pengembangan sastra indo

21
KATA PENGANTAR Rasa syukur yang dalam penulis sampaikan pada Tuhan Yang Maha Pemurah, karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat penulis selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini penulis membahas “SASTRA INDONESIA PASCA- REFORMASI”, suatu bentuk periodisasi kesusasteraan Indonesia yang terbentuk oleh gerakan perubahan yang bernama reformasi. Makalah ini adalah tugas terstruktur mata kuliah sejarah sastra semester tiga. Dalam proses pendalaman materi tentang periodisasi kesusasteraan Indonesia ini, tentunya kami mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-dalamnya kami sampaikan : Dra. Sesilia Seli, M.Pd, selaku dosen mata kuliah “Sejarah Sastra” Rekan-rekan mahasiwa yang telah banyak memberikan masukan untuk makalah ini. Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat,

Upload: riefar

Post on 20-Jun-2015

390 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: pengembangan sastra indo

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam penulis sampaikan pada Tuhan Yang Maha Pemurah,

karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat penulis selesaikan sesuai yang diharapkan.

Dalam makalah ini penulis membahas “SASTRA INDONESIA PASCA-REFORMASI”,

suatu bentuk periodisasi kesusasteraan Indonesia yang terbentuk oleh gerakan perubahan

yang bernama reformasi.

Makalah ini adalah tugas terstruktur mata kuliah sejarah sastra semester tiga.

Dalam proses pendalaman materi tentang periodisasi kesusasteraan Indonesia ini, tentunya

kami mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang

dalam-dalamnya kami sampaikan :

Dra. Sesilia Seli, M.Pd, selaku dosen mata kuliah “Sejarah Sastra”

Rekan-rekan mahasiwa yang telah banyak memberikan masukan untuk makalah

ini.

Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat,

Page 2: pengembangan sastra indo

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Belakangan ini perkembangangan sastra Indonesia telah mengalami

perubahan, khususnya dalam hal kebebasan berekspresi. Menurut beberapa para

ahli,mengatakan bahwa sastra itu adalah kebebasan itu sendiri. Jadi tidak ada

batasan-batasan yang bisa menahan lajunya perkembangan kesusasteraan

khususnya di Indonesia.

Pada dasarnya perkembangan sastra itu selalu berkembang dan

perkembangan itu menurut para ahli ditandai dengan periode-periode, yang pada

dasarnya memiliki ciri khas tersendiri. Salah satu periode itu adalah sastra pasca-

reformasi. Dalam makalah ini saya secara khusus membahas tentang SASTRA

INDONESIA PASCA-REFORMASI, yang secara langsung menjadi judul atas

makalah ini.

Kehadiran karya sastra merupakan sebuah manifestasi atas kebudayaan

yang ada pada saat itu. Terbentuknya sastra pasca-reformasi merupakan hal yang

dilematis dari sejarah sastra Indonesia. Periode yang ditandai dengan jatuhnya

kekuasaan Soeharto. Periode yang lahir dengan semangat revolusioner.

Kemungkinan periode ini merupakan jendela bagi perkembangan kesusasteraan di

Indonesia. Dan seharusnya setiap detail dalam perkembangan itu harus terus kita

catat dan kita gali.

B. Batasan Masalah

Hal-hal yang menjadi batasan dalam makalah ini adalah :

· Latar belakang lahirnya sastra pasca-reformasi.

· Peristiwa-peristiwa beras yang memengaruhi lahirnya periode sastra pasca-

reformasi.

· Sastrawan yang terlibat dalam perkembangan angkatan pasca-reformasi.

· Jenis-jenis karya sastra yang di hasilkan.

· Karya yang populer

Page 3: pengembangan sastra indo

C. Tujuan

Makalah ini Penulis buat untuk menambah pengetahuan akan perkembangan sastra

Indonesia pasca-reformasi. Mengenai apa saja yang terjadi dan bagaimana proses lahirnya

sastra pasca-reformasi. Tujuan yang jelas adalah supaya mengenal bentuk, struktur dan

arah perkembangan periode sastra pasca-reformasi.

