penelitian2 mengenai em menunjukkan bahwa pgunaan accrual ... · web viewfitriany amarullah....
TRANSCRIPT
STUDI ATAS PELAKSANAAN METODE PBL DAN HUBUNGANNYA DENGAN
SOFT SKILL DAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA
Fitriany Amarullah
Dahlia Sari
Departemen Akuntansi Fakutas Ekonomi Universitas Indonesia
Abstract
The purpose of this research is to conduct survey on the student’s assessment about trigger
problem, facilitator and learning climate in PBL implementation. This research investigates
the relationship between student’s performance and skill enhancement with trigger problem,
facilitator and learning climate. This research compares the student’s performance in PBL
class and the lecturing class. This research also compares the soft skill enhancement when
the students use PBL method and when they use lecturing method. The result of this research
shows that trigger and learning climate have positive (and significant) relationship with soft
skill enhancement, and only trigger that has positive relationship with student’s performance.
There is no significant difference on student’s performance between PBL class and lecturing
class. For skill enhancement, only communication skill and working in team skill that have
significant difference between PBL class and lecturing class.
Keywords: PBL, lecturing, trigger, facilitator,learning climate
A. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Metode pengajaran yang paling tradisional dan telah lama digunakan dalam sejarah
pendidikan adalah metode ceramah (lecturing), yaitu suatu cara mengajar yang digunakan
untuk menyampaikan informasi atau uraian tentang suatu pokok permasalah secara lisan.
Dalam metode ini, keterampilan pengajar dalam menyampaikan informasi dapat menentukan
1
Bidang Kajian: Pendidikan Akuntansi
tercapai tidaknya tujuan pengajaran sehingga peran pengajar bagi proses belajar didalam
kelas sangat besar. Dengan metode ceramah (lecturing), peran peserta didik dikelas sangat
terbatas, dimana peserta didik hanya mendengarkan apa yang dikatakan oleh pengajar dan
sesekali mencatat. Bahkan beberapa penelitian menyimpulkan bahwa penggunaan metode
ceramah (lecturing) dapat menghambat proses belajar peserta didik (Turnwald, Bull &
Seeler, 1993 dalam Tri Wardhani, 2002).
Chims et al. (1990, dalam Tri Wardhani, 2002) mengatakan beberapa kekurangan
dalam metode lecturing :
- Metode lecturing dapat menghalangi proses belajar karena menenpatkan siswa pada
peran pasif didalam kelas.
- Metode lecturing sangat kurang memberikan umpan balik baik kepada peserta didik
maupun pengajar;
- Metode lecturing memerlukan pengajar yang efektif
- Metode lecturing menempatkan tanggung jawab untuk mengorganisasi dan sintesa
terhadap isi materi pengajaran hanya kepada pengajar
- Metode lecturing tidak sesuai digunakan untuk menjelaskan materi yang terlalu
kompeks, detail dan abstrak.
Bonwell dan Eison (1991) mendefinisikan belajar aktif sebagai aktifitas pengajaran
yang melibatkan peserta didik dalam melakukan sesuatu dan berfikir tentang apa yang sedang
mereka lakukan. Silberman (1996) mengatakan jika proses belajar terjadi secara aktif, maka
peserta didik melakukan banyak hal. Mereka menggunakan otak mereka, mempelajari ide-
ide, memecahkan masalah dan mengaplikasikan apa yang telah mereka pelajari. Selain itu
Campbell dan Piccinin (1996) berpendapat bahwa belajar aktif menekankan keterlibatan
peserta didik secara aktif dalam proses belajarnya.
Shenker, Goss & Bernstein, (1996, dalam Tri Wardhani 2002) mengatakan bahwa
tujuan belajar aktif adalah menumbuhkan kemampuan berfikir kritis dan analitis, juga
kemampuan peserta didik untuk menggunakan keterampilan tersebut agar dapat menguasai
2
materi pengajaran. Dengan demikian tujuan pengajaran aktif tidak hanya sekedar
memindahkan informasi dari pengajar kepada peserta didik.
Salah satu metode pembelajaran aktif adalah PBL (Problem Based Learning) atau
Pembelajaran Berdasarkan Masalah. PBL adalah proses pembelajaran yang dimulai dengan
“problem” dan bukannya paparan/penjelasan mengenai knowledge (D.Boud, G. Feletti, 1987
dalam Pengantar PBL, Djauhari Widjajakusumah). Dalam PBL, problem disajikan terlebih
dahulu sebelum knowlegde diberikan. Problem yang disajikan harus menanyakan suatu
masalah secara komprehensif, aplikasi, analisa dan sintesa. Peserta didik harus memilih
knowledge yang dibutuhkan, mempelajari hal tersebut, dan menghubungkannya dengan
problem yang diberikan.
