pengaruh pola budidaya pada hutan …digilib.unila.ac.id/31366/3/tesis full tanpa pembahasan.pdf ·...
TRANSCRIPT
PENGARUH POLA BUDIDAYA PADA HUTAN KEMASYARAKATANDI AREAL KELOLA KPH VIII BATUTEGI TERHADAP
KESUBURAN TANAH DAN PENDAPATAN PETANI
(Tesis)
OlehY.Ruchyansyah
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU KEHUTANANFAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG2018
Abstract
Silviculture effect in community forestry in KPHL VIII Batutegi to farmersincome and soil fertility
Y. Ruchyansyah
Sekampung Hulu watershed that is located in Batutegi Forest Management Unit
(KPH) is one of Watershed priority due to the most area has been cultivated by
the community. Around 59% of the community cultivate the forest area have
acquired community forest utilization license (IUPHKm). The objective of the
license to encourage communities to restore forest functions while improving their
welfare. Agroforestry was silviculture system that is believed as the most
appropriate mean to realize those objectives. This research was aimed to figure
out the silviculture system done by the farmers in KPHL VII BatuTegi and its
relation with income increasing and soil fertility. Data collection was conducted
on August-September 2016 in Batulima Resort KPHL VIII Batutegi, through
interview method of 98 respondents of two farmers group (Gapoktan) that have
IUPHKm. The research result showed that there is no significantly correlation
between IUPHKmap propriations with the change of silviculture system. There
was a negative influence of silviculture system to soil fertility and farmer income.
Monoculture system on the IUPHKm area provide a highest income. It was
influenced by the duration of forest land utilization that has reached 4.2 years in
Y. Ruchyansyah
average, therefore harvesting has been done. The other influence factor was
fertilization intensity, so that the plantation would be more productive.
Keywords : Community Forest, soil fertility, farmers income, Silviculture.
ABSTRAK
PENGARUH POLA BUDIDAYA PADA HUTAN KEMASYARAKATAN DIAREAL KELOLA KPH VIII BATUTEGI TERHADAP KESUBURAN
TANAH DAN PENDAPATAN PETANI
Oleh
Y. RUCHYANSYAH
Daerah Aliran Sungai (DAS) Sekampung Hulu yang berlokasi di areal kelola
(Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung) KPHL VIII Batutegi merupakan DAS
Prioritas yang telah banyak digarap oleh masyarakat. Sebanyak 59 % telah
mendapatkan Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm). Tujuan
pemberian ijin agar masyarakat bisa mengelola lahannya dengan tenang sehingga
dapat mengembalikan fungsi hutan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya.
Budidaya agroforestri merupakan pola budidaya yang dianggap paling tepat untuk
mewujudkannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola budidaya yang
dilakukan petani di areal kerja KPHL VIII Batutegi dan hubungannya dengan
peningkatan pendapatan petani dan kesuburan tanah. Pengambilan data
dilaksanakan pada bulan Agustus - September 2016 di Resort Batulima KPHL
VIII Batutegi, melalui pengisian kuisioner oleh 98 petani responden pada dua
gapoktan yang telah dan belum memiliki IUPHKm. Hasil yang diperoleh
menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pemberian IUPHKm
Y. Ruchyansyah
dengan perubahan pola budidaya. Ada pengaruh pola budidaya terhadap
kesuburan tanah dan pendapatan petani. Pola budidaya monokultur pada areal
yang telah diberi IUPHKm memberi pendapatan tertinggi. Hal ini dipengaruhi
oleh usia rata-rata pemanfaatan kawasan hutan pada pola ini yang telah mencapai
4,2 tahun dan sudah produktif. Faktor lain yang signifikan berpengaruh adalah
intensitas pemupukan sehingga tanaman lebih produktif.
Kata kunci : hutan kemasyarakatan (HKm), kesuburan tanah, pendapatan petani,pola budidaya.
PENGARUH POLA BUDIDAYA PADA HUTAN KEMASYARAKATANDI AREAL KELOLA KPH VIII BATUTEGI TERHADAP
KESUBURAN TANAH DAN PENDAPATAN PETANI
OlehY.Ruchyansyah
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mendapatkan GelarMAGISTER SAINS
Pada
Program Studi Magister Ilmu KehutananFakultas Pertanian Universitas Lampung
PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER ILMU KEHUTANANFAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG2018
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Purwakarta Jawa Barat pada tanggal 8 Mei 1968, dari
keluarga sederhana dan merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan
Bapak Ahmad Dachlan dengan Ibu Nurhanani.
Masa kecil dilalui di kota Purwakarta, bersekolah TK Bhayangkari, SD Ahmad
Yani X, SMPN 2 dan pada tahun pertama di SMAN 2 kemudian mengikuti
kepindahan orang tua ke Kota Sukabumi dan lulus sebagai siswa di SMAN 1.
Selanjutnya kuliah di Fakultas Kehutanan IPB Bogor hingga tahun 1992.
Pekerjaan pertama dijalani di Sumatera Utara pada tahun 1992, sempat
dialihtugaskan berkali kali ke berbagai kota di Sumatera, Kalimantan dan Ambon,
hingga akhirnya berkarir sebagau kepala bagian produksi yang berkedudukan di
Jakarta hingga tahun 2000. Episode karir di swasta diakhiri setelah diterima
menjadi pegawai negeri daerah di Lampung, dengan penempatan di Bappeda
Kabupaten Lampung Barat. Pada tahun 2007 menanggalkan jabatan sebagai
Kepala Seksi Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Bidang Perekonomian
Bappeda Lampung Barat untuk alih tugas ke Bidang Perlindungan Hutan Dinas
Kehutanan Provinsi Lampung. Pada tahun 2008 dipercaya sebagai Kepala Seksi
Penanggulangan Gangguan Hutan Bidang Perlindungan Hutan dan selanjutnya
pada tahun 2011 diminta untuk menangani pengelolaan hutan di KPH Batutegi
sebagai Kepala UPTD hingga saat ini.
Dipersembahkan untuk Istri dan anak-anakku tercinta yang telah menjadimotivator dan pendorong semangatKedua orang tuaku atas doa yang tak pernah putus
i
SANWACANA
Syukur yang tak terhingga selalu dipersembahkan kepada Allah SWT, atas berkah-
Nya sehingga tesis yang berjudul “PengaruhPola Budidaya pada Hutan
Kemasyarakatan diAreal Kelola KPH VIII BatutegiterhadapKesuburan Tanah dan
Pendapatan Petani” dapat diselesaikan.
Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si. selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung.
2. Dr. Melya Riniarti, S.P., M.Si. selaku Ketua Jurusan Kehutanan sekaligus
pembimbing 2 atas segala masukan yang sangat berarti bagi perbaikan tesis
ini.
3. Dr. Ir. Christine Wulandari, M.P. selaku Ketua Program Studi Magister
Ilmu Kehutanan, pembimbing akademik dan pembimbing utama atas segala
keikhlasan dan kesabarannya dalam membimbing dan memotivasi penulis.
4. Dr. Ir. Slamet Budi Yuwono, M.S. selaku penguji pada ujian tesis atas
semua saran dan masukannya.
5. Rommy Qurniati, SP., M.Si. yang telah membantu proses penyusunan
jurnal sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi.
6. Pimpinan, staf dan para bakti rimbawan di KPH VIII Batutegi atas bantuan
data dan tenaganya selama penelitian berlangsung.
7. Ketua Gapoktan, para pengurus dan petani di Gapoktan Wana Arba
Lestari dan KPPM atas kesediaannya menjadi narasumber yang sangat
berguna bagi penulisan tesis ini.
Permohonan maaf penulis sampaikan kepada semua pihak, dengan keterbatasan
pengalaman, ilmu maupun pustaka yang ditinjau, penulis menyadari bahwa tesis
ini masih banyak kekurangan dan membutuhkan pengembangan lanjut agar benar
benar bermanfaat. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
untuk penyempurnaan serta sebagai masukan bagi penulis untuk penelitian dan
penulisan karya ilmiah di masa yang akan datang.
Akhir kata, penulis berharap tesis ini memberikan manfaat bagi kita semua
terutama untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun sebagai bahan bagi
pemerintah dalam evaluasi program dan pembinaan masyarakat.
Bandar Lampung, Januari 2018
Penulis
Y. Ruchyansyah
DAFTAR ISI
HalamanDAFTAR TABEL ................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ vii
I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1B. Tujuan Penelitian .......................................................................... 6C. Kerangka Pemikiran....................................................................... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 10
A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ................................................ 10B. Definisi Hutan dan Fungsi Hutan .................................................. 11C. Hutan Lindung .............................................................................. 13D. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).............................................. 14E. Hutan Kemasyarakatan .................................................................. 17
1. Aneka Usaha Kehutanan ....................................................... 212. Agroforestri .................... ..................................................... 23
F. Kesuburan Tanah ........................................................................... 30G. Penghasilan Petani ........................................................................ 34H. Kebutuhan Fisik Minimum............................................................ 35
III. METODE PENELITIAN .................................................................. 40
A. Waktu dan Tempat........................................................................ 40B. Bahan dan Alat ............................................................................. 41
1. Alat Penelitian ......................................................................... 412. Bahan ....................................................................................... 41
C. Metode .......................................................................................... 421. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 422. Pengolahan dan Analisis Data ................................................. 47
a. Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) dan Kebutuhan Hidup Layak(KHL)................................................................................ 47
b. Pengaruh antar variabel .................................................... 483. Pelaksanaan ..............................................................................
HalamanIV. HASIL PEMBAHASAN .................................................................... 51
A. Hasil ............................................................................................... 511. Pola Budidaya .......................................................................... 512. Kesuburan Tanah...................................................................... 573. Pendapatan Petani .................................................................... 58
B. Pembahasan ..................................................................................... 621. Pola Budidaya .......................................................................... 622. Kesuburan Tanah...................................................................... 703. Pendapatan Petani .................................................................... 75
V. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 82
A. Kesimpulan ............................................................................... 82B. Saran ........................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 84
LAMPIRAN............................................................................................... 92
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Jumlah Responden Tiap Kondisi Legalitas Pemanfaatan ................. 44
2. Jumlah tanaman pada lokasi sampel yang mewakili kelompok yangtelah berijin dan belum berijin ................................................... ....... 53
3. Jumlah petani responden berdasarkan suku dan pola budidayanya 55
4 . Jumlah petani responden berdasarkan lama menggarap .................... 56
5. Tabel sifat kimia tanah dari lokasi sampel ....................................... 57
6. Kriteria penilaian sifat kimia tanah menurut Lembaga PusatPenelitian Tanah (LPPT) Bogor ....................................................... 57
7. Biaya produksi petani responden pada pola budidaya agroforestridan monokultur ................................................................................. 59
8. Penerimaan petani responden pada pola budidaya agroforestri danmonokultur ....................................................................................... 60
9. Jumlah pendapatan petani berdasarkan pola budidaya pada arealyang telah diberi ijin dan belum berijin ........................................... 61
10. Jumlah petani responden berdasarkan kemampuan pemenuhanKFM, KHL dan pencapaian UMK ................................................... 62
11. Hasil analisa regresi linier untuk mengetahui pengaruh polabudidaya, legalitas penggarapan, lama menggarap, luas lahangarapan, pendidikan dan keragaman tanaman terhadap pendapatanpetani. ............................................................................................... 76
12. Hasil Tes Multivariat untuk mengetahui signifikansi pengaruh polabudidaya terhadap kesuburan tanah dan pendapatan petani ............. 77
13. Hasil analisa regresi linier untuk mengetahui pengaruh pola budi-daya, legalitas penggarapan, lama menggarap, luas lahan garapan,pendidikan dan keragaman tanaman terhadap pendapatan petani 92
14. Hasil Tes Multivariat untuk mengetahui signifikansi pengaruh polabudidaya terhadap kesuburan tanah dan pendapatan petani ............. 92
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman1. Bagan Alur Kerangka Pemikiran ...................................................... 9
2.Peta Lokasi Penelitian ....................................................................,,, 40
3. Skema Pengambilan Titik Sampel .................................................... 47
4 Bagan Tahapan Penelitian ................................................................ 49
5 Pola Budidaya Monokultur dan Agroforestri ................................... 52
6 Jumlah petani dengan pola budidaya monokultur dan agroforestri digapoktan yang telah berijin dan belum berijin ................................
53
7 Jumlah tanaman dalam areal garapan petani yang belum memilikiijin ....................................................................................................
54
8. Jumlah tanaman dalam areal garapan petani yang telah memiliki ijin 54
9 Pohon yang diteras diantara tegakan kopi ......................................... 64
10 C/N ratio pada sampel tanah ............................................................ 77
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Provinsi Lampung memiliki hutan seluas 1.004.735 ha yang terdiri dari
hutan konservasi seluas 462.030 ha, hutan produksi terbatas seluas 33.358
ha, hutan produksi seluas 191.732 ha dan hutan lindung seluas 317.615.
Sebagian kawasan hutan telah mengalami degradasi akibat berbagai
gangguan hutan baik yang bersifat alamiah maupun akibat perbuatan
manusia. Hutan lindung yang merupakan bagian yang cukup besar dari
total hutan Lampung (31,61 %) telah mengalami kerusakan sebanyak
63,66 % ha (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2013).
Definisi hutan lindung dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999
adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan
sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan
tanah. Fungsi pokok ini tentu tidak dapat tercapai secara optimal bila
hutan lindung tetap dengan tingkat kerusakan yang cukup tinggi.
Secara nasional terjadi laju perusakan hutan yang masif, pada periode 1997-
1998 diperoleh data yang menunjukkan angka 3 juta ha setahun, hal diikuti
dengan gerakan okupasi dan aktivitas ilegal di dalam kawasan hutan.
Mimpi tentang kawasan hutan yang dipertahankan sebagai hutan masih
2belum bisa diwujudkan, meskipun mandat pengukuhan kawasan hutan dan
pembentukan wilayah pengelolaan hutan (KPH) secara eksplisit disebutkan
pada beberapa pasal dalam Undang Undang Nomor 41 Tahun 1991 tentang
Kehutanan (Kartodiharjo dkk, 2011) .
