pendahuluan - feb.unila.ac.id
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi
suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini
menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi
hal penting dalam pengelolaan pemerintah termasuk di bidang pengelolaan
keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas publik adalah pemberian
informasi dan pengungkapan seluruh aktivitas dan kerja finansial Pemerintah
Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Mardiasmo, 2002). Pengamat
ekonomi, pengamat politik, investor, hingga rakyat mulai memperhatikan setiap
kebijakan dalam pengelolaan keuangan.
Pembiayaan penyelenggaran pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi
dilakukan atas beban APBD. Dalam rangka penyelenggaran pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat berdasarkan asas desentralisasi, kepada daerah
diberi kewenangan untuk memungut pajak/retribusi dan mengelola Sumber Daya
Alam. Sumber dana bagi daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana
Perimbangan (DBH, DAU, dan DAK) dan Pinjaman Daerah, Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan. Tiga sumber pertama langsung dikelola oleh Pemerintah
Daerah melalui APBD, sedangkan yang lain dikelola oleh Pemerintah Pusat
melalui kerja sama dengan Pemerintah Daerah (Halim, 2009).
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana kegiatan
Pemerintah Daerah yang dituangkan dalam bentuk angka dan batas maksimal
untuk periode anggaran (Halim, 2002). APBD juga diartikan sebagai rencana
keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (PP No.24 Tahun 2005). Sedangkan menurut PP Nomor 58 Tahun
2005 dalam Warsito Kawedar, dkk (2008), Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan
disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan
Peraturan Daerah. Dengan dikeluarkannya Undang-undang No.33 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah, maka daerah diberikan otonomi atau kewenangan
kepada daerah untuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Adanya
desentralisasi keuangan merupakan konsekuensi dari adanya kewenangan untuk
mengelola keuangan secara mandiri. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan
fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan
pengeluaran disektor publik maka mereka harus mendapat dukungan sumber-
sumber keuangan yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana
Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan lain-lain dari pendapatan yang sah
(Halim,2009). Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan
daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Optimalisasi penerimaan
Pendapatan Asli Daerah hendaknya didukung upaya Pemerintah Daerah dengan
meningkatkan kualitas layanan publik (Mardiasmo, 2002).
Sesuai dengan ketentuan umum di UU Otonomi Daerah No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah yang telah menggantikan UU No. 22 tahun 1999.
Pelaksanaan kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah, dimulai
secara efektif pada tanggal 1 Januari 2001, merupakan kebijakan yang dipandang
sangat demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi yang sesungguhnya.
Desentralisasi sendiri mempunyai tujuan untuk lebih meningkatkan kesejahteraan
dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi,
keadilan, pemerataan dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah serta antar daerah (dalam sidik et al, 2002, yang dikutip oleh
Maemunah,2006).
Pengelolaan keuangan daerah yang diatur dalam Peraturan Menteri No.13 tahun
2006 ini meliputi kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, azas umum dan
struktur APBD, penyusunan rancangan APBD, penetapan APBD, penyusunan dan
penetapan APBD bagi daerah yang belum memiliki DPRD, pelaksanaan APBD,
perubahan APBD, pengelolaan kas, penatausahaan keuangan daerah, akuntansi
keuangan daerah, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pembinaan dan
pengawasan pengelolaan keuangan daerah, kerugian daerah, dan pengelolaan
keuangan BLUD (Permendagri,2006).
Menurut Halim (2009) permasalahan yang dihadapi daerah pada umumnya
berkaitan dengan penggalian sumber-sumber pajak dan retribusi daerah yang
merupakan salah satu komponen dari PAD masih belum memberikan konstribusi
signifikan terhadap penerimaan daerah secara keseluruhan. Kemampuan
perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah. Hal tersebut dapat
mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi daerah. Peranan
Pendapatan Asli Daerah dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat
kecil dan bervariasi antar daerah, yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Sebagian
besar wilayah Provinsi dapat membiayai kebutuhan pengeluaran kurang dari 10%.
Distribusi pajak antar daerah sangat timpang karena basis pajak antar daerah
sangat bervariasi. Peranan pajak dan retribusi daerah dalam pembiayaan yang
sangat rendah dan bervariasi terjadi hal ini terjadi karena adanya perbedaan yang
sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak pada biaya
relative mahal) dan kemampuan masyarakat, sehingga dapat mengakibatkan biaya
penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi.
Selain itu, permasalahan yang terjadi saat ini adalah Pemerintah Daerah terlalu
menggantungkan alokasi DAU untuk membiayai belanja modal dan pembangunan
tanpa mengoptimalkan potensi yang dimiliki daerah. Disaat alokasi DAU yang
diperoleh besar, maka Pemerintah Daerah akan berusaha agar pada periode
berikutnya DAU yang diperoleh tetap. Menurut Adi (2006) proporsi DAU
terhadap penerimaan daerah masih yang tertinggi dibanding dengan penerimaan
daerah yang lain, termasuk PAD (Ndadari, L.W, 2008).
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang
berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Optimalisasi penerimaan Pendapatan
Asli Daerah hendaknya didukung upaya Pemerintah Daerah dengan meningkatkan
kualitas layanan publik (Mardiasmo, 2002).
Dalam Undang-undang No.32 Tahun 2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan
kewenangan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat akan mentransfer Dana
Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi
Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil yang terdiri dari pajak dan sumber daya
alam. Disamping Dana Perimbangan tersebut, Pemerintah Daerah mempunyai
sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), pembiayaan,
dan lain-lain pendapatan daerah.
Dana Alokasi Umum merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Pembagian dana untuk daerah melalui bagi hasil berdasarkan daerah penghasil
cenderung menimbulkan ketimpangan antar daerah. Daerah yang mempunyai
potensi pajak dan Sumber Daya Alam (SDA) yang besar hanya terbatas pada
sejumlah daerah tertentu saja. Peranan Dana Alokasi Umum terletak pada
kemampuannya untuk menciptakan pemerataan berdasarkan pertimbangan atas
potensi fiskal dan kebutuhan nyata dari masing-masing daerah.
Kabupaten Tulang Bawang merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Lampung
yang dalam kurun waktu 11 (sebelas) tahun mengalami 2 kali pemekaran daerah.
