pengaruh perilaku penderita tb paru dan kondisi rumah terhadap
TRANSCRIPT
PENGARUH PERILAKU PENDERITA TB PARU DAN KONDISI RUMAH TERHADAP PENCEGAHAN POTENSI PENULARAN TB PARU PADA
KELUARAGA DI KABUPATEN TAPANULI UTARA TAHUN 2008
TESIS
Oleh
TONNY LUMBAN TOBING 057012032/AKK
S
EK O L A
H
PA
SC A S A R JANA
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2009
Tonny Lumban Tobing : Pengaruh Perilaku Penderita Tb Paru Dan Kondisi Rumah Terhadap Pencegahan Potensi Penularan Tb Paru Pada Keluaraga Di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008, 2008 USU Repository © 2008
2
PENGARUH PERILAKU PENDERITA TB PARU DAN KONDISI RUMAH TERHADAP PENCEGAHAN POTENSI PENULARAN TB PARU
PADA KELUARGA DI KABUPATEN TAPANULI UTARA TAHUN 2008
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan/Epidemiologi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
TONNY LUMBAN TOBING
057012032/AKK
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2009
3
Telah diuji pada Tanggal : 02 Desember 2008 PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Prof. dr. Sutomo Kasiman, FIHA.FACC.Sp.PD.Sp.JP Anggota : 1. dr. Surya Dharma, MPH
2. Drs. Tukiman, MKM
3. dr. Taufik Ashar, MKM
4
Judul Tesis : PENGARUH PERILAKU PENDERITA TB PARU DAN KONDISI RUMAH TERHADAP PENCEGAHAN POTENSI PENULARAN TB PARU PADA KELUARGA DI KABUPATEN TAPANULI UTARA TAHUN 2008
Nama Mahasiswa : Tonny Lumban Tobing Nomor Pokok : 057012032 Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof.dr.Sutomo Kasiman, FIHA.FACC.SpPD.SpJP) (dr.Surya Dharma, MPH) Ketua Anggota Ketua Program Studi Direktur (Dr.Drs.Surya Utama,MS) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B.M.Sc) Tanggal lulus : 02 Maret 2009
5
PERNYATAAN
PENGARUH PERILAKU PENDERITA TB PARU DANKONDISI RUMAH TERHADAP PENCEGAHANPOTENSIPENULARAN TBPARU
PADA KELUARGA DI KABUPATEN TAPANULI UTARA TAHUN 2008
TESIS Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini tidak teradapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahun saya juga tidak terdapat atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Februari 2009
Tonny Lumban Tobing
6
ABSTRAK
TB Paru merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia. Dan Banyak menyerang kelompok usia produktif. WHO (World Health Organization) tahun 1995, memperkirakan insiden TB Paru setiap tahun sebanyak 583.000 kasus dengan angka mortality sekitar 140.000 kasus. Penyakit TB Paru di Indonesia diperkirakan setiap tahun 450.000 kasus TB Paru baru. Kasus TB Paru di Sumatera Utara tahun 2004 ditemukan 12.145 kasus BTA (+) dan di Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2005 ditemukan sebanyak 5.303 kasus. Tujuan penelitian untuk menganalisis pengaruh perilaku penderita dan keluarga serta kondisi rumah dalam upaya pencegahan penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara. Jenis penelitian bersifat analitik dengan rancangan case control. Sampel dalam penelitian adalah penderita TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2008 dengan kriteria kasus adalah penderita TB Paru sebanyak 100 orang dan kriteria kontrol adalah kelompok masyarakat yang tidak menderita TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara sebanyak 100 orang. Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner kemudian dianalisis dengan menggunakan uji Chi-Square. Hasil penelitian berdasarkan uji bivariat menunjukkan ada 8 (delapan) variabel yang memiliki hubungan secara signifikan yaitu sikap (p=0,000), kepadatan hunian (p=0,000), ventilasi (p=0,000), pencahayaan (p=0,000), pendidikan (p=0,000), pengetahuan (p=0,000), pembinaan petugas (p=0,000), dukungan keluarga (p=0,000) dengan potensi penularan TB Paru. Variabel yang tidak memiliki hubungan signifikan adalah lantai rumah (p=0,128).
Hasil uji multivariat dengan menggunakan uji regresi logistik ditemukan bahwa faktor yang paling besar memberikan pengaruh terhadap potensi penularan TB Paru adalah pendidikan (Nilai B=1,819). Pengaruh variable Independen berdasarkan uji regresi logistik terhadap potensi Penularan TB Paru diprediksikan sebesar 67,1%. Disarankan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Utara untuk meningkatan program pencegahan melalui berbagai macam cara promosi kesehatan, advokasi ke stake holder, peningkatan kerja sama lintas sektoral yang lebih kompherensif dan adekuat, meningkatkan peran petugas dalam melaksanakan strategi DOTS, memberdayakan masyarakat, meningkatkan kemitraan, dan kepada pemerintah daerah diharapkan lebih memperhatikan sumber daya manusia, penyediaan peralatan dan perbekalan dalam pencegahan penularan TB Paru. Kata Kunci : TB Paru, Perilaku, Kondisi Rumah, Keluarga
vi
7
ABSTRACT
Lung Tubercolusis is health problem of the people in the world and mostly attack those in a productive age group. In 1995, the World Health Organization (WHO) estimated that the incident of lung tubercolusis was 583,000 cases every year with the mortality rate of 140,000 cases. In Indonesia, it is estimated that there are 450,000 lung tubercolusis cases every year. 12,145 cases of BTA (+) were found in Sumatera Utara in 2004 and 5,303 cases were found in Tapanuli Utara district in 2005. The purpose of this analytical study with case control design is to analyze the influence of the behavior of lung Tubercolusis patient and family as well as home condition in an attempt to prevent the spread of lung Tubercolusis in Tapanuli Utara district. The samples for this study are the Lung Tubercolusis patients in Tapanuli Utara district in 2008 with the criteria that 100 Lung Tubercolusis patients belonged to the case group and 100 persons who are not suffering from Lung Tubercolusis belonged to control group. The data for this study were collected through questionnaire-based interviews and the data obtained were analyzed through Chi-square test.
The result of bivariate analysis shows that 8 variables which have significant relationship with the potential of Lung Tubercolusis spread are attitude (p = 0.000), population density (p = 0.000), ventilation (p = 0.000), lighting (p = 0.000), education (p = 0.000), knowledge (p = 0.000), workes’ development (p = 0.000) and family support (p = 0.000). the variable which does not have significant relationship is the floor of the house (p = 0.128).
The result of multivariate analysis using logistic regression test shows that the factor which has a biggest influence on the potential of Lung Tubercolusis spread is education (B = 1.819) . The influence of independent variable based on logistic regression test on the potential of Lung Tubercolusis spread was predicted for 67.1%.
It is suggested that Tapanuli Utara Health Service improve the prevention program through various kinds of ways such as health promotion, advocation to stake holder, more comprehensive and adequate inter-sectoral cooperation, improving the role of workers in implementing DOTS strategy, community empowerment, and partnership development. The district government of Tapanuli Utara is expected to pay more attention to human resources and supply and equipment provision in preventing the spread of Lung Tubercolusis.
Key Words : Lung Tubercolusis, Behavior, Home Condition, Family
vii
8
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan
pemurah yang menjadi tumpuan hidup dan harapan penulis dalam menyelesaikan
tesis ini dengan judul “Pengaruh Perilaku Penderita TB Paru dan Kondisi
Rumah Terhadap Pencegahan Potensi Penularan TB Paru Pada Keluarga di
Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008”. Penyusunan tesis ini dimaksudkan untuk
memenuhi sebagian persyaratan menyelesaikan Pendidikan S2 pada Sekolah
Pascasarjana USU Medan.
Penulis menyadari begitu banyak dukungan, bimbingan, bantuan dan
kemudahan yang diberikan oleh berbagai pihak, sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
Dengan penuh ketulusan hati, penulis menyampaikan ucapan terimakasih,
kepada Bapak Prof.dr. Sutomo Kasiman, FIHA. FACC. Sp.PD. Sp.JP dan Bapak
dr. Surya Dharma, MPH selaku pembimbing yang memberi perhatian, dukungan
dan pengarahan hingga selesai tesis ini.
Terimakasih tiada terkira juga kami sampaikan dengan tulus kepada Bapak
Drs. Tukiman, MKM dan Bapak dr. Taufik Ashar, MKM selaku tim penguji yang
telah memberi masukan sehingga dapat meningkatkan kesempurnaan tesis ini.
Di samping itu penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. dr. Chairuddin P.Lubis, DTM&H, Sp.A(K) selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara Medan.
viii
9
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara Medan.
3. Ketua Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah
Pascasarjana USU dan seluruh staf yang telah banyak membantu.
4. Bapak Dr.Viktor, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli
Utara.
5. Bapak Torang Lumban Tobing selaku Bupati Kabupaten Tapanuli Utara.
6. Ibu Ruminta Sitompul selaku Kepala IBI Kabupaten Tapanuli Utara.
7. Ayahanda G. Lumban Tobing yang telah banyak memberi dukungan secara moril
dan material selama penulis melakukan perkuliahan.
8. Istri tercinta Hetty M. Girsang dan anak-anakku tersayang chandra, citra, michael
yang selalu setia mendampingi dalam segala situasi. Terimakasih atas doa,
perhatian, dukungan dan semangat yang tiada henti demi keberhasilan penulis.
9. Sahabat handaitaulan yang memberikan dukungan moral dan spritual yang tidak
dapat disebutkan satu persatu.
Akhirnya penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi kesehatan masyarakat
Indonesia, khususnya Kabupaten Taput.
Medan, Desember 2008
ix
10
RIWAYAT HIDUP
Nama : Tonny Lumban Tobing,
Tempat/Tanggal Lahir : Porsea, 07 September 1963
Agama : Kristen
Alamat : JL. Raja Johannes No. 92 Hutabarat Tarutung
Jumlah Anggota Keluarga : 3 (tiga) Orang
RIWAYAT PENDIDIKAN
Tahun 1969 – 1975 : SD HKBP Medan
Tahun 1975 – 1979 : SMP Kesatria Medan
Tahun 1979 – 1982 : SMA N 5 Medan
Tahun 1983- 1996 : FK. UMI Medan
Tahun 2005 sekarang : Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Medan, Program Studi Administrasi dan Kebijakan
Kesehatan.
RIWAYAT PEKERJAAN
1996 – 1999 : Kapus Parsingkaman Kec. Adian Koting Kab. Taput
2000 – 2001 : Kepala RSU. HKBP Nainggolan Samosir
2001– 2002 : Kapus Parlilitan Kec. Parlilitan Kab. Taput
2002 – 2005 : Kapus Butar Kec. Pagaran Kab. Taput
2005- sekarang : Kapus Siatas Barita Kec. Siatas Kab. Taput
x
11
DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK ............................................................................................... ......... vi ABSTRACT ........................................................................................................ vii KATA PENGANTAR......................................................................................... viii RIWAYAT HIDUP ............................................................................................ x DAFTAR ISI........................................................................................................ xi DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvii BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2. Permasalahan ....................................................................................... 6 1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................. 6 1.4. Hipotesis .............................................................................................. 7 1.5. Manfaat Penelitian ............................................................................... 7
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 8
2.1. Etiologi ................................................................................................. 8 2.2. Epidemiologi TB Paru .......................................................................... 9 2.3. Penularan TB Paru ............................................................................... 10
2.3.1. Gejala Penyakit TB Paru ........................................................... 11 2.3.2. Diagnosis TB Paru .................................................................... 12 2.3.3. Tipe Penderita TB Paru ............................................................. 15
2.4. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan ..................................................... 17 2.4.1. Prinsip – Prinsip Pendidikan Kesehatan ................................... 17 2.4.2. Perilaku Kesehatan .................................................................... 23
2.5. Lingkungan Perumahan ....................................................................... 24 2.5.1. Ventilasi ..................................................................................... 24 2.5.2. Tata Ruang dan Kepadatan Hunian ........................................... 25 2.5.3. Lantai Rumah ............................................................................ 26 2.5.4. Pencahayaan Ruangan ............................................................... 26
2.6. Landasan Teori .................................................................................... 27 2.7. Kerangka Konsep ................................................................................ 28
xi
12
BAB 3. METODE PENELITIAN ..................................................................... 29
3.1. Jenis Penelitian .................................................................................... 29 3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian .............................................. 29 3.3. Populasi dan Sampel ............................................................................ 29 3.4. Metode Pengumpulan Data ................................................................. 30 3.5. Definisi Operasional ............................................................................ 31 3.6. Metode Pengukuran Data .................................................................... 33 3.7. Metode Analisa Data ........................................................................... 33
BAB 4. HASIL PENELITIAN .......................................................................... 35
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................... 35 4.1.1. Letak Geografis dan Astronomis ............................................. 35 4.1.2. Luas Wilayah ........................................................................... 36 4.1.3. Sosiodemografi ........................................................................ 36 4.1.4. Sarana dan Tenaga Kesehatan ................................................. 38
4.2. Analisis Univariat ............................................................................... 39 4.2.1. Faktor Predisposisi ................................................................... 40 4.2.2. Faktor Enabling ........................................................................ 43 4.2.3. Faktor Reinforcing .................................................................... 45
4.3. Analisis Bivariat ................................................................................. 46 4.3.1. Hubungan Pendidikan dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru ....................................................... 47 4.3.2. Hubungan Pengetahuan dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru ....................................................... 48 4.3.3. Hubungan Sikap dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru ....................................................... 48 4.3.4. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru ....................................................... 49 4.3.5. Hubungan Ventilasi dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru........................................................ 50 4.3.6. Hubungan Pencahayaan Ruangan dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru........................................................ 50 4.3.7. Hubungan Lantai Rumah dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru........................................................ 51 4.3.8. Hubungan Pembinaan Petugas dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru........................................................ 52
xii
13
4.3.9. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru........................................................ 52
4.4. Analisis Multivariat............................................................................... 53 BAB 5. PEMBAHASAN ..................................................................................... 56
5.1. Faktor Predisposisi ................................................................................ 56 5.2. Faktor Enabling..................................................................................... 58 5.3. Faktor Reinforcing ................................................................................ 61 5.4. Strategi Pencegahan Penyakit TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara . 63 5.5. Aplikasi Model Regresi Logistik .......................................................... 64 5.6. Keterbatasan Peneliti............................................................................. 65
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 67 6.1. Kesimpulan ......................................................................................... 67 6.2. Saran .................................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 69
xiii
14
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman 3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ............................. 31 4.1. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ........................................... 36 4.2. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ............................................................ 37 4.3. Jumlah Tenaga Kesehatan Menurut Kecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ............................................................ 38 4.4. Jumlah Fasilitas Tenaga Kesehatan Menurut Kecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ....................................... 39 4.5. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Kelompok Umur di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008............................. 40 4.6. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008............................. 41 4.7. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ............................. 41 4.8. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Pengetahuan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ............................. 42 4.9. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Sikap di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ............................. 42 4.10. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Kepadatan Hunian di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008............................. 43 4.11. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Ventilasi di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ............................. 44 4.12. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Pencahayaan Ruangan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008............................. 44
xiv
15
4.13. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Lantai Rumah di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ............................. 45 4.14. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Pembinaan Petugas di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...................... 45 4.15. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Dukungan Keluarga di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ...................... 46 4.16. Hubungan Pendidikan dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ........................ 47 4.17. Hubungan Pengetahuan dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ........................ 48 4.18. Hubungan Sikap dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ........................ 48 4.19. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ....... 49 4.20. Hubungan Ventilasi dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ........................ 50 4.21. Hubungan Pencahayaan Ruangan dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ....... 50 4.22. Hubungan Lantai Rumah dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ........................ 51 4.23. Hubungan Pembinaan Petugas dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ....... 52 4.24. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 ....... 52 4.25. Uji Regresi Logistik untuk Identifikasi Variabel Dominan dalam Pencegahan Potensi Penularan dengan Nilai P < 0,25 .................... 54
xv
16
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman 2.1. Skema Modifikasi Teori Blum dan Green ...................................... 22 2.2. Kerangka Konsep ............................................................................ 28
xvi
17
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman 1. Kuesioner Penelitian ....................................................................... 71 2. Master Data Penelitian ................................................................... 88 3. Surat Izin Penelitian ....................................................................... 90 4. Surat Keterangan Selesai Penelitian ............................................... 92
xvii
18
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Derajat kesehatan merupakan salah satu indikator kemajuan suatu masyarakat.
Faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat diantaranya tingkat ekonomi,
pendidikan, keadaan lingkungan, kesehatan dan sosial budaya (Depkes RI, 2006)
TB paru merupakan penyakit infeksi kronik dan menular yang erat kaitannya dengan
keadaan lingkungan dan perilaku masyarakat. Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi
yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini ditularkan melalui udara
yaitu percikan ludah, bersin dan batuk. Penyakit TB paru biasanya menyerang paru akan
tetapi dapat pula menyerang organ tubuh lain (Aditama, 2002).
TB paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia. Penyakit TB paru
banyak menyerang kelompok usia produktif. Kebanyakan berasal dari kelompok sosial
ekonomi rendah dan tingkat pendidikan yang rendah (Aditama, 1994).
WHO (World Health Organization) tahun 1995, memperkirakan insiden TB paru
setiap tahun sebanyak 583.000 kasus dengan angka mortality sekitar 140.000 kasus. TB paru
merupakan penyebab kematian ketiga terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan
penyakit saluran pernapasan dan merupakan nomor satu terbesar penyebab kematian
dalam kelompok penyakit infeksi (Crofton, 2002).
19
TB paru adalah penyakit yang erat kaitannya dengan ekonomi lemah dan
diperkirakan 95% dari jumlah kasus TB paru terjadi di negara berkembang yang relatif
miskin. Menurut WHO tahun 1999, Indonesia merupakan penyumbang penyakit TB paru
terbesar nomor tiga di dunia sebanyak 583.000 kasus setelah India sebanyak 2 juta kasus
dan Cina sebanyak 1,5 juta kasus (Depkes RI, 2002).
Survei prevalensi TB paru yang dilaksanakan di beberapa negara seperti Ethiopia
189 per 100.000 penduduk BTA (+) pada kelompok umur di atas 14 tahun (2001), Cina 122
per 100.000 penduduk dengan BTA (+) (2000), Philipina 3,1 BTA(+) dan 8,1 kultur (+) per
1.000 penduduk, dan Korea 70 BTA (+) per 100.000 penduduk (1995) (Gotama, 2002).
Penyakit TB paru juga merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Diperkirakan
setiap tahun 450.000 kasus baru TB paru, dimana sekitar 1/3 penderita terdapat di
puskesmas, 1/3 di pelayanan rumah sakit, klinik pemerintah maupun swasta dan 1/3
ditemukan di unit pelayanan kesehatan yang tidak terjangkau seperti pengobatan
tradisional. Penderita TB paru di Indonesia sebagian besar terjadi pada kelompok usia
produktif dan sosial ekonomi rendah (Depkes RI,2004).
Upaya penurunan TB paru di Indonesia telah di mulai sejak diadakan simposium
pemberantasan TB paru di Ciloto tahun 1969. Namun sampai sekarang perkembangan
penanggulangan TB paru belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal ini terlihat
dari proporsi kematian akibat TB paru telah terjadi peningkatan dari tahun 1980, 1986, dan
1992 secara berturut‐turut 8,4%, 8,6%, dan 9,4% (Depkes RI, 1995).
20
Profil kesehatan Indonesia tahun 2004, cakupan penemuan kasus TB paru dengan
BTA (+) sebanyak 128.901 kasus. Propinsi dengan Case Detection Rate (CDR) terbesar adalah
Sulawesi Utara dengan ditemukan 3.056 kasus BTA (+), Gorontalo ditemukan 1.088 kasus
BTA (+), Sulawesi Selatan diperkirakan BTA (+) 9793 kasus (Depkes RI, 2004).
Insiden dan prevalensi dari hasil survei TB paru tahun 2004, tampak ada perbedaan
insiden dan prevalensi antara wilayah di Indonesia. Insiden BTA (+) bervariasi yaitu
64/100.000 penduduk untuk wilayah DI Yogyakarta dan Bali, 107/100.000 penduduk untuk
propinsi di Pulau Jawa (kecuali DI Yogyakarta) 160/100.000 penduduk untuk Sumatera dan
210/100.000 penduduk untuk propinsi‐propinsi di Wilayah Indonesia Timur (Depkes RI,
2004).
Kasus TB paru di Propinsi Sumatera Utara berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia
tahun 2004 diperkirakan BTA (+) 14.310 kasus dan ditemukan 12.145 kasus BTA (+)
(84,87%). Berdasarkan profil kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2004, kasus TB paru
sebanyak 12.145 orang dengan angka kesembuhan 67,07%, (8145 orang) tahun 2005
penderita TB paru sebanyak 14.548 orang dengan angka kesembuhan sebesar 53,98% (7853
orang).
Profil kesehatan Propinsi Sumatera Utara tahun 2005, penyakit TB paru terbanyak
berada di Kabupaten Tapanuli Selatan dengan jumlah kasus sebanyak 5.303 orang,
Kabupaten Deli Serdang dengan jumlah kasus sebanyak 816 orang, Kabupaten Labuhan Batu
dengan jumlah kasus sebanyak 809 orang.
21
Profil Kesehatan Kab. Tapanuli Utara tahun 2005, dilaporkan jumlah penderita TB
paru sebanyak 182 orang, tahun 2006 sebanyak 216 orang, tahun 2007 sebanyak 434 orang.
Sedangkan tahun 2008 dilaporkan jumlah penderita TB paru sebanyak 534 orang.
Peningkatan TB paru di Tapanuli Utara yang signifikan terjadi pada tahun 2007 sebesar
101,8%. Peningkatan kasus TB paru tersebut dipengaruhi oleh berbagai macam faktor
seperti perilaku masyarakat, keluarga, penderita, lingkungan dan kondisi rumah.
Pengamatan yang dilakukan terhadap perilaku masyarakat di Kabupaten Tapanuli
Utara yang tidak patuh dalam pengobatan TB paru membuat bakteri TB paru menjadi
resisten pada tubuh. Pengawasan selama proses pengobatan yang berlangsung tidak dapat
terlaksana dengan baik oleh keluarga maupun penderita sendiri. Penderita merasa
pengobatan yang dijalani tidak memberikan dampak yang signifikan sebagai upaya
penyembuhan penyakit TB paru yang di derita dalam waktu yang relatif singkat.
Perilaku sebahagian masyarakat di Tapanuli Utara juga menganggap bahwa penyakit
TB paru merupakan penyakit memalukan sehingga tidak mau segera mengunjungi
pelayanan kesehatan untuk segera mendapatkan pengobatan. Masyarakat di Tapanuli Utara
yang masih memiliki adat istiadat yang kental dan terkadang masih ada yang percaya
terhadap kekuatan gaib, menganggap bahwa penyakit TB paru merupakan penyakit yang
disebabkan oleh kekuatan gaib sehingga penderita TB paru melakukan pengobatan secara
tradisional. Perilaku masyarakat banyak memberikan peranan dalam penyebaran TB paru
dan kegagalan dalam pengobatan secara tuntas, sehingga setiap tahunnya selalu ada kasus
22
baru yang tercatat. Selain perilaku, lingkungan terutama kondisi rumah juga memiliki
peranan dalam penyebaran bakteri TB paru ke orang yang sehat. Bakteri TB paru yang
terdapat di udara saat penderita TB paru bersin akan dapat bertahan hidup lebih lama jika
keadaan udara lembab dan kurang cahaya. Penyebaran bakteri TB paru akan lebih cepat
menyerang orang sehat jika berada dalam rumah yang lembab, kurang cahaya dan padat
hunian.
Sikap masyarakat di Tapanuli Utara yang beranggapan bahwa TB paru merupakan
penyakit batuk biasa yang dapat sembuh dengan sendirinya dengan mengkonsumsi obat
batuk biasa yang dijual secara bebas juga menghambat upaya penanggulangan dan
penyembuhan TB paru. Penderita TB paru yang merasa batuknya merupakan batuk biasa
datang ke puskesmas setelah bakteri TB paru menyebar ke paru‐paru dan penderita
semakin lemah.
Menurut observasi lapangan yang dilakukan pada bulan April 2008 kondisi rumah
masyarakat di Tapanuli Utara yang kebanyakan kurang cahaya baik cahaya matahari
langsung maupun cahaya buatan menyebabkan bakteri TB paru dapat bertahan hidup
selama 3 bulan. Dengan kondisi bakteri TB paru yang bertahan hidup selama 3 bulan dan
rumah yang padat hunian mempunyai peluang besar untuk menimbulkan kasus baru dalam
satu rumah.
Berdasarkan survei awal tahun 2008 dan pengamatan yang dilakukan peneliti
terhadap jumlah kasus TB paru, perilaku masyarakat dan kondisi rumah di Tapanuli Utara
maka perlu dilakukan penelitian yang bersifat preventif dalam upaya penanggulangan
23
penyakit TB paru dengan memperhatikan perilaku penderita TB paru dan keluarga serta
kondisi rumah penderita sekaligus sebagai upaya penurunan dan penanggulangan kasus TB
paru di Kabupaten Tapanuli Utara.
1.2 Permasalahan
Upaya penanggulangan TB paru telah menjadi program nasional dengan
memberikan pengobatan gratis kepada penderita TB paru. Tetapi program tersebut belum
dapat terlaksana secara optimal dengan adanya insiden baru setiap tahunnya. Di Kabupaten
Tapanuli Utara penderita TB paru baru selalu muncul setiap tahunnya meskipun program
pemerintah telah dijalankan secara optimal. Berdasarkan kondisi tersebut maka muncul
suatu permasalahan yaitu bagaimana pengaruh perilaku dan kondisi rumah dalam upaya
pencegahan penularan TB paru di Kabupaten Tapanuli Utara.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh perilaku penderita dan
keluarga serta kondisi rumah dalam upaya pencegahan penularan TB paru di Kabupaten
Tapanuli Utara.
24
1.4 Hipotesis
Ada pengaruh perilaku penderita dan keluarga serta kondisi rumah masyarakat
dalam upaya pencegahan penularan TB paru di Kabupaten Tapanuli Utara.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan dan evaluasi dalam menetapkan serta menentukan
kebijakan kesehatan dalam upaya pencegahan penularan dan penurunan angka
penyakit TB paru.
2. Untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan.
xxv
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Etiologi
Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk
basil yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberkulosis dan dapat menyerang semua
golongan umur. Penyebaran TB paru melalui perantara ludah atau dahak penderita yang
mengandung basil tuberkulosis paru.
Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai
Batang Tahan Asam (BTA). Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada
tanggal 24 Maret 1882, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri tersebut diberi nama
baksil Koch. Bahkan, penyakit TBC pada paru‐paru kadang disebut sebagai Koch Pulmonum
(KP).
Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri
Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak‐
anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering
masuk dan terkumpul di dalam paru‐paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama
pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat menyebar melalui pembuluh
darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir
seluruh organ tubuh seperti: paru‐paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar
xxvi
getah bening, dan lain‐lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena yaitu
paru‐paru.
