pengamalan pancasila dalam implementasi otonomi daerah
DESCRIPTION
makalahTRANSCRIPT
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
PENDAHULUAN
Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan
dasar hukum pembentukan Pemeritahan Daerah,menghendaki
pembagian Wilayah Indonesia atas daerah besar dan
kecil,dengan bentuk dan susunan ditetapkan dengan Undang-
undang.Dan pembentukan daerah besar dan kecil tersebut harus
tetap memperhatikan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah
yang bersifat istimewa.
Prof. Soepomo menyatakan bahawa Otonomi Daerah
sebagai prinsip berarti menghormati kehidupan regional menurut
riwayat adat dan sifat-sifat sendiri-sendiri,dalam kadar Negara
kesatuan.Tiap daerah mempunyai histories dan sifat khusus yang
berlainan dari riwayat dan sifat daerah lain.Karena itu,Pemerintah
harus menjauhkan segala urusan yang bermaksud akan
menguniformisir seluruh daerah menurut satu model.
Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah,yang dimaksud daerah otonom yang
selanjutnya disebut daerah,adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.Sedangkan yang dimaksud Otonomi Daerah adalah
kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 1
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
perundang-undangan.
Lebih lanjut Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004,meletakan titik berat otonomi daerah pada Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota,dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan
mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi
urusan Pemerintah. Peletakan otonomi daerah pada Pemerintah
Kabupaten dan Kota bertujuan lebih mendekatkan fungsi
pelayanan kepada msyarakat.Hal ini sejalan dengan konsepsi
Hatta,yang mengemukakan bahwa apabila kita mau
mendekatkan demokrasi yang bertanggung jawab kepada
rakyat,melaksanakan cita-cita lama yang tertanam dalm
pengertian “pemerintah yang diperintah”,maka sebaik-
baiknyalah titik berrat pemerintahan sendiri diletakan pada
Kabupaten.
Disamping itu juga prinsip otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab.Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip
bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan
berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban senyatanya telah
ada dan berpotensi untuk tumbuh,hidup dan berkembang sesuai
dengan potensi dan kekhasan daerah.Sedangkan otonomi yang
bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam
penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan
dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk
memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat yang merupakan bagian utama darai tujuan nasional.
Tujuan utama dari kebijakan otonomi daerah
(desentralisasi) adalah,disatu pihak,membebaskan pemerintah
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 2
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani
urusan domestic,sehingga ia berkesempatan untuk
mempelajari,memahami,merespon berbagai kecenderungan
global dan mengambil manfaat dari padanya pada saat yang
sama,pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi
pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat
strategis.Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan ke
daerah,maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan
yang signifikan.Kemampuan prakarsa dan kreativitas Kabupaten
dan Kota akan terpacu,sehingga kapabelitas dalam mengatasi
berbagai masalah domestik akan semakin kuat. Desentralisasi
merupakan simbol “kepercayaan” dari pemerintah pusat, dalam
sitem yang sentralistik mereka tidak biasa berbuat banyak dalam
mengatasi berbagai masalah,dalam sistem otonomi mereka di
tantang untuk secara kreatif menemukan solusi-solusi atas
berbagai masalah yang dihadapi.
Dengan titik berat otonomi pada Kabupaten dan
Kota,maka Indonesia telah melakukan transformasi dalam
hubungan antara pemerintah pusat,provinsi dan kabupaten/kota
yang menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 hanya
merupakan kepanjangan tangan pusat di daerah.Dalam Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah telah dibuka saluran baru (kran) bagi pemerintah provinsi
dan kabupaten/kota untuk mengambil tanggung jawab yang lebih
besar dalam pelayanan umum kepada masyrakat setempat,untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Penyesuaian kewenangan dan fungsi penyedian
pelayanan antara pemerintah pusat,provinsi, dan kabupaten/kota
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 3
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
sudah memuat tujuan baik politis maupun teknis.Secara
politis,desentralisasi kewenangan pada masing-masing daerah
menjadi perwujudan dari tuntutan reformasi seperti direfleksikan
dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang selanjutnya
ditekankan kembali dalam Rencana Jangka Menengah
Nasional.Sedangkan secara teknis masih terdapat sejumlah besar
langkah-langkah yang harus dilaksanakan untuk menjamin
penyesuaian kewenangan dan fungsi-fungsi tersebut secara
eefektif.
Untuk menjamin proses desentralisasi berlangsung dan
berkesinambungan,pada prinsipnya acuan dasar dari otonomi
daerah telah diwujudkan melalui Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan
perundangan lainnya.
Dalam acuan dasar tersebut setiap daerah harus
membentuk suatu paket otonomi yang konsisten dengan
kapasitas dan kebutuhannya.Dalam Negara yang majemuk
seperti Indonesia ini, satu ukuran belum tentu cocok untuk
semua.Oleh karena itu dalam penyusunan paket otonomi
pemeritah daerah perlu melibatkan komunitas-komunitas
lokal,termasuk DPRD.
SEKILAS OTONOMI SAAT INI
Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, yang dimaksud daerah otonom yang
selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 4
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sedangkan yang dimaksud otonomi daerah adalah
kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Otonomi daerah merupakan kebijakan yang sangat bagus
untuk diterapkan agar supaya daerah-daerah mempunyai
peranan dalam mengatur rumah tangganya secara mandiri.
