pencatatan daftar harta benda anak asuh menurut hukum...
TRANSCRIPT
PENCATATAN DAFTAR HARTA BENDA ANAK ASUH
MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG
(Studi Kasus di Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah
Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh :
NURUL LINDA YOMI
NIM: 107044101905
K O N S E N T R A S I PE R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1432 H/2011 M
PBNCATATAN DAFTAR HARTA BENDA ANAK ASUHMENURUT ISLAM DAN UNDANG-UNDANG
(Studi kasus di Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi salahSatu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. SV)
Disusun Oleh :
NURUL LINDA YOMINIM: 1070441019A5
Dibawah Bimbingan :
KOI{SENTRASI PERADILAN AGAMPROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMUNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
1432 H/2011l4
iq Dialil. SH.. MA.195003061976031001
PENGESAHAN PANITIA SKRIPSI
SKTiPSi bETJUdUI PENCATATAN DAFTAR HARTA BENDA ANAK ASUH MENURUTHUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG (Studi kasus di Panti Asuhan IslamicViilageKarawaci Tangerang) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan HukumUniversitas Islam Negeri ruf$ Syarif Hidauatulah Jakarta pada 27 September 2011. Skripsi initelah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S. sy) pada programStudi Peradilan Agama.
Jakarta, 29 September 2011
Mengesahkan,
PANITIA UJIAN
1. Ketua Majelis Drs. H. A. Basiq Djalil. SH. MANIP. 1 95003061 97603 1 001
Hj. Rosdiana. MANrP. 1 96906102003122001
Drs. H. A. Basiq Djalil. SH. MANIP. 19500306i97603 1001
Drs. Sinil Wafa. M. AgNrP. I 96003 18 199103 1 001
2. Sekretaris
3. Pembimbing
4. Penguji I
: Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie. S. Ag. MA(NIP. 1 97 608072003 121 001
NIP. 1 9s50 505198281A12
5. Penguji II
1.
2.
J.
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata satu (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri OfN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Of$ Syarif Hidayatullah
Iakarta.
Jakarta, 23 Juli 2011
433641444
flm-ffiffifrffi
Nurul Linda Yomi
i
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الر حمن الر حيم
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam, yang telah memberikan
rahmat dan kasih sayangnya kepada umat manusia yang ada dimuka bumi ini,
khususnya kepada penulis. Shalawat serta salam kita sanjungkan kepada Nabi besar
Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan ummatnya hingga akhir
zaman.
Dalam proses penyelesaian skripsi ini penulis menyadari bahwa rintangan
dan hambatan yang terus menerus datang silih berganti. Berkat bantuan dan
motivasi dari berbagai pihak maka segala kesulitan dan hambatan tersebut dapat
diatasi dan tentunya dengan izin Allah SWT, serta dengan wujud yang berbeda-
beda dapat diminimalisir dengan adanya nasihat-nasihat atau dukungan yang
diberikan oleh keluarga dan teman-teman penulis.
Pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan rasa terima kasih yang
tiada terhingga untuk semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril
maupun materil kepada penulis sehingga terselesaikannya skripsi ini. Ucapan
terima kasih penulis skripsi kepada:
ii
1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta Pembantu
Dekan I, II, III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Ketua Program Studi Ahwal Syakhsiyyah
dan sekaligus pembimbing skripsi yang telah banyak membimbing,
memberikan pencerahan, motifasi semangat dan ilmunya kepada penulis, serta
ibu Hj. Rosdiana, MA. Selaku Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah
yang telah bekerja dengan maksimal.
3. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu-ilmu
yang tak ternilai harganya, seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
bagian Tata Usaha Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
pelayanan dengan baik.
4. Teristimewa untuk kedua orang tua penulis yaitu ayahanda Deky Saprudin, ME
dan ibunda Siti Marwah yang telah memberikan motivasi dan arahan yang tak
pernah jenuh serta tak henti-hentinya mendoakan penulis dalam menempuh
pendidikan. Juga kepada kakak tercinta Depry Maulana yang selalu
memberikan doa, dukungan, dan semangat dengan penuh keikhlasan dan
kesabaran yang tiada tara.
5. Saudara-saudaraku Keluarga Besar MA Al Mizan Banten
iii
6. Penyemangat hidupku Reza Ara, yang selama ini menyemangati jalannya
penulisan skripsi ini yang tak kenal lelah untuk terus memberi dukungan penuh
kepada penulis.
7. Keluarga Kuliah Kerja Nyata (KKN) Rawa Kalong yang selalu memberikan
semangat dan hiburan kepada penulis.
8. Teman-teman Program Studi Peradilan Agama Angkatan 2007 yang telah
memberikan masukan, saran, motifasi dan menghibur kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak sampai sempurna. Oleh karena
itu, saran dan kritik, penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Mudah-
mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan setiap pembaca
pada umumnya serta menjadi amal baik di sisi Allah SWT. Semoga semua bantuan,
doa, motivasi yang telah diberikan kepada penulis dicatat sebagai amal baik di sisi
Allah SWT.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 23 Juli 2011
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ................................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................................. 7
D. Review Studi ......................................................................................................... 8
E. Metode Penelitian ................................................................................................. 10
F. Sistematika Penulisan ........................................................................................... 13
BAB II EFEKTIVITAS HUKUM DAN FUNGSI HUKUM
A. Pengertian dan Tolak Ukur Efektivitas ................................................................. 14
B. Hukum sebagai Sarana Memperlancar Interaksi Sosial........................................ 23
C. Rang Lingkup Perwalian....................................................................................... 28
BAB III POTRET PANTI ASUHAN ISLAMIC VILLAGE KARAWACI TANGERANG
A. Sejarah Berdirinya Panti Asuhan .......................................................................... 39
B. Visi, Misi dan Struktur Organisasi........................................................................ 41
C. Tugas dan Wewenang ........................................................................................... 42
BAB IV PEMELIHARAAN HARTA BENDA ANAK ASUH DALAM KONTEKS
PERWALIAN
A. Hak dan Kewajiban Panti Asuhan terhadap Anak Asuh ...................................... 46
v
B. Efektivitas Pasal 5 ayat (4) Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
dalam Mendaftarkan Harta Benda Anak Asuh ..................................................... 48
C. Analisis Penulis ..................................................................................................... 56
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 59
B. Saran-saran ........................................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 62
LAMPIRAN -LAMPIRAN
1. Surat Pernyataan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi ........................... 65
2. Surat Observasi Permohonan Data dan Wawancara ....................................... 66
3. Surat Keterangan Observasi ............................................................................... 67
4. Pedoman Wawancara .......................................................................................... 68
5. Wawancara ........................................................................................................... 69
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah salah satu
produk perundang-undangan yang secara khusus mengakomodasi kepentingan
umat Islam. Undang-undang ini secara implisit mewajibkan masyarakat yang
beragama Islam untuk menggunakan undang-undang ini sebagai dasar praktik
perkawinan. Banyak hal yang diatur di dalam Undang-undang ini, dari mulai
syarat-syarat perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, hingga pengaturan
mengenai perwalian (perwalian anak).1
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Allah SWT, yang senantiasa
harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak
sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian
dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-hak anak. Dari sisi
kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan
penerus generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas
1 Abdul, Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata dilingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2005), h. 423.
2
perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan
kebebasan.2
Sejak lahir anak diperkenalkan dengan pranata, aturan, norma dan nilai-
nilai budaya yang berlaku melalui pembinaan yang diberikan oleh orang tua
dalam keluarga. Proses sosoalisasi pertama kali terjadi dalam lingkungan
keluarga melalui pembinaan anak yang diberikan oleh orang tuanya. Di sini
pembinaan anak sebagai bagian dari proses sosialisasi yang paling penting dan
mendasar karena fungsi utama pembinaan anak adalah mempersiapkan anak
menjadi warga masyarakat. Karena tuntutan dan kedudukan yang sama sebagai
warga negara maka anak perlu mendapatkan perhatian secara khusus dengan
pembinaan sikap dan perilaku sosial anak, dengan demikian untuk terbentuknya
pendewasaan seseorang anak dibutuhkan interaksi sosial
Jelas terlihat bagaimana kaitan antara sikap dan perilaku seseorang.
Perilaku seseorang akan diwarnai atau dilatar belakangi dengan sikap yang ada
pada orang yang bersangkutan yaitu antara sikap dan perilaku saling
berinteraksi, saling mempengaruhi satu sama lain. Pembinaan anak pada
umumnya dilakukan dalam keluarga, oleh karena itu keutuhan keluarga sangat
diperlukan bagi anak. Keluarga merupakan lembaga yang pertama dan utama
dalam perkembangan seorang anak. Pendidikan dalam keluarga memberikan
keyakinan agama, nilai budaya yang mencakup nilai moral dan aturan-aturan
2 Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), h. 29.
3
pergaulan serta pandangan keterampilan dan sikap hidup yang mendukung
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kepada anggota keluarga
yang bersangkutan.
Dalam keluarga anak di wariskan norma-norma atau aturan-aturan serta
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Keutuhan keluarga sangat di perlukan
dan penting dalam pendewasaan anak, di dalam dirinya bercampur sifat-sifat
yang diturunkan dari ayah-ibu, kakek-nenek, termasuk buyut-buyut. Sang anak
adalah manusia yang berada dalam menumbuh kembangkan diri menjadi
mandiri.3
Mandiri sebagai manusia dan warga negara sebagai satu totalitas yang
tidak dapat dipisahkan. Menjadi mandiri sebagai manusia dan warga negara
mempunyai makna bahwa ia mampu bertanggung jawab penuh atas keberadaan
jatidiri sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT yang bersifat
individualis sekaligus bersifat sosialis di tengah-tengah kehidupan masyarakat.4
Secara kodrati proses menjadi mandirinya sang anak, selamanya
memerlukan bantuan orang dewasa, yaitu manusia yang berada dalam periode
telah mampu menjadikan dirinya mandiri sesuai dengan nilai-nilai luhur manusia
yang universal dan nilai-nilai luhur budaya bangsanya. Dewasa ini sesuai dengan
dinamika kehidupan modern manusia, pertumbuhan dan perkembangan fisik dan
3 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hopee, 1999), h.
415.
4 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), h. 204.
4
psikis sang anak, usia anak cenderung masih sepenuhnya berada dalam payung
perlindungan ibu dan ayah dalam lingkungan kehidupan keluarga. Kehadiran
orang tua memungkinkan adanya rasa kebersamaan sehingga memudahkan
orang tua mewariskan nilai-nilai moral yang dipatuhi dan ditaati dalam
berperilaku. Keadaan tersebut di atas akan berbeda pada mereka (anak) yang
tidak mempunyai keluarga secara utuh. Maka salah satu cara yang dapat
dilakukan oleh anak-anak yang telah kehilangan salah satu atau kedua orang
tuanya dimasukkan ke dalam suatu lembaga sosial yaitu Panti Asuhan. Panti
Asuhan membantu meningkatkan kesejahteraan anak dengan cara membina,
mendidik, membimbing, mengarahkan, memberikan kasih sayang serta
keterampilan-keterampilan yang diberikan oleh orang tua dalam lingkungan
keluarga. Anak-anak yang berada dalam Panti Asuhan juga mempunyai
persamaan juga mempunyai perbedaan.5
Anak merupakan salah satu aset keluarga sebagai penerus bagi tiap-tiap
keluarga atau keturunannya. Panti Asuhan adalah salah satu wadah bagi anak
yatim piatu meneruskan kehidupannya dengan keluarga baru, oleh karena itu
Panti asuhan memiliki tanggung jawab yang besar dan penuh sebagai wali bagi
anak asuhnya (yatim atau piatu).
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan BAB XI
tentang Perwalian dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
5 Satria Effendi, “Makna Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum Keluarga
Islam”, (Jakarta: Al-Hikmah dan DITBINBAPERA ISLAM No. 42 Tahun 1999).
5
Anak pada BAB Perwalian menjelaskan tatacara dan wewenang bagi para wali
untuk melaksanakan kewajibannya sebagai wali. Di dalam Undang-undang No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 51 ayat (4) menjelaskan bahwasanya
setiap wali yang bertanggung jawab atas perwalian anak asuhnya wajib membuat
daftar harta benda anak yang berada dalam kekuasaanya pada waktu memulai
jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda si anak.
Dalam penjelasan di atas tertulis bahwasannya wali bertanggung jawab
atas semua harta anak asuhnya. Jelas bahwasnnya wali wajib menulis semua
harta si anak. Panti asuhan merupakan salah satu Badan Sosial yang di berikan
mandat oleh negara untuk mengasuh anak asuhannya dengan baik dan benar
sesuai dengan apa yang telah dijelaskan dalam pasal dan ayat tersebut, agar
dalam penerapannya pun seimbang serta sepadan atas apa yang telah ditentukan
secara tertulis.
Pada prinsipnya Panti Asuhan merupakan salah satu badan hukum yang
dapat memberikan bimbingan serta arahan bagi anak asuhnya (yatim atau piatu),
yang mana secara otomatis harus mengikuti atau melaksanakan dengan taat
segala atauran-aturan yang telah di tetapkan dalam Undang-undang sebagai wali
bagi anak-anak asuhnya. Akan tetapi, setiap panti asuhan memiliki sistem dan
penerapan yang berbeda-beda untuk melaksanakan kewajiban sebagai wali bagi
anak-anak asuhnya.6
6 Burhanudin Salam, Etika Sosial ‘Asas Moral dalam Kehidupan Manusia’, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1997), h. 114.
6
Berdasarkan pemaparan diatas, penulis tertarik untuk mengetahui lebih
dalam tentang seberapa jauh penerapan sistem perwalian anak asuh (yatim atau
piatu) di linkungan Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang, oleh
sebab itu dalam penulisan skripsi ini penulis memilih judul “PENCATATAN
DAFTAR HARTA BENDA ANAK ASUH MENURUT HUKUM ISLAM
DAN UNDANG-UNDANG”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Adapun dalam penelitian skripsi ini agar tidak meluas dan mudah
dipahami maka penulis membatasinya yaitu pada pencatatan daftar harta
benda anak asuh menurut Hukum Islam dan Undang-undang, yang di
maksud dengan Undang-undang di sini adalah Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan di dukung dengan Undang-undang
No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan dilengkapi dengan
Kompolasi Hukum Islam (KHI).
2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam skrisip ini adalah berdasarkan
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-udang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan BAB Perwalian Pasal 51 ayat (4) tentang Daftar Harta Benda
Anak Asuh, bahwasanya setiap wali wajib membuat daftar harta benda
anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatanya
dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak. Namun, pada
7
prakteknya yang dilakukan di Panti Asuhan Islamic Village Karawaci
Tangerang tidak sesuai dengan Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan BAB Perwalian pasal 51 ayat (4) tentang daftar Harta Benda
Anak Asuh.
Rumusan masalah di atas penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut:
1. Apakah pasal 51 ayat (4) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, telah berjalan dengan maksimal?
2. Apa alasan Panti Asuhan Islamic Village Karwaci Tangerang untuk
tidak mencatat atau mendaftarkan harta benda anak asuh?
3. Apakah hak dan kewajiban bagi anak asuh Panti Asuhan Islamic
Village Karawaci Tangerang telah terpenuhi secara maksimal ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
1. Sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah
pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Untuk mengetahui efektivitas Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan pasal 51 ayat (4) Undang-undang No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan dalam mendaftarkan harta benda anak asuh.
3. Untuk mengetahui alasan apa Panti Asuhan Islamic Village Karwaci
Tangerang tidak mendaftrakan harta benda anak asuh.
8
4. Untuk mengetahui apakah hak dan kewajiban anak asuh sudah
terpenuhi atau belum.
2. Manfaat
1. Secara akademik, sebagai pengembangan ilmu pengetahuan bidang
Ahwal As-Syakhsiyyah.
2. Dapat memberikan wawasan kepada penulis tentang peran panti
asuhan dalam mendaftarkan harta benda anak asuh menurut Undang-
undang.
3. Sebagai salah satu refrensi bagi penelitian yang berkaitan dengan
pencatatan daftar harta benda anak asuh menurut Hukum Islam dan
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
4. Memberiakan masukan positif dan saran kepada Panti Asuhan
khususnya petugas agar lebih optimal dalam melaksanakan tugasnya
sebagai pengasuh.
5. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pencatatan daftar
harta benda anak asuh menurut Hukum Islam dan Undang-undang No.
1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
D. Review Studi
1. Skripsi tentang “Peranan Komisi Perlindungan Anak terhadap
Perlindungan Hak Asuh Anak Akibat Perceraian” UIN 2008 oleh
Trisna Laila Yunita. Peneliti ini berpendapat bahwa peranan komisi
9
perlindungan anak terhadap hak asuh anak akibat perceraian masih kurang
maksimal, serta upaya-upaya komisi perlindungan anak dalam pemenuhan
hak-hak anak akibat perceaian banyak anak yang menjadi rebutan kedua
orang tua, oleh karena itu penulis lebih menekankan kepada kinerjanya
agar lebih maksimal.
2. Skripsi tentang “Pengaruh Panti Asuhan di Indonesia” UIN 2006, oleh
Nur Laila. Peneliti ini berpendapat bahwa panti asuhan di Indonesia masih
kurang dalam mendidik anak-anak yang terlantar serta kurangnya perhatian
dari pemerintah terhadap panti asuhan-panti asuhan di Indonesia dan masih
banyak persoalan yang belum terjawab dalam penelitian ini, oleh karena itu
penulis lebih menekankan kepada kinerjanya agar lebih optimal serta
membuka kesadaran pemerintah terhadap pentingnya panti asuhan.
3. Skripsi tentang “Aspek Hukum Yuridis terhadap Perwalian dalam
Lingkungan Yayasan” UIN 2008 oleh Ahmad Maulana. Peneliti ini
berpendapat bahwa aspek hukum yuridis terhadap perwalian di lingkungan
yayasan masih kurang, karena yayasan tidak memakai hukum sebagi
landasan berdirinya, mereka membuat hukum sendiri. Judul skripsi di atas
berbeda dengan yang penulis angkat, namun maksudnya hamper sama
yakni untuk lebih membuka kesadaran hukum Yayasan atau Panti Asuhan
agar lebih sadar hukum dan taat huku, karena kita hidup di negara hukum.
E. Metode Penelitian
10
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian yuridis sosiologis.9
Yakni penelitian tentang pelaksanaan berlakunya hukum positif yaitu
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan terhadap peran pasal 51 ayat (4) tentang Daftar Harta Benda
Anak Asuh di Panti Asuhan Islamic Village Krawaci Tangerang karena
masih kurang maksimal.
2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan pendekatan kualitatif dengan
memakai bentuk studi deskriptif biasa. Maksudnya adalah dalam penelitian
deskriptif data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka melainkan
data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen
pribadi, catatan memo dan catatan dokumen resmi lainnya.
Tujuan dalam penelitian deskriptif kualitatif yaitu menggambarkan
realitas empiris sesuai dengan fenomena yang ada secara mendalam, rinci
dan tuntas.7
Oleh karena itu, bentuk penelitian yang dilakukan adalah studi biasa,
maksudnya yaitu penelitian tentang subyek penyuluhan yang berkenaan
dengan fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas dan subyek
9 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif , (Malang: 2007), h. 40.
7 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), Cet Ke-
4, h. 8
11
penelitian dapat saja seperti individu, kelompok, lembaga maupun
masyarakat.
3. Obyek Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi kantor di Panti
Asuhan Islamic Village Krawaci Tangerang. Adapun pemilihan lokasi
penelitian ini adalah karena masih kurangnya kesadaran hukum dari Panti
suhan dan kinerja sistemnya masih kurang maksimal.
4. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dimulai dari menghimpun data penelitian dengan
menggunakan metode sebagai berikut:
a. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data yang dibutuhkan untuk
menjawab semua permasalahan penelitian.10
b. Observasi yaitu mengumpulkan data dengan melihat kinerja petugas
panti asuhan dalm mendaftarkan harta benda anak asuh.11
c. Metode dokumentasi dilakukan untuk pengumpulan data dengan cara
mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan,
transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger,
agenda dan sebagainya.
10
Djawahir, Hejazziey (ed.), Buku Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syariah dan
Hukum, 2007), Cet. Ke-1, h. 25.
11 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif , (Bandung: 2006), h. 145.
12
5. Analisa data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan deskriptif
kualitatif. Adapun pengertian deskriptif kualitatif adalah membicarakan
beberapa kemungkinan untuk memecahkan masalah yang aktual dengan
jalan mengumpulkan data, menyusun, menganalisa dan
menginterpretasikan.
Metode deskriptif kualitatif merupakan metode yang dapat
dipertanggung jawabkan, sebab data-data yang telah dikumpulkan disusun
secara sitematis, kemudian dianalisa secara mendetail yang akhirnya
sampai interpretasinya kemudian dapat memberikan jawaban terhadap
masalah yang dirumuskan dalam penelitian.12
Analisa dilaksanakan dengan menghubungkan ketentuan normatif
(Das Solen) dengan implementasinya terhadap realitas kehidupan (Das
Sein), sehingga akan muncul kesadaran hukum terhadap masyarakat.
Dengan demikian, satuan analisis dalam penelitian ini peristiwa pencatatn
daftar harta benda anak asuh tanah, yang mengharuskan adanya pencatatan
daftar harata benda anak asuh dilakukan secara tertulis, tidak cukup hanya
dengan lisan saja, dengan demikian kesadaran hukum Pengurus Panti
Asuhan untuk melaksanakan hukum Islam dan Undang-undang akan
meningkat.
12
J. Moleong Lexy, Metodelogi Penelitian Kualitatif , (Bandung: Remaja Rosdakarya), h. 103.
13
Adapun tehnik penulisan skripsi ini berpedoman pada penulisan
Skripsi, Tesis dan Disertasi yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini penulis membagi ke dalam lima bab
dengan sistematika sebagai berikut
BAB Kesatu : Tentang pendahuluan, meliputi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, review
studi, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB Kedua : Membahas tentang efektivitas hukum dan fungsi
hukum yang meliputi, pengertian dan tolak ukur efektivitas, rung lingkup
perwalian.
BAB Ketiga : Membahas Potret Panti Asuhan Islamic Village
Karawaci Tangerang yang meliputi, Sejarah Berdirinya Panti Asuhan, visi,
misi, dan struktur organisasi, tugas dan wewenang.
BAB Keempat : Membahas tentang pemeliharaan harta benda anak
asuh dalam konteks perwalian yang meliputi, hak dan kewajiban Panti Asuhan
terhadap anak asuh, efektivitas pasal 51 ayat (4) Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang perkawinan dalam mendaftarkan harta benda anak asuh, serta
analisis penulis.
BAB Kelima : Penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
14
BAB II
EFEKTIVITAS HUKUM DAN FUNGSI HUKUM
A. Pengertian Efektivitas dan Tolak Ukur Efektivitas
Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian di
capainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah di tetapkan. Efektivitas
merupakam pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan yang
tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan cara dan menentukan pilihan dari
beberapa pilihan lainnya. Efektivitas bisa juga diartikan sebagai pengukuran
keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang telah di tentukan. Sebagai
contoh, jika sebuah tugas dapat selesai dengan pemilihan cara-cara yang sudah di
tentukan, maka cara tersebut adalah benar atau efektif.1
Efektivitas erat kaitannya dengan efisien, yakni mengerjakan sesuatu
dengan benar dan baik (doing the right things). Efisiensi adalah penggunaan
sumber daya secara minimum guna pencapaian hasil yang optimum, yang
dimaksud di sini adalah output dengan input berjalan seimbang.2 Sedangkan
efektivitas adalah melakukan tugas yang benar sedangkan efisiensi adalah
melakukan tugas dengan benar. Penyelesaian yang efektif belum tentu efisien
begitu juga sebaliknya. Yang efektif bisa saja membutuhkan sumber daya yang
1 T Hani Handoko, Manajement, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 100.
2 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006), h. 76.
15
sangat besar, sedangkan yang efisien memakan waktu yang lama, sehingga
sebisa mungkin efektivitas dan efisiensi bisa mencapai tingkat optimum untuk
keduanya.3
Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan
dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Hal itu dapat di lihat dari berbagai
sudut pandang (view point) dan dapat dinilai dengan berbagai cara dan
mempunyai kaitan yang erat dengan efisiensi. Seperti yang dikemukakan oleh
Arthur G. Gedeian dkk dalam bukunya Organization Theory and Design yang
mendefinisikan efektivitas, sebagai berikut:
“That is, the greater the extent it which an organization’s goals are met or
surpassed, the greater its effectiveness” (Semakin besar pencapaian tujuan-
tujuan organisasi semakin besar efektivitas)4
Berdasarkan pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa apabila
pencapaian tujuan-tujuan organisasi semakin besar, maka semakin besar pula
efektivitasnya.
Melihat pengertian efektivitas di atas, maka untuk mencapai efektivitas
rencana harus memenuhi syarat-syarat atau ukuran sebagai berikut:
a. Kegunaan.
Agar berguna dalam pelaksanaan fungsi-fungsinya yang lain, suatu
rencana harus fleksibel, stabil, berkesinambungan dan sederhana.
3 Ilo, Efektifitas Hukum, (Jakarta: Artikel, 2001), h. 8.
4 G. Gedeian dkk, Organization Theory and Design. h. 61.
16
b. Ketepatan dan Objektifitas.
Semua rencana harus di evaluasi untuk mengetahui apakah jelas, ringkas,
nyata dan akurat. Berbagai keputusan dan kegiatan manajemen lainnya
hanya efektif bila didasarkan atas informasi yang tepat.
c. Ruang Lingkup.
Arti dari ruang lingkup disini adalah perlu memperhatikan prinsip-prinsip
kelengkapan (comprehensiveness), kepaduan (unity), dan konsistensi.
d. Efektivitas Biaya.
Dalam hal ini efektivitas biaya menyangkut waktu, usaha dan aliran
emosional.
e. Akuntabilitas.
Ada dua aspek akuntabilitas: pertama, tanggung jawab atas pelaksanaan,
kedua, tanggung jawab atas implementasi rencana. Karena suatu
perencanaan harus mencangkup semuanya.
f. Ketepatan Waktu Perencanaan.
Perubahan-perubahan yang terjadi sangat cepat dan akan dapat
menyebabkan rencana tidak tepat atau sesuai untuk berbagai perbedaan
waktu yang ada. 5
Adapula yang menghambat efektivitas, yaitu ada 7 (tujuh) hal yang
berpotensi menghambat efektivitas kerja, diantaranya: 6
5 T. Hani Handoko, Manajement, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2000), h. 103-105.
17
a. Tidak Memiliki Tujuan yang Jelas dan Target.
Tanpa tujuan yang jelas dan target terukur, semua yang kita lakukan
menjadi tidak fokus dan menjadikan waktu dan energy menjadi tidak
efektif.
b. Tidak Memiliki Rencana Detil.
Setelah memiliki tujuan jelas serta target terukur kitapun di tuntut
memiliki rencana detil. Rencana detil seperti peta yang memandu setiap
langkah sehingga waktu yang kita miliki benar-benar efektif.
c. Tidak Teratur dalam Hidup.
Ketidakteraturan ini biasanya akan mendatangkan banyak masalah.
d. Komunikasi yang Tidak Baik.
Sekitar 70% aktifitas hidup kita di isi dengan komunikasi, maka siapapun
yang ingin efektif dalam bekerja harus memiliki kemampuan komunikasi
yang baik. Banyak masalah yang lahir dari misscomunication. Masalah
spele saja bisa menghancurkan rumah tangga bila suami dan istri tidak
bisa berkomunikasi dengan baik.
e. Konflik yang Tidak Perlu.
Mempermasalahkan hal-hal yang kecil dan tidak prinsipil, bila sudah
terjadi konflik maka energi kita tekuras, sehinggaa tugas utama kita
terbengkalai. Saat suami istri terlibat konflik misalnya, maka fungsi-
fungsi rumah tangga akan terbengkalai, anak kehilangan keberkahan
6 Aa Gym, Efektifitas Amal dan Ibadah, (Bandung: Artikel, 2001), h. 3.
18
hidup dan kasih sayang untuk anak akan hilang, karena itu apa yang kita
kedepankan bukan ego dan nafsu, namun semangat persaudaraan,
semangat solusi dan semangat kesuksesan bersama.
f. Besikap Emosional.
Selain mengganggu suasana, sikap emosional akan menghambat
efektivitas kerja. Orang emosional cenderung membesar-besarkan
masalah, pendendam, dan menuntut. Jika sudah demikian waktu-waktu
produktif kita banyak yang terbuang percuma, karena itu mustahil sebuah
pekerjaan akan berkualitas jika dilakukan dengan keadaan emosi dan
berakibat menunda-nunda pekerjaan.
Setiap waktu memiliki haknya sendiri-sendiri, saat kita menunda sebuah
pekerjaan maka pada saat bersamaan kita sudah mengambil hak
sepenggalan waktu dan ini awal menjadi datangnya masalah setiap detik
yang kita lalui. Maka pilihlah keputusan terbaik, salah satunya jangan
menunda-nunda pekerjaan.
Untuk membahas tidak efektifnya hukum, ada baiknya juga
memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas suatu penerapan
hukum. Setiap proses penegakan hukum, ada faktor-faktor yang mempengaruhi
dan mempunyai arti sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi
faktor tersebut.7
7 Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h. 40.
19
Kemudian Menurut Soedjono Soekanto dalam bukunya tentang Pokok-
pokok Sosiologi Hukum ia berpendapat bahwasannya faktor tersebut ada 5 (
lima) hal, yaitu:
1) Hukum itu Sendiri.
Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan
oleh konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak,
sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah
ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang
tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat
dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan
dengan hukum.8
Maka pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup
low enforcement saja, namun juga peace maintenance, karena
penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian
antara nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk
mencapai kedamaian. Dengan demikian, tidak berarti setiap
permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan dengan hukum yang
tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang
dapat mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi
8 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006), h. 80.
20
setiap warga masyarakat yang diatur dan serasi antara kebutuhan untuk
menerapkan peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya.9
Pada hakikatnya, hukum itu mempunyai unsur-unsur antara lain hukum
perundang-undangan, hukum traktat, hukum yuridis, hukum adat, dan
hukum ilmuwan atau doktrin.
Secara ideal unsur-unsur itu harus harmonis, artinya tidak saling
bertentangan baik secara vertikal maupun secara horizontal antara
perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, bahasa yang
dipergunakan harus jelas, sederhana, dan tepat karena isinya merupakan
pesan kepada warga masyarakat yang terkena perundang-undangan itu.10
2) Penegak Hukum.
Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak
hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi
kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu
kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau
kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J. E.Sahetapy
yang mengatakan:
“Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum
bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan.
Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam
kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum
9 Ibid., h. 80.
10
Ibid., h. 81.
21
(inklusif manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus
terasa dan terlihat, harus di aktualisasikan”.11
Pada konteks di atas yang menyangkut kepribadian dan mentalitas
penegak hukum selama ini ada kecenderungan yang kuat di kalangan
masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak
hukum, artinya hukum di identikkan dengan tingkah laku nyata petugas
atau penegak hukum.12
3) Sarana dan Fasilitas.
Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan
perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan.
Pendidikan yang di terima oleh Polisi dewasa ini cenderung praktis
konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan di
dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan
komputer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan
wewenang kepada Jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi
dianggap belum mampu dan belum siap.13
Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi
begitu luas dan banyak. Masalah perangkat keras dalam hal ini adalah
sarana fisik yang berfungsi sebagai faktor pendukung. Sebab apabila
11
J. E.Sahetapy.
12
Soerdjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006), h. 81.
13
Ibid., h. 81.
22
sarana fisik seperti kertas tidak ada, karbon kurang cukup dan mesin tik
yang kurang baik, bagaimana petugas dapat membuat berita acara
mengenai suatu kejahatan.
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa bagaimana Polisi dapat bekerja
dengan baik, apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat
komunikasi yang proporsional. Sarana atau fasilitas mempunyai peranan
yang sangat penting di dalam penegakan hukum, tanpa adanya sarana
atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan
peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual.14
4) Masyarakat.
Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai
kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok
sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul
adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi,
sedang, atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat
terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum
yangber sangkutan. Sikap masyarakat yang kurang menyadari tugas
polisi, tidak mendukung, dan malahan kebanyakan bersikap apatis serta
menganggap tugas penegakan hukum semata-mata urusan polisi, serta
14
Ibid., h. 75.
23
keengganan terlibat sebagai saksi dan sebagainya. Hal ini menjadi salah
satu faktor penghambat dalam penegakan hukum.15
5) Kebudayaan.
Dalam kebudayaan sehari-hari orang begitu sering membicarakan soal
kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai
fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur
agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat,
dan menentukan sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain.
Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang
perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus
dilakukan, dan yang dilarang.16
Kelima faktor yang dikemukakan Soerjono Soekanto di atas, tidak
disebutkan faktor mana yang sangat dominan berpengaruh karena semua faktor
tersebut harus mendukung untuk membentuk efektivitas hukum. Jika sistematika
dari kelima faktor ini bisa optimal, setidaknya hukum di nilai dapat efektif.17
B. Hukum sebagai Sarana Memperlancar Interaksi Sosial
Tentang fungsi hukum ada beberpa kecenderungan untuk menganggap
hukum sebagai salah satu sarana pengendalian sosial (social control).
Pengedalian sosial mencangkup semua kekuatan-kekuatan yang menciptakan
15
Ibid., h. 81.
16
Ibid., h. 82.
17
Ibid., h. 76.
24
serta memelihara ikatan sosial. Teori Impertif tentang fungsi hukum banyak
menghubungkannya dengan hukum pidana, dalam hal ini ada G. Sawer
mengatakan dalam bukunya:
„it is obedience that articulates the solid bony framework of social order‟, and
will speaking often of society or the state as imposing law, he seemed also to
accept the necessity for a wise minority or organization of distinct elements of
the population to exert social control through law‟.18
Hukum adalah suatu sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat
dari ancaman-ancaman manapun, maupun perbuatan-perbuatan yang
membahayakan diri, serta harta bendanya. Selain itu, fungsi hukum juga
merupakan sarana pegendalian sosial, akan tetapi dilain pihak hukum juga
berfungsi sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial (law as a
facilitation of human interaction).19
Untuk mengetahui mana yang lebih penting atau utama antara keduanya
tergantung pada bidang hukum yang dipersoalkan dan terkadang dua fungsi
tersebut tadi berkaitan dengan eratnya, sehingga sulit untuk dibedakan secara
tegas. Akan tetapi, kurang tepat jika mengatakan kedua fungsi tersebut hanya
semata-mata untuk mengatasi masalah saja, karena fungsi yang ada tidak saja
untuk mengatasi hal tersebut melainkan jika kegunaannya jauh sebelum adanya
timbul masalah itu lebih baik.
18
Soerdjono Soekanto, Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: CV Rajawali,
1982), h.58.
19 Ibid, h.59.
25
Ada beberapa contoh dalam kedua fungsi tersebut, salah satunya yaitu:
dalam norma-norma yang mengatur perihal perbuatan penganiayaan yang
merupakan suatu kejahatan yang mana telah diatur dalam Bab XX tentang
Penganiayaan KUHP, pasal 351 sampai dengan pasal 358.20
Norma-norma hukum tersebut jelas merupakan sarana pemaksa yang
berfungsi untuk melindungi warga masyarakat terhadap perbuatan yang
mengakibatkan terjadinya penderitaan pada pihak yang lain. Selain itu ada
contoh lain dari hukum perdata, khususnya hukum perjanjian misalya dalam
buku ke-III B.W. atau KUHPerdata termasuk salah satu norma yang dapat
mengatur untuk memperlancar atau mempermudah berprosesnya interaksi
sosial, yang mana dalam buku tersebut banyak sekali aturan-aturan yang
mengatur tata cara dalam berbagai macam hal tentang perjanjian yang dapat
menghidupkan interaksi sosial antara orang yang satu dengan orang banyak, hak-
hak dan kewajiban-kewajiban pihak-pikak yang membuat perjanjian, tercantum
dalam dokumen yang telah dibuat bersama dan disepakati dan semua persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
telah membuatnya.21
Terlihat bahwasannya unsur paksaan dalam hukum ada, oleh karea itu
jika ada salah satu dari pihak tidak melaksanakan perjanjian tersebut maka dia
harus mengganti kerugian. Jadi ada semacam „kontrol sosial ata social control’’
20
http://welcome.to/RGS_Mitra ; [email protected] ; [email protected]
21
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermesa, 1996), h. 27
26
bagi mereka yang melanggar perjanjian tersebut. Dengan demikian terlihat
bahwasanya kedua fungsi hukum yang di asumsikan dapat di ketemukan dalam
hukum perjanjian di atas.
Selain itu juga, ada norma-norma hukum yang secara implisit maupun
eksplisit yang mana menyangkut dengan interaksi sosial, yaitu seperti peraturan
lalu lintas dan angkutan jalan raya yang mana salah satu dari peraturan ini adalah
berkewajiban untuk berjalan sebelah kiri di Indonesia. Artinya, apabila ada
kendaraan yang datang dari arah yang berlawanan, maka kendaraan yang
ditumpangi harus mengambil jalur kiri,22 jelas bahwa peraturan ini berfungsi
untuk mempermudah proses interaksi. Hal ini terwujud dengan menciptakan
harapan timbal balik (shared reciprocal expectations) pada pengendara,
sehingga mereka dapat menyelaraskan dengan perilaku pihak yang lain. Dalam
hal ini fungsi peraturan tersebut adalah untuk meringankan warga masyarakat
dari beban-beban dan melepaskannya dari resiko yang dihadapi mereka dalam
situasi dan kondisi tertentu.
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi mempermudahnya
terjadinya interaksi sosial atau perubahan social serta faktor-faktor yang
menghambat interaksi tersebut. Hal-hal yang mempermudah atau memperlancar
terjadinya perubahan sosial antara lain adalah apabila suatu masyarakat sering
mengadakan kontak dengan masyarakat-masyarakat lain, sistim lapisan sosial
22
Soerdjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta: CV Rajawali,
1982), h.60.
27
yang terbuka, penduduk yang heterogen maupun ketidak puasan masyarakat
terhadap kehidupan tertentu dan lain sebagainya. Sedangan faktor-faktor yang
memperlambat terjadinya perubahan sosial antara lain sikap masyarakat yang
mengagung-agungkan masa lampau (tradisionalisme), adanya kepentingan-
kepentingan yang tertanam dengan kuat (vested-interest), prasangka terhadap
hal-hal yang baru atau asing dan sebagainya.23
Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor:24
1) Imitasi.
Salah satu segi positifnya adalah bahwa imitasi dapat mendorong
seseorang untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku.
2) Sugesti.
Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan
atau suatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh
pihak lain.
3) Identifikasi.
Identifikasi sebenarnya merupakan kecenderungan atau keinginan dalam
diri seseorang imitasi, karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas
dasar proses ini.
4) Proses simpati.
23
Hans Kelsen, Pengantar Teori Hukum, (Bandung: Nusantara Media, 2009), h. 56.
24
http://www.gogle.co.id//proses dan interaksi sosial//19052011.
28
Sebenarnya merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik
pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang
sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan
untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya.
Selain ada beberapa proses interaksi yang telah di sebutkan di atas, ada
juga syarat-syarat terjadinya interaksi sosial:25
1) Adanya kontak sosial (social contact), yang dapat berlangsung dalam tiga
bentuk, yaitu antarindividu, antarindividu dengan kelompok,
antarkelompok. Selain itu, suatu kontak dapat pula bersifat langsung
maupun tidak langsung.
2) Adanya Komunikasi, yaitu seseorang memberi arti pada perilaku orang
lain, perasaan-perassaan apa yang ingin disampaikan orang tersebut.
Orang yang bersangkutan kemudian memberi reaksi terhadap perasaan
yang ingin disampaikan oleh orang tersebut
Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, karena
tanpa interkasi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama.
C. Ruang Lingkup Perwalian
Istilah perwalian berasal dari bahasa Arab dari kata dasar waliya,
wilayah atau walayah. Kata wilayah atau walayah mempunyai makna etimologis
25
Soerdjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2006), h. 85.
29
lebih dari satu, diantaranya dengan makna, pertolongan, cinta, (mahabbah),
kekuasaan atau kemampuan (al-Sulthah) yang artinya kepemimpinan seseorang
terhadap sesuatu.26 Berdasarkan pengertian etimologis tersebut, maka dapat
difahami bahwasannya perwalian adalah suatu bentuk perlindungan dengan
otoritas penuh atas dasar tanggung jawab dan cinta kasih, untuk memberikan
pertolongan terhadap ketidak-mampuan seseorang dalam melakukan perbuatan-
perbuatan hukum, baik yang berhubungan dengan harta maupun dengan dirinya.
Dalam literatur-literatur Fiqih klasik dan kontemporer, kata al-wilayah
digunakan sebagai wewenang seseorang untuk mengelola harta dan mengayomi
seseorang yang belum cakap bertindak hukum. Dari kata inilah muncul istilah
wali bagi anak yatim, dan orang yang belum cakap bertindak hukum. Istilah al-
wilayah juga dapat berarti hak untuk menikahkan sorang wanita. Hak itu di
pegang oleh wali nikah.27
Mengasuh anak maksudnya mendidik dan memelihara anak, mengurus
makanan, minuman, pakaian dan kebersihannya, dalam periode umurnya yang
pertama.
Mengasuh anak itu adalah hak ibu, kalau tidak ada ibu maka di gantikan
oleh kaum wanita dari keluarga ibu, dan kalaupun mereka itu tidak ada maka
26
Abdurrahman Al-Nahlawi, “Ushul al-tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibiha fi al-Bait wa al-
Madrasah wa al-mujtama”. (Beirut: Dar al-fikr, 1983), Cet ke-2, h. 98.
27
Ahmad Kamil, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008 ), h.125.
30
digantikan oleh kaum wanita dari keluarga ayah, kemudian keluarga lain dari
pihak ibu, kalau tidak maka digantikan dari keluarga lain dari pihak ayah.28
Hak mengasuh itu di utamakan kepada kaum wanita dan dari keluarga
ibu, karena hal itulah yang wajar. Wanita lebih mampu dari laki-laki untuk
mengurus anak kecil dan memeliharanya dalam usia belum baligh itu, dan juga
lebih lemah lembut, lebih sabar, lebih tekun, dan lebih banyak waktunya. Dalam
masalah ini diterangkan dalam Hadits dari Abdullah bin „Amr, bahwasanya ada
sorang wanita pernah mendatangi Rasulullah SAW mengadukan masalahnya,
wanita itu berkata:
يا رسل ا هلل اى ابي : هلل بي عوز رضي ا هلل عوا اى اهزا ة قا لت اعي عبد
طلقي ا قاء حجزي ل حاء اى ابسد يي ل ثذا كاى بطي ل عاء
لا رسل اهلل صلي اهلل علي سلن ات احق ب هالن فقالياراداى يتزع م
29(را احود ابداد صحح الحكين)تكحي
Artinya: “Ya Rasulallah, anakku ini dahulu, akulah yang mengandungnya di
dalam rahim saya, kemudian saya yang memeliharanya dalam pangkuan saya
dan saya yang memberikan minum dan air susu saya, kemudian ayahnya
menceraikan saya, lalu bermaksud menarik anak ini dari saya!. Mendengar
pengaduan itu, Rasulallah SAW bersabda : “Engkau lebih berhak mengurus
anakmu itu, selama engkau belum menikah lagi dengan laki-laki lain”. (di
riwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dan mensohihkannya oleh Imam Hakim)
Al-Quran juga menjelaskan tentang dasar hukum atas pengasuhan dalam
Islam surat al-Baqarah ayat 233:
28
Sri Widoyati, Anak dan Wanita dalam Hukum, (Jakarta: LP3ES, 1983), h. 48.
29 Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, (Jakarta: Dar Al-Islamiyah, 2002), h. 423.
31
)223: 1 /البقزا ة) 30
Artinya: "Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah
memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang
tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang
ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena
anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah
dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan." (Q.S. Al-
Baqarah (1):223)
Dalam menetapkan hukum dan ketentuan mengenai perwalian, Islam
merujuk kepada firman Allah SWT mengenai pentingnya pemeliharaan terhadap
harta, terutama pemeliharaan terhadap harta anak yatim yang telah di tinggalkan
oleh orang tuannya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam al-Qur‟an surat
an-Nisa ayat 2:
30
Al-Qur‟an dan Terjemahanya., Depag RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: CV.
Kathoda, 2005).
