pengaruh perbaikan pakan terhadap respon berahi pada sapi ... · timbulnya respon berahi, dimana...
TRANSCRIPT
Pengaruh Perbaikan Pakan Terhadap Respon Berahi
Pada Sapi Bali Induk Setelah Melahirkan Melalui
Pemberian Konsentrat dengan Level
Protein yang Berbeda
SKRIPSI
Oleh
M. YUSUF BUDI SANTOSO
I111 11 315
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
ii
Pengaruh Perbaikan Pakan Terhadap Respon Berahi
Pada Sapi Bali Induk Setelah Melahirkan Melalui
Pemberian Konsentrat dengan Level
Protein yang Berbeda
SKRIPSI
Oleh
M. YUSUF BUDI SANTOSO
I 111 11 315
Skripsi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Peternakan pada Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
1. Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : M. Yusuf Budi Santoso
NIM : I111 11 315
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa:
a. Karya Skripsi yang saya tulis adalah asli
b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya Skripsi ini, terutama dalam
Bab Hasil dan Pembahasan, tidak asli atau plagiasi maka bersedia
dibatalkan dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku.
2. Demikian penyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.
Makassar, Oktober 2016
M. Yusuf Budi Santoso
I111 11 315
iv
v
ABSTRAK
M. Yusuf Budi Santoso (I111 11 315), Pengaruh Perbaikan Pakan
Terhadap Respon Birahi pada Sapi Bali Induk Setelah Melahirkan Melalui
Pemberian Konsentrat dengan Level Protein yang Berbeda, Herry Sonjaya,
(Pembimbing Utama), Muhammad Zain Mide, (Pembimbing Anggota).
Masalah timbulnya berahi pada induk sapi Bali setelah melahirkan
merupakan masalah utama pada peternakan rakyat, khususnya pada musim
kemarau, induk-induk sapi Bali yang baru melahirkan sering mengalami
keseimbangan energi negative sehingga timbulnya berahi kembali sangat lambat.
Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan tingkat respon berahi
induk sapi Bali melalui suplementasi konsentrat berbasis ransum basal jerami
padi. Perlakuan pakan yang diberikan adalah R1 konsentrat dengan level protein
kasar 10%, R2 konsentrat dengan level protein kasar 12%, R3 konsentrat dengan
level protein kasar 14%, dan kontrol/R0 (Tanpa diberikan Perlakuan) dengan
masing-masing perlakuan diberikan 1 kg/ekor/hari. Pemberian pakan dilakukan
setiap pagi hari sebelum digembalakan. Parameter yang diamati adalah respon
berahi dan intensitas berahi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian
konsentrat dengan level protein yang berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap
timbulnya respon berahi, dimana perlakuan R1, R2, dan R3 lebih cepat timbul
berahi pada hari ke 29-35 hari, sedangkan pada R0 tidak timbul berahi. Intensitas
berahi yang jelas terlihat terjadi pada perlakuan R3, sedangkan intensitas berahi
pada perlakuan R1, dan R2 kurang jelas. Kesimpulan dari penelitian ini adalah
pemberian pakan konsentrat dengan level protein kasar yang berbeda lebih baik
dibanding dengan perlakuan kontrol.
Kata Kunci : Pakan Konsentrat, Sapi Bali, Respon Berahi, Intensitas Berahi.
vi
ABTRACT
M. Yusuf Budi Santoso (I111 11 315), The effect of feed improvements
to the response of the oestrus of post partum Bali cows. through the
suplementation of concentrate with different protein levels. Herry Sonjaya
(supervisor), Muhammad Zain Mide (supervising members).
Problems onset of oestruspos partum in cows Bali are a major problem
on the farming system, especially during the dry season Bali cattle cows who just
gave birth often experience negative energy balance which caused caused to the
oestrusonset. Therefore, this study aims to improve the response oestrusrate Bali
cow through concentrate supplementation. Treatment of feed given is R1
concentrate with the level of crude protein 10%, R2 concentrate with a level of
crude protein 12%, R3 concentrate with a level of crude protein 14%, and control
/ R0 (without given treatment) with each treatment is given 1 Kg / head / day. The
feeding was done every morning before grazing. Parameters measured were
captivated response and intensity of heat. The results of this study showed that the
protein concentrates at different levels very significant effect on the onset of
oestrus response, where treatment R1, R2, and R3 faster arise oestrusday for 29-
35 days, while the R0 does not arise oestrus, The intensity of oestrus are clearly
visible occur in the treatment of R3, whereas the intensity of oestrus in the
treatment of R1 and R2 is less clear. The conclusion of this research was the
treatment of concentrate suplemnetation with different levels of crude proteinwere
better than the control treatment.
Keywords: concentrate feed, Bali cows, estrus response and intensity.
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah
Skripsi. Penulis dengan rendah hati mengucapakan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dan membimbing dalam menyelesaikan Skripsi ini
utamanya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Herry Sonjaya, DEA. DES. sebagai
pembimbing utama dan Bapak Ir. Muhammad Zain Mide, MS. selaku
pembimbing anggota yang telah banyak meluangkan waktunya untuk
membimbing, mengarahkan dan memberikan nasihat serta motivasi dalam
penyusunan Skripsi ini. Kedua orang tua saya serta saudara(i) Saya yang telah
memberikan doa, bantuan dan dukungan bagi penulis sehingga makalah ini dapat
terselesaikan. Tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Teman
penelitian dan semua mahasiswa Fakultas Peternakan yang telah memberikan
bantuan dan banyak menjadi inspirasi bagi penulis.
Penulis menyadari bahwa penyusunan Skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, karena itu penulis memohon saran untuk memperbaiki kekurangan
tersebut. Semoga Skripsi ini bermanfaat bagi pembaca terutama bagi saya sendiri.
Amin.
Makassar, Oktober 2016
Penulis
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL .................................................................................. i
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... ii
PERNYATAAN KEASLIAN ....................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix
PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Sapi Bali (Bos Sundaicus) ......................................... 4
Perilaku Reproduksi Induk Sapi Berdasarkan Wilayah yang Berbeda ... 5
Siklus Berahi Setelah Melahirkan pada Sapi Bali Induk ........................ 8
Peran Nutrisi Terhadap Reproduksi Sapi Bali Induk .............................. 9
Hubungan protein terhadap reproduksi ternak ........................................ 10
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat .................................................................................. 14
Materi Penelitian ..................................................................................... 14
Rancangan Penelitian .............................................................................. 14
Prosedur Penelitian ................................................................................. 15
Parameter yang Diukur ........................................................................... 17
Analisi Data ............................................................................................ 18
ix
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kecepatan Berahi.................................................................................... 19
Intensitas Berahi ..................................................................................... 21
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 25
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
x
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
Teks
1. Performan produksi sapi Bali pada tiga wilayah sumber
bibit di Indonesia .................................................................................. 7
2. Kandungan nutrisi beberapa bahan pakan asal limbah agroindustri .... 10
3. Kandungan nutrisi ransum perlakuan dengan protein kasar 10 % ....... 15
4. Kandungan nutrisi ransum perlakuan dengan protein kasar 12 % ....... 16
5. Kandungan nutrisi ransum perlakuan dengan protein kasar 14 % ....... 16
6. Kecepatan berahi dengan level protein konsentrat yang berbeda. ...... 19
7. Tampilan berahi perlakuan dengan level protein berbeda ................... 21
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyediaan daging sapi saat ini yang diupayakan pemerintah, belum dapat
dipenuhi dari peternakan sapi potong dari dalam negeri. Oleh karena itu, untuk
memenuhi kebutuhan daging, maka dilakukan impor daging beku dan sapi
bakalan dari Australia. Kondisi ini mendorong pemerintah mengambil kebijakan
untuk meningkatkan populasi dan produktivitas ternak sapi lokal, termasuk sapi
Bali. Jumlah sapi Bali di Indonesia sekitar 30 persen dari populasi sapi yang ada
(Talib dkk, 2002), sedangkan jenis sapi lainya adalah sapi Sumba Ongole,
Peranakan Ongole, Madura, Brahman, Limousin dan Simental.
