pemodelan transport sedimen kohesif di muara … 20100201.pdfsedimen kohesif, proses flokulasi...
TRANSCRIPT
JTM Vol. XVII No. 2/1010
73
PEMODELAN TRANSPORT SEDIMEN KOHESIF
DI MUARA SUNGAI CIMANUK, INDRAMAYU
Arief Rullyanto1, Totok Suprijo1, Fitri Riandini2
Sari Dalam studi ini dilakukan pemodelan numerik angkutan sedimen kohesif di muara Sungai Cimanuk dengan menggunakan
model 3D ECOMSED yang dimodifikasi. Modifikasi tersebut dilakukan pada persamaan kecepatan jatuhnya, yang semula
menggunakan formulasi Burban (1990) dimodifikasi dengan formulasi kecepatan jatuh dan model flokulasi Winterwerp
(1999). Dari hasil model hidrodinamika, error RMS yang dihasilkan dari verifikasi elevasi antara hasil model dan data
observasi yakni sebesar 7.30 cm (curvilinear) dan 7.62 cm (rectangular). Pola arus baik menggunakan jenis grid
rectangular maupun curvilinear menghasilkan pola hasil yang serupa. Sedangkan dari hasil verifikasi konsentrasi
sedimen, dengan menggunakan persamaan kecepatan jatuh yang dihasilkan Burban (1990) diperoleh hasil dengan error
RMS sebesar 19,68 mg/l. Hasil simulasi model dengan menggunakan formula kecepatan jatuh dan model flokulasi
Winterwerp (1999) terlihat memiliki hasil yang lebih mendekati data lapangan yaitu dengan hasil error RMS sebesar
12,87 mg/l.
Kata Kunci: model, transport sedimen kohesif, winterwerp, cimanuk
Abstract In this study, a numerical modeling of cohesive sediment transport in the estuary of the Cimanuk River using modified 3D
model of ECOMSED was carried out. Modifications were done on the settling velocity equation,that was originally used
formulations from Burban (1990) modified by the formulation of settling velocity and flocculation model from Winterwerp
(1999). From the verification of hydrodynamics model, RMS error of elevation between model result and observation data
is about 7.30 cm (for curvilinear grid) and 7.62 cm (for rectangular grid). The current patterns from rectangular and
curvilinear model grid produce similar results. For sediment concentration verification, the simulation using settling
velocity formulation Burban (1990) obtain results with RMS error of 19.68 mg/l. While, the results of simulation using
settling velocity formulation and flocculation model from Winterwerp (1999) appear to have closer results to the
obseravtion data, with the results of the RMS error of 12.87 mg/l.
Keywords: model, cohesive sediment transport, winterwerp, cimanuk
1) Kelompok Keahlian Oseanografi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesa No. 10 Bandung, Telp : +62 22-2504904, Fax.: +62 22-2504904, E-mail: [email protected] 2) Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air, Departemen Pekerjaan Umum –RI, Jl. H. Djuanda No. 193
Bandung 40132
I. PENDAHULUAN Daerah pertemuan antara muara sungai dan laut
merupakan daerah yang kompleks karena
merupakan terjadi interaksi antara aliran air tawar
dari sungai dan juga air laut. Daerah ini sangat
penting tak hanya bagi manusia yang hidup di
sekitarnya, namun juga penting bagi kehidupan
makhluk hidup lain. Berbagai proses terjadi disana,
salah satunya adalah transpor sedimen yang dibawa
dari sungai ke laut, maupun sebaliknya.
Dalam proses transpor sedimen, terutama untuk
sedimen kohesif, proses flokulasi merupakan hal
yang sangat penting untuk dipelajari dalam suatu
kolom air. Proses flokulasi terjadi karena butir
sedimen kohesif yang saling bertumbuk dan
kemudian melekat satu sama lain. Proses ini
menghasilkan partikel yang lebih besar yang
terkandung air di dalamnya yaitu floc. Hubungan
antara karakteristik floc seperti kecepatan jatuhnya
masih belum terlalu dipahami dengan baik. Oleh
karena itu dilakukan pendekatan secara empirik
dari proses flokulasi salah satunya yang dilakukan
oleh Winterwerp (1999). Dengan menggunakan
formulasi empirik yang ada, maka diharapkan
formulasi tersebut dapat diterapkan dalam
perhitungan numerik di suatu muara sungai.
