penerapan asas pacta sunservanda dalam...
TRANSCRIPT
i
PENERAPAN ASAS PACTA SUNSERVANDA DALAM PENYUSUNAN
KONTRAK SYARIAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
(MK) NOMOR. 93/PUU-X/2012
(Studi Kasus Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita
Parung, Bogor)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
LELY LAELATUL LATIFAH
NIM: 11140460000076
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2018 M
ii
PENERAPAN ASAS PACTA SUNSERVANDA DALAM PENYUSUNAN
KONTRAK SYARIAH PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
(MK) NOMOR. 93/PUU-X/2012
(Studi Kasus Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita
Parung, Bogor)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Lely Laelatul Latifah
NIM : 11140460000076
Pembimbing:
Fathudin, S.H.I., S.H., M.Hum., M.A.
NIDN. 2110068503
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2018 M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “Penerapan Asas Pacta Sunservanda Dalam Penyusunan
Kontrak Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 93/PUU-
X/2012 (Studi pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita
Parung, Bogor)”, telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum Program Studi Hukum Ekonomi Syariah Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada, (18 Desember 2018). Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Srata Satu (S-1) pada
Program Studi Hukum Ekonomi Syariah.
Jakarta, 24 Januari 2019
Mengesahkan
Dekan,
Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. NIP. 19691216 199603 1 001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : AM. Hasan Ali, M.A. (........................)
NIP. 19751201 200501 1 005
2. Sekretaris : Dr. Abdurrauf, Lc., M.A. (........................)
NIP. 19731215 200501 1 002
3. Pembimbing : Fathudin, S.H.I., S.H., M.Hum., M.A. (........................)
NIDN. 2110068503
4. Penguji 1 : Faris Satria Alam M.H. (........................)
NIDN. 0325038802
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 11 November 2018
Lely Laelatul Latifah
v
ABSTRAK
Lely Laelatul Latifah. NIM 11140460000076. PENERAPAN ASAS PACTA SUN
SERVANDA DALAM PENYUSUNAN KONTRAK SYARIAH PASCA
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X/2012 (STUDI
KASUS PADA BPRS INSAN CITA PARUNG, BOGOR). Program Studi Hukum
Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syariah Hidayatullah Jakarta,
1440 H/2018 M.
Berakhirnya choice of forum (pilihan forum) dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012, bahkan menimbulkan satu masalah baru yaitu
ketika para pihak yang ingin melakukan perjanjian kontrak syariah menggunakan
lembaga lain selain di Pengadilan Agama sebagaimana asas pacta sunservanda
yang tertuang di dalam akad, maka dalam hal ini kontrak syariah yang dibuat oleh
para pihak tidak dapat menyelesaikan sengketa sesuai dengan isi akad tersebut
karena asas Pacta sunservanda tersebut mengatur apa yang dituliskan oleh para
pihak dalam melakukan kontrak atau perjanjian yang dibuat sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Permasalahan tersebut secara faktual terjadi
dalam praktik penyusunan akad syariah pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(BPRS) Insan Cita yang terletak di daerah Parung, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana penyelesaian sengketa yang diterapkan oleh Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita dalam menentukan lembaga
penyelesaian sengketa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 93/PUU-
X/2012 dan bagaimana eksistensi asas pacta sunservanda dan asas kebebasan
berkontrak di dalam akad syariah yang dibuat oleh Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS) Insan Cita.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif, dengan
studi pustaka dan didukung dengan wawancara mengenai penyusunan kontrak
syariah BPRS Insan Cita Parung Bogor.
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu, Konsep penyelesaian sengketa perbankan
syariah yang dilakukan oleh BPRS Insan Cita dalam akad atau kontrak syariah
masih mencantumkan Pengadilan Negeri sebagai tempat menyelesaikan
perselisihan antara Nasabah dengan BPRS Insan Cita. Hal tersebut terjadi apabila
tidak mendapatkan kesepakatan secara damai antara BPRS Insan Cita dengan
nasabah. Pilihan forum tersebut tentu bertentangan dengan putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa kewenangan absolut
mengadili sengketa ekonomi syariah secara litigasi khususnya perbankan syariah
jatuh kepada Pengadilan Agama bukan Pengadilan Negeri. Eksistensi Asas Pacta
Sunservanda terhadap akad syariah yang dibuat oleh Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS) Insan Cita akan terjadi penolakan gugatan atau tidak akan diterima
oleh Pengadilan Negeri.
Kata Kunci : Penyusunan akad, Pilihan Forum, BPRS Insan Cita
Pembimbing : Fathudin, S.H.I., S.H., M.A. Hum., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1993 Sampai Tahun 2018
vi
KATA PENGANTAR
يم ب ح الر حمن الر هللا سم
Segala puji serta syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan
semesta alam pemilik segala ilmu yang maha pengasih lagi maha pemurah yang
telah mencurahkan berbagai nikmat kepada makhluknya. Berkat kehendak dan
karunia-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tidak
lupa peneliti curahkan kepada baginda nabi besar kita Nabi Muhammad SAW,
dengan kemuliaan dan keberaniannya telah membawa kita menuju jalan yang
penuh cahaya dan serta membuka jalan pengetahuan untuk umatnya.
Dalam penyusunan dan penelitian skripsi ini peneliti menyadari banyak
kendala yang dirasa menghambat dalam penyelesaiannya. Namun dengan niat
ikhlas dan tulus diiringi dengan rasa kesabaran dan tawakal untuk mengharap Ridha
Allah Subhanahu Wata'ala, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak, baik bersifat bimbingan, petunjuk, maupun kesempatan
berdiskusi untuk bertanya. Oleh karena itu, peneliti secara khusus mengucapkan
tak terhingga kepada yang terhormat :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. A.M. Hasan Ali, M.A, Ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah,
3. H. Abdurrauf, Lc, M.A, Sekretaris Program Studi Hukum ekonomi Syariah
4. Fathudin, S.H.I., S.H., M.A., Hum, M.H. selaku Dosen Pembimbing skripsi
yang telah banyak membantu meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga serta
kesabarannya dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dengan tulus dan ikhlas, semoga ilmu yang diajarkan mereka
bermanfaat serta menjadi keberkahan peneliti dalam kehidupan.
vii
6. Pimpinan dan Segenap Staff Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memfasilitasi
peneliti dengan berbagai referensi literature.
7. Kepada kedua orang tua peneliti, Edy Suryadi dan Siti Hindun yang tidak
pernah lelah dan henti-hentinya mendoakan peneliti setiap saat, yang selalu
memberikan semangat dan motivasi kepada peneliti, agar bermanfaat bagu
agama, bangsa, dan khususnya bagi peneliti sendiri.
Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan pihak-pihak yang telah
membantu, memberi dukungan dan do’a kepada peneliti dalam menyelesaikan
skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, baik untuk
peneliti maupun untuk para pembaca. Aamiin Ya Rabbal Alamin.
Jakarta, 12 November 2018
Lely Laelatul Latifah
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL…………………………………………………………..i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING………………………………ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............ 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 5
D. Metode Penelitian............................................................... 6
E. Sistematika Penulisan ........................................................ 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual ......................................................... 10
B. Kerangka Teori ................................................................. 24
C. Kajian (Riview) Studi Terdahulu ........................................ 37
BAB III MODEL PENYELESAIAN SENGKETA di BPRS INSAN CITA
A. Sekilas Tentang BPRS HIK Insan Cita .............................. 40
B. Visi Misi BPRS HIK Insan Cita ........................................ 43
C. Strategi Pengembangan BPRS HIK Insan Cita .................. 45
D. Produk-produk Perbankan BPRS HIK Insan Cita ............. 46
E. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Menurut
Putusan Mahkamah Konstitusi ........................................... 47
F. Model Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di BPRS Insan
Cita .................................................................................... 50
BAB IV EKSISTENSI ASAS PACTA SUNSERVANDA DALAM AKAD
KOTRAK SYARIAH BPRS INSAN CITA
A. Potret Akad Produk Perbankan BPRS HIK Insan Cita ...... 51
1. Belum Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
ix
Nomor 93/PUU-X/2012 ..................................................... 51
2. Belum Sesuai dengan Asas Kebebasan Berkontrak ........... 54
3. Belum Sesuai dengan Asas Pacta Sun Servanda ............... 58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................ 65
B. Rekomendasi ...................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 69
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan tumbuh kembangnya aktivitas yang pesat dan kompleks,
melahirkan bermacam bentuk kerja sama yang semakin kompleks dalam
berbisnis. Mengingat kegiatan bisnis yang semakin meningkat, maka tidak
mungkin dihindari terjadinya sengketa diantara para pihak yang terlibat. Pada
sector bisnis syariah misalnya, tidak menutup kemungkinan untuk terjadinta
sengketa. Sengketa muncul dikarenakan berbagai alasan dan masalah yang
melatar belakanginya, terutama karena adanya conflict of interest diantara para
pihak. Dalam rangka mengantisispasi hal tersebut, para pelaku bisnis dan para
pakar hukum bisnis mencari bentuk penyelesaian sengketa yang efektif dan
efisien.
Sejak tahun 2006 yaitu dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama menjadi dasar hukum pelaksanaan penyelesaian sengketa
ekonomi syariah maka Pengadilan Agama memiliki kewenangan baru untuk
menyelesaikan sengketa ekonomi melalui jalur litigasi, hal ini merupakan
kewenangan absolute Pengadilan Agama. Selain jalur litigasi, Badan Arbitrase
Syariah sebagai jalur non litigasi sudah dahulu berhak menyelesaikan sengketa
ekonomi syariah yang didasari dengan Undang-Undang Nomor. 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan diperkuat dengan
pernyataan yang ada dalam Fatwa DSN-MUI.1
1 Sejak tumbuh dan berkembangnya aktifitas perbankan syariah di tahun 1998 penyelesaian
sengketa perbankan syariah rata-rata dilakukan melalui proses Arbitrase oleh Badan Arbitrase
Syariah Indonesia (BAMUI) dan kemudian berubah menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional
(BASYARNAS) melalui Surat Keputusan Majelis Ulama Nomor Kep-09/MUI/XII/2003 karena
rata-rata akad (perjanjian) antara bank syariah dengan nasabahnya selalu mencantumkan arbitration
clause. Lihat, Ummi Uzma, Pelaksanaan atau Ekseskusi Putusan Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS) Sebagai Kewenangan Pengadilan Agama, Jurnal Hukum dan
Pengembangan Tahun ke-44 Nomor. 3, Juli- September 2014, h. 390
2
Namun, pada tahun 2008 seiring dengan lahirnya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, khusus dalam penyelesaian
sengketa perbankan syariah tidak lagi absolut menjadi kewenangan peradilan
agama hal ini dikarenakan Pasal 55 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 menetapkan penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama; Ayat (2), “Dalam hal para pihak
telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud
pada Ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.
Selanjutnya pada penjelasan Pasal 55 Ayat (2) Undang-Undang Perbankan
Syariah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa
dilakukan sesuai dengan isi akad adalah upaya sebagai berikut: (1)
Musyawarah; (2) Mediasi perbankan; (3) Melalui Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau (4) Melalui
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Ketentuan Pasal 55 Ayat (2) beserta penjelasannya itu menunjukkan bahwa
telah terjadi reduksi terhadap kompetensi peradilan agama dalam bidang
perbankan syariah yang mana dari penjelasan Pasal 55 Ayat (2) Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tersebut, ternyata peradilan umum diberi
kompetensi dalam penyelesaian perkara Ekonomi syariah dalam bidang
perbankan syariah yang mana para pihak diperbolehkan memilih peradilan
umum sebagai choice of forum (pilihan forum) dalam menyelesaikan sengketa
perbankan sehingga hal ini berimplikasi mereduksi kewenangan peradilan
agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan yang sebagian ahli
berpendapat adanya choice of forum (pilihan forum) ini merupakan
inkonsistensi pembentuk undang-undang dalam merumuskan aturan hukum.2
Persoalan dualisme forum penyelesaian sengketa perbankan syariah
berakhir sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 93/PUU-
X/2012 Perihal uji materil Pasal 55 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Putusan tersebut sekaligus
2 Nurhasanah dan Hotnidah Nasution, Kecenderungan Masyarakat Memilih Lembaga
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Ahkam: Vol, XVI, Nomor. 2, Juli 2016, h. 273
3
menguatkan Kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa
perbankan syariah.3 Implikasi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi
kiblat mengenai penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Indonesia.
Peraturan-peraturan yang diakui turut mengikuti perkembangan hukum dalam
pencantuman forum penyelesaian sengketa termasuk dalam Fatwa Tentang
keuangan syariah yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Berakhirnya choice of forum (pilihan forum) tersebut, bahkan menimbulkan
satu masalah baru yaitu ketika para pihak yang ingin melakukan perjanjian
kontrak syariah menggunakan lembaga lain selain di Pengadilan Agama
sebagaimana asas pacta sunservanda yang tertuang di dalam akad, maka dalam
hal ini kontrak syariah yang dibuat oleh para pihak tidak dapat menyelesaikan
sengketa sesuai dengan isi akad tersebut karena asas Pacta sunservanda tersebut
mengatur apa yang dituliskan oleh para pihak dalam melakukan kontrak atau
perjanjian yang dibuat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Permasalahan tersebut secara faktual terjadi dalam praktik penyusunan akad
syariah pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita yang terletak
di daerah Parung. Dalam kesehariannya penyusunan akad atau kontrak pada
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita mencantumkan klausul
Pengadilan Negeri sebagai tempat untuk menyelesaikan sengketa Ekonomi
syariah.
Berdasarkan permasalahan di atas peneliti perlu mengkaji lebih lanjut
Tentang apa yang melatarbelakangi pencantuman klausul Penyelesaian
sengketa oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita dan
bagaimana eksistensi asas pacta sunservanda dan asas kebebasan berkontrak
terhadap akad tersebut. Dengan demikian, maka karya tulis ilmiah ini berjudul
“Penerapan Asas Pacta Sunservanda Dalam Penyusunan Kontrak Syariah
3 Neni Sri Imaniyati dan Panji Adam, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor.
93/Puu-X/2012 Terhadap Penyelesaian Sengketa Nomorn Litigasi Perbankan Syariah, Prosiding
SNaPP 2015, Sosial, Ekonomii, dan Humaniora, h. 724
4
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 93/PUU-X/2012 (Studi
Kasus Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita”.
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana konsepsi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan
Cita dalam melakukan choice of forum penyelesaian sengketa dalam
sebuah akad?
2. Apakah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita dalam
melakukan choice of forum telah sesuai dengan pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 93/PUU-X/2012?
3. Bagaimana peran nasabah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
Insan Cita terhadap choice of forum dalam pembuatan kontrak
perjanjian?
4. Apakah choice of forum yang dilakukan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS) Insan Cita sudah sesuai dengan asas pacta sunt
servanda?
5. Bagaimana Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita
menanggapi choice of forum setelah keluarnya Putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor 93/PUU-X/2012?
2. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini dibatasi pada pemilihan penyelesaian sengketa
perbankan syariah dan eksistensi asas pacta sunservanda pasca adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 93/PUU-X/2012.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka peneliti
merumuskan pokok permasalahan yang akan menjadi pembahasan dalam
skripsi ini, Bagaimana penyelesaian sengketa yang diterapkan oleh Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita dalam menentukan lembaga
penyelesaian sengketa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
93/PUU-X/2012 dan Bagaimana eksistensi asas pacta sunservanda dan asas
5
kebebasan berkontrak di dalam akad syariah yang dibuat oleh Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan masalah-masalah yang telah dijelaskan diatas,
maka penelitian ini mempunyai tujuan untuk menyelesaikan dan mencari
jawaban atas masalah-masalah tersebut dengan upaya sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa yang diterapkan oleh Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita dalam menentukan
lembaga penyelesaian sengketa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) Nomor 93/PUU-X/2012.
b. Untuk mengetahui eksistensi asas pacta sunservanda dan asas
kebebasan berkontrak dalam akad syariah yang dibuat oleh Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian akan lebih bermanfaat apabila mempunyai data yang akurat
dan dapat menambah wawasan pembaca, oleh karena itu, peneliti
merumuskan manfaat penelitian sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
1) Penelitian ini digunakan untuk sumber data dan informasi yang
dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah sebagai
bahan menambah ilmu pengetahuan di bidang ilmu Hukum khususnya
Hukum Ekonomi Syariah.
2) Sebagai suatu wacana akademik di bidang ilmu hukum yang perlu
ditindak lanjuti melalui pengembangan lebih mendalam agar dapat
diaplikasikan pada masyarakat luas.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan
sebagai sumber kajian bagi yang berkepentingan, terutama bagi praktisi
hukum. Dan juga diharapkan dapat berguna sebagai jawaban dari
6
berbagai persoalan yang terjadi dalam lingkup penyelesaian sengketa
Lembaga Keuangan Syariah.
D. Metode Penelitian
Penelitian pada umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan,
atau menguji kebenaran suatu pengetahuan. Menemukan berarti memperoleh
sesuatu untuk mengisi kekosongan atau kekurangan. Mengembangkan berarti
memperluas dan menggali lebih dalam sesuatu yang sudah ada. Menguji
kebenaran dilakukan jika apa yang sudah ada masih menjadi diragu-ragukan
kebenarannya. Oleh karena itu, setiap tahap dalam penelitian harus didasari
pada suatu metode penelitian yang berfungsi sebagai arah yang tepat untuk
mencapai tujuan penelitian yang dilakukan.
Metodologi adalah suatu sarana pokok pengembangan ilmu pengetahuan
dan terminologi oleh karena suatu penelitian bertujuan untuk mengungkap
kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten dengan mengadakan
analisis.4
Sedangkan penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat,
merumuskan dan menganalisis suatu hal sampai menyusun laporannya.5 Oleh
karena itu guna mendapatkan hasil yang mempunyai nilai yang tinggi serta
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka diperlukan suatu metode
penelitian yang tepat.
