pembentukan asean cina free trade area acfta...
TRANSCRIPT
PEMBENTUKAN ASEAN-CINA FREE TRADE AREA
(ACFTA) DAN HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA
(2003-2009)
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Pada Jurusan Hubungan Internasional
Oleh
Ali Fikri Wibowo
NIM : 106083003757
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
i
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 27 juli 2011
Ali Fikri Wibowo
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
PEMBENTUKAN ASEAN-CINA FREE TRADE
AREA (ACFTA) DAN HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-
CINA (2003-2009)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hubungan Internasional
Oleh: Ali Fikri Wibowo
NIM: 106083003757
Dosen Pembimbing Dosen Penasehat Akademik
Dina Afrianty, Ph.D. Ali Munhanif, Ph.D.
NIP: 197304141999032002 NIP: 196512121992031004
Jurusan Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
2011
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PEMBENTUKAN ASEAN–CINA FREE TRADE
AREA (ACFTA) DAN HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA (2003-2009)
telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 5 Agustus 2011. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Jurusan
Hubungan Internasional.
Jakarta, 5 Agustus 2011
Sidang Munaqasyah
Ketua Jurusan Sekretaris Jurusan
Dina Afrianty, Ph.D. Agus Nilmada Azmi, M.Si.
NIP: 197304141999032002 NIP: 197808042009121002
Pembimbing
Dina Afrianty, Ph.D.
NIP: 197304141999032002
Penguji I Penguji II
Friane Aurora, M.Si. Arisman, M.Si.
198606172011012009
iv
ABSTRAK
Penelitian ini melihat hubungan ekonomi yang terjadi antara ASEAN dan
Cina hingga kedua belah pihak menyepakati pembentukan ASEAN-Cina Free
Trade Area. Oleh karena itu, penulis mencoba menjabarkan kepentingan ASEAN
dan Cina di balik pembentukan perjanjian ini. Kepentingan tersebut dipengaruhi
dinamika internal dan eksternal yang terjadi baik dalam lingkup ASEAN maupun
Cina, sehingga hubungan ekonomi ini sangat mencerminkan adanya
interdependensi. Berdasarkan alasan-alasan yang dikemukakan dalam skripsi ini
maka ACFTA bagi ASEAN dan Cina harus diwujudkan.
Oleh karena itu, secara umum penulis melihat kerjasama ini dari perspektif
neoliberal. Kemudian mencoba mengkhususkannya lagi melalui dua varian lain
dalam perspektif tersebut, yaitu interdependensi yang dapat menjelaskan bahwa
masing-masing pihak sangat membutuhkan perjanjian ini, dan neoliberal
institusionalis yang mencoba menggambarkan peran dari sebuah rezim yang
dalam hal ini adalah ACFTA.
Metode Penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yang didasarkan pada
pengumpulan data-data yang diperoleh dari berbagai sumber. Data-data ini
kemudian penulis olah dengan bantuan kerangka pemikiran untuk mempermudah
penulis dalam menjawab pertanyaan penelitian skripsi ini. Oleh karena itu, penulis
memaparkan ataupun mendeskripsikan fakta-fakta terkait dengan pembahasan
skripsi ini, lalu kemudian mencoba menganalisa fakta ataupun data tersebut pada
bagian selanjutnya dalam penulisan.
Penelitian ini memiliki hasil temuan bahwa melalui mekanisme free trade
area, perdagangan dan investasi yang terjadi di antara pihak-pihak yang
menyepakatinya menjadi meningkat. Namun, meningkatnya perdagangan dan
investasi tersebut tentunya tidak sama jumlahnya dari segi nilai ekonomi. Dalam
hal ini ada pihak yang lebih diuntungkan. Namun hal tersebut tidak menghalangi
hubungan ekonomi yang terus berkembang di antara keduanya, karena melalui
perspektif neoliberal, yang menjadi persoalan bukan dari jumlah nominal yang
diperoleh, namun selama masing-masing pihak mendapatkan keuntungan, tidak
hanya dengan jumlahnya maka kerjasama tersebut dapat diwujudkan. Selain itu
kerjasama ini memiliki orientasi jangka panjang sehingga optimisme tersebut
dapat mengalahkan hambatan yang menyertai kerjasama ini. Hal inilah yang
menyebabkan ACFTA dapat terbentuk dan menjadi sangat penting bagi hubungan
ekonomi ASEAN dan Cina.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT
atas segala rahmat dan nikmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar sarjana pada jurusan
Hubungan Internasional.
Penulis bersyukur atas segala rintangan dan kemudahan yang menyertai
penulisan skripsi ini, hingga dapat diselesaikan. Hal ini tentunya terjadi bukan
hanya dari usaha penulis seorang diri, melainkan juga karena karuniaNya dan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan rasa
terima kasih sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam
proses penyelesaian skripsi ini, diantaranya: Kedua orang tua yang telah
memberikan dukungan. Terutama Mama yang telah memberikan dukungan
finansial dan tekanan moral, sehingga memotivasi penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini.
Selain itu juga, terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dina Afrianty
Ph.D. selaku dosen pembimbing dan Ketua Jurusan Hubungan Internasional yang
sudah sangat membantu proses penulisan skripsi ini. Terima kasih karena selama
ini sudah rela meluangkan waktu dan membagi ilmunya, sehingga sangat-sangat
membantu penulis. Ibu telah memberikan arahan, motivasi dan benar-benar
membimbing, suatu kehormatan bagi penulis bisa berada di bawah bimbingan Ibu.
Terimaka kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ali Munhanif Ph.D.
selaku Penasehat Akademik, Bapak Agus Nilmada Azmi M.Si. selaku Sekretaris
Jurusan Hubungan Internasional, serta seluruh staf Dosen pada jurusan Hubungan
Internasional yang sudah mendedikasikan ilmunya selama ini kepada penulis.
Terima kasih juga untuk seluruh keluarga, Uni Yeni, Uni Dila dan
keponakanku satu-satunya Nazla Kamilah yang sudah memberikan keceriaan, di
tengah kepenatan selama ini. Terima kasih kepada Bang Marbawi yang sudah
meminjamkan beberapa bukunya sehingga memudahkan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Tidak lupa juga terima kasih kepada seluruh rekan-rekan seperjuangan
pada jurusan Hubungan Internasional yang sudah berkontribusi, baik dalam usaha
vi
eksplorasi bersama pencarian bahan-bahan skripsi, ataupun dengan sukarela
meminjamkan bukunya; Christa, Acyd, Kis, Dian, Nia, Qori, Ayu. Selain itu juga
teman-teman lainnya di HI 2006, sebagai rekan diskusi selama ini; Nanda, Beben,
Firman, Insan, Wer, Irfan, Adnan, Bojay, Zubir, Ibnu.
Terima kasih juga kepada teman-teman di UKM FORSA khususnya divisi
Basket, yang sudah menumbuhkan jiwa sportifitas dan semangat pantang
menyerah dalam diri penulis. Selain itu terima kasih juga kepada teman-teman di
kosan Graha Cendekia yang sudah menemani penulis selama beberapa tahun
dalam menempuh pendidikan di Universitas ini. Dan semua pihak yang sudah
membantu penyelesaian skripsi ini, namun tidak dapat disebutkan satu per satu,
terima kasih.
Akhirnya, penulis berharap agar semua kebaikan yang telah diberikan
mendapatkan balasan dariNya. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi
orang lain yang membacanya, terlepas dari banyaknya kekurangan yang termuat
di dalamnya. Terima Kasih.
Ali Fikri Wibowo
vii
DAFTAR ISI
Abstrak……………………………………………………………………………iv
Kata Pengantar…………………………………………………………………….v
Daftar Isi………………………………………………………………………....vii
Daftar Singkatan…………………………………....………………………….....ix
Daftar Tabel………………………………………………………………………xi
Daftar Lampiran………………………………………………………………….xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………….........................1
B. Pertanyaan Penelitian…………………………...............................6
C. Kerangka Pemikiran……………………………….........................6
D. Metode Penelitian………………………………….......................15
E. Sistematika Penulisan………………………….............................15
BAB II HUBUNGAN KERJASAMA EKONOMI ASEAN
A. Latar Belakang Kerjasama Ekonomi ASEAN……………............17
B. Kondisi Internal Ekonomi ASEAN
B.1 Perkembangan Awal Kerjasama Ekonomi Intra
ASEAN…………………………………………………...……...20
B.2 Hambatan Integrasi Ekonomi ASEAN….……………...........32
C. Perkembangan Kerjasama Ekonomi Luar Negeri ASEAN
C.1 Kesepakatan-kesepakatan Ekonomi ASEAN………………..35
C.2 ASEAN+3 (Cina, Jepang, Korea Selatan)….………..............37
C.3 Hubungan Awal Kerjasama ASEAN-Cina………….............41
C.4 ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA)…………............43
BAB III KEPENTINGAN CINA TERHADAP PEMBENTUKAN ACFTA
A. Kondisi Ekonomi Politik Cina
A.1 Masa Mao Zedong……………………....................................50
A.2 Masa Deng Xiaoping………………………………................55
B. Kondisi Internal Ekonomi Cina
B.1 Keterbatasan Bahan Mentah dan Sumber Daya Alam di
Cina................................................................................................61
viii
B.2 Perluasan Akses Pasar……………………………………….64
C. Kondisi Eksternal Terbentuknya ACFTA
C.1 Perkembangan Regionalisme Pasca Perang Dingin…………67
C.2 Masuknya Cina menjadi anggota WTO…………….….........69
C.3 Membendung Pengaruh Jepang di Kawasan Asia
Tenggara………………………………………….…..…..............73
BAB IV ANALISA HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA
A. Permasalahan Penerapan ACFTA………..………….................80
B. Indikator Peningkatan Hubungan Ekonomi ASEAN-Cina
B.1 Aspek Perdagangan Luar Negeri…………………..............83
B.2 Aspek Investasi………………….........................................86
C. Dampak Terbentuknya ACFTA Terhadap Hubungan
Ekonomi ASEAN-Cina………………..…..………....................90
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………..............................94
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………................97
LAMPIRAN
ix
DAFTAR SINGKATAN
AC : ASEAN Community
ACFTA : ASEAN-China Free Trade Area
AEC : ASEAN Economic Community
AFAS : ASEAN Framework Agreement on Services
AFTA : ASEAN Free Trade Area
AIA : ASEAN Investment Area
AMM : ASEAN Ministerial Meeting
APEC : Asia-Pasific Economic Cooperation
APSC : ASEAN Political-Security Community
APT : ASEAN Plus Three
ARF : ASEAN Regional Forum
AS : Amerika Serikat
ASA : ASEAN Swap Arrangement
ASCC : ASEAN Socio-Cultural Community
ASEAN : Association of Southeast Asian Nations
BIMP-EAGA : Brunei-Indonesia-Malaysia-Philipines East ASEAN
Growth Area
CEP : Comprehensive Economic Partnership
CEPT : Common Effective Preferential Tariff
CIA : Central Intelligence Agency
CITIC : China International Trust and Investment Company
CMI : Chiang Mai Initiative
CMLV : Cambodia, Myanmar, Laos dan Vietnam
CNOOC : China National Offshore Oil Corporation
EAC : East Asian Community
EHP : Early Harvest Program
EU : European Union
FDI : Foreign Direct Investment
FTA : Free Trade Area
GATT : General Agreement on Tariff and Trade
x
GDP : Gross Domestic Product
GEL : General Exception List
GNI : Gross National Income
HAM : Hak Asasi Manusia
HSL : Highly Sensitive List
IL : Inclusion List
IMS-GT : Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle
IMT-GT : Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle
KTT : Konferensi Tingkat Tinggi
LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Mercosur : Southern Common Market, Mercado Común del Sur
MFN : Most Favoured Nation
MoP : Margin of Preference
NAFTA : North American Free Trade Area
NICs : New Industrialized Countries
NT : Normal Track
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PKC : Partai Komunis Cina
PRC : People’s Republic of China
PTA : Preferential Trading Arrangements
RoO : Rules of Origin
RRC : Republik Rakyat Cina
RTA : Regional Trading Agreements
SEATO : Southeast Asia Treaty Organization
Sijori : Singapura-Johor-Riau
SL : Sensitive List
ST : Sensitive Track
TAC : Treaty of Amity and Cooperation
TEL : Temporary Exclusion List
US : United States
WEC : West-East Corridor
WTO : World Trade Organization
xi
DAFTAR TABEL
Tabel II.1 Perdagangan Intra dan Ekstra ASEAN: 2003-2009 .............................26
Tabel II.2 Investasi Asing Langsung Menuju ASEAN: 2003-2009…………..…30
Tabel II.3 Skema Penurunan tarif ACFTA ………………………………...……46
Tabel IV.1 ASEAN Ekspor dan Impor ke Cina: 2003-2009……………...……..84
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Transkrip Wawancara
Lampiran 2: Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-
Operation Between ASEAN and the People's Republic of China
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Skripsi ini membahas tentang faktor-faktor, baik internal maupun eksternal
yang membuat Association of Southeast Asian Nation (ASEAN) dan Cina
meningkatkan hubungan kerjasama ekonomi, serta dampaknya terhadap hubungan
ekonomi tersebut. Namun, pembahasan tidak akan melihat hubungan masing-
masing negara anggota ASEAN dengan Cina secara terpisah, melainkan
hubungan ASEAN secara keseluruhan sebagai suatu institusi formal di kawasan
Asia Tenggara dengan Cina. Selain itu, penulis juga membatasi periode jangka
waktu penelitian, yaitu antara tahun 2003 sampai dengan 2009. Dikarenakan pada
tahun 2003 skema perjanjian kerjasama ini secara bertahap mulai diberlakukan
dan pada 2009 mengingat keterbatasan data primer sehingga pembatasan jangka
waktu harus dilakukan.
Sejak berakhirnya Perang Dunia II timbul satu gagasan untuk
mengintegrasikan perekonomian negara-negara di dunia. Salah satunya melalui
kerjasama bilateral ataupun dalam ruang lingkup regional. Dengan bersatunya
ekonomi negara-negara di dunia, diharapkan akan tercipta situasi saling
ketergantungan (interdependensi) dan akan memperkecil resiko timbulnya
perselisihan yang bisa mengakibatkan kembali timbulnya perang. Selain itu,
setelah Perang Dunia II berakhir negara-negara di dunia ingin kembali
memulihkan kondisi ekonomi dalam negerinya, dan hal itu tentunya tidak dapat
2
diwujudkan tanpa adanya bantuan ataupun kerjasama dari negara lainnya. Maka
pada tahap selanjutnya timbullah bentuk-bentuk kerjasama regional di dunia ini.
Salah satu bentuk kerjasama regional yang lahir setelah berakhirnya PD II
adalah Southeast Asia Treaty Organization (SEATO) pada 1954 yang merupakan
organisasi bentukan Amerika Serikat yang lebih bertujuan untuk membendung
berkembangnya komunisme di Asia Tenggara dengan mengutamakan kerjasama
di bidang pertahanan (Pangestu dalam Weatherbee et al. 2005, h. 187). Pada
perkembangannya, SEATO inilah yang melatarbelakangi pembentukan dari
ASEAN pada 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand. Awal pembentukan ASEAN
juga bertujuan untuk membendung penyebaran komunisme di Asia Tenggara yang
dipelopori oleh Cina (Wibowo & Hadi eds. 2009, h. 59).
Selain karena alasan politik dan pertahanan tersebut, tujuan dari
pembentukan ASEAN, salah satunya seperti yang tertuang dalam Deklarasi
Bangkok tahun 1967, adalah untuk meningkatkan dan mempercepat pertumbuhan
ekonomi, kemajuan sosial dan pembangunan kebudayaan di kawasan ASEAN
(ASEAN Secretariat 1967; Prabowo & Wardoyo 2004, h. 1). Meskipun sampai
saat ini kemapanan dari segi ekonomi yang dicita-citakan oleh ASEAN masih
belum terwujud, akibat keberagaman tingkat ekonomi dari negara-negara
anggotanya. ASEAN sendiri dihadapkan atas berbagai pilihan, yaitu antara
mengembangkan kerjasama dengan negara ASEAN (intra ASEAN) atau
kerjasama ekonomi dengan negara di luar anggota ASEAN. Salah satu negara di
luar ASEAN yang dianggap mampu untuk memacu ataupun mengembangkan
potensi ekonomi dari negara-negara anggota ASEAN adalah Cina, mengingat
3
perkembangan ekonomi Cina pada dua dekade terakhir yang mengalami
peningkatan cukup pesat.
Secara historis, hubungan antara Cina dengan ASEAN memang sudah
berlangsung sejak lama, namun secara resmi baru dimulai pertengahan tahun
1990-an (Dirjen Kerjasama ASEAN 2010, h. 167). Hubungan kerjasama Cina
dengan ASEAN ditandai dengan adanya perubahan-perubahan pada tingkat
global. Pasca perang dingin, Cina memutuskan untuk lebih mempererat
hubungannya pada bidang ekonomi dengan ASEAN sekaligus melepaskan
ketergantungan hubungannya dengan negara-negara maju seperti Amerika
Serikat (AS).
Bagi Cina, memang tidak ada pilihan lain kecuali menerima kenyataan
akan adanya interdependensi dan globalisasi secara antusias dan terbuka sebagai
kebutuhan dari pembangunan perekonomiannya (Inayati ed. 2006, h. 21). Cina
sebenarnya sudah lama berusaha untuk meningkatkan perekonomiannya, tetapi
perekonomian berdikari yang dicanangkan oleh pendiri negara ini yaitu Mao
Zedong1 gagal membawa pertumbuhan bagi perekonomian Cina. Keinginan
untuk menjadikan Cina sebagai kekuatan besar dalam sistem hubungan antar
1 Mao Zedong adalah tokoh pendiri Republik Rakyat Cina (RRC) yang juga pemimpin Partai
Komunis Cina (PKC), ia memimpin Cina pada periode 1949 hingga 1976. Mao Zedong dianggap
pemimpin yang revolusioner dan juga kejam karena sering sekali menyingkirkan lawa-lawan
politiknya. Jasa terbesarnya adalah keberhasilannya memimpin PKC dalam perang saudara
melawan Kuomintang yang beraliran nasionalis (1927-1949), serta keberhasilannya dalam
memimpin perang gerilya melawan Jepang (1937-1945). Namun, kegagalan terbesarnya saat
memimpin Cina adalah berupa kebijakannya yaitu “Lompatan Jauh Ke Depan” yang justru
mengakibatkan kesengsaraan rakyat banyak, dan “Revolusi Kebudayaan” yang dipandang hanya
memecah belah kesatuan Cina. Semasa kepemimpinannya, Cina mengalami keterpurukan di
bidang ekonomi. Prinsip politik Mao Zedong yang beraliran komunis ini masih tetap digunakan di
Cina hingga saat ini. Pengikut aliran Mao Zedong disebut sebagai Maois (lihat Taniputera 2009).
4
negara di dunia ini tidak hanya menjadi obsesi Mao Zedong, tetapi juga menjadi
cita-cita pemimpin Cina pasca Mao Zedong yaitu Deng Xiaoping2.
Menurut Inayati (ed. 2006, h. 23), Deng Xiaoping dalam usaha
menjadikan Cina sebagai negara yang kuat lewat peningkatan kekuatan ekonomi
mencanangkan program reformasi yang dinamakan “Empat Modernisasi” (singe
xiandaehua). Gagasan program empat modernisasi ini dikemukakan oleh Deng
Xiaoping dalam pidato utama di pleno ketiga sidang komite sentral kesebelas
Partai Komunis Cina (PKC) pada tanggal 13 Desember 1978, empat program
modernisasi tersebut meliputi bidang pertanian, industri, ilmu pengetahuan dan
teknologi serta pertahan keamanan. Untuk mendorong program empat
modernisasi tersebut, Deng Xiaoping memprakarsai kebijakan pintu terbuka (open
door policy). Pada dasarnya kebijakan pintu terbuka adalah kebijakan yang
disusun untuk mempromosikan ekspansi hubungan ekonomi dengan negara lain,
termasuk di dalamnya beberapa kebijakan dalam hal perdagangan luar negeri,
investasi asing, serta pinjaman luar negeri. Hal inilah yang menyebabkan Cina
membuka diri terhadap hubungan ekonomi dengan negara lainnya, kebijakan
inilah yang terus mendasari hubungan ekonomi Cina dengan negara lainnya.
Salah satu kerjasama ekonomi yang dinilai penting adalah kerjasama
dengan ASEAN. Menjalin kerjasama dan hubungan ekonomi yang baik dengan
2 Deng Xiaoping dianggap sebagai pemimpin Cina pasca Mao Zedong, ia memimpin Cina pada
periode 1978 hingga 1992. Pada masa revolusi kebudayaan di Cina, ia juga termasuk lawan politik
yang diasingkan oleh Mao. Pada masa kepemimpinannya, Cina justru mengalami kemajuan yang
pesat di bidang ekonomi, karena keterbukaannya dengan pihak asing. Kebijakan ekonomi yang
diterapkan Deng sering dianggap bertentangan dengan prinsip pokok Marxisme, namun Deng
tetap membangun Cina dengan “sosialisme baru”, ungkapan yang cukup terkenal dari pernyataan
Deng adalah “Tidak peduli apakah kucing itu berwarna putih atau hitam, yang penting adalah
kucing itu dapat menangkap tikus, maka itu adalah kucing yang terbaik”. Meskipun dalam
menjalankan kebijakan ekonomi Deng dianggap cukup liberal, namun dalam sistem pemerintahan
Deng tetap mempertahankan prinsip politik Cina yang sentralistik dan beraliran komunis. Deng
juga dianggap sebagai tokoh pembangunan Cina. (lihat Taniputera 2009; Bakri ed. 1996).
5
ASEAN berarti menimbulkan penciptaan lingkungan regional yang damai, yang
merupakan salah satu inti sari dari empat program modernisasi Cina (Inayati ed.
2006, h. 38). Meskipun Cina bukan negara utama dari penyebaran komoditi
ekspor negara ASEAN, karena jumlah nilai ekspor yang dihasilkan masih kalah
jika dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Jepang, namun peningkatan nilai
tersebut secara terus-menerus bertambah dari tahun ke tahun, bahkan sebenarnya
telah melampaui persentase kenaikan nilai ekspor ASEAN ke AS dan Jepang
(Danyang dalam Hock, Jun & Wah eds. 2005, h. 209).
Pada 4 November 2002 saat ASEAN-Cina Summit ke-6 di Kamboja, para
pemimpin ASEAN dan Perdana Menteri Cina Zhu Rongji menandatangani
Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation. Kerangka ini
merupakan landasan bagi kerjasama perdagangan dalam sebuah kawasan
perdagangan bebas ASEAN-Cina yang ditargetkan bisa dicapai pada tahun 2010
untuk ASEAN-6 (Brunei, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand) dan
pada tahun 2015 untuk ASEAN-CMLV (Kamboja, Myanmar, Laos, Vietnam)3
(Yu dalam Leong & Ku eds. 2005, h. 45).
Masing-masing pihak baik ASEAN maupun Cina sebenarnya saling
membutuhkan kawasan perdagangan bebas ini untuk meningkatkan
perekonomiannya. Bagi negara-negara ASEAN sendiri, Cina dianggap mampu
menggantikan ketergantungan ASEAN terhadap Amerika Serikat dan Jepang
3 ASEAN-6 beranggotakan lima Negara pendiri ASEAN pada 8 Agustus 1967, yaitu Indonesia,
Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina. Sedangkan Negara ke-enam adalah Brunei
Darussalam yang menjadi anggota ASEAN pada Januari 1984. Sedangkan ASEAN-CMLV
beranggotakan empat negara selanjutnya yang masuk menjadi anggota ASEAN. Secara berurutan,
Vietnam pada Juli 1995, Laos dan Myanmar pada Juli 1997, serta Kamboja pada Desember 1998.
Selain atas perbedaan jangka waktu menjadi anggota ASEAN, pengelompokan ini juga biasanya
berdasarkan tingkat kemajuan ekonomi negara anggota ASEAN yang dibagi menjadi dua
kelompok ini (lihat Dirjen Kerjasama ASEAN 2010).
6
yang perekonomiannya sering menghadapi goncangan. Dengan kedekatan
ASEAN dan Cina tersebut maka akan meningkatkan stabilitas ekonomi dan
keamanan regional sendiri, karena banyaknya alternatif kerjasama yang dimiliki
ASEAN dan masing-masing pihak juga membutuhkan lingkungan regional yang
aman untuk mengoptimalkan nilai investasi yang ada. Atas latar belakang inilah,
peningkatan kerjasama di bidang ekonomi antara ASEAN dan Cina dapat
disepakati, sehingga membentuk ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA), yang
selanjutnya menjadi pokok pembahasan utama dalam penulisan skripsi ini.
B. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian yang akan dibahas adalah:
1. Faktor internal maupun eksternal apa saja yang membuat ASEAN dan Cina
meningkatkan hubungan kerjasama di bidang ekonomi melalui ACFTA?
2. Bagaimana pembentukan ACFTA ini berimplikasi pada hubungan ekonomi
ASEAN dan Cina?
C. Kerangka Pemikiran
Globalisasi yang terjadi di seluruh belahan dunia telah memberikan
peluang bagi negara-negara berkembang untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonominya, serta mampu mengubah struktur dan pembangunan sosial
masyarakatnya. Menurut Jackson dan Sorensen (2005, h. 266) globalisasi berarti
meluas dan meningkatnya hubungan ekonomi, sosial dan budaya yang melewati
batas-batas internasional. Globalisasi yang dicirikan dengan adanya saling
ketergantungan (interdependensi), menyebabkan semakin sulit bagi suatu negara
7
untuk mempertahankan kebijakannya yang independen dan otonom (Perwita &
Yani 2005, h. 77). Kebijakan yang diambil oleh suatu negara baik yang bersifat
domestik terlebih lagi luar negeri, harus disesuaikan dengan perubahan-perubahan
yang cepat terjadi pada lingkungan internasional. Oleh karena itu, globalisasi telah
membuka peluang yang tidak terbatas bagi negara-negara untuk melakukan
kerjasama dan integrasi ekonomi yang saling menguntungkan dalam bidang
perdagangan barang, jasa, maupun investasi. Penulis akan berkonsentrasi pada
aspek ekonomi dari globalisasi, karena aspek ekonomi ini berkaitan dengan saling
ketergantungan (interdependensi) yang terjadi di antara negara-negara di dunia
ini. Selain dari konsep interdependensi, penulisan skripsi ini juga akan dilihat dari
perspektif neoliberal institusionalis, agar dapat menggambarkan peran institusi
ataupun rezim (serangkaian peraturan) yang terjadi dalam pembentukan ASEAN-
Cina Free Trade Area ini.
Menurut Jackson dan Sorensen (2005, h. 147) interdependensi berarti
ketergantungan timbal balik antara suatu negara dengan negara lainnya. Jadi suatu
negara dipengaruhi oleh apa yang terjadi di manapun, oleh tindakan rekannya di
negara lain. Dengan adanya interdependensi, maka yang terjadi bukan hanya
keterkaitan dari segi ekonomi, namun interdependensi antar negara dapat
mengurangi konflik kekerasan antar negara. Keohane dan Nye (dalam Jackson &
Sorensen 2005, h. 151) menambahkan bahwa, dalam interdependensi (complex
interdependence) kekuatan militer merupakan instrumen kebijakan yang kurang
bermanfaat. Oleh karena itu, sumber daya kekuatan selain dari militer semakin
penting, seperti keahlian bernegosiasi. Akhirnya negara-negara menjadi lebih
tertarik dengan isu kesejahteraan, ekonomi (low politics) dan kurang
8
menghiraukan dengan isu keamanan (high politics). Dalam interdependensi ini,
hubungan yang terjadi menjadi lebih bersahabat dan kooperatif.
Lebih jauh, Jackson dan Sorensen menyatakan (2005, h. 65) bahwa, ketika
terdapat derajat interdependensi yang tinggi, negara-negara akan sering
membentuk institusi-institusi internasional untuk menghadapi masalah-masalah
bersama. Institusi-institusi itu dapat berupa organisasi internasional formal (Uni
Eropa,WTO,ASEAN), atau dapat berupa serangkaian persetujuan (sering disebut
rezim) yang menghadapi aktivitas-aktivitas atau isu-isu bersama, seperti
perjanjian tentang perdagangan, komunikasi, penerbangan, atau lingkungan. Peran
institusi dalam bentuk ini akan dilihat dari perspektif neoliberal institusionalis.
Ada banyak varian dalam liberalisme, neoliberal institusionalis adalah
salah satunya. Namun, yang membedakan neoliberal institusionalis dengan jenis
liberalisme lainnya, menurut Keohane (dalam Hobson 2003, h. 95-98; lihat juga
Grieco dalam Baldwin ed. 1993, h. 123) adalah tanggapannya yang menerima
sejumlah asumsi dari pemikiran realis (struktural realis) mengenai anarkinya
hubungan internasional. Menurut Keohane, negara secara rasional adalah egois
dengan berusaha memaksimalkan keuntungan masing-masing, namun kehadiran
sebuah rezim sangatlah penting dan efektif, meskipun dalam kondisi yang secara
rasional memaksimalkan keuntungan masing-masing tersebut. Neoliberal
institusionalis menurutnya juga bertentangan dengan pemikiran normatif dari
liberal institusionalis sebelumnya. Keohane menolak pendapat dari liberalisme
klasik, yang menyatakan bahwa kerjasama terjadi secara alami. Menurut
Keohane, kerjasama tidak akan terjadi secara alami, kerjasama harus dirancang
melalui pembentukan dari rezim internasional.
9
Menurut Keohane, sistem politik dunia tidak didominasi oleh harmoni dan
kerjasama, tetapi dari perselisihan yang sering terjadi, seperti pendekatan
neorealis. Secara fakta, perselisihan sangatlah penting, karena dapat menciptakan
kebutuhan akan suatu rezim. Tanpa adanya konflik maka kerjasama tidak akan
dibutuhkan. Negara dapat bernegosiasi atau merancang sebuah institusi, karena
nilai dari keuntungan jangka panjang dari sebuah rezim. Rezim dapat
mengusahakan negara untuk menyelesaikan permasalahan bersama dari situasi
yang anarki. Kerjasama tidak terjadi karena alasan moral atau motivasi idealisme,
tetapi karena menjanjikan kepentingan jangka panjang. Oleh karena itu, dalam
perspektif neoliberal institusionalis masih terdapat optimisme dalam melakukan
kerjasama, dan institusi memiliki peran dalam mewujudkan kerjasama tersebut.
Jackson dan Sorensen (2005, h. 158) menambahkan bahwa institusi
internasional membantu memajukan kerjasama antara negara-negara, selain itu
juga membantu mengurangi ketidakpercayaan dan rasa takut di antara negara satu
dengan yang lainnya yang dianggap menjadi masalah tradisional yang dikaitkan
dengan anarki internasional. Steans dan Pettiford (2009, h. 132) menjelaskan
bahwa negara-negara tidak mampu memenuhi berbagai kebutuhan warga negara
mereka yang beranekaragam tanpa bekerja sama dengan negara-negara lain.
Institusi-institusi dan rezim-rezim internasional diperlukan untuk mengatur
kekuatan interdependensi yang ada. Meskipun konflik itu selalu ada, namun
institusi-institusi atau rezim-rezim menyediakan acuan bagi negara-negara untuk
menyelesaikan berbagai perbedaan.