Beternak sapi Bali di Indonesia umumnya diusahakan oleh peternak
dengan skala kecil atau peternakan rakyat. Berbagai masalah sering timbul pada
peternakan tersebut, salah satunya kemampuan produksi sapi yang lambat. Hal
tersebut biasanya terjadi karena peternak umumnya memiliki pengetahuan yang
minim, sehingga biasanya peternak belum dapat mengetahui siklus reproduksi
sapi yang baik, budaya menyapih pedet yang lama dan jarak beranak yang cukup
lama. Guna mengatasi masalah tersebut dan upaya meningkatkan produksi sapi
potong dalam negeri khususnya pada sapi Bali dibutuhkan solusi yang tepat.
Sapi Bali memiliki beberapa keunggulan yang membuatnya disenangi
disamping itu ada juga kelemahannya. Keunggulannya adalah memiliki fertilitas
yang tinggi dengan angka kelahiran berkisar 70–90% dapat hidup baik dalam
kondisi pakan sederhana dan mempunyai persentase karkas yang dapat mencapai
60% atau lebih. Sementara itu, kelemahannya adalah sapi ini termasuk sapi
ukuran kecil sehingga potongan daging komersial dengan sendirinya mempunyai
2
ukuran yang juga kecil, dewasa kelamin terjadi ketika bobot badan masih berkisar
130 kg (di Sulawesi Selatan); produksi air susu rendah dan kematian dini pada
pemeliharaan ekstensif yang tinggi (Talib dkk, 1999).
Periode setelah melahirkan pada sapi potong di daerah tropis merupakan
salah satu periode yang sangat kritis bagi suatu usaha peternakan karena ikut
menentukan keuntungan yang bakal dicapai oleh perusahaan. Hal ini disebabkan
keterlambatan berahi kembali pada sapi Bali induk setelah melahirkan. Jika
kejadian yang sama berulang pada periode kelahiran berikutnya maka kerugian
yang diderita peternak akan bertambah. Panjanganya periode setelah melahirkan
sebagian besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama pengelolaan
perkawinan dan pakan yang dikonsumsi.
Fase awal laktasi, sapi tidak mampu mencerna pakan menjadi energi yang
cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi susu, kemudian sapi akan
menggunakan cadangan lemak tubuh sehingga terjadi penurunan berat badan
(negatif energi balance). Ketidak seimbangan energi didalam tubuh ini
menyebabkan stress dan kejadian ini keragamannya cukup tinggi antar sapi
walaupun kemampuan produksi susunya sama (Wattiaux, 1996).
Diduga bahwa keterlambatan berahi kembali pada induk yang sudah
melahirkan berhubungan langsung dengan kondisi pakan yang dikonsumsi. Pada
kondisi pemeliharaan peternakan rakyat, pakan yang diberikan pada sapi hanya
mengandalkan pakan hijauan yang ada di padang penggembalaan, rumput hijau,
dan jerami padi. Oleh karena itu, maka diperlukannya evaluasi mengenai pola
pemberian pakan dengan menambahkan bahan pakan berupa konsentrat yang
3
memiliki kandungan nutrisi yang baik, sehingga dapat memicu munculnya berahi
kembali pada sapi Bali induk setelah melahirkan.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Gambaran Umum Sapi Bali (Bos Sundaicus)
Sapi Bali adalah sapi asli Indonesia sebagai hasil domestikasi dari banteng
liar yang telah berjalan lama. Kapan dimulainya proses penjinakan banteng belum
diketahui dengan jelas, demikian pula dengan mengapa lebih terkenal di Indonesia
sebagai sapi Bali dan bukannya sapi banteng mengingat dalam keadaan liar
dikenal sebagai banteng. Pendapat yang bisa dirujuk adalah dijinakkan di Jawa
dan Bali (Herweijer, 1947). Williamson dan Payne (1993) menuliskan bahwa
bangsa sapi Bali memiliki klasifikasi taksonomi sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Sub-phylum : Vertebrata
Class : Mamalia
Ordo : Artiodactyla
Sub-ordo : Ruminantia
Family : Bovidae
Genus : Bos
Species : Bos sondaicus
Talib dan Siregar, (1991), menjelaskan bahwa sapi Bali sebagai hewan asli
Indonesia, serta memiliki daya adaptasi terhadap variasi lingkungan yang ada di
Indonesia sangat baik, terbukti dengan penyebarannya yang sangat baik di
seantero bumi pertiwi dengan penampilan produksi yang bervariasi antar daerah
peliharaan. Demikian pula dengan kemampuan daya adaptasinya terhadap
lingkungan spesifik seperti savana di Timor.
5
Sapi ini juga memiliki beberapa keunggulan yang membuatnya disenangi
di samping ada juga kelemahannya. Keunggulannya adalah memiliki fertilitas
yang tinggi dengan angka kelahiran berkisar 70–90% (Darmadja dkk., 1980),
dapat hidup baik dalam kondisi pakan sederhana dan mempunyai persentase
karkas yang dapat mencapai 60% atau lebih. Sementara itu, menurut Siregar dkk.,
(1985) bahwa kelemahan sapi Bali adalah jenis sapi ini termasuk sapi ukuran kecil
sehingga potongan daging komersial dengan sendirinya mempunyai ukuran yang
juga kecil, dewasa kelamin terjadi ketika bobot badan masih berkisar 130 kg (di
Sulawesi Selatan); produksi air susu rendah dan kematian dini pada pemeliharaan
ekstensif yang tinggi.
Abidin (2002) menyatakan keunggulan sapi Bali adalah mudah
beradaptasi dengan lingkungan baru, sehingga sering disebut ternak perintis. Sapi
ini memiliki ciri genetik yang khas yaitu mudah beradaptasi dengan lingkungan
yang kurang menguntungkan sehingga dikenal dengan istilah sapi perintis/sapi
pelopor (Handiwirawan dan Subandriyo, 2004). Sapi Bali juga mudah
dikendalikan, jinak, dapat hidup hanya dengan memanfaatkan hijauan yang
kurang bergizi, tidak selektif terhadap makanan dan memiliki daya cerna terhadap
makanan serat yang cukup baik (Batan, 2006).
Perilaku Reproduksi Induk Sapi Berdasarkan Wilayah yang Berbeda
Williams (1990), mengemukakan bahwa Secara alamiah setiap ternak
akan berusaha mengadaptasikan dirinya dengan kondisi lingkungan tempat
hidupnya untuk mempertahankan keberlangsungan spesiesnya. Demikian pula
dalam menghadapi periode setelah melahirkan, sapi-sapi didaerah tropis, subtropis
dan antar bangsa didalam iklim yang samapun akan berusaha mengembangkan
6
strategi yang dianggap paling sesuai bagi berdasarkan stress lingkungan yang
dihadapinya. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam periode setelah melahirkan, induk-
induk sapi zebu maupun sapi eropa akan memprioritaskan kebutuhan kecukupan
nutrisi bagi anaknya dengan mengabaikan kebutuhan nutrisi dirinya untuk
menjamin terjadinya reoestrus setelah melahirkan yang sedini mungkin dalam
keadaan sulit pakan. McCOol (1992), menambahkan bahwa dalam keadaan yang
sama, sapi Bali menerapkan strategi yang sedikit berbeda yaitu lebih
mengutamakan percepatan berahi kembali dari pada kepentingan nutrisi anaknya.
Galina dan Arthur, (1989) menambahkan bahwa sapi-sapi di daerah tropis
umumnya menampilkan periode setelah melahirkan anoestrus yang panjang, yang
meliputi silent oestrus atau tidak oestrus sama sekali yang secara ekstrim dapat
mengakibatkan berkepanjangnya service period, yang berdampak pada
perpanjangan calving interval.
