penerapan e

34
TUGAS KULIAH MATRIKULASI PENGANTAR ADMINISTRASI PUBLIK KONTEMPORER Penerapan E-Procurement dalam Sistem Pengadaan Barang dan Jasa OLEH: KELOMPOK 2 1. R. DIDIK SUBIHANDOKO 2. WIDHA RACHMAWATI

Upload: rio-nugroho

Post on 04-Aug-2015

60 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Penerapan E

TUGAS KULIAH MATRIKULASI

PENGANTAR ADMINISTRASI PUBLIK KONTEMPORER

Penerapan E-Procurement dalam Sistem Pengadaan

Barang dan Jasa

OLEH:

KELOMPOK 2

1. R. DIDIK SUBIHANDOKO

2. WIDHA RACHMAWATI

UNIVERSITAS BRAWIJAYAPROGRAM PASCA SARJANA

MALANG2012

Page 2: Penerapan E

Penerapan E-Procurement dalam Sistem Pengadaan

Barang dan Jasa

I. Latar Belakang

Pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan

pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik, seperti tertera dalam Pasal 5 UU

Pelayanan Publik. Pemerintah telah memberikan perhatian serius berkaitan dengan proses

pengadaan barang/jasa pemerintah yang ditandai dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden

Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Kehadiran Keppres tersebut diharapkan membuat pengadaan barang/jasa pemerintah menjadi

lebih efisien, efektif, terbuka, bersaing, transparan, adil, serta akuntabel. Keppres tersebut

menjadi standar regulasi di bidang pengadaan bagi seluruh lembaga pemerintah di seluruh

wilayah hukum negara Republik Indonesia. Regulasi dalam Pengadaan Pemerintah Sama

seperti penyelenggaraan pelayanan publik lainnya, pengadaan pemerintah dapat

diselenggarakan secara konvensional atau dengan memanfaatkan teknologi. Selama ini,

pengadaan pemerintah yang dilakukan secara konvensional dinilai memiliki beberapa

kelemahan . Kelemahan pertama terkait dengan transparansi.

Pengadaan konvensional dinilai tidak memberi informasi tentang seluruh pemasok

potensial kepada unit pengadaan. Pengadaan konvensional juga dinilai tidak menyediakan

mekanisme pengawasan kepada khalayak umum. Akibatnya, persaingan menjadi terbatas,

dampak terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi melemah, terjadi eksklusi terhadap pemasok

potensial dan pemberian hak khusus terhadap pemasok tertentu. Kondisi pengadaan di

Indonesia memberikan fakta bahwa dari 4,2 juta perusahaan di Indonesia yang bergerak

dalam sektor pengadaan barang/jasa pemerintah, hanya 3,5 persen (150.000) yang terlibat.

Seiring dengan pertumbuhan dan makin beragamnya ekonomi negara, pada akhirnya

jumlah pemasok potensial pun semakin bertambah. Di sisi lain, pemerintah terus berkembang

dan makin terdesentralisasi, lembaga pemerintah melakukan pengadaan pada waktu dan

lokasi yang berbeda. Kemungkinan bahwa pasokan dan kebutuhan (supply and demand) akan

saling cocok menjadi terbatas, dan pada akhirnya lembaga akan meminta penawaran,

Page 3: Penerapan E

membeli barang, dan mengontrak jasa dari sekumpulan pemasok yang mereka kenal. Jumlah

penawar untuk peluang tersebut pun juga terbatas meski mereka telah mengetahui kebutuhan

lembaga.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan dari sisi keadilan proses pengadaan dan

memunculkan kebutuhan akan mekanisme pengukuran dan pengawasan yang lebih ketat.

Kurangnya transparansi mengurangi kredibilitas proses pengadaan, mengurangi kepercayaan

masyarakat umum, dan membuatnya rentan korupsi. Hal ini bertentangan dengan keinginan

Indonesia untuk memberantas korupsi seperti yang tertuang dalam Inpres Nomor 5 tahun

2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Ruang lingkup kompetisi yang terbatas dan

prosedur pengawasan yang lebih ketat membuat proses pengadaan menjadi kurang efisien

(kelemahan kedua), yang akhirnya membuat waktu pengiriman (delivery time) menjadi lebih

lama dan biaya menjadi lebih mahal, baik bagi pemerintah maupun pemasok. Harga

barang/jasa yang diperlukan menjadi lebih tinggi.

Di beberapa negara, biaya administratif terkait dengan pengadaan bahkan lebih mahal

dari biaya produk atau jasa yang dibeli. Kekurangan dari sisi efisiensi dan transparansi seperti

tergambar di atas membuat pengadaan pemerintah kurang berfungsi sebagai perangkat untuk

memajukan pembangunan (kelemahan ketiga) mengingat operasi pengadaan yang ada

mengurangi efektivitas program dan proyek pemerintah serta kurang berkontribusi terhadap

produktivitas dan pertumbuhan yang seimbang. Selain itu, prosedur pengadaan yang ada

lebih berpusat pada pemasok dan kawasan yang memiliki kekuatan negosiasi yang lebih,

ketimbang berpihak pada sector usaha kecil menengah (UKM) atau pembangunan daerah.

Mungkin masih banyak dari kalangan masyarakat kita yang tidak menyadari bahwa

salah satu unsur pendukung dalam kegiatan pembangunan sebuah negara adalah kegiatan

pengadaan barang/ jasa. Sebagai contoh yang paling sederhana adalah pengadaan kertas.

Bagaimana jadinya sebuah kantor pemerintah jika mengalami kehabisan stok kertas.

Tentunya kegiatan koordinasi terkait pelayanan publik, penetapan keputusan maupun

kebijakan serta aktivitas lainnya yang membutuhkan kertas sebagai media akan terhambat.

Kertas hanyalah sebuah contoh kecil dari betapa luas dan dinamisnya kegiatan

pengadaan barang/ jasa pemerintah dalam kegiatan sehari-hari dari lembaga pemerintah pada

umumnya. Bisa dibayangkan bagaimana jika sebuah lembaga pemerintah tidak memiliki

komputer, jaringan internet, peralatan ATK, mobil operasional, listrik, lampu, gedung dan

kebutuhan operasional penting lainnya. Yang selanjutnya terjadi adalah seluruh kegiatan

kantor menjadi lumpuh, fungsi instansi tidak berjalan, dan masyarakat pun tidak dapat

terlayani.

