pengaruh frekuensi pemberian senyawa 7,12 …

75
PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 DIMETHYLBENZ (α) ANTHRACENE (DMBA) TERHADAP PEMBENTUKAN TUMOR KULIT MENCIT ALBINO SETELAH PAPARAN 12-O- TETRADECANOYLPHORBOL-13-ACETATE (TPA) CHAERIL ANWAR KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU PROGRAM STUDI BIOMEDIKPROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

Upload: others

Post on 26-Oct-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 DIMETHYLBENZ (α) ANTHRACENE (DMBA) TERHADAP

PEMBENTUKAN TUMOR KULIT MENCIT ALBINO SETELAH PAPARAN

12-O- TETRADECANOYLPHORBOL-13-ACETATE (TPA)

CHAERIL ANWAR

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU PROGRAM STUDI BIOMEDIKPROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2013

Page 2: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12-DIMETHYLBENZ (α) ANTHRACENE(DMBA)TERHADAP

PEMBENTUKAN TUMOR KULIT MENCIT ALBINO SETELAH PAPARAN

12-O-TETRADECANOYLPHORBOL-13-ACETATE(TPA)

TESIS

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Derajat Magister

Program Studi Biomedik

Disusun dan Diajukan Oleh

Chaeril Anwar

Kepada

KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU

PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

Page 3: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …
Page 4: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Chaeril Anwar

No. Stambuk : P1507208150

Program studi : Biomedik/ PPDS Terpadu (Combined degree)

FK. UNHAS

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini

benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian

hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis

ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan

tersebut.

Makassar, Juli 2013

Yang menyatakan

Chaeril Anwar

Page 5: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

PRAKATA

Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan

karunia-Nya seningga saya dapat menyelesaikan tesis ini. Saya ingin

niengucapkan terima kasih tepada berbagai pihak yang telah berperan sehingga

saya dapat menempuh Pendidikan Dokter Spesialis I sampai tersusunnya tesis ini.

Kepada Direktur Pasca sarjana Universitas Hasanuddin, Dekan Fakulyas

Kedokteran universitas Hasanuddin dan ketua program Pendidikan Dokter

Spesialis I Fakultas kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar, terima kasih

atas izin dan f^esempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti dan

menyelesaikan pendidikan dokter Spesialis di bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan

Kelamin Fakultas Kedokteran L niversitas hasanuddin.

Terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan kepada dr. Alwi

Mappiasse, Sp.KK, Ph.D, FINSDV selaku ketua bagian IKKK FK UNHAS dan

kepada Dr.dr. Khairuddin Djawad, Sp.KK(K), selaku ketua program studi IKKK

FK UNHAS sekaligus sebagai pembimbing I tesis saya, atas segala perhatian dan

bimbingan selama penddikan dan penyusunan tesis ini. Kepada Dr. dr. Anis

Irawan Anwar, Sp.KK(K) selaku ketua IKKK FK UNHAS periode 2008-2011

dan pembimbing II tesis saya, terima kasih atas bimbingan dan arahannya

sehingga saya bisa menjadi bagian dalam keluarga besar IKKK dan dapat

menyelesaikan tesis ini. Terima kasih atas para penguji saya : Prof. Dr. Gemini

Alam, Msi, Apt, dr. Machmud Ghaznawie, Sp.PA(K), Ph.D, Dr. dr. Arifin

Seweng, MPH yang telah berbagi ilmu dan membimbing saya sehingga tesis ini

menjadi lebih baik lagi.

Kepada Dr. dr. Farida tabri, Sp.KK(K), selaku KPS periode 2008-2011

dan Prof. Dr. Muh.Dali Amiruddin, dr. Sp.KK(K), FINSDV, terima kasih atas

kesempatan ilmu yang telah diberikan. Seluruh Staf pengajar bagian IKKK FK.

UNHAS, terima kasih atas segala bimbingan, ilmu dan kesabaran sehingga aya

dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan lancar, semoga ilmu yang telah

diberikan dapat menjadi bekal dalam menghadapi era globalisasi mendatang.

Kepada seluruh teman-teman peserta Program Pendidikan Dokter

Spesialis I IKKK FK UNHAS, khususnya angkatan Mi 2008, dan angkatan

Januari 2008, juga teman-teman saya yang banyak membantu; dr. Martha, dr. A.

Anwar Sp.KK, M.Kes, dr. Zakiani Sakka, Sp.KK, M.Kes, dr, Ninda Sari, Sp.KK,

M.Kes, dr. Astrid, Sp.KK, M.Kes, dr. Arif, dr. Henky, dr. Hermanda, Sp.KK, dr.

Sugiyanto, Sp.KK, M.Kes, dr. Ahmad Haykal, dan sahabat-sahabat yang lain

terima kasih atas segala bantuan, semangat dan pengertiannya selama menjalani

pendidikan semoga silaturahmi tetap terjaga sampai kapanpun. Terima kasih juga

saya sampaikan kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu dalam

pendidikan saya; seluruh staf admmistrasi(Olcha. Rauf, Aldri, Ebit) dan

paramedis d Rumah Sakit dr. Wahidin Sudirohusodo beserta jejaringnya.

Terima kasih dan sembah sujud kepada ibunda tercinta almarhumah Hj.

Farid: Burhan yang teiah melahirkan dan raembesarkan saya, semoga

almarhumah mendapatkar tempat yang layak disisi Allah SWT, kepada ayah saya

H. Anwar Usman yang telal mendukung secara moril dan material serta doanya.

Kepada mertua yang saya hormati bapak H. Yudin dan Hj, Aisyah terima kasiah

atas dukungan dan doanya. Saya yakir akan sulit bagi saya untuk untuk dapat

Page 6: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

membalas semua pengorbanan yang telah diberikan kepada saya kecuali doa saya

agar mereka selalu dilimpahkan kesehatan dar kebahagiaan dunia dan akhirat.

Saudara-saudara ku; Farid Anwar, Emrny Fitriani Anwar Afdal Anwar, Rosihan

Anwar, terima kasih atas dukungannya selama ini. Terima kasih ;uga kepada

Pemda Provinsi Tingkat I Papua yang telah memberikan kesempatan untu!

melanjutkan Program Pendidikan Dokter Spesialis, Kepada istri saya Sukmawati,

SE MM terima kasih atas dukungan, pengertian dan kesabaran sehingga

saya bis; menyelesaikan pendidikan, Terima kasih dan peluk eium buat anak-

anakku, Nikeisha Hanifa Zahra dan M. Syafieq Muttaqin yang menjadi

penyemangat agar saya segera menyelesaikan pendidikan.

Semoga Allah SWT selalu melimpahkan berkah dan karunia-Nya bagi

kita semua.

Makassar, Juli 2013

Chaeril Anwar

Page 7: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …
Page 8: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …
Page 9: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

DAFTAR ISI Halaman

ABSTRAK…………………………………………………………… i

ABSTRACT…………………………………………………………. ii

DAFTAR ISI………………………………………………………… iii

DAFTAR TABEL…………………………………………………… v

DAFTAR GAMBAR.................................................................... vi

DAFTAR SINGKATAN……………………………………………. vii

BAB I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang ................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................. 4

C. Tujuan Penelitian ............................................................... 5

D. Manfaat Penelitian ............................................................. 7

E. Hipotesis Penelitian ………………………………………. 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ……………..…..........……………… 8

A. Tumourigenesis Kulit .......................................................... 8

B. Karsinogenesis ................................................................... 10

C. Siklus Sel ............................................................................ 15

D. 7,12-Dimethylbenz (a) Antrasena (DMBA) ......................... 17

E. 12-O-Tetradecanoylphorbol-13-Asetat (TPA) ..................... 19

F. Gambaran Histopatologi Kanker Kulit ................................. 20

G. Kerangka Teori ................................................................... 22

H. Kerangka Konsep ………………………………… ............... 23

BAB III. METODE PENELITIAN ................................................... 24

A. Desain Penelitian ............................................................... 24

B. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................ 25

C. Populasi Penelitian ............................................................ 25

D. Sampel Penelitian .............................................................. 26

E. Perkiraan Besar Sampel .................................................... 26

F. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ................................................ 27

G. Izin Penelitian ..................................................................... 28

Page 10: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

H. Cara Penelitian ................................................................... 28

I. Skema Alur Penelitian ........................................................ 32

J. Identifikasi Variabel ............................................................. 33

K. Definisi Operasional ............................................................ 33

L. Pengolahan dan Analisis Data............................................. 35

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN....................... 36

A. Hasil Penelitian........................................................... 36

B. Pembahasan............................................................. 48

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN............................................. 54

A. Kesimpulan................................................................. 54

B. Saran.......................................................................... 55

DAFTAR PUSTAKA ........................................................... ............. 56

LAMPIRAN.................................................................................. 57

Lampiran 1. Tabel Induk Sampel Penelitian......................... 57

Lampiran 2. Rekomendasi Persetujuan Etik........................ 59

Page 11: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Sebaran Inflamasi menurut Kelompok………………………………… 37

2. Sebaran ulkus menurut kelompok..................................................... 38

3. sebaran displasian ringan menurut kelompok................................... 40

4. Sebaran displasia sedang menurut kelompok................................... 41

5. Sebaran dispalsia berat menurut kelompok...................................... 43

6. Sebaran karsinoma sel skuamosa menurut kelompok....................... 45

7. Gambaran Histopatologi Berdasarkan Frekuensi Pemberian DMBA / TPA . 47

Page 12: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. 7,12-Dimethylbenz [α] anthracene (DMBA)…………………… 18

2. Kerangka teori…………………………………………………… 22

3. Kerangka konsep………………………………………………… 23

4. Skema alur penelitian……………………………………………. 32

5. Gambaran histopatologi inflamasi……………………………… 38

6. Gambaran histopatologi ulkus…………………………………… 39

7. Gambaran histopatologi displasia ringan …………………… 42

8. Gambaran histopatologi displasia berat………………………… 44

9. Gambaran histopatologi karsinoma sel skuamosa…………… 46

Page 13: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang/ singkatan Arti dan keterangan

CAPE Caffeic Acid Phenethyl ester

COX-2 Cyclooxygenase-2

CHK Checkpoint Kinase

Cdk Cyclin dependent kinase

DMBA Dimethylbenz (a) Anthracene

DNA Deoxyribonucleic Acid

dkk dan kawan-kawan

et al. et alii

FK Fakultas Kedokteran

G Guanine

H2O2 Hidrogen Peroksida

HE Hematoksilin Eosin

HMdu 5-hydroxymethyl-2’deoxyuridine

KSS Karsinoma Sel Skuamosa

PAH PoliAromatik Hidrokarbon

PG Prostaglandin

ROS Reactive Oxygen Species

RS Rumah sakit

TPA 12-0- tetradecanoylphorbol-13-acetate

Page 14: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

µl mikro liter

µm mikrometer

ºC derajat celcius

% persen

UV Ultra Violet

Page 15: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tumor kulit dibagi mejadi dua golongan besar yaitu tumor kulit jinak

dan tumor kulit ganas atau biasa disebut kanker kulit. Tumor jinak pada

kulit merupakan manifestasi dari kekacauan pertumbuhan kulit yang

bersifat kongenital atau akuisita, tanpa tendensi invasif dan metastasis,

dapat berasal dari vaskuler dan non vaskuler. Tumor kulit jinak tumbuh

secara ekspansif atau mendesak, tetapi tidak merusak struktur jaringan

sekitarnya yang normal, hal ini dikarenakan tumor jinak memiliki kapsul

yang membatasi antara bagian sel-sel tumor yang abnormal dengan

sel-sel normal. Selanjutnya pada tumor kulit ganas (kanker kulit) yang

tidak berkapsul dapat tumbuh infiltratif atau menyusup serta merusak

jaringan disekitarnya (Hafner, et.al, 2007).

