pembebanan hak milik atas tanah sebagai objek hak tanggungan
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hubungan antara manusia dengan tanah dapat menimbulkan beberapa
fungsi tanah, yaitu fungsi ekonomis dan fungsi sosial. Fungsi ekonomis atas tanah
dimana tanah berfungsi untuk mendirikan rumah, diperjualbelikan, disewakan
atau dikontrakkan dan lain sebagainya. Sedangkan tanah dalam fungsi sosial
adalah hak atas tanah yang dimiliki oleh perseorangan atau badan hukum, tidak
semata – mata boleh dipergunakan untuk kepentingan pribadi dengan sewenang –
wenang tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat ataupun mentalitas tanah
tersebut sehingga tidak ada manfaatnya.1Secara aksiologis, tanah sangat berguna
bagi kehidupan manusia karena tanpa tanah manusia tidak bisa hidup. Sejarah
perkembangan atau kehancurannya ditentukan oleh tanah, masalah tanah dapat
menimbulkan persengketaan dan peperangan yang dahsyat karena manusia-
manusia atau sesuatu bangsa ingin menguasai tanah orang/bangsa lain karena
sumber-sumber alam yang terkandung di dalamnya”.2 Manusia akan dapat hidup
senang serba berkecukupan jika mereka mampu menggunakan tanah yang
dikuasai atau dimilikinya sesuai dengan hukum alam yang berlaku, dan manusia
akan dapat hidup tenteram dan damai kalau mereka dapat menggunakan hak-hak
1K. Wantjik Saleh, 1997, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta,hal.16.
2G.Kartasapoetra, dkk, 1991, Hukum Tanah : Jaminan UUPA bagiKeberhasilan Pendayagunaan Tanah, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 1.
2
dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum
yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat. Hukum
alam telah menentukan bahwa :
a. Keadaan tanah yang statis itu akan menjadi tempat tumpuan manusia yang
tahun demi tahun akan berkembang dengan pesat.
b. Pendayagunaan tanah dan pengaruh-pengaruh alam akan menjadikan
instabilitas kemampuan tanah tersebut. 3
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tanah dalam kehidupan manusia
mempunyai peranan yang sangat penting baik karena sifatnya yang tetap maupun
sebagai tempat tinggal. Sehubungan dengan ini, Surojo Wignjodipuro,
mengemukakan bahwa ada dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki
kedudukan yang sangat penting yaitu : 4
a. Karena sifatnya.
Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami
keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya,
bahkan terkadang menjadi lebih menguntungkan. Contohnya : sebidang tanah
itu dibakar, di atasnya terdapat bom, tanah tersebut tidak akan lenyap; setelah
api padam ataupun setelah pemboman selesai sebidang tanah tersebut akan
muncul kembali tetap berwujud tanah seperti semula. Jika dilanda banjir
misalnya, setelah airnya surut muncul kembali sebagai sebidang tanah yang
lebih subur dari semula.
3Ibid.4Surojo Wignjodipuro, 1982, Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat,
PT.Gunung Agung, Jakarta, hal. 197.
3
b. Karena fakta :
Yaitu suatu kenyataan, bahwa tanah itu :
− merupakan tempat tinggal persekutuan.
− memberikan penghidupan kepada persekutuan.
− merupakan tempat di mana para warga persekutuan yang meninggal
dunia dikebumikan.
− merupakan pula tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindung
persekutuan dan roh para leluhur persekutuan.
Dengan demikian, di atas tanah manusia “dapat mencari nafkah seperti
bertani, berkebun dan berternak. Di atas tanah pula manusia membangun rumah
sebagai tempat bernaung dan membangun berbagai bangunan lainnya untuk
perkantoran dan sebagainya. Tanah juga mengandung berbagai macam kekayaan
alam yang dapat dimanfaatkan manusia”.5
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (selanjutnya disingkat UUPA) pada pokoknya menentukan jenis-jenis hak
atas tanah yang dapat dimiliki oleh subyek hukum. Beberapa diantaranya yaitu:
Hak Milik, Hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak
membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk
dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta
hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 UUPA.
Namun lebih lanjut yang akan dibahas adalah mengenai Hak Milik atas tanah.
5Adrian Sutedi, 2007, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum DalamPengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 45.
4
Hak Milik adalah hak atas tanah yang paling kuat, sesuai dengan
penjelasan UUPA bahwa pemberian sifat terkuat dan terpenuh tidak berarti bahwa
hak itu merupakan hak yang mutlak tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat,
sebagaimana hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dahulu, karena sifat
yang demikian tentu akan bertentangan dengan hukum adat dan fungsi sosial dari
tiap-tiap hak. Kata terkuat dan terpenuh itu untuk membedakan dengan hak atas
tanah yang lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah
yang dapat dimiliki orang, hak miliklah yang paling terkuat dan terpenuh.6 Hak
Milik adalah hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya
untuk memberikan kembali suatu hak lain diatas bidang tanah hak milik yang
dimilikinya tersebut (dapat berupa hak guna bangunan, hak pakai, dengan
pengecualian hak guna usaha), yang hampir sama dengan kewenangan negara
(sebagai penguasa) untuk memberikan hak atas tanah kepada warganya. Hak ini
meskipun tidak mutlak sama, tetapi dapat dikatakan mirip dengan eigendom, atas
tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disingkat
KUHPer), yang memberikan kewenangan yang paling luas pada pemiliknya,
dengan ketentuan harus memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPA, yang
menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Peralihan atau pemindahan hak yaitu berpindahnya Hak Milik atas tanah
dari pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu perbuatan hukum,
yaitu: jual-beli, tukar menukar, hibah, penyertaan (pemasukan) dalam modal
perusahaan. Setiap peralihan hak milik atas tanah, yang dilakukan dalam bentuk
6A.P. Parlindungan, 1998, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria,Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut A.P. Parlindungan I), hal. 137
5
jual beli, tukar menukar atau hibah harus dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT).Dengan merujuk pada Pasal 23Ayat (1) UUPA, mewajibkan
peralihan hak ini untuk didaftarkan pada Kantor Badan Pertanahan Nasional
kabupaten/kota setempat untuk dicatat di dalam buku tanah dan dilakukan
perubahan nama dalam sertipikat dari pemilik tanah yang lama kepada pemilik
tanah yang baru.
Peralihan hak milik atas tanah karena proses jual beli dapat dilakukan
dengan berbagai cara baik itu dilakukan dengan cara pembayaran tunai mapun
pihak pembeli tanah dapat meminta bantuan dari pihak bank untuk mendanai
pembayaran tanah tersebut. Dalam proses yang kedua ini yang dimaksud dengan
meminta bantuan kepada bank adalah dengan cara peminjaman sejumlah dana
atau yang biasa dikenal dengan istilah kredit.
Bank memiliki peran dalam bidang bisnis untuk menyimpan dana
masyarakat dan menyalurkan dana tersebut kembali ke masyarakat. Berdasarkan
pengertian bank sebagimana diatur dalam Undang-Undang No 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan Juncto Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut
UU Perbankan), maka ada dua fungsi utama bank yaitu :
a. Menghimpun dana dari masyarakat
Fungsi utama perbankan adalah melakukan penghimpunan dana dari
masyarakat. Dana yang dikumpulkan oleh bank pada dasarnya berasal dari
beberapa sumber, yaitu dari masyarakat yang mempunyai kelebihan pendapat
dalam bentuk : simpanan giro, simpanan deposito, tabungan, dana yang
6
mengendap sebagai akibat pembukaan L/C, dana jaminan garansi bank,
pengiriman uang nasabah yang belum diambil dari lembaga-lembaga
penanaman modal yang mempunyai kelebihan dana sementara.
b. Memberikan kredit
Selain menghimpun dana dari masyarakat bank mempunyai fungsi
memberikan atau menyalurkan kredit (pinjaman) kepada masyarakat. Dengan
dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat, maka selanjutnya bank
menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat dalam bentuk kredit.
Pemberian kredit oleh bank dapat berupa kredit jangka pendek yang
memberikan pengaruh langsung terhadap pasar uang, atau kredit jangka
menengah dan panjang yang mempunyai pengaruh langsung terhadap pasar
modal dalam arti luas.7
Pemberian kredit dilihat dari sudut bahasanya berarti kepercayaan, dalam
arti bahwa apabila seseorang atau badan usaha mendapatkan kredit dari Bank
maka orang atau badan hukum tersebut mendapat kepercayaan dari bank. dalam
hal pemberian kredit adanya persyaratan penyertaan barang jaminan oleh debitur,
yang pelaksanaan dilakukan pada saat pengikatan jaminan yaitu pada saat akad
kredit. Bank umumnya menerima barang jaminan berupa : hak-hak atas tanah,
rumah/bangunan, deposito, emas, kendaraan, piutang dagang, mesin-mesin
pabrik, bahan baku, stok barang dagangan, saham dan masih banyak lagi. Hak
atas tanah merupakan jaminan yang lebih diminati oleh bank, karena hak atas
tanah dapat memberikan kepastian dan perlindungan bagi kreditur karena adanya
7Sinungan Muchdarsyah,1990,Manajemen Dana Bank, Rineke Cipta,Jakarta, hal 3.
7
ketentuan atau dasar hukum yang lebih jelas dan pasti serta nilai ekonomis selalu
meningkat terus.
Tanah sebagai agunan kredit sangat diminati oleh bank, tentunya
mempunyai tujuan yaitu untuk menjamin pelunasan kredit melalui penjualan
agunan secara umum yang dikenal dengan lelang, ataupun dengan cara lain yang
dapat dimungkinkan yaitu secara dibawah tangan dalam hal debitur wanprestasi.
Namun upaya tersebut adalah upaya terakhir sebelumnya telah dilakukan dengan
melalui cara pendekatan kekeluargaan, ataupun peringatan sebelumnya. Sehingga
didapatkan suatu lembaga pengikatan jaminan yang memberikan kepastian dan
perlindungan hukum bagi semua pihak yang terkait.
Hukum Jaminan secara umum yang berlaku di Indonesia, dapat membagi
jaminan atas 2 (dua), yaitu Jaminan Kebendaan dan Jaminan Perorangan.8
Jaminan kebendaan adalah hak dari kreditur mendapatkan prioritas untuk
memperoleh pelunasan piutangnya didahulukan dari kreditur yang lain.
Sedangkan Jaminan perorangan adalah jaminan perorangan secara pribadi atas
utang tertentu dari seorang debitur. Khusus mengenai jaminan berupa tanah
akhirnya setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, lahir juga Undang-
Undang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 51 UUPA yaitu Undang–Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda –
benda yang berkaitan dengan Tanah (yang selanjutnya disebut UUHT).
Benda-benda yang dapat dijadikan jaminan tentunya adalah benda-benda
yang memiliki nilai ekonomis, baik benda tak bergerak yang dapat menjamin
8Habib Adjie, 2000, Hak Tanggungan sebagai Lembaga Jaminan AtasTanah, Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut Habib Adjie I), hal. 1.
8
pelunasan utang secara utuh. Salah satu benda jaminan tersebut adalah berupa
tanah melalui haknya.Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran yang
paling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit, sebab
tanah pada umumnya mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda
bukti, sulit digelapkann dan dapat dibebani Hak Tanggungan yang memberikan
hak istimewa pada kreditur.9 Namun tidak semua Hak Atas Tanah yang akan
diserahkan sebagai jaminan memiliki dokumen kepemilikan yang sempurna atau
yang sudah bersertipikat atas nama debitur sendiri atau atas nama orang lain
sebagai peminjam. Bukti kepemilikan yang belum sempurna dapat berupa pipil,
Grik, Petuk D selain itu sering pula terjadi hak-hak atas tanah yang akan
diserahkan debitur masih berupa akta jual-beli yang artinya Hak Atas Tanah yang
bersangkutan sudah terdaftar di Kantor Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya
disingkat BPN) namun belum di balik nama atas nama Debitur tersebut.
Bank (kreditur) terlebih dahulu melakukan penelitian dan apabila
dianggap cukup sesuai standar kelayakan pemberian kredit dengan kriteria bank,
kemudian pihak bank dan pemilik tanah datang ke Kantor Notaris/Pejabat
Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) yang wewenangnya meliputi
daerah dimana tanah tersebut terletak, untuk membuat Akta Pemberian Hak
Tanggungan (selanjutnya disebut APHT). Pemberian Hak Tanggungan itu
dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kemudian Akta Pemberian Hak Tanggungan
tersebut ditandatangani oleh pemilik tanah selaku pemberi hak tanggungan,
9Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah DariSudut Pandang Praktisi Hukum, CV Rajawali, Jakarta, hal. 10
9
pemegang Hak Tanggungan yaitu pihak bank, dua orang saksi, dan PPAT sendiri.
Selanjutnya APHT ini wajib didaftarkan pada kantor pertanahan yang wilayahnya
meliputi daerah tempat dimana tanah yang dibebani Hak Tanggungan itu terletak
disertai sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Pasal 6 dan Pasal 7 UUHT memberikan kepastian hukum kepada
kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan. Pasal 6 UUHT menyatakan bahwa
“Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai
hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut. Kemudian Pasal 7 UUHT menyatakan bahwa “Hak Tanggungan tepat
mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada”.
Substansi dari Pasal 6 UUHT menunjukkan hak yang dipunyai pemegang
Hak Tanggungan untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
apabila debitur cidera janji. Kemudian Pasal 7 UUHT menunjukkan jaminan
kepentingan pemegang Hak Tanggungan, walaupun objek Hak Tanggungan sudah
berpindah tangan menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dapat
menggunakan haknya untuk mengeksekusi.
Sertipikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan
berlaku sebagai pengganti Groose Acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas
tanah. Irah-irah yang dicantumkan pada sertipikat Hak Tanggungan dimaksudkan
untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertipikat Hak
Tanggungan. Sehingga apabila debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti
10
halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai
dengan Pasal 14 ayat (3) UUHT.10
Hak Tanggungan memang dirancang sebagai hak jaminan yang kuat,
dengan ciri khas eksekusi mudah dan pasti, akan tetapi dalam praktiknya banyak
menimbulkan kendala-kendala. Seperti terjadi dalam hal nasabah bank (debitur)
wanprestasi, dan tanah yang dijadikan jaminan oleh nasabah bank (debitur)
tersebut telah dibangun rumah, kemudian dijual kepada pihak lain (pembeli tanah
dan rumah) yang hasil penjualannya tidak diberikan kepada bank sebagai
kewajiban pembayaran kredit debitur. Jadi dapatlah dikatakan bahwa debitur telah
cidera janji sehingga Bank berhak untuk sekaligus menagih pelunasan atas seluruh
sisa hutang debitur serta untuk setiap saat melaksanakan hak eksekusi atas tanah
dan rumah yang digunakan sebagai jaminan. Pihak bank (kreditur) kesulitan
dalam mengeksekusi jaminan yang telah ditempati oleh pihak lain selaku pembeli
tanah serta rumah yang tetap ingin mempertahankan tanah dan rumah yang telah
dibelinya.
Jaminan yang masih berupa akta jual beli atau belum di balik nama atas
nama debitur saat ini masih bisa diterima sebagai jaminan kredit karena proses
balik nama masih bisa dimungkinkan diselesaikan dengan proses yang tidak
terlalu lama namun dalam menerima jaminan ini bank sebagai pihak kreditur
harus mempertimbangkan matang-matang dan melakukan analisa yang baik
terhadap pihak debitur dan aspek-aspek lainnya karena bank akan memikul resiko
10Ardian Sutedi ,Op.cit hal.118
11
yang cukup besar dimana pembebanan Hak Tanggungan atas jaminan tersebut
baru dapat dilakukan setelah proses balik nama selesai dilakukan oleh BPN.
Dalam prakteknya pihak BPN rata-rata tidak mampu menyelesaikan balik nama
satu sertipikat dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh UUHT pada pasal 15
ayat (3). Sehingga dengan demikian pihak notaris/PPAT biasanya membuat
pembaharuan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disebut
SKMHT) apabila jangka waktu tersebut telah habis dan begitu seterusnya. Maka
para pihak harus kembali datang kehadapan notaris/PPAT untuk membuatkan
SKHMT yang baru.
Dalam pembuatan SKMHT yang objeknya sedang dalam proses balik
nama belum terlahirnya tujuan hukum dimana kepastian hukum mengenai
sertipikat atas Hak Milik atas tersebut sedang dalam proses pengerjaan BPN yang
akan memakan waktu yang cukup lama, sedangkan keadilan hukum mengenai
SKMHT ini sebenarnya tidak memberikan rasa keadilan bagi pihak debitur
dimana debitur telah menandatangani perjanjian baku yang telah dibuatkan oleh
Pihak Bank. Mengenai kemanfataan hukum dimana pembebanan sertipikat yang
sedang dalam proses balik nama dapat saja dibuatkan SKMHT oleh pihak
Notaris/PPAT namun hal akan memakan waktu yang cukup lama karena
Notaris/PPAT akan mengerjakan proses balik nama terlebih dahulu setelah hal
tersebut selesai barulah sertipikat tersebut dapat dibebankan Hak Tanggungan,
sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Ketentuan Pasal 15 ayat (3) UUHT menyebutkan bahwa “Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar
12
wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-
lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan”. Apabila dalam jangka waktu
tersebut sertipikat belum juga selesai maka SKMHT tersebut akan menjadi gugur
dan tidak dapat dipergunakan untuk pembuatan APHT atas objek jaminan
tersebut. Namun biasanya SKMHT yang sudah habis jangka waktunya akan
diperbaharui lagi dengan dibuatkan SKMHT yang baru di hadapan notaris. Dalam
prakteknya pihak debitur akan menandatangani SKMT dalam beberapa rangkap,
itu dilakukan agar pihak bank dan Notaris/PPAT tidak perlu mendatangkan
debitur. Hal tersebut seharusnya tidak boleh dilakukan apabila dikemudian hari
hal tersebut dipertanyakan maka tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dalam
UUHT tidak disebutkan berapa kali SKMHT yang dapat diperbaharui oleh
Notaris/PPAT apabila SKMHT yang pertama telah jatuh tempo. Sehingga dalam
UUHT terjadi kekaburan norma mengenai berapa kali SKMHT yang dapat
diperbaharui oleh Notaris/PPAT.
Melihat permasalahan-permasalahan tersebut maka penulis terdorong
untuk mengangkat masalah ini ke dalam Penelitian Hukum yang berjudul
“PEMBEBANAN HAK MILIK ATAS TANAH SEBAGAI OBJEK HAK
TANGGUNGAN YANG SEDANG DALAM PROSES BALIK NAMA”. Melalui
penelitian ini diharapkan dapat diketahui pengaturan mengenai Hak Milik Atas
Tanah yang dijadikan objek hak tanggungan, serta akibat hukum bagi penjual
yang tanahnya dijadikan objek hak tanggungan oleh pembeli yang belum dibalik
nama ke nama pembeli.
13
Setelah ditelusuri judul-judul tesis yang ada di Indonesia melalui
penelusuran dengan media internet, ditemukan judul tesis yang menyangkut
pembebanan hak milik atas tanah dan objek hak tanggungan. Penelitian ini
merupakan penelitian yang masih original atau asli karena belum ada penelitian
secara khusus menulis tesis dengan judul ini meskipun demikian ada sejumlah
tulisan yang mirip tetapi tidak sama secara substansial. Adapun judul beserta
rumusan masalah penelitian lain yang tidak sama dengan penelitian ini adalah:
1. Tesis yang berjudul “Kendala-Kendala Pembebanan Hak Tanggungan
Bagi Tanah Yang Belum Bersertipikat” oleh Ni Luh Gede Purnamawati,
mahasiswa S2 Program Studi Magister Kenotariatan Universistas Udayana
Denpasar Tahun 2012. Dengan permasalahnya: kapankah terjadinya peristiwa
hukum pembebanan hak tanggungan dari debitur ke kreditur terhadap tanah yang
masih dalam proses pensertipikatan dan apakah kendala-kendala pembebanan hak
tanggungan atas tanah yang dalam proses pensertipikatan. Dalam tesis yang di
bahas berikut ini lebih menekankan pada pembebanan peralihan hak milik atas
tanah yang dijadikan objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik nama.
2. Tesis yang berjudul “Efektivitas Pemberian Hak Tanggungan Terhadap
Hak Atas Tanah Berasal Dari Konversi Hak Lama Yang Belum Terdaftar Dalam
Praktek Perbankan Di Kota Denpasar” oleh I Putu Darma Aditya Westa,
mahasiswa S2 Program Studi Magister Kenotariatan Universistas Udayana
Denpasar Tahun 2013. Dengan permasalahnya: bagaimana efektivitas
pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari
konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di kota
14
Denpasar dan apakah faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemberian hak
tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum
terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar. Dalam tesis yang di bahas
berikut ini lebih menekankan pada pembebanan hak milik atas tanah yang
dijadikan objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik nama.
3. Tesis yang berjudul “Proses Pembebanan Hak Tanggungan Terhadap
Tanah Yang Belum Bersertipikat (Studi di PT Bank Rakyat Indonesia Tbk Unit
Bekasi Kota)” oleh Nur HAyatun Nufus, mahasiswa S2 Program Studi Magister
Kenotariatan Universistas Diponegoro Semarang Tahun 2010. Dengan
permasalahnya: bagaimana pelaksanaan pembebanan hak tanggungan terhadap
tanah yang belum bersertipikat dan bagaimana penyelesaiannya apabila pemberi
Hak Tanggungan atas tanah yang belum bersertipikat tersebut meninggal dunia
dan memiliki ahli waris, sementara piutang kredtur tidak terbayar. Dalam tesis
yang di bahas berikut ini lebih menekankan pada pembebanan peralihan hak milik
atas tanah yang dijadikan objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik
nama.
4. Tesis yang berjudul “Penetapan Pengadilan Dalam Proses Pelaksanaan
Jual Beli Hak Milik Atas Tanah Warisan (Studi Kasus Penetapan Nomor
729/PDT.P/2003/PN.SBY Oleh Pengadilan Negeri Surabaya)” oleh Petrus Dibyo
Yuwono, mahasiswa S2 Program Studi Magister Kenotariatan Universistas
Diponegoro Tahun 2009. Dengan permasalahnya: bagaimanakah cara
penyelesaian secara yuridis mengenai ketidakhadiran seseorang dari salah satu
pihak (penjual) sebelum proses pelaksanaan jualbeli hak milik atas tanah warisan
15
dilakukan dan bagaimanakah proses pelaksanaan jual beli hak milik atas tanah
warisandengan berdasarkan Penetapan Nomor: 729/Pdt.P/2003/PN.Sby oleh
Pengadilan Negeri Surabaya. Dalam tesis yang di bahas berikut ini lebih
menekankan pada pembebanan hak milik atas tanah yang dijadikan objek hak
tanggungan yang sedang dalam proses balik nama.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut dapat diambil beberapa rumusan masalah
yang akan dibahas lebih lanjut. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan peralihan hak milik atas tanah sebagai objek hak
tanggungan yang sedang dalam proses balik nama?
2. Bagaimanakah kedudukan pihak kreditur terhadap objek hak tangungan yang
sertipikatnya sedang proses balik nama?
1.3 Tujuan Penelitian
Agar penulisan karya ilmiah ini memiliki maksud yang jelas, maka harus
memiliki suatu tujuan guna mencapai target yang dikehendaki. Adapun tujuan
penelitian ini dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang
bersifat khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk melatih diri dalam menyampaikan
pikiran secara tertulis,melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya
pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa mengenai suatu
permasalahan hukum, sebagaimana yang dibahas dalam penelitian ini terkait
16
dengan pembebanan hak milik atas tanah yang dijadikan objek hak tanggungan
yang sedang dalam proses balik nama. Selain itu penelitian ini juga bertujuan
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan Hukum, khususnya bidang hukum
Kenotariatan, sebagai media untuk mengemukakan pendapat secara tertulis, kritis
dan sistematis serta objektif, serta sebagai pemenuhan syarat untuk menyelesaikan
jenjang strata dua (2) di Magister Kenotariatan Universitas Udayana.
