pembangunan dan pengembangan lingkungan...
TRANSCRIPT
1
PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN LINGKUNGAN HIDUP SEBAGAI SUATU GEOKOMPLEKS DAN SUATU GEOSISTEM1
Tejoyuwono Notohadiprawiro
PENGENALAN MASALAH
Keseimbangan Hutan Alamiah
Meskipun dalam kawasan tropika yang masih dara terdapat berbagai macam
masyarakat tumbuhan aseli-hutan rimba, saban, padang rumput, bahkan mungkin pula
gurun – namun hutan belantara yang nampak subur dan menghijau selalu menjadi
lambang kawasan tropika. Oleh karena ini pulalah orang sering menjumbuhkan masyarakat
hutan rimba dengan suatu keseimbangan ekosistem yang didambakan. Ekosistem hutan
rimba dijadikan suatu ekosistem teladan.
Dalam hutan tropika yang belum dijamah manusia terdapat suatu keseimbangan
yang mantap antara bentuk-bentuk kehidupan yang ada (flora, fauna dan organisme tanah)
dengan lingkungan fisiknya (iklim dan tanah), antara anasir brntuk kehidupan yang satu
dengan yang lain dan antara anasir lingkungan fisik yang satu dengan yang lain.
Tajuk pohon-pohon hutan merupakan atap hijau pelindung tanah dan kehidupan
yang berkembang di permukaan dan di dalam tanah, menahan sebagian besar tenaga
pancar matahari sehingga yang dapat mencapai tanah tinggal sebagian kecil saja. Dengan
demikian suhu tanah tidak banyak berbeda dengan suhu udara di dalam tegakan hutan dan
embutan (fluctuation) suhu harian dan musiman menjadi tidak seberapa.
Dengan adanya atap hijau itu hampir semua penguapan air dikawasan hutan
berlangsung melalui atap hijau dan hampir tidak ada penguapan air secara langsung dari
permukaan tanah , karena kelembaban nisbi udara di dalam hutan dapat bertahan pada nilai
yang cukup tinggi. Dengan demikian permukaan tanah tetap lembab dan kandungan air
tanah lapisan atasan (topsoil) hampir tidak berbeda dengan yang terdapat dalam lapisan
tanah bawahan (subsoil). Tubuh tanah yang dapat ditembus dan dijangkau oleh akar pohin
yang tidak jarang mencapai jeluk (depth) tidak kurang daripada 2 meter dapat
menyediakan air cukup bagi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan pohon-pohon itu.
1 Seminar Nasional Pengembangan Lingkungan Hidup. Jakarta, 5-6 Juni 1978
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
2
Suhu lunak (mild) dan kelembaban cukup tinggi itu menyebabkan lingkungan
hutan berkemampuan besar untuk mengawetkan dan mengumpulkan zat-zat hara
tumbuhan dalam bentuk bahan organik. Daya bentur curahan air hujan terhadap permukaan
tanah dapat dikurangi atau dihambat oleh atap hijau hutan tersebut, sehingga erosi tanah
hampir tidak terjadi.
Kawasan hutan yang berada dalam keseimbangan alamiah demikian memberikan
dua manfaat utama bagi kehidupan manusia. Manfaat pertama ialah hasil hutan dan
manfaat kedua keseimbnagan ekologi bagi wilayah yang lebih luas di sekitar loka hutan
(misalnya wilayah aliran sungai).
Sebab dan Akibat Pembukaan Hutan
Macam dan jumlah kegiatan manusia yang melibatkan kawasan darat cendrung
semakin meningkat. Peningkatan ini diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia
maupun bagi pemenuhan kebutuhan untuk melakukan keiatan usaha itu sendiri, yang
kedua-duanya semakin meningkat. Hal ini berjalan sejajar dengan peningkatan jumlah
penduduk dan peningkatan harkat manusia.
Dengan adanya peningkatan kegiatan itu – yang jelas merupakan gejala kemajuan
dan perkembangan suatu masyarakat manusia – maka tidaklah dapat dielakkan
berlangsungnya pembukaan hutan pada suatu waktu dan keadaan tertentu. Jelaslah, bahwa
tujuan sebenarnya dari pembukaan hutan demikian tidak lain dari kehendak masyarakat
manusia meningkatkan manfaat yang dapat dipetik dari potensi kawasan yang dihuninya.
Semakin meningkat dan lestari pemanfaatan itu, semakin berguna kawasan itu bagi
kehidupan manusia.
Di lain pihak, akibat cara-cara eksploitasi dan pemeliharaan yang kurang tepat,
sangat boleh jadi laju dan arah pendayagunaan kawasan yang bersangkutan menjadi tidak
selaras dengan aras pelestarian lingkungan, sehingga harkat kawasan sebagai tempat
bermukim dan berusaha makin lama makin menurun. Apabila kecendrungan ini dibiarkan
berlangsung terus, akhirnya dapat terjadi, bahwa kwasan tinggi mempunyai daya dukung
tepian (marginal) atau daya dukungnya merosot sampai bawah tepian (submarginal),
bahkan dapat kehilangan daya dukung sama sekali. Pada taraf demikian itu kawasan
dikatakan mencapai harkat kritik.
Pembukaan vegetasi alamiah untuk keprluan usaha pertanian, pemukiman,
pembuatan jalan-jalan perhubungan, penambangan mineral atau usaha peningkatan
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
3
manfaat lainnya bagi manusia, merupakan tindakan yang mengubah lingkungan secara
tandas (drastic).
Tanpa atap hijau dalam bentuk lapisan tajuk pohon, terjadilah proses penyinaran
matahari secara langsung pada tanah. Suhu lapisan tanah atasan dapat mencapai 150 C di
atas suhu udara di atasnya. Di samping berakibat fatal bagi kehidupan organisme tanah
yang bermanfaat, hal ini juga mengakibatkan laju mineralisasi bahan organik meningkat
menjadi lebih cepat daripada laju pelonggokan bahan organik. Tanah menjadi miskin
bahan organik. Pelindian (leaching) zat-zat hara tumbuhan yang penting dalam tanah juga
akan melaju cepat, sehingga tanah menjadi miskin hara tumbuhan. Pada tempat-tempat
yang berlereng, erosi tanah dapat juga mencapai suatu jenjang yang tidak terkendalikan
lagi, karena aliran permukaan (runoff) yang semakin banyak dan semakin deras. Daur
(cycle) hidrologi biasanya juga terganggu sekali karena bagian air curahan (precipitation)
yang menjadi aliran permukaan begitu meningkat, sehingga bagian air curahan yang
meresap ke dalam tanah untuk mengisi lengas tanah (soil moisture) dan air tanah (ground
water) menjadi sangat menyusut. Dengan demikian kemampuan sumber-sumber air akan
merosot cepat dan tanah-tanah secara berangsur berubah menjadi gersang.
Perubahan lingkungan semacam ini merupakan awal dari perubahan tandas yang
dapat melampaui daya-tahan keseimbangan ekosistem. Ini berarti kawasan demikian itu
akan mengalami degradasi secara berangsur selaku lingkungan hidup, yang akhirnya dapat
mencapai suatu tataran yang menghilangkan daya mempermuda diri kembali
(regeneration). Haridepan kawasan seperti itu, tanpa tataola yang tepat dan segera, dapat
diramalkan akan menjadi suatu daerah tandus yang tidak dapat dihuni makhluk lagi selain
jazad-jazad renik yang masih tahan dan semak-semak merana yang tumbuh bergerombol-
gerombol di sana-sini.
Meskipun proses tersebut di atas mungkin sekali berjalan sangat lambat dan
memerlukan satu jangka waktu yang setara dengan beberapa keturunan manusia, sehingga
seolah-olah tidak terjadi sama sekali atau mudah terluput dari perhatian orang, namun
akibat akhirnya seperti disebutkan di atas tidaklah terelakkan. Justru karena proses berjalan
begitu lambat itulah yang menjadikannya sangat berbahaya. Apabila pada suatu ketika
gejalanya mulai tampak, biasanya sudah terlambat. Kalau pun kerusakannya masih dapat
diperbaiki, korbanan yang diperlukan untuk mereklamasikan daerah seperti itu akan sangat
berat dalam bentuk teknologi mutakhir yang sangat rumit dan sangat mahal, dan
memerlukan waktu yang sangat lama. Sudah barang tentu keadaan ekonomi dan taraf
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
4
keterampilan masarakat yang sedang berkembang tidak mampu untuk mendukung usaha
semacam itu, terutama karena adanya faktor laju pemulangan modal yang sangat lambat.
Proses “kebocoran sistem” semacam tersebut di atas dengan sendirinya akan
berpengaruh pula pada keseimbangan ekologi seluruh wilayah tempat kawasan tadi berada.
Keseimbangan Alamiah Baru
Dalam rangka penegmbangan lingkungan hidup yang telah ada ataupun
pembangunan lingkungan hidup baru, pandangan dari segi kehidupan manusia dan
berbagai kegiatan ekonomi (pertanian, industri, pertambangan) serta penerapan teknologi
maju, harus dipadu dengan pandangan dari segi ekologi. Sudah barang tentu pengertian
“ekologi” disini bukanlah ekologi hutan alamiah semula, melainkan suatu bentuk
hubungan struktur dan gawai (functional) antara penghuni dan habitat yang lebih jitu
(efficient) dilihat dari sudut nisbah keluaran/ masukan (output/input ratio) atau dari
pertimbangan nisbah manfaat/korbanan (benefit/cost ratio) untuk menopang kehidupan
masarakat yang makin maju dan yang menghendaki persyaratan hidup yang makin tinggi.
Kelestarian produktivitas sumberdaya alamiah di wilayah bersangkutan harus
dipertahankan (sustained yield) pada jenjang yang layak menurut harkat kemanusiaan,
bahkan sedapat-dapatnya ditingkatkan lebih lanjut (progressive yield). Peningkatan
produktivitas sumberdaya alamiah bermakna dua : memastikan daya-topang (carrying
capacity) wilayah bagi jumlah penduduk yang meningkat, atau menguatkan daya-topang
wilayah bagi jumlah penduduk yang tetap sehingga jatah produktivitas sumberdaya
alamiah bagi setiap anggota masarakat meningkat.
Apabila pembukaan hutan ditujukan terutama pada maksud-maksud pembangunan
budidaya pertanian maka ini berarti melakukan tataola lahan secara sehat berdasarkan
teknologi yang sepadan menuju ke arah pengendalian lingkungan fisik dan hayati.
Memang tidaklah bernalar (unreasonable) untuk mengharapkan kembalinya lingkungan
alamiah semula. Yang kita inginkan dalam rangka pembangunan dan pengembangan
lingkungan hidup adalah penciptaan suatu “ekosistem teknologi” yang lebih mempan
(effective) dan lebih jitu (efficient) daripada ekosistem alamiah semula.
Tidaklah dapat dimungkiri, bahwa untuk menciptakan suatu ekosistem teknologi
yang jitu mungkin belum begitu serasi dengan keadaan ekonomi dan suasana sosial-budaya
yang hidup dalam masarakat Indonesia dewasa ini. Sementara ini barangkali kita masih
harus puas dengan gagasan-gagasan ekologi yang lebih sederhana, yang belum
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
5
mempersyaratkan masukan teknologi serba mahir. Ini berarti, bahwa usaha-usaha yang
mengarah pada pembentukan suatu lingkungan yang masih berisi anasir-anasir lingkungan
aseli dalam jumlah yang cukup merajai, barangkali merupakan pendekatan yang bernilai
poptimal pada saat ini.
Jika “sustained yield” masih perlu dijadikan galah-ukur bagi penilaian kemanfaatan
lestari suatu kawasan permukiman maka barangkali dalam rancangan pengendalian
lingkungan hidup bagi suatu wilayah yang lebih luas, adanya kebocoran sistem sampai
suatu batas tertentu masih harus diterima sebagai suatu kewajaran nisbi. Kebocoran sistem
secara terbatas itu pada dasarnya menjelma dalam bentuk gejala-gejala kehilangan atau
kerusakan tanah oleh erosi, tata air yang belum terkendalikan sepenuhnya dan iklim mikro
yang masih cenderung berubah secara terlalu tandas.
Dengan sendirinya harapan terbesar bagi peluang terciptanya suatu kawasan
dengan keseimbangan alamiah yang diperbaharui terletak pada pengertian, kemauan dan
kemampuan manusia yang mendiami kawasan tersebut. Pengertian akan kepentingan atau
keharusannya, kemauan untuk bertidak dan berusaha serta kemampuan untuk
melaksanakan tindakan yang menjadi keharusan.
Dalam hal pengertian dan kemauan itu dianggap belum memadai, perlu diutamakan
usaha-usaha pendidikan atau penyuluhan, pengajakan dan penginsafan. Salah satu cara
yang pada umumnya mempan untuk menimbulkan pengertian dan membangkitkan
kemauan adalah mendirikan petak-petak pertunjukan (demonstration plots). Dalam hal
kemampuan yang dianggap belum memadai, perlu diutamakan pembentukan lembaga-
lembaga kemasarakatan setempat untuk secara gotong-royong memikul beban dan biaya
yang diperlukan. Penumbuhan pengertian, kemauan dan kemampuan itu menjadi tindakan
kunci bagi pembinaan kelestarian lingkungan hidup masarakat.
