pengaruh konfusianisme terhadap persaingan …
TRANSCRIPT
PENGARUH KONFUSIANISME TERHADAP PERSAINGAN
PEMEROLEHAN PENDIDIKAN TINGGI BAGI MASYARAKAT
MODERN KOREA SELATAN
Dhanisa Kamila
Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia
e-mail: [email protected]
Abstrak
Jurnal ini membahas tentang pengaruh ajaran Konfusianisme yang berkembang di Korea Selatan terhadap persaingan pemerolehan pendidikan tinggi di masyarakat modern Korea Selatan. Dengan menggunakan metode deskriptif analisis, hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari ajaran Konfusianisme terhadap persaingan dalam pendidikan di masyarakat modern Korea Selatan melalui nilai-nilai familisme, chemyeon, grupisme, elitisme, dan paternalisme. Nilai-nilai tersebut mendorong masyarakat Korea untuk bersaing dengan ketat demi meraih pendidikan terbaik yang mengindikasikan pada masa depan yang cerah.
Kata kunci: Masyarakat Korea; Konfusianisme; persaingan; pendidikan
Abstract
This journal discusses about the influence of Confucianism towards education competitiveness in modern Korea society. Using descriptive analysis method, the analysis focuses on the values of Confucianism and its relation to the phenomenons of education competition in modern Korean Society, particularly in the acquisition of higher education. The result shows that Confucianism gives strong influence on education competition in Korean modern society through its familism, chemyeon, groupism, elitism, and paternalism values. Those values encourage Korean society to strictly compete in order to achieve the best education that indicates a bright future.
Keyword: Korean society, Confucianism, competition, education PENDAHULUAN
Manusia tidak dapat dipisahkan dari persaingan. Dalam suatu masyarakat,
persaingan adalah hal yang pasti ada dan wajar. Soerjono Soekanto berpendapat
bahwa persaingan atau competition adalah suatu proses sosial ketika individu atau
kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui
bidang-bidang kehidupan seperti politik, ekonomi, dan budaya. Bidang-bidang
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
2
kehidupan tersebut pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik
perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau
dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau
kekerasan (Soerjono Soekanto, 1982:99).
Terdapat berbagai macam bentuk persaingan di masyarakat, seperti
persaingan ekonomi, persaingan kedudukan atau peranan, persaingan ras, dan
persaingan budaya. Persaingan dalam pendidikan termasuk ke dalam bentuk
persaingan budaya. Persaingan budaya berlaku pada sektor-sektor yang merupakan
hasil daya kreasi dan nalar manusia, seperti persaingan di bidang keagamaan dan
lembaga kemasyarakatan (Soerjono Soekanto, 1982:99).
Pendidikan merupakan salah satu bagian terpenting dalam kehidupan manusia.
Selama hidupnya, manusia akan terus terhubung dengan pendidikan baik secara sadar
maupun tidak. Menurut Brubacher dalam Modern Philosophies of Education,
pendidikan adalah sebuah proses timbal-balik dari tiap pribadi manusia dalam
penyesuaian dirinya dengan lingkungan, teman, dan alam semesta. Pendidikan juga
merupakan perkembangan yang terorganisasi dan kelengkapan dari semua potensi
manusia seperti moral, intelektual, dan jasmani atau pancaindra (Tim Dosen FIP IKIP
Malang, 1988: 6; Danim, 2011: 4; Rulam Ahmadi, 2014:33).
Selain itu, pendidikan diperuntukkan kepribadian individu dan kegunaan
masyarakatnya yang diarahkan demi menghimpun semua aktivitas tersebut untuk
tujuan hidupnya (tujuan akhir). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan adalah proses saat potensi-potensi manusia yang mudah dipengaruhi oleh
kebiasaan-kebiasaan baik, oleh alat (media) yang disusun sedemikian rupa, dan
dikelola oleh manusia untuk menolong orang lain atau dirinya sendiri dalam
mencapai tujuan yang ditetapkan (Tim Dosen FIP IKIP Malang, 1988: 6; Danim,
2011: 4; Rulam Ahmadi, 2014:33). Hal ini didukung pernyataan Ki Hajar Dewantara1,
bahwa pendidikan ialah suatu daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran,
serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan
anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya (Hemino, 2014:2).
1 Ki Hajar Dewantara, atau R.M. Suwardi Suryaningrat adalah pendiri Perguruan Taman Siswa dan merupakan salah satu tokoh pendidikan di Indonesia.
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
3
Pada hakikatnya, pendidikan didefinisikan sebagai proses pematangan
kualitas hidup. Proses ini terjadi dengan tujuan yang beragam dan bergantung pada
masyarakatnya. Tiap negara memiliki tujuan pendidikan yang berbeda mengikuti
latar sosial-budaya, sistem politik, dan potensi alam masing-masing wilayah. Salah
satu yang termasuk dalam latar sosial-budaya tersebut adalah filsafat negara (Rulam
Ahmadi, 2014:41).
Sejak periode Joseon (1392-1897) ajaran Konfusianisme2 telah diterapkan
sebagai filsafat dan pandangan hidup bagi masyarakat Korea3. Dalam Konfusianisme,
pendidikan merupakan salah satu unsur paling penting dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat. Seperti yang disebutkan oleh Korea Foundation (2012:64),
Konfusianisme sangat mementingkan belajar. Ini terlihat dari adanya sistem ujian
negara (Civil Service Examination, gwageo ‘��’ dalam bahasa Korea) yang
mengharuskan mereka untuk belajar dengan sungguh-sungguh agar dapat lulus dan
mendapat gelar yangban (��) atau bangsawan. Banyaknya peminat pada ujian
negara membuat persaingan menjadi sangat ketat.
Sistem ujian seperti ini masih dapat ditemukan dalam masyarakat Korea
modern sekarang. Hanya saja, bentuk dan tujuan ujian tersebut tidak lagi sama persis
seperti pada masa Joseon. Jika pada masa Joseon ujian tersebut ditujukan untuk
orang-orang yang ingin menjadi yangban (��), maka dalam ujian masa modern
sekarang tujuannya adalah untuk orang-orang yang ingin diterima di
universitas-universitas bergengsi di Korea dan mendapatkan pekerjaan yang terbaik
(Daniel Tudor, 2012:105).
Dalam masyarakat Korea modern saat ini, pendidikan dianggap sebagai salah
satu faktor penting dalam menentukan pekerjaan dan masa depan seorang anak.
Seperti yang disebutkan oleh Ihm Chon-sun dalam The Political Economy of
2 Konfusianisme yang diterapkan pada masa Joseon adalah Neo-Konfusianisme. Neo-Konfusianisme adalah bentuk Konfusianisme yang meminjam unsur spiritual dan metafisik dari ajaran Buddha dan Taoisme (The Korea Foundation, 2012:58). Selanjutnya dalam penelitian ini Konfusianisme yang dimaksud adalah Neo-Konfusianisme.
3 Korea yang dimaksud dalam tulisan ini adalah Korea Selatan, kecuali pada saat Dinasti Joseon. Pada masa Joseon, negara Korea masih merupakan satu kesatuan yang terdiri dari Korea Selatan dan Korea Utara. Maka, dalam penelitian ini penulis tidak akan membahas mengenai Korea Utara kecuali terkait Dinasti Joseon.
