pendidikan anti-radikalisme dan strategi …
TRANSCRIPT
TARBIYATUNA: Kajian Pendidikan Islam
Volume 3 Nomor 2 Tahun 2019
Print ISSN : 2597-4807 Online ISSN : 2622-1942
This work is licensed under Creative Commons AttributionNon Commercial 4.0 International License Available iaiibrahimy.ac.id
PENDIDIKAN ANTI-RADIKALISME DAN STRATEGI MENGHADAPINYA (IKHTIAR MENYUSUTKAN GERAKAN RADIKALISME DI INDONESIA)
Khoiriyah
Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Probolinggo e-mail: [email protected]
Abstract
In a study found there were three factors that caused the emergence of radicalism in Indonesia. First, radicalism develops at the global level. Both Wahhabism is spread and the third is poverty. Now a days, radicalism has been spread out in Indonesia. It has to be prohibited by anti-radicalism education. Anti-radicalism education can be preventive and anticipative effort for terorism and radicalism expansion. It will done by put anti-radicalism volues for student through learning and teaching process. In Islam concept, there is interdiction for killing and vandalism. On the contrary, Islam learns us for loving peaple/each other. It has realized on subject lesson. Anti-racalism education prosecutes youth generation to respect differentiation, to love each other, to hate vandalism and dissension. Thus, it can discontinue radicalism and terorism in Indonesia. The anthropicity of radicalism can be done through the path of the government's role, the role of religious institutions and education, the role of civil society, some critical issues, welfare approaches, the role of deradicalization, rehabilitation and reintegration. Keywords: anti-radicalism, education, Indonesia
Accepted: Juli 29 2019
Reviewed: Agustus 13 2019
Publised: September 30 2019
A. Pendahuluan
Indonesia saat ini banyak berkembang isu-isu radikalisme yang mengklaim
dirinya kelompok ISIS dan al-Qaeda. Islamic State and Suriyah (ISIS) ini dipelopori
oleh Abu Umar al-Baghdadi dan Abu Ayub al-Misri. Sejak basis kepemimpinan
digantikan oleh Abu Bakar al-Baghdadi menjadi sangat pesat perkembangannya.
Teror yang disebarkan oleh ISIS berupa pemerkosaan, pembunuhan masal,
perebutan wilayah-wilayah strategis, dan berbagai pembantaian sangat
mengejutkan dunia. Pada bulan juni 2014, ISIS merebut kota Tirkit dan Masoul
serta mengambil alih stasiun radio dan TV milik pemerintah Irak. ISIS juga
Khoiriyah
Tarbiyatuna: Volume 3 Nomor 2, 2019 123
menduduki kantor gubernur setempat. Menurut laporan PBB menyatakan pada
kurun waktu 2014, sejumlah 1,2 juta penduduk suriyah dan 1 Juta penduduk Irak
telah mengungsi akibar teror-teror yang dilancarkan ISIS. Ironisnya dalam kurun
waktu hanya 1 tahun pasukan ISIS telah berlipat ganda menjadi 20.000 lebih
pasukan. Kebanyakan pasukan berasal dari berbagai negara Islam di dunia,
termasuk Indonesia (Hikam, 2016:5-9).
Data dari Central Agency of Agency (CIA), akhir-akhir ini kekuatan ISIS
bertambah sekitar 30.000-31.000 pasukan. Ketakutan teror dan radikalisme telah
sampai di Indonesia dengan melakukan beberapa kekerasan dan peristiwa tumpah
darah yang didalangi oleh kaum radikal Islam. Banyak peristiwa yang terjadi di
Indonesia, di antaranya terjadinya rentetan peristiwa teror pemboman di Legian
Kuta Bali yang menelan ratusan korban, peneror dan kerusakan Gereja di
Temanggung-Jawa Tengah, pengeboman Gereja pada waktu upacara-upacara
keagamaan. Teror dalam bentuk demonstrasi dan aksi massa yang dibalut atas
nama isu penistaan agama dan SARA yang beberapa waktu lalu telah
menghangatkan suhu kerukunan antar umat beragama. Tragedi kelompok
Ahmadiyah di Cekuesik-Banten dan yang masih hangat aksi Bela Islam 212 di
Jakarta.
Data dan fakta di atas menunjukkan bahwa tindakan radikalisme dan
terorisme merupakan sebuah problematika yang meresahkan bangsa Indonesia.
