pengaruh pemberian amelioran pada perkebunan...
TRANSCRIPT
225
PENGARUH PEMBERIAN AMELIORAN PADA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI LAHAN GAMBUT PROVINSI JAMBI TERHADAP EMISI CO2
EFFECT OF AMELIORANT APPLICATION ON CO2 EMISSION FROM PEATLAND UNDER OIL PALM PLANTATION IN JAMBI
Terry Ayu Adriany1, A. Wihardjaka1, Prihasto Setyanto1, Salwati2
1 Balai Penelitian Lingkungan Pertanian. Jl. Jakenan-Jaken Km. 5 Jakenan, Pati 59182
2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi. Jl. Samarinda Paal Lima Kotabaru Jambi
Abstrak. Pemberian amelioran di lahan gambut diharapkan dapat menekan
emisi GRK dan memperbaiki produktivitas tanah gambut. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian amelioran terhadap emisi
CO2 pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut di Provinsi Jambi.
Penelitian dilakukan di Arang-arang, Kecamatan Kumpeh Hulu, Kabupaten
Muara Jambi, Provinsi Jambi pada bulan Juli 2013 sampai Juni 2014.
Lokasi penelitian merupakan perkebunan rakyat yang ditanami tanaman
kelapa sawit dengan jarak tanam 9 m x 7 m dan umur tanaman 6 - 7 tahun.
Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 4
perlakuan dan 4 ulangan. Perlakuan amelioran yang diterapkan adalah (1)
pemberian pupuk dasar (kontrol), (2) pupuk gambut, (3) tandan kosong
kelapa sawit, dan (4) pupuk kandang. Pengambilan contoh gas CO2
dilakukan dengan metode sungkup tertutup setiap bulan sekali. Parameter
yang diamati adalah fluks CO2, suhu dan headspace dalam sungkup. Hasil
penelitian menunjukkan pemberian bahan amelioran pada perkebunan
kelapa sawit di lahan gambut di piringan tanaman kelapa sawit memberikan
pengaruh nyata terhadap penurunan emisi CO2. Emisi CO2 tertinggi sampai
terendah yang dihasilkan di piringan tanaman terturut-turut yaitu kontrol
(24,56 ton ha-1
tahun-1
), pupuk gambut (22,51 ton ha-1
tahun-1
), pupuk
kandang (17,58 ton ha-1
tahun-1
), dan tandan kosong kelapa sawit (15,12 ton
ha-1
tahun-1
). Pengaruh pemberian bahan amelioran di antara tanaman
kelapa sawit tidak nyata menurunkan emisi CO2. Pemberian amelioran
dapat digunakan sebagai usaha peningkatan produktivitas tanah gambut dan
dapat sebagai upaya mitigasi emisi CO2 pada perakaran tanaman kelapa
sawit.
Kata kunci: Emisi CO2, amelioran, lahan gambut, kelapa sawit.
Abstract. Ameliorant application on peatland is aimed to reduce
greenhouse gases (GHGs) emissions and to improve peat productivity. The
purpose of this study was to determine the effect of ameliorant application
on CO2 emissions in peatland planted of oil palm at Jambi province. The
experiment was conducted at Arang-arang, Kumpeh Hulu Sub-District,
Muara Jambi District, Jambi Province in July 2013 to June 2014. The
experiment used farmer's oil palm plantations which be planted with a
16
Terry Ayu Adriany et al.
226
spacing of 9 m x 7 m and plant age 6 - 7 years. The experiment used a
randomized block design (RBD) with 4 treatments and 4 replications. The
treatments were (1) base fertilizer application (control), (2) peat fertilizer
(pugam), (3) and oil palm empty fruit bunches (tankos) (4) farmyard
manure (pukan). Gas samples were taken using closed chamber technique
every month in the morning and afternoon. Parameters observed were CO2
flux, temperature and headspace in the chamber. The results showed that
ameliorant application on oil palm plantations in peatland significantly
reduce CO2 emissions. CO2 emissions sequence from the highest to the
lowest around the palm were for base fertilizer application (24.56 ton ha-1
year-1
), pugam (22.51 ton ha-1
year-1
), pukan (17.58 ton ha-1
year-1
), and
tankos (15.12 ton ha-1
year-1
). However, ameliorant application on area
between oil palms was not significantly decreased CO2 emissions.
Ameliorant application could be used to increase soil productivity and to
reduce CO2 emissions on peatlands.
