pendidikan alternatif sebagai model pemberdayaan …
TRANSCRIPT
PENDIDIKAN ALTERNATIF SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI SEKOLAH
PEREMPUAN CILIWUNG, DI RAWAJATI BARAT, JAKARTA SELATAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi Sebagai Syarat untuk
Meraih Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Sos.I)
Disusun Oleh: MILASTRI MUZAKKAR
106054002027
JURUSAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2010
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas islam negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya asli saya merupakan jiplakan
dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 2010
Milastri Muzakkar
DAFTAR ISI
ABSTRAK ....................................................................................................... і
КАТА PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................vii
DAFTAR TABEL............................................................................................ x
BAB 1 PENDAlttLtAN
1. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
2. Petnbatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 7
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 8
4. Metodologi Penelitian ................................................................ 9
Ё. Kajian Pustaka........................................................................... 17
F. Sistematika Penulisan ............................... ............................... 19
BAB II TINJAUAN TfeORlTIS
a. Pendidikan Alteinatif ........................................................................... 21
1. Pengertian Pendidikan............................................................... 21
2. Langkah-Langkah Humanisasi Pendidikan ............................... 23
3. Metode Pendidikan yang Berorientasi Pada Perubahan Sikap dan Perilaku
................................................................................................. 25
4. Pendidikan Alternatif................................................................ 27
b. Model Pemberdayaan Perempuan......................................................... 29
1. Model Pemberdayaan...................................................................... 29
2. Pemberdayaan Perempuan ............................................................ 4-5
3. Upaya-Upaya Pemberdayaan Perempuan ....................................... 48
4. Tingkat-Tingkat Pemberdayaan Perempuan.................................... 51
BAB III GAMBARAN UMUM
a. Gambaran Umum Sekolah Perempuan Ciliwung ............................54
1. Sejarah Sekolah Perempuan Ciliwung .............................................. 54
І. Program-Program Sekolah РегеПфиап Ciliwung ............................. 57
3. Struktur Kepengurusan Sekolah Perempuan Ciliwung .............. ...... 59
b. Garhbaran Umum Wilayah Kelurahan Sekolah Perempuan Ciliwung
(SPC) ..............................................................................................61
a. Letak Geografis Sekolah Perempuan Ciliwung................................ 61
b. Kondisi Sosio-Ekonomi Peserta Sekolah Perempuan Ciliwung....... 62
BAB IV TFMLAN LAPANGAN DAN ANALtSlS
f. Bentuk-Bentuk Pendidikan Alternatif di Sekolah Perempuan Ciliwung ... 64
g. Model pemberdayaan dalam Proses Belajar-Mengajar di Sekolah Perempuan
Ciliwung .............................................................................................. 79
BAB V PENUTUP
1. Kesimpulan ....................................................................................93
2. Saran ...............................................................................................94
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam undang-undang sistem pendidikan nasional (sikdiknas) No.20/2003
dikatakan bahwa, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.1
Meski begitu, pada umumnya pendidikan biasa diidentikkan dengan sekolah
sebagai institusi formal yang dilegalisir oleh negara. Sehingga yang terkonstruk di
masyarakat adalah, jika ingin mendapatkan pendidikan, seseorang harus bersekolah.
Permasalahannya adalah tidak semua orang bisa dengan mudah bersekolah.
Banyak hal yang seringkali menjadi hambatan sekaligus permasalahan dalam
pendidikan kita sampai saat ini. Menurut penulis, beberapa permasalahan itu antara
lain: mahalnya biaya pendidikan, buruknya sistem pendidikan, kurangnya akses, dan
persoalan budaya (patriarki). Permasalahan-permasalahan ini membuat masyarakat
1 Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
miskin dan marginal2 (misalnya perempuan) sulit untuk mengenyam pendidikan
formal.
Pertama, persoalan biaya. Saat ini biaya pendidikan masih relatif mahal.
Meski anggaran 20% sudah dialokasikan untuk pendidikan, tapi anggaran itu lebih
banyak digunakan untuk infrastruktur, membayar gaji guru, dan sebagainya. Padahal
dalam surat keputusan bersama (SKB) tiga Menteri, Nomor
17/men.pp/dep.ii/vii/2005, Nomor 28a tahun 2005, Nomor: 1/pb/2005, tentang
percepatan pemberantasan buta aksara perempuan, pasal 10 dikatakan bahwa: untuk
pemberantasan buta aksara perempuan dibebankan pada APBN dan APBD.
Kedua, masalah budaya. Bagi perempuan, budaya patriarki yang masih sangat
kental dalam masyarakat, khususnya di masyarakat miskin-desa, adalah hambatan
yang paling sulit untuk dilawan. Mitos bahwa perempuan pada akhirnya akan
kembali ke dapur, sehingga tidak perlu sekolah sampai jenjang yang lebih tinggi,
masih dianut oleh sebagian besar orang tua. Makanya tak heran jika anak laki-laki
masih lebih diprioritaskan untuk bersekolah.
Ketiga, masalah akses. Bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dan
jauh dari fasilitas angkutan umum, seringkali terhambat untuk mengenyam
pendidikan. Pemandangan ini banyak dijumpai di pedesaan khususnya. Di Salatiga
misalnya, banyak anak-anak yang memilih putus sekolah karena pertimbangan jarak
yang cukup jauh dari rumah ke sekolah. Mereka harus berjalan kaki selama 30-40
2 Masyarakat marginal adalah mereka yang terpinggirkan atau lemah dalam segi akses, ekonomi, sosial, hukum, budaya dan sebagainya, sehingga membuat mereka tidak dapat menikmati kehidupan yang adil dan setara seperti orang-orang pada umumnya, misalnya, perempuan.
menit untuk sampai ke jalan besar, untuk mendapatkan angkutan umum menuju
sekolah. Sehingga tenaga mereka harus terkuras lebih banyak sebelum sampai ke
sekolah.
Keempat, sistem pendidikan (kurikulum, metode, sumber daya manusia,
sarana dan prasarana) yang masih buruk. Sekolah selalu terikat dengan kurikulum,
Guru-guru lebih banyak memberi ceramah monolog. Siswa diberi dan disuruh
menghafal rumus-rumus sementara tidak direlevansikan dengan persoalan-persoalan
yang terjadi di lingkungan mereka. Belum lagi pekerjaan rumah (PR) yang selalu
diberikan hampir setiap hari.
Keempat hal di atas, menjadi hambatan yang paling sering dialami oleh
masyarakat marginal. Perempuan sebagai bagian dari kelompok marginal itu, sangat
rentan mengalami dua kali kesulitan dibanding laki-laki. Bagaimana tidak, sampai
hari ini, hampir semua faktor yang menjadi hambatan di atas dialami oleh perempuan.
Marginalisasi di sini diartikan sebagai proses pemiskinan perempuan yang
mengakibatkan kemiskinan perempuan secara sosial maupun ekonomi.3 Proses
marginalisasi ini berimplikasi ke seluruh aspek kehidupan perempuan, tak terkecuali
dalam hal pendidikan.
Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI)
Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), Hamid Muhammad, data yang
dihimpun Kemendiknas angka buta aksara per Desember 2009, sebesar 8,2 juta
3 Yanti Muchtar& Lily Pulu ,Modul Pendidikan Adil Gender untuk Perempuan Marginal. KAPAL Perempuan, Jakarta:2006.
orang. Sekitar 64 persen perempuan, berarti dua kali lipat laki-laki, atau 6,5 juta
perempuan buta aksara. Penyebab buta aksara adalah budaya, tidak ada akses, dan
angka putus sekolah. Ia mengamati, buta aksara umumnya tidak pernah masuk
sekolah, dan pernah sekolah tapi di drop out (DO).4
Kebuta-aksaraan ini adalah faktor yang sangat signifikan perannya dalam
melanggengkan keterbelakangan dan ketidakadilan bagi perempuan. Buta aksara
berarti juga buta hukum, buta akses, buta karya, dan seterusnya.
Sebuah cerita dari Eva Khofifah, salah seorang staff LSM Perempuan
(KAPAL Perempuan), yang berkunjung ke Aceh besar menjelang pemilu 2009 lalu.5
Dalam kerumunan ibu-ibu, yang sedang memperbincangkan tentang tata cara
memilih. Karena sebelumnya dengan cara menyoblos, namun pemilu kali ini (2009)
dengan cara mencontreng. Hal ini membuat bingung para ibu-ibu karena selain
banyak sekali partai, wajah dari caleg yang akan dipilih pun tidak dipasang digambar
surat suara. Bisa dibayangkan, bagaimana seseorang yang buta huruf harus
diperhadapkan dengan situasi yang seperti itu.
Masih dalam waktu yang sama, Seorang ibu lain menceritakan
pengalamannya;
“Saya 13 bersaudara. Sewaktu masih kecil-kecil, kami tidak boleh sekolah. Karena kakek kami bilang dulu ada kerajaan di gampong kami yang melarang sekolah. Pakai topi juga kami dilarang. Jadilah kami enggak sekolah. Kami hanya pergi mengaji. Itupun hanya 6 bulan. Kalau kamu minta kakak sekarang mengaji, sudah payah juga. Ia tersenyum. Hidup kakak keras,
4 Koran Republika Online, 6,5 juta Perempuan Indonesia Buta Aksara, Kamis, 25 Februari 2010 (diakses pada hari Selasa, 27 april,2010. pukul 08.36) 5 http://ccde.or.id/index
dulu hanya ikut orang tua ke kebun. Suami kakak sudah almarhum. Dia mati di tembak waktu masih konflik. Karena buta aksara, kakak pernah ditipu saat diminta tanda tangan pengurusan harta suami yang masih ada. Tetapi itu tidak sampai ke tangan kakak. Kakak tahu memang tidak bisa baca tulis. Namun mengapa orang itu tega sekali sama kakak. Padahal sebenarnya itu kan hak kedua anak kakak juga.”6
Masalah pendidikan seperti ini bisa berimplikasi lebih jauh bagi perempuan,
salah satunya yang sampai saat ini masih marak terjadi adalah tracfficking
(perdagangan manusia). Angka trafficking pun semakin meningkat setiap tahunnya.
Tahun 2004 terdapat 76 kasus, tahun 2005 terdapat 71 kasus, kemudian meningkat
menjadi 86 kasus di tahun 2006. Kasus itu melonjak dua kali lipat menjadi 177 kasus
pada tahun 2007 dan meningkat lagi menjadi 88 kasus pada tahun 2008.7 Beberapa
korban dari kasus trafficking disebabkan karena banyaknya yang tertipu lewat iklan
lowongan kerja dan pemalsuan dokumen.
Kasus-kasus di atas seharusnya bisa menyadarkan dan membuat kita semua
(baik pemerintah dan masyarakat umum) supaya lebih peduli terhadap pendidikan
untuk perempuan. Paradigma pendidikan konvensional masih tidak memperhitungkan
proses belajar-mengajar yang seimbang dan setara antara murid dan guru. Guru
cenderung memonopoli forum dan memposisikan dirinya sebagai subjek, sementara
siswa sebagai objek. Akhirnya, pendidikan menjadi momok yang menakutkan dan
tidak membebaskan bagi siswa.
Belum lagi bicara soal mata pelajaran. Kebanyakan mata pelajaran di sekolah
formal belum memperhitungkan kepentingan-kepentingan perempuan (tidak sensitif 6 Ibid. 7 Detiknews.com, diakses pada Kamis, 26/02/2009
jender). Dalam proses belajar-mengajar lebih banyak membicarakan tentang hal-hal
teoritis tanpa mempertimbangkan pengalaman-pengalaman yang dialami oleh setiap
individu (siswa). Padahal, bagi perempuan, pengalaman menjadi penting untuk dibagi
dan didiskusikan kepada teman-teman dan gurunya. Pendidikan formal kurang
memikirkan bagaimana kondisi perempuan yang dipengaruhi banyak faktor persoalan
seperti budaya, sosial, agama dan politik.8
Sejatinya, Pendidikan adalah sebuah proses pemberdayaan, yang diharapkan
mampu memberdayakan peserta didik menjadi manusia yang cerdas, manusia yang
berilmu dan berpengetahuan, serta manusia terdidik. Misalnya, dengan melakukan
proses belajar, proses latihan, proses memperoleh pengalaman atau melalui kegiatan
lainnya. Sehingga siswa dapat memperoleh pengalaman memecahkan masalah,
pengalaman etos kerja, dan ketuntasan bekerja dengan hasil yang baik.9
Melihat permasalahan dalam pendidikan konvensional, banyak pihak yang
mengkritik dengan beralih ke bentuk atau model pendidikan yang lain, yang biasa
disebut pendidikan alternatif. Pendidikan alternatif merupakan istilah generik dari
berbagai program pendidikan yang dilakukan dengan cara berbeda dari cara-cara
tradisional. Pendidikan dengan cara ini dianggap lebih bisa menampung dan mengerti
kondisi yang dihadapi oleh perempuan.
Salah satu LSM yang konsen dalam mengembangkan pendidikan untuk
perempuan adalah Kelompok Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan (KAPAL)
8 ibid. 9 Prof. Dr. H. Hamzah B. Uno, M.Pd, Profesi Kependidikan (Problema, Solusi dan Reformasi di I ndonesia). Bumi aksara; Jakarta:2008
Perempuan, dengan mendirikan sekolah perempuan di Gang Pelangi, RT 10/01 dan
RT 10/03, Kelurahan Rawajati Barat, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, sejak
tahun 2003. Sekolah ini diberi nama ‘Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC)’.
Sekolah Perempuan Ciliwung adalah Sekolah yang sengaja didirikan untuk
ibu-ibu di sekitar gang Pelangi setelah melihat latar belakang kondisi sosio-
historisnya yang memang sangat terbelakang. Selain dalam hal pendidikan, mereka
juga terbelakang dalam hal ekonomi, ditambah lagi persoalan-persoalan rumah
tangga seperti beban ganda (beban kerja di dalam dan di luar rumah rumah) bahkan
ada yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Untuk menjawab permasalahan-permasalahan perempuan di atas, program-
program SPC ini diprioritaskan pada hal-hal yang meliputi: pertama, pengembangan
pendidikan untuk perempuan yang mencakup penguatan perspektif dan skill dengan
materi gender, kesehatan reproduksi, organisasi, dan usaha ekonomi yang
dikombinasikan dengan pendidikan keakasaraan. Kedua, pengembangan usaha
ekonomi kelompok dan anggota. Ketiga, pengembangan kemampuan berorganisasi.
Keempat, merespon isu-isu HAM, sosial politik seperti pemilu undang-undang
KDRT dan pornografi, utang luar negeri dan lingkungan hidup.
Selain materi-materi yang disebutkan di atas, salah satu kegiatan penting dari
SPC adalah penguatan kapasitas para pengurus melalui traning-training dan
pendampingan intensif dalam mengembangkan dan mengelola organisasi serta
memfasilitasi pendidikan di komunitasnya. Tujuan akhir dari semua proses di atas
tentu saja dalam rangka memberdayakan masyarakat, khususnya perempuan
marginal.
Sekolah perempuan Ciliwung ini cukup unik karena belum banyak
dikembangkan di Indonesia. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengetahui lebih
jauh apa saja bentuk pendidikan alternatif tersebut, serta bagaimana model
pemberdayaan yang dilakukan di Sekolah Perempuan Ciliwung ini melalui penelitian
yang dituangkan ke dalam skripsi yang berjudul “Pendidikan Alternatif Sebagai
Model Pemberdayaan Perempuan di Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC), di
Rawajati Barat, Jakarta Selatan”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pendidikan alternatif sangat beragam, maka perlu dipertegas bahwa
pendidikan alternatif yang dimaksud di sini adalah pendidikan yang khusus
didirikan untuk perempuan sebagai kritik atas pendidikan konvensional pada
umumnya. Di mana sistem (kurikulum, sarana dan prasarana, metode, mata
pelajaran, dan sebagainya) memperhatikan kebutuhan dan pengalaman
perempuan (sensitif jender).
Dalam penelitian ini, penulis hanya akan meneliti bentuk-bentuk pendidikan
alternatif yang diterapkan di Sekolah Perempuan Ciliwung. Dan bagaimana
model pemberdayaan yang digunakannya. Pembatasan ini didasari pada
pertimbangan efisiensi waktu serta untuk meminimalisir biaya penelitian.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah
penelitian sebagai berikut:
1. Apa saja bentuk pendidikan alternatif yang diterapkan di Sekolah Perempuan
Ciliwung (SPC)?
2. Bagaimana Model pemberdayaan yang digunakan di Sekolah Perempuan
Ciliwung (SPC)?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Mengacu pada pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka hasil
penelitian yang ingin penulis capai adalah:
1. Untuk mengetahui apa saja bentuk pendidikan alternatif yang diterapkan di
Sekolah Perempuan Ciliwung.
2. Untuk mengetahui bagaimana model pemberdayaan yang digunakan di
Sekolah Perempuan Ciliwung.
2. Manfaat Penelitian
Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Universitas,
khususnya Jurusan Pengembangan Masyarakat (tempat penulis bernaung) sebagai
bahan referensi dan perluasan pengetahuan serta wawasan dalam wacana pendidikan
yang dihubungkan dengan isu-isu perempuan.
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi KAPAL
Perempuan sebagai salah satu LSM yang bergerak dalam isu-isu perempuan serta
sekolah-sekolah perempuan yang lainnya.
D. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Taylor (1975:5) didefinisikan sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari perilaku orang-orang yang dapat diamati.10 Sementara menurut Jane
Richie, penelitian kualitatif adalah upaya untuk menyajikan dunia sosial, dan
perspektifnya di dalam dunia, dari segi konsep, perilaku, persepsi, dan persoalan
tentang manusia yang diteliti.11
Alasan pemilihan pendekatan penelitian kualitatif didasarkan pada ketajaman
analisis yang lebih mendalam yang diperlukan dalam penelitian tentang perempuan.
Pendekatan kualitatif dapat lebih menggali dan mengambarkan kejadian yang
sebenarnya, yang dialami oleh subjek penelitian. Terlebih dalam meneliti tentang
10 Lexy J. Moleong, M.A, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung:2007. Hal.5. 11 ibid. hal.6.
perempuan, dibutuhkan pendekatan yang sangat mendalam agar bisa menggali lebih
jauh tentang kondisi subjek penelitian yang sebenarnya.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan disini adalah penelitian kualitatif deskriptif.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan
mengklasifikasikan suatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan
mendeskripsikan sejumlah variable yang berkenaan dengan masalah dan unit yang
diteliti. Jenis penelitian ini tidak sampai mempersoalkan jalinan hubungan antar
variabel yang ada; tidak dimaksudkan untuk menarik generalisasi yang menjelaskan
variabel-variabel anteseden yang menyebabkan sesuatu gejala atau kenyataan sosial.
Oleh karena itu, penelitian deskriptif tidak menggunakan atau tidak melakukan
pengujian hipotesis, yang juga berarti tidak membangun dan mengembangkan teori.12
Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk
mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala
menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan (Suharsimi Arikunto : 2005).
3. Teknik Pengumpulan Data
12 Syamsir Salam & Jaenal Aripin, Metodologi Penelitian Sosial, UIN Jakarta Press, Jakarta:2006, hal.14.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tekhnik pengumpulan data
sebagai berikut:
1) Observasi, adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-
gejala yang diteliti.13 Dalam observasi ini, peneliti akan melakukan pencatatan
terhadap berlangsungnya proses belajar-mengajar, metode, model dan strategi
yang digunakan, perilaku-perilaku peserta SPC, sarana dan prasarana, kondisi
sosio historis peserta SPC dan segala hal yang penulis dapatkan di lapangan.
Kemudian penulis tuangkan dalam penulisan skripsi sesuai data-data yang
dibutuhkan.
2) Wawancara, adalah salah satu cara untuk memperoleh data melalui informasi
yang didengarnya dengan panca indra pendengaran, yang sebelumnya
ditanyakan terlebih dahulu kepada responden.14 Dalam penelitian ini, penulis
akan mewawancarai peserta SPC yang telah dipilih sebagai sampel. Selain itu,
penulis juga akan mewawancarai direktur KAPAL Perempuan serta LSM
jaringan KAPAL Perempuan yakni koordinator program Kalyanamitra.
3) Dokumentasi, artinya penulis menggunakan setiap bahan tertulis ataupun film
sebagai sumber data yang dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan,
bahkan untuk meramalkan.15 Dokumentasi ini penulis dapatkan dari modul-
modul tentang pendidikan altenatif yang dibuat oleh KAPAL Perempuan dan
13 Husaini Usman & Purnomo Setiady, Metodologi Penelitian Sosial (Bumi Aksara, Jakarta:2006) hal.54. 14 Syamsir Salam & Jaenal Aripin, Metodologi Penelitian Sosial, hal. 82. 15 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya Bandung. Bandung:2007. hal.216-217.
Jurnal Perempuan yang ada di perpustakaan KAPAL Perempuan, DVD yang
merupakan hasil visualisasi penerapan modul Pendidikan Adil Gender untuk
Perempuan Marginal, buku-buku yang berasal dari berbagai sumber, majalah,
photo-photo dan lain sebagainya.
4. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Sekolah Perempuan Ciliwung yang ada di
wilayah Gang Pelangi, RT 10/01 dan RW 10/03, Kelurahan Rawajati Barat,
Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan.
Waktu penelitian akan dilakukan mulai dari tanggal 1 Maret 2010 sampai 30
Juni 2010. Pemilihan lokasi tersebut didasari pada pertimbangan: ketertarikan penulis
terhadap isu-isu perempuan terlebih dalam konteks pemberdayaan masyarakat. Selain
itu lokasi penelitian pun cukup mudah dijangkau.
5. Teknik Pemilihan Subjek Penelitian
Data primer utama dalam penelitian ini adalah ibu-ibu peserta Sekolah
Perempuan Ciliwung. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tekhnik
pemgambilan sampel purposif. Pada tekhnik ini (purposive sampling), sampel
ditetapkan secara sengaja oleh peneliti. Dalam hubungan ini, lazimnya didasarkan
atas kriteria atau pertimbangan tertentu; jadi tidak melalui proses pemilihan
sebagaimana yang dilakukan dalam tekhnik random.16.
Jumlah keseluruhan peserta Sekolah Perempuan Ciliwung adalah 63 orang.
Dalam penelitian ini, penulis memilih peserta yang akan dijadikan subjek penelitian
berdasarkan kategori pekerjaan dan perbandingan umurnya. Alasan pemilihan
pengkategorian tersebut karena beragamnya pekerjaan dan prosentase umur peserta
Sekolah Perempuan Ciliwung, maka, supaya lebih mudah penulis mengambil satu
perwakilan dari masing-masing kategori pekerjaan.
Mereka yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah Ibu
Musriyah, Ibu Mistinah, Ibu Nurjannah, Ibu Mamiek Suparmiah Hendro, Ibu
Rodemeh, dan Ibu Anerah
Sementara Sumber data primer pendukung dalam penelitian ini adalah direktur
KAPAL Perempuan (Yanti Muchtar). Adapun informannya adalah Deputi Program
Kalyanamitra (Listiyawati).