Salah satu daerah muara yang menarik untuk dikaji
yaitu estuari dari Sungai Cimanuk. Sungai
Cimanuk merupakan sungai kedua terpanjang di
Jawa Barat, panjang sungai ini mencapai hingga
182 km. Namun Sungai Cimanuk memiliki daerah
resapan air paling luas sebesar 9.650,2 km2
(Hehanussa, 1980). Di sekitar daerah ini sebagian
besar digunakan sebagai tambak, sawah, dan juga
untuk pemukiman. Pesatnya penambahan daratan
di daerah ini yang dapat mencapai 200 m tiap tahun
(Hehanussa, 1976) menjadikan daerah ini sebagai
daerah yang mernarik untuk diteliti. Ternyata,
berdasarkan penelitian Wolanski dan Spagnol
(2000), jumlah sedimen yang dibawa Sungai
Cimanuk yang mencapai 6350 ton km-2
tahun-1
merupakan faktor yang sangat berperan. Nilai
tersebut jauh lebih besar dibandingkan sungai-
sungai besar di dunia, seperti sungai Yang Tse,
Amazon, Mississippi, dan Gangga. Dari
keseluruhan sedimen yang dibawa melalui sungai
Cimanuk tersebut, 86% angkutan sedimen di
Sungai Cimanuk diendapkan ke delta cimanuk
(Yuanita dan Tingsanchali, 2007). Jenis sedimen di
muara Cimanuk ini didominasi oleh pasir halus dan
lumpur (Salim, 2005) dan perkembangan delta
Cimanuk diakibatkan karena adanya transpor
lumpur dari Sungai Cimanuk.
Arief Rullyanto, Totok Suprijo, Fitri Riandini
74
Karena sedimen lumpur merupakan sedimen
kohesif, maka penting bagi kita untuk memahami
tentang proses transpor sedimen di daerah Muara
Sungai Cimanuk dengan memasukkan formulasi
flokulasi yang ada, seperti yang telah dibangun
oleh Winterwerp (1999).
II. MODEL FLOKULASI
Keseimbangan massa untuk sedimen kohesif dalam
bidang tiga dimensi dapat digambarkan dalam
persamaan adveksi difusi yaitu: ���� + ���
�� + ����� + ��� �
�� = ��� ���
����� +
��� ���
����� + �
�� �������� (1)
dimana� adalah konsentrasi sedimen melayang,
dan �, �, � adalah komponen kecepatan arah x, y,
z. �� adalah difusifitas horizontal. �� adalah
difusifitas eddy vertikal.
Dalam ECOMSED, kecepatan jatuh hanyalah
merupakan fungsi dari konsentrasi sedimen di
dekat lapisan antara air dan sedimen, c, dan laju
tegang internal, G, yang digambarkan dalam
persamaan berikut (Burban et al, 1990):
�� = ��� � (2)
dimanaα dan β adalah 2,419 dan 0,22 untuk air laut
dan 3,024 dan 0,14 untuk air tawar.
Winterwerp (1999) mengembangkan model evolusi
kecepatan jatuh sedimen kohesif berbutir halus
dalam aliran turbulen kanal terbuka:
��� = !"�
#��#$ % &'
(�)* +*,*-.
!/0.!23456.789 (3)
dimana, Df adalah ukuran aktual floc, Dp adalah
diameter partikel utama dan nfadalah dimensi
fraktal untuk partikel sedimen. Sedangkan α dan β
merupakan koefisien yang tergantung bentuk
partikel, dan Rep merupakan partikel Reynolds.
Floc-floc lumpur jarang turun sebagai partikel-
partikel individu pada saat konsentrasinya cukup
tinggi, floc-floc yang mengendap mulai
menghalangi satu sama lain dalam gerakannya,
yang dikenal sebagai hindered settling. Kecepatan
jatuh efektif dalam sedimen kohesif yang
dipengaruhi proses hindered settling dapat
diformulasikan sebagai berikut adalah:
�� = ���!�:∗ !�:5
!/<.2 : (4)
dengan > = �/�@AB dan >' = �/C�
Dalam proses hindered settling yang digambarkan
dalam persamaan 4, ada tiga faktor yang sangat
berperan, yaitu:
1. Aliran Balik
Sebuah partikel yang jatuh memicu sebuah
aliran balik. Ketka partikel lain di sekitar
partikel yang jatuh ini terletak dalam aliran
balik ini, maka kecepatan jatuh efektifnya
akan terpengaruhi, dan kecepatan jatuh efektif
secara keseluruhan dari suspensi tersebut
akan berkurang sesuai dengan faktor (1 - Φ).
2. Viskositas
Einstein (1906) merupakan yang pertama kali
mengemukakan bahwa viskositas efektif dari
suatu suspensi akan bertambah sesuai dengan
konsentrasi partikel. Dalam hal ini, formula
yang digunakan untuk menentukan viskositas
efektif yaitu µeff = µ (1 + 2,5Φ).
