pengaruh globalisasi terhadap nasionalisme dan pancasila

Upload: meyrzashrie

Post on 07-Jul-2015

2.183 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Nasionalisme, nilai pancasila, dan globalisasi di Indonesia. Pemikiran Politik Indonesia.

TRANSCRIPT

Pemikiran Politik Indonesia

PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP NASIONALISME DAN PANCASILA

Oleh: Meyrza Ashrie Tristyana 070913042

Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNIVERSITAS AIRLANGGA 2011

PENDAHULUAN Topik: Pengaruh globalisasi terhadap nasionalisme dan pancasila. Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh globalisasi terhadap kekuatan nasionalisme dan nilainilai pancasila terutama di kalangan generasi penerus bangsa. Rumusan Masalah: 1. Bagaimana kekuatan nasionalisme dan pancasila di Indonesia? 2. Apa pengaruh globalisasi terhadap nasionalisme? 3. Bagaimana cara mengantisipasi efek buruk globalisasi bagi nasionalisme? Latar Belakang: Saat ini, globalisasi mulai merambah Indonesia di segala bidang. Ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya. Globalisasi sendiri membawa dampak baik dan buruk bagi Indonesia. Contohnya saja, dari perkembangan teknologi, masyarakat makin mudah untuk mendapatkan informasi dari luar negeri. Namun di sisi lain, hal ini juga dapat memberi dampak yang buruk. Globalisasi dapat mengikis nasionalisme dan nilai-nilai pancasila di Indonesia. Globalisasi dapat menghilangkan identitas dan karakter bangsa. Maka dari itu perlu dipupuk kembali rasa nasionalisme dan penguatan nilai-nilai pancasila terutama pada generasi muda karena mereka dinilai masih cukup labil dalam menghadapi globalisasi. Selain itu juga diutamakan pada masyarakat daerah perbatasan agar kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap utuh.

ISI Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah.1 Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Bagi Indonesia, globalisasi dapat disebut juga Internasionalisasi. Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain. Selain Internasionalisasi, Westernisasi juga dapat mengartikan globalisasi di Indonesia. Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal. Dua definisi globalisasi tersebut merupakan bagian dari lima definisi tentang globalisasi yang diajukan oleh Jan Aart Scholte.2 Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia3:y

Perubahan dalam Konstantin ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.

y

Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).

y

Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang

1

http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi (diakses Kamis, 23 Juni 2011 pukul 14.00 WIB) Scholte, Jan Aart. Globalization: A Critical Introduction. 2005. Macmillan Press Ltd. http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi#Ciri_globalisasi (diakses Kamis, 23 Juni 2011 pukul 14.00 WIB)

2

3

melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.y

Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain. Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada

globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi sosial. Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kebudayaan akan mempengaruhi nilai-nilai nasionalisme terhadap bangsa. Dan berikut ini adalah pengaruh positif globalisasi terhadap nilai-nilai nasionalisme. Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat. 1. Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa. 2. Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.

Sedangkan berikut ini adalah pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai-nilai nasionalisme: 1. Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang 2. Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia. 3. Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat. 4. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa. 5. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian

antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa. Pengaruh-pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa. Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi

tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan seharihari anak muda sekarang. Dari cara berpakaian banyak remaja-remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa. Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone. Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat. Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme?

Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.

PENUTUP Dari pembahasan diatas, kita perlu mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme. Dan langkah-langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu : 1. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri. 2. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya. 3. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya. 4. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil-adilnya. 5. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa. Dengan adanya langkah-langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa. Nasionalisme merupakan tali pengikat yang kuat, yakni paham yang menyatakan bahwa kesetiaan individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan, sebagai ikatan yang erat terhadap tumpah darahnya. Keinginan untuk bersatu, persamaan nasib akan melahirkan rasa nasionalitas yang berdampak pada munculnya kepercayaan diri, rasa yang amat diperlukan untuk mempertahankan diri dalam perjuangan menempuh suatu keadaan yang lebih baik. Naionalisme sendiri sangat erat hubungannya dengan pancasila. Kendati eksistensi Pancasila sempat diperdebatkan (bahkan sempat dilupakan) sebagai suatu kekuatan dan pertahanan nilai-nilai nasionalisme anak bangsa dalam beberapa kurun waktu belakangan ini, namun faktanya Pancasila tetap saja diharapkan sebagai kekuatan baru mempersatukan bangsa yang akhir-akhir ini nyaris kehilangan arah.

Seruan sejumlah tokoh nasional untuk melirik kembali Pancasila sebagai bahan ajar di sekolah, merupakan suatu mementum bahwa ideologi Pancasila masih dianggap sakti untuk menyelesaikan serentetan perkara yang saat ini sedang dihadapi bangsa tercinta. Kembali kepada Pancasila mengingatkan kita kepada Dekrit Presiden Soekarno yang mengajak seluruh elemen bangsa ini untuk kembali kepada UUD 45. Demikian pentingnya Pancasila, sehingga seruan untuk kembali memahami, meneladani dan mengayomi kelima pasal yang terkandung di dalamnya adalah keniscayaan yang tak terbantahkan lagi. Pancasila tak saja mengajarkan tentang bagaimana hubungan vertikal maupun horizontal berlangsung sempurna. Akan tetapi, Pancasila juga memberikan ruh bagaimana bangsa ini mampu menumbuhkan rasa cintanya terhadap bangsa dan negara. Era globalisasi yang terus menggerus berbagai sisi kehidupan, paling tidak dapat diperhambat (diperluntur) sisi negatifnya dengan menjadikan Pancasila sebagai perisai.

DAFTAR PUSTAKA http://id.shvoong.com/social-sciences/1804913-nasionalisme-pancasila-dan-islam-sebagai/ (diakses Minggu, 26 Juni 2011 pukul 22.30 WIB) http://www.antaranews.com/berita/1275311518/pakar-pancasila-dan-nasionalisme-harussejalan (diakses Minggu, 26 Juni 2011 pukul 22.30 WIB) http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi (diakses Kamis, 23 Juni 2011 pukul 14.00 WIB) http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi#Ciri_globalisasi (diakses Kamis, 23 Juni 2011 pukul 14.00 WIB)

http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/11/06/01/lm3a64-pancasila-diabaikanmasyarakat-makin-individualistis-dan-kapitalis (diakses Minggu, 26 Juni 2011 pukul 22.30 WIB) DR. A. A. Banyu Perwita dan DR. Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 136. Scholte, Jan Aart. Globalization: A Critical Introduction. 2005. Macmillan Press Ltd. Patricia M. Goff, Invisible Borders: Economic Liberalization and National Identity, (Oxford: Blackwell Publishers, 2000), hlm. 544. Amartya Sen, Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas, (Tanggerang: Marjin Kiri, 2006), hlm. 23-24.