pemba has an
DESCRIPTION
pembahasanTRANSCRIPT
PEMBAHASAN
1. Pre Operatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan pre
operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anastesi. Kunjungan terhadap
pasien sebelum pasien dibedah harus dilakukan sehingga dapat mengetahui adanya kelainan
diluar kelainan yang akan di operasi, menentukan jenis operasi yang akan di gunakan, melihat
kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi,
atau decompensasi cordis. Selain itu, dengan mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan,
dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien.
Kunjungan pre operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah
operasi.
Evaluasi pre operasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi
klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Operasi yang elektif dan anestesi lebih
baik tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai kondisi medis optimal. Selanjutnya dokter
anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi
yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent.
History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap
makanan dan obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan
dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan
dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya
potensi terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya
bisa menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga
penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosa.
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan fisik dapat
membantu mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul pada history taking, sedangkan history
taking membantu memfokuskan pemeriksaan pada sistem organ tertentu yang harus diperiksa
dengan teliti. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya
meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan
airway, jantung, paru-paru, dan system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting
terutama pada anestesi regional sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum
diakukan anestesi regional. Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan.
Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian
masker untuk anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnomalitas
wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), insisivus
bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint
atau vertebrae servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk
dilakukan intubasi trakeal.
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak direkomendasikan pada pasien yang sehat dan
asimtomatik bila history taking dan pemeriksaan fisik gagal mendeteksi adanya abnormalitas.
Namun, karena legitimasi hokum banyak dokter yang tetap memeriksa kadar hematokrit atau
hemoglobin, urinalisis, serum elekrolit, tes koagulasi, elektrokardiogram, dan foto polos toraks
pada semua pasien.
Klasifikasi status fisik ASA bukan alat prakiraan risiko anestesi, karena efek samping
anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan
menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead
organ donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas
perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi
terhadap komplikasi periopertif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak
sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan
manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologis, biokimia, atau psikiatri.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas
Kelas IV :Pasien dengan penyakit sistemik berat, tidak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakit tersebut dapat menjadi ancaman setiap
saat
Kelas V : Pasien sekarat dengan atau tanpa pembedahan, hidupnya tidak
akan lebih dari 24 jam.
Hal penting lainnya pada kunjungan pre operasi adalah inform consent. Inform consent
yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi dokter bila ada tuntutan.
Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang cukup
tentang prosedur yang akan dilakukan dan resikonya.
Tujuan kunjungan pre operasi bukan hanya untuk mengumpulkan informasi yang
penting dan inform consent, tetapi juga membantu membentuk hubungan dokter-pasien.
Bahkan pada interview yang dilakukan secara empatis dan menjawab pertanyaan penting serta
membiarkan pasien tahu tentang harapan operasi menunjukkan hal tersebut setidaknya dapat
membantu mengurangi kecemasan yang efektivitasnya sama dengan regimen obat
premedikasi.
Pada tanggal 30 Agustus 2010 pasin Tn. I berusia 16 datang ke IGD RSSA dengan
keluhan tangannya terputus terkena gergaji ketika sedang memotong kayu di rumahnya. Pasien
didiagnosis dengan Traumatic amputation PIP joint index and middle finger sinistra dan Open
fracture phalank media ring finger sinistra. Operasi debridement dan pinning dilakukan pada 30
Agustus 2012 di OK IGD.
Pada pasien ini, dari history taking tidak didapatkan riwayat alergi terhadap makanan
atau obat-obatan, tidak mengkonsumsi obat-obatan rutin, tidak didapatkan riwayat operasi
sebelumnya, tidak didapatkan riwayat penyakit jantung, hipertensi, kencing manis. Dari
pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan bermakna yang dapat mengganggu proses
anestesi, pasien digolongkan dalam kategori Malampati 1. Dari pemeriksaan laboratorium pada
tanggal 30 Agustus 2012 didapatkan penurunan kadar Kalium dalam darah (Kalium : 3,03). Dari
data-data tersebut pasien kemudian diklasifikasikan sebagai ASA 2. Inform consent juga telah
dilaksanakan.
Masukan Oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani
anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi
elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu
sebelum induksi anestesi.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman bening,
air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah
terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia.
Dari anamnesa, dapat diketahui bahwa pasien makan terakhir pada pukul 09.00 WIB
atau sekitar 10 jam sebelum operasi.
Terapi Cairan
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya, kebutuhan
maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit
cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi
gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru.
Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah:
Berat Badan Kadar
10kg pertama 4 mL/kg/jam
10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam
Tiap kg di atas 20kg + 1 mL/kg/jam
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit cairan
karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance
dengan waktu puasa.
Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludan dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Ranitidine 50 mg, inj. antrain mg.
Ranitidine diberikan untuk profilaksis dari PONV. Ranitidine yang merupakan H2 antagonist
berfungsi dalam mencegah terjadinya stress ulcer akibat peningkatan asam lambung yang
berlebihan pada pasien pre operasi. Antrain
2. Durante Operasi
Pemakaian Obat Anestesi
Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan propofol. Mekanisme induksi general
anestesi dengan propofol melibatkan fasilitasi dari inhibisi neurotransmitter yang dimediasi oleh
GABA. Propofol bisa mempotensiasi Nondepolarizing neuromuscular blocking agents (NMBA)
yang juga digunakan pada kasus ini (atracurium). Penggunaan propofol bersamaan dengan
fentanyl dapat meningkatkan konsentrasi fentanyl. Pada kasus ini analgetik yang digunakan
adalah fentanyl. Beberapa klinisi memberikan midazolam (pada kasus ini diberikan untuk
premedikasi) dengan jumlah kecil (misal 30µg/kg) sebelum induksi dengan propofol, karena
mereka percaya bahwa kombinasi tersebut mempunyai efek sinergis (onset lebih cepat dan
kebutuhan dosis total menjadi turun).
Propofol Induction IV 1–2.5 mg/kg
Maintenance infusion IV 50–200 µg/kg/min
Sedation infusion IV 25–100 µg/kg/min
Fentanyl Intraoperative anesthesia IV 2–150 µg/kg
Postoperative analgesia IV 0.5–1.5 µg/kg
Pada general anestesi dibutuhkan kadar obat anestesi yang adekuat yang bisa dicapai
dengan cepat di otak dan perlu di pertahankan kadarnya selama waktu yang dibutuhkan untuk
operasi. Hal ini merupakan konsep yang sama baik pada anestesi yang dicapai dengan
anestesi inhalasi, obat intravena, atau keduanya.
Dengan menggunakan anestesi inhalasi, bisa diketahui minimum alveolar concentration
(MAC)nya dan dapat dicapai dengan relatif cepat (biasnya diberikan konsentrasi yang besar
daripada konsentrasi yang diinginkan di otak) dan kemudian keseimbangan antara gas anestesi
yang diinspirasi dan diekspirasi bisa terjadi. Maintenance anestesi inhalasi dicapai dengan terus
menerus memberikan obat anestesi inhalasi pada keseimbangan ini. Sedangkan untuk
maintenance menggunakan anestesi inhalasi dilakukan dengan cara inconstant infusion
(intermittent bolus) atau dengan constant fixed/dose infusion yang jarang bisa mencapai
keseimbangan antara darah dengan otak.
Pemberian obat anestesi intravena secara intermiten dan bukan dengan continuous
infusion adalah tidak rasional. Idealnya, infusion rate akan ditentukan oleh farmakokinetik obat
untuk mencapai kadar yang konstan dalam darah-otak. Gambar dibawah menunjukkan
perbedaan kontras antara pemberian secara continuous infusion dan intermittent bolus.
Masalahnya adalah, dengan teknik bolus adalah terjadi variasi kadar obat dalam darah yang
besar, yang menyebabkan anestesi menjadi terlalu dalam setelah pemberian bolus dan
kemudian menjadi terlalu dangkal sebelum bolus berikutnya. Pemberian bolus yang diulang
juga akan menghasilkan akumulasi obat pada pasien, sehingga menyebabkan pasien menjadi
lebih sulit di rangsang setelah operasi selesai dilakukan.
Oleh karena itu pada kasus ini maintenance anestesi diberikan dengan anestesi
inhalasi. Obat anestesi inhalasi yang dipakai adalah isoflurane. Isoflurane tidak memiliki
kontraindikasi khusus. Isofluran juga dapat mempotensiasi NMBA (Neuro Muscular Block
Agent) (pada pasien ini dipakai atracurium).
Pada kasus ini jenis anestesi yang digunakan adalah general anestesi dengan intubasi.
Sebelum dilakukan intubasi diperlukan muscle relaxant sehingga proses intubasi lebih mudah
dilakukan.
Tidak ada nondepolarizing muscle relaxants yang sekarang tersedia menyamai
onset yang cepat dan durasi pendek dari succinylcholine; tetapi meskipun begitu onset
dari nondepolarizing relaxants bisa dipercepat dengan menggunakan baik dosis yang
lebih besar atau dengan priming dosis. ED95 adalah dosis efektif obat pada 95% individu.
Satu kali datau dua kali lipat ED95 biasanya digunakan untuk intubasi. Meskipun dosis
untuk intubasi yang lebih besar dapat mempercepat onset, dosis ini dapat
mengeksaserbasi efek samping dan memperlama durasi. Prinsip umumnya adalah
semakin besar potensi nondepolarizing muscle relaxant semakin lama kecepatan
onsetnya.
Pengenalan agen short-acting dan intermediate-acting telah menghasilkan
penggunaan priming dosis yang lebih besar. Secara teoritis, pemberian 10–15% dosis
intubasi 5 menit sebelum induksi akan menempati cukup reseptor sehingga paralisis
akan cepat mengikuti ketika keseimbangan relaxant sudah diberikan. Penggunaan
priming dosis bisa menghasilkan kondisi yang sesuai untuk intubasi segera setelah 60
detik bila mneggunakan rocuronium dan 90 detik menggunakan agen intermediate-acting
nondepolarizers seperti atracurium.
Setelah intubasi, paraslisis otot mungkin perlu diteruskan untuk memfasilitasi operasi
misal operasi abdominal atau untuk manajemen anestesi atau untuk kebutuhan mengontrol
ventilasi. Dosis maintenance bisa dicapai dengan intermittent bolus atau continuous infusion,
diberikan dengan monitor menggunakn nerve stimulator atau tanda klinis (usaha atau gerakan
nafas spontan). Pada kasus ini atracurium diulang setelah ± 45 menit pemberian atracurium
yang pertama karena operasi masih dalam proses, sehigga intubasi masih tetap dipertahankan
(supaya ventilasi terkontrol).
Drug ED95 for Adductor
Pollicis During
N2/O2 Anesthesia
(mg/kg)
Intubation
Dose
(mg/kg)
Onset of
Action for
Intubating
Dose
(min)
Duration of
Intubating
Dose (min)
Maintenance
Dosing by
Boluses
(mg/kg)
Maintenance
Dosing by
Infusion (
g/kg/mi
n)
Atracurium 0.2 0.5 2.5–
3.0
30–45 0.1 5–12
Terapi Cairan
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi
keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan
atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight
seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid
plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat
menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.
Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk kehilangan
terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan hipotonik, juga disebut cairan jenis
maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan
elektrolit isotonik, juga disebut cairan jenis replacement.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis
replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan
Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan
cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq / L, Ringer laktat umumnya memiliki
efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler danmerupakan menjadi cairan
yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi
biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah
yang hilang.
Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi daripada hematokrit and estimated blood
volume (EBV). Pasien dengan hematokrit normal biasanya ditransfusi hanya apabila
kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah. Kapan harus ditransfusi itu ditentukan oleh
kondisi pasien dan prosedur operasi yang dilakukan. Jumlah kehilangan darah yang dibutuhkan
untuk menurunkan hematokrit ke 30% dihitung seperti berikut:
1. Estimate blood volume
2.3.1.
Adult Male : 70 mL/kg and female : 65 mL/kg
2. Estimate the red blood cell volume (RBCV) at the preoperative hematocrit (RBCVpreop).
3. Estimate RBCV at a hematocrit of 30% (RBCV30%), assuming normal blood volume is
maintained.
4. Calculate the red cell volume lost when the hematocrit is 30%; RBCV lost = RBCVpreop –
RBCV30%.
5. Allowable blood loss = RBCVlost x 3.
Pada pasien ini, estimated blood volume adalah sebanyak 2800 mL (40kg x 70 mL/kg).
Allowable blood loss diperkirakan sebanyak 560 mL (20% dari EBV pasien). Selain itu, pasien
ini membutuhkan cairan maintenance sebanyak 90cc/jam. Selama durante operasi, pasien
telah diberikan cairan RL sebanyak 200cc/jam (M=80cc + O3 =200cc).
