pendahuluan a. -...

32
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberlakuan secara efektif UU No 14 Tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) di Indonesia mulai 30 April 2010 membuka era baru alam keterbukaan informasi publik di tanah air. Lahirnya UU tersebut merupakan bagian dari implementasi semangat transparansi sebagai pemenuhan Hak Asasi Warga Negara untuk mengetahui informasi publik (right to know) yang dijamin pasal 28F UUD 1945. Namun dalam praktiknya, masih banyak badan publik yang bersikap tertutup dan enggan memberikan informasi yang dimilikinya kepada publik. Padahal, pengalaman sejauh ini menunjukkan bahwa proses perwujudan keterbukaan informasi publik cenderung dipengaruhi oleh seberapa besar kemauan dan komitmen dari pemegang otoritas dan penyedia informasi publik. 1 Apakah secara politik mereka membuka diri agar akses publik atas informasi dalam tata kelola urusan publik bisa dilangsungkan. Oleh karenanya, untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel, baik badan publik di tingkat pusat maupun daerah dituntut untuk berkomitmen tinggi dalam melaksanakan undang-undang ini demi terciptanya praktik demokratisasi dan good governance. Karena pada dasarnya, konteks lahirnya UU KIP ini secara substansial bertujuan untuk memberikan jaminan konstitusional agar praktik demokratisasi dan good governance bermakna bagi proses pengambilan kebijakan terkait kepentingan publik, yang bertumpu pada partisipasi masyarakat maupun akuntabilitas lembaga penyelenggara kebutuhan publik. Salah satu daerah yang juga turut serta merespon undang-undang ini adalah Provinsi Lampung. Di Provinsi Lampung, pembentukan Komisi Informasi Daerah 1 Periksa Pratikno, dan tim. Kajian Implementasi Keterbukaan Informasi Publik dalam Pemerintahan Lokal Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 (Yogyakarta: FISIPOL UGM dan Tifa Foundation, 2012), h. 2-3

Upload: nguyenthuan

Post on 01-Jul-2018

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemberlakuan secara efektif UU No 14 Tahun 2008, tentang Keterbukaan

Informasi Publik (KIP) di Indonesia mulai 30 April 2010 membuka era baru alam

keterbukaan informasi publik di tanah air. Lahirnya UU tersebut merupakan bagian

dari implementasi semangat transparansi sebagai pemenuhan Hak Asasi Warga

Negara untuk mengetahui informasi publik (right to know) yang dijamin pasal 28F

UUD 1945. Namun dalam praktiknya, masih banyak badan publik yang bersikap

tertutup dan enggan memberikan informasi yang dimilikinya kepada publik. Padahal,

pengalaman sejauh ini menunjukkan bahwa proses perwujudan keterbukaan

informasi publik cenderung dipengaruhi oleh seberapa besar kemauan dan komitmen

dari pemegang otoritas dan penyedia informasi publik.1 Apakah secara politik mereka

membuka diri agar akses publik atas informasi dalam tata kelola urusan publik bisa

dilangsungkan.

Oleh karenanya, untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang

transparan dan akuntabel, baik badan publik di tingkat pusat maupun daerah dituntut

untuk berkomitmen tinggi dalam melaksanakan undang-undang ini demi terciptanya

praktik demokratisasi dan good governance. Karena pada dasarnya, konteks lahirnya

UU KIP ini secara substansial bertujuan untuk memberikan jaminan konstitusional

agar praktik demokratisasi dan good governance bermakna bagi proses pengambilan

kebijakan terkait kepentingan publik, yang bertumpu pada partisipasi masyarakat

maupun akuntabilitas lembaga penyelenggara kebutuhan publik.

Salah satu daerah yang juga turut serta merespon undang-undang ini adalah

Provinsi Lampung. Di Provinsi Lampung, pembentukan Komisi Informasi Daerah

1 Periksa Pratikno, dan tim. Kajian Implementasi Keterbukaan Informasi Publik dalam

Pemerintahan Lokal Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 (Yogyakarta: FISIPOL UGM dan Tifa Foundation, 2012), h. 2-3

Page 2: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

2

Lampung (KID Lampung) sebagai komponen penting dalam perwujudan keterbukaan

informasi publik, diawali dengan penetapan keanggotaan Komisi Informasi Daerah

(KI Provinsi Lampung) dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur Lampung Nomor

G/635/III.07/HK/2010 tertanggal 10 November 2010 setelah dilakukan uji kelayakan

dan kepatutan terhadap para calon oleh DPRD Provinsi Lampung. KID Lampung

beranggotakan 5 orang komisioner, dengan satu orang dari unsur Pemerintah, dan

empat dari unsur masyarakat (media massa, advokat, kampus, dan LSM). Provinsi

Lampung, masuk dalam kategori Provinsi dengan respon cepat dalam membentuk

Komisi Informasi, setelah Jawa Tengah, Jawa Timur, Kepulauan Riau, Gorontalo,

baru menyusul Banten, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan. Meski

prosesnya sejak April 2010, komisioner baru resmi dilantik pada tanggal 3 Maret

2011.2

Namun, yang kemudian menjadi persoalan adalah, respon cepat Gubernur ini

tidak diimbangi dengan reaksi cepat pelaksanaannya di lapangan, bahkan cenderung

tidak dijalankan oleh sejumlah badan publik di Lampung. Mereka tetap saja tertutup,

berkelit, dan enggan memberikan informasi publik yang telah diamanahkan UU KIP

dengan menganggap bahwa hal tersebut merupakan rahasia negara. Hal ini ditandai

dengan maraknya sengketa informasi yang melibatkan Satuan Kerja Perangkat

Daerah (SKPD) di Provinsi Lampung dengan masyarakat yang membutuhkan

informasi. Selama tahun 2012, tercatat sebanyak 28 kasus sengketa informasi yang

ditangani oleh Komisi Informasi Daerah (KID) Lampung.3

Misalnya saja sengketa informasi publik antara Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) Team 99 Pemburu Koruptor dengan Dinas Pertanian, Tanaman

Pangan, dan Hortikultura (DPTPH) Provinsi Lampung. Sengketa ini disebabkan

karena tidak ditanggapinya permohonan informasi salinan SK Kepala Dinas tentang

2 Lihat ”Wawancara Juniardi: Badan Publik di Lampung Belum Siap Implementasikan UU KIP”,

dalam www.bandarlampungnews.com/index.php?k=wawancara&i=13320-Juniardi:%20Badan%20Publik%20di%20Lampung%20Belum%20Siap%20Implementasikan%20UU%20KIP diakses tanggal 6 Januari 2013

3 Lihat “Sepanjang 2012 KIP Tangani 28 Kasus”, dalam

www.radarlampung.co.id/read/bandarlampung/55164-sepanjang-2012-kip-tangani-28-kasus-, diakses tanggal 4 Maret 2013

Page 3: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

3

penetapan penerima bantuan langsung pupuk (BLP) senilai Rp. 1 Triliun lebih untuk

14 kabupaten dan kota di Lampung, laporan akhir BLP, rekapitulasi kelompok tani

penerima BLP, berita acara penerimaan dari masing masing kelompok tani 14

kabupaten dan kota, serta hasil verifikasi data sebagai syarat tagihan yang diajukan

PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani.4

Bahkan di level kotamadya, sengketa informasi antara Team 99 Pemburu

Koruptor dengan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Bandarlampung berujung

pada persoalan pidana di Kepolisian Daerah Lampung. Hal ini karena BKD Kota

Bandar Lampung tetap tidak menanggapi permohonan informasi tentang salinan

Dokumen Pelaksana Anggaran (DPA), dan Surat Pertanggungjawaban (SPJ)

pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Pra Jabatan (Diklat Prajab) golongan I,II, dan

III, serta pengadaan pegawai atau seleksi CPNS tahun 2010. Mereka tetap enggan

memberikan informasi yang diminta meski telah melalui mediasi dan ajudikasi non-

litigasi di KID Lampung hingga perintah eksekusi dari pengadilan negeri.

