pendidikan nonformal dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa hutan - prof. dr. s. mundzir, m.pd
DESCRIPTION
Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pdTRANSCRIPT
1Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
Prof. Dr. S. Mundzir, M.Pd
PENDIDIKAN NONFORMALDALAM KONTEKS PEMBERDAYAAN
MASYARAKAT DESA HUTAN
Pidato Pengukuhan Guru Besar
dalam Bidang Ilmu Sosiologi Pendidikan
pada Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP)
Disampaikan dalam Sidang Terbuka Senat
Universitas Negeri Malang (UM)
Tanggal 30 September 2010
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS NEGERI MALANG (UM)
SEPTEMBER 2010
2 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
3Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
Yth. Bapak Rektor UM Selaku Ketua Senat UM
Yth. Bapak/Ibu Anggota Senat UM, Ketua dan Anggota Komisi
Guru Besar UM
Yth Bapak/Ibu Pejabat Struktural di lingkungan UM
Yth Rekan Dosen dan Mahasiswa UM
Yth Para Undangan serta hadirin yang berbahagia
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Pertama-tama saya sampaikan rasa syukur kehadirat Al-
lah SWT karena sampai saat ini masih diberi limpahan rahmat,
taufiq, hidayah, dan kasih sayang-Nya sehingga dapat terseleng-
gara acara pidato pengukuhan ini.
Pidato pengukuhan ini merupakan suatu keharusan bagi
Guru Besar (GB) di lingkungan Universitas Negeri Malang
untuk menyampaikan pokok-pokok pikiran dalam perkem-
bangan keilmuan yang ditekuni sesuai dengan bidang studinya.
Saya menyadari akan pentingnya kegiatan ilmiah ini, karena
pidato pengukuhan ini merupakan puncak karier akademik
sebagai seorang dosen. Sebetulnya masa jabatan GB sudah
lebih dari dua tahun, tetapi baru saat ini saya berkesempatan
untuk menyampaikan pidato ini, dan ini juga karena dorongan
dari Bapak Rektor yang setiap saat selalu mengingatkan akan
segera melaksanakan kegiatan ini, oleh karena itu pada kesem-
patan ini saya sampaikan ucapan terima kasih atas motivasinya
yang tiada henti.
Pendidikan Nonformal dalam KonteksPemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
3
4 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Yth Bpk Rektor dan Para hadirin yang saya mulyakan
Forum ini merupakan suatu kesempatan yang sangat
berharga bagi saya untuk menyampaikan beberapa pemikiran
tentang pendidikan nonformal (PNF) dalam kontek pemberda-
yaan Masyarakat Desa, sebagai bagian dari bidang keilmuan
saya, yaitu: “Sosiologi Pendidikan”. Pemikiran saya tersebut
merupakan paduan dua disiplin ilmu yang saya tekuni, yaitu
Pendidikan Nonformal (S1 dan S2) di IKIP MALANG dan
Sosiologi Pedesaan (S3) di Universitas Brawijaya Malang. Pendi-
dikan nonformal, yang juga dikenal oleh masyarakat Indonesia
dengan berbagai istilah menurut perkembangannya, yaitu: Pendi-
dikan Masyarakat (Penmas), Pendidikan Sosial (Pensos), dan
Pendidikan Luar Sekolah (PLS), merupakan institusi atau lemba-
ga pendidikan yang memiliki program layanan pendidikan yang
luas dan kaya serta spesifik sebagai perwujudan implementasi
tentang filsafat pendidikan sepanjang hayat (life long learning).
Dengan pendidikan sepanjang hayat, secara sosiologis, psiko-
logis, ekonomis, dan filosofis baik di negara maju maupun
negara berkembang kenyataaannya sangat membutuhkan PLS
yang saat ini lebih dikenal dengan pendidikan nonformal (PNF),
karena memang dalam menghadapi pembangunan bangsa dan
berbagai permasalahannya, tidak mungkin hanya mengandalkan
pendidikan persekolahan atau pendidikan formal (PF) yang
ternyata masih banyak memiliki kelemahan-kelemahan dan
kritik terhadapnya (Sudjana, 2004, Coombs 1985, Illich, 1982,
Freire, 1972). Secara kelembagaan di Universitas Negeri Malang
(UM), bidang keilmuan PNF sebagai bidang studi bernaung di
Jurusan Pendidikan Sosial (tahun 1954-1979), dan berubah
menjadi Jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) secara nasional
sampai saat ini. PNF dalam perkembangannya memiliki sejarah
yang panjang sepanjang sejarah peradaban manusia (Sudjana,
2000) sehingga istilah PNF sangat beragam, misalnya: learning
5Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
society, lifelong learning, shogai gakushu, recurrent education,
permanent education, coommunity education, extention edu-
cation, social education, adult education, dan continuing edu-
cation, (Sudjana, 2004, Kamil, 2009). Pokok kajian keilmuan
Pensos pada saat itu diarahkan pada peningkatan kesejahteraan
masyarakat melalui program pendidikan, dan kajian ini sangat
dekat dengan konsep pembangunan masyarakat yang dikem-
bangkan para pakar pembangunan dalam perspektif sosiologi.
Perubahan konsep Pensos menjadi PLS juga tidak lepas dari
pemikiran pakar PNF pada saat itu, di mana arah pembangunan
pendidikan lebih ditekankan pada proses pembelajaran masya-
rakat sehingga tercipta masyarakat gemar belajar (learning
society). Sedangkan perubahan nama PLS menjadi Pendidikan
Nonformal (PNF) mengikuti perkembangan Undang-Undang
Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, di mana pada pasal 1 (satu) ayat 10 disebutkan
tentang satuan pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non-
formal dan informal.
Pemberdayaan masyarakat desa merupakan bagian dari
kajian Sosiologi Pedesaan yang dikembangkan dari teori sosiologi
klasik yang berparadigma definisi sosial, di mana konsep pem-
berdayaan masyarakat lebih menekankan pada potensi individu
yang lebih manusiawi dibandingkan dengan pembangunan ma-
syarakat yang mengikuti paradigma fakta sosial atau aliran
positivisme. Pemberdayaan masyarakat berparadigma definisi
sosial merupakan konsep yang dianggap paling sesuai dengan
konsep PNF yang sebagian besar penganutnya lebih menekankan
konsep pendidikan yang beraliran humanis dibandingkan dengan
kajian pendidikan yang beraliran behavioris. Perkembangan
teori sosiologi akhir-akhir ini, juga terdapat perubahan tidak
menggunakan konsep dikotomi antara paradigma fakta sosial
dan definisi sosial tetapi lebih tertarik untuk menggunakan
konsep garis kontinun diantara penganut aliran positivis dan
6 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
aliran subjektivis dalam menerapkan konsep pembangunan
masyarakat, sebagaimana dikembangkan oleh Ritzer dalam
konsep sosiologi mikro makro (Ritzer, 2003) dan Gidden
dalam teori Strukturasi (Gidden, 2004).
Pemberdayaan masyarakat dalam konteks sosiologi mikro
makro nampaknya sangat sesuai dengan konsep PNF yang
beraliran humanis, terutama dalam penerapan Pendidikan Orang
Dewasa yang dikembangakan oleh Malcom Knowles, namun
dalam perkembangan pendidikan orang dewasa saat ini tidak
hanya mengikuti aliran humanis saja, tetapi sudah pula ada
yang menggunakan pendekatan aliran Behavioris. Menurut
Elias (2005) pendidikan orang dewasa dapat dikaji berdasarkan
filosofis terdapat dua aliran, yaitu aliran behavioris dan aliran
humanis. Aliran behavioris lebih menkankan bahwa pendidikan
orang dewasa lebih banyak diberikan pada pendidikan ketram-
pilan yang diidentifikasi dari kebutuhan ketrampilan untuk
melaksanakan tugasnya, lebih lanjut menurut Elias (2005)
aliran humanis lebih menekankan pada inisiatif warga belajar
sendiri yang dianggap relevan dengan kebutuhan belajar.
Memberdayakan masyarakat desa hutan melalui PNF,
tentunya harus disesuaikan dengan karakteristik, kondisi empirik
dan permasalahan yang dihadapi masyarakat desa tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian di beberapa daerah pinggiran
hutan di kabupaten Malang, ditemukan berbagai permasalahan
terkait dengan masyarakat desa hutan. Permasalahan tersebut
antara lain: a) rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, dan
tidak memiliki ketrampilan yang cukup memadai untuk menda-
patkan pekerjaan yang memiliki penghasilan tetap, b) penda-
patan yang relatif rendah sehingga kurang mencukupi untuk
menopang kehidupan keluarga apalagi untuk membiayai pendi-
dikan anak, c) pola konsumsi yang masih belum memenuhi
standar konsumsi sehat, d) sebagian besar masyarakat desa
hutan tidak memiliki lahan pertanian (landless), sehingga seba-
7Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
gian besar masyarakat desa hutan tergantung pada pengolahan
lahan hutan, e) tingkat ketergantungan pada stimulan dari luar
baik berupa program maupun materi yang sangat tinggi sehingga
sulit untuk dapat hidup secara mandiri, dan f) lokasi atau letak
geografis relatif terisolir dan kurang ditunjamg oleh infrastruktur
tranportasi yang memadai (Mundzir, 2006, 2008 dan 2009).
A. Perkembangan Pendidikan Nonformal
Bapak Rektor, dan para hadirin yang saya mulyakan.
Pada kesempatan ini saya akan menjelaskan perkembangan
konsep Pendidikan Nonformal.
1. Konsep Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal (PNF) atau yang juga populer
dengan sebutan pendidikan luar sekolah (PLS) sebelum Undang-
Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003, tentang Sistem
Pendidikan Nasional, mengikuti konsep Philip H Coomb yaitu:
“Any organized educational activity outside the established
formal system – wether operating separately or as an important
feature of some broader activity – that it intended to serve
identiviable clientlels and learning objectives (Coombs,1973).
Selanjutnya Coombs dan Ahmad mendefinisikan PNF “ is any
organized, systematic, educational activity carried on outside
the framework of the formal system to provide selected types
of learning to particular subgroups in the population, adults as
well as children (Rogers, 2005:78). Pendidikan nonformal adalah
setiap kegiatan yang terorganisir dan sistematis, di luar system
persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau meru-
pakan bagian penting dari aktifitas yang lebih luas, yang sengaja
dilakukan untuk melayani belajar peserta didik tertentu dalam
mencapai tujuan belajarnya. Pendidikan nonformal melayani
8 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
pendidikan kepada masyarakat baik orang dewasa maupun
anak-anak. Untuk memahami konsep PNF secara lebih jelas
perlu memahami perbedaan antara pendidikan nonformal de-
ngan pendidkan formal. Pada prinsipnya antara keduanya yaitu
PF dan PNF bukan berbeda secara dikotomis, tetapi berbeda
secara kontinum dan perbedaan itu dalam hal tingkat keteror-
ganisirannya. Simkins (1976) membedakan dari sisi tujuannya,
waktu, isi, system penyampaian, dan control. Dari segi tujuan,
PF bersifat jangka panjang dan untuk perolehan ijazah sedang
PNF lebih jangka pendek dan spesifik dan kurang berorientasi
ijazah. Dari sisi waktu, PF programnya lebih lama dan menjadi
dasar bagi program untuk tingkat berikutnya, merupakan per-
siapan untuk masa depan yang panjang dan waktunya full time,
sedang PNF waktunya lebih pendek tergantung tujuan yang
akan dicapai dan bukan persiapan untuk hidup tetapi tergantung
kebutuhan baik untuk orang dewasa maupun anak-anak, dan
bersifat part time. Dari segi isi program, PF biasanya lebih
bersifat akademik sedang PNF isi programnya lebih bersifat
praktis dan berguna dalam kehidupan langsung. Dari sisi sys-
tem penyampaian, perbedaannya PF lebih berorientasi pada
kelembagaan, programnya kurang berhubungan langsung dengan
masyarakat sekitar, lebih berorientasi pada guru, penggunaan
sumber lebih intensif, sedang PNF lebih berorientasi pada
lingkungan, programnya juga berkaitan langsung dengan kebu-
tuhan lingkungan, berorientasi pada warga belajar, lebih hemat
dalam pembiayaan. Perbedaan terakhir adalah dalam hal con-
trol dan evaluasi, PF evaluasi dilakukan oleh fihak di luar diri
siswa, sedang PNF evaluasi ditekankan pada evaluasi diri dan
lebih bersifat demokratis.
Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003
tentang Sistim Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa definisi
pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan
formal yang dapat dilaksanakan secara berstruktur dan ber-
9Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
jenjang. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga ma-
syarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi
sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan
formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Adapun fungsinya ialah untuk mengembangkan potensi peserta
didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan
keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepri-
badian profesional.
Bila dilihat dari lingkupnya, pendidikan nonformal dalam
konteks penddikan luar sekolah yang berkembang di dunia
internasional, banyak istilah yg mengacu pada pengertian pendi-
dikan nonformal, antara lain: permanent education, life long
education, recurrent education, community education, extention
education, continuing education (Sudjana, 1991:11). Disamping
itu juga ada adult education atau pendidikan orang dewasa
yaitu usaha pendidikan pada umumnya yang dilakukan dengan
kemauan sendiri (orang dewasa) termasuk pemuda di luar
masa batas tertinggi kewajiban belajar di luar lingkungan
sekolah (Yusuf, 1979). Pendidikan orang dewasa bisa diklasifikasi
menjadi 5 jenis yaitu: 1) pendidikan lanjutan yaitu kegiatan
yang ditujukan kepada masyarakat pemuda yang perlu menda-
patkan pendidikan secukupnya menjelang memasuki gerbang
kehidupan dewasa dengan memberi satu atau beberapa keahlian
atau pengetahuan yang bersifat umum sebagai alat untuk mencari
nafkah. 2) Pendidikan pembaharuan yaitu pendidikan yang
diberikan kepada orang yang sudah melampaui masa pemuda
agar memperolah kedudukan dalam kerja, 3) pendidikan kader
yaitu pendidikan yang berupa latihan atau kursus yang diseleng-
garakan oleh organisasi atau perkumpulan baik yang berkecim-
pung dalam dunia politik, ekonomi atau hiburan dan bertujuan
untuk kemajuan organisasi, 4) pendidikan popular yaitu kegiatan
pendidikan yang ditujukan kepada semua orang agar dapat
memanfaatkan waktu senggangnya dengan baik dan membe-
10 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
rikan aktivitas tertentu yang berguna dan bertujuan untuk
pemenuhan hasrat orang untuk mencari perubahan dan variasi
hidup. 5) Pendidikan kehidupan keluarga atau family life edu-
cation yaitu pendidikan yang kegiatannya secara khusus berke-
naan dengan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan kegiatan kehidupan
keluarga yang bertujuan memperkaya dan memperluas penga-
laman anggota keluarga untuk berpartisipasi dalam keluarga
sebagai satu kesatuan kelompok.
2. Program dan Satuan Pendidikan Nonformal
Undang-undang RI No 20 tahun 2003 tentang Sistim
Pendidikan Nasional, satuan pendidikan nonformal meliputi:
lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat
kegiatan belajar masyarakat (PKBM), majelis taklim, serta
satuan pendidikan lain yang sejenis. Beberapa istilah tentang
satuan pendidikan nonformal mungkin sudah familier di masya-
rakat, namun terdapat satu satuan pendidikan yang perlu
dijelaskan dalam konsep satuan PNF tersebut, yaitu PKBM.