Insiden kanker kulit sebanding dengan insiden keganasan pada

organ lainnya dan mewakili permasalahan kesehatan (Meeran et al.,

2009) American Cancer Society memperkirakan insiden kanker kulit

mencapai 1,5 kali dari seluruh keganasan yang terdiagnosis di Amerika

Serikat, yaitu lebih dari satu juta kasus kanker kulit non-melanoma

(800.000-900.000 kasus karsinoma sel basal dan 200.000-300.000 kasus

karsinoma sel skuamosa) dan lebih dari 62.000 kasus melanoma.

(Dulgosz and Yuspa, 2008).

Page 16: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

Karsinogen dapat meningkatkan resiko kanker dengan mengubah

metabolisme seluler atau merusak DNA langsung di sel yang

mengganggu proses biologis dan menginduksi pembelahan yang tidak

terkendali, akhirnya mengarah pada pembentukan kanker (Sularsito,

2001)

Karsinogenesis akibat bahan kimia pada kulit tikus telah dipelajari

selama beberapa dekade dan terus berkembang untuk membantu

identifikasi molekul yang penting dan jalur imunologikal yang terlibat

dalam keganasan kulit (Filler, et al., 2007), sehingga kulit terus menjadi

bagian yang penting dalam perkembangan konsep karsinogenesis baik

proses biologi dan molekuler (Mackie and Quinn, 2004). Penelitian

karsinogenesis akibat bahan kimia pada mencit yang dihubungkan

dengan kanker pada manusia, juga diklasifikasikan menjadi inisiasi,

promosi dan karsinogenesis komplit (Dulgosz and Yuspa, 2008).

Genotoksik Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) berkontribusi

pada peningkatan resiko kanker kulit pada manusia dan binatang coba

(Meeran et al., 2009; Nigam and Shukla, 2007). Agen PAH seperti 7,12-

dimethylbenz [α] anthracene (DMBA) sering digunakan untuk mengamati

proses karsinogenesis akibat induksi bahan kimia (Yusuf, et al., 2009).

Aplikasi DMBA di kulit berperan sebagai inisiator yang ditunjukkan oleh

adanya mutasi spesifik pada ongkogen (Mackie and Quinn, 2004),

selanjutnya periode laten formasi tumor setelah aplikasi inisiator

berkurang secara signifikan dengan adanya aplikasi promoter seperti 12-

0-tetradecanoylphorbol-13-acetate (TPA), akibat aplikasi inisiator dan

Page 17: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

promoter akan terbentuk suatu tumor jinak (papilloma), namun

kemungkinan formasi papiloma pada strain tikus tergantung jenis

karsinogen, dosis aplikasi dan jangka waktu pengamatan (Mackie and

Quinn, 2004).

DMBA (7,12-dimethylbenz [α] anthracene), adalah Polycyclic

Aromatic Hydrocarbon yang dipelajari secara luas telah lama dikenal

sebagai penyebab kanker termasuk tumor kulit pada manusia. Telah

ditemukan bahwa DMBA fototoksik pada bakteri serta dalam hewan atau

sel manusia dan fotomutagenik pada galur Salmonella typhimurium.

Iradiasi cahaya mengubah DMBA menjadi beberapa photoproduct

termasuk benz [α] anthracene-7,12-dion, 7-hidroksi-12-keto-7-methylbenz

[a] anthracene, 7,12-epidioxy-7,12-dihidro, 7-hydroxymethyl-12-

methylbenz [α] antrasena dan 12-hydroxymethyl-7-methylbenz [α]

anthracene (Yu, Yan, Jiao, Fu, 2005).

Senyawa 7,12-Dimethylbenz [α] anthracene atau DMBA banyak

digunakan di laboratorium penelitian yang mempelajari kanker. DMBA

berfungsi sebagai inisiator tumor dengan membuat mutasi yang

diperlukan. Promosi tumor dapat diinduksi dengan perlakuan TPA (12-0-

tetradecanoylphorbol-13-acetate) dalam beberapa model two-stage

karsinogenesis. Hal ini memungkinkan adanya tingkat percepatan

pertumbuhan tumor. Oleh karena itu, kedua jenis senyawa tersebut yaitu

DMBA dan TPA perlu dikaji melalui penelitian ini sehingga diharapkan

dapat mengatasi tumor kulit yang semakin berkembang yang terjadi pada

manusia (Miyata, et al, 2001).

Page 18: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

Hasil penelitian yang berhubungan dengan tumor kulit, antara

lain: Aplikasi topikal tunggal dari 7,12-dimethylbenz [α] anthracene

(DMBA) pada mencit MT Null dengan dosis 50 dan 100 µg dan

dilanjutkan satu minggu kemudian dengan TPA dengan dosis 10 µg dua

kali seminggu selama 20 minggu yang menghasilkan hampir semua

mencit berkembang tumor kulit (Suzuki, et al 2003). Pada penelitian lain

digunakan DMBA dosis 1 mg dalam 50 µl aseton dengan interval tiga

hari kemudian dilanjutkan dengan TPA 10 µg diaplikasikan dua kali

seminggu selama 8-32 minggu tumor kulit pada mencit sebesar 34.9%

(Graem, 1986).

Mencit albino yang diteliti di Makassar tidak diketahui strain atau

galurnya sehingga ada kemungkinan perbedaan dosis dan frekuensi

pemberian senyawa DMBA/TPA sebagai inisiator dan promotor

pertumbuhan tumor oleh karena itu diperlukan penelitian untuk

mengetahui dosis dan frekuensi pemberian senyawa 7,12-Dimethylbenz

[α] Anthracene (DMBA) dan 12-0-Tetradecanoylphorbol-13-Acetate

(TPA) terhadap pembentukan tumor kulit mencit albino dengan

menggunakan mencit albino yang selama ini digunakan dalam berbagai

penelitian eksperimental di Makassar.

Page 19: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah

pokok adalah:

Apakah ada pengaruh frekuensi pemberian senyawa 7,12-

Dimethylbenz [α] Anthracene (DMBA) terhadap pembentukan tumor

kulit mencit albino setelah paparan 12-0-Tetradecanoylphorbol-13-

Acetate (TPA)?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian

adalah sebaai berikut:

1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh frekuensi pemberian senyawa 7,12-

Dimethylbenz [α] Anthracene (DMBA) 50 µg terhadap gambaran

histopatologi kulit mencit albino setelah paparan 12-0-

Tetradecanoylphorbol-13-Acetate (TPA) 4 µg

2. Tujuan khusus

a. Membandingkan kejadian inflamasi antara mencit albino yang diberi

paparan aseton (kontrol) dengan mencit albino yang diberi paparan

DMBA dosis 50 µg dengan frekuensi 1 x, 2 x , 3 x dan 4 x

b. Membandingkan kejadian ulkus antara mencit albino yang diberi

paparan aseton (kontrol) dengan mencit albino yang diberi paparan

DMBA dosis 50 µg dengan frekuensi 1 x, 2 x, 3 x dan 4 x.

Page 20: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

c. Membandingkan kejadian derajat displasia antara mencit albino yang

diberi paparan aseton (kontrol) dengan mencit albino yang diberi

paparan DMBA dosis 50 µg dengan frekuensi 1 x, 2 x, 3 x dan 4 x.

d. Membandingkan kejadian karsinoma sel skuamosa antara mencit

albino yang diberi pajanan aseton (kontrol) dengan mencit albino

yang diberi paparan DMBA dosis 50 µg dengan frekuensi 1 x, 2 x, 3 x

dan 4 x paparan.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai

berikut:

1. Memahami mekanisme paparan senyawa DMBA/TPA yang

menyebabkan karsinogenesis kulit.

2. Mengetahui dosis dan frekuensi DMBA/TPA yang paling optimal yang

menyebabkan karsinogenesis kulit

3. Penelitian ini diharapkan sebagai dasar dalam penentuan dosis dan

frekwensi DMBA/TPA terhadap pembentukan tumor kulit pada mencit.

4. Penelitian ini diharapkan dapat sebagai pembanding untuk penelitian

lebih lanjut

Page 21: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

E. Hipotesis Penelitian

1. Ada pengaruh frekuensi pemberian 1 x, 2 x, 3 x , dan 4 x paparan

DMBA dosis 50 µg terhadap kejadian inflamasi pada kulit mencit

albino

2. Ada pengaruh frekuensi 1 x, 2 x, 3 x, dan 4 x paparan DMBA

dosis 50 µg terhadap kejadian ulkus pada kulit mencit albino

3. Ada pengaruh frekuensi pemberian 1 x, 2 x, 3 x, dan 4 x paparan

DMBA dosis 50 µg terhadap kejadian derajat displasia pada kulit

mencit albino

4. Ada pengaruh frekuensi pemberian 1 x, 2 x, 3 x, dan 4 x paparan

DMBA dosis 50 µg terhadap kejadian karsinoma sel skuamosa

pada kulit mencit albino

Page 22: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tumorigenesis Kulit

Tumor merupakan sekelompok sel-sel abnormal yang terbentuk

dari hasil proses pembelahan sel yang berlebihan dan tak terkoordinasi.

Dalam bahasa medisnya, tumor dikenal sebagai neoplasia. Neo berarti

baru sedangkan plasia berarti pertumbuhan/pembelahan, jadi neoplasia

mengacu pada pertumbuhan sel yang baru yang berbeda dari

pertumbuhan sel- sel di sekitarnya yang normal. Sel tubuh secara umum

memiliki dua tugas utama yaitu melaksanakan aktivitas fungsionalnya

serta berkembang biak dengan membelah diri, namun pada sel tumor

yang terjadi adalah hampir semua energi sel digunakan untuk aktivitas

berkembang biak semata. Fungsi perkembangbiakan ini diatur oleh inti

sel (nucleus), akibatnya pada sel tumor dijumpai inti sel yang membesar

karena tuntutan kerja yang meningkat (Frenkel, et al, 1993).

Tumor dibagi mejadi dua golongan besar yaitu tumor jinak (benign)

dan tumor ganas (malignant) atau yang popular dengan sebutan kanker.

Terdapat perbedaan sifat yang nyata diantara dua jenis tumor ini dan

memang membedakannya merupakan tuntutan wajib bagi praktisi medis.

Perbedaan utama di antara keduanya adalah bahwa tumor ganas lebih

berbahaya dan fatal sesuai dengan kata ganas itu sendiri, dalam tahap

Page 23: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

lanjut dapat mengakibatkan kematian. Tumor jinak hanya dapat

menimbulkan kematian secara langsung terkait dengan lokasi tumbuhnya

yang membahayakan misalnya tumor di leher yang dapat menekan

saluran napas. Terdapat beberapa sifat yang membedakan antara tumor

jinak dan ganas (Kimoto et al., 1998).

Kanker memiliki potensi untuk menyerang dan merusak jaringan

yang berdekatan dan menciptakan metastasis. Tumor jinak tidak

menyerang jaringan berdekatan dan tidak menyebarkan benih

(metastasis), tetapi dapat tumbuh secara lokal menjadi besar. Mereka

biasanya tidak muncul kembali setelah pengangkatan melalui operasi

(Teich et al., 1997).

Berdasarkan jaringan awal, tumor dapat dibagi menjadi: 1) Tumor

asal epitelial; 2) Tumor asal mesenkim; 3) Tumor sel darah; dan 4) Tumor

sel germ. Dari keempat jenis tumor tersebut, maka yang menjadi obyek

penelitian adalah tumor kulit atau tumor epitelial, dianggap ganas bila

menembus basal lamina dan dianggap jinak bila tidak menembus basal

lamina.

Tumor kulit disebabkan oleh mutasi dalam sel DNA kulit.