Kebijakan otonomi daerah dengan maksud awal untuk mengubah
orientasi pertumbuhan baik itu dibidang ekonomi, sosial budaya,
maupun politik ke arah orientasi pemerataan pembangunan antar
daerah seperti yang diungkapkan oleh Hadi (1993). Proyek ini
selanjutnya ditindaklanjuti dengan keluarnya repelita, namun
repelita saja tidak cukup sehingga keluarlah Undang-Undang
No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-
Undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah. Perundangan yang terbaru, Undang-Undang No. 32
tahun 2004 yang berisi pengaturan revisi otonomi daerah.
Pratikno dikutip oleh Karim (2003) menegaskan sangat
boleh jadi undang-undang tersebut bukan merupakan sebuah
pilihan final. Untuk menjadikannya final, diperlukan sebuah
penyepakatan komitmen untuk menjadikan desentralisasi itu
sebagai referensi utama dalam penataan hubungan pusat dan
daerah. Memang selama ini masih terjadi kebingungan
pemerintah untuk mengatur perimbangan kekuasaan tersebut,
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 5
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
masing-masing daerah tidak seragam dan sangat heterogen.
Karim (2003) mengargumentasikan bahwa Indonesia senantiasa
kesulitan dalam mencari format ideal bagi desentralisasi politik
dan otonomi daerah. Derajat heterogenitas geografis maupun
sosial budaya yang cukup tinggi, maka daerah cenderung
menuntut kekuasaan yang lebih besar.
Padahal jika dirunut dalam manfaat, jika penerapan
desentralisasi melalui otonomi daerah dilaksanakan dengan baik
dan tanpa hambatan, akan memberikan keuntungan yang lebih
bagi daerah maupun pusat sebagai central government. Pratikno
(2007) memaparkan keuntungan kerjasama antar daerah dalam
konteks desentralisasi. Beberapa diantaranya yaitu manajemen
konflik antar daerah, efisiensi dan standardisasi pelayanan,
pengembangan ekonomi bersama, dan pengelolaan lingkungan
yang menjadi incaran negara-negara maju saat ini.
Namun dari manfaat yang akan didapat selama penerapan
desentralisasi, faktanya untuk saat ini masih banyak masyarakat
merasa kurang puas akan hasil yang dicapai otonomi daerah.
Pengaturan yang dilakukan hendaknya perlu penanganan khusus
dikarenakan kondisi Indonesia sangatlah kompleks. Sebagaimana
pendapat Ratnawati (1993), mengatur dan melaksanakan
desentralisasi di negara kesatuan seperti Indonesia tidaklah
semudah seperti pada negara-negara kecil yang wilayahnya tidak
begitu luas dengan kondisi sosial budaya yang relatif rendah
heterogenitasnya. Sepakat dengan pendapat tersebut, terlepas
dengan berbagai dugaan tentang keburukan otonomi daerah
yang lain, perlu digarisbawahi pada aspek sosial budaya
Indonesia.
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 6
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
PEMBAHASAN
Permasalahan Pelaksanaan Otonomi Daerah
Proses implementasi otonomi daerah yang sudah
berjalan sejak 1 Januari 2000 yang lalu,dalam pelaksanaannya
tidaklah berjalan mulus dan masih menghadapi kendala-
kendala,baik itu pada tataran konsepsional maupun praktek-
praktek lapangan yang jika tidak dilakukan perbaikan segera
akan menghambat tujuan otonomi itu sendiri.
Berdasarkan evaluasi permasalaahan-permsalahan yang
muncul dalam implementasi otomi daerah tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut :
1. Masih ada anggapan bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 adalah Undang-Undangnya Departemen Dalam
Negeri.Padahal Undang-Undang itu apabila sudah
diundangkan diperlakukan untuk semua warga Negara,untuk
semua institusi dan lembaga apapun.
2. Ada gejala cukup kuat dalam pelaksanaan otonomi
daerah,yaitu konflik horizontal yang terjadi antara pemerintah
provinsi dengan pemerntah kabupaten /kota,sebagai akibat
dari penekanan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang
menekankan bahwa tidak ada hubungan hierarkhis antara
pemerintah provinsi dengan pemerintah
kabupaten/kota,sehingga pemerintah kabupaten /kota
menganggap kedudukannya sama dan tidak ta’at kepada
pemerintah provinsi.Ada arogansi pemerintah kabupaten
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 7
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
/kota,karena tidak ada sanksi apabila ada pelanggaran dari
pemerintah kabupaten /kota.
3. Dengan pelaksanaan otonomi daerah muncul gejala etno-
sentrisme atau fenomena primordial kedaerahan semakin
kuat.Indikasi etno-sentrisme ini terlihat dalam beberapa
kebijakan di daearah yang menyangkut pemekaran
daerah,pemilihan kepala daerah,rekrumen birokrasi local dan
pembuatan kebijakan lainnya.
4. Ada kelemahan dalam kaitan pelaksanaan otonomi daerah
yang memicu konflik dalam perspektif sosiologis.Pertama,
pemerintah belum memiliki Rencana Umum Pembangunan
Sosial Budaya.Kedua, pemerintah pusat kurang memberi
perhatian terhadap pengembangan kelembagaan dalam
bidang social budaya yang mampu membuat “critical analysis”
yang bersifat holistic dan societal mengenai dampak berbagai
macam kebijakan departemen yang bersifat sektoral maupun
kebijakan daerah terhadap integrasi nasional.Ketiga, guna
mencegah gerakan yang bersifat separatis perlu adanya
sosialisasi yang menetralisir gerakan tersebut.
