pemba has an

18
PEMBAHASAN 1. Pre Operatif Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anastesi. Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus dilakukan sehingga dapat mengetahui adanya kelainan diluar kelainan yang akan di operasi, menentukan jenis operasi yang akan di gunakan, melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensasi cordis. Selain itu, dengan mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan pre operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi. Evaluasi pre operasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Operasi yang elektif dan anestesi lebih baik tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai kondisi medis optimal. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent. History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap makanan dan obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa menunjukkan

Upload: ilisansa4321

Post on 23-Oct-2015

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pembahasan

TRANSCRIPT

Page 1: Pemba Has An

PEMBAHASAN

1. Pre Operatif

Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan persiapan pre

operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anastesi. Kunjungan terhadap

pasien sebelum pasien dibedah harus dilakukan sehingga dapat mengetahui adanya kelainan

diluar kelainan yang akan di operasi, menentukan jenis operasi yang akan di gunakan, melihat

kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi,

atau decompensasi cordis. Selain itu, dengan mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan,

dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien.

Kunjungan pre operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah

operasi.

Evaluasi pre operasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi

klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Operasi yang elektif dan anestesi lebih

baik tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai kondisi medis optimal. Selanjutnya dokter

anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi

yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent.

History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap

makanan dan obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash) harus dibedakan dengan

dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal). Riwayat penyakit sekarang dan

dahulu juga harus digali begitu juga riwayat pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya

potensi terjadi interaksi obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya

bisa menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem organ juga

penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang belum terdiagnosa.

Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan fisik dapat

membantu mendeteksi abnormalitas yang tidak muncul pada history taking, sedangkan history

taking membantu memfokuskan pemeriksaan pada sistem organ tertentu yang harus diperiksa

dengan teliti. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik setidaknya

meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate, respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan

airway, jantung, paru-paru, dan system musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting

terutama pada anestesi regional sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum

diakukan anestesi regional. Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan.

Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat

Page 2: Pemba Has An

penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi. Kesesuaian

masker untuk anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnomalitas

wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), insisivus

bawah yang besar, makroglosia, Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint

atau vertebrae servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk

dilakukan intubasi trakeal.

Pemeriksaan laboratorium rutin tidak direkomendasikan pada pasien yang sehat dan

asimtomatik bila history taking dan pemeriksaan fisik gagal mendeteksi adanya abnormalitas.

Namun, karena legitimasi hokum banyak dokter yang tetap memeriksa kadar hematokrit atau

hemoglobin, urinalisis, serum elekrolit, tes koagulasi, elektrokardiogram, dan foto polos toraks

pada semua pasien.

Klasifikasi status fisik ASA bukan alat prakiraan risiko anestesi, karena efek samping

anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan

menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead

organ donor. Status fisik ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas

perioperatif. Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi

terhadap komplikasi periopertif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak

sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam perencanaan

manajemen anestesi, terutama teknik monitoring.

Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologis, biokimia, atau psikiatri.

Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang.

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas

rutin terbatas

Kelas IV :Pasien dengan penyakit sistemik berat, tidak dapat melakukan

aktivitas rutin dan penyakit tersebut dapat menjadi ancaman setiap

saat

Kelas V : Pasien sekarat dengan atau tanpa pembedahan, hidupnya tidak

akan lebih dari 24 jam.

Hal penting lainnya pada kunjungan pre operasi adalah inform consent. Inform consent

yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat melindungi dokter bila ada tuntutan.

Dalam proses consent perlu dipastikan bahwa pasien mendapatkan informasi yang cukup

tentang prosedur yang akan dilakukan dan resikonya.

Page 3: Pemba Has An

Tujuan kunjungan pre operasi bukan hanya untuk mengumpulkan informasi yang

penting dan inform consent, tetapi juga membantu membentuk hubungan dokter-pasien.

Bahkan pada interview yang dilakukan secara empatis dan menjawab pertanyaan penting serta

membiarkan pasien tahu tentang harapan operasi menunjukkan hal tersebut setidaknya dapat

membantu mengurangi kecemasan yang efektivitasnya sama dengan regimen obat

premedikasi.