Keywords: CO2 emissions, ameliorant, peatland, oil palm.
PENDAHULUAN
Keterbatasan lahan produktif, peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan kebutuhan
pangan mendorong pemanfaatan lahan marjinal sebagai perluasan areal pertanian. Lahan
gambut merupakan salah satu lahan marjinal yang memiliki potensi untuk perluasan lahan
pertanian (ekstensifikasi). Luas lahan gambut di Indonesia yaitu 14,9 juta hektar (Ritung
et al., 2011). Pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian memiliki dilema yang
harus dihadapi. Kebutuhan akan pangan, pengembangan bioindustri dan pengembangan
ekonomi menyebabkan pembukaan lahan gambut. Di sisi lain pembukaan dan pengolahan
lahan gambut tanpa memperhatikan aspek lingkungan dapat memberikan ancaman lebih
besar terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) dari lahan tersebut. Lahan gambut pada
kondisi alami merupakan penyimpan (sink) karbon yang stabil dengan laju dekomposisi
yang menghasilkan GRK relatif seimbang dengan penyerapan oleh vegetasi alami dalam
bentuk CO2. Apabila kondisi alami pada lahan gambut terganggu akan mempercepat
proses dekomposisi, sehingga karbon yang tersimpan tersebut teremisi membentuk gas
rumah kaca (GRK) terutama CO2. Emisi GRK yang berhubungan dengan alih fungsi
lahan dan pengelolaan lahan gambut mendekati 50% dari emisi nasional Indonesia
(Hooijer et al., 2006). Tanah gambut merupakan penyumbang emisi CO2 yang tinggi
(Langeveld et al., 1997).
Perkebunan kelapa sawit diyakini dapat meningkatkan emisi GRK dengan tingkat
emisi tertinggi di antara tanaman perkebunan lainnya. Hasil penelitian Marwanto dan
Agus (2014) menunjukkan bahwa emisi CO2 di lahan gambut dengan vegetasi tanaman
kelapa sawit di Jambi dengan menggunakan Infrared Gas Analyzer (IRGA) adalah 46 ±
30 ton ha-1
tahun-1
. Oleh karena itu, diperlukan upaya mitigasi GRK di lahan gambut
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit
227
untuk menekan emisi GRK yang dapat menelan laju pemanasan global. Salah satu upaya
mitigasi GRK di lahan gambut adalah dengan pemberian bahan amelioran. Bahan
amelioran merupakan bahan yang dapat ditambahkan ke dalam tanah sehingga dapat
meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan kondisi fisik, kimia tanah, dan biologi
tanah. Pemberian amelioran pada tanah gambut digunakan untuk menekan tingginya
kemasaman tanah dan rendahnya kesuburan tanah untuk meningkatkan produktivitas
lahan gambut (Barchia, 2006).
Beberapa jenis amelioran yang dapat menekan emisi GRK di lahan gambut adalah
pupuk gambut (pugam), pupuk kandang (pukan), hasil kompos tandan kosong kelapa
sawit (tankos), tanah mineral, dan dolomit. Beberapa bahan amelioran mengandung
kation polivalen seperti Fe3+
, Cu2+
, Al3+
, Zn2+
, dan Mg2+
yang dapat mengkhelat asam
organik dalam tanah gambut, sehingga laju dekomposisi gambut dikurangi dan pelepasan
gas rumah kaca dapat ditekan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
pemberian beberapa bahan amelioran terhadap penurunan emisi CO2 pada perkebunan
kelapa sawit di lahan gambut di Provinsi Jambi.
BAHAN DAN METODE
Deskripsi Lokasi dan Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian dilaksanakan di Desa Arang-arang Kecamatan Kumpeh Hulu,
Kabupaten Muara Jambi, Provinsi Jambi pada bulan Juli 2013 sampai Juni 2014. Lokasi
penelitian terletak pada titik kordinat S 01o40’55,1” dan E 103
o49’07.3” yang merupakan
perkebunan rakyat kelapa sawit sejak tahun 2005 dan berasal dari konversi hutan gambut
sekunder menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Total luasan petak percobaan yang
diperlakukan amelioran adalah 2,4 ha. Gambut di lokasi penelitian mempunyai ketebalan
gambut ± 2,24 m dengan tipe kematangan gambut saprik. Tanaman kelapa sawit yang
digunakan dalam penelitian berumur 6 - 7 tahun dengan jarak tanam 9 m x 7 m. Di antara
tanaman kelapa sawit dilakukan penanaman nenas pada bulan Sepetember 2013 dengan
jarak tanam 1,5 m x 1,75 m.