Page 4: Penerapan E

Ironisnya penyelewengan yang paling sering terjadi justru dalam kegia tan pengadaan

tersebut. Kontrak yang tidak sesuai ketentuan, proses tender yang tidak benar, mark-up harga

dengan besaran yang tidak masuk akal, pejabat pembuat komitmen yang nakal, tidak

maksimalnya hasil kerja penyedia, serta berbagai kasus lainnya, merupakan bentuk-bentuk

penyelewengan yang pada akhirnya membuat kegiatan pengadaan menjadi sebuah kegiatan

pemborosan anggaran. Anggaran yang semestinya bisa lebih banyak dimanfaatkan untuk

membiayai pembangunan lainnya, justru terkuras di dalam kegiatan pengadaan barang/jasa yang tidak

efektif dan efisien (Jurnal LKPP, 2012).

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah

yang dibiayai dengan APBN/APBD baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh

penyedia barang/jasa.

Dasar Hukum

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan

Barang/Jasa

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah bagi

Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang telah diubah dengan

Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006

Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan

Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004

Peraturan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 45/PRP/M/2007

Tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara

Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER-66/PB/2005 yang telah diubah dengan

Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER-11/PB/2011

Khusus untuk instansi vertikal Ditjen Perbendaharaan, Dirjen Perbendaharaan mengeluarkan

Surat Edaran Dirjen Perbendaharaan Nomor SE-106/PB/2005 Tentang Pengadaan Tanah dan

Bangunan Instansi Vertikal Ditjen Perbendaharaan.

Page 5: Penerapan E

Kebijakan Umum

Kebijakan umum yang ditetapkan dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah

sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 antara lain adalah:

1. Meningkatkan produksi dalam negeri, rancang bangun dan perekayasaan nasional

yang sasarannya adalah memperluas lapangan kerja dan mengembangkan industri

dalam negeri dalam rangka meningkatkan daya saing barang/jasa produksi dalam

negeri pada perdagangan internasional.

2. Meningkatkan peran serta usaha kecil termasuk koperasi kecil dan kelompok

masyarakat dalam pengadaan barang/jasa.

3. Menyederhanakan ketentuan dan tata cara untuk mempercepat proses pengambilan

keputusan dalam pengadaan barang/jasa.

4. Meningkatkan profesionalisme, kemandirian dan tanggung jawab pengguna

barang/jasa, panitia/pejabat pengadaan, dan penyedia barang/jasa.

5. Meningkatkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan.

6. Menumbuhkembangkan peran serta usaha nasional.

7. Mengharuskan pelaksanaan pemilihan penyedia barang/jasa dilakukan di dalam

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

8. Mengharuskan pengumuman secara terbuka rencana pengadaan barang/jasa kecuali

pengadaan barang/jasa yang bersifat rahasia pada setiap awal pelaksanaan anggaran

kepada masyarakat luas.

9. Mengumumkan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah secara terbuka melalui

surat kabar nasional atau surat kabar provinsi.

Kebijakan umum pertama kedua dan keenam ditetapkan dengan tujuan untuk lebih

mendorong/meningkatkan perekonomian nasional termasuk membantu usaha kecil,

kelompok masyarakat dan koperasi. Namun dalam pelaksanaan kebijakan ini sering kurang

diperhatikan oleh para pejabat terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah pada Satuan

Kerja Kementerian Negara/Lembaga. Untuk itu diharapkan para pejabat yang terkait dengan

pengadaan barang dan jasa dapat lebih memperhatikan.

Kebijakan umum ketiga dan keempat terkait ditetapkannya untuk lebih mempercepat

proses pengadaan barang/jasa dan meningkatkan profesionalitas para pejabat pengadaan

barang/jasa, sedangkan kebijakan umum kelima ditetapkan dalam rangka mendorong

Page 6: Penerapan E

penerimaan Negara di bidang perpajakan. Kebijakan umum ketujuh, delapan dan kesembilan

ditetapkan agar setiap pengusaha/rekanan yang berdomisili di seluruh Indonesia dapat

mengikuti pengadaan barang/jasa di seluruh Tanah Air, pada gilirannya usahanya dapat lebih

berkembang, di sisi lain agar harga yang ditetapkan murah. Kebijakan umum ini dalam

rangka perwujudan dari tujuan adanya persaingan yang sehat, transparan, terbuka

(wikiapbn, 2012).

Page 7: Penerapan E

II. Permasalahan

Sistem pengadaan barang dan jasa masih memiliki kelemahan dan belum secara efektif

mampu mencegah terjadinya korupsi. Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah sebagaimana diatur dalam Kepres 80 tahun 2003, masih memungkinkan bagi

Panitia Pengadaan dan Penyedia Barang/ Jasa untuk melakukan korupsi di setiap tahapannya.

Kelemahan tersebut terbukti dengan begitu besarnya kasus korupsi yang terkait dengan

pengadaan barang dan jasa pemerintah yang ditangani oleh KPK. Sebanyak 80 persen kasus

korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi di bidang pengadaan barang dan jasa.

Sebagian di antaranya disebabkan oleh adanya penunjukan langsung terhadap pemenang

lelang, sekitar 70-80 persen kasus korupsi yang ditangani KPK adalah pengadaan barang dan

jasa. Proyek pengadaan sangat rawan dikorupsi oleh pihak-pihak terkait. Di samping dengan

cara penunjukan langsung, juga melalui penggelembungan harga barang dan jasa

(Tempo, 2012).

Harus diakui bahwa dalam setiap tender atau lelang, pengadaan barang dan jasa yang

terjadi di pemerintahan, badan usaha milik negara (BUMN) maupun perusahaan swasta

memang rawan praktik korupsi kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut dimungkinkan

karena dalam setiap tender banyak pihak yang terkait dan memiliki berbagai kepentingan

(interest), baik kepentingan golongan atau kelompok maupun kepentingan pribadi. Untuk

mencegah timbulnya praktik KKN, selain perlu perbaikan sistem dan prosedur pengadaan

barang dan jasa agar lebih transparan dan akuntabel, perlu pula dicari alternatif lain yang

memenuhi prinsip-prinsip good corporate governance (GCG), terutama prinsip keterbukaan

(transparency) serta prinsip keadilan (fairness).