Kondisi yang mengkhawatirkan itu, kemudian mendorong pemerintah untuk
menerbitkan beberapa regulasi tentang pembentukan KPH di daerah. Di
Provinsi Lampung, wilayah KPH ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor 68/Menhut-II/2010 yang selanjutnya ditindaklanjuti
dengan pembentukan organisasi UPTD KPH melalui Peraturan Gubernur
Nomor 27 Tahun 2010 dan telah diubah dengan Peraturan Gubernur Nomor
3 Tahun 2017, yang membagi seluruh kawasan hutan di Provinsi Lampung
menjadi 14 unit Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), yang terdiri dari 6
(enam) unit KPH Produksi (KPHP) dan 8 (delapan) unit KPH Lindung
(KPHL). Tujuan pengelolaan kawasan hutan tersebut agar dapat memberi
manfaat sebesar-besarnya secara sosial, ekonomi dan ekologi, termasuk
pengendalian hasil air pada masing-masing Daerah Aliran Sungai (DAS).
Wilayah DAS di Provinsi Lampung terbagi menjadi 8 wilayah, salah
satunya ditetapkan sebagai DAS super prioritas, yaitu DAS Sekampung
Hulu. Hasil deliniasi peta wilayah DAS dengan peta kawasan hutan,
diketahui bahwa yang KPH yang mengelola sebagian besar DAS
Sekampung Hulu adalah KPH VIII Batutegi dengan luas total pengelolaan
58.174 ha .
Kondisi tutupan lahan pada wilayah kelola KPH VIII Batutegi telah
mengalami perubahan fungsi dari hutan lindung menjadi perladangan
3dengan tanaman kopi sebagai jenis tanaman yang mendominasi penutupan
lahannya sebanyak 74,33 % (KPH VIII Batutegi, 2013).
Tingkat kekritisan DAS sangat berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi
masyarakat petani. Kesadaran dan kemampuan ekonomi masyarakat petani
yang rendah akan mendahulukan kebutuhan primer dan sekunder (sandang,
pangan, dan papan) bukan kepedulian terhadap lingkungan sehingga sering
terjadi perambahan hutan di daerah hulu DAS, penebangan liar dan praktik-
praktik pertanian lahan kering di perbukitan yang akan meningkatkan
kekritisan DAS (Kartodiharjo dkk, 2000). Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan nomor P.83/MENLHK/SETJEN/ KUMl/10/2016,
mencanangkan program Perhutanan Sosial yang bertujuan untuk
mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan pengelolaan
kawasan hutan, menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi
masyarakat dalam rangka kesejahteraan masyarakat dan pelestarian fungsi
hutan. Perhutanan Sosial memberikan akses legal kepada masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraannya sekaligus melestarikan sumber daya hutan.
Pemberian akses legal melalui Perhutanan Sosial diimplementasikan antara
lain dalam bentuk pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hutan
Kemasyarakatan (IUPHKm).
Mengingat hutan di areal kelola KPH VIII Batutegi telah menjadi tempat
berusaha masyarakat, maka di wilayah ini pemerintah telah banyak
menerbitkan legalisasi pemanfaatan kawasan hutan berupa IUPHKm.
Pemberian akses pemanfaatan hutan pada masyarakat diharapkan selain
dapat meningkatkan kesejahteraannya juga membantu pengembalian fungsi
4kawasan hutan melalui pola budidaya agroforestri, sehingga seyogyanya
semakin lama usia IUPHKm maka fungsi hutan dapat kembali melalui
upaya penanaman tajuk tinggi yang bermanfaat ekonomi oleh petani
penggarap.
Kesatuan Pengelolaan Hutan VIII Batutegi memiliki blok pemanfaatan
seluas 47.902 ha, yang didalamnya terdapat 16 IUPHKm dan 9 kelompok
kemitraan. Luas blok pemanfaatan yang telah dikeluarkan legalitas
pemanfaatannya adalah 34.393 ha, sedangkan 6.694 ha lainnya merupakan
lahan garapan petani di tiga gapoktan yang sedang dalam tahap fasilitasi
perijinan. Hasil pengurangan dari angka tersebut adalah 11,71 % yang
masih belum berijin (UPTD KPH VIII Batutegi, 2017).
Data di lapangan menunjukkan bahwa budidaya kopi secara monokultur
masih banyak dilakukan oleh petani dibandingkan dengan yang menerapkan
agroforestri. Hal ini terlihat dari penafsiran citra landsat tahun 2010 yang
menunjukkan bahwa lebih dari 75 % wilayah kelola KPH VIII Batutegi
diidentifikasi sebagai pertanian campur semak, yang mengindikasi budidaya
dengan jenis tanaman bertajuk rendah. Hasil ground check menemukan
fakta bahwa tanaman bertajuk rendah yang banyak tumbuh di lapangan
adalah tanaman kopi (UPTD KPH VIII Batutegi, 2013).
Secara ekonomis, budidaya monokultur ini telah dirasakan kekurangannya
oleh petani, yaitu terbatasnya hasil panen yang hanya satu kali dalam satu
tahun. Terbukanya tanah menyebabkan kesuburannya terus berkurang,
sehingga dibutuhkan tambahan pupuk agar produksi kopi mereka tidak
menurun (UPTD KPH VIII Batutegi, 2013). Hal tersebut sesuai dengan
5pernyataan yang disampaikan oleh Hanich dkk (2011) bahwa tingkat
pertukaran kation tanah pada lahan dengan tanaman kopi lebih rendah
dibandingkan padang rumput dan hutan. Riniarti dan Setiawan (2014) juga
menyatakan bahwa perubahan tutupan lahan akan menyebabkan perubahan
ketersediaaan unsur hara dan sifat-sifat tanah lainnya.
Kesadaran petani atas kerugian melakukan budidaya monokultur dan
akibat buruknya bagi lingkungan dalam jangka panjang, harus dibangkitkan
dengan dukungan data numerik dan pembuktian di lapangan. Untuk itu
diperlukan suatu penelitian yang dapat memberikan informasi secara ilmiah,
sehingga dapat diketahui pengaruh pola budidaya terhadap pendapatan
petani dan tingkat kesuburan tanah yang terjadi. Data yang dihasilkan
diharapkan akan menjadi masukan bagi arah pola budidaya yang tepat untuk
mengembalikan fungsi kawasan yang dapat meningkatkan pendapatan
petani. Berkaitan dengan uraian tersebut maka dapat dirumuskan 3 (tiga)
permasalahan yang memerlukan kajian, yaitu :
1. Bagaimanakah pola budidaya dalam hutan di KPH VIII Batutegi ?
2. Adakah hubungan antara pemberian legalitas pemanfaatan hutan dengan
pola budidayanya di KPH VIII Batutegi ?
3. Adakah hubungan antara pola budidaya dengan kesuburan tanah di
wilayah itu ?
4. Adakah hubungan antara pola budidaya petani dalam wilayah kelola
KPH VIII Batutegi dengan pendapatannya dan mampukah memenuhi
standar kebutuhan fisik minimum?
6B. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Mendapatkan informasi tentang pola budidaya hutan KPH VIII Batutegi.
2. Mengkaji hubungan antara pemberian legalitas pemanfaatan hutan
dengan pola budidaya petani di KPH VIII Batutegi.
3. Mengkaji hubungan antara pola budidaya hutan dengan kesuburan
tanah.
4. Mengkaji hubungan antara pola budidaya hutan dengan pendapatan
petani.
5. Merekomendasikan pola budidaya hutan yang sesuai untuk mencegah
penurunan tingkat kesuburan tanah dan dapat meningkatkan pendapatan
petani.
C. Kerangka Pemikiran
Kerusakan hutan diawali dengan eksploitasi besar-besaran oleh perusahaan
pemegang hak pengusahaan hutan yang kemudian dilanjutkan dengan
maraknya perambahan ketika perusahaan-perusahaan itu mulai menghilang
dari lapangan karena potensi kayu yang mulai habis. Pertambahan penduduk
yang terus meningkat menuntut tercukupinya kebutuhan pangan, kebutuhan
kayu bakar, kebutuhan kayu pertukangan, dan tempat pemukiman. Dilain
pihak lahan pertanian sebagai penghasil pangan luasannya terbatas, sehingga
alternatif utama untuk pemenuhan kebutuhan pangan adalah mengkonversi
lahan hutan menjadi lahan pertanian . Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh
7masyarakat meningkatkan tekanan terhadap hutan disekitarnya dan akhirnya
meningkatkan ketergantungkan hidupnya pada hutan untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Tanpa pengelolaan yang tepat, hal seperti ini merupakan
ancaman bagi keberadaan dan kelestarian hutan, serta dapat menurunkan
fungsi dari peruntukan hutan ini.
Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 50 ayat 3
(tiga) poin a dan b jelas menyebutkan bahwa setiap orang dilarang
mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan
secara tidak sah serta merambah kawasan hutan, bila hal ini dilanggara maka
akan dikenai sanksi yang cukup berat yaitu diancam dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,-
(lima milyar rupiah).
Melihat kenyataan bahwa rakyat memiliki ketergantungan yang tinggi
terhadap kawasan hutan, maka Pemerintah menyediakan akses bagi mereka
yang telah terlanjur menggarap kawasan hutan melalui pemberian ijin
pemanfaatan (IUPHKm, IUPHTR, IUPHD). Dengan ijin tersebut maka
masyarakat dilibatkan secara dalam pengelolaan hutan sehingga dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tetap menjaga kelestarian fungsi
hutan, sehingga dapat tercapai hutan lestari dan masyarakat sejahtera.
Saat ini di KPHL VIII Batutegi telah terbentuk 24 gabungan kelompok tani
yang beranggotakan + 20.000 petani yang telah menggarap sejak lama.
Sebanyak sepuluh gapoktan telah mendapatkan IUPHKm sejak tahun 2009.
Hasil penafsiran citra tahun 2010 dan hasil peninjauan lapangan petugas
KPH Batutegi, masih banyak lahan yang terbuka dan hanya memiliki satu
8jenis tanaman saja (monokultur kopi) serta terbukanya lahan akibat intensitas
pembersihan gulma yang dilakukan secara periodik baik secara manual
maupun secara kimia menggunakan herbisida. Petani seharusnya juga
menanam tanaman serba guna (multi purpose trees species) dan tidak
membersihkan gulma secara berlebihan bahkan menggantinya dengan
tanaman penutup tanah yang bermanfaat agar lahan yang semula terbuka bisa
tertutup kembali.
Adanya harapan dan fakta di lapangan tersebut memunculkan pertanyaan
seberapa jauh petani memenuhi aturan yang ditetapkan agar mereka
melakukan budidaya agroforestri dalam setiap lahan garapannya. Apakah
pemberian ijin telah mendorong mereka untuk melakukannya atau masih
tetap dengan cara budidaya sebelumnya yang cenderung monokultur.
Keengganan petani untuk melakukan budidaya agroforestri secara benar
terutama disebabkan belum adanya bukti kongkrit tentang keuntungan yang
bisa mereka hasilnya jika memiliki berbagai jenis tanaman. Petani
memerlukan contoh keberhasilan nyata sehingga mereka tertarik untuk
menirunya, dilain pihak petugas di KPH Batutegi pun belum memiliki data
akurat seberapa besar perbedaan nilai ekonomi yang dihasilkan dari
budidaya agroforestri dengan budidaya monokultur kopi baik bagi
lingkungan maupun bagi peningkatan pendapatan petani.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebuah referensi bagi petugas di
lapangan maupun pemerintah daerah secara umum dalam mengambil atau
merekomendasi suatu teknik budidaya yang paling sesuai secara ekonomi
dan lingkungan.
9
Gambar 1. Bagan Alur Kerangka Pemikiran.
Hutan Lindung di KPH Batutegi
Penggarapan oleh masyarakatanggota HKm
Strategi pola tanam yang memberimanfaat ekonomi dan kesuburan tanah
Pendapatan &kesuburan
Monokulturkopi
Agroforestri
Berijin Belum berijin
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Sebagai pengelola hutan lindung, KPH VIII Batutegi menguasai 58.174 ha
yang 76 % diantaranya telah berupa lahan garapan petani. Sebanyak 62 %
atau seluas 35.990,39 ha telah dibebani IUPHKm yang diberikan kepada 19
gapoktan dengan tanaman pokok yang diusahakan petani di wilayah ini
adalah kopi robusta. Jumlah kepala keluarga (KK) yang terlibat dalam
aktivitas ini berjumlah lebih dari 9.000 KK dari berbagai suku (UPTD KPH
VIII Batutegi, 2017).
Menurut Sylviani dan Suryandari (2013) dalam KPH ini juga terdapat
tanaman masyarakat seperti kopi dan coklat, karena mayoritas mata
pencaharian masyarakat adalah petani. Masyarakat memiliki ketergantungan
yang tinggi terhadap hutan, sehingga pemberdayaan masyarakat dalam
perencanaan pengelolaan KPH sangatlah dibutuhkan. Di sisi lain Rohana
dkk (2016) menyatakan bahwa masyarakat masih ada yang memiliki
persepsi yang tidak setuju terhadap keberadaan KPH Batutegi, sehingga
masih diperlukan penyuluhan dan pendampingan oleh pihak KPH agar
masyarakat bersedia dilibatkan dalam perencanaan pengelolaan KPH.
11Hasil penafsiran citra landsat tahun 2010 diketahui bahwa 54 % dari total
luas areal kelola KPH VIII Batutegi berupa pertanian lahan kering campur
semak dan 20 % berupa semak belukar, keduanya diindikasi merupakan
kebun kopi monokultur yang berusia antara satu tahun hingga diatas 10
tahun (UPTD KPH VIII Batutegi, 2013).
Wilayah kawasan KPH VIII Batutegi merupakan daerah tangkapan air hulu
Way Sekampung, yang berada pada ketinggian antara 200 – 1.750 m dari
permukaan laut (dpl). Jenis tanah di dalam wilayah ini, pada bagian barat
secara umum didominasi oleh jenis tanah Alluvial, sedangkan pada bagian
timur didominasi oleh jenis tanah Latosol dan dibeberapa bagian kecil
didaerah ketinggian didominasi oleh jenis tanah Regosol, sedangkan tipe
geologinya pada bagian timur didominasi oleh Volcanic, dibagian tengah
oleh Granitoid dan disebelah barat oleh Clastic sediment (UPTD KPH VIII
Batutegi, 2013).