Ironisnya, para generasi muda setuju dan mendukung untuk melakukan tindakan
kekerasan dan radikal. Berbagai upaya pun telah dilakukan oleh pemerintah untuk
mencegah dan memberantas gerakan radikal. Beragam kegiatan dan langkah
sudah ditempuh, salah satunya dengan membuat undang-undang tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme. Undang-undang tersebut menjadi dasar
dibentuknya sebuah lembaga khusus Densus 88 yang bertugas mengejar dan
menangkap gerakan radikal dan teroris hingga keakar-akarnya. Ketika sebuah
negara turun dalam hal memberantas gerakan radikalisme, maka menandakan
Khoiriyah
Tarbiyatuna: Volume 3 Nomor 2, 2019 124
bahwa radikalisme dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Beberapa langkah dan upaya yang dilakukan pemerintah tersebut boleh
dikatakan berhasil. Bukti nyatanya dengan ditangkap dan dieksekusi mati para
gembong teroris yang menjadi otak dari tindakan radikal dan terorisme di
Indonesia. Namun, disisi lain gerakan radikal ini masih tumbuh subur khususnya
dikalangan umat Islam. Mereka yang menginginkan tegaknya syari’at Islam secara
instan. Oleh karna itu, untuk memberantas tindakan radikalisme dan terorisme di
Indonesia tidak cukup dengan tindakan pemberantasan yang dilakukan oleh pihak
yang bertanggung jawab selama ini. Namun yang lebih penting dan mendasar lagi
adalah melakukan tindakan preventif (pencegahan) sejak dini. Salah satu cara
preventif yang bisa dilakukan adalah menerapkan pendidikan anti-radikalisme.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, dengan
metode penelitian pustaka (library research). Proses induktif dan hasilnya
disajikan dalam bentuk deskriptif yaitu dalam bentuk rangkaian kalimat yang
menggambarkan keadaan nyata di lapangan. Penelitian ini juga menekankan pada
proses-proses sosial yang terjadi di masyarakat Indonesia dengan teknik
pengambilan datanya dari sumber informasi media elektronik, media cetak
maupun informasi-informasi dari media sosial. Berdasarkan informasi-informasi
yang didapatkan tersebut penulis mendeskripsikan bagaimana memberikan solusi
terhadap gerakan radikalisme. Dengan demikian, gerakan radikalisme bisa
terhapuskan dengan penerapan pendidikan anti-radikalisme. Penelitian ini melihat
kondisi dari objek penelitian serta menganalisa dengan mengkomparasi berbagai
jurnal, buku, artikel, dan data-data yang berkaitan dengan isu pendidikan anti-
radikalisme sebagai ikhtiar memangkas gerakan radikal di Indonesia.
Khoiriyah
Tarbiyatuna: Volume 3 Nomor 2, 2019 125
C. Hasil dan Pembahasan
1. Pengertian radikalisme
Dalam bahasa latin, radikalisme adalah radix, yang berarti akar.
Radikalisme adalah sebuah paham yang menghendaki adanya perubahan dan
perombakan besar untuk mencapai kemajuan. Menurut Zahratul Mahmudat,
radikalisme adalah pemikiran atau sikap yang memiliki empat karakteristik.
Pertama, sikap intoleran dan tidak menghargai pendapat atau keyakinan orang
lain. Kedua, sikap eksklusif, yakni sikap tertutup dan berusaha berbeda dengan
kebiasaan orang banyak. Ketiga, sikap fanatik, yakni sikap yang selalu
membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Keempat, sikap
revolusioner, yakni kecenderungan untuk menggunakan kekerasan dalam
mencapai tujuan. Adapun istilah radikalisme ini murni produk barat yang sering
dihubungkan dengan fundamentalisme dalam Islam. Dalam tradisi barat
fundamentalisme Islam sering ditukar dengan istilah lain seperti “ekstrimisme
Islam” sebagai mana disebutkan oleh Gilles Kepel atau “Islam radikal” menurut
Emmanuel Siven, dan ada juga dengan istilah “revivalisme”, “integrisme”, atau
“Islamisme” (Rohimin, 2006:15). Istilah-istilah tersebut digunakan untuk
menunjukkan adanya gejala “kebangkitan Islam” yang diikuti dengan militansi dan
fanatisme yang terkadang sangat ekstrim. Dibandingkan dengan istilah lain, “Islam
radikal” yang paling sering digunakan.
2. Doktrin radikal
a. Penegakan daulah
Penegakan daulat adalah sebuah tahapan setelah suatu wilayah dapat
diterapkan dan selanjutnya dapat melangkah untuk menuju pembentukan sebuah
khilafah.
b. Penegakan khilafah
Khoiriyah
Tarbiyatuna: Volume 3 Nomor 2, 2019 126
Penegakan khilafah dibentuk dan diciptakan dari gabungan beberapa
negara Islam yang bersatu dan bersepakat di bawah satu kepemimpinan.
Globalisasi tidak saja menjadi cara kerja dunia tetapi telah menjadi ideologi dunia.
Hasilnya semua negara harus membuka diri terhadap globalisasi dan hampir tidak
mungkin untuk menghindarinya. Bagi sebagian orang, arus globalisasi ini dilihat
sebagai alat untuk membuka pikiran-pikiran baru, tetapi juga sebagai ancaman
sehingga muncul pendalaman ideologi yang fundamental dan lahirlah doktrin-
doktrin yang beraliran keras. Ditambah dengan kejenuhan yang terjadi di ranah
politik dan sosial, sehingga anak-anak muda menjadi kelompok yang rentan bagi
persemaian radikalisme.
