pemanfaatan batubara di pltu dan semen
DESCRIPTION
makalah pemanfaatan batubaraTRANSCRIPT
-
MAKALAH PEMANFAATAN BATUBARA Pemanfaatan Batubara Di Pltu Dan Industri Semen
OLEH :
KELOMPOK 6
1. Fitrie Cantate Simangunsong (061130400296)
2. Indah Dwi Astuti (061130400298)
3. Putri Pratiwi (061130400306)
KELAS : 5 KA
Dosen Pembimbing : Ir. Sahrul Effendi, M.T
JURUSAN TEKNIK KIMIA POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA PALEMBANG
2013
-
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada masa mendatang, produksi batubara Indonesia diperkirakan akan terus
meningkat tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (domestik), tetapi juga
untuk memenuhi permintaan luar negeri (ekspor). Hal ini mengingat sumber daya
batubara Indonesia yang masih melimpah, di lain pihak harga BBM yang tetap tinggi,
menuntut industri yang selama ini berbahan bakar minyak untuk beralih menggunakan
batubara.
Adanya rencana pembangunan PLTU baru di dalam dan luar Pulau Jawa dengan
total kapasitas 10.000 MW, meningkatnya produksi semen setiap tahun, dan semakin
berkembangnya industri-industri lain seperti industri kertas (pulp) dan industri tekstil
merupakan indikasi permintaan dalam negeri akan semakin meningkat. Demikian pula
halnya dengan permintaan batubara dari negara-negara pengimpor mengakibatkan
produksi akan semakin meningkat pula.
Terkait dengan hal tersebut, pemerintah mengeluarkan Kebijakan Energi Nasional
(KEN) melalui PP No.5 Tahun 2006 sebagai pembaruan Kebijaksanaan Umum Bidang
Energi (KUBE) tahun 1998. KEN mempunyai tujuan utama untuk menciptakan
keamanan pasokan energi nasional secara berkelanjutan dan pemanfaatan energi secara
efisien, serta terwujudnya bauran energi (energy mix) yang optimal pada tahun 2025.
Untuk itu ketergantungan terhadap satu jenis sumber energi seperti BBM harus dikurangi
dengan memanfaatkan sumber energi alternatif di antaranya batubara.
Untuk mendukung pencapaian sasaran bauran energi nasional yang dicanangkan
pemerintah, salah satunya adalah melakukan kajian batubara secara nasional untuk
mengetahui kondisi sumberdaya, pengusahaan, dan pemanfaatan batubara, serta
permasalahannya, yang dapat digunakan untuk membuat langkah-langkah yang
diperlukan.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui sifat-sifat batubara
2. Mengetahui pemanfaatan batubara dalam industri semen dan PLTU
3. Mengetahui proses hingga batubara bisa termanfaatkan
-
3
1.3 Manfaat
1. Dapat mengetahui sifat-sifat batubara
2. Dapat mengetahui pemanfaatan batubara dalam industri semen dan PLTU
3. Dapat mengetahui proses hingga batubara bisa termanfaatkan
1.4 Perumusan Masalah
1. Apa sifat-sifat dari batubara?
2. Bagaimana pemanfaatan batubara dalam industri semen dan PLTU?
3. Bagaimana proses pemanfaatan batubara dalam industri semen dan PLTU?
1.5 Sistematika Penulisan
Penulisan ini didasarkan pada sumber-sumber yang terpercaya yang diambil
dengan mengakses situs-situs internet dan beberapa buku atau silabus yang ada.
-
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Abu Terbang Batubara
Fly ash batubara adalah limbah industri yang dihasilkan dari pembakaran batubara
dan terdiri dari partikel yang halus. Gradasi dan kehalusan fly ash batubara dapat
memenuhi persyaratan gradasi AASTHO M17 untuk mineral filler. Penggunaan
mineral filler dalam campuran aspal beton adalah untuk mengisi rongga dalam
campuran, untuk meningkatkan daya ikat aspal beton, dan untuk meningkatkan
stabilitas dari campuran. Dari penelitian tentang penggunaan fly ash batubara sebagai
mineral filler untuk menggantikan filler bubuk marmer pada campuran aspal beton
menunjukkan kadar optimum lebih rendah dari pada filler bubuk marmer, yaitu 3.5 %
untuk filler fly ash batubara dan 4.5 % untuk filler bubuk marmer.
Fly-ash atau abu terbang yang merupakan sisa-sisa pembakaran batu bara, yang
dialirkan dari ruang pembakaran melalui ketel berupa semburan asap, yang telah
digunakan sebagai bahan campuran pada beton. Fly-ash atau abu terbang di kenal di
Inggris sebagai serbuk abu pembakaran. Abu terbang sendiri tidak memiliki
kemampuan mengikat seperti halnya semen. Tetapi dengan kehadiran air dan ukuran
partikelnya yang halus, oksida silika yang dikandung oleh abu terbang akan bereaksi
secara kimia dengan kalsium hidroksida yang terbentuk dari proses hidrasi semen dan
menghasilkan zat yang memiliki kemampuan mengikat.
Menurut ACI Committee 226 dijelaskan bahwa, fly-ash mempunyai butiran yang
cukup halus, yaitu lolos ayakan N0. 325 (45 mili mikron) 5-27%, dengan spesific
gravity antara 2,15-2,8 dan berwarna abu-abu kehitaman. Sifat proses pozzolanic dari
fly-ash mirip dengan bahan pozzolan lainnya. Menurut ASTM C.618 (ASTM,
1995:304) abu terbang (fly-ash) didefinisikan sebagai butiran halus residu pembakaran
batubara atau bubuk batubara. Fly-ash dapat dibedakan menjadi dua, yaitu abu terbang
yang normal yang dihasilkan dari pembakaran batubara antrasit atau batubara bitomius
dan abu terbang kelas C yang dihasilkan dari batubara jenis lignite atau subbitumes.
Abu terbang kelas C kemungkinan mengandung zat kimia SiO2 sampai dengan dengan
70%.
-
5
2.1.1 Limbah Padat Abu Terbang Batubara ( Fly Ash )
Abu batubara sebagai limbah tidak seperti gas hasil pembakaran, karena
merupakan bahan padat yang tidak mudah larut dan tidak mudah menguap sehingga
akan lebih merepotkan dalam penanganannya. Apabila jumlahnya banyak dan tidak
ditangani dengan baik, maka abu batubara tersebut dapat mengotori lingkungan
terutama yang disebabkan oleh abu yang beterbangan di udara dan dapat terhisap oleh
manusia dan hewan juga dapat mempengaruhi kondisi air dan tanah di sekitarnya
sehingga dapat mematikan tanaman. Akibat buruk terutama ditimbulkan oleh unsur-
unsur Pb, Cr dan Cd yang biasanya terkonsentrasi pada fraksi butiran yang sangat halus
(0,5 10 m). Butiran tersebut mudah melayang dan terhisap oleh manusia dan hewan,
sehingga terakumulasi dalam tubuh manusia dengan konsentrasi tertentu dapat
memberikan akibat buruk bagi kesehatan (Putra,D.F. et al, 1996). Abu terbang batubara
umumnya dibuang di ash lagoon atau ditumpuk begitu saja di dalam area industri.
Penumpukan abu terbang batubara ini menimbulkan masalah bagi lingkungan.
Berbagai penelitian mengenai pemanfaatan abu terbang batubara sedang dilakukan
untuk meningkatkan nilai ekonomisnya serta mengurangi dampak buruknya terhadap
lingkungan. Saat ini abu terbang batubara digunakan dalam pabrik semen sebagai salah
satu bahan campuran pembuat beton.
