pengembangan program penanganan bayi dengan infeksi...

6

Click here to load reader

Upload: buicong

Post on 06-Feb-2018

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengembangan Program Penanganan Bayi dengan Infeksi ...jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2013/09/Makalah-5_Dr... · tahun 1990-an dikembangkan pendekatan baru yang ... Bayi

Pengembangan Program Penanganan Bayi dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Asuhan Terpadu Kesehatan Ibu dan Bayi dengan Muatan Sosial Budaya

Prasenohadi*, Rini Sekartini**, Hervita Diatri***, Enie Novieastari****

* Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah

Sakit Persahabatan, Jakarta.

** Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Umum Pusat

Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

*** Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Umum Pusat

Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

**** Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

AbstrakLatar belakang : Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan penyebab kematian terbesar baik pada bayi maupun anak balita. ISPA merupakan pandemi yang kurang mendapat perhatian dan merupakan masalah yang perlu ditangani secara lintas sektor. Dewasa ini Indonesia mempunyai kesenjangan sosial ekonomi yang cukup besar, karena itu pelayanan kesehatan yang mampu berkontribusi dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi adalah pelayanan yang memperhatikan aspek sosial budaya.Tujuan umum penelitian adalah tersusunnya model pelayanan penanganan ISPA pada bayi berupa asuhan terpadu yang memperhatikan aspek sosial budaya Indonesia. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan dengan menggunakan rancangan penelitian mixed method, yaitu penelitian campuran kuantitatif dan kualitatif. Penelitian ini dilakukan di Jakarta, Bandung, Surakarta dan Padang. Penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap ibu-ibu yang membawa anaknya berobat ke pusat pelayanan kesehatan.Hasil : Sebagian besar subjek adalah ibu rumah tangga (hanya sebagian kecil ibu yang bekerja) yang membawa anaknya berobat ke pusat pelayanan kesehatan. Usia subjek sebagian besar antara 20 – 30 tahun. Tingkat pendidikan terbanyak adalah sekolah menegah tingkat atas (SMTA). Subjek membawa anaknya yang menderita ISPA ke pusat pelayanan kesehatan terdekat.Kesimpulan : Sebagian besar subjek sudah mengetahui gejala dan tanda ISPA. (J Respir Indo. 2013; 33:173-8)Kata kunci : Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), kesehatan ibu dan anak.

Development of Treatment Plan for Infants with Acute Respiratory Infection in Integrated Health Care for Maternal and Infant in a Sociocultural Context

AbstractBackground : Acute respiratory tract infections (ARI) are a leading cause of death both in infants and children under five years of age. ARI has a characteristic of a pandemic, nevertheless has received less attention and it needs to be addressed among all sectors. Indonesia has a wide socioeconomic gap, hence, the health sector must contribute to efforts to reduce maternal and infant mortality taking into account the sociocultural aspects of the country. The general objective of the research is to formulate a model for handling infants with ARI in the form of integrated care that takes into account sociocultural aspects of Indonesia.Methods : This study is preliminary study, uses a mixed method research design, which is a mixture of quantitative and qualitative research. The research was conducted in Jakarta, Bandung, Surakarta and Padang. The study was conducted through interviews with mothers who took their children to the health centers for treatment.Results : Most of the subjects were housewives (only a small number were working mothers) who brought their children to the health center for treatment. Subjects were aged mostly between 20-30 years. Most of the mothers' education level was high school. Subjects brought their children with ARIs to health care facilities.Conclusion : Most of the subjects know about signs and symptoms of respiratory tract infections. (J Respir Indo. 2013; 33:173-8)Keywords : Acute respiratory tract infections (ARI), maternal and infant health care.

a

PENDAHULUAN

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah

penyebab kematian terbesar baik pada bayi maupun

anak balita. Pada tahun 2005 di 10 provinsi di Indonesia

diketahui bahwa pneumonia menjadi penyebab 22,3%

dari seluruh kematian bayi. Studi mortalitas pada riset

kesehatan dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan

173 J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013

Page 2: Pengembangan Program Penanganan Bayi dengan Infeksi ...jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2013/09/Makalah-5_Dr... · tahun 1990-an dikembangkan pendekatan baru yang ... Bayi

manusia yang utuh, namun hanya sebagai kumpulan

organ-organ tubuh. Pada tahun 1960-an di Amerika

Serikat mulai dihidupkan kembali gagasan Francis

Peabody, yang pada tahun 1923 menekankan perlunya

dokter membantu manusia menjadi sehat dan

memelihara kesehatannya dengan melihat faktor-faktor 3yang menyeluruh dari manusia tersebut.