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
4
Educational Reform, bagi masyarakat Korea, pendidikan dianggap sebagai salah satu
alat mobilisasi sosial dan ekonomi yang paling kuat. Oleh karena itu, terdapat
persaingan yang sangat ketat di bidang pendidikan terutama pada tes masuk
universitas. Persaingannya begitu ketat hingga banyak pelajaran-pelajaran di sekolah
menengah yang menyimpang dari kurikulum demi mempersiapkan ujian masuk
universitas (2008:249). Akibatnya, para pelajar di Korea banyak menghabiskan
waktunya untuk belajar agar sukses di ujian masuk universitas yang dikenal juga
dengan sebutan ujian suneung (수능 시험). Sama seperti pada masa Joseon,
siswa-siswa calon peserta ujian mempersiapkan diri masing-masing sebaik mungkin
dan belajar dengan tekun.
Hal ini menambah tekanan akan persaingan dalam pendidikan di Korea. Sejak
masa dimulainya industrialisasi, gelar dari perguruan tinggi yang biasa-biasa saja
tidak dapat lagi menjadi jaminan bagi lulusannya untuk mendapat pekerjaan.
Terdapat persaingan dalam pasar tenaga kerja yang semakin ketat, terutama bagi
mereka yang lulus dari universitas kurang terkenal (Ihm Chon-sun, 2008:250). Hal
ini dikarenakan adanya pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat yang mendorong
terjadinya perubahan signifikan di dalam berbagai macam bidang kehidupan. Salah
satunya adalah pertumbuhan yang signifikan di bidang pendidikan (National
Institute for International Education Development, 2006:15).
Berangkat dari hal ini, penulis ingin membahas tentang makna pendidikan pada
masyarakat Korea modern dilihat dari sudut pandang nilai-nilai Konfusianisme,
terutama terkait budaya persaingan yang terkandung di dalamnya. Penelitian ini
terbatas hanya mengenai persaingan pendidikan terutama dalam pemerolehan
pendidikan tinggi4 dalam masyarakat modern Korea yang terkait dengan ajaran
Konfusianisme. Adapun rentang waktu dalam penelitian dimulai dari masa
industrialisasi Korea (1960-an) hingga akhir tahun 2014 dengan Dinasti Joseon,
yaitu dinasti ketika Konfusianisme berada pada masa puncaknya di Korea, sebagai
pengantar. Metode yang akan digunakan merupakan metode kualitatif yang bersifat
deskriptif analisis. Jurnal ini akan dibagi menjadi tiga bagian yaitu, bagian pertama
yang mencakup latar belakang, tujuan, rumusan masalah, metode, dan sistematika
4 Higher education atau pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan tingkat perguruan tinggi dan universitas (National Institute for International Education Development (NIIED), 2009:51).
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
5
penulisan beserta tinjauan pustaka. Bagian kedua terdiri dari kaitan nilai-nilai
Konfusianisme dengan persaingan pendidikan dan bagian terakhir yang mencakup
kesimpulan.
TINJAUAN PUSTAKA
Konfusianisme (yugyo ‘��’ dalam bahasa Korea) adalah sebuah sistem
etika dan filsafat yang didasari oleh moral, keagamaan, dan pengajaran politik dari
filsuf Cina bernama Kongzi (551 SM-479 SM) (The Korea Foundation, 2012:57)
atau K’ung Fu Tze (Park Won, 2006:80) Ajaran ini menekankan pada pentingnya
hirarki, usia dan gender, penghormatan pada orang tua, dan pendidikan. Penekanan
terbesar diberikan pada pembelajaran, hubungan interpersonal, penghormatan kepada
orang-orang yang lebih tua, tradisi, dan hubungan antara atasan dan bawahan.
Konfusianisme dapat juga disebut sistem humanisme yang berusaha menanamkan
kebajikan melalui pengembangan karakter pribadi. Menurut Konfusianisme, manusia
dapat mengembangkan karakter mereka melaui belajar, pengembangan diri sendiri,
ritual, dan kehidupan bermasyarakat (The Korea Foundation, 2012:57).
Seperti yang dipaparkan dalam The Korea Foundation (2012:67), peninggalan
Konfusianisme terlihat pada kecintaan masyarakat Korea terhadap pendidikan.
Konfusianisme mengajarkan masyarakat Korea untuk belajar, mengejar pengetahuan,
dan melakukan pengembangan diri sendiri. Ajaran Konfusianisme menekankan
pentingnya pembelajaran. Dalam masyarakat Konfusianisme, seseorang dapat
menaiki tangga sosial berdasarkan pada pengetahuan dan seberapa baik ia memahami
pengetahuan tersebut (The Korea Foundation, 2012:64). Menurut Lee Jeong-kyu
(2002:16), dalam pandangan Konfusianisme, pendidikan dianggap sebagai sarana
untuk mencapai kesempurnaan dalam aktualisasi diri dan masyararakat yang
harmonis.
Konfusius berpendapat bahwa orang-orang membutuhkan kemajuan,
pembelajaran dan pendidikan. Dengan etos kerja Konfusianisme yang kuat,
pengembangan diri sendiri tidak cukup hanya dengan belajar melalui buku.
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
6
Seseorang juga harus mengembangkan karakternya, meningkatkan kemampuan dan
bakatnya, serta meningkatkan rasa kemanusiaannya. Konfusius beranggapan bahwa
seluruh manusia yang memasuki dunia ini adalah seperti batu giok yang masih belum
terasah. Setiap orang harus mengukir, memoles dan menghaluskan dirinya sendiri
agar menjadi cantik dan bernilai (Ronnie L. Littlejohn, 2011:31).
Pada masa dinasti Joseon, peristiwa terpenting adalah pada ujian sipil negara
atau gwageo (�� ��) dan yang berhasil lulus ujian tersebut diberikan jabatan
tinggi (The Korea Foundation, 2012:64). Gwageo merupakan jalan utama dalam
menaikkan status sosial dan apabila berhasil lulus, bukan hanya seseorang tersebut
yang memperoleh pamor dan kehormatan, tetapi juga keluarga besarnya (Lim
Hyunsoo, 2007:74).. Saat itu, sebuah sistem berjenjang untuk sekolah Konfusianisme
dibuka di seluruh negeri. Pembukaan sekolah-sekolah tersebut bertujuan untuk
menanamkan nilai-nilai Konfusianisme dan mempersiapkan siswa-siswanya untuk
mengikuti ujian negara (The Korea Foundation, 2012:64).
Seseorang yang ingin mendapatkan posisi tinggi dalam pemerintahan dinasti
Joseon harus terlebih dulu melewati beberapa rangkaian tes gwageo. Apabila berhasil
lulus, maka kelas atau status sosial orang tersebut dapat naik. Gwageo ini sangatlah
sulit (Maarten Meijer, 2007:106).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, persaingan adalah usaha
memperlihatkan keunggulan masing-masing yang dilakukan oleh perseorangan (baik
perusahaan maupun negara) pada bidang perdagangan, produksi, persenjataan, dan
sebagainya. Sementara itu, Narwoko dan Suryanto (2011:65) menyebutkan bahwa
persaingan merupakan bentuk proses interaksi sosial yang bersifat sederhana. Proses
interaksi sosial ini mengandung perjuangan untuk memperebutkan tujuan-tujuan
tertentu yang bersifat terbatas, yang semata-mata bermanfaat untuk mempertahankan
suatu kelestarian hidup.