LINGKUNGAN HIDUP SEBAGAI SUATU GEOKOMPLEKS DAN SUATU GEOSISTIM Geokompleks Sebagai Suatu Konsep Kerja
Suatu konsep dapat diartikan suatu “ungkapan intelektual tentang beberapa gatra
(aspects) kenyataan (reality), yang diperoleh melalui pengamatan terhadap sejumlah
gejala”. Sauatu konsep diciptakan melalui proses intelektual yang dimulai dari pengamatan
gejala secara cermat, kemudian memberikan makna pada masing-masing gejala selaku
rangkaian ungkapan watak dan akhirnya dengan latar belakang pengalaman dan
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
6
pengetahuan yang telah dimiliki, pemaknaan gejala tadi dikembangkan secara imajinatif
menjadi gatra hakiki. Tergantung pada metode penjabaran gjala dan struktur imajinasi
yang dianut, konsep itu dapat bersifat universal, tidak terikat pada tempat dan waktu,
sedang konsep khusus berlaku menurut tempat dan waktu.
Konsep yang diciptakan menurut pemikiran universal mengandung faedah berupa
penyedian suatu kerangka tunggal bagi pengisian konsep atau bagi kegiatan yang
dijabarkan dari konsep itu. Akan tetapi suatu kerangka tunggal yang harus dapat
merangkum semua gatra kenyataan biasanya akan menjadi terlalu luas, sehingga
menyulitkan penerapannya. Di samping itu konsep yang terlalu luas biasanya kehilangan
jeluk (depth), sehingga bersifat dangkal.
Sebaliknya, suatu konsep yang dibatasi oleh pertimbangan atau pandangan khusus
akan lebih mudah dikelola karena lebih jelas ruang lingkupnya dan akan memberikan
peluang lebih banyak untuk mendalami masalah yang menjadi inti konsep tersebut. Akan
tetapi dengan konsep yang sempit itu orang akan cenderung mengkotak-kotakkan masalah,
yang pada gilirannya akan menghambat penanganannya secara komperhensif dan korelatif.
Konsep itu sebetulnya tidak lain daripada suatu perkakas (tool) untuk mencitrakan
(image) suatu masalah. Atas dasar citra itu dibuat suatu rencana, lalu mengembangkan
rencana itu menjadi sutau acara (program) dan akhirnya dibuahkan menjadi suatu
rancangan (design, scheme) pelaksanaan. Oleh karena konsep itu suatu perkakas, meskipun
suatu perkakas yang diperlukan secara mutlak, orang tidak boleh menjadikan konsep itu
suatu tujuan atau sasaran. Konsep yang dijadikan tujuan akan mendorong orang
membenarkan semua tindakan demi mengisi konsep itu. Akan tetapi sebaliknya juga benar,
bahwa tanpa dasar konsep yang kuat dan jelas, orang tidak akan bekerja dengan baik dan
tidak akan dapat mencapai tujuan, apapun tujuannya itu.
Suatu lingkungan hidup, atau dapat disebut pula “wilayah”, yang lengkap secara
sendiri dengan berbagai sumberdaya alamiah yang dapat dimanfaatkan secara
menguntungkan dalam jangka waktu panjang atau secara sinambung (continous), akan
menjadi pendukung kehidupan yang kuat bagi penduduknya dan juga akan menjadi
penyumbang kesejahteraan secara nasional yang terandalkan. Jarang ada wilayah yang
demikian itu, yang bersamaan dengan kemampuan yang besar itu masih mempunyai luas
bentangan yang belum sampai menyulitkan pengelolaannya sebagai suatu gawai
(functional unit).Yang lebih sering dijumpai ialah sejumlah wilayah bertetangga yang
masing-masing berkemampuan terbatas, akan tetapi jika digabungkan menjadi satu
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
7
kesatuan gawai akan menjadi suatu wilayah-gabungan yang berpotensi tinggi. Dalam hal
semacam itu masing-masing wilayah-anggota dapat saling mendukung atau saling
melengkapi.
Dalam penggabungan wilayah ada tiga hal pokok yang selalu harus diperhatikan.
Pertama, manfaat gabungan lebih besar daripada jumlah manfaat masing-masing wilayah
pada waktu berdiri sendiri-sendiri. Jadi ada interaksi positif. Kedua, penggabungan dapat
menghasilkan manfaat bagi masing-masing wilayah-anggota yang setara dengan imbangan
bobot-saham masing-masing wilayah anggota dalam melakukan kegiatan gabungan.
Ketiga, penggabungan gawai itu jangan sampai berlanjut menjadi penyatuan struktur, agar
supaya tetap tersediakan kesempatan bagi pengadaan penggolongan-ulang (regrouping).
Penggolongan-ulans wilayah diperlukan jika faktor-faktor obyektif dan/atau subyektif
menghendakinya untuk mendapatkan keselarasan baru dengan perubahan atau
perkembangan faktor-faktor teknologi, ekonomi, sosial dan/atau budaya, baik yang terjadi
di dalam lingkungan regional, nasional maupun internasional.
Kebutuhan menyelaraskan kembali gawai atau kedudukan suatu wilayah ialah
berkenaan dengan a.l. pendayagunaan sumber tenaga baru (matahari, panas bumi, nuklir),
memperbagaikan (diversifying) dayaguna suatu sumberdaya alamiah (tanah pertanian
berpola pertanaman tunggal dikembangkan menjadi berpola pertanaman ganda;
mengembangkan pengolahan bahan limbah) atau mengalihkan bidang pendayagunaan
suatu sumberdaya alamiah untuk memperoleh manfaat alternatif yang lebih besar (lahan
hutan dijadikan lahan pertanian pangan; lahan pertanian dijadikan loka industri).
Geokompleks sebagai konsep kerja bagi lingkungan hidup berarti suatu konsep
yang segera terterapkan. Kalau dirasa perlu dapat dibenahi sambil jalan tanpa
menimbulkan kejutan-kejutan berat. Mungkin saja konsep seperti ini tidak sepenuhnya
mengandung kebenaran ilmiah atau tknologi. Bahkan kadang-kadang terselipi parameter-
parameter buatan yang bersifat subyektif menurut selera konseptor. Secara singkat
geokompleks itu dapat diberi arti “bagian dari dunia yang dapat mendukung kehidupan”
(KLINK, 1974). Dengan demikian suatu geokompleks itu sekaligus memenuhi kriteria
fisik dan hayati.