PKBM merupakan tempat belajar yang dibentuk dari, oleh, dan
untuk masyarakat dalam rangka usaha untuk meningkatkan
pengetahuan, sikap, hobi, dan bakat warga masyarakat (Sihom-
bing, 2001). Pengertian lain dikemukakan oleh Kamil (2009)
yang dirujuk dari konsep Unesco bahwa PKBM merupakan
salah satu wadah dalam memberikan kesempatan penuh kepada
seluruh komponen masyarakat agar mampu: a) memberdayakan
masyarakat, b) meningkatkan kualitas hidup masyarakat, dan
c) pengembangan dan pembangunan masyarakat. Sedangkan
program PNF menurut Undang-Undang No 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional meliputi beberapa pro-
gram, sebagai berikut: a) pendidikan kecakapan hidup (life
skills), b) pendidikan anak usia dini, c) pendidikan kepemudaan,
11Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
d) pemberdayaan perempuan, e) pendidikan keaksaraan, f)
pendidikan ketrampilan, dan g) pendidikan kesetaraan.
Konsep lain dikemukakan oleh Patricl Boyl bahwa pro-
gram PNF terdapat tiga jenis, yaitu developmental, institu-
tional, dan informasional (Boyle, 1981). Program Pengem-
bangan (developmental Program) ialah upaya PNF yang dimak-
sudkan untuk membantu suatu masyarakat atau kelompok
sosial dalam mengenali dan memecahkan masalah yang mereka
hadapi. Ini dilakukan jika di dalam sistem sosial terdapat suatu
masalah yang perlu dipecahkan atau suatu perbaikan yang
perlu dilakukan, dan anggota masyarakat tersebut perlu digerak-
kan untuk melakukan tindakan nyata (kongkrit). Bentuk kegiatan-
nya bisa berupa: 1) aksi sosial misalnya gotong royong, bakti
sosial, dll, 2) pengorganisasian masyarakat misalnya dibentuk
koperasi, kepanitiaan, dll. Sedangkan program institusional
(Institutional program) atau training ialah upaya pendidikan
yang diberikan kepada perorangan dengan tujuan penguasaan
kemampuan-kemampuan tertentu yang diperlukan untuk melak-
sanakan tugas-tugas tertentu di lapangan kerja atau di masya-
rakat. Program ini berupa: 1) tindak lanjut dari program
informasional misalnya setelah mengetahui adanya teknologi
baru, ingin belajar menggunakannya, dan 2) pemberian keteram-
pilan baru sama sekali. Adapun program penyuluhan (Informa-
sional program) yaitu upaya PNF yang bertujuan untuk menye-
barkan informasi baru yang penting bagi masyarakat atau
kelompok social dalam rangka peningkatan taraf hidup dan
perbaikan lingkungan. Informasi tersebut berupa: perundang-
undangan, penemuan baru, peraturan atau kebijakan baru, dan
sebagainya yang perlu diketahui oleh seluruh warga negara.
12 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Ketua Senat UM yang saya hormati
Para hadirin yang saya mulyakan
Perkenankan saya akan menyampaikan kosep Masyarakat Desa
Hutan dalam perspektif teori sosiolog
B. Masyarakat Desa Hutan dalam Perspektif Teori Sosiologi
Hutan rakyat merupakan penomena yang relatif baru
dalam kamus kehutanan di Indonesia. Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok
Kehutanan istilah hutan rakyat belum dimasukkan secara pro-
porsional. Di dalam undang-undang tersebut istilah yang digu-
nakan adalah lahan milik rakyat yang ditanami pepohonan
(Simon, 1998). Sementara Departemen kehutanan mendefinisi-
kan hutan rakyat adalah:
“Suatu lapangan di luar hutan Negara yang didominasi oleh pohon-pohonan, sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan merupakanpersekutuan hidup alam hayati beserta lingkungannya. (Dephut,1993)”
Definisi tersebut hanya membedakan lahan yang dimiliki
pemerintah dan lahan yang dimiliki rakyat. Sedangkan menurut
kamus kehutanan, hutan rakyat adalah:
“Lahan milik rakyat atau milik adat atau ulayat yang secara terusmenerus diusahakan untuk usaha perhutanan yaitu jenis kayu-kayuan, baik tumbuh secara alami maupun hasil tanaman (KamusKehutanan, 1990)”.
Sedangkan definisi lain dikemukakan oleh Alrasyid (1973)
bahwa hutan rakyat adalah:
“Hutan yang dibangun di lahan milik atau gabungan lahan milikyang ditanami pohon dengan pembinaan dan pengelolaannya
13Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
dilakukan oleh pemiliknya atau badan usaha dengan berpedomanpada ketentuan-ketentuan yang telah digariskan pemerintah”.
Akhir-akhir ini berbagai pihak, termasuk Pemerintah dan
masyarakat yang peduli terhadap lingkungan sadar tentang hal
tersebut, misalnya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) mengembangkaan berbagai pendekatan untuk melibatkan
masyarakat petani dalam pengeloalaan hutan yang dikenal
dengan Perhutanan Sosial (social forestry). Pemerintah meng-
anggap penting pelibatan masyarakat sekitar hutan dengan
model kemitraan dalam pengelolaan hutan dengan sebutan
petani pesanggem dan petani magersaren. Petani pesanggem
dimaksud adalah petani penggarap lahan hutan yang tinggal di
luar hutan dengan sistem kontrak bagi hasil. Sedangkan petani
magersaren adalah petani yang tinggal di dalam hutan dan
biasanya mereka merupakan tenaga kerja dari suatu perusahaan
atau perkebunan milik rakyat. Kegiatan pelibatan petani pesang-
gem merupakan kegiatan yang saling menguntungkan (mutual
symbiosis). Petani dapat memperoleh penghasilan dari pola
tanam tumpangsari dan Perum Perhutani meperoleh keuntungan
tanaman mudanya dapat terpelihara dengan baik, di samping
itu lingkungan hutan juga terjamin kelestariannya. Apabila
program tersebut dilakukan dengan baik akan diperoleh multi
keuntungan, yaitu nilai ekonomi bagi petani dan pemerintah
juga keuntungan dengan hasil hutan serta terjaganya pelestarian
hutan sehingga kerugian akibat banjir dan longsor tidak terjadi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kearifan masyarakat dalam
melestarikan hutan baik hutan rakyat di daerah Gunung Kidul,
maupun hutan produksi dan hutan lindung di desa Sumber-
agung, desa Benjor di Kabupaten Malang memiliki arti penting
dalam menanggulangi deforestasi. Kegiatan pesanggem dalam
pelestarian hutan tidak sekedar memiliki makna dari aspek
kelestarian hutan, tetapi juga memiliki makna untuk memenuhi
14 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
kebutuhan hidup masyarakat sekitar hutan (San Afri Awang,
2001, 2006 dan Mundzir, 2005 dan 2006).
Konsep Perhutanan Sosial (Social Forestry) mengalami
perubahan dari tahun ke tahun dalam rangka pelibatan pesang-
gem dalam proses pengelolaan hutan di Jawa. Dalam seminar
internasional di Yogjakarta tahun 1994 dengan tema “Social
Forestry and Sustainable Development” terdapat beberapa
pengertian yang disepakati bahwa: 1) Perhutanan Sosial adalah
nama kolektivitas untuk strategi pengelolaan hutan yang membe-
rikan perhatian khusus kepada pemerataan distribusi produk
hasil hutan dalam kaitannya dengan kebutuhan berbagai kelom-
pok dalam masyarakat dan partisipasi aktif dari organisasi dan
penduduk lokal di dalam pengelolaan hutan, 2) perhutanan
sosial dapat diartikan sebagai suatu strategi pembangunan atau
intervensi rimbawan profesional dan organisasi pembangunan
lainnya dengan tujuan untuk menstimulasi keterlibatan aktif
penduduk lokal dalam berbagai macam kegiatan pengelolaan
hutan skala kecil, sebagai tujuan antara untuk meningkatkan
keadaan kehidupan masyarakat tersebut; 3) perhutanan sosial
adalah suatu strategi yang difokuskan pada pemecahan masalah
penduduk lokal di samping mengelola lingkungan wilayah.
Oleh karena itu hasil utama dari perhutanan sosial tidak hanya
kayu, namun hutan dapat diarahkan untuk memproduksi bera-
gam komoditas sesuai dengan kebutuhan masyarakat di wilayah
tersebut, termasuk kayu bakar, bahan makanan, pakan ternak,
buah-buahan, air, hewan, alam, keindahan, perburuan dan
sebagainya, 4) perhutanan sosial secara mendasar ditujukan
kepada peningkatan produktivitas, pemerataan dan kelestarian
dalam pembangunan sumberdaya hutan dan sumberdaya alam
melalui partisipasi aktif masyarakat. Paradigma perhutanan
sosial memiliki nilai-nilai esensial dalam pembangunan kehu-
tanan, yaitu memposisikan rakyat dan masyarakat yang utama
dalam pengelolaan, partisipasi dalam pengambilan keputusan
15Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
dan pemerataan sosial dan pentingnya peranan sistem asli
masyarakat serta mempertahankan biodiversitas (Awang, 2000).
Perhutanan Sosial yang diperluas maknanya menjadi
Perhutanan Masyarakat (community forestry) merupakan akses
besar yang harus dikembangkan dengan membangun masyarakat
sekitar hutan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. De-
ngan keberhasilan pembangunan tersebut paling tidak dapat
menjaga kelestarian hutan karena masyarakat sekitar hutan
juga dapat menikmati hasil hutan. Hasil penelitian hutan masya-
rakat di Gunung Kidul merupakan kisah keberhasilan pemba-
ngunan hutan dengan modal kemampuan dan kesabaran masya-
rakat (San Afri Awang, 2001).
1. Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan dalam Konteks
Sosiologi Mikro Makro
Pada bagian ini akan dibahas tentang konsep teori Integrasi
Mikro Makro Ritzer, yang merupakan perkembangan penting
dalam teori sosiologi terakhir. Dalam pembahasan ini juga
dihubungkan dengan konsep pendahulunya, seperti Karl Marx
dan Peter L Berger. Analisis teori Mikro Makro berawal dari
pemikiran dialektif Berger seperti juga dimiliki Karl Marx yang
menyadari bahwa manusia merupakan makhluk paradoksal, di
mana ciri paradoksal manusia itu tercermin dalam dunia inter-
subjektivitas. Menurut Parera dalam mukadimah bukunya Ber-
ger yang berujudul “The Construction of Reality” bahwa manusia
melihat kenyataan sosial yang diterima sebagai kenyataan ganda
bukan sebagai kenyataan sosial yang tunggal (Berger, 1966:
xx). Demikian pula pemikiran Berger tentang dialektik berangkat
dari konsep kenyataan di satu pihak dan pengetahuan di pihak
lain. Kenyataan diartikan sebagai suatu kualitas yang terdapat
dalam fenomena-fenomena yang diakui sebagai memiliki keber-
adaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak diri
16 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
sendiri dan tidak dapat meniadakan dengan angan-angan. Se-
dangkan pengetahuan diartikan sebagai kepastian bahwa feno-
mena-fenomena itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-
karakteristik yang spesifik (Berger, 1966:1). Pengetahuan dalam
konteks pembahasan Berger mengarah pada konsep sosiologi
pengetahuan sebagai disiplin ilmu yang menekuni analisis pem-
bentukan kenyataan oleh masyarakat (social construction of
reality) sedangkan kenyataan di pihak lain diartikan sebagai
kehidupan sehari-hari tidak hanya diterima begitu saja, tetapi
dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan
serta dipelihara sebagai sesuatu yang “nyata” oleh pikiran dan
tindakan tersebut. Lebih lanjut Berger menjelaskan dasar-dasar
pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari, yakni: objektivasi
(pengobjektifan) dari proses-proses subjektif, di mana dunia
akal sehat intersubjektif tersebut dibentuk. Pembahasan berikut-
nya tentang konsep ekstrem mikro makro, pergeseran menuju
integrasi mikro makro dan model integrasi mikro makro, serta
alasan pemilihan teori ini untuk menganalisis fenomena sosial
yang terjadi pada masyarakat pesanggem yang berada di pinggiran
hutan.
a. Dialektika dalam Perspektif Teori Berger
Pemikiran dialektika dalam konsep Berger dikembangkan
dari pemikiran Karl Marx tentang paradoksal manusia, di
mana manusia memandang kenyataan sosial yang bermakna
ganda, bukan bermakna tunggal. Pemahaman dialektika antara
kenyataan sosial dan eksistensi individu menurut Berger bukan
sama sekali hal baru, tetapi sudah didahului Marcel Mauss
(dalam Berger, 1966) di mana dia beranggapan bahwa pema-
haman tentang keseluruhan fakta sosial (total social fact) akan
dapat melindungi sosiologi terhadap reifikasi-reifikasi sosio-
17Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
logisme dan psikologisme yang mengakibatkan distorsi sosilogi.
Pemahaman konsep reifikasi menurut Berger (Berger, 1966:
128) bahwa fenomena-fenomena manusiawi seolah-olah diang-
gap sebagai benda-benda bukan manusiawi atau mungkin supra
manusiawi. Dengan demikian produk kegiatan manusia dianggap
bukan lagi produk manusia, seperti fakta-fakta alam, akibat
kosmis atau manifestasi kehendak Illahi. Reifikasi mengimpli-
kasikan bahwa manusia mampu melupakan kenyataan bahwa
manusia sendiri yang telah menghasilkan dunia manusiawinya
dan selanjutnya dialektika antara manusia yang memproduksi
dan produknya sudah hilang dalam kesadaran. Pemahaman
manusia terhadap dunia sekitarnya melalui proses objektivasi,
di mana dunia yang dihadapi mereka sebagai sesuatu yang
berada di luar diri manusia sendiri. Dengan demikian reifikasi
dapat dilukiskan sebagai suatu langkah ekstrem dalam proses
objektivasi, di mana dunia kehilangan sifatnya untuk dapat
dipahami sebagai suatu kegiatan manusia dan dipahami sebagai
suatu faktisitas yang beku, bukan manusiawi dan tidak dapat
dimanusiawikan. Sebetulnya pemahaman tentang kesadaran
manusia yang ditentukan oleh keberadaan sosial berangkat dari
proposisi yang berakar dari temuan Karl Marx yang akhirnya
berkembang bahwa pemikiran manusia yang tidak dapat terlepas
dari kenyataan yang mendasarinya dalam kehidupan sehari-
hari dan bukan pemikiran itu sendiri yang mempengaruhi
perkembangan pemikiran individu (Parera dalam Berger, 1966:
9). Pemikiran tersebut berkembang apa yang dinamakan sosio-
logi pengetahuan yang memahami kenyataan manusia sebagai
kenyataan yang dibangun secara sosial dan berimplikasi bahwa
sosiologi diakui sebagai suatu ilmu seperti ilmu-ilmu yang lain
yang memiliki objek kajian manusia sebagai manusia, sehingga
sosiologi memiliki arti spesifik, merupakan suatu disiplin ilmu
yang humanisitik. Suatu konsekwensi yang penting dari konsep
tersebut bahwa objek sosiologi adalah masyarakat sebagai
18 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
bagian dari suatu dunia manusiawi yang dibuat oleh manusia,
dihuni oleh manusia dan pada gilirannnya membuat manusia
berada dalam suatu proses yang berlangsung secara terus
menerus (Berger, 1966: 269). Dengan demikian masyarakat
tidak sekedar kumpulan manusia yang statis, tetapi manusia
yang dalam proses sosialisasinya membentuk suatu masyarakat,
di mana mereka berada di dalamnya. Lebih lanjut Berger
memandang bahwa masyarakat sebagai produk manusia dan
manusia sebagai produk masyarakat. Pemikiran Berger tersebut
juga didukung oleh pemahaman Parera (1966) dalam tulisan
pengantar penerbitan bukunya Berger yang berjudul “The Con-
struction of Reality” tahun 1966 bahwa manusia adalah pencipta
kenyataan sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi,
sebagaimana kenyataan objektif mempengaruhi kembali manusia
melalui proses internalisasi yang mencerminkan kenyataan
subjektif (Berger, 1966: xx). Oleh karena itu masyarakat berada
baik sebagai kenyataan objektif maupun subjektif, maka setiap
pemahaman teoretis yang dianggap memadai tentang masyarakat
harus mencakup kedua aspek tersebut. Cara pandang terhadap
masyarakat tersebut membawa kearah proses pemikiran dialek-
tis yang berjalan secara terus menerus dan terdiri dari tiga
momen, yaitu: 1) eksternalisasi, di mana individu penyesuaian
diri dengan dunia sosio kultural sebagai produk manusia, 2)
objektivasi adalah interaksi sosial dalam dunia subjektif dan 3)
internalisasi adalah aktivitas individu dalam mengidentifikasikan
diri dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat
individu menjadi anggotanya (Berger, 1966: 185).