2.2. Epidemologi TB Paru
Survei prevalensi TB paru tahun 2004 di Indonesia dengan jumlah sampel 86.000
rumah tangga menemukan bahwa pengetahuan masyarakat yang berada di pedesaan lebih
rendah di banding masyarakat perkotaan mengenai gejala‐gejala penyakit TB paru,
penularan TB paru. Hasil survei juga menemukan bahwa sikap masyarakat pedesaan dalam
pencarian pengobatan TB paru lebih rendah dibanding masyarkat di perkotaan (Depkes RI,
2004).
Penelitian follow up yang dilakukan Gotama (2002), di Tangerang menyimpulkan
bahwa sanitasi perumahan yang jelek, pemakaian sumber air minum, dan air bersih yang
tidak terlindungi menyebabkan peningkatan kasus TB paru sebesar 0,5%.
Penelitian yang dilakukan Firdous (2005) di poli paru Rumah Sakit Persahabatan
jakarta menemukan bahwa faktor‐faktor yang mempunyai hubungan bermakna dengan
kesembuhan /ketidaksembuhan orang yang sedang berobat TB paru adalah merokok (OR =
7,78), penghasilan (OR = 7,56), pengetahuan tentang TB paru (OR = 5,51), sikap terhadap
proses poengobatan Tb paru (OR = 6,27), perilaku (OR
= 6,83), keadaan rumah di pandang dari segi kesehatan (OR = 6,68), program OAT gratis drai
pemerintah (OR = 4,15), PMO (OR = 4,52), keadaan gizi (OR = 9,95).
xxvii
Penelitian yang dilakukan Sukana (1998), di Daerah Tingkat II Kabupaten Tangerang,
diperoleh angka ketaatan minum obat penderita dengan memberdayakan tenaga anggota
keluarga lebih baik/berbeda makna dibandingkan dengan tanpa pemanfaatan anggota
keluarga tenaga PMO. Angka konversi BTA (+) setelah terapi intensif (2 bulan) adalah 81,8%
dan 62,5% untuk kasus dengan PMO dari anggota keluarga tanpa PMO, sedangkan angka
konversi BTA (‐) akhir terapi adalah masing‐masing 100%. Angka konversi dahak poenderita
setelah terapi intensif pada akhir terapi antara dua kelompok tidak berbeda makna (P>0,05).
2.3. Penularan TB paru
Sumber penularan TB paru adalah penderita TB paru BTA (+). Penularan terjadi pada
waktu penderita TB paru batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman bakteri ke udara
dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan
di udara pada suhu kamar selama beberapa jam, orang dapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup ke dalam pernapasan. Setelah kuman TB paru masuk kebagian tubuh
lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau
penyebaran langsung ke bagian‐bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2002).
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin
menular penderita TB paru tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat
kuman) maka penderita tersebut tidak menularkan. Kemungkinan seorang terinfeksi TB
paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut (Depkes RI, 2002).
xxviii
Perlu diketahui bahwa basil tuberkulosis dalam paru tidak hanya keluar ketika
penderita TB paru batuk. Basil tuberkulosis juga dapat keluar bila penderita bernyanyi,
bersin atau bersiul. Di Jepang dan Inggris telah ada beberapa kali laporan menunjukkan
penularan tuberkulosis pada murid sekolah, terutama yang duduk di barisan depan yang
tertular dari guru yang mengajar di depan kelas (Aditama, 1994).
Hal penting yang perlu diketahui bahwa tidak semua orang yang terhirup basil
tuberkulosis akan mejadi sakit, walaupun tidak sengaja menghirup basil tuberkulosis. Risiko
orang terinfeksi TB paru untuk menderita TB Paru pada ARTI (Annual Risik of Tuberculosis
Infenction) sebesar 1%. Hal ini berarti diantara 100.000 penduduk rata‐rata terjadi 100
penderita TB paru baru setiap tahun, dimana 50 penderita adalah BTA positif (Depkes RI,
2002).
2.3.1 Gejala Penyakit TB Paru
Gejala penyakit pada penderita TB paru dapat dibagi menjadi gejala lokal di paru
dan gejala pada seluruh tubuh secara umum. Gejala di paru tergantung pada banyaknya
jaringan paru yang sudah rusak karena gejala penyakit TB paru ini berkaitan bagaimana
bentuk kerusakan paru yang ada (Aditama, 1994).
Gejala paru seseorang yang dicurigai menderita TB paru dapat berupa:
1. Batuk lebih dari 3 minggu
2. Batuk berdarah
3. Sakit di dada selama lebih dari 3 minggu
xxix
4. Demam selama lebih dari 3 minggu
Semua gejala tersebut diatas mungkin disebabkan penyakit lain, tetapi bila terdapat
tanda‐tanda yang manapun diatas, dahak perlu dilakukan pemeriksaan (Crofton, 2002)
Gejala tubuh penderita tuberkulosis secara umum dapat berupa;
1. Keadaan umum, kadang‐kadang keadaan penderita TB paru sangat kurus, berat
badan menurun, tampak pucat atau tampak kemerahan
2. Demam, penderita TB paru pada malam hari kemungkinan mengalami kenaikan
suhu badan secara tidak teratur
3. Nadi, pada umumnya penderita TB paru meningkat seiring dengan demam
4. Dada, seringkali menunjukkan tanda‐tanda abnormal. Hal paling umum adalah
krepitasi halus di bagian atas pada satu atau kedua paru. Adanya suara pernapasan
bronkial pada bagian atas kedua paru yang menimbulkan Wheezing terlokalisasi
disebabkan oleh tuberkulosis (Crofton, 2002).
2.3.2. Diagnosis TB Paru
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksan jasmani
radiologi dan pemeriksaan laboratorium. Di Indonesia, pada saat ini uji tuberkulin tidak
mempunyai arti dalam menentukan diagnosis TB paru pada orang dewasa, sebab sebagian
besar masyarakat Indonesia sudah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis karena tingginya
prevalensi TB paru. Uji tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa orang yang
bersangkutan pernah terpapar Mycobacterium tuberculosis (Depkes RI, 2004).
1. Gejala Klinik
xxx
Gejala klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu, gejala respiratorik dan
gejala sistemik.
a. Gejala respiratorik dapat berupa
1) Batuk lebih atau sama dengan 3 minggu
2) Batuk darah
3) Sesak napas
4) Nyeri dada
b. Gejala sistemik
1) Demam
2) Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun.
2. Pemeriksaan Jasmani
Pemeriksaan jasmani akan dijumpai sangat tergantung luas dan kelainan struktural
paru. Pada awal perkembangan penyakit umumnya atau sulit sekali menemukan kelainan.
Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan
segmen posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas lemah, ronkhi basa, tanda‐
tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum (Aditama, 2002).
3. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologi standar adalah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi:L foto apiko‐lordotik, oblik, CT scan. Pada pemeriksaan foto
xxxi
toraks tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam‐macam bentuk (multiforom).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:
a. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah.
b. Kapitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan berawan atau nodular.
c. Bayangan bercak milier.
d. Efusi pleura unilateral.
Gambaran radiologist yang dicurigai lesi TB inaktif:
a. Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
b. Kalsifikasi atau fibrotik
c. Fibrothorax dan atau penebalan pleura
4. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat berupa pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan
darah dan uji tuberkulin.
a. Pemeriksaan bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahkan untuk pemeriksaan bakteriologi
ini dapat berasal dari sputum, bilasan bronkhitis, jaringan paru, cairan pleura
b. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju Endap Darah (LED) jam pertama dan kedua dibutuhkan. Data ini dapat
xxxii
dipakai sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologi penderita,
sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta
kemungkinan sebaga predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar
limfosit dapat menggambarkan biologik/daya tahan tubuh penderita, yaitu dalam keadaan
supresi/tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal
tidak menyingkirkan tuberkulosis.
c. Uji Tuberkulin
Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB paru di darah
dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang
tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti apalagi pada
orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang
dilakukan sebelumnya atau apabila ada kepositifan uji yang di dapat besar sekali atau timbul
bulae.
2.3.3. Tipe Penderita TB Paru
Tipe penderita ditetntukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe penderita, yaitu:
1. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
xxxiii
2. Kambuh (Relaps)
Adalah penderita TB paru yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif.
3. Pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten/kota lain
dan kemudian pindah berobat ke kabupaten/kota lain. Penderita pindahan tersebut harus
membawa surat rujukan/pindah.
4. Lalai
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan
atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
5. Lain‐lain
a. Gagal
Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif
pada akhir bulan ke‐5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih).
b. Kronis
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan basil BTA positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori 2 (depkes RI, 2002).
Program penanggulangan Tuberkulosis (DepKes 2002).
xxxiv
Strategi :
1. Paradigma Sehat
a. Meningkatkan penyuluhan untuk menemukan kontak sedini mungkin, serta
meningkatkan cakupan program.
b. Promosi kesehatan dalam rangka meningkatkan perilaku hidup sehat.
c. Perbaikan perumahan serta peningkatan status gizi, pada kondisi tertentu.
2. Strategi DOTS, sesuai rekomendasi WHO
a. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.
b. Diagnosa TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
c. Pengobatan dengan panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
d. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.
e. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan
evaluasi program penanggulangan TBC.
3. Peningkatan mutu pelayanan.
a. Pelatihan seluruh tenaga pelaksana.
b. Ketetapan diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik.
c. Kualitas labolatorim diawasi melalui pemeriksaan uji silang (cross check).
xxxv
d. Untuk menjaga kualitas pemeriksaan labolatorium, dibentuklah KPP (Kelompok
Puskesmas Pelaksana) terdiri dari 1 (satu) PRM (Puskesmas Rujukan Mikroskopik)
dan beberapa PS (Puskesmas Satelit). Untuk daerah dengan geografis sulit dapat
dibentuk PPM (Puskesmas Pelaksana mandiri).
e. Ketersediaan OAT bagi semua penderita TBC yang ditemukan.
f. Pengawasan kualitas OAT dilaksanakan secara berkala dan terus menerus.
g. Keteraturan menelan obat sehari – hari diawasi oleh pengawas oleh Pengawas
Menelan Obat (PMO). Keteraturan pengobatan tetap merupakan tanggung jawab
petugas kesehatan.
h. Pencatatan dan pelaporan dilaksanakan dengan teratur, lengkap dan benar.
2.4. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan
2.4.1. Prinsip‐Prinsip Pendidikan Kesehatan
Semua petugas kesehatan telah mengakui bahwa pendidikan kesehatan itu penting
untuk menunjang program‐program kesehatan lain, tetapi pada kenyataannya pengakuan
ini tidak didukung oleh kenyataan. Program‐program pelayanan kesehatan kurang
melibatkan pendidikan kesehatan, meskipun ada tetapi kurang efektif. Argumentasi yang
dikemukakan untuk hal ini adalah karena pendidikan kesehatan itu tidak segera dan tidak
jelas memperlihatkan hasilnya. Dengan perkataan lain pendidikan kesehatan itu tidak segera
membawa manfaat bagi masyarakat, yang dapat dengan mudah dilihat atau diukur, karena
xxxvi
pendidikan adalah behavior investment jangka panjang. Hasil investment pendidikan
kesehatan baru dapat dilihat beberapa tahun kemudian. Dalam waktu yang pendek
(immediate impact) pendidikan kesehatan hanya menghasilkan perubahan atau
peningkatan pengetahuan masyarakat, sedangkan peningkatan pengetahuan saja, belum
berpengaruh langsung terhadap indikator kesehatan.
Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku, sebagai hasil jangka
menengah (intermediate impact) dari pendidikan kesehatan. Selanjutnya perilaku kesehatan
akan berpengaruh kepada meningkatnya indikator kesehatan masyarakat sebagai keluaran
(outcome) pendidikan kesehatan. Hal ini berbeda dengan program kesehatan yang lain,
terutama program pengobatan yang dapat langsung memberikan hasil (immediate impact)
terhadap penurunan kesakitan.
Menurut H.L. Blum di Amerika Serikat, sebagai salah satu negara yang sudah maju.
Belum menyimpulkan bahwa lingkungan mempunyai andil yang paling besar terhadap
status kesehatan, dan berturut‐turut disusul oleh perilaku, memberikan andil nomor dua,
dan keturunan mempunyai andil yang paling kecil
terhadap suatu kesehatan (Notoatmodjo,2002).
Bagaimana proporsi pengaruh faktor‐faktor tersebut terhadap status kesehatan
dinegara‐negara berkembang terutama di Indonesia, belum ada penelitiannya. Bila
dilakukan penelitian, mungkin perilaku mempunyai kontribusi yang lebih besar. Meskipun
variabel ekonomi di sini belum mewakili seluruh variabel lingkungan, tetapi paling tidak
pengaruh perilaku lebih besar daripada variabel lain.
xxxvii
Selanjutnya Green dan Marshall (2005) menjelaskan bahwa perilaku itu
dilatarbelakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni : faktor‐faktor predisposisi
(predisposing factors), faktor‐faktor yang mendukung (enabling factor) dan faktor‐faktor
yang memperkuat atau mendorong (reinforcing factor). Oleh sebab itu, pendidikan
kesehatan sebagai faktor usaha intervensi perilaku harus diarahkan kepada ketiga faktor
pokok tersebut.
Faktor predisposisi adalah faktor yang dapat mempermudah atau
mempredisposisikan terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat. Beberapa
komponen yang termasuk faktor predisposisi yang berhubungan langsung dengan perilaku,
antara lain pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai‐nilai, dan menyadari kemampuan dan
keperluan seseorang atau masyarakat terhadap apa yang dilakukannya. Hal ini berkaitan
dengan motivasi dari individu atau kelompok untuk melakukan sesuatu tindakan , (Green
dan Marshall, 2005).
Sebagai contoh perilaku masyarakat untuk memeriksakan kesehatannya akan lebih
baik, jika masyarakat tahu apa manfaat periksa kesehatan tahu siapa dan dimana periksa
kesehatan tersebut dilakukan. Demikian pula, perilaku tersebut akan dipermudah jika
masyarakat yang bersangkutan mempunyai sikap yang positif terhadap periksa kesehatan.
