pembentukan madzhab-madzhab fiqh
DESCRIPTION
PEMBENTUKAN MADZHAB-MADZHAB FIQHTRANSCRIPT
MAKALAH PENGANTAR ILMU FIQHTENTANG
PEMBENTUKAN MADZHAB-MADZHAB FIQH
OLEH : KELOMPOK 4NAMA : ------------------
MUHAMMAD AWALUDIN FAIZIN AHMAD JUPRI SAMSURI ALAN PURWANSYAH
JURUSAN : AS – ASEMSTER : I ( SATU )
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) MATARAM
2010KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt, yang telah melimpahkan rahmat taufik dan
hidayahnya kepada kita semua. Dan tak lupa pula salawat serta salam kami haturkan kepangkuan
baginda nabi besar Muhammad Saw, karena berkat perjuangan dan usaha beliau kita semua dapat
menikmati islam dengan sebaik-baiknya agama.
Syukur alhamdulillah makalah ini bisa selesai tepat pada waktunya. Didalam makalah ini
kami akan membahas tentang “Pembentukan Madzhab-Madzhab Fiqh”. Kami mengucapkan banyak
terimakasih kepada Bapak Dosen Mata Kuliah Pengantar Ilmu Fiqh ( M. Noor, M.HI ) yang telah
memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada kami untuk membuat makalah ini. Dengan rendah
hati, kami ingin menyampaikan beribu maaf apabila terjadi kesalahan dan kekeliruan pada penulisan
makalah ini. Kami juga mohon kritik dan sarannya dalam penyempurnaan makalah ini, karena kami
masih dalam tahap belajar.
Akhirul kalam jazakumullahu khairon ,wassalam.
Mataram, 28 Oktober 2010
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian madzhab
a. Titik tolak atau sejarah pembentukan madzhab
b. Factor – factor yang menimbulkan madzhab
2.2 Macam – macam madzhab
2.3 Dasar – dasar madzhab
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Belakangan ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting. Paling
tidak, karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika
pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah usai
di manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang sedang
mengalami modernisasi. Di lain pihak, evolusi historikal dari perkembangan fiqih secara
sungguh-sungguh telah menyediakan frame work bagi pemikiran Islam, atau lebih tepatnya
actual working bagi karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri.
Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut perkembangan Islam, dan bahkan secara
amat dominan, fiqih -- terutama fiqih abad pertengahan -- mewarnai dan memberi corak bagi
perkembangan Islam dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang
masalah kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya
menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan Islam berikutnya.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah agar kita khususnya para mahasiswa dapat
memahami dan mengerti tentang :
1. pengertian mazhab,
2. latar belakang munculnya madzhab
3. macam – macam madzhab dalam fiqh
BAB II
PEMBAHSAN
2.1 Pengertian Madzhab
Mazhab adalah istilah dari bahasa Arab, yang berarti jalan yang dilalui dan dilewati,
sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak. 1Sesuatu dikatakan mazhab
bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli
agama Islam, yang dinamakan mazhab adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui
pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang
jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.
a. Titik Tolak atau Sejarah Pembentukan Madzhab
Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas ke berbagai
penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan berpencar-pencar ke negara yang
baru. Dengan demikian, kesempatan untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah
memecahkan sesuatu masalah sulit dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim
Abdul Aziz Khomis menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf(perbedaan
pendapat) di kalangan sahabat ada tiga yakni : 2
1. Perbedaan para sahabat dalam memahami nash-nash al-Qur’an
2. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat
3. Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu.
Sementara Jalaluddin Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang
berbeda, Ia berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat adalah
prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada zaman
Rasulullah SAW.
Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabi’in, muncullah
generasi Tabi’it Tabi’in. Ijtihad para Sahabat dan Tabi’in dijadikan suri tauladan oleh
generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada
waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabi’it Tabi’in. Di dalam sejarah dijelaskan
1 www.wikipedia.org2 Pengantar ilmu fiqh
bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad kedua hijriah, di mana pemerintahan Islam
dipegang oleh Daulah Abbasiyyah.
