pengaruh penggunaan tepung kulit buah kakao fermentasi .../pengaruh...pengaruh penggunaan tepung...
TRANSCRIPT
Pengaruh penggunaan tepung kulit buah kakao fermentasi dalam ransum terhadap
produksi karkas kelinci
new zealand white jantan
Jurusan/Program Studi Peternakan
Disusun Oleh : Eko Prasetiya
H.0505026
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2010
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kelinci merupakan salah satu ternak yang potensial, dapat dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan daging untuk masyarakat. Usaha peternakan kelinci di Indonesia belum dapat berkembang dengan cepat dibanding peternakan unggas atau ruminansia lain, karena kurangnya informasi di masyarakat bahwa daging kelinci memiliki kualitas yang lebih baik dibanding daging unggas atau ternak lain.
Ternak kelinci merupakan salah satu komoditas peternakan yang memiliki kualitas daging dengan kandungan protein 21 % lebih tinggi dibandingkan dengan daging sapi yang mengandung 20 %, domba atau kambing 18 % dan ayam 19,5 %. Struktur seratnya lebih halus dengan warna dan bentuk menyerupai daging ayam (Kartadisastra, 2001). Menurut Sarwono (2008) daging kelinci mengandung protein tinggi, kandungan lemak dan kolesterol sangat sedikit.
Pakan merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi kelangsungan hidup ternak dan biaya terbesar yang dikeluarkan dalam usaha peternakan adalah untuk pakan sekitar 60-70 %. Oleh karena itu, upaya penurunan biaya pakan merupakan suatu keharusan dan salah satu limbah tanaman perkebunan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan seperti kulit buah kakao (Murtisari, 2005).
Limbah dari tanaman kakao berupa kulit buah, secara fisik beratnya dapat
mencapai sekitar 74% dari berat satu buah kakao, sehingga potensi limbah ini cukup
besar sebagai bahan pakan ternak. Potensi kakao di Jawa Tengah pada tahun 2006
mencapai 2.784 ton dengan menggunakan lahan seluas 7.732 ha (Deptan, 2006).
Buah kakao terdiri dari 74% kulit buah, 2% daging biji dan 24% biji. Kulit buah
kakao merupakan limbah yang potensial, dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak
karena kandungan nutrientnya. Kandungan nutrient yang terdapat dalam kakao adalah
protein kasar 7,17%; serat kasar 22,42%; lemak 0,9%; Ca 0,02% dan P 0,14%
(Guntoro, 2006). Apabila tidak dimanfaatkan maka jumlah nutrient yang terdapat
dalam kulit buah kakao akan terbuang sia-sia khususnya di Jawa Tengah sebagai
berikut : 74% kulit buah dari total 2784 ton (Deptan, 2006), sebesar 2060 ton. Kulit
buah dengan kandungan protein kasar 7,17% dari 2060 ton, jadi jumlah
keseluruhannya 147,70 ton protein kasar per tahun dalam keadaaan basah, sedangkan
dalam bentuk bahan kering 132,93 ton yang terbuang apabila tidak dimanfaatkan.
Kulit buah kakao sebagai pakan ternak yang potensial dapat diberikan secara
langsung maupun melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Kulit buah kakao dapat
dijadikan pakan pengganti hijauan makanan ternak sebesar 30-40% (Anonimus,
2001).
Kelemahan kulit buah kakao sebagai bahan pakan diantaranya adalah mudah
busuk, sehingga diperlukan pengawetan, dengan cara fermentasi. Tujuan fermentasi
disamping untuk pengawetan juga dapat untuk meningkatkan protein kasar dan
palatabilitas karena mengubah aroma lebih baik dari bahan asli. Sesuai pendapat
Winarno dan Fardiaz (1980) bahwa pakan yang mengalami fermentasi biasanya
mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi dibanding bahan aslinya.
Menurut (Sunanto, 1994 cit Anonimus 2008) kulit buah kakao yang diberikan
secara langsung pada ternak justru akan menurunkan berat badan ternak, sebab
kandungan protein kulit buah kakao rendah, sedangkan kandungan lignin dan
selulosanya tinggi. Oleh karena itu sebaiknya sebelum digunakan sebagai pakan
ternak perlu difermentasi terlebih dahulu untuk menurunkan kandungan lignin yang
sulit dicerna oleh hewan dan untuk meningkatkan nilai nutrisi, tapi ada batasan
penggunaannya, karena mengandung seyawa anti nutrisi theobromin.
Penambahan pakan limbah kakao sebanyak 100 – 200 gram/ekor/hari mampu
meningkatkan pertumbuhan kambing muda sebesar 119 gram/ekor/hari
dibandingkan jika hanya diberikan hijauan makanan ternak (HMT), pertumbuhan
hanya mencapai 64 gram/ekor/hari (Anonimus, 2008).
B. Rumusan Masalah
Pakan merupakan salah satu faktor utama dalam pemeliharaan kelinci yang
perlu diperhatikan. Pemilihan pakan alternatif yang berkualitas, tanpa bersaing
dengan kepentingan manusia, sangat dibutuhkan. Kulit buah kakao merupakan
limbah tanaman perkebunan yang potensial, yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pakan ternak. Kulit buah kakao merupakan salah satu bahan pakan alternatif, dengan
kandungan protein kasar 7,17 %; serat kasar 22,42 %; lemak 0,9 %; Ca 0,02 %; dan
P 0,14 % (Guntoro, 2006). Proses fermentasi perlu dilakukan untuk meningkatkan
protein dan menurunkan serat kasar. Fermentasi dengan menggunakan Aspergillus
niger, diharapkan kandungan nutrien yang ada di dalam kulit buah kakao dapat
optimal, sehingga kebutuhan nutrien kelinci akan terpenuhi.
Atas dasar permasalahan diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang penggunaan tepung kulit buah kakao fermentasi dengan Aspergilus niger
terhadap produksi karkas kelinci New Zealand White jantan.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui pengaruh penggunaan tepung kulit buah kakao fermentasi
dengan Aspergilus niger dalam ransum terhadap produksi karkas kelinci
New Zealand White jantan.
2. Mengetahui tingkat penggunaan tepung kulit buah kakao fermentasi yang
tepat sebagai pakan alternatif kelinci New Zealand White jantan.
I. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kelinci
Menurut Kartadisastra (1997), sistematika kelinci sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Class : Mammalia
Ordo : Lagomorpha
Family : Leporidae
Sub Family : Leparine
Genus : Lepus
Species : Lepus negricollis
Kelinci termasuk jenis ternak pseudo-ruminant, yaitu herbivora yang tidak
dapat mencerna serat kasar secara baik. Fermentasi pakan terjadi di coecum,
merupakan 50% dari seluruh kapasitas saluran pencernaan (Sarwono, 2008).
Rasa daging kelinci tidak jauh berbeda dengan daging ayam, serat-
seratnya lembut, warnanya putih dan tidak berlendir (Sarwono, 1995).
