pencucian uang

31
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang. Pencucian uang adalah proses pengubahan dana ilegal menjadi dana dan aset yang sah. Dana berasal dari perdagangan narkoba, penggelapan pajak, penyelundupan, pencurian, terorisme, perdagangan senjata, praktek korupsi dan aktivitas ilegal lainnya. Peran dan kekuatan pelaku kejahatan secara substansial meningkat dengan melakukan pencucian uang. Problematik pencucian uang yang dalam bahasa Inggeris dikenal dengan nama “money laundering” sekarang mulai dibahas dalam buku-buku teks, apakah itu buku teks hukum pidana atau kriminologi. Ternyata problematik uang haram ini sudah meminta perhatian dunia internasional karena dimensi dan implikasinya yang melanggar batas-batas negara. Sebagai suatu fenomena kejahatan yang menyangkut terutama dunia kejahatan yang dinamakan “organized crime”, ternyata ada pihak-pihak tertentu yang ikut menikmati keuntungan dari lalulintas pencucian uang tanpa menyadari akan dampak kerugian yang ditimbulkan. Erat bertalian dengan hal terakhir ini adalah dunia perbankan yang pada satu pihak beroperasional atas dasar kepercayaan para

Upload: dendi-martadinata-siregar

Post on 19-Dec-2015

62 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

rezim anti pencucian uang di indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: pencucian uang

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang.

Pencucian uang adalah proses pengubahan dana ilegal menjadi dana dan aset

yang sah.  Dana berasal dari perdagangan narkoba, penggelapan pajak,

penyelundupan, pencurian, terorisme, perdagangan senjata, praktek korupsi dan

aktivitas ilegal lainnya. Peran dan kekuatan pelaku kejahatan secara substansial

meningkat dengan melakukan pencucian uang.

Problematik pencucian uang yang dalam bahasa Inggeris dikenal dengan

nama “money laundering” sekarang mulai dibahas dalam buku-buku teks, apakah

itu buku teks hukum pidana atau kriminologi. Ternyata problematik uang haram

ini sudah meminta perhatian dunia internasional karena dimensi dan implikasinya

yang melanggar batas-batas negara. Sebagai suatu fenomena kejahatan yang

menyangkut terutama dunia kejahatan yang dinamakan “organized crime”,

ternyata ada pihak-pihak tertentu yang ikut menikmati keuntungan dari lalulintas

pencucian uang tanpa menyadari akan dampak kerugian yang ditimbulkan. Erat

bertalian dengan hal terakhir ini adalah dunia perbankan yang pada satu pihak

beroperasional atas dasar kepercayaan para konsumen, namun pada pihak lain,

apakah akan membiarkan kejahatan pencucian uang ini terus merajalela.

Money laundering adalah suatu praktek pencucian uang panas atau kotor

(dirty money). Uang kotor ini, berasal dari praktek-praktek haram dan illegal

seperti korupsi, penyuapan, penyelundupan, serta tindak pidana perbankan dan

praktek-praktek tidak sehat lainnya. Untuk membersihkannya uang tersebut

ditempatkan pada suatu bank atau tempat tertentu untuk sementara waktu sebelum

akhirnya dipindahkan ke tempat lain (layering), misalnya melalui pembelian

saham di pasar modal, transfer valuta asing atau pembelian suatu asset. Setelah

itu, si pelaku akan menerima uang yang sudah bersih dari ladang pencucian

berupa pendapatan yang diperoleh dari pembelian saham, valuta asing atau asset

tersebut (integration). Proses inilah yang dinamakan money laundering, karena

Page 2: pencucian uang

mengubah uang kotor menjadi bersih tak berbekas melalui proses keuangan yang

sah. Pelaku dari money laundering sebagai kejahatan terorganisir, dilakukan oleh

orang yang menguasai atau mempunyai pengetahuan khusus di dunia penyedia

jasa keuangan. Bahkan mereka harus menguasai ilmu pengetahuan di bidang

komputer.

Salah satu contoh kasus money laundering ialah kasus Bank Global.

Pembobolan bank tersebut bukan dilakukan melalui suatu teknik yang canggih,

melainkan karena adanya niat buruk dari pengelola bank yang memanfaatkan

kelengahan pengawasan BI maupun Bapepam. Maka dari itu pemerintah menutup

Bank Global. Pada waktu dibekukan kegiatan usahanya, Bank Global sudah

nyaris kolaps. Angka Capital Adequacy Ratio (CAR) atau rasio kecukupan

modalnya sudah berada pada titik minus 39 persen. Dengan adanya indikasi

berbagai pelanggaran ditambah dengan ketertutupan dari pihak manajemen, maka

BI kemudian bertindak lebih tegas, yakni membekukan kegiatan usaha dengan

tujuan demi menyelamatkan asset, mencegah kerugian lebih besar lagi, serta yang

utama ialah mengamankan dana nasabah.

2. Rumusan masalah.

A. Apa Pengertian Money Loundering?

B. Bagaiman pengaturan Money Loundering di Indonesia?

C. Bagaimana Penaggulangan Money Loundering?

Page 3: pencucian uang

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Money Loundering.

Pencucian uang (Inggris:Money Laundering) adalah suatu upaya perbuatan

untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau Harta

Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau

Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.

Pada umumnya pelaku tindak pidana berusaha menyembunyikan atau

menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang merupakan hasil dari tindak pidana

dengan berbagai cara agar Harta Kekayaan hasil kejahatannya sulit ditelusuri oleh

aparat penegak hukum sehingga dengan leluasa memanfaatkan Harta Kekayaan

tersebut baik untuk kegiatan yang sah maupun tidak sah. Oleh karena itu, tindak

pidana Pencucian Uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem

perekonomian dan sistem keuangan, melainkan juga dapat membahayakan sendi-

sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Drs.Tb. Irman S.S.H., M.H mendefinisikan pencucian uang sebagai perbuatan

membersihkan hasil yang kotor sehingga terlihat bersih, atau suatu perbuatan

membuat uang kotor menjadi terlihat bersih (apabila hasilnya harta kekayaannya

yang berupa uang, arti kotor bukan berarti secara nyata tetapi berasal dari hasil

kejahatan). Tindak pidana pencuniang uang atau money loundering diatur dalam

undang – undang nomor 8 tahun 2010, tentang money loundering. Dalam undang

– undang tersebut dijelaskan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang

memenuhi unsur – unsur tindak pidana sesuai ketentuan dalam undang – undang

ini (pasal 1 angka 1, uu no.8 tahun 2010). Dari penjelasan pasal tersebut, dapat

dilihat bahwa pencucian uang bukanlah suatu tindak pidana yang berdiri sendiri.

Tindak pidana pencucian uang (money loundering) sebagai suatu kejahatan

Page 4: pencucian uang

mempunyai ciri khas yaitu bahwa kejahatan tersebut bukan merupakan kejahatan

tunggal. Hal ini ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang

bersifat follow up crime (kejahatan lanjutan), dan kejahatan utamanya atau disebut

kejahatan asalnya disebut predicate crime. Karakteristik money laundering adalah

bersifat organized crime, white collar crime, corporate crime dan transnasional

crime merupakan kejahatan yang luas dan termasuk kejahatan lanjutan

Dalam pola pencucian uang, hasil tindak pidana tersebut dibuat lagi dengan

suatu perbuatan yang menghasilkan tindak pidana. Pola pencucian uang adalah

sebagai berikut:

Hasil tindak pidana lain diperbuat lagi dengan suatu perbuatan lain, yang

menimbulkan akibat lagi yaitu pencucian uang. Pada tindak pidana asal (predicate

crime), dengan tindak pidana pencucian uang berkaitan atau tidak dapat

dipisahkan. Tindak pidana pencucian tidak akan ada kalau tidak ada hasil tindak

pidana.

perbuatan pidana/tindak

pidana.

hasil tindak pidana.

diperbuat dengan

perbuatan lain lagi.

pencucian uang.

tindak pidana

(predicate crime).

hasil tindak pidana.

pencucian uang.

Page 5: pencucian uang

Dengan demikian, perbuatan pencucian uang merupakan suatu perbuatan yang

dikerjakan sehingga berhasil. Kemudian, hasilnya diperbuat lagi dengan suatu

kelakuan atau perbuatan lainnya dan menimbulkan hasil lagi.

B. Hukum pencucian uang di Indonesia.

Di Indonesia, tindak pidana pencucian uang diatur secara yuridis dalam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan

dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, di mana pencucian uang

dibedakan dalam tiga tindak pidana, yaitu:

1) Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu Setiap Orang yang

menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan,

menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk,

menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas

Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil

tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan

menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Pasal 3

UU RI No. 8 Tahun 2010).

2) Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap Orang

yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran,

hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta

Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal tersebut

dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun,

dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan

sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 5 UU RI No. 8

Tahun 2010).

3) Dalam Pasal 4 UU RI No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang

menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada

setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber

Page 6: pencucian uang

lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya

atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan

hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Hal ini

pun dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.

Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni

dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan denda

paling banyak 10 miliar rupiah.

Selain itu, dalam undang – undang tersebut diatur juga hasil tindak pidana

atau kejahatan asal dalam pasal 2 ayat (1), yaitu: Hasil Tindak Pidana Pencucian

Uang (Pasal 2 UU RI No. 8 Tahun 2010)

(1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak

pidana: a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan

tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar

modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang;

m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q.

penggelapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di

bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di

bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan

pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut

hukum Indonesia.

(2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau

digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme,

organisasi terorisme, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak

pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ini disahkan dan diundangkan

pada tanggal 22 Oktober 2010. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 mencabut

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Page 7: pencucian uang

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undangan Nomor 25 Tahun 2003

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak

Pidana Pencucian Uang. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun

2010, pengaturan mengenai tindak pidana pencucian uang lebih komprehensif,

cakupannya lebih luas dan ruang interpretasi lebih dipersempit.

Undang-Undang ini memberi tugas, kewenangan dan mekanisme kerja baru

bagi PPATK, pihak pelapor, regulator/lembaga pengawas dan pengatur, aparat

penegak hukum dan pihak terkait lainnya. Beberapa terobosan pemberlakuan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 antara lain pengecualian rahasia bank dan

kode etik yang lebih luas, perluasan pihak pelapor serta perluasan jenis laporan,

penghentian sementara dan penundaan transaksi serta non-conviction based asset

forfeiture (perampasan aset tanpa pemidanaan), tindak pidana asal tidak wajib

dibuktikan terlebih dahulu, penyidikan tindak pidana pencucian uang oleh

penyidik tindak pidana asal, penggabungan penyidikan tindak pidana pencucian

uang dan tindak pidana asal, kewenangan penyidik, penuntut umum dan hakim

untuk meminta keterangan tertulis mengenai harta kekayaan kepada pihak

pelapor, pergeseran beban pembuktian, pemeriksaan dan putusan tanpa kehadiran

terdakwa (fugitive disentitlement), serta perluasan alat bukti. Kewenangan ppatk

diatur dalam pasal 41 ayat (1), meliputi:

a. Meminta data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga

swasta yg memiliki kewenangan mengelola data dan informasi,

termasuk dari lembaga yg menerima laporan dari profesi tertentu.

b. Menetapkan pedoman identifikasi transaksi keuangan mencurigakan.

c. Mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang

dengan instansi terkait.

d. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya

pencegahan tindak pidana pencucian uang dengan instansi terkait.

e. Mewakili pemerintah pemerintah Republik Indonesia dalam forum

internasional berkaitan dengan upaya pencegahan tindak pidana

pencucian uang.

f. Menyelenggarakan diklat anti pencucian uang.

Page 8: pencucian uang

g. Menyelenggarakan sosialisasi upaya pencegahan tindak pidana

pencucian uang.

PPATK memiliki tugas untuk mencegah dan memberantas tindak pidana

pencucian uang (pasal 39 uu no.8 tahun 2010).Dalam melaksanakan tugasnya,

PPATK berkerja sama dengan Penyedia jasa keuangan untuk menyelidiki

transaksi keuangan mencurigakan. Penyedia jasa keuangan sebagai pihak pelapor,

diatur dalam dalam pasal 17 ayat (1) uu no.8 tahun 2010, yaitu meliputi:

1) Bank.

2) Perusahaan pembiayaan.

3) Perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi.

4) Dana pensiuan lembaga keuangan.

5) Perusahaan efek.

6) Manajer investasi.

7) Kustodian.

8) Wali amanat.

9) Perposan sebagai penyedia jasa giro.

10) Pedagang valuta asing.

11) Penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu.

12) Penyelenggara e-monay dan/atau e-wallet.

13) Koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam.

14) Pegadaian.

15) Perusahaan yang bergerak dalam di bidang perdagangan berjangka

komoditi.

16) Penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.

Selain menyelenggarakan kerjasama dengan penyedia jasa keuangan, PPATK

juga menyelenggarakan kerjasama dengan pihak luar negri berkaitan dengan

pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Hal tersebut diatur pasal 89 ayat

(1), pasal tersebut berbunyi “kerja sama internasional dilakukan PPATK dengan

lembaga sejenis yang ada di negara lain dan lembaga internasional yang terkait

dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang”. Dengan

dilakukannya kerjasama tersebut PPATK dapat melakukan pertukaran informasi

Page 9: pencucian uang

sesuai yang di butuhkan. Tata cara pertukaran informasi dengan pihak luar negri

adalah sebagai berikut:

1) Dilakukan dengan financial intelligence unit negara lain (atas dasar

MoU atau resiprositas);

2) Berdasarkan norma yang diatur oleh the Egmont Group atau sesuai

dengan ketentuan dalam MoU (bersifat rahasia, tidak diperbolehkan

untuk diteruskan ke pihak lain, tidak dapat dijadikan barang bukti di

pengadilan, dll);

3) Permintaan atau pemberian informasi dapat dalam bentuk tertulis atau

elektronis;

4) Dalam hal permintaan informasi dilakukan oleh selain FIU, PPATK

memberitahukan agar permintaan informasi dilakukan melalui FIU

negara yang bersangkutan atau melalui mitra kerjanya di Indonesia.

Samapai saat ini, indonesi telah melakukan kerjasama terkait pemberantasan

tindak pidana pencucian uang dengan 38 negara sahabat. dalam bentuk MoU.

Selain melaksanakan kerjasama internasional, PPATK juga melaksanakan

kerjasam domestik. Kerjasam domestik tersebut dilakukan PPATK dengan pihak

terkait dengan atau tanpa bentuk kerjasama formal (pasal 88 ayat (1) uu no.8

tahun 2010). Hal tersebut berbeda dengan korjasama internasional yang harus

dituangkan dalam bentuk formal. Tata Cara Pertukaran Informasi Dalam Negeri:

1. Diajukan secara tertulis yang ditandatangani sekurang-kurangnya oleh:

a. Hakim Ketua Majelis yang menangani perkara.

b. Pejabat setingkat Direktur di Polri.

c. Pejabat setingkat Direktur di Kejagung atau pejabat.

setingkat Asisten Kejati.

d. Pimpinan di KPK.

e. Pejabat setingkat Direktur pada lembaga yg

mempunyai kewenangan pengawasan thd PJK (Regulator).

f. Pimpinan lembaga yang memiliki kewenangan PPNS.

2. Permintaan informasi mencantumkan :

a. Identitas nasabah dan nama PJK.

Page 10: pencucian uang

b. Tujuan dan alasan permintaan informasi.

c. Hubungan dengan dugaan TPPU atau TP asal.

d. Tahapan penanganan perkara.

e.Pernyataan menjaga kerahasiaan informasi.

PATK bertugas mengumpulkan menyimpan menganalisis dan mengevaluasi

informasi yang diperoleh yang disebutkan dalam Pasal 26 UUTPPU. Sudah

seharusnya negara yang termasuk dalam upaya penanggulangan money

laundering mengadakan perjanjian internasional atau perjanjian internasional dan

mengadakan kerjasama timbal balik dengan negara-negara lain, karena money

laundering bukan masalah nasional tetapi juga masalah internasional sehingga

tanpa kerjasama internasional penanggulangan tindak pidana pencucian uang

tidak bisa diberantas. Dalam tindap pidana pencucian uang, Untuk dapat

dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap

tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak

pidana asalnya (Pasal 69 uu no.8 tahun 2010). Hal tersebut dimungkinkan untuk

memudahkan proses pemeriksaan terkait dengan Transaksi keuangan

mencurigakan. Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup

terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, penyidik

menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana

pencucian uang dan memberitahukannya kepada PPATK. Hal yang paling

menarik dalam undang – undang tersebut adalah beban pembuktian terbalik. Hal

tersebut bertentangan dengan KUHAP. Kejahatan tindak pidana pencucian uang

diakui sebagai suatu bentuk kejahatan kerah putih (white collar crime), yakni

suatu kejahatan yang melibatkan orang-orang memiliki kesempatan dan kapasitas

tertentu, bahkan dapat melibatkan banyak pihak. Dan kejahatan tindak pidana ini

menghadirkan kerugian perkonomian suatu bangsa cukup besar. Namun pada

kenyataannya tindak pidana pencucian uang memang modus kejahatan yang

begitu sulit dibuktikan, oleh karena itu maka diperlukan terobosan-terobosan baru

dalam sistem hukum di Indonesia guna mempermudah pembuktian dalam tindak

Page 11: pencucian uang

pidana pencucian uang, salah satunya adalah menerapkan asas beban pembuktian

terbalik dalam tindak pidana pencucian uang.

