pemikiran hasan al-banna tentang pendidikan akhlak dalam...
TRANSCRIPT
PEMIKIRAN HASAN AL-BANNA TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK
DALAM METODE PENDIDIKAN AHKLAK
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Disusun oleh
MASRUL HAKIM
111 11 015
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2017
MOTTO
منكم فان هم م لوق و نلزمنغي زالدكم موااو عل “Didiklah anak-anak kamu, sesungguhnya mereka diciptakan untuk menghadapi zaman
yang berbeda dengan zaman kamu ini”
(H.R. Bukhari)
Jika kau ingin, kau harus menginginkannya
Jika kau menginginkannya, itu akan menjadi milikmu
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada pihak-pihak yang penulis anggap mempunyai
peran penting dalam hidup-Ku
1. Terima kasih kepada kedua orang tua, yaitu Almarhum Bapak Ali Mahsun dan Ibu
Isrodah yang senantiasa tulus memberikan dukungan dan doa restunya kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan pendidikan di IAIN Salatiga.
2. Kedua saudaraku, Nur Hidayah dan Ida Royani yang selalu menjadi penyemangat selama
penyusunan skripsi ini.
3. Kepada Bapak Drs. Abdul Syukur, M.Si yang telah memberikan arahan dan bimbingan
kepada penulis selama penyusunan skripsi.
4. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, terimakasih banyak atas
bantuannya.
KATA PENGANTAR
لرحيمبسماهللالرمحنا
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah dan taufiqnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sholawat
serta salam kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW yang telah
menuntun umatnya ke jalan kebenaran dan keadilan.
Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi tugas dan melengkapi syarata guna
untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan. Adapun jugul skripsi ini adalah “PEMIKIRAN
HASAN AL-BANNA TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK DALAM METODE
PENDIDIKAN AHKLAK”.
Penulisan skripsi ini tidak lepas dari berbagai pihak yang telah memberikan dukungan
moril maupun meteriil. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN
Salatiga.
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan PAI IAIN Salatiga
4. Bapak Drs. Abdul Syukur, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah berkenan
secara ikhlas dan sabar meluangakan waktu serta mencurahkan pikiran dan tenaganya
memberi bimbingan dan pengarahan yang sangat berguna sejak awal proses penyusunan
dan penulisan hingga terselesaikannya skripsi ini.
ABSTRAK
Hakim, Masrul. 2017. Pemikiran Hasan Al-Banna tentang Pendidikan Akhlak dalam metode
pendidikan akhlak. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan
Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing : Drs. Abdul
Syukur, M.Si.
Kata Kunci: Pemikiran Hasan Al-Banna, Pendidikan Akhlak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran Hasan Al-Banna tentang
pendidikan akhlak metode pendidikan akhlak.
Fokus masalah dalam penelitian ini adalah : 1) Bagaimana pemikiran Hasan Al-
Banna tentang pendidikan akhlak? 2) Bagaimana metode pendidikan akhlak menurut
pemikiran Hasan Al-Banna? Mengingat kajiannya merupakan penelitian literarur/studi
pustaka (library research) maka metode yang digunakan adalah analisis isi dari buku tersebut
(content analisis).
Hasil penelitian ini menyimpulkan pemikiran Hasan Al-Banna mengenai konsep
pendidikan akhlak yakni terbentuknya pribadi Islami (pendidikan yang mampu membentuk
pribadi/kepribadian muslim yang saleh secara individual/ahli ibadah maupun sosial), seperti
pribadi yang berakhlak kepada Allah, pribadi yang berakhlak kepada diri sendiri, pribadi
yang berakhlak terhadap sesama Kriteria tersebut mengupayakan seorang muslim untuk
hidup dengan segenap eksisitensi yang dimiliki yang berupa akal dan hati, maupun rohani
dan jasmani. Selain itu, dalam konsep akhlak Al-Banna mengedepankan sikap toleransi
dalam menyikapi berbagai khilafiyah untuk menjaga persatuan umat Islam.
Metode yang digunakan Al-Banna dalam membentuk pribadi yang berakhlak Islami
dalam risalah ta’alim, dengan pemahaman akan pokok akhlak yang diperoleh dengan
memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits, Sirah Nabawiyah dan Sirah Salafus Salih. Selanjutnya
yaitu pembiasaan dalam kehidupan sehari memperbaiki kualitas shalat memperbarui taubat
dan istighfar serta muraqabatullah; setelah itu terlaksana maka yang harus dilakukan
selanjutnya adalah refleksi perilaku (muhasabah), senantiasa memperbaiki diri karena
mengetahui kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................ i
HALAMAN BERLOGO .......................................................................... ii
HALAMAN DEKLARASI ...................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................................ iv
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ....................................................... v
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. vi
MOTTO .................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN ..................................................................................... viii
KATA PENGANTAR .............................................................................. ix
ABSTRAK ................................................................................................ x
DAFTAR ISI ............................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................... 1
B. Rumusan Masalah ......................................................... 5
C. Tujuan Penelitian .......................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ........................................................ 6
E. Kajian Pustaka .............................................................. 7
F. Penegasasan Istilah ....................................................... 9
G. Metode Penelitian ......................................................... 12
H. Sistematika Penulisan ................................................... 15
BAB II BIOGRAFI HASAN AL-BANNA
A. Riwayat Hidup .............................................................. 16
B. Kondisi Sosial ............................................................... 19
C. Latar Belakang Pendidikan ........................................... 23
D. Hubungan Sosial Politik dan Pemikiran Hasan
E. Al-Banna ....................................................................... 26
F. Karya-Karya ................................................................. 27
BAB III DESKRIPSI PEMIKIRAN HASAN AL-BANNA TENTANG
KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK
A. Risalah Ta‟alim ............................................................ 31
1. Pendahuluan ........................................................... 31
2. Isi ............................................................................ 32
3. Penutup ................................................................... 43
B. Pendidikan Akhlak dalam Risalah Ta‟alim .................. 44
1. Tujuan ..................................................................... 44
2. Materi ...................................................................... 46
3. Metode .................................................................... 51
BAB IV PEMBAHASAN
A. Analisis Pemikiran Hasan Al-Banna ............................ 53
1. Analisis Tujuan Pendidikan .................................... 53
2. Analisis Materi Pendidikan Akhlak ........................ 59
3. Analisis Metode Pembentukan Akhlak .................. 80
B. Implikasi pemikiran hasan al-banna tentang metode
pendidikan akhlak ......................................................... 91
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................... 101
B. Saran ............................................................................. 102
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2 Surat Pembimbingan
Lampiran 3 Lembar Konsultasi Skripsi
Lampiran 4 Daftar SKK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Akhlak merupakan hal yang sangat penting dalam pendidikan.
Terbentuknya akhlak yang mulia merupakan tujuan pendidikan Islam dari
dimensi moral. Gejala kemerosotan moral dewasa ini sudah benar-benar
menghawatirkan. Kejujuran, kebenaran, keadilan, tolong menolong dan kasih
sayang sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan, penindasan, saling
menjegal dan saling merugikan. Usaha-usaha pembinaan akhlak melalui
berbagai lembaga pendidikan dan melalui berbagai macam metode terus
dikembangkan.
Pembinaan akhlak semakin terasa diperlukan terutama pada saat di
mana semakin banyak tantangan dan godaan sebagai dampak dari kemajuan di
bidang iptek. Saat ini misalnya orang akan dengan mudah berkomunikasi
dengan apapun yang ada di dunia ini, yang baik atau yang buruk, karena ada
alat telekomunikasi. Peristiwa baik atau buruk dengan mudah dapat dilihat
melalui televisi, internet, film, buku-buku, tempat-tempat hiburan yang
menyuguhkan adegan maksiat, demikian pula produk obat-obat terlarang,
minuman keras dan pola hidup materialistik dan hedonistik semakin
menggejala, semua ini jelas membutuhkan pembinaan akhlak.
Berdasarkan kejadian-kejadian yang terjadi diakhir-akhir ini,
merupakan awal dari kemunduran yang dialami umat Islam, dimana makin
menunjukkan eksistensinya sebagai pusat peradaban.
1
2
Maka peneliti mendasarkan pada pemikiran dari Hasan Al-Banna untuk
dijadikan tolak ukur dalam memperbaiki akhlak yakni ide arabisme (Islam
tidak pernah bangkit tanpa bersatunya bangsa Arab, memperjuangkan Islam
melalui sebuah tradisi penegakan Islam yakni keluarga (al-usrah) menekankan
pada aspek penegakan syari'at Islam yang penuh dengan keyakinan dan
keikhlasan dalam batasan tertentu. Selain itu, dalam bidang pendidikan
mementingkan aspek akal dan rohani sekaligus, dilandasi oleh Al-Qur'an dan
Hadist serta memiliki corak keislaman yang jelas.
Ini menunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina dan pembinaan
ini ternyata membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang
berakhlak mulia, taat kepada Allah dan rasul-Nya. Sebagaimana yang
dijelaskan bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk pembentukan akhlak dan
budi pekerti yang sanggup menghasilkan orang orang yang bermoral, jiwa
yang bersih, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi, tahu arti kewajiban
dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia, membedakan baik
dengan buruk, menghindari suatu perbedaan yang tercela dan mengingat
Tuhan dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan (Al-Abrasyi, 1991:103).
M. Arifin (2003:7), menyatakan tujuan pendidikan Islam ialah menanamkan
taqwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran dalam rangka membentuk
manusia berpribadi dan berbudi luhur menurut ajaran Islam. Sedangkan M.
Chabib Thoha (1996:99), mengemukakan tujuan pendidikan Islam untuk
mencapai tujuan hidup muslim, yakni menumbuhkan kesadaran manusia
sebagai makhluk Allah agar manusia tumbuh dan berkembang menjadi
manusia yang berakhlak mulia dan beribadah kepada-Nya.
3
Fenomena di atas menggambarkan betapa pembinaan akhlak
membutuhkan usaha dan penanganan yang sungguh-sungguh, yang ditujukan
untuk mengembangkan potensi rohaniah dalam diri manusia. Oleh karena itu,
sangat penting untuk memformat pembelajaran akhlak yang dimulai dari
perencanaan, palaksanaan, pengawasan dan evaluasi yang efektif, sistemik,
integratif dan komprehensif. Pembentukan akhlak ini dilakukan berdasarkan
asumsi bahwa akhlak adalah hasil usaha pembinaan, bukan terjadi dengan
sendirinya. Potensi rohaniah yang ada dalam diri manusia, termasuk di
dalamnya akal, nafsu, amarah, fitrah, kata hati, nurani dan situasi dibina secara
optimal dengan cara dan pendekatan yang tepat. Adu domba dan fitnah,
menjilat, menipu, mengambil hak orang lain sesuka hati dan perbuatan-
perbuatan maksiat lainnya. Kemerosotan moral yang demikian itu lebih
mengkhawatirkan lagi, karena bukan hanya menimpa kalangan orang dewasa
dalam berbagai jabatan, kedudukan dan profesinya, melainkan juga telah
menimpa kepada para pelajar tunas-tunas muda yang diharapkan dapat
melanjutkan perjuangan membela kebenaran, keadilan dan perdamaian masa
depan (Nata, 2003:189).
Terkait dengan masalah tersebut, Hasan Al-Banna seorang tokoh
pembaharu atau modernis dunia Islam, tidak hanya dikenal sebagai tokoh
pembaharu dalam bidang pendidikan, tetapi juga dalam bidang politik,
ekonomi, sosial dan kemasyarakatan (Susanto, 2010:61). Ia juga memberikan
perhatian terhadap akhlak. Hal tersebut terlihat pada pandangan Hasan Al-
Banna tentang betapa pentingnya posisi akhlak. Menurutnya akhlak
merupakan salah satu hal yang harus dimiliki oleh bangsa yang tengah
bangkit, sebagaimana yang ia tulis dalam Risalah Nahw al-Nur, Umat yang
tengah bangkit paling membutuhkan akhlak yang mulia, jiwa yang besar dan
4
cita- cita yang tinggi. Hal ini karena umat tersebut akan menghadapi berbagai
tuntutan dari sebuah masyarakat baru. Suatu tuntutan yang tidak akan
dipenuhi kecuali dengan kesempurnaan akhlak dan ketulusan jiwa yang lahir
dari iman yang menghunjam dalam dada dan komitmen yang menancap kuat
dalam hati, pengorbanan yang besar, dan mental yang tahan uji. Hanya
Islamlah yang mampu mencetak kepribadian yang serupa itu, dan ia pula yang
menjadikan kebersihan dan kesucian jiwa sebagai pondasi bagi bangunan dan
kejayaan umat (Al-Banna, 2012:107-108).
Pada kesempatan yang lain Hasan Al-Banna juga mengatakan,
“Berakhlaklah dengan segala keutamaan dan berpegang teguhlah dengan
kebenaran. Jadilah kalian orang-orang yang kuat dengan akhlak, orang-orang
yang punya izzah dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepada kalian
berupa keimanan orang-orang mukmin dan kemuliaan orang-orang yang
takwa lagi shalih” (Al-Banna, 2012:213). Sebagaimana dalam firman Allah
SWT, QS. Al-Syams ayat 9-10 yang berbunyi:
Artinya: 9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
10. dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
Hasan Al-Banna telah menetapkan beberapa tujuan yang harus
diperjuangkan oleh setiap muslim, selain menjelaskan kandungan-kandungan
dan tujuan-tujuan yang disusun secara serampangan, melainkan tujuan yang
ditetapkan melalui studi yang mandalam atas nash-nash syari‟at yang telah
ada. Generasi muda adalah sebagai penerus bangsa, apabila penerus bangsa
memiliki jiwa yang berakhlak mulia tentu saja negara akan maju dan rakyat
akan hidup tentram, tetapi sebaliknya apabila penerus bangsa ini memiliki
akhlak yang buruk tentu saja negara kita akan mengalami banyak kerusakan
5
dan kemunduran. Oleh sebab itu mempersiapkan generasi muda yang
berakhlak mulia adalah sangat penting didalam dunia pendidikan (Sholikhun,
2008: 3). Sehingga, diharapkan akan muncul generasi-generasi Islam yang
dapat menuruti kemauan-kemauan imperalis, pemalas dan senang hidup
mewah/berfoya-foya dan selalu mementingkan kepentingan pribadi dengan
segala cara mengesampingkan urusan bangsa.
Mendasarkan pada paparan diatas dalam skripsi ini peneliti ingin
mengkaji Pemikiran Hasan Al-Banna tentang Pendidikan Akhlak dalam
metode pendidikan ahlak.
B. Fokus Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini secara umum pemikiran Hasan
Al-Banna tentang urgensi pendidikan akhlak dalam membangun moral
bangsa. Rumusan masalah dapat diperinci, sebagai berikut:
1. Bagaimana pemikiran Hasan Al-Banna tentang pendidikan akhlak?
2. Bagaimana metode pendidikan akhlak menurut pemikiran Hasan Al-
Banna?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian, sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pemikiran Hasan Al-Banna tentang pendidikan akhlak
2. Untuk mengetahui Metode pendidikan akhlak menurut pemikiran Hasan
Al-Banna?
6
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik teoritis
maupun praktis, antara lain:
1. Manfaat teoritis
a. Pengamat pendidikan akhlak sebagai masukan yang berguna,
menambah wawasan dan pengetahuan mereka tentang keterkaitan
pemikiran Hasan Al-Banna mengenai Metode pendidikan akhlak.
b. Penelitian ini ada relevansinya dengan Ilmu Agama Islam khususnya
Program Studi Pendidikan Agama Islam, sehingga hasil
pembahasannya berguna menambah literatur tentang nilai-nilai
pendidikan akhlak.
c. Penelitian ini semoga dapat memberikan konstribusi positif bagi para
akademisi khususnya penulis untuk mengetahui lebih lanjut tentang
keterkaitan pemikiran Hasan Al-Banna mengenai pendidikan akhlak.
2. Manfaat praktis
a. Diharapkan skripsi ini dijadikan bahan acuan bagi remaja muslim agar
mempunyai akhlaqul karimah dan karakter yang baik.
b. Penelitian ini nantinya dapat menjadi bahan pertimbangan untuk
membina dan mengetahui perkembangan pendidikan akhlak.
7
E. Kajian Pustaka
Berdasarkan penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian khususnya
skripsi, penulis menemukan beberapa skripsi yang berhubungan dengan
penelitian ini, diantaranya:
1. Skripsi yang dibahas oleh saudari Dwi Ari Setyani, Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan IAIN Walisongo Semarang tahun 2004, yang berjudul
“Aspek-aspek Pendidikan Kepribadian Menurut Hasan Al-Banna”.
Skripsi ini membahas tentang aspek-aspek pendidikan kepribadian
menurut Imam Hasan Al-Banna, yang meliputi aspek aqidah, intelektual,
moral, sosial serta fisik. Kelima aspek tersebut dalam prosesnya harus
berdasarkan pada dasar Islam yang benar, yaitu berdasar pada Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Sistem pendidikan yang dibangun Al-Banna berdasar atas
pendekatan pemahaman hakikat manusia sebagai pribadi yang holistik,
yang meliputi aspek fikriyah, ruhaniyah dan jasmaniyah. Sebagai
konsekuensi logisnya, maka pada tataran aplikasinya pendidikan diarahkan
kepada pembentukan aspek-aspek tersebut secara seimbang dan integral.
2. Skripsi yang dibahas oleh saudari Isniyatun, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan IAIN Walisongo Semarang tahun 2014, yang berjudul “Konsep
Pendidikan Menurut Hasan Al-Banna dalam Risalah Ta‟alim”. Skripsi ini
membahas tentang konsep pendidikan Akhlak menurut Hasan Al-Banna
bahwa seorang yang berakhlak Islami menurutnya harus memiliki sepuluh
kriteria yakni qawwiy al jism (kuat fisiknya), matin al khuluq (kokohnya
akhlak), mutsaqqaf al fikr (luas wawasan), qadir ala al kasbi
8
(mampu mencari penghidupan), salim al aqidah (benar akidahnya), shahih
al ibadah (benar ibadahnya), mujahid li nafsih (mujahadah terhadap diri
sendiri), harish ala alwaqtih (perhatian terhadap waktu), munadhdhom fi
syuunih (teratur urusannya), nafi‟ li ghoirih (bermanfaat bagi orang lain).
Konsep tersebut merupakan perwujudan seorang muslim yang shalih
individual maupun sosial yakni meliputi keshalihan terhadap Allah,
keshalihan terhadap diri sendiri dan kesalahan terhadap sesama. Dalam
pembentukan pribadi yang berakhlak Islami Al-Banna menggunakan
empat metode yakni pertama metode pemahaman dengan memahami
pokok-pokok akhlak yang terdapat dalam Al-Qur’an, al hadits, sirah Nabi
maupun sirah salafu shalih. Kedua metode pembiasaan, akhlaka Islami
dibiasakan dengan hal-hal terpuji berupa memiliki wirid harian membaca
Al Qur’an sehari mimimal satu juz, membiasakan diri dalam keadaan
berwudhu’, memperbaiki kualitas shalat dan membiasakan berjamaah di
Masjid, memperbarui taubat dan istighfar, dan dengan muraqabatullah.
Ketiga metode fungsional, dalam hal ini Al-Banna mengarahkan seorang
muslim agar senantiasa bermujahadah dalam menahan hawa nafsu.
Keempat refleksi perilaku, dilaksanakan dengan merutinkan
bermuhasabah yang mengupayakan seorang muslim memperbaiki diri
karena mengetahui kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat. Dalam
konsep akhlaknya Hasan Al-Banna mengedepankan sikap toleran yang
mengarah pada persatuan umat Islam.
9
Berdasarkan beberapa skripsi diatas, belum ada sumber tulisan yang
secara khusus meneliti tentang pemikiran Hasan Al-Banna tentang pendidikan
dalam metode pendidikan akhlak. Penelitian-penelitian tersebut diatas
berfokus pada aspek-aspek pendidikan kepribadian dan konsep pendidikan
Akhlak menurut Hasan Al-Banna mengenai seorang yang berakhlak Islami
harus memiliki sepuluh kriteria.
Fokus penulis disini adalah pemikiran Hasal Al-Banna tentang
pendidikan akhlak. Jadi penulis setuju dengan konsep pemikiran Hasan Al-
Banna jika diterapkan di jaman sekarang sehingga penelitian ini bersifat
melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya. Hasil dari penelitian ini dapat
digunakan untuk melengkapi data tentang pendidikan akhlak.
F. Penegasan Istilah
Untuk mempermudah pemahaman dan penelitian serta menghindari
kesalahpahaman terhadap judul skripsi ini, maka terlebih dahulu penyusun
akan mengemukakan batasan dari istilah-istilah serta maksud yang terkandung
dalam judul. Adapun istilah-istilah yang menurut penyusun perlu penjelasan,
sebagai berikut :
1. Pemikiran Hasan Al-Banna
Yang dimaksud pemikiran Hasan Al-Banna adalah bagaimana
mengembangkan hasil temuan yang memiliki kontribusi yang signifikan
bagi pembangunan masyarakat dan pembangunan iptek, bagaimana
mengembangkan model-model pendidikan yang lebih kreatif dan inovatif
dengan tetap komitmen terhadap dimensi fondasionalnya, bagaimana
10
menggali masalah-masalah operasional dan aktual pendidikan Islam untuk
dibidik dari dimensi fondasional dan strukturalnya serta bagaimana
mengembangkan pemikiran pendidikan Islam sebagaimana tertuang dan
terkandung dalam literatur-literatur pendidikan Islam.
2. Pendidikan Akhlak
Pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai suatu usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar anak didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual,
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak dan budi
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara. Sedangkan secara husus pendidikan itu adalah suatu proses yang
disadari untuk mengembangkan potensi individu sehingga memiliki
kecerdasan spiritual, emosional serta Intelegtual dan berketerampilan
untuk siap hidup di tengah-tengah masyarakat (Riyanto dan Handoko,
2004:40).
Pendidikan/ mendidik adalah memberi tuntunan kepada manusia
yang belum dewasa untuk menyiapkan agar dapat memenuhi sendiri tugas
hidupnya atau denagn secara singkat: pendidikan adalah tuntunan kepada
pertumbuhan manusia mulai lahir sampai tercapainya kedewasaan, dalam
arti jasmaniah dan rokhaniah. ( Ekosusilo, 1990: 14).
Kamus Umum Bahasa Indonesia disebutkan bahwa pendidikan
adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau
sekelompok orang dalam usaha mendewasakan kepribadiannya melalui
upaya pengajaran dan latihan.
