penelitian diare palaran validitas
TRANSCRIPT
Hubungan Antara Pengetahuan, Kebersihan Diri Ibu dan
Sanitasi Makanan dengan Kejadian Diare Akut pada Balita di
Kelurahan Rawa Makmur Kecamatan Palaran Samarinda
DISUSUN OLEH:
Ika Anggraini (03.37504.00160.09)
Diah Budiarti (04.45402.00192.09)
Yurima Indriyani (04.45403.00193.09)
PEMBIMBING:
dr. Hj. Syarifah Rahimah, M.Kes
dr. Deasi N, MSi
dr. Khairul, M.Kes
LABORATORIUM/SMF ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
PUSKESMAS PALARAN
SAMARINDA
2011
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ....................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................................. 3
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................................. 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DIARE ........................................................................................................................ 4
2.1.1. Definisi Diare.......................................................................................................... 4
2.1.2. Klasifikasi Diare .................................................................................................... 4
2.1.3. Patogenesis ............................................................................................................ 5
2.1.4. Patofisiologis........................................................................................................... 6
2.1.5. Manifestasi Klinis .................................................................................................. 8
2.1.6. Pemeriksaan laboratorium .................................................................................... 10
2.1.7. Diagnosis ............................................................................................................... 10
2.1.8. Penatalaksanaan ..................................................................................................... 11
2.1.9. Pencegahan ............................................................................................................. 11
2.2 FAKTOR RISIKO DIARE ........................................................................................ 11
2.2.1. Karakteristik Ibu ................................................................................................... 12
2.2.2. Karakteristik Balita ................................................................................................ 15
2.2.3. Kebersihan Diri Ibu ............................................................................................... 16
2.2.4. Sanitasi Makanan .................................................................................................. 17
2.2.5. Sanitasi Lingkungan .............................................................................................. 19
BAB III KERANGKA TEORI DAN KONSEP ..................................................................... 21
3.1. Kerangka Teori ...................................................................................................... 21
ii
3.2. Kerangka Konsep ................................................................................................... 22
3.3. Hipotesis ................................................................................................................ 22
BAB IV.METODOLOGI PENELITIAN ............................................................................... 23
4.1. Jenis Penelitian ...................................................................................................... 23
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................................. 23
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................................. 23
4.4. Kriteria Sampel ...................................................................................................... 24
4.5. Variabel Penelitian ................................................................................................. 25
4.6. Definisi Operasional dan Kriteria objektif ............................................................ 25
4.7. Cara Pengumpulan Data ........................................................................................ 27
4.8. Pengolahan dan Penyajian Data ............................................................................. 28
4.9. Analisis Data .......................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 30
LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................................................... 32
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diare merupakan masalah kesehatan dunia terutama di negara
berkembang. Besarnya masalah tersebut terlihat dari tingginya angka
kesakitan dan kematian akibat diare. WHO memperkirakan 4 milyar kasus
terjadi di dunia pada tahun 2000 dan 2,2 juta diantaranya meninggal, sebagian
besar anak-anak dibawah umur 5 tahun. Hal ini sebanding dengan 1 anak
meninggal setiap 15 detik. Di Amerika Serikat, 20-35 juta kejadian diare
terjadi setiap tahun, pada 16,5 juta anak sebelum usia 5 tahun. (1) Di
Indonesia, diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
utama. Hal ini disebabkan masih tingginya angka kesakitan dan menimbulkan
banyak kematian terutama pada bayi dan balita, serta sering menimbulkan
kejadian luar biasa (KLB). (2)
Angka kesakitan diare tahun 2000 (survei oleh Subdit Diare, Ditjen PPM-
PL) adalah 301 per 1.000 penduduk dan pada balita 1,3 kali per tahun. Pada
tahun 2003 angka kesakitan diare meningkat menjadi 374 per 1.000 penduduk
dan pada balita 1,08 kali per tahun (3). Berdasarkan Survei Departemen
Kesehatan (2003), di Indonesia penyakit diare menjadi penyebab kematian
nomor dua pada balita, nomor tiga pada bayi, dan nomor lima pada semua
umur. (4)
Hasil penelitian terhadap semua kasus balita yang disurvei pada penelitian
yang dilakukan tahun 2001 diketahui bahwa penyakit infeksi masih
merupakan penyebab kematian terbanyak. Penyakit diare masih merupakan
penyebab utama kematian bayi dan balita karena penyakit ini merupakan
penyakit yang akut dan sering kali terjadi keterlambatan penderita
memperoleh pertolongan. Kematian balita akibat diare (2,3 per 1.000 balita)
menempati urutan kedua setelah kematian akibat penumonia (4,6 per 1.000
balita). (5)
Angka kematian akibat penyakit diare di Indonesia menurut kelompok
umur menunjukkan bahwa pada kelompok umur kurang dari satu tahun
1
menduduki urutan ketiga, yaitu 1.111 per 100.000, setelah gangguan perinatal
dan pneumonia. Pada kelompok umur 1-4 tahun angka kematian diare
menduduki urutan kedua, yaitu 134 per 100.000 setelah pneumonia,
sedangkan pada kelompok umur 5-14 tahun berada pada urutan pertama
penyebab kematian yaitu 28 per 100.000. Salah satu penyebab masih
tingginya angka kesakitan dan kematian tersebut karena kondisi kesehatan
lingkungan yang belum memadai. (4)
Berikut merupakan data diare Puskesmas Palaran pada tahun 2009. Jumlah
penderita diare di kecamatan Palaran sebanyak 2465 orang dengan sebaran
1107 orang (44,91%) di kelurahan Rawa Makmur, 678 orang (27,51%) di
kelurahan Bukuan, 309 orang (12,54%) di kelurahan Handil bakti, 221 orang
(8,97%) di kelurahan Simpang Pasir dan 149 orang (6,04%) di kelurahan
Bantuas. Berdasarkan umur pada tahun 2009, jumlah penderita diare umur
kurang dari 1 tahun sebanyak 250 orang (10,14%), umur 1-4 tahun sebanyak
752 orang (30,51%), umur 5-14 tahun sebanyak 417 orang (16,91%), umur
15-44 tahun 756 orang (30,67%), umur lebih dari 45 tahun sebanyak 290
orang (11,76%).
Sedangkan data diare Puskesmas Palaran pada tahun 2010 diperoleh
bahwa jumlah penderita diare di kecamatan Palaran pada tahun 2010 yaitu
sebanyak 1864 orang. Sebanyak 862 orang (46,24%) terdapat di wilayah
kelurahan Rawa makmur, 510 orang (27,36%) di wilayah kelurahan Bukuan,
208 orang (11,16%) di kelurahan Handil Bakti, 169 orang (9,07%) di
kelurahan Simpang Pasir dan 115 orang (6,17%) di kelurahan Bantuas.
Kejadian diare menurut umur pada tahun 2010 di Puskesmas Palaran
menunjukkan bahwa umur < 1 tahun jumlah penderita diare adalah sebanyak
184 orang (9,87%), umur 1-4 tahun jumlah penderita diare sebanyak 555
orang (29,77%), umur 5-14 tahun jumlah penderita diare sebanyak 302 orang
(16,20%), umur > 45 tahun jumlah penderita sebanyak 178 orang (9,55%).
Berdasarkan jenis penyakit menular yang dilaporkan di Puskesmas Palaran
kejadian penyakit diare masih tinggi. Jumlah penyakit diare di Kecamatan
Palaran berdasarkan data tahun 2009 ialah 2465 penderita, dengan golongan
umur 1-4 tahun yaitu 752 orang (30,51%). Kemudian diketahui bahwa
2
prevalensi diare pada tahun 2010 yakni 1864 penderita, dengan golongan
umur terbanyak pada balita (1-4 tahun) sebanyak 555 orang(29,77%). Data-
data dibawah menunjukkan masih tingginya angka kejadian diare pada tahun
2009 dan 2010, sedangkan pencapaian promosi kesehatan PHBS berdasarkan
PENJAMAS 2010 sudah 100%. Lokasi penelitian ini dilakukan di kelurahan
Rawa Makmur, karena dari 5 kelurahan yang ada di Kecamatan Palaran,
kelurahan Rawa Makmur menunjukkan prevalensi tertinggi diare dibanding
kelurahan yang lain.
Penelitian mengenai penyakit diare di Indonesia menunjukkan bahwa
banyak faktor yang dapat berpengaruh secara langsung seperti faktor gizi,
makanan dan lingkungan maupun pengaruh tidak langsung seperti faktor
sosial ekonomi. Kesehatan lingkungan yang buruk akan berpengaruh terhadap
terjadinya diare, sehingga interaksi antara agen penyakit, pejamu dan faktor
lingkungan dapat meningkatkan kejadian diare. (5) Dalam Indonesia Sehat
2010, perilaku sehat yang diharapkan adalah yang bersifat proaktif untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah risiko terjadinya
penyakit, melidungi diri dari ancaman penyakit serta berpartisipasi aktif
dalam gerakan kesehatan masyarakat. (6) Perilaku hidup bersih dan sehat
yang dilakukan oleh ibu yang didukung dengan pengetahuan dan penerapan
sikap proaktif dalam menjaga personal hygiene dapat mencegah terjadinya
penyakit diare pada balita
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dengan melihat angka kejadian diare
pada balita serta gambaran perilaku masyarakat, maka penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui hubungan pengetahuan, kebersihan diri dan
sanitasi makanan terhadap kejadian diare pada balita di Kecamatan Palaran
Kota Samarinda.
3
B. Rumusan
1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini ialah :
a. Tingginya prevalensi diare di Palaran dari tahun ke tahu, meskipun
pencapaian promosi kesehatan sudah mencapai 100 %
b. Penderita diare terbanyak ialah kelompok usia balita (1 tahun hingga
kurang dari 5 tahun)
c. Kelurahan Rawa Makmur merupakan kelurahan dengan prevalensi
tertinggi diare .
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimana
hubungan antara tingkat pengetahuan ibu, kebersihan diri ibu dan sanitasi
makanan dengan kejadian diare akut pada balita di Kecamatan Palaran?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
tingkat pengetahuan, kebersihan diri dan sanitasi makanan dengan kejadian
diare akut pada balita di Kecamatan Palaran.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan tingginya
kejadian diare akut pada balita di Kecamatan Palaran.
2. Mengetahui hubungan antara kebersihan diri dengan tingginya kejadian
diare akut pada balita di Kecamatan Palaran.
3. Mengetahui hubungan antara sanitasi makanan dengan tingginya kejadian
diare akut pada balita di Kecamatan Palaran.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan bagi instansi kesehatan terkait guna meningkatkan
promosi kesehatan untuk menjaga dan meningkatkan mutu kebersihan diri
atau berprilaku hidup bersih sehat, sehingga dapat melakukan
penanggulangan penyakit diare akut pada balita.
4
2. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat agar dapat
berperan aktif dalam mengantisipasi dan atau menanggulangi
mewabahnya penyakit diare
3. Menambah pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti tentang kebersihan
diri dan sarana dasar kesehatan lingkungan yang berhubungan dengan
penyakit diare.
4. Sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik Muda Ilmu Kesehatan
Masyarakat.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DIARE
2.1..1 Definisi Diare
Diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi
defekasi lebih dari biasanya (>3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja
(menjadi cair), dengan/tanpa darah dan/atau lendir. (7)
2.1. 2 Klasifikasi Diare
Diare akut adalah diare yang awalnya mendadak dan berlangsung singkat,
dalam beberapa jam atau hari dan berlangsung dalam waktu kurang dari 2
minggu, dan disebut diare persisten bila berlangsung selama 2 minggu sampai
dengan 4 minggu. Bila berlangsung lebih dari 4 minggu disebut sebagai diare
kronik. (8)
Banyak macam klasifikasi dari diare, antara lain:
1. Rendle Short membuat klasifikasi berdasarkan pada ada atau tidak adanya
infeksi, diklasifikasi menurut 2 golongan:(25)
a. Diare infeksi spesifik: tifus abdomen, disentri basil.
b. Diare non-spesifik: diare dietetik.
