pemodelan dan simulasi reservoir geotermal lapangan x ... · survey geokimia lalu memperkuat...
TRANSCRIPT
1
Pemodelan dan Simulasi Reservoir Geotermal Lapangan X untuk
Penempatan Sumur Produksi dengan Metode Optimasi Numerik
Teguh Perdana Putra1, Widodo Wahyu Purwanto1 dan Yunus Daud2
1 Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI, Depok, 16424, Indonesia 2Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI,
Depok, 16424, Indonesia
E-mail : [email protected]
Abstrak
Potensi energi geotermal Indonesia merupakan yang terbesar di dunia, namun kini baru diutilisasi sekitar 4% dari
potensi tersebut. Penelitian ini bertujuan mengoptimalkan penempatan sumur produksi geotermal di lapangan X
agar risiko aktivitas pengembangan skema produksi dapat diminimalisasi. Pada penelitian ini dilakukan pemodelan
dan simulasi reservoir dengan menggunakan data 3G (Geologi, Geofisika dan Geokimia) dari lapangan X dan data
dari sumur yang telah ada. Dengan menggunakan TOUGH2, PETRASIM dan GeoSlicer-X, pemodelan forward
yang mencakup adjustment dari litologi dan posisi sources dilakukan hingga model reservoir mencapai kondisi
natural state. Data hasil simulasi reservoir kemudian diregresi menggunakan MATLAB serta dilakukan optimasi
numerik guna mendapatkan titik-titik penempatan sumur produksi yang diajukan untuk penambahan kapasitas
terpasang di lapangan X. Didapatkan hasil penelitian titik optimum penempatan sumur produksi pada koordinat x
3276 m dan y 4262 m dengan nilai entalpi spesifik maksimum 1529,9 kJ/kg; serta 6 titik penempatan sumur
produksi dengan nilai entalpi spesifik 1500, 1450 dan 1400 kJ/kg. Dengan demikian, penambahan kapasitas
terpasang dari skema produksi tambahan ini diestimasi dapat mencapai 43,5 MWe.
Geothermal Reservoir Modelling and Simulation of X Field for Production Well
Placement with Numerical Optimization Method
Abstract
Indonesia has the biggest estimated geothermal energy reserve in the world, but only 4% of that reserve currently
utilized to generate electricity. The purpose of this research is to optimize the production well placements at X
field to minimize the failure risk of production scheme development. In the research, reservoir modelling and
simulation is conducted based on 3G (Geological, Geophysical and Geochemical) data and existing wells data.
Forward modelling process, which covers the lithology and sources position adjustment, is executed with
TOUGH2, PETRASIM and GeoSlicer-X to validate the reservoir model towards natural state condition. Using
MATLAB, the resulting data is regressed and used to numerically optimize the production well placement decision
based on the fluid specific enthalpy. The new production scheme is proposed to further increase the installed
capacity in X field. The final result is the optimal point of well placement; which is 3276 m in x coordinate and
4262 m in y coordinate with the maximum specific enthalpy value of 1529,9 kJ/kg and 6 (six) other points with
specific enthalpy of 1500, 1450 or 1400 kJ/kg. Thus, the improvement of the installed capacity with the proposed
production scheme is estimated to reach 43,5 MWe.
Keywords: modelling; geothermal reservoir; numerical optimization; production well placement
Pendahuluan
Menurut International Energy Agency, pembangkitan energi listrik menggunakan tenaga
geotermal pada tahun 2050 akan meningkat hingga 21 kali lipat lebih banyak daripada tahun
2011 secara global. Indonesia merupakan negara di dunia dengan potensi geotermal terbesar
2
yang mencapai 29 GWe (Badan Geologi Indonesia, 2010). Pemerintah Republik Indonesia
memproyeksikan pada tahun 2030 utilisasi geotermal dapat mencapai 9,8% dari 4% (KESDM,
2010). Karenanya, lapangan-lapangan yang ada di Indonesia perlu dikembangkan secepatnya
agar dapat dimanfaatkan untuk memenuhi target tersebut.
Adapun lapangan X adalah salah satu lapangan geotermal di Indonesia dengan tiga gunung
vulkanik aktif dan manifestasi permukaan berupa mata air panas, steaming grounds dan fumarol
dengan tipe reservoir dominasi air panas (Atmojo, 2001). Menggunakan data-data geokimia,
geofisika dan geologi serta sumur-sumur yang telah ada dari lapangan X, pada penelitian ini
akan dibuat model natural state (kondisi awal reservoir sebelum berproduksi) yang
merepresentasikan lapangan X dan kinerja reservoirnya menggunakan TOUGH2.
Setelahnya menggunakan data profil suhu dan tekanan dari model yang dihasilkan pada elevasi
500 m.b.s.l. (meters below sea level) akan didapatkan profil entalpi spesifik fluida pada elevasi
yang sama. Profil entalpi spesifik ini akan diregresi menggunakan POLYFIT dan digunakan
untuk melakukan optimasi numerik guna mencari titik x dan y pada kedalaman produksi yang
mengandung entalpi fluida tertinggi dan titik-titik kontur entalpi spesifik yang relatif tinggi
disekitar titik optimum. Dengan menggunakan hasil penelitian tersebut dapat dilakukan
rekomendasi skema produksi baru dan estimasi kapasitas terpasang yang dihasilkan sumur-
sumur produksi yang direkomendasikan.
Tinjauan Teoritis
Pemodelan reservoir dilakukan dengan lebih dahulu memahami sistem geotermalnya. Suatu
sistem geotermal harus memiliki (1) batuan reservoir yang permeable; (2) aliran air untuk
transfer panas dari reservoir ke permukaan dan (3) sumber panas (heat source) (Sigurdsson,
et.al., 1999). Lapangan X merupakan sistem geotermal tipe vulkanik kuaterner (umur 300
hingga 500 ribu tahun), yang merupakan sistem dengan sumber panas utama merupakan intrusi
magma pada rentang kedalaman 2 hingga 10 km dan kedalaman reservoir kurang dari 1,5 km
dengan suhu diatas 200oC. Jika diklasifikan berdasarkan kualitas fluida reservoir, reservoir
lapangan X merupakan tipe dominasi air panas (liquid-dominated).