Banyaknya sel yang bermutasi dibutuhkan untuk dapat memunculkan

tumor. Mutasi yang mengaktifkan onkogen atau menekan gen penahan

tumor akhirnya dapat menyebabkan tumor. Sel memiliki mekanisme yang

memperbaiki DNA dan mekanisme lainnya yang menyebabkan sel untuk

menghancurkan dirinya melalui apoptosis bila DNA sudah rusak terlalu

parah. Mutasi yang menahan gen untuk mekanisme ini dapat juga

Page 24: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

menyebabkan kanker. Sebuah mutasi dalam satu onkogen atau satu gen

penahan tumor biasanya tidak cukup menyebabkan terjadinya tumor.

Sebuah kombinasi dari sejumlah mutasi dibutuhkan (Yantiss, et al, 2008).

B. Karsinogenesis

Karsinogenesis adalah suatu proses banyak tahap, baik pada

tingkat fenotipe maupun genotipe. Suatu neoplasma ganas memiliki

beberapa sifat fenotip, misalnya pertumbuhan berlebihan, sifat invasif

lokal, dan kemampuan metastasis jauh. Sifat ini diperoleh secara

bertahap, suatu fenomena yang disebut tumour progression. Pada tingkat

molekular, progresi ini terjadi akibat akumulasi kelainan genetik yang

pada sebagian kasus dipermudah oleh adanya gangguan pada perbaikan

DNA. Perubahan genetik yang mempermudah tumour progression

melibatkan tidak saja gen pengendali tumor, tetapi juga gen yang

mengendalikan angiogenesis, invasif dan metastasis (Kumar et al., 2007).

Kanker berkembang melalui serangkaian proses yang disebut dengan

karsinogenesis. Dari pernyataan tersebut jelaslah bahwa kanker adalah

penyakit yang timbul akibat akumulasi kerusakan-kerusakan tertentu

dalam tubuh manusia.

Karsinogenesis pada dasarnya dibagi menjadi dua tahap utama

yaitu inisiasi dan promosi.

Page 25: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

1. Inisiasi Tumor

Karsinogen lingkungan yang mempunyai implikasi pada

perkembangan beberapa tipe kanker adalah PAH. Enzim sitokrom P450

(CYP) mempunyai peranan penting perubahan PAH menjadi karsinogen

yang berpotensi tinggi. Stres fisiologikal melepaskan mediator biokemikal

yang mempengaruhi karsinogenesis. Enzim sitokrom P450 pada hati

berperan pada metabolisme konversi bahan toksik lingkungan, namun

regulasi enzim-enzim ini oleh faktor intrinsik seperti stres fisiologis masih

kurang dipahami (Butel, 2000).

Inisiasi yaitu terjadi pajanan terbatas dengan karsinogen dalam

waktu singkat. Tanpa adanya rangsangan lebih lanjut sel yang telah

terinisiasi ini tidak akan tumbuh menjadi sel tumor, namun perubahan ini

tetap tinggal dalam sel turunannya (progeny) (Sularsito, 2001, Dulgosz

and Yuspa, 2008). Inisiasi tumor oleh karsinogen kimia seperti DMBA

membuat stadium ireversibel yang melibatkan mutasi somatik terutama

pada onkogen Ha-ras (Mun‘im et al, 2006).

Mutasi sel somatik berperan penting pada inisiasi kanker dan

stadium karsinogenesis lainnya. Perubahan ini timbul melalui formasi

mutasi DNA yang telah dianalisis baik in vitro maupun in vivo pada tikus

dan ditentukan bahwa 99% DNA yang diinduksi oleh DMBA didepunasi

oleh satu elektron oksidasi yaitu 12 metil DMBA bereaksi terhadap N-7

dan adenin atau guanin dengan perbandingan 1:4. Formasi DMBA-DNA

mengikat komplek DNA (Nigam and Shukla, 2007), membentuk

carcinogen-DNA adduct yang mempengaruhi pasangan basa normal,

Page 26: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

distorsi double helix DNA dan mempengaruhi replikasi DNA (Sularsito,

2001, Dulgosz and Yuspa, 2006). Jadi inisiator menyebabkan mutasi gen

(Sularsito, 2001). Hasil akhir tumor dapat berupa perkembangan ke

bentuk papiloma benigna atau berkembang menjadi karsinoma sel

skuamosa dan dapat juga timbul tanpa adanya lesi prekusor. Senyawa

7,12-dimethylbenz [α] anthracene (DMBA) adalah PAH yang sangat

karsinogenesis, yang berperan pada inisiasi tumor, meliputi jaringan

mamae, ovarium dan kulit pada tikus (Flint, et al., 2007).

2. Promosi Tumor

Tumor pada kulit dapat diinduksi secara efetif pada tikus dengan

aplikasi berulang zat karsinogen (Roomi et al., 2008). Agen yang

membuat ekspansi klonal dari sel yang terinisiasi disebut sebagai

promotor tumor. Promosi tumor adalah proses non-mutagenik, bersifat

pleimorfik yang membuat pertumbuhan aselektif menjadi sel yang

terinisiasi dan reversibel pada stadium awal. Agen promotor yang

memfasilitasi progresi malignansi pada umumnya bersifat genotoksik

(Dulgosz and Yuspa, 2008, Kumar et al., 2007). Mekanisme promosi

tumor meliputi aktivasi reseptor permukaan sel, aktivasi atau inhibisi

enzim sitosolik dan faktor transkripsi nuklear, stimulasi proliferasi, inhibisi

sel apoptosis dan sitotoksik secara langsung (Dulgosz and Yuspa, 2008).

Beda halnya dengan fase inisiasi fase promosi bersifat reversibel dan

membutuhkan aplikasi berulang untuk mencetuskan tumor kulit (Roomi et

al., 2008).

Page 27: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

Senyawa 12-0-tetradecanoylphorbol-13-acetate (TPA), suatu ester

turbol adalah suatu aktivator kuat Protein Kinase C (PKC), suatu enzim

yang merupakan komponen penting pada jalur transduksi sinyal,

termasuk jalur yang diaktifkan oleh faktor pertumbuhan. Klonal sel yang

terinisiasi, karena dipaksa berproliferasi, mengalami mutasi tambahan

yang akhirnya berkembang menjadi sel yang ganas (Kumar et al, 2007).

Promotor tumor kulit pada pemakaian topikal akan menimbulkan

iritasi, inflamasi dan hiperplasai. Promotor mengubah lingkungan jaringan

sedemikian rupa sehingga sel yang telah terinisiasi tumbuh dengan cepat

(Sularsito, 2001)

Satu kali terjadi proses mutasi DNA sebenarnya belumlah cukup

untuk menimbulkan kanker. Masih dibutuhkan ribuan mutasi lagi yang

letaknya pada gen tidak sama. Apabila mutasi DNA yang banyak itu telah

terjadi, mulailah sel berubah sifat perlahan-lahan. Sel yang termutasi

tersebut mulai membelah diri (proliferasi) dan membentuk grup tertentu

(klonal) di lokasi tertentu dalam tubuh. Sel tersebut akan membesar dan

merusak jaringan sehat. Tahap dimana sel kanker membentuk klonal

inilah yang dinamakan tahap promosi kanker. (Sularsito, 2001)

DNA merupakan target utama karsinogenesis genotoksik. Interaksi

DNA tidak random dan setiap kelas agen bereaksi secara selektif dengan

target pada purin dan pirimidin. Karsinogen genotoksik adalah mutagen

poten, seringkali menyebabkan kegagalan pasangan, delesi kecil,

sehingga terjadi mutasi missense atau nonsense. Mutasi yang terjadi

Page 28: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

pada semua kasus tumor memperlihatkan kombinasi efek perubahan

mutagenik dan produk protein dan efek perubahan fungsional dari host.

Penggunaan kimia menginduksi tumor pada tikus secara genetik dengan

cara delesi alei H-ras. (Dulgosz and Yuspa, 2008).

Penelitian karsinogenesis akibat bahan kimia pada kulit mencit

telah menunjukkan stadium perubahan epitelial pada keganasan yang

terdiri dan inisiasi, promosi dan progresi malignansi. Berdasarkan hal

tersebut, bahan kimia terkait kanker pada manusia diklasifikasikan

menjadi inisiator tumor, promotor tumor atau karsinogen komplit.

Diketahui dari 200 bahan kimia berperan dalam perkembangan kanker

pada manusia. Karsinogen kimia yang paling sering dikaitkan sebagai

penginduksi kanker kulit manusia meliputi PAH dan arsenik (Dulgosz and

Yuspa, 2008). Bahan-bahan tersebut merusak susunan DNA normal dan

mematikan mekanisme perbaikan DNA. Sebenarnya DNA bukanlah

substansi yang lemah, tetapi dilengkapi dengan mekanisme-mekanisme

tertentu yang mampu menetralisasi gangguan-gangguan yang terjadi

sehingga tidak membawa efek negatif. Mekanisme yang dimiliki DNA

tersebut adalah mekanisme DNA repair (perbaikan DNA) yang terjadi

pada fase tertentu dalam siklus sel (Dulgosz and Yuspa, 2008).

Karsinogenesis kulit pada model mencit memerlukan suatu agen

mutagenik diikuti oleh aplikasi berulang suatu agen yang menginduksi

ekspansi klonal (promosi) dan sel-sel yang telah mengalami mutasi untuk

membentuk suatu tumor (Ridd et al, 2006). Namun, insiden terjadinya

Page 29: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

tumor kulit berbeda tergantung dan strain tikus yang telah diberi satu kali

paparan DMBA dosis tertentu kemudian diikuti paparan berulang TPA

dosis rendah maka persentase timbulnya papilloma 100% dan 53% pada

tikus strain SENCAR dan CD 1 (sensitif TPA), 25% pada tikus FVB/N dan

17% pada tikus BAIB/c. Sedangkan aplikasi berulang dengan DMBA

dosis rendah atau DMBA dosis tinggi ditambah peningkatan dosis TPA,

akan memperbesar kemungkinan suatu papilloma menjadi karsinoma

(Gibbs, 2000).

Berbagai karsinogen juga menyebabkan terbentuknya Reactive

Oxygen Species (ROS) selama proses metabolismenya. Kerusakan

oksidatif terhadap DNA seluler mengakibatkan mutasi dan sangat

berpengaruh dalam inisiasi dan progresi tahapan karsinogenesis. ROS

mempengaruhi proses seluler seperti proliferasi dan apoptosis yang

sangat berpengaruh pada perkembangan kanker (Salvadori, et al., 2006).

C. Siklus Sel

Pembelahan sel yang menjadi tahap awal suatu proses proliferasi

memiliki sistem kontrol yang disebut sebagai siklus sel. Proses ini terdiri

dari fase M (mitosis) diikuti oleh fase G1 (pasca-mitosis), fase S (sintesis

DNA) dan fase G2 (pertumbuhan premitotik). Beberapa sel berada dalam

fase GO (istirahat) tetapi sel tersebut akan memasuki kembali siklus sel

dan berproliferasi lanjut (Mitchell and Cotran, 2007).

Page 30: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

Fase S memerlukan waktu sekitar 10 – 12 jam dan jumlah

kromosom menjadi dua kali lebih banyak. Sel yang berhenti (istirahat)

pada fase siklus sel tertentu disebut sebagai cell cycle check points.

Sebelum memasuki fase S maka Cyclin dependent kinase (Cdk) harus

berkaitan dengan siklin fase S. Apabila terjadi inhibisi ikatan siklin dengan

Cdk (Cyclin-Cdk inhibitors) pada fase G1 sebelum memasuki fase S,

maka restriction point kehilangan fungsinya untuk mengontrol kelainan

DNA sebelum mengalami replikasi (Ponten and Lundeberg 2003,

Kraemer and Runger, 2008).