David; Patel Burdett; Rangachari, 1999 (dalam Pengantar PBL, Djauhari
Widjajakusumah) menyebutkan bahwa inti dari PBL adalah :
1. Diskusi kelompok kecil berdasarkan suatu problem (trigger material), untuk
memutuskan knowledge apa yang harus mereka pelajari;
2. Self Study, proses memperoleh knowledge;
3. Diskusi kelompok kecil untuk membagi knowledge, membandingkan dan
menghubungkan apa yang telah mereka temukan/dapatkan pada masa self study, dan mencari
tahu apakah mereka telah meng-cover dasar yang kuat;
4. Pengembangan sejumlah skills dan attitude :
reasoning skills
problem solving skills
self- directed learning skills
communication skills
Tujuan dari program PBL yang well integrated adalah dapat mencapai 1) perolehan
integrated body of knowledge yang dapat di-recall, diadaptasi dan diaplikasikan ketika
dibutuhkan; 2) mengembangkan reasoning and problem solving skills, communication skills,
3
working in teams
initiative
sharing information
menghargai orang lain
self directed learning dan teams skills yang memungkinkan peserta didik berhubungan secara
efektif dengan problem yang baru dan kompleks yang akan mereka temui dalam dunia kerja
atau kehidupan pribadi.
Wee Keng Neo (2004) menyatakan bahwa komponen-komponen yang harus
dievaluasi dalam pelaksanaan metode PBL adalah trigger problem, kurikulum, proses APBL,
fasilitator dan learning climate. Dalam proses evaluasi perlu melibatkan peserta didik,
lulusan, fasilitator, employer.
Dalam penelitian ini survey akan dilakukan kepada mahasiswa. Survey dilakukan
untuk melihat penilaian mahasiswa terhadap trigger problem, fasilitator dan learning climate.
Penelitian ini juga akan mengkaitkan antara penilaian mahasiswa tersebut dengan prestasi
belajar mahasiswa.
Pertanyaan yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah hubungan antara penilaian mahasiswa dengan trigger problem,
fasilitator dan learning climate dengan peningkatan soft skill mahasiswa?
2. Bagaimanakah hubungan antara penilaian mahasiswa dengan trigger problem,
fasilitator dan learning climate dengan prestasi belajar mahasiswa?
3. Apakah terdapat perbedaan prestasi belajar antara kelas yang menggunakan metode
PBL dengan metode lecturing.
4. Apakah terdapat perbedaan peningkatan softskill antara mahasiswa ketika
menggunakan metode PBL dan ketika menggunakan metode lecturing.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan survey atas penilaian mahasiswa
terhadap trigger problem, fasilitator dan learning climate dalam pelaksanaan metode PBL.
Penelitian ini akan mengkaji hubungan antara peningkatan soft skill dan prestasi belajar
mahasiswa dengan penilaian mahasiswa terhadap trigger problem, fasilitator dan learning
climate dalam kelas yang menerapkan PBL. Penelitian ini juga bertujuan untuk
membandingkan prestasi belajar mahasiswa antara kelas yang menerapkan metode PBL
4
dengan kelas yang menerapkan metode lecturing. Selain itu penelitian ini juga akan
membandingkan peningkatan softskill antara mahasiswa ketika menggunakan metode PBL
dan ketika menggunakan metode lecturing.
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Hasil penelitian ini akan menjadi alat evaluasi pelaksanaan metode PBL yang sudah
diterapkan. Hasil survey penilaian mahasiswa terhadap trigger problem, fasilitator
dan learning climate akan menjadi bahan masukan untuk perbaikan terhadap trigger
problem, fasilitator dan learning climatet dalam pelaksanaan PBL di masa depan.
2. Bagi dunia Akuntansi Indonesia, diharapkan hasil penelitian ini akan menjadi
masukan bagi kalangan akuntan pendidik di Indonesia dalam peningkatan kualitas
pengajaran untuk mahasiswa.
3. Bagi dunia penelitian akuntansi, hasil penelitian ini akan memperkaya khasanah
penelitian khususnya tentang metode pembelajaran yang dilakukan di Asia.
B. LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
Penelitian sehubungan dengan learning climate dalam pelaksanaan metode PBL
dilakukan oleh Kieva and Kieva (2005). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa siswa
merasa memiliki peran yang lebih aktif dalam proses pembelajaran dengan menggunakan
metode PBL dibandingkan dengan proses pembelajaran yang menggunakan metode
lecturing. Hasil penelitian yang senada juga ditunjukkan oleh Cooke and Moyle (2002). Dari
analisa atas respon peserta didik terhadap penerapan metode PBL, ditemukan bahwa peserta
didik menilai pendekatan PBL akan meningkatkan kemampuan untuk berpikir kritis dan
memecahkan masalah. Selain itu, peserta didik juga menilai bahwa metode pembelajaran ini
realistis, menyenangkan dan menarik.
Penelitian yang berhubungan dengan trigger problem dan fasilitator dilakukan oleh
Schwartz et all (1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa fasilitator yang aktif sangat
5
mendukung pelaksanaan PBL. Selain itu, penelitian ini menyimpulkan bahwa PBL adalah
metode yang menyenangkan apabila didukung oleh trigger problem yang bagus dan
fasilitator yang aktif.