Pemodelan reservoir selalu didasarkan oleh data-data lapangan yang mendukung. Secara
umum, data-data ini adalah data geologi, geofisika (meliputi MAM, resistivitas, gravitasi dan
3
MT) serta geokimia. Survey geologi secara umum dilakukan secara aerial untuk melihat
struktur-struktur geologis (seperti patahan atau lipatan) yang penting untuk diketahui
pemanjangannya serta mempelajari paleontologi (ilmu sejarah batuan). Survey ini juga meliputi
tes coring untuk mengetahui dengan lebih seksama struktur batuan di lapangan X. Survey
geofisika memperkuat hasil survey geologi karena mampu memetakan struktur formasi
dibawah tanah dan persebaran batuan berdasarkan sifat fisisnya. Survey MT dan resistivitas
mengakuisisi data resistivitas batuan menggunakan kuat medan magnet dan perbedaan
potensial listrik berturut-turut. Survey gravitasi mengakuisis data anomali gravitasi
dibandingkan dengan gravitasi acuan untuk memperkirakan densitas batuan dibawah
permukaan tanah. Survey MAM memiliki konsep yang sama dengan survey resistivitas namun
lebih memfokuskan pada resistivitas sebaran fluida (untuk mengetahui jalan alirnya fluida) di
bawah permukaan tanah. Survey geokimia lalu memperkuat pemahaman mengenai suatu sistem
geotermal dengan memperkirakan hidrogeologi fluida geotermal (menggunakan sampling pada
manifestasi permukaan seperti solfatara/fumarol dan hotspring) dan suhu reservoir
(menggunakan geotermetri berdasarkan hasil sampling manifestasi permukaan).
Gambar 1. Kontrol volume pada pemodelan reservoir (Pruess, 2002)
Dalam memulai suatu pemodelan reservoir dengan TOUGH2, parameter komputasi diperlukan
untuk diskritisasi volume dan waktu. Terminologi akumulasi, fluks dan pengaruh sumur
injeksi/produksi dari setiap kontrol volume (lihat Gambar 1) dalam model akan diintegrasikan
terhadap ruang dan waktu seperti terlihat pada persamaan 1. Ketiga terminologi ini berlaku
untuk neraca massa dan energi, yang keduanya dipengaruhi oleh penurunan neraca momentum
(kecepatan alir Darcy). Selain itu, kondisi awal dan kondisi batas yang sesuai dengan model
(model open atau closed box) juga perlu diperhatikan dalam pemodelan reservoir.
𝑑
𝑑𝑡∫ 𝑀𝜅
𝑉𝑛𝑑𝑉𝑛 = ∫ 𝑭𝜅
Γ𝑛• 𝒏 𝑑Γ𝑛 + ∫ 𝑞𝜅
V𝑛𝑑𝑉𝑛 (1)
4
dimana 𝑀 adalah akumulasi, 𝑭 adalah vektor fluks pada 6 bagian luasan penampang Γ𝑛, 𝑞
adalah masukan atau keluaran sumur injeksi atau produksi, 𝑉𝑛 adalah kontrol volum dan 𝑡
adalah waktu. Pada saat profil suhu dan tekanan yang dihasilkan dari persamaan 1 sudah
memiliki perubahan yang relatif kecil maka model dikatakan mencapai kondisi natural state.
Regresi linear merupakan proses mendapatkan suatu fungsi sebagai model empiris yang
merepresentasikan perilaku persebaran data-data yang diregresi (dalam hal ini data model).
Regresi polinomial merupakan jenis regresi yang menggunakan aproksimasi regresi linear
dalam meregresi data-data nonlinear. Contoh model empiris polinomial derajat dua dengan
terminologi interaksi antar dua variabel dapat dilihat pada persamaan 2. Persamaan tersebut
akan digunakan untuk meminimasi (penurunan orde satu sama dengan nol) perbedaan antara
nilai fungsi model dengan data-data yang diregresi sehingga model empiris yang dihasilkan
dari regresi dapat merepresentasikan data model secara optimum.
𝒛 = 𝛽0 + 𝛽1𝒙 + 𝛽2𝒚 + 𝛽3𝒙.2+ 𝛽4𝒚.2+ 𝛽5𝒙. 𝒚 + 𝜺 (2)
dimana 𝛽0, 𝛽1, . . . , 𝛽5 adalah parameter-parameter model empiris yang dihasilkan dari proses
regresi, 𝒙 dan 𝒚 adalah vektor variabel, 𝒛 adalah nilai fungsi model empiris dan 𝜺 adalah selisih
nilai yang dihasilkan oleh model empiris dengan nilai data regresi pada variabel penentu yang
sama.
Optimasi numerik menggunakan prinsip yang sama dengan regresi, yaitu penurunan fungsi
Lagrangian orde satu dan dua. Adapun fungsi Lagrangian adalah fungsi yang dihasilkan dari
kombinasi fungsi objektif (fungsi tujuan yang dioptimasi) dan fungsi kendala (fungsi yang
membatasi proses optimasi) dimana keduanya mengandung variabel penentu. Adapun bentuk
fungsi Lagrangian dengan dua variabel penentu dapat dilihat pada persamaan 3. Pada Gambar
2 dapat diilustrasikan bahwa arah optimasi fungsi objektif (gradien −∇𝑓) merupakan hasil
penambahan vektor gradien fungsi kendala yang membatasinya sehingga berhenti pada
koordinat (1,1) sebagai titik minimum optimal. Suatu titik dikatakan memberikan nilai fungsi
objektif (jika tanpa kendala) atau nilai fungsi Lagrangian (jika berkendala) optimum jika
penurunan orde satu dan orde duanya mendekati atau sama dengan nol.
𝐿(𝑥, 𝑦, 𝒖) = 𝑓(𝑥, 𝑦) + ∑ 𝑢𝑗[𝑔𝑗(𝑥, 𝑦) − 𝑐𝑗]3𝑗=1 (3)
5
dimana 𝐿 adalah fungsi Lagrangian yang diturunkan parsial untuk optimasi, 𝑓 adalah fungsi
objektif, 𝑔 adalah fungsi kendala, 𝑐𝑗 adalah sisi kanan persamaan/pertidaksamaan fungsi
kendala dan 𝑢𝑗 adalah pengali Lagrange.
Gambar 2. Visualisasi fungsi objektif, kendala serta titik optimum (Edgar et.al., 2001)
Optimasi numerik pada MATLAB menggunakan kode pemrograman FMINCON (Function
Minimization with Constraints) yang merupakan pemrograman numerik yang berdasarkan
metode Newton. Metode ini merupakan metode iteratif untuk mencari titik (pasangan variabel
penentu) yang memberikan nilai fungsi optimum berdasarkan nilai gradien orde satu dan
gradien orde dua dari fungsi objektif.
𝒙𝑛+1 = 𝒙𝑛 − [𝐻(𝑓(𝒙𝑛))]−1
∇𝑓(𝒙𝑛), 𝑛 ≥ 0 (3)
dimana 𝒙𝑛+1 adalah vektor variabel penentu baru, 𝒙𝑛 adalah vektor variabel penentu iterasi
sebelumnya, [𝐻(𝑓(𝒙𝑛))]−1
adalah determinan invers matriks Hessian yang merupakan nilai
diferensial parsial orde dua dari fungsi objektif dengan vektor variabel lama dan ∇𝑓(𝒙𝑛) adalah
nilai diferensial parsial orde satu dengan vektor variabel lama.
Metode Penelitian
Penelitian diaksanakan pada bulan Februari hingga Juni tahun 2014 di Laboratorium Energi
Berkelanjutan Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia dan Laboratorium Geotermal
Departemen Fisika Universitas Indonesia. Data yang digunakan adalah data-data survey
geologi, geofisika (magnetotelluric, misse-a-la-mase, gravitasi dan resistivitas), survey
6
geokimia serta model konseptual yang dibangun berdasarkan data-data tersebut dan data 10
sumur yang telah dibor pada lapangan X. Langkah pertama adalah interpretasi semua data ini
sehingga model reservoir natural state yang dihasilkan akan berdasarkan persebaran batuan
(litologi), referensi posisi sources dan hidrogeologi (aliran upflow dan outflow) dari data aktual
lapangan X. Digunakan paket persamaan keadaan EOS1 pada TOUGH2 untuk asumsi fluida
geotermal berupa air murni untuk melakukan pemodelan reservoir.
Penentuan parameter komputasi. Langkah berikutnya adalah melakukan diskritisasi volume
untuk pemodelan dan pengaturan dimensi waktu untuk simulasi model reservoir lapangan X.
Pada penelitian ini, model dibagi menjadi 3388 bagian/kontrol volum berbentuk balok dimana
pada koordinat kedalaman dibagi menjadi total 7 layer dengan kedalaman mulai dari 2000
m.b.s.l. pada layer 1 (layer input 4, cell 1) hingga 2000 m.a.s.l. pada layer 7 (layer input 1, cell
1). Pembagian kedalaman ini dilakukan berdasarkan data litologi berupa coring dari lapangan
X serta data-data profil suhu vs elevasi untuk sumur-sumur lapangan X agar dapat
merepresentasikan tebal tiap formasi batuan dengan optimum.
Pada penampang x-y, model dibagi menjadi 484 grid dengan luas 1000x1000 m2, 500x500 m2
dan 250x250 m2 dengan koordinat x (easting) mulai dari 0 m hingga 8000 m dan koordinat y
(northing) mulai dari 0 m hingga 8000 m. Adapun peletakan ketiga jenis grid ini adalah
250x250 m2 tersebar di bagian menengah dari model dan grid berukuran lebih besar tersebar di
sekitar penampang x-y. Hal ini karena daerah tersebut merepresentasikan daerah dalam kaldera
dan validasi model natural state serta profil suhu dan tekanan reservoir akan berada pada area
tersebut sehingga diperlukan gridding yang lebih baik untuk hasil yang lebih teliti.
Tabel 1. Spesifikasi layering untuk kedalaman (elevasi) model reservoir
Direction (z) Layer
Input Cells Size (m)
Base
(m)
Top
(m)
z
4 2 1000,0 -2000 0
3 2 400 0 800
2 2 300 800 1400
1 1 600 1400 2000
Adapun simulasi terhadap waktu digunakan opsi waktu akhir simulasi infinite (tak terbatas)
dengan tujuan model yang didapatkan memang merupakan model natural state dimana tidak
terjadi lagi perubahan profil suhu dan tekanan pada waktu tercapainya natural state (kondisi
7
quasi-steady). Step waktu (dt) diset otomatis menyesuaikan terhadap kebutuhan iterasi waktu
sehingga proses simulasi dapat berlangsung efisien dan lebih cepat.
Pemasukan kondisi awal dan kondisi batas. Model reservoir lapangan X yang telah
terdiskritisasi volume sekarang memerlukan kondisi awal untuk memulai simulasi terhadap
waktu dan kondisi batas untuk melimitasi batas sistem yang ditinjau. Kondisi awal yang
digunakan untuk model adalah suhu 25oC dan tekanan 1 atm di seluruh bagian model dan
kondisi batas yang digunakan untuk model adalah tak adanya fluks massa ataupun energi yang
melewati sisi manapun dari model (closed box) kecuali pada grid-grid sources di layer 1 dan
layer 7 yang merepresentasikan atmosfer/lapisan udara dengan kondisi fixed state (suhu dan
tekanan tetap).
Pemasukan spesifikasi material/batuan. Data-data karakteristik fisik batuan yang
diperkirakan ada pada sistem (berdasarkan model konseptual dan kajian survey data 3G) diinput
ke dalam TOUGH2. Data karakteristik fisik yang diinputkan disini antara lain densitas,
porositas, permeabilitas pada tiap arah koordinat, konduktivitas termal dan kapasitas panas
spesifik. Secara umum, jenis batuan dummy yang diinput adalah batuan ATMOS dan TOP
dimana ATMOS merepresentasikan lapisan udara diatas litosfer (permukaan tanah) dan litosfer
direpresentasikan oleh TOP. Adapun batuan utama terdiri dari HIGH, MED, BOTT (batuan
sedimen); SIDE1, SIDE2 dan LOW (batuan beku); VLOW (clay cap); DENS (batuan
terdensifikasi) dan BARR (representasi caldera rim). Semua data-data karakteristik fisik yang
diinput disadur dari Engineering Toolbox dan paper-paper atau jurnal-jurnal untuk digunakan
dalam penelitian ini terutama oleh Atmojo et.al. (2001).
Simulasi Model Natural State. Setelah menginput data properti fisik batuan maka
dilakukanlah proses forward modelling untuk validasi kondisi natural state dengan data profil
T vs elevasi 10 sumur di lapangan X dengan dua variabel variasi/eksogenous, yaitu: (1) posisi
dan rate serta intensitas (entalpi spesifik) heat and mass source serta (2) distribusi penempatan
material (litologi) pada grid-grid tiap layer disesuaikan dengan model konseptual dan data 3G.
Proses adjustment litologi dan posisi sources serta intensitasnya dilakukan sebanyak 31 kali
untuk mendapatkan profil T versus elevasi yang semirip mungkin dengan data sumur. Dalam
melakukan adjustment; kapasitas panas spesifik, permeabilitas dan konduktivitas dari batuan
yang diassign pada grid-grid yang ada terutama di sekitar sumur perlu diperhatikan karena
paling memberi perubahan signifikan pada profil suhu di sekitar sumur.
8
Pada penelitian ini, variasi penempatan grid-grid source yang ada sangat krusial. Terdapat dua
jenis penempatan source pada penelitian ini, yakni (1) source untuk pasokan panas dan massa
fluida yang terpanaskan oleh batuan beku dengan gradien suhu abnormal akibat aktivitas
magmatik/vulkanik dibawah formasi reservoir dan (2) source untuk pasokan massa fluida dari
presipitasi (air hujan) yang menyusup melalui sisi barat daya kaldera kedalam formasi reservoir.
Adapun penempatan sources didasarkan oleh model konseptual, manifestasi permukaan dan
analisa spesi kimia dari survey geokimia.
Setiap proses adjustment dilakukan, running dieksekusi sehingga kondisi awal menjadi input
awal dan model disimulasikan terhadap waktu. Setelah mencapai konvergensi, maka TOUGH2
akan menghasilkan output. Output ini dapat diinterpretasi secara interaktif oleh PETRASIM
sehingga penulis dapat meninjau model tiga dimensi secara langsung dan melihat kontur
tekanan dan suhu menggunakan isosurfaces. Pada jendela output simulasi ini, penulis
menggunakan opsi “line plot” untuk membangun kurva antara satu titik dengan titik lain yang
bertujuan untuk mendapatkan profil suhu versus elevasi pada 10 sumur dari model yang
dihasilkan. Waktu yang dipilih adalah waktu dimana setelahnya tidak ada lagi perubahan
signifikan terhadap profil suhu dan tekanan dari model natural state. Hasil validasi model pada
adjustment ke-31 memberikan hasil yang sudah fit secara relatif dan dapat dilihat pada bagian
analisis hasil penelitian.
Regresi data entalpi untuk perumusan fungsi objektif. Profil suhu dan tekanan sebagai
fungsi posisi dapat diperoleh dari model natural state yang dihasilkan. Dengan menggunakan
hubungan IAPWS-IF97 Steam Table Equations, bisa didapatkan nilai-nilai entalpi spesifik
(energi yang dikandung) fluida geotermal. Data-data entalpi spesifik ini kemudian diregresi
secara polinomial menggunakan MATLAB (kode POLYFIT) untuk mendapatkan model
empiris berpangkat lima dengan interaksi antar dua variabel (x dan y). Karena kedalaman sumur
produksi secara umum berada pada layer 2 (rentang elevasi 1000 m.b.s.l. hingga 0 m) maka
digunakan data-data entalpi spesifik pada 500 m.b.s.l. untuk diregresi. Data-data outliers
dibuang terlebih dahulu dari proses regresi sehingga dari total 484 data menjadi hanya 102 data
dengan nilai lebih besar dari 1300 kJ/kg dan 70 data dengan nilai lebih besar dari 1350 kJ/kg.
Hal ini dilakukan agar model empiris yang dihasilkan lebih representatif pada area dengan nilai-
nilai entalpi spesifik yang relatif tinggi (tujuan dari penelitian ini). Karena adanya dua paket
data (102 data dan 70 data) yang digunakan maka dihasilkan dua model empiris dari tahap
penelitian ini yang dikarenakan fungsi yang didapatkan dengan regresi 70 data tidak mampu
9
merepresentasikan dengan optimal kontur 1450 dan 1400 kJ/kg yang akan dengan optimasi
numerik. Parameter yang didapatkan (lihat lampiran Tabel A.1) dapat dilihat pada hasil
penelitian beserta analisisnya. Fungsi dengan 102 data regresi seterusnya dalam naskah ringkas
ini akan disebut fungsi “B” dan fungsi dengan 70 data regresi akan disebut fungsi “A”.
Perumusan kendala dan deklarasi batas domain optimasi. Setelah mendapatkan dua fungsi
objektif (dua model empiris) dari tahap regresi maka kini limitasi fungsi tersebut (fungsi
kendala) harus dianalisa dan dirumuskan. Pada penelitian ini digunakan persamaan garis
sederhana yang mengandung variabel penentu x dan y yang akan menjadi permukaan planar
pada plot 3 dimensi yang akan membatasi domain optimasi numerik dari daerah infeasible.
Suatu daerah dikatakan infeasible jika (1) memiliki nilai fungsi yang berada dibawah nilai data
minimum yang digunakan untuk regresi model empiris dan (2) memiliki local optima. Dengan
menggunakan fungsi kendala sedemikian maka hasil optimasi dapat dijamin merupakan titik
global optima dan berada pada area of interest serta mempercepat proses iterasi.
Gambar 3. Perumusan kendala linear yang membatasi optimasi fungsi “A” (kiri) dan fungsi “B” (kanan)
Adapun batas domain juga dideklarasikan berdasarkan domain data-data yang digunakan untuk
regresi dimana untuk fungsi “A”, koordinat easting (x) berada pada rentang 2625 m hingga
4625 m dan koordinat northing (y) berada pada rentang 3875 m hingga 6625 m. Fungsi “B”
dengan data regresi yang lebih banyak memiliki domain untuk koordinat easting (x) berada
pada rentang 2375 m hingga 5125 m dan koordinat northing (y) berada pada rentang 3625 m
hingga 6625 m. Penggunaan domain variabel penentu ini akan lebih mempercepat tiap proses
optimasi numerik dalam pemetaan kontur entalpi spesifik.
Optimasi numerik dan pembentukan kontur entalpi. Komponen yang digunakan dalam
tahap penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2 dimana “@Enthalpy3” merepresentasikan fungsi
“A” dan “@Enthalpy4” merepresentasikan fungsi “B”. Nilai-nilai kendala yang dimasukkan
Feasible
Infeasible Infeasible Infeasible
Feasible
10
pada FMINCON dalam OPTIMTOOL (MATLAB) merupakan hasil perumusan kendala
persamaan garis lurus pada tahap penelitian sebelumnya. Untuk kendala non-linear didapatkan
dengan membatasi nilai fungsi “A” dan “B” dibawah nilai kontur entalpi yang ingin dipetakan.