Teknologi komunikasi yang telah melahirkan berbagai media baru seperti
internet, twitter, youtube, facebook dan media televisi akan mempercepat
sampainya informasi ke berbagai penjuru dunia. Media komunikasi yang secara
terus-menerus memberitakan tentang ketidakadilan, kekerasan, yang dilakukan
pihak penguasa terhadap kelompok yang lemah, tanpa disadari telah melakukan
suatu pembentukan doktrin baru yang menulari pemikiran khalayak luas.
Masyarakat yang sedang mengalami gonjang-ganjing kehidupan dan berada dalam
ketegangan jelas terpengaruh oleh doktrin baru yang terbawa media dan
selanjutnya doktrin tersebut menunggangi nalurinya karena terlihat sebagai
bagian dari program diri.
Dalam bukunya Virus of mind, Richard Brodie mengatakan bahwa ada tiga
jalur yang digunakan meme dalam menulari benak orang.
1) Repetition (pengulangan)
Sebuah indoktrinasi yang diulang-ulang sehingga terasa akrab dan
merupakan bagian dari program diri. Anak muda sangat rentan terhadap
indoktrinasi.
2) Free ridding (menunggangi)
Bila orang nyaman dengan doktrin baru maka doktrin baru itu akan
menunggangi nalurinya. Ajaran-ajaran lama (leluhur) sudah tidak menarik lagi,
Khoiriyah
Tarbiyatuna: Volume 3 Nomor 2, 2019 127
karena muncul doktrin baru yang diperdengarkan nyaris sempurna, dan meminta
orang percaya buta.
3) Cognitive dissounance (ketegangan).
Bila orang berada dalam sebuah ketegangan dan merasa tidak nyaman, dan
bila muncul suatu doktrin baru yang bisa mengendurkan ketegangan itu, maka
doktrin baru itu akan didukung dan doktrin lama dibuang.
3. Radikal di Indonesia
Tahun 1950, sejak Kartosuwirjo memimpin di bawah bendera Darul
Islam (DI). Dalam catatan histori tentang radikalisme Islam semakin menggeliat
pada pasca kemerdekaan hingga pasca reformasi. Akan tetapi, gerakan ini
akhirnya dapat digagalkan, kemudian muncul kembali pada masa pemerintahan
Soeharto. Bedanya gerakan radikalisme di era Soeharto sebagian muncul atas
rekayasa oleh militer atau intelijen melalui Ali Moertopo. Ada pula Bakin yang
merekayasa bekas anggota DI/TII sebagian direkrut kemudian disuruh melakukan
berbagai aksi seperti Komando Jihad dalam rangka memojokkan Islam. Sejak
jatuhnya Soeharto, ada era demokratisasi dan masa-masa kebebasan, sehingga
secara tidak langsung dapat memfasilitasi beberapa kelompok radikal ini untuk
muncul lebih militan dan lebih vokal. Didukung dengan berbagai liputan media,
khususnya media elektronik, sehingga pada akhirnya gerakan ini lebih tampak
(Azra, 2002).
Pasca reformasi muncul lagi gerakan yang cenderung radikal dipimpin oleh
Azhari dan Nurdin M. Top, yaitu gerakan-gerakan dalam konstelasi politik
Indonesia. Radikalisme Islam makin besar karena pendukungnya juga makin
meningkat, namun gerakan-gerakan ini lambat laun berbeda tujuan, serta tidak
mempunyai pola yang seragam. Ada yang sekedar memperjuangkan implementasi
syari’at Islam tanpa keharusan mendirikan negara Islam. Ada pula yang
memperjuangkan berdirinya negara Islam Indonesia. Ada juga yang
memperjuangkan berdirinya kekhalifahan Islam. Pola organisasinya pun beragam,
Khoiriyah
Tarbiyatuna: Volume 3 Nomor 2, 2019 128
mulai dari gerakan moral ideologi seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis
Mujahidin Indonesia dan sampai kepada gaya militer seperti Laskar Jihad, dan FPI
(Turmudi, 2005).
Gerakan radikal Islam di Indonesia sebatas pada tuntutan dipenuhinya
aspirasi Islam, seperti pemberlakuan syariat Islam atau piagam Jakarta (Azra,
2000). Faktor Kemunculan gerakan Islam radikal di Indonesia ada dua. Pertama,
faktor internal dari dalam umat Islam sendiri yang telah terjadi penyimpangan
norma-norma agama. Kedua, faktor eksternal di luar umat Islam, baik yang
dilakukan penguasa maupun hegemoni Barat, seperti kasus Salman hafidz dan
Imron atau yang dikenal sebagai komando Jihad telah membangkitkan radikalisme
di Indonesia atau gerakan Warsidi. Jihad sebenarnya menjadi simbol perlawanan
yang efektif untuk menggerakkan perang melawan Barat. Kondisi inilah yang
menyebabkan permusuhan yang terus-menerus antara Islam dan Barat. Islam
menemukan moment untuk menyuarakan aspirasi Islam (Solidaritas Islam).