Dari mata rantai sejarah ini jelas terlihat bahwa pemikiran fiqih dari zaman sahabat, tabiin
hingga munculnya mazhab-mazhab fiqih pada periode ini. Dari sini pula kita dapat
merumuskan apa sebab-sebab munculnya mazhab pada periode ini. Namun mazhab-mazhab
muncul pada periode ini tidak terbatas pada empat mazhab – Mazhab Hanafi, Maliki,
Syafi’ie dan Hambali – seperti yang ada sekarang.
Dr. Thaha Jabir Fayyadh al-‘Ulwani berkesimpulan bahwa saat itu muncul sekitar tiga
belas mazhab yang semuanya berafiliasi sebagai mazhab yang “Ahlu Sunnah”, tetapi hanya
delapan atau sembilan mazhab saja yang dapat diketahui dengan jelas dasar-dasar dan
metode fiqhiyah yang mereka pergunakan. Para imam mazhab-mazhab itu adalah : Imam
Abu Sa’id bin Yasar al-Bashir (wafat 110 H.), Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit bin
Zuthi (wafat 150 H.), Imam Auza’ie Abu Amr Abdur Rahman bin Amru bin Muhammad
(wafat 157 H.), Imam Sufyan bin Said bin Masruq al-Tsauri (wafat 160 H.), Imam Laits bin
Sa’d (wafat 157 H.), Imam Malik bin Anas al-Anshari (Wafat 179 H.), Imam Sufyan bin
Uyainah (wafat 198 H.), Imam Muhammad bin Idris al Syafi’ie (wafat 204 H.), dan Imam
Ahmad bin Muhammad bin Hambal (wafat 241 H.) .
Muhammad Khudari Beik (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam
periode. Yaitu Periode risalah, Periode khulafaurrasyidun, Periode awal pertumbuhan fiqih,
Periode keemasan, Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqih, dan yang terakhir
adalah periode kemunduran fiqih .
1. Periode risalah .
Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad S.A.W. sampai wafatnya Nabi S.A.W.
(11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan
Rasulullah S.A.W. Sumber hukum ketika itu adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi S.A.W.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada
periode Makkah, risalah Nabi S.A.W lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum
yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian
mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah
menuju penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang
hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah
SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah.
2. Periode al-Khulafaur Rasyidun.
Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad S.A.W sampai Mu'awiyah bin Abu
Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada
periode ini, disamping Al-Qur'an dan sunnah Nabi S.A.W., juga ditandai dengan munculnya
berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan
hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar
bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas
dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat.
3. Periode awal pertumbuahn fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini
merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan
bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun
(terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya
berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai
dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
4. Periode keemasan.
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam
periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam
Pertama. Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah
semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu
pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama,
tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan
menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian
para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal
Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari
formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para
penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid
(memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan
al-Ma'mun.
Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul
fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa'
oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir
oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-
Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun
bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
5. Periode tahrir, takhrij, dan tarjih
Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang
dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-
masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam
mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh.
Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam
mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada
lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip
mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi
al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam
mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara
mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab)
sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali
muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga
faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut.
o Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di
pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
o Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan
berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam
mazhab.
o Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan
orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi
masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Dari sini muncul sikap taqlid pada
mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan
haram melakukan talfiq.
6. Periode kemunduran fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam
al- 'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan
fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun
pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan
periode taqlid secara membabi buta.
Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab
fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa
berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab
atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku
mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut. Mustafa
Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada
periode ini.
o Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan
buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam
berbagai mazhab.
o Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti
diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil
amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan
hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu.
Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman,
Muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah
ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya
suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara', tetapi
atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling
tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah.
Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah
sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak
mau melunasi utang tersebut.
Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan
Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat
mufti Kerajaan Turki Usmani).
Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi
pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti
Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di
seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.Semasa Rasulullah s.a.w.
hidup, beliau merupakan madrasah utama umat islam dalam mempelajari segla urusan agama
dan yang berhubungan dengan urusan agama dan dunia. Oleh karena itu, pada masa
Rasulullah s.a.w. tidaklah terjadi perselisihan, khilaf, baik dalam bidang pokok agama
maupun dalam bidang cabang – cabang agama.
Sesudah Rasulullah s.a.w. wafat barulah timbul perselisihan dalam kalangan umat islam di
bidang ushul dan bidang furu’. Perselisihan yang terjadi dikalangan sahabat ialah mengenai
pendapat bahwa : “apakah Nabi benar – benar meninggal atau hanya diangkat Allah saja” 3.
Sedang dibidang amaliyah, perselisihan para sahabat ialah dalam hal pemerintahan yaitu
mengenai khlifah dan sekitar kaum yang murtad. Akan tetapi, perselisihan – perselisihan
yang timbul itu merupakan titik tolak bagi lahirnya berbagai madzhab dikemudian hari.
Ada dua golongan sahabat yang melakukan usaha pemebntukan madzhab :
1. Golongan para sahabat yang berani membahas dan menganalisa, dan berani memberi
fatwa baru tanpa ragu.
Golongan sahabat ini merupakan mereka yang ememahami, mendalami di jiwa syari’at.
2. Golongan para sahabat yang tidak berani memberi fatwa – fatwa terhadap kejadian –
kejadian yang baru.
Golongan para sahabat ini merupakan mereka yang membatasi diri dalam petunjuk lafaz
saja dan mereka hanya menyebut makna yang lahir saja (jelas adanya).
b. Faktor – factor yang menimbulkan madzhab 3
Secara umum penyebab muncul adanya madzhab adalah disebabkan oleh tiga factor yang
sangat menentukan bagi perkembangan hukum Islam sesudah wafatnya Rasulullah yaitu:
1. Meluasnya daerah kekuasaan Islam, mencakup wilayah-wilayah di semenanjung Arab, Irak,
Mesir, Syam, Persia, dll.
2. Pergaulan bangsa Muslimin dengan bangsa yang ditaklukkannya, mereka berbaur dengan
budaya, adat-istiadat, serta tradisi bangsa tersebut.
3. Akibat jauhnya Negara-negara yang ditaklukkan dari pemerintahan Islam, membuat para
Gubernur, Qadi, dan para Ulama harus melakukan ijtihad guna memberikan jawaban
terhadap problem dan masalah-masalah baru yang dihadapi.
Pada masa tabi’in, ijtihad sudah mempola dua bentuk yaitu yang lebih banyak menggunakan
ra’yu yang ditampilkan “Madrasah Kufah”, dan yang lebih banyak menggunakan hadis atau
sunnah yang ditampilkan “Madrasah Madinah”. Masing-masing madrasah menghasilkan para
mujtahid kenamaan.
Pada masa ini para mujtahid lebih menyempurnakan lagi karya ijtihadnya antara lain dengan
cara meletakkan dasar dan prinsip-prinsip pokok dalam berijtihad yang kemudian disebut
“ushul”. Langkah dan metode yang mereka tempuh dalam berijtihad melahirkan kaidah-kaidah
umum yang dijadikan pedoman oleh generasi berkutnya dalam mengembangkan pendapat
pendahulunya. Dengan cara ini, setiap mujtahid dapat menyusun pendapatnya secara sistematis,
terinci, dan operasional yag kemudian disebut “fiqh”. Mujtahid yang mengembangkan rumusan
ilmu ushul dan metode tersendiri disebut “mujtahid mandiri”.
Dalam berijtihad, mereka langsung merujuk pada dalil syara’ dan menghasilkan temuan
orisinil. Karena antar para mujtahid itu dalam berijtihad menggunakan ilmu ushul dan metode
yang berbeda, maka hasil yang mereka capai juga tidak terlalu sama. Jalan yang ditempuh
seorang mujtahid dengan menggunakan ilmu ushul dan metode tertentu untuk menghasilkan
suatau pendapat tentang hukum, kemudian disebut ‘mazhab’ dan tokoh mujtahidnya dinamai
‘imam mazhab’.
