penatalaksanaan gerd
DESCRIPTION
PenatalaksanaanTRANSCRIPT
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Akreditasi IDI - 3 SKP
Pendahuluan
Berdasarkan data epidemiologis, prevalensi
GERD di Asia sekitar 2-5% dan esofagitis
endoskopik sebesar 2-5%, lebih rendah
dibandingkan prevalensi di negara-negara 1-3Barat. Derajat keparahan GERD di Asia-
Pasifik cenderung lebih ringan, dan secara
endoskopik normal (non-erosive reflux
disease, NERD); kalaupun didapatkan
gambaran esofagitis, sebagian besar kasus
(90%) merupakan esofagitis Los Angeles (LA) 3 grade A atau B. Esofagus Barrett, striktur
esofagus, atau adenokarsinoma esofagus
juga lebih jarang ditemukan pada pasien di
Asia dibandingkan dengan pasien di negara
Barat. Sebaliknya, prevalensi infeksi Helico-
bacter pylori di Asia (30-60%) lebih tinggi
dibandingkan di negara Barat.
GERD harus dibedakan dari penyakit saluran
cerna atas yang terkait H. pylori, terutama
ulkus peptikum dan kanker lambung.
Definisi
Berdasarkan Genval Workshop, definisi pa-
sien GERD adalah semua individu yang
terpapar risiko komplikasi fisik akibat refluks
gastroesofageal, atau mereka yang menga-
lami gangguan nyata terkait dengan kese-
hatan (kualitas hidup) akibat gejala-gejala
yang terkait dengan refluks. Secara seder-
hana, definisi GERD adalah gangguan beru-
virulen organisme tersebut, yang ditandai
oleh CagA positif, berbanding terbalik
dengan esofagitis, esofagus Barrett (dengan
atau tanpa displasia) dan adenokarsinoma 11esofagus. Setiap pengaruh infeksi H. pylori
pada GERD terkait dengan gastritis yang
ditimbulkannya dan efeknya pada sekresi 12asam lambung. Efek eradikasi H. pylori pada
gejala refluks dan GERD bergantung pada
dua faktor: (i) distribusi anatomis gastritis; 13 dan (ii) ada tidaknya GERD sebelumnya.
Diagnosis
Adanya gejala klasik GERD (heartburn dan
regurgitasi), yang ditemukan melalui
anamnesis yang cermat, merupakan
patokan diagnosis. Pada beberapa pasien,
GERD perlu dibedakan dari kondisi lain,
mempunyai korelasi positif yang bermakna
dengan pH-metri esofagus 24-jam dan 7gejala-gejala klinisnya.
misalnya penyakit traktus bilier dan penyakit
arteri koroner. Pemeriksaan barium tidak
dapat menegakkan diagnosis GERD.
Sekitar 50% pasien GERD simtomatik
memperlihatkan hasil pH-metri yang
normal, sementara hanya 25% penderita
esofagitis erosif dan 7% penderita esofagus
Barrett yang menunjukkan hasil pH-metri 6normal. Pemeriksaan endoskopi pada
esofagitis erosif menurut klasifikasi LA
pa regurgitasi isi lambung yang menyebab-
kan heartburn dan gejala lain.
Patogenesis
Tidak ada korelasi antara infeksi H. pylori dan
GERD. Hanya sedikit bukti yang menunjuk-
kan bahwa infeksi H. pylori mempunyai peran
patogenik langsung terhadap kejadian
GERD.
Tidak terdapat korelasi antara infeksi H. pylori
dan esofagitis, tetapi infeksi galur (strain)
Terdapat dua kelompok GERD. Yang pertama
adalah GERD erosif (esofagitis erosif ),
didefinisikan sebagai GERD dengan gejala
refluks dan kerusakan mukosa esofagus
distal akibat refluks gastroesofageal. Peme-
riksaan baku emas untuk diagnosis GERD
erosif adalah endoskopi saluran cerna atas.
Yang kedua adalah penyakit refluks non-
erosif (non-erosive reflux disease, NERD), yang
juga disebut endoscopic-negative GERD,
didefinisikan sebagai GERD dengan gejala-
gejala refluks tipikal tanpa kerusakan
mukosa esofagus saat pemeriksaan endo-4skopi saluran cerna.
Saat ini, telah diusulkan konsep yang
membagi GERD menjadi tiga kelompok,
yaitu penyakit refluks non-erosif, esofagitis 5erosif, dan esofagus Barrett.
Muhammad Begawan BestariDivisi Gastroentero-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran / RS Dr. Hasan Sadikin Bandung
490
PenatalaksanaanGastroesophageal Reflux Disease (GERD)
Penyakit refluks gastroesofageal (gastroesophageal reflux disease, GERD) kurang umum dijumpai dan derajat keparahan
endoskopiknya lebih ringan di Asia dibandingkan di negara-negara Barat. Namun, data saat ini menunjukkan bahwa telah
terjadi peningkatan frekuensi penyakit tersebut di Asia. Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis GERD erosif adalah
endoskopi saluran cerna atas. Sementara itu, tidak terdapat pemeriksaan baku emas untuk diagnosis penyakit refluks non-
erosif (non-erosive reflux disease, NERD) dan diagnosisnya mengandalkan gejala atau respons terhadap pengobatan proton
pump inhibitor (PPI). Sasaran pengobatan GERD adalah menyembuhkan esofagitis, memperingan gejala, mempertahankan
pasien tetap bebas gejala, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah komplikasi. Hingga saat ini, PPI merupakan terapi
medikamentosa yang paling efektif. Sesudah pengobatan awal, terapi on-demand dapat efektif pada beberapa pasien
penderita NERD atau esofagitis erosif ringan. Bedah anti-refluks oleh dokter bedah yang kompeten dapat membuahkan
hasil-akhir yang sama, dengan mortalitas operatif sebesar 0,1 – 0,8%. Keputusan bergantung pada pilihan pasien dan
ketersediaan dokter bedah yang berpengalaman. Pada penderita GERD yang tidak mengeluhkan gejala peringatan (alarm
symptoms) saat pemeriksaan di layanan primer, pengobatan dapat dimulai dengan PPI dosis standar selama 2 minggu. Bila
responsnya sesuai, PPI dilanjutkan selama 4 minggu sebelum masuk ke terapi on-demand.
Kata kunci: GERD, PPI, terapi on-demand, endoskopi
ABSTRAK
CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011
491
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
• Tes PPI
Beberapa uji klinis prospektif terkontrol
meneliti penggunaan empiris PPI untuk
GERD. Tes PPI adalah pengobatan PPI sela-
ma 2 minggu pada pasien yang mempu-
nyai gejala GERD atau pasien yang mempu-
nyai manifestasi GERD atipikal/ekstra-
esofageal. Dalam tes ini, PPI diberikan dua
kali sehari; sensitivitas tes PPI sebesar 68-8,980% untuk diagnosis GERD. Dari peneli-
tian di Asia, terungkap bahwa 93% pende-
rita yang mempunyai gejala GERD tipikal
dan endoskopinya normal ternyata res-
ponsif terhadap terapi PPI selama 2 10 minggu tersebut.
• Gejala Peringatan (Alarm Symptoms)
Endoskopi saluran cerna atas pada pasien
dengan gejala heartburn atau regurgitasi
bukan keharusan bagi pasien GERD,
mengingat lebih dari 90% pasien GERD di
Asia tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan endoskopi (endoscopic-nega-
tive). Selain itu, karena mahalnya biaya
pemeriksaan dan tidak semua daerah
memiliki fasilitas endoskopi saluran cerna
atas, penggunaan endoskopi sebagai mo-
dalitas diagnostik masih terbatas di Indo-
nesia. Setelah diagnosis klinis ditegakkan,
PPI dosis standar dapat diberikan selama 1
atau 2 mingu (tes PPI) pada penderita
dengan gejala yang tipikal. Tes PPI bersifat
sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis
GERD yang mempunyai gejala tipikal;
strategi ini dapat menghemat biaya secara
nyata dan mengurangi penggunaan tes
diagnostik yang invasif. Jika responsnya
sesuai, pasien harus melanjutkan pengo-
batan sedikitnya selama 4 minggu. Setelah
itu, direkomendasikan untuk memberikan
terapi on-demand mengingat sebagian
besar pasien di Asia tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan endoskopi.
Pasien harus dirujuk untuk menjalankan
pemeriksaan endoskopi saluran cerna jika
tidak responsif terhadap PPI, mengalami
relaps berulang, gejala atipikal, gejala berat,
atau gejala peringatan (alarm symptoms).
Gejala peringatan untuk rujukan dini endo-
skopi saluran cerna atas meliputi penu-
Tes PPI merupakan sebuah modalitas
diagnostik yang bermanfaat, tetapi perlu
diingat bahwa respons positif terhadap tes
PPI tidak selalu sebanding dengan diag-
nosis GERD, begitu juga respons negatif
tidak serta merta dapat menyingkirkan 8,9diagnosis GERD.
Hanya satu penelitian yang memperli-
hatkan bukti efikasi antasida dalam 17pengobatan GERD. Uji klinik yang menilai
efikasi famotidine, cimetidine, nizatidine,
dan ranitidine memperlihatkan bahwa H2-
RA lebih efektif dibanding plasebo dalam
meringankan gejala GERD derajat ringan
sampai sedang, dengan tingkat respons 18-2060% - 70%. Uji klinik PPI jangka pendek
memperlihatkan penyembuhan yang
lebih cepat dan perbaikan heartburn
dibandingkan H2-RA atau prokinetik pada 21penderita esofagitis erosif. Di antara
berbagai PPI, pemberian omeprazole,
lansoprazole, pantoprazole, dan rabeprazole
dosis standar menghasilkan kecepatan
penyembuhan dan remisi yang sebanding 22pada kasus esofagitis erosif. Proton pump
inhibitor juga efektif pada penderita
esofagitis refluks yang resisten terhadap
H2-RA. Dari penelitian jangka panjang
(sampai 11 tahun), penggunaan PPI relatif
aman; insidens gastritis atrofik sebesar
4,7% pada pasien H. pylori-positif dan 0,7%
pada pasien H. pylori-negatif, serta tidak
ditemukan displasia ataupun neoplasma.
Atas dasar efikasi dan kecepatan perbaikan
gejala, PPI dosis standar dapat diberikan 23untuk pengobatan awal GERD erosif.
• Bedah Anti-refluks
Pembedahan, yaitu dengan funduplikasi,
merupakan salah satu alternatif terapi di
samping terapi medikamentosa dalam
upaya meringankan gejala dan menyem-
buhkan esofagitis. Namun, morbiditas dan
mortalitas pasca-operasi bergantung pada
keterampilan dokter bedah. Karena itu,
pilihan antara terapi medikamentosa dan
tindakan bedah berpulang pada kepu-
tusan pasien maupun ketersediaan dokter 5bedah.
Simpulan
Penyakit refluks gastroesofageal (GERD)
merupakan kondisi yang insidensnya makin
meningkat di Asia pada umumnya dan
Indonesia pada khususnya walaupun
sebagian besar pasien di Asia hanya
mengalami NERD atau esofagitis erosif
ringan (grade LA A atau B). Patofisiologi GERD
perlu dimengerti lebih baik lagi. Pengobatan
harus diarahkan pada faktor etiologi dan
mekanisme patofisiologi, bukan pada
pengontrolan gejala.
runan berat badan, anemia, hematemesis
atau melena, riwayat kanker lambung dan/
atau esofagus dalam keluarga, peng-
gunaan obat antiinflamasi nonsteroid,
disfagia progresif, odinofagia, dan usia >40
tahun di daerah prevalensi tinggi kanker 5lambung.
Penatalaksanaan
• Modifikasi Gaya Hidup
Modifikasi gaya hidup tidak direkomen-
dasikan sebagai pengobatan primer GERD.
Penelitian objektif belum memperlihatkan
bahwa alkohol, diet, dan faktor psikologis
berperan signifikan dalam GERD. Modifi-
kasi gaya hidup dapat mengurangi epi-
sode refluks individual; pasien yang me-
ngalami eksaserbasi gejala refluks yang
berhubungan dengan makanan atau
minuman tertentu dapat direkomen-
dasikan untuk menghindari makanan atau 14minuman bersangkutan.
Sebuah penelitian observasional menyata-
kan bahwa merokok merupakan faktor
risiko independen GERD simtomatik.
Merokok terkait dengan peningkatan
pajanan asam pada esofagus (berdasarkan
pemeriksaan pH-metri). Namun, tidak
terdapat penelitian intervensional yang
menunjang penghentian merokok sebagai 15terapi primer GERD.
Penelitian observasional lain memperlihat-
kan secara konsisten bahwa obesitas me-15rupakan salah satu faktor risiko GERD.
Namun, dari sebuah penelitian yang
menggunakan kontrol, belum terbukti
bahwa penurunan berat badan dapat
memperingan gejala,
antasida, prokinetik, H2-receptor antagnists
(H2-RA), dan PPI. Untuk mengontrol gejala
dan penyembuhan esofagitis pada GERD
erosif, saat ini PPI merupakan pilihan yang
paling efektif.
menyebabkan relak-
sasi sfingter esofagus bagian bawah atau-
pun mengurangi pajanan asam pada 16esofagus.
• Terapi Medikamentosa
Sasaran pengobatan GERD adalah me-
nyembuhkan esofagitis, meringankan
gejala, mempertahankan remisi, memper-
baiki kualitas hidup, dan mencegah
komplikasi.
Terapi medikamentosa untuk mempe-
ringan gejala GERD mencakup pemberian
CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011
492
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
DAFTAR PUSTAKA1. Kang JY, Ho KY. Different prevalences of reflux oesophagitis and hiatus hernia among dyspeptic patients in England and Singapore. Eur J Gastroenterol Hepatol.
1999;11(8):845-50.2. Goh KL, Chang CS, Fock KM, Ke M, Park HJ, Lam SK. Gastro-oesophageal reflux disease in Asia. J Gastroenterol Hepatol. 2000;15(3):230-8.3. Wong WM, Lam SK, Hui WM, et al. Long-term prospective follow-up of endoscopic oesophagitis in southern Chinese--prevalence and spectrum of the disease. Aliment
Pharmacol Ther. 2002;16(12):2037-42.4. An evidence-based appraisal of reflux disease management--the Genval Workshop Report. Gut 1999;44 Suppl 2:S1-16.5. Fock KM, Talley N, Hunt R, et al. Report of the Asia-Pacific consensus on the management of gastroesophageal reflux disease. J Gastroenterol Hepatol. 2004;19(4):357-67.6. Martinez SD, Malagon IB, Garewal HS, Cui H, Fass R. Non-erosive reflux disease (NERD)-acid reflux and symptom patterns. Aliment Pharmacol Ther. 2003;17(4):537-45.7. Lundell LR, Dent J, Bennett JR, et al. Endoscopic assessment of oesophagitis: clinical and functional correlates and further validation of the Los Angeles classification. Gut
1999;45(2):172-80.8. Kahrilas PJ. Diagnosis of symptomatic gastroesophageal reflux disease. Am J Gastroenterol. 2003;98(3 Suppl):S15-23.9. Fass R, Ofman JJ, Gralnek IM, et al. Clinical and economic assessment of the omeprazole test in patients with symptoms suggestive of gastroesophageal reflux disease.
Arch Intern Med. 1999;159(18):2161-8.10. Wu WC. Ancillary tests in the diagnosis of gastroesophageal reflux disease. Gastroenterol Clin North Am. 1990;19(3):671-82.11. Vicari JJ, Peek RM, Falk GW, et al. The seroprevalence of cagA-positive Helicobacter pylori strains in the spectrum of gastroesophageal reflux disease. Gastroenterology
1998;115(1):50-7.12. Laheij RJ, Van Rossum LG, De Boer WA, Jansen JB. Corpus gastritis in patients with endoscopic diagnosis of reflux oesophagitis and Barrett's oesophagus. Aliment
Pharmacol Ther. 2002;16(5):887-91.13. Schwizer W, Thumshirn M, Dent J et al. Helicobacter pylori and symptomatic relapse of gastro-oesophageal reflux disease: a randomised controlled trial. Lancet
2001;357(9270):1738-42.14. Locke GR, 3rd, Talley NJ, Fett SL, Zinsmeister AR, Melton LJ, 3rd. Risk factors associated with symptoms of gastroesophageal reflux. Am J Med. 1999;106(6):642-9.15. Pandolfino JE, Kahrilas PJ. Smoking and gastro-oesophageal reflux disease. Eur J Gastroenterol Hepatol. 2000;12(8):837-42.16. Kjellin A, Ramel S, Rossner S, Thor K. Gastroesophageal reflux in obese patients is not reduced by weight reduction. Scand J Gastroenterol. 1996;31(11):1047-51.
17. Weberg R, Berstad A. Symptomatic effect of a low-dose antacid regimen in reflux oesophagitis. Scand J Gastroenterol. 1989;24:401–6.18. Paul K, Redman CM, Chen M. Effectiveness and safety of nizatidine, 75 mg, for the relief of episodic heartburn. Aliment Pharmacol Ther. 2001;15(10):1571-7.19. Ciociola AA, Pappa KA, Sirgo MA. Nonprescription doses of ranitidine are effective in the relief of episodic heartburn. Am J Ther. 2001;8(6):399-408.20. Galmiche JP, Shi G, Simon B, Casset-Semanza F, Slama A. On-demand treatment of gastro-oesophageal reflux symptoms: a comparison of ranitidine 75 mg with cimetidine
200 mg or placebo. Aliment Pharmacol Ther. 1998;12(9):909-17.21. Chiba N, De Gara CJ, Wilkinson JM, Hunt RH. Speed of healing and symptom relief in grade II to IV gastroesophageal reflux disease: a meta-analysis. Gastroenterology
1997;112(6):1798-810.22. Klok RM, Postma MJ, van Hout BA, Brouwers JR. Meta-analysis: comparing the efficacy of proton pump inhibitors in short-term use. Aliment Pharmacol Ther.
2003;17(10):1237-45.23. DeVault KR, Castell DO. Guidelines for the diagnosis and treatment of gastroesophageal reflux disease. Practice Parameters Committee of the American College of
Gastroenterology. Arch Intern Med. 1995;155(20):2165-73.
CDK 188 / vol. 38 no. 7 / November 2011