32
) 31(2 : 4 /الساء
Artinya: "Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta
mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu
makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan
(menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar." (Q.S. An-Nisa (4): 2)
Ayat di atas menjadi suatu landasan dalam memelihara harta anak yatim
yang telah ditinggalkan orang orang tuanya atau ahli warisnya. Ayat tersebut
secara jelas menyatakan mengenai pemeliharaan dan perlindungan terhadap
harta sampai mereka telah cakap dalam pengelolaannya (dewasa), artinya jika
anak-anak yatim tersebut belum cakap hukum, maka pengelolaan harta tersebut
harus dijaga dan dipelihara oleh walinya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam
al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 6:
) 32(6 : 4 /الساء
Artinya: "Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara
harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu
makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu)
tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di
31
Ibid.
32
Ibid.
33
antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan
harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan
harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta
kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan
itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)."
(Q.S. an-Nisa (4): 6)
Selain adanya perintah untuk menjaga anak yatim tersebut, baik dalam
konteks penjagaan jiwa dan perkembangan mereka, juga penjagaan terhadap
harta mereka. Dan Allah sangat murka jika orang yang kemudian menjadi wali
tidak dapat menjaga dan memelihara harta tersebut. Hal ini sebagaimana firman
Allah SWT dalam al-Qur‟an surat an-Nisa ayat 10:
) 33(10 : 4 /الساء
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara
zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan
masuk ke dalam api yang menyala-nyala (Neraka)." (Q.S. an-Nisa (4): 10)
Selain Al-Qur‟an dan Hadis sebagai landasan ketentuan mengenai
perwalian. Dalam konteks sistem hukum Indonesia, landasan tersebut juga telah
diadopsi dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), landasan hukum terhadap
perwalian tersebut, diatur dalam BAB XV mengenai perwalian, pada pasal 107
ayat (1-4) dinyatakan bahwa: “(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum
berumur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan; (2)
Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan; (3) Bila wali
tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka
33
Ibid.
34
Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak
sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut, dan (4) Wali sedapat-dapatnya
diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikir
sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.”34
Dalam sistem hukum Indonesia, wali memiliki tanggung jawab yang
bertujuan untuk memelihara akan kesejahteraan dari pada yang di perwalikan,
termasuk dalam pemeliharaan harta benda yang di pertinggalkan. Hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 110 KHI, yaitu:35
(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah
perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan
bimbingan agama, pendidikan dan ketrampilan lainnya untuk masa depan
orang yang berada dibawah perwaliannya;
(2) Wali dilarang mengikat, membebani dan mengasingkan harta orang yang
berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut
menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau
merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari;
(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah
perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul akibat kesalahan dan
kelalainnya;
34
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007),
h, 139.
35
Ibid., h. 140.
35
(4) Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam pasal 51 ayat (4) UU
No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pertanggungjawaban wali tersebut ayat
(3) harus di buktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap tahun sekali.
Sementara dalam pasal 51 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyatakan
bahwa: (1) Wali wajib mengurus anak yang berada di bawah kekuasaannya
dan harta bendanya sebaik baiknya dengan menghormati agama kepercayaan
anak itu; (2) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada
dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua
peru bahan-perubahan harta benda anak tersebut; (3) Wali bertanggung
jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta
kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya; (4) Larangan Bagi
Wali.
Mengenai larangan bagi wali, telah diatur di dalam pasal 52 UU No.1
tahun 1974 menyatakan bahwa wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur
18 tahun atau belum melakukan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak
tersebut memaksa.36
Ketentuan tersebut di atas menjadi landasan hukum yang mengikat
terhadap kedudukan dan wewenangan seorang wali dalam menjaga dan atau
memelihara baik jiwa dan harta anak yatim.
36
Ibid.
36
Sebagaimana telah disebutkan di atas tentang landasan hukum menurut
KHI dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan pula
landasan hukum tentang perwalian dalam KUHPerdata dalam pasal 330
bahwasanya belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap
dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. 37
Secara umum dalam KUHPerdata terdapat beberapa asas mengenai
perwalian, yaitu:
1) Asas Tak Dapat Dibagi-bagi (Ondeelbaarheid). Pada tiap-tiap perwalian
hanya ada satu wali, hal ini tercantum dalam pasal 331 KUHPerdata.
Asas tak dapat dibagi-bagi ini mempunyai pengecualian dalam 2 hal,
yaitu:38
a) Dalam pasal 351 KUHPerdata disebutkan bahwa jika perwalian itu
dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama (Langs
tlevendeouder), maka kalau ia kawin lagi suaminya menjadi wali serta
atau (medevoogd).
b) Dalam pasal 361 KUHPerdata, dinyatakan bahwa jika sampai ditunjuk
pelaksanaan pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus barang-barang
minderjarige di luar Indonesia
2) Asas Persetujuan Dari Keluarga. Asas persetujuan keluarga merupakan
asas dimana keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Jika
37 Subekti dan Tjitrosudibio,Kitab Undang-undang HUkum Perdata, (Jakarta: PT Pradnya
Paramita, 1999), h. 90.
38
Ibid., h.91.
37
keluarga tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu,
sedang pihak keluarga kalau tidak datang sesudah diadakan panggilan
dapat dituntut berdasarkan pasal 524 KUHPerdata.
Dalam KUHPerdata, juga mengatur tentang perwalian bagi seorang
perempun. Dimana dalam pasal 332b (1) dikatakan mengenai wewenang wali:
“perempuan bersuami tidak boleh menerima perwalian tanpa bantuan dan izin
tertulis dari suaminya." Namun, jika suami tidak memberika izin, maka bantuan
dari pendamping (bijstand) itu dapat digantikan dengan kekuasaan dari hakim.
Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pasal 332b ayat 2 KUHPerdata: "Apabila
si suami telah memberikan bantuan atau izin atau apabila ia kawin dengan
perempuan itu setelah perwalian bermula, sepertipun apabila si perempuan tadi
menurut pasal 112 atau pasal 114 dengan kuasa dari hakim telah menerima
perwalian tersebut, maka si wali perempuan bersuami atau tidak bersuami,
berhak melakukan segala tindakan-tindakan perdata berkenaan dengan perwalian
itu tanpa pemberian kuasa atau bantuan ataupun juga dan atau tindakan-tindakan
itupun bertanggung jawab pula".39
Selain perwalian dalam bentuk perorangan, KUHPerdata juga mengatur
tentang perwalian yang dilakukan oleh badan hukum dalam pasal 355 ayat 2
KUHPerdata dinyatakan bahwa “badan hukum tidak dapat diangkat sebagai
39
Ibid., h. 93.
38
wali”. Tetapi berkaitan dengan hal tersebut, sebuah perwalian yang dilaksanakan
oleh badan hukum harus diperintahkan oleh Pengadilan.40
Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 365a (1) KUHPerdata
dinyatakan bahwa: "dalam hal sebuah badan hukum diserahi perwalian maka
panitera pengadilan yang menugaskan perwalian itu ia memberitahukan putusan
pengadilan itu kepada dewan perwalian dan kejaksaan." Akan tetapi jika
pengurus badan hukum tersebut tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
wali, maka badan tersebut dapat dicabut kewenangannya sebagai wali. Selain itu,
pasal 379 KUHPerdata mengatur tentang golongan orang yang tidak boleh
menjadi wali, yaitu:
1) Mereka yang sakit ingatan (krankzninngen).
2) Mereka yang belum dewasa (minderjarigen).
3) Mereka yang berada dibawah pengampuan.
4) Mereka yang telah dipecat atau dicabut (onzet) dari kekuasaan orang tua atau
perwalian atau penetapan pengadilan.
5) Para ketua, ketua pengganti, anggota, panitera, panitera pengganti,
bendahara, juru buku dan agen balai harta peninggalan, kecuali terhadap
anak- anak atau anak tiri mereka sendiri.41
40
Ibid., h. 103.
41
Ibid., h. 111.
39
BAB III
POTRET PANTI ASUHAN ISLAMIC VILLAGE
KARAWACI TANGERANG
A. Sejarah Singkat Berdirinya Panti Asuhan
Berawal dari rasa kepedulian dan semangat pendidikan yang tinggi
seorang tentara yang berasal dari Medan, Sumatera. Pada tahun 1972 KH. Junan
Helmi Nasution (alm) mendirikan sebuah Panti Asuhan Islamic Village yang
bertempat di Karawaci Tangerang, yang awalnya anak yang di asuhnya hanya
berjumlah 220 orang anak yatim atau piatu, dan kurang mampu yang berasal dari
18 Propinsi, yaitu: Aceh, Nusa Tenggara Barat (NTT), Padang dan lainnya.
Bantuan pendanaanya berasal dari kerabat terdekat pendiri Panti Asuhan
tersebut, sehingga saling bekerja sama dalam membantu anak yatim atau piatu
dan miskin.1
Seiring dengan berkembangnya zaman, KH. Junan Helmi Nasution (alm)
dengan semangat dan perjuangan yang berat dapat mendirikan Panti Asuhan
Islamic Village ini, selain membangun panti beliau juga membangun sekolah
untuk pendidikan anak yatim atau piatu dan miskin yang di asuhnya. Sampai saat
ini perkembangan sekolah kian maju yaitu dapat mendirikan Taman Kanak-
kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah
1 Wawancara pribadi dengan ibu Elismawati, SE. Wakil Ketua Panti Asuhan Islamic Village
Karawaci Tangerang. Pada Tanggal 20 Juni 2011.
40
Menengah Atas (SMA), Perguruan Tinggi, serta fasilitas umum yang lainnya
seperti Rumah Sakit.2
Pada tahun 1986 M, H. Junad Helmi Nasution wafat, sehinga para
donatur yang selalu memberikan sumbangan materil dan non materil pun
berkurang, sehingga para pengurus yang berkewajiban dan bertanggung jawab
atas Panti Asuhan tersebut mencari dana lain untuk terus menghidupi anak asuh
Panti Asuhan tersebut. Kemudian pada tahun 2000, Surat Keputusan (SK)
Menteri Agama, yang berisi bahwasannya seleksi masuk untuk para yatim/piatu
di batasi, tidak lagi di perbolehkan anak yatim atau piatu dan miskin yang masuk
berasal dari luar daerah. Karena disebabkan berkurangnya para donatur untuk
pembiayaan kebutuhan Panti Asuhan. 3
Saat ini, Panti Asuhan Islamic Village memiliki persyaratan untuk bisa
masuk sebagai anak asuh dan sistem ini berbeda dengan Panti Asuhan yang
lainnya. Dalam persyaratan uji masuk Panti Asuhan ini harus melalui ‘Tes IQ’ si
calon anak asuh tersebut, agar calon anak asuh tersebut benar-benar serius dalam
mengikuti peraturan serta pendidikan yang akan di tempuhya di Panti Asuhan.
Saat ini jumlah yatim atau piatu dan miskin mencapai 300 anak asuh yatim/
piatu, baik dari laki-laki maupun perempuan.4
Adapun pengelolaan organisasi Panti Asuhan Islamic Village meliputi:
2 Ibid.
3 Ibid.
4 Ibid.
41
1) Desa yayasan Islam adalah induk dari semua bisnis di bidang pendidikan
sosial.
2) Setiap bisnis mempunyai organisasi sendiri yang di pimpin oleh kepala
Yayasan.
3) Disentralisasi manejemen dengan subsidi silang untuk urusan non profit.
4) Dana dan investasi dalam pendidikan sosial dan perumahan atau
sumbangan yang diselenggarakan oleh Yayasan.
B. Visi, Misi dan Struktur Organisasi
Adapun visi dan misi dari Panti Asuhan Islamic Village Karawaci
Tangerang, yaitu:5
1. Visi :
Membangun masyarakat yang sehat, berkat, aman dalam kehidupan
dunia dan akhirat.
2. Misi :
Untuk menjaga, mendidik anak yatim, dan anak-anak di bawah umur dari
keluarga yang tidak mampu dan yatim/piatu.
Untuk menjalankan pendidikan yang baik berdasarkan standar kebutuhan
masyarakat dari tingkat pra sekolah sampai perguruan tinggi.
5 Arsip Dokument Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang.
42
3. Struktur Organisasi
Struktur Organisasi Panti Asuhan Islamic Village Karawaci
Tangerang Tahun 2011-2015
Adapun struktur organisasi Panti Asuhan Islamic Village Karawaci
Tangerang yaitu:6
Pelindung : KH. Abah Junan Helmy Nasution (alm).
: Hj. Ummi Siti Masyitah.
Penasihat : KH. Ridwan Ibrahim Lubis.
Ketua Panti Asuhan : Hj. Ida Wardani Nasution.
Wakil Ketua : Elismawati, SE.
Sekretaris : Drs. H. Sulaeman.
Bendahara : H. Asnawi Ayub, SE.
Kepala Asrama Putra : H. Edi Sunaryo Budianto.
Kepala Asrama Putri : Hj. Yayah Nurjanah.
Kepala Urusan Logistik : Agus Salim.
KA. Dapur : H. Jani.
C. Tugas dan Wewenang
Tugas Panti Asuhan adalah sebagai Badan Sosial yang telah diberi
mandat untuk mengayomi anak-anak yatim atau piatu dan miskin, terlantar dan
6 Arsip Dokument Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang.
43
kurang mampu. 7 Dalam perwalian, Panti Asuhan merupakan tempat yang tepat
dalam mengurusi hal ini.
Panti Asuhan Islamic Village merupakan salah satu dari Panti Asuhan
yang berada di Indonesia yang telah banyak membantu Negara dalam mendidik
anak-anak yang terlantar, agar anak-anak tersebut memiliki masa depan yang
cerah, sehingga mereka yang masih ingin meraih cita-cita yang tinggi.
Masa depan yang cerah tersebut dapat mereka raih dengan adanya
pengasuhan, serta perwalian dalam kehidupan Panti Asuhan yang menjamin
segala kebutuhan selam mereka berada dalam Panti. Tanggung jawab yang di
miliki Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang merupakan tugas berat.
Tugas tersebut merupakan kewajiban bagi Panti Asuhan Islamic Village untuk
mengasuh, membina, mendidik serta mengayomi semua hal yang baik dan
berguna untuk kehidupan mereka setelah dewasa nantinya dan keluar dari Panti
Asuhan.8
Tugas Panti Asuhan Islamic Village:9
1) Mengasuh serta mengayomi anak-anak yatim/piatu yang sedang dalam
ampuannya.
2) Mendidik serta menjamin segala kebutuhan anak-anak yatim/piatu.
7 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
8 Wawancara pribadi dengan ibu Elismawati, Pengurus Panti Asuhan Islamic Village Karawaci
Tangerang. Pada Tanggal 20 Juni 2011.
9 Arsip Dokument Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang.
44
3) Bertanggung jawab atas apa yang sudah menjadi kewajiban dan hak-hak
anak yang berada dalam ampuannya.
4) Perwalian sepenuhnya di limpahkan kepada wali asuh Panti Asuhan
Islamic Village.
Adapun wewenang Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang
meliputi:10
1) Perwalian dalam masalah jiwa, yaitu melakukan pengayoman terhadap
pribadi orang yang dibawah pengasuhannya atau perwaliannya, seperti
mendidik, mengobati apabila sakit, mencarikannya kerja, dan
mengawinkan mereka.
Adapun persyaratan untuk biasa masuk atau menjadi anak asuh di Panti
Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang adalah:11
1) Yatim.
2) Yatim atau Piatu.
3) Duafa atau Miskin.
Adapun sistem perwalian yang di terapkan dalam Panti Asuhan Islamic
Village, yaitu:
1) Perwalian sepenuhnya di limpahkan kepada wali Panti Asuhan Islamic
Village Karawaci Tangerang.
10
Ibid
. 11
Ibid.
45
2) Agama yang dianut wali harus seagama dengan agama anak yang di
ampunya.
3) Wali bertanggung jawab atas apa yang telah menjadi kewajiban dan hak
anak yang di ampunya. 12
12
Ibid.
46
BAB IV
PEMELIHARAAN HARTA BENDA ANAK ASUH DALAM KONTEKS
PERWALIAN
A. Hak dan Kewajiban Panti Asuhan terhadap Anak Asuh
Panti Asuhan adalah sebagai Badan Sosial yang telah diberi tugas untuk
mengayomi, mendidik, melindungi anak yatim atau piatu, terlantar dan kurang
mampu, dari hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, pemeliharaan,
perawatan, pendidikan, serta kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu
orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar. 1
Panti Asuhan Islamic Village merupakan salah satu dari Panti Asuhan
yang ada di Indonesia yang telah banyak membantu negara dalam mendidik dan
memelihar anak yatim atau piatu, terlantar dan kurang mampu agar anak-anak
tersebut dapat menikmati hak-haknya.2
Pemeliharaan anak juga mengandung sebuah tanggungjawab orang
tuauntuk mengawasi, memberi pelayanan sebagaimana mestinya serta
mencukupi kebutuhan hidup dari seorang anak dari orang tua asuhnya.
1 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
2 Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, (Bandung: Mandar Maju,
1977), h. 48.
47
Tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan pelayanan serta pencukupan
nafkah tersebut bersifat kontinu sampai anak tersebut mencapai batas umur yang
legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri.3
Sedangkan yang dimaksud dengan pendidikan adalah kewajiban orang
tua asuh untuk memberikan pendidikan dan pengajaran yang memungkinkan
anak tersebut menjadi manusia yang mempunyai kemampuan dan dedikasi hidup
yang dibekali dengan kemampuan dan kecakapan sesuai dengan pembawaan
anak tersebut yang akan dikembangkan di tengah-tengah masyarkat Indonesia
sebagai landasan hidup dan penghidupannya setelah ia lepas dari tanggungjawab
orang tua asuhnya.4
Seorang wali tidak dibenarkan memindahkan hak atau mengadaikan
barang-barang tetap yangdimiliki oleh anak yang berada di bawah perwaliannya,
kecuali apabila kepentingan anak menghendaki. Untuk itu seorang wali
berkewajiban membuat daftra harta benda anak yang berada di bawah
kekuasaanya pada waktu ia memulai jabatanya dan mencatat semua perubahan-
perubahan harta anak tersebut.5
Seorang wali dilarang mengikatkan, membebani, dan mengasingkan
harat anak yang berada di bawah perwaliannya. Seorang wali bertanggung jwab
penuh terhadap harta anak yang berda di bawah perwaliannya, jika ada
3 Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), h. 204.
4 Ibid., h. 205-206.
5 Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, (Bandung: Mandar Maju,
1977), h. 43-44.
48
penggeluaran atau pemindahan harta kekayaan si anak yang dapat merugikan
kepentinannya, Hakim dapat memerintah kepada wali dari anak yang
bersangkutan untuk mengganti kerugian yang timbul akibat kesalahn dan
kelalaiannya.6
Pada saat berakhirnya perwalian, wali berkewajiban menyerahkan
seluruh harta benda si anak berikut catatan pengeluaran yang dibuktikan dengan
pembukuan yangditutup tiap-tiap tahun. Dalam hal terjadi perselisihan mengenai
harta benda si anak antara di wali dengan si anak tersebut tidak digunakan untuk
kepentingan si anak, wali wajib mengganti semua kerugian yang timbul.7
B. Efektivitas Pasal 51 ayat 4 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dalam Mendaftarkan Harta Benda Anak Asuh
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga menyatakan
bahwa seorang wali bertanggungjawab atas pengelolaan asset (harta) dan harus
membayar jika dalam pengelolaan harta tersebut menjadi hilang atau rusak, baik
karena segaja maupun karena kelalaian.8 Kemudian dalam Undang-undang No.
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah mengatur bahwa wali
mengelola kekayaan lingkungan mereka untuk kepentingan yang anak tersebut.9
6 Ibid., h. 45.
7 Ibid., h. 46.
8 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Bandung: Inter Mesa, 1982), h. 54.
9 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
49
Pada awal penetapan perwalian, maka diperlukan upaya inventarisasi
semua asset (harta) dari anak yatim tersebut, dan wali wajib mendokumentasikan
semua perubahan terhadap asset (harta) tersebut. Begitu juga harta tersebut harus
di audit secara annual (tahunan) untuk mengetahui nilai asset dari anak yang di
perwalikan itu, dan untuk memastikan bahwa hartanya tetap terjaga. 10
Selain itu, wali dilarang menjual, mengalihkan atau menggadaikan aset
anak perwalian, kecuali dalam keadaan yang darurat (memaksa). Wali juga
dilarang mengikat, membebani atau membagi asset (harta) tersebut kecuali
tindakan tersebut akan meningkatkan (menambah) nilai asset. Kemudian, jika
dalam hal wali terpaksa menjual harta (tanah) milik anak perwalian tersebut,
maka seorang wali wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Pengadilan
Agama.11
Sementara proses pengalihan asset (harta) dijelaskan dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 111, bahwa seorang wali diharuskan untuk mengalihkan
semua asset (harta) kepada anak di bawah perwalian ketika ia telah berusia 21
tahun, atau telah menikah.12 Namun, jika ditemukan adanya asset (harta) yang
hilang atau disalahgunakan oleh wali, maka Pengadilan Agama dapat
10
Undang-undang No. 1 Tahun1974 tentang Perkawinan, pasal 51 ayat (4) tentang Daftar
Harta Benda Anak Asuh
. 11
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta:
Kencana, 2008), h. 151-152.
12 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007),
h. 140.
50
memutuskan perkara tersebut, didasarkan para proses verifikasi dan inventarisir
harta yang dikelola oleh wali. Jika ditemukan adanya penyalahgunaan, maka
wali harus mengganti rugi terhadap kerugian tersebut.13
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
menyatakan bahwa Balai Harta Peninggalan (Public Trustee) atau lembaga lain
yang mempunyai kewenangan serupa dapat bertindak sebagai 'wali pengawas'
untuk memastikan bahwa kepentingan anak di bawah perwalian adalah di
lindungi dan di pelihara secara baik.14
Dari penjelasan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa, jika wali
tidak memenuhi kewajiban mereka, maka pihak keluarga si anak tersebut atau
Baitul Mal dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk dapat
mencabut hak perwalian terhadap wali tersebut. Maka Pengadilan Agama akan
mencabut kekuasaan wali dan mengalihkan kekuasaan tersebut kepada orang
lain atau badan hukum jika terbukti bahwa wali:15
1) Telah mengabaikan kewajibannya sebagai wali.
2) Telah bertindak secara tidak tepat atau menyalahgunakan kekuasaan.
3) Mengkonsumsi alkohol, berjudi atau boros.
13
Ibid., Pasal 110 ayat (3) wali bertangung jawab terhadap harta oang yang berada di bawah
peralkianya, dan menganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan dan kelalainya, h. 140.
14
Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
15
Ahmad Kamil, Hukum Perlindungan Anak dan Pengangkatan Anak di Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2008), h. 7.
51
4) Mengalami cacat mental.
5) Telah meninggal atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
Undang-undang ditetapkan sebagai peraturan atau hukum tertulis yang di
kodifikasikan apabila telah melalui proses politik pada badan kekuasaan negara
yaitu legislatif dan eksekutif, serta memenuhi persyaratan dan rancangan
perundang-undangan yang layak.16
Menurut Jawad Mughniyah, pengasuhan anak sama sekali tidak
berhubungan dengan perwalian terhadap anak, baik yang menyangkut dengan
perkawinan maupun yang menyangkut dengan hartanya. Pengasuhan semata-
mata tentang perkara anak dalam arti mendidik dan memelihara.17
Kendati demikian, bukan berarti tidaka ada kaitan antara pengasuhan
anak dan perwalian. Dalam kasus seorang anak yang tidak lagi memiliki orang
tua, atau memiliki orang tua amun dipandang tidak cakap untuk merawat anak,
maka keberadaan perwalian menjadi sebuah keniscayaan atau keharusan.18
Oleh sebab itu, di dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa
perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk
melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas
16
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT
Fikahati, 2002), h. 20.
17
Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, (Jakarta: Basrie Perss, 1994), h. 133.
18
Ibid., h. 134.
52
nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua atau orang tuanya masih
hidup tetapi tidak cakap melakukan perbuatan hukum.19
Sebelumnya, perwalian ini juga telah diatur dalam Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan mulai dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 54,
dan di dalam Kompilasi Hukum Islam masalah perwalian diatur dalam Pasal 107
sampai dengan Pasal 112.20
Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sama-sama
mengatur batas usia anak yang berada di dalam perwalianya walaupun berbeda
dalam angka. Undang-undang Perkawinan mensyaratkan sebelum berumur 18
tahun, sedangkan Kompilasi Hukum Islam membatasinya pada umur 21 tahun.
Yang jelas pembatasan tersebut ditentukan berdasarkan pertimbangan dan
kemaslahatan serta kemandirian anak.21
Di samping ketentuan yang telah disebut, bagi seorang wali berlaku
ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48 Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, yaitu seorang wali dilarang memindahkan hak atau
mengadaikan barang-barang tetap dari anak yang berada di bawah perwalianya,
kecuali apabila kepentingan anak mengehendakinya.22
19
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 304
20
Ibid., h. 304.
21
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,1998), h. 265.
22 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
53
Kekuasaan seorang wali dapat dicabut bila melalaikan kewajibanya atau
ia berkelakuan buruk, selain itu seorang wali wajib mengganti kerugian terhadap
harta benda anak yang berada di bawah perwalianya bila ternyata timbulnya
kerugian terhadap harta bedan si anak.23
Seorang wali haruslah seorang yang jujur, adil dan berkelakukan baik
yang mempunyai kewajiban untuk memelihara si anak dan harta anak yang
berada di bawah perwalianya.24
Berdasarkan penjelasan di atas sangat jelas tugas dan fungsi serta
wewenang Panti Asuhan sebagai Badan Sosial dalam perwalian, namun
ketentuan di atas tersebut masih ada yang belum dilaksanakan oleh panti Asuhan
Islamic Village Karawaci Tangerang, yaitu tentang pencatatan daftar harta benda
anak asuh.
Selama Panti Asuhan ini didirikan dalam hal mendidik dan merawat
sudah sangat bagus, namun dalam pendaftaran harta benda anak asuh tidak
berjalan sebagimana mestinya yang telah di atar di dalam Islam, Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Secara
sederhana, kewajiban wali tersebut adalah wajib mengurus anak di bawah
penguasaanya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama
dan kepercayaan anak tersebut, wajib membuat daftar harta bendanya yang
23
Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, (Bandung: Mandar Maju,
1977), h. 43-46.
24
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 307
54
berada di bawah penguasaanya pada waktu memulai jabatanya dan mencatat
semua perubahan-perubahan harta benda anak-anak di bawah asuhanya, serta
wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berda di bawah
perwalianya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalainya.25
Apabila wali melalaikan kewajibanya, tidak tertutup kemungkinan untuk
dicabut kekeuasaan perwaliannya dan memindahkanya kepada orang lain. Lebih
jelasnya pencabutan kekuasaan wali dilakukan oleh Pengadilan Agama atas
permohonan kerabat dari anak yang berda di bawah perwalian tersebut apabila
terjadi hal-hal sebagi berikut:
1) Wali tidak melakukan pemeliharaan terhadap si anak dengan sungguh-
sungguh.
2) Wali menelantarkan pendidikan si anak atau tidak memberika bimbingan
agama terhadap si anak.
3) Wali memindahtangankan harta benda si anak yang berda di bawah
perwalianya.
4) Wali mempunyai kelaukan yang sangat buruk dan tidak pantas diteladani.
5) Lain-lain perbuatan atau keadaan yang dapat merugikan kepentingan si
anak. 26
25
Ibid., h. 307.
26 Bahder Johan Nasution dan Sri Warjiyati, Hukum Perdata Islam, (Bandung: Mandar Maju,
1977), h. 44.
55
Undang-undang yang telah disebutkan di atas secara jelas mengatur
bahwasannya wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan
harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan si
anak, wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di bawah
kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-
perubahan harta benda anak atau anak-anak itu dan wali bertanggung jawab
tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian
yang di timbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.27
Namun, pada prakteknya hal tersebut di atas tidak di jalankan dengan
semestinya, pihak panti asuhan tidak mendaftarkan harta benda anak asuh yang
mereka asuh dengan alasan hal tersebut tidak penting, padahal sudah ada
Undang-undang yang mengatur dan ada sanksinya pula. Allah SWT berfirman
dalam al-Qur’an surat al-An’am (6): 152:
(ا 6 / نعام :
152) Artinya: Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara
yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran
dan timbangan dengan adil. kami tidak memikulkan beban kepada sesorang
melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka
hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat (mu), dan penuhilah
27
Martiman Pradjojhamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal
Center Publishing, 2002), h. 70-71.
56
janji Allah SWT. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu
ingat. (Q.S. al-An’am (6): 152)
Ayat di atas secara jelas menerangkan bahwa tidak boleh memakan harta
anak yatim sedikitpun kecuali bila dibutuhkan, dan harus berlaku adil serta harta
tersebut harus di kembalikan kepada anak tersebut jika ia sudah dewasa. Hal
seperti ini kadang di anggap kecil bagi sebagian orang, tetapi dampak yang di
akibatkan sangat besar.
Di harapkan kepada Panti Asuhan Village karawaci tangerang agar lebih
hati-hati dan teliti lagi dalam hal mendaftarkan harta benda anak asuhnya, karena
hal tersebut dabap berakibat fatal dengan di cabutnya kekuasana perwalian dan
di pindah tangan kan perwalian anak tersebut kepada orang lain, terlebih lagi
Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang dapat ditutup dan tidak boleh
bertugas lagi sebagai Badan Sosial.
C. Analisis Penulis
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan
regulasi aturan yang berlaku di Indonesia dalam hal mengenai hukum keluarga
bagi kalangan umat muslim. Lahirnya Undang-undang ini pada hakekatnya telah
melewati suatu proses panjang dari rentetan perjuangan kaum perempuan di
Indonesia menuntut keadilan dan pengakuan atas hak-hak asasinya serta dibantu
juga dengan adanya Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Perlindungan
Anka dan KUHperdata.
57
Sejak perjuangan R.A. Kartini melalui surat-suratnya yang menceritakan
kegelisahan beliau terhadap kondisi kaumnya maupun melalui pengalamannya
sendiri dalam keluarganya. Sepanjang hidupnya beliau menentang kungkungan
tradisi yang ditanamkan lewat institusi keluarga dan perkawinan, termasuk
ketika beliau pada akhirnya tidak berdaya menolak poligami, bentuk kekerasan
yang paling nyata atas harkat dan martabatnya sebagai manusia. Undang-undang
ini merupakan pedoman hukum yang dapat dipakai oleh kalangan umat muslim,
ada empat belas (XIV) bab yang terdapat di Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan salah satu babnya membahas mengenai perwakilan yang
biasanya juga disebut dengan perwalian.
Dari data-data hasil penelitian dari Panti Asuhan Islamic Village
Karawaci Tangerang, dalam hal pembahasan mengenai kajian Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 51 ayat (4) bahwa setiap wali wajib
untuk membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya
pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta
benda anak atau anak-anak itu. Hal ini dikarenakan untuk memberi pertanggung
jawaban sesuai dengan aturan hukum yang ada di Indonesia, bahwa setiap wali
memiliki hak dan kewajibanya, begitu juga anak asuh memiliki hak dan
kewajiban, salah satunya yaitu ia harus mengetahui harta benda yang ia miliki
dan digunakan untuk apa. Dalam prakteknya di Panti Asuhan Islamic Village
Karawaci Tangerang, hal tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya.
58
Hal ini terlihat dari segi rekrutmen anak asuh yang tidak didata setiap
apa-apa yang dibawa ketika anak asuh tersebut masuk dalam pengasuhan Panti
Asuhan, tidak adanya biaya untuk mendaftarkan harta benda anak asuh ke Balai
Pencatatan Harta Peninggalan, dan proses yang begitu rumit dan berbelit-belit
yang mengakibatkan Panti Asuhan ini enggan mendaftarkan harta benda anak
asuh ke Balai Harta Peninggalan. Jelas, bahwa pasal 51 ayat (4) yang tercantum
dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum
Islam, Undang-undang tentang Perlindungan anak, serta KHUPerdata belum
efektif berjalan di Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang.
Hal ini akan menjadi suatu permasalahan yang besar nantinya di Panti
Asuhan tersebut, karena sangat bertentangan dengan sistem yang di terapkan
oleh Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang, bahwasanya setiap wali
bertanggung jawab atas apa yang telah menjadi kewajiban dan hak anak yang
diampunnya. Artinya, ada kewajiban wali yang tidak dipenuhi oleh wali asuh
tersebut sehingga hak dari anak asuh itu akan hilang dan tidak dapat diperoleh
oleh anak asuh itu, dan akibat yang didapat oleh Panti Asuhan ini akan dicabut
hak perwaliannya dan kemungkinan akan ditutup Panti Asuhan ini.
Di harapkan kepada pihak panti asuhan untuk lebih teliti lagi serta sadar
hukum demi menciptakan rasa keadilan dan kesejahteraan anak asuhnya, jika hal
ini dapat dijalankan dengan baik maka akan menjadi negara Indonesia yang maju
materil dan spritual serta taat hukum.
59
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan di Panti Asuhan Isslamic Village
Karawaci Tangerang bahwa:
1) Pada dasarnya penyelenggaraan Pnti Asuhan Islamic Village Karawaci
Tangerangsudah dilakukan dengan baik. Hak dan kewajiban anak asuh di
Panti Asuhan ini secara umum telah berjalan dan terpenuhi dengan baik,
khususnya dalam bidang pendidikan atau belajar anak asuh harus serius
dalam menuntut ilmu serta menaati segala peraturan yang telah diatur oleh
Panti. Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang telah memberikan
pengasuhan yang baik, pihak Panti Asuhan juga telah memberikan hak-hak
para anak asuh sepeti hak pendidikan dan kesehatan.
2) Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang, dalam kinerjanya belum
memberikan hak-hak yang menjadi hak bagi anak asuh di Panti Asuhan
tersebut dengan sebaik-baiknya sesuai dengan Undang-undang yang ada
seperti dalam mendaftarkan harta benda anak asuh. Panti Asuhan Islamic
Village Karawaci Tangerang merupakan tempat kedua bagi para yatim/piatu
yang di asuhnya tersebut, dengan harapan mereka dapat melanjutkan cita-cita
mereka.
