pendahuluan - web viewmenulis hampir mustahil tanpa membaca. ... menunjuk kepada penggunaan teori...
TRANSCRIPT
MODEL PEMBELAJARAN HUMANISTIK
Makalah dalam MatakuliahTEORI DAN MODEL DALAM
TEKNOLOGI PEMBELAJARAN (TEP731)
Pembina:Prof. Dr. H. Punaji Setyosari, M.Pd., M.Ed.
Oleh:Abdus Syakur
NIM: 110121609133 DTEP 075019
{BELUM ADA LOGO}
UNIVERSITAS NEGERI MALANG PROGRAM PASCA SARJANA TEKNOLOGI PEMBELAJARAN
OKTOBER 2011
Daftar Isi
Daftar Isi............................................................................................................................ i
Pengantar......................................................................................................................... ii
A. Pendahuluan.............................................................................................................1
B. Filsafat Humanisme..................................................................................................2
C. Psikologi Humanistik.................................................................................................3
1. Beberapa Asumsi Dasar Psikologi Humanistik...................................................4
2. Kekuatan Pendekatan Psikologi Humanistik......................................................5
D. Pembelajaran dengan Pendekatan Humanistik........................................................6
E. Model-model Pembelajaran dengan Pendekatan Humanistik.................................9
1. Model Pendidikan Populer (Popular Education)................................................9
2. Model Belajar Orang Dewasa (Adult Learning)...............................................11
3. Model Belajar Lancaster..................................................................................13
F. Kesimpulan.............................................................................................................14
Lampiran 1.....................................................................................................................15
Lampiran 2.....................................................................................................................16
Referensi........................................................................................................................17
i
Pengantar
Penuh karat dan debu tebal. Label pada rak-rak penyimpanan sebagian besar
sudah tidak terbaca lagi. Itulah gambaran awal bagaimana penulis mencoba memulai
membuka lembaran-lembaran dari long term memory yang masih terselip di sedikit
sekali skemata teknologi pembelajaran yang tersisa. Upaya rehearsal ini ternyata tidak
sesederhana perkiraan awal. Lebih-lebih lemari yang berisi hobi terbaru, uraian tekno-
praktis berada persis di dekat pintu masuk ruang (tep) ini.
Pendidikan humanistik!, konstruk besar yang segera menyergap begitu penulis
mulai menekuni tema “Mengkaji teori, model & strategi humanistik, sosial, dan afektif
dalam RSP” dalam Satuan Acara Perkuliahan berkode TEP 731. Kecamuk berbagai hal
‘kurang’, bertubi-tubi mendera pikiran dan perasaan. Kurang referensi, kurang waktu,
kurang ruang, kurang siap! Sesungguhnya yang terakhir ini yang agak tepat, dan
semuanya karena penulis kurang sigap mengelola semua sumber (termasuk sekadar
belum fotocopy dan kurangnya) daya.
Seorang kawan berujar, “Janganlah mempersulit perkara yang sudah
dipermudah, apalagi mempersulit perkara yang memang sulit”. Anyway, the show
must go on, maka meski serba gamang, penulis memberanikan diri mengotak-atik
beragam pikiran orang pakar. Penulis menyerah pada desakan waktu, dan
menggunakan (bukan)metode serabutan, dengan tidak sedikit bantuan uncle google.
Penulis berharap (mungkin tidak bisa) banyak arahan, bantuan dan saran dari
rekan-rekan di sekolah doktoral ini, dan terutama pembina matakuliah, Bapak Prof.
ii
Punaji Setyosari. Menulis hampir mustahil tanpa membaca. Sementara membaca..?
Semoga belajar membaca dan menulis lagi ini adalah langkah awal yang baik, amin.
Malang, Oktober 2011
iii
A. Pendahuluan
Penulis mulai mendekati diskursus tentang teori, model dan strategi humanistik
dalam pembelajaran, melalui penelusuran pustaka ontologis-epistemis-aksiologis
konstruk humanis, humanisme, dan humanistik, termasuk melalui sedikit sekali buku
dan mesin pencari. Kata kunci yang digunakan, pendidikan humanistik. Overview
terhadap sejumlah halaman yang terlihat representatif mengantarkan penulis pada
pernyataan bahwa model pembelajaran humanistik berakar pada filsafat humanisme
dan psikologi humanistik.
