pendahuluan a. -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemberlakuan secara efektif UU No 14 Tahun 2008, tentang Keterbukaan
Informasi Publik (KIP) di Indonesia mulai 30 April 2010 membuka era baru alam
keterbukaan informasi publik di tanah air. Lahirnya UU tersebut merupakan bagian
dari implementasi semangat transparansi sebagai pemenuhan Hak Asasi Warga
Negara untuk mengetahui informasi publik (right to know) yang dijamin pasal 28F
UUD 1945. Namun dalam praktiknya, masih banyak badan publik yang bersikap
tertutup dan enggan memberikan informasi yang dimilikinya kepada publik. Padahal,
pengalaman sejauh ini menunjukkan bahwa proses perwujudan keterbukaan
informasi publik cenderung dipengaruhi oleh seberapa besar kemauan dan komitmen
dari pemegang otoritas dan penyedia informasi publik.1 Apakah secara politik mereka
membuka diri agar akses publik atas informasi dalam tata kelola urusan publik bisa
dilangsungkan.
Oleh karenanya, untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang
transparan dan akuntabel, baik badan publik di tingkat pusat maupun daerah dituntut
untuk berkomitmen tinggi dalam melaksanakan undang-undang ini demi terciptanya
praktik demokratisasi dan good governance. Karena pada dasarnya, konteks lahirnya
UU KIP ini secara substansial bertujuan untuk memberikan jaminan konstitusional
agar praktik demokratisasi dan good governance bermakna bagi proses pengambilan
kebijakan terkait kepentingan publik, yang bertumpu pada partisipasi masyarakat
maupun akuntabilitas lembaga penyelenggara kebutuhan publik.
Salah satu daerah yang juga turut serta merespon undang-undang ini adalah
Provinsi Lampung. Di Provinsi Lampung, pembentukan Komisi Informasi Daerah
1 Periksa Pratikno, dan tim. Kajian Implementasi Keterbukaan Informasi Publik dalam
Pemerintahan Lokal Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 (Yogyakarta: FISIPOL UGM dan Tifa Foundation, 2012), h. 2-3
2
Lampung (KID Lampung) sebagai komponen penting dalam perwujudan keterbukaan
informasi publik, diawali dengan penetapan keanggotaan Komisi Informasi Daerah
(KI Provinsi Lampung) dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur Lampung Nomor
G/635/III.07/HK/2010 tertanggal 10 November 2010 setelah dilakukan uji kelayakan
dan kepatutan terhadap para calon oleh DPRD Provinsi Lampung. KID Lampung
beranggotakan 5 orang komisioner, dengan satu orang dari unsur Pemerintah, dan
empat dari unsur masyarakat (media massa, advokat, kampus, dan LSM). Provinsi
Lampung, masuk dalam kategori Provinsi dengan respon cepat dalam membentuk
Komisi Informasi, setelah Jawa Tengah, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Gorontalo,
baru menyusul Banten, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan. Meski
prosesnya sejak April 2010, komisioner baru resmi dilantik pada tanggal 3 Maret
2011.2
Namun, yang kemudian menjadi persoalan adalah, respon cepat Gubernur ini
tidak diimbangi dengan reaksi cepat pelaksanaannya di lapangan, bahkan cenderung
tidak dijalankan oleh sejumlah badan publik di Lampung. Mereka tetap saja tertutup,
berkelit, dan enggan memberikan informasi publik yang telah diamanahkan UU KIP
dengan menganggap bahwa hal tersebut merupakan rahasia negara. Hal ini ditandai
dengan maraknya sengketa informasi yang melibatkan Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) di Provinsi Lampung dengan masyarakat yang membutuhkan
informasi. Selama tahun 2012, tercatat sebanyak 28 kasus sengketa informasi yang
ditangani oleh Komisi Informasi Daerah (KID) Lampung.3
Misalnya saja sengketa informasi publik antara Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Team 99 Pemburu Koruptor dengan Dinas Pertanian, Tanaman
Pangan, dan Hortikultura (DPTPH) Provinsi Lampung. Sengketa ini disebabkan
karena tidak ditanggapinya permohonan informasi salinan SK Kepala Dinas tentang
2 Lihat ”Wawancara Juniardi: Badan Publik di Lampung Belum Siap Implementasikan UU KIP”,
dalam www.bandarlampungnews.com/index.php?k=wawancara&i=13320-Juniardi:%20Badan%20Publik%20di%20Lampung%20Belum%20Siap%20Implementasikan%20UU%20KIP diakses tanggal 6 Januari 2013
3 Lihat “Sepanjang 2012 KIP Tangani 28 Kasus”, dalam
www.radarlampung.co.id/read/bandarlampung/55164-sepanjang-2012-kip-tangani-28-kasus-, diakses tanggal 4 Maret 2013
3
penetapan penerima bantuan langsung pupuk (BLP) senilai Rp. 1 Triliun lebih untuk
14 kabupaten dan kota di Lampung, laporan akhir BLP, rekapitulasi kelompok tani
penerima BLP, berita acara penerimaan dari masing masing kelompok tani 14
kabupaten dan kota, serta hasil verifikasi data sebagai syarat tagihan yang diajukan
PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani.4
Bahkan di level kotamadya, sengketa informasi antara Team 99 Pemburu
Koruptor dengan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Bandarlampung berujung
pada persoalan pidana di Kepolisian Daerah Lampung. Hal ini karena BKD Kota
Bandar Lampung tetap tidak menanggapi permohonan informasi tentang salinan
Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA), dan Surat Pertanggungjawaban (SPJ)
pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Pra Jabatan (Diklat Prajab) golongan I,II, dan
III, serta pengadaan pegawai atau seleksi CPNS tahun 2010. Mereka tetap enggan
memberikan informasi yang diminta meski telah melalui mediasi dan ajudikasi non-
litigasi di KID Lampung hingga perintah eksekusi dari pengadilan negeri.
Ketidakpatuhan badan publik terhadap UU KIP tersebut dengan jelas
menunjukkan bahwa, meski hampir tiga tahun UU KIP diberlakukan secara efektif,
badan publik tetap saja enggan membuka diri dari upaya masyarakat untuk
berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bagi mayoritas badan publik,
pelaksanaan keterbukaan informasi publik merupakan beban tambahan yang dapat
membuka aibnya ketimbang sebagai kontrak demokrasi yang harus dipatuhi. Padahal,
Pemerintah Provinsi Lampung belum lama ini mendapat penghargaan dari Komisi
Informasi Pusat berupa peringkat terbaik ke-8 dalam kategori informasi wajib
diumumkan berkala (melalui website) dan peringkat terbaik ke-3 kategori informasi
wajib tersedia setiap saat.5 Hal ini tentu sangat kontradiktif bila melihat realita
pelaksanaan keterbukaan informasi publik yang terjadi di lapangan.
4 Lihat “LSM Adukan Dugaan Korupsi Dinas Tanaman Pangan”, dalam
http://id.berita.yahoo.com/lsm-adukan-dugaan-korupsi-dinas-tanaman-pangan-025811017.html , diakses tanggal 7 Mei 2013
5 Lihat “Lampung Terima Penghargaan Hari Hak Internasional”, dalam
http://www.rakyatlampung.co.id/new/pusat-kota/5908-lampung-terima-penghargaan-hari-hak-internasional.html, diakses 7 Mei 2013
4
Kini, secara resmi telah tiga tahun Undang-Undang Keterbukaan Informasi
Publik berlaku efektif atau lima tahun sejak diundangkan. Tetapi di Lampung baru
sekitar 26 dari 54 SKPD yang memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi (PPID). Bahkan, dari 14 kabupaten/kota yang ada di Lampung, baru 2
kabupaten yang telah membentuk PPID yakni Pesawaran dan Lampung Selatan.6
Padahal, peranan PPID ini sangat vital dalam melayani dan memenuhi hak warga
untuk mendapatkan informasi publik sehingga warga dapat berpartisipasi aktif dalam
setiap proses perencanaan, pengambilan, pengawasan, evaluasi kebijakan dan urusan
publik lainnya.
