pembinaan mental agama dalam membentuk perilaku...
TRANSCRIPT
PEMBINAAN MENTAL AGAMA
DALAM MEMBENTUK PERILAKU PROSOSIAL
PONDOK PESANTREN ISTIGHFAR
PERBALAN PURWOSARI SEMARANG
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI)
Camroni 1102025
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2008
NOTA PEMBIMBING Lamp : 5 bendel Hal : Persetujuan Naskah Skripsi
Kepada Yth. Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Di Semarang
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Setelah membaca, mengoreksi dan mengadakan perbaikan sebagaimana
mestinya, maka kami menyatakan bahwa naskah Skripsi Saudara:
Nama : CAMRONI Nim : 1102025 Jurusan : BPI (Bimbingan dan Penyuluhan Islam) Judul Skripsi : PEMBINAAN MENTAL AGAMA DALAM
MEMBENTUK PERILAKU PROSOSIAL SANTRI PONDOK PESANTREN “ISTIGHFAR” PERBALAN PURWASARI SEMARANG
Maka dari itu kami mohon naskah skripsi atas nama mahasiswa tersebut di
atas agar segera disidangkan.
Demikian nota ini kami buat, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Semarang, 15 November 2007 Pembimbing Bidang Subtansi Materi Bidang Metodologi & Tata tulis
Drs. Djasadi, M. Pd Dra. Maryatul Qibttyah, M.Pd NIP. 150 057 618 NIP. 150 280 102
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri
dan didalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi di lembaga lainnya. Pengetahuan yang
diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang belum/ tidak diterbitkan, sumbernya
dijelaskan di dalam tulisan dan daftar pustaka.
Semarang, 13 Desember 2007
Camroni 1102025
MOTTO
Sesungguhnya Sesudah Kesulitan Itu Ada Kemudahan.
(QS. Alam Nasyrah: 6)
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
Ayahanda Aris dan Ibunda Rumanah yang telah mencurahkan kasih
sayangnya, do’a restunya serta dukungan baik moral maupun material
sehingga terselesaikannya skripsi ini.
Drs K.H. Ahmad Khadlor Ihsan yang telah memberikan do’a restunya
sehingga terselesaikanya skripsi ini.
Adinda tercinta Mustakimah, Risalatun Nisa, dan Imam Ghozali yang
telah memberikan dukunganya sehingga terselesaikanya skripsi ini.
Teman-teman senasip seperjuangan dalam tolabul ilmi baik di pondok
pesantren Al-Ishlah maupun di IAIN Walisongo yang telah memberikan
dukungan sehingga terselesaikannya skripsi ini.
Teman-teman satu angkatan yang selalu memberikan sportnya: Marjuki,
Priatin, Samsul Maarif, Fitroh Nurhidayatullah, Wifayatun Nuroniyah,
Susi Susilawati sehingga terselesaikannya skripsi ini.
Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
ABSTRAK Penelitian ini adalah untuk mengetahui pembinaan mental agama dalam
membentuk perilaku prososial santri yang dilakukan di Pondok Pesantren “Istighfar” Perbalan Purwasari Semarang. Pengkajian pembinaan mental agama sudah banyak dilakukan peneliti sebelumnya akan tetapi penulis menitik beratkan pada perilaku prososial santri yang terbentuk dari pembinaan mental agama Pondok Pesantren “Istighfar” Perbalan Purwasari Semarang.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif, dengan pola pikir deduktif induktif, yaitu untuk memperoleh data secara khusus dari dasar-dasar yang bersifat umum dan untuk memperolah data dari fakta-fata yang khusus, pristiwa yang kongkrit kemudian ditarik generalisasi-generalisasi yang mempunyai sifat umum. Data yang telah terkumpul secara lengkap dari obyek penelitian kemudian dianalisis, yaitu dikerjakan dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga penelitian berhasil mengumpulkan data yang diajukan dalam penelitian.
Dari hasil penelitian, menunjukan pembinaan mental agama dalam membentuk perilaku prososial santri (mantan preman) di Pondok Pesantren “istighfar” Perbalan Purwasri Semarang, meliputi tolong-menolong menyantuni yatim piatu, donor darah dan lain sebagainya (perintah Allah), tidak mengulangi tindak kriminal seperti: mencuri, merampok, memeras, menyakiti orang lain (larangan Allah).
Pembinaan mental agama yang dilakukan di Pondok Pesantren “istighfar” Perbalan Purwasari Semarang dilakukan dengan pendekatan pada rukun iman, pendekatan pada rukun Islam, Puasa (riyadhoh), pembenahan diri (pembentukan pribadi yang luhur). Perilaku prososial hasil dari pembinaan mental agama dirasakan oleh santri bahwa orang lain adalah juga dirinya sendiri karena sesama umat Islam merupakan satu tubuh, satu kesatuan yang utuh apabila satu anggota tersakiti maka anggota yang lainnya merasa tersakiti.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrahim
Rasa syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah rabbulizati, yang telah
memberikan segala rahmat dan hidayat kepada hamba-Nya walaupun sering
berbuat khilaf. Atas ridha dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulisan
skripsi ini dapat terselesaikan, serta dapat dibaca dan ditelaah oleh para pembaca
dan pemerhati pendidikan Islam. Shalawat serta salam semoga tercurahkan
kepada sebaik-baik ciptaan Nabi Agung Muhammad S.A.W. Senoktah
keniscayaan syafaatnya yang kita yakini dapat menolong kita semua ketika kita
tidak dapat berbuat apa-apa.
Kesuksesan tidak dapat dicapai kecuali dengan kerja keras dan tekat yang
bulat, cita-cita takkan terlaksana apabila tidak ada upaya untuk menggapainya.
Kerja keras, tekat yang bulat, keinginan yang menggebu sehingga
terselesaikannya skripsi ini. Tidak ada kata yang pantas keluar kecuali
alhamdulillah penulis ucapkan.
Sehubungan dengan terselesaikanya skripsi ini penulis dengan sepenuh
hati menyampaikan terimakasih kepada:
1) Prof. D.R. H. Abdul Djamil, M.A, selaku rektor IAIN Walisongo Semarang.
2) Drs. H. Zein Yusuf, M.M, selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo
Semarang.
3) Drs. Djasadi, M.Pd dan Dra. Maryatul Qibttyah, M.pd selaku pembimbing,
yang rela meluangkan waktunya, memberikan arahan dan bimbingannya
sehingga terselesaikan skripsi ini.
4) Segenap bapak dan ibu dosen beserta staf karyawan dan karyawati civitas
akademik Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang yang telah
membagikan pengalaman hidup dan ilmunya serta meluangkan waktunya,
dalam penulisan skripsi ini.
5) Gus Tanto selaku Pimpinan Pondok Pesantren “Istighfar” serta keluarga besar
Pondok Pesantren “Istighfar” Perbalan Purwasari Semarang yang telah
membantu dan memberikan informasi dalam pembuatan skripsi ini.
6) Dan segenap pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan skripsi
ini.
Semoga amal ibadah mereka diterima Allah S.W.T. dan mendapatkan imbalan
yang berlipat ganda.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna,
maka kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi
penyempurnaannya. Akhirnya hanya kepada Allah lah penulis berdo’a semoga
skripsi ini memberikan manfaat pada penulis dan pada semua pembaca. Amin ya
rabbal Alamiin…
Semarang, 13 Desember 2007
Penulis
CAMRONI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING ........................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................... iv
HALAMAN MOTTO ................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................... vi
HALAMAN ABSTRAKSI ........................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................. x
Bab I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ...................................................................... 5
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 5
1.4. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 6
1.5. Metode Penelitian ....................................................................... 8
1.6. Sistematika Penulisan ................................................................ 12
BAB II. PEMBINAAN MENTAL AGAMA DALAM MEMBENTUK
PERILAKU PROSOSIAL
2.1.Pengertian Tujuan dan Fungsi Pembinaan Mental Agama .. 15
2.1.1. Pengertian Pembinaan Mental Agama .......................... 15
2.1.2. Tujuan, Fungsi, Metode dan Materi Pembinaan
Mental Agama ................................................................ 18
2.2.Perilaku Prososial ....................................................................... 27
2.2.1. Pengertian Perilaku Prososial ........................................ 27
2.2.2. Bentuk-Bentuk Perilaku Prososial ................................. 30
2.2.3. Faktor-Faktor Yang Melandasi Perilaku Prososial ..... 31
2.2.4. Motivasi Untuk Bertindak Prososial ............................. 32
2.3. Pembinaan Mental Agama dalam Membentuk Perilaku
Prososial ...................................................................................... 34
BAB III. PEMBINAAN MENTAL AGAMA DALAM MEMBENTUK
PERILAKU PROSOSIAL SANTRI PONDOK PESANTREN
ISTIGHFAR
3.1.Gambaran Umum Pondok Pesantren Istighfat ....................... 38
3.1.1. Sejarah Pondok Pesantren Istighfat............................... 33
3.1.2. Letak Geografis Pondok Pesantren Istighfar
Semarang ........................................................................ 39
3.1.3. Sarana dan Prasarana Pondok Pesantren Istighfar ... 40
3.1.4. Keadaan Santri Pondok Pesantren Istighfar ................ 43
3.1.5. Aktifitas Pondok Pesantren Istighfar ............................ 45
3.1.6. Visi dan Misi Pondok Pesantren Istighfar .................... 48
3.1.7. Tujuan Pondok Pesantren Istighfar .............................. 49
3.2.Pembinaan Mental Agama Dalam Membentuk Perilaku
Prososial Santri Pondok Pesantren Istighfar .......................... 50
3.2.1. Pembinaan Mental Agama Pondok Pesantren
Istighfar............................................................................. 50
3.2.2. Pembentukan Perilaku Prososial Santri Pondok
Pesantren Istighfar .......................................................... 60
BAB IV. ANALASIS TERHADAP PEMBINAAN MENTAL AGAMA
MEMBENTUK PERILAKU PROSOSIAL
4.1.Analisis Pembinaan Mental Agama Pondok Pesantren
Istighfar .................................................................................... 68
4.2.Analisis Pembinaan Mental Agama Dalam Membentuk
Perilaku Prososial Santri Pondok Pesantren Istighfar ........ 71
BAB V PENUTUP
5.1.Kesimpulan .................................................................................. 74
5.2.Saran-Saran ................................................................................. 75
5.3.Penutup ........................................................................................ 76
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BIODATA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam menjalankan kehidupan manusia tidak bisa lepas dari masalah.
Semakin besar atau banyak urusan seseorang akan semakin besar pula
masalah yang akan dihadapinya, tidak memandang orang tua, dewasa, anak
laki-laki atau perempuan atau pun remaja. Tentunya masing-masing dengan
intensitas problem yang berbeda-beda. Islam adalah agama dakwah yang
harus di sampaikan kepada seluruh manusia. Maka dakwah merupakan ajaran
pada umat dengan hikmat kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan
Rasul-Nya (Ahmad, 1985: 22).
Pembinaan mental agama terhadap santri tidaklah dimulai di pondok
pesantren saja melainkan keluarga pun berperan sangat dominan. Sejak anak
lahir ke dunia mulailah ia menerima didikan-didikan dan perlakuan-perlakuan
yang mendidik, yaitu di mulai dari ibu bapaknya kemudian dari keluarga yang
lain, yang semua itu memberikan dasar-dasar pembentukan kepribadiannya.
Pembinaan dan kepribadian itu ditambah dan disempurnakan oleh instansi
pondok pesantren (Daradjat, 1989: 127).
Ilmu pengetahuan pada akhir-akhir ini ditandai dengan kemajuan dan
teknologi telah membawa perubahan-perubahan bagi masyarakat, terutama
dalam kehidupan sehari-hari, pada gilirannya perubahan tersebut akan
membawa dampak positif sekaligus negatif. Dampak positif dari modernisasi
2
antara lain adanya perubahan tata nilai dan tata kehidupan yang serba keras,
bahkan tradisi nenek moyang yang dikenal beradab telah terkikis oleh budaya
yang serba modern. Salah satu keprihatinannya adalah munculnya pergaulan
bebas dikalangan remaja, longgarnya pengawasan orang tua terhadap anak-
anaknya, mudahnya mengakses situs-situs berbau porno. Tuntunan
pemenuhan ekonomi, ditambah lagi krisis ekonomi yang berkepanjangan,
mengakibatkan terjadinya penyelewengan moral yang mengarah kepada
perbuatan yang dilarang agama dan norma-norma masyarakat (Kartono, 1999:
203).
Manusia adalah makhluk sosial sehingga sebagian besar dari
kehidupan melibatkan interaksi dengan orang lain. Budaya dapat
dipertimbangkan memiliki pengaruh pada arena sosial. Cara-cara kita
berinteraksi dengan orang lain, memersepsi diri sendiri pada orang lain dan
bekerja dengan orang lain sangat dipengaruhi oleh budaya dimana kita hidup.
Kita semua telah mempelajari cara-cara tertentu untuk bertingkah laku,
mempersepsi dan bekerja dengan orang lain berdasarkan pada aturan dan
norma-norma yang disepakati dalam budaya kita (Dayakisni, 2004: 203).
Secara kodrati manusia hidup memerlukan bantuan orang lain, bahkan
manusia baru akan menjadi manusia manakala berada di dalam lingkungan
dan berhubungan dengan manusia. Dengan kata lain secara kodrati manusia
merupakan makhluk sosial seperti difirmankan oleh Allah sebagai berikut:
3
يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن
مأكر بريخ ليمع إن الله قاكمالله أت دعن 13﴿كم﴾
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seseorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal” (Q.S. al-Hujurat: 13) (Rokhim, 2001: 10).
Pemantauan diri (self-monitoring) merupakan proses dimana individu
mengadakan pemantauan terhadap pengelolaan kesan yang dilakukannya pada
saat berhubungan dengan orang lain. Dengan kata lain, pemantauan diri
adalah penyesuaian perilaku seseorang terhadap norma-norma situasional atau
harapan orang lain (Dayakisni, 2004: 204).
Matsuda dalam Berry (1999: 96) memutuskan untuk mengamati lebih
rinci dari tafsiran Jepang mengenai perilaku yang sesuai dengan kelompok,
dalam budaya Jepang menurut Matsuda, terdapat pembedaan derajat
keakraban yang dilibatkan dalam kolektif, yang mempersyaratkan pembedaan
jenis hubungan antara partisipan (pembeda-pembeda ini melibatkan dalam
bahasa Jepang uchi, seken, soto). Sebuah analisis pembeda-pembeda ini dan
persyaratan perilaku yang berkaitan membawa Matsuda ke pendugaan
predich. Konformitas lebih besar terjadi dibawah seken (kelompok yang
tingkat keeratannya sedang). Di ikuti uchi (kelompok yang terdiri dari teman-
teman yang saling menyeleksi). Dan soto (kelompok yang terdiri dari pribadi-
4
pribadi yang diseleksi eksperimenter dan tidak diberi kesempatan
mengembangkan keeratan diantara mereka).
Oleh karena itu individu membutuhkan pemantauan diri baik dari diri
sendiri maupun orang lain. Dalam hal ini pembinaan mental agama yang
diberikan kepada santri pada dasarnya merupakan usaha untuk melakukan
perubahan secara mendasar. Artinya, pembinaan mental agama diberikan
untuk mengurangi stimuli yang tidak diinginkan yang mengganggu para santri
dalam membantu orang lain atau dikenal perilaku prososial. Perilaku prososial
adalah perilaku seseorang yang ditunjukkan kepada orang lain dan
memberikan keuntungan fisik maupun psikologis bagi yang dikenakan
tindakan tersebut (Cholijah, 1996: 58).