Pada bagian ini akan dijelaskan secara rinci hal-hal yang terkait dengan
metode penelitian pada proposal penelitian ini, yaitu:
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
Normatif empiris. Metode penelitian hukum Normatif empiris ini pada
dasarnya merupakan penggabungan antara pendekatan hukum Normatif
dengan adanya penambahan berbagai unsur empiris. Metode penelitian
Normatif-empiris mengenai implementasi ketentuan hukum Normatif
4 Soerjono soekanto dan Sri Mamudji, penelitian hukum Normatif, suatu tinjauan
singkat,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h.1. 5 Cholid Narbuko, H Abu Ahmad, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Bumi Angkasa, 2002),
h. 2
7
(undang-undang) dalam aksinya pada setiap peristiwa hukum tertentu
yang terjadi dalam suatu masyarakat atau memandang hukum sebagai
kenyataan, mencakup kenyataan social, kenyataan kultur dan kajian ini
bersifat deskriptif. 6
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini mendasarkan kepada penelitian hukum yang
dilakukan dengan memakai pendekatan undang-undang (statute
approach) dan pendekatan kasus (case approach) di mana penelitian ini
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan isu hukum yang akan diteliti.7 Dengan pendekatan
tersebut penelitian ini dilakukan dengan menelaah Undang-Undang
Perbankan Syariah dalam memilih penyelesaian sengketa pasca putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.
3. Sumber Data
Sumber data yang diperoleh peneliti berasal dari data primer dan
sumber data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang
diperoleh langsung dari lapangan, sedangkan data sekunder adalah data
yang diperoleh dari kepustakaan. Sumber data penelitian ini adalah:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer merupakan data-data yang diperoleh dari
sumber pertama. Sumber data primer penelitian ini berupa Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor.93/PUU-X/2012, Asas Pacta
Sunservanda Pasal 1338 KUH Perdata, Undang-Undang Nomor. 3
Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor. 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor. 30
tahun 1999 Tentang Arbitrase dan ADR, Akad Kontrak Syariah Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita dan Hasil wawancara
6 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum,
(Jakarta:Kencana,2012), h. 2 7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana,2014), h. 133
8
dengan Direktur Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan
Cita.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder merupakan data-data yang diambil sebagai
penunjang dan penjelas dari sumber data primer atau sumber data
sekunder, misalnya skripsi, tesis, disertasi hukum, kamus-kamus,
jurnal-jurnal hukum, ensiklopedia, dan lain sebagainya.8
4. Metode Pengumpulan Data
a. Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat
dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.9 Wawancara
tersebut dilakukan berupa tanya jawab terhadap pengambil kebijakan
pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita.
b. Dokumentasi merupakan pencarian dan pengumpulan hal-hal atau
variabel-variabel berupa buku, agenda, hasil seminar, artikel, dan
sebagainya yang berkaitan dengan pokok penelitian.
5. Metode Pengelolaan Data
Setelah data-data terkumpul maka peneliti mengolah data-data tersebut
dengan menggunakan analisis data kualitatif. Analisis data kualitatif
merupakan upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,
mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dikelola,
mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang
penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang diceritakan
kepada orang lain.10
8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,… h. 195-196. 9 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: CV. Alfabeta, 2008), h. 72. 10 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2005), h. 248 dalam Tesis Farhan Wildani yang berjudul Pilihan Forum Penyelesaian Sengketa
Perbankan Syariah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 93/PUU-X/2003 (Studi Kasus di
PT BPRS Sarana Prima Mandiri Pemekasan Madura)
9
E. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian skripsi nantinya, diperlukan adanya uraian mengenai
susunan penelitian yang dibuat agar pembahasan teratur dan terarah pada
pokok permasalahan yang sedang dibahas. Untuk itu, peneliti
merencanakan penelitian ini dibagi ke dalam 5 (lima) bab, yaitu:
Bab pertama, merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar
belakang , pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, sistematika penelitian.
Bab kedua, membahas mengenai tinjauan umum kajian pustaka,
kerangka konseptual, kerangka teori, tinjauan (riview) kajian terdahulu,
Ekonomi syariah meliputi akad syariah, asas-asas perjanjian dalam hukum
perikatan, dan penyelesaian sengketa perbankan syariah.
Bab ketiga, pada bab tiga ini akan membahas tentang model
penyelesaian sengketa di BPRS Insan Cita, Sekilas tentang BPRS HIK Insan
Cita, dan produk-produk BPRS HIK Insan Cita, penyelesaian sengketa
Ekonomi menurut pasca putusan Mahkamah Konstitusi dan model
penyelesaian sengketa di BPRS Insan Cita.
Bab keempat, bab ini akan memuat analisis terhadap eksistensi asas
pacta sunservanda dalam akad kontrak syariah di Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS) Insan Cita, potret akad produk BPRS Insan Cita, akad
belum sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, akad belum sesuai
dengan asas kebebasan berkontrak, dan asas belum sesuai dengan asas pacta
sun servanda.
Bab kelima, simpulan dan rekomendasi.
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
1. Pilihan Forum
Klausul pilihan forum (choise of forum) merupakan salah satu klausul
yang sangat penting diperhatikan dalam pembuatan kontrak. Klausul ini
biasanya diletakkan di akhir kontrak. Pilihan forum merupakan kesepakatan
kedua belah pihak untuk menentukan dimanakah dan bagaimanakah
sengketa mereka akan diselesaikan jika suatu saat terjadi.
Dalam klausula pilihan forum ini ada beberapa prinsip yang harus
diperhatikan antara lain:
a. Prinsip Kebebasan Para Pihak (Autonomy of the Parties)
Kebebasan para pihak sendirilah yang akan menentukan pilihan forum
apa yang mereka anggap tepat untuk menyelesaikan sengketa kontrak
mereka. Termasuk di dalam kebebasan ini adalah kebebasan pa pihak-
pihak untuk menggunakan kebebasan tersebut.
b. Prinsip Bonafide
Prinsip ini apa yang telah disepakati para pihak maka kesepakatan itu
harus dihormati dan dilaksanakan dengan iktikad baik. Prinsip ini juga
merupakan suatu bentuk keyakinan bahwa forum yang dipilihnya
merupakan forum yang netral dan adil untuk menyelesaikan sengketa.
c. Prinsip Prediktabilitas dan Efektifitas
Prinsip berkaitan dengan kewenangan forum tersebut untuk memeriksa
sengketa dan juga forum tersebut dapat menghormati pilihan hukum
para pihak, sedangkan efektivitas berkaitan dengan putusan yang
dikeluarkan oleh forum tersebut apakah dapat ditaati dan dilaksanakan.
d. Prinsip Yuridiksi Ekslusif (Ekslusif Jurisdiction)
Prinsip ini mensyaratkan bahwa pilihan forum seyogyanya tegas,
ekslusif, tidak menimbulkan yurisdiksi ganda.
11
2. Sengketa Perbankan Syariah
Sengketa adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat,
pertengkaran, perbantahan. 1 Sengketa merupakan suatu perbedaan atau
pertentangan antara dua pihak atau lebih. Setiap kegiatan ekonomi syariah
selalu terdapat kemungkinan terjadinya sengketa, khususnya perbankan
syariah.
Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah sengketa
bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas
atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap
sebagai penyebab kerugian atau pihak lain.2 Sengketa dalam perbankan
syariah merupakan hal mungkin terjadi antara perbankan syariah itu
sendiri dengan nasabah. Hal tersebut terjadi karena perbedaan penafsiran,
ketidaksesuaian praktik dengan akadnya, maupun wanprestasi. Sengketa
terjadi karena ketidakpuasan para pihak, biasanya karena tidak
terpenuhinya hak dan kewajiban.
Sengketa perbankan syariah di sini maksudnya adalah perbedaan
kepentingan di antara dua pihak atau lebih dalam perbankan syariah yang
mengakibatkan terjadinya kerugian bagi pihak atau pihak-pihak tertentu
dan perbedaan kepentingan atau kerugian tersebut dinyatakan kepada
pihak yang dianggap menjadi penyebab kerugian atau kepada pihak lain,
dan pihak lain tersebut memberikan pendapat yang berbeda.3
Dalam produk pengumpulan dana perbankan syariah seperti
musyarakah, wadiah, dan mudarabah, sengketa mungkin saja terjadi bila
salah satu pihak merasa tidak puas dengan pihak lainnya. Misalnya,
nasabah merasa dananya digunakan oleh bank untuk investasi yang tidak
sesuai syariah, nasabah tidak bisa menarik dananya pada waktu yang
ditentukan, nasabah merasa keuntungan yang didapatkannya tidak wajar.
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia 2 Rachmadi Usman dalam Adrian Sutedi, Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi
Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), h. 166 3 Adrian Sutedi, Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2009), h. 166
12
Dalam produk-produk pembiayaan perbankan syariah, sengketa juga
mungkin terjadi pada produk mudarabah. Misalnya, bank sebagai
shahibul maal membebankan kerugian kepada mudharib selaku nasabah.
Padahal mudharib merasa sudah melaksanakan usahanya dengan sungguh-
sungguh dan jujur. Musyarakah pun bisa timbul sengketa bila masing-
masing pihak merasa mitranya tidak jujur dalam menjalankan usaha
mereka bersama sehinga bisa menimbulkan kerugian.
3. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Berdasarkan Hukum Islam dan
Undang-Undang
a. Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Islam
1) Ash-shulhu (Perdamaian)
Dalam terminologi Islam, ash shulhu berarti memutus
pertengkaran atau perselisihan secara damai. Konsep perdamaian
merupakan cara yang paling utama dan paling efektif untuk
menyelesaian sengketa dalam Islam. Islam adalah agama yang
mengutamakan perdamaian sehingga jika suatu pertikaian atau
sengketa terjadi, cara yang ditempuh pertama kali adalah dengan
cara damai.
Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman dalam Surat Al-
Hujurat ayat 9 :
ن هما اإ ب غت ن فإ وإن طائفتان من المؤمنني اق تت لوا فأصلحوا ب ي ا على ح تفيء إل أمر الل الخ ف فاءت فإن رى ف قاتلوا الت ت بغي حت ن هما بال أصلحوا ب ي
يب المقسطني الل إن وأقسطوا “jika dua golongan orang beriman bertengkar, damaikanlah
mereka. Tetapi jika salah satu dari kedua (golongan) berlaku
aniaya terhadap yang lain, maka perangilah orang yang
menganiaya sampai kembali ke jalan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Tetapi apabila ia telah kembali, damaikanlah keduanya dengan
adil, dan bertindaklah benar, sungguh Allah mencintai orang-
orang yang berlaku adil”.
Dengan mengutamakan perdamaian, maka diharapkan dapat
mencegah dari pertikaian atau permusuhan yang dapat
13
mendatangkan kehancuran. Pengertian perdamaian dalam Pasal
1851 KUH Perdata adalah suatu perjanjian dengan mana kedua
belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu
barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau
mencegah timbulnya suatu perkara.
Perdamaian dalam menyelesaikan suatu sengketa biasanya
dilakukan dengan cara musyawarah antara pihak-pihak yang
besengketa baik secara langsung atau tidak langsung. Sengketa yang
didamaikankan pun cakupannya sangat luas. Salah satunya adalah
dalam hal sengketa ekonomi syariah. Saat ini sengketa yang sering
diselesaiakan dengan ash-shulhu adalah sengketa perbankan
syariah.
Menyelesaikan sengketa dengan cara perdamaian lebih efektif
karena selain menjaga kerahasiaaan sengketa juga mengurangi
timbulnya biaya-biaya. Sehingga konsep ash-shulhu masih selalu
dijadikan pilihan utama dalam menyelesaikan sengketa khususnya
sengketa perbankan syariah.
2) Tahkim (Arbitrase)
Dalam perspektif Islam, “arbitrase” dapat dipadankan dengan
istilah “tahkim”. Tahkim sendiri berasal dari kata “hakkama”. Secara
etimologi, tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah
suatu sengketa.4 Secara umum, tahkim hampir sama dengan
arbitrase, yaitu menunjuk atau mengangkat seseorang atau lebih
sebagai penengah atau wasit oleh dua orang atau leih yang berselisih
untuk menyelesaikan perselisihannya secara damai.
Arbitrase telah dikenal dalam Islam sejak zaman dahulu.
Meskipun belum ada lembaga peradilan secara khusus, setiap
perselisihan yang terjadi seperti hak waris, hak waris dan lain
sebagainya, sering diselesaikan dengan cara menunjuk seseorang
4 Liwis Ma’luf dalam Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan
Agama, (Jakarta : KENCANA PRENADA MEDIA GRUP, 2012), h. 429
14
atau lebih yang dipercaya dapat menjadi penengah dalam
menyelesaikan perselisihan mereka.
Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam sering menjadi
mediator dalam berbagai perselisihan yang terjadi di Mekah maupun
Madinah. Seiring dengan perkembangan kota Mekah dan Madinah
sebagai pusat kota perdagangan, para sahabatpun ditunjuk untuk
menjadi mediator dalam menyelesaikan perselisihan di kota Mekah
dan Madinah. Dasar hukum tahkim diambil dalam Surat An-Nisa’
ayat 128.
ن هما صلحا لها نشوزا أو إعراضا فل جناح عليهما أن يصلحا ب ي وإن امرأة خافت من ب
ر ح الن فس وأحضرت والصلح خي قوا وإن الش تسنوا وت ت
ملون كان با ت خبريا فإن الل
Artinya:“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau
sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu
menurut tabiatnya kikir, dan jika kamu bergaul dengan istrimu
secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak
acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan. (Q.S. An-Nisa’ : 128).
Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase
adalah suatu cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Selanjutnya dalam
ketentuan pasal satu ayat (8), disebutkan bahwa lembaga arbitrase
adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk
memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut
juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu
hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
15
Sehingga dapat disimpulkan bahwa arbitrase adalah suatu cara
penyelesaian sengketa perdata oleh pihak ketiga yang disepakati
atau ditunjuk oleh kedua belah pihak, baik sebelum atau sesudah
sengketa terjadi. Kelebihan arbitrase antara lain proses yang cepat
dan murah, kebebasan memilih arbiter yang disukai, kerahasiaan
terjaga, kebebasan dalam memilih hukum yang akan dipakai, serta
keputusan bersifat final and binding.
Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa
sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa
di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh kedua pihak yang
bersengketa. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui
arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-
undangan dengan tidak dapat diadakan perdamaian.
Basyarnas (Badan Arbitrase Syari’ah Nasional) merupakan
lembaga arbitrase yang bertugas menyelesaian sengketa perdata
secara syariah di Indonesia.Basyarnas merupakan badan yang
berada di bawah MUI dan merupakan perangkat organiasi MUI.
Basyarnas dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya bersifat
otonom dan independen.
b. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Berdasarkan Undang-
Undang
1) Sebelum Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
Untuk mempertahankan perkembangan perbankan syariah yang
semakin pesat, dukungan hukum terdapat perbankan syariah
sagatlah diperlukan. Salah satu aspek hukum yang penting untuk
diperhatikan adalah mengenai penyelesaian sengketa perbankan
syariah yang mungkin terjadi antara bank dengan nasabah, antar
bank, maupun pemangku kepentingan (stokeholders).
16
Di Indonesia, forum yang berwenang untuk menyelesaikan
sengketa perbankan syariah adalah pengadilan agama. Sejak tahun
2006, dengan diamendemennya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Pasal 49
Tentang Peradilan Agama.
Kewenangan peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa
ekonomi syariah mulai diatur seiring dengan perkembangan
ekonomi syariah di Indonesia yang meningkat pesat. Hal ini terlihat
dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama yang belum mengatur tentang penyelesaian sengketa
ekonomi syariah. Baru pada tahun 1990-an muncul lembaga-
lembaga keuangan syariah di Indonesia yang semakin berkembang.
Hal inilah yang menyebabkan dibutuhkannya penegasan dan
pengaturan lembaga yang memiliki kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah khususnya perbankan
syariah.
Dapat kita lihat bahwa Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menjelaskan mengenai
kewenangan Peradilan Agama yang semakin luas di bandingkan
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Selain memiliki
wewenang menyelesaikan masalah perkawinan, waris, dan wakaf,
kini para hakim di pengadilan agama memiliki tanggung jawab
menyelesaikan perkara ekonomi syariah.
Disamping berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketea di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infak, dan shadaqah, Pengadilan Agama juga
berwenang untuk memerika, memutus, dan menyelesaikan
sengketa di bidang ekonomi syariah (Pasal 49 Ayat (i) Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006). Dalam penjelasannya, yang
dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah “perbuatan atau
17
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara
lain meliputi : (a). bank syariah, (b). lembaga keuangan mikro
syariah, (c). asuransi syariah, (d). reasuransi syariah, (e). reksa dana
syariah, (f). obligasi syariah dan surat berharga berjangka
menengah syariah, (g). sekuritas syarih; (h). pembiayaan syariah’
(i). Pegadaian syariah; (j). dana pensiunan lembaga keuangan
syariah’ (k). bisnis syariah.
Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menjadi dua ayat,
sebagai berikut:
a. Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam
perkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama, khusus
mengenai objek sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu
oleh peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum;
b. Apabila terjadi sengketa hak milik yang subjek hukumnya
orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut
diputuskan oleh Peradilan Agama bersama-sama perkara yang
sedang diperiksa.
Dari penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa Pengadilan
Agama berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, salah
satunya adalah perbankan syariah.
2) Setelah Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah dalam Pasal 55 Ayat (1), memperkuat kembali pernyataan
bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh
Pengadilan Agama. Namun, Pasal 55 Ayat (2) memberi peluang
kepada para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan
perselisihan mereka di luar Pengadilan Agama apabila disepakati
bersama-sama dalam isi akad.
Sengketa perbankan syariah menurut pasal ini dapat
diselesaikan melalui musyawarah, mediasi, Basyarnas, atau
18
lembaga arbitrase lainya, dan melalui pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum. Karena adanya beberapa pilihan tersebut, maka
peradilan agama tidak mempunyai kompetensi absolut dalam
menyelesaikan sengketa perbankan syariah seperti halnya yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui musyawarah,
mediasi, Basyarnas, atau lembaga arbitrase lainya tidak masalah
untuk dilakukan. Namun, masalah akan timbul saat Pengadilan
Negeri diberikan kewenangan yang sama seperti Pengadilan Agama
dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Hal ini
menyebabkan terjadinya dualisme kewenangan dan tumpang tindih,
serta ketidakpastian hukum dalam menyelesaiakna suatu
permasalahan yang sama oleh dua peradilan yang berbeda. Padahal,
dalam Pasal 49 ayat (i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa sengketa perbankan
syariah merupakan kewenangan Peradilan Agama.