Hasil penelitian Riniarti dan Setiawan (2014) di wiliyah ini menunjukkan
bahwa pembukaan lahan hutan untuk dialihfungsikan menjadi kebun kopi
campuran, telah menimbulkan pemadatan tanah yang diduga merupakan
penyebab berkurangnya ketebalan solum tanah hingga 10 cm. Berdasarkan
analisis partikel liat, terlihat bahwa terjadi pencucian partikel liat dari
lapisan atas ke lapisan dibawahnya pada lahan kebun kopi campuran. Hal ini
menunjukkan tingginya erosi yang terjadi di wilayah tersebut. Hilangnya
biomassa hutan juga menyebabkan pori mikro yang terbentuk oleh akar
pohon hilang, dan meningkatkan jumlah air yang tak terserap. Pembukaan
hutan juga dengan sendirinya menyebabkan tanah tidak terlindungi dari
12hujan. Air yang tidak dapat diserap oleh tanah, menyebabkan erosi dan run
off, sehingga terjadi pengikisan dan pencucian tanah
Julijanti dkk (2014) menyatakan bahwa wilayah KPHL Batutegi yang rusak
parah dan tidak berhutan sebesar 95%. Masyarakat sudah eksis di wilayah
tersebut sehingga untuk mengusir (merelokasi) mereka sangat sulit. Hal
yang dapat dilakukan adalah mengarahkan mereka untuk masuk program
HKm.
B. Definisi Hutan dan Fungsi Hutan
Pengertian hutan dapat ditinjau dari faktor-faktor berupa wujud biofisik la-
han dan tumbuhan, fungsi ekologi, kepentingan kegiatan operasional penge-
lolaan atau kegiatan tertentu lainnya, dan status hukum lahan hutan. Hutan
menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah
suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya
yang satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan.
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan membagi
hutan berdasarkan fungsi pokoknya menjadi 3, yaitu :
a. hutan konservasi, adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya;
b. hutan lindung, dan adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata
13air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan
memelihara kesuburan tanah;
c. hutan produksi. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai
fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
Sumargo dkk (2011) menyatakan bahwa luas tutupan hutan di Indonesia
pada tahun 2000 adalah 103,33 juta ha. Luas tutupan ini pada tahun 2009
berkurang menjadi 88,17 juta ha atau mengalami deforestasi seluas 15,15
juta ha. Dengan demikian laju deforestasi pada kurun waktu ini adalah
sebesar 1,51 juta ha per tahun. Jika diproyeksikan pada tahun 2030, maka
hutan Indonesia hanya tersisa 48,61 juta ha dengan mengabaikan adanya
fungsi kawasan. Jika hutan lindung dan konservasi dikeluarkan dari
ancaman deforestasi maka 42,38 juta hektar.
Mengeluarkan hutan lindung dari perhitungan deforestasi ternyata bukan hal
yang tepat, karena menurut Ginoga dkk (2005) penurunan luas dan
kerusakan hutan lindung sejak 1997 sampai 2002 adalah dua kali lebih besar
dari kerusakan hutan produksi. Penebangan liar dan konversi lahan
merupakan penyebab utama kerusakan tersebut. Kerusakan hutan lindung
di Provinsi Lampung sampai tahun 2017 mempelihatkan angka yang cukup
tinggi, yaitu sebesar 60,50 % atau lebih rendah 15,92 % dari kerusakan di
hutan produksi (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2018).
C. Hutan Lindung
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 mendefinisikan hutan lindung
sebagai kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok untuk perlindungan
14sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan
tanah.
Pengelolaan hutan lindung sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2007 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor
3 Tahun 2008 meliputi kegiatan : tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan lindung, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan
lindung, rehabilitasi dan reklamasi hutan lindung, perlindungan hutan dan
konservasi alam di hutan lindung. Pentingnya dilakukan pengelolaan kawasan
lindung karena upaya pengelolaan ini bertujuan untuk :
1. Meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan, satwa
serta nilai sejarah dan budaya bangsa.
2. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem dan
keunikan alam.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2004,
ada beberapa kriteria sebagai syarat penetapan kawasan sebagai kawasan
lindung, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah, dan
intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang
mempunyai jumlah nilai (score) 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih.
2. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% (empat puluh
perseratus) atau lebih.
3. Kawasan hutan yang berada pada ketinggian 2.000 (dua ribu) meter atau
lebih di atas permukaan laut.
154. Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan
lereng lapangan lebih dari 15% (lima belas perseratus).
5. Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air.
6. Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai.
Menurut FAO (2010) hutan memiliki berbagai fungsi lindung, beberapa
bersifat lokal dan lainnya bersifat global, termasuk didalamnya perlindungan
terhadap tanah dari erosi angin maupun air, perlindungan terhadap pesisir,
longsoran salju dan sebagai filter bagi polusi udara.
D. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
Dalam memastikan agar kawasan hutan dapat dikelola secara lestari
berdasarkan fungsinya, maka dalam pasal 12 Undang-Undang Nomor 41
tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa pembentukan wilayah
pengelolaan hutan merupakan bagian dari perencanaan hutan. Pemerintah
sejak tahun 2010 mulai mendorong Pemerintah Daerah untuk membentuk
unit-unit organisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di masing-masing
wilayahnya (Kartodiharjo dkk, 2011).
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor :
P.6/Menhut-II/2010 tentang NSPK pengelolaan hutan pada Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan
ProduksI (KPHP) pasal 3, Organisasi KPHL dan KPHP mempunyai tugas
dan fungsi:
1. Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi:
a. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;
16b. pemanfaatan hutan;
c. penggunaan kawasan hutan;
d. rehabilitasi hutan dan reklamasi; dan
e. perlindungan hutan dan konservasi alam.
2. Menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota
bidang kehutanan untuk diimplementasikan;
3. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta
pengendalian;
4. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan
pengelolaan hutan di wilayahnya;
5. Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan
pengelolaan hutan.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 68/Menhut-II/2010 telah
membagi hutan lindung dan hutan produksi di Provinsi Lampung menjadi
16 KPH yang terdiri dari 9 Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL)
seluas 277.690 ha dan 7 Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP)
seluas 241.223 ha. Surat Keputusan tersebut ditindaklanjuti oleh
Pemerintah Provinsi Lampung dengan membentuk tiga UPTD KPH melalui
Peraturan Gubernur Nomor 27 Tahun 2010. Pembagian unit didasarkan
pada fungsi hutan di masing-masing wilayah, yaitu KPH Muara Dua dan
KPH Gedong Wani sebagai pengelola hutan produksi serta KPH Batutegi
yang mengelola hutan lindung di Daerah Aliran Sungai (DAS) Sekampung
Hulu (UPTD KPH VIII Batutegi, 2013).
17Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
mengamanatkan bahwa kewenangan kehutanan berada di Provinsi, sehingga
Pemerintah Provinsi Lampung melakukan perombakan organisasi melalui
Peraturan Daerah No 8 Tahun 2016 tentang Permbentukan dan Susunan
Perangkat Daerah yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Gubernur Nomor 3
Tahun 2017 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana
Teknis Dinas pada Dinas Daerah Provinsi Lampung. Dalam peraturan
tersebut beberapa KPH digabung menjadi satu sehingga jumlah total KPH
di Provinsi Lampung ada 15 unit. (Dinas Kehutanan Prov Lampung, 2018)
Kartodihardjo dkk (2011) menyatakan bahwa organisasi KPH diharapkan
mampu sebagai penyelenggara kegiatan pengelolaan hutan untuk mencapai
pengelolaan hutan yang efisien dan lestari. Hernowo dkk (2014)
menyatakan bahwa pembangunan KPH merupakan upaya untuk
memperbaiki tata kelola hutan di Indonesia. Tugas KPH adalah sebagai
operator dari pengelolaan hutan yang mengemban fungsi teknis (menyusun
rencana pengelolaan hutan ), fungsi manajerial (perencanaan sampai
monitoring serta menjabarkan kebijakan kehutanan) dan fungi bisnis
(mendorong investasi di wilayahnya). Hal tersebut diperkuat dengan
pernyataan FORCLIME (2014) bahwa secara fungsional, KPH diharapkan
mampu memperjelas tiga peran tata kelola kehutanan yaitu : a. Administrasi
hutan yang dilaksanakan oleh Pemerintah/Pemda sebagai “regulator”
sumberdaya hutan. Fungsi-fungsi pemerintahan misalnya memberikan izin
dan melaksanakan kebijakan publik seperti menentukan status kawasan dan
fungsi hutan, dilaksanakan dalam lingkup administrasi hutan ini.
18b. Manajemen hutan yang dilaksanakan oleh KPH dan berperan sebagai
pengatur tata hutan, pemanfaatan, rehabilitasi dan pengawasan di lapangan.
c. Perencanaan hutan, yang dilakukan pada tingkat yang lebih tinggi,
misalnya dalam lingkup kabupaten, propinsi, regional/pulau atau nasional.
Lebih lanjut Nugroho (2015) menyatakan bahwa kehadiran KPH juga
diperlukan untuk mengefektifkan pengelolaan sumberdaya milik bersama
(commonpool resources) berupa hutan yang dikuasai oleh Negara
(state/public forest).
Penelitian Ruhimat (2010) di Kabupaten Bankar menemukan fakta bahwa
implementasi kebijakan KPH telah efektif dilihat dari sudut pandang
ketepatan kebijakan dalam menyelesaikan permasalahan kehutanan, sedang
kan penelitian di KPH Yogya yang dilakukan oleh Isdhiartanto (2014)
diketahui bahwa pengelolaan hutan dapat dikatakan berhasil. Faktor yang
mempengaruhi pencapaian pengelolaan hutan tersebut meliputi: partisipasi
masyarakat, komunikasi, sumberdaya, disposisi, struktur birokrasi,
kepemimpinan lokal, kebijakan daerah dan sejarah pengelolaan hutan.
E. Hutan Kemasyarakatan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.83/MENLHK/SETJEN/
KUM.1/10//2016 Tentang Perhutanan Sosial Pasal 1 ayat 8 dijelaskan
bahwa perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang
dilaksanakan di dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat.
Pemanfaatan hutan adalah kegiatan memanfaatkan kawasan hutan dalam
bentuk hasil hutan kayu atau bukan kayu melalui pembibitan, penanaman,
19pemeliharaan, pemanenan, pengolahan dan pemasaran berdasarkan asas
kelestarian hutan, sosial dan lingkungan. Pasal 2 ayat 2 Permenhut tersebut
juga menyebutkan bahwa tujuan pembuatan peraturan perhutanan sosial
diantaranya adalah dalam rangka pelestarian fungsi hutan.
Berdasarkan tujuan pembangunan nasional, Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan tahun 2015-2019 mengusung tugas untuk : (1) menjaga
kualitas lingkungan hidup yang memberikan daya dukung, pengendalian
pencemaran, pengelolaan DAS, keanekaragaman hayati serta pengendalian
perubahan iklim; (2) menjaga luasan dan fungsi hutan untuk menopang
kehidupan, menyediakan hutan untuk kegiatan sosial, ekonomi rakyat, dan
menjaga jumlah dan jenis flora dan fauna serta endangered species; (3)
memelihara kualitas lingkungan hidup, menjaga hutan, dan merawat
keseimbangan ekosistem dan keberadaan sumberdaya (Renstra Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015).
Selain itu salah satu program prioritas Pemerintahan Republik Indonesia
saat ini adalah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan
sektor-sektor strategis ekonomi domestik menjadi salah satu agenda
prioritas. Terkait dengan hal tersebut, maka dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2015-2019 pemerintah
berkomitmen untuk mengalokasikan sedikitnya 12,7 juta hektar kawasan
hutan untuk pengembangan berbagai skema Perhutanan Sosial. Strategi ini
perlu dipikirkan secara matang agar: i) manfaat program dinikmati secara
nyata oleh rakyat yang bermukim di dalam dan sekitar hutan; ii) pemberian
akses kepada masyarakat perlu dipastikan agar tidak berkontribusi pada
20bertambah rusaknya fungsi ekologis dari hutan dan lingkungan sekitarnya;
iii) ada jaminan bahwa distribusi akses dan kontrol atas lahan
mengedepankan prinsip keadilan distribusi dari manfaat lahan dan hutan
secara lebih merata dan adil diantara warga masyarakat yang hidup di dalam
dan sekitar hutan termasuk perempuan dan kelompok miskin serta rentan
yang kehidupannya tergantung dari lahan dan sumber-sumber hutan, dan iv)
berkontribusi secara nyata pada perbaikan dari tata kelola hutan yang
menjamin berlangsungnya prinsip keberlanjutan (sustainability) dalam
konteks sosial, ekonomi, dan ekologis tidak hanya untuk hari ini tetapi juga
untuk generasi dimasa depan (Sutedja, 2015). Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa pemberian akses pemanfaatan hutan kepada masyarakat
selain bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga dapat
menjamin kelestarian fungsi hutan, sehingga kerusakan hutan dapat ditekan
atau bahkan kondisi hutan dapat dipulihkan.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.83/MENLHK/SETJEN/ KUM.1/10//2016 menyatakan bahwa salah satu
bentuk perhutanan sosial adalah melalui Hutan Kemasyarakatan (HKm)
yang diimplementasikan dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hutan
Kemasyarakatan (IUPHKm). Izin tersebut didefinisikan sebagai izin
usaha yang diberikan kepada kelompok atau gabungan kelompok
masyarakat setempat untuk memanfaatkan hutan pada kawasan hutan
lindung dan kawasan hutan produksi.