Kabupaten Tulang Bawang terpisah dari Kabupeten Lampung Utara dan menjadi
Daerah Otonimi Baru (DOB) pada tahun 1998 berdasarkan Undang-undang
Nomor 2 tahun 1997 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Tulang
Bawang dan Kabupaten Daerah Tingkat II Tanggamus (Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 1997 Nomor 2, tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3667). Kemudian pada tahun 2009 Kabupaten Tulang Bawang
dimekarkan lagi menjadi 3 (tiga) kabupaten yaitu Kabupaten Tulang Bawang
sebagai kabupaten induk serta Kabupaten Tulang bawang barat dan Kabupaten
Mesuji sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB).
Sebelum dimekarkan pada tahun 2009 , Kabupaten Tulang Bawang merupakan
kabupaten dengan luas daerah terbesar di Propinsi Lampung dengan luas wilayah
sebesar 6.851,32 km2 (www.indonesiadata.co.id). Namun berdasarkan laporan
keuangan yang diperoleh dari data Kementrian Keuangan RI dalam kurun waktu
2001 s.d 2010 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Tulang Bawang bukan
merupakan yang tertinggi di Propinsi Lampung.
Berdasarkan permasalahan di atas maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian berjudul “PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
DAN DANA ALOKASI UMUM (DAU) TERHADAP BELANJA MODAL
PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang dikemukakan di atas, maka dapat
diidentifikasi rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Daerah
Kabupaten Tulang Bawang?
2. Bagaimana perkembangan Dana Alokasi Umum (DAU) Pemerintah Daerah
Kabupaten Tulang Bawang?
3. Bagaimana perkembangan belanja modal Pemerintah Daerah Kabupaten
Tulang Bawang?
4. Bagaimana pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi
Umum (DAU) terhadap terhadap belanja Pemerintah Daerah Kabupaten
Tulang Bawang?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan Penelitian ini untuk
memberikaan bukti empiris tentang:
1. Pengaruh positif Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap belanja Pemerintah
Daerah Kabupaten Tulang Bawang.
2. Pengaruh positif Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap belanja Pemerintah
Daerah Kabupaten Tulang Bawang.
3. Pengaruh positif Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum
(DAU) terhadap terhadap belanja Pemerintah Daerah Kabupaten Tulang
Bawang.
1.3.2 Manfaat Penelitian
a. Bagi Pengembangan Ilmu
1) Penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber untuk
mengembangkan kegiatan keilmuan, khususnya untuk program kebijakan
Pemerintah Daerah.
2) Sebagai bahan acuan bagi peneliti lain yang berkepentingan untuk
mengkaji lebih lanjut tentang permasalahan sejenis.
b. Bagi Fakultas Ekonomi Universitas Lampung
1) Secara akademis penelitian ini diharapkan menambah wawasan,
pengetahuan dan referensi bagi mahasiswa guna mengembangkan
disiplin ilmu manajemen.
2) Secara metodologis hasil penelitian ini diharapkan dapat mendorong
kegiatan-kegiatan penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan kebijakan
Pemerintah Daerah.
c. Bagi Pemerintah Kabupaten Tulang Bawang
1) Kontribusi empiris pada pengaruh DAU dan PAD terhadap alokasi
belanja daerah Kabupaten Tulang Bawang.
2) Konstribusi kebijakan untuk Memberikan masukan bagi Pemerintah
Pusat maupun Daerah dalam hal penyusunan kebijakan di masa yang
akan datang
3) Bagi Peneliti
Agar dapatnya penelitian ini dipergunakan sebagai wahana dan menambah
wawasan serta sarana untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh dan
untuk memecahkan masalah-masalah yang terjadi di lingkungan pemerintah.
1.4 Kerangka Pemikiran
PAD adalah Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari Hasil Pajak Daerah,
Retribusi Daerah, Pendapatan dari Laba Perusahaan Daerah dan lain-lain
Pendapatan Yang Sah. Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN
yang dialokasikan dengan tujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar
daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Belanja daerah adalah semua pengeluaran Pemerintah Daerah pada
suatu periode anggaran. Alokasi belanja daerah terdiri dari belanja tidak langsung
dan belanja langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang tidak
memiliki keterkaitan secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan,
terdiri dari belanja pegawai, belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja
bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Sedangkan belanja
langsung merupakan belanja yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan
program dan kegiatan yang meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa
serta belanja modal.
Hasil penelitian Nur Indah Rahmawati (2010) tentang Pengaruh Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Alokasi Belanja
Daerah (Studi Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah), PAD dan DAU
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap alokasi belanja daerah. Jika dilihat
lebih lanjut, tingkat ketergantungan alokasi belanja daerah lebih dominan terhadap
PAD daripada DAU.
Berdasarkan kerangka berpikir penulisan seperti di atas maka dapat digambarkan
sebagai berikut:
1.5 Hipotesis
Hipotesis yang sesuai dengan masalah penelitian yang diajukan adalah :
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh signifikan terhadap belanja
Pemerintah Daerah Kabupaten Tulang Bawang.
2. Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh signifikan terhadap belanja
Pemerintah Daerah Kabupaten Tulang Bawang.
Pendapatan Asli Daerah
Dana Alokasi Umum
Belanja Pemerintah Daerah
Tulang Bawang
3. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh
signifikan terhadap belanja Pemerintah Daerah Kabupaten Tulang Bawang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hasil Penelitian terdahulu
Sesuai dengan judul penelitian yang penulis lakukan, banyak peneliti yang telah
melakukan penelitian terlebih dahulu yang hasilnya seperti berikut :
Tabel 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu
Peneliti Judul Variabel Hasil
Nur IndahRahmawati(2010)
PengaruhPendapatan AsliDaerah(PAD) dan DanaAlokasi Umum(DAU)Terhadap AlokasiBelanja Daerah(Studi PemerintahKabupaten/Kota diJawaTengah)
Variabel BebasX1 =PendapatanAsli daerah(PAD)X2 = DanaAlokasiUmum(DAU)
Variabel TerikatY1 = BelanjaLangsungY2 = BelanjaTidakLangsung
PAD dan DAUmempunyaipengaruh yangsignifikan terhadapalokasi belanjadaerah. Jika dilihatlebih lanjut,tingkatketergantunganalokasi belanjadaerah lebihdominan terhadapPADdaripada DAU
BernadaGatot TriBawono(2008)
PengaruhDana Alokasi Umum(DAU) danPendapatan AsliDaerahTerhadap AlokasiBelanja Daerah(studi padaKabupaten/Kota diJawa Barat danBanten)
Variabel BebasX1 = DanaAlokasiUmumX2 =PendapatanAsli Daerah
Variabel TerikatY = BelanjaPemerintah
PAD dan DAUbaik secara terpisahmaupun serentakdan baik denganlag ataupun tanpalag mempunyaipengaruh yangsignifikan terhadapbelanja daerah.Tingkat
Daerah tergantunganbelanja daerahlebih dominanterhadap DAUdaripada PAD
Prakoso(2004)
Analisis PengaruhDana Alokasi Umumdan Pendapatan AsliDaerah TerhadapPrediksi BelanjaDaerah (studiempirik di WilayahProvinsi Jateng danDIY)
Variabel BebasX1 = DanaAlokasiUmumX2 =PendapatanAsli Daerah
Variabel TerikatY = BelanjaPemerintahDaerah
Dana AlokasiUmum danPendapatan AsliDaerahberpengaruh secarasignifikan terhadapbelanja daerah.Dalam modelprediksi belanjadaya prediksi DanaAlokasi Umumterhadap belanjadaerah tetap lebihtinggi dibandingdaya prediksiPendapatan AsliDaerah, hal inimenunjukkan telahterjadi flypapereffect.