Untuk lebih jelasnya, gambaran pengkategorian sample dalam penelitian ini dapat
dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 1.1
Kategorisasi Sampling
Sumber Data
Jumlah Usia Pekerjaan
Data Primer Utama
6 Orang 1. Musriyah 2. Mistinah 3. Nurjannah
40 tahun 40 tahun 42 tahun
Pedagang Ibu rumah tangga Buruh
16 Syamsir Salam & Jaenal Aripin, Metodologi Penelitian Sosial; hal.54
4. Mamiek Suparmiah Hendro
5. Rodemeh 6. Anerah
66 tahun 61 tahun 66 tahun 25 tahun
Pensiunan PNS Pemulung Wiraswasta
Data Primer Pendukung
1 Orang Yanti Muchtar
Direktur KAPAL Perempuan
Informan 1 Orang Listiyawati Deputi Program Kalyanamitra
6. Sumber Data
Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
a) Data primer utama yakni data-data yang diperoleh secara langsung dari
partisipan atau sasaran penelitian, yang terdiri ibu-ibu peserta Sekolah
Perempuan Ciliwung. Sementara data primer pendukung diperoleh dari
direktur utama KAPAL Perempuan. Selain itu, penulis juga menggunakan
informan yaitu Deputi program Kalyanamitra sebagai pelengkap data.
b) Data sekunder adalah data-data yang penulis peroleh dari modul-modul
KAPAL Perempuan, data profil Sekolah Perempuan Ciliwung, DVD hasil
visualisasi modul Pendidikan Adil Gender untuk Perempuan Marginal serta
data yang berhubungan dengan pembahasan yang akan dibahas dalam
penelitian ini.
7. Teknik Analisa Data
Analisis data kualitatif (Bogdan & Biklen, 1982) adalah upaya yang dilakukan
dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya
menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan
pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa
yang dapat diceritakan kepada orang lain.17
Dalam penelitian ini penulis menggunakan semua hasil pencatatan di
lapangan, mulai dari observasi, wawancara dan dokumentasi sebagai bahan analisis.
Kemudian penulis melakukan reduksi data dengan memilah hal-hal pokok yang
sesuai dengan fokus penelitian penulis. Kemudian dilanjutkan dengan sebuah
abstraksi. Abstraksi adalah usaha membuat rangkuman inti, proses, dan pernyataan-
pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya.18 Jadi penulis
mengambil kesimpulan berdasarkan semua hasil temuan lapangan yang telah melalui
abstraksi sebelumnya.
8. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Untuk menetapkan keabsahan data diperlukan tekhnik pemeriksaan.
Pelaksanaan tekhnik pemeriksaan didasarkan atas empat kriteria, yaitu: kriteria
17 ibid. hal. 246 18 ibid. hal. 247
derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan
(dependability), dan kepastian (confirmability).19
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tekhnik kriterium derajat
kepercayaan. Kriterium ini berfungsi melaksanakan inkuiri sedemikan rupa sehingga
tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai, mempertunjukkan derajat
kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh penelitian pada
kenyataan ganda yang sedang diteliti. Kriterium kepastian ini menggunakan dua
tekhnik pemeriksan. Pertama, Ketekunan pengamatan, bermaksud menemukan ciri-
ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu
yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
Dalam penelitian ini, penulis melakukan beberapa kali kunjungan ke SPC, baik yang
sifatnya formal (misalnya, wawancara, observasi langsung jalannya proses belajar-
mengajar, diskusi dan training), maupun yang sifatnya non formal (misalnya, hanya
sekedar berkunjung untuk bercengkrama dan ngobrol-ngobrol ringan dengan peserta
SPC)
Kedua, Triangulasi, adalah tekhnik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau
sebagai pembanding terhadap data itu.20 Tekhniknya adalah, membandingkan data
hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan
orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi, membandingkan
19 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. hal.324-325. 20 ibid. hal.330
hasil wawancara dengan isu suatu dokumen yang berkaitan. Dalam proses triangulasi
ini, penulis membandingkan hasil wawancara antara beberapa peserta SPC dengan
LSM jaringan, yakni LSM Kalyanamitra.
E. Kajian Pustaka
Setelah penulis melihat dan membaca karya-karya ilmiah sebelumnya, penulis
mendapatkan modul LSM KAPAL Perempuan yang memang khusus membuat
modul tentang pendidikan alternatif ini. Modul pendidikan tersebut berjudul Modul
Pendidikan Adil Gender untuk Perempuan Marginal (seri pendidikan feminis) yang
disusun oleh team dari KAPAL Perempuan, yaitu Lily Pulu, Yanti Muchtar, Fitriani
Sunarto dan Salbiyah.
Modul ini dibuat sebagai upaya untuk memperkuat gerakan pendidikan
perempuan. Sebagai aplikasinya, dibuatlah model pendidikan untuk perempuan
marginal di perkotaan dan pedesaan. Modul ini bisa dibilang sebagai rangkuman hasil
penerapan Sekolah Perempuan yang pernah diterapkan di Kampung Jati dan
Ciliwung (sejak 2003) Pulau Nain, Sulawesi Utara (2005). Pendidikan ini disebut
Pendidikan Adil Gender (PAG) untuk Perempuan Marginal. PAG ini mencoba untuk
mengintegrasikan proses peningkatan pemikiran kritis, keahlian hidup, dan
pengorganisasian perempuan di komunitas.
Selain itu, penulis mendapatkan tesis yang berjudul “Tinjauan Feminisme
Poskolonial tentang Kesadaran Kritis dan Otonomi Perempuan Indonesia: Studi
Kasus Pendidikan Feminis KAPAL Perempuan untuk Pemimpin Lokal di Manado,
Sulawesi Utara”, yang ditulis oleh Misiyah, program studi Sosiologi, Universitas
Indonesia (2005). Penelitian dalam tesis ini berangkat dari pertanyaan : Seberapa
efektif Pendidikan Feminis mampu menumbuhkan kesadaran kritis dan otonomi
perempuan jika ditinjau dari perspektif feminisme kolonial? kesimpulan yang didapat
dari penelitian tersebut bahwa, pendidikan feminis ternyata efektif mampu
memperkuat kesadaran kritis atas ketertindasan perempuan, khususnya otonomi
terhadap tubuh perempuan. Selain itu, pendidikan feminis juga mampu mendorong
aksi-aksi transformatif yaitu melakukan advokasi kebijakan PERDES dan Pendidikan
Adil Gender (PAG) dengan perspektif feminisme dan pluralisme bagi perempuan
marginal di komunitas masing-masing. Aksi-aksi ini merupakan manifestasi dari
tumbuhnya kesadaran kritris. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan “positif”
antara kesadaran kritis dan aksi-aksi trasnformatif.
Hampir sama dengan penelitian di atas (tesis Misiah) yakni sama-sama ingin
melihat bagaiamana pendidikan feminis itu dalam menumbuhkan kesadaran
perempuan. Yang membedakan adalah paradigma yang diapakainya. Penelitian
pertama menggunakan paradigma kritis, sementara dalam peneliian penulis
menggunakan pendekatan kualitatif biasa. Selain itu, tempat pelaksanaannya, yakni
yang satu di Menado dan yang lain di Jakarta. Dalam tinjauan sosiologis tentu saja
akan berbeda hasilnya, karena dalam kajian tentang perempuan, setiap kejadian
adadlah peristiwa yang tunggal dan butuh analisis tersendiri.
F. Pedoman Penulisan
Penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman penulisan karya ilmiah
(Skripsi, Tesis dan Disertasi) yang disusun oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang diterbitkan oleh CeQDA UIN, April. cet. ke-2. Tahun 2007.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan dalam skripsi ini dibagi menjadi lima bab berisi sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN, yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan
Perumusan Masalah, Manfaat dan Tujuan Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan
Pustaka serta Sitematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN TEORITIS, yang meliputi: Pengertian Pendidikan, langkah-
langkah Humanisasi Pendidikan, Model Pendidikan yang Berorientasi pada
Perubahan Sikap dan Perilaku, Pengertian Pendidikan Alternatif. Pengertian
Pemberdayaan Perempuan, Upaya-Upaya Pemberdayaan Perempuan, dan
Tingakatan Pemberdayaan Perempuan.
BAB III PROFIL LEMBAGA, yang meliputi : Letak Geografis Sekolah Perempuan
Ciliwung, Sejarah Sekolah Perempuan Ciliwung, Program-program Sekolah
Perempuan Ciliwung dan Struktur Kepengurusan Sekolah Perempuan Ciliwung.
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS, berisi Bagaimana Bentuk Pendidikan
Alternatif yang diterapkan di Sekolah Perempuan Ciliwung, Model Pemberdayaan
yang diterapkan di Sekolah Perempuan Ciliwung.
BAB V PENUTUP, berisi kesimpulan dan saran.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Pengertian Pendidikan Alternatif
1. Pengertian Pendidikan
Pendidikan adalah usaha terpadu utntuk memanusiakan manusia muda,
membentuk karakter sehingga peserta didik menjadi pribadi yang berkeutamaan,
terpandang karena memiliki arête dan budaya intelektual. Dengan kata lain,
pendidikan adalah proses humanisasi, dalam arti mengolah potensi-potensi yang
dimiliki seseorang untuk menjadi lebih manusiawi.21
Prof. Langeveld, seorang ahli pedagogik dari Belanda, mengemukakan
batasan pendidikan sebagai suatu bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa
kepada anak belum dewasa untuk mencapai tujuan, yaitu kedewasaan.22 Pendidikan
juga dipahami sebagai proses liberasi dalam arti bahwa melalui pendidikan, peserta
didik mengalami proses emansipasi dan dibebaskan dari berbagai bentuk penindasan
dogmatisme dan fatalisme yang melumpuhkan. Melalui pendidikan, memori-memori
dan narasi-narasi yang selama ini dikubur dan dibungkam oleh sistem dan struktur
yang menindas, menjadi hidup kembali.23
21 Bambang Sugiharto Dkk, Humanisme dan Humaniora; Relevansinya bagi Pendidikan, Jalasutra, Jogjakarta:2008.hal.343 22 Drs. H. Burhanuddin salam, Pengantar Pedagogik;Rineka Cipta: Jakarta:1997. 23 Bambang Sugiharto Dkk, Humanisme dan Humaniora;Relevansinya bagi Pendidikan. Hal.343
Sebagaimana kita tahu, dalam konteks wacana perempuan, sistem dan struktur
acapkali menjadi pelegalan terhadap penindasan terhadap kaum perempuan. Tak
terkecuali sistem yang ada di sekolah formal yang masih belum mengarus-utamakan
kesetaraan dan keadilan gender. Melalui pendidikan (dalam arti yang sesungguhnya),
kaum perempuan mengenal emansipasi dan akhirnya menjadi sebagai stimulus untuk
melakukan perubahan sosial.
Ada beberapa paradigma dalam pendidikan, yaitu:24
1) Pendidikan sebagai proses pembebasan
2) Pendidikan sebagai proses pencerdasan
3) Pendidikan menjunjung tinggi hak-hak anak
4) Pendidikan menghasilkan tindak perdamaian
5) Pendidikan anak berwawasan integratif
6) Pendidikan membangun watak persatuan
7) Pendidikan menghasilkan manusia demokratis
8) Pendidikan menghasilkan manusia yang peduli terhadap lingkungan
Menurut Paulo Freire, asas penting asasi pendidikan sebagai tindak
pengetahuan (kognisi), tidak hanya tentang isi, tetapi juga tentang “sebab-musabab”
fakta-fakta ekonomi, sosial, politik, Ideologi, dan sejarah yang menerangkan besar
kecilnya atau tinggi rendahnya halangan atau larangan tubuh sadar kita, di mana kita
24 Hamzah B. Uno, Profesi Keguruan.Bumi aksara. Jakarta:2008.
temukan diri kita berada.25 Yang harus dipahami bahwa, peranan pendidik yang
progresif, yang tidak dapat dan tidak boleh ditinggalkan, dalam memberikan
pembacaannya sendiri tentang dunia, ialah mengemukakan kenyataan bahwa ada
pembacaan-pembacaan yang lain tentang dunia, yang berbeda dengan pembacaan
yang sedang diberikannya sebagai pembacaan pendidik tentang dunia, dan yang
kadang-kadang malahan bertentangan dengan pembacaannya itu.26
Belajar berarti menuntut suatu keterampilan atau pemahaman yang baru.
Pendidikan di sekolah tidak mendidik dan tidak membebaskan karena hanya
memberikan pengajaran kepada mereka yang tiap langkah pengajarannya telah
mematuhi peraturan-peraturan yang telah disetujui masyarakat sebelumnya. Dan,
yang merupakan dasar sistem pendidikan adalah bahwa, sebagian besar pengetahuan
merupakan hasil pengajaran (Ivan Illic : 1982)
2. Langkah-Langkah Humanisasi Pendidikan
Melalui pendidikan yang terpadu dan holistik diharapkan terbentuk manusia
yang mampu menggali makna, menemukan jati diri, menyadari dan mengembangkan
potensi yang dimiliki, mengendalikan naluri, membentuk hati nurani, menumbuhkan
rasa kekaguman dan mampu mengekspresikan perasaaan dan pemikirannya secara
tepat dan benar. Beberapa langkah-langkah yang harus ditempuh untuk membentuk
manusia utuh melalui pendidikan adalah:
25 Paulo Freire, Pedagogi Pengharapan;Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas. Kanisius. Jogjakarta:2001. hal.134 26 ibid. hal.147
a. Learning to know : mambantu peserta didik untuk memiliki kemampuan
berfikir kritis dan sistematis guna memahami realitas diri, sesama dan dunia.
b. Learning to do : membantu peserta didik untuk mampu menerapkan apa yang
diketahui dan dipahami ke dalam praksis untuk mengatasi persoalan-persoalan
yang dihadapi (problem solving).
c. Learning to be : membantu peserta didik menjadi diri sendiri yang autentik
dan mandiri, berpegang pada prinsip sehingga tidak mudah digoyahkan oleh
berbagai kepentingan pribadi dan desakan lingkungan.
d. Learning to live together : membantu peserta didik memahami perbedaan dan
keunikan, memahami dunia orang lain, mau berbagi dengan sesama, mampu
menjalin kerja sama (cooperative), mengelola konflik secara rasional dan
argumentatif. Dari sisi lahir kesadaran dan pemahaman bahwa persatuan
dibangun bukan dengan memangkas perbedaan tapi dengan menghargai
perbedaan dan keunikan masing-masing. Peserta didik diharapkan dapat hidup
bersama silih-asih, silih-asih, silih-asuh, memperkukuh jalinan kerjasama,
meretas solidaritas lintas batas, mengikis sikap egois, merintis sikap altruis.
e. Learning to learn : menstimulasi peserta didik untuk terus belajar dan mampu
memaknai setiap peristiwa dan pengalaman kontras negatif. Pengalaman
kontras negatif mendorong para peserta didik untuk mengembangkan daya
kreatif dan imajinatif untuk mengubah situasi tidak manusiawi menuju situasi
yang lebih manusiawi, bebas dan adil.
f. Learning to love : membantu mahasiswa agar mampu mencintai diri sendiri,
sesama, Tuhan, dan lingkungan. Disamping itu, peserta didik juga dibantu
mencari, mencintai dan menghayati kebenaran dan kebijaksanaan (Bambang
Sugiharto, dkk, dalam Humanisme dan Humaniora : 2008)
3. Metode Pendidikan yang Berorientasi Pada Perubahan Sikap dan Perilaku
Pendidikan dan penanaman nilai-nilai bukan hanya persoalan knowledge, tapi
persoalan bagaimana pengetahuan tentang nilai tersebut dapat dibatinkan dan
dijadikan milik pribadi yang bersangkutan dan nantinya akan mempengaruhi cara
berfikir, merasa dan bertindak seseorang. Dalam kaitannya dengan itu, ada beberapa
metode yang dapat digunakan, yakni:
a. Learning by doing and exposure :
Jenis belajar dengan cara ini dapat dilakukan dengan kuliah lapangan,
kunjungan museum dan kunjungan sosial. Melalui kegiatan ini, para peserta
didik diajak langsung di lapangan, mengamati dan mendengar apa yang
sesungguhnya terjadi. Kemudian mereka membuat refleksi tentang nilai-nilai
apa yang dapat mereka pelajari melalui exposure tersebut.
b. Learning by experiencing
Para peserta didik dilibatkan dalam berbagai kegiatan, baik itu lomba-lomba,
kegiatan sosial dan kegiatan keruhanian. Bagaimana peserta didik dapat
memahami dan menghayati arti toleransi antar umat beragama bila mereka
pernah berinteraksi, mengalami dan merasakan perjumpaan dengan orang
yang berbeda agama dan keyakinan.
c. Learning by exploring and appreciating
Melalui media film dan karya seni lainnya, para peserta didik dapat melihat
nilai-nilai apa yang dapat dipelajari dan reaksi apa yang muncul pada saat
mereka melihat situasi yang ditayangkan di dalam film tersebut. Pada saat
melihat adegan kekerasan terhadap orang yang tak bersalah misalnya, apakah
dalam diri mereka muncul kemarahan moral atau bersikap indefferent. Rasa
kemanusiaan dapat diasah melalui analisis film atau karya seni lainnya.
d. Learning by living in
Peserta didik diajak untuk tinggal beberapa lama di suatu daerah atau
lingkungan untuk mengamati, mengalami, dan berinteraksi dengan penduduk
setempat. Dari situ, mereka dapat mempelajari nilai-nilai yang berlaku,
apakah ada sesuatu yang menggetarkan kesadaran dan nuraninya saat tinggal
dan berinteraksi dengan dunia luar.
e. Problem solving method
Sebagaimana yang dikembangkan John Dewey, peserta didik dilatih untuk
menyadari bahwa ada persoalan, lalu mengidentifikasi dan memahami
persoalan tersebut, menganalisisnya dengan tujuan untuk menggali akar
penyebabnya, membuat hipotesis atas jalan keluar yang ditawarkan dan
mengujinya ke dalam praksis, apakah jalan keluar yang diantisipasi sungguh-
sungguh menyelesaikan persoalan yang dihadapi atau tidak. Melalui metode
pemecahan masalah, para peserta didik dipicu kreasi dn imajinasinya untuk
menemukan jalan keluar dari persoalan yang dihadapinya.
f. Case study method
Melalui metode studi kasus, peserta didik dilatih untuk melihat persoalan-
persoalan hidup dari berbagai sudut pandang. Melalui metode ini, peserta
didik diajak untuk bekerja sama dan berinteraksi dalam upaya mencari
pemecahan atas berbagai persoalan yang dihadapi. Sehingga peserta didik
tidak hanya mengetahui dan memahami berbagai teori, tapi juga mahir dalam
menggunakan teori dan prinsip-prinsip ke dalam praksis hidup yang konkret.27
4. Pendidikan Alternatif
Kata alternatif berasal dari bahasa inggris “alternatif” artinya “pilihan atau
cadangan”.28 Dalam konteks ini, alternatif diartikan sebagai pilihan yang lain selain
sekolah formal seperti pada umumnya (informal). Pendidikan alternatif lahir sebagai
kritik atas pendidikan konvensional yang ada di sekolah. Pendidikan di sekolah
terlalu monoton, tidak membebaskan bahkan membodohkan. Karena itu, sudah
banyak kritik yang dilontarkan untuk pendidikan di sekolah itu.
Pendidikan alternatif yang berkembang ada dua kategori. Pertama, yang
dikembangkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan diakses oleh
27 Bambang Sugiharto, Humanisme dan Humaniora (relevansinya bagi pendidikan). hal.352-353 28Dhanny R. Cyssco, Kamus English-Indonesia, Indonesia-Inggris. Batavia Press. Jakarta:2006
kelompok marginal (terpinggir). Kedua, pendidikan alternatif yang digagas oleh
pihak-pihak swasta atau kelompok massa yang berbasiskan agama tertentu yang
diakses oleh kalangan tertentu misalnya, sekolah alam.29 Pendidikan alternatif jenis
yang kedua, tentu masih mengandung masalah karena biasanya memungut biaya yang
mahal. Sehingga akhirnya, hanya bisa diakses oleh kalangan tertentu saja. Sementara
kaum marginal tidak.
Pendidikan kritis transformatif pada dasarnya adalah model pendidikan yang
bersifat kooperatif. Memberikan ruang pada segenap kemampuan peserta didik
menuju proses berpikir yang lebih bebas dan kreatif. Sebuah model pendidikan yang
menghargai potensi yang ada pada setiap individu-indvidu anak didik. Bentuk
pendidikan yang memiliki arah dan tujuan keluar dari kemelut dan problematika
internal maupun eksternal yang dihadapi oleh dunia pendidikan nasional.
Dalam pendidikan kritis transformatif, ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang
dikomunikasikan oleh makna narasi atau yang disebut dengan grand narasi. Grand
narasi adalah sesuatu yang diklaim sebagai suatu teori yang dapat menjelaskan segala
sesuatunya. Konsep pendidikan seperti ini akan membentuk peserta didik sebagai
subjek yang akan menentang adanya struktur hierarki ilmu pengetahuan.30
29 Yusufhadi di Miarrso, Pendidikan Alternatif Sebuah Agenda Reformasi, (artikel kuliah) Jurusan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. (1999) 30 Ahmad Makki Hasan, Konsep Pendidikan Alternatif, (http//:ahmadmakki.wordpress.com/2009/06/10/konsep-pendidikan-alternatif/ posted on Juni 10, 2009 at 12:06 pm; diakses pada tanngal 23 April, pukul. 09.39)
Dalam konteks hubungannya dengan perempuan, pendidikan di sekolah masih
kurang berpihak pada perempuan. Masih sering terjadi bias gender, baik dalam proses
belajar-mengajar maupun mainstream yang dibangun. Ada beberapa faktor yang
menjadi kendala pencapaian gender dalam dunia pendidikan. Antara lain: pertama,
kurangnya kesadaran akan pentingnya pemberdayaan perempuan dan anak
perempuan. Kedua, kurangnya kesadaran di legislatif untuk mengeluarkan kebijakan
publik yang perlu dalam mengatasi persoalan trackfiking, eksploitasi anak
perempuan, masalah prostitusi anak perempuan. Ketiga, kurangnya inisiatif dalam
memikirkan pendidikan alternatif bagi komunitas asli dan kelompok marginal
lainnya. Keempat, faktor kemiskinan yang akhirnya mengukuhkan diskriminasi
terhadap perempuan di bidang pendidikan. Kelima, minimnya political will dari para
pengambil kebijakan.31
Karena itu, pendidikan alternatif bagi perempuan menjadi penting untuk
diadakan. Pendidikan alternatif yang dimaksud disini adalah sebuah konsep
pendidikan yang mengandung visi, misi, metode dan segala aktivitas yang
mengandung nilai partisipatoris, demokratis, personal is political, transparansi, dan
berpihak pada perempuan.32
Ada tiga alasan mengapa pendidikan alternatif bagi perempuan itu penting.