Karena ketidakpastian hukum tersebutlah maka Dadang
Achmad, Direktur CV Benua Engineering Consultant, mengajukan
judicial review ke Mahkamah Agung. Dadang memohon
pembatalan Pasal 55 Ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Dadang beralasan bahwa
pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi membuat putusan perkara Nomor
93/PUU-X/2012 pada tanggal 29 Agustus 2012. Putusan tersebut
mengabulkan permohonan Dadang sebagian, yang menyatakan
bahwa penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan dengan Pasal
28 UUD 1945.
3) Pasca Putusan MK No. 93/PUU-X/2012
Setelah keluarnya Putusan MK No. 93/PUU-X/2012, maka
tidak ada lagi dualisme penyelesaian sengketa perbankan syariah
19
antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. Pengadilan
Agamalah yang menjari satu-satunya pilihan forum penyelesaian
sengketa perbankan syariah.
Putusan ini semakin menguatkan eksistensi pengadilan agama,
terdapat tantangan baru bagi peradilan agama, karena ekonomi
syariah secara umum, dan perbankan syariah secara khusus masih
merupakan hal baru yang sangat kompleks permasalahannya.
Kualitas dan pemahaman para hakim di peradilan agama harus
diasah dan ditingkatkan lagi, agar cakap dalam memutuskan
sengketa perbankan syariah khususnya dan ekonomi syariah
umumnya.
Para hakim harus membuktikan kecakapannya dengan
menguasai teori maupun praktek mengenai ekonomi syariah agar
keraguan dari pihak-pihak yang meragukan kemampuan hakim
dalam menyelesaiakna sengketa perbankan syariah bisa
dihilangkan. Salah satunya dengan diadakannya pelatihan-pelatihan
maupun seminar-seminar mengenai ekonomi syariah.
4. Pilihan Forum Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Litigasi
dan Non Litigasi
a. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah melalui Litigasi
Sejalan dengan ruang lingkup kompetensi absolut lingkungan
peradilan agama yang tidak hanya berwenang dalam menangani
perkara-perkara di bidang hukum keluarga saja, melainkan perkara-
perkara di bidang ekonomi syariah pada umumnya, dan perbankan
syariah khususnya, maka hukum acara yang ditetapkan undang-
undang berlaku bagi peradilan agama dan harus dipahami oleh
aparatnya (terutama hakim).
Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan sesuai dengan
isi akad yang telah disepakati, misalnya musyawarah, arbitrase,
Basyarnas atau di bawa ke pangadilan agama. Pada umumnya pihak
bank sudah memiliki pilihan penyelesaian sengketa yang akan
20
ditempuh jika terjadi sengketa, baru kemudian di utarakan ke pihak
nasabah melalui kontrak atau akad. Jika nasabah keberatan dengan
forum penyelesaian pilihan bank, maka kedua belah pihak harus
mencari forum lain yang mereka berdua sepakati, agar tidak
menimbulkan masalah dikemudian hari.
Setiap perkara perdata yang di ajukan ke pengadilan, dalam hal ini
perkara perbankan syariah yang diajukan ke pengadilan agama,
pengadilan agama tidak punya pilihan selain harus menyelesaikannya.
Pengadilan agama tidak boleh menolak mengadili perkara yang
diajukan kepadanya dengan alasan hukum tidak ada ataupun tidak
jelas.
Terhadap perkara perbankan syariah yang diajukan ke pengadilan
agama, ada dua kemungkinan, yaitu: Pertama, diselesaikan melalui
perdamaian, atau apabila upaya damai itu tidak berhasil; Kedua,
diselesaiakan melalui proses persidangan (litigasi) seperti biasa sesuai
dengan hukum acara perdata yang berlaku. Kedua cara inilah yang
akan ditempuh pengadilan agama dalam menyelesaiakn perkara
perdata di bidang perbangkan syariah khususnya, dan ekonomi syariah
umumnya.
Hakim dituntut mempelajari terlebih dahulu perkara secara cermat
untuk mengetahui substansi dari sengketa perbankan syariah, guna
menentukan arah jalannya pemeriksaan perkara tersebut dalam proses
persidangan nantinya. Sejak kewenangan pengadilan agama
bertambah yaitu dalam menyelesaikan perkara ekonomi syariah, maka
kompetensi dan kualitas pengetahuan hakim juga perlu ditingkatkan,
karena permasalahan ekonomi syariah masih terbilang baru dan
kompleks.
Hakim harus memastikan terlebih dahulu apakah perkara tersebut
termasuk perjanjian yang mengandung klausula arbitrase atau bukan,
karena untuk menghindari pengadilan memeriksa dan mengadili
perkara yang bukan merupakan kewenangan absolutnya. Jika perkara
21
tersebut ternyata merupakan sengketa perjanjian yang mengandung
klausula arbitrase, maka tidak perlu lagi hakim melanjutkannya dengan
mengupayakan perdamaian karena jelas perkara tersebut tidak
termasuk wewenang absolut lingkungan peradilan agama. Termasuk
dalam hal mengupayakan perdamaiannya, pengadilan agama tidak
berwenang.5
Setiap perkara di bidang ekonomi syariah khususnya perbankan
syariah tidak akan terlepas dari sengketa yang terjadi antara pihak bank
syariah dan nasabah mengenai kerjasama atau kegiatan usaha yang
dilakukan para pihak. Setiap kerjasama atau kegiatan usaha selalu
mempunyai dan didasari oleh suatu perjanjian (akad) yang sebelumnya
telah disepakati oleh kedua belah pihak. Oleh karena itu fokus
pemeriksaan dalam hal ini adalah isi perjanjian atau akad, agar hakim
tidak salah dalam memeriksa dan memutus perkara.
Penyelesaian perkara perbankan syariah di pengadilan agama
dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata sebagaimana
yang berlaku di lingkungan pengadilan umum. Maksudnya, setelah
upaya damai tidak berhasil maka hakim akan melanjutkan proses
pemeriksaaan perkara tersebut di persidangan sesuai dengan ketentuan
hukum acara perdata.
b. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Non Litigasi
Setiap sengketa yang terjadi selalu menuntut pemecahan atau
penyelesaian yang cepat untuk mendapatkan yang solusi dan biayanya
pun terjangkau. Langkah awal yang perlu dilakukan ketika hendak
menyelesaikan perselisihan, ialah melalui cara damai. Upaya damai
biasanya ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan
di antara para pihak yang berselisih. Musyawarah merupakan salah
satu upaya penyelesaian sengketa perbankan syariah non litigasi.
5 Cik Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan
Mahkamah Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group: 2009), cet. 1, h. 146.
22
Metode penyelesaian sengketa perdata perbankan syariah yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Peraturan Bank
Indonesia (PBI) Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip
Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan dan Penyaluran Dana serta
Pelayanan Jasa Perbankan Syariah, dan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 dapat dilakukan melalui dua jalur, pertama, melalui proses
di luar peradilan (non litigasi), dan kedua yaitu melalui proses
peradilan (litigasi). Kedua undang-undang dan PBI tersebut sejalan
dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa tidak tertutup
kemungkinan penyelesaian sengketa perkara di luar peradilan negara
melalui perdamaian dan arbitrase.6
Berkaitan dengan jalur non litigasi pada Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tidak
menaturnya secara rinci. Prosedur upaya non litigasi merujuk pada
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Alternatif Dispute Resolution (ADR) sebagai salah satu alternatif
penyelesaian non litigasi di luar pengadilan. Penyelesaian melalui
ADR antara lain:
a. Negosiasi; b. Mediasi; c. Konsiliasi; d. Arbitrase
Konsultasi adalah permohonan nasihat atau saran untuk
menyelesaikan sengketa secara kekeluargaan yang dilakukan oleh
para pihak yang bersengketa kepada pihak ketiga yang dianggap
mengetahui permasalahan tersebut.
Negosiasi atau dalam bahasa inggris “negotiation” memiliki arti
berunding atau musyawarah. Menurut Joni Emirzon negosiasi dapat
diartikan secara umum sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa
para pihak tanpa melalui proses pengadilan dengan tujuan untuk
6 Neni Sri Imaniyati, Perbankan Syariah dalam Perspektif Hukum Ekonomi, (Bandung:
Mandar Maju, 2013), h. 176.
23
mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang harmonis
dan kreatif.7
Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase
merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
pengadilan, yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Basyarnas merupakan lembaga arbitrase syariah yang diharapkan
mampu menyelesaikan segala masalah sengketa syariah umumnya,
dan perbankan syariah khususnya Penyelesaian sengketa perbankan
syariah melalui Basyarnas dilakukan oleh mediator sebagai wasit atau
pihak ketiga. Upaya ini biasa dilakukan apabila para pihak yang
bersengketa tidak mampu menyelesaikan masalah mereka melalui
kesepakatan damai.
Mediasi merupakan salah satu penyelesaian sengketa baik non
litigasi di luar pengadilan maupun litigasi di pengadilan. Proses
mediasi memakai mediator sebagai penengah selama proses mediasi.
Proses mediasi dibina berdasarkan hubungan kerjasama dalam
menyelesaikan sengketa. Metode penyelesaian bersifat pendekatan
untuk mencapai kompromi. Hasil yang dicapai adalah win-win
solution, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang.
Keunggulan penyelesaian sengketa melalui ADR antara lain:
1) Fleksible dalam merancang syarat-syarat penyelesaian masalah;
2) Karena bersifat sukarela, sehingga prosedurnya lebih cepat;
3) Terjamin kerahasiaannya (confidensial);
4) Hemat waktu dan biaya;
5) Tetap terpelihara hubungan baik kedua belah pihak;
6) Keputusan bertahan lama karena bersifat sukarela daripada
pertentangan.
7 Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 44-45.
24
Penyelesaian sengketa secara non litigasi jauh lebih menguntungkan
daripada penyelesaian sengketa melalui peradilan. Penyelesaian
sengketa non litigasi juga akan memberikan manfaat bagi peradilan
karena mencegah penumpukan perkara di pengadilan.
B. Kerangka Teori
Kerangka teori bertujuan untuk memberikan gambaran atas-atas batasan
Tentang teori-teori yang dipakai sebagai landasan penelitian yang akan
dilakukan.
1. Hukum Perikatan
Secara harfiah kata “perikatan” sebagai terjemahan “verbintenis”, yang
merupakan pengambilalihan dari kata “obligation” dalam Code Civil
Perancis. Dengan demikian berarti perikatan adalah kewajiban pada salah
satu pihak dalam hubungan hukum perikatan tersebut.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan rumusan,
definisi, maupun arti istilah “perikatan”. Diawali dengan ketentuan Pasal
1233, yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan, baik karena undang-undang”, ditegaskan bahwa setiap
kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang
terkait dalam perikatan yang secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun
karena ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian berarti perikatan adalah hubungan hukum antara dua
atau lebih orang (pihak) dalam bidang/lapangan harta kekayaan, yang
melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum
tersebut.8
Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas
yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain
adalah: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas
konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt
8 Kartini muljadi dan Gunawan Widjaja,”Perikatan Pada Umumnya” (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004) h. 17
25
servanda), asas itikad baik (good faith), dan asas kepribadian (personality).
Berikut ini adalah penjelasan mengenai asas-asas dimaksud:
a. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal
1338 Ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk: (1) membuat atau tidak membuat
perjanjian; (2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun; (3)
menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta (4)
menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.9
Adanya asas kebebasan berkontrak dalam hukum islam didasarkan
kepada beberapa dalil antara lain :
1) Firman Allah Subhanahu Wata'ala pada Surah surat An-Nisa ayat
29:
نكم بالباطل إل أن تكون تارة يا أي ها الذين آمنوا ل تأكلوا أموالكم ب ي
كان بك ول ت قت لوا أن فسكم عن ت راض منكم رحيم م إن الل
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
Dan janganlah kamu membunuh dirimu;
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”
2) Sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, bersabda
dalam hadis : “Orang-orang muslim itu senantiasa setia kepada
syarat-syarat (janji-janji) mereka. (Hadis ini diriwayatkan oleh al-
Hakim dari sahabat Abu Hurairah)
9 M. Muhtarom, “Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan dalam Pembuatan
Kontrak”, SUHUF, Vol. 26, No. 1, (Mei: 2014), h. 50
26
3) Sabda Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam,
“Barangsiapa menjual pohon kurma yang sudah dikawinkan, maka
buahnya adalah untuk penjual {tidak ikut terjual}, kecuali pembeli
mensyaratkan lain. 4) Kaidah hukum Islam, Pada dasarnya akad itu adalah kesepakatan
para pihak dan akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan
atas diri mereka melalui janji.10 Asas ini merupakan asas yang sangat terkenal di dalam hukum
kontrak. Berdasarkan asas ini suatu pihak dapat memperjanjikan
dan/atau tidak diperjanjikan apa-apa yang dikehendakinya dengan
pihak lain. Dengan perkataan lain para pihak berhak untuk menentukan
apa-apa saja yang diinginkannya dan sekaligus juga diperkenankan
untuk dicantumkan di dalam perjanjiannya, dan apa yang diperjanjikan
itu akan mengikat para pihak yang menandatangani perjanjian tersebut.
Keberadaan perjanjian dapat ditelaah dari beberapa prinsip
muamalah dalam Islam, di antaranya: (1) pada dasarnya segala bentuk
muamalah adalah mubah, kecuali yang dilarang dalam Al-Qur’an dan
Sunnah; (2), muamalah dilakukan atas dasar suka rela, tanpa
mengandung unsur paksaan; (3), muamalah dilakukan atas dasar
pertimbangan yang mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat
dalam kehidupan masyarakat; (4), muamalah dilaksanakan untuk
memelihara keadilan, menghilangkan kezaliman (ketidakadilan),
gharar (penuh tipu daya).11
Namun dengan demikian harus diakui bahwa penerapan asas
kebebasan berkontrak ini adalah tidak bebas sebebasnya. Beberapa
pembatasan yang juga diterapkan oleh pembuat perundang-undangan
10 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalat, (Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 2007), h,. 84 11 Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalah: Hukum Perdata Islam ,
(Yogyakarta: Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993), h.10. Dikutip
dari skripsi Fajar Misbahul Munir, “Implikasi Penghapusan Pilihan Forum Hukum Dalam
Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah”, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
(Jakarta:2014), h. 30.
27
di antaranya asas kebebasan berkontrak tersebut tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan.
b. Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas konsesualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu
perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak
tanpa perlu dipenuhinya formalitas–formalitas tertentu. Asas
konsensualisme dapat disimpulkan melalui Pasal 1320 ayat 1 BW.
Bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan
kedua belah pihak. Dengan adanya kesepakatan oleh para pihak, jelas
melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut
bahwa kontrak tersebut telah bersifat obligatoir yakni melahirkan
kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.12
c. Asas Kepastian Hukum (pacta sunservanda)
Prinsip pacta sunservanda atau disebut juga dengan asas kepastian
hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sun
servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus
menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak
diperkenankan melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang
dibuat oleh para pihak.
Asas kepastian hukum ini terkait dengan akibat perjanjian. Dalam
hal ini hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak
yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-
undang, mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak.13 Asas Pacta SunServanda dapat
disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi,
”Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.
12 http://www.negarahukum.com/hukum/asas-asas-perjanjian.html, Diakses pada hari
minggu, 04 September 2018 pukul. 17.42, 13 Emanuel Raja Damaitu, “Perbandingan Asas Perjanjian dalam Hukum Islam dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata”, Jurnal Reporterium, Ed. 1 (Januari-Juni, 2014), h. 66.
28
Asas kepastian hukum ini disebut secara umum dalam Alquran
Surah Al Maidah ayat 1 :
) قال تعالى: يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود 5/1المائدة )
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.”
Berdasarkan ayat itu, disimpulkan bahwa setiap akad perjanjian itu
bersifat mengikat para pihak dan wajib ditepati. Dalam ayat yang lain,
yakni Surah al-shaff ayat 2 dan 3, status perjanjian mengikat itu
difirmankan Allah Subhanahu Wata'ala.
لون } لون 2ياأي ها الذين ءامنوا ل ت قولون مالت ف هللا أن ت قولوا مالت ف { كب ر مقتا عن
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan
sesuatu (berjanji) tetapi kamu tidak melaksanakannya. Allah
sangat membenci orang-orang yang berjanji (mengatakan
sesuatu) tapi tidak melaksanakan janjinya (perkataannya) itu.”
Hadits Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam dengan tegas
menyebutkan bahwa janji harus ditepati. Orang yang melanggar
janjinya disebut sebagai orang munafiq.
:أبي هريرة رضي هللا عنه ، أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال عن
وإذا وعد أخلف، وإذا اؤتمن خان إذا حدث كذب، :آية المنافق ثالث"
(رواه الشيخان) "
“Ciri-ciri orang Munafik itu ada 3 perkara: apabila dia berbicara
berbohong, dan apabila dia berjanji mengingkari, dan apabila dia
dipercaya berkhianat” (HR. Bukhori dan Muslim).
Berdasarkan ayat al Qur’an dan Hadis di atas dapat disimpulkan
bahwa Asas perjanjian itu bersifat ilzam (mengikat), dalam ilmu
hukum konvensional disebut dengan asas pacta sunservanda, yang
berarti bahwa akad perjanjian itu bersifat mengikat secara penuh,
karenanya harus ditepati dan asas kepastian hukum adalah tidak ada
suatu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan
29
peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan
tersebut.14
d. Asas Itikad Baik (good faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang
berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini
merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur
harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau
keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak.
e. Asas Kepribadian (personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa
seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya
untuk kepentingan perseorangan. Hal ini dapat dipahami dari bunyi
pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata
berbunyi: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan
perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”. Sedangkan pasal
1340 KUH Perdata berbunyi “Perjanjian hanya berlaku antara para
pihak yang membuatnya”. Namun ketentuan ini terdapat pengecualian
sebagaimana yang diintrodusir dalam pasal 1317 KUH Perdata yang
berbunyi: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak
ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu
pemberian kepada orang lain mengandung suatu syarat semacam itu”.
Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan
perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang
ditentukan. Sedangkan di dalam pasal 1318 KUH Perdata tidak hanya
mengatur perjanjian untuk diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan
ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak
daripadanya. Dengan demikian asas kepribadian dalam perjanjian
dikecualikan apabila perjanjian tersebut dilakukan seseorang untuk
14 https://www.iqtishadconsulting.com/content/read/blog/asas-asas-akad-kontrak-dalam-
hukum-syariah
30
orang lain yang memberikan kuasa bertindak hukum untuk dirinya atau
orang tersebut berwenang atasnya.15
2. Akad-akad Syariah
1. Ijarah
Ijarah menurut Sayyid Sabiq ialah suatu jenis akad yang mengambil
manfaat dengan jalan penggantian.16 Secara etimologi, ijarah bermakna
bai’ al-manfaat (jual beli manfaat).17 Ijarah berasal dari kata al-ajru yang
berarti al-iwadhu (ganti).18 Ijarah didefinisikan juga sebagai hak untuk
memanfaatkan barang/jasa dengan imbalan tertentu.19 Menurut Fatwa
Dewan Syariah Nasional, ijarah adalah akad pemindahan hak guna
(manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui
pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
barang itu sendiri.20 Jadi, tidak ada perpindahan kepemilikan dalam akad
ijarah, tetapi hanya perpindahan hak guna (manfaat) dari yang menyewakan
kepada penyewa.
Rukun akad Ijarah berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Bab XI tentang
ijarah Pasal 295 ialah sebagai berikut.
a. Musta’jir berarti pihak yang menyewa. Ketika benda yang disewa oleh
pihak yang menyewa ini menjadi milik pihak yang menyewa, akad ijarah
berakhir dengan sendirinya.
15 Rahmani Timorita Yulianti, “Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak
Syariah”, Ekonomi Islam La_Riba, Volume II, No. 1, (Juli: 2008), h. 102.
16 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1983), Jilid 3, h. 177.
Dikutip dari Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, (Ciputat:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 155
17 Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh, (Damsyik: Dar al-Fikr, 1989), Juz IV,
h. 731. Dikutip dari dari Isnawati Rais dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 155.
18 H.R Daeng Naja, Akad Bank Syariah, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011), h. 38.
19 (Saraksi, al-Mabsut, 15:74; al-Umm, 3:250). Sebagaimna dikutip juga dalam Adiwarman
Kariem, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h.
138
20 Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
31
b. Mu’ajir berarti pihak yang menyewakan. Mu’ajir tersebut haruslah
sebagai pemilik, wakil, atau pengampu dari benda yang disewakan.
c. Ma’jur berarti benda yang diijarahkan, penggunaannya harus
dicantumkan dalam akad atau kontrak perjanjian ijarah. Namun, jika
penggunaan benda yang disewakan tersebut tidak dicantumkan dengan
jelas dan pasti dalam akad atau kontrak perjanjian, penggunaannya
disesuaikan dengan kebiasaan atau aturan umum yang berlaku.
d. Akad, akad ijarah dapat dilakukan dengan lisan, tulisan, atau dengan
isyarat. Akad ijarah yang telah disepakati tidak dapat dibatalkan hanya
karena ada penawaran lebih dari pihak ketiga.
2. Ijarah Muntahya bi at-Tamlik (IMBT)
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan Akad Ijarah
Muntahiya Bittamik adalah akad penyediaan dana dalam rangka
memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa
berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.
3. Ijarah Multijasa
Pembiayaan multijasa adalah suatu kegiatan penyaluran dana dalam
bentuk pembiayaan dalam akad ijarah, dalam penyaluran jasa keuangannya
antara lain: penyaluran pelayanan jasa pendidikan, kesehatan, walimah,
pergi haji, kepariwisataan dan lain lain. Dalam pemberian pembiayaan
multijasa ini, bank syari’ah akan memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau fee
menurut kesepakatan dimuka dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan
dalam bentuk prosentase.21
Berdasarkan Fatwa DSN No. 44/DSN-MUI/VII/2004 tentang
pembiayaan multijasa, yang dimaksud pembiayaan multijasa yaitu
pembiayaan yang diberikan oleh Lembag Keuangan Syariah (LKS) kepada
nasabah dalam memperoleh manfaat atau jasa. Menurut Fatwa DSN
tersebut, ketentuan pembiayaan multijasa adalah sebagai berikut :
21 Fatwa DSN-MUI No. 44/DSN-MUI/VII/2004 Tentang Pembiayaan Multijasa
32
a. Pembiayaan multijasa hukumnya boleh (Jaiz) dengan menggunakan
akad Ijarah atau Kafalah.
b. Dalam hal LKS menggunakan akad Ijarah, maka harus mengikuti semua
ketentuan yang ada dalam fatwa Ijarah.
c. Dalam hal LKS menggunakan akad Kafalah, maka harus mengikuti
semua ketentuan yang ada dalam fatwa Kafalah.
d. Dalam kedua pembiayaan multijasa tersebut, LKS dapat memperoleh
imbalan jasa (Ujrah/fee).
e. Besar Ujrah atau fee harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam
bentuk nominal bukan dalam bentuk presentase.
4. Musyarakah
a. Pengertian
Menurut Afzalur Rahman, seorang Deputy Secretary General in The
Muslim School Trust, Syirkah secara etimologis mempunyai arti
pencampuran (Ikhlitath), yakni persekutuan dua orang atau lebih,
sehingga antara masing-masing sulit dibedakan atau tidak dapat
dipisahkan.22 Istilah lain dari musyarakah adalah sharikah atau syirkah
yang berarti kemitraan.
Secara terminologis, menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,
syirkah atau musyarakah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih
dalam permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam usaha
tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah. PSAK No.
106 mendefinisikan musyarakah sebagai akad kerjasama antara dua
pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan
dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan kerugian berdasarkan porsi
kontribusi dana. Para mitra bersama-sama menyediakan dana untuk
mendanai sebuah usaha tertentu dalam masyarakat, baik usaha yang
sudah berjalan maupun yang baru, selanjutnya salah satu mitra dapat
22 Ramat Syafe’i, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 183.
33
mengembalikan dana tersebut dan bagi hasil yang telah disepakati
nisbahnya secara bertahap atau sekaligus kepada mitra lain. Investasi
musyarakah dapat dalam bentuk kas, setara kas atau aset nonkas.23
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dan dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.24 Dalam musyarakah,
para mitra sama-sama menyediakan modal untuk membiayai suatu
usaha tertentu dan bekerja bersama mengelola usaha tersebut. Modal
yang ada harus digunakan dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditetapkan bersama sehingga tidak boleh digunakan untuk kepentingan
pribadi atau dipinjamkan pada pihak lain tanpa seizin mitra lainnya.25
b. Nisbah
Kontirbusi yang diberikan oleh setiap mitra tersebut, membuat para
mitra tidak bisa lepas tangan terhadap usaha yang dijalankan.
Musyarakah bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan atau hasil
dari usaha. Sebab musyarakah dapat mendukung kemampuan akumulasi
modal yang lebih besar, relasi bisnis yang lebih luas, keahlian yang lebih
beragam, wawasan yang lebih luas, dan lain sebagainya. Keuntungan
yang dibagikan kepada pemilik modal merupakan keuntungan riil,
bukan dengan nilai nominal yang telah ditetapkan sebelumnya seperti
bunga (riba). Musyarakah merupakan akad kerjasama dalam usaha
tertentu, sehingga keuntungan yang akan didapat belum bisa dipastikan
di awal akad. Jika keuntungan ditentukan dalam nilai nominal, akan ada
pihak yang dirugikan dan pihak yang diuntungkan.
23 Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2014),
h.150
24 Ibnu Rusy, Bidayatul Mujtahid, Babi Al Halabi, Cairo, tanpa tahun, jilid II, h. 253-257.
25 Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2014),
h.150
34
c. Jaminan
Pada dasarnya, atas modal yang ditanamkan tidak boleh ada jaminan
dari mitra lainnya karena bertentangan dengan prinsip untung muncul
bersama risiko (al-ghunmu bi al-ghurmi). Namun demikian untuk
mencegah mitra melakukan kelalaian, melakukan kesalahan yang
disengaja atau melanggar perjanjian yang telah disepakati,
diperbolehkan meminta jaminan dari mitra lain atau pihak ketiga. Tentu
saja jaminan ini baru dicairkan apabila terbukti ia melakukan
penyimpangan. PSAK No. 106 par 7 memberikan beberapa contoh yang
disengaja yaitu: a) pelanggaran terhadap akad; antara lain,
penyalahgunaan dana investasi, manipulasi biaya, dan pendapatan
operasional; atau b) pelaksanaan yang tidak sesuai dengan prinsip
syariah.26
5. Murabahah
Imam Syafi’i berpendapat bahwa akad murabahah adalah jual-beli
barang pada harga asal dengan tambahan yang disepakati.27 Sedangkan
menurut Ibnu Rusyd, murabahah memiliki karakteristik yang melekat
yaitu penjual mesti memberitahukan tentang harga barang dan menyatakan
jumlah keuntungan yang ditambah pada biaya tersebut kepada pembeli.28
Berdasarkan Kompilasi Hukum Ekonomi Islam pasal 20 ayat 6,
murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan yang dilakukan
oleh shahib al-mal dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual
beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual
terdapat nilai lebih yang merupakan keuntungan atau laba bagi shahib
almal dan pengembaliannya dilakukan secara tunai atau angsur.
Sedangkan menurut Adiwarman Karim, Murabahah (al-ba’i bi
tsaman ajil) berasal dari kata ribhu (keuntungan) yang artinya adalah
26 Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2014),
h.151
27 M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta, Gema Insani, 2001),
h. 101
28 Adiwarman Karim, Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), h. 113
35
transaksi jual-beli dimana pihak bank menyebutkan jumlah
keuntungannya. Bank (shahibul mal) bertindak sebagai penjual, sementara
nasabah sebagai pembeli. Harga jual tersebut adalah harga beli bank dari
pemasok ditambah keuntungan (margin).29 Sehingga transaksi murabahah
ini termasuk kedalam akad Natural Certainty Contracs karena
memberikan kepastian pembiayaan, baik dari segi jumlah (amount)
maupun waktu (timing)-nya dan memiliki cash flow yang dapat diprediksi
dan relative pasti.30
Dengan memerhatikan pengertian murabahah tersebut diatas, dapat
dipahami bahwa murabahah adalah transaksi jual beli yang menerapkan
prinsip transparansi informasi oleh penjual atas penambahan harga barang
kepada pembeli yang akan diambil oleh penjual sebagai keuntungan atau
mark up. Dengan kata lain, penjualan barang kepada nasabah dilakukan
atas dasar cost plus profit.31
DSN-MUI mengeluarkan Fatwa No. 4 Tahun 2000 mengenai
ketentuan murabahah bagi perbankan syariah, berikut Ketentuan Bagian
Pertama:
a. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
b. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
c. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang
telah disepakati kualifikasinya.
d. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank
sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
e. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
f. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan)
dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam
29 Adiwarman Karim, Bank Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), h. 98.
30 Adiwarman Karim, Bank Islam, h. 51.
31 Abdul Mannan, Hukum Ekonomi Syarih dalam Perspektif Kewenangan Peradilan
Agama, h. 223.
36
kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang
kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
g. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada
jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
h. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad
tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan
nasabah.
i. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang
dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah
barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
Dalam aplikasinya, klien Bank Syariah membeli suatu barang menurut
rincian tertentu dan menghendaki agar Bank mengirimkannya kepada
mereka berdasarkan imbuhan harga tertentu menurut persetujuan awal
kedua belah pihak.32 Sehingga Bank Syariah selaku shahib mal membiayai
barang dengan spesifikasi yang ditentukan oleh nasabah dengan cara
membeli kepada pihak ketiga secara tunai, kemudian menjual barang
tersebut dengan menyebutkan transparansi keuntungan atau mark-up
kepada nasabah secara cicilan oleh nasabah sesuai kesepakatan awal kedua
belah pihak.
Peran bank selaku penjual dalam pembiayaan murabahah lebih tepat
digambarkan sebagai pembiaya dan bukan penjual barang, karena bank
tidak memegang barang, tidak pula mengambil risiko atasnya. Kerja bank
hampir semuanya hanya terkait penanganan dokumen-dokumen.33
Murabahah dimasukkan kedalam kategori financing yang memiliki peran
untuk memberikan pembiayaan dari pihak shahibul mal kepada nasabah
(mudharib). Sehingga Murabahah mengalami perkembangan arti dalam
konteks pengaplikasian pada perbankan syariah.
32 M. Abdul Mannan, MA., Ph.D, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, h. 168 33 Bagya Agung Prabowo. Januari, 2009. Konsep Akad Murabahah pada Perbankan
Syariah (Analisis Kritis terhadap Konsep Akad Murabahah di Indonesia dan Malaysia). Jurnal
Hukum, Volume. 16 No. 1, hal. 111
37
Sehingga bisa disimpulkan bahwa murabahah adalah salah satu bentuk
akad pembiayaan Bank Syariah yang pendapatan keuntungannya mesti
disebutkan kepada nasabah dan pembayarannya dapat dilakukan baik secara
tunai atau cicilan (sesuai kesepakatan di awal akad).
C. Tinjaun (Riview) Kajian Terdahulu
Kajian pustaka adalah deskripsi tentang kajian atau penelitian yang sudah
pernah dilakukan. Kajian pustaka ini bertujuan untuk memperoleh suatu
gambaran yang memiliki hubungan topik yang akan diteliti dari beberapa
penelitian terdahulu yang sejenis atau memiliki keterkaitan, sehingga tidak
pengulangan penelitian atau duplikasi.
Untuk menghindari kesamaan judul dalam penelitian ini peneliti telah
melakukan penelusuran study terlebih dahulu yang berkaitan dengan penelitian
ini dari beberapa kepustakaan. Penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
Ambar Rukmini, dalam skripsi yang berjudul Pilihan Forum Penyelesaian
Sengketa Perbankan Syariah Sebelum dan Setelah Keluarnya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 Study Kasus pada Bank
Syariah Mandiri KCP Urip Sumoharjo. Substansi dari skripsi ini adalah analisis
alasan Bank Mandiri KCP Urip Sumoharjo masih memilih Pengadilan Negeri
dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah secara litigasi.
Perbedaannya, dalam hal ini peneliti akan membahas konsep penyelesaian
sengketa yang diterapkan oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan
Cita dalam menentukan lembaga penyelesaian sengketa pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 93/PUU-X/2012 dan untuk mengetahui
eksistensi asas pacta sunservanda dan asas kebebasan berkontrak dalam akad
syariah yang dibuat oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita.
Purnama Hidayat Harahap, dalam jurnal yang berjudul Penyelesaian
Sengketa Perbankan Syariah sesuai Isi akad berdasarkan ketentuan undang-
undang Nomor 21 tahun 2008 Tentang perbankan syariah pasca putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012. Substansi dari jurnal ini adalah
38
analisis alasan perbankan syariah yang masih menggunakan pengadilan Negeri
dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah dan analisis penyelesaian
sengketa perbankan syariah dalam praktik pasca putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 93/PUU-X/2012. Perbedaannya, dalam hal ini peneliti akan membahas
konsep penyelesaian sengketa yang diterapkan oleh Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS) Insan Cita dalam menentukan lembaga penyelesaian sengketa
pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 93/PUU-X/2012 dan untuk
mengetahui eksistensi asas pacta sunservanda dan asas kebebasan berkontrak
dalam akad syariah yang dibuat oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah(BPRS)
Insan Cita.
Siti Nurhayati, dalam jurnal yang berjudul eksistensi peradilan agama pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 93/PUU-X/2012 Tentang
penyelesaian sengketa perbankan syariah. Subtansi dalam jurnal ini adalah
peradilan agama merupakan satu-satunya peradilan yang berwenang
menyelesaikan sengketa perbankan syariah khususnya dan Ekonomi syariah
pada umumnya serta tidak ada lagi dualism kewenangan lembaga peradilan
antara peradilan agama dan peradilan negeri. Perbedaannya, dalam hal ini
peneliti akan membahas konsep penyelesaian sengketa yang diterapkan oleh
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita dalam menentukan
lembaga penyelesaian sengketa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Nomor 93/PUU-X/2012 dan untuk mengetahui eksistensi asas pacta
sunservanda dan asas kebebasan berkontrak dalam akad syariah yang dibuat
oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita.
Afrik Yunari, dalam jurnal yang berjudul Choise of Forum dalam
Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Pasca Terbitnya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor. 93/PUU-X/2012. Substansi dari jurnal ini
adalah choise of forum dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah
sebelum dan sesudah lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syariah, dan setelah lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor. 93/PUU-X/2012. Perbedaannya, dalam hal ini peneliti akan membahas
konsep penyelesaian sengketa yang diterapkan oleh Bank Pembiayaan Rakyat
39
Syariah (BPRS) Insan Cita dalam menentukan lembaga penyelesaian sengketa
pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 93/PUU-X/2012 dan untuk
mengetahui eksistensi asas pacta sunservanda dalam akad syariah yang dibuat
oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah(BPRS) Insan Cita.
40
BAB III
MODEL PENYELESAIAN SENGKETA BPRS INSAN CITA
A. Sekilas Tentang BPRS HIK Insan Cita
BPRS HIK Insan Cita ialah bagian dari Group Harta Insan Karimah. HIK
Group merupakan perusahaan yang bergerak di bidang Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah yang dapat dikatakan terbesar secara nationalwide, asset HIK
Group saat ini kurang lebih mencapai 1.8 Triliun. BPRS HIK Insan Cita Bogor
ini ialah BPRS HIK yang kesepuluh didirikan dari hasil akuisisi PT. BPRS
Insan Cita.
Sebelumnya, Direktur BPRS HIK Insan Cita Bogor ini bekerja di BPRS
HIK Insan Cita Ciledug, namun dipindah dan dijadikan Direktur di BPRS HIK
Insan Cita Bogor. Menurutnya, daerah Bogor merupakan daerah yang strategis
untuk mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM),
mengingat banyak masyarakat Bogor yang sedang menjalankan UMKM. Oleh
karena itu, BPRS HIK Insan Cita Bogor memang lebih mengutamakan produk
pembiayaannya diberikan kepada UMKM di Bogor atau menjadikan UMKM
sebagai fokus utama.