Sapi Bali termasuk sapi kecil, dengan ukuran bobot yang hampir sama
dengan beberapa bangsa sapi kecil lainnya di Afrika dan India (Tabel 1). Data ini
juga menunjukkan bahwa variasi bobot badan pada berbagai tingkat umur pada
sapi Bali cukup besar, sehingga peluang pengembangan melalui seleksi
masihakan efektif. Hasil penelitian Talibet al., (1998) menunjukkan bahwa
korelasi genetik sapi Bali antarabobot umur 120 hari dengan bobot sapih dan
bobot setahun maupun dengan bobot lahir dan pertambahan bobot harian relatif
cukup baik.
Pada umumnya di Sulawesi Selatan pemeliharaan sapi Bali dipelihara
dangan sistem penggembalaan, sehingga performan produksi lebih rendah. Hal
yang sama juga ditunjukkan oleh batas bawah dari performan sapi Bali di NTT.
7
Pemeliharaan intensif terlihat bahwa sapi Bali baik di Bali ataupun di NTT
menunjukkan performan yang sama baiknya. Pada pemeliharaan intensif maupun
ekstensif sapi Bali menunjukkan kemampuan adaptasi yang baik terhadap
lingkungan khusus tersebut. Hal ini dapat dilihat dari laporan Siregar dkk. (2000)
bahwa walaupun sapi Bali di NTT berukuran kecil tetapi mempunyai body
condition score yang baik, artinya sapi-sapi tersebut tidak kurus. Kemampuan
adaptasi ini merupakan salah satu keunggulan sapi Bali tetapi juga sekaligus
merupakan kelemahannya karena bilamana lingkungan hidupnya kurang baik
(pakan jelek) adaptasi sapi Bali adalah dengan menurunkan ukuran tubuh. Hal
tersebut dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel 1. Performan produksi sapi Bali pada tiga wilayah sumber bibit di
Indonesia
Status Sulawesi NTT Bali Pustaka*)
Selatan
Bobot lahir (kg) 12-13 10,5-15 16-18 1,2,3
Bobot 120 hari (kg) 40 43-49 70 4,5,7
Bobot 205 hari (kg) 70-75 67-89 82-94 1,5,6,
Bobot 365 hari (kg) 105-112 105-130 137 1,5,6,
Bobot melahirkan, umur 30 bulan(kg) 180 190 236 1,5,6
Bobot dewasa, umur 5 th (kg) 280 295-478 329 1,6,7
Persentase karkas % 45-47 47-49 56-57 6,7,8
*) 1. Pane, 1990; 2. Talibet al., 2002; 3. Wirdahayati dan Bamualim,1990;
4. Talibet al., 1999; 5. Siregar dkk., 1985; 6. Talibet al., 1998; 7. Bakryet.
al., 1994; 8. Djagra dan Budiarta, 1990;
Devendra et al.,(1973) menyatakan bahwa calving interval pada sapi Bali
tercatat cukup bervariasi dari 401 - 495 hari yang diakibatkan oleh perubahan
management, status nutrisi atau kondisi tubuh, status pekerja dan karakteristik
penyesuaian terhadap lingkungan yang spesifik. Pada pemeliharaan tradisional
calving interval sekitar 400 hari adalah cukup baik, 410 - 450 kurang baik dan
lebih dari itu adalah terlalu merugikan. Tetapi pada sapi Bali yang siklus
8
reproduksinya masih cukup baik pada kondisi yang tidak terlalu jelek, seharusnya
dapat ditingkatkan menjadi lebih baik lagi.
Siklus Berahi Setelah Melahirkan pada Sapi Bali Induk
Estrus atau berahi adalah keadaan fisiologi hewan betina yang siap menerima
perkawinan dengan jantan. Penentuan siklus estrus, lama periode estrus dan waktu
inseminasi dapat diketahui berdasarkan pada perubahan tingkah laku (Mauget,et
al., 2007). Efisiensi reproduksi sangat ditentukan oleh campur tangan manusia
yang berperan sebagai pengatur berbagai unsur penunjang keberhasilan
reproduksi seperti pakan, pencatatan, kesehatan, serta fertilitas jantan dan betina.
Pengaruh yang menonjol dari defisiensi pakan yaitu terganggunya aktivitas siklus
reproduksi, seperti berahi tenang, kelainan ovulasi, kegagalan konsepsi, dan
kematian embrio.
Penampilan produktivitas dan reproduktivitas sapi Bali sangat tinggi.
Sapi Bali dilaporkan sebagai sapi yang paling superior dalam hal fertilitas dan
angka konsepsi (Toelihere, 2002). Darmadja (1980) melaporkan bahwa angka
fertilitas sapi Bali berkisar antara 83-86 %.
McCOol (1992), mengatakan bahwa hal yang spesifik dari sapi Bali ini
yaitu kembalinya aktivitas ovarium yang sangat dini, yaitu pada hari ke-23.
Umumnya sapi-sapi membutuhkan selang waktu untuk terjadinya involusi
(mengecilnya kembali rahim setelah persalinan) pada rahim yang ditandai dengan
mengkerutnya rahim ke ukuran semula yang membutuhkan waktu sekitar satu
bulan, sedangkan aktivitas ovarium baru dimulai sesudahnya.
9
Peran Nutrisi Terhadap Reproduksi Sapi Bali Induk
Nutrisi adalah salah satu faktor lingkungan yang menentukan
perkembangan organ reproduksi utamanya di fase prepubertas maupun pada
induk setelah melahirkan. Sapi muda biasanya lebih sensitif terhadap pengaruh
pakan dibandingkan sapi dewasa, sebab sapi muda dalam masa pertumbuhan
(Feradis, 2010). Kadarsih (2003) menyebutkan bahwa penampilan produksi dan
reproduksi dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetik dengan
perbandingan 60:40. Aspek lingkungan yang banyak dilaporkan adalah masalah
pakan (Abdelgadir,et al., 2010; Noguiera, 2004; Son, et al,. 2001; danShehu, et
al., 2008).
McCOol (1992), menyatakan bahwa peranan pakan dalam menjamin
berlangsungnya suatu siklus yang normal yang paling utama adalah hubungannya
dengan terjadinya lonjakan produksi LH yang diikuti dengan ovulasi. Status
pakan yang kurang baik yang tergambarkan dengan kondisi tubuh yang jelek
umumnya akan mengakibatkan perpanjangan status setelah melahirkan anoestrus
yang ditandai dengan panjangnya calving interval sebagai akibat tidak terjadinya
lonjakan LH. Hal lainnya yang dapat mengakibatkan panjangnya calving interval
ini adalah jumlah service perconception yang tinggi (untuk IB), gagalnya
implantasi sebagai akibat dari kurang baiknya fungsi Corpus Luteum (CL) yang
ditandai dengan terjadinya short oestrus ataupun penyakit. Terdapat indikasi
bahwa sapi Bali pada kondisi tertentu lebih memfokuskan untuk terjadinya berahi
kembali setelah melahirkan melalui penghambatan produksi susu, pengurangan
kontak anak-induk sehingga terjadi pengorbanan kepentingan anaknya.
10
Keadaan anestrus (tidak menunjukkan gejala berahi) sering terjadi pada
sapi yang kekurangan pakan. Tingkat energi yang rendah menyebabkan ovarium
tidak aktif (Laing, 1970), dan keterlambatan pubertas (Arthur, 1975). Biasanya
keadaan yang terakhir ditemukan pada sapi dara yang sudah cukup umur tetapi
belum mencapai dewasa kelamin. Dalam hal ini ovariumnya masih dapat
diharapkan tumbuh normal kembali dengan perbaikan pakan (Robert, 1971).