Selain itu, sebenarnya abu terbang batubara memiliki berbagai kegunaan yang
amat beragam:
1. Penyusun beton untuk jalan dan bendungan
2. Penimbun lahan bekas pertambangan
3. Recovery magnetic, cenosphere, dan karbon
4. Bahan baku keramik, gelas, batu bata, dan refraktori
5. Bahan penggosok (polisher)
6. Filler aspal, plastik, dan kertas
7. Pengganti dan bahan baku semen
8. Aditif dalam pengolahan limbah (waste stabilization)
9. Konversi menjadi zeolit dan adsorben
2.1.2 Sifat Kimia dan Sifat Fisika Fly Ash
Komponen utama dari abu terbang batubara yang berasal dari pembangkit listrik
adalah silika (SiO2), alumina, (Al2O3), besi oksida (Fe2O3), kalsium (CaO) dan
-
6
sisanya adalah magnesium, potasium, sodium, titanium dan belerang dalam jumlah
yang sedikit.
Tabel 2.1 Komposisi kimia abu terbang batubara
Komponen Bituminous Sub-
bituminous Lignite
SiO2 20-60% 40-60% 15-45%
Al2O3 5-35% 20-30% 10-25%
Fe2O3 10-40% 4-10% 4-15%
CaO 1-12% 5-30% 15-40%
MgO 0-5% 1-6% 3-10%
SO3 0-4% 0-2% 0-10%
Na2O 0-4% 0-2% 0-6%
K2O 0-3% 0-4% 0-4%
LOI 0-15% 0-3% 0-5%
Sifat kimia dari abu terbang batubara dipengaruhi oleh jenis batubara yang
dibakar dan teknik penyimpanan serta penanganannya. Pembakaran batubara lignit dan
subbituminous menghasilkan abu terbang dengan kalsium dan magnesium oksida lebih
banyak dari pada jenis bituminous. Namun, memiliki kandungan silika, alumina, dan
karbon yang lebih sedikit dari pada bituminous.
Kandungan karbon dalam abu terbang diukur dengan menggunakan Loss Of
Ignition Method (LOI), yaitu suatu keadaan hilangnya potensi nyala dari abu terbang
batubara. Abu terbang batubara terdiri dari butiran halus yang umumnya berbentuk bola
padat atau berongga. Ukuran partikel abu terbang hasil pembakaran batubara
bituminous lebih kecil dari 0,075 mm. Kerapatan abu terbang berkisar antara 2100
sampai 3000 kg/m3 dan luas area spesifiknya (diukur berdasarkan metode permeabilitas
udara Blaine) antara 170 sampai 1000 m2/kg, sedangkan ukuran partikel rata-rata abu
terbang batubara jenis sub-bituminous 0,01mm 0,015 mm, luas permukaannya 1-2
m2/g, massa jenis (specific gravity ) 2,2 2,4 dan bentuk partikel mostly spherical ,
yaitu sebagian besar berbentuk seperti bola, sehingga menghasilkan kelecakan
(workability ) yang lebih baik ( Nugroho,P dan Antoni, 2007)
-
7
2.2 Pemanfaatan Fly Ash dan Bottom Ash
Fly ash dan bottom ash adalah terminology umum untuk abu terbang yang ringan
dan abu relatif berat yang timbul dari suatu proses pembakaran suatu bahan yang
lazimnya menghasilkan abu. Fly ash dan bottom ashdalam konteks ini adalah abu yang
dihasilkan dari pembakaran batubara.
Batu bara memiliki riwayat yang panjang dan beragam. Beberapa ahli sejarah
yakin bahwa batubara pertama kali digunakan secara komersial di Cina. Ada laporan
yang menyatakan bahwa suatu tambang di timur laut Cina menyediakan batu bara
untuk mencairkan tembaga dan untuk mencetak uang logam sekitar tahun 1000
Sebelum Masehi.
Salah satu dari rujukan batu bara yang pertama kali diketahui dibuat oleh seorang
filsuf dan ilmuwan Yunani Aristoteles, yang menyebutkan arang seperti batu. Abu batu
bara yang ditemukan di reruntuhan bangsa Romawi di Inggris menunjukkan bahwa
bangsa Romawi menggunakan batu bara sebagai sumber energi pada tahun 400
Sebelum Masehi.
Catatan sejarah dari Abad Pertengahan memberikan bukti pertama penambangan
batu bara di Eropa bahkan suatu perdagangan internasional batu bara laut dari lapisan
batu bara yang terpapar di pantai Inggris dikumpulkan dan diekspor ke Belgia.
Selama Revolusi Industri pada abad 18 dan 19, kebutuhan akan batu bara amat
mendesak. Penemuan besar mesin uap oleh James Watt, yang dipatenkan pada tahun
1769, sangat berperan dalam pertumbuhan penggunaan batu bara. Riwayat
penambangan dan penggunaan batu bara tidak dapat dipungkiri berkaitan dengan
Revolusi Industri produksi besi dan baja, transportasi kereta api dan kapal uap.
Batu bara juga digunakan untuk menghasilkan gas untuk lampu gas di banyak
kota, yang disebut kota gas. Proses pembentukan gas dengan menggunakan batu bara
ini menunjukkan pertumbuhan lampu gas di sepanjang daerah metropolitan pada awal
abad 19, terutama di London. Penggunaan gas yang dihasilkan batu bara untuk
penerangan jalan akhirnya digantikan oleh munculnya zaman listrik modern.
Dengan perkembangan tenaga listrik pada abad 19, masa depan batu bara sangat
terkait dengan pembangkit listrik tenaga uap. Pusat pembangkit listrik tenaga uap yang
pertama yang dikembangkan oleh Thomas Edison, mulai dioperasikan di Kota New
York pada tahun 1882, yang mencatu daya untuk lampu-lampu rumah.
Akhirnya pada tahun 1960-an, minyak akhirnya mengambil alih posisi batu bara
sebagai sumber energi utama dengan pertumbuhan yang pesat di sektor transportasi.
-
8
Batu bara masih memainkan peran yang penting dalam kombinasi energi utama dunia,
dimana memberikan kontribusi sebesar 23.5% dari kebutuhan energi uatam dunia pada
tahun 2002, 39% dari kebutuhan listrik dunia, lebih dari dua kali lipat sumber daya
terbesar berikutnya, dan masukan penting sebesar 64% dari produksi baja dunia.
2.2.1 Teknologi Pembakaran Pada PLTU Batubara
Klasifikasi kualitas batubara secara umum terbagi 2, yaitu pembagian secara
ilmiah dalam hal ini berdasarkan tingkat pembatubaraaan, dan pembagian berdasarkan
tujuan penggunaannya. Berdasarkan urutan pembatubaraannya, batubara terbagi
menjadi batubara muda (brown coal atau lignite), sub bituminus, bituminus, dan
antrasit. Sedangkan berdasarkan tujuan penggunaannya, batubara terbagi menjadi
batubara uap (steam coal), batubara kokas (coking coal atau metallurgical coal), dan
antrasit.
Batubara uap merupakan batubara yang skala penggunaannya paling luas.
Berdasarkan metodenya, pemanfataan batubara uap terdiri dari pemanfaatan secara
langsung yaitu batubara yang telah memenuhi spesifikasi tertentu langsung digunakan
setelah melalui proses peremukan (crushing/milling) terlebih dulu seperti pada PLTU
batubara, kemudian pemanfaatan dengan memproses terlebih dulu untuk memudahkan
penanganan (handling) seperti CWM (Coal Water Slurry), COM (Coal Oil Mixture),
dan CCS (Coal Cartridge System), dan selanjutnya pemanfataan melalui proses
konversi seperti gasifikasi dan pencairan batubara.