Pembiayaan BPRS HIK Insan Cita lebih banyak diberikan untuk
pembiayaan yang jumlahnya di bawah Rp 500.000.000.000 (lima ratus juta
rupiah), sementara untuk pembiayaan di atas Rp 500 juta dapat dikatakan
jarang. UMKM memang telah menjadi potensi yang sangat luar biasa untuk
pangsa pasar industri keuangan, tak terkecuali untuk bank umum baik yang
syariah maupun yang konvensional. Direktur BPRS HIK Insan Cita ini pun
menyadari bahwa sebagai sesama lembaga keuangan bank, maka bank umum
juga merupakan kompetitor bagi BPRS HIK Insan Cita. Selanjutnya Hadi
Nugraha menjelaskan profil perusahaan Induk HIK Group, meliputi sejarah
pendirian, pengembangan perusahaa, dan lain sebagainya. Berikut ialah profil
41
perusahaan Group HIK Induk dan BPRS HIK Insan Cita yang kami peroleh
selain dari hasil wawancara juga dari website Group HIK itu sendiri:1
Berdirinya PT. INDUK Harta Insan Karimah merupakan hasil kesepakatan
Rapat Kerja (RAKER) Harta Insan Karimah (HIK) Group yang pertama (1)
yang diselenggarakan pada tanggal 11-12 November 2007 dengan tugas yang
diberikan kepada Perseroan untuk mengembangkan jaringan BPRS Harta Insan
Karimah (HIK) Group di Indonesia (nationwide), melakukan pengawasan pada
BPRS Harta Insan Karimah (HIK) Group sebagai wujud dari perpanjangan
tugas Komisaris BPRS HIK, serta berfungsi sebagai koordinator dalam
mengkaji dan menghasilkan strategi bisnis bersama yang meliputi sistem
manajemen, kinerja perseroan, kerjasama pembiayaan, pengembangan zakat,
infaq dan shodaqoh, strategi inisiatif dan perencanaan perusahaan.
Induk Harta Insan Karimah, merupakan suatu perseroan didirikan melalui
akuisisi dari PT. Fudina Sukses berdasarkan pernyataan keputusan pemegang
saham No. 30 tertanggal 13 Mei 2008, dibuat dihadapan Notaris Doktor Haji.
Teddy Anwar, Sarjana Hukum dan telah mendapat persetujuan melalui
Keputusan Menteri kehakiman Republik Indonesia nomor: AHU-
38846.AH.01.02.Tahun 2008.
Perseroan melakukan peningkatan modal disetor dan nama perseroan
menjadi PT. INDUK Harta Insan Karimah berdasarkan akte nomor: 12
tertanggal 6 Juli 2009 dibuat dihadapan Notaris Doktor Haji Teddy Anwar,
Sarjana Hukum dan telah mendapat persetujuan melalui keputusan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia nomor: AHU-41454.AH.01.02.Tahun 2009.
Pada tahun 2011 dilakukan peningkatan modal dasar dan modal disetor
Perseroan, berdasarkan akte nomor. 79 tertanggal 28 April 2011 dan telah
disetujui melalui keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor. AHU 29038.AH.01.02.Tahun 2011, perubahan
akte nomor. 80, tertanggal 28 April 2011 dan perubahan terakhir nomor. 19,
1 https://hik.co.id/profil/unit -usaha/ diakses pada tanggal 6 September 2018.
42
tertanggal 8 Juni 2012 di hadapan notaris Doktor Teddy Anwar, Sarjana
Hukum.
Pada mulanya PT. BPRS Insan Cita didirikan oleh beberapa tokoh-tokoh
ekonomi syariah dengan semangat asas syariah guna menyentuh sektor riil
secara langsung yang pada saat itu Bank Umum Syariah (BUS) hanya bergerak
di sektor moneter. PT. BPRS Insan Cita didirikan oleh Bapak Zainul Arifin
yang merupakan tokoh perbankan syariah dan mantan Direktur Utama Bank
Muamalat Indonesia (2000), Bapak Fuad Muadzir, dan Bapak Saefudin A
mantan Direktur Utama BNI Syariah. Sehingga, pada tahun 1998 didirikanlah
PT. BPRS Insan Cita.
Sebagaimana semangat para pendiri PT. BPRS Insan Cita, sehingga alasan
didirikan BPRS ini adalah guna menyentuh UMKM serta masyarakat di mana
letak PT. BPRS Insan Cita yang strategis dekat dengan Pasar Parung, Mall
Parung, Ramayana Parung dan Masjid Riyadhu Salihin Parung. Sehingga,
Bapak Muh. Hadi Maulidin Nugraha, SEI.,MM selaku Direktur PT. BPRS HIK
Insan Cita mengatakan “Di sini tempatnya UMKM tumbuh”.
Namun, pada tahun 2014 BPRS Insan Cita mengalami kinerja yang kurang
baik. Maka, demi menjaga kinerja dan memperbaiki manajemen BPRS maka
dilakukan akuisisi oleh holding company PT. INDUK Harta Insan Karimah
(HIK)2. Di mana tujuan dari HIK Group ini adalah untuk mengembangkan
BPRS HIK Group di Indonesia (nationwide) dengan visinya yaitu “Menuju
Natio-Wide Sharia Micro Banking.3 Sehingga, konsekuensi akuisisi ini
mengubah secara besar-besaran dari manajemen hingga nama BPRS Insan Cita
menjadi PT. BPRS HIK Insan Cita.
2 Sejarah singkat PT. INDUK Harta Insan Karimah ini adalah hasil dari Rapat Kerja
(RAKER) Harta Insan Karimah pada tanggal 11-12 November 2007, namun awal mulanya telah
berdiri PT. BPRS Harta Insan Karinah yang didirikan pada tanggal 19 Desember 1992 dengan modal
awal sebesar Rp 282 juta dengan saham mayoritas dipegang oleh alumni HMI Fakultas Ekonomi
UGM. Sedangkan operasi awal pada tahun 1993 dengan terbitnya Berita Negara nomor. 3529 di
Jakarta dan hasil keputusan Menteri Keuangan RI dengan izin nomor. Kep=177/KM.17/1993, pada
tanggal 28 Agustus 1993. Diakses melalui www.hik.co.id.
3 Sekilas Singkat Profil HIK-INDUK, diakses dari www.hik.co.id diakses pada tanggal 6
September 2018.
43
Dilakukannya aksi akuisisi BPRS HIK Insan Cita ini merupakan akuisisi
BPRS yang kesepuluh dilakukan oleh HIK Group setelah PT. BPRS HIK
Bekasi, Parahyangan, Cibitung, Makassar, Surakarta, Tegal, dll. Pengakuisisian
BPRS HIK Insan Cita ini mengubah kepemilikan saham atas BPRS Insan Cita,
yakni di atas 51% yang menjadi pengatur serta wewenang atas BPRS Insan Cita.
Sisanya, dimiliki oleh individu HIK. Sebagaimana dalam Pasal 9 ayat (2) UU
No. 21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah BPRS dapat dimiliki oleh warga
negara Indonesia atau badan hukum yang pemiliknya adalah warga negara
Indonesia, atau oleh pemerintah daerah, atau keduanya.
Hasil dari aksi akuisisi ini berpengaruh terhadap kinerja BPRS HIK Insan
Cita, yakni asset pada tahun 2016 hanya sebesar 14 Milyar dan pada saat
dilakukannya wawancara (27 April 2017) menjadi 28 Milyar atau meningkat
sebesar 200%. Tidak hanya mempengaruhi asset, dilakukannya aksi akuisisi
juga mengubah operasional dan manajemen. Yakni, mengubah visi misi BPRS
Insan Cita menjadi visi misi yang diterapkan oleh HIK Group. Di samping itu,
beberapa ide dan kebijakan maupun hal-hal terkait operasional berada di bawah
pengawasan dan kebijakan HIK Group dengan cara men-deliver kepada
beberapa entitas BPRS di bawahnya, termasuk PT. BPRS HIK Insan Cita.
Kemudian, PT. BPRS HIK Insan Cita selaku badan usaha sebagai mana
dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 jo. Maka, BPRS haruslah berbadan
hukum Perseroan Terbatas, Koperasi, atau Perusahaan Daerah pada Pasal 2
POJK No. 20/POJK. O3/2014 mengenai Kelembagaan BPR. Sehingga,
menjadikan PT. BPRS HIK Insan Cita berdasarkan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan secara eksternal berada di bawah
pengawasan OJK dan berada di bawah Undang-Undang No. 40 Tahun 2007
mengenai Perseroan Terbatas.
B. Visi Misi BPRS HIK Insan Cita
Tidak seperti sebuah perusahaan cabang, setiap BPRS HIK Insan Cita yang
tersebar di pulau Jawa memiliki entitas tersendiri dengan HIK Induk, tata cara
pengurusan yang berbeda dengan BPRS HIK yang lain, daftar perusahaan yang
terpisah dari HIK Induk, struktur organisasi yang juga terpisah, serta visi misi
44
yang berbeda dengan perusahaan Induk. Namun meski demikian, HIK Induk
tetap melakukan pengawasan terhadap anak perusahaannya, serta visi misi dari
anak perusahaannya tersebut tidak boleh bertentangan dengan visi misi HIK
Induk.
Industri yang bergerak di bidang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak
dapat mendirikan perusahaan cabang yang jauh terpisah daerahnya dengan
perusahaan induk, seperti misalnya BPRS HIK Insan Cita Bogor tidak akan
dapat mendirikan cabang di luar provinsi Jawa Barat (di luar daerah
jangkauannya). Hal ini dikarenakan, dalam mendirikan perusahaan cabang di
luar wilayah BPRS Induk, maka dibutuhkan modal yang lebih besar. Dengan
demikian, untuk mengembangkan dan memperluas wilayah perusahaannya,
BPRS akan menggunakan sistem holding company. Berbeda dengan bank
umum yang modalnya memang sudah besar, bank umum dapat mendirikan
perusahaan cabang di luar jangkauan daerah perusahaan pusat, sehingga bank
umum lebih banyak menggunakan atau mendirikan cabang dibanding
mendirikan sebuah perusahaan anak. Di samping itu pula, BPRS diutamakan
untuk fokus dalam mengembangkan usaha di daerahnya, sehingga membuka
cabang, meskipun cabang itu di dalam jakauan daerah BPRS pusat, bukanlah
merupakan prioritas BPRS.
Visi BPRS HIK Insan Cita ialah “Menjadi Bank Syariah yang unggul dan
terpercaya”. BPRS HIK Insan Cita memiliki motto “Maju Bersama dalam
Usaha sesuai Syariah”, sedangkan misinya ialah sebagai berikut:
1. Menjalankan usaha perbankan yang sehat dan amanah.
2. Memberikan pelayanan yang terbaik dan Islami.
3. Berperan aktif dalam pengembangan dunia usaha dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
4. Meningkatkan kesejahteraan pemegang saham, pengurus, dan karyawan.
5. Menjalankan misi dakwah yang rahmatan lil alamin.
Sementara HIK Induk memiliki visi “Mewujudkan nation-wide sharia
micro banking terunggul dan terpercaya”. Adapun misi HIK Induk ialah
45
memaksimalkan nilai tambah bagi stakeholder melalui kegiatan investasi
melalui pengembangan UMKM yang mendukung nilai-nilai portofolio inti.
Sehingga sudah jelas bahwa HIK Induk dan perusahaan subsidiary-nya lebih
mengutamakan pengembangan UMKM.
D. Strategi Pengembangan BPRS HIK Insan Cita
Mengingat BPRS HIK Insan Cita ini baru didirikan, maka BPRS HIK Insan
Cita hanya memiliki kantor cabang bagian kas di Citeureup. BPRS Insan Cita
tidak berniat untuk membuka cabang di tahun 2017, namun ada beberapa
kegiatan yang akan dijalankan BPRS HIK Insan Cita dalam mengembangkan
pangsa pasarnya antara lain ialah menyelenggarakan mobil kas keliling, serta
BPRS HIK Insan Cita lebih memusatkan perhatiannya terhadap UMKM yang
ada di daerahnya ketimbang membuka cabang. Setelah UMKM di daerah
BPRS HIK Insan Cita sudah cukup terakomodir, maka barulah BPRS ini
membuka cabang.
Badan hukum kantor cabang bersifat mengikuti perusahaan pusatnya,
adapun terkait tata cara pembukaan cabang dan pengaturan mengenai kantor
cabang dapat dilihat lebih lanjut dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Kantor Cabang Perbankan.
Total jumlah nasabah BPRS HIK Insan Cita sekitar 10.000 nasabah, 10.000
nasabah ini sudah termasuk nasabah tabungan dan pembiayaan. Untuk nasabah
tabungan sendiri ada sekitar 7.000, jumlah ini termasuk nasabah tabungan yang
non-aktif.
Sejauh ini, BPRS HIK Insan Cita masih berupaya melakukan sosialisasi ke
masyarakat agar masyarakat mengetahui keberadaan BPRS HIK Insan Cita ini
dan agar masyarakat percaya menempatkan dananya di BPRS atau melakukan
pembiayaan dengan produk BPRS. Di samping itu, peningkatan sumber daya
dan kompetensi pegawainya terhadap pemahaman ekonomi syariah pun perlu
diperhatikan. Untuk itu BPRS HIK Insan Cita kerapkali melakukan training
kepada para pegawainya.
46
E. Produk-Produk Perbankan BPRS HIK Insan Cita
Dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai bank pembiayaan rakyat syariah,
BPRS HIK Insan Cita mempunyai produk-produk sebagai berikut :
1. Pembiayaan
PT. BPR Syariah Harta Insan Karimah Insan Cita senantiasa berusaha
memberikan pelayanan pembiayaan yang terbaik bagi anda, dengan proses
yang mudah, pelayanan cepat dan persyaratan ringan. Kami siap untuk
membiayai usaha dan kebutuhan anda, antara lain:
a. Pembiayaan Modal usaha adalah pemberian modal kepada nasabah yang
sudah memiliki usaha dan sudah berjalan minimal satu tahun kami siap
memberikan tambahan modal. Seperti kebutuhan modal ketika
menjelang lebaran, ketikan mendapat proyek dengan SPK/ PO, atau
kebutuhan lain ketika permodalan anda perlu ditambah.
b. Pembiayaan Investasi adalah pembiayaan yang sifatnya investasi seperti
pembelian kendaraan, pembelian mesin, pembelian tanah/bangunan atau
investasi lain yang menunjang usaha dan keperluan anda.
c. Pembiayaan Konsumtif adalah pembiayaan yang diberikan kepada
nasabah yang begitu banyak kebutuhan yang diinginkan mulai dari
barang-barang elektronik sampai kebutuhan renovasi tempat tinggal.
d. Pembiayaan Guru Bersertifikasi adalah memberikan fasilitas
pembiayaan bagi guru yang sudah mendapatkan sertifikasi pendidik
mulai dari renovasi rumah, biaya pendidikan anak sekolah dan lainnya.
e. Pembiayaan Al-Murabahah (Jual-Beli)
f. Pembiayaan Mudharabah/ Musyarakah (Bagi-Hasil)
g. Pembiayaan Ijarah (Sewa-Menyewa)
2. Deposito
Deposito Mudharabah merupakan produk simpanan berjangka waktu 1,
3, 6 dan 12 bulan dengan prinsip bagi hasil. Dana yang disimpan akan
diinvestasikan untuk membiayai berbagai bidang usaha yang halal. Sistem
bagi hasil yang lebih besar dibandingkan dengan suku bunga Deposito Bank
Konvensional, tidak dikenakan biaya administrasi,simpanan anda juga
47
dijamin oleh LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) maksimal 2 milyar
rupiah, sistem jemput setoran dan tidak dikenakan biaya administrasi
apabila dicairkan sebelum jatuh tempo.
3. Tabungan
a. Tabungan iB Mitra Ummat adalah tabungan yang disediakan dengan
prinsip titipan dan dapat ditarik setiap saat. Dijamin oleh LPS (Lembaga
Penjamin Simpanan).
b. Tabungan iB Insani adalah tabungan yang disediakan simpanan dengan
prinsip bagi hasil antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil
sesuai kesepakatan. Dijamin oleh LPS (Lembaga Penjamin Simpanan).
c. Tabungan iB Qurban adalah tabungan yang disediakan simpanan dengan
prinsip bagi hasil untuk cicilan pembelian hewan qurban. Dijamin oleh
LPS (Lembaga Penjamin Simpanan).
d. Tabungan iB Haji adalah tabungan yang disediakan simpanan dengan
prinsip bagi hasil untuk setoran haji. Dijamin oleh LPS (Lembaga
Penjamin Simpanan).
e. Tabungan iB Pendidikan adalah tabungan yang disediakan simpanan
dengan prinsip bagi hasil untuk rencana pendidikan. Dijamin oleh LPS
(Lembaga Penjamin Simpanan).4
F. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Menurut Putusan Mahkamah
Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 93/PUU-X/2012 ini ada
karena diajukan oleh Bapak Dadang sebagai pemohon, yang merupakan
Nasabah Bank Muamalat Kantor Cabang Bogor. Pemohon mengajukan
permohonan uji materil kepada Mahkamah Konstitusi terkait dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah (selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan Syariah, khususnya
Pasal 55 Ayat (2) dan Ayat (3) yang mengatur mengenai penyelesaian
sengketa. Pemohon menilai bahwa Pasal 55 Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-
4 https://hik.co.id/produk/unit-usaha/ diakses pada tanggal 6 September 2018.
48
Undang Perbankan tidak memberikan kepastian hukum sebagaimana yang
telah diamanatkan oleh Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Penyelesain sengketa Perbankan Syariah, dapat diselesaikan dengan cara
sebagai berikut : (1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkukan Pengadilan Agama. (2) Dalam hal para pihak
telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud
pada Ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad. (3)
Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah.
Penjelasan isi Pasal 55 Ayat (2) Undang-Undang Perbankan Syariah
berbunyi sebagai berikut:
“yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi
akad-akad adalah upaya sebagai berikut: a) Musyawarah; b) Mediasi
perbankan ; c) Melalui badan arbitrase syariah nasional (Basyarnas) atau
lembaga arbitraselain ; dan/atau d) Melalui pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum.”
Berdasarkan isi Pasal 55 Undang-Undang Perbankan Syariah tersebut, maka
terlihat bahwa penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dapat diselesaikan
melalui Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri, serta Alternative Dispute
Resolution (ADR) yang dapat ditempuh melalui Musyawarah, Mediasi
Perbankan, dan melalui Basyarnas atau lembaga arbitrase lainnya.