Perilaku prososial ini sangat penting peranannya dalam menumbuhkan
kesiapan seseorang dalam mengarungi kehidupan sosialnya. Karena dengan
kemampuan prososial ini seseorang akan lebih diterima dalam pergaulan dan
akan dirasakan berarti kehadirannya bagi orang lain (Cholijah, 1998: 59).
Pondok Pesantren “Istighfar” berlokasi di Perbalan Semarang yang
dikenal sebagai pondok pesantren khusus mantan preman ini memiliki
komitmen yang tinggi membina santri agar memiliki perilaku prososial yang
kuat, tolong menolong antara sesama, saling menyayangi dan sebagainya,
namun informasi yang dipercaya bahwa walaupun mereka dibina di pondok
ini dengan intensif, ternyata ada pula diantara mereka yang menunjukkan
perilaku anti sosial seperti bertengkar, adu mulut dan sebagainya.
5
Memperhatikan permasalahan sebagaimana tersebut diatas maka judul
skripsi "PEMBINAAN MENTAL AGAMA DALAM MEMBENTUK
PERILAKU PROSOSIAL SANTRI PONDOK PESANTREN ISTIGHFAR
PERBALAN PURWASARI SEMARANG".
1.2. Rumusan masalah
Dalam latar belakang pemikiran di atas maka, peneliti ini
memfokuskan permasalahan pada bagaimana pembinaan mental agama dalam
membentuk perilaku prososial santri Pondok Pesantren “Istighfar” Perbalan
Purwosari Semarang?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu Untuk
mendeskripsikan dan menganalisa bagaimana pelaksanaan pembinaan
mental agama dalam membentuk perilaku prososial santri Pondok
Pesantren Istighfar Perbalan Purwosari Semarang.
1.3.2. Manfaat Penelitian
1.3.2.1.Secara Teoritik
1) Penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah ilmu
(ilmu dakwah) yang berkaitan dengan pembinaan mental
agama.
6
2) Memperluas cakrawala pengetahuan tentang pembinaan
mental agama dalam membentuk perilaku prososial bagi
peneliti khususnya dan mahasiswa Dakwah pada umumnya.
1.3.2.2.Secara Praktik
1) Membantu meningkatkan pengembangan dakwah khususnya
pembinaan mental agama bagi santri di Pondok Pesantren
“Istighfar”.
2) Untuk memberikan sumbangan pemikiran pembinaan mental
khususnya pembinaan perilaku prososial bagi santri Pondok
Pesantren “Istighfar” Perbalan Purwosari Semarang.
1.4. Tinjauan Pustaka
Sebagai bahan telaah pustaka dalam penelitian ini, peneliti mengambil
hasil penelitian yang ada relevansinya dengan peneliti ini, diantaranya adalah:
Penelitian yang ditulis oleh Khamdiono (2005) “Pembinaan Mental
Agama Dalam Upaya Meningkatkan Akhlak Di Panti Karya Wanita ” Wanita
Utama“. Dalam penelitian tersebut tidak membahas tentang status wanita tuna
susila dalam pandangan hukum Islam, melainkan fokus pada upaya
pembinaan mental agama dalam upaya meningkatkan akhlak, yang dilakukan
oleh panti karya wanita “wanita utama“ Surakarta. Hal ini terdorong oleh
suburnya kejahatan seksual dan merajalelanya prostitusi seperti sekarang ini.
Dampaknya bukan saja kepada orang dewasa tetapi merambah kepada anak
remaja.
7
Penelitian yang ditulis oleh Muh Rifai (2002) “Peranan Kyai Dalam
Pembinaan Mental Agama Pada Remaja Di Kecamatan Gubug, Kabupaten
Grobogan”. Dalam pembahasannya penelitian tersebut penulis memfokuskan
pada sejauhmana peranan Kyai dalam pembinaan mental agama bagi remaja
khususnya di Kecamatan Gubug Kabupaten Grobogan. Dikarenakan
pembinaan mental agama bagi remaja sangatlah penting untuk menjadikan
dirinya sebagai panutan bagi masyarakat, karena remaja merupakan tulang
punggung bagi bangsa.
Pembinaan Mental Agama Islam Terhadap Remaja Bayangkari Di
Asrama Polisi Kabluk Semaramg, yang ditulis oleh Hj. Eli Ida Farida (2000)
dalam pembahasannya penulis skripsi di atas memfokuskan bagaimana pola
pembinaan mental terhadap remaja, dan antusias remaja terhadap pembinaan
mental agama Islam, serta untuk mengetahui bagaimana faktor yang
mendukung dan yang menghambat pelaksanaan pembinaan mental tersebut.
Yang membedakan penelitian ini dengan peneliti-peneliti tersebut,
peneliti meninjau dari segi sosial yang berangkat dari masyarakat pada saat ini
kebanyakan mereka sudah tidak peduli dengan keadaan orang lain yang
mungkin membutuhkan individu yang lain. Dari pembinaan mental agama
yang diterapkan untuk membentuk perilaku prososial ini mereka yang tidak
peduli dengan individu lain diharapkan dapat memupuk sejak dini menjadikan
para santri terobsesi peduli terhadap lingkungan sekitarnya, dan nanti kalau
mereka sudah kembali ke masyarakatnya juga dapat bermasyarakat dengan
baik dan berjiwa sosial.
8
1.5. Metodologi Penelitian
1.5.1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
1.5.1.1.Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, yaitu sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati. (Moleong, 1998: 3) Dalam hal ini yang menjadi
subyek adalah para santri Pondok Pesantren Al Istighfar
Perbalan Purwosari Semarang.
1.5.1.2.Pendekatan Penelitian
Berdasarkan dengan judul yang akan peneliti teliti
tentunya memerlukan suatu pendekatan agar mampu
memberikan pemahaman dalam meneliti. Dalam hal ini peneliti
menggunakan Pendekatan sosiologis, Pendekatan sosiologi yaitu
sebagaimana Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi yang
dikutip oleh Soerjono Soekanto (2002: 20) bahwa sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses
sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Hal ini penulis
gunakan, karena merupakan sebagai cara untuk mengetahui dan
memahami gejala-gejala yang ada baik secara individu maupun
sosial. Dan pendekatan psikologi yaitu ilmu jiwa seseorang
melalui gejala perilaku yang diamati. Menurut Zakiah Daradjat
(1997: 120), bahwa perilaku seseorang yang nampak lahiriyah
9
terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya.
Ketika orang berjumpa dan rela berkorban untuk kebenaran
adalah merupakan gejala-gejala keagamaan yang dapat
dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama
sebagaimana di ungkapkan oleh Zakiah Daradjat (1979: 102)
tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang
dianut seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah
bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam
perilaku penganutnya. Dalam ajaran agama banyak kita jumpai
istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang.
Dalam hal ini penulis menggunakan pendekatan psikologi karena
dapat diketahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami, dan
diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk
memasukkan agama ke dalam jiwa. Sehingga seseorang yang
mempunyai masalah menjadi tenang (Nata, 2000: 50).
1.5.2. Definisi Operasional
Untuk menghindari berbagai macam penafsiran dari judul
penelitian maka dengan indikator verbalnya, peneliti menjelaskan
tentang oprasionalisasi variabel. Dalam konteks kehidupan beragama
pembinaan mental agama adalah usaha yang dilakukan untuk
menumbuhkan kesadaran, memelihara secara terus-menerus terhadap
tatanan itu. Perilaku Prososial adalah kemampuan santri dalam berbuat
dan bertindak dalam melakukan hal-hal yang merujuk kepada
10
kepentingan umum. Dalam penelitian ini, yang dimaksud adalah
perilaku prososial santri Pondok Pesantren Istighfar Perbalan Purwosari
Semarang, misalnya tolong menolong dan saling menghormati terhadap
sesama santri maupun terhadap lingkungan masyarakat sekitarnya.
Adapun indikator perilaku prososial bagi santri di Pondok
Pesantren Istighfar Perbalan Purwosari Semarang, peneliti mengutip
pendapat Brighjeh yang dikutip oleh Dayakisni dan Hudania (2001: 87)
yang mencakup: dermawan, persahabatan, kerjasama, menolong,
menyelamatkan dan pengorbanan.
1.5.3. Data dan Sumber Data
Data adalah semua keterangan seseorang yang diberikan
informen maupun yang berasal dari dokumen-dokumen baik dalam
bentuk statistik atau dalam bentuk lainnya guna penelitian yang
dimaksud (Subagyo, 1991: 87).
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber
primer dan sumber sekunder.
1. Sumber data primer yaitu: sumber data yang dapat memberikan data
penelitian secara langsung. (Subagyo, 1991: 87-89). Dalam hal ini
data penulis peroleh dari pengasuh (Gus Tanto) dan santri Pondok
Pesantren Istighfar Perbalan Purwosari Semarang.
2. Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh dari pihak lain, tidak
diperoleh langsung dari sumber penelitian (Azwar, 1998: 91). Dalam
peneliti ini yang menjadi sumber data sekunder adalah segala sesuatu
11
yang memiliki kompetensi dengan masal yang menjadi pokok dalam
penelitian ini, baik berupa manusia maupun barang. Misalnya
majalah, buku-buku, surat kabar, jurnal, dan lain-lain.
1.5.4. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan data dengan
menggunakan beberapa metode antara lain:
1. Observasi
Metode observasi yaitu usaha-usaha mengumpulkan data
dengan pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap
fenomena-fenomena yang diselidiki (Hadi, 1989: 46). Dalam hal ini
peneliti mengadakan pengamatan secara kondusif terhadap wilayah
penelitian serta peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan obyek.
2. Wawancara
Yaitu percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu
dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang mengajukan
pertanyaan dan yang diwawancarai yaitu yang memberikan jawaban
atas pertanyaan itu (Moleong, 1998: 135). Untuk mendapatkan data
tersebut penulis melakukan wawancara langsung dengan 20 santri
sebagai sampel.
3. Dokumentasi
Adalah setiap bahan tertulis ataupun film, lain dari record,
yang tidak dipersiapkan karena adanya permintaan seorang penyidik
(Moleong, 1998: 161). Dokumen berupa data tertulis yang
12
mengandung keterangan serta penjelasan yang sudah disimpan atau
didokumentasikan. Metode ini sangat diperlukan karena untuk
mengumpulkan data atau informasi yang diperlukan.
1.5.5. Analisis Data
Untuk menganalisa data-data yang telah terkumpul maka, penulis
menggunakan analisis deskriptif, dimana analisis ini bertujuan untuk
menggambarkan keadaan atau suatu fenomena, dalam hal ini hanya
untuk mengetahui yang berhubungan dengan keadaan sesuatu (Arikunto,
1996: 245). Secara kualitatif dalam arti pengembangan data penelitian
deskriptif dan mengolah data tersebut dengan analisis deduktif induktif
sehingga hasil yang diperoleh dari proses agama dapat diketahui secara
jelas:
1. Metode deduktif yaitu suatu cara menarik kesimpulan secara khusus
dari dasar-dasar pengetahuan yang bersifat umum.
2. Metode induktif yaitu cara-cara berfikir dari fakta-fakta khusus,
peristiwa-peristiwa yang kongkrit kemudian ditarik generalisasi-
generalisasi yang mempunyai sifat umum (Sutrisno, 1986: 135).
1.6. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memudahkan pembahasan dan pengertian tentang isi skripsi ini,
maka penulis akan menguraikan garis besar apa yang akan ditulis di
dalamnya. Yang mencakup beberapa bab dan sub bab. Sebelum masuk pada
bab pertama dan berikutnya, dalam penulisan skripsi ini yang pertama
13
meliputi: halaman judul, halaman nota pembimbing, halaman pengesahan,
halaman motto, halaman kata pengantar, daftar isi, dan selanjutnya diikuti
oleh bab pertama.
Bab I PENDAHULUAN
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang berisikan latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian,
sistematika penulisan.
Bab II PEMBINAAN MENTAL AGAMA DALAM MEMBENTUK
PERILAKU PROSOSIAL
Bab yang kedua terdiri dari tiga sub bab, sub bab pertama
menjelaskan tentang pembinaan mental agama yang difokuskan
pada pengertian pembinaan mental agama, tujuan, fungsi, metode,
materi pembinaan mental agama. Sub bab kedua menjelaskan
tentang perilaku prososial, yang difokuskan pembahasannya pada
pengertian perilaku prososial, bentuk-bentuk perilaku prososial,
faktor-faktor yang melandasi perilaku prososial, motivasi untuk
bertindak prososial. Sub bab yang ketiga berisi tentang pembinaan
mental agama dalam membentuk perilaku prososial.
Bab III PELAKSANAAN PEMBINAAN MENTAL AGAMA DALAM
MEMBENTUK PERILAKU PROSOSIAL SANTRI
PONDOK PESANTREN ISTIGHFAR PERBALAN
PURWOSARI SEMARANG
Bab yang ketiga terdiri dari dua sub bab, sub bab yang pertama
berisikan tentang gambaran umum Pondok Pesantren Istighfar
Semarang. Pembahasan ini meliputi sejarah berdirinya, letak
geografis, keadaan santri, sarana dan prasarana, aktivitas, visi dan
misi, tujuan Ponok Pesantren “Istighfar”. Sub bab kedua berisikan
14
tentang pembinaan mental agama dalam membentuk perilaku
prososial santri Pondok Pesantren Istighfar. Pembahasan ini
meliputi pembinaan mental agama Pondok Pesantren Istighfar,
pembentukan perilaku Prososial Pondok Pesantren Istighfar.
Bab IV ANALISIS TERHADAP PEMBINAAN MENTAL AGAMA
DALAM MEMBENTUK PERILAKU PROSOSIAL
Bab yang keempat terdiri dari dua sub bab, sub bab yang pertama
berisi tentang analisis pembinaan mental agama Pondok Pesantren
Istighfar. Sub bab yang kedua berisikan tentang analisis
pembinaan mental agama dalam membentuk perilaku prososial
santri Pondok Pesantren Istighfar.
Bab V Penutup
Bab yang kelima ini merupakan bab yang terakhir berisikan
tentang penutup yang meliputi kesimpulan, saran-saran dan
penutup.
15
BAB II
PEMBINAAN MENTAL AGAMA DALAM MEMBENTUK PERILAKU
PROSOSIAL
2.1.Pengertian, Tujuan dan Fungsi Pembinaan Mental Agama
2.1.1. Pengertian Pembinaan Mental Agama
Secara harfiyah pengertian pembinaan berasal dari kata bina,
yang berarti bangun mendapatkan awalan pe dan akhiran an yang berarti
pembangunan (Poerwadarminto, 976: 141). Pembinaan adalah suatu
proses membantu individu melalui usahanya sendiri untuk menemukan
dan mengembangkan kemampuan agar memperoleh kebahagiaan
pribadi dan kebahagiaan sosial (Jumhur, 1991: 25).