3. Gaya Apung
Dengan argument yang serupa bahwa sebuah
partikel individu yang menendap dalam
suspensi yang tersisa dengan densitas bulk
yang bertambah, maka kecepatan jatuh
efektifnya akan berkurang sesuai dengan
faktor (1- Φp).
Hubungan antara konsentrasi, c, dan konsentrasi
volumetrik dari floc Φ adalah:
> = D#��#$#*�#$
E �#�
= �#�
D+*+5
E(�)* = F�G&H( (5)
Dimana fs adalah faktor bentuk dan N adalah
jumlah partikel sedimen per satuan volume dari
floc lumpur.
Dengan menggunakan hubungan antara konsentrasi
massa sedimen, c, dan bilangan partikel per satuan
volume sedimen, N, dalam persamaan 2.5, maka
model flokulasi dalam persamaan keseimbangan
populasi menjadi: �I�� + �
��JK��L − NL,(
!�:∗ O!�:5P!/<.2 : ���� GQ +
���J
K&� − ГS �I��J
Q = −T′V1 − >∗ �&H(G< +TX�Y/!O&H − &'P'&H
<YG (6)
Penerapan persamaan 6 dalam ECOMSED telah
dilakukan oleh Riandini (2006), baik untuk
simulasi dengan data sintesis maupun dengan
kondisi yang sebenarnaya (Delta Mahakam,
Kalimantan Timur), dan yang telah menunjukkan
hasil yang mendekati dengan data lapangan.
III. DESAIN MODEL DAERAH KAJIAN
Lokasi penelitian berada di sekitar daerah muara
Sungai Cimanuk, Indramayu. Dalam penelitian ini
digunakan dua sistem grid untuk uji
hidrodinamikanya (rectangular dan curvilinear).
Sedangkan untuk uji sebaran sedimen, hanya
digunakan satu sistem grid saja (curvilinear). Grid
curvilinear berukuran 108x99 grid (Gambar 1a).
Sementara itu, grid rectangular memiliki ukuran
109x85 grid (Gambar 1b). Dengan menggunakan
grid curvilinear, maka kita dapat membuat grid
yang lebih rapat khusus pada daerah yang ingin
kita tinjau dengan lebih seksama, sehingga
diharapkan diperoleh hasil yang lebih akurat. Data
batimetri daerah kajian diperoleh dari data
Bakosurtanal (Gambar 1c dan 1d). Simulasi
dilakukan 10 hari, mulai tanggal 10 Juli 2009
sampai dengan tanggal 20 Juli 2009. Data hasil
simulasi tersebut kemudian diverifikasi dengan
data lapangan selama 7 hari, sejak tanggal 12 Juli
2009 sampai dengan 19 Juli 2009, pada koordinat
Pemodelan Transport
188267 E, 9310378 N. Input data elevasi terletak di
masing-masing grid batas laut merupakan data
hasil Tide Model Driver (TMD) dengan
menggunakan enam komponen pasang surut (S
M2, N2, K1, P1, O1). Simulasi ini dilakukan dengan
menggunakan lima σ level. Sedangkan untuk nilai
debit digunakan nilai rata-rata tahunan (1956
di daerah Rentang yakni sebesar 134.7 m
(a) Desain grid daerah model (curvilinear
(c) Batimetri daerah model (curvilinear
Gambar 1. Desain daerah kajian
IV. HASIL DAN DISKUSI
Dari hasil simulasi, terlihat bahwa perbandingan
antara nilai elevasi pasang surut hasil model (baik
grid rectangular maupun curvilinear) dengan data
lapangan memiliki hasil yang sesuai. Perbandingan
tersebut menunjukkan kesamaan baik pada fasa
maupun amplitudonya. Gambar 2a dan 2
menunjukkan juga distribusi antara data observasi
dan hasil model (baik grid rectangular
curvilinear), dari gambar tersebut terlihat bahwa
distribusi data berada di sekitar garis
(a) Perbandingan elevasi hasil model (
Pemodelan Transport Sedimen Kohensif di Muara Sungai Cimanuk, Indramayu
188267 E, 9310378 N. Input data elevasi terletak di
g grid batas laut merupakan data
(TMD) dengan
menggunakan enam komponen pasang surut (S2,
). Simulasi ini dilakukan dengan
Sedangkan untuk nilai
rata tahunan (1956-1985)
7 m3/detik.