Kelinci New Zealand White merupakan ras kelinci albino, yang tidak
mempunyai pigmen bulu, sehingga bulunya berwarna putih mulus, padat, tebal
dan agak kasar kalau diraba, matanya menonjol dan berwarna merah, mempunyai
sifat coprophagy yaitu aktifitas mengkonsumsi fesesnya sendiri pada pagi hari.
Keunggulan dari kelinci New Zealand White yaitu pertumbuhannya cepat, karena
itu cocok diternakan sebagai penghasil daging. Bobot kelinci dewasa dapat
mencapai sekitar 4,5-5 kg per ekor. Jumlah anak yang dilahirkan rata-rata
berjumlah 50 ekor per tahun (Sarwono, 2008).
Ciri-ciri kelinci lokal antara lain : bentuk dan berat badannya kecil, sekitar
1,5 Kg, warna bulu bervariasi antara putih, hitam, belang. Kelinci lokal diduga
berasal dari hasil kawin silang yang tidak terkontrol dari generasi ke generasi
(Whendrato dan Madyana, 1983).
B. Pakan Kelinci
Pakan kelinci terdiri dari 2 macam yaitu konsentrat dan hijauan.
Konsentrat mempunyai kandungan Serat Kasar lebih rendah daripada hijauan
(Williamson dan Payne, 1993). Sehingga konsentrat lebih mudah dicerna.
Konsentrat dalam peternakan kelinci berfungsi untuk meningkatkan nilai
gizi pakan dan mempermudah penyediaan pakan. Konsentrat sebagai ransum
diberikan sebagai pakan tambahan atau pakan penguat, kalau pakan pokoknya
hijauan (Sarwono, 2008).
Konsentrat merupakan pakan penguat berkonsentrasi tinggi berupa
campuran bahan pakan yang terdiri dari 60% TDN dan berperan menutup
kekurangan nutrien yang belum terpenuhi nutrien. Jumlah pemberian konsentrat
dalam formulasi ransum kelinci adalah 1/3 dari bahan kering ransum
(Siregar,1994)
Menurut Siregar (1994), hijauan diartikan sebagai pakan yang
mengandung serat kasar atau bahan tidak tercerna yang relatif tinggi. Jenis pakan
hijauan ini antara lain rumput-rumputan, leguminosa, dan limbah pertanian
(misal: jerami padi, pucuk tebu, dan daun jagung). Menurut Sarwono (2008)
hijauan antara lain rumput lapangan, limbah sayuran (daun kangkung, sawi,
wortel, lobak, daun singkong ), daun lamtoro, daun turi, daun petai, daun pepaya,
dan lain – lain.
C. Kulit Buah Kakao Fermentasi
Menurut pendapat Winarno dan Fardiaz (1980) bahwa pakan yang
mengalami fermentasi biasanya mempunyai nilai gizi yang lebih tinggi dibanding
bahan asalnya. Kulit buah kakao mengandung protein kasar 7,17 %; serat kasar
22,42 %; lemak 0,9 %; Ca 0,02 %; dan P 0,14 % (Guntoro, 2006). Proses
fermentasi dilakukan untuk meningkatkan kandungan protein dan menurunkan
serat kasar. Fermentasi dengan menggunakan Aspergillus niger, diharapkan
kandungan nutrien yang ada di dalam kulit buah kakao dapat optimal, sehingga
kebutuhan nutrien kelinci akan terpenuhi (Anonimus, 2008).
Kulit buah kakao mengandung alkaloid theobromin (3,7-
dimethlxantine) yang merupakan faktor pembatas pada pemakaian limbah kakao
sebagai pakan ternak. Kandungan theobromin sbb : kulit buah (0,17 - 0,20 %) ;
kulit biji (1,80 - 2,10%) ; biji (1,90 – 2,0 %) (Wong, dkk, 1988 disitasi BPTP-
Sulsel). Kulit buah kakao kandungan gizinya terdiri dari bahan kering (BK) 88%,
protein kasar (PK) 8%, serat kasar (SK) 40,1%, dan TDN 50,8% dan
penggunaannya oleh ternak ruminansia 30-40% (Anonimus, 2001).
Fermentasi merupakan proses metabolik dengan bantuan enzim dari
mikrobia (jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisa dan reaksi
kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada suatu subtrat organik
dengan menghasilkan produk tertentu, dan menyebabkan terjadinya perubahan
sifat bahan tersebut (Winarno dan Fardiaz, 1980).
Medium fermentasi dibagi menjadi dua yaitu fermentasi medium padat
dan fermentasi medium cair. Fermentasi medium padat merupakan proses
fermentasi dimana medium yang digunakan tidak larut tetapi cukup mengandung
air untuk keperluan mikroorganisme, sedangkan fermentasi medium cair adalah
proses fermentasi yang substratnya larut atau tersuspensi didalam fase cair
(Hardjo, et. al., 1989).
Aspergillus niger merupakan kapang termasuk ke dalam genus
Aspergillus, famili Eurotiaceae, ordo Eutiales, sub-klas Plectomycetetidae, kelas
Ascomycetes, sub-divisi Ascomycotina dan divisi Amastigmycota (Hardjo, et. al.,
1989).
Aspergillus niger berwarna hitam coklat atau ungu coklat. Kapang ini
mempunyai bagian yang khas yaitu hifanya berseptat, spora yang bersifat
aseksual, mempunyai sifat aerob, sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan
oksigen dalam jumlah yang cukup. Aspergillus niger termasuk mikroba mesofilik
dengan pertumbuhan maksimum pada suhu 35 oC – 37 oC. Derajad keasaman
(pH) untuk pertumbuhan mikroba ini adalah 2-8,8 tetapi pertumbuhannya akan
lebih baik pada kondisi asam atau pH yang rendah (Fardiaz, 1989).
D. Bobot Potong
Bobot Potong yaitu bobot kelinci hidup yang lazim untuk dipotong dan
telah dipuasakan selama 6 - 10 jam. Bobot potong ternak ditentukan oleh bobot
hidupnya, bobot hidup dipengaruhi oleh konsumsi pakan. Bobot potong akan
berpengaruh terhadap besarnya penimbunan lemak tubuh, persentase karkas dan
kualitas daging. Kenaikan bobot potong cenderung meningkatkan persentase
karkas, yang diikuti dengan kenaikan persentase tulang dan daging (Soeparno dan
Sumadi 1991).
Tingginya konsentrasi protein dalam pakan dan aras pemberian pakan bisa
meningkatkan kadar lemak dan menurunkan kandungan air tubuh atau karkas,
tetapi tidak mempengaruhi persentase protein. Pengaruh protein atau rasio protein
/ energi akan lebih besar pada ternak ruminansia dan nonruminansia muda yang
sedang tumbuh dengan cepat, terutama pada pakan yang tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan pertumbuhan jaringan (Soeparno 1994).