Menurut Wee Keng Neo, Lynda (2004) ada 4 hal penting dari PBL yaitu :
1. Penggunaan problem sebagai trigger
2. Proses pembelajaran peserta didik dalam kelompok kecil
3. Proses pembelajaran dibawah bimbingan fasilitator
4. Proses PBL
Berikut penjelasan untuk masing-masing hal tersebut :
1. Problems (Trigger)
Kualitas problem yang diberikan kepada peserta didik dalam proses pembelajaran
sangat mempengaruhi keberhasilan mereka dalam me-manage masalah yang serupa yang
akan mereka hadapi di dunia kerja. Behavior dan skills yang ditunjukkan oleh peserta didik
dalam proses pembelajaran harus merefleksikan value dalam karir mereka. Sehingga harus
digunakan problem yang menggambarkan kebutuhan dunia kerja dalam hal format dan
kompleksitas.
Problem juga harus bersifat multidimensional, relevan dan memotivasi peserta didik
serta menawarkan ruang bagi peserta didik untuk mempertanyakannya dan melakukan riset.
Dalam pembelajaran yang konvensional, jawaban biasanya hanya lebih sederhana, kurang
kompleks serta sedikit yang berhubungan dengan dunia nyata.
Dalam PBL, problem harus menstimulus peserta didik untuk mempelajari content
dan process skill secara simultan, misalnya skill in reasoning, problem solving, self directed
learning, teamwork dan komunikasi.
2. Learning in Small Group
Proses pembelajaran sebaiknya dilakukan dalam kelompok kecil. Hal ini disebabkan
karena skill development of reasoning, problem solving, self-directed learning, collaboration
dan communication lebih dapat diperoleh dalam kelompok kecil. Dalam small-group
6
learning, keterlibatan aktif peserta didik secara inherent terbentuk, skills yang
memungkinkan lulusan program profesional lebih siap memasuki dunia kerja (Daviz &
Haerden, 1999 dalam Wee Keng Neo, 2004).
PBL adalah metode pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (Wee & Kek,
2002). Metode ini berbeda dengan pendekatan konvensional dimana staf pengajar menjadi
pusat dari learning process. Dalam PBL, staf pengajar bukan bagian dari small grup, tapi
berfungsi sebagai fasilitator.
Learning outcomes yang dapat dicapai dari kelompok kecil adalah :
- Peserta didik dapat membandingkan prestasinya dengan peer (rekan);
- Peserta didik mengembangkan sense of responsibility untuk proses pembelajaran;
- Peserta didik belajar mengenai interaksi dengan sesama, mengembangkan
interpersonal skills, dan menjadi sadar terhadap emosinya;
- Peserta didik belajar bagaimana mendengar dan menerima kritik, memberi kritik dan
feedback kepada yang lain.
3. Skilled Facilitator
Ada perbedaan mendasar antara konsep mengajar konvensional dan PBL. Biasanya
pengajar konvensional menganggap bahwa untuk efektif dalam mengajar, mereka harus
master the matter/content dan mereka bertanggung jawab untuk menyampaikan subject
matter secara efisien dan akurat kepada peserta didiknya. Dalam PBL, fasilitator
memfasilitasi peserta didik untuk mencapai hasil PBL. Mereka tidak mengajar.
Fasilitator/pengajar yang baik adalah seseorang yang secara positif dan aktif mengarahkan
peserta didik pada tingkat metacognitif (Barrows, 1988).
4. PBL Process
Komponen terakhir dari PBL yang juga penting adalah proses PBL yang diadopsi
oleh fasilitator untuk mengarahkan kelompok kecil peserta didik. Proses tersebut
didefinisikan sebagai siklus yang secara sengaja diatur dan dibuat untuk membantu fasilitator
dalam mencapai hasil PBL. Proses tersebut adalah :
7
1. Skills Development
Peserta didik belajar untuk mengembangkan skill dalam hal :
- reasoning and problem solving skills,
- self-directed learning skills,
- collaboration and communication skills
2. Reiterative Process
PBL bukan proses yang linier.
3. Reflective Learning
Dalam menyelesaikan tugas yang diminta, peserta didik harus merefleksikannya
dalamnya pada learning journey mereka. Mereka mendiskusikan apa yang mereka
pelajari dan membuat generalisasi tentang potential application terhadap problem.
Berdasarkan landasan teori di atas, hipotesis yang dikembangkan dari penelitian ini
adalah:
H1: Ada hubungan positif antara penilaian mahasiswa terhadap kualitas trigger problem
dengan peningkatan softskill mahasiswa dalam kelas yang menerapkan metode PBL.
H2: Ada hubungan positif antara penilaian mahasiswa terhadap kualitas fasilitator dengan
peningkatan softskill mahasiswa dalam kelas yang menerapkan metode PBL.
H3: Ada hubungan positif antara penilaian mahasiswa terhadap kualitas learning climate
dengan peningkatan softskill mahasiswa dalam kelas yang menerapkan metode PBL.
H4: Ada hubungan positif antara penilaian mahasiswa terhadap kualitas trigger problem
dengan prestasi belajar mahasiswa dalam kelas yang menerapkan metode PBL.
H5: Ada hubungan positif antara penilaian mahasiswa terhadap kualitas fasilitator dengan
prestasi belajar mahasiswa dalam kelas yang menerapkan metode PBL.
H6: Ada hubungan positif antara penilaian mahasiswa terhadap kualitas learning climate
dengan prestasi belajar mahasiswa dalam kelas yang menerapkan metode PBL.