5. Pelaksanaan otonomi daerah juga masih memunculkan
problematik seperti masalah kewenangan, kelembagaan,
kepegawaian, dan keungan daerah.Sebagai misal mengenai
kewenangan masih ada tarik ulur pemerintah pusat seperti
kewenangan pertanahan, keluarga berencana dan lain-
lain’bahkan ada upaya lembaga pusat yang menghendaki
sentralistik lagi dengan membentuk Unit Pelayanan Teknis
(UPT) di daerah.Mengenai kepegawaian karena
kewenangannya ada pada kabupaten/kota,maka kesulitan
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 8
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
yang muncul untuk pemerataan,kareana ada sementara
daerah yang sumber daya manusianya belum
memadai.Sementara itu, karena pengaturan dan pemanfaatan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota
tergantung Bupati/Walikota,maka ada sementara daerah yang
Bupati/Walikota nya lebih mementingkan membeli kendaraan
dinas atau membiyai sepak bola dari pada untuk kepentingan
masyarakat banyak.
6. Kewenangan DPRD untuk mewujudkan demokrasi tingkat lokal
ternyata jauh dari harapan, karena para wakil rakyat lebih
banyak memikirkan kepentingan sendiri daripada kepentingan
masyarakat.Akibatnya partisipasi masyarakat yang semula
tinggi jadi mengendur.Disamping juga belum ada lembaga
kontrol DPR dan DPRD,sehingga meskipun sitem pemerintahan
kita menganut kabinet presidensiil tapi kenyataannya apabila
terjadi persengketaan yang menang selalu legislative.
7. Ada sementara orang yang melihat bahwa pelaksanaan
otonomi daerah justru memindahkan korupsi dari pusat ke
daerah dan menciptakan raja-raja kecil di daerah.Karena
banyak kasus Kepala Daerah atau anggota DPRD yang
belakangan terbukti menyalah gunakan kekuasaan.
8. Pelaksanaan otonomi daerah juga memunculkan kesulitan
pemerataan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan
kapasitas industri antar daerah yang antara yang satu dengan
lainnya.
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 9
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
PENGAMALAN PANCASILA DALAM
IMPLEMENTASI OTODA
Berdasarkan pengalaman, terbukti bahwa pola sentralisasi
pemerintahan cenderung menimbulkan ekonomi biaya tinggi,
akibat lambannya birokrasi.Selain itu, pola sentralisasi tidak
mendorong kreativitas dan motivasi untuk membangun melalui
pola pembangunan yang bersifat partisipatif.Lagi pula, kondisi
geografis Indonesia dengan wilayah yang menyebar terpencar
membuat masalah pembangunan nasional demikian
kompleks.Dalam pada itu,pembangunan tidak hanya
diorientasikan pada dimensi optimalisasi dukungan dan
pengembangan sumber daya di daerah, tetapi juga pada dimensi
persatuan dan kesatuan.
Kedua dimensi inilah yang menjadi dasar dari peletakan
otonomi daerah pada kabupaten dan kota, melalui penyerahan
sebagian urusan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.Di
masa lalu, banyak masalah terjadi di daerah yang tidak
tertangani secara baik karena keterbatasan kewenangan
pemerintah daerah di bidang itu.Ini berkenaan antara lain dengan
konflik pertanahan, kebakaran hutan, pengelolaan
pertambangan, perijinan investasi, perusakan lingkungan, alokasi
anggaran dari dana subsidi pemerintah pusat, penetapan
prioritas pembangunan, penyusunan organisasi pemerintahan
yang sesuai dengan kebutuhan daerah, pengangkatan dalam
jabatan struktural, perubahan batas wilayah administrasi,
pembentukan kecamatan, kelurahan dan desa, serta pemilihan
kepala daerah.Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22
tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004, kewenangan itu didesentralisasikan ke daerah. Artinya
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 10
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
pemerintah dan masyarakat di daerah dipersilahkan mengurus
rumah tangganya sendiri secara bertanggung jawab.Pemerintah
pusat tidak lagi mempatronase, apa lagi mendominasi
mereka.Peran pemerintah pusat dalam konteks desentralisasi ini
adalah melakukan supervise, memantau, mengawasi dan
mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah.
Tadi telah disampaikan bahwa meskipun otonomi daerah
telah dilaksanakan lebih dari sepuluh tahun namun masih
dijumpai kendala-kendala dalam implementasinya.Pemecahan
terhadap permasalahan implementasi otonomi daerah tadi, sudah
barang tentu harus di dasarkan pada norma dasar, sebagaimana
teori Hans Kelsen “Stufenbau des Recht- nya”(Zainudi Ali: 2005),
yang di Indonesia adalah Pancasila.Ideologi Pancasilla ini,
tentunya tidak bias dipisahkan dari UUD 1945,NKRI dan Bhinika
Tunggal Ika,karena keempat-empatnya adalah merupakan pilar-
pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Adapun langkah-langkah pemecahan permasalahan
implementasi otonomi tersebut, dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Permasalahan adanya anggapan bahwa UU No 32 Tahun
2004,sebagai UU Departaman Dalam Negeri
Sebagaimana diketahui, undang-undang dibuat dalam
suatu Negara di berlakukan secara universal, berlaku untuk
semua warga Negara,bukan untuk golongan atau institusi
tertentu.Karenanya adalah tidak benar adanya anggapan bahwa
UU No 32 tahun 2004, adalah sebagai UU nya Departemen Dalam
Negeri, tetapi merupakan UU nya seluruh warga Negara dan
lembaga yang ada di Indonesia, sehingga ada kewajiban untuk
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 11
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
melaksanakan dan mematuhinya.