Pada fase G1 (Gap 1) terdapat check point yaitu suatu tempat

dimana susunan DNA akan dikoreksi dengan seteliti-telitinya. Apabila ada

kesalahan, sel mempunyai dua pilihan yang dapat dijalankan. Pertama,

kesalahan tersebut diperbaiki dengan cara mengaktifkan DNA repair.

Namun, apabila kesalahan yang ada sudah tidak mampu ditanggulangi,

sel memutuskan untuk mengambil pilihan kedua yaitu dimatikan daripada

hidup membawa pengaruh buruk bagi lingkungan sekelilingnya. Saat

itulah keputusan untuk berapoptosis diambil. Sel dengan DNA normal

akan meneruskan perjalanan untuk melengkapi siklus yang tersisa yaitu:

S (Sintesis), G2 (Gap 2) dan M (Mitosis) (Mitchell and Cotran, 2007).

Kerusakan DNA yang tidak diperbaiki secara adekuat akan

menyebabkan perubahan fungsi sel, kematian sel, atau formasi mutasi

(perubahan DNA sequence) pada sel-sel yang rusak. Mutasi akibat

kerusakan DNA akan bertahan selama sel yang terkena masih ada.

Page 31: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

Mutasi pada gen-gen yang penting menyebabkan perubahan fungsi sel

atau transformasi malignansi (Kraemer and Runger, 2008).

Apoptosis ialah proses kematian sel yang terprogram atau proses

perusakan yang terkontrol terhadap diri sel itu sendiri yang mana proses

tersebut melibatkan sinyal selular yang khusus atau spesifik. Apoptosis

memiliki peran yang sangat penting dalam embriogenesis, penggantian

jaringan yang rusak, perkembangan sistem imun, dan perlindungan

melawan perkembangan tumor (tumorigenesis). Keseimbangan antara

kematian sel apoptosis dan pertumbuhan sel menentukan tingkat

pertumbuhan atau penurunan populasi sel (McGrath et al., 2004, Mitchell

and Cotran, 2007).

D. 7,12-Dimethylbenz [α] Anthracene (DMBA)

Senyawa 7,12-dimethyilbenz [α] antracene (DMBA) adalah zat

kimia yang termasuk dalam Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) yang

dikenal bersifat mutagenik, teratogenik, karsinogenik, sitotoksik, dan

immunosupresif. Menurut Division of Occupational Health and Safety

National Institutes of Health, DMBA yang mempunyai 4 cincin benzene

termasuk dalam tujuh PHA yang dapat menyebabkan kanker pada

manusia. Secara alami DMBA dapat ditemukan di alam sebagai hasil dari

proses pembakaran yang tidak sempurna, seperti dalam asap tembakau,

asap pembakaran kayu, asap pembakaran gas, bensin, minyak, batubara

atau daging. (Lukitaningsih dan Noegrohati, 2000).

Page 32: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

Senyawa 7,12-dimethylbenz [α] anthracene merupakan penekan

kekebalan tubuh dan organ-spesifik karsinogen laboratorium kuat. Juga

dikenal sebagai 7,12-dimethylbenz [α] anthracene atau DMBA, zat ini

banyak digunakan di laboratorium penelitian banyak mempelajari kanker.

DMBA berfungsi sebagai inisiator tumor dengan membuat mutasi

diperlukan. Promosi tumor dapat diinduksi dengan perlakuan TPA

(12-0-tetradecanoylphorbol-13-acetate) dalam two- stage karsinogenesis.

Hal ini memungkinkan untuk tingkat percepatan pertumbuhan tumor,

sehingga studi mengenai kanker banyak dilakukan (Muqbil et al, 2006).

7,12-Dimethylbenz(a)anthracene 7,12-dimethylbenzo[b]phenanthrene

Gambar 1. 7,12-Dimethylbenz [α] anthracene (DMBA)

7,12-dimetilbenz [α] anthracene juga dilaporkan sebagai

karsinogen poten pada hewan coba, dengan target utama pada kulit dan

glandula mammae (Mun‘im et al., 2006). Dosis tinggi DMBA yang

diberikan secara kronik pada hewan coba dapat menyebabkan nekrosis

pada adrenal (Haschek dan Rousseaux, 1991).

Page 33: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

Selama ini DMBA telah dibuktikan mampu mengiduksi kanker

glandula mamae pada hewan coba, dengan pemberian secara oral dan

diberikan untuk kurun waktu tertentu (Singletary 1997). Pada tikus, DMBA

muncul secara selektif dan tidak ditemukan pada sel parenkim glandula

mammae. Metabolit aktif dari DMBA akan berikatan dengan DNA epitel

glandula mammae (DNA adduct), selanjutnya ikatan dengan DNA akan

turun hingga 50% 16 jam pasca paparan dengan DMBA. Namun

demikian, apabila paparan DMBA dilakukan terus menerus selama 42

hari, maka akan terjadi ikatan yang menetap antara metabolit aktif DMBA

dan DNA yang akan memicu munculnya kanker (Muto, 2003).

E. 12-0-Tetradecanoylphorbol-13-Acetate (TPA)

Senyawa 12-0-tetradecanoylphorbol-13-acetate (TPA) adalah

suatu aktivator kuat Protein Kinase C (PKC) suatu enzim yang merupakan

komponen penting pada jalur transduksi sinyal, termasuk jalur yang

diaktifkan oleh faktor pertumbuhan. Klonal sel yang terinisiasi, karena

dipaksa berpolimerasi, mengalami mutasi tambahan yang akhirnya

berkembang menjadi sel yang ganas (Kumar et al, 2007).

Senyawa 12-0-tetradecanoylphorbol-13-acetate (TPA) adalah agen

promosi tumor yang memfasilitasi progresi malignasi pada umumnya

bersifat genotoksin. Agen promosi tumor ini bersifat reversible sehingga

dibutuhkan pajanan berulang. Promosi tumor dapat diinduksi dengan

perlakuan TPA (12-0-tetradecanoylphorbol-13-acetate) dalam beberapa

model two- stage karsinogenesis. Hal ini memungkinkan adanya tingkat

Page 34: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

percepatan pertumbuhan tumor. Promosi tumor kulit pada pemakaian

topikal akan menimbulkan iritasi, inflamasi dan hiperplasi. Promotor

mengubah lingkungan jaringan sedemikian rupa sehingga sel yang telah

terinisiasi tumbuh dengan cepat (Sularsito, 2001).

Senyawa TPA digunakan sebagai agen promosi yang dilakukan

secara berulang. Aplikasi topikal dari caffeic acid phenethyl ester (CAPE),

salah satu kandungan propolis dari sarang lebah, kepada CD-1 tikus yang

sebelumnya diinisiasi dengan 7,12-dimethylbenz [α] anthracene (DMBA).

DMBA menghambat promosi tumor yang diinduksi 12-0-

tetradecanoylphorbol-13-acetate (TPA) dan pembentukan 5-

hydroxymethyl-2’-deoxyuridine (HMdU) dalam DNA epidermal. Hasil

perlakuan menunjukkan efek penghambatan potensial dari CAPE pada

perangsangan tumor yang terinduksi oleh TPA dan pembentukan HMdU

yang terinduksi oleh TPA dalam DNA dari kulit tikus uji sama dengan efek

penghambatan dari CAPE pada síntesis DNA, RNA dan protein dalam

kultur sel-sel HeLa (Huang et al., 1996).

F. Gambaran Histopatologi Kanker Kulit

Lesi kulit meliputi proliferasi papilar baik papiloma dan

keratoakantoma yang dihubungkan dengan berbagai variasi dari

hiperplasia epidermis dan penebalan dermal serta fibrosis serta infiltrasi

sel inflamasi ringan sampai sedang (Roomi et al., 2008).

Perubahan histopatologi dapat berupa perubahan displasia pada

epidermis, agregasi nukelar dan variasi bentuk dan ukuran nukleus serta

Page 35: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

hiperplasia paraneoplastik dari folikel rambut tanpa diferensiasi

trichohialin. Transformasi malignansi meliputi perubahan epidermis

menjadi trikofolikuloma, trikofolikulo karsinoma, karsinoma sel skuamosa

dan karsinoma sel basal, kelenjar sebasea menjadi adenokarsinoma

sebasea, sel adiposa menjadi liposarkoma, otot menjadi

rhabdomiosarkoma dan nodus limfe subkutaneous menjadi prolimfotik

limfosarkoma (El-Sherry et al., 2007).

Broders membagi histopatologis KSS menjadi:(Grossman and

Leffel, 2008, McKee et al., 2005)

Stadium I : ≥ 75% sel berdiferensiasi

Stadium II: ≥ 50% sel berdiferensiasi

Stadium III: 25-50% sel berdiferensiasi

Stadium IV: < 25% sel yang berdiferensiasi

Sangat penting untuk diingat bahwa tumor juga diklasifikasikan

menurut diferensiasi sel. Berdasarkan diferensiasi terbagi menjadi 3

stadium yaitu:(McKee et al., 2005, Kirkham, 2005)

Well differentiated (low grade tumor): epitel skuamosa gampang

dikenali, adanya sel-sel keratinisasi. Jembatan interseluler masih

terlihat, tumor memperlihatkan sedikit pleimorfisme dan sedikit yang

mengalami mitosis pada bagian basal. Keratinisasi sering berbentuk

horn pearl, yang merupakan struktur karakteristik terdiri dari lapisan

sel skuamosa yang tersusun secara konsentris dengan keratinisasi ke

arah sentral.

Page 36: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

Moderate differentiated (moderate grade tumor): epitel skuamosa tidak

terlalu jelas, formasi keratinisasi lebih sedikit, formasi horn pearl

minimal. Pleomorfisme nukleus dan sitoplasma lebih terlihat dan sel

mitotik (termasuk bentuk sel-sel abnormal) lebih sering terlihat.

Poorly differentiated (high grade tumor): sel atipik, hilangnya jembatan

intraseluler, minimal atau tidak adanya keratinisasi.

Page 37: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

G. Kerangka teori

Gambar 2. Kerangka teori

Page 38: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

H. Kerangka Konsep

Variabel bebas

Variabel kontrol

Variabel antara

Variabel tergantung

Gambar 3. Kerangka konsep

Proses

terjadinya

karsiogenesis

Inisiasi tumor

Promosi

tumor

Gambaran

histopatologi

-Inflamasi

-Ulkus

-Displasia

-KSS

Host

Umur

Genetik

Makanan

Suhu

kandang

DMBA/TPA

Page 39: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian animal experimental dengan

rancangan eksperimental murni untuk mengetahui pengaruh variasi

paparan dosis dan frekuensi 7,12-Dimethylbenz [α] Anthracene (DMBA)

dan 12-0-Tetradecanoylphorbol-13-Acetate (TPA) terhadap tumor kulit

mencit. Unit penelitian ini adalah kulit telinga mencit yang dieksisi dan

dibagi dalam 5 kelompok perlakuan.