Redja Mudyahardjo (2012:11) mendefinisikan pendidikan sebagai usaha
sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan pemerintah untuk
mempersiapkan dirinya agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan
hidup secara tepat di masa yang akan datang. Usaha sadar ini dilakukan melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan yang berlangsung di sekolah dan di
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
7
luar sekolah selama hidupnya. Senada dengan hal itu, Rulam Ahmadi mengatakan
bahwa pendidikan merupakan pengalaman-pengalaman belajar terprogram dalam
bentuk pendidikan formal, nonformal, dan informal di sekolah, dan luar sekolah yang
berlangsung seumur hidup. Pengalaman belajar ini bertujuan untuk mengoptimalkan
kemampuan peserta didik agar di kemudian hari peserta didik itu dapat memainkan
peranan hidup secara tepat (2014:37).
KAITAN NILAI-NILAI KONFUSIANISME DENGAN PERSAINGAN
PENDIDIKAN
Masyarakat modern Korea memiliki obsesi yang besar terhadap pendidikan
formal. Mereka menganggap pendidikan formal sebagai sarana penting untuk
memperoleh jabatan dalam pemerintahan dan juga untuk mencapai kesempurnaan
moral pribadi. Penekanan secara khusus terhadap pendidikan ini merupakan pengaruh
dari ideologi Konfusianisme (Michael J. Seth, 2005:5). Selain itu, Konfusianisme
yang sudah mengakar pada pendidikan di Korea juga memiliki dampak terhadap
penentuan tujuan, metode, dan kurikulum pembelajaran di negara tersebut. konsep
pendidikan Konfusianisme ini telah memainkan peranan penting dalam
pengembangan diri masyarakat Korea (Korean Overseas Information Service,
1986:41). Konfusianisme tidak secara langsung berkontribusi pada perkembangan
pendidikan di Korea saat ini, tetapi prinsip-prinsip dan nilai-nilai sosio-etika
Konfusianismelah yang menjadi sumbu utama pada perkembangan pendidikan di
Korea (Lee Jeong-kyu, 2002:57).
Dengan terjadinya perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat
industrialis, nilai-nilai pendidikan dalam Konfusianisme dipandang lebih penting
daripada nilai-nilai Konfusianisme yang hanya berfokus pada karakter moral dan
masyarakat harmonis. Nilai-nilai pendidikan yang menekankan pada pembelajaran
diri pada ajaran Konfusianisme menjadi salah satu faktor utama dalam meningkatkan
semangat pendidikan di Korea (Lee Jeong-Kyu, 2002:179). Nilai-nilai tersebut
adalah nilai familisme, chemyeon, grupisme, elitisme, serta paternalisme dan
favoritisme.
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
8
Familisme
Familisme merupakan paham yang menempatkan keluarga sebagai pusat dari
kehidupan seseorang. Pemikiran yang berpusat pada keluarga ini menimbulkan rasa
keterikatan yang kuat terhadap garis keturunan dan menghasilkan sebuah pemikiran
yang lebih mengutamakan kepentingan diri sendiri (dan keluarga) dibandingkan
dengan kepentingan orang yang berasal dari keluarga atau kelompok lain. Paham
yang dipegang teguh di Korea ini menggambarkan betapa pentingnya arti keluarga
bagi masyarakat Korea (Kim Hae-ok, 2010:257).
Hal ini berkaitan pula dengan teori salvation atau “keselamatan” yang juga
merupakan ajaran Konfusianisme. “keselamatan” yang dimaksudkan di sini adalah
rasa aman dalam mengabadikan dan melanggengkan keberadaan sebuah keluarga.
Dalam keluarga, anak adalah elemen terpenting demi keberlangsungan keluarga
tersebut karena melalui anak-anak, para orangtua dapat meneruskan dan
mengabadikan keberadaan mereka. Pada akhirnya, tiap orangtua akan mati dan
meninggalkan anak-anaknya. Akan tetapi, justru melalui anak-anak mereka ini, para
orangtua dapat meneruskan dan mengabadikan hidup mereka. Melalui anaknya,
orangtua melestarikan keberadaan keluarga. Apabila anak-anak terpelihara dengan
baik, maka keselamatan dan keberlangsungan keluarga tersebut akan terjamin (Lim
Hyunsoo, 2007:80).
Semangat yang sangat tinggi dalam mengejar pendidikan di masyarakat Korea
didominasi oleh rasa solidaritas yang didapat dari pemikiran bahwa seluruh anggota
keluarga terikat oleh nasib yang sama (Kwon Insook, 2014:50). Melalui pendidikan,
para orangtua tidak akan menyia-nyiakan satu-satunya jalan untuk mobilitas sosial,
sehingga mereka menekan anak-anak mereka untuk belajar dengan keras (Sorensen,
1994:23). Para orangtua rela melakukan pengorbanan ekonomi dalam jumlah besar
dengan harapan bahwa investasinya ini akan terbayarkan di masa depan melalui
kesuksesan anak-anaknya. Apabila anak-anak mereka sukses, maka
pengorbanan-pengorbanan mereka pada akhirnya berbuah untung bagi mereka juga
(Sorensen, 1994:25). Setiap anak dalam sebuah keluarga menyadari bahwa
kesuksesan bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk seluruh kelurganya.
Oleh karena itu, mereka juga paham bahwa mereka mengemban tanggung jawab
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
9
yang sangat besar demi keluarganya dan harus belajar dengan keras agar sukses di
bidang pendidikan (Sorensen, 1994:26).
Chemyeon (��)
Chemyon (��), yang merupakan bagian dari ajaran Konfusianisme, dapat
diartikan sebagai keutamaan untuk menjaga kehormatan keluarga. Di Korea,
pencitraan publik seseorang, keluarga, atau perusahaan dinilai sangat penting (Daniel
Tudor, 2012:112). Chemyon adalah sesuatu yang dijunjung tinggi dan tidak boleh
jatuh di bawah standar yang diharapkan (Daniel Tudor, 2012:113). Chemyeon
diibaratkan sebagai “wajah” yang dipresentasikan di hadapan orang lain. Menjaga
“wajah” menunjukkan perilaku seseorang yang telah terpengaruh oleh adanya
harapan atau ekspektasi tertentu dari orang lain (Choi Sang-chin dan Kim Kibum,
2004:31).
Chemyeon dianggap sebagai fenomena sosial yang merefleksikan karakter
budaya dan psikologis masyarakat Korea. bagi mereka, chemyeon tidak hanya
mengindikasikan peran dan posisi seseorang, tetapi juga nama baik, harga diri,
reputasi dan kehormatan (Choi 2000; Choi dan Yu 1992; Choi dan Kim U. 1992;
Choi, Kim, dan Kim 1997; Choi dan Kim K. 1998, 2000; Choi dan Lee 2002; dalam
Choi Sang-chin dan Kim Kibum, 2004:31).
Langkah paling utama dalam memperoleh kehormatan adalah melalui
pendidikan. Sebuah gelar yang didapat dari Seoul National University sama
berharganya dengan memiliki tas tangan seharga $3000 atau memiliki apartemen
besar di Seocho5. Selain menunjukkan intelektualitas dan pencapaian akademis
seseorang, serta dikarenakan adanya peninggalan budaya ujian dari Konfusianisme,
sukses dalam pendidikan adalah sesuatu yang sangat berharga. Sebagai sarana utama
dalam menaiki tangga sosial yang dipercaya selama berabad-abad, kesuksesan
akademis berarti tercapainya kelas sosial bergengsi. Mampu mengenyam pendidikan
di universitas bergengsi juga berpotensi mendapatkan kekuasaan (Daniel Tudor,
2012:15).