Tabel 2. Spesifikasi input untuk tahap penelitian optimasi numerik
Input
Operasi Optimasi
Titik
Optimum
Titik-Titik
𝑯 = 𝟏𝟓𝟎𝟎
Titik-Titik
𝑯 = 𝟏𝟒𝟓𝟎
Titik-Titik
𝑯 = 𝟏𝟒𝟎𝟎
Fungsi Objektif @Enthalpy3 @Enthalpy3 @Enthalpy4 @Enthalpy4
Titik Awal Titik di daerah
feasible Trial & Error dari 8 arah mata angin
Kendala
Pertidaksamaan
Linear
𝐴 →
[1,227577 1;
−1,3095051 1]
𝐵 →
[11385,5436;
1048,549]
𝐴 →
[1,227577 1;
−1,3095051 1]
𝐵 →
[11385,5436;
1048,549]
𝐴 →
[0,4602273 − 1]
𝐵 →
[−1590,42045]
𝐴 →
[0,4602273 − 1]
𝐵 →
[−1590,42045]
K. Pers. Linear [] [] [] []
Batas Domain
Bawah →
[2625 3875]
Atas →
[4625 6625]
Bawah →
[2625 3875]
Atas →
[4625 6625]
Bawah →
[2625 3875]
Atas →
[4625 6625]
Bawah →
[2375 3625]
Atas →
[5125 6625]
Fungsi Kendala
Non-Linear
[] @constradv2
(𝑣 = 𝐻 − 1500)
@constradv2
(𝑣 = 𝐻 − 1450)
@constradv2
(𝑣 = 𝐻 − 1400)
Pada tahap penelitian ini, setelah mendapatkan titik optimum global, dilakukan trial & error
untuk titik awal yang dimasukkan dalam memetakan kontur entalpi dengan nilai 1500, 1450
dan 1400 kJ/kg. Dapat dilihat pula pada Tabel 2 dimana parameter kendala dan fungsi objektif
yang digunakan berpasangan satu sama lain.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Analisa curve fitting untuk validasi model natural state. Validasi dilakukan dengan
mencocokkan tren profil suhu vs elevasi dari model reservoir yang didapatkan dengan data
sumur aktual yang telah ada di lapangan X. Telah dilakukan validasi menggunakan data 10
sumur yang telah ada di lapangan X. Pembahasan ini akan dilakukan berdasarkan cluster kepala
sumur A, B dan C. Cluster A digunakan untuk pengeboran sumur X-1, X-2, X-6, X-7 dan X-8.
11
profil data simulasi suhu vs elevasi X-6, X-7, dan X-8 dapat dikatakan secara relatif memiliki
matching yang sangat baik sehingga dalam analisis ini tidak ditinjau lebih lanjut (lihat Gambar
4). Adapun sumur X-1 dan X-2 memiliki sedikit penyimpangan antara data model dan data
sumur di lapangan.
Gambar 4. Curve fitting profil suhu vs elevasi sumur-sumur pada cluster A
Dapat dilihat pada Gambar 4, kurva X-1 memiliki penyimpangan lebih rendah kira-kira 10-
20oC pada elevasi 0 m.a.s.l hingga 400 m.a.s.l. Rentang elevasi ini berada pada layer 3 dimana
diperkirakan terjadi penyusupan aliran air dingin dan menurunkan suhu fluida panas dari source
layer 1. Jika diperhatikan Gambar 4, pada layer 2 dan 3 sumur X-1 ini dikungkung oleh batuan
BARR namun di bagian bawah terbuka kepada batuan sedimen (BOTT dan MED) yang
permeabel dan kontak langsung dengan batuan beku yang mengalirkan air dingin dengan sangat
-1000
0
1000
2000
0 50 100 150 200 250 300
Ele
vasi
(m
)
Suhu (oC)
X-1
-1000
0
1000
2000
0 50 100 150 200Ele
vasi
(m
)Suhu (oC)
X-2
-1000
0
1000
2000
0 50 100 150 200 250 300
Ele
vasi
(m
)
Suhu (oC)
X-6
-1000
0
1000
2000
0 50 100 150 200 250 300Ele
vasi
(m
)
Suhu (oC)
X-7
-1000
0
1000
2000
0 50 100 150 200 250 300Ele
vasi
(m
)
Suhu (oC)
X-8
12
lambat. Pada kurva sumur X-1 juga terdapat penyimpangan lonjakan kenaikan suhu pada
rentang elevasi kira-kira 800 hingga 1100 m.a.s.l, yang diperkirakan merupakan akibat dari
indikasi adanya steam cap yang menaikkan suhu di sekitar sumur.
Gambar 5. Curve fitting profil suhu vs elevasi sumur-sumur pada cluster B dan C
Tren kurva X-2 sudah baik secara relatif karena mengikuti penurunan suhu pada elevasi 0
m.a.s.l lebih dalam. Pada rentang 400 m.a.s.l. hingga 800 m.a.s.l, walaupun begitu, terdapat
penyimpangan tren dimana suhu terlalu cepat mendingin (suhu turun pada layer 3 terlalu cepat);
dimana seharusnya penurunan ini terjadi perlahan. Pada sumur X-2 ini, diyakini bahwa terjadi
efek mixing antara air dingin dari meteoric recharge dengan air panas dari heat source; dimana
karakteristik khusus terlihat dari kurva penurunan suhu yang sangat perlahan mulai dari 800
m.a.s.l hingga 0 m.a.s.l. Terlihat juga penyimpangan tren pada elevasi dibawah 0 m.a.s.l yang
-1000
0
1000
2000
0 50 100 150 200 250 300Ele
vasi
(m
)
Suhu (oC)
X-3
-1000
0
1000
2000
0 50 100 150 200 250 300Ele
vasi
(m
)
Suhu (oC)
X-4
-1000
0
1000
2000
0 50 100 150 200 250 300 350Ele
vasi
(m
)
Suhu (oC)
X-5
-1000
0
1000
2000
0 50 100 150 200 250 300
Ele
vasi
(m
)
Suhu (oC)
X-9
-1000
0
1000
2000
0 25 50 75 100 125 150Ele
vasi
(m
)
Suhu (oC)
X-10
13
diduga disebabkan oleh pengaruh penempatan batuan MED pada layer 1 pada arah selatan yang
menyebabkan fluida panas dapat mengganggu pendinginan suhu pada tren X-2 di rentang
elevasi tersebut. Diduga terdapat kesamaan penyebab terekamnya data sumur dengan suhu
sedemikian relatif rendah pada X-2 dan X-10, yaitu interaksi pencampuran air panas dan dingin.
Pada cluster B, secara umum sumur X-3 memiliki fitting yang cukup baik terhadap tren data
sumur (lihat Gambar 5). Sumur X-4 pada pada rentang elevasi 800 hingga 1000 m.a.s.l
memilliki penyimpangan tren yang diakibatkan oleh steam cap dan hipotesis ini diperkuat oleh
rentang elevasinya yang sama dengan pada sumur X-1; yang mungkin mengindikasikan adanya
uap panas terjebak dalam badan batuan yang melingkupi sumur di rentang elevasi tersebut.
Sumur X-5 pun demikian, namun terdapat perbedaan nilai suhu pada elevasi relatif dangkal
(400 m.a.s.l ke atas) yang cukup signifikan terlihat pada Gambar 5. Hal ini dikarenakan gradien
suhu yang umum pada layer 5 dan layer 6 (dapat dilihat dari kurva X-1 hingga X-10, memiliki
bentuk kurva data simulasi yang sama pada rentang elevasi ini).
Cluster C pada arah tenggara dalam kaldera lapangan X yang hanya digunakan untuk
pengeboran X-9. Dapat dilihat pada Gambar 5, kurva X-9 ini secara relatif kurang cocok dengan
tren data sumur. Namun, berdasarkan informasi dari PT. NewQuest Geotechnology ini dapat
dijelaskan dimana pada rentang elevasi 800 hingga 1100 m.a.s.l terdapat akumulasi non-
condensible gas (NCG) bersuhu tinggi disekitar sumur X-9. Hal ini mengakibatkan lonjakan
suhu pada rentang tersebut dan tren seperti yang ditunjukkan pada data sumur tak dapat
dimodelkan dengan menggunakan TOUGH2 EOS1. Pada rentang elevasi yang penting (suhu
pada kedalaman 0 m.a.s.l.), kurva data simulasi memiliki kecocokan yang baik dengan data
sumur X-9. Kesimpulannya, penyimpangan yang terjadi dijelaskan dengan alasan yang
berdasarkan kenyataan pada lapangan X sehingga dapat disimpulkan bahwa model telah
mencapai kondisi natural state.
Analisa penempatan batuan dan sources model natural state. Layer 6 (elevasi 1100 m.a.s.l
hingga 1400 m.a.s.l) dan 7 (1400 m.a.s.l hingga 2000 m.a.s.l.) merupakan layer teratas dari
model natural state yang telah didapatkan dimana semua grid pada kedua layer tersebut secara
homogen diberikan batuan ATMOS dan TOP untuk merepresentasikan lapisan atmosfer dan
litosfer. Distribusi batuan utama dimulai dari layer 5 (800 m.a.s.l hingga 1100 m.a.s.l) dengan
formasi yang teralterasi karena aktivitas hidrotermal dan menjadi clay cap (VLOW) akibat
reaksi pembentukan mineral smectite/montmorillonite (lihat Gambar 6a dan 6b). Formasi
14
VLOW ini memiliki permeabilitas yang rendah sehingga secara keseluruhan mengungkung
fluida panas pada reservoir lapangan X. Pada gambar yang sama dapat dilihat formasi batuan
BARR mulai ditempatkan pada sisi barat daya layer 5 dan layer 4. Hal ini penting karena
terdapat caldera rim sebagai struktur geologi di lapangan X yang menjadi jalan recharge air
hujan ke dalam reservoir. Batuan BARR juga memiliki kapasitas panas spesifik yang relatif
lebih tinggi daripada jenis material lainnya sehingga letaknya pada model menjadi penting.
Pada penempatan material memasuki elevasi 400 m.a.s.l hingga 0 m.a.s.l (layer 3) dan 1000
m.b.s.l (layer 2). Pada bagian ini, terdapat reservoir yang menjadi fokus utama (area of interest)
pada penelitian ini (lihat Gambar 6c dan 6d). Dapat dilihat di daerah dalam kaldera bahwa
batuan-batuan dengan permeabilitas relatif sedang ke tinggi (MED dan HIGH) mendominasi.
Terlihat transisi batuan permeabilitas tinggi pada bagian tengah layer 3 menjadi meluas dengan
bentuk seperti pada layer 2. Bentuk tersebut menghubungkan antara aliran upflow dari posisi
source di layer 1 dengan perkiraan aliran outflow ke aliran timur laut dan tenggara. Seperti pada
layer 4 dan 5, kedua layer ini dikelilingi oleh batuan beku yang terbentuk dari aktivitas vulkanik
di daerah tersebut pada masa lampau (SIDE1 dan SIDE2). Adjustment penempeatan batuan
paling banyak dilakukan di layer 2 pada bagian BARR dan HIGH untuk mengendalikan laju
fluida panas.
Gambar 6. Litologi model natural state layer 1-5 (e-a)
(a) (b) (c)
(d) (e)
15
Layer 4 dan 5 ini memiliki catatan penting tentang formasi batuan terdensifikasi (DENS) dan
sedikit batuan permeable (MED). Hal ini ditempatkan oleh penulis atas dasar analisis data
survey dan model konseptual yang mengindikasikan adanya aliran outflow melalui patahan-
patahan F1 hingga F4 di lapangan X ke arah tenggara, namun aliran tak dapat diteruskan keluar
kaldera karena terjadi densifikasi batuan (pembentukan mineral). Formasi yang mengelilingi di
kedua layer adalah batuan beku LOW yang berasal dari aktivitas vulkanik dalam kaldera V.
Pada layer 1 yang paling bawah ini, formasi batuan sedimen telah berkurang secara luasan
karena telah mencapai elevasi yang relatif dalam. Seperti layer-layer diatasnya, batuan sedimen
sesuai dengan model konseptual dikelilingi oleh batuan beku. Disini terdapat formasi batuan
sedimen baru, yaitu BOTT dengan permeabilitas yang lebih rendah daripada batuan MED untuk
merepresentasikan batuan reservoir di elevasi lebih dalam (lihat Gambar 6e).
Analisa profil suhu dan tekanan model natural state. Pada naskah ringkas ini, hanya profil
suhu yang dianalisis karena penggunaan data tekanan model tidak signifikan. Penampang X-Y
dari profil suhu pada elevasi 500 m.b.s.l. (lihat Gambar 7) merupakan hasil keluaran
PETRASIM yang menjadi salah satu data untuk memproses profil entalpi spesifik di kedalaman
yang sama. Disini akan dianalisis mengenai kecocokan hasil profil suhu dan tekanan dengan
data 3G dan model konseptual yang telah diinterpretasi sebelumnya.
Gambar 7. Kontur suhu reservoir pada elevasi 500 m.b.s.l.
16
Pada Gambar 7, terlihat bahwa profil suhu sangat panas (lebih dari 300oC) berada pada
area heat sources di layer 1. Hal ini mengindikasikan fluida panas yang mengalir dengan baik
melalui media permeabel batuan reservoir dan dapat mencapai elevasi 500 m.b.s.l dengan suhu
yang masih relatif cukup tinggi (disebut juga aliran upflow). Kemudian terlihat persebaran
fluida (aliran outflow) dengan suhu sekitar 300oC hingga 275oC menuju arah utara dan timur
laut. Hal ini sejalan dengan adanya patahan F5 dan delineasi F6 yang memberikan permeabilitas
sekunder terhadap formasi yang dilaluinya ke arah timur laut. Distribusi fluida dengan suhu
275oC tidak mengarah ke tenggara sesuai orientasi patahan-patahan F1 hingga F5 karena
terdapatnya formasi batuan terdensifikasi (DENS) dengan permeabilitas rendah yang
menghalangi jalur outflow fluida panas ke arah tenggara. Distribusi fluida panas dengan aliran
outflow didominasi ke arah utara, timur laut dan timur.
Analisa pemilihan titik produksi dan estimasi kapasitas terpasang. Tujuan penelitian utama
yaitu titik entalpi optimum dicapai dengan optimasi numerik menggunakan fungsi “A” tanpa
kendala nonlinear. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil optimasi numerik pada penelitian
ini memberikan koordinat 𝒙∗ = 3276,226 m dan 𝒚∗ = 4261,511 m dengan nilai entalpi spesifik
optimum (𝒉∗) dua fasa di lapangan ini sebesar 1529,9 kJ/kg. Titik optimum dan kontur-kontur
entalpi 1400, 1450 dan 1500 kJ/kg serta posisinya pada permeability map (Daud et. al., 2001)
dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. (a) Titik dan kontur entalpi spesifik optimum dan (b) Hasil optimasi numerik pada permeability map
(modifikasi Daud et. al., 2001)
Dalam analisis ini akan digunakan tiga parameter utama dalam menentukan titik mana yang
ingin dipilih. Pertama, nilai entalpi spesifik fluida yang potensial ketika titik tersebut dibor,
yang tidak lain merupakan hasil dari tahap penelitian optimasi numerik berupa titik optimum
(a) (b)
17
dan kontur entalpi spesifik. Kedua, konsiderasi permeabilitas batuan sebagai indikasi laju alir
fluida terproduksi ketika titik tersebut dibor. Dan ketiga, jarak antara sumur produksi yang
direkomendasikan dan juga terhadap sumur-sumur yang telah ada harus tunduk pada rule of
thumb yang berlaku (dibawah 368,5 m). Kontur entalpi di bagian bawah gunung X masih berada
pada daerah high permeability. Sesuai dengan informasi pada Gambar 8a, maka laju alir fluida
terproduksi memiliki rentang 30 hingga lebih dari 50 kg/s (X-5 memiliki laju alir sebesar 57
kg/s) (Daud, et al., 2001). Untuk penelitian ini agar sesuai dengan metode pendekatan ilmiah
maka akan digunakan laju alir 57 kg/s untuk semua titik sumur yang direkomendasikan.
Tabel 3. Perhitungan kontribusi kapasitas terpasang X-11 hingga X-17
Sumur
Koordinat Komplesi
𝒉𝒈
(kJ/kg)
Laju Alir Steam (kg/s)
Total 𝑷 (MWe)
𝒙 (m) 𝒚 (m)
X-11 3276 4262 2646,9
15,38
6,6
X-12 2954 4019 2515,8 12,6
X-16 3751 4412
X-15 3739 3964 2465,8 6,2
X-13 2642 3776
2415,8 18,1 X-14 3370 3684
X-17 4179 4234
Penambahan Kapasitas Terpasang (MWe) 43,5
Pada Gambar 8b, terlihat dipilih 6 titik produksi baru selain titik optimum (X-12 hingga X-17).
Pemilihan ini berdasarkan juga posisi setiap titik relatif terhadap struktur geologis yang dapat
memberikan permeabilitas sekunder disamping permeabilitas matriks batuan. Sebagai contoh,
posisi X-12 dan X-13 yang dekat dengan struktur patahan atau X-14 dan X-15 yang berada
sangat dekat dengan interseksi patahan orientasi tenggara dan orientasi timur laut. Sumur X-17
direkomendasikan juga karena letaknya yang tepat pada lintasan patahan orientasi timur laut
(F6). Sumur X-16 dipilih karena masih berada pada daerah high permeability.
Aproksimasi penambahan kapasitas terpasang dapat dilakukan dengan melihat kontribusi
masing-masing sumur tambahan dari X-11 hingga X-17. Pada Tabel 3 dapat dilihat entalpi
spesifik fluida yang berpotensi pada setiap sumur untuk dialirkan dengan laju alir 15,83 kg/s
sesuai Gambar 7b. Dengan perkalian sederhana bisa didapatkan daya termal yang bisa
dikontribusikan setiap sumur dan menggunakan efisiensi 15,8% yang didapatkan dari
perhitungan efisiensi konversi energi berdasarkan data-data pada karya Siregar, 2004 dan karya
Daud et.al., 1999 maka akan didapatkan kontribusi kapasitas terpasang untuk setiap sumur.
Jika ditotal keseluruhannya bersama dengan kontribusi X-11 maka rekomendasi titik-titik
18
(skema) produksi tambahan ini mampu mengkontribusikan kira-kira 43,5 MWe terhadap
kapasitas terpasang di lapangan X. Namun, penempatan sumur pada kondisi aktual di lapangan
X harus mempertimbangkan aspek drilling cost dan juga indeks korosivitas fluida geotermal
pada titik-titik produksi. Hasil penelitian dan estimasi ini hanya berdasarkan pendekatan secara
keteknikan di sektor energi termal.
Kesimpulan
1. Reservoir lapangan X pada kondisi natural state merupakan sistem geotermal yang
termasuk dalam kategori high-temperature, liquid-dominated dengan aproksimasi rentang
elevasi antara 400 m.a.s.l hingga 2000 m.b.s.l.
2. Suhu fluida reservoir kondisi natural state pada kedalaman komplesi (400 hingga 700
m.b.s.l.) berkisar antara 250 hingga 320oC.