Pada tahun 1977, Engel mengajukan bahwa

selain perubahan biokimia dan morfologi pada pasien

yang sakit, terbukti ada hubungan antara penyakit

dengan pola emosi, tujuan hidup, perilaku kesehatan

dan lingkungan sosial pasien. Pada tahun 1983, Zegan

membuktikan hubungan antara fungsi fisiologis tubuh

dengan kejadian yang membuat stres. Pada tahun

1997, Wise menguatkan temuan Engel dengan

membuktikan bahwa dokter di klinik yang mengevaluasi

pasien dari segi biologis, psikologis dan faktor-faktor

sosial, akan lebih dapat menangani masalah klinis 3pasien dengan baik.

Sejak saat itu pelayanan kesehatan dengan

pendekatan biopsikososial dikembangkan, walaupun

menemui banyak ketidaksetujuan dari para praktisi

kedokteran. Hal tersebut tidak dapat dicegah. Namun

praktisi kedokteran dihadapkan dengan masalah lain.

Pada abad ke-20 dan 21, kemajuan transportasi

menjadi sangat berkembang yang menghasilkan

masyarakat yang multikultural. Maka pada pertengahan

tahun 1990-an dikembangkan pendekatan baru yang

menuntut dokter praktik untuk lebih sensitif terhadap

keadaan multikultural pasiennya. Kemampuan ini 4disebut cultural competence (kompetensi budaya).

Pada pelayanan individual, kompetensi budaya

atau komunikasi lintas budaya yang efektif, bertujuan

memahami perspektif pasien mengenai penyakit yang

dialaminya, membantu pasien dalam memahami

penyakit dan penatalaksanaan dari perspektif biomedis

serta membantu pasien dan keluarganya dalam

mengarahkan, membahas, merasa nyaman dalam

dunia kedokteran yang kompleks dan tidak bersahabat

agar dapat melaksanakan penatalaksanaan yang 5sesuai.

Pendekatan praktik yang peduli bahwa pasien

adalah seorang manusia seutuhnya yang terdiri dari

fisik, mental, sosial dan spiritual serta berkehidupan di

bahwa proporsi kematian bayi pascaneonatal karena 1pneumonia sebesar 23,8%.

Infeksi saluran pernapasan dibagi menjadi 2

bagian besar, yaitu pneumonia dan bukan penumonia.

Penyakit-penyakit yang berada dalam kelompok bukan

pneumonia adalah rinitis, faringitis, tonsilitis dan

penyakit jalan napas bagian atas lainnya. Ditengarai

dalam survei tersebut bahwa ISPA merupakan pandemi

yang kurang mendapat perhatian dan perlu ditangani

secara lintas sektor. Gejala pneumonia mungkin sulit

dikenali oleh orang awam maupun tenaga kesehatan

tidak terlatih. Mengingat bahwa pneumonia merupakan

penyakit yang telah ada sejak dahulu, maka telah timbul

kebiasaan dan kepercayaan yang berkembang di

masyarakat yang bayinya pernah menderita pneu-1monia.