5 Seocho adalah sebuah distrik di Seoul bagian selatan dan merupakan kawasan elit.
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
10
Pendidikan memainkan peranan yang sangat besar bukan hanya untuk
kehormatan individu tapi juga kehormatan keluarga. Apabila seorang anak hanya
mampu diterima di universitas kelas menengah meskipun ia berasal dari sekolah
unggulan dan telah menghabiskan seluruh waktunya untuk belajar dengan guru privat,
keluarganya akan sangat kecewa. Anak tersebut juga akan menanggung beban malu.
Jika keluarganya mampu, anak dengan nasib seperti di atas seringkali dikirim oleh
keluarganya untuk sekolah di universitas kelas menengah di Amerika Serikat.
Pendidikan di Amerika Serikat umumnya dianggap bernilai tinggi dan mampu
membangun kembali status seseorang (Daniel Tudor, 2012:115). Untuk mendapatkan
dan menjaga kehormatan ini pelajar di Korea bersaing begitu ketat dalam pendidikan
agar lulus ujian masuk perguruan tinggi atau suneung. Bagi para pelajar, seluruh
hidup dan kelas sosial mereka ditentukan oleh satu hari tersebut (Daniel Tudor,
2012:116).
Grupisme
Grupisme didasari pada pemisahan antara kelompok luar atau outer group dan
kelompok dalam atau inner group (Kim Hae-ok, 2010:286). Dengan kata lain,
grupisme dapat diartikan sebagai paham yang mengacu pada masyarakat yang lebih
memprioritaskan kepentingan kelompok seperti kelompok kekeluargaan, kelompok
kekerabatan, atau kelompok lingkungan kerja dibandingkan dengan kepentingan
individu (Kim Hae-ok, 2010:283).
Masyarakat Korea menemukan kenyamanan dari penampilan dan pola
perilaku yang identik dengan satu sama lain (Kim Hae-ok, 2010:331). Dalam
masyarakat Korea terdapat berbagai macam kelompok dalam (inner group) seperti
kelompok yang berdasarkan hubungan darah, hubungan kedaerahan, hubungan
sekolah, dan hubungan tempat kerja. Inner group tidak hanya membentuk suatu
identitas bagi individu, tetapi juga memberi bantuan dan melindungi seseorang dari
kesulitan dan tantangan-tantangan hidup (Kim Hae-ok, 2010:283).
Pendidikan merupakan hal utama dalam masyarakat Korea. Mereka bersaing
keras dalam pendidikan karena mereka ingin masuk ke dalam inner group atau
kelompok orang-orang yang berasal dari sekolah-sekolah bergengsi. Setelah lulus
dari sekolah bergengsi, mereka dapat menikmati hak-hak istimewa yang didapat dari
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
11
orang-orang yang telah lulus sebelum mereka dan hidup harmonis bersama-sama di
posisi sosial bergengsi dalam masyarakat (Kim Hae-ok, 2010:297). Sebagai contoh
lainnya, banyak orang Korea yang memanfaatkan inner group mereka agak dapat
diterima bekerja di perusahaan-perusahaan bergengsi dengan meminta bantuan
kepada keluarga, teman dekat, atau pun professor mereka (Lee dan Brinton,
1996:178).
Ketika sebuah perusahaan menerima karyawan baru atau ketika sebuah
universitas menerima mahasiswa baru, asal sekolah seseorang lebih penting
dibandingkan dengan kemampuannya. Ketika merekrut tenaga kerja,
perusahaan-perusahaan di Korea lebih memilih mereka yang berasal dari
kelompoknya (memiliki asal sekolah yang sama). Maka, seseorang tidak hanya
dinilai dari kemampuannya saja, tetapi juga dari asal sekolahnya (Kim Hae-ok,
2010:297). Lulusan dari almamater yang sama lebih sering dipilih daripada orang
dari almamater berbeda. Sebagai contoh, lebih dari 92% orang yang mengajar di
Seoul University merupakan lulusan Seoul University (Kim Hae-ok, 2010:300).
Sebuah hasil peninjauan menunjukkan bahwa 63,4% dari 700 responden
menjawab, tanpa karir akademis dan kelompok, seseorang tidak akan bisa sukses di
Korea. Selanjutnya, 64,4% menyatakan bahwa penting untuk bisa menjadi lulusan
dari universitas-universitas bergengsi agar dapat memiliki kesuksesan sosial di masa
depan (Lee Jeong-kyu, 2002:144). Hal ini menunjukkan betapa para pelajar di Korea
terdorong untuk bersaing dengan sangat ketat agar dapat lulus ujian masuk
universitas-universitas bergengsi demi sukses di masa depan (Lee Jeong-kyu,
2002:178).
Kelompok akademis yang didasari oleh universitas bergengsi telah menjadi
sesuatu yang sangat berpengaruh pada stratifikasi sosial masyarakat Korea (Han
1983; J. Lee 1991). Dengan kata lain, latar belakang di mana seseorang bersekolah
adalah pokok dari pengelompokan sosial informal yang menjadi sumber terpenting
dalam menjaring koneksi-koneksi terbaik. Universitas dengan kedudukan bergengsi
secara khusus menggambarkan kualitas tinggi dari kemampuan seseorang, dan hal ini
menunjukkan bahwa ada banyak keuntungan yang bisa didapat apabila seseorang
mengenyam pendidikan di universitas bergengsi (Lee dan Brinton, 1996:182).
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
12
Hal ini dapat dilihat dari ikatan-ikatan yang berasal dari universitas paling
bergengsi di Korea; Seoul National University, Korea University, dan Yonsei
University (Daniel Tudor, 2012:51). Hingga saat ini, gelar dari SKY dianggap
sebagai tiket untuk mendapatkan peluang terbaik dalam pekerjaan, jejaring sosial,
dan prospek pernikahan. Lulusan SKY berpotensi besar untuk mendapatkan masa
depan yang sukses. Sebagai contoh, tujuh dari sepuluh CEO firma-firma terbesar di
Korea merupakan lulusan SKY dan delapan dari sepuluh orang yang diangkat ke
lembaga kehakiman adalah lulusan dari SKY. Para professor dari
universitas-universitas elit di Korea dapat dengan mudah masuk ke dunia politik,
bisnis, atau menjadi cendekiawan publik yang ucapannya akan selalu didengarkan
oleh media walaupun tidak berhubungan dengan bidang keahlian mereka. Dapat
disimpulkan, orang-orang yang berhasil lolos ujian masuk SKY adalah orang-orang
yang sudah sangat dekat dengan tangga sosial tertinggi di Korea (Daniel Tudor,
2012:52).
Tradisi Elitisme
Elitisme merupakan salah satu peninggalan ajaran Konfusianisme yang
menciptakan ikatan personal di masyarakat Korea berdasarkan pencapaian akademis
dan kelompok sosial. Selain itu, elitisme juga menuntun seseorang pada kesuksesan
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan. Elitisme di bidang pendidikan
didasari oleh relasi sekolah atau tempat belajar seseorang, yang menjadi salah satu
faktor utama dalam perekrutan tenaga kerja dan kenaikan pangkat. Oleh karena itu,
elitisme terkait bidang pendidikan memiliki peran penting dalam menaikkan
antusiasme pendidikan dan membentuk sebuah doktrin yang berbasis persaingan
pendidikan dalam masyarakat modern Korea (Lee Jeong-kyu, 2002:184).