Pengusahaan hutan kemasyarakatan bertumpu kepada pengetahuan,
kemampuan, dan kebutuhan masyarakat itu sendiri, oleh karena itu
21prosesnya berjalan melalui perencanaan dari elemen masyarakat bawah
menuju pemerintah (bottom-up), dengan bantuan fasilitasi dari pemerintah
secara efektif, terus-menerus, dan berkelanjutan merupakan kunci
keberhasilan dari upaya ini (Yustina, 2000). Selanjutnya dikatakan bahwa
berdasarkan jenis komoditas, pengusahaan hutan kemasyarakatan memiliki
pola yang berbeda untuk setiap status kawasan hutan dan disesuaikan
dengan fungsi utamanya, antara lain sebagai berikut :
1. Pada kawasan hutan produksi dilaksanakan dengan tujuan untuk
memproduksi hasil hutan, berupa kayu dan nonkayu serta jasa
lingkungan, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
diusahakan.
2. Pada kawasan hutan lindung dilaksanakan dengan tujuan utama tetap
menjaga fungsi perlindungan terhadap air dan tanah (hidrologis),
dengan memberikan manfaat hasil hutan berupa hasil hutan nonkayu
dan jasa rekreasi, baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
diusahakan. Tidak diperkenankan memungut hasil hutan kayu.
Lahan yang diberikan kepada masyarakat untuk dikelola bukanlah
merupakan hak kepemilikan, tetapi hak pengelolaan untuk jangka waktu
tertentu, sebagaimana diatur dalam pasal 53 P.83/MENLHK/SETJEN/
KUM.1/10//2016 tentang Perhutanan Sosial. Hak pengelolaan tersebut
berlaku untuk jangka waktu 35 (tiga puluh lima) tahun, dilakukan evaluasi
setiap 5 (lima) tahun dan tidak dapat diwariskan.
Berdasarkan bentuk kegiatan, hutan kemasyarakatan menurut Wardoyo
(1997) dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
22
1. Aneka Usaha Kehutanan
Aneka usaha kehutanan merupakan suatu bentuk kegiatan hutan
kemasyarakatan, dengan memanfaatkan ruang tumbuh atau bagian
dari tumbuh-tumbuhan hutan. Kegiatan-kegiatan yang termasuk
dalam aneka usaha kehutanan antara lain budidaya rotan,
pemungutan getah-getahan, minyak-minyakan, buah-buahan/biji-
bijian, budidaya lebah madu, jamur dan obat-obatan. Hubungan
antara pemanfaatan hutan, ruang tumbuh dan bagian-bagian
tanaman dengan alternatif kegiatan yang dapat dikembangkan.
Alternatif kegiatan yang dapat dikembangkan sangat tergantung
pada kondisi awal tegakan pokok yang telah ada. Berdasarkan
Keputusan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan
Sosial nomor SK.50/V-UPR/2004, pengembangan aneka usaha
kehutanan yang merupakan bagian dari pembangunan perhutanan
rakyat merupakan usaha dalam bidang kehutanan dengan basis
hutan dan lahan dengan hasil hutan bukan kayu. Pengelolaannya
berorientasi pada peningkatan produktivitas dengan memperhatikan
tiga azas yaitu ekonomi, sosial, dan ekologi.
Menurut Suharti (2015) pola pemanfaatan lahan dengan aneka
usaha kehutanan (AUK) merupakan salah satu alternatif upaya
optimalisasi ruang tumbuh dengan pengembangan berbagai
komoditas hasil hutan bukan kayu yang memiliki potensi nilai
ekonomi tinggi. Pengembangan komoditas AUK dapat dilakukan
23pada berbagai kawasan hutan (produksi, lindung, kawasan
konservasi maupun hutan milik). Pengembangan komoditas AUK
dilaksanakan tidak dengan cara merombak hutan melainkan
mengupayakan optimalisasi ruang tumbuh melalui perbaikan
struktur dan komposisi hutan. Dalam SK DirJen RLPS No. 50,
2004 ada pengaturan tentang pengembangan AUK dilaksanakan
dengan pola agroforestry dengan komoditas HHBK yang memiliki
keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga peluang
pengembangannya sangat besar bagi peningkatan pendapatan asli
daerah (PAD) dan devisa Negara.
Suharti (2015) juga menyatakan bahwa pola pemanfaatan lahan
dengan komoditas AUK sangat berpotensi untuk dikembangkan di
areal yang mayoritas penduduk di sekitarnya sangat tergantung pada
hutan juga di kawasan hutan milik yang lahannya belum
dimanfaatkan secara optimal. Pengembangan komoditas AUK dapat
mengurangi tekanan masyarakat terhadap kawasan hutan yang ada
baik berupa perambahan hutan (land encroachment) maupun illegal
logging, selain itu juga mampu meningkatkan pendapatan
masyarakat secara signifikan dan sekaligus merehabilitasi lahan
yang terdegradasi. Komoditas yang dikembangkan merupakan
andalan setempat yang sesuai dengan kondisi biofisik wilayah,
penguasaan teknologi serta budaya masyarakat setempat.
Wijayanto dkk (2014) juga menyatakan bahwa aneka usaha
kehutanan merupakan kegiatan untuk memberdayakan masyarakat
24sekitar hutan dengan mengolah secara tepat hasil lahan dan hutan
dengan memberi nilai tambah ekonomis. Sedangkan Winarto
(2015) menyatakan bahwa setelah potensi kayu di hutan produksi
semakin menyusut dan tidak ekonomis diusahakan seiring dengan
kerusakan hutan, pemanfaatan jasa lingkungan juga merupakan
potensi yang dapat dikelola dan dikembangkan pada sektor
kehutanan. Pemanfaatan jasa lingkungan merupakan suatu bentuk
usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan baik
tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya.
Kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan dapat berupausaha wisata
alam, usaha olahraga tantangan, usaha pemanfaatan air, usaha
perdagangan karbon (carbon trade) atau usaha penyelamatan hutan
dan lingkungan.
2. Agroforestri
2.1. Definisi agroforestri
Masyarakat tradisional memiliki akumulasi pengetahuan
berdasarkan pengalaman yang diperoleh secara formal
maupun non formal. Pengetahuan itu yang kemudian
dikerjakan sebagai sebuah pilihan dari praktek budidaya yang
memberikan hasil terbaik sesuai dengan tujuan mereka
(Boedhihartono, 2017). Mulyoutami (2004) menyatakan
bahwa petani telah memiliki pengetahuan lokal mengenai
ekologi, pertanian dan kehutanan yang terbentuk secara turun
25temurun dari nenek moyang mereka dan berkembang seiring
dengan berjalannya waktu. Pengetahuan lokal ini berupa
pengalaman bertani dan berkebun serta berinteraksi dengan
lingkungannya. Selanjutnya juga dinyatakan bahwa
pengetahuan lokal petani tentang ekologi ini telah
dipraktekkan oleh petani dalam upaya untuk melindungi
kesuburan tanah dan konservasi air antara lain dengan
menerapkan sistem agroforestri. Sistem ini memanfaatkan
tanaman naungan dengan jenis tanaman terpilih serta dengan
melakukan penyiangan pada lahan kopi.
Hairiah, dkk (2003) mendefinisikan agroforestri merupakan
suatu cabang ilmu pengetahuan di bidang pertanian dan
kehutanan yang mencoba menggabungkan unsur tanaman dan
pepohonan, sedangkan Senoaji (2012) mendefinisikan
agroforestri adalah suatu sistem pengelolaan lahan yang
merupakan kombinasi antara produksi pertanian, termasuk
pohon, buah-buahan dan atau peternakan dengan tanaman
kehutanan. Sistem agroforestri merupakan sistem pengelolaan
sumber daya alam yang dinamis dan berbasis ekologi, dengan
memadukan berbagai jenis pohon pada tingkat lahan pertanian
maupun pada suatu bentang lahan. Pengelolaan lahan dengan
sistem agroforestri bertujuan untuk mempertahankan lahan
dan keanekaragaman produksi lahan sehingga berpotensi
memberikan manfaat sosial ekonomi dan lingkungan bagi
26para pengguna lahan. Sitorus (2008) menyatakan bahwa
agroforestri merupakan suatu bentuk hutan kemasyarakatan
yang memanfaatkan lahan secara optimal dalam suatu
hamparan, yang menggunakan produksi berdaur panjang dan
berdaur pendek, baik secara bersamaan maupun berurutan.
Agroforestri merupakan komoditas tanaman yang kompleks,
yang didominasi oleh pepohonan dan menyediakan hampir
semua hasil dan fasilitas hutan alam.
Menurut University of Missouri Center for Agroforestry
(2015), agroforestri merupakan peluang baru yang
memberikan pertanian yang memperhatikan kelestarian iklim
secara cerdas, penataan lahan, habitat bagi satwa liar,
meningkatkan kualitas udara dan air, diversifikasi pendapatan
dan meningkatkan kesejahteraan petani. Secara singkat
agroforestri merupakan pengelolaan pemanfaatan lahan secara
intensif yang mengkombinasikan pohon dengan pertanian dan
atau ternak. Praktek agroforestri secara spesifik dirancang
untuk menyesuaikan kebutuhan ekologi pada lahan tersebut
dengan tujuan manusia sebagai pengelolanya.
Sundawati dkk (2008) mendefinisikan agroforestri sebagai
sistem penggunaan lahan yang mengkombinasikan
tanaman berkayu (pepohonan, perdu, bambu, rotan)
dengan tanaman tidak berkayu atau dapat pula dengan
rerumputan (pasture), kadang-kadang ada komponen ternak
27atau hewan lainnya (lebah, ikan) sehingga terbentuk
interaksi ekologis dan ekonomis antara tanaman berkayu
dengan komponen lainnya.
Wulandari (2012) menyatakan bahwa agroforestri adalah
salah satu teknologi dalam optimasi pemanfaatan lahan pada
suatu areal. Kombinasi dalam penanamannya, setidaknya 2
(dua) komoditas atau jenis tanaman dapat dilakukan secara
simultan atau bergantian. Masyarakat menggunakan
kombinasi berbagai jenis pohon sebagai naungannya baik
jenis pohon hutan maupun pohon buah-buahan.
2.2. Ciri agroforestri
Ciri dan karakteristik pemanfaatan lahan dengan sistem
agroforestri antara lain:
1. Usaha pemanfaatan lahan yang mengkombinasikan
produksi dari berbagai output dengan perlindungan bagi
sumberdaya dasar,
2. Usaha pemanfaatan lahan sistem agroforestri umumnya
lebih dari satu tahun;
3. Timbulnya interaksi dari beberapa aspek sosial, ekonomi,
ekologi diantara komponen-komponen tanaman pangan
dengan tanaman pepohonan yang berkayu,
4. Usaha pemanfaatan lahan dengan produk lebih dari dua
macam, misalnya tanaman pangan hortikultura meliputi
sayuran, buah-buahan, obat-obatan, pakan ternak ataupun
28kayu sebagai bahan energi dan atau sebagai bahan industri
perkayuan,
5. Mempunyai beberapa fungsi dari aspek lingkungan,
misalnya konservasi lahan terhadap kesuburan dan
erosi/kelongsoran, penahan derasnya angin yang akan
mempengaruhi pertumbuhan tanaman yang lain, sebagai
tempat peristirahatan keluarga untuk melakukan pekerjaan
industri rumah tangga,
6. Usaha pemanfaatan lahan dengan sistem agroforestri yang
sederhana pun secara biologis maupun ekonomis lebih
kompleks daripada usaha pemanfaatan lahan monokultur,
7. Usaha pemanfaatan lahan diupayakan oleh seseorang
maupun kelompok secara terencana maupun tidak terencana
menjadi tolok ukur keberhasilan sistem agroforestri,
8. Usaha pemanfaatan lahan dengan sistem agroforestri
melibatkan lebih banyak nilai-nilai sosial budaya yang
saling mempengaruhi, dibandingkan dengan sistem
pemanfaatan lahan lainnya,
9. Mempunyai strata tajuk yang bervariasi khususnya pada
komunitas vegetasi yang membentuk ekosistem setempat
(Lahjie, 2004).
Sistem agroforestri memiliki karakter yang berbeda dan unik
dibandingkan sistem pertanian monokultur. Adanya beberapa
komponen berbeda yang saling berinteraksi dalam satu sistem
29(pohon, tanaman dan atau ternak) membuat sistem ini
memiliki karakteristik yang unik, dalam hal jenis produk,
waktu untuk memperoleh produk dan orientasi penggunaan
produk. Jenis produk yang dihasilkan sistem agroforestri
sangat beragam, yang bisa dibagi menjadi dua kelompok yaitu
produk untuk komersial (misalnya bahan pangan, buah-
buahan, hijauan makanan ternak, kayu bangunan, kayu bakar,
daun, kulit, getah) dan pelayanan jasa lingkungan (Widianto,
dkk. 2003).
Noordwijk (2004) membedakan pola monokultur dengan
agroforestri dengan adanya penanaman tajuk tinggi.
agroforest umumnya disebut ‘kebun’. Sistem kebun,
pengelolaannya lebih ditekankan pada dua fungsi yaitu fungsi
‘produksi’ dan fungsi ‘lindung’.
Menurut Berliana (2014) pada kawasan hutan lindung, pola
agroforestri diarahkan untuk pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu, sehingga jenis MPTS nya lebih banyak dibandingkan
tanaman kayu-kayuan. Mindawati dkk (2013) menyatakan
bahwa sistem Agroforestri yang ideal dapat memainkan
fungsi hutan untuk mengatasi masalah ekologi dan
agroekonomi utnuk mengatasi masalah keterbatasan lahan
atau nilai ekonomi. Fungsi hutan meliputi pemeliharaan
kesuburan tanah, stok karbon dan biodiversitas, sedangkan
fungsi agroekonomi berhubungan dengan pendapatan petani
30termasuk pangan. Hal senada disampaikan oleh Prasmatiwi
dkk (2011) bahwa sistem agroforestri (wanatani) yaitu dengan
memadukan kegiatan pengelolaan hutan atau pohon kayu-
kayuan dengan penanaman komoditas pertanian. Selain
berfungsi produksi, sistem wanatani juga berfungsi jasa
(service functions) terutama berkaitan dengan pengelolaan
tanah (soil management), pengendalian erosi, serta
pemeliharaan dan perbaikan kualitas tanah. Pohon kayu-
kayuan pada sistem wanatani dapat berfungsi sebagai pohon
pelindung atau naungan bagi pohon kopi.