Pembahasan teori mikro makro dalam kajian Ritzer
merupakan lanjutan pembahasan teori dialektif Berger dalam
memandang kenyataan sosial dalam perspektif teori posiitivis
di mana pemikiran tentang masyarakat sebagai kenyataan
objektif di satu pihak, sedangkan di pihak lain terdapat kenyataan
19Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
sosial yang dibangun oleh individu dalam perspektif teori
subjektivis, di mana masyarakat dilihat berdasarkan kenyataan
subjektif. Konsep teori mikro makro Ritzer lebih menekankan
pada kenyataan hidup saling berhubungan antar komponen
dalam bermasyarakat yang dibagi dalam empat dimensi dalam
dua paradigma, tidak dalam tarap pemikiran sebagaimana dikon-
sepsikan oleh Berger bahwa dialektika adalah suatu proses di
mana masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai
produk masyarakat.
b. Ekstremisme Mikro Makro
Pembagian dan penafsiran secara ekstrem kedua jenis
aliran telah mernimbulkan konflik antara teori mikroskofik
dan makroskofik ekstrem yang mengakibatkan penafsiran teori
sosiologi menurut mereka masing-masing (Archer, 1982, Goul-
der, 1970, Wardell dan Turner, 1986 dan Wiley, 1985 dalam
Ritzer, 2003: 472- 473). Meskipun terdapat kemungkinan
untuk menafsirkan teoretisi sosiologi klasik seperti Marx,
Durkheim, Weber dan Simmel, sebagai teoretisi ekstrem mikro
dan makro, namun perspektif yang berpengaruh adalah
perhatian hubungan mikro-makro (Moscovici, 1993 dalam
Ritzer, 2003: 472). Menurut Ritzer, Marx dapat dipandang
sebagai teoretisi yang tertarik pada dampak penggunaan koersif
dan mengasingkan dari masyarakat kapitalis terhadap buruh
secara individual, sedangkan Weber yang mempunyai perhatian
terhadap keburukan individu dalam kurungan besi masyarakat
rasional formal. Adapun Simmel, menurut Ritzer lebih
memperhatikan hubungan antara kultur objektif (makro) dan
subjektif (individual atau mikro), begitu pula dengan Durkheim
yang memusatkan perhatian pada pengaruh fakta sosial tingkat
makro terhadap individu dan terhadap perilaku individu dalam
20 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
kasus bunuh diri. Apabila dilihat dari pelukisan watak teoretisi
sosiologi klasik tersebut, maka akan kelihatan bahwa para ahli
sosiologi pada pertengahan abad ke 20 telah kehilangan per-
hatian terhadap hubungan tersebut, dan ada dominasi ekstrem
mikro dan makro atau paling tidak lebih menonjolkan satu
teori dari kubu mikro atas teori yang lain dalam kubu makro
atau sebaliknya.
c. Pergeseran Menuju Mikro-Makro
Meskipun ekstremisme mikro-makro menandai banyak-
nya teori sosiologi pada abad ke-20, namun pada tahun 1980-
an terlihat gerakan menjauh dari keekstreman tersebut, yang
sebagian besar dalam aliran sosiologi Amerika, menuju konsen-
sus luas kearah integrasi mikro-makro atau pada tingkat analisis
sosial. Pendekatan ini mencerminkan perubahan diam-diam
yang terjadi pada tahun 1970-an ketika Kemeny menyatakan
bahwa sangat kecil perhatian yang diberikan terhadap perbedaan
istilah mikro-makro, bahkan tidak dimasukkan dalam indeks
dalam karya sosilogi (Ritzer 2003: 474). Menurut Ritzer per-
kembangan yang sangat dramatis terjadi pada tahun 1980-an
dan 1990-an di mana karya teoretisi memusatkan perhatian
hubungan mirko-makro pada masa sebelumnya yang hanya
menekankan hubungan antara teori berskala kecil dan besar
dalam karya HelmutWagner (1964), yang selajutanya pada
tahun 1969, perkembangan tersebut mengarah pada pemba-
hasan kontinum mikro-makro tetapi hanya menempati peran
sekunder dalam analisisnya justru menjadi salah satu perintang
dalam taksonomi dasar teori sosiologi yang dikembangkannya.
Baru pada tahun 1980 an karya tentang hubungan mikro-
makro nampak lebih jelas. Collins menyatakan bahwa karya
tentang topik mikro-makro menjanjikan bidang kemajuan teo-
21Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
retis signifikan di masa mendatang (Collins, 1986 dalam Ritzer,
2003: 474). Dan lebih lanjut Helle dan Eisentadt, (1985),
menyimpulkan bahwa konfrontasi antara mikro-makro mestinya
sudah berlalu, demikian pula menurut dalam ontology The
Micro Macro Link (Munch dan Smelser dalam Alexander, dkk.
1987 dalam Ritzer, 2003: 474) menegaskan bahwa “orang yang
mempolemikkan bahwa satu tingkat lebih fundamental dari
yang lain, seharusnya dipandang keliru”. Terdapat dua butir
utama tentang karya integrasi mikro-makro, beberapa teoreti
memusatkan perhatian untuk mengintegrasikan teori mikro
dan makro, sedangkan teoreti lainya memusatkan untuk mem-
bangun sebuah teori yang membahas hubungan antara tingkat
mikro dan makro dari analisis sosial. Terdapat perbedaan
penting antara upaya untuk mengintegrasikan teori makro
(fungsionalisme struktural) dan teori mikro (interaksi simbolik)
dan upaya membangun sebuah teori yang dapat menjelaskan
hubungan antara analisis sosial tingkat mikro (persepsi) dan
analisis sosial tingkat makro (struktur sosial).
d. Model Integrasi Mikro Makro Ritzer
Pola pemikiran Ritzer tentang integrasi mikro-makro
telah dimulai oleh para pendahulunya, antara lain; Abraham
Edel, George Garvitch dan Bosserman. Menurut Ritzer, Gur-
vitch bekerja dengan keyakinan bahwa kehidupan sosial dapat
dikaji dari aspek lima level “horizontal” atau level mikro-
makro (Ritzer, 2003: 475). Ke lima level tersebut, adalah: 1)
bentuk-bentuk sosialitas, 2) pengelompokan, 3) kelas sosial, 4)
struktur sosial dan 5) struktur global. Karya Ritzer tentang
integrasi paradigma sosiologi sebagian dimotivasi oleh kebutuhan
untuk membangun sebuah model analisis yang lebih sederhana
berdasarkan pemikiran Gurvitch tersebut. Dimulai dari konti-
22 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
num mikro-makro 5 tingkat horizontal model Gurvitch yang
bergerak dari pemikiran dan tindakan individual ke sistem
dunia ke dalam enam tingkat, antara lain: 1) sistem dunia, 2)
masyarakat, 3) organisasi, 4) kelompok, 5) interaksi dan 6)
pikiran dan tindakan individu (Ritzer, 2003: A-17). Untuk lebih
memperjelas keterkaitan antara mikro makro dengan enam
tingkat tersebut dapat diikuti dalam diagram sebagai berikut.
Diagram: Garis Kontinum Mikro Makro Model Gurvitch
Kajian mikro-makro ini ditambah kontinum subjektif-
objektif dalam tiga tingkat yang bergerak dari: 1) konstruksi
sosial tentang realitas, norma dan sebagainya, 2) kombinasi
dalam berbagai tingkat unsur objektif dan subjektif, 3) aktor
tindakan, interaksi, struktur, birokrasi, hukum dan sebagainya.
Untuk lebih memperjelas pemahaman tentang pendekatan ob-
jektif subjektif dengan tiga tingkat tersebut dapat diikuti dia-
gram sebagai berikut.
Pikiran
dan
Tindakan
individu
Inter
aksi
Ke
lom
pok
Orga
nisa
si
Ma
sya
ra
kat
Sis
tem
du
nia
Mikroskopik Makroskopik
23Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
Diagram: Garis Kontinum Objektif Subjektif Model Gurvitch
Berdasarkan pemikiran Gurvitch dengan dua model makro
mikrto dengan enam tingkat ditambah objektif subjektif dengan
tiga tingkat tersebut, Ritzer berusaha untuk menyederhanakan
dan mempermudah pemahaman dengan cara menyilangkan dua
kontinum untuk menghasilkan empat tingkat analisis sosial.
Upaya yang dilakukan Ritzer tersebut jauh lebih mudah dipa-
hami ketimbang sembilan tingkat terpisah dalam model Gur-
vitch. Pola pemikiran Ritzer dalam kategori empat tingkat
menyilang dan saling berhubungan dapat dilihat dalam model
sebagai berikut.Sumber: Ritzer, 2003:476
Objektif Subjektif
Aktor, tindakan,
interaksi
struktur,
birokrasi,
hukum dsb
Kombinasi dalam
berbagai
tingkat
unsure
objektif dan
subjektif,
Konstruksi social tentang
realitas,
norma dsb
24 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Sumber: Ritzer, 2003:476
Diagram: Hubungan Mikro Makro dengan Subjektif PositifModel Ritzer
Dilihat dari sudut masalah mikro makro, menurut Ritzer
isu masalah sosial tidak dapat dijelaskan terlepas dari kontinum
objektif-subjektif. Seluruh fenomena sosial mikro makro adalah
fenomena objektif atau subjektif. Dengan demikian konse-
kuensinya adalah terdapat empat tingkat utama analisis sosial
dan para sosiolog harus memusatkan perhatian pada hubungan
dialektik dari keempat tingkat analisis tersebut. Tingkat makro
objektif meliputi: realitas material berskala luas seperti: masya-
rakat, birokrasi, dan teknologi. Tingkat makro subjektif meli-
puti: fenomena non material bersekala luas, misalnya: norma
dan nilai. Di tingkat mikro objektif meliputi kesatuan objektif
bersekala kecil, seperti: pola tindakan, interaksi, sedangkan
subjektivitas mikro meliputi proses mental berskala kecil,
Makroskopik
Positif
Makro-Objektif
Contoh: Undang-
Undang, Hukum,
masyarakat
Makro-Subjektif
contoh: budaya, norma
dan nilai
Subjektif
Mikro-Objektif
Contohnya: pola
perilaku, tindakan
dan interaksi
Mikro-Subjektif
Contohnya: persepsi,
dan keyakinan individu
yang membangun
realitas sosial
Mikroskopik
25Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
seperti: persepsi, keyakinan individu yang membangun realitas
sosial. Masing-masing keempat tingkat analisis ini mempunyai
arti penting sendiri-sendiri, tetapi yang paling penting adalah
hubungan dialektik di antara keempatnya.
2. Masyarakat Desa Hutan dalam Perspektif Integrasi Mikro
Makro
Masyarakat desa hutan sebagian besar merupakan masya-
rakat pinggiran hutan banyak berhubungan dengan berbagai
macam lembaga, baik lembaga yang berkaitan dengan layanan
publik, seperti pemerintahan desa, dinas kehutanan, perum
Perhutani, maupun lembaga sosial, misalnya Lembaga Pemberda-
yaan Masyarakat Desa (LPMD), Kelompok Pesanggem (KP),
Kelompok Keagamaan dan sebagainya. Pendekatan Makro
Mikro Ritzer apabila digunakan untuk menjelaskan fenomena
sosial dalam masyarakat dapat mendeskripsikan berbagai kom-
ponen kemasyarakatan, baik dari aspek struktur sosial maupun
dinamika sosialnya. Komponen masyarakat desa hutan menurut
pendekatan mikro makro Ritzer, dapat dikatagorikan sebagai
berikut: 1) Pesanggem sebagai individu dengan keyakinan dan
persepsinya terhadap hutan, tidak dapat dilepaskan dengan
aturan-aturan perudang-undangan yang berlaku, baik peraturan
yang terkait dengan undang-undang kehutanan maupun undang-
undang otonomi daerah. Dalam kenyataan sosial yang objektif
pesanggem harus tunduk pada aturan yang dibuat oleh negara,
baik Pemerintah (baca: Pemerintah Pusat) maupun pemerintah
daerah. Pesanggem melalukan penyesuaian diri terhadap pera-
turan perundang-undangan melalui proses eksternalisasi. 2) KP
sebagai kelompok pesanggem yang peduli terhadap hutan,
karena fungsi lembaga yang memiliki aktivitas memelihara
kelestarian hutan yang sekaligus sebagai mitra Perum Perhutani.
3) Masyarakat desa hutan merupakan masyarakat pinggiran
26 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
hutan yang memiliki budaya melestarikan hutan, 4) Perum
Perhutani sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap
pengelolaan hutan dengan perangkat perundangannya dan 5)
Pemerintah desa pinggiran hutan dengan seluruh perangkat
desanya. Ke lima komponen tersebut mempunyai hubungan
dialektik dalam proses pelestarian hutan pada masyarakat
desa. Secara rinci hubungan dialektik dalam konsep teori
mikro-makro Ritzer tersebut dapat diikuti dalam diagram seba-
gai berikut.
Diagram: Hubungan antar Aspek Kehidupan dalam Masyarakatmenurut Pendekatan Mikro Makro Ritzer
Kajian lain tentang berbagai faktor yang terkait dengan
lingkungan hidup terutama manusia yang hidup di pinggiran
hutan dilakukan oleh The International Forestry Resources and
Institutions (IFRI) bahwa manusia memiliki dorongan dan
Mikro subjektif:
Persepsi individu
thd pelestarian hutan
di desa Hutan
Makro Objektif:
Struktur masyarakat
desa dan UU tentang
Kehutanan
Mikro objektif:
Partispasi pesanggem
dlm upaya pelestarian
hutan melalui
Kelompok Petani
Hutan
Objektif Subjektif
Makro subjektif:
Norma yg berlaku
dlm Msyarakat Desa
Hutan
Makroskopik
Mikroskopik
27Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
perilaku yang dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi dan
demografi akan menjadi tantangan dalam ekosistem hutan
lokal. Kegiatan masyarakat sekitar hutan tersebut dapat menim-
bulkan kerusakan hutan dan akan berdampak terjadinya gang-
guan kerusakan hutan secara fisik baik lokal maupun global
dan selanjutnya dapat mempengaruhi faktor sosial ekonomi
dan demografi masyarakat secara keseluruhan. Faktor sosial
ekonomi dan demogarfi tersebut selanjutan mempengaruhi
motivasi dan perilaku mereka terhadap ekosistem lingkungan
hutan lokal, di mana mereka bertempat tinggal. Di samping itu
juga terdapat faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah
faktor kelembagaan yang mempunyai hubungan timbal balik
dengan perilaku dan dorongan manusia dan juga mempunyai
hubungan dengan faktor sosial ekonomi dan demografi. Demi-
kian pula gambaran tentang kerusakan hutan dan hilangnya
biodiversitas yang disebabkan oleh dorongan dan perilaku
manusia. Untuk menjelaskan tentang deforestasi dan hilangnya
biodiversitas Program riset IFRI menggambarkan dalam pe-
ngembangan kerangka kerja oleh The Institutional Analysis and
Development (IAD) dan digunakan oleh asosiasi koleganya
dalam suatu workshop tentang Analisis Kebijakan dan Teori
Politik di Indiana University Kiser and Ostrom, 1982, Ostrom,
1986, Oakerson, 1992; Ostrom, Gadner, and Walker, 1994
dalam Gibson, 2000: 8). Secara lebih jelas gambaran hubungan
dorongan dan perilaku manusia dengan faktor sosial ekonomi
dan demografi serta respon ekosistem hutan lokal dengan
kelembagaan dapat dilihat dalam diagram sebagai berikut.