Pembinaan dalam (Masdar, 1973: 35) adalah segala usaha,
ikhtiar dan kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan,
pengorganisasian, dan pengendalian segala sesuatu secara teratur dan
terarah. Mental dalam James (1986: 279) adalah menunjuk pikiran atau
akal. Secara sederhana mental dapat diartikan sebagai kebulatan yang
dinamika, yang tercermin dalam cita-cita sikap dan perbuatan (Mursal,
1977: 86).
Sedangkan agama adalah perintah tuhan tentang perbuatan dan
akhlak, yang di bawa oleh para Rasul, pedoman bagi umat muslim
(Hussain, 1989: 23), yang dimaksud agama disini adalah agama Islam.
16
Supaya agama menjadi pengendali moral bagi seseorang
hendaknya agama itu masuk dalam pembinaan kepribadiannya dan
merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam integritas
kepribadian. Apabila tidak masuk dalam pembinaan pribadinya, maka
pengetahuan agama yang dicapainya kemudian, akan merupakan ilmu
pengetahuan (science) yang tidak ikut mengendalikan tingkah-laku dan
sikapnya dalam hidup, maka akan kita dapatilah orang yang pandai
berbicara tentang hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan agama, akan
tetapi ia tidak terdorong untuk mematuhinya. Pengertian agama tidak
otomatis mendorong orang untuk bertindak sesuai dengan pengertian
itu. Mungkin saja itu terjadi dan akan terlihat wajar, apabila kita
mengerti dinamika jiwa yang menjadi penggerak bagi setiap tindakan.
Suatu tindakan atau sikap adalah hasil dari kerjasama segala fungsi-
fungsi jiwa, yang tercakup didalamnya pengertian, perasaan dan
kebiasaan. Jadi bukanlah pengertian saja.
Demikian pula halnya dengan agama, ia akan menjadi
pengendali mental, apabila ia dimengerti, dirasakan dan dibiasakan
(rasional, emosional, dan dipraktekkan).
Pembinaan kebiasaan terhadap amaliah agama (melaksanakan
suruhan Allah dan menjauhi larangan-laranganNya), merasakan
kepentingannya dalam hidup dan kehidupan, kemudian mengerti tujuan
dan hikmah masing-masing ajaran agama itu.
17
Karena itu, pembinaan mental agama, bukanlah suatu proses
yang dapat terjadi dengan cepat dan dipaksakan, tetapi haruslah secara
berangsur-angsur wajar, sehat, dan sesuai dengan perbuatan,
kemampuan dan keistimewaan umur yang sedang dilalui (Daradjat,
1982: 69-70). Dalam surat Al Baqarah surat: 256, Allah berfirman:
اغوت لا إكراه في الدين قد تبين الرشد من الغي فمن يكفر بالط
)256:البقرة(
Artinya: "Tidak ada paksaan dalam agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang salah"(Q.S. Al Baqarah: 256) (Toha Putra, 1996: 315).
Berdasarkan definisi masing-masing istilah tersebut dapat
disimpulkan bahwa pembinaan mental agama adalah suatu usaha untuk
kegiatan yang berupa pemberian bimbingan bantuan dan nasehat tentang
ajaran agama kepada seseorang atau sekelompok orang untuk
membentuk, memelihara dan meningkatkan kondisi mental spiritual
yang dengan kesadaran sendiri bersedia dan mampu mengamalkan
ajaran agama Islam dalam kehidupan sesuai dengan ketentuan dan
kewajiban yang diterapkan oleh Allah S.W.T, sehingga mereka
memperoleh keselamatan baik di dunia maupun di akhirat.
Pembinaan mental agama adalah usaha yang diarahkan bagi
terbentuknya kebulatan gerak gerik yang dinamis sesuai dengan nilai-
nilai ajaran Islam. Sedangkan dalam arti yang luas pembinaan mental
18
agama adalah bagian dari dakwah, yakni suatu usaha untuk
merealisasikan ajaran Islam dalam semua segi kehidupan manusia.
Dengan demikian maka jelas bahwa pembinaan mental agama
disini mengandung pengertian suatu usaha untuk memberikan bantuan
berupa bimbingan dan tuntunan tentang ajaran Islam pada santri Pondok
Pesantren “Istighfar”, agar mereka membantu, memelihara dan
meningkatkan serta mempertahankan nilai-nilai Islam yang dimilikinya,
yang dengan kesadarannya sendiri mampu meningkatkan pengamalan
ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari dengan ketentuan dan
kewajiban yang telah ditentukan oleh Allah dalam al-Qur’an dan al-
Hadits. Selanjutnya dengan pembinaan mental agama terhadap santri,
diharapkan pada diri mereka tertanam jiwa ketaqwaan dan berpandangan
hidup sesuai dengan ajaran agama serta berperilaku Islami sehingga
mereka mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan di dunia maupun di
akhirat.
2.1.2. Tujuan, Fungsi, metode dan materi Pembinaan Mental Agama
2.1.2.1.Tujuan pembinaan mental agama
Dalam konteks kehidupan beragama, pembinaan mental
agama adalah usaha yang dilakukan untuk menumbuhkan
kesadaran, memelihara secara terus menerus terhadap tatanan
nilai agama agar perilaku hidupnya senantiasa pada norma-
norma yang ada dalam tatanan itu (Sayyid, 1989: 23). Menurut
(Kholifah, 1982: 16) usaha tersebut dilakukan untuk tujuan atau
19
maksud tertentu sebagai berikut: maksud diadakan pembinaan
kehidupan moral manusia dan penghayatan keagamaan dalam
kehidupan seseorang bukan sekedar mempercayai aqidah dan
pelaksanaan tata upacara keagamaan saja, tetapi merupakan
usaha yang terus menerus untuk menyempurnakan diri pribadi
dalam hubungan vertikal kepada Allah dan horisontal kepada
manusia dan alam sekitarnya, sehingga mewujudkan keselarasan
dan keseimbangan hidup menurut fitrah kejadiannya.
Sedangkan (Asegaf, 1989: 29-30) menyatakan bahwa
tujuan pembinaan mental agama tersebut dapat dijabarkan secara
oprasional yaitu:
1) Memperkuat ketaqwaan dan amal keagamaan di dalam
masyarakat.
2) Terwujudnya sikap masyarakat yang konstruktif dan
responsip terhadap gangguan-gangguan pembangunan.
3) Mempertahankan masyarakat dan mengamalkan pancasila
dan membudayakan P4.
4) Memperkuat komitmen (keterikatan) bangsa Indonesia,
mengikis sebab-sebab dan kemungkinan serta
berkembangnya ateisme, komunisme, dan kesesatan
masyarakat.
20
5) Menimbulkan sikap mental yang didasari oleh Rohman dan
Rohim Allah, pergaulan yang rukun dan serasi baik antar
golongan maupun antar agama.
6) Mengembangkan generasi muda yang sehat, cakap terampil
dan taqwa kepada Allah S.W.T.
7) Terwujudnya lembaga-lembaga ketaqwaan yang memberikan
peran bagi terwujudnya pembangunan nasional.
8) Timbulnya kegairahan dan kebanggaan hidup beragama dan
mengenali motivasi keagamaan untuk lebih mendorong
kemajuan gerak pembangunan bangsa Indonesia.
Disamping itu pembinaan mental agama juga
dimaksudkan bagi terwujudnya keseimbangan hidup jasmani-
rohani, material-spiritual atau yang lebih luas sama dengan dunia
akhirat. Pembangunan manusia seutuhnya merupakan realisasi
dari keseimbangan tersebut perangkat dasar keseimbangan ini
telah diatur dalam al-Qur’an surat Al-Qhashas ayat 77 yang
berbunyi:
سنأحا وينالد من كصيبن سنلا تة والآخر ارالد الله اكا آتغ فيمتابو
حبلا ي ض إن اللهفي الأر ادغ الفسبلا تو كإلي الله نسا أحكم
فسدين77: القصص (الم(
21
Artinya: Dan carilah apa yang dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, janganlah kamu melupakan kebahagiaan mu dari (kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah (pada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepada mu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (Q.S. Al-Qashash) (Toha putra, 1996: 315).
2.1.2.2.Fungsi Pembinaan Mental Agama
Pengendalian utama kehidupan manusia adalah
kepribadian yang mencakup segala unsur-unsur pengalaman
pendidikan dan keyakinan yang didapat sejak lahir atau kecil.
Apabila pertumbuhan seseorang terbentuk dalam kepribadiannya
yang wajar harmonis, pengalamannya menentramkan jiwa
(batin). Baik itu yang bersifat fisik atau bersifat rohani dan
sosial, maka akan terbentuk suatu pribadi yang normal.
Demikian sebaliknya apabila pertumbuhannya dalam keadaan
banyak kekurangan dan ketegangan batin, maka kepribadiannya
akan mengalami kegoncangan.
Ketaatan dalam menjalankan ajaran-ajaran agama yang
ditanamkan sejak kecil kepada anak-anak akan merupakan
bagian unsur-unsur keperibadiannya, maka ia akan cepat
bertindak menjadi pengendali dalam menghadapi segala
keinginan-keinginan dan dorongan-dorongan yang timbul karena
keyakinan terhadap agama yang menjadi bagian dari kepribadian
22
itu. Semua itu akan mengatur sikap dan tingkah laku orang
secara otomatis dari dalam (Daradjat, 1980: 57).
Oleh karena itu pembinaan mental agama mempunyai
fungsi yang bermaksud untuk membantu individu yang
bermasalah di antaranya sebagai berikut:
1) Fungsi rehabilitasi, peranan pada pembinaan mental
terfokus, pada penyesuaian diri, menyembuhkan masalah
psikologi yang dihadapi, mengembalikan kesehatan mental
dan mengatasi gangguan emosional.
2) Fungsi preventif adalah suatu usaha untuk mencapai
individu-individu sebelum mereka mencapai masalah
kejiwaan karena kurang perhatian. Upaya ini meliputi
pengembangan strategi-strategi dan program-program yang
dapat digunakan untuk mencoba mengantisipasi dan
menggalakkan resiko-resiko hidup yang tidak perlu terjadi.
3) Fungsi edukatif, peranan edukatif terfokus pada membantu
orang-orang yang meningkatkan ketrampilan dalam
kehidupan, mengidentifikasi dan memecahkan masalah-
masalah hidup, dan membantu meningkatkan kemampuan
menghadapi transisi dalam kehidupan untuk keperluan-
keperluan jangka pendek, membantu orang-orang
mengendalikan kecemasan, meningkatkan ketrampilan
komunikasi antar pribadi, memutuskan arah hidup,
23
menghadapi kesepian dan semacamnya (Manrihu, 1996:11-
20).
Dalam literatur ke-Islam-an, kita menemukan
bahwasanya fungsi tersebut dapat dikelompokkan menjadi:
1) Fungsi preventif: yakni membantu individu menjaga atau
mencegah timbulnya masalah bagi dirinya.
2) Fungsi kuratif atau korektif: yakni membentuk individu
memecahkan masalah-masalah yang sedang dihadapi atau
dialami.
3) Fungsi preservetif: yakni membantu individu menjaga agar
situasi dan kondisi yang semula tidak baik (mengandung
masalah) yang telah menjadi baik (terpeah) itu menjadi baik
(tidak menimbulkan masalah kembali) (Manrihu, 1996:11-
20).
4) Fungsi development atau pengembangan, yakni membantu
individu memelihara dan mengembangkan situasi dan
kondisi yang telah baik agar tetap baik atau menjadi lebih
baik.
2.1.2.3.Metode Pembinaan Mental Agama
Sebagaimana dijelaskan bahwa dalam arti yang lebih
luas, pembinaan mental agama merupakan bagian dari pada
dakwah, karena pengertian dakwah dapat ditinjau dari dua segi:
segi pembinaan dan segi pembangunan (Asmuni,1983: 30). Oleh
24
karena itu, baik metode maupun materi pembinaan mental agama
tidak berbeda jauh dengan aktifitas dakwah.
Metode pembinaan mental agama menurut (Husen, 1989:
47) dapat dilihat dari dua segi: sasaran yang dihadapi dan sifat
pembinaan. Dari segi sasaran yang dihadapi, pembinaan mental
agama dapat dilakukan melalui metode individu dan kelmpok.
Metode individu dapat disebut personal approach (pendekatan
pribadi), karena dalam pelaksanaannya secara langsung yang
dilakukan kepada pribadi yang bersangkutan, seperti dengan
memberi nasehat, memberi penjelasan maupun dengan
membantu memecahkan masalah yang di hadapi. Sedangkan
metode kelompok, lebih menitik beratkan pada komunikasi umat
secara komprehensif, dengan menggunakan komunikasi massa.
Hal ini disebabkan karena jumlah umat (mad’u) yang demikian
banyak memerlukan sentuhan menyeluruh dan sekaligus.
Adapun pembinaan mental agama dilihat dari sifat
pembianannya, adalah melalui metode lisan, seperti ceramah,
diskusi, tanya jawab dan sebagainya. Serta metode keteladanan
(akhlak) yaitu pembinaan dengan melalui keteladanan yang
diwujudkan dalam bentuk sikap, kreatifitas, kemampuan
menunjukkan prestasi maupun hidup rukun dalam masyarakat
(Hamzah, 1986: 47). Selain media tersebut ada media lain yang
dapat pula dimanfaatkan dalam pembinaan mental agama. Media
25
yang dimaksud seperti: lembaga pendidikan, lingkungan
keluarga, seni budaya, hari-hari besar Islam dan juga organisasi
Islam (Asmuni, 1983:106), sedangkan mengenai materi
pembinaan adalah ajaran Islam itu sendiri, yaitu semua ajaran
yang datang dari Allah yang di bawa Rasul S.A.W, meliputi
akidah dan syariah serta akhlakul karimah.
2.1.2.4.Materi Pembinaan Mental Agama
Materi pembinaan mental agama meliputi ilmu tauhid,
fiqih, hadits, Al-Qur’an, dan materi-materi yang secara aktual
berhubungan dengan keberadaan santri itu sendiri ditengah
kehidupan masyarakat. Secara materiel yang diberikan dalam
pembinaan mental agama struktur, sistematik dan kurikulum
materi-materi yang diberikan kepada santri belum tersusun
dengan baik dan rapi, melainkan tergantung dari pengajar, dewan
asatid dan pengasuh (pimpinan) pembinaan dengan cara
menyesuaikan kepada santrinya materi-materi mana yang harus
diprioritaskan.
Tujuan atau target dari materi-materi yang di sajikan
sebagai obyek pembinaan agar mereka maupun memahami
dengan sebaik-baiknya serta mengamalkan ajaran agama Islam
dalam kehidupannya, yang akhirnya terwujud insan kamil yang
mempunyai pengetahuan duniawi dan bekal ukhrawi yang kuat
sehingga apa yang menjadi tujuan, cita-cita hidup di dunia dapat
26
berhasil yaitu bahagia dunia dan akhirat, sentosa lahir maupun
batin. Secara khusus ketakwaan mereka kepada Allah S.W.T
dapat ditingkatkan dan dibuktikan dengan amal perbuatan sehari-
hari.
Secara garis besar (Anwar, 1981: 20) mengatakan bahwa
materi yang paling menonjol dalam pembinaan mental agama
adalah keimanan dan ketakwaan kepada Allah S.W.T.
meningkatkan martabat manusia, serta meningkatkan kehidupan
mental agama berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara.
Secara garis besar materi pembinaan mental agama itu di
kategorikan dalam tiga kelompok yaitu, ibadah syariah, aqidah
dan muamalah. Aqidah adalah fundamen atau kepercayaan yang
memberikan pedoman kepada santri tentang keyakinan beragama
yang benar, aqidah ini adalah tentang keyakinan kepada Allah
S.W.T, para Malaikat, para Rasul, kitab-kitab Allah hari kiamat,
ketentuan baik buruk nasib manusia dari Allah semata (Qodo
dan Qodar).
Ibadah syariah mengatur bagaimana tentang hukum-
hukum Allah S.W.T yang merupakan peraturan, serangkaian
sistem hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
tuhannya serta manusia dengan manusia lain (Manshur, 1981:
18).
27
Bidang muamalah mengatur khusus manusia dengan
manusia sebagai hubungan timbal balik (interaksi sosial) yang
harus senantiasa dijaga keharmonisan dan kekompakannya
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, dengan demikian
ketiga bidang tersebut tidak dapat dipisahkan antara satu dengan
yang lainnya.
2.2.Perilaku Prososial
2.2.1. Pengertian Perilaku Prososial
Sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari setiap orang sudah
dihadapkan pada yang namanya perilaku prososial, karena perilaku ini
berkaitan erat bahkan menyatu dengan tingkah laku setiap orang
dalam hubungannya dengan orang lain atau masyarakat. Orang yang
bertingkah laku prososial akan lebih mempunyai kesempatan bersama
orang lain atau diterima oleh masyarakat dari pada orang yang kurang
atau tidak bertingkah laku prososial.
Berperilaku prososial merupakan hal yang prinsipil dalam
kehidupan masyarakat, namun sayangnya hal tersebut kadang-kadang
tidak dapat dicapai sesuai dengan harapan. Kehidupan di masyarakat
maupun di lembaga pemasyarakatan selalu saja terjadi tindakan-
tindakan yang antisosial. Perilaku (behavior) adalah operasionalisasi
dan akulturasi sikap seseorang atau suatu kelompok dalam atau
terhadap suatu dan situasi kondisi lingkungan masyarakat, alam,
28
teknologi atau organisasi. Ilmu jiwa mendefinisikan perilaku sebagai
berikut “kegiatan organisasi yang dapat diamati oleh organisme lain
atau oleh berbagai instrumen penelitian”. Yang termasuk dalam
perilaku ialah laporan verbal mengenai pengalaman subyektif dan
disadari (Ndraha, 2003: 33).
Skinner dalam Walgito (2003: 15) membedakan perilaku
menjadi: (a) perilaku yang alami (another behavior), (b) perilaku
operan (operan behavior). Perilaku alami ialah perilaku yang dibawa
sejak organisme dilahirkan, yaitu yang berupa reflek-reflek dan
insting-insting. Sedangkan perilaku operan yaitu perilaku yang
dibentuk melalui proses belajar. Perilaku yang reflektif merupakan
perilaku yang terjadi sebagai reaksi spontan terhadap stimulus yang
mengenai organisme yang bersangkutan, Misalnya reaksi kedip mata
bila mata kena debu, gerakan lutut kena paku, menarik jari bila jari
kena api. Reaksi atau perilaku itu terjadi dengan sendirinya secara
otomatis, tidak diperintah oleh pusat susunan syaraf atau otak.
Stimulus yang diterima oleh organisme atau individu itu tidak sampai
ke otak sebagai susunan syaraf, sebagai pusat pengendali perilaku.
Dalam perilaku yang reflektif respons langsung timbul begitu
menerima stimulus. Dengan kata lain begitu stimulus diterima oleh
reseptor, langsung timbul melalui efektor tanpa melalui pusat
kesadaran atau otak.
29
Perilaku prososial adalah suatu tindakan menolong yang
menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu
keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut,
dan mungkin bahkan melibatkan suatu resiko bagi orang yang
menolong (Baran, 2005: 95).
Perilaku prososial secara lebih rinci dapat dibatasi sebagai
perilaku yang memiliki intensif untuk mengubah keadaan fisik atau
psikologis penerima bantuan dari yang kurang baik menjadi lebih
baik. Artinya secara material maupun secara psikologis akan
meningkatkan “well being” orang lain (William, 1981: 15).
Perilaku prososial adalah tingkah laku yang ditunjukkan untuk
menolong atau memberikan manfaat bagi orang lain sehingga
mendatangkan kesejahteraan hidup bagi mereka. Seseorang yang
memberikan bantuan kepada orang lain diharapkan memiliki
kemampuan untuk menjalani hubungan interpersonal yang baik. Hal
ini dikarenakan proses pemberian bantuan melibatkan kedua belah
pihak memberi dan menerima bantuan.
Oleh karena itu saling menghargai dan menghormati itu perlu
ditanamkan dalam diri setiap individu, seperti dalam hadits nabi
sebagai berikut:
Artinya: barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah berlaku baik terhadap tetangga, barang siapa beriman
kepada Allah dan hari akhir, hendaknya memuliakan tamunya dan
30
barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah
berbicara yang baik atau diam saja (HR. Muslim)
Dari pengertian yang telah diuraikan tersebut dapat
disimpulkan bahwa perilaku prososial adalah perilaku yang
mengandung nilai-nilai kebaikan, dan nilai-nilai tersebut memberikan
konsekuensi yang positif bagi si penerima baik dalam bentuk materi
fisik maupun psikologis, tetapi keuntungan tersebut belum tentu
didapat oleh pelakunya secara jelas, dengan demikian dapat dikatakan
bahwa perilaku prososial lebih terkait dengan internal reward yang
berupa perasaan puas apabila dapat menolong orang lain.
2.2.2. Bentuk-Bentuk Perilaku Prososial
Perilaku prososial adalah perilaku seseorang yang ditunjukkan
orang lain dan memberikan keuntungan fisik maupun psikologis bagi
orang yang dikenai tindakan tersebut.
Menurut Staub sebagai mana dikutip oleh Dayakisni dan
Hudainiah (2001: 87), bahwa ada tiga indikator yang menjadi tindakan
prososial yaitu:
1) Tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menentukan
keuntungan pada pihak pelaku.
2) Tindakan itu dilahirkan secara sukarela.
3) Tindakan itu menghasilkan kebaikan.
Ketiga indikator tersebut pada dasarnya merupakan batasan
suatu perilaku prososial yang masih bersifat umum, karena indikator-
31
indikator diatas belum merupakan bentuk perilaku pososial secara
khusus.
Bentuk perilaku prososial yang merujuk pada perilaku sosial
yang masih bersifat adalah sebagaimana diungkapkan oleh Eisemberg
dan Mussen dan dikutip oleh Dayakisni dan Hudaniah (2001: 87) yang
menyatakan bahwa perilaku prososial mencakup tindakan-tindakan
shering (membagi), cooperative (kerjasama), helping (menolong),
honesty (kejujuran), kedermawanan dan pertimbangan hak dan
kesejahteraan orang lain.
Pendapat lain yang hampir sama juga diungkapkan oleh
Brighem sebagai mana dikutip Dayakisni dan Hudania (2001: 87)
menyatakan bahwa perilaku prososial mempunyai maksud untuk
menyokong kesejahteraan orang lain. Dengan demikian,
kedermawanan, persahabatan, kerjasama, menolong, menyelamatkan
dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku prososial.
2.2.3. Faktor-Faktor Yang Melandasi Perilaku Prososial
Hampir semua perilaku seseorang ada yang mendasari
mengapa perilaku tersebut dilakukan. Hal-hal yang mendasari atau
mendorong seseorang untuk berperilaku tertentu disebut motivasi
perilaku.
Menurut Staub (1978: 197) terdapat beberapa faktor yang
mendasari seseorang untuk bertindak prososial diantaranya:
32
1) Self gain
Harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari sesuatu,
misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut
dikucilkan.
2) Personal values and norm
Adanya nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh
individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian nilai-nilai
serta norma tersebut berkaitan dengan tindakan prososial, seperti
berkewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya
norma timbal balik.
3) Empathy
Kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau
pengalaman orang lain. Kemampuan untuk empathy ini erat
kaitannya untuk pengambilalihan peranan. Jadi prasyarat untuk
mampu melakukan empathy, individu harus memiliki kemampuan
untuk melakukan pengambilan peran.
2.2.4. Motivasi untuk bertindak prososial
Hampir semua perilaku seseorang ada yang mendasari
mengapa perilaku tersebut dilakukan. Hal-hal yang mendasari atau
mendorong seseorang untuk berperilaku tertentu disebut motivasi
perilaku.
Ada beberapa teori yang menjelaskan motivasi seseorang
untuk berperilaku prososial, antara lain:
33
1. Empathy altruism hypothesis
Empathy sering diartikan sebagai pengalaman perasaan
yang berorentasikan pada orang lain, yaitu perasaan terharu
perhatian dan ikut merasakan karena melihat penderitaan orang
lain. Menurut Fultz, dkk yang dikutip Dayakisni dan Hudainia
(1996: 91) menyatakan bahwa tindakan prososial semata-mata
dimotivasi oleh perhatian terhadap kesejahteraan orang lain (si
korban). Tanpa adanya empathy, orang yang melihat kejadian
darurat tidak akan melakukan pertolongan, jika ia dapat mudah
melepaskan diri dari tanggung jawab untuk memberikan
pertolongan.
2. Negative state relief hypothesis
Pendekatan ini sering pula disebut dengan Egoistis Theory,
sebab menurut konsep ini perilaku prososial sebelumnya
dimotivasi oleh keinginan untuk mengurangi perasaan negatif yang
ada pada diri calon penolong, bukan karena ingin menyokong
kesejahteraan orang lain. Jadi pertolongan hanya diberikan jika
penolong mengalami emosi negatif dan tidak ada cara lain untuk
menghilangkannya perasaan tersebut, kecuali dengan menolong
korban ( Baron & Byrne, 1994: 412).
3. Empathic Joe Hypothesis
Pendekatan ini merupakan alternatif dan teori begoistik,
sebab menurut model ini tindakan prososial dimotivasi oleh
34
perasaan positif ketika seseorang menolong. Ini terjadi hanya jika
seseorang belajar tentang dampak dari tindakan prososial tersebut.
Sebagaimana pendapat Bandura yang dikutip oleh Dayakisni dan
Hudaniah (1996: 92) bahwa orang dapat belajar melakukan
tindakan menolong dapat memberinya hadiah bagi dirinya sendiri,
yaitu membuat dia merasa bahwa dirinya baik.
Hasil penelitian William dan Clark yang dikutip oleh Baron
dan Byrne (1994: 415) mendukung model ini, sebab mereka
menemukan bahwa meskipun individu dituntut untuk memberikan
pertolongan, perasaan positif tetap timbul setelah ia memberikan
pertolongan.
2.3.Pembinaan Mental Agama Dalam Membentuk Perilaku Prososial
Dalam membangun generasi yang akan datang, pembinaan mental
agama merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan, diperhatikan dan
dilaksanakan dengan intensif. Pembinaan mental agama harus dilakukan terus
menerus sejak seseorang masih dini sampai matinya, terutama sampai usia
pertumbuhan sempurna.
Untuk mengadakan pembinaan mental agama terhadap individu yang
bertindak kriminal, memerlukan kecakapan, kemampuan dan seni tertentu,
karena bagi masing-masing sasaran, ada keadaan dan pengalaman-
pengalaman masa lalu yang telah mewarnai dirinya dan telah membuat
pengaruh tertentu terhadap moralnya. Ada yang perlu dihadapi secara
35
perseorangan (individual) dan ada pula yang dapat dihadapi secara kelompok
(group). Cara pembinaan dalam hal ini, mungkin menyerupai konsultasi jiwa,
bimbingan dan penyuluhan, diskusi terbatas atau kursus-kursus dan ceramah-
ceramah, sesuai dengan keistimewaan dan keadaan masing-masing sasaran.
Bagaimanapun sasaran pembinaan yang seseorang hadapi, ada hal-hal
yang perlu diperhatikan, yaitu kebutuhan-kebutuhan pokok yang perlu
dipenuhi dalam hidup manusia baik yang bersifat jasmani (makan, minum
dan biologis) maupun kebutuhan psikis dan sosial (kasih saying, rasa aman,
harga diri, rasa bebas, rasa sukses dan rasa tahu).
Dalam usaha pembinaan mental agama terhadap pelaku tindak
kriminal, perlu diindahkan kebutuhan-kebutuhan tersebut dan jangan sampai
dikurangi atau dianggap tidak ada, karena kebutuhan-kebutuhan itu,
mempengaruhi emosi, pikiran dan tanggapan apa yang akan dikatakan orang
terhadapnya.
Karen itu, hendaknya dalam pembinaan mental agama, terasa bagi
yang dibina bahwa keadaan dan kebutuhan-kebutuhannya diperhatikan,
penderitanya diringankan serta persoalannya diselesaikan. Teori dan pendapat
inilah, yang oleh sementara penyiar agama digunakan hadiah-hadiah, baik
makanan, pakaian, obat-obatan dan lain-lainnya, yang merupakan bukti dari
tujuan pembinaan mental agama, yaitu menolong dan membantu orang dalam
segala penderitaan dan kesusahannya. Dengan bantuan tersebut orang
menjadi senang dan merasa tertarik kepada orang yang menolongnya itu.
Setelah itu secara berangsur-angsur dapat merasa simpati terhadap ajaran
36
orang yang menolongnya, yang lambat laun akan dapat menerima ajaran
perbaikan dan perubahan terhadap keyakinan yang pernah dianutnya. Dalam
ilmu jiwa agama, proses ini dapat disebut dengan religious conversion
(konversi agama) (Daradjat, 1982: 73).
Pelaksanaan pembinaan mental agama terhadap perilaku prososial
ditunjukkan untuk menumbuhkan sosial yang baik. Manusia adalah makhluk
sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Setiap manusia pasti menginginkan
hubungan yang positif tidak ada seorang pun yang ingin dikucilkan dalam
masyarakat, Jumantoro (2001: 35) merincikan kebutuhan sosial dalam tiga
hal: inclusion, control, affection. kebutuhan sosial adalah kebutuhan untuk
menumbuhkan dan mempertahankan hubungan yang memuaskan dengan
orang lain dalam interaksi dan asosiasi (inclusion), pengendalian dan
kekuasaan (control), serta cinta dan kasih saying (affection). Secara singkat,
kita ingin mengendalikan dan kita ingin mencintai dan dicintai. Kebutuhan
sosial ini hanya dapat dipenuhi dengan komunikasi interpersonal yang efektif.
Pembinaan mental agama berhubungan atau konteks langsung, serta
menjadikan individu mempunyai perilaku prososial dalam lingkungan
bermasyarakat. Mental agama yang telah tertanam dalam jiwa, maka satu
individu mempunyai rasa yang peka dengan keadaan individu lainnya, jiwa
kebersamaan atau peduli akan keadaan individu yang lain timbul. Dengan
demikian, maka dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pengetahuan agama
seseorang, maka akan semakin tinggi pula perilaku prososial yang dimiliki.
37
Salah satu cara para ilmuwan sosial dalam memahami hubungan
dengan orang lain adalah melalui klasifikasi in-group dan out-group.
Hubungan ingroups adalah hubungan yang ditandai adanya tingkat familitas,
keintiman dan kepercayaan. Seseorang merasa dekat dengan orang-orang di
sekelilingnya yang kita pertimbangkan ada dalam kelompok kita. Hubungan
diri dengan ingroup berkembang melalui ikatan ingroup bersama lewat
persahabatan atau hubungan atau tujuan.
Sebaliknya hubungan out-grup ditandai dengan kurangnya
familiaritas, keintiman dan kepercayaan. Dalam hubungan ini orang mungkin
akan merasa kurang adanya kebersamaan dan bahkan mungkin melibatkan
perasaan negatif seperti permusuhan, agresi, dan perasaan superioritas.
Klasifikasi ke dalam in-group dan out-group ini hanya untuk
mempermudah kita dalam memahami perilaku prososial seseorang terhadap
orang lain meski pun itu mengetahui bahwa hubungan yang sesungguhnya tak
dapat dikatakan secara kaku dalam perbedaan dikotomis seperti itu, karena
yang terjadi kadang-kadang lebih kompleks dan tidak sesederhana itu
(Dayakisni, 2004: 204).
38
BAB III
PEMBINAAN MENTAL AGAMA DALAM MEMBENTUK PERILAKU
PROSOSIAL SANTRI PONDOK PESANTREN ISTIGHFAR
3.1.Gambaran Umum Pondok Pesantren Istighfar
3.1.1. Sejarah Pondok Pesantren Istighfar
Bagi sebagian warga kota Semarang, Purwasari Perbalan
merupakan nama kelurahan yang tak asing lagi. Pasalnya julukan
kelurahan para preman di kota Semarang sudah melekat sejak lama.
Sehingga, orang awam akan berpikir tak jauh dari sepak terjang para
preman, seperti para pembuat onar, pemalak, pencoleng, serta hal-hal
yang berbau kriminal lain manakala menginjakkan kaki di kelurahan ini.
Sejak kecil Muhammad Kuswanto hidup di tengah
perkampungan yang sarat dengan kriminalitas. Dia lahir dan di besarkan
di kelurahan Perbalan Purwosari Semarang, yang di sebut sebagai
lembah hitam. Betapa tidak minuman keras, judi dan kriminalitas
menjadi denyut nadi warga (Wawancara dengan Gus Tanto, Pengasuh
Pondok Pesantren Istighfar, 7 Juli 2007).
Semua hal tersebut tidak menyurutkan langkah Muh Kuswanto
(Gus Tanto) untuk membuat perubahan di kelurahannya. Didasari
keprihatinan terhadap ulah pemuda di kelurahannya Muhammad
Kuswanto mempunyai inisiatif menyebarkan syiar Islam mengajak
kaum muda mengubah kelurahannya menjadi baik, tahun 1988 ia
39
mengawalinya dengan mujahadah, dilakukan dari kelompok rumah ke
rumah. Pengajian yang dirintisnya digemari anak-anak muda.
Dia ingin menjadikan Perbalan sebagai mana kata-kata RA
Kartini “Habis gelap terbitlah terang” jadi prinsipnya untuk
menjadikan warga di kelurahannya berakhlak mulia. Dia berbaur dengan
semua kalangan tak peduli preman, penjahat, atau pemabuk, semua dia
rangkul.
Namun, seburuk apapun anggapan dan seseram apapun julukan
yang diberikan, kelurahan ini mulai menata diri. Tak hanya kehidupan
sosial namun juga kerohanian warganya. Dari sinilah Muhammad
Kuswanto, atau lelaki yang di wilayah ini akrab dengan sebutan Gus
Tanto merintis sebuah pondok pesantren (ponpes) di Kelurahan
Purwosari Perbalan. Yakni Ponpes Istighfar, Semarang, Jateng, yang
didirikannya pada Januari tahu 2005. Dengan cara mengumpulkan para
remaja bermasalah preman, korban narkoba dan korban penyakit
masyarakat lainnya (Wawancara dengan Gus Tanto, Pengasuh Pondok
Pesantren Istighfar, 7 Juli 2007).
3.1.2. Letak Geografis Pondok pesantren “Istighfar” Semarang
Pondok pesantren “Istighfar” Semarang terletak di jalan
Purwasari Perbalan Gg. I No. 775 D Kota Semarang dengan jumlah
penduduk sekitar 2500 kepala keluarga.
Ada pun letak geografis Pondok Pesantren “Istighfar”
Semarang berbatasan dengan empat desa yaitu:
40
- Sebelah utara Desa Kuningan
- Sebelah barat Desa Panggung
- Sebelah selatan Desa Pandansari
- Sebelah timur Desa Darat
Letak geografis tersebut dapat dilihat bahwa Pondok Pesantren
“Istghfar” Semarang menempati lokasi yang strategis untuk proses
dakwah. Pondok pesantren ini terletak di perkampungan para pelaku
tindak kriminal yang rawan dengan tindakan kriminalitas, tempat yang
cocok untuk menyebarkan agama bagi para pemuka agama (Wawancara
dengan Gus Tanto, Pengasuh Pondok Pesantren Istighfar, 8 Juli 2007).
Pondok Pesantren “Istighfar” sebagai penyejuk bagi kaum
muslim disekitarnya, karena hal itu sebagai bukti adanya sikap
kepedulian pada kaum yang membutuhkan kesejukan batin demi
terciptanya kedamaian dalam bermasyarakat.
3.1.3. Sarana dan Prasarana Pondok Pesantren Istighfar
Dalam melaksanakan kegiatan dakwah tidak lepas dari sarana
dan prasarana. Untuk mencapai tujuan perlu adanya sarana dan
prasarana yang memadai dan bagaimana pengelolaan sarana dan
prasarana secara baik sehingga terselengara proses dakwah Islam yang
berhasil.
Sebagai sarana kegiatan dalam dakwah Islam, Pondok Pesantren
“Istighfar” Semarang memiliki bangunan khas dengan gaya arsitektur
Tiong-hoa yang memiliki beberapa ornament bermacam-macam makna.
41
Kata “Istighfar” sendiri mengandung makna untuk
mengingatkan kepada setiap orang yang setiap hari lupa dan berbuat
salah (dosa), sehingga perlu Istighfar memohon ampun kepada Allah
Sang maha Rahman dan Rohim supaya dosa yang kita perbuat setiap
harinya terhapus. Dan Allah pun menyukai tetesan air mata hambaNya,
ketika sadar dan malu berbuat dosa yang sedang dilakukannya
(Wawancara dengan Gus Tanto, Pengasuh Pondok Pesantren Istighfar, 8
Juli 2007).
Di dinding pondok pesantren “Istigfar” Semarang terdapat
ornamen dua patung naga dengan kepala terpisah yang berada di
dinding luar pesantren. Ornament tersebut bukan sekedar hiasan saja
melainkan punya pemaknaan sendiri yaitu naga merupakan simbol
keangkaramurkaan, hewan tersebut memakan apa saja yang ia temukan.
Pesantren ini didirikan untuk persinggahan para mantan preman atau
orang-orang yang pernah menempuh jalan kesesatan. Dengan kata lain
pondok pesantren ini diikhtiarkan untuk mengatasi keangkaramurkaan,
atau untuk membentuk perilaku kepribadian para mantan preman agar
memiliki akhlak yang terpuji, agar tidak sombong dan murka dengan
kekuatan yang dimiliki.
Bahkan digambarkan usus terurai keluar dengan maksud agar
manusia berjalan dengan hati, sehingga lebih bijaksana dalam
menyikapi hidup. Ditengah naga itu terdapat tulisan Al-Qur’an yang
berbunyi “inna shalati wanusuki wamahyaaya wamamati lillahi ribbil
42
‘alamiin” hal itu mengandung arti bahwa didalam shalat, kita harus
benar-benar tunduk kepada Allah karena sesungguhnya hidup dan mati
itu kehendak Allah.
Pondok Pesantren ini dilengkapi Musholla yang seperti music
room, dilengkapi dengan sejumlah lampu disko warna-warni yang di
maksud untuk mengingatkan bahwa manusia itu mudah salah langkah
bila tidak hati-hati akan tergiur oleh gemerlapnya kehidupan duniawi
yang hanya sementara saja.
Demikian pula dengan bagian ubin yang retak-retak dengan
berbagai macam potongan ubin yang melapisi lantai pondok pesantren,
menandakan bahwa penghuni pondok pesantren dan manusia pada
umumnya pernah mengalami salah atau kekhilafan.
Kemudian pada tembok ruang utama dijumpai tulisan “wartel
Akhirat (042443)”, sederet angka tersebut mempunyai makna filosofis,
dimulai angka nol yang memiliki simbol kekosongan yang artinya
sebelum melakukan sholat kita harus mengosongkan pikiran dari hal-hal
yang bersifat keduniawian. Angka 42443 merupakan jumlah rakaat
dalam shalat lima waktu mulai dari Isya’, Subuh, Dzuhur, Asar dan
Maghrib, hal itu bertujuan agar kita selalu ingat akan kewajiban Shalat
lima waktu (Wawancara dengan Surahman, santri Pondok Pesantren
Istighfar, 9 Juli 2007).
43
3.1.4. Keadaan Santri Pondok Pesantren Istighfar
Santri adalah sebutan bagi para penghuni pondok pesantren.
Santri diambil dari kata “sastri” sebuah kata dalam bahasa sansekerta
yang artinya melek huruf dan dari bahasa jawa “cantri” yang artinya
seorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu menetap
(Shaleh, !997: 10).
Santri Pondok Pesatren “istghfar” Semarang sampai tahun 2007
berjumlah 150 orang yang sebagian besar merupakan para pelaku tindak
kriminal dan berasal dari berbagai wilayah di daerah Semarang seperti
dari Barutikung, Kebon Harjo, Kali Gawe, Tambak Lara, serta
kelurahan Perbalan sendiri. Selain itu banyak juga santri yang berasal
dari masyarakat biasa atau bukan mantan pelaku tindak kriminal, serta
anak-anak dari lingkungan setempat. Mereka mengikuti kegiatan di
Pondok Pesantren “Istighfar” Semarang dengan tujuan ingin menambah
keimanan kepada Allah.
Apabila dilihat dari latar belakang kehidupan, kebanyakan santri
Pondok Pesantren “Istighfar” Semarang merupakan mantan pelaku
tindak kriminal yang sudah bertobat dan mau menjalankan perintah-
perintah agama. Kebanyakan santri Pondok Pesantren “Istighfar”
Semarang sebelumnya pernah melakukan kejahatan-kejahatan seperti;
merampok, mencuri, mencopet, menodong, bahkan ada pula yang
membunuh dan merupakan residivis (Wawancara dengan Surahman,
santri Pondok Pesantren Istighfar, 9 Juli 2007).
44
Ada beberapa alasan mereka melakukan tindak kriminal yaitu:
1. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan faktor utama mengapa para
santri melakukan kejahatan. Kebanyakan para santri melakukan
tindak kriminal karena perekonomian yang semakin sulit sedang
kebutuhan untuk menghidupi keluarga semakin meningkat.
2. Faktor Keluarga
Ada beberapa santri yang pada masa lalu melakukan
pelanggaran-pelanggaran norma dikarenakan faktor keluarga yaitu
karena semasa remaja rumah tangga mereka mengalami keretakan.
Selain itu ketidakpedulian orang tua akan pergaulan anaknya yang
kemudian lambat laun mengakibatkan kebrutalan dan sering
melakukan tindakan-tindakan kriminal yang merugikan dan
membahayakan orang lain.
3. Fakto Lingkungan
Lingkungan juga menjadi faktor penentu karakter seseorang.
Apabila seseorang berada di lingkungan yang baik maka
kemungkinan besar dia juga akan baik, begitu pula sebaliknya. Jika
melihat asal usul para santri, kebanyakan mereka berasal dari
daerah-daerah yang memiliki tingkat kriminalitas tinggi. Maka
faktor lingkungan juga menjadi pemicu mengapa para santri
melakukan tindak kriminal.
45
4. Faktor Rendahnya Pengetahuan Agama
Agama merupakan faktor pengontrol setiap perbuatan-
perbuatan manusia. Apabila faktor agama diabaikan maka manusia
akan mengalami kesesatan. Begitu juga para santri Pondok Pesantren
“Istighfar” Semarang. Sebagian besar mereka memiliki
latarbelakang agama yang kurang bahkan ada pula yang berasal dari
agama non muslim. Dan hal itulah mera sebelum dibina di Pondok
Pesantren “Istighfar” Semarang tidak mempunyai kontrol diri ketika
melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang agama.
Dari berbagai alasan diatas, sampai saat ini merek sudah
meninggalkan larangan-larangan agama. Menjalankan perintah agama
dengan syariat, syarat dan rukunnya yang telah ditetapkan oleh agama.
Menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang mereka lakukan dahulu
termasuk yang dilarang oleh agama, serta mencerminkan perilaku
muslim yang mempunyai adab, tata cara bergaul, sopan, serta
berakhlakul karimah.
3.1.5. Aktivitas Pondok Pesantren Istighfar
Pondok Pesantren “istighfar” Semarang dalam mewujudkan visi
misinya melakukan aktivitas kegiatan diantaranya:
3.1.5.1.Kegiatan Harian
Kegiatan harian yang ada di Pondok Pesantren
“Istighfar” Semarang sangat berbeda dengan pondok lainnya,
karena santrinya tidak ada yang menginap di pondok pesantren
46
dan para santrinya juga mempunyai kesibukan masing-masing
yaitu bekerja untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan
keluarga mereka dan kebanyakan santri berasal dari warga
sekitar. Walaupun tidak ada yang menginap tetapi kegiatan yang
ada di pondok pesantren tetap berjalan. Seperti halnya shalat
wajib lima waktu, para santri selalu datang untuk melakukan
shalat berjama’ah (Wawancara dengan Joko Waluyo, santri
Pondok Pesantren Istighfar, 9 Juli 2007).
3.1.5.2.Kegiatan Mingguan
Untuk kegiatan mingguan di Pondok Pesantren
“Istighfar” Semarang mengadakan mujahadah (berdzikir dan
berdo’a) yang dilaksanakan setiap hari Rabu dan hari Sabtu yang
kemudian dilanjutkan ceramah oleh Gus Tanto selaku pengasuh
Pondok Pesantren “Istighfar” Semarang. Hal ini dilakukan
dengan tujuan agar para santri sadar akan kesalahan-kesalahan
yang pernah dilakukan. Selain itu, juga diadakan kegiatan rebana
yang dilakukan setiap hari Kamis malam oleh para santri Pondok
Pesantren “Istighfar” Semarang.
3.1.5.3.Kegiatan Selapanan
Kegiatan bulanan dilakukan setiap 35 hari sekali, yaitu
setiap malam Jum’at Kliwon dimulai pada pukul 03.00 WIB
sampai shubuh. Adapun kegiatannya adalah Shalat tasbih, Shalat
taubat dan Berdzikir. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan
47
untuk membersihkan diri dari dosa-dosa yang telah dilakukan
para santri pada masa lalu. Selain itu juga diadakan kegiatan
kerja batik yakni membersihkan pondok pesantren dan
lingkungan sekitar.
3.1.5.4.Kegiatan Tahunan
Kegiatan tahunan ini meliputi kegiatan pada bulan
Ramadhan yang diisi dengan pengajian, shalat tarawih, tadarus,
serta pengajian psikologi Al-Qur’an. Dalam hal ini Gus Tanto
dibantu oleh Haib Ali Bahrun, Gus Nur Latif, Sumailah dan Kyai
Sarbini.
Kegiatan pada Hari Raya Idul Adha yang diisi dengan
shalat Id bersama (berjama’ah), menyembelih hewan qurban dan
membagikannya kepada warga sekitar. Selain itu setiap bulan
Muharram diadakan puasa mutih 11 sampai 100 hari sesuai
tingkat kemampuan atau kekuatan masing-masing santri
(Wawancara dengan Joko Waluyo, santri Pondok Pesantren
Istighfar, 10 Juli 2007).
Kegiatan-kegiatan di Pondok Pesantren “Istighfar” Semarang
kebanyakan dilaksanakan setiap habis Maghri, karena pada siang hari
para santri tetap melaksanakan kewajibannya mencari nafkah untuk
menghidupi keluarga.
48
3.1.6. Visi dan Misi Pondok Pesantren Istighfar
3.1.6.1.Visi
Visi didirikannya Pondok Pesantren “Istighfar”
Semarang adalah sesuai dengan arti Istighfar yaitu ingat.
Maksud dari ingat adalah manusia tidak bisa jauh dan lupa, maka
sudah selayaknya jika selalu minta ampun kepada Allah dengan
ber Istighfar untuk bertaubat kepada Allah dan menemukan jati
diri sebagai makhluk mulia ciptaan Allah.
3.1.6.2.Misi
Membentuk manusia yang berakhlakul karimah yang
bertumpu pada ajaran agama adalah salah satu dari tujuan
dakwah Pondok Pesantren “Istighfar” Semarang. Oleh karena itu
untuk mewujudkannya Pondok Pesantren “Istighfar” mempunyai
misi sebagai berikut:
1. Melakukan pendekatan dengan cara membuka diri dengan
kehidupan para mantan pelaku tindak kriminal supaya timbul
ketertarikan untuk bertaubat kepada Allah.
2. Membimbing mantan pelaku tindak kriminal untuk mengenal
Allah dan mencari ketenangan hidup dengan memberikan
pengajaran ketauhidan.
Ada pun tenaga pengajar dan beberapa pengurus santri yang ikut
membantu mengelola pondok pesantren “Istighfar” adalah Kyai Sarbini
yang menjabat sebagai penasehat, sedang pimpinan dan pendiri Pondok
49
Pesantren Istighfar adalah Muhammad Kusanto (Gus Tanto), Habi Ali
Bahrul sebagai Pembina, Lilik Indiyanti, SH dan Rifqi Bayu, SE sebagai
sekretaris. Anton Sugiarto dan Suprayitno sebagai bendahara dan
beberapa anggota pengurus lainnya adalah Anik Kurniawan,
Abdurahman, Heru Setia Laksana, M. Tasmar, Kuat Sumali, Setiono S,
Imam Agus Nurwiranto, SH, Sumaili, Edy Purnomo, Eko Dede
Surahman, Kasimn, Fans Al-Fariqi, Tukul Arwana, Joko Waluyo,
Muhtar Khudori, Musalam.
3.1.7. Tujuan Pondok Pesantren Istighfar
Tujuan didirikannya Pondok Pesantren Istighfar adalah:
1. Dengan didirikannya Pondok Pesantren Istighfar ini untuk merubah
citra buruk kelurahan Perbalan Purwosari yang sudah terkenal
sebagai sarang preman dan penyakit masyarakat lainnya.
2. Memperkenalkan syari’at-syari’at Islam kepada para mantan
preman.
3. Untuk membina mantan preman agar mengetahui bahwa dirinya itu
ada yang menciptakan yaitu Allah SWT.
4. Membina mantan preman agar mempunyai akhlak yang berpedoman
pada syariat Islam (akhlaqul karimah).
5. Menciptakan satu kesatuan diantara para santri (jama’ah) pondok
pesantren Istighfar (menciptakan ukhuwah Islamiyah) (Wawancara
dengan Gus Tanto, Pengasuh Pondok Pesantren Istighfar, 14-07-
2007).
50
3.2. Pembinaan Mental Agama Dalam Membentuk Perilaku Prososial Santri
Pondok Pesantren Istighfar
3.2.1. Pembinaan Mental Agama Pondok Pesantren Istighfar
Perlombaan dan persaingan hidup yang jauh dari agama telah
menimbulkan rasa individualistis pada diri orang, dimana kepentingan
orang lain kurang menjadi perhatian, dan yang ditonjolkan secara
sadar atau tidak, adalah diri dan kepentingan sendiri. Persaingan dan
perlombaan untuk mencapai keinginan-keinginan dan kebutuhan-
kebutuhan hidup semakin meningkat, sehingga keluarlah manusia itu
dari garis-garis yang ditentukan oleh agama dan hukum-hukum moral.
Akibat perlombaan yang terus menerus itu, terjadilah ketegangan-
ketegangan batin, kegelisahan, ketakutan dan kecemasan, hal ini akan
mengakibatkan pula hilangnya rasa bahagia di dalam hidup (Daradjat,
1982: 22).
Jika kita kembali kepada ahli-ahli pengetahuan yang kurang
percaya kepada Tuhan atau telah meninggalkan ketentuan-ketentuan
pokok ajaran agama, maka pengetahuan yang dimilikinya itu belum
tentu dapat membawa perbaikan dan kebahagiaan bagi masyarakat
dimana ia hidup, bahkan kebahagiaan dirinya pun tidak akan tercapai.
Karena pengetahuan itu akan digunakannya untuk mencapai
keinginan-keinginan yang kadang-kadang berlawanan dengan dasar-
dasar dan hukum norma agama. Keadaan ini kita dapat lihat dalam
kenyataan hidup sehari-hari, terutama di kota-kota besar, dimana
51
orang hidup mementingkan diri sendiri dan kurang mengindahkan
kepentingan orang lain dan kepentingan masyarakat banyak, sebagai
contoh riil dapat kita rasakan sendiri di negara kita misalnya
(Daradjat, 1982: 23).
Hal itu harus disikapi dengan adanya pembinaan mental
agama, pembinaan mental agama adalah suatu usaha untuk kegiatan
yang berupa pemberian bimbingan bantuan dan nasehat tentang ajaran
agama kepada seseorang atau sekelompok orang untuk membentuk,
memelihara dan meningkatkan kondisi mental spiritual yang dengan
kesadaran sendiri bersedia dan mampu mengamalkan ajaran agama
Islam dalam kehidupan sesuai dengan ketentuan dan kewajiban yang
diterapkan oleh Allah S.W.T, sehingga mereka memperoleh
keselamatan baik di dunia maupun di akhirat.
Di Pondok Pesantren Istighfar ini para santri (jama’ah) terdiri
dari preman yang telah terbuka hatinya (mendapatkan hidayah) dari
Allah yang Maha segalanya, dan merekapun taat menjalankan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Pada awalnya
mereka tidak tahu sama sekali tentang agama bahkan juga belum bisa
membaca al-Qur’an. Pelajaran yang mereka dapat pada pertama ia
belajar dengan Gus Tanto adalah tentang rukun Islam, yang terpenting
para jamaah bisa menerapkan hubungannya dengan Allah dan
hubungan antar manusia (Wawancara dengan Gus Tanto, Pengasuh
Pondok Pesantren Istighfar, 14 Juli 2007).
52
Dari pribadi yang harus di bimbing untuk menemukan kembali
siapa dirinya sebagai makhluk mulia ciptaan Allah. Meski mereka
berasal dari latar belakang dunia yang hitam namun semua adalah
hamba Allah, yang perlu akan kehidupan yang membuat dirinya
dihargai dalam lingkungan masyarakat. Serta tidak lepas pula dalam
menjalankan perintah Allah dengan benar.
Dalam hal Pembinaan mental agama yang dilakukan pondok
pesantren Istighfar antara lain:
3.2.1.1.Pada Pengenalan Rukun Iman
Islam adalah ekspresi nyata dari iman, sebagai
pengejawantahan lahiriyah secara kongkrit dan terorganisir
dengan iman. Jadi Islam dan iman harus saling mengisi. Iman
yang sejati adalah yang diekspresikan secara Islami dalam
tingkah laku.
Taqwa dalam al-Qur’an mempunyai pengertian moral
yaitu berhati-hati terhadap bahaya moral (yang rusak), atau
melindungi diri dari hukuman tuhan baik di dunia maupun di
akhirat. Jika iman berkaitan dengan kehidupan batin, maka
Islam penyerahan diri pada hukum-hukum Allah, terutama
yang berkaitan dengan perilaku lahiriyah. Sedang taqwa adalah
merupakan totalitas dari keimanan dan penyerahan (Syukur,
2004: 125).
53
Pengenalan rukun iman yang dimaksudkan adalah
untuk menanamkan kepercayaan setiap individu pada Sang
Pencipta (Allah). Oleh karenanya para jama’ah harus percaya
pada Sang Khaliq agar mereka mudah menjalankan ajaran
agama, maka dari hal itu mereka terpupuk keimanannya
sehingga mereka dapat menjadi orang yang taat pada ajaran
agama. Iman merupakan hal yang terutama dalam kepercayaan
kita pada agama, iman meyakinkan diri bahwa tiada Sang
Pencipta tak lain hanya Allah lah satu-satunya pencipta alam
semesta beserta isinya di muka bumi ini.
Pengenalan pada rukun Iman ini merupakan suatu
usaha untuk membimbing para santri (jama’ah) pondok
pesantren Istighfar yang notabene dari kalangan preman,
supaya percaya bahwa dirinya itu ada yang menciptakan dan
harus taat serta tunduk untuk menjalankan segala perintah dan
menjauhi segala larangan-Nya. Dengan demikian para individu
yang mulanya tidak tahu akan ajaran-ajaran yang ada dalam
agama Islam menjadi mengerti dan paham akan ajaran agama,
terutama tentang keimanan.
Mental agama yang kuat tercipta sedikit demi sedikit
dengan selang berjalanan ketaatan individu dalam menjalankan
perintah-perintah agama dan meninggalkan larangan-larangan-
Nya serta bertambahnya keimanan yang tertanam dalam hati.
54
Terciptanya mental agama yang kuat dalam jiwa, modal utama
mereka adalah keimanan. Di samping itu para santri (jama’ah)
juga mempunyai pribadi yang utuh, menjadi orang yang
berguna bagi keluarga, agama, masyarakat, serta bangsa dan
negaranya. Setelah mereka mempunyai keimanan yang cukup
maka ditanamkan pula tentang rukun Islam (Wawancara
dengan Gus Tanto, Pengasuh Pondok Pesantren Istighfar, 14-
07-2007).
3.2.1.2.Pendekatan pada rukun Islam
Rukun Islam merupakan hal yang terpenting dalam
kehidupan untuk menjadi orang yang taat pada syariat-syariat
agama. Percaya tidak ada tuhan selain Allah itu yang utama
dan terpenting untuk meyakinkan diri bahwasanya tidak ada
makhluk lain yang bisa menyamai Allah Rabbul ‘Alamin sang
pencipta segalanya se isi alam raya.
Di Pondok Istighfar para santri (jama’ah) dikenalkan
rukun Islam untuk memantapkan diri masing-masing supaya
terpupuk jiwa keislaman yang matang dan mumpuni dalam
menjalankan ibadah pada Sang Khaliq. Baik ibadah itu wajib
maupun sunah, atau ibadah yang sifatnya berhubungan dengan
satu individu dengan yang lainnya (Wawancara dengan Gus
Tanto, Pengasuh Pondok Pesantren Istighfar, 14 Juli 2007).
55
Selaras hubungan dengan sesama makhluk dan
hubungan dengan Sang Khaliq itu penting dalam kehidupan
sehari-hari, karena manusia itu hidup di dunia memerlukan
orang lain (berinteraksi sosial). Keseimbangan hubungan
antara manusia dan hubungan kepada Sang Pencipta itu perlu
supaya kita tidak hanya mendapatkan kebaikan di dunia saja
melainkan juga mendapatkan kebaikan di akhirat kelak.
Hubungan kita pada Sang Khaliq (Allah) yang berupa
ibadah contohnya sholat wajib lima waktu dalam satu hari satu
malam. Itu merupakan suatu ibadah yang harus kita lakukan
dengan sepenuh hati dan jiwa raga kita, bila tidak dilakukan
dengan sepenuh hati dan jiwa raga kita, maka kita akan
melakukannya dengan setengah-setengah saja yang akhirnya
kita tidak mendapatkan ganjaran (pahala) melainkan hanya
menggugurkan kewajiban saja. Terpupuknya para santri
(jama’ah) dengan keimanan dan pemahamannya tentang
keagamaan yang telah tertanam dalam diri masing-masing
merupakan keutamaan untuk menjalankan ibadah dengan
ikhlas serta sepenuh hati.
Pendekatan pada rukun Islam merupakan salah satu
dari bentuk pembinaan mental agama yang dilakukan oleh
Pondok Pesantren Istighfar, untuk membentuk pribadi yang
mulanya bergelut dalam lembah hitam (para alumni preman,
56
mantan residivis, dan yang lainnya). Mereka mendekatkan diri
pada Allah untuk mendapatkan ketenangan jiwa dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari. Baik kehidupan
bermasyarakat maupun ibadah langsung dengan Allah.
Sholat merupakan rukun Islam yang kedua, dengan
sholat jamaah diharapkan para santri (jama’ah) dapat
meningkatkan ketaatan beribadah, membina ukhuwah
Islamiyah. Dengan sholat mereka dapat menegakkan
kekokohan Islam, karena siapa saja yang mendirikan sholat
termasuk sudah menegakkan Islam dengan kokoh. Sholat juga
bisa menghindarkan diri dari perbuatan keji dan mungkar serta
dapat pula menentramkan hati para santri (jama’ah). Karena
kebanyakan para santri yang mengikuti pengajian di Pondok
Pesantren Istighfar menginginkan ketenangan jiwa, dengan
ketenangan jiwa ini mereka dapat menjalankan kehidupan
dengan baik dan tidak berbuat kemaksiatan lagi (Wawancara
dengan Gus Tanto, Pengasuh Pondok Pesantren Istighfar, 14
Juli 2007).
3.2.1.3.Puasa (Riyadhoh)
Puasa merupakan amal ibadah yang dilakukan dengan
sepenuh hati dari terbitnya fajar shadiq sehingga terbenamnya
matahari di ufuk barat dengan rukun dan syarat-syarat yang
telah ditentukan. Riyadhoh merupakan suatu amalan yang
57
dilakukan untuk mengharapkan suatu kebaikan dari Allah,
puasa itu sendiri merupakan bentuk dari riyadhoh yang
dilakukan oleh santri (jama’ah) Pondok Pesantren Istighfar.
Santri melakukan puasa dengan ketulusan hati dan keikhlasan,
untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang di larang agama
seperti minum minuman keras, berzina, memalak, membuat
onar dan kejahatan lainnya.
Para santri Pondok Pesantren Istighfar terdiri dari
berbagai individu yang notabenenya adalah para mantan
preman, residivis, para penyakit masyarakat lainnya. Mereka
benar-benar ingin merubah keadaan yang jelek menjadi yang
terbaik. Dengan puasa mereka mendekatkan diri kepada Allah
serta menjauhkan diri dari kejahatan yang telah diperbuatnya
dahulu. Pertama puasa yang di lakukan adalah puasa senin dan
kamis, puasa ini dilakukan layaknya orang beribadah puasa
Ramadhan.
Setelah melakukan puasa senin kamis, santri yang
dianggap mampu menjalankan puasa dengan sepenuh hati dan
ikhlas selanjutnya mereka diharuskan menjalankan puasa
seratus satu hari. Puasa yang dilakukan merupakan suatu
kegiatan untuk para santri agar mereka dapat menjauhkan diri
dari perbuatan yang pernah ia lakukan sebelum menjadi santri,
agar mereka mengetahui bahwa kehidupan itu bukan hanya
58
bersenang-senang saja melainkan juga bersusah payah untuk
mendapatkan kehidupan yang bahagia dan damai serta tenang
hati dan jiwanya. Harapan dari puasa yang dilakukan adalah
untuk menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela
(Wawancara dengan Gus Tanto, Pengasuh Pondok Pesantren
Istighfar, 15 Juli 2007).
Menurut Gus Tanto dengan diterapkannya puasa
manusia akan merasakan betapa lemahnya dirinya. Puasa juga
bisa menghindari hal-hal yang negatif yang sifatnya datang
dari luar diri manusia. Penerapan puasa ini di Pondok
Pesantren Istighfar sebagai penerapan tahap awal masuk
pondok pesantren yang mayoritas santri atau yang biasa
disebut dengan kawan, dari latar belakang kehidupan yang
hitam. Maksud hitam disini adalah orang yang telah banyak
melakukan perbuatan-perbuatan yang sudah dilarang agama,
maka dengan diterapkanya puasa menurut Gus Tanto sebagai
cara atau ujian bagi mereka yang benar- benar ingin bertaubat
dan kembali ke jalan yang benar yakni kepada Allah SWT
(Wawancara dengan Gus Tanto, Pengasuh Pondok Pesantren
Istighfar, 15 Juli 2007).
3.2.1.4.Pembenahan diri (Pembentukan pribadi yang mulia)
Pembentukan pribadi yang mulia, merupakan perbuatan
yang tidak mudah dilakukan, pembinaan harus dilakukan
59
dengan konsisten dan kesabaran. Kesabaran dan konsisten
pembinaan mental agama pada diri santri dapat dilakukan
dengan berbagai cara salah satu caranya adalah pergulatan
dalam nuansa pondok pesantren. Santri Pondok Pesantren
Istighfar yang terdiri dari berbagai latar belakang yang
bermasalah, yang sekarang telah mengabdikan dirinya (taubat)
kepada Allah.
Untuk membimbing para santri agar menjadi pribadi
bermental agama yang kuat, Gus Tanto menggunakan metode
psikologi al-Qur’an. al-Qur’an yang kebenarannya tidak
diragukan lagi, menjadi petunjuk bagi orang yang bertaqwa. Ia
sebagai Al-furqan (pembeda antara yang batil dan yang benar)
mempunyai isi ajaran dan pedoman yang dapat dipakai untuk
mengarungi kehidupan ini. Ia juga sebagai al-Dzikru
(peringatan) agar manusia hidup bahagia, dunia dan akhirat
(Wawancara dengan Gus Tanto, Pengasuh Pondok Pesantren
Istighfar, 15 Juli 2007).
Oleh karena itu al-Qur’an selalu mengajak dan
menjuruskan manusia kepada hal-hal yang praktis yang
dihadapinya setiap hari. Al-Qur’an lebih menekankan amal
dari pada gagasan dan teori, maka iman baru diakui bermakna
jika diikuti oleh amal yang positif dan konstruktif. Hal ini tidak
60
berarti iman itu sendiri. Sebab amal tanpa dilandasi iman, akan
sama fatamorgana di gurun pasir.
Menurut al-Qur’an, eksistensi tuhan benar-benar
bersifat fungsional. Dialah yang memberi petunjuk kepada
manusia (melalui al-Qur’an) dan yang akan mengadili
manusia. Sebagai petunjuk bagi manusia, al-Qur’an memberi
dasar moral yang kokoh dan tidak berubah untuk kepentingan
manusia. Dia memberi jawaban komprehensif terhadap
pertanyaan, bagaimana seharusnya saya bertingkah laku dapat
mencapai kehidupan yang baik di dunia dan bahagia di akhirat
nantinya. al-Qur’an juga mengajarkan bahwa kehidupan yang
baik di dunia merupakan syarat bagi kehidupan di akhirat
(Syukur, 2004: 122).
3.2.2. Pembentukan Perilaku Prososial Pondok Pesantren Istighfar
Pondok Pesantren Istighfar merupakan suatu pondok pesantren
yang santrinya (jama’ah) adalah para individu yang dahulunya
bergelut di lembah hitam. Individu ini telah mendapatkan petunjuk
dari Allah untuk menuju jalan yang lurus serta mendapatkan tuntunan
agama Islam yang luhur. serta membentuk dirinya untuk menjadi
individu yang berakhlak sesuai dengan ajaran agama. Mereka juga
diajarkan untuk menghormati orang lain, bekerja sama, toleransi dan
tolong-menolong diantara sesama manusia atau dengan kata lain
berperilaku prososial.
61
Perilaku prososial adalah suatu tindakan menolong yang
menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu
keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut,
dan bahkan melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong
(Baran, 2005: 95).
Kaitannya dengan hal tersebut pimpinan Pondok Pesantren
Istighfar (Gus Tanto) memberikan petunjuk pada santrinya (jama’ah)
agar mereka membentuk perilaku prososial dengan:
3.2.1.1.Tolong menolong sesama umat manusia (tasamuh)
Tolong menolong diantara sesama manusia dalam
hidup bermasyarakat merupakan keharusan sebagai makhluk
sosial. Kerjasama atau tolong-menolong yang diharapkan
tentunya yang didasarkan atas kebaikan dan kebenaran,
sehingga tercipta yang di dalam hubungannya diantara sesama
manusia penuh dengan keharmonisan. Oleh karena itu, dalam
hal ini Islam selalu menyeru kepada umat manusia untuk
bekerjasama atau tolong-menolong dalam hal kebaikan dan
kebenaran yang dapat menjamin terciptanya suasana harmonis
dan dapat di terima oleh semua pihak, sebagaimana firman
Allah:
وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان واتقوا
)2:املائدة(الله إن الله شديد العقاب
62
Artinya: “Dan tolong-menolong kamu (dalam menjalankan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, Dan bertakwalah kau kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat berat siksanya” (QS. Al-Maidah:2).
Atas dasar kebajikan dan takwa inilah manusia
mempunyai tugas ganda untuk menjaga keharmonisan
hubungannya dengan sesama manusia sebagai makhluk sosial,
dan dengan Tuhannya sebagai makhluk individu. Namun
Islam jarang berbicara kepada manusia sebagai makhluk
individu, manusia selalu divisualisasikan sebagai anggota
masyarakat yang memperoleh penghidupan dengan
bekerjasama secara jujur. Dalam hal ini Khalifah Abdul
Hakim mengatakan, yang dikutip oleh (Adnan, 2003: 41).
Menurut Islam, spiritualitas memiliki dua aspek, ia
merupakan hubungan pribadi antara manusia dengan Allah,
sedangkan dengan sesame manusia dan masyarakat ia
melahirkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sosial. Tak ada
seorangpun yang secara spiritual hanya mencari keselamatan
bagi diri sendiri dengan mengasingkan dirinya dari
masyarakat, ikatan-ikatan sosial terjalin kuat dengan
pribadinya. Agama bukan lah sekedar do’a dan peribadatan
yang bicara atau dilakukan ber ulang-ulang di biara atau gua,
melainkan kehidupan sosial nyata yang dijalani sesuai dengan
tujuan hidup. Oleh arena itu Islam tidak membenarkan
63
kehidupan pertapaan dan sikap acuh tak acuh secara mistik,
sholat yang diwajibkan-Nya merupakan sholat yang harus
dilakukan lebih baik secara bersama-sama (berjama’ah), walau
pun setiap muslim juga dianjurkan untuk menghadap langsung
secara sendiri-sendiri kepada Allah pada saat-saat tertentu,
terutama pada sholat keheningan dan kegelapan malam,
walaupun hal ini menyangkut dan memperdalam keyakinan
jiwanya, namun dia juga diwajibkan amal sholeh dalam rangka
menghadapi persoalan-persoalan hidup sehari-hari.
Namun tidak menutup kemungkinan dalam hubungan
dan kerjasama diantara sesama manusia, akan ditemui adanya
perbedaan-perbedaan, baik yang bersifat fundamental
(keyakinan agama), maupun yang bersifat alamiah (ras).
Pandangan Islam mengenai hubungan dan kerjasama yang
lebih luas menyatakan bahwa idiologi yang diterapkan sebagai
pandangan hidup bagi masing-masing penganutnya, asalnya
tidak menimbulkan pertikaian. Islam mengakui adanya
kemungkinan bagi sistem sosial, ekonomi dan keagamaan
yang berbeda-beda untuk saling melakukan hubungan damai.
Tak satupun agama berhak memaksakan orang lain untuk
tunduk pada agama mereka (Adnan, 2003: 40-43).
Pada dasarnya manusia tidak dapat dianggap bebas dari
ketergantungan diantara sesamanya. Sebagai konsekuensi
64
keberadaan mereka di dunia ini, manusia saling memberikan
pelayanan kepada sesama dan bekerjasama dalam rangka
memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka masing-masing.
Keterkaitan ini menurut Islam merupakan persaudaraan
agamis atau ukuwah diniyah diantara sesama muslim.
Dalam hubungan persaudaraan ini, hak-hak dan
kewajiban-kewajiban sosial dilaksanakan dalam bentuk yang
paling sempurna. Persaudaraan inilah yang paling kuat dalam
rangka menciptakan suasana yang harmonis, simpati dan
penuh kegotong-royongan. Dengan kesadaran akan arti
pentingnya persaudaraan tersebut, masyarakat bergerak
menuju kebaikan dan menjauhi segala keburukan (Adnan,
2003: 67).
Kaitannya dengan hal tersebut Pondok Pesantren
Istighfar bergotong-royong dengan sukarela baik kegiatan
memperbaiki pondoknya sendiri, maupun dalam kegiatan yang
sifatnya membangun, khususnya di lingkungan masyarakat
sendiri, baik itu berupa fisik maupun non-fisik. Seperti halnya
ketika mengadakan kegiatan bersih-bersih lingkungan,
memperbaiki jalan, membangun masjid, mengajar anak-anak
membaca dan menulis al-Qur’an, berbahasa Inggris serta
menuturkan agar mereka mempunyai budi pekerti yang luhur.
65
3.2.1.2.Menyantuni anak yatim piatu
Kehidupan bermasyarakat merupakan kehidupan yang
saling ketergantungan antara satu dengan lainnya, saling
membutuhkan bantuan diantara sesama, baik itu tenaga,
pikiran, material untuk mencukupi kehidupan sehari-hari.
Yang paling membutuhkan uluran tangan kita adalah anak
yatim piatu, karena mereka menanggung beban hidup sendiri.
Dalam Islam anak yatim piatu haruslah diperhatikan
dengan baik dan harus disantuni. Penyantunan anak yatim
piatu di Pondok Pesantren Istighfar ini merupakan salah satu
kegiatan yang dilakukan untuk memupuk jiwa sosial santri
(jama’ah). Pembentukan jiwa sosial yang dilakukan oleh
Pengasuh Pondok Pesantren Istighfar untuk memberikan
pelajaran pada santri supaya mereka mengetahui keadaan
orang lain yang membutuhkan bantuannya. Dengan demikian
mereka dapat merasakan kesusahan dan penderitaan yang
dialami oleh anak yatim piatu (Wawancara dengan Gus Tanto,
Pengasuh Pondok Pesantren Istighfar, 16 Juli 2007).
Dari santunan ini mereka merasa terkurangi bebannya,
bersemangat dalam menatap kehidupan esok hari. Santri
(jama’ah) yang memberikan santunan memperoleh pelajaran
yang berharga, terbentuk jiwa sosial bagi mereka, demi
terciptanya kehidupan bermasyarakat baik diantara santri
66
(jama’ah) maupun dengan masyarakat luas. Pengalaman
adalah pelajaran yang berharga bagi siapa saja yang
memperolehnya baik itu pengalaman spiritual maupun
pengalaman dalam berinteraksi dengan masyarakat.
Dengan pengalaman mereka merasa bahwa dirinya itu
bukanlah apa-apa di hadapan Sang Khaliq pencipta alam raya
ini. Santri (jama’ah) melakukan kegiatan ini untuk
mengabdikan diri semasa hidupnya agar mendapat ridho Allah.
Dengan ridho Allah kita dapat menjalankan kehidupan dengan
tentram, bahagia, dan sukses untuk melangkah ke masa depan
yang sejahtera.
Kehidupan masyarakat bermacam-macam ragamnya
ada yang peduli dengan orang lain dan ada pula yang acuh tak
acuh. Dengan keragaman ini mereka disatukan untuk menjadi
santri (jama’ah) yang peduli akan orang lain, menjadi orang
yang mempunyai pemikiran yang bijak serta rela memberikan
apa pun yang di butuhkan oleh orang lain (Wawancara dengan
Gus Tanto, Pengasuh Pondok Pesantren Istighfar, 16 Juli
2007).
3.2.1.3.Donor Darah
Keselamatan seseorang yang membutuhkan
pertolongan orang lain dalam kehidupan sosial pastilah
banyak, kita saja yang tidak mengetahuinya bahwa orang lain
67
membutuhkan sesuatu dari kita. Contoh riilnya adalah orang
yang membutuhkan darah untuk transfusi darah, maka Pondok
Pesantren Istighfar mencanangkan pada semua santrinya
(jama’ah) untuk melakukan kegiatan kemanusiaan yang berupa
donor darah dalam waktu tiga bulan satu kali. Kegiatan itu
disambut dengan ikhlas oleh santri, mereka memberikan darah
untuk orang lain yang membutuhkan dengan pedoman bahwa
penderitaan orang lain juga merupakan penderitaan kita.
(Wawancara dengan Gus Tanto, 16 Juli 2007).
Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi satu
kesatuan yang utuh, bagaikan satu kesatuan tubuh kita yang
apa bila satu anggota tubuh sakit maka yang lainnya
merasakan sakit juga. Kemuliaan ajaran Islam merupakan
suatu pendidikan bagi kita, agar kita mencermatinya dalam
kehidupan sehari-hari, baik itu kehidupan beragama,
bermasyarakat maupun kehidupan sesama umat beragama.
Sehingga dapat terwujud kehidupan yang damai dalam
masyarakat yang luas. Kedamaian atau ketentraman hidup itu
tercipta karena adanya kebersamaan diantara umat manusia,
yang menyadari akan adanya hal tersebut, tapi mungkin juga
diantara yang lainnya tidak peduli akan adanya kebersamaan,
kebersamaan terpenuhi akan kebutuhan bermasyarakat maupun
kebutuhan masing-masing individu dalam keluarga.
68
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PEMBINAAN MENTAL AGAMA DALAM
MEMBENTUK PERILAKU PROSOSIAL
4.1.Analisis Pembinaan Mental Agama Pondok Pesantren Istighfar
Pembinaan mental agama merupakan salah satu program yang ada
dalam Pondok Pesantren Istighfar. Hal itu di adakan karena pondok pesantren
tersebut menginginkan semua santrinya menjadi orang yang memiliki
pegangan hidup yang kuat, mental agama yang kuat. Pembinaan mental
agama adalah usaha yang diarahkan bagi terbentuknya kebulatan gerak gerik
yang dinamis sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Sedangkan dalam arti
yang luas pembinaan mental agama adalah bagian dari dakwah, yakni suatu
usaha untuk merealisasikan ajaran Islam dalam semua segi kehidupan
manusia.