2.3. Agroforestri kopi
Hairiah dan Rahayu (2010) di sub DAS Kali Konto Malang
Jawa Timur menyatakan bahwa Agroforestri multistrata atau
agroforestri kompleks adalah kebun kopi yang bercirikan
memiliki penutupan tajuk yang rapat dan pengelolaan lahan
yang tidak intensif.
Mulyoutami (2004) menyatakan bahwa sebagian petani
beranggapan bahwa tanaman pelindung/naungan memiliki
fungsi konservasi terhadap tanah dan air, terutama dalam
jangka panjang. Beberapa fungsi konservasi yang diberikan
oleh tanaman pelindung/naungan menurut pendapat petani
adalah sebagai berikut: (1) memberikan naungan. Pada sistem
agroforestri kopi dengan naungan kompleks atau multistrata,
lapisan tajuk yang menyerupai hutan berfungsi memberikan
31naungan terhadap kopi dan melindungi permukaan tanah dari
terpaan air hujan; (2) menjaga suhu, kelembaban udara dan
kelembaban tanah di sekitar kebun. Lapisan tajuk dari pohon
pelindung dan serasah yang jatuh dapat mengurangi
masuknya cahaya matahari ke dalam kebun dan tanah
sehingga suhu, kelembaban udara dan kelembaban tanah di
sekitar kebun tetap terjaga. Akar-akar pohon naungan juga
dapat menyimpan air sehingga dapat menjaga kelembaban
tanah dan ketersediaan air tanah (3) menambah kandungan
hara dalam tanah Jika pemilihan tanaman naungan tepat,
misalnya jenis tanaman yang dapat hidup bersama dengan
kopi, maka tanaman naungan dapat menambah kandungan
hara dalam tanah melalui serasah daun-daunnya; (4)
mengurangi kemungkinan terjadinya erosi dan tanah longsor.
Akar pohon-pohon naungan/pelindung dapat mengikat tanah
sehingga tidak terjadi erosi ataupun tanah longsor; (5)
memberikan penghasilan tambahan. Tanaman pelindung dapat
memberikan nilai ekonomis bagi petani karena dapat
menghasilkan buah, kayu atau jenis lain yang dapat dijual
maupun untuk konsumsi petani itu sendiri.
Prasmatiwi dkk (2011) menemukan fakta bahwa ketika petani
kopi kawasan hutan di Lampung Barat didorong untuk
menambah tanaman naungan, maka 58 % petani tidak
bersedia membayar biaya untuk penambahan tanaman
32naungan. Sebanyak 30 % dari mereka merasa kesulitan
mencari bibit tanaman naungan yang berupa tanaman kayu-
kayuan dan buah-buahan yang berkualitas. Disebutkan pula
bahwa sebagian petani lainnya beranggapan bahwa jumlah
naungan sudah cukup dan sudah sesuai dengan SK Bupati
Lampung Barat No. 11/2004 yaitu mewajibkan anggota
kelompok HKm menanam minimal 400 batang per hektar
pepohonan berjenis kayu dan buah selain tanaman kopi.
F. Kesuburan tanah
Konversi hutan menjadi lahan yang dikelola secara monokultur atau
menjadi lahan pertanian dapat menyebabkan terjadinya perubahan sifat-sifat
fisik tanah antara lain kerusakan struktur tanah sebagai akibat menurunnya
porositas tanah dan daya infiltrasi tanah (Adinugraha, 2013).
Menurut Utomo (2012) sistim pertanian monokultur telah rnempercepat
proses degradasi lahan. Sejalan dengan pernyataan Andres dkk (2016)
bahwa budidaya coklat monokultur hanya mengejar target produksi tinggi
pada jangka pendek tanpa memperhatikan tingginya erosi dan degrasi tanah,
kehilangan keanekaragaman hayati, telah meningkatkan terhadap dampak
perubahan iklim serta munculnya hama dan penyakit tanaman. Dilaporkan
oleh Darwati (2007) bahwa adanya konversi hutan menjadi lahan pertanian
menyebabkan penurunan kondisi biologis tanah.
Monde dkk (2008) yang menyatakan bahwa secara keseluruhan alih guna
lahan hutan menjadi lahan pertanian menunjukkan adanya penurunan kadar
33C organik tanah. Lahan hutan memiliki kandungan bahan organik tinggi
karena adanya suplai bahan organik yang terus-menerus dari vegetasi hutan
sehingga terjadi penumpukan. Penelitiannya menyimpulkan bahwa alih
guna lahan hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan degradasi serapan
karbon tegakan, serasah, karbon organik tanah dan meningkatkan
kehilangan karbon dalam erosi. Selanjutnya Hairiah dkk (2015)
menyampaikan bahwa pohon memberikan pengaruh positif terhadap
kesuburan tanah, antara lain melalui: (a) peningkatan masukan bahan
organik (b) peningkatan ketersediaan N dalam tanah bila pohon yang
ditanam dari keluarga leguminose, (c) mengurangi kehilangan bahan
organik tanah dan hara melalui perannya dalam mengurangi erosi, limpasan
permukaan dan pencucian, (d) memperbaiki sifat fisik tanah seperti
perbaikan struktur tanah, kemampuan menyimpan air (water holding
capacity), (e) dan perbaikan kehidupan biota. Demikian pula dengan
tingginya kadar N dalam areal yang menerapkan Agroforestri merupakan
akibat dari terlindungnya bahan organik ini dengan adanya tanaman tajuk
tinggi dan sistem perakarannya. Hairiah dkk. (2015) dalam penelitiannya
tentang sistem monokultur dan sistem budidaya pagar, menemukan bahwa
pencucian N terbesar terjadi pada sistem monokultur dengan usaha
pemupukan. Sistem budidaya pagar mampu menurunkan pencucian N
sebesar 40% dari jumlah N tercuci pada sistem monokultur, baik dengan
maupun tanpa pemupukan N. Pengaruh seperti inilah yang dinamakan
‘fungsi jaring penyelamat hara’ yaitu perakaran.
34Adinugraha (2013) menyatakan bahwa lima proses utama yang terjadi
timbulnya tanah terdegradasi, yaitu: menurunnya kandungan bahan organik
tanah, perpindahan liat, memburuknya struktur dan pemadatan tanah, erosi
tanah, deplesi dan pencucian unsur hara. Khusus untuk tanah-tanah tropika
basah terdapat tiga proses penting adanya degradasi tanah, yaitu: (a)
degradasi fisik berhubungan dengan memburuknya struktur tanah sehingga
memicu pergerakan, pemadatan, aliran banjir berlebihan dan erosi
dipercepat; (b) degradasi kimia akibat terganggunya siklus unsur hara, dan
(c) degradasi biologi akibat menurunnya kualitas dan kuantitas bahan
organik tanah, aktivitas biotik dan keragaman spesies fauna tanah.
Kesuburan tanah pada lahan terdegradasi dapat diperbaiki jika petani
melakukan pola agroforestri (Rubens dkk, 2011). Lapisan tanaman
pelindung pada pola agroforestri dapat memberikan fungsi konservasi yang
baik dalam mengurangi erosi tanah dan membantu meningkatkan kesuburan
tanah (Mulyoutami dkk, 2004).
Menurut Suyanto (2007) campuran pepohonan pada sistem agroforestri kopi
menghasilkan perakaran yang memiliki kedalaman berbeda yang dapat
meningkatkan perlindungan terhadap permukaan tanah serta menjaga
ketersediaan air tanah. kombinasi kedalaman perakaran tanaman pada
sistem agroforestri kopi dapat menjaga kestabilan top soil pada lereng-
lereng sehingga tidak terjadi erosi. Kopi multistrata menghasilkan
lingkungan yang lebih baik karena dapat melindungi ketersediaan air dan
mencegah erosi daripada kopi monokultur. Selain itu dapat meningkatkan
kesuburan tanah melalui penyediaan nitrogen dalam tanah.
35G. Penghasilan Petani
Kassie (2017) menyatakan bahwa pendapatan rumah tangga petani dalam
budidaya agroforestri tidak hanya berasal dari nilai ekonomi yang dihasilkan
dari lahan agroforestri saja tetapi juga berasal dari pada aktivitas ikutan
lainnya yang bisa jadi tidak berbasis lahan.
Pendapatan atau keuntungan merupakan selisih antara penerimaan dengan
biaya. Penerimaan merupakan hasil perkalian antara jumlah produksi dengan
harga, sedangkan biaya merupakan hasil perkalian antara jumlah faktor
produksi dengan harga faktor produksi tersebut (Soekartawi, 2011).
Hasil penelitian Olivi dkk (2015) menemukan fakta bahwa variabel yang
berpengaruh terhadap pendapatan petaniagroforestri adalah umur, luas kebun,
jumlah tenaga kerja, suku, agama, kemiringan lahan kebun dan bantuan
kredit.
Menurut Gustiyana (2004), pendapatan dapat dibedakan menjadi dua yaitu
pendapatan usahatani dan pendapatan rumah tangga. Pendapatan merupakan
pengurangan dari penerimaan dengan biaya total. Pendapatan rumah tangga
yaitu pen- dapatan yang diperoleh dari kegiatan usahatani ditambah dengan
pendapatan yang berasal dari kegiatan diluar usahatani. Pendapatan usahatani
adalah selisih antara pendapatan kotor (output) dan biaya produksi (input)
yang dihitung dalam per bulan, per tahun, per musim tanam. Pendapatan luar
usahatani adalah pendapatan yang diperoleh sebagai akibat melakukan
kegiatan diluar usahatani seperti berdagang, mengojek, dll.
Khususiyah dkk (2014) menyatakan bawah dengan luas lahan hampir sama,
petani yang menerapkan agroforestri memperoleh pendapatan jauh lebih
36besar dibandingkan dengan petani non agroforestri. Sumbangan pendapatan
dari sistem agroforestri pada petani agroforestri mencapai 45%, sedangkan
pada petani non agroforestri adalah setengahnya, yaitu 22%.
Menurut Guntara (2013) agroforestri yang diterapkan oleh petani hutan rakyat
di Kabupaten Lumajang memberi dampak positif terhadap perekonomian
petani, yaitu memberi keuntungan berupa pendapatan untuk memenuhi
kebutuhan jangka pendek (mingguan, bulanan, tahunan) , adanya peningkatan
nilai per satuan luas serta memberi kontribusi dalam penyediaan tenaga kerja
bagi masyarakat.
Utomo (2012) menyatakan bahwa sistim agroforest di indonesia mampu
memasok 50 - 80 % pemasukan dari pertanian di pedesaan melalui produksi
langsung dan kegiatan lain yang berhubungan dengan pengumpulan,
pemrosesan, dan pemasaran hasilnya. Sebagai penghasil uang tani, agroforest
dapat dikatakan sebagai ‘ bank sejati’ petani, yang dapat menutupi kebutuhan
sehari-hari keluarga petani. Disamping itu, dengan diversifikasi tanaman yang
ada, agroforest mampu menjamin keamanan sehingga petani akan selalu
memperoleh keuntungan.
H. Kebutuhan Fisik Minimum (KFM)
Wardani (2012) mengemukakan bahwa upah merupakan sumber utama
penghasilan seorang pekerja, sehigga upah harus cukup memenuhi
kebutuhan pekerja dan keluarganya dengan wajar. Batas kewajaran tersebut
dalam kebijakan upah minimum di Indonesia dapat dinilai dan diukur
37dengan kebutuhan hidup minimum (KHM) atau seringkali saat ini disebut
dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Pasal 1 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2016 Tentang Kebutuhan Hidup Layak disebutkan bahwa Kebutuhan
Hidup Layak (KHL) adalah standar kebutuhan seorang pekerja buruh
lajang untuk dapat hidup layak secara fisik dalam 1 (satu) bulan,
sedangkan upah minimum adalah upah bulanan terendah berupa upah
tanpa tunjangan atau upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan
oleh gubernur sebagai jaring pengaman. Dalam aturan itu juga disebutkan
bahwa KHL merupakan perkalian antara upah minimum tahun berjalan
dengan tingkat inflasi nasional tahun berjalan.
Kemiskinan penduduk dapat diperhitungan dengan beberapa cara. Sajogyo
dan Sajogyo (1977) menetapkannya dengan melihat kebutuhan nilai
ambang kecukupan pangan (beras) untuk tingkat pengeluaran rumah tangga
di pedesaan berkisar antara 240 kg/orang/tahun untuk di pedesaan dan 320
kg/orang/tahun di perkotaan. Menurut Cahyat (2004), Badan Pusat Statistik
(BPS) menggunakan tingkat konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar.
BPS menggunakan indikator kebutuhan pangan sebesar 2.100 kalori per
orang per hari. Adapun `kebutuhan fisik minimum dan kebutuhan hidup
layak dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan seperti yang
disampaikan oleh Sinukaban (2007) :
1. Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) adalah kebutuhan equivalen beras
satu rumah tangga x 100 % x jumlah anggota keluarga x harga beras
382. Kebutuhan Hidup Tambahan (KHT) adalah kebutuhan pendidikan dan
sosial + kesehatan dan rekreasi + asuransi dan tabungan
Kebutuhan pendidikan dan sosial, kebutuhan kesehatan dan rekreasi
serta kebutuhan asuransu dan tabungan masing-masing sebesar 50 %
dari KFM
3. Kebutuhan Hidup Layak (KHL) adalah KFM + KHT atau kebutuhan
equivalen beras satu rumah tangga x 250 % x jumlah anggota keluarga x
harga beras
Upah Minimum Provinsi (UMP) berdasarkan Surat Keputusan Gubernur
Lampung Nomor G/54/III.05/HK/2015 tentang Penetapan UMP Lampung
Tahun 2016 adalah sebesar Rp 1.763.000,-.
Kesejahteraan pekerja adalah suatu pemenuhan kebutuhan atau keperluan
yang bersifar jasmaniah dan rohaniah, baik selama maupun di luar
hubungan kerja, yang secara langsung dan tidak langsung dapat
mempertinggi produktivitas kerja. Seorang pekerja belum dapat dikatakan
sejahtera jika hanya dapat memenuhi KFM saja, tetapi harus dapat
memenuhi KHL nya (Hendrastomo, 2010).