2. Moses membagi berdasarkan atas penyebabnya:(26)
a. Infeksi
Parasit: amebiasis, balantidiasis, helmintiasis.
Bakteri: basiler disentri, cholera, salmonellosis.
Enteroviral: virus gastroenteritis.
b. Keracunan makanan
Karena toksin bakteri, misalnya Botulisme
Karena toksin yang dikeluarkan oleh makanan sendiri
c. Diare akibat obat-obatan
Post antibiotik diare
Diare dapat timbul secara sekunder karena dosis berlebihan dari
quinidin, colchicin, digitalis, reserpin, laksatif.
6
d. Diare yang etiologinya tidak pasti
e. Diare psikogenik
f. Keadaan lain yang berhubungan dengan diare kronis
2.1.3. Patogenesis
Pada dasarnya diare terjadi bila terdapat gangguan transpor terhadap air
dan elektrolit pada saluran cerna. Mekanisme gangguan tersebut ada 5
kemungkinan: (9)
1. Osmolaritas intraluminer yang meninggi.
2. Sekresi cairan dan elektrolit meninggi.
3. Absorpsi elektrolit berkurang.
4. Motilitas usus yang meninggi/hiperperistaltis, atau waktu transit yang pendek.
5. Sekresi eksudat.
Diare yang terjadi pada penyakit tertentu atau yang disebabkan suatu
faktor etiologi tertentu, biasanya timbul oleh gabungan dari beberapa mekanisme
diatas. (9)
Sesuai dengan perjalanan penyakit diare, patogenesis penyakit diare dibagi
atas: (7)
1. Diare akut
Lebih dari 90% diare akut disebabkan karena infeksi. Patogenesis diare
akut oleh infeksi yaitu masuknya mikroorganisme ke dalam saluran pencernaan,
berkembangbiaknya mikroorganisme tersebut setelah berhasil melewati asam
lambung, dibentuknya toksin (endotoksin) oleh mikroorganisme, adanya
rangsangan pada mukosa usus yang menyebabkan terjadinya hiperperistaltik dan
sekresi cairan usus mengakibatkan terjadinya diare.
2. Diare kronik
Patogenesis diare kronik lebih rumit karena terdapat beberapa faktor yang
satu sama lain saling mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a. Infeksi bakteri
7
Misalnya ETEC (Entero Toxigenic E. Coli) yang sudah resisten terhadap
obat. Juga diare kronik dapat terjadi kalau ada pertumbuhan bakteri
berlipat ganda (over growth) dari bakteri non patogen.
b. Infeksi parasit
Terutama E.histolytica, Giardia, Candida dan sebagainya.
c. Kekurangan kalori protein
Pada penderita kekurangan kalori protein terdapat atrofi semua organ
termasuk atrofi mukosa usus halus, mukosa lambung, hepar dan
pankreas. Akibatnya terjadi defisiensi enzim yang dikeluarkan oleh
organ-organ tersebut yang menyebabkan makanan tidak dapat dicerna
dan diabsorpsi dengan sempurna. Makanan yang tidak diabsorpsi tersebut
akan menyebabkan tekanan osmotik koloid di dalam lumen usus
meningkat yang menyebabkan terjadinya diare osmotik. Selain itu juga
akan menyebabkan over growth bakteri yang akan menambah beratnya
malabsorpsi dan infeksi.
d. Gangguan imunologik
Usus merupakan organ utama dari daya pertahanan tubuh. Defisisensi
dari Secretory IgA dan Cell Mediated Immunity (CMI) akan
menyebabkan tubuh tidak mampu mengatasi infeksi dan infestasi parasit
dalam usus. Akibatnya, bakteri, virus, parasit, dan jamur akan masuk ke
dalam usus dan berkembang biak dengan leluasa sehingga terjadi over
growth dengan akibat lebih lanjut berupa diare kronik dan malabsorpsi
makanan.
2.1.4. Patofisiologi
Sebagai akibat diare baik akut maupun kronik akan terjadi: (7)
1. Kehilangan air (dehidrasi) merupakan penyebab kematian pada diare.
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak daripada
pemasukan air (input), merupakan penyebab kematian pada diare.
2. Gangguan keseimbangan asam basa (metabolik asidosis).
Metabolik asidosis ini terjadi karena:
a. Kehilangan Na-bikarbonat bersama tinja.
8
b. Adanya ketosis kelaparan. Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga
benda keton tertimbun dalam tubuh.
c. Terjadi penimbunan asam laktat karena adanya anoksi jaringan.
d. Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat
dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguria/anuria).
e. Pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler ke dalam cairan intraseluler.
Secara klinis asidosis dapat diketahui dengan memperhatikan pernafasan.
Pernafasan bersifat cepat, teratur dan dalam, yang disebut pernafasan
Kuszmaull. Pernafasan Kuszmaull ini merupakan homeostasis respiratorik,
adalah usaha tubuh untuk mepertahankan pH darah.
3. Hipoglikemi.
Hipoglikemi terjadi pada 2-3% dari anak-anak yang menderita diare.
Lebih sering pada anak yang sebelumnya sudah menderita kekurangan kalori
protein. Hal ini terjadi karena penyimpanan/persediaan glikogen dalam hati
terganggu dan adanya gangguan absorpsi glukosa (walau jarang terjadi).
Gejala hipoglikemi akan muncul jika kadar glukosa darah menurun sampai 40
mg% pada bayi dan 50mg% pada anak-anak. Gejalanya adalah lemah, apatis,
peka rangsang, tremor, berkeringat, pucat, syok, kejang sampai koma.
4. Gangguan gizi.
Gangguan gizi sering terjadi pada anak yang menderita diare dengan
akibat terjadinya penurunan berat badan dalam waktu yang singkat. Hal ini
disebabkan makanan sering dihentikan karena takut diare dan atau muntah
yang akan bertambah hebat, pemberian susu yang diencerkan, makanan yang
diberikan sering tidak dicerna dan diabsorpsi dengan baik.
5. Gangguan sirkulasi.
Sebagai akibat diare dengan/disertai muntah, dapat terjadi gangguan
sirkulasi darah berupa renjatan (syok) hipovolemik. Akibatnya perfusi
jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat
mengakibatkan perdarahan dalam otak, kesadaran menurun dan bila tidak
segera ditolong penderita dapat meninggal.
9
2.1.5.Manifetasi Klinis
Penularan diare akut karena infeksi melalui transmisi fekal oral langsung
dari penderita diare atau melalui makanan/minuman yang terkontaminasi bakteri
patogen yang berasal dari tinja/manusia atau hewan atau bahan muntahan
penderita. Penularan dapat juga berupa transmisi dari manusia ke manusia lain
melalui udara atau melalui aktifitas seksual kontak oral genital atau oral anal. (8)
Diare akut karena infeksi bakteri yang mengandung/memproduksi toksin
akan menyebabkan diare sekretorik dengan gejala-gejala mual, muntah, dengan
atau tanpa demam yang umumnya ringan, disertai atau tanpa nyeri/kejang perut,
dengan feses lembek/cair. Diare sekretorik yang berlangsung beberapa waktu
tanpa penanggulangan medis yang adekuat dapat menyebabkan kematian karena
kekurangan cairan yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena asidosis
metabolik lanjut. Karena kehilangan cairan, seseorang akan merasa haus, berat
badan berkurang mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor
kulit menurun serta suara menjadi serak. (8)
Kehilangan bikarbonas dan asam karbonas yang berkurang mengakibatkan
penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat pernafasan sehingga
frekuensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (pernafasan Kussmaul). Gangguan
kardiovaskular pada tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan
tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun sampai tidak terukur.
Mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ektremitas dingin dan kadang sianosis
karena kehilangan kalium. Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi
ginjal menurun dengan sangat.(24)
Untuk jelasnya gejala klinik diare dibagi atas: (9)
1. Fase prodromal yang dapat juga disebut sebagai sindrom pradiare: perut
terasa penuh, mual bisa sampai muntah, keringat dingin, pusing.
2. Fase diare: diare dengan segala akibatnya berlanjut yaitu dehidrasi, asidosis,
syok, mules, dapat sampai kejang, dengan atau tanpa panas, pusing.
3. Fase penyembuhan: diare makin jarang, mules berkurang, penderita rasa
lemas/lesu.
Derajat dehidrasi dapat ditentukan berdasarkan: (7)
1. Kehilangan berat badan
10
a. Dehidrasi ringan bila terjadi penurunan berat badan 2,5-5%.
b. Dehidrasi sedang bila terjadi penurunan berat badan 5-10%.
c. Dehidrasi berat bila terjadi penurunan berat badan >10%.
2. Skor Maurice King
Bagian tubuh yang
diperiksa
Nilai untuk gejala yang ditemukan
0 1 2
Keadaan umum
Kekenyalan kulit
Mata
Ubun-ubun besar
Mulut
Denyut nadi/menit
Sehat
Normal
Normal
Normal
Normal
Kuat>120
Gelisah, cengeng,
apatis, ngantuk
Sedikit kurang
Sedikit cekung
Sedikit cekung
Kering
Sedang (120-`140)
Mengingau, koma
atau syok
Sangat kurang
Sangat cekung
Sangat cekung
Kering dan sianosis
>140
Berdasarkan skor yang ditemukan pada penderita, dapat ditentukan derajat
dehidrasinya. Skor 0-2 adalah dehidrasi ringan, skor 3-6 adalah dehidrasi sedang
dan skor>7 adalah dehidrasi berat.
3. Kriteria Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
a. Dehidrasi berat
Terdapat dua atau lebih dari tanda-tanda berikut: letargi atau tidak sadar,
mata cekung, tidak bisa minum atau malas minum, cubitan kulit perut
kembalinya sangat lambat.
b. Dehidrasi sedang
Terdapat dua atau lebih dari tanda-tanda berikut: gelisah, rewel/marah,
mata cekung, haus, minum dengan lahap, cubitan kulit perut kembalinya
lambat.
c. Tanpa dehidrasi
Tidak cukup tanda-tanda untuk diklasifikasikan sebagai dehidrasi berat
atau ringan/sedang.
4. Menurut tonisitas darah
a. Dehidrasi isotonik, bila kadar Na+ dalam plasma anatara 131-150 mEq/L
b. Dehidrasi hipotonik, bila kadar Na+ ≤ 131 mEq/L
11
c. Dehidrasi hipertonik, bila kadar Na+ > 150 mEq/L
2.1.6. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium penting artinya dalam menegakkan diagnosis
kausal yang tepat sehingga kita dapat meberikan obat yang tepat pula. Dalam
praktek sehari-hari, pemeriksaan laboratorium lengkap hanya dikerjakan jika diare
tidak sembuh dalam 5-7 hari. (7)
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dikerjakan: (7)
1. Pemeriksaan tinja:
a. Makroskopik dan mikroskopik.
b. Biakan kuman.
c. Tes resistensi terhadap berbagai antibiotika.
d. pH dan kadar gula, jika diduga intoleransi laktosa.
