pembuktian adanya allah menurut st.bonaventura
DESCRIPTION
Ini adalah terjemahan dari buku F.CoplestonTRANSCRIPT
1
Santo Bonaventura
Bonaventura, sama seperti
Agustinus, pada dasarnya
tertarik dengan hubungan
jiwa manusia yag menuju
kepada Allah. Ketertarikan
ini mempengaruhi
penjelasannya tentang bukti
akan adanya Allah. Pertama-
tama, ia memperlihatkan
bukti-bukti ini sebagai tahap-
tahap jiwa yang mengarah
pada Allah atau
menjelaskannya dalam kerangka naiknya jiwa kepada Allah. Mesti disadari pula
bahwa Allah yang dibuktikan itu bukanlah suatu prinsip abstrak inteligibilitas, tapi
lebih pada Allah dalam kesadaran orang Kristen, dimana orang Kristen berdoa
padaNya. Secara ontologis tidak dimaksudkan pula Allah (bagi seorang filsuf) dan
Allah (dalam pengalaman orang Kristen yang berbeda atau yang tidak dapat
diperdamaikan antara keduanya). Bonaventura hanya tertarik pada Allah sebagai
Objek (Sasaran) penyembahan dan doa sebagai tujuan jiwa manusia.
Bonaventura lebih cenderung untuk membuat banyak bukti yang menarik perhatian
pada perwujudan diri Allah, apakah berada dalam dunia material atau dalam jiwa
manusia itu sendiri. Namun, sebenarnya Bonaventura lebih menekankan pada bukti-
bukti dari dalam (jiwa manusia itu sendiri) daripada bukti-bukti dari dunia material,
dari ketiadaan. Tentu saja Bonaventura membuktikan adanya Allah dari dunia
ekternal-sensibilis (seperti St.Agustinus) dan ia menunjukkan darimana pengetahuan
akan keterbatasan, ketidaksempurnaan, campuran atau gabungan, ada manusia yang
bergerak dan kontigens ini melalui pemahaman akan yang tak terbatas, sempurna,
satu, tak berubah, dan Ada yang mutlak. Tapi bukti-bukti itu tidak dielaborasi secara
sistematis. Alasannya bukan karena ketidakmampuan Bonaventura untuk
menguraikannya, tapi karena kayakinannya bahwa eksistensi Allah begitu jelas bagi
2
jiwa dengan merenungkan dirinya sendiri seperti katanya, “Coeli enarrant gloriam
Dei, et opera manuum eius annuntiat firmamentum.” Jelaslah bahwa
ketidaksempurnaan dari yang terbatas dan kontigens meminta dan membuktikan
adanya kesempurnaan mutlak, Allah. Tapi, bagi Bonaventura dapat dipertanyakan
(dalam cara Platonis), “Bagaimana intelek – rasio – manusia dapat tahu bahwa ada-
nya itu cacat dan tidak sempurna jika ia tidak memiliki pengetahuan akan Ada yang
tanpa cacat?” Dengan kata lain, ide ketidaksempurnaan mengandaikan ide
kesempurnaan, sehingga ide kesempurnaan ini tidak dapat diperoleh semata-mata
dengan cara negasi dan abstraksi. Inilah yang membuat manusia sebagai mahkluk
ciptaan yang mengandung keterbatasan dan ketidaksempurnaan ini mampu
mengangkat dan membawa jiwa pada kesadaran yang lebih jelas dari hal-hal yang
telah jelas baginya.
Bonaventura tidak menyangkal
bahwa adanya Allah dapat
dibuktikan dari alam ciptaan.
