pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gagal ginjal kronis (GGK) merupakan masalah kesehatan dunia yang
mempengaruhi kurang lebih 10% sampai 15% populasi dewasa di banyak negara
barat seperti Australia dan Amerika Serikat serta mencapai 20% dari jumlah
populasi dewasa Jepang (Howard dkk., 2010). Indonesia sendiri belum memiliki
sistem registrasi yang lengkap dibidang penyakit ginjal, namun di Indonesia
diperkirakan terdapat 100 per sejuta penduduk dan sekitar 20.000 kasus baru
dalam setahun (Wahyuni, 2009).
GGK didefinisikan sebagai munculnya kerusakan ginjal yang dimanifestasi
oleh ekskresi albumin yang abnormal atau terjadinya penurunan fungsi ginjal
yang diukur dengan laju filtrasi glomerulus (GFR) yang persisten selama lebih
dari 3 bulan (Thomas dkk., 2008). Pasien GGK biasanya mengalami beberapa
penyakit komorbid seperti anemia yang terjadi pada sekitar 80-90% penderita
GGK (Lukito, 2008) dengan angka kejadian meningkat seiring penurunan GFR
dan naiknya stadium GGK (Lankhorst dan Wish, 2010). Penyebab utama
terjadinya anemia pada pasien GGK adalah defisiensi eritropoietin sedangkan
faktor lain yang mempengaruhi diantaranya berkurangnya masa hidup sel darah
merah, kehilangan darah, dan kekurangan zat besi (Wells dkk., 2009). Anemia
biasanya memberi kontribusi yang buruk untuk kualitas hidup pasien GGK
2
(KDOQI, 2006) karenanya penanganan anemia yang tepat ikut berperan dalam
mengurangi progresifitas GGK.
Penanganan anemia dengan pemberian recombinant human eritropoietin
(rHU-EPO) memberikan outcome yang baik dengan meningkatkan kualitas hidup
pasien selain peningkatan kadar hemoglobin (Hb). Namun demikian obat ini
relatif mahal sehingga pemakaiannya masih terbatas dan banyak dipilih alternatif
terapi menggunakan transfusi darah yang dapat meningkatkan hematokrit pasien
dengan cepat (Lukito, 2008). Studi populasi yang dilakukan National Health and
Nutrition Examination Survey (NHANES) menyebutkan bahwa insidensi anemia
pada GGK stadium 1 dan 2 kurang dari 10%, pada stadium 3 meningkat menjadi
20-40%, 50-60% pada stadium 4, dan menjadi lebih dari 70% pada stadium 5
(Lankhorst dan Wish, 2010).
Pengobatan GGK membutuhkan biaya yang tidak sedikit karena
membutuhkan waktu pengobatan jangka panjang dan sering terdapat penyakit
komorbid. Berdasarkan laporan United Stated Renal Data System (USRDS) tahun
2012 disebutkan pada tahun 2010 total biaya untuk pasien GGK sebesar 3,35
milyar dolar. Sejumlah 8% dari biaya tersebut terjadi pada stadium 1-2, sejumlah
35 % terjadi pada stadium 3, dan 13% terjadi pada stadium 4-5. Keseluruhan
pengeluaran biaya untuk perawatan medis pasien GGK berkisar 41 milyar dolar
dengan biaya tiap orang per tahun (per person per year) sekitar 22.323 dolar
untuk semua kasus GGK (USRDS, 2012).
Biaya pelayanan medis dan pelayanan kefarmasian semakin meningkat.
Peran farmasis sangat dibutuhkan sebagai pemain kunci dalam menjamin terapi
3
obat dan pelayanan farmasi terkait agar tidak hanya aman dan efektif namun juga
mempunyai nilai yang nyata dari sisi ekonomi dan humanistic (Bootman dkk.,
2005). Dengan meningkatnya perhatian terhadap biaya pada lingkungan
pelayanan kesehatan sekarang ini, farmasis dan penyedia layanan kesehatan lain
seringkali membutuhkan data analisis biaya untuk mendapatkan informasi
ekonomi yang terkait dengan terapi obat (McCloskey dan Willian, 2001).
Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas, peneliti merasa perlu
untuk melakukan suatu penelitian tentang analisis biaya untuk mengetahui
komponen biaya yang mempengaruhi dan berapa besarnya biaya tersebut. Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Kebumen dipilih sebagai tempat
penelitian karena merupakan rumah sakit yang menjadi rujukan bagi pengobatan
pasien gagal ginjal yang terdapat di Kabupaten Kebumen.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, rumusan
masalah yang akan diteliti pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana karakteristik pasien dan gambaran terapi anemia karena GGK di
RSUD Kabupaten Kebumen?
2. Berapa besarnya total biaya yang dikeluarkan untuk transfusi darah serta
komponen biaya manakah yang memiliki kontribusi besar dalam
pembiayaan terapi anemia karena GGK pada pasien RSUD Kabupaten
Kebumen?
4
3. Apa saja faktor yang mempengaruhi besarnya total biaya yang dikeluarkan
untuk terapi anemia karena GGK di RSUD Kabupaten Kebumen?
4. Bagaimana outcome terapi anemia menggunakan transfusi darah di RSUD
Kabupaten Kebumen?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Mengetahui karakteristik pasien dan gambaran terapi anemia karena GGK
di RSUD Kabupaten Kebumen.
2. Mengetahui besarnya total biaya yang dikeluarkan untuk transfusi darah
serta komponen biaya manakah yang memiliki kontribusi besar dalam
pembiayaan terapi anemia karena GGK pada pasien RSUD Kabupaten
Kebumen.
3. Mengetahui faktor yang mempengaruhi besarnya total biaya yang
dikeluarkan untuk terapi anemia karena GGK di RSUD Kabupaten
Kebumen.
4. Mengetahui outcome terapi anemia menggunakan transfusi darah di RSUD
Kabupaten Kebumen.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang mencakup
berbagai bidang, yaitu:
5
1. Bagi rumah sakit sebagai bahan pertimbangan dalam hal pengobatan yang
akan dilakukan selanjutnya untuk meningkatkan mutu pelayanan di RSUD
Kabupaten Kebumen dalam terapi anemia karena GGK dari segi biaya
supaya tidak memberatkan pasien.
2. Bagi peneliti selanjutnya sebagai bahan pembanding dan pelengkap dalam
penelitian dan sebagai pendukung dalam kemajuan ilmu kesehatan
khususnya bidang farmakoekonomi.
E. Tinjauan Pustaka
1. Gagal Ginjal Kronis (GGK)
a. Definisi GGK
Berdasarkan National Kidney Foundation-Kidney Disease Outcome Quality
Initiative (NKF-KDOQI), GGK adalah suatu kondisi dimana ginjal mengalami
penurunan GFR menjadi kurang dari 60ml/menit/1,73m2 selama lebih dari atau
sama dengan 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal, atau jika seseorang yang
memiliki GFR lebih dari 60ml/menit/1,73m2 namun terdapat penanda kerusakan
ginjal diantaranya proteinuria atau abnormalitas pada tampilan grafis diagnostik
seperti ultrasonografi (USG) atau pada biopsi (KDOQI, 2002).
b. Patofisiologi GGK
Patofisiologi penyakit GGK pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, namun dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi
kurang lebih sama. Ginjal secara irreversible mengalami penurunan jumlah nefron
6
yang mengakibatkan penurunan fungsi ginjal tersebut. Pengurangan massa ginjal
menyebabkan terjadinya peningkatan GFR dan hiperfiltrasi yang berakibat
hipertrofi sisa nefron secara struktural dan fungsional sebagai upaya kompensasi.
Fenomena ini mempercepat meningkatnya jumlah nefron yang tidak berfungsi
sehingga pada suatu saat jumlah nefron yang tersisa tidak dapat memkompensasi
keadaan yang ada akibatnya timbul sindroma uremik (Pranawa dkk., 1993).
c. Faktor Risiko GGK
Dalam Chronic Kidney Disease: Progression-Modifying Therapies Joy dkk.
(2010) menjelaskan bahwa terdapat beberapa kategori faktor risiko yang
dihubungkan dengan GGK yaitu:
1) Faktor risiko yang meningkatkan kerentanan GGK, yaitu faktor
sosiodemografi seperti usia, pendapatan rendah, pendidikan rendah, ras,
berat lahir rendah, dan riwayat keluarga. Selain faktor sosiodemografi
tersebut, keadaan yang menyebabkan inflamasi sistemik dan dislipidemia
dapat pula meningkatkan kerentanan GGK. Faktor risiko tersebut dapat
meningkatkan risiko perkembangan penyakit meski tidak berperan secara
langsung.
2) Faktor risiko yang menginisiasi, yaitu kondisi yang secara langsung dapat
menginisiasi kerusakan ginjal. Diabetes mellitus, hipertensi, penyakit
autoimun, penyakit polikistik, infeksi sistemik, infeksi saluran kemih, batu
ginjal, pembengkakan saluran kemih bagian bawah, dan ketoksikan obat
7
masuk ke dalam kategori ini. Dari beberapa faktor risiko tersebut, penyebab
terbesar adalah diabetes melitus, hipertensi, dan glomerulonefritis.
3) Faktor risiko yang dapat memperburuk keadaan kerusakan ginjal dan
dihubungkan dengan kecepatan penurunan fungsi ginjal setelah diinisiasi
oleh faktor risiko. Proteinuria, hipertensi, diabetes melitus, merokok, dan
hiperlipidemia merupakan faktor risiko yang dapat memperburuk keadaan
kerusakan ginjal tersebut.
d. Manifestasi Klinik
Pasien dengan stadium I atau II biasanya tidak memiliki gejala atau
gangguan metabolik seperti asidosis, anemia, dan penyakit tulang. Selain itu,
pengukuran yang paling umum dari gangguan fungsi ginjal yaitu serum kreatinin
mungkin hanya sedikit meningkat pada tahap awal GGK. Akibatnya, estimasi
GFR sangat penting bagi pengenalan tahap awal GGK. Karena tahap awal GGK
sering tidak terdeteksi, dibutuhkan diagnosis pada pasien dengan tingkat
kecurigaan yang tinggi yaitu yang mengalami kondisi kronis seperti hipertensi dan
diabetes.
Tanda dan gejala terkait dengan GGK menjadi lebih umum pada stage III,
IV, dan V. Anemia, kelainan metabolisme kalsium dan fosfor (hiperparatiroidisme
sekunder), malnutrisi, dan abnormalitas cairan dan elektrolit menjadi lebih umum
seiring fungsi ginjal memburuk. Umumnya pada pasien GGK stadium V juga
mengalami gatal-gatal, intoleransi dingin, berat badan menurun, dan neuropati
perifer (Joy dkk., 2008).
8
e. Komorbid GGK
Komorbid didefinisikan sebagai kondisi selain penyakit utama. NKF-
KDOQI menjelaskan bahwa pasien dengan penyakit GGK memiliki sejumlah
besar kondisi komorbid. Kondisi komorbid sendiri menurut NKF-KDOQI (2002)
diklasifikasikan menjadi 3 bagian, yaitu:
1) Penyakit yang menyebabkan GGK, misalnya diabetes, hipertensi, dan
obstruksi saluran kemih.
2) Penyakit yang tidak berhubungan dengan GGK, seperti penyakit paru
obstruksi kronik, gastroesophageal reflux disease (GERD), penyakit
degeneratif sendi, penyakit Alzheimer, dan malignansi.
3) Penyakit cerebrovascular atau cerebrovascular disease (CVD) misalnya
aterosklerosis, gagal jantung, jantung koroner, dan hipertropi ventrikular
kiri.
f. Diagnosis GGK
Menurut NKF-KDOQI, diagnosis GGK dapat diketahui dari hasil evaluasi
laboratorium seperti:
1) Pemeriksaan serum kreatinin untuk estimasi nilai GFR.
2) Rasio antara protein dengan kreatinin atau albumin dengan kreatinin pada
sampel urin di pagi hari.
3) Pemeriksaan ada tidaknya sel darah merah atau sel darah putih pada
endapan urin.
4) Melihat keadaan ginjal menggunakan USG.
9
5) Melihat nilai elektrolit darah (natrium, kalium, klorida, dan bikarbonat)
(KDOQI, 2002).
g. Klasifikasi GGK
Penyakit ginjal kronis diklasifikasikan menjadi lima tahapan sesuai dengan
ada atau tidaknya kerusakan ginjal (contohnya proteinuria dan albuminuria) dan
atau penurunan tingkat fungsi ginjal (laju filtrasi ginjal/GFR).
Tabel I. Klasifikasi GGK menurut KDOQI 2002
Stadium Deskripsi GFR
1Kerusakan ginjal dengan GFR normal atautinggi
≥90
2Kerusakan ginjal dengan penurunan GFRringan
60-89
3 Penurunan GFR sedang 30-59
4 Penurunan GFR berat 15-29
5 Gagal ginjal <15
(KDOQI, 2002)
h. Komplikasi
Banyak komplikasi yang timbul seiring dengan penurunan fungsi ginjal
ataupun naiknya stadium GGK. Jenis komplikasi yang muncul antara lain yaitu
anemia, dehidrasi, hiperparatiroid, hiperlipidemia, uremia, terganggunya fungsi
imunologi, malnutrisi, dan penyakit jantung (O’ Callaghan, 2006).
i. Tatalaksana Terapi GGK
Terapi GGK meliputi terapi non farmakologi dan terapi farmakologi. Terapi
non farmakologi yaitu berupa diet rendah protein (0,6-0,75g/kg/hari) untuk
10
mencegah progresivitas GGK baik pada pasien dengan maupun tanpa diabetes
namun keuntungan dari terapi ini relatif kecil. Terapi farmakologi untuk GGK bila
disertai diabetes mellitus yaitu dengan terapi insulin intensif 3 kali atau lebih
dalam sehari dengan target glukosa darah prepandrial 70-120mg/dL dan
postpandrial < 180mg/dL sedangkan jika disertai hipertensi dilakukan kontrol
hipertensi secara optimal dengan target tekanan darah yang direkomendasikan
JNC-7 adalah < 130/85mmHg (Hudson, 2008).
2. Anemia
a. Eritropoiesis
Eritropoiesis merupakan proses terbentuknya eritrosit (sel darah merah)
yang terjadi di sumsum tulang. Eritropoiesis diatur oleh regulator humural
eritropoietin (Notopoero, 2007). Ketika ginjal mendeteksi rendahnya kadar
oksigen di darah maka ginjal akan melepaskan hormon yang disebut eritropoetin
(EPO) yang akan menuju sumsum tulang untuk menstimulasi pembentukan sel
darah merah (Lankhorst dan Wish, 2010). Sembilan puluh persen EPO dihasilkan
oleh sel endotelial ginjal, sedangkan sisanya dihasilkan oleh hati (Ineck dkk.,
2008).
b. Definisi Anemia
Anemia merupakan sekelompok gangguan yang dikarakterisasi dengan
penurunan hemoglobin atau sel darah merah yang berakibat pada penurunan
kapasitas pengangkutan oksigen oleh darah (Sukandar dkk., 2009). Anemia bukan
11
merupakan suatu penyakit melainkan kondisi yang menghasilkan beberapa
perbedaan patologi. Anemia merupakan manifestasi klinik dari penurunan
peredaran massa sel darah merah dan biasanya dideteksi dengan rendahnya kadar
konsentrasi hemoglobin darah. Penurunan kadar hemoglobin tersebut berakibat
pada menurunnya kapasitas pembawa oksigen dalam darah. Menurut KDOQI
(2006) kadar Hb pada anemia adalah < 13,5g/dL untuk laki-laki dan < 12,0g/dL
untuk perempuan tanpa membedakan ada tidaknya menstruasi. Target hemoglobin
yang diharapkan pada anemia akibat GGK adalah ≥ 11g/dL dengan saturasi
transferin > 20% untuk terapi menggunakan ESAs (KDOQI, 2006; Hudson, 2008)
c. Patofisiologi Anemia karena GGK
Anemia pada GGK merupakan anemia jenis normokromik normositik yaitu
anemia karena terjadinya defisiensi EPO. Ada banyak faktor yang menjadi
penyebab anemia pada GGK. Namun, penyebab utama yang biasa terjadi adalah
ketidakcukupan produksi EPO yang sering diikuti dengan defisiensi besi.
Kegagalan ginjal yang terjadi secara progresif ikut berperan dalam peningkatan
insiden anemia karena defisiensi EPO. Mekanisme penurunan produksi EPO ini
belum diketahui secara pasti, hal ini dapat terjadi sebagai bagian dari respon
fisiologi untuk mencapai kesesuaian konsentrasi hemoglobin yang turun secara
kronik. Faktor lain yang dapat menjadi penyebab terjadinya anemia pada GGK
diantaranya penurunan masa hidup sel darah merah, kehilangan darah, dan
defisiensi zat besi (Hudson, 2008; Lankhorst dan Wish, 2010).
12
d. Diagnosis Anemia
Pasien GGK dengan GFR < 60mL/min/1,73m2 harus dievaluasi terhadap
kemungkinan terjadinya anemia dengan melihat pada level kadar hemoglobinnya
(Macdougall, 2011). Berdasarkan KDIGO tahun 2012, untuk menegakkan
diagnosis anemia diperlukan beberapa pemeriksaan antara lain:
1) Dilakukan tes complete blood count (CBC), dengan demikian dapat
diperoleh kadar hemoglobin, pemeriksaan sel darah merah, jumlah sel darah
putih, dan jumlah platelet. Selain itu diketahui juga tingkat keparahan
anemia berdasarkan data kadar hemoglobin.
2) Penghitungan jumlah retikulosit total. Jumlah retikulosit meningkat pada
keadaan hemolisis atau kehilangan banyak darah dan akan menurun pada
kasus anemia dengan hipoproliferatif eritropoesis.
3) Pemeriksaan feritrin serum dengan tujuan untuk mengevaluasi cadangan zat
besi. Jika kadar feritrin ≤ 30ng/ml (≤ 30mg/l) menandakan terjadi defisiensi
zat besi yang berat yang menunjukkan tidak adanya penyimpanan zat besi di
sumsum tulang. Pada pasien GGK yang tergantung hemodialisis, pasien
dikatakan memiliki cadangan zat besi normal pada sumsum tulang jika
kadar feritrin ≥ 300ng/ml (≥ 300 mg/l).
4) Pengukuran serum transferrin saturation (TSAT). Pengukuran ini paling
sering digunakan untuk mengukur ketersediaan zat besi untuk mendukung
keberlangsungan eritropoesis.
13
5) Pengukuran kadar vitamin B12 dan kadar asam folat dalam serum.
Pengukuran ini kadang tak umum dilakukan dalam pemeriksaan tetapi
penting untuk diterapi pada kasus anemia khususnya bila terjadi sel darah
merah makrositik.
Pasien anemia pada GGK sebaiknya rutin melakukan pemeriksaan terhadap
anemia demikian juga pasien GGK yang tidak menderita anemia. KDIGO (2012)
menyebutkan, frekuensi pemeriksaan anemia:
1) Pada pasien GGK tanpa anemia: satu tahun sekali pada pasien stadium III,
dua kali dalam setahun untuk pasien non dialisis stadium IV-V, dan setiap
tiga minggu pada pasien stadium V dengan hemodialisis atau peritoneal
dialisis.
2) Pada pasien GGK dengan anemia yang tidak sedang mendapatkan terapi
ESA: setiap tiga bulan pada pasien non dialisis stadium III-V dan pada
pasien dengan peritoneal dialisis stadium V, serta setiap bulan pada pasien
dengan hemodialisis stadium V.
3) Pasien GGK dengan anemia yang menggunakan terapi ESA: pemeriksaan
hemoglobin setiap bulan saat fase inisisasi ESA, setiap tiga bulan sekali
pada pasien non dialisis tahap pemeliharaan, dan setiap bulan pada pasien
tahap pemeliharaan untuk pasien dengan dialisis stadium V.
e. Jenis Anemia
Anemia diklasifikasikan menjadi anemia macrocytic, normocytic, dan
microcytic berdasarkan ukuran sel darah merahnya. Macrocytic berarti ukuran sel
14
darah merah lebih besar dari normal. Anemia yang diakibatkan oleh defisiensi
vitamin B12 dan defisiensi asam folat tergolong dalam anemia macrocytic.
Microcytic artinya ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal. Contoh dari
anemia microcytic yaitu anemia karena kekurangan zat besi. Sedangkan
normocytic artinya ukuran sel darah merah tetap normal. Anemia normocytic
terkait dengan terjadinya kehilangan darah atau karena penyakit kronik (Ineck
dkk., 2008).
Anemia yang terjadi pada GGK merupakan anemia normocromyc
normocytic karena anemia yang terjadi disebabkan oleh turunnya sintesis
eritropoetin (Theml, 2004; Hudson, 2008; Macdougall, 2011). Namun demikian,
terkadang dapat pula terjadi anemia hypocromic atau hypercromic. Anemia
hypocromic terjadi karena adanya defisiensi zat besi, sedangkan anemia
hypercromic terjadi karena adanya kekurangan asam folat (Theml, 2004).
f. Tatalaksana Terapi Anemia
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien
anemia yaitu pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif
yang telah ditegakkan terlebih dahulu dan pemberian anti anemia. Pada GGK,
terapi anemia meliputi terapi dengan EPO, transfusi darah, suplemen besi, dan
terapi adjuvan anemia seperti asam folat dan vitamin B12.
1) Eritropoietin Stimulating Agent (ESA) merupakan semua agen yang dapat
menambah aksi eritropoiesis pada reseptor eritropoietin secara langsung
15
maupun tidak langsung. Saat ini ESA yang tersedia antara lain epoetin alfa,
epoetin beta, dan darbepoetin (KDOQI, 2006).
2) Transfusi darah merupakan lini ketiga pada terapi anemia akibat GGK
(Ineck dkk., 2008). Manfaat transfusi darah adalah untuk menjaga
ketersediaan oksigen, namun untuk pengobatan anemia kronis sebaiknya
dihindari untuk meminimalisasikan resiko terkait penggunaan (KDIGO,
2012). Transfusi darah diperlukan khususnya dalam pengaturan perdarahan
akut (KDOQI, 2006).
3) Suplemen besi secara oral maupun intravena sebagai koreksi defisiensi besi
dapat menurunkan keparahan anemia pada pasien GGK (KDIGO, 2012).
Umumnya absorpsi besi dari saluran cerna masih cukup baik, karena itu
pemberian secara oral sudah cukup memadai (Pranawa, 1993).
4) Asam folat bekerja menstimulasi produksi sel darah merah, sel darah putih,
dan platelet (Sukandar dkk., 2008). Pemberian asam folat terutama
ditujukan pada pasien GGK yang menjalani terapi hemodialisis. Hal ini
karena pada hemodialisis terjadi kehilangan asam folat sehingga
membutuhkan suplemen asam folat (Pranawa, 1993).
5) Vitamin B12 penting untuk pertumbuhan, reproduksi sel, hematopoiesis,
serta sintesis nukleoprotein dan mielin. Peran vitamin B12 dalam
pembentukan sel darah merah adalah melalui aktivasi koenzim asam folat.
Agar dapat berefek, asam folat berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu
tetrahidrofolat. Dalam proses inilah vitamin B12 dibutuhkan (Sukandar dkk.,
2008).
16
3. Transfusi Darah
Tujuan utama dari penggunaan transfusi darah dalam pengobatan anemia
adalah untuk meningkatkan kapasitas peredaran oksigen sehingga ketersediaan
oksigen dapat terstabilkan. Transfusi darah digunakan jika terjadi perdarahan akut
dengan penurunan hemodinamik kadar Hb < 7g/dL, kadar Hb < 8g/dL dengan
gangguan hemodinamik, atau terjadi defisiensi besi. Transfusi darah hanya
diberikan ketika pemberian terapi dengan ESA tidak efektif atau penggunaan ESA
lebih banyak menimbulkan kerugian daripada keuntungan yang disebabkan
kondisi pasien serta untuk pengobatan anemia yang mendesak (KDIGO, 2012).
4. Evaluasi Farmakoekonomi
a. Pengertian Farmakoekonomi
Farmakoekonomi merupakan gambaran dan analisis biaya (cost) dari obat
yang digunakan sebagai terapi dalam sistem pelayanan kesehatan dan masyarakat.
Penelitian farmakoekonomi mengidentifikasi, mengukur, membandingkan biaya
(misalnya penggunaan sumber daya), risiko, dan keuntungan dari penggunaan
produk dan jasa pelayanan farmasi serta menentukan alternatif mana yang
menghasilkan outcome terbaik (Bootman dkk., 2005).
b. Kategori Biaya
Biaya (cost) didefinisikan sebagai nilai sumber daya yang digunakan pada
penggunaan suatu terapi obat tertentu. Konsekuensi (consequence) adalah efek,
luaran (output), atau hasil (outcome) dari program pemberian terapi obat tertentu.
17
Biaya dalam analisis farmakoekonomi digambarkan sedikit banyak dengan cara
yang berbeda dari biaya-biaya pada akuntansi. Biaya yang sebenarnya dari suatu
intervensi kesehatan di dalam pengertian ekonomi tidak mengacu hanya pada
jumlah nominal pengeluaran tetapi juga kepada nilai dari semua faktor dalam
pelayanan kepada pasien (Sanchez, 2005). Biaya-biaya tersebut dapat
digolongkan sebagai berikut:
1) Biaya medik langsung (direct medical cost)
Biaya medik langsung merupakan biaya yang harus dibayarkan untuk
pelayanan kesehatan yang meliputi biaya pengobatan, biaya tenaga medis,
biaya tes laboratorium, biaya pemantauan efektivitas, dan biaya penanganan
efek samping (Kulkarni dkk., 2009).
2) Biaya non-medik langsung (direct non medical cost)
Biaya non-medik langsung adalah biaya yang harus dikeluarkan secara
langsung karena sakit tetapi tidak melibatkan pembelian produk atau jasa
pelayanan kesehatan. Contoh dari biaya non-medik langsung adalah biaya
transportasi dari dan ke rumah sakit, biaya keluarga pasien selama
menunggu di rumah sakit, dan biaya makanan untuk keluarga pasien
(Kulkarni dkk., 2009).
3) Biaya tidak langsung (indirect cost)
Biaya tidak langsung adalah biaya yang dikeluarkan oleh pasien, keluarga,
teman atau masyarakat. Biaya ini sulit untuk diukur, tetapi menjadi
perhatian masyarakat secara keseluruhan (Wally dan Haycox, 1997). Biaya
18
tidak langsung meliputi kehilangan produktivitas dalam masyarakat, upah
yang hilang, dan kehilangan waktu luang (Kulkarni dkk., 2009).
4) Biaya tidak teraba (intangible cost)
Biaya tidak teraba mencakup rasa sakit, trauma, atau kondisi psikologis
yang diderita oleh pasien atau keluarganya yang mustahil untuk diukur
dengan nominal namun sangat penting bagi pasien maupun dokter. Biaya ini
bisa didapatkan dengan mengukur kualitas hidup (Kulkarni dkk., 2009).
c. Perspektif Analisis
Penilaian biaya dan konsekuensi dari sebuah produk atau jasa farmasi sangat
bergantung dari segi perspektif mana evaluasi farmakoekonomi dilakukan. Secara
umum, perspektif meliputi perspektif pasien, penyedia layanan kesehatan
(provider), pembayar (payer), dan masyarakat (societal). Evaluasi
farmakoekonomi dapat digunakan untuk menentukan nilai produk atau jasa dari
satu segi perspektif atau lebih (multiple). Klarifikasi dari perspektif sangat penting
karena hasil evaluasi farmakoekonomi tergantung pada perspektif yang diambil.
Setelah perspektif sudah ditentukan dengan jelas, evaluasi biaya dan konsekuensi
yang relevan dapat dimulai. Perspektif merupakan hal yang penting karena nilai
yang ditempatkan pada pengobatan akan tergantung pada perspektif yang diambil
(Sanchez, 2011).
1) Perspektif pasien
Perspektif pasien adalah yang terpenting karena pasien merupakan
konsumen utama dari pelayanan kesehatan. Biaya dari perspektif pasien
19
adalah apa yang pasien bayar untuk produk atau pelayanan kesehatan dan
merupakan bagian yang tidak tercakup oleh asuransi. Konsekuensi dari
perspektif pasien adalah efek klinis, baik positif maupun negatif dari
alternatif program atau pengobatan. Sebagai contoh berbagai biaya dari
perspektif pasien termasuk biaya yang ditanggung asuransi dan biaya terapi
yang dikeluarkan pasien, serta biaya tidak langsung, seperti upah yang
hilang (Sanchez, 2005).
2) Perspektif penyedia layanan kesehatan (provider)
Biaya dari perspektif penyedia layanan adalah biaya dalam menyediakan
sebuah produk atau layanan. Penyedia layanan dapat meliputi rumah sakit,
organisasi penyedia layanan, atau dokter praktek swasta. Dari perspektif ini,
biaya langsung seperti biaya obat, rawat inap, tes laboratorium,
perlengkapan, dan gaji profesi kesehatan dapat diidentifikasi, diukur, dan
dibandingkan (Sanchez, 2005).
3) Perspektif pembayar (payer)
Pembayar meliputi perusahaan asuransi, pengusaha, atau pemerintah. Dari
perspektif ini, biaya yang dihitung adalah biaya untuk produk dan layanan
perawatan kesehatan yang diterima atau diganti oleh pembayar. Biaya utama
untuk pembayar bersifat langsung. Namun, biaya tidak langsung seperti
hilangnya hari kerja dan penurunan produktivitas juga dapat memberikan
kontribusi pada total biaya pelayanan kesehatan yang ditanggung pembayar
(Sanchez, 2005).
20
4) Perspektif masyarakat (social)
Perspektif masyarakat adalah perluasan dari semua perspektif karena
merupakan satu-satunya yang mempertimbangkan manfaat bagi masyarakat
secara keseluruhan. Secara teoritis, semua biaya langsung dan tidak
langsung termasuk dalam evaluasi ekonomi yang dilihat dari perspektif
masyarakat. Biaya dari perspektif ini meliputi morbiditas dan kematian
pasien dan keseluruhan biaya dari pemberian dan penerimaan pelayanan
kesehatan. Evaluasi dari perspektif ini juga mencakup semua konsekuensi
penting dari individu yang bersangkutan (Sanchez, 2005).
d. Metode Evaluasi Farmakoekonomi
Tujuan dari dilakukannya evaluasi ekonomi adalah untuk mengidentifikasi,
mengukur, serta membandingkan biaya dan konsekuensi dari alternatif yang
dipertimbangkan. Dua hal yang membedakan karakteristik dari evaluasi ekonomi
adalah jumlah alternatif yang dibandingkan serta biaya dan konsekuensi apa yang
diperiksa. Berikut adalah metode evaluasi farmakoekonomi yang paling sering
digunakan oleh praktisi kesehatan (Sanchez, 2011).
1) Cost Analysis
Cost analysis sering disebut dengan cost of illness (COI) atau biaya yang
dikeluarkan dalam pengobatan. Tipe analisis ini merupakan gabungan tiga
komponen yaitu biaya medis, biaya non medis langsung, dan biaya tidak
langsung. Metode ini membandingkan biaya total penggunaan obat tetapi
tidak membandingkan kemanjuran/efficacy dari terapi atau penggunaan obat
21
yang satu dengan obat-obatan yang lainnya. Meskipun demikian metode ini
menunjukkan berapa biaya total sesungguhnya dan dapat mengidentifikasi
biaya-biaya tersembunyi (hidden cost) (Bootman, 1996).
2) Cost-Minimization Analysis (CMA)
CMA adalah tipe analisis yang membandingkan biaya total penggunaan dua
atau lebih obat atau intervensi yang memiliki efikasi dan efek samping atau
outcome yang dianggap ekuivalen (Bootman, 1996; Vogenberg, 2001).
Kelebihan metode ini adalah lebih sederhana dari metode lain karena tidak
mengukur outcome namun memiliki kekurangan hanya dapat dilakukan bila
outcome yang ada identik (Wilson, 2001).
3) Cost-Effectiveness Analysis (CEA)
CEA membandingkan biaya dan outcome dalam satuan kesehatan seperti
kadar Hb dan tekanan darah. Kelebihan dari metode ini yaitu outcome tidak
perlu dikonversi dalam mata uang. Kekurangan metode ini yaitu outcome
yang ada harus dapat diukur dalam satuan yang sama (Wilson, 2001).
Pilihan terapi yang dipilih yaitu terapi yang memiliki biaya rendah dengan
efektifitas tinggi (Vogenberg, 2001).
4) Cost-Utility Analysis (CUA)
CUA adalah metode analisis farmakoekonomi yang dapat melihat
konsekuensi intervensi dalam bentuk kuantitas dan kualitas hidup.
Peningkatan kesehatan dalam CUA diukur dalam bentuk penyesuaian
kualitas hidup (quality adjusted life years/QALYs) dan hasilnya ditunjukkan
dengan biaya per penyesuaian kualitas hidup (Vogenberg, 2001).
22
5) Cost-Benefit Analysis (CBA)
CBA merupakan metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi,
mengukur, dan membandingkan antara keuntungan (benefit) dan biaya dari
suatu program atau alternatif perlakuan. Keuntungan didapatkan dari suatu
program atau alternatif perlakuan yang kemudian dibandingkan dengan
biaya yang dihabiskan untuk mendapatkan benefit tersebut. Baik biaya
maupun keuntungan diukur dalam unit mata uang (Sanchez, 2011).
Studi farmakoekonomi menggunakan tiga model analitik untuk
mengumpulkan data, antara lain:
1) Prospektif, yaitu sebagai bagian dari suatu percobaan klinis.
2) Retrospektif, yaitu data diambil dari suatu database atau tabel medis.
3) Prediktif, yaitu berupa modeling, menggunakan suatu alur keputusan atau
suatu percobaan dikendalikan oleh data acak.
5. Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten kebumen
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009, rumah sakit adalah
institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat. Pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan
yang meliputi promotif, prefentif, kuratif, dan rehabilitatif (DepKes RI, 2009).
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Kebumen didirikan tahun
1916 dengan nama Zending Hospital Panjurung yang dikelola oleh Yayasan
Kristen di bawah naungan pemerintah Hindia Belanda. Setelah Belanda menyerah
23
kepada Jepang pada tahun 1942, Zending Hospital Panjurung menjadi milik
pemerintah pendudukan Jepang sampai tahun 1945. Sejak Indonesia merdeka
yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945, pemerintah Jepang menyerahkan
pengelolaan Zending Hospital Panjurung kepada Republik Indonesia yang
selanjutnya pada tahun 1950 diserahkan kepada pemerintah daerah Kabupaten
Kebumen. Pegawai - pegawai yang berasal dari Zending Hospital Panjurung
dialihkan statusnya menjadi pegawai departemen kesehatan untuk pegawai medis
dan menjadi pegawai pemerintah daerah Kabupaten Kebumen untuk pegawai non
medis atau tata usaha. Dengan demikian Zending Hospital Panjurung menjadi
RSUD Kabupaten Kebumen sampai sekarang.
RSUD Kabupaten Kebumen terletak di bagian selatan kota Kebumen yaitu
di jalan Rumah Sakit No. 13 yang termasuk dalam wilayah RT 01 RW I
Kelurahan Panjer, Kecamatan Kebumen. RSUD Kabupaten Kebumen merupakan
sarana dan prasarana pelayanan kesehatan masyarakat milik pemerintah daerah
yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Kebumen sebagai rumah sakit
rujukan. Dewasa ini RSUD Kabupaten Kebumen telah mengalami perkembangan
dalam melayani masyarakat. Sejak terbitnya Surat Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No: 031 / Birhup / 1972 tentang rumah-rumah sakit
pemerintah, maka RSUD Kabupaten Kebumen digolongkan dalam rumah sakit
klasifikasi tipe D. Selanjutnya jenis pelayanan dan tingkat pelayanan berkembang
cukup baik, maka klasifikasi D untuk RSUD Kabupaten Kebumen pada tahun
1983 telah ditingkatkan menjadi klasifikasi C sesuai Surat Keputusan Menteri
Kesehatan R.I No. 233 / Menkes / SK / VI / 1983. Sedangkan berdasarkan
24
Peraturan Daerah No. 54 Tahun 2004, RSUD Kabupaten Kebumen berubah
menjadi Badan Pengelolaan Rumah Sakit Umum Daerah (BP RSUD) Kabupaten
Kebumen.
Visi dari BP RSUD Kabupaten Kebumen adalah menjadikan RSUD
Kabupaten Kebumen sebagai rumah sakit terbaik di bidang trauma di propinsi
Jawa Tengah bagian selatan. Sedangkan misi organisasi BP RSUD Kabupaten
Kebumen yaitu:
a. Meningkatkan mutu dan cakupan pelayanan sehingga dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat sebagai rumah sakit rujukan Propinsi Jawa Tengah
bagian selatan.
b. Mengembangkan pelayanan, sarana, dan prasarana menjadi rumah sakit tipe
B non pendidikan.
c. Mewujudkan pelayanan rumah sakit yang bermutu dan dapat memuaskan
pasien dan efisien dalam pengelolaan.
d. Meningkatkan pembinaan sumber daya manusia dalam peningkatan
kompetensi tinggi dan karakter yang berperhatian terhadap pasien.
e. Merestrukturisasi organisasi dan manajemen menjadi Badan Layanan
Umum.
f. Meningkatkan kesejahteraan karyawan sesuai dengan kebutuhan kehidupan
yang layak (Sabdono, 2007).
25
F. Kerangka Konsep
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
G. Keterangan Empirik
Dengan dilakukannya penelitian ini dapat diketahui karakteristik pasien,
gambaran terapi, serta biaya yang diperlukan dalam menjalani pengobatan anemia
karena GGK menggunakan transfusi darah di RSUD Kabupaten Kebumen selama
Terapi Transfusi Darah
Karakteristik:
1. Usia2. Jenis Kelamin3. Kelas Perawatan4. Cara Bayar5. Stadium GGK6. Kadar Hb MRS7. Komorbid8. Lama Rawat
Biaya Terapi
Biaya Medis Langsung danNon Medis Langsung
1. Biaya Transfusi Darah2. Biaya Hemodialisis3. Biaya Layanan RS4. Biaya Pemeriksaan5. Biaya Obat Penyakit
Lain6. Biaya Non Medis7. Biaya Alat Kesehatan8. Biaya Obat Anemia
Tambahan
OutcomeTerapi
1. Pencapaiantarget terapi
2. PeningkatanKadar Hb
Analisis Faktor yang MempengaruhiTotal Biaya Terapi Total Biaya Terapi
26
tahun 2012 sampai dengan Juni 2013. Penelitian ini juga dapat menentukan
komponen biaya penyusun dan menghitung presentasenya sehingga dapat
diketahui komponen biaya manakah yang memiliki kontribusi terbesar dalam hal
pembiayaan.