E. Berat dan Persentase Karkas
Karkas adalah bagian tubuh dari ternak potong setelah pemotongan
dikurangi kepala, darah serta organ dalam, dan untuk sapi, kerbau, domba dan
kambing juga dikurangi kaki dari corpus dan tarsus ke bawah serta kulit. Untuk
ayam, paru-paru dan ginjal termasuk karkas. Berat karkas mempunyai hubungan
erat dengan komponen karkas yaitu tulang, daging dan lemak (Soeparno, 1994).
Persentase karkas adalah berat karkas dibagi dengan berat hidupnya dan
dikalikan 100 %. Berat karkas biasanya berat dari karkas dingin atau karkas layu
(Soeparno, 1994).
Kelinci yang lambat tumbuhnya mengandung protein tinggi dan rendah
kadar lemaknya dibandingkan dengan kelinci yang cepat tumbuhnya. Berat karkas
ternak kelinci yang baik berkisar antara 40-52 % dari berat hidupnya
(Kartadisastra 1997).
Faktor yang mempengaruhi berat karkas yaitu besar tubuh kelinci, jenis
kelinci, sistem pemeliharaan, kualitas bibit, macam dan kualitas pakan, kesehatan
ternak, perlakuan sebelum pemotongan (Kartadisastra, 1997).
F. Berat dan Persentase Non Karkas
Non karkas merupakan hasil pemotongan ternak selain karkas dan lazim
disebut offal. Non karkas terdiri dari bagian yang layak (offal edible) dan
tidak layak dimakan (offal non edible). Bagian non karkas pada kelinci
merupakan seluruh bagian yang meliputi darah, kepala, kedua kaki depan, kedua
kaki belakang, ekor dan organ dalam yang sudah dipisahkan dari karkas yang
bersangkutan (Soeparno, 1994).
Persentase non karkas merupakan angka banding antara berat non karkas
(darah, kepala, kedua kaki depan, ekor, jeroan dan kedua kaki belakang) dengan
berat potong kelinci yang bersangkutan kemudian dikalikan 100 persen. Bahwa
persentase non karkas berbanding terbalik dengan persentase karkas. Semakin
tinggi persentase non karkas semakin rendah persentase karkas (Soeparno 1994).
Berat karkas ternak kelinci berkisar antara 40 - 52 % dari berat badan
hidupnya dan persentase non karkasnya berkisar 48 - 60 % (Kartadisastra 1997).
Menurut Soeparno (1994), bahwa perlakuan nutrisional mempunyai
pengaruh berbeda terhadap berat non karkas. Berat non karkas juga dapat
mempengaruhi berat karkas, apabila berat non karkas semakin meningkat maka
perolehan berat karkas yang dihasilkan akan semakin menurun. Hal ini terjadi
karena jumlah non karkas yang dihasilkan lebih banyak daripada jumlah karkas
dari ternak tersebut. Pola pertumbuhan organ seperti hati, ginjal, dan saluran
pencernaan menunjukkan adanya variasi, sedangkan organ yang berhubungan
digesti dan metabolisme menunjukan perubahan berat yang besar sesuai dengan
status nutrisionalnya.
G. Berat Daging
Daging adalah semua jaringan hewan bersama produk hasil
pengolahannya yang sesuai untuk dimakan dan tidak menimbulkan gangguan
kesehatan bagi yang memakannya. Otot adalah jaringan yang mempunyai struktur
dan mempunyai fungsi utama sebagai penggerak. Karena fungsinya sebagai
penggerak, maka jumlah jaringan ikat ini berhubungan dengan kealotan daging.
Otot-otot yang berasosiasi dengan tulang yaitu otot-otot yang berhubungan
dengan tulang, sering disebut otot skeletal. Otot skeletal merupakan sumber utama
dari jaringan otot daging. Perubahan biokemis dan biofisis pada konversi otot
menjadi daging diawali pada saat penyembelihan ternak. Faktor yang
mempengaruhi kondisi ternak sebelum pemotongan akan mempengaruhi tingkat
konversi otot menjadi daging, dan juga mempengaruhi kualitas daging yang
dihasilkan (Soeparno, 1994).
H. Rasio Daging dan Tulang
Rasio daging dan tulang adalah angka pembanding untuk mengetahui
seberapa banyak daging yang dihasilkan daripada tulangnya. Rasio daging dan
tulang merupakan perbandingan antara berat daging dengan berat tulang dari
kelinci. Perbandingan daging dan tulang dipengaruhi oleh dua komponen yaitu
bobot daging dan bobot tulang karkas (Soeparno, 1994).
Pada umumnya, pertumbuhan individual tulang, otot dan lemak
mengikuti pola pertumbuhan distroproksimal (Black, 1983
cit Soeparno, 1994), dan depot lemak mengalami proses kedewasaan terakhir.
Variasi pola pertumbuhan komponen utama karkas, yaitu tulang, otot, lemak,
selain dipengaruhi oleh status gizi, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti
genotipe dan status fisiologi ternak. Menurut NRC (1981) menyatakan bahwa,
rasio daging dan tulang untuk karkas kelinci berkisar antara 2,8 – 3,7.
III. MATERI DAN METODE
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dengan judul pengaruh penggunaan tepung kulit buah kakao
fermentasi dalam ransum terhadap produksi karkas kelinci New Zealand White
jantan dilaksanakan selama 7 minggu, yaitu pada tanggal 3 Agustus sampai 13
September 2009 di Balai Pembibitan dan Budidaya Ternak Non Ruminansia, jalan
Balekambang lor no. 3, Surakarta. Analisis pakan dilakukan di Laboratorium Biologi
Tanah Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
B. Bahan dan Alat Penelitian
1. Ternak
Ternak kelinci yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kelinci
Keturunan New Zealand White jantan sebanyak 16 ekor berumur ± 2 bulan
dengan bobot badan 851,25 ± 81,45 g. Bobot awal kelinci yang digunakan untuk
penelitian keseluruhan dapat dilihat pada lampiran 10.
2. Pakan
Pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah konsentrat (bekatul,
tepung ikan, menir jagung, BR1, premix), hijauan berupa rumput lapang dan
tepung kulit buah kakao fermentasi. Air minum diberikan secara ad libitum.
Kebutuhan nutrien kelinci keturunan New Zealand White Jantan, kandungan
nutrien bahan ransum penyusun ransum dan susunan pakan beserta kandungan
nutrien ransum, dapat dilihat pada Tabel 1, Tabel 2 dan Tabel 3. Hasil analisis
pakan perlakuan untuk penelitian dapat dilihat pada lampiran 11, lampiran 12, dan
lampiran 13.
Tabel 1. Kebutuhan nutrien untuk kelinci masa pertumbuhan.
No Nutrien Kebutuhan 1 DE (MJ/kg)1) 11 - 13 2 Protein Kasar (%)2) 12-16 3 Lemak (%)1) 2-4 4 Serat kasar (%)2) 12-20
Sumber : 1) Kartadisastra (2001) 2) de Blass dan Wiseman ( 1998 ) Tabel 2. Kandungan Nutrien Bahan Pakan Penyusun Ransum Perlakuan
No Bahan ransum BK (%)
ABU (%)
DE (MJ/kg)
PK (%)
SK (%)
LK (%)
1. 2. 3.