Monitoring
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang dianestesi selama
operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam mempertahankan kondisi pasien,
oleh karena itu perlu standard monitoring intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor
berikut ini adalah standard minimal monitoring) :
Standard Basic Anesthetic Monitoring
Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada kondisi emergensi,
appropriate life support harus diutamakan. Standard ini ditujukan hanya tentang basic
anesthetic monitoring, yang merupakan salah satu komponen perawatan anestesi. Pada
beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim (1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak
praktis secara klinis dan (2) penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal
untuk mendeteksi perkembangan klinis selanjutnya.
Standard I
Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general anestesi,
regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi.
Standard II
Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan temperature pasien harus
dievalusi terus menerus.
Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah:
- Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter
- Heart rate, nadi, dan kualitasnya
- Warna membran mukosa, dan capillary refill time
- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.
Pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen pasien tidak pernah < 95%,
tekanan darah pasien dalam batas normal (S 100-120, D 60-80), nadi <100x/menit, frekuensi
nafas 16x’/ menit (dengan ventilator).
3. Postoperatif
Recovery dari General Anestesi
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa tiap 5 menit
selama 15 menit atau sampai pasien stabil. Pulse oximetry harus dimonitor terus menrus pada
pasien yang masih berada dalam proses recovery dari general anestesi, paling tidak sampai
pasien mulai sadar. Fungsi neuromuskuler juga harus dinilai misalnya mengangkat kepala.
Monitoring tambahan berupa penilaian nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual
atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan.
Semua pasien yang masih recovery dari general anestesi harus mendapatkan oksigen
30-40% karena bisa terjadi transient hypovemia pada pasien yang sehat sekalipun. Resiko
hipoksemia meningkat pada pasien-pasien yang menjalani operasi di daerah upper abdomninal
adau toraks, sehingga harus terus dimonitor dengan pulse oxymeter dan mungkin memerlukan
oksigenasi dalam waktu yang lebih lama. Keputusan rasional untuk meneruskan suplementasi
oksigen ketika mengeluarkan pasien dari Post Anesthesia Care Unit (PACU) bisa dibuat
berdasarkan SpO2 dengan udara ruangan. Pasien dimotivasi untuk nafas dalam dan batuk.
Pada kasus ini, pasien mulai sadar ± 10 menit setelah operasi selesai dilakukan. Pasien
mulai berada dalam proses recovery, mulai timbul kesadaran, pasien mulai bisa bernafas dalam
dan tidak didapatkan mual atau muntah. Tanda vital : tekanan darah 136/67, nadi 80x/menit,
frekuensi nafas 20x/menit dengan SpO2 99% dengan oksigen via nasal canule 2lpm.
Kriteria Discharge dari PACU
Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU berdasarkan criteria
discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah Aldrete Score. Kriteria ini akan
menentukan apakah pasien akan di-discharge ke Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan
biasa.
Postanesthetic Aldrete Recovery Score
Original Criteria Modified Criteria Point
Value
Color Oxygenation
Pink SpO2 > 92% on room air
2
Pale or dusky SpO2 > 90% on oxygen
1
Cyanotic SpO2 < 90% on oxygen
0
Respiration
Can breathe deeply and
cough
Breathes deeply and
coughs freely
2
Shallow but adequate
exchange
Dyspneic, shallow or
limited breathing
1
Apnea or obstruction Apnea 0
Circulation
Blood pressure within
20% of normal
Blood pressure ± 20 mm
Hg of normal
2
Blood pressure within
20–50% of normal
Blood pressure ± 20–50
mm Hg of normal
1
Blood pressure deviating
> 50% from normal
Blood pressure more
than ± 50 mm Hg of
normal
0
Consciousness
Awake, alert, and
oriented
Fully awake 2
Arousable but readily
drifts back to sleep
Arousable on calling 1
No response Not responsive 0
Activity
Moves all extremities Same 2
Moves two extremities Same 1
No movement Same 0
Based on Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg 1970;49:924 and Aldrete JA:
The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin Anesth 1995;7:89.
Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau minimal 9.
Sebelum di-discharge, pasien seharusnya diobservasi apakah ada depresi nafas selama
minimal 20-30 menit setelah pemberian dosis perenteral narkotik terakhir. Kriteria minimal lain
untuk discharge pasien yang telah recovery dari general anestesi biasanya meliputi hal-hal
berikut ini:
Mudah terrespon
Orientasi penuh
Mampu mempertahankan dan melindungi airway
Tanda vital stabil selama paling tidak 15–30 menit
Mampu untuk meminta bantuan bila ia membutuhkan
Tidak ada komplikasi operasi yang bermakna (seperti perdarahan aktif).