3. Tekanan fluida reservoir kondisi natural state pada kedalaman komplesi (400 hingga 700
m.b.s.l.) dapat mencapai 350 bar.
4. Total laju alir dari mass & heat recharge untuk reservoir lapangan X adalah 52,5 kg/s
dengan entalpi maksimum sebesar 2000 kJ/kg dengan posisi mayoritas dibawah area
gunung X hingga area antara gunung X dan gunung Z dengan entalpi minimum 1500 kJ/kg.
5. Reservoir lapangan X merupakan formasi batuan sedimen dengan permeabilitas relatif baik
yang berada pada cekungan kaldera dan dikelilingi oleh batuan beku dengan permeabilitas
sedang-rendah. Pada arah barat hingga selatan, reservoir dilingkupi oleh kaldera dengan
permeabilitas rendah. Formasi clay cap berada di rentang elevasi antara 400 m.a.s.l. hingga
1100 m.a.s.l.
6. Kondisi natural state untuk sistem geotermal di lapangan X tercapai setelah iterasi dengan
waktu kurang-lebih 760,000 tahun.
7. Titik entalpi spesifik optimal pada elevasi 500 m.b.s.l adalah pada arah koordinat 𝑥 3276
m dan arah koordinat 𝑦 4262 m.
8. Nilai entalpi fluida optimum yang ditemukan pada elevasi 500 m.b.s.l. adalah 1529,9 kJ/kg.
Nilai entalpi fluida uap yang diproduksi adalah 2646,9 kJ/kg.
9. Daerah dengan entalpi spesifik fluida merentang antara 1400 kJ/kg (entalpi fluida uap
2415,8 kJ/kg) hingga 1500 kJ/kg (entalpi fluida uap 2515,8 kJ/kg) berada mulai dari area
antara gunung X dan Gunung Z, lalu meluas ke utara hingga area gunung U dan ke arah
timur laut.
19
10. Tujuh titik sumur produksi direkomendasikan pada daerah high permeability di reservoir
lapangan X dengan laju alir produksi uap diestimasi 15,83 kg/s untuk masing-masing
sumur.
11. Skema produksi dengan tujuh sumur produksi baru dapat mengkontribusikan 43,5 MWe
pada kapasitas terpasang lapangan X.
Saran
1. Melakukan meshing dan layering yang lebih terperinci agar menghasilkan model reservoir
yang lebih detail ke depannya.
2. Melakukan validasi dengan data sumur pada daerah utara dan timur kaldera (jika ada)
sehingga model natural state lebih representatif.
3. Melakukan pemodelan reservoir dengan menggunakan set persamaan keadaan EOS8 atau
EWASG dari TOUGH2.
4. Menggunakan data history matching (jika ada) agar pemodelan reservoir bisa mencapai
tahap validasi “model konservatif” dan dapat dilakukan forecasting.
5. Melaksanakan pengeboran sumur-sumur baru (X-11 hingga X-17) menggunakan
pengeboran multilateral direksional.
6. Melakukan optimasi numerik multiobjektif dengan parameter optimasi entalpi spesifik,
permeabilitas dan pH (ukuran keasaman).
Daftar Referensi
Atmojo, J. P., Ryuichi, I., Fukuda, M., Daud Y., Sudarman, S. (2001). Numerical Modeling
Study of Sibayak Geothermal Reservoir North Sumatra, Indonesia. 26th Workshop on
Geothermal Reservoir Engineering, pp. 1-2.
Atmojo, J. P., Ryuichi, I., Fukuda, M. & Sudarman, S., (2000). Evaluation of Reservoir
Characteristic Using Well Data of Sibayak Geothermal Field, North Sumatra, Indonesia.
Memories of the Faculty of Engineering, Kyushu University, 60(3), pp. 130-142.
Constantinides, A. & Mostoufi, N. (1999). Numerical Methods for Chemical Engineers with
MATLAB Applications. New Jersey, Prentice Hall PTR.
Daud, Y., Atmojo J. P., Sudarman, S. & Ushijima, K., (1999). Reservoir Imaging of the Sibayak
Geothermal Field, Indonesia using Borehole-to-Surface Resistivity Measurements. s.l.,
21st New Zealand Geothermal Workshop.
20
Daud, Y., Sudarman, S. & Ushijima, K. (2001). Imaging Reservoir Permeability of The Sibayak
Geothermal Field, Indonesia using Geophysical Measurements. California, Stanford
University Press.
Edgar, T. F., Himmelblau, D. M. & Lasdon, L. S. (2001). Optimization of Chemical Processes.
2nd penyunt. Singapore: McGraw-Hill Book Co.
Grant, M. A. & Bixley, P. F. (2011). Geothermal Reservoir Engineering. Oxford: Elsevier.
International Energy Agency. (2011). Technology Roadmap: Geothermal Heat and Power -
Foldout, Paris: International Energy Agency
KESDM, 2010. Indonesia Energy Outlook 2010, Jakarta: Pusat Data dan Informasi Energi dan
Sumber Daya Mineral.
Pruess, K. (2002). Mathematical Modeling of Fluid Flow and Heat Transfer in Geothermal
Systems-An Introduction in Five lectures, Earth Sciences Division, Lawrance Berkeley
National Laboratory, University of California.
Sigurdsson, H., Houghton, Bruce F., McNutt, Stephen R., Rymer, H., Stix, J. (1999).
Encyclopedia of Volcanoes. New York: Academic Press.
Lampiran
Tabel A.1 Parameter fungsi “A” dan fungsi “B” hasil regresi data entalpi spesifik
Parameter Nilai
(Fungsi “B”)
Nilai
(Fungsi “A”)
a -66265 -182750
b -4,472 16,25
c 66,23 169,9
d 0,003697 -0,00255
e -0,001041 -0,00912
f -0,02454 -0,06348
g 4,755e-007 2,627e-006
h -3,651e-006 -4,780e-006
i 3,128e-006 6,642e-006
j 3,795e-006 1,070e-005
k -7,541e-011 -2,830e-010
l 7,345e-011 -1,436e-010
m 6,374e-010 1,091e-009
n -7,297e-010 -1,443e-009
o -2,137e-010 -7,634e-010
p 3,992e-015 9,109e-015
q 1,088e-015 2,144e-014
r -1,264e-014 -2,036e-014
s -2,912e-014 -5,340e-014
t 4,511e-014 9,046e-014
u 1,128e-015 1,586e-014