Penyelesaian sengketa sebagaimana yang terdapat pada Pasal 55 Undang-
Undang perbankan tersebut dinilai terdapat kontradiktif antara Pasal 55 Ayat
(1) yang secara tegas mengatur jika terjadi sengketa dalam Perbankan Syariah,
maka harus diselesaikan melalui Pengadilan Agama, sedangkan Pasal 55 Ayat
(2) memberi pilihan kepada para pihak untuk memilih lingkungan peradilan lain
untuk menyelesaikan sengketa dan dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri.
Pilihan hukum yang terdapat pada Pasal 55 Ayat (2) ini tidak memberikan
kepastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 yang
mengamanatkan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan
49
pengakuan, jaminan, perlindungan serta kepastian hukum dan juga perlakuan
yang sama di hadapan hukum.
Hal ini senada dengan pendapat dari Abdul Ghofur Anshori, yang
menyatakan bahwa terdapatnya opsi penyelesaian sengketa dapat diselesaikan
di Pengadilan Negeri pada huruf (d) penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU perbankan
akan berpotensi menimbulkan konflik antar dua lingkungan peradilan dan
mereduksi kewenangan absolut Peradilan Agama sebagaimana yang terdapat
pada Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
Tentang Peradilan Agama (selanjutnya disebut dengan Undang-Undang
Peradilan Agama), yang berisi sebagai berikut:5
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam dibidang ekonomi syariah.”
Penjelesan Pasal 49 Undang-Undang Pengadilan Agama menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah, salah satunya adalah
Perbankan Syariah.
Mahkamah Konstitusi mengadili mengabulkan permohonan untuk
sebagian, yang pada intinya berisi penjelesan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan
Syariah bertentangan dengan Undang-Undang dasar negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) dan penjelasan tersebut
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.6
Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan binding tersebut
memiliki implikasi hukum tersendiri bahwasanya kewenangan untuk
menyelesaikan sengketa perbankan sengketa syariah saat ini merupakan
wewenang Pengadilan Agama. Isi Pasal 55 ayat (2) kini tidak memiliki
penjelasannya kini telah beralih menjadi “cukup jelas”.
5 Abdul Ghofur Anshori, hukum Perbankan Syariah,(Bandung : Refika Aditama, 2009),h.,
110. 6 MK Kabulkan Pemohon terkait UU Perbankan Syariah diakses pada hari rabu, 31
Oktober 2018 10.30 dari http://ekonomisyariah.info/blog/2018/10/31/mk-kabulkan-pemohon-
terkait-uu-perbankan-syariah.
50
G. Model Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di BPRS HIK Insan
Cita
Ketika nasabah melakukan wanprestasi, BPRS HIK Insan Cita akan
mengupayakan nasabah tersebut dengan cara musyawarah terlebih dahulu.
Biasanya, debt collector dari BPRS HIK Insan Cita akan bernegosiasi dahulu
dengan nasabah dengan cara yang baik dan damai. Jika sudah tidak ditemukan
solusi melalui upaya damai tersebut, maka PT.BPRS HIK Insan Cita akan
mengajukan perkara wanprestasi ini melalui litigasi (pengadilan) atau sesuai
dengan isi akad yang dipakai oleh PT.BPRS Insan Cita yaitu melalui
Pengadilan Negeri. Meskipun, OJK menganjurkan untuk mengajukan sengketa
tersebut ke Arbitrase syariah terlebih dahulu, namun secara faktual kebanyakan
BPRS termasuk BPRS HIK Insan Cita lebih memilih Pengadilan Negeri
sebagai tempat penyelesaian sengketa dari pada di Pengadilan Agama. Hal ini
dikarenakan pihak BPRS Insan Cita mempertimbangkan bahwa Pengadilan
Agama masih mencerminkan sebagai pengadilan yang dominan menangani
kasus nikah, talak, cerai, dan rujuk (NTCR) atau masalah keluarga, tingkat
kepercayaan terhadap kompetensi hakim-hakim di Pengadilan Negeri lebih
tinggi dari pada Pengadilan Agama, dan pengadilan Negeri lebih
berpengalaman dalam menyelesaikan kasus-kasus sengketa.7
7 Hasil wawancara pribadi dengan Muh. Hadi Mauludin Nugraha Direktur Utama BPRS
Insan Cita, Bogor, 27 September 2018
51
BAB IV
EKSISTENSI ASAS PACTA SUNSERVANDA DALAM AKAD KONTRAK
SYARIAH BPRS HIK INSAN CITA
A. Potret Akad Produk Perbankan BPRS HIK Insan Cita
1. Belum Sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
93/PUU-X/2012
Konsep penyelesaian sengketa BPRS HIK Insan Cita dapat dilihat
pada penyusunan kontrak yang digunakan pada beberapa produk
perbankan syariah. Ada dan dibuatnya akad atau kontrak perjanjian antara
BPRS HIK Insan Citadan nasabah sangat penting dalam setiap transaksi,
khususnya perbankan syariah. Akad atau kontrak perjanjian tersebut
menjadi sumber hukum formil bagi BPRS HIK Insan Cita dan nasabah.
Dalam perbankan syariah, akad atau kontrak perjanjian sangat menentukan
isi dan bentuk dari fasilitas perbankan yang diberikan kepada nasabah,
termasuk juga penyusunan mengenai klausula penyelesaian sengketa atau
perselisihan.
Ketentuan dalam akad Piutang Murabahah pada Pasal 6 Ayat (2)
tentang Penyelesaian Perselisihan menerangkan bahwa, “Apabila
musyawarah untuk mufakat telah diupayakan namun perbedaan pendapat
atau penafsiran perselisihan atau sengketa tidak dapat diselesaikan oleh
kedua belah pihak, maka para pihak bersepakat, dan dengan ini berjanji
serta mengikatkan diri satu terhadap yang lain, untuk menyelesaikannya
melalui Kantor Pengadilan Negeri menurut prosedur berita acara yang
berlaku di dalam Pengadilan tersebut”.1 Klausul tersebut telah
dipraktikkan oleh BPRS HIK Insan Cita dalam penyelesaian sengketa
yang terjadi pada pertengahan tahun 2017 , yang ketika itu sengketa
tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri namun ditolak dikarenakan
1 Perjanjian Akad Piutang Murabahah BPRS HIK Insan Cita Parung Bogor.
52
sengketa tersebut bukan kewenangan absolut Pengadilan Negeri
melainkan Pengadilan Agama.2
Adapun dalam Pasal 6 Ayat 2 tentang penyelesaian Perselisihan
dengan jelas bahwasanya BPRS HIK Insan Cita memilih opsi musyawarah
terlebih dahulu, karena musyawarah masih menjadi opsi awal dalam
penyelesaian sengketa perbankan syariah. Musyawarah merupakan
komunikasi dua arah tanpa melibatkan pihak ketiga diluar nasabah dan
pihak bank.3 Jika setelah musyarawah tidak ditemukan kata mufakat antara
kedua belah pihak maka diajukannya penyelesaian sengketa tersebut
kepada Pengadilan Negeri.
PT. Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS) Insan Cita masih
memilih Pengadilan Negeri sebagai jalur penyelesaian perselisihan dengan
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
a. Pengadilan Agama masih mencerminkan sebagai pengadilan yang
dominan menangani kasus nikah, talak, cerai, dan rujuk (NTCR) atau
masalah keluarga;
b. Tingkat kepercayaan terhadap kompetensi hakim-hakim di
Pengadilan Negeri lebih tinggi dari pada Pengadilan Agama.
c. Pengadilan Negeri lebih berpengalaman dalam menyelesaikan kasus-
kasus sengketa;4
Pertimbangan-pertimbangan tersebut terjadi sebelum keluarnya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012. Setelah putusan
tersebut keluar maka Pengadilan Agama sudah berbenah diri dan menjadi
wewenang absolut untuk menyelesaikan atau menangani sengketa-
sengketa ekonomi syariah.
2 Hasil wawancara pribadi dengan Muh. Hadi Mauludin Nugraha Direktur Utama BPRS
Insan Cita, Bogor, 27 September 2018. 3 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 2006, h. 171 . 4 Hasil wawancara pribadi dengan Muh. Hadi Mauludin Nugraha Direktur Utama BPRS
Insan Cita, Bogor, 27 September 2018.
53
Secara faktual penyusunan kontrak yang dibuat oleh BPRS HIK Insan
Cita jika dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 93/PUU-
X/2012, maka penyusunan kontrak atau akad tersebut tidak sesuai dengan
putusan Mahkamah Konstitusi nomor 93/PUU-X/2012 karena dalam
putusan tersebut telah meniadakan Pasal 55 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah karena bertentangan
dengan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, para pihak tidak perlu
mengikuti penjelasan Pasal 55 Ayat (2) tersebut.
Kewenangan absolut Pengadilan Agama berdasarkan Pasal 49 huruf
(i) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ekonomi
syariah. Kewenangan absolut Pengadilan Agama dalam menangani
sengketa perbankan syariah juga dipertegas dalam Pasal 55 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Kewenangan untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
perbankan syariah merupakan kewenangan absolut dari Pengadilan
Agama dan tidak dapat diselesaikan oleh pengadilan lain karena akan
melanggar prinsip yuridiksi absolut.5
Dengan demikian sejak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 93/PUU-X/2012, kewenangan Pengadilan Negeri dalam
menangani sengketa perbankan syariah sudah dihapuskan. Kini
Pengadilan Agamalah yang mempunyai kewenangan absolut dalam
menangani sengketa perbankan syariah secara litigasi. Tidak semua
sengketa perbankan syariah memilih penyelesaian sengketa secara
litigasi. Jika kedua belah pihak tidak mau membawa sengketa mereka
secara litigasi dan mereka lebih memilih alternatif penyelesaian sengketa
lain seperti Mediasi perbankan, Basyarnas atau Arbitrase lain, Konsiliasi,
5 Triana Sofia, “Dualisme penyelesaian sengketa ekonomi syariah”, Jurnal Hukum Islam
(JHI), Vol. 13, Nomor 2, Desember 2015, h. 121.
54
pendapat atau Penilaian ahli. Alternatif penyelesaian sengketa tersebut
mengacu pada Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase
Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Apabila penyusunan akad atau
perjanjian kontrak tersebut ingin dicantumkan lembaga penyelesaian non
litigasi maka harus dicantumkan secara jelas dan dengan persetujuan
antara BPRS HIK Insan Cita dan nasabah. BPRS HIK Insan Cita harus
berbenah diri untuk merubah substansi dari susunan akad atau kontrak
perjanjian pada semua produk perbankan syariah khususnya pada
klausula penyelesaian sengketa. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 93/PUU-X/2012 tersebut pihak bank harus menuliskan
Pengadilan Agama sebagai lembaga pilihan yang mempunyai wewenang
absolut untuk menyelesaikan sengketa secara litigasi. Karena pada
dasarnya akad atau kontrak perjanjian oleh pihak bank dan nasabah
merupakan perjanjian baku yang telah dipersiapkan oleh pihak bank
syariah sendiri.
2. Belum Sesuai Dengan Asas Kebebasan Berkontrak
Penyusunan kontrak pembiayaan BPRS HIK Insan Cita tidak
melibatkan nasabah atau tidak memberikan opsi kepada nasabah untuk
memilih lembaga penyelesaian sengketa. Nasabah hanya diperlihatkan
dan dibacakan standar akad yang sudah ada secara menyeluruh agar
mengetahui isi kontrak yang akan digunakan, seperti contoh akad atau
perjanjian piutang Murabahah pada Pasal 6 tentang penyelesaian
perselisihan pilihan BPRS HIK Insan Cita menggunakan Pengadilan
Negeri sebagai jalur penyelesaian sengketa secara litigasi, apabila tidak
mendapatkan kesepakatan secara internal antara BPRS HIK Insan Cita
dan nasabah. 6. Hal tersebut terjadi karena BPRS HIK Insan Cita
menafikan keberadaan asas kebebasan berkontrak dalam pembuataan
akad atau kontrak syariah tersebut.
6 Hasil wawancara pribadi dengan Muh. Hadi Mauludin Nugraha Direktur Utama BPRS
HIK Insan Cita, Bogor, 27 September 2018.
55
Asas kebebasan berkontrak atau freedom of contract yang
dimaksudkan disini adalah bahwa semua pihak bebas menjalin hubungan
perikatan dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Termasuk di
dalamnya isi perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak. Apabila telah
disepakati bentuk dan isinya, maka mengikat para pihak yang
menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya.7
Namun kewajiban ini tidak absolut, artinya sepanjang tidak bertentangan
dengan syariah Islam, maka perikatan tersebut boleh dilaksanakan.
Menurut Faturrahman Djamil, Syariah Islam memberikan kebebasan
kepada setiap orang yang melakukan akad sesuai dengan yang
diinginkan, tetapi yang menentukan akibat hukumnya adalah ajaran
Agama.8 Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan bahwa “semua”
meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun tidak
oleh undang-undang. Asas kebebasan berkontrak berhubungan dengan
isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan “siapa” perjanjian
itu diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan pasal 1320 KUH
Perdata ini mempunyai kekuataan mengikat.9
Demikian pula Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas
yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: (1) membuat atau
tidak membuat perjanjian; (2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
(3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta (4)
menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.10
7 Dewi Hendrawati, “penerapan asas berkontrak dalam pembuataan perjanjian baku”,
MMH, Jilid 40, Nomor 4, Oktober 2011, h. 412. 8 Faturrahman Djamil, “Hukum Perjanjian Syariah, Dalam Kompilasi Hukum Perikatan”,
(Bandung: Citra Aditya Bakti,2001). h. 249 Di lihat juga Abdurrahman Rohim, “Analisis Dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012”, h. 10 9 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2001), cetakan pertama, h. 84. 10 M. Muhtarom, “Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan dalam Pembuatan
Kontrak”, SUHUF, Vol. 26, No. 1, (Mei: 2014), h. 50
56
Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia
meliputi ruang lingkup sebagai berikut:
a. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat
perjanjian;
c. Kebebasan untuk menentukan atau memilih klausula dari perjanjian
yang dibuatnya;
d. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
e. Kebebasan untuk menentukan syarat-syarat suatu perjanjian
termasuk kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan
undang-undang yang bersifat opsional.11
Dalam hukum Islam, suatu perjanjian harus dilandasi adanya
kebebasan berkehendak dan kesukarelaan dari masing-masing pihak
yang mengadakan transaksi sebagai mana firman Allah Subhanahu
Wata'ala dalam surat An-Nisa ayat 29 sebagai berikut:
يا أيها الذين آمنوا ل تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إل أن تكون تجارة عن تراض
كان بكم رحيم منكم ول تقتلوا أنفسكم إن الل
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.”
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwasanya BPRS HIK Insan
cita mengabaikan asas kebebasan berkontrak dalam penyusunan akad
atau kontrak syariah, karena tidak melibatkan nasabah dalam penyusunan
akad atau kontrak syariah tersebut berupa isi akad seperti pada pasal 6
tentang penyelesaian perselihan. Pada pasal tersebut BPRS HIK Insan
Cita tidak memberikan peluang atau hak opsional kepada nasabah untuk
11 Remi Syehdeini, Asas Kebebasan Berkontrak dan Kedudukan yang Seimbang Dari
Kreditur dan Debitur, h. 10
57
memilih lembaga mana yang ingin dipilih jika terjadi sengketa antara
mereka. Pada praktiknya BPRS Insan Cita sudah menentukan sendiri isi
akad tanpa mengikutsertakan nasabah dalam pembuatan akad. Pilihan
hukum merupakan hal yang sangat penting dan wajar karena
menyinggung salah satu pokok persoalan utama dari hukum perdata,
yakni kehendak manusia. Pilihan hukum juga memperlihatkan unsur
filsafat hukum, teori hukum dan politik hukum.12
Menurut Saudargo Gautama, prinsip pilihan hukum sudah diterima
dan diakui dikalangan pakar hukum seperti halnya yurisprudens. Para
pihak dalam membuat kontrak dapat menentukan sendiri hukum yang
akan diberlakukan.13 Adanya hak opsional dalam penyelesaian sengketa
perbankan syariah sangat penting, karena dalam hal ini agar para pihak
mempunyai unsur kerelaan diantara pihak yang melebur diri ke dalam
ikatan perjanjian untuk menyusun dan menentukan perjanjian yang
dibuat, dan semua itu menyangkut dengan Asas Kebebasan Berkontrak
sebagai sebagian hak asasi manusia. Jika melihat beberapa prinsip
muamalah dalam Islam, di antaranya: (1) pada dasarnya segala bentuk
muamalah adalah mubah, kecuali yang dilarang dalam Al-Qur’an dan
Sunnah; (2), muamalah dilakukan atas dasar suka rela, tanpa
mengandung unsur paksaan; (3), muamalah dilakukan atas dasar
pertimbangan yang mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat
dalam kehidupan masyarakat; (4), muamalah dilaksanakan untuk
memelihara keadilan, menghilangkan kezaliman (ketidakadilan), gharar
(penuh tipu daya).14
12 Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional, (Bandung: Bina Cipta,
1987), h.169. Dikutip dari skripsi Fathudin Kalimas, “Eksistensi Kompetensi Peradilan Agama
dalam Penyelesaian Perbankan Syariah : Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah”, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta: 2009),
h. 74. 13 Sudargo Gautama, Hukum Antar Tata Hukum, (Bandung: Alumni, 1997) h. 27-25. 14Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalah: Hukum Perdata Islam (Yogyakarta:
Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993), h.10.
58
Namun demikian hak opsional ini sejatinya juga harus dibatasi agar
tidak terjadi benturan antar kewenangan lembaga penyelesaian sengketa.
Demikian juga sebagaimana Pasal 1338 KHUPerdata, bahwa pilihan
hukum diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan.
3. Belum Sesuai Dengan Asas Pacta SunServanda
BPRS HIK Insan Cita dalam akad Piutang Murabahah menyusun
akad atau kontrak syariah mengenai penyelesaian sengketa
mencantumkan Pengadilan Negeri sebagai tempat menyelesaikan
perselisihan. Pada prinsipnya dalam sengketa perbankan syariah pihak-
pihak diberi kebebasan untuk menentukan mekanisme penyelesaian
sengketa sesuai dengan prinsip syariah atau hukum Islam yang termuat
dalam perjanjian atau kesepakatan tertulis yang disepakati oleh kedua
belah pihak, baik sebelum terjadinya sengketa (pactum de
compromittendo) maupun setelah terjadinya sengketa (akta kompromi)
sesuai dengan prinsip pacta sun servanda.15
Prinsip atau asas pacta sunt servanda disebut juga dengan asas
kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas
pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga
harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah Undang-Undang. Mereka tidak
diperkenankan melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang
dibuat oleh para pihak.