Pada PLTU batubara, bahan bakar yang digunakan adalah batubara uap yang
terdiri dari kelas sub bituminus dan bituminus. Lignit juga mulai mendapat tempat
sebagai bahan bakar pada PLTU belakangan ini, seiring dengan perkembangan
teknologi pembangkitan yang mampu mengakomodasi batubara berkualitas rendah.
-
9
(Sumber: The Coal Resource, 2004)
Gambar 1. Skema pembangkitan listrik pada PLTU batubara
Pada PLTU, batubara dibakar di boiler menghasilkan panas yang digunakan
untuk mengubah air dalam pipa yang dilewatkan di boiler tersebut menjadi uap, yang
selanjutnya digunakan untuk menggerakkan turbin dan memutar generator. Kinerja
pembangkitan listrik pada PLTU sangat ditentukan oleh efisiensi panas pada proses
pembakaran batubara tersebut, karena selain berpengaruh pada efisiensi pembangkitan,
juga dapat menurunkan biaya pembangkitan. Kemudian dari segi lingkungan, diketahui
bahwa jumlah emisi CO2 per satuan kalori dari batubara adalah yang terbanyak bila
dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya, dengan perbandingan untuk batubara,
minyak, dan gas adalah 5:4:3. Sehingga berdasarkan uji coba yang mendapatkan hasil
bahwa kenaikan efisiensi panas sebesar 1% akan dapat menurunkan emisi CO2 sebesar
2,5%, maka efisiensi panas yang meningkat akan dapat mengurangi beban lingkungan
secara signifikan akibat pembakaran batubara. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
teknologi pembakaran (combustion technology) merupakan tema utama pada upaya
peningkatan efisiensi pemanfaatan batubara secara langsung sekaligus upaya antisipasi
isu lingkungan ke depannya.
Pada dasarnya metode pembakaran pada PLTU terbagi 3, yaitu pembakaran
lapisan tetap (fixed bed combustion), pembakaran batubara serbuk (pulverized coal
combustion /PCC), dan pembakaran lapisan mengambang (fluidized bed combustion /
FBC). Gambar 3 di bawah ini menampilkan jenis jenis boiler yang digunakan untuk
masing masing metode pembakaran.
-
10
(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)
Gambar 2. Tipikal boiler berdasarkan metode pembakaran
Pembakaran Lapisan Tetap
Metode lapisan tetap menggunakan stoker boiler untuk proses pembakarannya.
Sebagai bahan bakarnya adalah batubara dengan kadar abu yang tidak terlalu rendah
dan berukuran maksimum sekitar 30mm. Selain itu, karena adanya pembatasan sebaran
ukuran butiran batubara yang digunakan, maka perlu dilakukan pengurangan
jumlah fine coal yang ikut tercampur ke dalam batubara tersebut. Alasan tidak
digunakannya batubara dengan kadar abu yang terlalu rendah adalah karena pada
metode pembakaran ini, batubara dibakar di atas lapisan abu tebal yang terbentuk di
atas kisi api (traveling fire grate) pada stoker boiler. Bila kadar abunya sangat sedikit,
lapisan abu tidak akan terbentuk di atas kisi tersebut sehingga pembakaran akan
langsung terjadi pada kisi, yang dapat menyebabkan kerusakan yang parah pada bagian
tersebut. Oleh karena itu, kadar abu batubara yang disukai untuk tipe boiler ini adalah
sekitar 10 15%. Adapun tebal minimum lapisan abu yang diperlukan untuk
pembakaran adalah 5cm.
-
11
(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)
Gambar 3. Stoker Boiler
Pada pembakaran dengan stoker ini, abu hasil pembakaran berupa fly
ash jumlahnya sedikit, hanya sekitar 30% dari keseluruhan. Kemudian dengan upaya
seperti pembakaran NOx dua tingkat, kadar NOx dapat diturunkan hingga sekitar 250
300 ppm. Sedangkan untuk menurunkan SOx, masih diperlukan tambahan fasilitas
berupa alat desulfurisasi gas buang.
Pembakaran Batubara Serbuk (Pulverized Coal Combustion/PCC)
Saat ini, kebanyakan PLTU terutama yang berkapasitas besar masih
menggunakan metode PCC pada pembakaran bahan bakarnya. Hal ini karena sistem
PCC merupakan teknologi yang sudah terbukti dan memiliki tingkat kehandalan yang
tinggi. Upaya perbaikan kinerja PLTU ini terutama dilakukan dengan meningkatkan
suhu dan tekanan dari uap yang dihasilkan selama proses pembakaran.
Perkembangannya dimulai dari sub critical steam, kemudian super critical steam,
serta ultra super critical steam (USC). Sebagai contoh PLTU yang menggunakan
teknologi USC adalah pembangkit no. 1 dan 2 milik J-Power di teluk Tachibana,
Jepang, yang boilernya masing masing berkapasitas 1050 MW buatan Babcock
Hitachi. Tekanan uap yang dihasilkan adalah sebesar 25 MPa (254.93 kgf/cm2) dan
suhunya mencapai 600/610 (1 stage reheat cycle). Perkembangan kondisi uap dan
grafik peningkatan efisiensi pembangkitan pada PCC ditunjukkan pada gambar 4 di di
bawah ini.
-
12
(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)
Gambar 4. Perkembangan kondisi uap PLTU
Pada PCC, batubara diremuk dulu dengan menggunakan coal pulverizer (coal
mill) sampai berukuran 200 mesh (diameter 74m), kemudian bersama sama dengan
udara pembakaran disemprotkan ke boiler untuk dibakar. Pembakaran metode ini
sensitif terhadap kualitas batubara yang digunakan, terutama sifat ketergerusan
(grindability), sifat slagging, sifat fauling, dan kadar air (moisture content). Batubara
yang disukai untuk boiler PCC adalah yang memiliki sifat ketergerusan dengan HGI
(Hardgrove Grindability Index) di atas 40 dan kadar air kurang dari 30%, serta rasio
bahan bakar (fuel ratio) kurang dari 2. Pembakaran dengan metode PCC ini akan
menghasilkan abu yang terdiri diri dari clinker ash sebanyak 15% dan sisanya
berupa fly ash.
(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)
-
13
Gambar 5. PCC Boiler
Ketika dilakukan pembakaran, senyawa Nitrogen yang ada di dalam batubara
akan beroksidasi membentuk NOx yang disebut dengan fuel NOx, sedangkan Nitrogen
pada udara pembakaran akan mengalami oksidasi suhu tinggi membentuk NOx pula
yang disebut dengan thermal NOx. Pada total emisi NOx dalam gas buang,
kandungan fuel NOx mencapai 80 90%. Untuk mengatasi NOx ini, dilakukan
tindakan denitrasi (de-NOx) di boiler saat proses pembakaran berlangsung, dengan
memanfaatkan sifat reduksi NOx dalam batubara.
(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)
Gambar 6. Proses denitrasi pada boiler PCC
Pada proses pembakaran tersebut, kecepatan injeksi campuran batubara serbuk
dan udara ke dalam boiler dikurangi sehingga pengapian bahan bakar dan pembakaran
juga melambat. Hal ini dapat menurunkan suhu pembakaran, yang berakibat pada
menurunnya kadar thermal NOx.