Menurut Steans dan Pettiford (2009, h. 135), keberhasilan neoliberal
institusionalis dalam mengedepankan kerjasama tidak sepenuhnya tergantung
10
pada keberadaan suatu negara yang berhegemoni (dominan). Namun, ada
kepentingan-kepentingan bersama yang bisa dicapai melalui kerjasama. Pada
pandangan ini, negara-negara masih menjadi aktor dominan meskipun bukan satu-
satunya, tetapi aturan-aturan institusi berpengaruh penting terhadap hasil-hasil
dalam berbagai permasalahan. Mingst (2003, h. 65) menambahkan, bagi
neoliberal institusionalis, kerjasama muncul karena setiap aktor mempunyai
interaksi terus-menerus (kontinuitas) dengan yang lainnya. Institusi menyediakan
jaminan kerjasama, di mana ada harapan untuk interaksi di masa selanjutnya.
Mengenai keuntungan yang akan diperoleh dengan melakukan kerjasama,
Steans dan Pettiford (2009, h. 135; Keohane dalam Hobson 2003, h. 98)
mengungkapkan bahwa bagi neoliberal institusionalis, umumnya negara-negara
merupakan aktor yang berusaha memaksimalkan keuntungan yang absolut,4 bukan
memaksimalkan keuantungan relatif. Keuntungan Absolut berarti perolehan
mutlak yang didapatkan negara, tanpa membandingkan dengan seberapa besar
yang didapatkan oleh negara lain. Oleh karena itu, kerjasama menjadi hal yang
lebih masuk akal (rasional), dengan mempertimbangkan asumsi-asumsi
keuntungan absolut. Dalam hal inilah tersimpan penjelasan tentang kemunculan
dan daya tahan berbagai organisasi, institusi dan rezim internasional. Jackson dan
Sorensen (2005, h. 169) menambahkan, jika negara-negara memiliki kepentingan
yang sama maka mereka tidak akan mencemaskan tentang keuntungan relatif.
Dalam situasi tersebut institusi dapat membantu meningkatkan kerjasama.
4 Keuntungan Absolut, berarti sepanjang kita mengerjakannya dengan baik, tidak masalah jika
yang lain mengerjakan lebih baik. Contoh: perekonomian negara A tumbuh mendekati 25% dalam
satu dekade, perekonomian negara B tumbuh 75%. Sedangkan Keuntungan Relatif, berarti kita
akan melakukan yang terbaik, tetapi prioritas nomor satu adalah yang lain tidak boleh
mendahuluinya (asumsi realis). Contoh: perekonomian negara A tumbuh 10% dalam satu dekade,
perekonomian negara B tidak boleh tumbuh lebih besar daripada itu. (lihat Jackson & Sorensen
2005, h. 170).
11
Dalam kaitannya dengan penulisan skripsi ini, pandangan neoliberal
institusionalis dapat dikaitkan dengan peran ASEAN sebagai organisasi formal di
kawasan Asia Tenggara yang sedang berusaha untuk lebih memajukan
pertumbuhan ekonomi negara-negara anggotanya, melalui berbagai hubungan
kerjasama ekonomi yang dilakukan baik intra ASEAN maupun dengan
lingkungan eksternalnya. Dalam perspektif ini juga dapat dilihat peran institusi
dalam menerapkan berbagai aturan ataupun program yang diharapkan dapat
memacu pertumbuhan ekonomi negara anggotanya. Institusi dianggap mampu
memberikan pedoman kerjasama bagi negara-negara yang memiliki banyak
perbedaan baik dari segi ekonomi, politik dan lainnya.
Selain peran ASEAN sebagai suatu institusi, melalui perspektif neoliberal
institusionalis juga dapat dilihat mengenai perjanjian pembentukan ACFTA.
Keberadaan rezim atau perjanjian kerjasama ini bisa dikaitkan dengan anggapan
anarkinya hubungan internasional, dalam hal ini misalnya, perkembangan
ekonomi Cina yang dianggap menjadi pesaing dari perekonomian ASEAN baik
dalam segi perdagangan maupun investasi, selain itu makin terkelompok-
kelompoknya berbagai negara dalam suatu bentuk regionalisme (Uni Eropa,
NAFTA, Mercosur) menjadikan hal yang lebih sulit bagi suatu negara di luar
kawasan tersebut untuk melakukan kerjasama, dengan kata lain masing-masing
negara berusaha memaksimalkan keuntungannya. Oleh karena itu, ASEAN dan
Cina menanggapinya dengan lebih mendekatkan diri dengan membentuk ACFTA.
Terlebih lagi Cina, karena dalam wilayah Asia Timur sendiri hampir tidak adanya
kemungkinan bagi Cina untuk membentuk suatu institusi formal terkait
persaingannya dengan Jepang.
12
Oleh karena itu, optimisme Cina dan ASEAN dalam melakukan kerjasama
di bidang ekonomi tertuang dalam pembentukan ACFTA. Kedua belah pihak
menganggap keberadaan perjanjian ini akan mampu meningkatkan pertumbuhan
ekonomi bagi keduanya. Meskipun dalam pembentukannya juga banyak menuai
protes, terkait dengan komoditi ekspor Cina yang luar biasa melimpah, namun
sesuai dengan pandangan neoliberal institusionalis tentang keuntungan absolut
yang akan diperoleh, maka perjanjian ini dapat diwujudkan, dengan harapan
manfaat jangka panjang dari hubungan yang akan terjadi bagi keduanya termasuk
dari segi investasi.
Fenomena globalisasi yang terjadi di seluruh belahan dunia tidaklah
mungkin untuk dihindari, yang menjadi persoalan adalah sejauh mana negara-
negara di dunia ini mampu mengambil keuntungan dari proses globalisasi ini.
Salah satu bentuk nyata dari interdependensi yang juga disebabkan oleh proses
globalisasi, adalah terbentuknya ACFTA. Saling ketergantungan yang terjadi di
antara kedua belah pihak baik ASEAN maupun Cina menyebabkan terbentuknya
perjanjian ini. Perjanjian kawasan perdagangan bebas ini tentunya dapat terwujud
jika setiap negara anggotanya mau menerima semua aturan ataupun perjanjian
yang telah disepakati bersama. Hubungan interdependensi yang terjadi antara
ASEAN dan Cina sehingga menyebabkan terbentuknya ACFTA akan lebih
dijelaskan dalam bagian selanjutnya pada skripsi ini.
Kerjasama ekonomi yang terjadi dalam ACFTA haruslah dapat
menguntungkan bagi semua negara yang terlibat di dalamnya. Eksploitasi dalam
bentuk ekspansi ekonomi sangatlah dihindari dalam kerangka kerjasama ini. Salah
satu contoh dari pencegahan tindakan eksploitasi itu adalah dengan menunda
13
pemberlakuan skema ACFTA bagi anggota ASEAN-CMLV (Cambodia,
Myanmar, Laos, Vietnam) hingga pada 2015 (Sungkar dalam Inayati ed. 2006, h.
42). Hal ini dimaksudkan agar ke-empat anggota baru ASEAN ini tidak menjadi
sasaran empuk dalam penyebaran komoditi ekspor negara lainnya, khususnya oleh
Cina. Dengan melakukan penundaan ini, maka diharapkan dapat memperpanjang
waktu persiapan bagi negara-negara tersebut untuk lebih menguatkan lagi kondisi
perekonomian domestiknya. Sehingga nantinya lebih mampu bersaing di dalam
skema kawasan perdagangan bebas ini.
Integrasi ekonomi yang terjadi di dalam skema ACFTA ini diharapkan
mampu memberikan manfaat bagi seluruh negara anggotanya, meskipun
keuntungan dari segi ekonomi yang diperoleh antara satu negara dengan negara
lainnya berbeda satu sama lain. Perbedaan ini terjadi akibat dari tingkat
kemampuan ataupun kesiapan yang berbeda-beda dari setiap negara yang
bekerjasama dalam sistem ini. Pada dasarnya, setiap negara yang terlibat dalam
perjanjian ini memiliki posisi yang setara, karena masing-masing pihak memang
membutuhkan kerjasama ekonomi ini. Sehingga diharapkan tidak ada negara yang
merasa dirugikan. Saat ini tidak ada satu negarapun di dunia ini yang betul-betul
dapat memenuhi kebutuhannya dari hasil produksi negaranya sendiri. Langsung
atau tidak langsung negara-negara tersebut membutuhkan hubungan ekonomi
sehingga masing-masing negara sudah berada pada situasi yang saling
ketergantungan. Untuk mewujudkan hal itu maka instrumen kerjasama ekonomi
menjadi sesuatu yang harus dilakukan.
Pada pelaksanaannya hubungan kerjasama ekonomi antara Cina dengan
ASEAN didasari oleh situasi saling ketergantungan (interdependensi). Dalam
14
Faktor internal:
Hambatan ekonomi
intra ASEAN
Faktor eksternal:
alternatif
hubungan ekonomi
Hubungan ekonomi
intra ASEAN:
Faktor eksternal:
motivasi ekonomi
dan politik
ASEAN-Cina
Free Trade Area
Perubahan
kebijakan ekonomi
perspektif Cina pertumbuhan ekonomi yang pesat hasil dari program empat
modernisasi yang sukses dan interaksi Cina dengan ekonomi global, telah
membuka mata negara itu akan pentingnya interdependensi dan keterbukaan
dengan pihak asing. Interdependensi Cina telah mentransformasikan peran negara
itu dan sikap seluruh dunia dalam berhubungan dengan Cina ke arah yang lebih
baik. Pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina telah membuka mata dunia, dan
berpaling ke negeri itu. ASEAN sendiri juga sangat menyadari hal ini, sehingga
membuat negara-negara di kawasan Asia Tenggara menyambut baik tawaran dari
Cina dalam pembentukan ACFTA. Keinginan ASEAN di satu sisi dan kebijakan
Cina di sisi lain yang sangat membuka diri untuk melakukan hubungan ekonomi,
mengakibatkan upaya-upaya membentuk ACFTA dapat diwujudkan.
Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah dan kerangka pemikiran
pada bagian sebelumnya, maka penulis mencoba menggambarkan penelitian ini di
dalam sebuah model, yang dapat dilihat seperti di bawah ini:
ASEAN
CINA
Faktor internal:
meningkatnya
perekonomian
15
D. Metode Penelitian
Pembuatan skripsi ini menggunakan metode kualitatif. Meskipun di
dalamnya tetap menampilkan data yang berbentuk angka, tetapi data tersebut tidak
didapat melalui penghitungan secara langsung oleh penulis, oleh karena itu masih
tergolong dalam penelitian kualitatif. Selain itu jenis penelitian skripsi ini bersifat
deskriptif. Penulis akan memaparkan atau mendeskripsikan sejumlah fakta-fakta
terkait dengan pembahasan skripsi ini.
Dalam memudahkan penulisan skripsi ini, penulis memperoleh data-data
primer dan sekunder, diantaranya yang berupa buku-buku, jurnal hubungan
internasional, wawancara dengan salah seorang peneliti pada Pusat Penelitian
Politik (P2P) LIPI , internet, dokumen resmi ASEAN Secretariat dan bahan-
bahan tertulis lainnya. Data yang didapat, digunakan untuk memudahkan penulis
dalam memahami permasalahan mengenai peningkatan hubungan kerjasama
ekonomi antara ASEAN dengan Cina.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini nantinya akan di bagi dalam beberapa bab dan setiap
bab mempunyai sub-bab tertentu.
BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan tentang latar belakang
permasalahan yang menjadi alasan pemilihan topik untuk penulisan skripsi ini.
Kemudian dilanjutkan pertanyaan penelitian, kerangka pemikiran, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II HUBUNGAN KERJASAMA EKONOMI ASEAN. Bab ini
membahas tentang ASEAN dan perkembangan kerjasama ekonomi yang terjadi
16
dalam intra ASEAN maupun dengan lingkungan eksternalnya. Dimulai dari PTA,
AFTA, ASEAN+3,ASEAN Economics Community, sampai pembentukan
ASEAN-Cina FTA. Bab ini juga membahas faktor yang menyebabkan
terbentuknya ACFTA, yang dilihat dari perspektif ASEAN sebagai organisasi
regional di Asia Tenggara.
BAB III KEPENTINGAN CINA TERHADAP PEMBENTUKAN
ACFTA. Bab ini berisikan tentang gambaran umum kebijakan ekonomi luar
negeri Cina, mulai dari era pendirinya yaitu Mao Zedong dan dilanjutkan pada era
Deng Xiaoping, hingga pembentukan ASEAN-Cina FTA. Dalam bab ini juga
akan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan Cina melakukan peningkatan
hubungan ekonomi dengan ASEAN dan berupaya melihat kepentingan-
kepentingan Cina dalam pembentukan kawasan perdagangan bebas tersebut.
Termasuk diantaranya, kebangkitan ekonomi Cina, faktor politik domestik,
ekonomi, dan sistem ekonomi internasional yang menyebabkan Cina melakukan
peningkatan kerjasama dengan ASEAN.
BAB IV ANALISA HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA. Bab ini
menganalisa peningkatan hubungan kerjasama ASEAN-Cina dalam bidang
ekonomi. Selain itu, juga akan menggambarkan tentang peluang-peluang dan
hambatan yang akan dihadirkan dari terbentuknya ACFTA ini bagi kedua belah
pihak yang terlibat di dalamnya. Bab ini juga memaparkan bagaimana ACFTA
berimplikasi terhadap hubungan ekonomi ASEAN dan Cina.
BAB V PENUTUP. Bab ini berisikan kesimpulan mengenai pembahasan
yang terjadi pada bab-bab sebelumnya.
17
BAB II
HUBUNGAN KERJASAMA EKONOMI ASEAN
Bab ini akan memaparkan perkembangan hubungan ekonomi yang terjadi
di kawasan Asia Tenggara. Khususnya kerjasama yang terjadi di dalam ruang
lingkup ASEAN, baik kerjasama ekonomi intra ASEAN maupun antara ASEAN
dengan lingkungan eksternalnya. Kerjasama ekonomi yang dilakukan ASEAN
merupakan bentuk kerjasama ekonomi yang pertama kali disepakati di kawasan
Asia, hal ini menandakan keinginan ASEAN untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonominya. Mengingat begitu pentingnya posisi ASEAN, maka pada bagian ini
penulis juga akan memaparkan kebutuhan ASEAN untuk meningkatkan
perekonomiannya sehingga mendorong ASEAN untuk melakukan kerjasama
dengan lingkungan eksternalnya. Salah satu Negara yang dianggap memiliki
potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ASEAN adalah Cina.
A. Latar Belakang Kerjasama Ekonomi ASEAN
Deklarasi Bangkok 8 Agustus 1967 merupakan awal bersejarah bagi
pembentukan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Deklarasi
tersebut mendasari terbentuknya ASEAN. Pada awal pembentukannya, ASEAN
hanya memiliki lima anggota, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand dan
Filipina (Dirjen Kerjasama ASEAN 2010, h. 2). Salah satu tujuan pembentukan
ASEAN tidak dapat dilepaskan dari adanya keinginan bersama antara negara-
negara yang tergabung di dalamnya untuk meningkatkan perekonomian dan
18
kesejahteraan bangsanya. Bahkan sejak pembentukannya hingga saat ini, ASEAN
senantiasa mengedepankan agenda-agenda ekonomi dalam setiap interaksinya.
Salah satu tujuan dari pembentukan ASEAN seperti yang tertuang dalam
Deklarasi Bangkok tahun 1967 adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi,
kemajuan sosial serta pengembangan kebudayaan di kawasan ASEAN. Tujuan-
tujuan tersebut dapat dicapai melalui usaha bersama dalam semangat kesamaan
dan persahabatan untuk memperkokoh landasan sebuah masyarakat bangsa-
bangsa Asia Tenggara yang sejahtera dan damai (Prabowo & Wardoyo 2004, h. 1;
ASEAN Secretariat 1967). Deklarasi ini mempersatukan negara anggota ASEAN
dalam usaha bersama untuk mengembangkan kerjasama ekonomi dan
meningkatkan kesejahteraan di kawasan Asia Tenggara. Deklarasi ini merupakan
dasar yang menjadi rujukan bagi setiap aktifitas ASEAN dalam mewujudkan
segala tujuannya.
Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, negara-negara anggota ASEAN
sebenarnya telah mengalami kemajuan ekonomi, namun krisis ekonomi yang
terjadi telah mengakhiri masa perkembangan ekonomi tersebut. Krisis ekonomi
yang berawal di Thailand, memberi efek domino bagi negara-negara tetangganya
di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Laos dan Filipina. Kejadian ini
membuktikan adanya saling keterkaitan ekonomi antara negara-negara di kawasan
tersebut. Menurut Sungkar (ed. 2005, h. 36), krisis ekonomi 1997 adalah krisis
yang telah memukul sistem ekonomi di Asia terutama Asia Tenggara dan Korea
Selatan. Krisis ini diawali dengan tingginya pinjaman jangka pendek dari Negara-
negara seperti Thailand, Indonesia, dan Korea Selatan terhadap Dollar AS. Hal ini
19
menyebabkan melemahnya nilai tukar mata uang (depresiasi)5 seperti; Rupiah di
Indonesia atau Bath di Thailand terhadap Dollar AS, sehingga mengakibatkan
hilangnya kepercayaan investor dan kreditor asing sehingga terjadi pelarian modal
dalam jumlah yang sangat besar. Dengan demikian banyak negara Asia yang
kekurangan aset mata uang asing (Dollar AS) dan mengalami kesulitan dalam
membayar hutang yang menumpuk.
Ketika jangka waktu peminjaman hutang tersebut telah jatuh tempo,
perusahaan-perusahaan di negara-negara tersebut tidak mampu untuk membayar
karena jumlah hutang yang meningkat, akibat naiknya nilai tukar Dollar AS.
Akibatnya, perusahaan-perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan. Bankrutnya
perusahaan-perusahaan tersebut juga menyebabkan pinjaman yang dikucurkan
oleh perbankan menjadi macet. Belum cukup sampai disitu, permasalahan
perbankan ini juga memicu dampak lainnya dari krisis ekonomi ini, seperti
bergejolaknya sistem politik di beberapa Negara di kawasan Asia Tenggara,
misalnya Indonesia.
Menurut Purwanto (dalam Yaumidin ed. 2008, h. 82) krisis ekonomi
tersebut juga menunjukkan kelemahan fundamental perekonomian kawasan
ASEAN. Ini dapat dilihat dari ketergantungan negara-negara ASEAN pada modal
dari luar negeri seperti yang berasal dari Amerika Serikat dan Jepang. Purwanto
(dalam Yaumidin ed. 2008, h. 83) juga menambahkan bahwa sejak krisis ekonomi
tersebut, anggota ASEAN berusaha keras untuk dapat segera keluar dari bayang-
bayang krisis dengan melakukan perbaikan-perbaikan kinerja perekonomian dan
5 Depresiasi berarti, menurunnya nilai mata uang dalam negeri terhadap valuta asing karena
mekanisme pasar. Sedangkan Devaluasi adalah suatu kebijakan pemerintah untuk menurunkan
nilai mata uang sendiri terhadap mata uang asing dengan cara sengaja. Tujuannya agar ekspor
meningkat.
20
juga meningkatkan kerjasama intra regional bagi pertumbuhan ekonomi yang
lebih maju. Akan tetapi dengan adanya keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki
oleh negara-negara ASEAN menyebabkan perlunya upaya untuk memperluas
kerjasama ekonomi kawasan dengan negara lain, termasuk dengan mitra
dialognya seperti dengan Cina, Jepang, India, Korea Selatan, Kanada, Australia,
dan Selandia Baru.
Selain itu, pada KTT ASEAN kedua di Kuala lumpur pada 1977
dikemukakan mengenai perlu ditingkatkannya kerjasama ekonomi dengan pihak
lain baik negara, kelompok negara, dan organisasi internasional di luar ASEAN
untuk menjalin hubungan yang saling bersahabat serta saling menguntungkan bagi
semua pihak (ASEAN Secretariat 1977). Hal ini menunjukkan bagaimana
ASEAN sangat menginginkan kerjasama dalam bidang ekonomi baik dengan
lingkungan internalnya maupun dengan negara lain di luar kawasan Asia
Tenggara. Pada bagian berikutnya, penulis akan memaparkan perkembangan
kerjasama ekonomi Intra ASEAN.
B. Kondisi Internal Ekonomi ASEAN
B.1. Perkembangan Awal Kerjasama Ekonomi Intra ASEAN
Preferential Trading Arrangements (PTA) merupakan bentuk kerjasama
ekonomi yang pertama kali terjalin antar negara ASEAN, selain juga merupakan
yang pertama kali terjadi di kawasan Asia. PTA pertama kali diperkenalkan pada
tahun 1977 sebagai bentuk komitmen awal negara-negara ASEAN untuk
melaksanakan perdagangan bebas (Pangestu dalam Weatherbee et al. 2005, h.
188; ASEAN Secretariat 1977). Dalam skema PTA berlaku pengurangan tarif
21
bagi barang-barang yang diperdagangkan dan berasal dari negara-negara anggota
ASEAN.
Dalam PTA ini diterapkan preferensi tarif yang dikenal dengan istilah
MoP (Margin of Preference) (Prabowo & Wardoyo 2004, h. 9). Lebih jauh
Prabowo dan Wardoyo menjelaskan, aturan yang termuat dalam MoP bahwa
semua barang komoditi yang berasal dari ASEAN akan dikenakan tarif preferensi
yang besarnya lebih rendah dari tarif Most Favoured Nation (MFN)6 dari negara-
negara anggota ASEAN. Jadi pada intinya pengenaan tarif dalam sistem MoP ini
harus lebih rendah dari segala bentuk pemotongan tarif yang telah berlaku di
negara anggota ASEAN.
MoP sendiri dihitung berdasarkan persentasi tertentu dari tingkat tarif
yang berlaku di negara-negara anggota ASEAN (Prabowo & Wardoyo 2004, h.
9). Selain itu dalam skema PTA juga berlaku keharusan kandungan muatan lokal
(rules of origin) sebesar 50 persen. Oleh karena itu, setiap komoditi yang
diperdagangkan dalam skema PTA harus memiliki kandungan yang benar-benar
berasal dari negara anggota ASEAN yaitu sebesar 50 persen. Menurut Pangestu
(dalam Weatherbee et al. 2005, h. 188) setiap negara dalam skema PTA ini juga
mempunyai daftar pengecualian (exclusion list), yaitu daftar barang yang tidak
diperdagangkan atau dikecualikan yang diajukan oleh setiap negara.
6 Most Favoured Nation (MFN), prinsip ini menyatakan bahwa setiap fasilitas atau keringanan
yang diberikan oleh suatu negara terhadap impor barang dari suatu negara tertentu harus diberikan
pula kepada barang yang sama yang berasal dari negara anggota GATT (General Agreement on
Tariff and Trade sekarang WTO) yang lain. Dengan demikian, maka tidak ada satu negarapun
yang diperlakukan lebih buruk daripada negara yang lain. Prinsip ini juga dikenal dengan istilah
azas non-diskriminasi, yang berarti tidak adanya perbedaan antara negara satu dengan negara yang
lain. Namun, pada perkembangannya prinsip ini mendapatkan tentangan dari negara-negara
berkembang, karena dengan cara ini berarti negara industri maju akan mendapatkan keuntungan
yang lebih besar. Oleh karena itu, negara-negara berkembang menuntut diubahnya prinsip ini
dengan memperhatikan perbedaan yang ada antara negara industri maju di satu sisi dan negara
berkembang di sisi yang lain (lihat Isaak 1995, h. 112).
22
Pada perkembangannya implementasi dari PTA ini berjalan kurang efektif,
di antaranya akibat terlalu banyak barang-barang yang dimasukkan dalam
“exclusion list” atau daftar pengecualian, sehingga tidak memperoleh penurunan
tarif. Selain itu, terdapat kesulitan dalam membuktikan kandungan muatan lokal
barang dan kurangnya penyebaran informasi tentang PTA terhadap para
pengusaha di negara-negara anggota ASEAN. Hal inilah yang menjadi penyebab
tidak berjalannya program ini secara efektif. Akibat sistem PTA yang tidak begitu
efektif, maka pada ASEAN Summit ke-4 di Singapura pada Januari 1992
disepakatilah pembentukan program baru, khususnya di bidang perdagangan yaitu
ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau kawasan Perdagangan Bebas ASEAN
(Singh 1997, h. 47).
Pembentukan AFTA ini juga mencerminkan perkembangan situasi
ekonomi dan politik yang terjadi bukan hanya di lingkungan ASEAN tetapi juga
dinamika yang terjadi pada lingkungan internasional. Faktor eksternal itu di
antaranya seperti yang diungkapkan oleh Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 18),
yaitu keprihatinan terhadap lambatnya pencapaian kesepakatan Putaran Uruguay7
tentang negosiasi perdagangan multilateral, kemajuan yang cepat dari
pembentukan Pasar Tunggal Eropa (European Common Market), serta karena
lahirnya NAFTA (North American Free Trade Area)8 (lihat juga Weatherbee et
7 Merupakan babak kedelapan dari perundingan yang berlangsung dalam kerangka kerja GATT
yang dimulai pada tahun 1986 sampai 1994. Dalam perundingan ini juga disepakati perubahan dari
GATT menjadi WTO. Selain itu juga disepakati pengurangan subsidi pertanian bagi negara-negara
maju, investasi asing, tekstil, dan perdagangan di bidang jasa seperti bank dan asuransi. Uruguay
Round dalam perundingannya juga berusaha menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan
non-tarif, seperti; kuota, pajak, subsidi ekspor, pembatasan-pembatasan sukarela, serta standar dan
peraturan birokratis di dalam negeri. Uruguay Round juga dianggap sebagai salah satu
perundingan terbesar di bidang perdagangan sebelum adanya Doha Round yang di mulai tahun
2001 hingga saat ini (lihat Isaak 1995, h. 114).
23
al. 2005, h. 190). Dinamika ini dianggap menjadi tantangan yang serius bagi
ASEAN dalam menarik investasi asing ke dalam lingkungan ASEAN. Oleh
karena itu, pembentukan AFTA ini dinilai sangatlah penting untuk meningkatkan
daya tarik ASEAN dalam dunia perdagangan dan investasi internasional.
Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 20) menyatakan bahwa ASEAN Free
Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan Negara-negara ASEAN
untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan
daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN
sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta
penduduknya. Dengan adanya AFTA diharapkan perekonomian menjadi lebih
efisien, bersaing, dan menarik bagi penanaman modal ke kawasan ini. Menurut
Sungkar (ed. 2003, h. 1), AFTA merupakan kawasan perdagangan bebas ASEAN
di mana tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0-5%) maupun hambatan nontarif9
bagi Negara-negara anggota ASEAN, melalui Common Effective Preferential
Tariff Scheme (CEPT)-AFTA. CEPT adalah program tahapan penurunan tarif dan
penghapusan hambatan non-tarif yang disepakati bersama oleh anggota ASEAN.
Awalnya AFTA ditargetkan akan dicapai dalam waktu 15 tahun yaitu pada
2008, namun dipercepat menjadi 2003, dan dipercepat lagi menjadi 2002 bagi
ASEAN-6. Sedangkan untuk Vietnam pada 2006, bagi Laos dan Myanmar 2008,
8 NAFTA (North American Free Trade Area) Organisasi perdagangan bebas Amerika Utara yang
beranggotakan tiga Negara yaitu, Amerika Serikat, Kanada dan Mexico.Didirikan pada 1994
bertugas mengkoordinasikan kegiatan ekonomi, termasuk hubungan niaga; komunikasi; kegiatan
kebudayaan; kewarganegaraan, paspor, dan visa; kegiatan sosial; dan kegiatan kesehatan.
9Hambatan non-tarif adalah hambatan non-moneter terhadap produk-produk ataupun jasa yang
disediakan oleh pihak asing. Salah satu contohnya adalah standarisasi produk-produk yang
dihasilkan oleh negara lain. Standarisasi di sini terkait dengan mutu produk, pengemasan produk,
sertifikasi halal, jaminan kesehatan,dll. Hambatan non-tarif bisa saja berupa peraturan-peraturan
yang memberatkan produk asing masuk ke suatu negara (lihat Pambudi & Chandra 2006, h. 54).
24
serta Kamboja pada 2010 (Wuryandari ed. 2000, h. 120; lihat juga ASEAN
Secretariat). Seperti yang dikemukakan oleh Pangestu (dalam Weatherbee et al.
2005, h. 191), pengurangan tarif dalam AFTA ini hanya dapat diaplikasikan pada
produk-produk yang memenuhi persyaratan kandungan muatan lokal (rules of
origin) sebesar 40 persen dari negara-negara anggota.
CEPT dirancang untuk mewujudkan AFTA. Sehingga, isinya merupakan
aturan-aturan yang telah disepakati bersama oleh negara ASEAN dalam
melaksanakan AFTA. Menurut Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 28), produk yang
diatur dalam CEPT adalah seluruh produk manufaktur dan produk pertanian.
Lebih jauh Prabowo dan Wardoyo (2004, h. 29-32; ASEAN Secretariat 1999)
menjelaskan bahwa klasifikasi produk dalam CEPT dapat dikelompokkan menjadi
4 golongan, yaitu:
1.Inclusion List (IL)
Produk yang terdapat dalam IL adalah produk-produk yang harus
mengalami liberalisasi dengan dikenai pengurangan tarif secepatnya secara
terjadwal di bawah program CEPT, hingga harus turun maksimal 0-5 persen pada
2002 untuk ASEAN-6. Sedangkan bagi negara-negara CMLV (Cambodia,
Myanmar, Laos dan Vietnam) diberikan kelonggaran waktu yang berbeda untuk
menerapkannya yaitu 2006 untuk Vietnam, 2008 untuk Laos dan Myanmar, serta
2010 untuk Kamboja. Kelompok barang dalam IL ini dibagi lagi menjadi dua
kelompok, seperti: normal track dan fast track.
2.Temporary Exclusion List (TEL)
TEL adalah daftar yang berisi produk-produk yang dikecualikan sementara
untuk dimasukkan dalam skema CEPT karena ketidaksiapannya. Namun semua
25
produk dalam TEL pada akhirnya harus ditransfer ke dalam Inclusion List paling
lambat 1 Januari 2002.
3.Sensitive List (SL)
Produk yang masuk dalam kategori ini terdiri dari produk-produk
pertanian yang belum diproses atau produk pertanian bukan olahan (Unprocessed
Agricultural Products). Produk dalam SL ini harus dimasukkan ke dalam IL
dengan jangka waktu 2003 untuk ASEAN-6, Vietnam pada 2013, Laos dan
Myanmar 2015, sedangkan Kamboja pada 2017. Contoh produk dalam SL adalah:
beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, dan cengkeh.
4.General Exception List (GEL)
GEL adalah daftar produk yang dikecualikan secara permanen dari
program CEPT oleh suatu Negara karena dianggap penting dengan alasan
perlindungan terhadap keamanan nasional, moral masyarakat, kehidupan dan
kesehatan dari manusia, binatang atau tumbuhan, serta barang-barang yang
mengandung nilai sejarah, seni, dan arkeologis. Ketentuan yang termasuk dalam
GEL ini sesuai dengan pasal 10 dari GATT, seperti senjata api, amunisi, narkotika
dan sebagainya.
Pada perkembangannya, AFTA berhasil meningkatkan intensitas jumlah
perdagangan intra ASEAN, akibat penurunan hambatan tarif maupun non-tarif di
antara anggotanya. Namun, peningkatan perdagangan tersebut masih dianggap
kurang berarti atau dengan kata lain perkembangan perdagangan intra ASEAN
sangatlah lambat. Volume perdagangan dalam AFTA ini masih dianggap kurang
mampu menggantikan ketergantungan ASEAN terhadap negara-negara di luar
kawasan Asia Tenggara (lihat Tabel II.1). Dari tabel ini dapat dikatakan
26
perdagangan intra ASEAN mengalami peningkatan, namun peningkatan itu belum
mampu menggeser ketergantungan ekspor ASEAN ke luar kawasan Asia
Tenggara.