Pada tahun 2006 saja kasus korupsi terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah

mencapai 77 persen dari seluruh kasus korupsi yang ditangani KPK. Berkaitan dengan

banyaknya peluang penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa

pemerintah, KPK yang juga bertugas dalam bidang pencegahan korupsi berkonsentrasi untuk

ikut memecahkan masalah tersebut. Beberapa instansi dan pemerintah daerah yang juga

merasakan adanya kelemahan dalam sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah yang ada

saat ini juga tidak kalah inovatif dalam mencari pemecahan masalahnya. Beberapa instansi

dan pemerintah daerah menemukan pemecahan masalah melalui e-Procurement. Saat ini, e

Procurement merupakan salah satu pendekatan terbaik dalam mencegah terjadinya korupsi

Page 8: Penerapan E

dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Dengan e-Procurement peluang untuk kontak

langsung antara penyedia barang/jasa dengan panitia pengadaan menjadi semakin kecil, lebih

transparan, lebih hemat waktu dan biaya serta dalam pelaksanaannya mudah untuk

melakukan pertanggungjawaban keuangan. Hal tersebut dikarenakan sistem elektronik

tersebut mendapatkan sertifikasi secara internasional.

Page 9: Penerapan E

III. Pemecahan Masalah

Pengadaan adalah kegiatan untuk medapatkan barang, atau jasa secara transparan,

efektif, dan efisien sesuai dengan kebutuhan dan keinginan penggunanya. Yang dimaksud

barang disini meliputi peralatan dan juga bangunan baik untuk kepentingan publik maupun

privat. Barang/jasa publik adalah barang yang penggunaannya terkait kepentingan

masyarakat banyak baik secara berkelompok maupun secara umum, sedangkan barang/jasa

privat merupakan barang yang hanya digunakan secara individual atau kelompok tertentu.

Berdasarkan atas penggolongan ini maka suatu barang atau jasa dapat saja dikategorikan

atas barang publik tapi dapat juga dikategorikan atas barang privat tergantung pada

penggunaannya. Sebagai contoh, mobil bila digunakan untuk usaha angkutan penumpang

umum maka dikategorikan sebagai barang publik, tapi bila digunakan untuk kepentingan

pribadi maka dikategorikan sebagai barang privat. Terdapat beragam pemahaman terkait

dengan public procurement, tergantung pada cara pandangnya. Mengacu pada pengertian

umum tentang pengadaan tersebut maka public procurement dapat dipahami dari sudut

pandang obyek pengadaan, pelaksana pengadaan, dan sumber dana untuk mengadakan.

Pengadaan publik (Public Procurement) adalah proses akuisisi yang dilakukan oleh

pemerintah dan institusi publik untuk mendapatkan barang (goods), bangunan (works), dan

jasa (services) secara transparan, efektif, dan efisien sesuai dengan kebutuhan dan keinginan

penggunanya. Dalam hal ini, pengguna bisa individu (pejabat), unit organisasi (dinas,

fakultas, dsb), atau kelompok masyarakat luas.

Dari pengertian ini maka yang dimaksud dengan public procurement ditentukan oleh

siapa yang melaksanakan pengadaan bukan oleh obyek dari barang/jasanya. Bila dilakukan

oleh pemerintah dan institusi publik maka dikategorikan sebagai public procurement, namun

jika dilakukan oleh institusi privat (swasta) maka dikategorikan sebagai private procurement.

Dalam hal ini jika institusi pemerintah maka istilah pengadaan pemeritah (government

procurement) akan lebih sesuai.

Membedakan public procurement atas direct procurement dan catalic procurement. Pada

direct public procurement, Institusi Publik menjadi Pelaksana Pengadaan sekaligus

merupakan pengguna dari barang/jasa yang diadakan, oleh sebab itu secara intrinsik motivasi

kebutuhan dan pengusulan pengadaan berasal dari Pelaksana Pengadaan yang sekaligus juga

penggunanya. Sedangkan pada catalic procurement, Pelaksana Pengadaan melakukan

Page 10: Penerapan E

pengadaan atas nama dan untuk pengguna barang/jasa, namun motivasi kebutuhan dan

pengusulan pengadaan berasal dari Pelaksana Pengadaan bukan dari penggunanya.

Selain kedua tipe pengadaan tersebut, dikenal pula tipe campuran yang disebut

cooperative public procurement, dimana Pelaksana Pengadaan melakukan pengadaan atas

nama dan untuk pengguna barang/jasa, namun motivasi kebutuhan dan pengusulan

pengadaan berasal dari pengguna atau motivasi kebutuhan dari pengguna dan pengusulan

pengadaan dan pelaksanaan pengadaan dilakukan oleh Pelaksana Pengadaan.

Sebagai contoh tipe cooperatif adalah pembangunan pasar, usulan pembangunan

dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota (Dinas Pasar) bukan oleh penggunanya (pedagang

pasar dan masyarakat konsumen) dan pelaksanaannya dapat dilakukan oleh pemerintah

propinsi. Selain penggolongan diatas, ditinjau dari sumber dana yang digunakan untuk

pengadaan barang/jasa, maka yang dimaksud dengan public procurement adalah kegiatan

pengadaan yang sumber dananya berasal dari pemerintah atau institusi publik. Dalam hal ini

Indonesia menggunakan pemahaman ini untuk membedakan antara public procurement dan

private procurement. Semua pengadaan yang sumber dananya dari pemerintah baik melalui

APBN, APBD, maupun perolehan dana masyarakat yang dikelola oleh institusi pemerintah

dikategorikan sebagai public procurement, oleh sebab itu seluruh kegiatan dan proses

pengadaannya harus mengacu dan mengikuti Perpers No. 54 tahun 2010.

Pada hakikatnya tujuan dari pengelolaan sistem pengadaan adalah mencari jawaban terbaik

terhadap permasalahan yang timbul, baik permasalahan kebijakan pengadaan maupun

permasalahan sistem pengoperasian sehingga pengadaan barang/jasa dapat berfungsi

mencapai kinerja sebagaimana yang diharapkan.

Harapan dan kriteria kinerja ini tidak berlaku umum namun tergantung pada sudut

pandang dan kepentingan siapa, apakah dari sudut pandang dan kepentingan pengguna (user),

sudut pandang dan kepentingan pelaksana pengadaan/pengelola atau dari sudut pandang dan

kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu, kinerja sistem pengadaan akan bergantung pada

siapa yang akan menilainya.

