pendahuluan - sinta.unud.ac.id i.pdfeksekusi/pelaksanaan putusan, juga telah diatur aparatur penegak...

38
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981 Nomor 76) sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun, sebagai pedoman umum dalam penanganan perkara tindak pidana secara garis besar telah mengatur mengenai tugas dan kewajiban aparat penegak hukum serta hak-hak bagi warga negara yang terlibat masalah hukum pidana, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur mengenai tahapan penanganan perkara yang dibagi dalam tahap Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan Persidangan, Upaya Hukum dan tahap Eksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur penegak hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenang dibagi secara tegas dalam KUHAP, antara lain Penyidik diberi wewenang untuk melakukan penyidikan, Jaksa/Penuntut Umum diberi wewenang untuk melakukan pra penuntutan dan penuntutan, melaksanakan penetapan serta melaksanakan putusan pengadilan, Hakim diberi wewenang untuk mengadili/ memeriksa dan memutus perkara, sedangkan Lembaga Pemasyarakatan diberi wewenang melakukan pembinaan terhadap para nara pidana. Kemudian dengan lahirnya Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara tahun 2003 Nomor 49), selain adanya aparat penegak hukum seperti tersebut dalam KUHAP maka berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 tahun 2003 “Avokat berstatus sebagai penegak hukum bebas dan … “ sehinga lembaga penegak hukum bertambah satu lagi yaitu Advokat/Penasehat Hukum yang mempunyai tugas dan wewenang memberi bantuan hukum terhadap tersangka/terdakwa.

Upload: lynhi

Post on 26-Aug-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang masalah

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana ditetapkan

dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 (Lembaran Negara Republik Indonesia

tahun 1981 Nomor 76) sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun, sebagai pedoman

umum dalam penanganan perkara tindak pidana secara garis besar telah mengatur

mengenai tugas dan kewajiban aparat penegak hukum serta hak-hak bagi warga negara

yang terlibat masalah hukum pidana, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) diatur mengenai tahapan penanganan perkara yang dibagi dalam

tahap Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan Persidangan, Upaya Hukum dan tahap

Eksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas

pada setiap tahap penanganan perkara.

Pembagian tugas aparatur penegak hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan

wewenang dibagi secara tegas dalam KUHAP, antara lain Penyidik diberi wewenang

untuk melakukan penyidikan, Jaksa/Penuntut Umum diberi wewenang untuk melakukan

pra penuntutan dan penuntutan, melaksanakan penetapan serta melaksanakan putusan

pengadilan, Hakim diberi wewenang untuk mengadili/ memeriksa dan memutus

perkara, sedangkan Lembaga Pemasyarakatan diberi wewenang melakukan pembinaan

terhadap para nara pidana. Kemudian dengan lahirnya Undang-undang Nomor 18 tahun

2003 tentang Advokat (Lembaran Negara tahun 2003 Nomor 49), selain adanya aparat

penegak hukum seperti tersebut dalam KUHAP maka berdasarkan ketentuan Pasal 5

ayat (1) UU No. 18 tahun 2003 “Avokat berstatus sebagai penegak hukum bebas dan

… “ sehinga lembaga penegak hukum bertambah satu lagi yaitu Advokat/Penasehat

Hukum yang mempunyai tugas dan wewenang memberi bantuan hukum terhadap

tersangka/terdakwa.

Page 2: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

Tujuan dibentuknya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah untuk

memperbaiki sistem peradilan pidana Indonesia yang merupakan peninggalan

pemerintah kolonial menjadi sistem peradilan yang berjiwa dan bersumber kepada

sendi-sendi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mengkodifikasi hukum

acara pidana yang tersebar dalam berbagai perundang-undangan. Bahwa hukum acara

pidana yang berlaku sebelum disahkanya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 adalah

hukum acara pidana peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda yaitu Herzien

Indlandsch Reglement (HIR) yang diadopsi berdasarkan asas konkordansi

sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar

19451, kemudian ditetapkan berlaku di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 1

tahun 1946. Dalam hukum acara pidana peninggalan pemerintah kolonial tersebut

walaupun telah dilakukan perubahan-perubahan secara parsial, namun pengaturan hak-

hak tersangka/ tertuduh belum mendapat tempat yang layak, karena prinsip dari HIR

adalah menempatkan tertuduh sebagai obyek pemeriksaan dan mengejar pengakuan

atas kejahatan yang dituduhkan, sehingga aparat penyidik dapat berlaku dengan

sewenang-wenang untuk mendapat pengakuan atas kesalahan yang dilakukan oleh

tertuduh sehingga upaya paksa, seperti penyiksaan, penekan fisik maupun fisikis seolah-

olah adalah tindakan yang legal untuk memperoleh pengakuan tertuduh. Dalam HIR

pengakuan dan perlindungan tehadap-hak-hak tertuduh terutama dalam tahap

pemeriksaan permulaan hampir tidak ada.

Penanggulangan tindak pidana (kejahatan) dengan Sistem Peradilan Pidana yang

bertumpu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). sebagai

pengganti HIR yang telah membagi tugas dan wewenang aparatur penegak hukum

secara tegas, namun dalam menjalankan fungsi tugasnya masing-masing aparat pengak

hukum tetap melakukan koordinasi (kerja sama) yang berkelanjutan, sebagai satu

kesatuan sistem peradilan . Adapun tujuan utama penanggulangan kejahatan dengan

Sistem Peradilan Pidana adalah :

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa

keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

1 Dimyati, Khudzaifah, 2004,, Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum

di Indonesia 1945-1990, Muhamadyah University Pers, Surakarta, hal. 4

Page 3: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi

lagi kejahatan 2.

Dilihat dari tata cara (hukum formil) penanganan pekara tindak pidana dalam

praktek dibedakan atas :

1. Perkara Tindak Pidana umum, yaitu jenis perkara tindak pidana yang proses

pemeriksaanya semata-mata berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

2. Perkara Tindak Pidana Khusus, yaitu jenis perkara tindak pidana yang dalam

perundang-undangannya didsamping mengatur ketentuan hukum materiil juga

mengatur hukum acara pidana secara khusus disamping juga secara umum tetap

berpedoman kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seperti

penanganan perkara tindak pidana korupsi, penanganan perkara tindak pidana HAM

berat, tindak pidana perikanan dan lain-lain.

Pelaksanaan penanggulangan kejahatan yang berlandaskan kepada Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentu tidak boleh mengabaikan perlindungan

dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia khususnya bagi warga negara yang

terlibat masalah hukum pidana, secara garis besar Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) telah mengatur mengenai perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa

sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 50 sampai dengan Pasal 74 KUHAP. yang

pada pokoknya menentukan : hak-hak tersangka seperti hak segera diperiksa (diambil

keterangan) oleh penyidik, hak mengetahui atas tindak pidana yang disangkakan kepada

dirinya, hak memberikan keterangan secara bebas, hak mendapat bantuan hukum, hak

mendapat bantuan juru bahasa,hak menghubungi penasehat hukum, menerima

kunjungan dokter, hak menerima kunjungan keluarga, hak mengirim dan menerima

surat dari penasehat hukum dan keluarga, hak menerima kunjungan rohaniwan, hak

mengajukan saksi – ahli yang menguntungkan, hak menuntut ganti rugi, hak dihubungi

oleh penasehat hukum dan pendampingan , hak mendapat turunan berita acara

pemeriksaan .

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai karya besar

Bangsa Indonesia yang merupakan pedoman umum dalam penanganan perkara tindak

pidana secara teori maupun praktek ternyata masih banyak terdapat kekurangan dan

2 Ibid, hal 74-75

Page 4: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

kelemahan, baik karena rumusan pasal yang kurang jelas, terjadinya tumpang tindih

ketentuan maupun adanya kekosongan norma, sehingga memerlukan berbagai

penafsiran dalam pelaksanaanya baik oleh kaum praktisi, akademisi serta kalangan

penegak hukum. Keadaan yang demikian itu memberi peluang kepada aparat penegak

hukum dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk dapat bertindak sewenang-wenang,

dan masyarakat mulai merasa tidak puas atas jalannya penegakan hukum di negeri kita

yang dipandang tidak memberi kepastian hukum, rasa keadilan, serta manfaat yang

optimal.

Mhd.Shiddiq Tgk Armia menyatakan “ memang akhir-akhir ini banyak komentar

dari pakar, tokoh masyarakat, tokoh politik, bahkan juga para birokrat, bertalian dengan

kondisi bagian-bagian dari sistem peradilan pidana. bahkan juga semakin gencar dan

tajam suara-suara yang mengatakan, penegakan hukum dewasa ini sudah sampai pada

titik terendah”3. Pernyataan pesimistis masyarakat pada dasarnya menghendaki segera

dilakukannya perbaikan / penyempurnaan dari pada sistem peradilan pidana termasuk

substansi hukumnya disamping juga masalah struktur hukumnya4. Sejalan dengan

perkembangan kehidupan masyarakat yang moder dan komplek, mengikuti

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin mutakhir dan tuntutan

akan pemajuan, perlindungan dan pemenuhan terhadap hak asasi manusia dalam bidang

hukum, sosial maupun ekonomi, sangat mudah diucapkan dan sulit untuk dilaksanakan

yang disebabkan ketidaksempurnaan dari hukum acara pidana dan sikap mental dari

aparatur penegak hukum itu sendiri.