2.2 Macam – macam madzhab
a. Imam Hanafi (Tahun 80 – 150 H.)- Mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah adalah seorang imam yang terkemuka dalam bidang qiyas dan
istihsan. Beliau mempergunakan qiyas dan istihsan apabila tidak memeperolah nash dalam
kitabullah, sunnaturrasul atau Idjma’. Hingga terciptalah Madzhab beliau atau yang sering
kita kenal dengan Madzhab Hanafi.
Nama beliau yang sebenarnya adalah Imam Abu Hanifah al-Nu’man bin Sabit bin Zauti
lahir pada tahun 80 H. di kota Kuffah pada masa Dinasti Umayyah . Semua literatur yang
mengungkapkan kehidupan Abu Hanifah menyebutkan bahwa Abu Hanifah adalah seorang
‘alim yang mengamalkan ilmunya, zuhud, ‘abid, wara’, taqiy, khusyu’ dan tawadhu’.
Metode ushul yang digunakan Abu Hanifah banyak bersandar pada ra’yun, setelah pada
Kitabullah dan As Sunnah. Kemudian ia bersandar pada qiyas, yang ternyata banyak
menimbulkan protes di kalangan para ulama yang tingkat pemikirannya belum sejajar dengan
Abu Hanifah. Begitu pula halnya dengan istihsan yang ia jadikan sebagai sandaran pemikiran
mazhabnya, mengudang reaksi kalangan ulama .
Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh
berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), shalat dan
seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas,
Imam Syafi'i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya .
Pada akhir hayatnya Abu Hanifah diracuni, sebagaimana yang disampaikan dalam Kitab
Al-Baar Adz-Dzahabi berkata, diriwayatkan bahwa khalifah Al-Manshur memberi minuman
beracun kepada imam Abu Hanifah dan dia pun meninggal sebagai syahid. Semoga Allah
memberikan rahmat kepadanya. Latar belakang kematiannya karena ada beberapa penyebar
fitnah yang tidak suka pada Abu Hanifah, memberi keterangan palsu pada Al-Manshur,
sehingga Al-Manshur melakukan pembunuhan itu, dan ada sebuah riwayat shahih
mengatakan bahwa ketika merasa kematiannya dekat, Abu Hanifah bersujud hingga beliau
meninggal dalam keadaan bersujud . Para ahli sejarah bersepakat beliau meninggal pada
bulan rajab tahun 150 H dalam usia 70 tahun.
b. Imam Maliki (Tahun 93 – 179 H.)- Mazhab Maliki
Nama lengkapnya adalah Malik bin Anas Abi Amir al Ashbahi, dengan julukan Abu
Abdillah. Ia lahir pada tahun 93 H, Ia menyusun kitab Al Muwaththa', dan dalam
penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun, selama waktu itu, ia menunjukan kepada
70 ahli fiqh Madinah .
Dalam sumber lain menyebutkan bahwa nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin
Malik bin Abu ‘Amir bin ‘Amr bin Al Harits bin Ghaiman bin Khutsail bin ‘Amr bin Al
Harits Al Himyari Al Ashbahi Al Madani .
Malik bin Anas lahir di Madinah pada tahun 93 H. Sejak muda ia sudah menghafal Al-
Qur’an dan sudah nampak minatnya dalam ilmu pengetahuan. Ia dipandang ahli dalam
berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadits dan fiqih. Karya-karya Imam Malik begitu
banyak, di antaranya yang paling populer adalah Al Muwatta’ yang berarti ‘kemudahan’ atau
‘kesederhanaan’. Keistimewaan Al-Muwatta’ adalah bahwa Imam Malik merinci berbagai
persoalan kaidah-kaidah fiqhiyah yang di ambil dari hadits-hadits dan atsar.