Pertama, karena faktor gendernya membuat akses perempuan ke dalam dunia
pendidikan sangat rendah. Kedua, pendidikan alternatif penting karena kurikulum di
31 Iva Sasmita, Pendidikan Alternatif Perempuan:Perlawanan Terhadap Mainstream Pendidikan. Jurnal Perempuan, No.44/2005.Hal.7 32ibid.
Indonesia hingga saat ini masih bias gender. Akibatnya perempuan yang dirugikan
dengan gambaran-gambaran streotipe itu. Ketiga, pendidikan formal di Indonesia saat
ini, belum menjawab kebutuhan spesifik perempuan. Misalnya, pemahaman tentang
hak-hak reproduksi perempuan di tempat kerja, trafficking, kekerasan dalam rumah
tangga dan sebagainya.33
B. Model pemberdayaan Perempuan
1. Model Pemberdayaan
Model adalah pola (contoh, acuan, ragam) dari sesuatu yang akan dibuat atau
dihasilkan (Departemen P dan K, 1984:75). Jadi, dalam hal ini, model pemberdayaan
adalah pola, acuan atau contoh yang digunakan dalam proses pemberdayaan atau
pengorganisasian masyarakat.
Model-model pemberdayaan masyarakat dengan mengacu pada model
Rothman dan Tropman dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel. 2
Model-Model Praktek Pengorganisasian Masyarakat menurut Rothman dan
Tropman 1987
Model A (Pengembangan Masyaraka Lokal)
Model B (Perencanaan Sosial)
Model C (Aksi Sosial)
33 Adriana Venny; Pendidikan Alternatif:Jawaban Atas Masalah Perempuan; Jurnal Perempuan; No. 44/2005.hal.5
1. Kategori tujuan tindakan terhadap masyarakat
Kemandirian; pengembangan kapasitas dan pengintegrasian masyarakat (tujuan yang dititik beratkan pada proses-process goals)
Pemecahan masalah dengan memperhatikan masalah yang penting yang ada pada masyarakat (tujuan dititikberatkan pada tugas task-goals)
Pergeseran (pengalihan) sumber daya dan relasi kekuasaan, perubahan institusi dasar (task ataupun process goals)
2. Asumsi mengenai struktur komunitas dan kondisi permasalahannya
Adanya anomie dan “kemurungan” dalam masyarakat; kesenjangan relasi dan kapasitas dalam memecahkan masalah secara demokratis; komunitas berbentuk tradisional statis.
Masalah sosial yang sesungguhnya; kesehatan fisik dan mental, perumahan dan rekreasional.
Populasi yang dirugikan; kesenjangan sosial; perampasan hak, dan ketidakadilan.
3. Strategi perubahan dasar
Pelibatan berbagai kelompok warga dalam menentukan dan memecahkan masalah mereka sendiri.
Pengumpulan data yang terkait dengan masalah, dan memilih serta menentukan bentuk tindakan yang paling rasional.
Kristalisasi dari isu dan pengorganisasian massa untuk menghadapi sasaran yang menjadi “musuh” mereka.
4. Karakteristik taktik dan tekhnik perubahan
Konsensus; komunikasi antar kelompok dan kelompok kepentingan dalam masyarakat (komunitas); diskusi kelompok.
Konsensus atau konflik
Konflik atau kontes; konfrontasi; aksi yang bersifat langsung negosiasi.
5. Peran praktisi yang menonjol
Sebagai Enabler-katalis, koordinator, orang yang meng-‘ajar’-kan keterampilan memecahkan masalah dan nilai-nilai etis.
Pengumpul dan penganalisis data, pengimplementasi program, dan fasislitator
Aktivis, advokat, agiator, pialang, negosiator, partisan.
6. Media peru bahan
Manipulasi kelompok kecil yang berorientasi pada terselesaikannya suatu tugas (small task oriented groups)
Manipulasi organisasi formal dan data yang tersedia.
Manipulasi organisasi massa dan proses-proses politik.
7. Orientasi terhadap struktur kekuasaan
Anggota dari struktur kekuasaan yang bertindak sebagai kolaborator, dalam suatu “ventura” yang bersifat umum
Struktur kekuasaan sebagai “pemilik” dan ‘sponsor’ (pendukung)
Struktur kekuasaan sebagai sasaran eksternal dari tindakan yang dilakukan; mereka yang memberikan “tekanan” harus dilawan dengan memberikan “tekanan” balik.
8. Batasan definisi sistem klien dalam komunitas (konstituensi)
Keseluruhan komunitas geografis
Keseluruhan komunitas atau dapat pula suatru segmen dalam komunitas (termasuk komunitas fungsional)
Segmen dalam komunitas.
9. Asumsi mengenai kepentingan dari kelompok-
Kepentingan umum atau pemufakatan dari berbagai
Pemufakatan kepentingan atau konflik
Konflik kepentingan yang sulit dicapai kata mufakat;
kelompok di dalam suatu komunitas.
perbedaan kelangkaan sumber daya.
10. Konsepsi mengenai populasi klien (konstituensi)
Warga masyarakat
Konsumen (pengguna jasa)
“korban”
11. Konsepsi mengenai peran klien
Partisan pada proses interaksional pemecahan masalah
Konsumen atau resipien (penerima pelayanan)
Employer, konstituen, anggota.
(Sumber: Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Mayarakat dan Intervensi Komunitas, Fakultas ekonomi UI, Jakarta:2003).
Rothman dan Tropman menggambarkan perbedaan dari model A, B dan C
dilihat dari 11 variabel utamanya, yaitu:
1. Kategori tujuan tindakan terhadap masyarakat
Ada dua tujuan utama yang terikat dengan pengorganisasian masyarakat yang
pertama lebih mengacu pada “tugas” (task); dan yang lainnya lebih mangacu
pada “proses”. Kategori tujuan yang berorientasi pada tugas (task goal)
menekankan pada penyelesaian tugas-tugas mereka atau pun pemecahan
masalah yang menganggu fungsi sitem sosial (seperti penyediaan sistem
layanan; penyediaan jenis layanan yang baru: pembuatan terobosan dalam
bidang perundang-undangan sosial; dan lainnya). Sedangkan tujuan yang
berorientasi pada perluasan dan pemeliharaan sistem yang bertujuan untuk
memapankan relasi kerjasama antar kelompok dalam suatu komunitas;
menciptakan struktur pemecahan masalah komunitas; menciptakan struktur
pemecahan masalah komunitas yang terpelihara secara baik oleh komunitas
tersebut. Menstimulasikan masyarakat agar mempunyai minat dan partisipasi
yang luas terhadap isu-isu dalam komunitas; mengembangkan sikap dan
perilaku serta kerjasama; serta meningkatkan peranan kepemimpinan yang
berasal dari komunitasnya. Tujuan yang berorientasi pada proses ini oleh Ross
dikatakan sebagai tujuan yang mencoba mengembangkan kapasitas
masyarakat tertentu.
a. Model A (Pengembangan Masyarakat Lokal)
Kategori tujuannya lebih memberikan penekanan pada process goal
(tujuan yang berorientasi pada proses), dimana masyakat dicoba untuk
diintegrasikan serta dikembangkan kapasitasnya (community
intergration dan community capacity) dalam upaya memecahkan
masalah mereka secara kooperatif berdasarkan kemauan dan
kemampuan menolong diri sendiri (self help) sesuai dengan prinsip-
prinsip demokratis.
b. Model B (Perencanaan Sosial)
Dalam perencanaan sosial, kategori tujuan lebih ditekankan pada task
goal (tujuan yang berorientasi pada penyelesaian tugas).
Pengorganisasian perencanaan sosial biasanya berhubungan dengan
masalah-masalah sosial yang konkrit, dan nama-nama bagian
(departemen) mereka mencirikan hal ini. Misalnya, depertemen
kesehatan.
c. Model C (Aksi Sosial)
Pendekatan aksi sosial mengarah pada kedua tujuan tersebut (baik task
goal dan process goal). beberapa organisasi aksi sosial (kelompok
pembela hak asasi, kelompok green peace) memberi penekanan pada
upaya terbentuknya aturan (perundangan) yang baru atau merubah
praktek-prkatek tertentu. Biasanya tujuan ini mengakibatkan adanya
modifikasi kebijakan organisasi-organisasi formal.
2. Asumsi yang terkait dengan struktur komunitas dan kondisi
permasalahannya.
a. Model A (Pengembangan Masyarakat Lokal)
Komunitas lokal seringkali tertutup oleh masyarakat yang lebih luas
dan memunculkan kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Kesenjangan dalam komunitas lokal dapat terjadi pada relasi antar
pribadi yang “bermakna” dan keterampilan memecahkan masalah. Hal
ini dapat memunculkan anomie, keterasingan dan kadangkala juga
memunculkan kelainan jiwa.
Alternatif yang lain, komunitas seringkali dipandang sebagai ikatan
tradisional yang dipimpin oleh kelompok kecil pemimpin-pemimpin
konvensional, dan terdiri dari populasi yang buta huruf dan
mempunyai kesenjangan dan keterampilan memecahkan masalah serta
pemahaman mengenai proses demokrasi.
b. Model B (Perencanaan Sosial)
Seorang perencana sosial lebih melihat komunitas sebagai (terdiri dari)
sejumlah kondisi masalah sosial yang inti, atau masalah inti yang
bersifat khusus dengan minat dan kepentingan tertentu (seperti
masalah perumahan, pengangguran, kesehatan dan rekriasional)
c. Model C (Aksi Sosial)
Seorang praktisi aksi sosial mempunyai cara berfikir yang berbeda.
Mereka melihat komunitas sebagai (terdiri dari) hirarki dari privilege
dan kekuasaan. Target para praktisi aksi sosial adalah mereka
(populasi) yang mendapat tekanan, diabaikan, tidak mendapatkan
keadilan, eksploitasi oleh pihak tertentu, dan sebagainya.
3. Strategi Perubahan Dasar
1) Model A (Pengembangan Masyarakat Lokal)
Dalam pengembangan masyarakat lokal strategi perubahannya
dicirikan dengan ungkapan “marilah kita bersama-sama membahas
masalah ini”. dari ungkapan tersebut terlihat akan adanya upaya
mengembangkan keterlibatan warga sebanyak mungkin dalam upaya
menemukan kebutuhan yang mereka rasakan (felt needs), dan
memecahkan masalah mereka.
2) Model B (Perencanaan Sosial)
Strategi dasar dari model ini tergambar dalam ungkapan “marilah kita
kumpulkan fakta dan lakukan langkah-langkah logis berikutnya”.
Dengan kata lain, seorang perencana sosial biasanya berusaha untuk
mengumpulkan fakta-fakta mengenai msalah yang dihadapi sebelum
mereka memilih tindakan rasional dan tepat dilakukan (rational and
feasible). Partisipasi dalam model B tidak ‘sekental’ pada
pengembangan masyarakat (model A). Perencana dalam pengumpulan
dan penganalisaan data (fakta) bisa saja menggunakan tenaga di luar
komunitas tersebut, begitu pula dalam upaya mengembangkan
program dan kegiatan yang akan dilakukan. Tetapi meskipun
demikian, mereka tetap mendasari tugasnya berdasarkan fakta
masyarakat tersebut.
3) Model C (Aksi Sosial)
Strategi perubahan dari model C terlihat dari ungkapan “mari kita
mengorganisir diri agar dapat melawan para penekan kita”.
Ungkapana tersebut merupakan kristalisasi isu-isu yang dihadapi
masyarakat, yang kemudian membuat masyarakat mengenali
“musuhnya” dan mengorganisir diri dan membentuk aksi massa untuk
ganti memberikan tekanan terhadap kelompk sasaran mereka.
4. Karakteristik Taktik dan Tekhnik Perubahan
1) Model A (Pengembangan Masyarakat)
Taktik dalam pengembangan masyarakat lebih ditekankan pada
pencapaian konsensus. Hal ini biasanya lebih dilakukan melalui
komunikasi dan proses diskusi yang melibatkan berbagai macam
individu, kelompok, maupun faksi. Blakely juga menekankan
pentingnya tekhnik-tekhnik deliberative dan kooperatif ini pada
penerapan pengembengan masyarakat lokal. Karena hal ini
membedakan peranannya dengan peranan seorang activist (yang lebih
berorinetasi pada aksi sosial), dimana mereka lebih menekankan pada
pendekatan konflik
2) Model B (Perencanaan Sosial)
Taktik dan tekhnik yang sangat berperan dalam perencanaan sosial
adalah tekhnik pengumpulan data dan keterampilan untuk
menganalisis. Tekhnik konsensus mamupun konflik mungkin saja
diterapkan, tetapi itu semua tergantung dengan hasil analisis perencana
tersebut terhadap situasi yang ada.
3) Model C (Aksi Sosial)
Para praktisi aksi sosial lebih menekankan pada taktik konflik (sesuai
dengan peranan mereka sebagai aktifis), dengan cara melakukan
konfrontasi dan aksi-aksi langsung. Selain itu dibutuhkan pula
kemampuan untuk memobilisir massa sebanyak mungkin untuk
melaksanakan rally (demostrasi) bahkan kalau perlu dengan
melakukan pemboikotan.
5. Peran Praktisi dan Media Perubahan
1) Model A (Pengembangan Masyarakat Lokal)
Pada pengembangan masyarakat lokal, peranan yang dilakukan oleh
community worker ataupun para praktisi lebih banyak mengacu pada
peran sebagai enebler (Biddle menyebutnya sebagai encourager).
Sebagai enabler seorang community worker membantu masyarakat
agar mengartikulaiskan kebutuhan mereka; mengidentifikasikan
masalah mereka; dan mengembangkan kapasitas mereka agar mereka
dapat menangani masalah yang mereka hadapi secara lebih efektif.
Media perubahannya adalah melalui penciptaan (kreasi) dan
manipulasi (dalam arti yang positif) kelompok-kelompok kecil yang
berorientasi pada tugas. Hal ini tentunya membutuhkan kemampuan
massa secara kolaboratif (dengan cara bekerja sama)
2) Model B (Perencanaan Sosial)
Peran yang biasa digunakan oleh perencana sosial adalah peranan
sebagai expert. Peran ini lebih menekankan pada penemuan fakta,
implementasi program, dan relasi dengan berbagai macam birokrasi,
serta tenaga profesional dari berbagai disiplin.
Ross melihat bahwa peran sebagai expert, setidak-tidaknya terdiri dari
beberapa komponen, yakni:
a) Diagnosis Komunitas;
b) Keterampilan melakukan peneltitian;
c) Informasi mengenai komunitas yang lain;
d) saran terhadap metode dan prosedur organisasi;
e) Informasi tekhnis;
f) kemampuan mengevaluasi.
Medium perubahannya adalah manipulasi organisasi (termasuk di
dalamnya adalah relasi antar organisasi) seperti juga dengan
pengumpulan dan analisi data.
3) Model C (aksi sosial)
Pada aksi sosial peran yang dilakukan oleh community worker lebih
mengarah kepada peran sebagai advokat dan aktivis. Media
perubahannya adalah dengan menciptakan dan memanipulasi
pengorganisasian dan pergerakan massa untuk mempengaruhi proses
politis. Oleh karena itu, pengorganisasian massa pada aksi sosial
menjadi isu yang penting.
6. Sama dengan bagian 5
7. Orientasi terhadap struktur kekuasaan
1) Model A (pengembangan masyarakat lokal)
Pada pengembangan masyarakat lokal struktur kekuasaan sudah
tercakup di dalam konsepsi mengenai komunitas itu sendiri. Setiap
segmen komunitas dianggap sebagai bagian dari sistem klien. Selain
itu, sebagai konsekuensinya, hanya tujuan yang dapat memunculkan
keepakatan yang saling menguntungkan (mutual agreement) yang
dapat diterima dan relevan. Sedangkan tujuan yang terlalu
mencerminkan minat dan kepentingan segmen tertentu seringkali tidak
dapat diterima.
2) Model B (Perencanaan Sosial)
Pada perencanaan sosial, struktur kekuasaan biasanya muncul sebagai
sponsor atau “bos” dan praktisi (perencana). Oleh karena itu, Morris
dan Binstock menyatakan bahwa sangatlah sulit bagi seseorang untuk
membedakan antara perencana dengan organisasi yang
mengerjakannya.
Para perencana biasanya merupakan tenaga profesional yang telatih
dengan baik, dimana dalam memberikan layanan, ia membutuhkan
dukungan perangkat keras dan perangkat lunak, serta bantuan dana
dan fasilitas. Biasanya seorang perencana hanya bisa mendapat
dukungan itu dari orang yang memiliki kekuasaaan. Oleh karena itu,
Martin Rein menyatakan bahwa dalam banyak perencanaan perlu
dilakukan konsensus dengan kelompok elit (sebagai employer dan
pembuat kebijakan dalam suatu perencanaan organisasi. Konsensus ini
biasanya baru dapat tercapai bila ada dukungan data faktual (karena itu
perencana sangat mementingkan data yang faktual).
3) Model C (Aksi Sosial)
Struktur kekuasaan oleh para praktisi aksi sosial dianggap sebagai
target eksternal dari suatu tindakan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
struktur kekuasan berada di luar sistem klien (konstituensi). Struktur
kekuasaan seringkali dianggap sebagai kekuatan antithesis yang akan
menekan klien (kelompok konstituen).
8. Batasan definisi dari sistem klien dalam komunitas (Konstituen)
1) Model A (Pengembangan Masyarakat Lokal)
Dalam pengembangan masyarakat lokal, total komunitas biasanya
didasarkan pada kesatuan geografis (seperti Rukun warga, desa, kota).
Mereka dalam kesatuan tersebutlah yang menjadikan klien dari
community worker.
2) Model B (Perencanaan Sosial)
Klien dari perencana sosial bisa merupakan kesatuan geografis
(misalnya desa, kota), tetapi dapat pula merupakan kesatuan
fungsionalnya (misalnya, kelompok tuna grahita, kelompok pecinta
buku).
3) Model C (Aksi Sosial)
Klien dari praktisi biasanya merupakan bagian atau segmen
masyarakat yang membutuhkan bantuan. Mereka dapat dikatakan
sebagai kelompok yang membutuhkan layanan tetapi tidak terjangkau
oleh layanan tersebut. Dalam aksi sosial, para praktisi lebih melihat
kelompok tersebut sebagai ‘teman-teman partisan’ dibandingkan
sekolompok klien.
9. Asumsi mengenai kepentingan kelompok-kelompok (subparts) dalam
suatu komunitas.
1) Model A (Pengembangan Masyarakat)
Dalam pengembangan masyarakat lokal, berbagai kepentingan
kelompok dan faksi dalam masyarakat dilihat sebagai mendasar
merupakan permufakatan yang responsif terhadap pengaruh dari
persuasi yang rasional, komunikasi dan niat baik bersama.
Pengembangan masyarakat ini bersifat humanistik dan mereka
mempunyai asumsi bahwa, mereka akan mampu menangani masalah
yang mereka hadapi dengan melalui upaya berkelompok (hal ini
tentunya membutuhkan kejujuran dalam berkomunikasi dan
memberikan umpan balik). Kepentingan dari masing-masing
kelompok pada model A, seolah-olah sudah membaur.
2) Model B (Perencanaan Sosial)
Pada perencanaan sosial tidak ada asumsi yang pervasif mengenai
tingkat intraktabilitas atau pun konflik kepentingan. Pendekatan yang
mereka lakukan lebih bersifat pragmatis, dan berorientasi untuk
menangani masalah tertentu, sehingga ‘aktor’ memainkan peranan
disini. Sehingga permufakatan atau pun konflik dapat ditolerir dalam
pendekatan ini, selama tidak menghalangi proses pencapain tujuan.
3) Model C (aksi sosial)
Pada aksi sosial asumsi bahwa kepentingan dari masing-masing bagian
dalam masyarakat sangar bervariasi dan sulit diambil kata mufakat.
Sehingga seringkali cara-cara koersif harus dilaksanakan (seperti
melalui pemboikotan dan perundang-undangan) sebelum penyesuaian
dapat terjadi. Mereka yang mempunyai kekuasaan dan privilege
dari/terhadap kelompok-kelompok yang kurang diuntungkan tersebut
seringkali tidak mau melepaskan ‘keuntungan’ yang mereka dapat.
Dorongan-dorongan dari kepentingan yang menyebabkan mereka
merasa bodoh kalau mereka melepaskan apa yang sudah mereka
miliki.
10. Konsepsi Mengenai Populasi Klien (konstituensi)
1) Model A (Pengembangan Masyarakat Lokal)
Dalam pengembangan masyarakat lokal, klien dipandang sebagai
warga yang sederajat yang memiliki kekuatan-kekuatan yang perlu
diperhatikan, tetapi belum semuanya dapat dikembangkan dengan
baik. Praktisi di sini berusaha mengembangkan apa yang belum
dikembangkan secara optimal tersebut dengan memfokuskan pada
kemampuan klien. Dari pandangan ini terlihat bahwa setiap warga
adalah sumber daya yang berharga.
2) Model B (Perencanaan Sosial)
Dalam perencanaan sosial klien lebih dilihat sebagai konsumen dari
suatu layanan (service), dan mereka akan menerima serta
memanfaatkan program dan layanan sebagai hasil dari proses
perencanaan. Misalnya, pada sektor perumahan, kesehatan jiwa, dan
sebagainya. Bahkan Morris dan Binstock lebih senang menggunakan
istilah konsumen dibandingkan istilah klien dalam kerangka analisis
perencanaan sosial mereka.
3) Model C (Aksi Sosial)
Di sini, klien atau konstituen lebih dilihat sebagai ‘korban’ dari suatu
sistem.
11. Konsepsi Mengenani Peran Klien
1) Model A (Pengembangan Masyarakat)
Peran klien dalam pengembangan masyarakat lokal dikonsepsikan
sebagai partisipan aktif dalam proses interaksional satu dengan yang
lainnya, juga dengan community worker-nya. Penekanan utama
diberikan pada kelompok dalam masyarakat, di mana mereka bersama
berusaha belajar dan mengembangkan diri.
2) Model B (Perencanaan Sosial)
Disini klien memainkan peran peranan sebagai resipient (penerima)
pelayanan. Klien aktif (‘mengkonsumsi) layanan-layanan yang
diberikan, tetapi bukan dalam proses menentukan tujuan dan kebijakan
(hal ini membedakan dengan model A). Fungsi pembuatan kebijakan
dijalankan oleh Si-perencana setelah melalukan konsensus dengan elit
(seperti dewan direktur)
3) Model C (Aksi Sosial)
Disini klien biasanya merupakan ‘bawahan’ bersama praktisi dengan
praktisi aksi sosial, dan mereka berusaha ‘mendobrak’ sistem yang
ada. Praktisi disini juga memainkan peranan sebagai ‘bawahan’ dan
‘pelayanan’ masyarakat, bersama dengan ‘teman-teman partisan’
mereka menjadi kelompok penekan yang mencoba memberikan
tekanan terhadap kelompok elit.34
2. Pemberdayaan Perempuan
Pemberdayaan dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari
“empowerment” dalam bahasa Inggris, menurut Merriam Webster Oxford English
Dictionary, mengandung dua pengertian : Pertama, to give ability or enable to, yang
diterjemahkan sebagai memberi kecakapan/kemampuan atau memungkinkan untuk.