2. Pemeriksaan darah:
a. Darah lengkap.
b. Pemeriksaan elektrolit, pH dan cadangan alkali.
c. Kadar ureum
3. Intubasi duodenal: pada diare kronik untuk mencari kuman penyebab.
2.1.7. Diagnosis
Demi kepentingan pelayanan sehari-hari diagnosis kerja berdasarkan
gejala klinik seharusnya sudah memadai, dan sudah cukup untuk kepentingan
terapi. Namun demikian diagnosis pasti tetap perlu diupayakan, demi kepentingan
penelitian, pendidikan dan upaya pencegahan pada masyarakat. Langkah
diagnosis sebagai berikut: (9)
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Laboratorium
4. Endoskopi
12
2.1.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara garis besar sebagai berikut: (9)
1. Penerangan pada penderita
2. Diet
3. Simtomatis
4. Antibiotik/anti parasit
5. Mengobati akibat diare (air, elektrolit, nutrisi)
2.1.9. Pencegahan
Tujuh intervensi pencegahan diare yang efektif: (7)
1. Pemberian ASI
2. Memperbaiki makanan sapihan
3. Menggunakan air bersih yang cukup banyak
4. Mencuci tangan
5. Menggunakan jamban keluarga
6. Cara membuang tinja yang baik dan benar
7. Pemberian imunisasi campak
2.2. FAKTOR RISIKO DIARE
Secara umum faktor risiko diare pada dewasa yang sangat berpengaruh
terjadinya penyakit diare yaitu faktor lingkungan (tersedianya air bersih , jamban
keluarga, pembuangan sampah, pembuangan air limbah), perilaku hidup bersih
dan sehat, kekebalan tubuh, infeksi saluran pencernaan, alergi, malabsorpsi,
keracunan, immuno defisiensi serta sebab-sebab lain.
Sedangkan pada balita faktor risiko terjadinya diare selain faktor intrinsik dan
ekstrinsik juga sangat dipengaruhi oleh prilaku ibu atau pengasuh balita karena
balita masih belum bisa menjaga dirinya sendiri dan sangat tergantung pada
lingkungannya, jadi apabila ibu balita atau pengasuh balita tidak bisa mengasuh
balita dengan baik dan sehat (tidak memberikan ASI secara penuh untuk bayi
hingga berumur 6 bulan, menggunakan botol susu yang memudahkan pencemaran
kuman, menyiapkan makanan pada suhu kamar sehingga makanan akan tercemar
13
dan kuman akan berkembangbiak, menggunakan air minum yang tercemar, tidak
mencuci tangan dengan air dan sabun setelah buang air besar. maka kejadian diare
pada balita tidak dapat dihindari. (10)
Menurut Hendrik L Blum terdapat empat faktor yang berpengaruh
langsung pada kesehatan dan mempengaruhi satu sama lainnya. Status kesehatan
akan tercapai optimal bila mana keempat faktor tersebut secara bersama-sama
memiliki kondisi yang optimal pula. (6)
2.2.1. Karakteristik Ibu
Menurut Depkes tahun 1993 karakteristik ibu yang menentukan perannya
dalam penanggulangan penyakit diare anak antara lain: (11)
a. Tingkat pendidikan
Pendidikan orang tua khususnya ibu sangat berpengaruh terhadap
kesehatan keluarga. Pada umumnya seorang ibu berperan dalam pemeliharaan
kesehatan anak, ibu yang berpendidikan baik akan mempunyai wawasan yang
cukup untuk memelihara kesehatan anaknya. (11)
Jenjang pendidikan memegang peranan cukup penting dalam kesehatan
masyarakat. Pendidikan masyarakat yang rendah menjadikan mereka sulit
untuk diberi tahu mengenai pentingnya kebersihan diri dan sanitasi lingkungan
untuk mencegah terjangkitnya penyakit menular, diantaranya diare. Dengan
sulitnya mereka menerima penyuluhan, menyebabkan mereka tidak peduli
terhadap upaya pencegahan penyakit menular. (12)
Masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi lebih
berorientasi pada tindakan preventif, mengetahui lebih banyak tentang masalah
kesehatan dan memiliki status kesehatan yang lebih baik. Pada perempuan,
semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin rendah angka kematian bayi dan
kematian ibu. (12)
b. Jenis pekerjaan
Karakteristik pekerjaan seseorang dapat mencerminkan pendapatan,
pendidikan, status sosial ekonomi, masalah kesehatan yang berhubungan
dengan pekerjaannya maupun memperkirakan waktu yang dimiliki seseorang
untuk melakukan hal-hal diluar jam kerjanya. (12)
14
Status bekerja secara otomatis akan mengurangi perhatian ibu terhadap
anaknya, diman ahl ini dapat berakibat pada gangguan perkembangan fisik,
mental, dan status kesehatan anak (11)
c. Pengetahuan Ibu
Definisi Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari tahu dan pengalaman
seseorang dalam melakukan penginderaan terhadap suatu rangsangan tertentu.
Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (overt behavior). (6)
Notoatmodjo (2003) mendefinisikan pengetahuan merupakan hasil dari
tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu
objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan dan perabaan. Dan sebagian
besar besar pengetahuan manusia diperoleh melalui penglihatan dan
pendengaran. Hanya sedikit yang diperoleh melalui penciuman, perasaan dan
perabaan. (6)
Klasifikasi Pengetahuan
Kedalaman pengetahuan yang diperoleh seorang terhadap suatu
rangsangan dapat diklasifikasikan berdasarkan enam tingkatan, yakni: (6)
1. Tahu (know)
Merupakan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya,
termasuk ke dalam tingkatan ini adalah mengingat kembali (recall)
terhadap suatu spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan
yang telah diterima. Oleh karena itu, tahu merupakan tingkatan
pengalaman yang paling rendah.
2. Memahami (comprehension)
Merupakan suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar objek yang
diketahui. Orang telah paham akan objek atau materi harus mampu
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan
sebagainya terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi(application)
Kemampuan dalam menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi
15
dan kondisi yang sebenarnya.
4. Analisis (analysis)
Kemampuan dalam menjabarkan materi atau suatu objek dalam
komponen-komponen,dan masuk ke dalam struktur organisasi tersebut.
5. Sintesis (synthesis)
Kemampuan dalam meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di
dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6. Evaluasi (evaluation)
Kemampuan dalam melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Tabel 2.1. Tingkatan Pengetahuan Berdasarkan Kedalaman Pengetahuan
Tingkat
Pengetahua
n
Tahu Faham Aplikasi Analisis Sintesis Evaluasi
KURANG + +
CUKUP + + + +
BAIK + + + + + +
Indikator Pengetahuan Kesehatan
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan seseorang, ada beberapa indikator
yang dapat digunakan dan dikelompokkan menjadi: (6)
a. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit yang meliputi penyebab penyakit,
gejala atau tanda-tanda penyakit, cara pengobatan dan kemana mencari
pengobatan, cara penularan dan cara pencegahan suatu penyakit.
b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat
meliputi jenis-jenis makanan bergizi, manfaat makanan bergizi bagi
kesehatan, pentingnya olahraga bagi kesehatau, bahaya merokok,
minuman keras, narkoba,dsb, pentingnya istirahat cukup , relaksasi dsb.
c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan meliputi manfaat air bersih,cara
pembunugan limbah yang sehat, manfaat pencahayaan dan penerangan
rurnah yang sehat, dan akibat yang ditimbulkan polusi bagi kesehatan.
16
2.2.2. Karakteristik Balita
a. Umur balita
Periode penting dalam tumbuh kembang adalah masa balita, karena pada
masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan
perkembangan anak selanjutnya. Pada masa balita ini perkembangan
kemampuan berbahasa, kreativitas, kesadaran sosial, emosional dan
intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan
berikutnya. (13)
Pembagian umur balita berdasarkan pertumbuhan dan perkembangannya
menurut Markum, A.H (1991) yaitu: (14)
1. Kelompok umur 9-12 bulan
2. Kelompok umur 12-18 bulan
3. Kelompok umur 18-24 bulan
4. Kelompok umur 2-3 tahun
5. Kelompok umur 3-4 tahun
6. Kelompok umur 4-5 tahun
Untuk keperluan perbandingan maka WHO menganjurkan pembagian
umur untuk mempelajari penyakit anak sebagai berikut: (15)
1. 0-4 bulan
2. 5-10 bulan
3. 11-23 bulan
4. 2-4 tahun
5. 5-9 tahun
6. 9-14 tahun
Semakin muda umur balita semakin besar kemungkinan terkena diare,
karena semakin muda umur balita keadaan integritas mukosa usus masih belum
baik, sehingga daya tahan tubuh masih belum sempurna. (16)
17
Kejadian diare terbanyak menyerang anak usia 7 – 24 bulan, hal ini terjadi
karena : (16)
Bayi usia 7 bulan ini mendapat makanan tambahan diluar ASI dimana
risiko ikut sertanya kuman pada makanan tambahan adalah tinggi
(terutama jika sterilisasinya kurang).
Produksi ASI mulai berkurang, yang berarti juga antibodi yang masuk
bersama ASI berkurang. Setelah usia 24 bulan tubuh anak mulai
membentuk sendiri antibodi dalam jumlah cukup (untuk mekanisme
pertahanan tubuh), sehingga serangan virus berkurang.
b. Riwayat pemberian ASI eksklusif
ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare. Pada bayi yang tidak
diberi ASI eksklusif secara penuh selama 6 bulan maka risiko untuk
menderita diare lebih besar dari pada bayi yang diberi ASI penuh dan
kemungkinan menderita dehidrasi berat juga lebih besar. Pada bayi yang baru
lahir, pemberian ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4 kali lebih besar
terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu formula.
(16)
c. Pemberian imunisasi campak
Diare sering timbul menyertai campak, sehingga pemberian imunisasi
campak juga dapat mencegah diare. Oleh karena itu segera memberikan anak
imunisasi campak setelah berumur 9 bulan. Diare sering terjadi dan berakibat
berat pada anak-anak yang sedang menderita campak, hal ini sebagai akibat
dari penurunan kekebalan tubuh penderita. (16)
2.2.3. Kebersihan Diri Ibu
Definisi kebersihan diri ialah kegiatan atau aktivitas ibu dalam mencegah
diare akut pada balita yang dimilikinya, dengan menjaga kebersihan diri yaitu
mencuci tangan itu sebagai salah satu cara untuk mencegah terjadinya transmisi
penyakit selama menyiapkan makanan maupun ketika memberikan makanan pada
balita khususnya sebelum memegang makanan dan setelah buang air besar atau
menvebok anaknya. Cara ini merupakan cara yang paling mudah untuk
disosialisasikan pada warga. Mencuci tangan juga harus disesuaikan dengan
18
prosedur yang direkomendasikan oleh WHO yaitu dengan menggunakan air
mengalir dan menggunakan sabun selama minimal 20 detik dan kemudian
dikeringkan dengan menggunakan handuk atau kain bersih. Selanjutnya dikatakan
pula bahwa hendaknya dalam mencuci tangan kuku disikat hingga bersih, oleh
karena itu untuk menjaga kesehatan maka kuku hendaknya dipotong setiap satu
minggu sekali. (17)
2.2.4. Sanitasi makanan
Berdasarkan definisi dari WHO, makanan adalah semua substansi yang
dibutuhkan oleh tubuh tidak termasuk air, obat-obatan, dan substansi-substansi
lain yang digunakan untuk pengobatan. (18) Empat fungsi pokok makanan bagi
kehidupan manusia adalah untuk memelihara proses tubuh dalam perkembangan
serta mengganti jaringan tubuh yang rusak, memperoleh energi guna melakukan
kegiatan sehari-hari, mengatur metabolisme dan mengatur berbagai keseimbangan
air, mineral dan cairan tubuh yang lain serta berperan dalam mekanisme
pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit. (6)
Sanitasi makanan adalah upaya-upaya yang ditujukan untuk kebersihan
dan keamanan agar tidak menimbukan bahaya keracunan dan penyakit pada
manusia. Dengan demikian, tujuan sebenarnya dari upaya sanitasi makanan,
antara lain: (18)
1. Menjamin keamanan dan kebersihan makanan.
2. Mencegah penularan wabah penyakit.
3. Mencegah beredarnya produk makanan yang merugikan masyarakat.
4. Mengurangi tingkat kerusakan atau pembusukan makanan.
Di dalam upaya sanitasi makanan ini, terdapat beberapa tahapan yang
harus diperhatikan, seperti berikut ini: (18)
1. Keamanan dan kebersihan produk makanan.
2. Kebersihan individu dalam pengolahan produk makanan.
3. Keamanan terhadap penyediaan air.
4. Pengelolaan pembuangan air limbah dan kotoran.
5. Perlindungan makanan terhadap kontaminasi selama proses pengolahan,
penyajian, dan penyimpanan.