1.3.2 Tujuan Khusus
Penelitian ini bertujuan khusus, untuk mengkaji dan menganalisis lebih
dalam mengenai pengaturan peralihan hak milik atas tanah yang dijadikan
objek hak tanggungan yang sedang proses balik nama. Selain itu bertujuan pula,
untuk mengkaji dan menganalisis mengenai kedudukan kreditur terhadap objek
hak tangungan yang sertipikatnya sedang proses balik nama.
1.4 Manfaat Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan pasti diharapkan agar dapat memberikan
manfaat baik secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan ilmu
pengetahuan.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah
pengetahuan di bidang Ilmu Hukum khususnya bidang Hukum Kenotariatan,
memberikan sumbangan yang berarti dalam bentuk kajian kritis, asas-asas, teori-
teori serta kajian teoritis tentang pembebanan hak milik atas tanah yang sedang
dalam proses balik nama. Hal ini secara keilmuan diharapkan dapat membantu
pengembangan teori-teori yang terkait.
17
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
kepada para pihak yang terkait dengan penulisan dan pembahasan tesis ini. Para
pihak yang dimaksud adalah:
1. Bagi penulis sendiri, disamping untuk penyelesaian studi pada program
Magister Kenotariatan, juga untuk menambah wawasan di bidang Hukum
Kenotariatan mengenai pengaturan peralihan hak milik atas tanah yang
sertipikatnya sedang proses balik nama dijadikan objek hak tanggungan serta
kedudukan kreditur terhadap objek hak tanggungan yang sertifikatnya sedang
dalam proses balik nama.
2. Bagi Perbankan, hasil penelitian ini diharapkan manambah pemahaman
mengenai pembebanan hak tanggungan yang objeknya sedang dalam proses
balik nama agar lebih cermat dan berhati-hati.
3. Bagi pembuat kebijakan, maka diharapkan agar dapat membentuk ketentuan
yang dapat memberikan kejelasan mengenai pengaturan peralihan hak milik
atas tanah yang dijadikan objek hak tanggungan yang sedang dalam proses
balik nama.
1.5 Landasan Teoritis
Duane R.Munette mengemukakan teori adalah seperangkat proposisi atau
keterangan yang saling berhubungan dengan sistem deduksi, yang mengemukakan
penjelasan atas suatu masalah.11Jan Gijssels dan Mark van Hoccke juga
mengemukakan pengertian teori adalah sebuah sistem pernyataan-pernyataan
11H.Salim, 2009, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers,Jakarta, hal.9.
18
(klaim-klaim), pandangan-pandangan dan pengertian-pengertian yang saling
berkaitan secara logikal berkenaan dengan suatu bidang kenyataan, yang
dirumuskan sedemikian rupa sehingga menjadi mungkin untuk menjabarkan
(menurunkan) hipotesis-hipotesis yang dapat diuji.12Adapun teori yang
dipergunakan dalam penulisan ini adalah Teori Perundang-undangan, Teori
Penafsiran Hukum, Teori Perjanjian, dan Konsep Kepastian Hukum sebagai
berikut:
1.5.1 Teori Perundang-undangan
Dalam Teori Perundang-Undangan disebutkan bahwa dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan terdapat beberapa asas yang
diperlukan untuk memastikan bahwa suatu perundang-undangan yang dihasilkan
merupakan suatu produk kekuasaan yang berdasarkan konsep negara hukum
secara baik, atau disebut sebagai peraturan perundang-undangan yang baik.13
Adapun asas-asas tersebut antara lain:
1. asas undang-undang tidak berlaku surut;
2. Asas hierarki, atau tata urutan peraturan perundang-undangan menurut
teori jenjang norma hukum atau Stufenbautheorie yang dikemukakan Hans
Kelsen.14 Asas ini menyebutkan bahwa undang-undang yang dibuat oleh
12Ibid.13Bagir Manan, 1992, Dasar-dasar Perundang-Undangan Indonesia,
Penerbit IND-HILL.CO, Cetakan Pertama, Jakarta, hal. 13-1514Natabaya, 2008, Sistem Peraturam Perundang-Undangan Indonesia,
Penerbit Konstitusi Press dan Tatanusa, Jakarta, hal. 23-32.
19
Penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
pula.15
3. Asas lex posteriore derogate lex priori (hukum yang baru mengalahkan
hukum yang lama).16
4. Asas hukum lex spesialis derogate legi generalis (hukum yang lebih
khusus mengalahkan hukum yang bersifat umum jika pembuatnya sama).
Teori Stufenbau adalah teori mengenai sistem hukum oleh Hans Kelsen,
yang menyatakan bahwa sistem hukum yang berbentuk perundang-undangan
merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum
yang paling rendah harus berpegang pada norma hukum yang lebih tinggi, dan
kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegang pada norma
hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang
paling mendasar (grundnorm) bentuknya tidak konkrit (abstrak),17 contoh norma
hukum paling dasar dan abstrak adalah Pancasila.
Salah seorang tokoh yang mengembangkan Teori Stufenbau adalah Hans
Nawiasky. Teori Nawiasky disebut dengan theorie von stufenufbau der
rechtsordnung. Susunan norma menurut teori ini adalah:18
1. Norma fundamental negara
2. Aturan dasar negara
3. Undang-undang formal. dan
15Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1986, Bahan P.T.H.I:Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 16.
16 Ibid, hal 17.17Hans Kelsen, 2006, Teori tentang Hukum (Penerjemah Soemadi),
Konstitusi Press, Jakarta, hal. 124-126.18 Ibid.
20
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom.
Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi
pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar atau (staatsverfassung) dari
suatu negara. Posisi hukum dari suatu Staatsfundamentalnorm adalah sebagai
syarat bagi berlakunya suatu konstitusi.
Struktur hierarki tata hukum Indonesia dan dikaitkan dengan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, struktur tata hukum Indonesia adalah:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketepatan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden; dan
6. Peraturan Daerah, Provinsi, dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten Kota.
Pancasila dilihatnya sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan
pengemudi. Hal ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk
mencapai ide-ide yang tercantum dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk
menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila
sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan
pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari apa yang tercantum dalam Pancasila.
Berdasarkan uraian di atas dapat dinyatakan bahwa keberadaan suatu
norma hukum harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan sudah
21
semestinya antara tingkatan norma hukum yang satu dan yang lain saling
mendukung dan melengkapi bukan saling mematahkan, atas dasar pancasila
sebagai cita hukum bangsa. Selanjutnya untuk menghasilkan peraturan
perundang-undangan yang baik, juga perlu diperhatikan dari aspek peraturan
peralihan dan ketentuan penutup tentang pemberlakuan atau pengundangannya.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik diperlukan asas-
asas, selain itu diperlukan pula syarat bahwa suatu perundang-undangan (undang-
undang) harus memiliki :
1. Landasan yuridis, berarti bahwa dalam membentuk undang-undang atau
suatu peraturan perundang-undangan, harus lahir dari pihak yang
mempunyai kewenangan membuatnya (landasan yuridis formal),
mengakuan terhadap jenis peraturan yang diberlakukan (landasan yuridis
material).
2. Landasan sosiologis berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang
diberlakukan harus sesuai dengan keyakinan umum dan kesadaran hukum
masyarakatnya agar ketentuan tersebut dapat ditaati karena pemahaman
dan kesadaran hukum masyarakatnya sesuai dengan hal-hal yang diatur.
3. Landasan filosofis berarti bahwa hukum yang diberlakukan mencerminkan
filsafat hidup masyarakat (bangsa) di mana hukum tersebut diberlakukan
yang intinya berisi nilai-nilai moral, etika, budaya maupun keyakinan dari
22
bangsa tersebut,19 sebagaimana dikenal dalam adagium quid legex sine
moribus (apa jadinya hukum tanpa moralitas).
Teori Perundang-undangan dalam pengadaan tanah, undang-undang
memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur penggunaan tanah,
termasuk untuk kepentingan umum. Teori ini dipergunakan untuk membahas
rumusan masalah pertama yaitu pengaturan peralihan hak milik atas tanah sebagai
objek hak tanggungan yang sedang dalam proses balik nama. Dimana peraturan
mengenai hak tanggungan telah diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Bekaitan
Dengan Tanah apabila ada peraturan yang lainnya dapat mengetahui yang mana
lebih di khususkan atau peraturan yg lebih tinggi dari UUHT.
1.5.2 Teori Penafsiran Hukum
Penafsiran hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-
daalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki
serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang.
Untuk menjamin kepastian hukum dalam peraturan perundang-undangan
yang diaanggap kabur normanya, hakim dapat melakukan penemuan-penemuan
nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Selain itu, hakim dapat pula
melakukan interpretasi-interpretasi hukum dalam menyelesaikan kasus yang
dihadapinya, khususnya dalam hal ketentuan undang-undang yang sudah
ketinggalan zaman dan ketentuan undang-undang yang memakai istilah-istilah
19Sukanda Husin, 2009, Hukum dan Perundanga-undangan, PusatPengembangan Pendidikan Universitas Riau, Pekanbaru, hal. 17-18.
23
yang tidak jelas atau yang dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-
beda.20Hakim dapat menggunakan beberapa cara penafsiran,antara lain21:
1. Menafsirkan undang-undang menurut arti perkataan (istilah) atau biasa
disebut penafsiran gramatikal. Antara bahasa dengan hukum terdapat
hubungan yang erat sekali. Bahasa merupakan alat satu-satunya yang
dipakai pembuat undang-undang untuk menyatakan kehendaknya. Karena
itu, pembuat undang-undang yang ingin menyatakan kehendaknya secara
jelas harus memilih kata-kata yang tepat. Kata-kata itu harus singkat, jelas
dan tidak bisa ditafsirkan secara berlainan. Adakalanya pembuat undang-
undang tidak mampu memakai kata-kata yang tepat. Dalam hal ini hakim
wajib mencari arti kata yang dimaksud yang lazim dipakai dalam
percakapan sehari-hari, dan hakim dapat menggunakan kamus bahas atau
meminta penjelasan dari ahli bahasa.
2. Menafsirkan undang-undang menurut sejarah atau penafsiran historis.
Setiap ketentuan perundang-undangan mempunyai sejarahnya. Dari
sejarah peraturan perundang-undangan hakim dapat mengetahui maksud
pembuatnya. Terdapat dua macam penafsiran sejarah yaitu penafsiran
menurut sejarah dan sejarah penetapan sesuatu ketentuan perundang-
undangan. Penafsiran secara historis ada dua macam, yaitu:22
20Chainur Arrasjid, 2000, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika,Jakarta, hal. 87
21Yudha Bhakti Ardiwisastra, 2008, Penafsiran dan Konstruksi Hukum,Bandung, PT Alumni, hal. 9
22Chainur Arrasjid, Op.cit, hal. 91
24
a. Penafsiran menurut sejarah hukum (rechtshistorische
interpretatie) yaitu merupsksn suatu cara penafsiran hukum dengan
jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala
sesuatu yang berhubungan dengan hukum seluruhnya. Penafsiran
tersebut adalah penafsiran yang luas yang meliputi penafsiran
menurut sejarah penetapan perundang-undangan.
b. Penafsiran menurut sejarah penetapan ketentuan perundang-
undangan (wetshistorische interpretatie) yaitu penafsiran yang
sempit, yaitu dengan cara melakukan penafsiran undang-undang
dengan menyelidiki perkembangannya sejak dibuat dan untuk
mengetahui apa maksud ditetapkannya peraturan itu.
3. Menafsirkan undang-undang menurut sistem yang ada didalam hukum
atau biasa disebut dengan penafsiran sistematik. Perundang-undangan
suatu Negara merupakan kesatuan, artinya tidak sebuah pun dari peraturan
tersebut dapat ditafsirkan seolah-olah ia berdiri sendiri. Pada penafsiran
peraturan perundang-undangan selalu harus diingat hubungannya dengan
peraturan perundangan lainnya. Penafsiran sistematis tersebuit dapat
menyebabkan kata-kata dalma undnag-undang diberi pengertian yang
lebih luas atau yang lebih sempit daripada pengertiannya dalam kaidah
bahasa yang biasa. Hal yang pertama disebut penafsiran meluaskan dan
yang kedua disebut penafsiran menyempitkan.23
23Yudha Bhakti Ardiwisastra, Op.cit.hal 20
25
4. Menafsirkan undang-undang menurut cara tertentu sehingga undang-
undang itu dapat dijalankan sesuai dengan keadaan sekarang yang ada di
dalam masyarakat, atau biasa disebut dengan penafsiran sosilogis atau
penafsiran teologis. Setiap penafsiran undnag-undang yang dimulai
dengan penafsiran gramatikal harus diakhiri dengan penafsiran sosiologis.
Apabila tidak demikian, keputusan yang dibuat tidak sesuai dengan
keadaan yang benar-benar hidup dalam masyarakat. Karena itu, setiap
peraturan hukum mempunyai suatu tujuan sosial, yaitu membawa
kepastian hukum dalam pergaulan anatar anggota masyarakat. Hakim
wajib mencari tujuan sosial baru dari peraturan yang bersangkutan.
Apabila hakim mencarinya, masuklah ia ke dalam lapangan pelajaran
sosilogi. Melalui penafsiran sosiologi hakim dapat menyelesaikan adanya
perbedaan atau kesenjangan antara sifat positif dari hokum
(rechtspositiviteit) dengan kenyataan hukum (rechtswekelijkheid),
sehingga penafsiran sosiologis atau teologis menjadi sangat penting.24
5. Penafsiran otentik atau penafsiran secara resmi. Adakalnya pembuat
undang-undang itu sendiri memberikan tafsiran tentang arti atau istilah
yang digunakannya didalam perundangan yang dibuatnya. Tafsiran ini
dinamakan tafsiran otentik atau tafsiran resmi. Disini hakim tidak
diperkenakan melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang
telah ditentukan pengertiannya didalan undang-undang itu sendiri.25
24Ibid.25Ibid, hal 20
26
6. Penafsiran interdisipliner. Penafsiran jenis ini biasa dilakukan dalam suatu
analisis masalah yang menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Disini
digunakan logika lebih dari satu cabang ilmu hukum, misalnya adanya
keterkaitan asas-asas hukum dari satu cabang ilmu hukum, misalnya
hukum perdata dengan asas-asas hukum publik.26
7. Penafsiran multidisipliner. Berbeda dengan penafsiran interdispliner yang
masih berada dalam rumpun disiplin ilmu yang bersangkutan, dalam
penafsiran multidisipliner seorang hakim harus juga mempelajari suatu
atau beberapa disiplim ilmu lainnya diluar ilmu hukum. Dengan lain
perkataan, disini hakim membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain
disiplin ilmu.27
Teori ini dipergunakan untuk membahas rumusan masalah pertama yaitu
pengaturan peralihan hak milik atas tanah sebagai objek hak tanggungan yang
sedang dalam proses balik nama. Dengan adanya ketentuan Pasal 15 Ayat (3)
UUHT terdapat norma kabur mengenai berapa banyak pembaharuan mengenai
pembuatan SKMHT jika jangka waktu 1 (satu) bulan yang ditetapkan oleh
undang-undang tidak terlaksana oleh pihak BPN.
1.5.3 Teori Perjanjian
Dalam KUHPerdata hukum perjanjian diatur dalam Buku III tentang
Perikatan, dimana dalam tersebut mengatur dan memuat tentang hukum kekayaan
yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau
26Ibid.27Ibid.
27
pihak tertentu.28Perjanjian dalam pengaturan Pasal 1313 KUHPer menyebutkan
bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengaitkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.Menurut Abdul
Kadir Muhammad merumuskan kembali definisi Pasal 1313 KUHPer tersebut
sebagai berikut “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau
lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan
harta kekayaan”29
Pasal 1338 menyebutkan perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang.” Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi unsur
pada Pasal 1320 KUHPer yaitu:
1. Sepakat mereka mengikatkan diri;
2. Cakap untuk membuat suatu peikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal;
Keempat syarat tersebut harus terpenuhi dengan tidak adanya paksaan
seperti yang disebutkan dalam pasal 1321 KUHPer yaitu “tiada sepakat yang sah
apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan
paksaan (dwang) atau penipuan. Sehingga dalam hal ini jika perjanjian tersebut
ada paksaan dari pihak lain maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan.
28R Subekti dan R Tjitrosudibio, 1996, Kitab Undang-Undang HukumPerdata terjemahan Burgerlijk Wetboek, Cet 28, PT. Pradnya Paramita, Jakarta,hal 323.
29Abdul Kadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,Bandung, hal 34.
28
Linda A. Spagnola berpendapat mengenai perjanjian, bahwa “A contract
must be certain in its terms. It is generally accepted that there are four elements
that must be certain in a contract in order for there to be a valid offer : parties,
price, subject matter, and time for performance”30. (Terjemahannya: Persyaratan-
persyaratan sebuah kontrak harus pasti. Agar sebuah kontrak dapat dikatakan sah,
terdapat empat elemen yang pada umumnya diterima sebagai sesuatu yang harus
pasti dalam sebuah kontrak, yaitu: para pihak, harga, permasalahan dan waktu
pelaksanaannya).
Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi perjanjian itu adalah suatu
perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan anatara dua pihak, dimana satu
pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak
melakukan suatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut pelaksaaan janji
itu.31 Perjanjian juga dapat dipersamakan dengan kontrak. Menurut Catherine
Elliott dan Frances Quinn, bahwa:32
Normally a contract is formed when a effective acceptance has beencommunicated to be offeree. A communication will be treated as an offer if itindicates the terms on which the offeror is prepared to make a contract (suchas the price of the goods for sale), and gives a clear indication that theofferor intends to be bound by those terms if they are accepted by the offeree.Acceptance of an offer means unconditional agreement to all the terms of thatoffer.(Terjemahan bebasnya: Biasanya sebuah kontrak terbentuk ketika penerimaanefektif telah dikomunikasikan kepada pihak penerima penawaran.Komunikasi akan dianggap sebagai penawaran apabila penawaran tersebutmembuat persyaratan-persyaratan yang dibuat oleh pihak yang menawarkan
30 Linda A. Spagnola, 2008, Contacts For Paralegals (Legal Principlesand Practical Applications), McGraw-Hill Companies, United States, hal. 4
31Wirjono Prodjodikoro, 1985. Hukum Perdata Tentang PersetujuanTertentu. Cet.VIII, Sumur, Bandung. hal.11
32Catherine Elliott and Frances Quinn, 2005, Contract Law, PerasonEducation Limited, England, hal. 10
29
untuk membuat sebuah kontrak (misalnya, harga barang yang akan dijual),dan memberikan pernyataan yang jelas bahwa pihak yang menawarkanbermaksud untuk terikat dengan persyaratan-persyaratan tersebut apabilapersyaratan-persyaratan tersebut diterima oleh pihak penerima penawaran.Penerimaan suatu penawaran berarti kesepakatan tanpa syarat terhadap semuapersyaratan yang ditawarkan tersebut).
Terminologi kontrak adalah, pertama dengan kontrak akan dapat
menunjukkan hak dan kewajiban masing-masing pihak, kedua suatu saat nanti ada
perselisihan antara pihak kontrak ini dapat memutuskan yang mana pihak yang
menyalahi kontrak, sehingga perselisihan itu dapat dipecahkan. Menurut
R.Subekti, dalam bukunya:“The debtor has done something what is in
contravention of the contract, it is obvios that he is default. Also when in the
contract is fixed a time limit for carrying out the duty and the debtor has elapsed
this time limit, it is clear that the debtor is in default”.33(Terjemahan
bebasnya:Debitur yang telah melakukan tindakan yang berlawanan dengan
kontrak itu dinyatakan menyalahi kontrak. Begitu pula apabila dalam kontrak
ditentukan batas waktu pemenuhan kewajiban, akan tetapi debitur tidak
mengindahkan limit waktu tersebut, maka debitur dinyatakan bersalah).
Teori perjanjian menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah perjanjian
mengandung asas kekuatan mengikat. Para pihak tidak semata-mata hanya terikat
sebatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain
sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.34
33 R. Subekti, 1982. Law In Indonesia, Centre For Strategic AndInternational, And Studies. Third Edition, Jakarta. hal.55
34Mariam Darus Badrulzaman, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan,PT Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam DarusBadrulzaman I), hal.87-88.
30
Teori perjanjian ini kiranya dapat digunakan untuk mengkaji rumusan
masalah kedua yaitu kedudukan kreditur terhadap objek hak tangungan yang
sertipikatnya sedang proses balik nama yang akan dibebankan hak tanggungan.
Pihak Notaris/PPAT akan membuatkan akta berupa SKMHT agar tanah yang
masih dalam proses balik nama dapat dijadikan objek hak tanggungan.
1.5.4 Konsep Kepastian Hukum
Keberlakuan hukum dalam masyarakat harus memperhatikan kepastian
hukum didalamnya agar hukum tersebut diterima oleh masyarakat. Kepastian
hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten, dan
konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaaan
yang sifatnya subjektif. Kepastian hukum menurut Gustav Radbruch dalam Theo
Huijbers adalah:
Hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Olehsebab itu kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam negara, makahukum positif selalu harus ditaati, pun pula kalau isinya kurang adil, atau jugakurang sesuai dengan tujuan hukum. tetapi terdapat kekecualian, yaknibilamana pertentangan antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitubesar, sehingga tata hukum itu nampak tidak adil pada saat itu tata hukum ituboleh dilepaskan.35
Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan
dengan makna kepastian hukum, yaitu :36
1. bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalahperundang-undangan.
2. bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan padakenyataan.
35Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,Yogyakarta, hal 163.
36http://ngobrolinhukum.com/2013/02/05/memahami-kepastian-dalam-hukum/, diakses tanggal 01 April 2015.
31
3. bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehinggamenghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudahdilaksanakan.
4. hukum positif tidak boleh mudah diubah.
Menurut Peter Mahmud Marzuki mengenai konsep kepastian hukum
mengemukakan:
Kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan
yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang
boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena adanya aturan yang bersifat
umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya
berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya
konsistensi dalam putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang
telah diputus.37
Menurut L.JVan Apeldoorn, kepastian hukum mempunyai dua segi.
Pertama, mengenai soal dapat ditentukannya (bepaalbaarheid) hukum dalam
hal-hal uang konkret. Artinya pihak-pihak yang mencari keadilan ingin
mengetahui apakah yang menjadi hukumnya dalam hal yang khusus, sebelum
ia memulai perkara. Kedua, kepastian hukum berarti keamanan hukum.
Artinya, perlindungan bagi para pihak terhadap kesewenangan hakim.38
37Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, KencanaPrenada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki I)hal 158.
38Shidarta, 2006, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran KerangkaBerfikir PT Revika Aditama, Bandung, hal. 82-83.
32
Menurut Jan Michiel Otto, kepastian hukum yang sesungguhnya
memang lebih berdimensi yuridis. Untuk itu ia mendefinisikan kepastian
hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu:
a. Tersedia aturan-aturan yang jelas, konsisten dan mudah diperoleh
(accessible), diterbitkan oleh dan diakui negara;
b. Instansi-instansi pemerintahan menerapkan aturan-aturan hukum tersebut
secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
c. Warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturan-
aturan tersebut;
d. Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan
aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka
menyelesaikan sengketa hukum, dan;
e. Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.39
Lawrence M. Friedmen, berpendapat bahwa untuk mewujudkan kepastian
hukum terdapat unsure-unsur sistem hukum yang harus terpenuhi. Unsur-unsur
sistem hukum itu terdiri dari:40
a. Substansi hukum, yaitu tentang isi daripada ketentuan-ketentuan tertulis
dalam hukum itu sendiri
b. Aparatur hukum, adalah perangkat berupa sistem tata kerja dan pelaksana
daripada apa yang diatur dalam substansi hukum tadi
39Ibid, hal 8540H. Syafruddin Kalo, 2007, “Penegakan Hukum Yang Menjamin
Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan Masyarakat Suatu Sumbangan Pemikiran”,Makalahpada Pengukuhan Pengurus Tapak Indonesia Koordinator DaerahSumatera Utara, Sumatera Utara, Tanggal 27 April 2007, hal 2.