Ketidakpatuhan badan publik terhadap UU KIP tersebut dengan jelas

menunjukkan bahwa, meski hampir tiga tahun UU KIP diberlakukan secara efektif,

badan publik tetap saja enggan membuka diri dari upaya masyarakat untuk

berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Bagi mayoritas badan publik,

pelaksanaan keterbukaan informasi publik merupakan beban tambahan yang dapat

membuka aibnya ketimbang sebagai kontrak demokrasi yang harus dipatuhi. Padahal,

Pemerintah Provinsi Lampung belum lama ini mendapat penghargaan dari Komisi

Informasi Pusat berupa peringkat terbaik ke-8 dalam kategori informasi wajib

diumumkan berkala (melalui website) dan peringkat terbaik ke-3 kategori informasi

wajib tersedia setiap saat.5 Hal ini tentu sangat kontradiktif bila melihat realita

pelaksanaan keterbukaan informasi publik yang terjadi di lapangan.

4 Lihat “LSM Adukan Dugaan Korupsi Dinas Tanaman Pangan”, dalam

http://id.berita.yahoo.com/lsm-adukan-dugaan-korupsi-dinas-tanaman-pangan-025811017.html , diakses tanggal 7 Mei 2013

5 Lihat “Lampung Terima Penghargaan Hari Hak Internasional”, dalam

http://www.rakyatlampung.co.id/new/pusat-kota/5908-lampung-terima-penghargaan-hari-hak-internasional.html, diakses 7 Mei 2013

Page 4: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

4

Kini, secara resmi telah tiga tahun Undang-Undang Keterbukaan Informasi

Publik berlaku efektif atau lima tahun sejak diundangkan. Tetapi di Lampung baru

sekitar 26 dari 54 SKPD yang memiliki Pejabat Pengelola Informasi dan

Dokumentasi (PPID). Bahkan, dari 14 kabupaten/kota yang ada di Lampung, baru 2

kabupaten yang telah membentuk PPID yakni Pesawaran dan Lampung Selatan.6

Padahal, peranan PPID ini sangat vital dalam melayani dan memenuhi hak warga

untuk mendapatkan informasi publik sehingga warga dapat berpartisipasi aktif dalam

setiap proses perencanaan, pengambilan, pengawasan, evaluasi kebijakan dan urusan

publik lainnya.

Di kalangan masyarakat secara umum, keberadaan UU KIP ini belumlah

begitu populer. Amirudin, yang merupakan anggota Komisi Informasi Pusat,

mengungkapkan bahwa sosialisasi yang kurang menyebabkan UU KIP belum banyak

diakses dan dimanfaatkan masyarakat. Hanya kalangan tertentu seperti LSM saja

yang menyadari keberadaan dan manfaat UU KIP ini.7 Hal ini menyebabkan

masyarakat belum begitu menyadari sepenuhnya akan hak asasi yang dimilikinya

untuk mendapatkan informasi publik sebagai wujud partisipasi publik dalam

membentuk tata pemerintahan yang baik. Lebih-lebih bagi mereka masyarakat daerah

yang masih minim fasilitas teknologi komunikasi dan informasi serta jauh dari pusat

pemerintahan

Persoalan-persoalan yang muncul pada saat proses pelaksanaan UU KIP di

satu daerah memiliki perbedaan dengan daerah lainnya. Karena setiap daerah

memiliki keberagaman dan kekhasan masing-masing. Baik itu dari aspek

karakteristik masyarakat, kepemimpinan, budaya birokrasi, sosial ekonomi,

ketersediaan teknologi komunikasi dan informasi, dan lainnya. Di DKI Jakarta

misalnya, sebagai ibukota negara dan juga pusat pemerintahan, idealnya kota ini

dapat menjadi barometer implementasi UU KIP bagi daerah-daerah lainnya di

6 Lihat “Sudah 2 Tahun UU KIP Belum Maksimal”, dalam www.rribandarlampung.co.id/?cat=9,

diakses tanggal 6 Januari 2013 7 Lihat “Banyak Warga Indonesia Tak Tahu UU KIP dan Manfaatnya”, dalam

www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/05/23/m4fogn-banyak-warga-indonesia-tak-tahu-uu-kip-dan-manfaatnya diakses 23 April 2013

Page 5: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

5

Indonesia. Namun kenyataannya, hingga tahun 2012, secara umum Pemda DKI

Jakarta belum memiliki pemahaman yang jelas terhadap UU KIP ini.

Hal tersebut menyebabkan adanya kegamangan dalam implementasinya.

Pembentukan Komisi Informasi Daerah (KID) juga tidak berjalan dengan mulus,

karena rendahnya minat masyarakat untuk menjadi anggota KID. Posisi DKI Jakarta

sebagai ibukota negara menyebabkan terjadinya tumpang tindih antara yang pusat

dan provinsi. Oleh karenanya, hingga Januari 2012 proses pembentukan KID Provinsi

DKI Jakarta baru pada tahap fit and proper test di DPRD setempat.8

Di Jawa Timur, pelembagaan instrumen kebebasan informasi publik seperti

KID, PPID, dan lainnya telah berjalan dengan cukup baik.9 Namun, tata kelola

informasi dalam mengklasifikasikan informasi yang boleh dan tidak boleh dibuka

kepada publik cenderung direduksikan oleh Pemda setempat. Informasi tentang

anggaran publik misalnya, yang berdasarkan Pasal 9 ayat 2 UU KIP merupakan

bagian dari informasi publik yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala,

masih dianggap sebagai barang rahasia yang harus ditutup rapat-rapat. Sementara

untuk isu-isu dengan tingkat sensitifitas yang lebih rendah juga masih bergantung

pada keputusan pimpinan.10

Demikian pula halnya dengan Provinsi Lampung yang mungkin juga memiliki

kompleksitas permasalahan tersendiri. Hal ini mengingat kepemimpinan Gubernur

Lampung yang selama ini senantiasa cukup menjadi sorotan publik akibat seringnya

merotasi pejabat publik dalam tempo yang sangat cepat dan dengan pertimbangan

yang cenderung bukan atas dasar profesionalitas.11

Dalam hitungan bulan bahkan

minggu, pejabat publik yang baru beradaptasi atau “duduk” mempelajari dan

8 Pratikno, dan tim, op. cit., h. 21-23

9 Faktor penting yang menjelaskan keberhasilan implementasi keterbukaan informasi publik di

Jawa Timur adalah kuatnya inisiatif pejabat puncak dan komitmen serta resourcefulness yang dimiliki oleh para pejabat penyelenggara dan pengelola yang menerima pendelegasian wewenang. Meskipun faktor eksternal seperti desakan publik (KIP, LSM, media massa, dan publik secara luas) juga memainkan peranan, pada kasus Jawa Timur, keberhasilan implementasi informasi publik lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor internal itu.

10 Ibid., h. 79-80

11 Hasil pengamatan langsung dan analisa berita-berita di media massa cetak maupun elektronik

tentang mutasi jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung

Page 6: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

6

menyusun program kerja, sudah harus bersiap “angkat koper” ke tempat kerja yang

baru.

“Virus” mutasi ini telah membuat stres jajaran pegawai Pemda Lampung yang

dihantui ketidakpastian aturan main penjenjangan karir, dan akhirnya ragu dalam

membuat dan meneruskan program di tempat kerja. Hal ini kemudian membuat

suasana birokrasi menjadi tidak begitu kondusif sehingga program atau kebijakan

yang telah direncanakan suatu satuan kerja khususnya yang berkaitan dengan

keterbukaan informasi publik berpotensi menjadi terhambat.

Berdasarkan uraian kompleksitas permasalahan yang turut mengiringi upaya

pengimplementasian UU KIP, penting untuk dilacak akar penyebab munculnya

berbagai macam persoalan tersebut khususnya di Provinsi Lampung. Nantinya, dari

temuan-temuan di lapangan dapat dicarikan jalan keluar yang sistematis dan

berdampak secara jangka panjang bagi keberhasilan implementasi undang-undang

keterbukan informasi publik di Provinsi Lampung.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah: bagaimanakah implementasi Undang-Undang Keterbukaan

Informasi publik di Provinsi Lampung tahun 2010-2013?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana implementasi/pelaksanaan

UU KIP di Provinsi Lampung dengan melihat berbagai capaian, kendala,

keterbatasan, serta peta masalah penyelenggaraan keterbukaan informasi publik yang

terjadi sehingga menyebabkan keterbukaan informasi publik berhasil atau gagal

diimplementasikan secara optimal.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

Page 7: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

7

1. Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan khazanah

ilmu komunikasi dan juga diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi

penelitian selanjutnya terkait Keterbukaan Informasi Publik. Dalam konteks yang

lebih spesifik yakni, memperoleh gambaran pengetahuan tentang bagaimana

kebijakan keterbukaan informasi publik ini diimplementasikan khususnya di Provinsi

Lampung sejak 2010 hingga tahun 2013.

2. Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah

Daerah dan stakeholder terkait dalam melaksanakan Undang-Undang Keterbukaan

Informasi Publik guna mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance)

di Provinsi Lampung.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam melakukan penelitian tentang implementasi undang-undang

keterbukaan informasi publik, perlu dilakukan tinjauan pustaka untuk mengetahui

penelitian sebelumnya yang memiliki tema serupa, baik tentang implementasi

kebijakan maupun keterbukaan informasi publik. Studi pustaka ini sangat bermanfaat

bukan hanya untuk mengeksplorasi teori-teori yang digunakan dalam menganalisis

permasalahan tetapi dapat dilakukan pembandingan untuk mengetahui kelebihan

sekaligus kelemahan dari penelitian-penelitian tersebut. Dengan demikian dapat

dilihat perbedaan maupun kesamaan antara penelitian yang sedang dilakukan dengan

penelitian-penelitian terdahulu. Berdasarkan penelusuran studi kepustakaan tentang

penelitian-penelitian terdahulu, ditemukan tema yang serupa dengan penelitian yang

sedang dilakukan saat ini. Penelitian tentang implementasi kebijakan cukup banyak

dijumpai namun sedikit sekali yang mengkaji tentang implementasi UU KIP dengan

model implementasi hasil dari sintesis model penelitian terdahulu dengan lokus

pemerintahan lokal khususnya pada Pemerintah Provinsi Lampung.

Page 8: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

8

Penelusuran pertama peneliti dapat dari hasil kajian Pratikno dan tim (2012).

Penelitian yang dilakukan atas kerjasama antara Fisipol UGM dengan Tifa

Foundation ini mengangkat judul “Kajian Implementasi Keterbukaan Informasi

Publik dalam Pemerintahan Lokal: Pasca Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008.”

Mereka menelaah pelaksanaan keterbukaan informasi publik di beberapa

pemerintahan lokal di Indonesia yakni Aceh, Jakarta, Jawa Timur, dan Papua.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan membedah bagaimana pelaksanaan

keterbukaan informasi publik dengan menggunakan teori implementasi kebijakan

Merilee S. Grindle (1980) yang memetakan impelementasi kebijakan melalui dua

dimensi penting yakni isi kebijakan dan konteks kebijakan.

Isi kebijakan berkaitan dengan pengaruh isi kebijakan yang sangat

menentukan hal-hal apa yang harus diimplementasikan dan siapa yang

melakukannya. Sedang konteks kebijakan berkaitan dengan kondisi sosial politik

serta office politics dalam tubuh birokrasi yang menentukan bagaimana kebijakan itu

diimplementasikan. Selanjutnya, melalui teori tesebut, penelitian ini memetakan tiga

aspek pokok yang diteliti yakni capaian, kendala, dan juga peluang selama proses

implementasi kebijakan berlangsung. Kemudian, aspek diturunkan kembali menjadi

beberapa variable (capaian: kelembagaan & substantf, kendala: eksternal &internal,

peluang: eksternal & internal) hingga sampai pada indikator-indikator yang menjadi

ukuran. Berdasarkan hal tersebut, penelitian itu berusaha memetakan masalah utama

implementasi, apakah berkaitan dengan masalah dasar regulasi, desain kelembagaan

penyelenggaraan, kapasitas aparat atau sumberdaya penyedia, ataukah sekedar teknis

di lapangan.

Adapun temuan dari penelitian ini adalah bahwa implementasi Undang-

Undang KIP di banyak daerah yang diteliti tidak sesuai dengan ketentuan yang

digariskan oleh undang-undang tersebut. Baik dari segi jangka waktu

implementasinya, pembentukan lembaga dan sistem pengelolaannya, penyedia dan

penyediaan informasinya, dan hal-hal lain yang mendukung keefektifan keterbukaan

informasi publik di masing-masing daerah. Bahkan di Provinsi Papua, proses

implementasi UU KIP ini belum sama sekali dilakukan.

Page 9: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

9

Kelemahan penelitian ini adalah pada kerangka pemikiran yang hanya

bertumpu pada satu model teori saja yakni teori implementasi kebijakan Merilee S.

Grindle (1980). Hal ini membuat aspek dan variabel yang diukur menjadi belum

begitu optimal, karena tidak adanya sudut pandang lain untuk mengelaborasikan

secara lebih komprehensif bagaimana implementasi kebijakan publik dilakukan. Hal

ini misalnya terlihat pada hasil kajian yang sangat minim menjelaskan tentang

kecenderungan sikap badan publik atas UU KIP, pengaruh inefisiensi birokrasi badan

publik, dan lainnya. Kelamahan lainnya adalah tidak rinci dan beragamnya pressure

atau tekanan pihak luar yang mempengaruhi proses implementasi. Misal di DKI

Jakarta, praktis hanya membahas permintaan informasi BOS dari ICW tanpa

membahas permintaan informasi dari pihak lainnya. Namun, secara keseluruhan,

model ini dapat dikatakan cukup berhasil dalam membedah permasalahan

implementasi UU KIP. Oleh karenanya, peneliti meyakini model penelitian tersebut

masih cukup relevan untuk direplikasikan kembali pada penelitian ini.

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Agusly Irawan Aritonang (2011).12

Dalam Penelitiannya, Aritonang medeskripsikan bagaimana implementasi UU KIP di

Yogyakarta. Penelitiannya tersebut menemukan sebuah temuan yang juga

menegaskan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pratikno dan tim. Temuan tersebut

berupa realita dimana pemerintah daerah masih juga enggan untuk serius dalam

mengimplementasikan UU KIP. Dishubkominfo Yogyakarta yang menjadi objek

fokus dari penelitian ini, disimpulkan belum atau tidak secara maksimal menjalankan

perannya sebagai bagian dari implementor UU KIP yakni penyiap strategi

implementasi, peran pengorganisasi, peran pemimpin dan penggerak, dan peran

pengendali. Meskipun secara konsep, teori yang digunakan oleh Aritonang berbeda

dengan teori yang digunakan oleh Pratikno dan tim, namun temuan kedua penelitian

tersebut memiliki kemiripan.

12

Agusly Irawan Aritonang. Kebijakan Komunikasi di Indonesia: Studi Deskriptif Mengenai Pelaksanaan UU No.14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik oleh Dishubkominfo DIY Selama Tahun 2008-2011, tidak diterbitkan (Yogyakarta: Tesis Fisipol Ugm, 2011), h. 1-20

Page 10: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

10

Aritonang menggunakan teori implementasi kebijakan Donald S. van Meter

dan Carl E. van Horn (1975). Teori ini memiliki lima variabel penting yang dianggap

mempengaruhi implementasi kebijakan yakni, (1) standar dan tujuan kebijakan; (2)

sumber daya; (3) aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi; (4)

karakteristik agen pelaksana; dan (5) kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Namun

sayangnya, dalam bab pembahasannya peneliti seperti kurang menguasai dan

memahami betul teori implementasi ini. Hal tersebut terlihat dari bagaimana

pembahasan yang dilakukan peneliti agak meninggalkan teori implementasi yang

disinggung di awal penelitian. Hal ini menyebabkan ketidakfokusan antara teori yang

digunakan dengan pembahasan yang dilakukan.

Namun, penelitian Aritonang yang menggunakan model Meter dan Horn

dimana variabel kondisi sosial, ekonomi dan politik menjadi salah satu variabel

penting dalam implementasi kebijakan, maka temuan dari model ini turut melengkapi

temuan Pratikno dan tim yang tidak secara khusus mempertimbangkan kondisi sosial

ekonomi dan politik. Dengan variabel tersebut, Aritonang menemukan adanya faktor

sosial politik dalam proses implementasi UU KIP di Yogyakarta. Hal tersebut

diantaranya berupa adanya beberapa elit-elit partai di DIY yang mempersoalkan

proses seleksi calon anggota KI DIY yang ditangani tim Ad Hoc. Hal ini membuat

terbengkalai dan berlarut-larutnyanya proses pembentukan KI DIY sehingga banyak

waktu yang terbuang.13

Penelitian ini pada dasarnya memiliki kesamaan dengan beberapa penelitian

tersebut. Kesamaan itu diantaranya terletak pada fokus berupa implementasi Undang-

Undang KIP. Namun, penelitian ini menggunakan model analisa implementasi yang

berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Model tersebut dibuat berdasarkan

teori-teori implementasi kebijakan publik yang dimodifikasi sedemikian rupa dengan

tujuan agar dapat menjawab pertanyaan penelitian secara komprehensif dan mampu

mengisi kekurangan atau kelemahan yang terdapat pada penelitian terdahulu

sebagaimana yang telah disingung di atas.

13

Ibid., h. 170-171

Page 11: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

11

F. Kerangka Pemikiran

1. Kebijakan Komunikasi

Untuk mendeskripsikan bagaimana kebijakan komunikasi dalam konteks

kehidupan masyarakat, ada baiknya terlebih dahulu menyimak pendapat yang

dikemukakan oleh L. Sommeriad. Ia mengatakan, “the ways in which communication

is used, the network trough which it flows, the structures of the media system, the

regulatory framework for the system, and the decisions of people who operate it, are

all the outcome of communication policies.” (Dalam Kuo dan Chen, 1983:41).

Kutipan tersebut menggambarkan betapa kebijakan komunikasi menghasilkan begitu

banyak implikasi bagi kehidupan masyarakat. Dimulai dari cara berkomunikasi

hingga keputusan masyarakat untuk menggunakan media komunikasi. Hal ini

kemudian dipertegas pula oleh Unesco sebagaimana dikutip Ugboajah (1980:50)

yang memaknai kebijakan komunikasi sebagai kumpulan prinsip-prinsip dan norma-

norma yang sengaja diciptakan untuk mengatur perilaku sistem komunikasi.14

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa, kebijakan komunikasi adalah

instrumen yang amat penting bagi kelancaran suatu sistem komunikasi. Sistem

komunikasi yang dimaksud adalah sistem yang berlaku disuatu negara. Setiap negara

diyakini memiliki pola-pola komunikasi yang berjalan dan berproses membentuk

sistem. Sistem yang terdiri dari sub-sub sistem menjalankan peran dan fungsinya

masing-masing. Oleh karena itulah dibutuhkan regulasi agar kerja sistem tersebut

dapat berjalan dengan lancar tanpa adanya hambatan maupun sumbatan. Dalam

konteks penelitian ini, kebijakan komunikasi yang dimaksud adalah UU KIP yang

saat ini tengah diimplementasikan di seluruh Indonesia, termasuk juga di Provinsi

Lampung. UU KIP dimaksudkan untuk memperlancar sistem komunikasi antara

masyarakat dengan lembaga pemerintahan maupun non-pemerintahan yang

sumberdananya sebagian atau seluruhnya berasal dari keuangan negara atau luar

negeri.

14

Lihat Ana Nadhya Abrar. Kebijakan Komunikasi: Konsep, Hakekat, dan Praktek (Yogyakarta: Gava Media, 2008), h. 9-10

Page 12: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

12

Secara umum, kebijakan komunikasi adalah seluruh peraturan yang mengatur

proses komunikasi masyarakat, baik yang menggunakan media (mulai dari sosial,

media massa, hingga media interaktif) maupun yang tidak menggunakan media,

seperti komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, dan sebagainya. Sebagai

kebijakan publik, kebijakan komunikasi paling tidak memiliki lima kriteria, yaitu: (i)

memiliki tujuan tertentu; (ii) berisi tindakan pejabat pemerintah; (iii) memperlihatkan

apa yang akan dilakukan pemerintah; (iv) bisa bersifat positif atau negatif; dan (v)

bersifat memaksa (otoritatif).15

Oleh karena itulah masyarakat dituntut untuk benar-

benar memahami kebijakan komunikasi di Indonesia. Termasuk keberadaan UU KIP

yang memberikan ruang besar bagi masyarakat untuk mengakses informasi ke

berbagai lembaga yang menggunakan anggaran publik sebagai bentuk partisipasi

aktif masyarakat dalam mengawal perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi

program-program pembangunan.

Apa lagi bila ditelisik lebih dalam, dalam konteks konstitusional terhadap

kebebasan informasi dan jaminan akses informasi publik sebagai sebuah kebijakan

komunikasi, sebenarnya sejak awal sama sekali tidak ada kendala hukum. Jaminan

akses informasi publik dan kebebasan di dalamnya telah integral dengan

pembangunan sistem negara demokratis (democratic state) dan pembangunan

pemerintahan yang baik (good governance). Kebebasan informasi membuat

masyarakat dapat mengontrol setiap langkah dan kebijakan yang diambil oleh pejabat

yang berpengaruh pada kehidupan mereka. Sedangkan negara demokrasi,

penyelenggaraan kekuasaannya harus setiap saat dapat dipertanggungjawabkan

kembali kepada rakyat. Disinilah kebijakan komunikasi memainkan perannya sebagai

sarana untuk menjembatani komunikasi yang baik antara warga dengan pemerintah

dalam bingkai negara demokrasi.

Oleh karena kebijakan komunikasi tidak bisa dipisahkan dari perkembangan

sosial, ekonomi, dan politik negara, maka kebijakan komunikasi tidak dapat berlaku

selamanya. Oleh karenanya, kebijakan komunikasi selalu memiliki konteks, domain,

15

Ibid., h.13

Page 13: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

13

dan paradigma.16

Konteks berarti keterkaitan kebijakan komunikasi dengan sesuatu

yang melingkupi dirinya, misalnya ekonomi-politik, politik komunikasi, dan

sebagainya. Konteks ini sangat penting bagi kebijakan komunikasi. Ia menentukan

domain kebijakan komunikasi.

Domain kebijakan komunikasi bermakna muatan nilai yang dikandung

kebijakan komunikasi, seperti globalisasi, ekonomi global, dan sebagainya. Ia bisa

disebut fungsi konteks kebijakan komunikasi. Karena konteksnya ekonomi politik

misalnya, maka domain kebijakan komunikasinya adalah ekonomi global. Sementara

paradigma, berarti kerangka cita-cita yang kepadanya kebijakan komunikasi itu

menuju, seperti terbentuknya masyarakat informasi, menguatnya civil society dan

sebagainya. Secara umum paradigma bisa bertolak dari bagaimana masalah yang

dihadapi masyarakat bisa diselesaikan. Dengan ketiga konteks tersebut, akan

diketahui arah kebijakan dari suatu produk hukum seperti undang-undang, peraturan

pemerintah, dan peraturan-peraturan lainnya.

Dalam pandangan lain, Masduki mengungkapkan ciri konseptual kebijakan

komunikasi yang di dalamnya termasuk mengatur ranah media penyiaran,17

yakni:

1. Kebijakan komunikasi merupakan perangkat norma sosial yang dibentuk

untuk memberi arah bagi perilaku sistem komunikasi.

2. Kebijakan komunikasi biasanya dirumuskan oleh para pemimpin politik yang

benar-benar dilaksanakan melalui pembatasan-pembatasan legal dan

institusional untuk memberi arah bagi perilaku sistem komunikasi.

3. Kebijakan komunikasi nasional meliputi keputusan-keputusan mengenai

institusional media komunikasi dan fungsi-fungsinya.

4. Kebijakan tersebut juga mengharuskan diterapkannya kontrol guna menjamin

operasi institusi-institusi tersebut terbawa ke arah kemaslahatan umum.

Secara sosiologis, kebijakan komunikasi bertujuan untuk menempatkan proses

komunikasi sebagai bagian dari dinamika sosial yang tidak merugikan masyarakat.18

16

Lihat Paula Chakravartty & Katharine Sarikakis. Media Policy and Globalization. (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2006), h. 6-7

17 Lihat Masduki. Regulasi Penyiaran dari Otoriter ke Liberal. (Yogyakarta: LkiS, 2007), h. 44

Page 14: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

14

Masyarakatlah yang seharusnya mengendalikan proses komunikasi yang terjadi

diantara mereka. Kalaupun pemerintah menjadi pembuat kebijakan komunikasi,

perannya tak lebih sebagai fasilitator. Pemerintah hanya merumuskan apa yang

dikehendaki masyarakat. Karena bagaimanapun, idealnya proses komunikasi dalam

satu sistem sosial dikendalikan oleh masyarakat yang ada disitu. Artinya, masyarakat

tidak hanya pasif dalam sebuah proses komunikasi. Kebijakan komunikasi harus

menjamin bahwa masyarakat ikut mengendalikan perkembangan komunikasi yang

terjadi pada diri mereka, agar tidak dikerjai oleh berbagai pihak seperti penguasa dan

pengusaha misalnya. Intinya, bila ada proses komunikasi dalam masyarakat yang

harus diatur, maka masyarakat ikut menentukannya, dan kebijakan komunikasi

bekerja untuk memastikan kelancaran sistem komunikasi yang ada.

Secara hirarkis, kebijakan komunikasi di Indonesia mengikuti hirarki menurut

UU No. 12 Tahun 2011. Menurut UU tersebut, hirarki peraturan perundang-undangan

yang berlaku di Indonesia adalah: (i) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia, (ii) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,

(iii) Peraturan Pemerintah, (iv) Peraturan Presiden, dan (v) Peraturan Daerah. Nomor

urut menentukan posisi peraturan perundang-undangan tersebut, makin kecil nomor

urutnya, makin tinggi kedudukannya.

Kecuali Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, keempat

peraturan perundang-undangan yang lain bisa menjadi kebijakan komunikasi. Tetapi

secara praktis, kebijakan komunikasi yang berlaku saat ini terdiri atas lima jenis,

yaitu: (i) Undang-Undang, yaitu peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh

DPR dengan persetujuan Presiden; (ii) Peraturan Pemerintah, yaitu peraturan

perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan UU

sebagaimana mestinya; (iii) Surat Keputusan Menteri, yaitu peraturan perundang-

undangan yang dikeluarkan oleh Menteri, dengan isi yang lebih spesifik dan

mengatur hal-hal yang bersifat praktis; (iv) Peraturan Daerah, yaitu peraturan

perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala

18

Ana Nadhya Abrar, op, cit., h. 17

Page 15: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

15

Daerah; dan (v) Keputusan Presiden, yaitu peraturan perundang-undangan yang

dibuat oleh Presiden. Keputusan ini bukan untuk menjalankan UU, tetapi bisa

mengacu pada peraturan pemerintah.

2. Kebijakan Keterbukaan Informasi Publik

Niklas Luhmann dalam teori sistem autopoiesis mengatakan masyarakat

bukanlah hasil interaksi sosial antar individu, juga bukan teks dan tidak ditopang oleh

konsensus tertentu, melainkan sistem sosial yang terus menerus menciptakan dirinya

melalui komunikasi dengan lingkungan.19

Jurgen Habermas (1993) membayangkan

adanya situasi dimana munculnya ruang publik, dalam konteks ini komunikasi

dilakukan dalam wilayah sosial yang bebas dari sensor dan dominasi.20

Dalam esainya, The Public Sphere.21

Habermas melihat perkembangan

wilayah sosial macam itu dalam sejarah masyarakat modern. Dunia publik yaitu

wilayah kehidupan sosial kita yang memungkinkan pembentukan opini publik

dimana semua orang terlibat didalamnya. Publik ini berisikan personal, bukan orang

dengan kepentingan bisnis atau profesional, bukan pejabat atau politikus, tetapi

percakapan mereka membentuk suatu publik yang membicarakan kepentingan umum

tanpa paksaan. Mereka memiliki jaminan untuk berkumpul, berserikat dan beropini

secara bebas.

Secara filosofis, Habermas berpendapat bahwa tujuan akhir evolusi sosial

adalah terwujudnya masyarakat rasional yang memiliki sistem komunikasi terbuka,

baik dari gagasan maupun kritik. Rasionalitas disini berarti mereduksi penghalang

yang menyebabkan distorsi komunikasi di masyarakat, membebaskan komunikasi

dari dominasi kekuatan tertentu. Rasionalisasi tindakan komunikasi juga berarti

memerdekakan dan membuka ruang komunikasi, yaitu memberikan penghargaan atau

19

Lihat Niklas Luhmann. The control of intransparency (Systems Research and Behavioral Science 14(6), 1997), h. 71

20 Lihat F. Budi Hardiman. Menuju Masyarakat Komunikatif (Yogyakarta: Kanisius, 2009), h. 128-

129 21

Lihat Jurgen Habermas. The Public Sphere: An Encyclopedia Article, in Media and Cultural Studies (eds. Meenakshi Durham & Douglas Kellner) (Massachusetts: Blackwell, 1997), h. 27

Page 16: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

16

emansipasi terhadap individu, dan menyingkirkan penghalang komunikasi.

Komunikasi turut memberikan konstruksi atas realitas sosial.

Menurut pemikiran Habermas perlu upaya melenyapkan perintang

komunikasi bebas. Keterbukaan Komunikasi adalah tuntutan sejarah dan keniscayaan

evolusi sosial. Karenanya cepat atau lambat, pasti akan datang. Orang yang tidak

setuju hanya bisa menunda, memperlambat sejarah tapi arah sejarah tidaklah bisa

dirubah oleh siapapun. Keterbukaan informasi juga untuk mengeliminasi budaya

kerahasiaan yang mana ditengarai banyak orang hidup dari budaya ketertutupan,

Dampaknya adalah muncul “penyelewengan”. Disini asumsi yang mendasari adalah

sebagai tool of social engineering.

Secara teoritis, hak informatif merupakan diskursus modernitas yang tidak

kunjung selesai. Modernitas ,menurut Habermas, adalah sistem yang diarahkan oleh

masyarakat kapitalis kepada totalitarianisme birokratis demi kepentingan akumulasi

modal. Birokrasi dengan berbagai kerangka kerja institusionalnya menjadi alat

korporasi dan modal untuk memperkokoh sistem akumulasi dalam satu tatanan

pemerintahan.

Dalam praktek negara yang totalitarian, birokrasi pasti menutup rapat akses

publik terhadap praktek kebohongan. Informasi merupakan alat yang mengantarkan

diskursus publik dan melakukan penilaian terhadap berbagai unsur dalam informasi.

Peniadaan informasi berarti peniadaan terhadap diskursus dan wacana publik

terhadap berjalannya satu kesepakatan sistem. Konteks itulah yang diperalat rezim

“privat” untuk membangun jejaring, kekuasaan dan penguatan akumulasi modal

didalamnya. Sistem yang tertutup merupakan ajang konspirasi dan penyalahgunaan

kekuasaan satu rezim.

Keterbukaan informasi atau jaminan atas akses publik terhadap informasi,

sistem negara yang demokratis (democratic state) dan tata pemerintahan yang baik

(good governance) merupakan tiga konsep yang saling terkait satu dengan lainnya.

Kebebasan informasi menjadi semangat demokratisasi yang menawarkan kebebasan

sekaligus tanggung jawab secara melekat. Kebebasan ini juga melahirkan

governability dimana negara dapat memfungsikan dirinya secara efektif dan efisien

Page 17: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

17

tanpa mengesampingkan prinsip-prinsip demokrasi. Jaminan terhadap akses publik

atas informasi dan atau kebebasan informasi dijamin konstitusi dunia. Deklarasi

Umum Hak Asasi Manusia tahun 1948, dimana Pemerintah Indonesia menjadi bagian

di dalamnya, pasal 19 berbunyi,

“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat,

dalam hak ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat dengan tidak mendapat

gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan –

keteranga dan pendapat-pendapat dengan cara apapun dan dengan tidak

memandang batas-batas.”22

Demikian juga diatur dalam Pasal 21 TAP MPR XVII/1998 tentang HAM dan

Pasal 10 (h) Konvensi International Penghapusan segala bentuk Diskriminasi

terhadap Wanita. Dalam pasal 28 F UUD 1945 dinyatakan bahwa,

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk

mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,

memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi

dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”23

Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 14 ayat

1 mengatakan bahwa,

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang

diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.”24

Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik, pasal 19

ayat 2 yang merupakan revisi konvenan internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau

ICCPR mengatakan,

“Setiap orang berhak untuk menyatakan pendapat/ mengungkapkan diri; dalam

hal ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberi

informasi/keterangan dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan

22

United Nations. Universal Declaration of Human Rights 1948. Pasal 19 23

Republik Indonesia. UndangUndang Dasar RI tahun 1945. Pasal 28 F 24

Republik Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 14 Ayat 1

Page 18: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

18

pembatasan-pembatasan, baik secara lisan maupun tulisan atau tercetak, dalam

bentuk seni, atau sarana lain menurut pilihannya sendiri.”25

Pada prinsipnya, jaminan hak atas kebebasan memperoleh informasi publik

merupakan sarana dan strategi mendorong pemerintahan terbuka. Tipe

kepemerintahan ini yaitu mengedepankan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik

dengan ciri transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Ada dua aspek yang

ditekankan yaitu mendorong pemerintah transparan dalam pengelolaan informasinya

dan memberdayakan masyarakat sebagai pemilik dan pelaku kedaulatan dalam negara

dapat turut berpartisipasi dalam mengontrol tindakan penyelenggaraan pemerintahan.

3. Implementasi Kebijakan

Secara harfiah, kata implementasi berasal dari bahasa Inggris implementation

yang berasal dari kata kerja (to) implement, yang bermakna membuat apa yang sudah

diputuskan secara resmi terjadi atau digunakan.26

Ketetapan yang telah dituangkan

dalam suatu kebijakan publik harus diimplementasikan. Jika dipandang secara lebih

luas, implementasi mempunyai makna pelaksanaan undang-undang di mana aktor,

organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan

dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program.27

Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin

dapat dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu

dampak (outcome).28

Ripley dan Franklin berpendapat bahwa implementasi adalah apa yang terjadi

setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan,

keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Istilah

25

Republik Indonesia. Undang-Undang RI Nomor 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik. Pasal 19 Ayat 2

26 Oxford Advanced Ginie Dictionary: (to) implement: to make something that has been officially

decided start to happen or be used. 27

Periksa James P. Lester & Joseph Stewart. Public Policy: An Evolutionary Approach (Australia: Whadsworth, Seond Edition, 2000), h. 104

28 Ibid., h. 105

Page 19: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

19

implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud

tentang tujuan-tujuan program dan hasil-hasil yang diinginkan oleh para pejabat

pemerintah. Implementasi mencakup tindakan-tindakan (tanpa tindakan-tindakan)

oleh berbagai aktor, khususnya para birokrat, yang dimaksudkan untuk membuat

program berjalan.29

Lebih jauh menurut mereka, implementasi mencakup banyak macam kegiatan.

Pertama, badan-badan pelaksana yang ditugasi undang-undang dengan

tanggungjawab melaksanakan program harus mendapatkan sumber-sumber yang

dibutuhkan agar implementasi berjalan lancar. Sumber-sumber ini meliputi personil,

peralatan, lahan tanah, bahan-bahan mentah, dan – di atas semuanya – uang. Kedua,

badan-badan pelaksana mengembangkan bahasa anggran dasar menjadi arahan-

arahan konkret, regulasi, serta rencana-rencana dan desain program.

Ketiga, badan-badan pelaksana harus mengorganisasikan kegiatan-kegiatan

mereka dengan menciptakan unit-unit birokrasi dan rutinitas untuk mengatasi beban

kerja. Akhirnya, badan-badan pelaksana memberikan keuntungan atau pembatasan

kepada para pelanggan atau kelompok-kelompok target. Mereka juga memberikan

pelayanan atau pembayaran atau batasan-batasan tentang kegiatan atau apapun

lainnya yang bisa dipandang sebagai wujud dari keluaran yang nyata dari suatu

program.30

4. Model Implementasi Kebijakan

Dalam mengimplementasikan kebijakan, ada banyak variabel yang

mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, baik bersifat individual maupun

kelompok atau institusi. Apalagi jika kebijakan tersebut bersifat makro yang

melibatkan berbagai aktor dalam implementasinya. Sebagaimana yang dikemukakan

oleh B. Ripley dan Grace A. Franklin (1986), mereka menuliskan sebagai berikut:

29

Periksa Randall B. Ripley dan Grace A. Franklin. Bureaucracy and Policy Implementation (Homewood, Illinois: The Dorsey Press, 1982), h. 4

30 Ibid.

Page 20: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

20

Implementation process involve many important actors holding diffuse and

competing goals and expectations who work within a contexts of an increasingly

large and complex mix of government programs that require participation from

numeros layers and unit of government and who are affected by powerful factors

beyond their control. (Ripley dan Franklin, 1986:11)

Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukan oleh banyaknya aktor atau

unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi

oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel

organisasional, dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga saling

berinteraksi satu sama lain.31

Ada beberapa model yang dapat dielaborasikan untuk melihat variabel apa

saja yang terlibat dalam implementasi yang cukup relevan dalam penelitian ini.

Berikut akan dijelaskan model implementasi kebijakan tersebut.

a. Model George C. Edwards III (1980)

Dalam pandangan Edwards III, implementasi kebijakan dipengaruhi oleh

empat variabel, yakni: (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi, (4) struktur

birokrasi. Keempat variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain. Sebagaimana

yang digambarkan dalam bagan berikut ini.

Gambar 1.1

Model Implementasi Edwards III (1980)32

31

Lihat AG. Subarsono. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 87-89

32 Ibid.

Komunikasi

Struktur Birokrasi

Sumber Daya

Disposisi

Implementasi

Page 21: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

21

(1) Komunikasi

Keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan agar implementor

mengetahui apa yang harus dilakukan. Tiga aspek atau faktor penting dalam proses

komunikasi kebijakan yakni transmisi, konsistesi, dan kejelasan (clarity). Apa yang

menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran

(target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan

sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh

kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran.

.

(2) Sumberdaya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten,

tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan,

implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud

sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial.

Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa

sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja.

(3) Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor,

seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki

disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti

apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memliki sikap atau

perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi

kebijakan juga menjadi tidak efektif.

(4) Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek

struktur yang penting dari setiap organisasi adalah prsedur operasi yang standar

(standard operating procedures atau SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap

implementor dalam bertindak.

Page 22: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

22

Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan

pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan

kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak

fleksibel.

b. Model Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (1975)

Menurut Van Meter dan Van Horn (1975) ada lima variabel yang

mempengaruhi kinerja implementasi kebijakan. Kelima variabel tersebut yakni:

(1) Standar dan Tujuan Kebijakan.

Standar dan tujuan kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisir.

Apabila standar dan tujuan kebijakan kabur, maka akan menjadi multi-interpretasi

dan mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi.

(2) Sumber Daya.

Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya manusia (human

resources) maupun sumber daya non-manusia (non-human resources). Dalam

berbagai kasus program pemerintah, seperti program Jaring Pengaman Sosial (JPS)

untuk kelompok miskin di pedesaan kurang berhasil karena keterbatasan kualitas

aparat pelaksana.

(3) Hubungan antar Organisasi

Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan

koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar

instansi bagi keberhasilan suatu program.

(4) Karakteristik Agen Pelaksana

Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur

birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang

semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu program.

Page 23: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

23

(5) Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Politik

Variabel ini mencakup 5 faktor. Lima faktor tersebut adalah sumberdaya

ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan,

sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi

implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau

menolak bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan, dan apakah elite

politik mendukung implementasi kebijakan.

(6) Disposisi Implementor

Disposisi implementor ini mencakup tiga hal penting. Tiga hal tersebut adalah

(i) respon implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya

untuk melaksanakan kebijakan; (ii) kognisi, yaitu pemahaman terhadap kebijakan;

dan (iii) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh

implementor.

Gambar 1.2

Model Implementasi

Van Meter & Van Horn (1975)

Ukuran dan tujuan kebijakan

Sumberdaya

Karakteristik badan pelaksana

Komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksana

Lingkungan ekonomi, sosial, dan politik

Disposisi Pelaksana

Kinerja implementasi

Page 24: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

24

5. Konsep Penelitian

Berdasarkan variabel-variabel dalam model implementasi di atas, dapat

dipahami bahwa implementasi dari setiap kebijakan merupakan suatu proses yang

dinamis yang mencakup banyak interaksi dan variabel. Oleh karenanya, tidak ada

variabel tunggal dalam proses implementasi, sehingga antara variabel satu dengan

yang lain memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Namun,

variabel dalam model yang dikemukakan oleh para ahli tersebut tidak seluruhnya

relevan untuk digunakan dalam menjawab permasalahan yang dihadapi oleh suatu

kebijakan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Wibawa (1994) bahwa model

implementasi tidak perlu diaplikasikan mentah-mentah, melainkan dapat

disintesiskan sesuai dengan kebutuhan.33

Oleh karenanya, model implementasi kebijakan yang secara pokok akan

dijadikan sebagai konsep penelitian adalah model Edwards III (1980) dengan variabel

komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi. Sedangkan variabel

kondisi sosial, ekonomi, dan politik dalam model Meter dan Horn (1975) akan

diadopsi ke dalam konsep penelitian untuk kemudian dikolaborasikan dengan model

Edwards III (1980). Ada beberapa model implementasi kebijakan lainnya yang tidak

dibahas dan digunakan dalam penelitian ini. Namun meski begitu, secara keseluruhan

model-model tersebut pada dasarnya memiliki kesamaan variabel dengan model

Edwards III (1980) maupun Meter dan Horn (1875).

Kedua model ini pun memiliki kesamaan dan perbedaan dalam beberapa

variabel yang mempengaruhi implementasi, sehingga variabel yang tidak

terakomodasi dalam model Edwards III (1980) kemudian akan dilengkapi dengan

model Meter dan Horn (1975). Hal ini dimaksudkan agar konsep penelitian yang

digunakan memiliki daya jelajah yang lebih luas untuk menjelaskan implementasi

UU KIP di Provinsi Lampung. Ini juga sekaligus menambal kelemahan penelitian

terdahulu (lihat tinjauan pustaka) dimana penelitian ini mengkolaborasikan beberapa

33

Samodra Wibawa, dkk. (1994). Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: Raja Grafindo Persada, h. 18

Page 25: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

25

Implementasi UU KIP di Provinsi

Lampung

Komunikasi

•Transmisi

•Konsistensi

•Kejelasan

Sumber Daya

•Dukungan Anggaran

•SDM

•Ketersediaan Fasilitas

Disposisi

•Sikap Pelaksana

Struktur Birokrasi

•Kordinasi Berjenjang

•SOP

Kondisi Sosial, Ekonomi, & Politik

Diseminasi Informasi

•Media yang digunakan

•Produk & Jenis

model dan mempertimbangkan kondisi sosial, ekonomi, dan politik sebagai variabel

yang mempengaruhi implementasi kebijakan.

Sebagai bagian dari kebijakan komunikasi, UU KIP memiliki ciri tersendiri

yang membedakannya dengan kebijakan-kebijakan publik kebanyakan. Oleh karena

itulah peneliti menambahkan variabel Diseminasi Informasi untuk menjadi bagian

dari konsep penelitian ini. Diseminasi Informasi adalah suatu kegiatan yang ditujukan

kepada kelompok target atau individu agar mereka memperoleh informasi, timbul

kesadaran, menerima, dan akhirnya memanfaatkan informasi tersebut.34

Dalam

konteks ini, informasi yang dimaksud adalah informasi publik yang didiseminasikan

oleh badan publik kepada warganegara. Perhatikan gambar berikut ini.

Gambar 1.3

Konsep Penelitian

34

Jennet, P. A., & Premkumar, K. Technology-based dissemination (Canadian Journal of Public Health, 1996), h. 87(6)

Page 26: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

26

Tabel 1.1

Operasionalisasi Konsep Penelitian

Variabel Makna Indikator Ruang Lingkup Analisis

Komunikasi Adanya sosialisasi UU

KIP dan aturan terkait

lainnya kepada KID

dan PPID Provinsi

Lampung

Informasi yang

disosialisasikan

tertransmisikan dengan

baik, konsisten, dan

memiliki kejelasan

sehingga dapat dipahami

oleh KID dan PPID

Komunikasi antara

Pemerintah Pusat dan

Komisi Informasi Pusat

dengan Komisi Informasi

Daerah dan PPID Provinsi

Lampung.

Sumber Daya Tercukupinya

kebutuhan-kebutuhan

yang diperlukan oleh

KID dan PPID/badan

publik untuk

melaksanakan UU KIP

Ketercukupan dukungan

sumber daya manusia,

anggaran, dan

ketersediaan fasilitas

lembaga

Identifikasi kompetensi dan

jumlah SDM yang ada pada

KID dan PPID. Anggaran

dan sarana prasarana yang

mendukung implementasi

UU KIP.

Disposisi Bagaimana definisi

dan persepsi/sikap

badan publik/PPID

dalam melihat UU KIP

Pemahaman, penerimaan

atau penolakan, dan

komitmen badan

publik/PPID terhadap UU

KIP

Identifikasi sikap pegawai

Pemda Provinsi Lampung

khususnya pada badan

publik/PPID

Struktur Birokrasi

Bagaimana keteraturan

KI maupun badan

publik dalam

berinteraksi dan

melaksanakan tugas

dan fungsinya

sebagaimana

diamanahkan oleh UU

KIP

Adanya koordinasi yang

berkesinambungan dalam

menyelesaikan masalah-

masalah implementasi.

Adanya SOP yang jelas

bagi KID dan PPID dalam

melaksanakan tugas dan

fungsinya.

Koordinasi antara KI Pusat

dengan KID Lampung,

antara KID Lampung

dengan PPID Provinsi, KID

dengan pihak terkait, serta

petunjuk pelaksana/teknis

pelayanan informasi publik

di masing-masing lembaga.

Kondisi Sosial,

Ekonomi, & Politik

Pengaruh lingkungan

atau kondisi sosial

ekonomi politik

terhadap kelancaran

implementasi UU KIP

Adanya faktor kondisi

masyarakat, lembaga

legislatif, eksekutif, atau

lainnya yang menghambat

pembentukan KID dan

PPID maupun

pelaksanaan tugas dan

fungsinya

Analisis dinamika sosial,

ekonomi, & politik yang

berdampak pada

terhambatnya proses

implementasi UU KIP

Page 27: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

27

Diseminasi

Informasi

Bagaimana cara badan

publik dalam

menyebar luaskan

data-data atau

dokemen-dokumen

yang dimilikinya

kepada publik

Relevansi antara media

yang digunakan, serta

produk dan jenis

informasi yang

disebarluaskan oleh badan

publik dengan amanah

yang digariskan oleh UU

KIP

Strategi penyebaran

informasi publik yang

dilakukan oleh PPID

sehingga memudahkan

publik untuk

memperolehnya.

G. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Jenis penelitian ini adalah

eksplanatif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah sebuah proses

penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan

pada penciptaan gambaran holistik lengkap yang dibentuk dengan kata-kata,

melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan disusun dalam sebuah latar

alamiah.35

Pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini karena

mempertimbangkan beberapa asumsi dalam memandang pendekatan kuantitatif

sebagai berikut:36

a) context stripping. Pendekatan kuantitatif mengabaikan dimensi kontekstual

perilaku dan tindakan manusia. Ini sesuai dengan sifat ontologinya yang

mengganggap bahwa realitas bersifat tunggal.

b) exclusion of meaning and purpose. Pendekatan kuantitatif mengabaikan asumsi

realitas sebagai konstruk sosial, sementara pendekatan kualitatif memandang

35

John W. Creswell. Research Design : Qualitative and Quantitative Approaches (Pendekatan Kualitatif dan kuantitatif), editor Aris Budiman, Bambang Hasbroto, Chryshnanda (Jakarta: KIK Press, 2003), h. 1

36 Egon G. Guba and Yvonna S. Lincoln. “Competing Paradigms in Qualitative Research,” dalam

Norman K. Denzim and Yvonna S. Lincoln, eds., Handbook of Qualitative Research (California: Sage Publications, 1994), h. 106-107.

Page 28: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

28

bahwa tindakan manusia merupakan hasil pemaknaan atas lingkungannya dan

sebaliknya pengaruh lingkungan berpengaruh terhadap pemaknaan tersebut.

c) disjunction of grand theories with local contexts. Pendekatan kuantitatif

mengusung jawaban grand narrative bagi seluruh peradaban manusia. Ada

sebuah hukum sosial yang dianggap berlaku universal. Pendekatan kualitatif

menyangkal asumsi ini, karena adanya dimensi konteksual dan lokalitas.

Menurut pendekatan kualitatif bahwa inapplicability of general data to

individual cases, yaitu generalisasi yang secara statistik bermakna sering tidak

dapat diterapkan pada kasus-kasus tertentu.

d) exclusion of the discovery dimension in inquiry. Pendekatan kuantitatif

didorong oleh prinsip deduktif dalam pencarian ilmiah. Pencariannya lebih

pada verifikasi atau falsifikasi hipotesis. Cara ini dianggap kurang memberikan

percepatan „kebaruan‟ dalam ilmu pengetahuan.

Argumentasi-argumentasi tersebut sesuai dengan konteks penelitian ini.

Secara garis besar studi implementasi UU KIP membutuhkan verstehen (pemahaman

mendalam), karena mempertanyakan makna suatu obyek yang dalam hal ini adalah

implementasi UU KIP secara mendalam dan tuntas. Melihat karakteristiknya,

penelitian kualitatif sering disebut natural inquiry (karena konteksnya natural, bukan

artifisial; seperti dalam metode eksperimen), atau disebut interpretive inquiry (karena

melibatkan faktor-faktor subyektif baik dari informan, subyek penelitian, dan peneliti

itu sendiri).

Sebagaimana yang telah disinggung di awal, metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah studi kasus (case study). Studi kasus merupakan strategi

penelitian dimana di dalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program,

peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh

waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan

menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah

ditentukan (Stake, 1995).37

Hal ini relevan dengan konteks penelitian ini yang

37

Jhon W. Creswell. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Third Edition (California: Sage Publications, 2009), h. 20

Page 29: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

29

mengkaji bagaimana implementasi UU KIP yang melibatkan sekelompok individu

dengan batasan waktu tertentu yakni sejak Januari 2010 hingga 30 April 2013.

2. Pengumpulan Data

Sumber data penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data

primer diperoleh melalui observasi lapangan dengan melihat langsung proses

permohonan informasi publik di badan publik. Data primer juga diperoleh melalui

wawancara mendalam secara langsung dengan key person yang dijadikan narasumber

yang memahami substansi persoalan yang dibahas dalam tesis penelitian ini. Sedang

data sekunder diperoleh melalui studi pustaka dari laporan-laporan, terbitan, makalah,

buku, jurnal, dan data lain yang relevan dengan penelitian ini.

Key person yang dijadikan narasumber dalam penelitian ini berasal dari (1)

Komisi Informasi Daerah (KID) Lampung sebagai lembaga yang bertugas

memfasilitasi penyelesaian sengketa informasi publik, (2) Pejabat Pengelola

Informasi dan Dokumentsi (PPID) Provinsi Lampung sebagai pihak yang

memfasilitasi ketersediaan informasi dan permohonan informasi yang diajukan oleh

publik. (3) DPRD Provinsi Lampung sebagai lembaga yang melakukan uji kelayakan

dan kepatutan calon komisioner KID Lampung, (4) Media Massa sebagai pihak yang

intensif dalam memberitakan persoalan keterbukaan informasi publik, dan (5)

Warganegara atau Organisasi Masyarakat (Ormas) sebagai bagian dari publik yang

pernah mengajukan permohonan informasi.

3. Pengolahan Data

Ada beberapa tahapan yang sudah dilewati dalam proses pengolahan data

penelitian ini. Data yang telah selesai dikumpulkan diolah melalui dua tahap.

Pertama, reduksi data. Miles dan Huberman (1992) mengartikan reduksi data sebagai

sebuah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan,

Page 30: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

30

dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.38

Oleh karenanya, data yang diperoleh baik dari observasi, wawancara, maupun studi

dokumen/literatur, telah dipilih dan kemudian dapat memberikan data siap pakai.

Proses reduksi ini dilakukan untuk menilai relevansi data yang telah dikumpulkan,

dan membuang data-data yang tidak relevan dengan pertanyaan penelitian.

Selanjutnya, setelah proses tersebut selesai, maka dilakukan tahap yang kedua,

yakni kategorisasi data. Data-data yang telah dikumpulkan dijabarkan dalam bentuk

tema-tema atau kategori-kategori agar mempermudah proses verifikasi sehingga

diperoleh sketsa kumpulan data kualitatif yang siap dianalisis. Adapun kategorisasi

data tersebut ditentukan berdasarkan variabel-variabel atau indikator-indikator yang

terdapat pada konsep penelitian untuk menjawab pertanyaan pokok penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data dilaksanakan hampir bersamaan dengan proses pengumpulan

data. Analisis induktif dilakukan berangkat dari data kasar yang diperoleh dari

lapangan. Dalam konteks penelitian ini, data kasar tersebut diambil melalui

wawancara terhadap key person yang dijadikan narasumber seperti DPRD Provinsi,

Komisioner KID, PPID Provinsi Lampung dan lain sebagainya. Proses pengolahan

data melibatkan identifikasi tema-tema yang muncul dan pola-pola setelah dilakukan

penyortiran, klasifikasi, dan analisa data.39

Tema-tema tersebut tentunya meliputi

seputar bagaimana implementasi UU KIP di Provinsi Lampung berlangsung. Setelah

mengkategorisasi transkrip wawancara, dilakukan kodifikasi poin-poin penting

termasuk kata-kata atau kalimat-kalimat kunci yang dapat menjawab rumusan

masalah dari penelitian ini.

Teknik kategorisasi didasarkan pada karakteristik kemampuan

menggandakan, bebas, keberbedaan, mengarah pada klasifikasi tersendiri, dan kuat

kategorisasinya. Temuan penelitian disajikan melalui analisis kasus dengan

38

Matthew B. Miles dan Michael A. Huberman. Analisis Data Kualiataif: Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru, Terjemahan Tjetjep R. Rohidi (Jakarta: UI Press, 1992), h. 16

39 Y. Lincoln and E. Guba. Naturalistic Inquiry (Newbury Park, CA: Sage Publications, 1985), h. 27

Page 31: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

31

mengeksplorasi persepsi individual. Individu-individu ini adalah orang-orang yang

terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam proses implementasi UU KIP di

Lampung. Lincoln dan Guba menguraikan alasan penggunaan teknik analisis studi

kasus, yaitu: a) mengungkapkan penilaian dan persepsi melalui thick description; b)

paling sesuai dengan lima aksioma dalam paradigma naturalisme; dan c) cara paling

ideal untuk dikomunikasikan karena pembaca dapat merasakan pengalaman aktual.40

5. Limitasi Penelitian

Penelitian ini memiliki sejumlah batasan. Pertama, berdasarkan ruang

lingkupnya, penelitian ini hanya mengkaji implementasi UU KIP di level provinsi

saja. Sehingga, pembahasan persoalan implementasi di kabupaten/kota tidak akan

dibahas meskipun bila terjadi sengketa informasi di level kabupaten/kota harus

diselesaikan di KID Provinsi. Hal ini dikarenakan tidak dibentuknya KID

kabupaten/kota karena sifatnya yang tidak wajib ada. Kedua, model implementasi

yang digunakan dalam penelitian ini hanya memotret implementasi UU KIP di

Lampung dengan variabel dan indikator yang sudah ditetapkan dalam konsep

penelitian. Namun, pembahasan di luar indikator tersebut dimungkinkan jika ada hal

menarik dan penting yang dapat memperkuat kajian penelitian ini. Ketiga, rentang

waktu pembahasan penelitian ini dibatasi sejak UU KIP ini mulai diimplentasikan di

Lampung Januari 2010, hingga 3 tahun undang-undang ini berjalan yakni 30 April

2013.

6. Sistematika Penulisan

Sistematika Penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. BAB I Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, rumusan penelitian,

tujuan penelitian dan manfaat penelitian; Kemudian tinjauan pustaka dan

kerangka pemikiran yang berisikan fokus penelitian dengan satu konsep dimana

mengkaji aspek/dimensi/komponen/bentuk/gejala yang akan dijadikan indikator

40

Ibid.

Page 32: PENDAHULUAN A. - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68204/potongan/S2-2014... · tentang mutas i jabatan di lingkungan Pemda Provinsi Lampung . 6 ... bukan

32

dari konsep penelitian; Metodologi Penelitian yang elemennya berupa metode

penelitian, teknik pengumpulan data, pengolahan data, dan limitasi penelitian;

2. BAB II Konteks Data, meliputi analisis situasi KID dan PPID yang merupakan

tempat dimana data-data primer dalam penelitian ini diperoleh;

3. BAB III merupakan hasil penelitian dan analisa tentang implementasi UU KIP di

Provinsi Lampung;

4. BAB IV merupakan kesimpulan dari seluruh proses penelitian beserta saran

sebagai tawaran solusi bagi keberhasilan implementasi UU KIP di Provinsi

Lampung