Sari danYahya(2009)
Analisis pengaruhDAU terhadapbelanja modal
Variabel bebas:DAU
Variabel terikat:belanja modal
Secara parsial DAUmempunyaipengaruh positifdan signifikanterhadap belanjamodal. Denganpemahaman bahwaapabila belanjamodal menurunmaka dapatdipastikan bahwabelanja langsungjuga akan menurunkarena belanjamodal merupakanbagian dari padabelanja daerah
Mala danSeptiana(2008),
Pengaruh PADterhadap belanjamodal.
Variabel bebas:PAD
Variabel terikat:belanja modal
Secara parsial PADberpengaruhsignifikan terhadapbelanja modal.Denganpemahaman bahwaapabila belanjamodal menurunmaka dapatdipastikan bahwabelanja langsungjuga akan menurunkarena belanjamodal merupakanbagian dari padabelanja langsung.
Persamaan penelitian yang dilakukan saat ini dengan penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya adalah variabel bebasnya yaitu Pendapatan asli Daerah
(PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU), dan variabel terikat Belanja Modal
Pemerintah Daerah. Perbedaan antara penelitian saat ini dengan penelitian yang
dilakukan sebelumnya terletak pada lokasi penelitian, waktu penelitian,
penggabungan hasil penelitian tiga peneliti pada waktu yang lalu.
2.2 Kajian Teori
2.2.1 Anggaran Daerah
Untuk melaksanakan hak dan kewajibannya serta melaksanakan tugas yang
dibebankan oleh rakyat, pemerintah harus mempunyai suatu rencana yang matang
untuk mencapai suatu tujuan yang dicita-citakan. Rencana-rencana tersebut yang
disusun secara matang nantinya akan dipakai sebagai pedoman dalam setiap
langkah pelaksanaan tugas Negara. Oleh karena itu rencana-rencana pemerintah
untuk melaksanakan keuangan Negara perlu dibuat dan rencana tersebut
dituangkan dalam bentuk anggaran (Ghozali, 1997).
Berbagai definisi atau pengertian anggaran menurut Djayasinga (2007) dalam
Nurul (2008) antara lain:
1. APBD menggambarkan segala bentuk kegiatan Pemerintah daerah dalam
mencari sumber-sumber penerimaan dan kemudian bagaimana dana-dana
tersebut digunakan untuk mencapai tujuan pemerintah.
2. APBD menggambarkan perkiraan dan pengeluaran daerah yang diharapakan
terjadi dalam satu tahun kedepan yang didasarkan atas realisasinya masa yang
lalu.
3. APBD merupakan rencana kerja operasional Pemerintah Daerah yang akan
dilaksanakan satu tahun kedepan dalam satuan angka rupiah. APBD ini
merupakan terjemahan secara moneteris dari dokumen perencanaan daerah
yang ada dan disepakati yang akan dilakasanakan selama setahun.
Penyusunan APBD yang perlu menjadi acuan (BPKP, 2005 dalam Warsito, dkk
2008) sebagai berikut:
1. Transparansi dan akuntabilitas anggaran
Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa,
transparansi anggaran merupakan hal yang penting, APBD merupakan salah
satu sarana evaluasi kinerja pemerintah yang memberikan informasi mengenai
tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu
kegiatan atau proyek.
2. Disiplin anggaran
Anggaran yang disusun perlu diklarifikasikan dengan jelas agar tidak terjadi
tumpang tindih yang dapat menimbulkan pemborosan dan kebocoran dana.
Oleh karena itu penyusunan anggaran harus bersifat efisien, tepat guna, tepat
waktu dan dapat dipertanggungjawabkan.
3. Keadilan anggaran
Pembiayaan pemerintah daerah dilakukan melalui mekanisme pajak dan
retribusi yang dikenakan kepada masyarakat. Oleh karena itu, penggunaannya
harus dialokasikan secara adil dan proposional agar dapat dinikmati oleh
seluruh kelompok masyarakat.
4. Efisiensi dan efektifitas anggaran
Dana yang dihimpun dan digunakan untuk pembangunan harus dapat
dirasakan manfaatnya oleh sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu,
perencanaan perlu ditetapkan secara jelas tujuan, sasaran, hasil dan manfaat
yang diperoleh masyarakat dengan melakukan efisiensi dan efektifitas.
5. Disusun dengan pendekatan kinerja
APBD disusun dengan pendekatan kinerja, yaitu mengutamakan upaya
pencapaian hasil kinerja dari perencanaan alokasi biaya atau input yang telah
ditetapkan. Hasil kerjanya harus sepadan atau lebih besar dari biaya atau input
yang telah ditetapkan. Selain itu harus mampu menumbuhkan profesionalisme
kerja setiap organisasi kerja yang terkait.
Anggaran adalah rencana kegiatan keuangan yang berisi perkiraan belanja yang
diusulkan dalam satu periode dan sumber pendapatan yang diusulkan untuk
membiayai belanja tersebut. Anggaran merupakan alat penting di dalam
penyelenggaran pemerintahan (Arif, 2002). Adanya keterbatasan dana yang
dimiliki oleh pemerintah menjadi alasan mengapa penganggaran menjadi
mekanisme terpenting untuk pengalokasian sumber daya.
Menurut Susanti (2008) dalam Nurul (2008) menjelaskan bahwa anggaran tidak
hanya sebagai rencana keuangan yang menetapkan biaya dan pendapatan pusat
pertanggungjawaban dalam suatu perusahaan tetapi juga merupakan alat bagi
manajer tingkat atas untuk mengendalikan, mengkoordinasikan,
mengkomunikasikan, mengevalusi kinerja dan memotivasi bawahannya.