Rancangan Percobaan dan Perlakuan
Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan empat perlakuan dan
empat ulangan. Perlakuan amelioran terdiri atas kontrol, pupuk gambut (pugam), tandan
kosong kelapa sawit (tankos) yang dikomposkan, dan pupuk kandang ayam (pukan).
Pemberian amelioran dilakukan dua kali yaitu tanggal 25 Juli 2013 dan 21-30 Januari
2014. Dosis pemberian amelioran dan pupuk pada lahan kelapa sawit disajikan pada Tabel
1.
Terry Ayu Adriany et al.
228
Tabel 1. Dosis amelioran dan pupuk yang digunakan dalam penelitian.
Perlakuan
Dosis pemberian amelioran dan pupuk (kg pohon-1)
Pemberian I
(25 Juli 2013)
Pemberian II
(25-30 Januari 2014)
Amelioran
Kontrol - -
Pupuk gambut (pugam) 5 3
Pupuk kandang (pukan) 10 6
Tandan kosong kelapa sawit
(tankos) 15 9
Pupuk Dasar
Urea 2 2
SP36 2 2
KCl 2.5 2.5
Kieserit (MgSO4.H2O) 1.2 -
Pupuk Mikro
CuSO4 0.15 -
ZnSO4 0.15 -
Borax (Na2B4O7.10H2O) 0.30 -
Keterangan: Semua perlakuan diberi pupuk dasar SP-36 kecuali perlakuan pupuk gambut (pugam).
Pengukuran Gas Rumah Kaca (GRK)
Secara garis besar pengukuran GRK (CO2) terdiri atas dua tahapan, yaitu
pengambilan contoh gas. Contoh gas dianalisis menggunakan Portabel Mikro GC Varian
CP-4900. Contoh gas diambil dengan metode sungkup tertutup (close chamber technique)
yang diadopsi dari IAEA (1993). Contoh gas diambil setiap bulan sekali pada pagi hari
(jam 06.00-09.00 WIB) dan siang hari (12.00-15.00 WIB) dengan interval pengambilan
contoh (3, 6, 9, 12, 15, 18, 21 menit). Sebelum peletakan sungkup, penampang sungkup
diletakkan secara permanen di lokasi yang akan diambil contoh gasnya. Sungkup yang
digunakan berukuran 50 cm x 50 cm x 30 cm untuk daerah piringan tanaman kelapa sawit
dan 50 cm x 15 cm x 30 cm untuk daerah antara tanaman kelapa sawit. Sungkup
dilengkapi oleh fan (kipas) untuk menghomogenkan udara, termometer untuk mengetahui
suhu di dalam sungkup, dan jarum suntik dengan ukuran 10 ml yang dibungkus dengan
kertas perak. Parameter yang diamati adalah fluks dan emisi CO2, suhu dan headspace di
dalam sungkup pada saat pengambilan sampel. Contoh gas dianalisis konsentrasinya
dengan alat kromatografi gas Portabel Mikro GC CP-4900 yang dilengkapi dengan
detektor TCD (thermal conductivity detector). Gas pembawa (carrier gas) yang
digunakan adalah Helium UHP (ultra high purity) degan kemurnian 99,99%. Fluks (F)
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit
229
dari gas CO2 yang lepas dari satu luasan tanah gambut dihitung berdasarkan persamaan
yang diadopsi dari IAEA (1993) sebagai berikut:
dc Vch mW 273,2
F = x x x
dt Ach mV (273,2+T)
Keterangan :
F : Fluks gas CO2 (mg m-2
hari-1
), emisi gas CO2 (ton ha-1
tahun-1
)
dc/dt : Perbedaan konsentrasi CO2 per waktu (ppm menit-1
)
Vch : Volume sungkup (m3)
Ach : Luas sungkup (m2)
mW : Berat molekul CO2 (g)
mV : Volume molekul CO2 (l)
T : Temperatur rata-rata di dalam sungkup saat pengambilan contoh gas (oC)
Analisis Data
Data emisi CO2 dianalisis statistik dengan sidik ragam untuk mengetahui pengaruh
perlakuan dan dilanjutkan dengan uji t-Test (LSD) dengan tingkat kepercayaan 95%.