Menurut kriteria fisik, lingkungan hidup itu merupakan suatu “physiiosystem”
(turunan konsep HAASE). Sejalan dengan pikiran ini maka suatu lingkungan hidup yang
dikriteriumkan menurut watak hayatinya dapat dinamakan “biosystem”. TANSLEY
mengajukan suatu konsep yang dikriteriumkan menurut struktur ekologi dan
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
8
menamakannya suatu “ecosystem”. Ketiga metode penaganan itu menggambarkan konsep
kualitatif-tipologi tentang lingkungan hidup. Penampilan (manifestation) kenyataan ini
dalam ruang berwujud agregasi antar anasir-anasir baku. Anasir baku physiosystem ialah
“physiotope” yang dapat dibagi lebih lanjut menjadi “pedotope” (atau pedon; anasir baku
tanah), “hydrotope” (anasir baku hidrologi berupa daur atau neraca air), “climotope”
(anasir baku iklim) dan “morphotope” (anasir baku timbulan). Anasir baku biosystem ialah
“biotope” atau “phytotope” kalau khusus berkenaan dengan vegetasi. “Ecotope”
merupakan anasir baku ecosystem. KLINK (1974) menggunakan istilah “geotope” yang
mencakup sekaligus physiotope dan ecotope. Dengan demikian konsep geokompleks lebih
luas daripada konsep ekologi.
Yang tercakup dalam kriterium fisik ialah timbulan (relief; bentuk muka lahan),
tinggi tempat (altitude), geologi, fisiografi, tanah, iklim, hirologi, cadangan mineral dan
sumberdaya tenaga alamiah. Kriterium hayati terdiri atas flora dan fauna aseli. Dapat juga
disusun kriterium menurut hubungan antara anasir hayati dengan lingkungan fisiknya,
seperti misalnya fitososiologi. Fitogeografi dan autekologi.
Perluasan Konsep Geokompleks : Geosistim
Atas dasar pengertian, bahwa geokompleks itu “bagian dunia yang dapat
menduki\ung kehidupan”, maka konsep ini dengan mudah dapat diperluas dengan
memasukan pula bentuk dan hasil kegiatan kehidupan yang terdapat di bagian dunia itu.
Dengan demikian kriteria ekonomi dan/atau sosial-budaya dapat ditambahkan pada kriteria
fisik, hayati dan ekologi. Di kalangan kriteria tersebut di atas, kriterium fisik bersifat
paling mantap secara nisbi, sedang kriteria ekonomi dan sosial-budaya mengandung unsur-
unsur yang cepat berubah bersama waktu. Perlu ditambahkan, bahwa suatu kriterium yang
mantap tidak selalu harus juga yang paling cocok sebagai dasar pengelolaan lingkungan
hidup.
Dalam kriterium ekonomi tercakup berbagai kegiatan manusia, seperti pertanian
(termasuk peternakan, perikanan dan kehutanan), industri, kerajinan, perdagangan,
penjualan jasa, pertambangan, perhubungan, pariwisata dan pemukiman. Jadi dalam
kriterium ekonomi tataguna lahan menempati kedudukan terpenting. Kriterium sosial-
budaya terdiri atas anasir-anasir demografi, pendidikan, keterampilan, kesenian, kesehatan,
susunan makanan pokok, agama, kepercayaan, hukum adat, adat istiadat dan tradisi, tata
pemerintahan, pola kepemimpinan masarakat dan hubungan kemasarakatan. Dapatlah
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
9
disingkatkan, bahwa kriterium sosial-budaya terjabarkan menjadi manusia sebagai
sumberdaya menurut segi kualitatif dan kuantitatif.
Dengan konsep geokompleks yang diperluas, yang untuk penandaannya boleh
disebut geosistem, lingkungan hidup dapat ditakrifkan (defined) sebagai berikut : SUATU
KAWASAN DUNIA YANG MENGANDUNG SUATU HUBUNGAN GAWAI DAN
STRUKTUR TERTENTU ANTARA SUMBER DAYA ALAMIAH DENGAN SUMBER
DAYA MANUSIA YANG MENJELMAKAN SUATU TATA MASYARAKAT DAN
POLA KEHIDUPAN TERTENTU. Kalau dikatakan, bahwa geokompleks merupkana
konsep lingkungan hidup menurut asas statika, atau berdasarkan himpunan faktor-faktor
kehidupan, maka geosistem merupakan konsep yang berkiblat pada kaidah dinamika, atau
berdasarkan himpunan proses-proses kehidupan.
Dibandingkan dengan konsep geokompleks, yang mempunyai parameter-parameter
yang lebih mudah diamati dan diukur, konsep geosistem mengandung sejumlah parameter
yang lebih pengamatan dan pengukurannya. Dengan kata lain, konsep geokompleks lebih
mudah dikuantitatifkan daripada konsep geosistem.
KLASIFIKASI LINGKUNGAN HIDUP SEBAGAI LANDASAN PENGELOLAANNYA
Asas Klasifikasi
Secara tersirat (implicit) klasifikasi lingkungan hidup berguna untuk memerikan
(describe) watak dan kelakukan hakiki lingkungan hidup di masing-masing tempat,
sehingga jelas terungkapkan segi-segi pokok kelainan lingkungan hidup yang satu daripada
yang lain dan gatra-gatra kekhususan masing-masing lingkungan hidup. Semuanya ini
penting bagi pendasaran tatalola lingkungan hidup di masing-masng tempat.
Berbeda dengan populasi mahkluk yang terdiri atas individu-individu yang bersifat
tersendiri atau saling terpisah (discrete), populasi geo sistem terdiri atas individu yang
saling berbauran (indiscrete). Batas antara individu atau kelompok individu geosistem
yang berlainan peralihan itu kumpulan sifat yang menandakan individu atau kelompok
individu yang satu berubah secara berangsur menjadi kumpulan sifat yang menandakan
individu atau kelompok individu yang lain. Hal ini dapat dijelaskan dengan bagan di
bawah ini.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
10
aaaaaaaaaaa aaaaaaaaaaa murni a, individu a aaabaaabaaa aabaabaabaa campuran a-b, a>b abababababa jalur bababababab peralihan bbabbabbabb campuran a-b, b>a bbbabbbabbb bbbbbbbbbbb bbbbbbbbbbb murni b, individu b
Suatu jenis lingkungan hidup merupakan suatu agregat sejumlah besar individu
geosistem sejenis. Penjenisan lingkungan hidup dapat juga dilakukan atas dasar agregasi
sejumlah besar asosiasi sejenis, yang masing-masing metode klasifikasi ini dapat
dijelaskan dengan bagan berikut ini.