Agar diperoleh pemahaman latar yang lebih baik, penulis menelusuri kembali
cikal-bakal model humanistik dalam pembelajaran tersebut, sekali lagi melalui sedikit
buku dan mesin pencari. Meski serba singkat, simpul-simpul yang berhasil ditemukan,
kemudian dituliskan kembali disertai uraian kontekstual. Uraian kontekstual dimaksud,
berupa pemerian kedekatannya dengan model dasar pembelajaran humanistik secara
singkat.
Di atas dasar pikiran-pikiran orang pakar pada dua latar (filsafat dan psikologi)
tersebut, penulis berusaha melakukan rekonstruksi model humanistik. Rekonstruksi di
sini tidak dapat dipersepsi sebagai upaya membangun kembali konstruk pendidikan
humanistik, mengingat kapasitas tulisan ini tidak sampai pada matra itu. Rekonstruksi
yang dimaksudkan lebih kepada upaya menyatukan kembali serpihan-serpihan
pemahaman, guna memperoleh pemahaman yang agak utuh mengenai apa dan
bagaimana model humanistik itu, melalui alur berpikir sederhana deduktif > induktif.
Istilah teori, model, dan pendekatan sesungguhnya tiga hal yang berbeda,
tetapi mengingat persinggungannya yang intensif, ketiganya sering digunakan secara
1
bergantian untuk menunjuk kepada konstruk yang sama. Agar lebih jelas, penulis
menggunakan istilah teori untuk menunjuk kepada pendapat yang didasarkan pada
penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi (Setiawan E., 2010). Model
dalam hal ini dipahami sebagai pola (contoh, acuan, ragam, dsb.) dari sesuatu yang akan
dibuat atau dihasilkan (Setiawan E., 2010). Sedangkan pendekatan digunakan untuk
menunjuk kepada penggunaan teori suatu bidang ilmu untuk mendekati suatu masalah
(Setiawan E., 2010).
Kajian utama tulisan ini berupa uraian singkat tentang model-model
pembelajaran yang menggunakan pendekatan humanistik. Sedapat mungkin masing-
masing model disertai contoh atau setidaknya prinsip-prinsip utama yang digunakan.
Kemudian pada bagian akhir, penulis mengikatkan sejumlah mata rantai antara model
humanistik dengan disain pembelajaran humanistik. Mata rantai tersebut dapat
berupa konsep, prinsip, maupun prosedur yang dapat diterapkan dalam disain dan
kegiatan pembelajaran.
B. Filsafat Humanisme
Pada rentang tahun 1940-an sampai dengan tahun 1950-an kaum eksistensialis
di Eropa mempersoalkan makna dari kehidupan. Jean Paul Sartre (seorang
eksistensialis Perancis), menyatakan bahwa setiap orang bertanggung jawab atas
hidupnya sendiri, dan atas akibat dari pilihan-pilihan yang mereka buat akan
menentukan nasib mereka sendiri. Tuhan sudah mati, oleh karena itu nasib Anda ada
di tangan Anda sendiri. Hal ini digambarkan dalam novel Sartre: Les Jeux sont faits
(dadu telah dilemparkan) yang menceritakan bagaimana orang tidak dapat memilih
kebahagiaan mereka sendiri meski mereka memiliki kesempatan untuk kedua kalinya.
2
Beban kehidupan dan kenyataan bahwa manusia akan mati adalah kondisi yang
dipahami oleh banyak orang, tetapi pencarian mereka akan arti kehidupan
menghempaskan mereka ke dalam kesendirian di sudut-sudut sunyi kehidupan. Beban
tanggung jawab atas hidup sendiri kadangkala membuat pilihan bunuh diri lebih
disukai karena kematian adalah satu-satunya hal yang pasti. Trend filosofi intelektual
ini sangat berpengaruh di Eropa sendiri dan meluas hingga ke Amerika, sebagai akibat
banyaknya psikolog Eropa yang hijrah karena perang dunia II.