Kepercayaan, tradisi, sistem, nilai di masyarakat setempat juga dapat mempermudah
(positif) atau mempersulit (negatit) perilaku seseorang, (Notoatmodjo, 2005).
Pada umumnya, faktor enabling memudahkan penampilan seseorang atau
masyarakat untuk melakukan suatu tindakan. Faktor ini meliputi sumber‐sumber daya
xxxviii
pelayanan kesehatan dan masyarakat yaitu ketersediaan, kemudahan, dan kesanggupan.
Termasuk juga keadaan fasilitas orang untuk bertindak seperti ketersediaan transportasi
atau ketersediaan program kesehatan. Faktor enabling juga meliputi keterampilan orang,
organisasi, atau masyarakat untuk melaksanakan perubahan perilaku, (Green dan. Marshall,
2005).
Faktor enabling menjadi target langsung dari organisasi masyarakat atau
perkembangan organisasi dan intervensi training dalam suatu program dan terdiri dari
somber daya dan keahlian baru yang diperlukan untuk melakukan tindakan kesehatan dan
tindakan kemasyarakatan yang diperlukan untuk mengubah lingkungan. Sumber daya
meliputi organisasi, individu dan kemudahan dari fasilitas
pelayanan kesehatan, sekolah dan klinik. Keahlian kesehatan perorangan seperti pendidikan
kesehatan sekolah, merupakan tindakan kesehatan khusus. Keahlian dalam rnempengaruhi
masyarakat, digunakan untuk tindakan sosial dan perubahan masyarakat dalam melakukan
tindakan kesehatan, (Green dan Marshall, 2005).
Menurut Notoatmodjo (2005), faktor enabling adalah faktor pemungkin atau
pendukung seperti fasilitas, sarana, atau prasarana yang mendukung atau yang
memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat.
Faktor reinforcing adalah konsekuensi dari determinan perilaku, dengan adanya
umpan balik (feedback) dan dukungan sosial. Faktor reinforcing meliputi dukungan sosial,
pengaruh dan informasi serta feedback oleh tenaga kesehatan. Dalam pengembangan
program kesehatan, sumber daya yang mendukung sangat tergantung pada tujuan dan jenis
xxxix
program. Dalam program kesehatan kerja, sumber daya manusia adalah pekerja, supervisor,
pemimpin; dan anggota keluarganya dapat
menjadi penguat program. Dalam perencanaan perawatan pasien, sebagai penguat
(reinforcement) adalah perawat pasien, dan anggota keluarganya, (Green dan Marshall
2005).
Reinforcing dapat positif atau negatif, tergantung dari sikap dan perilaku orang di
dalam lingkungannya (Green dan Marshall, 2005).
Pendapat Blum dan Green dapat dimodifikasi sebagai berikut :
Keturunan
Pelayanan Status Lingkungan
Kesehatan Kesehatan
Perilaku
Predisposing Factors
(pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi,
Enabling Factors
(ketersediaan sumber‐sumber/fasilitas)
Reinforcing Factors
(sikap dan perilaku
xl
Pemeberdayaan Pada Masyarakat Pemasaran Sosial Pengembangan Organisasi
Komunikasi
Dinamika
Training Pengembangan organisasi
Pendidikan Kesehatan
Sumber : Notoadmodio (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan.
Gambar 2.1.: Skema Modifikasi Teori Blum dan Green
Dari skema tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa, peranan pendidikan
kesehatan adalah melakukan intervensi faktor perilaku, sehingga perilaku individu,
kelompok atau masyarakat sesuai dengan nilai‐nilai kesehatan. Dengan perkataan lain
pendidikan kesehatan adalah suatau usaha untuk menyediakan kondisi
psikologis dari sasaran, agar mereka berperilaku sesuai dengan tuntutan nilai‐nilai
kesehatan (Notoatmodjo. S, 2003).
2.4.2. Perilaku Kesehatan
Perilaku dari pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang
bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia
xli
itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia mempunyai bentangan yang sangat luas,
mencakup : berbicara, berjalan, bereaksi, berpakaian, dan lain sebagainya. Bahkan kegiatan
internal seperti berpikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Untuk
kepentingan kerangka analisis dapat dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang dibedakan
oleh organisme tesebut baik dapat diamati secara langsung atau tidak langsung
(Notoatmodjo. S, 2003).
Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme tersebut
dipengaruhi oleh faktor genetik (keturunan) dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan
bahwa faktor genetik dan lingkungan ini merupakan penentu dari perilaku makhluk hidup,
termasuk perilaku manusia. Heriditas atau faktor keturunan adalah merupakan konsep
dasar atau modal untuk perkembangan perilaku makhluk itu untuk selanjutnya. Di sisi lain,
lingkungan adalah merupakan kondisi atau lahan untuk perkembangan perilaku tersebut.
Suatu mekanisme pertemuan antara kedua faktor tersebut dalam rangka terbentuknya
perilaku disebut proses belajar.
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus yang
berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta
lingkungan. Batasan ini mempunyai dua unsur pokok, yakni respon dan stimulus atau.
perangsangan. Respon atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan
sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata). Sedangkan stimulus atau rangsangan di
sini terdiri 4 (empat) unsur pokok, yakni sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan
lingkungan (Notoatmodjo. S, 2003).
xlii
2.5. Lingkungan Perumahan
Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam menentukan terjadinya
proses interaksi antara pejamu dengan unsur penyebab dalam proses terjadinya penyakit.
Secara garis besar lingkungan perumahan terdiri dari lingkungan fisik, biologis dan sosial.
Lingkungan fisik perumahan berpengaruh terhadap manusia baik secara langsung
maupun tidak terhadap lingkungan biologis dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik meliputi
udara, kelembaban, air, pencemaran udara, pencahayaan, ventilasi rumah, dan lain
sebagainya.
2.5.1. Ventilasi
Ventilasi adalah suatu usaha untuk memelihara kondisi atmosphere yang
menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia di dalam rumah. Atmosphere yang ideal
adalah bila udaranya kering tapi sejuk dan sirkulasi gerakan angin yang terus menerus. Inilah
sebenarnya fungsi ventilasi, menyediakan udara segar dan melenyapkan udara yang jenuh
dan tidak ada sangkut pautnya dengan kondisi khemis.
Mc. Nall dalam buku perumahan sehat karangan Pandapotan Lubis, bahwa
temperatur optimal di dalam rumah adalah 73 – 770F (23 – 250C), kelembaban antara 20 –
60%. Josef Lubart menganjurkan batas antara 680F dengan kelembaban relatif 50% sampai
dengan 760F.
Udara yang bersih merupakan komponen utama di dalam rumah dan sangat
diperlukan oleh manusia untuk hidup secara sehat. Sirkulasi udara berkaitan dengan
xliii
masalah ventilasi. Untuk itu luas ventilasi alamiah yang permanen seharusnya dirancang
10% dari luas lantai (Depkes RI, 1999).
Penelitian yang dilakukan Sumarjo (2004) di Kabupaten Banjarnegara mendapatkan
bahwa ada hubungan ventilasi rumah dengan kejadian TB paru dengan nilai OR = 6,176, p =
0,003.
2.5.2. Tata Ruang dan Kepadatan Hunian
Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai fungsinya. Penentuan
bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu memperhatikan standar minimal jumlah ruangan.
Sebab rumah tinggal harus mempunyai ruangan yaitu kamar tidur, kamar tamu, ruang
makan, dapur, kamar mandi dan kakus.
Studi terhadap kondisi rumah menunjukkan hubungan yang tinggi antara koloni
bakteri dan kepadatan hunianper meter persegi sehingga efek sinergis yang diciptakan
sumber pencemar mempunyai potensi menekan reaksi kekebalan bersama dengan
terjadinya peningkatan bakteri patogen dengan kepadatan hunian pada setiap keluarga.
Dengan demikian bakteri TBC dirumah penderita TB paru semakin banyak, bila jumlah
penghuni semakin banyak jumlahnya. Jadi ukuran rumah yang kecil dengan jumlah
penghuni yang padat serta jumlah kamar yang sedikit akan memperbesar kemungkinan
penularan TB paru melalui droplet dan kontak langsung.
Untuk menilai kepadatan penghuni dalam rumah, konsep dari Fakultas Teknik
Universitas Indonesia (FT. UI, 1998) menggunakan luas rumah per penghuni yang dibedakan
xliv
dalam 5 kategori yaitu ≤ 3,9m2/orang, 4‐5 m2/orang, 5‐6,9m2/orang, 7‐8m2/orang dan
≥9m2/orang. Depkes RI (1999) menetapkan bahwa luas ruang tidur minimal 8 meter, dan
tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur.
Penelitian Daryatno tahun 2000 di Semarang mendapatkan bahwa kepadatan
hunian ada kaitan dengan kejadian tersangka TB paru. Penelitian yang dilakukan Sugiharto
tahun 2004 juga menemukan bahwa ada hubungan kepadatan hunian ruang tidur dengan
kejadian TB paru dengan nilai OR = 3,161, 0 = 0,001.
2.5.3. Lantai Rumah
Kualitas tanah pada perumahan harus memenuhi syarat sebagai berikut: a) timah
hitam (Pb) maksimal 300 mg/kg, b) arsenik total maksimal 100 mg/kg, c) cadmium (Cd)
maksimal 20 mg/kg dan Benzo pyrene maksimal 1 mg/kg (Depkes RI, 1999).
Komposisi tanah tergantung kepada proses pembentukan, iklim, jenis tumbuhan
yang ada, suhu, air yang ada. Tanah merupakan sumber daya alam yang mengandung bahan
organik dan anorganik yang mampu mendukung hara dan air yang perlu ditambah untuk
pengganti yang habis pakai (Modul Kuliah pasca sarjana, 2005).
2.5.4. Pencahayaan Ruangan
Bakteri TBC akan mati jika terpapar cahaya matahari secara langsung memerlukan
waktu sekitar 6‐8 jam dan cahaya ruangan yang kurang sekitar 2 – 7 hari. Sputum yang
mengandung bakteri TBC di dalam ruangan yang gelap dapat hidup berminggu‐minggu atau
berbulan‐bulan (Default dalam Crofton, 2002).
xlv
Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat
menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan (Depkes RI,
1999).
2.6. Landasan Teori
MacMahon dan Pugh (1970) dalam Murti (2003) mengemukakan bahwa setiap efek
atau penyakit tak pernah tergantung kepada sebuah faktor penyebab, tetapi tergantung
kepada sejumlah faktor dalam rangkaian kausalitas sebelumnya. Faktor‐faktor yang
memudahkan terjadinya efek disebut promotor sedangkan yang menghambat
terjadinya efek disebut inhibitor.
Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan bakteri berbentuk
basil yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberkulosis dan dapat menyerang semua
golongan umur. Penyebaran TB paru melalui perantara ludah atau dahak penderita yang
mengandung basil tuberkulosis paru.
Penyebaran penyakit TB paru dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain lingkungan
sanitasi perumahan seperti pencahayaan, ventilasi, kepadatan hunian, lantai rumah, status
gizi, daya tahan tubuh.
xlvi
2.7. Kerangka Konsep
Berdasarkan uraian latar belakang dan studi kepustakaan maka peneliti membuat
suatu kerangka konsep penelitian seperti di bawah ini.
Faktor Predisposisi
1. Umur 2. Pendidikan 3. Pengetahuan
Tingkat Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Faktor Enabling
1. Kepadatan Hunian 2. Ventilasi 3. Pencahayaan ruangan
i h
Faktor Reinforcing
1. Dukungan Keluarga
Gambar 2.2. Kerangka Konsep
xlvii
AB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian bersifat analitik dengan rancangan penelitian
yang digunakan adalah, cross sectional yang mempelajari hubungan antara faktor
independen dengan faktor dependen.
3.2. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Tapanuli Utara karena berdasarkan survei awal
yang dilakukan jumlah kasus TB paru meningkat selama tahun 2008 sebanyak 534 orang
dibandingkan pada tahun 2007 sebanyak 436 orang. Waktu penelitian dimulai bulan April
2008 berlangsung selama 6 (enam) bulan.
3.3. Populasi dan sampel
3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian adalah penderita TB paru di Kabupaten Tapanuli Utara
tahun 2008 sebanyak 534 orang.
xlviii
)1,0(5341534
2+=n
3.3.2. Sampel
Sampel penelitian adalah populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria
eksklusi yang dapat mewakili keberadaan dari suatu populasi yang benar. Besar sampel
penelitian ini didapat melalui perhitungan dengan menggunakan rumus Toro Yamani, di
dalam Notoadmodjo 2005, sebagai berikut:
)(1 2dNNn
+=
Keterangan : n = besar sampel
N = besar populasi
d = tingkat kepercayaan dalam penelitian adalah 10%.
Sampel dalam penelitian ini dengan menggunakan rumus berdasarkan besar jumlah
populasi, maka sampel yang akan digunakan sebanyak 100 kasus. Pengambilan sampel
dilakukan dengan kriteria inklusi yaitu telah menderita batuk lebih dari 3 minggu, menderita
demam lebih dari 3 minggu, dan bersedia untuk dilakukan wawancara, sedangkan kriteria
eksklusi jika responden meninggal atau pindah dan tidak mau untuk dilakukan wawancara.
xlix
3.4. Metode Pengumpulan Data
1. Data Primer
Pengumpulan data langsung dari hasil wawancara terhadap responden yaitu:
dengan menggunakan instrument penelitian berupa kuesioner. Data primer yang
dikumpulkan adalah semua data yang termasuk variabel independen dan variabel
dependen.
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh, catatan hasil pemeriksaan sputum dan formulir laporan
puskesmas dan rumah sakit serta data‐data yang ada di dinas kesehatan Kabupaten
Tapanuli Utara.