Anggaran daerah merupakan salah satu alat yang memegang peranan penting
dalam rangka meningkatakan pelayanan publik dan didalamnya tercermin
kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan sumber-sumber
kekayaan daerah. Sedangkan APBN merupakan rencana keuangan tahunan
pemerintah negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat/DPR (UU
Keuangan Negara, 2002).
2.2.2 Alokasi Anggaran Balanja Daerah
Belanja daerah adalah semua pengeluaran Pemerintah Daerah pada suatu periode
Anggaran. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah terdiri dari tiga komponen
utama, yaitu unsur penerimaan, belanja rutin dan belanja pembangunan. Ketiga
komponen itu meskipun disusun hampir secara bersamaan, akan tetapi proses
penyusunannya berada di lembaga yang berbeda (Halim, 2009).
Proses penyusunan APBD secara keseluruhan berada di tangan Sekretraris Daerah
yang bertanggung jawab mengkoordinasikan seluruh kegiatan penyusunan APBD.
Sedangkan proses penyusunan belanja rutin disusun oleh Bagian Keuangan
Pemerintah Daerah, proses penyusunan penerimaan dilakukan oleh Dinas
Pendapatan Daerah dan proses penyusunan belanja pembangunan disusun oleh
Bappeda (Dedy Haryadi et al, 2001 dalam Pratiwi, 2007).
Dalam Permendagri Nomor 13 tahun 2006, Belanja Daerah di definisikan sebagai
semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas
dana, merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan
diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah. Belanja daerah dipergunakan
dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan
pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang
dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar
pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.
Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban
daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan,
kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layakserta mengembangkan
sistem jaminan sosial. Peningkatan kualitas kehidupan masyarakat diwujudkan
melalui prestasi kerja dalam pencapaian standar pelayanan minimal sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Belanja menurut kelompok belanja terdiri dari
belanja tidak langsung dan belanja langsung. Kelompok belanja tidak langsung
merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan
pelaksanaan program dan kegiatans sedangkan kelompok belanja langsung
merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan
program dan kegiatan.
1. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri
dari:
a. belanja pegawai;
b. bunga;
c. subsidi;
d. hibah;
e. bantuan sosial;
f. belanja bagi basil;
g. bantuan keuangan; dan
h. belanja tidak terduga.
2. Kelompok belanja langsung dari suatu kegiatan dibagi menurut jenis
belanja yang terdiri dari:
a. belanja pegawai yaitu belanja untuk pengeluaran honorarium/upah
dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah.
b. belanja barang dan jasa yaitu belanja yang digunakan untuk
pengeluaran pembelian/pengadaan barang yang nilai manfaatnya
kurang dari 12(duabelas) bulan dan/atau pemakaian jasa dalam
melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah
c. belanja modal yaitu belanja yang digunakan untuk pengeluaran
yang dilakukan dalam rangka pembelian/pengadaan atau
pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat
lebih dari 12 (duabelas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan
pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin,
gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap
lainnya.
Menurut penelitian Pambudi (2007) belanja juga dapat dikategorikan menurut
karakteristiknya menjadi dua bagian, yaitu: (1) Belanja selain modal (Belanja
administrasi umum; Belanja operasi, pemeliharaan sarana dan prasarana publik;
Belanja transfer; Belanja tak terduga). (2) Belanja modal.
Secara umum belanja dalam APBD dikelompokan menjadi lima kelompok
(Pambudi, 2007), yaitu:
1. Belanja administrasi umum.
Merupakan semua pengeluaran Pemerintah Daerah yang tidak berhubungan
secara langsung dengan aktivitas atau pelayanan publik. Kelompok belanja
administrasi umum terdiri atas empat jenis, yaitu:
a. Belanja pegawai merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk
orang/personal yang tidak berhubungan secara langsung dengan aktivitas
atau dengan kata lain merupakan biaya tetap pegawai.
b. Belanja barang merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk
penyediaan barang dan jasa yang tidak berhubungan langsung dengan
pelayanan publik.
c. Belanja perjalanan dinas merupakan pengeluaran pemerintah untuk biaya
perjalanan pegawai dan dewan yang tidak berhubungan secara langsung
dengan pelayanan publik.
d. Belanja pemeliharaan merupukan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk
pemeliharaan barang daerah yang tidak berhubugan secara langsung
dengan pelayanan publik.
2. Belanja operasi, pemeliharaan sarana dan prasarana publik merupakan semua
pengeluaran Pemerintah Daerah yang berhubungan dengan aktivitas atau
pelayanan publik. Kelompok belanja ini meliputi:
a. Belanja pegawai (Kelompok Belanja Operasi dan Pemeliharaan sarana dan
prasarana Publik) merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk
orang/peronal yang berhubugan langsung dengan suatu aktivitas atau
dengan kata lain merupakan belanja pegawai yang bersifat variabel.
b. Belanja barang (Kelompok Belanja Operasi dan Pemeliharaan sarana dan
prasarana Publik) merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk
penyediaan barang dan jasa yang berhubungan langsung dengan pelayanan
publik.
c. Belanja perjalanan (Kelompok Belanja Operasi dan Pemeliharaan sarana
dan prasarana Publik) merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah untuk
biaya perjalanan pegawai yang berhubungan langsung dengan pelayanan
publik.
d. Belanja pemeliharaan (Kelompok Belanja Operasi dan Pemeliharaan
sarana dan prasarana Publik) merupukan pengeluaran Pemerintah Daerah
untuk pemeliharaan barang daerah yang mempunyai hubugan langsung
dengan pelayanan publik.
3. Belanja modal merupakan pengeluaran Pemerintah Daerah yang manfaatnya
melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah
dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya
operasi dan pemeliharaan. Belanja modal dibagi menjadi:
a. Belanja publik, yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara
langsung oleh masyarakat umum.
b. Belanja aparatur, yaitu belanja yang manfaatnya tidak secara langsung
dinikmati oleh masyarakat, tetapi dirasakan langsung oleh aparatur.
4. Belanja transfer merupakan pengalihan uang dari pemerintah daerah kepada
pihak ketiga tanpa adanya harapan untuk mendapatkan pengembalian imbalan
maupun keuntungan dari pengalihan uang tersebut. Kelompok belanja ini
terdiri atas pembayaran:
a. Angsuran pinjaman.
b. Dana bantuan.
c. Dana cadangan.