C. Psikologi Humanistik
Humanistik, humanisme, dan humanis adalah istilah dalam disiplin psikologi
yang berkenaan dengan sebuah pendekatan yang mengkaji individu sebagai satu
kesatuan yang utuh dan unik (McLeod, 2007). Psikologi humanistik melihat perilaku
manusia bukan hanya dari sudut pandang pengamat, tetapi juga dari sudut pandang
individu yang melakukan tindakan itu.
Pendekatan humanistik dalam psikologi lahir dari dan sebagai pemberontakan
terhadap keterbatasan dan kelemahan dari teori perilaku (behaviorisme) dan
psikoanalisis. Posisi ini menyebabkan psikologi humanistik disebut sebagai “angkatan
ke tiga” setelah keduanya (McLeod, 2007). Psikolog humanis menunjuk kelemahan itu
terutama pada aspek dehumanisasi. Teori perilaku bertitik tolak dari penelitian hewan
(tikus, kucing, dan anjing) yang cenderung fokus pada penguatan perilaku stimulus-
respon. Karena titik tolak ini tentu ada (kalau tidak dominan) kecenderungan
memperlakukan manusia seperti binatang, instingtif, layaknya mesin yang perilakunya
dapat diprediksi dan dikontrol tanpa adanya perhatian terhadap aspek kesadaran
pribadi.
3
Humanisme berurusan dengan kesadaran pribadi atau perasaan sadar dalam
memahami konteks. Berikut ini adalah karakteristik dari humanisme: 1)
Mengasumsikan pandangan non mekanistik terhadap manusia, 2) Menolak prinsip
determinisme, 3) Melihat manusia sebagai subjek bukan objek, 4) Memusatkan
perhatian pada status perilaku organisme secara adaptif holistik.
Setiap orang, atau perilakunya adalah unik dan mesti dilihat menurut cara
pandang subjektif-sadar mereka sendiri. Para humanis mengamati perilaku keseharian
seseorang dalam konteks lingkungan alami, bukan dalam laboratorium. Secara definitif
humanisme adalah sekaligus cara pandang dunia (filsafat tentang manusia) dan
psikologi terapan (pendekatan psikoterapetik)
1. Beberapa Asumsi Dasar Psikologi Humanistik
Berikut ini adalah beberapa asumsi dasar psikologi humanistik, sebagaimana
dirangkum oleh Mcleod, S. (2007):
Manusia memiliki kebebasan kehendak; tidak semua perilaku dapat ditentukan
Setiap individu adalah unik dan memiliki potensi untuk menggapai potensi
maksimal
Pemahaman yang memadai tentang manusia hanya dapat diperoleh melalui studi
tentang manusia, bukan binatang
Psikologi mestinya mempelajari kasus individual (idiografik) bukan performansi
rata-rata kelompok individu (nomotetik).
4
2. Kekuatan Pendekatan Psikologi Humanistik
Menurut rangkuman Mcleod (2007) pula, kekuatan pendekatan humanisme
dalam psikologi antara lain:
Mengganti fokus perhatian terhadap perilaku kepada individu/pribadi utuh bukan
pikiran bawah sadar, genetik, perilaku yang dapat diamati, dsb.
Psikologi humanistik bersesuaian dengan ide banyak orang tentang apa maknanya
menjadi manusia karena penghargaannya terhadap keinginan/cita-cita individual
dan pemenuhan diri.
Data kualitatif memberikan wawasan yang sejati dan informasi yang lebih holistik
mengenai perilaku.
Mengedepankan nilai metode studi yang lebih individualistik dan idiografik
Dalam psikologi humanis, cara terbaik menuju sehat emosional ditempuh
melalui mempertimbangkan kebutuhan emosional klien dan membantu mereka
memuaskan kebutuhan akan keamanan, penghargaan diri, hubungan dengan orang
lain, pertumbuhan personal, dan keyakinan humanis.