Ancok (Singarimbun,1987) menyatakan bahwa alat ukur dilakukan sahih apabila alat
ukur tersebut dapat mengukur konsep yang sebenarnya ingin diukur.
Apabila peneliti menggunakan kuesioner sebagai instrumen untuk pengumpulan data,
maka kuesioner tersebut harus dapat mengukur konsep yang hendak diukur. Untuk menguji
keterandalan instrumen, dilakukan uji ketepatan (validitas) dan uji ketelitian (reliabilitas).
3.5. Definisi Operasional
Tabel 3.1. Defenisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Variabel Independent
Sub
Variabel Defenisi Alat Ukur Hasil Ukur Kriteria Skala
Faktor Umur Usia responden penelitian di hitung
Kuesioner 1. 17 – 20 thn 2. 21 – 30 thn
Ordinal
l
dari tanggal lahir sampai dengan ulang tahun terakhir
3. 31 ‐ 40 thn 4. 40 – 50 thn 5. > 50 thn
Jenis Kelamin
Identitas yang menunjukkan perbedaan responden
Kuesioner 0 = perempuan
1 = laki‐laki
Nominal
Predisposisi
Pendidikan Pendidikan fomal
tertinggi yang
pernah dijalani oleh
responden dengan
mendapat ijazah
Kuesioner 1. Tidak Sekolah
2. SD 3. SLTP 4. SLTA 5. DIII/PT
Rendah
Tinggi
Ordinal
Pengetahuan Segala sesuatu yang diketahui responden tentang penyakit TB paru
Kuesioner Jawaban benar < 35%.
Jawaban benar ≥35 %
Kurang
Baik
Ordinal
Sikap Suatu tindakan atau perilaku reponden dalam mengatasi atau mampu melaksanakan pelanggulangan penyakit TB Paru.
Kuesioner Jawaban benar < 35%.
Jawaban benar ≥ 35 %
Kurang
Baik
Ordinal
li
Lanjutan Tabel 3.1.
Kepadatan Hunian
Jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah:
1. 2‐3 orang
2. 4‐5 orang
3. > 5 orang
Kuesioner 1. Baik 2. Kurang
Nominal
Ventilasi Kondisi rumah yang memiliki sirkulasi udara keluar masuk yang cukup dengan luas ventilasi minimal 10% dari luas lantai.
Kuesioner 1. Ya 2. Tidak
Nominal
Pencahayaan sinar
matahari
Kondisi masuknya cahaya matahari yang dapat menerangi keseluruh ruangan
Kuesioner 1. Ya 2. Tidak
Nominal
Faktor Enabling
Lantai Rumah
Kondisi keadaan ubin yang digunakan responden sebagai dasar rumah
Kuesioner 1. Ya 2. Tidak
Nominal
Faktor Reinforcing
Pembinaan Petugas
Ada tidaknya bimbingan dan penyuluhan yang dilakukan petugas
kesehatan terhadap responden
Kuesioner 1. Ada 2. Tidak Ada
Nominal
Dukungan Ada tidaknya Kuesioner 1. Ada 2. Tidak Ada
Nominal
lii
Keluarga dukungan keluarga terhadap responden
Variabel Dependent
Pencegahan Potensi
penularan TB Paru
Adalah suatu kegiatan yang dilakukan responden dalam penanganan pelanggulangan penyakit TB Paru
Kuesioner Jawaban benar < 35%.
Jawaban benar 35‐70%
Jawaban benar ≥70 %
Kurang
Sedang
Baik
Ordinal
3.6. Metode Pengukuran data
Untuk mengukur tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan dengan mengunakan
kuesioner dalam bentuk pertanyaan tertutup dengan kategori :
a. Kurang
b. Cukup
3.7. Metode Analisa Data
Metode analisa data yang digunakan adalah regresi logistic berganda pada α =
0,05 bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor karakteristik, perilaku (pengetahuan,
sikap dan tindakan). Kondisi rumah (kepadatan hunian, ventilasi, pencahahayaan ruangan,
lantai rumah).
3.7.1. Analisis Univariat
Untuk melihat distribusi variabel independen meliputi karakteristik, perilaku dan
sanitasi rumah yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi.
liii
3.7.2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan variabel independen
(pengetahuan, sikap, kepadatan hunian, ventilasi pencahayaan ruangan dan lantai rumah)
dengan variabel dependen (pencegahan potensi TB Paru), menggunakan uji Chi kuadrat
dengan α = 0.05.
3.7.3. Analisis Multivariat
Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel bebas
dengan variabel terikat yang mempunyai kemaknaan statistik pada analisis bivariat,
melalui analisis regresi logistik berganda (Multiple Logistic Regression) untuk
mencari faktor risiko yang paling dominan pada beberapa variabel yang dilakukan
secara bersama-sama terhadap terjadinya TB paru. Tahapan analisis multivariat yang
akan dilakukan adalah sebagai berikut (Murti, 1997):
1. Melakukan analisis pada model univariat pada setiap variabel dengan tujuan
untuk mengestimasi peranan masing-masing variabel.
2. Melakukan pemilahan variabel yang potensial untuk dimasukkan dalam
model. Variabel yang dipilih atau yang dianggap signifikan adalah variabel
yang mempunyai nilai p kurang dari 0,05 (p<0,05)
3. Penentuan faktor-faktor penyebab TB paru, variabel yang akan dimasukkan
adalah variabel yang mempunyai nilai p kurang dari 0,05.
liv
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1. Letak Geografis dan Astronomis
Kabupaten Tapanuli Utara merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Sumatera
Utara terletak di wilayah pengembangan dataran tinggi Sumatera Utara berada pada
ketinggian antara 300‐1.500 meter di atas permukaan laut. Topografi dan kontur tanah
Kabupaten Tapanuli Utara beraneka ragam yaitu datar 3,15%, landai 26,86%, miring 25,62%
dan terjal 44,35%.
Secara astronomis Kabupaten Tapanuli Utara berada pada posisi 10° 20° ‐20° 41°
Lintang Utara dan 98° 05°‐ 99° 16° Bujur Timur. Sedangkan secara geografis letak Kabupaten
Tapanuli Utara di apit atau berbatasan langsung dengan 5 Kabupaten yaitu:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir
2. Sebelah Timur berbatasan Kabupaten Labuhan Batu
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Humbang Hasundutan dan
Tapanuli Tengah.
lv
Letak Geografis dan Astronomis Kabupaten Tapanuli Utara ini sangat menguntungkan
karena berada jalur lintas dari beberapa Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara.
4.1.2 Luas Wilayah
Luas wilayah Kabupaten Tapanuli Utara sekitar 3.800,31 km2 terdiri dari luas
dataran 3.793,71 km2 dan luas perairan Danau Toba 6,60 km2. Terdiri dari 15 Kecamatan,
225 Desa/Kelurahan (214 Desa dan 11 Kelurahan). Kecamatan yang paling luas di Kabupaten
Tapanuli Utara adalah Kecamatan Garoga sekitar 567,58 km2 atau 14,96% dari luas
Kabupaten dan Kecamatan yang terkecil luasnya yaitu Kecamatan Muara sekitar 79,75 km2
atau 2,10%.
4.1.3. Sosiodemografi
Jumlah penduduk Kabupaten Tapanuli Utara sebesar 262.642 jiwa yang terdiri dari :
laki‐laki 130.429 jiwa, dan perempuan 132.213 jiwa.
lvi
Tabel 4.1. Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
Jumlah Penduduk No Kelompok Umur (Tahun)
Laki‐laki % Perempuan %
1 < 1 3.901 2,99 3.913 2,96
2 1 – 4 12.353 9,47 11.468 8,67
3 5 – 14 36.197 27,76 33.765 25,54
4 15 – 44 53.722 41,19 51.861 39,23
5 45 – 64 18.342 14,06 21.433 16,21
6 ≥ 65 5.914 4,53 9.773 7,39
Jumlah 130.429 100,00 132.213 100,00
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten
Tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur
menurut jenis kelamin laki‐laki di Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2008 yang terbanyak
adalah pada kelompok umur 15‐44 tahun yaitu 53.722 orang atau sekitar 41,19% dan yang
terkecil pada kelompok umur <1 tahun yaitu 3.091 atau sekitar 2,99% dan pada jenis
kelamin perempuan yang terbanyak pada kelompok umur 15‐44 tahun yaitu 51.861 atau
sekitar 39,23% dan terkecil pada kelompok umur <1 tahun yaitu 3.913 atau sekitar 2,96%.
Tabel 4.2. Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan Di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
lvii
No Tingkat Pendidikan Jumlah %
1 Tidak Sekolah 105.345 40,11
2 SD 53.106 20,22
3 SLTP 56.784 21,62
4 SLTA 42.180 16,06
5 DIII/PT 5.227 1,99
Total 262.642 100,00
Sumber : Profil Kesehatan Kabupaten
Tabel 4.2 diatas dapat dilihat bahwa jumlah penduduk berdasarkan tingkat
pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008 terbanyak pada tingkat pendidikan
tidak sekolah sebesar 105.345 atau sekitar 40,11% dan yang terkecil pada DIII/PT yaitu
sebesar 5.227 atau sekitar 1,99%.
lviii
4.1.4. Sarana dan Tenaga Kesehatan
Tabel 4.3 Jumlah Tenaga Kesehatan Menurut Kecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
No Kecamatan Dokter % Bidan % Perawat %
1. Parmonangan 3 4,68 4 1,01 9 4,33
2. Adian Koting 2 3,13 15 3,82 9 4,33
3. Sipoholon 7 10,94 65 16,53 21 10,10
4. Tarutung 4 6,25 38 9,67 16 7,69
5. Siatas Barita 4 6,25 19 4,84 10 4,81
6. Pahae Julu 1 1,56 16 4,07 7 3,37
7. Pahae Jae 5 7,81 18 4,58 3 1,44
8. Purbatua 2 3,13 6 1,53 2 0,96
9. Simangumban 2 3,13 5 1,27 3 1,44
10. Pangaribuan 4 6,25 16 4,07 13 6,25
11. Garoga 1 1,56 11 2,80 6 2,88
12. Sipahutar ‐ ‐ 24 6,11 4 1,92
13. Siborong‐borong 3 4,68 46 11,71 17 8,17
14. Pagaran 2 3,13 16 4,07 11 5,29
15. Muara 2 3,13 15 3,82 13 6,25
lix
16. Dinas Kesehatan 3 4,68 ‐ ‐ 6 2,88
17. Rumah Sakit Umum 19 29,69 79 20,10 58 27,89
Total 64 100,0 393 100,0 208 100,0
Sumber : Dinas Kesehatan Kab. Tapanuli Utara
Berdasarkan tabel 4.3 diatas dapat diketahui bahwa jumlah tenaga kesehatan
dokter menurut kecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara adalah 64 orang, perawat 208
orang, Bidan 393 orang.
Tabel 4.4 Jumlah Fasilitas Tenaga Kesehatan Menurut Kecamatan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
No Kecamatan Rumah Sakit
Umum Puskesmas
Biasa Puskesmas Rawat Inap
Puskesmas Pembantu
Polindes Posyandu
1. Parmonangan ‐ 2 ‐ 4 10 24
2. Adian Koting ‐ 1 ‐ 6 8 17
3. Sipoholon ‐ 2 ‐ 5 33 36
4. Tarutung 1 1 ‐ 5 13 39
5. Siatas Barita ‐ 1 ‐ 4 3 15
6. Pahae Julu ‐ 1 ‐ 4 13 24
7. Pahae Jae ‐ ‐ 1 1 10 17
8. Purbatua ‐ 1 ‐ 1 ‐ 14
9. Simangumban ‐ 1 ‐ ‐ ‐ 9
10. Pangaribuan ‐ 1 1 7 10 36
11. Garoga ‐ ‐ 1 6 8 23
lx
12. Sipahutar ‐ ‐ 1 3 12 35
13. Siborong‐borong ‐ 1 ‐ 6 13 34
14. Pagaran ‐ ‐ 1 4 9 21
15. Muara ‐ 1 ‐ 3 14 18
Total 1 13 5 59 156 362
Sumber : Dinas Kesehatan Kab. Taput
Berdasarkan tabel 4.4 diatas dapat diketahui bahwa jumlah rumah sakit di
Kabupaten Tapanuli Utara tahun 2007 sebanyak 1 unit, puskesmas biasa 13 unit, puskesmas
rawat inap 5 unit, pustu 59 unit, polindes 156 unit dan posyandu 362 unit.
4.2. Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mendapatkan gambaran distribusi
frekuensi atau besarnya proporsi baik pada kasus maupun kontrol pada masing-
masing variabel yang diteliti.
4.2.1. Faktor Predisposisi
Hasil analisis univariat pada faktor predisposisi (umur, jenis kelamin, pendidikan,
pengetahuan dan sikap) dapat dilihat secara rinci pada tabel 4.5 di bawah ini:
Tabel 4.5. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Kelompok Umur di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
lxi
Tingkat Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kurang Baik
Umur (Tahun)
N % N %
17‐20 ‐ ‐ 1 2,5
21‐30 7 11,7 5 12,5
31‐40 15 25 6 15
41‐50 17 28,3 7 17,5
>50 21 35 21 52,5
Total 60 100,0 40 100,0
Pada tabel 4.5 Proporsi kelompok umur pada responden dengan tingkat pencegahan
TB Paru kurang dapat dilihat bahwa sebagian besar responden berumur diatas 50 tahun
yaitu sebesar 35% dan tidak ada responden yang berunur 17‐20 tahun. Pada responden
dengan tingkat pencegahan TB Paru baik yang terbanyak adalah pada kelompok umur > 50
tahun (52,5%) dan terendah pada kelompok umur 17 – 20 tahun (2,5%).
lxii
Tabel 4.6. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
Tingkat Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kurang Baik
Jenis Kelamin N % N %
Laki‐laki 20 33,3 15 37,5
Perempuan 40 66,7 25 62,5
Total 60 100,0 40 100
Tabel 4.6 diatas juga dapat dilihat bahwa proporsi sebagian besar responden dengan
tingkat pencegahan TB paru kurang berjenis kelamin laki‐laki yaitu 20 orang (33,3%)
sedangkan perempuan 40 orang (66,7%).