Bagi pengguna barang/jasa atau konsumen, baik buruknya sistem pengadaan akan diukur

berdasarkan tingkat ketersediaan (availability) barang/jasa dan seberapa baik tingkat

pelayanan (service level) yang mampu diberikan oleh pengelola sistem pengadaan kepadanya

dengan harga yang terjangkau. Bagi pengguna yang penting adalah barang/jasa tersedia pada

saat diperlukan dan dengan pelayanan yang sebaik mungkin.

Pengguna biasanya tidak mau peduli apakah untuk memenuhi tuntutannya tersebut pihak

pengelola harus mengeluarkan ongkos yang besar atau kecil. Bahkan pengguna tidak peduli

Page 11: Penerapan E

apakah pengelola merugi atau untung, yang terpenting adalah terpenuhi kebutuhannya

dengan pelayanan yang baik.

Bagi pengelola, kinerja pengadaan diukur berdasarkan atas ongkos operasional pengadaan

untuk suatu kurun waktu horison perencanaan operasi tertentu (biasanya dalam waktu satu

tahun) tanpa mengabaikan tuntutan pelayanan penggunanya. Oleh sebab itu, pengelola barang

akan memilih barang dengan harga yang paling murah (lowest price). Namun, jika kualitas

barang dan umur pakainya berbeda maka harga yang paling murah belum tentu akan

memberikan ongkos operasional yang paling rendah.

Oleh sebab itu, kriteria total ongkos terendah selama umur pakai (total cost ownership)

perlu digunakan. Selanjutnya, bila barang/jasa tersebut digunakan untuk keperluan produksi

yang manfaatnya dirasakan oleh masyarakat luas maka ongkos terendah selama umur pakai

belum tentu akan memberikan keuntungan atau manfaat yang besar. Oleh sebab itu, kriteria

nilai manfaat terbesar dari uang (the best value for money) digunakan untuk menggantikan

kriteria total ongkos terendah selama umur pakai (total cost ownership).

Berangkat dari hakekat, pengadaan merupakan proses menjodohkan barang/jasa yang

dibutuhkan dengan penyedianya, maka metode pengadaan external atau pembelian,

ditentukan berdasarkan jenis barang/jasa dan penyedianya yaitu penunjukkan langsung,

seleksi, dan lelang/tender. Pada prinsipnya metoda penunjukkan langsung digunakan bila

jumlah penyedia barang hanya satu (tunggal), atau barang/jasa yang dibutuhkan bersifat

tertentu (khusus) dan atau hanya dapat dipenuhi oleh Penyedia Barang/Jasa tertentu.

Selain itu, pengadaan barang/jasa dapat dilakukan dengan cara penunjukkan langsung

karena alasan situasional misalnya pekerjaan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi karena telah

terjadi keadaan kahar, pekerjaan lanjutan dari pekerjaan yang sedang dilaksanakan

berdasarkan kontrak yang telah ada harga satuan tetap dan secara teknis merupakan satu

kesatuan kegiatan yang tidak dapat dipecah-pecahkan dari pekerjaan sebelumnya, dan

pekerjaan tambahan yang tidak dapat dielakkan dalam rangka penyelesaian pengadaan

barang/jasa semula sepanjang dapat dipertanggungjawabkan secara profesional, dan harganya

standar dan tetap.

Metoda pemilihan (selection) digunakan bila terbatas jumlah penyedia barang/jasa yang

sesuai dengan kualifikasi atau klasifikasinya. Pemilihan dilakukan dengan mengundang lebih

dari 1 (satu) penyedia barang/jasa melalui permintaan penawaran dan negosiasi secara

bersaing, sehingga diperoleh harga yang wajar dan secara teknis dapat

dipertanggungjawabkan. Selain itu, dilihat dari segi kepraktisan pemilihan dapat juga

dilakukan sebagai proses lebih lanjut atas pelelangan ulang yang mengalami kegagalan.

Page 12: Penerapan E

Sedangkan metoda pelelangan (tender) digunakan bila terdapat tak terbatas jumlah penyedia

barang/jasa yang sesuai dengan kualifikasi atau klasifikasinya. Pelelangan dimaksudkan

untuk menciptakan persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan

memenuhi syarat berdasarkan tata cara lelang yang transparan dan berkeadilan sehingga

terpilih penyedia barang/jasa terbaik. Pelelangan secara luas dan terbuka melalui papan

pengumuman resmi, dan atau media cetak/elektronik.

Selain itu dimungkinkan pula pembelian langsung yang merupakan pengadaan barang/jasa

yang dilakukan secara langsung kepada penyedia barang/jasa tanpa melalui proses

pelelangan, pemilihan langsung. Pengadaan barang/jasa tertentu dapat dilakukan dengan cara

pembelian langsung karena harganya standar dan tetap misalnya BBM, nilainya kecil, atau

karena alasan situasional.

Prinsip Dasar Pengadaan

Pengadaan Barang/Jasa dilaksanakan dengan menggunakan prinsip dasar sebagai berikut :

1. Transparan: semua ketentuan dan informasi, baik teknis maupun administratif

termasuk tata cara peninjauan, hasil peninjauan, dan penetapan Penyedia

Barang/Jasa harus bersifat terbuka bagi Penyedia Barang/Jasa yang berminat dan

mampu tanpa diskriminasi.

2. Adil: tidak diskriminatif dalam memberikan perlakuan bagi semua calon Penyedia

Barang/Jasa dan tidak mengarah untuk memberikan keuntungan kepada pihak

tertentu, dengan cara atau alasan apa pun.GADAAN BARANG / JASEERINTAH

3. Bertanggung jawab: mencapai sasaran baik fisik, kualitas, kegunaan, maupun

manfaat bagi kelancaran pelaksanaan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip dan kebi-

jakan serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa.

4. Efektif: sesuai dengan kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan

manfaat yang sebesar-besarnya bagi para pihak terkait.

5. Efisien: menggunakan dana, daya, dan fasilitas secara optimum untuk mencapai

sasaran yang telah ditetapkan dengan biaya yang wajar dan tepat pada waktunya.