Gaya konseling Roger tidak bertujuan, karena klien biasanya lebih tahu
mengenai apa yang sesungguhnya mereka inginkan dibandingkan ahli terapinya. Peran
konselor lebih sebagai pendengar dan perefleksi apa yang dirasakan oleh klien
(Medsker dan Holdsworth, 2001). Ahli terapi membimbing klien untuk menemukan
sendiri apa yang harus mereka lakukan, dengan mengungkapkan keinginan-keinginan,
mendorong pengungkapan perasaan, dan menerima dan merefleksikan perasaan
mereka.
5
D. Pembelajaran dengan Pendekatan Humanistik
Menurut Medsker dan Holdworth (2001), pembelajaran berpendekatan
humanistik, pada bagian tertentu didasarkan pada model konseling psikologi
humanistik, seperti yang diterapkan Carl Rogers (1961) dan Abraham Maslow (1962).
Pendekatan ini dapat ditemukan dalam berbagai disain dan praktik pembelajaran baik
secara utuh maupun parsial.
Bisa saja dalam sebuah kegiatan pembelajaran, seorang guru tidak tahu teori,
model, strategi, atau pendekatan apa yang dia gunakan, karena rutinitas itu sudah
berlangsung (seakan-akan) otomatis. Boleh jadi, bila diperhatikan dengan teliti
ternyata pendekatan humanistik yang sedang diterapkannya. Satu contoh, pada saat
kehabisan akal menunjukkan ‘asyik’nya belajar kepada seorang siswa ‘mbeling’, sangat
mungkin seorang guru kemudian mencoba mencari tahu latar belakang keluarga siswa
(meski tidak komprehensif) tersebut untuk keperluan lebih lanjut. Langkah ini pada
beberapa batasan dapat dipandang sebagai upaya ‘mengenali’ pribadi si belajar.
Ciri utama pendekatan ini adalah pada perspektif teoretis yang menempatkan
si belajar sebagai pribadi yang utuh. Disebut sebagai pribadi yang utuh, karena seorang
individu diperlakukan bukan sebagai objek dalam kegiatan pembelajaran, tetapi
sebagai subjek yang multidimensional. Pribadi yang memiliki kebutuhan-kebutuhan
intelektual, emosional, dan sosial.
Pendekatan ini acapkali disebutkan secara beriringan dengan teori
konstruktivistik, mengingat kedekatan dasar teoretik yang digunakan. Konstruktivisme
sendiri sesungguhnya lebih merupakan sebuah pandangan filosofis daripada model
pembelajaran. Pandangan ini menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer
6
dari guru kepada siswa, tetapi pengetahuan baru itu dikonstruk dalam pikiran si belajar
sebagai konsekuensi pengalamannya dalam situasi dunia-nyata. Pemahaman ini
kemudian diimplementasikan ke dalam penataan komponen dan metode
pembelajaran yang memungkinkan si belajar mengkonstruk pengetahuan yang baru.
Sedangkan pendekatan humanistik menekankan pada pentingnya keotentikan,
kepedulian, dan hubungan interpersonal antara pembelajar dengan si belajar
(Medsker dan Holdsworth, 2001). Dalam konteks hubungan interpersonal inilah
realitas subjektif (bukan realitas objektif fenomena di luar diri) si belajar, atmosfer
pencarian dan penemuan dapat terwujud. Itulah mengapa pendekatan ini sering pula
disebut sebagai pendidikan berpusat-pada pribadi. Pertemuan kedua pendekatan itu
terletak pada titik berangkat kajian teoretiknya, yakni diri si individu yang belajar.
Belajar terjadi bukan dari dan di luar, melainkan dari dan di dalam diri si belajar.
Cukup menarik perbandingan reflektif yang dikemukakan oleh Medsker dan
Holdsworth (2001) berkaitan dengan tema berbagai model dominan dalam
pembelajaran. Dikatakannya tema behavioristik adalah “kuatkan” (reinforce it), tema
kognitif sebagai “tuangkan” (pour it) atau “temukan” (discover it), dan tema humanis
sebagai “gambarkan” (draw it out).
