mencari
ilmu yang dilakukan oleh seorang mahasiswa adalah salah satunya
melakukan penelitian.
Penelitian dengan fokus pada deteksi dini TB dipilih, karena banyak
kematian yang disebabkan oleh TB, sementara TB adalah salah satu
penyakit yang dapat di cegah. Islam adalah agama rahmatallil alamin, yang
berarti islam adalah sebagai agama pembawa kasih sayang. Islam
menawarkan berbagai solusi bagi persoalan yang di hadapi manusia dalam
kehidupan. Islam tidak membiarkan manusia di alam ini terbelenggu dalam
persoalan yang tidak dapat di pecahkan. Sebagaimana Allah berfirman
dalam surat Al Imron ayat 179 yang berbunyi :
Artinya : Allah sekali- kali tidak akan membiarkan orang- orang yang
beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga dia menyisihkan yang
buruk dari yang baik.
Diagnosa sejak dini terhadap penyakit TB merupakan salah satu upaya
untuk menyisihkan potensi kondisi buruk yang menimpa pada tubuh
manusia. TB adalah penyakit menular, yang ditularkan melalui udara.
Sementara manusia tidak dapat terhindar dari kegiatan bersosial atau
berkomunikasi dengan sesama.Untuk menghindari penyebaran penyakit TB
maka diagnosis sejak dini sangat penting dilakukan, Karena Rosulullah
bersabda :
52
Artinya : tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang
lain.(HR. Abu Said bin Malik bin Sinan Al-Khudri R.A)
Maksudnya adalah, bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan bahaya harus
dihilangkan. Bahaya dalam artian ini sangat luas, bahkan termasuk
didalamnya ancaman penyakit TB. karena penyakit ini terbukti membunuh
jutaan orang dan berpotensi menular pada jutaan orang lainnya.
53
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Dari hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan, yaitu:
1. Penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan derajat kepositifan
dengan menambahkan larutan bleach 2% pada pewarnaan BTA dengan
metode Ziehl-Neelsen dibandingkan dengan pewarnaan BTA yang
konvensional.
2. Pada sampel penelitian ini yang berjumlah 34 sampel, terdapat 11 sampel
yang mengalami peningkatan derajat kepositifan yaitu sebesar 32,3% yaitu
dari negatif ke +1 sebanyak 3 sampel (23,1%), dari negatif ke +2
sebanyak 1 sampel (7,7%), dari negatif ke +3 sebanyak 1 sampel (7,7%),
dari +1 ke +2 sebanyak 3 sampel (37,5%), dan dari +1 ke +3 sebanyak 3
sampel (37,5%).
5.2 Saran
Saya memiliki saran yang mungkin dapat dilakukan pada penelitian selanjutnya,
yaitu:
1. Penelitian selanjutnya bisa dilakukan penambahan larutan bleach dengan
konsentrasi yang berbeda dan bervariasi yaitu mulai dari 3-5%, dan
dilakukan pemeriksaan tidak hanya dengan pengambilan sputum 1 waktu
saja agar mengetahui berapakah konsentrasi yang paling baik.
2. Penelitian selanjutnya menggunakan larutan disinfektan yang berbeda dan
mudah terjangkau yang nantinya bisa dibandingkan juga dengan larutan
bleach.
3. Bagi pemerintah untuk menggunakan penelitian ini agar lebih
mempermudah memperoleh hasil pewarnaan BTA yang lebih bagus dan
dapat mengurangi resiko terjadinya peningkatan pasien terdiagnosis
tuberkulosis dengan BTA negatif.
54
BAB VI
KERJASAMA PENELITIAN
Penelitian ini merupakan bentuk kerjasama penelitian antara
mahasiswa dan dosen FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yaitu dr. Erike
Anggraini Suwarsono, M.Pd, Sp. MK. Tentang efek dari larutan bleach
yang bisa membantu meningkatkan derajat kepositifan diagnostik
mikroskopik berupa pewarnaan BTA dengan metode Ziehl-Neelsen dari
sputum dalam mendiagnosis penyakit tuberkulosis, Penelitian ini didanai
oleh dr. Erike Anggraini Suwarsono, M.Pd, Sp. MK.
55
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI. 2018
2. Djojodibroto Darmanto. Respirologi (Respiratory Medicine), Ed. 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012.
3. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman TB Nasional
Pengendalian Tuberkulosis. 2014.
4. Chew R, Calderón C, Schumacher SG, Sherman JM, Caviedes L, Fuentes
P, et al. Evaluation of bleach-sedimentation for sterilising and
concentrating Mycobacterium tuberculosis in sputum specimens. 2011.
5. Suwarsono EA, Sjahrurachman A, Karuniawati A, Burhan E. The Effect
of Several Different Decontaminant Solutions for Sputum in Inhibiting
Contamination of Mycobacterium Tuberculosis Culture.
2018;24(9):6930–3.
6. Khrisna M, Gole SG. Comparation of Conventional Ziehl-Neelsen Method
of Acid Fast Bacili with Modified Bleach Method in Tuberculosis
Lymphadenitis. 2017;5:188-92.
7. Miller Steve, Carroll KC, etc. Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick,
& Adelberg‟s Medical Microbiology. 2014:hal 227-228
8. Brooks GF, Carroll KC, Butel J, Morse SA, Mietzner T. Mikrobiologi
Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg‟s Medical Microbiology. 2013.