Bangsa Indonesia adalah bangsa multikultural

dengan lebih dari 300 etnis yang memiliki lebih dari 700

bahasa. Di samping itu, kesenjangan sosial ekonomi

saat ini masih lebar. Karena itu, pelayanan kesehatan

yang diharapkan adalah pelayanan yang memperha-

tikan aspek budaya setempat. Petugas kesehatan perlu

mempunyai kompetensi budaya, yaitu seperangkat

nilai, perilaku dan praktik dalam suatu sistem,

organisasi, program atau di antara perorangan yang

memungkinkan untuk bekerja secara efektif dalam

perbedaan ras, etnis, gender, orientasi seksual, agama 2dan asal negara/daerah. Selain itu, perbedaan dapat

merupakan perbedaan pada proses berkomunikasi dan

berbahasa, konsep dan persepsi kesehatan,

kepercayaan, latar belakang pendidikan dan pekerjaan 3serta status sosial ekonomi. Walaupun hingga saat ini

belum ada hasil penelitian yang membuktikan bahwa

petugas kesehatan yang berkompetensi budaya akan

membuahkan hasil pelayanan yang lebih baik, diduga

ada faktor sosial budaya yang belum ditangani dengan 2baik pada pelayanan kesehatan.

Pendekatan dokter kepada pasien makin hari

makin dituntut untuk menuju ke pendekatan kemanu-

siaan. Dalam empat abad terakhir ilmu kedokteran maju

dan berkembang dengan pesat serta menjadi tulang

punggung pengobatan di dunia. Namun, muncul

ketidakpuasan dari pengguna jasa yang merasa bahwa

dokter tidak lagi menganggap pasiennya sebagai

J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013 174

Page 3: Pengembangan Program Penanganan Bayi dengan Infeksi ...jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2013/09/Makalah-5_Dr... · tahun 1990-an dikembangkan pendekatan baru yang ... Bayi

tengah lingkungan fisik dan sosialnya disebut sebagai

pelayanan holistik, seperti yang disebutkan di dalam

buku standar pelayanan dokter keluarga. Pada lima

tahun terakhir, Nitra Nirwani, seorang staf pengajar

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

mengembangkan metode diagnosis untuk melatih

mahasiswa dan dokter layanan primer agar menerap-

kan pendekatan holistik pada setiap kesempatan 6berjumpa dengan pasien.

Diagnosis yang ditegakkan di klinik terdiri atas 5 6aspek. Aspek pertama adalah keluhan utama (reason

for encounter) / tanda dan gejala / sindrom klinis yang

ditampilkan, apa yang diharapkan pasien atau

keluarganya, apa yang dikhawatirkan pasien atau

keluarganya. Aspek kedua adalah diagnosis klinis dan

banding, termasuk diagnosis fisik, mental, nutrisi dan

derajat keparahan. Aspek ketiga adalah faktor internal

pasien yang sering menjadi perancu (confounder)

dalam timbul dan berkembangnya penyakit, misalnya

usia, jenis kelamin, nutrisi, perilaku individu, gaya hidup

(life style) dan persepsi tentang penyakit. Aspek

keempat adalah faktor eksternal yang terjadi pada

keluarga dan lingkungan, menjadi penentu dalam timbul

dan berkembangnya penyakit, misalnya perilaku

keluarga yang tidak sehat, pendidikan yang rendah,

sosial ekonomi rendah, budaya yang tidak menunjang,

akses layanan kesehatan yang kurang, lingkungan

biologik dan psikologik yang buruk, lingkungan abiotik

yang berakibat pada timbulnya penyakit. Aspek kelima

adalah fungsi biopsikososial pasien dalam keluarga

(derajat 1-5).

Bayi dengan berat lahir rendah, malnutrisi, tidak

diberi air susu ibu (ASI) dan tinggal di lingkungan padat

huni merupakan bayi yang berisiko tinggi terkena

pneumonia dan kematian yang diakibatkannya. Seluruh

faktor risiko tersebut sangat berkaitan dengan faktor-

faktor sosial dan budaya keluarga bayi. Penyebab

utama bayi berat lahir rendah adalah prematuritas atau

kurang bulan. Kelahiran prematur atau kurang bulan

banyak disebabkan oleh faktor sosial dalam keluarga,

misalnya malnutrisi, tidak melakukan pemeriksaan

prenatal dan kekerasan dalam rumah tangga. Begitu

pula dengan malnutrisi yang sangat erat dengan faktor

sosial budaya, misalnya kemiskinan, kebiasaan makan

dan konsumsi makanan yang kurang bergizi.