11
Akhlak secara bahasa artinya tabiat, perangai, adat istiadat,
sedangkan secara istilah akhlak adalah hal-hal berkaitan dengan sikap,
perilaku, dan sifat manusia dalam berinteraksi dengan dirinya, dengan
makhluk lain dan dengan Tuhannya (Depag RI, 1983:104).
Sedangkan menurut Imam al-Ghazali, Akhlak adalah suatu sifat
yang mendalam/berakar/menyatu benar dalam jiwa/hati yang
menimbulkan perbuatan dengan mudah tampa difikirkan dan
dipertimbangkan terlebih dahulu (Saputra, 2005:52).
Ahlak erat kaitannya dengan perbuatan. Bila seseorang melakukan
perbuatan baik maka perbuatan tersebut di katakan mulia. Sebaliknya bila
seseorang melakukan perbuatan buruk maka perbuatan tersebut di katakan
aklak yang buruk
Akhlak adalah suatu sistem nilai yang mengatur tindakan dan pola
pikir sikap manusia di muka bumi. Adapun sistem nilai terbut antara lain
adalah ajran islam, dengan al-qur’an dan sunnah rosul sebagai sumber
nilainya, dan ijtihat sebagai metode berfikir islami. Adapun tindakan dan
pola sikap yang dimaksut meliputi berbagai pola hubungan dengan allah
sesama manusia dan dengan alam
Dari beberapa definisi diatas dapatlah disimpulkan bahwa
pengertian pendidikan akhlak adalah suatu proses yang bermaksud
menumbuh-kembangkan fitrah (kemampuan dasar) manusiawi dengan
dasar-dasar akhlak, keutamaan perangai, tabiat agar dimiliki dan
diterapkan dalam diri manusia menjadi adat kebiasaan.
12
Dengan dasar-dasar akhlak, keutamaan perangai, tabiat agar dimiliki
dan diterapkan dalam diri manusia menjadi adat kebiasaan pada suatu
kelompok tertentu yang merupakan persatuan dari orang-orang secara
bersamaan asal keturunan, bahasa, adat dan sejarah dibawah pemerintahan
sendiri sehingga mencapai masa depan yang cerah dengan sudut pandang
Islam yang bertujuan untuk mempersiapkan menjadi manusia mandiri yang
berkualitas dan berguna bagi masyarakat, bangsa dan negara serta agama.
G. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut :
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Skripsi ini menggunakan pendekatan hermeneutika. Pendekatan ini
penulis pakai karena hermeneutika sangat relevan untuk menafsirkan
berbagai gejala, peristiwa, simbol maupun nilai-nilai yang terkandung
dalam ungkapan bahasa (Kaelan, 2005: 80). Dalam hal ini yang diungkap
adalah pemikiran Hasan Al-Banna tentang urgensi pendidikan akhlak.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research)
yaitu suatu cara kerja tertentu yang bermanfaat untuk mengetahui
pengetahuan ilmiah dari suatu dokumen yang dikemukaan oleh ilmuan
masa lalu maupun sekarang (Kaelan, 2005:250). Jenis penelitian ini adalah
penelitian kualitatif sehingga menghasilkan data deskriptif berupa kata-
kata, catatan yang berhubungan dengan makna, nilai dan pengertian.
Dalam skripsi ini peneliti menganalisis muatan isi dari objek penelitian
yang berupa dokumen yaitu pemikiran Hasan Al-Banna tentang
pendidikan akhlak.
13
2. Objek Penelitian
Pada skripsi ini yang menjadi objek penelitian adalah pemikiran
Hasan Al-Banna tentang pendidikan akhlak.
3. Sumber Data
a. Data primer yaitu, data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti atau
petugas-petugasnya dari sumber pertamanya (Suryabrata, 2005:39).
Data primer dalam penelitian ini adalah karya Hasan Al-Banna dalam
Konsep Pembaruan Masyarakat Islam terj. Su’adi Sa’ad, Risalat al
Ta‟alim wa al Usrah, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 1 dan
Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 2, terj. Anis Matta.
b. Data sekunder dalam penelitian ini adalah karya-karya penulis lain
yang membahas tentang pendidikan akhlak, baik dalam bentuk buku,
jurnal, artikel maupun karya ilmiah lainnya. Beberapa sumber yang
penulis gunakan sebagai data sekunder, antara lain: buku, jurnal,
artikel dan sumber lain yang relevan dengan penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data secara holistik integrative relevan dengan
fokus, maka teknik pengumpulan data yang akan dipakai menggunakan
metode dokumentasi. Dokumentasi adalah teknik pengumpulan data
melalui dokumen. Dokumen disini bisa berupa buku, surat kabar, majalah,
jurnal, ataupun internet yang relevan dengan tema penelitian ini.
5. Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul dalam penelitian selanjutnya dianalisis
dengan menggunakan teknik content analisis (Moleong, 1991:163), yaitu
analisis tekstual dalam studi pustaka melalui interpretasi terhadap isi pesan
14
suatu komunikasi sebagaimana terungkap dalam literatur-literatur yang
memiliki relevansi dengan tema penelitian ini yang berorientasi pada
upaya mendeskripsikan sebuah konsep atau memformulasikan suatu ide
pemikiran melalui langkah-langkah penafsiran pemikiran-pemikiran dari
Hasan Al-Banna.
Selain analisis isi, peneliti juga menggunakan teknik analisis
semiotik, karena obyek kajian berupa teks, maka nantinya juga akan dikaji
bahasa dari teks yang digunakan tersebut. Semiotik merupakan Kajian
tanda yang ada dalam kehidupan, artinya segala sesuatu yang ada dkalam
kehidupan dapat dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberi
makna (Hoed, 2011:3).
Adapun langkah-langkahnya analisisnya sebagai berikut:
a. Memilih data dengan pembacaan dan pengamatan secara cermat
terhadap pemikiran Hasan Al-Banna yang didalamnya terkandung
konsep pendidikan akhlak.
b. Mengkategorikan ciri-ciri atau komponen pesan yang mengandung
nilai-nilai pendidikan akhlak dalam setiap pemikiran Hasan Al-Banna.
c. Menganalisis relevansi pemikiran Hasan Al-Banna tentang pendidikan
akhlak.
Untuk mendapatkan kesimpulan penulis menggunakan pola
penalaran induktif, yaitu pola pemikiran berangkat dari suatu pemikiran
khusus kemudian ditarik generalisasi yang bersifat umum.
15
H. Sistematika Penulisan
Secara umum dalam penulisan skripsi ini terbagi dari beberapa bagian
pembahasan teoritis dan pembahasan empiris dari dua pokok pembahsan
tersebut kemudian penulis jabarkan menjadi lima bab. Adapun perinciannya,
sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan, dalam bab ini penulis akan mengemukakan pokok-
pokok pikiran yang mendasari penulisan skripsi ini. Pokok-pokok tersebut
antara lain : latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, kajian pustaka, penegasan istilah, metode penelitian,
sistematika penulisan.
Bab II Biografi Tokoh, pada bab ini dipaparkan tentang gambaran
biografi Hasan Al-Banna.
Bab III Deskripsi Pemikiran Hasan Al-Banna tentang Konsep
Pendidikan Akhlak.
Bab IV Pembahasan, penulis menguraikan metode pemikiran Hasan
Al-Banna tentang pendidikan akhlak.
Bab V Penutup, meliputi; kesimpulan dan saran-saran yang menjadi
akhir dari penulisan skripsi ini.
BAB II
BIOGRAFI HASAN AL-BANNA
A. Riwayat Hidup
Hasan bin Ahmad bin Abdurrahman Muhammad Al-Banna, atau yang
dikenal dengan Hasan Al-Banna lahir di Mahmudiyah (Nu’man, 2004:137),
sebuah kota kecil di propinsi Buhairah, kira-kira 9 mil dari arah barat daya
kota Kairo Mesir pada bulan Oktober 1906 M. Syaikh Abdurrahman Al-
Banna, kakek Hasan Al-Banna adalah seorang pembesar sekaligus
konglomerat desa Syamsyirah. Dia memiliki dua anak laki-laki, Ahmad dan
Muhammad. Ahmad menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu di Al
Azhar, sedangkan Muhammad bekerja di desa. Ketika Abdurrahman Al-
Banna meninggal, keduanya berselisih tentang warisan. Ahmad mengalah dan
meninggalkan desa untuk menetap di Mahmudiyah. Syaikh Ahmad (ayah
Hasan Al-Banna) bekerja sehari-hari sebagai tukang reparasi jam dan sisa
waktunya dimanfaatkan untuk mengajar fiqih, tauhid serta hafalan Al-Qur’an
berikut tajwid. Ia memiliki perpustakaan yang dipenuhi beragam buku ilmu–
ilmu Islam. Ketika penduduk Mahmudiyah membangun masjid, mereka
meminta agar syaikh Ahmad mengawali khutbah jum’at di masjid tersebut.
Saat itu penduduk Mahmudiyah sangat kagum dengan keilmuan dan retorika
bicaranya, sehingga ia diminta menjadi khatib dan imam masjid setempat. Ia
membagi waktu antara mengajar dan memperbaiki jam.
Syaikh Ahmad mengajar fiqih empat madzhab dan kitab-kitab sunan.
Ia mengajar kitab Al Muwatha‟ Imam Malik, Musnad Imam Syafi’i, serta
16
17
menyusun beberapa buku, antara lain Bada‟i‟u al Minan fi jam‟i wa tartib
Musnad al-Syafi‟i wa al-sunan, sekaligus memberi tahqiq dan syarahnya. Ia
juga menyusun satu juz di antara kitab empat Imam Musnad, juga menyusun
Musnad Imam Ahmad dengan judul Fath al Rabbany fi Tartib Musnad al
Imam Ahmad al-Syaibany. Syaikh Ahmad menikah dengan seorang wanita
dari keluarga Abu Qaura dan dikaruniai lima anak laki-laki dan dua anak
perempuan, Hasan Al-Banna merupakan anak sulung (Assisi, 2006:382-383).
Hasan Al-Banna lahir dari keluarga yang cukup terhormat dan dibesarkan
dalam suasana keluarga Islam yang taat. Sebagai seorang ayah, Syeikh Ahmad
mencita-citakan putranya (Hasan) sebagai mujahid (pejuang) disamping
seorang mujaddid (pembaharu).
Syaikh Ahmad, memperhatikan dengan sungguh–sungguh
perkembangan dan pertumbuhan Al-Banna. Sejak kecil, ia menuntun Al-
Banna menghafal Al-Qur’an dan mengajarkannya ilmu-ilmu agama: sirah
nabawiyyah, ushul fiqh, hadits dan gramatika bahasa Arab. Syaikh Ahmad
memotivasi Al-Banna untuk gemar membaca dan menelaah buku-buku yang
ada di perpustakaan yang ia miliki yang sebagian besar isinya merupakan
referensi utama khazanah keislaman. Perhatian Syaikh Ahmad terhadap
pertumbuhan Al-Banna tidak terbatas pada cara ia memperoleh pengetahuan
ilmiah dan wawasan teoritis, bahkan ia juga mengajarkan ilmu dan amal
sekaligus sehingga Al-Banna dapat berkomitmen dengan perilaku dan akhlak
islami dan kepribadiannya pun tersibghah dengan nilai-nilai agama.
Abdurrahman Al-Banna, adik kandung Al-Banna pernah bercerita
tentangnya, Ketika itu Hasan berusia 9 tahun dan aku 7 tahun. Kami selalu
18
bersama-sama pergi ke maktab (perpustakaan) untuk menghafal Al-Qur’an
dan menulis di papan. Ia sudah hafal dua pertiga Al-Qur’an, sedangkan aku
baru sepertiga dari surat Al-Baqarah sampai At-Taubah. Kami selalu pulang
bersama dari maktab dan mencium tangan ayah. Tangan itu pula yang
mengajari kami Sirah Nabawiyah, Ushul Fiqh, dan Nahwu. Saat itu, kami
memiliki kurikulum yang digunakan ayah untuk mengajar kami. Untuk
pelajaran fiqh, ia belajar fiqh Imam Hanafi dan aku Imam Malik. Untuk
nahwu, ia belajar kitab Al fiyah dan aku kitab Milhat al I‟rab.
Semua pelajaran menuntut kami untuk serius dan Sungguh-sungguh
karena itu kami selalu mengatur waktu dan menyusun jadwal belajar. Hasan
Al-Banna adalah sebaik-baik orang yang kukenal dan selalu melaksanakan
ibadah shiyam dan qiyamullail. Ia bangun di waktu sahur, lalu shalat. Setelah
itu ia membangunkan aku untuk shalat subuh. Seusai shalat ia membacakan
jadwal mata pelajaran untukku dan sampai kini suaranya masih terngiang di
telingaku, pukul 05.00-06.00 pelajaran Al-Qur’an, pukul 06.00-07.00
pelajaran tafsir dan hadits, 07.00-08.00 pelajaran fiqh dan ushul fiqh. Ia selalu
memulai dan aku mengikuti, ia menyuruh dan aku menaati. Ketika itu
perpustakaan ayah penuh berjilid-jilid buku. Setiap hari kami mengitari dan
mengamati judul-judulnya yang berkilauan bagai emas. Terbaca kitab, al
Naisaburi, al Qashthalani, Nail al Authar dan masih banyak kitab lainnya.
Ayah selalu menganjurkan agar kami selalu dekat dengan buku-buku itu.
Kami pun mendengar majelis ta’lim ayah yang terhormat mulai dari ceramah
ilmiah sampai dialog dan debat. Kami menghadiri diskusi beliau dengan
19
hadirin yang terdiri dari para ulama, seperti Al-Mukarram Syaikh Muhammad
Al Zahran, dan Al-Mukarram Syaikh Muhaisin (Nu’man, 2004:137). Hasan
Al-Banna lahir dan besar dalam keluarga yang religius dan memiliki semangat
yang besar dalam mempelajari ilmu-ilmu agama.
B. Kondisi Sosial
Pada tanggal 18 Desember tahun 1914 Inggris mengumumkan
prektoratnya terhadap Mesir, mengumumkan berakhirnya khilafah Islamiyah
atas Mesir, menyingkirkan Khedive Abbas, dan menunjuk Husain Kamil
sebagai pengganti dan memberinya gelar sultan. Kondisi umat Islam di Mesir
dan dunia pada umumnya saat itu berada dalam penjajahan bangsa Eropa, dan
keadaan tersebut berpengaruh pada tatanan nilai-nilai sosial masyarakat,
politik, ekonomi dan pendidikan (Qaradhawi, 1991:2-3). Pendidikan yang
diadopsi dari Eropa melahirkan pemahaman-pemahaman nilai-nilai sosial,
budaya, agama dan pendidikan yang bercorak Barat. Hukum Islam diabaikan
dan ditinggalkan, digantikan dengan hukum-hukum positif buatan manusia,
kebiasaan Barat dan peradaban asing mendominasi kehidupan umat Islam,
terutama kaum terpelajar. Hal ini disebabkan oleh penjajahan Barat yang
memegang kendali pendidikan. Akibat dari pola pendidikan Barat tersebut
maka muncullah generasi-generasi yang menyandang nama Islam tetapi
berwatak Barat (Eropa).
Tahun 1920 merupakan masa gejolak politik dan intelektual di Mesir.
Perebutan kekuasaan terjadi antara partai Wafd dan partai Konstitusi Liberal
(Hizb al-asrar al-dusturiyyun), hiruk pikuk perdebatan politik yang
20
menimbulkan perpecahan yang muncul setelah meletusnya revolusi 1919,
gelombang kekufuran dan nihilisme pascaperang melanda dunia Islam,
serangan terhadap tradisi dan ortodoksi yang semakin menjadi dengan adanya
revolusi Kemal di Turki yang diorganisasi menjadi gerakan intelektual dan
pembebasan sosial mesir, aliran-aliran non Islam di Universitas Mesir
memberikan pandangan bahwa universitas tidak bisa menjadi universitas yang
sesungghnya jika ia tidak melakukan revolusi melawan agama dan menyerang
tradisi sosial yang berasal dari agama. Selain itu, buku-buku, surat kabar, dan
majalah yang beredar mempropagandakan gagasan yang tujuan intinya
melemahkan posisi agama.
Hasan Al-Banna yang saat itu baru berusia 13 tahun sudah
menunjukkan jiwa patriotisme. Al-Banna ikut berdemonstrasi dan
mendeklamasikan puisi-puisi yang berisi semangat nasionalisme. Mengenai
revolusi 1919 Al-Banna menuturkan dalam memoarnya,
Masih tergambar dibenak saya, peristiwa ketika beberapa tahun tentara Inggris
menduduki kota dan mendirikan kamp-kamp di berbagai tempat. Sebagian
mereka mulai berinteraksi dengan sebagian penduduk setempat. Bahkan mulai
melakukan tindakan kasar dan penakalan terhadap penduduk dengan
menggunakan sabuk kulitnya. Akibatnya orang-orang yang masih memiliki
rasa nasionalisme pun menjauh dari orang-orang Inggris itu, mereka harus
menanggung akibatnya. Saya juga masih ingat bagaimana penduduk
melakukan siskamling, mereka melakukan jaga malam secara bergantian
selama beberapa hari agar tentara-tentara Inggris itu tidak menyatroni rumah-
rumah penduduk dan merampas kehormatan penghuninya.
Situasi yang demikian mencekam pada saat itu terlihat masih
membekas dalam ingatan Al-Banna hingga bertahun-tahun. Penjajahan Inggris
seperti penjajahan bangsa manapun juga, telah membangun sebuah persepsi
didalam diri bangsa terjajah tentang kehinaan dan kerendahan martabat
21
kemanusiaan mereka. Hal tersebut sangat terlihat dalam beberapa tulisan Al-
Banna. Ahmad Isya 'Asyur mengungkapkan hal ini di dalam karyanya
Ceramah-Ceramah Hasan Al-Banna: Hasan Al-Banna menggambarkan dan
mengartikan penjajahan yang dialaminya dengan penggambaran seperti yang
tertera didalam kitab suci (Q.S An-Naml:34):
Artinya: Dia berkata: “Sesungguhnya raja-raja itu apabila memasuki suatu
negeri, niscaya mereka membinasakannya dan menjadikan
penduduknya yang mulia itu menjadi hina. Dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat”. (Departemen Agama RI, 2005:597).
Makna penjajahan bagi Al-Banna meliputi kerusakan yang bersifat
ilmiah, kerusakan ekonomi, kerusakan kesehatan, kerusakan moral dan
seterusnya, diantara indikasinya adalah kehinaan, serba kekurangan dan
kemiskinan, lalu “menjadikan penduduknya yang mulia itu menjadi hina”,
keadaan ini sekaligus yang menunjukkan hilangnya indikasi kehidupan
(eksistensi) bangsa terjajah itu. Sementara bagi penjajah akan muncul
kezaliman dan arogansi. Untuk masa modern Hasan Al-Banna menyatakan
akan terjadi perubahan negatif (destruktif) setiap kali penjajahan memasuki
sebuah negeri. Perubahan negatif tersebut terjadi pada aspek akhlaknya yang
rusak, jiwanya yang melemah, muncul berbagai kezaliman, ilmu pengetahuan
mengalami berbagai kematian dan kejahilan/kebodohan merajalela ('Asyur,
2000:246).
Semua itu berpengaruh sangat besar bagi masyarakat Mesir dan
pribadi Hasan Al-Banna. Selain itu, peristiwa runtuhnya khilafah Islamiyah
22
(1924) ini melahirkan gelombang kemurtadan dan gaya hidup bebas,
hal ini terlihat dalam penuturan Al-Banna yang dikutip oleh Abdul Muta'al Al
Jabbari, Pada dekade yang saya lalui di Kairo kala itu, semakin merajalela
arus kekuasaan. Kebebasan berpendapat dan berfikir dianggap sebagai
kebenaran rasio. Kerusakan moral dan akhlak dianggap sebagai kebebasan
individu. Gelombang kemurtadan dan gaya hidup bebas melanda sangat deras
tanpa ada penghalangnya, didukung oleh berbagai kasus dan situasi yang
mengarah kesana (Al-Jabari, 1999:10).
Tahun 1927 Al-Banna mendapat tugas baru sebagai guru di
Ismailiyah. Ismailiyah merupakan kota yang didominasi oleh pihak asing dari
Inggris. Di kota ini tidak hanya terdapat kamp-kamp militer Inggris, tetapi
juga terdapat perusahaan Terusan Suez, sebuah dominasi asing yang sempurna
atas fasilitas- fasilitas publik. Kesenjangan ekonomi sangat terlihat di kota ini,
rumah-rumah mewah milik orang asing dihadapakan dengan rumah-rumah
buruh yang menyedihkan yang merupakan penduduk pribumi Mesir.
Terdapat dua persoalan sosial-politik yang melingkupi Hasan Al-
Banna ketika ia berupaya melakukan pembaharuan dan perbaikan umat Islam
saat itu. Hal tersebut bisa dicermati dari teks perkataan Hasan Al-Banna yang
dikutip Abdul Muta’al Al Jabbari berikut ini:
Saya sepenuhnya yakin bahwa bangsa saya ini, berdasar hukum
perubahan politik yang melingkupi mereka, serta dengan munculnya
revolusi sosial yang mereka terjuni, westernisasi yang semakin
meluas, filsafat materialisme dan sikap membebek pada bangsa
Asing akan semakin menjauhkan mereka dari cita-cita agama,
tujuan kitab suci, melupakan peninggalan para pendahulu mereka,
untuk kemudian mengenakan jubah kezaliman dan kebodohan pada
agama mereka yang benar, dan makin tertutuplah hakekat kebenaran
dan ajarannya yang lurus oleh tabir-tabir prasangka, sehingga orang
awam
23
terjerumus dalam lembah kebodohan yang gelap gulita.
Pemuda dan pelajar melata-lata di padang kebingungan dan kebimbangan, aqidah menjadi rusak dan agama bergantian dengan
kekafiran. Persoalan lain mengenai kondisi Mesir pada saat itu adalah dari sisi elite politik dan elite agama/para ulama (Al-Jabari,
1999:11).
Hal tersebutlah yang memotivasi Al-Banna untuk bangkit dari ketertindasan
yang dialami bangsa Mesir sampai akhirnya ia mendirikan jama’ah al-Ikhwan
al-Muslimun bersama 6 orang pekerja di kamp Inggris yang biasa
mendengarkan ceramah-ceramah yang ia sampaikan.
C. Latar Belakang Pendidikan
Hasan Al-Banna memulai Pendidikan di Madrasah Diniyah Al-Rasyad
saat berusia delapan tahun. Madrasah Diniyah Al-Rasyad bisa dibilang
istimewa dalam bidang materi yang diajarkan dan metodologi yang
diterapkan. Selain, mempelajari materi-materi yang lazim dipelajari di
madrasah, di Madrasah Diniyah Al-Rasyad juga diajarkan hafalan dan
pemahaman hadits. Madrasah ini mengadopsi pola pengajaran pada lembaga
pendidikan yang bagus. Pemilik Madrasah al Rasyad, Syaikh Muhammad
Zahran termasuk di antara orang pertama setelah ayahnya yang banyak
mempengaruhi perkembangan pemikiran Al-Banna.