Pada tanggal 30 Agustus 2010 pasin Tn. I berusia 16 datang ke IGD RSSA dengan

keluhan tangannya terputus terkena gergaji ketika sedang memotong kayu di rumahnya. Pasien

didiagnosis dengan Traumatic amputation PIP joint index and middle finger sinistra dan Open

fracture phalank media ring finger sinistra. Operasi debridement dan pinning dilakukan pada 30

Agustus 2012 di OK IGD.

Pada pasien ini, dari history taking tidak didapatkan riwayat alergi terhadap makanan

atau obat-obatan, tidak mengkonsumsi obat-obatan rutin, tidak didapatkan riwayat operasi

sebelumnya, tidak didapatkan riwayat penyakit jantung, hipertensi, kencing manis. Dari

pemeriksaan fisik tidak didapatkan kelainan bermakna yang dapat mengganggu proses

anestesi, pasien digolongkan dalam kategori Malampati 1. Dari pemeriksaan laboratorium pada

tanggal 30 Agustus 2012 didapatkan penurunan kadar Kalium dalam darah (Kalium : 3,03). Dari

data-data tersebut pasien kemudian diklasifikasikan sebagai ASA 2. Inform consent juga telah

dilaksanakan.

Masukan Oral

Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan

kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama pada pasien yang menjalani

anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi

elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu

sebelum induksi anestesi.

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4

jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman bening,

air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah

terbatas boleh I jam sebelum induksi anesthesia.

Dari anamnesa, dapat diketahui bahwa pasien makan terakhir pada pukul 09.00 WIB

atau sekitar 10 jam sebelum operasi.

Terapi Cairan

Page 4: Pemba Has An

Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya, kebutuhan

maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya intake oral, defisit

cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya pembentukan urin, sekresi

gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru.

Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah:

Berat Badan Kadar

10kg pertama 4 mL/kg/jam

10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam

Tiap kg di atas 20kg + 1 mL/kg/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami deficit cairan

karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance

dengan waktu puasa.

Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan

untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya:

Meredakan kecemasan dan ketakutan

Memperlancar induksi anesthesia

Mengurangi sekresi kelenjar ludan dan bronkus

Meminimalkan jumlah obat anestetik

Mengurangi mual muntah pasca bedah

Menciptakan amnesia

Mengurangi isi cairan lambung

Mengurangi reflek yang membahayakan

Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Ranitidine 50 mg, inj. antrain mg.

Ranitidine diberikan untuk profilaksis dari PONV. Ranitidine yang merupakan H2 antagonist

berfungsi dalam mencegah terjadinya stress ulcer akibat peningkatan asam lambung yang

berlebihan pada pasien pre operasi. Antrain

2. Durante Operasi

Page 5: Pemba Has An

Pemakaian Obat Anestesi

Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan propofol. Mekanisme induksi general

anestesi dengan propofol melibatkan fasilitasi dari inhibisi neurotransmitter yang dimediasi oleh

GABA. Propofol bisa mempotensiasi Nondepolarizing neuromuscular blocking agents (NMBA)

yang juga digunakan pada kasus ini (atracurium). Penggunaan propofol bersamaan dengan

fentanyl dapat meningkatkan konsentrasi fentanyl. Pada kasus ini analgetik yang digunakan

adalah fentanyl. Beberapa klinisi memberikan midazolam (pada kasus ini diberikan untuk

premedikasi) dengan jumlah kecil (misal 30µg/kg) sebelum induksi dengan propofol, karena

mereka percaya bahwa kombinasi tersebut mempunyai efek sinergis (onset lebih cepat dan

kebutuhan dosis total menjadi turun).

Propofol Induction IV 1–2.5 mg/kg

Maintenance infusion IV 50–200 µg/kg/min

Sedation infusion IV 25–100 µg/kg/min

Fentanyl Intraoperative anesthesia IV 2–150 µg/kg

Postoperative analgesia IV 0.5–1.5 µg/kg

Pada general anestesi dibutuhkan kadar obat anestesi yang adekuat yang bisa dicapai

dengan cepat di otak dan perlu di pertahankan kadarnya selama waktu yang dibutuhkan untuk

operasi. Hal ini merupakan konsep yang sama baik pada anestesi yang dicapai dengan

anestesi inhalasi, obat intravena, atau keduanya.