Pada tahun 1960-an ketika perekonomian Korea mulai berkembang pesat,
banyak lowongan-lowongan yang dibuka untuk orang-orang yang berpendidikan
tinggi (universitas). Orang-orang berpendidikan tinggi ini mendapatkan posisi
bergengsi seperti menjadi birokrat dalam pemerintahan, manager di perusahaan, dan
posisi-posisi teknis yang profesional. Orang-orang dengan posisi bergengsi tersebut
mendapat julukan sebagai “golongan elit era baru” di masyarakat Korea (Koo
1885; Koo dan Hong 1980; Lee dan Brinton, 1996:180) atau “neo-yangban” (Daniel
Tudor, 2012:105). Neo-yangban ini adalah golongan elit sosial baru yang statusnya
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
13
tidak didapat melalui garis keturunan, melainkan melalui kerja keras dan pendidikan
tinggi (Daniel Tudor, 2012:207).
Daerah yang sangat terkenal dengan golongan elit sosial baru adalah
Gangnam. Gangnam terletak di bagian selatan Seoul dan merupakan simbol
kemewahan Korea modern. Para pelajar di Gangnam memiliki
keuntungan-keuntungan yang lebih dibandingkan dengan pelajar-pelajar di daerah
lain. Pemerintah membangun area Gangnam (pada akhir tahun 70-an hingga awal
80-an) dengan mendirikan sekolah-sekolah berkualitas tinggi. Hal ini mendorong
banyak orang untuk pindah ke sana demi mengejar pendidikan terbaik. Institusi
bimbingan belajar dan les-les privat terbaik pun banyak dibuka di Gangnam. Seiring
berjalannya waktu, harga-harga apartemen di daerah tersebut melambung tinggi dan
hanya orang-orang dengan banyak uang yang mampu menyekolahkan anaknya di
sekolah-sekolah bagus tadi. Sebagai hasilnya, pada tahun 2005, para pelajar lulusan
sekolah-sekolah Gangnam sepuluh kali lipat lebih mungkin untuk diterima di Seoul
National University6 dibandingkan dengan para pelajar lulusan daerah lain (Daniel
Tudor, 2012:207). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa lulusan dari
universitas-universitas terbaik cenderung berasal dari keluarga elit berlatar belakang
sosial tinggi (Lee dan Brinton, 1996:186).
Selain Seoul National University, perguruan tinggi prestisius di Korea adalah
Korea University dan Yonsei University. Ketiganya biasa disingkat menjadi “SKY”
(Daniel Tudor, 2012:51). Universitas-universitas SKY serupa dengan Ivy League7 di
Amerika Serikat atau Oxbridge8 di Inggris (Daniel Tudor, 2012:52). Menjadi lulusan
univesitas elit di atas dapat dianggap berkondisi sama dengan keberhasilan dalam
6 Seoul National University merupakan satu dari beberapa universitas prestisius di Korea. Universitas ini diresmikan pada tahun 1946 sebagai universitas nasional pertama Korea (Park Han Na, 2009:228).
7 Ivy League merupakan asosiasi dari delapan universitas elit dan prestisius di Amerika Serikat yang terkenal. Universitas-universitas Ivy League selalu menduduki peringkat tinggi di dunia dan juga terkenal di bidang olahraga. Anggota-anggota Ivy League adalah Harvard University, Brown University, Columbia University, Cornell University, Dartmouth University, Princeton University, Yale University, dan University of Pennsylvania (Sumber: http://www.pendidikanluarnegeri.com/news-this-week/35-ivy-league-sekolah-ke-amerika-apa-itu-, diakses pada pukul 11.07 8 April 2015).
8 Oxbridge adalah universitas-universitas yang menjadi bagian dari Oxford dan Cambridge. Kedua universitas tersebut merupakan universitas-universitas elit di Inggris dan di dunia (Sumber: http://www.hotcourses.co.id/study-in-the-uk/university-applications/oxbridge/ diakses pada pukul 11.13 8 April 2015).
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
14
ujian sipil negara pada masa Joseon (Daniel Tudor, 2012:51) yaitu telah berhasil
mencapai kelas yangban di era modern (Tariq Hussain, 2006:163).
Paternalisme dan Favoritisme
Paternalisme di dalam nilai-nilai budaya tradisional menekankan pentingnya
keramahan terhadap antarindividu dan rasa peduli terhadap hubungan antara atasan
dengan bawahan, guru dengan murid, senior dengan junior, dan antar teman (Lee
Jeong-kyu, 2002:141). Paternalisme yang didasari oleh konsep kebajikan disebut
keyakinan moral, sedangkan favoritisme yang didasarkan pada konsep menerima atau
menolak, disebut sebagai keinginan jasmani atau keinginan yang mementingkan diri
sendiri. Dengan kata lain, paternalisme adalah faktor positif yang mencakup etika
manusiawi di dalam organisasi. Kemudian, favoritisme adalah nilai etika yang
penting dalam kepentingan pribadi, tetapi merupakan nilai etika yang negatif dalam
kepentingan umum (H. Lee, 2999; S. Lee, 2000, p. 18-19). Meskipun berlawanan,
paternalisme dan favoritisme dipahami sebagai hal yang mendarah daging dan tidak
dapat dipisahkan dari budaya Konfusianisme modern Korea (Lee Jeong-kyu,
2002:135). Nilai-nilai paternalisme dan favoritisme dalam Konfusianisme sangat
terlihat pada budaya organisasi di institusi-institusi pendidikan tinggi Korea (Korean
Council for University Education, 1992; 1995; Lee Jeong-kyu, 2002:140).
Budaya organisasi dalam pendidikan tinggi modern di Korea juga
mengandung nilai Konfusianisme paternalistis yang menunjukkan pentingnya
kekuasaan (Lee Jeong-kyu, 2002:161) berdasarkan hubungan atasan (dosen atau
senior) dengan bawahan (murid atau junior). Nilai-nilai Konfusianisme memberi
beberapa dampak terhadap budaya organisasi dalam pendidikan tinggi di masyarakat
modern Korea. Dampak yang pertama adalah terbentuknya birokrasi otoritatif yang
cenderung bersifat tertutup (Lee Jeong-kyu, 2002:102). Hal ini dikarenakan adanya
hubungan yang kaku dan formal antara atasan dan bawahan. Bawahan patuh dan
tunduk sepenuhnya kepada atasan. Seorang junior menghormati senior dan
menggunakan bahasa kehormatan ketika berbicara dengan seniornya. Seorang murid
patuh serta hormat terhadap dosen dan selalu menggunakan bahasa kehormatan
ketika berbicara kepada dosennya. Para murid percaya bahwa mereka berhutang budi
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
15
kepada dosen mereka layaknya seorang anak berhutang budi kepada orangtua (Janelli,
1993; Lee Jeong-kyu, 2002:103).
Budaya organisasi ini berkaitan erat dengan lima tingkat hubungan ajaran
Konfusianisme. Dalam lima tingkat hubungan tersebut, seseorang dengan status
sosial tinggi mendapat penghormatan dan dipatuhi oleh mereka dengan status sosial
yang lebih rendah. Budaya organisisasi ini mendorong adanya keinginan kuat untuk
mendapat status sosial tinggi, sehingga menyebabkan kecenderungan terjadinya
persaingan.
Antusiasme Masyarakat Modern Korea dalam Pemerolehan Pendidikan Tinggi
dan Kaitannya dengan Konfusianisme
Kompetisi pendidikan di Korea begitu kuat hingga terasa seperti peperangan
tidak hanya dalam sistem pendidikan negeri, tetapi juga dalam sektor pendidikan
swasta (Kim Hae-ok, 2010:361). Terdapat beberapa ungkapan terkenal yang makna
dan implikasinya sudah sangat akrab di masyarakat modern Korea.