Menurut Wahyono dkk, (2003) menjelaskan bahwa dalam pembuatan
pakan lengkap diperhitungkan kandungan nutrisi dari masing-masing bahan
penyusun dan tingkat kebutuhan nutrisi dari ternak yang diberi pakan. Komposisi
nutrisi untuk sapi penggemukan akan berbeda dengan pembibitan. Sebagai acuan
dalam memformulasikan bahan pakan dari limbah pertanian dan perkebunan dan
agroindustri adalah imbangan serat kasar dan protein. Adapun kandungan nutrisi
beberapa bahan pakan asal limbah agroindustri dapat dilihat pada Tabel berikut:
Tabel 2. Kandungan nutrisi beberapa bahan pakan asal limbah agroindustri
Jenis barang BK (%) PK (%) LK (%) SK (%) TDN (%)
Bungkil kelapa 84,767 26,632 10,399 14,711 73,403
Dedak padi 91,267 9,960 2,320 18,513 55,521
Dedak jagung 84,980 9,379 5,591 0,577 81,835
Hubungan protein terhadap reproduksi ternak
Protein merupakan salah satu unsur nutrisi yang dibutuhkan ternak untuk
kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan dan produksi (Tillman dkk, 1991).
Kebutuhan sapi akan protein semakin naik seiring kenaikan bobot badan
(Kartadisastra, 1997). Proses produksi protein mikroba diawali dengan proses
hidrolisis seluruh protein dalam pakan oleh mikroba rumen. Proses hidrolisa
protein menjadi asam amino diikuti oleh proses deaminasi untuk membentuk
11
amonia, kemudian amonia yang dibebaskan akan digunakan untuk produksi
protein mikroba bersama sumber energi. Menurut Bossis et al., (1999); dan Butler
(2000), konsumsi energi meningkatkan glukosa darah dan insulin yang dapat
meningkatkan getaran sekresi LH dan memperbaiki tanggap ovarium terhadap
stimulasi LH.
Peningkatan daya cerna protein kasar yang terjadi akibat penambahan
jumlah pemberian konsentrat disebabkan karena konsentrat dapat menyediakan
protein yang lebih banyak yang diperlukan dalam pertumbuhan mikroba rumen,di
dalam rumen protein akan dihidrolisa menjadi oligopeptida oleh enzim proteolitik
yang dihasilkan mikroba, dan oligopeptida ini dihidrolisa menjadi asam-asam
amino (Arora, 1989).
Menurut Crouse et al. (1978); Owenand Goetsch, (1988); dan Belanger,
(2001), energi yang cukup dalam pakan akan menaikkan penggunaan nitrogen
makanan untuk sintesis dan penempatan protein tubuh. Sintesis protein dalam
tubuh akan mendorong pertumbuhan pada tubuh ternak, yang ditunjukkan oleh
pertambahan bobot badan. Pemenuhan kebutuhan protein pada ruminansia perlu
memperhitungkan jumlah protein pakan yang dapat didegradasi di dalam rumen.
Derajat ketahanan protein pakan terhadap degradasi oleh mikroba di dalam rumen
sangat beragam (Puastuti, 2013).
Kebutuhan protein hewan tergantung pada status fisiologi dan tingkat
produksi.Peningkatan daya cerna protein kasar yang terjadi akibat penambahan
jumlah pemberian konsentrat disebabkan karena konsentrat dapat menyediakan
protein yang lebih banyak yang diperlukan dalam pertumbuhan mikroba rumen.
Menurut Arora (1995) bahwa di dalam rumen protein akan dihidrolisa menjadi
12
oligopeptida oleh enzim proteolitik yang dihasilkan mikroba, dan oligopeptida ini
dihidrolisa menjadi asam-asam amino. Metabolisme protein tidak secara langsung
terlibat dalam memproduksi energi, tetapi metabolisme protein terlibat dalam
produksi enzim, hormon, komponen struktural dan protein darah dari sel-sel
badan dan jaringan. Sintesis sel dari protein dipenuhi dengan memanfaatkan asam
amino yang tersedia untuk pembentukan polipeptida (Frandson, 1996).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ternak yang diberi asupan
pakan dengan kecukupan energi dan protein menyebabkan ternak cepat tumbuh
dan memperlihatkan gejala berahi yang normal (Son et al., 2001; Romano et al.
2005). Hal ini dibuktikan pada penelitian sapi di Nigeria Utara bahwa
penambahan konsentrat kaya akan protein dan karbohidrat serta campuran mineral
memperlihatkan masak kelamin dan kebuntingan lebih cepat dibandingkan sapi
yang tidak mendapatkan tambahan energi (Yendraliza, 2013).
Pemberian makanan dengan level rendah pada sapi induk, akan
menganggu pertumbuhan sapi induk dan mengalami kesulitan dalam melahirkan.
Pertumbuhan dan perkembangan organ reproduksi hewan betina dapat terhambat
karna kekurangan makanan tanpa membedakan apakah karena tingkatan rendah
energi, protein, mineral atau vitamin (Salisbury dan Vandemark, 1985).
Ternak ruminansia mampu mengurangi kehilangan protein dengan
mendaur ulang urea, suatu produk metabolisme protein yang secara normal
dieksresikan. Sebagian besar urea dapat didaur ulang ke rumen saat pakan rendah
nitrogen. Surplus asam amino akan di deaminasi dan nitrogen diekskresikan
melalui hati dan ginjal, dan dikeluarkan dalam urin. Kelebihan ammonia
13
adalah dikonjugasi ke urea dan kemudian diekresikan, oleh karena itu level urea
tinggi adalah konsisten dengan kelebihan protein intake(Boland, et al., 2001).
Protein intake rendah dapat mengurangi tingkah laku estrus atau disebut
silent heat dan dapat mengurangi ketepatan konsepsi pada sapi pedaging.
Yendraliza, (2013) menyatakan bahwa pakan DUP (digestible undegradable
protein) atau pakan yang rendah energi dapat berpengaruh terhadap produksi susu.
Hal ini juga dapat menyebabkan ternak mengalami difisit keseimbangan energy.
Sinclairet al., (1994) menyatakan bahwa peningkatan yang DUP tinggi
berlawanan dengan DUP rendah pada sapi menyusui dengan kondisi tubuh
rendah saat kawin. DUP ini sangat berpengaruh terhadap siklus estrus dan
estrus pertama setelah melahirkan. Lucy et al., (1992), menambahkan bahwa
Efek terhadap sekresi LH belum dapat dideteksi, kondisi kurang nutrisi
pertumbuhan folikel lambat pada sapi perah setelah melahirkan.
Hubungan antara jumlah protein kasar dan timbulnya estrus postpartus
dikemukakan oleh Sasser, et al. (1988) bahwa perpanjangan timbulnya estrus
postpartus terjadi pada sapi yang diberi pakan dengan defesiensi protein kasar
(0,32kg/ekor/hari) dibandingkan dengan kelompok sapi yang diberi pakan dengan
protein kasar yang cukup (0,96kg/ekor/hari). Kebutuhan protein kasar dalam
pakan untuk kebutuhan reproduksi yang normal adalah 13-20%. Kekurangan non
protein nitrogen dan rumen digestible protein pada masa akhir kebuntingan
sampai awal laktasi mempunyai efek yang sama dengan kekurangan pakan. Hal
ini akan menyebabkan produksi LH dan FSH menurun sehingga proses
pematangan folikel tertunda.
14
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2015 hingga Januari 2016,
bertempat di Desa Mattirowalie, Kecamatan Taneteriaja, Kabupaten Barru.
Materi Penelitian
Peralatan yang akan digunakan adalah alat pencampur pakan, parang, sabit,
gerobak sorong, mesin leaf chopper, tempat pakan, tempat minum, timbangan
elektrik khusus ternak, sepatu boot, sarung tangan, dan alat tulis menulis.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi Bali induk yang
berumur antara 4-10 tahun dan usia pascamelahirkan induk antara 2-5 bulan
berjumlah 36 ekor untuk perlakuan dan 10 ekor untuk kontrol (tidak diberikan
perlakuan), maka total keseluruhan sebanyak 46 ekor milik peternakan rakyat
yang dipelihara secara semi-intensif. Setiap perlakuan menggunakan 12 ekor (R1,
R2, dan R3) dan 10 ekor (R0) sapi Bali induk yang dikelompokkan secara acak.