Kontrol nyeri postoperative, mual dan muntah, dan mempertahankan normotermia
sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem scoring untuk discharge digunakan
secara luas. Kebanyakan criteria yang dinilai adalah SpO2 (atau warna kulit), kesadaran,
sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik. Kebanykan pasien memenuhi criteria discharge dalam
waktu ± 60 menit di PACU. Sebagai tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan general
anestesi seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan motoris.
Pada kasus ini, setelah 1 jam di PACU pasien di-assest dengan Aldrete Score 10
karena pasien sudah sadar penuh, tekanan darah relatif tetap dibanding preoperatif, pasien
mampu bernafas dalam dan batuk, SpO2 96% dengan udara ruangan, dan pasien mampu
menggerakkan keempat ekstrimitasnya. Oleh karena itu, pasien kemudian dipindah ke ruangan
biasa.
Kontrol Nyeri dan PONV
Pemberian NSAID preoperatif saja atau bersamaan dengan asetaminofen bisa
mengurangi kebutuhan terhadap opioid secara signifikan untuk prosedur operasi tertentu.
Penggunaan inhibitor selektif siklooksigenase-2 (seperti celecoxib) dapat mengurangi potential
adverse effect terhadap fungsi platelet dan komplikasi gastrointestinal.
Nyeri ringan hingga sedang (mild to moderate) bisa diterapi dengan asetaminofen dan
kodein oral. Sebagai alternatif bisa digunakan opioid agonis-antagonis (butarphanol 1-2mg atau
nalbuphine 5-10mg) atau ketorolacmethamine 30 mg iv. Obat tersebut sering digunakan untuk
operasi ortopedi dan ginekologi.
Nyeri sedang-berat (moderate to severe) di PACU bisa diterapi dengan opioid parenteral
atau intraspinal, anestesi regional, atau blok saraf spesifik. Bila digunakan opioid, pemberian
yang aman diberikan dalam titrasi dosis kecil intravena. Opioid yang umum digunakan opioid
intermediate-long duration seperti meperidine 10-20 mg (0.25-0.5 mg/kg pada anak-anak), atau
morfin 2-4mg (0.025-0.05 mg/kg pada anak-anak). Efek analgesik mencapai peak dalam waktu
4-5 menit.
Sedangkan Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan masalah yang
sering terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada sekitar 20-30% pasien. Bahkan,
PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam setelah discharge (postdischarge nausea and
vomiting). Etiologi PONV biasanya multifaktorial bisa melibatkan agen anestesi, tipe atau jenis
anestesi dan faktor pasien sendiri.
Terjadi peningktan insiden mual setelah pemberian opioid selama anestesi, setelah
pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan operasi strabismus. Insidensi tertinggi
terjadi pada wanita muda. Meningkatnya tonus vagal bermanifestasi sebagai sudden bradikardi
yang seringkali mendahului atau bersamaan dengan emesis. Anestesi propofol menurunkan
insiden PONV. Selective 5-hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) antagonis seperti
ondansetron 4 mg (0.1 mg/kg pada anak-anak), granisetron 0.01–0.04 mg/kg, dan dolasetron
12.5 mg (0.035 mg/kg pada anak-anak) juga sangat efektif untuk mencegah PONV dan
menerapi PONV yang sudah terjadi. Metoclopramide, 0.15 mg/kg intravena, kurang efektif
tetapi obat ini merupakan alternatif yang bagus. 5-HT3 antagonis tidak berhubungan dengan
manifestasi akut extrapyramidal (dystonic) dan reaksi disforik yang mungkin ditimbulkan oleh
metoclopramide atau phenothiazine-type antiemetics. Dexamethasone, 4–10 mg (0.10 mg/kg in
children), bila dikombinasikan dengan antiemetic lainnya biasanya efektif untuk mual dan
muntah yang refrakter. Bahkan efektif hingga 24 jam sehingga bisa digunakan untuk
postdischarge nausea and vomiting. Profilaksis non farmakologis untuk mencegah PONV
misalnya hidrasi yang adekuat (20 mL/kg) setelah puasa dan stimulasi P6 acupuncture point
(pergelangan tangan). Pada kasus ini, tidak didapatkan mual muntah postoperatif, tetapi
tetap diberikan ondansentron 3x4mg dan ranitidine 2x50mg intravena untuk mencegah PONV
di ruangan. Sedangkan untuk mengontrol nyeri postoperative diberikan ketorolac 3x30mg
intravena.
2.3.1.