Aparatur penegakan hukum dalam praktek sampai saat ini masih menunjukan

sikap arogansi dan fragmentaris atas kewenangan yang dimiliki masing-masing, dalam

tahap penyidikan perkara sering terjadi tarik menarik antara kewenangan penyidik Polri

dengan penyidik PPNS yang pada ujungnya menjadi korban adalah masyarakat pencari

keadilan termasuk di dalamnya tersangka. Keadaan prilaku aparat penegak hukum

tersebut disoroti oleh Ronald D. Dworkin, yang menyatakan:

…ada sejumlah besar fenomena, maka hati kecil kita, apakah itu hati kecil

penyidik, hati kecil jaksa atau hati kecil pengacara, sulit mengakui bahwa sejak

sejumlah tahun terakhir ini yang namanya proses penegakan hukum telah

3 Armia, Mhd. Sidiq Tgk., Op.Cit, hal. 85

4 Sujata, Antonoius, 2000, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta, hal.39.

Page 5: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

kehilangan fondasinya yaitu prinsip moral, sehingga sah kiranya, apabila

disimpulkan bahwa sejak sejumlah tahun terakhir ini profesi hukum dan proses

penegakan hukum dilanda demoralisasi. Dalam proses demoralisasi itu, maka

tidak heran bilamana pepatah kuno China yang berbunyi “It’s better to enter the

mounth of tiger then a court of law” kian lama kian dirasakan kebenaranya5

Penyidikan suatu perkara dihitung sejak mulai penyidik memberitahukan tindakan

penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum banyak yang belum/tidak ditindak lanjuti

dengan pengiriman berkas perkara tahap pertama dalam waktu lebih dari 6 (enam) bulan

bahkan 1(satu) tahun, penyelesaian perkara tidak berdasarkan urutan masuknya laporan

/pengaduan atau kejadian, marak terjadi mafia peradilan. Atas tindakan penyidik

tersebut masyarakat yang merasa tidak puas atas kinerja penyidik melakukan upaya-

upaya seperti membuat laporan/pengaduan kepada atasan penyidik, kepada Komisi

Kepolisian Nasional ( Kompolnas) mengenai kinerja penyidik dalam penanganan

perkara. Keadaan tersebut juga bisa memicu masyarakat ingin menyelesaikan kasus

dengan cara-cara diluar hukum (main hakim sendiri) bila menjadi korban atau menemui

suatu tindak pidana, karena ketidak percayaanya tehadap kinerja aparat penyidik.

Diwilayah hukum Kejaksaan Tinggi Bali ditemukan permasalahan penanganan

perkara pada tahap penyidikan yang berlarut-larut dan berakibat tidak memberikan

kepastian hukum, rasa keadilan sehingga pihak-pihak terkait dalam perkara tersebut

merasa tidak puas atas kinerja penyidik, seperti :

1. SURYATIN LIJAYA, SH selaku kuasa dari H MADRAIS dkk berdasarkan surat

pengaduan Nomor 04/SL/XI/2013 tanggal 25 Nopember 2013 telah melaporkan

kinerja aparat penegak hukum dalam penangan perkara dugaan tindak pidana

penggelapan dan penipuan atas nama tersangka Putu Surya Jaya, dkk. bahwa

laporan tentang dugaan tindak pidana penipuan tersebut sudah dilaporkan sejak

tahun 2012 ke penyidik Polda Bali, namun sampai tahun 2014 penyidikan perkara

tersebut belum selesai. (SPDP) Nomor :B/41/II/2012/Dit. Reskrimum tangal 21

Pebruari 2012 atas nama tersangka Putu Surya Jaya, dkk. diterima di Kejati Bali

tanggal 30 Oktober 2012

2. JACOB ANTOLIS, SH. MH.MM adalah kuasa dari RITA KISHORE KUMAR

PRIDHANI, melaporkan mengenai penanganan perkara pada tahap penyidikan yaitu

5 D.Dworkin, Ronald, dalam Buletin KHN, 2002, Demokrrasi dan Rekruitmen serta Pembinaan

Profesi Hukum, Edisi Juni, Jakarta, hal. 14

Page 6: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

klien pelapor telah melaporkan permasalah hukum tersebut ke pihak Kepolisian

Polda Bali sejak tanggal 25 Juni 2011 yang diterima di Polda Bali tanggal 25 Juni

2011 sesuai Bukti Surat Laporan Polisi Nomor : Pol.

LP/233/VI/2011/Bali/Dit.Reskrim tanggal 25 Juni 2011, namun sampai tahun 2014

belum ada tindak lanjut penyelesaian kasusnya. SPDP perkara tersebut telah dikirim

oleh Penyidik Polda Bali sesuai surat Nomor B/242/XII/2011/Dit.Reskrimum

tanggal 15 Desember 2011.

H.R.Abdussalam (mantan penyidik) menyajikan data penyelesaian penanganan

beberapa perkara sebagai berikut :

a. Perkara pencurian kendaraan bermotor penyelesaian melalui proses hukum

sampai memperoleh kekuatan hukum tetap hanya mencapai 5(lima) persen,

sedangkan selebihnya banyak yang dilaporkan oleh masyarakat namun

penyelesaianya tidak ada kepastian.

b. Kasus tindak pidana penggelapan penyelesaian perkara dalam proses hukum

hanya mencapai 30% (tiga puluh) persen sedangkan sisanya ada yang

dihentikan dan ada juga yang berlarut-larut tanpa kepastian hukum6.

Penanganan penyidikan perkara tindak pidana umum diawal tahun 2015 kembali

memperlihatkan ketidak pastianya, antara lain dalam penyidikan perkara:

1. Penanganan perkara tindak pidana umum atas nama tersangka B.W. .(Wakil Ketua

KPK non aktif) yang bersangkutan disangka melakukan tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 242 KUHP, BW telah ditetapkan sebagai tersangka oleh

penyidik sejak bulan Januari 2015, setelah proses penyidikan berlangsung kurang

lebih 2 bulan, pihak penyidik menyatakan penyidikan kasus tersebut ditunda

penanganannya sampai waktu yang tidak ditentukan.

2. Penanganan perkara tindak pidana umum atas nama tersangka A.S.(Ketua KPK non

aktif) yang bersangkutan disangka melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 263 KUHP, A.S. ditetapkan sebagai tersangka sejak bulan Pebruari

2015 setelah penyidikan berlangsung kurang lebih satu bulan penyidik menyatakan

penyidikan perkara tersebut ditunda sampai bataas waktu yang tidak ditentukan

Bahwa penundaan proses penyidikan perkara atas nama tersangka B.W. maupun

tersangka A.S. tidak ditentukan batas waktunya oleh penyidik dan tidak pernah

disampaikan alasan penundaan perkara tersebut apakah kurang alat bukti atau karena

sebab lain.

6 Ibid. hal 684-685

Page 7: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

Penetapan B.W. maupun A.S. sebagai tersangka oleh penyidik telah menimbulkan

perampasan sejumlah hak dari tersangka, diantaranya menduduki jabatan tertentu

(mencari pekerjaan). Selanjutnya dengan dilakukan penundaan proses penyidikan yang

tidak dibatasi waktu tersebut sudah dipastikan juga merampas sejumlah hak-hak

tersangka seperti, hak untuk segera diajukan ke penuntut umum, untuk selanjutnya oleh

penuntut umum segera diajukan ke persidangan, hak melakukan pembelaan. Dengan

status tersangka yang disandang oleh B.W. maupun A.S. maka hak yang bersangkutan

untuk maju ke panggung politik juga terampas.

Terjadinya penanganan perkara pidana (umum) yang berlarut-larut khususnya

pada tahap penyidikan disebabkan karena dalam ketentuan hukum acara pidana (

KUHAP) terjadi kekosongan hukum ( vacuum of law) yaitu tidak adanya ketentuan

batas waktu berapa lama proses penyidikan perkara tindak pidana (umum) harus

diselesaikan dan oleh karena itu KUHAP harus segera direvisi atau diperbaharui dan

dalam hukum acara pidana yang akan datang ( Ius Constituendum) diatur secara tegas

mengenai batas waktu penyidikan perkara tindak pidana umum serta lebih

memperhatikan masalah perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi tersangka, saksi

korban maupun saksi-saksi pada umumnya.

Memperhatikan berbagai permasalahan hukum yang terjadi dalam proses

penanganan perkara tindak pidana pada tahap penyidikan, cukup menarik perhatian

penulis untuk mengangkat judul tesis, “ KETENTUAN BATAS WAKTU

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM DALAM PERSPEKTIF IUS

CONSTITUTUM TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN HAK ASASI

TERSANGKA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA (IUS

CONSTITUENDUM) ”

1.2. Rumusan masalah

Dari uraian latar belakang masalah seperti tersebut diatas penulis dapat

merumuskan permasalahan sebagai berikut :

a. Bagaimana ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana umum terkait dengan

perlindungan hak asasi tersangka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP)?

Page 8: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

b. Bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan tindak pidana umum

dalam hukum acara pidana yang akan datang ?

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Dalam setiap penulisan tesis diperlukan adanya suatu ketegasan tentang materi

yang diuraikan, hal ini dimaksudkan untuk membatasi agar materi yang dibahas tidak

menyimpang dari pokok permasalahan, maka ruang lingkup yang akan dibahas dalam

penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

Dalam hubungannya dengan permasalahan pertama, dibahas mengenai pengaturan

batas waktu penyidikan tindak pidana umum terkait dengan perlindungan hak asasi

tersangka dalam KUHAP; Sedangkan dalam permasalahan kedua, membahas mengenai

bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan tindak pidana umum dalam

hukum acara pidana yang akan datang.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan umum (het doel van onderhoek) berupa upaya peneliti untuk

pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma “ science as a process” ilmu

sebagai proses. Adapun tujuan umum dari tulisan ini adalah untuk mengetahui dan

menganalisis ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana umum terkait dengan

perlindungan hak asasi tersangka dalam KUHAP maupun dalam pembaharuan hukum

acara pidana .

Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk meneliti dan menganalisa

ketentuan waktu penyidikan perkara tindak pidana umum dalam KUHAP serta

kaitannya dengan perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi tersangka, serta

bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan perkara tindak pidana umum

dalam hukum acara pidana yang akan datang .

Page 9: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

1.5. Manfaat Penelitian

Bahwa dalam setiap penelitian ilmiah sudah pasti ada hal-hal yang bermanfaat

yang ingin dicapai baik oleh peneliti sendiri maupun bagi masyarakat umum, khususnya

yang bersinggungan dengan hal-hal yang diteliti, adapun manfaat penelitian meliputi :

1.5.1. Manfaat teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

terhadap pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, berkaitan dengan

penyempurnaan perundang-undangan hukum pidana formil sehingga lebih

mencerminkan kepasian hukum dan penghargaan terhadap hak-hak asasi tersangka

termasuk saksi (korban).

1.5.2. Manfaat praktis.

Manfaat praktis dari tulisan ini adalah dalam rangka memberi masukan kepada

pihak-pihak terkait (lembaga legislatif) dalam rangka penyempurnaan ketentuan

undang-undang hukum acara pidana yang berlaku saat ini, karena dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum ada ketentuan yang membatasi waktu

penyidikan sehingga penanganan perkara pada tahap penyidikan banyak berlarut-larut

sehingga tidak mencerminkan asas penanganan perkara secara cepat sederhana dan

biaya ringan.

