pengembangan dan pengujian fitofarmaka
TRANSCRIPT
Pengembangan dan Pengujian Fitofarmaka
Salah satu syarat agar suatu calon obat dapat dipakai dalam praktek kedokteran dan
pelayanan kesehatan formal (fitofarmaka) adalah jika bahan baku tersebut terbukti
aman dan memberikan manfaat klinik. Untuk membuktikan keamanan dan manfaat
ini, maka telah dikembangkan perangkat pengujian secara ilmiah yang mencakup :
1. Uji farmakologi (pembuktian efek atau pengaruh obat),
2. Uji toksikologi (pembuktian syarat keamanan obat secara formal), dan
3. Uji klinik (manfaat pencegahan dan penyembuhan penyakit atau gejala penyakit).
Pengujian bahan obat dimaksud agar obat-obat yang dipakai
dalam praktek klinik pada manusia dapat dipertanggung
jawabkan khasiat, manfaat, serta keamanannya secara ilmiah.
Uji Farmakologi
Uji farmakologi merupakan salah satu persyaratan uji untuk calon
obat. Dari uji ini diperoleh informasi tentang efikasi (efek
farmakologi) dan profil farmakokinetik (meliputi absorpsi,
distribusi, metabolisme dan eliminasi obat) calon obat. Hewan
yang baku digunakan adalah galur tertentu dari mencit, tikus,
kelinci, marmot, hamster, anjing atau beberapa uji menggunakan
primata, hewan-hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan
obat.
Semua hasil pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat
diteruskan dengan uji pada manusia. Ahli farmakologi bekerja
sama dengan ahli teknologi farmasi dalam pembuatan formula
obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji
pada manusia.
Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan
hewan percobaan telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro
untuk menentukan khasiat obat contohnya uji aktivitas enzim, uji
antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba pada
perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain
untuk menggantikan uji khasiat pada hewan tetapi belum semua
uji dapat dilakukan secara in vitro.
Uji Toksisitas
Uji toksisitas akut sangat penting untuk mengukur dan
mengevaluasi karakteristik toksik dari suatu bahan kimia. Uji ini
dapat menyediakan informasi tentang bahaya kesehatan manusia
yang berasal dari bahan kimia yang terpapar dalam tubuh pada
waktu pendek melalui jalur oral. Data uji akut juga dapat menjadi
dasar klasifikasi dan pelabelan suatu bahan kimia.
Toksisitas akut didefinisikan sebagai kejadian keracunan akibat
pemaparan bahan toksik dalam waktu singkat, yang biasanya
dihitung dengan menggunakan nilai LC50 atau LD50. Nilai ini
didapatkan melalui proses statistik dan berfungsi mengukur
angka relatif toksisitas akut bahan kimia.
Toksisitas akut dari bahan kimia lingkungan dapat ditetapkan
secara eksperimen menggunakan spesies tertentu seperti
mamalia, bangsa unggas, ikan, hewan invertebrata, tumbuhan
vaskuler dan alga. Uji toksisitas akut dapat menggunakan
beberapa hewan mamalia, namun yang dianjurkan untuk uji LD50
diantaranya tikus, mencit dan kelinci. Di samping pengamatan
terhadap gejala klinis dan uji LD50 , bisa dilakukan juga pengujian
terhadap organ gastrium, duodenum dan ginjal untuk melihat
gambaran histopatologinya. Gambaran histopatologi ini bisa
diambil dari organ hewan uji kemudian didokumentasikan
menggunakan kamera mikroskop.
Uji toksisitas kronis diperlukan jika uji toksisitas akut tidak
menghasilkan efek, maka bukan berarti toksikan tidak bersifat
toksik. Oleh karena itu perlu uji kronis. Percobaan ini dilakukan
dengan memberikan dosis tertentu bahan kimia terhadap hewan
percobaan melalui penelanan atau inhalasi terhadap bahan kimia
yang sedang diuji selama masa hidupnya. Untuk mencit dapat
memakan waktu hingga 2 tahun sedangkan untuk tikus sedikit
lebih singkat.
Maksud dari uji kronik (seumur hidup), untuk menentukan
apakah bahan kimia dapat menimbulkan setiap efek kesehatan
yang mungkin memerlukan waktu yang lama untuk menimbulkan
suatu efek seperti kanker, atau paparan jangka panjang terhadap
bahan kimia menimbulkan efek kesehatan pada organ seperti
ginjal.
Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan
aman pada hewan percobaan maka selanjutnya diuji pada
manusia (uji klinik). Uji pada manusia harus diteliti dulu
kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki.
Uji Klinik
Setelah praklinis selesai, kemudian diujikan kepada manusia. Dari
yang sakit kemudian yang sehat. Biayanya besar, sampai miliaran
rupiah. Sehingga, biasanya harus kerja sama dengan industri.
Dalam uji klinis, obat alam tadi dibandingkan dengan placebo
yaitu senyawa tanpa efek, misalnya isi serbuk atau tepung. Sama-
sama berbentuk kapsul, satu berisi obat dan satunya isi serbuk.
Orang yang diuji tidak boleh tahu. Pengujinya kadang juga tidak
tahu. Hal itu supaya tidak bias cara melihat efek.
Uji klinik pada manusia baru dapat dilakukan jika syarat
keamanan diperoleh dari pengujian toksisitas pada hewan serta
syarat mutu sediaan memungkinkan untuk pemakaian pada
manusia. Pengujian klinik calon obat pada manusia terbagi dalam
beberapa fase yaitu :
Fase I :
Dilakukan pada sukarela sehat untuk melihat apakah efek
farmakologi, sifat farmakokinetik yang diamati pada hewan juga
terlihat pada manusia. Pada fase ini ditentukan hubungan dosis
dengan efek yang ditimbulkan dan profil farmakokinetik obat
pada manusia.
Fase II :
Dilakukan pada kelompok pasien secara terbatas (100-200
pasien) untuk melihat kemungkinan penyembuhan dan
pencegahan penyakit. Pada fase ini rancangan penelitian masih
dilakukan tanpa kelompok pembanding (kontrol), sehingga belum
ada kepastian bukti manfaat terapetik.
Fase III :
Dilakukan pada pasien dengan rancangan uji klinik yang
memadai, memakai kontrol sehingga didapat kepastian ada
tidaknya manfaat terapetik.
Fase IV :
Pemantauan pasca pemasaran (surveilan post marketing) untuk
melihat kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak
terkendali pada waktu pengujian pra klinik atauklinik fase 1 , 2 ,
3.