Selain itu, sebagaimana terlihat pada gambar 6 di atas, bahan bakar tidak
semuanya dimasukkan ke zona pembakaran utama, tapi sebagian dimasukkan ke bagian
di sebelah atas burner utama. NOx yang dihasilkan dari pembakara utama selanjutnya
dibakar melalui 2 tingkat. Di zona reduksi yang merupakan pembakaran tingkat
pertama atau disebut pula pembakaran reduksi (reducing combustion), kandungan
Nitrogen dalam bahan bakar akan diubah menjadi N2. Selanjutnya, dilakukan
pembakaran tingkat kedua atau pembakaran oksidasi (oxidizing combustion), berupa
pembakaran sempurna di zona pembakaran sempurna. Dengan tindakan ini, NOx dalam
-
14
gas buang dapat ditekan hingga mencapai 150 200 ppm. Sedangkan untuk
desulfurisasi masih memerlukan peralatan tambahan yaitu alat desulfurisasi gas buang.
Pembakaran Lapisan Mengambang (Fluidized Bed Combustion/FBC)
Pada pembakaran dengan metode FBC, batubara diremuk terlebih dulu dengan
menggunakan crusher sampai berukuran maksimum 25mm. Tidak seperti pembakaran
menggunakan stoker yang menempatkan batubara di atas kisi api selama pembakaran
atau metode PCC yang menyemprotkan campuran batubara dan udara pada saat
pembakaran, butiran batubara dijaga agar dalam posisi mengambang, dengan cara
melewatkan angin berkecepatan tertentu dari bagian bawah boiler. Keseimbangan
antara gaya dorong ke atas dari angin dan gaya gravitasi akan menjaga butiran batubara
tetap dalam posisi mengambang sehingga membentuk lapisan seperti fluida yang selalu
bergerak. Kondisi ini akan menyebabkan pembakaran bahan bakar yang lebih sempurna
karena posisi batubara selalu berubah sehingga sirkulasi udara dapat berjalan dengan
baik dan mencukupi untuk proses pembakaran.
Karena sifat pembakaran yang demikian, maka persyaratan spesifikasi bahan
bakar yang akan digunakan untuk FBC tidaklah seketat pada metode pembakaran yang
lain. Secara umum, tidak ada pembatasan yang khusus untuk kadar zat terbang (volatile
matter), rasio bahan bakar (fuel ratio) dan kadar abu. Bahkan semua jenis batubara
termasuk peringkat rendah sekalipun dapat dibakar dengan baik menggunakan metode
FBC ini. Hanya saja ketika batubara akan dimasukkan ke boiler, kadar air yang
menempel di permukaannya (free moisture) diharapkan tidak lebih dari 4%. Selain
kelebihan di atas, nilai tambah dari metode FBC adalah alat peremuk batubara yang
dipakai tidak terlalu rumit, serta ukuran boiler dapat diperkecil dan dibuat kompak.
Bila suhu pembakaran pada PCC adalah sekitar 1400 1500, maka pada FBC,
suhu pembakaran berkisar antara 850 900 saja sehingga kadar thermal NOx yang
timbul dapat ditekan. Selain itu, dengan mekanisme pembakaran 2 tingkat seperti pada
PCC, kadar NOx total dapat lebih dikurangi lagi.
Kemudian, bila alat desulfurisasi masih diperlukan untuk penanganan SOx pada
metode pembakaran tetap dan PCC, maka pada FBC, desulfurisasi dapat terjadi
bersamaan dengan proses pembakaran di boiler. Hal ini dilakukan dengan cara
mencampur batu kapur (lime stone, CaCO3) dan batubara kemudian secara bersamaan
dimasukkan ke boiler. SOx yang dihasilkan selama proses pembakaran, akan bereaksi
dengan kapur membentuk gipsum (kalsium sulfat). Selain untuk proses desulfurisasi,
-
15
batu kapur juga berfungsi sebagai media untuk fluidized bed karena sifatnya yang lunak
sehingga pipa pemanas (heat exchanger tube) yang terpasang di dalam boiler tidak
mudah aus.
(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)
Gambar 7. Tipikal boiler FBC
Berdasarkan mekanisme kerja pembakaran, metode FBC terbagi 2
yaitu Bubbling FBC dan Circulating FBC (CFBC), seperti ditampilkan pada gambar 7
di atas. Dapat dikatakan bahwa Bubbling FBC merupakan prinsip dasar FBC,
sedangkan CFBC merupakan pengembangannya.
Pada CFBC, terdapat alat lain yang terpasang pada boiler yaitu cyclone suhu
tinggi. Partikel media fluidized bed yang belum bereaksi dan batubara yang belum
terbakar yang ikut terbang bersama aliran gas buang akan dipisahkan di cyclone ini
untuk kemudian dialirkan kembali ke boiler. Melalui proses sirkulasi ini,
ketinggian fluidized bed dapat terjaga, proses denitrasi dapat berlangsung lebih optimal,
dan efisiensi pembakaran yang lebih tinggi dapat tercapai. Oleh karena itu, selain
batubara berkualitas rendah, material seperti biomasa, sludge, plastik bekas, dan ban
bekas dapat pula digunakan sebagai bahan bakar pada CFBC. Adapun abu sisa
pembakaran hampir semuanya berupa fly ash yang mengalir bersama gas buang, dan
akan ditangkap lebih dulu dengan menggunakan Electric Precipitator sebelum gas
buang keluar ke cerobong asap (stack).
-
16
(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)
Gambar 8. CFBC Boiler
Pada FBC, bila tekanan di dalam boiler sama dengan tekanan udara luar, disebut
dengan Atmospheric FBC (AFBC), sedangkan bila tekanannya lebih tinggi dari pada
tekanan udara luar, sekitar 1 MPa, disebut dengan Pressurized FBC (PFBC).
Faktor tekanan udara pembakaran memberikan pengaruh terhadap perkembangan
teknologi FBC ini. Untuk Bubbling FBC berkembang dari PFBC
menjadi Advanced PFBC (A-PFBC), sedangkan untuk CFBC selanjutnya berkembang
menjadi Internal CFBC (ICFBC) dan kemudian Pressurized ICFBC (PICFBC).
a. PFBC
Pada PFBC, selain dihasilkan panas yang digunakan untuk memanaskan air
menjadi uap untuk memutar turbin uap, dihasilkan pula gas hasil pembakaran yang
memiliki tekanan tinggi yang dapat memutar turbin gas, sehingga PLTU yang
menggunakan PFBC memiliki efisiensi pembangkitan yang lebih baik dibandingkan
dengan AFBC karena mekanisme kombinasi (combined cycle) ini. Nilai efisiensi bruto
pembangkitan (gross efficiency) dapat mencapai 43%.
Sesuai dengan prinsip pembakaran pada FBC, SOx yang dihasilkan pada PFBC
dapat ditekan dengan mekanisme desulfurisasi bersamaan dengan pembakaran di
dalam boiler, sedangkan NOx dapat ditekan dengan pembakaran pada suhu relatif
rendah (sekitar 860) dan pembakaran 2 tingkat. Karena gas hasil pembakaran masih
dimanfaatkan lagi dengan mengalirkannya ke turbin gas, maka abu pembakaran yang
ikut mengalir keluar bersama dengan gas tersebut perlu dihilangkan lebih dulu.
-
17
Pemakaian CTF (Ceramic Tube Filter) dapat menangkap abu ini secara efektif. Kondisi
bertekanan yang menghasilkan pembakaran yang lebih baik ini secara otomatis akan
menurunkan kadar emisi CO2 sehingga dapat mengurangi beban lingkungan.
(Sumber: Coal Note, 2001)
Gambar 9. Prinsip kerja PFBC
Untuk lebih meningkatkan efisiensi panas, unit gasifikasi sebagian (partial
gasifier) yang menggunakan teknologi gasifikasi lapisan mengambang (fluidized bed
gasification) kemudian ditambahkan pada unit PFBC. Dengan kombinasi teknologi
gasifikasi ini maka upaya peningkatan suhu gas pada pintu masuk (inlet) turbin gas
memungkinkan untuk dilakukan.