Dalam madzhabnya Imam Malik mendahulukan kitabullah, sesudah itu beliau berpegang
kepada As-sunnah, sesudah itu barulah ijma’ dan qiyas. Dalam hal ini Imam malik tidak
memberi kepada qiyas kedudukan yang diberikan oleh abu Hanifah.
c. Imam Syafi’i (Tahun 150 – 204 H.)-mazhab Syafi’i
Ia bernama Abu Abdullah, Muhammad ibnu Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’i bin
Saaib bin ‘Abiid bin Abdu Yazid bin Hasim bin Muthalib bin Abdu Manaf, yang merupakan
kakek dari kakek Nabi .
Sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa Imam Syafi’i lahir di daerah Ghazza, Syam
(Palestina) dari keturunan Quraisy dan Nasabnya bertemu dengan Nabi Muhammad saw.
pada kakeknya, Abdi Manaf ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Pada usia dua tahun ia
dibawa oleh ibunya untuk pindah ke Makkah .
Pada umur sekitar tujuh tahun Imam Syafi’i sudah menghafal Al-Qur’an, selain itu ia juga
banyak menghafal hadits-hadits Nabi. Selain pengembaraan intelektual dan keilmuan yang
sedemikian rupa , fiqih Imam Syafi’i juga merupakan refleksinya. Dengan kata lain,
kehidupan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat mempengaruhi Imam Syafi’i
dalam membentuk pemikiran dan mazhab fiqihnya.
Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa ia amat dipengaruhi oleh masyarakat sekitar
terbukti dengan munculnya dua kecendrungan dalam mazhab Syafi’i yang dikenal dengan
qaul qadim (mazhab lama) dan qaul jadid (mazhab baru).
Menurut para ahli sejarah fiqih, mazhab qadim Imam Syafi’i dibangun di Irak pada tahun
195 H. Kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad pada masa pemerintahan khalifah Al-Amin itu
melibatkan Syafi’i dalam perdebatan sengit dengan para ahli fiqih rasional Irak.
Sedangkan mazhab jadid adalah pendapat selama berdiam di Mesir yang dalam banyak hal
mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya. Pemikiran-pemikiran baru Imam Syafi’i di
antaranya di muat dalam bukunya Al-Umm. Pada tahun 195 H. ia kembali ke Baghdad dan
berdiam di sana selama tiga tahun.
Karakteristik pemikiran Syafi’i tahapan kedua ini lebih bersifat pengembangan atau
pengetrapan pemikirannya yang global terhadap masalah-masalah furu’iyah. Pluralisme
pemikiran yang ada di Irak adalah faktor utama yang menyebabkan kematangan pemikiran
Syafi’i.
Kemudian pada tahun 199 H. ia pindah ke Mesir hingga wafat pada tahun 204 H. Tahun-
tahun terakhirnya di Mesir ia gunakan sebagian besar untuk menulis dan merevisi buku-buku
yang pernah ditulisnya. Bukunya Ar-Risalah yang ditulis ketika di Makkah direvisi ulang,
dikurangi dan ditambah sesuai dengan perkembangan baru di Mesir .
d. Imam Hambali ( Tahun 164 – 241 H.)-Madzhab Hambali
Nama lengkap imam besar ini adalah Ahmad bin Hambal bin Hilal bin Usd bin Idris bin
Abdullah bin Hayyan ibn Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban. Ia
terlahir di Baghdad Irak pada tahun 164 H/780 M . Ayahnya meninggal dunia ketika Ahmad
masih kecil, ia kemudian diasuh oleh ibunya.
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur’an hingga beliau hafal pada usia 15 tahun,
beliau juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal sebagai orang yang terindah
tulisannya. Lalu beliau mulai konsentrasi belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun itu pula.
Beliau telah mempelajari Hadits sejak kecil dan untuk mempelajari Hadits ini beliau pernah
pindah atau merantau ke Syam (Syiria).
Imam Ahmad bin Hambal berguru kepada banyak ulama, jumlahnya lebih dari dua ratus
delapan puluh yang tersebar di berbagai negeri, seperti di Makkah, Kufah, Bashrah,
Baghdad, Yaman dan negeri lainnya. Di antara mereka adalah: Ismail bin Ja’far, Abbad bin
Abbad Al-Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar
As-Sulami, Imam Asy-Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin ‘Uyainah,
Abdurrazaq, Ibrahim bin Ma’qil.
Umumnya ahli hadits pernah belajar kepada imam Ahmad bin Hambal, dan belajar
kepadanya juga ulama yang pernah menjadi gurunya, yang paling menonjol adalah: Imam
Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah, Imam Asy-Syafi’i. Imam Ahmad,
Putranya, Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal, Putranya, Abdullah bin Imam Ahmad bin
Hambal, Keponakannya, Hambal bin Ishaq.sehingga madzhab Hambali pun ada.
Setelah sakit sembilan hari, beliau Rahimahullah menghembuskan nafas terakhirnya di
pagi hari Jum’at bertepatan dengan tanggal dua belas Rabi’ul Awwal 241 H pada umur 77
tahun. Jenazah beliau dihadiri delapan ratus ribu pelayat lelaki dan enam puluh ribu pelayat
perempuan.
2.3 Dasar – Dasar Fiqh Empat Madzhab
a. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hanafi
Abu Hanifah memang belum menetapkan dasar-dasar pijakan dalam berijtihad secara
terperinci, tetapi kaidah-kaidah umum (ushul kulliyah) yang menjadi dasar bangunan
pemikiran fiqhiyah tercermin dalam pernyataannya berikut, “Saya kembalikan segala
persoalan pada Kitabullah, saya merujuk pada Sunnah Nabi, dan apabila saya tidak
menemukan jawaban hukum dalam Kitabullah maupun Sunnah Nabi saw. maka saya akan
mengambil pendapat para sahabat Nabi, dan tidak beralih pada fatwa selain mereka. Apabila
masalahnya sampai pada Ibrahim, Sya’bi, Hasan Ibnu Sirin, Atha’ dan Said bin Musayyib
(semuanya adalah tabi’ien), maka saya berhak pula untuk berijtihad sebagaimana mereka
berijtihad.”
Dari sini kita ketahui bahwa dasar-dasar istidlal yang digunakan Abu Hanifah adalah Al-
Qur’an, Sunnah dan Ijtihad dalam pengertian luas. Artinya jika nash Al-Qur’an dan Sunnah
secara jelas-jelas menunjukkan pada suatu hukum, maka hukum itu disebut “diambil dari Al-
Qur’an dan As-Sunnah”. Tetapi bila nash tadi menunjukkan secara tidak langsung atau hanya
memberikan kaidah-kaidah dasar berupa tujuan-tujuan moral, illat dan lain sebagainya, maka
pengambilan hukum disebut “melalui qiyas”.
Semua imam sepakat tentang keharusan merujuk pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Yang
membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan imam-imam yang lain sebenarnya
terletak pada kebenarannya menyelami suatu hukum, mencari tujuan-tujuan moral dan
kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disyariatkannya suatu hukum. Termasuk dalam
hal ini adalah penggunaan teori qiyas, istihsan, ‘urf (adat-kebiasaan), teori kemaslahatan dan
lainnya. Perbedaan lebih tajam lagi adalah bahwa Abu Hanifah banyak menggunakan teori-
teori tadi dan sangat ketat dalam penerimaan hadits ahad. Tidak seperti imam yang lain, Abu
Hanifah sering menafsirkan suatu nash dan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangka
illat, hikmah dan tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang dipahaminya .
Perlu ditambahkan bahwa betapapun Abu Hanifah terkenal dengan mazhab rasionalis yang
menyelami di balik arti dan illat suatu hukum serta sering mempergunakan qiyas, akan tetap
itu tidak berarti ia telah mengabaikan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnahatau meninggalkan
ketentuan hadits dan atsar. Tidak ada riwayat sahih yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah
mendahulukan rasio daripada Al-Qur’an dan Sunnah.