Tabel 4.7. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Pendidikan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
Tingkat Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kurang Baik
Pendidikan N % N %
Rendah 40 66,7 17 42,5
Tinggi 20 33,3 23 57,5
Total 60 100,0 40 100
lxiii
Pada tabel 4.7 diatas dapat dilihat bahwa proporsi terbanyak pada tingkat
pencegahan potensi penularan TB Paru kurang adalah Pendidikan responden yang rendah
(tidak sekolah, SD dan SLTP) sebanyak 40 orang (66,7%) dan tinggi (SLTA dan DIII/PT)
sebanyak 20 orang (33,3%), sedangkan pada tingkat pencegahan potensi penularan TB Paru
baik lebih banyak pendidikan yang tinggi yaitu 23 orang (57,5%) dan pendidikan rendah 17
orang (42,5%).
Tabel 4.8. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Pengetahuan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
Tingkat Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kurang Baik
Pengetahuan
N % N %
Kurang 42 70 19 47,5
Baik 18 30 21 52,5
Total 60 100,0 40 100,0
Pada tabel 4.8 dapat di lihat bahwa proporsi berdasarkan pengetahuan responden
pada tingkat pencegahan TB paru kurang terbanyak adalah responden yang memiliki
pengetahuan kurang yaitu 42 orang (70%) dan yang memiliki pengetahuan baik sebanyak
18 orang (30%). Sedangkan pada tingkat pencegahan TB paru baik yang terbanyak adalah
responden yang memiliki pengetahuan baik yaitu 21 orang (52,5%) dan yang memiliki
pengetahuan kurang 19 orang (47,5%).
lxiv
Tabel 4.9. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Sikap di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
Tingkat Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kurang Baik
Sikap N % N %
Kurang 39 65 14 35
Baik 21 35 26 65
Total 60 100,0 40 100,0
Pada tabel 4.9 dapat di lihat bahwa proporsi berdasarkan sikap responden pada
tingkat pencegahan TB Paru kurang yang terbanyak adalah responden yang memiliki sikap
yang kurang yaitu 39 orang (65%) dan pada responden yang memiliki sikap yang baik
sebanyak 21 orang (35%). Sedangkan pada responden dengan tingkat pencegahan TB Paru
baik terbanyak yang memiliki sikap baik yaitu 26 orang (65%) dan sikap kurang sebanyak 14
orang (35%).
4.2.2. Faktor Enabling
Hasil analisis univariat pada faktor Enabling (kepadatan hunian, ventilasi,
pencahayaan ruangan dan lantai rumah) dapat dilihat secara rinci pada tabel 4.10 di bawah
ini:
lxv
Tabel 4.10. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Kepadatan Hunian di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
Tingkat Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kurang Baik
Kepadatan Hunian
N % N %
Tidak Memenuhi Syarat
40 66,7 15 37,5
Memenuhi Syarat 20 33,3 25 62,5
Total 60 100,0 40 100,0
Pada tabel 4.10 dapat di lihat bahwa proporsi berdasarkan kepadatan hunian
responden pada tingkat pencegahan penularan TB Paru yang terbanyak adalah pada
kategori tidak memenuhi syarat (>4 orang) yaitu 40 orang (66,7%) dan pada kategori baik
(<4 orang) sebanyak 20 orang (33,3%). Sedangkan pada tingkat pencegahan TB Paru
terbanyak pada kategori baik yaitu 25 orang (62,5%) dan yang kurang sebanyak 15 orang
(37,5%).
lxvi
Tabel 4.11. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Ventilasi di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
Tingkat Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kurang Baik
Ventilasi N % N %
Tidak Cukup 45 75 22 55
Cukup 15 25 18 45
Total 60 100,0 40 100,0
Pada tabel 4.11 dapat di lihat bahwa proporsi berdasarkan ventilasi pada tingkat
pencegahan penularan TB Paru kurang yang terbanyak adalah pada kategori tidak cukup
yaitu 45 orang (75%) dan pada kategori yang cukup sebanyak 15 orang (25%). Sedangkan
pada tingkat pencegahan penularan TB Paru baik terbanyak pada kategori tidak cukup yaitu
22 orang (55%) dan yang cukup 18 orang (45%).
Tabel 4.12. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Pencahayaan Ruangan di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
Tingkat Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kurang Baik
Pencahayaan
Ruangan N % N %
lxvii
Kurang 55 91,7 26 65
Baik 5 8,3 14 35
Total 60 100,0 40 100,0
Pada tabel 4.12 dapat di lihat bahwa proporsi berdasarkan pencahayaan ruangan
pada tingkat pencegahan TB Paru kurang yang terbanyak adalah pada kategori kurang yaitu
55 orang (91,7%) dan pada kategori yang baik sebanyak 5 orang (8,3%). Sedangkan pada
tingkat pencegahan TB Paru baik terbanyak pada kategori kurang yaitu 26 orang (65%) dan
yang baik 14 orang (35%).
Tabel 4.13. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Lantai Rumah di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
Tingkat Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kurang Baik
Lantai Rumah
N % N %
Tanah 28 46,7 22 55
Permanen 32 53,3 18 45
Total 60 100,0 40 100,0
Pada tabel 4.13 dapat di lihat bahwa proporsi berdasarkan lantai rumah pada
tingkat pencegahan TB Paru kurang yang terbanyak adalah permanen yaitu 32 orang
lxviii
(53,3%) dan tanah sebanyak 28 orang (46,7%). Sedangkan pada tingkat pencegahan TB Paru
baik terbanyak adalah tanah yaitu 22 orang (55%) dan permanen sebanyak 18 orang (45%).
4.2.3. Faktor Reinforcing
Hasil analisis univariat pada faktor reinforcing (pembinaan petugas dan dukungan
keluarga) dapat dilihat secara rinci pada tabel 4.14 di bawah ini:
Tabel 4.14. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Pembinaan Petugas di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
Tingkat Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kurang Baik
Pembinaan Petugas
N % N %
Tidak Ada 27 45 9 22,5
Ada 33 55 31 77,5
Total 60 100,0 40 100,0
Pada tabel 4.14 dapat di lihat bahwa proporsi berdasarkan pembinaan petugas pada
tingkat pencegahan TB Paru kurang yang terbanyak adalah pada kategori ada yaitu 33 orang
(55%) dan pada kategori tidak ada sebanyak 27 orang (45%). Sedangkan pada pencegahan
TB Paru baik terbanyak adalah pada kategori ada yaitu 31 orang (77,5%) dan tidak ada 9
orang (22,5%).
lxix
Tabel 4.15. Distribusi Tingkat Pencegahan TB Paru Berdasarkan Dukungan Keluarga di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
Tingkat Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kurang Baik
Dukungan Keluarga N % N %
Tidak Mendukung 31 51,7 10 25
Mendukung 29 48,3 30 75
Total 60 100,0 40 100,0
Pada tabel 4.15 dapat di lihat bahwa proporsi berdasarkan dukungan keluarga pada
tingkat pencegahan TB Paru kurang yang terbanyak pada kategori mendukung yaitu 31
orang (51,7%) dan pada kategori yang tidak mendukung sebanyak 10 orang (25%).
Sedangkan pada tingkat pencegahan TB Paru baik terbanyak adalah yang mendukung yaitu
29 orang (48,3%) dan yang tidak mendukung sebanyak 30 orang (75%).
4.3. Analisis Bivariat
Analisis yang digunakan untuk melihat hubungan antara variabel yang diteliti dengan
potensi penularan TB Paru, hubungan faktor predisposisi (pendidikan, pengetahuan dan
sikap), hubungan faktor kondisi rumah (kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan ruangan
dan lantai rumah) dan hubungan faktor reinforcing (pembinaan petugas dan dukungan
keluarga) yang dihitung satu per satu. Uji statistik yang dilakukan pada analisis bivariat ini
adalah uji Chi‐Square dengan derajat kepercayaan 95% (α = 5%). Berdasarkan hasil uji
lxx
statistik akan diperoleh nilai p dan OR. Untuk nilai p < 0,05 berarti terdapat hubungan yang
bermakna antara variabel yang diteliti dengan variabel potensi penularan TB Paru.
Hasil analisis bivariat pada faktor predisposisi (pendidikan, pengetahuan dan sikap),
faktor kondisi rumah (kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan ruangan dan lantai rumah)
dan hubungan faktor reinforcing (pembinaan petugas dan dukungan keluarga) dapat dilihat
secara rinci pada tabel 4.16 di bawah ini:
4.3.1. Hubungan Pendidikan dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Sebagian besar responden baik yang kasus maupun kontrol mempunyai pendidikan
rendah (dibawah SLTA). Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.16. Hubungan Pendidikan dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
Tingkat Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kurang Baik Pendidikan
N % N %
OR
95% CI
ρ
Rendah 40 66,7 17 42,5
Tinggi 20 33,3 23 57,5
Total 60 100,0 40 100,0
2,706 1,185‐6,176 0,017
Hasil analisis chi square di dapat nilai ρ value = 0,017, berarti pada α = 5% (0,05)
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan potensi
lxxi
penularan TB Paru. Analisa lebih lanjut diperoleh nilai OR = 2,7 (95% CI = 1,185‐6,176),
artinya potensi penularan TB Paru 2.7 kali lebih besar pada yang berpendidikan rendah.
4.3.2. Hubungan Pengetahuan dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Tabel 4.17. Hubungan Pengetahuan dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
Tingkat Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kurang Baik Pengetahuan
N % N %
OR
95% CI
ρ
Kurang 42 70 19 47,5
Baik 18 30 21 52,5
Total 60 100,0 40 100,0
2,579 1,124‐5,918 0,024
Hasil analisis chi square di dapat nilai ρ value = 0,024, berarti pada α = 5% (0,05)
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan
potensi penularan TB Paru. Analisa lebih lanjut diperoleh nilai OR = 2,5 (95% CI = 1,124‐
5,918), artinya potensi penularan TB Paru 2,5 kali lebih besar pada yang berpengetahuan
rendah.
lxxii
4.3.3. Hubungan Sikap dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Tabel 4.18. Hubungan Sikap dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
Tingkat Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kurang Baik Sikap
N % N %
OR
95% CI
ρ
Kurang 39 65 14 35
Baik 21 35 26 65
Total 60 100,0 40 100,0
3,119 1,491‐7,979 0,003
Hasil analisis chi square di dapat nilai ρ value = 0,003, berarti pada α = 5% (0,05)
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara sikap dengan potensi
penularan TB Paru. Analisa lebih lanjut diperoleh nilai OR = 3,1 (95% CI = 1,491‐7,979),
artinya potensi penularan TB Paru 3,1 kali lebih besar pada yang bersikap kurang.
4.3.4. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kategori kepadatan hunian yang baik apabila jumlah anggota keluarga di dalam satu
rumah < 4 orang dan kategori yang kurang apabila jumlah anggota keluarga > 4 orang. Hal
ini dapat dilihat pada tabel berikut :
lxxiii
Tabel 4.19. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
Tingkat Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kurang Baik Kepadatan Hunian
N % N %
OR
95% CI
ρ
Tidak Memenuhi Syarat
40 66,7 15 37,5
Memenuhi Syarat 20 33,3 25 62,5
Total 60 100,0 40 100,0
3,333 1,446‐7,686 0,004
Hasil analisis chi square di dapat nilai ρ value = 0,004, berarti pada α = 5% (0,05)
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan
potensi penularan TB Paru. Analisa lebih lanjut diperoleh nilai OR = 3,3(95% CI = 1,446‐
7,686), artinya potensi penularan TB Paru 3,3 kali lebih besar pada kepadatan hunian yang
tidak memenuhi syarat.
4.3.5. Hubungan Ventilasi dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Tabel 4.20. Hubungan Ventilasi dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
lxxiv
Tingkat Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kurang Baik Ventilasi
N % N %
OR
95% CI
ρ
Tidak Cukup 45 75 22 55
Cukup 15 25 18 45
Total 60 100,0 40 100,0
2,455 1,045‐5,766 0,037
Hasil analisis chi square di dapat nilai ρ value = 0,037, berarti pada α = 5% (0,05)
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara ventilasi dengan potensi
penularan TB Paru. Analisa lebih lanjut diperoleh nilai OR = 2,4 (95% CI = 1,045‐5,766),
artinya potensi penularan TB Paru 2,4 kali lebih besar pada ventilasi yang tidak cukup.
4.3.6. Hubungan Pencahayaan Ruangan dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Tabel 4.21. Hubungan Pencahayaan Ruangan dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
Tingkat Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kurang Baik Pencahayaan sinar matahari
N % N %
OR
95% CI
ρ
Kurang 55 91,7 26 65
Tidak 5 8,3 14 35
Total 60 100,0 40 100,0
5,923 1,928‐18,201 0,001
lxxv
Hasil analisis chi square di dapat nilai ρ value = 0,000, berarti pada α = 5% (0,05)
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pencahayaan ruangan
dengan potensi penularan TB Paru. Analisa lebih lanjut diperoleh nilai OR = 5,9 (95% CI
=1,928‐18,201), artinya potensi penularan TB Paru 5,9 kali lebih besar pada pencahayaan
ruangan yang kurang baik.