Sebaliknya, ia malahan
menegaskan hal ini. Dalam
komentar tentang Sentence,
Bonaventura menyatakan bahwa
Allah dapat diketahui melalui alam
ciptaan, seperti Sebab melalui
akibat, dan ia mengatakan bahwa
cara berpikir demikian adalah
kodrat manusia lantaran bagi
manusia hal-hal sensibilis adalah cara agar kita sampai pada pegetahuan Inteligibilia,
yaitu objek-objek yang melampaui panca indera. Akan tetapi, Tri Tunggal Allah tak
dapat dibuktikan dengan cara yang sama oleh kodrat akal budi, lantaran kita tak dapat
menyimpulkan Trinitas ini dengan menyangkal hal-hal tertentu atau batasan-batasan
alam ciptaan atau dengan cara positif yang menghubungkan Allah dengan kualitas
alam ciptaan tertentu. Bonaventura dengan cukup jelas mengajarkan kemungkinan
akan suatu pengetahuan filosofis dan natural mengenai Allah. Dan perkataannya
mengenai dasar psikologis bagi pendekatan pada Allah melalui objek-objek sensibilis
rupanya merupakan gaya atau berkarakter Aristotelian. Lagian, dalam In
3
Hexaemeron, Bonaventura berpendapat bahwa jika ada suatu ada yang dihasilkan,
mestilah ada suatu Ada pertama karena harus ada suatu sebab. Jika ada ini ab alio
(dari luar), pastilah Ada a se (dari dirinya), jika ada suatu ada yang bergabung,
pastilah Ada yang simpla (satu), jika ada suatu ada yang dapat berubah, pastilah Ada
yang tak dapat berubah, Quia mobile reducitur ad immobile (yang bergerak
diturunkan dari yang tidak bergerak). Pernyataan yang terakhir ini dengan jelas sekali
merupakan sebuah rujukan atau acuan pada bukti Aristotelian mengenai adanya
penggerak yang tidak digerakkan. Agaknya, Bonaventura menyebut Aristoteles hanya
untuk mengatakan bahwa ia berpendapat demikian untuk merujuk pada hubungannya
dengan keabadian (eternal) setelah dunia ini.
Agaknya dalam De Mysterio Trinitatis Bonaventura memberikan seperangkat
argumen yang pendek untuk menunjukkan dengan jelas bagaimana alam ciptaan ini
menyatakan adanya Allah. Misalnya, jika ada ens ab alio (ada dari yang lain), pastilah
ada ens non ab alio (ada yang tidak dari yang lain), karena tidak ada yang dapat
membawa dirinya keluar dari keadaan ketiadaan (non-being) ke keadaan ada (being),
dan akhirnya pastilah Ada pertama yang dapat mengadakan dirinya sendiri (self-
existent). Lagian, jika ada ens possibile (ada yang mungkin), ada yang dapat ada dan
dapat tidak ada, pastilah ada ens necessarium (ada yang mutlak), ada yang tidak
memiliki kemungkinan untuk tidak ada, so Ada Mutlak harus ada. Ini mutlak ada
untuk menjelaskan penarikan kesimpulan ada yang mungkin ke dalam suatu keadaan
ada. Dan jika ada ens in potentia (ada potensia), pastilah ada ens in actu (ada aktus),
karena tidak ada potensia yang dapat direduksi pada suatu tindakan lewat agent yang
dari dirinya sendiri in actu. Pada akhirnya, pastilah ada actus purus, suatu Ada yang
murni aktus, tanpa potensialitas, yakni Allah. Lagian, jika ada ens mutabile, pastilah
ada ens immutabile karena, seperti yang Aristoteles jelaskan, gerakan mempunyai
sebagai prinsipnya suatu ada yang tidak digerakkan dan berada demi ada yang tidak
digerakkan itu, yang merupakan sebab terakhir (Causa Prima, Final Cause).
4
Ini tampak dari bagian berikut ini di mana Bonaventura menggarap argumen-argumen
Aristoteles, yaitu pernyataan-pernyataan tentang akibat yang Bonaventura pikirkan
sebagai kesaksian alam ciptaan terhadap adanya Allah dalam jiwa yang mengarah
pada Allah dan bahwa Bonaventura melihat adanya Allah sebagai kebenaran yang
jelas dari dirinya sendiri. Tapi Bonaventura menjelaskannya ini di tempat lain.