Analisis data statistik menggunakan software SAS (system analysis statistic) versi 9.1.3
(SAS, 2005).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Fluks CO2 Harian di Piringan dan Antara Tanaman Kelapa Sawit
Gambar 1. memperlihatkan keragaman fluks CO2 antar perlakuan di piringan
tanaman dan antara tanaman kelapa sawit dan tinggi muka air pada saat pengambilan
contoh gas. Fluks CO2 di piringan tanaman kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan di
antara tanaman kelapa sawit yang ditanami nenas dengan tinggi muka air yang seragam
pada setiap pengamatan. Secara umum fluks CO2 akan meningkat seiring dengan
kedalaman tinggi muka air tanah. Namun, hasil penelitian Jauhiainen et al., (2008)
menyatakan bahwa hubungan antara kedalaman air dengan laju emisi tidak selalu linear.
Terry Ayu Adriany et al.
230
Gambar 1. Rata-rata fluks CO2 di piringan dan antara tanaman kelapa sawit (Pugam =
pupuk gambut, Tankos = tandan kosong kepala sawit, Pukan = pupuk kandang, Garis
terputus menunjukkan waktu pemberian amelioran).
Perbedaan fluks CO2 yang dihasilkan di piringan dan antara tanaman kelapa sawit
menunjukkan adanya perbedaan laju respirasi perakaran tanaman. Laju respirasi di
piringan kelapa sawit melepaskan CO2 lebih tinggi dibandingkan di antara tanaman
kelapa sawit. Dariah et al., (2013) melaporkan bahwa perbedaan distribusi perakaran
tanaman dan pemberian pupuk di sekitar tanaman mempengaruhi fluks CO2 yang
dihasilkan. Semakin rapat distribusi perakaran tanaman dan pemberian pupuk di daerah
sekitar perakaran akan meningkatkan pelepasan CO2 dari hasil respirasi perakaran
tanaman dan aktivitas mikroba tanah.
Selain adanya pengaruh faktor tinggi muka air tanah dan laju respirasi perakaran
tanaman, ketersediaan bahan organik di dalam tanah juga akan mempengaruhi fluks CO2
yang dihasilkan. Rata-rata fluks CO2 pada pemberian amelioran I dan II tampak
mengalami peningkatan secara signifikan di piringan tanaman dan antara tanaman kelapa
sawit yang ditanami nenas. Pemberian bahan amelioran berperan sebagai bahan
pembenah tanah sekaligus sumber karbon atau energi bagi mikroorganisme dalam
melakukan aktivitasnya, serta dapat menambah ketersediaan unsur hara bagi pertumbuhan
tanaman (Tabel 2). Pemberian amelioran bertujuan untuk memperbaiki kesuburan tanah
gambut juga dapat memacu emisi karena ameliorasi akan menurunkan rasio C/N dan
memacu dekomposisi tanah gambut (Widyati, 2011). Kandungan bahan organik di dalam
tanah berkorelasi positif dengan emisi CO2 yang dihasilkan dari dalam tanah (Irawan &
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit
231
June, 2011). Bahan organik merupakan sumber energi bagi mikroorganisme dalam proses
respirasi yang menghasilkan CO2. Selain kandungan bahan organik, peningkatan fluks
CO2 dipengaruhi oleh ketersediaan oksigen pada kondisi aerob di dalam tanah sebagai
hasil dari dekomposisi tanah gambut (Kechavarzi et al., 2007). Pembentukan gas CO2
terjadi dalam kondisi aerob, dimana mikroorganisme dekomposer seperti bakteri dan
jamur dapat beraktivitas secara optimal.
Tabel 2. Hasil analisis bahan amelioran yang digunakan dalam penelitian.