Kemudian, berdasarkan data lapangan, maka
diperoleh input nilai konsentrasi sedimen di mulut
sungai Cimanuk sebesar 65 mg/l. Konsent
sedimen pada saat pengambilan sampel di bulan
Juli ini relatif kecil jika dibandingkan data
penelitian Pusat Litbang Pengairan yang dapat
mencapai 559 mg/l (di bulan Desember 1992).
curvilinear) (b) Desain grid daerah model (rectangular)
curvilinear) (d) Batimetri daerah model (rectangular
Gambar 1. Desain daerah kajian
Dari hasil simulasi, terlihat bahwa perbandingan
antara nilai elevasi pasang surut hasil model (baik
) dengan data
memiliki hasil yang sesuai. Perbandingan
tersebut menunjukkan kesamaan baik pada fasa
. Gambar 2a dan 2b
menunjukkan juga distribusi antara data observasi
rectangular maupun
erlihat bahwa
distribusi data berada di sekitar garis x=y yang
menunjukkan bahwa hasil model sudah cukup baik
menggambarkan hasil data observasi. Secara
kuantitatif, perbedaan antara hasil model grid
curvilinear dan data observasi memiliki error RMS
(Root Mean Square) sebesar 7.30 cm. Sedangkan
perbedaan error RMS antara hasil model grid
rectangular dan data observasi mencapai 7.62 cm.
Dari hasil ini maka terlihat bahwa penggunaan grid
curvilinear akan menghasilkan hasil yang lebih
baik secara kuantitatif.
(a) Perbandingan elevasi hasil model (curvilinear) dan data observasi
Sedimen Kohensif di Muara Sungai Cimanuk, Indramayu
Kemudian, berdasarkan data lapangan, maka
diperoleh input nilai konsentrasi sedimen di mulut
sungai Cimanuk sebesar 65 mg/l. Konsentrasi
sedimen pada saat pengambilan sampel di bulan
Juli ini relatif kecil jika dibandingkan data
penelitian Pusat Litbang Pengairan yang dapat
mencapai 559 mg/l (di bulan Desember 1992).
rectangular)
menunjukkan bahwa hasil model sudah cukup baik
menggambarkan hasil data observasi. Secara
kuantitatif, perbedaan antara hasil model grid
dan data observasi memiliki error RMS
) sebesar 7.30 cm. Sedangkan
perbedaan error RMS antara hasil model grid
dan data observasi mencapai 7.62 cm.
Dari hasil ini maka terlihat bahwa penggunaan grid
akan menghasilkan hasil yang lebih
Arief Rullyanto, Totok Suprijo, Fitri Riandini
(b) Perbandingan elevasi hasil model (
Gambar 2.
Pada saat menuju surut untuk grid
(Gambar 3a), pola arus terlihat bergerak dari arah
Barat ke arah Timur, distribusi kecepatan terlihat
besar di sekitar mulut sungai karena debit dari
sungai yang besar. Selain itu, arus di sekitar mulut
sungai juga terlihat ada arus bergerak ke arah
Utara, meski ada sebagian yang ke Selatan.
Sedangkan pada saat surut, pola arus menunjukkan
hasil yang sama untuk daerah yang jauh dari muara
sungai. Pola yang sama juga ditunjukkan ketika
menggunakan grid rectangular (Gambar 3
Namun pada kondisi surut dengan grid
(Gambar 3c), besar kecepatan lebih kecil
dibandingkan pada saat menuju surut, kondisi ini
terjadi karena pada saat surut, kecepatan mencapai
nilai minimum. Sedangkan khusus di sekitar muara
sungai, terlihat bahwa kondisi distribusi arus lebih
banyak menuju ke arah Barat dan jauh lebih kuat
dibandingkan pada kondisi menuju surut, hal ini
karena pengaruh mulut sungai yang lebih condong
ke arah Barat dan berkurangnya kecepatan arus
yang menuju Timur. Hasil pola arus dengan
menggunakan grid rectangular juga menghasilkan
hasil yang serupa dengan grid curvilinear
(a) Pola arus saat menuju surut (curvilinear
Arief Rullyanto, Totok Suprijo, Fitri Riandini
(b) Perbandingan elevasi hasil model (rectangular) dan data observasi
Gambar 2. Hasil verifikasi pasang surut
Pada saat menuju surut untuk grid curvilinear
a), pola arus terlihat bergerak dari arah
Barat ke arah Timur, distribusi kecepatan terlihat
besar di sekitar mulut sungai karena debit dari
sungai yang besar. Selain itu, arus di sekitar mulut
sungai juga terlihat ada arus bergerak ke arah
Utara, meski ada sebagian yang ke Selatan.
a saat surut, pola arus menunjukkan
hasil yang sama untuk daerah yang jauh dari muara
sungai. Pola yang sama juga ditunjukkan ketika
(Gambar 3b).
Namun pada kondisi surut dengan grid curvilinear
besar kecepatan lebih kecil
dibandingkan pada saat menuju surut, kondisi ini
terjadi karena pada saat surut, kecepatan mencapai
nilai minimum. Sedangkan khusus di sekitar muara
sungai, terlihat bahwa kondisi distribusi arus lebih
at dan jauh lebih kuat
dibandingkan pada kondisi menuju surut, hal ini
karena pengaruh mulut sungai yang lebih condong
ke arah Barat dan berkurangnya kecepatan arus
yang menuju Timur. Hasil pola arus dengan
juga menghasilkan
curvilinear (Gambar
3d). Pada saat menuju pasang (menggunakan grid
curvilinear) (Gambar 3e), pola arus umumnya
bergerak ke arah Barat, yang berlawanan dengan
pada saat kondisi menuju pasang yang bergerak ke
Timur. Sehingga terlihat bahwa arus yang berada
di sebelah Barat muara sungai jauh lebih besar
dibandingkan pada saat menuju surut, karena arah
arus pasang sarut cenderung satu arah dengan arah
arus yang keluar dari mulut sungai.
pula tidak ada arus yang bergerak ke arah Utara,
bahkan di sebelah mulut sungai, banyak arus yang
bergerak ke Selatan. Jika dibandingkan pola arus
tersebut dengan pola arus dengan menggunakan
grid rectangular, terlihat bahwa pola arus yang
dihasilkan juga menunjukkan hasil yang serupa
(Gambar 3f). Sedangkan pada saat pasang (Gambar
3g) sama halnya pada saat surut, kecepatan arus
yang dihasilkan sangat kecil, meskipun pada saat
pasang ini arah kecepatan berbeda pada saat surut,
yaitu bergerak dari Timur ke arah Barat. Saat
menggunakan grid rectangular, pola ar
pasang juga menunjukkan hasil yang tidak berbeda
dengan grid curvilinear (Gambar 3h).
curvilinear) (b) Pola arus saat menuju Surut (rectangular
Pada saat menuju pasang (menggunakan grid
pola arus umumnya
bergerak ke arah Barat, yang berlawanan dengan
pada saat kondisi menuju pasang yang bergerak ke
terlihat bahwa arus yang berada
di sebelah Barat muara sungai jauh lebih besar
dibandingkan pada saat menuju surut, karena arah
arus pasang sarut cenderung satu arah dengan arah
arus yang keluar dari mulut sungai. Dan terlihat
erak ke arah Utara,
bahkan di sebelah mulut sungai, banyak arus yang
Jika dibandingkan pola arus
tersebut dengan pola arus dengan menggunakan
, terlihat bahwa pola arus yang
dihasilkan juga menunjukkan hasil yang serupa
gkan pada saat pasang (Gambar
g) sama halnya pada saat surut, kecepatan arus
yang dihasilkan sangat kecil, meskipun pada saat
pasang ini arah kecepatan berbeda pada saat surut,
yaitu bergerak dari Timur ke arah Barat. Saat
, pola arus saat
hasil yang tidak berbeda
rectangular)
Pemodelan Transport
(c) Pola arus saat surut (curvilinear)
(e) Pola arus saat menuju pasang (curvilinear
(g) Pola arus saat pasang (curvilinear)
Dengan menggunakan formulasi kecepatan jatuh
Burban terlihat bahwa pada saat menuju surut
(Gambar 4a), pola sebaran sedimen berada di
sebelah Barat muara sungai, hal ini disebabkan
karena adanya arus yang bergerak ke arah tersebut
sehingga sedimen terbawa ke bagian Barat. Selain
itu, sebaran sedimen juga terlihat ke arah Utara,
karena pada saat menuju surut ada juga arus yang
bergerak ke arah Utara. Sedangkan saat kondisi
surut (Gambar 4c), sebaran relatif sama, namun
sebaran sedimen ke arah utara tidaklah sejauh saat
menuju surut, hal ini disebabkan karena arus yang
bergerak ke arah Utara melemah saat suru
Pemodelan Transport Sedimen Kohensif di Muara Sungai Cimanuk, Indramayu
(d) Pola arus saat surut (rectangular)
curvilinear) (f) Pola arus saat menuju pasang (rectangular
(h) Pola arus saat pasang (rectangular)
Gambar 3. Pola arus
cepatan jatuh
Burban terlihat bahwa pada saat menuju surut
pola sebaran sedimen berada di
sebelah Barat muara sungai, hal ini disebabkan
karena adanya arus yang bergerak ke arah tersebut
sehingga sedimen terbawa ke bagian Barat. Selain
itu, sebaran sedimen juga terlihat ke arah Utara,