1.6. Orisinalitas Penelitian

Keasilian tulisan sebagai salah satu persyaratan dalam tulisan ilmiah ini

dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penjiplakan (plagiatism) karya tulis orang

lain, karena setiap karya tulis dilindungi oleh undang-undang. Penulis yakin bahwa

Page 10: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

tulisan ini benar-benar asli/original, karena penulis telah melakukan penelitian terhadap

beberapa karya tulis ilmiah khususnya tesis dan ternyata tidak ada karya tulis ilmiah

(tesis) yang membahas mengenai “kekosongan hukum (norma) dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ” khususnya masalah tidak adanya batas waktu

penyidikan tindak pidana (umum).

Setelah penulis melakukan perbandingan dengan karya tulis lain, penulis tidak

menemukan adanya karya tulis ilmiah (tesis) yang mirip dengan karya tulis ini yang

memadai untuk dijadikan perbandingan.

Dengan demikian maka tulisan ini dapat disebutkan sebagai tulisan asli /orisinal

1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir

Teori hukum senantiasa tidak dapat dilepaskan dari kontek zamanya karena sarat

dengan penjelasan-penjelasan hukum secara dialektis, sebagai hasil dari konstruksi

sosial. Teori hukum juga sering dijadikan sebagai landasan teori untuk mencari suatu

jawaban terhadap permasalahan hukum yang dominan pada suatu jaman. Dalam

landasan teoritis diuraikan mengenai segala sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai

suatu sistem aneka “theorema “ atau ajaran7. Dalam landasan teoritis diuraikan secara

singkat mengenai asas hukum, konsep hukum, dan teori-teori hukum .

Landasan hukum pembangunan nasional dibidang hukum adalah Pancasila yang

memberikan landasan filosopi, landasan sosiologi, sedangkan landasan konstitusional

adalah Undang-Undang Dsasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) Tahun 1945

beserta peraturan perundang-undangan terkait lainnya, salah satu diantaranya adalah

Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 206) telah merumuskan visi

dan misi pembangunan bidang hukum yang berbunyi “Terwujudnya sistem hukum

nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia

7 Soerjono Soekanto , Sri Mamudji, 2003,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Cetakan ke enam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 7.

Page 11: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

berlandaskan keadilan dan kebenaran”8. Berlandaskan pada misi tersebut,

pembangunan bidang hukum dan hak asasi manusia mendapat perhatian yang serius

dari pemerintah, berbagai peraturan perundang-undangan yang sudah tidak relevan

segera dilakukan perubahan/ revisi baik yang bersifat menyeluruh maupun bersifat

parsial, agar ketentuan hukum yang berlaku benar-benar mencerminkan nilai filosifis

Pancasila, kaedah-kaedah hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan

tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

1.7.1. Asas Asas Hukum Yang Berkaitan Dengan Tindakan Penyidikan Dalam

Tindak Pidana

Menurut C.W. Paton, dalam bukunya A Textbook of Jurisprudence ; A principles

is the broad reason, wich lies at the base of a rule of law, diterjemahkan menjadi “ asas

adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya sesuatu

norma hukum9. Asas hukum yang dianut dalam suatu undang-undang ada yang bersifat

universal serta ada asas yang bersifat nasional .

Bellefroid menyatakan bahwa “asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan

dari hukum posistif dan yang oleh hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan

yang lebih umum 10“

Roeslan Saleh menyatakan “ asas hukum adalah aturan hukum tertinggi yang

berfungsi sebagai ratio legis dari aturan perundang-undangan yang ada 11”, bliau juga

menyatakan bahwa terdapat tiga ciri asas-asas hukum, yakni :

1. Asas hukum adalah fundamen dari sistem hukum, oleh karena itu dia adalah

pikiran-pikiran dasar dari sistem-sistem hukum;

8 Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003, Kebijakan Reformasi Hukum (suatu

Rekomendasi), Partnership Government Reform in Indoensia, Jakarta, hal.2.

9 Arrasjid, Chainur, 2000, Op. Cit. hal. 36.

10 Ali Zaidan., M, 2015, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Sinar Grafika,

Jakarta, hal. 49

11 Ibid, hal. 53

Page 12: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

2. Asas-asas hukum bersifat lebih umum dari pada ketentuan undang-undang

dan keputusan-keputusan hukum oleh karena ketentuan undang-undang dan

keputusan-keputusan hukum adalah penjabaran asas-asas hukum;

3. Akhirnya difinisi ini menunjukan bahwa beberapa asas hukum berada sebagai

dasar dari sistem hukum; beberapa lagi dibelakangnya, jadi di luar sistem

hukum itu sendiri, sungguhpun demikian mempunyai pengaruh terhadap

sistem hukum tersebut12

Asas hukum adalah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif,

merupakan kelengkapan vital dalam legislasi, asas hukum merupakan bagian integral

dari suatu undang-undang dan sistem hukum keseluruhan. Setiap undang-undang yang

dibentuk dalam suatu negara selalu memiliki asas-asas hukum yang kuat sehingga

undang-undang tersebut dapat bertahan dalam waktu yang lama, demikian halnya Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai ketentuan hukum positif

dalam bidang penegakan hukum pidana, menganut asas-asas hukum antara lain :

1. Asas legalitas, memberi pedoman bahwa tidak seorangpun dapat dihukum atas suatu

kejahatan jika tidak ada peraturan yang mengatur mengenai kejahatan tersebut

sebelum kejahatan dilakukan ” tidak ada perbuatan yang boleh dihukum selain atas

kekuatan aturan pidana dalam undang-undang, yang diadakan pada waktu sebelum

perbuatan itu terjadi “, Pasal 1 KUHP (SV) Nederland berbunyi “ Strafvordering

helf alleen plaats op de wijze bij de wett voozien” ( acara pidana dijalankan hanya

menurut cara yang diatur oleh undang-undang) 13 . Proses penyidikan tidak akan

dilakukan jika penyidik tidak/belum menemukan peraturan perundang-undangan

yang diduga dilanggar oleh terlapor.

2. Prinsip /Asas keseimbangan antara perlindungan terhadap harkat dan martabat

manusia, dengan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat14.

3. Prinsip /Asas praduga tidak bersalah, bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap,

ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap

sebagai orang yang tidak bersalah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang

12 Loc. Cit

13 Sunarso Siswanto H., 2012, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, Jakarta

hal. 131

14 Harahap, M. Yahya, 2004, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan

dan Penuntutan, Edisi 2, Cetakan ke-6, Sinar Grafika Jakarta, hal. 38

Page 13: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa terdakwa adalah orang yang

bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan terhadapnya. Diharapkan

semua pihak mengesampingkan asas praduga bersalah (presumtion of guil), karena

dalam proses pembuktian tidak menutup kemungkinan hakim akan memutus bahwa

terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan

oleh penuntut umum baik putusan bebas (vrijspraak) maupun pelepasan dari segala

tuntutan hukum (onstlag van alle rechtsvervolging) 15.

4. Prinsip /Asas Akusator, dimana dalam setiap perkara tersangka harus diajukan ke

muka pengadilan dengan tidak memihak, dan diperiksa sesudah tersangka

memperoleh haknya secara penuh untuk mengajukan pembelaan .

5. Prinsip / deferensiasi fungsional, yaitu setiap badan atau sub sistem telah ditetapkan

fungsi dan wewenangnya masing-masing tetapi saling ketergantungan antara

subsistem penyidik, penuntut umum, hakim, lembaga pemasyarakatan, serta

advokat/penasehat hukum.

6. Prinsip /Asas peradilan dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan serta

bebas, jujur dan tidak memihak; dimana dengan adanya batas waktu yang pasti

pada setiap tahap penangan perkara tidak ada lagi orang-orang (tersangka/terdakwa)

menyandang status tersangka dalam waktu yang lama/ berlarut-larut tanpa adanya

kepastian hukum.

Proses penanganan perkara tidak ribet dalam arti tidak lagi terjadi proses pra

penuntutan yang memakan waktu lama karena petunjuk penuntut umum (peneliti)

tidak bisa dipenuhi oleh penyidik, atau penyidik sengaja berlama-lama tidak

mengirimkan kembali berkas perkara kepada penuntut umum (Kejaksaan).

Tidak ada lagi laporan masyarakat dalam waktu yang lama tidak ada kejelasanya.

Tidak ada lagi surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dalam waktu

lama tidak ditindak lanjuti dengan pengiriman berkas perkara tahap I (pertama).

Tidak ada lagi berkas perkara yang sudah dinyatakan lengkap oleh penuntut umum

tidak ditindak lanjuti dengan penyerahan perkara tahap kedua / penyerahan

tanggung jawab tersangka dan barang bukti oleh penyidik kepada penuntut umum.

15 Hamzah Andi, 2007, Terminologi Hukum Pidana, Edisi 1 Cetakan pertama, Sinar Grafika

Offset, Jakarta hal. 126

Page 14: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

Tidak ada lagi penanganan perkara pada tahap penuntutan dan upaya hukum yang

memakan waktu cukup lama, bertahun-tahun (upaya hukum).

Bagi warga negara yang tersangkut suatu tindak pidana tidak lagi mengeluarkan

biaya yang banyak untuk keperluan mengurus perkara, tidak ada mafia hukum yang

menguras uang para pesakitan dan mereka cukup mengeluarkan biaya untuk

membayar ongkos/biaya perkara .

Tindakan penyidik yang tidak kunjung mengirimkan berkas perkara kepada

penuntut umum dan/atau hasil penyidikan yang sering kali dikembalikan oleh

penuntut umum kepada penyidik untuk dilengkapi akan berpengaruh kepada

kepercayaan masyarakat kepada instansi penyidik16 .

7. Prinsip /Asas perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa.

Aparatur penegak hukum dalam melaksanakan tugas-tugas penegakan hukum (law

inforcement) baik disengaja maupun tidak melakukan pelanggaran terhadap hak-hak

tersangka / terdakwa baik hak didampingi penasehat hukum, hak diam, hak

mendapat pemeriksaan yang cepat, hak mengajukan saksi/ahli yang

menguntungkan, hak mendapat bentuan juru bahasa dan lain sebagainya.