Ungkapan-ungkapan tersebut adalah sebagai berikut.
“Menjadi pemegang gelar dari pendidikan tinggi atau sederajat adalah hal yang mutlak dalam hidup dan harus didapatkan berapa pun biayanya.”9
“Penghargaan dalam hidup seseorang diprioritaskan berdasarkan hasil nilai ujiannya” atau “Nilai ujian seseorang menentukan tempatnya di masyarakat”10
“Kita harus mengungguli orang lain dan hidup dengan kemenangan” atau “Mengalahkan orang lain adalah prasyarat untuk dapat terus bertahan”11 (Jung Gun-kim, 2005:103).
Masyarakat Korea percaya bahwa kekurangan dalam pendidikan sama saja dengan
ketidakmampuan dalam persaingan. Oleh karena itu, mereka tidak keberatan
menghabiskan banyak uang demi pendidikan (Kim Hae-ok, 2010:361). Budaya 9 “becoming a degree holder at any cost or college degree is an absolute must in life” (Jung Gun-kim, 2005:103).
10 “Life’s reward is prioritized according to examination grades” atau “Exam scores determines one’s lot in life” (Jung Gun-kim, 2005:103).
11 “ One has to be victorious over others to survive” atau “Defeating others is the precondition for survival (�� ��� ��� ��)” (Jung Gun-kim, 2005:103).
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
16
Korea memiliki harapan dan aspirasi yang kuat dalam pendidikan dan prestasi,
sehingga pendidikan tinggi menjadi satu hal yang paling didambakan (Ihm Chon-sun,
2008:245).
Hampir seluruh kegiatan belajar di Korea bertujuan untuk mempersiapkan
anak-anak muda mereka dalam menghadapi ujian masuk ke institusi pendidikan
berikutnya yang lebih tinggi (Kuk Bom Shin, 1978:35).. Semua ini bertujuan agar
dapat membawa anak-anak mereka ke barisan terdepan dan unggul di angkatannya
(Daniel Tudor, 2012:105).
Les privat dan Hakwon (��) atau Institusi Bimbingan Belajar Swasta
Berdasarkan perhitungan terakhir, lebih dari 80% pelajar di Korea
menggunakan jasa hakwon dan les privat (Ihm Chon-sun 2008:246). Data juga
menunjukkan bahwa sejak tahun 1980-an, para pelajar di Korea mengambil
kelas-kelas tambahan sepulang sekolah dari sore hingga malam hari untuk mata
pelajaran seperti Bahasa Inggris, matematika, dan lain-lain (Daniel Tudor, 2012:106).
Biaya hakwon dan les privat yang harus dibayarkan sangat tinggi. Oleh karena itu,
hal ini memberikan keuntungan signifikan bagi anak-anak dari keluarga kaya raya
untuk memperoleh hakwon atau les privat (terbaik) sehingga dapat lebih unggul
dalam persaingan mendapatkan sekolah-sekolah terbaik (Michael J. Seth, 2007:219).
Melihat masyarakat kelas atas yang semakin banyak meraih kesuksesan dalam
pendidikan membuat masyarakat kelas menengah kebawah dan lainnya berjuang jauh
lebih keras lagi. Mereka memberikan porsi pengeluaran yang sangat besar dari
pendapatan mereka untuk membiayai bimbingan belajar dan les-les privat anak
mereka. Dengan demikian, persaingan di dalam pendidikan ini pun menjadi semakin
panas (Daniel Tudor, 2012:106).
Hal-hal yang dilakukan oleh orangtua dan pelajar di Korea terkait dengan
penggunaan les-les privat dan hakwon merefleksikan nilai-nilai ajaran Konfusianisme
yaitu familisme, paternalisme, dan grupisme. Familisme yang mengutamakan
kekeluargaan dan hubungan darah membuat orangtua merasa bertanggung jawab
terkait pendidikan anak-anak mereka dan rela berkorban banyak secara materiil dan
spirituil demi melindungi masa depan anak-anaknya. Sebaliknya, para pelajar
bertanggung jawab terhadap orangtua mereka dengan mengorbankan banyak waktu
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
17
dan energinya untuk belajar dengan giat serta memanfaatkan les-les privat dan
hakwon sebaik mungkin. Nilai paternalisme yang mementingkan hubungan hirarki
membuat anak-anak tidak membantah dan mengikuti arahan orangtua, dalam hal ini
adalah mengikuti les-les privat dan hakwon hingga larut malam dan bahkan pada saat
liburan sekolah. Nilai grupisme yang mementingkan keuntungan kelompok
dibandingkan dengan keuntungan individu membuat orangtua dan anak saling bahu
membahu demi mencapai kesuksesan bersama melalui persaingan pendidikan.
Suneung (�� ��) atau Ujian Masuk Universitas
Ujian masuk universitas atau perguruan tinggi di Korea dikenal dengan nama
suneung (�� ��) dan merupakan hal yang amat penting bagi masyarakat Korea.
Suneung dianggap sebagai titik paling utama dalam menentukan kesuksesan
pendidikan di masyarakat Korea (Maarten, 2005:110). Salah satu orang Korea
lulusan Harvard mengatakan, “Di Amerika Serikat, para pemudanya dapat
menemukan berbagai jalur untuk membuktikan diri mereka. Di Korea, suneung
adalah satu-satunya kesempatan seumur hidup yang menentukan nasib para
pemudanya.” (Peter F. Drucker, 1985:212; dalam Tariq Hussain, 2006:162). Oleh
karena itu, semua orang berkompetisi dengan sangat serius demi sukses di ujian
masuk ke perguruan tinggi karena beban yang ditanggung apabila mengalami
kegagalan sangatlah besar.
Seoul National University, Korea University, dan Yonsei University,
disingkat menjadi SKY, adalah tiga universitas terbaik dan merupakan impian bagi
semua pelajar di Korea. Apabila diterima di universitas-universitas prestisius tersebut,
maka pekerjaan bagus di masa depan dan bahkan prospek pernikahan yang bagus
juga akan terjamin (Maarten, 2005:107). Kecenderungan masyarakat Korea untuk
mengejar pendidikan di sekolah serta universitas bergengsi berkaitan erat dengan
chemyeon dan nilai elitisme ajaran Konfusius yang didasari oleh pencapaian
akademis dan kelompok sosial. Pelajar yang lulus ujian suneung dan diterima di
universitas elit dianggap sebagai neo-yangban serta berhasil mencapai kelas sosial
tertinggi. Tercapainya status sosial yang bergengsi tersebut merupakan kehormatan
bagi setiap keluarga. Bagi mereka, seluruh hidup dan kehormatan (kelas sosial)
mereka dipertaruhkan pada hasil suneung tersebut (Daniel Tudor, 2012:116).
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
18
Selain chemyeon dan elitisme, juga terdapat nilai grupisme. Para pelajar
Korea bersaing keras untuk lulus suneung agar mereka dapat masuk ke dalam inner
group atau kelompok orang-orang yang berasal dari universitas bergengsi. Apabila
seseorang berhasil masuk ke dalam inner group yang bergengsi, maka ia berhak
untuk menikmati keuntungan-keuntungan istimewa (kim Hae-ok, 2010:297) seperti
terjaminnya masa depan dan pekerjaan, jejaring sosial yang menguntungkan, dan
prospek pernikahan yang bagus (Daniel Tudor, 2012:52).