5. Belanja tak tersangka adalah pengeluaran yang dilakukan oleh Pemerintah
Daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan tak terduga dan kejadian-kejadian
luar biasa. Menurut Nurlan (2008) menyatakan bahwa belanja tidak terduga
merupakan belanja untuk kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak
diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam dan bencana sosial
yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk pengembalian atas kelebihan
penerimaan daerah tahun-tahun sebelumnya yang telah ditutup.
2.2.3 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Penerimaan Pendapatan Asli Daerah merupakan akumulasi dari Pos Penerimaan
Pajak yang berisi Pajak Daerah dan Pos Retribusi Daerah, Pos Penerimaan Non
Pajak yang berisi hasil perusahaan milik daerah, Pos Penerimaan Investasi serta
Pengelolaan Sumber Daya Alam (Bastian, 2002). Pendapatan Asli Daerah (PAD)
merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli
daerah. Identifikasi sumber Pendapatan Asli Daerah adalah meneliti, menentukan
dan menetapkan mana sesungguhnya yang menjadi sumber Pendapatan Asli
Daerah dengan cara meneliti dan mengusahakan serta mengelola sumber
pendapatan tersebut dengan benar sehingga memberikan hasil yang maksimal
(Elita dalam Pratiwi, 2007).
Kendala utama yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam melaksanakan otonomi
daerah adalah minimnya pendapatan yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Proporsi Pendapatan Asli Daerah yang rendah, di lain pihak menyebabkan
Pemerintah Daerah memiliki derajat kebebasan rendah dalam mengelola
keuangan daerah. Sebagian besar pengeluaran, baik rutin maupun pembangunan,
dibiayai dari dana perimbangan, terutama Dana Alokasi Umum. Alternatif jangka
pendek peningkatan penerimaan Pemerintah Daerah adalah menggali dari
Pendapatan Asli Daerah (Pratiwi, 2007).
Wujud dari desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan
bagi daerah yang dapat digunakan sendiri sesuai dengan potensi daerah.
Kewenangan daerah untuk memungut pajak dan retribusi diatur dalam Undang-
undang No.34 Tahun 2000 ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan dalam
PP No.65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP No.66 Tahun 2001 tentang
Retribusi Daerah. Berdasarkan ketentuan daerah diberikan kewenangan untuk
memungut 11 jenis pajak dan 28 jenis retribusi (Halim, 2009). Menurut
Brahmantio (2002) pungutan pajak dan retribusi daerah yang berlebihan dalam
jangka pendek dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, namun dalam jangka
panjang dapat menurunkan kegiatan perekonomian, yang pada akhirnya akan
menyebabkan menurunnya Pendapatan Asli Daerah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang
berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Adapun kelompok Pendapatan Asli
Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu (Halim, 2002):
1. Pajak Daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari pajak.
2. Retribusi Daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari retribusi
daerah. Dalam struktur APBD baru dengan pendekatan kinerja, jenis
pendapatan yang berasal dari pajak daerah dan restribusi daerah berdasarkan
UU No.34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 18 Tahun 1997
tentang Pajak Daerah dan Rertibusi Daerah, dirinci menjadi:
a. Pajak Provinsi. Pajak ini terdiri atas: (i) Pajak kendaraan bermotor dan
kendaraan di atas air, (ii) Bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB)
dan kendaraan di atas air, (iii) Pajak bahan bakar kendaran bermotor, dan
(iv) Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air
permukaan.
b. Jenis pajak Kabupaten/kota. Pajak ini terdiri atas: (i) Pajak Hotel, (ii)
Pajak Restoran, (iii) Pajak Hiburan, (iv) Pajak Reklame, (v) Pajak
penerangan Jalan, (vi) Pajak pegambilan Bahan Galian Golongan C, (vii)
Pajak Parkir.
c. Retribusi. Retribusi ini dirinci menjadi: (i) Retribusi Jasa Umum, (ii)
Retribusi Jasa Usaha, (iii) Retribusi Perijinan Tertentu.
3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah
yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari hasil
perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut:
a. Bagian laba perusahaan milik daerah.
b. Bagian laba lembaga keuangan bank.
c. Bagian laba lembaga keuangan non bank.
d. Bagian laba atas pernyataan modal/investasi.
2.2.4 Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Pembagian dana
untuk daerah melalui bagi hasil berdasarkan daerah penghasil cenderung
menimbulkan ketimpangan antar daerah dengan mempertimbangkan kebutuhan
dan potensi daerah. Alokasi Dana Alokasi Umum bagi daerah yang potensi
fiskalnya besar namun kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi Dana
Alokasi Umum yang relatif kecil. Sebaliknya daerah yang memiliki potensi
fiskalnya kecil namun kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh alokasi Dana
alokasi Umum relatif besar. Dengan maksud melihat kemampuan APBD dalam
membiayai kebutuhan-kebutuhan daerah dalam rangka pembangunan daerah yang
dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi dengan belanja pegawai
(Halim, 2009).
Menurut Halim (2009) ketimpangan ekonomi antara satu Provinsi dengan
Provinsi lain tidak dapat dihindari dengan adanya desentralisasi fiskal.
Disebabkan oleh minimnya sumber pajak dan Sumber Daya Alam yang kurang
dapat digali oleh Pemerintah Daerah. Untuk menanggulangi ketimpangan
tersebut, Pemerintah Pusat berinisiatif untuk memberikan subsidi berupa DAU
kepada daerah. Bagi daerah yang tingkat kemiskinanya lebih tinggi, akan
diberikan DAU lebih besar dibanding daerah yang kaya dan begitu juga
sebaliknya. Selain itu untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan
pembiayaan dan penugasaan pajak antara pusat dan daerah telah di atasi dengan
adanya kebijakan bagi hasil dan Dana Alokasi Umum minimal sebesar 26% dari
Penerimaan Dalam Negeri. Dana Alokasi Umum akan memberikan kepastian bagi
daerah dalam memperoleh sumber pembiayaan untuk membiayai kebutuhan
pengeluaran yang menjadi tanggung jawab masing-masing daerah.
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai
kebutuhan pembelanjaan. Adapun cara menghitung DAU menurut ketentuan
adalah sebagai berikut (Halim, 2009):
a. Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari
penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN.
b. Dana Alokasi Umum (DAU) untuk daerah propinsi dan untuk
Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari Dana Alokasi
Umum sebagaimana ditetapkan di atas.
c. Dana Alokasi Umum (DAU) untuk suatu Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan
berdasarkan perkalian jumlah Dana Alokasi Umum untuk Kabupaten/Kota
yang ditetapkan APBN dengan porsi Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
d. Porsi Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud di atas merupakan proporsi
bobot Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. (Bambang Prakosa, 2004).