Setelah diisolasi selama seminggu, bagian area kulit telinga dari

mencit betina yang berusia 6 – 8 minggu kemudian dibagi menjadi 5

kelompok, yaitu:1) Kelompok pertama mencit diberikan paparan aseton

setiap hari selama 10 minggu perlakuan, 2) Kelompok kedua diberikan

paparan 1 x DMBA 50 g yang dilarutkan dalam 2 ml aseton dalam 24

jam pertama pada minggu pertama dan dilanjutkan TPA 4 g yang

dilarutkan dalam 2 ml aseton diberikan 3 x paparan setiap minggu dimulai

pada minggu kedua selama 10 minggu; 3) Kelompok ketiga diberikan

paparan 2 x DMBA 50 g yang dilarutkan dalam 2 ml aseton setiap 24

jam pada minggu pertama dan dilanjutkan TPA 4 g yang dilarutkan

dalam 2 ml aseton dalam diberikan 3 x paparan setiap minggu dimulai

pada minggu kedua selama 10 minggu; 4) Kelompok keempat diberikan

paparan 3 x DMBA 50 g yang dilarutkan dalam 2 ml aseton setiap 24

Page 40: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

jam pada minggu pertama dan dilanjutkan TPA 4 g yang dilarutkan

dalam 2 ml aseton diberikan 3 x paparan setiap minggu dimulai pada

minggu kedua selama 10 minggu; 5) kelompok kelima diberikan paparan

4 x DMBA 50 µg yang dilarutkan dalam 2 ml aseton setiap 24 jam pada

minggu pertama dan dilanjutkan satu minggu kemudian TPA 4 µg

diberikan 3 x paparan dimulai pada minggu kedua setiap minggu selama

10 minggu.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Animal Skill lababoratory FK UNHAS dan

Unit Penelitian FK UNHAS Makassar sebagai tempat pemeriksaan

histopatologi. Penelitian ini dilaksanakan mulai Juli 2012 sampai

penelitian ini selesai dilaksanakan.

C. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah mencit betina berusia 6 – 8

minggu dengan berat rata-rata 25 – 30 gram, yang diperoleh dari

Laboratorium Vetennary Balitbang Maros. Mencit dipertahankan selama

seminggu pada kondisi standar (suhu 28 ± 2C), kelembaban 50 ± 10C

dan lampu ruangan dengan siklus 12 jam menyala dan 12 jam

dipadamkan.

Page 41: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

D. Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini memenuhi kriteria inklusi. Sampel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah mencit betina berusia 6 – 8 minggu

yang telah dirandomisasi menjadi 5 kelompok

E. Perkiraan Besar Sampel

Sampel adalah mencit betina strain Albino yang memenuhi kriteria

penelitian. Penentuan besar sampel berdasarkan pada rumus dibawah

ini:

n = Z2.P(1-P)

d2

Keterangan:

Z= Standar deviasi normal

P= Proporsi kejadian variable yang diteliti

d= Tingkat ketelitian

Sesuai dengan prinsip reduksi jumlah sampel pada hewan coba

yang disarankan oleh komisi etik penelitian, didapatkan jumlah sampel

minimal pada penelitian hewan coba yaitu 5 ekor untuk masing-masing

perlakuan. Sampel pada penelitian ini disediakan 50 sampel yang

diusahakan homogen dan dari 50 sampel tersebut dipilih secara

randomisasi sejumlah 25 sampel untuk memenuhi ketentuan jumlah

sampel.

Page 42: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

Berdasarkan tabel uji Anova Kruskal-Wallis, jumlah sampel

terbesar untuk tiap-tiap kelompok perlakuan adalah 5 ekor mencit.

Penelitian ini menggunakan 5 kelompok perlakuan, sehingga total sampel

yang digunakan adalah 25 ekor mencit betina. Besar sampel ini sesuai

dengan kriteria WHO (1993) yaitu minimal menggunakan 5 ekor tikus tiap

1 kelompok perlakuan. Sesuai rumus Federer juga didapatkan minimal 5

ekor tikus untuk setiap kelompok perlakuan.

Rumus Federer: (n-1) (t-1) > 15

Keterangan: n= Jumlah sampel tiap kelompok perlakuan

t= Jumlah kelompok perlakuan

(n-1) (5-1) ≥ 15

(n-1) 4 ≥ 15

n ≥ 5

F. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 1. Kriteria inklusi subjek penelitian

a. Mencit betina

b. Umur 6 – 8 minggu

c. Berat 25 – 30 gram

d. Sehat

2. Kriteria eksklusi subjek penelitian

a. Mencit yang sakit selama dalam penelitian

b. Mencit yang mati selama dalam penelitian

c. Secara makroskopik tampak adanya abnormalitas

Page 43: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

G. Izin Penelitian

Rekomendasi izin serta persetujuan kelayakan etik penelitian dari

Komisi Etik Penelitian Biomedis pada Hewan Coba Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin dilakukan dalam penelitian ini.

H. Cara Penelitian

1. Alokasi Subjek

a. Subjek penelitian adalah mencit-mencit betina yang memenuhi

syarat penelitian (kriteria inklusi)

b. Subjek penelitian dibagi menjadi 5 kelompok

1) Kelompok pertama diberikan satu kali paparan aseton setiap hari

perlakuan (kontrol) selama 10 minggu

2) Kelompok kedua diberikan satu kali paparan DMBA 50 g yang

dilarutkan dalam 2 ml aseton pada 24 jam pertama di minggu

pertama dan selanjutnya diberikan tiga kali seminggu paparan

TPA 4 g yang dilarutkan dalam 2 ml aseton dimulai minggu

kedua selama 10 minggu

3) Kelompok ketiga diberikan dua kali paparan DMBA 50 g yang

dilarutkan dalam 2 ml aseton setiap 24 jam dan selanjutnya

diberikan paparan TPA 4 g yang dilarutkan dalam 2 ml aseton

tiga kali seminggu dimulai minggu kedua selama 10 minggu

Page 44: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

4) Kelompok keempat diberikan tiga kali paparan DMBA 50 g yang

dilarutkan dalam 2 ml aseton setiap 24 jam pada minggu pertama

dan selanjutnya diberikan paparan TPA 4 g yang dilarutkan

dalam 2 ml aseton tiga kali seminggu dimulai minggu kedua

selama 10 minggu

5) Kelompok kelima diberikan empat kali paparan DMBA 50 µg

yang dilarutkan dalam 2 ml aseton setiap 24 jam pada minggu

pertama dan selanjutnya diberikan paparan TPA 4 µg yang

dilarutkan dalam 2 ml aseton tiga kali seminggu dimulai minggu

kedua selama 10 minggu

c. Setelah 10 minggu seluruh mencit diterminasi dengan

menggunakan eter dan diambil seluruh jaringan kulit telinga

mencit yang diberi perlakuan dan disimpan dalam formalin buffer

10%.

2. Cara kerja (paparan DMBA dan TPA pada mencit)

1) Setiap mencit yang telah memenuhi syarat penelitian (kriteria

inklusi) diambil foto untuk data awal dan selama penelitian

berlangsung.

2) Setelah adaptasi selama 1 minggu, 25 mencit dibagi 5 kelompok

sesuai perlakuan masing-masing.

3) Perlakuan dilakukan selama 10 minggu, dan pada minggu

keduabelas semua mencit dilakukan biopsi pada kulit telinga yang

dilakukan perlakuan.

Page 45: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

3. Pemeriksaan Histopatologi

Sediaan histopatologis diperoleh dari jaringan kulit telinga mencit

yang dibiopsi menggunakan gunting tajam. Setiap spesimen difiksasi

dengan buffer formalin. Potongan kemudian diletakkan pada tempat yang

rata dan di tengahnya dipotong menjadi 2 bagian. Pembuatan slide

diambil dari potongan jaringan di tengahnya yang dipotong tegak lurus

dengan ketebalan 4 µM kemudian dilakukan pewarnaan Hematoksilin

Eosin. Tiap bagian yang dipotong kemudian dideparafinasi dengan xylene

dan dibagi skala dengan serial alkohol ke air kemudian diwarnai dengan

Hematoksilin Eosin untuk evaluasi standar dengan mikroskop olympus

CV.

a) Prosedur Pengambilan Sediaan Biopsi Kulit untuk Pemeriksaan

Histopatologis

1) Cuci tangan dan keringkan, pasang masker dan sarung tangan

steril.

2) Matikan mencit dengan cara menggunakan eter.

3) Tandai daerah lesi kulit yang aktif dengan marker

4) Lakukan pengguntingan jaringan telinga mencit kemudian

dimasukkan ke dalam larutan fiksasi buffer formalin 10% yang

telah diberi tanggal pengambilan.

5) Hasil biopsi ini lalu disimpan dalam blok parafin (wax) untuk

kemudian dilakukan pemotongan (cutting) dengan mikrotom

ketebalan 4 µM sesuai kebutuhan untuk memperoleh sayatan yang

sangat halus dan rapi.

b) Bahan Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) (Modifikasi Harri’s)

1) Asam alkohol 1%

2) Saturated Lithium Carbonate

3) Ammonia water

Page 46: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

4) Eosin-Phloxine Solution

5) Komposisi HE (Modifikasi Harri’s) :

Hematoksilin …………………………………………5 gram

Alkohol, 100% etil ……………………………………50 ml

Potassium/ammonium, alum ……………………….100 gr

Aqua destilata ………………………………………..1000 ml

Mercuric oxide, red ………………………………….2,5 gr

c) Prosedur Pewarnaan Hematoksilin Eosin (Modifikasi Harri’s)

1) Deparafinisasi dan hidrasi pada aqua destilata. Dezenkerize, jika

diperlukan sebelum pewarnaan.

2) Warnai dalam filtrasi segar Hematoksilin modifikasi Harri’s selama

6 – 15 menit.

3) Cuci dengan air mengalir selama 2 – 5 menit.

4) Diferensiasi dalam asam alkohol 1% 1 – 2 tetes.

5) Cuci dengan perlahan dan terbalik dibawah air kran.

6) Letakkan pada bagian atas cover ammonia water atau larutan

jenuh lithium carbonate sampai tampak berwarna biru kelam.

7) Cuci secara langsung dalam air mengalir selama 10 menit.

8) Tempatkan 80% etil alkohol untuk 1 – 2 menit.

9) Lakukan counterstain dalam larutan eosin-phloxine selama 2

menit.

10) Dehidrasi dan bersihkan langsung dua perubahan dari masing-

masing 95% etil alkohol, etil alkohol absolut dan xylene masing-

masing 2 menit.

11) Simpan dengan medium resinous.

Page 47: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

I. Skema Alur Penelitian

Gambar 4. Skema alur penelitian

25 Mencit betina sehat, umur 6-8 minggu, berat 20-30 gram

Penilaian klinis telinga mencit

5 ekor diberi DMBA

50µg 2x

5 ekor diberi DMBA

50µg 3x

5 ekor diberi DMBA

50µg 4x

Biopsi pada telinga kiri

Biopsi pada telinga kiri

Biopsi pada telinga kiri

Biopsi pada telinga kiri

Biopsi pada telinga kiri

5 ekor diberi DMBA

50µg 1x

Diberi paparan TPA 4µg

3x paparan

Diberi paparan TPA 4µg

3x paparan

Diberi paparan TPA 4µg

3x paparan

Diberi paparan TPA 4µg

3x paparan

Pembuatan slide dengan pewarnaan HE

Penilaian gambaran histopatologi

Analisis Data

5 ekor diberi

paparan aseton

Tanpa paparan

DMBA/TPA

Page 48: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

J. Identifikasi Variabel

Dalam penelitian ini beberapa dapat diidentifikasi berdasarkan peran

dan skalanya, sebagai berikut:

1. Variabel bebas adalah perlakuan DMBA dan TPA

2. Variabel tergantung adalah ekspresi tumor kulit mencit

3. Variabel luar terdiri dari:

a. Variabel antara yaitu proses terjadinya karsinogenesis (inisiasi dan

promosi tumor kulit)

b. Variabel kontrol yaitu host (umur strain makanan dan suhu kandang)

dan karsinogen (dosis, frekuensi aplikasi dan periode paparan).

K. Definisi Operasional

1. Mencit adalah mencit betina dengan umur 6-8 minggu dan berat

badan berkisar 25-30 gram dan sehat. Pemilihan mencit betina

dengan pertimbangan untuk mencegah terjadinya pertengkaran

sehingga diharapkan tidak mengganggu pemeriksaan klinis.