Pada proses gasifikasi di partial gasifier tersebut, konversi karbon yang dicapai
adalah sekitar 85%. Nilai ini dapat ditingkatkan menjadi 100% melalui kombinasi
dengan pengoksidasi (oxidizer). Pengembangan lebih lanjut dari PFBC ini dinamakan
dengan Advanced PFBC (A-PFBC), yang prinsip kerjanya ditampilkan pada gambar 10
di bawah ini. Efisiensi netto pembangkitan (net efficiency) yang dihasilkan pada A-
PFBC ini sangat tinggi, dapat mencapai 46%.
-
18
(Sumber: Coal Science Handbook, 2005)
Gambar 10. Prinsip kerja A-PFBC
b. ICFBC
Penampang boiler ICFBC ditampilkan pada gambar 11 di bawah ini.
(Sumber: Coal Note, 2001)
Gambar 11. Penampang boiler ICFBC
Seperti terlihat pada gambar, ruang pembakaran utama (primary combustion
chamber) dan ruang pengambilan panas (heat recovery chamber) dipisahkan oleh
dinding penghalang yang terpasang miring. Kemudian, karena pipa pemanas (heat
exchange tube) tidak terpasang langsung pada ruang pembakaran utama, maka tidak
ada kekhawatiran terhadap keausan pipa sehingga pasir silika digunakan sebagai
-
19
pengganti batu kapur untuk media FBC. Batu kapur masih tetap digunakan sebagai
bahan pereduksi SOx, hanya jumlahnya ditekan sesuai dengan keperluan saja.
Di bagian bawah ruang pembakaran utama terpasang windbox untuk mengalirkan
angin ke boiler, dimana angin bervolume kecil dialirkan melalui bagian tengah untuk
menciptakan lapisan bergerak (moving bed) yang lemah, dan angin bervolume besar
dialirkan melewati kedua sisi windbox tersebut untuk menimbulkan lapisan bergerak
yang kuat. Dengan demikian maka pada bagian tengah ruang pembakaran utama akan
terbentuk lapisan bergerak yang turun secara perlahan, sedangkan pada kedua sisi ruang
tersebut, media FBC akan terangkat kuat ke atas menuju ke bagian tengah ruang
pembakaran utama dan kemudian turun perlahan lahan, dan kemudian terangkat lagi
oleh angin bervolume besar dari windbox. Proses ini akan menciptakan aliran berbentuk
spiral (spiral flow) yang terjadi secara kontinyu pada ruang pembakaran utama.
Mekanisme aliran spiral dari media FBC ini dapat menjaga suhu lapisan mengambang
supaya seragam. Selain itu, karena aliran tersebut bergerak dengan sangat dinamis,
maka pembuangan material yang tidak terbakar juga lebih mudah.
Kemudian, ketika media FBC yang terangkat kuat tersebut sampai di bagian atas
dinding penghalang, sebagian akan berbalik menuju ke ruang pengambilan panas.
Karena pada ruang pengambilan panas tersebut juga dialirkan angin dari bagian bawah,
maka pada ruang tersebut akan terbentuk lapisan bergerak yang turun perlahan juga.
Akibatnya, media FBC akan mengalir dari ruang pembakaran utama menuju ke ruang
pengambilan panas kemudian kembali lagi ke ruang pembakaran utama, membentuk
aliran sirkulasi (circulating flow) di antara kedua ruang tersebut. Menggunakan pipa
pemanas yang terpasang pada ruang pengambilan panas, panas dari ruang pembakaran
utama diambil melalui mekanisme aliran sirkulasi tadi.
Secara umum, perubahan volume angin yang dialirkan ke ruang pengambilan
panas berbanding lurus dengan koefisien hantar panas secara keseluruhan. Dengan
demikian maka hanya dengan mengatur volume angin tersebut, tingkat keterambilan
panas serta suhu pada lapisan mengambang dapat dikontrol dengan baik, sehingga
pengaturan beban dapat dilakukan dengan mudah pula.
Untuk lebih meningkatkan kinerja pembangkitan, proses pada ICFBC kemudian
diberi tekanan dengan cara memasukkan unit ICFBC ke dalam wadah bertekanan
(pressurized vessel), yang selanjutnya disebut dengan PressurizedICFBC (PICFBC).
Dengan mekanisme ini maka selain uap air, akan dihasilkan pula gas hasil pembakaran
-
20
bertekanan tinggi yang dapat digunakan untuk memutar turbin gas sehingga
pembangkitan secara kombinasi (combined cycle) dapat diwujudkan.
c. Pembangkitan Kombinasi Dengan Gasifikasi Batubara
Peningkatan efisiensi pembangkitan dengan mekanisme kombinasi melalui
pemanfaatan gas sintetis hasil proses gasifikasi seperti pada A-PFBC, selanjutnya
mengarahkan teknologi pembangkitan untuk lebih mengintensifkan penggunaan
teknologi gasifikasi batubara ke dalam sistem pembangkitan. Upaya ini akhirnya
menghasilkan sistem pembangkitan yang disebut dengan Integrated
Coal Gasification Combined Cycle (IGCC).
Karena tulisan ini hanya membahas perkembangan teknologi pembangkitan
listrik, maka penjelasan tentang bagaimana proses gasifikasi batubara berlangsung tidak
akan diterangkan disini.
4. IGCC
Garis besar diagram alir pembangkit listrik sistem IGCC ditampilkan pada
gambar 12 di bawah ini.
(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)
Gambar 12. Tipikal IGCC
Seperti terlihat pada gambar, pada sistem ini terdapat alat gasifikasi (gasifier)
yang digunakan untuk menghasilkan gas, umumnya bertipe entrained flow. Yang
tersedia di pasaran saat ini untuk tipe tersebut misalnya Chevron Texaco (lisensinya
sekarang dimiliki GE Energy), E-Gas (lisensinya dulu dimiliki Dow, kemudian Destec,
dan terakhir Conoco Phillips ), dan Shell. Prinsip kerja ketiga alat tersebut adalah sama,
-
21
yaitu batubara dan oksigen berkadar tinggi dimasukkan kedalamnya kemudian
dilakukan reaksi berupa oksidasi sebagian (partial oxidation) untuk menghasilkan gas
sintetis (syngas), yang 85% lebih komposisinya terdiri dari H2 dan CO. Karena reaksi
berlangsung pada suhu tinggi, abu pada batubara akan melebur dan
membentuk slag dalam kondisi meleleh (glassy slag). Adapun panas yang ditimbulkan
oleh proses gasifikasi dapat digunakan untuk menghasilkan uap bertekanan tinggi, yang
selanjutnya dialirkan ke turbin uap.
Oksigen yang digunakan untuk proses gasifikasi dihasilkan dari fasilitas Air
Separation Unit (ASU). Unit ini berfungsi untuk memisahkan oksigen dari udara
melalui mekanisme cryogenic separation, menghasilkan oksigen berkadar sekitar 95%.
Selain oksigen, pada ASU juga dihasilkan nitrogen yang digunakan sebagai
media inert untuk feeding batubara ke gasifier, selain dapat pula digunakan untuk
menurunkan suhu pada combustor sehingga emisi NOx dapat terkontrol.