6. Kehati-hatian: berarti senantiasa memperhatikan atau patut menduga terhadap

informasi, tindakan, atau bentuk apapun sebagai langkah antisipasi untuk

menghindari kerugian material dan imaterial selama proses pengadaan, proses

pelaksanaan pekerjaan, dan paska pelaksanaan pekerjaan;

7. Kemandirian: berarti suatu keadaan dimana pengadaan barang/jasa dikelola secara

profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun;

Page 13: Penerapan E

8. Integritas: berarti pelaksana pengadaan barang/jasa harus berkomitmen penuh

untuk memenuhi etika pengadaan;

9. Good Corporate Governance: Memenuhi prinsip-prinsip tata kelola perusahaan

yang baik (Good Corporate Governance)

Sistem e-procurement atau pengadaan barang/jasa secara elektronik melalui internet di

Indonesia pada perspektif pemerintah dipercaya sebagai alat/instrumen untuk mewujudkan

good governance dan pelayanan publik, karena akan meningkatkan efisiensi biaya,

efektifitas, waktu siklus yang lebih cepat, meningkatkan transparansi paket pekerjaan yang

dilelang, menyediakan publik monitoring yang lebih baik, meningkatkan persaingan yang

sehat dan meningkatkan akuntabilitas pemerintah.

Hadirnya UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik semakin menegaskan

pentingnya menghadirkan pelayanan publik yang berkualitas. Dalam UU tersebut dinyatakan

bahwa pelayanan publik haruslah berasaskan kepentingan umum, kepastian hukum,

kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, profesional, partisipatif, tidak diskriminatif,

terbuka, akuntabel, tepat waktu, cepat, mudah, dan terjangkau. UU tersebut juga

menyebutkan bahwa masyarakat berhak mengetahui kebenaran isi, mengawasi pelaksanaan,

mendapatkan tanggapan atas pengaduan, mendapatkan pemenuhan pelayanan, mendapatkan

pelayanan yang berkualitas dan bahkan dapat mengadukan penyimpangan pelayanan kepada

Ombudsman. Pemenuhan hak tersebut tentunya juga harus diimbangi dengan kewajiban

masyarakat untuk mematuhi dan memenuhi ketentuan dan peraturan sebagaimana

dipersyaratkan, memelihara sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan public, dan

berpartisipasi aktif. Teknologi, khususnya TIK, tentunya dapat berperan untuk meningkatkan

efisiensi, efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan publik.

Maklumat pelayanan, standar pelayanan, serta berbagai ketentuan dan peraturan dapat

diwujudkan dengan memanfaatkan TIK sehingga proses pelayanan dapat menjadi lebih cepat

dan lebih mudah.

Salah satu sistem pengadaan barang yang perlu dipertimbangkan adalah e-procurement

yang berbasis e-commerce. Pada saat ini, sistem e-procurement mulai berkembang berkat

dukungan perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih dan pesat. Selain itu,

saat ini semakin banyak perusahaan yang telah memiliki web site, sehingga komunikasi

secara real time dan on time melalui internet cukup maju, termasuk dalam hal pengadaan

barang dan jasa. Sistem e-procurement dapat berjalan lancar, apabila manajemen material di

suatu perusahaan dikelola dengan baik, mulai dari data base supplier, sistem cataloging

Page 14: Penerapan E

material, pengelolaan pesanan dari dan ke vendor atau supplier, sistem pembayaran, termasuk

masalah kesiapan tender atau lelang on-line (e-auction).

Manfaat E-procurement

Terdapat tujuh manfaat apabila menggunakan sistem e-procurement dalam pengadaan barang

dan jasa. Pertama, dapat menunjang sistem Just in Time (JIT) dalam memenuhi kebutuhan

material sehingga terjadi efisiensi biaya (cost reduction) dalam manajemen material. Kedua,

dapat meningkatkan efektivitas pengelolaan arus kas (cash flow management). Ketiga, dapat

mereduksi interaksi antar-manusia (face to face) sehingga dapat meningkatkan produktivitas.

Keempat, dapat menekan biaya operasi dan administrasi. Kelima, dapat memberi nilai

tambah (value added) berupa percepatan proses transaksi dan memperluas cakupan partisipasi

penawaran sehingga mampu menghasilkan harga yang terbaik. Keenam, dapat meminalisasi

interest pihak-pihak yang berkepentingan. Ketujuh, dapat meningkatkan transparansi dalam

pengadaan barang dan jasa sehingga mencegah timbulnya KKN karena dapat terjamin

transparansi bagi peserta tender. Pada masa mendatang sistem ini akan dapat memberi nilai

tambah (value added) secara optimal pada kriteria pengadaan barang dan jasa. Di mana,

volume dan frekuensi transaksi semakin tinggi, vendor (supplier) dapat memasok lebih

banyak, jenis transaksi rutin atau berulang semakin banyak, dan spesifikasi kebutuhan

semakin banyak dapat distandarisasi. Selain itu kemungkinan terjadi risiko lebih dapat

terukur (relatif rendah), dan adanya kontrak jangka panjang (longterm supply agreement)

serta untuk securing availability (order management) dapat lebih terjamin.

Proses pengadaan yang baik akan mendukung perkembangan sebuah negara, karena

pemakaian anggaran belanja yang tepat akan menopang pembangunan yang berujung pada

pertumbuhan ekonomi negara. Sebagai contoh sebuah wilayah yang memiliki infrastruktur

yang baik, cenderung menarik investor untuk membangun bisnisnya di wilayah tersebut

dibanding wilayah yang infrastrukturnya buruk. Kehadiran investor ini dapat mendukung

perekonomian wilayah tersebut. Kebutuhan inilah yang menjadi dasar utama kenapa

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) didirikan pada tahun 2008

lalu. Di pundak lembaga inilah tugas membangun kebijakan dan sistem pengadaan publik

diberikan, dengan harapan dapat menciptakan pengadaan yang kredibel dan

menyejahterakan. Dari LKPP kemudian lahir Peraturan Perpres No 54 Tahun 2010 (Perpres

54) yang menjadi regulasi utama pengadaan barang/jasa pemerintah.

Di sisi lain seiring dengan gelombang reformasi birokrasi dan adanya semangat untuk

menciptakan pengadaan yang lebih baik, pengadaan barang/jasa pemerintah juga terus

Page 15: Penerapan E

menunjukkan pergerakan perubahan di berbagai daerah di Tanah Air. Pembukaan Layanan

Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di sejumlah wilayah memperlihatkan adanya semangat

reformasi pengadaan di tiap Kementerian/Lembaga/Daerah/Instansi (K/L/D/I).