Tabel II.1
Perdagangan Intra dan Ekstra ASEAN: 2003-2009
(dalam juta US$) 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Total
Intra 206.731
260.697
304.893
352.771
401.920
470.112
376.207 2.373.331
Extra 617.807
811.150
919.996
1.052.034
1.208.867
1.427.015
1.160.635 7.197.504
Total 824.538 1.071.847 1.224.889 1.404.805 1.610.787 1.897.127 1.536.842 9.570.835
Sumber: ASEAN Statistical Yearbook 2010, Jakarta: ASEAN Secretariat Desember 2010
Menurut Luhulima ( et al. 2008, h. 122) rendahnya perdagangan intra
ASEAN ini antara lain dikarenakan masih adanya hambatan non-tarif, perbedaan
standar produk dan belum harmonisnya prosedur bea cukai. Persoalan lain yang
sama pentingnya adalah kurang populernya skema CEPT-AFTA di kalangan
swasta, kurang jelasnya aturan kandungan lokal dan belum kuatnya mekanisme
penyelesaian masalah perdagangan. Oleh karena itu, ASEAN memperbolehkan
negara anggota yang belum siap berintegrasi untuk menyusul di kemudian hari
agar tidak memperlambat anggota yang lebih siap. Hal inilah yang menyebabkan
penerapan program ini berjalan tidak bersamaan antara satu negara dengan negara
lainnya.
Selain itu Ariff (dalam Yue dan Pacini eds. 1997, h. 68) menambahkan
bahwa minimnya perdagangan intra ASEAN ini mungkin disebabkan karena
beberapa alasan. Pertama, negara-negara ASEAN memiliki sumber daya alam
yang relatif sama sehingga tidak adanya saling melengkapi di antara anggota,
namun justru terjadi persaingan. Sebagai contoh; Indonesia, Malaysia dan
Thailand adalah sesama negara penghasil utama karet alam dunia, kemudian
27
Malaysia, Singapura dan Filipina sama-sama pengekspor produk-produk
elektronik. Jadi perekonomian ASEAN lebih cenderung untuk berkompetisi antara
satu negara dengan negara lain dalam memperebutkan pasar. Kedua, negara-
negara ASEAN lebih banyak melakukan hubungan dagang dengan negara-negara
di luar ASEAN daripada antar anggota ASEAN. Perdagangan negara-negara
ASEAN lebih banyak dilakukan dengan negara-negara di luar kawasan, seperti
Amerika Serikat, Uni Eropa dan juga Jepang. Hal ini disebabkan karena negara-
negara tersebut adalah daerah utama pemasaran komoditi ekspor dari negara
ASEAN, selain juga merupakan sumber investasi bagi negara ASEAN.
Kemudian, sebagai bentuk lanjutan dari integrasi ekonomi ASEAN,
seiring dengan pemberlakuan AFTA maka disepakatilah gagasan yang lebih besar
lagi pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-8 di Phnom Penh,
November 2002. Pada saat itu, menurut Elisabeth (ed. 2009, h. 1), para pemimpin
ASEAN menyetujui prakarsa Perdana Menteri Singapura, Goh Chok Tong
mengenai pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) sebagai bentuk
lanjutan dari proses integrasi ekonomi ASEAN. Kemudian pada KTT ASEAN ke-
9 di Bali tahun 2003, para pemimpin ASEAN sepakat untuk membentuk
Komunitas Ekonomi ASEAN yang ditargetkan dicapai pada 2020. Pada KTT
inilah dihasilkan ketetapan Bali Concord II yang menjadi cikal bakal
pembentukan AEC. Lebih jauh Elisabeth (ed. 2009, h. 2) menyatakan bahwa,
pembentukan AEC ini sesuai dengan tujuan pembentukan komunitas ASEAN
yang ditetapkan dalam ASEAN Vision 2020 pada 1997, yaitu pembentukan tiga
pilar utama ASEAN; ASEAN Political-Security Community (APSC), ASEAN
Economic Community (AEC), dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC).
28
Menurut Elisabeth (ed. 2009, h. 2), pada tahap selanjutnya dalam KTT
ASEAN ke-12 di Cebu, Filipina Januari 2007, para peserta pertemuan
menyepakati untuk mempercepat jadwal pembentukan Komunitas ASEAN yang
semula ditetapkan pada 2020 menjadi 2015. Namun, target pembentukan ketiga
pilar utama tersebut tidak bersamaan. Target pencapaian disesuaikan dengan
kondisi ekonomi dan politik masing-masing negara anggota ASEAN. Misalnya,
Singapura dan Brunei menargetkan ASEAN Community (AC) pada 2010,
sedangkan Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand pada 2015, sedangkan CMLV
tetap pada 2020.
Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 117) menambahkan bahwa,
percepatan pembentukan AC ini terjadi dikarenakan adanya kekhawatiran
ASEAN terhadap perkembangan ekonomi dunia. Dalam situasi persaingan
ekonomi yang semakin tajam, ada kekhawatiran bahwa Asia Tenggara akan
tertinggal jauh dari pesatnya pertumbuhan ekonomi kawasan atau negara lain
seperti pertumbuhan ekonomi Cina dan India. Gagasan membentuk ASEAN
Economic Community (AEC) diharapkan bisa mengalirkan semangat baru untuk
berintegrasi ke dalam, dan meningkatkan daya saing kawasan agar dapat merebut
investasi asing.
Elisabeth (ed. 2009, h. 3) menambahkan, dalam rangka perwujutan AEC
ini, pada KTT ASEAN ke-13 di Singapura November 2007 disahkan langkah
kerja untuk mempercepat integrasi ekonomi dan realisasi pembentukannya, yaitu
dengan menjadikan ASEAN sebagai pasar dan basis produksi tunggal, kawasan
ekonomi yang berdaya saing tinggi, kawasan yang memiliki pembangunan
29
ekonomi yang relatif setara (equitable), serta kawasan yang terintegrasi penuh
dengan ekonomi global (lihat juga ASEAN Secretariat 2008).
Intinya, komunitas ekonomi ASEAN ingin membentuk suatu pasar dan
basis produksi tunggal di mana di dalamnya terdapat pembebasan terhadap
barang, jasa, investasi, tenaga kerja terdidik, dan liberalisasi modal. AEC juga
dimaksudkan untuk membantu mengurangi kemiskinan dan juga mempersempit
jurang ekonomi dan pembangunan bagi negara ASEAN-6 dan CMLV pada tahun
2020 mendatang (ASEAN Secretariat 2008).
Menurut Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 129) walaupun tidak mudah
untuk mencapai tingkat integrasi ekonomi yang lebih tinggi, sebenarnya saat ini
kerjasama ekonomi ASEAN bukan pada tahap paling awal dari integrasi ekonomi.
ASEAN sudah meletakkan landasan dan menjalani proses integrasi ekonomi
seperti, ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN Framework Agreement on
Services (AFAS), yang ditetapkan dalam ASEAN Summit ke-5 di Bangkok pada
Desember 1995. Untuk memperkuat kerjasama sektor jasa antar anggota ASEAN
dengan penghapusan hambatan perdagangan jasa intra-regional.
Selain itu, juga disepakati pembentukan ASEAN Investment Area (AIA)
pada tahun 1998 (ASEAN Secretariat). Selain kemudahan dalam perdagangan di
bidang barang dan jasa, sektor investasi ini merupakan bagian penting dalam
peningkatan investasi intra-ASEAN yang masih cukup rendah (lihat Tabel II.2).
Penanaman modal asing (Foreign Direct Investment) bagi negara-negara ASEAN
sebagian besar masih berasal dari negara-negara di luar kawasan Asia Tenggara.
Jadi, dalam perjalanan menuju Komunitas Ekonomi ASEAN, ASEAN dapat
dikatakan telah berada di tengah jalan dan perlu menciptakan mekanisme dan
30
langkah-langkah baru untuk memperkuat implementasi kerjasama ekonomi yang
sedang berlangsung.
Tabel II.2
Investasi Asing Langsung (FDI) Menuju ASEAN: 2003-2009
(dalam juta US$)
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Total
Intra 2.702 2.958
4.060
7.755
9.682
10.461
4.428 42.046
Extra 21.364 32.242
35.980
47.002
63.746
38.729
35.052 274.115
Total 24.066 35.200 40.040 54.757 73.428 49.190 39.480 316.161
Sumber: ASEAN Statistical Yearbook 2010, Jakarta: ASEAN Secretariat Desember 2010
Oleh karena itu, menurut Arbi (dalam Sungkar ed. 2005, h. 21) ASEAN
telah mengesahkan sebelas sektor prioritas proyek percontohan percepatan
integrasi pasar tunggal ASEAN yang direncanakan akan tercapai menjelang 2020.
Tujuan ini akan dicapai melalui penghapusan berbagai hambatan perdagangan
intra-ASEAN. Kesebelas sektor yang dipilih di antaranya: elektronika, e-ASEAN,
perawatan kesehatan, produk-produk berbasis kayu, otomotif, produk-produk
berbasis karet alam, tekstil dan pakaian jadi, produk-produk agro-industri,
perikanan, penerbangan dan pariwisata. Sektor-sektor ini dipilih berdasarkan
tingkat keunggulan kompetitif masing-masing negara dalam hal ketersediaan
sumber daya alam, keterampilan pekerja, daya saing dalam hal biaya produksi dan
kontribusi nilai tambah bagi perekonomian ASEAN.
Menurut Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 134), dalam usaha menuju
integrasi ekonomi yang lebih tinggi, selain melalui program-program yang
disepakati sepuluh negara anggota, sebenarnya ada juga usaha-usaha yang dijalani
sebagian negara anggota yang dikenal dengan kerjasama sub-regional. Kerjasama
ini memanfaatkan kedekatan geografis dari masing-masing anggota. Sebagai
31
contoh; Segitiga pertumbuhan “Sijori” (Singapura-Johor-Riau) adalah bentuk
kerjasama sub-regional yang sudah berlangsung secara resmi sejak 1992. Dengan
semakin bertambahnya wilayah di Malaysia dan Indonesia yang ikut dalam
kerjasama segitiga pertumbuhan tersebut, maka “sijori” diubah menjadi
Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle (IMS-GT).
Sungkar (dalam Inayati ed. 2007, h. 135) lebih jauh menjelaskan bahwa,
pendekatan sub-regional ini telah diikuti oleh tiga bentuk kerjasama sub-regional
lainnya. Pertama, Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) pada
1993 yang meliputi wilayah utara Sumatera dan Riau di Indonesia, negara bagian
Johor dan Penang di Malaysia, dan wilayah selatan Thailand. Kedua, Brunei-
Indonesia-Malaysia-Philipines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA) pada
1994 yang meliputi Brunei, Kalimantan dan Sulawesi Utara di Indonesia,
Malaysia timur dan wilayah Filipina bagian selatan. Ketiga, wilayah sepanjang
West-East Corridor (WEC) di Mekong Basin, yang meliputi Vietnam, Laos,
Cambodia dan timur laut Thailand yang dibentuk sejak 1996. Dari penjelasan di
atas, dapat dikatakan bahwa AEC lebih merupakan proses pendalaman dari
integrasi ekonomi ASEAN (AFTA, AFAS, AIA), ataupun pengembangan sektor
prioritas dan kerjasama sub-regional.
Dalam penerapan AEC, sebenarnya ASEAN mencontoh integrasi ekonomi
yang dilakukan Uni Eropa (Elisabeth ed. 2009, h. 21). Namun, perlu dilihat
kembali apakah gagasan ini dapat terlaksana seperti harapan para pemimpin
ASEAN, mengingat banyaknya perbedaan yang dimiliki negara-negara anggota
ASEAN, baik dari segi ekonomi, politik, dan lainnya. Sebagai gambaran, Uni
Eropa (EU) sampai ke tahap seperti saat ini (Economic and Political Union)
32
membutuhkan waktu 35 tahun (Perjanjian Roma 1957-Perjanjian Maastricht
1992). Integrasi ekonomi ASEAN memang berbeda dengan EU, namun dengan
pencanangan ASEAN Community yang terdiri dari tiga pilar utama (politik dan
keamanan, ekonomi, sosial dan budaya), ASEAN mencontoh model Traktat
Maastricht untuk membangun masyarakat ASEAN sebagaimana hasil KTT
ASEAN di Bali Pada tahun 2003 (Bali Concord II). Oleh karena itu, perlu dilihat
kembali alternatif dalam meningkatkan perekonomian negara-negara ASEAN,
seperti negara lain yang dianggap mampu memacu pertumbuhan integrasi
ekonomi tersebut, di antaranya bekerjasama dengan Cina membentuk (ASEAN-
China Free Trade Area). Setelah membahas tentang kerjasama ekonomi yang
terjadi dalam ruang lingkup intra ASEAN, pada bagian selanjutnya, penulis akan
mencoba memaparkan hambatan yang menyertai integrasi ekonomi ASEAN.
B.2 Hambatan Integrasi Ekonomi ASEAN
Proses integrasi di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara tergolong
sangat lambat. Ketika terjadi regionalisasi di kawasan Eropa dan Amerika Utara,
kawasan Asia Tenggara belum memiliki kesadaran untuk melakukan kerjasama
atau integrasi ekonomi regional. Regional Trading Agreements (RTA) tidak
muncul di Asia Tenggara, hingga tahun 1977 ketika ASEAN mencapai
kesepakatan dalam hal Preferential Trading Arrangements (PTA) (Prabowo &
Wardoyo 2004, h. 2). Menurut Sungkar (dalam Inayati ed. 2006, h. 51; Sinaga
dalam Elisabeth ed. 2009, h. 118), setidaknya ada beberapa alasan yang dapat
menyebabkan keterlambatan hadirnya integrasi regional di kawasan Asia
Tenggara:
33
Alasan pertama, secara umum negara-negara di kawasan Asia Tenggara
memiliki latar belakang budaya, sistem politik, agama, bahasa, dan tingkat
perekonomian yang berbeda. Adanya perbedaan tingkat kemajuan ekonomi ini
juga menyebabkan sulitnya menetapkan suatu penerapan kebijakan yang seragam
antara satu negara dengan negara lainnya, sebagai contoh dalam penerapan AFTA
dan ACFTA; terdapat perbedaan dalam penerapan skema ini, hal ini disebabkan
oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang jauh berbeda, sehingga ada negara yang
dianggap telah siap menghadapi perdagangan bebas (Singapura dan Brunei) dan
ada juga negara yang memerlukan waktu persiapan yang lebih panjang (Kamboja,
Laos, Myanmar, Vietnam).
Selain itu, perbedaan sistem politik dan pemerintahan juga dianggap
sebagai penghalang, banyak negara yang menjalankan pemerintahan dengan
demokratis dan terbuka, namun ada juga beberapa negara seperti Laos dan
Vietnam yang merupakan negara dengan sistem komunis sehingga lebih tertutup
terhadap perkembangan dan pengaruh asing. Selain itu, Myanmar yang
pemerintahannya dikuasai oleh junta militer juga menyebabkan perkembangan
demokrasi cukup terhambat sehingga berpengaruh pada perkembangan ekonomi.
Alasan kedua, negara-negara ASEAN ini cenderung untuk melakukan
kerjasama perdagangannya dengan negara-negara di luar kawasan Asia, yaitu
dengan AS dan Eropa. Kedua kawasan tersebut berperan sebagai pasar ekspor
terbesar negara-negara Asia Tenggara dan juga sebagai sumber investasi asing
bagi mayoritas negara ASEAN. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Uni Eropa,
di mana mayoritas perdagangan dan investasi yang terjadi di kawasan Eropa justru
terjadi dengan sesama negara di dalam satu kawasan.
34
Alasan ketiga, justru adanya kesamaan komoditi ekspor ataupun kekayaan
alam, sehingga dalam prosesnya antara negara-negara di Asia Tenggara justru
melakukan persaingan dalam memperebutkan wilayah pemasarannya, karena
tidak adanya spesialisasi dari masing-masing negara, sehingga antara satu negara
dengan yang lainnya tidak dapat saling melengkapi tetapi justru bersaing.
Menurut Ricardo (dalam Isaak 1995, h. 108) suatu negara akan menikmati
keuntungan jika melakukan spesialisasi dalam produk-produknya yang
mengandung keunggulan yang paling besar (keunggulan komparatif). Ricardo
menggambarkan prinsip keunggulan komparatif dengan suatu contoh, yaitu:
“Misalnya ada dua orang, masing-masing dapat membuat sepatu dan topi, dan salah satu
di antaranya lebih unggul dibanding dengan yang lain dalam membuat kedua produk
tersebut. Namun dalam membuat topi, salah seorang di antaranya itu hanya bisa melebihi
pesaingnya sebesar seperlima (20 persen), sedang dalam membuat sepatu, ia bisa
melebihi setengahnya (50 persen) dari kemampuan pesaingnya. Tidakkah lebih baik bagi
keduanya jika yang unggul lebih baik mengkhususkan diri membuat sepatu saja, sedang
yang punya kemampuan lebih rendah membuat topi saja?”
Dengan adanya spesialisasi ini maka akan tercipta komplementaritas atau
saling melengkapi. Masing-masing negara harus melakukan spesialisasi dan
mengekspor apa yang dapat diproduksi dengan lebih murah, sebagai ganti dari
barang dan jasa yang secara komparatif dihasilkan dengan lebih murah di negara
lain (trade creation) (Isaak 1995, h. 115). Oleh karena itu, kawasan perdagangan
bebas seharusnya mengurangi produksi domestik yang tidak efisien dan
meningkatkan impor barang dari negara anggota yang diproduksi lebih efisien,
agar lebih terciptanya rasa saling ketergantungan dari segi ekonomi. Pada bagian
selanjutnya akan dipaparkan mengenai perkembangan Kerjasama Ekonomi
ASEAN dengan lingkungan eksternalnya.
35
C. Perkembangan Kerjasama Ekonomi Luar Negeri ASEAN
C.1. Kesepakatan-kesepakatan Ekonomi ASEAN
Sejak dibentuknya ASEAN, ASEAN telah menunjukkan sikap untuk aktif
dalam menjalin hubungan dengan pihak-pihak di luar ASEAN. ASEAN sendiri
telah memiliki sepuluh mitra dialog penuh, yang dimulai sejak tahun 1974 dengan
Australia. Kemudian diikuti oleh Selandia Baru pada 1975, Amerika Serikat,
Kanada, Jepang, Uni Eropa pada 1977, Republik Korea pada 1991, India 1995,
Cina dan Rusia di tahun 1996. Selain itu, Pakistan menjadi Mitra Dialog Sektoral
ASEAN pada 1997 (Dirjen Kerjasama ASEAN 2010, h. 159). Namun sejak tahun
1999, ASEAN memberlakukan kebijakan penghentian sementara (moratorium)
penambahan hubungan kemitraan baru hingga waktu yang tidak ditentukan. Hal
ini bertujuan agar ASEAN dapat mengintensifkan dan mengkonsolidasikan
hubungannya dengan Mitra Dialog yang sudah ada.
Dalam ruang lingkup ASEAN sendiri, sejak awal pembentukannya sudah
secara intensif menyepakati berbagai kesepakatan dalam bidang ekonomi. Seperti
yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, pembentukan PTA, AFTA,
AFAS, ataupun AIA. Sampai pada tahap selanjutnya, menurut Elisabeth (ed.
2009, h. 2), pada tahun 1997, Kepala Negara ASEAN menyepakati ASEAN
Vision 2020 yang bertujuan mewujudkan kawasan yang stabil, makmur dan
berdaya saing tinggi dengan pembangunan ekonomi yang merata, ditandai dengan
penurunan tingkat kemiskinan dan perbedaan sosial ekonomi (ASEAN Summit,
Kuala Lumpur, Desember 1997). Kemudian pada tahun 2003, kembali pada
pertemuan Kepala Negara ASEAN, disepakati tiga pilar untuk mewujudkan
ASEAN Vision 2020 yaitu: 1. ASEAN Economic Community, 2. ASEAN
36
Political-Security Community, 3. ASEAN Socio-Cultural Community (ASEAN
Summit, Bali Oktober 2003).
Untuk mendorong perwujutan ASEAN Vision tersebut, maka pada
November 2002, ASEAN mulai bekerjasama dengan negara di luar ASEAN
dalam bidang ekonomi. Di antaranya, membuat Framework Agreement (ASEAN-
Cina Free Trade Area) dalam sektor barang (goods) yang kemudian disepakati
pada November 2004. Pada Oktober 2003 disepakati Framework Agreement
untuk membentuk (ASEAN-Japan FTA) dalam sektor barang (goods) yang
kemudian disepakati 2008. Kemudian pada Desember 2005, disepakati
Framework Agreement ASEAN-Korea Selatan FTA (goods) (ASEAN
Secretariat). Pada Januari 2007, para kepala negara sepakat untuk mempercepat
pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) dari tahun 2020 menjadi
2015. Pada tahun 2007, ditandatangani ASEAN Charter, AEC Blueprint,
ASEAN-Cina FTA (services), dan ASEAN-Korea FTA (services).
Selanjutnya, pada 2008, AEC Blueprint mulai diimplementasikan dan
ASEAN Charter mulai berlaku 15 Desember 2008 (ASEAN Secretariat 2008).
Pada waktu yang sama ASEAN Japan Comprehensive Economic Partnership
(CEP) mulai berlaku. Pada tahun 2009, ditandatangani ASEAN-Australia-New
Zealand FTA, ASEAN-India FTA (goods) juga mulai berlaku pada tahun ini,
yang Framework sebelumnya telah disepakati pada Oktober 2003, ASEAN-Korea
FTA (investment), dan ASEAN-Cina FTA (investment) juga disepakati pada tahun
2009. Berbagai kesepakatan ekonomi ASEAN dengan lingkungan eksternalnya,
merupakan bukti dari keseriusan ASEAN dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonominya. Pada bagian selanjutnya akan membahas kerjasama ekonomi
37
ASEAN dengan tiga negara di Asia Timur, yang sangat berpengaruh terhadap
perekonomian ASEAN.
C.2 ASEAN+3 (Cina, Jepang, Korea Selatan)
Krisis ekonomi yang menimpa kawasan Asia pada tahun 1997 telah
menunjukkan ketidakberdayaan negara-negara ASEAN untuk mengatasi krisis
tersebut. Situasi ini juga memicu negara-negara ASEAN untuk berpaling kepada
negara tetangga terdekatnya di kawasan Asia Timur, yaitu Jepang, Cina dan Korea
Selatan. Kenyataan ini mendorong terbentuknya kerjasama di antara negara-
negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur melalui forum ASEAN+3. Efek
domino dari krisis ekonomi tersebut menunjukkan suatu realitas adanya
interdependensi di antara perekonomian negara-negara tersebut (Sungkar ed.
2005, h. 1).
Sungkar juga menambahkan (ed. 2005, h. 25) bahwa regionalisme yang
melibatkan ASEAN, Cina, Jepang serta Korea Selatan pertama kali memperoleh
momentum saat berlangsungnya ASEAN Informal Summit ke-dua di Malaysia
pada Desember 1997. Pada tahap ini fokusnya lebih ditekankan pada proses
daripada kegiatan yang berorientasi kerja nyata. Namun, baru pada 1999 proses
kerjasama ASEAN+3 ditetapkan sebagai forum resmi, yaitu ketika para pemimpin
kedua kawasan mengeluarkan pernyataan bersama mengenai kerjasama Asia
Timur pada ASEAN Plus Three (APT) Summit ke-tiga di Manila. Sejak saat itu
KTT ASEAN Plus Three (APT) diadakan setiap tahun dan pertemuan berbagai
tingkat antara ASEAN dan ketiga negara tersebut diadakan secara rutin. Secara
bertahap forum ASEAN+3 memperluas cakupan kerjasamanya sehingga meliputi
38
isu-isu pertanian, keuangan, tenaga kerja, iptek, perdagangan, investasi,
lingkungan, kesehatan, seni dan budaya, energi, kepariwisataan, teknologi
informasi dan komunikasi, politik dan keamanan.
Menurut Sungkar (ed. 2005, h. 35) saat ini ASEAN+3 telah membentuk
suatu kerjasama di bidang keuangan regional yang dikenal dengan “Chiang Mai
Initiative” (CMI). Kerjasama ini dibentuk pada pertemuan para Menteri
Keuangan ASEAN+3 di Chiang Mai pada tahun 2000. Pelaksanaan CMI ini
memuat ketentuan ASEAN Swap Arrangement (ASA) di antara negara anggota
ASEAN+3, jadi memungkinkan terjadinya pertukaran dana antar sesama negara
anggota. Inisiatif ini didorong oleh pengalaman pahit krisis Asia 1997 yang
membuktikan bahwa salah satu penyebab utamanya adalah ketergantungan yang
tinggi pada pinjaman jangka pendek dari luar wilayah Asia. Penurunan nilai mata
uang lokal mengakibatkan hilangnya kepercayaan investor dan kreditor asing
sehingga terjadi pelarian modal dalam jumlah besar. Dengan demikian, banyak
negara di Asia yang kekurangan aset mata uang asing dan mengalami kesulitan
dalam membayar hutang yang menumpuk. Oleh karena itu, dengan dibentuknya
CMI ini maka diharapkan dapat meminimalisir kejadian serupa yang mungkin
terjadi kembali.
Sementara itu, gagasan dan prospek ke arah suatu perjanjian perdagangan
Asia Timur juga tetap mengalami berbagai masalah. Salah satunya adalah
hubungan persaingan antara Jepang dan Cina. Secara ekonomi, salah satu
hambatan adalah ketidaksediaan Jepang untuk membuka pasar pertanian,
perikanan dan kehutanannya. Jepang takut bahwa produk-produk ASEAN yang
lebih murah akan menekan petani Jepang. Bagi Jepang perjanjian perdagangan
39
bebas atau pengaturan kerjasama ekonomi lainnya yang lebih erat, harus
menjamin bahwa Jepang mengambil tempat paling utama di Asia Timur.
ASEAN+3 dipandang sebagi mekanisme yang penting untuk melibatkan Cina
sebagai anggota Asia Timur yang konstruktif dan kooperatif, baik dalam bidang
ekonomi ataupun politik. Tanpa suatu rekonsiliasi antara Jepang dan Cina, suatu
integrasi ekonomi regional Asia Timur akan mengalami banyak hambatan non-
ekonomi.
Salah satu butir hasil KTT ASEAN+3 di Vientianne pada November 2004
menekankan bahwa proses kerjasama ASEAN+3 akan menjadi kendaraan utama
dalam mencapai sasaran jangka panjang, yaitu terbentuknya East Asian
Community (EAC) (Sungkar ed. 2005, h. 6). Seperti yang dikemukakan oleh
Sungkar (2005 ed. h. 32) yaitu bahwa dari perspektif ekonomi, motivasi yang
mendorong ketiga negara Asia Timur untuk menjalin kerjasama dengan ASEAN
pertama, ASEAN dengan penduduk lebih dari 500 juta jiwa merupakan pasar
yang sangat potensial untuk terus dikembangkan. Kedua, ASEAN merupakan
sumber bahan baku dan energi bagi ketiga negara tersebut. Ketiga, ASEAN dapat
dijadikan tempat tujuan investasi bagi industri dari ketiga negara karena masih
memiliki keunggulan komparatif, seperti upah buruh yang relatif murah.
Faktor ASEAN sangatlah penting dalam menarik ketiga negara Asia
Timur (Jepang, Cina dan Korea Selatan) untuk duduk bersama dalam ASEAN+3.
Negara-negara Asia Timur tersebut sedang berusaha untuk menjadi satu entitas.
Namun, memang sampai saat ini hal itu masih sangat sulit diwujudkan karena
masih banyak perselisihan antara ketiga negara tersebut berupa problem sejarah
(historical barrier). Oleh karena itu, sampai kapanpun posisi ASEAN masih
40
sangat diperlukan dalam menjaga perdamaian, tidak saja di kawasan Asia
Tenggara tetapi juga di kawasan Asia Timur.
Bukan hanya ketiga negara tersebut yang membutuhkan ASEAN, tetapi
ASEAN juga sangat membutuhkan negara-negara tersebut dalam
mengembangkan perekonomian. Dari segi perdagangan, ketiga negara Asia Timur
ini merupakan lima besar mitra dagang bagi ASEAN. Pada tahun 2008 misalnya,
secara berurutan yaitu Jepang sebesar (214.400 juta US$),Uni Eropa (208.291 juta
US$), Cina (196.883 juta US$), Amerika Serikat (186.242 juta US$), dan Korea
Selatan (78.250 juta US$) (ASEAN Statistical Book 2010). Oleh karena itu,
ketiga negara ini, posisinya juga sangat penting bagi kelangsungan pertumbuhan
ekonomi di Asia Tenggara. Namun, dari ketiga negara ini yang secara persentase
pertumbuhan perdagangannya dengan ASEAN cukup tinggi adalah Cina. Dari
tahun 2003 hingga 2009 misalnya, pertumbuhan perdagangan antara ASEAN dan
Cina sebesar 22,62 persen dan menjadi pertumbuhan perdagangan terbesar bagi
ASEAN. Pada periode yang sama Jepang sebesar 7,40 persen dan Korea Selatan
sebesar 13,64 persen (ASEAN Statistical Book 2010).
Dari data ini dapat dilihat bahwa meskipun secara jumlah, Cina masih
kalah dibandingkan Jepang, namun persentase pertumbuhan perdagangannya jauh
lebih tinggi daripada persentase pertumbuhan perdagangan ASEAN dengan
Jepang. Oleh karena itu, hubungan ekonomi antara ASEAN dan Cina akan terus
berkembang dan bukan tidak mungkin akan menggantikan peran Jepang bagi
ASEAN, khususnya dalam bidang ekonomi. Pada bagian selanjutnya, akan
dijelaskan mengenai hubungan yang terjadi antara ASEAN dengan salah satu
41
mitra dialognya, yang juga menjadi fokus utama dalam penulisan skripsi ini, yaitu
dengan Cina.
C.3 Hubungan Awal Kerjasama ASEAN-Cina
Menurut Inayati (ed. 2006, h. 33), sebelum tahun 1990-an, belum ada
hubungan resmi antara ASEAN sebagai suatu kelompok dengan Cina sebagai
sebuah negara. Meskipun hubungan bilateral beberapa negara ASEAN secara
individual dengan Cina sudah ada, contohnya Thailand. Namun pada Juli 1991,
Menlu Cina saat itu, Qian Qichen menghadiri pembukaan ASEAN Ministerial
Meeting (AMM) ke-24 di Kuala Lumpur atas undangan pemerintah Malaysia.
Saat itu juga Menlu Cina Qian Qichen menyampaikan keinginan Pemerintah Cina
untuk bekerjasama dengan ASEAN. Hal ini disambut positif, dapat dilihat dari
kunjungan Sekjen ASEAN Dato‟ Ajit Singh ke Beijing pada September 1993 dan
menyepakati pembentukan dua Joint Committee yakni di bidang kerjasama ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta kerjasama ekonomi dan perdagangan yang
diresmikan pada Juli 1994 di Bangkok oleh Sekjen ASEAN dan Departemen Luar
Negeri Cina.