Pelayanan yang sensitif terhadap latar belakang

sosial budaya pasien akan lebih dapat menggali dan

mengatasi masalah kesehatan yang berhubungan

dengan faktor sosial budaya masyarakat. Masyarakat

yang memperoleh pelayanan seperti itu akan merasa

lebih puas. Oleh karena itu, sebuah kajian yang

menggali faktor sosial budaya diperlukan.

Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan

(tahap 1 dan 2). Penelitian ini menggunakan

pendekatan sosial budaya pada pasien bayi dengan

ISPA untuk mengidentifikasi masalah dan pemecahan-

nya dalam rangka penyusunan suatu model pelayanan

yang bermuatan sosial budaya. Model pelayanan

tersebut diharapkan dapat menjadi contoh dalam

meningkatkan kualitas pelayanan di Indonesia.

Tujuan umum penelitian untuk tersusunnya

model pelayanan ISPA pada bayi dalam asuhan terpadu

kesehatan ibu dan bayi bermuatan sosial budaya yang

sesuai untuk Indonesia. Tujuan khusus untuk

teridentifikasinya masalah ISPA pada bayi yang terkait

dengan faktor sosial budaya.

Manfaat penelitian agar model ini dapat menjadi

referensi bagi penyelenggara pelayanan kesehatan di

Indonesia untuk menyelenggarakan pelayanan dengan

pendekatan sosial budaya, khususnya dalam

pelayanan asuhan terpadu kesehatan ibu dan bayi.

METODE

Penelitian ini menggunakan rancangan

penelitian kuantitatif metode cross sectional. Populasi

adalah ibu atau orang tua yang membawa anaknya

datang berobat di pusat pelayanan tingkat primer,

sekunder dan tersier di Jakarta dan luar Jakarta.

Dengan consecutive sampling, penelitian dilaksanakan

di:

Jakarta

· Klinik Dokter Keluarga Kiara

· Klinik Dokter Keluarga Kayu Putih

· Rumah Sakit Persahabatan

Luar Jakarta

· Rumah Sakit Paru Rotinsulu, Bandung, Jawa Barat

· Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM),

7

175 J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013

Page 4: Pengembangan Program Penanganan Bayi dengan Infeksi ...jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2013/09/Makalah-5_Dr... · tahun 1990-an dikembangkan pendekatan baru yang ... Bayi

Bandung, Jawa Barat

· Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM)

Surakarta, Jawa Tengah

· Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM), Lubuk

Alung, Sumatera Barat

· Rumah Sakit Paru Padang Panjang, Sumatera

Barat

Karena belum ada data mengenai faktor sosial

budaya pada bayi dengan ISPA, maka besaran sampel

adalah jumlah minimum yang dapat dianalisis secara

kuantitatif pada setiap pusat penelitian berdasarkan 8laporan hasil riset kesehatan dasar nasional 2007.

Perhitungan sampel dihitung berdasarkan

prevalensi ISPA di Provinsi Jawa Barat (24,7%), Jakarta

(22,6%), Provinsi Jawa Tengah (29,1%), dan Provinsi

Sumatera Barat (26,4%). Selain itu program

pencegahan dan penanggulangan ISPA menetapkan

sasaran bahwa perkiraan kejadian pneumonia pada

balita adalah 10% dari jumlah balita. Dengan demikian

sampel yang akan diambil untuk masing-masing pusat

pelayanan kesehatan adalah 80 bayi.

Bayi dengan diagnosis ISPA yang datang pada

pusat pelayanan kesehatan tersebut akan dipelajari

dengan menggali faktor sosial budaya terkait melalui

wawancara terpimpin dengan menggunakan borang

yang telah dipersiapkan sebelumnya. Faktor risiko

utama meliputi bayi dengan berat lahir rendah,

malnutrisi, tidak diberi ASI dan tinggal di lingkungan

padat huni. Faktor risiko lain meliputi perilaku bayi

akibat cara perawatan dan persepsi perawat bayi

tentang penyakit ISPA, perilaku keluarga tidak sehat,

pendidikan/status sosial ekonomi rendah, budaya yang

tidak menunjang, akses layanan kesehatan terbatas 9dan lingkungan psikologis buruk.