Memberikan perlindungan terhadap para saksi / korban. Memberikan penghargaan

bagi warga yang berjasa mengungkap suatu peristiwa pidana.

8. Prinsip /Asas pemeriksan dipersidangan pengadilan dilakukan secara terbuka untuk

umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang

1.7.2. Teori Sistem Peradilan Pidana

Sistem Peradilan Pidana Indonesia yang didasarkan kepada Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai landasan bertindak bagi aparat

penegak hukum, merupakan satu kesatuan sistem, karena pelaksanaan pidana tersebut

tidak terlepas dari sub-subsistem yang saling mendukung antara subsistem struktur

hukum, subsistem substansi hukum maupun subsistem kultur hukum. Adapun ciri

pendekatan sistem dalam hukum acara pidana menurut Romli Atmasasmita adalah :

16 Yahya Harahap, M. Op.Cit. hal 357

Page 15: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

a. Titik berat pada kondisi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana

(kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan lembaga Pemasyarakatan).

b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen

peradilan pidana

c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi

penyelesaian perkara

d. Penggunaan hukum sebagai instrument untuk memanfaatkan “The

administration of justice”17

Pendekaan dalam sistem peradilan pidana indonesia adalah pendekatan yang

menggunakan segenap unsur (struktur hukum) yang terlibat didalamnya sebagai satu

kesatuan dan saling berhubungan, saling mempengaruhi satu sama lain, yaitu

kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan18. Dalam sistem

peradilan pidana dikenal ada dua model pendekatan dikotomi, yaitu pendekatan Crime

Control Model (CCM) dan pendekatan Due Process Model (DPM);19, pendekatan

Crime Control Model mengutamakan pemberantasan kejahatan dengan tindakan

represif terhadap suatu kriminal dan efisiensi dengan penekanan efektivitas kecepatan

dan kepastian. Sedangkan pendekatan Due Process Model menekankan proses

peradilan yang mengutamakan prosedur formal yang sudah ditetapkan dalam undang-

undang, setiap prosedur adalah penting dan harus dilaksanakan secara ketat

Sistem Peradilan Pidana secara umum bertujuan untuk melaksanakan proses

hukum yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan (due process model), dalam

proses hukum yang baik memiliki persyaratan antara lain: adanya ketentuan hukum

yang jelas, tiap-tiap komponen penegak hukum memiliki tugas dan fungsi yang jelas,

memiliki koordinasi dan kerjasama secara berkelanjutan, dan adanya pengawasan

internal maupun eksternal dalam pelaksanaan tugas masing-masing.

Konsep due process model sangat menjunjung tinggi adanya supremasi hukum.

Penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus sesuai dengan

17 Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem peradilan Pidana Persefektif Eksistensialisme dan

Abolisionisme, Cetakan 2, Putra Abardin, Bandung, hal. 9-10

18 Fachmi,2011, Kepastian hukum mengenai Putusan Batal Demi Hukum Dalam Sistem Perddilan

Pidana Indonesia, PT. Ghalia Indonesia Publishing, Jakarta, hal.123

19 Packer,Herbert L.. 1968, The Limits of The Criminal Santion, West Publishing, New York

London, hal.24.

Page 16: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

persyaratan konstitusionil dan harus mentaati hukum, serta menghormati hal sebagai

berikut :

a. The right of self incrimination, tidak seorangpun dapat dipaksa menjadi saksi

yang memberatkan dirinya dalam suatu tindak pidana.

b. Dilarang mencabut, menghilangkan hak hidup, kemerdekaan atau harta benda

tanpa sesuai dengan ketentuan hukum acara.

c. Setiap orang harus “terjamin hak terhadap diri, kediaman, surat-surat atas

pemeriksaan dan penyitaan yang tidak beralasan”.

d. Hak konfrontasi dalam bentuk pemeriksaan silang dengan orang yang

menuduh atau melaporkan.

e. Hak memperoleh pemeriksaan yang cepat.

f. Hak perlindungan yang sama dan perlakuan yang sama dalam hukum.

g. Hak mendapat bantuan penasehat hukum20 .

Sistem Peradilan Pidana dapat diuraikan pengertianya kata demi kata sebagai

berikut:

sistem berarti suatu susunan ataupun jaringan tentunya pada sistem terdapat

komponen-komponen yang merupakan bagian atau sub-sub yang kemudian

menyatu membentuk sistem, hubungan antara beberapa unsur yang satu

tergantung pada unsur yang lain. Peradilan merupakan derivasi dari kata adil,

yang diartikan sebagai tidak memihak, tidak berat sebelah ataupun keseimbangan

dan secara keseluruhan, peradilan dalam hal ini adalah menunjukan kepada suatu

proses, yaitu proses untuk menciptakan atau mewujudkan keadilan dan kata

Pidana yang dalam ilmu hukum pidana (criminal scientific by law) diartikan

sebagai hukuman, sanksi, dan ataupun penderitaan yang diberikan yang dapat

mengganggu keberadaan fisik maupun fsikis dari orang yang terkena pidana itu21.

Sistem Peradilan Pidana Indonesia menggunakan pendekatan Due Process Model

yaitu melaksanakan proses peradilan pidana sesuai prosedur hukum yang telah diatur

dan ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang

prosesnya dimulai dari tahap penyidikan, pra penuntutan, tahap penuntutan, tahap

pemeriksaan dipersidangan termasuk upaya hukum dan berakhir pada pelaksanaan

putusan pengadilan.

Pemahaman mengenai sistem peradilan pidana di Indonesia diperkenalkan oleh

ahli hukum Mardjono Reksodiputro, yang memberikan batasan tentang Sistem Perailan

Pidana adalah “sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada

20 Harahap, M. Yahya, Op.Cit. hal 95-96

21 Fachmi. Op.Cit. hal 49-50

Page 17: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

dalam batas toleransi masyarakat22”. Disadari atau tidak bahwa kejahatan itu ada seiring

dengan berkembangnya peradaban hidup manusia, oleh karena itu adanya kejahatan

harus ditekan seminimal mungkin.

Pendapat ahli hukum Remington dan Ohlin mengenai Sistem Peradilan Pidana

adalah sebagai berikut :

Sistem Peradilan Pidana (Criminal justice system) dapat diartikan sebagai

pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana.

Sebagai suatu sistem, peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan

perundang-undangan, praktek administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.

Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang

dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil

tertentu dengan segala keterbatasannya 23

Melalui Sistem Peradilan Pidana ini akan diperoleh cara penyelesaian perkara atau

penanggulangan kejahatan yang baik dan adil (doe process of law) .

Muladi menyatakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan

kerja (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya,

baik hukum pidana materil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana24.

Reformasi dibidang hukum idealnya harus dilakukan melalui pendekatan sistem

hukum25. Pendekatan sistem yang dimaksud adalah adanya hubungan kerjasama/

koordinasi antara unsur-unsur aparat hukum yang terkait satu dengan yang lain. Sudikno

Mertokusumo mengartikan sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari

unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerjasama untuk mencapai

tujuan kesatuan tersebut26 . Tujuan yang ingin dicapai dalam sistem hukum adalah

terpenuhinya rasa keadilan masyarakat, adanya kepastian hukum dalam rangka

kesejahteraan masyarakat .

22 Reksodiputro, Mardjono, 1994, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Peranan penegak Hukum

Melawan Kejahatan, FHUI, Jakarta, hal. 84-85

23 Susanto, Anton F. 2004, Wajah Peradilan Kita, Konstruksi Sosial Tentang penyimpangan,

Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana,PT. Refika Aditama, Bandung, hal.74

24 Ibid, hal 76.

25 Basrief Arief, 2013, Menata Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Kumpulan Makalah Jaksa

Agung Republik Indonesia Tahun 2012, Gaung Persada Press, Jakarta, hal 2.

26 Lok.Cit.

Page 18: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

Proses penanggulangan kejahatan, dalam hukum acara pidana Indonesia

diimplementasikan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integreted Criminal

Justice System). Keterpaduan sistem peradilan pidana tersebut memiliki ciri tersendiri

dibanding dengan sistem pradilan pidana di negara lain, dimana tiap-tiap aparat penegak

hukum memiliki wadah/lembaga tersendiri namun dalam pelaksanaan tugas mereka

tetap melakukan kerja sama dan saling membantu demi kelancaran penanganan perkara.

Pengertian dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) menurut Muladi

dinyatakan :

Sinkronisasi/keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan, pertama

Sinkronisasi Struktural yaitu keserempakan dan keselarasan dalam kerangka

hubungan antara lembaga penegak hukum, kedua Sinkronisasi Substansial yaitu

keserempakan dalam keselarasan yang sifatnya fertikal dan hirisontal dalam

kaitannya dengan hukum positif, dan ketiga Sinkronisasi Kultural yaitu

keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-

sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan

Pidana27

Antara aparat penyidik dengan penuntut umum senantiasa ada koordinasi dalam

tahap prapenuntutan, penyidik penuntut umum dengan pengadilan terjadi koordinasi

dalam pertanggung jawaban hasil penyidikan, penuntut umum dengan Pemasyarakatan

terjadi koordinasi dalam hal penitipan penahanan serta pelaksanaan putusan pengadilan

dan lain sebagainya .

Tujuan akhir dari sistem peradilan pidana dalam jangka panjang, yakni

mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang merupakan tujuan kebijakan sosial, dalam

jangka pendek yakni mengurangi terjadinya kejahatan dan residivisme28, pada

prinsipnya sistem peradilan pidana merupakan sarana untuk mencegah sekaligus

menanggulangi kejahatan .