Kedua, to give or authority to, yang artinya memberi kekuasaan.35
Onny S. Priyono dan Pranarka (1996), sebagaimana yang dikutip oleh
Roesmidi dan Riza Risyanti di dalam bukunya Pemberdayaan Masyarakat,
berdasarkan penelitian kepustakaan tentang pengertian di atas, dinyatakan bahwa
proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, yang menekankan
kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau
34 Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Mayarakat dan Intervensi Komunitas, Jakarta:Fakultas Ekonomi UI, 2003. hal.54. 35 Drs. H. Roesmidi & Dra. Riza Risyanti. Pemberdayaan Masyarakat, Bandung. Alquaprint Jatinangor :2006.hal.2
kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih ber-daya. Kedua,
menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar
mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi
pilihan hidupnya melalui proses dialog.
Payne (1997; hal.226) mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan
(empowerment), pada intinya ditujukan guna: “to help clients gain power of decision
and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to
exercising existing power, by increasing capacity and self confidence to use power
and by transferring power from the environment to clients.” (Membantu klien
memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan
ia lakukan terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi
dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan
kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain
melalui transfer daya dari lingkungannya).36
Menurut Hulme dan Turner (1990), pemberdayaan mendorong terjadinya
suatu perubahan sosial yang memungkinkan orang-orang pinggiran yang tak berdaya
untuk memberi pengaruh yang lebih besar pada arena politik secara lokal dan
nasional. Karenanya, pemberdayaan sifatnya individual sekaligus kolektif.
Pemberdayaan merupakan suatau proses yang menyangkut hubungan-hubungan
kekuatan/kekuasaan yang berubah antara individu, kelompok dan lembaga-lembaga
36 Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Mayarakat dan Intervensi Komunitas, Jakarta:Fakultas ekonomi UI, 2003. hal.54.
sosial. Di samping itu, pemberdayaan juga merupakan proses perubahan pribadi
karena masing-masing individu mengambil tindakan atas nama diri mereka sendiri
dan kemudian mempertegas kembali pemahamannya terhadap dunia tempat ia
tinggal.37
Tokoh lain, Jim Ife (1995:61-64) mengatakan pemberdayaan mengandung dua
kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini bukan saja diartikan
menyangkut kekuasan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau
penguasaan klien atas:
a) Pilihan-pilihan rasional dan kesempatan-kesempatan hidup; kemampuan
dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal,
pekerjaan.
b) Pendefinisian kebutuhan : kemampuan menentukan kebutuhan selaras aspirasi
dan keinginannya.
c) Idea atau gagasan : kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan
gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan.
d) Lembaga-lembaga : kemampuan menjangkau, menggunakan dan
mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan
sosial, pendidikan dan kesehatan.
e) Sumber-sumber : kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal
dan kemasyarakatan.
37 Drs. H. Roesmidi & Dra. Riza Risyanti. Pemberdayaan Masyarakat,hal.5
f) Aktivitas ekonomi : kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme
produksi, distribusi, dan pertukaran barang dan jasa.
g) Reproduksi : kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran,
perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi.38
Berangkat dari pengertian-pengertian di atas, jelaslah bahwa pemberdayaan
adalah sebuah proses untuk membantu, mendorong, memotivasi serta menyadarkan
seseorang atau kelompok yang kurang atau tidak berdaya (misalnya, orang miskin,
cacat, perempuan) agar memiliki kekuatan dan kesempatan untuk menikmati dan
mendapatkan segala hak-haknya dan menentukan pilihan-pilihan hidupnya sebagai
manusia secara utuh.
Pemberdayaan perempuan menurut Melly G Tan adalah meningkatkan
keinginan, tuntutan, membagi kekuasaan (sharing power) dalam posisi yang setara
(equal), repfresentasi serta partisipasi dalam pengambilan keputusan, yang
menyangkut kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.39
Tujuan utama pemberdayaan Perempuan adalah memperkuat kekuasaan
masyarakat khususnya, kelompok lemah yang memiliki ketidakberdayaan, baik
38 Edi Suharto, Ph.d, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat (Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial), Bandung. PT Refika Aditama:2005. hal.59. 39 Skripsi Nadya kaharima, Implementasi Program Pemberdayaan Perempuan melaui Gender Mainstreaming (Studi kasus Workshop Pemberdayaan Mubalight 1 oleh Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta); Jurusan Kosentrasi Kesejahteraan Sosial, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Jakarta, 2008
karena kondisi internal (misalnya persepsi mereka sendiri), maupun karena kondisi
eksternal (misalnya ditindas oleh struktur sosial yang tidak adil).40
3. Upaya-Upaya Pemberdayaan Perempuan
Begitu kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh perempuan, maka
pemberdayaan harus dilakukan di segala bidang atau aspek kehidupan. Aspek-aspek
itu antara lain:
a) Pemberdayaan Pendidikan
Pendidikan merupakan kunci pemberdayaan masyarakat baik pria maupun
wanita, karena pendidikan dapat meningkatkan pendapatan, kesehatan dan
produktivitas. Ada beberapa keuntungan yang diperoleh jika wanita
berpendidikan, yakni: Pertama, seorang ibu yang terdidik dapat
membesarkan keluarga yang lebih sehat. Ia bukan saja memiliki
pengetahuan tentang gizi, tapi juga memahami apa yang harus dilakukan
dalam keadaan darurat yang berkaitan dengan kesehatan, sehingga
kemungkinan kematian anak sampai dengan lima tahun semakin kecil.
Kedua, wanita terdidik lebih produktif baik di rumah mapun di tempat
kerja. Ketiga, wanita terdidik cenderung membuat keputusan lebih
independen dan bertindak untuk dirinya sendiri. Keempat, wanita terdidik
cenderung untuk mendorong anak-anaknya menjadi lebih terdidik.
b) Pemberdayaan Ekonomi 40 Edi Soeharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. hal 60.
Penting bagi wanita untuk mempunyai penghasilan sendiri yang
memungkinkan baginya untuk mengatur dan mengontrol masalah
keuangannya sendiri. Perlu dipertegas di sini bahwa, tidak semua wanita
yang bekerja untuk tujuan memperkaya diri secara ekonomis, tapi juga
karena merupakan kerja sosial atau aktualisasi pengembangan diri.
c) Pemberdayaan Psikologi
Pemberdayaan tidak bermaksud membekali perempuan dengan kekuasaan
dan kekayaan, akan tetapi membuat mereka sadar akan dirinya, dan apa
yang diinginkannya dari hidup ini. Interaksi antara perempuan dan laki-
laki didasarkan atas pengambilan keputusan bersama tanpa ada yang
memerintah dan diperintah. Pemberdayaan didasarkan atas kerja sama
untuk mencapai tujuan bersama dengan hubungan timbal balik yang saling
memberdayakan antara pria dan wanita.
Proses pemberdayaan memungkinkan manusia dihadapkan pada berbagai
pilihan dan membuat pilihan. Wanita dapat menentukan menikah atau
tidak beranak, berkarier atau menggabungkannya. Pemberdayaan
psikologi mengandung makna saling menghormati dan menghargai, bukan
hanya dalam hal yang dilakukannya masing-masing, akan tetapi juga
sebagai insan manusia dan apa yang menjadi pilihan-pilihan hidupnya.
d) Pemberdayaan Sosial Budaya
Pemberdayaan disini berkaitan dengan mobilisasi sosial wanita, seperti
dalam hal perencanaan dan hak milik. Budaya Timur seperti kerukunan,
kekeluargaan dan keharmonisan adalah penting bagi hidup manusia
sehingga seorang ibu seringkali bersedia berkorban demi mempertahankan
keutuhan keluarga dan rumah tangganya. Perceraian seringkali menjadi
hal yang mengancam bagi banyak wanita karena merasa dirinya tidak
berdaya, sehingga menerima keadaan sebagai sudah menjadi nasibnya.
Sebaliknya wanita yang berdaya tidak mau hanya sekedar menerima apa
yang ada, ia tidak mau tenggelam atau melarikan diri dari permasalahan,
tetapi ingin menyelesaikan secara bersama.
e) Pemberdayaan Politik
Kepemimpinan dalam konteks pemberdayaan politik adalah kedudukan
berkuasa dan berwenang untuk mengambil keputusan dan mempengaruhi
kehidupan dan pekerjaan banyak orang dalam masyarakat. Dalam proses
pemberdayaan politik seorang pemimpin, khusunya wanita perlu memiliki
bekal kepemimpinan. Sebagai pemimpin, wanita harus mampu
menggerakkan dan membuat perubahan sosial ke arah yang lebih baik.
Pemimpin wanita juga perlu memiliki kemampuan turut serta mengambil
keputusan, yang didukung oleh kemauan, keberanian dengan
menggunakan kesempatan untuk menjadi teman seperjuangan laki-laki.
Selain itu juga harus memiliki kepekaan terhadap lingkungan sehingga
menampung aspirasi dan keinginan masyarakat serta mengantisipasi
permasalahan yang mungkin timbul.41
4. Tingkat-Tingkat Pemberdayaan Perempuan
Ada lima konsep kesetaraan gender yang harus dilakukan untuk mencapai
pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan perempuan menjadi alat utama untuk
mengatasi hambatan-hambatan dalam mewujudkan kesetaraan perempuan. Lima
tingkatan kesetaraan itu adalah:
a. Tingkat I : Kesejahteraan
Tingkat kesejahteraan perempuan yang bersifat material seperti keadaan gizi,
ketersediaan makanan, dan tingkat pendapatan. Jika semua ini terpenuhi,
maka seorang perempuan bisa dikatakan berdaya.
b. Tingkat II : Akses
Tingkat produktivitas perempuan lebih rendah karena adanya pembatasan
akses atas sumberdaya pembangunan dan produksi dalam masyarakat seperti
tanah kredit, lapangan kerja, dan pelayanan. Dibandingkan laki-laki,
perempuan mempunyai akses lebih sedikit untuk pendidikan, gaji, pelayanan
dan lain-lain. Oleh karena itu, kesenjangan gender ini harus diatasi sehingga
akan meningkatkan akses perempuan sehingga setara dengan laki-laki.
Pemberdayaan berarti bahwa perempuan disadarkan akan situasi-situasi yang
tidak adil ini dimana kesadaran baru tersebut akan mendorongnya untuk 41 Drs. H. Roesmidi & Dra. Riza Risyanti, Pemberdayaan Masyarakat, hal.120-124.
berjuang mendapatkan haknya, termasuk memperoleh akses yang setara dan
adil atas berbagai macam sumber daya baik di dlaam rumah tangga,
komunitas dan masyarakat.
c. Tingkat III : Kesadaran kritis
Kesenjangan gender bersifat empiris tetapi wujudnya adalah nilai-nilai atau
keyakinan bahwa posisi perempuan lebih rendah secara ekonomis dan sosial
dibandingkan laki-laki, serta pembagian kerja secara tradisional merupakan
pemberian dari Tuhan. Konsep ini disosialisasikan dan disebarkan melalui
institusi-institusi yang ada dalam masyarakat termasuk media massa dan
pendidikan. Pemberdayaan berarti upaya melatih kepekaan perempuan
terhadap keyakinan dan praktek semacam itu dan keberanian untuk
menunjukkan sikap penolakan atas keyakinan dan praktek-praktek tersebut.
d. Tingkat IV : Partisipasi
Konsep partisipasi di sini diartikan bahwa perempuan setara dengan laki-laki
untuk terlibat secara aktif dalam proses pembangunan. Kesetaraan dalam
tingkat ini diartikan sebagai partisipasi setara perempuan dalam proses
pengambilan keputusan.
e. Tingkat IV : Kontrol
Pada tingkat kontrol, kesenjangan gender diwujudkan sebagai ketidaksetaraan
relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Kesetaraan dalam hal
kontrol berarti sebuah keseimbangan kekuasaan antara perempuan dan laki-
laki, di mana tidak ada satu pihak pun berada di bawah dominasi yang
lainnya. Ini berarti bahwa perempuan mempunyai kekuasaan yang sama
dengan laki-laki untuk mempengaruhi masa depan mereka dan masa depan
masyarakat mereka. (Modul Pendidikan Adil Gender untuk Perempuan
Marginal, KAPAL Perempuan, Jakarta:2006)
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Gambaran Umum Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC)
1. Sejarah SPC
SPC ini terbentuk pada bulan Oktober 2003 yang merupakan hasil dari proses
pengorganisasian yang dimulai sejak akhir awal tahun 2003. Pada awalnya, tim
KAPAL Perempuan melakukan survey ke-7 wilayah miskin kota di Jakarta dan
melakukan study meja terhadap ke-7 wilayah tersebut untuk mendapatkan informasi
dan data awal situasi setiap lokasi. Dari hasil tersebut akhirnya ditemukan 2 wilayah
yang dapat diorganisir sebagai pilot project pengembangan pendidikan untuk
perempuan marginal di miskin kota, dimana salah satu wilayah itu adalah Gang
Pelangi, Kelurahan Rawajati.42
Sejak saat itu juga, mulailah proses pendekatan dilakukan oleh tim KAPAL
dengan warga dan aparat setempat untuk mengetahui langsung dan lebih dalam
mengenai persoalan-persoalan masyarakat umumnya dan persoalan perempuan
khususnya, sambil memetakan kemungkinan pengembangan kegiatan khususnya
terhadap perempuan di wilayah ini.43
Sebagaimana komunitas miskin kota Jakarta pada umumnya, situasi dan
kondisi perempuan di Gang Pelangi tidak jauh berbeda. Ditemukan cukup banyak
permasalahan yang terkait dengan perempuan diantaranya adalah tingkat pendidikan
yang rendah, umumnya hanya tamat SD bahkan banyak juga yang tidak sekolah sama
sekali yaitu sekitar 80 persen, dan hanya sedikit yang bisa melanjutkan ke SMP dan
SMA.44
Selain masalah pendidikan, perempuan komunitas Ciliwung juga punya
persoalan beban ganda. Selain mencari nafkah, mereka juga bertanggungjawab
sepenuhnya terhadap pekerjaan rumah tangga, mengurus anak dan suami. Oleh
karena itu, sebagian besar dari mereka juga bekerja di luar rumah selain sebagai ibu
rumah tangga sebagai pekerjaan utama mereka. Jenis-jenis pekerjaan mereka antara
lain menjadi buruh cuci pakaian, pedagang makanan, pedagang sayuran, pedagang
42 Profil Sekolah Perempuan Ciliwung. 43 Ibid. 44 Ibid.
jamu, penjual es keliling, membuka warung sembako, tukang kredit pakaian, tukang
sapu taman dan pembuat pakaian dalam perempuan dengan penghasilan beragam
antara Rp. 100.000 -500.000 setiap bulannya bulan.
Usia mereka rata-rata antara 24 – 71 tahun, rata-rata mempunyai anak dengan
kisaran 1-10 orang. Mereka yang memiliki banyak anak ini umumnya memiliki
pengetahuan tentang reproduksi yang sangat rendah, meskipun permasalahan ini
dialami oleh umumnya perempuan di sana. Tak jarang mereka juga mengalami
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) berupa kekerasan fisik dan psikis seperti
pemukulan dan poligami yang dilakukan oleh suami-suami mereka.
Hasil survey dan proses wawancara yang dilakukan oleh tim KAPAL
Perempuan inilah yang menjadi dasar pengembangan kegiatan (termasuk materi-
materi apa yang akan ditawarkan di sekolah nanti) di sana disamping tingginya minat
dari para perempuan itu untuk melakukan kegiatan khusus untuk perempuan dan
adanya dukungan dari aparat setempat. Setelah kurang lebih sekitar 5-7 bulan
melakukan kegiatan bersama, akhirnya terbentuklah Sekolah Perempuan Ciliwung
pada bulan Oktober 2003. Peserta yang tergabung dalam SPC memang sangat
menyambut didirikannya SPC. Berikut pengakuannya:
”...iya kita seneng banget ada SPC. Yang tadinya kita nggak tau apa-apa sekarang jadi tau. Yah..paling tidak tau sedikitlah. Banyak membantu kita juga. Soalnya pelajaran-pelajarannya sama dengan yang kita alami di kehidupan hari-hari.”45
45 Anerah (Anggota SPC), Wawancara Pribadi, Senin, 3 Mei 2010 , di Warung jati.
”Seneng banget saya Mbak bisa ada sekolah begini. Kita jadi punya banyak temen, kayak ada keluarga. Kita sering ngumpul-ngumpul, rame-rame, ngobrol. Mereka semua baik-baik lagi sama kita semua.”46 Anggota Sekolah Perempuan Ciliwung pada awalnya berjumlah 28, terbagi
menjadi 2 kelompok Mawar sebanyak 14 orang, dan kelompok Melati 14 orang.
Namun pada perkembangannya, pertambahan anggota cukup banyak selama kurang
lebih 4 tahun seiring dengan mulai munculnya kesadaran pentingnya pendidikan
untuk perempuan dan merasakan manfaat adanya sekolah perempuan sehingga
jumlah keseluruhan anggota sekarang menjadi 65 orang. 47
Namun, seiring berjalannya waktu, berlaku pula ”seleksi alam” diantara
mereka. karena berbagai alasan seperti kesibukan dan ada juga yang pindah dari
lokasi tersebut, saat ini peserta SPC yang tercatat menurun menjadi 63 orang.
Sementara yang aktif dalam artian sering mengikuti pendidikan hanya berkisar antara
30-40 orang. Hal ini diakui oleh ketua SPC seperti di bawah ini:
”Awalnya banyak loh Dek Mila, rame banget. Tapi semakin kesini, semakin berkurang. Mungkin pada sibuk kali yah, selain itu ada juga yang pindah rumah. Mungkin juga karena sering hujan, jadinya kita jarang-jarang ngumpul lagi.Yah..begitulah.... Tapi kalau pengurus tetap sering ngumpul.”48
2. Program-Program SPC
Pada periode 2003 - 2007, program yang merupakan respon terhadap
permasalahan perempuan di sana dan meliputi 3 hal yaitu 1) pengembangan
46 Mamiek Suparmiah (Anggota SPC), Wawancara Pribadi, 24 Juni 2010, di Warung Jati, 47 Profil Sekolah Perempuan Ciliwung. 48 Musriah (Ketua Sekolah Perempuan Ciliwung), Wawancara Pribadi di Warung Jati, pada 17 Juni, pkl. 11.00 Wib.
pendidikan untuk perempuan yang mencakup penguatan perspektif dan skill dengan
materi gender, kesehatan reproduksi, organisasi, dan usaha ekonomi yang
dikombinasi dengan pendidikan keaksaraan, 2) pengembangan usaha ekonomi
kelompok dan anggota, dan 3) pengembangan kemampuan berorganisasi.
Program pengembangan ekonomi dilakukan melalui kegiatan simpan pinjam
dalam bentuk Koperasi. Selain simpan pinjam, SPC juga mengembangkan
koperasinya dengan kegiatan membayarkan rekening listrik masyarakat setempat
secara kolektif, dengan keuntungan setiap rekeningnya sebesar Rp. 4000 tiap bulan,
mengembangkan usaha katering, dan juga membuka usaha sembako bagi anggota
koperasi. Untuk lebih jelasnya, berikut keterangan dari anggota dan pengurus SPC:
”Selain belajar tentang jender, kesehatan reproduksi, dan lain-lainnya, kita juga punya koperasi. Jadi kita belajar tengang bagaimana mengelola uang. Ini juga bisa membantu semua anggota SPC yang pengen minjem uang buat modal usaha. Ada juga bayar rekening listrik, nanti dari situ ada keuntungannya buat disimpan di kas sekolah.”49 ”Di sekolah itu, selain belajar menulis, membaca, kita juga bisa minjem uang buat modal. Sekarang aja saya masih ada pinejeman nih, belum lunas-lunas he..he...”50 Pertemuan dilakukan 2 kali dalam seminggu yang waktunya ditetapkan oleh
mereka (peserta SPC), disesuaikan dengan aktivitas keseharian mereka, biasanya
kegiatan dilakukan setiap hari Senin dan Rabu, jam 13.30 – 15.30. Hari Senin
digunakan untuk pendidikan bagi anggota dan hari Rabu digunakan untuk rapat dan
49 Mistinah, (Wakil Ketua Sekolah Perempuan Ciliwung), Wawancara Pribadi, Jumat, 30 April 2010, di Warung Jati, pukul. 12.30-15.00, 2010 50 Rodemeh (anggota SPC), Wawancara Pribadi, Jumat, 30 April 2010, di Warung jati. Pukul 15.00-15.15 Wib.
peningkatan kapasitas bagi pengurus. Biasanya diskusi-diskusi yang berkembang
mencakup persoalan-persoalan yang dialami oleh kelompok ini setiap hari, seperti
beban ganda perempuan, kekerasan dalam rumah tangga baik yang tingkatannya
ringan sampai kekerasan yang berat, seperti pemukulan dan poligami.
Pada awalnya, kegiatan belajar mengajar selama kurang lebih 1 tahun,
bertempat pada rumah yang disewakan oleh KAPAL, tempat mengadakan kegiatan
dipindah ke rumah Ibu Kusniah yang waktu itu menjabat sebagai ketua dan akhirnya
di sekretariat sendiri. Untuk mendapatkan sekretariat ini, pengurus bersama anggota
melakukan pengumpulan dana melalui bazar. Saat ini kegiatan SPC dilakukan di
sekretariat tersebut. Berikut keterangan dari salah satu pengurus:
”...iya sebelumnya kita punya tempat Mbak. Waktu itu disewain sama KAPAL. Tapi pas setahun udah habis kontraknya, jadinya pindah ke rumah Ibu Kusniah.”51 Pada periode 2008-2010, program yang direncanakan sudah lebih meluas baik
dalam hal metode maupun isunya. Selain ketiga program awal yang masih dilakukan,
dalam periode ini juga isu-isu yang dibahas telah meluas mencakup isu-isu HAM
pada umumnya, permasalahan sosial dan politik seperti pemilu, UU KDRT dan
pornografi, Utang luar negeri, dan lingkungan hidup.52
Selain itu, materi-materi yang lahir juga adalah materi yang merupakan
respon terhadap permasalah yang terjadi saat itu, seperti bagaimana penanggulangan
banjir serta bagaimana mencegahnya, dan tara cara penggunanaan tabung gas. Salah 51 Mistinah, (Wakil Ketua Sekolah Perempuan Ciliwung), Wawancara Pribadi, Jumat, 30 April 2010, di Warung Jati, pukul. 12.30-15.00, 2010 52 Profil Sekolah Perempuan Ciliwung.
satu kegiatan yang penting juga adalah penguatan kapasitas para pengurus melalui
training-training dan pendampingan intensif dalam mengembangkan dan mengelola
organisasi serta memfasilitasi pendidikan di komunitasnya. Berikut keterangan
pengurus:
”...Ada banyak pelajarannya, ada jender, politik tentang perempuan, ligkungan, kayak bagaimana kalau banjir datang, bagaimana sebelum banjir datang, pokoknya apa-apa yang biasa kita alami sehari-hari.”53
3. Struktur Kepengurusan SPC
SPC ini telah memiliki perangkat keorganisasian yang cukup memadai yang
merupakan dasar pengembangan keorganisasian mereka yaitu visi, misi, prinsip-
prinsip, mekanisme kerja organisasi, program dan kepengurusan. Di atas semua itu,
diharapkan Sekolah Perempuan Ciliwung dapat menjadi komunitas ibu-ibu untuk
melakukan kegiatan bersama dan mempertinggi daya tawar mereka di komunitas.