Al-Banna belajar di Madrasah ini hingga berusia dua belas tahun.
Karena kesibukan Syaikh Zahran, ia menyerahkan pengelolaan madrasah
kepada ustadz-ustadz lain yang menurut Al-Banna tingkat keilmuan, kekuatan
ruhani, serta akhlak ustadz-ustadz tersebut kurang setara dengan Syaikh
Zahran. Hal inilah yang membuat Al-Banna memutuskan untuk pindah ke
Madrasah „Idadiyah, setingkat dengan madrasah Ibtidaiyah (Al-Banna,
24
2004:26-28). Di Madrasah I’dadiyah inilah untuk pertama kali Al-Banna
mengikuti organisasi-organisasi keagamaan. Al-Banna menjadi ketua
Perhimpunan Akhlak Mulia, sebuah organisasi yang bertujuan menghukum
anggota-anggotanya atas setiap pelanggaran moral yang mereka lakukan.
Suatu sistem denda yang berat pun diterapkan pada seluruh anggota yang
mencaci maki saudara dan keluarga mereka atau bersalah menurut agama
(Mitchell, 2005:4). Organisasi inilah yang mempengaruhi kepribadian Al-
Banna, menjadikan dia konsisten dalam menjalankan perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya yang ia terapkan dalam sikap dan perilakunya (Ashari,
2001:63).
Sejak muda Hasan Al-Banna telah mencurahkan perhatian kepada
agama Islam. Walaupun sibuk dengan tugas belajar, ia bersama dengan
teman-temannya mendirikan Jam‟iyatu al Ikhwani al Adabiyah, yakni sebuah
perkumpulan yang terdiri dari calon pengarang. Ia juga mendirikan Jam‟iyatu
al Man‟i al Muharramat, semacam serikat pertobatan dan menjabat sebagai
ketua (Kholik, 1999:256). Saat berusia 13,5 tahun Al-Banna melanjutkan
jenjang pendidikan di Madrasah al Mu‟allimun al Awwaliyah di Damanhur.
Ada dua kendala dalam upaya pendaftaran di Madrasah ini. Pertama kendala
usia, hal ini karena usia Al-Banna baru 13,5 tahun sedangkan usia minimal
untuk dapat diterima di madrasah ini 14 tahun. Kedua, kendala hafalan Al-
Qur’an. Syarat untuk dapat diterima di madrasah ini haruslah sudah hafal 30
juz, sedangkan hafalan Al-Banna masih kurang seperempat Al-Qur’an. Al-
Banna bisa terdaftar sebagai siswa Madrasah Al-Mu’allimin karena mendapat
25
dispensasi dari kepala sekolah. Al-Banna berjanji untuk segera menyelesaikan
hafalan tersebut (Al-Banna, 2004:34). Di Damanhur Al-Banna semakin aktif
mengikuti tarekat sufi. Sejak saat itu, pemikiran Al-Banna banyak dipengaruhi
oleh ajaran – ajaran sufisme terutama ajaran figur puncak sufisme, yaitu Abu
Hamid Al-Ghazali (1058-1111 M).
Pandangan Al-Ghazali terhadap pendidikan yang ia baca dari kitab
Ihya‟ Ulum al-din membuat Al-Banna berpandangan bahwa melanjutkan
pendidikan formal adalah hal yang sia-sia. Pada tahun terakhir pendidikannya
di Madrasah Mu’allimin, Al-Banna mengalami pertentangan batin dalam
dirinya antara kecintaan menuntut ilmu dan keyakinan akan faedah menuntut
ilmu bagi individu maupun masyarakat serta pandangan Al-Ghazali yang
menganjurkan cinta kepada sains dan ilmu pengetahuan (demi sains dan ilmu
pengetahuan itu sendiri), dan pandangan yang mengatakan bahwa menuntut
ilmu terbatas pada hal-hal yang diperlukan untuk memenuhi kewajiban-
kewajiban agama dan meraih kehidupan yang lebih baik. Salah satu guru Al-
Banna berhasil menyingkirkan keraguan-keraguan tersebut dan Al-Banna
bersedia melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi (Al-Banna, 2004:62).
Pada tahun 1923, saat Al-Banna berusia 16 tahun ia berhasil
menyelesaikan pendidikan di Madrasah Mu’allimin dan pada tahun yang sama
ia masuk ke Darul Ulum Kairo. Dar Al-Ulum didirikan pada tahun 1873 M
sebagai lembaga pertama Mesir yang menyediakan pendidikan tinggi modern
(sains), di samping ilmu-ilmu agama tradisional yang menjadi spesialisasi
lembaga pendidikan tradisional dan klasik Al-Azhar. Dar Al-Ulum menjadi
26
sekolah tinggi keguruan yang utama dan dengan berkembangnya sistem
universitas sekuler di Mesir, Al-Azhar menjadi semakin bertambah tradisional
(Mitchell, 2005:5-6). Dalam lingkungan pendidikan tersebut Hasan Al-Banna
mampu mengorganisasikan kelompok mahasiswa Al-Azhar dan Dar Al-Ulum
yang melatih diri berkhotbah di masjid-masjid. Dalam kesempatan belajar di
Kairo, Hasan Al-Banna sering berkunjung ke toko-toko buku yang dimiliki
oleh gerakan Shalafiyah pimpinan Rasyid Ridha, dan aktif membaca Al-
Manar dan berkenalan dengan murid-murid Abduh lainnya (Kholik,
1999:254).
Hasan Al-Banna menamatkan pendidikan di Dar Al-Ulum pada tahun
1927 dalam usia 21 tahun kurang beberapa bulan. Al-Banna diminta
Departemen Pendidikan untuk mengajar di Ismailia. Awalnya Al-Banna ragu
dengan tugas tersebut, atas dorongan ayah dan guru-gurunya, Al-Banna
memutuskan untuk bersedia menerima tawaran itu (Al-Banna, 2004:102-103).
Pada tanggal 19 September 1927 meninggalkan Kairo menuju Ismailia untuk
menempati rumah baru dan melaksanakan tugas yang baru pula sebagai guru
di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (Al-Banna, 2004:105).
D. Hubungan Sosial Politik dan Pemikiran Hasan Al-Banna
Revolusi rakyat tahun 1919 telah memberikan sebagian pengaruh pada
diri Hasan Al-Banna. Ia terlibat di dalamnya dengan bersyair, demonstrasi,
melakukan aksi dan mendengarkan orasi tentang permasalahan negara dan
perkembangannnya. Semua itu memberi pengaruh terhadap pembinaan
karakter politik Al-Banna ketika ia masih berusia dini, tiga belas tahun.
27
Kesadaran ini telah tumbuh sampai pada tingkat menganggap berbagai
partisipasi yang ia lakukan sebagai jihad yang wajib dilaksanakan, padahal
saat itu ia masih menekuni dunia tasawwuf. Ketika kuliah di Darul ulum,
terjadi friksi antara kubu partai Wafd dan Ahrar Dusturi, yang disusul dengan
berbagai kasus lainnya. Hal itu menjadi topik pembicaraan dosen dan
mahasiswa. Para dosen selalu mengemukakan pandangan mereka secara jelas.
Hal ini berpengaruh pada perkembangan politik Al-Banna.
Ketika tinggal di Ismailia, Al-Banna melihat kolonialisme Inggris
begitu tampak sangat vulgar. Tidak hanya pangkalan Inggris, tetapi di sana
juga berdiri Terusan Suez yang mereka kuasai, para pekerja di dalamnya
merasakan perbudakan yang sangat menyakitkan. Perusahaan ini memonopoli
bidang-bidang pelayanan umum dan urusan perekonomian Ismailia (Ruslan,
2000:181-184).
E. Karya-Karya
Hasan Al-Banna mewariskan dua karya monumental yaitu
Mudzakkirat al Dakwah wa Da‟iyah, dan Majmu‟ah Rasail (Muhammad,
2006:206). Mudzakkirat al Dakwah wa Da‟iyah telah diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia dengan judul Memoar Hasan Al-Banna oleh Salafuddin Abu
Sayyid yang diterbitkan oleh penerbit Era Intermedia Solo. Majmu’ah Rasail
merupakan kumpulan risalah-risalah yang ditulis Hasan Al-Banna juga telah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh beberapa penerbit
yakni penerbit Media Dakwah dengan judul Konsep Pembaruan Masyarakat
Islam, penerbit Era Intermedia dengan judul Risalah Pergerakan Ikhwanul
28
Muslimin dan penerbit Al-„Itishom dengan judul Risalah Dakwah Hasan Al-
Banna. Majmu‟ah Rasail terdiri dari beberapa risalah antara lain sebagaimana
yang disebutkan oleh Ali Abdul Halim Mahmud, yaitu:
1. Risalah “Akidah” ditulis pada tahun 1350 H/1931M, dalam risalah ini Al-
Banna mengumumkan targetdan tujuan Ikhwan sejalan dengan masa
pertumbuhannya. Dalam risalah ini juga ditetapkan berbagai dimensi
dakwah Islamiyah, serta menegaskan sejak semula bahwa target Ikhwan
adalah untuk mewujudkan kebaikan duniawi dan ukhrawi.
2. Risalah “Dakwah Kami” ditulis pada tahun 1936 M. Berisi tentang
program dan tujuan Ikhwan. Dalam risalah ini Al-Banna membagi
masyarakat ke dalam empat tipe manusia, yaitu orang mukmin, orang yang
ragu-ragu, orang yang oportunis, dan orang yang memusuhi. Al-Banna
juga menjelaskan bahwa dakwah Ikhwan menyentuh semua sendi
kehidupan. Artinya Islam adalah agama yang mengatur seluruh dimensi
kehidupan manusia.
3. Risalah “Ke Mana Kami Membawa Umat”, ditulis pada tahun 1936 M
didalamnya dibahas masalah agama, politik, dan nasionalisme secara jelas
dan meyakinkan.
4. Risalah “Menuju Cahaya” ditulis tahun 1936 M, dan ditujukan kepada
Raja Faruk, kepada kepala pemerintahan pada saat itu, Mustafa al-Nahas
Pasha, dan seluruh raja, amir, dan penguasa di semua negara Islam. Di
dalamnya Al-Banna menekankan pentingnya membebaskan umat Islam
dari segala bentuk ikatan politik yang membelenggunya, dengan
menggunakan segala cara yang legal, dan dengan menerapkan sistem
29
Islam. Dalam risalah ini pula Hasan Al-Banna mencantumkan Indonesia
sebagai salah satu negara yang harus mendapat perhatian oleh orang-orang
Islam karena Indonesia sebagai negara dengan populasi penduduk muslim
terbesar di dunia yang masih berada dalam jajahan Belanda.
5. Risalah “Untukmu Para Pemuda”, ditulis juga pada tahun 1936 M,
didalamnya Al-Banna menjelaskan bentuk amal Islami yang hendaknya
dilaksanakan para pemuda. Amal itu berupa pembentukan pribadi muslim,
rumah tangga muslim, masyarakat muslim, pemerintah muslim, dan
bangsa muslim dengan menyatukan seluruh negara Islam yang sudah
dipecah belah akibat perbedaan politik. Al-Banna juga menjelaskan bahwa
keberhasilan suatu konsep ditentukan oleh empat faktor yakni keimanan,
keikhlasan, semangat dan usaha.
6. Risalah yang ditujukan kepada Konferensi Pelajar, merupakan teks pidato
yang disampaikan Al-Banna pada bulan Muharram 1357 H /Maret 1938 M
dihadapan para pelajar muslim. Di dalamnya Al-Banna menyinggung
masalah Islam dan politik, kebebasan berpendapat sebagai hal yang sangat
penting dalam mencari kebenaran.
7. Risalah “Ikhwanul Muslimin di Bawah Bendera Al-Qur’an” ini adalah
pidato yang disampaikan Al-Banna pada tanggal 14 Shafar 1358 H /4
April 1939 M, berisi ajakan untuk kembali kepada Islam yaitu
menyandarkan segala sendi kehidupan pada Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
8. Risalah “Antara Kemarin dan Hari Ini”, ditulis pada tahun 1942 M. Di
dalamnya Al-Banna membicarakan sistem pendidikan secara serius dan
mendalam.
30
9. Risalah “Pengarahan”, ditulis pada tahun 1943 M. Di dalamnya Al-Banna
mengungkapkan program pendidikan dan pembinaan jama’ah, serta target
dan sarana pendidikan mereka. (Mahmud, 2004:365-397)
Ada segelintir pihak yang mengkritik Hasan Al-Banna dengan tujuan
merendahkan, lantaran ia belum pernah membuat kitab-kitab ilmiah. Hasan
Al-Banna pernah ditanya tentang alasan ia tidak menyusun kitab. Ia menjawab
bahwa dirinya lebih suka menghasilkan dan mencetak rijal dibanding buku,
sebab buku akan tersimpan dan usang di rak dan hanya sedikit yang bersedia
membaca. Sedangkan rijal akan menjadi buku berjalan yang memberikan
manfaat bagi siapa saja yang bersentuhan dengannya. Fakta itulah yang terjadi
dari tempaanya, lahir rijal al da‟wah yang tersebar di seantero umi. Di antara
mereka, ada yang menjadi ahli fiqh seperti Abdul Qadir Audah, Abdul Halim
Abu Syuqqah, dan Yusuf al Qaradhawy; muhaddits seperti Muhibbudin al
Khathib, Abdul Fattah Abu Ghudah; pemikir dan penulis seperti Sayyid
Quthb, Muhammad Quthb, Muhammad al Ghazaly, Taufiq Yusuf al Wa’iy,
Fathi Yakan dan lain-lain (Al-Khatib, 2006:xxx-xxxi).
BAB III
DESKRIPSI PEMIKIRAN HASAN AL-BANNA TENTANG KONSEP
PENDIDIKAN AKHLAK
A. Risalah Ta’alim
Risalah ta’alim ditulis oleh Hasan Al-Banna pada tahun 1934 M.
Risalah ini merupakan puncak dari berbagai risalah yang Al pendidikan
jama’ah Ikhwanul Muslimin. Adapun bagian-bagian yang ada dalam risalah
ta’alim, sebagai berikut: (Mahmud,1997:392)
1. Pendahuluan
Risalah Ta’alim hanyalah satu dari sekian banyak risalah yang
pernah ditulis Hasan Al-Banna. Pada awal mukaddimahnya ia
mengatakan;
Inilah risalahku untuk ikhwan mujahidin dari kalangan Ikhwanul Muslimin yang telah beriman kepada keluhuran dakwahnya dan kepada validitas fikrahnya. Mereka memiliki tekad yang tulus untuk hidup bersamanya dan mati atas namanya. Kepada mereka sajalah uraian ringkas ini kupersembahkan. Ia bukan pelajaran-pelajaran yang harus dihafal, tetapi merupakan petunjuk-petunjuk yang harus diamalkan. Marilah beraktifitas, wahai saudaraku yang berhati tulus (Al-Banna, 2008:289).
Meskipun Hasan Al-Banna menggunakan redaksi yang
mengkhususkan risalah ini kepada kelompok tertentu, tetapi ajaran,
kewajiban dan nasihat-nasihat yang terkandung didalamnya tidak khusus
hanya untuk mereka saja. Risalah tersebut berlaku umum bagi setiap orang
yang hendak menempuh jalan Nabi Muhammad SAW dan menapaki
jalannya.
31
32
Hal itu karena apa yang diserukan Al-Banna adalah kebenaran, sedangkan
kebenaran tidak terbatas hanya untuk orang tertentu saja. Ia dibuat untuk
diperebutkan oleh orang-orang yang serius berusaha (Al Washli, 2001:20).
2. Isi
Risalah ta‟alim dapat dikatakan sebagai rangkuman dari berbagai
risalah
yang pernah ditulis Hasan Al-Banna. Isinya mudah, ringkas, padat, dan
jelas
(Thahan, 2007: 2). Risalah Ta’alim terbagi menjadi dua bagian, yakni arkan
albai‟at (rukun-rukun bai’at) dan wajibat al akh al „amil (kewajiban
seorang
aktifis). Adapun pengertian baiat adalah:
Baiat merupakan janji setia untuk taat. Seolah-olah orang
yang berbaiat tidak boleh menentang perintah. Ia harus menaati
perintah, baik saat lapang maupun sempit. Apabila ia membaiat
seorang pemimpin, ia harus meletakkan tangannya di atas tangannya
sebagai tanda telah terjadinya sebuah janji. Seperti inilah pengertian
baiat dari dari segi bahasa dan syariat. Pengertian ini pulalah yang
terkandung dalam hadits mengenai baiat yang dilakukan oleh Nabi
SAW (Thahan, 2007:385).
a. Arkan Al-Bai‟at
Arkan Al-Bai‟at merupakan bai’at untuk memperjuangkan
Islam yang menjelaskan tentang hal-hal yang dimaksud dari masing-
masing rukun dan berbagai konsekuensi komitmen masing-masing
rukun itu, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang harus
direalisasikan dalam realitas perjuangan Islam dengan memperbaiki
pribadi, masyarakat, atau pemerintahan, dan istiqomah di atas jalan
Allah yang sempurna. Di samping itu, di dalamnya juga menjelaskan
sarana dan metode yang digunakan untuk merealisasikan tujuan-tujuan
utama setiap muslim yang selalu diserukan, bahwa Allah adalah
33
tujuannya, Rasul adalah qudwahnya, jihad adalah jalannya, dan mati di
jalan Allah adalah cita-citanya yang tertinggi (Al-Washli, 2001:20).
Di antara hal penting yang diwujudkan oleh risalah ta‟alim
pada sedikit halamannya adalah berupa penjelasan mengenai berbagai
hal yang diperlukan oleh gerakan Islam dari yang global menjadi rinci,
dari yang remang menjadi jelas. Misalnya permasalahan bai’at, selama
ini istilah bai’at hanya dikenal dengan makna janji setia mengamalkan
wirid tertentu atau untuk taat pada figur syaikh tertentu. Risalah
Ta’alim hadir dengan penjelasan tentang batasan–batasan arkan al
bai’at yang dibutuhkan dewasa ini, bahwa ia adalah:
1) Pemahaman, bai’at untuk memahami Islam secara benar.
Pemahaman yang dimaksud oleh Al-Banna adalah bahwa
ikhwan yakin bahwa fikrah yang mereka yakini adalah fikrah
islamiyah yang bersih dan hendaknya pula ikhwan memahami
Islam dalam batas ushul al isyrin (20 prinsip). Adapun dua puluh
prinsip tersebut menjelaskan tentang:
a) Islam adalah sistem yang sempurna.
b) Memperkenalkan sumber-sumber hukum Islam dan kaidah
memahaminya.
c) Pengaruh iman, ibadah, dan mujahadah.
d) Menggunakan sebab (sarana) selama bukan sarana jahiliyah.
e) Pendapat imam adalah adalah pemutus masalah-masalah yang
tidak ada nashnya dan yang membedakan antara ibadah dan
kebiasaan.
34
f) Neraca untuk menimbang pendapat-pendapat para ulama dan
etika para pendahulu umat ini
g) Ijtihad, taklid, dan kemadzhaban
h) Perbedaan dalam masalah furu’ dan etika dalam
menghadapinya
i) Iman kepada Allah dan sifat-sifat-Nya.
j) Bid’ah, definisi, hukum dan jenisnya
k) Kriteria mencintai orang-orang saleh, batas-batas kewalian, dan
hukum menetapkan karamah bagi mereka
l) Disyari’atkannya ziarah kubur dan bid‟ah yang dimunculkan
orang di dalamnya
m) Doa dan tawassul
n) Tradisi dan adat istiadat bisa dijadikan landasan selama tidak
mengubah prinsip-prinsip syariat
o) Akidah dan perbuatan hati
p) Syariat lebih didahulkan dibanding akal
q) Kriteria dan batas-batas pengkafiran menurut ahlul haq (Al-
Banna, 2009: 162-167).
2) Keikhlasan, bai’at untuk berikhlas.
Al-ikhlas menurut Al-Banna adalah bahwa ikhwan dalam
setiap kata-kata, aktifitas, dan jihadnya, semua harus dimaksudkan
semata-mata untuk mencari ridha Allah dan pahala-Nya, tanpa
mempertimbangkan aspek kekayaan, penampilan, pangkat, gelar,
35
kemajuan, atau keterbelakangan. Dengan itulah, ia menjadi tentara
fikrah dan aqidah, bukan tentara kepentingan dan ambisi pribadi.
3) Amal/aktifitas, bai’at untuk berAktifitas.
Al-amal (aktifitas) menurut Al-Banna adalah merupakan
buah dari ilmu dan keikhlasan. Al-amal terdiri dari tujuh tahapan
yakni:
a) Perbaikan diri sendiri
b) Membentuk rumah tangga yang Islami
c) Mengarahkan masyarakat menebarkan kebaikan
d) Pembebasan tanah air
e) Memperbaiki keadaan pemerintahan
f) Mengembalikan eksistensi kenegaraan bagi umat Islam
g) Kepeloporan internasional dengan menyebarkan dakwah Islam
ke seluruh penjuru dunia (Al-Banna, 2009: 169).
4) Jihad, bai’at untuk melakukan jihad.
Jihad menurut Al-Banna adalah sebuah kewajiban yang
tetap hukumnya hingga hari kiamat. Hal ini merupakan kandungan
dari apa yang disabdakan Rasulullah saw: “Barangsiapa mati
sementara ia belum pernah berperang atau berniat untuk berperang,
ia mati dalam keadaan jahiliyah”. Urutan pertama jihad adalah
pengingkaran hati, dan puncaknya adalah berperang di jalan Allah,
dan di antara keduanya terdapat jihad dengan lisan, pena, tangan,
dan kata-kata yang benar di hadapan penguasa yang zhalim.
36
5) Pengorbanan, bai’at untuk berkorban dengan segala yang dimiliki.
Tadhhiyah (pengorbanan) adalah pengorbanan jiwa harta, waktu,
kehidupan, dan segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang untuk
meraih tujuan. Tidak ada perjuangan di dunia ini, kecuali harus
disertai dengan pengorbanan (Al-Banna, 2009: 171).
6) Kepatuhan, bai’at untuk taat.
Taat (kepatuhan) adalah menjalankan perintah dan
merealisasikannya dengan serta merta, baik dalam keadaan sulit
maupun mudah, saat bersemangat maupun malas.