Page 4: pengembangan sastra indo

BAB II

PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA PASCA-REFORMASI

A. Latar Belakang Lahirnya Angkatan Pasca-Reformasi

Hal ikhwal kebebasan selalu menarik perhatian siapapun dan tidak akan pernah

selesai diperbincangkan. Negeri terjajah berjuang untuk terbebas dari penjajah, golongan

minoritas berjuang untuk terbebas dari dominasi golongan mayoritas, pelaku kriminal

mengharap kebebasan dari penjara dan hukuman, orang miskin berusaha untuk terbebas

dari keserba-kekurangan, orang bodoh berusaha untuk terbebas dari keserba-tidak-tahuan.

Kaum intelektual bersikeras memperjuangkan kebebasan berpikir dan berbicara.

Sastra, sebagai produk peradaban dan daya pikir manusia, tak bisa lepas dari

perihal kebebasan. Bahkan konon, sastra adalah kebebasan itu sendiri. Sastra adalah

kebebasan dan pembebasan. Sastra adalah pencerahan. Kebebasan dalam sastra adalah

kemerdekaan untuk berkreasi dan berimaginasi. Kebebasan kreatif, itulah yang dibela oleh

para pelaku sastra dalam menjalani laku sastranya.

Angkatan Pasca-Reformasi muncul setelah reformasi yang dilakukan pada tahun

1998 yang beawal di Jakarta. Sejak reformasi 1998 bergulir, gelombang kebebasan

memang berjalan bak air bah yang menerjang apa saja. Tidak berbeda halnya dalam ranah

sastra. Atas nama kebebasan berkreasi, hal-hal yang dahulu dianggap tabu untuk

dipertontonkan justru menjadi tontonan yang sangat laku dan dipuji banyak orang. Seks

dan pornografi menjadi menjadi wilayah yang tidak tabu lagi untuk dieksplorasi dalam

karya-karya sastra pasca reformasi, baik oleh pengarang lelaki maupun perempuan.

B. Peristiwa Besar yang Terjadi pada Masa Reformasi

Reformasi di Indonesia ditandai dengan jaruhnya rezim Soeharto. Secara tidak

langsung dengan lengsernya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden maka berakhir pula

sebuah tirani, yang selama ini menjadi belenggu yang terikat lekat di kaki setiap rakyat

Indonesia. Reformasi diharapkan dapat memfalitasi rakyat Indonesia dalam memperoleh

kebebasan yang selama ini mereka harapkan.

Lahirnya reformasi ini menandakan kebebasan bagi para sastrawan yang selama ini

selalu terkungkung dalam lembah kelam. Bagi mereka yang memiliki sifat revolusioner,

kehadiran reformasi ini merupakan momok yang selalu diidam-idamkan. Akan tetapi,

kenyataaannya malah membuat mereka semakin radikal.

Page 5: pengembangan sastra indo

Berikut adalah momen penting yang terjadi sepanjang periode ini :

1998: Pada 21 Mei 1998, Soeharto lengser dari jabatannya. B.J. Habibie

menggantikannya. Terjadi kerusuhan 13-14 Mei 1998, yang mengakibatkan banyak

mal yang terbakar, yang menelan banyak korban jiwa. Perempuan keturunan

Tionghoa juga banyak yang menjadi korban perkosaan. Buku-buku karya

sastrawan Lekra bisa muncul ke permukaan. Ayu Utami mengibarkan sastra yang

beraroma seks melalui Saman. Harian Kompas menyambutnya dengan istilah sastra

wangi . Majalah Tempo terbit kembali.

1999: Pemilu demokratis kedua yang diselenggarakan di Indonesia setelah Pemilu

1955. PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri memperoleh suara

terbesar. Namun, yang terpilih menjadi presiden adalah K.H. Abdurrahman Wahid

(Gus Dur).

2000: Korrie Layun Rampan mengumumkan adanya Angkatan 2000. H.B. Jassin

meninggal di Jakarta. Buku Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul terbit.