Pendidikan ke Luar Negeri
Dikarenakan semua orang berusaha keras untuk sukses dalam pendidikan,
terdapat lebih banyak jumlah lulusan dengan nilai tes yang tinggi daripada jumlah
lowongan pekerjaan yang tersedia. Hal ini menciptakan rangkaian persaingan tajam
tak berujung karena semua orang semakin mendorong dirinya untuk lebih unggul dari
orang lain. Mereka menganggap bahwa mengenyam pendidikan di Seoul National
University saja sudah tidak lagi cukup. Mereka menginginkan sekolah di luar negeri
yang lebih bergengsi seperti Universitas Harvard. Hal ini terlihat dari jumlah
mahasiswa asing terbanyak ketiga di Universitas Harvard yang merupakan orang
Korea (Daniel Tudor, 2012:106). Masyarakat Korea percaya bahwa belajar ke luar
negeri dan mengenyam pendidikan di universitas bergengsi adalah hal yang sangat
penting untuk meraih kesuksesan (Choi Joon-sik, et al, 2010:147).
Alasan banyaknya orang Korea meninggalkan negaranya untuk belajar di luar
negeri adalah karena perekonomian Korea yang semakin meningkat dan semakin
banyak keluarga yang mampu menyekolahkan anak-anaknya di luar negeri. Di
samping itu, persaingan yang sangat intens dalam pendidikan di kalangan masyarakat
Korea menyebabkan orang Korea, bahkan mereka dengan sumber daya yang terbatas,
berusaha untuk mengirim anak-anak mereka ke luar negeri untuk belajar agar tidak
ketinggalan dan dapat bersaing melawan orang-orang lainnya (John C. Weidman,
2007:223).
Bagi pelajar-pelajar Korea, pendidikan di luar negeri mampu memberikan
mereka kesempatan dan keamanan (finansial) yang lebih baik di masa depan. Selain
itu, slogan favorit orang Korea yang berbunyi “Hanya yang terbaik yang dapat
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
19
bertahan”12 mendorong para orangtua untuk mengirim anak-anak mereka belajar ke
luar negeri dengan harapan dapat meningkatkan peluang dalam kemajuan karir sang
anak di masa depan (John C. Weidman 2007:225).
KESIMPULAN
Persaingan merupakan proses interaksi sosial sederhana yang mengandung
perjuangan untuk memperebutkan tujuan-tujuan tertentu yang sifatnya terbatas.
Persaingan dapat terjadi dalam berbagai bentuk dan salah satunya adalah dalam
bentuk pendidikan. Tiap negara memiliki tujuan pendidikan yang berbeda mengikuti
latar sosial-budaya, sistem politik, dan potensi alam masing-masing wilayah. Salah
satu yang termasuk dalam latar sosial-budaya tersebut adalah filsafat negara.
Konfusianisme telah banyak memberi pengaruh dalam berbagai hal terutama
dalam bidang pendidikan. Hal ini dikarenakan Konfusianisme sangat menekankan
masyarakatnya untuk terus belajar, mengejar pengetahuan, dan mengembangkan diri
sendiri. Dalam masyarakat Konfusianisme, seseorang dapat menaiki tangga sosial
berdasarkan pada pengetahuan yang ia miliki dan seberapa baik ia memahami
pengetahuan tersebut. Hal ini memengaruhi pemikiran masyarakat Korea modern saat
ini dan membuat pendidikan menjadi faktor terpenting dalam menentukan pekerjaan
dan masa depan seorang anak. Bagi masyarakat Korea, pendidikan adalah salah satu
alat mobilisasi sosial dan ekonomi yang paling kuat. Oleh karena itu, terdapat
persaingan yang sangat ketat di bidang pendidikan terutama pada tes masuk
universitas atau suneung. Persaingan dalam pendidikan ini dapat dikaitkan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Konfusianisme, yaitu familisme, chemyeon,
grupisme, elitisme, dan paternalisme.
Paham familisme memacu adanya pemikiran bahwa seluruh anggota keluarga
terikat oleh nasib yang sama membuat masing-masing anggota dalam keluarga
bertanggung jawab terhadap satu sama lain. Orangtua bertanggung jawab untuk
membesarkan dan memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya dan
12 “Only the first can survive.” (John, C. Weidman 2007:224)
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
20
anak-anaknya bertanggung jawab untuk belajar sekeras mungkin agar sukses di masa
depan. Apabila seorang anak sukses dalam pendidikan, maka kesuksesan tersebut
bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk seluruh keluarganya. Begitu juga
sebaliknya. Chemyeon (��), yaitu keutamaan untuk menjaga kehormatan keluarga,
berkaitan erat dengan paham familisme. Langkah paling utama dalam memperoleh
kehormatan adalah melalui pendidikan.
Apabila seseorang diterima di universitas elit, maka ia dianggap telah berhasil
mencapai kelas yangban di era modern. Hal ini berhubungan dengan salah satu
tradisi yang juga didasari oleh Konfusianisme, yaitu elitisme. Elitisme menciptakan
ikatan personal di masyarakat Korea berdasarkan pencapaian akademis dan
kelompok sosial. Elitisme di bidang pendidikan didasari oleh ikatan personal
berdasarkan relasi sekolah atau tempat di mana seseorang menuntut ilmunya secara
formal. Semakin prestisius relasi sekolah seseorang, maka orang tersebut dianggap
sebagai golongan elit dan hal ini memudahkannya dalam mendapatkan pekerjaan
terbaik serta masa depan yang sukses. Karena semua orang menginginkan masa
depan yang sukses, dan ditambah dengan adanya elitisme, antusiasme dalam
pendidikan menjadi lebih tinggi dan membentuk sebuah doktrin yang berbasis
kompetisi atau persaingan pendidikan dalam masyarakat Korea saat ini.
Pengaruh ajaran familisme juga menyebabkan terjadinya grupisme
berdasarkan kelompok dalam (inner group) dan kelompok luar (outer group) yang
memprioritaskan kepentingan kelompok seperti kekeluargaan, kerabat, dan
lingkungan kerja. Lulusan dari almamater yang sama lebih sering dipilih daripada
orang dari alamamater berbeda. Oleh karena itu, para pelajar Korea bersaing keras
dalam pendidikan karena mereka ingin masuk ke dalam inner group atau kelompok
orang-orang yang berasal dari sekolah-sekolah bergengsi.
Paham paternalisme yang dipegang teguh oleh masyarakat Korea memberikan
pengaruh besar terhadap budaya organisasi dalam pendidikan tinggi di Korea.
Nilai-nilai sosioekologis paternalisme didasari oleh kode etis dan konsep
Konfusianisme, ikatan darah berdasarkan hubungan keluarga atau kekerabatan, ikatan
kedaerahan berdasarkan tempat lahir, dan ikatan sekolah berdasarkan tempat di mana
seseorang bersekolah. Akibatnya, tumbuh favoritisme ketika masyarakat
memperlakukan satu orang, keluarga, atau kelas manusia tertentu dengan kebaikan
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
21
khusus atau keberpihakan dengan mengabaikan orang lain. Favoritisme yang didasari
oleh ikatan-ikatan tersebut mendorong komunitas homogen yang mencari keuntungan
akademis dengan bantuan khusus dan keberpihakan dari ikatannya.