Dengan menggunakan anestesi inhalasi, bisa diketahui minimum alveolar concentration

(MAC)nya dan dapat dicapai dengan relatif cepat (biasnya diberikan konsentrasi yang besar

daripada konsentrasi yang diinginkan di otak) dan kemudian keseimbangan antara gas anestesi

yang diinspirasi dan diekspirasi bisa terjadi. Maintenance anestesi inhalasi dicapai dengan terus

menerus memberikan obat anestesi inhalasi pada keseimbangan ini. Sedangkan untuk

maintenance menggunakan anestesi inhalasi dilakukan dengan cara inconstant infusion

(intermittent bolus) atau dengan constant fixed/dose infusion yang jarang bisa mencapai

keseimbangan antara darah dengan otak.

Pemberian obat anestesi intravena secara intermiten dan bukan dengan continuous

infusion adalah tidak rasional. Idealnya, infusion rate akan ditentukan oleh farmakokinetik obat

untuk mencapai kadar yang konstan dalam darah-otak. Gambar dibawah menunjukkan

perbedaan kontras antara pemberian secara continuous infusion dan intermittent bolus.

Page 6: Pemba Has An

Masalahnya adalah, dengan teknik bolus adalah terjadi variasi kadar obat dalam darah yang

besar, yang menyebabkan anestesi menjadi terlalu dalam setelah pemberian bolus dan

kemudian menjadi terlalu dangkal sebelum bolus berikutnya. Pemberian bolus yang diulang

juga akan menghasilkan akumulasi obat pada pasien, sehingga menyebabkan pasien menjadi

lebih sulit di rangsang setelah operasi selesai dilakukan.

Oleh karena itu pada kasus ini maintenance anestesi diberikan dengan anestesi

inhalasi. Obat anestesi inhalasi yang dipakai adalah isoflurane. Isoflurane tidak memiliki

kontraindikasi khusus. Isofluran juga dapat mempotensiasi NMBA (Neuro Muscular Block

Agent) (pada pasien ini dipakai atracurium).

Pada kasus ini jenis anestesi yang digunakan adalah general anestesi dengan intubasi.

Sebelum dilakukan intubasi diperlukan muscle relaxant sehingga proses intubasi lebih mudah

dilakukan.

Tidak ada nondepolarizing muscle relaxants yang sekarang tersedia menyamai

onset yang cepat dan durasi pendek dari succinylcholine; tetapi meskipun begitu onset

dari nondepolarizing relaxants bisa dipercepat dengan menggunakan baik dosis yang

lebih besar atau dengan priming dosis. ED95 adalah dosis efektif obat pada 95% individu.

Satu kali datau dua kali lipat ED95 biasanya digunakan untuk intubasi. Meskipun dosis

untuk intubasi yang lebih besar dapat mempercepat onset, dosis ini dapat

mengeksaserbasi efek samping dan memperlama durasi. Prinsip umumnya adalah

semakin besar potensi nondepolarizing muscle relaxant semakin lama kecepatan

onsetnya.

Pengenalan agen short-acting dan intermediate-acting telah menghasilkan

penggunaan priming dosis yang lebih besar. Secara teoritis, pemberian 10–15% dosis

intubasi 5 menit sebelum induksi akan menempati cukup reseptor sehingga paralisis

akan cepat mengikuti ketika keseimbangan relaxant sudah diberikan. Penggunaan

priming dosis bisa menghasilkan kondisi yang sesuai untuk intubasi segera setelah 60

detik bila mneggunakan rocuronium dan 90 detik menggunakan agen intermediate-acting

nondepolarizers seperti atracurium.

Setelah intubasi, paraslisis otot mungkin perlu diteruskan untuk memfasilitasi operasi

misal operasi abdominal atau untuk manajemen anestesi atau untuk kebutuhan mengontrol

ventilasi. Dosis maintenance bisa dicapai dengan intermittent bolus atau continuous infusion,

diberikan dengan monitor menggunakn nerve stimulator atau tanda klinis (usaha atau gerakan

nafas spontan). Pada kasus ini atracurium diulang setelah ± 45 menit pemberian atracurium

Page 7: Pemba Has An

yang pertama karena operasi masih dalam proses, sehigga intubasi masih tetap dipertahankan

(supaya ventilasi terkontrol).

Drug ED95 for Adductor

Pollicis During

N2/O2 Anesthesia

(mg/kg)

 

Intubation

Dose

(mg/kg)

Onset of

Action for

Intubating

Dose

(min)

Duration of

Intubating

Dose (min)

Maintenance

Dosing by

Boluses

(mg/kg)

Maintenance

Dosing by

Infusion (

g/kg/mi

n)

Atracurium 0.2 0.5 2.5–

3.0

30–45 0.1 5–12

Terapi Cairan

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau kombinasi

keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular weight (garam) dengan

atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight

seperti protein atau glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid

plasma dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat

menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.

Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan. Untuk kehilangan

terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan hipotonik, juga disebut cairan jenis

maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik air dan elektrolit, penggantian dengan cairan

elektrolit isotonik, juga disebut cairan jenis replacement.

Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis

replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan adalah larutan

Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan

cenderung untuk menurunkan natrium serum 130 mEq / L, Ringer laktat umumnya memiliki

efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler danmerupakan menjadi cairan

yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi

biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah

yang hilang.

Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi daripada hematokrit and estimated blood

volume (EBV). Pasien dengan hematokrit normal biasanya ditransfusi hanya apabila

kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah. Kapan harus ditransfusi itu ditentukan oleh

kondisi pasien dan prosedur operasi yang dilakukan. Jumlah kehilangan darah yang dibutuhkan

untuk menurunkan hematokrit ke 30% dihitung seperti berikut:

1. Estimate blood volume

2.3.1.

Page 8: Pemba Has An

Adult Male : 70 mL/kg and female : 65 mL/kg

2. Estimate the red blood cell volume (RBCV) at the preoperative hematocrit (RBCVpreop).

3. Estimate RBCV at a hematocrit of 30% (RBCV30%), assuming normal blood volume is

maintained.

4. Calculate the red cell volume lost when the hematocrit is 30%; RBCV lost = RBCVpreop –

RBCV30%.

5. Allowable blood loss = RBCVlost x 3.

Pada pasien ini, estimated blood volume adalah sebanyak 2800 mL (40kg x 70 mL/kg).

Allowable blood loss diperkirakan sebanyak 560 mL (20% dari EBV pasien). Selain itu, pasien

ini membutuhkan cairan maintenance sebanyak 90cc/jam. Selama durante operasi, pasien

telah diberikan cairan RL sebanyak 200cc/jam (M=80cc + O3 =200cc).

Monitoring

Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang dianestesi selama

operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam mempertahankan kondisi pasien,

oleh karena itu perlu standard monitoring intraoperatif yang diadopsi dari ASA (standard monitor

berikut ini adalah standard minimal monitoring) :

Standard Basic Anesthetic Monitoring

Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada kondisi emergensi,

appropriate life support harus diutamakan. Standard ini ditujukan hanya tentang basic

anesthetic monitoring, yang merupakan salah satu komponen perawatan anestesi. Pada

beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim (1) beberapa metode monitoring ini mungkin tidak

praktis secara klinis dan (2) penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal

untuk mendeteksi perkembangan klinis selanjutnya.

Standard I

Personel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general anestesi,

regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi.

Standard II

Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan temperature pasien harus

dievalusi terus menerus.

Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anestesi adalah:

Page 9: Pemba Has An

- Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter

- Heart rate, nadi, dan kualitasnya

- Warna membran mukosa, dan capillary refill time

- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek

palpebra)

- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi

- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

Pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen pasien tidak pernah < 95%,

tekanan darah pasien dalam batas normal (S 100-120, D 60-80), nadi <100x/menit, frekuensi

nafas 16x’/ menit (dengan ventilator).

3. Postoperatif

Recovery dari General Anestesi

Pemeriksaan tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas harus diperiksa tiap 5 menit

selama 15 menit atau sampai pasien stabil. Pulse oximetry harus dimonitor terus menrus pada

pasien yang masih berada dalam proses recovery dari general anestesi, paling tidak sampai

pasien mulai sadar. Fungsi neuromuskuler juga harus dinilai misalnya mengangkat kepala.