2001: Mulai 2001, penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) diberikan

kepada sastrawan yang menghasilkan karya sastra terbaik. Mereka yang pernah

mendapatkan penghargaan ini antara lain Goenawan Mohamad, Remy Sylado,

Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, Linda Christanty, Sapardi Djoko

Damono, Joko Pinurbo, Gus tf., Acep Zamzam Noor.

2002: Majalah Horison menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia yang terdiri

dari empat kitab, yakni kitab puisi, cerpen, novel, dan drama. Dalam buku ini,

Hamzah Fansuri yang hidup di abad ke-17 dimasukkan sebagai sastrawan

Indonesia yang pertama.

2003: Sapardi Djoko Damono dan Ignas Kleden mendapat penghargaan Ahmad

Bakrie Award karena jasanya di bidang kesusastraan dan pemikiran. Sastrawan dan

intelektual yang menerima penghargaan yang sama pada tahun-tahun berikutnya

adalah Goenawan Mohamad, Nurcholish Madjid, Budi Darma, Sartono

Kartodirdjo. Frans Magnis Soeseno yang seharusnya mendapatkan penghargaan

tersebut menolak karena keterkaitan perusahaan Bakrie dengan bencana Lumpur

Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.

2004: Pemilihan presiden secara langsung yang dilakukan pertama kali di

Indonesia. Soesilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, mengalahkan

Megawati. Di dunia sastra, para sastrawan muda mendeklarasikan lahirnya generasi

Page 6: pengembangan sastra indo

sastrawan cyber. Sastra di internet merupakan terobosan baru bagi para sastrawan

untuk berekspresi dan mempublikasikan karyanya secara bebas. Novel Ayat-ayat

Cinta karya Habiburrahman El Shirazy terbit. Yayasan Lontar mendokumentasikan

biografi sastrawan Indonesia, di antaranya Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi,

Ahmad Tohari, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Sutan Takdir Alisjahbana,

Putu Oka Sukanta, dan lain-lain. Aktivis Hak

Asasi Manusia (HAM) Munir dibunuh. Buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan

karya Ignas Kleden terbit.

2005: Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata terbit. Novel ini dan novel Ayat-

ayat Cinta menjadi novel paling laris (best seller) dalam sejarah penerbitan novel

di Indonesia. Kedua novel ini juga ditransformasi ke film.

2006: Yayasan Lontar menerbitkan Antologi Drama Indonesia: 1895-2000.

Penerbitan buku ini menunjukkan bahwa sejarah sastra Indonesia bukan dimulai

pada 1920, melainkan pada 1895. Anton Kurnia menerbitkan Ensiklopedi Sastra

Dunia.

2007: Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma terbit. Buku kumpulan puisi

Otobiografi karya Saut Situmorang terbit. Saut adalah salah satu sastrawan yang

menggerakkan sastra cyber, sastrawan Ode Kampung, dan majalah Boemipoetra.

2008: Buku-buku Pramoedya Ananta Toer yang dicetak ulang dan buku-buku

korban tragedi 1965 yang ingin meluruskan sejarah marak di toko-toko buku, dan

menjadi buku laris. Misalnya, Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F.

Nadia.

C. Sastrawan yang Terlibat Dengan Sastra Indonesia Pasca-Reformasi

Setiap angkatan pasti mempunyai cara dan gaya yang khas dalam mengungkapkan

hasrat dan imajinasinya. Hal ini tidak dapat dihindarkan dari sastrawan yang adalah

penggerak dan penghadir karya sastra itu sendiri.

Sastra pasca-reformasi diramaikan oleh wajah-wajah baru, namun masih ada juga

wajah lama yang masih menghiasi wajah kesusasteraan Indonesia. Berikut ini ada

beberapa nama sastrawan yang secara langsung terlibat dalam perkembangsn sastra pasca-

reformasi.