Parameter Unit Pugam Pukan Kompos Tankos
pH H2O (1:5)
8,6 8.5 7.0
Kadar Air % 3,8 70.08 55.89
As. Humat % - 1.37 1.43
As. Fulfat % - 1.60 2.42
C-Organik % - 6.13 19.23
NH4 % - 0.06 0.15
NO3 % - 0.03 0.08
C/N % - 12 11
P2O5 % 13,15 0.56 4.75
K2O % 0,08 0.49 0.45
Ca % 18,9 0.72 1.29
Mg % 6,53 0.33 0.80
S % 0,56 0.10 0.20
Sumber: BPTP Jambi
Fluks CO2 Harian pada Pagi dan Siang Hari
Rata-rata fluks CO2 pada pagi dan siang dari semua perlakuan terlihat pada
Gambar 2. Rata-rata fluks CO2 pada pagi hari lebih rendah dibandingkan siang hari. Suhu
rata-rata dalam sungkup pada siang hari berkisar 35 – 50oC dan lebih tinggi dibandingkan
pada pagi hari yang berkisar 20 – 30oC. Tingginya suhu dalam sungkup merupakan faktor
yang mempengaruhi konsentrasi CO2 yang dihasilkan. Makin tinggi suhu tanah
menyebabkan makin tinggi fluks CO2 yang dihasilkan. Suhu tanah berpengaruh terhadap
reaksi fisiologi mikroba tanah dan karakteristik fisika-kimia tanah, misalnya volume
tanah, tekanan, potensi reduksi-oksidasi, difusi, viscositas, struktur tanah, dan tekanan
permukaan. Suhu yang meningkat dapat menyebabkan terjadinya percepatan reaksi
metabolisme oleh mikroorganisme seperti aktivitas enzim. Suhu tanah memiliki korelasi
positif terhadap fluks CO2 pada tanaman kelapa sawit (Melling et al., 2013).
Terry Ayu Adriany et al.
232
Gambar 2. Rata-rata fluks CO2 pada pagi dan siang hari dengan pemberian amelioran
yang berbeda (Pugam = pupuk gambut, Tankos = tandan kosong kepala sawit, Pukan =
pupuk kandang).
Perlakuan tanpa pemberian amelioran (kontrol) menghasilkan rata-rata fluks CO2
tertinggi pada pagi hari yaitu 5.256 mg m-2
hari-1
dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Pemberian amelioran selain memperbaiki produktivitas gambut juga dapat menekan emisi
GRK. Kandungan kation polivalen dan unsur mikro yang terkandung dalam bahan
amelioran berfungsi untuk menetralisasi asam organik beracun dalam gambut. Kation
polivalen berfungsi dalam khelasi asam organik sehingga tanah gambut lebih stabil, laju
dekomposisi berkurang dan emisi GRK turun (Subiksa, 2010). Namun, berbeda dengan
rata-rata fluks CO2 pada siang hari yang tertinggi ditunjukkan pada perlakuan pupuk
gambut (pugam) yaitu 6.486 mg m-2
hari-1
. Pugam merupakan bahan amelioran yang
banyak mengandung bahan organik serta unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan
bagi pertumbuhan tanaman. Pemberian pugam yang kaya akan unsur hara dan suhu yang
lebih tinggi pada siang hari meningkatkan aktivitas mikroba tanah dan meningkatkan rata-
rata fluks CO2. Pemberian amelioran tandan kosong kelapa sawit (tankos) menghasilkan
rata-rata fluks CO2 terendah baik pada pagi maupun siang hari dengan fluk masing-
masing sebesar 3.494 mg m-2
hari-1
dan 3.892 mg m-2
hari-1
.
Total Emisi CO2
Emisi CO2 yang dihasilkan di piringan tanaman kelapa sawit lebih tinggi
dibandingkan di antara tanaman kelapa sawit pada semua perlakuan (Gambar 3).
Respirasi pada zona perakaran pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut
menghasilkan emisi CO2 lebih tinggi dibanding di luar zona perakaran, yaitu sekitar 38%
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit
233
dari emisi gas CO2 merupakan hasil respirasi akar (Handayani, 2010). Semakin dekat
jarak pengukuran GRK dengan tanaman kelapa sawit, semakin tinggi fluks CO2 yang
dihasilkan dari respirasi akar tanaman (Dariah et al., 2014). Emisi CO2 di piringan kelapa
sawit dari yang tertinggi sampai terendah secara berurutan adalah kontrol, pugam, pukan,
dan tankos, sedangkan di antara tanaman kelapa sawit yang ditanami nenas urutan emisi
tertinggi sampai terendah adalah pukan, pugam, kontrol, dan tankos.
Gambar 3. Emisi CO2 di piringan dan antara tanaman kelapa sawit (Pugam = pupuk
gambut, Tankos = tandan kosong kepala sawit, Pukan = pupuk kandang).