Bahkan jika ia menemukan pendapat atau qaul (pernyataan) sahabat yang benar, ia
menolak untuk melakukan ijtihad. Dengan kata lain, pemikiran fiqih Abu Hanifah tidak
berdiri sendiri tetapi berakar kuat pada pendahulu-pendahulunya di Irak dan juga para ahli
hadits di Hijaz. Muhammad bin Hasan seperti dikutip Abu Zahrah, membenarkan bahwa
dalam masalah hukum seseorang yang berhubungan dengan istrinya sebelum tawaf ziarah,
Abu Hanifah mengambil pendapat Ibnu Abbas, seorang ulama ahli hadits Makkah, dan
menolak pendapat Ibrahim yang dikenal banyak mewariskan pemikiran fiqih rasional
kepadanya.
b. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Maliki
Seperti halnya Imam Hanafi, Imam Malik sebenarnya belum menuliskan dasar-dasar
fiqhiyah yang menjadi pijakan dalam berijtihad, tetapi pemuka-pemuka mazhab ini, murid-
murid Imam Malik dan generasi yang muncul sesudah itu menyimpulkan dasar-dasar
fiqhiyah Imam Malik kemudian menuliskannya.
Dari beberapa isyarat yang ada dalam fatwa-fatwanya dan bukunya Al-Muwattha’, fuqaha
Malikiyah merumuskan dasar-dasar mazhab Maliki. Sebagian fuqaha Malikiyah
menyebutkan bahwa dasar-dasar mazhab Maliki ada dua puluh macam, yaitu : Nash literatur
Al-Qur’an, mafhumul mukhalafah, mafhumul muwafaqah, tambih alal ‘illah (pencarian
kuasa hukum), demikian juga dalam sunnah, ijma’ qiyas, tradisi orang-orang Madinah, qaul
sahabat, istihsan, istishab, sadd al dara-i’, mura’at al khilaf, maslahah mursalah dan syar’u
man qablana. Al-Qurafidalam bukunya Tanqih Al-Ushul, menyebutkan dasar-dasar mazhab
maliki sebagai berikut : Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, perbuatan orang-orang Madinah, qiyas,
qaul sahabat, maslahah mursalah, ‘urf, sadd ad-dara’i, istihsan dan istihsab. Bahkan Syatibi,
seorang ahli hukum mazhab Maliki, menyederhanakan dasar-dasar mazhab Maliki itu ke
dalam empat hal, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, ijma’, dan ra’yi (rasio) .
c. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Syafi’i
Bagi Imam Syafi’i Al-Qur’an dan Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan
merupakan satu kesatuan sumber syari’at Islam. Sedangkan teori-teori istidlal seperti qiyas,
istihsan, istishab, dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan
menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi.
Pemahaman integral Al-Qur’an dan Sunnah ini merupakan karakteristik menarik dari
pemikiran fiqih Syafi’ie. Menurut Syaafi’ie, kedudukan Sunnah, dalam banyak hal,
menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas di dalam Al-Qur’an, merinci yang
global, mengkhususkan yang umum dan bahkan membuat hukum tersendiri yang tidak ada di
dalam Al-Qur’an.
Hipotesa menarik lainnya dalam pemikiran metodologi Syafi’ie adalah pernyataannya,
“Setiap persoalan yang muncul akan ditemukan ketentuan hukumnnya di dalam Al-Qur’an.”
Untuk membuktikan hipotesanya itu, Syafi’ie menyebut empat cara Al-Qur’an dalam
menerangkan suatu hukum.
Pertama, Al-Qur’an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash hukum yang jelas,
seperti nash-nash yang mewajibkan shalat, puasa, zakat, dan haji, atau nash-nash yang
mengharamkan zina, minum khamar, makan bangkai, darah dan yang lainnya.
Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam Al-Qur’an dan dirinci dalam Sunnah
Nabi. Misalnya, jumlah rakaat dalam shalat, waktu pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa
dan berapa kadar yang harus dikeluarkan. Semua itu disebut secara global dalam Al-Qur’an
dal Nabi-lah yang menerangkan secara terinci. Ketiga, Nabi Muhammad saw juga sering
menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya di dalam Al-Qur’an. Bentuk
penjelasan Al-Qur’an untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada perintah
Nabi dan menjauhi larangannya. Keempat, Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk
berijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-Qur’an
dan Hadits. Penjelasan Al-Qur’an dalam masalah yang seperti ini, yaitu dengan
membolehkan ijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas pemahaman terhadap
maqashid al-Syari’ah (tujuan-tujuan umum syariat), misalnya dengan qiyas atau penalaran
analogis.
d. Dasar-dasar Fiqih Mazhab Hambali
Sikapnya yang tegas dan fundamentalis tercermin pemikiran-pemikiran fikihnya. Para
ulama Hanabilah berkesimpulan bahwa fatwa-fatwa Imam Ahmad bin Hambal dan
pemikiran-pemikiran fiqihnya dibangun atas sepuluh dasar, yaitu lima dasar ushuliyah dan
lima dasar lainnya sebagai pengembangan. Dasar-dasar mazhab Hambali aitu adalah : (1)
Nushus, yang terdiri dari nash Al-Qur’an, Sunnah dan nash ijma’, (2) fatwa-fatwa sahabat,
(3) apabila terjadi perbedaan, Imam Ahmad memilih yang paling dekat dengan al-Qur’an dan
Sunnah; dan apabila tidak jelas, dia hanya menceritakan ikhtilaf itu dan tidak menentukan
sikapnya secara khusus, (4) hadits-hadits mursal dan dhaif, (5) qiyas, (6) istihsan, (7) sadd al-
dara-i’, (8) istishab, (9) ibthal al ja’l, (10) maslahah mursalah.
Dari dasar-dasar dan metode-metode pengambilan hukumnya ini, terlihat bahwa Imam
Ahmad bin Hambal mempersempit penggunaan rasio sampai pada batas tertentu. Ia lebih
mendahulukan penggunaan qiyas.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hasil ijtihad para imam mazhab itu setelah melalui penyempurnan di tangan murid-
muridnya, disusun secara sitematis sehingga mengasilkan kitab-kitab fiqh mazhab. Ketentuan
hukum dalam kitab-kitab fiqh itulah yang diikuti para pengikutnya sebagai pedoman dalam
kehidupan sehari-hari dan jadi rujukan para hakim dalam menyelesaikan perkara. Kitabkitab
fiqh peninggalan imam mazhab ini merupakan salah satu faktor utama bagi kelangsungan
dan perkembangan pemikiran mazhab tersebut hingga sekarang.
Ringkasnya, pebedaan pendapat atau timbulnya mazhab itu telah ada dimasa sahabat, terus
berkembang hingga masa tabi’in, kemudian meluas sesuai dengan makin berlipat gandanya
“Peristiwa Baru” yang bermunculan. Mereka telah berhasil memberikan beragam jawaban
terhadap masalah-masalah baru tersebut, malah ulama-ulama masa lampau itu telah melewati
peristiwa-peristiwa yang terjadi, sehingga mereka telah sukses dalam menciptakan rumusan
fiqh andaian.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Prof. M.T. Hasbi. 1953. SEJARAH DAN PENGANTAR ILMU FIQH. Yogyakarta: Untuk Kalangan Sendiri
Syalthut, Prof. Dr. Mahmud. 2000. Fiqh Tujuh Madzhab . Bandung : Pustaka Setia
Ash-Shiddieqy, Prof. M.T. Hasbi. 1968. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta : C.V. Mulya
http://muhamadqbl.blogspot.com/2010/11/sejarah-empat-mazhab-fiqih.html
http://himawarief.blogspot.com/2009/12/latar-belakang.html