Bonaventura menganggap dunia sensibilis ini sebagai cermin Allah dan pengetahuan-
inderawi atau pengetahuan yang didapatkan lewat indera dan cerminan untuk objek-
objek yang dapat diinderawi sebagai langkah pertama dalam kenaikan jiwa pada tahap
yang paling tinggi yang darinya kehidupan ini merupakan pengetahuan eksperimental
tentang Allah dengan suatu cara apex mentis atau synderesis scintilla (pada poin ini ia
menunjukkan dirinya setia pada tradisi Agustinus dan Viktorinus), sementara di
dalam artikel yang sama (De Mysterio Trinitatis) di mana Bonaventura memberikan
bukti-bukti yang telah disebutkan tadi, ia menegaskan bahwa adanya Allah pasti
merupakan suatu kebenaran yang pada dasarnya ditanam dalam pikiran manusia
(quod Deum esse sit menti humanae indubitabile, tanquam sibi naturaliter
insertum). Ia lalu menyatakan bahwa, disamping apa yang telah ia tegaskan pada
masalah ini, ada cara kedua untuk menunjukkan bahwa eksistensi Allah merupakan
5
kebenaran yang sudah pasti. Cara kedua ini tercapai dengan menunjukkan bahwa apa
yang setiap ciptaan nyatakan merupakan kebenaran yang pasti, dan pada poin ini
Bonaventura memberikan bukti-bukti atau keberhasilan indikasinya dimana setiap
ciptaan sungguh-sungguh menyatakan adanya Allah. Selanjutnya, ia menambahkan
bahwa ada cara ketiga yang
menunjukkan bahwa adanya Allah
tak dapat diragukan dan
Bonaventura lalu memberikan suatu
versi dari bukti Anselmus dalam
Proslogium. Tidak dapat diragukan
bahwa Bonaventura menegaskan
adanya Allah merupakan bukti yang
jelas pada dirinya.
Pada tahap pertama, Bonaventura tidak mengandaikan bahwa setiap orang
mempunyai pengetahuan yang eksplisit dan jelas mengenai Allah, lebih kurang ia
mempunyai pengetahuan demikian dari kelahirannya atau saat mulai menggunakan
akal budinya. Bonaventura sangat sadar akan adanya pemuja-pemuja berhala dan
Insipiens, orang bodoh yang dalam hatinya mengatakan bahwa tidak ada Allah. Tentu
saja adanya pemuja-pemuja berhala ini tidak menyebabkan banyak kesulitan lantaran
para pemuja berhala dan orang pagan tidak begitu menyangkal adanya Allah karena
memiliki gagasan yang salah mengenai Allah. Tapi apakah Insipiens itu? Yang
terakhir, misalnya, melihat bahwa orang yang tidak beriman itu tidak selalu dihukum
di dunia ini atau paling tidak bahwa mereka tampaknya lebih baik di dunia ini
daripada banyak orang baik, dan ia menyimpulkan dari hal ini bahwa tidak ada
penyelenggaraan ilahi, tidak ada peraturan ilahi terhadap dunia ini. Lagian, secara
ekplisit ia menegaskan ketika menjawab keberatan bahwa tidak perlu membuktikan
suatu eksistensi yang sudah jelas dari sendirinya, yang tentangNya tidak ada seorang
pun ragu atau sanksi, bahwa adanya Allah sudah pasti sejauh bukti objektif
diikutsertakan. Hanya dapat diragukan propter defectum considerationis ex parte
nostra lantaran keinginan dari pertimbangan dan permenungan yang perlu demi diri
kita. Bukankah ini terlihat seolah-olah Bonaventura sedang mengatakan tidak lebih
dari bahwa dengan berbicara atau mengatakan secara objektif, adanya Allah sudah
pasti (yaitu bukti yang ketika dipikirkan itu sudah pasti dan konklusif), tapi bahwa
6
dengan berbicara secara subjektif hal ini dapat diragukan (karena manusia ini atau
manusia itu tidak memberikan perhatian yang cukup pada bukti objektif), dan jika ini
apa yang Bonaventura maksudkan ketika ia mengatakan bahwa eksistensi Allah itu
sudah pasti dan jelas dari dirinya sendiri, bagaimana posisinya itu berbeda dari Tomas
Aquinas?
Tampaknya jawabannya adalah ini. Walapun Bonaventura tidak mengandaikan benar
sebuah gagasan yang eksplisit dan jelas mengenai Allah dalam setiap manusia,
agaknya ada visi atau pengalaman akan Allah, di mana ia tentu saja mengandaikan
benar suatu kesadaran yang suram tentang Allah dalam setiap manusia, sebuah
pengetahuan implisit yang tidak dapat sepenuhnya disangkal dan yang dapat menjadi
suatu kesadaran yang eksplisit dan jelas lewat refleksi interior sendiri, sekalipun
terkadang perlu didukung oleh permenungan atas dunia sensibilis. Pengetahuan
universal tentang Allah oleh karena itu bersifat implisit, tidak eksplisit. Tapi implisit
dalam arti bahwa paling tidak ia dapat dibuat eksplisit melalui refleksi interior sendiri.
Tomas Aquinas mengakui adanya pengetahuan implisit tentang Allah, tapi dengan ini
ia memaksudkan bahwa pikiran mempunyai kekuatan untuk sampai pada pengetahuan
akan adanya Allah lewat permenungan hal-hal inderawi dan dengan mengatakan dari
akibat menuju sebab – mengingat Bonaventura memaksudkan sesuatu lebih dengan
pengetahuan implisit ini – yaitu pengatahuan sebenarnya akan Allah, suatu kesadaran
yang suram yang dapat dibuat eksplisit tanpa dibantu (penolong) dengan atau oleh
dunia sensibilis.
Aplikasi dari pandangan ini terhadap
soal-soal konkret Bonaventura
menjadikan pemahaman itu lebih mudah
dimengerti. Misalnya, setiap manusia
mempunyai keinginan dasar untuk
kebahagian (appetitus beatitudinis). Tapi
kebahagian tercapai dalam Kebaikan
Tertinggi, yaitu Allah. Oleh sebab itu
setiap manusia mengingini Allah. Tapi
tak mungkin dapat ada suatu keinginan tanpa suatu pengetahuan akan objek (sine
aliquali notitia). Oleh karena itu, pengetahuan bahwa Allah atau Kebaikan Tertinggi
7
ada pada dasarnya telah ditanam dalam jiwa. Agaknya, jiwa rasional ini mempunyai
pengetahuan dasar akan dirinya sendiri, karena ia hadir untuk dirinya dan dapat
diketahui oleh dirinya. Oleh sebab itu pengetahuan akan Allah demikian telah ditanam
dalam jiwa. Jika dipikirkan jiwa merupakan sebuah objek yang sebanding bagi
kekuatan untuk mengetahuinya dirinya sendiri. Tapi, apakah memang demikian? Jika
itu benar, jiwa justru tidak dapat pernah sampai pada pengetahuan akan Allah – yang
ternyata pikiran ini memang tidak dapat dipertahankan.
Sehubungan dengan argumen di
atas, kehendak manusia pada
dasarnya diorientasikan pada
kebaikan tertinggi, yakni Allah, dan
bukan hanya bahwa orientasi
kehendak ini tak dapat dijelaskan
kecuali melalui Kebaikan Teritnggi.
Allah sungguh-sungguh ada tapi ini
juga mengandaikan benar suatu
pengetahuan apriori akan Allah.
Pengetahuan ini tidak secara perlu
eksplisit atau jelas, karena
seandainya pun tidak ada ateistis,
hal ini justru implisit dan samar-samar. Jika diobjekkan bahwa suatu pengetahuan
implisit dan kabur ini bukanlah pengetahuan sama sekali, dapat dijawab bahwa
seseorang yang tanpa prasangka yang merenungkan orientasi kehendaknya terhadap
kebahagian dapat menyadari bahwa arah kehendaknya itu menyatakan secara tidak
langsung eksistensi objek yang menjadi tujuannya dan bahwa objek ini – kebaikan
sempurna – harus ada, yakni yang kita sebut Allah. Ia akan menyadari bahwa bukan
hanya dalam mencari kebahagian ia mencari Allah, tapi bahwa pencarian ini
menyatakan suatu kecondongan atau kecendrungan pada Allah, karena tidak dapat
ada pencarian untuk hal yang seluruhnya tidak diketahui. Oleh karena itu, dengan
merenungkan dirinya sendiri, ketergantungannya sendiri dan dan keinginannya sendiri
untuk kebijaksanaan, kedamaian, jiwa dapat mengetahui adanya Allah dan bahkan
kehadiran Allah, aktivitas Allah di dalamnya: tak perlulah baginya untuk mencari di
luar, hanya mengikuti saran Agustinus dan masuk dalam dirinya, saat ia melihat
8
bahwa tidak pernah tanpa suatu kecenderungan, suatu kesadaran suram, suatu
pengetahuan sebenarnya akan Allah. Untuk menggapai kebahagian (setiap manusia
pastilah mencari kebahagian) dan menyangkal adanya Allah sungguh-sungguh suatu
kontradiksi, menyangkal dengan mulut dari apa yang ia tegaskan dengan kehendak,
dan paling tidak dalam hal kebijaksanaan, dengan intelektual. Tapi ini tetap terbuka
pada keberatan yang cukup meyakinkan bahwa jika tidak ada Allah, maka hasrat
mencapai kebahagian menjadi frustra atau justru memiliki sebab lain selain adanya
Allah itu sendiri. Paling tidak hal ini jelas bahwa Bonaventura tidak mengandaikan
sebagai benar adanya ide bawaan sejak lahir mengenai Allah dalam bentuk kasar yang
nantinya akan diserang John Locke. Lagipula, ketika Bonaventura menyatakan
bahwa jiwa mengetahui Allah yang hadir pada dirinya, Bonaventura tidak
menegaskan ontologisme atau mengatakan bahwa jiwa melihat Allah seketika itu
juga: ia memaksudkan bahwa jiwa, dengan mengetahui ketergantungannya,
mengenali, jika ia mencerminkan, bahwa jiwa adalah citra atau gambaran Allah. Jiwa
melihat Allah dalam gambaranNya. Karena secara niscaya jiwa mengetahui dirinya
sendiri, ia sadar akan dirinya, niscaya mengetahui Allah paling tidak dengan cara
implisit. Dengan merenungkan dirinya sendiri ia dapat membuat kesadaran implisit
ini menjadi eksplisit tanpa rujukan pada dunia eksternal. Apakah tidak adanya rujukan
pada dunia eksternal ini lebih dari formal, dalam arti bahwa dunia eksternal tidak
secara eksplisit disebutkan, barangkali dapat dipertanyakan.
Kita telah melihat bahwa
bagi Bonaventura argumen
yang sama ini, yakni dari
dunia eksternal
mengandaikan suatu
kesadaran akan Allah,
karena ia menanyakan
bagaimana pikiran dapat
mengetahui bahwa hal-hal
sensibilis bersifat cacat dan
tidak sempurna jika ia tidak
mempunyai kesadaran sebelumnya akan kesempurnaan, dibandingkan dengan bahwa
ia mengetahui ketidaksempurnaan alam ciptaan. Poin pandangan ini mesti dilahirkan
9
dalam pikiran ketika mempertimbangkan pernyataan bukti-bukti Anselmus, yang ia
ambil dari Proslogium.
Dalam Komentar tentang Sentences, Bonaventura melanjutkan argumen Anselmus.
Allah adalah “Itu yang darinya tidak ada yang lebih besar lagi yang dapat
dipikirkan”. Tapi bahwa itu yang tidak dapat dipikirkan (supaya) itu tidak ada adalah
lebih besar daripada itu yang dapat dipikirkan (supaya) tidak ada. Oleh sebab itu,
karena Allah adalah itu yang darinya tidak ada yang lebih besar lagi yang dapat
dipikirkan, Allah tidak dapat dipikirkan tidak ada. Di dalam De Mysterio Trinitatis, ia
mengutip dan menyatakan argumen yang agaknya lebih luas dan menjelaskan bahwa
keraguan dapat muncul jika seseorang memiliki gagasan yang keliru tentang Allah
dan tidak menyadari bahwa Allah adalah itu yang darinya tidak ada yang lebih besar
lagi yang dapat dipikirkan. Sekaligus pikiran menyadari apakah gagasan Allah ini,
bahwa ia juga harus menyadari bukan hanya bahwa adanya Allah tidak dapat
diragukan, tapi juga bahwa ketiadaanNya bahkan tidak dapat dipikirkan. Berkenaan
dengan keberatan Gaunilo tentang suatu pulau terbaik dari semua pulau yang
mungkin, Bonaventura menjawab bahwa tidak ada kesamaan, karena sementara tidak
ada kontradiksi yang terlibat dalam konsep Ada yang darinya tidak ada yang lebih
besar lagi dapat dipikirkan gagasan suatu pulau yang darinya tidak ada yang lebih
baik lagi yang dapat dipikirkan merupakan suatu kontradiksi intermis (Oppositio In
Adiecto), karena pulau adalah ada yang tidak sempurna mengingat ‘yang darinya tidak
ada lagi yang lebih baik yang dapat dipikirkan’ merupakan suatu ada sempurna.