19
6. Pencucian dan pembersihan alat perlengkapan.
Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk dapat
menyelenggarakan sanitasi makanan yang efektif. Faktor-faktor tersebut berkaitan
dengan makanan, manusia, dan peralatan. (18)
1. Faktor makanan
Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan faktor makanan, antara
lain:
a. Sumber bahan makanan, apakah diperoleh dari hasil pertanian,
peternakan, perikanan, atau lainnya, sumber bahan makanan harus
memenuhi persyaratan sanitasi untuk mencegah terjadinya kontaminasi
atau pencemaran. Contoh, hasil pertanian tercemar dengan pupuk kotoran
manusia atau dengan insektisida.
b. Pengangkutan bahan makanan harus memenuhi persyaratan sanitasi,
misalnya, apakah sarana pengangkutan memiliki alat pelindung dan
tertutup. Pengangkutan tersebut dilakukan baik dari sumber ke pasar
maupun dari sumber ke tempat penyimpanan. Contoh, mengangkut
daging dan ikan dengan menggunakan alat pendingin.
c. Penyimpanan bahan makanan harus memenuhi syarat sanitasi sebagai
berikut:
Tempat penyimpanan dibangun sedemikian rupa sehingga binatang
seperti tikus atau serangga tidak bersarang.
Jika akan menggunakan rak, harus disediakan ruang untuk kolong
agar mudah membersihkannya.
Suhu udara dalam gudang tidak lembab untuk mencegah terjadinya
jamur.
Memiliki sirkulasi udara yang cukup.
Memiliki pencahayaan yang cukup.
Dinding bagian bawah dari gudang harus dicat putih agar
mempermudah melihat jelas jejak tikus (jika ada).
Harus ada jalan dalam gudang.
d. Pemasaran makanan memnuhi persyaratan sanitasi antara lain kebersihan,
pencahayaan, sirkulasi udara, dan memiliki alat pendingin.
20
e. Pengolahan makanan
f. Penyajian makanan
g. Penyimpanan makanan
2. Faktor manusia
Orang-orang yang bekerja pada tahapan di atas juga harus memenuhi
persyaratan sanitasi, seperti kesehatan dan kebersihan individu, tidak
menderita penyakit infeksi, dan bukan carrier dari suatu penyakit.
3. Faktor peralatan
Kebersihan dan cara penyimpanan peralatan pengolahan makanan harus juga
memenuhi persyaratan sanitasi.
Berikut beberapa tipe penyakit yang menyerang manusia berkaitan dengan
makanan: (18)
1. Foodborne disease
Foodborne disease (penyakit bawaan makanan) adalah suatu gejala penyakit
yang terjadi akibat mengkonsumsi makanan yang mengandung
mikroorgasnisme atau toksin baik yang berasal dari tumbuhan, bahan kimia,
kuman, maupun binatang.
2. Food infection
Food infection adalah suatu gejala penyakit yang muncul akibat masuk dan
berkembangbiaknya mikroorganisme dalam tubuh (usus) manusia melalui
makanan yang dikonsumsinya.
3. Food intoxication
Food intoxication adalah suatu gejala penyakit yang muncul akibat
mengkonsumsi makanan yang mengandung racun atau mengkonsumsi racun
yang ada dalam makanan.
2.2.5. Sanitasi Lingkungan
Penularan penyakit diare sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana
sebagian besar penularan melalui faecal oral yang sangat dipengaruhi oleh
perilaku hidup sehat dari keluarga, ketersediaan sarana air bersih, jamban
keluarga yang memenuhi syarat kesehatan, pembuangan sampah pada tempatnya
dan pengelolaan air limbah. (12)
21
Pencegahan diare dapat dilakukan dengan menerapkan prilaku hidup bersih
sehat, penyediaan fasilitas jamban keluarga yang disertai dengan penyediaan air
yang cukup, baik kuantitas maupun kualitasnya. Selain itu upaya tersebut harus
diikuti dengan peningkatan pengetahuan dan sosial ekonomi masyarakat, karena
tingkat pendidikan dan ekonomi seseorang dapat berpengaruh pada upaya
perbaikan lingkungan. (16)
22
Pengetahuanmpah
Pendidikan
Pekerjaan
Variable yang diteliti
Variable yang tidak diteliti
BAB III
KERANGKA TEORI DAN KONSEP
3.1. Kerangka Teori
Keterangan :
23
Diare akut pada Balita
Sanitasi lingkungan
Karakteristik balita
Karakteristik ibu
Kebersihan diri ibu
Sanitasi makanan
Pembuangan tinja
Pembuangan air limbah
Pembuangan sampah
Kebersihan rumah
Penyediaan air bersih
Variabel Independent
Pengetahuan ibu Kebersihan diri ibuSanitasi makanan
3.2. Kerangka konsep
3.3. Hipotesis
1. H0 : tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan
terjadinya diare akut pada balita.
H1 : terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan terjadinya
diare akut pada balita.
2. H0 : tidak terdapat hubungan antara kebersihan diri ibu dengan terjadinya
diare akut pada balita.
H1 : terdapat hubungan antara kebersihan diri ibu dengan terjadinya diare
akut pada balita.
3. H0 : tidak terdapat hubungan antara sanitasi makanan dengan dengan
terjadinya diare akut pada balita.
H1 : terdapat hubungan antara sanitasi makanan dengan terjadinya diare akut
pada balita.
24
Variabel Dependent
Diare akut pada balita
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian cross sectional
yang merupakan salah satu bentuk studi observasional (non-eksperimental).
Dalam penelitian cross sectional, variabel bebas (faktor resiko) dan variabel
tergantung (efek) dinilai secara simultan pada satu saat. Jadi tidak ada follow-up
pada jenis penelitian ini.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1. Lokasi Penelitian
Kelurahan Rawa Makmur Kecamatan Palaran Samarinda Kalimantan
Timur.
4.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Juni tahun 2011 .
4.3. Populasi Dan Sampel Penelitian
4.3.1. Populasi Penelitian
Populasi adalah seluruh ibu yang memiliki anak berusia 1 tahun
hingga kurang dari 5 tahun yang berdomisili di Kecamatan Palaran.
4.3.2. Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah ibu yang memiliki anak berusia 1 tahun
hingga kurang dari 5 tahun yang berdomisili di Kelurahan Rawa Makmur
Kecamatan Palaran pada bulan Mei 2011.
25
4.3.3. Besar sampel
Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 60 balita (30 balita diare akut
dan 30 balita yang tidak mengalami diare) .
4.3.4. Cara Pengambilan Sampel
Pemilihan sampel mengunakan purposive sampling.
4.4. Kriteria Sampel
A. Kriteria Inklusi
1. Ibu yang memiliki balita yang terdiagnosis diare akut
2. Anak berusia 1 tahun hingga kurang dari 5 tahun.
3. Pasien yang berobat ke IGD Puskesmas Rawat Inap Palaran dari
tanggal 1 Mei 2011 sampai dengan tanggal 31 Mei 2011.
4. Pasien berdomisili di Kelurahan Rawa Makmur, Kecamatan Palaran,
kota Samarinda
B. Kriteria Eklusi
1. Ibu yang menolak berpartisipasi.
2. Rumah yang terpilih sebagai sampel tidak ada orangnya.
3. Alamat tidak lengkap dan susah untuk ditemukan.
4.5. Variabel penelitian
4.5.1. Variabel dependen (bebas)
1. Pengetahuan ibu mengenai diare
2. Kebersihan diri ibu
3. Sanitasi makanan
4.5.2. Variabel independen (terikat)
Diare akut pada balita
26
4.6 Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
4.6.1 Diare akut
Definisi operasional : Bertambahnya frekuensi defekasi yang meningkat
dari biasanya atau lebih dari tiga kali sehari, disertai perubahan konsistensi
tinja (menjadi cair), dengan/tanpa darah dan/atau lendir dalam tinja yang
terjadi selama ≤ 14 hari.
Kriteria objektif :
Ya : Ibu yang memiliki balita yang menderita diare akut yang
ditetapkan berdasarkan diagnosis dokter IGD Puskesmas Rawat Inap
Palaran pada bulan Mei 2011 yang berdomisili di Kelurahan Rawa
makmur Kecamatan Palaran.
Tidak : Ibu yang memiliki balita yang sehat (tidak sakit) pada bulan
Mei 2011 yang berdomisili di Kelurahan Rawa makmur Kecamatan
Palaran.
4.6.2 Balita
Definisi Operasional: kelompok anak usia 1 sampai dengan kurang dari 5
tahun .
4.6.2 Pengetahuan
Definisi Operasional: pengetahuan responden mengenai definisi, gejala,
cara penularan, prinsip penanganan dan pencegahan diare akut pada
balita.
Kriteria Objektif:
Pengetahuan baik : Jika skor yang diperoleh > 4
Pengetahuan kurang : Jika skor yang diperoleh ≤ 4
4.6.3 Kebersihan diri
Definisi Operasional: Pengakuan responden tentang perilaku kebiasaan
mencuci tangan dengan sabun, mengeringkan tangan setelah mencuci
tangan, dan memotong kuku.
27
Kriteria Objektif:
Memenuhi syarat : Jika skor yang diperoleh > 4
Tidak memenuhi syarat : Jika skor yang diperoleh ≤ 4
4.6.4 Sanitasi makanan
Definisi Operasional: Pengakuan dan pengamatan terhadap tempat tinggal
responden tentang sanitasi makanan.
Kriteria Objektif:
Memenuhi syarat : Jika skor yang diperoleh > 3
Tidak memenuhi syarat : Jika skor yang diperoleh ≤ 3
4.7. Cara pengumpulan Data
a. Data Primer
Data diperoleh melalui wawancara terpimpin dan pengisian kuisioner
di rumah responden.
b. Data Sekunder
Data diperoleh dari rekam medis penderita diare IGD Puskesmas
Rawat Inap Palaran pada bulan Mei 2011 yang berdomisili di
Kelurahan Rawa Makmur Kecamatan Palaran .
c. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.
4.9 Pengolahan dan Penyajian Data
4.9.1 Pengolahan data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer program
Microsoft Excel dan SPSS.
4.9.2 Penyajian Data
Penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel, gambar, dan narasi.
28
4.10 Analisis Data
4.10.1 Analisis Univariat
Dilakukan dengan mendiskripsikan masing-masing karakteristik
responden, yaitu berdasarkan usia balita, jenis kelamin balita, usia ibu, tingkat
pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tingkat pendapatan keluarga, riwayat ASI ekslusif,
riwayat imunisasi campak serta masing-masing variabel penelitian yaitu
pengetahuan ibu, kebersihan diri ibu, dan sanitasi makanan (variabel bebas) dan
diare akut pada balita (variabel terikat) dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan
persentase.