Pada gas sintetis, selain H2 dan CO juga dihasilkan unsur lain yang tidak ramah
lingkungan seperti HCN, H2S, NH3, COS, uap air raksa, dan char. Oleh karena itu, gas
harus diproses terlebih dulu untuk menghilangkan bagian tersebut sebelum dikirim ke
turbin gas. Gas buang dari turbin gas kemudian mengalir ke Heat Recovery Steam
Generator (HRSG) yang berfungsi mengubah panas dari gas tersebut menjadi uap air,
yang selanjutnya dialirkan menuju turbin uap. Dengan mekanisme seperti ini, efisiensi
netto pembangkitan yang dihasilkan juga jauh melebihi pembangkitan pada sistem
biasa (PCC) yang saat ini mendominasi. Selain efisiensi pembangkitan, kelebihan lain
IGCC adalah sangat rendahnya kadar emisi polutan yang dihasilkan, fleksibilitas bahan
bakar yang dapat digunakan, penggunaan air yang 30-40% lebih rendah dibanding
PLTU konvensional (PCC), tingkat penangkapan CO2 yang signifikan, slag yang dapat
dimanfaatkan untuk material pekerjaan konstruksi, dan lain lain.
Sebagai contoh adalah Nuon IGCC yang terletak di Buggenum, Belanda,
berkapasitas 250MW. Pembangkit ini menghasilkan efisiensi netto sebesar 43% (Low
Heating Value), dengan performansi baku mutu lingkungan yang sangat bagus. Emisi
NOx yang dihasilkan sangat rendah yaitu kurang dari 10 ppm, kemudian efisiensi
pembuangan sulfur di atas 99%, tingkat emisi flyash, senyawa klorida dan logam berat
mudah menguap yang bisa dibilang nol, serta air limbah yang bisa diresirkulasi kembali
sehingga tidak ada buangan air limbah ke lingkungan.
Disamping kelebihan tersebut, terdapat pula kelemahan pada sistem IGCC yang
dikembangkan saat ini, misalnya, besarnya kapasitas pembangkitan yang ditentukan
-
22
berdasarkan banyaknya unit dan model turbin gas yang akan digunakan. Contohnya
untuk turbin gas GE Frame 7FA yang berkapasitas 275MW. Apabila IGCC akan
dioperasikan dengan kapasitas pembangkitan 275MW, berarti cukup 1 unit yang
dipasang. Bila 2 unit yang akan digunakan, berarti kapasitas pembangkitan menjadi
550MW, dan bila 3 unit maka akan menjadi 825MW. Kemudian bila kapasitas
pembangkitan yang diinginkan adalah di bawah 200MW, maka model yang dipakai
bukan lagi GE Frame 7FA, tapi GE 7FA yang berkapasitas 197MW. Demikian pula
bila menghendaki kapasitas pembangkitan yang lebih kecil lagi, maka GE 6FA yang
berkapasitas 85MW dapat digunakan.
Dengan kombinasi antara model dan banyaknya unit turbin gas yang akan
digunakan ini, selain akan membatasi kapasitas pembangkitan pada IGCC, sebenarnya
juga akan mempersempit rentang operasi. Misalnya ketika akan menurunkan beban
pada saat operasi puncak, hal itu mesti dilakukan dengan menurunkan beban pada
turbin gas. Penurunan beban turbin gas ini otomatis akan menurunkan efisiensi
pembangkitan dan akibat yang kurang baik pada emisi polutan yang dihasilkan.
Kelemahan lain yang perlu dicermati dari sistem IGCC saat ini adalah ongkos
pembangkitan per kW dan operation & maintenance (O & M) yang lebih mahal,
serta availability factor (AF) yang lebih rendah dibanding PCC.
Sejarah IGCC dimulai pada tahun 1970 ketika perusahaan STEAG dari Jerman
Barat mengembangan IGCC berkapasitas 170MW. Jauh setelahnya, proyek
demonstration plant IGCC bernama Cool Water diluncurkan di AS pada tahun 1984,
yang mengoperasikan IGCC berkapasitas 120MW sampai dengan tahun 1989. Sampai
tulisan ini dibuat, sebenarnya belum ada unit IGCC yang murni komersial. Penyebab
utamanya adalah investasi pembangunannya yang besar, serta teknologi IGCC yang
belum terbukti. Teknologi IGCC disini maksudnya adalah rangkaian proses dari
keseluruhan bangunan (building block) yang membentuk sistem IGCC utuh. Hal ini
perlu ditekankan karena teknologi dari masing masing unit pada IGCC
misalnya gasifier, HRSG, turbin gas, turbin uap, dan yang lainnya merupakan teknologi
yang sudah terbukti. Selama perkembangan yang berlangsung sekitar 20 tahun lebih
sejak proyek Cool Water, unit IGCC yang beroperasi secara komersial saat ini baik di
AS maupun di Eropa pada awalnya berstatus demonstration plant. Contoh
beberapa plant IGCC tersebut adalah
1. Tampa Electric Polk 250MW IGCC Power Station, terletak di Florida, AS. IGCC
ini beroperasi sejak September 1996 dibawah proyek Tampa,
-
23
menggunakan gasifier dari Chevron Texaco (sekarang GE Energy). Bahan bakar
yang digunakan adalah batubara dan petroleum coke (petcoke). Masalah yang
dihadapi adalah lebih rendahnya tingkat konversi karbon dibandingkan dengan
nilai yang direncanakan. Pernah pula terjadi fauling pada gas cooler.
2. Wabash River 260MW IGCC Power Station, terletak di Indiana, AS. Beroperasi
sejak September 1995 dibawah proyek Wabash River, pembangkit ini
menggunakan teknologi gasifikasi dari Global Energy (saat ini bagian dari
Conoco Phillips). Sejak berakhirnya proyek dari Departemen Energi AS (DOE)
pada tahun 2001, bahan bakar yang digunakan adalah petcoke 100%.
3. Nuon 250MW IGCC Power Station, terletak di Buggenum, Belanda. IGCC ini
bermula dari proyek Demkolec yang dimulai pada bulan Januari 1994. Teknologi
yang digunakan adalah dari Shell, yang bahan bakarnya adalah batubara
dicampur dengan biomassa (sludge dan sampah kayu) untuk lebih mengurangi
emisi CO2. Masalah yang pernah terjadi adalah kebocoran pipa gas cooler dan
timbulnya fauling pada gas cooler ketika campuran sludge sekitar 4-5%.
(Sumber: Thomas Chhoa, Shell Gas & Power, 2005)
Gambar 13. Nuon IGCC, Buggenum
4. Elcogas 300MW IGCC Power Station, terletak di Puertollano, Spanyol.
Pembangkit IGCC ini beroperasi sejak Juni 1996 dibawah proyek Puertollano,
menggunakan teknologi gasifikasi dari Prenflow (saat ini bagian dari Shell).
Bahan bakarnya berupa campuran petcoke dan batubara berkadar abu 40%
dengan perbandingan 50:50. Di bawah program dari Uni Eropa, plant ini
direncanakan sebagai tempat untuk proyek pengambilan CO2 (CO2 recovery) dan
produksi H2.
-
24
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor diantaranya efisiensi pembangkitan
yang tinggi, faktor ramah lingkungan, dan teknologi gasifikasi yang sudah terbukti,
upaya untuk lebih mengurangi kelemahan IGCC sudah mulai dilakukan.
Selain dari segi biaya, dilakukan pula upaya untuk lebih meningkatkan efisiensi
pembangkitan, yaitu dengan menambahkan sel bahan bakar (fuel cell) ke dalam sistem
IGCC. Dengan demikian, akan terdapat 3 jenis kombinasi pembangkitan pada sistem
yang baru ini yaitu turbin gas, turbin uap, dan fuel cell. Metode pembangkitan ini
disebut dengan Integrated Coal Gasification Fuel Cell Combined Cycle (IGFC), yang
diagram alirnya ditampilkan pada gambar 16 di bawah ini.