Keith Foulcher dengan empat bukunya, yakni Sumpah Pemuda: Makna dan Proses

Penciptaan atas Sebuah Simbol Kebangsaan Indonesia (2000), Pujangga Baru:

Page 7: pengembangan sastra indo

Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942 (1991), Angkatan 45:

Sastra, Politik Kebudayaan dan Revolusi Indonesia (1994), dan Social

Commitment in Literature

and The Arts: The Indonesian Institute People s Culture 1950-1965 (1986)

Ayu Utami mengibarkan sastra yang beraroma seks melalui Saman.

Buku Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul terbit.

Goenawan Mohamad, Remy Sylado, Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma,

Linda Christanty, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Gus tf., Acep Zamzam

Noor, Ignas Kleden,

Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.

Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata.

Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma

Buku kumpulan puisi Otobiografi karya Saut Situmorang

Ayu Utami (pengarang novel Saman, Larung) Djenar Maesa Ayu (pengarang

Mereka Bilang Saya Monyet, Jangan Main-Main dengan Kelaminmu dan Nayla),

Hudan Hidayat (pengarang Tuan & Nyonya Kosong, bersama Mariana Aminudin),

Muhidin M Dahlan (pengarang Tuhan Ijinkan Aku Menjadi Pelacur, Adam &

Hawa)

Masih banyak sastrawan yang bermunculan dalam periode ini khususnya para cerpenis

yang nama-namanya sudah tidak asing lagi seperti :

Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Kuntowijoyo, Danarto.

Martin Aleida misalnya, mengangkat tema korban politik bagi mereka yang terlibat

PKI.

Linda Christanty dengan antologinya, Kuda Terbang Maria Pinto (2004)

Begitu juga dengan cerpenis baru yang diprediksikan akan menjadi sastrawan Indonesia

selanjutnya, seperti nama-nama berikut :

Eka Kurniawan dalam karya pertamanya, antologi cerpen Corat-Coret di Toilet

(2000), Cantik itu Luka (2002), Harimau (2004), antologi cerpen Cinta tak Ada

Mati (2005)

Teguh Winarsho (Bidadari BersayapBelati, 2002), Hudan Hidayat (Orang Sakit,

2001; Keluarga Gila, 2003) Maroeli Simbolon (Bara Negeri Dongeng, 2002; Cinta

Tai Kucing, 2003), Satmoko Budi Santoso (Jangan Membunuh di Hari Sabtu,

2003), Mustofa W Hasyim (Api Meliuk di Atas Batu Apung, 2004), Kurnia

Page 8: pengembangan sastra indo

Effendi (Senapan Cinta, 2004; Bercinta di Bawah Bulan, 2004), Moh. Wan Anwar

(Sepasang Maut, 2004), Yusrizal KW (Kembali ke Pangkal Jalan, 2004), Isbedy

Stiawan (Perempuan Sunyi, 2004; Dawai Kembali Berdenting, 2004), Triyanto

Triwikromo (Anak-Anak Mengasah Pisau, 2003), Damhuri Muhammad (Laras,

Tubuhku bukan Milikku, 2005).

Cerpenis wanita yang muncul dalam lima tahun terakhir ini, juga tidak dapat

diabaikan kontribusinya. Selain Linda Christanty, masih ada deretan cerpenis

wanita yang sebenarnya lebih kuat dan matang. Oka Rusmini (Sagra, 2002), Djenar

Maesa Ayu (Mereka Bilang Saya Monyet, 2002; Jangan Main-Main (dengan

Kelaminmu, 2004), Maya Wulan (Membaca Perempuanku, 2002), Intan

Paramadhita (Sihir Perempuan, 2005), Nukila Amal (Laluba, 2005), Weka

Gunawan (Merpati di Trafalgar Square, 2004), Labibah Zain (Addicted to Weblog:

Kisah Perempuan Maya, 2005), Ucu Agustin (Kanakar, 2005), Evi Idawati (Malam

Perkawinan, 2005). Mereka berpeluang mengikuti jejak seniornya, Nh Dini, Titis

Basino, Leila S. Chudori, Ratna Indrswari Ibrahim atau Abidah el-Khalieqy.