4.10.1 Analisis Bivariat
Mencari hubungan antara pengetahuan ibu, kebersihan diri ibu, dan
sanitasi makanan dengan kejadian diare pada balita menggunakan uji Chi-Square
dan uji Fisher, dan menghitung rasio odds. Jika nilai p ≤0,05 maka berarti
terdapat hubungan.
29
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan dari 15 Juni- 25 Juni 2011 diperoleh sampel
sebanyak 60 orang responden yang terdiri dari 30 merupakan ibu dari balita yang
mengalami diare akut dan 30 adalah ibu dari balita yang tidak mengalami diare
akut. Penelitian ini dilakukan di wilayah Kelurahan Rawa Makmur karena
prevalensi tertinggi diare akut pada balita ialah pada kelurahan Rawa Makmur
dibandingkan dengan empat kelurahan lainnya di Kecamatan Palaran. Data primer
dikumpulkan dengan melakukan wawancara terpimpin dengan responden,
sedangkan data sekunder diambil dari buku data penderita diare Puskesmas Rawat
Inap Palaran pada bulan Mei 2011 yang berdomisili di Kelurahan Rawa Makmur
Kecamatan Palaran. Adapun gambarannya dapat dilihat melalui tabel dan gambar
berikut.
5.1 ANALISIS URIVARIAT
Analisis univariat meliputi deskripsi dari masing-masing karakteristik
responden, yaitu berdasarkan usia balita, jenis kelamin balita, usia ibu, tingkat
pendidikan ibu, pekerjaan ibu, tingkat pendapatan keluarga, riwayat ASI ekslusif,
riwayat imunisasi campak serta masing-masing variabel penelitian yaitu
pengetahuan ibu, kebersihan diri ibu, dan sanitasi makanan (variabel bebas) dan
diare akut pada balita (variabel terikat) dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan
persentase.
5.1.1. Deskripsi Karakteristik Subyek Penelitian
5.1.2. Usia Balita
5.1.3. Jenis Kelamin Balita
5.1.4. Usia Ibu
5.1.5. Tingkat Pendidikan Ibu
30
5.1.6. Tingkat Pendidikan Ibu
5.1.7. Tingkat Pendapatan Keluarga
5.1.8. Riwayat ASI Ekslusif
Balita yang memperoleh ASI ekslusif akan memiliki kekebalan
atau antibodi yang lebih tinggi terhadap infeksi baik karena bakteri, virus,
parasit dan antigen lainnya. ASI mengandung faktor-faktor antivirus yang
dapat melawan penyebab tersering diare akut pada balita yakni rotavirus
melalui antibodi berupa imunoglobulin (Ig) A sekretori, makromolekul
dan non immunoglobulin yakni mucin yang ditemukan di membran dari
butiran lemak. Mucin terdiri dari beberapa molekul kecil, glikoprotein
70kDa ( butyrophilin ) dan lactadherin (19)
Lactadherin adalah glikoprotein 46 kDa yang diproduksi sel epitel
payudara selama menyusui. Lactadherin berfungsi sebagai penghambat
kompetitif untuk melindungi dari infeksi rotavirus dengan cara
mengikatkan diri pada virus tersebut sehingga menghambat perlekatan
virus dengan reseptor sel pejamu. (19)
5.1.9. Riwayat Imunisasi Campak
5.1.10. Pengetahuan Ibu
5.1.11. Kebersihan Diri Ibu
Variabel
Kelompok
Jumlah %Diare AkutNon Diare Akut
Kebiasaan mencuci tangan N % n %
Tidak memenuhi syarat 9 60 3 20 12 40
Memenuhi syarat 6 40 12 80 18 60
5.1.12. Sanitasi Makanan
31
Tabel 5.15 Distribusi Sanitasi Makanan di Kelurahan Rawa Makmur
Kecamatan Palaran Kota Samarinda Mei 2011
Variabel
Kelompok
Jumlah %Diare AkutNon Diare Akut
Sanitasi Makanan N % n %
Tidak memenuhi syarat 4 27 0 0 4 13
Memenuhi syarat 11 73 15 100 26 87
Tabel 5.16 Distribusi Pembersihan Alat Makan/Botol Susu di Kelurahan Rawa Makmur Kecamatan Palaran Kota Samarinda Mei 2011
Pembersihan alat makan/botol susu
Kelompok
Jumlah %Diare AkutNon Diare
Akut
n % N %
Direbus 4 28 4 28 8 17
Siram air panas 4 28 1 8 5 18
Siram air matang 1 8 0 0 1 3
Cuci air mentah 5 36 9 64 14 50
5.2. ANALISIS BIVARIAT
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan
antara variabel terikat dengan variabel bebas. Jenis hipotesis yang digunakan
adalah hipotesis hubungan yang akan menjawab apakah antara variabel terikat dan
variable bebas terdapat hubungan atau tidak. Variabel bebas yang diteliti
merupakan variable nominal yang terdiri dari pengetahuan ibu, kebersihan diri ibu
dan sanitasi makanan.
32
Berdasarkan variabel bebas yang diteliti dalam penelitian ini maka
digunakanlah uji statistik chi square untuk mencari hubungan pengetahuan ibu,
kebersihan diri ibu dan sanitasi makanan dengan terjadinya artritis gout.
5.2.1.Pengetahuan Ibu dengan Diare Akut pada Balita
Hasil analisis hubungan antara pengetahuan ibu dengan terjadinya diare
akut pada balita, diperoleh bahwa sampel terbanyak dalam penelitian ini ialah ibu
balita dengan pengetahuan baik yakni berapa orang. Hasil uji statistik dengan
menggunakan uji chi square memperoleh nilai significancy sebesar 0,93.
Didapatnya nilai p>0,05 ini maka dapat disimpulkan tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan kejadian diare akut pada balita.
5.2.2.5.2.2 Kebersihan Diri Ibu dengan Diare Akut pada Balita
Hasil analisis hubungan antara kebersihan diri ibu dengan terjadinya diare
akut pada balita, diperoleh bahwa sampel terbanyak dalam penelitian ini ialah ibu
balita dengan kebersihan diri yang tidak baik yakni berapa orang. Hasil uji
statistik dengan menggunakan uji chi square memperoleh nilai significancy
sebesar 0,93. Didapatnya nilai p<0,05 ini maka dapat disimpulkan terdapat
hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan terjadinya diare akut
pada balita.
5.2.3.Sanitasi Makanan dengan Diare Akut pada Balita
Hasil analisis hubungan antara sanitasi makanan dengan terjadinya diare
akut pada balita, diperoleh bahwa sampel terbanyak dalam penelitian ini ialah ibu
33
balita dengan sanitasi makanan yang tidak baik yakni berapa orang. Hasil uji
statistik dengan menggunakan uji chi square memperoleh nilai significancy
sebesar 0,93. Didapatnya nilai p<0,05 ini maka dapat disimpulkan terdapat
hubungan yang bermakna antara sanitasi makanan dengan terjadinya diare akut
pada balita.
)
34
BAB VI
PEMBAHASAN
Pembahasan mengenai “Hubungan Antara Pengetahuan Ibu, Kebersihan
Diri Ibu dan Sanitasi Makanan dengan Kejadian Diare Akut pada Balita di
Kelurahan Rawa Makmur Kecamatan palaran” diuraikan dalam bentuk analisis
deskriptif dan analitik sesuai dengan tujuan penelitian.
6.1. Gambaran Sampel
Hasil penelitian yang dilakukan pada 30 kasus diare akut paahan Rawa
Makmur Kecamatan Palaran da balita di kelu bsebanyak 44 orang (41,5%) dan
yang bukan diare akut sebanyak 62 orang (58,5%). Jumlah penderita tanpa artritis
gout lebih banyak daripada penderita artritis gout dalam sampel penelitian ini.
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 80 orang responden di Kelurahan
Rawa Makmur Kecamatan Palaran ditemukan bahwa 68% responden melakukan
pemberian ASI eksklusif. Hal ini sangat bertolak belakang dengan pencapaian ASI
eksklusif Puskesmas Palaran bulan Januari – Juli 2010 yang hanya 7,24%.
Dalam penelitian ini, jenis kelamin bayi paling banyak adalah laki-laki yaitu
sebesar 52%.Tingkat pendidikan ibu paling banyak adalah setingkat SMA yaitu
sebesar 58,75%. Pendapatan keluarga masihlah rendah yaitu sebanyak 50%
keluarga responden berpenghasilan Rp 1.000.000,00 – Rp 2.000.000,00. Agama ibu
yang paling banyak adalah Islam yaitu sebesar 95%.
Pekerjaan ibu yang paling banyak adalah Ibu Rumah Tangga yaitu sebesar
88,75%. Hal ini mungkin yang menyebabkan 68% responden memberikan ASI
eksklusif karena mempunyai waktu yang cukup untuk menyusui anaknya ibu yang
bekerja, tapi hal ini masih perlu diteliti lagi apakah ada hubungan. Pengetahuan ibu
tentang ASI eksklusif sebanyak 64% baik, dan 36% sedang. Tetapi berbeda dengan
sikap ibu yang sebanyak 60% tidak baik dan 40% baik.
35
6.2. Hubungan antara Pengetahuan Ibu dengan Diare Akut pada Balita
Berdasarkan hasil penelitian ini, disimpulkan tidak ada perbedaan
bermakna antara pengetahuan ibu yang memiliki balita diare akut dengan
ibu yang memiliki balita non diare akut. Hal ini ini sejalan dengan
penelitian Iin Dwi Yuliarti (2006) yang menyimpulkan bahwa perilaku
menyusui eksklusif tidak dipengaruhi secara bermakna oleh pengetahuan
ibu di Kabupaten Sragen (p = 0.11).
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tetentu. Penginderaan
terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan,
pendengaran, rasa dan raba. Sebagian besear pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan
factor yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.
Dalam hal pengetahuan sebanyak 43 responden atau 45,6 % dari jumlah
responden telah mengetahui pengertian diare.
Menurut Widoyono penyakit diare dapat dicegah melalui promosi
kesehatan
Namun hasil ini bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Resy Tesya Mulianda (2010) yang menyimpulkan bahwa terdapat Hubungan
Pengetahuan dan Sikap Ibu terhadap Pemberian ASI Eksklusif di Posyandu
Delima II Desa Baru Dusun II Batang Kuis Tahun 2010 (p = 0,031). Hal ini bisa
saja terjadi karena kemungkinan antara lain adanya waktu, dan lokasi penelitian
yang berbeda yang menyebabkan berbedanya rangsangan sehingga perilaku yang
terbentuk menjadi berbeda pula.
Pengetahuan dapat diklasifikasikan berdasarkan enam tingkatan yaitu tahu,
memahami, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.Pengetahuan kurang berarti
hanya sebatas tahu dan memahami, sedangkan pengetahuan sedang berarti sampai
36
tahap aplikasi dan analisis, sedangkan pengetahuan baik berarti sudah bisa hingga
tahap sintesis dan evaluasi.
Dari penelitian ini, pengetahuan ibu tentang ASI eksklusif sebanyak 64% baik
dan 36% sedang sedangkan dari Mann-Whitney test disimpulkan tidak ada
perbedaan bermakna antara pengetahuan pada ibu ASI eksklusif dengan ibu non
ASI eklusif. Berarti sebagian besar ibu baik yang memberikan ASI ekslusif
ataupun tidak sebenarnya mempunyai pengetahuan yang baik. Tentunya hasil ini
ini tidak sesuai dengan harapan karena seharusnya terdapat hubungan antara
pengetahuan dgn pemberian ASI ekslusif.