9. Dinas Kesehatan. InfoDatin: Tuberkulosis. Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI. 2016.
10. Setiati.S.Alwi I,dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Ed. 6.
Jakarta: Interna Punhlishing. 2014.
11. Price SA. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th
ed.
Indonesia: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2015.
12. Kelompok Kerja TB Anak Depkes-IDAI. 2008. Diagnosis dan
Tatalaksana Tuberkulosis Anak. Departemen Kesehatan RI.
13. Aster KA. Buku Ajar Patologi Robbins. 9th ed. Indonesia; 2015.
56
14. PDPI. Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB). In: Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia. 2011.
15. Dirjen P2&PL Kementerian Kesehatan RI. Standar Prosedur Operasional
Pemeriksaan Mikroskopis TB. Jakarta: Katalog Dalam Terbitan; 2012. 17
p.
16. Staff pengajar FK UI. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. revisi. Jakarta:
Binarupa Aksara; 227 p.
17. ECDC. Handbook on TB laboratory diagnostic methods in the European
Union. 2016. 32 p.
18. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Standar Reagen Ziehl
Neelsen. Jakarta: Perpustakaan Departemen Kesehatan RI; 2008.
19. Dirjen P2&PL Kementerian Kesehatan RI. Modul Pelatihan Pemeriksaan
Dahak Mikroskopis TB. 2012. 44 p.
20. Karuniawati A, Risdiyani E, Nilawati S, Rosana Y, Alisyahbana B, Al E.
Perbandingan Tan Thiam Hok, Ziehl Neelsen Dan Fluorokrom Sebagai
Metode Pewarnaan Basil Tahan Asam Untuk Pemeriksaan Mikroskopik
Sputum. Makara Kesehat. 2005;9(1):29–33.
21. Sodium hypochlorite. 2016; [internet] Available from:
http://www.who.int/water_sanitation_health/sanitationwaste/
fs2_20.pdf?ua=1
22. Lembaran data keselamatan Bahan. 2011;1253(1907):1–9.
23. Standard Operating Procedure ( SOP ) for Laboratory Disinfection
Purpose : Definitions : Principle : Risks : Proper PPE : Reagents and
Solutions : :3–5.
24. Resistant M, Spores B, Oocytes P, Eggs H, Cysts P, Spores F, et al. Bio
Basics Fact Sheet : Biohazards Decontamination & Spill Clean-up
Background : Definitions : Microbial Resistance to Chemical Disinfectants
: Common Types of Disinfectants :
25. Jakob U. Bleach Activates a Redox-Regulated Chaperone by Oxidative
Protein Unfolding. 2008;691–701.
57
26. Allen V, Nicol MP, Tow LA. Sputum processing prior to Mycobacterium
tuberculosis detection by culture or nucleic acid amplification testing:
anarrative review. Res Rev J Microbiol Biotechnol. 2016;5(1):96–108.
27. Rubin BK. Mucolytics, expectorants, and mucokinetic medications. Respir
Care. 2007;
28. David S, Sutre AF, Sanca A, Mané A, Henriques V, Sancho L, et al.
Tuberculosis diagnosis after bleach processing for early stage tuberculosis
laboratory capacity building. 2012;16(September 2011):1535–7.
29. Bonnet M, Ramsay A, Githui W, Gagnidze L, Varaine F, Guerin PJ.
Bleach Sedimentation : An Opportunity to Optimize Smear Microscopy
for Tuberculosis Diagnosis in Settings of High Prevalence of HIV.
2008;46:1710–6.
30. RISKESDAS. RISET KESEHATAN DASAR. Jakarta Badan Peneliti dan
Pengembangan Kesehatan Dep Kesehatan Republik Indonesia.
2013;(Penyakit Menular):103.
31. World Health Organization. Country profiles. Glob Tuberc Rep. 2017;172.
32. B C, K PA. Utility of Concentration Method by Modified Bleach
Technique for The Demonstration of Acid-Fast Bacili in The Diagnosis of
Tuberculous Lymphadenopathy. 2012;
59
Lampiran 2
Proses Penelitian
Gambar 7.0 Penggunaan Alat
Pelindung Diri Gambar 7.1 Persiapan BSC
Gambar 7.3 Pengolesan sputum
pada kaca objek
Gambar 7.3 Homogenisasi sputum setelah
penambahan bleach 2%
60
(Lanjutan)
Gambar 7.4 Fiksasi Preparat Gambar 7.5 Proses Pewarnaan
Gambar 7.6 Meniriskan kaca objek Gambar 7.7 Pengamatan Preparat
dengan Mikroskop
61
Lampiran 3
Daftar Riwayat Hidup
Riwayat Penulis
Identitas
Nama : A. Musthafa Bardah
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat, Tanggal Lahir :Sampit, 21 Desember 1998
Agama : Islam
Alamat : Jagil-Prigen-Kabupaten Pasuruan-Jawa Timur
Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan
2001 – 2002 : TK Alternatif Al-Ghazali - Prigen
2002 – 2010 : SD Maarif Inovatif - Pandaan
2010 – 2013 : MTsN 3 Pasuruan
2013 – 2016 : MBI Amanatul Ummah - Pacet
2016 – Sekarang :FK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta