pendahuluan a. latar belakang...

26
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gagal ginjal kronis (GGK) merupakan masalah kesehatan dunia yang mempengaruhi kurang lebih 10% sampai 15% populasi dewasa di banyak negara barat seperti Australia dan Amerika Serikat serta mencapai 20% dari jumlah populasi dewasa Jepang (Howard dkk., 2010). Indonesia sendiri belum memiliki sistem registrasi yang lengkap dibidang penyakit ginjal, namun di Indonesia diperkirakan terdapat 100 per sejuta penduduk dan sekitar 20.000 kasus baru dalam setahun (Wahyuni, 2009). GGK didefinisikan sebagai munculnya kerusakan ginjal yang dimanifestasi oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang diukur dengan laju filtrasi glomerulus (GFR) yang persisten selama lebih dari 3 bulan (Thomas dkk., 2008). Pasien GGK biasanya mengalami beberapa penyakit komorbid seperti anemia yang terjadi pada sekitar 80-90% penderita GGK (Lukito, 2008) dengan angka kejadian meningkat seiring penurunan GFR dan naiknya stadium GGK (Lankhorst dan Wish, 2010). Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien GGK adalah defisiensi eritropoietin sedangkan faktor lain yang mempengaruhi diantaranya berkurangnya masa hidup sel darah merah, kehilangan darah, dan kekurangan zat besi (Wells dkk., 2009). Anemia biasanya memberi kontribusi yang buruk untuk kualitas hidup pasien GGK

Upload: trinhduong

Post on 08-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Gagal ginjal kronis (GGK) merupakan masalah kesehatan dunia yang

mempengaruhi kurang lebih 10% sampai 15% populasi dewasa di banyak negara

barat seperti Australia dan Amerika Serikat serta mencapai 20% dari jumlah

populasi dewasa Jepang (Howard dkk., 2010). Indonesia sendiri belum memiliki

sistem registrasi yang lengkap dibidang penyakit ginjal, namun di Indonesia

diperkirakan terdapat 100 per sejuta penduduk dan sekitar 20.000 kasus baru

dalam setahun (Wahyuni, 2009).

GGK didefinisikan sebagai munculnya kerusakan ginjal yang dimanifestasi

oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal

yang diukur dengan laju filtrasi glomerulus (GFR) yang persisten selama lebih

dari 3 bulan (Thomas dkk., 2008). Pasien GGK biasanya mengalami beberapa

penyakit komorbid seperti anemia yang terjadi pada sekitar 80-90% penderita

GGK (Lukito, 2008) dengan angka kejadian meningkat seiring penurunan GFR

dan naiknya stadium GGK (Lankhorst dan Wish, 2010). Penyebab utama

terjadinya anemia pada pasien GGK adalah defisiensi eritropoietin sedangkan

faktor lain yang mempengaruhi diantaranya berkurangnya masa hidup sel darah

merah, kehilangan darah, dan kekurangan zat besi (Wells dkk., 2009). Anemia

biasanya memberi kontribusi yang buruk untuk kualitas hidup pasien GGK

Page 2: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

2

(KDOQI, 2006) karenanya penanganan anemia yang tepat ikut berperan dalam

mengurangi progresifitas GGK.

Penanganan anemia dengan pemberian recombinant human eritropoietin

(rHU-EPO) memberikan outcome yang baik dengan meningkatkan kualitas hidup

pasien selain peningkatan kadar hemoglobin (Hb). Namun demikian obat ini

relatif mahal sehingga pemakaiannya masih terbatas dan banyak dipilih alternatif

terapi menggunakan transfusi darah yang dapat meningkatkan hematokrit pasien

dengan cepat (Lukito, 2008). Studi populasi yang dilakukan National Health and

Nutrition Examination Survey (NHANES) menyebutkan bahwa insidensi anemia

pada GGK stadium 1 dan 2 kurang dari 10%, pada stadium 3 meningkat menjadi

20-40%, 50-60% pada stadium 4, dan menjadi lebih dari 70% pada stadium 5

(Lankhorst dan Wish, 2010).

Pengobatan GGK membutuhkan biaya yang tidak sedikit karena

membutuhkan waktu pengobatan jangka panjang dan sering terdapat penyakit

komorbid. Berdasarkan laporan United Stated Renal Data System (USRDS) tahun

2012 disebutkan pada tahun 2010 total biaya untuk pasien GGK sebesar 3,35

milyar dolar. Sejumlah 8% dari biaya tersebut terjadi pada stadium 1-2, sejumlah

35 % terjadi pada stadium 3, dan 13% terjadi pada stadium 4-5. Keseluruhan

pengeluaran biaya untuk perawatan medis pasien GGK berkisar 41 milyar dolar

dengan biaya tiap orang per tahun (per person per year) sekitar 22.323 dolar

untuk semua kasus GGK (USRDS, 2012).

Biaya pelayanan medis dan pelayanan kefarmasian semakin meningkat.

Peran farmasis sangat dibutuhkan sebagai pemain kunci dalam menjamin terapi

Page 3: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

3

obat dan pelayanan farmasi terkait agar tidak hanya aman dan efektif namun juga

mempunyai nilai yang nyata dari sisi ekonomi dan humanistic (Bootman dkk.,

2005). Dengan meningkatnya perhatian terhadap biaya pada lingkungan

pelayanan kesehatan sekarang ini, farmasis dan penyedia layanan kesehatan lain

seringkali membutuhkan data analisis biaya untuk mendapatkan informasi

ekonomi yang terkait dengan terapi obat (McCloskey dan Willian, 2001).

Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, peneliti merasa perlu

untuk melakukan suatu penelitian tentang analisis biaya untuk mengetahui

komponen biaya yang mempengaruhi dan berapa besarnya biaya tersebut. Rumah

Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Kebumen dipilih sebagai tempat

penelitian karena merupakan rumah sakit yang menjadi rujukan bagi pengobatan

pasien gagal ginjal yang terdapat di Kabupaten Kebumen.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, rumusan

masalah yang akan diteliti pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik pasien dan gambaran terapi anemia karena GGK di

RSUD Kabupaten Kebumen?

2. Berapa besarnya total biaya yang dikeluarkan untuk transfusi darah serta

komponen biaya manakah yang memiliki kontribusi besar dalam

pembiayaan terapi anemia karena GGK pada pasien RSUD Kabupaten

Kebumen?

Page 4: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

4

3. Apa saja faktor yang mempengaruhi besarnya total biaya yang dikeluarkan

untuk terapi anemia karena GGK di RSUD Kabupaten Kebumen?

4. Bagaimana outcome terapi anemia menggunakan transfusi darah di RSUD

Kabupaten Kebumen?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Mengetahui karakteristik pasien dan gambaran terapi anemia karena GGK

di RSUD Kabupaten Kebumen.

2. Mengetahui besarnya total biaya yang dikeluarkan untuk transfusi darah

serta komponen biaya manakah yang memiliki kontribusi besar dalam

pembiayaan terapi anemia karena GGK pada pasien RSUD Kabupaten

Kebumen.

3. Mengetahui faktor yang mempengaruhi besarnya total biaya yang

dikeluarkan untuk terapi anemia karena GGK di RSUD Kabupaten

Kebumen.

4. Mengetahui outcome terapi anemia menggunakan transfusi darah di RSUD

Kabupaten Kebumen.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang mencakup

berbagai bidang, yaitu:

Page 5: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

5

1. Bagi rumah sakit sebagai bahan pertimbangan dalam hal pengobatan yang

akan dilakukan selanjutnya untuk meningkatkan mutu pelayanan di RSUD

Kabupaten Kebumen dalam terapi anemia karena GGK dari segi biaya

supaya tidak memberatkan pasien.

2. Bagi peneliti selanjutnya sebagai bahan pembanding dan pelengkap dalam

penelitian dan sebagai pendukung dalam kemajuan ilmu kesehatan

khususnya bidang farmakoekonomi.

E. Tinjauan Pustaka

1. Gagal Ginjal Kronis (GGK)

a. Definisi GGK

Berdasarkan National Kidney Foundation-Kidney Disease Outcome Quality

Initiative (NKF-KDOQI), GGK adalah suatu kondisi dimana ginjal mengalami

penurunan GFR menjadi kurang dari 60ml/menit/1,73m2 selama lebih dari atau

sama dengan 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal, atau jika seseorang yang

memiliki GFR lebih dari 60ml/menit/1,73m2 namun terdapat penanda kerusakan

ginjal diantaranya proteinuria atau abnormalitas pada tampilan grafis diagnostik

seperti ultrasonografi (USG) atau pada biopsi (KDOQI, 2002).

b. Patofisiologi GGK

Patofisiologi penyakit GGK pada awalnya tergantung pada penyakit yang

mendasarinya, namun dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi

kurang lebih sama. Ginjal secara irreversible mengalami penurunan jumlah nefron

Page 6: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

6

yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal tersebut. Pengurangan massa ginjal

menyebabkan terjadinya peningkatan GFR dan hiperfiltrasi yang berakibat

hipertrofi sisa nefron secara struktural dan fungsional sebagai upaya kompensasi.

Fenomena ini mempercepat meningkatnya jumlah nefron yang tidak berfungsi

sehingga pada suatu saat jumlah nefron yang tersisa tidak dapat memkompensasi

keadaan yang ada akibatnya timbul sindroma uremik (Pranawa dkk., 1993).

c. Faktor Risiko GGK

Dalam Chronic Kidney Disease: Progression-Modifying Therapies Joy dkk.

(2010) menjelaskan bahwa terdapat beberapa kategori faktor risiko yang

dihubungkan dengan GGK yaitu:

1) Faktor risiko yang meningkatkan kerentanan GGK, yaitu faktor

sosiodemografi seperti usia, pendapatan rendah, pendidikan rendah, ras,

berat lahir rendah, dan riwayat keluarga. Selain faktor sosiodemografi

tersebut, keadaan yang menyebabkan inflamasi sistemik dan dislipidemia

dapat pula meningkatkan kerentanan GGK. Faktor risiko tersebut dapat

meningkatkan risiko perkembangan penyakit meski tidak berperan secara

langsung.