Dalam UU No.32/2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan Pemda,
Pempus akan mentransfer Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi
Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil yang terdiri
dari pajak dan Sumber Daya Alam. Disamping Dana Perimbangan tersebut,
Pemerintah Daerah memiliki sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli
Daerah (PAD), pembiayaan, dan lain-lain pendapatan yang sah. Kebijakan
penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Dana
transfer dari Pemerintah Pusat diharapkan digunakan secara efektif dan efisien
oleh Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat.
Menurut Undang-undang No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah (Provinsi,
Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan Fiscal Gap,
dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah dengan
potensi daerah. Dana Alokasi Umum digunakan untuk menutup celah yang terjadi
karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada.
2.2.5 Flypaper Effect
Dalam implementasi otonomi daerah, sumber – sumber dana yang digunakan
untuk membiayai pengeluaran daerah mengalami perbedaan dengan sebelumnya
dilaksanakannya otonomi daerah. Sebelum otonomi daerah, sumber dana untuk
pengeluaran dapat diharapkan dari transfer pemerintah pusat terhadap daerah atau
dengan kata lain daerah mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap
pemerintah pusat. Namun dengan seiring dengan berjalannya otonomi daerah
yang berarti juga daerah dituntut untuk dapat mandiri dengan cara
memaksimalkan pendapatan asli daerah. Sehingga diharapkan dapat menutupi
segala bentuk pengeluaran daerah.
Flypaper effect adalah suatu kondisi dimana stimulus terhadap pengeluaran
daerah yang disebabkan oleh adanya perubahan dalam jumlah transfer dari
pemerintah pusat lebih besar dari pada stimulus yang disebabkan oleh perubahan
pendapatan daerah.
Studi Andersson (2002) dalam Prakoso (2004) tentang perubahan sistem grants
terhadap pengeluaran pemerintah daerah di Swedia menemukan bahwa kenaikan
non-matching grants akan menyebabkan kenaikan pengeluaran pemerintah
daerah, berbeda dengan akibat dari kenaikan dalam pendapatan yang bersumber
dari pajak. Kenaikan dari tarif pajak tinggi menyebabkan penurunan dalam
pengeluaran daerah. Menurut Andersson, efek dari non-matching grant lebih
besar dibandingkan dengan matching grant dan efek ini tergantung pada
penurunan relatif atas non-matching grant untuk beberapa periode. Hasil ini
memperlihatkan terjadinya flypaper effect.
Studi yang menemukan terjadinya flypaper effect juga dilakukan oleh Aaberge
dan langorgen (1997) dalam Prakoso (2004) studi ini menganalisis mengenai
perilaku fiskal dan belanja pemda dengan simultaneous setting dan menemukan
adanya flypaper effect dalam respon daerah terhadap perubahan pendapatan. Bagi
pemda yang menjadi masalah dalam pembuatan keputusan alokasi sumber daya
adalah pemilihan kombinasi terbaik antara pajak daerah , surplus dan defisit
anggaran, dan output dalam pelayanan publik. Yang dibatasi oleh aturan bahwa
pengeluaran daerah plus surplus anggaran tidak melebihi grants dari pemerintah
pusat plus pajak daerah. Dengan demikian dapat dilihat dampak antara grants dan
pendapatan (pajak) dearah terhadap perilaku fiskal dan belanja daerah.
BAB III
METODE PENELITIAN
Pada bab 3 ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian yang meliputi
populasi dan sampel penelitian, data dan sumber data, variabel operasional,
metode analisis data serta pengujian hipotesis.
3.1 Data dan Sumber Data
Data penelitian ini berasal dari Data APBD Kabupaten Tulang Bawang. Data ini
diperoleh dari Departemen Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Perimbangan Keuangan melalui internet tahun 2001 s/d 2010 di Kabupaten
Tulang Bawang, data yang diambil berupa laporan tahunan yang berjumlah 10
laporan keuangan tahunan Kabupaten Tulang Bawang.
3.2 Definisi Operasional
3.2.1 Variabel Dependen
Pada penelitian ini variabel dependen yang digunakan adalah Belanja Daerah
(BD). Menurut penelitian Pambudi (2007) Belanja Daerah adalah semua
pengeluaran pemerintah daerah pada suatu periode anggaran. Belanja juga dapat
dikategorikan menurut karakteristiknya menjadi dua bagian, yaitu:
(1) Belanja selain modal (Belanja administrasi umum; Belanja operasi,
pemeliharaan sarana dan prasarana publik; Belanja transfer; Belanja tak
terduga).
(2) Belanja modal.
Dalam penelitian ini variabel belanja yang diteliti adalah belanja modal
Kabupaten Tulang Bawang.
3.2.2 Variabel Independen
a. Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan
dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai
kebutuhan pembelanjaannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Adapun
indikator dalam penggunaan Dana Alokasi Umum adalah sebagai berikut:
1) Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari
penerimaan dalam negeri yang di tetapkan dalam APBN.
2) Dana Alokasi Umum (DAU) untuk daerah propinsi dan untuk daerah
kabupaten/kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari dana alokasi
umum sebagaimana di tetapkan di atas.
3) Dana Alokasi Umum (DAU) untuk suatu daerah kabupaten/kota tertentu
ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah dana alokasi umum untuk seluruh
daerah kabupaten/kota yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan.
4) Porsi daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud di atas merupakan
proporsi bobot daerah kabupaten/kota yang bersangkutan terhadap jumlah
bobot semua daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
b. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang
berasal dari sumber ekonomi asli daerah (Abdul Halim 2002). Kelompok
pendapatan asli daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu:
1) Pajak Daerah.
2) Retribusi Daerah.
3) Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah
yang dipisahkan.
4) Lain-lain PAD yang sah.
3.5 Analisis Data
3.5.1 Uji Asumsi Klasik
Pengujian asumsi klasik diperlukan untuk mendeteksi ada tidaknya penyimpangan
asumsi klasik atas persamaan regresi linear berganda yang digunakan. Pengujian
ini terdiri atas uji normalitas, muktikolinearitas, heteroskedasitas dan autokorelasi.
1. Uji Asumsi Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel
dependen dan variabel independen mempunyai distribusi normal atau tidak.