Sistem e-procurement sudah menjadi terobosan penting dalam pengadaan barang dan

jasa. Namun pada kenyataannya e-procurement masih memiliki kelemahan-kelemahan serta

hambatan-hambatan dalam proses pelaksanaannya, seperti kurangnya dukungan finansial,

terdapat beberapa instansi dan penyedia jasa lebih nyaman dengan sistem sebelumnya

(pengadaan konvensonal), kurangnya dukungan dari top manajemen, kurangnya skill dan

pengetahuan tentang e-procurement serta jaminan keamanan sistem tersebut. Selain itu dalam

pelaksanaannya di beberapa daerah terdapat keluhan bahwa sistem komputer untuk e-

procurement sering macet di saat menjelang deadline tender. Hal ini salah satunya

disebabkan oleh banyaknya aplikasi yang masuk dikarenakan para peserta lelang menunggu

hingga menjelang batas akhir waktu penawaran dalam memasukkan aplikasi karena takut

penawarannya dibocorkan ke pihak lain. Hal seperti ini disebabkan karena

kekurangmatangan pada teknologi informasi serta kurangnya skill dan pengetahuan terhadap

e-procurement.

Pengadaan barang dan jasa dengan menggunakan cara e-Procurement dapat dilakukan

dalam jangka waktu yang lebih cepat dibanding dengan cara yang dilakukan dengan cara

konvensional. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk pengadaan barang dan jasa dengan cara

konvensional adalah 36 (tiga puluh enam) hari sedangkan apabila dengan cara e-Procurement

hanya berkisar 20 (dua puluh) hari. Hal ini dikarenakan dengan sistem elektronik, proses

pengumuman pengadaan, penawaran, seleksi dan pengumuman pemenang dapat dilakukan

dengan lebih cepat.

Pemanfaatan e-procurement juga menunjukkan bahwa teknologi juga dapat berkontribusi

membenahi berbagai persoalan terkait pengadaan barang/jasa pemerintah yang mungkin sulit

dicapai jika kita hanya berfokus pada aspek reformasi birokrasi yang telah disebutkan

di atas (kelembagaan, SDM, tata laksana, pengawasan dan akuntabilitas, serta pelayanan

publik). e-Procurement memperluas akses pasar dan membantu menciptakan persaingan sehat

(transparansi, harga yang lebih baik, dan pola interaksi yang lebih baik). Teknologi

memungkinkan penyedia barang/jasa pemerintah di sebuah daerah, dengan hanya sekali

mendaftarkan diri, mendapatkan akses pasar yang lebih luas, yaitudalam hal ini seluruh

Indonesia, untuk kemudian melakukan persaingan secara sehat dan terbuka. Pengusaha besar

dan pengusaha kecil mendapatkan informasi peluang pasar yang sama dan mendapatkan

kesempatan yang sama untuk memenangkan peluang tersebut.

Page 16: Penerapan E

e-Procurement juga memberikan rasa aman dan nyaman. Rasa aman karena proses

pengadaan mengikuti ketentuan yang diatur secara elektronik dengan mengedepankan

transparansi dan akuntabilitas, sehingga pemenang adalah penyedia barang/jasa yang telah

mengikuti kompetisi dengan adil dan terbuka. Jumlah peserta pengadaan yang bertambah

akan meningkatkan persaingan yang mengakibatkan penawaran mencapai harga pasar yang

sesungguhnya. Risiko panitia menjadi berkurang karena teknologi membantu mengurangi

kemungkinan kesalahan prosedur baik yang disengaja maupun tidak. Pada akhirnya, masing

masing pihak merasa nyaman berkat bantuan e-procurement.

Kenyamanan yang diberikan juga dapat dilihat dari menurunnya jumlah sanggah sejak

digunakannya e-procurement. Teknologi juga turut berperan mengubah ‘budaya kerja’

aparatur negara yang terlibat. Pengaturan jadwal dan waktu yang ketat membuat tidak ada

lagi toleransi terhadap keterlambatan. Konsekuensinya, semua pihak yang terlibat harus

mengubah budaya kerja mereka untuk disiplin memenuhi tenggat waktu yang telah

ditetapkan. Selain pengaturan jadwal dan waktu, teknologi juga membantu memastikan

bahwa semua persyaratan, ketentuan, dan proses dipenuhi serta ditaati. Selain memberikan

perubahan budaya kerja aparatur negara, e-procurement juga berperan mengubah sikap para

pelaku usaha untuk dapat terus meningkatkan kompetensinya.

Dalam setiap proses pengadaan, pelaku usaha akan selalu mengetahui mengapa mereka

tidak berhasil memenangkan sebuah paket pengadaan. Pelaku usaha yang baik akan terus

berusaha memperbaiki diri untuk dapat memperbesar kemungkinan memenangkan paket

pengadaan di kemudian hari. e-Procurement juga berdampak terhadap interaksi yang terjadi

antara pelaku usaha dengan pemerintah. Jika di masa lalu, pelaku usaha perlu sering

mendatangi instansi pemerintah di masing-masing sektor dan mendekati pihak yang terkait

untuk mendapatkan informasi tentang peluang pengadaan, maka kini informasi tersebut telah

tersedia dalam sistem. Akibatnya, terjadi perubahan cara berinteraksi dimana frekuensi

komunikasi melalui sistem e-procurement meningkat sedangkan frekuensi tatap muka

menjadi jauh berkurang. e-Procurement juga memberikan manfaat lain diluar yang

diperkirakan. Sebagai contoh, seluruh proses pengadaan, mulai dari pengumuman sampai

dengan penetapan pemenang, tercatat dalam sistem. Akibatnya, setiap kegiatan yang

tercantum sebagai item pengadaan secara tidak langsung mencerminkan aktivitas yang

dilakukan oleh unit organisasi tersebut. Pimpinan juga dapat menggunakan sistem ini untuk

Page 17: Penerapan E

mengetahui jumlah kegiatan yang telah dilaksanakan, sedang dalam proses pelaksanaan,

maupun yang akan dilaksanakan. Secara tidak langsung, hal ini tentunya juga menunjukkan

kinerja organisasi yang dipimpinnya.

Di era Keppres 80/2003, pihak yang melaksanakan pengadaan disebut dengan panitia

pengadaan. Panitia ini berkedudukan dibawah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan bersifat

incidental atau ad hoc. Anggota panitia pengadaan merupakan PNS yang telah memiliki porsi

pekerjaan dan posisi/jabatan tertentu di unit kerja, baik sebagai staf biasa atau jabatan

struktural/fungsional tertentu. Tugas sebagai anggota panitia merupakan tugas tambahan.