33
c. Budaya hukum, yaitu yang menjadi pelengkap untuk mendorong
terwujudnya kepastian hukum adalah bagimana budaya hukum masyarakat
atas ketentuan hukum dan aparatur hukumnya. Unsur budaya hukum ini
juga tidak kalah pentingnya dari kedua unsur yang lain karena tegaknya
peraturan-peraturan hukum akan sangat tergantung kepada budaya hukum
masyarakatnya.
Teori Kepastian Hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa
yang boleh atau tidak boleh dilakukan; dan kedua berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau
dilakukan oleh negara terhadap individu.41
Kepastian hukum berkaitan dengan supremasi hukum, karena hukumlah
yang berdaulat. Teori kedaulatan hukum menurut Krabbe42 : bahwa hukumlah
memiliki kedaulatan tertinggi. Bahwa hukum dalam konteks kredit adalah
Perjanjian Kredit yang telah dibuat oleh para pihak (Kreditur-Debitur), sehingga
para pihak terikat dan tunduk dalam suatu perjanjian yang telah mereka buat
Keterkaitan teori kepastian hukum dengan tesis ini dipergunakan untuk
memberikan kepastian hukum kepada kreditur selaku pemberi kredit dimana
jaminannya berupa tanah masih dalam proses balik nama sehingga kreditur
merasa yakin untuk memberikan kreditnya kepada debitur.
41Peter Mahmud Marzuki I, Op.cit, hal.13742Soehino, 1998.Ilmu Negara. Liberty, Yogyakarta. hal.156
34
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara mengkaji bahan-bahan yang berasal dari berbagai peraturan
perundang-undangan dan bahan lain dari berbagai literatur. Dengan kata lain
penelitian ini meneliti bahan pustaka atau data sekunder.43 Penelitian hukum yang
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma/asas hukum dengan praktek;
- Tidak menggunakan hipotesis
- Menggunakan landasan teori
- Menggunakan bahan hukum yang terdiri atas bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder.44
Jenis penelitian ini digunakan dalam penelitian ini karena berangkat dari
adanya kekaburan norma mengenai pengaturan berapa kali SKMHT dapat
diperbaharui oleh pihak Notaris/PPAT terkait dengan ketentuan pasal 15 ayat (3)
UUHT yang menyatakan bahwa SKHMT mengenai hak atas tanah yang sudah
terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu)
bulan sesudah diberikan namun dalam jangka waktu 1 (satu) bulan pihak BPN
tidak dapat melakukan proses balik nama maka notaris akan membuat SKMHT
yang baru.
43Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif(Suatu Tinjauan Singkat), PT. Rajagrafindo Persada.hal.13.
44Ibid. hal 15.
35
1.6.2 Jenis Pendekatan
Pendekatan penelitian adalah metode atau cara mengadakan penelitian45.
Dalam penelitian ini dipergunakan 3 pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach)
Dalam pendekatan Perundang-undangan (The Statue Approach) dilakukan
penelitian sinkrunisasi perundang-undangan baik vertical maupun horizontal.
Morris L. Cohen and Kent C. Olson mengatakan bahwa “ legal research is an
essential component of legal practise. It is the process of finding the law that
governs an activity an mateials that explain or analyze that law.”46 Dalam
penulisan tesis ini pendekatan ini digunakan untuk mensinkrunkan peraturan
perundang-undangan yang akan digunakan dalam hal pemberian hak
tanggungan yang objeknya masih sedang dalam proses balik nama.
2. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach)
Konsep-konsep dalam ilmu hukum dapat dijadikan titik tolak atau pendekatan
bagi analisis penelitian hukum, karena akan banyak muncul konsep bagi
suatu fakta hukum. Pendekatan konsep ini dimana konsep-konsep hukum
dapat membantu menjawab masalah yang muncul baik mengenai pengaturan
pengalihan hak milik atas tanah sebagai objek hak tanggungan dan
kedudukan kreditur terhadap objek hak tanggungan yang sedang dalam
proses balik nama.
45Suharsini Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian : Suatu PendekatanPraktek, Rieneka Cipta,Jakarta, hal. 23
46Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 2000, Legal Research, West Group,T. Paul Minn. Printed in the United States of America, hal 1
36
3. Pendekatan Analitis (Analytical Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan mencari makna pada istilah-istilah hukum
yang terdapat didalam perundang-undangan dengan begitu peneliti
memperoleh pengertian atau makna baru istilah-istilah hukum dan menguji
penerapannya secara praktis dengan menganalisis putusan-putusan hukum.
Dalam penulisan tesis ini pendekatan ini digunakan untuk mengetahui
maksud dari pasal 15 Ayat 3 yang menyatakan SKMHT mengenai hak atas
tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan APHT selambat-lambatnya 1
(satu) bulan sesudah diberikan. Mengenai apabila jangka waktunya telah
habis tidak dijelaskan lebih lanjut, disini penulis mencari tahu apabila jangka
waktu 1 (satu) bulan ini habis SKMHT tersebut berapa kali dapat
diperbaharui oleh Notaris/PPAT
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian hukum normatif tidak dikenal adanya data, sebab dalam
penelitian hukum khususnya normatif sumber penelitian hukum diperoleh dari
kepustakaan bukan dari lapangan, untuk itu istilah yang dikenal adalah bahan
hukum47. Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan
hukum yang bersumber dari penelitian Kepustakaan (Library Research),
bertujuan untuk mencari data sekunder yaitu dengan menggali data dari bahan-
bahan bacaan berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, maupun
47 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana PrenadaMedia Group, Jakarta, (selanjutnya disingkat Peter Mahmud Marzuki II) hal. 41
37
pendapat para sarjana yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. Data
sekunder terdiri dari48 :
a. Bahan Hukum Primer, yaitu Bahan hukum primer ini diperoleh dari sumber
yang mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan, antara lain :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer);
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok AgrariaUndang-Undang No 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan Dasar Pokok–Pokok Agraria (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104);
3. Undang-Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42);
4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182);
5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117);
6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3);
48Amarudin dan Zainal Asikin,2004, Pengantar Metodologi PenelitianHukum, Raja Grafindo Persada, hal. 31.
38
7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 59);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 52);
9. Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 24 Tahun
1997 Tentang Pendaftaran Tanah; dan
10. Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM Nomor M-01.HT.03.01 Tahun
2003 Tentang Kenotarisan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal-hal lain yang berkaitan
dengan isi dari sumber bahan hukum primer serta implementasinya dan dapat
membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang dapat berupa :
- Buku-buku literatur;
- Jurnal hukum dan Majalah Hukum;
- Makalah, hasil-hasil seminar, majalah dan Koran
- Tesis, artikel ilmiah dan disertasi.49
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan-bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti : Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, Ensiklopedia.
49Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit. hal. 33
39
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan data berupa studi kepustakaan(library research),
yaitu memperoleh bahan hukum dengan mempelajari perundang-undangan dan
buku-buku atau literatur yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Dengan
melakukan kegiatan membaca secara kritis permasalahan dan isu hukum yang
akan diteliti dan mengumpulkan semua informasi yang ada kaitannya dengan
permasalahan yang diteliti, kemudian dipilih informasi yang relevan dan esensial.
1.6.5 Teknik Analisa Bahan Hukum
Metode analisa bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
deskripsi, teknik arumentasi dan teknik sistematisasi. Teknik deskripsi yakni
teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaanya. Deskripsi yang
memaparkan situasi atau peristiwa, dalam teknik ini tidak mencari atau
menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi.50
Teknik argumentasi adalah teknik yang tidak dapat dilepaskan dari teknik
evaluasi yang artinya penilaian harus didasrkan pada alasan-alasan yang bersifat
penalaran hukum. Dalam pembahasan masalah hukum makin banyak argumen
makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum.
Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan konsep
hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat
maupun antara yang tidak sederajat.
50M. Hariwijaya, 2007, Metodologi Dan Teknik Penulisan Skripsi, TesisDan Disertasi,Azzagrafika, Yogyakarta, hal.48.
40
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAK MILIK ATAS TANAH DAN HAK
TANGGUNGAN
2.1 Tinjauan Umum Tentang Hak Milik
2.1.1 Pengertian Hak Milik
Ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa “Hak milik
adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas
tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6”. Kemudian pada ayat (2)
disebutkan “Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.” Pada
paragraf sebelumnya tertulis bahwa hak milik adalah hak turun-temurun yang
maksudnya adalah hak milik dapat diwariskan oleh pemegang hak kepada ahli
warisnya. Selanjutnya disebutkan bahwa hak milik adalah hak terkuat dan
terpenuh, maksud dari kata-kata tersebut tersebut mununjukkan bahwa diantara
hak-hak atas tanah, hak milik adalah hak yang paling kuat dan paling penuh dan
bukan berarti hak tersebut bersifat mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu
gugat. Hak milik sebagai hak yang terkuat dibandingkan dengan hak atas tanah
lainnya berarti hak milik tidak mudah dihapus dan lebih mudah dipertahankan
terdap gangguan dari pihak lain51.
Arti kata tepenuh pada pengertian Hak Milik diatas berarti hak milik
memberikan wewenang yang paling luas dibandingkan dengan hak atas tanah
lainnya, hak milik dapat dapat menjadi induk dari hak atas tanah lainnya,
51Adrian Sutedi, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya,Jakarta, Sinar Grafika, (selanjutnya disebut Adrian Sutedi II), hal. 60
41
misalnya pemegang hak milik dapat menyewakannya kepada pihak lain.
Wewenang seorang pemegang hak milik tidak terbatas selama tidak dibatasi oleh
penguasa. Kata-kata terkuat dan terpenuh itu bemaksud untuk membedakannya
dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak pakai dan hak-hak lainnya,
yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki
orang, hak miliklah yang “ter” (paling kuat dan penuh). Begitu pentingnya hak
milik, pemerintah memberikan perhatian yang sangat serius terhadap persoalan
hak milik atas tanah52.
Hak milik atas tanah di dalam UUPA termasuk ke dalam konsep hak atas
tanah yang bersifat primer. Hak atas tanah yang bersifat primer ini maksudnya
adalah hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh
seseorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat
dipindahtangankan kepada orang lainatau ahli warisnya53. Selain Hak Milik atas
Tanah yang termasuk ke dalam hak atas tanah yang bersifat primer ini adalah Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai.
Hak Milik adalah hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada
pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain diatas bidang tanah hak
milik yang dimilikinya tersebut (dapat berupa hak guna bangunan, hak pakai,
dengan pengecualian hak guna usaha), yang hampir sama dengan kewenangan
negara (sebagai penguasa) untuk memberikan hak atas tanah kepada warganya.
Hak ini meskipun tidak mutlak sama, tetapi dapat dikatakan mirip dengan
52 A.P. Parlindungan I, Op.cit. hal. 12453 Supriadi, 2012, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya
disebut Supriadi I), hal. 64
42
eigendom, atas tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
memberikan kewenangan yang paling luas pada pemiliknya, dengan ketentuan
harus memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPA, yang menyatakan bahwa semua
hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
2.1.2 Subyek Hak Milik
Hak Milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia
saja, dan tidak dapat dimiliki oleh warga negara asing selain itu Hak Milik atas
Tanah juga dapata diberikan kepada badan-badan hukum tertentu yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan
Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Pasal 1 Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tersebut menyebutkan badan badan hukum
tersebut antara lain:
1. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara)2. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan
atas UU No. 79 Tahun 19583. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria,
setelah mendengar Menteri Agama4. Badan-badan Sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria, setelah
mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial.
Hak milik atas tanah tidak dapat dimiliki oleh warga negara asing ataupun
oleh orang yang memiliki kewarganegaraan ganda (warga negara Indonesia dan
juga warga negara asing). Menurut Pasal 21 ayat (3) UUPA warga negara asing
yang memperoleh hak milik karena pewarisan atau pencampuran harta karena
perkawinan, demikian juga bagi warga negara Indonesia yang mempunyai hak
milik dan kemudian kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak
43
tersebut dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau
hilangnya kewarganeraannya itu.
Ketentuan mengenai pemilikan hak atas tanah terdapat gambaran bahwa
hak milik atas tanah merupakan persoalan yang perlu mendapatkan perlindungan
yang sangat ketat. Perlindungan ketat dimaksudkan agar pemberian status hak
kepada peorangan harus dilakukan dengan seleksi ketat, agar betul-beul terjadi
pemerataan atas status hak tersebut54.
2.1.3 Sifat dan Ciri Hak Milik
Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya Hak Milik atas
Tanah memiliki sifat terkuat dan terpenuh yang membedakannya dengan Hak
Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak-hak lainnya. Hak milik itu
hak terkuat artinya bahwa hak milik itu tidak mudah hapus dan mudah
dipertahankan terhadap gangguan dari pihak lain. Terpenuh artinya hak milik
dapat memberikan wewenangyang lebih luas dibandingkan hak-hak lainnya. Ini
berarti hak milik dapat menjadi induk dari hak-hak lainnya, seperti misalnya
pemegang hak milik dapat menyewakannya kepada pihak lain.Sedangkan ciri-ciri
hak milik, antara lain:
1. Wajib didaftarkan
2. Dapat beralih kepada ahli waris
3. Dapat dialihkan
4. Dapat diwakafkan
5. Turun Termurun
54Ibid., hal.66-67
44
6. Dapat dilepaskan
7. Dapat dijadikan induk hak lain
8. Dapat dijadikan jaminan utang dengan hak tanggungan
2.1.4 Terjadinya Hak Milik
Terjadinya hak milik atas tanah dpat dengan berbagai macam peristiwa.
Terjadinya hak milik atas tanah diatur di dalam Pasal 22 UUPA yang isinya
sebagai berikut :
1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, hak
milik terjadi karena :
a. Penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah
b. Ketentuan Undang-Undang.
Menurut pandangan Edy Ruchyat dalam bukunya yang berjudul Politik
Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, Hak milik dapat terjadi karena55:
1. Menurut Hukum Adat
Menurut Pasal 22 UUPA, hak milik menurut hukum adat harus diatur
dengan peraturan pemerintah supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan
kepentingan umum dan Negara. Terjadinya hak atas tanah menurut hukum adat
lazimnya bersumber pada pembukuan hutan yang merupakan bagian tanah ulayat
suatu masyarakat hukum adat.
55Edy Ruchyat, Politik Pertanahan Nasional Sampai orde Reformasi,Alumni, Bandung, hal.47-51
45
2. Penetapan Pemerintah
Hak milik yang terjadi karena penetapan pemerintah diberikan oleh
instansi yang berwenang menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan
peraturan pemerintah. Tanah yang diberikan dengan hak milik itupun dapat
diberikan sebagai perubahan daripada yang sudah dipunyai oleh pemohon,
misalnya hak guna bangunan, hak guna usaha, atau hak pakai, hak milik ini
merupakan pemberian hak baru.
3. Pemberian Hak Milik Atas Negara
Hak milik tersebut diberikan atas permohonan yang bersangkutan.
Permohonan untuk mendapatkan hak milik itu diajukan secara tertulis kepada
pejabat yang berwenang dengan perantara Bupati Walikota kepala Daerah ke
kepala Kantor Agraria Daerah yang bersangkutan. Oleh instansi yang berwenang
hak milik yang dimohon itu diberikan dengan menerbitkan suatu surat keputusan
pemberian hak milik.
4. Pemberian Hak Milik Perubahan Hak
Pihak yang mempunyai tanah dengan hak guna usaha, hak guna bangunan
atau hak pakai, jika menghendaki dan memenuhi syarat-syarat dapat menunjukkan
permintaan kepada instansi yang berwenang, agar haknya itu diubah menjadi hak
milik, pemohon lebih dahulu harus melepaskan haknya hingga tanahnya menjadi
tanah Negara sesudah itu dimohon (kembali) dengan hak milik.
2.1.5 Pengalihan, Pembebanan dan Hapusnya Hak Milik
Pengalihan hak atas tanah adalah jual beli, tukar menukar, perjanjian
pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang
46
disepakati dengan pihak lain selain pemerintah guna pelaksanaan pembangunan
termasuk pembangunan untuk kepentingan umum. Setiap pengalihan hak milik
atas tanah, yang dilakukan dalam bentuk jual beli, tukar menukar atau hibah harus
dibuat di hadapan PPAT.
Jual beli, tukar menukar atau hibah ini dalam konsepsi hukum adat adalah
suatu perbuatan hukum yang bersifat terang dan tunai. Dengan terang
dimaksudkan bahwa perbuatan hukum tersebut harus dibuat di hadapan pejabat
yang berwenang yang menyaksikan dilaksanakan atau dibuatnya perbuatan
hukum tersebut. Sedangkan dengan tunai diartikan bahwa dengan selesainya
perbuatan hukum dihadapan PPAT berarti pula selesainya tindakan hukum yang
dilakukan dengan segala akibat hukumnya. Ini berarti perbuatan hukum tersebut
tidak dapat dibatalkan kembali, kecuali terdapat cacat cela secara substansi
mengenai hak milik atas tanah yang dialihkan tersebut, atau cacat mengenai
kecakapan dan kewenangan bertindak atas bidang tanah tersebut.
PPAT mempunyai kewajiban agar peralihan hak milik atas tanah, dapat
terselenggara secara benar. PPAT yang akan membuat peralihan hak atas tanah
mempunyai tugas memastikan kebenaran mengenai hak milik atas tanah tersebut,
memastikan kecakapan dan kewenangan bertindak dari pihak-pihak yang akan
mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas tanah tersebut. Sehubungan
dengan obyek hak milik atas tanah yang dialihkan, PPAT harus memeriksa
keabsahan dari dokumen-dokumen:
1. mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah
susun, sertipikat asli hak yang bersangkutan. Dalam hal sertipikat tidak
47
diserahkan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar
yang ada di Kantor Pertanahan; atau
2. mengenai bidang tanah yang belum terdaftar:
surat bukti yang membuktikan hak atas tanah yang lama yang belum
dikonversi atau surat keterangan Kepala Desa/ Kelurahan yang
menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut
dengan itikad baik, dan tidak pernah ada permasalahan yang timbul
sehubungan dengan penguasaan tanahnya tersebut; dan
surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan
belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak
di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang
hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/ Kelurahan;
dan dalam hal surat tersebut tidak dapat diserahkan maka PPAT wajib
menolak membuat akta pemindahan hak atas tanah tersebut termasuk hak
milik atas tanah yang akan dialihkan tersebut.
Pada Pasal 25 UUPA menyebutkan bahwa “Hak milik dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan”. Hak Tanggungan berdasarkan
Pasal 1 angka 1 UUHT adalah Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda
yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah
hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
48
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur
lain”. Pembebanan Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan
Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di
dalam perjanjian dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian utang-
piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang
tersebut. Pembebanan hak tanggungan ini akan lebih rinci dijelaskan pada sub bab
berikutnya mengenai tinjauan umum hak tanggungan.
Hak milik memiliki keunikan tanpa batas waktu, maka dari itu hak milik
dapat diwariskan kepada keluarga yang ditinggalkan. Namun hak milik itu dapat
juga terhapus, dalam Pasal 27 UUPA dinyatakan bahwa hak milik hapus apabila:
a. Tanahnya jatuh kepada negara:
1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18.Menurut ketentuan Pasal 18
UUPA bahwa untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa
dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah
dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut
cara yang diatur dengan undang-undang.
2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pihak pemiliknya.Hapusnya
hak milik atas tanah karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya
ini berhubungan dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993
Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum, yang dilaksanakan lebih lanjut dalam Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor
49
55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, penyerahan sukarela ini
menurut Kepres No. 55/1993 sengaja dibuat untuk kepentingan negara,
yang dalam hal ini dilaksanakan oleh pemerintah.
3. Karena ditelantarkan.Pengaturan mengenai tanah yang terlantar diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban
dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Pasal 3 dan 4 Peraturan Pemerintah
No. 36 Tahun 1998 mengatur mengenai kriteria tanah terlantar yaitu;
(i) tanah yang tidak dimanfaatkan dan/atau dipelihara dengan baik.
(ii) tanah yang tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan, sifat atau
tujuan dari pemberian haknya tersebut.
4. Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2).Pasal 21 ayat
(3) UUPA mengatur bahwa orang asing yang memperoleh hak milik
karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta perkawinan,
demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan
setelah berlakunya UUPA ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib
melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika
sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan,
maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada
negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya
tetap berlangsung.
50
Pasal 26 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa setiap jual-beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada
orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan
Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan
hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah yaitu badan-badan hukum yang
dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya, adalah batal karena hukum dan
tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang
membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima
oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
b. Tanahnya musnah adalah tanah yang sudah berubah dari bentuk asalnya
karena peristiwa alam dan tidak dapat diidentifikasi lagi sehingga tidak dapat
difungsikan, digunakan, dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Karena
keadaan yang demikian maka hak milik dapat terhapus.
Sebagaimana pemberian, peralihan dan pembebanan Hak Milik yang
wajib di daftar dalam buku tanah, pendaftaran hapusnya hak kepemilikan atas
tanah juga wajib untuk dilakukan. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
2.2 Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan
2.2.1 Pengertian Hak Tanggungan
UUPA telah memberikan indikasi bahwa perlu dibentuk sebuah undang-
undang untuk mengatur masalah Hak Tanggungan. Hal tersebut terlihat pada
Pasal 51 UUPA yang isinya “Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak
51
milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39
diatur dengan undang-undang.” Namun pembentukan undang-undang yang
khusus mengatur masalah hak tanggungan baru diresmikan 34 tahun kemudian
dengan diundangkannya UUHT selama 34 tahun tersebut maka dasar pengaturan
masalah hak tanggungan digunakan Hypotheek (selanjutnya disebut hipotek)
sebagaimana yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan Credietverband yang diatur dalam
Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190.
Dengan diundangkannya UUHT maka diharapkan dapat menciptakan
kepastian hukum di dalam lembaga jaminan yang berkaitan dengan tanah,
sehingga terdapat suatu lembaga jaminan yang kuat serta pasti pelaksanaannya.
Pengertian Hak Tanggungan pada Pasal 1 UUHT, yaitu hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut
atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah
itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.
Dari definisi tersebut dapat ditarik unsur pokok dari hak tanggungan,
sebagai berikut.
(1) Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang.
(2) Obyek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
(3) Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja,
tetapi dapat pula dibebankan beikut benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu.
52
(4) Utang yang dijamin adalah suatu utang tertentu.
(5) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur-kreditur lain.56
Penjelasan umum angka 3 UUHT disebutkan bahwa hak tanggungan sebagai
lembaga jaminan hak mempunyai 4 sifat khusus. Sifat-sifat khusus tersebut antara
lain:
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada
pemegangnya. Apabila debitur cidera janji, kreditur pemegang hak
tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang
dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang
lain". Hak mendahulu dimaksudkan adalah bahwa kreditur pemegang hak
tanggungan didahulukan dalam mengambil pelunasan atas hasil penjualan
eksekusi obyek HakTanggungan.57
b. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun obyek
itu berada. Dalam Pasal 7 UUHT disebutkan bahwa “Hak Tanggungan
tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada”.
Kemudian dijelaskan pada bagian penjelasan undang-undang tersebut
yaitu “sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan
pemegang Hak Tanggungan. Walaupun obyek Hak Tanggungan sudah
berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dapat
56Supriadi I, Op.Cit, hal.17357J. Satrio, 1996, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi, Citra Aditia
Bakti, Bandung, hal. 97
53
menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitur cidera janji”. Hak
itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam tangan siapapun
juga) barang itu berada. Hak itu terus saja mengikuti orang yang
mempunyainya.58
c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.Apabila debitur cidera janji
menurut Pasal 6 UUHT, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai
hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan tersebut. Sedangkan Pasal 14 UUHT menegaskan bahwa
Sertipikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dan berlaku sebagai pengganti grosse akta hypotheek sepanjang mengenai
hak atas tanah.59
2.2.2 Subyek Hak Tanggungan
Pasal 8 ayat (1) UUHT disebutkan bahwa pemberi hak tanggungan adalah
orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan.
Kemudian pada Pasal 8 ayat (2) UUHT bahwa kewenangan untuk melakukan
58Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata : Hukum Benda,Liberty, Yogyakarta, hal. 25
59Ibid. hal. 52-53
54
perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak
Tanggungan dilakukan. Pada bagian penjelasan Undang-Undang tesebut yaitu
karena lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarnya Hak Tanggungan
tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek
Hak Tanggungan diharuskan ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat
pembuatan buku tanah Hak Tanggungan. Untuk itu harus dibuktikan keabsahan
kewenangan tersebut pada saat didaftarnya Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Pasal 9 UUHT disebutkan pemegang Hak Tanggungan adalah orang
perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang
berpiutang.Dengan demikian yang dapat menjadi pemegang Hak Tanggungan
adalah siapapun juga yang berwenang melakukan perbuatan perdata untuk
memberikan utang, yaitu orang perseorangan warga negara Indonesia maupun
orang asing.60 Sebagai pihak yang akan menerima Hak Tanggungan, pemegang
Hak Tanggungan haruslah memperhatikan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UUHT yang
menyebutkan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap
objek Hak Tanggungan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 8 ayat (1) UUHT,
harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat hak tanggungan tersebut
didaftarkan, karena Hak Tanggungan baru lahir pada saat Hak Tanggungan
tersebut didaftarkan.
60ST. Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan: Asas-asas, Ketentuanketentuan Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan, Alumni,Bandung, hal 79.
55
2.2.3 Objek Hak Tanggungan
Obyek Hak Tanggungan dijelaskan pada Bab II UUPA mengenai Obyek
Hak Tanggungan yang terbagi dari Pasal 4 hingga Pasal 7. Pada Pasal 4 ayat (1)
UUHT disebutkan bahwa hanya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan yang dapat dibebani Hak Tanggungan. Namun pada Ayat (2) Hak
Pakai yang wajib didaftarkan menurut ketentuan yang berlaku juga dapat dibebani
Hak Tanggungan. Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas tanah Hak
milik ini diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah. Salah satu Peraturan
Pemerintah yang mengaturnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Dan Hak Pakai Atas Tanah.
Hak Tanggungan juga dapat dibebankan pada hak atas tanah beserta
bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah yang dibebankan Hak Tanggungan seperti yang
tertulis pada Pasal 4 ayat (4) dan ayat (5) UUHT.
Dikemukakan dalam Penjelasan Pasal 4 UUHT, terdapat dua unsur mutlak
dari hak atas tanah yang dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan yaitu:
a. Hak tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku wajib didaftar
dalam daftar umum, dalam hal ini pada Kantor Pertanahan. Unsur
ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan (preferent) yang
diberikan kepada kreditur pemegang hak tanggungan terhadap
kreditur lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai hak
tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertipikat hak atas tanah
56
yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya (asas
publisitas), dan
b. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan,
sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasi untuk
membayar utang yang dijamin pelunasannya.
2.2.4 Asas-Asas Hak Tanggungan
Asas-asas hak tanggungan digunakan untuk mengetahui perbedaan hak
tanggungan yang telah ada sebelum terbitnya UUHT dan setelah terbitnya UUHT,
termasuk asas hipotek yang ada sebelumnya. Untuk lebih jelasnya, asas-asas itu
akan diuraikan sebagai berikut.61
a. Hak Tanggungan memberikan kedudukan hak yang diutamakan.
Kalimat “kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu kepada
kreditur lain” dapat ditemui dalam penjelasan umum UUHT yang menyatakan
Bahwa jika debitur cidera janji, kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak
menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak
mendahulu daripada kreditur-kreditur lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah
barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut
ketentuan hukum yang berlaku. Jadi hak mendahulukan dimaksudkan adalah
bahwa kreditur pemegang Hak Tanggungan didahulukan dalam mengambil
pelunasan atas hasil penjualan eksekusi obyek Hak Tanggungan. Kedudukan
61Supriadi.Op. Cit. hal. 174
57
diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-
piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku .
b. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi.
Sesuai ketentuan dalam Pasal 2 UUHT, dinyatakan bahwa Hak Tanggungan
mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta
Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Apabila hak
tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam
Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang
yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan
nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak
Tanggungan, yang akan dibebankan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga
kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa objek Hak Tanggungan
untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi. Dalam penjelasan Pasal 2 UUHT
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan sifat tidak dapat dibagi-bagi dari
Hak Tanggungan adalah bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh objek
Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya, dilunasinya sebagian dari utang
yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari
beban Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi.
c. Hak Tanggungan hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada.
Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah
dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hak atas tanah yang
baru akan dipunyai oleh seseorang di kemudian hari tidak dapat dijaminkan
dengan Hak Tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Tidaklah mungkin untuk
58
membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada
di kemudian hari.62
d. Hak Tanggungan dapat dibebankan selain atas tanahnya juga benda-benda
yang berkaitan dengan tanah tersebut.
Ketentuan Pasal 4 ayat (4) UUHT dinyatakan bahwa Hak Tanggungan
dapat dibebankan bukan saja pada tanahnya, tetapi juga segala benda yang
mempunyai keterkaitan dengan tanah tersebut. Benda-benda yang berkaitan
dengan tanah tersebut dapat berupa bangunan,tanaman yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut.
e. Hak Tanggungan dapat dibebankan juga atas benda-benda yang berkaitan
dengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari.
Pasal 4 ayat (4) UUHT memungkinkan Hak Tanggungan dapat
dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut,
sekalipun benda-benda tersebut belum ada, tetapi baru akan ada di kemudian hari.
Istilah “yang baru akan ada” ialah benda-benda yang pada saat Hak Tanggungan
dibebankan belum ada sebagai bagian dari tanah (hak atas tanah) yang dibebani
Hak Tanggungan tersebut. Misalnya karena benda-benda tersebut baru ditanam
(untuk tanaman) atau baru dibangun (untuk bangunan dan hasil karya) kemudian
setelah Hak Tanggungan itu dibebankan atas tanah (hak atas tanah) tersebut.63
f. Perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian Accessoir.
Penjelasan umum angka 8 UUHT yang menyatakan bahwa oleh karena
Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu
62 ST. Remy Sjahdeini, Op.cit,hal. 2563Ibid. hal. 27
59
piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau
perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya
piutang yang dijamin pelunasannya”. Selain itu hal tersebut diatur dalam Pasal 10
ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UUHT. Dalam Pasal 10 ayat (1) dinyatakan bahwa
perjanjian untuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak terpisahkan
dari perjanjian Utang-piutang yang bersangkutan, sedangkan Pasal 18 ayat (1)
huruf a UUHT menyatakan bahwa Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang
yang dijamin dengan Hak Tanggungan
g. Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk utang yang akan ada.
Beberapa asas Hak Tanggungan mempunyai suatu keistimewaan yaitu
diperbolehkannya menjaminkan utang yang akan ada. Hal ini sesuai ketentuan
dalam Pasal 3 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa
“utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupautang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu ataujumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapatditentukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yangmenimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan”.
Seperti yang dikemukakan dalam penjelasan Pasal 3 Ayat (1) UUHT,
dapat dijadikannya Hak Tanggungan untuk menjamin utang yang baru akan ada
dikemudian hari adalah untuk menampung kebutuhan dunia perbankan berkenaan
dengan timbulnya utang dari nasabah bank sebagai akibat dilakukannya pencairan
atas suatu garansi bank. Juga untuk menampung timbulnya utang sebagai akibat
pembebanan bunga atas pinjaman pokok dan pembebanan ongkos-ongkos lain
yang jumlahnya baru dapat ditentukan kemudian.64
64Ibid. hal. 31
60
h. Hak Tanggungan Dapat Menjamin Lebih dari Satu Utang.
Sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUHT dinyatakan bahwa “Hak
Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan
hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan
hukum”. Perjanjian dengan hanya berupa satu Hak Tanggungan bagi beberapa
kreditur berdasarkan beberapa perjanjian kredit bilateral antara debitur yangsama
dengan masing-masing kreditur itu, hanyalah mungkin dilakukan apabila
sebelumnya telah disepakati oleh semua kreditur. Kesemua kreditur bersama-
sama harus bersepakat bahwa terhadap kredit yang akan diberikan oleh masing-
masing kreditur (bank) kepada satu debitur yang sama itu, jaminannya adalah
berupa satu Hak Tanggungan saja bagi meraka bersama-sama kredit dari semua
kreditur diberikan secara serentak. Bila tidak demikian halnya,para kreditur itu
akan menjadi pemegang Hak Tanggungan pertama, kedua,ketiga, dan seterusnya.
Masing-masing kreditur past akan saling mendahulu untuk memperoleh hak yang
diutamakan terhadap kreditur yang lain.65
i. Hak Tanggungan mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek hak
tanggungan itu berada.
Pasal 7 UUHT menyatakan bahwa “Hak Tanggungan tetap mengikuti
objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada.” Hak tanggungan tidak
akan berakhir sekalipun objek Hak Tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh
sebab apa pun juga. Berdasarkan asas ini, pemegang Hak Tanggungan akan selalu
dapat melaksanakan haknya dalam tangan siapa pun benda itu berpindah.
65Ibid. hal. 37
61
Ketentuan Pasal 7 UUHT ini merupakan materialisasi dari asas yang disebut droit
de suite atau zaakgevolg asas ini juga diambil dari hipotek yang diatur dalam
KUHPerdata Pasal 1163 ayat (2) dan Pasal 1198 KUH Perdata.66
j. Diatas Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh peradilan.
Seharusnya menurut hukum terhadap Hak Tanggungan tidak dapat
diletakkan sita. Alasannya adalah karena tujuan dari hak jaminan pada umumnya
dan khususnya Hak Tanggungan itu sendiri. Tujuan dari Hak Tanggungan adalah
untuk memberikan jaminan yang kuat bagi kreditur yang menjadi pemegang Hak
Tanggungan itu untuk didahulukan dari kreditur-kreditur lain. Bila terhadap Hak
Tanggungan itu dimungkinkan sita oleh pengadilan, berarti pengadilan
mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dan kreditur
pemegang Hak Tanggungan.
k. Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu.
Asas ini diatur dalam Pasal 8 UUHT dan juga di penjelasan Pasal 8
tersebut. Di dalam akta pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan uraian
jelas mengenai objek Hak Tanggungan, tidaklah mungkin untuk memberikan
uraian yang jelas sebagaimana yang dimaksud, apabila objek Hak Tanggungan
belum ada dan belum diketahui ciri-cirinya. Kata-kata “uraian yang jelas
mengenai objek Hak Tanggungan ” dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e UUHT
menunjukkan bahwa objek Hak Tanggungan harus secara spesifik dapat
ditunjukkan dalam APHT yang bersangkutan.67
66Ibid. hal. 3867Ibid. hal. 42
62
l. Hak Tanggungan wajib didaftarkan.
Ketentuan Pasal 13 UUHT dinyatakan bahwa Pemberian Hak Tanggungan
wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan, PPAT wajib
mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah
lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Pendaftaran HakTanggungan
dilakukan oleh kantor Pertanahan dengan membuatkan buku-tanah Hak
Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi
objek Hak Tanggungan Berta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas
tanah yang bersangkutan.
Tidak adil bagi pihak ketiga untuk terikat dengan pembebanan suatu Hak
Tanggungan atas suatu objek Hak Tanggungan bila pihak ketiga tidak
dimungkinkan untuk mengetahui tentang pembebanan Hak Tanggungan itu.
Hanya dengan cara pencatatan pendaftaran yang terbuka bagi umum yang
memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak
Tanggungan atas suatu hak atas tanah.
m. Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji-janji tertentu.
Janji-janji yang disebutkan dalam Pasal 11 Ayat (2) UUHT bersifat
fakultatif dan limitatif. Bersifat fakultatif karena janji-janji itu boleh dicantumkan
atau tidak dicantumkan, balk seluruhnya maupun sebagiannya, Bersifat tidak
limitatif karena dapat pula diperjanjikan janji-janji lain, selain dari janji-janji yang
telah disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT.
63
n. Hak Tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh
pemegang hak tanggungan apabila cedera janji.
Asas Hak Tanggungan ini beralasan dari asas yang tercantum dalam
Hipotek sesuai ketentuan Pasal 1178 KUHPer, yang janji demikian tersebut
disebut Vervalbeding. Pengaturan hal tersebut terdapat pada Pasal 12 UUHT yaitu
Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk
memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitur cedera janji, batal demi hukum.
Larangan pencantuman janji yang demikian, dimaksudkan untuk melindungi
debitur, agar dalam kedudukan yang lemah dalam menghadap kreditur (bank)
karena dalam keadaan sangat membutuhkan utang (kredit) terpaksa menerima
janji dengan persyaratan yang berat dan merugikannya.68
o. Pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan mudah dan pasti.
Dalam ketentuan Pasal 6 UUHT dinyatakan bahwa apabila debitur cedera
janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek
Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta
mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Dalam penjelasan
Pasal 6 tersebut diuraikan sebagai berikut hak untuk menjual objek Hak
Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari
kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau
pemegang HakTanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan
oleh pemegang Hak Tanggungan bahwa apabila debitur cedera janji, pemegang
Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui
68Ibid, hal. 45-46
64
pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak
Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil
penjualan itu lebih dahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Sisa hasil
penjualan tetap menjadi hak pemegang Hak Tanggungan.
Sertipikat Hak Tanggungan yang merupakan tanda bakti adanya Hak
Tanggungan yang diberikan oleh Kantor Pertanahan dan yang memuat irah-irah
dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA”, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlalu sebagai
pengganti grosse acte Hipotek sepanjang mengenai tanah.69
2.2.5 Lahirnya Hak Tanggungan
Lahirnya Hak Tanggungan tidak terlepas dari proses pembebanan Hak
Tanggungan itu sendiri. Pada angka 7 penjelasan umum UUHT disebutkan bahwa
proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan,
yaitu:
a. tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak
Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk selanjutnya disebut
PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin;
b. tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat
lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan.
Pada huruf b angka 7 penjelasan umum UUHT tersebut menyatakan
bahwa lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat tahap pendaftarannya oleh
69Ibid, hal. 47
65
Kantor Pertanahan, jadi setelah dibuat perjanjian utang piutang maka PPAT
membuatkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang kemudian didaftarkan di
Kantor Pertanahan dan pada saat pendaftaran tersebut maka Hak Tanggungan
sudah dianggap telah lahir.
Hal ini dipertegas lagi pada penjelasan Pasal 8 ayat (2) UUHT yang
menyebutkan bahwaKarena lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat
didaftarnya Hak Tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan diharuskan ada pada pemberi
Hak Tanggungan pada saat pembuatan buku tanah Hak Tanggungan. Untuk itu
harus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarnya Hak
Tanggungan yang bersangkutan.
Lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarnya Hak Tanggungan.
Demikian pula dengan penjelasan Pasal 13 ayat (1) UUHT yang menyebutkan
bahwa salah satu asas Hak Tanggungan adalah asas publisitas. Oleh karena itu
didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk
lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap
pihak ketiga.Pada penjelasan Pasal 13 ayat (1) UUHT ini lebih menekankan
bahwa syarat mutlak dari lahirnya Hak Tanggungan itu adalah pendaftaran
pemberian Hak Tanggungan.
2.2.6 Hapusnya Hak Tanggungan
Pasal 18 UUHT disebutkan beberapa hal yang menyebabkan hapusnya
atau berakhirnya Hak Tanggungan. Penyebab hapusnya atau berakhirnya Hak
Tanggungan tersebut antara lain:
66
a. Utangnya hapus, sesuai dengan sifat accessoir dari hak tanggungan,
adanya hak tanggungan tergantung pada adanya piutang yang dijaminkan
pelunasannya. Apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau sebab-
sebab lain, maka dengan sendirinya hak tanggungan yang bersangkutan
menjadi hapus juga.
b. Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan, hal ini
dilakukan oleh pemegang hak tanggungan dengan pemberian pernyataan
tertulis kepada pemberi hak tanggungan, sehingga kedudukan pemegang
hak tanggungan sebagai kreditur preferen menjadi kreditur konkuren.
c. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua
Pengadilan Negeri, terjadi karena permohonan pemberi hak atas tanah
yang dibebani hak tanggungan agar hak atas tanah yang dibelinya itu
dibersihkan dari beban hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19
UUHT. Ketentuan demikian dilakukan dalam rangka melindungi
kepentingan pembeli objek hak tanggungan, agar benda yang dibelinya
terbebas dari hak tanggungan yang semula membebaninya, jika harga
pembelian tidak mencukupi untuk melunasi utang yang dijamin.
d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan tersebut, dimana
ada beberapa kemungkinan yaitu :
- Jangka waktunya berakhir, kecuali hak atas tanah yang dijadikan objek
hak tanggungan diperpanjang sebelum berakhir jangka waktunya. Hak
Tanggungan mana tetap melekat pada hak atas tanah yang bersangkutan ;
67
- Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena suatu syarat batal
telah dipenuhi ;
- Dicabut untuk kepentingan umum ;
- Dilepaskan dengan sukarela oleh pemilik hak atas tanah ; dan
- Tanahnya musnah.
2.3 Tinjauan Umum Tentang Notaris
2.3.1 Pengertian Notaris
Menurut ketentuan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat UUJN-P) disebutkan bahwa
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Walaupun
menurut definisi tersebut ditegaskan bahwa Notaris itu adalah pejabat umum
(openbare ambtenaar), ia bukan pegawai menurut undang-undang atau peraturan-
peraturan kepegawaian negeri. Notaris tidak menerima gaji, bukan bezoldigd
staatsambt, tetapi menerima honorarium sebagai penghargaan atas jasa yang telah
diberikan kepadamasyarakat.70 Bila dikaitkan dengan Pasal 1 Stbl.1860 Nomor 3
tentang Notaris Reglement atau Peraturan Jabatan Notaris mengatakan bahwa
“Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan,perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh
suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk
dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan
70Komar Andasasmita,1981,Notaris I, Sumur Bandung, Bandung, hal.45.
68
aktanya, dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang
pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.”71
Jika dilihat dari kedua ketentuan tersebut diatas, ternyata mempunyai
kesamaan terkait dengan pengertian Notaris sebagai pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik. Pejabat umum yang dimaksud dalam
ketentuan tersebut adalah seseorang yang diangkat dan diberhentikan oleh
pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam
hal-hal tertentu karena ia ikut serta melaksanakan suatu kekuasaan yang
bersumber pada kewibawaan dari pemerintah. sehingga mempertegas kedudukan
Notaris sebagai pejabat yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPer yang
menyatakan bahwa “suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai
umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.” Hal tersebut
menunjukan bahwa sifat dari keotentikan suatu akta tergantung dari bentuk akta
tersebut yang diatur dalam undang-undang serta dibuat oleh pejabat yang
berwenang di wilayah hukum kewenangannya.
2.3.2. Kewenangan dan Kewajiban Notaris
Dalam hal ini menunjukan kewenangan utama dari Notaris adalah untuk
membuat akta otentik sehingga akta yang dibuat oleh Notaris dalam
kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik. Kewenangan Notaris
terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UUJN-P, yang menyatakan bahwa:
71G.H.S. Lumban Tobing, 1996,Peraturan Jabatan Notaris.Penerbit Erlangga,Jakarta, hal. 31.
69
1. Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan,perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untukdinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatanAkta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta,semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan ataudikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan olehundang-undang.
2. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notarisberwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam bukukhusus;
c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yangmemuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yangbersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; ataug. membuat Akta Risalah lelang.
Selain memiliki kewenangan notaris dalam melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagai seorang Notaris, haruslah dapat mempertanggungjawabkan
setiap tindakan ataupun perbuatan yang dilakukan. Berkenaan dengan hal tersebut
maka oleh UUJN-P, diatur tentang kewajiban Notaris dalam pasal 16 ayat (1)
UUJN-P yang menyatakan bahwa :
a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjagakepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagaibagian dari Protokol Notaris;
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada MinutaAkta;
d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkanMinuta Akta;
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undangini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segalaketerangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengansumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
70
g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yangmemuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidakdapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebihdari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahunpembuatannya pada sampul setiap buku;
h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidakditerimanya surat berharga;
i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktupembuatan akta setiap bulan;
j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftarnihil yang berkenaan dengan wasiat ke Pusat Daftar Wasiat padaKementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidanghukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulanberikutnya;
k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiapakhir bulan;
l. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara RepublikIndonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan,dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh palingsedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untukpembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itujuga oleh penghadap, saksi, dan Notaris;
n. Menerima magang calon Notaris.
Dasar pelaksanaan jabatan Notaris tidak bisa dilepaskan dari ketentuan dasar
dalam pasal-pasal tersebut diatas yang mengatur mengenai kewenangan dan
jabatan Notaris. Bila hal tersebut tidak diterapkan oleh Notaris dalam
menjalankan jabatannya, maka sudah dapat dipastikan Notaris tersebut sangat
rawan dan dekat dengan pelanggaran jabatan dan dapat berakibat pada keabsahan
ataupun keotentikan dari akta yang dibuatnya maupun pada dirinya sendiri yang
dapat dikenakan sanksi akibat perbuatannya tersebut.
2.3.3 Larangan Notaris
Kewajiban-kewajiban Notaris disertai pula dengan larangan-larangan bagi
Notaris dalam menjalankan jabatannya. Hal tersebut sebagaimana terdapat dalam
Pasal 17 ayat (1) UUJN-P, sebagai berikut :
71
1) menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;2) meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-
turut tanpa alasan yang sah;3) merangkap sebagai pegawai negeri;4) merangkap jabatan sebagai pejabat negara;5) merangkap jabatan sebagai advokat;6) merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Swasta;7) Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat
Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris;8) menjadi Notaris pengganti; atau9) melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,
kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan danmartabat jabatan Notaris.
Larangan-larangan tersebut dimaksudkan untuk menjamin kepentingan
masyarakat yang memerlukan jasa Notaris. Larangan dalam ketentuan Pasal 17
ayat (1) UUJN-P dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada
masyarakat dan sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar
Notaris dalam menjalankan jabatannya. Salah satu upaya dalam mencegah
persaingan tersebut, Notaris hendaknya memperhatikan ketentuan mengenai
honorarium yang merupakan hak Notaris atas jasa hukum yang diberikan sesuai
dengan kewenangannya dalam Pasal 36 UUJN dengan tidak memungut biaya
yang terlampau murah dibanding rekan-rekan Notaris lainnya,namun dengan tetap
melaksanakan kewajiban dalam memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan
secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu, sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 37 ayat (1) UUJN-P. Berkaitan dengan kedudukan dan wilayah
jabatan Notaris, Pasal 18 UUJN menyatakan bahwa Notaris mempunyai tempat
kedudukan di daerah kabupaten atau kota, dan mempunyai wilayah jabatan
meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya. Pasal 19 ayat (1)
UUJN-P menyatakan, bahwa Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu
72
di tempat kedudukannya. Notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan
jabatan diluar tempat kedudukannya.
Selain sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 17 UUJN-P, mengenai
larangan bagi Notaris juga diatur dalam Pasal 18 Keputusan Menteri Kehakiman
dan HAM Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003 Tentang Kenotarisan (selanjutnya
disebut Kepmenkeh Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003), Notaris dilarang :
1) membuka kantor cabang atau mempunyai kantor lebih dari satu;
2) melakukan tindakan atau perbuatan yang dapat merendahkan martabat
jabatan Notaris;
3) meninggalkan daerah kerja lebih dari tiga hari, kecuali ada izin dari
Pejabat yang berwenang atau dalam keadaan cuti.
4) mengadakan promosi yang menyangkut jabatan Notaris melalui media
cetak maupun media elektronik;
5) membacakan dan menandatangani akta di luar wilayah kerja Notaris yang
bersangkutan:
6) menyimpan protokol setelah Notaris yang bersangkutan diberhentikan
oleh Menteri;
7) merangkap jabatan sebagai ketua atau anggota lembaga tinggi negara
tanpa mengambil cuti jabatan.
8) merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik
negara/badan usaha milik daerah, pegawai swasta;
9) merangkap jabatan sebagai pejabat pembuat akta tanah diluar wilayah
kerja Notaris.
73
10) menolak calon Notaris magang di kantornya.
Kepmenkeh Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003 merupakan salah satu peraturan
pelaksanaan yang dimaksud, salah satu yang sudah diganti adalah mengenai
larangan meninggalkan daerah kerja lebih dari tiga hari, sekarang berdasarkan
Pasal 17 UUJN-P, adalah 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah
meninggalkan wilayah jabatan.
2.3.4 Pengawasan dan Sanksi Notaris
Pengawasan terhadap Notaris bertujuan agar para Notaris semaksimal
mungkin memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan undang-undang
demi pengamanan dari kepentingan masyarakat umum. Notaris diangkat bukan
untuk kepentingan sendiri, akan tetapi untuk kepentingan masyarakat yang
dilayaninya, untuk itu undang-undang diberikan kepercayaan yang begitu besar
dan secara umum dapat dikatakan bahwa setiap pemberian kepercayaan terhadap
seseorang meletakkan tanggung jawab di atas bahunya, baik berdasarkan hukum
maupun berdasarkan moral.72 Pengawasan Notaris diharapkan oleh pembentuk
UUJN sebagai lembaga pembinaan agar para Notaris dalam menjalankan
jabatannya dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Mengingat peranan dan kewenangan Notaris sangat penting bagi lalu lintas
kehidupan masyarakat, maka perilaku dan perbuatan Notaris dalam menjalankan
jabatan profesinya, rentan terhadap penyalahgunaan yang dapat merugikan
masyarakat, sehingga lembaga pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris perlu
diefektifkan. Ketentuan yang mengatur Majelis Pengawas dalam UUJN,
72Ibid, hal. 301.
74
merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi kelemahan dan kekurangan
dalam sistem pengawasan terhadap Notaris, sehingga diharapkan dalam
menjalankan profesi jabatannya, Notaris dapat meningkatkan kualitas pelayanan
kepada masyarakat. Pengawasan baik preventif dan represif diperlukan bagi
pelaksanaan tugas Notaris sebagai pejabat umum. Sejak berlakunya UUJN, maka
Badan Peradilan tidak lagi melakukan pengawasan, dan penjatuhan sanksi
terhadap Notaris, tugas tersebut dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia dengan membentuk Majelis Pengawas Notaris. Namun semenjak adanya
perubahan mengenai Jabatan Notaris Menteri membentuk majelis kehormatan
Notaris (Pasal 66 ayat (1) UUJN-P).
2.4 Tinjauan Umum Tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
2.4.1 Pengertian PPAT
Bahwa segala Warga Negara bersama kedudukannya di dalamhukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya. Kalimat tersebut mengandung arti bahwa semua Warga Negara
Indonesia mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum, dan berkewajiban
tunduk pada hukum yang berlaku. Dalam ketentuan Hukum Tanah Nasional yaitu
UUPA mengatur bahwa semua Peralihan Hak Atas Tanah dan Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dan
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui
lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh
PPAT menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PPAT
sebagai Pejabat yang berwenang membuat akta otentik mengenai segala sesuatu
75
perbuatan hukum berkaitan dengan peralihan Hak Atas Tanah, tunduk pada
hukum dan peraturan perundangan yang berlaku. Sebagaimana tertuang dalam
Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah menyatakan PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta tertentu maksudnya yaitu akta pengalihan
dan pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa untuk membebankan
hak tanggungan dengan tidak menyimpang dari peraturan jabatannya sebagai
PPAT. PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun
1961 tentang pendaftaran Tanah, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari
UUPA. Di dalam peraturan tersebut PPAT disebutkan sebagai pejabat yang
berfungsi membuat akta yang bermaksud memindahkan hak atas tanah,
memberikan hak baru atau membebankan hak atas tanah. Pasal 7 PP No 10 Tahun
1961 menyebutkan pula bahwa peraturan jabatan PPAT diatur dengan Peraturan
Pemerintah tersendiri. Sebagai realisasi dari pernyataan tersebut, Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan Peraturan pelaksanaannya Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun 2006 tentang ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, Peraturan ini mencabut
Peraturan Menteri Agraria Nomor4 Tahun 1999.
2.4.2 Tugas, Kewenangan dan Kewajiban PPAT
Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran
tanah dengan memuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum
tertentu, mengenai hak atas tanah Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang
76
akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh peraturan hukum itu. Perbuatan hukum yang dimaksud meliputi :
a) Jual beli,
b) Tukar menukar,
c) Hibah,
d) Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng),
e) Pembagian hak bersama,
f) Pemberian Hak Bangunan/ Hak Pakai atas Tanah Hak Milik,
g) Pemberian Hak Tanggungan,
h) Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 menyatakan bahwa :
“Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut Pejabat Pembuat Akta Tanah
mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum
sebagaimana telah disebutkan di atas, mengenai hak atas tanah dan Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Pejabat
Pembuat Akta Tanah Khusus hanya berwenang membuat Akta mengenai
perbuatan hukum yang disebut secara khusus penunjukannya.”
Sehubungan dengan tugas dan wewenang PPAT membantu Kepala Kantor
pertanahan dalam melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan
membuat akta-akta yang akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data tanah,
dan sesuai dengan jabatan PPAT sebagai Pejabat Umum, maka akta yang
dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik. Akta PPAT dibuat sebagai tanda
bukti yang berfungsi untuk memastikan suatu peristiwa hukum dengan tujuan
77
menghindarkan sengketa. Oleh karena itu pembuatan akta harus sedemikian rupa,
artinya jangan memuat hal-hal yang tidak jelas agar tidak menumbulkan sengketa
dikemudian hari.Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
menegaskan bahwa PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas
tanah atau Hak Milik atas satuan Rumah Susun yang terletak di wilayah kerjanya.
Pengecualian dari Pasal 4 ayat (1) ditentukan dalam ayat (2), yaitu untuk akta
tukar menukar, akta pemasukan dalam perusahaan (inbreng) dan akta pembagian
hak bersama mengenai beberapa hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun yang tidak semuanya terletak didalam daerah kerja seseorang
PPAT, dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang
tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi obyek perbuatan hukum.
Dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1
Tahun 2006 menyatakan kewenangan PPAT adalah membuat akta tanah yang
merupakan akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak milik atas
satuan rumah susun yang terletak dalam daerah kerjanya. Pasal 3 ayat (2)
menyatakan PPAT Sementara mempunyai kewenangan membuat akta tanah yang
merupakan akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana
dimaksud Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan
rumah susun dengan daerah kerja didalam wilayah kerja jabatannya. Dan Pasal 3
ayat (3) menyatakan PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai
perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.
78
Kewajiban PPAT sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 Peraturan
Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006 adalah :
1) Menjunjung tinggi Pancasila, UUD 1945 dan Negara Republik Indonesia.
2) Mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai PPAT.
3) Menyampaikan laporan bulanan kepada Kepala Kantor Pertanahan, Kepala
Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan.
4) Menyerahkan Protokol PPAT dalam hal berhenti dari jabatannya atau
melaksanakan cuti.
5) Membebaskan uang jasa bagi yang tidak mampu.
6) Membuka kantor setiap hari kerja kecuali cuti atau hari libur resmi.
7) Berkantor hanya di 1 kantor dalam daerah kerja sesuai dengan keputusan
pengangkatan PPAT.
8) Menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan,contoh paraf dan eraan
cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah, Bupati/Walikota,
Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya
meliputi daerah kerja PPAT.
9) Melaksanakan Jabatannya secara nyata setelah pengambilan sumpah.
10) Memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan
ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan.
Kewajiban lain yang harus dilaksanakan oleh PPAT, satu bulan setelah
pengambilan sumpah jabatan ditentukan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah
No.37 Tahun 1998 yaitu :
79
a) Menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan,contoh paraf, dan
cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Propinsi, Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, Ketua
Pengadilan Negeri, dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi
daerah kerja PPAT yang bersangkutan.
b) Melaksanakan jabatannya secara nyata. PPAT harus berkantor di satu suatu
kantor dalam daerah kerjanya dan wajib memasang papan nama serta
menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala
Badan. Selanjutnya akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh
Kepala Badan, serta semua jenis akta diberi satu nomor urut yang berulang
pada permukaan tahun takwim. Akta PPAT dibuat dalam bentuk asli sebanyak
2 (dua) lembar, yaitu:
1. Lembar pertama sebanyak 1 (satu) rangkap disimpan oleh PPAT yang
bersangkutan.
2. Lembar kedua sebanyak 1 (satu) rangkap atau lebih menurut
banyaknya hak atas tanah atau satuan rumah susun yang menjadi
obyek perbuatan hukum dalam akta, yang disampaikan kepada Kantor
Pertanahan untuk keperluan pendaftaran, atau dalam hal akta tersebut
mengenai pemberian kuasa membebankan hak tanggungan,
disampaikan kepada pemegang kuasa untuk dasar pembuatan akta
pemberian hak tanggungan, dan kepada pihak yang berkepentingan
dapat diberikan salinannya.
80
Setiap lembar akta PPAT asli yang disimpan oleh PPAT harus dijilid
sebulan sekali dan setiap jilid terdiri dari 50 lembar akta dengan jilid terakhir
dalam setiap bulan memuat lembar-lembar akta sisanya. Pada sampul buku akta
asli penjilidan akta-akta itu dicantumkan daftar akta didalamnya yang memuat
nomor akta, tanggal pembuatan akta dan jenis akta. Berdasarkan Pasal 26 PP
No.37 Tahun 1998 ditegaskan bahwa PPAT harus membuat satu daftar untuk
semua akta yang dibuatnya. Buku daftar akta PPAT diisi setiap akhir hari kerja
dengan garis tinta yang diparaf oleh PPAT yang bersangkutan. PPAT
berkewajiban mengirim laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya, yang
diambil dari buku daftar akta PPAT kepada Kepala Kantor Pertanahan dan kantor-
kantor lain sesuai ketentuan Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah yang
berlaku selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya. PPAT harus dapat
melaksanakan tugas yang diembannya dengan sebaik-baiknya. Dalam Pasal 62 PP
Nomor 24 Tahun 1997 telah ditetapkan sanksi bagi PPAT yang dalam
melaksanakan tugasnya mengabaikan ketentuan-ketentuan yang berlaku serta
petunjuk dari Menteri atau Pejabat yang ditunjuk. Sanksi yang dikenakan berupa
tindakan administratif, berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari
jabatannya dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti rugi oleh pihak-
pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan
tersebut.
Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menegaskan bahwa ayat (1)
menyebutkan “Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal
81
ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang
dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor
Pertanahan untuk didaftar.” Ayat 2 menyebutkan “PPAT wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana
dimaksud pada Ayat 1 kepada para pihak yang bersangkutan. Hal tersebut jelas
bahwa kewajiban yang harus dilaksanakan oleh PPAT dan tidak boleh dilalaikan
guna membantu kelancaran proses pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan.
2.4.3 Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT
Didalam Pasal 7 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah jo. Pasal 5 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah jo. Pasal 11
Ayat 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, menyebutkan bahwa
“PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia”. PPAT diangkat untuk menjalankan jabatan paling lama
sampai usia 65 tahun.Syarat-syarat untuk diangkat menjadi PPAT, yaitu :
1) Berkewarganegaraan Indonesia.
2) Berusia sekurang-kurangnya 30 tahun.
3) Berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh
Instansi Kepolisian setempat.
4) Belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
82
5) Sehat jasmani dan rohani.
6) Lulusan Program Pendidikan Spesialis Notariat atau Program Pendidikan
Khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi.
7) Lulus ujian PPAT yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara
Agraria/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia,dengan materi :
a) Hukum Pertanahan Nasional,
b) Organisasi dan Kelembagaan Pertanahan,
c) Pendaftaran Tanah,
d) Peraturan Jabatan PPAT,
e) Pembuatan Akta PPAT, dan
f) Etika Profesi73
PPAT dapat saja berhenti dari jabatan yang diembannya karena beberapa alasan.
Berhenti PPAT dari jabatan, karena:
1) Meninggal dunia,
2) Telah mencapai usia 65 tahun,
3) Diangkat dan mengangkat sumpah jabatan/melaksanakan tugas sebagai
Notaris dengan tempat kedudukan di Kabupaten/Kota yang lain daripada
daerah kerjanya sebagai PPAT,
4) Diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia,
dibedakan menjadi :
a) Diberhentikan dengan hormat dari jabatannya, karena :
73A.P. Parlindungan, 1999, Pendaftaraan Tanah Indonesia, Mandar Maju,Bandung, (selanjutnya disebut A.P. Parlindungan III), hal 186.
83
1) permintaan sendiri,
2) tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena kesehatan badan atau
kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan
yang berwenang atas permintaan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia atau pejabat yang ditunjuk,
3) melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban
sebagai PPAT,
4) diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau anggota
TNI/POLRI.
b) Diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena:
1) melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai
PPAT,
2) dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan
perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara
selama-lamanya lima tahun atau lebih berat berdasarkan putusan
Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap,
3) melanggar kode etik.
c) Diberhentikan untuk sementara dari jabatannya, karena sedang dalam
pemeriksaan Pengadilan sebagai terdakwa suatu perbuatan pidana yang diancam
dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya lima tahun atau lebih
berat danbaru berlaku sampai ada putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
84
2.4.4 Daerah Kerja dan Formasi PPAT
Daerah Kerja PPAT adalah suatu wilayah yang menunjukkan kewenangan
seorang PPAT untuk membuat akta mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun yang terletak didalamnya. Berdasarkan Pasal 12 Ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah, bahwa “Daerah Kerja PPAT adalah satu wilayah kerja
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya”. Apabila suatu wilayah
Kabupaten/Kotamadya dipecah menjadi 2 (dua) atau lebih wilayah
Kabupaten/Kotamadya, maka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat
memilih satu wilayah kerjanya,dan jika dia tidak memilih maka di tempat mana
dia bertugas dan ada kantor pertanahannya di situlah dianggap sebagai tempat
kedudukannya dan disamping itu diberi dia tenggang waktu satu tahun untuk
memilih sejak diundangkannya undang-undang pembentukan
Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, dan jika dia tidak memilih salah satu
dari daerah kerja tersebut, maka dianggap dia telah memilih kantor pertanahan di
daerah kerjanya dan atas daerah kerja lainnya setelah satu tahun tidak lagi
berwenang.74
Formasi PPAT adalah jumlah maksimum PPAT yang diperbolehkan
dalam satu satuan daerah kerja PPAT. BerdasarkanPasal 14 Peraturan Pemerintah
Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah,
bahwa “formasi PPAT ditetapkan oleh Menteri, apabila formasi PPAT untuk
suatu daerah kerja PPAT sudah terpenuhi, maka Menteri menetapkan wilayah
74Ibid, hal 193.
85
tersebut tertutup untuk pengangkatan PPAT”. Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) dapat mengajukan permohonan pindah ke daerah kerja lain.
Pengangkatan PPAT baru atau karena pindah daerah kerja, diajukan oleh yang
bersangkutan kepada Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia, dilengkapi dengan rekomendasi dari Kepala Kantor
Pertanahan di tempat tujuan pindah, dan dari Daerah asal tempat tugasnya,
melalui Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang
bersangkutan.75 Setelah itu, PPAT yang bersangkutan mengajukan permohonan
pengangkatan kembali PPAT yang berhenti kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia, dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah
dan Kepala Kantor Pertanahan di daerah kerja semula dan daerah kerja tujuan.
Permohonan pengangkatan kembali tersebut dapat diajukan setelah PPAT yang
bersangkutan melaksanakan tugasnya paling kurang tiga tahun.
2.4.5 Pengangkatan Sumpah Jabatan PPAT
PPAT wajib mengangkat sumpah jabatan PPAT di hadapan Kepala
Pertanahan Kabupaten/Kotamadya di daerah kerja PPAT yang bersangkutan,
sebelum menjalankan jabatannya. PPAT yang daerah kerjanya disesuaikan karena
pemecahan wilayah Kabupaten/Kotamadya, tidak perlu mengangkat sumpah
jabatan PPAT untuk melaksanakan tugasnya di daerah kerjanya yang baru.76
Untuk keperluan pengangkatan sumpah, PPAT wajib lapor kepada Kepala Kantor
Pertanahan mengenai pengangkatannya sebagai PPAT, apabila laporan tersebut
tidak dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
75Ibid, hal 217.76Ibid, hal 194
86
ditetapkannya surat keputusan pengangkatan tersebut batal demi hukum. Kepala
Kantor Pertanahan melaksanakan pengambilan sumpah jabatan dalam waktu 1
(satu) bulan setelah diterimanya laporan tersebut. Pengangkatan sumpah jabatan
PPAT dilakukan sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing dengan
pengucapan kata-kata sumpah jabatan sebagai berikut :“Demi Allah Saya
bersumpah ”Bahwa Saya, untuk diangkat menjadi PPAT, akan setia, dan taat
sepenuhnya kepada Pancasila, UUD 1945, dan Pemerintah Republik Indonesia.
Bahwa Saya, akan menaati peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan
dan yang berkaitan dengan ke-PPAT-an serta peraturan perundang-undangan
lainnya. Bahwa Saya, akan menjalankan jabatan Saya dengan jujur, tertib,cermat,
dan penuh kesadaran, bertanggung jawab serta tidak berpihak. Bahwa Saya, akan
selalu senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan
martabat PPAT. Bahwa Saya, akan merahasiakan isi akta-akta yang dibuat
dihadapan Saya dan protokol yang menjadi tanggung jawab Saya, yang menurut
sifatnya atau berdasarkan peraturan perundang-undangan harus dirahasiakan.
Bahwa Saya, untuk diangkat dalam jabatan Saya sebagai PPAT secara langsung
atau tidak secara langsung dengan dalih atau alasan apapun juga, tidak pernah
memberikan atau berjanji untuk memberikan sesuatu kepada siapapun juga,
demikian juga tidak akan memberikan atau berjanji memberikan sesuatu kepada
siapapun juga.77
Sebagai bukti telah dilaksanakannya pelantikan dan pengangkatan sumpah
jabatan, dibuatkan suatu Berita Acara Pelantikan dan Berita Acara Sumpah
77Boedi, Harsono. 1999. Hukum Agraria Indonesia Sejarah PembentukanUU Pokok Agraria.Djambatan, Jakarta, hal 709
87
Jabatan yang disaksikan paling kurang dua orang saksi. Setelah PPAT
mengangkat sumpah wajib menandatangani surat pernyataan kesanggupan
pelaksanaan jabatan PPAT sesuai dengan keputusan pengangkatannya.
2.4.6 Pelaksanaan PPAT
Setelah pelaksanaan pelantikan, dan pengambilan sumpah jabatan, maka
PPAT telah dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya. Kewajiban
melaksanakan jabatannya secara nyata, yaitu sebagai berikut :
1) Menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf, dan
teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Propinsi, Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II, Ketua Pengadilan Negeri, dan Kepala Kantor Pertanahan yang
wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan dalam waktu 1
(satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan.
2) PPAT harus berkantor di satu kantor dalam daerah kerjanya, sebagaimana
ditetapkan dalam keputusan pengangkatannya atau penunjukan dari
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia atau pejabat yang
ditunjuk.
3) Memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan
ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia.
4) Dalam hal PPAT juga merangkap jabatan sebagai Notaris, maka kantor
tempat melaksanakan tugas jabatan PPAT wajib di tempat yang sama
dengan kantor Notarisnya.
88
5) PPAT tidak dibenarkan membuka kantor cabang atau perwakilan atau
bentuk lainnya yang terletak di luar dan atau di dalam daerah kerjanya
dengan maksud menawarkan jasa kepada masyarakat.
6) Kantor PPAT harus dibuka setiap hari kerja kecuali pada hari libur resmi,
dengan jam kerja minimum sama dengan jam kerja Kantor Pertanahan
setempat.
7) PPAT dilarang meninggalkan kantornya lebih dari enam hari kerja
berturut-turut kecuali sedang menjalankan cuti. PPAT dilarang membuat
akta,untuk PPAT sendiri, suami atau isterinya, keluarganya sedarah atau
semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke
samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum
yang bersangkutan baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui
kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain.78
78A.P.Parlindungan III,Op.cit, hal 201.
89
BAB III
PENGATURAN PERALIHAN HAK MILIK ATAS TANAH SEBAGAI
OBJEK HAK TANGGUNGAN YANG SEDANG DALAM
PROSES BALIK NAMA
3.1 Pengaturan Pembebanan Hak Tanggungan Yang Sedang Dalam
Proses Balik Nama
Hak milik merupakan hak yang terpenuh dan terkuat. Dimana terpenuh
berarti hak milik memberikan wewenang yang paling luas diantara hak yang
lainnya,karena pemilik dapat dengan bebas untuk menikmati, menguasai, dan
menggunakan miliknya. Penguasaan dan penikmatan hak milik tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang yang berlaku dan dalam pengertian hak
milik terkandung pula kebebasan menguasai dan menikmati yang tidak
bolehdiganggu oleh siapapun juga, sejauh untuk memenuhi kebutuhan pemiliknya
secara wajar.79 Hak Milik dapat dikatakan merupakan sumber kehidupan, untuk
dapat memenuhi kebutuhan hidup, harta benda tertentu harus dimiliki, karena bagi
manusia, ada barang tertentu yang merupakan the natural media on which human
existence depends80. Hak Milik hanya dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia
saja, Warga Negara Asing tidak dapat memilik hak atas tanah.
Peralihan hak atas tanah adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas
tanah yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari
79Abdulkadir Muhammad, 1994, Hukum Harta Kekayaan, Citra AdityaBakti, Bandung, hal 39.
80Roscoe Pound,1954, An Introduction to the Philosophy, Yele UniversityPress, New Haven, New York, hal 117.
90
pemegangnya semula dan menjadi hak pihak lain.81 Sejak berlakunya UUPA,
peralihan hak atas tanah dapat dilakukan melalui jual beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-
perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik.
Menurut Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997,
ditegaskan bahwa Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun
melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan
hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya
dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang
berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembuktian hak atas tanah tersebut telah dialihkan, harus dibuktikan dengan suatu
akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT yaitu akta jual beli yang kemudian
akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan Pasal 95 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. Akta Jual Beli
yang dibuat dihadapan PPAT tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian
hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah (pembeli tanah).82
Herman Soesangobeng mengatakan falsafah kepemilikan atas tanah dalam
hukum adat, hakekat dasarnya adalah dari pertautan manusia dengan tanah dan
alamnya dan bukan pada hak, melainkan pada hubungan kuatnya pertautan
hubungan yang melahirkan kewenangan (hak). Oleh karena itu hak lahir melalui
81K. Wantjik Saleh,Op.cit.,hal. 15-18.82Saleh Adiwinata,1980,Pengertian Hukum Adat Menurut Undang-
Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung, hal. 21-30
91
proses intensitas hubungan antara manusia dengan tanah tidak dari keputusan
pejabat.83 Pengalihan hak atas tanah, yang dilakukan dengan cara jual beli, tukar
menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan
hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan dan
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT. Jual beli, tukar menukar atau
hibah merupakan suatu perbuatan hukum yang bersifat terang dan tunai. Terang
dengan artian bahwa perbuatan hukum tersebut harus dibuat di hadapan pejabat
yang berwenang yang menyaksikan dilaksanakan atau dibuatnya perbuatan
hukum tersebut (dihadapan PPAT), sedangkan tunai diartikan bahwa dengan
selesainya perbuatan hukum yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang
berarti selesai pula tindakan hukum yang dilakukan dengan segala akibat
hukumnya. Ini berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat dibatalkan, kecuali
terdapat cacat secara substansi mengenai hak milik yang dialihkan tersebut, atau
cacat mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak atas hak milik tersebut.
Adapun yang menjadi syarat-syarat terjadinya pengalihan terhadap kebendaan
tersebut adalah sebagai berikut:84
1. Pengalihan tersebut dilakukan oleh pihak yang berhak untuk mengalihkan
kebendaan tersebut. Tidak selamanya pemilik atas kebendaan itu dapat
diberikan hak untuk mengalihkan benda tersebut, hal ini dikarenakan suatu hal
misalnya saja pemilik suatu kebendaan di dalam keadaan pailit (failiet).