Pengurus sekolah dipilih secara musyawarah oleh seluruh anggota dengan
terlebih dahulu menyepakati kriterianya bersama-sama. Pengurus ini merupakan
orang yang diberi mandat oleh organisasi untuk mengelola organisasi dan secara
khusus menjalankan program. Kepengurusan yang ada sekarang merupakan hasil
pemilihan tahun 2008 setelah pengurus periode awal diganti karena berakhirnya masa
jabatan mereka. Berikut pengakuan dari Ibu Musriah yang terpilih sebagai ketua SPC:
”Pengurus memang dipilih oleh semua Anggota. Waktu itu saya juga nggak tau kenapa Anggota memilih saya jadi ketua. Yah..tapi mungkin mereka udah lihat saya bagaimana di SPC selama ini. Jadi pengurus itu nggak gampang
53 Musriah (Ketua Sekolah Perempuan Ciliwung), Wawancara Pribadi di Warung Jati, pada 17 Juni, pkl. 11.00 Wib.
juga loh Dek Mila..., tanggung jawab kita lebih besar. Harus mikirin anggota juga. Tapi saya sih senang melakukan semuanya, demi anggota dan demi kemajuan sekolah perempuan juga. Tapi nanti akan digilir kok. Setelah habis masanya, kita akan memilih pengurus yang baru.”54 Struktur kepengurusan saat ini terdiri dari ketua, wakil ketua, sekertaris,
bendahara, koordinator pendidikan, koordinator simpan pinjam dan koordinator usaha
dan keterampilan. Mereka itu adalah:
1. Ketua : Musriyah
2. Wakil Ketua : Mistinah
3. Sekertaris : Retno
4. Bendahara : Kusniah
5. Koordinator Pendidikan : Ana
6. Koordinator Simpan Pinjam : Jumiati
7. Koordinator Usaha dan Keterampilan : Ida R55
B. Gambaran Umum Wilayah Kelurahan Sekolah Perempuan Ciliwung
(SPC)
1. Letak Geografis Sekolah Perempuan Ciliwung
Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC) terletak di Gang Pelangi yaitu di wilayah
RT 10/01 dan RT 10/03 yang merupakan bagian dari wilayah kelurahan Rawajati 54 Ibid 55 Profil Sekolah Perempuan Ciliwung.
Barat, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan. Wilayah ini terletak di pinggir sungai
Ciliwung dan terbagi ke dalam dua pemukiman yang berbeda yaitu di tempat yang
rendah berada tepat di pinggiran sungai dan pemukiman penduduk yang berada di
dataran lebih tinggi yang biasa disebut sebagai penduduk atas.56
Wilayah ini memiliki jumlah penduduk sebesar 134 orang di RT 10/01 dan
wilayah RT 10/03 dengan komposisi 64 laki-laki dan 70 perempuan. Luas
wilayahnya 70 x 30m2. Sedangkan jumlah penduduk di RT 10/03 berjumlah 315
orang dengan komposisi 177 laki-laki dan 138 perempuan.Luas wilayahnya 105 X
50m2.57
Penduduk di wilayah ini umumnya adalah masyarakat yang bermigrasi dari
beberapa wilayah Jawa seperti Tegal, Cirebon, Kebumen, Bumiayu, Bandung, dan
Sukabumi. Sebagian besar bekerja di sektor informal yaitu pedagang, buruh, dan
sopir angkutan. Bahkan banyak yang pengangguran karena PHK. Penghasilan
mereka rata-rata Rp. 400.000 - 2.000.000 per bulan.58
2. Kondisi Sosio-Ekonomi Peserta SPC
Pembagian dua wilayah di atas (atas dan bawah) dapat diidentifikasi juga ke
dalam faktor kondisi sosio-ekonominya. Penduduk yang berada di lokasi pinggiran
56 Ibid. 57 Yanti Muchtar & Lily Pulu, Modul Pendidikan Adil Gender untuk Perempuan Marginal. KAPAL Perempuan, Jakarta:2006. 58Ibid.
sungai inilah yang lebih banyak mengalami persoalan karena kondisinya. Rumah-
rumah penduduk di lokasi ini rata-rata berukuran 4 x 8 m2 dan sebagian besar masih
rumah kontrakan. Bahan-bahan rumah umumnya terbuat dari kayu dan triplek dan
sebagian lagi batako. Rumah-rumah tersebut sebagian besar terkesan sesak, karena
hampir semua kebutuhan seperti kasur, pakaian, bahkan peralatan dapur bersatu
dalam tempat yang berdekatan. Artinya, begitu sempitnya rumah mereka, sehingga
penempatan dari benda-bedan tersebut menjadi kurang teratur sebagaimana
mestinya.59
Hal lain yang juga menjadi persoalan, rumah-rumah mereka sebagian besar
berada di area bantaran sungai yang sangat rentan terkena banjir, berbau busuk karena
air sungai, sampah, lalat, nyamuk, dan kecoa di sekitarnya serta binatang lainnya
yang menggangu di komunitas itu, seperti biawak. Makanya, mereka rentan sekali
terhadap terhadap penyakit.60
Di samping persoalan lingkungan tersebut, mereka juga umumnya berasal dari
kalangan yang kurang mampu dibandingkan dengan penduduk atas. Selain itu,
sarana publik pun terbatas. Buktinya, tidak ada tempat pertemuan warga yang juga
disebabkan karena sempitnya lahan. Makanya tak heran jika lokasi sekolah terpaksa
menggunakan lorong-lorong sempit di depan rumah warga. Oleh karena itu
59 Hasil observasi pada Jumat, 30 April 2010, di Warung Jati, pukul. 12.30-15.00, 2010. 60 Profil Sekolah Perempuan Ciliwung.
pengorganisasian dan pendidikan untuk perempuan lebih difokuskan kepada para
perempuan di wilayah bawah atau pinggir sungai.61 Berikut keterangan dari pengurus:
“…iya salah satu hambatannya sebenarnya karena kita nggak punya tempat. Dulu sih sempat nyewa tapi pas udah habis, kita udah nggak punya dana lagi untuk ngelanjutin. Makanya tempatnya dipindah ke lorong-lorong rumah atau di pinggir kali Ciliwung. tapi, meski begitu, kita semua tetap semangat sekolahnya, nggak jadi masalah tempatnya. Kalau pun hujan, yah…misbar (gerimis bubar) deh he…he…”62
BAB IV
TEMUAN LAPANGAN DAN ANALIS
Pendidikan Alternatif sebagai Model Pemberdayaan
Pendidikan alternatif yang diterapkan di sekolah perempuan Ciliwung (SPC)
berangkat dari permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh peserta yang
tergabung di dalamnya. Dengan kata lain, berbasis pengalaman yang dialami oleh
ibu-ibu sehari-hari. Mulai dari awal penyusunan materi sekolah (in class dan out
class) hingga tekhnis pelaksanaan dibicarakan dan didiskusikan oleh fasilitator (dari
KAPAL Perempuan) bersama-sama dengan anggota SPC di setiap pertemuan.
Awalnya, begitu sulit untuk membuat mereka (anggota SPC) untuk mau
terbuka terlebih di depan semua anggota yang ada. Hal ini tidak terlepas dari kuatnya
61 Yanti Muchtar & Lily Pulu, Modul Pendidikan Adil Gender. 62 Musriah (Ketua Sekolah Perempuan Ciliwung), Wawancara Pribadi di Warung Jati, pada 17 Juni 2010
konstruk yang masih dipegang oleh mereka. Olehnya itu, dibutuhkan sebuah proses
penyadaran terlebih dahulu sebelum melangkah ke perbincangan-perbincangan
selanjutnya.
Hal di atas adalah sesuatu yang umum dimengerti. Karenanya, KAPAL
Perempuan sebagai pihak fasilitator menggunakan strategi sekaligus metode dengan
menerapkan Pendidikan Adil Gender (PAG) sebagai acuan. Dalam PAG ini ada tiga
elemen penting yang sekaligus dijadikan pedoman dalam proses belajar mengajar
ini.63 Pertama, dimulai dengan proses penyadaran kritis, yakni membongkar
(dekonstruksi) nilai-nilai patriarkis yang telah mengakar di masyarakat serta
menumbuhkan kesadaran baru yang lebih setara dan adil. Tanpa kesadaran bahwa
perempuan memiliki otonomi, tidak mungkin ada perjuangan perempuan untuk
membebaskan diri dan masyarakat dari ketertindasan. Kedua, pengorganisasian dan
pengembangan kepemimpinan perempuan. Perjuangan untuk membebaskan diri dari
ketertindasan tidak mungkin berhasil jika perempuan tidak mampu mengorganisir
diri mereka dan mengembangkan kepemimpinan di kalangan perempuan sendiri.
Dengan begitu, akan terbentuk organisasi yang solid dengan pemimpin-pemimpin
yang kuat pula. Ketiga, peningkatan keahlian hidup. Sebagai akibat dari budaya
patriarki, selama ini sebagian besar perempuan cenderung diam dengan kondisinya,
yang pada gilirannya membuatnya menjadi miskin dan bodoh. Oleh karena itu,
dibutuhkan proses yang dapat membantu perempuan untuk meningkatkan keahlian
63 Selengkapnya dapat dilihat di Modul Pendidikan Adil Gender (PAG) Untuk Perempuan Marginal, Tim penyusun dari KAPAL Perempuan ( Lily Pulu, Yanti Muchtar, Fitriani Sunarto, Salbiyah. Jakarta : KAPAL Perempuan & ACCES-AusAid, 2006.
hidupnya dengan mendorong perempuan agar mampu berjuang mensejahterahkan
dirinya.
Pengalaman hidup sebagai perempuan digali dari setiap anggota dengan
menggunakan berbagai metode dan pendekatan yang memudahkan mereka, dan juga
membuatnya nyaman untuk melakukannya. Kita tahu bahwa berbicara masalah
perempuan, terlebih menyangkut hal-hal yang sangat sensitif seperti masalah
reproduksi perempuan dan permasalahan-permasalahan yang terjadi di dalam
keluarganya adalah, sesuatu yang biasa dianggap aib sehingga tabu untuk dibicarakan
di depan umum.
Metodologi yang digunakan di SPC ini adalah pendidikan feminis yang
menggunakan pendekatan pendidikan partisipatif, yakni proses pembelajaran
dilakukan dua arah, dialogis, terbuka, dan saling menguatkan.64 Hal ini sesuai dengan
model pendidikan yang dipopulerkan oleh Paulo Freire. Pendekatannya lebih
humanis karena berakar dari prinsip dasar kemanusiaan.
Beberapa metode dan pendekatan itu adalah :
1. Silsilah keluarga
Metode ini digunakan untuk membuka fikiran peserta SPC bahwa selama ini
hampir semua nama keluarga yang masih melekat di fikirannya adalah
keturunan dari garis Ayah. Sehingga ketika diminta untuk menuliskan silsilah
keluarga dari garis Ibu, mereka mengalami kesulitan. Hal ini diakui oleh ibu
Musriah (ketua SPC) : 64 ibid, hal.44
“iya juga ya, biasanya selama ini kita cuma sering denger nama bapak.
Jadinya hampir lupa dengan keluarga dari Ibu”.
Tak heran bila di beberapa daerah seperti di Sulawesi, nama ayah dilekatkan
di belakang nama anaknya. Di tempat lain, kita juga tentu sering mendengar
nama suami dilekatkan di belakang kata istri, sehingga kadang-kadang orang-
orang lebih mengenalnya dengan sebutan Ibu Handoko, misalnya, yang
notabene adalah nama suaminya.
Dalam konteks inilah, peserta mulai dibiasakan untuk mengingat kembali
nama-nama keluarga yang berasal dari Ibu agar terjadi keseimbangan bahwa
ada dua keluarga yang berhubungan dalam hidupnya.
2. Diorama
Dalam tekhnisnya, Para ibu-ibu diminta memerankan perbedaan antara
pembagian upah antara laki-laki dan perempuan. melalui peran-peran seperti
ini, mereka bisa belajar dan memahami bahwa ternyata di dalam pembagian
upah pun perempuan dan laki-laki masih dipisahkan.
3. Menggambar
Dalam metode ini, ibu-ibu diminta perkenalan dengan menggambar tentang
diri mereka masing-masing. Jadi mereka dibagikan kertas lalu diminta
mengambar tentang kelemahan dan kekurangannya masing-masing.
4. Analisis Film
Di metode ini, mereka dipertontonkan tentang film Beban Ganda yang
dihadapi oleh perempuan. Setelah menonton, mereka kemudian berdiskusi.
Dari situ, mereka bisa menyaksikan bahwa semua itu adalah hal yang mereka
hadapi sehari-hari.
5. Analisis lagu
Ternyata lagu menjadi sarana yang cukup baik dalam proses penyadaran. Di
SPC, ibu-ibu membuat lagu-lagu yang mengambarkan kehidupan perempuan.
Dari situ, terlihatlah bagaimana masyarakat mempersepsi perempuan.
6. Metode Tutorial untuk Keaksaraan Fungsional
Metode ini digunakan khusus untuk peserta yang masih belajar membaca,
menulis dan berhitung. Tekhnik yang digunakan adalah dengan mengajarkan
suku kata misalnya A,B,C untuk membantu mereka mengenal huruf-huruf
dasar. Untuk lebih memudahkan ibu-ibu, Huruf-huruf yang diperkenalkan
adalah terutama huruf ynag bunyi (A, I, U, E,O). Dan, yang lebih
memudahkan lagi, kata per kata yang diberikan adalah kata-kata yang biasa
mereka alami sehari-hari. Misalnya, “saya memasak di dapur”.
Pendidikan seperti di sekolah pada umumnya yang berorientasi subjek (guru)-
objek (murid) jelas tidak akan mampu membuat perempuan untuk mau bersuara
terlebih di depan umum. Jangankan menceritakan pengalaman-pengalaman hidupnya,
bahkan ruang untuk mendukung keterbukaan perempuan pun tidak tersedia. Karena
paradigmanya adalah, pelajaran hanya berasal dari guru. Mereka lah yang paling tau
segala hal.
Beberapa pendidikan yang diterapkan di SPC yaitu:
1. Pendidikan di dalam kelas
2. Pendampingan dalam proses ekonomi
3. Pendampingan dalam proses MUSREMBANG
4. Diskusi-diskusi di luar kelas (informal)
5. Dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan di beberapa jaringan LSM perempuan
6. Dilibatkan dalam penyusunan modul Pendidikan Adil Gender (PAG) yang
merupakan deskripsi sekaligus kesimpulan dari proses penerapan PAG di SPC
selama rentan waktu 2003-2006.
Sejak akhir tahun 2009 ( lebih tepatnya pada musim hujan tiba)-awal bulan
Juni 2010. proses belajar-mengajar di kelas vakum. Awalnya, hal ini disebabkan
karena seringnya terjadi banjir sehingga mereka lebih berkonsentrasi pada
penyelamatan diri dan keluarganya. Bahkan para pengurus dan beberapa anggota juga
menjadi relawan dengan menyediakan dapur umum dan menjadi panitia pembagian
sembako bagi penduduk maupun anggota yang terkena banjir dan membutuhkan
pertolongan. Selain itu, otomatis tempat mereka belajar yakni di lorong-lorong rumah
dan di pinggiran kali Ciliwung juga tidak memungkinkan untuk digunakan.
Selain itu, penulis melihat bahwa ada masalah yang lain yang membuat
peserta SPC belum memulai kembali pendidikan in class, sebagian yang lain
(khususnya beberapa pengurus) merasa sedikit bingung bagaimana memulainya
kembali. Meski sebagian yang lain beralasan bahwa kesibukannya semakin
bertambah, tapi alasan itu tidak cukup mendukung karena selama ini mereka juga
melakukan pendidikan in class dan tetap bekerja seperti biasa.
Berdasarkan hasil wawancara dari subjek penelitian yang penulis pilih, 12
orang peserta SPC mengatakan ingin sekolah kembali seperti dulu . Mereka masih
terlihat semangat untuk terus belajar dan membangun relasi di SPC. .
Setelah sempat vakum beberapa bulan, Pada Hari Jumat (04/06), akhirnya
semua pengurus dan 11 orang anggota akhirnya sepakat berkumpul di samping kali
Ciliwung untuk membicarakan tentang bagaimana kelanjutan pendidikan in class ini.
Meski dalam suasana gerimis, mereka terlihat tetap semangat untuk berunding,
bahkan beberapa diantaranya membawa anaknya yang masih kecil. Supaya lebih
demokratis, pengurus membagikan kertas metaplen dan spidol untuk menuliskan
materi-materi apa yang mereka inginkan untuk dipelajari kembali. Selain peserta,
pengurus juga ikut menuliskan pendapatnya.65
Setelah itu, ibu Ana membacakan hasilnya. Dan, kebanyakan ibu-ibu
memilih untuk mengulang kembali materi kespro, jender, pengajian (tajwid) dan
materi tambahan adalah keterampilan seperti, daur ulang sampah lalu dibikin tas.
Karena ibu-ibu merasa bahwa selain mendapatkan ilmu (pengetahuan baru). kita juga
dapat menghasilkan nilai ekonomi. Ada juga satu orang ibu yang mengusulkan
didakannya pendidikan untuk anak-anak putus sekolah. Alasannya karena di sekitar
SPC ini juga banyak anak-anak kecil yang putus sekolah. Usulan terakhir ini dapat 65 Hasil observasi pada Jumat, 04 Juni 2010, di Pinggir kali Ciliwung.
dikatakan sebagai indikator semakin disadarinya bahwa pendidikan adalah hal yang
harus dipelajari.
Setelah materi dan waktunya sudah disepakati, yang menjadi perdebatan
cukup panjang adalah masalah fasilitator. Sejak tahun 2007-an, KAPAL sudah
memutuskan untuk men-training pengurus SPC agar mereka yang jadi fasilitator
dalam pertemuan in class. Tapi, setelah vakum, beberapa pengrus merasa bingung
untuk mulai dari mana. Salah satu pengurus (Ibu Retno) merasa masih belum percaya
diri jika harus menjadi fasilitator, Padahal dia sudah beberapa kali jadi fasilitatsor.
Menurutnya, para peserta kurang memperhatikan dan kurang semangat jika pengurus
yang menjadi fasilitator. Ia juga masih merasa malu. Padahal Ibu Retno adalah salah
satu pengurus yang punya potensi.
Selain itu, pengurus yang lain (Ibu Ana dan Ibu Mistinah) masih terlihat
kurang percaya diri untuk tampil di depan. Padahal mereka juga sudah banyak tahu
tentang materi-materi yang telah diajarkan di SPC. Hanya ibu Musriyah (ketua SPC)
yang terlihat begitu percaya diri.66 Nah, artinya, dari pengurus sendiri masih perlu
dibangun rasa kepercayaan diri atau penguatan kapasitas. Selain itu, mereka juga
perlu memperkuat materi tentang strategi-strategi bagaimana membuat pendengar
menjadi antusias dengan apa yang kita bicarakan.
66 ibid
Sementara itu, proses pendidikan yang lain tetap berjalan. Seperti diskusi-
diskusi di beberapa pertemuan nasional dan LSM-LSM. Selain itu training-training
tetap dilakukan khususnya untuk pengurus SPC setiap hari Rabu. Sejak bulan Januari
hingga Maret, mereka membuat pemetaan di dampingi oleh fasilitator dari KAPAL
Perempuan. Mereka menggunakan metode pemetaan partisipatif, wawancara, dan
pengamatan langsung. Pihak-pihak yang ikut berdiskusi adalah peserta SPC,
perwakilan dari warga di tiga RT dan fasilitator. Jadi mereka dibagi kelompok, ada
yang bertugas mendata tentang perempuan buta aksara, perempuan yang mengalami
KDRT, masalah KB dan sebagainya. Hasil dari pemetan itu kemudian menjadi usulan
yang akan diikutkan pada musyawarah rencana pembangunan kelurahan
(MUSREMBANGKEL) yang dilaksanakan pada bulan April. Dari empat usulan67
itu, hanya satu yang direspon oleh pihak Kelurahan, yaitu tentang program buta
aksara untuk perempuan. Tiga usulan lainnya tidak digoal-kan karena menurut pihak
kelurahan program-program itu sudah ada di program ibu-ibu PKK.
Kegiatan lainnya adalah, demontrasi merespon isu-isu perempuan khususnya
pada hari-hari peringatan perempuan masih tetap mereka lakukan misalnya pada hari
buruh 1 Mei dan baru-baru ini adalah ikut mendukung disahkannya RUU PRT di
senayan.68 Dengan ikut berdemontrasi, semakin membangun sense mereka bahwa
persoalan-persoalan perempuan perlu diperjuangkan secara kolektif. Mereka rela
67 keempat usulan itu dapat dilihat di lampiran 68 Daftar lengkap kegiatan demo dapat dilihat di lampiran.
berada di bawah terik matahari dan meninggalkan sejenak pekerjaannya demi
memperjuangkan keadilan bagi perempuan.
Pendidikan terakhir yang dikhususkan untuk pengurus adalah training selama
empat kali pertemuan, satu kali setiap minggunya dengan bahasan untuk pelatihan
berbicara di depan umum. Training ini dimaksudkan untuk memperkuat kapasitas
khususnya para pengurus SPC karena mereka diberikan tugas yang lebih dibanding
anggota lainnya. Dari pertemuan itu, terlihat bahwa dari ke enam pengurus empat
orang diantaranya masih terlihat kurang percaya diri berbicara di depan umum. Tapi,
yang patut diapresiasi dari mereka adalah semangat mereka untuk belajar begitu
tinggi. Mereka bahkan meminta untuk dikritik. Suasananya juga sangat bersahabat ,
penuh canda. Sesekali mereka saling ”meledek” jika ada yang salah-salah kata, tapi
itu juga diselingi dengan tawa lepas.
Di hari terakhir training, mereka dibagi dua kelompok, dibagikan tema dengan
kemudian diminta presentasi dengan memposisikan diri seolah-olah ada di depan
umum. Dari cara mereka presentasi, terlihat bahwa mereka sudah cukup baik
menjelaskan tema-tema yang diberikan kepadanya. Mimik dan gesture yang mereka
perlihatkan pun cukup baik. Cuma memang masih terlihat sedikit grogi. Tapi itu
adalah hal biasa dihadapi bahkan oleh seorang public figure yang terkenal sekalipun.
Model Pemberdayaan yang digunakan Di SPC
Dari proses pendidikan yang digambarkan di atas, penulis menyimpulkan
bahwa model pemberdayaan yang digunakan di SPC adalah model pengembangan
masyarakat lokal yang dikembangkan oleh Rothman dan Tropman (1987).