Ditinjau dari beban kerja, maka seorang panitia pengadaan mempunyai peran ganda. Hal ini

sangat potensial terjadi overload beban kerja. Jika demikian, maka berlaku hokum prioritas.

Menjadi sebuah keniscayaan, jika dihadapkan pada 2 (dua) hal dalam saat yang sama, orang

cenderung akan mengutamakan yang lebih berimbas secara permanen dari pada yang

incidental. Ditinjau dari sisi risiko, posisi panitia sangat rawan dengan intervensi. Hal ini

akan menjadi hambatan bagi tujuan panitia pengadaan untuk memperoleh penyedia yang

akuntabel secara transparan, adil dan tidak diskiriminatif.

Kelahiran Perpres 54 tahun 2010 menjadi solusi terobosan untuk mengatasi kerawanan

diatas. Perpres 54 menyatakan bahwa ULP adalah unit organisasi pemerintah yang berfungsi

melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa di K/L/D/I yang bersifat permanen, dapat berdiri

sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada.

Model Pembentukan ULP di tiap Unit/Satker/SKPD

Model ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Model 1: ULP ada di tiap unit/satker/SKPD Dari gambar tersebut tercermin bahwa

kegiatan PBJ dilakukan oleh ULP yang kedudukannya masih berada dibawah tiap kepala

unit/satker/SKPD. ULP dengan model seperti ini mempunyai risiko mudah diintervensi oleh

pimpinan unit/satker/SKPD. Untuk mencegah hal itu, maka pembentukan ULP dapat

menggunakan model yang kedua.

Page 18: Penerapan E

b. Model Pembentukan ULP yang Terpusat di K/L/D/I

Model ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Dari gambar tersebut tercermin bahwa ULP terpusat di K/L/D/I. Kedudukannya berada

dibawah Menteri / Kepala / Gubernur / Bupati / Walikota yang berposisi setara dengan

unit/satker/SKPD. Kegiatan PBJ yang ada di seluruh unit/satker/SKPD dilaksanakan oleh

ULP.

Risiko yang ada dari model ULP seperti itu adalah ketidaklancaran arus informasi dari

PA/PPK ke ULP dan sebaliknya. Jika ketidaklancaran ini terjadi maka kinerja ULP dan atau

unit/satker/SKPD tidak optimal. Yang lebih harus diwaspadai lagi adalah kelambatan kinerja

ULP. Jika ini terjadi maka kinerja seluruh unit/satker/SKPD terhambat. Muaranya kinerja

K/L/D/I menjadi tidak optimal bahkan buruk.

Berdirinya LPSE saat ini merupakan hasil pemberian dukungan dan pemberdayaan

(empowering) dari LKPP yang kemudian bertemu dengan semangat suka rela, gotong-

royong, dan kemandirian dari instansi yang mendirikan LPSE serta dukungan dari berbagai

pihak. Tidak ada paksaan untuk memiliki LPSE atau bergabung dengan LPSE yang ada.

Page 19: Penerapan E

LKPP menyediakan aplikasi yang bersifat gratis, komitmen pelatihan serta pendampingan,

sementara instansi yang mendirikan LPSE masih harus berinvestasi dalam hal perangkat

keras, infrastruktur jaringan, SDM, serta sarana pendukung lainnya. Yang menjadi

pertanyaan adalah mengapa mereka mau mendirikan LPSE? Jawabannya adalah karena

LKPP berhasil menemukan para agen perubahan yang sangat proaktif. LPSE berisi para

pejuang perubahan yang ingin Indonesia lebih baik dengan mengurangi korupsi. Mereka

memilih untuk ‘aman di depan dan nyaman di belakang’ dengan memanfaatkan e-

procurement, ketimbang ‘nyaman di depan namun tidak aman di belakang’. Di beberapa

tempat, keterlibatan sebagai panitia pengadaan terkadang memberikan beberapa risiko dan

tekanan dari pihak lain, dan kedua hal tersebut akan berkurang dengan diterapkannya e

procurement yang membuat pengadaan menjadi transparan. Para pejuang perubahan tersebut

akhirnya mendorong tumbuhnya komitmen di sekelilingnya yang kemudian diwujudkan

dengan berdirinya LPSE. Dari sekian banyak LPSE yang telah berdiri, tumbuhnya komitmen

sifatnya bervariasi, ada yang merupakan inisiatif dari bawah, ada yang merupakan inisiatif

dari atas (pimpinan), dan ada juga yang merupakan hasil kombinasi keduanya. Yang perlu

dipikirkan selanjutnya adalah keberlanjutannya. Strategi Keberlanjutan LPSE Di beberapa

tempat, keterlibatan dengan LPSE akhirnya memberikan manfaat baik berupa promosi

jabatan maupun remunerasi yang lebih baik. Di Kementerian Keuangan, LPSE merupakan

unit tersendiri setingkat Eselon II, sementara di Provinsi Jawa Barat, pimpinan memberikan

remunerasi yang lebih baik atas prestasi yang telah diraih oleh LPSE mereka. Hanya saja,

belum semua LPSE seberuntung LPSE Kementerian Keuangan atau Provinsi Jawa Barat

mengingat pengaturan eselonisasi dan remunerasi merupakan otonomi masing-masing

daerah. Keberlanjutan LPSE tidak bisa ditinjau hanya dari sisi SDM saja, LPSE dapat

beroperasi juga karena didukung oleh infrastruktur jaringan, perangkat keras, piranti lunak

pendukung serta sarana lainnya yang juga perlu dipelihara. Pelayanan prima baik dari sisi

layanan yang diberikan SDM maupun kinerja perangkat pendukungnya terhadap seluruh

stakeholder perlu terus dipelihara. Dalam rangka itu, pemeliharaan seluruh komponen

pendukung merupakan aspek yang perlu diperhatikan demi keberlanjutan LPSE. Apalagi

mengingat potensi kontribusi penghematan anggaran yang dapat mencapai lebih dari 20

persen. Salah satu hal yang diusulkan oleh LKPP adalah membentuk Badan Layanan Umum

(BLU) yang melayani pengadaan barang dan jasa secara elektronik. Badan ini merupakan

pengembangan dari LPSE . Dalam skema BLU, pemerintah akan memberikan modal untuk

kemudian badan tersebut dapat memungut biaya atas layanan yang diberikan mengingat

adanya kewajiban bagi BLU untuk mengembalikan modal yang disertakan pemerintah.

Page 20: Penerapan E

55.