1.7.3. Teori Pembentukan Hukum (Perundang- undangan).

27 Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP, Semarang,

hal.4

28 Ali Zaidan.,M. 2015, Op. Cit, hal .116

Page 19: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

Sebagai Negara hukum yang mengedepankan asas legalitas formal, maka hukum

yang diberlakukan cenderung dalam bentuknya yang tertulis, namun masih tetap

memberi peluang berlakunya hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang dalam

masyarakat. Hukum dalam bentuk tertulis perwujudannya berupa peraturan perundang-

undangan yang dibuat oleh pejabat/lembaga yang berwenang untuk itu. Dalam

pembentukan hukum (peraturan perundang-undangan) tidak bisa terlepas dari asas

hukum, teori hukum maupun doktrin hukum. Salah satu teori hukum yang dikenal

dengan teori penjenjangan yang dikebangkan oleh Hans Nawiasky menerangkan

bahwa “suatu norma hukum negara selalu berlapis-lapis dan berjenjang yakni mulai

dari norma yang paling bawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih

tinggi dan seterusnya sampai pada norma tertinggi yang disebut norma dasar 29” yang

merupakan pengembangan teori penjenjangan dari Hans Kelsen. Dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan, disamping harus memperhatikan penjenjangan hukum,

maka menurut ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2011 Nomor 82) harus juga berpedoman pada asas pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

a. Kejelasan tujuan

b. Kelembagaan atau pembentuk yang tepat

c. Kesesuain atara jenis, hirarki dan materi muatan

d. Dapat dilaksanakan

e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan

f. Kejelasan rumusan, dan

g. keterbukaan

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011

menyatakan materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas:

a. pengayoman,

b. kemanusiaan,

c. kebangsaan,

d. kekeluargaan,

e. kenusantaraan,

f. bhineka tunggal ika,

29 Rais Rozali, 2013 Teori Pembenttukan perundang-Undangan,

birohukum.pu.go.id/component/content/article/101.html diunggah tanggal 23 September 2013

Page 20: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

g. keadilan,

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan ,

i. ketertiban dan kepastian hukum, dan /atau,

j. keseimbangan, keserasian dan keselarasan

Dan ayat (2) memberi peluang dalam penerapan asas-asas lain sesuai kebutuhan

perundang-undangan yang bersangkutan .

Reformasi menghendaki terjadinya perubahan hukum kearah yang lebih baik,

mewujudkan tujuan hukum seperti keadilan, kepastian hukum, ketentraman dan

kesejahteraan masyarakat, masyarakat membutuhkan ketertiban serta keteraturan

sehingga membutuhkan hukum, hukum sudah ada di negeri ini sehingga cara-cara

untuk “mengadilkan, membenarkan, meluruskan serta membumikan” hukum menjadi

pekerjaan yang tidak dapat ditawar-tawar30 untuk segera dilakukan, perubahan maupun

pembentukan peraturan perundang-undangan baru saat ini mengarah kepada tipe hukum

responsif.

Mochtar Kusumaatmadja, mengajarkan konsep pembangunan bidang hukum

Indonesia yang memandang hukum sebagai sarana pembaharuan, disamping sebagai

sarana untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum31 , hukum dipandang sebagai

sarana pembangunan sosial dalam rangka mewujudkan kesejahteraan kehidupan dalam

masyarakat. Salah satu konsep dasar yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja

yang memandang hukum sebagai “alat pembaharuan masyarakat”, yang diilhami oleh

pemikiran Rosco Pound yang mengintroduksikan bahwa “ law as a tool of social

engineering”32, hukum harus peka terhadap perkembangan masyarakat serta

menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.

Upaya membuat peraturan perundang-undangan yang baik, maka dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan nilai-nilai filosofis,

sosiologis, ekonomis dan yuridis, yang hidup dan berkembang dalam masyarakat,

30 Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum Prograsip sebuah sintesa Hukum Indonesia, Genta Publising,

Materam , hal.123.

31 Khudzaifah Dimyati, 2004, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran

Hukum di Indonesia 1945-1990, Cetakan pertama, Muhamadyah University Press, Surakarta, hal 29

32 Ibid, hal. 175- 176.

Page 21: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

pembuatan peraturan perundang-undangan tidak dapat dilakukan secara serta merta

mengadopsi hukum-hukum yang berkembang dari negara lain.

Proses pembaharuan hukum acara pidana yang saat ini masih dalam proses

pembahasan tingkat legislatif bersama eksekutif terhadap Rancangan Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) secara konseptual telah mengikuti tata

cara pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam teori

pembentukan hukum, sehingga bila RUU-KUHAP tersebut nantinya disahkan menjadi

undang-undang mudah diterapkan, ditaati oleh masyarakat serta mampu bertahan untuk

waktu yang lama.

1.7.4. Teori Penemuan Hukum .

Reformasi pembangunan bidang hukum, meliputi reformasi struktur hukum,

substansi hukum serta kultur hukum, reformasi struktur hukum dilakukan dengan

memperbaiki dan mengontrol sistem penegakan hukum (law enforcement) perbaikan

serta kontrol tersebut dilakukan baik secara internal maupun eksternal yang ditandai

dengan dibentuknya Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Yudiasial, Komisi Kejaksaan,

Komisi Ombusman, Komisi Pemberantasan Korupsi dan lain sebagainya, dibentuknya

berbagai komisi tersebut dilatar belakangi kurang efektifnya kinerja serta pengawasan

internal lembaga-lembaga penegak hukum. Sedangkan reformasi substansi hukum

dilakukan dengan penciptaan/pembuatan peraturan perundang-undangan (hukum) baru

serta perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada yang

dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman khususnya ilmu pengetahuan

dan teknologi yang berkembang secara dinamis. Reformasi budaya hukum dilakukan

dengan cara menanamkan nilai-nilai moral serta ketaatan terhadap norma-norma yang

berlaku serta memberi teladan yang baik dan benar kepada masyarakat, meningkatkan

peran serta masyarakat dalam mengawasi kinerja aparatur penegak hukum.

Reformasi bidang hukum menghendaki terjadinya perubahan perilaku aparat

penegak hukum serta perilaku masyarakat yang semakin sadar dan taat hukum,

mewujudkan kepastian hukum, keadilan, ketentraman dan keteraturan. Hukum sudah

ada di negeri ini tinggal bagaimana cara-cara untuk “mengadilkan, membenarkan,

Page 22: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

meluruskan serta membumikan” hukum menjadi pekerjaan yang tidak dapat ditawar-

tawar33 untuk segera dilakukan, perubahan maupun pembentukan peraturan perundang-

undangan yang baru mengarah kepada tipe hukum responsif.

Tipe hukum responsif dipandang cocok untuk dikembangkan saat ini dengan

pertimbangan:

Pertama, proses pembuatannya bersifat “ partisipatif”, yakni mengundang

sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial

dan individu di dalam masyarakat.

Kedua, dilihat dari fungsinga maka, hukum yang bersifat responsif lebih

“aspiratif”.

Ketiga , dilihat dari segi ‘penafsiran’ maka hukum yang berkarakter responsif

biasanya memberi sedikit peluang bagi pemerintah untuk membuat penafsiran

sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan, dan peluang yang sempit itupun

hanya berlaku untuk hal-hal yang betul-betul bersifat teknis34.

Konsep dasar penciptaan / penemuan hukum yang dikemukakan oleh Mochtar

Kusumaatmadja salah satunya memandang hukum sebagai “alat pembaharuan

masyarakat”, yang diilhami oleh pemikiran Rosco Pound yang mengintroduksikan

bahwa “ law as a tool of social engineering”35, hukum harus peka terhadap

perkembangan masyarakat serta menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.

Upaya penemuan hukum oleh hakim dapat kita jumpai dalam ketentuan Pasal 5

ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang

menentukan, “Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Rumusan pasal ini

diilhami oleh asas “ hakim tidak boleh menolak mengadili suatu perkara dengan alasan

tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya “, setiap perkara yang

masuk ke lembaga pengadilan wajib diperiksa, diadili dan diputus. Jika suatu perkara

yang diterima hakim belum/tidak ada undang-undang yang mengaturnya maka hakim

diwajibkan menggali hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, karena

hukum yang demikian akan lebih mencerminkan rasa keadilan dalam masyarakat

33 Satjipto Rahardjo, Hukum Prograsip Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Genta Publising, Mataram

2009, hal.123.

34 Khudzaifah Dimyati,Op Cit hal 107

35 Ibid hal. 175- 176.

Page 23: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

setempat, untuk selanjutnya dapat diikuti dan ditaati oleh masyarakat, tindakan seperti

inilah yang disebut penemuan hukum .

Pandapat ahli (doktrin) hukum mengenai difinis dari penemuan hukum

(rechtvinding), diantaranya diungkapkan oleh Paul Scholten yang menyatakan

“penemuan hukum adalah sesuatu yang lain dari pada hanya penerapan peraturan pada

peristiwanya36”. Penemuan hukum semacam ini dilakukan oleh hakim, dalam

penanganan suatu perkara.

D.H.M. Meuwissen mengatakan “penemuan hukum adalah proses kegiatan

pengambilan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi

situasi individual (putusan-putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh notaris, dan

sebagainya)37, Meuwissen melihat hukum sebagai suatu kenyataan aktivitas yang

menimbulkan akibat hukum .

Secara garis besar dikenal ada dua metode penemuan hukum, yakni :

(1) Metode interpretasi, yaitu penemuan yang dilakukan dengan cara melakukan

penafsiran terhadap teks undang-undang yang sudah ada, masih tetap berpegang

pada bunyi teks itu, metode interprestasi ini terdiri dari gramatikal, historis,

sistematis, teleologis, komparatif, futuristic, restriktif, ekstensif, autentik,

interdisipliner.

(2) Metode konstruksi, dalam metode ini hakim menggunakan penalaran logisnya untuk

mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, Hakim dalam melakukan

penemuan hukum tidak lagi berpegang pada bunyi teks peraturan perundang-

undangan, tapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.

Jenis metode ini terdiri dari : analogi (Argumentum Per Analogiam), Argumentum a

Contrario, Penyempitan/Pengkonkretan hukum (rechtsverfijning), Fiksi hukum .

Di Indonesia penemuan hukum banyak dilakukan oleh hakim pada Mahkamah

Konstitusi (MK) seperti diantaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUU-

XII/2014 tanggal 28 April 2015 yang menetapkan bahwa “penetapan sebagai tersangka

36 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Ke 7, Liberty, Yogyakarta, 2009,

halaman 37.