2) Faktor risiko yang menginisiasi, yaitu kondisi yang secara langsung dapat

menginisiasi kerusakan ginjal. Diabetes mellitus, hipertensi, penyakit

autoimun, penyakit polikistik, infeksi sistemik, infeksi saluran kemih, batu

ginjal, pembengkakan saluran kemih bagian bawah, dan ketoksikan obat

Page 7: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

7

masuk ke dalam kategori ini. Dari beberapa faktor risiko tersebut, penyebab

terbesar adalah diabetes melitus, hipertensi, dan glomerulonefritis.

3) Faktor risiko yang dapat memperburuk keadaan kerusakan ginjal dan

dihubungkan dengan kecepatan penurunan fungsi ginjal setelah diinisiasi

oleh faktor risiko. Proteinuria, hipertensi, diabetes melitus, merokok, dan

hiperlipidemia merupakan faktor risiko yang dapat memperburuk keadaan

kerusakan ginjal tersebut.

d. Manifestasi Klinik

Pasien dengan stadium I atau II biasanya tidak memiliki gejala atau

gangguan metabolik seperti asidosis, anemia, dan penyakit tulang. Selain itu,

pengukuran yang paling umum dari gangguan fungsi ginjal yaitu serum kreatinin

mungkin hanya sedikit meningkat pada tahap awal GGK. Akibatnya, estimasi

GFR sangat penting bagi pengenalan tahap awal GGK. Karena tahap awal GGK

sering tidak terdeteksi, dibutuhkan diagnosis pada pasien dengan tingkat

kecurigaan yang tinggi yaitu yang mengalami kondisi kronis seperti hipertensi dan

diabetes.

Tanda dan gejala terkait dengan GGK menjadi lebih umum pada stage III,

IV, dan V. Anemia, kelainan metabolisme kalsium dan fosfor (hiperparatiroidisme

sekunder), malnutrisi, dan abnormalitas cairan dan elektrolit menjadi lebih umum

seiring fungsi ginjal memburuk. Umumnya pada pasien GGK stadium V juga

mengalami gatal-gatal, intoleransi dingin, berat badan menurun, dan neuropati

perifer (Joy dkk., 2008).

Page 8: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

8

e. Komorbid GGK

Komorbid didefinisikan sebagai kondisi selain penyakit utama. NKF-

KDOQI menjelaskan bahwa pasien dengan penyakit GGK memiliki sejumlah

besar kondisi komorbid. Kondisi komorbid sendiri menurut NKF-KDOQI (2002)

diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yaitu:

1) Penyakit yang menyebabkan GGK, misalnya diabetes, hipertensi, dan

obstruksi saluran kemih.

2) Penyakit yang tidak berhubungan dengan GGK, seperti penyakit paru

obstruksi kronik, gastroesophageal reflux disease (GERD), penyakit

degeneratif sendi, penyakit Alzheimer, dan malignansi.

3) Penyakit cerebrovascular atau cerebrovascular disease (CVD) misalnya

aterosklerosis, gagal jantung, jantung koroner, dan hipertropi ventrikular

kiri.

f. Diagnosis GGK

Menurut NKF-KDOQI, diagnosis GGK dapat diketahui dari hasil evaluasi

laboratorium seperti:

1) Pemeriksaan serum kreatinin untuk estimasi nilai GFR.

2) Rasio antara protein dengan kreatinin atau albumin dengan kreatinin pada

sampel urin di pagi hari.

3) Pemeriksaan ada tidaknya sel darah merah atau sel darah putih pada

endapan urin.

4) Melihat keadaan ginjal menggunakan USG.

Page 9: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

9

5) Melihat nilai elektrolit darah (natrium, kalium, klorida, dan bikarbonat)

(KDOQI, 2002).

g. Klasifikasi GGK

Penyakit ginjal kronis diklasifikasikan menjadi lima tahapan sesuai dengan

ada atau tidaknya kerusakan ginjal (contohnya proteinuria dan albuminuria) dan

atau penurunan tingkat fungsi ginjal (laju filtrasi ginjal/GFR).

Tabel I. Klasifikasi GGK menurut KDOQI 2002

Stadium Deskripsi GFR

1Kerusakan ginjal dengan GFR normal atautinggi

≥90

2Kerusakan ginjal dengan penurunan GFRringan

60-89

3 Penurunan GFR sedang 30-59

4 Penurunan GFR berat 15-29

5 Gagal ginjal <15

(KDOQI, 2002)

h. Komplikasi

Banyak komplikasi yang timbul seiring dengan penurunan fungsi ginjal

ataupun naiknya stadium GGK. Jenis komplikasi yang muncul antara lain yaitu

anemia, dehidrasi, hiperparatiroid, hiperlipidemia, uremia, terganggunya fungsi

imunologi, malnutrisi, dan penyakit jantung (O’ Callaghan, 2006).

i. Tatalaksana Terapi GGK

Terapi GGK meliputi terapi non farmakologi dan terapi farmakologi. Terapi

non farmakologi yaitu berupa diet rendah protein (0,6-0,75g/kg/hari) untuk

Page 10: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

10

mencegah progresivitas GGK baik pada pasien dengan maupun tanpa diabetes

namun keuntungan dari terapi ini relatif kecil. Terapi farmakologi untuk GGK bila

disertai diabetes mellitus yaitu dengan terapi insulin intensif 3 kali atau lebih

dalam sehari dengan target glukosa darah prepandrial 70-120mg/dL dan

postpandrial < 180mg/dL sedangkan jika disertai hipertensi dilakukan kontrol

hipertensi secara optimal dengan target tekanan darah yang direkomendasikan

JNC-7 adalah < 130/85mmHg (Hudson, 2008).

2. Anemia

a. Eritropoiesis

Eritropoiesis merupakan proses terbentuknya eritrosit (sel darah merah)

yang terjadi di sumsum tulang. Eritropoiesis diatur oleh regulator humural

eritropoietin (Notopoero, 2007). Ketika ginjal mendeteksi rendahnya kadar

oksigen di darah maka ginjal akan melepaskan hormon yang disebut eritropoetin

(EPO) yang akan menuju sumsum tulang untuk menstimulasi pembentukan sel

darah merah (Lankhorst dan Wish, 2010). Sembilan puluh persen EPO dihasilkan

oleh sel endotelial ginjal, sedangkan sisanya dihasilkan oleh hati (Ineck dkk.,

2008).

b. Definisi Anemia

Anemia merupakan sekelompok gangguan yang dikarakterisasi dengan

penurunan hemoglobin atau sel darah merah yang berakibat pada penurunan

kapasitas pengangkutan oksigen oleh darah (Sukandar dkk., 2009). Anemia bukan

Page 11: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

11

merupakan suatu penyakit melainkan kondisi yang menghasilkan beberapa

perbedaan patologi. Anemia merupakan manifestasi klinik dari penurunan

peredaran massa sel darah merah dan biasanya dideteksi dengan rendahnya kadar

konsentrasi hemoglobin darah. Penurunan kadar hemoglobin tersebut berakibat

pada menurunnya kapasitas pembawa oksigen dalam darah. Menurut KDOQI

(2006) kadar Hb pada anemia adalah < 13,5g/dL untuk laki-laki dan < 12,0g/dL

untuk perempuan tanpa membedakan ada tidaknya menstruasi. Target hemoglobin

yang diharapkan pada anemia akibat GGK adalah ≥ 11g/dL dengan saturasi

transferin > 20% untuk terapi menggunakan ESAs (KDOQI, 2006; Hudson, 2008)

c. Patofisiologi Anemia karena GGK

Anemia pada GGK merupakan anemia jenis normokromik normositik yaitu

anemia karena terjadinya defisiensi EPO. Ada banyak faktor yang menjadi

penyebab anemia pada GGK. Namun, penyebab utama yang biasa terjadi adalah

ketidakcukupan produksi EPO yang sering diikuti dengan defisiensi besi.

Kegagalan ginjal yang terjadi secara progresif ikut berperan dalam peningkatan

insiden anemia karena defisiensi EPO. Mekanisme penurunan produksi EPO ini

belum diketahui secara pasti, hal ini dapat terjadi sebagai bagian dari respon

fisiologi untuk mencapai kesesuaian konsentrasi hemoglobin yang turun secara

kronik. Faktor lain yang dapat menjadi penyebab terjadinya anemia pada GGK

diantaranya penurunan masa hidup sel darah merah, kehilangan darah, dan

defisiensi zat besi (Hudson, 2008; Lankhorst dan Wish, 2010).

Page 12: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

12

d. Diagnosis Anemia

Pasien GGK dengan GFR < 60mL/min/1,73m2 harus dievaluasi terhadap

kemungkinan terjadinya anemia dengan melihat pada level kadar hemoglobinnya

(Macdougall, 2011). Berdasarkan KDIGO tahun 2012, untuk menegakkan

diagnosis anemia diperlukan beberapa pemeriksaan antara lain:

1) Dilakukan tes complete blood count (CBC), dengan demikian dapat

diperoleh kadar hemoglobin, pemeriksaan sel darah merah, jumlah sel darah

putih, dan jumlah platelet. Selain itu diketahui juga tingkat keparahan

anemia berdasarkan data kadar hemoglobin.

2) Penghitungan jumlah retikulosit total. Jumlah retikulosit meningkat pada

keadaan hemolisis atau kehilangan banyak darah dan akan menurun pada

kasus anemia dengan hipoproliferatif eritropoesis.

3) Pemeriksaan feritrin serum dengan tujuan untuk mengevaluasi cadangan zat

besi. Jika kadar feritrin ≤ 30ng/ml (≤ 30mg/l) menandakan terjadi defisiensi

zat besi yang berat yang menunjukkan tidak adanya penyimpanan zat besi di

sumsum tulang. Pada pasien GGK yang tergantung hemodialisis, pasien

dikatakan memiliki cadangan zat besi normal pada sumsum tulang jika

kadar feritrin ≥ 300ng/ml (≥ 300 mg/l).

4) Pengukuran serum transferrin saturation (TSAT). Pengukuran ini paling

sering digunakan untuk mengukur ketersediaan zat besi untuk mendukung

keberlangsungan eritropoesis.

Page 13: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

13

5) Pengukuran kadar vitamin B12 dan kadar asam folat dalam serum.

Pengukuran ini kadang tak umum dilakukan dalam pemeriksaan tetapi

penting untuk diterapi pada kasus anemia khususnya bila terjadi sel darah

merah makrositik.

Pasien anemia pada GGK sebaiknya rutin melakukan pemeriksaan terhadap

anemia demikian juga pasien GGK yang tidak menderita anemia. KDIGO (2012)

menyebutkan, frekuensi pemeriksaan anemia:

1) Pada pasien GGK tanpa anemia: satu tahun sekali pada pasien stadium III,

dua kali dalam setahun untuk pasien non dialisis stadium IV-V, dan setiap

tiga minggu pada pasien stadium V dengan hemodialisis atau peritoneal

dialisis.

2) Pada pasien GGK dengan anemia yang tidak sedang mendapatkan terapi

ESA: setiap tiga bulan pada pasien non dialisis stadium III-V dan pada

pasien dengan peritoneal dialisis stadium V, serta setiap bulan pada pasien

dengan hemodialisis stadium V.

3) Pasien GGK dengan anemia yang menggunakan terapi ESA: pemeriksaan

hemoglobin setiap bulan saat fase inisisasi ESA, setiap tiga bulan sekali

pada pasien non dialisis tahap pemeliharaan, dan setiap bulan pada pasien

tahap pemeliharaan untuk pasien dengan dialisis stadium V.

e. Jenis Anemia

Anemia diklasifikasikan menjadi anemia macrocytic, normocytic, dan

microcytic berdasarkan ukuran sel darah merahnya. Macrocytic berarti ukuran sel

Page 14: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

14

darah merah lebih besar dari normal. Anemia yang diakibatkan oleh defisiensi

vitamin B12 dan defisiensi asam folat tergolong dalam anemia macrocytic.

Microcytic artinya ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal. Contoh dari

anemia microcytic yaitu anemia karena kekurangan zat besi. Sedangkan

normocytic artinya ukuran sel darah merah tetap normal. Anemia normocytic

terkait dengan terjadinya kehilangan darah atau karena penyakit kronik (Ineck

dkk., 2008).

Anemia yang terjadi pada GGK merupakan anemia normocromyc

normocytic karena anemia yang terjadi disebabkan oleh turunnya sintesis

eritropoetin (Theml, 2004; Hudson, 2008; Macdougall, 2011). Namun demikian,

terkadang dapat pula terjadi anemia hypocromic atau hypercromic. Anemia

hypocromic terjadi karena adanya defisiensi zat besi, sedangkan anemia

hypercromic terjadi karena adanya kekurangan asam folat (Theml, 2004).

f. Tatalaksana Terapi Anemia

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien

anemia yaitu pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif

yang telah ditegakkan terlebih dahulu dan pemberian anti anemia. Pada GGK,

terapi anemia meliputi terapi dengan EPO, transfusi darah, suplemen besi, dan

terapi adjuvan anemia seperti asam folat dan vitamin B12.

1) Eritropoietin Stimulating Agent (ESA) merupakan semua agen yang dapat

menambah aksi eritropoiesis pada reseptor eritropoietin secara langsung

Page 15: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

15

maupun tidak langsung. Saat ini ESA yang tersedia antara lain epoetin alfa,

epoetin beta, dan darbepoetin (KDOQI, 2006).

2) Transfusi darah merupakan lini ketiga pada terapi anemia akibat GGK

(Ineck dkk., 2008). Manfaat transfusi darah adalah untuk menjaga

ketersediaan oksigen, namun untuk pengobatan anemia kronis sebaiknya

dihindari untuk meminimalisasikan resiko terkait penggunaan (KDIGO,

2012). Transfusi darah diperlukan khususnya dalam pengaturan perdarahan

akut (KDOQI, 2006).

3) Suplemen besi secara oral maupun intravena sebagai koreksi defisiensi besi

dapat menurunkan keparahan anemia pada pasien GGK (KDIGO, 2012).

Umumnya absorpsi besi dari saluran cerna masih cukup baik, karena itu

pemberian secara oral sudah cukup memadai (Pranawa, 1993).

4) Asam folat bekerja menstimulasi produksi sel darah merah, sel darah putih,

dan platelet (Sukandar dkk., 2008). Pemberian asam folat terutama

ditujukan pada pasien GGK yang menjalani terapi hemodialisis. Hal ini

karena pada hemodialisis terjadi kehilangan asam folat sehingga

membutuhkan suplemen asam folat (Pranawa, 1993).

5) Vitamin B12 penting untuk pertumbuhan, reproduksi sel, hematopoiesis,

serta sintesis nukleoprotein dan mielin. Peran vitamin B12 dalam

pembentukan sel darah merah adalah melalui aktivasi koenzim asam folat.

Agar dapat berefek, asam folat berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu

tetrahidrofolat. Dalam proses inilah vitamin B12 dibutuhkan (Sukandar dkk.,

2008).

Page 16: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

16

3. Transfusi Darah

Tujuan utama dari penggunaan transfusi darah dalam pengobatan anemia

adalah untuk meningkatkan kapasitas peredaran oksigen sehingga ketersediaan

oksigen dapat terstabilkan. Transfusi darah digunakan jika terjadi perdarahan akut

dengan penurunan hemodinamik kadar Hb < 7g/dL, kadar Hb < 8g/dL dengan

gangguan hemodinamik, atau terjadi defisiensi besi. Transfusi darah hanya

diberikan ketika pemberian terapi dengan ESA tidak efektif atau penggunaan ESA

lebih banyak menimbulkan kerugian daripada keuntungan yang disebabkan

kondisi pasien serta untuk pengobatan anemia yang mendesak (KDIGO, 2012).

4. Evaluasi Farmakoekonomi

a. Pengertian Farmakoekonomi

Farmakoekonomi merupakan gambaran dan analisis biaya (cost) dari obat

yang digunakan sebagai terapi dalam sistem pelayanan kesehatan dan masyarakat.

Penelitian farmakoekonomi mengidentifikasi, mengukur, membandingkan biaya

(misalnya penggunaan sumber daya), risiko, dan keuntungan dari penggunaan

produk dan jasa pelayanan farmasi serta menentukan alternatif mana yang

menghasilkan outcome terbaik (Bootman dkk., 2005).

b. Kategori Biaya

Biaya (cost) didefinisikan sebagai nilai sumber daya yang digunakan pada

penggunaan suatu terapi obat tertentu. Konsekuensi (consequence) adalah efek,

luaran (output), atau hasil (outcome) dari program pemberian terapi obat tertentu.

Page 17: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

17

Biaya dalam analisis farmakoekonomi digambarkan sedikit banyak dengan cara

yang berbeda dari biaya-biaya pada akuntansi. Biaya yang sebenarnya dari suatu

intervensi kesehatan di dalam pengertian ekonomi tidak mengacu hanya pada

jumlah nominal pengeluaran tetapi juga kepada nilai dari semua faktor dalam

pelayanan kepada pasien (Sanchez, 2005). Biaya-biaya tersebut dapat

digolongkan sebagai berikut:

1) Biaya medik langsung (direct medical cost)

Biaya medik langsung merupakan biaya yang harus dibayarkan untuk

pelayanan kesehatan yang meliputi biaya pengobatan, biaya tenaga medis,

biaya tes laboratorium, biaya pemantauan efektivitas, dan biaya penanganan

efek samping (Kulkarni dkk., 2009).

2) Biaya non-medik langsung (direct non medical cost)

Biaya non-medik langsung adalah biaya yang harus dikeluarkan secara

langsung karena sakit tetapi tidak melibatkan pembelian produk atau jasa

pelayanan kesehatan. Contoh dari biaya non-medik langsung adalah biaya

transportasi dari dan ke rumah sakit, biaya keluarga pasien selama

menunggu di rumah sakit, dan biaya makanan untuk keluarga pasien

(Kulkarni dkk., 2009).

3) Biaya tidak langsung (indirect cost)

Biaya tidak langsung adalah biaya yang dikeluarkan oleh pasien, keluarga,

teman atau masyarakat. Biaya ini sulit untuk diukur, tetapi menjadi

perhatian masyarakat secara keseluruhan (Wally dan Haycox, 1997). Biaya

Page 18: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

18

tidak langsung meliputi kehilangan produktivitas dalam masyarakat, upah

yang hilang, dan kehilangan waktu luang (Kulkarni dkk., 2009).

4) Biaya tidak teraba (intangible cost)

Biaya tidak teraba mencakup rasa sakit, trauma, atau kondisi psikologis

yang diderita oleh pasien atau keluarganya yang mustahil untuk diukur

dengan nominal namun sangat penting bagi pasien maupun dokter. Biaya ini

bisa didapatkan dengan mengukur kualitas hidup (Kulkarni dkk., 2009).

c. Perspektif Analisis

Penilaian biaya dan konsekuensi dari sebuah produk atau jasa farmasi sangat

bergantung dari segi perspektif mana evaluasi farmakoekonomi dilakukan. Secara

umum, perspektif meliputi perspektif pasien, penyedia layanan kesehatan

(provider), pembayar (payer), dan masyarakat (societal). Evaluasi

farmakoekonomi dapat digunakan untuk menentukan nilai produk atau jasa dari

satu segi perspektif atau lebih (multiple). Klarifikasi dari perspektif sangat penting

karena hasil evaluasi farmakoekonomi tergantung pada perspektif yang diambil.

Setelah perspektif sudah ditentukan dengan jelas, evaluasi biaya dan konsekuensi

yang relevan dapat dimulai. Perspektif merupakan hal yang penting karena nilai

yang ditempatkan pada pengobatan akan tergantung pada perspektif yang diambil

(Sanchez, 2011).

1) Perspektif pasien

Perspektif pasien adalah yang terpenting karena pasien merupakan

konsumen utama dari pelayanan kesehatan. Biaya dari perspektif pasien

Page 19: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

19

adalah apa yang pasien bayar untuk produk atau pelayanan kesehatan dan

merupakan bagian yang tidak tercakup oleh asuransi. Konsekuensi dari

perspektif pasien adalah efek klinis, baik positif maupun negatif dari

alternatif program atau pengobatan. Sebagai contoh berbagai biaya dari

perspektif pasien termasuk biaya yang ditanggung asuransi dan biaya terapi

yang dikeluarkan pasien, serta biaya tidak langsung, seperti upah yang

hilang (Sanchez, 2005).

2) Perspektif penyedia layanan kesehatan (provider)

Biaya dari perspektif penyedia layanan adalah biaya dalam menyediakan

sebuah produk atau layanan. Penyedia layanan dapat meliputi rumah sakit,

organisasi penyedia layanan, atau dokter praktek swasta. Dari perspektif ini,

biaya langsung seperti biaya obat, rawat inap, tes laboratorium,

perlengkapan, dan gaji profesi kesehatan dapat diidentifikasi, diukur, dan

dibandingkan (Sanchez, 2005).