Monitoring tambahan berupa penilaian nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak mual

atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan perdarahan.

Semua pasien yang masih recovery dari general anestesi harus mendapatkan oksigen

30-40% karena bisa terjadi transient hypovemia pada pasien yang sehat sekalipun. Resiko

hipoksemia meningkat pada pasien-pasien yang menjalani operasi di daerah upper abdomninal

adau toraks, sehingga harus terus dimonitor dengan pulse oxymeter dan mungkin memerlukan

oksigenasi dalam waktu yang lebih lama. Keputusan rasional untuk meneruskan suplementasi

oksigen ketika mengeluarkan pasien dari Post Anesthesia Care Unit (PACU) bisa dibuat

berdasarkan SpO2 dengan udara ruangan. Pasien dimotivasi untuk nafas dalam dan batuk.

Pada kasus ini, pasien mulai sadar ± 10 menit setelah operasi selesai dilakukan. Pasien

mulai berada dalam proses recovery, mulai timbul kesadaran, pasien mulai bisa bernafas dalam

dan tidak didapatkan mual atau muntah. Tanda vital : tekanan darah 136/67, nadi 80x/menit,

frekuensi nafas 20x/menit dengan SpO2 99% dengan oksigen via nasal canule 2lpm.

Kriteria Discharge dari PACU

Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU berdasarkan criteria

discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah Aldrete Score. Kriteria ini akan

Page 10: Pemba Has An

menentukan apakah pasien akan di-discharge ke Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan

biasa.

Postanesthetic Aldrete Recovery Score

Original Criteria Modified Criteria Point

Value

Color  Oxygenation   

  Pink SpO2 > 92% on room air

 

2

  Pale or dusky SpO2 > 90% on oxygen

 

1

  Cyanotic SpO2 < 90% on oxygen

 

0

Respiration     

  Can breathe deeply and

cough

Breathes deeply and

coughs freely

2

  Shallow but adequate

exchange

Dyspneic, shallow or

limited breathing

1

  Apnea or obstruction Apnea 0

Circulation     

  Blood pressure within

20% of normal

Blood pressure ± 20 mm

Hg of normal

2

  Blood pressure within

20–50% of normal

Blood pressure ± 20–50

mm Hg of normal

1

  Blood pressure  deviating

> 50% from normal

Blood pressure more

than ± 50 mm Hg of

normal

0

Consciousness    

  Awake, alert, and

oriented

Fully awake 2

  Arousable but readily

drifts back to sleep

Arousable on calling 1

  No response Not responsive 0

   

Page 11: Pemba Has An

Activity 

  Moves all extremities Same 2

  Moves two extremities Same 1

  No movement Same 0

Based on Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg 1970;49:924 and Aldrete JA:

The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin Anesth 1995;7:89.

Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau minimal 9.

Sebelum di-discharge, pasien seharusnya diobservasi apakah ada depresi nafas selama

minimal 20-30 menit setelah pemberian dosis perenteral narkotik terakhir. Kriteria minimal lain

untuk discharge pasien yang telah recovery dari general anestesi biasanya meliputi hal-hal

berikut ini:

Mudah terrespon

Orientasi penuh

Mampu mempertahankan dan melindungi airway

Tanda vital stabil selama paling tidak 15–30 menit

Mampu untuk meminta bantuan bila ia membutuhkan

Tidak ada komplikasi operasi yang bermakna (seperti perdarahan aktif).

Kontrol nyeri postoperative, mual dan muntah, dan mempertahankan normotermia

sebelum pasien di-discharge sangat dibutuhkan. Sistem scoring untuk discharge digunakan

secara luas. Kebanyakan criteria yang dinilai adalah SpO2 (atau warna kulit), kesadaran,

sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik. Kebanykan pasien memenuhi criteria discharge dalam

waktu ± 60 menit di PACU. Sebagai tambahan dari kriteria diatas, pasien dengan general

anestesi seharusnya juga menunjukkan adanya resolusi dari blokade sensoris dan motoris.