Pakan sapi Bali terdiri atas jerami, dan konsentrat berupa: dedak jagung, dedak
padi, bungkil kelapa, urea ,cattle mix danmineral, yang diberikan pada pagi hari.
Air minum diberikan secara ad libitum.
Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara experiment dengan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan, pada perlakuan R1, R2,
dan R3 sebanyak12 kali ulangan sedangkan untuk perlakuan kontrol (R0)
sebanyak 10 kali ulangan, maka total sapi Bali Induk yang digunakan adalah
sebanyak 46 ekor.
15
Perlakuan yang akan diterapkan adalah tiga model pemberian pakan yaitu :
R0 = Kontrol R2 = Jerami + Konsentrat 1 kg (PK 12%)
R1 = Jerami + Konsentart 1 kg R3 = Jerami + Konsentrat 1 kg (PK 14 %)
(PK 10 %)
Prosedur Penelitian
a. PenangananTernak
Ternak yang diseleksi akan melalui penanganan ternak terlebih dahulu,
seperti pemberian vitamin dan antibiotik, selanjutnya dilakukan pengukuran tubuh
ternak yang terdiri dari pengukuran tinggi pundak, pengukuran lingkar dada, dan
penimbangan berat badan.
b. Pakan
Pemberian pakan dilakukan kepada masing-masing ternak berdasarkan
Perlakuan, pemberian pakan konsentrat dilakukan pada pagi hari sedangkan
pemberian pakan jerami dan rumput dilakukan pada sore hari. Pada perlakuan R1
masing-masing ternak diberi pakan hijauan + Konsentrat 1 kg (PK 10%),
perlakuan R2 masing-masing ternak diberi pakan hijauan + Konsentrat 1 kg ( PK
12%) dan perlakuan R3 masing-masing ternak diberi pakan hijauan + Konsentrat
1 kg ( PK 14%). Pemberian air dilakukan secara ad libitum.
Tabel 3. Kandungan nutrisi ransum perlakuan dengan protein kasar 10 %
Konsentrat R1 Kandungan Protein Formulasi (%) Protein Kasar
Bahan Kasar (%) Konsentrat (%)
Dedak Padi 10.1 85 8.6
Dedak Jagung 8.7 5.5 0.5
Bungkil Kelapa 21 4.5 0.9
Urea 277 0 0
Mineral 0 1.5 0
NaCl 0 3 0
Cattle Mix 0 0.5 0
100 10
16
Tabel 4. Kandungan nutrisi ransum perlakuan dengan protein kasar 12 %
Konsentrat R2 Kandungan Protein Formulasi (%) Protein Kasar
Bahan Kasar (%) Konsentrat (%)
Dedak Padi 10.1 84.5 8.5
Dedak Jagung 8.7 4.4 0.4
Bungkil Kelapa 21 4.5 0.9
Urea 277 0.8 2.2
Mineral 0 2.1 0
NaCl 0 3 0
Cattle Mix 0 0.7 0
100 12
Tabel 5. Kandungan nutrisi ransum perlakuan dengan protein kasar 14 %
Konsentrat R1 Kandungan Protein Formulasi (%) Protein Kasar
Bahan Kasar (%) Konsentrat (%)
Dedak Padi 10.1 83 8.4
Dedak Jagung 8.7 6 0.5
Bungkil Kelapa 21 4.5 0.9
Urea 277 1.5 4.2
Mineral 0 1.5 0
NaCl 0 3 0
Cattle Mix 0 0.5 0
100 14
c. Pengamatan
Pengamatan terhadap sapi Bali induk meliputi kecepatan berahi, dan
intensitas berahi. Pengamatan dilakukan sepanjang hari selama 3 bulan dengan
melihat dan mengamati penampakan ciri-ciri berahi berdasarkan perlakuan (R0,
R1, R2, dan R3) pada ternak sapi kemudian dilakukan pencatatan.
17
Parameter yang Diukur
Pada akhir penelitian pengamatan dilakukan dengan mengamati beberapa
perubahan antara lain :
1. Kecepatan Berahi (hari)
Kecepatan berahi dapat dilihat dari waktu pertama diberikan pakan, jenis
pakan yang diberikan, dan jarak waktu pascamelahirkan (bulan).
2. Intensitas berahi
Intensitas berahi diamati dengan metode Toliehere (1981) dengan melihat
dan mengamati penampakan yang timbul pada saat sapi estrus, kemudian
memberikan skor terhadap penampakanya. Yusuf (1990), menambahkan bahwa
intensitas berahi dapat dilakukan dengan melihat dan mengamati penampakan
yang timbul pada saat sapi berahi, kemudian memberikan skor terhadap
penampakanya. Kenampakan sapi yang diamati dengan cara sebagai berikut:
- Intensitas berahi skor 1 diberikan bagi ternak yang memperlihatkan gejala
keluar lendir kurang (++), keadaan vulva (bengkak, basah dan merah)
kurang jelas (+), nafsu makan tidak tampak menurun (+) dan kurang
gelisah serta tidak terlihat gejala menaiki dan diam bila dinaiki oleh
sesama ternak betina (-);
- intensitas berahi skor 2 diberikan pada ternak yang memperlihatakan
semua gejala berahi diatas dengan simbol (++), termasuk gejala menaiki
ternak betina lain bahkan terlihat adanya gejala diam bila dinaiki sesama
betina lain dengan intensitas yang dapat mencapai tingkat sedang.
- Sementara intensitas dengan skor 3 (jelas) diberikan bagi ternak sapi
betina yang memperlihatkan semua gejala berahi secara jelas (+++).
18
Analisa Data
1. Data kecepatan berahi yang diperoleh pada penelitian ini diolah dengan
menggunakan analisis ragam sesuai dengan rancangan acak lengkap (RAL)
menggunakan perlakuan dan ulangan Gaspersz, (1991). Model statistik yang
digunakan adalah sebagai berikut :
Yij = µ + τi + εij
i = 1, 2, 3, …i = perlakuan
j = 1, 2, 3…j = ulangan
Keterangan :
Yij = variabel respon pengamatan
µ = nilai rata – rata perlakuan
τi = pengaruh level protein konsentrat ke-i
εij = Pengaruh galat percobaan dari pemberian pakan ke-i dan ulangan
ke-j
2. Data intensitas berahi yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis
deskriptif. Hasil pengamatan di lapangan dianalisis dan dibandingkan dengan
hasil penelitian dan referensi pendukung.
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kecepatan Berahi
Kecepatan timbulnya berahi (hari) yaitu selang waktu dari mulai
pemberian pakan sampai timbulnya gejala berahi. Pengamatan kecepatan
timbulnya berahi dilakukan setelah pemberian pakan yaitu pada saat timbulnya
berahi dengan mengamati gejala berahi. Kecepatan timbulnya berahi pada
berbagai perlakuan dengan pemberian konsentrat level protein yang berbeda
dapat dilihat pada Tabel 6.
Table 6. Kecepatan berahi dengan level protein konsentrat yang berbeda.
Perlakuan
Parameter
Kecepatan Berahi (Hari) Range
R0
R1
0a
35b ± (15,89 SD) (18-62)
R2 29b ± ( 7,98 SD) (21-43)
R3 31b ± (10,19 SD) (17-45)
Keterangan: Superskrip pada kolom yang sama menunjukkan pengaruh
sangat nyata (P<0,01), sedangkan pada perlakuan pemberian
konsentrat dengan level protein yang berbeda tidak
menunjukkan pengaruh nyata.