H7: Ada hubungan positif antara peningkatan softskill mahasiswa dengan prestasi belajar
mahasiswa dalam kelas yang menerapkan metode PBL.
8
H8: Terdapat perbedaan prestasi belajar mahasiswa dalam kelas yang menerapkan PBL
dengan yang menggunakan metode lecturing.
H9: Terdapat perbedaan dalam peningkatan skill mahasiswa (reasoning skills, problem
solving skills, self-directed learning skills,communication skills,working in teams,
sharing information) antara kelas ketika menggunakan metode PBL dengan kelas
ketika menggunakan metode lecturing.
C. METODOLOGI PENELITIAN
Pemilihan Sampel
Untuk hipotesis 1 sampai dengan hipotesis 7, sampel diambil dari mahasiswa Program
S1 reguler akuntansi yang sedang mengambil mata kuliah Akuntansi manajemen yang
menggunakan metode PBL.
Untuk menguji hipotesa 8, dilakukan pengujian untuk materi kuliah yang sama, dosen
yang berbeda namun dengan nilai EDOM yang hampir sama.
Untuk menguji hipotesa 9, sampel diambil dari kelas yang sama, dosen yang sama,
namun dengan materi yang berbeda. Contohnya, ketika kelas A sedang membahas materi 1
dengan menggunakan metode PBL, dilakukan penyebaran kuesioner. Dan ketika kelas A
sedang membahas materi 2 dengan menggunakan metode lecturing, dilakukan penyebaran
kuesioner lagi.
Pengumpulan Data
Data dikumpulkan melalui survey kuesioner yang diisi oleh para responden. Proses
pengumpulan survey akan berlangsung sebagai berikut:
Untuk pengujian hipotesa 1-7, mahasiswa yang sudah menjalani suatu topik mata
kuliah dengan menggunakan metode PBL akan diminta untuk menyelesaikan soal
9
kuis yang berhubungan dengan mata kuliah tersebut, setelah itu mereka akan diminta
untuk mengisi kuesioner yang berhubungan dengan penelitian.
Untuk pengujian hipotesa 8, mahasiswa di kelas lain dengan materi yang sama,
belajar dengan menggunakan metode lecturing. Setelah kuliah dengan metode
lecturing selesai, mereka diminta untuk menjawab kuis. Nilai kuis ini akan
dibandingkan dengan nilai kuis di kelas lain yang menggunakan PBL.
Untuk pengujian hipotesa 9, setelah mahasiswa melaksanakan metode PBL, mereka
diberi kuesioner yang berisi pertanyaan tentang peningkatkan softskill ketika
menggunakan PBL. Kemudian di pertemuan lain, di kelas yang sama ketika
mahasiswa melaksanakan metode lecturing, mereka juga diberi kuesioner yang berisi
pertanyaan tentang peningkatkan softskill ketika menggunakan Lecturing. Jawaban
mereka atas 2 kuesioner tersebut akan dibandingkan.
Metode Analisis
Untuk menguji hipotesis 1 sampai dengan hipotesis 7 digunakan software Linear
Structural RELationship (LISREL) 8.72 full version. Sedangkan untuk menguji hipotesis 8
dan 9 akan dilakukan uji beda dengan menggunakan software SPSS.
Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrumen penelitian sebagai berikut:
Untuk mengukur prestasi belajar, yaitu penguasaan atas suatu topik di dalam mata
kuliah, digunakan soal kuis yang berisi pertanyaan-pertanyaan atas suatu topik.
Untuk mengukur penilaian mahasiswa terhadap Soal PBL, Fasilitator, Learning
Climate dan Peningkatan Softskill digunakan kuesioner yang telah dimodifikasi
dari buku Jump Start Authentic problem-Based Learning yang ditulis oleh Keng Neo
Lynda Wee (2004). Kuesioner ini adalah pilot test atas PBL yang didanai oleh The
Enterprise Challenge, Prime Minister’s Office, Singapore. Pada setiap pertanyaan
dalam kuesioner, metode respon yang digunakan adalah skala likert 1 sampai dengan
5. Skor 1,2,3,4 dan 5 mewakili jawaban Sangat Tidak Setuju, Tidak Setuju, Netral,
10
Setuju dan Sangat Setuju (untuk kuesioner trigger dan learning climate), yang berarti
semakin tinggi skor, semakin baik penilaian mahasiswa tentang trigger dan learning
climate. Sedangkan kuesioner mengenai fasilitator juga menggunakan skala likert 1-5
yaitu Dilakukan dengan sangat baik, Dilakukan dengan Baik, Dilakukan dengan
Cukup, Kurang, Tidak dilakukan, yang berarti semakin tinggi nilai yang diberikan
oleh mahasiswa, semakin baik kualiatas fasilitator.