t ada juga arus yang
bergerak ke arah Utara. Sedangkan saat kondisi
(Gambar 4c), sebaran relatif sama, namun
sebaran sedimen ke arah utara tidaklah sejauh saat
menuju surut, hal ini disebabkan karena arus yang
bergerak ke arah Utara melemah saat surut. Pada
kondisi menuju pasang (Gambar 4
bahwa nilai sebaran sedimen begitu besar di mulut
sungai dan di bagian Barat. Hal ini karena pada
saat menuju pasang, arus pasang surut bergerak ke
Barat dan posisi mulut sungai yang condong ke
Barat, sehingga sedimen yang keluar dari mulut
sungai banyak terdistribusi dibagian barat. Dan
terlihat pula di sekitar mulut sungai, ada sebaran
sedimen ke arah selatan. Sedangkan pada saat
pasang (Gambar 4g), sebaran sedimen terlihat sama
halnya seperti kondisi yang lain, dimana distribusi
banyak di bagian Barat mulut sungai. Pada kondisi
ini, sebaran sedimen sangat dipengaruhi oleh debit
Sedimen Kohensif di Muara Sungai Cimanuk, Indramayu
rectangular)
kondisi menuju pasang (Gambar 4e), terlihat
bahwa nilai sebaran sedimen begitu besar di mulut
sungai dan di bagian Barat. Hal ini karena pada
saat menuju pasang, arus pasang surut bergerak ke
Barat dan posisi mulut sungai yang condong ke
ingga sedimen yang keluar dari mulut
sungai banyak terdistribusi dibagian barat. Dan
terlihat pula di sekitar mulut sungai, ada sebaran
gkan pada saat
sebaran sedimen terlihat sama
ng lain, dimana distribusi
banyak di bagian Barat mulut sungai. Pada kondisi
ini, sebaran sedimen sangat dipengaruhi oleh debit
Arief Rullyanto, Totok Suprijo, Fitri Riandini
dari sungai karena besar arus pasang surut sangat
kecil. Selain itu, sebaran sedimen pada saat pasang
yang bergerak Selatan tidaklah sebanyak saat
menuju pasang, karena arus yang menuju ke
Selatan sangatlah kecil.
Sedangkan apabila diterapkan penggunaan
kecepatan jatuh dan model flokulasi Winterwerp,
terlihat bahwa pada saat menuju surut (Gambar
4b), besarnya arus yang bergerak ke arah Barat
menyebabkan dominasi sebaran sedimen terletak di
sebelah Barat muara sungai. Selain ke arah Barat,
sebaran sedimen ke arah Utara juga terlihat karena
ada arus juga yang bergerak ke arah Utara. Saat
kondisi surut (Gambar 4d), distribusi sedimen
bergerak ke Utara mulut sungai terlihat berkurang,
karena pada saat itu arus yang bergerak ke arah
(a) Konsentrasi sedimen saat menuju surut
(c) Konsentrasi sedimen saat surut (Burban)
(e) Konsentrasi sedimen saat menuju pasang (Burban)
Arief Rullyanto, Totok Suprijo, Fitri Riandini
arus pasang surut sangat
Selain itu, sebaran sedimen pada saat pasang
klah sebanyak saat
menuju pasang, karena arus yang menuju ke
Sedangkan apabila diterapkan penggunaan
kecepatan jatuh dan model flokulasi Winterwerp,
ada saat menuju surut (Gambar
e arah Barat
menyebabkan dominasi sebaran sedimen terletak di
sebelah Barat muara sungai. Selain ke arah Barat,
sebaran sedimen ke arah Utara juga terlihat karena
ada arus juga yang bergerak ke arah Utara. Saat
d), distribusi sedimen yang
bergerak ke Utara mulut sungai terlihat berkurang,
karena pada saat itu arus yang bergerak ke arah
Utara tidaklah sekuat saat kondisi menuju suru
Saat menuju pasang (Gambar 4f), distribusi
sedimen juga condong ke arah Barat mulut sungai,
bahkan lebih jauh jika dibandingkan saat surut, hal
ini disebabkan karena pola arus yang dominan ke
arah Barat pada saat menuju pasang, dan besar arus
ke arah Barat di sekitar Mulut sungai yang juga
besar. Selain itu, terlihat pula bahwa sedimen juga
tersebar ke arah Selatan, sesuai dengan adanya juga
arus yang bergerak ke Selatan di sekitar mulut
sungai. Sedangkan pada kondisi pasang (Gambar
4h), nampak bahwa pola penyebaran tersebut
menyerupai pada saat menuju pasang, namun yang
membedakan yaitu sebaran sedimen yan
Selatan mulut sungai tidaklah sejauh pada saat
menuju pasang, seiring dengan melemahnya arus
pada saat pasang.