Karakteristik demografi bayi dan perawat bayi

merupakan data yang juga akan dianalisis. Pada bayi

adalah usia, gender, usia kehamilan pada saat lahir,

anak ke-berapa, proporsi gender pada sibling, frekuensi

ISPA pada enam bulan terakhir. Pada perawat bayi

adalah hubungan dengan bayi, usia dan gender.

HASIL

Penelitian ini dilakukan di Jakarta (Klinik Dokter

Keluarga Kiara, RS Persahabatan dan Klinik Dokter

Keluarga Kayu Putih), Jawa Barat (BBKPM Bandung

dan RS Paru Rotinsulu), Jawa Tengah (BBKPM

Surakarta) dan Sumatera Barat (BKPM Lubuk Alung

dan RS Paru Padang Panjang). Sebagian besar subjek

adalah ibu rumah tangga (hanya sebagian kecil yang

bekerja) yang membawa anaknya berobat ke pusat

pelayanan tersebut.

Usia subjek sebagian besar antara 20-30 tahun.

Tingkat pendidikan terbanyak adalah SMA, di samping

SMP dan sarjana. Subjek membawa anaknya yang

menderita ISPA ke pusat pelayanan kesehatan

terdekat, sebagian besar ke puskesmas dan praktek

Penggalian faktor-faktor sosial budaya pada keluarga pasien ISPA

Masalah terkait sosial budaya pada pasien ISPA

Pelayanan dengan pendekatan holistik

Penatalaksanaan ISPA pada bayi bermuatan sosial budaya

Gambar 1. Lingkup yang diteliti

Angka kematian bayi akibat ISPA menurun

Pemahaman persepsi orang tua mengenai ISPA

Pemahaman persepsi orang tua mengenai masalah kesehatan yang menjadi faktor risiko ISPA

J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013 176

Page 5: Pengembangan Program Penanganan Bayi dengan Infeksi ...jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2013/09/Makalah-5_Dr... · tahun 1990-an dikembangkan pendekatan baru yang ... Bayi

dokter, diikuti balai pengobatan, rumah sakit, dan bidan.

Sebagian besar bayi dilahirkan dengan bantuan

bidan dan dengan berat lahir normal, serta sebagian

besar bayi diberi ASI. Pengetahuan subjek tentang

gejala dan tanda ISPA pada umumnya cukup baik.

Mereka mengenal ISPA karena ada demam, batuk,

sesak napas atau napas yang cepat. Hanya sedikit saja

yang mengetahui tarikan dinding dada bagian bawah ke

dalam dan pilek sebagai tanda dan gejala ISPA.

Sebagian subjek masih merawat anaknya di

rumah jika sampai tiga hari masih ada tanda dan gejala

ISPA. Tindakan yang mereka lakukan pertama kali

kebanyakan menggunakan obat warung atau

memberikan madu atau kecap yang dicampur dengan

jeruk nipis, obat tradisional (jamu), minyak kayu putih

atau dibawa langsung ke pusat pelayanan kesehatan.

Tindakan pencegahan yang dilakukan bervariasi mulai

dari pijat, diberi madu, mandi air hangat, tidur, minum

susu, makanan bergizi, berjemur di pagi hari dan diberi

vitamin. Namun ada juga subjek yang tidak mengetahui

cara pencegahan ISPA pada bayi.

Berdasarkan data di atas maka selanjutnya

disusun instrumen pelayanan asuhan terpadu

kesehatan ibu dan bayi yang dapat menggali faktor

sosial budaya terkait dengan masalah ISPA pada bayi

serta panduan manajemennya.

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di beberapa pusat

pelayanan kesehatan di Jakarta, Bandung, Surakarta

dan Padang yang bertujuan mengidentifikasi pengaruh

sosial budaya terhadap penanganan masalah ISPA

pada bayi pada beberapa suku bangsa. Penelitian

dilakukan dengan metode wawancara kepada setiap

subjek yaitu ibu atau orang tua yang membawa anaknya

berobat atau berkunjung ke pusat pelayanan

kesehatan.