Dengan demikian, pendidikan dapat dipandang sebagai sumber utama
persaingan nasional Korea. Persaingan dalam pemerolehan pendidikan tinggi, di
masyarakat modern Korea begitu kuat bagaikan peperangan. Para orangtua dan
pelajar rela melakukan hampir apa saja demi pendidikan, maka persaingan dalam
pendidikan di masyarakat modern Korea pun terus meningkat. Hal ini semata-mata
bertujuan untuk membawa anak-anak mereka ke barisan terdepan dan mampu
mengungguli teman-teman di angkatannya dalam persaingan pendidikan. Sebab,
pendidikan yang baik berarti masa depan cerah dan kehidupan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku Berbahasa Korea: 김해억 (Kim, Hae-ok). (2010). 외국인을 위한 한국문화 읽기 (Waegugineul
Uihan Hanguk Munhwa Ilgi). 서울 (Seoul): 한국방송통 신대학교
출판부 (Hangukbangsongtong Shindaehakyo Chulphanbu). 이선이 (Lee, Seoni). (2007). 외국인을 위한 한국 현대 문화 (Waegugineul
Uihan Hanguk Hyeondae Munhwa). 서울 (Seoul): Hankook Publishing Co. 박한아 (Park, Hana). (2009). 외국인과 다문화 가족을 위한
한국입문서통으로 읽는 한국문화 (Waegugingwa Damunhwa Gajokeul Uihan Hangugibmunseotongeuro Ilgneun Hanguk Munhwa). 서울 (Seoul): Pagijong Press.
Sumber Buku Umum: Ahmadi, Dr. Drs. Rulam, M.Pd. (2012). Pengantar Pendidikan Asas dan Filsafat
Pendidikan. Jakarta: Arruz Media. Choi, Joon-sik, dkk. (2011). Ewha’s Korea Studies Series for Glabalization 2 Korean
Cultural Research Institute: Understanding Contemporary Korean Culture. Korea: Jimoondang.
Choi, Jung-hwa, Hyang-Ok Lim. (2007). This is All You Ever Wanted to Know about
Korea. Seoul: New Run.
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
22
Choi, Wan-gee. (2006). The Traditional Education of Korea. Seoul: Ewha Womans University Press.
Chun, Shin-yong. (1982). Korean Cultural Series 6 Korean Society. Seoul:
Sisayongosa Publishers, Inc. Han, Young-woo. (2010). A Review of Korean History Vol. 2 Joseon Era. Korea:
Kyongsaewon Publishing Company. Hermiono, Agustinus. (2014). Kepemimpinan Pendidikan di Era Globalisasi.
Yogyakarta: Pustaka Belajar. Hong, Euny. (2014). The Birth of Korean Cool. Amerika Serikat: Picador. Hunter, Tischler, dan Whitten (1986). Introduction to Sociology. New York: CBS
College Publishing. Hussain, Tariq. (2006). Diamond Dilemma. Korea: Random House Joongang. Ihm, Chon-sun. (2008). The Political Economy of Educational Reform dalam Social
Change in Korea. Paju: Jimoondang. Jung, Gun-kim. (2005). Korea in the Decade of 1999’s a Perspective. Seoul: Yonsei
University Press. Kartasapoetra, G. (ed). (1985). Sosiologi Industri. Jakarta: PT. Bina Aksara. Keum, Jang-tae. (2000). Confucianism and Korea Thoughts. Seoul: Jimoondang
Publishing Company. Kim, Jasper. (2005). Crisis and Change South Korea in a Post-1997 New Era. Seoul:
Ewha Womans University Press. Korean Overseas Information Service. (1986). Religions in Korea. Seoul: Korean
Overseas Information Service. Kuk, Bom Shin. (1978). Korea Background Series Education. Seoul: Korea Overseas
Information Service. Kwon, Insook. (2014). It All Leads to Education: Korean Motherhood, Patriarchy
and Class Consciousness in the TV Drama: Eligible Wife (Anaeui Jagyeok) dalam The Review of Korean Studies Volume 17. Korea: The Academy of Korean Studies.
Lee, Jeong-kyu. (2002). Korean Higher Education a Confucian Perspective. Korea:
Jimoondang International. Lee, Seung-hwan, et al. (2004). Korean Philosophy: Its Tradition and Modern
Transformation. Seoul: Hollym.
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
23
Lee, Seung-jae. (2011). Korean Cultural Heritage. Seoul: Hankook Munhwasa. Lee, Seung-ryul. (2011). Native English Speaking Teachers Cultural Differences and
Conflicts. Seoul: Hankookmunhwasa. Meijer, Maarter. (2007). What’s So Good about Korea, Maarten? Seoul: Hyeonamsa
Publishing Co., Ltd. Ministry of Culture and Tourism. (2003). Religion in Korea. Seoul: Color Point Co.,
Ltd. Narwoko, J. Dwi dan Bagong Suyanto. (2010). Sosiologi Teks Pengantar dan
Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. National Institute for International Education Development (NIIED). (2006).
Education in Korea 2005-2006. Korea: Ministry of Education & Human Resources Development, Republic of Korea.
National Institute for International Education Development (NIIED). (2009).
Education in Korea 2008-2009. Korea: Ministry of Education & Human Resources Development, Republic of Korea.
Park, Won. (2006). Traditional Korean Thought 한국 전통 사상. Incheon: Inha
University Press. Prasetya, Joko Tri dkk. (2013). Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Rineka Cipta. Littlejohn, Ronnie L. (2011). Confucianism an Introduction. Cornwall: TJ
International Ltd. Salamah, Umi, Suratman, MBM Munir. (2014). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.
Jakarta: Intimedia. Seth, Michael J. (2007). Korean Education Needs Fundamental Reform dalam
Insight into Korea. Seoul: Herald Media. Shin, Myung-ho. (2004). Joseon Royal Court Culture Ceremonial and Daily Life.
Korea: Dolbegae Publishers. Soekanto, Soerjono. (1999). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Fajar Interpratama
Offset. Tudor, Daniel. (2012). Korea the Impossible Country. China: Tuttle Publishing. The Korea Foundation. (2012) Religion in Korea Harmony and Coexistence. Seoul:
Seoul Selection. Weidman, John C. (2007). Globalization of Korean Higher Education dalam Insight
into Korea. Seoul: Herald Media.
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016
24
Yun, John. (2007). All about Korea. Seoul: Hongikmediaplus Publishing. Sumber Jurnal Online Chang, S.J. (2008). A Cultural and Pholosophical Perspective on Korea’s Education
Reform: A Critical Way to Maintain Korea’s Economic Momentum. Academic Paper Series, March 08, Volume 3, No. 2. Korea Economic Institute. Diakses pada 30 Januari 2015 pukul 21.00 dari http://people.duke.edu/~myhan/kaf0802.pdf
Lee, Sunhwa, Mary C. Brinton. (1996). Elite Education and Social Capital: The Case
of South Korea. Sociology of Education, Vol. 69, No. 3. Diakses pada 7 April 2015 pukul 04.28 dari http://www.jstor.org/stable/2112728
Seth, Michael J. (2005). The Sigur Center Asia Papers: Korean Education. The
George Washington University. Diakses pada 9 Februari 2015 pukul 01.13 dari https://www.gwu.edu/~sigur/assets/docs/scap/SCAP24-KoreanEd.pdf
Sorensen, Clark W. (1994). Success and Education in South Korea. Comparative
Education Review, Vol. 38, No. 1, Special Issue on Schooling and Learning in Children’s Lives. Diakses pada 7 April 2015 pukul 04.12 dari http://www.jstor.org/stable/1189287
Situs Resmi Kementrian Pendidikan Korea Selatan Ministry of Education of Republic of Korea
http://english.moe.go.kr/web/1740/site/contents/en/en_0233.jsp
Pengaruh Konfusianisme ..., Dhanisa Kamila, FIB UI, 2016