Metode argumen ini tampak murni
bersifat dialektis, tapi seperti yang
telah disebutkan, Bonaventura
tidak menganggap ide
kesempuraan itu sebagai yang
diperoleh semata melalui negasi
terhadap ketidaksempurnaan alam
ciptaan, tapi sebagai sesuatu yang
diandaikan oleh pemikiran kita
mengenai ketidaksempurnaan alam
10
ciptaan, paling tidak dalam arti bahwa hasrat manusia akan kesempurnaan
menyatakan secara tidak langsung kesadaran sebelumnya. Sehubungan dengan tradisi
Plato-Agustinus Bonaventura mengandaikan suatu gagasan bawaan akan
kesempurnaan yang tidak dapat lain kecuali jejak Allah pada jiwa manusia, bukan
dalam arti bahwa jiwa itu sempurna tapi dalam arti bahwa jiwa menerima ide
kesempurnaan atau membentuk ide kesempurnaan dalam terang Allah, lewat
penerangan ilahi. Ide ini bukanlah sesuatu yang bersifat negatif, perwujudan dari
eksistensi konkret yang dapat disangkal, karena kehadiran ide itu sendiri niscaya
menyatakan eksistensi Allah. Paling tidak pada poin ini kita mencatat kemiripan
antara ajaran Bonaventura dan Descartes.
Argumen yang sering digunakan Agustinus untuk pembuktian adanya Allah berasal
dari kebenaran dan adanya kebenaran-kebenaran eksternal: Bonaventura
menggunakan argumen ini juga. Misalnya, setiap pernyataan afirmatif menegaskan
sesuatu sebagai benar, tapi penegasan kebenaran tersebut menegaskan juga sebab dari
seluruh kebenaran. Sekalipun seseorang mengatakan bahwa manusia itu debu,
pernyataan ini apakah benar atau salah, menegaskan adanya kebenaran utama, dan
sekalipun manusia itu menyatakan bahwa tidak ada kebenaran, ia menegaskan negasi
ini sebagai benar dan menyatakan adanya dasar dan sebab dari kebenaran. Tidak ada
kebenaran yang dapat dilihat dari kebenaran pertama, dan kebenaran yang lewatnya
setiap kebenaran lainnya dilihat, merupakan kebenaran yang pasti. Oleh karena itu,
karena kebenaran pertama itu adalah Allah, adanya Allah itu sudah pasti dan tak dapat
diragukan.
Tapi disini sekali lagi Bonaventura tidak mengejar semata suatu argumen verbal dan
dialektis belaka. Di dalam In Hexaemeron, dimana ia menjelaskan bahwa manusia
yang mengatakan bahwa tidak ada kebenaran bertentangan dengan dirinya sendiri,
karena ia menegaskan itu sebagai benar bahwa tidak ada kebenaran, ia mengatakan
bahwa terang atau cahaya jiwa adalah kebenaran yang menerangi jiwa sehingga jiwa
tak dapat menyangkal adanya kebenaran tanpa bertentangan dengan dirinya, dan di
dalam Itinerarium Mentis In Deum Bonaventura menegaskan bahwa pikiran dapat
memahami kebenaran abadi dan menarik kesimpulan yang pasti dan niscaya hanya di
dalam terang ilahi. Intelektual tidak dapat memahami kebenaran dengan suatu
kepastian di bawah bimbingan Kebenaran itu sendiri. Untuk menyangkal adanya
11
Allah bukanlah semata suatu kesalahan
dari sebuah pertentangan dialektis; ia
juga menyangkal adanya Sumber cahaya
itu yang niscaya bagi kepastian pikiran
untuk mencapai Allah, cahaya quae
illuminat omnem hominem venientem
in hunc mundum: itu juga menyangkal
Sumber atas nama itu yang berasal dari
Sumber.