Rumput Lapangan1)
Konsentrat 1)
TKBKF1)
88,82 92,93 90,36
15,14 13,22 5,43
10,992) 12.143)
12.023)
11,81 16,28 17,21
22,19 12,10 12,45
2,07 5,67 1,90
Sumber data: 1) Hasil analisis Laboratorium Biologi Tanah UNS (2009) 2) DE (rumput)
= 4370 – 79 (%SK) x (4,2 J/ 1000) (NRC,1981) 3) Berdasarkan hasil perhitungan DE = %TDN x 44 x (4,2 J/ 1000) ( Hartadi,1990 ) TDN = 77,07 – 0,75(PK) + 0,07(SK) (Tambunan. et. a.l , 1997) cit. Andriyani (2006)
Tabel 3. Susunan Ransum dan Kandungan Nutrien Ransum Perlakuan
Perlakuan No
Bahan Pakan P0 P1 P2 P3
1 Rumput Lapangan 60 60 60 60 2 Konsentrat 40 30 20 10 3 TKBKF - 10 20 30 1 2 3 4 5
Jumlah Kandungan Nutrien BK (%) DE (MJ/Kg) PK (%) SK (%) LK (%)
100
90,46 11,45 13,60 18,15 3,51
100
90,21 11,44 13,69 18,19 3,13
100
89,95 11,43 13,78 18,22 2,76
100
89,69 11,42 13,88 18,26 2,38
Sumber data : Dari tabel perhitungan tabel 2 dan 3 3. Kandang dan peralatannya
Penelitian ini menggunakan kandang battery berjumlah 16 buah dengan
ukuran p x l x t = ( 0,5 x 0,5 x 0,5 ) m 3 , dan setiap kandang berisi 1 ekor kelinci
dan 1 kandang karantina untuk kelinci yang sakit. Bahan yang digunakan untuk
membuat kandang adalah bambu, kayu dan kawat kasa.
Peralatan kandang yang digunakan meliputi tempat pakan dan minum yang
terbuat dari plastik 16 buah dan ditempatkan pada tiap kandang, thermometer
ruang untuk mengukur suhu dalam dan luar ruangan kandang, timbangan yang
digunakan yaitu timbangan Kitchen Scale dengan kapasitas 5 Kg dengan
kepekaan 2 gram untuk menimbang kelinci, pakan, timbangan digital Electrolic
Scale kapasitas 3 Kg dengan kepekaan 1 gram untuk menimbang tepung kulit
buah kakao fermentasi konsentrat dan karkas, perlengkapan lain meliputi sapu
untuk membersihkan kandang, ember untuk menyiapkan minum kelinci dan sabit
untuk mencacah rumput, alat-alat tulis untuk mencatat dan peralatan lain. Denah
kandang dan temperatur kandang dapat dilihat pada lampiran 8 dan lampiran 9.
C. Persiapan Penelitian
1. Persiapan kandang
Kandang dengan tempat pakan dan minum, terlebih dahulu dibersihkan,
baru kemudian dilakukan pengapuran pada dinding dan alas kandang. Kandang
disemprot dengan menggunakan desinfektan formades dengan dosis 4 ml dalam 1
liter air. Tempat pakan dan minum dicuci hingga bersih kemudian direndam
dalam desinfektan formades dengan dosis 4 ml dalam 1 liter air, lalu dikeringkan
di bawah sinar matahari setelah kering di masukan ke dalam kandang.
2. Pembuatan tepung kulit buah kakao fermentasi
Proses aktifasi Aspergilus niger adalah sebagai berikut :
· Menyiapkan 10 liter air steril dan bebas kaporit
· Memasukkan larutan gula pasir 100 g, urea 50 g, dan NPK 50 g ke dalam air.
· Setelah diaduk rata, memasukkan 50 ml bibit aspergilus niger ke dalam
larutan lalu diaduk sampai rata.
· Kemudian Aerasi larutan dengan menggunakan aerator selama 24-36 jam.
Setelah selesai larutan siap digunakan sebagai starter.
Proses pembuatan Tepung Kulit Buah Kakao Fermentasi (TKBKF) adalah
sebagai berikut :
· Kulit buah kakao di cuci bersih, kemudian dicacah menjadi partikel lebih kecil
(2 cm) selanjutnya dijemur selama 24 jam (kira-kira kadar air 30-40%).
· Menempatkan cacahan kulit buah kako dalam wadah fermentasi. Menebarkan
kulit buah kakao setebal 10 cm kemudian menyiram dengan larutan
Aspergilus niger menggunakan sprayer.
· Menumpukkan kembali bahan dengan ketebalan yang sama, kemudian
menyiram dengan larutan Aspergilus niger menggunakan sprayer hingga
bahan basah.
· Menutup kulit buah kakao dengan plastik dan proses fermentasi selama 6
hari.
· Setelah warna cacahan kulit buah kakao menjadi kecoklatan, tidak berbau, dan
berbau manis, maka fermentasi berhasil.
· Setelah proses fermentasi berakhir kulit buah kakao fermentasi (TKBKF)
dijemur dibawah sinar matahari selama 2-3 hari.
· Setelah kering kulit buah kakao fermentasi digiling hingga menjadi tepung.
3. Persiapan kelinci
Kelinci yang dipergunakan dalam penelitian ini dipilih berdasarkan
keseragaman bangsa, jenis kelamin, umur dan bobot badan. Kelinci sebanyak 16
ekor dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan, tiap kelompok perlakuan terdiri dari 4
ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 1 ekor, kelinci diberi obat cacing terlebih
dahulu yaitu Vermyzin dengan dosis 1,25 g/kg bobot badan.
4. Pencampuran bahan pakan untuk ransum
Pencampuran bahan ransum dilakukan sesuai bagian bahan penyusun
ransum hasil perhitungan pada Tabel 3. Pencampuran dilakukan secara manual
dengan cara meletakkan bagian terbesar pada bagian paling bawah kemudian
terus-menerus diikuti bagian yang lebih kecil dan diaduk sampai rata.
D. Cara Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian tentang pengaruh penggunaan tepung kulit buah kakao
fermentasi (TKBKF) terhadap produksi karkas kelinci New Zealand White jantan
yang dilakukan secara eksperimental.
2. Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah
dengan 4 macam perlakuan (P1, P2 dan P3) dengan P0 sebagai kontrol. Kelinci
yang digunakan berjumlah 16 ekor, jumlah sampel yang dipotong untuk
mengetahui produksi karkasnya berjumlah 8 ekor, dimana tiap perlakuan diambil
2 ekor sebagai sampel secara acak. Perlakuan yang diberikan adalah penggunaan
(TKBKF) tepung kulit buah kakao fermentasi masing-masing sebagai berikut :
P0 = 60 % Hijauan + 40 % Konsentrat + 0 % TKBKF
P1 = 60 % Hijauan + 30 % Konsentrat + 10 % TKBKF
P2 = 60 % Hijauan + 20 % Konsentrat + 20 % TKBKF
P3 = 60 % Hijauan + 10 % Konsentrat + 30 % TKBKF
3. Peubah Penelitian
Peubah yang diukur dalam penelitian ini meliputi :
a. Bobot Potong
Bobot potong merupakan bobot kelinci sebelum dipotong. Bobot potong
diperoleh dengan cara menimbang kelinci sebelum dilakukan penyembelihan
setelah dipuasakan selama 7 jam. Bobot potong dinyatakan dalam gram per
ekor.
b. Berat Karkas
Bobot karkas yaitu bobot bagian tubuh kelinci setelah dikurangi bobot
kulit, kepala, kaki, ekor serta bobot semua organ dalam serta darah. Bobot
karkas dinyatakan dalam g per ekor.
c. Persentase Karkas
Persentase karkas diperoleh dengan membagi bobot karkas dengan bobot
potong dikalikan 100 %.
d. Berat Non Karkas
Berat non karkas diperoleh dengan cara menimbang seluruh bagian non
karkas (kepala, kulit, keempat kaki, jeroan dan testis) dari kelinci yang
bersangkutan. Berat non karkas dinyatakan dalam g/ekor.
e. Persentase Non Karkas
Persentase non karkas dihitung dengan cara membagi berat seluruh
bagian non karkas dengan bobot potong kelinci yang bersangkutan kemudian
dikalikan 100 %.
f. Berat Daging
Berat daging diperoleh dengan cara menimbang daging kelinci bagian
(dada, punggung, kaki depan, dan kaki belakang) yang sudah dipisahkan.
Berat daging dinyatakan dalam gram/ekor.
g. Rasio Daging dan Tulang
Rasio daging dan tulang dari perbandingan berat daging dan berat
tulang pada karkas.
4. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 7 minggu, dengan masa adaptasi 1
minggu. Jumlah pemberian ransum adalah 8% dari bobot badan kelinci (de Blass
dan Wiseman, 1998). Konsentrat diberikan jam 07.00 WIB, sedangkan rumput
lapangan jam 09.00 WIB dan 16.00 WIB.
Pengambilan data sebagai berikut :
a. Pemuasaan
Kelinci dipuasakan selama 7 jam sebelum dilakukan pemotongan.
Menurut Kartadisastra (1997), pemuasaan dilakukan selama 6-10 jam
bertujuan untuk mengosongkan bagian isi perut (usus) sehingga kulit dan otot-
ototnya menjadi lemas karena peningkatan kandungan glikogen. Disamping
itu, perlakuan ini akan meningkatkan proporsi daging terhadap bobot
hidupnya (presentase karkas).
b. Penyembelihan
Penyembelian dilakukan dengan memotong leher tepat pada trachea,
vena jugularis, arteri carotis dan oesophagus. Setelah penyembelihan selesai,
kelinci langsung digantung dengan kaki belakang di bagian atas agar
pengeluaran darah lancar dan untuk mempermudah pengulitan.
c. Pengulitan
Pengulitan segera dilakukan dengan cara kering atau tanpa air. Hal yang
pertama dilakukan yaitu memisahkan bagian kepala, kedua kaki depan pada
sendi korpus dan ekor pada bagian pangkal. Kemudian menyayat kulit pada
kedua kaki belakang secara melingkar di pergelangannya sampai melalui
bagian paha dan anus. Kulit dikupas dan perlahan-lahan ditarik ke bawah
hingga seluruh kulit terlepas dari kelinci.
d. Pengeluaran jeroan (eviserasi)
Pengeluaran jeroan dengan cara menyayat terlebih dahulu bagian perut
secara membujur mulai dari titik pusar ke arah dada, kemudian ke arah ekor.
Setelah itu dikeluarkan seluruh jeroan dengan tangan dan memotong kaki
belakang pada sendi tarsus.
e. Pemisahan daging dengan tulang (deboning)
Pemisahan daging dengan tulang dilakukan setelah memperoleh karkas
kelinci yang bersangkutan. Seluruh daging dipisahkan dari seluruh bagian
tulangnya.
E. Cara Analisis Data
Semua data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menggunakan
analisa variansi berdasarkan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah untuk
mengetahui adanya pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diamati. Model
matematika yang digunakan adalah sebagai berikut:
Keterangan:
Yij = nilai pengamatan pada satuan perlakuan ke-i ulangan ke-j
µ = nilai tengah perlakuan ke-i
ti = pengaruh perlakuan ke-i
€ij = kesalahan (galat) percobaan pada perlakuan ke-i ulangan ke-j
(Yitnosumarto, 1993).
F.
Yij = µ + ti + €ij
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Bobot Potong
Rerata bobot potong kelinci New Zealand White jantan pada masing-masing perlakuan
disajikan pada tabel 4. sebagai berikut :
Tabel 4. Rerata bobot potong (g)
Ulangan Perlakuan 1 2
Rerata
P0 1500 1497,5 P1 1215 1316,0 P2 1404 1245,0 P3 1027
1495 1417 1086 1232 1129,5
Rerata bobot potong yang diperoleh pada penelitian ini yaitu P0, P1, P2 dan P3 masing-
masing adalah 1497,5; 1316,0; 1245,0 dan 1129,5 g. Hasil analisis variansi pengaruh
perlakuan terhadap bobot potong menunjukkan hasil yang berbeda tidak nyata (P>0,05),
(lampiran 1).
Bobot Potong yaitu bobot kelinci sebelum dipotong dan telah dipuasakan selama 7 jam.
Bobot potong ternak ditentukan oleh bobot hidupnya, bobot hidup dipengaruhi oleh konsumsi
pakan. Bobot potong akan berpengaruh terhadap besarnya penimbunan lemak tubuh,
persentase karkas dan kualitas daging. Kenaikan bobot potong cenderung meningkatkan
persentase karkas, yang diikuti dengan kenaikan persentase tulang dan daging.
Tabel 4 menunjukkan bahwa penggunaan tepung kulit buah kakao fermentasi dalam
ransum kelinci New Zealand White jantan memberikan pengaruh terhadap bobot potong yang
cenderung menurun, hal ini disebabkan tepung kulit buah kakao fermentasi mengandung anti
nutrisi theobromin yang akan mengganggu penyerapan nutrisi dan serat kasar yang tinggi, hal
ini masih bisa ditolerir oleh kelinci, namun setelah uji statistik menunjukkan hasil yang
berbeda tidak nyata. Menurut Soeparno (1994) bahwa tingginya konsentrasi protein dalam
pakan dan aras pemberian pakan bisa meningkatkan kadar lemak dan menurunkan kandungan
karkas, tetapi tidak mempengaruhi persentase protein. Pengaruh protein atau rasio protein /
energi akan lebih besar pada ternak ruminansia dan nonruminansia muda yang sedang tumbuh
dengan cepat, terutama pada pakan yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
pertumbuhan jaringan.