Beberapa indikator itu dapat dilihat dari pendekatakan-pendekatan yang
diterapkan di SPC. Kategori tujuan tindakan terhadap peserta ibu-ibu SPC dilakukan
dengan tujuan memandirikan, mengembangkan kapasitas dan mengintegrasikan
mereka dalam sebuah komunitas. Orientasinya adalah proses karena betul-betul
dimulai dari awal, dari mereka tidak tahu dan tidak sadar sama sekali dengan
keadaannya yang selama ini berada dalam posisi yang disudutkan, dinomorduakan,
didiskriminasi dan seterusnya, sampai kemudian mereka mulai sadar dan bergerak
untuk memperjuangkan hak-haknya.
Menyadarkan seseorang tentang suatu keadaan tentu bukanlah hal yang
mudah. Butuh proses yang panjang, dan proses inilah yang dilalui oleh ibu-ibu di
SPC sejak tahun 2003 hingga sekarang (2010). Pendidikan ini dimulai dengan
mendekonstruksi pemahaman peserta SPC sebelumnya tentang kondisi di lingkungan
sekitarnya. Sebagaimana Paulo Freire menegaskan bahwa pendidkkan harus juga
didasarkan pada sebab-musabab, fakta-fakta ekonomi, sosial politik, ideology, dan
sejarah yang menerangkan besar kecil dan tinggi rendahnya halangan atau larangan
tubuh sadar kita, dimana kita menemukan diri kita berada.69 Sebagai konsekuensinya,
pendidikan ini terus berlanjut karena prinsipnya adalah proses pendidikan tidak akan
pernah berakhir. Berikut pengakuan beberapa anggota SPC : 69 Faulo Freire, Pedagogi Pengharapan.
“Tujuan awalnya terus terang nggak tau. Tapi setelah berjalan, baru kelihatan tujuannya supaya perempuan tidak terpinggirkan. Banyak perempuan yang sudah mulai berubah supaya tidak tertindas lagi, dan setara dengan laki-laki. Jadi betul-betul diproses karena kita dari tidak tahu menjadi tahu sekarang.”70
“…yah..supaya kita bisa memperjuangkan hak-hak perempuan. Kita sama saja dengan laki-laki. Kita juga semakin mandiri sekarang.”71
“Untuk memajukan kaum perempuan agar tambah wawasannya.
Selain itu, silaturahmi juga. Jadi kita nggak berada di bawah banget gitu…, paling tidak taulah…, dengan berkelompok kita bisa saling kerjasama, saling menghargai, dan menghormati.
Untuk memulai itu, dibutuhkan langkah-langkah untuk membentuk manusia melalui pendididikan. Salah satunya, dengan metode learning to know. langkah ini akan membantu peserta didik memiliki kemampuan kritis dan sistematis guna memahami realitas diri, sesama, dan dunia.72
Selain bentuk pendidikan, dibutuhkan juga kerja-kerja kolektif yang
diintegrasikan dalam sebuah komunitas untuk memudahkan langkah awal pendidikan
tersebut. Asumsi yang melandasi tentang struktur komunitas dan kondisi
permasalahan yang dihadapi selama ini adalah bahwa, ibu-ibu peserta SPC berada
dalam kesenjangan relasi yang timpang dengan masyarakat di sekitarnya. Karenanya,
semua itu harus dipecahkan secara kolektif dengan membentuk sebuah komunitas.
Kelebihan dibentuknya sebuah komunitas adalah mereka bisa mendiskusikan secara
bersama-sama permasalahan-permasalahan yang hadapi di rumah tangganya, lalu
merumuskan langkah-langkah apa yang harus dilakukan sebagai solusinya.
70 Musriah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati. 71 Nurjannah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati. 72 Bambang Sugiharto, dkk, Humanisme dan Humaniora.
Pengalaman-pengalaman diperlakukan secara tidak adil itu diceritakan oleh ibu-ibu
SPC seperti di bawah ini:
“Sebelumnya iya. Saya tidak lulus SD (sekolah dasar) karena waktu mau ujian tiba-tiba sakit. Saya merasa karena saya tidak lulus SD, saya jadi tidak ada pengalaman. Hanya ikut arisan dan pengajian. Pernah waktu itu, di tempat arisan, kalau kita ngomong tidak didengarkan sama yang lain. Bahkan ada ibu-ibu yang bilangin saya “orang nggak lulus SD aja pengen pintar”. Kata-kata itu saya garis bawahi, saya catat baik-baik. Dalam hati bilang, saya akan buktikan kalau saya juga bisa.
Sejak ada SPC, kita semua belajar keras, mengorbankan materi dan pekerjaan. Tapi ada hasilnya. Di sini, kita bisa diskusi, ilmunya kita terapkan di komunitas. Nah, ini sudah merupakan kebanggaan, bahkan sudah lebih dari seorang mahasiswa. Saya sudah bisa bicara di depan umum. Saya sudah percaya diri.”73
“Sebelumnya, saya nggak berani mengeluarkan pendapat, saya minder. Tapi sekarang udah agak enakan dengan kelompok karena kita bisa berbagi pengalaman. Kalau sendiri nggak enak, enakan kelompok.”74 “…iya sih, dulu sempat merasa minder dengan masyarakat. Dulu, juga rada malu, tapi sekarang udah nggak.”75
Dalam proses pendidikan in class, sekolah perempuan Ciliwung menerapkan
metode learning to live together.76 Peserta SPC diajak menceritakan dan
mendiskusikan permasalahan-permasalahan yang terjadi di keluarganya, lalu
ditanggapi oleh peserta SPC lainnya. Dari hasil sharing itu, terungkaplah bahwa
masih ada beberapa masalah yang sama dihadapi oleh peserta SPC lainnya, misalnya,
KDRT dan beban ganda. Dengan begitu, sense dari mereka lebih cepat terbangun
karena mencoba memposisikan diri sebagai orang yang mengalami kasus yang sama.
73 Musriah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati. 74 Nurjannah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati. 75 Anerah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati. 76 Lihat Bambang Sugiharto, dkk, Humanisme dan Humaniora.
Strategi perubahan dasarnya adalah tentu saja dengan melibatkan seluruh
Anggota SPC dalam menyelesaikan permasalahannya sendiri. Peserta didik memang
harus diajarkan untuk mampu menerapkan apa yang diketahui dan dipahami ke dalam
praksis untuk menyelesaikan permasalahannya sehari-hari. Dengan begitu,
pendidikan juga telah menjadi problem solving.77 Jadi, pendekatan partisipastif sangat
dijunjung dalam proses pendidikan ini. Lihat saja misalnya, dalam penyusunan materi
yang perumusannya berangkat dari permasalahan yang dihadapi oleh mereka sendiri.
Dengan begitu, terjadi juga proses pemberdayaan bagi peserta didik SPC.
Substansi dari pemberdayaan sebagaimana yang dikatakan Hulme dan Turner bahwa
pemberdayaan sifatnya individual sekaligus kolektif. Pemberdayaan juga merupakan
proses perubahan pribadi karena masing-masing individu mengambil tindakan atas
nama diri mereka sendiri.78
Di dalam proses diskusi, baik in class maupun out class, mereka sendiri yang
pada akhirnya memecahkan dan memutuskan langkah apa yang sebaiknya dilakukan
dalam menghadapi masalah tertentu. Para peserta SPC memang dilatih untuk
membuka diri dan menceritakan semua permasalahan-permasalahan di keluarganya.
Dengan begitu, bagi yang punya masalah, akan merasa lebih ringan dan tidak putus
asa karena adanya dukungan dari peserta lainnya. Tak jarang, beberapa ibu-ibu
mengalami pengalaman yang sama, seperti yang diceritakan oleh mereka di bawah
ini:
77 ibid 78 Roesmidi & Riza Risyanti, Pemberdayaan Masyarakat.
“Iya Mbak, sebenarnya malu ya untuk cerita tentang keluarga kita. Tapi, lama-lama saya cerita juga dan ternyata ibu-ibu yang lain mau mendengar dan ngasih usulan-usulan apa yang harus dilakukan. Saya kan punya masalah di keluarga dan sekarang lagi diurus. Nah, pihak KAPAL Perempuan dan ibu-ibu SPC itu ikut ngebantuin. Jadi senenglah bergabung di sekolah ini.”79
“…iya biasanya kalau ada peserta SPC yang sedang masalah keluarganya itu diceritakan waktu ngumpul. Terus, ditanggapin sama ibu-ibu lain. Terus, kita diskusikan bagaimana penyelesaiannya”.80
“Iya semua harus terlibat dalam pelajaran. Misalnya, kalau ada yang
ngobrol, maka kita fasilitasi harus cari cara yang lain. Kalau ada masalah biasanya diceritakan di forum, Lalu didiskusikan bersama.”81
“Semua dapat bagian diskusi. Termasuk masalah pribadi dibicarakan
(curhat), yang ada di hati dikeluarin jadi lebih plong. Jadi kita kan sama-sama saudara. Ibaratnya bisa saling mendukung. Kalau sakit misalnya, kita kolektif ngejengukin.”82
Tekhnik yang dilakukan untuk mewujudkan perubahan cara berfikir dan
bersikap bagi ibu-ibu adalah dengan memperbanyak diskusi antar anggota SPC yang
didampingi fasilitator. Mereka juga membangun jaringan dengan sekolah perempuan
yang lain, yakni sekolah perempuan yang ada di Klender (yang merupakan binaan
KAPAL Perempuan juga). Selain itu, mereka juga membangun jaringan dengan
LSM-LSM Perempuan yang lain, seperti Kalyanamitra, AMAN Indonesia, dan
Migran Care. Berikut petikan wawancara terkait hal ini:
“Kita banyak kerjasama dengan LSM-LSM perempuan. Migran Care misalnya, biasanya mereka ngajak kita ikut demo atau diskusi. Waktu itu
79 Anerah (Anggota SPC), Wawancara Pribadi, Senin, 3 Mei 2010 , pukul 14.10-14.30 di Warung jati.
80 Nurjannah, Wawancara Pribadi, Di Warung Jati. 81 Musriah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati. 82 Anerah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati.
diskusi di kementerian, kalau nggak salah di kementerian transmigrasi. Kita diskusi tentang bagaimana nasib perempuan jika menjadi TKW, apa saja hak-haknya, dan semuanya.”83
“…iya misalnya AMAN Indonesia. Kita sering diudang diskusi ke kantor AMAN. Kadang-kadang juga gabungan dengan jaringan yang lain. AMAN pernah datang dan sharing tentang sekolah perempuan yang mereka dirikan juga.”84
“Kalyanamitra pernah sekali menjadi fasilitator di Sekolah Perempuan itu. Saya lihat bagus ya ibu-ibu di sana. Kesadaran kritisnya sudah mulai terbangun (khususnya bagi pengurus)”85
KAPAL Perempuan sebagai pihak yang menginiasi SPC ini senantiasa
memposisikan diri sebagai fasilitator. Mereka mentransfer apa yang mereka ketahui
lalu didiskusikan. Fasilitator juga menciptakan suasana yang nyaman, agar mereka
saling menghargai, menghormati, menyanyangi dan merasa satu keluarga. Hal itu
sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan semangat kebersamaan, senasib dan
sepenanggungan, sebagai sesama perempuan yang berada dalam kungkungan budaya
patriarki. Artinya, selain pengetahuan intelektualitas, nilai-nilai etis juga ikut
dibangun dalam proses pendidikan itu.
Hal itu memang harus dilakukan seperti yang ditegaskan oleh Direktur
KAPAL Perempuan di bawah ini:
“Pendekatannya yang digunakan adalah partisipatif dan dialogis. Kita sebagai fasilitator juga harus mau melakukan atau memperaktekkan apa-apa
83 ibid. 84 Nurjannah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati. 85 Listyawati (Koordinator Program Kalyanamitra), Wawancara Pribadi, di kantor Kalyanamitra, Kalibata, 2010.
yang dilakukan oleh peserta SPC. Kita juga harus siap menceritakan, kejadian-kejadian yang ada di dalam keluarga kita.”86
Peserta SPC juga mengakui hal itu. Berikut penuturannya:
“Kita belajar bersama, jadi sama saja. Orang KAPAL juga bilang
“saya belajar dari ibu-ibu dan ibu-ibu juga belajar dari kami. Jadi sama-sama belajar.”87
“…Iya sih, dia (fasilitator KAPAL) memposisikan diri sama saja.
Kalau ngajar, nggak ngebeda-bedain, terlihat bersahabat dan berkeluarga.”88 “KAPAL selalu mendukung, mengayomi, merendah. Mereka sama
seperti sahabat, keluarga. Mereka membaur sama kita.”89
Dalam proses pembelajaran, tentu dibutuhkan sebuah media untuk
memudahkan langkah-langkah pencapaian tujuan. Dalam hal ini, media perubahan
yang digunakan adalah dengan menggunakan kreatifitas dan membuat “manipulasi”
dengan membentuk kelompok-kelompok kecil yang berorientasi pada tugas. Dengan
begitu, diantara anggota kelompok itu akhirnya terbangun kerjasama.
Setiap anggota SPC percaya bahwa mereka mempunyai kepentingan yang
sama, dan mereka mampu menyelesaikan masalahnya itu dengan cara berkelompok
atau diselesaikan bersama-sama. Dalam pendidikan in class misalnya, mereka dididik
untuk mau jujur dan terbuka dengan pengalaman hidupnya selama ini, sekalipun hal
itu adalah sesuatu yang dianggap aib bagi sebagian besar masyarakat. Setiap kasus
yang disharing-kan oleh ibu A misalnya, akan ditanggapi oleh ibu-ibu yang lain, lalu
86 Yanti Muctar (Direktur KAPAL Perempuan), Wawancara Pribadi, 15 Juni 2010 di kantor KAPAL Perempuan, Kalibata Utara. 87 Musriah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati. 88 Nurjannah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati. 89 Anerah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati.
kemudian bersama-sama memikirkan solusinya. Dengan begitu, diantara mereka
tumbuh perasaan kekeluargaan.
Selain media yang sifatnya internal, SPC juga membangun hubungan yang
baik dengan masyarakat yang ada di sekitar SPC sendiri. Terlebih dengan tokoh
masyarakat, seperti RT dan RW adalah klien dari SPC. Dalam beberapa acara,
RT/RW ikut berpartisipasi, bahkan bekerjasama dalam mendirikan posko banjir,
misalnya. Begitu pun dengan fasilitator dari KAPAL Perempuan serta LSM yang
berjejaring di dalamnya, sadar akan kemuliaan dan penghargaan terhadap sesama
manusia, sehingga diantara mereka memposisikan diri setara dan tidak ada yang
merasa lebih pintar.
Namun, karena dalam hal ini, Ibu-ibu SPC adalah kelompok yang sedang
disadarkan dari budaya patriarki selama ini, maka tentu saja penekanan utamanya
adalah ibu-ibu SPC sendiri yang harus mengidentifikasi dan mencari solusi
permasalahannya, serta belajar bersama mengembangkan dan memandirikan diri
sendiri.
Dengan berbagai metode dan model yang digunakan di SPC ini, dapat
dikatakan bahwa, peserta SPC sudah mulai terbangun kesadaran kritisnya terhadap
hak-haknya sebagai manusia yang sama dengan laki-laki di hadapan Tuhan. Akses
mereka di lingkungan sekitar pun, sudah mulai terbuka lebar. Mereka juga telah
mulai berpartisipasi dalam penyusunan kebijakan, misalnya, dalam forum
Musrembangkel. Pemberdayaan politiknya mulai terasa. Mereka sudah mampu
mempengaruhi kebijakan politik penguasa. Dengan begitu, paling tidak, mereka
sudah mulai bisa mengontrol jalannya pemerintahan di tingkat RT/RW.
Akhirnya, dengan terbentuknya kesadaran kritis bagi peserta SPC, mereka
pun mulai mempraksiskan itu ke dalam kehidupan sehari-hari. Mereka sudah
mempunyai akses dan berpartisipasi langsung dalam pengambilan keputusan, paling
tidak di sekitar tempat tinggal mereka. Mereka pun dapat mengontrol jalannya
pemerintahan itu. Tentu saja, harapannya adalah ini menjadi awal terwujudnya
kesejahteraan bagi mereka.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang digunakan di Sekolah Perempuan Ciliwung
dapat disimpulkan bahwa :
1. Bentuk-bentuk pendidikan yang diterapkan di SPC yakni : pendidikan in
class, pendidikan out class, pendampingan ekonomi, pendampingan dalam
pemetaan untuk Musrembangkel, membangun jaringan dengan LSM
perempuan, pelibatan dalam pembuatan modul dan training khusus untuk
pengurus.
bentuk pendidikan alternatif yang diterapkan disini berbasis dari pengalaman
perempuan, melalui metode, pendekatan, serta pelajaran yang digunakan
berangkat dari kemampuan dan kondisi yang memudahkan perempuan untuk
bisa belajar dan terbuka dengan segala permasalahan yang dihadapi di dalam
keluarganya, dimana hal itu tidak akan didapatkan di dalam proses pendidikan
umum (konvensional).
2. Model pemberdayaan yang digunakan di SPC adalah pengembangan
mayarakat lokal yang merujuk pada teori Tropman dan Rothman. Dari sebelas
variable yang dijadikan acuan oleh mereka, semua diterapkan di SPC. Hal itu
dapat dilihat dari metodologi (metode dan pendekatan) serta strategi yang
digunakan dalam proses pendidikan SPC. Hasil akhir dari semua itu adalah
anggota SPC dapat dikatakan telah berdaya karena telah mampu menerapkan
semua yang didapatkannya di sekolah di keluarganya masing-masing.
Sehingga mereka sudah mampu mengakses, berpartisipasi dan mengontrol
kehidupannya sendiri dan keluarganya.
B. Saran
Pendidikan alternatif yang diterapkan di sekolah perempuan Ciliwung
sebaiknya lebih diintensifkan pada proses belajar di dalam kelas (in class) karena di
sini banyak hal yang bisa dipelajari, yang jarang di dapatkan di luar kelas. Selain itu,
intensitas pertemuan diantara anggota SPC diperlukan untuk terus mengasah rasa
kebersamaan, kekeluargaan dan tolong-menolong sebagai modal untuk
memperjuangkan nasib mereka khususnya, dan perempuan pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arivia, Gadis. Feminisme sebuah Kata Hati. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006.
Cyssco, Dhanny R. Kamus English-Indonesia, Indonesia-Inggris. Jakarta: Batavia Press, 2006.
Freire, Paulo. Pedagogi Pengharapan (Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas). Jogjakarta : Kanisius, 2001.
Miarso, Yusufhadi. Artikel Kuliah: Pendidikan Alternatif Sebuah Agenda Reformasi, Jurusan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, 1999.
Moleong, J. Lexy, M.A, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007.
Muchtar, Yanti & Pulu Lyli. Modul Pendidikan Adil Gender untuk perempuan marginal. Jakarta: KAPAL Perempuan, 2006.
Muchtar, Yanti & Missiyah. Modul Pelatihan untuk menumbuhkan dan meningkatkan sensitifitas keadilan gender. Jakarta: KAPAL Perempuan, 2005.
Roesmidi & Risyanti, Riza. Pemberdayaan Masyarakat. Bandung:Alqaprint Jatinangor, 2006.
Rukminto, Isbandi Adi. Pemberdayaan, Pengembangan Mayarakat dan Intervensi Komunitas, Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2003.
Salam, Burhanuddin. Pengantar Pedagogik (Dasar-Dasar Ilmu Mendidik). Jakarta : Rineka Cipta, 1997.
Salam, Syamsir & Aripin, Jaenal, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.
Sasmita, Iva. Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan:Perlawanan terhadap Mainstream Pendidikan. Jurnal Perempuan, No. 44, 2005.
Sugiharto, Bambang. dkk, Humanisme dan Humaniora (relevansinya bagi pendidikan), Jogjakarta & Bandung: Jalasutra, 2008.
Suharto, Edi. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat (Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial). Bandung: PT Refika Aditama, 2005.
Uno, B, Hamzah. Profesi Kependidikan: Problema, Solusi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara, 2008.
Usman, Husaini & Setiady Purnomo. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Venny, Adriana. Pendidikan Alternatif: Jawaban atas Masalah Perempauan. Jurnal Perempuan, No.44, 2005.
Tesis dan Skrispi:
Misiyah. “Tinjauan Feminisme Poskolonial tentang Kesadaran Kritis dan Otonomi
Perempuan Indonesia:studi kasus Pendidikan Feminis KAPAL Perempuan untuk Pemimpin Lokal di Manado, Sulawesi Utara.” Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program studi Sosiologi, Universitas Indonesia, 2005.
Karisma, Nadya. “Implementasi Program Pemberdayaan Perempuan Melaui Gender
Mainstreaming (Stusi kasus Workshop Pemberdayaan Mubalight 1 oleh Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Jakarta, 2008.
Koran dan Website
Koran Republika Online. “6,5 juta Perempuan Indonesia Buta Aksara.” Kamis 25 Februari 2010. Artikel diakses pada 27 April 2010 dari www.republikaonline.com
Detiknews.com. diakses pada 26 Februari 2009.
Hassan, Ahmad Makki. “Konsep Pendidikan Alternatif. Artikel diakses pada 23 April, 2009 dari http//:ahmadmakki.wordpress.com/2009/06/10/konsep-pendidikan-alternatif/
http://ejournal.unud.ac.id
Catatan Observasi:
Hasil observasi pada Jumat, 30 April 2010, di Warung Jati, pukul. 12.30-15.00, 2010.
Hasil Observasi pada hari Jumat, 04 Juni 2010 di Pinggir kali Ciliwung.Pukul 14.00-16.00
Wawancara Pribadi
Wawancara Pribadi dengan Musriah. Jakarta, 28 Juli 2010. Wawancara Pribadi dengan Nurjannah. Jakarta, 3 Mei 2010 dan 28 Juli 2010. Wawancara Pribadi dengan Mistinah. Jakarta, 30 April 2010.
Wawancara Pribadi dengan Anerah. Jakarta, 3 Mei 2010.
Wawancara Pribadi dengan Rodemeh. Jakarta, 30 April 2010. Wawancara Pribadi dengan Mamiek Suparmiah. Jakarta, 24 Juni 2010. Wawancara Pribadi dengan Listyawati. Jakarta, 3 Mei 2010. Wawancara Pribadi dengan Yanti Muchtar. Jakarta, 15 Juni 2010.
Pedoman Wawancara Direktur KAPAL Perempuan
PENDIDIKAN ALTERNATIF SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI SEKOLAH PEREMPUAN CILIWUNG, RAWAJATI
BARAT, JAKARTA SELATAN 5. Umum
a. Nama Informan : b. jenis Kelamin Informan : c. Umur Informan : d. Pekerjaan Informan : e. Tanggal Wawancara : f. Tempat Wawancara : g. Waktu Wawancara :
6. Pendidikan Alternatif dan Model Peniberdayaan a. Ара latar belakang didilrikaflhya Sekolah Perempuan Ciliwurtg? b. Ара yang dimaksud derlgan pendidikan alternatif yang diterapkan
oleh KAPAL di Sekolah Perempuan ini? c. Ара saja bentuk pendidikan alternatif itu? d. Bagaimaha metode, pendekatan dan model yang digunakan dalam
prose belajar-mengajarnya? e. Sejauh ini, ара faktor penghambat dalam proses pendidikan ini?