7) Keteguhan, bai’at untuk teguh.
Yang dikehendaki dengan tsabat (keteguhan) adalah bahwa
seorang ikhwan hendaknya senantiasa bekerja sebagai mujahid di
jalan yang mengantarkan pada tujuan, betapa pun jauh
jangkauannya dan lama waktunya, sehingga bertemu dengan Allah
dalam keadaan demikian, sedangkan ia telah berhasil mendapatkan
salah satu dari dua kebaikan; meraih kemenangan atau syahid di
jalan-Nya.
8) Loyalitas, bai‟at untuk memberikan loyalitas.
Al-Banna menjelaskan yang dimaksud dengan tajarrud
(loyalitas) adalah bahwa seseorang harus membersihkan pola pikirnya
dari berbagai prinsip nilai dan pengaruh lain selain Islam, karena Islam
adalah setinggi-tinggi dan selengkap-lengkap fikrah.
37
9) Ukhuwwah/persaudaraan, bai‟at untuk berukhuwwah
Yang dimaksud dengan ukhuwwah menurut Al-Banna adalah
berpadunya hati dan ruhani dengan ikatan aqidah. Aqidah merupakan
ikatan yang paling kokoh dan berharga. Ukhuwah merupakan wujud
keimanan, sedangkan perpecahan adalah wujud kekufuran. Kekuatan
yang paling utama adalah kekuatan persatuan, tidak ada persatuan
tanpa didasari kecintaan. Cinta yang paling rendah terwujud dengan
lapang dada, sedangkan puncaknya adalah itsar (mementingkan orang
lain dari pada diri sendiri). Al-Banna mengutip sebagaimana yang
terdapat dalam QS. Al-Hasyr: 9.
…
Artinya: “…dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,
mereka Itulah orang orang yang beruntung (Departemen
Agama RI, 2005:546).
Al-Banna juga memberi penjelasan bahwa ikhwan yang tulus
menganggap saudara-saudaranya yang lain lebih berhak daripada
dirinya sendiri (Al-Banna, 2009: 175). Al-Banna mengutip
QS. At-Taubah ayat 71;
....
Artinya: “dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi
sebahagian yang lain…” (Departemen Agama RI,
2005:198).
38
10) Percaya, bai‟at untuk tsiqah (percaya) kepada pemimpin.
Tsiqah (kepercayaan) menurut Al-Banna adalah rasa puasnya
seorang tentara atas komandannya, dalam hal kapasitas
kepemimpinan maupun keikhlasannya, dengan kepuasan mendalam
yang menghasilkan perasaan cinta, penghargaan, penghormatan,
dan ketaatan (Al-Banna, 2009: 175).
b. Wajibat Al-Akh„amil
Adapun wajibat al akh „amil (kewajiban-kewajiban aktifis)
merupakan hal yang harus ditunaikan ikhwan sebagai bentuk
implementasi pada arkan al-bai‟at/rukun-rukun bai‟at (Al-Banna,
2009: 177). Kata wajib yang dimaksud dalam risalah ini bukan berarti
wajib secara syar’i, melainkan berarti segala bentuk komitmen yang
harus dipegang teguh seorang ikhwan (Hawwa, 2002:141). Al-Banna
melalui dua bagian dari risalahnya itu telah berhasil menjelaskan hal-
hal yang sangat diperlukan oleh setiap pribadi muslim dewasa ini
untuk bangkit secara benar bersama kaum muslimin lainnya demi
meraih cita-cita. Dalam kedua bagian ini, Risalah Ta’alim merinci
segala sesuatu yang diperlukan oleh pribadi muslim dewasa ini agar
tidak mengulangi kesalahan–kesalahan masa lalu, di samping
menjelaskan petunjuk-petunjuk untuk meniti masa depan.
Adapun bagian kedua dari risalah ta‟alim (wajibat al-akh al-
„amil) memuat sejumlah kewajiban yang harus dikerjakan oleh setiap
orang yang meyakini arkan al-baiat tersebut dan berusaha
39
merealisasikannya. Kewajiban-kewajiban itu disarikan dari nash-nash
Al-Qur’an dan Sunnah yang mengharuskan setiap muslim dengan hak-
hak tersebut, baik secara wajib, sunah, maupun sekedar anjuran. Hal-
hal tersebut merupakan penyempurna kepribadian Islam yang ideal
(Al-Washli, 2001:21). Kewajiban-kewajiban itu, sebagai berikut:
1) Memiliki wirid harian dari Al-Qur’an tidak kurang dari satu juz
dan berusaha untuk khatam dalam waktu tidak lebih dari satu bulan
dan tidak kurang dari tiga hari.
2) Memperbaiki bacaan Al-Qur'an, memperhatikan dan merenungkan
artinya. Selain itu dianjurkan mengkaji sirah Nabi dan sejarah para
salaf, membaca hadits Rasul Allah saw, menghafal minimal empat
puluh hadits ditekankan untuk al-arba'in al-nawawiyah dan
mengkaji risalah tentang pokok-pokok aqidah dan cabang-cabang
fiqih.
3) Bersegera melakukan general check up secara berkala atau
berobat, saat terasa ada penyakit, memperhatikan faktor-faktor
penyebab kekuatan dan perlindungan tubuh, dan menghindari
faktor-faktor penyebab lemahnya kesehatan.
4) Menghindari berlebihan dalam mengkonsumsi kopi, teh, minuman
suplemen dan semisalnya, boleh meminum hanya dalam keadaan
darurat dan hendaknya menghindar sama sekali dari rokok.
5) Memperhatikan urusan kebersihan dalam segala hal.
6) Jujur dalam berkata, tidak diperbolehkan berdusta sekalipun.
40
7) Menepati janji dan tidak mengingkarinya dalam kondisi apapun.
8) Pemberani dan tahan uji.
9) Senantiasa bersikap tenang dan berkesan serius, dengan tidak
menghalangi diri dari canda yang benar dan tertawa dalam
senyum.
10) Memiliki rasa malu yang kuat, berperasaan sensitif, sangat peka
dengan kebaikan dan keburukan, bersikap rendah hati tanpa
menghina diri.
11) Bersikap adil dan benar dalam memutuskan perkara dalam setiap
situasi.
12) Menjadi pekerja keras dan terlatih dalam menangani Aktifitas
sosial.
13) Berhati kasih, dermawan, toleran, pemaaf, lemah lembut kepada
manusia maupun binatang, berperilaku baik dalarn berhubungan
dengan semua orang.
14) Pandai membaca dan menulis, memperbanyak menelaah terhadap
risalah ikhwan, koran, majalah, dan tulisan-tulisan lainnya.
15) Memiliki proyek usaha ekonomi, utamakan proyek mandiri
meskipun kecil, dan mencukupkan dengan apa yang ada betapa
pun tingginya kapasitas keilmuan yang dimiliki.
16) Tidak berharap untuk menjadi pegawai negeri dan tidak menolak
jika diberi peluang untuk itu. Tidak boleh melepas pekerjaan
41
tersebut kecuali jika ia benar-benar bertentangan dengan tugas-
tugas dakwah.
17) Memperhatikan penunaian tugas-tugas, kualitas dan
kecermatannya, tidak boleh menipu, dan hendaklah menepati
kesepakatan.
18) Memenuhi hak diri sendiri dengan baik, memenuhi hak-hak orang
lain dengan sempurna dan tidak boleh menunda-nunda penunaian
hak tersebut.
19) Menjauhi judi dengan segala macamnya dan hendaklah menjauhi
mata pencaharian yang haram.
20) Menjauhi riba dalam setiap aktifitas.
21) Memelihara kekayaan umat Islam secara umum dengan
mendorong berkembangnya pabrik-pabrik dan proyek-proyek
ekonomi Islam.
22) Memiliki kontribusi finansial dalam dakwah dan menunaikan
kewajiban zakat sesuai dengan kemampuan.
23) Menyimpan sebagian dari penghasilan untuk persediaan masa-
masa sulit walaupun sedikit.
24) Bekerja semampu yang bisa dilakukan untuk menghidupkan tradisi
Islam dan mematikan tradisi asing dalam setiap aspek kehidupan
dan berusaha menjaga sunnah dalam setiap Aktifitas.
25) Memboikot peradilan-peradilan setempat atau seluruh peradilan
yang tidak islami.
42
26) Senantiasa merasa diawasi oleh Allah dan mendekatkan diri
kepada-Nya dengan ibadah-ibadah sunah, seperti shalat malam,
puasa tiga hari di tiap bulan (minimal) dan dzikir dalam setiap
keadaan.
27) Memperbaiki kualitas bersuci dan berusaha untuk senantiasa dalam
keadaan berwudhu.
28) Memperbaiki kualitas shalat, senantiasa tepat waktu dalam
menunaikannya dan berusaha berjamaah di masjid jika
memungkinkan.
29) Berpuasa Ramadhan, berhaji jika mampu dan berusaha
menyiapkannya jika saat ini belum mampu.
30) Senantiasa menyertai diri dengan niat jihad dan cinta mati syahid.
31) Senantiasa memperbarui taubat dan istighfar serta berhati-hati
terhadap segala dosa, baik kecil maupun besar.
32) Berjihad melawan hawa nafsu dengan sungguh-sungguh agar dapat
mengendalikannya, menundukkan pandangan, menahan emosi dan
mengarahkannya pada hal-hal yang halal.
33) Menjauhi khamr dan seluruh makanan atau minuman yang
memabukkan sejauh-jauhnya.
34) Menjauhi pergaulan dengan orang jahat dan sahabat yang tidak
bermoral serta menjauhi tempat-tempat maksiat.
35) Memerangi tempat-tempat hiburan yang haram serta menajuhi
gaya hidup glamour dan bersantai-santai.
43
36) Mengetahui anggota katibah satu persatu dengan pengetahuan
yang lengkap, berusaha senantiasa hadir di majelis mereka dan
tidak absen, kecuali karena udzur darurat, dan memegang teguh
sikap itsar dalam pergaulan dengan mereka.
37) Menghindari hubungan dengan organisasi atau jamaah apapun jika
hubungan itu tidak membawa maslahat bagi fikrah, terutama jika
diperintahkan untuk itu.
38) Menyebarkan dakwah di mana pun dan memberi informasi kepada
pemimpin tentang segala kondisi yang melingkupinya (Al-Banna,
2009: 177-182).
3. Penutup
Pada bagian akhir risalah ta‟alim Al-Banna mengatakan,
Inilah bingkai global dakwahmu dan penjelasan ringkas fikrahmu. Engkau
dapat menghimpun prinsip-prinsip ini dalam lima slogan: Allah ghayatuna
(Allah adalah tujuan kami), Ar-Rasul qudwatuna (Rasul adalah teladan
kami), Al-Qur'an syir'atuna (Qur’an adalah undang-undang kami), Al-
Jihad sabiluna (jihad adalah jalan kami), dan Asy-Syahadah umniyyatuna
(Mati syahid adalah cita-cita kami). Engkau pun juga bisa
menghimpunnya dalam lima kata berikut: kesederhanaan, tilawah, shalat,
keprajuritan, dan akhlak (Al-Banna, 1991:302).
Al-Banna dalam penutup Risalah Ta’alim juga berpesan agar
ikhwan bersungguh-sungguh dalam mengamalkan bimbingan-bimbingan
tersebut sehingga tidak terjatuh dalam barisan qa’idin (yang duduk-duduk
santai) yang akan mengantarkan menjadi pribadi yang pemalas. Al-Banna
yakin bahwa jika ikhwan menjadikan bimbingan tersebut sebagai cita-cita
dan orientasi hidup maka balasannya adalah kehormatan hidup di dunia
44
dan kebajikan serta ridha di akhirat. Penutup ini diakhiri Al-Banna dengan
mengutip QS. Ash-Shaff: 10-14, berbunyi: (Al-Banna, 2009: 183)
Artinya: “10. akan tetapi Barangsiapa (di antara mereka) yang mencuri-
curi (pembicaraan); Maka ia dikejar oleh suluh api yang
cemerlang. 11. Maka Tanyakanlah kepada mereka (musyrik
Mekah): "Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah
apa [malaikat, langit, bumi dan lain-lain] yang telah Kami
ciptakan itu?" Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka
dari tanah liat. 12. bahkan kamu menjadi heran (terhadap
keingkaran mereka) dan mereka menghinakan kamu. 13. dan
apabila mereka diberi pelajaran mereka tiada mengingatnya. 14.
dan apabila mereka melihat sesuatu tanda kebesaran Allah,
mereka sangat menghinakan.
B. Pendidikan Akhlak dalam Risalah Ta’alim
1. Tujuan
Sebagaimana yang telah dijelaskan di pembahasan lalu bahwa
dalam Risalah Ta’alim terdapat dua pembahasan pokok yakni pembahasan
tentang arkan al baiat (rukun-rukun bai’at) dan wajibat al akh al „amil
(kewajiban seorang aktifis). Adapun rukun-rukun bai‟at berjumlah 10
yang ketiganya adalah al amal. Hasan Al-Banna telah meletakkan rukun al
amal setelah al-fahmu (pemahaman) dan al-ikhlash (keikhlasan) sebab al-
amal (Aktifitas) harus dilaksanakan berdasarkan pemahaman dan tidak
akan diterima jika dikerjakan tanpa keikhlasan (Thahan, 2007:193). Amal
yang dimaksud Al-Banna adalah buah dari ilmu dan keikhlasan, ia
mengutip QS. At-Taubah ayat 105,
45
Artinya: “dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya
serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan
kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan
yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu
apa yang telah kamu kerjakan” (Departemen Agama RI,
2005:203).
Adapun pendidikan akhlak yang terdapat dalam Risalah Ta’alim
bertujuan untuk membentuk pribadi muslim yang ideal berada di rukun
ketiga yakni al amal. Pribadi muslim tersebut hendaknya memiliki sepuluh
kriteria, sebagai berikut:
a. Kuat fisiknya
b. Kokoh akhlaknya
c. Luas wawasannya
d. Mampu mencari penghidupan
e. Benar akidahnya
f. Benar ibadahnya
g. Mujahadah terhadap dirinya sendiri
h. Penuh perhatian akan waktunya
i. Rapi urusannya
j. Bermanfaat bagi yang lain (Al-Banna, 2008:302).
Sepuluh kriteria tersebut merupakan konsep Al-Banna dalam rangka
membentuk pribadi muslim yang saleh secara individual maupun sosial,
aktif dan dinamis. Dalam konsep tersebut Al-Banna memperhatikan
46
seluruh aspek yang dibutuhkan manusia yakni aspek ketuhanan, aspek
akhlak, aspek akal, aspek jasmani, aspek sosial, dan aspek ekonomi
sebagaimana pemikirannya tentang pendidikan Islam yang tidak terbatas
pada salah satu aspek kehidupan manusia yang biasanya setiap aspek
tersebut menjadi fokus para pakar pendidikan.
Pendidikan Islam tidak memfokuskan seluruh perhatiannya pada
aspek rohani atau jasmani saja seperti yang dilakukan oleh kaum sufi dan
pakar etika, atau aspek pemikiran rasional saja seperti yang biasa
dilakukan oleh para filsuf dan kaum rasionalis, atau aspek pelatihan fisik
dan kemiliteran saja seperti yang dilakukan oleh kalangan militer, atau
aspek pendidikan sosial saja sebagaimana yang dilakukan oleh para
reformis sosial.
Sesungguhnya pendidikan Islam memperhatikan seluruh aspek
tersebut. Karena ia adalah tarbiyah (pendidikan) untuk segenap eksistensi
manusia, baik akal dan hati, rohani dan jasmani maupun akhlak dan
perilaku. Sebagaimana tarbiyah ini menyiapkan manusia untuk
menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan keburukannya,
dengan segala pahit dan manisnya. Oleh karena itu, harus ada perhatian
terhadap pendidikan jihad (tarbiyah jihadiyah) dan pendidikan sosial
secara serentak, agar seorang muslim tidak hidup terpisah dari relita
masyarakat sekitarnya (Al-Qaradhawi, 2005:57-59).
2. Materi
Pada dasarnya pendidikan yang dikonsep Hasan al-Banna adalah
pendidikan yang bersifat rabbaniyah, integral dan holistik, Aktif dan
47
membangun, proporsional dan seimbang serta bersemangat ukhuwah
dan jamaah (Al-Qaradhawi, 2005:13). Demikian pula penjelasan tentang
pendidikan akhlak yang terdapat dalam Risalah Ta’alim. Adapun materi
pendidikan akhlak dalam Risalah Ta’alim adalah sebagai berikut:
a. Dalam arkan al-bai‟at
1) Pengarahan untuk berikhlas
Yang kami kehendaki dengan ikhlas adalah bahwa seorang
al-akh muslim dalam setiap kata-kata, Aktifitas, dan jihadnya,
semua harus dimaksudkan semata-mata untuk mencari ridha Allah
dan pahala-Nya (Al-Banna, 2008:301).
2) Pengarahan untuk berukhuwah
Yang saya maksud dengan ukhuwah adalah terikatnya hati dan
ruhani dengan ikatan aqidah (Al-Banna, 2008:314-315).
b. Dalam ushul al „isyrin
1) Ma‟rifah (mengenal) kepada Allah dengan cara mentauhidkanNya
dan menyucikan (dzat)-Nya adalah setinggi-tinggi tingkatan aqidah Islam.
Ma‟rifah (mengenal) Allah, mengesakan-Nya dan Maha sucikan-Nya adalah setinggi tinggi akidah Islam (Al-Banna, 2008:296).
2) Penghormatan kepada Nabi Muhammad dan Salafussalih
Setiap orang boleh diambil atau ditolak katakatanya, kecuali Al-
Ma'shum (Rasulullah) saw. Setiap yang datang dari kalangan salaf dan sesuai dengan Kitab dan Sunah, kita terima. Jika tidak sesuai
dengannya, maka Kitabullah dan Sunnah RasulNya lebih utama untuk diikuti (Al-Banna, 2008:294).
3) Berpedoman kepada Al Qur’an dan sunnah
Al Qur’an Al Karim dan sunnah yang suci adalah rujukan setiap muslim dalam mengenali hukum-hukum Islam (Al-Banna, 2008:292).
48
4) Menggunakan sarana selama bukan sarana jahiliyyah
Jimat, jampi, wada’, ramal, mengaku hal yang gaib dan semisalnya adalah kemungkaran yang wajib diberantas. Kecuali jimat yang berasal dari ayat Al-Qur’an atau jampi yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW (Al-Banna, 2008:293).
5) Menyikapi bid‟ah
Segala bentuk bid’ah dalam agama yang tidak mempunyai dasar pijakan, tetapi dianggapbaik oleh hawa nafsu manusia, baik berupa
penambahan maupun pengurangan, adalah kesesatan yang wajib
diperangi dan diberantas menggunakan cara yang sebaik-baiknya, yang tidak menimbulkan keburukan yang lebih parah (Al-Banna,
2008:296).
Bid‟ah idhafiyah, bida‟ah tarkiyah dan iltizam (menentukan waktu,
tempat dan jumlah bilangan) terhadap ibadah-ibadah yang
muthlaqah (ibadah yang tidak ditentukan waktu, tempat dan
bilangannya) adalah masalah khilafiyah dalam bab fiqih. Masing-
masing orang memiliki pendapat dalam masalah tersebut. Namun
tidaklah mengapa jika dilakukan penelitian untuk sampai pada
hakikatnya dengan adil dan argumentasi (Al-Banna, 2008:297).
6) Etika dalam perbedaan hal furu‟
Perbedaan paham dalam masalah furu‟ hendaklah tidak menjadi faktor pemecah belah agama, tidak menyebabkan permusuhan, dan tidak juga kebencian (Al-Banna, 2008:295).
7) Mencintai orang saleh
Mencintai orang-orang salih, menghormati mereka dan memuji mereka karena amal-amal baik mereka yang tampak adalah bagian dari taqarrub kepada Allah SWT (Al-Banna, 2008:297).
8) Ziarah kubur sesuai syari‟at
Ziarah kubur, kubur siapa saja adalah sunnah yang disyariatkan dengan cara-cara yang diajarkan oleh Rasulullah SAW (Al-Banna,
2008:298). 9) Berdoa dan tawassul
Berdoa kepada Allah disertai tawassul dengan salah satu makhluk- Nya adalah perbedaan dalam masalah furu’ tentang tata cara berdo’a bukan termasuk masalah akidah (Al-Banna, 2008:298).
49
c. Dalam wajibat al-akh al-amil
1) Menjaga kebersihan
Hendaklah engkau memperhatikan masalah kebersihan dalam
segala hal, menyangkut tempat tinggal, pakaian, tempat makan, badan, dan kerja karena agama ini dibangun atas dasar kebersihan
(Al-Banna, 2008:320).
2) Jujur dalam berkata
Hendaklah engkau jujur dalam berkata, janganlah sekali-kali berdusta (Al-Banna, 2008:320).
3) Menepati janji
Hendaklah engkau menepati janji, jangan mengingkarinya dalam kondisi apapun (Al-Banna, 2008:321).
4) Pemberani, bersedia mengakui kesalahan, adil terhadap diri sendiri,
dan mampu mengendalikan diri saat marah.
Hendaklah engkau menjadi pemberani dan tahan uji. Keberanian yang paling utama dalah sikap terus terang dalam kebenaran dan
ketahanan dalam menyimpan rahasia, mengakui kesalahan adil terhadap diri sendiri, dan menguasai diri ketika marah (Al-Banna,
2008:321).
5) Serius tanpa menghalangi canda yang benar
Hendaklah engkau menjadi orang yang memiliki wibawa yang lebih mengutamakan keseriusan. Akan tetapi, hendaklah kewajiban tersebut tidak menghalangimu dari canda yang benar dan tertawa dalam senyum (Al-Banna, 2008:321).
6) Malu dalam keburukan
Hendaklah engkau memiliki rasa malu yang kuat, perasaan yang halus, peka terhadap kebaikan dan keburukan, yakni bahagia untuk yang pertama dan merasa tersiksa untuk yang kedua (Al-Banna, 2008:321).
7) Tawadhu’ secara proporsional
Hendaklah engkau menjadi orang yang rendah hati (tawadhu‟) tanpa harus menjadi hina, rendah dan menjilat. Dan hendaklah
50
engkau menuntut posisi yang lebih rendah dari martabatmu agar engkau mencapai martabatmu yang sesungguhnya (Al-Banna, 2008:321).
8) Adil dalam memutuskan hukum
Hendaklah engkau menjadi orang adil, yang memutuskan hukum dengan benar dalam segala keadaan (Al-Banna, 2008:322).
9) Pemaaf
Hendaklah engkau menjadi orang yang berhati lembut, dermawan, lapang dada, pemaaf, melupakan kesalahan orang lain, lemah lembut, santun dan berkasih sayang terhadap sesama manusia maupun hewan (Al-Banna, 2008:322).
10) Menyeimbangkan hak dan kewajiban
Hendaklah engkau baik-baik dalam menuntut hakmu dan
tunaikanlah hak orang lain dengan sempurna, tanpa dikurangi, tanpa harus diminta, dan jangan sekali-kali menunda-
nunda/penunaian hak tersebut (Al-Banna, 2008:324).
11) Melaksanakan tugas dengan baik
Hendaklah engkau benar-benar memperhatikan pelaksanaan kerjamu, dalam hal kualitas, profesionalisme, kejujuran, dan ketepatan waktu (Al-Banna, 2008:324).
12) Meningkatkan kemampuan membaca dan menulis
Hendaklah engkau meningkatkan kemampuan baca tulis. Dan
hendaklah engkau memperbanyak mengkaji risalah-risalah, majalah-majalah ikhwan dan sejenisnya (Al-Banna, 2008:323).
13) Spesialisasi keilmuan
Dan hendaklah engkau memperdalam (menekuni) keilmuan dan keahlianmu, bila engkau memiliki spesialisasi (Al-Banna, 2008:322).
14) Mengekang hawa nafsu
Hendaklah engkau berjihad melawan hawa nafsumu dengan keras, agar dapat dengan mudah mengendalikannya (Al-Banna, 2008:328).
51
15) Mengoptimalkan waktu untuk hal yang bermanfaat
Bersungguh-sungguhlah memelihara waktu, karena ia adalah kehidupan, jangan gunakan waktumu untuk hal yang tidak bermanfaat (Al-Banna, 2008:328).
16) Menghidupkan tradisi Islam
Hendaklah engkau berusaha semampunya untuk menghidupkan tradisi-tradisi Islam dan menghilangkan tradisi-tradisiasing dalam setiap aspek kehidupan (Al-Banna, 2008:326).
17) Aktif dalam agenda-agenda sosial
Hendaklah engkau menjadi orang yang banyak Aktifitas, yang terlatih memberikan pelayanan-pelayanan sosial (Al-Banna,
2008:322).
18) Berpartisipasi secara finansial dalam dakwah
Hendaklah engkau ikut berpartisipasi dalam dakwah dengan memberikan sebagian hartamu (Al-Banna, 2008:325).
19) Menunaikan kewajiban zakat dan menyisihkan sebagian harta
untuk orang yang membutuhkan.
Tunaikanlah kewajiban zakat hartamu, dan sisihkanlah sebagian
yang jelas dari hartamu untuk orang yang meminta dan orang fakir
yang tidak meminta, betapapun kecilnya penghasilanmu (Al-Banna, 2008:325).
3. Metode
Adapun metode yang di gunakan Hasan Al-Banna dalam
membentuk pribadi yang berakhlak mulia adalah dengan amalan-amalan,
sebagai berikut:
a. Membiasakan diri dengan memiliki wirid harian dari Al-Qur’an untuk
dibaca, didengarkan, dan dihayati maknanya.
b. Menghafal minimal 40 hadits (disarankan) al-arba‟in al-nawawi
c. Mengkaji sirah nabawi dan sirah salafus shalih
52
d. Mengkaji risalah pokok-pokok akidah dan cabang-cabang dalam fiqh
(Al-Banna, 2012:177).
e. Memperbaiki kualitas shalat dan berusaha melaksanakannya secara
berjamaah di masjid.
f. Merasa diawasi oleh Allah dan mengingat akhirat serta memperbanyak
amalan sunnah yakni shalat malam, berpuasa sunnah minimal 3 hari
tiap bulan dan memperbanyak dzikir dalam berbagai kesempatan.
g. Berusaha senantiasa dalam keadaan berwudhu.
h. Senantiasa memperbarui taubat dan istighfar serta menyediakan waktu
sebelum tidur untuk bermuhasabah.
i. Menjaga diri dari hal-hal yang haram.
j. Menekuni usaha ekonomi dan bersemangat wiraswasta.
k. Memperhatikan faktor-faktor penyebab kekuatan dan perlindungan
tubuh serta menghindari faktor-faktor penyebab lemahnya kesehatan
(Al-Banna, 2012:182).
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisis Pemikiran Hasan Al-Banna
1. Analisis Tujuan Pendidikan
Khasanah dunia pendidikan tujuan merupakan salah satu hal yang
sangat penting, karena tujuan pendidikan menentukan arah yang akan
dituju dan sasaran yang hendak dicapai melalui proses pendidikan.
Adapun tujuan pendidikan yang paling pokok menurut Hasan Al-Banna
sebagaimana yang ia jelaskan dalam Risalah Ta’alim adalah perwujudan
anak didik yang mampu memimpin dunia dan membimbing manusia
kepada ajaran Islam. Hasan Al-Banna menjelaskan tujuan pendidikan ini
dalam beberapa tingkatan yang meliputi tingkat individu, keluarga,
masyarakat, organisasi, politik, negara sampai tingkat dunia (Al-Banna,
2009:170). Dalam pembahasan ini tentunya yang paling relevan untuk
dikaji adalah tujuan pendidikan dalam tingkat individu karena individu
merupakan sasaran utama porgram pendidikan. Menurut Hasan Al-Banna
tujuan pendidikan individu mengarah pada perwujudan nilai-nilai Islam
dalam membentuk pribadi muslim yang ideal.
Tujuan pendidikan menurut Hasan Al-Banna berorientasi untuk
merealisasikan identitas Islam, yakni membentuk kepribadian muslim.
Kepribadian muslim menurut Hasan Al-Banna haruslah pribadi yang saleh
secara individual (ahli ibadah) maupun sosial yang dijiwai semangat Al-
Qur’an dan Al-Hadits, artinya kepribadian muslim yang aktif dan
53
54
responsif bekerja untuk menegakkan agama, membangun umat dan
menghidupakan kebudayaan dan peradaban Islam. Sehingga, tujuan
pendidikan yang dikonsep Hasan Al-Banna merupakan realisasi atas
pemahaman Islam yang syamil. Kepribadian Muslim yang demikian akan
merefleksikan kesalehan ritual dengan menerapkan amalan-amalan ibadah
baik yang wajib maupun yang sunnah dan juga menerapkan kesalehan
pada aspek-aspek sosial.
Adapun kriteria pribadi muslim menurut Hasan Al-Banna
sebagaimana yang ia tuliskan dalam risalah ta‟alim adalah pribadi yang
memiliki kriteria kuat fisiknya, kokoh akhlaknya, luas wawasannya,
mampu mencari penghidupan, benar aqidahnya, benar ibadahnya, pejuang
bagi dirinya sendiri, penuh perhatian akan waktunya, teratur urusannya
dan bermanfaat bagi yang lain (Al-Banna, 2009:168). Dengan demikian,
bisa dipahami bahwa pribadi muslim yang dikehendaki Hasan Al-Banna
meliputi empat aspek tujuan pendidikan yakni pendidikan jasmani,
pendidikan akhlak, pendidikan akal dan pendidikan sosial.
a. Aspek jasmani
Aspek jasmani merupakan salah satu aspek yang mendapat
perhatian dalam risalah ta‟alim, sebab menurut Al-Banna tubuh
merupakan sarana dalam melaksanakan kewajiban dunia dan akhirat.
Tentunya tubuh yang sehat menjadi salah satu syarat terlaksananya
kewajiban tersebut, karena tubuh yang sakit tidak akan mampu untuk
berAktifitas. Adapun tujuan pendidikan jasmani dalam risalah ta‟alim
adalah:
55
1) Kesehatan badan dan terhindar dari penyakit, karena kesehatan
badan mempunyai pengaruh terhadap jiwa dan akal. Oleh karena
itu, seorang muslim membiasakan diri dalam menjaga kesehatan
dengan menjaga kebersihan dan berpola hidup sehat dengan
mengurangi minum teh dan kopi serta meninggalkan rokok.
2) Ketahanan tubuh. Kesehatan dan ketrampilan tubuh saja tidaklah
cukup, tubuh pun harus tahan dalam menghadapi berbagai macam
situasi. Al-Banna mengatakan,
hendaklah engkau menjauhi berlebihan dalam menkonsumsi
kopi, teh dan minuman stimulan dan semisalnya, janganlah
engkau meminumnya kecuali karena terpaksa dan hendaklah engkau tidak merokok sama sekali (Al-Banna, 2008:320).
Dalam hal ini Al-Banna menekankan tidak hanya menghindari
minuman-minuman yang memabukkan, tetapi juga melarang
mengonsumsi kopi maupun the secara berlebihan karena hal tersebut
pun berdampak tidak baik bagi kesehatan. Adapun rokok Hasan Al-
Banna pun mengingatkan untuk meninggalkannya.
b. Aspek Akhlak
Aspek pendidikan yang terpenting dalam risalah ta‟alim adalah
aspek akhlak. Hasan Al-Banna menamainya dengan “tongkat komando
perubahan”, karena akhlak menurut Al-Banna merupakan tonggak
pertama perubahan masyarakat. Al-Banna mengatakan Islam
menggantungkan perubahan urusan umat ini kepada perubahan akhlak
dan kebersihan jiwanya (Al-Banna, 2009:170). Akhlak yang
ditanamkan dalam Risalah Ta’lim, antara lain: kesediaan untuk berkata
56
jujur, mengendalikan jiwa, ihsan dalam berbuat, amanah dalam
bermuamalah, berani dalam berpendapat, adil dalam menetapkan
hukum, berpegang teguh pada kebenaran, menjaga kebersihan, toleran
dan saling menolong dalam kebaikan dan takwa.
c. Aspek Akal
Sistem pendidikan menurut Hasan Al-Banna memberi perhatian
besar pada aspek akal, hal ini karena Islam menjadikan akal sebagai
syarat taklif dan dasar pemberian dosa maupun pahala bagi manusia.
Akal juga merupakan sarana untuk mendapatkan bukti tentang Tuhan.
Oleh karena itu, Hasan Al-Banna menjadikan al-fahmu (paham)
sebagai rukun baiat yang pertama yang lebih dulu dari al-ikhlas, al-
amal, al-jihad dan arkan al-bai‟at yang lain. Karena al-fahmu
(pemahaman) mendahului semua itu, dan manusia tidak akan ikhlas
dengan kebenaran, mangamalkan dan memperjuangkannya kecuali ia
telah mengenal dan memahaminya.
Al-Qur’an menempatkan ilmu lebih awal dari iman dan
kepatuhan, karena dua hal terakhir merupakan buah dari ilmu atau
cabang yang tumbuh darinya. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-
Hajj ayat 54;
Artinya: “dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini
bahwasanya Al Quran Itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu
mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan
Sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-
orang yang beriman kepada jalan yang lurus” (Departemen
Agama RI, 2005:338)
57
Dengan pemahaman-pemahaman terhadap ayat Al-Qur’an tentang
akal sebagaimana tersebut di atas, maka Hasan Al-Banna
mengembangkan pemikiran ilmiah dalam kurikulum yang ia terapkan
dalam jamaah Ikhwanul Muslimin sebagai pengembangan aspek lainnya.
Pembangunan akal dan pemikiran yang diaplikasikan dalam jamaah
Ikhwanul Muslimin didasari dengan ajaran agama dan peradaban Islam
untuk membangun kekuatan peradaban yang dapat membentengi dari
pengaruh peradaban matrealistis. Pendidikan akal mendapatkan
perhatian utama oleh Hasan Al-Banna dalam rangka untuk mengejar
ketertinggalan dan bangkit dari ketertindasan oleh imperialis (Al-Banna,
2009:169).
d. Aspek Sosial
Pendidikan dalam risalah ta’lim menekankan bahwa amal
untuk kebaikan masyarakat merupakan bagian dari misi seorang
muslim. Dalam hal ini Al-Banna menjadikan nafi‟ li ghoirih
(bermanfaat bagi yang lain) sebagai salah satu kriteria pribadi muslim
yang ideal. Al-Banna mengatakan,
Hendaklah engkau menjadi pekerja keras dan terlatih dalam
menangani aktifitas sosial. Hendaklah engkau merasa bahagia jika
dapat mempersembahkan bakti untuk orang lain, gemar
membesuk orang sakit, membantu orang yang membutuhkan,
menanggung orang yang lemah, meringankan beban orang yang
tertimpa musibah meskipun hanya dengan kata-kata yang baik
dan senantiasa bersegera berbuat kebaikan (Al-Banna, 2009: 179).
Al-Banna juga mengatakan;
Hendaklah engkau memiliki kontribusi finansial dalam dakwah, engkau tunaikan kewajiban zakatmu dan jadikan sebagian dari hartamu itu untuk orang yang meminta dan orang yang
58
kekurangan, betapa pun kecil penghasilanmu (Al-Banna, 2009: 179).
Pendidikan sosial dalam risalah ta‟alim bertujuan agar seorang muslim
mampu berperan dalam kehidupan bermasyarakat (Qaradhawi,
1983:78).
Pendapat Al-Banna tentang tujuan pendidikan Islam tersebut
sejalan dengan tujuan pendidikan menurut Abdurrahman Saleh
Abdullah. Ia berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam dibagi ke
dalam empat tujuan pokok yakni tujuan pendidikan jasmani, tujuan
pendidikan rohani, tujuan pendidikan akal dan tujuan pendidikan sosial
(Abdullah, 2007:137).
Secara eksplisit Abdurrahman Saleh Abdullah tidak
mencantumkan tujuan pendidikan akhlak sebagaimana yang
disebutkan Al-Banna, yang ia cantumkan adalah pendidikan rohani.
Akan tetapi dari penjelasan tentang pendidikan rohani yang ia jelaskan
bisa dipahami bahwa pendidikan rohani menurutnya memiliki
kesamaan pengertian dengan pendidikan akhlak. Ia mengatakan,
Diakui orang-orang yang betul menerima ajaran Islam, tentu akan
menerima keseluruhan cita-cita ideal yang terdapat dalam Al-
Qur’an. Peningkatan jiwa dari kesetiaannya yang hanya kepada
Allah semata, melaksanakan moralitas Islami yang telah
diteladankan ke dalam tingkah laku dan sepak terjang kehidupan
Nabi SAW merupakan bagian pokok dalam tujuan umum
pendidikan (Abdullah, 2007:141).
Sedangkan menurut Hamka, pendidikan adalah sarana untuk
mendidik watak pribadi-pribadi. Kelahiran manusia di dunia ini tidak
hanya untuk mengenal apa yang dimaksud dengan baik dan buruk.
59
Tetapi juga beribadah kepada Allah, berguna bagi sesama dan alam
lingkungannya (Muhammad dkk, 2006:64)
Dengan demikian tujuan pendidikan menurut Hamka adalah
membentuk pribadi-pribadi manusia yang saleh secara individual
dengan beribadah kepada Allah maupun secara sosial dengan
bermanfaat bagi sesama sebagaimana konsep tujuan pendidikan yang
digagas Al-Banna.
2. Analisis Materi Pendidikan Akhlak
Dalam penutup risalah ta‟alim Al-Banna menjelaskan bahwa apa
yang terdapat dalam risalah ta’alim merupakan bingkai global dakwah dan
penjelasan ringkas fikrah jamaah Ikhwanul Muslimin. Al-Banna
menambahkan pula bahwa prinsip-prinsip tersebut dapat dihimpun dalam
lima slogan yakni: Allah ghayatuna (Allah adalah tujuan kami), Ar-Rasul
qudwatuna (Rasul adalah teladan kami), Al-Qur'an syir'atuna (Al-Qur’an
adalah undang-undang kami), Al-Jihad sabiluna (jihad adalah jalan kami),
dan Asy-Syahadah umniyyatuna (Mati syahid adalah cita-cita kami).
Selain itu, pinsip-prinsip tersebut juga bisa dihimpun dalam lima kata;
kesederhanaan, tilawah, shalat, keprajuritan dan akhlak.
Bagian penutup risalah ta‟alim tersebut dapat dipahami bahwa
dalam risalah ta’alim terdapat lima pembahasan penting dan akhlak
merupakan salah satunya. Pokok-pokok akhlak dalam risalah ta’alim yang
dalam pembahasan ini mengacu pada konsep pribadi muslim yang ideal
atau bisa dikatakan pribadi yang berakhlak Islami dapat diklasifikasikan
menjadi tiga pembahasan:
60
a. Akhlak kepada Allah
1) Dalam salim al aqidah
Salim al aqidah dalam pandangan Al-Banna merupakan
konsep yang dengannya seorang muslim memiliki aqidah yang
benar. Pokok-pokok salim al-aqidah menurut Al-Banna meliputi:
a) Ma'rifah kepada Allah dengan cara mentauhidkan-Nya dan
menyucikan (dzat)-Nya adalah setinggi-tinggi tingkatan aqidah
Islam. Sedangkan mengenai ayat-ayat sifat dan haditshadits
shahih tentangnya, serta berbagai keterangan mutasyabihat
yang berhubungan dengannya, cukup diiimani sebagaimana
adanya tanpa ta'wil dan ta'thil (pengingkaran), serta tidak
memperuncing perbedaan yang terjadi di antara para ulama.
Hal terbaik adalah mencukupkan diri dengan keterangan yang
ada, sebagaimana Rasulullah saw dan para sahabatnya
mencukupkan diri dengannya (Al-Banna, 2009: 165).
Ada beberapa ayat maupun hadits yang
mengidentifikasi sifat-sifat Allah SWT yang secara lahir berupa
tasybih (penyerupaan) Allah dengan makhluk-Nya, contoh kata
al wajhu dan aidiina (al yadd) yang terdapat dalam ayat-ayat
berikut:
- QS. Ar-Rahman ayat 26-27;
61
Artinya: 26. semua yang ada di bumi itu akan binasa. 27. dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan (Departemen Agama RI, 2005:532).
- QS. Yaasin ayat 71;
Artinya: “dan Apakah mereka tidak melihat bahwa
Sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka Yaitu sebahagian dari apa
yang telah Kami ciptakan dengan kekuasaan
Kami sendiri, lalu mereka menguasainya?”(Departemen Agama RI, 2005:445).
Dalam menyikapi hal tersebut ulama salaf bersikap mengimani
dengan diam dan menyerahkan pengetahuan tentang makna-
maknanya kepada Allah. Adapun ulama khalaf mereka
berpendapat bahwa makna ayat-ayat dan hadits sifat tidak
dapat diartikan secara dhahir, melainkan sebuah kiasan (majaz)
yang boleh untuk ditakwilkan, sehingga mereka menakwilkan
lafal al wajhu (wajah) dengan dzat, al yadd (tangan) dengan
kekuasaan, dan seterusnya. Hal ini dilakukan dalam upaya agar
terhindar dari sikap tasybih atau menyerupakan(Thahan,
2007:82-83).
Hasan Al-Banna dalam hal ini tampak lebih memilih
pendapat ulama salaf yang mengimani sebagaimana adanya
dan menyerahkan maknanya kepada Allah dengan keyakinan
62
untuk menyucikan Allah dari penyamaan dengan
makhlukNya, hal ini karena pendapat itulah yang diamalkan
para salafus salih. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan
Asy Syaukani yang dikutip oleh Abdullah bin Qasim al Washly;
Sesungguhnya madzhab salaf dan para sahabat, tabiin, dan
pengikut mereka, ialah mendatangkan dalil-dalil sifat
Allah sesuai lahirnya tanpa mengubahnya, tanpa
penafsiran yang menyimpang terhadap sifat apapun, tanpa
tasybih dan tanpa ta‟thil yang disebabkan oleh banyak
penafsiran (Al-Washly, 2001:317).
Mengambil pendapat salaf sebagai pilihan bukan berarti
menganggap pendapat ulama khalaf adalah pendapat yang salah
dan penganutnya merupakan patut dianggap kafir maupun fasik.
Hal tersebut karena pada dasarnya ulama khalaf menambahkan
pembatasan makna yang dikandung dengan tetap menjaga
kesucian Allah dengan maksud menjaga aqidah orang awam dari
keterjerumusan tasybih. Sehingga tidak seharusnya perbedaan ini
menimbulkan perpecahan di antara umat Islam.
b) Aqidah adalah pondasi aktifitas; aktifitas hati lebih penting
daripada aktifitas fisik. Namun, usaha untuk menyempurnakan
keduanya merupakan tuntutan syariat, meskipun kadar tuntutan
masing-masingnya berbeda (Al-Banna, 2009:167).
Ada tiga bahasan utama dalam pembahasan ini yakni,
(1) Aqidah sebagai landasan amal.
Hal ini karena aqidah adalah apa yang diyakini oleh
seseorang (Al-Fauzan, 2012:3). Aqidah adalah iman yang
63
merupakan keyakinan dan dasar yang melandasi,
menumbuhkan dan menjadi pokok bagi seluruh cabang
syariat Islam, sedangkan amal perbuatan merepresentasikan
syariat dan cabang-cabang yang merupakan perpanjangan
dari aqidah (Al-Washly, 2001:414). Dengan demikian
tampak bahwa amal merupakan manifestasi dari aqidah
seseorang.
(2) Aktivitas hati lebih penting dari aktifitas fisik.
Ada beberapa alasan yang menjadikan aktifitas hati lebih
penting dari aktifitas fisik, antara lain karena hati adalah
pokok, sedangkan anggota tubuh adalah cabang
sebagaimana hadits berikut;
ع أب عبدا هلل اعا ب بشر رض هللا عا لاي: سعج
رسي هللا م:... أال إ ف اجسد ضغت إذا صحج صح
اجسد و. إذا فسدث فسد اجسد و: أال امب )را
ابخاري س(Artinya: “Ketahuilah bahwa di dalam jasad manusia
terdapat segumpal daging, jika ia baik makai baik pula seluruh jasadnya dan jika ia rusak, rusak
pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati” (An-Nawawi,
2008:16).
Alasan kedua adalah ayat yang menerangkan bahwa
hanya hati yang bersihlah yang bermanfaat di sisi Allah,
QS. Asy-Syuara ayat 88-89;
64
Artinya: 88. (yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, 89. kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih (Departemen Agama RI, 2005:371)
Alasan ketiga adalah dalam banyak ayat Allah tidak
menyebutkan amal saleh kecuali mendahuluinya dengan
iman. Ayat tersebut, antara lain:
- QS. Al-Ashr ayat 3;
Artinya: “kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi
kesabaran” (Departemen Agama RI, 2005:
601).
- QS. Al-Baqarah ayat 277;
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat
dan menunaikan zakat, mereka mendapat
pahala di sisi Tuhannya. tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati (Departemen
Agama RI, 2005:48).
65
Dengan demikian, bisa dipahami bahwa penyebutan
berulang-ulang di banyak tempat menunjukkan pentingnya
amal perbuatan hati.