Model regresi yang baik adalah yang memiliki distribusi data
normal/mendekati normal. Ada dua cara untuk mendeteksi apakah residual
berdistribusi normal atau tidak, yaitu dengan analisis grafik dan analisis
statistik (Ghozali, 2006).
Untuk mengetahui apakah data yang kita miliki normal atau tidak, kita
menggunakan uji statistik Kolmogorov-Smirnov (K-S). Santoso (2002)
memberikan pedoman pengambilan keputusan tentang data-data yang
mendekati atau merupakan distribusi normal yang dapat dilihat dari:
1. Nilai signifikansi atau probabilitas <0.05, maka data terdistribusi secara
tidak normal.
2. Nilai signifikansi atau probabilitas >0.05, maka data terdistribusi secara
normal.
Hasil dari uji dengan menggunakan uji statistik Kolmogorov-Smirnov (K-S)
adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Uji Normalitas Data
Sumber: data sekunder diolah
Hasil Kolmogrov-Smirnov menunjukkan angka 0.228 yang berarti berada di
atas 0.05 dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model tidak terkena
masalah normalitas.
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
10159.4444
177.99445.307.307
-.2181.841.228
NMeanStd. Deviation
Normal Parametersa,b
AbsolutePositiveNegative
Most ExtremeDifferences
Kolmogorov-Smirnov ZAsymp. Sig. (2-tailed)
Belanjadaerah
Test distribution is Normal.a.
Calculated from data.b.
Selanjutnya normalitas juga dapat dilihat dari gambar berikut ini:
Gambar 1 Histogram Regresi Standarisasi Residu
Dari Gambar 1 terlihat bahwa pola distribusi normal, akan tetapi jika
kesimpulan normal tidaknya data hanya dilihat dari grafik histogram, maka hal
ini dapat menyesatkan khususnya untuk jumlah sampel yang kecil. Metode
lain yang digunakan dalam analisis grafik adalah dengan melihat normal
probability plot yang membandingkan distribusi kumulatif dari distribusi
normal. Jika distribusi data residual normal, maka garis yang akan
menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya.
Gambar 2 Normal P-P Plot Regresi
Regression Standardized Residual
3.002.502.001.501.00.500.00-.50-1.00-1.50-2.00-2.50-3.00
Histogram
Dependent Variable: Belanja
Frequency
20
10
0
Std. Dev = .99
Mean = 0.00
N = 10
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual
Dependent Variable: Belanja
Observed Cum Prob
1.00.75.50.250.00
Expected Cum Prob
1.00
.75
.50
.25
0.00
Grafik probabilitas pada Gambar 2 di atas menunjukkan data terdistribusi
secara normal karena distribusi data residualnya terlihat mendekati garis
normalnya. Dengan melihat tampilan grafik histogram dapat disimpulkan
bahwa pola distribusi data mendekati normal. Kemudian pada grafik
normal plot terlihat titik-titik sebaran mendekati garis normal. Setelah data
terdistribusi secara normal maka dilanjutkan dengan Uji Multikolinearitas
untuk melihat bagaimana korelasi antara variabel bebas.
2. Uji Asumsi Multikolinearitas
Menurut Ghozali (2006) uji ini bertujuan menguji apakah pada model regresi
ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Pada model regresi
yang baik antar variabel independen seharusnya tidak terjadi kolerasi. Untuk
mendeteksi ada tidaknya multikoliniearitas dalam model regresi diilakukan
dengan melihat nilai tolerance dan nilai Variance Inflation Factor (VIF) yang
dapat dilihat dari output SPSS. Sebagai dasar acuannya dapat disimpulkan:
a. Jika nilai tolerance > 10 persen dan nilai VIF < 10, maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada multikolineritas antar variabel bebas dalam
model regresi.
b. Jika nilai tolerance < 10 persen dan nilai VIF > 10, maka dapat
disimpulkan bahwa ada multikolinaeritas antar variabel bebas dalam
model regresi.
Hasil pengujian VIF dari model regresi pada data asli maupun pada data
setelah transformasi logaritma natural adalah sebagai berikut:
Tabel 4 Pengujian MultikolinieritasVariabel Tolerance VIF Keterangan
PAD 1,000 1,000 Tidak ada multikolinieritas
DAU 1,000 1,000 Tidak ada multikolinieritasBelanja 1,000 1,000 Tidak ada multikolinieritas
Sumber: Data diolah tahun 2013Hasil pengujian menunjukkan bahwa semua variabel menunjukkan nilai VIF
yang tidak jauh dari nilai 1. Hal ini berarti bahwa variabel-variabel penelitian
tidak menunjukkan adanya gejala multikolinieritas dalam model regresi.
Dengan demikian ketiga variabel bebas dapat digunakan sebagai variabel
independen sebagai prediktor yang tidak bias.
3. Uji Asumsi Autokorelasi
Autokorelasi digunakan untuk menguji suatu model apakah antara variabel
pengganggu masing-masing variabel bebas saling mempengaruhi. Untuk
mengetahui apakah pada model regresi mengandung autokorelasi dapat
digunakan pendekatan D-W (Durbin Watson). Menurut Singgih Santoso
(2001) kriteria autokorelasi ada 3, yaitu:
a. Nilai D-W di bawah -2 berarti diindikasikan ada autokorelasi positif.
b. Nilai D-W di antara -2 sampai 2 berarti diindikasikan tidak ada
autokorelasi.
c. Nilai D-W di atas 2 berarti diindikasikan ada autokorelasi negatif.
Tabel 5 Hasil pengujian Durbin-Watson
Berdasarkan tabel 5 diperoleh nilai sebesar 1.255 yang menunjukkan bahwa
bebas autokorelasi.
4. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedasitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi
terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan
lain. Model regresi yang baik adalah yang terjadi homokedastisitas atau tidak
terjadi heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi adanya heterokedastisitas
dilakukan dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel terikat
(ZPRED) dengan residualnya (SRESID).
Dasar analisisnya:
a. Jika ada pola tertentu, seperti titik –titik yang membentuk suatu pola
tertentu, yang teratur (bergelombang, melebar, kemudian menyempit),
maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas.
b. Jika tidak ada pola tertentu serta titik–titik menyebar di atas dan dibawah
angka nol pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.
Analisis dengan grafik plot memiliki kelemahan yang cukup signifikan oleh
karena jumlah pengamatan mempengaruhi hasil ploting. Semakin sedikit
jumlah pengamatan, semakin sulit untuk mengintepretasikan hasil grafik plot.