60
3) Sistem perwalian yang di terapkan Panti Asuhan Islamic Village merupakan
sistem yang tidak sesuai dengan Undang-undang yaitu pasal 51 ayat (4)
Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, dijelaskan
bahwasannya bagi setiap wali yang bertanggung jawab atas segala kehidupan
anak yang di ampunya harus membuat daftar harta benda si anak yang mana
dibawah kekuasaanya. Sistem tersebut berlaku pada saat memulai jabatan
sebagai wali tersebut yang mana bertanggung jawab penuh atas perubahan
harta benda si anak yang diampunya. Akan tetapi, di Panti Asuhan Islamic
Village Karawaci Tangerang ini tidak menerapkan sistem yang sudah
tercantum dalam Undang-undang tersebut dengan berbagai macam alas an
salah satunya adalah segala sesuatu tentang anak asuh dipanti tersebut seperti
dalam pencatatan daftar harta benda anak itu tidak di perlukan, karena segala
keuangan diatur langsung oleh wali atau oleh para pengurus panti asuhan
tersebut tanpa harus dicatat.
B. Saran-saran
Panti Asuhan Islamic Village sebagai Badan Sosial mendapat tugas untuk
mengawasi, melindungi, serta meningkatkan efektivitas pendidikan bagi anak
asuh yang di ampunya, Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang
seharusnya :
61
1) Lebih memperhatikan hak dan kewajiban anak asuh yang di ampunya dengan
cara mengembangkan setiap bakat yang mereka punya yang dapat disalurkan
melalui berbagai kegiatan positif.
2) Memberikan lapangan kegiatan bagi anak asuhnya yang bermanfaat bagi
anak asuhnya. Seperti kursus menjahit dan keterampilan yang lainnya.
3) Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang dalam penerapan sistem
perwalian harus sesuai dengan Undang-undang yang telah mengatur setiap
peraturan bagi kepentingan dan kebaikan masyarakat. Khususnya dalam
masalah pengaturan harta benda anak asuhnya, yang mana harus diatur serta
diperhatikan dalam perubahannya dan harus dilaporkan pada akhir tahun
selama masa jabatan mengasuh anak yang di ampunya, agar lebih teratur dan
terkontrol setiap hak-hak anak asuh.
4) Alangkah baiknya jika Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang
yang merupakan Panti Asuhan yang menerapkan syariat Islam yang berbeda
dengan panti asuhan lainya. Dalam pengambilan atau seleksi penerimaan
anak asuh perlu di upayakan kebijakan yang memungkinkan rekrutment
peaerta yang berasal dari umat/ agama lain dengan mengedepantakn orientasi
pendidikan yang berdasarkan ahlakhul karimah.
5) Harus lebih transparansi dalam masalah keuangan dengan cara mencatat
segala daftar harta benda anak asuh, kemudian di bukukan yang mana akan
di pertanggungjawabkan dalam satu tahun sekali.
62
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Depag RI. Al-Qur‟an dan Terjemahannya. Jakarta:
CV. Kathoda, 2005.
Al-Nahlawi, Abdurrahman. “Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Asalibiha fi al-
Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama”. Beirut: Dar al-Fikr, 1983. Cet ke-2.
Aa Gym. Efektifitas Amal dan Ibadah. Bandung: Artikel, 2001.
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika
Pressindo, 2007.
Al-Asqalani. Ibnu Hajar. Bulughul Maram. Jakarta: Dar Al-Islamiyah, 2002.
Arsip Dokument Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang.
Bahder Johan Nasution dan Sri, Warjiyati. Hukum Perdata Islam. Bandung:
Mandar Maju, 1977.
Caroline, Deasy dan Moch, Dja‟is. Pelaksanaan Eksekusi Nafkah Anak di
Pengadilan Agama, Artikel Jurnal Mimbar Hukum. Jakarta: Al-
Hikmah dan DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999.
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hopee,
1999.
Fikih Lima Mazhab. Jakarta: Basrie Perss, 1994.
Effendi, Satria. Makna Urgensi dan Kedudukan Nasab dalam Perspektif Hukum
Keluarga Islam, Artikel Jurnal Mimbar Hukum. Jakarta: Al-Hikmah dan
DITBINBAPERA Islam No. 42 Tahun X 1999.
G. Gedeian dkk. Organization Theory and Design.
Harahap, Yahya. Hukum Perkawinan Nasional. Medan: Zahir Trading, 1975.
Handoko, T Hani. Manajement. Jakarta: Sinar Grafika: 2000.
Hejazziey, Djawahir. Buku Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Syariah
dan Hukum, 2007. Cet. Ke-1.
63
http://welcome.to/RGS_Mitra ; [email protected] ; [email protected].
http://www.google.co.id//proses dan interaksi sosial//19052011.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
2007.
Ilo. Efektifitas Hukum. Jakarta: Artikel, 2001.
Ishaq. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Bumi Aksara, 1999.
Kamil, Ahmad. “Hukum Perlindungan Anak dan Pengangkatan Anak di
Indonesia”. Jakarta: Rajawali Pers, 2008. Cet ke-3.
Kelsen, Hans. Pengantar Teori Hukum. Bandung: Nusantara Media, 2009.
Lexy, J. Moeleong. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2005.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan
Agama. Jakarta: Kencana, 2005.
Mustakim, Abdul. Kedudukan dan Hak-hak Anak dalam Perspektif al-Qur‟an.
Jakarta: Musawa, 2006.
Narbuko, Cholid, dan Abu Ahmadi. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Pustaka,
1997.
Pradjojhamidjojo, Martiman. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Indonesia
Legal Center Publishing, 2002.
Salam, Burhanudin. Etika Sosial „Asas Moral dalam Kehidupan Manusia‟. Jakarta:
Rineka Cipta, 1997.
Saifullah. Problematika Anak dan Solusinya (Pendekatan Sadduzzara‟i), Artikel
Jurnal Mimbar Hukum. Jakarta, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA
Islam No. 42 Tahun X 1999.
___________. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta:
Kencana, 2004.
Soekanto, Soerjono dan Mamudji. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004.
64
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia
Press,1986.
Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada, 2006.
Soekanto, Soerjono. Kesadaran Hukum Dan Kepatuhan Hukum. Jakarta: CV
Rajawali, 1982.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermesa, 1996.
Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradana
Paramita, 1989.
Suryadi. Anak dalam Perspektif Hadis. Artikel Jurnal Musawa, vol.4, No.2, Juli
2006. Aris Bintania.
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: 2006.
Supriadi. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika, 2006.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan.
Undang-undang No. 4 Tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak.
Undang-undang No. 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak.
Usman, Husaini. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 2001. Cet ke-1.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Cet Ke-4.
Widoyati, Sri. Anak dan Wanita dalam Hukum. Jakarta: LP3ES, 1983.
Wawancara pribadi dengan ibu Elismawati, Pengurus Panti Asuhan Islamic
Village Karawaci Tangerang. Pada Tanggal 20 Juni 2011.
68
Pedoman Wawancara
Nama : Elismawati
Jabatan : Pengurus Panti asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang
1. Berapa jumlah anak asuh (yatim atau piatu dan miskin) pada awal berdirinya
Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang?
2. Adakah aturan tersendiri dalam penyeleksian penerimaan anak asuh baru?
3. Apakah Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang sudah menjalani
perannya dalam mengurangi anak-anak jalanan dan miskin atau belum?
4. Apakah hak dan kewajiban anak asuh sudah terpenuhi atau belum di Panti
Asuhan ini?
5. Kendala apa saja yang dihadapi oleh Panti Asuhan dalam mengurangi anak-anak
jalanan?
6. Apakah dalam masalah harta peninggalan keluarga (ahli waris) Panti Asuhan ini
mendaftarkan, mencatat dan mengawasi perubahan harta anak asuhnya dari awal
anak itu masuk atau tidak?
69
Wawancara
Hari/Tanggal : 20 Juni 2011
Waktu : 10:00 WIB
Tempat Wawancara : Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang
Nama Responden : Elismawati
Jabatan : Pengurus Panti Asuhan
1. T : Ada berapa jumlah anak asuh (yatim atau piatu dan miskin) pada awal
berdirinya Panti Asuhan Islamic Village Karawaci Tangerang?
J : Jumlah siswa/i (yatim atau piatu dan miskin) pada pertama kali Panti
Asuhan ini didirikan sekitar berjumlah 220 siswa/i (yatim atau piatu dan
miskin) yang berasal dari 18 Provinsi, diantaranya yaitu Aceh, NTT dan
Padang.
2. T : Adakah aturan tersendiri dalam penyeleksian penerimaan anak asuh
baru?
J : Ada, untuk anak yatim atau piatu dan miskin yang ingin di asuh disini
harus mengikuti prosedur yang berlaku, seperti tes IQ si anak, agar si
anak tersebut benar-benar serius dalam mengikuti peraturan serta
pendidikan yang akan di ikutinya di Panti Islamic Village Karawaci
Tangerang ini. Karena Panti Asuhan ini tidak main-main dengan masa
70
depan si anak tersebut, dan berharap agar anak-anak yang mereka asuh
menjadi anak yang berguna bagi Agama dan Negara, dan untuk masa
depan si anak khususnya.
3. T : Apakah Panti Asuhan Islamic Village ini sudah menjalani perannya
dalam mengurangi anak-anak jalanan dan miskin atau belum?
J : Sudah, sejak Panti Asuhan ini didirikan dan belum ada SK dari
Pemerintah kami sudah bekerja membatu Pemerintah dalam mengurangi
anak jalanana dan miskin dengan membangun Panti Asuhan ini, namun
sampai Tahun 2002 sudah tidak lagi menangani dan menampung anak
jalanan lagi, dikarenakan kondisi tempat yang terbatas dan tidak ada
dana dari Pemerintah.
4. T : Apakah hak dan kewajiban anak asuh sudah terpenuhi atau belum di
Panti Asuhan ini?
J : Sudah, kami mengutamakan hak dan kewajiban anak-anak asuh kami,
dari mulai makanan, pendidikan dan tempat tinggal yang layak untuk
mereka.
5. T : Kendala apasaja yang dihadapi oleh Panti Asuhan dalam mengurangi
anak-anak jalanan?
71
J : Kendala yang dihadapi oleh kami yakni banyak sekali anak-anak jalanan
yang belum kami asuh untuk menjadi anak asuh, kekurangan dana dan
tempat untuk mereka tinggal. Kami sangat berharap Pemerintah untuk
lebih memperhatikan seluruh Panti Asuhan di Indonesia, karena tujuan
kami mulia yakni mencerdaskan anak bangsa yang kurang mampu dan
membantu Pemerintah juga.
6. T : Apakah dalam masalah harta peniggalan keluarga (ahli waris), Panti
Asuhan ini mendaftarkan, mencatat dan mengawasi perubahan harta
anak asuhanya dari awal anak itu masuk atau tidak ?
J : Tidak, panti dan kami selaku pengurus disini hanya memberikan
kebutuhan anak untuk sehari-hari, untuk masalah itu kami tidak
melakukannya karena kami hanya mendidik dan membina anak-anak
asuh kami.
Mengetahui,
Elismawati, SE.
Informan