(3) Kesempurnaan hati dan amal adalah tuntutan syariat.
Keterpaduan hati dan amal adalah sebuah
keniscayaan, masing-masing dari keduanya memiliki ruang
lingkup yang harus diamalkan sesuai tuntunan syariat.
Amalan hati perlu didahulukan tanpa mengabaikan amalan
fisik.
c) Jimat, mantera, guna-guna, ramalan, perdukunan,
penyingkapan perkara ghaib, dan semisalnya, adalah
kemunkaran yang harus diperangi, kecuali mantera dari ayat
Al-Qur'an atau ada riwayat dari Rasulullah saw (Al-Banna,
2008:293).
Jimat, mantera dan yang tersebut di atas adalah
kemungkaran yang harus dihindari karena merupakan penipuan
dan kebohongan yang dapat memalingkan seorang muslim dari
aqidah yang benar. Dalam jimat, mantra dan guna-guna
terdapat penyimpangan berupa keyakinan bahwa benda-benda
tersebut mampu melindungi seseorang dari bala’. Hal ini
sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnul Atsir yang dikutip oleh
Abdullah bin Qasim al Washly, “Semua itu disebut syirik
karena mereka hendak menolak ketentuan-ketentuan (taqdir)
yang telah tertulis dan mencari perlindungan dari gangguan dan
66
penyakit kepada selain Allah, padahal hanya Allah yang
mampu melindunginya” (Al-Washly, 2001:192). Akan tetapi
dalam hal ini ada pengecualian yakni ruqyah (mantra) yang
berasal dari Al-Qur’an di antaranya terdapat dalam beberapa
ayat di surah al Baqarah dan Muawwidzatain atau ada riwayat
dari Nabi SAW seperti doa berikut:
أعذ بىاث هللا اخا اث شر اخك
Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari keburukan yang Ia ciptakan (Al-Banna, 2008:267)
Sedangkan dalam ramalan, perdukunan dan
penyingkapan perkara ghaib termasuk dalam kategori
mengklaim mengetahui akan hal yang ghaib, padahal
pengetahuan tentangnya hanya milik Allah.
Sebagaimana tercantum dalam QS. Al-Jin ayat 26;
Artinya: “(dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang ghaib, Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu”(Departemen Agama RI, 2005:543)
Selain itu terdapat pula hadits yang menjelaskan
larangan perdukunan yakni:
ع عبد هللا ع ا فع ع صفت ع بعض أز ا ج اب
صى هللا ع س ع اب صى هللا ع س لاي
أحى عرا فا فسأ ع شء حمب صالة أربع
Artinya: “Dari Abdillah dari Nafi‟ dari Shafiyyah sebagian istri Rasulullah, dari Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa mendatangi „araf kemudian bertanya
67
tentang sesuatu dan membenarkannya, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari” (HR. Muslim No.4137).
Dengan demikian, sudah sepantasnya seorang muslim yang
berpegang teguh dengan aqidah Islam akan menghindari hal-
hal tersebut dalam rangka menjaga kemurnian aqidah.
d) Doa apabila diiringi tawassul kepada Allah dengan salah satu
makhluk-Nya adalah perselisihan furu' menyangkut tata cara
berdoa, bukan termasuk masalah aqidah (Al-Banna, 2008:298).
Tawassul merupakan salah satu permasalahan furu‟
yang menjadi khilafiyah sejak lama. Ulama bersepakat atas
kebolehan tawassul dengan amal saleh, dengan asmaul husna,
dengan doa orang saleh/ketika masih hidup (Al-Washly,
2001:402) dan bertawassul dengan Al-Qur’an (Arifin,
2008:125). Adapun perbedaan pendapat tentang tawassul
terangkum pada tiga pendapat yakni pertama, pelarangan
secara mutlak, ulama yang berpendapat tersebut adalah Imam
Abu Hanifah. Kedua, boleh tawassul dengan pengkhususan
terhadap pribadi Rasulullah SAW, pendapat ini dikatakan oleh
Imam Ahmad, dan Ibnul Arabi dari kalangan Maliki. Ketiga,
boleh secara mutlak, baik dengan diri Nabi, dan setiap wali
yang saleh dari kalangan mukminin baik yang masih hidup
maupun yang sudah meninggal, Asy Syaukani termasuk salah
satu ulama yang mendukung pendapat ini (Al-Washly,
2001:402).
68
Sedangkan KH. Ali Ma’shum dalam kitabnya Hujjah
Ahlussunnah Wal Jama’ah justru menjelaskan bahwa pendapat
tentang kebolehan mutlak tawassul baik kepada Nabi maupun
para wali dari kalangan mukmin adalah pendapat mayoritas
ulama salaf maupun khalaf, kecuali Ibnu Taimiyyah (Ma’shum,
1983:93). Pendapat yang terakhir ini memiliki pemahaman
bahwa tawassul adalah memohon datangnya kebaikan atau
terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah dengan
menyebut seorang Nabi, atau wali untuk memuliakan (ikram)
terhadap keduanya (Arifin, 2008:4).
Dengan demikian tawassul dalam pemahaman pendapat
yang terakhir ini tetap menjadikan Allah sebagai tujuan
dikabulkannya doa, bukan berdoa kepada Nabi ataupun ulama
yang disebut dalam doanya. Hasan Al-Banna berpendapat
bahwa tawassul adalah bukan merupakan permasalahan aqidah
melainkan tata cara berdoa, hal ini karena pada dasarnya yang
menjadi pokok aqidah adalah kepada siapa ditujukannya doa.
Dengan demikian, hendaknya perbedaan pendapat tentang hal
ini tidak menjadikan terpecah belahnya kaum muslim, karena
hal ini hanya masalah furu‟.
e) Cinta kepada orang-orang yang shalih, memberikan
penghormatan kepadanya dan memuji karena perilaku baiknya
adalah bagian dari taqarrub kepada Allah swt. Sedangkan
69
karamah pada mereka itu benar terjadi jika memenuhi syarat-
syarat syar'inya. Itu semua dengan suatu keyakinan bahwa
mereka tidak memiliki madharat dan manfaat bagi dirinya,
baik ketika masih hidup maupun setelah mati, apalagi bagi
orang lain (Al-Banna, 2009: 166).
Para ulama memasukkan pembahasan ini dalam bagian
kenabian, hal tersebut karena kesalehan dan kewalian lahir dari
mengikuti ajaran para Rasul dan karamah merupakan
perpanjangan dari mu‟jizat. Keyakinan seorang muslim dalam
mencintai orang salih adalah karena ketaaatan dan jasa mereka
dalam menyampaikan kebaikan bukan karena anggapan bahwa
mereka memiliki karamah tertentu. Hal ini sesuai dengan
firman Allah QS. Yunus ayat 62-63 berbunyi;
Artinya: “62. Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati. 63. (yaitu) orang-orang yang
beriman dan mereka selalu bertakwa” (Departemen Agama RI, 2005:216).
Hal tersebut bukan berarti tidak mempercayai adanya
karamah, dalam pandangan Al-Banna karamah tetap ada
dengan syarat-syarat syar‟i yakni karamah yang didapat karena
keimanan dan ketakwaan kepada Allah, sebagaimana yang
dialami oleh Ashabul Kahfi. Adapun menurut Ibnu
70
sebagimana yang dikutip Musthafa Muhammad Thahan adalah
bahwa sebagian orang memang ada yang memilki karamah
berupa sesuatu yang luar biasa, akan tetapi yang harus digaris
bawahi adalah mereka tetap manusia yang tidak ma’shum dan
tidak bias memberikan manfaat dan madharat kepada diri
sendiri maupun orang lain (Thahan, 2007:112-113).
2) Dalam shahih al-ibadah
Dalam shahih al ibadah Al-Banna menjelaskan, sebagai
berikut:
a) Al-Qur'an Al Karim dan Sunah Rasul yang suci adalah tempat
kembali setiap muslim untuk memahami hukum-hukum Islam.
Seorang muslim harus memahami Al-Qur'an sesuai dengan
kaidah-kaidah bahasa Arab, tanpa takalluf (memaksakan diri)
dan ta'assuf (serampangan). Selanjutnya ia memahami Sunah
yang suci melalui rijalul hadits (perawi hadits) yang terpercaya
(Al-Banna, 2009: 163).
Tidak ada keraguan bagi orang yang beriman bahwa Al-
Qur’an dan Sunnah adalah pedoman dalam berIslam. Al-
Qur’an hendaknya dipahami tanpa takalluf maupun ta‟assuf.
Takalluf adalah membebani diri dengan hal-hal yang berat dan
menjatuhkan perkara yang berlawanan dengan adat, adapun
termasuk perbuatan takalluf adalah membicarakan Al-Qur’an
71
tanpa ada nash yang jelas dan hanya berpegang pada pendapat
tanpa bersandar pada ilmu bahasa Arab (Al-Washly, 2001:157).
b) Ilham, lintasan perasaan, kasyaf, dan mimpi, ia bukanlah bagian
dari dalil hukum-hukum syariat. Ia bisa juga dianggap dalil
dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum-hukum agama
dan teks-teksnya (Al-Banna, 2008: 292).
Telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa
Al-Qur’an dan Sunnah adalah pedoman kaum muslim dalam
mengambil hukum Islam. Adapun ilham, lintasan pikiran
kasyaf, maupun mimpi seorang muslim tidaklah termasuk
dalam sumber yang bisa dijadikan dasar, akan tetapi dalam
kondisi tertentu hal tersebut bisa saja menjadi dasar dengan
syarat tidak bertentangan dengan dalil syariat.
c) Pendapat Imam atau wakilnya tentang sesuatu yang tidak ada
teks hukumnya, tentang sesuatu yang mengandung ragam
interpretasi dan tentang sesuatu yang membawa kemaslahatan
umum, bisa diamalkan sepanjang tidak bertentangan dengan
kaidah-kaidah umum syariat (Al-Banna, 2009: 163).
Pendapat apapun yang di dasarkan kepada
kemashlahatan umum, kebiasaan, atau tradisi selama tidak ada
nash yang jelas tentangnya dapat berubah sesuai perubahan
kemaslahatan, kebiasaan dan tradisi masyarakat setempat.
72
Sebagaimana yang dikatakan para ahli ushul “hukum-hukum
yang berkaitan dengan hukum adat tetap berlaku selama adat
masih berlaku dan demikian sebalikya” (Al-Washly, 2001:200).
d) Menyikapi bid‟ah
Bid‟ah secara etimologi adalah setiap hal baru yang
diadakan baik terpuji mapun tercela tanpa ada contoh
sebelumnya. Sedangkan menurut pengertian syari’at telah
terjadi perbedaan ungkapan antara para ulama dalam
mendefinisikannya. Definisi-definisi tersebut dengan berbagai
lafadz maupun redaksinya memiliki persamaan mendasar yakni
berbeda dengan syari’at Allah SWT dengan tujuan keagamaan.
Dalam Ushul al-„isyrin terdapat dua pembahasan tentang
bid’ah, pertama tentang bid’ah yang harus diberantas Al-Banna
mengatakan, “Setiap bid’ah dalam agama Allah yang tidak
mempunyai dasar dan dianggap baik oleh hawa nafsu manusia,
baik berupa penambahan maupun pengurangan adalah
kesesatan”. Definisi bid‟ah yang demikian sebagaimana yang
pernah disampaikan oleh Imam Syafi’i yang diriwayatkan oleh
Imam Ar-Rabi’ dan dikutip oleh Abdullah bin Qasim Al-
Wasyli. Imam Syafii berkata,
Al-Muhdatsat (hal-hal baru) ada dua bagian. Pertama, hal-
hal yang bertentangan dengan Al-Qur’an, hadits, ijmak atau atsar. Inilah bid’ah yang merupakan kesesatan.
Kedua, kebaikan yang diciptakan dan tidak diperselisihkan
73
oleh siapa pun. Inilah hal baru yang tidak tercela (Al-Washly, 2001:330).
Adapun pembahasan bid’ah yang kedua mengenai jenis
bid’ah. Al-Banna menyebutkan ada tiga jenis bid’ah, pertama
bid‟ah idhafiyah yaitu segala sesuatu yang disyari’atkan
akarnya namun sifatnya tidak. Kedua, bid‟ah tarkiyah yaitu
meninggalkan hal yang sebenarnya dihalalkan oleh syari‟at
tanpa melihat pertimbangan syar‟i dengan maksud keagamaan,
karena hal itu mengandung makna menolak hukum penghalalan
yang dibuat oleh Allah. Ketiga bid‟ah iltizam dalam ibadah
mutlak yaitu menentukan waktu, tempat, bilangan perbuatan
dan ucapan yang sebenarnya tidak dibatasi oleh syari‟at.
Persoalan semacam ini menurut Al-Banna dan mayoritas ulama
tidaklah termasuk bid‟ah yang tercakup dalam ancaman hadits
“...setiap bid‟ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan adalah
masuk neraka” (Al-Washly, 2001:339-342).
e) Ziarah kubur (kubur siapa pun) adalah sunah yang disyariatkan
dengan cara-cara yang diajarkan Rasulullah saw (Al-Banna,
2009:166).
Kaum muslim sepakat disyariatkannya ziarah kubur,
akan tetapi masih terdapat perbedaan pendapat dalam
menetapkan hukumnya. Dalam pembahasan ini Al-Banna
menekankan pada hal-hal baru yang dilakukan sebagian orang
saat ziarah kubur yang dinilai justru menodai kemurnian
74
aqidah. Hal-hal tersebut antara lain, meminta tolong pada
kuburan, bernadzar untuk penghuni kubur dan membangun
kuburan dengan tirai. Membangun kubur dengan tirai
merupakan hal yang dilarang Rasulullah (Thahan, 2007:120).
3) Dalam rukun bai’at al ikhlash Ikhlas yang dikehendaki Al-Banna
adalah bahwa seorang muslim dalam setiap kata-kata, aktifitas dan
jihadnya, semua harus dimaksudkan semata-mata untuk mencari
ridha Allah dan pahala-Nya, tanpa mempertimbangkan aspek
kekayaan, penampilan, pangkat, gelar, kemajuan atau
keterbelakangan. Dengan itulah, ia menjadi tentara fikrah dan
aqidah, bukan tentara kepentingan dan ambisi pribadi (Al-Banna,
2009:168). Dalam al-ikhlash ini Al-Banna menekankan akan
ketulusan seorang muslim dalam beramal, tanpa
mempertimbangkan aspek duniawi yang dapat diperoleh dengan
amal itu.
b. Akhlak kepada Diri Sendiri
1) Dalam qawiyy al jism,
Dalam Risalah Ta’alim akhlak terhadap diri sendiri
sebagaimana yang terdapat dalam qawiyy al jism, Al-Banna
mengarahkan seorang muslim untuk senantiasa menjaga kesehatan
dengan menjaga pola makan dan menghindari beberapa minuman
maupun makanan yang dapat berakibat buruk kesehatan bila
dikomsumsi secara berlebihan, Al-Banna menekankan untuk
meninggalkan minuman keras selain karena haram juga alasan
75
merusak kesehatan, yang tidak kalah pentingnya menurut Al-
Banna adalah meninggalkan rokok (Al-Banna, 2009:177-178).
2) Dalam matin al khuluq terkait akhlak terhadap diri sendiri. Al-
Banna menekankan agar seorang muslim senantiasa
berusaha untuk bersikap pemberani dalam menyampaikan
kebenaran, berani mengakui kesalahan, ketahanan dalam
menyimpan rahasia, adil pada diri sendiri, bersikap serius tanpa
meninggalkan canda yang benar dan tertawa dalam senyum,
bersikap tawadhu‟, memiliki rasa malu, peka terhadap kebaikan
maupun keburukan, menuntut posisi yang lebih rendah dari
martabat yang dimiliki, dan dapat menguasai diri ketika marah (Al-
Banna, 2009:179).
3) Dalam mutsaqqaf al fikr,
Al-Banna menekankan seorang muslim untuk cinta
membaca dan menulis, membaca majalah maupun koran-koran.
Al-Banna juga menyarankan agar seorang muslim memiliki
perpustakaan pribadi meskipun kecil, konsentrasi terhadap
spesialisasi keahlian berbagai yang dimiliki serta menguasai
persoalan Islam secara umum (Al-Banna, 2009:179). Dalam hal ini
penguasaan tentang persoalan Islam, meliputi: masalah-masalah
yang dihadapi dunia Islam.
4) Dalam qadir ala al kasb,
Al-Banna mengarahkan seorang muslim untuk memiliki
usaha ekonomi secara mandiri meskipun kecil, berusaha hidup
76
sederhana dan menyimpan sebagian penghasilan untuk persediaan
masa-masa sulit.
5) Dalam mujahid li nafsih,
Al-Banna mengarahkan seorang muslim untuk bersungguh-
sungguh dalam mengendalikan hawa nafsu sehingga dapat menjaga
diri dari hal-hal yang diharamkan.
6) Dalam harish ala waqtih,
Al-Banna mengarahkan seorang muslim untuk bersungguh-
sungguh dalam memanfaatkan waktu. Menurut Al-Banna waktu
adalah kehidupan.
7) Dalam munadhdhom fi syuunih.
Al-Banna mengarahkan seorang muslim berusaha untuk
menghidupkan tradisi Islam dalam berbagai aktifitas kehidupan,
misalnya dalam ucapan salam, bahasa, sejarah, pakaian, perabot
rumah tangga, cara kerja dan istirahat, cara makan dan minum, cara
datang dan pergi, serta gaya mengekspresikan rasa suka dan duka.
Hendaklah pula seorang muslim menjaga sunah dalam setiap
Aktifitas tersebut (Al-Banna, 2009:180).
c. Akhlak kepada Sesama
1) Dalam nafi‟ li ghoirih
Hendaklah seorang muslim merasa bahagia jika dapat
membantu orang lain, gemar membesuk orang sakit, membantu
orang yang membutuhkan, menanggung orang yang lemah
77
meringankan beban orang yang tertimpa musibah meskipun hanya
dengan kata-kata yang baik dan senantiasa bersegera berbuat
kebaikan.
2) Dalam matin al khuluq
Matin al khuluq yang terkait akhlak terhadap sesama adalah
hendaknya seorang muslim menjadi orang yang jujur dalam
berkata, menepati janji, bersikap adil terhadap orang lain, toleran,
berhati lembut, dermawan, lapang dada, pemaaf, melupakan
kesalahan orang lain, lemah lembut, santun dan memiliki rasa kasih
sayang terhadap sesama manusia maupun hewan. Juga baik dalam
pergaulan, berakhlak mulia dengan seluruh manusia dan menjaga
etika-etika Islam dalam melakukan interaksi sosial, menyayangi
yang kecil dan menghormati yang tua, memberi tempat kepada
orang lain dalam majelis, tidak menggunjing, tidak mengumpat,
meminta izin jika mendatangi suatu tempat atau meninggalkannya
(Al-Banna, 2009:322-323).
3) Dalam qadir ala al kasbi
Hendaknya seseorang berusaha untuk bekerja agar dapat
memenuhi kebutuhan sehingga mampu untuk mandiri dan tidak
bergantung pada pihak lain dan hendaknya seorang muslim
berkontribusi secara finansial untuk dakwah, menunaikan
kewajiban zakat dan menyisihkan sebagian harta yang dimiliki
untuk orang yang meminta dan kekurangan meskipun penghasilan
yang didapat tidaklah banyak (Al-Banna, 2009:180). Dalam hal ini
78
Al-Banna ingin menegaskan sebarapapun penghasilan yang
diperoleh seorang muslim, haruslah disisihkan sebagian untuk
orang lain yang membutuhkan.
4) Dalam rukun bai’at al ukhuwwah
Al Ukhuwwah dalam pandangan Al-Banna adalah
keterikatan hati dan rohani dalam ikatan aqidah. Menurut Al-Banna
aqidah merupakan sekokoh-kokoh dan semulia-semulia ikatan.
Bentuk ukhuwwah yang paling rendah menurutnya adalah lapang
dada dan yang tertinggi adalah sikap itsar yakni kesediaan untuk
lebih mengutamakan orang lain daripada diri sendiri (Al-Banna,
2009:175).
5) Dalam ushul al isyrin
Al-Banna mengarahkan seorang muslim agar tidak
menjadikan khilafiyah dalam masalah fiqih furu' (cabang) sebagai
faktor pemecah belah dalam agama, tidak menyebabkan
permusuhan dan tidak juga kebencian. Setiap mujtahid
mendapatkan pahalanya.
Al-Banna menambahkan bahwa tidak ada larangan
melakukan studi ilmiah yang jujur terhadap persoalan khilafiyah.
Yang terpenting hal tersebut dilaksanakan dalam naungan kasih
sayang dan saling membantu karena Allah untuk menuju kepada
kebenaran. Semua itu tanpa melahirkan sikap egois dan fanatik
(Al-Banna, 2009:164). Al-Banna juga mengarahkan untuk
menerima setiap kata-kata dari Rasulullah SAW serta menghormati
79
pendapat ulama salaf dan melarang untuk melontarkan kata-kata
makian dan celaan karena hal-hal yang diperselisihkan. Al-Banna
mengatakan, Setiap orang boleh diambil atau ditolak katakatanya,
kecuali Al-Ma'shum (Rasulullah saw). Setiap yang datang dari
kalangan salaf dan sesuai dengan Kitab dan Sunah, kita terima. Jika
tidak sesuai dengannya, maka Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya
lebih utama untuk diikuti. Namun demikian, kita tidak boleh
melontarkan kepada orang-orang-oleh sebab sesuatu yang
diperselisihkan dengannya kata-kata caci maki dan celaan. Kita
serahkan saja kepada niat mereka dan mereka telah berlalu dengan
amal-amalnya (Al-Banna, 2009:164).
Paparan tersebut di atas tampak bahwa konsep pendidikan akhlak
menurut Al-Banna telah memenuhi tiga obyek akhlak yakni akhlak
terhadap Allah, akhlak terhadap diri sendiri, dan akhlak terhadap sesama.
Akhlak terhadap Allah tampaknya Al-Banna lebih menitik beratkan pada
pemahaman seorang muslim untuk menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah
sebagai sumber utama dalam mengambil hukum dan upaya preventif dari
hal-hal yang dapat merusak akidah. Akhlak terhadap diri sendiri Al-Banna
mengarahkan seorang muslim untuk berpribadi ideal secara lahir batin.
Hal ini tampak pada gagasannya untuk menciptakan pribadi ideal tidak
hanya memperhatikan aspek rohani saja tetapi juga memperhatikan aspek
jasmani. Sedangkan dari segi akhlak terhadap sesama Al-Banna
mengarahkan seorang muslim untuk bisa memberi manfaat kepada orang
80
lain dengan banyak membantu mereka. Manfaat yang diberikan kepada
orang lain ini berupa tenaga maupun materi sesuai kemampuan.