surut (Burban) (b) Konsentrasi sedimen saat menuju surut (Winterwerp)
(Burban) (d) Konsentrasi sedimen saat surut (Winterwerp)
(e) Konsentrasi sedimen saat menuju pasang (Burban) (f) Konsentrasi sedimen saat menuju pasang (Winterwerp)
Utara tidaklah sekuat saat kondisi menuju surut.
f), distribusi
sedimen juga condong ke arah Barat mulut sungai,
ih jauh jika dibandingkan saat surut, hal
ini disebabkan karena pola arus yang dominan ke
arah Barat pada saat menuju pasang, dan besar arus
ke arah Barat di sekitar Mulut sungai yang juga
besar. Selain itu, terlihat pula bahwa sedimen juga
h Selatan, sesuai dengan adanya juga
arus yang bergerak ke Selatan di sekitar mulut
n pada kondisi pasang (Gambar
nampak bahwa pola penyebaran tersebut
menyerupai pada saat menuju pasang, namun yang
membedakan yaitu sebaran sedimen yang ke arah
Selatan mulut sungai tidaklah sejauh pada saat
menuju pasang, seiring dengan melemahnya arus
(Winterwerp)
(Winterwerp)
(f) Konsentrasi sedimen saat menuju pasang (Winterwerp)
Pemodelan Transport
(g) Konsentrasi sedimen saat pasang (Burban)
Gambar 4
Dari Gambar 5 dan 6 terlihat bahwa pada saat
menuju pasang, sedimen lebih condong tersebar ke
arah B (Barat Daya) dibandingkan ke arah A
(Tenggara). Sedangkan pada saat menuju surut,
justru sebaliknya, dimana sedimen bergerak ke
arah A (Tenggara). Hal ini sangat dipengaruhi oleh
pergerakan arus saat itu. Dari gambar tersebut juga
terlihat bahwa kosentrasi sedimen menunjukkan
distribusi yang lebih tinggi di sekitar mulut sungai
saat surut, sedangkan pada saat surut, sedimen
tersebut tertahan sehingga konsentrasi sedimen di
mulut sungai tidaklah setinggi pasa kondisi
lainnya. Jika kita lihat distribusi konsentrasi
terhadap kedalaman, terlihat bahwa didekat mulut
Gambar 5.
Pemodelan Transport Sedimen Kohensif di Muara Sungai Cimanuk, Indramayu
pasang (Burban) (h) Konsentrasi sedimen saat pasang (Winterwerp)
Gambar 4. Distribusi konsentrasi sedimen
bahwa pada saat
menuju pasang, sedimen lebih condong tersebar ke
arah B (Barat Daya) dibandingkan ke arah A
(Tenggara). Sedangkan pada saat menuju surut,
justru sebaliknya, dimana sedimen bergerak ke
arah A (Tenggara). Hal ini sangat dipengaruhi oleh
erakan arus saat itu. Dari gambar tersebut juga
terlihat bahwa kosentrasi sedimen menunjukkan
distribusi yang lebih tinggi di sekitar mulut sungai
saat surut, sedangkan pada saat surut, sedimen
tersebut tertahan sehingga konsentrasi sedimen di
tidaklah setinggi pasa kondisi
lainnya. Jika kita lihat distribusi konsentrasi
terhadap kedalaman, terlihat bahwa didekat mulut
sungai, konsentrasi sedimen bertambah seiring
dengan bertambahnya kedalaman. Dari penampang
ini juga terlihat bahwa sebaran sed
menggunakan formulasi kecepatan jatuh
Winterwerp lebih memiliki sebaran yang lebih jauh
jika dibandingkan dengan menggunakan formulasi
Burban. Pola ini menunjukkan hasil yang serupa
diberbagai level kedalaman. Hal ini disebabkan
karena dalam formulasi kecepatan jatuh
Winterwerp, maka ada proses hindered settling
yang mengakibatkan sedimen kecepatan jatuh
sedimen berkurang, keberadaan butir sedimen
sedikit tertahan di kolom air, sehingga sebaran
sedimennya menjadi lebih jauh.