Di kalangan masyarakat secara umum, keberadaan UU KIP ini belumlah
begitu populer. Amirudin, yang merupakan anggota Komisi Informasi Pusat,
mengungkapkan bahwa sosialisasi yang kurang menyebabkan UU KIP belum banyak
diakses dan dimanfaatkan masyarakat. Hanya kalangan tertentu seperti LSM saja
yang menyadari keberadaan dan manfaat UU KIP ini.7 Hal ini menyebabkan
masyarakat belum begitu menyadari sepenuhnya akan hak asasi yang dimilikinya
untuk mendapatkan informasi publik sebagai wujud partisipasi publik dalam
membentuk tata pemerintahan yang baik. Lebih-lebih bagi mereka masyarakat daerah
yang masih minim fasilitas teknologi komunikasi dan informasi serta jauh dari pusat
pemerintahan
Persoalan-persoalan yang muncul pada saat proses pelaksanaan UU KIP di
satu daerah memiliki perbedaan dengan daerah lainnya. Karena setiap daerah
memiliki keberagaman dan kekhasan masing-masing. Baik itu dari aspek
karakteristik masyarakat, kepemimpinan, budaya birokrasi, sosial ekonomi,
ketersediaan teknologi komunikasi dan informasi, dan lainnya. Di DKI Jakarta
misalnya, sebagai ibukota negara dan juga pusat pemerintahan, idealnya kota ini
dapat menjadi barometer implementasi UU KIP bagi daerah-daerah lainnya di
6 Lihat “Sudah 2 Tahun UU KIP Belum Maksimal”, dalam www.rribandarlampung.co.id/?cat=9,
diakses tanggal 6 Januari 2013 7 Lihat “Banyak Warga Indonesia Tak Tahu UU KIP dan Manfaatnya”, dalam
www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/05/23/m4fogn-banyak-warga-indonesia-tak-tahu-uu-kip-dan-manfaatnya diakses 23 April 2013
5
Indonesia. Namun kenyataannya, hingga tahun 2012, secara umum Pemda DKI
Jakarta belum memiliki pemahaman yang jelas terhadap UU KIP ini.
Hal tersebut menyebabkan adanya kegamangan dalam implementasinya.
Pembentukan Komisi Informasi Daerah (KID) juga tidak berjalan dengan mulus,
karena rendahnya minat masyarakat untuk menjadi anggota KID. Posisi DKI Jakarta
sebagai ibukota negara menyebabkan terjadinya tumpang tindih antara yang pusat
dan provinsi. Oleh karenanya, hingga Januari 2012 proses pembentukan KID Provinsi
DKI Jakarta baru pada tahap fit and proper test di DPRD setempat.8
Di Jawa Timur, pelembagaan instrumen kebebasan informasi publik seperti
KID, PPID, dan lainnya telah berjalan dengan cukup baik.9 Namun, tata kelola
informasi dalam mengklasifikasikan informasi yang boleh dan tidak boleh dibuka
kepada publik cenderung direduksikan oleh Pemda setempat. Informasi tentang
anggaran publik misalnya, yang berdasarkan Pasal 9 ayat 2 UU KIP merupakan
bagian dari informasi publik yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala,
masih dianggap sebagai barang rahasia yang harus ditutup rapat-rapat. Sementara
untuk isu-isu dengan tingkat sensitifitas yang lebih rendah juga masih bergantung
pada keputusan pimpinan.10
Demikian pula halnya dengan Provinsi Lampung yang mungkin juga memiliki
kompleksitas permasalahan tersendiri. Hal ini mengingat kepemimpinan Gubernur
Lampung yang selama ini senantiasa cukup menjadi sorotan publik akibat seringnya
merotasi pejabat publik dalam tempo yang sangat cepat dan dengan pertimbangan
yang cenderung bukan atas dasar profesionalitas.11
Dalam hitungan bulan bahkan
minggu, pejabat publik yang baru beradaptasi atau “duduk” mempelajari dan
8 Pratikno, dan tim, op. cit., h. 21-23
9 Faktor penting yang menjelaskan keberhasilan implementasi keterbukaan informasi publik di
Jawa Timur adalah kuatnya inisiatif pejabat puncak dan komitmen serta resourcefulness yang dimiliki oleh para pejabat penyelenggara dan pengelola yang menerima pendelegasian wewenang. Meskipun faktor eksternal seperti desakan publik (KIP, LSM, media massa, dan publik secara luas) juga memainkan peranan, pada kasus Jawa Timur, keberhasilan implementasi informasi publik lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor internal itu.
10 Ibid., h. 79-80
11 Hasil pengamatan langsung dan analisa berita-berita di media massa cetak maupun elektronik
tentang mutasi jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung
6
menyusun program kerja, sudah harus bersiap “angkat koper” ke tempat kerja yang
baru.
“Virus” mutasi ini telah membuat stres jajaran pegawai Pemda Lampung yang
dihantui ketidakpastian aturan main penjenjangan karir, dan akhirnya ragu dalam
membuat dan meneruskan program di tempat kerja. Hal ini kemudian membuat
suasana birokrasi menjadi tidak begitu kondusif sehingga program atau kebijakan
yang telah direncanakan suatu satuan kerja khususnya yang berkaitan dengan
keterbukaan informasi publik berpotensi menjadi terhambat.
Berdasarkan uraian kompleksitas permasalahan yang turut mengiringi upaya
pengimplementasian UU KIP, penting untuk dilacak akar penyebab munculnya
berbagai macam persoalan tersebut khususnya di Provinsi Lampung. Nantinya, dari
temuan-temuan di lapangan dapat dicarikan jalan keluar yang sistematis dan
berdampak secara jangka panjang bagi keberhasilan implementasi undang-undang
keterbukan informasi publik di Provinsi Lampung.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: bagaimanakah implementasi Undang-Undang Keterbukaan
Informasi publik di Provinsi Lampung tahun 2010-2013?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana implementasi/pelaksanaan
UU KIP di Provinsi Lampung dengan melihat berbagai capaian, kendala,
keterbatasan, serta peta masalah penyelenggaraan keterbukaan informasi publik yang
terjadi sehingga menyebabkan keterbukaan informasi publik berhasil atau gagal
diimplementasikan secara optimal.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
7
1. Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan khazanah
ilmu komunikasi dan juga diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi
penelitian selanjutnya terkait Keterbukaan Informasi Publik. Dalam konteks yang
lebih spesifik yakni, memperoleh gambaran pengetahuan tentang bagaimana
kebijakan keterbukaan informasi publik ini diimplementasikan khususnya di Provinsi
Lampung sejak 2010 hingga tahun 2013.
2. Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah
Daerah dan stakeholder terkait dalam melaksanakan Undang-Undang Keterbukaan
Informasi Publik guna mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance)
di Provinsi Lampung.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam melakukan penelitian tentang implementasi undang-undang
keterbukaan informasi publik, perlu dilakukan tinjauan pustaka untuk mengetahui
penelitian sebelumnya yang memiliki tema serupa, baik tentang implementasi
kebijakan maupun keterbukaan informasi publik. Studi pustaka ini sangat bermanfaat
bukan hanya untuk mengeksplorasi teori-teori yang digunakan dalam menganalisis
permasalahan tetapi dapat dilakukan pembandingan untuk mengetahui kelebihan
sekaligus kelemahan dari penelitian-penelitian tersebut. Dengan demikian dapat
dilihat perbedaan maupun kesamaan antara penelitian yang sedang dilakukan dengan
penelitian-penelitian terdahulu. Berdasarkan penelusuran studi kepustakaan tentang
penelitian-penelitian terdahulu, ditemukan tema yang serupa dengan penelitian yang
sedang dilakukan saat ini. Penelitian tentang implementasi kebijakan cukup banyak
dijumpai namun sedikit sekali yang mengkaji tentang implementasi UU KIP dengan
model implementasi hasil dari sintesis model penelitian terdahulu dengan lokus
pemerintahan lokal khususnya pada Pemerintah Provinsi Lampung.
8
Penelusuran pertama peneliti dapat dari hasil kajian Pratikno dan tim (2012).
Penelitian yang dilakukan atas kerjasama antara Fisipol UGM dengan Tifa
Foundation ini mengangkat judul “Kajian Implementasi Keterbukaan Informasi
Publik dalam Pemerintahan Lokal: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008.”
Mereka menelaah pelaksanaan keterbukaan informasi publik di beberapa
pemerintahan lokal di Indonesia yakni Aceh, Jakarta, Jawa Timur, dan Papua.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan membedah bagaimana pelaksanaan
keterbukaan informasi publik dengan menggunakan teori implementasi kebijakan
Merilee S. Grindle (1980) yang memetakan impelementasi kebijakan melalui dua
dimensi penting yakni isi kebijakan dan konteks kebijakan.
Isi kebijakan berkaitan dengan pengaruh isi kebijakan yang sangat
menentukan hal-hal apa yang harus diimplementasikan dan siapa yang
melakukannya. Sedang konteks kebijakan berkaitan dengan kondisi sosial politik
serta office politics dalam tubuh birokrasi yang menentukan bagaimana kebijakan itu
diimplementasikan. Selanjutnya, melalui teori tesebut, penelitian ini memetakan tiga
aspek pokok yang diteliti yakni capaian, kendala, dan juga peluang selama proses
implementasi kebijakan berlangsung. Kemudian, aspek diturunkan kembali menjadi
beberapa variable (capaian: kelembagaan & substantf, kendala: eksternal &internal,
peluang: eksternal & internal) hingga sampai pada indikator-indikator yang menjadi
ukuran. Berdasarkan hal tersebut, penelitian itu berusaha memetakan masalah utama
implementasi, apakah berkaitan dengan masalah dasar regulasi, desain kelembagaan
penyelenggaraan, kapasitas aparat atau sumberdaya penyedia, ataukah sekedar teknis
di lapangan.
Adapun temuan dari penelitian ini adalah bahwa implementasi Undang-
Undang KIP di banyak daerah yang diteliti tidak sesuai dengan ketentuan yang
digariskan oleh undang-undang tersebut. Baik dari segi jangka waktu
implementasinya, pembentukan lembaga dan sistem pengelolaannya, penyedia dan
penyediaan informasinya, dan hal-hal lain yang mendukung keefektifan keterbukaan
informasi publik di masing-masing daerah. Bahkan di Provinsi Papua, proses
implementasi UU KIP ini belum sama sekali dilakukan.
9
Kelemahan penelitian ini adalah pada kerangka pemikiran yang hanya
bertumpu pada satu model teori saja yakni teori implementasi kebijakan Merilee S.
Grindle (1980). Hal ini membuat aspek dan variabel yang diukur menjadi belum
begitu optimal, karena tidak adanya sudut pandang lain untuk mengelaborasikan
secara lebih komprehensif bagaimana implementasi kebijakan publik dilakukan. Hal
ini misalnya terlihat pada hasil kajian yang sangat minim menjelaskan tentang
kecenderungan sikap badan publik atas UU KIP, pengaruh inefisiensi birokrasi badan
publik, dan lainnya. Kelamahan lainnya adalah tidak rinci dan beragamnya pressure
atau tekanan pihak luar yang mempengaruhi proses implementasi. Misal di DKI
Jakarta, praktis hanya membahas permintaan informasi BOS dari ICW tanpa
membahas permintaan informasi dari pihak lainnya. Namun, secara keseluruhan,
model ini dapat dikatakan cukup berhasil dalam membedah permasalahan
implementasi UU KIP. Oleh karenanya, peneliti meyakini model penelitian tersebut
masih cukup relevan untuk direplikasikan kembali pada penelitian ini.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Agusly Irawan Aritonang (2011).12
Dalam Penelitiannya, Aritonang medeskripsikan bagaimana implementasi UU KIP di
Yogyakarta. Penelitiannya tersebut menemukan sebuah temuan yang juga
menegaskan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pratikno dan tim. Temuan tersebut
berupa realita dimana pemerintah daerah masih juga enggan untuk serius dalam
mengimplementasikan UU KIP. Dishubkominfo Yogyakarta yang menjadi objek
fokus dari penelitian ini, disimpulkan belum atau tidak secara maksimal menjalankan
perannya sebagai bagian dari implementor UU KIP yakni penyiap strategi
implementasi, peran pengorganisasi, peran pemimpin dan penggerak, dan peran
pengendali. Meskipun secara konsep, teori yang digunakan oleh Aritonang berbeda
dengan teori yang digunakan oleh Pratikno dan tim, namun temuan kedua penelitian
tersebut memiliki kemiripan.
12
Agusly Irawan Aritonang. Kebijakan Komunikasi di Indonesia: Studi Deskriptif Mengenai Pelaksanaan UU No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik oleh Dishubkominfo DIY Selama Tahun 2008-2011, tidak diterbitkan (Yogyakarta: Tesis Fisipol Ugm, 2011), h. 1-20
10
Aritonang menggunakan teori implementasi kebijakan Donald S. van Meter
dan Carl E. van Horn (1975). Teori ini memiliki lima variabel penting yang dianggap
mempengaruhi implementasi kebijakan yakni, (1) standar dan tujuan kebijakan; (2)
sumber daya; (3) aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi; (4)
karakteristik agen pelaksana; dan (5) kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Namun
sayangnya, dalam bab pembahasannya peneliti seperti kurang menguasai dan
memahami betul teori implementasi ini. Hal tersebut terlihat dari bagaimana
pembahasan yang dilakukan peneliti agak meninggalkan teori implementasi yang
disinggung di awal penelitian. Hal ini menyebabkan ketidakfokusan antara teori yang
digunakan dengan pembahasan yang dilakukan.
Namun, penelitian Aritonang yang menggunakan model Meter dan Horn
dimana variabel kondisi sosial, ekonomi dan politik menjadi salah satu variabel
penting dalam implementasi kebijakan, maka temuan dari model ini turut melengkapi
temuan Pratikno dan tim yang tidak secara khusus mempertimbangkan kondisi sosial
ekonomi dan politik. Dengan variabel tersebut, Aritonang menemukan adanya faktor
sosial politik dalam proses implementasi UU KIP di Yogyakarta. Hal tersebut
diantaranya berupa adanya beberapa elit-elit partai di DIY yang mempersoalkan
proses seleksi calon anggota KI DIY yang ditangani tim Ad Hoc. Hal ini membuat
terbengkalai dan berlarut-larutnyanya proses pembentukan KI DIY sehingga banyak
waktu yang terbuang.13
Penelitian ini pada dasarnya memiliki kesamaan dengan beberapa penelitian
tersebut. Kesamaan itu diantaranya terletak pada fokus berupa implementasi Undang-
Undang KIP. Namun, penelitian ini menggunakan model analisa implementasi yang
berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Model tersebut dibuat berdasarkan
teori-teori implementasi kebijakan publik yang dimodifikasi sedemikian rupa dengan
tujuan agar dapat menjawab pertanyaan penelitian secara komprehensif dan mampu
mengisi kekurangan atau kelemahan yang terdapat pada penelitian terdahulu
sebagaimana yang telah disingung di atas.
13
Ibid., h. 170-171
11
F. Kerangka Pemikiran
1. Kebijakan Komunikasi
Untuk mendeskripsikan bagaimana kebijakan komunikasi dalam konteks
kehidupan masyarakat, ada baiknya terlebih dahulu menyimak pendapat yang
dikemukakan oleh L. Sommeriad. Ia mengatakan, “the ways in which communication
is used, the network trough which it flows, the structures of the media system, the
regulatory framework for the system, and the decisions of people who operate it, are
all the outcome of communication policies.” (Dalam Kuo dan Chen, 1983:41).
Kutipan tersebut menggambarkan betapa kebijakan komunikasi menghasilkan begitu
banyak implikasi bagi kehidupan masyarakat. Dimulai dari cara berkomunikasi
hingga keputusan masyarakat untuk menggunakan media komunikasi. Hal ini
kemudian dipertegas pula oleh Unesco sebagaimana dikutip Ugboajah (1980:50)
yang memaknai kebijakan komunikasi sebagai kumpulan prinsip-prinsip dan norma-
norma yang sengaja diciptakan untuk mengatur perilaku sistem komunikasi.14
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, kebijakan komunikasi adalah
instrumen yang amat penting bagi kelancaran suatu sistem komunikasi. Sistem
komunikasi yang dimaksud adalah sistem yang berlaku disuatu negara. Setiap negara
diyakini memiliki pola-pola komunikasi yang berjalan dan berproses membentuk
sistem. Sistem yang terdiri dari sub-sub sistem menjalankan peran dan fungsinya
masing-masing. Oleh karena itulah dibutuhkan regulasi agar kerja sistem tersebut
dapat berjalan dengan lancar tanpa adanya hambatan maupun sumbatan. Dalam
konteks penelitian ini, kebijakan komunikasi yang dimaksud adalah UU KIP yang
saat ini tengah diimplementasikan di seluruh Indonesia, termasuk juga di Provinsi
Lampung. UU KIP dimaksudkan untuk memperlancar sistem komunikasi antara
masyarakat dengan lembaga pemerintahan maupun non-pemerintahan yang
sumberdananya sebagian atau seluruhnya berasal dari keuangan negara atau luar
negeri.
14
Lihat Ana Nadhya Abrar. Kebijakan Komunikasi: Konsep, Hakekat, dan Praktek (Yogyakarta: Gava Media, 2008), h. 9-10
12
Secara umum, kebijakan komunikasi adalah seluruh peraturan yang mengatur
proses komunikasi masyarakat, baik yang menggunakan media (mulai dari sosial,
media massa, hingga media interaktif) maupun yang tidak menggunakan media,
seperti komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, dan sebagainya. Sebagai
kebijakan publik, kebijakan komunikasi paling tidak memiliki lima kriteria, yaitu: (i)
memiliki tujuan tertentu; (ii) berisi tindakan pejabat pemerintah; (iii) memperlihatkan
apa yang akan dilakukan pemerintah; (iv) bisa bersifat positif atau negatif; dan (v)
bersifat memaksa (otoritatif).15
Oleh karena itulah masyarakat dituntut untuk benar-
benar memahami kebijakan komunikasi di Indonesia. Termasuk keberadaan UU KIP
yang memberikan ruang besar bagi masyarakat untuk mengakses informasi ke
berbagai lembaga yang menggunakan anggaran publik sebagai bentuk partisipasi
aktif masyarakat dalam mengawal perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi
program-program pembangunan.
Apa lagi bila ditelisik lebih dalam, dalam konteks konstitusional terhadap
kebebasan informasi dan jaminan akses informasi publik sebagai sebuah kebijakan
komunikasi, sebenarnya sejak awal sama sekali tidak ada kendala hukum. Jaminan
akses informasi publik dan kebebasan di dalamnya telah integral dengan
pembangunan sistem negara demokratis (democratic state) dan pembangunan
pemerintahan yang baik (good governance). Kebebasan informasi membuat
masyarakat dapat mengontrol setiap langkah dan kebijakan yang diambil oleh pejabat
yang berpengaruh pada kehidupan mereka. Sedangkan negara demokrasi,
penyelenggaraan kekuasaannya harus setiap saat dapat dipertanggungjawabkan
kembali kepada rakyat. Disinilah kebijakan komunikasi memainkan perannya sebagai
sarana untuk menjembatani komunikasi yang baik antara warga dengan pemerintah
dalam bingkai negara demokrasi.
Oleh karena kebijakan komunikasi tidak bisa dipisahkan dari perkembangan
sosial, ekonomi, dan politik negara, maka kebijakan komunikasi tidak dapat berlaku
selamanya. Oleh karenanya, kebijakan komunikasi selalu memiliki konteks, domain,
15
Ibid., h.13
13
dan paradigma.16
Konteks berarti keterkaitan kebijakan komunikasi dengan sesuatu
yang melingkupi dirinya, misalnya ekonomi-politik, politik komunikasi, dan
sebagainya. Konteks ini sangat penting bagi kebijakan komunikasi. Ia menentukan
domain kebijakan komunikasi.
Domain kebijakan komunikasi bermakna muatan nilai yang dikandung
kebijakan komunikasi, seperti globalisasi, ekonomi global, dan sebagainya. Ia bisa
disebut fungsi konteks kebijakan komunikasi. Karena konteksnya ekonomi politik
misalnya, maka domain kebijakan komunikasinya adalah ekonomi global. Sementara
paradigma, berarti kerangka cita-cita yang kepadanya kebijakan komunikasi itu
menuju, seperti terbentuknya masyarakat informasi, menguatnya civil society dan
sebagainya. Secara umum paradigma bisa bertolak dari bagaimana masalah yang
dihadapi masyarakat bisa diselesaikan. Dengan ketiga konteks tersebut, akan
diketahui arah kebijakan dari suatu produk hukum seperti undang-undang, peraturan
pemerintah, dan peraturan-peraturan lainnya.
Dalam pandangan lain, Masduki mengungkapkan ciri konseptual kebijakan
komunikasi yang di dalamnya termasuk mengatur ranah media penyiaran,17
yakni:
1. Kebijakan komunikasi merupakan perangkat norma sosial yang dibentuk
untuk memberi arah bagi perilaku sistem komunikasi.
2. Kebijakan komunikasi biasanya dirumuskan oleh para pemimpin politik yang
benar-benar dilaksanakan melalui pembatasan-pembatasan legal dan
institusional untuk memberi arah bagi perilaku sistem komunikasi.
3. Kebijakan komunikasi nasional meliputi keputusan-keputusan mengenai
institusional media komunikasi dan fungsi-fungsinya.
4. Kebijakan tersebut juga mengharuskan diterapkannya kontrol guna menjamin
operasi institusi-institusi tersebut terbawa ke arah kemaslahatan umum.
Secara sosiologis, kebijakan komunikasi bertujuan untuk menempatkan proses
komunikasi sebagai bagian dari dinamika sosial yang tidak merugikan masyarakat.18
16
Lihat Paula Chakravartty & Katharine Sarikakis. Media Policy and Globalization. (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2006), h. 6-7
17 Lihat Masduki. Regulasi Penyiaran dari Otoriter ke Liberal. (Yogyakarta: LkiS, 2007), h. 44
14
Masyarakatlah yang seharusnya mengendalikan proses komunikasi yang terjadi
diantara mereka. Kalaupun pemerintah menjadi pembuat kebijakan komunikasi,
perannya tak lebih sebagai fasilitator. Pemerintah hanya merumuskan apa yang
dikehendaki masyarakat. Karena bagaimanapun, idealnya proses komunikasi dalam
satu sistem sosial dikendalikan oleh masyarakat yang ada disitu. Artinya, masyarakat
tidak hanya pasif dalam sebuah proses komunikasi. Kebijakan komunikasi harus
menjamin bahwa masyarakat ikut mengendalikan perkembangan komunikasi yang
terjadi pada diri mereka, agar tidak dikerjai oleh berbagai pihak seperti penguasa dan
pengusaha misalnya. Intinya, bila ada proses komunikasi dalam masyarakat yang
harus diatur, maka masyarakat ikut menentukannya, dan kebijakan komunikasi
bekerja untuk memastikan kelancaran sistem komunikasi yang ada.
Secara hirarkis, kebijakan komunikasi di Indonesia mengikuti hirarki menurut
UU No. 12 Tahun 2011. Menurut UU tersebut, hirarki peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia adalah: (i) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia, (ii) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
(iii) Peraturan Pemerintah, (iv) Peraturan Presiden, dan (v) Peraturan Daerah. Nomor
urut menentukan posisi peraturan perundang-undangan tersebut, makin kecil nomor
urutnya, makin tinggi kedudukannya.
Kecuali Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, keempat
peraturan perundang-undangan yang lain bisa menjadi kebijakan komunikasi. Tetapi
secara praktis, kebijakan komunikasi yang berlaku saat ini terdiri atas lima jenis,
yaitu: (i) Undang-Undang, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
DPR dengan persetujuan Presiden; (ii) Peraturan Pemerintah, yaitu peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan UU
sebagaimana mestinya; (iii) Surat Keputusan Menteri, yaitu peraturan perundang-
undangan yang dikeluarkan oleh Menteri, dengan isi yang lebih spesifik dan
mengatur hal-hal yang bersifat praktis; (iv) Peraturan Daerah, yaitu peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala
18
Ana Nadhya Abrar, op, cit., h. 17
15
Daerah; dan (v) Keputusan Presiden, yaitu peraturan perundang-undangan yang
dibuat oleh Presiden. Keputusan ini bukan untuk menjalankan UU, tetapi bisa
mengacu pada peraturan pemerintah.
2. Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik
Niklas Luhmann dalam teori sistem autopoiesis mengatakan masyarakat
bukanlah hasil interaksi sosial antar individu, juga bukan teks dan tidak ditopang oleh
konsensus tertentu, melainkan sistem sosial yang terus menerus menciptakan dirinya
melalui komunikasi dengan lingkungan.19
Jurgen Habermas (1993) membayangkan
adanya situasi dimana munculnya ruang publik, dalam konteks ini komunikasi
dilakukan dalam wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi.20
Dalam esainya, The Public Sphere.21
Habermas melihat perkembangan
wilayah sosial macam itu dalam sejarah masyarakat modern. Dunia publik yaitu
wilayah kehidupan sosial kita yang memungkinkan pembentukan opini publik
dimana semua orang terlibat didalamnya. Publik ini berisikan personal, bukan orang
dengan kepentingan bisnis atau profesional, bukan pejabat atau politikus, tetapi
percakapan mereka membentuk suatu publik yang membicarakan kepentingan umum
tanpa paksaan. Mereka memiliki jaminan untuk berkumpul, berserikat dan beropini
secara bebas.
Secara filosofis, Habermas berpendapat bahwa tujuan akhir evolusi sosial
adalah terwujudnya masyarakat rasional yang memiliki sistem komunikasi terbuka,
baik dari gagasan maupun kritik. Rasionalitas disini berarti mereduksi penghalang
yang menyebabkan distorsi komunikasi di masyarakat, membebaskan komunikasi
dari dominasi kekuatan tertentu. Rasionalisasi tindakan komunikasi juga berarti
memerdekakan dan membuka ruang komunikasi, yaitu memberikan penghargaan atau
19
Lihat Niklas Luhmann. The control of intransparency (Systems Research and Behavioral Science 14(6), 1997), h. 71
20 Lihat F. Budi Hardiman. Menuju Masyarakat Komunikatif (Yogyakarta: Kanisius, 2009), h. 128-
129 21
Lihat Jurgen Habermas. The Public Sphere: An Encyclopedia Article, in Media and Cultural Studies (eds. Meenakshi Durham & Douglas Kellner) (Massachusetts: Blackwell, 1997), h. 27
16
emansipasi terhadap individu, dan menyingkirkan penghalang komunikasi.
Komunikasi turut memberikan konstruksi atas realitas sosial.
Menurut pemikiran Habermas perlu upaya melenyapkan perintang
komunikasi bebas. Keterbukaan Komunikasi adalah tuntutan sejarah dan keniscayaan
evolusi sosial. Karenanya cepat atau lambat, pasti akan datang. Orang yang tidak
setuju hanya bisa menunda, memperlambat sejarah tapi arah sejarah tidaklah bisa
dirubah oleh siapapun. Keterbukaan informasi juga untuk mengeliminasi budaya
kerahasiaan yang mana ditengarai banyak orang hidup dari budaya ketertutupan,
Dampaknya adalah muncul “penyelewengan”. Disini asumsi yang mendasari adalah
sebagai tool of social engineering.
Secara teoritis, hak informatif merupakan diskursus modernitas yang tidak
kunjung selesai. Modernitas ,menurut Habermas, adalah sistem yang diarahkan oleh
masyarakat kapitalis kepada totalitarianisme birokratis demi kepentingan akumulasi
modal. Birokrasi dengan berbagai kerangka kerja institusionalnya menjadi alat
korporasi dan modal untuk memperkokoh sistem akumulasi dalam satu tatanan
pemerintahan.
Dalam praktek negara yang totalitarian, birokrasi pasti menutup rapat akses
publik terhadap praktek kebohongan. Informasi merupakan alat yang mengantarkan
diskursus publik dan melakukan penilaian terhadap berbagai unsur dalam informasi.
Peniadaan informasi berarti peniadaan terhadap diskursus dan wacana publik
terhadap berjalannya satu kesepakatan sistem. Konteks itulah yang diperalat rezim
“privat” untuk membangun jejaring, kekuasaan dan penguatan akumulasi modal
didalamnya. Sistem yang tertutup merupakan ajang konspirasi dan penyalahgunaan
kekuasaan satu rezim.
Keterbukaan informasi atau jaminan atas akses publik terhadap informasi,
sistem negara yang demokratis (democratic state) dan tata pemerintahan yang baik
(good governance) merupakan tiga konsep yang saling terkait satu dengan lainnya.
Kebebasan informasi menjadi semangat demokratisasi yang menawarkan kebebasan
sekaligus tanggung jawab secara melekat. Kebebasan ini juga melahirkan
governability dimana negara dapat memfungsikan dirinya secara efektif dan efisien
17
tanpa mengesampingkan prinsip-prinsip demokrasi. Jaminan terhadap akses publik
atas informasi dan atau kebebasan informasi dijamin konstitusi dunia. Deklarasi
Umum Hak Asasi Manusia tahun 1948, dimana Pemerintah Indonesia menjadi bagian
di dalamnya, pasal 19 berbunyi,
“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat,
dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat
gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan –
keteranga dan pendapat-pendapat dengan cara apapun dan dengan tidak
memandang batas-batas.”22
Demikian juga diatur dalam Pasal 21 TAP MPR XVII/1998 tentang HAM dan
Pasal 10 (h) Konvensi International Penghapusan segala bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita. Dalam pasal 28 F UUD 1945 dinyatakan bahwa,
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”23
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 14 ayat
1 mengatakan bahwa,
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang
diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.”24
Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik, pasal 19
ayat 2 yang merupakan revisi konvenan internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau
ICCPR mengatakan,
“Setiap orang berhak untuk menyatakan pendapat/ mengungkapkan diri; dalam
hal ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberi
informasi/keterangan dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan
22
United Nations. Universal Declaration of Human Rights 1948. Pasal 19 23
Republik Indonesia. UndangUndang Dasar RI tahun 1945. Pasal 28 F 24
Republik Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 14 Ayat 1
18
pembatasan-pembatasan, baik secara lisan maupun tulisan atau tercetak, dalam
bentuk seni, atau sarana lain menurut pilihannya sendiri.”25
Pada prinsipnya, jaminan hak atas kebebasan memperoleh informasi publik
merupakan sarana dan strategi mendorong pemerintahan terbuka. Tipe
kepemerintahan ini yaitu mengedepankan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik
dengan ciri transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Ada dua aspek yang
ditekankan yaitu mendorong pemerintah transparan dalam pengelolaan informasinya
dan memberdayakan masyarakat sebagai pemilik dan pelaku kedaulatan dalam negara
dapat turut berpartisipasi dalam mengontrol tindakan penyelenggaraan pemerintahan.
3. Implementasi Kebijakan
Secara harfiah, kata implementasi berasal dari bahasa Inggris implementation
yang berasal dari kata kerja (to) implement, yang bermakna membuat apa yang sudah
diputuskan secara resmi terjadi atau digunakan.26
Ketetapan yang telah dituangkan
dalam suatu kebijakan publik harus diimplementasikan. Jika dipandang secara lebih
luas, implementasi mempunyai makna pelaksanaan undang-undang di mana aktor,
organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan
dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program.27
Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin
dapat dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu
dampak (outcome).28
Ripley dan Franklin berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang terjadi
setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan,
keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Istilah
25
Republik Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik. Pasal 19 Ayat 2
26 Oxford Advanced Ginie Dictionary: (to) implement: to make something that has been officially
decided start to happen or be used. 27
Periksa James P. Lester & Joseph Stewart. Public Policy: An Evolutionary Approach (Australia: Whadsworth, Seond Edition, 2000), h. 104
28 Ibid., h. 105
19
implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud
tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat
pemerintah. Implementasi mencakup tindakan-tindakan (tanpa tindakan-tindakan)
oleh berbagai aktor, khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk membuat
program berjalan.29
Lebih jauh menurut mereka, implementasi mencakup banyak macam kegiatan.
Pertama, badan-badan pelaksana yang ditugasi undang-undang dengan
tanggungjawab melaksanakan program harus mendapatkan sumber-sumber yang
dibutuhkan agar implementasi berjalan lancar. Sumber-sumber ini meliputi personil,
peralatan, lahan tanah, bahan-bahan mentah, dan – di atas semuanya – uang. Kedua,
badan-badan pelaksana mengembangkan bahasa anggran dasar menjadi arahan-
arahan konkret, regulasi, serta rencana-rencana dan desain program.
Ketiga, badan-badan pelaksana harus mengorganisasikan kegiatan-kegiatan
mereka dengan menciptakan unit-unit birokrasi dan rutinitas untuk mengatasi beban
kerja. Akhirnya, badan-badan pelaksana memberikan keuntungan atau pembatasan
kepada para pelanggan atau kelompok-kelompok target. Mereka juga memberikan
pelayanan atau pembayaran atau batasan-batasan tentang kegiatan atau apapun
lainnya yang bisa dipandang sebagai wujud dari keluaran yang nyata dari suatu
program.30
4. Model Implementasi Kebijakan
Dalam mengimplementasikan kebijakan, ada banyak variabel yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, baik bersifat individual maupun
kelompok atau institusi. Apalagi jika kebijakan tersebut bersifat makro yang
melibatkan berbagai aktor dalam implementasinya. Sebagaimana yang dikemukakan
oleh B. Ripley dan Grace A. Franklin (1986), mereka menuliskan sebagai berikut:
29
Periksa Randall B. Ripley dan Grace A. Franklin. Bureaucracy and Policy Implementation (Homewood, Illinois: The Dorsey Press, 1982), h. 4
30 Ibid.
20
Implementation process involve many important actors holding diffuse and
competing goals and expectations who work within a contexts of an increasingly
large and complex mix of government programs that require participation from
numeros layers and unit of government and who are affected by powerful factors
beyond their control. (Ripley dan Franklin, 1986:11)
Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukan oleh banyaknya aktor atau
unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi
oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel
organisasional, dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga saling
berinteraksi satu sama lain.31
Ada beberapa model yang dapat dielaborasikan untuk melihat variabel apa
saja yang terlibat dalam implementasi yang cukup relevan dalam penelitian ini.
Berikut akan dijelaskan model implementasi kebijakan tersebut.
a. Model George C. Edwards III (1980)
Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh
empat variabel, yakni: (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, (4) struktur
birokrasi. Keempat variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain. Sebagaimana
yang digambarkan dalam bagan berikut ini.
Gambar 1.1
Model Implementasi Edwards III (1980)32
31
Lihat AG. Subarsono. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 87-89
32 Ibid.
Komunikasi
Struktur Birokrasi
Sumber Daya
Disposisi
Implementasi
21
(1) Komunikasi
Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor
mengetahui apa yang harus dilakukan. Tiga aspek atau faktor penting dalam proses
komunikasi kebijakan yakni transmisi, konsistesi, dan kejelasan (clarity). Apa yang
menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran
(target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan
sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh
kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.
.
(2) Sumberdaya
Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten,
tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan,
implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud
sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial.
Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa
sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja.
(3) Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor,
seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki
disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti
apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memliki sikap atau
perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi
kebijakan juga menjadi tidak efektif.
(4) Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek
struktur yang penting dari setiap organisasi adalah prsedur operasi yang standar
(standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap
implementor dalam bertindak.
22
Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan
pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan
kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak
fleksibel.
b. Model Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (1975)
Menurut Van Meter dan Van Horn (1975) ada lima variabel yang
mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan. Kelima variabel tersebut yakni:
(1) Standar dan Tujuan Kebijakan.
Standar dan tujuan kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir.
Apabila standar dan tujuan kebijakan kabur, maka akan menjadi multi-interpretasi
dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi.
(2) Sumber Daya.
Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya manusia (human
resources) maupun sumber daya non-manusia (non-human resources). Dalam
berbagai kasus program pemerintah, seperti program Jaring Pengaman Sosial (JPS)
untuk kelompok miskin di pedesaan kurang berhasil karena keterbatasan kualitas
aparat pelaksana.
(3) Hubungan antar Organisasi
Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan
koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar
instansi bagi keberhasilan suatu program.
(4) Karakteristik Agen Pelaksana
Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur
birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang
semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program.
23
(5) Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik
Variabel ini mencakup 5 faktor. Lima faktor tersebut adalah sumberdaya
ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan,
sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi
implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau
menolak bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan, dan apakah elite
politik mendukung implementasi kebijakan.
(6) Disposisi Implementor
Disposisi implementor ini mencakup tiga hal penting. Tiga hal tersebut adalah
(i) respon implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya
untuk melaksanakan kebijakan; (ii) kognisi, yaitu pemahaman terhadap kebijakan;
dan (iii) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh
implementor.
Gambar 1.2
Model Implementasi
Van Meter & Van Horn (1975)
Ukuran dan tujuan kebijakan
Sumberdaya
Karakteristik badan pelaksana
Komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksana
Lingkungan ekonomi, sosial, dan politik
Disposisi Pelaksana
Kinerja implementasi
24
5. Konsep Penelitian
Berdasarkan variabel-variabel dalam model implementasi di atas, dapat
dipahami bahwa implementasi dari setiap kebijakan merupakan suatu proses yang
dinamis yang mencakup banyak interaksi dan variabel. Oleh karenanya, tidak ada
variabel tunggal dalam proses implementasi, sehingga antara variabel satu dengan
yang lain memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Namun,
variabel dalam model yang dikemukakan oleh para ahli tersebut tidak seluruhnya
relevan untuk digunakan dalam menjawab permasalahan yang dihadapi oleh suatu
kebijakan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Wibawa (1994) bahwa model
implementasi tidak perlu diaplikasikan mentah-mentah, melainkan dapat
disintesiskan sesuai dengan kebutuhan.33
Oleh karenanya, model implementasi kebijakan yang secara pokok akan
dijadikan sebagai konsep penelitian adalah model Edwards III (1980) dengan variabel
komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi. Sedangkan variabel
kondisi sosial, ekonomi, dan politik dalam model Meter dan Horn (1975) akan
diadopsi ke dalam konsep penelitian untuk kemudian dikolaborasikan dengan model
Edwards III (1980). Ada beberapa model implementasi kebijakan lainnya yang tidak
dibahas dan digunakan dalam penelitian ini. Namun meski begitu, secara keseluruhan
model-model tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan variabel dengan model
Edwards III (1980) maupun Meter dan Horn (1875).
Kedua model ini pun memiliki kesamaan dan perbedaan dalam beberapa
variabel yang mempengaruhi implementasi, sehingga variabel yang tidak
terakomodasi dalam model Edwards III (1980) kemudian akan dilengkapi dengan
model Meter dan Horn (1975). Hal ini dimaksudkan agar konsep penelitian yang
digunakan memiliki daya jelajah yang lebih luas untuk menjelaskan implementasi
UU KIP di Provinsi Lampung. Ini juga sekaligus menambal kelemahan penelitian
terdahulu (lihat tinjauan pustaka) dimana penelitian ini mengkolaborasikan beberapa
33
Samodra Wibawa, dkk. (1994). Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: Raja Grafindo Persada, h. 18
25
Implementasi UU KIP di Provinsi
Lampung
Komunikasi
•Transmisi
•Konsistensi
•Kejelasan
Sumber Daya
•Dukungan Anggaran
•SDM
•Ketersediaan Fasilitas
Disposisi
•Sikap Pelaksana
Struktur Birokrasi
•Kordinasi Berjenjang
•SOP
Kondisi Sosial, Ekonomi, & Politik
Diseminasi Informasi
•Media yang digunakan
•Produk & Jenis
model dan mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi, dan politik sebagai variabel
yang mempengaruhi implementasi kebijakan.
Sebagai bagian dari kebijakan komunikasi, UU KIP memiliki ciri tersendiri
yang membedakannya dengan kebijakan-kebijakan publik kebanyakan. Oleh karena
itulah peneliti menambahkan variabel Diseminasi Informasi untuk menjadi bagian
dari konsep penelitian ini. Diseminasi Informasi adalah suatu kegiatan yang ditujukan
kepada kelompok target atau individu agar mereka memperoleh informasi, timbul
kesadaran, menerima, dan akhirnya memanfaatkan informasi tersebut.34
Dalam
konteks ini, informasi yang dimaksud adalah informasi publik yang didiseminasikan
oleh badan publik kepada warganegara. Perhatikan gambar berikut ini.
Gambar 1.3
Konsep Penelitian
34
Jennet, P. A., & Premkumar, K. Technology-based dissemination (Canadian Journal of Public Health, 1996), h. 87(6)
26
Tabel 1.1
Operasionalisasi Konsep Penelitian
Variabel Makna Indikator Ruang Lingkup Analisis
Komunikasi Adanya sosialisasi UU
KIP dan aturan terkait
lainnya kepada KID
dan PPID Provinsi
Lampung
Informasi yang
disosialisasikan
tertransmisikan dengan
baik, konsisten, dan
memiliki kejelasan
sehingga dapat dipahami
oleh KID dan PPID
Komunikasi antara
Pemerintah Pusat dan
Komisi Informasi Pusat
dengan Komisi Informasi
Daerah dan PPID Provinsi
Lampung.
Sumber Daya Tercukupinya
kebutuhan-kebutuhan
yang diperlukan oleh
KID dan PPID/badan
publik untuk
melaksanakan UU KIP
Ketercukupan dukungan
sumber daya manusia,
anggaran, dan
ketersediaan fasilitas
lembaga
Identifikasi kompetensi dan
jumlah SDM yang ada pada
KID dan PPID. Anggaran
dan sarana prasarana yang
mendukung implementasi
UU KIP.
Disposisi Bagaimana definisi
dan persepsi/sikap
badan publik/PPID
dalam melihat UU KIP
Pemahaman, penerimaan
atau penolakan, dan
komitmen badan
publik/PPID terhadap UU
KIP
Identifikasi sikap pegawai
Pemda Provinsi Lampung
khususnya pada badan
publik/PPID
Struktur Birokrasi
Bagaimana keteraturan
KI maupun badan
publik dalam
berinteraksi dan
melaksanakan tugas
dan fungsinya
sebagaimana
diamanahkan oleh UU
KIP
Adanya koordinasi yang
berkesinambungan dalam
menyelesaikan masalah-
masalah implementasi.
Adanya SOP yang jelas
bagi KID dan PPID dalam
melaksanakan tugas dan
fungsinya.
Koordinasi antara KI Pusat
dengan KID Lampung,
antara KID Lampung
dengan PPID Provinsi, KID
dengan pihak terkait, serta
petunjuk pelaksana/teknis
pelayanan informasi publik
di masing-masing lembaga.
Kondisi Sosial,
Ekonomi, & Politik
Pengaruh lingkungan
atau kondisi sosial
ekonomi politik
terhadap kelancaran
implementasi UU KIP
Adanya faktor kondisi
masyarakat, lembaga
legislatif, eksekutif, atau
lainnya yang menghambat
pembentukan KID dan
PPID maupun
pelaksanaan tugas dan
fungsinya
Analisis dinamika sosial,
ekonomi, & politik yang
berdampak pada
terhambatnya proses
implementasi UU KIP
27
Diseminasi
Informasi
Bagaimana cara badan
publik dalam
menyebar luaskan
data-data atau
dokemen-dokumen
yang dimilikinya
kepada publik
Relevansi antara media
yang digunakan, serta
produk dan jenis
informasi yang
disebarluaskan oleh badan
publik dengan amanah
yang digariskan oleh UU
KIP
Strategi penyebaran
informasi publik yang
dilakukan oleh PPID
sehingga memudahkan
publik untuk
memperolehnya.
G. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Jenis penelitian ini adalah
eksplanatif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah sebuah proses
penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan
pada penciptaan gambaran holistik lengkap yang dibentuk dengan kata-kata,
melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan disusun dalam sebuah latar
alamiah.35
Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini karena
mempertimbangkan beberapa asumsi dalam memandang pendekatan kuantitatif
sebagai berikut:36
a) context stripping. Pendekatan kuantitatif mengabaikan dimensi kontekstual
perilaku dan tindakan manusia. Ini sesuai dengan sifat ontologinya yang
mengganggap bahwa realitas bersifat tunggal.
b) exclusion of meaning and purpose. Pendekatan kuantitatif mengabaikan asumsi
realitas sebagai konstruk sosial, sementara pendekatan kualitatif memandang
35
John W. Creswell. Research Design : Qualitative and Quantitative Approaches (Pendekatan Kualitatif dan kuantitatif), editor Aris Budiman, Bambang Hasbroto, Chryshnanda (Jakarta: KIK Press, 2003), h. 1
36 Egon G. Guba and Yvonna S. Lincoln. “Competing Paradigms in Qualitative Research,” dalam
Norman K. Denzim and Yvonna S. Lincoln, eds., Handbook of Qualitative Research (California: Sage Publications, 1994), h. 106-107.
28
bahwa tindakan manusia merupakan hasil pemaknaan atas lingkungannya dan
sebaliknya pengaruh lingkungan berpengaruh terhadap pemaknaan tersebut.
c) disjunction of grand theories with local contexts. Pendekatan kuantitatif
mengusung jawaban grand narrative bagi seluruh peradaban manusia. Ada
sebuah hukum sosial yang dianggap berlaku universal. Pendekatan kualitatif
menyangkal asumsi ini, karena adanya dimensi konteksual dan lokalitas.
Menurut pendekatan kualitatif bahwa inapplicability of general data to
individual cases, yaitu generalisasi yang secara statistik bermakna sering tidak
dapat diterapkan pada kasus-kasus tertentu.
d) exclusion of the discovery dimension in inquiry. Pendekatan kuantitatif
didorong oleh prinsip deduktif dalam pencarian ilmiah. Pencariannya lebih
pada verifikasi atau falsifikasi hipotesis. Cara ini dianggap kurang memberikan
percepatan „kebaruan‟ dalam ilmu pengetahuan.
Argumentasi-argumentasi tersebut sesuai dengan konteks penelitian ini.