Dalam beberapa penelitian diperoleh fakta yang berbeda tentang pengaruh
pola agroforestri terhadap tingkat kesejahteraan petani. Winarni (2018) yang
melakukan penelitian di Gapoktan Karya Tani Mandiri (KPH Batutegi),
menyatakan bahwa tingkat kesejahteraan petani agroforestri kopi sebagian
besar belum sejahtera 61,90%, yaitu memiliki pengeluaran dari agroforestri
per kapita kurang dari 321-480 kg setara nilai beras/tahun. Sitepu (2014)
dalam penelitian di Desa Sukaluyu, Kecamatan Nanggung, Kabupaten
39Bogor, Jawa Barat, diketahui bahwa kontribusi agroforestri terhadap total
pendapatan cukup tinggi karena responden memanfaatkan ruang lahannya
secara maksimal. Pengeluaran responden sebesar Rp 14.365.133,- berada
pada kategori sejahtera jika diukur berdasarkan kategori Sajogjo (1997)
dengan asumsi sebagaimana yang dipakai oleh Winarni (2018) bahwa jika
pengeluaran > dari 480 kg berat per kapita per tahun. Hal senada
disampaikan oleh Tiurmasari (2016) yang mendapatkan fakta bahwa
pendapatan masyarakat dari pengelolaan agroforestri pada gabungan
kelompok tani Desa Sumber Agung mencapai Rp 1.005.276.500 per tahun
dengan rata-rata sebesar Rp 24.518.939,02 per KK per tahun. Tingkat
kesejahteraan petani berada dalam kategori sejahtera sebanyak 66,67%.
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Agustus - September 2016 di Resort
Batulima KPH VIII Batutegi. Wilayah ini berada di Register 32 Bukit
Rindingan yang merupakan kawasan hutan lindung pada Gapoktan Wana
Arba Lestari (WAL) dan Koperasi Pemuda Panca Marga (KPPM), dengan
gambaran lokasi dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar. 2. Peta lokasi penelitian.
KPPM (Berijin)
WAL (Belum berijin)
41
B. Bahan dan Alat
1. Alat penelitian
Alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah.
a. Global Positioning System (GPS) Tracker untuk mengetahui
informasi koordinat lokasi titik sampel penelitian;
b. Ring sampel tanah;
c. Cangkul;
d. Kantong plastik;
e. Meteran dan alat tulis;
f. Kamera digital untuk dokumentasi;
g. Checklist untuk mengumpulkan data lapangan;
h. Program arcgis10.12 untuk membuat peta;
i. Seperangkat komputer dan printer;
j. Kuisoner untuk panduan melakukan wawancara dengan
responden tentang pola budidaya dan produksi.
2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah.
a. Peta wilayah kelola KPH VIII Batutegi tahun 2015 skala
1:25.000 untuk penentuan lokasi serta untuk menyiapkan peta
dasar dan peta kerja;
b. Peta kemiringan lereng tahun 2012 skala 1:25.000;
c. Peta penggunaan lahan tahun 2012 skala 1:25.000;
d. Data umum kawasan hutan KPH VIII Batutegi tahun 2015;
42
e. Sampel tanah di bawah tegakan kopi monokultur dan agroforestri.
C. Metode
1. Teknik Pengumpulan Data
Data diambil berdasarkan tahapan sebagai berikut.
a. Pengambilan data sekunder melalui berbagai tulisan/penelitian
terdahulu dan atau data dari instansi terkait.
b. Pengambilan data primer melalui wawancara dan pengambilan
sampel tanah.
Pemilihan areal sampel dilakukan secara acak dan tersebar merata
dalam wilayah tersebut dengan kendaraan roda dua dengan kriteria
memiliki karakteristik/pola tanam yang mempengaruhi penutupan
tajuknya (kopi monokultur, agoforestri)
a. Wawancara
Dilakukan untuk mengetahui data sebagai berikut.
1) Identitas penggarap;
2) Tahun mulai memanfaatkan kawasan hutan;
3) Legalitas pemanfaatan kawasan;
4) Produksi;
5) Pendapatan;
6) Jenis dan jumlah tanaman yang dibudidayakan;
7) Konsumsi pupuk yang direpresentasikan dengan biaya
pembelian pupuk yang dikeluarkan oleh petani;
8) Kepemilikan rumah/lahan di luar kawasan hutan.
43
Petani responden untuk diwawancarai dipilih dengan menggunakan
metoda pengambilan sampel secara purposive. Hal ini dilakukan
karena wilayah resort Batulima KPH Batutegi seluas 7.877 hektar
dengan jumlah petani penggarap sebanyak 4.674 orang dan
tergabung dalam empat gabungan kelompok tani (gapoktan) dengan
luas total + 4.851 hektar. Tiga gapoktan telah memiliki IUPHKm
dan satu gapoktan belum memiliki IUPHKm. Untuk mendapatkan
keterwakilan dari masing-masing kondisi legalitas , maka ditentukan
sampel yang akan diambil sebanyak masing-masing 1 kelompok.
Menurut Setiawan (2007) Rumus Slovin dapat dipakai untuk
menentukan ukuran sampel, jika penelitian bertujuan untuk yang
menduga proporsi populasi, dengan asumsi tingkat keandalan 95%,
sehingga jumlah responden total dapat ditentukan dengan
menggunakan rumus tersebut, sebagai berikut:
dimanan: jumlah responden yang diambilN: jumlah populasie: batas toleransi kesalahan (0,50)
Gay dan Diehl (1992) mengasumsikan bahwa semakin banyak
sampel yang diambil maka akan semakin representatif dan hasilnya
dapat digenelisir. Namun ukuran sampel yang dapat diterima bisa
berbeda tergantung dari jenis penelitiannya. Mengingat penelitian
merupakan penelitian yang bersifat deskriptif maka sampel
minimum yang diambil sebanyak 10% dari populasi. Untuk
44
menentukan jumlah sample yang digunakan pada masing-masing
kelompok tersebut dengan menggunakan teknik proporsional
stratified random sampling mengingat jumlahnya yang bisa saja
berbeda (Prasetyo dan Jannah, 2010).
PopulasiSampel 1 = x total sampel
Total populasi
Jumlah responden yang diperoleh dibagi menjadi dua lokasi yang
mewakili legalitas pemanfaatan yang berbeda, yaitu yang sudah
memiliki ijin dan belum memiliki ijin,
Tabel 1. Jumlah responden tiap kondisi legalitaspemanfaatan
No Kondisi JumlahPopulasi
JumlahSampel
1. Sudah berijin 1.842 442. Belum berijin 2.230 54
Total 4.072 98
Pengambilan sampel dilakukan di dua gabungan kelompok tani
(gapoktan) untuk mewakili legalitas garapan (sudah memiliki
IUPHKm dan belum memiliki IUPHKm) dengan jumlah sampel
total 98 orang. Ada atau tidaknya ijin diharapkan akan memberikan
gambaran perbedaan pola budidaya antara yang berijin dengan yang
belum berijin. Penentuan plot sampel dilakukan secara acak, hal ini
sesuai dengan metoda pengambilan sampel acak sederhana (simple
random sampling) menurut Lohr (2009). Dari hasil pengambilan
sampel tersebut ditetapkan Gapoktan Koperasi Pemuda Panca Marga
45
(KPPM) dan Wana Arba Lestari (WAL) sebagai lokasi plot sampel.
b. Pengambilan sampel tanah
Untuk mendapatkan data sifat fisik dan kimia tanah dilakukan dengan
cara sebagai berikut:
1) Sugiyono (2012) menyatakan bahwa sampel adalah bagian dari
jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Sampel
diambil dengan cara purposive sampling, yaitu teknik pengambilan
dengan pertimbangan tertentu. Kriteria yang digunakan adalah 2
kondisi lokasi yang berbeda, yaitu pada areal kelompok tani yang
belum memiliki ijin dan pada areal kelompok tani yang telah
memiliki ijin HKm berumur lebih dari 5 tahun untuk mengetahui
apakah terdapat perbedaan kesuburan. Dua titik pengamatan pada
masing-masing lokasi tersebut memiliki pola budidaya yang
berbeda, yaitu :
a) kopi monokultur untuk lahan yang hanya ditanami kopi,
b) agroforestri dengan kriteria :
- tanaman dominan kopi sebagai tajuk menengah
- terdapat pohon sebagai tajuk tinggi
Agar semua titik pengamatan memiliki kondisi yang
cenderung sama, maka plot sampel harus berada pada satu
bentang lahan;
46
2) menurut BPTP Yogyakarta (2001) untuk analisis kesuburan tanah
sebaiknya merupakan contoh tanah komposit, yaitu contoh tanah
campuran yang terdiri dari contoh-contoh tanah individu. Lebih
lanjut disampaikan bahwa untuk mendapatkan contoh tanah
individu dapat dilakukan secara sistematis dengan sistem diagonal
dengan satu titik sebagai pusat. Pada setiap titik pengamatan
diambil 5 (lima) sampel tanahnya pada lapisan olah dengan
kedalaman antara 0 – 20 cm menggunakan ring sample, contoh
tanah diambil dengan jarak masing-masing + 1 meter kemudian
dikompositkan, yaitu dicampur serta diaduk secara merata
kemudian diambil sebanyak kurang lebih 1 kg untuk dianalisis di
laboratorium,
3) Semua sampel tanah yang telah diambil kemudian dinalisis di
laboratorium untuk diketahui sifat kimianya yang meliputi bahan
organik, C/N ratio, jumlah N, P, K, pH dan kapasitas tukar kation
(KTK). Sampel tanah yang diperoleh kemudian dianalisis di
Laboratorium Tanah Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Teknik pengambilan titik sampel sebagaimana dijelaskan dapat
dilihat pada Gambar 4.
47
2. Pengolahan dan Analisis Data
a. Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) dan Kebutuhan Hidup Layak
(KHL)
Standar kebutuhan fisik minimum dan hidup layak ditentukan
berdasarkan kebutuhan equivalen beras per keluarga dan harga beras
yang berlaku di suatu daerah. Menurut Sajogyo dan Sajogyo (1990),
nilai ambang kecukupan pangan (beras) untuk tingkat pengeluaran
rumah tangga di pedesaan 240 kg/orang/tahun.
Analisis KHL yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada: 1)
Sinukaban (2007), KFM adalah jumlah pendapatan bersih yang harus
diperoleh keluarga tani untuk dapat memenuhi kebutuhan fisik
minimum setara dengan 240 kg beras/tahun x 100 % x jumlah anggota
keluarga.. 2) KHL = jumlah pendapatan bersih yang harus diperoleh
keluarga tani untuk dapat memenuhi kebutuhan fisik minimum setara
dengan 240 kg beras/tahun x 250% x jumlah anggota keluarga.
Gambar 3. Skema pengambilan titik sampel.
IUPHKm
Titik sampel tanah
Berijin
monokultur
Agroforestry
Agroforestrymonokultur
Belum ada ijin
U
48
3) Upah Minimum Provinsi (UMP) Lampung pada Tahun 2016
adalah sebesar Rp. 1.763.000, sehingga diketahui upah dalam satu
tahun sebesar Rp. 21.156.000.
b. Pengaruh antar variabel
Menurut Janie (2012) jika terdapat lebih dari dua variabel
bebas, maka untuk mengetahui pengaruh variabel- variabel
tersebut terhadap variabel tetap, yaitu pendapatan petani,
digunakan regresi linier berganda dengan bentuk persamaan
sebagai berikut :
= + + + + + +Y = Pendapatan petaniX1 = Pola budidayaX2 = Legalitas penggarapanX3 = Usia menggarapX4 = Luas lahan yang digarapX5 = PendidikanX6 = Keragaman
= Intersep, … = koefisien regresi
Todorov dan Filzmoser (2009) menyatakan bahwa untuk menguji
hipotesis pengaruh beberapa variabel independen secara
diferensial dapat memprediksi variabel dependen,maka
dilakukan analisa data dengan menggunakan One-way
MANOVA (Multivariate Analysis of Variance) dimana
variabel dependen adalah Pendapatan dan Kesuburan,
sedangkan variabel indepennya adalah Pola budidaya. Model
yang digunakan adalah sebagai berikut :
49= += 1 ( ), 2 ( )= 1,2,… ,98 ( ℎ )
Keterangan:Y = Variabel dependen, dimana :
Y1= PendapatanY2= Kesuburan tanah
= Mean per populasi: Pola tidak mempengaruhi pendapatan dan kesuburan: Pola mempengaruhi pendapatan dan kesuburanATAU: = (Mean treatment per pola sama): ≠ (Mean treatment per pola tidak sama)
Bagan tahapan penelitian disajikan pada Gambar 4.
Persiapan
Studi Pustaka dan Identifikasi Masalah
Perumusan tujuan, manfaat dan permasalahan penelitian
Pengumpulan peta dan digitasi
Penentuan responden Peta Pemanfaatan Lahan
Pengumpulan data kondisi lokasi penelitian
Gambar 4 . Bagan tahapan penelitian
analisisAnalisis pengaruh
antar variabel
Analisis sifat kimiatanah
TahapanSurvei
1. Pengambilan data dari responden untukmengetahui pola budidaya
2.Pemilihan lokasi pengambilan sampel tanah pada lahangarapan petani yang mewakili 2 tipe pola pemanfaatan
50
D. Pelaksanaan
Penelitian dilaksanakan selama lebih kurang tiga bulan pada bulan
Agustus sampai September 2016. Tahapan yang dilalui meliputi :
1. Survei awal lokasi penelitian untuk mengetahui kondisi umum
lokasi sekaligus penjajakan dengan para pengurus kelompok dan
pemilihan calon responden secara purposive sesuai metode. 2.
Penjelasan rencana penelitian kepada responden. Pada kesempatan
ini dijelaskan rencana penelitian dan penjelasan khusus tentang
tata cara pengisian kuisioner penelitian. 3. Wawancara dan
pengisian kuisioner yang dibantu oleh beberapa orang anggota tim
pengambil data melakukan wawancara langsung dengan para
responden sekaligus memandu dalam pengisian kuisioner. 4.