Kelompok Islam radikal seperti, FPI, Ikhwanul Muslimin, KISDI, Lakar Jihad dan
Mujahidin bergerak menentang penyerangan AS. Bahkan, komando jihad juga
dikirim ke Afghanistan sebagai bagian dari tugas suci (Zada, 2002).
Di Indonesia, aksi terorisme saat ini memang tengah menurun sejak awal
tahun 2000-an. Namun akar terorisme yakni radikalisme agama, semakin hati
tetap tumbuh subur dan mendapatkan posisi di sebagian masyarakat. Selain
radikalisme agama, aksi teror juga masih berisiko muncul akibat gesekan-gesekan
lainnya seperti anti persatuan, separatisme, dan lain-lain. Oleh karena itu,
masyarakat harus senantiasa mengingat bahwa mereka hidup di Indonesia, negara
yang terdiri dari berbagai keberagaman. Jika kita tidak bersikap tenggang rasa dan
berpikiran terbuka, maka akar-akar radikalisme akan transparan masuk
mempengaruhi kita. Pemerintah juga perlu untuk menjadi lokomotif dalam
pembangunan persatuan dan kesejahteraan bangsa guna menghindarkan negeri
ini dari ancaman radikalisme yang memanfaatkan celah-celah sebuah
ketidakadilan.
Khoiriyah
Tarbiyatuna: Volume 3 Nomor 2, 2019 129
Anas Saidi peneliti LIPI mengatakan bahwa paham radikalisme ini terjadi
karena adanya proses Islamisasi yang dilakukan kalangan anak muda yang
pemikirannya berlangsung secara tertutup, dan cenderung tidak terbuka apalagi
perbedaan faham dan keyakinannya. Dia menegaskan jika pemahaman ini
dibiarkan bisa menyebabkan disintegrasi bangsa karena mereka menganggap
ideologi Pancasila tidak lagi penting (Lestari, 2016). Proses Islamisasi ini terjadi
secara monolitik dikuasai kelompok tertentu yang konsekuensi pengikutnya
adalah bersikap intoleran. Apabila nanti dari kalangan mereka kemudian menjadi
pejabat, menjadi menteri atau menjadi apa sajalah, jika tidak memiliki rasa
toleransi dan masih punya keinginan atau terbesit untuk mengganti Pancasila. Itu
adalah suatu kecemasan. Anas mengatakan lebih lanjut bahwa proses Islamisasi di
kalangan anak muda itu seharusnya diimbangi dengan proses Islamisasi yang
terbuka, bervariasi dan penyelesaian perbedaan pendapat itu dapat diselesaikan
tidak dengan kekerasan. Jika itu dilakukan, Anas melihat ada sisi positif proses
Islamisasi ini. Pada generasi muda ini dapat menerima perbedaan.
Antropisitas radikalisme dapat dilakukan melalui jalur peran pemerintah,
peran institusi keagamaan dan pendidikan, masyarakat sipil. Beberapa isu kritis,
peran deradikalisasi, rehabilitasi dan reintegrasi, pendekatan kesejahteraan
(Asrori, 2015).
4. Pendidikan anti-radikalisme
Radikalisme sangat erat kaitannya dengan pelanggaran nilai-nilai moral dan
kemanusiaan, karena itu upaya preventif yang paling efektif untuk memperbaiki
moral manusia supaya tidak bertindak radikal kepada sesama, dan itu bagian dari
pendidikan anti-radikalisme.
Pada hakikatnya pendidikan Islam dan pendidikan nasional memiliki tujuan
yang sama yaitu pembinaan akhlak dan jiwa peserta didik. Dalam Undang-Undang
nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan disebut
sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
Khoiriyah
Tarbiyatuna: Volume 3 Nomor 2, 2019 130
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara (Bab I pasal 1 ayat 1).
Rumusan sitem pendidikan nasional di atas sejalan dengan cita-cita luhur
pendidikan Islam untuk membentuk perilaku (akhlak) manusia sesuai dengan visi
kerasulan Nabi Muhammad. Faktor kemuliaan akhlak akan menjadi penentu bagi
keberhasilan pendidikan Islam. Dengan akhlak mulia sikap anti-radikalisme secara
otomatis akan tertanam dalam diri peserta didik. Muhammad Takdir Ilahi
menegaskan pendidikan merupakan solusi tindakan sosial yang mampu mengubah
dari kebobrokan moral ke arah kemuliaan akhlak, lemahnya spiritual ke arah
kekuatan spiritual (power of spiritual) (Ilahi, 2012:19).
Pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat penting karena mempunyai
tugas untuk menyiapkan SDM bagi pembangunan bangsa dan negara. Salah satu
jalan untuk mencapai kesuksesan dan kemajuan dalam mengelola peradaban
untuk lebih gemilang. Adapun implikasi pendidikan pada hakikatnya bertujuan
untuk memecahkan masalah dan persoalan bangsa dan negara. Oleh sebab itu,
dalam menghadapi radikalisme, pendidikan anti-radikalisme sangat mendesak
untuk digalakkan mengingat peran penting pendidikan masih dianggap sangat
strategis dalam membina tunas-tunas bangsa (Ilahi, 2012:16).