Beberapa nama di atas menandakan bahwa perkembangan sastra Indonesia pasca-

reformasi telah mengalami peningkatan yang signifikan. Hal inilah yang sesungguhnya

diharapkan oleh kita, sehingga dapat menghindari kecendrungan stagnasi dalam

kesusasteraan Indonesia.

D. Jenis Karya Sastra yang Dihasilkan

Sastra pasca-reformasi merupakan gerbang yang menghantarkan sastra Indonesia

kealam kebebasan yang selama ini selalu diimpikan oleh setiap sastrawan, khususnya

sastrawan Indonesia yang selama ini berada dalam kebuah kurungan yang secara tidak

langsung menghambat kreatifitas mereka. Dalam perkembangannya sastra pasca-reformasi

lebih diramaikan oleh cerpen-cerpen. Perkembangan cerpen dirasakan sangat cepat karena

ruang dan kesempatan untuk berkarya lebih terbuka. Satu hal yang memungkinkan

cepatnya perkembangan cerpen karena dipengaruhi oleh sikap revolusionis, kepekaan

masyarakat Indonesia untuk sebuah perubahan yang cepat dan signifikan, sehingga

menuntut kehadiran sebuah bentuk karya sastra yang bersifat santai, cepat saji, dan mudah

dipahami oleh seluruh pembaca dan kecendrungan itu mengarah pada cerpen.

Kehadiran karya sastra lain tidak dapat kita pungkiri dalam perkembangan sastra

Indonesia pasca-reformasi ini. Contoh konkret adalah novel. Beberapa novel malah

Page 9: pengembangan sastra indo

menjadi Best seller di Indonesia, seperti Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy

dan Laskar Pelangi karya Andrea Hirata dan keduanya sudah difilmkan. Selain cerpen dan

novel, muncul juga beberapa antologi cerpen dan puisi.

E. Karya yang Populer

Dalam perjalanan sastra Indonesia, periode pasca-reformasi merupakan masa

paling semarak dan luar biasa. Kini, karya-karya sastra terbit seperti berdesakan dengan

tema dan pengucapan yang beraneka ragam. Faktor utama yang memungkinkan sastra

Indonesia berkembang seperti itu, tentu saja disebabkan oleh perubahan yang sangat

mendasar dalam sistem pemerintahan. Kehidupan pers yang terkesan serbabebas

serbaboleh ikut mendorong terjadinya perkembangan itu. Maka, kehidupan sastra

Indonesia seperti berada dalam pentas terbuka. Di sana, para pemainnya seolah-olah boleh

berbuat dan melakukan apa saja.

Dibandingkan puisi, novel, dan drama, cerpen Indonesia pada paroh pertama pasca

reformasi mengalami booming. Cerpen telah sampai pada jatidirinya. Ia tak lagi sebagai

selingan di hari Minggu. Kini, cerpenis dipandang sebagai profesi yang tak lebih rendah

dari novelis atau penyair. Cerpenis tak diperlakukan sebagai orang yang sedang belajar

menulis novel. Kondisi ini dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut:

a. kesemarakan media massa –suratkabar dan majalah—telah membuka ruang

yang makin luas bagi para cerpenis untuk mengirimkan karyanya. Di sana,

rubrik cerpen mendapat tempat yang khas. Cerpen ditempatkan sama

pentingnya dengan rubrik lain. Bahkan, di surat-surat kabar minggu, ia seperti

sebuah keharusan. Di situlah tempat cerpen bertengger dan menyapa para

pembacanya. Maka, hari Minggu adalah hari cerpen.

b. adanya kegiatan lomba menulis cerpen, memungkinkan cerpen tak hanya

berada di hari Minggu, tetapi juga pada event atau peristiwa tertentu. Majalah

Horison setiap tahun menyelenggarakan lomba penulisan cerpen. Begitupun

Diknas, Pusat Bahasa atau lembaga lain yang juga melakukan kegiatan

serupa. Sejak 1992, harian Kompas memulai tradisi baru dengan memilih

cerpen terbaik dan memberi penghargaan khusus untuk penulisnya. Kegiatan

ini mengangkat kedudukan cerpen dalam posisi yang istimewa.