Hal ini mungkin disebabkan kuesioner yang digunakan hanya berisi
pertanyaan-pertanyaan yang mendasar sehingga sebagian besar ibu baik yang
memberikan ASI ekslusif ataupun non ekslusif bisa menjawab sebagian besar
pertanyaan dengan benar. Kuesioner yang digunakan pada penelitian ini dibuat
sendiri oleh peneliti karena peneliti sudah berusaha mencari kuesioner dari
penelitian serupa yg pernah dilakukan tetapi peneliti tidak berhasil mendapatkan
kuesioner dimaksud. Peneliti menyadari bahwa dalam pembuatan kuesioner ini
masihlah banyak kekurangan karena pembuatan kuesioner yang baik sangatlah
susah dan memerlukan pengalaman tersendiri. Peneliti menilai dalam kuesioner
ini perlu ditambahkan pertanyaan-pertanyaan mengenai masalah-masalah yang
sering menghambat ibu dalam memberikan ASI ekslusif dan cara mengatasinya
sehingga diharapkan hasil yang didapatkan pada penelitian berikutnya bisa lebih
baik lagi.
Perilaku memberikan ASI ekslusif sebenarnya merupakan reaksi dari suatu
rangsangan tertentu. Bentuk reaksi (perilaku) dapat berupa covert behavior dan
overt behavior. Covert behavior yaitu yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak
secara langsung dapat terlihat oleh orang lain contohnya ibu tahu bahwa
pemberian ASI eksklusif dapat melindungi bayi dari penyakit infeksi, tetapi ibu
tidak melakukannya. Sedangkan bila ibu memberikan ASI eksklusif disebut overt
behavior karena perilaku ibu sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata. Dalam
penelitian di Kelurahan Rawa Makmur Kecamatan Palaran ini, perilaku yang
dinilai adalah covert behavior karena banyak ibu yang mengerti akan pentingnya
37
ASI eksklusif tapi tidak melakukannya dikarenakan berbagai alasan misalnya,
anak rewel, ASI kurang, sibuk bekerja, dll. Hal ini disebabkan karena
pengetahuan ibu tentang ASI ekslusif masih berupa hal-hal yang mendasar dan
masih belum mencakup mengenai cara menangani masalah-masalah sederhana
misalnya ibu yang bekerja dapat menampung ASI dan didinginkan di kulkas
sehingga bisa diberikan pada anaknya bila diperlukan.
6.2. Hubungan Kebersihan Diri Ibu dan Diare Akut pada Balita
Berdasarkan hasil penelitian ini, menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
perilaku kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare pada balita. Dari hasil
analisis bivariat diperoleh pula nilai OR=6,000, artinya ibu dengan kebiasaan
mencuci tangan yang tidak memenuhi syarat meningkatkan risiko terjadinya diare
pada balita sebesar 6,000 kali lebih besar dibandingkan ibu dengan kebiasaan
mencuci tangan memenuhi syarat. Hal ini sejalan dengan penelitian Pramudhy
(2007) yang menyimpulkan bahwa mencuci tangan setelah membersihkan balita
dari buang air besar merupakan variabel yang paling dominan berhubungan
dengan kejadiaan diare.(20) Hasil ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Anissa (2009) yang menyatakan bahwa kebiasaan mencuci tangan
berhubungan dengan kejadian diare pada balita di Puskesmas Lempake
Samarinda.
Namun hasil ini bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Ratnawati (2006) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
bermakna antara perilaku cuci tangan ibu dengan kejadian diare pada balita (nilai
p=0,137).6 Hal ini bisa saja terjadi karena kemungkinan antara lain adanya waktu,
dan lokasi penelitian yang berbeda yang menyebabkan berbedanya rangsangan
sehingga perilaku yang terbentuk menjadi berbeda pula.(15)
Suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.
Bentuk reaksi (perilaku) dapat berupa covert behavior dan overt behavior. Covert
behavior yaitu yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat
terlihat oleh orang lain contohnya ibu tahu bahwa kebiasaan mencuci tangan pakai
sabun dapat mencegah suatu penyakit tertentu, tetapi ibu tidak melakukannya.
Sedangkan bila ibu sudah melakukan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun
38
secara baik disebut overt behavior karena perilaku ibu sudah tampak dalam
bentuk tindakan nyata.(15) Dalam penelitian di Kelurahan Rawa Makmur
Kecamatan Palaran ini, perilaku yang dinilai adalah overt behavior karena
perilaku jelas dapat diobservasi secara langsung.
Kebiasaan mencuci tangan tidak memenuhi syarat pada kelompok kasus
sebesar 60%, pada kelompok kontrol 20%. Tidak memenuhi syarat karena
responden tidak mencuci tangan dengan sabun pada waktu-waktu wajib yang
telah ditentukan oleh Pusat Promosi Kesehatan yaitu setelah dari jamban, setelah
menceboki anak, sebelum memberi makan anak, sebelum menyiapkan makanan,
serta cara mencuci tangan yang tidak benar.(19) Sebanyak 80% responden
mengatakan bahwa mencuci tangan dengan sabun setelah dari jamban, 80%
responden mengatakan mencuci tangan dengan sabun setelah menceboki anak,
67% responden mengatakan mencuci tangan dengan sabun sebelum memberi
makan anak, dan 43% responden mengatakan mencuci tangan dengan sabun
sebelum menyiapkan makanan.
Kebiasaan mencuci tangan memenuhi syarat pada kelompok kontrol sebesar
80%. Angka persentase ini menunjukkan bahwa kebiasaan mencuci tangan
dengan sabun dan cara mencuci tangan yang benar mampu mencegah terjadinya
diare. Perilaku cuci tangan pakai sabun telah terbukti secara ilmiah sebagai cara
yang efektif untuk mencegah diare jika dilakukan pada saat-sat yang tepat. Hasil
studi WHO tahun 2007 membuktikan angka kejadian diare dapat menurun sebesar
45% dengan perilaku mencuci tangan pakai sabun.(20)
Walaupun demikian, masih terdapat 40% ibu yang kebiasaan mencuci tangan
memenuhi syarat namun balitanya merupakan kelompok kasus yaitu menderita
diare ataupun ibu yang kebiasaan mencuci tangan tidak memenuhi syarat tetapi
balitanya merupakan kelompok kontrol yaitu bukan penderita diare sebesar 20%.
Hal ini sangat mungkin terjadi, karena banyak faktor yang mempengaruhi
terjadinya diare pada balita, seperti faktor dari balita sendiri. Tetapi dalam
penelitian ini, faktor resiko khususnya dalam perilaku mencuci tangan tidak
menjadi aspek yang diteliti. Sebenarnya terdapat kemungkinan perilaku mencuci
tangan yang tidak memenuhi syarat pada balita merupakan penyebab diare dalam
penelitian ini sebagaimana hasil yang didapat bahwa kejadian diare pada kasus
39
paling banyak terjadi di kelompok umur 12-21 bulan dimana balita dalam tahapan
belajar makan sendiri.
Adapun faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi kejadian diare pada balita
antara lain faktor lingkungan, faktor ibu, dan faktor sosiodemografis dimana
faktor risiko yang paling rentan menyebabkan penyakit diare adalah faktor
lingkungan, dan faktor-faktor tersebut saling berinteraksi dengan faktor perilaku.
Menurut teori dari Blum (1974) bahwa status kesehatan masyarakat di suatu
daerah dipengaruhi oleh faktor utama yaitu lingkungan dan perilaku, tetapi faktor
lingkungan merupakan faktor yang paling penting.(15)
6.3. Hubungan Sanitasi Makanan dengan Diare Akut pada Balita
Berdasarkan hasil penelitian ini, menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan
antara sanitasi makanan dengan kejadian diare pada balita. Dari hasil analisis
bivariat tidak diperoleh nilai OR, artinya sanitasi makanan yang tidak memenuhi
syarat dan sanitasi makanan yang memenuhi syarat perbandingannya sama untuk
menimbulkan kejadian diare sehingga belum dapat dibuktikan hubungannya. Hal
ini berlawanan dengan penelitian Sheth (2004) yang menyatakan makanan yang
bersih dan dijamin keamanannya dapat mengurangi angka kejadian diare.(20) Hasil
penelitian ini juga bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Anissa (2009( di Puskesmas Lempake. Namun hasil ini sesuai dengan penelitian
Rahmah (2006) yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
sanaitasi makanan dengan kejadian diare.(19) Perbedaan di atas kemungkinan
terjadi karena adanya perbedaan lokasi penelitian, desain penelitian, dan adanya
bias.
Sanitasi makanan tidak memenuhi syarat pada kelompok kasus sebesar 26,7%
sedangkan pada kelompok kontrol 0%. Sanitasi makanan yang tidak memenuhi
syarat dalam penelitian ini, dapat disebabkan oleh faktor makanan, faktor
40
peralatan, dan faktor manusia. Untuk faktor makanan sebagian besar responden
baik dari kelompok kasus maupun kontrol sudah memenuhi persyaratan sanitasi,
yaitu kebersihan dapur dan alat-alat perlengkapan masak, penyajian makanan
yang bebas dari kontaminasi, bersih dan tertutup, serta penyimpanan makanan
dalam tudung saji, lemari atau alat pendingin.
Ibu sebagai manusia yang bekerja pada tahapan pengolahan, penyajian,
penyimpanan makanan harus juga memenuhi persyaratan sanitasi, seperti
kesehatan dan kebersihan individu, tidak menderita penyakit infeksi, dan bukan
carrier dari suatu penyakit. Untuk faktor peralatan, pembersihan alat makan/botol
susu yang digunakan oleh balita sangatlah perlu diperhatikan.
Pembersihan alat makan/botol susu dengan cara direbus dilakukan oleh
responden sebanyak 17%, disiram dengan air panas 18%, disiram air matang
sebanyak 3% dan dicuci air mentah 50%. Menggunakan botol dan dot untuk
memberi susu sangat berbahaya bila tidak dibersihkan dan disterilkan secara baik
dan benar setiap setelah digunakan. Sangat tidak dapat dibenarkan, bila ibu
memberi minum kepada anak yang sedang menderita diare dengan botol yang
tidak steril, karena tentu akan memperburuk penyakitnya. Cara pemeliharaan alat-
alat sesudah pembuatan dan pemberian makanan bayi yang benar adalah mencuci
dalam air sabun panas dengan air mengalir jika mungkin, kemudian rebus dalam
panci yang berisi air.(20)
Sebanyak 47% responden sering membelikan jajan balitanya. Kemudian, 43%
responden tidak yakin makanan yang dikonsumsi balitanya memenuhi persyaratan
makanan yang sehat yaitu makanan tidak rusak, busuk, atau basi, bebas dari
kuman E.Coli. Hal ini sangat potensial sebagai sumber penyakit diare.
41
Sementara, masih ditemukan responden dengan sanitasi makanan memenuhi
syarat pada kelompok kasus sebesar 73% . Hal ini dikarenakan kejadian diare
pada balita tidak hanya dipengaruhi oleh sanitasi makanan, tetapi juga dapat
melalui faktor lainnya. Faktor-faktor yang dapat menambah kerentanan terhadap
infeksi enteropatogen adalah defisiensi imun, malnutrisi, kekurangan ASI, tingkat
pendidikan ibu.(20)
BAB VII
PENUTUP
1.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Tidak terdapat hubungan antara pengetahuan ibu dengan terjadinya diare
akut pada balita di Kelurahan Rawa Makmur Kecamatan Palaran Kota
Samarinda.
2. Terdapat hubungan antara kebersihan diri ibu dengan terjadinya diare akut
pada balita di Kelurahan Rawa Makmur Kecamatan Palaran Kota
Samarinda.
3. Terdapat hubungan antara sanitasi makanan dengan terjadinya diare akut
pada balita di Kelurahan Rawa Makmur Kecamatan Palaran Kota
Samarinda.
1.2. Saran
42
1. Meningkatkan peranan puskesmas melalui penyuluhan di acara
posyandu untuk mencegah diare akut pada balita.