4.3.7. Hubungan Lantai Rumah dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Tabel 4.22. Hubungan Lantai Rumah dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
Tingkat Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kurang Baik Lantai Rumah
N % N %
OR
95% CI
ρ
Tanah 28 46,7 22 55
Permanen 32 53,3 18 45
Total 60 100,0 40 100,0
0,716 0,321‐1,599 0,414
Hasil analisis chi square di dapat nilai ρ value = 0,414, berarti pada α = 5% (0,05)
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara lantai rumah dengan
potensi penularan TB Paru. Analisa lebih lanjut diperoleh nilai OR = 0,7 (95% CI =0,321‐
1,599), artinya potensi penularan TB Paru tidak berbeda antara lantai permanen dan tanah.
lxxvi
4.3.8. Hubungan Pembinaan Petugas dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Tabel 4.23. Hubungan Pembinaan Petugas dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
Tingkat Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kasus Kontrol Pembinaan Petugas
N % N %
OR
95% CI
ρ
Tidak Ada 27 45 9 22,5
Ada 35 58,3 31 77,5
Total 60 100,0 40 100,0
2,460
4,190‐17,686
0,000
Hasil analisis chi square di dapat nilai ρ value = 0,000, berarti pada α = 5% (0,05)
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pembinaan petugas dengan
potensi penularan TB Paru. Oleh karena ρ pada uji chi square kecil dari 0,25 maka variabel
ini akan diikut sertakan dalam analisis multivariat. Analisa lebih lanjut diperoleh nilai OR =
8,6 (95% CI = 4,190‐17,686), artinya potensi penularan TB Paru 8,6 kali lebih besar pada
pembinaan petugas yang kurang baik.
4.3.9. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
lxxvii
Tabel 4.24. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara Tahun 2008
Tingkat Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kasus Kontrol Dukungan Keluarga
N % N %
OR
95% CI
ρ
Tidak Mendukung 31 51,7 10 25
Mendukung 29 48,3 30 75
Total 60 100,0 40 100,0
3,207 1,335‐7,706 0,008
Hasil analisis chi square di dapat nilai ρ value = 0,008, berarti pada α = 5% (0,05)
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan
potensi penularan TB Paru. Analisa lebih lanjut diperoleh nilai OR = 3,2 (95% CI =1,335‐
7,706), artinya potensi penularan TB Paru 3,2 kali lebih besar pada keluarga yang tidak
mendukung.
4.4. Analisis Multivariat
Analisis multivariat bertujuan untuk untuk melihat beberapa variabel yang
berpengaruh dengan potensi penularan TB Paru. Pada penelitian ini digunakan uji regresi
logistik berganda untuk mencari hubungan yang paling dominan terhadap potensi
penularan TB Paru.
lxxviii
Tahap pertama, variabel yang memiliki nilai ρ value ≥ 0,25 akan dikeluarkan secara
berurutan dimulai dari ρ value terbesar, dengan alasan penggunaan standar nilai ρ value ≥
0,25 adalah karena penetapan nilai standart dengan ρ value ≥ 0,05 seringkali gagal dalam
menjelaskan variabel‐variabel yang dianggap penting. Dengan penggunaan nilai ρ value ≥
0,25 beberapa variabel yang secara terselubung sesungguhnya sangat penting dimasukkan
di dalam analisa multivariat (Murti, 2003).
Tahap selanjutnya hasil analisa tahap pertama dilakukan uji kembali yang memiliki
nilai ρ value ≥ 0,05 akan dikeluarkan secara berurutan dimulai dari ρ value terbesar
(Backward selection) sehingga ditemukan suatu model yang sesuai.
Tabel 4.25. Uji Regresi Logistik Untuk Identifikasi Variabel Dominan Dalam Pencegahan Potensi Penularan TB Paru dengan nilai P < 0,25
Variabel Nilai B OR
Adjusted p CI 95% dari OR Adjusted
Pendidikan 0,953 2,594 0,073 0,914‐7,360
Pengetahuan 0,795 2,213 0,151 0,748‐6,549
Sikap 1,381 3,977 0,011 1,379‐11,472
Kepadatan hunian 0,696 2,006 0,201 0,690‐5,830
Ventilasi 1,215 3,370 0,032 1,112‐10,207
lxxix
Pencahayaan 0,814 2,257 0,247 0,570‐8,940
Pembinaan Petugas 1,232 3,429 0,045 1,028‐11,436
Dukungan Keluarga 0,821 2,272 0,134 0,777‐6,648
Constan ‐12,052
Persen Pengaruh (overall percentage): 72%
Hasil uji regresi logistik berdasarkan tabel 4.25 yang merupakan uji tahap pertama
maka selanjutnya dilakukan uji untuk tahap kedua dengan mengeluarkan secara bertahap
nilai ρ value ≥ 0,25 (*), yang di mulai dari nilai ρ value terbesar (backward selection). Pada
uji tahap pertama, tidak ada ditemukan nilai variabel ρ value ≥ 0,25.
Maka uji regresi logistik berdasarkan tabel 4.25 diatas ρ value ≤ 0,05 di dapatkan
model terbaik dalam menentukan variabel yang paling berhubungan dengan angka potensi
penularan TB Paru. Hasil model hubungan ke delapan variabel tersebut dengan angka
potensi penularan TB Paru adalah: Y= ‐12,052 + 1,381X1 (Sikap) + 1,232X2 (Pembinaan
Petugas) + 1,215X3 (Ventilasi) + 0,953 X4 (pendidikan) + 0,821X5 (Dukungan Keluarga) +
0,814X6 (Pencahayaan Ruangan) + 0,795 X7 (Pengetahuan) + ,696X8 (Kepadatan Hunian)
Dapat diketahui bahwa secara keseluruhan model regresi logistik ini dapat
memprediksikan besar/kecilnya, tinggi/rendahnya hubungan faktor‐faktor risiko yang ada
terhadap potensi penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara.
lxxx
BAB 5
PEMBAHASAN
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan kuman
tuberculosis (Mycobacterium Tuberculosis). Di Indonesia diperkirakan terjadi penambahan
penderita baru tuberculosis (TB) paru baru sebesar 583.000 setiap tahun dengan perkiraan
kematian sebesar 140.000 setiap tahun. Berdasarkan profil kesehatan Propinsi Tapanuli
Utara tahun 2005 bahwa setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah kasus dari tahun 2005‐
2008.
5.1 Faktor Predisposisi
5.1.1 Hubungan Pendidikan dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Pendidikan mempunyai hubungan yang signifikan dengan potensi penularan TB
Paru dimana nilai ρ value < 0,05 (0,000) dan nilai OR sebesar 2,7 artinya potensi penularan
TB Paru 2,7 kali lebih besar pada yang berpendidikan rendah. Hal ini ditandai dengan
sebagian besar penduduk Kabupaten Tapanuli Utara berpendidikan rendah (40,11% ).
Kegiatan intervensi yang dilakukan berupa kerjasama lintas sektoral dengan Dinas
Pendidikan untuk lebih meningkatkan promosi kesehatan dengan memberi materi
pendidikan kesehatan di sekolah seperti penyakit TB Paru.
lxxxi
5.1.2. Hubungan Pengetahuan dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Pengetahuan mempunyai hubungan yang signifikan dengan potensi penularan TB
Paru dimana nilai ρ value < 0,05 (0,000) dan nilai OR sebesar 2,5 artinya potensi penularan
TB Paru 2,5 kali lebih besar pada yang berpengetahuan kurang. Hal ini disebabkan karena
sebagian besar masyarakat di Kabuapten Tapanuli Utara berpendidikan rendah dan hal ini
dapat di lihat pada tabel 4.2 bahwa masyarakat yang berpendidikan rendah (tidak sekolah,
SD, dan SLTP) sebesar 81.95%. Pendidikan rendah akan menjadi potensi yang besar dalam
penularan penyakit TB paru. Pendidikan rendah juga mengakibat pengetahuan rendah.
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori perilaku kesehatan bahwa pengetahuan
dapat mendasari sesorang untuk bertindak termasuk untuk bertindak melakukan
pencegahan penularan TB Paru.
Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pencegahan potensi
penularan TB Paru memang harus dilakukan, khususnya masyarakat di Kabupaten Tapanuli
Utara yang berisiko untuk tertular TB Paru. Kegiatan yang dilakukan berupa penyuluhan
yang di lakukan secara simultan oleh petugas TB Paru baik di tingkat puskesmas, puskesmas
pembantu dan bidan desa kepada masyarakat dan yang sangat penting adalah mengaktifkan
kembali kader kesehatan desa.
lxxxii
5.1.3 Hubungan Sikap dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Sikap mempunyai hubungan yang signifikan dengan potensi penularan TB Paru
dimana nilai ρ value < 0,05 (0,000) dan nilai OR sebesar 3,1 artinya potensi penularan TB
Paru 3,1 kali lebih besar pada yang bersikap kurang.
Penelitian Depkes RI (2004) menyatakan bahwa sikap masyarakat pedesaan dalam
pencarian pengobatan TB Paru lebih rendah dibanding dengan masyarakat perkotaan.
Intervensi dalam rangka merubah sikap masyarakat yang kurang mendukung
menjadi sikap yang mendukung dapat dilakukan sejalan dengan upaya peningkatan
pengetahuan masyarakat melalui media penyuluhan (promosi kesehatan) yang melibatkan
peran serta aktif masyarakat termasuk tokoh masyarakat, tokoh agama dan organisasi
swadaya masyarakat (LSM) serta organisasi kepemudaan.
5.2. Faktor Enabling
5.2.1. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Kepadatan hunian mempunyai hubungan yang signifikan dengan potensi penularan
TB Paru dimana nilai ρ value < 0,05 (0,000) dan nilai OR sebesar 3,3 artinya potensi
penularan TB Paru 3,3 kali lebih besar pada kepadatan hunian yang kurang.
Kepadatan hunian akan memudahkan terjadinya penularan penyakit TB Paru di
dalam rumah tangga. Bila dalam satu rumah tangga terdapat satu orang penderita TB Paru
aktif dan tidak diobati secara benar maka akan menginfeksi anggota keluarga terutama
lxxxiii
kelompok yang rentan seperti bayi dan balita, semakin padat huni suatu rumah tangga maka
semakin besar resiko penularan.
5.2.2. Hubungan Ventilasi dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Ventilasi mempunyai hubungan yang signifikan dengan potensi penularan TB Paru
dimana nilai ρ value < 0,05 (0,000) dan nilai OR sebesar 2,4 artinya potensi penularan TB
Paru 2,4 kali lebih besar pada ventilasi yang kurang.
Rumah yang gelap dan lembab dapat mengganggu sistem penghawaan dan udara
segar ke dalam rumah, kondisi lingkungan udara yang bersih dan berdebu akan menunjang
dekontaminasi udara di rumah tersebut.
Udara yang bersih merupakan komponen utama didalam rumah yang sangat
diperlukan oleh manusia untuk hidup secara sehat untuk itu luas ventilasi alamiah yang
permanen seharusnya di rancang 10% dari luas lantai (Depkes RI, 1999).
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sumarjo (2004), di Kabupaten
Banjarnegara mendapatkan bahwa ada hubungan ventilasi rumah dengan kejadian TB Paru
(OR) 6,176 dan p=0,003.
Kegiatan intervensi yang dilakukan meningkatkan penyuluhan tentang rumah sehat
di kalangan penderita TB Paru dan lebih memperhatikan kebersihan rumah dan lingkungan.
5.2.3. Hubungan Pencahayaan Sinar Matahari dengan Pencegahan Potensi Penularan
TB Paru
lxxxiv
Pencahayaan sinar matahari mempunyai hubungan yang signifikan dengan potensi
penularan TB Paru dimana nilai ρ value < 0,05 (0,000) dan nilai OR sebesar 5,9 artinya
potensi penularan TB Paru 5,9 kali lebih besar pada pencahayaan yang kurang.
Hal ini disebabkan karena sinar matahari dapat membunuh basil TB, sehigga tidak
ada kesempatan terjadi infeksi kembali pada penderita yang menghuni rumah tersebut.
Transmisi penularan TB Paru umumnya terjadi di ruangan, dimana droplet nuclei
dapat tinggal dalam udara untuk waktu yang lama. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan
karena kuman‐kuman TB yang dikeluarkan oleh penderita yang ada di dalam ruangan dapat
mati karena terkena sinar matahari langsung.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Musadad (2002), di Kabupaten
Tangerang bahwa masuknya sinar matahari langsung kedalam rumah berhubungan secara
bermakna dengan kejadian penularan TB Paru kontak serumah dengan nilai OR=3,50.
Kegiatan intervensi yang dilakukan adalah penyuluhan perihal pentingnya ventilasi
rumah dalam mencegah potensi penularan TB paru di masyarakat, membiasakan diri untuk
membuka jendela di pagi hari sehingga memungkinkan cahaya matahari dapat masuk
kedalam rumah secara langsung terutama pada keluarga penderita TB paru agar tidak
meluas dan menularkan kepada orang lain.
5.2.4. Hubungan Lantai Rumah dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Lantai rumah tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan potensi penularan
TB Paru dimana nilai ρ value > 0,05 (0,128) dan nilai OR sebesar 0,7 artinya potensi
lxxxv
penularan TB Paru tidak berbeda antara lantai permanen dan tanah. Hal ini dapat di
sebabkan lantai rumah permanen belum tentu dapat mencegah potensi penularan TB Paru.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Musadad (2002), di Tangerang
mengatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara lantai rumah dengan penularan TB Paru
dengan p value = 1,000 dan nilai OR = 1,03.
Kegiatan intervensi yang dilakukan adalah memotivasi masyarakat untuk
memperbaiki ventilasi rumah, membiasakan diri untuk membuka jendela di pagi hari
sehingga memungkinkan cahaya matahari dapat masuk kedalam rumah secara langsung
terutama pada keluarga penderita TB paru agar tidak meluas dan menularkan kepada orang
lain.
5.3. Faktor Reinforcing
5.3.1. Hubungan Pembinaan Petugas dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Pembinaan petugas mempunyai hubungan yang signifikan dengan potensi
penularan TB Paru dimana nilai ρ value < 0,05 (0,000) dan nilai OR sebesar 2,4 artinya
potensi penularan TB Paru 2,4 kali lebih besar pada pembinaan petugas yang kurang baik.