Untuk itu sebenarnya ada pula kewajiban Departemen dan
Lembaga Non Departemen yang ada di tingkat pusat untuk ikut
mensosialisasikan keberadaan UU No 32 tahun 2004 ini kepada
jajarannya, sehingga otonomi daerah dapat berjalan seperti yang
diharapkan.Pada kenyataannya adanya anggapan ini sangat
mengganggu penyelenggaraan otonomi daerah, karena ada
sebagian Departemen dan Lembaga Non Departemen yang
belum menyerahkan sebagian kewenangannya.Terhadap hal ini
diperlukan adanya ketegasan dari pemerintah pusat kepada
Departemen dan Lembaga Non Departemen yang belum
menyerahkan kewenangan kepada daerah, bila perlu dengan
pemberian sanksi kepada Menteri atau Pimpinannya,sehingga
dapat ditegakan Negara Keatuan Republik Indonesia.
2. Permasalahan, Konflik antara Pemerintah Provinsi dengan
Pemerintah Kabupaten/Kota
Permasalahan ini berpangkal pada penekanan UU No 22
tahun 1999 yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan
hierarkhis antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah
Kabupaten/Kota.Hal ini pada kenyataannya menimbulkan
arogansi pemerintah kabupaten/kota tidak ta’at asas dengan
pemerintah provinsi, sebagai misal undangan rapat oleh
Gubernur jarang yang dihadiri oleh Bupati/Walikota secara
pribadi, Bupati /Walikota sering ke pemerintah pusat tanpa
melapor kepada Gurbernur.Bahkan ada seorang Bupati yang
tidak mau diperiksa oleh Gubernur.Meskipun UU 22 tahun 1999
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 12
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
telah diubah dengan UU No 32 tahun 2004, keadaan semacam ini
masih terjadi, sehingga muncul pandangan bahwa saat itu
pemerintah provinsi di dzolimi oleh pemerintah
kabupaten/kota.Kondisi ini terdukung oleh, tidak diaturnya sanksi
yang oleh UU No 32 tahun 2004 bagi Bupati/Walikota yang
kinerjanya tidak baik serta tidak ta’at asas terhadap pemerintah
provinsi.
Permasalahan ini telah diupayakan pemecahannya oleh
pemerintah pusat denga dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 19 tahun 2010 tentang “Tata Cara Pelakanaan Tugas Dan
Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil
Pemerintah Di Wilayah Propinsi”,
Dalam pasal 3 PP 19 tahun 2010 tersebut disebutkan
bahwa Gubernur sebagai wakil Pemerintah memiliki tugas
melaksanakan urusan pemerintahan meliputi antara lain ;
koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah
daerah provinsi dengan instansi vertikal dan antar instasi vertikal,
koordinasi penyelenggaraan pemerintah antara pemerintah
daerah provinsi dengan pemerintah daerah
kabupaten/kota,pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan daerah kabupaten/kota,menjaga kehidupan
berbangsa dan bernegara serta memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia,menjaga dan mengamalkan ideologi
Pancasila dan kehidupan demokrasi,dan lain sebagainya.
Pasal 4 PP 19 tahun 2010 tersebut,menyebutkan Gubernur
sebagai wakil Pemerintah memiliki wewenang : mengundang
rapat Bupati/Walikota beserta perangkat daerah dan pimpinan
instansi vertikal,meminta kepada Bupati/Walikota beserta
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 13
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
perangkat daearah dan pimpinan instansi vertikal untuk segera
menangani permasalahan penting dan/atau mendesak yang
memerlukan penyelesaian cepat,memberikan penghargaan atau
sanksi kepada Bupati/Walikota terkait dengan kinerja,
pelaksanaan kewajiban, dan pelanggaran sumpah
janji,menetapkan sekretaris daerah Kabupaten/Kota sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,mengevaluasi
rancangan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah – pajak daerah – retribusi daerah – dan tata ruang
wilayah kabupaten/kota, memberikan persetujuan tertulis
terhadap penyidikan anggota DPRD kabupaten/kota,dan lainnya.
Namun demikian,PP ini sampai sekarang belum ada
peraturan pelaksanaannya, sehingga pelaksanaannya belum
efektif seperti yang diharapkan
3. Permasalahan Munculnya Gejala Etno-Sentrisme atau
Fenomena Kedaerahan
Fenomena etnosentrisme mulai berkembang, sejak awal
tahun 2000 waktu pemilihan Kepala Daerah berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mulai
ditetapkan.Masyarakat daerah setempat ramai-ramai menuntut
calon gubernur,bupati dan walikota beserta para wakilnya berasal
dari “PAD” (Putra Asli Daerah).Mereka menekan DPRD agar
memenuhi aspirasi tersebut, sehingga ada DPRD yang
kebablasan mencantumkan persyaratan Putra asli Daerah dalam
Tata Tertib Pemilihan. Padahal dalam Undang-Undang
Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1999 hanya diatur “sang
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 14
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
calon mengenal daerahnya dan dikenal masyarakat di
daerahnya” (Pasal 33 huruf j).