Metode pertama Metode kedua aaaaaaaaaaa : individu a, jenis A aaaaaaaaaaa bbbbbbbbbbbb : b, B bbbbbbbbbbb individu abc, jenis x ccccccccccc : c, C ccccccccccc aaaaaaaaaaa : a, A aaaaaaaaaaa bbbbbbbbbbb : b, B bbbbbbbbbbb abc, x ccccccccccc : c, C ccccccccccc ddddddddddd : d, D ddddddddddd de , y eeeeeeeeeee : e, E eeeeeeeeeee ddddddddddd : d, D ddddddddddd de , y eeeeeeeeeee : e, E eeeeeeeeeee
Dengan metode pertama pelaksanaan klasifikasi lebih sederhana, akan tetapi
jumlah jenisnya menjadi terlalu banyak. Dengan metode kedua pelaksanaan klasifikasi
bertambah sulit, karena tidak mudah mendapatkan kombinasi yang sama benar, akan tetapi
jumlah jenisnya dapat disederhanakan. Sebagai dasar penanganan masalah hasil klasifikasi
metode pertama lebih enak, karena setiap saat kita hanya memperhatikan satu macam
watak lingkungan. Akan tetapi cara pengelolaan masalah yang diperoleh akan
memppunyai jangka laku penerapan terbatas karena bersifat tidak konprehensif.
Sebaliknya, dengan metode klasifikasi kedua kita dapat menciptakan tatalola yang
komprehensif, sehingga jangka laku penerapannya lebih luas, akan tetapi sudah barang
tentu penyelesaian pekerjaannya bertambah sulit karena harus memperhatikan sejumlah
watak sekaligus.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
11
Sistem Klasifikasi
Dalam sistem klasifikasi modern digunakan suatu struktur kalsifikasi yang
dicirikan oleh adanya kategori ganda, suatu kategori mewakili suatu taraf generalisasi –
atau boleh juga dibalik dengan mengatakan suatu taraf kerincian – tertentu dalam
memerikan obyek yang kita klasifikasikan. Kategori yang berkedudukan lebih tinggi
mengandung generalisasi pemerian lebih banyak, sedang kategori yang berkedudukan
lebih rendah mengandung perincian pemerian lebih banyak. Sistem klasifikasi berkatagori
ganda memerlukan penghirarkian parameter-parameter klasikasi, artinya di kalangan
sejumlah parameter yang dipergunakan ditentukan terlebih dahulu urutan kepentingan
masing-masing sebagai perinci obyek.
Sebagaimana halnya dengan konsep, klasifikasi itu juga tidak lain daripada sebuah
perkakas di dalam dunia ilmu pengetahuan. Oleh karena itu orang jangan sampai sekali-
kali dapat dikuasai oleh suatu sistem klasifikasi, betapapun baik sistem itu menurut
pertimbangan pengetahuan saat ini. Suatu sistem klasifikasi yang murni pun, tanpa kecuali,
pasti terpengaruh oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Taraf pengetahuan pada satu kurun waktu tentang obyek yang diklasifikasikan.
2. Perbaikan metode pengukuran parameter.
3. Perubahan konsep tentang obyek yang diklasifikasikan.
4. Perubahan konsep tentang klasifikasi sendiri sehubungan dengan perenungan kembali
tentang hakekat klasifikasi secara universal.
Di samping oleh faktor-faktor tersebut di atas, suatu klasifikasi terapan masih
dipengaruhi oleh:
1. Perubahan kegunaan obyek yang diklasifikasikan.
2. Penemuan kegunaan alternatif obyek yang diklasifikasikan.
3. Perbaikan kemempanan dan kejituan teknik mengelola obyek untuk tujuan
pemanfaatan tertentu.
4. Kemajuan ekonomi masyarakat sehingga dapat menjangkau teknologi yang lebih
unggul untuk mengelola obyek yang bersangkutan.
Suatu sistem klasifikasi yang kemarin masih dianggap baik, sekarang sangat boleh
jadi sudah perlu dibenahi atau bahkan sudah perlu dirombak sama sekali. Suatu sistem
klasifikasi yang sekarang dinyatakan benar, barangkali 10 tahun kemudian sudah
ketinggalan jaman. Agar supaya suatu sistem klasifikasi tidak setiap kali terpaksa harus
dibongkar dan disusun kembali, sangatlah penting untuk dapat menciptakan suatu sistem
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
12
yang lentur (fleksibel), sehingga kalau perlu dibenahi, pembenahan itu tidak sampai
mengenai asasnya. Pembongkaran sistem klasifikasi yang terlalu sering, disamping
memang berat dan memerlukan pemikiran yang mendalam, juga dapat menimbulkan
kerancuan (frustration) dan keharusan untuk meninjau kembali semua hasil yang telah
diperoleh dengan memakai sistem klasifikasi yang lama agar supaya hasil lama dapat
ditentukan kolerasinya dengan hasil baru.
Ciri-ciri suatu sistem klasifikasi yang lentur ialah sebagai berikut:
1. Berkategori ganda.
2. Makin tinggi kedudukan suatu kategori dalam jenjang klasifikasi, makin banyak
mengandung hasil proses generalisasi. Konsekuensi dari penalaran (reasoning) ini
ialah, bahwa kelas yang berada dalam kategori yang lebih tinggi bersifat lebih mantap
– mempunyai jangka laku yang lebih panjang – daripada yang berada di dalam kategori
yang lebih redah.
3. Sifat-sifat objek yang hakiki dan yang dapat diukur langsung dijadikan parameter
kategori tertinggi, sedang sifat-sifat yang ditentukan secara tafsir atau nilai-nilai yang
diharkatkan menurut pandangan subjektif, dijadikan parameter kategori terndah.
Penilihan parameter untuk kategori-kategori menengah didasarkan atas imbangan
bobot antara pengukuran langsung dan penafsiran atau pengharkatan subjektif.
4. Parameter-parameter penyifat, baik yang terukurkan langsung maupun yang dibuat
secara tafsir, harus berasal dari ciri, sifat, watak atau kelakuan objek sendiri. Janganlah
menagmbil parameter yang merupakan penyimpulan sejumlah gejala yang ada diluar
objek atas dasar anggapan, bahwa gejala-gejala tadi berhubungak\n sebab-akibat
dengan salah satu sifat objek yang mau dijadikan parameter tadi.
Kategori ganda memberikan peluang banyak untuk mengembangan sistem
klasifikasi dengan jalan memperpanjang atau mencabangkan tangga klasifikasi. Aras
(level) yang lebih banyak juga memudahkan penampungan tambahan kriteria klasifikasi
tampa menghadapi kesulitan banyak untuk mempertahankan hierarki klasifiaksi yang telah
ada. Kalau ada parameter yang harus ditambahkan, yang mempunyai hirarki kepentingan
di antara kategori-kategori yang telah ada, kita tinggal membuat kategori sisipan saja.
Peletakan kelas yang mengandung generalisasi lebih banyak pada kategori yang lebih
tinggi akan mengamankan inti klasifikasi yang terdapat pada kategori-kategori tinggi.
Kalau ada perubahan dalam kerincian pandangan atau dasar pemikiran maka yang akan
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
13
terkena oleh perubahan ini hanyalah kelas-kelas dalam kategori rendah saja. Kelas-kelas
dalam kategori rendah biasanya mewakili bagian obyek yang kecil secara nisbi.