Dengan demikian, pendidikan dapat dijadikan sebagai solusi atas persoalan
bangsa ini. Terutama tindakan radikal dan terorisme oleh sekelompok orang yang
mengatasnamakan agama tertentu. Memberikan pendidikan sejak dini kepada
anak bangsa dengan menanamkan sikap dan perilaku anti-radikalisme, yang
dikenal sebagai pendidikan anti-radikalisme, dapat dijadikan sebagai upaya
preventif (pencegahan) terhadap tindakan radikalisme dan terorisme. Pendidikan
anti-radikalisme ini akan berpengaruh pada perkembangan psikologis peserta
didik. Melalui pendidikan anti-radikalisme, diharapkan semangat saling
menghargai perbedaan akan mengalir dalam darah setiap generasi dan tercermin
Khoiriyah
Tarbiyatuna: Volume 3 Nomor 2, 2019 131
dalam kehidupan sehari-hari. Munculnya generasi baru yang anti-radikal
diharapkan mampu menolak faham radikal yang saat ini berkembang.
5. Substansi pendidikan anti-radikalisme
Subtansi pendidikan anti-radikalisme telah ada dalam mata pelajaran
agama Islam maupun pada mata pelajaran lainnya. Setidaknya ada tiga hal penting
yang dapat dimasukkan dalam pendidikan anti-radikalisme. Pertama, melalui
konsep jihad era modern. Ta’rif Jihad secara benar adalah sebuah syarat wajib
hidup dalam keberagaman. Indonesia sebagai negara yang multikultural, jihad
harus dipahami sebagai ishlah (perbaikan) bukan ifsad (kerusakan) atau qital
(membunuh), karena hal itu merupakan kehendak Allah dalam Al-Quran surah Al-
Maidah ayat 32 sebagai berikut Artinya:
ماا قتل النا فسا بغير نفس أو فساد في الرض فكأن بني إسرائيل أنه من قتل ن لك كتبنا على من أجل ذ
لك في ذ ولقد جاءتهم رسلنا بالبي نات ثم إن كثيرا منهم بعد جمايعا ومن أحياها فكأنماا أحيا النا جمايعا
سرفون الرض لما
Artinya : Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.
Ayat ini menunjukkan bahwa membunuh jiwa seseorang itu merupakan
tindakan yang dilarang dalam agama Islam. Dalam hal ini sependapat dengan
Sayyid Quthb yang mengatakan bahwa membunuh seseorang bukan karena qishas
atau para pembuat kerusakan di muka bumi sama seperti membunuh semua
manusia. Karena satu jiwa itu bagaikan semuanya, dan hak hidup itu adalah satu
adanya bagi setiap jiwa. Maka, membunuh seorang manusia seperti pelanggaran
hak hidup itu sendiri (Quthb, 2002:23). Dalam tafsir As-Sa’adi dijelaskan bahwa
membunuh jiwa yang tidak berhak dibunuh maka jelaslah tidak ada perbedaan
Khoiriyah
Tarbiyatuna: Volume 3 Nomor 2, 2019 132
antara yang dibunuh dengan yang lainnya. Dengan kata lain sama halnya dengan
membunuh seluruh manusia. Dalam sebuah hadits Rasulullah yang diriwayatkan
Ibnu Abbas berkata,“Janganlah kalian kembali kepada kekafiran (murtad)
sepeninggalku, sebagian kalian dengan yang lainnya saling memenggal leher
(membunuh) (H.R. Ibnu Abbas). Mafhumnya muslim yang bunuh diri atau
membunuh adalah kafir. Selain itu, bunuh diri tersebut sama halnya dengan
mendahului ketetapan Allah atas makhluk-Nya sehingga surga haram baginya
(pelaku bunuh diri).
Dari pendapat mufassir menunjukkan bahwa membunuh orang yang tidak
bersalah adalah dilarang. Sehingga bisa dipatahkan pemahaman radikalis yang
memaknai teror bom dan bom bunuh diri di wilayah tertentu adalah sebuah
pelanggaran syari’at. Karena di dalamnya banyak terdapat anak-anak, wanita, dan
orang yang tidak bersalah. Kedua, melalui konsep multikultural. Indonesia
memang dihuni oleh mayoritas beragama Islam, namun perbedaan etnis, suku,
bahasa, bahkan agama masih sering jadi alasan untuk melakukan teror bom.