28 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Sumber: Gibson, 2000: 9
3. Masyarakat Desa Hutan dalam Perspektif Budaya Jawa
a. Realitas dalam Perspektif Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa memiliki pandangan hidup bahwa
realitas tidak dapat dibagi dalam berbagai aspek yang terpisah-
pisah tanpa ada hubungan satu dengan yang lain, misalnya
sikap terhadap alam tidak terpisahkan dengan dengan sikap
sosial, dan sikap religius tidak terpisahkan dengan non religius
(alam). Demikian juga masalah pekerjaan, interaksi dan doa
tidak ada perbedaan yang hakiki (Mulder, 1973 dalam Suseno,
2003: 82). Realitas merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh,
di mana manusia memberi suatu struktur yang bermakna
berdasarkan alam pengalaman. (Suseno, 2003: 82). Pandangan
dunia bagi orang Jawa bukanlah suatu pengertian yang abstrak,
melainkan berfungsi sebagai sarana dalam usahanya untuk
mencapai keberhasilan dalam menghadapi masalah kehidupan.
Global and Local
Physical Factors Local Forest
Ecosystem Response
Human Incentives
and Behavior Socio economic and
Demographic Factors
Institutional Factors
29Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
Lebih lanjut Suseno mengatakan bahwa orang Jawa tidak
memisahkan antara teori dan praksis sebagaimana pola pikir
orang Eropa jaman sekarang. Pandangan dunia orang Jawa
tidak terpisah dengan kelakuan dalam dunia, sehingga keyakinan
yang dimiliki dapat membuat ketenangan batin dan dapat
mewujudkan suatu kesatuan pengalaman yang harmonis dalam
menjalani kehidupan. Demikian pula pendapat Robert Jay
(dalam Suseno, 2003: 83) tentang kelakuan orang Jawa, dika-
takan bahwa orang Jawa lebih banyak mempunyai perhatian
terhadap dunia sana demi dunia sini dari pada sebaliknya.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang orang Jawa tersebut
dapat dikatakan bahwa orang Jawa memiliki pandangan bahwa
kehidupan di dunia tidak terlepas dari kehidupan di akhirat.
Kelakukan sehari-hari dikontrol oleh keyakinan tentang adanya
kekuasaan yang menentukan kehidupan di alam akhirat. Uraian
berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang realitas sebagai
suatu kesatuan hidup, dan prinsip kehidupan masyarakat Jawa.
1) Realitas sebagai Suatu Kesatuan Hidup
Mentalitas bangsa Indonesia terutama masyarakat Jawa
berakar pada alam pikiran monisme, di mana alam pikiran
mendarah daging dan bertengger begitu kuatnya dalam batin.
Alam pikiran monisme berintikan faham kemanunggalan; ma-
nunggal antara jagad ageng dengan jagad alit (baca: makro dan
mikro kosmos), manunggal antara dunia materi dengan dunia
batin, manunggal antara dunia nyata dengan gaib, dan manunggal
pula antara Tuhan dengan makhluk ciptaan Nya. (Koentjara-
ningrat, 1992; Suseno, 2003; Koentjaraningrat, 2002; Soesilo,
2005). Inti pandangan masyarakat Jawa mengandung makna
bahwa manusia sebagai individu dan juga suatu masyarakat
atau bangsa, bukanlah diri yang otonom, tetapi ia adalah “satu
– menyatu – manunggal” di dalam totalitas semesta. Soal sakit,
30 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
makmur, bencana, keselamatan dan sebagainya, bukanlah soal
diri sendiri, tetapi totalitas semesta; apapun yang terjadi di
kolong langit ini, semuanya tidak terlepas dari misteri dan daya
totalitas semesta.
Di dalam totalitas semesta ini, diri manusia orang seorang
dan diri masyarakat berkewajiban untuk berbuat yang laras
santun, tidak melakukan loncatan-loncatan serta kejutan-
kejutan; keselamatan orang seorang dan masyarakat luas terletak
pada perbuatan yang laras santun. Kalau tidak, akan timbul
mara bahaya, malapetaka, kesengsaraaan, bencana, dan hal
tersebut merupakan suatu pertanda dari totalitas semesta yang
lagi “goncang – ngambek - murka” terhadap ulah yang tidak
laras santun. Kalau terjadi bencana, kesengsaraan, wabah, atau
masalah serta krisis apa saja, selalu dipulangkan pada angkara
murka yang disebabkan oleh dosa-dosa manusia.
Sisi lain dari alam pikiran monisme ialah memandang
totalitas semesta sebagai suatu wadah ber “daya” dan sakral.
Kesakralannya tersebar dan dikembalikan pada bagian-bagian
tertentu semesta, seperti pada pohon beringin, pohon aren,
kuburan, benda-benda pusaka, para wali, para kyai, para dukun,
para pemimpin yang memperoleh wangsit dan sebagainya.
Bagian-bagian semesta yang dipandang keramat dan sakral
itulah tempat orang “berserah diri dan mengadukan nasibnya”,
termasuk tempat memintakan keselamatan dan supaya dijauhkan
dari aneka macam mara bahaya atau bencana; pintu berkah
dan tata tentrem tempatnya pada bagian-bagian semesta yang
dipandang keramat dan sakral tadi, karenanya orang kebanyakan
harus pandai-pandai berbuat santun (termasuk memuja) alamat-
alamat sakral dimaksud.
Bawaan lain dari sikap hidup laras santun yang dituntut
oleh monisme, ialah mengerasnya tuntutan untuk senantiasa
memelihara cara-cara hidup yang telah diadatkan secara turun
temurun. Melakukan kejutan, lompatan-lompatan yang lain
31Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
dari biasanya, sama saja dengan berbuat “tidak tahu adat”
mengundang “bencana” dan itu bukanlah tingkah laku terpuji.
Dalam hubungan ini, sangat dituntut untuk menoleh kebelakang,
yaitu bercermin pada cara-cara hidup nenek moyang, meladeni
para leluhur, senantiasa meminta dan menanti restu dari orang-
orang sepuh. Dengan demikian terjadilah apa yang disebut
kontinuitas kebudayaan. Masih dalam hubungan ini, juga
dituntut sikap hidup yang berupa komunalisme; yang pertama-
tama dan utama ialah kepentingan bersama dan kebersamaan
itu sendiri, termasuk di dalamnya sikap tenggang rasa, kompro-
misme dan hilangnya kemerdekaan individualitas. Berpikir diri
sendiri, apalagi yang tidak diselaraskan dengan “suara orang
banyak” akan dicap sebagai pribadi yang tidak tahu adat.
Karenanya, menjadi “binatang ekonomi”, menganut paham
“demokrasi ala barat” – bersikap ambisius, akan dipandang
tidak sejalan dengan pesan para leluhur yang menjunjung tinggi
komunalisme dan tata tenteram kebersamaan.
Dampak dari alam pikiran monisme tersebut terhadap
gerak maju masyarakat Indonesia tentu saja sangat besar. Para
pengamat kebudayaan seperti Koentjaraningrat, Mukhtar Lubis,
Mulder, Geertz, kesemuanya mengakui berat dan sukarnya
menembus imbas rintangan mentalitas serupa untuk membangun
landasan pacu sebagai tempat lepas landas membangun bangsa
menuju masyarakat modern. Hal tersebut sudah terbukti dari
gagalnya pembangunan masyarakat Indonesia pada era Orde
Baru untuk lepas landas pada tahap pembangunan pelita ke
lima dan hal tersebut sudah diramal oleh Koento Wibisono
(1983). Akibat dari kegagalan tersebut masyarakat Indonesia
mengalami krisis berkepanjangan dan mulai membangun bangsa
dari titik nol kembali yang mengalami kesulitan untuk memutus
mata rantai kebijakan yang salah dalam melaksanakan pemba-
ngunan. Ini dapat dipahami, sebab setiap upaya modernisasi
dan pembangunan, selamanya selalu menuntut penyesuaian-
32 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
penyesuaian struktural dari tata kehidupan dan penghidupan
suatu masyarakat. Dalam proses tersebut tidak dapat dihindari
destrukturasi dan strukturasi, suatu proses yang jelas-jelas
mesti berhadapan dengan tatanan masyarakat di Indonesia.
Tatanan tersebut begitu mapan mentradisi serta mengeras
begitu kuatnya, dan itulah rintangan teramat besarnya bagi
upaya modernisasi serta pembangunan di tanah air ini. Tatanan
yang mengeras dan mentradisi tersebut, apabila ditelusuri,
sebenarnya merupakan buah atau produk dari “kurikulum”
kemasyarakatan yang selama ini menyertai perjalanan sejarah
bangsa ini.
2) Kaidah Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa
Kajian kaidah dasar kehidupan masyarakata Jawa dalam
pembahasan berikut merupakan kerangka acuan yang seharusnya
dimiliki oleh masyarakat Jawa. Kerangka acuan tersebut dikem-
bangkan berdasarkan konstruksi dari struktur teoretis oleh
Suseno untuk memudahkan dalam mengklasifikasikan sikap
dan kelakuan orang Jawa dalam dua katagori prinsip hidup
(Suseno, 2003: 38). Ke dua prinsip hidup tersebut adalah
prinsip hidup rukun dan prinsip hidup hormat. Untuk lebih
memperjelas ke dua prinsip tersebut akan diuraikan secara
lebih rinci sebagai berikut.
a) Prinsip Kerukunan
Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan
masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Rukun menurut
Suseno, berarti “berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan
tenteram”, “tanpa perselisihan dan pertentangan”, serta “bersatu
dalam maksud untuk saling membantu”. Keadaan rukun terdapat
di mana sesama pihak berada dalam keadaan damai satu sama
33Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
lain, suka kerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang
dan sepakat. (Suseno, 2003: 39). Rukun menurut Jay (Jay, 1969
dalam Suseno, 2003) merujuk pada cara bertindak. Demikian
pula rukun menurut Geertz Geertz, 1961 dalam Sosesno,
2003) berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam
masyarakat atau antar pribadi-pribadi sehingga hubungan sosial
tetap kelihatan selaras dan baik-baik. Berdasarkan beberapa
pengertian tentang rukun dapat diartikan bahwa rukun merujuk
pada cara bertindak agar dapat saling menerima untuk menghin-
dari pertentangan antara seseorang dengan orang lain. Rukun
merupakan suatu tuntunan yang dianut oleh setiap orang Jawa
agar dapat menciptakan keadaan masyarakat yang harmonis.
Tuntunan kerukunan merupakan kaidah penata masyarakat
yang menyeluruh, mengandung dua segi, yaitu: a) prinsip keru-
kunan berdasarkan pandangan Jawa tentang eksistensi kesela-
rasan terjadi dalam keadaan normal, b) prinsip kerukunan
tidak terkait dengan sikap batin atau keadaan jiwa, melainkan
penjagaan keselarasan dalam pergaulan. Prinsip kerukunan
pertama berdasarkan pandangan bahwa kondisi sosial pada
dasarnya adalah tenteram, sebagaimana kondisi air laut yang
tidak terkena angin, atau goncangan gempa atau adanya kapal
yang melintas. Sedangkan prinsip kerukunan ke dua mengan-
dung makna pencegahan agar tidak terjadi konflik terbuka.
Prinsip ini lebih menekankan pada pengaturan hubungan sosial
yang nampak dalam pergaulan sehari-hari. Sehubungan dengan
hal tersebut Willner (1970) mengemukakan bahwa prinsip
kerukunan bukan prinsip keselarasan tetapi prinsip pencegahan
konflik ( Wilner, 1970 dalam Suseno, 2003: 40).
b) Prinsip Hormat
Prinsip hormat adalah prinsip yang mengatur pola inter-
aksi sosial dalam masyarakat Jawa. Prinsip tersebut menekankan
34 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
bahwa setiap orang dalam berbicara dan membawa diri selalu
harus menunjukkan sikap hormat kepada orang lain sesuai
dengan drajat dan kedudukannya. Interaksi sosial dalam ma-
syarakat Jawa membedakan individu sesuai dengan drajat
(startifikasi sosial) masing-masing, misalnya dalam berkomuni-
kasi, rakyat kecil (wong cilik) seharusnya menggunakan bahasa
halus atau paling tidak kromo inggil apabila berhadapan dengan
oarng yang lebih tinggi drajatnya. Demikian pula dalam berkomu-
nikasi antara bawahan atau staf pada suatu lembaga, bawahan
atau staf tersebut harus hormat dengan menggunakan bahasa
halus atau paling tidak kromo inggil dengan pimpinannya.
Sikap hormat juga dapat ditujukkan dalam bentuk perilaku
yang nampak seperti menundukkan kepala apabila berpapasan
dengan atasannya, atau tidak memandang wajah atasannya
secara lansung apabila sedang diajak berbicara. Prinsip hormat
dalam masyarakat Jawa tertanam dalam bentuk bahasa Jawa
yang menggunakan tingkatan dari bahasa kromo halus, kromo
inggil dan ngoko. Bahasa Jawa pada umumnya dipakai secara
aktif di pedesaan dengan berbagai tingkatan. Bahasa tersebut
sengaja diajarkan dan diparaktikan dalam kehidupan sehari-
hari baik dalam keluarga maupun dalam tatanan masyarakat.
Orang tua di Jawa terutama di Jawa Tengah atau Jawa Timur
bagian barat selalu menggunakan bahasa ngoko terhadap
anaknya, dan sebaliknya seorang anak dididik sejak kecil untuk
menggunakan bahasa kromo halus, atau kromo inggil apabila
terjadi pembicaraan keduanya, kecuali dalam proses membe-
lajarkan anak-anak agar dapat menggunakan bahasa dengan
benar. Proses pembelajaran bahasa jawa dalam keluarga dila-
kukan oleh orang tua pada saat berkomunikasi dengan anaknya
dengan menggunakan bahasa halus kepada anaknya dan sebalik-
nya anaknya juga menggunakan bahasa halus kepada orang
tuanya. Penggunaan bahasa Jawa tersebut telah membudaya
dalam masyarakat Jawa, apabila tidak dilakukan dalam berko-
35Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
munikasi sesuai dengan norma tersebut, mereka dianggap sudah
tidak berbudaya jawa atau disebut kodo atau gak jowo.
b. Partisipasi menurut Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti.
1) Konsep Partisipasi dalam Masyarakat Jawa
Partisipasi dalam konteks budaya Jawa merupakan
aktivitas interaksi sosial secara horizontal. Konsep tersebut
merupakan ajaran dari Sri Mangkunegara I yang bernama
Raden Mas Said yang terkenal sebagai Pangeran Sambernyawa
(Soesilo, 2005:135). Ajaran tersebut dikenal dengan Tri Dharma,
di mana inti ajarannya mengandung tiga unsur, yaitu: 1)
rumangsa melu handarbeni (merasa memiliki), 2) wajib melu
hangrukebi (harus ikut merengkuh), dan 3) mulat sarira hangrasa
wani (berpikir dengan berani).
a) Rumangsa melu handarbeni merupakan ajaran di mana
setiap masyarakat Jawa dalam melakukan pengabdian ter-
hadap pemerintah atau kepada atasan dalam bentuk memi-
liki program yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui
pimpinan sebagai wujud kemanunggalkan rakyat dengan
para pimpinannya. Artinya setiap program pemerintah ma-
syarakat merasa memilikinya. Konsep merasa memiliki bu-
kan mempunyai hak untuk memiliki (ndaku), tetapi bersama
mengaku bahwa program tersebut adalah milik bersama.