Gambar 5. Deskripsi penampang melintang A-B
Sedimen Kohensif di Muara Sungai Cimanuk, Indramayu
(h) Konsentrasi sedimen saat pasang (Winterwerp)
sungai, konsentrasi sedimen bertambah seiring
dengan bertambahnya kedalaman. Dari penampang
ini juga terlihat bahwa sebaran sedimen dengan
menggunakan formulasi kecepatan jatuh
Winterwerp lebih memiliki sebaran yang lebih jauh
jika dibandingkan dengan menggunakan formulasi
Burban. Pola ini menunjukkan hasil yang serupa
diberbagai level kedalaman. Hal ini disebabkan
rmulasi kecepatan jatuh
hindered settling
yang mengakibatkan sedimen kecepatan jatuh
sedimen berkurang, keberadaan butir sedimen
sedikit tertahan di kolom air, sehingga sebaran
Arief Rullyanto, Totok Suprijo, Fitri Riandini
80
Gambar 6. Perbandingan konsentrasi pada penampang melintang A – B
Data perbandingan antara hasil model dan
observasi terlihat memiliki kecenderungan pola
yang sama (Gambar 7). Hasil verifikasi antara data
observasi dan hasil model (untuk semua skenario),
memiliki kecocokan yang baik untuk titik sampel
1, 2, dan 3. Sedangkan pada titik sampel 4 dan 5
kurang memiliki kecocokan yang baik, hal ini
disebabkan karena pada bagian Timur mulut sungai
terdapat sudetan dari sungai Cimanuk, namun hal
ini tidak dimasukkan dalam domain model. Error
RMS antara data observasi dengan hasil model
tanpa menggunakan formulasi Winterwerp
(formulasi kecepatan jatuh Burban) sebesar 19,68
mg/l. Sedangkan jika dengan menggunakan
formulasi Winterwerp, maka diperoleh nilai error
RMS sebesar 12.87 mg/l. Dari hasil tersebut
terlihat bahwa penggunaan model flokulasi dengan
formulasi Winterwerp, lebih memiliki hasil yang
lebih baik dibandingkan tanpa menggunakan
formulasi tersebut.
Gambar 7. Perbandingan konsentrasi sedimen antara hasil model dan data observasi
Pemodelan Transport Sedimen Kohensif di Muara Sungai Cimanuk, Indramayu
81
V. KESIMPULAN
Model ECOMSED telah cukup baik
menggambarkan proses dinamika di sekitar estuari.
Error RMS yang dihasilkan dari verifikasi elevasi
antara hasil model dan data observasi yakni sebesar
7.30 cm (curvilinear) dan 7.62 cm (rectangular).
Pola arus baik menggunakan jenis grid rectangular
maupun curvilinear menghasilkan pola hasil yang
serupa. Sedangkan dari hasil verifikasi konsentrasi
sedimen, dengan menggunakan persamaan
kecepatan jatuh yang dihasilkan Burban (1990)
diperoleh hasil dengan error RMS sebesar 19.68
mg/l. Hasil simulasi model dengan menggunakan
formula kecepatan jatuh dan model flokulasi
Winterwerp (1999) terlihat memiliki hasil yang
lebih mendekati data lapangan yaitu dengan hasil
error RMS sebesar 12.87 mg/l.
DAFTAR PUSTAKA 1. Burban, P.Y., Xu, Y., McNeil, J., and Lick,
W., 1990. Settling Speeds of Flocs in Fresh
and Sea Waters. J. Geophys. Res., 95(C10):
18213-18220.
2. Hehanussa, P.E., 1976. Sedimentasi delta baru
Cimanuk. Majalah Geologi Vol 3 No 1.
3. Hehanussa, P.E., 1980. Excursion Guide to the
Cimanuk Delta Complex, West Java,
Proceedings of the Jakarta Workshop on
Coastal Resources Management, UNU, 106
pages.
4. Mellor, G.L. dan Yamada, T., 1982.
Development of a Turbulence Closure Model
for Geophysical Fluid Problems. Rev.
Geophys. Space Phys., 20, 851-875.
5. Riandini, F., 2006. Simulation Model for
Cohesive Sediment Transport and Bottom
Topography Changes in Estuary, Kyoto
University.
6. Salim, J. A., 2005. Intensitas Sedimentasi dan
Erosi Pantai Indramayu Bagian Timur. Master
Thesis, ITB.
7. Tjia, H. D.,1964. On The Cimanuk River
Delta. Bull. Geol Survey of Indonesia, Vol 1,
no 1, pp17-19.
8. Wintererp, J.C., 1999. On the Dynamics of
High-concentrated Mud Supensions,
Communications on Hydraulic Engineering,
Delf University of Technology.
9. Wintererp, J.C., 2002. On the Flocculation and
Settling Velocity of Estuarine mud,
Continental Shelf Research, 22, 1339-1360
10. Winterwep, J..C., 2004. Introduction to the
Physics of Cohesive Sediment in The Marine
Environment, Development in Sedimontology
56, elsevier.
11. Wolanski, E. dan Spagnol, S., 2000.
Environmental Degradation by Mud in
TropicalEestuaries, Springer Berlin.
12. Yuanita, N. dan Tingsanchali T., 2007.
Development of a river delta: a case study of
Cimanuk river mouth, Indonesia, Water
Engineering and Management, Asian Institute
of Technology, Thailand.