37 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011, halaman

106-107

Page 24: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

dan … adalah merupakan obyek dari Gugatan Pra peradilan” padahal dalam Pasal 77

huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ditetapkan yang menjai obyek

praperadilan adalah mengenai “ sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,

penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, dst. ..” namun oleh Hakim

Mahkamah Konstitusi tindakan “penetapan sebagai tersangka “telah ditetapkan untuk

dijadikan obyek gugatan Pra peradilan dan hal tersebut telah diterapkan oleh beberapa

hakim pengadilan negeri di Indonesia. Tidak tertutup kemungkinan bahwa ketentuan

batas waktu penyidikan dapat dijadikan temuan hakim dalam rangka mengissi

kekosongan hukum ( judge made law) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana (KUHAP)

Pengisian kekosongan hukum juga dapat dilakukan lembaga legislatif bersama-

sama lembaga eksekutif atau lembaga eksekutif sendiri, sesuai kewenangan yang

dimiliki masing-masing, sebagaimana diatur alam konstitusi Negara R.I. UUDNRI 1945

) Pasal 5 dan Pasal 20, 21 dan 22 . Bentuk pengisian kekosongan hukum dapat berupa

perubahan atau penambahan pasal atau ayat baru dalam peraturan perundang-undangan

yang sudah ada, atau penemuan peraturan yang baru.

1.7.5. Teori Hak Asasi Manusia (HAM) Bidang Hukum

Pengakuan, perlindungan serta pemenuhan terhadap hak-hak asasi manusia di

Negara Indonesia secara konstitusi telah diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun

1945 beserta perubahan (amandemen) baik hak asasi bidang sosial, politik, hukum

maupun budaya, kemudian secara substansial juga telah diatur dalam berbagai

peraturan perundang-undangan yang bersifat organik. Namun demikian awal mula

pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia secara formil oleh

negara pada mulanya berkembang di negara-negara eropah, salah satu contoh dalam

sistem hukum eropah yang mengatur mengenai perlindugan terhadap hak-hak asasi

pelaku kejahatan dapat dilihat dalam ketentuan European Convention on Human Rights

(ECHR), dimana pada Pasal 6 (3) (e) dari ECHR tersebut menyatakan “Everyone

charge with a criminal offence [….] “has the rights to free assistance of an interpreter

if he cannot understand or speak the language used court, terjemahan bebasnya Setiap

Page 25: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

orang yang dituduh melakukan kejahatan [……] punya hak mendapatkan bantuan

dalam bentuk penerjemah gratis jika orang itu tidak bisa mengerti atau tidak bisa bahasa

yang digunakan di pengadilan.38”, (ECHR) berkembang jauh sebelum lahirnya

Decleration of Human Rights, hal ini menandakan bahwa pengakuan dan perlindungan

terhadap hak-hak tersangka telah diatur dalam konvensi (Convention) di Eropah.

C de Rover memberi pengertian hak asasi manusia adalah hak hukum yang

dimiliki setiap orang sebagai manusia. Sedangkan John Locke menyatakan hak asasi

adalah hak yang diberikan langsung oleh Tuhan sebagai sesuatu yang bersifat kodrati.

Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia sejak tahun 1948 mulai

mendapat perhatian secara internasional yang ditandai dengan dideklarasikannya

Piagam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak-

Hak Asasi Manusia 1948, yang diikuti dengan deklarasi hak-hak asasi manusia bidang

sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tahun

1966, deklarasi tersebut mewajibkan tiap-tiap negara anggota Perserikatan Bangsa-

Bangsa untuk memberi perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia

bidang sipil dan politik dalam keadaan apapun.

Ciri-cii khusus dari hak asasi manusia antara lain : ham tidak dpat dilaksanakan

secara mutlah karena dapat merugikannhak orang lain; tidak dapat dicabut artinya tidak

dapat dihilangkan atau diserahkan kepada pihak lain; dan tidak dapqt dibagi aartinya

semua orang berhak mendaptkan semua haknya.

Perkembangan konsepsi tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga mewarnai

perkembangan hukum baik dalam tataran internasional dan domestik, HAM dapat

dijadikan sebagai acuan bagi hukum pidana di masing-masing negara untuk menerapkan

konsepsi humanisasi dan sivilisasi agar sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang

berkaitan dengan perbuatan dan pertanggung jawaban pidana39

Pengaturan hak-hak asasi manusia bidang hukum dalam konstitusi negara R.I.

dapat di temukan dalam rumusan Pasal 27 UUDNRI Tahun 1945 yang mengatur

mengenai persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, sedangkan dalam

38 Ida Elisabeth Koch, 2009, Human Rights as Indivisible Rights, The Protection of Socio-

Economic Demands under the European Convention on Human Rights, Martinus Nijhoff Publishers,

Leiden.Boston, Page 7 Capter 1.

39 Ali Zaidan.M. Op. Cit.hal 123

Page 26: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

Pasal 28 D ayat (1) menyatakan “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan

perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan

hukum“.

Konsep perlindungan hak asasi manusia khususnya bagi mereka yang terlibat

masalah hukum (tersangka), adalah setiap orang harus diperlakukan sama dan sederajat

dihadapan hukum, mereka memiliki hak-hak sipil maupun politik.

Upaya pemerintah mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain dalam

pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia bagi warga negara

(bidang sipil dan politik) dilakukan dengan turut meratifikasi Kovenan Internasional

Hak Sipil dan Politik tahun 1966 (International Covenant on Civil and Political Rights

(ICCPR)) melalui Undang-undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan

Internasional Hak Sipil Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005

Nomor 119), dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 point 3.

Pokok-pokok isi kovenan internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, antara lain

menyebutkan:

Pasal 1, bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri

dan menyerukan kepada semua negara, termasuk negara-negara yang

bertanggung jawab atas Pemerintahan Wilayah yang tidak berpemerintahan

sendiri dan Wilayah Perwalian, untuk memajukan perwujudan hak tersebut . dst.

Pasal 6 sampai dengan Pasal 27 pada pokoknya menetapkan bahwa setiap

manusia mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungan oleh hukum, dan

bahwa tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang ,

tidak seorangpun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang

kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat, tidak seorangpun boleh

diperbudak, bahwa perbudakan dan perdagangan budak dilarang, dan bahwa

tidak seorangpun boleh diperhamba, atau diharuskan melakukan kerja paksa atau

kerja wajib, tidak seorangpun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-

wenang, tidak seorangpun boleh dipenjarakan hanya atas dasar ketidak

mampuannya memenuhi kewajiban kontraktualnya.

Orang yang didudukan sebagai tersangka memiliki hak Previleges berupa

perlindungan dari stigmatisasi praduga bersalah artinya setiap orang yang disangka

telah melakukan suatu tindak pidana tidak boleh divonis atau dicap atau dilabelisasi

sebagai pelakunya, karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) menerapkan asas “ praduga tidak bersalah “, maka sebelum ada putusan

pengadilan yang menyatakan bahwa benar terdakwa tersebut sebagai pelaku tindak

Page 27: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

pidana dan putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka

tersangka harus tetap dianggap sebagai orang yang tidak bersalah .

Merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk mewujudkan perlindungan,

pemenuhan serta penegakan hak asasi manusia, sebagaimana dirumuskan dalam

ketentuan Pasal 28 J ayat (4) Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia

dinyatakan “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia

adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah “.

Perwujudan komitmen pemerintah dalam pemenuhan hak-hak asasi manusia

dibidang hukum pidana dapat dilihat dalam KUHAP yang telah mengatur sejumlah hak-

hak tersangka dan pemenuhannya bersifat wajib. Menurut Sofyan Lubis, dalam sistem

peradilan pidana di negara kita, terutama yang ada di dalam KUHAP, pada prakteknya

terjadi sangat banyak pelanggaran terhadap hak-hak tersangka terutama ditingkat

penyidikan, dan setiap pelanggaran terhadap KUHAP ternyata tidak ada aturan yang

dengan jelas memberikan sanksi bagi mereka yang telah melakukan pelanggaran

tersebut40, sehingga aparat secara leluasa dapat menyalahgunakan kewenangan yang

berakibat terjadinya pelanggaran hak-hak tersangka .

1.7.6. Teori Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy) .

Kata Policy (kebijakan) dalam “Blacks Law Dictionary” disebut, “The general

principles by which a gounernment is guided in the managemen of public affairs”.

Sedangkan menurut G. Pringgodigdo kata “kebijakan” bukanlah terjemahan dari Policy,

tetapi terjemahan dari “ wisdom”. Policy diartikan dengan kebijaksanaan, sedangkan

“wisdom” diartikan sebagai “kebijakan” 41.

40 Sofyan Lubis, Op. Cit, hal. 10

41 Nuraeny,Henny 2011, Tindak Pidana Perdagangan Orang Kebijaksan Hukum Pidana dan

Pencegahannya, Sinar Grafika, Jakarta Timur, hal 43-44

Page 28: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

G. Peter Hoefnagels memberikan beberapa rumusan politik kriminal sebagai : The

science of responses", the science of crime prevention", "a policy of detignating human

behavior as crime " dan " a rational total of the respond to crime42.

Menurut Marc Ancel, poltitik hukum pidana (penal policy) adalah suatu seni yang

pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif

dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, yang tidak saja kepada

pembuat undang-undang, tetapi juga kepada aparat pelaksana undang-undang43.

Politik hukum pidana mencakup ruang lingkup kebijakan yang luas, yang meliputi

bidang hukum pidana yang tidak dapat dilepaskan dari pembaharuan hukum pidana .

Politik Hukum Pidana berintikan tiga tahap, yakni tahap formulasi, tahap aplikasi dan

tahap eksekusi. Tahap formulasi merupakan tahap perumusan undang-undang yang

diwujudkan dalam bentuk pasal-pasal dan penjelasanya. Tahap aplikasi dan eksekusi

adalah tahap penerapan suatu undang-undang, yang berkaitan erat dengan proses

peradilan44 Sudarto memberikan arti politik hukum sebagai berikut :

1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan

dan situasi pada suatu waktu

2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan

peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk

mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai

apa yang dicita-citakan45 .

Hukum bukanlah suatu institusi yang statis, ia mengalami perkembangan, bahwa

hukum itu berubah dari waktu ke waktu46(dinamis). Dengan pesatnya perkembangan

peradaban hidup manusia diikuti dengan perkembangan dunia politik, ilmu

pengetahuan dan teknogi, maka sifat dinamis yang dimiliki hukum mengharuskan ia

42 Hoefnagels,G. Peter. 1986. The Other Side of Criminology, Holland : Kluwer-Deventer Holland,

halaman 57.