Parameter-parameter tafsir diberikan pada kategori rendah dimaksudkan pula untuk
mengamankan inti klasifikasi. Kalau ada perubahan penafsiran maka yang terkena
hanyalah kelas-kelas bawah yang kecil-kecil saja, sedang kelas-kelas atas yang pokok tetap
berlaku. Apabila hirarkinya dibalik, perubahan di kelas atas (kelas tafsir) memaksakan
perubahan pula di kelas-kelas bawah (kelas hakiki) karena kelas bawah merupakan turunan
kelas atas.
Semua parameter penyifat harus diambilkan dari sifat obyeknya sendiri
dimaksudkan untuk memantapkan sistem klasifikasi agar supaya tidak terpengaruh oleh
hipotesis tentang hubungan antara gejala lingkungan dengan gejala hakiki. Suatu hipotesis
itu biasanya masih rentan (susceptible) terhadap perubahan-perubahan yang tandas. Hal ini
perlu juga untuk memberikan pada sistem klasifikasi kegayutan (relevance) dan
keterandalan (reliability) yang kuat sebagai penyifat obyek dan sebagai pemisah kelas.
Atas dasar uraian di atas maka dapatlah diajukan suatu pendapat, bahwa kriterium
geotope harus dijadikan parameter untuk kategori tertinggi. Artinya, klasifikasi lingkungan
hidup harus dimulai dari klasifikasi lingkungan hidup sebagai gejala alamiah. Satuan-
satuan lingkungan hidup yang diperoleh dari klasifikasi kategori ini dibagi lebih lanjut
menurut kriterium ekonomi (tataguna lahan). Kriterium sosial-budaya dipakai untuk
menyusun kelas-kelas terbawah dalam tangga klasifikasi. Hirarki semacam ini juga
mengandung konsekuensi sebagai berikut. Untuk perancangan tinjau (reconnaissance)
cukup digunakan kriterium geokompleks. Untuk perancangan tinjau-mendalam (semi-
detailed) digunakan kriteria geokompleks dan ekonomi. Untuk perancangan terperinci
(detailed) digunakan kriterium geosistem lengkap. Masih juga perlu dibuat hirarki di
kalangan anasir-anasir masing-masing kriterium.
INVENTARISASI PERSOALAN
Uraian Persoalan
Untuk menangani usaha pengembangan lingkungan hidup diperlukan data dasar
tentang :
1. Jenis-jenis lingkungan hidup yang dikenal di Indonesia.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
14
2. Luas dan daerah agihan (distribution area) jenis lingkungan hidup masing-masing.
3. Persoalan-persoalan pokok yang ada di jenis lingkungan hidup masing-masing.
Dengan data dasar itu kita dapat memperoleh pemgertian tentang jenis persoalan yang
harus dihadapi, berapa luas kawasan yang mengandung persoalan itu masing-masing dan
di mana persoalan masing-masing itu berada.
Suatu persoalan perlu diklasifikasikan menurut :
1. Dampaknya (impackt) atas keadaan lingkungan hidup. Taraf dampak dapat dibedakan
atas dasar :
1.1. Intensitas.
1.2. Ekstensitas.
2. Kemungkinan penyelesaiannya :
2.1. Dapat diselesaikan dengan cara-cara yang kini telah tersediakan dalam masyarakat.
Dapat diselasaikan dengan cara-cara yang lebih unggul, yang dapat disediakan
dalam masyarakat dalam waktu dekat.
2.3. Cara penyelesaian yang diperlukan belum dapat ditanggung oleh masyarakat
karena menyangkut masukan berat berupa organisasi dan teknologi yang sangat
unggul dan dana yang sangat besar, sehingga belum dapat dipertanggung-
jawabkan menurut pertimbangan ekonomi dan/atau sosial-budaya.
3. Sangkutannya dengan persoalan lain :
3.1 Berdiri sendiri, sehingga dapat diselesaikan secara tersendiri tanpa akan
mempengaruhi penyelesaian persoalan-persoalan lain, dan tidak memerlukan
dukungan penyelesaian persoalan-persoalan lain.
3.2 Merupakan persoalan dasar dan penyelesaiannya menjadi prasyarat bagi
penyelesaian persoalan-persoalan lain yang berhubungan.
3.3 Merupakan persoalan ikutan dan penyelesaiannya perlu didahului oleh
penyelesaian persoalan yang menjadi prasyaratnya.
3.4 Harus diselesaikan secara simultan dengan persoalan-persoalan lain yang
bersangkutan.
Intensitas dan ekstensitas persoalan kadang-kadang tidak saling sejalan, tergantung atas
sudut pandangan yang diambil. Misalnya, kekeringan yang sering melanda daerah Lombok
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
15
Selatan akan dinilai berintensitas besar menurut pandangan setempat, akan tetapi akan
dinilai berekstensitas kecil/terbatas menurut ukuran nasional. Sebaliknya, serangan hama
wereng mempunyai intensitas dan ekstensitas besar. Penyakit malaria dapat dinyatakan
mempunyai ekstensitas besar, akan tetapi boleh jadi dapat dianggap berintensitas kecil,
mengingat persen kematian dan kehilangan jam kerja karena penyakit itu sedikit.
Pembuatan sengketan (terras) untuk menanggulangi erosi tanah sudah dikenal baik
oleh para petani kita, bahkan sudah banyak yang tahu bagaimana membuat sengketan yang
baik. Jadi persoalan ini dapat langsung diselesaikan dan dapat segera dimasukkan dalam
rancangan pengawetan tanah. Pemupukan unsur hara renik untuk memacu peningkatan
hasil pertanian dapat dimasukkan sebagai persoalan dengan kemungkinan penyelesaian
dalam waktu dekat. Para petani pada saat ini pada umumnya memang belum mengenal
pemupukan unsur hara renik ini. Akan tetapi pelaksanaannya tidak memerlukan suatu
keterampilan khusus – dapat mudah disertakan paeda penyemprotan pestisida yang sudah
dukenal baik oleh petani – dan tiadak akan menambah banyak beban biaya produksi.
Meskipun harga pupuk unsur renik lebih mahal dibandingkan dengan pupuk unsur makro
biasa, akan tetapi hanya diperlukan dalam jumlah sangat sedikit. Misalnya Cu sekitar 5
kg/ha, Zn antara 5 dan 15 kg/ha dan Mo sekitar 0,2 kg/ha (MITCHELL, 1969; SANCHES,
1976).
Usaha-usaha pengembangan lingkungan hidup yang kiranya perlu ditangguhkan ke
masadepan yang agak jauh misalnya memperluas fasilitas “modern living” ke dareah
pedesaan (tilpon, asuransi keluarga, elektrifikasi alat-alat rumah tangga, toko serba ada).