Pengambil-an data sekunder dan informasi pendukung yang
diperoleh dari KPH VIII Batutegi serta studi pustaka melalui
buku-buku dan jurnal-jurnal penelitian terdahulu. 5. Pengolahan
dan analisis data
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Simpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Pola budidaya yang dilakukan petani di KPH VIII Batutegi adalah
monokultur kopi dan agroforestri.
2. Adanya ijin pemanfaatan yang diterima oleh petani melalui skema HKm
dengan segala hak dan kewajibannya ternyata belum mampu mengubah
pola tanam menjadi agroforestri, walaupun mereka telah memiliki ijin
pemanfaatan lebih dari 10 tahun, tetapi ternyata lahan kelolanya masih
didominasi oleh pola tanam monokultur.
3. Pola budidaya berpengaruh secara signifikan terhadap kesuburan.
4. Pola budidaya berpengaruh secara signifikan terhadap pendapatan.
5. Pola agroforestri merupakan pola yang cocok untuk dilakukan dalam
kawasan hutan lindung karena dapat meningkatkan kesuburan tanah dan
dalam jangka panjang akan meningkatkan pendapatan masyarakat.
B. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada wilayah yang sama untuk
mengetahui peningkatan pendapatan petani setelah seluruh tanaman dapat
dipanen hasilnya pada kedua pola budidaya.
83
2. Perlu pembinaan yang lebih baik dan pemberian insentif agar petani mulai
melakukan budidaya agroforestri. Dengan upaya tersebut diharapkan
petani memiliki semangat yang baik untuk mengembalikan fungsi hutan
yang menyejahterakan. Selain itu pemerintah juga perlu memfasilitasi
petani untuk mendapatkan pasar potensial bagi komoditi yang
dikembangkannya.
DAFTAR PUSTAKA
Aini, F.K., Susilo ,F.X., Yanuwiadi B.dan Hairiah, K. 2006. Meningkatnya Potensi SebaranHama Rayap Odontotermes Spp. Setelah Alih Guna Hutan Menjadi AgroforestriBerbasis Kopi: Apakah Perubahan Iklim Mikro Lebih Mempengaruhi PerubahanPopulasi Daripada Ketersediaan Makanan? Agrivita (28) 3: 221-227.
Andres, C., Comoe, H., Beerli, A., Jacobi, J.2016. Cocoa in Monoculture and DynamicAgroforestry. Chapter from Book Bambara Groundnut for Food Security in theChanging African Climate . Springer International Publishing. Switzerland.(33 p).
Arifin, B. 2017. Global Sustainability Regulation and Coffee Supply Chains in LampungProvince, Indonesia. Asian Journal of Agriculture and Development.7 (2) : 67 – 89.
Berliana D. dan Afriani I. 2014. Laporan Penelitian Kajian Hutan Kemasyarakatan (Hkm)Analisis Sosial Ekonomi dan Kelembagaan pada Masyarakat di Kawasan HutanKemasyarakatan (Hkm) Kajian pada Masyarakat di Kawasan Register 39 KabupatenTanggamus. http://eprints.stiperdharmawacana.ac.id/196/1/kajian%20sosekbud%20reg.39.pdf. Diunduh pada tanggal 27 Oktober 2017.
Budidarsono S dan Wijaya K. 2004. Praktek Konservasi dalam Budidaya Kopi Robusta danKeuntungan Petani. Agrivita. 26(1): 107 -117.
BPS, 2017. Upah Minimum Regional/Provinsi (UMR/UMP) dan Rata-rata Nasional perTahun (Rp), 1997-2016.https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/917. Diunduhpada tanggal 27 Oktober 2017.
BPTP Yogyakarta. 2001. Tata Cara Pengambilan Contoh Tanah untuk Uji Tanah. LembarInformasi Pertanian. Departemen Pertanian. Yogyakarta. 3 : 1-2.
Boedhihartono, A.K. 2017. Can Community Forests be Compatible with BiodiversityConservation in Indonesia? Land Journal. 6(21): 1-17.
Budidarsono. S. dan Wijaya. K. 2004. Praktek konservasi dalam budidaya kopi robusta dankeuntungan petani. Jurnal Agrivita. 26 (1) : 107-117.
Cahyat, A. 2004. Bagaimana Kemiskinan Diukur? Beberapa Model PenghitunganKemiskinan di Indonesia. Governance Brief. CIFOR (Center for International ForestryResearch). 2 : 1-8.
84
Damanik, M.M.B., Hasibuan, B.E., Fauzi, S., Hanum, H. 2011. Kesuburan Tanah danPemupukan. Buku. USU Press. Medan. 83 hlm.
Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 2013. Presentasi dalam rangka Rakornas Kehutanantahum 2013. Bandar Lampung.
Darwati. 2007. Keragaman dan Kelimpahan Mesofauna Tanah pada Beberapa TipePenggunaan Lahan di Daerah Gunung Bawang. Tesis. Fakultas Kehutanan. ProgramPasca SarjanaUniversitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 2018. Presentasi Rencana Kerja PembangunanKehutanan Provinsi Lampung Tahun 2019 disampaikan dalam Rakorenbanghutdatanggal 22 Maret 2018. Bandar Lampung.
Evayanti,N., Rusmadi, dan Ratina, R. 2004. Faktor-faktor Sosial Ekonomi yangMempengaruhi Keputusan Petani Mengusahakan Usahatani Nenas di Desa SungaiMerdeka. EPP. 1 (1): 17- 21.
Evrizal, R. 2013. Etno-agronomi Pengelolaan Perkebunan Kopi di Sumberjaya KabupatenLampung Barat (Review). Agrotrop. 3(2): 1-12.
Evrizal, R.,Sugiatno, Prasmatiwi, F.E., Nurmayasari, I. 2016. Shade Tree Species Diversityand Coffee Productivity in Sumberjaya, West Lampung, Indonesia. BiodiversitasJournal. 17(1) : 234-240.
Fahmuddin Agus, Gintings A. Ngaloken dan Noordwijk Meine van. 2002. Pilihan EknologiAgroforestri/Konservasi Tanah Untuk Areal Pertanian Berbasis Kopi Di Sumberjaya,Lampung Barat. Buku. World Agroforestry Centre. Bogor. 60 hlm.
FAO. 2010. Global Forest Resources Assessment 2010 (Main Report). FAO Forestry Paper163 (6) : 109-117
FORCLIME. 2014. Pengarusutamaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dalam Kebijakandan Pelaksanaan Perizinan Kehutanan. Buku KPH Revisi ind. http://www.forclime.org/documents/Books/Pengarusutamaan%20KPH.pdf. 46 hlm.
Gay, L.R.,dan Diehl, P.L. 1992. Research Methods for Business and Management. Buku.Mc. Millan Publishing Company. New York.679 hlm.
Guntara. 2013. Agroforestri sebagai Alternatif Pemanfaatan Lahan Bawah Tegakan untukPeningkatan Pendapatan Petani di Kabupaten Lumajang. Prosiding Seminar NasionalAgroforestri ke-3 tanggal 21 Mei 2013 di Malang. 393-397.
Gustiyana. 2003.Pengantar Ekonomi Pertanian. Buku. LP3ES. Jakarta. 206 hlm.
Hairiah, K, Sardjono M.A. dan Sabarnurdin. S. 2003. Pengantar Agroforestri. Buku.World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office. Bogor,Indonesia. 31 hlm.
85
Hairiah, K., Suprayogo, D., Widianto, Berlian, Suhara, E., Mardiastuning, A., Harto R.,Widodo, Prayogo, C. , dan Rahayu,S.,2004. Alih Guna Lahan Hutan menjadi LahanAgroforestry Berbasis Kopi : Ketebalan Seresah, Populasi Cacing Tanah danMakroporositas Tanah. Jurnal Agrivita. 26 (1) : 68-80.
Hairiah, K., Rahayu S. 2010. Agroforestri Kopi untuk Mempertahankan Cadangan KarbonLanskap. Makalah dalam Simposium Kopi 2010 pada tanggal, 4-5 Oktober 2010.http://www.worldagroforestry.org/sea/Publications/files/paper/PP0302-11.pdf.Diunduh pada tanggal10 April 2018.
Hairiah, K., Utami S.R., Lusiana . dan Noordwijk Meine van. 2015.Neraca Hara dan Karbondalam Sistem Agroforestri. http://www.worldagroforestry.org/sea/Publications/files/lecturenote/LN0036-06.pdf. Diunduh pada tanggal 29 September2017.
Hairiah, K., Utami, S.R., Suprayogo, D., Widianto, Sitompul, S.M.,Sunaryo, Lusiana, B.,Mulia, R,. Noordwijk, M.V. dan Cadisch, G.. 2015.Agroforestri pada Tanah Masam diDaerah Tropis : Pengelolaan Interaksi antara Pohon-Tanah-Tanaman Semusim. ICRAF.http:// www. worldagroforestri.org /downloads/Publications/ PDFS/B13578.pdf.Diunduh pada tanggal 29 September 2017.
Hanisch, S., Dara, Z., Brinkmann, K. dan Buerkert, A. 2011. Soil Fertility and NutrientStatus of Traditional Gayo Coffee Agroforestry Systems in the Takengon Region, AcehProvince, Indonesia. Journal of Agricultural and Rural Development in the Tropics andSubtropics. 112 (2) : 87 – 100 hlm.
Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Buku. Akademika Pressindo. Bogor. 248 hlm
Herman, M. 2013. Kemiri Sunan (Reutealis trisperma (Blanco) airy shaw) TanamanPenghasil Minyak Nabati dan Konservasi Lahan. Iaard press. Jakarta. 88 hlm.
Hendrastomo, G. 2010. Menakar Kesejahteraan Buruh : Memperjuangkan KesejahteraanBuruh diantara Kepentingan Negara dan Korporasi. Jurnal Informasi. 16 (2) : 1-17.
Hernowo, B., Sulistya, E. 2014. Operasionalisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan (Kph) :Langkah Awal Menuju Kemandirian. Buku. PT. Kanisius. Jakarta. 368 hlm.
Isdhiartanto, E. 2014. Evaluasi Pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)Yogyakarta Kasus Bagian Daerah Hutan Playen Kabupaten Gunungkidul. Tesis.Magister Perencanaa Kota dan Daerah Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Janie, D.N.A. 2012. Statistik Deskriptif dan Regresi Linier Berganda dengan SPSS. Buku.University Press. Semarang. 43 hlm.
Julijanti, Nugroho, B., Kartodihardjo, H., dan Nurrochmat, D.R. 2014. ProsesOperasionalisasi Kebijakan Kesatuan Pengelolaan Hutan: Perspektif Teori DifusiInovasi. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 12 (1) : 67 – 88.
86
Kartodihardjo, H., K. Murtilaksono, Pasaribu, H.S.,Sudadi, U. dan Nuryantono, N. 2000.Kajian Institusi Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah. Buku. K3SB. Bogor. 101hlm.
Kartodihardjo. H., Nugroho. B. dan Putro H.R. 2011. Pembangunan KPH – KonsepPeraturan Perundangan dan Implementasi. Direktorat Wilayah Pengelolaan Hutan danPenyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan. Buku. Debut Wahana Sinergi. Jakarta.
Kassie, G.W. 2018. Agroforestry and Farm Income Diversification: Synergy or Trade-Off? The Case of Ethiopia. Environmental Systems Research. 6 (8) : 1-14.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015. Rencana Strategis KementerianLingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2015 -2019. Jakarta. 68 hlm.
Khususiyah, N., dan Suyanto.2015. Kontribusi agroforestri dalam meningkatkan pendapatandan pemerataan pendapatan masyarakat pengelola hutan kemasyarakatan di SesaotLombok. Prosiding Seminar Nasional Agroforestry 2015. 598-605.
Khususiyah, N., Rahayu, S. dan Suyanto. 2014. Agroforestry : Sistem Penggunaan LahanYang Mampu Meningkatkan Pendapatan Masyarakat Dan Menjaga Keberlanjutan.Prosiding Seminar Nasional Agroforestri ke-5. 359-365
Lohr, S. L. 2009. Sampling : Design and Analysis 2nd Edition. Buku. Brooks/ColeCengage Learning. USA.
Lubis, D., Indrawati, I.A. 2017. Analisis Pendapatan Petani Penggarap dengan AkadMuzara’ah dan Faktor Yang Mempengaruhinya. Jurnal Kajian Ekonomi Islam. 2(1) :1 -19.
Martin, E., Suharjito, D., Darusman, D., Sunito, S., dan Winarno B. 2016. Etika SubsistensiPetani Kopi: Memahami Dinamika Pengembangan Agroforestri di Dataran TinggiSumatera Selatan. Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan. 4 (1) : 92-102.
Mindawati, N., A.S. Kosasih, S.Bustomi, Sitompul S.M. dan S.Y. Tyasmoro. 2013. PolaAgroforestry untuk Meningkatkan Fungsi Ekologi dan Agroekonomi Hutan Rakyat.Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013, tanggal 21 Mei 2013 di Malang.Hal.189-196. Kerjasama Balai Penelitian Teknologi Agroforestry.Buku. FakultasPertanian Universitas Brawijaya, ICRAF dan Masyarakat Agroforestri Indonesia.Ciamis.
Monde, A., Sinukaban, N., Murtilaksono, K., dan Pandjaitan, N. 2008. Dinamika karbon(C) akibat alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. Jurnal Agroland 15 (1) : 22– 26.
Mulyoutami. E, Stefanus, E., Schalenbourg, W., Rahayu, S., dan Joshi Laxman. 2004.Pengetahuan Lokal Petani dan Inovasi Ekologi dalam Konservasi dan PengolahanTanah pada Pertanian Berbasis Kopi di Sumberjaya, Lampung Barat. Agrivita. Bogor.26(1): 98-107.
87
Nariratih, I., Damanik, M.M.B., danSitanggang, G. 2013. Ketersediaan Nitrogen pada TigaJenis Tanah Akibat Pemberian Tiga Bahan Organik dan Serapannya pada TanamanJagung. Jurnal Online Agroekoteknologi. 1 (3) : 479-488.