Pedoman Wawancara
Deputi Program Kalyanamitra PENDIDIKAN ALTERNATIF SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI SEKOLAH PEREMPUAN CILIWUNG, RAWAJATI
BARAT, JAKARTA SELATAN 1. Kapan Kalyanamitra mulai bermitra dengan Sekolah Perempuan Ciliwung? 2. Bagaimana Kalyanamitra bisa menjadi Mitra SCP? 3. Bagaimana pandangan Anda tentang SPC? 4. Menurut pengamatan Anda, bagaimana metode dan strategi yang digunakan
di SPC? 5. Menurut anda, sejauh ini apakah mereka sudah bisa dikatakan beraya? ара
saja indikatornya?
Pedoman Wawancara
Ibu-Ibu di Sekolah perempuan Ciliwung PENDIDIKAN ALTERNATIF SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN
PEREMPUAN DI SEKOLAlI PEkEMPUAN CILIWUNG 1. Umum
a. Bagaimana Ibu tahu tentang Sekolah Perempuan Ciliwung (SPC) dan kenapa tertarik untuk bergabung?
b. Bagaimana pandangan ibu tentang SPC? c. Ара saja yang dipelajari di sekolah ini? d. Selain sekolah (in class) ара saja kegiatan-kegiatan lainnya? e. Bagaimana metode dan strategi yang digunakan dalam proses belaj ar-
mengaj ar? f. Bagaimana model pembelajarannya? g. Bagaimana hubungan antata fasilitator, pihak RT/RW dengan ibu- ibu
SPC? h. Untuk pengurus sendiri, bagaimana cara memilihnya?
Pedoman Wawancara Ketua Divisi Pendidikan KAPAL Perempuan
PENDIDIKAN ALTERNATIF SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI SEKOLAH PEREMPUAN CltiWUNG, DI RAWAJATI
BARAT, JAKARTA SELATAN
1. Umutrt a. Nama Informan b. jenis Kelamin Informan c. Umur Informan d. Pekerjaan Informan Perempuan e. Tanggal Wawancara f. Tempat Wawancara Perempuan g. Waktu Wawancara
: Yanti Muchtar : Perempuan : Direktur KAPAL
: Kantor
KAPAL :
Jakarta, 15 Juni
2010
2. Pendidikan Alternatif dan Model Pemberdayaan a. Apd latar belakang didirikannya Sekolah Perempuan Ciliwung?
Jawab: Berangkat dari kondisi perempuan yang semakin tertinggal baik dari segi ekonomi, kesehatan, dan lainnya. Itu yang membuat kita melakukan observasi terhadap beberapa wilayah yang terlihat tertinggal. Setelah observasi itu, kami melihat dan menaganalis wilayah yang mana yang paling pantas untuk dijadikan pilot projek SPC ini. Akhirnya, terpilihlah di Ciliwung. Setelah itu, kita lakukan pendalaman (mendata ulang) di wilayah tersebut, dan ternyata memang ibu-ibu di sana tertinggal dalam banyak hal sehingga perlu ada pemberdayaan.
f. Ара yang dimaksud dengan pendidikan alternatif yang diterapkan oleh KAPAL di Sekolah Perempuan ini? Jawab: Pendidikan alternatif tentu saja tidak samadengan pendidikan pada umumnya di sekolah formal. Ini sengaja dibuat untuk ibu-ibu, untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Di sini, pengalaman perempuan adalah sebuah pelajaran juga. Yah..seperti di dalam Modul yang kami buat itu, dalam elemen-elemen Pendidikan Adil Gender. Dimulai dengan penyadaran pemikiran kritis, pengembangan kepemimpinan, dan mengembangkan keahlian hidupnya.
g. Ара saja bentuk pendidikan alternatif itu? Jawab: Seperti yang saya katakan tadi, semua pelajaran mereka itu berangkat dari permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi sehari-hari.
Misalnya, tentang lingkungan, kita sadarkan betapa pentingnya menjaga kebersihan lingkungan terlebih konteks Ciliwung yang selalu banjir, Bagaimana mencegah dan menanggulangi saat banjir datang. Kita juga sosialisasi penggunaan gas tabung yang benar. Selain itu, tentu saja pelajaran-pelajaran yang bisa meyadarkan tentang hak-hak mereka, jender, kekerasan dalam rumah tangga, kesehatan reproduksi, dan masih banyak lagi.
h. Bagaimana metode, pendekatan dan model pembelajaran yang digunakan? Jawab: kami selalu membangun suuasana sedekat mungkin dengan ibu-ibu. Budaya diskusi sangat dikedepankan. Pendekatannya yang digunakan adalah partisipatif dan dialogis. Kita sebagai fasilitator juga harus mau melakukan atau memperaktekkan apa-apa yang dilakukan oleh peserta SPC. Kita juga harus siap menceritakan, kejadian-kejadian yang ada di dalam keluarga kita
i. Sejauh ini, ара saja faktor penghambat dalam proses pendidikan ini? Jawab: Saya melihat masyarakat kurang mampu men-develop dirinya sendiri. Sejauh ini, kepercayaan dirinya masih kurang. Ini yang menjadi tantangan ke depan, seberapa jauh potensi mereka (ibu-ibu) untuk agent of change, paling tidak di lingkungan sekitarnya.
Hasil Wawancara
Deputi Program Kalyanamitra PENblDlKAN ALTERNATIF SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN
PEREMPUAN DI SEKOLAH PEREMPUAN CILIWUNG, RAWAJATI BARAT, JAKARTA SELATAN
1. Kapan Kalyanamitra mulai bermitra dengan Sekolah Peretripuan Ciliwuhg*? Jawab: Waktu itu, sekitar tahun 2004 yah..
2. Bagaimana Kalyanamitra bisa menjadi Mltra SCP? Jawdb: Waktu itu, berawal dari KAPAL Perempuan yang menginisiasi ibu-ibu yang ada disitu (Ciliwung). BagaiaAmna caraNya supaya mereka menjadi kfitis dan paham dengan hak-haknya. Kumpul ibu-ibu pun waktunya sangat fleksibel, tergantung waktu ibu-ibu saja.
3. Bagaimana pandangan Anda tentang SPC? Jawab: Menurut saya sangat efektif , mereka banyak tahu dan banyak teman. Yang paling berkesan adalah, yang belum bisa baca akhirnya bisa baca tulis. Jadinya tahu tentang isu-isu perempuan. Sayang yah...kalau sampai dihentikan.
4. Berddsarkan pengamatan Anda, metode dan stf-ategi seperti ара yang digunakan di SPC? Jawab: Awalnya mengorganisir, SPC dijadikan media kegiatan untuk ibu-ibu disitu . Ini juga sekaligus pengembangan masyarakat lokal. Berangkat dari peinahaman bahwa ibu-ibu berangkat dari kesadaran sendiri. Strateginya dengan berjejaring (menghubungkan SPC dengan kelompok-kelpompok lain), pembuatan komunitas (SPC) dan pendidikan.
5. Menurut Anda, sejauh ini apakah mereka sudah bisa dikatakan berdaya? ара saja indikatornya? Jawab : Saya melihat ada perubahan yang terjadi. Mereka mulai bisa bicara di depan umum, mereka mulai argumentatif di forum. Kalyanamitra pernah sekali menjadi fasilitator di Sekolah Perempuan itu. Saya lihat bagus ya ibu-ibu di sana. Kesadaran kritisnya sudah mulai terbangun (khususnya bagi pengurus).
Hasil Wawancara
Ubu-ibu di Sekolah Perempuan Ciliwung
PENDIDIKAN ALTERNATIF SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI SEKOLAH PEREMPUAN CILIWUNG, RAWAJATI
BARAT, JAKARTA SELATAN
2. Pendidikan Alternatif dan Model Pemberdayaan a. Bagaimana ibu tahu tentang sekolah perempuan Ciliwung dan kenapa
tertarik untuk bergabung? Jawab : Waktu itu kita lagi ngumpul-ngumpul di rumah salah satu warga. Terns, ada ibu Indri (orang dari KAPAL) yang datang nyamperin kita. Ngobrol- ngobrol sambil dia ngajak "bu mau nggak ngumpul-ngumpul (sekolah)?"...diceritain deh ngapain aja kalau ngumpul-ngumpul gitu. Saya tertarik aja ya dari awal karena pengen tau aja kayak gimana sih. Biasalah..., kalau ada yang baru kan kita penasaran.
b. Bagaimana pandangan ibu tentang sekolah perempuan Ciliwung ini? Jawab : Tujuan awalnya terus terang nggak tau, tapi setelah berjalan, baru kelihatan tujuannya supaya perempuan tidak terpinggirkan. Banyak perempuan yang sudah mulai berubah supaya tidak tertindas lagi, dan setara dengan laki-laki. Jadi betul-betul diproses karena kita dari tidak tahu, menjadi tahu sekarang. "Sebelumnya saya tidak percaya diri.. Saya tidak lulus SD (Sekolah Dasar) karena waktu mau ujian tiba-tiba sakit. Saya merasa karena tidak lulus SD, saya jadi tidak ada pengalaman. Hanya ikut arisan dan pengajian. Pernah waktu itu, di tempat arisan, kalau kita ngomong tidak didengarkan sama yang lain. Bahkan ada ibu-ibu yang bilangin saya "orang nggak lulus SD aja pengen pintar". Kata-kata itu saya garis bawahi, saya catat baik-baik. Dalam hati saya bilang, saya akan buktikan kalau saya juga bisa. Sejak ada SPC, kita semua belajar keras, mengorbankan materi dan pekerjaan. Tapi ada hasilnya. Di sini, kita bisa diskusi, ilmunya kita terapkan di
1. Umum a. Nama Informan : Musriah b. Jenis Kelamin Informan : Perempuan c. Umur Informan : 40tahun d. Pekeijaan Informan : Pedagang e. Tanggal Wawancara : 17 Juni dan 28 Juli 2010 f. Tempat Wawancara : Warung Jati, Kalibata g- Waktu Wawancara : 12.00-13.00 WIB.
komunitas. Nah, ini sudah merupakan kebanggaan, bahkan sudah lebih dari seorang mahasiswa. Saya sudah bisa bicara di depa umum. Saya sudah percaya diri. Menurut saya pribadi sih, tujuan kita di sekolah perempuan memang sama, yaitu untuk memperjuangkan agar perempuan tidak tertindas, tidak dilecehkan, agar perempuan lebih maju. Kalau hanya sendiri sulit memecahkan masalah. Kalau kelompok kan lebih gampang.
c. Ара saja yang dipelajari di sekolah perempuan Ciliwung? Jawab: Di sekolah, kita belajar banyak hal. Bener-bener dari yang kita tidak tahu apa-apa jadi ngerti. Meskipun kita nggak sekolah tinggi-tinggi, tapi di sini pelajarannya udah kayak anak SMA. Bahkan kadang-kadang sama kayak mahasiswa yang kuliahan itu, he..he. Ada banyak pelajarannya, ada jender, politik tentang perempuan, KDRT, tentang motivasi diri, bagaimana mengatur keuangan rumah tangga (kan kita punya koperasi), masalah lingkungan, kayak bagaimana kita mengatasi kalau banjir datang, bagaimana sebelum banjir datang, pokoknya apa-apa yang biasa kita alami sehari-hari
d. Selain sekolah (in class) ара saja kegiatan-kegiatan lainnya? Jawab :
Semenjak sering hujan itu, kita nggak pernah ngumpul lagi untuk belajar di kelas. Kan belajarnya di lorong-lorong rumah atau di pinggir kali Ciliwung. Biasanya penduduk yang di bawah ini pada kebanjiran. Jadi, mereka pada sibuk ngurusin barang-barangnya masing-masing. Jadinya pada nggak bisa sekolah dulu, tempatnya juga nggak ada kan? Tapi, untuk kegiatan sekolah yang lain tetep jalan. Seperti, diskusi-diskusi di beberapa pertemuan nasional dan LSM-LSM. Selain itu training-training tetap dilakukan khususnya untuk pengurus SPC setiap hari Rabu. Baru-baru ini, kira-kira sejak bulan Januari sampai Maret, kita membuat pemetaan di dampingi oleh fasilitator dari KAPAL Perempuan. Kita menggunakan metode pemetaan partisipatif, wawancara, dan pengarnatan langsung. Pihak-pihak yang ikut berdiskusi adalah peserta SPC, perwakilan dari warga di tiga RT dan fasilitator. Jadi kita dibagi kelompok, ada yang bertugas mendata tentang perempuan buta aksara, perempuan yang mengalami KDRT, masalah KB dan sebagainya. Hasil dari pemetaan itu kemudiart menjadi usulan yang akan diikutkan pada musyawarah rencana pembangunan kelurahan (MUSREMBANGKEL) yang dilaksanakan pada bulan April. "Membuat pemetaan ini susah loh Mbak, makanya waktu bikinnya juga lama." Jadi kita data dulu warga yang ada di RT/RW ini (yang ada anggota SPC tinggal disitu) terns kita catat ара saja masalah- masalah perempuan yang mereka hadapi, misalnya ada tidak KDRT yang terjadi, alat KB ара yang dia pakai, dan lain-lain. Setelah itu, baru didiskusikan dengan. Habis itu, baru diusulkan ke Musrembangkel. Kegiatan lainnya kita ikut demo. Biasanya kalau peringatan hari-hari perempuan
misalnya, hari buruh 1 Mei, dan baru-baru ini tentang RUU pembantu rumah tangga (PRT) di Senayan.
e. Bagaimana metode yang digunakan yang digunakan dalam proses belajar-mengajarnya? Jawab : Metode belajarnya sangat baik ya saya fikir. Ada beberapa tuh metodenya, seperti silsilah keluarga, main drama (diorama), nonton film, ada juga nyanyi (analisis lagu), ada semua кок contohnya di modul yang dibikin itu. Dalam metode silsilah keluarga kita disadarkan dan diingatkan untuk mengenal dan mengingat kembali keluarga dari keturunan atau garis ibu. Saya fikir, iya juga ya, biasanya selama ini kita cuma sering denger nama bapak. Jadinya hampir lupa dengan keluarga dari Ibu. Selain itu, ada drama. Kita sering main drama. Waktu itu misalnya, tentang perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan. Jadi, kita dibagi-bagi dulu siapa yang memerankan bos, siapa yang jadi buruh, siapa yang beri gajinya, pokoknya kayak gitu-gitu deh. Waktu itu, saya yang berperan jadi bosnya. Terus, disitu terlihat bagaimana cara memberi upah kepada laki-laki dan perempuan. Terlihat kenapa sih upah antara laki-laki dan perempuan dibedakan padahal jam kerjanya sama? Selain itu, ada juga peran yang perempuan itu menuntut adanya cuti haid. Pokoknya, kita harus berjuang agar hak-hak perempuan didengar oleh bos (pimpinan). Terus, nonton film. Waduh...waktu itu filmnya bahasa Inggris sih, ара gitu yah..judulnya, hehe..., Tapi kalau di-Indonesiakan itu ceritanya tentang perempuan yang kelihatan repot sekali karena pekerjaan rumah. Mulai dari masak, nyuci, beres-beres sartipai ngurus anak dikerjakan oleh perempuan. Sementara laki-laki sebagai kepala rumah tangga hanya mencari uang, pulang-pulang tinggal makan. Di luar rumah, laki-laki godain cewek. Yah...pokoknya tentang penindasan perempuan. Kalau lagu-lagu juga banyak. Hmm...tentang kekerasan rumah tangga, misalnya. Lagu itu kayak mencerminkan bahwa perempuan jangan sampai dapat kekerasan. Contoh, lagunya Bhetaria Sonata "pulangkan saja, aku pada ibuku atau ayahku.... (sambil bernyanyi)". Habis dinyanyikan, kita diskusikan. Kalau dapat kekerasan, yah.. .dipulangkan saja ke rumah orang tua, he..he...! Terus, kan di sini tuh dibagi dua kelompok, ada yang khusus kelompok buta kasara, mereka belajarnya setiap minggu malam. Kalau buta aksara, pake suku kata, belajarnya baca tulis tidak sama dengan sekolah biasa. Kalau disekolah biasa kan biasanya "Ini Budi". Nah, kalau di sini diajarkan berdasarkan pekerjaannya sehari-hari misalnya, "saya mencuci". Misalnya, huruf: M, A, M, A, ditempelin dipapan tulis, setelah itu mereka diminta mencari huruf-huruf yang sama yang sudah disebar di bawah. Kalau udah dapat, mereka diminta menempelkan huruf yang sama itu di depan papan tulis yang tadi. Pokoknya gitu deh. Nah, dari semua cara-cara itu, sangat membantu kami semua dalam belajar. Kita juga jadi semakin akrab kayak keluarga.
f. Bagaimana Model belajarnya? Jawab:Di sini, Kita belajar bersama, antara anggota, pengurus dan fasilitator itu sama saja. Orang KAPAL juga bilang "saya belajar dari ibu-ibu dan ibu- ibu juga belajar dari kami. Jadi sama-sama belajar. Selain itu, RT/RW juga sering dilibatin di acara-acara SPC. RT/RW adalah bagian dari komunitas juga. Justru dengan adanya SPC mereka merasa terbantu juga. Misalnya, SPC mengadakan bakti sosial, kita mengadakan dapur umum, terns cari bantuan. Pertemuan, misalnya, ada anggota DPR atau ada tamu yang datang mereka ngasih sambutan. Waktu juga pernah рак RW datang, terns kita berdiskusi tentang pendidikan. Tentang bagaimana kalau perempuan tidak sekolah, dan banyak lagi deh.
g. Bagaittiana hubungan antara fasilitator, pihak RT/RW dengan ibu-ibu SPC? Di sekolah, kita semua jadi merasa satu keluarga. Apalagi kalau untuk pengUfus kan kadang-kadang jadi fasilitator, jadinya kita belajar keras supaya mettgerti dan mempersipkan diri untuk bicara di depan anggota. Termasuk RT/RW yang dibilang di atas, mereka juga ikut peduli dengan SPC. Semua harus terlibat dalam pelajaran. Misalnya, kalau ada yang ngobrol, така kita fasilitasi harus cari cara yang lain. Kalau ada masalah biasanya diceritakan di forum, lalu didiskusikan bersama
h. Untuk pengurus sendiri, bagaimana cara memilihnya?
Jawab : Pengurus memang dipilih oleh semua Ahggota. Waktu itu saya juga nggak tau kenapa Anggota rrtemilih saya jadi ketua. Yah..tapi mungkin mereka udah lihat saya bagaimana di SPC selama ini. Jadi pengurus itu nggak gampang juga loh Dek Mila..., tanggung jawab kita lebih besar. Harus mikirin anggota juga. tapi saya sih sdnartg melaktikan semUanya, deimi anggota dan demi kerrlajuan sekolah perempuan juga. Tapi nanti akan digilir кок. Setelah habis masanya, kita akan memilih pengurus yang baru. Uhtuk peserta atau anggota SPC sendiri yang tercatat 64 orang. Tapi ittenurun jadi 63 orang. Semakin kesini semakin berkurang. Kalau yang sering ngumpul sekarang-sekarang ini paling antara 30-40 orang. Awalnya banyak loh Dek Mila, rame banget. Tapi settlakin kesini, semakin berkurang. Mungkin pada sibuk kali yah, selain itu ada juga yang pindah rumah. Mungkin juga karena sering hujan, jadinya kita jarang-jarang ngumpul lagi. Yah..begitulah.... Tapi kalau pengurus tetap sering ngumpul.
Hasil Wawancara Ibi-ibu Sekolah Perempuan Ciliwung
PENDIDIKAN ALTERNATIF SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI SEKOLAH PEREMPUAN CILIWUNG, RAWAJATI
BARAT, JAKARTA SELATAN
Saya mulai bergabung tahun 2003. Awalnya saya penasaran Mbak. Waktu itu ada Mbak Indri yang datang nyamperin ke kita lagi ngumpul2 gitu, katanya mau mengadakan pertemuan untuk buta aksara. Dari situ, saya penasaran untuk ikut. Awalnya suami saya tidak mendukung karena dia tidak tahu ngapain aja di sekolah kayak gitu. Ya, biasalah mbak, karena awalnya yang datang itu (Mbak Indri) itu kan Kristen, jadi dikiranya mau ngajarin yang ngak bener gitu. Tapi kalau saya pribadi sih, kita ambil yang baik aja dari yang diajarkan, masalah yang satu itu (agama) ya nggak usah diturutin. Nah, pas dua-tiga tahun, suami saya sudah mulai mendukung. Karena dia sudah tau ара saja yang saya pelajari di sekolah perempuan. Setiap pulang dari sekolah, saya ngeliatin ара saja yang dipelajari hari itu, saya juga ngeliatin modul-modul SPC. Bagaimana pandangan ibu tentang sekolah perempuan Ciliwting ini? Jawab : Bagus. sejak adanya sekolah perempuan ini, kita jadi banyak pengalaman. Banyak pengetahuan dari yang tidak tahu menjadi tahu. Awalnya, saya nggak
1. Umum
a. Nama Informan : Mistinah b. Jenis Kelamin Informan : Perempuan c. Umur Informan : 40 tahun d. Pekerjaan Informan : Ibu rumah tangga e. Tanggal Wawancara : 17 Juni dan 28 Juli 2010 f. Tempat Wawancara : Warungjati, Kalibata g- Waktu Wawancara : 12.00-13.00 Wib.
2. Bentuk Pendidikan Alternatif dan Model Pemberdayaan
a. Bagaimana Ibu tahu tentang sekolah perempuan Ciliwung dan kenapa tertarik untuk bergabung?
Jawab ;
mau terbuka, masih malu. Baru-baru ini aja mbak, saya terbuka. Karena istilahnya kan masalah keluarga biar saya yang tahu sendiri. Ара saja yang dipelajari di sekolah perempuan Ciliwung? Jawab : Banyak pelajaran di sekolah. Selain belajar tentang jender, kesehatan reproduksi, dan lain-lainnya, kita juga punya koperasi. Jadi kita belajar tentang bagaimana mengelola uang. Ini juga bisa membantu semua anggota SPC yang pengen minjem uang buat modal usaha. Ada juga bayar rekening listrik, nanti dari situ ada keuntungannya buat disimpan di kas sekolah. Semenjak jadi pengurus, saya kalau jadi fasilitator masih kurang pede (percaya diri). Tapi kalau keterampilan saya bisa dan hobi juga sih. Jadi selain belajar kan kita juga bisa menghasilkan nilai ekonomi.