Model Penelitian
Model penelitian untuk menguji hubungan antara peningkatan soft skill dengan
learning climate, trigger dan facilitator:
PS = a + β1 Climate + β2 Trigger + β3 Fas
Model penelitian untuk menguji hubungan antara prestasi belajar mahasiswa dengan
learning climate, trigger dan facilitator:
Pres = a + β1 Climate + β2 Trigger + β3 Fas
Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan Data Untuk Hipotesa 1 - 7
Jumlah responden yang memenuhi syarat untuk dianalisis dengan lisrel adalah
sebanyak 350. Pengujian dilakukan dengan mengikuti tahapan yang berlaku dalam SEM
menggunakan piranti lunak Lisrel 8.72 dengan metode robust maximum likelihood. Terdapat
dua langkah pengujian yang harus dilakukan (Hair et al., 1995) yaitu pengujian kecocokan
model pengukuran dan kecocokan model struktural.
Prosedur Pengolahan Data untuk hipotesa 8 (Uji Beda Nilai)
Pengujian hipotesis 8 dilakukan dengan menggunakan alat analisis statistik t-test agar
dapat diketahui beda rata-rata dan standar deviasi dari variabel yang diuji. Menurut Sekaran
(2003), t-test dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan signifikan pada rata-
rata variabel dari kedua kelompok yang diuji. Karena yang dibandingkan dalam penelitian ini
adalah perbedaan rata-rata antar dua kelompok yang berbeda, maka pengujian yang dilakukan
adalah independent sample t-test.
11
Prosedur Pengolahan Data untuk hipotesa 9 (Uji Beda Skills)
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan alat uji non
parametrik Mann-Whitney. Uji non parametrik dilakukan karena normalitas data tidak
diketahui dan data dikumpulkan menggunakan skala ordinal sehingga tidak diketahui
besarnya perbedaan antara pilihan jawaban yang satu dengan yang lain (Sekaran, 2003).
Pengujian non parametrik ini sendiri menggunakan alat uji Mann-Whitney yang merupakan
alat untuk mengukur perbedaan signifikan di antara kedua variabel.
D. HASIL PENELITIAN
Deskripsi Statistik
Deskripsi statistik menunjukkan bahwa secara total responden mayoritas adalah
perempuan (62%), dengan IPK mayoritas 3 – 3,49 (55%). Mayoritas mahasiswa sedang tidak
mengulang (76%) dan sudah pernah melaksanakan PBL (91%).
Hasil Pengujian Hipótesis 1-7
Analisa Persamaan Struktural
Analisis ini dilakukan terhadap koefisien-koefisien persamaan struktural dengan
menspesifikasikan tingkat signifikansi tertentu. Analisa model struktural ini untuk menguji
hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini. Untuk tingkat signifikansi sebesar 0,05 maka
nilai t dari persamaan struktural harus lebih besar atau sama dengan 1,96 atau untuk
praktisnya lebih besar sama dengan 2 (Wijanto, 2006).
Dari pengolahan data untuk pengujian hipotesis 1-3 diperoleh persamaan sebagai
berikut:
PS = 0.55*Climate + 0.36*Triger + 0.0030*Fas, Errorvar.= 0.21 , R² = 0.79
(0.15) (0.15) (0.037) (0.033)
3.77 2.43 0.081 6.42
12
Dari persamaan di atas, dapat dilihat bahwa koefisien Learning Climate dan Trigger
memiliki nilai t yang signifikan, namun Fasilitator tidak signifikan. Jadi kesimpulan yang
dapat diambil adalah bahwa H1, H2 terbukti sedangkan H3 tidak terbukti.
Hasil di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara
Trigger dengan peningkatan softskill mahasiswa. Artinya semakin bagus kualitas trigger,
maka semakin tinggi peningkatan softskill mahasiswa.
Pada mata kuliah Akuntansi Manajemen, trigger dibuat hanya dengan 1 kalimat dan
untuk menjawabnya mahasiswa diminta untuk brainstorming dengan timnya untuk mencari
pertanyaan-pertanyaan kecil. Hal ini yang menyebabkan softskill seperti communication skill
meningkat. Seperti yang sudah dinyatakan dalam landasan teori bahwa trigger yang disajikan
harus menanyakan suatu masalah secara komprehensif, aplikatif, analitis dan sintesis. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa agar peningkatan softskill mahasiswa semakin baik, maka
trigger yang diberikan juga semakin baik, yaitu yang menanyakan masalah secara
komprehensif, aplikatif, analitis dan sintesis. Dengan semakin baiknya trigger, maka akan
menstimulus mahasiswa untuk berpikir kritis, mengkolaborasikan pengetahuan dan juga
memicu diskusi dengan teman-teman sekelompoknya.
Hasil di atas juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan
antara Learning Climate dengan peningkatan softskill mahasiswa. Artinya semakin bagus
kualitas Learning Climate, maka semakin tinggi peningkatan softskill mahasiswa.
Hubungan positif yang signifikan ini disebabkan karena dalam melaksanakan PBL di
semester gasal 2007/2008, mata kuliah Akuntansi Manajemen berada di bawah koordinasi
yang cukup baik karena adanya hibah Teaching Grant untuk mata kuliah ini. Salah satu
bentuk koordinasi yang dilakukan adalah adanya panduan untuk dosen dan mahasiswa
melaksanakan PBL. Panduan tersebut berisi arahan agar mahasiswa dapat belajar mandiri,
aktif dalam berdiskusi dan dapat melakukan working in team. Dengan demikian tercipta iklim
yang kondusif untuk mahasiswa dalam meningkatkan softskill mahasiswa.