Mulai tahun 2000 aroma etnosentrisme juga merebak ke
arena Laporan Pertanggung-jawaban (LPJ) Kepala
Daerah.Kelompok etnik dibawa-bawa orang politik untuk
mendukung atau menolak LPJ yang menimbulkan efek jelek
terhadap kualitas kehidupan bersama kelompok masyarakat,
seperti tampak jelas dari kasus penyerangan Forum Betawi
Rempuk (FBR) yang pro Gubernur Stiyoso terhadap kelompok
Urban Poor Concortium (UPC) yang anti Gubernur Sutiyoso di
Ibukota Jakarta akhir Maret 2002.
Perkembangan penyakit etnosentrisme semakin meruyak
manakala otonomi daerah dilaksanakan secara efektif terhitung 1
Januari 2001.Sebagian Pegawai Negeri Sipil (PNS) eks Kantor
Wilayah (Kanwil) dan Kantor Departemen (Kandep) yang
dilikwidasi ditolak pengalihannya oleh Pemda, gara-gara mereka
bukan berasal dari etnik daerah yang bersangkutan.Atau kalau
toh diterima, mereka menjadi PNS “kelas dua”.Misalnya ,jika
Dana Alokasi Umum (DAU) kurang mereka lah yang pertama-
tama diancam akan dikorbankan.Yang lebih parah lagi, setelah
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Daerah (Pemda)
ditetapkan, pejabat-pejabat yang dipromosikan yang
dipromosikan menduduki struktur organisasi Pemda tersebut
lebih diutamakan Putra Asli Daerah, kendatipun qualifikasi
mereka belum mencukupi.Mereka yang memiliki kompetensi
tetapi bukan Putra Asli Daerah tidak mendapat jabatan strategis
atau bahkan di-non-job-kan.Begitu pula dalam penerimaan
pegawai baru, orang-orang di daerah tersebut menuntut calon
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 15
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
PNS harus berasal dari etnik daerah itu.
Belakangan ini “wabah” etnosentrisme melanda pula
wilayah lembaga legislative daerah kita. Mulai terdengar suara
agar DPRD dipimpin dan diisi oleh anggota-anggota dari kalangan
Putra Asli Daerah.Mereka yang bukan PAD harus
disingkirkan.Walaupun suara itu belum cukup kencang,tetapi
kalau dicermati asal-usulnya terlihat dari rasa frustrasi
masyarakat daerah setempat yang calonnya dari kalangan PAD
tidak gol menjadi KDH,karena lemahnya dukungan anggota
dewan.Maka guna memenangi pemilihan KDH, jumlah anggota
DPRD dari PAD harus dilipatgandakan.
Selain itu , juga muncul fenomena anggota DPRD dari PAD
juga mencuat pada waktu pengisian anggota dewan di daerah
pemekaran.Sesuai Undang-Undang Pembentukan Daerah
Otonom, anggota DPRD Daerah Induk yang berasl dari daerah
pemekara harus “pulang kandang”ke DPRD daerah pemekaran
tempat di mana yang bersangkutan dicalonkan dalam Pemilihan
Umum.Ada banyak kasus anggota dewan tersebut bukan PAD.
Mereka ini kemudian ditolak pulang menjadi anggota dewan di
daerah pemekaran oleh masyarakat setempat.Di beberapa
tempat pemerintah terpaksa mengalah, supaya DPRD segera
terbentuk.
Sejak tahun 2000 daerah mulai otonom membuat kebijakan
sesuai kewenangannya yang lumayan besar. Perda dapat dibuat
dan dilaksanakan, tanpa menunggu pengesahan Pemerintah
Pusat.Keputusan KDH biasa dijalankan tanpa menunggu Petunjuk
Pelaksanaan dari berbagai instansi pemerintah tingkat atas.
Mereka lalu tancap gas menjalankan fungsi pengaturan itu, tanpa
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 16
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
bimbinga dan pengawasan pemerintahan yang memadai.
Akibatnya, lahirlah kebijakan aneh-aneh yamg berbau etnis atau
daerahisme seperti pengaturan tentang pendatang, persyaratan
PAD bagi calon KDH, larangan perempuan keluar malam,
pengambil alihan BUMN, dan pembatalan kontrak investasi
asing.Dengan otonomi seluas-luasnya, daerah provinsi seolah-
olah telah merdeka dari pusat atau bagi kabupaten/kota merdeka
dari pengendalian provinsi, karena itu mereka merasa bebas
berbuat apa saja.
Untuk mencegah berkembangya bibit etnosentrisme lebih
jauh, seyogyanya dilakukan upaya-upaya sebagai berikut :
a. Perlu dilakukaan pemantapan dan perluasan wawasan
kebangsaan para tokoh masyarakat, tokoh agama, para elit
politik, serta tokoh organisasi masyarakat secara
berkesinambungan.
b. Pemerintah pusat perlu meempermantap rambu-rambu yang
jelas, rinci, dan lengkap dalam mengatur otonomi daerah.
c. Pemerintah pusat harus tegas dan tidak ragu-ragu dalam
mengawasi pelaksanaan otonomi daerah.Setiap pelanggaran
harus dikoreksi, dan standar ganda tidak boleh terjadi
d. Peningkatan peran Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat
sesuai PP Nomor 19 Tahun 2010, perlu segera dikeluarkan
aturan pelaksanaannya.
e. Sanksi bagi politisi yang melakukan tindakan tidak terpuji
seyogyanya diperberat, supaya yang lainnya jera.