2. Membagikan selebaran atau pamflet tentang cara mencuci tangan yang
baik dan benar ke rumah-rumah
3. Mengalokasikan dana kesehatan untuk mengadakan perlombaan RT sehat
dimana RT tersebut merupakan RT yang menerapakan PHBS terbaik.
GIMANA NILAINYAAA???
4. Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk menggali lebih banyak informasi
tentang faktor-faktor risiko yang mengakibatkan meningkatnya prevalensi
diare akut pada balita secara langsung maupun tidak langsung .
43
DAFTAR PUSTAKA
1. Faktor Risiko Diare Pada Bayi dan Balita di Indonesia . Adisasmito, Wiku. Jakarta : Makara,Kesehatan, 2007, Vol. 11. 1.
2. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur. Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2007.(online). (http://125.160.76.194/data/profil/narasi%20profil%202007.pdf. [Online] 2008.
3. Dinas Kesehatan Kota Samarinda bagian Pelayanan Kesehatan. Laporan Bulanan Data Kesakitan Tahun 2007. [Online] 2008.
4. Profil Kesehatan Indonesia 2003. RI, Departemen Kesehatan. Jakarta : s.n., 2005.
5. Hubungan Antara Praktek Personal Hygiene Ibu Balita dan Sarana Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Kecamatan Maos Kabupaten Cilacap. Muhajirin. Semarang : s.n., 2007.
6. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar. Soekidjo,N. Jakarta : Rineka Cipta, 2003, Vols. Hal. 37, 118-170.
7. Noerasid H, Suraatmaja S, Asnil PO. Diare Akut. [book auth.] Suaraatmaja S. Kapita Selekta Gastroenterologi. Jakarta : Sagung Seto, 2007, Vols. Hal. 1-15.
8. Setiawan B, dkk. Diare Akut karena Infeksi. [book auth.] Sudoyo AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat Jilid II. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006, Vols. Hal. 1794-1797.
9. Daldiyono. Diare. [book auth.] Akbar N, Rania A Sulaiman A. Gastrohepatologi. Jakarta : Sagung Seto, 1997, Vols. Hal. 21-32.
10. 12. Yunus M. Hubungan Sanitasi Dasar. Perilaku Ibu dengan Kejadian Diare Balita di Wilayah Puskesmas Kedung Waringin Kec. Kedung Waringin Kab. Bekasi tahun 2003. Jakarta : Program Studi Epidemiologi Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat.
11. Nuri, Rafiqah; et al. Pengaruh Persepsi Ibu Tentang Program Pemberantasan Diare Terhadap Tindakan Pemberantasan Penyakit Diare Pada Balita Di Kelurahan Pasar Belakang Kota Sibolga . Sumatra Utara : Universitas Sumatera Utara, 2009.
12. Wulandari, Anjar Purwidiana. Hubungan Antara Faktor Lingkungan dan Faktor Sosiodemografi dengan kejadian diare pada balita di Desa Blimbing Kecamatan Sambirejo Kabupaten Sragen Tahun 2009. Surakarta : Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009.
44
13. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. [book auth.] Ranuh G. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC, 1995.
14. AH, Markum. Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. Jakarta : Balai Penrbit FKUI, 1999.
15. S, Sarwono. Perilaku Kesehatan. Sosiologi Kesehatan Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2004.
16. Sinthamurniwaty. Faktor-faktor Risiko Kejadian Diare Akut Pada Balita (Studi Kasus di Kabupaten Semarang). Semarang : Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang, 2006.
17. Food and Personal Hygiene Perceptions and Practices among Caregivers Whose Children Have Diarrhea: AQualitative Study of UrbanMothers in Tangerang, Indonesia. Avita, A; et al. Jakarta : Journal of Nutrition Education and Behavior, 2010, Vol. 42. 1.
18. B, Chandra. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : EGC, 2006, Vols. 39-165.
19. Guntur. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare Rotavirus Akut. Medan : USU e-Repository, 2008.
20. World Health Organization. Global Water Supply and Sanitation Assesment. (http://www.who.int. [Online] 2004. [Cited: June 6, 2011.]
21. B, Setiawan. Diare Akut karena Infeksi. Sudoyo AW dkk (Eds.), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Keempat Jilid II. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.
22.
23. Bandolier-team. Prevalence and Incidence of Gout. 2002.
24. Choi, HK, et al. Obesity, Weight Change, Hypertension,Diuretic Use, and Risk of Gout In Men. Archieves of Internal Medicine. 2005, Vol. 165.
25. Adnan, Endy. Value of Inflammation Marker in Patients with Intercritical Gout Arthritis. Interna UNHAS Study. 2009.
26. Stroescue, Daniel and Gorbin, Martin. Gouty arthritis.A primer on late onset gout. CME Geriatrics Rheumatology. 2005.
27. L, Annemans, et al. Gout in the UK and Germany: Prevalence,Comorbidities and Management in General Practice 2000-2005. Annals Rheumatic Disease. 2008, Vols. 67:960-966.
28. Arromdee E, Michet CJ,Crowson CS, O'Fallon WM, Gabriel SE. Epidemiology of Gout: Is the incidence rising? Rheumatology. s.l. : Journal of Rheumatology, 2002, 29:2403-2406.
45
29. Darmawan J., Valkenburg H.A., Muirden K.D., Wigley R.D. The Epidemiology of Gout and Hyperuricemia in a Rural Population of Java. Journal Rheumatology. 1992, 19:1595.
30. Saag, Kenneth G and Choi, Hyon K. Epidemiology, Risk Factors, and Lifestyle Modifications for Gout. Arthritis Research & Therapy. 2006.
31. Isenberg, David A, et al. Gout. Oxford Textbook of Rheumatology. Third edition. United Kingdom : Oxford University Press, 2004, p. 6448.
32. Timur, Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan. Deskripsi Singkat Provinsi Kalimantan Timur. http://kaltim.bps.go.id/. [Online] 2007. [Cited: Desember 29, 2009.] http://kaltim.bps.go.id/deskripsi.html.
33. Klemp, P, et al. Gout is on the Increase in New Zealand. Annals of Rheumatic Disease. 1997, 56:22.
34. Polynesian Women are also at Risk for Hyperuricaemia and Gout because of Genetic Deffect in Renal Urate Handling. 1994. Vols. 33:932-937.
35. Bray, GA. Complications of Obesity. Annals of Internal Medicine. 1985, Vols. 103:1052-1062.
36. Tykarski, A. Evaluation of Renal Handling of Uric Acid in Essential Hypertension: Hyperuricemia Related to Decreased Urate Secretion. Nephron. 1991, 59:364-368.
37. Roubenoff R, Klag MJ, Mead LA, Liang KY, Seidler AJ, Hochberg MC. Incidence and Risk Factors for Gout in White Man. Journal of the American Medical Association. 1991, Dec 4:266(21):3004-7.
38. Padang, Cecilia R, Nasution, AR and Isbagio, Harry. Kriteria Diagnostik Penyakit Reumatik. Cermin Dunia Kedokteran. 1992, 78:10-14.
39. Tehupeiory, E. Gouty Arthritis and Uric Acid Distribution in Several Ethnic Group in Ujung Pandang. Academic Medical Dissertation.Ujung Pandang:University of Hassanudin. 1992.
40. Padang, Cecilia, et al. Characteristics of Chronic Gout in Northern Sulawesi Indonesia. Journal of Rheumatology. 2006, 33:1813-7.
41. Johnson, Richard J and Rideout, Bruce A. Uric Acid and Diet:Insight Into The Epidemic of Cardiovascular Disease. New England Journal Medicine. 2004.
42. Cassim, B, et al. Gout in Black South African: A clinical and genetic study. Annals of Rheumatic Disease. 1994, Vols. 53:759-62.
43. Wortmann, Robert L. Gout and Hyperuricemia. [book auth.] Gary S Firestein, et al. Kelley's Textbook of Rheumatology.Eight edition. Philadelphia : WB Saunders Company,
46
2008.
44. Munan, Louis, Kelly, Anthea and Petitclerc, Claude. Population Serum Urate Levels And Their Correlates. American Journal of Epidemiology. 1976.
45. Steven, M.M. Prevalence of Chronic Arthritis in Four Geographical Areas of Scottish Highlands. Annals of the Rheumatic Disease. 1992, 51:186-94.
46. Hayem, G, et al. Female Premenopausal Tophaceus Gout Induced by Long Term Diuretic Abuse. Journal Rheumatology. 1996, 23:2166-2167.
47. Scott, JT. Drug Induced Gout. Ballieres Clinical Rheumatology. 1991, 5:39-60.
48. Burack, DA, et al. Hyperuricemia and Gout Among Heart Transplant Recipients Receiving Cyclosporine. American Journal Medicine. 1992, 92:141-146.
49. Baethege, BA, et al. Tophaceus Gout in Patients With Renal transplants Treated with Cyclosporine. American Journal Rheumatology. 1993, 92:141-146.
50. Preminger, GM. Renal Calculi: Pathogenesis, Diagnosis and Medical Therapy. Seminar Nephrology. 1992, 12:200-216.
51. Rodwell, Victor W. Metabolisme Nukleotida Purin dan Pirimidin. [book auth.] Robert K Murray, et al. Biokimia Harper.Edisi 25. Jakarta : EGC, 2000.
52. Wyngaarden, JB and Kelley, WN. Gout. [book auth.] JB Stanbury et al. The Metabolic Basis of Inherited Disease.Fifth Edition. New York : McGraw Hill, 1985, page 1043-1114.
53. Puig, JG, et al. Female Gout: Clinical Spectrum and Uric Acid Metabolism. Archives of Internal Medicine. 1991, 151:726-732.
54. Cohen, MG and Emmerson, BT. Gout. [book auth.] JH Klippel and PA Dippe. Rheumatology . St Louis Baltimore : Mosby, 1994.
55. Puig, JG, et al. Hereditary Nephropathy Associated with Hyperuricaemia and Gout. Archive of Internal Medicine. 1993, 153(3):357-365.
56. Simmonds, HA. Purine and Pyrimidine Disorder In Inherited Metabolic Disease.Second Edition. Eidenburg : Churcill Livingstone, 1994, 297-349.
57. Kamatami, N. Genetic Enzyme Abnormalities and Gout. Asian Medical Journal. 1994, 37(2):651-656.
58. Becker, Michael A and Meenaskshi, J. Clinical Gout and The Pathogenesis of Hyperuricemia. [book auth.] DJ McCarty and William J Koopman. Arthritis and Allied Conditions: A Textbook of Rheumatology 13th Edition.Vol 2. Baltimore : William&Wilkins a Walvery Comp, 2005, page 2303-2339.
47
59. Choi, Hyon K, Mpunt, David B and Reginato, Anthony. Pathogenesis of Gout. Annals of Internal Medicine. 2005, 143:499-516.
60. McGill, NW and Dieppe, PA. The Role of Serum and Synovial Fluid Components in The Promotion of Urate Crystal Formation. Journal of Rheumatology. 1991, 18:1042-1045.
61. Soeroso, Joewono and Yuliasih. Hiperurisemia dan Gout Artritis. Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
62. Adnan, HM. Peranan Analisis Cairan Sendi Dalam Diagnosis Penyakit Sendi. Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta : Grup PT Kalbe Farma, 1992, 78:18-24.
63. Ward, Michael M. Crystal Induced Synovitis : Gout. Kelley's Textbook of Internal Medicine. Fourth Edition. United States : Lipincott Williams & Wilkins , 2000.
64. Bandolier-team. An Introduction to Gout. Bandolier. 2007.
65. Ceulleton, BF, et al. Serum Uric Acid and The Risk for Cardiovascular Disease and Death:The Framingham Heart Study. Annals of Internal Medicine. 1999, 131:7.