Menurut Sarwono (2008) walaupun kelinci memiliki caecum yang besar, ternyata tidak
mampu mencerna bahan-bahan organik dan serat kasar dari hijauan sebanyak yang dapat
dicerna oleh ternak ruminansia murni. Daya cerna dalam mengkonsumsi hijauan daun
mungkin hanya 10 %. Dilaporkan oleh Anonimus (2001) bahwa, penggunaan kulit buah kakao
fermentasi oleh ternak ruminansia maksimal 30-40 %. Disebabkan kulit buah kakao terdapat
faktor pembatas dalam penggunaannya yaitu zat anti nutrisi theobromin, merupakan senyawa
heterosiklik yang diduga dapat menyebabkan gangguan proses pencernaan.
B. Berat Karkas
Rerata berat karkas kelinci New Zealand White jantan pada masing-masing perlakuan
disajikan pada tabel 5. sebagai berikut :
Tabel 5. Rerata berat karkas (g)
Ulangan Perlakuan 1 2
Rerata
P0 747 722,5 P1 527 599,0 P2 636 560,5 P3 435
698 671 485 565 500,0
Rerata berat karkas yang diperoleh pada penelitian ini (P0, P1, P2 dan P3) masing-
masing adalah 722,5; 599,0; 560,5; dan 500,0 g. Hasil analisis variansi pengaruh perlakuan
terhadap berat karkas menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05), (lampiran 2).
Karkas adalah bagian tubuh dari ternak potong setelah pemotongan dikurangi kepala,
darah serta organ dalam, dan untuk sapi, kerbau, domba dan kambing juga dikurangi kaki dari
corpus dan tarsus ke bawah serta kulit. Untuk ayam, paru-paru dan ginjal termasuk karkas
(Soeparno, 1994).
Faktor genetik mempengaruhi laju pertumbuhan dan komposisi tubuh yang meliputi
distribusi berat, dan komposisi kimia komponen karkas. Umur, berat hidup dan kadar laju
pertumbuhan juga dapat mempengaruhi komposisi karkas. Proporsi tulang, otot dan lemak
sebagai komponen utama karkas (Soeparno, 1994).
Faktor yang mempengaruhi berat karkas yaitu besar tubuh kelinci, jenis kelinci, sistem
pemeliharaan, kualitas bibit, macam dan kualitas pakan, kesehatan ternak, perlakuan sebelum
pemotongan (Kartadisastra, 1997).
Berat karkas pada penelitian ini menunjukan hasil yang berbeda tidak nyata dikarenakan
bobot potong yang diperoleh (P1, P2, P3) lebih rendah dari perlakuan control (P0). Bahwa
berat karkas sangat dipengaruhi oleh bobot potongnya, sehingga berat karkas yang dihasilkan
tergantung dari bobot potong dari kelinci yang bersangkutan. Hal ini dikuatkan oleh Nurhayati
et. al., (2005) cit Robertus (2007), bahwa produksi karkas erat kaitannya dengan bobot hidup
atau bobot potong, semakin bertambah bobot hidup seekor ternak maka produksi karkas juga
akan meningkat.
Pengaruh penggunaan tepung kulit buah kakao fermentasi yang berbeda tidak nyata,
diduga disebabkan kandungan serat kasar yang tinggi dan terdapat anti nutrisi theobromin
yang menyebabkan gangguan pencernaan. Menurut Soeparno (1994) bahwa konsumsi protein
dan tipe ternak juga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan komposisi karkas. Ditambahkan
oleh Soeparno (1994) faktor yang menyebabkan tidak adanya pengaruh aras protein pakan
terhadap komposisi karkas antara lain, yaitu pebedaan aras protein pakan yang relatif kecil,
berat potong yang tinggi. Ditambahkan Searle et. al., (1972) yang disitasi oleh Soeparno
(1994) pengaruh protein atau rasio protein/energi akan lebih besar pada ternak ruminansia dan
nonruminansia muda yang sedang tumbuh dengan cepat, terutama pada pakan yang tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan jaringan. Ternak yang tumbuh lambat
membutuhkan lebih sedikit energi dan lebih banyak protein per kg pertambahan berat hidup.
C. Persentase Karkas
Rerata persentase karkas kelinci New Zealand White jantan pada masing-masing
perlakuan disajikan pada tabel 6. sebagai berikut :
Tabel 6. Rerata persentase karkas (%)
Ulangan Perlakuan 1 2
Rerata
P0 49,80 48,24 P1 43,37 45,55 P2 45,29 44,97 P3 42,98
46,68 47,73 44,65 46,61 44,79
Rerata jumlah persentase karkas yang diperoleh pada penelitian ini yaitu P0, P1, P2 dan
P3 masing-masing adalah 48,24 ; 45,55 ; 44,97 dan 44,79 %. Hasil analisis variansi pengaruh
perlakuan terhadap persentase karkas menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05), (lampiran
3).
Persentase karkas adalah berat karkas dibagi dengan berat hidupnya dan dikalikan 100 %.
Berat karkas biasanya berat dari karkas dingin atau karkas layu (Soeparno, 1994). Persentase
karkas yang dihasilkan dalam penelitian ini sudah sesuai dengan pendapat Kartadisastra
(1997) bahwa, berat karkas ternak kelinci yang baik berkisar antara 40-52 % dari berat
hidupnya.
Faktor genetik mempengaruhi laju pertumbuhan dan komposisi tubuh yang meliputi
distribusi berat, dan komposisi kimia komponen karkas. Faktor nutrisi, Umur, berat hidup dan
kadar laju pertumbuhan juga dapat mempengaruhi komposisi karkas. Proporsi tulang, otot dan
lemak sebagai komponen utama karkas (Soeparno, 1994).
Semakin tinggi bobot hidup dan berat karkas yang dihasilkan, berpengaruh pada
peningkatan persentase karkas yang dihasilkan. Dalam penelitian ini persentase karkas yang
dihasilkan relatif sama, karena bobot hidup maupun berat karkas yang dihasilkan relatif sama,
sehingga tidak berpengaruh pada persentase karkas yang dihasilkan dan menunjukan hasil
yang berbeda tidak nyata. Menurut Soeparno (1994) bahwa persentase karkas merupakan
perbandingan antara bobot karkas dengan bobot hidup dan dikalikan 100 %. Berat karkas
dipengaruhi langsung oleh bobot karkas dan bobot potong.
Hasil penelitian yang diperoleh bahwa persentase karkas yang diperoleh 44,79 – 48,24 %
hampir sama dengan penelitian Robertus (2007) bahwa persentase karkas kelinci berkisar
antara 43,92 - 48, 12 % dengan pakan perlakuan ampas teh, sedangkan hasil penelitian
Prasetyo (2007) lebih rendah, bahwa persentase karkas kelinci berkisar 36,30 – 41,03 %
dengan pakan perlakuan campuran onggok, bakhasi ayam petelur dan konsentrat.