43 Nawawi Arief, Barda, 1992,Politik Hukum Pidana, Pasca Sarjana Universitas Indonesia,

Jakarta, hal. 1

44 Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi ( P3DI) Sekretarriat Jendral Dewan

Perwakilan Rakyat Repub lik Indonesia, 2012, Op.Cit. hal.82.

45 Sudarto, dan Hamdan,M. 1997, Hukum dan Hukum Pidana, sebagaimana dikutip dalam

Politik Hukum Pidana, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 161.

46 Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro, Semarang, hal. 213

Page 29: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

senantiasa mengikuti perubahan dan perkembangan tersebut. Ada adigium yang

menyatakan bahwa perkembangan hukum selalu terbelakang dibanding dengan

perkembangan pemikiran manusia terutama yang mengarah kepada kejahatan, baik

dalam bidang hukum pidana, perdata, hukum tata negara dan lain sebagainya .

Barda Nawawi Arief, menyatakan politik hukum pidana mengandung arti

bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan

pidana yang baik47. Sementara itu menurut beliau pembaharuan hukum pidana tidak

hanya menyangkut masalah substansinya saja, akan tetapi selalu berkaitan dengan nilai

nilai yang ada, beliau menyatakan bahwa :

Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya mengandung makna, suatu upaya

untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan

nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural masyarakat Indonesia

yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan

hukum di Indonesia. 48.

Barda Nawawi Arief dalam sebuah seminar di Semarang, menyatakan kebijakan

pengembangan/ peningkatan kualitas peradilan tentunya terkait dengan berbagai aspek

yang mempengaruhi kualitas peradilan / penegakan hukum, berbagai aspek itu dapat

mencakup kualitas individual (SDM), kualitas institusional / kelembagaan, kualitas

mekanisme tata kerja/menajemen, kualitas sarana dan prasarana, kualitas substansi

hukum/ perundang-undangan, dan kualitas lingkungan (kondisi sosial, ekonomi, politik,

budaya, termasuk budaya hukum masyarakat)49, penomena hukum yang terjadi dewasa

ini adalah penanganan perkara pidana berlangsung lama, berbelit-belit, dan tidak

sederhana. Keadaan semacam ini yang menimbulkan krisis kepercayaan terhadap

hukum, masyarakat menjadi skeptis dan pesimis untuk memperoleh rasa keadilan dan

kepastian hukum .

Berbagai permasalah yang terjadi dalam proses penegakan/penerapan hukum tidak

terlepas dari permasalah substansi hukum yang sudah usang, baik ketentuan hukum

materiil maupun ketentuan hukum formilnya. Kurangnya pembinaan mental, integritas

47 Ali Zaidan.,M. Op.Cit. hal 63 48 Nawawi Arief, Barda, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya

Bakti, Bandung, hal .28

49 Susanto,Antonius F. 2004, Wajah Peradilan Kita, Konstruksi Sosial tentang Penyimpangan,

Mekanisme Kontrol Dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 5

Page 30: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

dan profesionalisme aparat pelaksana hukum, rendahnya sumber daya manusia serta

kurangnya dukungan sarana dan prasarana di bidang masing-masing juga merupakan

faktor yang utama penyebab kemerosotan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan

hukum .

Kebijakan pemerintah dalam rangka mengatasi permasalahan substansi hukum

adalah dengan membuat agenda perubahan hukum baik materiil maupun formil.

Perubahan dalam arti luas yaitu melakukan revisi/penyempurnaan undang-undang yang

sudah ada maupum membuat ketentuan perundang-undangan yang baru. Mengingat

bahwa hukum acara pidana yang berlaku saat ini usianya sudah cukup tua serta dalam

rumusan undang-undang terdapat banyak kelemahan-kelemahan, maka pemerintah

berniat melakukan perubahan terhadap hukum acara pidana (formil) yang berlaku saat

ini, hal tersebut diwujudkan dengan pengajuan Rancangan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kepada lembaga legislatif untuk dilakukan

pembahasan, RUU KUHAP pembahasanya sudah berlangsung sejak beberapa tahun,

namun sampai saat ini belum berhasil ditetapkan menjadi undang-undang. Pada intinya

pembaharuan hukum pidana (formil mapun materiil) harus mencerminkan nilai-nilai

yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga memiliki

ciri tersendiri diantara hukum pidana negara-negara lain.

1.7.7. Teori Kepastian Hukum .

Tujuan dari pada hukum adalah menciptakan kepastian hukum dan keadilan, yaitu

ketegasan penerapan hukum itu sendiri dimana hukum tersebut berlaku terhadap semua

orang tanpa pandang bulu. Kepastian hukum merupakan syarat mutlak untuk

terlaksananya supremasi hukum di dalam suatu negara hukum50, Kepastian hukum

adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat

memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan51. Yang dimaksud kepastian

50 Fachmi, Op.Cit. hal 33

51 Sudikno, Mertokusumo, Op.Cit hal. 160.

Page 31: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

hukum disini adalah pelaksanaan peraturan sesuai dengan apa yang tersurat dalam

peraturan perundang-undangan/ putusan pengadilan, tidak disimpangi .

Mewujudkan kehidupan masyarakat yang tertib dan teratur dibutuhkan

ketertiban dan kepastian pelaksanaan penegakan hukum, prinsip persamaan kedudukan

dalam hukum (equality befor the law) harus benar-benar diterapkan. Teori hukum

positif mengajarkan bahwa hukum positif adalah hukum yang berlaku

pada suatu negara pada saat itu, teori hukum positif mengedepankan hukum sebagai

peraturan perundang-undangan yang tertulis.

Peraturan perundang-undangan sebagai ketentuan hukum tertulis senantiasa

mengandung perintah, larangan serta sanksi yang pasti, karena bentuknya yang

sedemikian itu maka ketentuan hukum positif dianggap memiliki nilai kepastian yang

jauh lebih permanen dari pada ketentuan hukum kebiasaan yang tidak tertulis, karena

ketentuan hukum yang tidak tertulis sewaktu-waktu dapat berubah mengikuti

perkembangan situasi dan kondisi setempat .

Bagir Manan menyatakan pengertian kepastian hukum tidak hanya terbatas pada

keberadaan kaidah hukum atau peraturan perundang-undangan. Kepastian hukum

mencakup juga kepastian proses dan kepastian penerapan atau pelaksanaan, atau

eksekusi52,

Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan oleh Jan M. Otto, yaitu bahwa

kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan:

1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah

diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;

2) Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan

hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;

3) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu

menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;

4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan

aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan

sengketa hukum; dan

5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan. 53

52 Manan, Bagir, 2000, Bundel makalah II Tertib Peraturan Perundang-Undangan Menurut

Ketetapan MPR RI. Nomor III/MPR/2000, tanpa penerbit, Jakarta, hal 3.

53 Sidharta, 2006, Moralitas Profesi Hukum : Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, hal. 85

Page 32: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

Kepastian hukum sebagai doktrin dalam sistem hukum (legal system) mengajarkan

kepada setiap aparat penegak/pelaksana hukum untuk mendayagunakan hukum yang

sama untuk kasus yang sama. Doktrin kaum positivis yang dikenal pula sebagai doktrin

the supreme state of (national) law yang mengajarkan dan meyakini adanya status

hukum yang mengatasi kekuasaan dan otoritas lain, semisal otoritas politik 54. Ajaran

kaum positivis inilah yang menerapkan asas equality befor the law yaitu yang

mengedepankan persamaan perlakuan hukum, hukum diterapkan baik terhadap

masyarakat maupun aparatur pemerintah termasuk didalamnya aparat penegak hukum,

sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam penerapan peraturan perundang-

undangan .

Hukum yang ditegakkan oleh instansi penegak hukum yang diserahi tugas untuk

itu harus menjamin “kepastian hukum” demi tegaknya ketertiban dan keadilan dalam

kehidupan masyarakat 55. Ketidak pastian penegakan hukum akan menimbulkan

kekacauan dan ketidak harmonisan dalam kehidupan masyarakat, pelaku kejahatan akan

sesuka hati melakukan tindakan yang merugikan orang lain sementara masyarakat

sebagai korban terus merasakan ketidak adilan .

Kepastian hukum menghendaki adanya konsistensi dalam perumusan peraturan

perundang-undangan, baik antara peraturan satu dengan yang lain maupun antara pasal

satu dengan yang lain, tidak terjadi tumpang tindih yang dapat menimbulkan konflik

dalam pelaksanaannya (konflik norma), tidak mudah menimbulkan pemahanan yang

gamang sehingga mudah ditafsirkan berbeda sesuai kebutuhan pihak tertentu (norma

kabur) serta tidak ada tindakan atau peristiwa hukum yang tidak diatur dalam suatu

perundang-undangan (kekosongan norma ) .

Hakekat Kepastian hukum nenurut Daniel S. Lev dalam Soerjono Soekanto adalah

:

suatu kepastian tentang bagaimana setiap warga negara atau golongan-golongan

masyarakat menyelesaikan masalah masalah hukum, kemudian bagaimana

peranan dan kegunaan lembaga-lembaga hukum bagi masyarakat, apakah hak-

54 Wignyosoebroto, Soetandyo, 2006, Sebuah Risalah Ringkas, rujukan untuk ceramah dan diskusi “

Kreteria dan Pengertian Hakim Dalam Perspektif Filosofis, Sosiologis dan Yuridis “ dalam Seminas

Nasional bertema “ Problema Pengawasan Penegakan Hukum di Indonesia “ diselenggarakan oleh

Komisi Yudisial dan PBNU-LPBHNU, Jakarta, hal .1

55 Yahya Harahap, Op Cit. hal 76

Page 33: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

hak dan kewajiban-kewajiban bagi para warga masyarakat dan seterusnya. Jadi

kepastian hukum buklanlah berarti bahwa wujudnya semata-mata didalam

peraturan tertulis belaka56.

Demi kepastian hukum setiap perubahan hukum dimungkinkan untuk memenuhi

harapan masyarakat untuk menghadapi apa yang dinamakan ketidak berdayaan hukum

dalam penerapannya dalam penyerasian nilai-nilai yang ada .