2. Senyawa 7,12-Dimethylbenz [α] Anthracene (DMBA) adalah polisiklik

aromatik hidrokarbon, suatu karsinogen kimia lingkungan yang sangat

karsinogenesis dan berfungsi sebagai inisiator tumor yang bersifat

ireversibel.

3. Insiasi tumor adalah mutasi spesifik suatu sel yang ireversibel. Insiasi

pada umumnya terjadi pada frekuensi yang rendah dan secara

langsung tergantung dari dosis karsinogen. Insiasi pada level

Page 49: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

molekuler meliputi alterasi jalur signal transduksi yang meregulasi

respon sel ke signal ekstraselular dan secara internal diregulasi oleh

proto-onkogen dan gen supresor tumor.

4. Senyawa 12-0-Tetradecanoylphorbol-13-Acetate (TPA) adalah agen

promosi tumor yang memfasilitasi progresi malignansi

5. Promotor tumor adalah agen yang membuat ekspansi klonal dari sel

yang terinisiasi.

6. Tumor kulit adalah sekelompok sel-sel abnormal yang terbentuk hasil

proses pembelahan sel yang berlebihan dan tak terkoordinasi pada

kulit mencit.

7. Pemeriksaan histopatologi adalah pemeriksaan dengan cara

mengambil jaringan kulit pada lesi telinga mencit dan selanjutnya

difiksasi, dipotong dengan mikrotom dan dilakukan pengecatan atau

pulasan jaringan dengan Hematoksilin Eosilin (HE) untuk melihat

struktur morfologi jaringan.

8. Displasia adalah proliferasi yang tidak teratur dan non-neoplastik dan

ditemukan di epitel.

9. Ulkus adalah kerusakan lokal atau ekskavasi permukaan organ atau

jaringan yang ditimbulkan oleh terkelupasnya jaringan.

10. Inflamasi adalah respon utama sisitem kekebalan terhadap infeksi

atau iritasi.

Page 50: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

L. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang terkumpul adalah semua data yang diperoleh dari hasil

penelitian selanjutnya diedit, tabulasi dan dimasukkan ke dalam program

komputer, dilakukan analisis deskriptif dan analitik. Data di uji dengan

menggunakan uji Likelihood ratio test

1. Penilaian hasil uji statistik dinyatakan sebagai berikut :

Bermakna, bila p < 0,05

2. Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel atau grafik disertai dengan

penjelasan.

Page 51: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

Penelitian eksperimental murni telah dilakukan untuk melihat

pembentukan tumor kulit pada mencit albino yang ada di Makassar

dimana sebanyak 25 ekor mencit dibagi dalam lima kelompok perlakuan,

kelompok pertama adalah kelompok kontrol aseton yaitu 5 mencit albino

dengan pemberian paparan aseton setiap hari sebanyak 5 µl dalam waktu

10 minggu, kelompok kedua, ketiga keempat dan kelima yaitu 5 mencit

albino masing-masing dengan pemberian 1x, 2x, 3x dan 4x paparan

DMBA dosis 50 µg yang dilarutkan dalam 2 ml aseton pada telinga kiri

mencit setiap 24 jam pertama di minggu pertama dilanjutkan pemberian

3x paparan TPA µg dosis 4 µg yang dilarutkan dalam 2 ml aseton pada

telinga yang sama setiap minggu yang dimulai pada minggu kedua

selama 10 minggu.

I. Karakteristik sampel

Penelitian ini dilakukan terhadap 25 mencit albino yang memenuhi

kriteria inklusi dengan berat 20-30 gr, tidak sakit atau mengalami kelainan

pada kulitnya, dipilih secara random dan dikelompokkan sesuai dengan

perlakuan yang akan diberikan.

Page 52: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

1. Perbandingan gambaran histopatologi (inflamasi) pada kulit

mencit albino pada perlakuan DMBA dengan kelompok kontrol

(aseton)

Tabel 1. Sebaran Inflamasi menurut Kelompok

kontrol dan DMBA

Inflamasi

Total Ya Tidak

Kelompok Kontrol N 0 5 5

% 0% 100,0% 100,0%

DMBA 1x N 4 1 5

% 80,0% 20,0% 100,0%

DMBA 2x N 5 0 5

% 100,0% 0,0% 100,0%

DMBA 3x N 5 0 5

% 100,0% 0,0% 100,0%

DMBA 4x N 5 0 5

% 100,0% 0,0% 100,0%

Total N 19 6 25

% 76,0% 24,0% 100,0%

Likelihood Ratio test (p=0,000)

Kejadian Inflamasi ditemukan pada kelompok DMBA 1x (4 mencit

atau 80%), sedangkan pada kelompok DMBA 2x, DMBA 3x dan DMBA 4x

Page 53: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

didapatkan inflamasi pada semua mencit. Pada kelompok kontrol aseton

tidak ditemukan inflamasi. Hasil uji statistik menunjukkan adanya

perbedaan proporsi kejadian inflamasi yang signifikan menurut kelompok

(p<0,001)

Gambar 5. Frekuensi Kejadian Inflamasi menurut Kelompok

kontrol dan DMBA

Gambar 6. Gambaran histopatologi inflamasi

Page 54: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

2. Perbandingan gambaran histopatologi (ulkus) pada kulit mencit

albino pada perlakuan DMBA dengan kelompok kontrol (aseton)

Table 2. Sebaran Ulkus menurut Kelompok control

dan DMBA

Ulkus

Total Ya Tidak

Kelompok Kontrol N 0 5 5

% 0% 100,0% 100,0%

DMBA

1x

N 2 3 5

% 40,0% 60,0% 100,0%

DMBA

2x

N 0 5 5

% 0% 100,0% 100,0%

DMBA

3x

N 1 4 5

% 20,0% 80,0% 100,0%

DMBA

4x

N 0 5 5

% 0% 100,0% 100,0%

Total N 3 22 25

% 12,0% 88,0% 100,0%

Likelihood Ratio test (p=0,158)

Kejadian Ulkus ditemukan pada kelompok DMBA 1x (2 mencit atau

40%) dan pada kelompok DMBA 3x (1 mencit atau 20%) sedangkan pada

Page 55: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

kelompok yang diberikan DMBA 2x dan DMBA 4x tidak ditemukan ulkus.

Kelompok kontrol tidak ditemukan ulkus. Namun hasil uji statistik

menunjukkan tidak ada perbedaan proporsi kejadian ulkus menurut

kelompok (p>0,05)

Gambar 7. Frekuensi Kejadian Ulkus menurut Kelompok kontrol

dan DMBA

Gambar 8. Gambaran histopatologi Ulkus

Page 56: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

3. Perbandingan gambaran histopatologis (displasia ringan) pada

kulit mencit albino pada perlakuan DMBA dengan kelompok

kontrol (aseton)

Tabel 3. Sebaran Displasia Ringan menurut

Kelompok kontrol dan DMBA

Displasia Ringan

Total Ya Tidak

Kelompok Kontrol N 0 5 5

% 0% 100,0% 100,0%

DMBA

1x

N 1 4 5

% 20,0% 80,0% 100,0%

DMBA

2x

N 0 5 5

% 0% 100,0% 100,0%

DMBA

3x

N 0 5 5

% 0% 100,0% 100,0%

DMBA

4x

n 0 5 5

% 0% 100,0% 100,0%

Total n 1 24 25

% 4,0% 96,0% 100,0%

Likelihood Ratio test (p=0,494)

Page 57: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

Kejadian displasia ringan hanya ditemukan pada kelompok DMBA

1x (1 mencit atau 20%). Namun hasil uji statistik menunjukkan tidak ada

perbedaan proporsi kejadian displasia ringan menurut kelompok (p>0,05)

Gambar 9. Frekuensi Kejadian Displasia Ringan menurut Kelompok

kontrol dan DMBA

Gambar 10. Gambaran histopatologi Displasia Ringan

Page 58: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

4. Perbandingan gambaran histopatologis (Displasia sedang) pada

kulit mencit albino pada perlakuan DMBA dengan kelompok

kontrol (aseton)

Tabel 4. Sebaran Displasia Sedang menurut

Kelompok kontrol dan DMBA

Displasia Sedang

Total Ya Tidak

Kelompok Kontrol N 0 5 5

% 0% 100,0% 100,0%

DMBA

1x

N 1 4 5

% 20,0% 80,0% 100,0%

DMBA

2x

N 4 1 5

% 80,0% 20,0% 100,0%

DMBA

3x

N 1 4 5

% 20,0% 80,0% 100,0%

DMBA

4x

N 3 2 5

% 60,0% 40,0% 100,0%

Total N 9 16 25

% 36,0% 64,0% 100,0%

Likelihood Ratio test (p=0,027)

Page 59: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

Kejadian displasia sedang ditemukan paling banyak pada

kelompok DMBA 2x (4 mencit atau 80%), kemudian pada DMBA 4x (3

mencit atau 60%) sedangkan pada kelompok DMBA 1x dan DMBA 3x

tidak ditemukan displasia. Pada kelompok kontrol tidak ditemukan

dysplasia. Hasil uji statistik menunjukkan ada perbedaan proporsi

kejadian displasia sedang yang signifikan menurut kelompok (p<0,05)

Gambar 11. Frekuensi Kejadian Displasia sedang menurut kelompok

kontrol dan DMBA

Gambar 12. Gambaran histopatologi Displasia sedang

Page 60: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

5. Perbandingan gambaran histopatologi (displasia berat) pada kulit

mencit albino pada perlakuan DMBA dengan kelompok kontrol

(aseton)

Tabel 5. Sebaran Displasia Berat menurut

Kelompok kontrol dan DMBA

Displasia Berat

Total Ya Tidak

Kelompok Kontrol n 0 5 5

% 0% 100,0% 100,0%

DMBA

1x

n 0 5 5

% 0% 100,0% 100,0%

DMBA

2x

n 1 4 5

% 20,0% 80,0% 100,0%

DMBA

3x

n 1 4 5

% 20,0% 80,0% 100,0%

DMBA

4x

n 1 4 5

% 20,0% 80,0% 100,0%

Total n 3 22 25

% 12,0% 88,0% 100,0%

Likelihood Ratio test (p=0,504)

Page 61: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

Kejadian displasia berat ditemukan pada kelompok DMBA 1x,

DMBA 2x dan DMBA 3x (masing-masing 1 mencit atau 20%) sedangkan

pada kelompok DMBA 4x tidak ditemukan displasia berat. Pada kelompok

kontrol tidak ditemukan displasia. Namun hasil uji statistik menunjukkan

tidak ada perbedaan proporsi kejadian displasia berat menurut kelompok

(p>0,05)

Gambar 13. Frekuensi Kejadian Displasia Berat menurut Kelompok

kontrol dan DMBA

Gambar 14. Gambaran histopatologi Displasia Berat

Page 62: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

6. Perbandingan gambaran histopatologis (karsinoma sel skuamosa)

pada kulit mencit albino pada perlakuan DMBA dengan kelompok

kontrol (aseton)

Likelihood Ratio test (p=0,125)

Kejadian karsinoma sel skuamosa hanya ditemukan pada

kelompok DMBA 3x (2 mencit atau 40%) sedangkan pada kelompok

Tabel 6. Sebaran karsinoma sel skuamosa menurut

Kelompok kontrol dan DMBA

Karsinoma sel

skuamosa

Total Ya Tidak

Kelompok Kontrol n 0 5 5

% 0% 100,0% 100,0%

DMBA

1x

n 0 5 5

% 0% 100,0% 100,0%

DMBA

2x

n 0 5 5

% 0% 100,0% 100,0%

DMBA

3x

n 2 3 5

% 40,0% 60,0% 100,0%

DMBA

4x

n 0 5 5

% 0% 100,0% 100,0%

Total n 2 23 25

% 8,0% 92,0% 100,0%

Page 63: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

DMBA 1x, 2x dan 4x tidak ditemukan karsinoma sel skuamosa. Pada

kelompok kontrol tidak ditemukan karsinoma sel skuamosa. Namun hasil

uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan proporsi kejadian

karsinoma sel skuamosa menurut kelompok (p>0,05)

Gambar 15. Frekuensi Kejadian karsinoma sel skuamosa menurut

Kelompok kontrol dan DMBA

Gambar 16. Gambaran histopatologi karsinoma sel skuamosa

Karsinoma sel skuamosa

Ya

Tidak

Page 64: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

II. Perbandingan Gambaran Histopatologi Berdasarkan Frekuensi

Pemberian DMBA / TPA

Perlakuan

Gambaran Histopatologi

Displasia

Ringan

Displasia

Sedang

Displasia

Berat

Karsinoma Sel

Skuamosa

Aseton(Kontrol) 0 0 0 0

DMBA 1X 1 1 0 0

DMBA 2 X 0 4 1 0

DMBA 3 X 0 1 1 2

DMBA 4 X 0 3 1 0

Jumlah 1 9 3 2

B. PEMBAHASAN

Penelitian ini menelaah karakteristik subyek tertentu dan variasi

frekuensi paparan DMBA/TPA terhadap pembentukan tumor pada kulit

mencit albino.