Pemberian bahan amelioran pada perkebunan kelapa sawit di piringan tanaman
memberikan pengaruh nyata terhadap emisi CO2. Sedangkan pemberian amelioran di
antara tanaman kelapa sawit menghasilkan emisi CO2 yang tidak berbeda nyata antara
perlakuan. Emisi CO2 dari tanah merupakan hasil intergrasi beberapa faktor antara lain
aktivitas respirasi mikroorganisme tanah dan hasil respirasi rizosfer tanaman (Ding et al.,
2007). Faktor lain yang mempengaruhi besarnya emisi CO2 dari tanah adalah suhu tanah,
kelembaban tanah, kedalaman muka air tanah, pemupukkan, tipe vegetasi dan kualitas
tanah, aktivitas dan biomassa mikroba serta pengelolaan tanah.
Tabel 3. Persentase penurunan emisi CO2 dari pemberian bahan amelioran di lahan
gambut di Jambi.
Perlakuan
Rata-rata Emisi CO2
(ton ha-1 tahun-1) % Penurunan Emisi CO2
Piringan Antara tanaman Piringan Antara
tanaman
Kontrol 24,56 a 12,50 a - -
Pupuk gambut (pugam) 22,51 ab 16,88 a 8 -35
Tandan kosong kelapa sawit (tankos) 15,12 c 10,01 a 38 20
Pupuk kandang (pukan) 17,84 cb 15,84 a 27 -27
Angka dalam lajur sama diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%
menurut uji t-Test
Terry Ayu Adriany et al.
234
Tanpa pemberian amelioran (kontrol) menghasilkan emisi CO2 tertinggi di piringan
tanaman yaitu sebesar 24,56 ton ha-1
tahun-1
. Sedangkan di antara tanaman kelapa sawit
pemberian amelioran pupuk gambut (pugam) menghasilkan emisi CO2 tertinggi yang
sebesar 16,88 ton ha-1
tahun-1
. Emisi CO2 terendah dihasilkan perlakuan amelioran tandan
kosong kelapa sawit (tankos) di piringan 15,12 ton ha-1
tahun-1
dengan persentase
penurunan emisi CO2 38% dan di antara tanaman kelapa sawit 10,01 ton ha-1
tahun-1
dengan persentase penurunan emisi CO2 20% (Tabel 3). Tankos merupakan bahan
amelioran berupa kompos dari tandan kosong kelapa sawit yang dicampur dengan pupuk
kandang dan dolomit dengan perbandingan 100 : 30 : 5 yang dikomposkan selama 3 bulan
(BPTP Jambi, 2013). Hasil penelitian yang terdahulu di lokasi yang sama dengan umur
tanaman kelapa sawit 3 - 5 tahun pada piringan tanaman menunjukkan bahwa pemberian
amelioran pukan mampu menurunkan emisi CO2 sebesar 26,6%, tanah mineral 13,5%,
tankos 6,5% dan pugam A 5,7% dari perlakuan kontrol (Susilowati et al., 2012).
Ketersediaan tandan kosong kelapa sawit yang melimpah di perkebunan sawit sebagai
limbah dapat dimanfaatkan secara optimal dengan membuat kompos tankos sebagai bahan
amelioran. Kombinasi tandan kosong kelapa sawit, pukan, dan dolomit menjadi kompos
tankos diyakini dapat menurunkan emisi CO2 di lahan gambut yang ditanami kelapa
sawit.
KESIMPULAN
Pemberian bahan amelioran pada perkebunan kelapa sawit di lahan gambut
Jambi nyata menurunkan emisi CO2 di piringan tanaman kelapa sawit. Pemberian
amelioran tandan kosong kelapa sawit menghasilkan emisi CO2 terendah sebesar 15,12
ton ha-1
tahun-1
di piringan tanaman dan 10,01 ton ha-1
tahun-1
di antara tanaman kelapa
sawit. Penurunan emisi CO2 dari pemberian amelioran tankos adalah 38% di piringan
tanaman dan 20% di antara tanaman kelapa sawit dibandingkan dengan kontrol.
Pemberian bahan amelioran di antara tanaman kelapa sawit tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap penurunan emisi CO2.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada ICCTF dalam kegiatan kerjasama
penelitian antara Badan Litbang Pertanian dengan BAPPENAS atas dukungan biaya
penelitian. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada tim kelompok peneliti
emisi dan absorbsi gas rumah kaca (EAGRK) Balai Penelitian Lingkungan Pertanian dan
tim pengukuran gas rumah kaca di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi atas
bantuannya dalam pelaksanaan penelitian ini.