Selain sekolah (in class) ара saja kegiatan-kegiatan SPC? Jawab : Sekolah 2 minggu sekali, biasanya Senin dan Selasa. Mulai jam 1 sampe jam 3 siang. Terus, hari Rabu itu khusus perkumpulan pengurus untuk ditraining dari KAPAL. Terus ada lagi yang buta aksara pertemuannya setiap malam Minggu mulai jam 7 sampe jam 9 malam. Tapi, kira-kira pertengahan 2009 itu kan musim hujan jadinya nggak pernah sekolah di kelas lagi. Selain banjir, tempat juga nggak ada. Kita kan belajarnya di lorong-lorong jalan atau di pinggir kali Ciliwung. Waktu itu, anggota SPC juga pada sibuk ngurusin rumahnya masing-masing. Pengurus juga Sibuk nyediain dapur umum.Makanya sekolahnya nggak keurus dulu. Selain itu, kegiatannya ya, ngikut kalau ada undangan-undangan ke Kalyanamitra dan Migran care. Kayak demo juga.
Bagaimana metode yang digunakan dalam proses belajar- mengajarnya? Jawab : Biasanya kita gambar, nyaiiyi, drama. Tapi kalau drama kita nggak pernah diajarin khusus, cuma waktu itu kita pernah tampil main drama waktu ada cara KAPAL. Terus, waktu acara pendidikan juga. Kita cuma dibilangin kalau nanti tampil yah., rtiain drama, tema-nya tentang ini..., selebihnya kita sendiri yang bikin naskahnya, nunjuk siapa-siapa aja yang kan main. Tapi ternyata waktu tampil, kata orang KAPAL, bagus kok..(sambil tertawa).
Bagaimana Model pembelajarahnya? Jawab: Kita kalau ngumpul di sekolah, selalu diskusi. Jadi kalau ada anggota atau siapapun yang ada masalahnya ya..kita ottlongin bareng-bareng, terus kita kasi ittasUkan-niasukan bagaimana solusinya. Semua ngomong satu-satu, nggak boleh ada yang malu. Begitupun, fasilitator juga ikut ngomong. Makanya, itulah untungnya kalau kita berkelompok, ada yang negabantuin nyelesaiin masalah.
Bagaimana hubungan anatara fasilitator, pihak RT/RW dengan ibu-ibu SPC? Jawab: Baik semua. Fasilitatornya baik-baik. Mereka juga udah kayak keluarga. RT/RW juga kan sering diudangan kalau ada acara. Misalnya, kalau ada tamu, mereka yang nyambut gitu. Justru dengan adanya Sekolah Perempuan Ciliwung ini, RT
ini merasa terbantu, misalnya kalau banjikan kita yang ngadain dapur umum untuk korban (yang sebagainnya juga para anggota).
Hasil Wawancara
Ibi-ibu Sekolah Perempuan Ciliwung
PENDIDIKAN ALTERNATIF SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN
PEREMPUAN DI SEKOLAH PEREMPUAN CILIWUNG 1. Umum
a. Nama Informan : Nurjannah b. jenis Kelamin Informan : Perempuan c. Umur Informan : 43 tahun d. Pekerjaan Informan : Buruh nyuci e. Tanggal Wawancara : 17 Juni dan 28 Juli 2010 f. Tempat Wawancara : Warungjati, Kalibata g. Waktu Wawancara : 12.00-13.00 Wib.
2. Pendidikan Alternatif dan Model Pemberdayaan a. Bagaimana Ibu tahu tentang sekolah perempuan Ciliwung dan
kenapa tertarik untuk bergabung? Jawab : Diajak mbak Indri (yg pertama kali datang mendata peserta SPC). Tertarik aja pengen tahu. Awalnya sih, agak ragu juga soalnya banyak isu-isu, kayak isu kristenisasi, isu-isu bahwa kita akan melawan suami. Tapi karena pengen tau, yah.. .ikutlah bergabung. b. Bagaimana pandangan ibu tbntang sekolah perempuan Ciliwung ini? Jawab :
Adanya SPC ini sangat bermanfaat, nambah pengetahuan. Lebih percaya diri, banyak pengetahuan, Sejak gabung di sekolah perempuan, saya udah bisa ngasih pandangart ke suami. Apa-apa biasanya didiskusikan. Dia juga nggak sembarang melarang keluar kalau saya mau pergi. Kalau dulu kan harus pamit kadang-kadang nggak dikasi izin. Di sekolah kan kita berkumpul, semua menceritakan tentang dirinya dan keluarganya. Awalnya sih, iya masih malu-malu waktu itu. Tapi waktu itu kan ada yang namanya silsilah keluarga (salah satu metode belajar). Nah, diceritain deh keturunan dari garis perempuan. Misalnya, saya punya nenek, terus ibu, terus saya, dan saya juga punya anak. Setelah itu, satu- satu (peserta SPC) cerita tentang kondisi keluarganya masing-masing. Apakah ada kekerasan di dalamnya, atau ара. Jadi, kalau ada beban keluarga bisa dibicarakan dan dibagi di sini, terus mencari solusinya. Saya juga sebelumnya, nggak berani mengeluarkan pendapat, saya minder. Tapi sekarang udah agak enakan dengan kelompok karena kita bisa berbagi pengalaman. Kalau sendiri nggak enak, enakan kelompok. Itulah tujuan adanya sekolah perempuan ini, supaya kita bisa
memperjuangkan hak-hak perempuan. Kita sama saja dengan laki-laki. Kita juga semakin mandiri sekarang.
c. Ара saja yang dipelajari di sekolah perempuan Ciliwung? Jawab : Ada tentang jender, tajwid, kespro (kesehatan reproduksi), keterampilan, politik, dan banyak deh. Pelajarannya disusun berdasarkan kesepakatan anggota. Kalau untuk pengurus sendiri, ada training khususnya karena kita kan gantian jadi fasilitator juga. Kalau jadi fasilitator, awalnya, Iya sih, saya masih kurang percaya diri, he..he... takutnya, orang-orang pada mau dengerin nggak ya? Tapi kalau dilihat, mereka dengerin кок waktu saya jadi fasilitator, he..he.. d. Selain sekolah (in class) ара saja kegiatan-kegiatannya? Jawab : Selain pelajaran-pelajaran di atas, kita juga ikut seminar, diskusi, dan demo juga. Kalau ikut demo, kita jadi ikut peduli dengan penderiaan TKW (waktu itu tentang kasus TKW). Jadi tersentuh bagaimana misalnya kalau saya yang mengalami itu. Selain itu, kita juga kadang-kadang ngumpul, apalagi sesama pengurus soalnya kita sering diskusiin apalagi pelajaran untuk pertemuan selanjutnya. Kita juga ngobrol-ngobrol kalau ada kasus- kasus atau isu tentang perempuan, misalnya lihat di TV atau dari kita sesama pengurus sekolah perempuan.
e. Bagaimana metode yang digunakan dalatti proses belajar- mengajarnya? JaWkb : Banyak cara-cara yang digunain di sekolah ini. yang kayak saya bilang tadi, ada silsilah keluarga, ada drama. Kalau drama itu, yang kita peranin di sini ceritanya ada suami istri. Suatu saat suaminya pergi kerja lama. Terus, tiba-tiba istrinya dapat surat kiriman dari suaminya. Nah, istrinya ini kan nggak tahu baca, jadi anaknya yang bacain. Ternyata, isi suratnya bilang kalau suaminya itu punya istri lagi. Jadi, dari sini kita bisa lihat pelajafannya, bahwa itu termasuk KDRT. Selain itu, kita juga tahu kalau buta aksara itu merugikan. Terus, ada menggambar, waktu itu menggambar diri dengan menyebut kelebihan masing-masing. Setelah itu, presentasi. Jadi kita bisa saling tahu tentang teman-teman kita. Abis itu ditanya juga visi-misinya ke depan. Pertama untuk 5 tahun ke depan, terus untuk 10 tahun ke depan itu ngapain. Terus, nonton film macam-macam sih. Kita pernah nonton film tentang pemanasan global. Jadi ceritanya, saking panasnya itu kulkas sehingga jadi menjamur. Terus di kutub Utara, es meleleh dan akhirnya banjir terjadi. Nah, pelajarannya adalah akibat pemanasan global bisa jadi banjir. Waktu itu, ada orang dari WALHI (wahana lingkungan hidup) juga. Ada juga nyanyi. Iya, judul lagunya "Wahai". Saya nyanyikan sepotong ya..: "Sungguh enak mengikuti sekolah perempuan ini. Ilmu kita tingkatkan untuk perempuan." Nah, ada juga khusus untuk yang buta aksara. Kan ada potongan-potongan huruf. Kalau kita dulu belajar baca kan dieja, kalau sekarang nggak lagi. Tapi langsung diajarin dengan pengalaman sehari-hari. Misalnya, tentang pekerjaan-pekeijaan rumah, "saya menyapu, saya mencuci".
f. Bagaimana model pembelajarannya? Jawab: Kita di sekolah perempuan ini deket semua, kayak keluarga. Iya biasanya kalau ada peserta SPC yang sedang masalah keluarganya itu diceritakan waktu ngunmpul. Terus, ditanggapin sama ibu-ibu lain. Terus kita diskusikan bagaimana penyelesaiannya. Begitu juga dengan fasilitator- fasilitator. g. Bagaimana hubungan antara fasilitator, pihak RT/RW dengan ibu- ibu SPC? Jawab: Semua baik. kan sama-sama belajar. Iya, dia (fasilitator KAPAL) memposisikan diri sama saja. Kalau ngajar, nggak ngebeda-bedain. Terlihat bersahabat dan berkeluarga Kita juga bergaul luas kan dengan LSM perempuan. Iya misalnya, AMAN Indonesia. Kita sering diudang diskusi ke kantor AMAN. Kadang-kadang juga gabungan dengan jaringan yahg lain. AMAN pernah datang dan sharing tentang sekolah perempuan yang mereka dirikan juga. Рак RT/RW di sini juga kita ajak gabung. Jadi semua yang satu geografis aja. Kita penting untuk melibatkan semua karena lebih bisa menyelesaikan masalah. h. Untuk pengurus sendiri, bagaimana cara memilihnya? Jawab: Pengurus dipilih sania anggota. Ntar jUga bakal diganti, terus pemilihan pengurus baru lagi si ара yang dianggap bisa.
Hasil Wawancara
Ibi-ibu Sekolah Perempuan Ciliwung
PENDIDIKAN ALTERNATIF SEBAGAI MODEL t»EMBERDAYAAN PEREMPUAN DI SEKOLAH PEREMPUAN CILIWUNG. RAWAJATI
BARAT, JAKARTA SELATAN 1. Umum
a. Nama Informan b. jenis Kelamin Informan c. Umur Informan d. Pekerjaan Informan e. Tanggal Wawancara 2010 f. Tempat Wawancara g. Waktu Wawancara Rodemeh Perempuan 65 tahun Pemulung 17 Juni dan 28 Juli
Warungjati, Kalibata 12.00-13.00 Wib.
2. Pendidikan Alternatif dan Model Pemberdayaan a. Bagaimana Ibu tahu tentang sekolah perempuan Ciliwung dan kenapa
tertarik untuk bergabung? Jawab : Kepengen aja, rame ngeliatnya. Orang-orang pada sekolah, pengen bergaul dengan ibu-ibu. Kalau nggak bergaul nanti nggak punya temen, lagian enak кок kemana-mana diajak sama ibu-ibu. Awalnya sih diajakin sama ibu-ibu yang lain, kebetulan tetangga disini uda pada ikut duluan. b. Bagaimana pandangan ibu tentang sekolah perempuan Ciliwung ini? Jawab : Enak juga, bagus. Kita suka nyanyi-nyanyi, hiburan-hiburan daripada duduk ngelamun, mending sekolah bisa baca-baca. Saya merasa lebih baik. Dari pada ngobrol-ngobrol nggak berguna mending sekolah siapa tau dapat pelajaran baru. c. Ара saja yang dipelajari di sekolah perempuan Ciliwung? Jawab : Ada materi tentang banjir, jadi kita tau bagaimana kalau banjir datang. Bagaimana nanganinya maksudnya. Terus, ada film juga dan ada photo- photo. Kita juga dibagiin buku, pensil, trus bisa minejm juga kan di koperasi.
d. Selain sekolah (in class) ара saja kegiatan-kegiatannya? Jawab : Yah..ngumpul-ngumpul, terus sering ada demo-demo juga. Wah..saya kalau ikut demo paling suka. Kemarin waktu di Senayan, atau ke yang ada air mancurnya itu. Senengnya yah..banyak bergaul, di sana banyak orang soalnya. Kita juga menghormati atasan kalau di minta ngumpul, yah.kita ikut. Waktu itu demo tentang pembantu yang katanya ada yang dibunuh, ada yang digosok (disetrika), jadi kita membela rakyat lah di demo itu. Coba kalau misalnya kita yang kena begitu, pasti sakit kan? makanya kita membela mereka. e. Bagaimana metode yang digunakan dalam proses belajar- meflgajarrtya? Jawab : KalaU Ibu kan waktu itu belum bisa baca tulis jadi diajarin. Iya, kita disuruh nulis A,B,C,D,F,G. Ibu udah mulai lupa-lupa karena udah lama nggak belajar lagi. Waktu itu kita dicontohin dulu sama ibunya (fasilitator) terus disuruh nulis deh. Sekarang udah bisa dikit-dikit sih, he..he. f. Bagaimana model belajarnya? Jawab: Kita sih sering diajak-ajak ngumpul, ngobrol sama ibu-ibu yang lain. Kalau ada masalah kita certain, terus dibaptuin sahla yang lain. Kan di kelas juga kita disuruh certain tentang masalah-masalah kita. Terus, yang lain itu dengerih. Pokoknya asyiklah semua ibu-ibuliya. g. Untuk pengurus sendiri, bagaimana cara mehiililinya? Jawab: Kita pilih bareng-bareng.
Hasil Wawancara
Ibi-ibu Sekolah Perempuan Ciliwung
PENDIDIKAN ALTERNATIF SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI SEKOLAH PEREMPUAN CILIWUNG, RAWAJATI
BARATA, JAKARTA SELATAN
1. Umum a. Nama Informan b. Jenis Kelamirt Informan c. Umur Informan d. Pekerjaan Informan e. Tanggal Wawancara f. Tempat Wawancara
g. Waktu Wawancara : Mamiek Suparniah Hendro : Perempuan : 61 Tahun : Pensiunan PNS : 17 Juni dan 28 Juli 2010 : Warungjati, Kalibata : 12.00-13.00 Wib.
1
2. Pendidikan Alternatif dan Model Pemberdayaan a. Bagaimana Ibu tahu tentang sekolah perempuan Ciliwung dan
kenapa tertarik untuk bergabung? Jawab і Mulai gabung tahun 2004. Karena saya kepengen orang-orang tidak ada lagi yang terlantar. Saya masuk sendiri di sekolah permpuan ini. Semua pengurus itu baik-baik orangnya. Saya nggak tega melihat semua ini. (sambil menangis). Keluarga juga mendukung saya ikut sekolah ini. b. Bagaimana pandangan ibu tentang sekolah perempuan Ciliwung
ini? Jawab :
Saya rasa semua serba baik, pengajarnya juga baik. Semua pengurus dari atas sampe bawah semua baik. Pelajarannya juga bagus. Kayaknya misalnya disenter-senter itu (pembuatan film maksudnya). Pokoknya semua baik. Saya rasa nggak ada kendala. Saya rasa semua serba baik. Iya lebih baik dari sebelumnya. Soalnya semua orang-orangnya serba merangkul. Misalnya, koperasi, bagi saya ada faedahnya solanya kita bisa menolong diri sendiri. Seneng banget saya Mbak bisa ada sekolah begini. Kita jadi punya banyak temen, kayak ada keluarga. Kita sering ngumpul- ngumpul, rame-rame, ngobrol. Mereka semua baik-baik lagi sama kita semua с. Ара saja yang dipelajari di sekolah perempuan Ciliwung? Jawab : Banyak. Kita dibagiin buku, pensil, papan tulis, spidol. Saya paling seneng dengan cara belajarnya, apalagi kalau nyanyi-nyanyi. Pelajaran yang paling saya sukai adalah mengambar dan bikin film. d. Selain sekolah (in class) ара saja kegiatan-kegiatannya? Jawab : Yah..ada demo-demo. Sebenarnya saya jarang ikut kalau yang jauh-jauh (di luar) karena kaki saya udah nggak kuat. Tapi, ibu pernah ikut ke monas waktu itu sama Bu Mus (ketua SPC) ada penghargaan buat SPC dari Ibu Ani (istri presiden). і e. Bagaimana metode yang digunakan dalam proses belajar- mehgajar? Jawab : Waktu itu kita di suruh gambar-gambar, seperti visi-misi ke depan. Saya waktu itu, gambar pengen punya kantin. Seneng saya kalau gambar- gambar. •І: ; . .. і і ц f. Bagaimana model pembelajarahhya? Jawab: Semua ibu-ibu itu baik-baik orangnya. Mereka memperhatikan kita. Apa- apa biasanya dibicarakan di sekolah, jadi mehibantu kita juga. Kita biasanya ditanya ара masalah-maslaah yang dialami sehari-hari, terus ditanggapi sama ibu-ibu yang lain. Setelah itu, kita harus bisa mikirin bagaimana jalan keluarnya. g. bagaimana hubungan antara Fasilitator, Pihak RT/RW dengan ibti-ibu SPC? Jawabj
117
Baik sih. Рак RT juga biasa datang kalau ada acara. Ibu-ibu yang ngajarin (fasilitator) juta pada baik semua. Saya seneng banget kalau ngumpul- ngumpul di sekolah. h. tJntuk pengurus sendiri, bagaimana cara memilihnya? Jawab: Dipilih bareng-bareng. Pengurus sekarang tuh baik-baik orangnya.
Hasil Wawancara
Ibi-ibu Sekolah Perempuan Ciliwung
PENDIDIKAN ALTERNATIF SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DI SEKOLAH PEREMPUAN CILIWUNG, RAWAJATI
BARAT, JAKARTA SELATAN 1. Umum
a. Nama Informan : Anerah b. jerlis Kelamin Informan : Perempuan c. Umur Informan : 25 tahun d. Pekerjaan Informan : Wiraswasta e. Tanggal Wawancara : Senin 3 Mei dan f. Tempat Wawancara : Warungjati, Kalibata g. Waktu Wawancara : 12.00-13.00 Wib.
2. Pendidikan Alternatif dan Model Pemberdayaan a. Bagaimana Ibu tahu tentang sekolah perempuan Ciliwung dan
kenapa tertarik untuk bergabung? Jawab : Ya.. kita mau punya teman. Mau punya pengetahuan, wawasan. dari yang tidak tahu jadi tau. Pengen dapat ilmu, pokoknya gitu deh mbak. Saya sih tertarik setelah melihat sertdiri. Amat membantu sekali. Menurut saya, adanya SPC ini bisa membantu dalam segala pelajaran, karena banyak
118
pelajaran. lebih pinter. Misalnya, kita jadi banyak tahu tentang bahasa- bahasa. jadi tau hak-hak perempuan. b. Bagaimana pandangah ibu tentang sekolah perempuan Ciliwung
ini? Jawab : Iya kita seneng bangd: ada SPC. Yartg tadinya kita nggak tau apa-apa sekarang jadi tahu. Yah..paling tidak tau sedikitlah. Banyak membantu kita juga. Soalnya pelajaran-pelajarannya sama dengan yang kita alami di kehidupan hari-hari. iya sih, dulu seinpat merasa minder dengan masyarakat. Dulu, juga rada malu, tapi sekarang udah nggak. Iya Mbak, sebenarnya malu ya untuk cerita tentang keluarga kita. Tapi, lama-lama saya cerita juga dan ternyata ibu-ibu yang lain mau mendengar dan ngasih usulan-usulan ара yang harus dilakukan. Saya kan punya masalah di keluarga dan sekarang lagi diurus. Nah, pihak KAPAL Perempuan dan ibu-ibu SPC itu ikut ngebantuin. Jadi senenglah bergabung di sekolah ini. c. Ара saja yang dipelajari di sekolah perempuan Ciliwung? Jawab : Ada Gender, KDRT, Kespro (kesehatan reproduksi), politik dalam rumah tangga, ngaji, pelajaran komputer juga sempat ada.
d. Selain sekolah (in class) ара saja kegiatan-kegiatannya? Jawab : Kita dibagiin buku, pensil, bantuan banjir (misalnya, baju-baju gitu) uang pinjemen koperasi juga. Kita sering ikut demo, parodi (drama) di hotel- hotel, trus ikut seminar juga. Jadi Pengen sekolah lagi, pengen bercanda- canda lagi. e. Bagaimana metode yang digunakan dalam proses belajar-
merigajarnya? Jawab : Waktu itu sih berperan sebagai anak sekolah. Saya Mbak yang jadi anak SD-nya, he..he.., ceritanya mau ngelanjutin ke SPM tapi nggak mampu. Judulnya itu betapa sulitnya meneruskan sekolah. Kita menggambar wajah masing-masing, melukis tentang diri sendiri. Tujuannya untuk keterampilan juga sih. Jadi kita gambar tentang organ-organ tubuh, misalnya rahim. Jadi ini belajar tentang jender juga. Kayaknya waktu itu nonton film yang terjadi di Jepang. Jadi ceritanya, mereka jalan di jalan dan penuh polusi. Waktu itu nonton juga tentang lingkungan Jakarta yang kumuh. Terus, ada juga ceritanya tentang penghematan bensin. Nah, kita tahu kalau tidak boleh pemborosan gitu deh Mbak. Banyak sih Mbak lagunya. Waktu itu ada lagu Wahai. "Wahai kawan-kawan semua mari kita berjuang, mertghapuskan kekerasan pada perempuan..(sambil bernyanyi). Jadi, pelajarannya kita jangan menyerah, menghapus buta huruf dan menghapus kekerasan. f. Bagaimana model pembelajarannya? Jawab: Tujuan sekolah perempuan yah...untuk memajukan kaum perempuan agar tambah wawasannya. Selain itu, silaturahmi juga. Jadi kita nggak berada di bawah banget gitu..., paling tidak taulah..., dengan berkelompok kita bisa saling kerjasama, saling menghargai, dan menghormati. Semua dapat bagian didiskusi. Termasuk masalah pribadi dibicarakan (curhat), yang ada di hati dikeluarin, jadi lebih plong. Jadi kita kan sama-sama saudara. Ibaratnya bisa saling mendukung. Kalau sakit misalnya, kita kolektif ngejengukin.
119
g. Bagaimana hubungan antara fasilitator, Pihak RT/RW dengan Ibu-ibu SPC?
Jawab: Fasilitatornya juga (KAPAL) selalu mendukung, mengayomi, merendah. Mereka sama seperti sahabat, keluarga. Mereka membaur sama kita. Рак RT/RW biasa ngasih sambutan. SPC kan juga butuh pengakuan. Perlu ada statusnya h. Untuk pengurus sendiri, bagaimana cara memilihnya? Jawab: Yah..waktu itu sih dipilih bareng-bareng. Pokoknya semua kita diskusikan dulu di sekolah
120
Kegiatan-kegiatan di Sekolah Perempuan Ciliwung
121
Direktur KAPAL Perempuan dan Ketua Sekolah Perempuan Ciliwung
Salah satu sertikat yang pernah diberikan untuk SPC
Papan nama Koperasi yang ada di Sekolah Perempuan Ciliwung
122