Hasil analisis pada penelitian ini,sapi Bali induk yang diberi perlakuan
(R1, R2, dan R3) menimbulkan gejala berahi dibandingkan perlakuan kontrol
(R0) meskipun perlakuan (R1, R2, dan R3) tidak berbeda nyata. Hal ini
membuktikan bahwa pemberian konsentrat dengan level protein 10-14% pada
sapi Bali menimbulkan perubahan status reproduksi. Salah satu faktor yang
mempengaruhi kondisi reproduksi induk adalah ketersedian protein yang cukup
sebagai sumber nutrisi, sehingga dapat mempengaruhi kecepatan berahi sapi Bali
induk untuk kebutuhan fungsional reproduksi. Hubungan antara jumlah protein
kasar dan timbulnya estrus postpartus telah dikemukakan oleh Sasser, et
al. (1988) bahwa perpanjangan timbulnya estrus postpartus terjadi pada sapi yang
20
diberi pakan dengan defesiensi protein kasar (0,32kg/ekor/hari) dibandingkan
dengan kelompok sapi yang diberi pakan dengan protein kasar yang cukup
(0,96kg/ekor/hari).Kebutuhan protein kasar dalam pakan untuk kebutuhan
reproduksi yang normal adalah 13-20%. Kartadisastra, (1997) berpendapat bahwa
Kebutuhan sapi akan protein semakin naik seiring kenaikan bobot badan.
Yendraliza, (2013) menyatakan bahwa perkembangan organ reproduksi
sangat tergantung oleh kemampuan fungsi endokrin dalam memproduksi hormon-
hormon reproduksi sehingga ketersediaan nutrisi mempengaruhi fungsional tubuh
secara menyeluruh. Protein sebagai sumber nutrisi mempengaruhi fungsi otak
sebagai pusat rangsangan yang menjadi faktor pelepas hormon reproduksi. Hal ini
sejalan dengan Diskin, et al. (2003), yang menyatakan bahwa efek nutrisi secara
langsung memberikan pengaruh pada GnRH di hipotalamus atau sekresi
gonadotrophin di pituitary .
Menurut Son et al. (2001) dan Romano et al. (2005), ternak yang diberi
asupan pakan dengan kecukupan energi dan protein menyebabkan ternak cepat
tumbuh dan memperlihatkan gejala berahi yang normal. Berdasarkan hasil analisa
di atas didapatkan bahwa pemberian PK (protein kasar) 10 %, PK 12 % dan PK
14 %, kurang memperlihatkan perbedaan yang nyata (P>0,05) melalui pemberian
pakan yang berbeda. Toelihere, (1979) menyatakan bahwa pada sapi potong yang
mengalami penurunan tingkatan makanan umumnya memperlambat timbulnya
berahi, sedangkan tingkatan makanan yang tinggi dapat mempercepat Berahi.
Kekurangan makanan secara tidak langsung mempengaruhi fungsi hormon dan
menyebabkan gangguan reproduksi yang ditandai dengan organ reproduksi yang
tidak sempurna dan tidak berkembangnya folikel sehingga tidak memperlihatkan
21
gejala berahi atau silent heat. Feradis (2010) menambahkan bahwa tingkatan
makanan mempengaruhi sintesa maupun pelepasan hormon dari kelenjar-kelenjar
endokrin, sehingga status nutrisi pada sapi mempengaruhi perkembangan folikel
dan kapasitas ovulasi.
Intensitas Berahi
Tampilan gejala berahi dan intensitas berahi dari sapi-sapi betina yang
diamati dalam penelitian ini, nampaknya sangat berbeda antar kelompok
perlakuan (Tabel 7). Gejala berahi yang umumnya terlihat adalah gejala keluarnya
lendir, perubahan kondisi vulva (merah, bengkak dan basah), gelisah dan nafsu
makan menurun, menaiki dan diam ketika dinaiki. Tidak semua ternak yang
berahi dapat memperlihatkan semua gejala berahi dengan intensitas atau tingkatan
yang sama. Untuk membandingkan tingkat intensitas berahi ini ditentukanlah skor
intensitas berahi 1 s/d 3, yaknii skor 1 (berahi kurang jelas), skor 2 (berahi yang
intensitasnya sedang) dan skor 3 (berahi dengan intensitas jelas) (Yusuf, 1990).
Tabel 7. Tampilan berahi perlakuan dengan level protein berbeda
Perlakuan Tampilan Berahi Jumah Ternak
Intensitas (Skor) Ekor %
R0 (Kontrol)
R1 (PK 10 %)
0
3
2
1
10
0
7
5
0
0
58
41
R2 (PK12%)
3
2
1
2
6
4
16
50
33
R3 (PK 14%)
3
2
1
8
4
0
66
33
0
Keterangan : Skor 3 (Berahi dengan intensitas jelas); Skor 2 (Berahi dengan
intensitas sedang); Skor 1 (Berahi dengan intensitas kurang jelas)
22
Hasil penelitian menunjukkan bahwa R0 (kontrol) tidak meperlihtkan
intensitas berahi karena semua induk tidak mengalami berahi pada perlakuan ini,
sedangkan tingkat intensitas berahi pada ketiga perlakuan pakan dengan intensitas
berahi jelas (skor 3), yakni 0 %, 16,66 % dan 66,66 % berturut-turut untuk
perlakuan R1, R2 dan R3. Intensitas berahi yang sangat jelas pada R3 diduga
karena terjadinya sekresi FSH konsentrasi tinggi sehingga folikulogenesis
berlangsung baik.Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ternak yang diberi
asupan pakan dengan kecukupan energi dan protein menyebabkan ternak cepat
tumbuh dan memperlihatkan gejala berahi yang normal (Son et al., 2001; Romano
et al. 2005).
Pengamatan berahi, tampak sapi Bali induk pada perlakuan R3 dengan
PK14% memperlihatkan tanda-tanda berahi sangat jelas yaitu bagian vulva
terdapat lendir yang menggantung, transparan, ketika diraba terasa hangat dan
bewarna kemerahan serta bengkak, ternak terlihat gelisah, menurunnya nafsu
makan dan sering melenguh, tingkah laku terlihat jelas serta ternak saling menaiki
sesama betina dan diam ketika dinaiki. Hal ini sesuai dengan pendapat
Partodihardjo (1992), yang menyatakan Ciri dari berahi adalah ternak menjadi
gelisah,nafsu makan berkurang, vulva bengkak, keluar lendir dan vulva menjadi
kemerahan.Suharto (2003) menambahkan bahwa ternak yang diberikan ransum
dengan kualitas yang baik menunjukkan intensitas berahi yang lebih tinggi, dan
dapat meningkatkan kejelasan penampilan estrus(kebengkakan labia vulva, suhu
vagina, pH lendir serviks, warna mucosavagina dan kelimpahan lendir).
23
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat intensitas berahi sedang
(skor 2) berada pada kisaran 58,33 %, 50 %, dan 33,33 % berturut-turut untuk
perlakuan R1, R2 dan R3. Sedangkan tingkat intensitas berahi kurang jelas, yaitu
41,66 %, 33,33 % dan 0 % berturut-turut untuk perlakuan R1, R2 dan R3.
Rendahnya intensitas berahi bervariasi yang ditandai dengan vulva yang memerah
tapi tidak membengkak, lendir dengan konsistensi yang kurang kental dan
jumlahnya sedikit serta tingkah laku ternak terlihat gelisah tetapi menolak dinaiki
oleh ternak lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Kune dan Solihati (2007)
menyatakan bahwa berahi dengan intensitas kurang jelas atau sedang, lebih
disebabkan oleh faktor individu yang mungkin lebih berhubungan dengan pola
hormonal terutama level hormon estrogen yang berperan dalam merangsang
berahi.