83Herman Soesangobeng,1998, Filosofi Adat dalam UUPA, Makalahdipresentasikan dalam Sarasehan Nasional “Peningkatan Akses Rakyat TerhadapSumberdaya Tanah”, Diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/BPNbekerjasama dengan ASPPAT, tanggal 12 Oktober 1998, di Jakarta, hal. 4.
84K. Wantjik Saleh, Op.cit, hal.23
92
Pemilik suatu kebendaan tetapi dikarenakan keputusan pengadilan yang
menyatakan ia pailit maka ia tidak berhak untuk mengalihkan benda tersebut.
Adapun sebaliknya orang tersebut bukan merupakan pemilik suatu kebendaan
tetapi ia berhak untuk melakukan pengalihan. Misalnya pandamer, dimana
seseorang menerima barang gadaian dari pemilik benda tersebut sebagai
jaminan pelunansan hutangnya. Dalam hal ini ia tidak merupakan pemilik
yangsah dari suatu kebendaan, tetapi apabila pihak yang berhutang dalam hal
ini pemilik yang sah dari benda itu ingkar janji atau wanprestasi maka pihak
penerima gadai berhak mengalihkan benda tersebut.
2. Pengalihan itu dilakukan secara nyata. Dimana pengalihan itu harus benar-
benar terjadi dan dilakukan secara nyatadari tangan ke tangan. Pengalihan
terhadapbenda-benda bergerak cukup hanya melakukan penyerahannya begitu
saja, tetapiterhadap benda tidak bergerak, pencatatan benda tersebut ke dalam
suatu akta sangat penting untuk menetapkan keabsahan benda tersebut.
Terhadap benda tidak bergerak,di samping dengan pengalihan nyata, dan
harus dilakukan dengan pengalihan secara yuridis. Baik dengan mengalihkan
dengan akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT dan sistem pendaftaran ke
Lembaga yang berwenang.
Dalam hal setelah terjadinya pengalihan pihak pemilik dapat saja
melakukan perbuatan hukum lainnya misalnya pemilik ingin meminjamkan kredit
sehingga tanah yang telah beralih ke tangannya dijadikan jaminan. Kredit yang
diberikan oleh bank pada umumnya didahului dengan perjanjian kredit.Perjanjian
kredit mencakup hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk jangka waktu
93
serta bunga yang ditetapkan, serta sanksi apabiladebitur ingkar janji terhadap
perjanjian yang telah dibuat bersama.85Untuk dapat dilaksanakannya pemberian
kredit itu, harus ada suatu persetujuan antara bank sebagai kreditur dengan
nasabah penerima kredit sebagai kreditur yang dinamakan perjanjian kredit.86.
Menurut Lord Moulton dalam konsepnya mengenai jaminan dalam kontrak
menyatakan bahwa :
It is evident, both on principle and on authority, that there may be acontract the consideration for which is the making of some other contract,‘if you will make such and such a contract, I will give you one hundredpounds’, is in every sense of the word a complete legal contract. It iscollateral to the main contract, but each has a independent existence, andthey do not differ in respect of their possessing to the full the character andstatus of a contract.87
(Terjemahannya: Jelas, baik pada prinsip dan otoritas, bahwa kemungkinanadanya pertimbangan uang dalam pembuatan beberapa kontrak, ‘jika andaakan membuat perjanjian saya akan memberikan seratus pounds’, adalahada dalam setiap kontrak hukum yang lengkap. Itu adalah jaminan untukkontrak, tetapi masing-masing pihak memiliki keberadaan atau kekuatantersendiri dan mereka tidak membedakan kehormatan/posisi mereka dalamproses untuk memiliki penuh karakter dan status dalam sebuah kontrak.)
Dalam perjanjian kredit terdapatnya jaminan yang bertujuan untuk
menjamin bahwa piutang kreditur akan dibayar oleh debitur. Untuk jaminan
berupa benda tidak bergerak seperti tanah diatur dalam Undang-Undang Hak
Tanggungan No 14 Tahun 1996 namun sebelum berlakunya UUHT tersebut,
didalam praktek pelaksanaan hipotik, jarang sekali pihak-pihak menempuh
langsung pembuatan akta hipotik karena proses penandatanganan akta hipotik
85Hadi Soeprapto Hartono,1984, Pokok-Pokok Hukum Perikatan danHukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta, hal. 93
86Ibid.hal.1287Paul Richards, 2004. Law Of Contract. Pearson Education Limited.
England. hal.113
94
sampai keluarnya sertipikat hipotik selain memakan waktu lama juga mahal
biayanya, maka hampir selalu yang dilakukan adalah pembuatan Kuasa
Membebankan/Memasang Hipotik. Sehingga pihak bank yang sudah mengenal
debitur dengan baik merasa aman untuk tidak langsung melakukan pembebanan
hipotik, sehingga pembuatan akta hipotik baru akan dilakukan kemudian setelah
terdapat gejala-gejala bahwa debitur tidak sanggup membayar kreditnya atau
cidera janji. Jika didalam praktek peraturan hipotik yang lama untuk
memberlakukan Kuasa Membebankan/Memasang Hipotik merupakan sesuatu
yang dilembagakan. Setelah adanya UUHT untuk pembuatan SKMHT hanya
diperkenankan dalam suatu keadaan tertentu, yaitu apabila Pemberi Hak
Tanggungan tidak dapat hadir sendiri dihadapan Notaris/PPAT untuk membuat
APHT. Dalam keadaan yang demikian,pemberi Hak Tanggungan wajib menunjuk
pihak lain sebagai kuasanya dengan SKMHT yang berbentuk akta otentik dan
pembuatannya diserahkan kepada Notaris/PPAT yang keberadaannya menjangkau
wilayah kecamatan. Substansi dari SKMHT juga dibatasi oleh UUHT, yaitu hanya
memuat perbuatan hukum membebankan Hak Tanggungan, tidak memuat hak
untuk menggantikan penerima kuasa melalui pengalihan, memuat nama dan
identitas kreditur, debitur, jumlah uang, serta obyek Hak Tanggungan.
Pembatasan mengenai substansi ini ditujukan untuk mencegah berlarut-larutnya
pemberian kuasa serta demi tercapainya kepastian hukum, SKMHT juga dibatasi
jangka waktu berlakunya. Terhadap tanah-tanah yang sudah terdaftar, SKMHT
wajib segera diikuti pembutan APHT dalam jangka waktu 1 (satu ) bulan. Apabila
persyaratan tentang jangka waktu tersebut tidak dipenuhi, maka SKMHT menjadi
95
batal demi hukum. Ketentuan tentang batas waktu untuk melaksanakan kewajiban
yang bersifat imperatif tersebut menegaskan bahwa SKMHT bukan merupakan
syarat dalam proses pembebanan Hak Tanggungan karena syarat mutlak
pembebanan Hak Tanggungan adalah pembebanan Hak Tanggungan dan
Pendaftarannya. Dalam UUHT ditentukan pula bahwa kuasa untuk membebankan
Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab
apapun juga kecuali karena telah dilaksanakan atau telah habis jangka waktunya.
Ketentuan tersebut dimaksudkan agar pembebanan Hak Tanggungan benar-benar
dilaksanakan sehingga memberikan kepastian hukum bagi pemegang maupun
pemberi Hak Tanggungan.
Terkait dengan teori penafsiran, dalam melaksanakan penafsiran pertama-
tama selalu dilakukan penafsiran gramatikal,karna pada hakikatnya untuk
memahami teks peraturan perundang-undangan harus mangerti terlebih dahulu
arti kata-katanya. Adakalanya pembuat undang-undang tidak mampu memakai
kata-kata yang tepat. Dalam Pasal tersebut tidak disebutkan apabila jangka waktu
tersebut kadaluarsa maka akan dibuatkan yang baru, begitu seterusnya namun
dalam hal ini tidak terdapat ketentuan berapa banyak SKMHT yang dapat dibuat
oleh PPAT. Pembuat undang-undang disini tidak menjelaskan secara jelas
sehingga tidak adanya satu aturan baku bagi para PPAT sehingga di dalam
praktek ada pihak PPAT yang langsung membuat banyak SKMHT dan setiap
kadaluarsa ia harus mendatangkan para pihak, adapula yang membuatnya dalam
beberapa rangka sehingga pihak debitur tidak perlu datang menghadap PPAT
guna penandatanganan SKMHT yang baru.Apabila perlu dilanjutkan dilakukan
96
dengan penafsiran otentik yang di tafsiskan oleh pembuat undang-undang itu
sendiri, kemudian dilanjutkan dengan penafsiran historis dan sosiologis. Sedapat
mungkin semua metode penafsiran dilakukan, agar didapat makna-makna yang
tepat. Apabila semua metode tersebut tidak menghasilkan makna yang sama,maka
wajib di ambil metode penafsiran yang membawa keadilan setinggi-tingginya,
karena memang keadilan itulah yang di jadikan sasaran pembuat undang-undang
pada waktu mewujudkan undang-undang yang bersangkutan .
3.2 Pembebanan Hak Tanggungan yang Sedang Dalam Proses Balik Nama
Sertipikat
Pembebanan Hak Tanggungan dilewati dengan beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi pihak debitur agar pihak bank dapat memiliki keyakinan tepatkah
memberikan kreditnya kepada orang tersebut. Namun tidak semua perjalanan
tidak mengalami hambatan, seseorang yang sertipikat sedang proses balik nama
dapat saja meminjam kredit kepada bank. Pihak bank juga harus berhati-hati
untuk mencairkan kreditnya kepada seseorang agar kelak dikemudian hari pihak
debitur dapat melunasi kreditnya dengan lancar tanpa hambatan.Unsur yang
paling essensial dari pemberian kredit bank adalah adanya kepercayaan dari bank,
sebagai Kreditur, terhadap nasabah peminjam sebagai Debitur. Kepercayaan itu
timbul karena dipenuhinya segala ketentuan dan persyaratan untuk memperoleh
kredit bank oleh Debitur, misalnya jelasnya peruntukan pemberian kredit, adanya
benda jaminan atau agunan. Makna dari kepercayaan itu adalah keyakinan dari
97
bank sebagai Debitur bahwa kredit yang diberikan sungguh-sungguh akan
kembali dalam jangka waktu sesuai kesepakatan.88
Kepercayaan memang merupakan unsur kredit yang paling esensial tetapi bukan
merupakan satu-satunya unsur kredit. Hermansyah memaparkan secara lengkap
unsur-unsur kredit, yaitu :
a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang
diberikannya, baik dalam bentuk uang, barang dan jasa akan benar-benar
diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.
b. Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi
dan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. Dengan
unsur waktu ini, terkandung pengertian agio dari uang, yaitu uang yang ada
sekarang lebih tinggi nilainya dari uang yang akan diterima pada masa yang
akan datang.
c. Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari
adanya jangka waktu yang memisahkan pemberian prestasi dan kontraprestasi
yang akan diterima di kemudian hari. Semakin lama kredit diberikan semakin
tinggi pula tingkat resikonya.
d. Prestasi atau objek kredit tidak hanya diberikan dalam bentuk uang tetapi juga
dapat berupa barang dan jasa. Tetapi karena kehidupan ekonomi modern di
dasarkan pada uang maka yang umum terjadi adalah tranksaksi kredit dalam
bentuk uang.89
88Hermansyah, 2008, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, KencanaPrenada Media Group, Jakarta, hal. 43.
89Ibid.hal.58.
98
Selain kepercayaan pihak bank harus juga memiliki prinsip kehati-hatian
dalam mencairkan kreditnya. Prinsip kehati-hatian (prudent) ini adalah salah satu
konkretisasi dari prinsip kepercayaan dalam suatu pemberian kredit. Disamping
pula sebagai perwujudan dari prinsip prudent banking dari seluruh kegiatan
perbankan. Untuk mewujudkan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit ini,
maka berbagai usaha pengawasan dilakukan, baik oleh bank itu sendiri (internal)
maupun oleh pihak luar (external), in casu oleh pihak Bank Sentral. Disamping
itu juga dengan tujuan penegakan prinnsip kehati-hatian ini,regulasi tentang
perbankan diperketat. Sehingga akhirnya dunia perbankanmerupakan salah satu
bidang yang sangat heavily regulated. Demikian juga dengan keharusan adanya
jaminan hutang dalam setiappemberian kredit sebenarnya juga mempunyai tujuan
agar kredit diluncurkansecara hati-hati, sehingga ada jaminan bahwa kredit yang
bersangkutan akan dibayar kembali oleh pihak debitur.90
Bank wajib menerapkan pokok ketentuan perkreditan dan pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagaimana
yang dijelaskan dalam penjelasan Pasal 8 Ayat 2 UU Perbankan, yaitu :
a. Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat dalam
bentuk perjanjian tertulis;
b. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah
Debitur yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama terhadap watak,
kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur;
90Munir Fuady, 2001, Hukum Perkreditan Kontemporer, Cet. I, PT. CitraAditya Bakti, Bandung, hal 21.
99
c. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit
atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
d. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur
dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
e. Larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada Nasabah Debitur dan atau
pihakpihak terafiliasi;
f. Penyelesaian sengketa.
Ketentuan pemberian kredit oleh Bank Indonesia pada penjelasan Pasal 8 Ayat (2)
huruf b UU Perbankan tersebut di atas kemudian dirumuskan para sarjana
perbankan menjadi formula 5 C, seperti yang dipaparkan oleh Hermansyah, yaitu:
1. Character
Salah satu unsur yang mesti diperhatikan oleh bank sebelum memberikan
kreditnya adalah penilaian atas karakter kepribadian/watak dari calon debiturnya.
Bahwa calon nasabah memiliki watak, moral dan sifat-sifat pribadi yang baik,
karena watak yang jelek akan menimbulkan perilaku-perilaku yang jelek pula.
2. Capacity
Kemampuan calon Debitur mengelola usahanya dan mampu melihat
prospektif masa depan sehingga usahanya dapat berjalan dengan baik dan
memberikan keuntungan. Hal ini pada gilirannya akan membantu menjamin ia
mampu melunasi utangnya.
100
3. Capital
Permodalan dari suatu debitur juga merupakan hal yang penting harus
diketahui oleh calon krediturnya. Karena permodalan dan kemampuan keuangan
dari suatu debitur akan mempunyai korelasi langsung dengan tingkat kemampuan
bayar kredit. Jadi masalah likuiditas dan solvabilitas dari suatu badan usaha
menjadi penting artinya.
4. Collateral
Jaminan untuk persetujuan pemberian kredit yang bmerupakan saran
pengaman atas resiko yang mungkin terjadi atas wanprestasi nasabah di
kemudian hari.
5. Condition of economy
Dalam pemberian kredit oleh bank, kondisi ekonomi secara umum dan
kondisi sektor usaha pemohon kredit perlu memperoleh perhatian dari bank untuk
memperkecil resiko yang mungkin terjadi yang diakibatkan oleh kondisi ekonomi
tersebut.91
Dalam hal sertipikat yang sedang dalam proses balik nama pihak bank dan
Notaris/PPAT pertama-tama membuatkan SKMHT. SKMHT adalah kuasa yang
diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan sebagai pemberi kuasa kepada penerima
kuasa khusus untuk membebankan suatu benda dengan Hak Tanggungan.92
Pemberi SKMHT biasanya adalah pemilik jaminan, ada kemungkinan sekaligus
sebagai debitur tetapi bisa juga hanya sebagai pemilik jaminan. Sedangkan
91Ibid., hal. 64.92Mariam Darus Badrulzaman,2004,Buku II Kompilasi Hukum Jaminan,
Mandar Maju, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman II),hal 76.
101
penerima SKMHT dipastikan adalah kreditur, kreditur biasanya badan hukum
baik bank ataupun lembaga finansial. Menurut Pasal 15 Ayat 1 UUHT
menentukan bahwa SKMHT wajib dibuat dengan akta notariil atau akta PPAT.
Adapun alasan pembuatan SKMHT dengan akta notariil yaitu dilihat dari
kedudukannya dan objeknya tidak terbatas/nasional, karena letak tanahnya di luar
tempat kedudukan PPAT-nya maka itulah alasan mengapa tidak dibuat dengan
akta PPAT. Dalam praktek SKMHT ini cukup banyak digunakan oleh debitur
untuk mendahului suatu pelaksanaan pembebanan Hak Tanggungan yang
nantinya wajib dibuat APHT. Alasan dibuatnya SKMHT itu karena adanya
kondisi-kondisi tertentu yang pada saat itu belum bisa atau belum memungkinkan
untuk langsung dibuatnya APHT. Kondisi-kondisi tertentu tersebut, seperti :
sertipikat baru di konversi; baru adanya proses jual beli yang sertipikatnya dalam
proses balik nama, sertipikat sedang dalam proses roya karena didahului proses
takeover, maka sertipikat belum diserahkan kepada bank yang baru dan belum
dilakukan pengecekan, karena letak tanahnya di luar kedudukan Notaris selaku
PPAT.
Setelah perjanjian pokok diadakan, maka pemberian Hak Tanggungan
harus dilakukan dengan pembuatan APHT yang dibuat oleh PPAT sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, APHT itu merupakan suatu
bukti otentik yang dibuat oleh para pihak di hadapan PPAT guna memberi
kepastian hukum bahwa telah terjadinya pemberian hak tanggungan. Adapun
102
prosedur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan APHT secara
umum, yaitu sebagai berikut:93
a. Setelah mengabulkan permohonan kredit oleh kreditur yang di mohon debitur,
maka kreditur mengeluarkan Surat Keputusan tentang dikabulkannya
permohonan kredit.
b. Apabila kreditur telah memutuskan untuk mengabulkan permohonan kredit
oleh debitur dengan agunan tanah dan/berikut bangunan, maka kreditur segera
mengirim permohonan pembuatan akta (perjanjian kredit dan
APHT)/sertipikat dan KTP serta berkas-berkas lainnya.
c. Atas dasar permohonan dari bank/kreditur tersebut maka Notaris
meneliti/memeriksa terlebih dahulu kelengkapan berkas/syarat-syarat yang
diperlukan untuk pembuatan akta tersebut.
d. Apabila berkas-berkas yang diterima Notaris/PPAT sudah lengkap dan benar
maka PPAT melakukan persiapan pembuatan akta dengan melakukan
pengecekan lebih dahulu asli sertipikat tersebut ke Kantor Pertanahan setempat
dengan mengirim sertipikat asli.
e. Setelah Kantor Pertanahan setempat yang melakukan pengecekan sertipikat
dan menyatakan bahwa asli sertipikat tersebut sesuai dengan daftar/buku tanah
yang ada di Kantor Pertanahan, maka APHT dapat dilakukan
penandatanganan oleh para pihak yang didahului pembacaan dan penjelasan
mengenai isi dan akibat hukumnya oleh PPAT yang bersangkutan.
93Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT IndonesiaKumpulan Tulisan Tentang Notaris dan PPAT, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,(selanjutnya disebut Habib Adjie II), hal. 190
103
Pemberian Hak Tanggungan menurut Pasal 13 Ayat 1 UUHT, wajib
didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pasal 14 Ayat 1 UUHT menentukan bahwa
sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan
sertipikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dari proses di atas pada prakteknya muncul satu permasalahan dimana
pada proses pembuatan APHT ada yang didahului dengan SKMHT, misalnya
baru adanya proses jual beli, yang sertipikatnya masih dalam proses balik nama
maka sebelum proses balik nama selesai pembuatan APHT didahului dengan
SKMHT. Pasal Ayat 15 Ayat (3) UUHT disebutkan Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti
dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu)
bulan sesudah diberikan. Dalam pasal ini jangka waktu yang ditentukan hanya
satu bulan, jika jangka waktu tersebut habis maka SKMHT itu dinyatakan gugur
dan harus membuatkan SKMHT yang baru. Begitu seterusnya, sehingga jika
SKMHT tersebut telah jatuh tempo maka pihak debitur harus datang menghadap
PPAT lagi guna penandatanganan SKMHT yang baru. Dalam praktek seringkali
notaris membuatkan dalam beberapa rangkap sehingga apabila SKMHT tersebut
telah jatuh tempo tidak perlu menghadirkan debitur ke Notaris/PPAT. Hal ini
sebenarnya tidak diperbolehkan dilakukan karena apabila dikemudian hari kredit
tersebut menjadi masalah maka kebenaran dari SKMHT tersebut bisa
dipermasalahkan berdasarkan alibi. Semestinya jika SKMHT tersebut telah jatuh
tempo pihak debitur hadir dihadapan Notaris/PPAT guna pembuatan SKMHT
yang baru begitu seterusnya. Dengan melihat peraturan dalam UUHT hal-hal yang
104
berhubungan dengan Pembebanan Hak Tanggungan hanya terdapat UUHT jika
dikaitkan dengan teori perundang-undangan, dimana melihat berlakunya undang-
undang dalam hierarki perundangan-undangan UUHT dianggap yang lebih khusus
mengatur mengenai Hak Tanggungan.
3.3 Mekanisme Pembebanan Hak Tanggungan atas Hak Milik Atas Tanah
Yang Sedang Dalam Proses Balik Nama
Perbuatan hukum yang dibuat dihadapan PPAT akan melahirkan akta
otentik yang dijadikan alat bukti paling kuat bagi para pihak yang telah
melakukan perbuatan hukum tertentu mengenai hak milik atas tanah, yang akan
dijadikan sebagai dasar bagi pendaftaran perubahan data yang diakibatkan oleh
perbuatan hukum dimaksud. Selain dibuat dihadapan pejabat umum, untuk dapat
memperoleh otentisitasnya maka akta yang bersangkutan harus dibuat dalam
bentuk yang ditentukan oleh peraturan perundang-undang dan pejabat umum
dihadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta
itu, ditempat dimana akta itu dibuatnya.94
Mengenai syarat bahwa akta itu harus dibuat oleh pejabat umum yang
mempunyai kewenangan untuk membuat akta, ditegaskan dalam Pasal 4 Ayat 1
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 yang menyatakan: “PPAT hanya
berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya”.
Pembebanan hak tanggungan yang mana terlebih dahulu dilakukan proses
jual beli. Dimana pada saat proses balik nama dilakukan oleh Kantor Pertanahan
94Supriadi, 2006, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnyadisebut Supriadi II) hal. 170.
105
pihak pembeli ingin meminjamkan kredit di bank. secara yuridis hal ini dapat saja
dilakukan dengan melakukan prosedur jual-beli terlebih dahulu lalu dilakukan
pembebanan hak tanggungan terhadap hak atas tanah yang sedang proses balik
nama tersebut. Pada saat penandatanganan akta jual beli dilakukan, terlebih
dahulu blanko akta jual beli tersebut diisi dengan nama PPAT berikut dengan
saksi-saksi dari PPAT yang daerah kerjanya meliputi daerah di mana obyek hak
atas tanah tersebut berada, serta telah nama para pihak, objek jual belinya
berdasarkan dokumen-dokumen dan data-data yang telah disampaikan oleh para
pihak. Akta tersebut kemudian oleh PPAT dibacakan kepada para pihak dan
selanjutnya setelah para pihak telahmengerti akan isi dalam akta jual beli tersebut,
maka para pihak menandatangani akte jual beli tersebut, kemudian oleh saksi-
saksi dan PPAT.
Dalam proses pembuatan akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT,
dibutuhkan langkah-langkah yang harus dilalui oleh PPAT sebelum dilakukan
penandatanganan akta jual belinya oleh para pihak yang berkepentingan.
Langkah-langkah tersebut adalah:
1. Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau
pembebanan hak milik atas tanah, PPAT wajib terlebih dahulu melakukan
pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertipikat hak
milik atas tanah yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor
Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertipikat asli.
2. Akta harus mempergunakan formulir yang telah ditentukan.
3. Dalam hal diperlukan izin untuk peralihan hak tersebut, maka izin tersebut
106
harus sudah diperoleh sebelum akta dibuat.
4. Sebelum dibuat akta mengenai pemindahan hak atas tanah, calon penerima
hak harus membuat pernyataan yang menyatakan.
a. Bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi
pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan
tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi
pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
c. Bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan
sebagaimana dimaksud pada a dan b tersebut tidak benar maka tanah
kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi obyek landreform;
d. Bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat
hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b tidak
benar.
5. Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang
melakukanperbuatan hukum atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat
kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan
hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak
atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam
107
pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh
para pihak yang bersangkutan.
7. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan
dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan
prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan
yang berlaku.
8. Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani
seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT.
9. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta
yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya
berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan
untuk didaftar. Terhadap perbuatan hukum pengalihan hak tersebut, maka
“PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah
disampaikannya akta sebagai mana dimaksud di atas kepada para pihak yang
bersangkutan”. Sebelum dilakukannya penandatanganan akta jual beli, PPAT
harus terlebih dahulu meminta bukti pembayaran pajak, hal ini sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 91 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, secara tegas menyatakan:
“Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta
pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak
menyerahkan bukti pembayaran pajak”.
108
Selain itu, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disingkat PP
Pendaftaran Tanah), PPAT harus menolak untuk membuat akta apabila:
1. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah
susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan
atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di
Kantor Pertanahan.
2. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan:
a. Surat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Ayat (1) PP
Pendaftaran Tanah atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang
menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Ayat (2) PP Pendaftaran Tanah;
b. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan
belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak
di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang
hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.
c. Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang
bersangkutan atau salah satu saksi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
PP Pendaftaran Tanah, tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk
bertindak demikian; atau
d. Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa
mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak;
atau
109
e. Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat
atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
f. Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa
mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau
g. Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Selain hal-hal tersebut di atas, dalam menjalankan tugasnya jabatannya
sebagai pembuat akta dibidang pertanahan, PPAT harus memiliki kecermatan dan
ketelitian dalam memeriksa kelengkapan berkas-berkas dalam pembuatan akta
jual beli. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh PPAT yaitu:
1. Identitas dari para pihak. PPAT harus memeriksa kebenaran formil dari
identitas para pihak serta dasar hukum tindakan para pihak.
2. Jangka waktu berakhirnya hak atas tanah yang diperjualbelikan (karena jika
jangka waktunya berakhir, tanahnya kembali dikuasai oleh negara)
3. Harga jual beli harus sudah dibayar lunas sebelum akta ditandatangani.
4. Tidak terdapat tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
5. Tanah yang diperjualbelikan harus berada dalam wilayah kerja PPAT yang
bersangkutan.
Dalam pembuatan Akta Jual Beli diperlukan syarat-syarat yang terlebih dahulu
harus dipenuhi oleh para pihak. Syarat yang diperlukan untuk membuat Akta Jual
Beli Tanah antara lain :
110
a. Penjual (Pihak Pertama) membawa :
- Pihak Pertama (penjual) berikut suami/isteri Penjual
- Asli Sertifikat hak atas tanah yang akan dijual.
- Kartu Tanda Penduduk Suami dan Isteri yang masih berlaku.
- Jika Suami/isteri penjual meninggal maka yang harus dibawa adalah
AktaKematian dan jika bercerai membawa Akta Perceraian.
- Bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Terahir dan lima tahun
kebelakang
- Surat Persetujuan Suami/Isteri bagi yang sudah berkeluarga.
- Kartu Keluarga.
- NPWP.
b. Sedangkan calon pembeli (Pihak Kedua) membawa :
- Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku
- Kartu Keluarga.
- NPWP
Setelah semua persyaratan terpenuhi maka dilakukan pembuatan Akta Jual Beli.
Tahap-tahapan dalam Pembuatan Akta Jual Beli antara lain:
a. Persiapan Pembuatan Akta Jual Beli.
1) Sebelum membuat akta Jual Beli Pejabat pembuat Akta Tanah melakukan
pemeriksaan/pengecekan mengenai keaslian sertifikat ke kantor
Pertanahan.
2) Penjual harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan.
111
3) Calon pembeli dapat membuat pernyataan bahwa dengan membeli tanah
tersebut ia tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi
ketentuan batas luas maksimum.
4) Surat pernyataan dari penjual bahwa tanah yang dimiliki tidak dalam
sengketa.PPAT menolak pembuatan Akta jual Beli apabila tanah yang
akan dijual sedang dalam sengketa atau dalam tanggungan di bank.
b. Pembuatan Akta Jual Beli
1) Pembuatan akta harus dihadiri oleh penjual dan calon pembeli atau orang
yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis jika dikuasakan.
2) Pembuatan akta harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi
biasanya dari pegawai PPAT.
3) PPAT membacakan akta dan menjelaskan mengenai isi dan maksud
pembuatan akta, Termasuk juga sudah lunas atau belum untuk
transaksinya.
4) Bila isi akta telah disetujui oleh penjual dan calon pembeli maka akta
ditandatangani oleh penjual, calon pembeli, saksi-saksi dan PPAT.
5) Akta dibuat 2 lembar asli, satu lembar disimpan di Kantor PPAT dan satu
lembar lainnya disampaikan ke Kantor Pertanahan untuk keperluan
pendaftaran (balik nama).
6) Kepada penjual dan pembeli masing-masing diberikan salinannya.
Setelah Akta Jual Beli selesai di tandatangani oleh semua pihak tahapan
selanjutnya yang dilakukan adalah PPAT menyerahkan berkas Akta Jual Beli ke
Kantor Pertanahan untuk keperluan balik nama sertifikat. Penyerahan harus
112
dilaksanakan selambat-lambatnya tujuh hari kerja sejak ditandatanganinya akta
tersebut.Berkas yang diserahkan ke BPN antara lain:
1) Surat permohonan balik nama yang ditandatangani oleh pembeli atau
Kuasanya Jika Dikuasakan.
2) Akta jual beli PPAT lembar kedua.
3) Asli Sertifikat hak atas tanah.
4) Foto Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) pembeli dan penjual yang masih
berlaku dan di ligalisir.
5) Bukti pelunasan pembayaraan Pajak Bumi dan Bangunan tahun Terahir.
6) Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan.
Setelah permohonan dan kelengkapan berkas disampaikan ke Kantor
Pertanahan, baik oleh pembeli sendiri atau PPAT atas kuasa dari pembeli, maka
Kantor Pertanahan akan memberikan tanda bukti penerimaan permohonan balik
nama kepada pemohon. Selanjutnya, oleh Kantor Pertahanan akan dilakukan
pencoretan atas nama pemegang hak lama, untuk kemudian diubah dengan nama
pemegang hak baru. Nama pemegang hak lama (penjual) didalam buku tanah dan
sertipikat dicoret dengan tinta hitam, serta diparaf oleh Kepala Kantor Pertanahan
atau pejabat yang ditunjuk. Nama pemegang hak yang baru (pembeli) ditulis pada
halaman dan kolom yang tersedia pada buku tanah dan sertipikat, dengan
dibubuhi tanggal pencatatan serta ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan
atau pejabat yang ditunjuk. Dalam waktu 14 (empat belas hari) pembeli dapat
mengambil sertipikat yang sudah atas nama pembeli, di Kantor Pertahanan
113
Terkait.95 Dengan telah dilakukan balik nama tersebut maka pemilik tanah baru
dapat melakukan perbuatan hukum terhadap apa yang dimilikinya misalnya tanah
tersebut dijadikan jaminan dalam peminjaman hutang di bank. hal tersebut biasa
disebut dengan Pembebanan Hak Tanggungan, adapun tata cara pendaftaran Hak
Tanggungan dikemukakan sebagai berikut:96
a) Tahap Pemberian Hak Tanggungan;
APHT dibuat dihadapan PPAT yang didahului dengan perjanjian kredit
yang dijamin. Dimana PPAT harus memeriksa (pengecekan) sertipikat tanah yang
akan dijadikan agunan mengenai keabsahan dan tidak adanya sengketa dengan
pihak lain atau sertipikat tersebut masih dalam proses balik nama ataupun masih
dalam bentuk pipil,getuk c, lalu meminta kelengkapan surat-surat kepada pemberi
dan pemegang Hak Tanggungan serta harus mengetahui kewenangan dari pemberi
dan pemegang Hak Tanggungan. Setelah itu barulah PPAT dapat membuatkan
SKMHT setelah SKMHT maka diikuti dengan pembuatan APHT. Jangka waktu
berlakunya SKMHT yang hanya 1 bulan. Pembebanan Hak Tanggungan yang
penyelesaian sertipikatnya bagi tanah yang sudah terdaftar, maka jangka waktu
yang ditetapkan dalam UUHT belum dapat atau tidak dapat dikatakan akomodatif
terhadap permasalahan perbankan.
b) Tahap Pendaftaran dilakukan di Kantor Pertanahan ;
Pendaftaran objek Hak Tanggungan berdasarkan ketentuan Pasal 17
UUHT dilakukan di Kantor Pendaftaran Kota atau Kabupaten di Kantor
95Eko Yulian Isnur, 2008, Tata Cara Mengurus Surat-Surat Rumah danTanah, Pustaka Yustisia, Jakarta, hal 73-75
96H. Salim HS.2007, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia.PT Raja Grafindo Persada. Jakarta, hal.179
114
Pertanahan Nasional setempat. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam waktu
7 hari setelah penandatanganan pemberian hak tanggungan wajib mengirimkan
Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dan warkah lainnya kepada Kantor
Pertanahan serta berkas yang diperlukan yaitu :
- Surat pengantar dari Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang dibuat
rangkap 2 dan memuat daftar jenis surat-surat yang disampaikan ;
- Surat permohonan pendaftaran hak tanggungan dari penerima hak
tanggungan ;
- Fotokopi surat identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan ;
- Sertifikat asli hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang
menjadi objek Hak Tanggungan.
- Lembar ke dua Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) ;
- Salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang sudah diparaf olehPejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bersangkutan untuk disahkan sebagai
salinan oleh Kepala Kantor Pertanahan untuk pembuatan sertifikat hak
tanggungan ;
- Bukti pelunasan biaya pendaftaran hak tanggungan.
- Kantor Pertanahan membuat buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya
dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan serta
menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang
bersangkutan.
- Tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah
penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi
115
pendaftarannya. Surat-surat yang diperlukan bagi tanah yang sudah
bersertifikat atas nama.
Menurut Pasal 10 Ayat (1) UUHT, pemberian Hak Tanggungan didahului
dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan
utang tertentu, yang dituangkan dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari
perjanjian kredit atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
Perjanjian kredit dapat dibuat secara dibawah tangan ataupun dengan akta otentik
yang biasanya dibuat secara notariil. Adanya utang yang dijamin merupakan
syarat sah bagi adanya Hak Tanggungan yang bersangkutan. Menurut Pasal 8
UUHT, pemberi Hak Tanggungan yang harus hadir dihadapan PPAT, pada saat
penandatanganan APHT dan atau SKMHT adalah orang perorangan ataupun
badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Orang perorangan dalam hal
ini:
a) bisa bertindak sendiri, bila telah dewasa dan belum menikah atau bila ia telah
melangsungkan perkawinan dengan membuat perjanjian kawin pisah harta;
b) harus mandapat persetujuan dari suami atau isterinya (bisa hadir ataupun
dengan surat persetujuan);
c) orang perorangan yang suami atau isterinya telah meninggal dunia sedangkan
objek Hak Tanggungan tersebut perolehannya pada masa perkawinan, maka
diperlukan adanya persetujuan dari para ahli warisnya, dalam hal ada ahli
waris masih di bawah umur, maka perlu penetapan pengadilan untuk ijin
penjaminan.
116
d) badan hukum diwakili oleh Direksi/Direktur dengan persetujuan dari Rapat
Umum Pemegang Saham/RUPS (sesuai dengan yang ditetapkan dalam
anggaran dasar perseroan).
Lembaga pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam UUPA Juncto PP
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, lebih tepat dinamakan sebagai
stelsel campuran yakni antara stelsel negativebertendensi positif97. Artinya
pendaftaran tanah memberikan perlindungan kepada pemilik yang berhak (stelsel
negatif) dan menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam
bukupemilik yang berhak (tendensi positif). Berdasarkan ketentuan Pasal 17
UUHT, tidaklah berlebihan apabila lembaga pendaftaran tanah menurut UUHT
juga menganut stelsel campuran.98
Tanpa adanya pendaftaran, Hak Tanggungan dianggap tidak pernah ada,
jika pendaftaran belum dilakukan di Kantor Pendaftaran tanah, menurut Pasal 13
Ayat 1 UUPA begitu juga halnya dengan hipotik menurut Pasal 1179 Ayat 2
KUHPer. Semua perikatan Hak Tanggungan dan Hipotik yang sudah dalam
proses pemasangan yang belum didaftarkan, dianggap belum ada dan tidak dapat
dimintakan eksekusi penjualan lelang berdasarkan Pasal 244 Herziene
Indonesisch Reglement (HIR). Pemberian Hak Tanggungan harus didaftarkan 7
(tujuh) hari kerja setelah penandatanganan APHT
97Mariam Darus Badrulzaman,1991, Perjanjian Kredit BankCitra AdityaBakti, Bandung, (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman III), hal.11.
98Effendy Hasibuan, 1997, Dampak Pelaksanaan Eksekusi Hipotik DanHak Tanggungan Terhadap Pencairan Kredit Macet Pada Perbankan Di Jakarta,Laporan Penelitian, Universitas Indonesia Pascasarjana (S3) Bidang Studi IlmuHukum, Jakarta.
117
Bahwa di dalam melakukan eksekusi Hak Tanggungan tata urutan
pendaftaran yang menentukan kekuatan yang mengikat dari Hak Tanggungan itu.
Hak Tanggungan yang dibuat debitur terhadap beberapa orang kreditur, bukan
dilihat dari tanggal pemasangan, tetapi dilihat dari urutan pendaftarannya. Sebagai
tanda bukti adanya Hak Tanggungan yang sudah didaftarkan oleh Kepala Kantor
Badan Pertanahan Nasional maka, diterbitkan sertipikat Hak Tanggungan yang
bentuk dan isinya juga ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional berdasarkan ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 14 Ayat
1 UUHT. Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
Ayat 1 UUHT memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang sudah mempunyai ketetapan hukum yang tetap dan berlaku
sebagai grosse akta. Kalau dilihat bahwa titel eksekutorial terdapat pada sertipikat
Hak Tanggungan, dengan demikian APHT adalah pelengkap dari sertipikat Hak
Tanggungan.
3.4 Fungsi Covernote Dalam Pembebanan Hak Tanggungan Yang Sedang
Dalam Proses Balik Nama Sertipikat
Dalam hal permasalahan kredit perbankan, pihak debitur tentu ingin segera
mendapatkan kreditnya sedangkan pihak kreditur ingin segera mendapatkan
jaminannya, namun tidak semudah itu tentu ada saja kendala yang dialami dalam
proses pemberian kredit ini misalnya sertipikat baru di konversi; baru adanya
proses jual beli yang sertipikatnya dalam proses balik nama; sertipikat sedang
dalam proses roya. Maka pihak Notaris yang harus pandai mengakalinya agar
118
kedua belah pihak sama-sama diuntungkan dan dalam keadaan aman. Notaris
dalam hal ini akan membuat catatan penutup atau yang lebih umum disebut cover
note.
Cover note berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yang
terpisah, yakni cover dan note, dimana cover berarti tutup dan note berarti tanda
catatan. Maka covernote berarti tanda catatan penutup. Dalam istilah kenotariatan
arti dari cover note adalah surat keterangan, yakni surat keterangan yang
dikeluarkan oleh seorang Notaris yang dipercaya dan diandalkan atas tanda
tangan, cap, dan segelnya guna untuk penjamin dan sebagai alat bukti yang kuat.
Cover note dikeluarkan oleh Notaris karena Notaris belum tuntas melaksanakan
pekerjaannya dalam kaitannya dengan tugas dan kewenangannya yang harus
dilaksanakannya untuk menerbitkan akta otentik. Dalam UUJN Tugas dan
kewenangan Notaris tidak ada satu pasalpun yang menegaskan bahwa Notaris
dapat membuat cover note untuk menerangkan bahwa akta yang akan dikeluarkan
kelak masih dalam proses berjalan. Untuk menerangkan bahwa sertipikat hak
tanggungan sebagai prasyarat lahirnya perjanjian kredit oleh bank, kemudian bank
dapat melakukan pencairan kredit.
Bank tidak segampang itu akan mencairkan kredit tetapi Bank tetap
berpegang pada prinsip kehati-hatian yang ditegaskan dalam SK Direksi BI
Nomor 27/ 162/ KE/ DIR dalam pelaksanaan kegiatan perkreditannya dan juga
berdasarkan pedoman penyusunan kebijaksanaan perkreditan Bank.
Oleh karena itu bank biasanya mencari sumber, history, kejelasan bukti
kepemilikan, bahkan oleh Bank mendapat keterangan dari tanah yang menjadi
119
objek hak tanggungan tersebut melalui permintaan tanda tangan dari semua
pemilik yang berdekatan dengan batas-batas tanah tersebut, selebihnya juga
mendapat keterangan melalui tanda tangan dari kepala desa/ camat/ lurah dimana
tanah yang menjadi objek jaminan tersebut terletak wilayahnya menerapkan
prinsip-prinsip perkreditan seperti prinsip kehati-hatian, prinsip kepercayaan dan
prinsip 5C. Namun bank juga tampaknya tidak mengikuti mekanisme yang
ditentukan dalam UUHT sehingga pihak bank dengan cepat saja mengeluarkan
dan berani mencairkan kredit tanpa melihat bahwa perjanjian kredit tidak diikat
dengan hak tanggungan yang sempurna. Tidak perlu ada rasa was-was dari Bank
kalau debitur itu wanprestasi yang akan menyebabkan kreditnya macet, karena
suatu waktu juga bank tetap akan memperoleh sertipikat hak tanggungan yang
memiliki kekuatan hukum yang dapat mengikat perjanjian atau pencairan kredit
dengan objek jaminan hak tanggungan.
Covernote yang dikeluarkan oleh Notaris berfungsi menerangkan hal-hal
yang sedang dilakukan pengurusan di Kantor Notaris/PPAT. Dalam pengurusan
tersebut tidak jarang memakan waktu yang banyak sedangkan pihak debitur ingin
kreditnya cepat cair dan pihak bank merasa was-was jika tidak adanya kepastian
hukum terhadap jaminan tersebut, sehingga dengan adanya covernote ini akan ada
percaya dari pihak bank bahwa jaminan tersebut akan benar-benar dapat
dikeluarkan Sertifikat Hak Tanggungan dan bank sebagai pihak kreditur dapat
didahulukan haknya.
120
3.5 Kekuatan Hukum Covernote Dalam Pembebanan Hak Tanggungan
Yang Sedang Dalam Proses Balik Nama Sertipikat
Dikeluarkannya cover note oleh Notaris yang berisikan pernyataan.
Pernyataan pada prinsipnya tidak digantungkan pada bentuk tertentu. Pernyataan
demikian dapat diberikan secara tegas, namun juga tercakup kedalam satu atau
lebih perilaku. cover note muncul sebagai surat keterangan tidak hanya terjadi
dalam hukum jaminan berupa sertipikat hak tanggungan, melainkan juga dapat
dikleuarkan oleh Notaris dalam akta yang lain seperti gadai, hipotik, fidusia.
Mengingat bahwa rata-rata dalam pencairan kredit oleh Bank bagi debitur. Bank
lebih senang dan terbiasa mencairkan kredit yang disertai dengan hak tanggungan,
yang objek jaminan hak tanggungannya adalah tanah. Apalagi tanah bernilai
ekonomi dan harganya tidak pernah turun-turun. Ada beberapa contoh dari surat
keterangan cover note Notaris, misalnya:
1. Bila debitur hendak mengambil kredit di Bank dan barang yang akan
dijaminkan itu masih dalam proses balik nama atau roya sedangkan Bank baru
akan mencairkan kredit bila barang yang dijaminkan telah selesai di balik
namaatau roya fidusia terlebih dahulu, maka salah satu solusi agar kredit itu
dapat dicairkan oleh Bank, yaitu Notaris akan mengeluarkan cover note yang
berisi keterangan bahwa sertipikat kepemilikan atas barang itu sedang dalam
proses balik nama atau roya dan apabila telah selesai di balik nama atau roya
maka akan disetor ke Bank.
2. Bila suatu Perseroan Terbatas sedang menunggu surat keputusan pengesahan
sebagai Badan Hukum dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
121
Indonesia dan proses pengurusannya dilimpahkan ke kantor Notaris, maka
Notaris akan mengeluarkan cover note, yang menerangkan bahwa surat
tersebut sedang dalam proses di Departeman Hukum dan HAM RI apabila
telah selesai pengurusannya akan diserahkan kepada pihak yang
berkepentingan tersebut.
Pada umumnya proses cover note Notaris tidak ada aturan baku yang
mengatur mengenai bentuk dan tata cara penulisannya, akan tetapi penulisan dari
cover note biasanya dilakukan atas kop surat Notaris, ditandatangani dan dicap
oleh Notaris, sedangkan lainya disesuaikan dengan proses yang sedang dalam
pengurusan di kantor Notaris/PPAT.
Sebagaimana dalam sertipikat hak tanggungan, bank akan memilki
kekuatan hukum untuk mengeksekusi objek jaminan hak tanggungan jika debitur,
pada akhirnya tidak mampu mengembalikan kredit pinjaman, maka tidak
dipermasalahkan lagi cover note-nya. Bank tetap jauh dari ancaman pinjaman
yang tidak akan dikembalikan oleh debitur. Dengan sertipikat hak tanggungan
artinya Bank tetap memiliki Kedudukan yang diutamakan atau didahulukan
pemegangnya (preferent) yang artinya:
a. Mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada.
b. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
c. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Bank sebagai pihak yang
mencairkan kredit hanya dengan cover note juga berani bertaruh, tidak
122
hanya dengan cover note, tetapi ia harus benar memiliki keyakinan atau
kepercayaan pada objek jaminan debitur yang akan keluar kelak sertipikat
hak tanggungannya.
Jika dipandang secara hukum memang pada kenyataannya cover note
tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan sempurna. hanya sebagai
pengantar pada bank untuk mengeluarkan kredit, minimal ada rasa kepercayaan
yang terbangun antara bank sebagai pemegang hak tanggungan kelak setelah
keluarnya sertipikat hak tanggungan dari Badan Pertanahan. Notaris dalam
mengeluarkan cover note tidak sembarangan, memberikan surat keterangan bahwa
debitur sebagai pemberi hak tanggungan, dapat dipercaya untuk dicairkan
kreditnya. Notaris sebelumnya akan melakukan pengecekan pada Badan
Pertanahan bahwa tanah tersebut sebenarnya telah terdaftar atau dapat memenuhi
persyaratan administratif untuk dikeluarkan sertipikat hak tanggungannya dan
bank kelak akan memperoleh sertipikat hak tanggungan, untuk kemudian dicatat
juga dalam buku tanah hak tanggungan pada Badan Pertanahan.
123
BAB IV
KEDUDUKAN KREDITUR TERHADAP OBJEK HAK TANGGUNGAN
YANG SERTIPIKATNYA SEDANG DALAM PROSES BALIK NAMA
4.1 Kedudukan Pihak Kreditur Terhadap Perjanjian Kredit Yang Objek
Hak Tanggungannya Sedang Dalam Proses Balik Nama
Secara etimologi istilah kredit berasal dari bahasa Latin “credere”, yang
berarti kepercayaan. Hal ini menunjukkan, bahwa yang menjadi dasar pemberian
kredit oleh bank kepada nasabah/debitur adalah kepercayaan. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, salah satu pengertian kredit adalah pinjaman uang
dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur atau pinjaman sampai batas
jumlah tertentu yang diijinkan oleh bank atau badan lain.99
Perjanjian Kredit termasuk kategori perjanjian obligatoir dan karenanya
melahirkan hak perorangan yang diatur dalam Buku III Burgelijk Wetboek
(selanjutnya disingkat B.W.), menimbulkan akibat hukum bagi masing-masing
para pihak selain terikat kepada janjinya, juga menimbulkan hak dan kewajiban
bagi para pihak secara timbal balik.100 Perjanjian kredit dalam praktek sering
disebut akad kredit, sedangkan di dalam hukum perdata disebut perjanjian pinjam-
meminjam atau hutang-piutang, yaitu suatu perjanjian yang satu pihak (kreditur)
berjanji untuk menyediakan barang yang habis karena pemakaian, sedangkan
pihak lain (debitur) berjanji untuk mengembalikan barang tersebut dengan barang
99Hermansyah,2005, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, PrenadaMedia, Jakarta, hal. 55
100Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan,Laksbang Pressindi, Yogyakarta, hal. 14
124
lain dengan jenis, mutu, dan jumlah yang sama di lain waktu, baik disertai dengan
disertai bunga atau tidak sesuai kesepakatan. Perjanjian kredit perbankan di
Indonesia mempunyai arti yang khusus dalam rangka pembangunan, tidak
merupakan perjanjian pinjam-meminjam uang yang biasa, perjanjian kredit
menyangkut kepentingan nasional.101 Menurut H. Salim HS, bahwa pada dasarnya
perjanjian kredit dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu :102
1. Perjanjian Pokok, yaitu perjanjian untuk mendapatkan fasilitas kredit dari
lembaga perbankan atau lembaga keuangan non bank. Contoh perjanjian
pokok adalah perjanjian kredit bank.;
2. Perjanjian Accesoir (Tambahan), yaitu perjanjian yang bersifat tambahan
dan dikaitkan dengan perjanjian pokok. Contohnya adalah perjanjian
gadai, hak tanggungan, dan fidusia.
Selama prestasi dalam perjanjian kredit yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan
dipenuhi dengan baik oleh debitor, maka hak tanggungan sebagai hak jaminan
tidak kelihatan fungsinya.Hak Tanggungan baru berfungsi apabila debitor cedera
janji. Dalam hal pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir di hadapan Notaris
atau PPAT, Pasal 15 UUHT memberikan kesempatan kepada pemberi Hak
Tanggungan untuk menggunakan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
(SKMHT). Pemberi Hak Tanggungan wajib menunjuk pihak lain sebagai
kuasanya dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang berbentuk
autentik dan harus memenuhi syarat- syarat. Berkaitan dengan teori perjanjian
101Mariam Darus Badrulzaman,1994,Aneka Hukum Bisnis, Alumni,Bandung, (selanjutnya disebut disebut Mariam Darus Badrulzaman IV), hal. 105
102 H. Salim HS, Op.cit, hal 29.
125
semua bentuk kesepakatan antara debitur dan kreditur dituangkan dalam suatu
perjanjian yang berbentuk autentik ataupun dapat dibawah tangan.
Dalam hal menjalankan lelang kedudukan kreditur telah ditentukan oleh undang-
undang. Kedudukan kreditur antara lain:
1) Kreditur Preferen yaitu kreditur yang mempunyai hak mendahului karena
sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa.
Kreditur Preferen terdiri dari Kreditur preferen khusus, sebagaimana
diatur dalam Pasal 1139 KUH Perdata, dan Kreditur Preferen Umum,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1149 KUH Perdata.Robert W. Vishny
dalam Law and Finance Journal menyebutkan hak-hak kreditur yang
didahulukan, antara lain :
a. secure creditors are able to gain possession of their security onceofthe reorganization petition has been approved;
b. secured creditors are ranked first in the distribution of theproceedsthat result from the dispotition of the assets af a bankruptfirm;
c. the debtor doesn’t retain the administration of its propertypendingthe resolution of the reorganization;
d. secured creditors first paid.103
2) Kreditur Konkuren yaitu kreditur yang tidak termasuk dalam Kreditur
Separatis dan Kreditur Preferen (Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUH Perdata).
Kedudukan Pihak Kreditur dalam perjanjian kredit sebagai kreditur
konkuren yang artinya apabila debitur wanprestasi maka segala jaminan yang
dijaminkan debitur dari hasil penjualan jaminan tersebut akan dibagi sama rata
103Robert W. Vishny. 1998. “Law and Finance”. Journal of PoliticalEconomy. Vol.106, No. 6. hal.1124
126
dan tidak ada yang didahulukan. Hal ini dikarenakan dalam setiap orang yang
akan meminjam kredit pasti akan perjanjian kredit baik yang telah baku dibuat
oleh bank ataupun perjanjian kredit yang dibuat dalam notariil, dalam perjanjian
kredit tentu akan dijelaskan objek/barang apa yang akan dijadikan jaminan oleh
pihak debitur. Dengan melihat ketentuan pasal Pasal 1139 KUH Perdata maka
kreditur tersebut dapat dikatakan prefence, yang artinya didahulukan daripada
debitur lainnya, pada pasal Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata maka kreditur
dikatakan kreditur separatis, dan pada pasal Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUH
Perdata dikatakan kreditur konkuren.
4.2 Kedudukan Kreditur Terhadap Objek Hak Tanggungan Yang sedang
Dalam Proses Balik Nama
Dalam Pasal 1131 KUHPerdata menyatakan “segala benda pihak yang
berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatannya perseorangan”. Undang-Undang memberikan perlindungan bagi
semua kreditur dalam kedudukan yang sama, dari Pasal 1131 KUHPerdata dapat
disimpulkan asas-asas hubungan ekstern kreditur sebagai berikut:
1. Seorang kreditur boleh mengambil pelunasan dari setiap bagian dari harta
kekayaan debitur;
2. Setiap bagian kekayaan debitur dapat dijual guna pelunasan tagihan
kreditur; dan
127
3. Hak tagihan kreditur hanya dijamin dengan harta benda debitur saja, tidak
dengan “person debitur”.104
Bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap hutangnya, tanggung jawab
mana berupa menyediakan kekayaannya baik benda bergerak maupun tetap jika
perlu dijual untuk melunasi hutang-hutangnya (asas Schuld dan Haftung).105
Sebagai perwujudan dari asas publisitas, pemberian hak tanggungan wajib
didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pendaftaran pemberian hak tanggungan
merupakan syarat mutlak untuk lahirnya hak tanggungan tersebut dan
mengikatnya hak tanggungan terhadap pihak debitur. Pada tahap pemberian hak
tanggungan oleh pemberi hak tanggungan kepada kreditur, hak tanggungan yang
bersangkutan belum lahir, hak tanggungan itu baru lahir pada saat dibukukan
dalam daftar umum di Kantor Pertanahan.Saat itu bukan saja menentukan
kedudukan yang diutamakan terhadap kreditur-kreditur lain yang juga pemegang
hak tanggungan dengan tanah yang sama sebagai jaminannya. Hal tersebut
merupakan salah satu perwujudan kepastian hukum, sebagaimana yang
disebutkan pada bagian menimbang pada pembukaan UUHT, yakni adanya
kewajiban pendaftaran hak tanggungan sebagai perwujudan dari asas publisitas.
Pendaftaran hak tanggungan, yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan
dengan membuatkan buku tanah Hak Tangggungan dan mencatatnya dalam buku
tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan serta menyalin catatan
tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Agar pembuatan buku
tanah hak tanggungan tersebut tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan
104J. Satrio, loc.cit105Mariam Darus Badrulzaman III, Loc.cit
128
pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi jaminan kepastian hukum,
maka UUHT menetapkan satu tanggal yang pasti sebagai tanggal buku tanah itu,
yaitu tanggal hari ketujuh dihitung dari hari dipenuhinya persyaratan surat-surat
untuk pendaftarannya secara lengkap dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari
libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Dengan
demikian Kantor Pertanahan berkewajiban untuk memeriksa dan memberitahukan
mengenai kekurangan surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran hak
tanggungan tersebut.
Dalam hari yang sama ada lebih dari satu hak tanggungan yang
didaftarkan, maka tingkat hak tanggungan ditentukan oleh tanggal pemberian hak
tanggungan, yang mempunyai tanggal yang lebih muda didahulukan
pendaftarannya dari pada tanggal yang lebih tua sesuai dengan Pasal 5 Ayat 3
UUHT. Maka pemberian tingkatan-tingkatan hak tanggungan yang dikaitkan
dengan saat pendaftaran merupakan konsekuensi logis daripada sifat hak
kebendaan yaitu bahwa hak kebendaan yang lahir lebih dahulu mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi daripada yang lahir kemudian. Menurut Herowati
Poeskoso, menyatakan bahwa fungsi pendaftaran hak tanggungan adalah sebagai
berikut:106
1. untuk membuktikan saat lahirnya dan mengikatnya hak tanggungan
terhadap para pihak dan pihak ketiga
2. untuk menciptakan alat bukti adanya hak bagi yang berhak/berwenang,
bahwa tanah tersebut telah dibebankan dengan hak tanggungan
106Herowati Poesoko, Op.cit, hal 108
129
3. hak tanggungan yang lahir terlebih dahulu merupakan kedudukan yang
lebih tinggi daripada yang lahir kemudian
4. untuk menciptakan kepastian hukum bagi kreditur bahwa manakala
debitur cidera janji, maka kreditur mendapatkan hak preferen sehingga
mendahului dari kreditur-kreditur yang lain
5. untuk menciptakan perlindungan hukum bagi kreditur terhadap gangguan
pihak ketiga
6. apabila Akta Pembebanan Hak tanggungan itu didaftarkan dalam register
umum, maka janji yang terdapat dalam Akta Pembebanan Hak
Tanggungan mempunyai daya berlaku kebendaan dan juga berkekuatan
terhadap seseorang pemegang/pemilik baru.
Jika dikaitkan dengan konsep kepastian hukum, fungsi pendaftaran hak
agar kreditur pemegang hak tanggungan mendapatkan kepastian hukum bahwa
tanah yang dijaminkan oleh pemberi jaminan kepada pemegang jaminan
mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak, serta merupakan alat bukti bagi
pemegang hak bahwa tanah yang telah dibebankan dengan hak tanggungan
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada yang lahir kemudian. Apabila
bank sudah memiliki sertipikat hak tanggungan maka kedudukan bank selaku
kreditur akan mendapatkan hak istimewa atau hak preference atas jaminan yang
diserahkan oleh debitur. Sertipikat hak tanggungan sebagai bukti adanya
pembebanan hak tanggungan berisikan irah-irah “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” memiliki arti sertipikat
hak tanggungan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
130
putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila
debitur wanprestasi maka bank berdasarkan sertipikat hak tanggungan ini dapat
mengajukan permohonan eksekusi hak tanggungan kepada Pengadilan Negeri.
Tidak demikian halnya dengan pembebanan hak tanggungan atas jaminan yang
diserahkan oleh debitur yang belum atas nama debitur atau masih dalam proses
balik nama. Pembebanan hak tanggungan atas jaminan ini tidak dapat dilakukan
secara langsung atau tidak dapat dilakukan secara bersamaan dengan
penandatangan perjanjian kredit. Pembebanan hak tanggungan atas jaminan
tersebut baru bisa dilakukan kemudian pada saat sertipikat hak atas tanah sudah
selesai proses balik nama yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan. Dengan
melihat ketentuan Pasal 1 angka 1 UUHT memberikan kedudukan yang
diutamakan atau didahulukan kepada pemegang Hak Tanggungan (droit
depreference). Pasal 1 angka 1 UUHT menyebutkan bahwa pengertian Hak
Tanggungan : “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan Tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak atas tanah
Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda
lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur lain”. Dalam ketentuan pasal tersebut mengandung makna
bahwa apabila debitur cidera janji, maka kreditur sebagai pemegang Hak
Tanggungan berhak menjual objek Hak Tanggungan yang menjadi jaminan
pelunasan piutang melalui pelelangan umum menurut ketentuan perundang-
131
undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur
lain, dimana kedudukan diutamakan tersebut tidak mengurangi preferensi piutang-
piutang negara menurut ketentuan hukum yang berlaku dan Hak kreditur yang
didahulukan (preference) merupakan hak tagihan yang oleh undang-undang
digolongkan dalam hak istimewa (privilege), dan tagihannya disebut sebagai
tagihan yang didahulukan atau tagihan preference, sedangkan krediturnya disebut
kreditur preference. Hak preference atau privilege ini diatur juga dalam Buku II
Titel XIX tentang “Piutang-piutang yang Diistimewakan”, yaitu mulai Pasal 1131
sampai dengan Pasal 1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana bab
tersebut terdiri atas tiga bagian yang isinya mengenai :
1) Piutang-piutang yang diistimewakan;
2) Hak-hak istimewa mengenai benda-benda tertentu;
3) Hak-hak istimewa atas semua benda bergerak dan tidak bergerakpada
umumnya.
Dalam salah satu Pasalnya yaitu Pasal 1131 KUHPer, disebutkan hak-hak ekstern
kreditur. Hak-hak ekstern kreditur, yaitu :
a. Seorang kreditur boleh mengambil pelunasan dan setiap bagian dari harta
kekayaan debitur;
b. Setiap bagian kekayaan debitur dapat dijual guna pelunasan tagihan
kreditur;
132
c. Hak tagihan kreditur hanya dijamin dengan harta benda debitur saja, tidak
dengan “persoon debitur”107
Secara yuridis, pengertian privilege dirumuskan dalam Pasal 1134 ayat(1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu : “Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh
undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang, sehingga tingkatnya lebih
tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifatnya
piutang”. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan dua macam hak
privilege berdasarkan ketentuan Pasal 1138 KUHPer, yang berbunyi :“Hak-Hak
istimewa ada yang mengenai benda-benda tertentu dan ada yang mengenai
seluruh benda, baik bergerak maupun tidak bergerak. Yang pertama didahulukan
daripada yang tersebut terakhir”. Hak privilege berdasarkan ketentuan Pasal 1138
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut adalah :
1. Piutang-piutang yang didahulukan terhadap kebendaan tertentu saja dari milik
debitur (privilege khusus), terdiri dari :
a) Biaya-biaya perkara, yang semata-mata disebabkan karena suatu
penghukuman untuk melelang suatu kebendaan bergerak maupun tidak
bergerak. Biaya ini dibayar dari pendapatan penjualan kebendaan tersebut
lebih dahulu daripada semua piutang-piutang lainnya yang didahulukan;
b) Uang sewa dari kebendaan tidak bergerak, biaya perbaikan yang menjadi
kewajiban penyewa, serta segala apa yang mengenai kewajiban memenuhi
perjanjian sewa-menyewa;
c) Harga pembelian kebendaan bergerak;
107J. Satrio. 2007. Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan.Bandung : PT Citra Aditya Bakti. hal.4.
133
d) Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu kebendaan atau
barang;
e) Biaya untuk melakukan suatu pekerjaan pada suatu kebendaan;
f) Apa yang telah duserahkan oleh seorang pengusaha rumah penginapan
kepada seorang tamu;
g) Upah atau biaya pengangkutan dan biaya tambahan;
h) Apa yang harus dibayar kepda tukang batu, tukang kayu, dan lain-lain asal
piutangnya tidak lebih dari tiga tahun;
i) Penggantian dan pembayaran yang harus dipikul oleh pegawai yang
memangku jabatan umum, karena segala kelalaian, kesalahan, pelanggaran
dan kejahatan yang dilakukan dalam jabatannya.
2. Piutang-piutang yang didahulukan terhadap semua kebendaan bergerak atau
tidak bergerak pada umumnya (privilege umum),yang terdiri dari:
a) Biaya perkara, semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian
suatu warisan;
b) Biaya pemakaman, dengan tidak mengurangi kekuasaan hakim untuk
menguranginya, jika biaya terlampau tinggi;
c) Semua biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yang penghabisan
kemudian debitur meninggal;
d) Upah dan tunjangan buruh beserta sanak keluarganya;
e) Tagihan karena pengiriman atau penyerahan bahan makanan untuk
keperluan orang yang berutang;
f) Tagihan para kostschoolhouders;
134
g) Tagihan anak-anak yang belum dewasa108
Jaminan Hak Tanggungan harus dibuktikan dengan adanya sertifikat Hak
Tanggungan, dan jika tidak adanya sertifikat tersebut maka kedudukan kreditur
sama dengan kedudukan kreditur lainnya (kreditur konkuren). Dalam hal
dimungkinkan sita oleh pengadilan berarti pengadilan mengabaikan, bahkan
meniadakan kedudukan yang didahulukan (preference) dari kreditur pemegang
Hak Tanggungan.109
4.3 Akibat Hukum Terhadap Pihak Kreditur Dalam Hal Objek Hak
Tanggungan Sedang Dalam Proses Balik Nama
Pada asasnya janji menimbulkan perikatan, terutama adanya kesepakatan
kehendak yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian akan
menimbulkan suatu hubungan hukum yang mempunyai akibat hukum bagi para
pihak tersebut. Perjanjian yang disepakati oleh para pihak akan menimbulkan
hubungan hukum yang mengikat para pihak, serta menimbulkan hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi. Selain adanya hak dan kewajiban tersebut, dalam
hal pembuatan perjanjian terdapat syarat-syarat yang wajib dipenuhi. Dalam Pasal
1320 KUHPer juga menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu:
a. Adanya kesepakatan (toesteming) para pihak.Kesepakatan adalah
persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan
pihak lainnya.
108Rachmadi Usman. 2008. Hukum Jaminan Keperdataan. Jakarta : SinarGrafika.hal.523.
109Sutan Remi Sjahdeini, 1999,Hak Tanggungan; Asas-asas Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang dihadapi Oleh Perbankan (Suatu KajianMengenai Undang-Undang Hak Tanggumgan), Alumni, Bandung, hal 41.
135
b. Kecakapan melakukan perbuatan hukum.Orang-orang yang mengadakan
perjanjian harus cakap dan berwenang untuk melakukan perjanjian
tersebut.
c. Adanya objek tertentu (onderwerp der overeenskomst). Suatu perjanjian
haruslah mengenai objek tertentu. Yang dimaksud objek tertentu dalam
suatu perjanjian adalah suatu prestasi. Pasal 1234 KUHPerdata
menyebutkan bahwa tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu,
berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.
d. Adanya sebab yang halal (geoorloofde oorzak). Pasal 1335 KUH Perdata
menyatakan bahwa suatu persetujuan yang dibuat karena sebab yang
terlarang tidak mempunyai kekuatan. Lebih lanjut dalam Pasal 1337
KUHPer disebutkan bahwa yang termasuk dalam sebab yang terlarang
adalah yang dilarang oleh undang-undang atau berlawanan dengan
kesusilaan dan ketertiban umum.
Syarat yang pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena syarat
tersebut mengenai pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan ketiga
dan keempat merupakan syarat objektif karena syarat tersebut mengenai objek
perjanjian. Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, perjanjian dapat dibatalkan atas
permintaan pihak yang berhak atas suatu pembatalan. Namun apabila para pihak
tidak ada yang keberatan, maka perjanjian tersebut dianggap sah. Jika syarat
obyektif tidak terpenuhi, perjanjian dapat batal demi hukum yang berarti sejak
semula dianggap tidak pernah diadakan perjanjian. Sedangkan dalam SKMHT
terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa SKMHT tidak dapat ditarik kembali
136
atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun, kecuali karena kuasa tersebut telah
dilaksanakan atau karena habis jangka waktunya. Batas Waktu SKMHT sehingga
ketentuan Pasal 1320 dikesampingkan dengan demikian apabila terjadi
wanprestasi dari debitur maka kreditur akan melakukan eksesusi langsung
terhadap barang jaminan tersebut. Eksekusi Hak Tanggungan dapat dilakukan
dengan 3 (tiga) cara, yaitu :
1) Hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual hak tanggungan
atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 UUHT. Hak untuk menjual objek hak tanggungan atas
kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan
diutamakan yang dipunyai oleh pemegang hak tanggungan atau pemegang
hak tanggungan pertamadalam hal terdapat lebih dari pemegang hak
tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh
pemberi hak tanggungan, bahwa apabila debitur cidera janji, pemegang
hak tanggungan berhak untuk menjual objek hak tanggungan melalui
pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi pemberi hak
tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutang dari hasil
penjualan itu lebih dahulu dari kreditur-kreditur yang lain. Sisa hasil
penjualan tetap menjadi hak pmberi hak tanggungan;
2) Eksekusi atas title eksekutorial yang terdapat pada Sertipikat Hak
Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2).Irah-
irah yang dicantumkan pada Sertifikat Hak Tanggungan dimaksudkan
untuk menegaskan adanya kekuatan eksekutorial pada Sertipikat Hak
137
Tanggungan, sehingga apabila debitur cidera janji, siap untuk dieksekusi
seperti halnya suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap, melalui tata
cara lembaga parate executie sesuai hukum acara perdata;
3) Eksekusi di bawah tangan, yaitu penjualan objek hak tanggungan yang
dilakukan oleh pemberi hak tanggungan, berdasarkan kesepakatan dengan
pemegang hak tanggungan, jika dengan cara ini akan diperoleh harga yang
tertinggi.110
Sebelum dilakukan “balik nama” hak atas tanah tersebut belum
beralih/pindah kepada pembeli, hal ini berarti pemindahan hak atas tanah masih
diperlukan suatu perbuatan hukum lain yang berupa penyerahan (levering) yang
harus dibuatkan akta oleh pejabat yang berwenang.111 Terdapat penyimpangan
dari aturan ini, yaitu adanya itikad tidak baik yang dilakukan debitur/pemilik
tanah dengan pihak kreditur/bank serta pihak lain selaku pembeli tanah. Jual beli
hak atas tanah hanya dilakukan dengan membuat perjanjian di bawah tangan, dan
keteledoran pihak pembeli tanah telah memberikan pelunasan harga tanah dan
rumah tersebut. Hasil pembayaran yang diberikan kepada pihak pembeli tanah
tidak diberikan kepada bank untuk pelunasan kredit debitur/pemilik tanah yang
pada akhirnya tanah dan bangunan haruslah dieksekusi guna untuk melunasi
kredit debitur/pemilik tanah.
Akibat hukum yang timbul terhadap pihak kreditur jika objek hak
tanggungannya sedang dalam proses balik nama karena kedudukan kreditur
110H. Salim HS, 2005, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia,PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 190-191.
111K. Wntijk Saleh, 1977, Hak Anda Atas Tanah. Ghalia Indah, Jakarta.hal.31
138
konkuren maka pihak kreditur tidak dapat mengambil langsung objek hak
tanggungan tersebut apabila pihak debitur melakukan wanprestasi dan hasil
penjualan terhadap jaminan tersebut dibagi dengan kreditur-kreditur lainnya
dikarenakan tidak adanya sertipikat Hak Tanggungan yang dapat digunakan
sebagai bukti yang kekuatannya mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
.
139
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Pengaturan mengenai peralihan hak milik atas tanah sebagai objek hak
tanggungan yang sedang dalam proses balik nama yang terdapat dalam Pasal
15 Ayat 3 UUHT yang menyebutkan Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti
dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1
(satu) bulan sesudah diberikan, apabila dikaitkan dengan jangka waktu 1 bulan
tersebut SKMHT gugur belum terdapat redaksional yang mengatur mengenai
hal tersebut sehingga terjadi kekaburan norma.
2. Kedudukan kreditur terhadap objek Hak Tanggungan yang sedang dalam
proses balik nama adalah kreditur preference dimana kedudukannya
didahulukan daripada kreditur lainnya. Apabila bank sudah memiliki sertipikat
hak tanggungan maka kedudukan bank selaku kreditur akan mendapatkan hak
istimewa atau hak preference atas jaminan yang diserahkan oleh debitur.
Sertipikat hak tanggungan sebagai bukti adanya pembebanan hak tanggungan
berisikan irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA” memiliki arti sertipikat hak tanggungan tersebut
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang
sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
140
5.2 Saran
Pembahasan permasalahan yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya telah
memperoleh jawaban, yang mana dapat dipergunakan sebagi saran-saran dalm
penelitian tesis ini. Adapun beberapa saran tersebut adalah, sebagai berikut :
1. Kepada pemerintah khususnya Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia
agar menyempurnakan pasal 15 Ayat 3 mengenai Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan mengenai berapa banyak Notaris/PPAT dapat membuat
SKMHT apabila jangka waktu yang ditentukan telah jatuh tempo.
2. Permasalahan kredit memang selalu dialami oleh bank, walaupun bank berada
pada posisi yang sangat kuat, adakalanya pihak bank agar lebih cermat dalam
melakukan pengecekan terhadap jaminan yang akan dijadikan objek jaminan.