Simbol reflektif ‘kuatkan’ pada tema behavioristik mungkin dapat dipahami
sebagai dorongan atau dukungan terhadap perilaku tertentu. Dalam pandangan
behavioristik perilaku (sebagai hasil mekanisme stimulus-respon) yang dikehendaki
harus diberikan penguatan dengan penghargaan (reward) agar hal itu terus dilakukan
atau dihentikan.
7
Dalam tema kognitif, struktur pengetahuan tertentu barangkali dapat
dianalogikan dengan template/cetakan. Terhadap cetakan-cetakan tertentu
diasumsikan bahwa hanya bila dituangkan kondisi-kondisi pembelajaran tertentu,
maka proses belajar akan optimal. Untuk keperluan itu, Gagné dan Briggs (1979),
Gagné, (1985) menyarankan agar pesan pembelajaran hendaknya dianalisis terlebih
dahulu untuk mengidentifikasi komponen-komponen yang akan dipelajari.
Konsekuensi logis kegiatan analisis itu diantaranya ‘terlihat’-nya struktur
pengetahuan tertentu. Lebih lanjut, struktur pengetahuan dengan hirarki tertentu
berkemungkinan akan dapat dipelajari oleh si belajar dengan lebih baik bila difasilitasi
melalui pembelajaran dengan urutan yang tertentu pula. Telaah Gagné dan Briggs
(1979) dan Gagné (1985), terhadap komponen-komponen itu menghasilkan lima
klasifikasi/kategori/domain hasil belajar yang meliputi: 1) kemahiran intelektual, 2
strategi kognitif, 3) informasi verbal, 4) sikap, dan 5) kemahiran motorik, serta
mengidentifikasi kondisi-kondisi pembelajaran yang sesuai dengan masing-masing
domain tersebut.
Lebih lanjut, atas dasar pemahaman bagaimana informasi diolah, pembelajaran
hendaknya memasukkan sembilan peristiwa pembelajaran untuk memastikan
terjadinya belajar. Kesembilan peristiwa pembelajaran itu adalah: 1) dapatkan
perhatian, 2) tetapkan tujuan, 3) ingat belajar sebelumnya, 4) sajikan isi, 5) sediakan
panduan belajar, 6) dapatkan unjuk kerja, 7) sediakan balikan, 8) evaluasi unjuk kerja,
dan 9) perkuat ingatan dan transfer belajar (Gagné dan Briggs, 1979), (Gagné, 1985).
Kata kunci “gambarkan”, sebagaimana diatributkan oleh Medsker dan
Holdsworth (2001) kepada pendekatan humanistik mungkin semakna dengan kegiatan
8
reflektif yang dilakukan oleh si belajar pada masing-masing model dengan pendekatan
ini. Pendekatan ini menempatkan si belajar sebagai pemegang peran utama dalam
belajar. Keotentikan, kepedulian, dan hubungan interpersonal antara pembelajar
dengan si belajar. Hubungan interpersonal ini memungkinkan si belajar membangun
realitas subjektif yang unik. Di atas dasar realitas subjektif itulah kemudian atmosfer
belajar individual dapat terwujud. Itulah mengapa pendekatan ini sering pula disebut
sebagai pendidikan berpusat-pada pribadi. Model-model belajar yang menggunakan
pendekatan humanistik antara lain: model Populer, dewasa, Lancester, Kooperatif, dan
ARCS. Mengingat keterbatasan modalitas penulis, tiga model pertama yang akan
dibahas serba singkat.
E. Model-model Pembelajaran dengan Pendekatan Humanistik
1. Model Pendidikan Populer (Popular Education)
Model pendidikan populer dikembangkan oleh Jane K. Vella (Medsker dan
Holdsworth, 2001). Fokus utama model ini adalah intensitas pelibatan si belajar dalam
seluruh tahapan belajar yang meliputi: analisis kebutuhan, desain aktivitas belajar,
penyampaian pelatihan, dan evaluasi.
Model ini banyak dipengaruhi oleh andragogi (Malcom Knowles) dan
Pendidikan Kaum Tertindas (Paulo Freire), yang tema sentralnya adalah
mengedepankan pembelajaran berpusat kepada si belajar. Karena itulah model ini
seringkali juga disebut sebagai pendidikan berpusat pada si belajar, yang belakangan—
disebutkan oleh Medsker dan Holdsworth, sebagai istilah yang—lebih sering digunakan
oleh Vella.