Asas kepastian hukum ini terkait dengan akibat perjanjian. Dalam hal
ini hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang
dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah Undang-Undang,
mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak
15 Dendi Abdurrosyid, “Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-
X/2012 dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah”, h. 17.
59
yang dibuat oleh para pihak.16 Asas Pacta Sunt Servanda dapat
disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi,
”Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang”.
Berdasarkan Pasal ini, daya mengikat kontrak sama seperti Undang-
Undang bagi para pihak yang menyepakatinya.
Asas kepastian hukum ini disebut secara umum dalam Alquran Surah
Al Maidah ayat 1 :
( 5/1المائدة قال تعالى: يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود (
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.”
Berdasarkan ayat itu, disimpulkan bahwa setiap akad perjanjian itu
bersifat mengikat para pihak dan wajib ditepati. Dalam ayat yang lain,
yakni Surah al-shaff ayat 2 dan 3, status perjanjian mengikat itu
difirmankan Allah Swt.
تا عند هللا أن تقولوا مالتفعلون { كبر مق 2ياأيها الذين ءامنوا لم تقولون مالتفعلون }
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu
(berjanji) tetapi kamu tidak melaksanakannya. Allah sangat membenci
orang-orang yang berjanji (mengatakan sesuatu) tapi tidak
melaksanakan janjinya (perkataannya) itu.”
Hadits Nabi Muhammad Saw dengan tegas menyebutkan bahwa janji
harus ditepati. Orang yang melanggar janjinya disebut sebagai orang
munafiq.
:أبي هريرة رضي هللا عنه ، أن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال عن
إذا حدث كذب، وإذا وعد أخلف، وإذا اؤتمن خان" :آية المنافق ثالث"
“Ciri-ciri orang Munafik itu ada 3 perkara: apabila dia berbicara
berbohong, dan apabila dia berjanji mengingkari, dan apabila dia
dipercaya berkhianat” (HR. Bukhori dan Muslim).
Berdasarkan ayat Al-qur’an dan Hadis di atas dapat disimpulkan
bahwa Asas perjanjian itu bersifat ilzam (mengikat), dalam ilmu
16 Emanuel Raja Damaitu, “Perbandingan Asas Perjanjian dalam Hukum Islam dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata”, Jurnal Reporterium, Ed. 1 (Januari-Juni, 2014), h. 66.
60
hukum konvensional disebut dengan asas pacta sunt servanda, yang
berarti bahwa akad perjanjian itu bersifat mengikat secara penuh,
karenanya harus ditepati dan asas kepastian hukum adalah tidak ada suatu
perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan tersebut.17
Dari penjelasan di atas jika mengacu pada penyusunan akad atau
kontrak yang masih tertulis pada Pengadilan Negeri dan dihubungkan
dengan asas pacta sunservanda, maka perjanjian tersebut harus
diselesaikan atau ditangani oleh Pengadilan Negeri setempat. Hal
tersebut dilakukan sesuai dengan isi akad atau kontrak yang telah di
susun oleh BPRS HIK Insan Cita dan disetujui oleh nasabah, akan tetapi
dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012
yang membatalkan penjelasan Pasal 55 Ayat (2), maka tidak ada alasan
lagi bagi Pengadilan Negeri untuk menerima gugatan yang diajukan oleh
para pihak berkaitan dengan sengketa perbankan syariah dan sengketa
tersebut seharusnya tidak dapat diterima atau Niet Ontvankelijke
Verklraad (NO)18, karena dalam putusan tersebut kewenangan mengadili
sengketa perbankan telah dilimpahkan kepada Pengadilan Agama. Oleh
karena itu, yang berhak mengadili sengketa syariah adalah Pengadilan
Agama saja, maka setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut Pengadilan Negeri tidak memiliki kewenangan untuk mengadili
perbankan syariah dan hakim Pengadilan Negeri harus menolak gugatan
yang diajukan kepadanya apabila gugatan tersebut merupakan sengketa
perbankan syariah.
Kewenangan Pengadilan Agama juga dijelaskan dalam Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1989 diperbaharui menjadi Undang-Undang
17 https://www.iqtishadconsulting.com/content/read/blog/asas-asas-akad-kontrak-dalam-
hukum-syariah 18 NO merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena
alasan gugatan mengandung cacat formil.
61
Nomor 3 tahun 2006 diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 50
tahun 2009 tentang Peradilan Agama Pasal 49 huruf (i) berbunyi:
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; b. Waris; c.
Wasiat; d. Hibah; e. Wakaf; f. Zakat; g. Infak; h. Sedekah; dan i.
Ekonomi syariah.”
Yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah “perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain
meliputi: (a). bank syariah, (b). lembaga keuangan mikro, (c). asuransi
syariah, (d). reasuransi syariah, (e). reksa dana syariah, (f). obligasi
syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, (g). sekuritas
syariah, (h). pembiayaan syariah, (j). dana pensiunan lembaga keuangan
syariah, (j). bisnis syariah.
Dari penjelasan tersebut, dapat kita pahami bahwa Pengadilan Agama
berwenang dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, salah
satunya adalah perbankan syariah.
Adapun macam-macam sengketa di bidang ekonomi syariah yang
menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah:
1. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan
lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya;
2. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara sesame lembaga
keuangan dan lembaga pembiayaan syariah;
3. Sengketa dibidang ekonomi syariah antara orang-orang yang
beragama Islam.
Mengenai kewenangan pengadilan dalam lingkukan peradilan umum
(Pengadilan Negeri) telah dihapuskan, maka Pengadilan Negeri tidak
memiliki kompetensi untuk memeriksa dan mengadili sengketa ekonomi
syariah. Pengadilan Negeri wajib menolak untuk menangani sengketa
perbankan syariah karena bertentangan dengan Pasal 25 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi:
62
(1) Badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung
meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. (2)
Peradilan Umum sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai
dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan. (3) Peradilan
Agama sebagaimana dimaksud Ayat (1) berwenang memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang
yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Perbankan syariah pada prinsipnya menggunakan Al qur’an dan
Hadis, sedangkan Pengadilan Negeri hanya menggunakan hukum
perdata saja dan sama sekali tidak memakai hukum Islam. Sehingga
secara kompetensi Pengadilan Negeri sama sekali tidak berwenang untuk
memeriksa atau bahkan mengadili sengketa ekonomi syariah.
Implikasi dari Putusan Mahkamah Kontstitusi Nomor 93/PUU-
X/2012 bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah secara litigasi
menjadi kewenangan absolut lembaga peradilan dalam lingkungan
peradilan Agama, karena para pihak tidak boleh memperjanjikan lain
akibat terikat dengan Undang-Undang yang telah menetapkan adanya
kekuasaan (kewenangan) mutlak (absolut) bagi suatu badan peradilan
untuk menyelesaikan sengketa.
Saat ini setelah Putusan Mahkamah Kosntitusi Nomor 93/PUU-
X/2012, Pengadilan Agama sudah berbenah diri dan sangat siap dalam
menyelesaikan sengketa perbankan syariah, hal tersebut dapat terlihat
dari:
1. Hakim-hakim Pengadilan Agama yang semakin berkompeten dan
bersertifikasi dalam menyelesaiakan sengketa perbankan syariah;
2. Kesiapan peraturan-peraturan bahwasanya Pengadilan Agamalah
yang mempunyai kewenangan absolut dalam menyelesaikan
sengketa perbankan syariah;
3. Pembangunan fasilitas gedung Pengadilan Agama yang sudah
semakin maju dan mempresentasikan sebagai tempat yang tepat
63
dalam bagi para pelaku bisnis dalam menyelesaikan sengketa
mereka;
4. Semakin pudarnya kesan bahwa Pengadilan Agama hanya sebagai
tempat menyelesaikan masalah nikah, cerai , talak dan rujuk.19
Dengan demikian pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
93/PUU-X/2012 tersebut, BPRS HIK Insan Cita harus membenahi
standar dalam akad syariah pada produk-produknya terutama pada Pasal
Penyelesaian perselihian agar dapat mengikuti aturan yang tercantum
dalam putusan tersebut. Penjelasan dalam putusan tersebut terkait pada
Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 bahwasanya tempat
penyelesaian perselisihan secara litigasi diberikan kekuasaan secara
absolut kepada Pengadilan Agama dan tidak boleh diajukan kepada
lembaga peradilan lain, karena apabila BPRS HIK Insan Cita dalam
klausula penyelesaian sengketa tidak melakukan perubahan dalam
penyusunan akad atau kontrak yang digunakan pada semua produk
perbankan masih memilih Pengadilan Negeri sebagai tempat
penyelesaian sengketa secara litigasi, maka klausula tersebut bersifat
batal demi hukum (null and void).20 Hal ini bertentangan dengan kaidah
bahwa ketentuan hukum yang imperative tidak dapat disimpangi melalui
perjanjian, walaupun hal tersebut disepakati oleh kedua belah pihak.
Putusan Mahkamah konstitusi mempertegas adanya atributive
competency yang dimiliki pengadilan di lingkungan Peradilan Agama di
bidang perbankan syariah.21
Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pengujian
terhadap Undang-Undang 1945 bersifat final and binding, maka sudah
19 Di Kutip dari skripsi Ambar Rukmini, “Pilihan Forum Penyelesaian Sengketa Ekonomi
Syariah Sebelum Dan Sesudahnya Putusan Mk No.93/PUU-X/2012”, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta:2018), h. 67 20 Batal demi hukum artinya dari semula yang tidak pernah ada perikatan atau tidak
diperjanjikan sebuah kontrak. Oleh karenanya tidak ada dasar untuk saling menuntut dimuka hakim.
Lihat juga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek, h.339 21 Khotibul Umam, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 Bagi
Penyelesaian Sengketa Bisnis Dan Keuangan Syariah, Konstitusi: Vol 12, No. 4, Desember 2015,
h. 20
64
seharusnya pihak-pihak terkait menaati putusan tersebut. Artinya dalam
hal terdapat klausulyang menunjuk pengadilan di lingkungan Peradilan
Umum di suatu wilayah, apabila sengketa benar-benar terjadi dan
diajukan kepadanya, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri wajib
menyatakan tidak berwenang sehingga dictum putusannya tidak
menerima gugatan dari penggugat. Apabila dalam praktiknya nanti
Majelis Hakim pengadilan di lingkungan Peradilan Umum menerima
sengketa yang menunjuknya sebagai forum penyelesaian sengketa, maka
pihak yang merasa dirugikan dapat menajdikannya sebagai alasan
melakukan upaya hukum, khususnya berupa kasasi. Hal ini sangat
dimungkinkan karena dengan menerima sengketa atas dasar penunjukan
forum, maka judex factie (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi)22
telah salah dalam menerapkan hukum.
Dari putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 93/PUU-X/2012 yang
telah menetapkan dan menegaskan secara spesifik mengenai peradilan
Agamalah yang berhak untuk mengadili sengketa perbankan syariah dan
sudah menimbulkan kepastian hukum antara nasabah dan lembaga
keuangan syariah, maka eksistensi asas pacta sunservanda terhadap akad
syariah yang dibuat oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan
Cita tidak dapat digunakan sebagai kontrak baku karena pada klausul
penyelesaian perselisihan yang dicantumkan tidak sesuai dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012.
22 Judex factie adalah Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggu yang berwenang
memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara. Judex facti memeriksa bukti-bukti dari suatu perkara
dan menentukan fakta-fakta dari perkara tersebut.
65
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil kajian dan analisis peneliti terhadap hasil penelitian yang
telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Konsep penyelesaian sengketa perbankan syariah yang dilakukan oleh
BPRS Insan Cita dalam akad atau kontrak syariah masih mencantumkan
Pengadilan Negeri sebagai tempat menyelesaikan perselisihan antara
Nasabah dengan BPRS Insan Cita. Hal tersebut terjadi apabila tidak
mendapatkan kesepakatan secara damai antara BPRS Insan Cita dengan
nasabah. Pilihan forum tersebut tentu bertentangan dengan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa
kewenangan absolut mengadili sengketa ekonomi syariah secara litigasi
khususnya perbankan syariah jatuh kepada Pengadilan Agama bukan
Pengadilan Negeri. Pertimbangan-pertimbangan atau alasan penyelesaian
sengketa dalam klausul akad atau kontrak syariah masih menggunakan
Pengadilan Negeri antara lain : a. Pengadilan Agama masih mencerminkan
sebagai pengadilan yang dominan menangani kasus nikah, talak, cerai, dan
rujuk (NTCR) atau masalah keluarga; b. Tingkat kepercayaan terhadap
kompetensi hakim-hakim di Pengadilan Negeri lebih tinggi daripada
Pengadilan Agama; c. Pengadilan Negeri lebih berpengalaman dalam
menyelesaikan kasus-kasus sengketa.
2. Penyusunan kontrak pembiayaan BPRS HIK Insan Cita tidak melibatkan
atau tidak memberikan opsi kepada nasabah untuk memilih lembaga
penyelesaian sengketa. Nasabah hanya diperlihatkan dan dibacakan
standar akad yang sudah ada secara menyeluruh agar mengetahui isi
kontrak yang akan digunakan, seperti contoh akad atau perjanjian piutang
Murabahah pada Pasal 6 tentang penyelesaian perselisihan pilihan BPRS
HIK Insan Cita menggunakan Pengadilan Negeri sebagai jalur
penyelelesaian sengketa secara litigasi, apabila tidak mendapatkan
66
kesepakatan secara internal antara BPRS HIK Insan Cita dan nasabah. Hal
tersebut terjadi karena BPRS HIK Insan Cita menafikan keberadaan asas
kebebasan berkontrak dalam pembuataan akad atau kontrak syariah
tersebut. Asas kebebasan berkontrak atau freedom of contract yang
dimaksudkan disini adalah bahwa semua pihak bebas menjalin hubungan
perikatan dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Termasuk di
dalamnya isi perikatan tersebut ditentukan oleh para pihak. Apabila telah
disepakati bentuk dan isinya, maka mengikat para pihak yang
menyepakatinya dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya.
3. Pasca putusan Mahkamah Nomor 93/PUU-X/2012 memberikan implikasi
hukum terhadap penyelesaian sengketa perbankan syariah secara litigasi
maupun non litigasi. Secara litigasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
93/PUU-X/2012 semakin memperkuat kewenangan Pengadilan Agama
sebagai forum penyelesaian sengketa perbankan syariah. Akad atau
kontrak yang dipakai oleh BPRS Insan cita pada klausul penyelesaian
sengketa masih mencantumkan Pengadilan Negeri. Jika akad atau kontrak
syariah tersebut dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
93/PUU-X/2012 maka akad atau kontrak syariah tersebut tidak bisa
digunakan karena dalam putusan tersebut kewenangan Pengadilan Negeri
untuk menyelesaikan sengketa perbankan syariah sudah tidak lagi
memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan demikian Eksistensi Asas Pacta
Sunservanda terhadap akad syariah yang dibuat oleh Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita akan terjadi penolakan gugatan atau
tidak akan diterima oleh Pengadilan Negeri. Hal tersebut terjadi karena
Pengadilan Agamalah yang memiliki kewenangan absolut dalam
menyelesaikan sengketa perbankan syariah.
B. Rekomendasi
Berdasarkan simpulan penelitian seperti yang telah diuraikan di atas, maka
dapat dikemukakan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
1. Kepada lembaga keuangan syariah khususnya BPRS Insan Cita harus
berbenah diri untuk mengetahui perkembangan peraturan perbankan
67
syariah yang ada dan berlaku di Indonesia. Khususnya dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 yang menyatakan bahwa
kewenangan absolut mengadili sengketa syariah dimiliki oleh Pengadilan
Agama, sehingga dalam penyusunan akad atau kontrak syariah yang
digunakan tidak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut. BPRS Insan Cita harus merubah penyusunan pada akad atau
kontrak syariah terutama pada pasal penyelesaian perselisihan, pada pasal
tersebut harus mencantumkan pilihan forum secara litigasi kepada
Pengadilan Agama, dan apabila ingin menyelesaikan sengketa secara non
litigasi maka harus secara jelas dicantumkan dalam isi akad. Alternatif
penyelesaian sengketa tersebut juga harus menggunakan prinsip syariah
dan memberikan hak opsi terlebih dahulu khususnya pada bagian
penyelesaian sengketa kepada nasabah dalam pembuataan akad agar
terciptanya asas kebebasan berkontrak. Pembuataan akad atau perjanjian
tersebut harus dilandasi dengan rasa kerelaan antara kedua belah pihak
karena hal tersebut mejadi wajar dan penting untuk mendapatkan kepastian
hukum yang tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku pada
perbankan syariah di Indonesia.
2. Pasca Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 semakin
menguatkan eksistensi Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa
ekonomi syariah, khususnya perbankan syariah. Sehingga Pengadilan
Agama harus meningkatkan kompetensi dan memiliki kredibelitas yang
tinggi untuk mendapatkan nilai kepercayaan dari lembaga perbankan
syariah dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), Dewan Syariah Nasional (DSN)
dan lembaga pemerintah lain yang mengawasi perbankan syariah harus
memberikan edukasi terkait peraturan dan regulasi perbankan syariah yang
berlaku secara menyeluruh kepada lembaga perbankan syariah mikro
maupun makro di Indonesia. Para hakim Pengadilan Agama diharapkan
meningkatkan wawasan dan pengetahuan mengenai ekonomi syariah
68
melalui seminar, pelatihan, bimbingan teknis, bahkan jika mampu dengan
melakukan studi ke luar negeri.
69
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Al-Qur’anul Karim
Ali, Achmad dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap
Hukum,Jakarta:Kencana,2012.
Antonio, M. Syafi’I, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta, Gema
Insani,2001.
Anwar, Syamsul ,”Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam
Fikih Muamalat, Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Azhar, Basyir Ahmad ,“Asas-Asas Hukum Muamalah: Hukum Perdata Islam”
Yogyakarta, Penerbit Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia 1993.
Basir, Cik Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan
Mahkamah Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group: 2009),
cet.1
Emirzon, Joni Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, (Jakarta:
PT.Gramedia Pustaka Utama, 2001
Imaniyati, Neni Sri Perbankan Syariah dalam Perspektif Hukum Ekonomi,
(Bandung: Mandar Maju, 2013
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kariem, Adiwarman Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004.