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 17
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
f. Masyarakat setempat beserta berbagai lembaga yang
dimilikinya perlu dilibatkan dan diberdayakan.Kegiatan
sosialisasi dan konsultasi dalam pembuatan kebijakan daerah
wajib mengajak mereka.
g. Pendidikan anti-kekerasan perlu dipromosikan kepada warga
daerah kita, disamping itu Forum lintas budaya perlu
dihidupkan dalam komunitas lokal, di mana berbagai suku
ketemu mendiskusikan masalah daerah.
4. Permasalahan, munculnya Konflik Sosiologis
Berdasarkan pengamatan, bila dianatomi sumber konflik
di Indonesia adalah ;
Dari dimensi budaya antara lain : masih berkembangnya
ideology primordialisme (suku, agama, ras), masyarakat
masih melihat dengan kaca mata stereotype
(menggeneralisasikan sifat-sifat suatu suku, bangsa, agama
dsb. Tanpa landasan yang rasional), stock of knowledge
sebagian masyarakat kita sudah teranjur terbentuk melalui
sosialisasi di dalam keluarga, tempat ibadah, sekolah dsb.-
bila stock of knowledge ini merugikan perlu dilakukan
gerakan “ de-edukasi” secara meluas dan medasar,system
kepercayaan (agama, kepercayaan) sering merupakan
sumber konflik – tetapi sering pula merupakan basis moral
“anti konflik dan kekerasan”, ideologi Negara – sejak
runtuhnya Orde Baru kita juga melupakan ideologi
Pancasila – padahal ideologi ini penting untuk menjadi
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 18
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
landasan solidaritas bangsa.
Dimensi sosial meliputi : sistem sosialisasi di berbagai
pranata sosial seperti rumah, sekolah, tempat ibadah,
media massa, ormas & orsospol yang masing-masing
menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai “ non
integrative” secara disadari maupun tidak; kesenjangan
sosial bukan saja antar individu, tetapi juga golongan dan
daerah.Hal ini menyulitkan terbentuknya solidaritas yang
berskala nasional ; hukum yang tidak adil cenderung
menciptakan situasi anomic (tidak jelas mana yang benar
mana yang salah) ; matinya lembaga adat karena
pemerintah terlalu menyeragamkan kelembagaan
pembangunan. Otonomi daerah tidak dengan mudah bias
memperbaiki situasi yang ada ; pengangguran menciptakan
sekelompok orang tidak memiliki status jelas dan tanggung
jawab. Kelompok ini bias menjadi “rumput kering” yang
siap dibakar oleh siapa saja; lemahnya kontrol sosial baik
pada masyarakat maupun aparat; pembentukan sikap
“fanatisme” terus berlangsung di masyarakat; terdapatnya
gejala berkembangnya sifat agresifitas, frustasi dsb. karena
kondisi sosial ekonomi yang merosot; ketidakpercayaan
meluas baik pada tingkat individual, posisional,
organisasional, institusional bahkan ontological.
Dimensi Biologis meliputi : berkembangnya kondisi biologis
yang semakin tak tertahankan (rasa lapar, rasa sakit) di
kalangan kelompok-kelompok amat miskin; rangsangan
obat bius yang secara biologis tak dapat tertahankan lagi
oleh orang-orang yang menjadi korban.
Untuk memecahkan maslah tersebut perlu diupayakan
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 19
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
langkah-langkah sebagai berikut :
a. Di setiap daerah perlu dibentuk Forum Kewaspadaan Dini
Masyarakat, sehingga dapat dideteksi secara dini
permasalahan-permasalahan di daerah,
b. Perlu dikembangkan agen sosialisasi yang mampu
menetralisasi pola sosialisasi yang bersifat separatis (misalnya
Gelanggang Remaja, Media massa, dan sebagainya),
c. Setiap daerah (Kabupaten/Kota) sebaiknya memiliki dokumen
Rencana Umum Pembangunan Sosial Budaya, agar
permasalahan sosial budaya dapat lebih teridentifikasi dan
tujuan lebih terumuskan,
d. Pemerintah pusat perlu mengembangkan kelembagaan untuk
pembangunan sosial-budaya yang mampu membuat “critical
analysis” yang bersifat holistic dan societal mengenai dampak
berbagai macam kebijakan departemen yang bersifat sektoral
maupan kebijakan daerah terhadap integrasi nasional,
e. Para ahli Ilmu Politik harus lebih memperhatikan analisis
sosiologis dalam memikirkan pengembangan politik
nasional,jangan terlalu berorientasi pada tokoh atau golongan
saja.
5. Permasalahan Kewenangan,Kelembagaan,Kepegawaian
dan Keuangan
Dari dimensi kewenangan sebenarnya masih terdapat
permasalahan yang perlu mendapat pemecahan. Apabila dalam
UU Nomor 32 Tahun 2004, pasal 10 (3) disebutkan bahwa urusan
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 20
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah adalah politik
luar negeri, pertahanan, keamanan,yustisi, moneter dan fiscal
nasional, serta agama, namun pada kenyataan masih ada
departemen dan lembaga non departemen yang masih belum
mau menyerahkan urusannya ke daerah, sebagai misal urusan
pertanahan, urusan keluarga berencana dan lain sebagainya.