Pembuktian merupakan bagian penting dalam pencarian kebenaran

materiil terhadap proses pemeriksaan perkara pidana. Sistem Eropa Kontinental

yang dianut oleh Indonesia menggunakan keyakinan hakim untuk menilai alat

bukti dengan keyakinannya sendiri. Hakim dalam pembuktian ini harus

memperhatikan kepentingan masyarakat dan terdakwa. Kepentingan masyarakat

berarti orang yang telah melakukan tindak pidana harus mendapatkan sanksi demi

tercapainya keamanan, kesejahteraan, dan stabilitas dalam masyarakat. Sedangkan

kepentingan terdakwa berarti bahwa ia harus diperlakukan dengan adil sesuai

dengan asas Presumption of Innocence. Sehingga hukuman yang diterima oleh

terdakwa seimbang dengan kesalahannya.

Beban pembuktian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada suatu

pihak untuk memberikan suatu fakta di depan sidang pengadilan untuk

membuktikan kebenaran atas suatu pernyataan atau tuduhan salah satu jenis beban

pembuktian yaitu beban pembuktian terbalik atau omkering van bewijslaat.

Penerapan beban pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang

sekiranya memang urgensinya begitu tinggi untuk diterapkan di Indonesia dewasa

ini. Beban pembuktian terbalik atas asset yang dimiliki oleh aparatur Negara yang

dicurigai melakukan penyalahgunaan wewenang atau dicurigai memperoleh asset

dengan cara-cara tidak sah, yakni dengan cara melanggar hukum diyakini

menghadirkan dampak positif dalam upaya penyelamatan asset Negara secara

maksimal dari pelaku tindak pidana pencucian uang. Dalam Beban pembuktian

terbalik atau omkering van bewijslaat ini didefinisikan bahwa yang mempunyai

beban pembuktian adalah terdakwa, sedangkam penuntut umum akan bersikap

pasif, bila terdakwa gagal melakukan pembuktian maka dia akan dinyatakan

kalah.

Penerapan beban pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang

patut diberlakukan di Indonesia sebagai tindak lanjut dari pasal 77 UU No. 8

tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang

yang berbunyi “untuk kepentingan pemeriksaan disidang pengadilan, terdakwa

Page 12: pencucian uang

wajib membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.”

Jikalau kita mengimplementasikan pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang

menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, artinya dalam konsep

negara hukum, supremasi hukum harus dijunjung tinggi di Negara ini. Maka dari

itulah mengapa dirasa perlu menerapkan sistem beban pembuktian terbalik ini

dalam tindak pidana pencucian uang khususnya. Dan jika ditinjau dari aspek pasal

35 UU No. 8 Tahun 2010 yang menyatakan bahwa “yaitu jika terdakwa tidak

dapat membuktikan asal usul harta kekayaannya, maka terdakwa dapat

dipersalahkan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang”. Dalam hal ini terlihat

begitu pentingnya penerapan system pembuktian secara terbalik.

Sistem beban pembuktian terbalik sudah diterapkan pertama kali di

Indonesia diterapkan di pengadilan negeri Jakarta selatan, yaitu kepada bekas

pejabat kantor pajak dan bappenas, bahasyim assifie. Dalam proses terssebut,

bahasyim assifie diminta membuktikan keabsahan hartanya yang dia sebut hasil

dari berbagai usaha. Bahasyim memang menunjukan berbagai dokumen yang ia

katakana sebagai hasil dari usahanya sendiri. Namun majelis hakim tidak

mengakui seluruh bukti tersebut karena tidak sah menurut hukum. Akhirnya

bahasyim divonis hukuman penjara selama 10 tahun, ditambah denda Rp.250 juta

subside 3 bulan kurungan. Hartanya pun yang senilai Rp. 60,9 miliar ditambah

681.147 dollar AS dirampas untuk Negara karena terbukti merupakan hasil dari

tindak pidana korupsi.

Dari kasus tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa konsekuensi logis

beban pembuktian terbalik tidak bersinggungan dengan pelanggaran hak asasi 

manusia, ketentuan hukum acara pidana khususnya tentang asas praduga tak

bersalah, asas tidak mempersalahkan diri sendiri, asas hak untuk diam, hukum

pidana materiil serta instrumen hukum internasional. Hal ini dikarenakan beban

pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian ini hanya dapat dilakukan

terhadap harta kekayaan pelaku pencucian uang, sehingga titik beratnya hanya

untuk memaksimalkan pengembalian harta Negara dari hasil pencucian uang oleh

pelaku tindak pidana pencucian uang.