66. Reiter, L, Brown, MA and Edmonds, J. Familial Hyperuricaemic Nephropathy. American Journal Kidney Disease. 1995, 25:235-241.
67. Perez-Ruiz, F, Calabozo, M and Herroro-Beites, AM,et al. Improvement of Renal Fuction in Patients with Chronic Gout After Proper Control of Hyperuricaemia and Gouty Bouts. Nephron. 2000, 287:91.
68. Dessein, P, et al. Beneficial Effects of Weight Loss Associated With Moderate Calorie/Cabohydrate Restriction, And Increased Proportional Intake of Protein and Unsaturated Fat on Serum Urate and Lipoprotein Levels in Gout:a Pilot Study. Annals of Rheumatic Disease. 2000, 59:539-543.
69. Matsuura, F, et al. Effect of Visceral Fat Accumulation on Uric Acid Metabolism in Male Obese Subjects: Viscera obesity is Linked More Closely to Overproduction of Uric Acid Than Subcutaneous Fat OBesity. Internal Medicine.Osaka University Medical School. 1998, 47:929-933.
70. Freuhweld-Schultes, B, et al. Serum Leptin is Associated with Serum Uric Acid Concentrations in Humans Metabolism. 1999, 48:677-680.
71. Fantuzzi, Giamila and Mazzone, Thedore. Adipose Tissue and Atherosclerosis. Exploring The Connection. Journal of The American Heart Association. 2007, 27:996-1003.
72. Kleinman, NL, et al. Lost Days and Productivity Impact of Gout. Presented at : 69th Annual Meeting of the American College of Rheumatology. San Diego, California : s.n., 2005, 248:1772.
48
73. Roubenoff, R. Incidence and prevalence of gouty arthritis. Rheumatic Disease Clinical of North America. 1990, 16:540-4.
74. Lawrence, RC, Felson, DT, and Hemlich, CG,et al. Estimates of the Prevalence of Arthritis and Other Rheumatic Conditions in the United States.Part II. Arthritis Rheumatology. 2008, 58(1):26-35.
75. Broto, Rawan. Rheumatic Disease : Article and Solution. http://rawanbrotorheumatic.com/diagnosis-dan-pengelolaan-gout. [Online] November 22, 2008. [Cited: November 30, 2008.]
76. Lin, KC, Lin, HY and Chou, P. Community Based Epidemiological Study on Hyperuricemia and Gout in Kin-Hu, Kinmen. Journal of Rheumatology. 2000, 27(4):1045-1050.
77. Fang J., Alderman M.H. Serum Uric Acid and Cardiovascular Mortality: The NHANES I Epidemiologic Follow-up Study,1971-1992. Journal of the American Medical Association. 2000, 283:2404.
78. McCarty, DJ. Gout Without Hyperuricemia. Journal of the American Medical Association. 1994, 271:302-303.
79. Segal, JB and D, ALbert. Diagnosis of Crystal Induced Arthritis by Sinovial Fluid Examination:Lessons from an Imperfect Test. Arthritis Care and Research. 1999, 12:376.
80. Beddir, A, et al. Leptin Might Be A Regulator of Serum Uric Acid Concentration In HUmans. Japan Heart Journal. 2003, 44:527-536.
81. Reginato, Antonio J. Gout Crystallography and Arthritis. [book auth.] E Braunwald, et al. Harrison's Principles of Internal Medicine. Fifteenth Edition. New York : Mc-Graw Hill, 2001.
82. Tehupeiory, Edwars Stefanus. Artritis Pirai (artritis gout). [pengar. buku] Aru W Sudoyo, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006, hal. 1208.
83. Kelly, Janis. Gout: prevalence up, drug compliance down. Medscape Medical News. 2004.
84. Choi, HK and Curhan, G. Adiposity,hypertension, diuretic use and risk of incident gout in women. [book auth.] The Nurses Health Study. Arthritis Rheumatology. 2005, Vol. 52.
85. anonymous. Leptin. www.abclab.co.id. [Online] July 17, 2009. [Cited: June 20, 2009.]
86. Prevention, Departement of Health and Human Services Center for Disease Control and. Defining Overweight and Obesity. [Online] January 28, 2009. [Cited: June 15, 2009.]
49
http://www.cdc.gov/nccdphp/dnpa/obesity/defining.htm.
50
LAMPIRAN I
KUESIONER
Judul penelitian : Hubungan Antara Pengetahuan Ibu, Kebersihan Diri Ibu
dan Sanitasi Makanan dengan Kejadian Diare Pada Balita di
Kelurahan Rawa Makmur Palaran Kota Samarinda
Tanggal penelitian : Juni 2011
DATA UMUM RESPONDEN (kontrol/kasus) *diisi peneliti
1 Nama ibu2 Tempat/tanggal lahir (sesuai dengan KTP)3 Alamat4 Umur ibu balita ….. tahun5 Tingkat pendidikan responden 1. Tidak sekolah/tidak tamat SD
2. Tamat SD/sederajat 3. Tamat SLTP/sederajat 4. Tamat SLTA/sederajat 5. Akademik/ Sarjana
6 Pekerjaan responden 1. Pegawai Negeri 2. Karyawan/buruh 3. Petani 4. Wiraswasta 5. Tidak bekerja/ibu rumah tangga
7 Penghasilan keluarga dalam sebulan 1. [ ]> Rp. 1.020.000,-2. [ ]≤ Rp. 1.020.000,-
8 Nama balita9 Umur balita (bulan)10 Jenis kelamin 1. Laki-laki
2. Perempuan 11 Apakah balita ibu mendapat imunisasi
campak1. Ya 2. Tidak
12 Apakah sampai umur 6 bulan, Ibu memberikan ASI saja kepada balita Ibu?
1. Ya 2. Tidak
Pengetahuan
1. Menurut ibu diare adalah ?
a. Tahu (BAB lembek/cair yang terjadi lebih dari 3 kali dalam sehari dengan
atau tanpa disertai muntah)
b. Tidak tahu
2. Menurut ibu apakah penyebab diare ?
51
a. Tahu (Makanan atau minuman yang tidak bersih sehingga mengandung
virus atau bakteri)
b. Tidak tahu
3. Menurut ibu apa saja gejala diare?
a. Tahu (BAB lembek/cair yang terjadi lebih dari 3 kali dalam sehari dengan
atau tanpa disertai muntah)
b. Tidak tahu
4. Menurut ibu tindakan apa saja yang bisa dilakukan untuk mencegah diare?
a. Tahu (Mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan untuk balita,
memasak air air hingga 5-10 menit setelah mendidih, menutup makanan.)
b. Tidak tahu.
5. Apa saja faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit diare?
a. Tahu (Lingkungan yang kurang bersih, air yang digunakan tidak bersih
dan gizi yang kurang )
b. Tidak tahu
6. Menurut ibu bagaimana kondisi air yang bersih ?
a. Tahu (Tidak bewarna, tidak berbau, tidak berasa. )
b. Tidak tahu
7. Menurut ibu bagaimana tanda–tanda dehidrasi berat pada anak ?
a. Tahu (BAB encer semakin sering dalam jumlah banyak, ada muntah
berulang, rasa haus yang nyata, tidak dapat minum atau makan)
b. Tidak tahu
8. Menurut ibu apa yang sebaiknya dilakukan untuk penanganan awal diare ?
a. Tahu (Memberikan larutan gula garam/kuah sayur/air/oralit)
b. Tidak tahu
Kebersihan diri
1. Apakah anda selalu mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir setelah
dari jamban?
a. Ya b. Tidak
2. Apakah anda selalu mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir setelah
menceboki anak?
52
a. Ya b. Tidak
3. Apakah anda selalu mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum
memberi makan anak?
a. Ya b. Tidak
4. Apakah anda selalu mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum
menyiapkan makanan?
a. Ya b. Tidak
5. Apakah anda mencuci tangan dengan cara yang baik dan benar? Tangan yang dicuci bagian telapak tangan : Ya Tidak
Tangan yang dicuci bagian punggung tangan: Ya Tidak Tangan yang dicuci bagian jari-jari : Ya Tidak Tangan yang dicuci bagian bawah kuku : Ya Tidak Dilakukan minimal selama 20 detik : Ya TidakJawaban no.5 adalah ya bila seluruh jawaban ya pada kelima poin di atas. Jawaban no5. adalah tidak bila terdapat jawaban tidak pada salah satu poin di atas.a. Ya b. Tidak
6. Apakah anda selalu mengeringkan tangan dengan kain bersih setelah mencuci
tangan?
a. Ya b. Tidak
7. Apakah anda selalu memotong kuku setiap satu minggu sekali?
a. Ya b. Tidak
SANITASI MAKANAN
1. (Untuk balita yang tidak minum susu) Apakah peralatan makan selalu dalam
keadaan sudah dicuci sebelum digunakan?
a. Ya b. Tidak
(Untuk balita yang minum susu menggunakan dot) Apakah dot selalu direbus
sebelum digunakan?
a. Ya b. Tidak
(Untuk balita yang minum ASI) Apakah puting payudara selalu dibersihkan
sebelum memberi ASI?
a. Ya b. Tidak
Pembersihan alat makan/botol susu Direbus
53
Cuci air panas
Cuci air matang
Cuci air mentah2. Apakah selalu menyimpan makanan yang disajikan dalam keadaan tertutup
atau disimpan dalam lemari/lemari pendingin?
a. Ya b. Tidak
3. Apakah balita anda selalu mengkonsumsi makanan yang anda olah sendiri?
a. Ya b. Tidak
Beli jajan untuk balita? Sering
Kadang-kadang
Tidak pernah4. Apakah anda yakin balita anda selalu mengkonsumsi makanan yang bersih
(tidak pernah mengkonsumsi makanan/minuman yang telah berubah warna,
bau atau rasanya, berlendir, berjamur atau adanya pengotoran lainnya) ?
a. Ya b. Tidak
5. Apakah anda selalu merebus air yang akan di minum sampai mendidih dan
dibiarkan tetap mendidih antara 5-10 menit?
a. Ya b. Tidak
Samarinda, Juni 2011
....................................................................
54
LAMPIRAN 2 LANJUTAN – UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS INSTRUMEN
PENELITIAN
PENGETAHUAN IBU
Nilai korelasi item (dengan program Ms. Excel)
Hasil korelasi (r) = 0,361
Nilai reliabilitas (dengan rumus Spearman Brown)
R= 2 r1+r
=2 ×0,524261+0,52426
=0,687888
Kesimpulan: instrument ini memiliki realibilitas yang tinggi karena nilai R > 0,361.
NB: Kriteria instrument memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi jika nilai koefisien
yang diperoleh ≥ 0,361
KEBERSIHAN DIRI IBU
Nilai korelasi item (dengan program Ms. Excel)
Hasil korelasi (r) = 0,361
Nilai reliabilitas (dengan rumus Spearman Brown)
R= 2 r1+r
=2×0,7840961+0,784096
=0,878984
Kesimpulan: instrument ini memiliki realibilitas yang tinggi karena nilai R > 0,361.
NB: Kriteria instrument memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi jika nilai koefisien
yang diperoleh ≥ 0,361
SANITASI MAKANAN
Nilai korelasi item (dengan program Ms. Excel)
Hasil korelasi (r) = 0,361
Nilai reliabilitas (dengan rumus Spearman Brown)
R= 2 r1+r
=2 ×0,3346621+0,334662
=0,501493
Kesimpulan: instrument ini memiliki realibilitas yang tinggi karena nilai R > 0,361.
NB: Kriteria instrument memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi jika nilai koefisien
yang diperoleh ≥ 0,361
55