Terhadap ketidak sempurnaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) Roeslan Saleh menyatakan bahwa “tidak dapat undang-undang merevolusi

dirinya sendiri57 “, namun kewajiban mewujudkan kepastian hukum dan keadilan tetap

menjadi tanggung jawab penegak hukum

1.7.8. Kerangka Berpikir :

KETENTUAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM DALAM

PERSPEKTIF IUS CONSTITUTUM TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN HAK ASASI

TERSANGKA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA (IUS

CONSTITUENDUM)

56 S.Lev. Daniel dalam Soekanto Soerjono, 1970, Judicial Sistem and Culture in Indonesia,

CV.Rajawali, Jakarta, hal. 32-33

57 Saleh Roeslan, Op.Cit. hal. 24

Page 34: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

Latar Belakang Masalah:

Kepercayaan masyarakat

terhadap kinerja aparat penegak

hukum akhir-akhir ini

mengalami kemerosotan .

Hal tersebut disebab banyak

terjadi penanganan perkara yang

tidak memberi kepastian hukum,

rasa keadilan serta penghormatan

terhadap hak asasi tersangka.

Bantyak terjadi laporan

/pengaduan disampaikan oleh

masyarakat bahwa telah

terjadinya suatu tindak pidana

yang diterima oleh penyidik

dalam waktu yang lama tidak ada

ujung penyelesaiannya

Masyarakat / pelapor berpra

sangka ada pihak-pihak yang

telah bermain dengan aparat

sehingga perkara tidak kunjung

selesai, perkara di peties-kan,

ada mapia peradilan dan lain

sebagainya. Penyelesaian perkara

yang demikian telah

menimbulkan terabaikan banyak

hak asasi tersangka. Keadaan

tersebut disebabkan adanya

kekosongan norma hukum dalam

KUHAP yang tidak mengatur

mengenai batas waktu tindakan

penyidikan suatu perkara pidana

(umum), serta tiak ada sanksi

bagi penyidik atas ketidak

jelasan penyelesaian suatu

perkara .

Rumusan Masalah :

1. Bagaimana pengaturan batas waktu penyidikan

tindak pidana umum terkait dengan perlindungan

hak asasi tersangka dalam Kitab Undang-Undang

hukum Acara Pidana ?

2. Bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu

penyidikan tindak pidana umum dalam hukum

acara pidana yang akan datang ?

Metode Penelitian

1. Jenis penelitian yuridis normatif

2. Sumber Bahan hukum Primer , Sekunder dan

tersier (peraturan perundang-undangan, buku-buku,

jurnal, laporan, internet )

Landasan Teoritis :

1. Asas-asas hukum, konsep hukum

2.Teori yang digunakan :, Teori Sistem Peradilan

Pidana,Teori Pembentukan hukum, Teori

Penemuan Hukum, Teori Kebijakan Hukum

Pidana, Teori HAM, Teori Kepastian Hukun, .

Tujuan umum dari tulisan ini adalah untuk

mengetahui dan menganalisis urgensi batas waktu

penyidikan tindak pidana umum dengan

perlindungan hak asasi tersangka.

Tujuan khususnya adalah untuk meneliti dan

menganalisa ketentuan waktu penyidikan perkara

tindak pidana umum dalam KUHAP serta kaitannya

dengan perlindungan dan penegakan hak asasi

tersangka, serta bagaimana sebaiknya pengaturan

batas waktu penyidikan perkaa tindak pidana umum

dalam hukum acara pidana yang akan datang

Jenis Pendekatan adalah : Pendekatan Perundang-

Undangan, Pendekatan Konsep, dan Pendekatan

Sejarah

Hasil yang ingin dicapai adalah segera dilakukan perubahan

terhadap KUHAP, dan dalam hukum acara pidana yang baru

memuat ketentuan batas waktu penyidikan secara tegas.

1.8. Metode Penelitian

Untuk memperoleh, mengumpulkan, serta menganalisa setiap data maupun

informasi yang sifatnya ilmiah, diperlukan metode agar karya tulis ilmiah mempunyai

susunan yang sistematis dan konsisten. Penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua

Page 35: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

jenis yaitu penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal dan penelitian

hukum sosiologis atau non doktrinal bersifat kuantitatif (bentuk angka)58.

Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk

menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif 59, bahan

dasar penelitian adalah dokumen meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-

buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah 60 .

Metode penelitian empiris/sosiologis atau non doktrinal adalah suatu prosedur

penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran materiil berdasarkan penelitian

lapangan atas suatu permasalahan pada lembaga atau masyarakat.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian normatif atau

doktrinal.

1.8.1. Jenis Penelitian

Dalam Penelitian ini penulis melakukan penelitian secara yuridis normatif,

dimana permasalahan yang ditemukan yaitu adanya kekosongan hukum dalam

perundang-undangan hukum acara pidana, kemudian dikaji dengan melakukan

penenelitian dampak yuridis terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku

saat ini terkait dengan tindakan aparat penegak hukum khususnya dalam rangka

penyidikan tindak pidana . Penelitian hukum normatif adalah jenis penelitian yang

lazim dilakukan dalam kegiatan pengembangan ilmu hukum yang di negara-negara

barat biasa disebut dogmatik hukum (Rechtsdogmatiek) 61.

58 Supranoto J.,2003, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, Cetakan Pertama, PT. Rineka

Cipta, Jakarta,hal.2.

59 Ibrahim Johny, 2006, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi,

Bayumedia Publishing, Surabaya, hal.57.

60 Soekanto, Suryono & Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 24

61 Irianto, Sulistyowati dan Shidarta, 2001, Editor Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan

Refleksi, Yayasa Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, hal. 142

Page 36: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

1.8.2. Jenis Pendekatan (Approach)

Penggunaan pendekatan (approach) dalam suatu penelitian hukun yuridis normatif

akan sangat menentukan hasil dari penelitian yang dilakukan, dalam penelitian

hukum yuridis normatif dikenal beberapa cara pendekatan yang lazim digunakan

antara lain :

1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)

2. Pendekatan konsep (conceptual approach)

3. Pendekaan analitis (analitical approach)

4. Pendekatan perbandingan (comparative approach)

5. Pendekatan Historis ( histirical approach)

6. Pendekatan Filsafat (philosophical approach)

7. Pendekaan Kasus (case approach) 62.

Dalam penelitian ini penulis melakukan penelitian dengan mengggunakan pendekatan :

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach); cara ini digunakan karena

dalam penelitian yuridis normatif sudah dipastikan yang dijadikan bahan hukum

utama adalah peraturan perundang-undangan, terutama yang berkaitan dengan

obyek penelitian .

b. Pendekatan Konsep (conceptual approach); Pendekatan ini beranjak dari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.

c. Pendekatan Sejarah (historical approach) ; dengan pendekatan sejarah hukum

diharapkan peneliti dapat memahami hukum (perundang-undangan) secara lebih

mendalam tentang suatu sistem hukum, sejarah sistem penyidikan sejak awal hingga

berlakunya saat ini.

d. Sedangkan pendekatan Perbandingan (comparative approach) yaitu untuk

melakukan studi perbandingan mengenai sistem penyidikan yang ada di dalam

KUHAP dengan yang ada di dalam Konsep KUHAP (Baru) dan juga perbandingan

Sistem penyidikan negara lain.

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

62 Ibrahim Johnny, 2005,Op.Cit., hal . 300

Page 37: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

Dalam metode penelitian hukum dikenal ada beberapa jenis sumber data, yaitu

sumber data primer dan sumber data sekunder. Dalam tulisan ini penulis melakukan

penelitian secara normatif, sehingga bahan yang dibutuhkan adalah data sekunder, yaitu

penelitian perpustakaan (Library Research). Data hukum sekunder berdasarkan

kekuatan pengikatnya, dapat dibedakan:

1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat berupa peraturan

perundang-undangan antara lain UUD NRI 1945, UU No. 8 tahun 1981 tenang

KUHAP, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU. No. 2 tahun

2002 tentang Kepolisian R.I. UU No. 14 tahun 1970, jo UU No. 4 tahun 2004 jo

UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 18 tahun 2003

tentang Advokat; UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan R I.; UU No. 16

tahun 2011 tenang bantuan Hukum; UU No, 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi

IICPR; PP No. 27 tahun 1983 jo pp No. 58 tahun 2010 tentang Pelaksanaan

KUHAP, dan lain-lain .

2. Bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku tentang ilmu hukum yang

berkaitan dengan penulisan tesis ini, karya-karya ilmiah, Rancangan Undang-

Undang, dan juga hasil dari suatu penelitian.

3. Bahan hukum tersier, misalnya artikel-artikel, majalah-majalah, surat kabar,

internet, kamus, dan ensiklopedia 63.

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan menggunakan Teknik Studi Dokumentasi (teknik kartu). Teknik Studi

Dokumentasi dilakukan atas bahan-bahan hukum, laporan-laporan yang relevan dengan

permasalahan penelitian.

1.8.5. Tehnik Analisis

63 Supranoto J., Op. Cit hal 2.

Page 38: PENDAHULUAN - sinta.unud.ac.id I.pdfEksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur

Pengolahan dan Analisis bahan hukum dalam penelitian ini adalah dengan

Analisis Kualitatif dimana bahan hukum yang diperoleh tersebut diolah menjadi

rangkaian kata-kata yang bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus tidak disusun

kedalam struktur klasifikasi sehingga sampel lebih kepada non probabilitas. Bahan

hukum primer dan skunder disusun secara sistematis, bahan-bahan tersebut selanjutnya

dianalisis dengan tehnik-tehnik :

a. Deskriptif, yaitu uraian-uaian ditulis dengan apa adanya terhadap suatu kondisi atau

posisi dari proposisi hukum atau non hukum.

b. Interpretatif, yaitu dengan cara menjelaskan penggunaan penafsiran dalam ilmu

hukum yang ada baik sekarang maupun diberlakukan dimasa yang akan datang.

c. Evaluatif, melakukan penilaian terhadap sesuatu pandangan, pernyataan rumusan

norma dalam bahan hukum primair maupun sekunder.

d. Argumentatif, yaitu penilaian yang didasari pada alasan-alasan yang bersifat

penalaran hukum.

Sehingga menghasilkan sebuah penelitian yang akurat sesuai kebutusan untuk

mendukung karya tulis/tulisan ilmiah .