Model Summaryb
.809 a .654 .622 110274565 1.255Model1
R R SquareAdjustedR Square
Std. Error ofthe Estimate
Durbin-Watson
Predictors: (Constant), PAD, DAUa.
Dependent Variable: Belanjab.
Untuk menentukan heteroskedastisitas dapat menggunakan grafik scatterplot,
titik-titik yang berbentuk harus menyebar secara acak, tersebar baik di atas
maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y, bila kondisi ini terpenuhi maka tidak
terjadi heteroskedastisitas dan model regresi layak digunakan.
Gambar 3. Uji Heteroskedastisitas
Titik-titik pada gambar di atas tidak membentuk pola yang teratur, tetapi
terpencar baik di atas angka 0 maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y.
Berdasarkan diagram di atas, dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi
heteroskedastisitas pada model regresi sehingga penelitian dapat dilanjutkan.
3.4 Analisis Regresi
Alat analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi berganda
(multiple regression) dengan menggunakan Software SPSS. Analisis regresi ini
dapat digunakan untuk melihat pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan
Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap belanja Pemerintah Daerah Kabupaten
Tulang Bawang (Hoover dan Sheffrin, 1992 dalam Widiyanto (2004)).
Scatterplot
Dependent Variable: Y
Regression Studentized Residual
3210-1-2-3-4
Reg
ress
ion
Sta
ndar
dize
d P
redi
cted
Val
ue
1.5
1.0
.5
0.0
-.5
-1.0
-1.5
-2.0
Regresi berganda digunakan untuk memprediksi apakah komponen-komponen
pendapatan daerah tersebut secara serempak mempengeruhi Belanja Daerah.
Persamaan regresi yang digunakan adalah sebagai berikut:
Y = α + b1X1 + b2X2 + e
Dimana:
Y : jumlah Belanja daerah
X1 : (DAUt-1) 26 b1 : Koefisien regresi 1
X2 : (PADt-1)
b2 : Koefisien regresi 2
e : Error term
3.5 Pengujian Hipotesis
Setelah didapatkan hasil perhitungan regresi linear berganda, maka perlu diadakan
pengujian terhadap koefisien regresi tersebut, yaitu dengan kofisien determinasi,
uji F dan uji t.
3.5.1 Uji t
Pengujian pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat secara parsial dapat
dilakukan dengan menggunakan uji t pada tingkat kepercayaan 95% (α = 5%)
dengan derajat kebebasan (df) = (n-k)-1. Pengaruh parsial dari seluruh variabel
bebas terhadap variabel terikat ini menggunakan rumusan hipotesis sebagai
berikut:
Pengujian Parsial terhadap variabel terikat Belanja pemerintah
Ho1 : β1 = 0, artinya, Pendapatan Asli Daerah tidak berpengaruh terhadap belanja
pemerintah.
Ha1 : β1 = ≠ 0, artinya Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap belanja
pemerintah.
Ho2 : β2 = 0, artinya, Dana Alokasi Umum tidak berpengaruh terhadap belanja
pemerintah.
Ha2 : β2 = ≠ 0, artinya Dana Alokasi Umum berpengaruh terhadap belanja
pemerintah.
Kaidah pengambilan keputusan dilakukan dengan membandingkan nilai p-value
(sig) dengan α (5%). Apabila nilai p-value dari masing-masing variabel bebas > α
(5%), maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya secara individu masing-masing
variabel bebas tidak berpengaruh terhadap variabel terikat. Sebaliknya, jika nilai
P-value dari masing-masing variabel bebas < α (5%), maka Ho ditolak dan Ha
diterima, artinya secara individu masing-masing variabel bebas berpengaruh
terhadap variabel terikat.
3.5.2 Uji F
Pengujian pengaruh seluruh variabel bebas yaitu Pendapatan Asli Daerah dan
Dana Alokasi Umum terhadap belanja pemerintah sebagai variabel terikat
dilakukan dengan menggunakan uji F dengan derajat kebebasan (df) = (n-k)-1
pada tingkat kepercayaan sebesar 95% (α = 5%).
Uji F digunakan untuk menguji pengaruh variabel independen secara bersama-
sama terhadap variabel dependen dari suatu persamaan regresi dengan
menggunakan hipotesis statistik. Pengaruh simultan dari seluruh variabel bebas
terhadap variabel terikat ini menggunakan rumusan hipotesis sebagai berikut:
Ho1 : β1 = β2 = 0, artinya Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum
secara simultan (bersama-sama) tidak berpengaruh terhadap belanja
pemerintah.
Ha1 : β1 = β2 ≠ 0, artinya Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum
secara simultan (bersama-sama) berpengaruh terhadap belanja pemerintah.
Kaidah pengambilan keputusan dalam uji F dilakukan dengan membandingkan
nilai P-value (sig) dengan α (5%). Apabila nilai p-value dari F > α (5%), maka Ho
diterima dan Ha ditolak, artinya secara bersama-sama semua variabel independen
tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Sebaliknya, jika nilai p-
value dari F < α (5%) maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya secara bersama-
sama semua variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel
dependen.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Ada pengaruh positif Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap belanja
Pemerintah Daerah Kabupaten Tulang Bawang.
2. Ada pengaruh positif Dana Alokasi Umum (DAU) dapat memprediksi belanja
Pemerintah Daerah Kabupaten Tulang Bawang.
3. Ada pengaruh positif secara bersama-sama Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dan Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap terhadap belanja Pemerintah
Daerah Kabupaten Tulang Bawang.
5.2 Saran
1. Untuk meningkatkan alokasi belanja daerah maka Pemerintah Daerah
diharapkan bisa terus menggali sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah baik
secara intensifikasi maupun extensifikasi untuk meningkatkan pendapatan
daerah, demikian juga Pemerintah Daerah agar terus mengupayakan untuk
bisa menarik Dana Alokasi Umum semaksimal mungkin.
2. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk memperbanyak sensus yang
digunakan agar hasilnya lebih representatif terhadap populasi yang dipilih.
Dan mengambil sempel selain kabupaten dan kota yang ada di Provinsi
Lampung.
3. Variabel yang digunakan dalam penelitian akan datang diharapkan lebih
lengkap dan bervariasi dengan menambah variabel independen lain baik
ukuran-ukuran atau jenis-jenis penerimaan Pemerintah Daerah lainnya,
maupun variabel non-keuangan seperti kebijakan pemerintah, kondisi makro-
ekonomi.