c. terbitnya Jurnal Cerpen yang diasuh Joni Ariadinata, dkk. serta adanya

Kongres Cerpen yang diselenggarakan berkala dalam dua tahun sekali –di

Page 10: pengembangan sastra indo

Yogyakarta (1999), Bali (2001), Lampung (2003), dan kongres mendatang di

Pekanbaru (November 2005), berhasil mengangkat citra cerpen secara lebih

terhormat. Kegiatan itu sekaligus untuk menyosialisasikan keberadaan cerpen

sebagai bagian dari kegiatan sastra. Bersamaan dengan itu, usaha sejumlah

penerbit melakukan semacam perburuan naskah cerpen untuk diterbitkan,

memberi harga dan martabat cerpen tampak lebih baik dibandingkan keadaan

sebelumnya.

Meskipun posisi cerpen berada dalam keadaan yang begitu semarak dan

memperoleh tempat istimewa, dalam hal regenerasi boleh dikatakan belum cukup

signifikan. Masalahnya, secara substansial sejumlah cerpenis muda yang muncul

belakangan, harus diakui, belum menunjukkan usahanya mengusung sebuah gerakan

estetik yang kemudian menjadi sebuah mainstream. Arus besar cerpen Indonesia

pascareformasi masih tetap didominasi nama-nama lama yang memang telah menjadi ikon

cerpen Indonesia kontemporer. Cerpen Indonesia mutakhir masih tetap tak dapat

menenggelamkan sejumlah nama yang muncul justru sebelum terjadi reformasi, seperti

Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Kuntowijoyo, Danarto, dan sederet panjang nama lain

yang tergolong pemain lama. Mereka masih tetap menjadi bagian penting dalam peta

cerpen Indonesia pascareformasi. Jadi, cerpenis lama dan baru, kini bertumpukan, semua

ikut menyemarakkan peta cerpen Indonesia.

Martin Aleida misalnya, mengangkat tema korban politik bagi mereka yang terlibat

PKI. Tetapi Martin termasuk pemain lama. Setidaknya ia sudah matang sebelum terjadi

reformasi. Maka, ketika terbit Leontin Dewangga (2003), kita terkejut bukan karena ia

sebagai pendatang baru, melainkan pada hasratnya mengangkat tema yang tak mungkin

muncul pada zaman Orde Baru. Dari sudut itu, ia telah memperkaya tema cerpen

Indonesia. Kasus Martin Aleida tentu berbeda dengan Linda Christanty yang juga

sebenarnya termasuk pemain lama. Antologinya, Kuda Terbang Maria Pinto (2004)

seolah-olah memperlihatkan ketergodaannya pada model dan style yang sedang semarak

pada saat itu. Pengabaian latar tempat dengan permainan pikiran malah seperti sengaja

membuyarkan unsur lain –yang dalam kerangka strukturalisme justru menempati posisi

yang sama penting. Style itu memang pilihannya, dan Linda telah memilih cara itu.

Pendatang baru yang cukup menjanjikan muncul atas nama Eka Kurniawan. Karya

pertamanya, antologi cerpen Corat-Coret di Toilet (2000) mula hadir kurang meyakinkan.

Tetapi ketika novelnya Cantik itu Luka (2002) terbit yang ternyata mengundang

Page 11: pengembangan sastra indo

kontroversi, namanya mulai diperhitungkan. Setelah itu terbit pula novel kedua, Lelaki

Harimau (2004) yang memamerkan kepiawaian melakukan eksperimen. Dalam antologi

cerpen yang terbit belakangan, Cinta tak Ada Mati (2005), Eka belum kehilangan

semangat eksperimentasinya. Cerpen yang berjudul “Bau Busuk” menunjukkan

kesungguhan Eka melakukan eksperimen.