Dengan demikian program pemerintah juga merupakan
program rakyat secara keseluruhan.
b) Wajib melu hangrukebi memiliki makna masyarakat wajib
bertanggung atas keberhasilan program pemerintah, di
mana mereka merasa ikut memiliki program tersebut. Pe-
ngertian wajib dalam konteks budaya Jawa berbeda dengan
wajib dalam konteks ajaran Islam. Wajib dalam budaya
Jawa merupakan suatu keharusan dalam memikul tanggung
36 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
jawab tidak mempunyai implikasi dosa seperti dalam ajaran
Islam.
c) Mulat sarira hangrasa wani memiliki makna bahwa masya-
rakat Jawa selalu melakukan mawas diri (introspeksi) dan
merasa berani melakukan sesuatu atas dasar norma yang
berlaku, tidak boleh berlebihan. Pengertian merasa berani
melakukan terkait dengan partisipasi dalam pemanfaatan
hasil, di mana masyarakat tidak boleh memanfaatkan secara
berlebihan dari keberhasilan program. Ajaran Tri Dharma
tersebut melekat pada masyarakat bawah terutama masya-
rakat petani termasuk petani pesanggem. Mereka mema-
hami betul bahwa kepemilikan lahan andil dalam konteks
budaya rumangsa melu handarbeni, wajib melu hangrukebi,
mulat sarira hangrasa wani. Mereka betul-betul merasa
memiliki sehingga ikut bertanggung jawab atas keberhasilan
tanaman yang ada di lahan andil dan apabila memanfaatkan
hasil lahan andil sesuai dengan kebutuhan sehari-hari dan
tidak berlebihan apalagi untuk dijual.
2) Partispasi Pesanggem dalam Pelestarian Hutan
Berdasarkan falsafah hidup manunggaling Kawula Gusti
dalam ajaran Tri Dharma tentang rumangsa melu handarbeni,
wajib melu hangrukebi, mulat sarira hangrasa wani, maka
petani pesanggem sebagai bagian dari Masyarakat Desa Hutan
mereka menerima norma yang berlaku di masyarakat maupun
peraturan perundang-undangan dari Pemerintah atau Perum
Perhutani. Kepatuhan terhadap norma yang berlaku di masyara-
kat dan peraturan perundang-undangan tidak terlepas dari
konteks budaya Jawa yang lain tentang pola hidup tentrem,
bahagia dan nrima ing pandhum. Konsep bahagia mengacu
pada budaya ilmu Bejo atau Begjo (bahagia), di mana hidup itu
37Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
tidak boleh ngongso (memaksa) karena ngongso iku marakke
brahala (memaksa itu menyebabkan kerusakan). Ilmu bejo
berasal dari ajaran Ki Ageng Surya Mataram yang intinya
mengajak warga masyarakat agar hidup sederhana, jangan
terlalu muluk-muluk, dan jangan neka-neka, karena cita-cita
atau tujuan hidup itu seperti karet yang dapat ditarik ulur.
Hidup hendaknya diatur berdasarkan kemauan, kemampuan
dan kekuatan agar keinginan dapat tercapai dan dapat hidup
senang dan bahagia ( Soesilo, 2005: 230). Ajaran hidup bahagia
tersebut tertuang pitutur singkat yang diajarkan pada pengikutnya
sebagai berikut.
Bungah susah wis dadi sandange manungsa.
Bungah yen keturutan karepe, susah yen ora.
Wondene karep iku bisa diumpamake karet bisa mulur lan bisamengkeret gumantung manungsane.
Mula yen duwe karep samadya bae supaya seneng katurutankarepe.
(Soesilo, 2005: 228)
Artinya:
Bahagia dan sedih itu sudah melekat (seperti pakaian) pada manu-sia.
Bahagia apabila tercapai kemauannya dan sedih apabila tidaktercapaai kemauannya.
Demikian pula kemauan itu dapat diumpamakan seperti karetdapat ditarik ulur tergantung pada manusianya.
Oleh karena itu kalau memiliki kemauan harus diukur sesuaidengan kemampuannya agar dapat tercapai kemauan tersebut.
38 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Makna ajaran tersebut sangat melakat bagi orang Jawa
terutama di pedesaan, sehingga orang Jawa terkenal nrimo
(menerima apa adanya) dalam setiap perilaku keseharian, ter-
utama dalam menentukan tujuan hidup. Pengaruh ajaran ini
sampai juga pada masyarakat desa hutan (MDH) yang dibina
oleh Perum Perhutani di Desa Benjor, Kecamatan Tumpang,
Kabupaten Malang. Hasil penelitian menujukkan bahwa masya-
rakat Desa Benjor hidup secara sederhana dan tidak neko-neko
(aneh-aneh), mereka lebih tenang dengan kehidupan sebagai
pesanggem ketimbang merantau ke luar desa yang belum tentu
keberhasilannya. (Mundzir, 2005). Mereka umumnya hanya
memiliki tingkat pendidikan setara dengan sekolah dasar dan
sangat sedikit sekali yang memiliki pendidikan pada tingkat
sekolah lanjutan apalagi perguruan tinggi.
Pada sisi lain partisipasi pesanggem terhadap program
pelestarian hutan dapat dimaknai dalam konteks budaya Jawa,
di mana partispasi pesanggem merupakan manifestasi dari rasa
menunggaling warga masyarakat sebagai kawula terhadap peme-
rintah dalam arti sebagai Gusti panutan masyarakat. Mereka
mengerjakan apa saja yang terkait dengan pengelolaan hutan
atas dasar pengabdian masyarakat terhadap pemerintah dalam
hal ini adalah Perum Perhutani Ajaran Ki Ageng Surya Mataram
yang lain merupakan ajaran yang menjadi filsafat hidup orang
Jawa adalah “ Ojo Dumeh”. Ajaran ini sudah membudaya di
masyarakat pedesaan di Jawa juga masyarakat Jawa pada
umumnya. Konsep Ojo Dumeh adalah suatu ajaran yang meng-
ajak masyarakat agar hidup sederhana, tidak silau terhadap
kekayaan dan tidak sombong kalau dia menjadi orang kaya.
Ojo Dumeh membentuk masyarakat desa menjadi masyarakat
yang tidak sombong walaupun mereka dapat hidup kaya, memi-
liki jabatan atau menjadi perangkat desa yang sedang berkuasa.
Hal ini dapat terlihat dari perangkat desanya yang dengan suka
39Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
rela menerima tamu dari mana saja, mereka hidup bersahaja
bersama warga masyarakat lain (Mundzir, 2005).
Budaya Jawa lain yang mengakar di masyarakat desa
Benjor adalah budaya gotong royong dalam berbagai aktivitas
kehidupan sehari-hari. Kegiatan gotong royong yang paling
kental dilakukan pada saat mengerjakan lahan andil, mereka
secara bergantian membantu mengolah lahan, menanam bibit
jagung (ijir) atau tanaman kedelai. Budaya gotong royong ber-
sumber dari kebiasaan masyarakat Jawa pada zaman dulu, di
mana para petani sangat mengandalkan tenaga kerja manusia.
Pengerahan tenaga kerja yang banyak untuk mengerjakan lahan
pertanian, tetapi tidak dapat dilakukan oleh keluarganya sendiri,
oleh karena itu petani tersebut meminta tolong kepada orang
lain yang tidak dibayar. Mereka cukup diberi makan siang dan
sebagai kompensasi si petani tersebut harus mau menolong
atau membantu terhadap orang yang dimintai tolong tersebut.
Menurut penelitian Koentjaraningrat (1992) mengatakan bahwa
budaya gotong royong mengunakan berbagai ragam istilah,
misalnya sambatan, gugur gunung, dan nyurug. Perbedaan istilah
tersebut karena memang agak berbeda kegiatannya, namun
pada intinya sama yaitu bekerja bersama-sama untuk menye-
lesaikan suatu pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan sendiri
oleh yang bersangkutan dan orang yang bekerja tersebut tidak
dibayar dengan uang, biasanya diberi makan siang atau makanan
kecil sebagai sarapan pagi. Sedangkan menurut laporan Van
der Kolff (dalam Koentjaraningrat, 1992) mengatakan bahwa
gotong royong mulai menyurut pada tahun 1920 terutama di
daerah Blitar pada saat itu tenaga kerja sudah banyak dan
munculnya uang sebagai unsur penting dalam kehidupan ma-
nusia (Koentjaraningrat, 1992: 57-58). Namun demikian pada
masyarakat pedesaan yang hubungan kekerabatannya masih
kuat, aktivitas gotong royong masih tetap berjalan sampai
sekarang.
40 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Ketua Senat yang saya hormati
Para hadirin yang mulyakan
Pada kesempatan ini saya ingin menjelaskan peranan PNF
dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa hutan
C. Pendidikan Nonformal dan Pemberdayaan Masyarakat Desa
Hutan
1. Program Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan Berbasis
Perhutanan Sosial
Pembahasan tentang program pemberdayaan masyarakat
desa hutan berbasis Perhutanan Sosial akan dikaji berdasarkan:
a) kelembagaan sebagai wadah kegiatan program PNF, b)
program pembelajaran PNF berbasis Perhutanan Sosial dan c)
model pembelajaran PNF berbasis Perhutanan Sosial. Untuk
lebih jelasnya pembahasan tersebut diuraikan sebagai berikut.
a. Kelembagaan sebagai Wadah Program PNF
Pendidikan nonformal sebagai lembaga pendidikan masya-
rakat, dapat diklasifikasi menjadi tiga jenis program yaitu
developmental, institutionsl, dan informasional (Boyle, 1981).
Masing-masing akan dijelaskan berikut. Program Pengembangan
(developmental Program) ialah upaya PNF yang dimaksudkan
untuk membantu suatu masyarakat atau kelompok sosial dalam
mengenali dan memecahkan masalah yang mereka hadapi. Ini
dilakukan jika di dalam sistem sosial terdapat suatu masalah
yang perlu dipecahkan atau suatu perbaikan yang perlu dilaku-
kan, dan anggota masyarakat tersebut perlu digerakkan untuk
melakukan tindakan kokrit. Bentuk kegatannya bisa berupa: 1)
aksi sosial misalnya gotong royong, bakti sosial, dll, 2) peng-
41Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
organisasian masyarakat misalnya dibentuk koperasi, kepani-
tiaan, dll. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam pro-
gram pengembangan, secara garis besar langkah-langkah yang
ditempuh ialah: (1) memlih sasaran program yang spesifik, (2)
melakukan analisis situasi masyarakat dengan cara mengumpul-
kan dan menganalsis data tentang fakta dan kebutuhan serta
kecenderungan masyarakat terhadap program, (3) menetapkan
tujuan program, (4) mengidentifikasi sumber-sumber yang men-
dukung pelaksanaan program, (5) membuat rancangan pro-
gram pembelajaran berdasar data yang sudah dianalisis, (6)
melaksanakan program atau program aksi, (7) melakukan eva-
luasi program, (8) mengkomunikasikan hasil evaluasi kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.
Sedangkan program institusional (Institutional program)
atau training ialah upaya pendidikan yang diberikan kepada
perorangan dengan tujuan penguasaan kemampuan-kemampuan
tertentu yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas terten-
tu di lapangan kerja atau di masyarakat. Program ini berupa:
(1) tindak lanjut dari program informasional misalnya setelah
mengetahui adanya teknologi baru, ingin belajar menggunakan-
nya, dan (2) pemberian keterampilan baru sama sekali. Adapun
langkah-langkah pemrogramannya ialah: (1) menentukan popu-
lasi sasaran (2) mengidentifikasi kebutuhan belajar dari sasaran
program, (3) menetukan strategi pembelajaran seesuai yang
akan dilakukan, (4) menyusun rencana operasional kegiatan
pembelajaran, (5) mempersiapkan pelaksaan program, (6) meng-
atur pelaksanaan program dalam arti mengendalikan jalannya
program yang sedang berjalan, (7) melakukan evaluasi pro-
gram.
Adapun program penyuluhan (Informasional program)
yaitu upaya PNF yang bertujuan untuk menyebarkan informasi
baru yang penting bagi masyarakat atau kelompok social dalam
rangka penngkatan taraf hidup dan perbaikan lingkungan.
42 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Informasi tersebut berupa: perundang-undangan, penemuan
baru, peraturan atau kebujakan baru, dan sebagainya yang
perlu diketahui oleh seluruh warga negara Langkah-langkah
program informasional ialah: (1) melakukan orientasi lapangan
untuk mempelajari kondisi dan situsasi masyrakat baik melalui
observasi, wawancara, dokumenter, atau tehnik lain. (2) menen-
tukan informasi yang akan disampaikan berdasar hasil orientasi
lapangan, (3) menyusun strategi penyampaian informasi sesuai
dengan jenis informasi dan sasarannya, (4) mempersiapkan
penyampaian informasi, (5) mengevaluasi program yang sudah
dilaksanakan. Di dalam masyarakat sebenarnya sudah banyak
ragam program informasional ini misalnya melalui TV, radio,
koran, penyuluhan-penyuluhan dan sebagainya. Demikian juga
program yang khusus ditujukan kepada khalayak atau masyara-
kat yang memerlukan informasi dan pengetahuan yang berkaitan
dengan kesiapan masyarakat dalam menerima dan melalui
proses globalisasi. Padaprinsipnya bahwa PNF harus selalu
melakukan pengayaan dan diversifikasi terhadap program untuk
penyebarluasan informasi kepada khalayak/masyarakat agar
bisa mengikuti dan beradaptasi dengan terjadinya perubahan
dalam masyarakat yang begitu cepat. Harapannya masyarakat
bisa mendapat keuntungan dan bukan menjadi fihak yang
dirugikan dalam proses globalisasi.
b. Program Pembelajaran PNF Berbasis Perhutanan Sosial
Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pen-
didikan Nasional meliputi beberapa program meliputi: a) pendi-
dikan kecakapan hidup (life skills), b) pendidikan anak usia
dini, c) pendidikan kepemudaan, d) pemberdayaan perempuan,
e) pendidikan keaksaraan, f) pendidikan ketrampilan, dan g)
pendidikan kesetaraan. Sedangkan program perhutan Sosial
sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa penger-
43Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
tian Perhutanan Sosial memiliki banyak pengertian, yaitu: a)
Perhutanan Sosial adalah nama kolektivitas untuk strategi
pengelolaan hutan yang memberikan perhatian khusus kepada
pemerataan distribusi produk hasil hutandalam kaitannya dengan
kebutuhan berbagai kelompok dalam masyarakat dan partisipasi
aktif dari organisasi dan penduduk lokal di dalam pengelolaan
hutan, b) perhutanan sosial dapat diartikan sebagai suatu
strategi pembangunan atau intervensi rimbawan profesional
dan organisasi pembangunan lainnya dengan tujuan untuk
menstimulasi keterlibatan aktif penduduk lokal dalam berbagai
macam kegiatan pengelolaan hutan skala kecil, sebagai tujuan
antara untuk meningkatkan keadaan kehidupan masyarakat
tersebut; c) perhutanan sosial adalah suatu strategi yang difo-
kuskan pada pemecahan masalah penduduk lokal disamping
mengelola lingkungan wilayah. Oleh karena itu hasil utama dari
perhutanan sosial tidak hanya kayu, namun hutan dapat diarah-
kan untuk memproduksi beragam komoditas sesuai dengan
kebutuhan masyarakat di wilayah tersebut, termasuk kayu
bakar, bahan makanan, pakan ternak, buah-buahan, air, hewan,
alam, keindahan, perburuan dan sebagainya, d) perhutanan
sosial secara mendasar ditujukan kepada peningkatan produk-
tivitas, pemerataan dan kelestarian dalam pembangunan sumber
daya hutan dan sumberdaya alam melalui partisipasi aktif
masyarakat.