Dengan kata lain, tidak menghargai kemajemukan yang ada di dunia ini dan
melanggar sunnatullah yang dijelaskan Allah dalam surah Alhujarat ayat 13:
إن الله أتقاكم كم عند الله إن أكرم وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا يا أيها النا إنا خلقناكم من ذكر وأنثى
.عليم خبير
Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan, pengertian bangsa
dalam bahasa Arab adalah syu’bun yang artinya lebih besar dari pada kabilah,
sesudah kabilah terdapat tingkatan-tingkatan lainnya yang lebih kecil fasa-il
(puak), ‘asyair (bani), ‘ama-ir, afkhad, dan lain sebagainya. Asbabun nuzul dari
surat Al-hujarat ayat 13 terdapat dalam suatu riwayat dikemukakan oleh Ibnu Abi
Hatim yang bersumber dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa ketika fathul Makkah, Bilal
Khoiriyah
Tarbiyatuna: Volume 3 Nomor 2, 2019 133
bin Rabbah naik ke atas Ka’bah untuk mengumandangkan adzan. Berkatalah
beberapa orang, “apakah pantas seorang budak hitam azan diatas Ka’bah?” Maka
berkatalah mereka yang lainnya, “sekiranya Allah membenci orang ini, pasti Allah
akan menggantikannya.”
Ketiga, belajar tentang kasih sayang. Rasulullah mengajarkan kepada
umatnya untuk saling menyayangi sesama manusia yang diimplementasikan
dalam bentuk silahturahim. Hal ini menolak pendapat yang mengatakan Islam
adalah agama perang dan menyebarkan agamanya dengan pedang. Pernyataan
tersebut jelas keliru, seorang sejarahwan terkemuka De Lacy O’Leary dalam buku
Islam At The Cross Road mengatakan bagaimanapun juga bahwa legenda tentang
orag-orang Islam fanatik menyapu dunia dan memaksakan Islam sampai
menggunakan pedang atas bangsa yang ditaklukkannya adalah mitos luar biasa
fantastis yang pernah diulang-ulang para sejarawan (Naik, 2013:182). Teror
bukanlah jalan untuk mengajak manusia kepada kebenaran. Akan tetapi, dengan
kasih sayang yang dilandasi kebijaksanaan. Jika dilihat dari sejarah, banyak sekali
orang non-muslim yang bersyahadat dikarenakan luluh dengan kelembutan
Rasulullah.
6. Potret negative radikalisme: kajian dalam perspektif Islam
Radikalisme dalam perspektif Islam dikategorikan sebagai al-guluw
(berlebihan) dan al-unf (kekerasan). Kata al-guluww secara bahasa berarti
berlebihan atau melampaui batas. Kalimat ini sering digunakan untuk menyebut
praktik pengalaman agama yang ekstrim sehingga melebihi batas kewajaran. Kata
al-unf (kekerasan) adalah antonim dari kata ar-rifq yang berarti lemah lembut dan
kasih sayang. Dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 171 Allah mengecam keras sikap ahli kitab
yang terlalu berlebihan dalam beragama.
الله ا الماسيح عيسى ابن مريم ر إنما يا أهل الكتاب ل تغلوا في دينكم ول تقولوا على الله إل الحق سو
ه لله إل إنماا ا انتهوا خيرا لكم ول تقولوا ثلثة فآمنوا بالله ورسله مريم وروح منه وكلماته ألقاها إلى
بالله وكيل وكفى له ما في السمااوات وما في الرض له ولد سبحانه أن يكون واحد .
Khoiriyah
Tarbiyatuna: Volume 3 Nomor 2, 2019 134
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan Allah melarang ahli
kitab melampaui batas dan menyanjung secara berlebihan. Hal ini banyak
dilakukan oleh orang-orang Nasrani, karena sesungguhnya mereka melampaui
batas mengenai Nabi Isa. Mereka mengangkatnya di atas kedudukan yang telah
diberikan Allah kepadanya, lalu mereka menjadikannya sebagai Tuhan selain
Allah. Yang mana mereka sembah sebagaimana mereka menyembah Allah. Bahkan
pengikut dan golongannya bersikap berlebihan, lalu mengakui dirinya terpelihara
dari kesalahan. Akhirnya para pengikut mereka mengikuti semua yang
dikatakannya, baik haq maupun batil, baik sesat maupun benar, baik jujur maupun
dusta.
Secara historis, radikalisme Islam bermula dari pemberontakan yang
dilakukan kaum khawarij. Gerakan khawarij muncul pada akhir pemerintahan Ali
bin Abi Thalib, mereka cenderung menggunakan faham radikal. Adapun faham dari
mereka adalah orang yang berada di luar faham mereka adalah kafir. Pada Tanggal
14 Bulan Ramadhan 40 H, Abdul Rahman bin Abdullah Al-Barak, Abruhrahman bin
muljam, Amr bin Bakr. Mereka adalah tiga orang militan yang merencanakan
pembunuhan terhadap tiga orang tokoh penting kaum muslim di Mekkah ketika
itu, berusaha mencari saat yang tepat untuk melakukan pembunuhan. Dan mereka
merupakan anggota kelompok Khawarij.