(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)
Gambar 14. Tipikal IGFC
Pada sel bahan bakar, pembangkitan listrik dilakukan secara langsung melalui
reaksi elektrokimia antara hidrogen dan oksigen sehingga tingkat kerugian energinya
sedikit dan efisiensi pembangkitannya tinggi. Hidrogen tersebut dapat berasal dari gas
alam, gas bio, atau gas hasil gasifikasi batubara. Berdasarkan material yang digunakan
untuk elektrolitnya, sel bahan bakar terbagi 4 yaitu Phosphoric-Acid Fuel
Cell (PAFC), Molten Carbonate Fuel Cell(MCFC), Solid-Oxide Fuel Cell (SOFC),
dan Proton-Exchange Membrane Fuel Cell (PEFC). Di bawah ini ditampilkan
karakteristik dari keempat jenis sel bahan bakar tersebut.
-
25
Tabel 1. Karakteristik Sel Bahan Bakar
(Sumber: Clean Coal Technologies in Japan, 2005)
Dari tabel di atas terlihat bahwa sel bahan bakar yang sesuai untuk kombinasi
pembangkitan dengan turbin gas adalah SOFC, karena reaksinya menghasilkan suhu
yang sangat tinggi.
Dibandingkan dengan PCC, pembangkitan dengan metode IGFC ini secara
teoretis mampu mengurangi emisi CO2 sebesar 30%. Kelebihan lainnya adalah
tingginya efisiensi pembangkitan yang dapat dicapai yaitu minimal 55%. Disamping
kelebihan tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum IGFC benar
benar dapat diaplikasikan secara komersial. Yang pertama adalah urgensi pematangan
teknologi IGCC, karena IGFC pada dasarnya adalah pengembangan dari IGCC.
Kemudian, perlunya pengembangan sel bahan bakar yang berefisiensi tinggi tapi
murah, untuk mendukung biaya pembangkitan yang kompetitif ke depannya.
2.2.2 Abu Batubara Pada Industri Semen
Tingkat pemanfaatan abu terbang dalam produksi semen saat ini masih tergolong
amat rendah. Cina memanfaatkan sekitar 15 persen, India kurang dari lima persen,
untuk memanfaatkan abu terbang dalam pembuatan beton. Abu terbang ini sendiri,
kalau tidak dimanfaatkan juga bisa menjadi ancaman bagi lingkungan. Karenanya dapat
dikatakan, pemanfaatan abu terbang akan mendatangkan efek ganda pada tindak
penyelamatan lingkungan, yaitu penggunaan abu terbang akan memangkas dampak
negatif kalau bahan sisa ini dibuang begitu saja dan sekaligus mengurangi penggunaan
semen Portland dalam pembuatan beton.
Semen sangat penting untuk industri konstruksi dicampur dengan air, dan kerikil
akan menjadi beton, unsur bangunan dasar dalam masyarakat moderen. Lebih dari 1350
juta ton semen digunakan di dunia setiap tahun.
-
26
Semen terbuat dari campuran kalsium karbonat (umumnya dalam bentuk batu
gamping), silika, oksida besi dan alumina. Suatu oven suhu tinggi, seringkali
menggunakan batu bara sebagai bahan bakar, memanaskan bahan mentah menjadi
senyawa parsial pada suhu 1450C, dan mengubah senyawa tersebut secara kimiawi
dan fisika menjadi zat yang disebut batu klinker. Material seperti batu koral abu-abu ini
terdiri dari senyawa khusus yang memberikan kandungan pengikat pada semen. Batu
klinker dicampur dengan gipsum dan tanah sampai menjadi bubuk halus untuk
membuat semen.
Batu bara digunakan sebagai sumber energi dalam produksi semen. Energi yang
dibutuhkan untuk memproduksi semen sangat besar. Oven biasanya membakar batu
bara dalam bentuk bubuk dan membutuhkan batu bara sebanyak 450g untuk
menghasilkan semen sebanyak 900g. Batu bara mungkin akan tetap menjadi masukan
penting untuk industri semen dunia di tahun-tahun yang mendatang.
Coal combustion products (CCP produk-produk pembakaran batu bara) juga
memainkan peran yang penting dalam produksi beton. CCP merupakan hasil
sampingan dari pembakaran batu bara pada pusat pembangkit listrik tenaga uap. Hasil-
hasil sampingan tersebut termasuk abu arang batu, abu dasar, kerak ketel dan gipsum
desulfurisasi gas pembakaran. Abu arang batu misalnya, dapat digunakan untuk
mengganti atau menambah semen dalam pembuatan beton. Dalam cara demikian,
produk-produk pembakaran batu bara daur ulang menguntungkan bagi lingkungan
hidup, yang bertindak sebagai pengganti bahan mentah utama.
Sebagian besar abu terbang yang digunakan dalam beton adalah abu kalsium
rendah (kelas F ASTM) yang dihasilkan dari pembakaran anthracite atau batu bara
bituminous. Abu terbang ini memiliki sedikit atau tida ada sifat semen tetapi dalam
bentuk yang halus dan kehadiran kelambaban, akan bereaksi secara kimiawi dengan
kalsium hidrosida pada suhu biasa untuk membentuk bahan yang memiliki sifat-sifat
penyemenan. Abu terbang kalsium tinggi (kelas ASTM) dihasilkan dari pembakaran
lignit atau bagian batu bara bituminous, yang memiliki sifat-sifat penyemenan di
samping sifat-sifat pozolan.
Penambahan abu terbang menghasilkan peningkatan kekuatan tarik langsung dan
modulus elastis. Kontribusi abu terbang terhadap kekuatan di dapati sangat tergantung
kepada faktor air-semen, jenis semen dan kualitas abu terbang itu sendiri.
Dalam suatu kajian, abu terbang termasuk ke dalam kategori kelas F dengan
kandungan CaO2 rendah sebesar 1,37 persen lebih kecil daripada 10 persen yang
-
27
menjadi persyaratan minimum kelas C. Namun demikian kandungan SiO2 sukup tinggi
yaitu 57,30 persen. Abu terbang ini, selain memenuhi kriteria sebagai bahan yang
memiliki sifat pozzolan, abu terbang juga memiliki sifat-sifat fisik yang baik, yaitu jari-
jari pori rata-rata 0,16 mili mikron, ukuran median 14,83 mili-mikron, dan luas
permukaan spesifik 78,8 m2/gram. Sifat-sifat tersebut dihasilkan dengan menggunakan
uji Porosimeter.
Hasil-hasil pengujian menunjukkan bahwa abu terbang memiliki porositas rendah
dan partikelnya halus. Bentuk partikel abu terbang adalah bulat dengan permukaan
halus, dimana hal ini sangat baik untuk workabilitas, karena akan mengurangi
permintaan air atau superplastiscizer.
Semen Portland adalah suatu bahan pengikat yang mengeras jika bereaksi dengan
air serta menghasilkan produk yang tahan air. Komponen utama dari semen portland
adalah :
Batu kapur yang mengandung CaO (Kapur, lime)
Lempung yang mengandung komponen SiO2 (Silika), Al2O3 (Oksida
Alimina) dan Fe2O3 (Oksida Besi) (Murdock, ).