D. Berat Non Karkas
Rerata berat non karkas kelinci New Zealand White jantan pada masing-masing perlakuan
disajikan pada tabel 7. sebagai berikut :
Tabel 7. Rerata berat non karkas (g)
Ulangan Perlakuan 1 2
rerata
P0 753 775,0 P1 688 717,0 P2 768 684,5 P3 592
797 746 601 667 629,5
Rerata berat non karkas yang diperoleh pada penelitian ini yaitu P0, P1, P2 dan P3
masing-masing adalah 775,0; 717,0; 684,5 dan 629,5 g. Hasil analisis variansi pengaruh
perlakuan terhadap berat non karkas menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05), (lampiran 4).
Non karkas merupakan hasil pemotongan ternak selain karkas dan lazim disebut offal.
Non karkas terdiri dari bagian yang layak (offal edible) dan tidak layak dimakan (offal non
edible). Bagian non karkas pada kelinci merupakan seluruh bagian yang meliputi darah,
kepala, kedua kaki depan, kedua kaki belakang, ekor dan organ dalam yang sudah dipisahkan
dari karkas yang bersangkutan (Soeparno, 1994).
Menurut Soeparno (1994), bahwa perlakuan nutrisional mempunyai pengaruh berbeda
terhadap berat non karkas. Berat non karkas juga dapat mempengaruhi berat karkas, apabila
berat non karkas semakin meningkat maka perolehan berat karkas yang dihasilkan akan
semakin menurun. Hal ini terjadi karena jumlah non karkas yang dihasilkan lebih banyak
daripada jumlah karkas dari ternak tersebut.
Soeparno (1994) menyatakan bahwa, pola pertumbuhan organ seperti hati, ginjal, dan
saluran pencernaan menunjukkan adanya variasi, sedangkan organ yang berhubungan digesti
dan metabolisme menunjukan perubahan berat yang besar sesuai dengan status nutrisional dan
fisiologis ternak.
E. Persentase Non Karkas
Rerata persentase non karkas kelinci New Zealand White jantan pada masing-masing
perlakuan disajikan pada tabel 8. sebagai berikut :
Tabel 8. Rerata persentase non karkas (%)
Ulangan Perlakuan 1 2
rerata
P0 50,20 51,76 P1 56,63 54,45 P2 54,71
53,32 52,27 55,35 55,03
P3 57,02 53,39 55,20
Rerata persentase non karkas yang diperoleh pada penelitian ini P0, P1, P2 dan P3
masing-masing adalah 51,76; 54,45; 55,03 dan 55,20 %. Hasil analisis variansi pengaruh
perlakuan terhadap berat non karkas menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05), (lampiran 5).
Persentase non karkas merupakan angka banding antara berat non karkas (darah, kepala,
kedua kaki depan, ekor, jeroan dan kedua kaki belakang) dengan berat potong kelinci yang
bersangkutan kemudian dikalikan 100 %. Ditambahkan oleh Soeparno (1994), bahwa
persentase non karkas berbanding terbalik dengan persentase karkas. Semakin tinggi
persentase non karkas semakin rendah persentase karkas.
Kadar laju pertumbuhan relatif beberapa komponen non karkas hampir sama dengan laju
pertumbuhan tubuh (Berg, et. al., 1976 cit Soeparno 1994). Ditambahkan oleh (Forrest et. al.,
1975 cit Soeparno 1994) menyatakan bahwa nutrisi juga mempengaruhi persentase non karkas
terhadap berat hidup. Presentase karkas terhadap berat hidup biasanya meningkat sesuai
dengan peningkatan berat hidup, tetapi persentase bagian non karkas seperti kulit, darah,
lambung dan usus kecil dan hati menurun. Jadi, ternak muda sebagian besar tersusun dari
bagian – bagian tubuh tersebut dibandingkan dengan ternak tua dan lebih besar.
Persentase non karkas yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar 51,76 – 55,20 %,
hampir sama dari penelitian Robertus (2007) bahwa persentase non karkas kelinci berkisar
51,84 - 56,08 %. Menurut Kartadisastra (1997) bahwa, persentase karkas ternak kelinci
berkisar antara 40 - 52 % dari berat badan hidupnya dan persentase non karkasnya berkisar 48
- 60 %.
F. Berat Daging
Rerata berat daging kelinci New Zealand White jantan pada masing-masing perlakuan
disajikan pada tabel 9. sebagai berikut :
Tabel 9. Rerata berat daging (g)
Ulangan Perlakuan 1 2
Rerata
P0 519 496,5 P1 363 407,0 P2 431 384,0 P3 291
474 451 337 388 339,5
Rerata berat daging yang dihasilkan pada penelitian ini P0, P1, P2 dan P3 untuk masing-
masing adalah 496,5; 407,0; 384,0 dan 339,9 gram. Hasil analisis variansi pengaruh perlakuan
terhadap berat daging menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05), (lampiran 6).
Daging adalah semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahannya yang sesuai
untuk dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya
(Soeparno, 1994).
Otot adalah jaringan yang mempunyai struktur dan mempunyai fungsi utama sebagai
penggerak. Karena fungsinya sebagai penggerak, maka jumlah jaringan ikat ini berhubungan
dengan kealotan daging. Otot-otot yang berasosiasi dengan tulang yaitu otot-otot yang
berhubungan dengan tulang, sering disebut otot skeletal. Otot skeletal merupakan sumber
utama dari jaringan otot daging.
Perubahan biokemis dan biofisis pada konversi otot menjadi daging diawali pada saat
penyembelihan ternak. Faktor yang mempengaruhi kondisi ternak sebelum pemotongan akan
mempengaruhi tingkat konversi otot menjadi daging, dan juga mempengaruhi kualitas daging
yang dihasilkan (Soeparno, 1994).
Pengaruh penggunaan tepung kulit buah kako fermentasi berbeda tidak nyata, diduga
disebabkan kandungan protein pakan perlakuan hampir sama, sedangkan serat kasar tinggi
serta kandungan anti nutrisi theobromin yang menghambat penyerapan nutrisi, sehingga
asupan nutrien yang masuk sedikit, maka protein yang diubah menjadi jaringan ikat
berkurang, menyebabkan jumlah daging yang dihasilkan rendah. Menurut Soeparno (1994)
bahwa jumlah nutrien yang tersedia berbeda diantara pakan. Peningkatan atau penurunan
konsumsi pakan berhubungan dengan kualitas pakan yang tersedia, sehingga dapat
mempengaruhi karakteristik dan kualitas daging. Pengaruh dari pakan yang berbeda komposisi
atau kualitasnya terhadap kualitas daging bervariasi karena adanya variasi dari faktor lain
seperti umur, spesies, bangsa, jenis kelamin, bahan aditif, berat potong atau berat karkas, laju
pertumbuhan, konformasi, tipe ternak dan perlakuan sebelum dan setelah pemotongan.