13
Dari pengolahan data untuk pengujian hipotesis 4-6 diperoleh persamaan sebagai
berikut:
Pres = - 1.10*Ps - 7.14*Climate + 10.39*Triger + 0.34*Fas, Errorvar.= 284.48, R² =
0.062
( 2.75) (4.61) (4.11) (1.05) (23.17)
-0.40 -1.55 2.53 0.32 12.28
Untuk persamaan dalam model kedua ini, terlihat bahwa hanya koefisien Trigger yang
memiliki nilai t yang signifikan di atas 1,96. Jadi kesimpulan yang dapat diambil adalah
bahwa H5 terbukti sedangkan H4, H6, dan H7 tidak terbukti.
Penelitian ini mendukung sebagian hasil penelitian Schwartz et all (1997) yang
mengatakan bahwa trigger dan fasilitator mendukung keberhasilan metode pembelajaran
dengan PBL. Dalam penelitian ini hanya trigger yang signifikan, sedangkan faktor lainnya
tidak mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa. Penelitian yang dilakukan oleh Schwartz et
all (1997) menunjukkan bahwa fasilitator yang aktif sangat mendukung pelaksanaan PBL.
Wee Keng Neo, Lynda (2004) juga mengatakan bahwa ada 4 hal penting dari pelaksanaan
PBL yaitu learning climate, fasilitator, trigger dan proses PBL.
Tidak berpengaruhnya fasilitator dalam penelitian ini mungkin disebabkan karena
para dosen belum melaksanakan fungsinya sebagai fasilitator dengan baik. Dalam PBL,
fasilitator berfungsi memfasilitasi peserta didik untuk mencapai hasil PBL. Mereka tidak
mengajar. Fasilitator/pengajar yang baik adalah seseorang yang secara positif dan aktif
mengarahkan peserta didik pada tingkat metacognitif (Barrows, 1988). Untuk pelaksanaan
PBL yang baik sebenarnya tidak cukup hanya 1 fasilitator untuk setiap kelas. Butuh lebih dari
1 fasilitator. Fasilitator harus memotivasi mahasiswa untuk berdiskusi dengan sesama teman,
saling mengeluarkan pendapat, dan saling memberikan kritik, fasilitator harus memancing
daya kritis mahasiswa dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menggugah.
14
Terkadang fungsi ini tidak berjalan dengan baik karena keterbatasan waktu perkuliahan dan
kondisi mahasiswa yang tidak biasa mengeluarkan pendapat.
Learning climate (iklim pembelajaran) juga tidak berhubungan dengan prestasi
mahasiswa, hal ini mungkin disebabkan karena memang learning climate-nya masih kurang
baik, dimana proses belajar kelompok belum berjalan dengan efisien, mahasiswa belum
bekerja sama dan belajar dari anggota tim lainnya, mahasiswa tidak mempersiapkan diri
dengan baik dalam menghadapi perkuliahan, mahasiswa dan fasilitator belum bekerja sama
dengan baik dalam proses pembelajaran, disamping fasilitas yang kurang memadai, ruang
untuk melakukan diskusi kelompok masih kurang, design ruang kelas yang kurang kondusif
untuk pelaksanaan PBL (antara lain kursi yang tidak bisa dipindah-pindah), ruang kelas yang
kurang besar untuk tempat diskusi mahasiswa.
Hasil di atas menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara
Trigger dengan prestasi belajar mahasiswa. Artinya penilaian mahasiswa terhadap trigger
berhubungan positif dengan nilai kuis mahasiswa. Seperti yang sudah dinyatakan dalam
landasan teori bahwa trigger yang disajikan harus menanyakan suatu masalah secara
komprehensif, aplikatif, analitis dan sintesis. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
agar prestasi belajar mahasiswa semakin baik, maka trigger yang diberikan juga semakin
baik, yaitu yang menanyakan masalah secara komprehensif, aplikatif, analitis dan sintesis.
Untuk menilai seberapa baik coefficient of determination dari persamaan struktural,
akan dilihat dari besaran dari R2 (Wijanto, 2006). Hasil pengujian Lisrel yang dapat dilihat
pada Reduced Form Equation didapatkan nilai R2 untuk masing-masing persamaan.
Persamaan pertama yang menguji hipotesis 1-3 memiliki nilai R² 0,79 yang berarti model ini
mampu menjelaskan 79 % dari perubahan pada variabel laten PBL. Persamaan kedua yang
menguji hipotesis 4-6 memiliki nilai R² 0.062 yang berarti model ini hanya mampu
menjelaskan 6,2 % dari perubahan pada variabel laten Prestasi. Secara keseluruhan nilai t
dari tujuh hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini dapat disimpulkan dalam tabel 3
berikut :
15
Tabel
Nilai t-value untuk masing-masing hipotesa
Hipotesa Path EstimasiNilai t-value Kesimpulan
H1 Learning Climate PBL 0.55 3.77 Signifikan
H2 Trigger PBL 0.36 2.43 Signifikan
H3 Facilitator PBL 0.0030 0.081 Tidak Signifikan
H4 Learning Climate Prestasi -7.14 -1.55 Tidak Signifikan
H5 Trigger Prestasi 10.39 2.53 SignifikanH6 Facilitator Prestasi 0.34 0.32 Tidak SignifikanH7 PS Prestasi -1.10 -0.40 Tidak Signifikan
Hasil Pengujian Hipotesis 8
Hipotesis 8 menguji apakah terdapat perbedaan prestasi belajar mahasiswa dalam
kelas yang menerapkan PBL dengan yang menggunakan metode lecturing.