Secara garis besar studi implementasi UU KIP membutuhkan verstehen (pemahaman
mendalam), karena mempertanyakan makna suatu obyek yang dalam hal ini adalah
implementasi UU KIP secara mendalam dan tuntas. Melihat karakteristiknya,
penelitian kualitatif sering disebut natural inquiry (karena konteksnya natural, bukan
artifisial; seperti dalam metode eksperimen), atau disebut interpretive inquiry (karena
melibatkan faktor-faktor subyektif baik dari informan, subyek penelitian, dan peneliti
itu sendiri).
Sebagaimana yang telah disinggung di awal, metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kasus (case study). Studi kasus merupakan strategi
penelitian dimana di dalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program,
peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh
waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan
menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah
ditentukan (Stake, 1995).37
Hal ini relevan dengan konteks penelitian ini yang
37
Jhon W. Creswell. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Third Edition (California: Sage Publications, 2009), h. 20
29
mengkaji bagaimana implementasi UU KIP yang melibatkan sekelompok individu
dengan batasan waktu tertentu yakni sejak Januari 2010 hingga 30 April 2013.
2. Pengumpulan Data
Sumber data penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui observasi lapangan dengan melihat langsung proses
permohonan informasi publik di badan publik. Data primer juga diperoleh melalui
wawancara mendalam secara langsung dengan key person yang dijadikan narasumber
yang memahami substansi persoalan yang dibahas dalam tesis penelitian ini. Sedang
data sekunder diperoleh melalui studi pustaka dari laporan-laporan, terbitan, makalah,
buku, jurnal, dan data lain yang relevan dengan penelitian ini.
Key person yang dijadikan narasumber dalam penelitian ini berasal dari (1)
Komisi Informasi Daerah (KID) Lampung sebagai lembaga yang bertugas
memfasilitasi penyelesaian sengketa informasi publik, (2) Pejabat Pengelola
Informasi dan Dokumentsi (PPID) Provinsi Lampung sebagai pihak yang
memfasilitasi ketersediaan informasi dan permohonan informasi yang diajukan oleh
publik. (3) DPRD Provinsi Lampung sebagai lembaga yang melakukan uji kelayakan
dan kepatutan calon komisioner KID Lampung, (4) Media Massa sebagai pihak yang
intensif dalam memberitakan persoalan keterbukaan informasi publik, dan (5)
Warganegara atau Organisasi Masyarakat (Ormas) sebagai bagian dari publik yang
pernah mengajukan permohonan informasi.
3. Pengolahan Data
Ada beberapa tahapan yang sudah dilewati dalam proses pengolahan data
penelitian ini. Data yang telah selesai dikumpulkan diolah melalui dua tahap.
Pertama, reduksi data. Miles dan Huberman (1992) mengartikan reduksi data sebagai
sebuah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan,
30
dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.38
Oleh karenanya, data yang diperoleh baik dari observasi, wawancara, maupun studi
dokumen/literatur, telah dipilih dan kemudian dapat memberikan data siap pakai.
Proses reduksi ini dilakukan untuk menilai relevansi data yang telah dikumpulkan,
dan membuang data-data yang tidak relevan dengan pertanyaan penelitian.
Selanjutnya, setelah proses tersebut selesai, maka dilakukan tahap yang kedua,
yakni kategorisasi data. Data-data yang telah dikumpulkan dijabarkan dalam bentuk
tema-tema atau kategori-kategori agar mempermudah proses verifikasi sehingga
diperoleh sketsa kumpulan data kualitatif yang siap dianalisis. Adapun kategorisasi
data tersebut ditentukan berdasarkan variabel-variabel atau indikator-indikator yang
terdapat pada konsep penelitian untuk menjawab pertanyaan pokok penelitian ini.
4. Analisis Data
Analisis data dilaksanakan hampir bersamaan dengan proses pengumpulan
data. Analisis induktif dilakukan berangkat dari data kasar yang diperoleh dari
lapangan. Dalam konteks penelitian ini, data kasar tersebut diambil melalui
wawancara terhadap key person yang dijadikan narasumber seperti DPRD Provinsi,
Komisioner KID, PPID Provinsi Lampung dan lain sebagainya. Proses pengolahan
data melibatkan identifikasi tema-tema yang muncul dan pola-pola setelah dilakukan
penyortiran, klasifikasi, dan analisa data.39
Tema-tema tersebut tentunya meliputi
seputar bagaimana implementasi UU KIP di Provinsi Lampung berlangsung. Setelah
mengkategorisasi transkrip wawancara, dilakukan kodifikasi poin-poin penting
termasuk kata-kata atau kalimat-kalimat kunci yang dapat menjawab rumusan
masalah dari penelitian ini.
Teknik kategorisasi didasarkan pada karakteristik kemampuan
menggandakan, bebas, keberbedaan, mengarah pada klasifikasi tersendiri, dan kuat
kategorisasinya. Temuan penelitian disajikan melalui analisis kasus dengan
38
Matthew B. Miles dan Michael A. Huberman. Analisis Data Kualiataif: Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru, Terjemahan Tjetjep R. Rohidi (Jakarta: UI Press, 1992), h. 16
39 Y. Lincoln and E. Guba. Naturalistic Inquiry (Newbury Park, CA: Sage Publications, 1985), h. 27
31
mengeksplorasi persepsi individual. Individu-individu ini adalah orang-orang yang
terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam proses implementasi UU KIP di
Lampung. Lincoln dan Guba menguraikan alasan penggunaan teknik analisis studi
kasus, yaitu: a) mengungkapkan penilaian dan persepsi melalui thick description; b)
paling sesuai dengan lima aksioma dalam paradigma naturalisme; dan c) cara paling
ideal untuk dikomunikasikan karena pembaca dapat merasakan pengalaman aktual.40
5. Limitasi Penelitian
Penelitian ini memiliki sejumlah batasan. Pertama, berdasarkan ruang
lingkupnya, penelitian ini hanya mengkaji implementasi UU KIP di level provinsi
saja. Sehingga, pembahasan persoalan implementasi di kabupaten/kota tidak akan
dibahas meskipun bila terjadi sengketa informasi di level kabupaten/kota harus
diselesaikan di KID Provinsi. Hal ini dikarenakan tidak dibentuknya KID
kabupaten/kota karena sifatnya yang tidak wajib ada. Kedua, model implementasi
yang digunakan dalam penelitian ini hanya memotret implementasi UU KIP di
Lampung dengan variabel dan indikator yang sudah ditetapkan dalam konsep
penelitian. Namun, pembahasan di luar indikator tersebut dimungkinkan jika ada hal
menarik dan penting yang dapat memperkuat kajian penelitian ini. Ketiga, rentang
waktu pembahasan penelitian ini dibatasi sejak UU KIP ini mulai diimplentasikan di
Lampung Januari 2010, hingga 3 tahun undang-undang ini berjalan yakni 30 April
2013.
6. Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. BAB I Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, rumusan penelitian,
tujuan penelitian dan manfaat penelitian; Kemudian tinjauan pustaka dan
kerangka pemikiran yang berisikan fokus penelitian dengan satu konsep dimana
mengkaji aspek/dimensi/komponen/bentuk/gejala yang akan dijadikan indikator
40
Ibid.
32
dari konsep penelitian; Metodologi Penelitian yang elemennya berupa metode
penelitian, teknik pengumpulan data, pengolahan data, dan limitasi penelitian;
2. BAB II Konteks Data, meliputi analisis situasi KID dan PPID yang merupakan
tempat dimana data-data primer dalam penelitian ini diperoleh;
3. BAB III merupakan hasil penelitian dan analisa tentang implementasi UU KIP di
Provinsi Lampung;
4. BAB IV merupakan kesimpulan dari seluruh proses penelitian beserta saran
sebagai tawaran solusi bagi keberhasilan implementasi UU KIP di Provinsi
Lampung