Pada kasus ini, setelah 1 jam di PACU pasien di-assest dengan Aldrete Score 10

karena pasien sudah sadar penuh, tekanan darah relatif tetap dibanding preoperatif, pasien

mampu bernafas dalam dan batuk, SpO2 96% dengan udara ruangan, dan pasien mampu

menggerakkan keempat ekstrimitasnya. Oleh karena itu, pasien kemudian dipindah ke ruangan

biasa.

Kontrol Nyeri dan PONV

Pemberian NSAID preoperatif saja atau bersamaan dengan asetaminofen bisa

mengurangi kebutuhan terhadap opioid secara signifikan untuk prosedur operasi tertentu.

Penggunaan inhibitor selektif siklooksigenase-2 (seperti celecoxib) dapat mengurangi potential

adverse effect terhadap fungsi platelet dan komplikasi gastrointestinal.

Page 12: Pemba Has An

Nyeri ringan hingga sedang (mild to moderate) bisa diterapi dengan asetaminofen dan

kodein oral. Sebagai alternatif bisa digunakan opioid agonis-antagonis (butarphanol 1-2mg atau

nalbuphine 5-10mg) atau ketorolacmethamine 30 mg iv. Obat tersebut sering digunakan untuk

operasi ortopedi dan ginekologi.

Nyeri sedang-berat (moderate to severe) di PACU bisa diterapi dengan opioid parenteral

atau intraspinal, anestesi regional, atau blok saraf spesifik. Bila digunakan opioid, pemberian

yang aman diberikan dalam titrasi dosis kecil intravena. Opioid yang umum digunakan opioid

intermediate-long duration seperti meperidine 10-20 mg (0.25-0.5 mg/kg pada anak-anak), atau

morfin 2-4mg (0.025-0.05 mg/kg pada anak-anak). Efek analgesik mencapai peak dalam waktu

4-5 menit.

Sedangkan Postoperative nausea and vomiting (PONV) merupakan masalah yang

sering terjadi setelah prosedur general anestesi, terjadi pada sekitar 20-30% pasien. Bahkan,

PONV bisa terjadi ketika pasien di rumah 24 jam setelah discharge (postdischarge nausea and

vomiting). Etiologi PONV biasanya multifaktorial bisa melibatkan agen anestesi, tipe atau jenis

anestesi dan faktor pasien sendiri.

Terjadi peningktan insiden mual setelah pemberian opioid selama anestesi, setelah

pembedahan intraperitoneal (umumnya laparoskopi), dan operasi strabismus. Insidensi tertinggi

terjadi pada wanita muda. Meningkatnya tonus vagal bermanifestasi sebagai sudden bradikardi

yang seringkali mendahului atau bersamaan dengan emesis. Anestesi propofol menurunkan

insiden PONV. Selective 5-hydroxytryptamine (serotonin) receptor 3 (5-HT3) antagonis seperti

ondansetron 4 mg (0.1 mg/kg pada anak-anak), granisetron 0.01–0.04 mg/kg, dan dolasetron

12.5 mg (0.035 mg/kg pada anak-anak) juga sangat efektif untuk mencegah PONV dan

menerapi PONV yang sudah terjadi. Metoclopramide, 0.15 mg/kg intravena, kurang efektif

tetapi obat ini merupakan alternatif yang bagus. 5-HT3 antagonis tidak berhubungan dengan

manifestasi akut extrapyramidal (dystonic) dan reaksi disforik yang mungkin ditimbulkan oleh

metoclopramide atau phenothiazine-type antiemetics. Dexamethasone, 4–10 mg (0.10 mg/kg in

children), bila dikombinasikan dengan antiemetic lainnya biasanya efektif untuk mual dan

muntah yang refrakter. Bahkan efektif hingga 24 jam sehingga bisa digunakan untuk

postdischarge nausea and vomiting. Profilaksis non farmakologis untuk mencegah PONV

misalnya hidrasi yang adekuat (20 mL/kg) setelah puasa dan stimulasi P6 acupuncture point

(pergelangan tangan). Pada kasus ini, tidak didapatkan mual muntah postoperatif, tetapi

tetap diberikan ondansentron 3x4mg dan ranitidine 2x50mg intravena untuk mencegah PONV

di ruangan. Sedangkan untuk mengontrol nyeri postoperative diberikan ketorolac 3x30mg

intravena.

Page 13: Pemba Has An

2.3.1.