Pambudi dan Chandra (2006, h. 26) menambahkan bahwa membaiknya
hubungan antara ASEAN dan Cina pada pertengahan 1990-an juga diikuti dengan
meningkatnya status Cina, yang awalnya hanya diberikan status mitra konsultatif
oleh Komite Tetap ASEAN, kini menjadi mitra dialog penuh ASEAN. Status ini
ditetapkan pada saat AMM ke-29 di Jakarta pada tahun 1996, setelah sebelumnya
pada tahun 1994 Cina juga telah menjadi mitra dalam ASEAN Regional Forum
(ARF).
42
Menurut Hadi (dalam Wibowo & Hadi eds. 2009, h. 59), hubungan Cina
dengan ASEAN menemukan momentum setelah krisis ekonomi Asia 1997.
Selama krisis, Cina mendapatkan citra yang positif karena tidak melakukan
penurunan nilai mata uangnya (devaluasi), yang bila dilakukan akan menjatuhkan
daya saing produk dari negara-negara ASEAN. Pambudi dan Chandra (2006, h.
28) juga menambahkan, hubungan antara ASEAN dan Cina kembali diperkuat
ketika para pemimpin dari kedua belah pihak bertemu dalam informal meeting
ASEAN+3 yang diadakan di Kuala Lumpur, Malaysia, 1997. Pada waktu itu,
pertemuan para pemimpin ASEAN-Cina juga diadakan di samping informal
meeting ASEAN+3. Dalam kesempatan itu, pemimpin Cina, Jiang Zemin
membacakan suatu pernyataan tentang membangun kemitraan yang bertetangga
baik dan saling percaya menghadapi abad ke-21.
Setelah diadakannya pertemuan tersebut, kedua pihak sepakat untuk
mengeluarkan pernyataan bersama yang menekankan adanya norma-norma dasar
yang mengatur hubungan antara kedua belah pihak, sekaligus sebagai satu usaha
dari Cina dan ASEAN untuk membentuk hubungan kemitraan yang berorientasi
pada abad ke-21 berdasarkan cara hidup bertetangga yang baik dan saling
percaya. Maka sejak saat itu, kedua pihak sepakat untuk melaksanakan Pertemuan
Puncak ASEAN-Cina yang akan diadakan setiap tahunnya. Oleh karena itu, sejak
reformasi Cina dijalankan, hubungan ASEAN dan Cina semakin erat pada dekade
1990-an.
Menurut Soebagjo (dalam Wibowo & Hadi eds. 2009, h. 107), dalam
bidang politik dan keamanan, hubungan ASEAN-Cina ditunjukkan dengan niat
Cina untuk membuktikan bahwa Cina bukanlah suatu ancaman. Hal ini dibuktikan
43
melalui penandatanganan Declaration on the Conduct of Parties in the South
China Sea pada 2002 untuk mengurangi ketegangan teritorial dan membuka jalan
untuk mengadakan eksplorasi bersama terhadap penyelesaian konflik di laut Cina
Selatan. Deklarasi ini kemudian disusul dengan ditandatanganinya Treaty of Amity
and Cooperation (TAC) setahun kemudian pada KTT ke-7 ASEAN-Cina di Bali
pada 2003, Cina sendiri merupakan mitra dialog pertama ASEAN yang
menandatangani perjanjian ini.
Sedangkan dalam bidang kerjasama ekonomi, ASEAN dan Cina juga
mengalami peningkatan. Hal ini ditandai dengan ditandanganinya Framework
Agreement on Comprehensive Economic Cooperation pada November 2002, yang
menjadi cikal bakal dibentuknya kawasan perdagangan bebas ASEAN-Cina
(ACFTA) (Dirjen Kerjasama ASEAN 2010, h. 169). Cina sendiri merupakan
negara pertama yang menandatangani perjanjian sejenis ini dengan ASEAN.
Dengan demikian terlihat bagaimana dalam waktu singkat hubungan ASEAN dan
Cina mengalami peningkatan ke arah yang lebih bersahabat. Pada bagian
selanjutnya akan dijelaskan mengenai kerjasama yang terjadi antara ASEAN dan
Cina dalam kerangka perjanjian ACFTA dengan lebih spesifik.
C.4 ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA)
Ide untuk membentuk ACFTA dikemukakan pertama kalinya oleh Perdana
Menteri Cina Zhu Rongji dalam ASEAN+3 Summit di Singapura November 2001.
Oleh karena itu, menurut Yu (dalam Leong & Ku eds. 2005, h. 44) dibentuklah
kelompok ahli dari kedua belah pihak yang disebut ASEAN-Cina Expert Group,
guna mempelajari kemungkinan terbentuknya ACFTA. Yu (dalam Leong & Ku
44
eds. 2005, h. 45) menambahkan, pada 2002 kelompok ahli ini mengemukakan
temuannya antara lain, bahwa pembentukan ACFTA dalam jangka waktu 10
tahun akan menciptakan kawasan ekonomi dengan populasi 1,7 milyar penduduk,
dengan total GDP (Gross Domestic Product) regional mencapai 2 triliyun dolar
AS dan total perdagangan di antara keduanya diperkirakan 1,23 triliyun dolar AS.
Maka pada ASEAN-Cina Summit ke-6 tahun 2002 di Kamboja, para
pemimpin ASEAN dan Perdana Menteri Cina Zhu Rongji menandatangani
Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation (lihat lampiran
2). Kerangka ini merupakan landasan bagi kerjasama perdagangan dalam sebuah
kawasan perdagangan bebas ASEAN-Cina yang ditargetkan bisa dicapai pada
2010 untuk ASEAN-6 (Brunei, Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura,
Thailand) dan pada 2015 untuk ASEAN-CMLV (Kamboja, Myanmar, Laos,
Vietnam). Sungkar (dalam Inayati ed. 2006, h. 54) menambahkan bahwa kerangka
ini juga berisi kerjasama ekonomi yang mencakup lima sektor prioritas kerjasama,
yaitu: pertanian, teknologi informasi dan komunikasi, pengembangan sumber
daya alam, investasi, serta pengembangan sub-kawasan lembah sungai Mekong.
Menurut Sungkar (2005, h. 53), kerangka perjanjian ekonomi dalam
ACFTA dibagi dalam tiga tahapan waktu implementasinya, yaitu (lihat juga
ASEAN Secretariat 2002):
1.Early Harvest Program (EHP)
Produk-produk dalam EHP antara lain: dalam Chapter 1 sampai 8 dalam
kerangka ACFTA (lihat artikel 6 dalam lampiran 2), diantaranya: binatang hidup,
ikan, daging, tumbuhan, sayuran, serta buah dan kacang-kacangan. Penurunan
tarif dimulai 1 Januari 2004 secara bertahap dan akan menjadi 0 persen pada 1
45
Januari 2006. Dalam EHP juga diatur tentang Rules of Origin (RoO) yang
mengikuti aturan dalam AFTA. RoO menyatakan bahwa produk yang mengalami
penghapusan tarif haruslah memiliki setidaknya 40 persen kandungan asli negara-
negara ASEAN dan Cina. Aturan mengenai pengurangan tarif dan juga
penghapusannya mengikuti alur yang sama dengan CEPT yang ada di AFTA.
2.Normal Track (NT)
Produk yang terdaftar dalam Normal Track adalah produk yang tidak
dimasukkan dalam program EHP. Dalam tahap ini negara-negara ASEAN dan
Cina menghapuskan tarif secara bertahap hingga akhir waktu yang disepakati.
Cina dan ASEAN-6 pada 2005-2010, sedangkan CMLV pada 2005-2015.
3. Sensitive Track (ST)
Produk-produk yang dianggap sensitif ini memerlukan waktu untuk
penyesuaian diri dan dilakukan ASEAN secara bertahap sebelum benar-benar bisa
dimasukkan untuk diliberalisasi. Macam-macam produk yang dimasukkan ke
dalam kategori sensitive track dibagi menjadi dua, yaitu Sensitive List (SL) dan
Highly Sensitive List (HSL).
SL terdiri dari 304 Produk antara lain Barang Jadi Kulit: tas, dompet; Alas
kaki: Sepatu sport, Casual, Kulit; Kacamata; Alat Musik; Tiup, petik, gesek;
Mainan: Boneka; Alat Olah Raga; Alat Tulis; Besi dan Baja; Sparepart; Alat
angkut; Glokasida dan Alkaloid Nabati; Senyawa Organik; Antibiotik; Kaca;
Barang-barang Plastik. Produk-produk tersebut harus dikurangi menjadi hanya 20
persen pada tahun 2012 dan 0-5 persen pada tahun 2018. HSL terdiri dari 47
produk yang antara lain terdiri dari Produk Pertanian, seperti Beras, Gula, Jagung
dan Kedelai; Produk Industri Tekstil dan produk Tekstil; Produk Otomotif;
46
Produk keramik. Pada tahun 2015 tarif dalam HSL harus sudah dikurangi sebesar
50 persen.
Pada dasarnya mekanisme penurunan tarif dalam ACFTA dilakukan untuk
mempermudah negara-negara yang menyepakatinya dalam mempersiapkan
komoditi yang diperdagangkan, oleh karena itu hal ini dilakukan secara bertahap.
Bagi negara-negara anggota WTO, sebenarnya telah mempunyai mekanisme
pengurangan tarif tersendiri atau yang biasa disebut tarif MFN. Namun, setelah
ACFTA disepakati maka komoditi yang diperdagangkan menggunakan
mekanisme pengurangan tarif dalam ACFTA hingga tarif yang dikenakan hanya
sebesar 0 persen di tahun 2010 (lihat tabel II.3).
Tabel II.3
Skema Penurunan Tarif ACFTA (dalam %)
Tarif rata-rata 2005 2007 2009 2010
X>20 20 12 5 0
15<X<20 15 8 5 0
10<X<15 10 8 5 0
5<X<10 5 5 0 0
X<5 5 ASEAN-6 0 0
Sumber: Pambudi & Chandra 2006, h. 56
Melalui tabel di atas dapat terlihat, misalnya pada tahun 2009, semua
produk dengan tingkat awal tarif sebesar 10 hingga 20 persen harus diturunkan
hingga 5 persen, sedangkan produk-produk dengan tingkat awal tarif di bawah 10
persen harus diturunkan hingga nol persen. Selanjutnya, pada 2010 semua produk
yang terdaftar dalam normal track harus diperdagangkan tanpa pengenaan tarif
apapun. Oleh karena itu, setelah ACFTA disepakati maka setiap negara berusaha
mengkategorikan komoditinya masing-masing kedalam skema ACFTA ini. Proses
pengelompokan komoditi tersebut tentunya berbeda-beda antara satu negara
47
dengan negara lainnya, tergantung tingkat kesiapan dan sensitifitas komoditi yang
dimiliki. Sehingga keuntungan yang diperoleh pada akhirnya juga berbeda-beda.
Menurut Yu (dalam Leong & Ku eds. 2005, h. 45) kerangka ACFTA ini
juga menetapkan liberalisasi di bidang jasa dan investasi. Persetujuan di bidang
Jasa, dalam ACFTA telah berlaku efektif sejak Juli 2007. Dengan adanya
persetujuan ini para penyedia jasa di kedua wilayah akan mendapatkan manfaat
perluasan akses pasar jasa sekaligus national treatment untuk sektor dan subsektor
yang dikomitmenkan oleh masing-masing pihak di ACFTA. Sedangkan
persetujuan di bidang investasi, pemerintah negara-negara anggota ASEAN dan
Cina secara kolektif sepakat untuk mendorong peningkatan fasilitas, transparansi
dan iklim investasi yang kompetitif dengan menciptakan kondisi investasi yang
positif, disertai berbagai upaya untuk mendorong promosi arus investasi dan
kerjasama di bidang investasi yang disepakati sejak 2009. Selain itu, kedua belah
pihak juga secara bersama-sama akan memperbaiki aturan investasi menjadi lebih
transparan dan kondusif demi peningkatan arus investasi, di samping juga
memberikan perlindungan investasi.
Menurut Sungkar (dalam Inayati ed. 2006, h. 52; lihat juga lampiran 1)
ada beberapa kondisi ekonomi Cina yang merupakan faktor daya tarik bagi
ASEAN dalam menyambut tawaran FTA dari Cina. Pertama, ASEAN
memandang Cina sebagai pasar yang berpotensi dengan luas wilayah dua kali
wilayah ASEAN dan penduduk 1,3 milyar. Daya beli di Cina yang semakin
meningkat dan pasarnya yang semakin terbuka sehingga membuka peluang bagi
ekspor ASEAN yang selama ini tidak tertolong dengan rendahnya tingkat
perdagangan intra-ASEAN. Kedua, ekonomi Cina bisa lebih komplementer
48
dengan ekonomi ASEAN dibandingkan intra ekonomi ASEAN itu sendiri.
Dengan masuknya Cina dalam komunitas ekonomi global, maka ASEAN bisa
ikut ambil bagian dalam rantai produksi Cina dan sebaliknya, pertumbuhan di
Cina yang membutuhkan semakin banyak energi yang dalam hal ini bisa dipenuhi
oleh negara-negara ASEAN, yang juga kaya akan sumber energi tersebut. Ketiga,
ASEAN bisa memanfaatkan kebangkitan ekonomi Cina dimana kekuatan ekspor
juga diimbangi kekuatan pasar domestiknya. Jika pada masa lalu kebangkitan
ekonomi Jepang dapat membawa serta kebangkitan ekonomi ASEAN, maka
sekarang hal yang sama diharapkan dari kebangkitan ekonomi Cina.
Sungkar (dalam Inayati ed. 2006, h. 53) juga menambahkan, selain
pertimbangan ekonomi tersebut, aspek politik juga ikut menyumbang dalam
perubahan kebijakan negara-negara Asia Tenggara terhadap Cina, antara lain:
pentingnya melibatkan Cina dalam mengatasi potensi konflik intra-regional,
perlunya menyeimbangkan kekuatan di kawasan yang selama ini didominasi
Amerika Serikat dan Jepang, dan kebutuhan akan kekuatan suara yang lebih besar
dalam forum internasional di mana ASEAN dan Cina banyak mempunyai
kesamaan pandangan. Alasan-alasan inilah yang menyebabkan ASEAN
menyambut baik usulan Cina untuk membentuk sebuah Free Trade Area.
Setelah melihat perkembangan kerjasama dalam bidang ekonomi yang
terjadi baik intra ASEAN, maupun antara ASEAN dengan lingkungan
eksternalnya, dapat disimpulkan bahwa saat ini faktor ekonomi merupakan bagian
terpenting yang mendasari kerjasama yang dilakukan ASEAN. Persoalan politik
ataupun ideologi bukan lagi menjadi penghalang dalam melakukan kerjasama.
Selama dapat memicu pertumbuhan ekonomi ASEAN, maka ASEAN akan
49
menyambutnya dengan baik. Termasuk kerjasama yang terjadi antara ASEAN dan
Cina dalam kerangkan ACFTA. Faktor keberadaan Cina saat ini di dalam ruang
lingkup ASEAN dinilai sangatlah penting, meskipun juga banyak menimbulkan
pro dan kontra. Namun para pembuat kebijakan dalam ASEAN menilai kerjasama
yang dilakukan dengan Cina ini merupakan alternatif lain yang harus dilakukan
ASEAN dalam menghadapi persaingan ekonomi saat ini. Pada Bab selanjutnya
akan dijelaskan mengenai faktor terbentuknya ACFTA dalam perspektif Cina.
Karena sangat penting melihat kerjasama ini dibentuk dari sisi pihak lain yang
juga terlibat, agar mampu menggambarkan ketergantungan ekonomi yang terjadi
di antara keduanya.
50
BAB III
KEPENTINGAN CINA TERHADAP PEMBENTUKAN ACFTA
Bab ini akan memaparkan kondisi ekonomi politik di Cina yang
mendorong Cina melakukan kerjasama ekonomi dengan ASEAN. Seperti yang
telah dipaparkan pada bab sebelumnya, kerjasama ekonomi ASEAN-Cina
terbentuk tidak hanya karena kepentingan ekonomi Cina, melainkan juga karena
kondisi internasional. Dari sisi kepentingan ekonomi, Cina memerlukan bahan
mentah dan sumber daya alam, selain juga sebagai upaya perluasan akses pasar
dari komoditi Cina yang berlimpah, akibat dari kemajuan industrinya. Selain itu,
dorongan lainnya seperti, perkembangan regionalisme paska perang dingin, dan
masuknya Cina menjadi anggota WTO mengakibatkan terintegrasinya
perekonomian Cina dengan sistem internasional. Cina juga harus bersaing dengan
Jepang dalam memperebutkan pengaruh dan kepentingan ekonomi di kawasan
Asia Tenggara. Untuk lebih memahami kepentingan Cina terhadap pembentukan
ACFTA, penulis akan mengelaborasi pertumbuhan ekonomi Cina dengan melihat
perubahan ekonomi politik di Cina.
A. Kondisi Ekonomi Politik Cina
A.1 Masa Mao Zedong
Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai perubahan ekonomi politik di
Cina, sehingga dapat memberikan gambaran akan kemajuan ekonomi yang
diperoleh Cina saat ini. Pertumbuhan ekonomi Cina yang begitu pesat pada dua
dekade belakangan ini tidak terjadi begitu saja. Pertumbuhan ekonomi yang
51
terjadi berkaitan dengan keputusan-keputusan strategis para pemimpin Cina. Salah
satunya adalah keputusan untuk mengintegrasikan perekonomian negara ini ke
dalam sistem internasional, tanpa merubah sistem politik di dalam negeri.
Sejak berdirinya Republik Rakyat Cina pada 1 Oktober 1949, Negara ini
menganut sistem politik sosialis-komunis. Seperti negara lainnya yang menganut
sistem ini, dalam pemerintahan Cina yang berideologi komunis peran pemerintah
sangatlah dominan. Selain itu, di Cina hanya terdapat satu partai politik, yaitu
Partai Komunis Cina (PKC). Mao Zedong sendiri merupakan tokoh pendiri dari
Republik Rakyat Cina (RRC). Pada awal kepemimpinannya, Mao Zedong
menjalin hubungan yang cukup dekat dengan Uni Soviet, karena Uni Soviet
merupakan negara pertama yang mengakui berdirinya RRC dan langsung
memutuskan hubungan diplomatik dengan pemerintahan nasionalis sebelumnya di
Cina. Berdirinya RRC tidak terlepas dari usaha Mao Zedong untuk memukul
mundur Pemerintah nasionalis (Kuomintang) di bawah pimpinan Chiang Kai
Shek yang sudah berkuasa empat tahun di Cina (1945-1949) dari seluruh wilayah
Cina daratan. Sampai saat ini, kelompok nasionalis berada di pulau Formosa
(Taiwan). Oleh karena itu, RRC menganggap dirinya sebagai penerus dari
pemerintahan nasionalis sebelumnya di Cina (Taniputera 2009, h. 580).
Lebih jauh Taniputera (2009, h. 581) menyampaikan bahwa tugas berat
yang dijalani Mao Zedong adalah membangun kembali Cina yang hancur akibat
penjajahan Jepang (1931-1945), serta perang saudara antara kelompok nasionalis
dan komunis. Akibatnya, pemerintahan Mao Zedong berupaya untuk menjaga
kestabilan sosial dan pembangunan ekonomi RRC. Mao Zedong berupaya
52
memberikan lebih banyak kekuasaan pada petani dan buruh, sebaliknya
memangkas kekuasaan kaum pemilik modal, tuan tanah, kapitalis dan orang asing.
Seperti yang diungkapkan Taniputera (2009, h. 582), restrukturisasi dalam
bidang ekonomi dilakukan dengan mengendalikan peredaran uang, perbankan,
serta pemberian kredit. Dalam waktu setahun sejak berdirinya RRC, inflasi
berhasil dikendalikan. Demi mencapai kestabilan dalam bidang keuangan, pada
Mei 1949, pemerintah mengeluarkan mata uang baru yang disebut Renminbi
(Yuan) serta melarang penggunaan mata uang asing. Pemerintah lalu menguasai
industri-industri kunci yang sebelumnya telah dibangun pemerintah nasionalis.
Sementara itu, dalam bidang agraria sesuai dengan yang dipropagandakan
kaum komunis, tanah garapan mulai dibagi-bagikan kepada rakyat. Pemerintah
merampas tanah milik para tuan tanah, tetapi mengizinkan mereka untuk tetap
memiliki bagiannya yang ditetapkan pemerintah. Namun, pada prakteknya sering
sekali pengambilalihan tanah ini disertai dengan kekerasan yang juga
menimbulkan korban jiwa. Pada Desember 1952 pembagian tanah rampasan
tersebut dapat diselesaikan (revolusi agraria) dan yang paling terpengaruh oleh
kebijaksanaan ini adalah para tuan tanah serta petani kaya. Agar para tuan tanah
tidak timbul kembali, pemerintah kemudian menetapkan sistem kolektivisme,
yakni kepemilikan tanah bersama (Taniputera 2009, h. 583). Revolusi Agraria ini
sangatlah mewakili prinsip komunisme, karena mencita-citakan kehidupan sosial
tanpa kelas, dan melarang adanya eksploitasi terhadap kelas tertentu dalam suatu
tatanan kehidupan.
Untuk membangun kembali dan memajukan bidang industri, pemerintah
mencanangkan apa yang dinamakan “Rencana Lima Tahun Pertama” ( First Five-
53
Year Plan) yang berlangsung pada 1953-1957 (Wibowo dalam Bakri ed. 1996, h.
139). Hasilnya, pada periode pertama dalam program rencana pembangunan lima
tahun Mao Zedong tersebut, Cina mengalami pertumbuhan ekonomi. Namun,
masih dikatakan gagal membangun ekonomi Cina. Saat itu bahkan terdapat
ketidakseimbangan antara pertumbuhan industri dan pertanian. Pada tahun 1958
rencana pembangunan lima tahun tahap kedua yang ditujukan melanjutkan
kebijakan tahap pertama sebelumnya ternyata tidak dilaksanakan.
Pada akhir tahun 1957, Mao Zedong menyimpulkan bahwa Uni Soviet
tidak dapat dijadikan lagi sebagai model pembangunan Cina. Kemajuan yang
dicapai dipandangnya masih terlalu lambat. Seperti yang diungkapkan Wibowo
(dalam Bakri ed. 1996, h. 139) hal ini dikarenakan model pembangunan yang
meniru Uni Soviet, mengutamakan pengembangan industri berat, sehingga
mengorbankan pertanian yang merupakan sektor terpenting bagi Cina. Oleh
karena itu, jika Mao Zedong meneruskan model pembangunan ini, ratusan juta
petani akan menjadi korban.
Menurut Mao Zedong Cina perlu menemukan caranya sendiri untuk
memecahkan berbagai permasalahan ekonominya, yakni dengan mengerahkan
sumber daya yang sangat berlimpah di Cina. Mao Zedong akhirnya membuat
kebijakan ekonomi baru yang dinamakan gerakan lompatan jauh ke depan (the
great leap forward) untuk menggantikan program lima tahunnya (Johnson 1990,
h. 6; Taniputera 2009, h. 584), yaitu gerakan spontan oleh seluruh masyarakat
Cina untuk melaksanakan terobosan besar dengan maksimalisasi produksi di
seluruh sektor ekonomi, terutama sektor pertanian dan industri.
54
Taniputera (2009, h. 585) menyatakan bahwa, kebijakan baru yang diawali
pada tahun 1958 ini membuahkan berbagai hasil nyata, seperti pembangunan
jembatan, jalan kereta api, bendungan, pembangkit listrik, sarana pengairan, dan
lain sebagainya. Tetapi kebijakan loncatan jauh ke depan ini akhirnya menuai
bencana karena banyak memiliki masalah mendasar akibat kurangnya modal
untuk berinvestasi di bidang industri dan pertanian pada waktu yang sama, belum
siapnya masyarakat Cina mengadakan perubahan drastis ke arah industri dan
banyaknya kebijakan pendukung yang tidak terlaksana. Sebagai contoh, hasil
panen gandum yang berlimpah pada tahun 1958 terpaksa dibiarkan membusuk di
ladang, karena kaum pria yang seharusnya bertugas memanennya dikerahkan
bekerja di pabrik. Akibatnya, 30 juta rakyat meninggal karena kelaparan antara
tahun 1959-1962.
Untuk mengatasi krisis ekonomi ini, Mao Zedong berusaha merevisi
tujuan ekonomi dan membuat serangkaian kebijakan baru sebagai pengganti
kebijakan loncatan jauh ke depan. Salah satunya adalah mencanangkan revolusi
budaya (cultural revolution) pada tahun 1966 (Johnson 1990, h. 12). Menurut
Taniputera (2009, h. 587) revolusi budaya ini lahir sebagai tindakan represif Mao
Zedong untuk meredam pandangan yang berbeda dari lawan politiknya seperti Liu
Shaoqi dan Deng Xiaoping yang lebih menginginkan pembangunan di Cina
dengan lebih berdasarkan Konfusianisme ataupun Kapitalisme dibandingkan
faham Komunisme. Wibowo (2007, h. 19) menambahkan, selain bahasa, Mao
Zedong dan pengikutnya yang kebanyakan kaum muda, ingin membatasi segala
sesuatu yang berasal dari zaman dinasti-dinasti ataupun kapitalisme barat, dan
menggantinya dengan satu macam kebudayaan baru, yaitu kebudayaan sosialis.
55
Menurut Johnson (1990, h. 12) pada pelaksanaannya, revolusi budaya juga
tidak dapat mengeluarkan Cina dari krisis ekonomi, tetapi justru memecah belah
kesatuan di Cina, sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi. Karena krisis
ekonomi tersebut belum dapat diatasi, maka kritikpun banyak ditujukan kepada
Mao Zedong. Bahkan kritik tersebut datang dari tubuh Partai Komunis Cina
(PKC) yang saat itu gencar menghendaki adanya perubahan dan pembaharuan
dalam sistem ekonomi Cina. Kebijakan revolusi budaya yang dicanangkan Mao
Zedong gagal untuk membangkitkan ekonomi Cina dari krisis tersebut, dan
menjadi akhir dari kepemimpinannya. Sejak krisis ekonomi itu terjadi,
kepemimpinannya mulai goyah dan akhirnya kepemimpinan Mao Zedong
berakhir bersamaan dengan wafatnya ia pada September 1976. Pada bagian
selanjutnya akan dijelaskan mengenai kepemimpinan di Cina pada masa Deng
Xiaoping, yang menandakan perubahan besar pada sistem perekonomian di Cina.
A.2 Masa Deng Xiaoping
Deng Xiaoping merupakan pemimpin Cina setelah Mao Zedong, yang
membawa Cina ke arah kemajuan dalam bidang ekonomi. Cina pada masa
kepemimpinan Deng Xiaoping, meskipun masih berideologi komunis dalam
politik, di bidang ekonomi lebih mengedepankan prinsip liberalisme dan
keterbukaan dengan pihak asing. Keterbukaan ekonomi yang dianut oleh Deng
Xiaoping ini disebabkan oleh ketidak berhasilan sistem ekonomi terpusat yang
dijalankan oleh pendahulunya Mao Zedong, oleh karena itu Deng Xiaoping ingin
mencari alternatif lain dalam membangun ekonomi Cina. Hal ini mungkin juga
disebabkan karena, Deng Xiaoping mendapatkan pendidikan formal di Perancis,
56
di mana keterbukaan ekonomi telah diterapkan di Perancis dan negara-negara
Eropa Barat lainnya (Pattiradjawane dalam Bakry ed. 1996, h. 3). Selain itu,
Inayati (wawancara Jakarta, 29 Maret 2011) menambahkan bahwa keterbukaan
ekonomi yang dijalankan Deng Xiaoping ini juga disebabkan karena kekaguman
Deng Xiaoping terhadap pertumbuhan ekonomi dan teknologi Amerika Serikat
(AS), karena pada awal 1979 Deng Xiaoping melakukan kunjungan resmi ke AS
dan bertemu dengan Presiden Jimmy Carter di Washington. Hal ini semakin
memicu keinginan Deng Xiaoping untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di
Cina dengan cara yang berbeda dari pendahulunya.
Tjeng (dalam Bakry ed. 1996, h. 34) menambahkan bahwa obsesi Deng
Xiaoping untuk mengamankan proses modernisasi di Cina ini tercermin dalam
keputusannya, untuk tidak memegang jabatan formal (Presiden, Perdana Menteri,
Sekjen Partai) apapun dalam partai maupun pemerintahan. Hal ini dilakukan
karena menurut Deng Xiaoping dengan tidak menduduki jabatan tertentu, maka
pengaruhnya akan terus bertahan, dan jika terdapat kesalahan ataupun kegagalan
maka seseorang yang ditugasinyalah yang akan diganti. Satu-satunya jabatan yang
dimiliki oleh Deng Xiaoping adalah Dewan Harian Politbiro,10
yaitu anggota
partai paling elite, yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang. Menurut Bakry
(ed. 1996, h. 43) kedudukan informal Deng Xiaoping ini sangatlah diperlukan
sebagai highest arbitrator bila sewaktu-waktu terjadi krisis sosial politik atau
pertarungan di internal partai.
10
“Dewan Harian Politbiro” merupakan bagian dari “Politbiro" (Political Bureau) yang terdiri atas
15-20 orang, kebanyakan wakil dari provinsi-provinsi kunci. Dewan Harian Politbiro ini
merupakan puncak dari semua puncak kekuasaan di Cina. Keputusan-keputusan penting dan vital
diputuskan oleh mereka (pemilihan Presiden, ideologi, kebijakan luar negeri) bahkan tanpa perlu
konsultasi dengan Politbiro, Komite Sentral (MPR di Indonesia), dan Kongres Rakyat Nasional
(DPR di Indonesia). Struktur yang mengerucut ke atas inilah ciri khas sistem Partai Komunis Cina.
(Wibowo & Hadi eds. 2009, h. 256; Wibowo 2007, h. 126).
57
Sejak Deng Xiaoping membacakan buah pikirannya dalam pidato utama di
Pleno Ketiga Sidang Komite Sentral Kesebelas Partai Komunis Cina (PKC), 13
Desember 1978, Cina mengawali modernisasi pembangunannya. Modernisasi
pembangunan tersebut meliputi bidang-bidang: pertanian, industri, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta pertahanan dan keamanan. Gagasan ini juga
dikenal dengan istilah “program empat modernisasi” (Inayati ed. 2006, h. 23).
Inayati (ed. 2006, h. 24) juga menambahkan bahwa untuk merealisasikan gagasan
tersebut, pemerintah Cina mengambil “kebijakan pintu terbuka” (open door
policy), yaitu peningkatan hubungan dengan negara-negara maju dengan tujuan
memperoleh modal dan teknologi, serta berupaya menciptakan lingkungan yang
damai dan stabil di kawasan regionalnya. Dengan melaksanakan kebijakan
tersebut, Deng Xiaoping bermaksud menjadikan Cina sebagai negara sosialis yang
modern, kuat, serta sejahtera pada masa mendatang.
Instrumen utama kebijakan pintu terbuka adalah perdagangan luar negeri
dan investasi asing, dengan tujuan peningkatan akumulasi modal bagi
pembangunan Cina. Pelaksanaan pintu terbuka telah merubah struktur dan pola
hubungan ekonomi eksternal Cina menjadi lebih berorientasi ke Barat terutama
kepada AS dan negara-negara di Eropa Barat. Negara-negara tersebut dijadikan
sumber investasi asing langsung, penyuplai modal, teknologi dan sebagai mitra
dagang utama luar negeri Cina.
Kebijakan Pintu Terbuka ini pada perkembangannya bukan hanya
membuka diri terhadap pengaruh asing dari segi ekonomi, namun dalam bidang
politik juga mendapatkan pengaruh yang cukup besar. Budaya demokrasi seperti
yang berkembang di Barat juga mulai tampak di Cina, masyarakat terutama
58
diwakili oleh kalangan mahasiswa menuntut sistem pemerintahan yang bebas,
seperti: pemilihan umum yang demokratis, kemerdekaan pers, berorganisasi, serta
kebebasan dalam berekspresi mengeluarkan pendapat dan kritikan terhadap
pemerintah (Taniputera 2009, h. 601).
Namun pada perkembangannya, Cina membatasi diri pada reformasi
ekonomi dengan membuka ekonomi pasar dan investasi asing seluas-luasnya,
tetapi tetap menutup reformasi di bidang politik (Inayati ed. 2006, h. 25). Bidang
politik tidak mengalami perubahan, dengan PKC sebagai partai tunggal. PKC
tetap memegang peran dominan dalam setiap kebijakan yang dijalankan di Cina,
dengan kata lain partailah yang mengontrol negara.
Protes dari rakyat Cina ini mengalami puncaknya, sehingga terjadilah
peristiwa Tiananmen, yaitu pembantaian terhadap ribuan warga Cina pada tanggal
4 Juni 1989 di lapangan Tiananmen, Beijing. Bentrokan ini mengakibatkan
banyaknya jatuh korban jiwa, meskipun jumlahnya bervariasi. Walikota Beijing,
Chen Xitong menyatakan bahwa jumlah korban yang tewas adalah 200 orang dan
selain itu 3.000 warga sipil serta 6.000 prajurit mengalami luka-luka. Sedangkan
Komite Universitas Tsinghua menyatakan bahwa korban tewas sejumlah 4.000
orang, sementara 30.000 lainnya mengalami luka-luka (Taniputera 2009, h. 603).
Akibat peristiwa ini Cina mengalami dampak buruk, yaitu menuai
kecaman dari dalam dan luar negeri. Dunia internasional termasuk di antaranya
Uni Eropa dan terlebih lagi Amerika Serikat (AS). AS mengecam pelanggaran
HAM yang dilakukan Cina. Setelah peristiwa Tiananmen tersebut banyak
kalangan yang menyangka bahwa berakhirlah gerakan reformasi di Cina, tetapi
dugaan itu ternyata salah. Ketika melihat ada bahaya ke arah menutup diri, pada
59
tahun 1992, Deng Xiaoping melakukan gerakan terakhir tetapi sangat menetukan.
Gerakan tersebut dikenal dengan nama “perjalanan ke selatan” (Wibowo 2007, h.
34). Deng Xiaoping yang sudah berumur 90 tahun pergi mengadakan perjalanan
ke kota-kota di daerah selatan Cina (Shenzhen, Zhuhai). Dalam perjalanan itu
Deng Xiaoping tidak henti-hentinya mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi
Cina harus dipercepat. Pidato ataupun ucapan Deng Xiaoping tersebut bahkan
dijadikan dokumen resmi PKC dan diedarkan di kalangan pejabat-pejabat tinggi
Cina (Wibowo 2007, h. 34).
Wibowo juga menambahkan (2007, h. 86-87) bahwa pada masa
kepemimpinan Deng Xiaoping ini mengalami banyak pertentangan dari kelompok
dalam tubuh PKC yang lebih mengutamakan nilai-nilai sosialis di Cina. Oleh
karena itu, diciptakanlah konsep tentang pembangunan ekonomi Cina. Pada
Kongres PKC ke-13 (1987) ditetapkan ajaran baru yaitu “sosialisme pada tahap
awal”. Pada tahap ini Cina akan mengerjakan industrialisasi, komersialisasi,
sosialisasi dan modernisasi produksi, semua hal yang dicapai pada kondisi
kapitalis. Tahap awal ini sendiri akan berlangsung kurang lebih 150 tahun.Tahap
awal sosialisme ekonomi dijalankan dengan mengurangi peran negara dan
memperluas mekanisme pasar. Pada kesempatan ini juga diperkenalkan dengan
istilah baru yaitu “ekonomi pasar sosialis”. Dengan maksud untuk tetap
menyakinkan kelompok yang anti kapitalis, bahwa Cina tetap berpegang teguh
terhadap perjuangan sosialisme. Dengan diperkenalkannya istilah ini, Deng
Xiaoping menginginkan untuk tetap memasukkan unsur sosialis yang tidak
mungkin secara utuh dihilangkan, meskipun dalam praktiknya berdasarkan
60
kapitalis. Selain itu, gagasan ini diharapkan dapat menjaga keharmonisan
hubungan dengan kelompok yang anti ekonomi pasar.
Oleh karena itu, pada masa kepemimpinan Deng Xiaoping, meskipun juga
mengalami hambatan, namun ia berhasil kembali membangkitkan pertumbuhan
ekonomi Cina dan kembali meyakinkan bahwa Cina tetap melaksanakan
kebijakan ekonomi yang terbuka, meskipun tidak disertai dengan kebebasan
berpolitik. Cina tetap menganut sistem politik sentralistik dengan kendali politik
dari pusat sampai daerah secara ketat, sehingga tercipta stabilitas politik yang
kondusif bagi pembangunan ekonomi di Cina. Deng Xiaoping telah berhasil
menancapkan pondasi yang kokoh bagi prinsip ekonomi Cina, bahkan prinsip
ekonomi ini terus dilanjutkan oleh para pemimpin Cina setelahnya hingga saat ini.
Setelah mengetahui perubahan yang terjadi dalam sistem ekonomi di Cina
pada masa Mao Zedong hingga Deng Xiaoping, penulis tidak akan memaparkan
lebih jauh mengenai kepemimpinan di Cina setelah Deng Xiaoping, hal ini
dikarenakan perubahan dari segi sistem ekonomi yang terjadi di Cina tidak begitu
tampak setelah masa kepemimpinan Deng Xiaoping. Cina pasca kepemimpinan
Deng Xiaoping hanya menjalankan prinsip ekonomi yang sudah ditetapkan oleh
Deng Xiaoping. Meskipun terdapat kebijakan-kebijakan baru setelah ini, namun
kebijakan ini sifatnya hanya pengembangan dari prinsip yang sudah ada. Dengan
kata lain Cina tetap membuka diri dengan pihak asing dan mengutamakan kondisi
regional yang damai. Pada bagian selanjutnya akan membahas mengenai keadaan
dalam negeri Cina yang menuntut untuk melakukan kerjasama dengan negara-
negara di kawasan Asia Tenggara.
61
B. KONDISI INTERNAL EKONOMI CINA
B.1 Keterbatasan Bahan Mentah dan Sumber Daya Alam di Cina
Pertumbuhan ekonomi Cina yang pesat secara berkelanjutan
mengharuskan Cina memastikan bisa memperoleh cukup pasokan energi dan
bahan mentah. Dalam hal ini, negara-negara ASEAN yang kaya akan sumber daya
alam dipandang sebagai pemasok energi yang sangat penting (Sungkar dalam
Inayati ed. 2006, h. 46). Salah satu alasan yang membuat Cina menjalin dan
meningkatkan hubungan ekonomi dengan ASEAN adalah karena sebagian besar
negara-negara anggota ASEAN memiliki stok bahan mentah dan sumber daya
alam yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi Cina. Cina menyadari bahwa
bahan-bahan mentah sangat diperlukan guna menunjang proses industrialisasinya.
Menurut Wibowo dan Kusuma (dalam Wibowo & Hadi eds. 2009, h. 170),
sejak tahun 1950-an hingga awal 1990-an Cina telah mengembangkan lebih dari
18 ladang minyak dan gas tepi pantai (onshore) dan tujuh ladang minyak lepas
pantai (offshore), yang menghasilkan 140 juta ton per tahun. Terlebih lagi pada
tahun 1985, Cina dapat mengekspor 25 persen dari produksi minyaknya dan 25
persen devisanya diperoleh dari ekspor minyak dan produk-produk minyak.
Seiring dengan proses pembangunan ekonomi yang semakin cepat,
kebutuhan akan minyak juga semakin meningkat. Oleh karena itu, menurut
Wibowo dan Kusuma (dalam Wibowo & Hadi eds. 2009, h. 170), mulai tahun
1986 Cina menghentikan kebijakan lamanya, yaitu larangan mengimpor minyak.
Pada tahun 1990 Cina mulai mengimpor minyak mentah hingga 3,5 juta barel per
hari. Kebutuhan minyak terus meningkat, sementara pasokan minyak dalam
negeri terus berkurang, hingga puncaknya pada tahun 1993 Cina tidak lagi
62
mengekspor minyak, tetapi justru mengimpornya. Saat ini kebutuhan minyak Cina
telah mencapai angka 8,2 juta barel per hari (peringkat ke-3 dunia) dan akan terus
meningkat. Pemenuhan kebutuhan tersebut 50 persen lebih berasal dari impor
yaitu sebesar 4,4 juta barel per hari yang didapatkan dari berbagai negara di
belahan dunia (CIA World Factbook 2011).
Pada beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Indonesia, Thailand dan
Vietnam terdapat bahan-bahan mentah yang sangat diperlukan bagi Cina.
Beberapa jenis komoditi itu antara lain adalah minyak bumi, karet, agrikultur, dan
timah. Menurut Haacke (dalam Leong & Ku eds. 2005, h. 137), dengan kebutuhan
energi yang semakin meningkat, tidaklah mengherankan jika investasi besar yang
dilakukan Cina selama ini dalam konteks memperluas sumber pasokan energi dari
berbagai kawasan di Asia Tenggara terus dilakukan. Di antaranya adalah
pembelian lahan minyak Widuri di kepulauan seribu Indonesia senilai 585 juta
Dolar AS oleh China National Offshore Oil Corporation (CNOOC).
Cina juga menunjuk Indonesia tanpa tender dalam kontrak selama 20
tahun untuk menyuplai gas alam ke Fujian. Lalu sesuai dengan pernyataan
Sungkar (dalam Inayati ed. 2006, h. 47) bahwa bukanlah suatu kebetulan saat
kunjungan Presiden Hu Jintao ke negara-negara Asia Tenggara pada April 2005,
beliau mengumumkan dua kesepakatan bisnis. Pertama, kontrak senilai 950 juta
dolar AS oleh Shanghai Baosteel Group Corporation dan Jinchuan Nonferrous
Metal Corporation untuk merehabilitasi pabrik nikel di Filipina. Kedua,
komitmen sebesar 500 juta dolar AS oleh China International Trust and
Investment Company (CITIC) untuk berinvestasi di bidang perkebunan minyak
sawit di Indonesia.
63
Menurut Soebagya (eds. et al. 2008, h. 81), beberapa negara di Asia
Tenggara memiliki potensi yang besar dan dianggap penting bagi Cina dalam
konteks keberadaan pasokan minyak bumi yang dimiliki beberapa negara tersebut,
seperti; Indonesia, Brunei, Malaysia, Vietnam dan Filipina. Negara-negara
tersebut tidak bisa terlepas dari diplomasi Cina, baik untuk eksplorasi minyak di
negara mereka masing-masing ataupun kerjasama untuk mengadakan eksplorasi
bersama. Soebagya (eds. et al. 2008, h. 83) menambahkan, salah satu negara di
Asia Tenggara yang memiliki kerjasama yang cukup baik dengan Cina dalam
bidang eksplorasi minyak bumi adalah Brunei Darussalam. Kerjasama Cina dan
Brunei, terutama dalam bidang energi ini telah mengalami banyak peningkatan,
perusahaan minyak bumi milik Cina (CNOOC) telah mendapat izin untuk
memberikan pelayanan kepada perusahaan minyak bumi setempat di bidang
eksploitasi minyak dan gas. Soebagya menambahkan, dengan kemampuan untuk
memproduksi minyak sebanyak 200 ribu barel per hari, maka Brunei telah
menjadi produsen minyak bumi yang sangat potensial di Asia Tenggara dan hal
ini menjadi daya tarik tersendiri bagi Cina dalam meningkatkan kerjasamanya di
kawasan ini.
Selain dari bahan baku energi, jaminan pasokan pangan juga sangat
penting bagi kondisi dalam negeri Cina. Menurut Wibowo (2007, h. 163) masalah
pangan adalah masalah abadi di Cina. Untuk dapat mencukupi diri sendiri, Cina
harus menemukan cara bagaimana memberi makan kepada 20 persen (1,3 milyar
jiwa) dari penduduk dunia, sementara hanya tersedia 7 persen dari bagian dunia
yang dapat ditanami. Oleh karena itu, kedekatannya dengan ASEAN dianggap
dapat menjadi solusi dalam memenuhi kebutuhannya ini.
64
Ketersediaan bahan mentah di negara-negara ASEAN ini menjadi orientasi
kerjasama ekonomi yang senantiasa dikembangkan Cina kepada ASEAN. Artinya
Cina ingin memperoleh akses yang sebesar-besarnya dan dalam jangka panjang
atas komoditi-komoditi tersebut. Kegunaannya tentu untuk proses industrialisasi
dan penguatan ekonomi Cina, terlebih lagi dengan jumlah penduduknya yang
sangat besar memang membutuhkan keberadaan bahan-bahan mentah yang
berasal dari negara-negara ASEAN tersebut. Pada bagian selanjutnya, akan
dijelaskan faktor internal lainnya yang memicu Cina untuk terus mengembangkan
kerjasama di bidang ekonomi dengan ASEAN.
B.2 Perluasan Akses Pasar
Akibat kemajuan ekonomi yang dialami oleh Cina, tidak hanya
berimplikasi terhadap meningkatnya kebutuhan negara tersebut akan sumber daya
alam yang dapat dipenuhi oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Namun
selain faktor sumber daya alam, ASEAN menurut pandangan Cina juga memiliki
potensi lain yang menjadi daya tarik untuk melakukan kerjasama. Daya tarik itu
adalah potensi untuk memasarkan barang-barang produksi manufaktur dari Cina
ke wilayah Asia Tenggara. Jika faktor sumber daya alam menjadi keuntungan
bagi ASEAN untuk melakukan kerjasama dengan Cina, maka perluasan akses
pasar berlaku sebaliknya. Meskipun ASEAN hanya berpenduduk setengah dari
penduduk Cina yang berjumlah 1,3 milyar jiwa, namun potensi 500 juta penduduk
yang dimiliki ASEAN sangat menarik bagi Cina untuk membentuk kerjasama ini.
Menurut Haacke (dalam Pambudi & Chandra 2006, h. 32), Cina memilih
ASEAN sebagai mitra integrasi kawasan, karena selain menyediakan pasar yang
65
besar bagi ekspor Cina, kawasan Asia Tenggara juga kaya akan sumber daya alam
yang diharapkan dapat memberikan kontribusi besar terhadap kebutuhan industri
Cina yang kian berkembang. Pambudi dan Chandra (2006, h. 40) menambahkan
bahwa potensi pasar yang besar di Asia Tenggara menjadi faktor daya tarik yang
mendorong Cina untuk merapatkan hubungannya dengan negara-negara di
kawasan ini. Kemajuan ekonomi yang pesat di Cina membutuhkan pasar
sekaligus sumberdaya alam, dan negara-negara Asia Tenggara memiliki
kemampuan untuk mendukung kebutuhan industri Cina tersebut.
Menurut Wibowo (2007, h. 31) pertumbuhan GDP Cina sejak membuka
diri dan mengadakan reformasi pada tahun 1978 terus mengalami peningkatan.
Ada dua puncak dari pertumbuhan ekonomi tersebut, yang pertama pada tahun
1984, yaitu pada fase pertama reformasi ekonomi yang mencapai 15 persen.
Tetapi kemudian terus menurun dan paling rendah adalah 4 persen, ketika Cina
mengalami boikot negara-negara barat sehubungan dengan pembantaian
demonstran mahasiswa di lapangan Tiananmen. Tapi pada tahun 1990 angka itu
meningkat lagi, hingga mencapai puncaknya pada tahun 1992 (puncak kedua)
ketika kembali mencapai angka 14 persen.
Inayati (dalam Sungkar ed. 2005, h. 54) menambahkan bahwa
perekonomian Cina telah tumbuh dengan cepat sejak tahun 90-an. GDP Cina
tumbuh rata-rata 10,1 persen selama kurun waktu tersebut dan merupakan suatu
pertumbuhan terbesar di dunia. Total perdagangan Cina terhadap ekonomi dunia
juga meningkat dari 1 persen pada 1980 menjadi 1,7 persen pada tahun 1990 dan
mencapai 4,1 persen di tahun 2000. Yusuf dan Nabeshima (2010, h. 16)
menambahkan bahwa menurut data Bank Dunia persentase ekspor Cina ke
66
seluruh dunia juga terus meningkat hingga 6,4 persen pada 2005 dan 7,7 persen
pada 2007 dari total keselurahan ekspor komoditi manufaktur yang terjadi di
dunia. Hal ini mengindikasikan meningkatnya kemampuan Cina secara drastis
dalam mengekspor komoditinya ke seluruh dunia.
Menurut Wibowo (2007, h. 30), dilihat dari struktur ekspornya, Cina
bukan lagi pengekspor produk-produk hasil pertanian seperti negara-negara
berkembang pada umumnya. Pada awal tahun1980-an, ekspor barang-barang
manufaktur Cina masih di bawah ekspor hasil pertanian. Tetapi memasuki tahun
1990-an, perbandingannya menjadi terbalik. Pada tahun 2000 misalnya, struktur
ekspor Cina hanya 10 persen terdiri dari hasil pertanian, selebihnya adalah
barang-barang manufaktur berupa ekspor barang-barang elektronik dan mesin.
Oleh karena itu, dengan pertumbuhan ekonomi Cina yang begitu pesat dan
perkembangan ekspornya ke seluruh dunia yang juga meningkat, sehingga hal ini
memberikan konsekuensi bagi Cina untuk mencari tempat dalam perluasan akses
pasarnya yang didominasi oleh komoditi manufaktur. Maka ASEAN menjadi
tempat yang paling tepat untuk perluasan akses pasar tersebut, selain karena akan
menimbulkan komplementaritas di antara keduanya. Dalam hal ini ASEAN dapat
memasarkan bahan-bahan mentahnya ke Cina, sedangkan Cina dapat memasarkan
produk manufakturnya ke ASEAN. Oleh karena itu, hal ini menjadi salah satu
pendorong bagi Cina untuk membentuk ACFTA dengan ASEAN. Setelah
membahas tentang motivasi internal yang membuat Cina terus mendekatkan diri
kepada ASEAN dalam mewujudkan ACFTA, maka pada bagian selanjutnya akan
dijelaskan tentang faktor eksternal atau dinamika internasional yang membuat
Cina lebih tertarik lagi kepada ASEAN dalam kerjasamanya di bidang ekonomi.
67
C. Kondisi Eksternal Terbentuknya ACFTA
C.1 Perkembangan Regionalisme Pasca Perang Dingin
Berakhirnya Perang Dingin pada 1991 dengan ditandai oleh bubarnya Uni
Soviet, merupakan awal dari berubahnya konstelasi dalam hubungan
internasional. Perubahan ini salah satunya ditandai dengan munculnya fenomena
regionalisme di dunia ini. Regionalisme yang dicirikan dengan kedekatan
geografis, memungkinkan sejumlah negara untuk membentuk sebuah institusi
yang menaunginya agar dapat mengakomodir setiap keinginan yang beraneka
ragam dari angoota-anggotanya. Hal ini pada dasarnya sangat menguntungkan
bagi negara yang tergabung dalam suatu kelompok tersebut, namun bagi negara di
luar kelompok tersebut justru terjadi sebaliknya. Karena terjadinya diskriminasi
terhadap negara di luar anggota suatu kelompok regional, terutama dari segi
ekonomi.
Hal inilah yang juga dikhawatirkan oleh Cina, karena diskriminasi yang
terjadi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi Cina. Diskriminasi yang
dimaksud adalah munculnya Free Trade Area (FTA) di suatu kawasan. Dalam
konsep FTA, seperti yang diungkapkan Balassa (dalam Elisabeth ed. 2009, h.17;
Leong & Ku eds. 2005, h. 21) negara anggota FTA mengurangi dan bahkan
sampai menghapuskan hambatan-hambatan perdagangan dalam bentuk tarif dan
non-tarif di antara sesama anggota. Namun, negara anggota bebas untuk
mempertahankan kebijakan proteksinya ataupun pengenaan tarif yang beragam
terhadap negara luar yang bukan anggota FTA ini. Ini berarti FTA akan sangat
menguntungkan bagi negara anggota, namun merugikan bagi negara di luar
anggotanya, karena pengurangan tarif hanya diberikan kepada negara yang
68
tergabung dalam kelompok ini. FTA yang terbentuk misalnya wilayah Amerika
Utara dengan NAFTA, Asia Tenggara dengan AFTA, Amerika Selatan dengan
Mercosur ataupun bentuk regionalisme yang lebih tinggi lagi, seperti yang terjadi
di kawasan Eropa.11
Perkembangan Internasional ini membuat Cina tertarik untuk lebih
mendekatkan diri ke kawasan Asia Tenggara. Hal ini dikarenakan hampir tidak
adanya peluang untuk membentuk suatu institusi formal di kawasan Asia Timur,
terkait persaingan antara Cina dan Jepang. Selain karena kedekatan geografis,
Asia Tenggara juga dipandang banyak memiliki daya tarik bagi Cina, terutama
terkait dengan ketersediaan bahan baku untuk proses industrinya. Selain itu
dengan semakin membaiknya hubungan diplomatik Cina dengan ASEAN, yang
sudah menjadikan Cina sebagai mitra dialog penuhnya, hal ini menambah lagi
kemungkinan bersatunya Cina dan ASEAN dengan membentuk sebuah FTA.
Sungkar (dalam Inayati ed. 2006, h. 49) menyatakan, ASEAN dan Cina
sama-sama menghadapi tekanan dari semakin luas dan dalamnya integrasi
ekonomi di kawasan Eropa dan Amerika. Dari waktu ke waktu, anggota Uni
Eropa semakin bertambah dan diperkirakan integrasi ekonominya akan semakin
kuat. Demikian pula dengan perkembangan di benua Amerika, dengan adanya
NAFTA di Amerika Utara dan Mercosur di Amerika Selatan. Bila dua kawasan
ini yaitu Eropa dan Amerika berhasil memperdalam dan memperluas integrasi
ekonominya, maka akan terjadi diskriminasi terhadap negara dan kawasan yang
11
Kawasan Eropa ini telah membentuk Uni Eropa yang telah sampai kepada tahap Economic and
Political Union. Hal ini berarti fasilitas yang bisa dinikmati oleh anggota integrasi ekonomi ini
adalah semua kemudahan yang diperoleh dalam bentuk level integrasi sebelumnya (Free Trade
Area,Custom Union dan Common Market), ditambah dengan penyatuan kebijakan politik dan
ekonomi, seperti penggunaan mata uang tunggal dan penyatuan proses imigrasi. Tahap ini
merupakan tahap tertinggi dari integrasi ekonomi.
69
tidak termasuk di dalamnya. Selain itu, investasi asing akan mengalir ke kedua
kawasan tersebut untuk mengambil keuntungan dari tarif khusus dan skala
ekonomi bagi produksi dengan pasar yang besar dan terintegrasi.
Gambaran ini membawa tekanan pada Cina, jika Asia Tenggara dan Asia
Timur secara ekonomi terpisah, maka kedua kawasan ini akan mengalami
kesulitan menghadapi Eropa dan Amerika yang semakin terintegrasi
perekonomiannya. Oleh karena itu, membangun blok ekonomi regional di
kawasan Asia adalah pilihan yang harus ditempuh untuk mengimbangi dua
kekuatan tadi. Di satu sisi FTA memudahkan negara yang terlibat untuk
meningkatkan kerjasama melalui perdagangan barang, jasa ataupun investasi,
namun di sisi lain FTA justru menyulitkan negara di luar anggotanya. Oleh karena
itu, pembentukan ASEAN-Cina Free Trade Area menjadi pilihan terbaik bagi
Cina untuk ikut terlibat dalam fenomena regionalisme ini, agar dapat bekerjasama
dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk mengimbangi kelompok-
kelompok regional lainnya di dunia ini. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan
mengenai dorongan eksternal lainnya yang menyebabkan Cina lebih tertarik lagi
kepada ASEAN dalam melakukan kerjasama di bidang ekonomi.
C.2 Masuknya Cina menjadi anggota WTO
Sejak Cina menjalankan “kebijakan pintu terbuka” (open door policy)
pada tahun 1978, Cina berusaha untuk mengintegrasikan perekonomiannya
dengan sistem perekonomian internasional serta berusaha untuk turut
berpartisipasi dalam seluruh aspek globalisasi dan kerjasama internasional dengan
mengakomodasi setiap aturan yang berlaku (Inayati ed. 2006, h. 30). Menurut
70
Inayati, bergabungnya Cina dalam WTO pada tahun 2001 merupakan pertanda
akan keinginannya untuk mengintegrasikan sistem perekonomian Cina dengan
sistem global.
Cina dinyatakan secara resmi menjadi anggota WTO pada 17 September
2001 di Geneva, Swiss (Wibowo 2007, h. 62). Wibowo (2007, h. 63)
menambahkan bahwa Cina sebenarnya adalah salah satu negara pendiri dari
organisasi perdagangan internasional yang sebelumnya masih bernama GATT
pada 1948. Tetapi pada tahun 1950, Cina yang waktu itu diwakili oleh Republik
Cina (sekarang Taiwan) memutuskan untuk keluar. Semangat untuk masuk ke
dalam GATT mulai berkobar lagi pada tahun 1987, dan perundingan itu sudah
berlangsung hingga mencapai tahap yang cukup matang. Pada Juni 1989, terjadi
peristiwa Tiananmen yang menghentikan proses bergabungnya Cina ke WTO.
Untuk kedua kalinya pada tahun 1992, Cina mengajukan permohonan kembali
agar masuk menjadi anggota WTO, dan baru pada 2001 Cina secara resmi
diterima ke dalam WTO (GATT menjadi WTO pada 1995). Keanggotaan Cina
dalam WTO mengikat Cina untuk melakukan reformasi kelembagaan searah
dengan aturan internasional dalam berbagai bidang, mulai dari akses pasar,
penurunan bea masuk serta penghapusan hambatan non-tarif yang bertentangan
dengan aturan main WTO.
Wibowo (2007, h. 63) menambahkan bahwa keuntungan yang ingin
didapat oleh Cina dengan masuk menjadi anggota WTO di antaranya yaitu
sebagai sarana untuk mencapai industrialisasi yang cepat, yang ingin dicapai jelas
meningkatnya pendapatan lewat ekspor yang tinggi serta modal dan investasi dari
luar negeri, selain juga dengan masuknya teknologi maju. Dengan masuknya Cina
71
menjadi anggota WTO, diharapkan Cina akan mendapatkan perlakuan
pengurangan tarif dalam Most Favoured Nation (MFN) yang diperlukan untuk
memacu ekspor Cina. Dengan pengurangan tarif yang diterima Cina, maka
komoditi ekspor dari Cina akan lebih leluasa memasuki wilayah pemasarannya
dan ini akan memacu pertumbuhan ekspor Cina. Wibowo (2007, h. 64) juga
menambahkan bahwa dengan mengintegrasikan dirinya ke dalam organisasi
internasional seperti WTO, pemerintah Cina akan memperoleh prestise atau
pengakuan internasional dan dengan demikian memperkuat legitimasinya baik di
dalam negeri maupun di luar negeri, apalagi jika dilihat dalam kerangka
persaingannya dengan Taiwan.
Setelah bergabung dengan WTO, Cina secara aktif berpartisipasi dalam
setiap negosiasi serta ikut berperan dalam pembentukan sistem perdagangan
multilateral. Sebagai negara berkembang, tuntutan Cina akan mewakili tuntutan
sesama negara berkembang lainnya. Sebagai negara anggota WTO, Cina akan
melindungi kepentingannya sebagaimana negara-negara lainnya. Maka masuknya
Cina ke dalam WTO juga dikaitkan dengan tujuan untuk mengubah rezim WTO
“dari dalam” sesuai dengan kepentingannya (Wibowo 2007, h. 74).
Seperti yang diungkapkan Wibowo (2007, h. 74), bahwa upaya Cina ini
diperlihatkan dalam konferensi WTO pada tanggal 10 sampai 14 September 2003
di Cancun, Mexico. Pada kesempatan itu, Cina bergabung dengan negara-negara
berkembang lainnya, termasuk India, Brazil, Indonesia, dan menjadi sponsor
utama yang menuntut penghapusan subsidi pertanian oleh Amerika Serikat
maupun Uni Eropa. Meskipun pada akhirnya tuntutan ini gagal dipenuhi, tetapi
sikap Cina ini tentu saja sangat dihargai oleh negara-negara berkembang
72
(developing countries). Sebagai anggota baru, sikap Cina dianggap sangat berani.
Karena sebelumnya lewat perundingan panjang dan melelahkan selama lebih dari
sepuluh tahun, Cina akhirnya diterima menjadi anggota WTO, namun setelah
berada di dalamnya Cina justru menjadi pihak kontra dalam setiap kebijakan yang
diprakarsai negara-negara maju. Cina sendiri pada dasarnya membutuhkan WTO
dalam hubungan dagang dengan AS dan Uni Eropa. Negara-negara maju sendiri
terutama AS tentulah berharap bahwa Cina akan lebih condong kepada mereka
daripada negara-negara sedang berkembang, tetapi di Cancun hal yang
sebaliknyalah yang terjadi.
Wibowo (2007, h. 75) menambahkan bahwa Cina sendiri sebenarnya
belum secara penuh mengintegrasikan dirinya ke dalam peraturan yang telah
disepakati dalam WTO. Dalam hal ini, AS yang paling lantang mengkritik Cina.
Dalam majalah Far Eastern Economic Review Oktober 2003, di dalamnya
memuat sebuah laporan yang dikeluarkan oleh US Chamber of Commerce
menyebutkan bahwa Cina setelah dua tahun menjadi anggota WTO masih belum
patuh terhadap aturan WTO. Ada lima hal pokok yang dicatat dalam laporan
tersebut;1)Pembajakan hak kekayaan intelektual, 2)tidak adanya distribusi bebas
barang-barang impor, 3)hambatan non-tarif, 4)tidak adanya transparasi dalam
pembuatan peraturan, 5)tingginya syarat kapitalisasi bagi bank asing maupun
perusahaan asuransi serta penyedia layanan telekomunikasi. Cina sebenarnya
sadar akan kekurangannya ini, tetapi Cina tidak mau mengikuti keinginan AS atau
negara manapun yang juga melanggar aturan WTO, terlebih jika melihat praktik
pelanggaran WTO oleh negara-negara maju sendiri (terutama dalam bidang
hambatan non-tarif dan subsidi pertanian).
73
Wibowo (2007, h. 76) menambahkan, dengan kekuatan ekonominya yang
semakin besar, bukan tidak mungkin Cina akan mampu mempengaruhi
pembuatan pasal-pasal dalam peraturan WTO. Karena semua keputusan dalam
WTO harus diambil dengan suara bulat (konsensus), Cina dianggap satu-satunya
negara berkembang yang mempunyai kekuatan berarti untuk menentang peraturan
yang dianggap tidak adil yang disponsori oleh negara-negara maju (AS, Uni
Eropa, Kanada, Jepang). Jika hal ini terjadi, maka negara-negara berkembang
patut mendukung apa yang dilakukan oleh Cina.
Oleh karena itu, hal ini juga menjadi alasan peningkatan hubungan
ekonomi antara Cina dengan ASEAN yang mayoritas anggotanya termasuk dalam
kategori negara berkembang, di mana Cina dianggap memiliki kepentingan yang
sejalan dengan ASEAN dalam kaitannya dengan penerapan kebijakan
perdagangan internasional, sehingga hal ini makin memudahkan bersatunya Cina
dengan ASEAN dalam mewujudkan ACFTA. Pada bagian selanjutnya akan
dijelaskan tentang motivasi lain dari Cina untuk mendekatkan dirinya dengan
ASEAN, karena kerjasama yang dilakukan oleh Cina ini bukan hanya terkait
dengan kepentingan ekonomi, tetapi juga ada motivasi politik lain di balik
pendekatannya kepada ASEAN.
C.3 Membendung Pengaruh Jepang di Kawasan Asia Tenggara
Adanya konflik antara negara bertetangga tidaklah selalu menjadi
penghambat terjalinnya kerjasama yang erat, baik secara bilateral maupun
regional. Dalam beberapa kasus, terjadinya peperangan atau konflik justru
menjadi pendorong utama dibentuknya kerjasama regional, seperti dapat dilihat
74
dari lahirnya Uni Eropa. Perang Dunia II yang banyak menghilangkan nyawa dan
kehancuran ekonomi negara-negara Eropa telah mendorong Jerman dan Perancis,
dua negara yang tadinya bermusuhan, akhirnya dapat mempelopori kerjasama
ekonomi setelah Perang Dunia II berakhir. Menurut Anwar (dalam Sungkar ed.
2005, h. 99), kerjasama ekonomi dimaksudkan untuk menciptakan saling
ketergantungan yang semakin tinggi dan luas, sehingga akan sangat sulit bagi
suatu negara untuk memerangi tetangganya tanpa mencederai dirinya sendiri. Hal
inilah yang juga diharapkan oleh ASEAN terhadap hubungan yang terjadi antara
Cina dan Jepang. Kedua Negara ini diharapkan akan mampu memacu
pertumbuhan ekonomi di wilayah Asia Tenggara.
Konflik di masa lalu juga tidak menghalangi hubungan yang semakin baik
antara negara-negara di Asia Tenggara dengan Negara-negara lain di kawasan
Asia Timur, khususnya Cina dan Jepang. Walaupun Jepang pernah menduduki
Asia Tenggara selama Perang Dunia II, sikap negara-negara Asia Tenggara
terhadap Jepang pada umumnya saat ini cukup positif, karena Jepang merupakan
salah satu investor utama di kawasan Asia Tenggara dan telah menjadi mitra
dialog penuh ASEAN. Demikian juga hubungan ASEAN dengan Cina yang terus
berkembang pesat, seiring dengan perubahan orientasi politik luar negeri dan
ekonomi Cina yang semakin terbuka dan bersahabat. Dari negara yang tadinya
dipandang sebagai ancama utama terhadap keamanan ASEAN terkait dengan
perkembangan komunisme di Asia Tenggara, Cina telah menjelma menjadi salah
satu mitra yang paling bersahabat dengan ASEAN.
Menurut Anwar (dalam Sungkar ed. 2005, h. 101), Jepang yang pernah
menduduki Cina menjelang dan selama Perang Dunia II dengan brutal (1931-
75
1945) sangat berbeda dengan Jerman, yang mengakui kesalahannya di masa lalu
secara terbuka sehingga ia dapat diterima dengan baik oleh negara-negara korban
agresinya. Jepang dianggap belum sepenuhnya mau mengakui kesalahannya
terhadap negara-negara yang menjadi korban kejahatan perangnya. Anwar (dalam
Sungkar ed. 2005, h. 102) menambahkan, hal ini terlihat dari penulisan buku
sejarah di Jepang yang cenderung membenarkan tindakan Jepang di Korea, Cina
dan Asia Tenggara, serta kunjungan yang berulang kali dilakukan Perdana
Menteri Jepang ke Kuil Yasukuni,12
tempat korban Perang Dunia II dimakamkan,
termasuk para pemimpin militer yang telah dijatuhi hukuman sebagai penjahat
perang.
Menurut Anwar (dalam Sungkar ed. 2005, h. 102), negara-negara bekas
jajahan Jepang di Asia Tenggara pada umumnya tidak terlalu perduli dengan
masalah tersebut. Lain halnya dengan Cina, yang melihat perbuatan Jepang
tersebut sebagai bukti bahwa Jepang belum berubah dan tidak peka terhadap
perasaan negara-negara tetangga yang pernah menjadi korban kekejamannya.
Walaupun Jepang merupakan investor utama yang turut mendorong pertumbuhan
ekonomi Cina, namun Cina tetap menaruh kecurigaan terhadap Jepang.
Persaingan kedua negara ini tidak hanya tercermin dari sikap Cina
terhadap Jepang, tetapi juga persepsi Jepang terhadap Cina. Menurut
Sukarnaprawira (2009, h. 213), persoalan yang dikhawatirkan oleh negara lain,
12
Kunjungan para pemimpin Jepang ke Kuil Yasukuni merupakan kebijakan yang sangat populer
di Jepang, terutama bagi kalangan nasionalis Jepang untuk kepentingan politik domestik.
Walaupun hal tersebut dapat menimbulkan ketegangan bilateral dengan negara-negara
tetangganya. Karena para penjahat perang yang dimakamkan di Kuil Yasukuni tersebut tetap
dianggap sebagai pahlawan bagi sebagaian besar masyarakat Jepang. Bahkan akibat dari
kunjuangan para pemimpin Jepang ke kuil Yasukuni ini, pernah mengakibatkan pembekuan
kontak antar pejabat tinggi Cina dengan Jepang dari 2001-2006 selama pemerintahan Junichiro
Koizumi. Kunjungan Koizumi yang kontroversial secara berulang-ulang ke kuil Yasukuni serta
perbedaan persepsi tentang hubungan keduanya menjadi salah satu penyebab dan ganjalan dalam
hubungan Cina dan Jepang pada masa itu.
76
termasuk Jepang dan Amerika Serikat adalah meningkatnya anggaran pertahanan
Cina. Walaupun menurut Cina, pembangunan dan modernisasi militer hanya
digunakan untuk pertahanan diri. Selain itu, peningkatan anggaran pertahanan
Cina ini masih dianggap kecil jika dibandingkan dengan luas teritorial Cina serta
situasi geopolitik di sekitarnya.
Konsekuensi logis dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara
adalah meningkatnya juga anggaran pertahanannya. Bakry juga menambahkan
(ed. 1996, h. 113), pengembangan kekuatan militer sebenarnya merupakan
fenomena yang biasa dari pembangunan suatu bangsa. Tetapi, peningkatan
kekuatan militer yang dilakukan oleh Cina dianggap sebagai potensi ancaman
yang nyata bagi kawasan Asia Timur. Pernyataan akan potensi ancaman ini
diperkuat dengan data yang ada, yaitu Cina mengalami peningkatan rata-rata
anggaran militernya sebesar 12,9 persen sejak 1989 sampai 2010. Pada tahun
2010 Cina menganggarkan sekitar 77,9 milyar US$, naik 7,5 persen dari tahun
sebelumnya 2009 yang hanya 70,27 milyar US$ (Global Security 2011).
Bakry (ed. 1996, h. 115) menyatakan bahwa bagi Cina pengembangan
kekuatan militer ini sebenarnya ditujukan untuk pertahanan wilayah saja dan hal
itupun sebenarnya masih dianggap belum memadai. Karena dengan sekitar 20 ribu
kilometer perbatasan darat dan 14 ribu kilometer garis pantai, Cina membutuhkan
pengamanan dari kekuatan militer yang besar. Cina menganggap sebenarnya
kekuatan yang ada saat ini belum sepadan untuk melindungi batas-batas
kedaulatannya. Kalau peningkatan persenjataan dan anggaran militer dijadikan
indikator ancaman, seharusnya ada negara lain di luar Cina yang harus lebih
diwaspadai.
77
Perkembangan ekonomi Cina yang diterjemahkan dalam meningkatnya
anggaran pertahanannya, sebenarnya menurut Tjeng (dalam Bakry ed. 1996, h.
119) juga bertujuan untuk mengimbangai kekuatan pasukan beladiri Jepang,
sehingga Jepang tidak menjadi kekuatan yang dominan di kawasan Asia Timur.
Pengalaman pahit di masa lalu sudah membulatkan tekad Cina untuk tidak
menerima kepemimpinan Jepang di Asia Timur. Akan tetapi, yang dikhawatirkan
oleh Cina adalah negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang dirasakan sudah
mulai menggantungkan diri kepada ekonomi Jepang, yang mungkin tidak dapat
menolak kepemimpinan Jepang. Oleh karena itu, Cina akan menentang Asia
Tenggara dirangkul oleh Jepang, karena ini dirasakan sebagai ancaman terhadap
Cina.
Tjeng (dalam Bakry ed. 1996, h. 133) juga menambahkan bahwa,
sebenarnya Cina sadar akan kontribusi Jepang dalam pembangunan ekonomi di
kawasan Asia Tenggara. Inilah sebabnya mengapa Cina mendekatkan diri kepada
Asia Tenggara. Cina tidak menginginkan Jepang memonopoli Asia Tenggara
secara ekonomi. Dengan kata lain, tujuan Cina terhadap Asia Tenggara adalah
membantu negara-negara ini mempertahankan kemerdekaan mereka terhadap
dominasi Jepang. Usaha Cina untuk membendung pengaruh ekonomi Jepang di
kawasan Asia Tenggara ini, tercermin dalam pembentukan ACFTA. Cina lebih
agresif dalam mengajukan proposal kerjasama ini kepada ASEAN pada tahun
2002, hasilnya adalah dibentuknya ACFTA yang merupakan Free Trade Area
yang pertama kali dibentuk di kawasan Asia. Atas keberhasilan Cina ini, maka
Jepang juga mengajukan hal yang sama satu tahun sesudahnya, yaitu pada 2003.
78
Dari kesepakatan-kesepakatan ini sangatlah terlihat persaingan yang terjadi antara
Cina dan Jepang di kawasan Asia Tenggara.
Sebagai negara maju dari segi ekonomi (developed country), Jepang
berambisi untuk meninngkatkan perannya di lingkungan regional dan global.
Menurut Anwar (dalam Sungkar ed. 2005, h. 103), Jepang sangat menginginkan
kembali menjadi negara normal yang memiliki kekuatan militer yang dapat secara
terbuka dipakai untuk pertahanan dan misi keamanan luar negeri,13
serta
berambisi untuk menjadi anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB). Hal ini sangatlah ditentang oleh Cina, hal ini dikarenakan
kekhawatiran bahwa Jepang akan kembali menjadi negara militer yang agresif dan
ekspansionis. Cina tampaknya tidak menginginkan melihat Jepang muncul
sebagai kekuatan ekonomi dan militer regional maupun global. Selama Jepang
dapat dicitrakan sebagai negara yang belum sepenuhnya mampu melepaskan diri
dari masa lalunya sebagai agresor, ambisi Jepang untuk menjadi kekuatan regional
dan global akan mendapat tantangan.
Walaupun interaksi yang terjadi antara Cina dan Jepang terjalin cukup
intensif, terutama di bidang ekonomi dan perdagangan, namun sampai saat ini
belum ada indikasi bahwa kedua negara tersebut akan berhasil membentuk suatu
kerjasama sub-regional sendiri yang dapat meningkatkan rasa saling percaya dan
meredam konflik, sebagaimana telah berhasil dilakukan ASEAN di kawasan Asia
Tenggara. Mempertahankan hubungan baik antara kedua negara bukan hanya
13
Sejak berakhirnya Perang Dunia II, seperti halnya Jerman yang mendapatkan sangsi ekonomi
dan militer, Jepang yang juga menjadi negara agresor dalam perang Dunia II tersebut juga
mendapatkan sangsi berupa tidak diperbolehkannya memiliki tentara pertahanan militer, hal ini
ditujukan untuk meredam kemungkinan ambisi ekspansionis yang akan terjadi kembali (Perjanjian
San Francisco). Namun dengan diberlakukannya sangsi ini, Jepang tetap mendapatkan
perlindungan dan jaminan pertahanan militer dari Amerika Serikat, sehingga memang hubungan
kedua negara ini sangatlah dekat baik dari segi ekonomi maupun pertahanan keamanan.
79
merupakan kepentingan Cina dan Jepang saja, tetapi juga kepentingan negara lain
di kawasan ini mengingat Cina dan Jepang merupakan negara penting dan besar di
kawasan Asia. Oleh karena itu, peran ASEAN bagi kestabilan hubungan antara
Cina dan Jepang sangatlah dibutuhkan, mengingat kedua negara sama-sama
memiliki kepentingan di kawasan ini.
Setelah menjelaskan seluruh bagian dalam bab ini, maka dapat
disimpulkan bahwa posisi ASEAN sangat penting dalam perkembangan
perekonomian Cina. Motivasi Cina untuk membentuk FTA dengan ASEAN
bersumber pada faktor internal maupun dinamika internasional yang
menyertainya. Semua penyebab itu menempatkan ASEAN sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dalam pertumbuhan ekonomi Cina, sehingga Cina terus
berusaha mendekatkan diri kepada ASEAN dalam menjaga kepentingan
ekonominya. Hingga pada akhirnya menyepakati pembentukan ACFTA.
Pembentukan ACFTA ini juga mencerminkan interdependensi yang terjadi di
antara keduanya, karena telah terbukti keduanya sangat saling membutuhkan
terutama dalam meningkatkan perekonomian. Pada bab selanjutnya akan
membahas dampak dari pembentukan ACFTA terhadap perekonomian kedua
belah pihak.
80
BAB IV
ANALISA HUBUNGAN EKONOMI ASEAN-CINA
A. Permasalahan Penerapan ACFTA
Penerapan suatu kebijakan biasanya diikuti tanggapan pro dan kontra,
tidak terkecuali dalam pembentukan ACFTA. Beberapa penelitian menyatakan
adanya dampak positif dari terbentuknya ACFTA terhadap hubungan ekonomi
kedua pihak, termasuk hasil yang diutarakan oleh ASEAN-Cina Expert Group,
yang dijadikan rujukan terhadap terbentuknya ACFTA ini. Namun ada juga
tanggapan yang negatif dengan mengkritisi argumen-argumen normatif dari
penelitian sebelumnya. Pada bagian ini penulis akan mencoba memaparkan
tanggapan-tanggapan yang berbeda dari kedua pihak tersebut.
Salah satu masalah fundamental dari terbentuknya ACFTA adalah kurang
terwakilinya kelompok-kelompok masyarakat, misalnya kelompok pengusaha
swasta, dalam proses pembuatan kebijakan perdagangan bebas ini. Kurang
transparan dan terbukanya proses pengambilan kebijakan, mengakibatkan
penerapan skema ini tidak cukup dikenal bagi kalangan masyarakat ASEAN.
Sehingga begitu penerapan skema ini dijalankan secara penuh pada 2010 bagi
ASEAN-6, maka banyak menuai protes dari kalangan pengusaha, seperti di
Indonesia dan Thailand (Pambudi & Chandra 2006, h. 44). Sebenarnya ASEAN
telah membagi penerapan skema ACFTA ini dalam beberapa tahap, termasuk
Early Harvest Program yang sudah berlangsung sejak Januari 2004. Namun
karena sosialisasi yang kurang, maka banyak kalangan yang menduga skema ini
langsung diterapkan begitu saja menjelang 2010 tanpa adanya persiapan yang
81
cukup. Oleh karena itu, menurut Sungkar (dalam Inayati 2007, h. 141) ASEAN
yang selama ini hanya melibatkan aktor negara dalam penerapan berbagai
programnya, harus mampu menggeser orientasinya sehingga aktor non-negara
juga terlibat dalam proses pembuatan keputusan, khususnya hal-hal yang
menyangkut kebijakan ekonomi. Karena akan sulit bagi ASEAN, jika pelaku
ekonomi yang justru berjuang secara langsung dalam penerapan skema ini tidak
mengenal program-program ekonomi ASEAN.
Selain itu, masalah yang ditimbulkan dari penerapan ACFTA ini tidak
hanya sekedar dari proses penerapan kebijakan yang kurang transparan, tetapi
juga dampak dari segi ekonomi jangka pendek yang langsung dirasakan bagi
pelaku usaha di kawasan Asia Tenggara. Sejauh ini ASEAN dan Cina lebih sering
menekankan dampak jangka panjang dari penerapan ACFTA, namun perlu juga
diperhitungkan dampak ekonomi jangka pendek dari penerapan skema ini.
Salah satu dampak jangka pendek, menurut Wang (dalam Leong & Ku
eds. 2005, h. 35) bahwa Cina menjadi pesaing bagi ASEAN dan berpotensi
membuat produk-produk industri tekstil, mainan anak-anak, kendaraan bermotor,
dan barang-barang elektronik di Asia Tenggara mengalami hambatan. Cina
sebenarnya telah berusaha meredam tanggapan negatif ini, melalui mekanisme
Early Harvest Program. Dalam skema ini berlaku penurunan tarif secara sepihak
dari pemerintah Cina terhadap komoditi ekspor dari ASEAN yang termasuk ke
dalam skema ini, jadi komoditi ekspor dari negara-negara ASEAN mendapatkan
pengurangan tarif terlebih dahulu selama beberapa tahun (2004-2006), namun
tidak berlaku sebaliknya bagi komoditi ekspor Cina yang masuk ke ASEAN (Yu
82
dalam Leong & Ku eds. 2005, h. 46; Wibowo 2007, h. 41; Pambudi & Chandra
2006, h. 43).
Melalui EHP tampak keseriusan Cina untuk meredam tanggapan negatif
tersebut. Namun dengan pemotongan tarif yang dilakukan Cina ini, juga dapat
dikritisi akan kebaikan yang tidak wajar ini. Karena terbukti, meskipun Cina
sudah cukup baik dengan melakukan pemotongan tarif, tetapi sebenarnya
komoditi ekspor Cina terutama di sektor manufaktur sudah melimpah di negara-
negara ASEAN, tanpa perlu mendapatkan pengurangan tarif terlebih dahulu.
Sebenarnya ASEAN sendiri sudah menyadari akan konsekuensi jangka
pendek ini, karena setelah Cina resmi menjadi anggota WTO pada November
2001, maka hal ini menjadi pintu masuk bagi Cina untuk membanjiri pasar dunia
dengan komoditi ekspornya. Melimpahnya komoditi ekspor Cina ini bukan hanya
terjadi di Asia Tenggara namun juga di seluruh dunia. Menurut data dari Bank
Dunia misalnya, pada tahun 1990 nilai ekspor Cina hanya sebesar 1,6 persen dari
keseluruhan ekspor dunia, namun terus meningkat hingga 3,5 persen pada 2000,
6,4 persen pada 2005 dan 7,7 persen pada 2007 (Yusuf & Nabeshima 2010, h.
16). Data ini mengindikasikan meningkatnya kemampuan Cina untuk mengekspor
komoditi manufakturnya ke seluruh dunia.
Oleh karena itu, penerapan ACFTA ini menuai banyak kritikan di awal
penerapannya. Namun seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya dalam
penulisan skripsi ini, bahwa yang menyebabkan terwujudnya ACFTA bukan
hanya dari segi ekonomi, tetapi juga ada motivasi politik dalam mewujudkannya.
Selain itu, sesuai pandangan neoliberal tentang perdagangan bebas (keuntungan
absolut), yang sudah dijelaskan pada bagian kerangka pemikiran penulisan skripsi
83
ini, maka manfaat jangka panjang dari mekanisme ini diharapkan dapat terwujud
yaitu makin terciptanya interdependensi baik ekonomi maupun politik di antara
keduanya. Dampak jangka pendek dari penerapan skema ini yaitu melemahnya
sektor manufaktur negara-negara ASEAN seperti pada komoditi tekstil. Sebagai
timbal baliknya, ASEAN dapat mengambil keuntungan melalui ekspor komoditi
bahan mentah, sebagai penunjang dari kelangsungan proses industri yang terjadi
di Cina. Jadi sebagai produsen bahan baku dan energi, negara ASEAN akan
diuntungkan, tetapi sebagai produsen barang-barang manufaktur, Cina akan lebih
diuntungkan. Pada bagian selanjutnya akan dijelaskan mengenai indikator atau
tolak ukur dari perdagangan luar negeri yang terjadi antara ASEAN dan Cina,
selain juga aspek investasi yang menjadikan ACFTA memiliki orientasi jangka
panjang.
B. Indikator Peningkatan Hubungan Ekonomi ASEAN-Cina
B.1 Aspek Perdagangan Luar Negeri
Peningkatan hubungan ekonomi yang terjadi antara ASEAN dan Cina
yang berujung pada pembentukan ACFTA, mengindikasikan meningkatnya juga
perdagangan luar negeri di antara keduanya. Meningkatnya perdagangan ini juga
mengindikasikan adanya situasi saling ketergantungan di antara keduanya. Kedua
pihak sama-sama membutuhkan rekannya untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri masing-masing yang tidak dapat dipenuhi melalui produksi nasionalnya.
Namun, yang menjadi persoalan adalah apakah perdagangan yang terjadi di antara
keduanya bersifat saling menguntungkan atau hanya lebih menguntungkan di satu
84
pihak saja. Oleh karena itu, bagian ini akan mencoba menggambarkan
peningkatan perdagangan luar negeri yang terjadi di antara keduanya.
Melalui mekanisme ACFTA selain bidang investasi dan jasa, maka sektor
perdagangan barang juga menjadi cakupannya. Dengan adanya pengurangan
hambatan tarif dan non-tarif yang terjadi dalam ACFTA, maka peningkatan
jumlah perdagangan menjadi suatu hal yang sangat logis. Peningkatan jumlah
perdagangan yang terjadi antara kedua pihak dapat dilihat pada tabel IV.1.
Tabel IV.1
ASEAN Ekspor dan Impor menuju Cina: 2003-2009 (juta US$)
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Total
Ekspor 29.059 41.351 52.257 65.010 77.945 87.594 81.591 434.807
Impor 30.577 47.714 61.136 74.951 93.172 109.289 96.594 513.433
Total 59.636 89.065 113.393 139.961 171.117 196.883 178.185 948.240
Sumber: ASEAN Statistical Yearbook 2010, Jakarta: ASEAN Secretariat
Dari data pada tabel di atas dapat dilihat bahwa kecenderungan total
perdagangan yang terjadi di antara keduanya memang mengalami peningkatan.
Jika dibandingkan dengan dua tahun sebelum pelaksanaan mekanisme ini, yaitu
2001 dan 2002 yang total perdagangan di antara keduanya hanya sebesar 31.915
dan 42.759 (jutaUS$), maka pelaksanaan ACFTA mampu memberikan
kemudahan untuk meningkatkan intensitas jumlah perdagangan yang terjadi. Hal
ini membuktikan bahwa mekanisme perdagangan bebas dapat meningkatkan
jumlah perdagangan di antara pihak yang menyepakatinya.
Melalui mekanisme ini, Cina juga telah menjadi mitra dagang terbesar
ketiga bagi ASEAN di tahun 2008 setelah Jepang dan Uni Eropa. Padahal di tahun
2007 Cina masih menduduki peringkat keempat di bawah Amerika Serikat. Rata-
rata pertumbuhan perdagangan yang terjadi antara ASEAN dan Cina sejak 2003
hingga 2009 yaitu 22,62 persen. Atau pertumbuhan perdagang terbesar yang
85
terjadi antara ASEAN dengan negara lain. Jepang sendiri dalam periode yang
sama hanya mengalami peningkatan sebesar 7,40 persen (ASEAN Statistical
Book 2010). Sedangkan bagi Cina, ASEAN merupakan mitra dagang terbesar
ketiga di tahun 2010 setelah Uni Eropa dan Amerika Serikat dengan peningkatan
perdagangan sebesar 66,4 persen dari tahun sebelumnya (Ministry of Commerce
PRC). Hal ini mengindikasikan cukup pesatnya pertumbuhan perdagangan yang
terjadi di antara keduanya.
Namun dengan total Ekspor ASEAN menuju Cina yang lebih sedikit
dibandingkan jumlah Impornya dari Cina, hal ini menunjukkan bahwa dari segi
nilai ekonomi maka ASEAN lebih dirugikan. Meskipun dari segi total
perdagangan ASEAN lebih dirugikan, namun pada beberapa sektor ASEAN dapat
menarik keuntungan. Sektor-sektor tersebut seperti pada hasil-hasil pertanian
(agricultural).14
Pada periode 2007 ASEAN mendapatkan keuntungan 2.587 (juta
US$), 4.824 (juta US$) pada 2008, dan 5.817 (juta US$) pada 2009 (ASEAN
Statistical Book 2010). Bagi ASEAN, meningkatnya keuntungan dari sektor
pertanian mungkin suatu hal yang wajar, mengingat bahwa jumlah penduduk Cina
yang sangat besar yaitu 1,3 milyar jiwa atau seperlima dari penduduk dunia. Cina
tidak mungkin dapat memenuhi sendiri kebutuhannya pada sektor ini.
Di sisi lain, Cina juga mendapatkan keuntungan dari kerjasamanya dengan
ASEAN. Melalui skema ini, Cina dapat leluasa memasarkan produk
manufakturnya, seperti komoditi elektronik. Sebagai contoh, pada 2007 Cina
mendapatkan keuntungan sebesar 5.590 (juta US$), 8.298 (juta US$) pada 2008,
dan 6.794 (jutaUS$) pada 2009 melalui sektor ini (ASEAN Statistical Book
14
Padi, pisang, nanas, minyak kelapa sawit, minyak kelapa, udang, lobster, tembakau, dan karet mentah.
86
2010). Jika jumlah penduduk menjadi hambatan bagi Cina untuk memenuhi
konsumsi domestiknya, maka dalam hal komoditi olahan (manufaktur) Cina
mampu meraih keuntungan. Karena dengan jumlah penduduk yang begitu banyak,
serta upah buruh yang jauh lebih murah dari ASEAN, Cina mampu
mentransformasikannya menjadi sebuah pabrik raksasa yang mampu
menghasilkan komoditi berlimpah. Dari data-data ini dapat dilihat bahwa
perdagangan bebas mampu meningkatkan intensitas jumlah perdagangan yang
terjadi. Namun, keuntungan yang diperoleh tidak sama jumlahnya bagi pihak yang
menyepakatinya, tergantung tingkat kompetitif dari sektor-sektor yang bersaing.
Oleh karena itu, mekanisme dalam ACFTA memungkinkan bagi setiap
negara untuk merubah jangka waktu penerapan skema ini, ataupun membatasi
sektor-sektor yang dianggap sensitif (lihat lampiran 2 artikel 2). Merubah jangka
waktu penerapan, berarti bisa mempercepat ataupun memperlambat
pelaksanaannya. Seperti yang terjadi pada Thailand, yang mempercepat
pelaksanaan mekanisme ACFTA ini dengan Cina sejak tahun 2003, padahal
sebenarnya melalui mekanisme EHP baru dimulai pada 2004 (Yu dalam Leong &
Ku eds. 2005, h. 47). Atau ASEAN-CMLV yang justru menundanya hingga 2015
karena belum siap dalam menghadapi perdagangan bebas ini. Oleh karena itu,
masing-masing negara harus mampu meningkatkan kualitasnya agar mampu
bersaing dalam perdagangan bebas ini.
B.2 Aspek Investasi
Investasi juga menjadi bagian dalam perjanjian ini. Melalui investasi yang
masuk, maka setiap negara mampu mengatasi minimya modal untuk
87
meningkatkan perekonomiannya. Investasi ini dapat dilakukan di berbagai sektor,
misalnya infrastruktur, finansial, transportasi dan lain sebagainya. Menurut Ethier
(dalam Pambudi & Chandra 2006, h. 22), negara-negara dengan ekonomi yang
lebih besar khususnya, biasanya ingin memperluas pasar mereka secara lebih
cepat melalui pelaksanaan FTA. Sebaliknya, negara-negara dengan ekonomi yang
relatif lebih rendah, lebih memilih pelaksaan FTA dengan negara lain yang lebih
besar guna menarik investasi.
Menurut Bank Dunia yang membagi tingkatan sebuah negara berdasarkan
pendapatan perkapitanya, Cina berada pada posisi negara dengan kategori
pendapatan menegah atas (upper middle income), bersama dengan Thailand dan
Malaysia. Pada posisi di atasnya, yaitu pendapatan tinggi Singapura dan Brunei
Darussalam (high income). Sementara Indonesia, Filipina, Laos dan Vietnam pada
posisi menengah bawah (lower middle income), Kamboja dan Myanmar pada
posisi pendapatan rendah (low income) (World Bank 2010).15
Melalui pembagian
ini, memang tidak mencerminkan kemampuan suatu negara untuk berinvestasi
maupun menyerap investasi dari negara lain, namun dengan posisi Cina yang
paling tidak lebih di atas sebagian besar negara ASEAN lainnya, maka skema
ACFTA diharapkan mampu menjadi daya tarik bagi investasi Cina di kawasan
Asia Tenggara.
Salah satu penyebab dari pertumbuhan ekonomi Cina yang begitu cepat,
selain karena ekspansi pasar yang luar biasa adalah kemampuan Cina untuk
menyerap investasi asing. Kondisi politik domestik yang relatif stabil, ditambah
15
Data berdasarkan dari nilai semua produk barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam
satu tahun, bersama dengan penghasilan bersih yang diterima dari negara lain Gross National
Income (GNI) kemudian dihitung melalui World Bank Atlas Method. Pendapatan rendah $1.005
atau kurang; menegah bawah, $1.006 - $3.975; menegah atas, $3.976 - $12.275; dan pendapatan
tinggi, $12.276 atau lebih. Hasil berdasarkan GNI 2010.
88
terus berkembangnya kebijakan ekonomi Cina ke arah keterbukaan, membuat
banyak negara menanamkan modalnya ke negara ini. Wong (dalam Wibowo
2007, h. 32) menyatakan pada 1988 misalnya jumlah modal asing yang
ditanamkan di Cina hanya 2 milyar US$. Namun, tiga belas tahun kemudian, pada
2001 angka itu telah meningkat lebih dari 45 milyar US$. Bahkan di 2002 Cina
melewati Amerika Serikat sebagai negara penerima FDI terbesar di dunia dengan
nilai sebesar 53 milyar US$. Dari nilai FDI tersebut kebanyakan berasal dari
negara-negara Asia Timur (Jepang, Korea Selatan, Hongkong, Taiwan) yang
secara keseluruhan menyumbang 60 persen dari seluruh FDI. FDI yang bersal dari
ASEAN hanya 6 persen, baru sisanya dari Amerika Serikat dan Eropa Barat.
Lebih jauh Pambudi dan Chandra (2006, h. 27) menyatakan bahwa pada tahun
2005 misalnya, penanaman modal asing dari negara-negara ASEAN ke Cina
mencapai 38 milyar US$, namun 80 persen dari penanaman tersebut hanya
didapat dari Singapura. Hal ini makin menunjukkan bahwa investasi akan
mengalir dari negara yang memiliki skala ekonomi lebih besar menuju negara
yang lebih kecil dari nilai ekonomi.