Hal ini kemungkinan dapat terjadi karena pembinaan petugas belum aktif di
masyarakat dalam upaya pencegahan potensi penularan TB Paru melalui penyuluhan‐
penyuluhan dan pendidikan kesehatan.
lxxxvi
Keterampilan petugas merupakan aktivitas petugas ketika berkomunikasi secara
langsung, melakukan komunikasi secara lisan dani syarat. Memberikan pengertian melalui
penyuluhan kepada penderita TB Paru sehingga penderita benar‐benar mengerti tentang
penyakit TB Paru dan dapat meminimalkan penularan kepada orang lain.
Kegiatan intervensi yang dilakukan adalah meningkatkan keterampilan petugas
dengan memberikan pembinaan melalui pelatihan dan studi banding ke tempat lain.
5.3.2. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Pencegahan Potensi Penularan TB Paru
Dukungan keluarga mempunyai hubungan yang signifikan dengan potensi penularan
TB Paru dimana nilai ρ value < 0,05 (0,000) dan nilai OR sebesar 3,2 artinya potensi
penularan TB Paru 3,2 kali lebih besar pada responden yang keluarganya tidak mendukung.
Keluarga adalah orang terdekat dengan responden, perilaku keluarga yang sehat
merupakan salah satu motivasi pencapaian keberhasilan dalam pencegahan potensi
penularan TB Paru dengan baik.
Adapun dukungan keluarga seperti pengawas minum obat, menemani anggota
keluarga yang menderita TB Paru untuk melakukan pemeriksaan ulang, memberikan
semangat agar tidak putus menjalani pengobatan.
lxxxvii
5.4. Strategi Pencegahan Penyakit TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara
5.4.1. Kandidat Model dengan P value ≤ 0,25
Analisis multivariat dilakukan terhadap beberapa variabel yang memenuhi
persyaratan berdasarkan analisa bivariat (ρ value ≤ 0,25). Variabel yang memenuhi syarat
adalah 8 (delapan) variabel, seperti terlihat pada tabel 4.25. Variabel prediktor yang
dilakukan yang dilakukan uji regresi logistik secara backward selection adalah : pendidikan,
pengetahuan, sikap, kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan ruangan, pembinaan petugas
dan dukungan keluarga.
Melalui uji regresi logistik secara backward selection dimana seluruh kandidat
model dimasukkan secara bersama‐sama dan selanjutnya didapatkan hasil ρ value. Variabel
yang ρ value > 0,05 dikeluarkan secara bertahap sampai mendapatkan hasil akhir yaitu
apabila tidak ada lagi variabel yang ρ value nya > 0,05.
5.4.2. Kandidat Model dengan P value ≤ 0,05
Semua variabel memiliki ρ value ≤ 0,05 akan menjadi kandidat model potensi
penularan TB Paru. Variabel prediktor yang menjadi kandidat model (fit model) adalah :
sikap (X1), pembinaan petugas (X2), ventilasi (X3), pendidikan (X4), dukungan keluarga (X5),
pencahayaan (X6), pengetahuan (X7) dan kepadatan hunian (X8).
Kedelapan variabel ini secara bersama‐sama berpengaruh terhadap potensi
penularan TB Paru di Kabupaten Tapanuli Utara, dengan derajat kepercayaan 95% (ρ value =
lxxxviii
0,000). Pengaruh ke delapan variabel tersebut terhadap penularan TB Paru dapat di
prediksikan sebesar 72% (overall percentage).
Persamaan regresi logistic yang merupakan suatu model matematis (fit model) yang
menunjukkan pengaruh antara penularan TB Paru (Y) dengan variabel‐variabel yang
berhubungan (Xn) sebagai berikut :
Y= ‐12,052 + 0,953 X1 + 0,795 X2 + 1,381X3 + 0,696X4 + 1,215X5 + 0,814X6 + 1,232X7 +
0,821X8
di mana : Y = Pencegahan potensi penularan TB Paru
X1 = Sikap
X2 = Pembinaan petugas
X3 = Kepadatan hunian
X4 = Pendidikan
X5 = Dukungan keluarga
X6 = Pencahayaan
X7 = Pengetahuan
X8 = Pendidikan
5.5. Aplikasi Model Regresi Logistik
Aplikasi model regresi logistik tersebut, maka persamaan diatas dapat di turunkan
dalam bentuk perhitungan matematis tentang probabilitas. Perhitungan probabiliti (P) di
lxxxix
pergunakan untuk memprediksi kemungkinan atau peluang orang yang bertempat tinggal di
Tapanuli Utara untuk risiko tertular TB Paru. Rumus probabilitas (P) sebagai berikut :
87654321 X696,0X795,0X814,0X821,0X953,0X215,1X232,1X381,1052,12)yprobabilit( e11P ++++++++−+
=
Aplikasi model logistik ini mempergunakan asumsi ada atau tidak ada hubungan,
apabila terdapat hubungan antara perilaku dan kondisi rumah terhadap potensi penularan
TB Paru, maka nilai Xn (faktor risiko) = 1, apabila tidak tedapat hubungan antara perilaku dan
kondisi rumah terhadap potensi penularan TB Paru maka nilai Xn (faktor risiko) = 0.
Contoh : Perhitungan untuk mengetahui probabilitas penularan TB Paru dengan perilaku
dan kondisi rumah (X1 =1, X4 =1, X5 =1 X7=1, X8=1) dan faktor risiko lainnya tidak ada (X2 =0, X3
=0, X6 =0). Maka probabilitasnya sebagai berikut :
87654321 X696,0X795,0X814,0X821,0X953,0X215,1X232,1X381,1052,12)yprobabilit( e11P ++++++++−+
=
P = 72%
5.6. Keterbatasan Peneliti
a. Aspek Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang meneliti potensi penularan
TB Paru. Penelitian ini hanya menunjukkan besarnya hubungan (kemaknaan) faktor
pemapar dalam hubungannya dengan pencegahan potensi penularan TB paru. Upaya yang
dilakukan untuk mengurangi bias dalam penelitian ini dengan menganalisis variabel yang
xc
memberikan pengaruh terhadap pencegahan potensi penularan TB paru berdasarkan hasil
pengamatan awal penulis sebelum melakukan penelitian
b. Aspek Peneliti
Penguasaan ilmu pengetahuan peneliti tentang pencegahan penularan TB paru
masih banyak kekurangan. Walaupun peneliti telah berusaha untuk memperkaya bacaan
melalui kunjungan ke perpustakaan, pencarian informasi melalui browsing internet,
membentuk kelompok diskusi sebelum penelitian ini di mulai dan saat penelitian
berlangsung.
Disamping itu dana, sarana dan pengalaman yang kurang dimiliki peneliti
menyebabkan kurang sempurnanya penelitian ini. Penelitian ini merupakan penelitian
epidemiologis retrospektif kasus kontrol yang dapat menentukan seberapa besar hubungan
antara dua variabel yang diteliti.
c. Recall Bias
Recall bias adalah salah satu kelemahan utama studi kasus kontrol karena
kemampuan responden mengingat kejadian yang telah berlaku sangat terbatas. Salah satu
upaya peneliti untuk mengurangi bias ini adalah mencari responden yang dalam dua tahun
terakhir menderita TB Paru, membuat pertanyaan yang lebih sederhana untuk mudah
dimengerti oleh responden.
d. Interviewer Bias
xci
Interviewer bias adalah bias yang bersumber dari pewawancara sendiri. Hal ini
diakibatkan pemahaman seorang pewawancara berbeda dengan pewawancara lain,
sehingga pemahaman tentang satu pertanyaan di kuesioner mungkin saja berbeda. Untuk
mengatasi hal ini peneliti sudah melakukan pelatihan terhadap pewawancara di lapangan,
uji coba kuesioner untuk menguji validitas dan reliabilitas kuesioner, maka diharapkan
terjadi kesamaan pemahaman terhadap pertanyaan yang ditujukan kepada responden.
xcii
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang dilakukan pada bab sebelumnya maka
dapat disimpulkan bahwa :
1. Ternyata dari tiga variabel faktor predisposisi yang dianalisa secara bivariat yaitu:
pendidikan, pengetahuan dan sikap yang diteliti di Kabupaten Tapanuli Utara
semuanya memiliki hubungan yang bermakna dengan potensi penularan TB Paru
2. Faktor enabling yang dianalisa secara bivariat, ditemukan tiga variabel yang terbukti
berhubungan secara signifikan terhadap potensi penularan TB Paru yaitu:
kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan.
3. Faktor reinforcing yang dianalisa secara bivariat, di temukan dua variabel yang
terbukti berhubungan secara signifikan terhadap potensi penularan TB Paru yaitu:
pembinaan petugas dan dukungan keluarga.
4. Berdasarkan hasil uji multivariat, didapatkan delapan variabel yang menjadi
prediktor yaitu: sikap, pembinaan petugas, ventilasi, pendidikan, dukungan
keluarga, pencahayaan, pengetahuan dan kepadatan hunian dengan faktor dominan
adalah sikap.
xciii
6.2. Saran
1. Perlunya upaya peningkatan pengetahuan dan sikap masyarakat tentang upaya
pencegahan dan penanggulangan penyakit TB paru melalui penyuluhan‐penyuluhan,
simulasi dan penberdayaan arisan ibu‐ibu dengan memasukkan konsep pencegahan
penyakit TB paru, pemutaran film bertajuk pencegahan dan penanggulangan
penyakit TB paru
2. Perlunya dilakukan sosialisasi dan penyuluhan tentang rumah sehat sebagai upaya
pencegahan penyakit TB paru pada masyarakat oleh petugas kesehatan
3. Untuk Dinas Kesehatan, perlunya upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan
derajat kesehatan secara khusus mengenai penyakit TB paru
4. Dinas Kesehatan melakukan capacity building petugas untuk meningkatkan
pembinaan masyarakat khususnya mengenai TB paru oleh petugas kesehatan
5. Peningkatan kerja sama lintas sektoral khususnya dinas pekerjaan umum dalam
pembangunan perumahan sesuai standar kesehatan.
xciv
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, T., 1994. Tuberkulosis Paru : Masalah dan Penanggulangannya. Penerbit Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Aditama, T., 2002. Tuberkulosis; Diagnosis, Terapi dan Masalahnya. Edisi ke empat. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta.
Crofton, J., 2002. Tuberkulosis Klinis. Edisi Kedua. Widya Medika. Jakarta.
Depkes RI., 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan Kedelapan. Jakarta.
Depkes RI., 2002. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Cetakan ke II. Jakarta.
Depkes RI., 2004. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta.
Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara., 2005. Profil Kesehatan Kabupaten Tapanuli Utara. Medan.
Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Utara., 2006. Profil Kesehatan Tapanuli Utara. Medan.
xcv
Dinas Kesehatan RI., 1995. Survey Kesehatan dan Rumah Tangga tahun 1995. Balitbangkes. Jakarta.
Gotama I., 2002. Pengembangan Model Pemberantasan Penyakit Berbasis Lingkungan Melalui Pendekatan Kota Sehat di Kabupaten Tangerang. Balitbangkes. www.e‐litbangkes.or.id Diakses Tanggal 24 Mei 2007.
Green. I., 2005. Health Program Planning: An Educational And Ecological Approach. Marshall Kreuter. Fourth Edition. Boston.
Harwinta, dkk., 2005. Modul Kuliah : Kesehatan Lingkungan. Sekolah Pascasarjana. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Herryanto, dkk., 2001. Riwayat Pengobatan Penderita. TB Paru Meninggal di Kabupaten Bandung. Balitbangkes. www.e‐litbangkes.com Diakses Tanggal 24 Mei 2007.
Murti, B., 1997. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Cetakan Pertama Edisi Pertama. Gajah Mada Press. Yogyakarta.
69
Musaddad, A., 2002. Hubungan Faktor Lingkungan Rumah dengan Kejadian Penularan Penyakit Tuberkulosis Paru. www.e‐litbangkes.or.id Diakses Tanggal 24 Mei 2007.
Notoatmodjo, S., 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Cetakan Kedua. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Phelan, P., 1982. Respiratory Illness Childhood. Second Edition. Alden Press. Oxford.
xcvi
Riduwan, M., 2003, Skala Pengukuran Variabel‐variabel Penelitian. Cetakan Kedua, Penerbit Alfabeta. Jawa Barat.
Sastroasmoro, S., 1995. Dasar‐dasar Metodologi Penelitian Klinis. Penerbit Binarupa Aksara. Jakarta.
Setiono, K., 1998. Editor. Manusia, Kesehatan dan Lingkungan. Penerbit Alumni. Bandung.
Sukana, B., 2000. Penelitian Pengobatan Penderita TB Paru dengan Memberdayakan Tenaga Anggota Keluarga di Tangerang. Balitbangkes. www.e‐litbangkes.or.id Diakses Tanggal 24 Mei 2007.
......................, 1998. Faktor Lingkungan Perumahan Penduduk Penderita TBC Terhadap Angka Bakteri TBC di DT II Kab. Tangerang Jawa Barat. Balitbangkes. www.e‐litbangkes.or.id Diakses Tanggal 24 Mei 2007.
..................., 1997. Pengaruh Lingkungan Perumahan Penduduk Penderita TB Paru Terhadap Angka Bakteri Tahan Asam (BTA) pada Perumahan di DT II Kab. Tangerang Jawa Barat. Balitbangkes. www.e‐litbangkes.or.id Diakses Tanggal 24 Mei 2007.
Wibowo, C., 2004. Kasus Kontak Tuberkulosis Paru Rumah Sakit Umum Pusat Manado. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali. www.e‐litbangkes.or.id Diakses Tanggal 24 Mei 2007.