9
Simpul penting model ini antara lain 1) penyediaan lingkungan yang aman dan
hangat secara psikologis, 2) praksis (siklus aksi-refleksi), 3) dialog jujur dan sejajar
antara si belajar dan fasilitator, 4) perlakuan terhadap si belajar sebagai subjek, 5)
mempelajari apa yang langsung dirasakan manfaatnya oleh si belajar, dan 6) kerja aktif
dalam kelompok kecil.
Contoh kasus di mana prinsip-prinsip Vella digunakan adalah ketika dia diminta
untuk mendisain sebuah program pelatihan untuk sejumlah mahasiswa guna
mengajarkan bahasa Inggris bagi para pekerja imigran Haiti di pinggiran Carolina Utara.
Vella memutuskan untuk mengajarkan bahasa Inggris itu sendiri dan langsung kepada
para pekerja imigran yang dimaksud. Dia menyelenggarakan pembelajarannya di lokasi
penampungan para imigran itu, sehingga mereka tidak direpotkan oleh urusan
transportasi. Satu kelas biasanya terdiri dari 10 sampai 12 orang, yang dibagi-bagi ke
dalam kelompok dua sampai empat orang.
Vella memulai kelasnya tidak dengan mengajar tetapi justeru meminta para
imigran itu mengajarinya beberapa kosakata bahasa Creole. Pada pelajaran pertama
setelah pendekatan itu, Vella meminta setiap partisipan (kebetulan semuanya laki-laki)
menyebutkan nama isteri atau pacar mereka. Kemudian meminta setiap orang dari
mereka menggunakannya dalam sebuah kalimat bahasa Inggris: “I will send {nama
isteri/pacar} a clock”.
Dengan cara ini Vella sudah menerapkan dua di antara prinsip-prinsip dari
model yang dikembangkannya, yaitu urutan dan penguatan. Dengan cara ini pula,
hingga tahap tertentu, dia sudah mengenali individualitas masing-masing partisipan.
Prinsip-prinsip model ini secara lengkap ditabulasikan pada lampiran 1. Pendekatan-
10
pendekatan inilah yang digunakan oleh Vella pada berbagai latar belakang partisipan
dan berbagai keterampilan yang hendak dilatihkan. Analisis kebutuhan dan disain
pembelajaran memang dilakukan secara bersama-sama oleh instruktur dengan
sebagian partisipan, tetapi pada saat pembelajaran berlangsung partisipanlah yang
aktif belajar (Medsker dan Holdsworth).
2. Model Belajar Orang Dewasa (Adult Learning)
Malcolm Knowles (1913-1977) digelari predikat sebagai Bapak Pendidikan
Orang Dewasa (Medsker dan Holdsworth), karena jasanya mengenalkan teori
andragogi. Andragogi berasal dari bahasa Yunani aner-orang atau dewasa dan agogus-
pemimpin dari. Sebaliknya, paedagogi berasal dari paid-anak-anak dan agogus. Istilah
andragogi sebenarnya tidak berasal dari Knowles, bahkan idenya tentang pendidikan
bagi orang dewasa lebih berupa gabungan pemikiran banyak tokoh. Knowles sendiri
menyebut model ini sebagai seni dan sains dalam membantu orang dewasa belajar.
Meski demikian, di Amerika istilah andragogi lebih sering dikaitkan dengan nama
Knowles.
Tema utama teori Knowles adalah asumsi bahwa orang dewasa adalah
partisipan aktif dalam kegiatan belajar mereka sendiri. Peran pembelajar/intruktur
adalah sebagai fasilitator dan sumber (a pointer-outer) gagasan. Knowles
mengemukakan model andragogi pertama kali dalam bukunya The Modern Practice of
Adult Education: Andragogy Versus Pedagogy (1970). Berdasarkan model ini, ada
empat asumsi yang membedakan belajar orang dewasa dari anak-anak, yaitu: konsep
diri, pengalaman, kesiapan untuk belajar, dan orientasi belajar (Medsker dan
Holdsworth).