Sudah barang tentu permasalahan cukup mengganggu dalam
penyelenggaraan otonomi daerah, utamanya masalah
pertanahan, karena kendala utama pembangunan di daerah
adalah tanah.
Permasalahan berikutnya adalah masalah kelembagaan,
yang muncul sebagai dampak belum diserahkannya beberapa
urusan ke daerah serta perbedaan persepsi mengenai urgensi
urusan di daerah tersebut yang membawa dampak terhadap
penentuan esselonering suatu lembaga pada tiap-tiap daerah.
Selanjutnya masalah keuangan,terutama terjadi karena
euforia otonomi seluas-luasnya berdampak pada otoriterisme
Bupati/Walikota yang menenentukan penggunaan APBD
semaunya sendiri, sehingga ada yang terjadi lebih diutamakan
pembelian kendaraan dinas atau pembangunan kantor Pemda,
bahkan membiayai sepak bola daripada untuk kepentingan
rakyat miskin.
Masalah berikutnya adalah masalah kepegawaian, yang
antara daerah satu dengan lainnya tidak sama tingkat
kemampuan dan jumlahnya, disamping permasalahan mutasi
antar daerah, sehingga mempengaruhi kinerja Pemda setempat.
Permasalahan ini sudah mendapat perhatian secara
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 21
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
khusus, dengan mengupayakan langkah-langkah :
1. Pemerinta pusat perlu menekankan kepada
Departemen atau Lembaga non Departemen yang belum
menyerahkan urusannya ke daerah segera menyerahkan
urusan tersebut ke daerah,mengingat urusan tersebut
bukan urusan pangkal pemerintah pusat,
2. Perlu ada bimbingan dan pembinaan secara mantap
dari pemerintah lebih atas kepada Pemda Kab/Kota dalam
pembentukan kelembagaan di daerah,
3. Evaluasi rancangan Perda APBD dari Pemerintah
atasan kepada Pemda Kab/Kota harus secara ketat dan
tegas, bila perlu diberi sanksi, sehingga APBD benar-benar
untuk rakyat,
4. Untuk pemerataan sumber daya manusia di
Pemerintah Kabupaten/Kota, seyogyanya urusan
kepegawaian diserahkan kepada Gubernur.
6. Permasalahan Kewenangan DPRD yang Jauh Dari
Harapan
Ada sejumlah kasus yang menunjukkan kepada kita
bahwa sebagian anggota dewan kita jauh dari harapan,
diantaranya adalah:
Pertama, belum mempunyai kemampuan (SDM) yang
dapat diandalkan untuk mengemban tugas
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 22
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
perwakilan/kelegislatifan. Kalau seorang anggota dewan yang
tidak punya kemampuan, bagaimana mungkin dia biasa
berargumentasi tentang suatu masalah untuk memperjuangkan
aspirasi masyarakat yang diwakilinya itu.
Kedua, anggota dewan saat ini juga sangat akrab
dengan berita money politics mulai dari proses pemilihan kepala
daerah, proyek-proyek, meloloskan Perda sampai minta kenaikan
gaji.Ada sejumlah pengamat menilai bahwa DPRD tidak
memperjuangkan aspirasi rakyat.Dewan dinilai egois karena
hanya memperjuangkan kepentingan parpol dan kepentingan
pribadi.Sementara itu ada sebagian anggota dewan yang disoroti
sebagai telah memperkaya diri secara menyolok dan kurang
masuk akal.
Ketiga, anggota dewan juga sering kali mengecewakan
masyarakat karena dinilai kurang biasa menyelesaikan konflik
internal maupun eksternal.
Keempat,masyarakat menilai anggota dewan kita
malas,sebagai contoh pemberitaan banyak anggota dewan kita
yang absen.Hal ini menunjukan secara transparan, bahwa
sebagai anggota dewan tidak serius karena banyak yang
absen,kalau toh hadir banyak yang tidur selama rapat-rapat
berlangsung.
Disamping keempat permasalahan tersebut, muncul
permasalahan siapa yang mengontrol anggota dewan, karena
sampai saat ini belum ada lembaga yang dapat mengontrol
perilaku dan kinerja anggota dewan, sehingga akhir-akhir ini
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 23
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
banyak kasus dilakukan anggota dewan.
Sudah barang tentu permasalahan ini harus dicarikan
pemecahannya, antara lain dengan upaya-upaya sebagai berikut:
1. Kemampuan anggota dewan perlu ditingkatkan melalui
pelatihan-pelatihan baik yang dilakukan oeleh partai induknya
maupun oleh pemerintah daerah seketika setelah dilantik,
2. Dewan yang hanya mementingkan dirinya sendiri perlu
mendapat kontrrol dan kritikan msyarakat daerah
pemilihannya. Anggota dewan seperti ini jangan dipilih untuk
periode berikutnya,
3. Dewan yang melakukan pelanggaran, termasuk yang tingkat
absensi tinggi perlu diberi sanksi yang berat, sehingga dapat
membuat jera yang bersangkutan dan yang lainya tidak
meniru,
4. Kontrol dan pengawasan oleh masyarakat harus dilakukan
secara ketat, bekerja sama dengan penegak hukum.