Usaha-usaha yang memerlukan persiapan jangka panjang a.l. reklamasi lahan pasir dengan
mendatangkan tanah lempung dari tempat lain secara besar-besaran, penggunaan “artificial
soil conditioners” secara umum untuk meningkatkan dayatahan tanah terhadap erosi serta
memperbaiki dayasimpan lengas tanah, menciptakan hujan buatan dan mekanisasi lengkap
usahatani.
Persoalan yang dapat ditangani tersendiri misalnya pengadaan jalur hijau,
pembuatan taman-taman di dalam kawasan permukiman, pengaturan lalu lintas dan
sebagainya. Pembangunan jalan-jalan poros atau jalan-jalan penghubung utama merupakan
prasyarat bagi pembukaan wilayah dan pendirian kawasan permukiman baru. Pembenahan
atau perbaikan tata air dalam suatu daerah tadahan (catchment area) atau dalam
keseluruhan daerah aliran (watershed) menjadi prasyarat pembangunan jaringan pengairan
dan jaringan pengadaan air rumah tangga. Pembangunan pertanian di daerah-daerah
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
16
pembukaan baru perlu didahului dengan penyuluhan dan bimbingan untuk menumbuhkan
dan mengembangkan motivasi kuat di kalangan para calon penghuni untuk memilih
pertanian sebagai bidang karya mereka. Pengawetan tanah dan air harus dilaksanakan
secara simultan karena sangat erat hubungannya satu dengan yang lain, bahkan saling
pengaruh mempengaruhi.
Peta Persoalan
Data dasar seperti dimaksudkan di atas paling baik disajikan dalam bentuk suatu
peta dengan skala yang cukup besar (1 : 25.000 barangkali paling baik; sudah cukup
terperinci dan bersamaan dengan itu masih belum terlalu besar sehingga masih enak
dipakai). Keunggulan suatu peta dibandingkan dengan data statistik biasa untuk dasar
perencanaan kegiatan dapat disenaraikan (listed) sebagai berikut. Suatu peta dapat
menunjukkan segera secara visual :
1. Tempat kedudukan, agihan lateral dan geometri daerah kerja serta letak tempat-tempat
persoalan.
2. Hubungan keruangan (spatial relationship) antar berbagai daerah kerja dan tempat
persoalan.
3. Ketercapaian (accessibility) tempat dan keterlintasan (trafficability) medan.
4. Jarak daerah kerja dari tempat fasilitas penelitian dan pengajian, sumber tenaga kerja
dan sumber bahan bangunan.
Suatu peta merupakan perkakas kerja yang sangat baik dan enak digunakan bagi
para pengatur kebijakan, para perencana dan perancang.
Peta-peta persoalan yang sekurang-kurangnya perlu disiapkan ialah :
1. Persoalan lingkungan fisik :
1.1. Iklim :
1.1.1. Bahaya kekeringan mempunyai keboleh-jadian besar.
1.1.2. Keturahan air (water excess) sering terjadi.
1.1.3. Daya erosi hujan kuat.
1.1.4. Neraca air yang tidak menguntungkan (ketersediaan air tidak merata
sepanjang tahun).
1.2. Hidrologi :
1.2.1 Laju pengatusan (drainage) terhambat.
1.2.2 Laju pengatusan berlebihan (excessive).
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
17
1.2.3 Embutan (fluctuation) debit aliran permukaan terlalu lebar sepanjang tahun.
1.2.4 Miskin cadangan air tanah, atau cadangan air tanah terlalu dalam.
1.2.5 Mutu air untuk pertanian, industri dan/atau rumah tangga buruk.
1.3. Timbulan :
1.3.1 Bahaya erosi besar
1.3.2 Bahaya longsor besar
1.3.3 Merupakan pembatas penggunaan mesin-mesin dan alat pertanian.
1.3.4 Membatasi atau meniadakan keterlintasan medan.
1.4. Tinggi tempat :
1.4.1. Suhu udara dan tanah rata-rata terlalu rendah untuk budidaya tanaman,
bahaya suhu beku besar.
1.4.2. Lama penyinaran matahari terbatas ; membatasi kelangsungan proses
fotosintesis.
1.4.3. Membatasi ketercapaian tempat.
1.5. Tanah :
1.5.1. Produksifitas cukup , potensi rendah.
1.5.2. Produktifitas rendah, potensi rendah.
1.5.3. Produktifitas rendah, potensi tinggi.
1.5.4. Sangat rentan terhadap erosi dan/atau longsoran tanah.
1.5.5. Sifat mekanika tanah buruk
1.5.6. Pola agihan kelas-kelas harkat tanah terlalu rumit.
1.5.7. Laju perembihan lambat sekali.
1.5.8. Laju perembihan terlalu cepat.
1.5.9. Mengandung racun tanaman (A1, B, “cat clay”, garam laut, H2S).
2. Persoalan lingkungan hayati :
2.1. Sumber hama.
2.2. Sumber penyakit :
2.2.1. Tanaman
2.2.2. Ternak
2.2.3. Manusia
2.3. Sumber gulma.
3. Persoalan tataguna lahan :
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
18
3.1. Tataguna lahan tidak mempan, tidak jitu atau merugikan pengawetan dan
pelestarian lingkungan hidup.
3.2. Taraf pencemaran (pollution) atau pengotoran (contamination) berat :
3.2.1. Udara.
3.2.2. Tanah.
3.2.3. Air.
3.3. Terdapat persaingan kepentingan dan saling merugikan antara beberapa bentuk
penggunaan lahan.
4. Persoalan lingkungan sosial-budaya :
4.1. Kependudukan :
4.1.1. Kepadatan penduduk terlampau tinggi.
4.1.2. Jumlah nisbi angkatan kerja, atau nisbah “Umur Produktif/ Umur Tak-Produktif “ kecil.
4.2. Pendidikan dan keterampilan :
4.2.1. Jumlah nisbi penduduk yang berpendidikan/berketrampilan cukup/memadai
kurang.
4.2.2. Kesempatan/lapangna kerja bagi penduduk yang berpendidikan/
berketrampilan cukup/memadai terbatas/langka.
4.3. Hukum adat, adat istiadat, pandangan hidup, agama dan kepercayaan :
4.3.1. Hukum adat atas tanah menghambat pelaksanaan rencana peruntukan tanah
yang lebih mempan dan lebih jitu.
4.3.2. Adat istiadat yang masih mementingkan hubungan otoritarianisme sehingga
mendesak perkembangan nalar.
4.3.3. Pandangan hidup yang masih menganut teguh tradisi nir-teknologi dan
fatalisme.
4.3.4. Kelakuan ritual yang mempersempit pandangan hidup dan mengembangkan
tata-hidup nir- ekonomi.