Tabel
Rata-Rata Nilai Kuis dan Hasil Uji Beda T-Test untuk Mata Kuliah Akuntansi Manajemen
dan Akuntansi Keuangan 1
Mata Kuliah Nilai KuisMetode PBL
Nilai KuisMetode lecturing
P-Value
Akuntansi Manajemen 77.5 63.5 0.44
Dari hasil di atas menunjukkan bahwa pada kedua mata kuliah tidak terdapat perbedaan
signifikan antara nilai kuis pada kelas yang menggunakan metode PBL dengan kelas yang
menggunakan metode Lecturing. Hasil ini mendukung hasil regresi, yaitu diperoleh nilai R2
yang rendah, yang berarti bahwa masih banyak faktor lain selain penggunaan metode PBL,
yang menentukan prestasi (yang diukur dengan nilai kuis) mahasiswa. Hal ini menyebabkan
perbedaan metode pembelajaran tidak menghasilkan nilai kuis yang berbeda secara
signifikan.
Hasil ini sebenarnya juga menjadi masukan bahwa harus ada perbaikan dalam
pelaksanaan metode PBL. Karena seharusnya mahasiswa yang malas belajar harus lebih
16
’terpaksa’ rajin belajar ketika menggunakan metode PBL, sehingga nilai kuisnya lebih tinggi
ketika materi disampaikan dengan metode PBL.
Hasil Pengujian Hipotesa 9
Hipotesa 9 menguji apakah terdapat perbedaan dalam peningkatan skill mahasiswa
(reasoning skills, problem solving skills, self-directed learning skills,communication
skills,working in teams, sharing information) antara kelas ketika menggunakan metode PBL
dengan kelas ketika menggunakan metode lecturing.
Tabel
Rata-Rata Skor atas Pertanyaan Tentang Peningkatan Soft Skill dan Hasil Uji Beda
Mann Whitney untuk MK Akuntansi Manajemen
No SoftSkill SkorMetode PBL
SkorMetode Lecturing
P-Value
1 Reasoning Skills 3.58 3.86 0.0002 Self-Directed Learning Skills 3.60 3.69 0.4523 Problem Solving Skills 3.53 3.75 0.0024 Collaboration Skills 3.62 3.79 0.0145 Communication Skill. 3.64 3.33 0.0006 Knowledge Level 3.5 4.05 0.0007 Working In Team Skill 3.76 3.42 0.0008 Retain Dan Recall 3.41 3.29 0.145
Dari hasil di atas kita melihat bahwa respon mahasiswa terhadap Reasoning Skills,
Problem Soving Skill, Collaboration Skill dan Knowledge level berbeda secara signifikan
antara metode PBL dan Lecturing, namun ternyata rata-rata skor yang lebih tinggi diberikan
untuk metode lecturing. Hal ini berarti metode PBL yang diterapkan belum membuat
mahasiswa merasa mendapat peningkatan Reasoning Skills, Problem Soving Skill,
Collaboration Skill dan Knowledge level dibanding dengan metode lecturing. Mahasiswa
merasa bahwa dengan metode PBL, mereka tidak memperoleh penjelasan materi secara utuh
dari dosen seperti yang mereka peroleh di metode lecturing, sehingga akhirnya mereka
merasa kurang dapat menjelaskan suatu konsep (Reasoning Skills), memecahkan suatu
17
masalah (Problem Soving Skill), mengkolaborasikan pengetahuan (Collaboration Skill) dan
tidak mengalami peningkatan pengetahuan (Knowledge Level). Hal yang sebaliknya terjadi
ketika mereka menggunakan metode lecturing.
Dari hasil di atas kita juga melihat bahwa Communication Skill dan Working In Team
Skill memperoleh respon yang berbeda secara signifikan pada metode PBL dan lecturing.
Rata-rata skor yang lebih tinggi diberikan pada metode PBL. Hal ini menunjukkan bahwa
mahasiswa merasa mengalami peningkatan Communication Skill dan Working In Team Skill
pada metode PBL. Hal ini berarti metode PBL yang diterapkan di mata kuliah Akuntansi
Manajemen dirasakan mahasiswa dapat meningkatkan Communication Skill dan Working In
Team Skill. Hal ini mungkin berkaitan dengan pelaksanaan PBL di Akuntansi Manajemen
yang terkoordinasi (karena adanya hibah teaching grant), dimana ada panduan untuk
melaksanakan PBL yang didalamnya juga memuat arahan untuk melakukan diskusi
kelompok, presentasi dan diskusi kelas.
KESIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan survey atas penilaian mahasiswa terhadap
trigger problem, fasilitator dan learning climate dalam pelaksanaan metode PBL. Penelitian
ini mengkaji hubungan antara prestasi belajar mahasiswa dengan penilaian mahasiswa
terhadap trigger problem, fasilitator dan learning climate dalam kelas yang menerapkan PBL.