G. Rasio Daging dan Tulang (Meat Bone Ratio)
Rerata rasio daging dan tulang kelinci New Zealand White jantan pada masing-masing
perlakuan disajikan pada tabel 10. sebagai berikut :
Tabel 10. Rerata rasio daging dan tulang
Ulangan Perlakuan 1 2
Rerata
P0 2,27 2,19 P1 2,21 2,13 P2 2,10 2,18 P3 2,02
2,11 2,05 2,27 2,19 2,10
Rerata rasio daging dan tulang yang dihasilkan pada penelitian ini P0, P1, P2 dan P3
masing-masing adalah 2,19; 2,13; 2,185 dan 2,10. Hasil analisis variansi pengaruh perlakuan
terhadap persentase karkas menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05). Hasil analisis variansi
pengaruh perlakuan terhadap berat daging menunjukkan hasil yang berbeda tidak nyata
(P>0,05), (lampiran 7).
Rasio daging dan tulang adalah angka pembanding untuk mengetahui seberapa banyak
daging yang dihasilkan daripada tulangnya. Rasio daging dan tulang merupakan perbandingan
antara berat daging dengan berat tulang dari kelinci. Perbandingan daging dan tulang
dipengaruhi oleh dua komponen yaitu bobot daging dan bobot tulang karkas. Rasio
pertumbuhan diferensial adalah : (1) atas dasar berat, komponen tubuh mencapai kedewasaan
dengan urut-urutan tulang, otot, dan lemak; (2) sejalan dengan kenaikan berat tubuh kosong,
berat masing-masing komponen meningkat, sedangkan proporsi tulang karkas menurun, lemak
meningkat, dan otot hampir konstan, dan (3) komposisi karkas tidak tergantung pada umur dan
latar belakang nutrisi (Tulloh, 1964 cit Soeparno, 1994). Pada umumnya, pertumbuhan
individual tulang, otot dan lemak mengikuti pola pertumbuhan distroproksimal (Black, 1983
cit Soeparno, 1994), dan depot lemak mengalami proses kedewasaan terakhir. Variasi pola
pertumbuhan komponen utama karkas, yaitu tulang, otot, lemak, selain dipengaruhi oleh status
gizi, juga dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti genotipe dan status fisiologi ternak. Menurut
NRC (1981), menyatakan bahwa rasio daging dan tulang untuk karkas kelinci berkisar antara
2,8 – 3,7.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian dan pembahasan bahwa penggunaan tepung kulit buah kakao fermentasi sampai taraf 30 % tidak meningkatkan produksi karkas (bobot potong, berat karkas, persentase karkas, berat non karkas, persentase non karkas, berat daging, rasio daging dan tulang) kelinci New Zealand White jantan.
B. Saran
Perlunya penelitian lebih lanjut mengenai penggunaan kulit buah kakao fermentasi dengan tingkat pemberian yang berbeda dari penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Andriyani, K.A. 2006. Pengaruh Penggunaan Ampas Bir dalam Ransum Terhadap
Performan Kelinci New Zealand White Jantan. Skripsi S1 Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.
Anonimus. 2001. Pemanfaatkan Limbah Kakao Sebagai Pakan Kambing. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Lembar Informasi Pertanian (Liptan).
Anonimus. 2008. Direktorat Budidaya Tanaman Rempah 2008. Media Komunikasi Putra
Pakkat. de Blass, C. dan J. Wiseman. 1998. The Nutrition of The Rabbit. CABI Publishing. New
York. Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. PAU IPB dengan LSI IPR Bogor. Guntoro, S, 2006. Petunjuk Teknis Pengolahan Limbah Perkebunan Untuk Pakan. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali. Denpasar. Guntoro, S., Sriyanto, N. Suyasa, dan I.M. Rai Yasa, 2006. Pengaruh Pemberian Limbah
Kakao Olahan Terhadap Pertumbuhan Sapi Bali. Jurnal Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali.
Hardjo, S.S., N. S. Indrasti, B. Tajuddin. 1989. Biokenveksi Pemanfaatan Limbah
Industri Pertanian. Pusat Antar Universitas Pangan Dan Gizi. IPB. Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A. D. Tillman., 1990. Tabel Komposisi Pakan untuk
Indonesia. Gadjah Mada Unervisity Press. Yogyakarta. Kartadisastra. 1997. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak Ruminansia. Kanisius.
Yogyakarta.
., 2001. Beternak Kelinci Unggul. Kanisius. Yogyakarta.
Murtisari, T. 2005. Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Untuk Menunjang Agribisnis Kelinci. Dalam : lokarya nasional potensi dan peluang pengembangan usaha kelinci. Bandung: 30 september 2005.
NRC. 1981. Nutritional Energetics Domestic Animals and Glossary of Energy Terms.
National Academy Press. Washington, D.C.
Prasetyo, A. 2007. Pengaruh Penggunaan Campuran Onggok, Bakhasi Ayam Petelur dan Konsentrat Dalam Ransum Terhadap Karkas Kelinci Lokal jantan. Skripsi Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Robertus, Y. W., 2007. Pengaruh Penggunaan Ampas Teh (Camellia Sinensis) dalam
Ransum Terhadap Produksi Karkas Kelinci New Zealand White Jantan. Laporan Penelitian Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.
Sarwono, B., 1995. Beternak Kelinci Unggul. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sarwono, B., 2008. Kelinci Potong dan Hias. Agromedia Pustaka. Jakarta. Siregar, S. B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. Penebar Swadaya. Jakarta. Soeparno dan Sumadi. 1991. Pertambahan Berat Badan, Karkas dan Komposisi Kimia
Daging Sapi Kaitannya dengan Bangsa dan Macam Pakan Penggemukan. Jurnal Ilmiah Penelitian Ternak Grati. Vol. 2. No. 1.
Soeparno, 1994. Ilmu Dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. Statistik Perkebunan Indonesia tahun 2006-2008. 2006. Direktorat Jendral Perkebunan.
Departemen Pertanian. Jakarta. Tambunan, R. D, I. Harris, Muhtarudin. 1997. Pengaruh Penggunaan Ransum Dengan
Berbagai Tingkat Daun Lamtoro (Leucaena Leucocephala) Terhadap Komponen Kelinci Jantan Lokal. Dalam Jurnal Penelitian. Lampung.
Whendrato, I. dan Madyana, I. M. 1983. Beternak Kelinci Secara Populer. Eka Offset.
Semarang. Williamson G. And W. J. A. Payne, 1993. Pengantar Peternakan di Daerah tropis.
Terjemahan oleh : IGN Djiwa Darmadja. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Winarno, F. G. dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia.
Jakarta.
Yitnosumarto, S., 1993. Perancangapn Percobaan Analisis dan Interprestasinya. Gramedia Pustaka Utama. Yogyakarta.