Bagi investasi Cina menuju ASEAN sendiri, meskipun menurut Danyang
(dalam Hock, Jun, & Wah eds. 2005, h. 216) lebih kecil nilainya dari investasi
ASEAN menuju Cina yang didominasi Singapura. Namun, investasi Cina ini juga
mengalami peningkatan, pada 2001 misalnya sebesar 1,1 milyar US$ atau sekitar
7,7 persen dari total investasi Cina. Lebih jauh Chirathivat (dalam Hock, Jun, &
Wah eds. 2005, h. 235) menyatakan bahwa investasi Cina ke ASEAN sejak 1990
hingga 2001 mencapai 660 juta US$, dengan tujuan utama ke negara-negara
seperti Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand dan Vietnam. Jadi meskipun nilai
89
investasi Cina lebih kecil jika dibandingkan nilai investasi ASEAN ke Cina, hal
ini bukan berarti dapat merugikan salah satu pihak, seperti yang terjadi pada
persoalan perdagangan. Jadi bukan berarti investasi yang mengalir ke luar
kawasan dari salah satu negara dapat merugikan kawasan tersebut, karena negara
yang berinvestasi maupun penerimanya sama-sama diuntungkan. Investasi dari
ASEAN menuju Cina, hanya didominasi oleh Singapura sekitar 80 persen dari
total keseluruhannya. Namun, FDI Cina menuju ASEAN kecenderungannya juga
terus meningkat, yaitu sebesar 2,3 persen sejak 2002 hingga 2009 dengan nilai
sebesar 7.807 juta US$. Atau menempati peringkat ke-5 setelah Uni eropa,
Jepang, Amerika Serikat dan Korea Selatan (ASEAN Statistical Book 2010).
Selain itu, kemampuan Cina untuk menarik penanaman modal asing,
dianggap oleh ASEAN tidak lagi sebagai ancaman bagi pertumbuhan ekonomi
ASEAN, namun justru sebagai peluang. Karena menyatunya hubungan ekonomi
ASEAN dan Cina dalam ACFTA, maka ASEAN tidak hanya mengharapkan
investasi yang berasal dari Cina tetapi juga dengan negara-negara lain yang
memang sudah lebih dulu menanamkan modalnya di Cina. Dengan terintegrasinya
ASEAN dan Cina, hal ini akan menjadi daya tarik sendiri bagi investasi asing
yang mengalir ke kawasan ini. Dalam hal ini, daya tarik ASEAN sebagai suatu
kawasan akan semakin meningkat karena kehadiran Cina di wilayah ini, sehingga
mekanisme ini diharapkan akan terus menguntungkan bagi kedua belah pihak.
90
C. Dampak Terbentuknya ACFTA Terhadap Hubungan Ekonomi ASEAN-
Cina
Pada bagian sebelumnya penulisan skripsi ini, penulis sudah menjelaskan
tentang motivasi ekonomi dan politik yang dipicu oleh perkembangan internal dan
ekstenal dari kedua belah pihak baik ASEAN maupun Cina dalam membentuk
ACFTA. Oleh karena itu, menjadi relevan jika penulis melanjutkannya untuk
mencoba menganalisa dampak ekonomi sekaligus politik dari hubungan yang
terjadi diantara keduanya dalam konteks pembentukan ACFTA pada bagian ini.
Kesepakatan pembentukan ACFTA didasari oleh keinginan kedua belah
pihak baik ASEAN maupun Cina untuk memajukan pertumbuhan ekonominya
masing-masing. Oleh karena itu, dibentuklah suatu kelompok ahli untuk mencoba
memprediksi akan potensi ekonomi yang dapat terwujud dari terbentuknya
kesepakatan ini yang juga sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Atas dasar
rekomendasi itu juga, maka ACFTA dapat disepakati. Namun pada
perkembangannya, ACFTA tidak hanya berdampak pada perekonomian masing-
masing pihak yang terlibat, tetapi lebih dari itu juga mempengaruhi kondisi
regional di kawasan ini secara politik.
Dengan dibentuknya kawasan perdagangan bebas, dampak dari segi
ekonomi sangat dirasakan oleh kedua belah pihak. Kesepakatan ini dapat
meningkatkan perdagangan ataupun investasi dari kedua belah pihak, seperti data
yang ditunjukkan pada bagian sebelumnya. Meskipun secara nilai ekonomi Cina
lebih diuntungkan, tetapi hal ini tidak menjadi penghalang bagi keberlangsungan
hubungan ekonomi di antara keduanya. Cina lebih diuntungkan karena ekspor
komoditi dari Cina telah mengalami nilai tambah (value added) dari proses
91
pengolahannya, jika dibandingkan ASEAN yang hanya mengekspor bahan-bahan
mentah.
Namun, sebenarnya ASEAN memiliki dampak ekonomi jangka panjang
dari terbentuknya ACFTA, yang tidak dapat dihitung melalui penghitungan
matematis semata. Seperti dengan pembentukan ACFTA ini maka secara tidak
langsung hal ini akan kembali menaikkan daya tarik ASEAN sebagai suatu
institusi formal yang menyatukan sepuluh negara-negara di Asia Tenggara.
Meningkatnya daya tarik ASEAN ini dapat terlihat dari munculnya tawaran
membentuk FTA lainnya dengan beberapa negara lain, seperti India, Jepang,
Korea Selatan, Australia, ataupun Selandia Baru. Hal ini mengindikasikan bahwa
pembentukan ACFTA, dapat memicu pembentukan FTA lainnya di kawasan ini,
sehingga ASEAN kembali memiliki daya tarik dan banyak alternatif dalam
mengembangkan perekonomiannya.
ASEAN sendiri bukan berarti meninggalkan Jepang sebagai mitra
utamanya, namun hubungan yang terjadi dengan Cina dianggap sebagai suatu
alternatif. Jika pada masa sebelumnya Jepang dijadikan pendorong ataupun
lokomotif dalam pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Tenggara, maka saat ini
pertumbuhan ekonomi Cina diharapkan dapat menjadi lokomotif lain dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi tersebut. Selain itu, ASEAN menganggap
bahwa pertumbuhan ekonomi Cina yang begitu pesat bukan menjadi suatu yang
jika menguntungkan negara lain, maka merugikan negara lainnya (zero sum).
ASEAN menganggap dapat menjadi rantai produksi dalam perekonomian Cina.
Oleh karena itu, sesuai pandangan neoliberal tentang perdagangan bebas, maka
yang menjadi fokusnya bukan negara mana yang lebih diuntungkan, tetapi selama
92
FTA dapat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak tidak perduli dengan
jumlahnya, maka ACFTA ini dapat terwujud. Jika dikiritisi, mungkin hal ini
hanya justifikasi dari kapitalisme dalam melakukan eksploitasi terhadap negara
lain. Namun penulis melihat ini dari perspektif yang berbeda (neoliberal), yang
sangat optimis akan kerjasama sehingga ACFTA sangat relevan bagi kedua pihak
untuk diwujudkan.
Pertimbangan politik dari ASEAN untuk membentuk ACFTA, yaitu
ASEAN menganggap bahwa interdependensi yang terjadi antara ASEAN dan
Cina dapat memberikan rasa aman bagi masyarakat Asia Tenggara dalam menjaga
kestabilan wilayahnya. ACFTA dijadikan mekanisme perlindungan ekspansi Cina
secara militer di wilayah Asia Tenggara. Karena dengan terkaitnya hubungan
ekonomi antara ASEAN dan Cina, maka akan sangat merugikan bagi Cina
misalnya untuk mendominasi kawasan Asia Tenggara, melalui pendekatan militer.
Dengan kata lain, Cina lebih membutuhkan kawasan Asia Tenggara sebagai
lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ekonominya.
Bagi Cina sendiri, pembentukan ACFTA sangatlah menguntungkan
terutama dari segi ekonomi. ASEAN menjadi kawasan yang sangat menunjang
pertumbuhan ekonomi Cina. Dalam mempertahankan pertumbuhan ekonominya,
Cina mengutamakan stabilitas politik, baik di dalam negeri maupun lingkungan
regionalnya. Oleh karena itu, Cina juga merasa memiliki tanggung jawab dalam
mewujudkan lingkungan regional yang stabil. Hal ini misalnya dibuktikan dengan
lebih kondusifnya keadaan di kawasan laut Cina Selatan, sebuah wilayah yang
paling berpotensi menimbulkan konflik di antara ASEAN dan Cina terkait batas
93
wilayah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kebijakan Cina yang
agresif terhadap negara tetangganya, justru akan merugikan bagi Cina sendiri.
Karena interdependensi atau saling keterkaitan yang begitu erat antara
ASEAN dan Cina baik dalam hal ekonomi maupun politik, maka ACFTA dapat
terwujud dan menimbulkan beberapa konsekuensi bagi hubungan keduanya. Oleh
karena itu, maka hubungan ekonomi yang terjadi antara ASEAN dan Cina sangat
berorientasi jangka panjang, sehingga kerjasama ini tidak hanya akan berdampak
pada sektor ekonomi, tetapi juga kestabilan dalam bidang politik dan keamanan di
kawasan Asia Tenggara.
94
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan pada bab-bab sebelumnya, penulis melihat pembentukan
ACFTA mencerminkan bahwa interdependensi yang terjadi antara ASEAN dan
Cina semakin meningkat. Pembentukan ACFTA disebabkan oleh beberapa faktor
internal maupun eksternal yang terjadi antara ASEAN dan Cina. Faktor internal
bagi ASEAN yaitu lambatnya perkembangan kerjasama ekonomi intra ASEAN.
Sehingga meskipun kerjasama intra ASEAN mengalami sedikit peningkatan,
namun tidak mampu menghapuskan ketergantungan negara-negara anggota
ASEAN terhadap lingkungan eksternalnya baik dari segi perdagangan luar negeri
maupun investasi. Hal ini menyebabkan ASEAN harus mengembangkan
kerjasama dengan lingkungan eksternal.
Faktor eksternal yang melingkupi kerjasama ini adalah berkembangnya
kerjasama dengan negara-negara Asia Timur (Jepang, Cina, dan Korea Selatan).
Namun, Cina dalam hal ini yang lebih dahulu mengajukan pembentukan FTA
dengan ASEAN. Selain itu, peningkatan pertumbuhan perdagangan yang terjadi di
antara keduanya juga semakin meningkat dan melebihi persentase pertumbuhan
perdagangan dengan Jepang. Cina juga dianggap sebagai alternatif dari
ketergantungan ASEAN selama ini dengan Jepang. Perkembangan regionalisme
paska perang dingin, sekaligus kesamaan pandangan antara ASEAN dan Cina
dalam sistem perdagangan internasional yang juga menyebabkan ASEAN
menyambut baik tawaran Cina dalam mewujudkan ACFTA.
95
Bagi Cina, faktor internal yang memotivasi untuk membentuk FTA
dengan ASEAN, yaitu kemajuan ekonomi yang begitu pesat. Kemajuan ekonomi
ini menyebabkan Cina membutuhkan bahan baku untuk proses produksinya.
Selain itu juga akses pasar untuk memasarkan barang-barang produksi. ASEAN
menjadi kawasan paling tepat bagi Cina untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.
Sementara faktor eksternal yang mendorong Cina, yaitu tidak adanya
institusi formal yang mengatur kerjasama ekonomi bagi negara-negara Asia
Timur, sehingga perkembangan regionalisme yang terjadi menyebabkan Cina
mendekatkan diri ke kawasan Asia Tenggara agar tidak tertinggal dengan
kawasan lainnya seperti Eropa dan Amerika dalam mengembangkan
perekonomian. Masuknya Cina menjadi anggota WTO juga sebagai pemicu
terintegrasinya Cina ke dalam sistem ekonomi internasional. Hal ini juga memberi
kesan kepada negara lainnya bahwa Cina telah berubah dan mampu untuk
mengikuti aturan internasional yang sudah disepakati. Cina juga mampu
mempengaruhi perundingan-perundingan dalam WTO agar lebih memihak bagi
negara-negara berkembang, yang juga sebagian besar berada di kawasan Asia
Tenggara. Persaingan antara Cina dan Jepang juga membuat Cina untuk
menandingi dominasi Jepang di kawasan ini. Cina tidak ingin ketergantungan
ekonomi ASEAN dengan Jepang dapat menjadi dukungan bagi kepemimpinan
Jepang di kawasan ini. Oleh karena itu, Cina berusaha mendekatkan diri dan
bekerjasama dengan ASEAN dalam rangka membendung pengaruh Jepang di
kawasan Asia Tenggara melalui pembentukan sebuah FTA.
Dampak dibentuknya ACFTA bagi kedua pihak sangat beragam. Melalui
pembentukan ACFTA memang dapat meningkatkan intensitas perdagangan dari
96
kedua belah pihak. Namun dari segi ekonomi, Cina lebih diuntungkan, karena
jumlah ekspornya ke ASEAN lebih banyak dibandingkan jumlah impornya dari
ASEAN. Bagi ASEAN jenis komoditi yang diuntungkan yaitu hasil pertanian dan
bahan mentah lainnya seperti karet dan minyak bumi. Sedangkan bagi Cina
produksi manufaktur seperti produk tekstil dan alat-alat elektronik. ASEAN
mendapatkan keuntungan lain dari pembentukan ACFTA, berupa meningkatnya
kembali daya tarik ASEAN bagi negara-negara lainnya, yang diindikasikan
dengan banyaknya tawaran untuk membentuk FTA serupa, seperti yang terjadi
dengan Cina.
Bagi kondisi regional sendiri, tentunya akan semakin stabil karena masing-
masing pihak sama-sama menginginkan kondisi regional yang damai guna
memacu pertumbuhan ekonomi dan investasi asing. Bagi ASEAN, pertumbuhan
ekonomi Cina juga tidak dianggap sebagai suatu ancaman terhadap daya tarik
ASEAN. ASEAN menganggap dengan terintegrasinya perekonomian, maka daya
tarik ASEAN sebagai suatu kawasan justru akan semakin meningkat. Oleh karena
itu hubungan ekonomi yang terjadi antara ASEAN dan Cina ini akan terus
mengalami perkembangan di masa selanjutnya, dan juga mencerminkan adanya
interdependensi di antara keduanya. Peran ACFTA sebagai suatu rezim kerjasama
yang mengikat ASEAN dan Cina juga mampu memberikan peningkatan bagi
hubungan ekonomi yang terjadi antara ASEAN dan Cina.
97
DAFTAR PUSTAKA
ASEAN Secretariat 1967, The ASEAN Declaration Bangkok Declaration, diakses
10 Februari 2011, < http://www.aseansec.org/1212.htm>.
ASEAN Secretariat 1977, Joint Communique The Second ASEAN Heads of
Government Meeting, diakses pada 10 Februari 2011,
<http://www.aseansec.org/5095.htm>.
ASEAN Secretariat 1977, Agreement On ASEAN Preferential Trading
Arrangements, diakses pada 12 Februari 2011,
<http://www.aseansec.org/1376.htm>.
ASEAN Secretariat, ASEAN Free Trade Area (AFTA Council), diakses pada 14
Februari 2011, <http://www.aseansec.org/19585.htm>.
ASEAN Secretariat 1999, ASEAN FREE TRADE AREA (AFTA): AN UPDATE,
diakses pada 14 Februari 2011, <http://www.aseansec.org/7665.htm>.
ASEAN Secretariat 2008, ASEAN Economic Community Blueprint, diakses pada
20 Februari 2011, http://www.aseansec.org/5187-10.pdf.
ASEAN Secretariat, ASEAN Investment Area (AIA) Council, diakses pada 25
Februari 2011, <http://www.aseansec.org/19589.htm>.
ASEAN Secretariat, External Relations, diakses pada 6 Maret 2011,
<aseansec.org/20164.htm>.
ASEAN Secretariat, ASEAN Charter, diakses pada 6 Maret 2011,
<aseansec.org/21861.htm>.
ASEAN Secretariat, Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-
Operation Between ASEAN and the People's Republic of China, diakses
pada 15 Maret 2011, <aseansec.org/13196.htm>.
ASEAN Statistical Year Book 2010, ASEAN Secretariat, Jakarta.
Aslam, M 2003, „The Impact of ASEAN-China FTA on ASEAN Economies‟, The
Indonesian Quarterly, vol. 31, no. 3, hh. 329-240.
Bakri, US (ed.) 1996, Cina, Quo Vadis? Pasca Deng Xiaoping, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta.
98
Baldwin, DA (ed.) 1993, Neorealism and Neoliberalism: The Contemporary
Debate, Columbia University Press, New York.
Bandoro, B & Gondomono, A (eds.) 1997, ASEAN dan Tantangan Satu Asia
Tenggara, CSIS, Jakarta.
Brahm, LJ 2002, Abadnya Tiongkok Bangkitnya Kekuatan Ekonomi Berikutnya,
trans. A Saputra, Interaksara, Batam.
Brown, ME, Cote‟, OR, Jones, SML & Miller, SE (eds.) 2000, The Rise of China,
The MIT Press, London.
Central Intelligence Agency 2011, The World Factbook, diakses pada 8 April
2011,<https://www.cia.gov/library/publications/the-world-
factbook/geos/ch.html>.
Christiansen, F & Rai, SM 1996, Chinese Politics and Society:An Introduction, TJ
International Ltd, London.
Creswell, JW 2010, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
Mixed, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Direktorat Jendral Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI 2010, ASEAN
Selayang Pandang, edk 19, Kemlu, Jakarta.
Djafar, Z 2008, Indonesia, ASEAN & Dinamika Asia Timur, PT Dunia Pustaka
Jaya, Jakarta.
Dosch, J 2007, „Managing Security in ASEAN-China Relations: Liberal Peace of
Hegemonic Stability‟, ASIAN Perspective, vol. 31, no. 1, hh. 209-236.
Dunne, T, Kurki, M & Smith, S (eds.) 2007, International Relations Theories,
Oxford University Press, New York.
Elisabeth, A (ed.) 2009, Menuju Pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN:Isu-
Isu Strategis, LIPI, Jakarta.
Gilpin, R 1987, The Political Economy of International Relations, Princeton
University Press, New Jersey.
Global Security 2011, China’s Defense Budget, diakses pada 22 Mei 2011,
<http://www.globalsecurity.org/military/world/china/budget.htm>.
Goodman, DSG & Segal, G (eds.) 1997, China Rising Nationalism and
Interdependence, Routledge, London.
99
Griffiths, M 2001, Lima Puluh Pemikir Studi Hubungan Internasional, trans.
Mahyudin & I Makmur, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hermawan, YP (ed.) 2007, Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional
Aktor, Isu dan Metodologi, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Hobson, JM 2003, The State and International Relations, Cambribge University
Press, New York, diakses 16 Juni 2011, <http://library.nu>.
Hock, SS, Jun, S & Wah, CK (eds.) 2005, ASEAN-China Relations Realities and
Prospects, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore.
Ikbar, Y 2006, Ekonomi Politik Internasional 1 Konsep dan Teori, PT Refika
Aditama, Bandung.
Inayati, RS (ed.) 2006, ASEAN-CHINA FTA: Akselerasi Menuju East Asia
Community (EAC)?, LIPI Press, Jakarta.
Inayati, RS (ed.) 2007, Menuju Komunitas ASEAN 2015:Dari State Oriented Ke
People Oriented, LIPI, Jakarta.
Isaak, RA 1995, Ekonomi Politik Internasional, trans. M Sugiono, PT. Tiara
Wacana, Yogyakarta.
Jackson, R & Sorensen, G 2005, Pengantar Studi Hubungan Internasional, trans.
D Suryadipura, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
John & Naisbitt, D 2010, China’s Megatrends, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Johnson, DG 1990, The People’s Republic of China 1978-1990, ICS Press,
California.
Krugman, PR & Obstfeld, M 1997, Ekonomi Internasional Teori dan Kebijakan,
trans. FH Basri, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Lam, W 1995, China After Deng Xiaoping, John Wiley & Sons (SEA) Pte Ltd,
Singapore.
Leong, HK & Ku, SCY (eds.) 2005, China and Southeast Asia Global Changes
and Regional Challenges, Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS),
Singapore.
Luhulima, CPF, Anwar, DF, Bhakti, IN, Sungkar, Y & Inayati, RS 2008,
Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015, Pustaka
Pelajar dan P2P LIPI, Jakarta.
100
M Hutabarat, P 2003, Indonesia: Ditengah Dinamika Liberalisasi Perdagangan
Internasional, Trade and Management Development Institute, Jakarta.
Mingst, KA 2003, Essentials of International Relations, edk 2, W.W Norton
&Company, Inc, New York.
Ministry of Commerce People‟s Republic of China 2010, Trade with Countries
and Regions in Asia, diakses pada 6 Juni 2011,
<http://english.mofcom.gov.cn/aarticle/statistic/lanmubb/ASEAN/201004/
20100406849251.html>.
Nasuhi, H, Ropi, I, Fathurahman, O, Dimyati, MS, Hartati, N & Putra, SJ 2007,
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), CeQDA,
Jakarta.
Pambudi, D & Chandra, AC 2006, Garuda Terbelit Naga, Institute for Global
Justice (IGJ), Jakarta.
Perwita, AAB & Yani, YM 2005, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, PT
Remaja Rosdakarya, Bandung.
Prabowo, D & Wardoyo, S 1997, AFTA Suatu Pengantar, BPFE, Yogyakarta.
Salvatore, D 1997, Ekonomi Internasional, trans. H Munandar, edk 5, Erlangga,
Jakarta.
Sam, DT 2006, China’s Development And Prospect of ASEAN-China Relations,
The GIOI Publishers, Hanoi.
Sen, R 2004, Free Trade Agreements in Southeast Asia, ISEAS, Singapura.
Severino, RC 2007, „The ASEAN Developmental Divide and the Initiative for
ASEAN Integration‟, ASEAN Economic Bulletin, vol. 24, no. 1, hh. 35-44.
Shirk, SL 2008, China Fragile Superpower, Oxford University Press, New York.
Singh, DA 1997, ASEAN Economic Co-operation Transition and Transformation,
Institute of Southeast Asian Studies, Singapura.
Soebagya, N, Gondomono, Wibowo, I & Hotradero, P (eds.) 2008, China
Mencari Minyak: Diplomasi China ke Seluruh Dunia 1990-2007, CCS,
Jakarta.
Steans, J & Pettiford, L 2009, Hubungan Internasional Perspektif dan Tema,
trans. DS Sari, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
101
Suherman, AM 2003, Organisasi Internasional & Integrasi Ekonomi Regional
Dalam Perspektif Hukum dan Globalisasi, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Sukarnaprawira, AK 2009, China Peluang Atau Ancaman, Restu Agung, Jakarta.
Sukma, R 2009, „Kebangkitan dan Peran Strategis China dalam Kerja Sama Asia
Timur: Perspektif Indonesia‟, Analisis CSIS, vol. 38, no. 3, 442-450.
Sungkar, Y (ed.) 2003, AFTA di Tengah-Tengah Perubahan Konfigurasi Regional
Terkini, Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, Jakarta.
Sungkar, Y (ed.) 2005, Strategi ASEAN Dalam Perluasan ASEAN+3, LIPI Press,
Jakarta.
Tan, JLH & Zhanghong, L 1994, ASEAN-China Economic Relations Industrial
Restructuring in ASEAN and China, ISEAS, Singapura.
Taniputera, I 2009, History of China, Ar-Ruzz Media, Jogjakarta.
Tarmidi, LT 2010, „Menghadapi Tantangan China dalam ACFTA‟, Analisis CSIS,
vol. 39, no. 1, hh. 63-75.
Wanandi, J 2005, „ASEAN and China Form Strategic Partnership‟, The
Indonesian Quarterly, vol. 33, no. 4, hh. 328-331.
Weatherbee, DE, Emmers, R, Pangestu, M, & Sebastian, LC 2005, International
Relations in Southeast Asia The Struggle for Autonomy, Rowman and
Littlefield Publishers Inc, Oxford.
Wibowo, I 2007, Belajar Dari Cina Bagaimana Cina Merebut Peluang Dalam
Era Globalisasi, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Wibowo, I & Hadi, S (eds.) 2009, Merangkul Cina, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Wilkins, T 2010, „The new Pacific Century and the rise of China: an international
relations perspective‟, Australian Journal of International Affairs, vol. 64,
no. 4, hh. 381-405.
Wong, J & Chan, S 2003, „China-ASEAN Free Trade Agreement: Shaping Future
Economic Relations‟, ASIAN Survey, vol. 43, no. 3, hh. 507-526.
World Bank 2010, Country and Lending Groups, diakses pada 12 Juni 2011,
<http://data.worldbank.org/about/country-classifications/country-and-
lending-groups#Lower_middle_income>.
102
Wuryandari, G (ed.) 2000, Menuju ASEAN Vision 2020:Tantangan dan Inisiatif,
PPW-LIPI, Jakarta.
Yaumidin, UK (ed.) 2008, Hubungan Kerjasama Ekonomi Antar Negara Di
Kawasan Asia Pasifik, LIPI, Jakarta.
Yue, CS & Pacini M (eds.) 1997, ASEAN in the new Asia: issues & trends,
ISEAS, Singapura.
Yusuf, S & Nabeshima, K 2010, Changing the Industrial Geography in Asia, The
World Bank, Washington DC, diakses pada 5 Mei 2011,
<http://www.scribd.com/doc/47214106/Changing-the-Industrial-
Geography-in-Asia-The-Impact-of-China-and-India>.
Zeng, M & Williamson, PJ 2008, Ancaman Sang Naga, trans. HH Setiajid, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1
Transkrip Wawancara
Nama : Ratna Shofi Inayati, MBA
Waktu : Selasa, 29 Maret 2011
Tempat : Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(P2P-LIPI), Gedung Widya Graha LIPI, lantai XI
Fokus Kajian : Isu-isu Hubungan Internasional, ASEAN, Politik Luar
Negeri Indonesia.
Profil Narasumber : Ratna Shofi Inayati, MBA, adalah peneliti pada Pusat Penelitian
Politik (P2P) LIPI. Ia menyelesaikan program Master of International Management/MBA
Southeastern University, Washington D.C.,USA pada tahun 1995. Selama di P2P-LIPI,
telah banyak melakukan penelitian dan kajian isu-isu kontemporer politik internasional
dan regional khususnya ASEAN dan negara-negara Asia Tenggara serta politik Luar
Negeri Indonesia. Beberapa pengalaman di antaranya adalah menjadi Koordinator
Penelitian Polugri berjudul: (1) Hubungan Indonesia- Amerika Serikat 1992-2000 (Masa
Pemerintahan Presiden Clinton) (2000,Editor,PPW-LIPI) (2)Politik Luar Negeri
Indonesia Pasca Soeharto: Diplomasi Pemulihan Ekonomi Nasional (2002,Editor,P2P-
LIPI), Koordinator Penelitian ASEAN berjudul: (1)ASEAN-China FTA:Akselerasi
Menuju East Asia Community (EAC)? (2006, Editor,LIPI Press),(2)Menuju Komunitas
ASEAN 2015: Dari State Oriented ke People Oriented (2007,Editor, LIPI Press)
(3)Piagam ASEAN,Perkembangan Isu Demokrasi Dan HAM:Studi Kasus Indonesia,
Filipina dan Thailand tahun 2010. Beberapa karya/buku yang telah dihasilkannya antara
lain: Kebijakan Indonesia dalam Menghadapi Kejahatan Lintas Negara : Kasus Illegal
Logging di Kalbar dan Kaltim (2004); Kebijakan Luar Negeri Indonesia Terhadap
Masalah TKI Ilegal di Negara-Negara ASEAN (2003); Peluang Pemanfaatan e-ASEAN:
Untuk Pemulihan Ekonomi Indonesia (2003); Strategi ASEAN dalam Perluasan
ASEAN+3 (2005);Isu-isu Keamanan Strategis dalam Kawasan ASEAN (2008);
Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015 (2008, Editor bersama
Yasmin Sungkar, Pustaka Pelajar); Menuju Pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN:
Isu-isu Strategis (2009).
Pertanyaan: Kerangka perjanjian ACFTA ini pertama kali diusulkan oleh PM Cina Zhu
Rongji (ASEAN+3 Summit, Singapura 2001), sebenarnya apa alasan Cina sendiri untuk
mengajukan pembentukan ACFTA tersebut? Potensi apakah yang dimiliki oleh ASEAN,
sehingga Cina sangat tertarik untuk melakukan kerjasama?
Jawaban: Ada beberapa faktor kenapa Cina tertarik dengan ASEAN, ada faktor ekonomi
dan ada faktor politik dan keamanan. Faktor ekonomi Cina sejak tahun 1990an menjadi
suatu ancaman bagi seluruh negara di dunia (Amerika, Asia Tenggara) karena begitu
pesatnya pertumbuhan ekonomi Cina yang menjadi kapitalis. Saya mau cerita dulu
kenapa Cina menjadi ekonomi kapitalis, tetapi politiknya tetap komunis. Jadi pada waktu
Deng Xiaoping berkunjung ke Amerika, tahun 1979 dia melihat ekonomi AS yang sangat
baik dan patut dicontoh tetapi tetap tidak merubah sistem politik komunis di Cina. Deng
menggerakkan ekonomi pasar, karena hal ini dianggap sangat penting bagi Cina, dengan
membenahi berbagai persoalan akhirnya perekonomian Cina dapat berhasil. Pada 90-an
perekonomian Cina dianggap sebagai suatu ancaman, akhirnya Cina berusaha merubah
persepsi tersebut, karena tidak benar jika dianggap sebagai ancaman melainkan
kerjasama. Akhirnya Cina masuk WTO, negara seperti Amerika dan Jepang juga merasa
khawatir, karena produk Cina akan membanjiri seluruh dunia. Akhirnya Cina tidak
bersikap agresif, tetapi sangat ramah dengan negara-negara lainnya. Cina juga
menganggap, seperti Uni Eropa bertambah anggotanya, Amerika juga dengan NAFTA.
Maka Cina merasa harus membangun suatu kerjasama di Asia Timur, oleh karena itu
Cina menarik ASEAN untuk bisa bekerjasama sehingga blok wilayah Asia timur dan
Asia tenggara dapat mengimbangi blok-blok yang lain. Sebenarnya kerjasama dengan
ASEAN sendiri sudah lama terjadi, tetapi belum disepakati secara resmi, baru tahun 2001
terbentuk Framework Agreement ASEAN-Cina, kemudian menyepakati pada 2010 untuk
ASEAN-6 dan 2015 untuk ASEAN-CMLV. Cina tertarik dengan ASEAN karena,
ASEAN penduduknya separuh dari penduduk Cina yang dianggap sebagai suatu pasar
yang potensial buat Cina. Disamping itu, Cina membutuhkan bahan energi dan hasil-hasil
bumi, seperti batu bara dan lainnya.
Pertanyaan: Sedangkan bagi ASEAN, sebenarnya Cina memiliki jenis komoditi ekspor
yang relatif sama dengan ASEAN dan kurang komplementer, tetapi mengapa ASEAN
juga menyetujui pembentukan ACFTA? Apa sebenarnya daya tarik yang dimiliki Cina,
sehingga ASEAN juga sangat menginginkan untuk melakukan kerjasama ini?
Jawaban: Sedangkan untuk ASEAN, Cina juga dianggap tempat pemasaran yang bagus
untuk produk ekspor ASEAN dengan penduduk Cina yang 1,3 milyar. Produk-produk
pertanian yang di dalam ASEAN itu kurang komplementer karena masing-masing negara
ASEAN kan hasilnya hampir sama, kalo ke Cina kan lebih komplementer. dapat menjadi
keuntungan buat ekspor ASEAN ke Cina. Dalam sisi politik dan keamanan, Cina dapat
membantu keseimbangan di dalam wilayah Asia Timur dan Tenggara, termasuk di
wilayah laut Cina selatan, karena Cina juga mau menandatangani perjanjian perdamaian.
