pengembangan dan pengujian fitofarmaka

7
Pengembangan dan Pengujian Fitofarmaka Salah satu syarat agar suatu calon obat dapat dipakai dalam praktek kedokteran dan pelayanan kesehatan formal (fitofarmaka) adalah jika bahan baku tersebut terbukti aman dan memberikan manfaat klinik. Untuk membuktikan keamanan dan manfaat ini, maka telah dikembangkan perangkat pengujian secara ilmiah yang mencakup : 1. Uji farmakologi (pembuktian efek atau pengaruh obat), 2. Uji toksikologi (pembuktian syarat keamanan obat secara formal), dan 3. Uji klinik (manfaat pencegahan dan penyembuhan penyakit atau gejala penyakit). Pengujian bahan obat dimaksud agar obat-obat yang dipakai dalam praktek klinik pada manusia dapat dipertanggung jawabkan khasiat, manfaat, serta keamanannya secara ilmiah. Uji Farmakologi

Upload: iftah-fadhilah

Post on 30-Nov-2015

49 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengembangan Dan Pengujian Fitofarmaka

Pengembangan dan Pengujian Fitofarmaka

Salah satu syarat agar suatu calon obat dapat dipakai dalam praktek kedokteran dan

pelayanan kesehatan formal (fitofarmaka) adalah jika bahan baku tersebut terbukti

aman dan memberikan manfaat klinik. Untuk membuktikan keamanan dan manfaat

ini, maka telah dikembangkan perangkat pengujian secara ilmiah yang mencakup :

1. Uji farmakologi (pembuktian efek atau pengaruh obat), 

2. Uji toksikologi (pembuktian syarat keamanan obat secara formal), dan 

3. Uji klinik (manfaat pencegahan dan penyembuhan penyakit atau gejala penyakit).

Pengujian bahan obat dimaksud agar obat-obat yang dipakai

dalam praktek klinik pada manusia dapat dipertanggung

jawabkan khasiat, manfaat, serta keamanannya secara ilmiah.

Uji Farmakologi

Uji farmakologi merupakan salah satu persyaratan uji untuk calon

obat. Dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek

farmakologi) dan profil farmakokinetik (meliputi absorpsi,

distribusi, metabolisme dan eliminasi obat) calon obat. Hewan

yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus,

Page 2: Pengembangan Dan Pengujian Fitofarmaka

kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan

primata, hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan

obat.

Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat

diteruskan dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja

sama dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula

obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji

pada manusia.

Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan

hewan percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro

untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji

antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba pada

perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain

untuk menggantikan uji khasiat pada hewan tetapi belum semua

uji dapat dilakukan secara in vitro.

Uji Toksisitas

Uji toksisitas akut sangat penting untuk mengukur dan

mengevaluasi karakteristik toksik dari suatu bahan kimia. Uji ini

dapat menyediakan informasi tentang bahaya kesehatan manusia

yang berasal dari bahan kimia yang terpapar dalam tubuh pada

waktu pendek melalui jalur oral. Data uji akut juga dapat menjadi

dasar klasifikasi dan pelabelan suatu bahan kimia.

Page 3: Pengembangan Dan Pengujian Fitofarmaka

Toksisitas akut didefinisikan sebagai kejadian keracunan akibat

pemaparan bahan toksik dalam waktu singkat, yang biasanya

dihitung dengan menggunakan nilai LC50 atau LD50. Nilai ini

didapatkan melalui proses statistik dan berfungsi mengukur

angka relatif toksisitas akut bahan kimia.

Toksisitas akut dari bahan kimia lingkungan dapat ditetapkan

secara eksperimen menggunakan spesies tertentu seperti

mamalia, bangsa unggas, ikan, hewan invertebrata, tumbuhan

vaskuler dan alga. Uji toksisitas akut dapat menggunakan

beberapa hewan mamalia, namun yang dianjurkan untuk uji LD50

diantaranya tikus, mencit dan kelinci. Di samping pengamatan

terhadap gejala klinis dan uji LD50 , bisa dilakukan juga pengujian

terhadap organ gastrium, duodenum dan ginjal untuk melihat

gambaran histopatologinya. Gambaran histopatologi ini bisa

diambil dari organ hewan uji kemudian didokumentasikan

menggunakan kamera mikroskop.

Uji toksisitas kronis diperlukan jika uji toksisitas akut tidak

menghasilkan efek, maka bukan berarti toksikan tidak bersifat

toksik. Oleh karena itu perlu uji kronis. Percobaan ini dilakukan

dengan memberikan dosis tertentu bahan kimia terhadap hewan

percobaan melalui penelanan atau inhalasi terhadap bahan kimia

Page 4: Pengembangan Dan Pengujian Fitofarmaka

yang sedang diuji selama masa hidupnya. Untuk mencit dapat

memakan waktu hingga 2 tahun sedangkan untuk tikus sedikit

lebih singkat.

Maksud dari uji kronik (seumur hidup), untuk menentukan

apakah bahan kimia dapat menimbulkan setiap efek kesehatan

yang mungkin memerlukan waktu yang lama untuk menimbulkan

suatu efek seperti kanker, atau paparan jangka panjang terhadap

bahan kimia menimbulkan efek kesehatan pada organ seperti

ginjal.

Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan

aman pada hewan percobaan maka selanjutnya diuji pada

manusia (uji klinik). Uji pada manusia harus diteliti dulu

kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki.

Uji Klinik

Setelah praklinis selesai, kemudian diujikan kepada manusia. Dari

yang sakit kemudian yang sehat. Biayanya besar, sampai miliaran

rupiah. Sehingga, biasanya harus kerja sama dengan industri.

Dalam uji klinis, obat alam tadi dibandingkan dengan placebo

yaitu senyawa tanpa efek, misalnya isi serbuk atau tepung. Sama-

sama berbentuk kapsul, satu berisi obat dan satunya isi serbuk.

Orang yang diuji tidak boleh tahu. Pengujinya kadang juga tidak

tahu. Hal itu supaya tidak bias cara melihat efek.

Page 5: Pengembangan Dan Pengujian Fitofarmaka

Uji klinik pada manusia baru dapat dilakukan jika syarat

keamanan diperoleh dari pengujian toksisitas pada hewan serta

syarat mutu sediaan memungkinkan untuk pemakaian pada

manusia. Pengujian klinik calon obat pada manusia terbagi dalam

beberapa fase yaitu :

Fase I :

Dilakukan pada sukarela sehat untuk melihat apakah efek

farmakologi, sifat farmakokinetik yang diamati pada hewan juga

terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis

dengan efek yang ditimbulkan dan profil farmakokinetik obat

pada manusia.

Fase II :

Dilakukan pada kelompok pasien secara terbatas (100-200

pasien) untuk melihat kemungkinan penyembuhan dan

pencegahan penyakit. Pada fase ini rancangan penelitian masih

dilakukan tanpa kelompok pembanding (kontrol), sehingga belum

ada kepastian bukti manfaat terapetik.

Fase III :

Dilakukan pada pasien dengan rancangan uji klinik yang

memadai, memakai kontrol sehingga didapat kepastian ada

tidaknya manfaat terapetik.

Fase IV :

Page 6: Pengembangan Dan Pengujian Fitofarmaka

Pemantauan pasca pemasaran (surveilan post marketing) untuk

melihat kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak

terkendali pada waktu pengujian pra klinik atauklinik fase 1 , 2 ,

3.