11
Konsep diri – anak-anak secara alami masih bergantung kepada orang tuanya;
orang dewasa sudah mandiri (self-directing). Pengalaman – pengalaman anak-anak
masih terbatas; pengalaman orang dewasa yang lebih luas merupakan sumber belajar
yang berharga. Kesiapan untuk belajar – kesiapan anak-anak lebih bersifat subjektif;
kesiapan belajar orang dewasa erat kaitannya dengan pengetahuan dan keterampilan
yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan peran mereka dalam masyarakat. Orientasi
belajar – orientasi anak-anak adalah subject-centered (penguasaan pengetahuan dan
keterampilan untuk lulus pelajaran); orientasi orang dewasa bersifat problem-centered
(pengetahuan dan keterampilan untuk situasi kehidupan nyata).
Melalui bukunya Andragogy in Action: Applying Modern Principle of Adult
Learning (1984), Knowles menambahkan konstruk motivasi sebagai satu asumsi baru
ke dalam model belajarnya. Motivasi anak-anak dikatakannya berasal dari luar,
misalnya persetujuan guru, atau tekanan orang tuanya. Sedangkan orang dewasa,
meskipun ada juga motivasi eksternal seperti gaji, promosi jabatan, dsb., tetapi mereka
lebih tanggap terhadap motivasi internal seperti peningkatan kepuasan kerja atau
kualitas hidup yang lebih baik.
Asumsi yang terakhir ditambahkan (tetapi ditempatkan pada urutan pertama)
adalah kebutuhan untuk tahu (need to know). Anak-anak hanya perlu tahu bahwa
mereka mesti belajar untuk bisa melanjutkan ke tingkat berikutnya. Sedangkan orang
dewasa membutuhkan penjelasan mengapa mereka mempelajari sesuatu (Medsker
dan Holdsworth).
Sebagaimana perubahan (penambahan) asumsi terhadap model belajarnya,
Knowles yang semula melihat model andragogi berlawanan dengan model paedagogi,
12
kemudian memikirkan ulang cara pandangnya. Ia menyerah pada fakta bahwa anak-
anak kadangkala belajar dengan lebih baik dalam setting andragogi, pun sebaliknya
orang dewasa kadang belajar lebih baik dalam setting paedagogi. Meski demikian, dia
tetap mempertahankan bahwa pembelajaran yang paling efektif bergantung kepada
situasi, si belajar, dan tugas belajarnya.
Berikut ini adalah prinsip-prinsip pembelajaran andragogi:
1. Menyiapkan si belajar
2. Mengatur iklim belajar
3. Melibatkan si belajar dalam perencanaan bersama
4. Melibatkan si belajar dalam mendiagnosis kebutuhan belajar mereka sendiri
5. Melibatkan si belajar dalam memformulasikan tujuan belajar mereka
6. Melibatkan si belajar dalam mendisain rencana belajar
7. Membantu si belajar menjalankan rencana belajar mereka
8. Melibatkan si belajar dalam mengevaluasi belajar
3. Model Belajar Lancaster
Model Lancester disebut juga sebagai sebuah meta-model, karena
memasukkan tiga metode besar (discovery, reflection, dan receipt of input) yang saling
berkaitan. Model ini terdiri dari dua dimensi, dunia dalam (refleksi dan penemuan)
dan dunia luar (informasi dan pengalaman) di mana proses belajar dapat terjadi
(Medsker dan Holdsworth).
Dimensi dunia dalam berisi pengetahuan pribadi masing-masing individu, yang
didasarkan pada dan diinterpretasi melalui konstruksi internal terhadap ragam definisi,
13
interpretasi, dan bakat. Dunia luar adalah area di mana setiap pengetahuan individual
dan maknanya dapat ditemukan, diuji, dan diterapkan.
Model belajar Lancaster menggabungkan elemen-elemen perspektif teori
kognitif dan teori personal/humanistik. Bila harus diklasifikasi, model ini lebih dekat
kepada keluarga personal/humanistik, mengingat kuat hubungannya dengan
pengalaman personal di satu sisi, sementara lemah pada di sisi perspektif kognitif yang
justeru menaruh perhatian besar pada klasifikasi hasil-hasil belajar.