Selain itu dari politiknya, Cina memiliki pandangan yang sama dengan ASEAN (lima
prinsip, seperti bhinneka tunggal ika di indonesia). Hanya untuk ASEAN bagaimana
menangkap peluang dari Cina, ASEAN harus siap membenahi produksinya terutama
UKM agar tidak jatuh dengan produk-produk Cina, terutama mainan, motor dan garmen
atau tekstil. Seperti Indonesia misalnya, ketika awal 2010 itu ramai membicarakan
ACFTA ini, karena tidak menangkap peluang itu sejak awal, padahal kesepakatan sudah
diterima. Namun implementasinya tidak ditangkap dengan baik oleh pemerintah
Indonesia. Pemerintahnya tidak membangun suatu pondasi dari bawah terkait
pengembangan UKM. Akhirnya banyak garmen yang bangkrut. Sedangkan untuk
masalah pertanian beras, sayur, Indonesia untung. Nah, produk-produk Cina yang
terutama membanjiri karena hambatan produknya kan nol jadi pemerintah harus lebih
waspada. Termasuk infrastruktur harus dibenahi, terutama bagi Indonesia dan negara-
negara ASEAN secara umum, kalau tidak produk dalam negerinya akan kalah bersaing.
Banyak yang berpendapat Cina itu sebagai suatu ancaman, namun bagi saya tidak, itu
sebagai peluang. Bagaimana kita menangkap peluang itu secara baik. Jadi dengan Cina
itu produknya komplementer. Dibandingkan dengan intra ASEAN. Kalo lihat daftar
produk intra ASEAN, memang setiap tahunnya meningkat, tetapi jika dibandingakn
dengan yang ekstra sangat jauh.
Pertanyaan: Apakah keputusan Cina untuk membentuk ACFTA ini terkait dengan usaha
Cina dalam membendung pengaruh Jepang dan AS di kawasan Asia Tenggara atau
hanya terbatas pada ketertarikan faktor ekonomi? Dan sejauh manakah hal itu dapat
diwujudkan?Apakah ada bukti dari berkurangnya pengaruh AS dan Jepang di kawasan
Asia Tenggara?
Jawaban: Saya rasa iya,terutama Amerika. Jadi untuk ASEAN+3 pada waktu krisis
ekonomi 1997 tidak bisa bangkit, sekalipun Singapura yang ekonominya paling maju
tidak akan mampu mengangkat kondisi perekonomian ASEAN dalam kondisi yang
seperti itu. Akhirnya ASEAN memutuskan untuk kerjasama dengan plus3. Kebutulan
yang pertama menawarkan FTA itu Cina,dan akhirnya disambut dengan ASEAN, karena
ASEAN menganggap sebagai faktor pendorong bagi pertumbuhan ekonomi. baru
kemudian Jepang dan Korea Selatan. Cina juga yang pertama kali menandatangani TAC.
Cina juga sangat cerdik dalam menangkap sebuah peluang. Jepang itu kan sedang
mengalami krisis, ekonominya menurun dan mendevaluasi yen-nya. Sedangkan Cina
tidak pernah mendevaluasi mata uangnya. Cina dapat menangkap peluang, ASEAN
ditarik melakukan kerjasama yang sebenarnya saling menguntungkan. Karena negara-
negara ASEAN kurang siap, maka terkesan kalah bersaing dari produk-produk Cina yang
membanjiri. Jadi untuk bidang ekonomi iya, tapi kalo bidang keamanan, Amerika
berkurang sejak pangkalan militer di Filipina dan Thailand di tarik, nah itu berkurang,
tapi dia memakai Jepang sebagai sekutunya di Asia Timur. Jadi di bidang ekonomi kita
memang tergantung dengan AS, tetapi dengan adanya ACFTA maka produk-produk Cina
banyak mempengaruhi. Secara umum dan nyata produk-produk Cina membanjiri. Namun
kerjasama ASEAN dengan negara-negara lainnya, AS, Uni Eropa, Jepang itu tetap, hanya
berkurang dan tidak akan hilang, dan ASEAN memang mempertahankan itu untuk
mengimbangi Cina, ASEAN harus pintar mengimbangi semua kekuatan itu.
Pertanyaan: ASEAN sendiri sebenarnya sudah melaksanakan berbagai kerjasama intra
ASEAN (PTA1977, AFTA 2002) untuk meningkatkan potensi ekonominya, sejauh ini
bagaimana perkembangan kerjasama yang telah terjadi sebelumnya, seperti dalam CEPT-
AFTA. Apakah skema ACFTA mempengaruhi skema kerjasama di ASEAN yang sudah
ada sebelumnya?
Jawaban: Jadi kerjasama itu tidak terhapus, AFTA sendiri kan kerjasama intra ASEAN
tetap berjalan, hanya jangan sampai AFTA tergerus dengan ACFTA, ASEAN+3 atau
ASEAN dengan negara manapun. Jadi AFTA tetap harus dipertahankan dengan menuju
AEC yang single market production base. Jadi ACFTA tidak akan mengubah kebijakan
ASEAN sendiri. Jadi ASEAN itu perlu mengembangkan kerjasama dengan negara mitra
dialog lainnya, termasuk Cina. Untuk mengimbangi kerjasama internasional lainnya.
Namun kan ada berbagai tipe ya ASEAN+1 (ASEAN-Cina, ASEAN-Jepang),
ASEAN+3, dan negara lainnya. Jadi mekanisme yang sudah ada sebelumnya tidak akan
terhapus. Jadi agreement bilateral itu emang ada tapi tidak mempengaruhi ACFTA.
Pertanyaan: Terkait dengan target pelaksanaan ASEAN Economic Community (AEC)
2015 (Bali Concord II 2003, dipercepat pada KTT ASEAN ke-12 di Cebu,Filipina 2007),
sejauh ini bagaimana perkembangan ke arah pembentukan komunitas ekonomi tersebut,
apakah hal ini dapat diwujudkan ataukah terlalu cepat target yang dicanangkan tersebut?
Apakah visi ASEAN tersebut hanya sebatas rencana yang besar tanpa diimbangi dengan
langkah-langkah teknis yang harus dilalui?
Jawaban: ASEAN Community itu kan ada 3 pilar, Ekonomi itu yang paling siap untuk
diwujudkan dibandingkan pilar-pilar lainnya karena poin-poinnya sudah jelas, jadi pada
2015 ekonomi diharapkan sudah mencapai single market production base. Hanya
kelemahannya adalah masing-masing negara ASEAN, untuk Singapura, Malaysia, Brunei
itu tidak masalah, Vietnam, Indonesia juga sebenarnya juga sudah maju. Nah, dari negara
CMLV ini yang paling berkembang Vietnam juga ekonominya sudah membaik,
Indonesia juga sebenarnya sudah baik hanya perlu pembenahan birokrasi dan lainnya.
Nah CMLV ini Vietnam yang paling maju, Laos, Myanmar dan Kamboja yang kondisi
dalam negerinya masih menjadi hambatan. Apalagi konflik Kamboja dan Thailand, hal-
hal seperti ini yang akan mempengaruhi. Jadi bidang ekonomi ada kaitannya dengan
politik di dalam suatu negara.
Pertanyaan: Dahulu sebenarnya pertumbuhan ekonomi Jepang dapat dijadikan pemicu
bagi pertumbuhan ekonomi ASEAN, sekarang tampaknya ASEAN mengharapkan
menjadi rantai dari perkembangan ekonomi Cina yang begitu pesat, sebenarnya seberapa
besarkah potensi ekonomi Cina tersebut? Apakah Cina mampu menjadi lokomotif
pendorong bagi tumbuhnya perkonomian ASEAN?
Jawaban: Diharapkan seperti itu, tetapi dengan Jepang sendiri bukan berarti berakhir,
hanya saja memang agak menurun karena kondisi dalam negerinya. Nah kerjasama
dengan Cina diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Itu semua
tergantung kondisi dalam negeri, jadi kalo kondisi seperti Indonesia tidak dapat
menangkap peluang dari Cina itu dia tidak akan bisa mngikuti arus itu karena produk
Cina yang berlimpah. Pemerintahan yang bersih dan kondusif itu kuncinya. Singapura
juga berhasil karena pemerintahan yang kuat.
Pertanyaan: Dahulu ada anggapan bahwa Cina dapat menjadi ancaman ideologi, seperti
perkembangan komunisme di Asia Tenggara. Apakah saat ini dengan perkembangan
ekonomi Cina dan kerjasama yang terbentuk dengan ASEAN, masihkah mungkin ada
anggapan yang menyatakan bahwa perkembangan ekonomi Cina bisa berimplikasi pada
perkembangan pengaruh komunisme di Asia Tenggara?
Jawaban: Saya rasa tidak. Jadi meskipun ekonominya kapitalis dan politiknya komunis,
namun ideologinya dia tidak mempengaruhi wilayah dan negara lain, pandangan itu tidak
benar.
Pertanyaan: Pemberlakuan skema ACFTA ini sebenarnya telah bertahap dilaksanakan
sejak 2004 melalui skema Early Harvest Program (EHP), sejauh ini sampai pemberlakuan
penuhnya di 2010, bagaimana pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi ASEAN dan
Cina? Apakah terbukti adanya peningkatan perdagangan antara kedua belah pihak?
Selanjutnya apakah pertumbuhan ekonomi yang dialami sebagai akibat dari program
ACFTA ini berjalan seimbang bagi kedua belah pihak ataukah hanya menguntungkan
dari salah satu pihak saja?
Jawaban: Contohnya saja mengenai investasi, yang jelas kelihatan nyata itu investasi,
jadi banyak pelaku-pelaku bisnis dari Cina yang mau berinvestasi seperti pengeboran
minyak, batu bara. Meskipun ASEAN juga banyak dirugikan, tetapi investasi itu yang
sangat kelihatan meningkat. Pertambangan dan pertanian (beras, sayur-sayuran, dan
buah) terutama dari Vietnam, Thailand yang sangat menguntungkannya. Ya memang
diakui kalo Cina akan lebih untung, karena tarif pekerja di sana lebih rendah, murah, dan
produksinya banyak, ASEAN tidak sampai seperti Cina. Jadi ASEAN-Cina memang ada
peningkatan perdagangannya.
Pertanyaan: Implementasi ACFTA ini, tentu mendapatkan tanggapan pro dan kontra dari
berbagai kalangan, seperti yang terjadi di Indonesia. Sebenarnya bagaimana respon yang
terjadi di negara anggota ASEAN lainnya? Apakah tanggapannya lebih ke arah pro atau
kontra dalam pelaksanaan ACFTA ini?
Jawaban: Saya rasa mereka menerima, karena dengan adanya kerjasama dengan Cina
maka ekspornya akan lebih besar, contohnya Vietnam dan Thailand (beras), sektor
pertanian, bahan baku minyak, batu bara karena penduduk Cina kan 1,3 milyar ya. Jadi
saling menguntungkan, meskipun ada beberapa hal yang dirugikan. Jadi Amerika dan
Jepang saja kewalahan menghadapinya, apalagi ASEAN. Produk-produk Cina kan sangat
murah, tetapi jangan salah kualitasnya juga kurang baik. Berbeda misalnya dengan
Jepang, kalo Jepang dia memproduksi suatu produk itu kualitasnya dijamin, kalo Cina
tidak. Hanya kalo Amerika, itu membatasi dengan melihat kualitasnya, makannya produk
Cina yg ke Jepang atau Amerika akan lebih bagus mutunya daripada yang ke ASEAN,
meskipun mereknya sama, namun kualitasnya lebih bagus di sana.
Pertanyaan: Segera setelah Framework ACFTA terbentuk (2002), Jepang merespon hal
ini dengan mengajukan perjanjian kerjasama yang serupa kepada ASEAN (2003).
Apakah hal ini mengindikasikan persaingan yang begitu besar antara Jepang dan Cina
dalam memperebutkan pengaruh di kawasan Asia Tenggara? Serta seberapa pentingkah
posisi ASEAN sebagai pemersatu bagi keduanya yang memang memiliki historical
barrier?
Jawaban: Begini, Jepang, Cina dan Korsel itu mereka tidak bisa duduk bersama-sama
karena ada historical barrier. Tetapi Cina yang paling agresif, kemudian Jepang baru
Korsel. Hal ini menguntungkan buat ASEAN sebagai mediator dari ketiganya, begitupula
dengan negara-negara Eropa (Rusia) dengan Amerika, ASEAN sebagai mediator. Jadi
meskipun ASEAN bekerjasama dengan negara-negara lain, ASEAN harus tetap sebagai
driving force.
Pertanyaan: Setelah ACFTA terbentuk, dan mulai berlaku penuh pada 2010, apakah ada
peningkatan hubungan kerjasama lagi?
Jawaban: Saya rasa itu sudah agreement dan ditandatangani, dan implementasinya akan
berjalan terus. Yang terakhir terbentuk, yang implemantasinya 2010 dan akan terus
berjalan, jadi belum ada yang baru lagi.
Jadi kesimpulannya tadi, daya tarik ASEAN bagi Cina itu jumlah penduduk, Cina
membutuhkan bahan baku. Sedangkan daya tarik Cina bagi ASEAN, itu pemasaran yang
1,3 milyar, terus mampu mengimbangi dominasi Jepang dan AS di kawasan Asia
Tenggara. Jadi oleh karena itu bukan hanya ekonomi, tapi ekonomi politik dan keamanan
yang saling berkaitan. Tapi kalo ekonomi kan nyata ya ada kerjasamanya, kalo keamanan
itu membaiknya konflik laut cina selatan. Dampaknya sendiri berbeda-beda tergantung
kesiapan masing-masing negara.
LAMPIRAN 2
Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-Operation Between ASEAN and the People's
Republic of China
Phnom Penh, 4 November 2002
PREAMBLE
WE, the Heads of Government/State of Brunei Darussalam, the Kingdom of Cambodia, the Republic of
Indonesia, the Lao People's Democratic Republic ("Lao PDR"), Malaysia, the Union of Myanmar, the
Republic of the Philippines, the Republic of Singapore, the Kingdom of Thailand and the Socialist Republic
of Viet Nam, Member States of the Association of South East Asian Nations (collectively, “ASEAN” or
“ASEAN Member States”, or individually, “ASEAN Member State”), and the People’s Republic of China
(“China”):
Recalling our decision made at the ASEAN-China Summit held on 6 November 2001 in Bandar Seri
Begawan, Brunei Darussalam, regarding a Framework on Economic Co-operation and to establish an
ASEAN-China Free Trade Area (“ASEAN-China FTA”) within ten years with special and differential
treatment and flexibility for the newer ASEAN Member States of Cambodia, Lao PDR, Myanmar and Viet
Nam (“the newer ASEAN Member States”) and with provision for an early harvest in which the list of
products and services will be determined by mutual consultation;
Desiring to adopt a Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation (“this Agreement”)
between ASEAN and China (collectively, “the Parties”, or individually referring to an ASEAN Member State
or to China as a “Party”) that is forward-looking in order to forge closer economic relations in the 21st
century;
Desiring to minimise barriers and deepen economic linkages between the Parties; lower costs; increase intra-
regional trade and investment; increase economic efficiency; create a larger market with greater opportunities
and larger economies of scale for the businesses of the Parties; and enhance the attractiveness of the Parties to
capital and talent;
Being confident that the establishment of an ASEAN-China FTA will create a partnership between the
Parties, and provide an important mechanism for strengthening co-operation and supporting economic
stability in East Asia;
Recognising the important role and contribution of the business sector in enhancing trade and investment
between the Parties and the need to further promote and facilitate their co-operation and utilisation of greater
business opportunities provided by the ASEAN-China FTA;
Recognising the different stages of economic development among ASEAN Member States and the need for
flexibility, in particular the need to facilitate the increasing participation of the newer ASEAN Member States
in the ASEAN-China economic co-operation and the expansion of their exports, including, inter alia, through
the strengthening of their domestic capacity, efficiency and competitiveness;
Reaffirming the rights, obligations and undertakings of the respective parties under the World Trade
Organisation (WTO), and other multilateral, regional and bilateral agreements and arrangements;
Recognising the catalytic role that regional trade arrangements can contribute towards accelerating regional
and global liberalisation and as building blocks in the framework of the multilateral trading system;
Have agreed as follows:
ARTICLE 1
Objectives
The objectives of this Agreement are to:
a. strengthen and enhance economic, trade and investment co-operation between the Parties;
b. progressively liberalise and promote trade in goods and services as well as create a transparent, liberal and
facilitative investment regime;
c. explore new areas and develop appropriate measures for closer economic co-operation between the Parties;
and
d. facilitate the more effective economic integration of the newer ASEAN Member States and bridge the
development gap among the Parties.
ARTICLE 2
Measures For Comprehensive Economic Co-operation
The Parties agree to negotiate expeditiously in order to establish an ASEAN-China FTA within 10 years, and
to strengthen and enhance economic co-operation through the following:
a. progressive elimination of tariffs and non-tariff barriers in substantially all trade in goods;
b. progressive liberalisation of trade in services with substantial sectoral coverage;
c. establishment of an open and competitive investment regime that facilitates and promotes investment within
the ASEAN-China FTA;
d. provision of special and differential treatment and flexibility to the newer ASEAN Member States;
e. provision of flexibility to the Parties in the ASEAN-China FTA negotiations to address their sensitive areas in
the goods, services and investment sectors with such flexibility to be negotiated and mutually agreed based on
the principle of reciprocity and mutual benefits;
f. establishment of effective trade and investment facilitation measures, including, but not limited to,
simplification of customs procedures and development of mutual recognition arrangements;
g. expansion of economic co-operation in areas as may be mutually agreed between the Parties that will
complement the deepening of trade and investment links between the Parties and formulation of action plans
and programmes in order to implement the agreed sectors/areas of co-operation; and
h. establishment of appropriate mechanisms for the purposes of effective implementation of this Agreement.
PART 1
ARTICLE 3
Trade In Goods
1. In addition to the Early Harvest Programme under Article 6 of this Agreement, and with a view to expediting
the expansion of trade in goods, the Parties agree to enter into negotiations in which duties and other
restrictive regulations of commerce (except, where necessary, those permitted under Article XXIV (8)(b) of
the WTO General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)) shall be eliminated on substantially all trade in
goods between the Parties.
2. For the purposes of this Article, the following definitions shall apply unless the context otherwise requires:
a. “ASEAN 6” refers to Brunei, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore and Thailand;
b. “applied MFN tariff rates” shall include in-quota rates, and shall:
i. in the case of ASEAN Member States (which are WTO members as of 1 July 2003) and China, refer to their
respective applied rates as of 1 July 2003; and
ii. in the case of ASEAN Member States (which are non-WTO members as of 1 July 2003), refer to the rates as
applied to China as of 1 July 2003;
c. “non-tariff measures” shall include non-tariff barriers.
3. The tariff reduction or elimination programme of the Parties shall require tariffs on listed products to be
gradually reduced and where applicable, eliminated, in accordance with this Article.
4. The products which are subject to the tariff reduction or elimination programme under this Article shall
include all products not covered by the Early Harvest Programme under Article 6 of this Agreement, and such
products shall be categorised into 2 Tracks as follows:
a. Normal Track: Products listed in the Normal Track by a Party on its own accord shall:
i. have their respective applied MFN tariff rates gradually reduced or eliminated in accordance with specified
schedules and rates (to be mutually agreed by the Parties) over a period from 1 January 2005 to 2010 for
ASEAN 6 and China, and in the case of the newer ASEAN Member States, the period shall be from 1
January 2005 to 2015 with higher starting tariff rates and different staging; and
ii. in respect of those tariffs which have been reduced but have not been eliminated under paragraph 4(a)(i)
above, they shall be progressively eliminated within timeframes to be mutually agreed between the Parties.
b. Sensitive Track: Products listed in the Sensitive Track by a Party on its own accord shall:
i. have their respective applied MFN tariff rates reduced in accordance with the mutually agreed end rates and
end dates; and
ii. where applicable, have their respective applied MFN tariff rates progressively eliminated within timeframes
to be mutually agreed between the parties
5. The number of products listed in the Sensitive Track shall be subject to a maximum ceiling to be mutually
agreed among the Parties.
6. The commitments undertaken by the Parties under this Article and Article 6 of this Agreement shall fulfil the
WTO requirements to eliminate tariffs on substantially all the trade between the Parties.
7. The specified tariff rates to be mutually agreed between the Parties pursuant to this Article shall set out only
the limits of the applicable tariff rates or range for the specified year of implementation by the Parties and
shall not prevent any Party from accelerating its tariff reduction or elimination if it so wishes to.
8. The negotiations between the Parties to establish the ASEAN-China FTA covering trade in goods shall also
include, but not be limited to the following:
a. other detailed rules governing the tariff reduction or elimination programme for the Normal Track and the
Sensitive Track as well as any other related matters, including principles governing reciprocal commitments,
not provided for in the preceding paragraphs of this Article;
b. Rules of Origin;
c. treatment of out-of-quota rates;
d. modification of a Party’s commitments under the agreement on trade in goods based on Article XXVIII of the
GATT;
e. non-tariff measures imposed on any products covered under this Article or Article 6 of this Agreement,
including, but not limited to quantitative restrictions or prohibition on the importation of any product or on
the export or sale for export of any product, as well as scientifically unjustifiable sanitary and phytosanitary
measures and technical barriers to trade;
f. safeguards based on the GATT principles, including, but not limited to the following elements: transparency,
coverage, objective criteria for action, including the concept of serious injury or threat thereof, and temporary
nature;
g. disciplines on subsidies and countervailing measures and anti-dumping measures based on the existing GATT
disciplines; and
h. facilitation and promotion of effective and adequate protection of trade-related aspects of intellectual property
rights based on existing WTO, World Intellectual Property Organization (WIPO) and other relevant
disciplines.
ARTICLE 4
Trade In Services
With a view to expediting the expansion of trade in services, the Parties agree to enter into negotiations to
progressively liberalise trade in services with substantial sectoral coverage. Such negotiations shall be
directed to:
a. progressive elimination of substantially all discrimination between or among the Parties and/or prohibition of
new or more discriminatory measures with respect to trade in services between the Parties, except for
measures permitted under Article V(1)(b) of the WTO General Agreement on Trade in Services (GATS);
b. expansion in the depth and scope of liberalisation of trade in services beyond those undertaken by ASEAN
Member States and China under the GATS; and
c. enhanced co-operation in services between the Parties in order to improve efficiency and competitiveness, as
well as to diversify the supply and distribution of services of the respective service suppliers of the Parties.
ARTICLE 5
Investment
To promote investments and to create a liberal, facilitative, transparent and competitive investment regime,
the Parties agree to:
a. enter into negotiations in order to progressively liberalise the investment regime;
b. strengthen co-operation in investment, facilitate investment and improve transparency of investment rules and
regulations; and
c. provide for the protection of investments.
ARTICLE 6
Early Harvest
1. With a view to accelerating the implementation of this Agreement, the Parties agree to implement an Early
Harvest Programme (which is an integral part of the ASEAN-China FTA) for products covered under
paragraph 3(a) below and which will commence and end in accordance with the timeframes set out in this
Article.
2. For the purposes of this Article, the following definitions shall apply unless the context otherwise requires:
a. “ASEAN 6” refers to Brunei, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore and Thailand;
b. “applied MFN tariff rates” shall include in-quota rates, and shall:
i. in the case of ASEAN Member States (which are WTO members as of 1 July 2003) and China, refer to their
respective applied rates as of 1 July 2003; and
ii. in the case of ASEAN Member States (which are non-WTO members as of 1 July 2003), refer to the tariff
rates as applied to China as of 1 July 2003.
3. The product coverage, tariff reduction and elimination, implementation timeframes, rules of origin, trade
remedies and emergency measures applicable to the Early Harvest Programme shall be as follows:
a. Product Coverage
i. All products in the following chapters at the 8/9 digit level (HS Code) shall be covered by the Early Harvest
Programme, unless otherwise excluded by a Party in its Exclusion List as set out in Annex 1 of this
Agreement, in which case these products shall be exempted for that Party:
Chapter Description
01 Live Animals
02 Meat and Edible Meat Offal
03 Fish
04 Dairy Produce
05 Other Animals Products
06 Live Trees
07 Edible Vegetables
08 Edible Fruits and Nuts
ii. A Party which has placed products in the Exclusion List may, at any time, amend the Exclusion List to place
one or more of these products under the Early Harvest Programme.
iii. The specific products set out in Annex 2 of this Agreement shall be covered by the Early Harvest Programme
and the tariff concessions shall apply only to the parties indicated in Annex 2. These parties must have
extended the tariff concessions on these products to each other.
iv. For those parties which are unable to complete the appropriate product lists in Annex 1 or Annex 2, the lists
may still be drawn up no later than 1 March 2003 by mutual agreement.
b. Tariff Reduction and Elimination
i. All products covered under the Early Harvest Programme shall be divided into 3 product categories for tariff
reduction and elimination as defined and to be implemented in accordance with the timeframes set out in
Annex 3 to this Agreement. This paragraph shall not prevent any Party from accelerating its tariff reduction
or elimination if it so wishes.
ii. All products where the applied MFN tariff rates are at 0%, shall remain at 0%.
iii. Where the implemented tariff rates are reduced to 0%, they shall remain at 0%.
iv. A Party shall enjoy the tariff concessions of all the other parties for a product covered under paragraph 3(a)(i)
above so long as the same product of that Party remains in the Early Harvest Programme under paragraph
3(a)(i) above.
c. Interim Rules of Origin
The Interim Rules of Origin applicable to the products covered under the Early Harvest Programme shall be
negotiated and completed by July 2003. The Interim Rules of Origin shall be superseded and replaced by the
Rules of Origin to be negotiated and implemented by the Parties under Article 3(8)(b) of this Agreement.
d. Application of WTO provisions
The WTO provisions governing modification of commitments, safeguard actions, emergency measures and
other trade remedies, including anti-dumping and subsidies and countervailing measures, shall, in the interim,
be applicable to the products covered under the Early Harvest Programme and shall be superseded and
replaced by the relevant disciplines negotiated and agreed to by the Parties under Article 3(8) of this
Agreement once these disciplines are implemented.
4. In addition to the Early Harvest Programme for trade in goods as provided for in the preceding paragraphs of
this Article, the Parties will explore the feasibility of an early harvest programme for trade in services in early
2003.
5. With a view to promoting economic co-operation between the Parties, the activities set out in Annex 4 of this
Agreement shall be undertaken or implemented on an accelerated basis, as the case may be.
PART 2
ARTICLE 7
Other Areas Of Economic Co-operation
1. The Parties agree to strengthen their co-operation in 5 priority sectors as follows:
a. agriculture;
b. information and communications technology;
c. human resources development;
d. investment; and
e. Mekong River basin development.
2. Co-operation shall be extended to other areas, including, but not limited to, banking, finance, tourism,
industrial co-operation, transport, telecommunications, intellectual property rights, small and medium
enterprises (SMEs), environment, bio-technology, fishery, forestry and forestry products, mining, energy and
sub-regional development.
3. Measures to strengthen co-operation shall include, but shall not be limited to:
a. promotion and facilitation of trade in goods and services, and investment, such as:
ii. standards and conformity assessment;
iii. technical barriers to trade/non-tariff measures; and
iv. customs co-operation;
b. increasing the competitiveness of SMEs;
c. promotion of electronic commerce;
d. capacity building; and
e. technology transfer.
4. The Parties agree to implement capacity building programmes and technical assistance, particularly for the
newer ASEAN Member States, in order to adjust their economic structure and expand their trade and
investment with China.
PART 3
ARTICLE 8
Timeframes
1. For trade in goods, the negotiations on the agreement for tariff reduction or elimination and other matters as
set out in Article 3 of this Agreement shall commence in early 2003 and be concluded by 30 June 2004 in
order to establish the ASEAN-China FTA covering trade in goods by 2010 for Brunei, China, Indonesia,
Malaysia, the Philippines, Singapore and Thailand, and by 2015 for the newer ASEAN Member States.
2. The negotiations on the Rules of Origin for trade in goods under Article 3 of this Agreement shall be
completed no later than December 2003.
3. For trade in services and investments, the negotiations on the respective agreements shall commence in 2003
and be concluded as expeditiously as possible for implementation in accordance with the timeframes to be
mutually agreed: (a) taking into account the sensitive sectors of the Parties; and (b) with special and
differential treatment and flexibility for the newer ASEAN Member States.
4. For other areas of economic co-operation under Part 2 of this Agreement, the Parties shall continue to build
upon existing or agreed programmes set out in Article 7 of this Agreement, develop new economic co-
operation programmes and conclude agreements on the various areas of economic co-operation. The Parties
shall do so expeditiously for early implementation in a manner and at a pace acceptable to all the parties
concerned. The agreements shall include timeframes for the implementation of the commitments therein.
ARTICLE 9
Most-Favoured Nation Treatment
China shall accord Most-Favoured Nation (MFN) Treatment consistent with WTO rules and disciplines to all
the non-WTO ASEAN Member States upon the date of signature of this Agreement.
ARTICLE 10
General Exceptions
Subject to the requirement that such measures are not applied in a manner which would constitute a means of
arbitrary or unjustifiable discrimination between or among the Parties where the same conditions prevail, or a
disguised restriction on trade within the ASEAN-China FTA, nothing in this Agreement shall prevent any
Party from taking and adopting measures for the protection of its national security or the protection of articles
of artistic, historic and archaeological value, or such other measures which it deems necessary for the
protection of public morals, or for the protection of human, animal or plant life and health.
ARTICLE 11
Dispute Settlement Mechanism
1. The Parties shall, within 1 year after the date of entry into force of this Agreement, establish appropriate
formal dispute settlement procedures and mechanism for the purposes of this Agreement.
2. Pending the establishment of the formal dispute settlement procedures and mechanism under paragraph 1
above, any disputes concerning the interpretation, implementation or application of this Agreement shall be
settled amicably by consultations and/or mediation.
ARTICLE 12
Institutional Arrangements For The Negotiations
1. The ASEAN-China Trade Negotiation Committee (ASEAN-China TNC) that has been established shall
continue to carry out the programme of negotiations set out in this Agreement.
2. The Parties may establish other bodies as may be necessary to co-ordinate and implement any economic co-
operation activities undertaken pursuant to this Agreement.
3. The ASEAN-China TNC and any aforesaid bodies shall report regularly to the ASEAN Economic Ministers
(AEM) and the Minister of the Ministry of Foreign Trade and Economic Co-operation (MOFTEC) of China,
through the meetings of the ASEAN Senior Economic Officials (SEOM) and MOFTEC, on the progress and
outcome of its negotiations.
4. The ASEAN Secretariat and MOFTEC shall jointly provide the necessary secretariat support to the ASEAN-
China TNC whenever and wherever negotiations are held.
ARTICLE 13
Miscellaneous Provisions
1. This Agreement shall include the Annexes and the contents therein, and all future legal instruments
agreed pursuant to this Agreement.
2. Except as otherwise provided in this Agreement, this Agreement or any action taken under it shall
not affect or nullify the rights and obligations of a Party under existing agreements to which it is a
party.
3. The Parties shall endeavour to refrain from increasing restrictions or limitations that would affect
the application of this Agreement.
ARTICLE 14
Amendments
The provisions of this Agreement may be modified through amendments mutually agreed upon in writing by
the Parties.
ARTICLE 15
Depositary
For the ASEAN Member States, this Agreement shall be deposited with the Secretary-General of ASEAN,
who shall promptly furnish a certified copy thereof, to each ASEAN Member State.
ARTICLE 16
Entry Into Force
1. This Agreement shall enter into force on 1 July 2003.
2. The Parties undertake to complete their internal procedures for the entry into force of this Agreement prior to
1 July 2003.
3. Where a Party is unable to complete its internal procedures for the entry into force of this Agreement by 1
July 2003, the rights and obligations of that Party under this Agreement shall commence on the date of the
completion of such internal procedures.
4. A Party shall upon the completion of its internal procedures for the entry into force of this Agreement notify
all the other parties in writing.
IN WITNESS WHEREOF, WE have signed this Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-
operation between the Association of South East Asian Nations and the People’s Republic of China.
DONE at Phnom Penh, this 4th day of November, 2002 in duplicate copies in the English Language.