Sebelumnya mereka adalah pengikut salah seorang tiga pemimpin yang
sedang mereka rencanakan pembunuhan, yakni Ali bin Abi Thalib, khalifah yang
sah pada saat itu, tetapi mereka tidak setuju pada kesediaan sang khalifah untuk
menerima arbitrase (tahkim) antara Sang Khalifah dan Mu’awiyah bin Abi Syufyan,
melalui orang yang ditunjuknya, yakni ‘Amr bin ‘Ash. Mereka menilai bahwa
sahabat Mu’awiyah bin Abi Syufyan sebagai pemberontak terhadap kepemimpinan
yang sah, sehingga ia pun harus diperangi.
Khoiriyah
Tarbiyatuna: Volume 3 Nomor 2, 2019 135
7. Impelementasi pendidikan anti-radikalisme di Indonesia
Regenerasi teroris terus berlanjut dan tidak tertutup kemungkinan di
lingkungan terdekat kita telah dimasuki oleh kaum radikalis. Potret bangsa
Indonesia saat ini semakin memburuk, sehingga aktualisasi nilai-nilai pembentuk
karakter generasi muda penting untuk digalakkan. Lingkungan keluarga,
masyarakat, dan pendidikan formal harus bersinergi dalam mengatasi regenerasi
teroris dan gerakan radikal.
Keluarga mempunyai andil yang cukup besar dalam proses penanaman
karakter anak. Di antaranya pendidikan anti-radikalisme yang bisa diterapkan
dilingkungan keluarga sebagai berikut. Pertama, keluarga harus menanamkan
pemahaman agama secara Kaffah dan benar bukan pemahaman agama yang
ekstrim. Kedua, keluarga harus mengajarkan Rohman Rahim kasih sayang bukan
kekerasan. Ketiga, keluarga harus menanamkan nilai-nilai toleransi serta
menghargai pendapat dan pemahaman orang lain.
Selain keluarga, pendidikan lingkungan masyarakat harus digalakkan.
Lingkungan sekitar tentu sangat mempengaruhi karakter anak. Apalagi seorang
anak yang hidup dalam lingkungan radikal dan teroris tentu anak akan terbiasa
dengan istilah jihad dalam artian pembunuhan. Semua elemen masyarakat harus
menciptakan kondisi masyarakat yang kondusif. Adapun penerapan pendidikan
anti-radikalisme dalam lingkungan masyarakat di antaranya sebagai berikut.
Pertama, tokoh masyarakat sebagai penggerak kegiatan keagamaan harus benar-
benar selektif dalam memberikan pemahaman keagamaan. Harus menghindari
dari adanya pemahaman agama yang radikal yang pada akhirnya mereka
terjangkit penyakit radikalisme. Kedua, masyarakat harus mengajarkan nilai-nilai
multikultural yang menghargai segala bentuk perbedaan yang ada dalam tatanan
masyarakat. Ketiga, menghindari segala konflik, agama, suku, dan ras dalam
masyarakat. Namun yang terpenting adalah harus menghidupkan kerukunan antar
suku, agama dan ras yang ada dalam masyarakat tersebut. Dengan demikian akan
Khoiriyah
Tarbiyatuna: Volume 3 Nomor 2, 2019 136
tercipta kehidupan masyarakat yang aman, damai, dan terhindar dari pengaruh
radikalisme dan terorisme.
Lingkungan sekolah adalah tempat menimba ilmu yang menjadi sangat
penting diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sepertiga Aktivitas anak
dilakukan di sekolah sehingga peran pendidikan di sekolah menjadi sangat
dominan dalam membentuk karakter anak (peserta didik). Menerapkan
pendidikan anti-radikalisme di sekolah bukanlah perkara yang mudah. Namun,
harus tetap didorong dan digalakkan sebagai upaya antisipasi terhadap regenerasi
jaringan teroris dan radikal yang kian hari semakin meresahkan masyarakat.
Bentuk pendidikan anti-radikalisme di lingkungan sekolah dapat ditempuh
dengan berbagai model penerapan pendidikan. Ada beberapa cara yang bisa
diaktualisasikan dan diimplementasikan dalam lingkungan sekolah. Pertama,
mengintegrasikan nilai-nilai anti-radikalisme dalam muatan mata pelajaran di
sekolah. Yakni tugas guru memberikan dan memasukkan nilai-nilai anti-radikal
saat proses pembelajaran berlangsung. Adapun nilai-nilai anti-radikalisme dapat
diintegrasikan dalam beberapa mata pelajaran agama, kewarganegaraan, ilmu
sosial dan mata pelajaran lainnya. Nilai-nilai anti-radikalisme yang dapat
diintegrasikan dengan pelajaran adalah nilai-nilai anti-radikalisme yang
bersumber dari Al-Quran dan Hadits. Kedua, penerapan nilai-nilai anti-radikalisme
dilingkungan sekolah. Dalam lingkungan sekolah identik dengan keberagaman,
baik agama, ras dan suku peserta didik. Maka dari itu, peserta didik diajarkan arti
kebersamaan dan kerukunan dalam lingkungan sekolah. Nilai-nilai kasih sayang
kepada sesama juga harus dipupuk di lingkungan sekolah. Sebagaimana ajaran
Rasulullah tentang menyayangi, peduli, dan berbagi terhadap sesama. Dalam
sekolah rasa empati juga perlu dibangun, karena secara tidak langsung akan
membuat mereka mampu memiliki sikap hormat, sopan santun kepada orang lain,
dan terhindar dari sikap dan perilaku radikal. Ketiga, Bimbingan Konseling (BK),
guru konselor juga harus mampu melakukan terapi anti-radikal terhadap siswa
yang telah terjangkit paham radikal. Konselor sebisa mungkin memberikan
Khoiriyah
Tarbiyatuna: Volume 3 Nomor 2, 2019 137
pemahaman agama dengan baik sehingga mampu meluruskan pemahaman siswa
yang keliru.