Model ini dapat digunakan untuk mendisain pembelajaran dalam siklus belajar
berulang-keseluruhan (whole-loop learning cycles), mencakup belajar melalui
mode/cara menerima informasi (receipt of input), refleksi, dan penemuan (discovery).
Gambar beserta uraian siklus belajar berulang-keseluruhan ini dapat dilihat pada
lampiran 2. Urutan dan penekanan pada masing-masing mode dapat bervariasi,
bergantung kepada isi, konteks, dan pengetahuan serta pengalaman si belajar.
F. Kesimpulan
Pembelajaran humanistik berakar pada filsafat humanisme dan psikologi
humanistik. Pada tataran praksis, pembelajaran humanistik adalah aktivitas belajar
mengajar yang menggunakan prinsip-prinsip psikologi humanistik. Prinsip utama
pembelajaran ini terutama berpijak pada asumsi bahwa belajar berasal dari dan oleh si
belajar sendiri. Fenomena objektif di luar diri si belajar lebih merupakan tempat dan
sarana bagi upaya belajar.
14
Lampiran 1
Prinsip Belajar Orang DewasaPrinciple Description1. Needs assesment At least a sample of attendees must be included in the
planning of a training session. In this way the dialogue between instructor and student begins even before a face-to-face meeting.
2. Safety Tasks are designed for pairs and small groups, providing a safe environment for sharing experiences and practicing new skills.
3. Sound Relationships The instructor is a coach, available as a resource to help the learners perform classroom tasks. The instructor needs to engage in dialogue with learers, not to convey information but to work with them toward new understanding.
4. Sequence and Reinforcement The tasks that attendees engage in during the class must follow a logical progression, allowing attendees to master simple and less-threatening tasks before moving on to more challenging ones.
5. Praxis The design must plan for what attendees will do, not for what the instructor will do. All content must be presented as tasks for attendees to work on in small groups. Group discussion encourages reflecting on the task performed.
6. Respect for Learners Learners are encourage to participate as adults, providing modifications to the objectives based on their needs, sharing their experiences, and making their own decisions about how to carry out the tasks.
7. Ideas, Feelings, Actions Tasks are designed to involve as many as of these aspects as is practicable.
8. Immediacy Learners must be able to find an immediate use for what they’re learning.
9. Clear Roles The conduct of a popular education session includes both deliberative (decision-making) and consultative (advice-giving) roles. The instructor has a deliberative role in the sequencing of tasks, while learners have a deliberative role in deciding on a topic for their practice teaching sessions.
10. Teamwork Learners work primarily in small groups of four or six. In these groups, everyone’s voice can be heard, questions can be asked in a safe environment, and leaders can readily emerge.
11. Engagement Tasks must invite learner participation from the start12. Accountability Vella’s Perennial Question Is, “How Do They Know They
Know?” Learners know they know because they have performed the tasks that the session was designed to teach.
15
16
Lampiran 2
Siklus Belajar Berulang-Keseluruhan
Lancaster Element General Prescription Theoretical PerspectiveDiscovery/Action Active involvement
(experience, hands-on practice)
Cognitive Inquiry, Humanistic
Reinforcement or natural consequences of action
Behaviorist
Reflection Cognitive consolidation (restructuring knowledge base)
Cognitive Information Processing
Personal reflection HumanisticPersonal interpretation of new knowledge
Constructivist
17
Referensi
Gagné, R.M., 1985. The Conditions of Learning and Theory of Instruction (4th ed.), Holt. Rinehart & Winston.
Gagné, R.M., Briggs, L.J., dan Wager, W.W. 1992. Principles of Instructional Design (4th ed.), Harcourt Brace Jovanovich.
McLeod, Saul., 2007. Humanism, http://simplypsychology.org/humanistic.html, diakses pada tanggal 26/9/2011 pukul 7:49 PM
Medsker., K. L. dan Holdsworth., K. M., 2001. Models and Strategies for Training Design, ISPI
Setiawan, E., 2010, Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline Version 1.1.
18