Pengaruh Pemberian Amelioran pada Perkebunan Kelapa Sawit
235
DAFTAR PUSTAKA
Barchia, M.F. 2006. Gambut. Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
BPTP Jambi. 2013. Leaflet: Teknologi Pembuatan Kompos Tandan Kosong Kelapa
Sawit. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Jambi.
Dariah, A., F. Agus, E. Susanti, and Jubaedah. 2013. Relationship between distance
sampling and carbon dioxide emission under oil palm plantation. Journal Tropica
Soils. 18(2). ISSN: 0852-257X.
Dariah, A., S. Marwanto, and F. Agus. 2014. Root-and peat-based CO2 emissions from oil
palm plantations. Mitigation Adaptation Strategi Global Change 19: 831–843.
Ding, W., Lei Meng, Yunfeng Yin, Zucong Cai, and Xunhua Zheng. 2007. CO2 emission
in an intensively cultivated lLam as affected by long-term application of organic
manure and nitrogen fertilizer. Soil Biology and Biochemistry 3: 669-679.
Handayani, E. Meine V. Noowidwijk, K. Idris, S. Sabiham, and S. Djuniwati. 2010. The
Effet of various water table depth on CO2 emission at oil palm plantation on West
Aceh Peat. J. Trop. Soils. 15(3): 255-260.
Hooijer, A., M. Silvius, H. Wosten, and S. Page. 2006. PEAT-CO2, Assessment of CO2
Emissions from Drained Peatlands in SE Asia, Delft Hydraulics report Q3943.
IAEA. 1993. Manual on Measurement of Methane and Nitrous Oxide Emission from
Agricultural Vienna: International Atomic Energy Agency (IAEA).
Irawan, A., dan T. June, 2011. Hubungan iklim mikro dan bahan organik tanah dengan
emisi CO2 dari pembukaan tanah di hutan alam Babahaleka Taman Nasional
Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Jurnal Agricultural Metelorogi 25(1): 1-8.
Jauhiainen, J., S. Limin, H. Silvennoinen, and H. Vasander. 2008. Carbon dioxide and
methane fluxes in drained tropical peat before and after hydrological restoration.
Ecology. 89(12): 3503-3514.
Kechavarzi, C., Q. Dawson, P.B. Leeds-Harrison, J. SzatyLowicz, and T. Gnatowski.
2007. Water-table management in lowland UK peat soils and its potential impact
on CO2 emission. Soil Use Management 23: 359-367.
Langeveld, CA., R. Segers, B.O.M. Dirks, A. Van den Pol-van Dasselar, G.L. Velthof,
and A. Hensen, 1997. Emissions of CO2, CH4, and N2O from pasture on drained
peat soils in the Netherlands. European Journal of Agronomy 7: 35-47.
Marwanto, S., dan F. Agus. 2014. Is CO2 flux from oil palm plantations on peatland
controlled by smil Moisture and/or soil and air temperatures?. Mitigation
Adaptation Strategi Global Change 19: 809–819.
Ritung, S., Wahyunto, K. Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparto, dan C.
Tafakresnanto. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia Skala 1 : 250.000. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Edisi
Desember 2011. ISBN: 978-602-8977-16-6.
Terry Ayu Adriany et al.
236
SAS Institute Inc. 2005. SAS® 9.1.3 Language Reference: Consepts, Third Edition. Cary
NC. USA. SAS Institute Inc.
Subiksa, I G., Made, 2010. Pengembangan Formula Amelioran dan Pupuk “Pugam”
Spesifik Lahan Gambut Diperkaya Bahan Pengkhelat untuk Meningkatkan
Serapan Hara dan Produksi Tanaman >50% dan Menurunkan Emisi Gas Rumah
Kaca (GRK) >30%. http://km.ristek.go.id/index.php/klasifikasi/detail/20885.
Susilowati., H. L., J. Hendri, D. Nursyamsi, dan P. Setyanto. 2012. Pengaruh pemberian
bahan amelioran terhadap fluks CO2 pada pertanaman kelapa sawit tanah gambut
di perkebunan rakyat Kabupaten Muara Jambi Provinsi Jambi. Prosiding Seminar
Nasional: Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Bogor, 4 Mei 2012. ISBN:
978-602-8977-42-5.
Widyati, E. 2011. Kajian optimasi pengelolaan lahan gambut dan isu perubahan iklim.
Tekno Hutan Tanaman. 4(2) : 57 – 68.