Page 13: pencucian uang

Dalam hal ini kita harus tahu bahwa dalam hukum acara pidana kita tidak

mengenal sistem beban pembuktian terbalik. Hal ini jelas diatur dalam UU No.8

Tahun 1981 mengenai KUHAP, yang dimana beban pembuktian hanya

dilimpahkan kepada pihak penuntut umum. Dan dalam hal ini, terdakwa tidak di

bebani kewajiban pembuktian, yang sudah jelas tercantum dalam pasal 66

KUHAP. Namun demikian, yang harus kita perhatikan lebih lanjut bahwa di

dalam hukum pidana kita mengenal asas lex specialis derogate legi generalis yang

tercantum dalam pasal 63 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa jika suatu

perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang khusus, maka hanya yang

khusus itulah yang diterapkan. Jadi jika kita tinjau dari aspek ini, dapat kita

simpulkan bahwa pelaksanaan beban pembuktian terbalik dalam tindak pidana

pencucian uang itu dapat di implementasikan, karena sudah jelas ada payung

hukum yang mengaturnya. Faktanya di Indonesia yang sering diterapkan dalam

proses pembuktian dalam peradilan pidana yaitu teori jalan tengah yakni

gabungan dari teori berdasarkan undang-undang dan teori berdasarkan keyakinan

hakim, beban pembuktian terbalik itu sudah di terapkan dan sangat dibutuhkan

dalam upaya pembuktian terhadap pelaku penccucian uang, dikarenakan jika

ditinjau dalam tindak pidana pencucian uang beban pembuktian terbalik adalah

sebuah solusi konkrit yang sangat membantu dalam pembuktian dan juga dalam

upaya memaksimalkan penyelamatan asset Negara yang diprivatisasi lewat

pencucian uang.

C. Pencegahan dan Penanggulangan pencucian uang.

Pemberantasan kegiatan money laundering (pencucian uang) dapat dilakukan

melalui pendekatan pidana atau pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan

tindakan administratif. Partisipasi Pemerintah RI dalam upaya pemberantasan

kegiatan pencucian uang merupakan pelaksanaan dari amanta PBB dalam the UN

Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic

Substances of 1988 yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah melalui UU No. 7

Tahun 1997. Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara

penandatangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai

Page 14: pencucian uang

suatu tindak kejahatan dan mengambil langkah-langkah agar pihak yang berwajib

dapat mengidentifikasikan, melacak dan membekukan atau menyita hasil

perdagangan obat bius. Di bawah ini hádala beberaa langkah yang telah diambil

Pemerintah RI untuk menindaklanjuti komitmen pemberantasan kegiatan

pencucian uang.

a. Undang-undang Yang Berkaitan dengan Psikotropika

Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan psikotropika, antara lain UU No. 8 Tahun 1996 tentang

Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971,UU No. 5 Tahun 1997 tentang

Psikotropika. Di samping itu, terdapat beberapa Peraturan Menteri Kesehatan

tahun 1997 tentang Peredaran Psikotropika dan Ekspor Impor Psikotropika.

Dalam UU ini diatur antara lain mengenai persyaratan dan tata cara ekspor dan

impor peredaran serta penyaluran psikotropika agar hal-hal tersebut tidak

digunakan sebagai sarana kegiatan pencucian uang.

b. Undang-undang Yang Berkaitan dengan Narkotika

Pemerintah telah menetapkan beberapa peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan narkotika, antara lain UU N. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan

Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol yang Mengubahnya, UU No.

22 Tahun 1977 tentang Narkotika yang menggantikanUU No. 9 Tahun 1976

tentang Narkotika. UU Narkotika ini mengatur masalah narkotika yang

dibutuhkan sebagai obat dan sekaligus mencegah dan memberantas bahaya

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Dalam Pasal 77 ayat (1) UU No.

22 Tahun 1997 disebutkan, bahwa narkotika dan peralatan yang dipergunakan

dalam pelanggaran narkotika dan hasil-hasilnya dapat disita untuk negara.

c. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

Pasal 31 ayat (1) mengatur sebagai berikut: “Bank Indonesia dapat

memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh

kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap

suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan”.