Penelitian ini juga bertujuan untuk membandingkan prestasi belajar mahasiswa antara kelas
yang menerapkan metode PBL dengan kelas yang menerapkan metode lecturing. Selain itu
penelitian ini membandingkan peningkatan softskill antara mahasiswa ketika menggunakan
metode PBL dan ketika menggunakan metode lecturing.
Dari hasil penelitian, untuk hipotesis 1-3, yaitu menguji apakah ada hubungan positif
dan signifikan antara kualitas trigger problem, fasilitator dan learning climate dengan
peningkatan softskills mahasiswa dalam kelas yang menerapkan metode PBL, hasilnya
menunjukkan bahwa kualitas trigger dan learning climate memiliki hubungan yang positif
18
dan signifikan dengan peningkatan softskills mahasiswa, tapi fasilitator tidak punya
hubungan yang signifikan dengan peningkatan softskills mahasiswa.
Hipotesis 4-7 menguji apakah ada hubungan positif dan signifikan antara kualitas
trigger problem, fasilitator, learning climate dan peningkatan softskills dengan prestasi
belajar mahasiswa dalam kelas yang menerapkan metode PBL. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa hanya kualitas trigger yang memiliki hubungan yang positif dan
signifikan dengan prestasi belajar mahasiswa. Faktor lain belum menunjukkan hubungan
dengan prestasi belajar.
Hipotesis 8 menguji apakah terdapat perbedaan prestasi belajar mahasiswa dalam
kelas yang menerapkan PBL dengan yang menggunakan metode lecturing. Hasilnya
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara prestasi belajar
mahasiswa dalam kelas yang menerapkan PBL dengan yang menggunakan metode lecturing.
Hal ini kemugkinan disebabkan karena metode PBL belum dilaksanakan dengan benar
sehingga belum memberi hasil yang baik, hal ini sejalan dengan penilaian mahasiswa
mengenai metode PBL dan Lecturing yang tidak jauh berbeda. Temuan ini juga mendukung
hasil lisrel yang menunjukkan nilai R squared yang sangat rendah antara prestasi dengan
trigger, learning climate dan fasilitator ( hanya 0,06 %). Mungkin kuis yang dilaksanakan
bukan merupakan proksi yang tepat untuk mengukur prestasi. Harus dicari proksi yang lebih
tepat untuk mengukur keberhasilan PBL.
Hipotesa 9 menguji apakah terdapat perbedaan dalam peningkatan skill mahasiswa
(reasoning skills, problem solving skills, self-directed learning skills,communication
skills,working in teams, sharing information) antara kelas yang menggunakan metode PBL
dengan kelas yang menggunakan metode lecturing. Hasilnya menunjukkan bahwa untuk
mata kuliah Akuntansi Manajemen, metode PBL menghasilkan Communication Skill dan
Working In Team Skill yang lebih baik daripada metode lecturing, namun Reasoning Skills,
Problem Solving Skill, Knowledge level justru lebih pada metode lecturing.
19
Kelemahan dalam penelitian ini adalah bahwa sampel yang diperoleh dari kelas
Akuntansi Keuangan 1 kurang banyak (hanya 2 kelas) sehingga tidak dapat dilakukan
pengujian dengan menggunakan lisrel. Seperti penelitian dengan kuesioner lainnya, penilaian
yang diberikan oleh responden mengandung subjektifitas.
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah adanya perbaikan dalam pertanyaan
kuesioner untuk menghindari respon yang salah dari responden karena kurang memahami
pertanyaan. Selain itu dapat pula dilakukan eksperimental riset dan menggunakan kasus
untuk mengukur skills yang diperoleh mahasiswa dari metode pembelajaran PBL dan
Lecturing. Bukan menggunakan direct question seperti pada penelitian ini. Variabel IPK
dapat pula dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi prestasi mahasiswa.
20
Daftar Pustaka
Cooke, Marie and Kadie Moyle. Students' Evaluation of Problem-Based Learning. Nurse Education Today. Volume 22, Issue 4, May 2002, Pages 330-339
Kivela, Jakša and Ruth Jeanine Kivela. Student perceptions of an embedded problem-based learning instructional approach in a hospitality undergraduate program. International Journal of Hospitality Management. Volume 24, Issue 3, September 2005.
Tri Wardhani, Adinda. Perbedaan Goal Orientation pada Siswa Sekolah Dasar yang Mendapatkan Metode Pengajaran Belajar Aktif dan Belajar Pasif. Skripsi. Fakultas Psikologi UI: 2002
Wee Keng Neo, Lynda. Jump Start Authentic Problem-Based Learning.Prentice Hall, 2004
Widjajakusumah M.Djauhari, Pengantar PBL, Bahan Penataran Pekerti, UI, 2006
W. Schwartz, Richard, Michael B. Donnelly, David A. Sloan and William E. Strodel. Residents' Evaluation of A Problem-Based Learning Curriculum In A General Surgery Residency Program. The American Journal of Surgery. Volume 173, Issue 4, April 1997, Pages 338-341.
21