Strategi implementasi e-procurement di Indonesia yang tersebar-dan-otonom kini telah

menjangkau lebih dari separuh jumlah provinsi di Indonesia. Dukungan dari banyak pihak

yang terus mengalir telah menjadikan inisiatif ini sebuah gerakan masif yang berkembang

cepat dalam satu setengah tahun terakhir ini. Di satu sisi, perkembangan tersebut memberikan

dampak sangat positif untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam meningkatkan peran

TIK untuk pembangunan. Namun di sisi lain, hal ini memberikan konsekuensi dimana

perangkat pendukung implementasi e-procurement juga perlu disiapkan untuk mengiringi

kelajuan perkembangannya. Regulasi, penambahan fitur, dukungan dari lebih banyak pihak,

dan strategi keberlanjutan adalah sebagian dari isu yang perlu diperhatikan agar kemajuan e-

procurement memberikan manfaat pembangunan yang lebih optimal. Pada akhirnya, karena

pengadaan barang/jasa pemerintah adalah salah satu kegiatan yang dilakukan pemerintah

dalam penyelenggaraan pelayanan publik, maka yang harus paling diuntungkan dari

keseluruhan inisiatif ini adalah masyarakat.

Keamanan informasi merupakan salah satu syarat mutlak yang harus ada dalam

implementasi e-procurement. Pelaku usaha yang ingin berpartisipasi dalam pengadaan harus

mendaftarkan diri terlebih dahulu ke dalam sistem. Akibatnya, sistem e-procurement

menyimpan informasi mengenai pelaku usaha. Selain itu, sistem e-procurement juga

menyimpan informasi instansi yang melakukan belanja beserta dengan panitia yang terlibat.

Sistem e-procurement juga menyimpan dokumen paket pengadaan beserta dengan seluruh

dokumen penawaran yang masuk. Informasi dan dokumen yang dilibatkan dalam proses

pengadaan tentunya diperuntukkan hanya untuk pihak yang terlibat saja. Terdapat berbagai

lapis solusi pengamanan yang diterapkan dalam aplikasi e-procurement yang dikembangkan

oleh LKPP. Selain pengamanan dari sisi perangkat keras (firewall , proxy server ).

Penggunaan password adalah merupakan salah satu mekanisme pengamanan yang

umum diterapkan. Namun kemajuan teknologi juga telah memperlihatkan kemajuan pesat

untuk dapat menjebol password dengan cepat . Mekanisme pengaturan hak akses juga telah

diterapkan dalam sistem yang dikembangkan. Lapis yang terakhir adalah teknik enkripsi yang

diterapkan pada informasi dan dokumen penawaran dalam sistem e-procurement. Teknik

enkripsi dalam sistem e-procurement LKPP merupakan hasil kerja sama dengan Lembaga

Sandi Negara. Keterlibatan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) dalam mendukung LKPP

telah mengubah paradigma lembaga tersebut dari yang tadinya hanya memberikan layanan

kepada instansi pemerintah, namun kini telah juga melayani publik melalui penerapan

teknologi pengamanan dokumen dalam implementasi e-procurement. Jika dilihat dari

Page 21: Penerapan E

kacamata yang lebih luas, apa yang diberikan oleh Lemsaneg sudah merupakan salah satu

jenis layanan dalam sistem certificate authority (CA). Inisiatif ini merupakan penghematan

besar dibandingkan jika setiap server LPSE harus terhubung ke lembaga CA komersial

seperti VeriSign untuk masalah keamanan informasi, atau dibandingkan jika setiap pihak

yang berinteraksi dengan e-procurement harus menggunakan token seperti yang kita gunakan

dalam fasilitas Internet Banking. Inisiatif ini bisa jadi merupakan salah satu unsur yang

dinanti para penggiat e-commerce di Indonesia yang sedang mencari solusi lokal dan murah

untuk masalah sertifikat elektronik.

Menghadapi berbagai tantangan yang telah disebutkan di bagian sebelumnya, diperlukan

strategi pengembangan yang tepat agar implementasi e-procurement berhasil dan

berkelanjutan. Untuk itu, LKPP telah menempuh langkah berikut :

Membangun Komitmen

Dua faktor kesuksesan yang disebutkan di atas (yaitu, e-leadership dan perubahan

pola pikir dan pola tindak) dapat diatasi dengan melakukan serangkaian sosialisasi,

diskusi, dan lobi. Di setiap kesempatan, LKPP selalu berdiskusi dengan pimpinan

instansi untuk menjelaskan manfaat dan kemudahan yang diberikan oleh e-

procurement. Ketika gayung bersambut, kerjasama lebih lanjut dapat dilakukan.

Peningkatan Kapasitas SDM

Kegiatan selanjutnya adalah sosialisasi terhadap pihak yang terlibat dalam proses

pengadaan. Beberapa agen perubahan kemudian dipilih untuk diberikan pendidikan

dan pelatihan terkait proses pengadaan dan penggunaan aplikasi e-procurement.

Dalam semua kegiatan tersebut, LKPP selalu mendukung penuh dengan menyediakan

materi pelatihan, lengkap dengan instrukturnya, tanpa dipungut biaya.

Pengembangan Infrastruktur TI

Infrastruktur TI dapat dibagi dalam tiga kelompok besar: perangkat keras, piranti

lunak, dan jaringan komputer. Mengingat perangkat keras dan jaringan komputer akan

lebih banyak menggunakan fasilitas yang telah ada di masing-masing instansi

pengguna, LKPP lebih berfokus pada pengembangan dan pemeliharaan piranti lunak

yaitu dalam hal ini sistem aplikasi e-procurement beserta fitur pendukungnya. Seluruh

proses bisnis yang tertuang dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 telah diwujudkan

dalam aplikasi e-procurement yang dikembangkan. Selain itu, sifat dari aplikasi yang

bersifat kode sumber terbuka (open source), bebas lisensi (freelicense) dan bebas

biaya (free of charge), merupakan salah satu faktor utama akselerasi penerapan e-

procurement. Investasi piranti lunak yang mencakup komitmen biaya, pemahaman

Page 22: Penerapan E

proses bisnis, dan waktu pengembangan tidak lagi menjadi hambatan bagi sebuah

instansi pemerintah, karena sudah dilakukan oleh LKPP. Fasilitas helpdesk dan

pelatihan juga disediakan oleh LKPP sebagai bagian dari komitmen penyediaan

piranti lunak.