Penjelasan atas ayat (1) tersebut menguraikan bahwa yang dimaksud dengan

tranaksi tertentu antara lain hádala transaksi dalam jumlah besar yang diduga

Page 15: pencucian uang

berasal dari kegiatan melanggar hukum. Dalam pengertian ini tentunya termasuk

pula kegiatan pencucian uang.

d. UU No. 24 Tahun 1999 tentang LALU Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar

Sebagaimana diketahui, kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui

pergerakan dana dalam transaksi internacional. UU No. 24/1999, secara tidak

langsung memberikan landasan untuk memantau kegiatan ini. Pasal 3 ayat (2),

misalnya, mengatur sebagai berikut:

“Setiap penduduk wajib memberikan keterangan dan data mengenai kegiatan lalu

lintas devisa yang dilakukannya, secara langsung atau melalui pihak lain yang

ditetapkan oleh Bank Indonesia”.

Keterangan dan data yang diminta antara lain meliputi nilai dan jenis transaksi,

tujuan atau maksud transaksi, pelaku transaksi, dan negara tujuan atau asal pelaku

transaksi.

e. Ketentuan Bank Indonesia

Banyak sekali ketentuan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang secara

langsung atau tidak langsung dapat mencegah atau memberantas kegiatan money

laundering secara administratif,

antara lain:

1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/271A/KEP/DIR tentang

Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/191A/KEP/DIR

tentang Pengeluaran atau Pemasukan Mata Uang Rupiah Dari Atau Ke Dalam

Wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan SK Dir. BI ini setiap orang

yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam wilayah RI

dengan jumlah lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) wajib mengisi

formulir deklarasi. Selain itu,

bagi setiap orang yang membawa mata uang Rupiah ke luar atau masuk ke dalam

wilayah RI dengan jumlah lebih dari Rp 100.000.000,- (seratus  juta rupiah) selain

wajib mengisi formulir deklarasi juga harus memperoleh izin dari Bank Indonesia.

2. Surat  Cara Pembelian Saham Bank Umum

Page 16: pencucian uang

Pasal 6 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan untuk pembelian

saham bank dalam rangka kepemilikan dilarang berasal dari dan untuk tujuan

money laundering.

3. PBI No. 2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum

Pasal 6 ayat (1) huruf j dari PBI ini mengatur bahwa dalam rangka permohonan

izin pendirian bank umum, calon pemegang saham bank wajib melampirkan surat

pernyataan bahwa setoran awal bank tidak berasal dari dan untuk tujuan money

laundering. Selanjutnya Pasal 14 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang

digunakan dalam rangka kepemilikan bank atau

pembelian saham bank dilarang berasal dari dan untuk tujuan pemutihan uang.

4. PBI No. 1/6/PBI/1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Complience

Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungís audit. Intern Bank Umum

PBI ini bertujuan untuk memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan yang

berlaku. Dalam hal ini bank diwajibkan untuk menugaskan salah satu anggota

direksinya sebagai Compliance Director yang memastikan bahwa bank telah

memenuhi ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku untuk perbankan. Bank juga diwajibkan untuk membentuk Satuan kerja

Unit Intern yang bertugas melakukan pengawasan terhadap kegiatan bank secara

keseluruhan.

   5. PBI No. 3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian

Kredit Valas oleh Bank

Dalam ketentuan ini diatur larangan dan pembatasan transaksi-transaksi tertentu

oleh bank terhadap WNA, badan hukum asing lainnya, WNI yang memiliki status

penduduk tetap negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, kantor bank/badan

hukum Indonesia di luar negeri. Ketentuan ini sekurangkurangnya dapat menjadi

sarana yang kondusif untuk mencegah terjadinya transaksi yang berkaitan dengan

kegiatan pencucian uang.

6. Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Mengenal

Nasabah (Know Your Customers Principles)

Sebagai salah satu entri bagimasuknya masuknya uang hasil kejahatan, bank atau

jasa keuangan lain harus mengurangi resikomdipergunakan sebagai sarana

Page 17: pencucian uang

pencucian uang dengan cara mengenal dan mengetahui identitas nasabah,

memantau transaksi dan memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanyan

tansaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transactions) yang dilakukan

oleh pihak bank atau perusahaan jasa keuangan lain. Penerapan prinsip mengenal

nasabah atau lebih dikenal umum dengan Know Your Costumer Principle (KYC

Principle) ini didasari pertimbangan bahwa KYC tidak saja penting dalam rangka

pemberantasan pencucian uang, melainkan juga dalam rangka penerapan

prudential banking untuk melindungi bank atau perusahaan jasa keuangan lain

dari berbagai risiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-party.

Khususnya terhadap para nasabah, pihak bank atau jasa keuangan lain harus

mengenali para nasabah, agar bank atau jasa keuangan lain tidak terjerat dalam

kejahatan pencucian uang. Prinsip mengenal nasabah ini merupakan rekomendasi

FATF, yang merupakan orinsip ke lima belas dari dua puluh lima Core Principles

For effective Banking Supervision dan Bassel Committee .

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Prinsip KYC pada dasarnya

bertujuan untuk :

a. membantu bank agar dapat mendeteksi sesegara mungkin setiap aktivitas yang

mencurigakan yang dilakukan nasabah;

b. memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan perbankan yang

berlaku;

c. menegakkan prinsip kehati-hatian dalam praktek perbankan;

d. mengurangi risiko dimanfaatkannya bank sebagai sarana untuk melakukan

aktivitas kejahatan.

e. melindungi reputasi bank.

Page 18: pencucian uang

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Pengertian pencucian uang atau money laundering adalah proses atau

perbuatan yang menggunakan uang hasil tindak pidana atau uang haram. Jadi

uang haram tersebut dengan cara-cara tertentu dikaburkan atau disembunyikan

asal-usulnya untuk kemudian dikatakan sebagai uang yang sah atau uang halal.

Dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang No. 25 Tahun 2002, yang dimaksud

dengan pencucian uang adalah perbuatan mentransfer atas harta kekayaan yang

diduga merupakan hasil dari perbuatan tindak pidana dengan maksud untuk

menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-

olah menjadi harta kekayaan sah.

Dampak yang ditimbulkan oleh pencucian uang ini luar biasa, bahkan

mengancam stabilitas ekonomi negara. Hal ini dikarenakan pencucian uang ini

sangat mempengaruhi perkembangan berbagai kejahatan berat, seperti drugs

trafficking, korupsi, illegal logging, dan sebagainya.

Setelah Indonesia memiliki UU No. 15 Tahun 2002, ternyata Indonesia masih

dimasukkan dalam daftar NCTTs oleh FATF dengan alasan bahwa masih terdapat

beberapa kelemahan dalam UU No. 15 Tahun 2002, yaitu : Mengenai dasar

penetapan nilai uang minimal Rp 500 juta untuk bisa dikatagorikan sebagai tindak

pidana money laundering;Mengenai 15 kejahatan yang bisa dikatagorikan sebagai

tindak pidana money laundering, dimana bagi komunitas internasional

pembatasan tersebut dirasakan tidak cukup

Masalah jangka waktu pelaporan ketika diketahui adanya transaksi keuangan

yang mengarah pada money laundering. Terhadap beberapa kelemahan tersebut,

FATF telah mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan amandemen

terhadap UU No. 15 Tahun 2002, namun ternyata sampai saat ini amandemen

tersebut belum dapat diselesaikan sehingga mengakibatkan tetap dimasukkannya

Indonesia dalam daftar NCCTs.

Page 19: pencucian uang

2. Saran.

Untuk memberantas tindak pidana Money Laundering, perlu ada kerjasama antara

pemerintah, aparat kepolisian, masyarakat, dan para pelaku bisnis. Karena

kejahatan jenis ini cukup berbahaya dan menimbulkan kerusakan perekonomian

yang cukup parah. Kewaspadaan harus tetap ditingkatkan karena kejahatan jenis

ini dapat digolongkan kejahatan terselubung.\

Sebagai salah satu entry bagi masuknya uang hasil tindak kejahatan, bank harus

mengurangi risiko digunakannya sebagai sarana pencucian uang dengan cara

mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau transaksi dan memelihara

profil nasabah, serta melaporkan adanya transaksi keuangan yang mencurigakan

(suspicious transactions) yang dilakukan oleh pihak yang menggunakan jasa bank.

Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah atau lebih dikenal umum dengan Know

Your Customer Principle (KYC Principle) ini didasari pertimbangan bahwa KYC

tidak saja penting dalam rangka pemberantasan pencucian uang, melainkan juga

dalam rangka penerapan prudential banking untuk melindungi bank dari berbagai

risiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-party.

Page 20: pencucian uang

DAFTAR PUSTAKA.

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana

dalam Penanggulangan Kejahatan. Kencana Media Group, Semarang 2010

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni. Bandung, 2007

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta 2008

Sytan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan

Pembiayaan Terorisme, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2004.