Di samping pemetaan persoalan, diadakan pula pemetaan faktor-faktor yang
menguntungkan atau yang menyumbang pada potensialitas yang tinggi. Faktor-faktor itu
a.l. sumberdaya mineral berharga yang dapat dipertimbangkan (workable), sumber bahan
bangunan yang dpat dimanfaatkan (endapan batu, kerakal, kerikil dan pasir untuk
pembangunan jalan ; endapan gamping untuk membuat kapur bangunan), endapan bahan
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
19
pupuk (batuan fosfat, guano), perairan bebas di pedalaman yang luas untuk pengembangan
perikanan darat, tenaga airuntuk pembangkit tenaga listrik, hutan yang menghasilkan
kayu bakar, kayu untuk pembuatan arang yang baik atau kayu bangunan yang
berproduktifitas tinggi, laut litoral yang kaya, keadaan iklim yang lunak dengan neraca air
yang baik untuk mengembangkan pertanaman tadah hujan dan tanah yang berproduktivitas
serta berpotensi tinggi. Pendeknya, semua kenyataan yang sebalik daripada fatsal-fatsal
persoalan tersebut di atas merupakan faktor-faktor positif bagi pembangunan dan
pengembangan lingkungan hidup.
SUATU GAGASAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Prioritas Penanganan Persoalan
Setelah semua anasir lingkungan hidup selesai disenaraikan dan dipetakan secara
lengkap, baik yang bersifat negatif maupun yang positif, dibuatlah urutan priorotas
penanganan persoalan dan urutan priorotas daerah kerja. Persoalan-persoalan yang diberi
prioritas teratas ialah yang :
1. Mempunyai dampak berekstensitas dan berintensitas tinggi
2. Merupakan prasyarat bagi penyelesaian persoalan-persoalan lain yang penting. Makin
banyak persoalan yang diprasyarati , makin tinggi prioritasnya.
3. Membentuk kelompok persoalan yang harus diselesaikan secara simultan. Makin besar
kelompoknya, makin tinggi prioritasnya.
Daerah kerja yang diberi priorias tertinggi ialah yang mengandung persoalan
berprioritas tinggi bersamaan dengan ketersediaan faktor-faktor positif yang dapat
memperlancar penyelesaian persoalan-persoalan itu. Faktor-faktor positif itu berada dalam
daerah kerja yang bersangkutan itu sendiri, atau boleh juga berada dalam satuan
lingkungan hidup yang bertetangga dengan daerah kerja. Cara yang terakhir ini dapat
dilanjutkan secara berangsur sampai terbentuk suatu asosiasi antar lingkungan hidup yang
bertetangga. Pemberian prioritas daerah kerja semacam ini berpangkal pada suatu asas
mendahulukan lingkungan hidup yang berpotensi lebih tinggi dari yang berpotensi lebih
rendah. Hal ini dimaksudkan untuk memperlancar jaminan lebih baik akan keberhasilan
usaha.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
20
Loka-loka “Bench-Mark”
Yang diartikan dengan loka “bench-mark” (bench-mark site) ialah suatu satuan
lingkungan hidup yang dapat dijadikan perwakilan dari semua satuan lingkungan hidup
yang diwakili oleh loka “bench-mark” harus mengandung sekurang-kurangnya sebuah
persoalan asasi dengan dampak yang kuat. Suatu loka “bench-mark” mempunyai dua
peranan pokok : (1) sebagai tempat mengaji persoalan pada skala lapangan untuk
mengumpulkan pengetahuan dan pengalaman yang secara langsung dapat
diekstrapolasikan ke tempat-tempat lain yang mengandung persoalan sejenis, dan (2)
sebagai titik toleh (reference point) dalam menilai hasil kerja di tempat lain.
Diusulkan mendirikan sekurang-kurangnya 7 buah loka “bench-mark”, yang
masing-masing mengandung persoalan-persoalan pokok sebagai berikut :
1. Hidrologi dan neraca air.
2. Kemampuan tanah (produktivitas dan potensi) dan hujan erosif.
3. Tataguna lahan:
3.1. Kawasan pedasaan.
3.2. Kawasan perkotaan.
4. Kepadatan penduduk besar.
5. Taraf pendidikan dan ketrampilan secara pukulrata di bawah tepian (submarginal).
6. Taraf kesehatan masarakat secara pukulrata di bawah tepian.
Pelaksanaan
Ada tiga pihak yang mempunyai peluang besar untuk menjadi pelaksana yang
mampu. Pertama ialah pemerintah daerah beserta semua dinas yang mempunyai hubungan
gawai dan struktur cacak (vertical). Kedua ialah lembaga-lembaga penelitian besarta
cabang-cabangnya di daerah-daerah. Ketiga ialah perguruan-perguruan tinggi. Suatu
perguruan tinggo sebagai pelaksana mempunyai kedudukan khas. Di samping mempunyai
fasilitas penelitian dan pengabdian masyarakat cukup, masih mempunyai tenaga kerja
yang cukup mampu dalam jumlah banyak berupa mahasiswa. Hal yang terakhir inilah yang
merupakan kekayaan perguruan tinggi yang tidak dapat disamai oleh pihak manapun juga.
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)
21
ACUAN
Foster, Albert B. (1964) : Approved Practices in Soil Conservation. Third Edition. The Interstate Printers & Publishers, Inc., Davile, Illinois. Xviii + 384 h.
Klink, Hans-Jurgen (1974) : Geoecology and Natural Regionalization. Bases for Environmental Research. Applied Sciences and Development, vol. 4, h. 48-74.
Mitchell, Robert L. (1969) : Trace Elements in Soils. Dalam : Firman E. Bear, Chemistry of the Soil. Second Edition, Chapter 8, h. 320-368. Van Nostrand Reinhold Company, New York. xxii + 515 h.
Notohadiprawiro, T. (1977) : Suatu Konsep Tentang Wilayah dan Pewilayahan. Lokakarya Program Studi Perancangan dan Pembangunan Regional, PUTL-UGM.
Sanchez, Pedro A. (1976) : Properties and Management of Soils in the Tropics. John Wiley and Sons, New York. xii + 618 h.
Schwab, Glenn o., Kenneth K. Barnes, Richard K. Frevert, and Talcott W. Edminster (1971) : Elementary Soil and Water Engineering. Second Edition. Wiley International Edition, Toppan Company, Limited, Tokyo. x + 316 h.
Smithsonian Institution Symposium (1968) : The Quality of Man”s Environment. Voice of America Forum Lectures. 250 h.
United States Department of Agriculture (1954) : A Manual on Conservation of Soil and Water. Soil Conservation Service, Agriculture Hand-book No. 61. iv + 208 h.
«»
Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (2006)