Penampilan gejala berahi yang kurang jelas dikarenakan oleh asupan
pakan yang kurang memenuhi kebutuhan sehingga mengganggu sintesa dan
regulasi hormon-hormon reproduksi yang sangat berperan dalam penampilan
gejala berahi. Hal ini didukung oleh Partodihardjo, (1980) bahwa intensitas berahi
dipengaruhi oleh hormon-hormon reproduksi, maka secara tidak langsung angka
intensitas berahi (AIB) juga sangat dipengaruhi oleh status nutrisi ternak itu
sendiri.
24
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dibahas, maka dapat disimpulkan
bahwa :
- Suplementasi kosentrat pada ransum basal jerami padi dengan level
protein 10-14% (R1, R2, R3) menimbulkan respon berahi, sedangkan pada
perlakuan kontrol (R0) tidak menunjukkan respon berahi.
- Intensitas berahi pada perlakuanR3 dengan level protein 14%
memperlihatkan intensitas berahi yang jelas dibanding dengan R1 dan R2
dengan level protein 10-12% kurang memperlihatkan intensitas berahi
yang jelas.
Saran
Penelitian ini layak untuk diterapkan ke masyarakat, karena dengan
pemberian pakan menggunakan suplementasi konsentrat pada ransum basal jerami
padi dengan level protein yang cukup pada sapi Bali induk dapat menimbulkan
respon berahi dan intensitas berahi yang baik, dibanding dengan hanya diberikan
pakan jerami saja.
25
DAFTAR PUSTAKA
Abdelgadir AM, Izeldin A, Babiker, and AE. Eltayeb. 2010. Effect of concentrate
supplementation on growth and sexual development of dairy heifers. J
Appl Sci Res. 6(3):212- 217.
Abidin, Z. 2002. Penggemukan sapi potong. Agromedia pustaka. Jakarta.
Arora, S.P. 1989. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
__________ 1995. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Arthur, G. H. 1975. Veterinary reproduction and obstetrics. 4th ed. The english
language book Society and Baillire Tindall. London.
Bakry, W.R., B.M. Christie, A. Muthalib, and K.F. Dowsett. 1994. Productivity of
beef cattle in Nusa Tenggara. In CHAPS Book A, Collection of papers
from the final seminar of the cattle health and repoductivity survey
(CHAPS) held at the disease investigation centre, Denpasar, Bali, 15–17
Mei, p:170.
Batan, I.W. 2006.Sapi Bali dan penyakitnya. Fakultas kedokteran hewan
Universitas Udayana. Denpasar Bali.
Belanger, J., 2001. Storey Guide to Raising Dairy Goats. Storey Publishing.North
Adam, p: 72-81.
Boland, M.P., Lonergan, P. and D.O. Callaghan.2001. Effect of nutrtion on
endocrine parameters, ovarian physiology, and oocyte and embryo
development. Theriogenology, 55: 1323-1340.
Bossis, I., R.P. Wettemaann, S.D. Welty, J.A. Vezearra, L.J. Spicer and M.G.
Diskin, 1999. Nutritionally Induced an Ovulation in Beef Heifer, Ovarium
and Endocrine Functions Preceding Cessation of Ovulation. Journal of
Animal Science, 77: 1536-1546.
Butler, W.R. 2000. Nutritional Interaction with Reproductive Performance in
Dairy Cattle. Journal of Animal Reproduction Science, 60: 449-457.
Crouse, J.D., R.A. Field. J.L. Chant Jr., C.L. Ferrel, G.M. Smith and V.L.
Harrison, 1978. The Effect of Dietary Energy Intake on Carcass
Composition and Palatability of Different Weight Carcass from Ewe and
Ram.J. Anim. Sci., 47: 1207-1218.
Darmadja, S.D.N.D. 1980. Setengah Abad Peternakan Sapi Tradisional dalam
Ekosistem Pertanian di Bali. Disertasi Universitas Padjajaran, Bandung.
26
Devendra, C., T. Lee Kok Choo and M. Phatmasingham. 1973. The productivity
of Bali cattle in Malaysia.
Diskin, M.G., Mackey, Roche J.F. and Sreenan J.M. 2003. Effects of nutrition
and metabolic status on circulating hormones and ovarian follicle
development in cattle. Anim. Reprod. Sci. 78: 345 – 370.
Djagra, I.B. dan I.G.K. Budiarta. 1990. Hubungan antara berat badan kosong
dengan berat karkas sapi Bali. Seminar Nasional Sapi Bali, Denpasar, 22-
23 Sep. Fapet-Udayana.
Feradis, M.P. 2010. Reproduksi Ternak. Penerbit Alfabeta. Bandung.
Frandson, R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak.Gadjah Mada University
Press.Yogyakarta.
Galina, C .S . and G .H . Arthur. 1989. Review of cattle reproduction in the
tropics . Part 3 . Puerperium . Animal BreedingAbstracts 57 : 11 : 899.
Gaspersz, 1991. Metode Perancangan Percobaan, Terjemahan CV. Armico,
Bandung.
Handiwirawan, E., dan Subandriyo. 2004. Potensi dan keragaman sumberdaya
genetik sapi Bali. Wartazoa 14(3):107-115.
Herweijer, C.H. 1947. De ontwikkeling der Runderteelt in Zuid Celebes en de
megelijkheit tot het stichten van Ranch Bedrijven. Hemera Zoa56: 222.
Kadarsih, S. 2003. Peranan ukuran tubuh terhadap bobot badan sapi Bali di
propinsi Bengkulu. Jurnal Penelitian Unib 9 (1): 45-48.
Kartadisastra, H. R. 1997. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak
Ruminansia. Kanisius. Yogyakarta.
Kune, P. Dan N. Solihati. 2007. Tampilan Berahi dan Tingkat Kesuburan Sapi
BaliTimor Yang Diinseminasi. Jurnal Ilmu Ternak 7(1): 1-5
Laing, J. A. 1970. Fertility and fertility In the domestic animal. 2nd Ed. Balilire
Tindal and Cassel, London; 397-401.
Lucy, M.C., Beck., J., Staples, C.R., Head, H.H., de la Sota, R.L. and
W.W.Thatcher. 1992. Follicular dynamics, plasma metabolites, hormones
and Kutubkhanah, insulin-like growth factor 1 (IGF-1) in lactating cows
with positive or negative energy balance during the preovulatory
period. Reprod., Nutr. Dev., 32: 331-341.
Mauget R., Mauget C., Dubost G., and Charron F. 2007. Non-invasive assessment
of reprodukctive status in Chinese water deer (hydropotes inermis):
Correlation with sexual behaviour. Mamm. Biol. 72 (2007)1:14-26.
27
McCOol, C. 1992. Buffalo and Bali cattle - exploiting their reproductive
behaviour and physiology . Tropical Animal HealthProduction 24: 165 .
Nogueira Gp. 2004. Puberty in south American Bos Indicus (Zebu) cattle. Animal
reproduction Science. 82–83: 361–372.
Owen, F.N., and A.L. Goetsch, 1988. Ruminal Fermentation. In: Church (Ed)-The
Ruminant Animal. Digestive Physiology and Nutrition. Prentice Hall. New
Jersey, p: 145-147.
Pane, I. 1990.Upayameningkatkanmutu genetic sapi Bali diP3Bali.Proc. Seminar
NasionalSapi Bali 20–22September.hlm: A42.
Partodihardjo, S. 1980. Imu Reproduksi Hewan. Mutiara, Jakarta
_____________ 1992. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya. Jakarta.
Puastuti, W. 2013. Protein pakan tahan degradasi rumenuntuk meningkatkan
produksi susu. Semiloka nasional prospek industri sapi Perah menuju
perdagangan bebas – 2020.Balai penelitian ternak. Bogor.
Robert, S. J. 1971. Veterinary Obstetries And Genital Disease. Ithaca, New York.
Romano MA., Barnabe WH, Silva AEDF, Freitas, and Romano. 2005. The effect
of nutritional level on advancing age at puberty in Nelore heifers.