Akhlak terhadap sesama Al-Banna tidak mencantumkan secara
khusus akhlak terhadap orang tua. Ia menyebutkan secara umum dengan
menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda. Al-Banna
tampak lebih menekankan aspek toleran dengan tujuan utuhnya persatuan
umat Islam dalam menghadapi khilafiyah masalah furu‟.
3. Analisis Metode Pembentukan Akhlak
Pada dasarnya pembentukan sikap demikian juga dengan akhlak
tidak terjadi dengan sendirinya. Pembentukannya senantiasa berlangsung
dalam interaksi manusia dan berkaitan dengan obyek tertentu. Interaksi
sosial di dalam kelompok maupun di luar kelompok dapat mengubah sikap
atau membentuk sikap yang baru (Gerungan, 2010:166-167). Semua
tingkah laku manusia pada hakikatnya mempunyai motif. Motif manusia
merupakan dorongan, keinginan, hasrat, dan tenaga penggerak lainnya
yang berasal dari dalam dirinya untuk melakukan sesuatu. Motif-motif itu
memberikan tujuan dan arahan kepada tingkah laku seseorang (Gerungan,
2010:152). Demikian pula dalam jamaah Ikhwanul Muslimin, Hasan Al-
Banna berupaya membentuk para jamaahnya menjadi pribadi yang
berakhlak mulia dengan beberapa amalan yang terdapat dalam wajibat al
akh al amil (Al-Banna, 2009:177) dan adanya interaksi secara langsung
antar anggota jamaah dalam halaqah yang disebut dengan istilah usrah
(Al-Banna, 2009:185). Usrah mengandung arahan dan motivasi dalam
81
perwujudan cita–cita ideal jamaah yang diklasifikasikan ke dalam tiga
pembahasan berikut:
a. Pemahaman
Dalam membentuk akhlak yang mulia Al-Banna mengarahkan
seorang muslim agar mengedepankan pemahaman akan pokok-pokok
akhlak. Pemahaman tentang akhlak tersebut diambil dari:
1) Al-Qur’an
Dengan menjadikannya sebagai wirid harian untuk dibaca,
ditadabburi dan diamalkan. Al-Banna mengatakan, “Hendaknya
engkau memperbaiki bacaan Al-Qur’an mu, memperhatikannya
dengan seksama dan merenungkan artinya” (Al-Banna, 2009:177).
Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa tema akhlak merupakan
salah satu pembahasan penting yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Sehingga dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai wirid harian untuk
dibaca dan di tadabburi diharapkan seorang muslim dapat
mengetahui pokok-pokok akhlak mulia dalam Al-Qur’an dan
kemudian mengamalkannya.
2) Al-Hadits
Selain pemahaman akan Al-Qur’an, Al-Banna juga
mengarahkan seorang muslim agar mengambil pelajaran pokok-
pokok akhlak mulia dari hadits, dalam hal ini Al-Banna
menyarankan untuk menghafal minimal empat puluh hadits dalam
kitab al Arba‟in Al-Nawawi. Al-Banna mengatakan, “Hendaklah
82
engkau juga banyak membaca hadits Rasul SAW, minimal hafal
empat puluh hadits, ditekankan al Arbain Nawawi” (Al-Banna,
2009:177).
3) Mengkaji sirah Nabawi dan juga sirah salafus shalih.
Mengkaji sirah Nabawi dan sirah salafus shalih merupakan hal
yang penting menurut Al-Banna. Ia mengatakan, “Hendaklah engkau
juga mengkaji sirah Nabi dan sejarah para salaf sesuai dengan waktu
yang tersedia”. Urgensi mengkaji sirah adalah karena menurutnya
sirah Nabi dan para salaf merupakan contoh aplikatif dari perintah
Allah dan ajaran Islam. Hasan Al-Banna mengatakan;
Dakwah kami memang Islamiyah, dengan segala makna yang
tercakup dalam kata itu. Pahamilah apa saja yang ingin Anda
pahami dari kata itu dengan tetap berpedoman pada Kitab
Allah, Sunah Rasulllah saw. dan sirah salafus shalih (jalan
hidup pendahulu yang shalih) dari kaum muslimin. Kitab Allah
adalah sumber dasar Islam, Sunah Rasulullah saw. adalah
penjelas dari kitab tersebut, sedang sirah kaum Salaf adalah
contoh aplikatif dari perintah Allah dan ajaran Islam (Al-
Banna, 2012:37).
Hasan Al-Banna juga sering memberikan contoh-contoh konkrit
dari perilaku para salafus shalih saat memberikan ceramah yang
bertema akhlak (Asyur, 2004:22). Dengan demikian, Hasan Al-Banna
dengan mengarahkan untuk mengkaji sirah bermaksud memberikan
pemahaman bahwa tema-tema akhlak mulia dalam Islam tidak hanya
berada dalam suatu tataran teoritis, akan tetapi terdapat Suatu
83
contoh konkrit yang bisa diambil pelajaran dari kehidupan para
salafus salih.
4) Mengkaji pokok-pokok akidah dan cabang-cabang fiqh
1) Mengkaji pokok-pokok akidah dan cabang-cabang fiqh
Mengkaji pokok-pokok akidah dan cabang-cabang fiqh juga
merupakan hal penting yang ditekankan Al-Banna dalam membentuk pribadi
yang berakhlak mulia. Ia mengatakan, “Dan hendaklah engkau mengkaji
risalah tentang pokok-pokok akidah dan cabang-cabang fiqh” (Al-Banna,
2009:177). Hal ini karena banyak dari kalangan orang-orang Islam yang
berpecah belah dan saling menyalahkan karena fanatisme madzhab.
Diharapkan dengan mempelajari pokok-pokok akidah dan cabang-cabang fiqh
seorang muslim memahami pokok-pokok akidah sehingga tidak terjerumus
pada akidah yang salah, dengan pemahaman akan cabang-cabang fiqh,
seorang muslim dapat memahami adanya berbagai pendapat dalam fiqh dan
dasar dari pendapat tersebut sehingga seorang muslim tidak mudah
menyalahkan orang lain yang tidak semadzhab dan tentunya sikap yang lebih
penting lagi adalah kesediaan untuk menghormati pendapat yang dipahami
pihak lain. Al-Banna mengatakan dalam ushul al isyrin;
Khilafiyah dalam masalah fiqih furu' (cabang) hendaknya tidak
menjadi faktor pemecah belah dalam agama, tidak
menyebabkan permusuhan dan tidak juga kebencian. Setiap
mujtahid mendapatkan pahalanya. Sementara itu, tidak ada
larangan melakukan studi ilmiah yang jujur terhadap persoalan
khilafiyah dalam naungan kasih sayang dan saling membantu
karena Allah untuk menuju kepada kebenaran. Semua itu tanpa
melahirkan sikap egois dan fanatik (Al-Banna, 2009:95).
84
Dengan demikian, Hasan Al-Banna dalam konsep akhlak
terhadap sesama menekankan adanya sikap toleransi yang mana
dengannya akan tercipta saling menghormati meskipun perbedaan
pendapat di antara kaum muslim tetap ada.
b. Pembiasaan
Metode pembiasan bertujuan untuk menanamkan kecakapan
dalam berbuat, tentu saja dalam hal ini tidak lupa didiringi dengan
pemberian pemahaman sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
pembahasan terdahulu, sehingga seorang muslim selaras antara teori
dan praktek (Marimba, 1981:82). Dalam hal pembiasaan Al-Banna
menekankan seorang muslim agar membiasakan diri dengan hal-hal
berikut:
1) Memiliki wirid tilawah Al-Qur’an dalam sehari minimal satu juz.
Al-Qur’an memiliki posisi yang sangat penting dalam pandangan
Al-Banna.
Sebagaimana pandangannya yang bersifat syumuliyah
terhadap ajaran Islam, demikian pula pemahamannya terhadap
Al-Qur’an. Al-Banna.mengatakan,
Al-Qur’an Al-Kharim adalah sistem yang komprehensif bagi seluruh hukum Islam. Al-Qur’an adalah sumber mata air yang
senantiasa menyirami hati-hati orang-orang yang beriman
dengan kebijakan dan hikmah. Dan yang paling utama seorang hamba dalam upaya bertaqarrub kepada Allah adalah dengan
membacanya (Al-Banna, 2009:95).
Membaca Al-Qur’an menjadi salah satu hal pokok dalam
pandangan Al-Banna. Hal inilah yang menjadikan ia menekankan
85
seorang muslim agar memiliki wirid harian berupa tilawah
Al-Qur’an minimal satu juz setiap hari dan berusaha untuk khatam
tidak lebih dari satu bulan serta tidak kurang dari tiga hari.
Al-Banna mengatakan;
Hendaknya engkau memiliki wirid harian dari Kitabullah (Al-Qur’an) yang tidak kurang dari satu juz. Dan berusahalah
dengan sungguh-sungguh untuk mengkhatamkan Al-Qur’an dalam waktu tidak lebih dari satu bulan dan tidak kurang dari
tiga hari (Al-Banna, 2009:95).
Dalam wirid Al-Qur’an Al-Banna membuat ketentuan dalam
mengkhatamkan tidak kurang dari tiga hari, hal ini sesuai dengan
sabda Rasul;
عن عبد هللا بن معرو عن النيب صىل هللا عليه وسمل قال
ل من ثال ث )رواه الرت مذي(مل يفقه من قرأ القر أ ن يف أ ق Artinya: Dari Abdillah bin Amr dari Nabi SAW bersabda:
“Tidaklah faham orang yang menamatkan Al-Qur‟an kurang dari tiga hari” (HR. Tirmidzi Hadits No. 2870).
Menurut Said Hawwa hadits tersebut menjelaskan bahwa kata
“tidak faham” dengan makna tidak memahami artinya, yakni
menafikan pemahaman bukan pahala. Oleh karenanya seorang
muslim yang mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari tetap
mendapatkan pahala membaca hanya saja tidak mendapat pahala
penghayatan terhadap Al-Qur’an (Hawwa, 2002:184).
2) Membiasakan diri dalam keadaan berwudhu
Al-Banna menekankan seorang muslim agar senantiasa
berusaha membiasakan diri dalam keadaan berwudhu di sebagian
86
waktu yang dimiliki dengan terlebih dahulu memperbaiki kualitas
bersuci. Al-Banna mengatakan, “Hendaklah engkau meningkatkan
(kualitas) bersucimu dan usahakan selalu dalam keadaan wudhu di
sebagian besar waktumu” (Al-Banna, 2009: 327).
3) Memperbaiki kualitas shalat dan membiasakan berjamaah.
Al-Banna juga menekankan agar seorang muslim
memperbaiki kualitas shalat serta berusaha melaksanakannya tepat
waktu dan berjamaah di Masjid jika memungkinkan. Al-Banna
mengatakan, “Hendaklah engkau meningkatkan kualitas shalatmu.
Biasakan shalat tepat pada waktunya, dan upayakan berjamaah di
masjid jika memungkinkan” (Al-Banna, 2009: 327).
Al-Banna memposisikan sholat dalam hal yang sangat
urgen dalam membentuk akhlak yang mulia, hal ini karena sahalat
merupakan penenang hati dan penghubung antara hamba dengan
Tuhan. Hal ini seperti yang ia katakan dalam Risalah Da’watuna;
Engkau telah mengetahui bahwa Ikhwanul Muslimin mengenal
Islam sebagai sarana paling mulia untuk membersihkan jiwa,
memperbarui rohani, dan menyucikan akhlak. Dari cahaya-
nyalah mereka mengambil prinsip untuk membangun aqidah.
Anda pun sangat memahami bahwa kedudukan shalat dalam
Islam bagaikan kedudukan kepala pada jasad. Shalat adalah
pilar Islam yang kekal abadi. Ia juga penyejuk jiwa bagi yang
menegakkannya, penenang hati dan penghubung antara hamba
dengan Tuhannya. Ia adalah tangga yang mengantarkan ruh
orang-orang yang hatinya sarat dengan mahabbah menuju
ketinggian yang tiada batasnya. Dialah taman suci yang
menghimpun berbagai unsur kebahagiaan, baik di alam ghaib
maupun di alam nyata (Al-Banna, 2009: 134).
Al-Banna, mengklasifikasikan kaum muslim masa kini dalam
menyikapi shalat menjadi tiga golongan yakni:
87
a) Golongan yang mengabaikan shalat.
Golongan ini menyia-nyiakan dan meninggalkan shalat. Hal
yang lebih mengherankan lagi menurut Al-Banna adalah sikap
sebagian orang yang bekerja di lahan dakwah maupun lembaga
Islam yang mereka pun juga meremehkan posisi shalat.
b) Golongan yang melaksanakan shalat sebagai rutinitas.
Golongan ini adalah golongan mayoritas, mereka
menunaikan shalat secara reflek, sekedar menerima warisan dari
para pendahuhu mereka. Mereka melakukan kebiasaan itu
sepanjang waktu tanpa mengetahui rahasia di baliknya dan tanpa
merasakan dampaknya. Mereka merasa cukup hanya dengan dapat
mengucapkan bacaan-bacaan shalat serta melakukan gerakan-
gerakannya dan merasa terbebas dari azab dan berhak atas pahala
karena telah melaksanakan kewajiban shalat.
Menurut Al-Banna hal tersebut adalah khayalan yang tidak
akan terwujud sama sekali, karena ucapan dan tindakan shalat itu
hanyalah kerangka fisik yang jiwanya adalah kepahaman, pilarnya
adalah kekhusyukan dan buahnya adalah pengaruh riil. Oleh
karenanya, tidak mengherankan kebanyakan orang tidak dapat
mengambil manfaat dari shalat mereka dan tidak dapat mencegah
dirinya dari kemunkaran.
c) Golongan yang shalat dengan kesungguhan.
Golongan ini jumlahnya paling sedikit, tetapi mereka
memahami rahasia shalat dengan baik. Mereka bersungguh-
sungguh
88
dalam menunaikan dan gigih dalam usaha menyempurnakannya.
Mereka shalat dengan penuh rasa khusyuk penuh renungan,
ketenangan, dan keluar dari dunia shalatnya dengan merasakan
nikmat ibadah dan ketaatan, serta limpahan cahaya Allah yang
tiada tara. Hal itu tampak pada mereka yang jiwanya telah sampai
kepada ma'rifat kepada-Nya. Dengan shalat yang disempurnakan
inilah mereka akan membuahkan kesucian jiwa dan kebersihan hati
serta menjauhkan pelakunya dari dosa dan kemunkaran (Al-Banna,
2008: 136-138).
Dari penjelasan tersebut tampak jelas bahwa shalat mampu
memberikan dampak positif pada kesucian jiwa dan kebersihan
hati yang tentunya sangat berpengaruh pada akhlak seorang
muslim.
4) Senantiasa memperbarui taubat dan istighfar
Hal lain yang menjadi fokus Al-Banna dalam membentuk
akhlak yang mulia adalah dengan senantiasa memperbarui taubat
dan istighfar dan menjaga diri dari dosa kecil maupun yang besar.
Sebagaimana yang ia katakan, “Hendaklah engkau senantiasa
memperbaharui taubat dan istighfar. Jagalah dirimu dari dosa-dosa
kecil apalagi yang besar” (Al-Banna, 2009: 181).
5) Membiasakan diri dengan Muraqabatullah.
Muraqabatullah menjadi salah satu hal yang ditekankan
Al-Banna dalam upaya pembinaan akhlak. Dengan muraqabatullah
seorang muslim akan senantiasa menjaga diri dalam keadaan
apapun.
89
Karena merasa senantiasa dalam pengawasan Allah SWT. Tentang
muraqabatullah Al-Banna mengatakan, Hendaklah engkau
senantiasa merasa diawasi Allah, mengingat akhirat,
mempersiapkan diri untuk menghadapinya, menempuh fase demi
fase perjalanan menuju keridhaan Allah dengan melakukan ibadah
sunnah, seperti: shalat malam, berpuasa minimal tiga hari tiap
bulan, memperbanyak berdzikir dengan hati maupun lisan, dan
memperhatikan doa-doa dalam berbagai kesempatan (Al-Banna,
2008: 326-327).
Adapun terkait doa-doa dalam berbagai kesempatan Al-
Banna menyusun Al-Ma‟tsurat yakni tulisan yang berisi doa-doa
yang dinukil dari Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Dalam Al-
Ma‟tsurat terdapat lima pembahasan, yakni:
a) Al-Wazhifah.
Al-Wazhifah adalah rangkaian doa yang dibaca saat pagi dan
sore yang diamalkan Rasulullah yang berasal dari ayat-ayat Al-
Qur’an dan Hadits (Al-Banna, 2009: 251).
b) Wirid Al-Qur’an (Al-Banna, 2009: 273).
Wirid Al-Qur’an berisi penjelasan Al-Banna tentang
keutamaan membaca Al-Qur’an, kadar wirid, surat-surat yang
disunnahkan untuk diperbanyak dibaca, majelis istima‟ dan
wirid hafalan.
90
c) Doa-doa siang dan malam (Al-Banna, 2009: 283).
Doa-doanya meliputi doa bangun tidur, doa memakai
dan melepas baju, doa keluar dan masuk rumah, doa berjalan
menuju ke masjid, masuk dan keluarnya, doa masuk kamar
kecil dan jima’, doa wudhu mandi dan adzan, doa makan, doa
tahajjud, sulit tidur dan mimpi, doa tidur, doa penutup shalat
dan doa penutup majelis.
d) Doa-doa ma’tsur dalam berbagai kesempatan (Al-Banna, 2009:
299).
Doa-doanya meliputi doa istikharah, doa shalat hajat,
doa safar, doa atas kejadian alam, doa pernikahan dan anak-
anak, doa terhadap apa yang dilihat, doa keselamatan dan
penghormatan, doa menghadapi rintangan kehidupan, doa sakit
menjelang wafat, dan doa shalat tasbih.
e) Wirid ikhwan yang lain (Al-Banna, 2009:315-316).
Wirid ini meliputi wirid doa berupa: istighfar) 100x,
shalawat 100x dan tahlil 100x. Kemudian wirid rabithah yang
berisi surat Ali Imran ayat 26-27 dan doa rabitahah yang
dibaca menjelang maghrib. Wirid terakhir yakni wirid
muhasabah yang dilaksanakan menjelang tidur.
c. Refleksi
Salah satu hal penting dalam membentuk akhlak yang mulia adalah
dengan rutin melakukan refleksi dalam bahasa Al-Banna adalah
91
bermuhasabah. Dengan bermuhasabah seorang muslim akan
senantiasa memperbarui taubat dan istighfar karena mengetahui apa
saja kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan dan tentunya dengan
pengetahuan tersebut ia akan berusaha untuk tidak mengulangi
kesalahan yang sama. Al-Banna mengatakan dalam wajibat al akh al
amil, “Sediakan untuk dirimu beberapa saat sebelum tidur untuk
bermuhasabah terhadap apa-apa yang telah engkau lakukan, yang baik
maupun yang buruk” (Al-Banna, 2009:181).
Muhasabah menjadi salah satu hal penting menurut Al-Banna.
Ia mengelompokkan muhasabah dalam wirid harian seorang muslim
sebagaimana yang terdapat Al-Ma’tsurat. Al-Banna mengatakan,
Muhasabah adalah usaha untuk menghadirkan kembali dalam ingatan
pada saat menjelang tidur, semua amal perbuatan yang dikerjakan
sepanjang hari. Jika seorang akh mendapatkan kebaikan maka
hendaknya ia memuji Allah. Namun, jika tidak mendapati yang
demikian maka beristighfarlah kepadaNya, memohon kepada-Nya,
kemudian memperbarui taubat, lalu tidur dengan niat yang utama (Al-
Banna, 2009:317-318).
Dengan demikian muhasabah menjadi salah satu wirid harian
yang hendaknya dilaksanakan seorang muslim, karena dengannya
seorang muslim akan memiliki upaya untuk senantiasa memperbaiki
diri.
B. Implementasi Pendidikan Akhlak Menurut Hasan Al Banna.
Hampir setiap hari ada pemberitaan tentang berbagai macam-macam
kenakalan remaja, mulai dari tawuran, penyalahgunaan narkotika, tindakan itu
92
Dalam sudut pandang kejiwaan, keadaan tersebut dapat dikatakan
berhubungan erat dengan tidak adanya ketenangan jiwa. Kegoncangan jiwa
akibat kekecewaan, kecemasan atau ketidakpuasan terhadap kehidupan yang
sedang dilalui dapat menyebabkan remaja menempuh berbagai model
kenakalan seperti hal-hal tersebut di atas, terutama bagi remaja yang tidak
atau kurang mendapatkan pendidikan agama. Kenakalan remaja juga sangat
dipengaruhi oleh pengaruh buruk berbagai media (Daradjat, 1976:117).
Pemahaman akan pendidikan agama merupakan salah satu upaya
dalam rangka pembinaan remaja. Hal tersebut karena pendidikan agama yang
diterima oleh remaja sejak kecilnya akan membentuk pribadi yang sarat akan
pemahaman agama sehingga mampu membantu remaja dalam menghadapi
berbagai kesukaran, kekecewaan dan kegoncangan dalam hidup. Selain itu,
peranan pendidikan agama adalah mampu mengendalikan keinginan-
keinginan dan dorongan-dorongan yang kurang baik. Dengan pemahaman
yang baik akan pendidikan agama tentunya remaja tumbuh menjadi remaja
yang berakhlak karimah, yang dapat mengontrol diri dengan kesadaran bukan
karena paksaan dari pihak lain (Daradjat, 1976:119).
Pendidikan akhlak menurut Al-Banna dalam risalah ta’alim berupaya
membentuk seorang muslim yang berakhlak karimah dengan semangat
bertauhid, mandiri, cerdas, iffah, sehat, toleran dan bermanfaat terhadap
sesama. Seorang muslim tak terkecuali remaja tentunya akan menjadi remaja
yang shalih dengan menerapkan konsep tersebut.
93
Pemahaman yang baik akan konsep al-ukhuwwah tentunya remaja
tidak akan berlaku tawuran, perkelahian ataupun yang sejenisnya.