3) Perspektif pembayar (payer)

Pembayar meliputi perusahaan asuransi, pengusaha, atau pemerintah. Dari

perspektif ini, biaya yang dihitung adalah biaya untuk produk dan layanan

perawatan kesehatan yang diterima atau diganti oleh pembayar. Biaya utama

untuk pembayar bersifat langsung. Namun, biaya tidak langsung seperti

hilangnya hari kerja dan penurunan produktivitas juga dapat memberikan

kontribusi pada total biaya pelayanan kesehatan yang ditanggung pembayar

(Sanchez, 2005).

Page 20: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

20

4) Perspektif masyarakat (social)

Perspektif masyarakat adalah perluasan dari semua perspektif karena

merupakan satu-satunya yang mempertimbangkan manfaat bagi masyarakat

secara keseluruhan. Secara teoritis, semua biaya langsung dan tidak

langsung termasuk dalam evaluasi ekonomi yang dilihat dari perspektif

masyarakat. Biaya dari perspektif ini meliputi morbiditas dan kematian

pasien dan keseluruhan biaya dari pemberian dan penerimaan pelayanan

kesehatan. Evaluasi dari perspektif ini juga mencakup semua konsekuensi

penting dari individu yang bersangkutan (Sanchez, 2005).

d. Metode Evaluasi Farmakoekonomi

Tujuan dari dilakukannya evaluasi ekonomi adalah untuk mengidentifikasi,

mengukur, serta membandingkan biaya dan konsekuensi dari alternatif yang

dipertimbangkan. Dua hal yang membedakan karakteristik dari evaluasi ekonomi

adalah jumlah alternatif yang dibandingkan serta biaya dan konsekuensi apa yang

diperiksa. Berikut adalah metode evaluasi farmakoekonomi yang paling sering

digunakan oleh praktisi kesehatan (Sanchez, 2011).

1) Cost Analysis

Cost analysis sering disebut dengan cost of illness (COI) atau biaya yang

dikeluarkan dalam pengobatan. Tipe analisis ini merupakan gabungan tiga

komponen yaitu biaya medis, biaya non medis langsung, dan biaya tidak

langsung. Metode ini membandingkan biaya total penggunaan obat tetapi

tidak membandingkan kemanjuran/efficacy dari terapi atau penggunaan obat

Page 21: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

21

yang satu dengan obat-obatan yang lainnya. Meskipun demikian metode ini

menunjukkan berapa biaya total sesungguhnya dan dapat mengidentifikasi

biaya-biaya tersembunyi (hidden cost) (Bootman, 1996).

2) Cost-Minimization Analysis (CMA)

CMA adalah tipe analisis yang membandingkan biaya total penggunaan dua

atau lebih obat atau intervensi yang memiliki efikasi dan efek samping atau

outcome yang dianggap ekuivalen (Bootman, 1996; Vogenberg, 2001).

Kelebihan metode ini adalah lebih sederhana dari metode lain karena tidak

mengukur outcome namun memiliki kekurangan hanya dapat dilakukan bila

outcome yang ada identik (Wilson, 2001).

3) Cost-Effectiveness Analysis (CEA)

CEA membandingkan biaya dan outcome dalam satuan kesehatan seperti

kadar Hb dan tekanan darah. Kelebihan dari metode ini yaitu outcome tidak

perlu dikonversi dalam mata uang. Kekurangan metode ini yaitu outcome

yang ada harus dapat diukur dalam satuan yang sama (Wilson, 2001).

Pilihan terapi yang dipilih yaitu terapi yang memiliki biaya rendah dengan

efektifitas tinggi (Vogenberg, 2001).

4) Cost-Utility Analysis (CUA)

CUA adalah metode analisis farmakoekonomi yang dapat melihat

konsekuensi intervensi dalam bentuk kuantitas dan kualitas hidup.

Peningkatan kesehatan dalam CUA diukur dalam bentuk penyesuaian

kualitas hidup (quality adjusted life years/QALYs) dan hasilnya ditunjukkan

dengan biaya per penyesuaian kualitas hidup (Vogenberg, 2001).

Page 22: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

22

5) Cost-Benefit Analysis (CBA)

CBA merupakan metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi,

mengukur, dan membandingkan antara keuntungan (benefit) dan biaya dari

suatu program atau alternatif perlakuan. Keuntungan didapatkan dari suatu

program atau alternatif perlakuan yang kemudian dibandingkan dengan

biaya yang dihabiskan untuk mendapatkan benefit tersebut. Baik biaya

maupun keuntungan diukur dalam unit mata uang (Sanchez, 2011).

Studi farmakoekonomi menggunakan tiga model analitik untuk

mengumpulkan data, antara lain:

1) Prospektif, yaitu sebagai bagian dari suatu percobaan klinis.

2) Retrospektif, yaitu data diambil dari suatu database atau tabel medis.

3) Prediktif, yaitu berupa modeling, menggunakan suatu alur keputusan atau

suatu percobaan dikendalikan oleh data acak.

5. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten kebumen

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah

institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan

perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,

dan gawat darurat. Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan

yang meliputi promotif, prefentif, kuratif, dan rehabilitatif (DepKes RI, 2009).

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Kebumen didirikan tahun

1916 dengan nama Zending Hospital Panjurung yang dikelola oleh Yayasan

Kristen di bawah naungan pemerintah Hindia Belanda. Setelah Belanda menyerah

Page 23: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

23

kepada Jepang pada tahun 1942, Zending Hospital Panjurung menjadi milik

pemerintah pendudukan Jepang sampai tahun 1945. Sejak Indonesia merdeka

yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah Jepang menyerahkan

pengelolaan Zending Hospital Panjurung kepada Republik Indonesia yang

selanjutnya pada tahun 1950 diserahkan kepada pemerintah daerah Kabupaten

Kebumen. Pegawai - pegawai yang berasal dari Zending Hospital Panjurung

dialihkan statusnya menjadi pegawai departemen kesehatan untuk pegawai medis

dan menjadi pegawai pemerintah daerah Kabupaten Kebumen untuk pegawai non

medis atau tata usaha. Dengan demikian Zending Hospital Panjurung menjadi

RSUD Kabupaten Kebumen sampai sekarang.

RSUD Kabupaten Kebumen terletak di bagian selatan kota Kebumen yaitu

di jalan Rumah Sakit No. 13 yang termasuk dalam wilayah RT 01 RW I

Kelurahan Panjer, Kecamatan Kebumen. RSUD Kabupaten Kebumen merupakan

sarana dan prasarana pelayanan kesehatan masyarakat milik pemerintah daerah

yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Kebumen sebagai rumah sakit

rujukan. Dewasa ini RSUD Kabupaten Kebumen telah mengalami perkembangan

dalam melayani masyarakat. Sejak terbitnya Surat Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia No: 031 / Birhup / 1972 tentang rumah-rumah sakit

pemerintah, maka RSUD Kabupaten Kebumen digolongkan dalam rumah sakit

klasifikasi tipe D. Selanjutnya jenis pelayanan dan tingkat pelayanan berkembang

cukup baik, maka klasifikasi D untuk RSUD Kabupaten Kebumen pada tahun

1983 telah ditingkatkan menjadi klasifikasi C sesuai Surat Keputusan Menteri

Kesehatan R.I No. 233 / Menkes / SK / VI / 1983. Sedangkan berdasarkan

Page 24: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

24

Peraturan Daerah No. 54 Tahun 2004, RSUD Kabupaten Kebumen berubah

menjadi Badan Pengelolaan Rumah Sakit Umum Daerah (BP RSUD) Kabupaten

Kebumen.

Visi dari BP RSUD Kabupaten Kebumen adalah menjadikan RSUD

Kabupaten Kebumen sebagai rumah sakit terbaik di bidang trauma di propinsi

Jawa Tengah bagian selatan. Sedangkan misi organisasi BP RSUD Kabupaten

Kebumen yaitu:

a. Meningkatkan mutu dan cakupan pelayanan sehingga dapat memenuhi

kebutuhan masyarakat sebagai rumah sakit rujukan Propinsi Jawa Tengah

bagian selatan.

b. Mengembangkan pelayanan, sarana, dan prasarana menjadi rumah sakit tipe

B non pendidikan.

c. Mewujudkan pelayanan rumah sakit yang bermutu dan dapat memuaskan

pasien dan efisien dalam pengelolaan.

d. Meningkatkan pembinaan sumber daya manusia dalam peningkatan

kompetensi tinggi dan karakter yang berperhatian terhadap pasien.

e. Merestrukturisasi organisasi dan manajemen menjadi Badan Layanan

Umum.

f. Meningkatkan kesejahteraan karyawan sesuai dengan kebutuhan kehidupan

yang layak (Sabdono, 2007).

Page 25: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

25

F. Kerangka Konsep

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian

G. Keterangan Empirik

Dengan dilakukannya penelitian ini dapat diketahui karakteristik pasien,

gambaran terapi, serta biaya yang diperlukan dalam menjalani pengobatan anemia

karena GGK menggunakan transfusi darah di RSUD Kabupaten Kebumen selama

Terapi Transfusi Darah

Karakteristik:

1. Usia2. Jenis Kelamin3. Kelas Perawatan4. Cara Bayar5. Stadium GGK6. Kadar Hb MRS7. Komorbid8. Lama Rawat

Biaya Terapi

Biaya Medis Langsung danNon Medis Langsung

1. Biaya Transfusi Darah2. Biaya Hemodialisis3. Biaya Layanan RS4. Biaya Pemeriksaan5. Biaya Obat Penyakit

Lain6. Biaya Non Medis7. Biaya Alat Kesehatan8. Biaya Obat Anemia

Tambahan

OutcomeTerapi

1. Pencapaiantarget terapi

2. PeningkatanKadar Hb

Analisis Faktor yang MempengaruhiTotal Biaya Terapi Total Biaya Terapi

Page 26: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/69883/potongan/S1-2014...oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal yang

26

tahun 2012 sampai dengan Juni 2013. Penelitian ini juga dapat menentukan

komponen biaya penyusun dan menghitung presentasenya sehingga dapat

diketahui komponen biaya manakah yang memiliki kontribusi terbesar dalam hal

pembiayaan.