Ambiencia Guarapuava PR. 1:157-167.
Salisbury, G. W. Dan N. L. Vandemark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan
Inseminasi Buatan pada Sapi. Terjemahan R. Djanuar.
FakultasPeternakan UniversitasGadjah Mada.Yogyakarta.
Sasser, R.E., R.J. William, R.C. Bull, C.A. Ruder and D.E Falk 1988. Postpartum
reproductive performance in crude protein restricted beef cows. University
of Idaho, Moscow. J. Anim. Sci. 66: 3033—3039.
Shehu Dm, Oni Oo, Olorunju Sas, and I. Adeyinka. 2008. Genetic and phenotypic
parameters for body weight of Sokoto Gudali (Bokoloji) cattle. Int Jor P
App Scs. 2(2):64-67.
Siregar, A.R., C. Talib, P. Sitorus, K. Diwyanto, and U. Kusnadi.1985.
Performance sapi Bali di NTT. Kerjasama Balai Penelitian Ternak dan
Ditjennak.
___________ Chalijah, M. Sariubang, dan C. Talib. 2000. Penyebab kematian
dini pada pedet sapi Bali pada pemeliharaan ekstensif. Kerjasama Balai
Penelitian Ternak dan Ditjennak.
28
Sinclair, K.D., Broadbent, P.J. and J.S.M. Hutchinson. 1994. The effect of pre-
and post-partum energy and the protein supply on the blood metabolites
and reproductive performance of single- and twin-suckling beef cows.
Anim. Prod., 59: 391-400.
Son Ch, Kang Hg, and Sh. Kim. 2001. Application of progesterone measurement
for age and body weight at puberty, and postpartum anestrus in Korean
native cattle. J Vet Med Sci. 63(12):1287-1291.
Suharto, K. 2003. Penampilan Potensi Reproduksi Sapi Perah Frisien
HolsteinAkibat Pemberian Kualitas Ransum Berbeda dan Infusi Larutan
IodiumPovidon 1% Intra Uterin. Tesis. Program Studi Magister Ilmu
Ternak UniversitasDiponegoro. Semarang.
Talib, C. and A.R. Siregar. 1991. Productivity of Bali cattle in Timor's Savanna.
(Produktivitas sapi Bali di Savana, Timor, NTT). In Proc. Improving the
Productivity of Animal Husbandry and Fisheries. National Seminar,
Diponegoro University. Indonesia. p: 112.
____ C., A. Bamualim, dan G. Hinch. 1998. Factorsinfluencing preweaning and
weaning weights of Bali(Bossundaicus) calves. Proc. 6th World Conggres
onGenetics Applied to Livestock Production Vol. 23: 141.
___________________ dan A. Pohan. 1999. Problematikapengembangansapi
Bali dalampemeliharaan dipadangpenggembalaan. Pros. Seminar
NasionalPeternakandanVeteriner, Puslitbangnak, 1−2 Des.1998: 248.
____ C., Chalijah, dan A.R. Siregar. 2002. Progesteronepattern of Bali cattle at
Gowa, South Sulawesi.Inpress.
Tillman A.D., Hartadi H.,Reksohadiprojo S., Prawirokusumo S., dan S.
Lebdosoekojo. 1991.Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan ke-5. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Toelihere, M.R. 1979. Fisiologi Reproduksi pada ternak, Penerbit Angkasa,
Bandung.
_____________ 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit
Angkasa.Bandung.
_____________ 2002. Increasing the success rate and adoption of artificial
insemination for genetic improvement of Bali cattle. Workshop on
strategies to improvebali Cattle in Eastern Indonesia. Udayana eco lodge
Denpasar Bali 4–7 February 2002.
29
Wahyono, D.E., R. Hardianto, C. Anam, D.B.Wijono, T.Purwantodan M. Malik.
2003.Strategi Pemanfaatan Limbah Pertanian dan Agroindustri
untukPembuatanPakanLengkapRuminansia.Makalah Seminar
NasionalPengembanganSapiPotong, Lembang, Jawa Barat. Pusat
Penelitian danPengembanganPeternakan, BadanLitbangPertanian, Bogor.
Wattiaux, MA. 1996. Reproduction and GeneticSelection. The Babcock
Institute for InternationalDairy. Research and Development
InternationalAgricultural Programs. USA: University ofWisconsin
Madison.
Williams, G .L . 1990 . Suckling as a regulator of postpartum rebreeding in cattle :
A review. Journal ofAnimal Science 68 : 831 .
Williamson, G dan W. J. A.Payne. 1993. Pengantar peternakan di daerah tropis,
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Wirdahayati, R.B dan A. Bamualim. 1990. Penampilan Produksi dan Struktur
Populasi Ternak Sapi Bali di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Dalam
Proseding Seminar Nasionar Sapi Bali. Fakultas Peternakan Udayana.
Denpasar. pp:c1-c5.
Yendraliza. 2013. Pengaruh nutrisi dalam pengelolaan reproduksi ternak
studiliteratur. Fakultas Pertanian Peternakan Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim Riau.
Yusuf. T. L. 1990. Pengaruh Prostaglandin F2 alfa Gonadotrophin Terhadap
Aktivitas Estrus dan Super Ovulasi dalam Rangkaian Kegiatan Transfer
Embrio pada Sapi FH, Bali dan PO. Disertasi. Program Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor. Bogor
30
LAMPIRAN
ANOVA
RESPON_BERAHI
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 8304.286 3 2768.095 23.843 .000
Within Groups 4876.083 42 116.097
Total 13180.370 45
Gambaran Statistik
RESPON_BERAHI
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for
Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
R0 10 .0000 .00000 .00000 .0000 .0000 .00 .00
R1 12 35.0833 16.60481 4.79340 24.5331 45.6335 18.00 62.00
R2 12 29.9167 7.98246 2.30434 24.8449 34.9885 21.00 43.00
R3 12 31.7500 10.19024 2.94167 25.2754 38.2246 17.00 45.00
Total 46 25.2391 17.11424 2.52336 20.1568 30.3214 .00 62.00
RESPON_BERAHI
Levene Statistic df1 df2 Sig.
17.498 3 42 .000
31
DOKUMENTASI KEGIATAN
1. Sosialisasi Perencanaan Kegiatan
a. b.
Pemaparan rencana kegiatan di kantor Sesi tanya jawab
Desa Mattirowalie
c. d.
Pemaparan metode pemberian pakan Sesi tanya jawab
ternak (ransum ternak)
2. Pendataan Ternak
a. b.
Pendataan ternak setelah sosialisasi pendataan ternak di lapangan
32
c. d.
Pendataan kelompok ternak Pendataan kelompok ternak di
lapangan
3. Stok pakan konsentrat dan pakan jerami
a. b.
Stok pakan konsentrat Pembagian dan penimbangan
pakan konsentrat
c. d. d.
Pembagian pakan konsentrat Stok pakan jerami
Ke ketua kelompok
33
4. Pemberian Pakan
a. b.
c. d.
Pemberian pakan konsentrat sebelum digembalakan
34
RIWAYAT HIDUP
M. Yusuf Budi Santoso, lahir pada tanggal 11 Agustus
1993 di Kancina”a, Kecamatan Pasarwajo, Kabupaten
Buton, Sulawesi Tenggara. Penulis adalah anak kedua dari
lima bersaudara dari pasangan bapak Ba’in dan Ibu
Najemiati. Jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah
Sekolah Dasar di SD Kancina’a dan lulus pada tahun 2005. Kemudian Penulis
melanjutkan sekolah di SMP Negeri 2 Pasarwajo dan lulus pada tahun 2008,
kemudian penulis melanjutkan sekolah ke SMKN 2 BAU-BAU dan lulus pada
tahun 2011. Setelah menyelesaikan pendidikan di tingkat SMA/SMK, penulis
melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi dan diterima melalui jalur seleksi
nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN) di Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin, Makassar.