Sebagai instansi yang bergerak dibidang keagamaan Pondok Pesantren
Istighfar membina santri (jama’ah) untuk mengetahui ajaran agama Islam
seutuhnya. Ajaran agama diberikan kepada pribadi yang tidak taat pada ajaran
agama (mantan preman, pembuat onar, mantan pemabuk, mantan residivis),
mereka semua insaf dengan apa yang telah mereka perbuat pada masa lalu.
Taubat dengan sungguh-sungguh (taubatan nasuha), menjalankan perintah
agama dan menjauhi apa yang dilarang dalam agama (taqwa).
69
Untuk menyikapi hal tersebut Gus Tanto selaku Pengasuh Pondok
Pesantren Istighfar dengan hati yang ikhlas serta mengharap ridho dari Allah,
mengajarkan santrinya (jama’ah) untuk mendekatkan diri kepada Sang
Khaliq. Dengan mendekatkan diri pada Allah mereka akan menjadi tenang
pikirannya, serta terkontrol semua apa yang diperbuat.
Ketaqwaan seseorang menjadi pondasi dalam menuju kehidupan
beragama yang baik dan benar serta mendapatkan hidayah dari Allah, dan
tidak lupa pula penanaman keimanan pada diri individu supaya mereka tidak
keluar dari norma-norma agama. Mereka menjadi orang yang teguh dalam
pendirian dan rajin dalam beribadah serta tabah dalam menerima cobaan yang
menimpa dalam kehidupan penuh rintangan.
Dengan keimanan dan ketaqwaan mereka menjalankan kehidupan
sehari-hari, sebagai kunci untuk mendapatkan rahmat serta hidayah dari Allah.
Dengan demikian para santri (jama’ah) selalu berbuat baik kepada sesama,
karena mereka mengetahui bahwa hidup itu harus selaras antara ibadah
kepada Allah dan berbuat baik dengan sesama manusia. Terciptanya
kehidupan yang seimbang antara kehidupan duniawi dan ukhrawi santri
(jama’ah) mendapatkan ketenangan jiwa, karena hal seperti itu merupakan
sesuatu yang didambakan dalam kehidupan setiap insan umat Islam
khususnya dan seluruh manusia pada umumnya.
Mantan tindak kriminal sekarang telah menjadi orang yang
mempunyai mental agama yang kuat, dan tidak lagi mudah tergoda dengan
kenikmatan dunia yang sifatnya hanya sementara dan selalu menjerumuskan
70
manusia ke jalan yang tidak diberkahi Allah. Pembinaan mental agama yang
diperoleh dari pondok pesantren Istighfar merupakan hasil kerja keras dan
keikhlasan seorang Kyai Tombo Ati (Gus Tanto) yang tidak bosan-bosannya
meluangkan waktu, pikiran dan tenaganya dalam mendidik santrinya sehingga
dengan kesabaran dan keuletanya Gus Tanto kini berhasil merubah tingkah
laku para santrinya menjadi orang yang berakhlak mulia serta bisa di terima
masyarakat.
Pembinaan mental agama yang dilakukan di Pondok Pesantren
Istighfar meliputi aspek:
1. Pengenalan pada rukun iman
2. Pendekatan pada rukun Islam
3. Puasa (riyadhoh seratus satu hari)
4. Pembenahan diri (pembentukan pribadi yang mulia).
Dengan hal tersebut santri (jama’ah) memulai kehidupan agamanya
dari pemupukan keimanan sampai menjadi individu yang berakhlak mulia,
serta menjadi orang yang berguna bagi masyarakat, dan agamanya. Tidak
seperti dulu ia hanya berbuat maksiat dan hal-hal yang meresahkan orang lain
(bertindak kriminal). Mantan tindak kriminal kini menjadi orang yang
mentaati segala perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya.
71
4.2.Analisis Pembinaan Mental Agama dalam Membentuk Perilaku Prososial
Santri Pondok Pesantren Istighfar
Apabila manusia mempunyai pengetahuan luas tapi manusia sendiri
tidak percaya kepada Tuhan atau telah meninggalkan ketentuan-ketentuan
pokok ajaran agama, maka pengetahuan yang kita miliki itu belum tentu dapat
membawa perbaikan dan kebahagiaan bagi masyarakat dimana ia hidup,
bahkan kebahagiaan dirinya pun tidak akan tercapai. Karena pengetahuan itu
akan digunakannya untuk mencapai keinginan-keinginan yang kadang-kadang
berlawanan dengan dasar-dasar dan hukum norma agama (Daradjat, 1982: 23).
Pengetahuan tanpa didasari agama yang kuat akan menjadikan
individu sebagai umat manusia tidak mempunyai petunjuk, tidak mempunyai
pegangan hidup yang kuat. Dengan demikian perlu adanya pembinaan mental
agama agar individu sebagai makhluk sosial tahu akan keadaan orang lain
yang membutuhkan pertolongan, karena orang hidup saling membutuhkan
orang lain.
Perilaku prososial adalah suatu tindakan menolong yang
menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan
langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan bahkan
melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong (Baran, 2005: 95).
Pedoman hidup yang kuat atau mental agama yang kuat akan
menjadikan individu peduli akan keadaan individu lainnya, atau dengan kata
lain perilaku prososial akan timbul pada diri seseorang. Di Pondok Pesantren
72
“Istighfar” merupakan salah satu pondok pesantren yang semua santrinya
berasal dari individu mantan pelaku tindak kriminal.
Mantan pelaku tindak kriminal ini bisa berubah menjadi baik,
menghentikan tidak pidana karena adanya faktor yang mempengaruhi,
menurut pakar psikologi Universitas Diponegoro (UNDIP) Drs. Zaenal
Abidin, M.Si, mengatakan hal yang mendasari para preman menghentikan
tindak tidak terpuji, itu dikarenakan dua hal. Yang pertama adalah faktor
internal, para tindak pidana kembali ke jalan yang benar karena disebabkan
oleh kesadaran yang datang dari dalam dirinya sendiri. Datang karena naik
turunnya iman, panggilan hati atau sejenisnya.
Semua manusia di dunia mempunyai sifat baik dan buruk. Disinilah
maka profesi sebagai preman atau gali (pelaku tindak kriminal) itu lambat
laun akan ditinggalkan karena fitrah itu. Dalam diri manusia itu ada sisi hitam
dan putih yang fluktuatif, biasanya para pelaku tindak kriminal yang bertaubat
itu lebih tinggi keagamaannya.
Hal kedua yang menyebabkan pelaku tindak kriminal bertaubat adalah
disebabkan faktor eksternal, yaitu mereka berubah karena pengaruh
lingkungan, keluarga, atau karisma seseorang. Berubahnya para pelaku tindak
kriminal ke jalur yang lurus itu juga disebabkan dari pengaruh luar dirinya
sendiri sebagai sesuatu yang memberi stimulus terpenting untuk kembali ke
jalan yang lurus (Amanat, 2006: 24).
73
Mantan pelaku tindak kriminal kini telah menjadi orang yang
beragama karena karismatik seorang yang berjiwa besar dan peduli akan nasib
para pelaku tindak kriminal dia adalah Gus Tanto. Dari sinilah mereka
memupuk jiwa kepeduliannya terhadap orang lain yang membutuhkan
pertolongan.
Gus Tanto yang disebut juga Kyai Tombo Ati itu menanamkan
kepedulian santrinya terhadap orang lain dengan beberapa aspek diantaranya:
1. Tolong menolong sesama manusia (tasamuh).
2. Menyantuni anak yatim piatu.
3. Menyumbangkan darahnya pada orang yang membutuhkan (donor darah).
Dengan ketiga aspek tersebut diharapkan mampu memberikan suatu
dorongan spiritual maupun sosial terhadap santri (jama’ah) dalam
bermasyarakat, baik itu di lingkungan pondok pesantren dan di lingkungan
masyarakat sekitar. Dan juga menumbuhkembangkan kehidupan sosial,
keagamaan yang dimiliki santri (jama’ah).
74
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Pribadi tindak kriminal setelah mendapat pembinaan mental agama
yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Istighfar, mereka sadar akan
keadaannya sebagai makhluk Tuhan. Sebagai individu yang harus
menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala larangan-laranganNya
(taqwa). Menjalankan perintah Allah dengan hati ikhlas baik itu perintah
beribadah dengan Allah, maupun perintah berbuat baik sesama manusia yang
berupa tolong-menolong, kerjasama dan sebagainya. Pembinaan metal agama
yang dilakukan dengan pendekatan pada rukun Iman, individu meyakini
adanya sang pencipta dengan sepenuh hati. Dan menjalankan ibadah dengan
sungguh-sungguh serta tidak terpengaruh dengan kehidupan duniawi yang
sifatnya sementara saja yang terkadang manusia terlena sehingga terjerumus
dalam lembah hitam.
Tolong-menolong, menyantuni yatim piatu dan donor darah
merupakan kegiatan sosial yang dihasilkan dari pembinaan mental agama. Hal
itu merupakan sikap yang timbul dari perilaku prososial santri (jama’ah).
Santri merasakan bahwa orang lain adalah juga dirinya sendiri karena sesama
umat Islam merupakan satu tubuh, satu kesatuan yang utuh apabila satu
anggota tersakiti maka anggota yang lainnya juga merasa sakit.
75
Terciptalah hubungan yang harmonis antara ibadah dengan Allah dan
toleransi antar manusia. Merupakan ukhuwah Islamiyah yang harus diterapkan
baik dalam kehidupan sesama santri maupun interaksi sesama masyarakat.
Karena manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan bantuan orang
lain.
Kehidupan keagamaan terpenuhi dengan ibadah kepada Allah,
kehidupan sosial baik itu berhubungan antara sesama manusia maupun dengan
yang kuasa maka individu akan merasakan kedamaian dalam hidupnya.
Manusia hidup hanya karena satu hal mendambakan kedamaian, baik itu
kehidupan dunia maupun kehidupan di akhirat kelak.
5.2.Saran-saran
1. Dapat memberikan sumbangsih khasanah ilmu ke-Islam-an bagi santri
Pondok Pesantren Istighfar Semarang.
2. Pimpinan Pondok Pesantren Istighfar hendaknya lebih memperhatikan
kondisi jamaahnya yang berlatar belakang dari dunia hitam, agar usaha
yang dilakukan dapat berhasil sesuai dengan tujuan.
3. Pimpinan pondok pesantren hendaknya menjadi contoh bagi masyarakat
juga bagi santrinya (jamaah).
76
5.3.Penutup
Puji syukur Alhamdulillahirobil’alamin penulis sampaikan kepada
Allah SWT, dengan ridho, hidayah serta limpahan Rahmat-Nya, penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini. Penulis sadari bahwa dalam penulisan ini banyak
kekurangan, baik dari segi bahasa, penulisan, penyajian, sistematika,
pembahasan, maupun analisisnya. Dengan memanjatkan do’a, mudah-
mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis, siapa saja yang membacanya
serta bermanfaat bagi keilmuan Bimbingan dan Penyuluhan Islam (BPI).
77
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, 2003, Islam Sosialis Pemikiran System Ekonomi Sosialis Religius Sjafruddin Prawiranegara, Semarang : Pustaka Rasail.
Ahmad, 1985, Amrullah, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta:
PLPSM. Arikunto, 1996, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,
Jakarta: P.T. Rineka Cipta. Asegaf, Husein, 1998, Pedoman Penyuluhan Agama dan pedoman Dakwah
Melalui Media Mass dan Seni, Dirjen Bimas Dan Urusan Haji, Jakarta : Depag RI.
Azwar, Syaefudin, 1998, Metode Penelitian, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Baron, R.A, & Byrne, D., 1994, Social Psychology, Boston, Allyyn & Bacon. Berry, W. John, 1999, Psikologi Lintas Budaya, Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka
Utama. Cholijah, elt, 1996, Hubungan Kepadatan dan Kesesakan dengan Stress dan
Intensi Prososial Pada Remaja di Pemukiman Padat. Dayakisni, Tri, dan Yuniardi, Salis, 2004, Psikologi Lintas Budaya. Daradjat, Zakiah, 1976, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang. Daradjat, Zakiah, 1989, Kesehatan Mental, Jakarta: CV. Haji Masagung. Daradjat, Zakiah, 1982, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, Jakarta :
Bulan Bintang. Daradjat, Zakiah, 1980, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta,
Gunung Agung. Draver James, 1986, Kamus Psikologi, Bina Aksara. Farida, Eli, Ida, Pembinaan Mental Agama Islam terhadap Remaja Bayangkari di
Asrama Polisi Kabluk Semarang, Skripsi Fakultas Dakwah, IAIN Walisongo Semarang, 2000.
Hadi, Sutrisno, 1991, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset.
78
Helmy, Masdar, 1973, Dakwah Dalam Alam Pembangunan, Semarang : CV Toha Putra.
Husain, Muhammad, Thaba’thabai, 1989, Inilah Islam, Jakarta : Pustaka Hidayah. Khalifah, Hamdani, Membina Kepribadian Masyarakat Melalui Pengalaman
Agama, Dirjen Binbaga Islam, Depag RI, Jakarta Khamdiono, 2005, Pembinaan Mental Agama Dalam Upaya Meningkatkan
Akhlak Di Panti Karya Wanita, Skripsi Fakultas Dakwah, (Tidak Dipublikasikan Skripsi IAIN Walisonga Semarang, 2005)
Kartono, Kartini, 1999, patologi Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Perdsada. Moleong, J. Lexy, 1998, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya. Nata Abuddin, 2002, Metodologi Studi Islam, Jakarta : Grafindo Persada. Noer, Deliar, 2003, Islam dan Masyarakat, Jakarta: Yayasan Risalah. Ndraha, Taliziduhu, 2003, Budaya Organisasi, Jakarta: P.T. Rineka Cipta. Purwadarminta, W.J.S, 1996, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta Rifai, Muh, 2002, Peranan Kyai dalam Pembinaan Mental Agama Pada Remaja
di Kecamatan Gubug, Kabupaten Grobogan, Skripsi Fakultas Dakwah, (Tidak Dipublikasikan Skripsi IAIN Walisonga Semarang)
Sholeh, Abdul, Rasyid, 1993, Manajemen Dakwah Islam, Jakarta, Bulan bintang. Sukir, Asmuni, 1983, Dasar-dasar dan Strategi Islam, Surabaya, Al-ikhsan. Su’udi, Ghafran, 1986, Mencari Sosok Pembina dalam Rangka Mewujudkan
Generasi Muda Islam Idaman, Jakarta : Dirjen Bim Baga Islam, Depag RI.
Subagyo, Muhammad, 2003, Kelurahan Ilmu Dakwah, Yogyakarta: Pelajar
Offset. Soekanto, Soerjono, 2002, Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, Jakarta : P.T. Raja
Grafindo Persada. Soekanto, Soerjono, 2002, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: P.T. Raja Grafindo
Persada.
79
Syukur, Amin, 2004, Tasawuf Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Walgito, Bimo, 2003, Psikologi Sosial Suatu Pengantar, Yogyakarta: Andi
Offset.