Dalam Penelitian kami menilai 5 kelompok perlakuan yaitu

kelompok kontrol aseton, kelompok paparan 1x DMBA dilanjutkan 3x

paparan TPA, kelompok 2x paparan DMBA dilanjutkan 3x paparan TPA,

Page 65: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

kelompok 3x paparan DMBA dilanjutkan 3x paparan TPA, kelompok 4x

paparan DMBA dilanjutkan 3x paparan TPA. Beberapa faktor yang

mempengaruhi karsinogenesis two-stage antara lain kerentanan strain

mencit, adanya mutasi genetik atau transgene, serta dosis inisiasi dan

promosi yang tepat (Filler et al, 2007)

Strain mencit memiliki sensitivitas dan kecenderungan

perkembangan tumor yang berbeda-beda terhadap karsinogen kimia. Hal

ini mengindikasikan adanya strain-dependent susceptibility yang

ditentukan oleh faktor-faktor genetik bawaan (Lee, 1998). Penelitian oleh

Hennings dkk (1993), didapatkan bahwa satu kali paparan DMBA diikuti

oleh paparan berulang dengan TPA timbulnya papilloma 100% dan 53%

pada mencit strain SENCAR dan CD-1 (Swiss albino) sedangkan strain

FVB/N hanya 25% dan BALB/c 17%. Strain mencit SENCAR dilaporkan

merupakan jenis mencit yang paling sensitif dalam penelitian-penelitian

kasinogenesis (Slaga et al, 1995). Strain yang digunakan dalam penelitian

ini adalah mencit albino yang sudah tidak jelas keturunannya.

Semua penelitian-penelitian eksperimental induksi karsinogenesis

kulit two-stage pada mencit dilakukan pada area punggung (Suzuki et al.,

2003, Roomi et al., 2008, Xie et al., 2008) namun pada penelitian ini

menggunakan area kulit telinga mencit karena lebih tipis epidermisnya

dan lebih mirip kulit manusia. Penelitian oleh Park dkk (2004) dengan

pengaplikasian di area punggung DMBA dosis 2,5 mg dalam 0,1 ml

aseton dilanjutkan TPA 100 nmol dalam 0,5 ml aseton didapatkan hasil

karsinoma sel skuamosa pada 15 mencit dari 15 mencit yang di uji

Page 66: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

cobakan (100%) dalam jangka waktu 31 minggu. Pada penelitian ini

hanya 2 mencit yang mengalami kejadian karsinoma sel skuamosa.

Protokol two-stage yang dipakai dalam penelitian ini merujuk pada

konsep inisiasi dan promosi. Induksi kanker kulit menggunakan DMBA

sebagai inisiator dan TPA sebagai promotor telah banyak digunakan

(Suzuki et al, 2003). Neoplasma hanya akan muncul jika PAH digunakan

terlebih dahulu diikiuti oleh aplikasi berulang promotor, bukan sebaliknya

(oliveira et al, 2007).

Induksi tumor kulit pada mencit dengan administrasi topikal kimia

membuat perubahan baik lokal, sistemik, maupun faktor lingkungan yang

mempengaruhi suseptibilitas tumor, pertumbuhan dan progresivitas yang

dipelajari di laboratorium (Dulgosz and Yuspa, 2008).

Dari hasil analisis kelompok kontrol aseton mempunyai nilai yang

tidak berbeda bermakna hal ini berarti sel epidermis tidak dipengaruhi

oleh aseton dan dapat digunakan sebagai bahan pelarut DMBA/TPA yang

digunakan dalam penelitian ini. Hal ini juga dibuktikan dengan penelitian

sebelumnya yang membuktikan antara kelompok kontrol normal dengan

kontrol aseton diperoleh hasil yang tidak berbeda bermakna. (Xie et al.

2008, Roomi et al, 2008).

Inisiator seperti DMBA akan menyebabkan mutasi-mutasi genetik

(Lee, 1998), namun tahap ini tergantung pada dosis yang diberikan

Dulgosz and Yuspa, 2008). Tanpa adanya rangsangan lebih lanjut sel

yang telah terinisisasi ini tidak akan tumbuh menjadi sel tumor, namun

perubahan ini tetap tinggal dalam sel turunannya (progeny) ( Sularsito,

Page 67: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

2001, Dulgosz and Yuspa, 2008). Pemberian DMBA saja tidak merubah

jumlah lapisan sel dalam penelitian lain (Graem, 1986). 7,12-

Dimethylbenz [α] Anthracene (DMBA) dan PAH lainnya bersifat

karsinogenesis namun tidak semua strain mencit yang terpapar agen

tersebut akan terbentuk tumor ( Oliveira et al., 2007). Adanya toleransi

terhadap DMBA masih belum jelas, meskipun hal tersebut mungkin

berkaitan dengan jalur metabolik senyawa yang masuk ke dalam sel

(Elmets et al.,1998).

Fase inisisasi pada transformasi neopalstik adalah hasil dari mutasi

sel somatik dan fase inisiasi karinogenesis harus dihubungkan dengan

mitotik apparatus sel. Namun belum terdapat kesepakatan fase mana

pada siklus sel yang berhubungan dengan efek inisiasi (Berenblum and

Armuth, 1977).

Agen promotor TPA paling poten dalam membuat epidermal

karsinogenesis pada mencit namun dapat bekerja secara lemah atau

inaktif pada beberapa strain mencit (Park and Kim, 1989). Promotor

mengubah lingkungan jaringan sedemikian rupa sehingga sel yang telah

terinisiasi tumbuh dengan cepat (Sularsito, 2001). Periode laten formasi

tumor setelah aplikasi inisiator berkurang secara signifikan dengan

adanya aplikasi promotor (Yusuf et al., 2009). Aplikasi promotor tumor

pada mencit secara histopatologi menunjukkan hiperplasia seluler

berkelanjutan dan memegang peranan penting dalam tahap promosi

tumor (Roomi et al., 2008).

Page 68: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

Inflamasi kronik yang berasal dari promotor diduga mendorong

perkembangan kanker. Ekspresi berlebih proinflamasi enzim COX-2 yang

terlibat dalam biosintesis prostaglandin dari asam arakidonat,

mensensitisasi kulit mencit untuk promosi tumor (Chun et al., 2006).

Ulkus yang terjadi pada kulit dalam beberapa kasus terlihat yang

terlihat pada penelitian. Pada penelitian oleh Ahmad dkk (2008)

memperlihatkan kejadian ulkus pada beberapa mencit pada

pengaplikasian DMBA dosis 20 µg hal ini menunjukkan salah satu cara

penetrasi DMBA ke dermis. Senyawa DMBA juga menyebabkan iritasi

dan peradangan kulit (Ahmad T et al , 2008).

Penelitian ini ditemukan inflamasi pada 19 mencit kelompok

DMBA1x (4 mencit atau 80%), sedangkan pada kelompok DMBA 2x,

DMBA 3x dan DMBA 4x didapatkan inflamasi pada semua mencit.

Penelitian oleh Lewis (2004), pengaplikasian 12-0-tetradecanoylphorbol-

13-acetate (TPA) pada kulit SENCAR dan CS7BL, pada 6 mencit

SENCAR memiliki respon inflamasi jauh lebih intens daripada C57BL.

Ada pembentukan edema lebih lanjut pada daerah aplikasi dan

permeabilitas pembuluh darah juga sangat ditingkatkan di strain

SENCAR. Senyawa TPA merupakan regulator poten promotor tumor

yang diaplikasikan pada kulit mencit akan menginduksi terjadinya

inflamasi dengan meningkatkan ekspresi COX-2 yang merupakan salah

satu enzim yang paling penting bertanggung jawab untuk inflamasi dan

munculnya tumor (Meeran MS, 2009).

Page 69: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

Displasia merupakan proliferasi yang tidak teratur dan non-

neoplastik dan ditemukan di epitel (Kumar et al, 2007). Pada penelitian

ini ditemukan displasia dengan tingkatan ringan, sedang dan berat. Pada

penelitian oleh Yang (2005) jumlah lesi yang displasia dan papilloma tidak

ditemukan perbedaan yang bermakna antara mencit yang hanya diberi

DMBA saja dengan mencit yang diberi DMBA dan Genistein sebagai

antioksidan. Displasia tanpa kualifikasi tidak menunjukkan kanker dan

displasia tidak selalu berkembang menjadi kanker (Kumar et al, 2007).

Pada penelitian lain oleh Ahmad dkk (2008) pemberian DMBA dosis 20

µg dilanjutkan TPA 2 µg pada 100 mencit didapatkan hasil terjadinya

displasia pada 30 mencit (30%).

Penelitian ini didapatkan pertumbuhan tumor karsinoma sel

skuamosa pada 2 mencit albino dengan perlakuan frekuensi tiga kali

paparan DMBA dosis 50 µg dilanjutkan TPA 4 µg tiga kali seminggu

selama 10 minggu, dari penelusuran pustaka hasil tercepat pertumbuhan

tumor terjadi pada minggu ke 13 yaitu pada penelitian oleh Suzuki dkk

(2003) dengan menggunakan dosis DMBA 50 µg namun hanya

mendapatkan satu kali paparan serta TPA dosis 10 µg dua kali paparan,

hal ini menunjukkan paparan DMBA dengan dosis yang lebih besar serta

frekuensi yang lebih dari satu kali mempercepat pertumbuhan tumor kulit

mencit. Penelitian oleh Ahmad dkk (2008) menunjukkan bahwa aplikasi

berulang TPA menghasilkan tumor kulit jinak selama periode awal namun

sangat sedikit papiloma berkembang menjadi karsinoma sel skuamosa in

situ dalam tahap akhir percobaan. Adanya konversi ganas pada tumor

Page 70: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

kulit ditingkatkan oleh aplikasi berulang inisiator tumor (DMBA) dan bukan

oleh paparan berulang promotor tumor (TPA) (Ahmad et al, 2008)

Pengaplikasian frekuensi 4x paparan DMBA dosis 50 µg

dilanjutkan 3x paparan TPA tidak ditemukan tumor hal ini dimungkinkan

karena telinga mencit lebih cepat mengalami inflamasi, ulserasi dan

nekrosis dibandingkan terjadinya proses mutasi sel DNA untuk terjadi sel

tumor sehingga kemungkinan tumor tidak terdeteksi akibat dosis DMBA

yang terlalu besar. DMBA sebagai agen genotoksik karsinogen juga dapat

berfungsi sebagai agen promotor dan paparan yang berulang dengan

konsentrasi yang rendah dapat menginduksi tumor lebih efektif

dibandingkan lebih sedikit paparan dengan dosis eksperimental yang

sama besar ( Dulgosz dan Yuspa, 2008).