_______Bank Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2014
Ma’luf, Liwis Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Peradilan Agama, Jakarta
: KENCANA PRENADA MEDIA GRUP, 2012
Mannan, Abdul Hukum Ekonomi Syariah dalam Perspektif Kewenangan Peradilan
Agama
_______Teori dan Praktek Ekonomi Islam,
Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia. Bandung: PT Refika Aditama
Marzuki, Peter Mahmud Penelitian Hukum, Jakarta:Kencana,2014.
70
Mujahidin, Ahmad Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama. Bogor: Ghalia
Indonesia, 2014.
Naja, H.R Daeng Akad Bank Syariah, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011.
Narbuko, Cholid dan H Abu Ahmad, Metodologi Penelitian, Jakarta : Bumi
Angkasa, 2002.
Rais, Isnawati dan Hasanudin, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS,
(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2011.
Rusy, Ibnu Bidayatul Mujtahid, Babi Al Halabi, Cairo, tanpa tahun, jilid II,
Salim. Hukum Kontrak Teori Dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar
Grafika 2006.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada,2011.
Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, Jakarta: SalembA Empat,
2014.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: CV. Alfabeta, 2008
Sutedi, Adrian Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, Bogor:
Ghalia Indonesia, 2009.
Syafe’i, Ramat Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Usman, Rachmadi, Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum,
Bogor: Ghalia Indonesia, 2009.
________Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika,2012.
Usman, Rachmadi. Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum.
Bogor: Ghalia Indonesia, 2009.
Widjaja, Gunawan dan Kartini Muljadi. Perikatan Pada Umumnya. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004.
71
Jurnal
Abdurrosyid, Dendi “Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
93/PUU-X/2012 dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah”,
h. 17.
Damaitu, Emanuel Raja, “Perbandingan Asas Perjanjian dalam Hukum Islam dan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata”, Jurnal Reporterium, Ed. 1
(Januari-Juni, 2014), h. 66.
Misbahul, Munir Fajar “Implikasi Penghapusan Pilihan Forum Hukum Dalam
Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah”, Skripsi S1 Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah (Jakarta:2014), h. 30.
Muhtarom, Muhammad “Asas-Asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan dalam
Pembuatan Kontrak”, SUHUF, Vol. 26, No. 1, (Mei: 2014), h. 50
Neni Sri Imaniyat, Panji Adam, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
No.93/Puu-X/2012 Terhadap Penyelesaian Sengketa Non Litigasi
Perbankan Syariah, Prosiding SNaPP 2015, Sosial, Ekonomii, dan
Humaniora, h. 724
Nurhasanah, Hotnidah Nasution, “Kecenderungan Masyarakat Memilih Lembaga
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, Ahkam: Vol, XVI, No. 2, Juli
2016, h.273
Prabowo, Bagya Agung “Konsep Akad Murabahah pada Perbankan Syariah
(AnalisisKritis terhadap Konsep Akad Murabahah di Indonesia dan
Malaysia)”. Hukum, Volume. 16 No. 1, hal. 111, Januari, 2009
Rukmini, Ambar “ Pilihan Forum Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah
Sebelum dan Setelah Keluarnya Putusan MK No. 93/PUU-X/2012
(Studi pada Bank Syariah Mandiri KCP Urip Sumorharjo) Skripsi S1
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2018.
Umam, Khotibul .“ Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU
X/2012 Bagi Penyelesaian Sengketa Bisnis Dan Keuangan Syariah,”
Konstitusi: Vol 12, No. 4, Desember 2015, h. 20
Uzma, Ummi Pelaksanaan atau Ekseskusi Putusan Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS) Sebagai Kewenangan Pengadilan Agama,
Jurnal Hukum dan Pengembangan Tahun ke-44 No. 3, Juli- September
2014, h. 390
Wildani, Farhan “Pilihan Forum Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2003 (Studi Kasus di PT
72
BPRS Sarana Prima Mandiri Pemekasan Madura)”. Skripsi S1 Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2016.
Yulianti, Timorita Rahmani “Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak
Syariah”, Ekonomi Islam La_Riba, Volume II, No. 1, (Juli: 2008), h.
102.
Peraturan Perundang-Undangan dan Fatwa DSN MUI
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Dasar 1945
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Ijarah.
Fatwa DSN-MUI No. 44/DSN-MUI/VII/2004 Tentang Pembiayaan Multijasa
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Surat Keputusan Majelis Ulama Nomor Kep-09/MUI/XII/2003.
Website
https://hik.co.id/profil/unit-usaha/ diakses pada tanggal 6 September
2018.
Sekilas Singkat Profil HIK-INDUK, diakses dari www.hik.co.id diakses pada
tanggal 6 September 2018.
http://www.negarahukum.com/hukum/asas-asas-perjanjian.html, Diakses pada hari
minggu, 04 September 2018 pukul. 17.42.
73
LAMPIRAN-LAMPIRAN
74
Scanned by CamScanner
HASIL WAWANCARA
Nama : Bapak Muh. Hadi Mauludin Nugraha
Jabatan : Direktur Utama PT. BPRS HIK Insan Cita Parung Bogor,
1. Pertanyaan : Apakah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita pernah
mengalami sengketa dengan nasabah?
Jawaban : Ya BPRS PT.HIK Insan Cita pernah mengalami sengketa yaitu eksekusi
agunan atau jaminan, sengekta tersebut sering diselesaikan di pengadilan negeri dari
pada di arbitrase, karena sampai sekarang pun BPRS tidak tahu dimana tempat
Arbitrase dan tidak menyelesaikan sengketa sesuai akad kontrak yang tertulis
tersebut.
2. Pertanyaan : Jika pernah mengalami sengketa,forum penyelesaian sengketa apakah
yang di pilih oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita? Alasannya?
Jawaban : BPRS Insan Cita dalam akad syariah menuliskan Arbitrase dan
Pengadilan Negeri dalam menyelesaikan sengketa, tapi pada pertengahan tahun 2017
BPRS Insan Cita ditolak oleh Pengadilan Negeri untuk melakukan eksekusi agunan
dan di alihkan langsung ke Pengadilan Agama.
3. Pertanyaan : Apakah dalam membuat akad kontrak syariah Bank Pembiayaan
Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita melakukan kesepakatan terlebih dahulu dalam
menentukan lembaga penyelesaian sengketa?
Jawaban : Ya membuat kesepakatan tetapi nasabah tidak di berikan kesempatan
dalam pemilihan lembaga penyelesaian sengketa, karena pemilihan lembaga
penyelesaian sengketa sudah menjadi klausul baku yang dibuat oleh BPRS Insan Cita
dan yang terjadi dalam akad nasabah hanya bisa menyetujui apa yang sudah tertulis
atau yang sudah dibuat oleh BPRS Insan Cita tersebut.
4. Pertanyaan : Apakah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita
mengetahui adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 93/PUU-X/2012?
Jawaban : Ya mengetahui tetapi tidak mengetahui secara rinci tentang putusan ini
karena mungkin kurang disosialisakan oleh Mahkamah Konstitusi atau mungkin
BPRS Insan Cita yang masih kurang paham dengan peraturan yang ada.
5. Pertanyaan : Bagaimana konsepsi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan
Cita dalam melakukan choice of forum penyelesaian sengketa dalam sebuah akad?
Jawaban : Konsepsi yang digunakan BPRS Insan Cita jika ada sengketa atau
wanprestasi yang dilakukan oleh nasabah maka akan di adakan mediasi antara nasabah
dengan BPRS terlebih dahulu, jika tidak ada hasil yang disepakati maka di lanjutkan
ke Arbitrase atau Pengadilan Negeri, tetapi faktanya BPRS Insan Cita tidak pernah
melakukan penyelesaian sengketa di Arbitrase melainkan mereka lebih sering ke
Pengadilan Negeri, karena pengadilan Negeri lebih cepat dalam menangani kasus
perbankan yang terjadi di BPRS terebut.
6. Pertanyaan : Apakah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita dalam
melakukan choice of forum telah sesuai dengan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) Nomor 93/PUU-X/2012?
Jawaban : Belum sesuai, karena belum tahu sejak kapan mulai efektifnya aturan
tentang penyelesaian sengketa ke Pengadilan Agama.
7. Pertanyaan : Bagaimana peran nasabah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
Insan Cita terhadap choice of forum dalam pembuatan kontrak perjanjian?
Jawaban : Dalam pembuatan kontrak nasabah tidak diikutsertakan untuk memilih
forum penyelesaaian sengketa, karena pada hakikatnya nasabah hanya menyetujui apa
yang sudah dibuat dan dtentukan oleh BPRS Insan Cita.
8. Pertanyaan : Apakah choice of forum yang dilakukan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS) Insan Cita sudah sesuai dengan asas pacta sunt servanda?
Jawaban : Masih belum sesuai karena pada tahun 2017 ada kasus yang terjadi dan
masih dilakukan di Pengadilan Negeri
9. Pertanyaan : Bagaimana konsep penyelesaian sengketa yang diterapkan oleh Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Insan Cita dalam menentukan lembaga
penyelesaian sengketa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 93/PUU-
X/2012?
Jawaban : Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 93/PUU-X/2012 BPRS
insan cita masih diberikan pilihan untuk menggunakan Arbitrase atau pengadilan
Negeri. Pada pertengahan tahun 2017 sampai sekarang di wajibkan untuk menuliskan
kalusul penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama. Dengan terjadinya hal tersebut
maka BPRS pun mengubah semua isi akad kontrak syariah terutama pada klausul
Penyelesaian sengketa yaitu menggunakan Pengadilan Agama.
PT. BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARI’AH INSAN CITA ARTHA JAYA
PARUNG – BOGOR
PERJANJIAN PIUTANG MURABAHAH Nomor : ...........................
Bismillaahirrahmaanirrohiim
“Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad perjanjian itu”(Q.S Al. Maidah : 1) “Cukupkanlah takaran jangan kamu menjadi orang-orang yang merugikan”(Q.S Asyu’ara : 181)
Perjanjian Murabahah ini dibuat dan ditandatangani pada :
Hari .............................. Tanggal ........................... oleh dan antara :
I. Nama : MUHAMMAD HADI MAULIDIN NUGRAHA, SE.I., MM.
Jabatan : Direktur Utama
dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama PT. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Insan
Cita Artha Jaya yang beralamat di Jalan Raya Parung No. 15B-C Desa Pemagarsari
RT 002 RW 001 Desa Parung Kecamatan Parung Kabupaten Bogor
(Untuk selanjutnya disebut Bank )
( Untuk selanjutnya disebut BANK )
II. ..............................., lahir di ................. , pada tanggal ......................................
(....-....-....), Pekerjaan : ............................................, beralamat KTP di
............................................, ............................................, nomor telepon
............................................ pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor :
............................................; dan telah mendapat persetujuan dari suami/isterinya yang
bernama : ............................................, lahir di ........................ , pada tanggal
......................... (......-......-.......), Warga Negara Indonesia, Pekerjaan :
............................................, pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor :
............................................ beralamat KTP di ............................................,
............................................
(Untuk selanjutnya disebut NASABAH)
Dalam hal ini telah mendapat persetujuan dari Panitia Pembiayaan PT. BPRS Insan
Cita Artha Jaya sebagaimana ternyata dalam surat persetujuan tanggal
.............................................
Bahwa BANK dan NASABAH telah setuju dan sepakat untuk menandatangani dan
melaksanakan suatu Perjanjian Piutang Murabahah sebagai berikut :
Pasal 1
PIUTANG MURABAHAH DAN PENGGUNAANNYA
(1) NASABAH dengan ini mengakui dengan sebenarnya dan secara sah menerima piutang
Murabahah dari BANK dengan Harga Jual BANK kepada NASABAH
Rp. ............................................,- (............................................); Pokok Piutang
Rp. ........................................................................................,- dan Keuntungan
Rp. ............................................,-
(2) Piutang Murabahah ini semata-mata akan dipergunakan oleh NASABAH hanya untuk
pembelian ............................................; ---
(3) BANK menerima baik pengakuan berhutang NASABAH tersebut.
Pasal 2
JANGKA WAKTU, ANGSURAN DAN BIAYA ADMINISTRASI
(1) Piutang Murabahah ini diberikan untuk jangka waktu - ............................................
Bulan- terhitung semenjak tanggal ............................................ hingga
............................................
(2) NASABAH wajib melakukan pembayaran kembali kepada BANK secara angsuran dengan
tertib dan teratur sebesar angsuran sebesar Rp. ............................................,- dan
tabungan wajib sebesar Rp. ............................................,- angsuran pertama kalinya
tanggal ............................................ dan selanjutnya setiap tanggal
–............................................– dari bulan yang bersangkutan dan terakhir kalinya
tanggal ............................................ harus sudah lunas.
(3) Semua pembayaran kembali/pelunasan Piutang Murabahah berikut margin keuntungan
jual beli, oleh NASABAH kepada BANK akan dilakukan melalui rekening NASABAH yang
dibuka oleh dan atas nama NASABAH di BANK, dan dengan ini NASABAH memberi
kuasa kepada BANK untuk mendebet rekening NASABAH guna pembayaran berikut
margin keuntungan jual beli, dan biaya-biaya lainnya.
(4) NASABAH diwajibkan membayar biaya-biaya secara tunai sebagai berikut :
a. Biaya administrasi sebesar Rp. ............................................,-
b. Biaya penggantian materai sebesar Rp. ............................................,-
c. Biaya Asuransi Rp. ............................................
Apabila sampai dengan pembiayaan dinyatakan lunas masih terdapat sisa premi,
maka akan dipergunakan sebagai dana tabarru’*)
*) sumbangan / donasi sebagian dari kontribusi untuk menolong peserta lainnya
dalam menghadapi musibah
d. Biaya Pengecekan Jaminan Rp. ............................................,-
e. Biaya Asuransi Kendaraan sebesar Rp. ............................................,-
(5) Dalam hal dipergunakan jasa-jasa Notaris, atau jasa-jasa lainnya sehubungan dengan
pelaksanaan Perjanjian ini maka segala ongkos tersebut harus ditanggung NASABAH
yaitu sebesar Rp. ............................................,-
Pasal 3
AGUNAN
Untuk menjamin pembayaran kembali hutang NASABAH kepada BANK, maka dengan ini
NASABAH menyatakan bahwa :
(1) Segala harta kekayaan NASABAH, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi agunan guna
pelunasan hutang NASABAH.
(2) Apabila selama 2 (dua) bulan berturut-turut, nasabah tidak memenuhi kewajiban
angsuran tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka segala sesuatu yang
berhubungan antara nasabah dengan Bank akan dilimpahkan ke bagian hukum dan
remedial guna eksekusi jaminan.
(3) NASABAH menyerahkan agunan kepada BANK berupa :
- ............................................ ............................................
Pasal 4
PERISTIWA CIDERA JANJI
Apabila terjadi hal-hal dibawah ini (setiap kejadian demikian, sebelum dan sesudah ini masing-
masing secara tersendiri atau secara bersama-sama disebut sebagai “Peristiwa Cidera Janji”)
(1) Kelalaian NASABAH untuk melaksanakan kewajibannya menurut Perjanjian ini untuk
membayar kembali angsuran Piutang Murabahah tepat pada waktunya, dalam hal
lewatnya waktu saja telah memberi bukti yang cukup bahwa NASABAH telah melalaikan
kewajibannya, untuk hal ini BANK dan NASABAH sepakat untuk mengenyampingkan
Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
(2) Apabila terdapat sesuatu janji, pernyataan, jaminan atau kesepakatan menurut
Perjanjian ini ternyata tidak benar tidak tepat atau menyesatkan.
(3) (i) apabila NASABAH mengajukan permohonan resmi kepada Pengadilan Negeri untuk
dinyatakan pailit, atau
(ii) Terhadapnya dilancarkan suatu tindakan yang apabila didalam waktu 60 (enam
puluh) hari takwim tidak dicabut, akan menjurus kepada suatu pailit dari NASABAH
(4) Jikalau atas barang-barang milik NASABAH dan/atau Penjamin, baik sebagian maupun
seluruhnya, dilakukan sitaan jaminan atau sitaan eksekusi.
(5) Jikalau kekayaan NASABAH serta nilai barang-barang dan lain-lain yang menjadi
tanggungan nanti menurut penilaian BANK secara seketika dan sekaligus dan BANK
tindakan apapun yang dianggapnya perlu sehubungan dengan Perjanjian ini untuk
menjamin pelunasan kembali hutang.
(6) Denda keterlambatan angsuran lewat dari 3 hari kerja setiap bulan tanggal angsuran
sebesar Rp. ............................................,-
Pasal 5
HUKUM YANG MENGATUR
Perjanjian ini diatur oleh dan ditafsirkan sesuai dengan ketentuan Hukum Indonesia
Pasal 6
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
1. Dalam hal terjadi perbedaan pendapat atau penafsiran atas hal-hal yang tercantum
didalam Surat Perjanjian ini atau terjadi perselisihan atau sengketa dalam
pelaksanaannya, para pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara musyawarah
untuk mufakat.
2. Apabila musyawarah untuk mufakat telah diupayakan namun perbedaan pendapat atau
penafsiran perselisihan atau sengketa tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak,
maka para pihak bersepakat, dan dengan ini berjanji serta mengikatkan diri satu
terhadap yang lain, untuk menyelesaikannya melalui Kantor Pengadilan Negeri menurut
prosedur berita acara yang berlaku didalam Pengadilan tersebut.
3. Para pihak sepakat, dan dengan ini mengikatkan diri satu terhadap yang lain, bahwa
pendapat hukum (legal opinion) dan atau putusan yang ditetapkan oleh Pengadilan
Negeri tersebut bersifat final dan mengikat (final and binding)
Pasal 7
KETENTUAN TAMBAHAN
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Perjanjian ini, akan diatur berdasarkan kesepakatan
kedua belah pihak ke dalam surat/akta yang merupakan satu kesatuan dengan Perjanjian ini.
Demikian Perjanjian ini dibuat dan ditandatangani pada hari dan tanggal sebagaimana
dicantumkan diatas.
PT. BPRS INSAN CITA ARTHA JAYA NASABAH
Direksi
M. HADI MAULIDIN NUGRAHA, SE.I, MM. ...............................
............................................
Saksi-saksi :
............................................ ............................................