Azhari, cerpenis kelahiran Aceh adalah pendatang baru yang lain lagi. Cerpennya,

“Yang Dibalut Lumut” yang menjadi Juara Pertama Lomba Penulisan Cerpen Festival

Kreativitas Pemuda, Depdiknas—Creative Writing Institute memperlihatkan kekuatannya

dalam mengungkap kepedihan rakyat Aceh yang terjepit dalam konflik bersenjata antara

aparat keamanan (: TNI) dan Gerakan Aceh Merdeka. Ia juga berhasil menyajikan sebuah

potret kultural dan tradisi rakyat Aceh yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan

keseharian masyarakat di sana. Antologi cerpen pertamanya, Perempuan Pala (2004)

memperlihatkan sosok Azhari yang matang dalam memandang persoalan Aceh dalam

tarik-menarik sejarah dan kebudayaannya yang agung dengan kondisi sosial dan politik

yang menimpa rakyat Aceh yang justru menebarkan luka dan kepedihan. Boleh jadi

antologi ini merupakan potret yang merepresentasikan kegelisahan masyarakat Aceh

dalam tarik-menarik itu.

Dengan kekuatan narasi yang hampir sama, Raudal Tanjung Banua hadir

meyakinkan. Antologi cerpennya, Pulau Cinta di Peta Buta (2003), Ziarah bagi yang

Hidup (2004), dan Parang tak Berulu (2005) menunjukkan perkembangan

kepengarangannya yang makin kuat. Lihat saja, cerpennya ““Cerobong Tua Terus

Mendera” terpilih sebagai penerima Anugerah Sastra Horison 2004. Cerpen yang lain,

“Tali Rabab” termasuk 15 cerpen terbaik dalam sayembara itu. Salah satu kekuatan Raudal

adalah narasinya yang sanggup menciptakan suasana peristiwa begitu intens, metaforis,

dan asosiatif. Pembaca dibawa masuk ke dunia entah-berantah. Lalu, tiba-tiba merasa ikut

menjadi saksi peristiwa yang diangkat cerpen itu.

Sejumlah nama cerpenis lain yang kelak menjadi sastrawan penting Indonesia,

dapat disebutkan beberapa di antaranya: Teguh Winarsho (Bidadari BersayapBelati, 2002),

Hudan Hidayat (Orang Sakit, 2001; Keluarga Gila, 2003) Maroeli Simbolon (Bara Negeri

Dongeng, 2002; Cinta Tai Kucing, 2003), Satmoko Budi Santoso (Jangan Membunuh di

Hari Sabtu, 2003), Mustofa W Hasyim (Api Meliuk di Atas Batu Apung, 2004), Kurnia

Effendi (Senapan Cinta, 2004; Bercinta di Bawah Bulan, 2004), Moh. Wan Anwar

(Sepasang Maut, 2004), Yusrizal KW (Kembali ke Pangkal Jalan, 2004), Isbedy Stiawan

Page 12: pengembangan sastra indo

(Perempuan Sunyi, 2004; Dawai Kembali Berdenting, 2004), Triyanto Triwikromo (Anak-

Anak Mengasah Pisau, 2003), Damhuri Muhammad (Laras, Tubuhku bukan Milikku,

2005). Keseluruhan antologi itu menunujukkan kekuatan narasi yang lancar mengalir dan

kedalaman tema yang diangkatnya. Dalam lima tahun ke depan, mereka akan ikut

menentukan perkembangan sastra Indonesia.

Selain nama-nama itu, cerpenis wanita yang muncul dalam lima tahun terakhir ini,

juga tidak dapat diabaikan kontribusinya. Selain Linda Christanty, masih ada deretan

cerpenis wanita yang sebenarnya lebih kuat dan matang. Oka Rusmini (Sagra, 2002),

Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang Saya Monyet, 2002; Jangan Main-Main (dengan

Kelaminmu, 2004), Maya Wulan (Membaca Perempuanku, 2002), Intan Paramadhita

(Sihir Perempuan, 2005), Nukila Amal (Laluba, 2005), Weka Gunawan (Merpati di

Trafalgar Square, 2004), Labibah Zain (Addicted to Weblog: Kisah Perempuan Maya,

2005), Ucu Agustin (Kanakar, 2005), Evi Idawati (Malam Perkawinan, 2005). Mereka

berpeluang mengikuti jejak seniornya, Nh Dini, Titis Basino, Leila S. Chudori, Ratna

Indrswari Ibrahim atau Abidah el-Khalieqy.