Dalam pendidikan anti-radikalisme penanaman nilai-nilai moral harus
melibatkan segala aspek baik ranah efektif, kognitif, dan ranah psikomotorik.
Peserta didik adalah makhluk yang memiliki unsur-unsur akal, jasmani, serta jiwa.
Pembinaan jiwa menghasilkan tingkah laku, budi pekerti dan akhlak. Pembinaan
akal menghasilkan ilmu dan pengetahuan, dan pembinaan jasmani menghasilkan
sebuah keterampilan. Ketika tiga unsur tersebut digabungkan pada seorang
peserta didik maka akan mampu memiliki ilmu yang bermanfaat, keterampilan
mumpuni, tingkah laku, emosional serta memiliki akhlak yang baik (akhlak al-
karimah). Konsep pendidikan anti-radikalisme jika diterapkan dengan baik maka
jaringan radikal (teroris) dapat diputus. Lingkungan keluarga memainkan
perannya di rumah. Seluruh elemen masyarakat dan tokoh masyarakat
memainkan peran di lingkungan masyarakat. Sekolah sebagai lembaga formal
melakukan aksi pendidikan anti-radikalisme. Jika proses ini dijalankan dengan
sebaik-baiknya, maka regenerasi kaum radikalis dapat diamputasi sehingga teror
tidak terjadi lagi di bumi pertiwi.
D. Simpulan
Pendidikan anti radikalisme ini digagas sebagai solusi masalah radikalisme
yang berkembang di Indonesia. Pendidikan anti radikalisme dapat dijadikan upaya
preventif dan antisipatif berkembangnya jaringan terorisme dan radikalisme di
Indonesia. Adapun cara yang dilakukan dengan memasukkan nilai-nilai anti-
radikalisme dalam diri siswa melalui proses pendidikan dan pengajaran. Konsep
Islam yang anti-radikal seperti melarang berbuat kerusakan, membunuh serta
perintah untuk berbuat kasih sayang sesama umat manusia dimuat dalam mata
pelajaran agama Islam dan pelajaran lainnya. Pendidikan anti-radikalisme
menuntut para generasi muda untuk menghargai perbedaan, manusia yang benci
berbuat kerusakan, dan manusia yang mencintai kasih sayang. Dengan demikian,
Khoiriyah
Tarbiyatuna: Volume 3 Nomor 2, 2019 138
secara berangsur-angsur akan dapat memutus gerakan radikalisme dan terorisme
di Indonesia. Lingkungan keluarga memainkan perannya di rumah. Seluruh elemen
masyarakat dan tokoh masyarakat memainkan peran di lingkungan masyarakat.
Sekolah sebagai lembaga formal melakukan aksi pendidikan anti-radikalisme. Jika
proses ini dijalankan dengan sebaik-baiknya, maka regenerasi kaum radikalis
dapat diamputasi sehingga teror tidak terjadi lagi di bumi pertiwi.
Daftar Rujukan
Asrori, Ahmad. (2015). Jurnal Radikalisme di Indonesia Antara Historis dan
Antropositas, Volume 9, Nomor 2 Desember 2015 Azra, Azumardi. (2000). Muslimin Indonesia: Viabilitas “Garis Keras”. Gatra edisi
khusus Azra, Azumardi. (2002). Radikalisme Islam Indonesia. (Online), (http://tempo.co),
diakses 7 Juli 2019 Hikam, Muhammad A.S. (2016). Deradikalisasi. Jakarta: Kompas Ilahi, Muhammad Takdir. (2012). Revitalisasi Pendidikan Berbasis Moral.
Yogyakarta: Arruzz Media Lestari, Sri. (2016). Anak-Anak Muda Indonesia Makin Radikal. (Online),
(http://bbc.com), diakses 18 Juli 2019 Naik, Zakir. (2013). Mereka Bertanya Islam Menjawab. Solo: PT. Aqwam Media
Profetika Qutbh, Sayyid. Terjemahan Tafsir Fi Zilalil Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press Rohimin. (2006). Jihad Makna dan Hikmah. Jakarta: Erlangga Turmudi, Endang. (2005). Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press Undang undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Zada, Khamami. (2002). Islam Radikalisme. Jakarta: Teraju