Berdasarkan jenis program pembelajaran PNF dan penger-
tian Perhutanan Sosial, maka dapat diambil pengertian bahwa
pembelajaran PNF berbasis Perhutanan Sosial adalah semua
jenis program PNF dapat diwarnai dengan konsep Perhutanan
Sosial, misalnya peningkatan produktivitas lahan hutan sedapat
mungkin melibatkan petani hutan sebagai warga belajar dalam
program pendidikan kecakapan hidup (life skills). Sebagai con-
toh, Pendidikan Kecakapan Hidup sebagai salah satu program
PNF sangat potensial untuk member bekal hidup melalui
44 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
penambahan pengetahuan, pembentukan sikap, dan memberikan
jenis ketrampilan sesuai kebutuhan masyarakat desa hutan
sehingga meraka dapat melestarikan hutan dan dapat mengambil
manfaat dari hasil hutan. Life skills sebagai salah satu program
PNF diartikan sebagai suatu program yang memiliki kegiatan
pembelajaran yang tertumpu pada peningkatan kualitas hidup
bagi warga belajar. Kecakapan hidup merupakan interaksi
berbagai pengetahuan dan kecakapan yang sangat penting dimi-
liki seseorang untuk dapat digunakan sebagai bekal untuk
hidup mandiri. Pemahaman lain dari Davis dalam Hatimah
(2007) life skills dapat diartikan sebagai pedoman (manual)
pribadi untuk memelihara tubuhnya, menumbuhkembangkan
dirinya, membuat keputusan logis, melindungi dirinya dan
mencapai tujuan hidup serta dapat bekerja sama dengan orang
lain.
Berdasarkan konsep Pendidikan Kecakapan Hidup terse-
but dapat disimpulkan bahwa kecakapan hidup paling tidak
mengandung beberapa unsur yang dapat digunakan sebagai
bekal hidup mandiri. Beberapa unsur tersebut adalah: a) keca-
kapan personal (personal skills), mencakup kecakapan mengenal
diri (self awareness) dan kecakapan berpikir rasional (thinking
skills), b) kecakapan sosial (social skills), c) kecakapan akademik
(academic skills) dan kecakapan vokasional (vocational skils).
Kecakapan personal dan kecakapan sosial merupakan keca-
kapan hidup secara umum (generic life skills), sedangkan keca-
kapan akademik dan kecakapan vokasional merupakan keca-
kapan spesifik (specific life skills). Keempat kecakapan hidup
tersebut dapat digambarkan dalam diagram, sebagai berikut.
45Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
Sumber: Hatimah, 2007: 8.5
Kegiatan pengelolaan hutan salah satunya adalah upaya
pelestarian hutan, di mana kegaiatan ini dapat dijadikan muatan
kurikulum pendidikan kepemudaan atau pendidikan usia dini
agar masyarakat sekitar hutan di masa mendatang dapat memi-
liki pemahaman secara utuh tentang kelestarian hutan, dan
masih banyak program PNF yang dapat diberi muatan berbagai
kegiatan terkait dengan Perhutanan Sosial.
c. Model Pembelajaran Partisipastif
Pembahasan model pembelajaran partisipatif, meliputi:
kajian konsep pembelajaran partisipatif, karakteristik pembela-
jaran partisipatif dan peran fasilitator dalam pembelajaran
partisipatif. Untuk lebih jelasnya aakan diuraikan sebagai berikut.
Pembelajaran pendidikan nonformal sudah banyak dikem-
bangkan para ahli pendidikan terutama bidang pendidikan
orang dewasa. Menurut Elias (2005) pendidikan orang dewasa
Kecakapan
Akademik
Kecakapan
Personal
Kecakapan
Sosial
Kecakapan
Hidup Spesifik
Kecakapan
Hidup Umum
Kecakapan
hidup
Kecakapan
Vokasional
46 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
dapat dikaji berdasarkan filosofis terdapat dua aliran, yaitu
aliran beharioris dan aliran humanis. Aliran behavioris lebih
menekankan bahwa pendidikan orang dewasa lebih banyak
diberikan pada pendidikan ketrampilan yang diidentifikasi dari
kebutuhan ketrampilan untuk melaksanakan tugasnya. Sedang-
kan aliran humanis menurut Elias (2005) lebih menekankan
pada inisiatif sendiri yang dianggap relevan dengan kebutuhan
belajar. Berdasarkan kebutuhan belajar tersebut proses pembela-
jaran dirancang, dilaksanakan dan dievalusi untuk memberikan
pengalaman dalam rangka meningkatkan pengetahuan sebagai
bekal meningkatkan kualitas hidup. Lebih lanjut Knowless
(1985) menjelaskan bahwa pembelajaran bagi orang dewasa
hendaknya disesuaikan dengan karakteristik orang dewasa dan
tingkat pengetahuan orang dewasa. Menurut Bloom dalam
Galbraith (2004) terdapat enam tingkat pengetahuan, yaitu: a)
knowledge (recalling facts), merupakan pengetahuan yang dimi-
liki peserta didik yang diperoleh melalui pengalaman dari
fenomena social yang ada di lingkungan sekitar, b) comprehen-
sion (restarting knowledge), merupakan pemaknaan terhadap
berbagai pengetahuan yang dimiliki, c) application, adalah
penerapan pengetahuan dalam kehidupan peserta didik, d)
analysis, merupakan suatu tingkatan di mana ppeserta didik
dapat menganalisas berbagai pengetahuan yang sesuai dengan
pemaknaan pengetahuan yang dimiliki e) synthesis, merupakan
suatu kesimpulan yang diambil dari pengetahuan yang dapat
diterima berdasarkan makna yang dimiliki, dan f) evaluation,
merupakan tingkatan untuk menilai sejumlah pengetahuan yang
sudah dianggap cocok dan dapat diaplikasikan dalam memaknai
konsep belajar bagi dirinya. Lebih lanjut Galbraith menjelaskan
bahwa pemilihan metode pembelajaran PNF sangat dipengaruhi
oleh tingkat pengetahuan orang dewasa sebagai warga belajar.
Salah satu metode pembelajaran orang dewasa adalah metode
pembelajaran partisipatif.
47Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
Pembelajaran Partisipatif diartikan sebagai upaya fasilitator
untuk mengikut sertakan warga belajar dalam kegiatan pembela-
jaran. Pelibatan WB dilakukan dalam 3 tahap: 1) perencanaan
program, 2) pelaksanaan program, dan 3) penilaian keberhasilan
program. Pelibatan warga belajar dalam perencanaan program
diawali dari identifikasi kebutuhan belajar, permasalahan, sum-
ber atau potensi yang dapat digunakan dalam proses pembela-
jaran, hambatan dalam pembelajaran dan menentukan prioritas
pemecahanan masalah berdasarkan kebutuhan belajar. Sedang-
kan keterlibatan dalam pelaksanaan proses pembelajaran, adalah
keterlibatan dalam menentukan iklim pembelajaran, meliputi:
kedisiplinan, pembinaan hubungan antar warga belajar, interaksi
antara fasilitator dengan warga belajar dan antar warga belajar,
serta partisipasi aktif warga belajar dalam proses pembelajaran.
Adapun keterlibatan dalam tahap evaluasi program pembelajaran
adalah keterlibatan warga belajar dalam penilaian pelaksanaan
dan hasil program pembelajaran. Penilaian pelaksanaan pro-
gram pembelajaran mencakup penilaian proses, hasil dan dam-
pak, sedangkan penilaian hasil belajar lebih ditekankan pada
perubahan perilaku warga belajar sebagai hasil program pem-
belajaran.
Apabila partisipasi dianggap sebagai keterlibatan mental
dan emosional, maka partisipasi merupakan bentuk perwujudan
dari perilaku yang didasari oleh faktor psikologis, sehingga
partisipasi erat hubungannya dengan pengetahuan, sikap dan
ketrampilan seseorang disamping faktor-faktor yang lain. Penge-
tahuan, sikap dan ketrampilan mempunyai hubungan yang erat
dengan pendidikan karena pendidikan adalah upaya yang dilaku-
kan dengan sadar untuk merubah perilaku manusia. Pendidikan
secara eksternal diarahkan pada proses di mana individu belajar
untuk menerapkan pengetahuan kognitif, afektif dan psikomotor
dalam lingkungannya (La Belle, 1976:18). Sedangkan perubahan
perilaku tersebut dapat dilakukan apabila seseorang telah memi-
48 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
liki pengetahuan, sikap dan ketrampilan sesuai dengan perilaku
yang diharapkan. Dengan demikian maka dapat dikatakan
bahwa pengetahuan, sikap dan ketrampilan erat hubungan
dengan pendidikan. Dan pendidikan erat hubungannya dengan
tingkat partisipasi seseorang dalam proses pembangunan. Hal
ini disebabkan karena dengan pendidikan seseorang dapat
berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Banyak pakar pemba-
ngunan yang mengatakan bahwa tingkat partisipasi ini erat
hubungan dengan tingkat pendidikan (Mubyarto dan Karto-
dihardjo, 1988; Soeproyo, 1977; Ru’jat, 1988; Muhadjir, 1983;
La Belle, 1976).
Berdasarkan uraian tentang pengertian pembelajaran parti-
sipatif sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka dapat dikaitkan
dengan konsep perhutanan sosial dalam proses pembelajaran
PNF. Proses pembelajaran partisipatin berbasis perhutanan
sosial meiliki karakteristik sebagai berikut: a) fasilitator menem-
patkan diri pada kedudukan nara sumber yang memiliki pengeta-
huan perhutanan sosial, sedangkan warga belajar sebagai orang
yang memiliki potensi yang dapat dikembangkan sebagai penga-
laman belajar melalui kearifan lokal dapat ditularkan kepada
sesama pesanggem sebagai warga belajar lainnya, b) fasilitator
memainkan peran untuk membantu warga belajar dalam konteks
perhutanan sosial, c) fasilitator memberikan motivator kepada
warga belajar supaya berpartisipasi dalam menyusun tujuan
belajar, bahan belajar, dan langkah-langkah yang ditempuh
dalam kegiatan pembelajaran berbasis perhutanan sosial, d)
fasilitator sekaligus menempatkan diri sebagai warga belajar
selama proses pembelajaran berlangsung dalam arti saling
tukar pengelaman dalam pengelolaan hutan, f) fasilitator bersa-
ma warga belajar melakukan kegiatan saling belajar dengan
cara saling tukar pikiran mengenai isi, proses, dan hasil kegiatan
pembelajaran berbasis perhutanan sosial, g) fasilitator berperan
sebagai pembantu warga belajar dalam menciptakan situasi
49Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
yang kondusif dalam proses pembelajaran berbasis perhutanan
sosial, h) fasilitator mengembangkan kegiataan pembelajaran
berkelompok berbasis perhutanan sosial, dan memberikan ke-
sempatan warga belajar untuk mengembangkan ide dalam
proses diskusi kelompok, dan i) fasilitator mendorong dan
membantu warga belajar untuk mengembangkan kemampuan
untuk memecahkan masalah terkait dengan perhutanan sosial.
2. PKBM sebagai wadah Kegiatan Program PNF
Menurut Payne (1997) pemberdayaan adalah suatu upaya
membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan
dan menentukan tindakan yang akan mereka lakukan terkait
dengan diri mereka sendiri melalui peningkatan kemampuan
dan rasa percaya diri (Adi, 2008: 78). Konsep pemberdayaan
yang diimplemetasikan pada program pembangunan dapat dili-
hat dari pendekatan mikro atau makro. Pada tataran pemba-
ngunan dengan pendekatan makro, pemberdayaan dapat melibat-
kan institusi pemerintah dalam mengambil kebijakan pemba-
ngunan, sedangkan pada tataran mikro implementasi pemberda-
yaan melibatkan individu, keluarga atau kelompok kecil dalam
proses pembangunan (Adi, 2008: 5-6). Berdasarkan uraian
tersebut pemberdayaan masyarakat dapat dimaknai dalam dua
dimensi, yaitu pemberdayaan sebagai program dan pemberda-
yaan sebagai proses. Pemberdayaan sebagai suatu program
dapat dilihat dari tahapan kegiatan untuk mencapai suatu
tujuan pembangunan, sedangkan pemberdayaan sebagai suatu
proses merupakan suatu kegiatan berkesinambungan sepanjang
komunitas tersebut masih ingin melakukan perubahan dan
perbaikan serta tidak hanya terpaku pada suatu program saja.
Kegiatan berkesinambungan dalam proses pemberdayaan masya-
rakat menurut Hogan terdapat lima tahapan dalam satu siklus.
50 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Kelima tahapan tersebut digambarkan dalam suatu skema
sebagai berikut.
Mengembangkan
rencana aksi dan
mengimplementasikan
Mengidentifikasikan suatu
masalah ataupun proyek
Mendiskusikan alasan
mengapa terjadi
pemberdayaan dan tidak
pemberdayaan
Mengidentifikasikan
basis daya yang
bermakna untuk
melakukan perubahan
Menghadirkan kembali
yang memberdayakan
dan yang tidak
memberdayakan
Sumber: Hogan dalam Adi, 2008: 86
Berdasarkan uraian tersebut pemberdayaan pesanggem
(petani hutan) dapat dilihat dari konsep pembangunan dengan
pendekatan makro, maka pemberdayaan pesanggem sangat
ditentukan oleh peraturan dan kebijakan pemerintah, serta
implematsinya dalam pembangunan kehutanan. Sedangkan dili-
hat dari pendekatan mikro, pemberdayaan masyarakat desa
hutan dapat melibatkan pesanggem secara individual, keluarga
maupun kelompok pesanggem yang sudah ada dalam kegiatan
program perhutanan sosial (social forestry), sedangkan kegiatan
pemberdayaan dapat menggunakan PKBM sebagai wadah
51Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
kegiatan pembelajaran masyarakat. Hal ini sesuai dengan konsep
PKBM sebagaimana dikemukakan oleh Kamil (2009) bahwa
PKBM merupakan salah satu wadah dalam memberikan kesem-
patan penuh kepada seluruh komponen masyarakat agar mampu:
a) memberdayakan masyarakat, b) meningkatkan kualitas hidup
masyarakat, dan c) pengembangan dan pembangunan masyara-
kat dan pendapat Sihombing (2001) bahwa PKBM merupakan
tempat belajar yang dibentuk dari, oleh, dan untuk masyarakat
dalam rangka usaha untuk meningkatkan pengetahuan, sikap,
hobi, dan bakat warga masyarakat PKBM sebagai wadah pembe-
lajaran dari, oleh dan untuk masyarakat desa hutan dapat
menampung semua kegiatan kegiatan pembelajaran berbasis
perhutanan sosial.
Sedangkan pengelolaan proses pembelajaran masyarakat
desa hutan dapat mengikuti prinsip pembelajaran pendidikan
orang dewasa dengan memanfaatkan potensi individu dan kelom-
pok pesanggem, serta potensi sumberdaya alam yang ada di
sekitar hutan.