Ummat yang telah bangkit sangat membutuhkan akhlak yang mulia
jiwa yang besar, dan cita-cita yang tinggi. Karena ummat tersebut akan
menghadapi berbagai tuntutan dari sebuah mesyarakat baru, suatu tuntutan
dari sebuah masyarakat yang baru, suatu tuntutan yang tidak mungkin bisa
dipenuhi kecuali dengan kesempurnaan akhlak, dan ketulusan jiwa, yang lahir
dari iman yang menghujam dalam dada, komitment yang menancap kuat
dalam hati, pengorbanan besar dan mental yang tahan uji. Hanya islamlah
yang mampu mencetak kepribadian serupa itu, dan ia pula menjadikan
kebersihan jiwa sebagai fondasi bagi bangunan kejayaan ummat. (anis matta,
2006: 86)
Dalam kajian ini dijelaskan bahwa proses pembentukan akhlak
menurut Al-Banna meliputi tiga hal yakni pemahaman, pembiasaan dan
refleksi perilaku dengan bermuhasabah. Ketiga proses tersebut saling
melengkapi satu sama lain. Ketiga proses tersebut hendaknya dapat menjadi
salah satu referensi dalam membentuk akhlak seorang muslim yang baik
secara individual maupun sosial, muslim yang tahu akan hak dan
kewajibannya terhadap Tuhan serta tidak melupakan hubungannya dengan
94
sesama manusia maupun makhluk Tuhan lainnya. Dalam bermuamalah Al-
Banna menekankan agar seorang muslim memiliki peran dalam aktivitas
sosial baik berupa materi maupun finansial sesuai kemampuan. Al-Banna juga
menekankan untuk toleran dalam menghadapi perbedaan yang ada dengan
semangat persatuan umat Islam.
Pendidikan akhlak juga memiliki beberapa fungsi dan manfaat yang
dijadikan sebagai panduan bagi seorang muslim dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.
1. Akhlak sebagai bukti nyata keimanan seseorang.
Akhlak merupakan bukti nyata dari keimanan dan keIslaman
seseorang. Apabila seseorang berakhlak mulia (akhlakul karimah) maka ia
terbukti sebagai seorang mukmin yang baik. Sedangkan apabila seseorang
berperangai yang buruk (akhlakul mazmumah) maka ia tidak pantas
disebut seorang muslim yang baik. Jadi akhlak atau perangai seseorang
dapat dijadikan alat ukur bagi kualitas keimanan dan kamusliman
seseorang. Suatu ketika Rasulullah SAW bersabda: "Sebaik-baiknya kalian
adalah kurun-ku (generasi pada masa-ku), kemudian generasi yang
berikutnya dan generasi yang berikutnya lagi”. (H.R. Al-Bukhari nomor
2651 dan Muslim nomor 4603). Hadits ini secara umum memberikan dua
gambaran bahwa generasi Islam yang terbaik itu adalah di masa hidupnya
Rasulullah SAW bersama para sahabatnya yang setia, kemudian diikuti
oleh para tabi’in dan generasi pengikut para tabi'in (Atba'ut-Tabiin).
95
Generasi inilah yang disebut dengan Salafus-Shalih, Salaful-Ummah atau
generasi yang utama (Mufadhdhil). Sebagaimana tercantum dalam firman
Allah SWT QS. Maryam ayat 58-59;
Artinya: “58. mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat
oleh Allah, Yaitu Para Nabi dari keturunan Adam, dan dari
orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari
keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah
Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. apabila dibacakan
ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, Maka
mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.59. Maka
datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-
nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka
mereka kelak akan menemui kesesatan”.
Allah SWT menggambarkan generasi yang shalih yakni generasi
yang menyatu jiwa dan raganya untuk taat kepada Allah. Ketika
disampaikan ayat-ayat-Nya kepada mereka, maka seketika itu pula hati
mereka bergetar seraya bersujud tunduk kepada Allah SWT. Kemudian
Allah SWT mengalamatkan bahwa akan datangnya generasi yang jelek
setelah itu. Generasi yang jelek ini ditandai dengan dua ciri pokok, yakni :
96
a. Generasi yang menyia-nyiakan shalat (adha'us-shalah).
Menurut Ibnu Mas'ud ra., yang dimaksud menyia-nyiakan
shalat adalah "menyia-nyiakan waktu shalat". Dari menyia-nyiakan
waktu shalat ini kemudian akan meninggalkan shalat sama sekali.
Selanjutnya Ibnu Mas'ud berkata: "Kalian (para sahabat) sedang berada
pada zaman dimana hawa nafsu tunduk kepada kebenaran. Namun
akan datang sesudah zaman ini dimana kebenaran akan tunduk kepada
hawa nafsu, maka dari itu kita berlindung dari datangnya zaman
tersebut (na'udzubillahi min dzalikaz-zaman)" (Tafsîr Al-Qurthubî).
b. Generasi yang menuruti hawa nafsunya (ittaba'usy-syahawat).
Mujahid mengungkapkan, “bahwa menjelang akhir zaman
kelak, orang-orang shalih dari ummat Muhammad menjadi langka dan
orang-orang lebih mengedepankan hawa nafsunya”. Pemandangan
keseharian secara kasat mata kita dapat menyaksikan fenomena
masyarakat yang hanya disibukkan dengan urusan dunia dan
tenggelam dengan hiburan. Mereka melalaikan shalat dan
menganggapnya sebagai hal yang tidak begitu penting. Lebih parah
lagi lahir generasi muda yang telah kehilangan identitas ke-Islamannya
sebagai akibat dari proses modernisasi. Generasi muda yang malas
beribadah dan yang dicari hanya hiburan, senangnya nongkrong di
pinggir-pinggir jalan, nonton film dan menyesaki tempat-tempat
konser. Benak mereka dipenuhi oleh khayalan, pacaran dan hiburan.
97
Kemudian lahirlah generasi yang cengeng, pemalas dan
memperturutkan hawa nafsu. Mereka rela berkorban apapun untuk
memburu hiburan. Jiwanya telah kecanduan dan ketergantungan pada
hiburan, sehingga akibatnya tidak bisa lagi diajak berfikir serius, tidak
bisa diajak merenung dan berfikir mendalam. Akhirnya, akan datang
generasi yang jelek yang memperturutkan hawa nafsunya.
2. Akhlak sebagai amalan yang paling berat timbangannya.
Rasulullah saw tidak pernah berbicara dari hawa nafsunya. Beliau
menjelaskan bahwa amalan yang paling berat di dalam timbangan seorang
mukmin pada hari kiamat adalah Akhlak yang mulia. Rasulullah bersabda:
لبغض الفاحش ء أثقل ف هزاى الوؤهي وم القاهة هي خلق حسي وإى للا ها ش
البذيء
Artinya:“Tidak ada sesuatu apapun yang paling berat di dalam timbangan
seorang mukmin pada hari kiamat nanti daripada akhlak yang mulia.
Sesungguhnya Allah sungguh membenci orang yang berkata kotor lagi
jahat.”
Allah juga telah memuji Nabi Muhammad sebagai orang yang
paling mulia akhlaknya:
وإك لعلى خلق عظن Artinya: “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang
agung”.
3. Akhlak mulia merupakan simbol segenap kebaikan.
Kebaikan adalah hal yang dapat menenangkan hati dan
menentramkan jiwa, sedangkan keburukan adalah apa saja yang
membuatkan hati ragu dan tidak tenang. Rasulullah shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda dari sahabat An-Nawwas bin Sam’an radhiyallahu „anhu,
98
طع ع ج أ ور ا حان ف فسه اخك , اإلث ابر حس
ااس
Artinya: “Kebaikan adalah akhlak yang baik, sedangkan dosa adalah apa
saja yang meragukan jiwamu dan kamu tidak suka memperlihatkannya pada orang lain.” (HR. Muslim).
4. Akhlak merupakan pilar bagi tegaknya masyarakat yang diidam-idamkan.
Karakteristik atau pilar-pilar pemerintahan Islam menurut Hasan
Al-Banna ada tiga, yaitu:
a. Tanggung jawab pemerintah, dalam arti bertanggungjawab kepada
Allah dan rakyatnya. Pemerintahan, tidak lain adalah praktek kontrak
kerja antara rakyat dengan pemerintah, untuk memelihara kepentingan
bersama.
b. Kesatuan umat, artinya memiliki sistem yang satu yaitu Islam dengan
melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan nasihat.
c. Menghormati aspirasi rakyat, artinya di antara hak rakyat adalah
mengawasi para penguasa dengan pengawasan yang seketat-ketatnya,
selain memberi masukan tentang berbagai hal yang dipandang baik
untuk mereka. Pemerintah harus mengajak mereka bermusyawarah,
menghormati aspirasi mereka, dan memperhatikan hasil musyawarah
mereka.
Hasan Al-Banna menggambarkan bahwa sumber kekuasaan adalah
satu, yaitu kehendak rakyat, kerelaan merupakan pilihan mereka secara
bebas dan suka rela. Artinya, ikhwan meyakini bahwa rakyat adalah
sumber kekuasaan. Sehingga, sistem politik atau pemerintahan
diselenggarakan sesuai dan dalam kerangka landasan-landasan tertentu
yaitu, Syura (musyawarah), hurriyah (kebebasan), musawwah(persamaan),
99
„adl (keadilan), ta‟ah (kepatuhan) dan amar ma‟ruf nahi munkar. Selain
itu, Hasan Al-Banna berpendapat bahwa anggota syuro terdiri dari tiga
komponen. Pertama, para ahli fiqh yang mujtahid, yang pernyataan-
pernyataannya diperhitungkan dalam fatwa dan pengambilan hukum.
Kedua, pakar yang berpengalaman dalam urusan publik. Ketiga, semua
orang memiliki kepemimpinan terhadap orang lain. Mereka ini disebut
dengan ahlul halli wal „aqdi. Asas-asas yang di atasnya tertegak
masyarakat muslim idaman, yang dianggap sebagai dasar-dasar reformasi
sosial yang lengkap, yaitu :
a. Memperhatikan aspek moral dan melindungi masyarakat dari tindak
kriminal dan kemungkaran.
b. Memperhatikan keluarga dan mendudukkan status perempuan secara
proporsional.
c. Menekankan kesetiakawanan, solidaritas sosial dengan berbagai
jenisnya, juga persatuan.
d. Tanggung jawab negara kepada Islam dan dakwah Islam.
e. Pemberian tanggung jawab reformasi sosial kepada individu.
5. Akhlak merupakan tujuan akhir diturunkannya Islam ke dunia.
Diturunkannya rasulullah saw di muka bumi ini karena salah satu
tujuan Allah mengutus rasulullah untuk menyempurnakan akhlak.
Sebagaimana hadits rasulullah saw :
االخالق ىار ا بعثج ألح إArtinya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemulian
akhlak”.
100
Firman Allah SWT dalam QS. Al-Anbiya ayat 107
Artinya: “dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam”.
Dari hadits dan firman Allah di atas, maka ada hubungan antara
keduanya yaitu Allah mengatakan bahwa mengutus rasulullah sebagai
rahmat bagi seluruh alam. Rasulullah-pun berkata bahwa beliau di utus
oleh Allah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak manusia.
Sesungguhnya setiap ummat yang ingin membina dan membangun
dirinya, serta bejuang mewujudkan cita-citanya serta membela agamanya,
haruslah memiliki kekuatan jiwa yang dahsyat. Kekuatan jiwa itu
terekspresikan dalam beberapa hal. Tekat membaja yang tidak pernah
melemah, kesetiaan yang teguh dan tidak pernah tersusupi penghianatan.
Pengorbanan yang tidak terbatasi oleh keserakahan dan kekikiran,
pengetahuan dan keyakinan, serta penghormatan yang tinggi terhadap
ideologi yang diperjuangkan, menawar-nawarnya dengan yang lain, atau
tertipu oleh ideolgi yang lain Sebab kelemahan suatu bangsa, karena
kelemahan hati dan jiwanya, dan karena hati mereka kosong dari akhlak
yang luhur dan sifat-sifat kesatria, sekalipun jumlah mereka sangat banyak
dan kekayaan mereka melimpah ruah. (Hasan Al-Banna,1987: 52)
101
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemikiran Hasan Al-Banna mengenai konsep pendidikan akhlak adalah
dengan terbentuknya pribadi Islami yang memiliki kriteria, yang meliputi:
Pribadi yang berakhlak kepada Allah, Pribadi yang berakhlak terhadap
sesama, pribadi yang berakhlak kepada diri sendiri.
Metode yang digunakan Al-Banna dalam membentuk pribadi yang
berakhlak Islami dalam risalah ta’alim, meliputi tiga hal: pemahaman
memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits, Sirah Nabawiyah dan Sirah Salafus
Salih; pembiasaan dalam kehidupan sehari memperbaiki kualitas shalat
memperbarui taubat dan istighfar serta muraqabatullah; refleksi perilaku
(muhasabah), senantiasa memperbaiki diri karena mengetahui kesalahan-
kesalahan yang telah diperbuat dan fungsional, dalam hal ini al Banna
mengarahkan seorang muslim agar senantiasa bermujahadah dalam menahan
hawa nafsu.
102
B. Saran
1. Kepada pemerhati pendidikan untuk berkenan mengkaji lebih mendalam
tentang konsep pendidikan Hasan Al-Banna dalam bidang akhlak dengan
mengadakan perubahan sistem pendidikan memberikan pendidikan moral
dan keagamaan kepada peserta didik.
2. Hendaknya pihak-pihak yang memiliki otoritas dalam lembaga-lembaga
pendidikan Islam berupaya untuk mengadopsi konsep pendidikan akhlak
yang digagas Al-Banna yakni pendidikan akhlak yang bersifat rabbaniyah
(ketuhanan), integral dan holistik, aktif dan membangun serta proporsional
dan seimbang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdurrahman Aleh. 2007. Teori-Teori Pendidikan dalam Al-Qur‟an (Jakarta: Rineka Cipta).
Al-Abrasyi, M. Athiyah. 1991. Dasar-Dasar Pendidikan Islam, terj. Tasirun
Sulaiman, cet. II (Ponorogo: PSIA)..
Al-Banna, Hasan. 1991. Risalat Al-Ta‟alim Wa Al-Usrah (Shabra: Dar al Nashr li al Thaba’ah al Islamiyah).
_____________. 1987. Konsep Pembaruan Masyarakat Islam, terj. Su‟adi Sa‟ad
(Jakarta: Media Dakwah).
_____________. 2004. Memoar Hasan Al-Banna, terj. Abu Ridho (Solo: Era Intermedia).
_____________. 2009. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 2, terj. Anis
Matta (Solo: Era Intermedia).
_____________. 2012. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin 1, terj. Anis Matta (Solo: Era Intermedia).
Al-Jabari, Abdul Muta'al. 1999. Pembunuhan Hasan Al-Banna (Bandung:
Pustaka, 1999).
Al-Khatib, Muhammad Abdullah. 2006. Pahlawan itu Bernama Al-Banna, terj.
Masrukhin (Depok, Pustaka Nauka).
Al-Wasyli, Abdullah Qasim. 2001. Syarah Ushul Al-„Isyrin, terj. Kamal Fauzi (Solo: Era Intermedia).
An-Nawawi, Imam. 2008. Hadits Arbain An Nawawi, terj. Muhil Mudhofir
(Jakarta: Al-I’tishom).
Arifin, Abdullah Syamsul, dkk. 2008. Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik” (Jember: Khalista).
Arifin, M. 2003. Ilmu Pendidikan Islam; Tinjauan Teoritis Dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Jakarta: Bumi Aksara).
Ashari, Rahmat Tohir. 2001. Islam Garda depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur
Tengah (Bandung: Mizan).
Assisi, Abbas. 2006. Biografi Dakwah Hasan Al-Banna, terj. Nandang Burhanudin
(Bandung: Harokatuna Publishing).
'Asyur, Ahmad Isa. 2000. Hadits Tsulasa' Ceramah-Ceramah Hasan Al-Banna, terj. Salafuddin dan Hawin Murtadho (Solo: Era Intermedia).
Daradjat, Zakiah. 1976. Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang).
_____________. 1976. Pembinaan Remaja (Jakarta: Bulan Bintang).
Departemen Agama RI. 1983. Ensiklopedia Islam di Indonesia (Jakarta: Depag
RI).
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet 1 (Jakarta: Balai Pustaka).
Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Bandung: Jumanatul
Art).
Djatnika, Rahmat. 1996. Sistem Etika Islami (Jakarta: Pustaka Panjimas).
Ekosusilo, Madyo. 1990. Dasar-Dasar Pendidikan. (Semarang: Effhar Offset
Semarang)
Hawwa, Sa’id. 2002. Membina Angkatan Mujahid: Studi Analitis atas Dakwah Hasan Al-Banna dalam Risalah Ta‟alim, terj. Abu Ridho (Solo: Era Intermedia).
J. Moleong, Lexy. 1998. Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja
Rosdakarya).
Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat (Yogyakarta: Paradigma).
Kholik dkk, Abdul. 1999. Pemikiran Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar).
Ma’shum, KH. Ali. 1983. Hujjah Ahlus Sunnah wal Jama‟ah (Jogjakarta).
Mahmud, Ali Abdul Halim. 2004. Akhlak Mulia, terj. Abdul Hayyie Al-Kattani (Jakarta: Gema Insani Press).
Marimba, Ahmad D. 1981. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung:
Al-Ma’arif).
Mitchell, Richard Paul. 2005. Masyarakat Al Ikhwan al Muslimun: Gerakan Da‟wah di Cendekiawan terj. Safrudin Edi Wibowo (Jakarta: Gema Insani Press).
Muhammad dkk, Hery. 2006. Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20,
(Jakarta: Gema Insani Press).
Nata, Abuddin. 2003. Manajemen Pendidikan (Jakarta: Prenada Media).
Nu’man, Farid. 2004. Ikhwanul Muslimin Anugrah Allah yang Terzhalimi (Depok: Pustaka Nauka).
Poerwadarminto, W.J.S. 1987. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka).
Qaradhawi, Yusuf. 1991. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna ,ter. Bustani. A Gani (Jakarta: Bulan Bintang).
Riyanto, Theo dan Martin Handoko. 2004. Pendidikan Pada Usia Dini,Tuntunan
Psikologis dan Pedagogis bagi Pendidik dan Orang tua (Jakarta : Grasindo).
Ruslan, Utsman Abdul Mu’iz. 2000. Tarbiyah Siyasiyah: Pendidikan Politik
Ikhwanul Muslimin, terj. Salafudin Abu Sayyid (Solo: Era Intermedia).
Sadily, Hasan. 1989. Enclyclopedia Indonesia ( Jakarta; CV Ikhtisar Baru).
Saputra, Ahmad Munif Surat. 2005. Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali (Jakarta:
Pustaka Firdaus).
Susanto, A. 2010. Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah).
Thahan, Musthafa Muhammad. 2007. Pemikiran Moderat Hasan Al-Banna, terj. Akmal Burhanuddin (Bandung: Harokatuna).
Thoha, M. Chabib. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar).
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka).
LAPORAN SKK
Nama : Masrul Hakim
NIM : 111-11-015
Fakultas/Jurusan : Tarbiyah/Pendidikan Agama Islam
No. Jenis Kegiatan Keterangan Pelaksanaan Nilai
1
OPAK STAIN Salatiga 2011
Peserta
20-22 Agustus
2011
2
Achievement Motivation
Training (AMT) STAIN
Salatiga 2011
Peserta
23 Agustus 2011
3
Orientasi Dasar Keislaman
(ODK) STAIN Salatiga 2011
Peserta
24 Agustus 2011
4
Entrepreneurship Koperasi
kopma. (KSEI) Agustus 2011
Peserta
25 Agustus 2011
5
UPT Perpustakaan,
User Education. Septmber
2011
Peserta
19 September 2011
6
TPA AL-IKLAS.
Gendongan, kandangan.
Mulai tugas September 2009
Tenaga
Pengajar
TPA
SK
09/P.TPA/SK/2011
7
HMI, seminar Pendidikan
Desember 2011
Peserta
28 Desember 2011
8
TPA AL-IKLAS.
Gendongan, Kandangan.
Tenaga
Pengajar
SK
10/P.TPA/SK/2012
Mulai tugas September 2009 TPA
9
TPA AL-IKLAS.
Gendongan, kandangan.
Mulai tugas September 2009
Tenaga
Pengajar
TPA
SK
11/P.TPA/SK/2013
10
TPA AL-IKLAS.
Gendongan, kandangan.
Mulai tugas September 2009
Tenaga
Pengajar
TPA
SK
12/P.TPA/SK/2014
11
Sosialisasi Penanggulangan
Hiv/Aids.
PCNU. April 2014
Peserta
6 April 2014
12
Titi Kecil
Work shop Tides art.
Agustus 2014
Peserta
26 Agustus 2014
13
Titik kecil.
Live sketch Januari 2015
Peserta
05 Januari 2015
14
TPA AL-IKLAS.
Gendongan, Kandangan.
Mulai tugas September 2009
Tenaga
Pengajar
TPA
SK
13/P.TPA/SK/2015
15
Semut Geni
Workshop Dolanan
Tradisional. April 2015
Panitia
12 April 2015
16
Karang taruna karya muda
Lomba 17san. Agustus 2015
Panitia
23 agustus 2015
17 (Diklat Banser) Peserta 27 September 2015
SATKORCAP BANSER
September 2015
18
Titi Kecil
( Tarian Pena ).
Maret 2016
Peserta
20 Maret 2016
19
Semut Geni
Pameran Dolanan
Tradisional. Mei 2016
Peserta
29 Mei 2016
20
D -Nyoet Art Work
Work Shop Komik , Juli
2016
Panitia
11 Juli 2016
21
Karang taruna karya muda
Halal-Bihalal. Juli 2016
Panitia
15 Juli 2016
22
Bung pring (mural bersama “
kemerdekaan indonesia).
Agustus 2016
Peserta
15 Agustus 2016
23
Karang taruna karya muda
Lomba 17-san. Agustus 2016
Panitia
25 Agustus 2016
24
TPA AL-IKLAS.
Gendongan, Kandangan.
Mulai tugas September 2009
Tenaga
Pengajar
TPA
SK
14/P.TPA/SK/2016
25
D –nyoet,
work shop karikatur.
Februari 2017
Panitia
6 Februari 2017
26
Karang Taruna Karya Muda
Lomba 17-san. Agustus 2017
Panitia
27 Agustus 2017
27
Seminar Nasional Mapala
Mitapasa. April 2017
Peserta
29 April 2017
28
Karang Taruna Karya Muda
Bakti Sosial. Maret 2017
Panitia
19 Maret 2017
29
Karang Taruna Karya Muda
Pelatihan Pembuatan Mainan
Tradisional. November 2017
Panitia
5 November 2017
30
Titik kecil Work Shop
Sablon. Oktober 2017
Panitia
08 Oktober 2017
31
Karang Taruna Karya Muda
Halal-halal juli 2017
Panitia
2 juli 2017
32
TPA AL-IKLAS.
Gendongan, Kandangan.
Mulai tugas September 2009
SK
15/P.TPA/SK/2017