Page 71: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Peningkatan frekuensi paparan DMBA meningkatkan derajat displasia

pada kulit mencit albino

2. Dosis inisiasi yang paling yang paling optimal dalam pembentukan

tumor kulit pada mencit albino adalah pemberian DMBA 50 µg dengan

frekuensi 3 x dengan aplikasi 3 hari berurutan dalam seminggu

B. SARAN

Perlu penggunaan sampel yang lebih banyak dan waktu yang lebih

panjang dalam pengaplikasian DMBA/TPA agar mendapatkan lebih

banyak karsinoma sel skuamosa pada kulit mencit albino.

Page 72: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

DAFTAR PUSTAKA.

AHMAD, T., AHMED A. et al (2008) Histo-athological study: Skin cancer varieties due to a compound of coal tar & of vinegar, Annals, 14, 138-42

BUTEL, J.S, (2000) Viral carcinogenesis revelation of molecular mechanism and etiology of human disease. Carcinogenesis; 21; 405.

CHUN, K.S, KUNDU, J K., (2006) Inhibition of phorbhol ester induced mouse skin tumor promotion and COX-2 expression by celecoxib: C/EBP as a potential moleculer target. Cancer Res Treat, 38, 152-8.

DULGOSZ, A.A. and YUSPA, S.H., (2008). Carsinogenesis Chemical dalam Wolff, K. Goldsmit, L.A., Katz, S.I., Gilchrest, B.A. Paller, A.S. & Leffell, D. J. (Eds.) Fitzpatrick’s dermatology in general medicine, 7th ed. New York, Mc Graw Hill.

EL-SHERRY, M. I., ZAHER, M. A., YOUSSEF, M. S.-E.-D. M. & EL-AMIR, Y. O. (2007) Green tea treatment of Ultraviolet-B (UVB) skin carcinogenesis in mice. Cancer Therapy, 5, 301-8.

FRENKEL K, WEI H, BHIMANI R, et al (1993). Inhibition of tumor promoter mediated process in mouse skin and bovine lens by caffeic acid phenethyl ester. Cancer Res, 53, 1255-61.

FILLER, R. B, ROBERTS, S. J. & GIRARDI, M. (2007) Cutaneous Two-Stage Chemical Carcinogenesis. Protoc, 18, 1-5.

GRAEM, N. (1986). Epidermal changes following application of 7,12-dimethilbenz(a)anthracene and 12-0-tetradecanoyphorbol-13-acetate to human skin transplanted to nude mice studied with histological species markers.Cancer Res,48, 278-84.

GIBBS, JB., (2000), Anticancer Drug Targets: Growth Factor and Growth Factor Signaling, J. Clin. Inves., 105 (1): 9-13.

GROSSMAN, D. & LEFFEL, D. J. (2008) Squamous Cell Carcinoma. IN WOLFF, K., GOLDSMITH, L. A., KATZ, S. I., GILCHREST, B. A. & LEFFELL, D. J. (Eds.) Fitzpatrick`s Dermatology in General Medicine. New York, McGraw Hill.

HAFNER, C. HARTMAN, A, et al (2007). Mutations in Sebortheic Keratoses are already present in flat lesions and associated with age and localization. Modern Pathology 20: 895-03.

HUANG MT, MA W, YEN P, et al (1996). Inhibitory effects of caffeic acid phenethyl ester (CAPE) on 12-O-tetradecanoylphorbol-13-acetate-induced tumor promotion in mouse skin and the synthesis of DNA, RNA and protein in HeLa cells. Carcinogenesis, 17;761-5

HENNINGS, H., GLICK, A.B., LOWRY, D.T., KRSMANOVIC, L.S., SLY, L.M. & YUSPA, S.H. (1993) FVB/N Mice: an inbred strain sensitive to the chemical induction of squamous cell carcinomas in the skin. Carcinogenesis, 14, 2353-8.

Page 73: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

KIMOTO T, ARAI S, KOHGUCHI M, et al (1998). Apoptosis and suppression of tumor growth by artepillin C extracted from Brazilian propolis. Cancer Detection and Prevention, 22, 506 – 15.

KUMAR,N, SHARMA, P, BAHADUR, A.K, MANDAL, A.K, (2007). Ki-67 Expression in Cytologic Scrapes from Oral Squamous Cell Carcinoma before and after 24 Gray Radioteraphy-a Study on 43 Patiens. Oral Medicine and Pathology, 10:E15-17.

KUMAR, V., COTRAN, R. S. & ROBBINS, S. L. (Eds.) (2007) Neoplasma, Jakarta, EGC.

LUKITANINGSIH E, NOEGROHATI S. (2000). Studi Pemisahan senyawa hidrokarbon poliaromatik secara kromatografi gas kolom kapiler. MFI 11(1): 31-38.

MACKIE, R.M, and QUINN, A.G,(2004). Non-Melanoma Skin Cancer and Other Epidermal Skin Tumours. In Burns, T. Breathnach, S. Blackwell Science.

MARDJIKOEN, P. Tumor ganas alat genital. Dalam : WINKJOSASTRO H, SAIFUDDIN AB, RACHIMHADI T. Editor. Ilmu Kandungan. Edisi Kedua. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 1999;380-9

MCKEE, P.H, CALONJE, E, GRANTER, S.R., (2005). Tumors of the Surface Epithelium, Pathology of The Skin. Third eds, 1:1158-61.

MEERAN, S.M., VAID, M., PUNATHIL, T & K. KATHIYAR, S, (2009). Skin Tumor Promotion 7, 12-dimethylbenz (α) anthracene in Mouse Skin, Which is Associated with the Inhibition of Inflammatory, 30:500.9

MITCHELL, R.N, and COTRAN, R.S., (2007). Pemulihan Jaringan Regenerasi dan Fibrosis Sel. Dalam Kumar, V, Cotran, R.S, Robbins, S.L. Robbins Buku Ajar Patologi 1; 1 ed. 63-84, Jakarta, EGC.

MIYATA M, FURUKAWA M, TAKAHASHI K, GONZALES FJ, YAMAZOE Y. (2001) Mechanism of 7,12-Dimethylbenz[a]anthracene-Induced Immunotoxicity: Role of Metabolic Activation at the Target Organ. Jpn J Pharmacol 86:302-309.

MUN’IM A, ANDRAJATI, SUSILOWATI H. (2006). Uji hambatan tumorigenesis sari buah merah (Pandanus conoideus lam) terhadap tikus putih betina yang diinduksi 7, 12 dimetilbenz (a) antrasen (DMBA). MIK III(3):153 – 161.

MUQBIL I, AZMI AS, BANU N. (2006). Prior exposure to restraint stress enhances 7,12-dimethylbenz(a)anthracene (DMBA) induced DNA damage in rats. FEBS Letters 580(2): 3995–3999.

MUTO T, TAKASAKI S, TAKAHASHI H, HANA H, KANAI Y, WAKUI S, ENDO H, FURUSATO M. (2003). Initial changes of hepatic glycogen granules and glycogen phosporylase after exposure to 7, 12-dimethylbenz (α) anthracene in rats. Japan Toxicol Pathol 16(2): 153-160.

Page 74: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

NIGAM, N. and SHUKLA, Y. (2007). Preventive Effects of Diallyl Sulfida on 7, 12 dimetilbenz (a) antrasen (DMBA) in Tumor Skin, Mol Nuir Food Res, 51; 1324-26.

PONTEN, F., & LUNDEBERG, J.(2003) Principles of tumor biology and pathogenesis of BCC and SCCs. IN BOLOGNIA, J., JORIZZO, J.,& RAPINI, R. (Eds.) Dermatology. London, Mosby.

PARK CB, FUKAMACHI K. (2004) Rapid induction of skin and mammary tumors in human c- Ha-ras proto-oncogen transgenic rats by Treatment with 7,12-dimethilbenz[α]anthracene followed by 12-0-tetradecanoylphorbol 13-acetate. Cancer sci, 95,205-10.

RIDD, K., ZHANG, S.D., & EDWARDS, R.E. (2006) Association of gene expression with sequential proliferation, differentiation and tumor formation in murine skin. Carcinogenesis, 27, 1556-66.

ROOMI, M.W., ROOMI, N.W., KALINOVSKY, T., IVANOV, V., RATH, M. & NIEDZWIECKI, A. (2008) Inhibition of 7,12-dimethylbenzanthracene-induced skin tumors by a nutrient mixture. Med Oncol, 25, 333-40.

SALVADORI, DMF, RIBEIRO DA. (2006). Mediumterm tongue carcinogenesis assays: a comparative study between 4-nitroquinoline 1-oxide (4NQO)-induced rat and dimethylbenzanthracene (DMBA)-induced hamster carcinogenesis. J Exp Animal Sci 43(3): 219-227.

SINGLETARY K, MCDONALD C, WALLIG M. (1997). The plasticizer benzylbutylphalate (BBP) inhibits 7,12-dimethylbenz(a)anthracene (DMBA)-induced rat mammary DNA adduct formation and tumorigenesis. Carcinogenesis 18 (8): 1669-1673.

SULARSITO, S.A. (2001), Etiologi dan Patogenesis Kanker Kulit dalam Cipto, H. PRATOMO, U.S., HANDAYANI, I., & SUKARATA, K., (Eds). Deteksi dan Penatalaksanaan Kanker Kulit Dini, Jakarta, FK-UI.

SUNG YM, HE G, FISCHER, SM. (2005) Lack of Expression of the EP2 but not EP3 Receptor for Prostaglandin E2 Results in Suppression of Skin Tumor Development. Cancer Res 65:9304-9311

SLAGA TJ, (1986). SENCAR Mouse Skin Tumorigenesis Model Versus Other Strains and Stocks of Mice. Environmen Health Persp, 68, pp. 27-32

SUZUKI J.S, NISHIMURA N, ZHANG B. (2003). Metallothionein Deficiency Enhances Skin Carcinogenesi induced by 7,12-dimethylbenz[a] anthracene and 12-0-tetradecanoylphorbol-13-acetate in Metallothionein-Null mice. Carcinogenesis,24, 6, 1123-1132.

TEICH, N.M. (1997), Oncogenes and Cancer, in: FRANKS, L. M., TEICH, N. M., Cellular and Molecular Biology of Cancer, 3rd ed., Oxford University Press, London.

YANTISS RK, ODZE RD. (2008). Neoplastic precursor lesions of the upper gastrointestinal tract. Diagnostic Histopathol 14(9): 437-452.

Page 75: PENGARUH FREKUENSI PEMBERIAN SENYAWA 7,12 …

YU, H.; YAN, J. JIAO, Y. FU, P.P. (2005). Photochemical Reaction of 7,12- Dimethylbenz [a]anthracene (DMBA) and Formation of DNA Covalent Adducts. Int. J. Environ. Res. Public Health , 2, 114-122.

YUSUF, N., NASTI, T. H., MELETH, S. & ELMETS, C. A. (2009) Resveratrol enhances cell-mediated immune response to DMBA through TLR4 and prevents DMBA induced cutaneous carcinogenesis. Mol Carcinog, 48, 713-23.

XIE, X., ZHANG, Y., JIANG, Y., LIU, W., MA, H., WANG, Z. & CHEN, Y. (2008) Suppressive function of RKTG on chemical carcinogen-induced skin carcinogenesis in mouse. Carcinogenesis, 29, 1632-8.

ZIU MM, GIASUDDIN ASM, MOHAMMAD AR. (1994). The Effect of Garlic Oil (Allium sativum) on DMBA Induced Salivary Gland Tumorigenesis. J Islamic Acad Sci 7(3); 3-6.