3. Keberdayaan Masyarakat sebagai Produk Pembelajaran
Kinder Vatter (1979) memberikan batasan pemberdayaan
(empowering) dipandang dari hasilnya sebagai: “people gaining
an understanding of on control over social, economic, and or
political forces in orde to improve their standing in society”
batasan tersebut lebih menekankan produk akhir proses pember-
dayaan, yaitu masyarakat yang memperoleh pemahaman dan
mampu mengontrol daya social, ekonomi, dan politik agar
dapat meningkatkan kedudukannya dalam masyarakat. Lebih
lanjut Kinder Vatter menjelaskan indikator keberdayaan sebagai
berikut: a) memiliki akses cukup besar untuk mendapatkan
sumber-sumber daya, b) memiliki daya pengungkit agar dapat
52 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
meningkatkan daya tawar kolektivitasnya, c) memiliki kemam-
puan untuk menentukan berbagai pilihan, d) memiliki status,
yakni memperbaiki image pribadi, harga diri,dan sikap positif
terhadap budayanya, e) memiliki kemampuan refleksi secara
kritis yang dapat mengukur potensi diri dalam menghadapi
berbagai peluang, f) memiliki legitimasi agar dapat pengakuan
secara layak, g) memiliki disiplin yang tinggi sehingga dapat
memenuhi standar kerja dengan orang lain secara produktif,
dan h) memiliki persepsi kreatif, yakni pandangan yang lebih
positif dan inovatif terhadap hubungan dengan orang lain dan
lingkungannya. Berdasarkan indicator tersebut dapat disimpul-
kan bahwa masyarakat desa hutan yang berdaya adalah warga
masyarakat yang memiliki delapan indikator tersebut. Oleh
karena itu upaya untuk memberdayakan masyarakat melalui
proses pembelajaran dalam berbagai program pendidikan non-
formal sesuai dengan jenis program dan satuan masing-masing
bagi masyarakat yang tidak berkesempatan memperoleh pendi-
dikan formal.
D. Kesimpulan dan Rekomendasi
Para hadirin yang saya hormati
Perkenankan pada kesempatan ini saya menyampaikan bebe-
rapa pokok pikiran sebagai kesimpulan dari apa yang sudah
saya uraikan sebelumnya. Beberapa pokok pikiran tersebut
adalah sebagai berikut.
1. Pendidikan nonformal tumbuh dan berkembang di berbagai
belahan dunia termasuk di Indonesia dengan berbagai vari-
an istilahnya, merupakan jawaban dari tuntutan terhadap
pengakuan azas pendidikan sepanjang hayat (life long edu-
cation) dalam rangka peningkatan kualitas hidup manusia
53Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
dan adanya kenyataan bahwa system pendidikan sekolah
tidak mampu menghadapi berbagai persolan pembangunan
bangsa.
2. Masyarakat Desa sebagai subjek pendidikan dan objek
kajian sosiologi hendaknya difahami mengikuti perubahan
perkembangan keilmuan sosiologi dan perkembangan ma-
syarakat yang menuntut kebebasan berdasarkan hak-hak
azasi individu. Sementara sebagian masyarakat masih meng-
anggap bahwa norma social tetap berlaku dalam rangka
membangun ketertiban social untuk pembangunan bangsa
dan Negara, sehingga muncul gagasan untuk membangun
teori sosiologi mikro makro.
3. Pemberdayaan masyarakat desa hutan melalui program pen-
didikan nonformal memerlukan pendekatan yang holistic,
berkesinambungan (sustainable) dan khas, serta serasi an-
tara keilmuan PNF, pembangunan masyarakat, dan ling-
kungan hidup dalam perspektif perkembangan keilmuan
sosiologi sehingga memperoleh hasil yang nyata yaitu pe-
ningkatan kualitas hidup masyarakat secara utuh.
4. Dalam mengimlementasikan PNF melalui pembelajaran,
hendaknya mengacu pada kondisi empiris masyarakat dalam
konteks pemberdayaan masyarakat desa hutan dan meman-
faatkan potensi sumberdaya hutan baik manusia maupun
sumberdaya alamnya.
5. Format pembelajaran PNF dapat dikemas melalui pembela-
jaran individual, kelompok, dan massa dengan memperhati-
kan perspektif filosofis, sosiologis, psikologis, ekonomis,
baik dalam menentukan peserta didik, tujuan, materi pem-
belajaran, metode, media, evaluasi, dan proses pembinaan-
nya.
6. Tenaga kependidikan PNF hendaknya dapat lebih memahami
karakteristik masyarakat desa hutan, kondisi sosial budaya-
54 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
nya, kondisi geografisnya, serta didasari rasa cinta kasih
sesama sebagai wujud dari pemenuhan kompetensi per-
sonal, sosial, dan akademik.
E. Penutup
Ketua Senat UM yang saya hormati
Para hadirin yang saya mulyakan
Berkat rahmat dari Allah SWT pada hari ini saya dapat
menyampaikan pokok-pokok pikiran dalam pidato pengukuhan
GB dalam bidang Sosiologi Pendidikan. Di samping rahmat
Allah SWT juga atas bantuan berbagai pihak dapat terlaksana
acara pengukuhan GB ini, oleh karena itu pada kesempatan ini
saya ingin menyampaikan terima kasih kepada Bapak Rektor
selaku ketua Senat UM yang selalu mengingatkan agar segera
melakukan pengukuhan. Saya juga tidak lupa menyampaikan
ucapan terima kasih kepada Bapak Rektor periode yang lalu,
yaitu Bapak Prof Imam Syafi’i dan saat ini menjabat sebagai
ketua komisi GB karena bantuannya, saya dapat memperolah
gelar jabatan fungsional yang banyak didambakan oleh para
dosen pada akhir-akhir ini. Terima kasih juga saya sampaikan
kepada anggota senat UM dan para undangan yang telah
meluangkan waktu di sela-sela kesibukannya untuk hadir dalam
acara ini.
Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada segenap
jajaran pimpinan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UM bapak
Prof. Hendyat Soetopo dan jajarannya, dan Dekan FIP lama
Bapak Ibrahim, M.Sc yang sudah memberikan ijin studi lanjut
ke S3 dan Ketua Lembaga di lingkungan UM yang telah
memberikan fasilitas untuk memperoleh kegiatan yang dapat
menunjang tercapainya jabatan fungsional tersebut. Selain itu
saya sampaikan terima kasih kepada perangkat Jurusan Dr
55Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
Djauzi MA, Drs. A. Mutadzakir, M.Pd, Drs. Imam Hambali,
M.Pd, Koleaga saya Dr. Sanapiah Faisal, Drs. Abdillah Hanafi,
M.Pd, Dr. Supriyono, dan semua dosen Jurusan PLS yang tidak
saya sebutkan satu persatu. Semua beliau telah memberikan
kesempatan dan dukungan studi lanjut serta kegiatan yang
membantu kelancaran proses pencapaian GB.
Terima kasih saya sampaikan kepada guru-guru saya yang
telah memberikan bimbingan sehingga dapat mencapai jejang
karier akademik tertinggi, antara lain: Prof. Soedomo, MA
(Almarhum), Bapak Prof. M. Saleh Marzuki, M.Ed. Bapak
Prof. Dr. Salladin, Bpk. Drs. M. Sofwan, M.Pd, Bpk Drs. Latif
Ismail (Almarhum) yang memberikan bekal keilmuan di bidang
PLS. Tidak lupa ucapan terima kasih juga saya sampaikan
kepada: Prof. Dr. Ir. Keppi Sukesih, MS Prof. Dr. Ir Sanggar
Kanto, MS. Prof. Dr. Ir Kliwon Hidayat, MS dan Prof. Dr. I
Nyoman Nurjaya, SH. MH. Bapak Prof. Dr. Irfan Islamy, MPA
yang telah memberikan bimbingan ketika mengambil studi
lanjut pada Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Demikian pula ucapan terima kasih saya sampaikan kepada
Prof. Dr. Roesminingsih kolega saya dari Universitas Negeri
Surabaya dan Prof. M. Saleh Marzuki, M.Sc selaku pemeriksa
karya ilmiah yang memberikan persetujuan kelayakan karya
saya sehingga dapat diusulkan kepada pemerintah sebagai pen-
syaratan mencapai GB.
Para Undangan yang kami mulyakan
Pada kesempatan ini saya mohon waktu sejenak, saya
ingin menyampaikan rasa terima kasih saya kepada ke dua
orang tua saya yang sudah almarhum, yaitu Bapak Mohamad
Kasbin dan Ibunda Siti Marfua’ah. Atas bimbingan dan doa
dari ke dua orang tua tersebut saya dapat memperoleh kesem-
56 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
patan mencapai pendidikan tertinggi (S3), tanpa doa dan bim-
bingan tersebut mungkin tidak akan tercapai tingkat pendidikan
seperti sekarang ini. Sebagai balasan atas doa dan bimbingan
tersebut saya hanya dapat berdoa memohon kepada Allah SWT
agar semua dosanya diampuni dan mendapat pahala dari amal
baik saya sebagai baktinya anak kepada orang tua serta dilapang-
kan kuburnya dan di tempatkan di tempat yang terbaik di
sisiNya. Amin ya Robbal’alamin.
Kepada Mertua saya Bpk. Tauchid Anwar (Almarhum)
dan ibu Hj. Fatonah, ucapan terima kasih secara tulus ini saya
sampaikan karena beliau telah memberikan bimbingan dan
nasehat tentang bagaimana menjalani kehidupan dalam keluarga.
Beliau memberikan nasehat selaku penjabat KUA yang secara
langsung menikahkan saya dengan istri saya tercinca Siti Asmah.
Oleh karena itu saya hanya mampu mendoakan semoga semua
amal baiknya diterima Allah SWT. Saya sampaikan ucapan
terima kasih atas segala bantuan dan doanya sehingga saya
dapat membangun rumah tangga insya Allah sakinah yang
diridhoi Allah SWT.
Kepada Istriku tercinta pada kesempatan formal seperti
ini saya sampaikan rasa terima kasih yang tidak terhingga
karena dengan semangat bersama membangun rumah tangga
dan membina karir akademik secara bersama pula kita dapat
mencapai puncak karir yang kita inginkan. Berbekal kesabaran
dan tawakal kita berdoa bersama semoga tercapai suatu kehi-
dupan rumah tangga sakinah mawadah warahmah. Demikian
pula kepada anak-anakku tercinta: Nisa Suci Maharani dan
suaminya Yani Tristanto serta anaknya Danis dan Dania, Rizka
Hardianda, Ary Zakaria dan istrinya Alina, Fajar Wuri Handaya
dan Fariha Aryani saya sampaikan ucapan terima kasih atas
kesabaran dan dapat menerima segala kekurangan dalam keluar-
ga karena pada saat mereka masih menempuh pendidikan yang
57Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
memerlukan biaya, tetapi bapak dan ibunya juga menempuh
studi lanjut secara bergantian sehingga sangunya pas-pasan
saja. Saya berharap acara yang terhormat ini dapat menjadi
motivasi dan teladan dalam mengarungi bahhtera rumah tangga
di masa mendatang atas ridlo Allah yang maha kuasa.
Sebagai akhir dari pidato pengukuhan ini sekali lagi saya
sampaikan rasa syukur kepada Allah SWT yang memberikan
rahmat taufik dan hidayatNya dan semoga mengampuni dosa-
dosa saya. Amin ya Robbal alamin.
Wabilahi taufiq wal hidayah wassalamu alaikum warahmatullahi
wabarakatuh
Malang, 30 September 2010
S. Mundzir
58 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, Francis. 1982. Modern Sociological Theory. Delhi OxfortUniversity Press. New York.
Aminuddin. 1997. Hutan Kemasyarakatan: Dampak Sosial Ekonomidan Sosial Budaya dari Pengembangan Hutan Kemasyarakatan diPropinsi Nusa Tenggara Barat. Diterbitkan atas Kerjasama antaraInstitut Pertanian Bogor dan The Ford Foundation. Bogor.
Anantanyu, Sapja. 1997. Kehutanan Masyarakat: Analisis KebutuhanDasar dan Respon Masyarakat Sekitar Hutan terhadap PerhutananSosial. Diterbitkan atas Kerjasama antara Institut Pertanian Bogordan The Ford Foundation. Bogor.
Awang, San Afri. 2001. Otonomi Sumber Daya Hutan. PertemuanReguler FKKM. FKKM. Bandar Lampung
Awang, San Afri dkk.. 2001. Gurat Hutan Rakyat. Debut Press.Yogyakarta.
Awang, San Afri. 1999. Forest For People. Berbasis Ekosistem. BayuIndra Grafika, PT. Yogyakarta.
Awang, San Safri. 2006. Sosiologi Pengetahuan Deforestasi (KonstruksiSosial dan Perlawanan). Debut Wahana Sinergi, CV. Jogjakarta.
Banowati, Laksmi. 1998. Social Forestry Bidang Kehutanan danPerkebunan. Biro Perencanaan, Dephutbun. Jakarta.
Berger, L. Peter and Luckmann, Thomas. 1966. The Social Struction ofReality. A Treatise in the Sociology of Knowledge. Hasan Basari(Penterjemah). 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Sebuah RisalahTentang Sosiologi Pengetahuan. LP3ES. Jakarta.
Bowes, Michael D and Krutilla, John V. 1989. Multiple – Use Manage-ment: The Economics of Public Forestlands. Resources for theFuture. Wasington, D.C.
Cernea. M.M. 1988. Unit-Unit Alternatif Organisasi Social untukMendukung Strategi Penghutanan Kembali. Dalam MengutamakanManusia di dalam Pembangunan. Alih Bahasa : Teku, B.B., Uni-versitas Indonesia Press. Jakarta.
Gamst, Frederick C. 1974. Peasent in Complex Society. Holt, Rinehartand Winston, INC. New York.
59Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
Gibson, C. Cark, Mc Kean, A. Margaret, and Ostrom, Elinor. 2000.People and Forests. Communities Institutions and Government.The MIT Press. Massachusetts
Departemen Kehutanan 1997. Keputusan Menteri Kehutanan No:523/Kpts. II/1997, Tentang Pembinaan Masyarakat Desa Hutan OlehPemegang HPH dan pemegang HPHT. Jakarta
Ellls, Frank. 1989. Peasent Economics. Adi Sutanto dkk (penterjemah).Petani Gurem: Rumahtangga Usaha tani dan PembangunanPertanian. 2003. UMM Press. Madang
Forum Komukasi Kehutanan Masyarakat (FKKM). 2001. OtonomiSumberdaya Hutan. Bandarlampung
Forum Komukasi Kehutanan Masyarakat (FKKM). 2003. MerajutKebersamaan Mewujudkan Hutan Lestari dan MasyarakatSejahtera. Paramitra. Malang.
Fox, Jefferson. 1993. Legal Frameworks for Forest Management in Asia.East-West Center Program on Environment. Honolulu.
Gibson, Barrel. 1993. Sociological Paradigms and OrganizationalAnaliysis. Element of the Sociology of Corporatif Life, AtheneumPress. Newcastle.
Giddens, Anthony. 1984 The Constitution of Society: Outline of theTheory of Strcturation. Adi Loka Sujono (Penterjemah). 2002.Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial, Pedati. Pasuruan.
Ife, J.William. 1995. Community Development. Creating CommunityAlternatve – Vision, Analysis and Practice. Logman Australia Pcy.Ltd. Malbourne.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. PT Bumi Aksara. JakartaIrfan Bakhtiar. 2000. Desa Mengepung Hutan. Pengelolaan Hutan
Partisipatif Terintegrasi. Lembaga ARUPA. Yogyakarta.Iskandar Untung dan Nugroho Agung. 2004. Politik Pengelolaan Sumber
Daya Hutan. Issue dan Agenda Mendesak. Debut Press. Yogyakarta.Istislam. 2000. Kebijakan dan Hukum Lingkungan sebagai Instrumen
Pembangunan Berwawasan Lingkungan dan Berkelanjutan. ArenaHukum Nomor 10 Tahun 4 Maret 2000.