Hal yang perlu diperhatikan pada semen portland adalah pengikatan dan
pengerasannya. Semen portland merupakan bahan pengikat hidrolis yang berarti bahwa
pengerasannya tergantung pada reaksi kimia yang disebabkan oleh air dan semen, oleh
karenanya semen portland dapat mengeras meskipun didalam air. Stabilisasi tanah
lempung dengan Semen merupakan proses kimia yang dapat merubah struktur tanah
dengan jalan membentuk butiran agregat yang lebih besar sehingga akan memberikan
pengaruh yang sangat menguntungkan. Peristiwa kimia terjadi antara tanah dan semen,
ketika keduanya dicampur dengan menambahkan sejumlah air. Hasil dari proses ini
adalah pengurangan porositas dari tanah lempung dan bersamaan dengan ini terjadi
peningkatan kekuatan dan ketahanan.
Hidrasi dari semen menghasilkan kalsium silikon dan aluminium, kalsium
hidroksida, dan ion kalsium yang dapat meningkatkan konsentrasi dari elektronis yang
sedikit mengandung air, tetapi meningkatkan PH.
Proses hidrasi melalui 2 tahap, yaitu :
a. Tahap pertama, terjadi proses timbal balik antara ion kalsium dan yang lain
diserap oleh mineral-mineral lempung.
-
28
b. Tahap kedua, reaksi kimia dari pozzolan terjadi antara semen dan elemen-
elemen kristal komposit.
Komponen silikon dan aluminium bereaksi dengan senyawa kalsium yang
membentuk unsur-unsur yang paling mengikat. Hasil akhir dari reaksi ini adalah
perubahan bentuk dari struktur lempung yang akhirnya menjadi agregat yang keras.
2.3 Persoalan di Sekitar Fly ash dan Bottom ash
Fly ash/bottom ash yang dihasilkan oleh fluidized bed system berukuran 100-200
mesh (1 mesh = 1 lubang/inch2). Ukuran ini relative kecil dan ringan, sedangkan
bottom ash berukuran 20-50 mesh. Secara umum ukuran fly ash/bottom ash dapat
langsung dimanfaatkan di pabrik semen sebagai substitusi batuan trass dengan
memasukkannya pada cement mill menggunakan udara tekan (pneumatic system).
Disamping dimanfaatkan di industri semen, fly/bottom ash dapat juga dimanfaatkan
menjadi campuran asphalt (ready mix), campuran beton (concerete) dan dicetak
menjadi paving block/batako. Dari suatu penelitian empiric untuk campuranbatako,
komposisi yang baik adalah sbb :
Kapur : 40%
Fly ash : 10%
Pasir : 40%
Semen : 10%
Persoalan lingkungan muncul dari bottom ash yang menggunakan fixed
bed atau grate system. Bentuknya berupa bongkahan-bongkahan besar. Seperti yang
telah disinggung di atas bahwa bottom ash ini masih mengandung fixed carbon (catatan
: fixed carbon dalam batubara dengan nilai kalori 6500-6800 kkal/kg sekitar 41-42%).
Jika bottom ash ini langsung dibuang ke lingkungan maka lambat laun akan terbentuk
gas Metana (CH4) yang sewaktu-waktu dapat terbakar atau meledak dengan sendirinya
( self burning dan self exploding). Di sisi yang lain, jika akan dimanfaatkan di pabrik
semen maka akan merubah desain feeder, sehingga pabrik semen tidak tertarik untuk
memanfaatkan bottom ash tsb.
-
29
2.4 Solusi Persoalan Fly ash dan Bottom ash
Dari situasi dan keadaan di atas maka dapat dikatakan bahwa solusi terhadap
munculnyafly/bottom ash serta pemanfaatan yang dikaitkan dengan keamanan terhadap
lingkungan adalah sbb :
Fly ash/bottom ash yang berasal dari sistem pembakaran fluidized bed dapat
digunakan untuk :
a. Campuran semen tahan asam
b. Campuran asphalt (ready mix) dan beton
c. Campuran paving block/batako
Fly ash yang berasal dari fixed bed system dapat langsung digunakan seperti point
1.a, 1b dan 1c. Sedangkan untuk bottom ash yang masih dalam bentuk bongkahan maka
harus mengalami perlakukan pengecilan ukuran (size reduction treatment) sebelum
dimanfaatkan lebih lanjut.
-
30
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penggunaan batubara sebagai sumber energi akan menghasilkan abu yaitu berupa
abu layang (fly ash) maupun abu dasar (bottom ash). Kandungan abu layang sebesar 84
% dari total abu batubara. Produksi abu layang batubara dunia yang diperkirakan tidak
kurang dari 500 juta ton per tahun dan ini diperkirakan akan bertambah. Hanya 15 %
dari produksi abu layang yang digunakan. Sisa dari abu layang cenderung sebagai
reklamasi (Tanaka dkk., 2002). Hal ini dapat menimbulkan pengaruh yang buruk
terhadap lingkungan. Oleh karena itu masalah abu layang batubara harus segera
diselesaikan agar tidak terjadi penumpukan dalam jumlah yang besar baik di Indonesia
maupun di dunia.
Salah satu alternatif untuk memanfaatkan abu layang batubara adalah dengan
mengubah abu layang tersebut menjadi bahan bakar pada PLTU dan semen. Batubara
memiliki segudang manfaat terutama sebagai sumber bahan bakar dan sebagai sumber
energi. Batubara yang kaya karbon menjadi pemicu penting bagi Revolusi Industri,
yang juga memainkan peran penting dalam industri semen dan baja. Batubara juga akan
terus menjadi sumber terbesar bagi produksi listrik hingga biaya energi terbarukan
menjadi cukup rendah untuk dapat bersaing dengan produksi listrik termal.
3.2 Saran
Perlu adanya terobosan baru dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi karena dengan perkembangan keduanya maka dengan sendirinya penanganan
abu batubara akan sangat berguna bagi kehidupan manusia dan tidak lagi menjadi
limbah industri.
-
31
Lampiran : Tanya-jawab
Penanya : Katrin Agnes Eyrani Sinaga
Pertanyaan : Pada penjelasan yang ada di alur proses, batubara yang mengalami suatu
proses di ketel uap akan terjadi perubahan wujud menjadi apa, abu atau uap?
Jawaban : Batubara yang ada di ketel uap merupakan suatu bahan bakar yang
digunakan untuk menghasilkan panas. Pada proses ini secara fisika batubara
bukan menjadi uap melainkan menjadi abu tetapi hasil dari pembakaran
dengan batubara ini akan menghasilkan panas yang selanjutnya akan
menghasilkan uap.
Penanya : Novi Retno Sari
Pertanyaan : Pada pembakaran yang ada di ketel uap, jenis pembakaran apa yang
digunakan? Pemurnian air di ketel uap difungsikan untuk apa?
Jawaban : pembakaran yang ada di ketel uap untuk jenisnya disesuaikan dengan
kebutuhan dan kebijakan operator/ suatu industri. Pemurnian air sebenarnya
tidak dilakukan di dalam ketel uap, tetapi ketel uap ini yang menerima pasokan
air bersih. Pemurnian air disini ditujukan agar proses yang akan berlangsung
berjalan dengan baik tanpa besarnya nilai faktor pengotor.
Penanya : Sheren Devykha Yandha
Pertanyaan : dari teori yang ada bahwa pada proses pembakaran dengan batubara
dilakukan penambahan solar, mengapa demikian dan kapan bahan tersebut
dimasukkan?
Jawaban : proses pembakaran dengan batubara memang tidak ada industri yang
menggunakan batubara seutuhnya hal ini dikarenakan mahalnya biaya bila
hanya akan digunakan batubara. Solar digunakan sebagai umpan agar batubara
dapat terbakar, karena batubara tidak akan terbakar bila tanpa adanya nyala
api. Sehingga dilakukan pembakaran solar terlebih dahulu dengan suhu tinggi
setelah timbul api batubara dimasukkan untuk melakkukan proses
pembakaran.