Ngakan, P.O., Komarudin, H., Achmad, A. Wahyudi dan Tako, A.2006. Ketergantungan,Persepsi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Sumberdaya Hayati Hutan Studi Kasusdi Dusun Pampli Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Buku. Intiprima Karya,Jakarta.
Nugroho, B. 2015. Efektivitas Kelembagaan Dalam Peningkatan Produktivitas HutanProduksi dan Hutan Lindung: Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai Solusi?.Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional “Teknologi Perbenihan, Silvikultur DanKelembagaan Dalam Peningkatan Produktivitas Hutan Dan Lahan”. Bandar Lampung,11 Agustus 2015.
Nurrani, L., Halidah danTabba, S. Pengaruh Etnis terhadap Pola Pemanfaatan Lahan danKontribusinya Bagi Pendapatan Masyarakat di Taman Nasional Aketajawe Lolobata.Jurnal Wasian. 2 (2) : 55 -65.
Noordwijk. M. V., Agus, F., Suprayogo, D., Hairiah, K., Pasya, G., Verbist, B. danFarida.2004. Peranan Agroforestri dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi DaerahAliran Sungai (DAS). World Agroforestry Centre, ICRAF SE. Jurnal Agrivita . 26 (1): 1-8.
Olivi, R., Qurniati, R., dan Firdasari. 2015. Kontribusi Agroforestri Terhadap PendapatanPetani Di Desa Sukoharjo 1 Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu. Jurnal SylvaLestari. 3 (2) : 1—12.
Patty, Z. dan Kastanja, A.Y. 2013. Kajian Budidaya Tanaman Pala di Kabupaten HalmaheraUtara (Studi Kasus di Kecamatan Galela Barat, Tobelo Selatan dan Kao Utara, JurnalAgroforestry. 8 (4):294-300.
Pender, J., Suyanto, J. Kerr. 2008. Impacts of the Hutan Kemasyarakatan Social ForestryProgram In the Sumberjaya Watershed, West Lampung District of Sumatra, Indonesia.Buku. International Food Policy Research Institute.Washington, DC. www.ifpri.org.
Prasetyo, B.dan Jannah, L.M. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi.Buku. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 250 hlm.
Prasmatiwi, F.E., Irham, Suryantini, A., dan Jamhari. (2011). Kesediaan membayar petanikopi untuk perbaikan lingkungan. Jurnal Ekonomi Pembangunan.12 (2) : 187-199.
Rajagukguk, R.,Sribudiani, E., dan Mardhiansyah, M. 2015. Kontribusi Agroforestryterhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani (Studi kasus :Desa Janji Raja, KecamatanSitiotio, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara). JOM Faperta. 2 (2):102-113.
88
Ramadhan, S.( 2015) Internalisasi Eksternalitas Jasa Karbon dan Jasa Air sebagai InsentifPendukung Kesinambungan Usaha Hutan Rakyat Sistem Agroforestri.http://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/55340/8/BAB%20VI%20ANALISIS%20DAN%20PEMBAHASAN.pdf. Diunduh pada tanggal13 Oktober 2017.
Reubens, B., Moeremans, C., Poesen, J., Nyssen, J., Tewoldeberhan, S., Franze, S.,Deckers, J., Orwa, C., dan Muys. B.2011. Tree Species Selection For LandRehabilitation in Ethiopia: From Fragmented Knowledge to an integrated Multi-CriteriaDecision Approach. Agroforestry Systems. 82 : 303–330.
Riniarti, M., dan Setiawan , A., 2014, Status Kesuburan Tanah pada Dua Tutupan Lahan diKesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Batutegi Lampung. Jurnal SylvaLestari. 2(2) : 99 – 104.
Rohana, S., Wulandari, C., dan Yuwono, S.B. 2016. Peningkatan Kualitas dan KuantitasSumberdaya Manusia pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Batutegi danKota Agung Utara di Provinsi Lampung. Jurnal Sylva Lestari . 4 (1): 31—40.
Rosalia F, dan Ratnasari Y. 2016, Analisis Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan di SekitarKawasan Hutan Lindung Register 30 Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung Tahun2010. Sosiohumaniora, 18 (1): 34 – 38.
Ruhimat, I. S. 2010. Efektivitas Implementasi Kebijakan Kesatuan Pengelolaan Hutan(KPH) di Kabupaten Banjar. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 7 (3) : 169 – 178.
Sajogyo. 1977. Garis Miskin dan Kebutuhan Minimum Pangan. Buku. Lembaga PenelitianSosiologi Pedesaan (LPSP) IPB. Bogor.
Sanudin, Awang, S.A., Sadono, R., dan Purwanto, R.H. Perkembangan Hutan Kemasyara-Katan di Provinsi Lampung. Jurnal Manusia dan Lingkungan. 23(2) : 276 – 282.
Senoaji, G. 2012. Pengelolahan Lahan dengan Sistem Agroforestri oleh Masyarakat Baduy diBanten Selatan. Jurnal Bumi Lestari.12 (2): 283-293.
Schalenbourg, W. 2002. An assessment of farmer’s perceptions of soil and watershedfunctions in Sumberjaya, Sumatra, Indonesia. Disertasi. Catholic University, Leuven,Belgium: 146 pp.
Setiawan, N. 2007. Penentuan Ukuran Sampel Memakai Rumus Slovin dan Tabel Krejcie-Morgan: Telaah Konsep dan Aplikasinya. Repository.unpad.ac.id. 17 hlm
Siboro, L. 2001. Studi Banding Sistem Pengelolaan Sumberdaya Lahan di Dalam dan LuarKawasan Hutan Lindung (Studi Kasus di Desa Trimulyo, Sumberjaya, LampungBarat). Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Diunduh tanggal 7 Oktober 2017 darihttp://repository.ipb.ac.id/handle/ 123456789/14878.
89
Sinaga, Azul, S. 2008. Perbedaan Karakter Sosial Ekonomi, Sumber Informasi danPendapatan Petani Kopi Arabica dengan Kopi Robusta (Studi Kasus KelurahanSidiangkat dan Kelurahan Bintang Hulu Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi.Tesis. Universitas Sumatera Utara Repository Pusat.https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaan-pengelolaan-das/departemen-kehutanan-2/.Diunduhpadatanggal13 Oktober 2017.
Sinukaban N. 2007. Membangun Pertanian Menjadi Industri yang Lestari dengan Perta-nian Konservasi dalamKonservasi Tanah dan Air Kunci Pembangunan Berkelanjutan.Buku. Direktorat Jenderal RLPS Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
Sitepu, Y.F. 2014. Kontribusi Pengelolaan Agroforestri terhadap Pendapatan RumahTangga Petani (Studi Kasus di Desa Sukaluyu, Kecamatan Nanggung, KabupatenBogor, Jawa Barat). Skripsi. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Soekartawi. 2011. Ilmu Usaha Tani. Buku. Universitas Indonesia : Jakarta. 218 hlm.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif dan R&D. Buku. Bandung. Afabeta. 218hlm.
Suharti, S. 2015. Peningkatan Pendapatan Masyarakat Melalui Budidaya Komoditas AnekaUsaha Kehutanan (AUK). Prosiding Seminar Nasional Masyarakat BiodiversitasIndonesia tanggal 19 September 2015 di Bandung. 1417-1419.
Sumargo, W., Naggara, S.G., Nainggolan, F.A. dan Apriani I. 2011. Potret Hutan IndonesiaTahun 2000-2009. Buku. Forest Wacth Indonesia. Jakarta.
Sundawati, L., Nurrochmat, D. R,. Setyaningsih, L.,Puspitawati, H., Trison, S. 2008.Pemasaran Produk-Produk Agroforestry. Buku. World Agroforestry Centre. Bogor.155 hlm.
Susilawati, Mustoyo, Budhisurya, E., Anggono, R.C.W. dan Simanjuntak, B.H. 2013.Analisis Kesuburan Tanah dengan Indikator Mikroorganisme Tanah pada BerbagaiSistem Penggunaan Lahan di Plateau Dieng.Agriculture. 25 (1) :64-72.
Sutedja, I. 2015. Strategi Percepatan Perluasan Akses Kelola Masyarakat Atas KawasanHutan Negara. Policy Brief. https://www.mfp.or.id/attachments/article/78/150513_Policy_ Brief_Perhutanan%20Sosial_ID.pdf. Diunduh tanggal 7 Oktober2017.
Suyanto. S., Khususiyah. N., dan Leimona. B. 2007. Poverty and Environmental Services :Case Study in Way Besai Watershed, Lampung Province, Indonesia. Ecology andSociety Journal. 12(2) : 13.
Sylviani dan Suryandari, E.Y. 2013. Kajian Implementasi Norma, Standar, Prosedur danKriteria dalam Pengorganisasian Kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan. JurnalAnalisis Kebijakan Kehutanan. 10 (3) : 214 – 234
Tiurmasari, S. 2014. Analisis Vegetasi dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat PengelolaAgroforestri di Desa Sumber Agung Kecamatan Kemiling Kota Bandar Lampung.Skripsi. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
90
Todorov, V., dan Filzmoser, P. 2009. Robust Statistic for the One-way MANOVA.https;//semanticscholar.org. Diunduh pada tanggal 24 Maret 2018.
UPTD KPH Batutegi. 2013. Rencana Pengelolaan Jangka Panjang 2013-2023. Buku.Bandar Lampung. 67 hlm.
UPTD KPH Batutegi. 2017. Presentasi Pengelolaan Hutan Berbasis Perhutanan Sosial diKPH Batutegi disampaikan dalam rapat koordinasi KPHL se Provinsi Lampung 25April 2017. Bandar Lampung.
University of Missouri Center for Agroforestry. 2015. Training Manual for AppliedAgroforestry Practices. 2015 edition : 9-15.
Utomo, W.H. 2012. Hidup Layak Berkesinambungan pada Lahan Sempit. Buku TekananPenduduk, Degradasi Lingkungan dan Ketahanan Pangan Pusat Studi Pembangunan.Buku. LP-IPB Badan BlMAS Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian RI. 176-186.
Wahyudi dan Panjaitan, S. 2013. Perbandingan Sistem Agroforestry, Monokultur Intensif,dan Monokultur Konvensional dalam Pembangunan Hutan Tanaman Sengon.Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013. 165 – 182.
Wardani, D.K.P. 2012. Proses Penetapan Upah Minimum Kabupaten, Di KabupatenPurbalingga. Skripsi. UnSoed. Purwokerto. 102 hlm.
Widianto, Hairiah, K., Suharjito, D., dan Sardjono, M.A. 2003. Fungsi dan PeranAgroforestri. Buku. World Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast Asia RegionalOffice. Bogor. 38 hlm.
Widiarti, A., dan S. Prajadinata. 2008. Karakteristik Hutan Rakyat Pola KebunCampuran. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam.5 (2): 145-156.
Wijayanto, H., Suryono, A., Domai. Tj. 2014. Perencanaan Pemberdayaan MasyarakatSekitar Hutan Melalui Aneka Usaha Kehutanan (Studi Di Dinas Kehutanan KabupatenMalang). Jurnal Hutan Tropis. 2 (1) : 16-23.
Winarni, S., Yuwono, S.B., dan Herwanti, S. 2018. Struktur Pendapatan, TingkatKesejahteraan dan Faktor Produksi Agroforestri Kopi pada Kesatuan PengelolaanHutan Lindung Batutegi (Studi di Gabungan Kelompok Tani Karya Tani Mandiri).Jurnal Sylva Lestari. 4 (1) : 1-10.
Winarto, A. 2015. Kontribusi Pengelolaan Tahura Sultan Adam pada Pengembangan AnekaUsaha Kehutanan Di Kalimantan Selatan. BEKANTAN. 3 (1) : 4-8.
Wulandari. C. 2013. Diversifikasi Hasil Agroforestry di Sekitar Hutan Sumberjaya danDaerah Aliran Sungai (DAS) Way Besai. Bagian dalam Buku “Pengelolaan Hutan danDaerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat :Pembelajaran dari Way Besai – Lampung”,Bandarlampung. SCBFWM, GEF-UNDP, Balai DAS Way Seputih Way SekampungKementerian Kehutanan. Anugrah Utama Raharja (AURA), Bandar Lampung. 16 hlm.
91
Yamani, A. 2010. Kajian Tingkat Kesuburan Tanah pada Hutan Lindung Gunung Sebatungdi Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan. Jurnal Hutan Tropis. 11(29):32-37.
Yulipriyanto H. 2010. Biologi Tanah dan Strategi Pengolahannya. Buku. Graha Ilmu.Yogyakarta. 258 hlm.
Yusran dan Abdullah N. 2006. Tingkat Ketergantungan Masyarakat terhadap KawasanHutan di Desa Borisallo Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan.Jurnal Hutan dan Masyarakat, 2(1) : 127-135.
Yustina, T. 2000. Impian dan Tantangan Manusia Indonesia dalam Mewujudkan Hutan danKebun yang Lestari Sebagai Anugerah dan Amanah Tuhan Yang Maha Esa. Buku.Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. Jakarta. 298 hlm.
81
Tabel 13. Hasil analisa regresi linier untuk mengetahui pengaruh pola budidaya,legalitas penggarapan, lama menggarap, luas lahan garapan, pendidikandan keragaman tanaman terhadap pendapatan petani.
Source DF SS MS F PRegression 6 2,75E+15 2,62E+14 11,42 0,00Residual Error 71 2,87E+15 2,04E+13Total 77 5,64E+15
Tabel 14. Hasil Tes Multivariat untuk mengetahui signifikansi pengaruh polabudidaya terhadap kesuburan tanah dan pendapatan petani.
Effect Value FHypothesis
df Error df Sig.
Intercept Pillai's Trace .299 20.296a 2.000 95.000 .000
Wilks' Lambda .701 20.296a 2.000 95.000 .000
Hotelling's Trace .427 20.296a 2.000 95.000 .000
Roy's Largest Root .427 20.296a 2.000 95.000 .000
Pola Pillai's Trace .241 15.104a 2.000 95.000 .000Wilks' Lambda .759 15.104a 2.000 95.000 .000
Hotelling's Trace .318 15.104a 2.000 95.000 .000
Roy's Largest Root .318 15.104a 2.000 95.000 .000