Johnson, Paul Doyl . 1981. Sociological Theory, Clasical FounderandContemporary Perspctives. Lawang, Robert, M. Z. (Penterjemah).1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Gramedia. Jakarta.
Kindervatter, Suzanne. 1979. Nonformal Education As An EmpoweringProcess. Massachussets, Amhers
60 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Koentjaraningrat. 2002. Manusia dan kebudayaan di Indonesia.Jambatan. Jakarta
Koentjaraningrat. 1992. Kebudayaan Mentalitas dan Pembanguanan..PT. Gramedia. Jakarta.
Lim, Hin Fui. 1998. Orang Asli, Forets, and Development. Forest Re-search Institute Malaysia. Kualalumpur
Marzuki, M. Saleh.1999. Tuntutan Era Globalisasi dan Reformasi sertaImplikasinya Pada Visi dan Misi PLS di Indonesia. JurnalPendidikan Masyarakat Nomor 2 Tahun 8. Malang: Jurusan PLSFIP Universitas Negeri Malang
Marzuki, M. Saleh. 2009. Pendidikan Nonformal Bukan Residu. Malang:Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang
Mulyana, Enceng, 2008. Model Tukar Belajar (Learning Exchange) DalamPerspektif Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Alfabeta.
Mustofa Kamil. 2009. Pendidikan Nonformal. Bandung: AlfabetaMoran, Emilio F. 1982. Human Adaptabilty. Westview Press. Boulder,
ColoradoMouzelis, Nicos, P. 1991. Back to Sociological Theory, The Construc-
tion of Social Orders, Mac Millan Press. London.Mubyarto. 1992. Desa dan Perhutanan Sosial, P3PK – UGM. Yogyakarta.Mundzir, S. 1999. Penyusunan Kurikulum Bermuatan Lokal Bagi
Masyarakat Pinggiran Hutan. Malang: Lembaga Penelitian UMMundzir, S. 2005. Profil Partisipasi Pemuda Pesanggem dalam Pelestarian
Hutan: Kasus Pesanggem Desa Benjor, Kecamatan Tumpang,Kabupaten Malang. Malang: Lembaga Penelitian UM..
Mundzir, S. 2008. Dinamika Perilaku Pesanggem dalaam PelestarianHutan. Kasus Masyarakat Desa Hutan di Kabuapaten Malang.Malang: Lemlit UM
Mundzir, S. 2009. Pengentasan Kemiskinan Masyarakat PesanggemMelalui Program Life Skills di Desa Benjor Kabupaten Malang.Malang: Lemlit UM
Noronha, R. dan J.S. Spears, 1988. Variabel-variabel Sosiologi dalamRancangan Proyek Kehutanan. Dalam Mengutamakan Manusiadi Dalam Pembangunan. (Penterjemah) Teku, B.B. Universitas In-donesia Press. Jakarta.
Nguyen. 2001. Social Forestry: Terminology Forum. URL: http://edugreen.teri.res.in /explore/forestry/social.htm
61Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
Rogers, Jenny. 200). Adults Learning. Fifth Edition. London: Open Uni-versity Press.
Rukminto Adi, Isbandi, 2008. Intervensi Komunitas PengembanganMasyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta:PT Raja Grafindo persada.
Schwarz, R. 2002. The Skilled Facilitator: A Comprehensive Resoursefor Consultants, Fasilitators, Managers, and Coaches. San Fran-cisco: Jossey Bass A Willey Company.
Smith, William A. 2001. Conscientizacao Tujuan Pendidikan PauloFreire. Terjemahan oleh Agung Priantoro. Yogyakarta: PustakaPelajar.
Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Masya-rakat. Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial danPekerjaan Sosial. Bandung: PT Rifka Aditama.
Sudjana, H.D. 2005. Strategi Pembelajaran. Bandung: Falah Production.Pakpahan, Agus. 2004. Petani Menggugat. Gapperindo. Bogor.Poffenberger, Mark. 1990. Keepers of The Forest. Land management
Altentaives in Southeast Asia. Ateneo de Manila Univesity Press.Manila.
Poloma, M.M., 1979. Contemporary Sociological Theory. MacMillanPub Co. England.
Peluso, Nancy Lee. 1992. Rich Forests, Poor People; Resource Controland Resistance in Java. University of California Press. Berkeley.
Perum Perhutani. 1996. Keputusan Direktur Perum Perhutani No: 1837/KPTS/DIR/1996, Tentang Penerapan PMDH dalam PengelolaanHutan. Jakarta.
Prayitno, Hadi dan Arsyad, Lincolin. 1987. Petani Desa dan Kemiskinan.BPFE. Yogyakarta.
Rahardjo, 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. GadjahMada University Press. Yogyakarta.
Redfield, Robert. 1985. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Rajawali.Jakarta
Ritzer, George. 1980. A Multiple Paradigm Science. Alimandan (Penya-dur). 2004. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Ritzer, George and Goodman, Douglas J. (TT). Modern SociologicalTheory. Alimandan (Penterjemah). 2004. Teori Sosiolgi Modern.Prenada Media. Jakarta
Ritzer, George. 2000. Sociological Theory. Mc Graw Hill. New Yrok
62 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
Rossides, Daniel W. 1978. The History and Natural Sociological Theory.Houghton Mifflin Company. Boston.
Sanggar Kanto. 1998. Mobilitas Tenaga Kerja Dari Desa Ke Kota. Diser-tasi. PPS Universitas Airlangga. Surabaya.
Santoso, Hery. 2001. Perlawanan masyarakat Desa Hutan. Laporan HasilPenelitian Kerjasama antara Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR)dengan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Sajogya. 2006. Ekososiologi, Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi(Petani dan Pedesaan Sebagai Kasus Uji). Cindelaras Pustaka RakyatCerdas. Yogyakarta.
Scott, James C. 1976. The Moral Economiy of The Peasent. Hasan Basari(Penterjemah) 1981. Moral Ekonomi Petani. Pergolakan dan Sub-sistensi di Asia Tenggara. LP3ES. Yakarta
Simon, Hasanu. 1995. Hutan Jati dan Kemakmuran, Aditya Media.Yogyakarta.
Slamet, Y. 1989. Konsep-Konsep Dasar Partisipasi Sosial. Pusat AntarUniversitas Studi Sosial Universitas Gajah Mada. Yogjakarta.
Soesilo. 2005. Kejawen; Philosofi & Perilaku.. Yayasan Yusula. Yogjakarta.Sumadhijo, Brotohadi. 1997. Kehutanan Masyarakatan: Hutan Kemasya-
rakatan sebagai Upaya Peningkatan Peranserta Masyarakat Tradi-sional dalam Pengelolaan Hutan. Diterbitkan atas Kerjasama an-tara Institut Pertanian Bogor dan The Ford Foundation. Bogor.
Suseno, Franz Magnis. 2003. Etika Jawa; Sebuah Analisa Falsafi tentangKebijaksanaan Hidup Jawa.. PT Gramedia. Jakarta.
Sutrisno, Lukman. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif.. Penerbit Kani-sius. Yogjakarta.
Syafi’i, Imam dkk. 1997. Kehutanan Masyarakat: Pembinaan MasyarakatDesa Hutan (PMDH) dan Penyerapan Tenaga Kerja di KPH Jember,Nganjuk, Ngawi dan Bojonegoro. Diterbitkan atas Kerjasama antaraInstitut Pertanian Bogor dan The Ford Foundation. Bogor
Toman, Michael A. 1994. Global Development and the Environment,Perspectives on Sustainability: The Difficulty in Defining Sustain-ability. Resources for the Future. Washington, DC.
Wisadirana, Darsono. 2005. Sosiologi Pedesaan. Kajian Kultural danStruktural Masyarakat Pedesaan. Universitas Muhammadiyah Ma-lang (UMM) Press. Malang.
63Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
CURRICULUM VITAE
A. Identitas1. Nama lengkap dan gelar : Prof. Dr. S. Mundzir, M.Pd2. N I P : 19460903 197903 1 0013. Tempat dan tanggal lahir : Ngawi, 3 September 19464. Jenis kelamin : Pria5. Pekerjaan/Jabatan sekarang: Guru Besar6. Pangkat/Golongan : Pembina Utama, Gol.IV/d7. Unit Kerja : FIP UM8. Alamat rumah : Jl. Tengiri 4 Malang
Alamat kantor : Jl. Surabaya 6 Malang9. Riwayat Pendidikan :
No Jenjang Pendidikan Jurusan Lembaga PT
1 Sarjana Pendidikan (S1) Pendidikan Sosial IKIP Malang
2 Magister Pendidikan (S2) Pendidikan Luar Sekolah IKIP Malang
3 Program Doktor Sosiologi Pedesaan
(Program Doktor Ilmu Pertanian)
Universitas
Brawijaya Malang
10. Pengalaman MengajarSebagai tenaga pengajar di Universitas Negeri Malang (UM) diberitugas mengajar:1) Matakuliah Pengantar Sosiologi (S1) FIP UM2) Matakuliah Sosiologi Pendidikan (S1) FIP UM3) Matakuliah Penelitian Kualitatif (S2) PPS UM4) Matakuliah Perubahan Sosial dan Pembangunan (S2) PPS UM
B. Pengalaman Penelitian
1. Pengentasan Kemiskinan Masyarakat Pesanggem Melalui Pembela-
jaran Life Skills Berbasis Perhutanan Sosial (Studi Kasus Masyarakat
Petani Hutan di Desa Benjoer Kab. Malang) Penelitian Strategis
Nasional 2009.
2. Model Bahan Ajar Life Skills Berbasis Perhutanan Sosial Bagi
Petani Hutan di Desa Sumberagung Kab. Malang. Penelitian Hibah
Bersaing Tahun 2009.
64 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR64
3. Dinamika Perilaku Pesanggem (Kajian Masyarakat Pesanggem di
Kabupaten malang dalam Perspektif Teori Mikro Makro Ritzer),
Penelitian Fundamental tahap I, tahun 2008. Ketua Peneliti
4. Arah dan Kebijakan Pembentukan Komunikasi dan Informasi Man-
diri (KIM) di wilayah Jawa Timur, tahun 2008. Anggota Peneliti.
5. Profil Petani Pesanggem Kabupaten Malang (Kajian: Teori Merton)
Penelitian Dasar, tahun 2005, sebagai Ketua Peneliti
6. Dinamika Partisipasi Pesanggem dalam Pengelolaan Hutan Bambu
di desa Sumberagung Malang. Disertasi. Tahun 2007.
7. Pembelajaran Mata kuliah Sosiologi (Penelitian Tindakan Kelas
pada mahasiswa Jurusan PLS FIP UM semester gasal 2005) Ketua
peneliti
8. Jaringan Kerjasasama Pendidikan Lingkungan Hidup, Lemnbaga
Penelitian UM dengan Lembaga Terkait. Penelitian, tahun 2006.
(Anggota Peneliti)
9. Hubungan Latar belakang Sosial Ekonomi dengan Tingkat Partispasi
Anggota PKK Kota Malang, tahun 2004, sebagai Ketua
10. Pengembangan Kurikulum Lokal Pendidikan Lingkungan Hidup
di desa Kawasan Pinggiraan Hutan Kecamatan Donomulyo,
Kabupaten Malang. Tahun 2000, sebagai anggota
11. Faktor-faktor yang Menghambat Penyelenggaraan Pendidikan di
Fakiultas Ilmu Pendidikan, tahun 2001, sebagai Ketua Peneliti
12. Hubungan Latar Belakang Pendidikan dan Jenis Pekerjaan dengan
Tingkat Partisipasi Anggota PKK dalam Pembangunan di Kota
Malang, tahun 2000, sebagai Ketua Peneliti
13. Persepsi Masyarakat terhadap Kebersihan Lingkungan berdasarkan
Latar Belakang Sosial Budaya Masyarakat Desa Jatirejo Kecamatan
Lekok, Kabupaten Pasuruan, tahun 1999, sebagai Ketua
14. Pendataan Potensi Ekonomi Kawasan Pesisir dalam rangka GKD
di Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, tahun 1999, sebagai
anggota
65Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan
15. Tingkat Relevansi Kurikulum Muatan Lokal Bidang Studi PLS
IKIP MALANG dengan Bidang Tugas Pengelola Program ke-PLS-
an di Instansi Pemerintah maupun Swasta di Jawa Timur, tahun
1998, sebagai ketua.
16. Evaluasi Pelaksanaan Pelatihan Tenaga Fungsional SKB dan Penilik
Dikmas se Wilayah Kerja BPKB Surabaya, Bali dan NTB, tahun
1996, sebagai Anggota Peneliti.
17. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Ketua dan Interaksi Kelompok
terhadap Tingkat Partisipasi Anggota Kelompok Dasawisma dalam
Upaya Memelihara Kebersihan Lingkungan di Kotamadya Malang,
tahun 1995, Tesis Program Pascasarjana IKIP MALANG.
18. Kepemimpinan Kelompok Dasawisma dalam Upaya Memelihara
Kebersihan Lingkungan di Kotamadya Malang, tahun 1994, sebagai
Ketua Peneliti
19. Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dengan Keberhasilan Belajar
Siswa pada Lembaga PLSM di Kotamadya Malang, tahun 1992,
sebagai Ketua Peneliti.
20. Pengaruh Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Upaya Kese-
lamatan kerja Pasukan Kuning di Kotamadya Malang, tahun 1991,
sebagai Anggota Peneliti.
21. Pembelajaran Materi PKLH melalui Media Permainan Simulasi di
Kelurahan Kotopanjang Kotamadya Padang, tahun 1989, sebagai
Ketua.
C. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat
1. Pengurus Komite Sokolah SMA Negeri 9 Malang dari tahun 2005
sampai tahun 2010
2. Sekretaris Jendral Ikatan Alumni Universitas Negeri Malang (IKA
UM) periode tahun 2007–2001
3. Pemberdayaan Perempuan Pesanggem Melalui Budi Daya Tanaman
Hias Sebagai Agrobisnis Berbasis Perhutanan Sosial (Social Fores-
try) Di Desa Benjor Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang.
Tahun 2009 sebagai Anggota
66 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR
D. Karya Ilmiah
1. Peranan Wayang sebagai media Pendidikan Luar Sekolah, Jurnal
PSB IKIP MALANG, 1996.
2. Prinsip Belajar Orang Dewasa dalam Pembelajaran PKLH untuk
Program PLS, Jurnal Pendidikan Masyarakat, 1997.
3. Penerapan Prinsip Andragogi dalam program PLH untuk Pendidikan
Masyarakat, makalah disampaikan dalam seminar Regional Pendi-
dikan Lingkungan Hidup di IKIP MALANG, 1996
4. Pendekatan Andragogi dalam pengelolaan program Paket A, Maka-
lah disampaikan dalam seminar Pengelolaan Paket A di Sendang
Biru Malang, 1997
5. Peranan PLS dalam Pembangunan Masyarakat Desa, makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional PLS dan Konferensi ISPPSI
Tahun 1997 di Surabaya.
6. Hubungan Latar Belakang Sosial Ekonomi dan Pendidikan dengan
Tingkat partisipasi Pesanggem dalam Pengelolaan Hutan disajikan
dalam seminar nasional di Fakultas Teknik UI Jakarta, tahun
2007.
7. Profil Pemuda Pesanggem dalam pengelolaan Hutan di Desa Benjor,
Kabupaten Malang, disajikan salam seminar nasional yang dilak-
sanakan oleh Dikti Depdiknas Jakarta, tahun 2005.
8. Sosiologi Pendidikan. Buku diterbitkan oleh FIP UM. 2008.
9. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Buku diterbitkan Penerbit Elang
Mas, tahun 2007.
Malang, 4 Mei 2010
Prof. Dr. S.Mundzir, M.Pd