7. Permaslahan, Otonomi Daerah Memindahkan Korupsi Dari
Pusat Ke Daerah
Ada sementara orang yang berpendapat bahwa
pelaksanaan otonomi daerah ternyata cenderung memindahkan
korupsi dari Pusat ke daerah dan menciptakan raja-raja kecil
didaerah.Ini dimungkinkan terjadi, karena kewenangan DPRD
yang besar itu tidak digunakan untuk kepentingan rakyat,
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 24
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
melainkan untuk kepentingan diri sendiri.Praktek money politics
bukan lagi rahasia, sehingga pertanggungjawaban KDH seringkali
lolos mulus dihadapan DPRD.Perilaku “aji mumpung” di
kalangan anggota DPRD dilatar belakangi oleh rasa kurang
percaya diri, sehingga merasa tidak ada jaminan dirinya bakal
terpilih kembali dalam pemilu berikutnya.Akibatnya fungsi control
tidak berjalan,bahkan mereka bermain sendiri, sehingga clean
governance di daerah sulit diwujudkan.
Kondisi demikian ini memunculkan peluang korupsi baik
pada tataran eksekuttif maupan legislatif, terbukti akhir-akhir ini
terjadi banyak Bupati/Walikota dan aparatnya serta beberapa
anggota dewan yang dimejahijaukan.
Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya pemecahanya,
dengan langkah-langkah, antara lain :
1. Penegakan hukum perlu lebih ditingkatkan lagi, dengan
meningkatkan kerja sama masyarakat,lembaga pengawas
fungsional dan penegak hokum.
2. Pengawasan melekat, pengawasan fungsional dan
pengawasan oleh masyarakat perlu lebih ditingkatkan, dengan
memperluas jaringan dan informasi.
3. Perlu standart Pelayanan Minimal dan standart pengukuran
kinerja yang jelas baik untuk eksekutif maupun untuk
legislatif, sehingga capaian pelayanan dan kinerja setiap
setiap tahunnya dapat diukur dengan jelas.
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 25
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
8. Permaslahan Kesulitan Pemerataan Pemanfaatan
Potensi
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa daerah di I
ndonesia ini potensinya tidak sama antara satu dengan lainnya,
sehingga dengan pelaksanaan otonomi daerah mucul
permasalahan pemerataan pemanfaatan potensi. Sebagai contoh
daerah-daerah di Pulau Jawa sudah barang tentu potensinya tidak
sama dengan daerah-daerah di Pulau Irian,
Sulawesi,Kalimantan,Sumatera dan lainnya. Di Jawa saja
potensinya berbeda antara kabupaten/kota yang satu dengan
lainnya. Kondisi ini tentunya memerlukan pemikiran pengaturan
secara sitematis dan terencana.
Sehubungan dengan itu kiranya langkah-langkah
pemecahan sebagai berikut :
1.Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya daerah perlu
diarahkan untuk kepentingan rakyat, sebagaimana ditekankan
pasal 33 UUD 1945, dengan meperhatikan persatuan dan
kesatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia,
2.Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dapat memfasilitasi
kerjasama anatar daerah dalam provinsi maupun antar darah di
luar provinsi, serta menarik kerja sama dengan investor,
3.Gubernur dapat membuat suatu kawasan pembangunan atau
pengembangan dengan melibatkan daerah-daerah yang
berbatasan.
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 26
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
KESIMPULAN
Otonomi darah telah berjalan sekitar
sepuluh tahun. Banyak hasil yang dicapai, tetapi
juga banyak kendala-kendala yang harus
dipecahkan, mengingat adanya perbedaan kondisi
daerah,suku, ras, agama dan lainnya.
Untuk itu perlu langkah-langkah pemecahan secara
sistematis dengan berlandaskan pada pilar-pilar kehidupan
berbangsa dan bernegara di Negara Indonesia, yakni Pancasila,
UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.Melalui upaya-upaya itu
harapan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,dengan
pelaksanaan otonomi daerah Insya Alllah akan dapat terwujut.
DAFTAR PUSTAKA
www.google.co.id/otonomi daerah di indonesia.
www.google.co.id/implementasi pancasila dalam otoda.
www.google.co.id/permasalahan otonomi daerah.
Arli Fauzi,Renungan Tentang Desentralisasi dan Otonomi
Daerah,PT Revka Petra Media, Sidoarjo2009.
Afan Gafar,Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi,Pustaka
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 27
“PENGAMALAN PANCASILA DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI
DAERAH”
Pelajar, Yogyakarta 2006.
Nyoman Sumaryadi,Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi
Daerah, Citra Utama,Jakarta 2005.
Rozali Abdulah,Pelaksanaan Otonomi Daerah & Isu Federalisme
Sebagai Suatu Alternatif,PT Raja Grafindo, Jakarta 2003.
Suko Wiyono,Otonomi Daerah Dalam Negara Hukum
Indonesia,Faza Media, Jakarta 2006.
Soetandyo Wignjosubroto dkk,PASANG SURUT OTONOMI DAERAH
Sketsa Perjalanan 100 Tahun,Institut for Local
Development, Jakarta 2005.
Syamsudin Haris,Desentralisasi & Otonomi Daerah,Desentralisasi,
Demokrasi & Akuntabilitas Pemerintahan Daerah,LIPI
Press,Jakarta 2007.
KELOMPOK 6, KELAS 1A Page 28