Penelitian ini dilakukan di empat provinsi yang

berbeda (Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan

Sumatera Barat) agar dapat mewakili beberapa suku

bangsa. Di Jakarta dilakukan di Klinik Dokter Keluarga

Kiara, Klinik Dokter Keluarga Kayu Putih dan RS

Persahabatan. Di Bandung, Jawa Barat dilakukan di

BBKPM Bandung dan RS Paru Rotinsulu. Di Surakarta,

Jawa Tengah dilakukan BBKPM Surakarta. Di Padang,

Sumatra Barat dilakukan di BKPM Lubuk Alung dan RS

Padang Panjang. Di Jakarta ternyata subjek yang

datang ke pusat pelayanan kesehatan berasal dari

berbagai suku bangsa. Mungkin untuk mendapatkan

suku Betawi tempat penelitian harus bergeser ke

daerah pinggir Jakarta, tempat mereka banyak

bermukim di sana.

Sebagian besar subjek sudah memanfaatkan

fasilitas kesehatan yang terdekat dari tempat tinggal

mereka dan sudah banyak yang mengetahui

bagaimana cara mengatasi ISPA pada anak. Masalah

pencegahan ISPA sepertinya masih belum banyak

dipahami oleh subjek, yang mungkin ada kaitannya

dengan cara hidup mereka. Penelitian ini baru

menyelesaikan tahap 1 dan 2, dan masih diperlukan

waktu lagi untuk melanjutkan ke tahap 3 dan 4 untuk

penyempurnaan instrumen dan panduan pelayanan

ISPA di pusat pelayanan kesehatan sesuai dengan

pendekatan sosial budaya.

KESIMPULAN

1. Pengetahuan ibu-ibu tentang ISPA sudah banyak

diketahui dan dipahami.

2. Penangan awal ISPA oleh ibu-ibu masih dilakukan

di rumah dengan melakukan perawatan sendiri.

SARAN

Hasil penelitian ini menjadi dasar untuk membuat

model pelayanan ISPA pada bayi dalam asuhan terpadu

kesehatan ibu dan bayi bermuatan sosial budaya yang

sesuai untuk Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Repubik Indonesia. Profil

Kesehatan Indonesia 2009. Jakarta: Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia; 2010.

2. Rakel RE. The family physician. In : Textbook of

family medicine. 7th eds. Philadelphia: Sunders

Elsevier; 2007.

3. Association of American Medical Colleges. Cultural

177 J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013

Page 6: Pengembangan Program Penanganan Bayi dengan Infeksi ...jurnalrespirologi.org/wp-content/uploads/2013/09/Makalah-5_Dr... · tahun 1990-an dikembangkan pendekatan baru yang ... Bayi

competence education, AAMC tomorrow's doctor

tomorrow's cures. [Online]. 2005 [Cited 2009

Sep tember 5 ] . Ava i lab le f rom: URL: / /

h t t p . w w w . a a m c . o r g / m e d e d / t a c c t /

culturalcomped.pdf.

4. Isaacs MR, Benjamin MP. In: Towards a culturally

competent system of care: volume II. Washington

DC: CASSP Technical Assistance Center

Georgetown - University Child Development

Center; 1991.

5. Trisna DV. Standar pelayanan dokter keluarga.

Jakarta: Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia;

2005.

6. Nirwani N. Diagnosis holistik. Edisi kedua. Jakarta:

Departemen Kedokteran Komunitas FKUI; 2010.

7. World Health Organization. Acute respiratory

infections in children. Family and Community Health

Cluster (FCH). [Online]. 2010 [Cited on 2013 May

21]. Available from: URL: http://www.who.int/

fch/depts/cah/resp_infections/ en/

8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Pedoman tatalaksana pneumonia balita. Jakarta:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2010.

9. Medical Education Unit FKUI. Buku panduan modul

empati, bioetik dan komunikasi pengembangan

pribadi dan profesi kedokteran. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2010-2011.

10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Laporan hasil riset kesehatan dasar. Jakarta:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2007.

J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013 178