Yang menarik dari karya cerpenis perempuan ini adalah semangatnya melakukan

gugatan. Tokoh-tokoh perempuan yang dalam banyak karya para penulis laki-laki kerap

menjadi korban dan tersisih, dalam karya para penulis perempuan itu, justru cenderung

berada dalam posisi yang sebaliknya. Tokoh laki-laki kerap digambarkan tersisih dan

kalah sebagai pecundang di bawah kekuasaan perempuan. Selain itu, mereka juga begitu

berani mengangkat perkara seks untuk membungkus pesan ideologi jendernya.

Deretan panjang nama-nama lain yang kerap muncul di hari Minggu, patut pula

mendapat perhatian. Tentu dengan melihat daya tahan dan konsistensinya

mempertahankan kualitas dan kontribusi mereka bagi pemerkayaan khazanah cerpen

Indonesia mutakhir. Akhirnya, seperti sinyalemen Budi Darma, dalam keadaan

overproduksi, pengamatan cerpen Indonesia mutakhir dengan analisis yang mendalam, tak

mungkin dapat dilakukan dalam rentang waktu yang pendek. Kita sekarang ini seperti

sedang berhadapan dengan air bah yang bernama cerpen Indonesia kontemporer dan kita

hanyut terseret dalam gelombang besar deras arusnya.

Page 13: pengembangan sastra indo

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Perkembangan sastra di Indonesia sepertinya mengalami problematika tersendiri.

Terkadang periode kesusasteraan sulit sekali ditentukan dimana sebuah periode itu

dimulai. Secara teori sejarah kesusasteraan di Indonesia ini masih tergolong muda, belum

sampai berumur satu abad, sehingga masih banyak lobang-lobang yang perlu di gali. Oleh

sebab itu dibutuhkan suatu bentuk kajian yang diharapkan mampu menarik dan

menghidupkan sastra di Indonesia. Sastra Indonesia pasca-reformasi merupakan contoh

kecil dari sejarah kesusasteraan Indonesia yang masih muda ini. Perlu di ketahui bahwa

dengan mempelajari sastra berarti secara tidak langsung juga kita mempelajari sejarah

yang membentuk sastra itu sendiri.

Setelah melakukan beberapa pendekatan yang disarankan, penulis dapat menarik

suatu kesimpulan bahwa perkembangan sastra Indonesia pasca-reformasi telah sampai

pada hakikatnya, yaitu bebas berekspresi. Reformasi telah menghantarkan sastra Indonesia

ini pada bentuk yang baru, bentuk yang lebih radikal dan transparan. Sebagai contoh

adalah cerpen, yang dalam perkembangannya sebelum reformasi tidak pernah mendapat

tempat tertinggi dalam kesusasteraan Indonesia, yang dahulu tidak pernah dianggap

sebagai bagian dari karya sastra. Sastra pasca-reformasi ternyata mampu mengangkat

cerpen sebagai karya sastra yang paling diminati dan cepat berkembang.

Sekarang yang jadi permasalahan adalah apakah mampu sastra Indonesia ini

memjadi solusi yang tepat dalam proses pengintegrasian bangsa, yang pada kenyataannya

telah sampai pada titik nadir. Sebenarnya ini merupakan ladang yang baik bagi para

sastrawan dan penikmat sastra untuk sampai pada esensi tertinggi dalam kesusasteraan.

Page 14: pengembangan sastra indo

DAFTAR PUSTAKA

http://sutimbang.wordpress.com/category/sastra indonesia

http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Indonesia

Yudiono. 2010. Pengantar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.

http://sutimbang.wordpress.com/2009/01/11/sejarah-sastra-sastra-pasca-reformasi